HUKUM KEWARISAN ISLAM
SUMBER HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Al-Qur’an
Beberapa ayat Al-qur’an yang langsung mengatur pembagian harta
warisan adalah sebagai berikut :
Q.S. IV : 7 Mengatur penegasan bahwa laki-laki dan perempuan dapat
mewaris
Q.S. IV : 11 Mengatur perolehan anak, perolehan ibu dan bapak serta soal
wasiat dan utang
Q.S. IV : 12 Mengatur perolehan duda, janda, saudara-saudara dalam hal
kalaalah dan soal wasiat serta utang
Q.S. IV : 33 Mengatur mengenai mawali seseorang yang mendapat harta
peninggalan dari ibu-bapaknya, aqrabunnya dan tolam
seperjanjiannya serta perintah agar pembagian bagian tersebut
dilaksanakan
Q.S. IV : 176 Menerangkan mengenai arti kalaalah dan mengatur mengenai
perolehan saudara dalam hal kalaalah.
B. Sunnah Rasul
Hadits-hadits Rasul di sini termasuk juga atsar sahabat Rasulullah akan
sangat membantu di dalam pemecahan pembagian harta peninggalan sepanjang
ada kaitannya dengan hukum kewarisan yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an
Hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut :
1. Jaabir bin Abdullah dalam hubungan turunnya Q.S. IV : 176 yang
mengatur soal kalaalah.
2. Zaid bin Tsabit yang mengatur perolehan anak dari anak laki-laki (cucu
melalui anak laki-laki).
3. Abu Bakar yang mengatur bagian datuk.
4. Ali bin Abi Thalib yang membahas mengenai utang dan wasiat.
5. Saad bin Abi Waqqas mengenai batas wasiat.
6. Ali bin Abi Thalib yang membahas mengenai ‘Awl.
7. Ibnu Abbas yang membahas mengenai keutamaan sesama ahli waris dan
soal hijab menghijab yang didasarkan kepada hadits Ibnu Abbas dan Zaid
bin Tsait.
8. Abu Hurairah dan Jabir mengenai perkataan Rasulullah bahwa bayi yang
dilahirkan menangis berhak mewaris.
9. Abu Hurairah mengenai ketentuan Rasulullah bahwa ahli waris hanya
bertanggung jawab setingg-tingginya sejumlah harta peninggalan pewaris.
C. Ijtihad
Meskipun al-Qur’an dan Hadits Rasul telah memberi ketentuan terperinci
mengenai pembagian warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan adanya
ijtihad terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam al-Qur’an atau hadits Rasul.
Misalnya mengenai bagian ibu apabila hanya mewaris dengan bapak dan suami
atau istri.
SEBAB-SEBAB MEWARIS
A. Rukun Mewaris
1. Harus ada muwarrits
Yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan.
Syaratnya adalah bahwa muwarrits itu harus benar-benar telah meninggal
dunia.
Mati hakiki adalah mati yang dapat dibuktikan dengan panca indra atau
pembuktian menurut ilmu kedokteran.
Mati hukmy maksudnya adalah seseorang yang dinyatakan atau dianggap
telah meninggal dunia, disebabkan karena hilang dan tidak diketahui kabar
beritanya.
Mati taqdiri maksudnya, seseorang diduga kuat mati karena sesuatu sebab
seperti minum racun, dipaksa minum racun, terminum racun, dibunuh,
bunuh diri atau terbunuh.
2. Harus ada al-waris atau ahli waris
3. Harus ada al-mauruts atau al-mirats
B. Syarat-syarat Mewaris
1. Adanya orang yang meninggal dunia baik secara hakiki atau secara
hukumnya.
2. Ahli Waris masih hidup secara jelas pada saat pewaris meninggal dunia.
Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang
ditinggalkan oleh pewaris. Perpindahan hak tersebut diperoleh melalui
jalan kewarisan. Oleh karena itu sesudah pewaris meninggal dunia, ahli
warisnya harus benar-benar hidup. Termasuk dalam pengertian ini adalah
bayi di dalam kandungan (al-haml). Meskipun masih berupa janin, apabila
dapat dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya,
baginya berhak mendapat warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan yang
tegas mengenai paling sedikit dan paling lama usia kandungan. Ini
dimaksudkan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan
dinasabkan.
3. Mengetahui golongan ahli waris. Hubungan antar pewaris dengan ahli
waris harus jelas, hal ini untuk mengetahui apakah ahli waris tersebut
sebagai anak kandung, suami atau istri, saudara dan sebagainya. Dengan
demikian dapat ditentukan besarnya bagian masing-masing ahli waris.
PENGGOLONGAN AHLI WARIS
A. Menurut Ajaran Kewarisan Bilateral Hazairin
Menurut Prof. Dr. Hazairin, SH, bila dilihat dari sudut orang yang
menerima bagian harta peninggalan, maka ahli waris dapat dikelompokkan dalam
tiga golongan yaitu :
1. Dzul faraaidh
Dzul faraaidh berarti ahli waris tertentu yang mendapat bagian tertentu dalam
keadaan tertentu. Yang dimaksud dengan bagian tertentu di sini adalah bagian
ahli waris yang sudah jelas-jelas disebutkan dalam Al-qur’an. Seperti 1/8, 1/6,
1/4, 1/3, 1/2 dan 2/3.
2. Dzul qarabat
Yaitu ahli waris yang mendapat bagian warisan tidak tertentu jumlahnya atau
mendapat bagian sisa atau disebut juga mendapat bagian terbuka, yaitu :
a. Anak laki-laki
b. Anak perempuan yang didampingi anak laki-laki
c. Bapak
d. Saudara laki-laki dalam hal kalaalah
e. Saudara perempuan yang didampingi saudara laki-laki dalam hal kalah.
3. Mawali (Ahli waris pengganti)
Yaitu ahli waris yang mendapat bagian menggantikan kedudukan orang
tuanya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu.
B. Menurut Ajaran Kewarisan Patrilineal Syafi’i
Ahli waris dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan :
1. Dzawul faraaidh yaitu ahli waris tertentu yang mendapat bagian tertentu
dalam keadaan tertentu
2. Ashabah yaitu ahli waris yang :
a. tidak ditentukan bagiannya tetapi dia akan menerima seluruh harta warisan
apabila tidak ada ahli waris yang dzawul faraaid sama sekali atau
b. jika ada ahli waris yang dzawul faraaidh, dia akan menerima sisanya atau
c. apabila tidak ada sisa sama sekali karena harta peninggalan sudah habis
terbagi kepada para ahli waris yang dzawul faraaidh maka dia tidak
mendapat bagian apa-apa.
Ahli waris ashabah ini ada tiga macam :
2.1 Ashabah binafsih yaitu ahli waris yang berkedudukan sebagai ashabah
dengan sendirinya atau secara otomatis, artinya tidak karena ditarik oleh
ahli waris (ashabah) lain atau tidak karena bersama-sama dengan ahli
waris lain.
2.2 Ashabah bilghari yaitu ahli waris yang berkedudukan sebagai ashabah
karena ditarik oleh ahli waris ashabah yang lain.
2.3 Ashabah ma’al ghairi yaitu ahli waris yang berkedudukan sebagai ashabah
karena bersama-sama dengan ahli waris lain.
3. Dzawul arham yaitu ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan
pewaris melalui garis penghubung anak perempuan, tetapi tidak termasuk
golongan ahli waris dzawul furudl dan ashabah.
Yang termasuk ahli waris dzawul arham ialah:
a. Cucu laki-laki dan atau perempuan melalui anak perempuan
b. Kemenakan laki-laki atau perempuan, yaitu anak dari saudara perempuan
sekandung, seayah atau seibu
c. Kemenakan perempuan yaitu anak perempuan dari saudara laki-laki
sekandung atau seayah
d. Saudara sepupu perempuan yaitu anak perempuan paman (saudara laki-
laki ayah)
e. Paman seibu (saudara laki-laki ayah seibu)
f. Paman (saudara laki-laki ibu)
g. Bibi (saudara perempuan ayah maupun saudara perempuan ibu)
h. Kakek, (ayah ibu)
i. Nenek buyut, (ibu kakek)
j. Kemenakan seibu, (anak-anak saudara laki-laki seibu)
KEUTAMAAN SESAMA AHLI WARIS
Prof. Dr. Hazairin, S.H., yang merupakan pemula sistem kewarisan bilateral Islam
Indonesia merumuskan kelompok keutamaan dalam hukum kewarisan bilateral
sebagai berikut:
1. Kelompok keutamaan pertama :
a. Anak-anak, laki-laki dan perempuan sebagai dzul faraaidh atau sebagai
dzul qarabot beserta mewalinya
b. Orang tua (ayah dan ibu) sebagai dzul faraidh
c. Janda atau duda sebagai dzul faraidh
2. Kelompok keutamaan kedua :
a. Saudara laki-laki dan perempuan sebagai dzul faraaidh atau dzul qarabat
beserta mewalinya
b. Ibu sebagai dzul faraaidh
c. Bapak sebagai dzul qarabat dalam hal kalaalah
d. Janda atau duda sebagai dzul faraidh
3. Kelompok keutamaan ketiga :
a. Ibu sebagai dzul faraaidh
b. Bapak sebagai dzul qarabat
c. Janda atau duda sebagai dzul faraaidh
4. Kelompok keutamaan keempat :
a. Janda atau duda sebagai dzul faraaidh
b. Mawali untuk ibu
c. Mawali untuk bapak
BAGIAN WARISAN UNTUK ANAK
Dalam Q.S. IV : 11 ada 3 garis hukum yang mengatur bagian warisan untuk anak.
1. Q.S. IV : 11a
Untuk seorang anak laki-laki sebanyak bagian 2 (dua) orang anak
perempuan.
Bila kita gambarkan adalah sebagian berikut :
Gambar I
Keterangan :
P = Pewaris meninggalkan seorang anak
laki-laki bernama A dan seorang anak
perempuan bernama B.
Pembagian
A dan B mendapat seluruh harta peninggalan dengan perbandingan 2 : 1.
A = 2/3 x HP
B = 1/3 x HP
A + B = 2/3 + 1/3 = 3/3. = 1 (Seluruh HP)
Gambar II
Keterangan :
Pewaris meninggalkan ahli waris seorang
anak laki-laki bernama A dan dua orang
anak perempuan bernama B dan C.
Pembagian :
A, B dan C memperoleh seluruh HP dengan perbandingan 2:1:1
A = 2/4
B = 1/4
C = 1/4
A + B + C = 2/4 + 1/4 + 1/4 = 4/4 = 1
P
A B
P
A B C
Gambar III
Keterangan :
Pewaris meninggalkan dua orang anak laki-
laki bernama A dan B serta dua orang anak
perempuan bernama C dan D
Pembagian :
A, B, C, D memperoleh seluruh HP dengan perbandingan 2:2:1:1
A = 2/6 B = 2/6 C=1/6 D=1/6
A+B+C+D = 2/6 + 2/6 + 1/6 + 1/6 = 6/6 = 1
Kalau dilihat ketiga gambar tersebut di atas, perolehan masing-masing ahli
waris baik menurut kewarisan Bilateral (Hazairin), kewarisan patrilineal
(Syafi’i) maupun Kompilasi Hukum Islam (dalam pasal 176) adalah sama.
2. Q.S. IV : 11 b
Jika anak-anak itu perempuan saja dan jumlahnya dua orang atau lebih,
maka mereka mendapat 2/3 dari harta peninggalan.
Gambar IV
Keterangan :
Pewaris meninggalkan ahli waris dua orang
anak perempuan bernama A dan B
Pembagian :
A dan B memperoleh 2/3 secara bersyarikat (bersama-sama) dengan
perbandingan 1:1
A = 1/2 x 2/3 = 2/6. df (Q.S. IV : IIb)
B = 1/2 x 2/3 = 2/6. df (Q.S. IV : IIb)
A + B = 2/6 + 2/6 = 4/6
Sisa = 1 – 4/6 = 2/6
P
A B C D
P
A B
Gambar V
Keterangan :
Pewaris meninggalkan ahli waris
lima orang anak perempuan masing-
masing bernama A, B, C, D dan E.
Pembagian :
A, B, C, D dan E memperoleh 2/3 secara bersyarikat (bersama-sama) dengan
perbandingan 1:1:1:1:1. Bagian masing-masing ahli waris:
A = 1/5 x 2/3 = 2/15. df (Q.S.IV : 11B)
B = 1/5 x 2/3 = 2/15. df (Q.S.IV : 11B)
C = 1/5 x 2/3 = 2/15. df (Q.S.IV : 11B)
D = 1/5 x 2/3 = 2/15. df (Q.S.IV : 11B)
E = 1/5 x 2/3 = 2/15. df (Q.S.IV : 11B)
A + B + C + D + E + = 2/15 + 2/15 + 2/15 + 2/15 + 2/15 = 10/15
Sisa = 1 – 10/15 = 5/15
3. Q.S. IV : 11 c
Jika anak perempuan itu hanya satu orang saja maka bagiannya seperdua
dari harta peninggalan.
Gambar VI
Keterangan :
Pewaris meninggalkan seorang anak
perempuan bernama A.
Pembagian :
A mendapat bagian 1/2 dari HP sebagai df dan masih ada sisa = 1/2.
Kalau kita lihat gambar IV, V dan VI tersebut di atas perolehan masing-
masing ahli waris baik menurut kewarisan Bilateral (Hazairin), kewarisan
patrilineal (Syafi’i) maupun Kompilasi Hukum Islam adalah sama.
P
A B C D E
P
A
BAGIAN WARISAN UNTUK ORANG TUA (BAPAK DAN IBU)
A. Bapak
Kedudukan bapak dalam hal mewaris ada 2 kemungkinan sesuai dengan
ketentuan yang ada dalam al-Qur’an khususnya Q.S. IV : 11 yaitu sebagai dzul
faraaidh.
Kedudukan bapak sebagai ahli waris dalam pasal 177 Kompilasi Hukum
Islam ditentukan sebagai berikut :
“Ayah mendapat 1/3 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila
ada anak ayah mendapat 1/6 bagian.”
“Pasal 177 yang menetapkan bagian ayah adalah 1/3 bila pewaris tidak
meninggalkan anak dan 1/6 bila ada anak agaknya memerlukan hukum
yang jelas.”
Tapi melalui SEMA No. 2/1994 yang menjelaskan maksud pasal tersebut
adalah sebagai berikut :
“Ayah mendapat 1/3 bagian apabila tidak meninggalkan anak tetapi
meninggalkan suami atau istri dan ibu tapi bila ada anak ayah mendapat
1/6”. Jadi yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah bila ayah mewaris
bersama suami atau istri dan ibu. Walaupun SEMA tersebut sudah
menjelaskan sedemikian rupa, namun tetap saja pada akhirnya bapak
berkedudukan sebagai dzul faraaidh karena bagiannya sudah ditetapkan
sebesar 1/3 padahal al-Qur’an sama sekali tidak menegaskan bahwa bapak
mendapat bagian 1/3 jika si pewaris tidak meninggalkan anak.”
B. Ibu
Dalam ajaran kewarisan bilateral, kedudukan ibu dalam hal mewaris tetap
sebagai dzul faraaidh sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Q.S. IV : 11.
Yang mempengaruhi bagian ibu dalam perolehan harta peninggalan adalah anak
baik anak laki-laki maupun perempuan termasuk juga mawalinya jika anak
pewaris telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris.
1. Q.S. IV : 11d
Bagi dua orang ibu dan bapak, masing-masingnya mendapat seperenam dari
harta peninggalan kalau si pewaris meninggalkan anak (walad)
Gambar I
Keterangan :
Pewaris meninggalkan ahli waris seorang
bapak bernama A, seorang ibu bernama B
dan dua orang anak laki-laki bernama C dan
D.
Pembagian :
A = 1/6.df (Q.S. IV : 11d)
B = 1/6.df (Q.S. IV : 11d)
Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6 diberikan kepada C dan D dengan perbanding 1:1
C = 1/2 x 4/6 = 4/12 (Q.S. IV : 11)
D = 1/2 x 4/6 = 4/12 (Q.S. IV : 11)
A + B + C + D = 1/6 + 1/6 + 4/12 + 4/12 = 2/12 + 2/12 +
4/12 + 4/12 = 12/12 = 1
Gambar II
Keterangan :
Pewaris meninggalkan ahli waris seorang
bapak bernama A, seorang ibu bernama B
dan seorang anak laki-laki bernama C
Pembagian :
A = 1/6.df (Q.S. IV : 11d)
B = 1/6.df (Q.S. IV : 11d)
Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6 diberikan kepada C (Q.S. IV : 7a)
P
C D
A B
P
C
A B
Jika kita lihat gambar I dan II, maka bagian masing-masing ahli waris baik
menurut ajaran kewarisan bilateral (Hazairin), menurut ajaran kewarisan
patrilineal (Syafi’i) maupuh KHI adalah sama, hanya berbeda istilahnya saja.
Gambar I
Keterangan :
Pewaris meninggalkan seorang bapak
bernama C, dan seorang ibu bernama D,
seorang anak laki-laki bernama A dan
seorang anak perempuan bernama B.
Pembagian :
C = 1/6.df (Q.S. IV : 11d)
D = 1/6.df (Q.S. IV : 11d)
Sisanya = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6 diberikan kepada A dan B
dengan perbanding 2:1
A = 2/3 x 4/6 = 8/18. (Q.S. IV : 11a)
B = 1/3 x 4/6 = 4/18. (Q.S. IV : 11a)
A + B + C + D = 8/18 + 4/18 + 1/6 + 1/6 = 8/18 + 4/18 +
3/18 + 3/18 = 18/18 = 1
Gambar IV
Keterangan :
Pewaris meninggalkan seorang bapak
bernama E, dan seorang ibu bernama F, 2
orang anak laki-laki bernama A dan B serta
2 orang anak perempuan bernama C dan D.
Pembagian :
E = 1/6. df (Q.S. IV : 11 d)
F = 1/6. df (Q.S. IV : 11 d)
P
A B
C D
P
A B C D
E F
Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6 diberikan kepada A, B, C, dan D
dengan perbandingan 2:2:1:1
A = 2/6 x 4/6 = 8/36 (Q.S. IV : 11 a)
B = 2/6 x 4/6 = 8/36 (Q.S. IV : 11 a)
C = 1/6 x 4/6 = 4/36 (Q.S. IV : 11 a)
D = 1/6 x 4/6 = 4/36 (Q.S. IV : 11 a)
A + B + C + D + E + F = 8/36 + 8/36 + 4/36 + 4/36 + 1/6 + 1/6
= 8/36 + 8/36 + 4/36 + 4/36 + 6/36 + 6/36
= 36/36 = 1
Jika kita melihat gambar III dan IV, bagian masing-masing ahli waris
menurut ajaran kewarisan bilateral, ajaran kewarisan patrilineal (Syafi’i) dan
Kompilasi Hukum Islam adalah sama.
Gambar V
Keterangan :
Pewaris meninggalkan seorang bapak
bernama A, seorang ibu bernama B dan 4
orang anak perempuan masing-masing
bernama C, D, E dan F.
Pembagian :
A = 1/6. df (Q.S. IV : 11 d)
B = 1/6. df (Q.S. IV : 11 d)
C, D, E, F = 2/3 secara berserikat dengan perbanding 1:1:1:1
C = 1/4 x 2/3 = 2/12.df (Q.S. IV : 11b)
C = 1/4 x 2/3 = 2/12.df (Q.S. IV : 11b)
C = 1/4 x 2/3 = 2/12.df (Q.S. IV : 11b)
C = 1/4 x 2/3 = 2/12.df (Q.S. IV : 11b)
A + B + C + D + E + F = 1/6 + 1/6 + 2/12 + 2/12 + 2/12 + 2/12
= 2/12 + 2/12 + 2/12 + 2/12 + 2/12 + 2/12
= 2/12 = 1
P
C D E F
A B
Gambar VI
Keterangan :
Pewaris meninggalkan ahli waris seorang
bapak bernama C, seorang ibu bernama D
dan dua orang anak perempuan bernama A
dan B.
