BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pasca Deklarasi Bali tentang Forest Law Enforcement Governance pada tahun
2001 , banyak negara mulai melakukan proses sertifikasi dan regulasi yang secara
langsung mampu melindungi negara negara eksportir maupun importir produk
hasil hutan dari kejahatan-kejahatan serta kerusakan di kawasan hutan. Kejahatan
dan kerusakan di kawasan hutan ini dapat memberikan dampak negatif baik
secara materil maupun fisik bagi negara eksportir maupun importir.
Kerusakan materiil dari kejahatan dan kerusakan hutan dapat dilihat dari
banyaknya penjualan-penjualan illegal dari Hasil Hutan. Produk Hasil Hutan,
sendiri terbagi pada dua bagian yaitu produk hasil hutan berupa kayu dan non
kayu atau dikenal sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). HHBK pun dibagi
menjadi dua yaitu HHBK hewani dan HHBK nabati Produk HHBK adalah hasil
hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budi daya
kecuali kayu yang berasal dari hutan. Hasil hutan bukan kayu umumnya
merupakan hasil sampingan dari pohon, misalnya getah, daun, kulit,buah atau
beberapa tumbuhan yang memiliki sifat khusus seperti rotan, bambu dan lain-
lain.1
1Hayyan Setiawan,” Hasil Hutan Bukan Kayu” dalam http://ilmuhutan.com/hasil-hutan-bukan-kayu/, diakses 10 Febuari 2017.
1
2
Salah satu organisasi internasional yang secara kontinum menunjukkan
keseriusannya dalam mengaplikasikan Forest Law Enforcemet Governamce
adalah Uni Eropa. Hal itu dikarenakan, UE mengembangkan berbagai legislasi,
program aksi dan direktif dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan hidup
termasuk berbagai isu terkait keprihatinan masyarakat UE seperti perubahan
iklim, penipisan lapisan ozon, consumer's choice, dan animal welfare. Dalam
penanganan masalah-masalah lingkungan hidup global, UE menunjukkan
keinginan untuk ikut memecahkan isu-isu pelik termasuk masalah perubahan
iklim.2
FLEGT atau Forest Law Enforcement Government and Trade yang biasa juga
dikenal sebagai Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor
Kehutanan merupakan salah satu regulasi yang diangkat oleh UE dalam
menghambat dan mencegah kejahatan serta kerusakan di kawasan hutan.
Regulasi ini secara khusus merupakan respon UE terhadap Deklarasi Bali di
tahun 2001, sekaligus mengenai permasalahan penebangan liar dan illegal
logging. Illegal logging adalah rangkaian kegiatan penebangan dan
pengangkutan kayu ketempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu tidak
mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan
dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena dipandang sebagai suatu
perbuatan yang dapat merusak hutan.3 Konsekuensi dari illegal logging adalah
2 “Sikap UE terhadap Isu-isu Ekonomi Global” dalam http://www.indonesianmission-
eu.org/website/page30961153720030825753735.asp, diakses 21 January 2017. 3 Bambang Tri Bawono dan Anis Masdurohatun, Penegakkan Hukum Pidana di Bidang
Illegal Logging bagi Kelestarian Lingkungan Hidup dan Upaya Penanggulangannya, Jurnal Hukum
3
tidak terpenuhinya kriteria pengelolaan hutan lestari (sustainable forest
management), yang jika dibiarkan akan berdampak pada kerusakan lingkungan
di dalam ekosistem hutan.
Uni Eropa merupakan salah satu konsumen terbesar produk kayu. Produk
Kayu yang dikonsumsi oleh UE merupakan kayu kayu yang didapat di wilayah
Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Jika mereka tanpa sadar membeli kayu ilegal,
mereka menciptakan pasar yang menguntungkan bagi pembalak liar dan merusak
upaya untuk menegakkan hukum hutan di negara kayu-ekspor. Pembelian produk
kayu yang berasal dari illegal logging tidak bisa dibiarkan oleh UE, karena tidak
sesuai dengan komitmen Uni Eropa terkait isu lingkungan hidup. Hal tersebut
melatar belakangi keputusan Uni Eropa dalam membangun FLEGT Action Plan
di tahun 2003.
FLEGT Action Plan membawahi dua peraturan, yaitu EU Timber Regulation
atau Peraturan Kayu UE dan FLEGT-VPA. Peraturan Kayu UE adalah suatu
regulasi yang ditetapkan untuk meminimalkan perdagangan kayu ilegal yang
menjadi penyebab utama dari kerusakan hutan dan ekosistem di dalamnya.
Aturan ini mencegah kayu illegal masuk ke pasar Uni Eropa. Peraturan ini telah
diimplementasikan ditahun 2013. Sedangkan, FLEGT-VPA atau Forest Law
Enforcement Government and Trade- Voluntary Partnership Agreement dapat
dipahami juga sebagai Kemitraan Sukarela – Tindak Penegakan Hukum, Tata
Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan merupakan perjanjian perjanjian
Vol XXVI, No. 2, Agustus 2011, dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=3802&val=310, diakses 21 January 2007
4
bilateral antara Uni Eropa (UE) dan negara-negara pengekspor kayu, dengan
tujuan untuk meningkatkan tata kelola sektor kehutanan serta memastikan bahwa
kayu dan produk kayu yang diimpor ke UE diproduksi sesuai dengan peraturan
perundangan negara mitra.4
Perkembangan sikap Uni Eropa yang timbul akibat deklarasi Bali ini, tentunya
berpengaruh terhadap Negara-Negara yang mengekspor produk hasil hutan kayu
dan produk olahan kayu. Perubahannya dapat dilihat melalui kesulitan terhadap
akses pasar yang dapat dimasuki oleh Negara-negara pengekspor kayu.
Berdasarkan hal tersebut, mau tidak mau Negara yang memiliki komoditi utama
berupa produk hasil hutan harus menyesuaikan diri terhadap regulasi yang
ditetapkan oleh Uni Eropa.
Berangkat dari itu beberapa Negara penghasil kayu dan produk olahan kayu
terbesar dunia, mulai menggunakan pendekatan diplomasi ekonomi. Diplomasi
ekonomi tersebut, tercermin melalui keikutsertaan dalam kerjasama FLEGT-
VPA. Salah satu Negara yang ikut serta dalam skema kerjasama ini adalah
Indonesia. Keikutsertaan Indonesia dalam kerangka kerjasama tersebut lumrah
karena Hutan Indonesia merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati di
dunia, dimana Indonesia merupakan urutan ketiga dari tujuh negara yang disebut
Megadiversity Country. Sekitar 70% atau 133,6 juta ha dari luas daratan
4Kementerian Kehutanan, “Kesepakatan Kemitraan Sukarela FLEGT antara Indonesia dan Uni Eropa Informasi Ringkas” dalam http://www.euflegt.efi.int/documents/10180/23029/Kesepakatan+Kemitraan+Sukarela+FLEGT+antara+Indonesia+dan+Uni+Eropa+-+Informasi+Ringkas+Mei+2011/1cc9e1e7-659e-45e8-938c-c4751a3fd27d, diakses 22 January 2017
5
Indonesia adalah hutan. Sekitar 37% dari kawasan hutan telah dicadangkan untuk
perlindungan atau konservasi, 17% untuk dikonversi ke penggunaan lainnya dan
sekitar 46% dari hutan diperuntukkan bagi keperluan produksi.5 Produk Hasil
Hutan memang merupakan komoditi utama Indonesia di bidang perdagangan
internasional.
Indonesia merupakan salah satu Negara produsen kayu tropis terbesar di
dunia. Negara ini mengekspor berbagai macam produk kayu. Produk kayu yang
diproduksi Indonesia mulai dari kayu lapis, pulp dan kertas untuk furnitur dan
kerajinan. Tujuan ekspor utama produk kayu Indonesia adalah Cina, Uni Eropa,
Jepang dan Korea.6
Tahun 2002, produk kayu Indonesia pernah ditolak oleh UE, karena kayu
Indonesia belum memenuhi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk
diekspor ke UE dan itu terjadi selama satu tahun.7 Oleh karena itu, SVLK
dibangun sebagai Perwujudan good forest governance menuju pengelolaan hutan
lestari sertapermintaan atas jaminan legalitas kayu dalam bentuk sertifikasi dari
pasar internasional, khususnya dari Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan
Australia. Keberadaan SVLK juga dibangun sebagai bentuk "National Insentive"
untuk mengantisipasi semakin maraknya permintaan skema sertifikasi legalitas
kayu dari negara asing, seperti skema FSC atau Forest Stewardship 5Ibid.,6 “VPA Countries: Indonesia” dalam http://www.euflegt.efi.int/indonesia, diakses 22 Januari
2017.7 Mahaputri Handayani,” Upaya Indonesia dalam Mendapatkan Akses Pasar Produk Kayu di
Uni Eropa melalui Kerja sama FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade )-VPA (Voluntary Partnership Agreements)”, SKRIPSI HI-FISIP Universitas Andalas, diterbitkan 2016, hlm, 2.
6
Council,PEFC atau Programme for the Endorsement of Forest Certification dan
sebagainya.8
Indonesia dan UE memulai perundingan VPA pada bulan Januari 2007 tetapi
barulah setelah bulan Juli 2009 dialog semakin intensif setelah diselesaikannya
sistem jaminan legalitas kayu Indonesia (TLAS). Sejak Maret 2007 sampai April
2011 telah diadakan tiga Pertemuan Pejabat Tinggi (Senior Officials Meeting),
tujuh Pertemuan Kelompok Kerja Teknis (Technical Working Group), tujuh
Pertemuan Pakar Gabungan (Joint Expert Meeting) dan delapan Konferensi
Video untuk menyelesaikan dan menyepakati teks VPA serta lampiran-
lampirannya.9 Setelah melalui proses perundingan yang panjang, kerangka
kerjasama ini ditandatangani pada tahun 2013 di Brussel, pada fase berikutnya
Indonesia dan Uni Eropa melakukan proses implementasi yang dimulai pada
tahun 2014.
Pada tahun 2014 ekspor kayu legal dari Indonesia telah dimulai dengan
menggunakan sistem V-legal. Sekitar 150.000 dokumen V-legal telah
didistribusikan ke 173 negara, termasuk Negara Negara bagian dari Uni Eropa.
Melalui kesuksesan implementasi V-legal sebagai bentuk penerapan pengelolaan
hutan lestari dibawah SVLK, Indonesia dan Uni Eropa kembali melakukan
proses negosiasi untuk tercapainya FLEGT-license. Ada beberapa proses yang
dilalui sebelum diterbitkannya FLEGT-License, diantaranya adalah proses adopsi
8SILK(Sistem Informasi Legalitas Kayu) “Apa dan Bagaimana SVLK?” dalam http://silk.dephut.go.id/index.php/info/vsvlk/3, diakses 22 Januari 2017.
9Kementrian Kehutanan. Loc.Cit.,
7
amandemen “commission delegated regulation” Uni Eropa di bulan Juni.
Selanjutnya, harus ada jangka waktu yang dilewati untuk batas waktu “no
objection” oleh parlemen dan council UE. Setelah terlewatinya batas waktu
tersebut, maka pada Joint Implementation Comission ke 5 ditetapkan tanggal
perilisan FLEGT-license10. Perilisan FLEGT-license merupakan pencapaian
tertinggi dalam kerjasama FLEGT-VPA, sekaligus prestasi berharga bagi
Indonesia, karena merupakan Negara pertama di dunia yang berhasil mencapai
pencapaian tersebut di November 2016.