Pembagian :
C = 1/6. df (Q.S. IV : 11 d)
D = 1/6. df (Q.S. IV : 11 d)
A & B = 2/3 secara berserikat dengan perbandingan 1:1
A = 1/2 x 2/3 = 2/6. df (Q.S. IV : 11b)
B = 1/2 x 2/3 = 2/6. df (Q.S. IV : 11b)
A + B + C + D = 2/6 + 2/6 + 1/6 + 1/6 = 6/6 = 1
Gambar VII
Keterangan :
Pewaris meninggalkan seorang bapak
bernama A, seorang ibu bernama B, dan
seorang anak perempuan bernama C
Pembagian :
Menurut ajaran kewarisan bilateral (Hazairin)
A = 1/6.df (Q.S. IV : 11d)
B = 1/6.df (Q.S. IV : 11d)
C = 1/2.df (Q.S. IV : 11c)
A + B + C = 1/6 + 1/6 + 1/2 = 1/6 + 1/6 + 3/6 = 5/6
P
A B
C D
P
C
A B
Masih ada sisa sebesar = 1/6
Sisa ini akan kita bicarakan dalam Bab tentang Radd dan Awl.
Menurut ajaran kewarisan Patrilineal (Syafi’i) sisa sebesar 1/6 diberikan
kepada A (bapak) sebagai ashabah binafsihi sesuai dengan hadits Ibnu Abbas.
Jadi A (bapak) memperoleh 1/6 + 1/6 = 2/6.
Gambar VIII
Keterangan :
Pewaris meninggalkan ahli waris seorang
bapak bernama A, dan tiga orang anak
perempuan bernama B, C dan D.
Pembagian :
Menurut ajaran kewarisan Bilateral (Hazairin)
A = 1/6.df (Q.S. IV : 11d)
B, C, D = 2/3 secara berserikat dengan perbandingan 1:1:1
B = 1/3 x 2/3 = 2/9.df (Q.S. IV : 11d)
C = 1/3 x 2/3 = 2/9.df (Q.S. IV : 11d)
D = 1/3 x 2/3 = 2/9.df (Q.S. IV : 11d)
A + B + C + D
1/6 + 2/9 + 2/9 + 2/9 = 3/18 + 4/18 + 4/18 + 4/8 = 15/18
Sisa = 1 – 15/18 = 3/18
Sisa akan kita bicarakan dalam bab tentang radd dan awl.
Menurut ajaran patrilineal (Syafi’i)
A = 1/6.df (Q.S. IV : 11d_
B = 2/3 secara berserikat dengan perbandingan 1:1:1
B = 1/3 x 2/3 = 2/9.df (Q.S. IV : 11b)
C = 1/3 x 2/3 = 2/9.df (Q.S. IV : 11b)
D = 1/3 x 2/3 = 2/9.df (Q.S. IV : 11b)
A + B + C + D = 1/6 + 4/18 = 15/18
P
B C D
A
Sisa = 1-(3/18+4/18+4/18+4/18+4/18) = 3/18 diberikan kepada A (bapak)
sebagai ashabah binafsihi sesuai dengan hadits Ibnu Abbas.
Jadi A memperoleh 1/6 + 3/18 + 3/18 = 6/18
Menurut ajaran kewarisan patrilineal (Syafi’i) bila kita lihat gambar VII dan
VIII sisanya sebesar 1/6 dan 3/18 diberikan kepada bapak sebagai ahli waris
laki-laki yang terdekat dengan sipewaris dalam kedudukannya sebagai
ashabah binafsihi sesuai dengan hadits Ibnu Abas yang mengatakan: “… dan
sisanya adalah bagi laki-laki yang laki-laki yang terdekat (aulaa)”. Sehingga
bapak memperoleh 1/6+1/6=2/6, 1/6+3/18 jadi bapak disini dalam satu kasus
berkedudukan sebagai dzul faraiidh dan ashabah (sebagai penerima sisa harta
peninggalan).
2. Q.S.IV : 11e
Jika sipewaris tidak meninggalkan anak (walad) dan mewarisinya ibu
bapaknya maka bagian ibunya 1/3 yaitu jika tidak ada baginya saudara
(ikhwatun).
Gambar IX
Keterangan :
Pewaris meninggalkan ahli waris seorang
bapak bernama A, dan seorang ibu bernama
B.
Pembagian :
B = 1/3.df (Q.S.IV : 11e) dalam Q.S.IV : 11e bagian bapak tidak ditentukan
seperberapa, berarti bapak mendapat bagian tidak tertentu atau sebagai dzul
qarabat yaitu mendapat bagian terbuka atau sisa. Jadi dalam Q.S.IV : 11e
bapak berkedudukan sebagai dzul qarabat. Sehingga dalam kasus tersebut di
atas bapak memperoleh sisa sebesar 2/3 sebagai dzul qarabat atau asabah
binafsihi.
Bagian bapak dan ibu tersebut di atas baik menurut ajaran kewarisan bilateral
(Hazairin), ajaran kewarisan patrilineal (Syafi’i) maupun Kompilasi Hukum
Islam adalah sama.
P
A B
3. Q.S IV 11f.
Jika ibumu mewaris bersama sama bapakmu tidak ada anak-anak tetapi ada
saudara maka ibumu mendapat 1/6 dari harta peninggalan.
Gambar X
Dari gambar-gambar tersebut di atas menurut ajaran kewarisan bilateral, ibu
memperoleh sebesar 1/6 sedangkan bagian saudara akan dibicarakan pada bab
tentang bagian warisan untuk saudara.
RADD DAN ‘AWL
Dalam suatu kasus kewarisan terdiri dari ahli waris yang berkedudukan sebagai
dzul faraidh saja (tidak ada ahli waris yang berkedudukan sebagai dzul qarabat
atau ashabah) mungkin pembagian harta peninggalan pada tingkat pertama akan
habis semua atau mungkin pembagian harta peninggalan pada tingkat pertama
masih terdapat sisa atau mungkin pembagian pada tingkat pertama akan terjadi
ketekoran.
Pembagian Harta Peninggalan Masih Tersisa pada Tingkat Pertama
Keterangan :
Pewaris meninggalkan ahli waris seorang
bapak bernama A, seorang ibu bernama B,
dan seorang anak perempuan bernama C.
P
A B
P
A B
P
A B
C C D C D
P
C
A B
Pembagian
Menurut ajaran kewarisan bilateral (Hazairin)
A = 1/6.df (Q.S. IV : 11d)
B = 1/6.df (Q.S. IV : 11d)
C = 1/2.df (Q.S. IV : 11c)
Sisa = 1 – (1/6+1/6+1/2) =
1 – (1/6+1/6+3/6 = 1/6, sisa ini namanya sisa bagi. Sisa 1/6 ini di raddkan
(dikembalikan) secara berimbang kepada bagian masing-masing,
inilah artinya radd sehingga bagian masing-masing ahli waris adalah
sebagai berikut :
Perbandingan perolehan A : B : C = 1 : 1 : 3
A = 1/6+(1/5x1/6) = 1/6+1/30 = 5/30+1/30 = 6/30
B = 1/6+(1/5x1/6) = 1/6+1/30 = 5/30+1/30 = 6/30
C = 1/2+(3/5x1/6) = 1/2+3/30 = 15/30+3/30 = 18/30
A+B+C = 6/30+6/30+18/30 = 30/30 = 1
Atau 1/5 + 1/5 + 3/5 = 5/5 = 1
Pendapat Ali bin Abi Thalib :
Pembagian :
A = 1/6.df. (Q.S.IV : 11d)
B = 1/8.df. (Q.S.IV : 12e)
C, D = 2/3.df. (Q.S.IV : 11b)
Sisa = 1-(1/6+1/8+2/3) =
1-(4/24+3/24+16/24) = 1/24 diraddkan kepada A dan C, D
dengan perbandingan 4:16
A = 1/6+(4/20x1/24)=1/6+1/120=20/120+1/120 = 21/120 = 7/40
C, D = 2/3+(16/20x1/24)=2/3+4/120=80/120+4/120 = 84/120 = 28/40
B = 1/8 = 15/120 = 5/40
A+B+C+D = 7/40+5/40+28/40 = 40/40 = 1
Tetapi Kholifah Usman bin Affan berpendapat bahwa suami dan istri juga
berhak mendapat bagian dari radd, dengan alasan karena pada waktu terjadi Awl
(tekor) hak mereka ikut dikurangi, maka sudah sewajarnyalah apabila terdapat
kelebihan (sisa bagi) mereka juga mendapat tambahan. Disamping itu suami atau
istri juga mempunyai peranan penting terhadap perolehan atau pemeliharaan
keselamatan harta masing-masing, lebih-lebih apabila harta suami atau istri yang
meninggal berasal dari pemberian yang satu kepada yang lainnya.
Zaid bin Tsabit, Az-Zuhry, Malik, Syafi’i dan Ibnu Hazm berpendapat lain
lagi. Menurut mereka ahli waris yang sudah ditentukan bagiannya dalam Al-
Qur’an atau sunah Rasul tidak dapat menerima tambahan lagi. Maka jika harta
warisan yang tidak habis terbagi menurut ketentuan al-Qur’an dan sunah Rasul,
sisanya diserahkan kepada baitul maal yang akan dibelanjakan untuk kepentingan
masyarakat Islam. Akan tetapi para pengikut mereka dikemudian hari termasuk
Fukoha Syafiiah dan Malikiyah setelah melihat kenyatakan bahwa baitul maal
fungsinya tidak sebagaimana mestinya, mereka juga menyetujui adanya radd.
Kesimpulan yang dapat kita ambil mengenai radd, syaratnya adalah :
1. Ada ahli waris yang berkedudukan sebagai dzul faraiid
2. Tidak ada ahli waris yang berkedudukan sebagai dzul qarabat (ashabah)
3. Ada sisa harta peninggalan
Pembagian Harta Peninggalan pada Tingkat Pertama Terjadi Ketekoran
Keterangan :
Pewaris meninggalkan ahli waris seorang
ibu bernama A, seorang bapak bernama B,
seorang suami bernama C, dan seorang anak
perempuan bernama D.
Pembagian :
A = 1/6.df (Q.S. IV : 11d)
B = 1/6.df (Q.S. IV : 11d)
C = 1/4.df (Q.S. IV : 12b)
D = 1/2.df (Q.S. IV : 11c)
P
D
B A
C
Jumlah peroleh mereka adalah
A = 1/6 = 2/12 menjadi 2/13
B = 1/6 = 2/12 menjadi 2/13
C = 1/4 = 3/12 menjadi 3/13
D = 1/2 = 6/12 menjadi 6/13
13/12 13/13 = 1
(- 1/12) berarti hartanya kurang 1/12, sehingga bagian para ahli waris dikurangi
secara berimbang sesuai dengan perbandingan besar kecilnya bagian masing-
masing ahli waris. Pengurangan secara berimbang ini disebut “Awl”. Jadi Awl
terjadi apabila angka pembilang lebih besar dari angka penyebut. Caranya adalah
dengan menyamakan penyebutnya dengan pembilangnya seperti contoh tersebut
di atas.
Awl adalah kebalikan dari Radd. Jadi Awl adalah suatu keadaan di mana
bagian yang harus diterima oleh para ahli waris adalah lebih banyak (besar) dari
pada jumlah harta warisan yang ada.
Pengurangan berimbang ini diperlakukan baik terhadap ahli waris yang
mempunyai hubungan darah dengan pewaris maupun ahli waris yang mempunyai
hubungan semenda dengan pewaris seperti janda dan duda.
BAGIAN WARISAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI
(DUDA DAN JANDA)
A. Bagian Warisan untuk Suami dan Isteri
Surah an-Nisa ayat 12 (Q.4:12) sebagai dasar hukum kewarisan bagi
suami dan isteri (duda dan janda karena ditinggal mati pasangannya) menentukan:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapatkan seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak,
maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar utang-utangmu…”
Penyelesaian atas kasus tersebut:
A = isteri = 1/8 sebagai zul-fara’id (Q.4:12e)
B + C = anak-anak perempuan = 2/3 sebagai zul-fara’id (Q.4:11b)
D = saudara laki-laki = sisa, berdasarkan hadits Rasulullah saw (pada waktu
belum turun surah an-Nisa ayat 176).
An-Nisa ayat 11 dan ayat 12, seperti tersebut di atas, maka ditetapkan
besar bagian harta warisan bagi para ahli waris dari Tsa’labah (ada yang
menyebut “Aus bin Samit” ada pula yang menyebut “Aus bin Tsabit”) sebagai
berikut :
Penyelesaian kasus kewarisan tersebut:
A = isteri = 1/8 sebagai zul-fara’id (Q.4:12e)
B + C + D = anak-anak perempuan = 2/3 sebagai zul-fara’id (Q.4:11b)
E + F = saudara-saudara sepupu laki-laki = sisa, berdasarkan
hadits Rasulullah saw.
B C
A
D
B C D
A
E F
Hazairin membuat beberapa haris hukum kewarisan bagi duda dan janda
karena ditinggal mati pasangan perkawinannya (Q.4:12) sebagai berikut :
a. Duda karena kematian isteri mendapatkan seperdua (1/2) harta peninggalan
isterinya jika isteri tidak meninggalkan anak (Q.4:12 a).
Gambar:
Penyelesaian kasus kewarisan:
A (duda) = 1/2 sebagai zul-fara’id (Q.4:12a)
Sisa = 1/2 dibagikan secara radd kepada ahli waris zul-fara’id (radd untuk
suami atau isteri dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya).
b. Duda karena kematian isteri mendapat seperempat (1/4) harta peninggalan
isterinya jika isteri meninggalkan anak (Q.4:12 b).
Gambar:
Penyelesaian kasus kewarisan :
A (duda) = 1/4, sebagai zul-fara’id (Q.4:12b)
B ( anak laki-laki) + C (anak perempuan) = sisa = 3/4 , sebagai zul-qarabat
(menurut Hazairin), atau sebagai ‘asabah (menurut Syafi’i dan KHI),
berdasarkan Q.4.11a dan Pasal 176 KHI.
B:C = 2:1;
B (anak laki-laki) = 2/3 x 3/4 = 6/12 = 1/2;
C (anak perempuan) = 1/3 x 3/4 = 3/12 = 1/4
c. Pelaksanaan pembagian harta warisan dalam garis hukum a dan b dilakukan
sesudah wasiat dan/atau utang pewaris dibayarkan (Q.4:12 c)
A
A
B C
d. Janda karena kematian suami mendapatkan seperempat (1/4) harta
peninggalan isterinya jika suami tidak meninggalkan anak (Q.4:12 d).
Gambar:
Penyelesaian kasus kewarisan:
A (janda) = 1/4 sebagai zul-fara’id (Q.4:12d)
Sisa = 3/4 dibagikan secara radd kepada ahli waris zul-fara’id (radd untuk
suami atau isteri dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya).
e. Janda karena kematian suami mendapat seperdelapan (1/8) jika suami
meninggalkan anak (Q.4:12 e).
Gambar:
Penyelesaian kasus kewarisan :
A (janda) = 1/8 = 3/24, sebagai zul-fara’id (Q.4:12e)
B (anak laki-laki) + C (anak perempuan) = sisa = 7/8, sebagai zul-qarabat
(menurut Hazairin), atau sebagai ‘asabah (menurut Syafi’i dan KHI),
berdasarkan Q.4.11a, sedangkan KHI berdasarkan Pasal 176..
B:C = 2:1;
B (anak laki-laki) = 2/3 x 7/8 = 14/24
C (anak perempuan) = 1/3 x 7/8 = 7/24
f. Pelaksanaan pembagian harta warisan dalam garis hukum d dan e dilakukan
sesudah wasiat dan/atau utang pewaris dibayarkan (Q.4:12 f)
A
B C
A
Ketentuan besar bagian duda dan janda yang terdapat dalam an-Nisa ayat
12 a, 12 b, 12 d, 12 e, dirumuskan dalam Pasal 179 KHI yang menentukan besar
bagian warisan bagi duda, dan Pasal 180 KHI yang menentukan besar bagian
warisan bagi janda.
Menurut Pasal 179 KHI, “Duda mendapat separo bagian, bila pewaris
tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda
mendapat seperempat bagian.”
Pasal 180 KHI menentukan, bahwa, “Janda mendapat seperempat bagian
bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka
janda mendapat seperdelapan.”
B. Radd bagi suami atau isteri
1. Menurut ajaran hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i
Pendapat Ibnu Mas’ud ra yang menyatakan bahwa radd dapat diberikan
kepada semua ahli waris zawil-furud, kecuali terhadap enam golongan yaitu :
1. Suami;
A = Suami, tidak dapat
menerima radd
2. Isteri;
A = Isteri, tidak dapat
menerima radd
3. Cucu perempuan melalui anak laki-laki yang menjadi ahli waris bersama
anak perempuan kandung pewaris (dalam kasus takmilah, penulis);
Gambar :
B = Tidak mendapat radd
A
A
B
A
4. Saudara perempuan seayah yang menjadi ahli waris bersama saudara
perempuan kandung pewaris (dalam kasus takmilah, penulis);
Gambar:
B = Tidak dapat
menerima radd
5. Anak-anak ibu yang menjadi ahli waris bersama ibu pewaris (yaitu,
saudara-saudara seibu pewaris yang menjadi ahli waris bersama ibu
pewaris yang menggunakan surah an-Nisa ayat 12 g atau 12 h dalam hal
pewaris meninggal dunia dalam keadaan kalaalah menurut hukum
kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, penulis);
Gambar:
B+C = Tidak dapat
menerima radd
6. Nenek pewaris yang menjadi ahli waris bersama dengan ahli waris zawul-
furud lainnya (yang dimaksud adalah nenek sahibah maupun nenek gairu
sahibah menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i,
penulis).
A
A
B C
Gambar:
A+B = Tidak dapat
menerima radd
Jadi, menurut Ibnu Mas’ud ra, suami atau istri tidak dapat menerima radd
(sisa bagi), di samping para ahli waris zawul-furud lainnya yang disebut dari
angka 3 sampai dengan angka 6 juga tidak dapat menerima radd.
2. Menurut hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin
Hazairin berpendapat bahwa, suami atau isteri itu bukan zawul-qarabat,
maka mereka tidak menerima radd.
Surah an-Nisa ayat 12 g dan ayat 12 h, menurut hkum kewarisan Islam
ajaran Bilateral Hazairin, digunakan untuk kasus kewarisan yang penyelsaiannya
tidak memerlukan lembaga radd, karena ayat ini dapat digunakan apabila pewaris
meninggal dunia dalam keadaan kalalah tetapi ayah masih hidup yang
berkedudukan sebagai zul-qarabat dan berhak menerima sisa.
Dalam kelompok keutamaan kedua ini-pun, meskipun suami atau isteri
tampil sebagai ahli waris bersama ibu pewaris (Q.4.11f) dan saudara-saudara
perempuan pewaris ataupun mawali mereka (Q.4:176 jo. Q.4:33b), namun
menurut Hazairin, suami atau isteri tidak dapat menerima radd, seperti telah
dijelaskan di atas. Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat murid beliau, Sajuti
Thalib, yang berpendapat bahwa duda atau janda dapat menerima radd,
berdasarkan qiyas (analog) terhadap ‘awl.