Indonesia sebagai mitra kerjasama sukarela dalam FLEGT, telah melewati
proses yang sangat panjang. Keteguhan Indonesia dalam proses negosiasi
tentunya tidak terlepas dari kepentingan nasional Indonesia sebagai salah satu
Negara produsen kayu dan produk olahan kayu terbesar di dunia. Motif dari
interaksi kerjasama internasional adalah kepentingan nasionalnya, sehingga
dalam kasus ini Indonesia berusaha mengakses pasar Uni Eropa dalam
perdagangan kayu dan produk olahan kayu.
Namun, perlu ditelaah kembali lebih dalam mengenai dinamika ekspor kayu
dan produk olahan kayu Indonesia di Uni Eropa melalui pendekatan periodik
tahun ke tahun karena tingkat kerjasama yang juga meningkat, seharusnya
sejalan dengan peningkatan nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa Oleh karena
hal tersebut, maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian terkait
10Agus Sarsito, “Perkembangan terbaru FLEGT-VPA “ kertas kerja disajikan dalam Seminar Nasional Melihat Kesiapan Indonesia dalam Penerapan Lisensi FLEGT, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan, Akmani Hotel Jakarta, 4 Agustus 2016,hlm. 1.
8
kerjasama FLEGT-VPA dengan judul, “Kerja Sama FLEGT-VPA Indonesia
dan Uni Eropa dan Kaitannya dalam Peningkatan Ekspor Produk Hasil
Hutan Indonesia ke Uni Eropa”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang permasalahan yang dipaparkan diatas, maka
penulis akan menyajikan permasalahan-permasalah untuk dibahas. Permasalahan
permasalahan tersebut meliputi:
1. Bagaimana kerjasama FLEGT-VPA antara Indonesia dan Uni Eropa?
2. Bagaimana aktivitas ekspor produk kayu Indonesia ke Uni Eropa?
3. Bagaimana peran FLEGT-VPA dalam upaya meningkatkan ekspor produk
hasil hutan Indonesia ke Uni Eropa?
1. Pembatasan Masalah
Ruang lingkup masalah yang luas akan menimbulkan kerancuan pada
proses analisa hasil penelitian. Oleh karena itu, penulis akan membatasi ruang
lingkup komoditi produk hasil hutan berupa kayu dan produk turunan kayu
dengan periode pengambilan data dari tahun 2007 sampai 2016.
2. Rumusan Masalah
Mengacu pada uraian di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah
dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana kerjasama
9
FLEGT-VPA antara Indonesia dan Uni Eropa berperan dalam mendorong
peningkatan ekspor produk hasil hutan Indonesia ke Uni Eropa?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. untuk mengetahui kerjasama FLEGT-VPA antara Indonesia dan
Uni Eropa.
b. untuk mengetahui aktivitas ekspor produk kayu Indonesia ke Uni
Eropa.
c. untuk mengetahui peran FLEGT-VPA dalam upaya meningkatkan
ekspor produk hasil hutan Indonesia ke Uni Eropa.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur tambahan bagi
pengembangan studi Hubungan Internasional. Khususnya peminat
masalah-masalah Hubungan Internasional dalam bidang Ekonomi
Politik Internasional dan Perdagangan Internasional.
b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna dan dapat
dijadikan masukan untuk keperluan referensi akademis bagi yang
10
berminat mengadakan penelitian lanjutan untuk masalah kerjasama
FLEGT-VPA.
c. Sebagai salah satu syarat untuk menempuh tugas akhir stratra-1
pada Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Pasundan.
D. Kerangka Teoritis dan Hipotesis
1. Kerangka Teoritis
Dalam menulis karya skripsi ini diperlukan landasan teoritis untuk
mempermudah melakukan penelitian, landasan teoritis ini juga dimaksudkan
untuk memperkuat analisa. Landasan ini akan disajikan oleh penulis dalam
kerangka berpikir yang bertujuan untuk membantu memahami dan menganalisa
permasalahan dengan ditopang oleh pendapat-pendapat para pakar ilmu
hubungan Internasional dan ilmu lain yang memiliki korelasi dengan objek
kajian.
Dalam mengangkat fenomena-fenomena yang ada dan terjadi dalam
Hubungan Internasional, penulis akan menggunakan teori-teori yang ada
hubungannya dengan permasalahan yang akan diteliti sebagai sarana penopang
dalam membentuk pengertian dan menjadikannya pedoman dalam objek
penelitian ini.
11
Berdasarkan atas paparan yang disampaikan, maka penulis meyakini
perlunya pengertian yang mendasar terhadap teori-teori dasar dari Hubungan
Internasional dalam menyelami arti serta penyelesaian dari permasalahan yang
diangkat. Berangkat dari hal tersebut maka team penulis, akan memaparkan
pengertian studi hubungan internasional.
Pengertian terkait Studi Hubungan Internasional menurut Martin
Griffith dan Terry O’Gallaghan, adalah sebagai berikut:
The discipline of International Relations (IR) is the academic
study of the origins and consequences (both empirical and
normative) of a world divided among states11.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa studi
Hubungan Internasional merupakan disiplin ilmu yang luas. Sehingga terdapat
sub-sub disiplin lainnya di dalam lingkup studi Hubungan Internasional. Lingkup
studi hubungan internasional diantaranya meliputi keahlian diplomatis, analisis
politik luar negeri, perbandingan politik, sosiologi historis, ekonomi politik
internasional dan lain lain12.
Dalam studi hubungan internasional sendiri terjadi pergeseran isu yang
disebabkan oleh perkembangan keadaan internasional yang terus berubah.
Perkembangan yang terus terjadi, dari perubahan pelaku aktor hubungan
internasional hingga isu isu baru yang menjadi bagian dari ruang lingkup HI. 11Martin Griffith dan Terry O ‘Callaghan. International Relation: The Key Concept. Hal. Vii.
2002.12Budi Winarno, Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer (Yogyakarta: CAPS Center of
Academic Publishing Service,2014), hlm. 139.
12
Dulu Hubungan Internasional sangat identik dengan negara sebagai aktor
sentralnya dan isu high politics sebagai isu yang mendominasinya. Namun,
sekarang aktor hubungan internasional tidak lagi hanya negara tetapi aktor non
negara pun memiliki peran yang sama penting dalam praktik hubungan
internasional. Begitupula dengan isu yang menjadi ruang lingkupnya, sebelum
perang dingin usai permasalahan hubungan internasional hanya berputar pada
isu keamanan dan militer yang merupakan ranah high politics dan sekarang isu
low politics seperti lingkungan hidup, kesamaan gender, hak asasi manusia
menjadi sama dominannya dengan high politics.
Stanley Hoffman menganggap “perubahan dalam HI meliputi lima
bagian utama, yaitu: actor, tujuan para actor, power, hirarki interaksi dan system
internasional itu sendiri”.13
Hal tersebut juga didukung secara implisit oleh pernyantaan Robert
Jackson dan George Sorensen, sebagai berikut:
Hubungan Internasional kontemporer tidak hanya memperhatikan politik antar negara tetapi juga dengan subyek lain seperti interdependensi ekonomi, hak asasi manusia, perusahaan transnasional, organisasi internasional, lingkungan hidup ketimpangan gender dan lain lain.14
Perubahan pada aktor diindikasikan dengan perubahan jumlah dan
sifat aktor hubungan internasional. Terjadi penambahan secara signifikan aktor-
13Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Hubungan Internasional(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 11.
14Ibid., hlm. 8.
13
aktor non negara seperti Multi National Corporation (MNC) dan International
Organization.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan dua aktor hubungan
internasional dalam proses interaksinya. Dua aktor tersebut adalah aktor negara
bangsa dan Organisasi Internasional. Oleh karena itu penulis meyakini bahwa
perlu pengertian yang lebih dalam terkait Organisasi Internasional. Organisasi
Internasional sendiri merupakan konsep yang dibawa oleh perspektif
Liberalisme15.
Perspektif Liberalisme sendiri didasari oleh kritik terhadap perspektif
realisme yang memiliki asumsi dasar, seperti pandangan pesimis pada manusia
dan keyakinan terhadap dasar hubungan internasional yang bersifat konfliktual
dan cenderung berakhir pada perang.16 Liberalisme memiliki pandangan yang
sangat berkebalikan dari asumsi dasar perspektif realisme. Kaum liberalisme
umumnya mengambil pandangan positif tentang sifat manusia. Meskipun begitu,
kaum liberalisme sadar akan sikap individu yang selalu mementingkan diri
sendiri dan bersaing terhadap satu hal, tetapi mereka melihat fenomena ini
sebagai salah satu hal yang justru akan mendorong individu untuk terlibat dalam
aksi social yang kolaboratif dan kooperatif, baik domestik maupun internasional,
15Citra Hennida, Rezim dan Organisasi Internasional(Malang: Intrans Publishing, 2015), hlm. 7
16 Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional (Terjemahan Dadan Suryadioura) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 88.
14
yang menghasilkan manfaat besar bagi setiap orang baik dalam negeri maupun
luar negeri.17
Perspektif liberalisme terbagi lagi menjadi beberapa pandangan.
Terdapat liberalisme sosiologis, liberalisme interdependensi, liberalisme
institusionalisme atau yang juga dikenal dengan neoliberalisme dan liberalisme
republikan. Semua pandangan dapat menjelaskan terkait keberadaan organisasi
internasional sebagai institusi yang menaungi kerjasama antar negara, namun
pandangan yang secara detail lebih menggambarkan pembentukkan organisasi
internasional adalah liberalisme interdependensi dan liberalisme
institusionalisme. Liberalisme interdependensi memaknai perihal hubungan antar
negara yang didasari pada ketergantungan timbal balik dimana rakyat dan
pemerintah dapat dipengaruhi oleh kejadian dari bagian bumi lain, yang
disebabkan oleh tindakan yang dilakukan oleh rekannya di negara lain. Pada
bagian selanjutnya, interdependensi umum ini nantinya akan erat kaitannya
dengan proses integrasi kawasan.
Jika liberalisme interdependensi menggarisbawahi peran kerjasama
yang didasari oleh ketergantungan timbal balik, maka liberalisme
institusionalisme berusaha melengkapi hal tersebut dengan menyiapkan wadah
yang lebih terstruktur. Cara yang diambil oleh liberalisme institusionalisme
adalah dengan membangun institusi internasional seperti Organisasi Internasional
atau transnasional. Bagi kaum liberalisme institusional, keberadaan institusi
17Ibid., hlm. 141.
15
internasional menolong memajukan kerjasama di antara negara negara.18 Oleh
karena itu, institusi internasional dapat membantu mengurangi rasa
ketidakpercayaan antarnegara negara dan rasa takut negara satu sama lain yang
dianggap menjadi masalah tradisional yang dikaitkan dengan anarki
internasional.
Graham Evans dan Jeffrey Newnham sendiri mendefinisikan
Organisasi Internasional sebagai “institusi formal yang dibentuk dari adanya
perjanjian antar aktor aktor di dalam hubungan internasional”.19
Keberadaan instrumen perjanjian dalam organisasi internasional yang
dinyatakan diatas pun dikemukakan oleh Robert Keohane, sebagai berikut:20
Organisasi internasional memuat adanya perjanjian yang sifatnya eksplisit, dinegosiasikan diantara actor actor internasional, dan memiliki perilaku otorisasi yang sifatnya bisa jadi memberikan rekomendasi atau menerapkan larangan dan batasan atas isu isu tertentu.