Pada kelompok keutamaan ketiga, menurut Hazairin, sisa bagi hanya
diberikan kepada ibu sebagai zul-fara’id. Hazairin tampak konsisten dengan
pendapatnya, bahwa, pada kelompok keutamaan ketiga yang menjadi kriteria
C D
A B
utamanya adalah orang tua pewaris sebagai zul-qarabat (Q.4:11e). Maka, ahli
waris yang berhak menerima radd pada kelompok keutamaan ketiga adalah ibu
pewaris. Jadi, jika pewaris meninggalkan ahli waris yang terdiri dari ibu, isteri
atau suami pewaris, maka yang berhak menerima radd, menurut Hazairin adalah
hanya ibu pewaris saja. Karena itu, suami atau isteri sebagai zul-fara’id tetap tidak
dapat menerima radd.
Gambar:
Penyelesaian kasus kewarisan menurut Hazairin:
A (ibu) = 1/3 = 4/12 sebagai zul-fara’id (Q.4:11e);
B (isteri) = 1/4 = 3/12 sebagai zul-fara’id (Q.4:11d);
Sisa = 1 – (1/3 + 1/4) = 1 – (4/12 + 3/12) = 1 – 7/12 = 5/12 di radd-kan kepada
ibu pewaris saja, yaitu A. Pendapat ini berbeda dengan Sajuti Thalib, murid
Hazairin. Menurut Sajuti Thalib, sisa bagi diraddkan kepada ibu (A) dan isteri (B)
secara berimbang, yaitu :
A = 4/7;
B = 3/7
Gambar:
Penyelesaian kasus kewarisan menurut Hazairin:
A (ibu) = 1/3 = 2/6 sebagai zul-fara’id (Q.4:11e);
B (suami) = 1/2 = 3/6 sebagai zul-fara’id (Q.4:12a);
Sisa = 1 – (1/3 + 1/2) = 1 – (2/6 + 3/6) = 1 – 5/5 = 1/6 di-radd-kan kepada ibu
pewaris saja, yaitu A. Pendapat ini berbeda dengan Sajuti Thalib, murid Hazairin.
Menurut Sajuti Thalib, sisa bagi diraddkan kepada ibu (A) dan suami (B) secara
berimbang, yaitu :
A = 2/5;
A
B
A
B
B = 3/5
Demikian pula dalam kelompok keutamaan keempat yang kriteria
utamanya adalah suami atau isteri, pada kelompok keutamaan keempat inipun,
suami atau isteri tidak dapat menerima radd, karena sisa kecil dari pembagian
harta warisan yang telah diberikan kepada suami ialah sebesar setengah (1/2), atau
sisa kecil setelah dibagikan kepada isteri ialah sebesar tiga-per-empat (3/4) adalah
dibagikan kepada ahli waris yang berkedudukan sebagai zawul-qarabat.
3. Kompilasi Hukum Islam
Seperti telah dikemukakan, bahwa Kompulasi Hukum Islam
mengakomodir pendapat yang menerima radd dalam Pasal 193 Kompilasi Hukum
Islam yang menentukan, bahwa,
“Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris zaqil-
furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka
penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta
warisan tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-
masing ahli waris sedangkan sisanya dibagi secara berimbang di antar
mereka.”
Dalam Pasal tersebut tidak ditentukan, apakah suami atau isteri berhak
menerima radd atau tidak. Tetapi, kemungkinan untuk menentukan suami atau
isteri dapat menerima radd adalah berpeluang, karena Pasal 193 Kompilasi
Hukum Islam tidak menentukan secara eksplisit tentang kedudukan suami atau
isteri sebagai ahli waris zawul-furud yang dapat menerima radd atau tidak. Sajuti
Thalib, bahwa suami atau isteri dapat tampil sebagai ahli waris zawul-furud yang
berhak menerima radd.
C. “Awl bagi Suami atau Isteri
Gambar
A B C
Penyelesaian kasus:
A = Suami, sebagai zul-fara’id = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:12a)
B + C = dua orang saudara perempuan kandung = 2/3 = 4/6 sebagai zul-fara’id
(Q.4:176d);
Jumlah seluruhnya = 3/6 + 4/6 = tujuh per-enam (7/6), karena itu terjadi ketekoran
harta warisan atau ‘awl sebesar 7/6 – 6/6 = 1/6.
Masing-masing bagian ahli waris diawlkan dengan cara pembilang dijadikan
penyebut.
A = 3/6 menjadi 3/7;
B + C = 4/6 menjadi 4/7 ; B = 2/7;C = 2/7
Umar bin Khattab ra memutuskan bahwa peroleh harta warisan yang
diterima oleh masing-masing ahli waris, yaitu suami dan dua orang saudara
perempuan kandung pewaris, besar bagian mereka masing-masing di-‘awl-kan.
Maka besar bagian A (suami) = 3/7; dan besar bagian harta warisan bagi dua
orang audara perempuan kandung B dan C = 4/7.
Kasus kewarisan yang disampaikan kepada Ali bin Abi Thalib
Gambar:
Penyelesaian kasus:
A = Isteri (janda), sebagai zul-fara’id = 1/8 = 3/24 (Q.4:12e);
B + C = dua orang anak perempuan, sebagai zul-fara’id = 2/3 = 16/24 (Q.4:11b)
D = ibu, sebagai zul-fara’id = 1/6 = 4/24 (Q.4:11d);
E = ayah, sebagai zul-fara’id = 1/6 = 4/24 (Q.4:11d);
Jumlah seluruhnya = 3/24 + 16/24 + 4/24 + 4/24 = 27/24.
Karena itu terjadi ketekoran harta warisan, yaitu 27/24 – 24/24 = 3/24
A
B C
E D
Ali bin Abi Thalib ra menyelesaikan agar diberikan kepada janda
sebanyak sepersembilan (1/9). Setelah dihitung ternyata solusi berdasarkan ijtihad
Ali bin Abi Thalib ra adalah dengan cara ‘awl, yaitu angka penyebut sebesar 24
disesuaikan dengan angka pembilang yaitu 27. Jadi, besar perolehan bagi isteri 1/8
= 3/24 di ‘awl-kan menjadi 3/27 = 1/9. Demikian pula untuk perolehan harta
warisan bagi dua orang anak perempuan kandung sebesar 2/3 = 16/24 menjadi
16/27, ibu pewaris memperoleh 1/6 = 4/24 diawl-kan = 4/27, dan ayah pewaris
memperoleh 1/6 = 4/24 diawlkan = 4/27.
Mengenai ‘awl ini, tidak ada perbedaan pendapat antara hukum kewarisan
Islam ajarn Patrilineal Syafi’i dengan hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral
Hazairin dan Kompilasi Hukum Islam yang menentukan ‘awl dalam Pasal 192,
bahwa,
“Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris dzawil-
furud menunjukkan bahwa angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka
pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan dibagi secara ‘awl menurut
angka pembilang.”
Jadi, ketiga sistem hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia itu
seluruhnya berpendapat sama.
BAGIAN WARISAN UNTUK ANAK DARI ANAK (CUCU)
A. Menurut Hukum Kewarisan Islam Ajaran Bilateral Hazairin
Al-Qur’an tidak menentukan secara langsung mengenai besar bagian harta
warisan bagi cucu (anak dari anak) pewaris. Menurut Hazairin dan Sajuti Thalib,
cucu melalui anak laki-laki maupun melalui anak perempuan adalah ahli waris
pengganti (mawali) yang termasuk dalam kelompok keutamaan pertama. Dengan
demikian selama masih ada keturunan dari anak pewaris sejauh apapun
keturunanya, maka saudara pewaris tidak dapat tampil sebagai ahli waris.
Cucu, baik melalui anak laki-laki maupun anak perempuan pewaris,
menurut Hazairin, berkedudukan sebagai mawali (ahli waris pengganti)
berdasarkan surah an-Nisa ayat 33 (Q.4:33a) yang menentukan,
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari ibu-bapaknya dan kerabatnya, Kami
jadikan mawali (ahli waris pengganti). Dan (jika ada) orang-orang yang
kamu telah bersumpah setia dengan mereka (tolan seperjanjian), maka
berilah pada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala
sesuatu.”
Hazairin merumuskan beberapa garis hukum dari surah an-Nisa ayat 33
sebagai berikut :
1. Garis Hukum Q.4:33a:
a. Bagi setiap orang, Kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris
pengganti) dari harta peninggalan ibu-bapaknya (Q.4:33a)
Gambar dikutip dari Sajuti Thalib halaman 30:
Penjelasan :
A’ = anak laki-laki pewaris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu
sebelum pewaris wafat, yang semula akan menerima warisan dari
pewaris, karena itu, hara warisan yang semula harus diberikan
kepada A’ kemudian diberikan kepada A sebagai mawali dan A’,
A = mawali dari A’
B’ = anak perempuan pewaris yang telah meninggal dunia terlebih
dahulu sebelum pewaris wafat, yang semula akan menerima
warisan dari pewaris, karena itu, harga warisan yang semula harus
diberikan kepada B’ kemudian diberikan kepada B sebagai
mawali dari B’,
B = mawali dari B’
2. Garis hukum Q.4:33b:
b. Bagi setiap orang, Kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris
pengganti) dari harta peninggalan kerabatnya (aqrabunnya) (Q.4:33 b).
A’ B’
A B
Gambar dikutip dari Sajuti Thalib halaman 31:
Penjelasan :
A’ = aqrabun laki-laki = saudara laki-laki pewaris yang telah
meninggal dunia terlebih dahulu sebelum pewaris wafat, yang
semula akan menerima warisan dari pewaris, karena itu, harta
warisan yang semula harus diberikan kepada A’ kemudian
diberikan kepada A sebagai mawali dari A’;
A = mawali dari A’
3. Garis hukum Q.4:33 c
c. Bagi setiap orang, Kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris
pengganti) dari harta peninggalan tolan seperjanjiannya (Q.4:33 c).
Gambar dikutip dari Sujati Thalib halaman 31
Penjelasan :
A’ = tolan seperjanjian pewaris yang telah meninggal dunia terlebih
dahulu sebelum pewaris, yang semula akan menerima harga
pewaris berdasarkan perjanjian di antara mereka (atau wasiat
ikhtiyariyah, penulis), karena itu, harta yang semula harus
diberikan kepada A’ kemudian diberikan kepada A sebagai
mawali dari A’;
A’
A
A’
A
A = mawali dari A’
4. Garis hukum Q.4:33d:
Apabila cucu-cucu terdiri dari cucu laki-laki dan cucu perempuan, maka
harta warisan yang mereka peroleh sebagai mawali dibagikan kembali kepada
mereka sesuai Q.4:11a, yaitu dua bagian untuk laki-laki berbanding satu bagian
untuk perempuan. Dalam hal ini mereka berkedudukan sebagai zul-qarabat.
Gambar:
Penyelesaian kasus kewarisan :
A’ dan C’ = anak laki-laki dan anak perempuan pewaris yang telah meninggal
dunia terlebih dahulu dari pewaris, mereka mendapat seluruh harta warisan
sebagai zul-qarabat, berdasarkan Q.4:11a.
A’ : C’ = 2:1 berdasarkan Q.4:11a;
A’ = anak laki-laki pewaris = 2/3 harta warisan sebagai zul-qarabat (Q.4:11a),
diberikan kepada anak-anaknya A’, yaitu A dan B sebagai mawali dari A’
(Q.4:33a), berhubung A’ telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris.
A : B = 2 : 1 sebagai mawali dari A’, sebagai zul-qarabat (Q.4:11a jo. Q.33a)
A = anak laki-laki A’ atau cucu laki-laki melalui anak laki-laki pewaris = 2/3 x
2/3 = 4/9 sebagai mawali (Q.4:11a jo. Q.4:33a);
B = anak perempuan A’ atau cucu perempuan melalui anak laki-laki pewaris = 1/3
x 2/3 = 2/9 sebagai mawali (Q.4:11a jo. Q.4:33a);
C = anak perempuan pewaris = 1/3 harga warisan sebagai zul-qarabat (Q.4:11a),
diberikan kepada anak-anaknya C’, yaitu C dan D sebagai mawali dari C’
(Q.4:33a), berhubung C’ telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris.
C : D = 2:1 sebagai mawali dari C’ dai zul-qarabat (Q.4:11a jo.Q.33a);
C = anak laki-laki C’ = cucu laki-laki melalui anak perempuan pewaris = 2/3 x 1/3
= 2/9 sebagai mawali (Q.4:11a jo. Q.4:33a);
A’ C’
A B C D
D = anak perempuan C’ atau cucu perempuan melalui anak perempuan pewaris =
1/3 x 1/3 = 1/9 sebagai mawali (Q.4:11a jo. Q.4:33a);
Apabila cucu-cucu terdiri dari dua cucu perempuan atau lebih, maka harta
warisan yang mereka peroleh sebagai mawali dibagikan kembali kepada mereka
sesuai Q.4:11b sebagai zul-fara’id, yaitu menerima dua pertiga (2/3), Sisa bagi di-
radd-kan kepada mereka.
Gambar:
Penyelesaian kasus kewarisan:
A dan D = anak-anak laki-laki pewaris yang telah meninggal dunia terlebih
dahulu dari pewaris, mereka mendapat seluruh harta warisan sebagai zul qarabat
(Q.4:11a)
A : D = 1 : 1 sebagai zul-qarabat (Q.4:7 jo Q.4:11a);
A = anak laki-laki pewaris = 1/2 harta warisan sebagai zul-qarabat (Q.4:7 jo.
Q.4:11a), diberikan kepada anak-anaknya A, yaitu dua orang anak perempan, B
dan C, sebagai mawali dari A (Q.4:33a), berhubung A telah meninggal dunia
terlebih dahulu dari pewaris.
B + C = 2/3 sebagai zul-fara’id dan mawali dari A (Q.4:11b jo. Q.33a) = 2/3 x 1/2
= 2/6(1/3) ; B : C = 1 : 1;
Sisa = 1/2 – 2/6 = 3/6 – 2/6 = 1/6;
B = anak perempuan A, atau cucu perempuan melalui anak laki-laki pewaris = 1/2
x 1/3 = 1/6 sebagai mawali (Q.4:11b jo. Q.4:33a);
C = anak perempuan A, atau cucu perempuan melalui anak laki-laki pewaris = 1/2
x 1/3 = 1/6 sebagai mawali (Q:4:11b jo. Q.4:33a)
Sisa = 1/2 – (1/6 + 1/6) = 3/6 – 2/6 = 1/6 di-radd-kan kepada B dan C;
B = 1/6 + (1/2 x 1/6) = 1/6 + 1/12 = 2/12 + 1/12 = 3/12 = 1/4;
C = 1/6 + (1/2 x 1/6) = 1/6 + 1/12 = 2/12 + 1/12 = 3/12 = 1/4;
A D
B C E
Jumlah seluruhnya = B + C = 1/4 + 1/4 = 1/2, sebesar jumlah harta warisan yang
diterima A.
D = anak laki-laki pewaris = 1/2 harta warisan sebagai zul-qarabat (Q.4:7 jo.
Q.4:11a), diberikan kepada anak perempuan B, yaitu E, sebagai mawali dari D
(Q.4:33a), berhubung B telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris.
E = 1/2 sebagai zul-fara’id dan mawali dari D (Q.4:11c jo. Q.33a) = 1/2 x 1/2 =
1/4;
Sisa = 1/2 – 1/4 = 2/4 – 1/4 = 1/4 di-radd-kan kepada E.
E = 1/4 + 1/4 = 1/2, sebesar jumlah harta warisan yang diterima D.
Apabila cucu terdiri dari satu orang cucu perempuan, maka harta warisan
yang ia peroleh sebagai mawali dibagikan kembali kepadanya sesuai Q.4:11c
sebagai zul-fara’id, yaitu sebesar setengah (1/2). Sisa bagi dibagikan kembali
kepadanya berdasarkan radd. Contoh kasus kewarisan ini telah dijelaskan dalam
gambar dan penyelesaian kasus di atas.
B. Menurut Hukum Kewarisan Islam Ajaran Patrilineal Syafi’i
Pengertian “cucu” menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal
Syafi’i adalah keturunan melalui anak lak-laki saja. Cucu laki-laki adalah anak
laki-laki melalui anak laki-laki pewaris. Cucu perempuan adalah anak perempuan
melalui anak laki-laki pewaris. Sedangkan anak laki-laki dan/atau anak
perempuan melalui anak perempuan pewaris tesebut zul-arbam yang tidak dapat
tampil sebagai ahli waris.
Dasar hukum yang digunakan adalah hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan
Ahmad, Bukhari dan Muslim dan Ibnu “Abbas ra dan Nabi saw, beliau bersabda:
“Serahkan bagian ini kepada yang berhak, kemudian sisanya adalah untuk laki-
laki yang telah didekat (kepada mayit); (selanjutnya untuk memudahkan disebut
hadis Ibnu ‘Abbas)
1. Cucu Laki-laki melalui Anak Laki-laki
Zaid bin Sabit merumuskan besar bagian cucu sebagai berikut.
“Cucu-cucu pancar laki-laki menduduki derajat anak-anak laki-laki bila si
mati tidak meninggalkan anak-anak. Kelaki-lakian mereka (cucu-cucu)
seperti kelaki-lakian anak-anak mereka, dan keperempuan mereka (cucu-
cucu) seperti keperempuan anak-anak, yakni mereka mewarisi
sebagaimana halnya anak-anak mewarisi dan dapat menghijab
sebagaimana halnya anak-anak menghijab dan cucu-cucu pancar laki-laki
tidak dapat mewarisi bersama dengan anak laki-laki. Oleh karena itu bila
seorang meninggalkan seseorang anak perempuan dan cucu laki-laki
pancar laki-laki, maka untuk anak perempuan mendapat separoh dan untuk
cucu laki-laki mendapat sisanya.
Garis-garis hukum dari Hadis Zaid bin Sabit:
a. Cucu laki-laki melalui anak laki-laki menempati tempat anak laki-laki, jika
tidak ada anak laki-laki dan perempuan.
Gambar:
A = cucu laki-laki
b. Cucu perempuan melalui anak laki-laki menempati tempat anak
perempuan, jika tidak ada anak laki-laki dan anak perempuan.
Gambar:
A = cucu perempuan
c. Cucu laki-laki melalui anak laki-laki yang menempati anak laki-laki, jika
tidak anak laki-laki dan anak perempuan, mewaris dan menghijab seperti
anak laki-laki.
d. Cucu perempuan melalui anak laki-laki yang menempati anak perempuan,
jika tidak anak laki-laki dan anak perempuan, mewaris dan menghijab
seperti anak perempuan.
e. Cucu laki-laki melalui anak laki-laki tidak mewarisi jika ada anak laki-
laki.
Gambar:
A = cucu laki-laki mahjub
oleh B (anak laki-laki)
f. Jika ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan dan seorang cucu laki-
laki melalui anak laki-laki, maka anak perempuan mendapat 1/2 (setengah)
harta warisan dan cucu laki-laki melalui anak laki-laki mendapat sisa.
Gambar:
B = anak perempuan = ½, sebagai
zul fara’id
A = cucu laki-laki sebagai
‘asabah = sisa = ½
2. Cucu Perempuan Melalui Anak Laki-laki
Dalam ajaran patrilineal Syafi’i, perolehan cucu perempuan tersebut di
atur dalam hadits Rasulullah saw yang berbunyi :
“Rasulullah saw pernah hukumkan untuk seorang anak perempuan separoh
(1/2) dan untuk seorang cucu perempuan seperenam (1/6) buat
mencakupkan dua-per-tiga (takmilah) dan selebihnya itu buat saudara
perempuan (sebagai asabah maalgairi, penulis).