Teuku May Rudy menambahkan bahwa di dalam organisasi
internasional terdapat elemen elemen tertentu, diantaranya:21
(1)Adanya kerjasama lintas batas negara; (2)Adanya tujuan yang disepakati bersama;(3)Adanya struktur organisasi yang jelas, dan;(4) Adanya pelaksanaan fungsi yang berkesinambungan
Organisasi Internasional pada dasarnya memiliki tiga fungsi, yaitu
sentralistik, independen dan perwakilan dan enforcer (penegak undang undang).
18Ibid., hlm. 155.19Citra Hennida, Loc. Cit.20Ibid.21Ibid., hlm. 8.
16
Organisasi Internasional sendiri bisa diklasifikasikan menjadi dua kategori besar,
diantaranya adalah:22
(1) Organisasi Internasional Publik, yaitu Organisasi internasional yang anggotannya merupakan negara negara yang biasa dikenal sebagai International Governmental Organization; (2)Organisasi Internasional Privat, yaitu Organisasi internasional yang anggotanya berasal dari luar aktor negara yang biasa disebut International Non Governmental Organization
Uni Eropa sendiri merupakan organisasi internasional publik yang
menggunakan desain institusi. Sehingga proses regionalisme terjadi karena
peran institusi regional. Institusi menaungi koordinasi politik luar negeri negara
negara anggota.23
Tujuan dasar studi hubungan internasional adalah mempelajari
perilaku internasional yaitu perilaku aktor negara dan non negara di dalam
arena transaksi internasional. Perilakunya bisa berwujud kerjasama,
pembentukkan aliansi, perang, konflik serta interaksi dalam organisasi
internasional.24
Pada penelitian ini perilaku yang hendak dianalisa merupakan perilaku
dengan wujud kerjasama, oleh karena itu diperlukan pengertian yang lebih
mendalam mengenai perilaku kerjasama dalam hubungan internasional.
Kerjasama internasional sendiri merupakan “sisi lain dari konflik internasional
yang merupakan aspek dalam hubungan internasional”.25 Isu utama dari
22Ibid., hlm. 52.23Ibid., hlm. 49.24Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Op.cit., .hlm. 5.
25Ibid., hlm. 33.
17
kerjasama internasional yaitu berdasarkan pada sejauhmana keuntungan
bersama yang diperoleh melalui kerjasama dapat mendukung konsepsi dari
kepentingan tindakan yang unilateral dan kompetitif.26 Jadi salah satu instrumen
yang tidak bisa terlepas dalam kerjasama internasional adalah kepentingan
nasional yang dibawa oleh masing-masing pihak yang melakukan kerjasama
tersebut.
Menurut Didi Krisna, Kepentingan Nasional dapat dimaknai, sebagai
berikut:27
Kepentingan nasional merupakan kebutuhan dan keinginan-keinginan yang dirasakan oleh suatu negara yang berdaulat dalam hubungan dengan negara lainnya yang merupakan bagian dari lingkungan internasional.
Muhadi Sugiono, memaparkan lebih lanjut terkait kerjasama
internasional dimana ada beberapa factor yang harus diperhatikan dalam
kerjasama internasional, yaitu:28
(1) Negara bukan lagi sebagai aktor eksklusif dalam Politik Internasional melainkan hanya bagian dari jaringan interaksi politik, militer, ekonomi dan kultural bersama-sama dengan aktor ekonomi dan masyarakat sipil; dan; (2) Kerjasama Internasional tidak lagi semata-mata ditentukan oleh kepentingan masing masing Negara didalamnya, melainkan juga oleh institusi internasional, karena institusi internasional seringkali bukan hanya mengelola berbagai kepentingan yang berbeda dari Negara Negara anggotanya tetapi juga memiliki dan bisa memaksakan keinginannya sendiri.
26Ibid., hlm. 3427 Yuli Trisnawati, “Penempatan Pasukan Militer Amerika Serikat di Australia”, eJournal
Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (1): 59-70. ISSN 0000-0000, dalam ejournal.hi.fisip-unmul.org, diakses 18 Januari 2017.
28 F. Qurrata Ayyun, “Tinjauan Pustaka” dalam repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/.../BAB-%20II.docx?...4, diakses 30 Januari 2017.
18
Kerjasama internasional meliputi berbagai bidang, salah satunya
adalah bidang ekonomi. Kerjasama internasional dibidang ekonomi memiliki
beberapa bentuk, diantaranya adalah penanaman modal asing, bantuan kredit
luar negeri dan perdagangan (ekspor-impor).29
Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk melancarkan proses
kerjasama internasional, salah satunya adalah dengan penggunaan diplomasi.
Penelitian ini berusaha membahas terkait kerjasama FLEGT-VPA yang
memiliki implikasi terhadap aturan perdagangan kayu dan produk olahan kayu,
sehingga pendekatan yang digunakan adalah diplomasi ekonomi. Diplomasi
ekonomi merupakan “ suatu proses dimana negara berhubungan dengan dunia
luar dalam upaya memaksimalkan tujuannya di segala bentuk aktivitas, seperti
perdagangan, investasi, dan bentuk lainnya dari interaksi ekonomi”.30 Dimensi
diplomasi ekonomi sendiri dapat berupa bilateral, regional, maupun
multilateral yang terdiri dari agen resmi ,yaitu kementerian luar negeri dan
perdagangan, layanan diplomatik dan komersial, serta aktor non-negara lainnya
sehingga membuat partnership ekonomi bersifat dinamis.31
Diplomasi ekonomi paling tidak menghadapi tiga isu penting, yaitu;
hubungan antara ekonomi dan politik; hubungan antara lingkungan dengan
29“Konsep Dasar Kerjasama internasional” dalam http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Anik%20Widiastuti,%20S.Pd.,%20M.Pd./KI%201%20KONSEP%20DASAR%20KERJASAMA%20INTERNASIONAL.pdf., diakses 30 Januari 2017.
30Tiara Maharanie, “Diplomasi Ekonomi: Fungsi dan Peranan dalam Ekonomi Modern”, dalam https://www.academia.edu/9607271/Diplomasi_Ekonomi_Fungsi_dan_Peran_dalam_Ekonomi_Modern, diakses 10 Febuari 2017.
31 Ibid.,
19
aneka tekanan domestik dan internasional; serta hubungan antara aktor negara
dan non-negara (aktor privat/swasta)32. Kombinasi ketiga hubungan itulah yang
akhirnya menjadi salah satu warna utama dinamika hubungan internasional
kontemporer.
Kerjasama FLEGT-VPA sendiri menurut Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, diartikan sebagai berikut:
Perjanjian bilateral antara Uni Eropa (UE) dan negara-negara pengekspor kayu, dengan tujuan untuk meningkatkan tata kelola sektor kehutanan serta memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang diimpor ke UE diproduksi sesuai dengan peraturan perundangan negara mitra.33
Kerjasama FLEGT-VPA ini erat kaitannya dengan konsep green
politics, karena Kerjasama ini dibangun untuk menanggulangi salah satu
permasalahan lingkungan yaitu illegal logging. Akibat sifat kerjasama yang
sangat terkait dengan konsep tersebut. Penulis merasa wajib, untuk
memaparkan secara mendasar terkait konsep dari green politics. Green politics
sendiri didasari pada konsep, bahwa:34
Green Politics focus on both the material/metabolic dimensions of human-nonhuman relations as well as the ethical and political status of the nonhuman world – can offer a rather narrow understanding of green politics
Sehingga, pada hakikatnya Green Poltics, memiliki pandangan bahwa
manusia bukanlah pusat dari dunia. Green Politics meyakini bahwa aspek non-
32 Anak Agung Banyu Perwita, “Optimalisasi Diplomasi Ekonomi Untuk Meningkatkan Ekonomi Nasional” Tabloid Diplomasi Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia No. 40 Tahun IV Tgl. 15 Februari - 14 Maret 2011, dalam http://www.tabloiddiplomasi.org/pdf/2011/Diplomasi%20Februari%202011.pdf, diakses 10 Febuari 2017
33Kementrian Kehutanan., Loc.Cit.,34 Barry J. 2014. Political Ideologies: Green Political Theory. London: Routledge. Dalam
http://pure.qub.ac.uk/portal/files/5420698/Green_Political_Theory_John_Barry.pdf , diakses 5 April 2017. Hlm. 1.
20
manusia di bumi itu memiliki hak untuk diperlakukan dengan baik. Inilah yang
pada akhirnya melatarbelakangi, mengapa Green Politics sangat erat kaitannya
dengan konsep econsentrism. Ecosentrism sendiri merupakan bentuk kritik dari
pola kehidupan yang seakan berfokus pada manusia atau human-centered.
Selain Green Politics, konsep yang tidak terlepas dari Kerjasama
FLEGT-VPA adalah Konsep Global Forest Governance. Konsep tersebut
memang tidak juga terlepas dari ideology Green Politics. Sehingga dapat juga
dikatakan bahwa Global Forest Governance merupakan bentuk aksi dari Green
Politics.
Hutan sendiri menerima peningkatan perhatian dari para pembuat
kebijakan dan akademisi. PBB menyatakan 2011 Tahun Hutan Internasional
dan Uni Eropa saat ini sedang mempersiapkan sebuah tinjauan ekstensif dari
kebijakan hutan dan strategi.35 Akibatnya, tata kelola hutan global menjadi
topik hangat.
Perjanjian ini sangat erat kaitannya dengan pengelolaan hutan lestari.
Khusus di Indonesia sendiri, kerjasama ini bersentuhan dengan Pengelolaan
Hutan Produk Lestari atau PHPL. PHPL ini sendiri pun memiliki definisi,
sebagai berikut:36
Jaminan bahwa kayu yang beredar adalah legal melalui pengelolaan hutan. Pengelolaan Hutan Produksi Lestari merupakan implementasi
35 Terjemahan bebas dari Axel Marx, Emilie Bécault and Jan Wouters. 2011. Global Forest Governance: Bringing Multilateralism Back In. dalam https://ecpr.eu/filestore/paperproposal/c0fa8866-3dd1-4474-a5cd-ddeb511b50ac.pdf, diakses 5 April 2017.
36 Komite Akreditasi Nasional. “dalamhttp://www.kan.or.id/?page_id=426, diakses 26 Febuari 2017.
21
dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No: P.30/Menlhk/Setjen/PHPL.3/3/2016 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin, Hak Pengelolaan, atau pada Hutan Hak.
Pelaksanaan Pengelolaan Hutan Lestari sendiri, memiliki tiga tipe
prinsip, yang diantaranya adalah sebagai berikut:37
1. Kelestarian hasil hutan Tipe kelestarian ini hanya menitikberatkan
pada hasil kayu tahunan atau periodik yang sama. Untuk mewujudkan
tipe kelestarian ini muncul berbagai konsep sistem silvikultur,
penentuan rotasi, teknik penebangan yang tepat dan sebagainya
2. Kelestarian potensi hasil hutan Kelestarian potensi hasil hutan
berorientasi pada hutan sebagai pabrik kayu. Pengelola hutan
memperoleh kesempatan untuk memaksimumkan produktivitas
kawasan hutan dengan cara tidak hanya menghasilkan produk
konvensional sehingga diperoleh keuntungan uang yang sebesar-
besarnya.
3. Kelestarian sumber daya hutan Kelestarian sumber daya hutan
menitikberatkan kepada hutan sebagai ekosistem yang menghasilkan
kayu maupun non-kayu, pelindung tata air dan kesuburan tanah,
penjaga kelestarian lingkungan, serta berfungsi sebagai gudang untuk
kelangsungan hidup berbagai macam sumber genetik, baik flora
maupun fauna.
37 Natural Resources Development Center, “Konsep dan Kebijakan Pengelolaan Hutan Produk Lestari dan Implementasinya” dalam http://www.nature.or.id/publikasi/laporan-dan-panduan-kehutanan/modul-pengelolaan-hutan-produksi-lestari.pdf, hlm. 8, diakses 26 Febuari 2017.
22
Kerjasama ini tidak bisa berjalan tanpa Timber Legal Assurance
System (TLAS) yang di Indonesia di adopsi melalui nama Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu (SVLK) yang disahkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan
(Permenhut) nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifiikasi Legalitas
Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.
Pengertian Sistem Verifikasi Legalitas Kayu sendiri, adalah sebagai berikut:38
suatu sistem yang menjamin kelestarian pengelolaan hutan dan/atau legalitas kayu serta ketelusuran kayu melalui sertifikasi penilaian PHPL, dan sertifikasi LK.
Di dalam penelitian ini obyek analisa berkaitan erat dengan kerjasama
internasional bentuk ketiga, yaitu kerjasama internasional dalam bentuk
perdagangan(ekspor-impor). Oleh karena itu pada kerangka teoritis ini penulis
akan mengkhususkan pembahasan mengenai bentuk kerjasama ekonomi
internasional perdagangan. Kerjasama ini merupakan salah satu bentuk
kerjasama ekonomi yang sering dilakukan oleh pelaku hubungan internasional.
Selain itu, perdagangan merupakan aktivitas paling penting dalam ekonomi
internasional. Hal itupun sejalan dengan argumen Robert Giplin dalam
bukunya yang berjudul The Political Economi of International Relations, beliau
mengatakan bahwa perdagangan (dan perang) selalu menjadi pusat evolusi
38 Multistakeholder Forestry Programme, “Tanya Jawab Sistem Verifikasi Legalitas Kayu” dalam https://www.mfp.or.id/attachments/article/78/150831_Tanya_jawab_SVLK.pdf, diakses 26 Febuari 2017.
23
hubungan internasional dan telah menyebabkan perubahan perubahan mendasar
dalam hubungan internasional.39
Kembali kepada bentuk dari kerjasama ekonomi internasional yang
merupakan perdagangan, diperlukan penjelasan yang lebih gamblang terkait
perdagangan internasional. Perdagangan internasioanl berangkat dari konsep
perdagangan, sehingga terlebih dahulu diperlukan pemahaman mengenai
perdagangan. Boediono memaparkan secara mendasar terkait definisi dari
perdagangan. Perdagangan diartikan sebagai “proses tukar menukar yang
didasarkan atas kehendak sukarela dari masing masing pihak”.40
Jadi, masing masing pihak harus mempunyai kebebsan untuk
menentukan untung rugi pertukaran tersebut dari sudut pandang kepentingan
masing masing, dan kemudian menentukkan apakah ia mau melakukan
pertukaran atau tidak.41 Boediono juga menjelaskan bahwa aspek kehendak
sukarela penting, sebab perdagangan dalam arti khusus tersebut mempunyai
implikasi yang sangat fundamental, yaitu bahwa perdagangan hanya akan
terjadi apabila paling tidak ada satu pihak yang memperoleh keuntungan atau
manfaat dan tidak ada pihak lain yang merasa dirugikan.42Perdagangan sendiri
timbul karena salah satu atau kedua pihak melihat adanya manfaat yang bisa
39 Umar Suryadi Bakry, Suatu Pengantar: Ekonomi Politik Internasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 104.
40Boediono, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi: Ekonomi Internasional( Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1994), hlm. 10.
41Ibid.42Ibid.
24
diperoleh dari pertukaran tersebut (perdagangan). Sehingga motifnya adalah
untuk mendapatkan manfaat tambahan dari perdagangan.
Perdagangan pada masa saat ini sudah tidak dalam lingkup dalam
negeri saja, tetapi juga dalam lingkup Negara ke Negara atau yang dikenal
dengan perdagangan internasional. Pengertian terkait perdagangan internasional
sendiri adalah “kegiatan memperdagangkan output barang atau jasa yang
dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain di
dunia”.43
Ada banyak teori yang membahas terkait perdagangan internasional.
Menurut Tulus T.H Tambunan, pada awalnya teori terkait perdagangan
internasional terbagi menjadi dua kategori, yaitu teori teori klasik dan teori teori
modern. Namun, pada tahun 1970-an dan 1980an muncul teori teori baru yang
kemudian digolongkan sebagai teori alternatif.44 Sehingga terdapat tiga
penggolongan teori perdagangan internasional, yaitu teori klasik, teori modern
dan teori alternatif.
Berbeda dengan Tulus T.H Tambunan yang menggolongkan teori teori
perdagangan internasional yang secara implisit tergambar melalui waktu
lahirnya teori teori tersebut, Umar Suryadi Bakri menggolongkan teori teori
perdagangan internasional berdasarkan jenisnya, yaitu: teori perdagangan
43 Amsah Hendri Doni, dkk. “Prospek Perdagangan Internasional dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia”, Jurnal Kajian Ekonomi. Volume 1 Nomor 1, Mei 2012.202 dalam http://ejournal.unp.ac.id/index.php/ekonomi/article/download/744/613, diakses 29 Januari 2017.
44Tulus. T.H. Tambunan, Globalisasi dan Perdagangan Internasional(Bogor: Ghalia Indonesia, 2004),hlm. 42.
25
liberal, teori perdagangan merkanitilisme dan teori kebijakan proteksionisme
baru45
Terlepas dari banyaknya teori yang membahas terkait perdagangan
internasional. Teori murni perdagangan internasional, yaitu teori keunggulan
absolute dan keunggulan komparatif merupakan teori yang paling sederhana
dalam membahas mengapa suatu Negara dapat melakukan perdagangan
internasional, walaupun terdapat berbagai macam kekurangan dari teori murni
ini, terlebih teori perdagangan murni internasioanal ini didasarkan kepada
beberapa asumsi, seperti biaya produksi tetap dan tidak berubah, nilai atas dasar
biaya tenaga kerja yang sifatnya homogen, tidak dihitungnya biaya transportasi.
Meskipun demikian, teori perdagangan murni dianggap paling pas dalam
membahas perdagangan internasional terlebih di dalam studi Hubungan
Internasional. Oleh karena itu, maka akan dijabarkan lebih lanjut terkait teori
murni perdagangan internasional, diantara lain:
1. Teori keunggulan absolute Adam Smith
Dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa suatu Negara akan
melakukan spesialisasi dan ekspor suatu atau beberapa jenis
barang tertentu, dimana Negara tersebut memiliki keunggulan
absolute dan tidak memproduksi suatu atau beberapa barang
tertentu dimana Negara tersebut tidak mempunyai keunggulan
absolute atas Negara lain yang memproduksi jenis barang yang
45Umar Suryadi Bakry, Op.Cit., hlm 104-119.
26
sama, suatu Negara akan mengekspor barang X jika Negara itu
dapat memproduksinya lebih efisien atau murah dibanding Negara
lain dan suatu Negara akan mengimpor barang X jika Negara
tersebut tidak dapat memproduksinya secara lebih efisien. Teori ini
berinti pada keuntungan mutlak dari aktivitas perdagangan, dan
keuntungan mutlak tersebut terjadi karena adanya perbedaan yang
sifatnya juga mutlak, yakni perbedaan biaya produksi antarnegara
untuk jenis barang yang sama.46
2. Teori Keunggulan Komparatif David Ricardo dan John Mill
Teori Keunggulan Absolute menimbulkan satu pertanyaan
mendasar terkait perjanjian internasional, yaitu: Jika dari Negara A
dan Negara B, Negara A memiliki kemampuan untuk menekan
harga produksi barang barang sehingga barang yang dihasilkan
lebih murah dari seluruh barang milik Negara B. Apakah
perjanjian internasional masih dapat terjadi? Jika, mengutip teori
Adam Smith, maka jawabannya adalah tidak. Berdasarkan hal
tersebut Ricardo dan Mill melemparkan kritik akan hal yang
mendasari pertanyaan tersebut, mereka juga sekaligus berusaha
menyempurnakan teori keunggulan absolute. Dasar pemikiran
Ricardo dan Mill tidak berbeda dengan dasar pemikiran Adam
Smith. Perbedaannya hanya terletak pada cara pengukuran
keunggulan suatu Negara, yakni dilihat dari komparatif biayanya.
46 Tulus T.H Tambunan, Op.Cit., hlm. 57.
27
Menurut J.S Mill suatu Negara akan mengkhususkan diripada
ekspor barang terntentu bila Negara itu memiliki keunggulan
komprartaif terbesar dan akan impor barang tertentu bila Negara
tersebut memiliki keunggulan komparatif terbesar dan akan impor
barang tertentu bila Negara tersebut memiliki kerugian komparatif
atau keunggulan komparatif rendah. David Ricardo juga
menambahkan bahwa perdagangan antara dua Negara akan terjadi
bila masing masing negra memiliki biaya relative yang terkecil
untuk jenis barang yang berbeda, sehingga menurutnya perbedaan
efisiensi atau produktivitas relative antarnegara dalam
memproduksi dua atau lebih jenis barang dapat menjadi dasar
terjadinya perdagangan internasional. Jadi perbedaan biaya
komparatif cukup sebagai alas an untuk terjadinya perdagangan
antarnegara.47
Teori teori diatas berusaha untuk menjelaskan terkait bagaimana bisa
terjadi perdagangan internasional. Aktivitas dasar perdagangan Internasional
sendiri meliputi dua hal, yaitu: Impor dan Ekspor. Hal yang berusaha dibahas
pada penelitian ini adalah terkait aktivitas ekspor kayu Indonesia ke Uni
Eropa. Aktivitas Ekspor Kayu Indonesia sendiri pada tahun 2013 yaitu tahun
dimana ditanda tanganinya perjanjian ini dan tahun 2014 telah meningkat
sebesar kurang lebih 60 juta USD. Dari obyek penelitian yang berfokus pada
47Ibid., 57-65
28
peningkatan ekspor produk hasil hutan Indonesia ke Uni Eropa. Maka,
diperlukan pengertian lebih lanjut terkait dua hal tersebut.
Pengertian Ekspor sendiri adalah sebagai “kegiatan
mengeluarkan/menjual barang dari dalam negeri ke luar negeri.”48Sedangkan,
Pengertian Impor sendiri adalah sebagai berikut “kegiatan
memasukkan/membeli barang dari luar negeri ke dalam negeri”49
Pada penelitian ini, penulis juga akan menggunakan pendekatan Daya
Saing Ekspor yang erat kaitannya dengan teori perdagangan Internasional
Baru. Penggunaan teori ini dikarenakan pada kenyataannya perdagangan
internasional yang terjadi saat ini sudah tidak sama lagi dengan asumsi asumsi
teori perdagangan klasik. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan Teori
Keunggulan Kompetitif.
Adapun pengertian dari Teori Keunggulan Kompetitif adalah, sebagai
berikut “kemampuan yang diperoleh melalui karakteristik dan sumber daya
suatu perusahaan untuk memiliki kinerja yang lebih tinggi dibandingkan
perusahaan lain pada industri atau pasar yang sama.”50
2. Hipotesis
“dengan Kerjasama FLEGT-VPA yang memastikan
bahwa kayu dan produk kayu yang diimpor ke UE diproduksi sesuai
dengan peraturan perundangan negara mitra., Indonesia mampu
48 Ani Rahimah. “Materi Kuliah Kepabenaan: Administrasi Kepabenaan dan Ekspor Impor” dalam http://annirahimah.lecture.ub.ac.id/files/2013/02/AKE-1-up.pdf, diaskses 26 Maret 2017.49Ibid.,
50 Wikipedia, “Keunggulan Kompetitif” dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Keunggulan_kompetitif , diakses 31 Maret 2017
29
meningkatkan nilai ekspor kayu dan produk turunannya ke Uni
Eropa sekitar 10 persen sebelum implementasi hingga sesudah
implementasi.”