Gambar:
Penjelasan:
A = anak perempuan = 1/2 (Q.4{11c);
B = cucu perempuan melalui anak laki-laki pewaris yang telah meninggal
dunia terlebih dahulu dari pewaris = 1/6 sebagai takmilah (melengkapi)
jumlah 2/3 berdasarkan hadis Ibnu Mas’ud;
C = saudara perempuan kandung pewaris = sisa berdasarkan hadis Ibnu
Mas’ud = 1 – (1/2 + 1/6) = 1-2/3 = 1/3
C. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam menentukan besar bagian cucu atau ahli waris
pengganti dalam Pasal 185:
(1) “Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam Pasal 173.”
(2) “Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti.”
Ketentuan-ketentuan dalam KHI sebagai berikut:
A
C
B
A
C
D
B
Penyelesaian kasus tersebut dilakukan melalui tiga tahap.
Tahap I
A + B + D (anggap D masih hidup) = seluruh harta warisan (Pasal 176 KHI),
dengan perbandingan A : B : D = 2 : 1 : 2.
A = anak laki-laki = 2/5;
B = anak perempuan = 1/5;
D = mendiang anak laki-laki = 2/5, bagiannya diberikan kepada C sebagian ahli
waris pengganti D (Pasal 185 KHI), karena D telah meninggal dunia terlebih
dahulu dari pewaris. Tetapi jumlah 2/5 bagian yang diterima C lebih besar dari
bagian yang diterima anak perempuan B, yaitu hanya sebesar 1/5 bagian,
sedangkan kedudukan B adalah sederajat dengan D sebagai ahli waris yang
kedudukannya digantikan oleh C. Oleh karena itu, besar bagian yang diterima C
sebesar 2/5 adalah tidak memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 185 ayat (2) KHI.
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka cara penyelesaian kasus tersebut
dilakukan dalam dua tahap lagi;
Tahap II:
Bagian warisan anak laki-laki yang masih hidup (A) sebesar 2/5 (Pasal 176 KHI)
diberikan terlebih dahulu kepadanya
Sisa = 2/3 harta warisan
Tahap III
Sisa harta warisan sebesar 3/5 dibagi ulang kepada B dan C, seolah-olah hanya
merekalah yang menjadi ahli waris, dengan menggunakan ketentuan yang
dirumuskan Zaid bin Sabit:
B = anak perempuan = 1/2 x 3/5 = 3/10;
Sisa = 3/5 – 3/10 = 6/10 – 3/10 = 3/10, diberikan kepada C = cucu laki-laki
melalui anak laki-laki pewaris (hadis Zaid bin Sabit).
Hasil akhir:
A = anak laki-laki = 2/5 = 4/10 (Pasal 176 KHI);
B = anak perempuan = 3/10 (Pasal 176 jo. Pasal 185 jo. Pasal 229 KHI);
C = cucu laki-laki melalui anak laki-laki = 3/10 (Pasal 176 jo. Pasal 185 jo. Pasal
229 KHI).
Kasus kedua, jika pewaris meninggalkan anak perempuan (A), cucu
perempuan (B) melalui anak laki-laki (C) yang telah meninggal dunia terlebih
dahulu dari pewaris.
Gambar:
B = cucu perempuan melalui anak laki-laki = 1/6 + 1/12 = 2/12 + 1/12 =
3/12 = 1/4 (Pasal 176 jo. Pasal 193 jo. hadis Ibnu Mas’ud melalui Pasal 229 KHI)
Atau dapat dihitung secara cepat melalui cara menghitung sebagai berikut :
A = 1/2 = 3/6;
B = 1/6
A + B = 3/6 + 1/6 = 4/6. Angka pembilang 4 digunakan sebagai angka penyebut,
dan angka penyebut 6 tidak digunakan lagi (Pasal 193 KHI).
Besar bagian A dan B sesuai dengan besar bagian masing-masing
A = 3/6 menjadi 3/4
B = 1/6 menjadi 1/1
Kasus ketiga, pewaris meninggalkan ibu (E), isteri (F), anak laki-laki (A),
anak perempuan (B), dan cucu laki-laki (C) melalui anak laki-laki (D) yang telah
meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris.
A
B
C
Gambar:
Penyelesaian menurut KHI berdasarkan pendapat penulis:
Tahap I
E = Ibu = 1/6 = 4/24 = 40/240 (Pasal 178 KHI)
F = Isteri = 1/8 = 3/24 = 30/240 (Pasal 180 KHI)
Sisa = 1 – (414 + 3/24) = 24/24 – 7/24 = 17/24, diberikan kepada anak-anak
pewaris, A, B, dan D (dianggap masih hidup) sebagai ‘asabah (Pasal 176 KHI).
Tahap II:
A : B : D = 2 : 1 : 2
Menurut penulis, jika diselesaikan berdasarkan KHI diperoleh hasil pembagian
harta warisan bagi masing-masing ahli waris sebagai berikut.
A dan C (dianggap masih hidup) = seluruh harta, sebagai asabah (Pasal 176 KHI)
dengan perbandingan A : C = 1 : 2;
A = anak perempuan = 1/3, sebagai asabah bil-gairi (Pasal 176 KHI).
C = mendiang anak laki-laki = 1/3, sebagai asabah binafsihi, diberikan kepada B
(cucu perempuan melalui anak laki-laki) sebagai ahli waris pengganti dari C
(Pasal 185 KHI), melalui proses pembagian harta warisan bagi seorang anak
perempuan = 1/2 x 2/3 = 1/3 (Pasal 176 KHI), sisanya sebesar 1/3 dibagikan
secara radd kepada anak perempuan C, yaitu B, berdasarkan. Pasal 193 KHI. Jadi
B mendapat 2/3 bagian.
Jumlah 2/3 bagian warisan yang diterima B sebagai ahli waris pengganti C
adalah lebih besar dari jumlah bagian warisan yang diterima A sebagai ahli waris
yang berkedudukan sederajat dengan ahli waris yang digantikan, yaitu C, yaitu
hanya sebesar 1/3 bagian.
A
E
C
F
B
D
Jumlah bagian warisan sebesar 2/3 yang diterima B adalah tidak sesuai
dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KHI. Oleh karena itu, pembagian harta
warisan tersebut harus diselesaikan berdasarkan hadis Ibnu Mas’ud tentang
takmilah, ajaran yang dianut patrilineal Syafi’i. Prosesnya sebagai berikut :
A = anak perempuan 1/2 (Q.4;11c jo. Pasal 176 KHI).
B = cucu perempuan melalui anak laki-laki = 1/6, sebagai takmilah 2/3 (hadis
Ibnu Mas’ud).
Sisa = 1 – (1/2 + 1/6) = 1/3 di-radd-kan kepada A dan B dengan perolehan
berimbang A : B = 3/6 : 1/6 = 3 : 1 (yang dibandingkan angka pembilangnya).
Bagian radd dari sisa bagi sebesar 1/3 bagi masing-masing ahli waris
A = anak perempuan = 3/4 x 1/3 = 3/12 bagian
B = cucu perempuan melalui anak lelaki = 1/4 x 1/3 = 1/12
Harta warisan yang diterima oleh masing-masing ahli waris
A = anak perempuan 1/2 + 3/12 = 6/12 + 3/12 = 9/12 = 3/4
(Pasal 176 jo. Pasal 193 hadis Ibnu Mas’ud melalui Pasal 229 KHI);
A = anak laki-laki = 2/5 x 17/24 (sisa) = 34/120 = 68/240, asabah binafsihi
(Pasal 176 KHI)
B = anak perempuan = 1/5 x 17/24 (sisa) = 17/120, ‘asabah bil-gairi
(Pasal 176 KHI)
D = anak laki-laki yang dianggap masih hidup = 2/5 x 17/24 = 34/120 diberikan
kepada C. Tetapi jumlah 34/120 bagian itu tidak sesuai dengan Pasal 185 ayat (2)
KHI, karena C menerima bagian warisan lebih besar dari B sebagai ahli waris
yang kedudukannya sederajat dengan D, yaitu ahli waris yang kedudukannya
digantikan oleh C. Oleh karena itu penyelesaiannya menggunakan hadis Zaid bin
Sabit.
Tahap III:
Menurut Pasal 185 (2) KHI, bagian harta warisan yang diterima oleh C tidak
boleh lebih bagian harta warisan yang diterima oleh B.
Untuk mengatasi permasalah tersebut, maka keluarkan dulu bagian warisan A =
anak laki-laki = 34/120 = 68/240;
Sisa = 17/24 – 34/120 = 85/120 – 34/120 = 51/120 dibagikan kembali kepada B
dan C sesuai hadis Zaid bin Tsabit.
Tahap IV:
B = anak perempuan = 1/2 x 51/120 = 51/240 (Q.4:11 c jo. hadis Zaid bin Sabit);
Sisa = 51/120 – 51/240 = 102/240 – 51/240 = 51/240 diberikan kepada cucu lelaki
melalui anak, lelaki, yaitu C (hadis Zaid bin Sabit).
C = cucu laki-laki = sisa = 51/240.
Hasil akhir:
A = 68/240
B = 51/240
C = 51/240
E = 40/240
F = 30/240
A + B + C + E + F = 68/240 + 51/240 + 51/240 + 40/240 + 30/240 = 240/240 = 1
Penyelesaian kasus-kasus tersebut tidak dapat diselesaikan menurut ajaran
Bilateral Hazairin, karena hasil pembagian harta warisan tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 185 KHI.
TABEL : PERBANDINGAN KEDUDUKAN CUCU
No
Ahli Waris Penerima WW Bagian Besar Dasar Hukum
Keterangan
BH PSy KHI BH PSy KHI BH PSy KHI BH PSy KHI
1. Kasus
Pertama
B= Bilateral
Hazairin PSy =
Patrilineal
Syafi’i KHI =
Kompilasi
Hukum Islam
a.q. zul
qarabat a.b. =
asabah
binafsihi a.bg. =
asabah
bilghairi ww=wasiat
wajibah Mhj=
mahjub
A = Anak
laki-laki z.q
Asabah
bilghairi a.b. - - - 1/3 1/2 1/3 Q.4:11a Q.4:11a Psl. 176
B = Anak laki-laki
z.q Asabah bilghairi
a.b. - - - 1/3 1/2 1/3 Q.4:11a Q.4:11a Psl. 176
F = Anak
laki-laki yang
wafat sebelum
pewaris
dianggap
hidup = a.q
-
Dianggap
hidup = a.b
- - - 1/3 mhj 1/3 Q.4:11a - Psl. 176
C, D, E = Cucu pewaris
melalui F
Mawali Mahjub oleh A
& B
Ahli waris
pengganti
- - - 1/3 mhj 1/3 Q.4:11a
jo. 33a -
Psl. 176 jo. Psl
185
2. Kasus
Kedua
A = Anak laki-laki
a.q. a.b. a.q. - - - 2/5 1/2 2/5 Q.4:11a Q.4:11a Psl. 176
B = Anak
laki-laki a.q. a.b. a.q. - - - 2/5 1/2 2/5 Q.4:11a Q.4:11a Psl. 176
E = Anak perempuan
yang telah
wafat
dianggap
hidup = a.q
-
dianggap
hidup = a.q
- - - 1/5 mhj 1/5 Q.4:11a - Psl. 176
C dan D =
Cucu pewaris Mawali
Mahjub
oleh A
& B zul arham
Ahli waris
pengganti
- - - 1/5 mhj 1/5 Q.4:11a
jo. 33a -
Psl. 176 jo. Psl
185
BAGIAN WARISAN UNTUK SAUDARA
A. Pengertian Kalalah
Saudara dapat tampil sebagai ahli waris apabila pewaris meninggal dunia
dalam keadaan kalalah atau mati punah.
1. Menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i
Kalalah adalah orang yang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak
laki-laki dan keturunan laki-laki melalui anak laki-laki serta ayah pewaris
telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris.
Gambar:
Dalam ajaran patrilineal Syafi’i, eksistensi ayah sangat menentukan dan
mempengaruhi kedudukan pewaris dalam keadaan kalalah atau tidak kalalah,
yang berpengaruh terhadap tampilnya saudara sebagai ahli waris.
Jadi, menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, saudara
dapat tampil sebagai ahli waris, apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-
laki atau keturunan laki-laki melalui anak laki-laki serta ayah telah meninggal
dunia terlebih dahulu dari pewaris.
Dengan demikian, apabila pewaris meninggal dunia dengan meninggalkan
anak atau anak-anak perempuan saja berapapun jumlahnya, beserta
keturunannya, maka menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal
Syafi’i, saudara dapat tampil sebagai ahli waris, baik saudara sekandung,
saudara seayah, maupun saudara seibu. Karena yang menjadi standard
kalalah, menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i adalah
anak laki-laki dan keturunan laki-laki melalui anak laki-laki dan ayah pewaris.
2. Menurut hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin:
Menurut Hazairin kalalah adalah orang meninggal dunia tanpa
meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan beserta keturunanya.
Gambar:
Dalam ajaran bilateral Hazairin ini, eksistensi ayah tidak mempengaruhi
dan tidak menentukan kedudukan pewaris dalam keadaan kalalah atau tidak
kalalah. Tetapi eksistensi ayah berpengaruh terhadap tampilnya saudara
pewaris dalam menggunakan ketentuan besar bagian harta warisan bagi
saudara berdasarkan surah an-Nisa ayat 12 g dan 12 h (Q.4:12g dan Q.4:12h),
atau an-Nisa ayat 176 (Q.4:176). Hal ini diperjelaskan di bawah.
3. Menurut Kompilasi Hukum Islam:
Rumusan kalalah tidak diatur secara tegas dalam Kompilasi Hukum Islam.
Kalalah yang disimpulkan berdasarkan rumusan beberapa pasal dalam
Kompilasi Hukum Islam .
Berdasarkan Pasal 176 jo. Pasal 185 jo. Pasal 181 dan Pasal 182
Kompilasi Hukum islam, adalah seorang meninggal dunia tanpa
meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan beserta
keturunanya, dan ayah pewaris telah meninggal dunia terlebih dahulu dari
pewaris.
Gambar:
Rumusan tersebut tampak mencakup rumusan kalalah menurut Hazairin
yang didasarkan pada rumusan dalam surah an-Nisa ayat 176, bahwa kalalah
adalah orang yang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, baik anak laki-
laki maupun anak perempuan, beserta keturunannya, dan rumusan kalalah dari
kalangan Syafi’iyah, yang merumuskan kalalah adalah seorang meninggal
dunia tanpa meninggalkan anak laki-laki dan keturunan laki-laki melalui anak
laki-laki serta AYAH telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris.
B. Surah an-Nisa Ayat 12
Hazairin merumuskan beberapa garis hukum kewarisan bagi saudara yang
ditentukan dalam surah an-Nisa ayat 12 sebagai berikut :
1. Garis hukum mengenai ketentuan besar bagian bagi satu orang saudara
berdasarkan Q.4:12g
a…
g. Jika ada seorang laki-laki atau perempuan diwarisi secara punah (kalalah)
sedangkan baginya ada seorang saudara laki-laki atau seorang saudara
perempuan, maka setiap mereka mendapat seperenam (1/6) (Q.4:12 g)
a. Gambar penerapan Q.4:12 g menurut hukum kewarisan Islam Bilateral
Hazairin:
Keterangan:
Pewaris meninggalkan A (ayah), ibu (B), dan satu orang saudara laki-laki
sekandung atau seorang saudara perempuan sekandung (C); atau saudara laki-
laki seayah atau saudara perempuan seayah (C); atau saudara laki-laki seibu
atau saudara perempuan seibu (C).
Menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’I dan Kompilasi
Hukum Islam, gambar-gambar tersebut belum menunjukkan pewaris kalalah,
karena ayah pewaris masih hidup yang berkedudukan sebagai asabah binafsih.
Oleh karena itu, saudara-saudara pewaris belum dapat tampil sebagai ahli
waris karena terhijab oleh ayah.
Penyelesaian kasus kewarisan menurut ajaran Bilateral Hazairin:
B = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
Berhubung ayah masih hidup, maka digunakan Q.4:12 g. Dengan demikian
C= saudara laki-laki atau saudara perempuan sekandung atau seayah atau
seibu = 1/6 (Q.4:12g);
A = ayah = sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6 = 2/3, sebagai zul-qarabat (Q.4:11f);
(Kedudukan ayah sebagai ahli waris zul-qarabat digunakan Q.4:11f karena
dalam garis hukum tersebut tidak ditentukan ayah sebagai ahli waris zul-
fara’id, tetapi hanya ibu yang berkedudukan sebagai ahli waris zul-fara’id).
Penyelesaian kasus kewarisan menurut Hazairin tersebut dikembangkan
oleh Sajuti Thalib. Kata “dikembangkan oleh Sajuti Thalib” perlu
dikemukakan, karena murid Hazairin tersebut melanjutkan pemikiran Hazairin
sebagai amanah Hazairin, di antaranya mengenai “saudara dan radd”. Hal itu
dikemukakan Guru penulis, Bapak Sajuti Thalib (wafat tahun 1990), kepada
penulis sekitar tahun 1989. Karena itu terdapat perbedaan pendapat antara
Hazairin dengan Sajuti Thalib tentang jumlah saudara yang dapat meng-hijab-
nuqshan ibu (mengurangi jumlah bagian warisan ibu dari 1/3 menjadi 1/6).
Hazairin berpendapat bahwa jumlah saudara yang dapat meng-hijab-
nuqshan ibu adalah dua orang saudara disertai dengan pengembangan
pemikirannya yang juga tidak sama dengan hukum kewarisan Islam ajaran
Patrilineal Syafi’i.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, berhubung ditentukan adanya “ahli
waris pengganti” bagi ahli waris dalam Pasal 185 KHI, apakah ahli waris
pengganti itu dari anak pewaris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu
dari pewaris, ataukah ahli waris pengganti itu dari saudara pewaris yang telah
meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Jika pasal 185 itu dihubungkan
dengan Pasal 178 KHI (mengatur besar bagian harta warisan bagi ibu), maka,
mengenai jumlah saudara yang dapat meng-hijab-nuqshan ibu, tampaknya
Kompilasi Hukum Islam sesuai dengan pendapat Hazairin, yaitu dua orang
saudara, baik saudara-saudara itu masih hidup, atau satu orang saudara dan
keturunan saudara yang masih hidup, atau keturunan-keturunan saudara-
saudara yang masih hidup ketika pewaris meninggal dunia.
Sedangkan Sajuti Thalib berpendapat bahwa jumlah saudara tidak dibatasi
minimal dua orang, tetapi satu orang saudarapun sudah dapat meng-hijab-
nuqshan atau mengurangi besar bagian ibu dari 1/3 menjadi 1/6 bagian.
Penyelesaian kasus kewarisan menurut ajaran Patrilineal Syafi’i
Apabila kasus tersebut diselesaikan menurut hukum kewarisan Islam
ajaran Patrilineal Syafi’i, maka saudara laki-laki sekandung (C) tidak dapat tampil
sebagai ahli waris karena mahjub atau terhijab oleh ayah pewaris sebagai ‘asabah.
Penyelesaiannya sebagai berikut:
B = ibu = 1/3, sebagai zul-dara’id (Q.4:11e);
(Perolehan ibu 1/3 menggunakan Q.4:11e, karena jumlah saudara hanya
satu orang, oleh karena itu ibu tidak ter-hijab-nuqshan menjadi 1/6 oleh
seorang saudara pewaris)
C = saudara (sekandung atau seayah atau seibu) terhijab oleh ayah, jadi pewaris
belum kalalah karena ayah masih hidup, karena itu, saudara tidak dapat tampil
sebagai ahli waris.
A = ayah = sisa 2/3, sebagai ‘asabah binafsihi.
Dilihat dari cara penyelesaian kasus tersebut berdasarkan huku kewarisan
Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, maka ibu pewaris (B) mendapat 1/3 harta warisan,
bukan 1/6. Sisa sebesar 2/3 diberikan kepada ayah pewaris (A) sebagai asabah
binafsihi berdasarkan Q.4:11e.
Demikianlah Pasal 179 Kompilasi Hukum Islam menentukan besar bagian
ibu adalah 1/6 apabila ibu menjadi ahli waris bersama-sama dengan dua orang
saudara atau lebih. Jadi, apabila ibu menjadi ahli waris bersama-sama dengan satu
orang saudara, maka ibu mendapat 1/3 bagian harta warisan.
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 178 KHI mengenai besar bagian ibu,
maka meskipun sub-Bab ini membahas tentang besar bagian ibu yang mewaris
bersama-sama dengan saudara, maka dirasakan perlu untuk mengemukakan
ketentuan Kompilasi Hukum Islam yang belum mengatur besar bagian ayah yang
berkedudukan sebagai ‘asabah binafsihi.
Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam jo. Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) Nomor II Tahun 1994 hanya mengatur tentang besar bagian ayah sebagai
zul-fara’id, yaitu ayah mendapat seperenam (1/6) apabila pewaris meninggalkan
anak, dan ayah mendapat sepertiga (1/3) apabila pewaris meninggalkan ahli waris
yang terdiri dari suami, ibu, dan ayah (sulusul-baqi).
Mengenai sulusul-baqi-pun, Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam belum
mengatur dengan lengkap, karena Kompilasi Hukum Islam belum menentukan
besar bagian ayah, apabila ia menjadi ahli waris bersama isteri dan ibu pewaris,
yang tentunya hasil akhir perhitungan yang diperoleh ayah adalah bukan sepertiga
(1/3), tetapi setengah (1/2) harta warisan. Lihat dalam Bab tentang Masalah
Khusus.
Meskipun demikian, Kompilasi Hukum Islam mempunyai ketentuan yang
memungkinkan untuk diberlakukannya hukum kewarisan Islam yang belum diatur
secara eksplisit dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu melalui Pasal 229 KHI.
Karena itu, Pasal 229 KHI dapat digunakan sebagai dasar hukum penggunaan
Q.4:11f bagi ayah sebagai ‘asabah binafsihi jo. hadis Umar bin Khattab yang
berijtihad mengenai sulusul-baqi atau garrawain. Selain itu, Pasal 229 KHI juga
memungkinkan diberlakukannya hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin
sepanjang ketentuan-ketentuan kewarisan itu belum diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam.
Penerapan hukum kewarisan Islam yang belum diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam juga tergantung kepada hasil pemikiran para Hakim di Pengadilan
Agama (Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama) sepanjang hukum
kewarisan Islam yang digunakan itu tidak bertentangan dengan syari’ah Islam,
yaitu al-Qur’an dan Hadis (Sunnah Rasulullah saw).
Pendapat Hazairin: Jumlah Saudara yang Mengurangi Bagian Ibu
Menurut Hazairin ibu mendapat 1/3 harta warisan apabila:
1. Pewaris tidak berketurunan dan tidak pernah ada bersaudara, ibu = 1/3
Gambar: Ibu dan ayah, karena pewaris tidak berketurunan dan tidak
bersaudara
2. Pewaris memang bersaudara tetapi semuanya mati punah (tidak
berketurunan), ibu = 1/3
Gambar: ibu, ayah dan saudara mati punah
Keterangan kedua gambar di atas:
Ditinjau dari hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i dan KHI, perolehan
bagian harta warisan ibu (A) dan ayah (B) adalah sama dengan besar bagian
menurut Bilateral Hazairin, yaitu ibu = 1/3.
3. Pewaris hanya mempunyai seorang saudara yang masih hidup, baik saudara
sekandung, atau seayah, atau seibu, sedangkan saudara-saudara yang lain
mati punah, ibu = 1/3.
Gambar 1: Ibu, ayah bersama seorang saudara sekandung, laki-laki atau
perempuan, sedangkan saudara-saudara yang lain mati punah.
Gambar 2: Ibu, ayah bersama seorang saudara seayah, laki-laki atau
perempuan, sedangkan saudara-saudara yang lain mati punah;
Gambar 3: Ibu, ayah bersama seorang saudara seibu, laki-laki atau perempuan,
sedangkan saudara-saudara yang lain mati punah;
Keterangan gambar 1, gambar 2, dan gambar 3:
Ditinjau dari hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i dan KHI, perolehan
bagian harta warisan ibu (A) = 1/3 sebagai zul-fara’id. Pewaris belum kalalah,
karena ayah masih hidup, maka ayah (B) = sisa = 2/3, sebagai asabah
binafsihi. Pendapat tersebut tidak sama dengan pendapat Bilateral Hazairin
bahwa pewaris kalalah, maka saudara dapat tampil sebagai ahli waris.
4. Pewaris hanya mempunyai seorang saudara yang masih hidup, atau seorang
saudara yang telah meninggal dunia tetapi meninggalkan keturunan, baik
saudara laki-laki maupun perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu,
ibu = 1/3.
Gambar 1: ibu, ayah bersama keturunan dari satu orang saudara perempuan
sekandung yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris;
Gambar 2: ibu, ayah bersama keturunan dari satu orang saudara laki-laki
sekandung yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris;
Gambar 3: ibu, ayah bersama keturunan dari satu orang saudara perempuan
seayah yang telah meninggal dunia terlebih dahulu
Gambar 4: ibu bersama keturunan dari satu orang saudara laki-laki seayah
yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, serta ayah;;
Gambar 5: ibu, ayah bersama keturunan dari satu orang saudara perempuan
seibu yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris;
Gambar 6: ibu bersama keturunan dari satu orang saudara laki-laki seibu yang
telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, serta ayah;
Keterangan gambar 1 sampai dengan gambar 6:
Ditinjau dari hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i dan KHI, perolehan
bagian harta warisan ibu (A) = 1/3 sebagai zul-fara’id, sama dengan Bilateral
Hazairin, tetapi menurut Sajuti Thalib, ibu mendapat 1/6.
Menurut Patrilineal Syafi’i dan KHI, pewaris belum kalalah, karena
ayah masih hidup, maka ayah (B) = sisa = 2/3, sebagai asabah binafsihi.
Sedangkan menurut Bilateral Hazairin pewaris adalah kalalah, maka saudara
dapat tampil sebagai ahli waris. Karena ayah masih hidup, maka penyelesaian
kasus kewarisan menggunakan Q.4:12g.
b. Gambar penerapan Q.4:12g menurut Patrilineal Syafi’i
Menurut hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i, Q.4:12g hanya untuk
bagian saudara seibu pewaris, seperti dalam gambar kewarisan tersebut.
c. Gambar penerapan Pasal 181 KHI:
“Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah maka saudara
laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam
bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama
mendapat sepertiga.”
B = 1/6 bagian B + C = 1/3 bagian bersyarikat
B : C = 1 : 1 B = 1/6; C = 1/6
2. Garis hukum: dua orang saudara atau lebih menurut Q.4:12h:
a. …
b. …
h. Jika ada seorang laki-laki atau seorang perempuan diwarisi secara punah
(kalalah) sedangkan baginya ada saudara-saudara yang jumlah dua orang
(atau lebih, penulis), maka mereka bersekutu (syuraka) untuk sepertiga
(1/3) (Q.4:12 h).
a. Gambar-gambar kasus kewarisan yang menggunakan W.4:12 h di bawah
adalah berdasarkan ajaran Bilateral Hazairin
Gambar 1: ibu, ayah bersama dua orang saudara sekandung, baik laki-laki
maupun perempuan;
Gambar 2: ibu, ayah bersama dua orang saudara seayah, baik laki-laki maupun
perempuan.
Gambar 3: ibu, ayah bersama dua orang saudara seibu, baik laki-laki maupun
perempuan;
Gambar 4: ibu, ayah bersama seorang saudara sekandung, baik laki-laki
ataupun perempuan, dan seorang saudara seayah, baik laki-laki ataupun
perempuan;
Gambar 5: ibu, ayah bersama seorang saudara sekandung, baik laki-laki
ataupun perempuan, dan seorang saudara seibu, baik laki-laki ataupun
perempuan.
Gambar 6: ibu, ayah bersama seorang saudara seayah, baik laki-laki ataupun
perempuan, dan seorang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan;
Keterangan gambar 1 sampai dengan gambar 6;
Ditinjau dari hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i dan KHI, pewaris
belum kalalah, karena ayah masih hidup sebagai asabah binafsihi, karena
itu saudara pewaris terhijab oleh ayah, mereka tidak dapat tampil sebagai ahli
waris. Pendapat tersebut tidak sama dengan pendapat Bilateral Hazairin,
bahwa pewaris kalalah, maka saudara dapat tampil sebagai ahli waris.
Menurut ajaran Patrilineal Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam, apabila
ayah masih hidup, saudara pewaris tidak dapat tampil sebagai ahli waris,
karena mahjub atau terhijab (hijab hirman) oleh ayah pewaris.
b. Gambar-gambar kasus kewarisan yang menggunakan Q.4:12 h di bawah
adalah berdasarkan ajaran Patrilineal Syafi’i:
Menurut ajaran ini, Q.4:12 h digunakan untuk dua orang saudara seibu
atau lebih. Pada gambar pertama, saudara-saudara seibu tampil sebagai ahli
waris bersama-sama dengan dua orang anak perempuan dan ibu pewaris,
karena pewaris kalalah, ia tidak meninggalkan anak laki-laki dan keturunan
laki-laki melalui anak laki-laki serta ayah telah meninggal dunia terlebih
dahulu dari pewaris. Ibu = 1/6; dua orang saudara seibu = 0 (terhijab), dua
orang anak perempuan = 2/3.
Pada gambar kedua, saudara-saudara seibu tampil sebagai ahli waris
bersama-sama dengan ibu pewaris. Ibu = 1/6; dua orang saudara seibu = 1/3 =
2/6. Sisa = 1/2 di-radd-kan kepada ibu = 1/3; dan dua saudara seibu = 2/3
(menurut jumhur sahabat yang diikuti oleh Bilateral Hazairin dan Pasal 193
KHI, sedangkan menurut Ibnu Mas’ud, hanya ibu yang dapat menerima radd).
c. Gambar-gambar kasus kewarisan yang menggunakan Q.4:12 h di bawah
adalah berdasarkan KHI:
A = ibu = 1/6 (Pasal 178)
B + C = saudara seibu = 1/3 = 2/6 (Pasal 181)
Sisa = 1 – (1/6 + 1/3) = 1/2 di-radd-kan kepada A, B, dan C
A = 1/6 menjadi 1/3; B + C = 2/6 menjadi 2/3
3. Garis Hukum Q.4:12 lainnya:
i. Pelaksanaan pembagian harta warisan tersebut dalam garis hukum g dan h
sesudah dibayarkan wasiat/atau utang pewaris (Q.4:12i)
j. Pembagian wasiat dan/atau pembayaran utang itu tidak boleh
mendatangkan kemudaratan kepada ahli waris (Q.4:12j).
k. Demikianlah ketentuan Allah
l. Bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun
C. Surah an-Nisa ayat 176
Selain an-Nisa ayat 12 g dan 12 h (Q.4:12g dan Q.4:12h), besar bagian
saudara juga diatur dalam an-Nisa ayat 176 (Q.4:176).
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah “Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal
dunia, dan ia tidak meninggalkan anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditingalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh
harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari
hrata yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian
seorang saudara laki-laki sebanyak dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum itu) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu (huruf miring dari penulis).
Menurut Hazairin, saudara termasuk dalam kelompok keutamaan kedua,
dengan tanpa membedakan jenis saudara, apakah ahli waris itu berkedudukan
sebagai saudara sekandung, saudara seayah, atau saudara seibu, mereka secara
bersama-sama dapat tampil sebagai ahli waris.
Jika ayah masih hidup, menurut ajaran Bilateral Hazairin, saudara
berkedudukan sebagai zul-fara’id semuanya, karena itu, dasar hukum yang
diterapkan adalah Q.4:12 g atau Q.4:12 h. Tetapi, apa bila ayah telah meninggal
dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka bagian harta warisan bagi saudara
diselesaikan berdasarkan Q.4:176.
Hazairin menyusun berapa garis hukum yang dirumuskan berdasarkan
surah an-Nisa ayat 176:
a. Mereka meminta fatwa kepada engkau hai Muhammad (mengenai
kalalah), katakanlah bahwa Allah memberi fatwa kepadamu mengenai
kalalah, yaitu jika seorang meninggal dunia tidak meninggalkan anak
(atau mawali dari anak) (Q.4:176 a)
1. Garis hukum: seorang saudara perempuan menurut Q.4:176b:
b. Jika seorang yang meninggal dunia dalam keadaan kalalah itu ada saudara
perempuan, maka bagi saudara perempuan tersebut seperdua (1/2) harta
peninggalan (Q.4:176 b)
Gambar 1: seorang saudara perempuan sekandung pewaris bersama ibu.
Menurut Bilateral Hazairin dikembangkan Sajuti Thalib:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B = saudara perempuan sekandung = 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b);
Sisa = 1 – (1/6 + 1/2) = 6/6 – (1/6 + 3/6) = 6/6 – 4/6 = 2/6 = 1/3, di-radd-kan
kepada A dan B, dengan perbandingan A:B = 1:3;
A = 1/6 + (1/4 x 1/3) = 1/6 + 1/12 = 2/12 + 1/12 = 3/12 = 1/4;
B = 3/6 + (3/4 x 1/3) = 3/6 + 3/12 = 6/12 + 3/12 = 9/12 = 3/4;
Jumlah = A + B = 1/4 + 3/4 = 4/4 = 1
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11e);
B = saudara perempuan kandung = 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b);
Sisa = 1 – (1/3 + 1/2) = 6/6 – (2/6 + 3/6) = 6/6 – 5/6 = 1/6, di-radd-kan kepada
A dan B, dengan perbandingan A:B = 2:3;
A
B
A = 1/3 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30;
B = 3/6 + (3/5 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30;
Jumlah = A + B = 12/30 + 18/30 = 30/30 = 1
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Pasal 178);
B = saudara perempuan kandung = 1/2, sebagai zul-fara’id (Pasal 182);
Sisa = 1 – (1/3 + 1/2) = 6/6 – (2/6 + 3/6) = 6/6 – 5/6 = 1/6, di-radd-kan kepada
A dan B, dengan perbandingan A : B = 2 : 3;
A = 1/3 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 4/10;
B = 3/6 + (3/5 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 6/10;
Jumlah = A + B = 4/10 + 6/10 = 10/10 = 1
Gambar 2: seorang saudara perempuan seayah pewaris bersama ibu;
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B = saudara perempuan seayah= 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b);
Sisa = 1 – (1/6 + 1/2) = 6/6 – (1/6 + 3/6) = 6/6 – 4/6 = 2/6 = 1/3, di-radd-kan
kepada A dan B, dengan perbandingan A:B = 1:3;
A = 1/6 + (1/4 x 1/3) = 1/6 + 1/12 = 2/12 + 1/12 = 3/12 = 1/4;
B = 3/6 + (3/4 x 1/3) = 3/6 + 3/12 = 6/12 + 3/12 = 9/12 = 3/4;
Jumlah = A + B = 1/4 + 3/4 = 4/4 = 1
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11e);
B = saudara perempuan seayah = 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b);
Sisa = 1 – (1/3 + 1/2) = 6/6 – (2/6 + 3/6) = 6/6 – 4/6 = 1/6, di-radd-kan kepada
A dan B, dengan perbandingan A : B = 2 : 3;
A = 1/3 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 4/10;
B = 3/6 + (3/5 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 6/10;
A
B
Jumlah = A + B = 4/10 + 6/10 = 10/10 = 1
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Pasal 178);
B = saudara perempuan seayah = 1/2, sebagai zul-fara’id (Pasal 182);
Sisa = 1 – (1/3 + 1/2) = 6/6 – (2/6 + 3/6) = 6/6 – 4/6 = 1/6, di-radd-kan kepada
A dan B, dengan perbandingan A : B = 2 : 3 (Pasal 193);
A = 1/3 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 4/10;
B = 3/6 + (3/5 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 6/10;
Jumlah = A + B = 4/10 + 6/10 = 10/10 = 1
Gambar 3: seorang saudara perempuan seibu pewaris bersama ibu;
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B = saudara perempuan seibu= 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b);
Sisa = 1 – (1/6 + 1/2) = 6/6 – (1/6 + 3/6) = 6/6 – 4/6 = 2/6 = 1/3, di-radd-kan
kepada A dan B, dengan perbandingan A:B = 1:3;
A = 1/6 + (1/4 x 1/3) = 1/6 + 1/12 = 2/12 + 1/12 = 3/12 = 1/4;
B = 3/6 + (3/4 x 1/3) = 3/6 + 3/12 = 6/12 + 3/12 = 9/12 = 3/4;
Jumlah = A + B = 1/4 + 3/4 = 4/4 = 1
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11e);
B = saudara perempuan seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:12g);
Sisa = 1 – (1/3 + 1/6) = 6/6 – (2/6 + 1/6) = 6/6 – 3/6 = 3/6 = 1/2, di-radd-kan
kepada A dan B, dengan perbandingan A : B = 2 : 1;
A = 1/3 + (2/3 x 1/2) = 2/6 + 2/6 = 4/6 = 2/3;
B = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3;
A
B
Jumlah = A + B = 2/3 + 1/3 = 3/3 = 1
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Pasal 178);
B = saudara perempuan seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 181);
Sisa = 1 – (1/3 + 1/6) = 6/6 – (2/6 + 1/6) = 6/6 – 3/6 = 1/2, di-radd-kan kepada
A dan B, dengan perbandingan A : B = 2 : 1 (Pasal 193);
A = 1/3 + (2/3 x 1/2) = 2/6 + 2/6 = 4/6 = 2/3;
B = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3;
Jumlah = A + B = 2/3 + 1/3 = 3/3 = 1
2. Garis hukum: saudara laki-laki menurut Q.4:176c:
a. …
c. Jika seorang yang meninggal dunia dalam keadaan kalalah seorang
perempuan (atau seorang laki-laki) dan bagaimana ada saudara laki-laki,
maka bagi saudara laki-lakinya itu seluruh hartanya tersebut (Q.4:176 c).
Gambar 1: seorang saudara perempuan sekandung pewaris bersama ibu.
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B = saudara laki-laki sekandung = sisa, sebagai zul-fara’id (Q.4:176c); = 5/6.
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11e)
B = saudara laki-laki sekandung = sisa, sebagai ‘asabah binafsihi (Q.4:176c);
= 2/3.
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
A
B
A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Pasal 178)
B = saudara laki-laki sekandung = sisa, sebagai ‘asabah binafsihi (Pasal 182);
= 2/3.
Gambar 2: ibu dan saudara laki-laki seayah pewaris.
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B = saudara laki-laki seayah = sisa, sebagai zul-fara’id (Q.4:176c); = 5/6.
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11e)
B = saudara laki-laki seayah = sisa, sebagai ‘asabah binafsihi (Q.4:176c);
= 2/3.
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Pasal 178)
B = saudara laki-laki seayah = sisa, sebagai ‘asabah binafsihi (Pasal 182); =
2/3.
Gambar 3: ibu dan saudara laki-laki seibu pewaris
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B = saudara laki-laki sekandung = sisa, sebagai zul-qarabat (Q.4:176c); = 5/6.