3. Operasionalisasi Variabel dan Indikator
Variabel dalam Hipotesis
(Teoritik)
Indikator
(Empirik)
Verifikasi
(Analisis)
Variabel bebas:
Peran Kerjasama FLEGT-
VPA Indonesia dan Uni
Eropa
Sikap Uni Eropa dalam
mengatasi
permasalahan
lingkungan hidup,
termasuk permasalahan
yang disebabkan oleh
illegal logging dan
permasalahan terkait
maraknya kayu illegal
yang masuk ke pasar
Uni Eropa.
Tindakan Indonesia
dalam menanggulangi
illegal logging dan
Data-data dan fakta -
fakta mengenai
terbentuknya FLEGT
Action Plan tahun 2003
oleh Uni Eropa yang
membawahi dua
kebijakan yaitu EU
Timber Regulation dan
FLEGT-VPA
Data-data dan fakta -
fakta yang
menunjukkan
pembangunan
manajemen hutan
30
melaksanakan
manajemen hutan
lestari
Komitmen kedua pihak
untuk menjual dan
membeli produk kayu
legal
lestari oleh Indonesia
melalui Sistem
Verifikasi Legalitas
Kayu
Data-data dan-fakta
fakta yang menjelaskan
terkait proses negosiasi
ke dua pihak yang telah
di mulai dari tahun
2007 hingga
keberhasilan perilisan
FLEGT-License di
bulan November 2016
Variabel terikat:
Dan kaitannya dalam
peningkatan ekspor
produk hasil hutan
Indonesia ke Uni Eropa
Indonesia sebagai
Negara eksportir kayu
Indonesia sebagai salah
satu Negara eksportir
kayu di Uni Eropa
Data-data dan fakta-
fakta yang
menunjukkan Indonesia
sebagai Negara yang
secara aktif melakukan
aktivitas ekspor produk
kayu dan produk hasil
hutan merupakan salah
31
Aktivitas perdagangan
kayu Indonesia di Uni
Eropa
satu komoditi utama
Indonesia
Data-data dan fakta-
fakta yang
menunjukkan adanya
kegiatan ekspor kayu di
Negara-Negara anggota
Uni Eropa
Data-data dan fakta-
fakta jumlah ekspor
kayu Indonesia, baik
dari segi jumlah atau
nilai yang dapat dilihat
melalui penerbitan
sertifikat V-Legal atau
perilisan kayu dengan
FLEGT-License di
bulan November 2016
UNI EROPA KERJA SAMA INDONESIA
FLEGT-VPA
PASAR
COMMITMENTTO TACKLE ILLEGAL LOGGING
SVLK
PERDAGANGAN INTERNASIONAL
KEUNGGULAN KOMPARATIF
PENGUATAN EKSPOR
Kerjasama FLEGT-VPA Indonesia-Uni Eropa dan Kaitannya dalam Peningkatan Daya Ekspor Produk Hasil Hutan
Indonesia ke Uni Eropa
32
4. Skema Kerangka Teoritis
Gambar 1.1: Skema Teoritis
E. Metode dan Teknik Pengumpulan
33
1. Tingkat Analisis
David J. Singer menganggap bahwa penggunaan peringkat analisis
diperlukan sebagai alat analisis sistemik fenomena hubungan
internasional. Berangkat dari hal tersebut, maka penulis akan memaparkan
terkait tingkat analisis yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan
tingkatan tingkat analisa yang digunakan dalam premis mayor dan premis
minor yaitu sistem internasional dan negara, maka diketahui bahwa
hubungan antara unit eksplanasi dan unit analisa pada penelitian adalah
model reduksionis. Model reduksionis yaitu hubungan dimana variable
independen memiliki kedudukan diatas variable dependen.
2. Metode Analisis
Dalam penelitian ini penulis menggunakan tiga metode
penelitian,yaitu:
a. Metode Historis Analitis, adalah suatu metode yang digunakan untuk
menganalisa fenomena atau kejadian-kejadian masa lampau secara
generalisasi untuk memahami situasi masa kini.
b. Metode Deskriptif Analitis, adalah suatu metode yang digunakan
untuk menggambarkan, mengklasifikasi serta menganalisis fenomena
fenomena aktual.
c. Metode Korelasional Analitis, adalah suatu penelitian untuk
34
mengetahui hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau
lebih.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini team penulis menggunakan dua teknik
pengumpulan data, yaitu:
a. Studi Kepustakaan, adalah penelusuran data-data yang bersumber dari
Bahan-bahan tulisan, baik dari buku, dokumen dokumen, dan media
masa.
F. Lokasi dan Lama Penelitian
1. Lokasi Penelitian
a. Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Jawa Barat
Jl. Kawaluyaan Indah II No. 4, Jatisari, Buahbatu, Kota Bandung,
Jawa Barat 40286, Indonesia
b. Perpustakaan Fakultas Imu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Pasundan
Jl. Kawaluyaan Indah II No. 4, Jatisari, Buahbatu, Kota Bandung,
Jawa Barat 40286, Indonesia
2. Lama Penelitian
Penelitian dimulai pada Januari 2017 dan direncanakan selesai di bulan
Juni 2017 atau dalam kurun kurang lebih satu semester.
35
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah di dalam penyusunan penelitian ini, maka
penulis menguraikannya dalam lima bab, hal tersebut dimaksudkan agar
permasalahan ini dapat dibahas secara teratur serta saling berkaitan menuju
pokok permasalahan. Berikut, merupakan sistematika penulisan dari
penelitian penulis:
BAB I: PENDAHULUAN, dalam bab ini penulis menyajikan pembukaan
untuk memperkenalkan permasalahan yang diangkat. Bab ini berisi tentang
latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan
masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran yang terdiri
dari kerangka teoritis dan hipotesis, metode penelitian dan teknik
pengumpulan data, lokasi dan waktu penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II: DINAMIKA PEMBENTUKAN KERJASAMA FLEGT-VPA
ANTARA INDONESIA-EU, dalam bab ini penulis akan menjelaskan
tentang komitmen Uni Eropa dalam mengatasi illegal logging, Upaya
Indonesia dalam penerapan SVLK dan Kerjasama Uni Eropa-Indonesia dalam
kerangka FLEGT-VPA
BAB III: AKTIVITAS EKSPOR PRODUK HASIL HUTAN
INDONESIA KE UNI EROPA, dalam bab ini penulis akan memaparkan
lebih lanjut tentang produk hasil hutan Indonesia sebagai salah satu komoditi
utama Indonesia, Proses masuknya produk Ekspor Indonesia ke Uni Eropa
36
dan Dinamika perdagangan internasional produk hasil hutan berupa kayu
Indonesia di Uni Eropa
BAB IV: ANALISIS FLEGT VPA DALAM MENDORONG
PENINGKATAN DAYA EKPOR PRODUK HASIL HUTAN
INDONESIA KE UNI EROPA, dalam bab ini akan dijelaskan korelasi
antara bab II dan bab III melalui Keberhasilan Indonesia sebagai negara
dengan FLEGT LICENSE pertama dan implikasinya terhadap peningkatan
daya ekspor produk hasil hutan berupa kayu di Uni Eropa.
BAB V: PENUTUP, Dalam bab ini team penulis akan menarik kesimpulan
atas hasil hasil penelitian yang didasarkan pada data data yang digunakan
selama proses penelitian dan memberikan saran sebagai penutup dari
penyusunan skripsi ini.
BAB II
DINAMIKA PEMBENTUKAN KERJASAMA FLEGT-VPA ANTARA
INDONESIA-EU
A. KOMITMEN UNI EROPA DALAM MENGATASI PEMBALAKKAN
LIAR
1. Sikap Uni Eropa terkait Isu Lingkungan Hidup
Uni Eropa pertama kali didirikan dengan latar belakang, bahwa cara
terbaik untuk mencegah konflik adalah dengan mengelola secara bersama
produksi batu bara dan baja, dua bahan utama yang diperlukan untuk
berperang.51 Sehingga dibentuk Komunitas Besi dan Baja Eropa (European
Coal and Steel Community /ECSC) yang ditandai dengan penandatanganan
traktat tahun 1951. Terdapat enam negara yang memprakarsai terbentuknya
Uni Eropa, yaitu Belgia, Jerman, Prancis, Italia, Luksemburg, dan Belanda.
Uni Eropa bersifat unik karena para Negara Anggota tetap menjadi
negara-negara berdaulat yang independen, akan tetapi mereka
menggabungkan kedaulatan mereka – dan dengan demikian memperoleh
kekuatan dan pengaruh kolektif yang lebih besar. Dalam praktiknya,
penggabungan kedaulatan berarti bahwa Negara-Negara Anggota
mendelegasikan sebagian kuasa mereka dalam hal pengambilan keputusan
51 European External Action Service, “ Sekilas Uni Eropa” dalam http://eeas.europa.eu/archives/delegations/indonesia/documents/more_info/pub_2015_euataglance_id.pdf, diakses 16 Febuari 2017.
37
38
kepada lembaga-lembaga bersama yang telah didirikan. Sehingga keputusan
untuk masalah-masalah tertentu yang melibatkan kepentingan bersama dapat
diambil secara demokratis pada tingkat Eropa.52
Uni Eropa sebagai aktor dalam aktivitas hubungan internasional,
memiliki tingkat keaktifan yang besar dalam hubungan internasional,
khususnya dalam corak hubungan kerjasama. Beberapa platform kerjasama
dilakukan, baik antar organisasi kawasan seperti Uni Eropa dan ASEAN,
ataupun Uni Eropa dengan negara bangsa seperti Amerika dan Turki.
Eksistensi Uni Eropa sebagai aktor hubungan internasional memang tidak bisa
dielak, karena pada perkembangan HI sendiri peran organisasi internasional
sebagai aktor non negara saat ini sama pentingnya dengan aktor negara
bangsa.
Sejalan dengan perubahan isu dalam hubungan internasional. Uni Eropa
sebagai salah satu aktor hubungan internasional pun ikut serta dalam
mentransformasi perhatian mereka terhadap isu internasional. Dahulu,
hubungan internasional bersifat kaku dan seringkali hanya membahas
permasalah permasalahan keamanan dan peperangan. Namun, seiring dengan
berkembangnya zaman permasalahan permasalahan yang menjadi isu
hubungan internasional pun semakin berkembang.
Melihat tren internasional yang mulai menyoroti permasalahan low
politics seperti permasalahan gender, hak asasi manusia dan lingkungan
hidup. Uni Eropa pun mulai membangun berbagai macam kebijakan yang
52Ibid.,
39
sejalan dengan pergeseran tren tersebut. Isu lingkungan hidup, agaknya
menjadi salah satu isu yang semakin digiati oleh masyarakat Internasional.
Sehingga, isu lingkungan hidup tidak luput dari perhatian Uni Eropa.
Keseriusan Uni Eropa dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup
tidak dimulai ketika organisasi atau institusi ini berdiri. Namun, setelah
United Nations Conference on the Environment diStockholm pada 1972 dan
kesadaran masyarakat serta penemuan penemuan ilmiah terkait masalah
lingkungan.53 Uni Eropa akhirnya menyadari pentingnya pembangunan
sebuah komunitas yang secara serius membahas terkait isu lingkungan hidup.
Di latar belakangi oleh hal tersebut, maka Uni Eropa membentuk
Environmental Action Programs (EAP) di tahun 1973.54
Keikutsertaan negara negara Uni Eropa dalam kerangka EAP
menunjukkan bentuk perhatian suatu negara dalam isu lingkungan hidup.
Setiap pertemuan EAP, akan di bahas berbagai macam isu lingkungan yang
diangkat secara lebih spesifik. Pada pertemuan pertama di tahun pertama
yaitu 1973, isu yang dibahas terkait polusi yang ditekankan pada polusi air
dan udara. Pertemuan kedua mulai membahas lingkungan secara keseluruhan
namun masih berfokus pada air dan udara dan pertemuan ketiga (1982-1986)
menjabarkan tentang keuntungan dan kerugian yang diperoleh dengan
menerapkan ramah lingkungan terhadap industri.
53Christian Hey. EU Environmental Policies: A short history of the policy strategies. EU Enviromental Policy Bookdalamhttp://www.eeb.org/publication/chapter-3.pdf, diakses 16 Febuari 2017. Hlm, 4.
54Ibid.,
40
Pada pertemuan Environmental Action Programs yang keempat pada
periode 1987-1992 , EAP mulai mencoba melahirkan seperangkat kebijakan
yang disepakati bersama. Salah satu dari beberapa kebijakan yang diambil
adalah kebijakan untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan. Kebijakan-
kebijakan ini kemudian semakin meningkatkan integrasi negara-negara Eropa
terkait isu lingkungan dan berhasil melahirkan organisasi-organisasi yang
peduli dengan lingkungan.
Pada pertemuan EAP kelima kembali dilakukan sistem desentralisasi
kebijakan lingkungan. Selanjutnya, pada EAP keenam di tahun 20013, isu
yang dibahas adalah terkait peningkatan kebijakan lingkungan. Pertemuan
EAP akan terus berlanjut hingga nanti tahun 2020 berfokus untuk membahas
permalahan mengenai perubahan iklim, perlindungan ekosistem, pemanfaatan
sumberdaya, serta upaya penciptaan energi baru yang ramah lingkungan.55
2. Respon Uni Eropa dalam Deklarasi Bali tentang Forest Law
Enforcement Governance
Negara negara maju memang pada dasarnya, merupakan aktor aktor yang
kian menunjukkan sikap kepedulian terhadap isu lingkungan hidup. Anggapan
bahwa aktivitas sosial dan ekonomi manusia yang sedang berlangsung, dapat
mengancam eksistensi dari lingkungan hidup. Dalam lima decade terakhir,
populasi manusia yang terus meningkat telah mendorong standard kehidupan
yang lebih tinggi pula. Hal itu semakin menunjukkan potensi kerusakan
55Ibid.,
41
lingkungan hidup akibat konsumsi dari populasi masyarakat dunia yang terus
bertambah.
Beberapa penstudi hubungan internasional sendiri telah menyatakan
bahwa lingkungan hidup saat ini telah menjadi issue area utama ketiga,
menyusul dua issue area utama tradisional dalam politik internasional yaitu;
keamanan internasional dan ekonomi global.56 Penempatan lingkungan hidup
dalam issue area politik internasional, memang telah menunjukkan urgensi
permasalahan tersebut dalam taraf internasional. Urgensi dari permasalahan
lingkungan hidup pun dapat dilihat melalui berbagai macam pertemuan
tingkat nasional dan internasional yang dilakukan oleh aktor hubungan
internasional dalam proses pencarian solusi dari permasalah tersebut.
PBB sendiri sebagai organisasi internasional yang berdiri semenjak tahun
1945, telah menunjukkan sikap simpati terhadap isu lingkungan hidup. Hal
tersebut dapat dilihat dari dilaksanakannya Konferensi Lingkungan Hidup
Manusia untuk pertama kali pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia.
Selanjutnya, PBB terus melangsungkan pertemuan tingkat global terkait
lingkungan hidup, seperti pertemuan besar di Rio De Janeiro pada tahun 1992
dan pertemuan tahunan lainnya.
Selain PBB, organisasi internasional yang juga menunjukkan simpati
terhadap isu ini adalah World Bank atau Bank Dunia. Bank Dunia memang
merupakan organisasi yang mengatur terkait permasalahan finansial dunia.
Meskipun begitu, Bank Dunia juga menaruh simpati pada isu lain yang pada
56Robert Jackson dan George Sorensen. Op.Cit. 324
42
kelangsungannya bersinggungan dengan isu ekonomi, seperti lingkungan
hidup. Isu lingkungan hidup sendiri menurut Budi Winarno memang telah
menjadi isu global yang mampu mendampingi agenda klasik dalam politik
internasional, yakni isu keamanan dan ekonomi.
Bentuk simpati Bank Dunia dalam isu lingkungan hidup adalah melalui
mengakomodasi wadah bagi negara negara terkait permasalahan lingkungan
hidup. Salah satu bentuk akomodasi dari Bank Dunia tercermin melalui Bali
Declaration on Forest Enforcement Law Governance (FLEG) pada tahun 2001
di Bali. Deklarasi Bali ini mempertemukan negara produsen dan konsumen
kayu untuk memperoleh jalan tengah terkait permasalahan tersebut.
Adapun isi dari Deklarasi Bali ini merupakan urgensi untuk merespon
secara cepat terkait isu lingkungan hidup berupa illegal logging, atau
kejahatan hutan lainnya. Bentuk respon tersebut dapat dibangun melalui
peningkatan kualitas regulasi terkait permasalah tersebut, baik dari skala
nasional hingga global. Peningkatan kualitas regulasi dalam tingkat global
sendiri dapat ditempuh melalui kolaborasi bilateral, regional ataupun
multilateral.
Kolaborasi bilateral, regional ataupun multilateral dalam lampiran dari
Deklarasi Bali meliputi pembentukan kerjasama yang secara signifikan
memiliki implikasi dalam pelarangan terhadap permasalahan illegal logging
dan penjualan kayu illegal. Bentuk lainnya meliputi pembangunan sistem
sertifikasi kayu illegal yang mudah di akses dan murah bagi industri-industri
43
kecil. Sekaligus mengembangkan jaringan regional dalam monitoring system,
termasuk di dalamnya forest-crime monitoring.57
Meskipun Deklarasi Bali tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat
secara tegas. Beberapa negara tetap secara serius berusaha mengamalkan isi
hasil deklarasi dengan membangun sebuah sistem terkait permasalahan illegal
logging, baik melalui pembentukan kerangka regulasi yang ketat ataupun
melalui pembentukan sistem sertifikasi kayu legal. Salah satu aktor hubungan
internasional yang menyeriusi permasalahan ini adalah Uni Eropa.
Selang dua tahun setelah deklarasi ini. Uni Eropa membangun sebuah
rencana aksi yang disebut FLEGT-Action Plan. FLEGT Action Plan bertitik
fokus pada kebijakan perdagangan kayu dan produk kayu. Selain sebagai
respon dari hasil Deklarasi Bali, pembentukkan rencana aksi tersebut pun
tidak terlepas dari kondisi Uni Eropa sebagai salah satu konsumen kayu
terbesar di pasar global yang diestimasi telah mengalami kerugian akibat
banyaknya kayu illegal yang beredar bebas di pasar Uni Eropa.
FLEGT-Action Plan ini pada perkembangannya membawahi dua buah
perturan, yaitu Peraturan Kayu Uni Eropa dan FLEGT-VPA atau Kerjasama
Sukarela terkait Penegakan Hukum Tata Kelola Perdagangan Sektor
Perdagangan. Selain sebagai respon dan kepentingan kawasan dalam
memerangi permasalahan lingkungan hidup. Rencana Aksi ini pun merupakan
57Annex to the Ministerial Declaration Indicative List of Actions for the Implementation of Declaration. Hal 1-4
44
bentuk bantuan kepada negara produsen dalam bentuk tata kelola pengelolaan
hutan lestari, khususnya di bidang penjualan produk hasil hutan sektor Kayu.
B. PERJALANAN INDONESIA DALAM MENERAPKAN SVLK
(SERTIFIKASI VALIDITAS LEGALITAS KAYU)
1. Kondisi Hutan Indonesia
Pada tahun 2000-an praktik illegal logging diestimasi membawa kerugian
sebesar 80% dari total panen Indonesia.58 Praktik perdagangan kayu ilegal
sangat merugikan banyak pihak karena dapat menyebabkan permasalahan
permasalahan yang lain. Perdagangan kayu menyebabkan meluasnya praktik
deforestasi, mempengaruhi kehidupan komunitas yang bergantung pada hutan,
pencurian miliaran pendapatan Negara dan menghancurkan habitat utama
hewan hewan liar.59
Illegal logging merupakan salah satu alas an dari berkurangnya area
tutupan hutan. Berdasarkan majalah GEO pada tahun 2011, dikatakan bahwa
pada periode tahun 2005 hingga 2010, Indonesia mengalami degradasi luas
hutan sebesar 6850 km2 pertahunya.60 Hal tersebut menjadikan Indonesia
sebagai salah satu Negara dengan peringkat ketiga dalam peringkat
kehilangan hutan setelah Brazil dan Australia.61
58Moazzam Malik. “ Indonesia reachers historic milestone in combating illegal logging.” dalam http://www.thejakartapost.com/news/2016/11/25/indonesia-reaches-historic-milestone-combating-illegal-logging.html, diakses 9 Maret 2017
59 Ibid.,60 ACJP Cahayahati. “Indonesia kehilangan hutan 6850 km2 pertahunnya (2005-2010)” dalam
http://www.kompasiana.com/kritzel/indonesia-kehilangan-hutan-6850-km2-per-tahun-2005-2010_55189391a333114607b665eb, diakses 9 Maret 201761Ibid.,
45
Ditahun 2009 sendiri, luas tutupan hutan Indonesia adalah 88,17 juta ha
atau sekitar 46,33 persen dari luas daratan Indonesia. Sebaran tutupan hutan
terluas berada di Pulau Papua dengan persentase sebesar 38,72 persen dari
total luas tutupan hutan Indonesia, atau sekitar 34,13 juta ha.62Dalam periode
tahun 2000-2009, luas hutan Indonesia yang mengalami deforestasi adalah
sebesar 15,16 juta ha. Pulau Kalimantan menjadi daerah penyumbang
deforestasi terbesar yaitu sekitar 36,32 persen atau setara dengan 5,50 juta
ha.63
Data FWI terkait pengurangan wilayah tutupan hutan pun tidak jauh
berbeda dengan data yang dimiliki oleh Kementrian Kehutanan Republik
Indonesia. Berdasarkan catatan Kementrian Kehutanan Republik Indonesia,
sedikitnya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap
tahunnya. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan dari sekitar 130 juta
hektar hutan yang tersisa di Indonesia, 42 juta hektar diantaranya sudah habis
ditebang.64
2. Tuntutan untuk Membangun Sistem Tata Kelola Hutan di Indonesia
Berdasarkan data kehilangan tutupan hutan yang menunjukkan rata rata
kehilangan area tutupan hutan sekitar 1 juta hektar pertahun. Kehilangan
tutupan hutan tersebut tidak hanya terjadi pada Indonesia saja, tetapi juga
62 Forest Watch Indonesia. “ Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009”, hlm 5. dalamhttp://fwi.or.id/wp-content/uploads/2013/02/PHKI_2000-2009_FWI_low-res.pdf, diakses 9 Maret 2017.