A
B
A
B
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11e);
B = saudara laki-laki seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:12g);
Sisa = 1 – (1/3 + 1/6) = 6/6 – (2/6 + 1/6) = 6/6 – 3/6 = 3/6 = 1/2, di-radd-kan
kepada A dan B, dengan perbandingan A : B = 2 : 1;
A = 1/3 + (2/3 x 1/2) = 2/6 + 2/6 = 4/6 = 2/3;
B = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3;
Jumlah = A + B = 2/3 + 1/3 = 3/3 = 1
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Pasal 178);
B = saudara laki-laki seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 181);
Sisa = 1 – (1/3 + 1/6) = 6/6 – (2/6 + 1/6) = 6/6 – 3/6 = 1/2, di-radd-kan kepada
A dan B, dengan perbandingan A : B = 2 : 1 (Pasal 193);
A = 1/3 + (2/3 x 1/2) = 2/6 + 2/6 = 4/6 = 2/3;
B = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3;
Jumlah = A + B = 2/3 + 1/3 = 3/3 = 1
3. Garis hukum: dua orang saudara perempuan menurut Q.4:176d:
a. …
d. Jika orang yang meninggal dunia dalam keadaan kalalah itu ada saudara
perempuan dua orang (atau lebih), maka bagi keduanya dua per-tiga (2/3)
harta peninggalan (Q.4:176 d).
Gambar 1: ibu dan dua orang saudara perempuan sekandung
A
B C
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B + C = dua saudara perempuan sekandung = 2/3, sebagai zawul-furud
(Q.4:176d);
B = 1/3 = 2/6;
C = 1/3 = 2/6;
Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang
saudara perempuan sekandung sebagai ahli waris zawul-furud, dengan
perbandingan A:B:C = 1:2:2;
A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
Jumlah = A + B + C = 1/5 + 2/5 + 2/5 = 5/5 = 1
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B + C = dua saudara perempuan sekandung = 2/3, sebagai zawul-furud
(Q.4:176d);
B = 1/3 = 2/6;
C = 1/3 = 2/6;
Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang
saudara perempuan sekandung sebagai ahli waris zawul-furud, dengan
perbandingan A:B:C = 1:2:2;
A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
Jumlah = A + B + C = 1/5 + 2/5 + 2/5 = 5/5 = 1
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178)
B + C = dua saudara perempuan sekandung = 2/3, sebagai zawul-furud
(Pasal 182);
B = 1/3 = 2/6;
C = 1/3 = 2/6;
Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang
saudara perempuan sekandung sebagai ahli waris zawul-furud, dengan
perbandingan A:B:C = 1:2:2 (Pasal 193);
A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
Jumlah = A + B + C = 1/5 + 2/5 + 2/5 = 5/5 = 1
Gambar 2: ibu dan dua orang saudara perempuan seayah
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B + C = dua saudara perempuan seayah = 2/3, sebagai zawul-furud
(Q.4:176d);
B = 1/3 = 2/6;
C = 1/3 = 2/6;
Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang
saudara perempuan seayah sebagai ahli waris zawul-furud, dengan
perbandingan A:B:C = 1:2:2;
A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
Jumlah = A + B + C = 1/5 + 2/5 + 2/5 = 5/5 = 1
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B + C = dua saudara perempuan seayah = 2/3, sebagai zawul-furud
(Q.4:176d);
B = 1/3 = 2/6;
C = 1/3 = 2/6;
A
B C
Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang
saudara perempuan seayah sebagai ahli waris zawul-furud, dengan
perbandingan A:B:C = 1:2:2;
A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
Jumlah = A + B + C = 1/5 + 2/5 + 2/5 = 5/5 = 1
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178)
B + C = dua saudara perempuan seayah = 2/3, sebagai zawul-furud
(Pasal 182);
B = 1/3 = 2/6;
C = 1/3 = 2/6;
Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang
saudara perempuan seayah sebagai ahli waris zawul-furud, dengan
perbandingan A:B:C = 1:2:2 (Pasal 193);
A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
Jumlah = A + B + C = 1/5 + 2/5 + 2/5 = 5/5 = 1
Gambar 3: ibu dan dua saudara perempuan seibu
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B + C = dua saudara perempuan seibu = 2/3, sebagai zawul-furud (Q.4:176d);
B = 1/3 = 2/6;
C = 1/3 = 2/6;
A
B C
Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang
saudara perempuan seibu sebagai ahli waris zawul-furud, dengan
perbandingan A:B:C = 1:2:2;
A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
Jumlah = A + B + C = 1/5 + 2/5 + 2/5 = 5/5 = 1
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B + C = dua saudara perempuan seibu = 1/3, sebagai zawul-furud (Q.4:12h);
B = 1/6;
C = 1/6;
Sisa = 6/6 – (1/6 + 1/6 + 1/6) = 3/6 = 1/2, di-radd-kan kepada ibu dan dua
orang saudara perempuan seibu sebagai ahli waris zawul-furud, dengan
perbandingan A:B:C = 1:1:1;
A = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3;
B = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3;
C = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3;
Jumlah = A + B + C = 1/3 + 1/3 + 1/3 = 3/3 = 1
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178)
B + C = dua saudara perempuan seibu = 1/3, sebagai zawul-furud
(Pasal 181);
B = 1/6;
C = 1/6;
Sisa = 6/6 – (1/6 + 1/6 + 1/6) = 3/6 = 1/2, di-radd-kan kepada ibu dan dua
orang saudara perempuan seibu sebagai ahli waris zawul-furud, dengan
perbandingan A:B:C = 1:1:1 (Pasal 193);
A = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3;
B = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3;
C = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3;
Jumlah = A + B + C = 1/3 + 1/3 + 1/3 = 3/3 = 1
Gambar 4: ibu bersama seorang saudara perempuan sekandung dan seorang
saudara perempuan seibu
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B + C = satu saudara perempuan sekandung (B) dan satu orang saudara
perempuan seibu (C) = 2/3, sebagai zawul-furud (Q.4:176d);
B = 1/3 = 2/6;
C = 1/3 = 2/6;
Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang
saudara perempuan seibu sebagai ahli waris zawul-furud, dengan
perbandingan A:B:C = 1:2:2;
A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B = saudara perempuan sekandung = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id
(Q.4:176b);
C = saudara perempuan seibu = 1/6 = sebagai zul-fara’id (Q.4:112g);
Sisa = 6/6 – (1/6 + 3/6 + 1/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan satu orang
saudara perempuan sekandung serta saudara perempuan seibu sebagai ahli
waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:3:1;
A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
B = 3/6 + (3/3 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 3/5;
C = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
Jumlah = A + B + C = 1/5 + 3/5 + 1/5 = 5/5 = 1
A
B C
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178)
B = saudara perempuan sekandung = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id
(Pasal 182);
C = saudara perempuan seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 181);
Sisa = 6/6 – (1/6 + 3/6 + 1/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan satu orang
saudara perempuan sekandung serta saudara perempuan seibu sebagai ahli
waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:3:1 (Pasal 193);
A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
B = 3/6 + (3/3 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 3/5;
C = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
Jumlah = A + B + C = 1/5 + 3/5 + 1/5 = 5/5 = 1
Gambar 5: ibu bersama seorang saudara perempuan sekandung dan seorang
saudara perempuan seayah
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B + C = satu saudara perempuan sekandung (B) dan satu orang saudara
perempuan seayah (C) = 2/3, sebagai zawul-furud (Q.4:176d);
B = 1/3 = 2/6;
C = 1/3 = 2/6;
Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu, seorang saudara
perempuan sekandung dan seorang saudara perempuan seayah sebagai ahli
waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:2:2;
A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
A
B C
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B = saudara perempuan sekandung = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id
(Q.4:176b);
C = saudara perempuan seayah = 1/6, sebagai takmilah untuk melengkapi 2/3
(hadis Ibnu Mas’ud);
Sisa = 6/6 – (1/6 + 3/6 + 1/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan satu orang
saudara perempuan sekandung sebagai ahli waris zawul-furud serta saudara
perempuan seayah sebagai takmilah, dengan perbandingan A:B:C = 1:3:1;
(Pembagian tersebut berdasarkan pendapat jumhur sahabat, fuqaha, dan
Undang-Undang Mesir. Sedangkan menurut Ibnu Mas’ud, C [saudara
perempuan seayah] tidak dapat memperoleh bagian sisa (radd) karena ia
mewarisi bersama saudara perempuan sekandung (B));
A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
B = 3/6 + (3/5 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 3/5;
C = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
Kompilasi Hukum Islam belum mengatur secara tegas tentang besar bagian
saudara perempuan seayah apabila menjadi ahli waris bersama saudara
perempuan sekandung. Meskipun demikian, sebagaimana garis-garis hukum
yang ditemukan penulis atas Pasal 182 KHI, maka Kompilasi Hukum Islam
yang cenderung kepada hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i,
maka dapat ditafsirkan bahwa besar bagian saudara perempuan seayah yang
menjadi ahli waris bersama saudara perempuan sekandung mendapat 1/6
sebagai takmilah berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud. Tetapi berdasarkan garis
hukum yang ditemukan penulis, penerapan hukum kewarisan Islam ajaran
Bilateral Hazairin juga sangat dimungkinkan, karena rumusan Pasal 182 KHI
justru garis-garis hukumnya seluruhnya sesuai dengan ajaran hukum
kewarisan Islam Bilateral Hazairin. Namun demikian, penyelesaian kasus
tersebut juga dapat diselesaikan menurut hukum kewarisan Islam ajaran
Patrilineal Syafi’I berdasarkan Pasal 229 KHI.
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178)
B = saudara perempuan sekandung = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id
(Pasal 182);
C = saudara perempuan seayah = 1/6, sebagai takmilah untuk melengkapi 2/3
(Pasal 182 jo. Pasal 229 jo. hadis Ibnu Mas’ud);
Sisa = 6/6 – (1/6 + 3/6 + 1/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan satu orang
saudara perempuan sekandung sebagai ahli waris zawul-furud serta saudara
perempuan seayah sebagai takmilah, dengan perbandingan A:B:C = 1:3:1
(Pasal 193);
A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
B = 3/6 + (3/3 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 3/5;
C = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
Gambar 6: ibu bersama saudara perempuan seayah dan saudara perempuan
seibu
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B + C = satu saudara perempuan seayah (B) dan satu orang saudara
perempuan seibu (C) = 2/3, sebagai zawul-furud (Q.4:176d);
B = 1/3 = 2/6;
C = 1/3 = 2/6;
Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang
saudara seibu sebagai ahli waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C =
1:2:2;
A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B = saudara perempuan seayah = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b);
A
B C
C = saudara perempuan seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b);
Sisa = 6/6 – (1/6 + 3/6 + 1/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan satu orang
saudara perempuan seayah serta saudara perempuan seibu sebagai ahli waris
zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:3:1; (Pembagian tersebut
berdasarkan pendapat jumhur sahabat, fuqaha, dan Undang-Undang Mesir.
Sedangkan menurut Ibnu Mas’ud, C [saudara perempuan seibu] tidak dapat
memperoleh bagian sisa (radd) karena ia mewarisi bersama ibu (A));
A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
B = 3/6 + (3/5 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 3/5;
C = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178)
B = saudara perempuan seayah = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 182);
C = saudara perempuan seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 181);
Sisa = 6/6 – (1/6 + 3/6 + 1/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan satu orang
saudara perempuan sekandung serta saudara perempuan seibu sebagai ahli
waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:3:1 (Pasal 193);
A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
B = 3/6 + (3/3 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 3/5;
C = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5;
Jumlah = A + B + C = 1/5 + 3/5 + 1/5 = 5/5 = 1
4. Garis hukum: saudara laki-laki dan saudara perempuan menurut
Q.4:176e:
a. …
e. Dan jika orang yang meninggal dunia dalam keadaan kalalah itu ada
saudara-saudara yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka bagi
seorang saudara laki-laki sebanyak dua bagian saudara perempuan (dua
berbanding satu [2:1]) (Q.4:176 e)
Gambar 1: Ibu bersama seorang saudara laki-laki dan seorang saudara
perempuan sekandung
A
B
C
B
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
Sisa = 1 = 1/6 = 5/6
B + C = saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung pewaris = sisa,
sebagai zul-qarabat (Q.4:176e), dengan perbandingan perolehan B:C = 2:1;
B = 2/3 x 5/6 = 10/18
C = 1/3 x 5/6 = 5/18
Jumlah = A + B + C = 3/18 + 10/18 + 5/18 = 18/18 = 1
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
Sisa = 1 = 1/6 = 5/6
B + C = saudara laki-laki dan saudara perempuan pewaris = sisa, sebagai
‘asabah (Q.4:176e), dengan perbandingan perolehan B:C = 2:1;
B = 2/3 x 5/6 = 10/18, sebagai ‘asabah binafsihi,
C = 1/3 x 5/6 = 5/18, sebagai ‘asabah bil-gairi,
Jumlah = A + B + C = 3/18 + 10/18 + 5/18 = 18/18 = 1
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178)
Sisa = 1 = 1/6 = 5/6
B + C = saudara laki-laki dan saudara perempuan pewaris = sisa, sebagai
‘asabah (Pasal 182), dengan perbandingan perolehan B:C = 2:1;
B = 2/3 x 5/6 = 10/18, sebagai ‘asabah binafsihi,
C = 1/3 x 5/6 = 5/18, sebagai ‘asabah bil-gairi,
Jumlah = A + B + C = 3/18 + 10/18 + 5/18 = 18/18 = 1
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
C = saudara perempuan seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:12g);
Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6
C = mahjub atau terhijab oleh B = 0, tidak mendapat apa-apa.
Jumlah = A + B = 1/6 + 5/6 = 6/6 = 1
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
Sisa = 1 = 1/6 = 5/6
B (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan seayah) = sisa,
sebagai zul-qarabat (Q.4:176e), dengan perbandingan perolehan B:C = 2:1;
B = 2/3 x 5/6 = 10/18
C = 1/3 x 5/6 = 5/18
Jumlah = A + B + C = 3/18 + 10/18 + 5/18 = 18/18 = 1
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
Sisa = 1 = 1/6 = 5/6
C = mahjub atau terhijab oleh B = 0, tidak mendapat apa-apa.
Jumlah = A + B = 1/6 + 5/6 = 6/6 = 1
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
Penyelesaian menurut Kompilasi Hukum Islam, jika dilihat dari garis hukum
yang dirumuskan penulis (Neng Djubaedah) atas rumusan Pasal 182 KHI,
maka penyelesaian kasus tersebut justru lebih sesuai dengan ajaran hukum
kewarisan Islam Bilateral Hazairin. Tetapi oleh karena KHI dalam hal
menentukan bagian saudara lebih cenderung kepada ajaran hukum kewarisan
Islam Patrilineal Syafi’i sebagaimana rumusan Pasal 181 KHI untuk saudara
seibu dan rumusan Pasal 182 KHI untuk saudara sekandung dan/atau saudara
seayah, maka penyelesaian kasus kewarisan tersebut dapat dianalogikan
kepada hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178)
Sisa = 1 = 1/6 = 5/6
B = sisa, sebagai asabah binafsihi (Pasal 182);
C = mahjub atau terhijab oleh B = 0, tidak mendapat apa-apa.
(dianalogkan kepada ajaran Patrilineal Syafi’i [Pasal 182 jo. Pasal 229])
Jumlah = A + B = 1/6 + 5/6 = 6/6 = 1
Gambar 3: ibu bersama seorang saudara laki-laki sekandung dan seorang
perempuan seibu
A
B C
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
Sisa = 1 = 1/6 = 5/6
B (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan seibu) = sisa, sebagai
zul-qarabat (Q.4:176e), dengan perbandingan perolehan B:C = 2:1;
B = 2/3 x 5/6 = 10/18
C = 1/3 x 5/6 = 5/18
Jumlah = A + B + C = 3/18 + 10/18 + 5/18 = 18/18 = 1
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
C = saudara perempuan seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:12g);
Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6
C = mahjub atau terhijab oleh B = 0, tidak mendapat apa-apa.
Jumlah = A + B = 1/6 + 5/6 = 6/6 = 1
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
Penyelesaian kasus menurut KHI dapat menerapkan ajaran hukum kewarisan
Islam Bilateral Hazairin sebagaimana temuan penulis dalam merumuskan
garis-garis hukum atas Pasal 182 KHI, tetapi dapat juga menerapkan ajaran
hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i seperti di bawah ini:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178 KHI)
C = saudara perempuan seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 181 KHI);
Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6
B = saudara laki-laki sekandung = sisa = 4/6, sebagai ‘asabah binafsihi (Pasal
182);
Gambar 4: Ibu bersama seorang saudara laki-laki dan seorang saudara
perempuan serta saudara laki-laki seayah
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
Sisa = 1 - 1/6 = 5/6
B (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) + D
(saudara laki-laki seayah) = sisa = 5/6, sebagai zul-qarabat (Q.4:176e);
B : C : D = 2 : 1 : 2;
B = 2/5 x 5/6 = 10/30 = 2/6;
C = 1/5 x 5/6 = 5/30 = 1/6;
D = 2/5 x 5/6 = 10/30 = 2/6;
Jumlah = A + B + C + D = 1/6 + 2/6 + 1/6 + 2/6 = 6/6 = 1
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/6 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
Sisa = 1 = 1/6 = 5/6
D = saudara laki-laki seayah terhijab oleh B (saudara laki-laki sekandung)
B + C = saudara laki-laki sekandung (B) dan saudara perempuan sekandung
(C) = sisa = 5/6, sebagai ‘asabah (Q.4:176e);
B :C = 2 : 1;
B = 2/3 x 5/6 = 10/18, sebagai ‘asabah binafsihi;
C = 1/3 x 5/6 = 5/18, sebagai ‘asabah binafsihi;
Jumlah = A + B + C = 3/18 + 10/18 + 5/18 = 18/18 = 1
A
B
C
B D
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
Penyelesaian kasus menurut KHI dapat menerapkan ajaran hukum kewarisan
Islam Bilateral Hazairin sebagaimana temuan penulis dalam merumuskan
garis-garis hukum atau Pasal 182 KHI, tetapi dapat juga menerapkan ajaran
hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i seperti di bawah ini:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178)
Sisa = 1 = 1/6 = 5/6;
D = saudara laki-laki seayah terhijab oleh B (saudara laki-laki sekandung),
dianalogkan kepada hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i (Pasal
182 jo. Pasal 229)
B + C = saudara laki-laki sekandung (B) dan saudara perempuan sekandung
(C) = sisa = 5/6, sebagai ‘asabah (Pasal 182);
B : C = 2 : 1;
B = 2/3 x 5/6 = 10/18, sebagai ‘asabah binafsihi;
C = 1/3 x 5/6 = 5/18, sebagai ‘asabah binafsihi;
Jumlah = A + B + C = 3/18 + 10/18 + 5/18 = 18/18 = 1
Gambar 5: ibu bersama saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung
serta saudara perempuan seibu
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6 =4/24, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
Sisa = 1 - 1/6 = 5/6
B (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) + D
(saudara laki-laki seibu) = sisa = 5/6, sebagai zul-qarabat (Q.4:176e), dengan
perbandingan peroleh B : C : D = 2 : 1 : 1;
B = 2/4 x 5/6 = 10/24;
C = 1/4 x 5/6 = 5/24;
D = 1/4 x 5/6 = 5/24;
Jumlah = A + B + C + D = 4/24 + 10/24 + 5/24 + 5/24 = 24/24 = 1
A
D C
B
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/6 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
D = saudara perempuan seibu = 1/6 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Q.4:12g);
Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6;
B = (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) = sisa
= sisa = 4/6, sebagai ‘asabah (Q.4:176e), dengan perbandingan peroleh B : C
= 2 : 1;
B = 2/3 x 4/6 = 8/18, sebagai ‘asabah binafsihi;
C = 1/3 x 4/6 = 4/18, sebagai ‘asabah bil-gairi;
Jumlah = A + B + C + D = 3/18 + 8/18 + 4/18 + 3/18 = 18/18 = 1
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178)
D = saudara perempuan seibu = 1/6 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Pasal 181);
Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6;
B = (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) = sisa
= 4/6, sebagai ‘asabah (Pasal 182), dengan perbandingan peroleh B : C
= 2 : 1;
B = 2/3 x 4/6 = 8/18, sebagai ‘asabah binafsihi;
C = 1/3 x 4/6 = 4/18, sebagai ‘asabah bil-gairi;
Jumlah = A + B + C + D = 3/18 + 8/18 + 4/18 + 3/18 = 18/18
Gambar 6: ibu bersama saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung
serta saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6 = 6/36, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
Sisa = 1 - 1/6 = 5/6
B (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) + D
(saudara laki-laki seibu) + E (saudara perempuan seibu) = sisa = 5/6, sebagai
zul-qarabat (Q.4:176e), dengan perbandingan peroleh B : C : D : E = 2:1:2:1;
A
D C
B E
B = 2/6 x 5/6 = 10/36;
C = 1/6 x 5/6 = 5/36;
D = 2/6 x 5/6 = 10/36;
E = 1/6 x 5/6 = 5/36
Jumlah = A + B + C + D + E = 6/36 + 10/36 + 5/36 + 10/36 +
5/36 = 36/36 = 1
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
D = (saudara perempuan seibu) + E (saudara perempuan seibu) = 1/3, sebagai
zul-fara’id bersyuraka (Q.4:12h);
Sisa = 1 – (1/6 + 1/6 + 1/6) = 3/6 = 1/2;
B = (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) = sisa
= 1/2, sebagai ‘asabah (Q.4:176e), dengan perbandingan perolehan
B : C = 2 : 1;
B = 2/3 x 1/2 = 2/6, sebagai ‘asabah binafsihi;
C = 1/3 x 1/2 = 1/6, sebagai ‘asabah bil-gairi;
Jumlah = A + B + C + D + E = 1/6 + 2/6 + 1/6 + 1/6 + 1/6 = 6/6 = 1
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
Penyelesaian kasus menurut KHI sesuai dengan ajaran hukum kewarisan
Islam Patrilinera Syafi’i seperti di bawah ini:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178)
D (saudara laki-laki seibu) + E (saudara perempuan seibu = 1/3, sebagai zul-
fara’id bersyuraka (Pasal 181);
D = 1/2 x 1/3 = 1/6;
E = 1/2 x 1/3 = 1/6;
Sisa = 1 – (1/6 + 1/6 + 1/6) = 3/6 = 1/2;
B = (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) = sisa
= 1/2, sebagai ‘asabah (Pasal 182), dengan perbandingan perolehan B : C
= 2 : 1;
B = 2/3 x 1/2 = 2/6, sebagai ‘asabah binafsihi;
C = 1/3 x 1/2 = 1/6, sebagai ‘asabah bil-gairi;
Jumlah = A + B + C + D + E = 1/6 + 2/6 + 1/6 + 1/6 + 1/6 = 6/6 = 1.