63 Ibid.,64WWF “Kehutanan” dalam
http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/forest_spesies/tentang_forest_spesies/kehutanan/, diakses 9 Maret 1017
46
negara negara dengan wilayah tutupan hutan lainnya, seperti Brazil dan
Australia. Kehilangan area tutupan hutan tentunya menjadi permasalahan
masyarakat internasional secara luas, karena hutan merupakan paru-paru bumi
tempat berbagai satwa hidup, pohon-pohon, hasil tambang dan berbagai
sumberdaya lainnya yang bisa kita dapatkan dari hutan yang tak ternilai
harganya bagi manusia.65
Kerusakan hutan dapat berdampak kepada semua pihak. Beberapa dampak
umum yang mampu merugikan mahluk hidup adalah perubahan iklim,
punahnya spesies-spesies yang ada di hutan dan terganggunya siklus air.
Mengingat hal tersebut secara kontinum dapat mengganggu segala aspek
kehidupan mahluk hidup, maka masyarakat internasional mulai menunjukkan
kekhawatiran yang mendalam terkait hal tersebut.
Kekhawatiran masyarakat internasional menjadi input bagi pemerintah
dalam membangun sebuah kebijakan. Salah satu bentuk output atau
kebijakannya adalah dengan mendorong pemerintah yang ramah lingkungan.
Upaya itu dapat dilihat dari dibangunnya suatu sistematika kerjasama baik
dalam bentuk kerjasama bilateral, multilateral atau perjanjian internasional
yang berbentuk deklarasi.
Deklarasi Bali sendiri merupakan salah satu bentuk kebijakan yang
bermaksud untuk mendorong negara negara dalam membentuk sistem tata
kelola hutan yang baik. Berdasarkan lampiran Ministerial Declaration
65 Rahmawaty, “Hutan: Fungsi dan Peranannya bagi Masyarakat”, dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1028/1/hutan-rahmawaty6.pdf, diakses 10 Maret 2017
47
Indicative List of Actions for the Implementation of Declaration, dijelaskan
bahwa bentuk pembangunan tata kelola hutan dapat dibentuk melalui
peningkatan kualitas regulasi terkait permasalah tersebut, baik dari skala
nasional hingga global. Peningkatan kualitas regulasi dalam tingkat global
sendiri dapat ditempuh melalui kolaborasi bilateral, regional ataupun
multilateral.
Negara-negara maju seperti Inggris, Australia, dan Jepang telah
membangun sebuah sistem sertifikasi sebagai salah satu bentuk pembangunan
tata kelola hutan. Negara Inggris membangun sistem dengan namaProgramme
for the Endorsement of Forest Certification, Australia dengan Illegal Logging
Prohibition Act dan Jepang dengan goho-wood system. Semua sistem
sertifikasi legalitas kayu pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu,
untuk membangun suatu alat verifikasi legalitas yang kredibel, efisien dan adil
sebagai salah satu upaya megatasi persoalan pembalakan liar.
Seperti yang diketahui, bahwa illegal logging memang merupakan salah
satu penyebab dari deforestasi. Cara penyelesaian permasalahan illegal
logging salah satunya adalah dengan memotong perdagangan kayu illegal,
melalui pengawasan transaksi kayu ilegal melalui sertifikasi (labelling) atas
asal-usul kayu.66
Akibat tuntutan pembangunan tata kelola hutan yang baik, serta manfaat
dari pembangun sertifikasi kayu legal yang secara langsung dapat mengawasi
66Arya Hadi Dharmawan, Bramasto Nugroho, Hariadi Kartodihardjo, Lala M Kolopaking dan Rizaldi Boer” SVLK, JalanMenuju REDD+” dalam forestclimatecenter.org/document_hit.php?lang=Indonesia&dID=58, diakses 10 Maret 2017
48
laju perdagangan kayu dari hulu ke hilir. Maka, pemerintah Indonesia
akhirnya membangun sebuah sistem serupa yang diberi nama Sistem
Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK).
Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) merupakan sistem
pelacakan yang disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas
sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia . Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dikembangkan untuk mendorong
implementasi peraturan pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan
peredaran hasil hutan yang legal di Indonesia.67
Latar belakang dari SVLK sendiri seperti yang dijelaskan sebelumnya
adalah sebagai komitmen pemerintah dalam memerangi pembalakan liar dan
perdagangan kayu illegal. Perwujudan good forest governance menuju
pengelolaan hutan lestari. Permintaan atas jaminan legalitas kayu dalam
bentuk sertifikasi dari pasar internasional, khususnya dari Uni Eropa, Amerika
Serikat, Jepang dan Australia. Sebagai bentuk "National Insentive" untuk
mengantisipasi semakin maraknya permintaan skema sertifikasi legalitas kayu
dari negara asing, seperti skema FSC, PEFC, dsb.68
SVLK mulai berlaku sesuai dengan yang dijelaskan pada Pasal 20
Peraturan Menteri Kehutanan No.38/Menhut-II/2009 bahwa peraturan
67 Sere Saghranie Daulay dan Widyaiswara Madya, “ Regulasi bagi Industri Berbasis Kayu dan Hasil Hutan” dalam www.kemenperin.go.id/.../Regulasi-Bagi-Industri-Berbasis-Kayu-dan-Hasil-Hutan, diakses 10 Maret 2017
68 Ibid.,
49
tersebut mulai berlaku pada tanggal diundangkan 12 Juni 2009 dan mulai
dilaksanakan pada tanggal sejak 1 September 2009.69
C. KERJASAMA UNI EROPA DAN INDONESIA DALAM KERANGKA
FLEGT VPA
1. Kerjasama FLEGT-VPA antara Uni Eropa dan Indonesia
FLEGT-VPA adalah singkatan dari Forest Law Enforcement, Governance
and Trade-Voluntary Partnership Agreement (Penegakan Hukum, Tata Kelola
danPerdagangan Bidang Kehutanan) dan merupakan perjanjian bilateral
bersifat sukarelaantara UE dan negara-negara produsen kayu dalam mengatasi
illegal logging melalui mekanisme penegakan hukum, tata kelola dan
perdagangan bidang kehutanan.
FLEGT-VPA merupakan mekanisme yang dibuat Uni Eropa dalam
merespon illegal logging. Uni Eropa sebagai konsumen kayu telah mengalami
dampak illegal logging, dimana hampir sebagian dari kayu yang masuk ke Uni
Eropa diestimasi illegal.70 Mekanisme dari perjanjian ini yaitu upaya
penegakkan hukum untuk tindak pelanggaran illegal logging, tata kelola
bidang lingkungan selama proses pemanfaatannya bernilai ekonomis dan
perdagangan. Bidang lingkungan dengan sasaran kehutanan, dan bidang
perdagangan dengan sasaran proses ekspor impor kayu legal.71
69 Ibid.,70Anita Novianti Sofyan,” Kerja Sama Uni Eropa-Indonesia dalam Mengatasi Illegal Logging
dalam Kerangka Kerjasama FLEGT-VPA”, SKRIPSI HI-FISIP Universitas Hasanudin, diterbitkan 2014, hlm. 47
71 Ibid.,
50
Kerjasama FLEGT-VPA sendiri menurut Kementrian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, diartikan sebagai Perjanjian bilateral antara Uni Eropa (UE)
dan negara-negara pengekspor kayu, dengan tujuan untuk meningkatkan tata
kelola sektor kehutanan serta memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang
diimpor ke UE diproduksi sesuai dengan peraturan perundangan negara
mitra.72
Sebelum dibangunnya, FLEGT Action Plan, Uni Eropa mencanangkan
terlebih dahulu FLEGT, FLEGT pertama kali dibahas pada September 2001
di Indonesia pada Konferensi Tingkat Menteri Pertama di Asia Timur dan
Pasifik.45 Selanjutnya program ini disampaikan pada pertemuan puncak
dunia untuk pembangunan berkelanjutan (The World Summit on Sustainable
Development) di Johannesburg tahun 2002.73Tujuan dari FLEGT yakni untuk:
1. Membantu negara produsen kayu dalam meningkatkan tata kelola dan
kemampuan memberantas illegal logging
2. Mengembangkan voluntary partnership agreement (VPA) untuk
mencegah masuknya kayu ilegal ke pasar UE
3. Mencegah konsumsi kayu ilegal dan investasi UE pada kegiatan yang
mendorong pencurian kayu (over cutting).74
Selanjutnya, program FLEGT ini dilanjutkan dalam kerangka FLEGT
Action Plan yang membawahi dua peraturan yaitu, EU Timber Regulation
dan FLEGT-VPA. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa FLEGT-VPA
72Kementrian Kehutanan., Loc.Cit.,73Anita Novianti Sofyan. Op.cit. Hlm. 48.74Ibid.,
51
merupakan bentuk kebijakan perdagangan kayu legal antara Uni Eropa dan
negara mitra. Uni Eropa dibawah FLEGT-VPA telah membangun kerjasama
dengan beberapa negara mitra seperti, Republik Congo, Gabon, Ghana, Laos,
Malaysia dan Cameroon, serta Indonesia.
Kerjasama FLEGT-VPA antara Indonesia dan Uni Eropa sendiri
ditandatangani pada 30 September 2013.75Pada 27 Februari 2014, Parlemen
Eropa meratifikasi Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT )
Voluntary Partnership Agreement (VPA) dengan pemerintah Indonesia. VPA
ini dirancang untuk mendorong peningkatan tata kelola hutan dan penegakan
hukum kehutanan dan mendukung pengelolaan hutan lestari sebagai bagian
dari upaya dunia menghentikan kegiatan penggundulan dan kerusakan
hutan.76
Terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum perjanjian
kemitraan antara negara produsen kayu dan Uni Eropa terkait perdagangan
kayu legal ini. Adapun tahapan-tahapan tersebut, meliputi:77
1. Pre Negotiation
Pada tahapan ini Negara Produsen Kayu menunjukkan ketertarikan
kepada Uni Eropa dalam membangun kerjasama FLEGT-VPA.
75Clarissa Diva C. Savirra .Analis Faktor Supply & Demand Driven Terhadap Insistensi Indonesia Dalam Mewujudkan Perjanjian Kerjasama FLEGT-VPA 2007-2011, Jurnal Analisis Hubungan Internasional Vol.3 No.3 Tahun 2014. Dalam http://journal.unair.ac.id/downloadfull/JAHI8132-11f2e9f7d0fullabstract.pdf, diakses 10 Maret 2017
76Koalisi Anti Mafia Hutan, “Catatan Kritis Koalisi LSM terhadap Legalitas & Kelestarian Hutan Indonesia: Studi Independen Terhadap Sertifikasi SVLK”, http://awsassets.wwf.or.id/downloads/perbaiki_svlk_kajian_koalisi_anti_mafia_hutan_terhadap_svlk.p df, (diakses 27 April 2015),hal 3.
77Logging off “What Are Flegt’s VPA” dalam http://www.fern.org/sites/fern.org/files/What%20are%20FLEGT%20VPAs.pdf, diakses 14 Maret 2017
52
Selama tahap ini, kedua pihak akan mengeksplorasi kepentingan dan
kesulitan dalam keterlibatan pada proses ini.
2. VPA Negotiation
Pada tahapan ini, kedua pihak mencapai kesepakatan pada elemen
kunci dari VPA, termasuk sistem jaminan legalit dan langkah-
langkah lain yang harus dilaksanakan sebelum proses implementasi.
3. Initialling
Tahapan ini menandakan berakhirnya proses negosiasi. Pada tahap ini
biasanya kedua pihak (Uni Eropa dan Negara Eksportir Kayu)
melakukan upacara peresmian.
4. Ratification
Tahapan ini menunjukkan bahwa FLEGT-VPA antara Uni Eropa dan
Negara Mitra telah berketetapan hukum.
VPA mengikat secara hukum ketika kedua pihak telah melakukan
ratifikasi. Proses ratifikasi membutuhkan beberapa bulan sampai lebih dari
setahun, tapi selama waktu itu, dua pihak dapat mulai mengembangkan
lisensi Legality Assurance System. FLEGT yang disepakati tidak akan
diberikan sampai VPA telah diratifikasi dan unsur-unsur LAS telah bekerja.
Jika tahapan tahapan diatas telah terlewati, maka sejak saat itu dan
seterusnya, hanya kayu FLEGT dapat diekspor dari negara mitra ke pasar Uni
Eropa. Perjanjian yang awalnya merupakan kerjasama sukarela sudah
53
berubah menjadi kerjasama yang legal binding karena memiliki ketetapan
hukum.78
Perundingan VPA antara Indonesia dan Uni Eropa sendiri telah dimulai
pada bulan Januari 2007 tetapi barulah setelah bulan Juli 2009 dialog semakin
intensif setelah diselesaikannya sistem jaminan legalitas kayu Indonesia
(TLAS). Di bawah VPA, Indonesia perlu : (1) menentukan peraturan dan
undang-undang yang berlaku untuk sektor kehutanan, dan (2) membangun
sebuah sistem untuk memverifikasi legalitas ekspor kayu Indonesia ke Uni
Eropa sesuai aturan yang berlaku79.Dua hal tersebut perlu dipenuhi sebelum
mekanisme kerjasama FLEGT-VPA dapat bekerja. Sehingga Uni Eropa
mendorong Indonesia untuk meningkatkan penggunaan Timber Legal
Assurance System (TLAS) agar kerjasama ini dapat berjalan secara ideal.
Timber Legal Assurance System di Indonesia di bentuk dalam nama Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
FLEGT-VPA memiliki tiga elemen penting yang tidak bisa dilepas. Tiga
elemen tersebut meliputi, Pendefinisian Legalitas, Pengembangan Legality
Assurance System (LAS) dan Audit Independen.80 Sehingga, jelas bahwa
meskipun FLEGT-VPA bersifat Government to Government atau G to G, Uni
Eropa mendorong transparansi yang melibatkan masyarakat (civil societies),
Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu atau
Lembagai Penilai Swasta.
78Ibid.,79 Koalisi Anti Mafia Hutan.Loc.Cit.,80Logging Off. Loc.Cit.,
54
Setelah dialog panjang dengan berbagai pemangku kepentingan termasuk
pemerintah, asosiasi perdagangan dan organisasi masyarakat sipil, definisi
legal untuk Sistem Verifikasi Kayu SVLK dibuat dalam dua peraturan tahun
2009 (Peraturan Kementerian Kehutanan P.38/Menhut-II/2009 dan Peraturan
Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan no. P.6/VI-Set/2009 ). Aturan ini
tidak hanya mengenai legalitas kayu tapi juga tentang tata kelola hutan lestari.
Kedua aturan ini dibingkai dengan prinsip-prinsip kunci yang meliputi aspek
penting dalam produksi produk kehutanan, pengelolaan dan kriteria, indikator
dan pelaku verifikasi, juga tentang pedoman pelaksaan verifikasi yang
menjabarkan metodologi dan norma penilaian yang digunakan.81
Indonesia menetapkan sertifikasi SVLK sebagai sebuah kewajiban bagi
seluruh perusahaan yang memproduksi, menjual, mengelola dan mengekspor
kayu. Sejumlah badan sertifikasi dan verifikasi independen diakreditasi oleh
Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk mengaudit operasional perusahan-
perusahaan perkayuan. Audit dilakukan berdasarkan standard penilaian
legalitas atau tata kelola hutan lestari dan sertifikat yang dikeluarkan untuk
Legalitas Kayu, LK atau Pengelolaan Hutan Produksi Lestari PHPL.
Dokumen V-Legal dikeluarkan untuk eksportir.82
Sebagai langkah pelengkap untuk Kesepakatan Kemitraan VPA,
Peraturan Perkayuan Uni Eropa (EU Timber Regulation-EUTR) diberlakukan
Maret 2013, melarang penjualan produk kayu yang dipanen secara illegal di
81 Ibid.,82 Ibid.,
55
wilayah Uni Eropa. EUTR menerima produk yang mendapatkan izin FLEGT
dari Negara-negara yang berada dalam Kemitraan VPA, sebagai produk legal
secara otomatis. Perizinan FLEGT untuk produk Indonesia baru bisa dijual
hanya ketika sistem SVLK terbukti menyediakan jaminan yang kredibel
untuk legalitasnya.83
Dasar hukum SVLK sendiri meliputi Permenhut P.38/Menhut-II/2009 jo
Permenhut P.68/Menhut-II/2011 jo Permenhut P.45/ Menhut-II/2012 tentang
Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Penge lolaan Hutan Produksi
Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan
Hak. Sedangkan,pedoman pelaksanakan dan standar SVLK diatur dalam
Perdirjen Bina Usaha Kehutanan No. : P.8/VI-BPPHH/2012 tentang Standard
dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL)
dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK).84
SVLK diterapkan melalui mekanisme sertifikasi oleh pihak independen
(Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu/LVLK) yang telah terakreditasi oleh
Komite Akreditasi Nasional. Adapun terdapat tahapan yang perlu dilalui
sebelum memperoleh SVLK, yaitu:85
1. Pengajuan aplikasi ke Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu,
2. Tinjauan Dokumen
3. Penetapan Jadwal & Tim Audit
83 Ibid.,hal. 4.84WWF. “SVLK” dalam http://awsassets.wwf.or.id/downloads/flier_svlk___gftn.pdf, diakses
14 Maret 201785Ibid.,
56
4. Publikasi Rencana Audit di website Kemenhut, LVLK,
desa/kelurahan tempat industri berada atau media massaAudit
lapangan
5. Pengambilan keputusan sertifikasi
6. Penerbitan sertifikat
7. Publikasi sertifikat yang diterbitkan
Manfaat yang diperoleh perusahaan ketika memperoleh sertifikat ini,
yaitu 1) hemat waktu dan biaya untuk penerbitan dokumen V-LEGAL
dengan tidak diwajibkan untuk inspeksi., 2) Meningkatkan kepercayaan
buyer terhadap legalitas produk yang diekspor, 3) Wujud kepatuhan
terhadap peraturan pemerintah., 4) Dapat menggunakan tanda V-LEGAL
pada produk.86
2. Perilisan FLEGT License antara Indonesia dan Uni Eropa
Perjanjian FLEGT-VPA mengharuskan Negara produsen kayu
mengekspor produk kayu menggunakan sertifikasi V-legal. Hal ini
dimaksudkan agar setiap kayu yang keluar dari Negara produsen untuk di jual
ke kawasan Uni Eropa. V-legal sendiri merupakan lisensi ekspor Indonesia
untuk membuktikan legalitas..
Perusahaan yang sesuai dengan sistem jaminan legalitas kayu (SVLK)
harus melampirkan Dokumen V-Legal untuk produk mereka yang akan di
ekspor ke setiap pasar internasional. Dokumen V-Legal menetapkan bahwa
86Ibid.,
57
produk kayu yang diangkut sesuai dengan legalitas atau standar keberlanjutan
dan persyaratan kontrol rantai pasokan sebagaimana diatur dalam peraturan
Indonesia dan VPA87. Jadi Dokumen V-Legal memberikan jaminan bahwa
kayu atau produk kayu yang legal. Sehingga, V-legal merupakan instrumen
penting dalam aktivitas ekspor Indonesia, khususnya ke Uni Eropa
Penerbitan V-legal dilakukan oleh Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu
atau yang kenal juga sebagai Lembaga Penilai Swasta yang telah mengantongi
izin dan terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional. Pada proses penilaian
sendiri, LVLK dituntut untuk transparan karena harus menyertakan
pengawasan oleh civil societies dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Ketika proses implementasi Timber Legality Assurance System sudah
bekerja dengan baik. Dalam kasus Indonesia, hal ini dinilai melalui performa
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. Pada tahapan selanjutnya, maka
berdasarkan lampiran Voluntary Partnership Agreement Pasal 6,
Indonesia akan menerbitkan Dokumen V-Legal sebagai FLEGT lisensi untuk
kayu yang diekspor ke Uni Eropa.
Gambar 2.1
Format Template Dokumen Ekspor Indonesia dengan penggunaan V-
Legal
87Flegt license.org, “ V-legal documents” dalam http://www.flegtlicence.org/v-legal-documents, diakses 21 Maret 2017.
58
Sumber: Lampiran 1V Perjanjian Kemitraan Sukarela antara Uni Eropa
dam Indonesia
59
Template yang digunakan oleh FLEGT-Licensesama dengan Template
yang dilampirkan pada lampiran IV perjanjian Kemitraan Sukarela antara
Indonesia dan Uni Eropa. Letak perbedaanya terletak pada dituliskannya
keterangan FLEGT-license pada bagian kanan atas dari dokumen. Sehingga,
FLEGT-license mirip dengan Dokumen V-Legal, namun memiliki keterangan
'FLEGT license' ditulis dalam kotak bertanda 'B'. Lisensi FLEGT akan
menggantikan Dokumen V-Legal untuk ekspor ke Uni Eropa ketika Indonesia
mulai mengimplementasikan FLEGT-license.
Indonesia sendiri bersama Uni Eropa telah menyetujui waktu perilisan
FLEGT-license. Waktu yang disetujui tersebut adalah pada tanggal 15
November 2016. Keputusan ini dicapai dalam sidang Komite Implementasi
Gabungan (Joint Implemenation Committee – JIC) ke-5, yang mengawasi
pelaksanaan Kesepakatan Kemitraan Sukarela Penegakan Hukum, Tata Kelola
dan Perdagangan (FLEGT VPA) Indonesia-UE.88
Gambar 2.2.
Format Template Dokumen Ekspor Indonesia dengan penggunaan
FLEGT-License
88Joint Implementation Committee, “Indonesia dan UE sepakat memulai skema Lisensi FLEGT untuk produk kayu i pada 15 November 2015” dalam http://www.euflegt.efi.int/web/jic-indonesia/bahasa-indonesia, diakses 21 Maret 2017
60
Sumber: Lampiran 1V Perjanjian Kemitraan Sukarela antara Uni Eropa
dam Indonesia, diolah
61
Lisensi FLEGT ini secara otomatis memenuhi persyaratan Peraturan
Perkayuan Uni Eropa, EUTR, (EU Reg.#995/2010), yang melarang para
pelaku pasar di Uni Eropa untuk menempatkan kayu hasil pembalakan liar
serta produk yang berasal dari kayu ilegal di pasar Uni Eropa. Para importir
produk kayu berlisensi FLEGT dapat menempatkan barang-barang impor
mereka dalam pasar Uni Eropa tanpa perlu melaksanakan pola manajemen
risiko (uji tuntas).89
Tidak wajibnya, due diligence atau syarat uji tuntas dapat meningkatkan
daya saing produk kayu Indonesia karena tidak perlu lagi untuk pembiayaan
administrasi lainnya. Selain itu FLEGT-License memudahkan produk produk
kayu Indonesia, sehingga masuk green line oleh bea cukai.
89Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “ Press Release:Indonesia dan Uni Eropa luncurkan Skema Lisensi FLEGT untuk produk kayu legal”
62