Gambar 7: ibu bersama saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung,
saudara laki-laki dan saudara peremmpuan seayah, dan saudara laki-laki dan
saudara perempuan seibu.
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6 = 9/54, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
Sisa = 1 - 1/6 = 5/6
B (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) + D
(saudara laki-laki seibu) + E (saudara perempuan seibu) + F (saudara
perempuan seayah) + G (saudara laki-laki seayah) = sisa = 5/6, sebagai zul-
qarabat (Q.4:176e), dengan perbandingan peroleh B : C : D : E : F : G
= 2 : 1 : 2 : 1 : 1 : 2;
B = 2/9 x 5/6 = 10/54;
C = 1/9 x 5/6 = 5/54;
D = 2/9 x 5/6 = 10/54;
E = 1/9 x 5/6 = 5/54;
F = 1/9 x 5/6 = 5/54
G = 2/9 x 5/6 = 10/54;
Jumlah = A + B + C + D + E + F + G = 9/54+ 10/54 + 5/54 + 10/54 +
5/54 + 5/54 + 10/54 = 54/54 = 1
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
D (saudara laki-laki seibu) + E (saudara perempuan seibu = 1/3, sebagai zul-
fara’id bersyuraka (Q.4:12b)
D = 1/2 x 1/3 = 1/6
E = 1/2 x 1/3 = 1/6
Sisa = 1 – (1/6 + 1/6 + 1/6) = 3/6 = 1/2,
A
D C
B E G F
B (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) = sisa =
1/2, sebagai ‘asabah (Q.4:176e), dengan perbandingan peroleh B : C = 2 : 1;
B = 2/3 x 1/2 = 2/6, sebagai ‘asabah binafsihi;
C = 1/3 x 1/2 = 1/6, sebagai ‘asabah bil-gairi
F (saudara perempuan seayah) + G (saudara laki-laki seayah) = terhijab atau
mahjub oleh B = 0, tidak mendapat apa-apa;
Jumlah = A + B + C + D + E = 1/6 + 2/6 + 1/6 + 1/6 + 1/6 = 6/6 = 1
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
Penyelesaian kasus menurut KHI, berdasarkan rumusan yang terkandung
dalam Pasal 182 KHI dihubungkan dengan rumusan yang terdapat dalam
Pasal 181 KHI, maka dapat dilakukan dengan dua cara.
Pertama, cara yang sesuai dengan hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal
Syafi’i, seperti di bawah ini.
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178 KHI)
D (saudara laki-laki seibu) + E (saudara perempuan seibu) = 1/3 sebagai zul-
fara’id bersyuraka (Pasal 181)
D = 1/2 x 1/3 = 1/6
E = 1/2 x 1/3 = 1/6
Sisa = 1 – (1/6 + 1/6 + 1/6) = 3/6 = 1/2,
B (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) = sisa =
1/2, sebagai ‘asabah (Pasal 182), dengan perbandingan peroleh B : C = 2 : 1;
B = 2/3 x 1/2 = 2/6, sebagai ‘asabah binafsihi;
C = 1/3 x 1/2 = 1/6, sebagai ‘asabah bil-gairi
F (saudara perempuan seayah) + G (saudara laki-laki seayah) = terhijab atau
mahjub oleh B = 0, tidak mendapat apa-apa (dianalogkan kepada Pasal 182 jo.
Pasal 229;
Jumlah = A + B + C + D + E = 1/6 + 2/6 + 1/6 + 1/6 + 1/6 = 6/6 = 1
Kedua, cara yang disesuaikan dengan garis hukum yang terkandung dalam
Pasal 182 KHI dan Pasal 181 KHI:
Tahap I:
Bagian harta warisan dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris zul-fara’id:
A = ibu = 1/6 = 2/12, sebagai zul-fara’id (Pasal 178 KHI)
Saudara seibu dibagi berdasarkan Pasal 181 KHI:
D + E = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:12 h)
D = 1/6 = 2/12
E = 1/6 = 2/12
Sisa = 1 – (1/6 + 1/3) = 6/6 – (1/6 + 2/6) = 3/6 = 1/2,
Tahap II:
Oleh karena KHI tidak merumuskan saudara laki-laki sekandung dapat
menghijab saudara-saudara seayah, sebagaimana garis hukum yang ditemukan
penulis atas Pasal 182 KHI, maka pembagian sisa harta warisan yang telah
dibagikan kepada saudara seibu sebanyak 1/2 dapat dibagikan menurut ajaran
hukum kewarisan Islam Bilateral Hazairin, yaitu saudara-saudara sekandung
dapat tampil bersama-sama dengan saudara-saudara seayah.
B + C + F + G = sisa = 1/2;
B : C : F : G = 2 : 1 : 1 : 2
B = saudara lelaki sekandung = 2/6 x 1/2 = 2/12 = 1/6;
C = saudara perempuan sekandung = 1/6 x 1/2 = 1/12;
F = saudara perempuan seayah = 1/6 x 1/2 = 1/12;
G + saudara lelaki seayah = 2/6 x 1/2 = 2/12 = 1/6
A + B + C + D + E + F + G = 1/6 + 1/6 + 1/12 + 1/6 + 1/6 + 1/12 + 1/6 =
2/12 + 2/12 + 1/12 + 2/12 + 2/12 + 1/12 + 2/12 = 12/12
Gambar 8: ibu bersama seorang saudara perempuan sekandung, seorang
saudara laki-laki seayah, dan seorang saudara laki-laki seibu
Menurut Bilateral Hazairin:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
Sisa = 1 – 1/6 = 5/6
A
C B
D
B = (saudara perempuan sekandung) + C (saudara laki-laki seibu) = sisa = 5/6,
sebagai zul-qarabat (Q.4:176e), dengan perbandingan perolehan B:C:D
= 1:2:2;
B = 1/5 x 5/6 = 5/30 = 1/6;
C = 2/5 x 5/6 = 10/30 = 2/6
D = 2/5 x 5/6 = 10/30 = 2/6
Jumlah = A + B + C + D = 1/6 + 1/6 + 2/6 + 2/6 = 6/6 = 1
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f)
B = saudara perempuan sekandung) = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id
(Q.4:176b);
C = saudara laki-laki seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:12g);
Sisa = 1 – (1/6 + 3/6 + 1/6) = 1/6;
D = saudara laki-laki seayah = sisa = 1/6, sebagai ‘asabah binafsihi,
berdasarkan hadis Ibnu ‘Abbas;
Jumlah = A + B + C + D = 1/6 + 3/6 + 1/6 + 1/6 = 6/6 = 1
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
Penyelesaian menurut Kompilasi Hukum Islam dapat dilakukan dengan dua
cara. Pertama penyelesaian menurut ajaran hukum kewarisan Islam Patrilineal
Syafi’i.
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178)
B = saudara perempuan sekandung = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 182)
C = saudara laki-laki seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 181);
Sisa = 1 – (1/6 + 3/6 + 1/6) = 1/6,
D = saudara laki-laki seayah = sisa = 1/6, sebagai ‘asabah binafsihi
berdasarkan hadis Ibnu ‘Abbas jo. Pasal 182 jo. Pasal 229 KHI jo.
Muhammad Jawad Mughniyah;
Jumlah = A + B + C + D = 1/6 + 3/6 + 1/6 + 1/6 = 6/6 = 1
Kedua, sebagaimana temuan penulis (Neng Djubaedah) dalam menafsirkan
Pasal 182 KHI, maka penyelesaian kasus tersebut dapat dilakukan melalui dua
tahap.
Tahap I:
Bagian harta warisan dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris zul-fara’id:
A = ibu = 1/6 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Pasal 178 KHI)
C = saudara laki-laki seibu pewaris = 1/3 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Pasal
181 KHI);
Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 1– 2/6 = 4/6 = 2/3,
Tahap II:
Oleh karena Kompilasi Hukum Islam tidak merumuskan secara tegas saudara
perempuan sekandung berkedudukan sebagai ahli waris zul-fara’id jika ia
menjadi ahli waris bersama-sama dengan saudara laki-laki seayah dan saudara
laki-laki seayah mendapat sisa karena ia sebagai ‘asabah binafsihi
sebagaimana ajaran hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i, maka
penyelesaian kasus kewarisan tersebut dapat digabungkan dengan pendapat
Hazairin dan para muridnya. Dengan demikian, sisa harta warisan sebanyak
2/3, yaitu setelah dibagikan kepada ibu = 1/6 (Pasal 178 KHI) dan saudara
laki-laki seibu = 1/6 (Pasal 181 KHI), dibagikan kepada saudara perempuan
sekandung (B) dan saudara laki-laki seayah (D) berdasarkan Pasal 182 KHI
garis hukum g (temuan Neng Djubaedah), yaitu “Bila satu orang saudara
perempuan kandung tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki seayah,
maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara
perempuan.” Maka penyelesaian kasus kewarisan berikutnya sebagai berikut.
Sisa = 2/3;
B + D = sisa = 2/3;
B : D = 1 : 2;
B = saudara perempuan sekandung = 1/3 x 2/3 = 2/9 = 4/18;
D = saudara laki-laki seayah = 2/3 x 2/3 = 4/9 = 8/18
Jumlah = A + B + C + D = 1/6 + 2/9 + 1/6 + 4/9 = 3/18 + 4/18 + 3/18 + 8/18 =
18/18 = 1
E. Kedudukan Saudara dalam Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam merumuskan besar bagian saudara pewaris dalam
dua pasal, yaitu Pasal 181 dan Pasal 182 Pasal 181 menentukan:
“Bila seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat
seperenam (1/6) bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka
bersama-sama mendapat sepertiga (1/3) bagian.
Pasal 182 menentukan :
“Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia
mempunyai satu orang saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia
mendapat separo bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama
dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih,
maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara
perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau
seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan
saudara perempuan.
F. Hubungan Saudara dengan Pewaris dalam Penerapan Q.4:12g, 12 h
dan Q. 4:176
1. Penerapan Q.4:12 g, 12 h dan Q.4:176 menurut Hukum Kewarisan Islam
Ajaran Bilateral Hazairin:
Contoh-contoh kasus penerapan Q.4:12 g dan 12 g:
1. Apabila saudara (sekandung, seayah, maupun seibu) yang ditinggalkan
pewaris terdiri dari seorang saudara laki-laki dan seorang saudara
perempuan serta ayah masih hidup, maka masing-masing mendapat
seperenam (1/6) (Q.4:12g).
Gambar:
1.
Dalam gambar-gambar kewarisan tersebut, ayah masih hidup maka
saudara kandung pewaris, laki-laki atau perempuan (gambar 1),
mendapat 1/6, ibu = 1/6 (mengikuti pendapat Hazairin yang
dikembangkan oleh muridnya, Sajuti Thalib), sisanya = 2/3, diberikan
kepada ayah. Demikian pula penyelesaian kasus pada gambar 2:
pewaris meninggalkan ayah, ibu dan satu orang saudara seayah, laki-
laki atau perempuan; juga penyelesaian kasus pada gambar 3: pewaris
meninggalkan ayah, ibu dan satu orang saudara seibu, laki-laki atau
perempuan, adalah sama baik proses maupun hasil akhir pembagian
harta warisan.
Jika kasus-kasus tersebut diselesaikan menurut Patrilineal Syafi’i dan
KHI, maka orang-orang yang dapat menjadi ahli waris adalah ibu =
1/3, sisanya 2=3 diberikan kepada ayah sebagai ‘asabah. Sedangkan
saudara terhijab oleh ayah, karena pewaris belum kalalah.
2. Apabila saudara-saudara (sekandung, seayah, maupun seibu) yang
ditinggalkan pewaris terdiri dari dua orang saudara atau lebih serta
ayah masih hidup, maka secara bersama-sama (bersyuraka) mereka
mendapat sepertiga (1/3) (Q.4:12h), dibagi rata di antara mereka, tanpa
membedakan jenis kelamin dari saudara-saudara bersangkutan, apakah
laki-laki atau perempuan.
Gambar:
Menurut Bilateral Hazairin, penyelesaian kasus kewarisan tersebut
adalah karena ayah masih hidup, maka diterapkan Q.4:12h. Ibu = 1/6,
saudara-saudara pewaris, baik saudara kandung, saudara seayah dan
saudara seibu, secara bersama-sama memperoleh 1/3, dibagi sama rata
di antara mereka, tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki atau
perempuan. Sisa harta warisan = 1/2, diberikan kepada ayah sebagai
zul qarabat.
Contoh kasus penerapan Q.4:176:
3. Jika pewaris meninggal dunia dalam keadaan kalalah, yaitu tidak
meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan
beserta keturunannya sedangkan ayah pewaris-pun telah meninggal
dunia terlebih dahuolu dari pewaris, maka, menurut Hazairin,
digunakan an-Nisa ayat 176. Contoh kasus telah dikemukakan pada
penjelasan di atas pada Bab ini.
Gambar:
Menurut Bilateral Hazairin, oleh karena ayah telah meninggal
dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka dasar hukum yang digunakan
adalah Q.4:176.
Pada gambar 1: ibu = 1/6 sebagai zul-fara’id; saudara-saudara
sekandung = sisa = 5/6, sebagai zul-qarabat, dengan perbandingan
perolehan saudara laki-laki dua bagian saudara perempuan. Saudara
laki-laki = 2/3 x 5/6 = 10/18; saudara perempuan = 1/3 x 5/6 = 5/18.
Pada gambar 2: ibu = 1/6 sebagai zul-fara’id; saudara-saudara
perempuan sekandung, seayah dan seibu bersama-sama mendapat 2/3
= 4/6, sebagai zul-fara’id; Sisa = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan
saudara-saudara perempuan pewaris ibu = 1/5 = 3/15, saudara-saudara
perempuan = 4/5 = 12/15, kemudian dibagi rata di antara mereka,
sehingga masing-masing saudara memperoleh 1/3 x 4/5 = 4/15.
Jika kasus tersebut diselesaikan menurut Patrilineal Syafi’i, maka
orang-orang yang dapat menjadi ahli waris adalah ibu = 1/6; saudara
perempuan seibu = 1/6; saudara perempuan sekandung = 1/2; saudara
perempuan seayah = 1/6 sebagai takmilah.
Kompilasi Hukum Islam belum mengatur tentang para ahli waris
tersebut, sebagaimana tafsiran penulis terhadap Pasal 182 KHI tersebut
di atas. Meskipun demikian, dalam menyelesaikan kasus tersebut dapat
menerapkan Pasal 181 jo. Pasal 182 jo, Pasal 229 KHI.
2. Penerapan Q.4:12 g, 12 h dan Q.4:176 menurut Hukum Kewarisan Islam
Ajaran Patrilineal Syafi’i:
Menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, an-Nisa ayat
12 (Q.4:12g; Q. 4:12h) digunakan untuk saudara seibu saja. Karena itu, menurut
ajaran ini, kedudukan saudara seibu, selalu menjadi ahli waris zul-fara’id.
a. Contoh-contoh kasus penerapan Q.4:12 g dan 12 h:
1. Jika saudara seibu pewaris itu hanya seorang, maka ia tidak pernah
mendapat kurang dari seperenam, kecuali ‘awl (Q.4:12 g).
Gambar :
Menurut Patrilineal Syafi’i, satu orang saudara seibu pewaris baik laki-laki
ataupun perempuan, mendapat 1/6 (Q.4:12g). ibu = 1/3 = 2/6 (Q.4:11 e),
karena pewaris meninggalkan satu orang saudara. Sisanya = 3/6 = 1/2, di-
radd-kan kepada ibu dan saudara seibu (menurut jumhur sahabat, sedangkan
menurut Ibnu Mas’ud hanya dapat di-radd-kan kepada ibu saja). Jadi ibu =
2/3; dan saudara seibu = 1/3 (menurut jumhur sahabat).
Menurut KHI satu orang saudara seibu pewaris, baik laki-laki ataupun
perempuan mendapat 1/6, (Pasal 181). Ibu = 1/3 = 2/6 (Pasal 178), karena
pewaris meninggalkan satu orang saudara. Sisanya = 3/6 = 1/2, di-radd-kan
kepada ibu dan saudara seibu. Jadi ibu = 2/3 (Pasal 178 jo. Pasal 193); dan
saudara seibu = 1/3 (Pasal 181 jo. Pasal 193)).
Menurut Bilateral Hazairin, penyelesaian kasus tersebut berdasarkan
Q.4:176, karena ayah telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris.
Ibu = 1/6 (tafsiran Sajuti Thalib, Q.4:11 f); satu orang saudara laki-laki seibu
= sisa = 5/6 (Q.4:176 c).
Jika saudara yang menjadi ahli waris itu seorang saudara perempuan seibu,
maka ia mendapat = 1/2 = 3/6 (Q. 4:176 b); ibu = 1/6. Sisa = 1/3, di-radd-kan
A
B
kepada ibu dan saudara perempuan seibu. Ibu = 1/4; satu orang saudara
perempuan seibu 3/4.
2. Jika saudara seibu terdiri dari dua orang saudara atau lebih, baik laki-
laki maupun perempuan, maka secara bersama-sama mereka bersyuraka dan
berbagi rata dari sepertiga (1/3), dengan tidak membedakan antara saudara
laki-laki dan saudara perempuan seibu tersebut.
Gambar :
Menurut Patrilineal Syafi’i, ibu = 1/6 (Q.4:11 f) tiga orang saudara seibu =
1/3 = 2/6 (Q.4:12 h); sisa = 1/2 , di-radd-kan kepada ibu dan saudara-saudara
seibu (menurut jumhur sahabat; sedangkan menurut Ibnu Mas’ud, hanya di-
radd-kan kepdaa ibu saja). Ibu = 1/3; saudara-saudara seibu = 2/3, dibagi rata
di antara mereka, tanpa membedakan jenis kelamin. Masing-masing saudara
seibu mendapat 1/3 x 2/3 = 2/9.
Menurut KHI, saudara-saudara seibu pewaris, baik laki-laki ataupun
perempuan mendapat 1/3, (Pasal 181). Ibu = 1/6 (Pasal 178), karena pewaris
meninggalkan lebih dari dua orang saudara. Sisanya = 3/6 = 1/2, di-radd-kan
kepada ibu dan saudara-saudara seibu. Jadi ibu = 1/3 (Pasal 178 jo. Pasal 193);
dan saudara-saudara seibu = 2/3, dibagi rata di antara mereka, tanpa
membedakan jenis kelamin. Masing-masing saudara seibu mendapat 1/3 x 2/3
= 2/9 (Pasal 181 jo. Pasal 193).
Menurut Bilateral Hazairin, penyelesaian kasus tersebut berdasarkan
Q.4:176, karena ayah telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris.
Ibu = 1/6 (Q.4:11 f); saudara laki-laki seibu dan saudara perempuan seibu =
sisa = 5/6 (Q.4:176 e), dengan perbandingan perolehan saudara laki-laki dua
bagian saudara perempuan. Saudara laki-laki seibu = 2/4 x 5/6 = 10/24;
masing-masing saudara perempuan seibu = ¼ x 5/6 = 5/24.
b. Contoh-contoh kasus penerapan Q.4:176: Menurut Patrilineal Syafi’i
A
D C
B
Surah an-Nisa ayat 176, menurut hukum kewarisan Islam ajaran
Patrilineal Syafi’I, digunakan untuk menentukan besar bagian harta warisan
bagi saudara kandung atau saudara seayah, baik laki-laki maupun
perempuan.
1. Apabila pewaris meninggalkan ahli waris seorang saudar perempuan
sekandung (A) dan saudara atau saudara-saudara perempuan seayah (B dan
C), maka saudara perempuan sekandung mendapat setengah (1/2) harta
warisan (Q.4:176b) sebagai zul-fara’id dan saudara atau saudara-saudara
perempuan seayah mendapat seperenam (1/6) sebagai takmilah atau
melengkapi jumlah dua pertiga (2/3) (hadis Ibnu Mas’ud).
Gambar :
Kompilasi Hukum Islam yang lebih cenderung kepada ajaran Patrilineal
Syafi’i, belum menentukan secara tegas mengenai besar bagian satu orang
saudara perempuan kandung jika ia mewaris bersama-sama dengan satu orang
atau lebih saudara perempuan seayah, sebagaimana garis hukum yang
dirumuskan penulis atas Pasal 182 KHI.
Menurut ajaran Patrilineal Syafi’i, yang diterapkan juga di Mesir, satu
orang saudara perempuan sekandung mendapat 1/2 jika mewarisi bersama-
sama dengan saudara perempuan seayah. Sedangkan saudara perempuan
seayah berapa pun jumlahnya (jika tidak disertai oleh saudara laki-laki seayah
sebagai ‘asabah) adalah memperoleh 1/6 sebagai takmilah. Hal tersebut belum
ditentukan secara tegas KHI. Sisa harta warisan = 1/3, di-radd-kan kepada
saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah pewaris
(menuntut jumhur sahabat yang diikuti di Mesir; sedangkan menurut Ibnu
Mas’ud, di-radd-kan kepada saudara sekandung saja). Saudara sekandung = ¾
(setelah ditambah radd); dua orang saudara seayah = 1/4.jadi masing-masing
mendapat 1/8.
Jika dilihat dari garis hukum huruf d yang dirumuskan penulis terhadap
Pasal 182 KHI, bahwa. “Bila satu orang saudara perempuan kandung tersebut
A C
B
bersama-sama dengan saudara perempuan seayah dua orang atau lebih, maka
mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian,” maka, garis hukum
tersebut sesuai dengan ajaran Bilateral Hazairin.
Menurut hukum kewarisan Islam bilateral Hazairin, jika pewaris
meninggalkan saudara-saudara perempuan pewaris, baik sekandung dan/atau
seayah dan/atau seibu, sedangkan ayah telah meninggal dunia terlebih dahulu
dari pewaris, maka saudara-saudara perempuan tersebut mendapat 2/3,
berdasarkan Q.4:176 d (KHI : Pasal 182 garis hukum d). Sisa harta warisan =
1/3 di-radd-kan kepada semua saudara perempuan tersebut Jadi masing-
masing saudara perempuan mendapat 1/3 bagian (KHI: Pasal 182 jo. Pasal
193).
Alasan penerapan Q.4:176d, menurut Bilateral Hazarin, disebabkan karena
ayah pewaris telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Dan, alasan
yang dimuat dalam Pasal 182 pun adalah karena pewaris meninggal tanpa
meninggalkan ayah dan anak.
Perlu diingatkan kembali, bahwa alasan penerapan Q.4:12 g dan 12 h yang
dirumuskan dalam Pasal 181 KHI, adalah terdapat perbedaan pengertian
kalalah antara Bilateral Hazairin dengan KHI. Ajaran Bilateral Hazairin
beralasan sebagai syarat ditetapkannya Q.4:12 g dan 12 h adalah karena ayah
pewaris masih hidup sedangkan alasan yang dimuat sebagai syarat
ditetapkannya Pasal 181 KHI adalah karena pewaris meninggal tanpa
meninggalkan anak dan ayah/
2. Apabila pewaris meninggalkan dua orang saudara perempuan
sekandung atau lebih dan saudara perempuan seayah, maka saudara-saudara
perempuan kandung (A dan B) mendapat dua pertiga (2/3) (Q.4:176d) sebagai
zul-fara’id , sedangkan saudara perempuan seayah (C) terhijab (terhalang)
oleh saudara-saudara perempuan kandung. Dalam kasus ini terjadi sisa bagi
sebanyak sepertiga (1/3), maka sisa bagi itu di-radd-kan kepada saudara-
saudara perempuan sekandung.
Gambar :
A B
C
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A + B = saudara-saudara perempuan sekandung = 2/3 sebagai zawil-furud
(Q.4:176d);
C = saudara perempuan seayah = mahjub oleh A + B = 0, tidak mendapat
harta warisan, karena saudara perempuan seayah hanya berhak mendapat 1/6
sebagai takmilah untuk melengkapi jumlah saudara perempuan sekandung.
Sisa = 1 – 2/3 = 1/3 di radd-kan kepada A dan B, masing-masing mendapat
1/2.
Jika kasus kewarisan tersebut diselesaikan menurut Kompilasi Hukum
Islam yang tampaknya lebih cenderung kepada ajaran Patrilineal Syafi’i,
ternyata KHI belum menentukan masalah terhijabnya saudara perempuan
seayah oleh dua orang saudara perempuan sekandung, sebagaimana ajaran
Patrilineal Syafi’i. Bahkan, berdasarkan garis hukum yang dibuat oleh penulis
pada huruf e terhadap Pasal 182 KHI, ditemukan bahwa penyelesaian terhadap
kasus tersebut berdasarkan Pasal 182 KHI adalah lebih sesuai dengan ajaran
Bilateral Hazairin.
Garis hukum huruf e dari Pasal 182 KHI, bahwa, “Bila satu orang saudara
perempuan seayah tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan
kandung dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua
pertiga bagian.” Garis hukum yang bersumberkan Pasal 182 tersebut adalah
hanya sesuai dengan Bilateral Hazairin saja.
Maka, saudara-saudara pewaris, yang terdiri dari dua orang saudara
perempuan kandung dan seseorang saudara perempuan seayah, 2/3 (Q.4:176
d), sisanya = 1/3, di-radd-kan kepada saudara-saudara perempuan tersebut.
Jadi, masing-masing saudara perempuan, baik saudara sekandung ataupun
saudara seayah, mendapat 1/3 bagian (KHI: garis hukum huruf e Pasal 182 jo.
Pasal 193).
3. Apabila pewaris meninggalkan dua orang saudara perempuan kandung
(A dan B) atau lebih bersama-sama dengan saudara laki-laki (D) dan saudara
perempuan (C) seayah, maka saudara-saudara perempuan kandung mendapat
dua-per-tiga (2/3) (Q.4:176d), sedangkan sisanya, yaitu sepertiga (1/3)
diberikan kepada saudara laki-laki dan saudara perempuan seayah sebagai
‘asabah. Besar bagian antara saudara laki-laki seayah dengan saudara
perempuan seayah adalah dua berbanding satu (2:1) (Q.176 e).
Gambar :
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A + B = saudara-saudara perempuan sekandung = 2/3, sebagai zawil-furud
(Q.4:176d)
Sisa = 1 – 2/3 = 1/3;
D + C = saudara laki-laki dan saudara perempuan seayah = sisa = 1/3, sebagai
asabah (Q.4: 176 e jo. hadis Ibnu ‘Abbas);
D : C = 2 : 1;
D = 2/3 x 1/3 = 2/9;
C = 1/3 x 1/3 = 1/9.
Jika kasus kewarisan tersebut diselesaikan menurut Kompilasi Hukum
Islam yang tampaknya lebih cenderung kepada ajaran Patrilineal Syafi’i,
ternyata KHI belum menentukan masalah saudara laki-laki seayah bersama-
sama dengan saudara perempuan seayah berkedudukan sebagai ‘asabah yang
mendapat sisa, yaitu 1/3 (sepertiga) bagian, setelah harta warisan dibagikan
sebanyak 2/3 bagian kepada saudara perempuan sekandung yang berjumlah
dua orang atau lebih, sebagaimana ajaran Patrilineal Syafi’i.
4. Apabila pewaris meninggalkan satu orang atau dua orang saudara laki-
laki sekandung atau lebih (A dan B), dan seorang saudara perempuan seayah
(C), maka seluruh harta warisan diberikan kepada saudara laki-laki kandung
tersebut (Q.4:176c) sebagai ‘asabah binafsihi, dan mereka menghijab saudara
perempuan seayah.
Gambar :
A B
C D
A B
C
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A + B = saudara-saudara laki-laki sekandung = seluruh harta, sebagai asabah
binafsihi (Q.4:176 c);
C = saudara perempuan seayah, mahjib oleh saudara laki-laki sekandung.
Jika kasus kewarisan tersebut diselesaikan menurut Kompilasi Hukum
Islam yang tampaknya lebih cenderung kepada ajaran Patrilineal Syafi’i,
ternyata Pasal 182 KHI juga belum menentukan saudara laki-laki sekandung
sebagai ‘asabah dapat menghijab saudara perempuan seayah, jika mereka
mewaris bersama-sama. sebagaimana ajaran Patrilineal Syafi’i, saudara laki-
laki sekandung berkedudukan seabagai ‘asabah yang menghijab saudara
perempuan seayah.
Berdasarkan garis-garis hukum yang dibuat penulis terhadap Pasal 182
KHI, ternyata belum ditemukan bahwa, “Kedudukan saudara laki-laki
sekandung dapat menghijab saudara-saudara laki-laki seayah jika mereka
menjadi ahli waris bersama-sama”.
Bahkan, pada garis hukum huruf h yang dibuat penulis untuk memahami
Pasal 182 KHI dapat ditemukan, “Bila satu orang saudara perempuan seayah
tersebut bersama-sama dengan saudara-saudara laki-laki kandung, maka
bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara
perempuan”. Setelah di analisis ternyata, garis hukum tersebut sesuai dengan
Bilateral Hazairin.
Oleh sebab itu, dalam menyelesaikan kasus kewarisan tersebut dalam
gambar, maka, Kompilasi Hukum Islam memungkinkan bagi sistem hukum
kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i maupun Bilateral Hazairin untuk
diterapkan, berdasarkan Pasal 182 jo. Pasal 229 KHI.
Menurut ajaran Bilateral Hazairin, dua orang saudara laki-laki sekandung
bersama-sama dengan seorang saudara perempuan seayah mendapat seluruh,
harta warisan sebagai zul-qarabat berdasarkan Q.4:176e. Maka, A : B : C = 2 :
2 : 1. A = saudara laki-laki sekandung = 2/5 bagian; B = saudara laki-laki
sekandung = 2/5 bagian, C = saudara perempuan seayah = 1/5 bagian.
5. Apabila pewaris meninggalkan satu orang atau dua orang saudara laki-
laki sekandung (A dan B) atau lebih, bersama-sama dengan saudara laki-laki
seayah (C) dan saudara perempuan (D) seayah, maka dua orang saudara laki-
laki sekandung mendapat seluruh harta (Q.4:176c), sebagai asabah binafsihi,
dan menghijab saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah.
Gambar :
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A + B = seluruh harta warisan sebagai asabah binafsihi (Q.4:176 c);
C + D = saudara laki-laki seayah dan saudara perempuan seayah = mahjub
oleh A dan B = 0.
Jika kasus kewarisan tersebut diselesaikan menurut Kompilasi Hukum
Islam yang tampaknya lebih cenderung kepada ajaran Patrilineal Syafi’i,
ternyata Pasal 182 KHI juga belum menentukan saudara laki-laki sekandung
sebagai ‘asabah dapat menghijab saudara laki-laki sekandung sebagai ‘asabah
yang menghijab saudara laki-laki seayah dan/atau saudara perempuan seayah,
jika mereka mewaris bersama-sama.
Berdasarkan garis-garis hukum yang dibuat penulis terhadap Pasal 182
KHI, ternyata belum ditemukan bahwa, “Kedudukan saudara laki-laki
sekandung dapat menghijab saudara-saudara laki-laki seayah jika mereka
menjadi ahli waris bersama-sama”.
Pada garis hukum huruf k yang dibuat penulis untuk memahami Pasal 182
KHI dapat ditemukan bahwa, “Bila satu orang saudara perempuan seayah
tersebut bersama-sama dengan saudara-saudara laki-laki sekandung dan/atau
saudara laki-laki seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding
satu dengan saudara perempuan. “Rumusan garis hukum tersebut sesuai
dengan Bilateral Hazairin.
Oleh sebab itu, dalam menyelesaikan kasus kewarisan tersebut dalam
gambar, maka, Kompilasi Hukum Islam memungkinkan bagi sistem hukum
kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i maupun Bilateral Hazairin untuk
diterapkan, berdasarkan Pasal 182 jo. Pasal 229 KHI.
Menurut ajaran Bilateral Hazairin, dua orang saudara laki-laki sekandung
bersama-sama dengan seorang saudara laki-laki seayah dan seorang saudara
perempuan seayah mendapat seluruh harta warisan sebagai zul-qarabat
berdasarkan Q.4:176 e. Maka, A : B : C : D = 2 : 2 : 2 : 1.
A B
C D
A = saudara laki-laki sekandung = 2/7 bagian; B = saudara laki-laki
sekandung = 2/7 bagian; C = saudara laki-laki seayah = 27 bagian; D =
saudara perempuan seayah = 1/7 bagian.
6. Apabila pewaris meninggalkan saudara laki-laki sekandung (A) dan
saudara perempuan (B) sekandung, maka dua orang saudara sekandung
tersebut mendapat seluruh harta sebagai asabah, dengan perbandingan saudara
laki-laki berbanding saudara perempuan adalah dua berbanding satu (2:1)
(Q.4:176e).
Gambar :
Penyelesaian kasus kewarisan tersebut, baik menurut Patrilineal Syafi’i,
Bilateral Hazairin, maupun Kompilasi Hukum Islam adalah sama, yaitu A dan
B memperoleh seluruh harta warisan. A = saudara laki-laki kandung = 2/3
(Q.4:176 e; KHI: Pasal 182); B = saudara perempuan sekandung = 1/3
(Q.4:176 e; KHI: Pasal 182).
a. Saudara Seayah
Pembahasa khusus mengenai saudara seayah adlaah karena dalam hukum
kewarisan Islam ajara Patrilineal Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam,
kedudukan saudara seayah, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai
kedudukan tersendiri, tidak sama dengan kedudukan saudara seibu, juga tidak
sama dengan kedudukan saudara sekandung.
Menurut ajaran Patrilineal Syafi’i, saudara seibu, baik laki-laki maupun
perempuan, berkedudukan yang cenderung sama dengan ibu, yaitu mereka
selalu menjadi zul-fara’id. Mereka juga memperoleh bagian harta warisan
yang sama dengan ibu, yaitu tidak pernah kurang dari seperenam (1/6), kecuali
‘aul, dan tidak pernah lebih dari sepertiga, kecuali jika mereka mendapat
bagian ditambah radd, jika mereka terdiri dari dua orang saudara seibu atau
lebih.
Saudara seayah pewaris, baik saudara laki-laki seayah maupun saudara
perempuan seayah, menurut ajaran Patrilineal Syafi’i, kedudukan mereka
sebagai ahli waris jika, (i) pewaris kalalah; (ii) tidak ada saudara perempuan
sekandung yang menjadi ahli waris sebagai ma’al gairi; (iii) jenis kelamin
A B
saudara kandung adalah perempuan; (iv) eksistensi saudara sekandung sebagai
ahli awris terhalang sebagai ahli waris.
1. Apabila pewaris meninggalkan ahli waris seorang saudara perempuan
saja (A), maka ia mendapat setengah (/2) harta warisan (Q.4:176 b) sebagai
zul-fara’id, dan sisanya di-radd-kan kepada saudara perempuan seayah
tersebut.
Gambar :
Penyelesaian:
A = saudara perempuan seayah = 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b);
Sisa = 1 – 1/2 = 1/2 di-radd-kan kepada A. Jadi A = seluruh harta warisan.
Ditinjau dari sistem hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin dan
Kompilasi Hukum Islam, perolehan harta warisan bagi saudara perempuan
seayah tersebut adalah sama.
2. Apabila pewaris meninggalkan dua orang saudara perempuan seayah (A
dan B), maka saudara-saudara perempuan seayah mendapat dua-per-tiga (2/3)
(Q.4:176d) sebagai zul-fara’id, dan sisanya di-radd-kan kepada saudara
perempuan seayah tersebut.
Gambar :
Penyelesaian:
A + B = saudara-saudara perempuan seayah = 2/3, sebagai zul-fara’id
(Q.4:176b);
Sisa = 1 – 2/3 = 1/3 di-radd-kan kepada A dan B.
A
B A
Ditinjau dari sistem hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin dan
Kompilasi Hukum Islam, perolehan harta warisan bagi saudara perempuan
seayah tersebut adalah sama.
3. Apabila pewaris meninggalkan satu orang atau dua orang saudara laki-
laki seayah (A dan B) atau lebih, maka saudara-saudara laki-laki seayah
mendapat seluruh harta (Q.4:17 c) sebagai asabah binafsihi.
Gambar :
Penyelesaian:
A + B = saudara-saudara laki-laki seayah = seluruh harta, sebagai asabah
binafsihi (Q.4:176c);
Ditinjau dari sistem hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin dan
Kompilasi Hukum Islam, perolehan harta warisan bagi saudara perempuan
seayah tersebut adalah sama.
4. Apabila pewaris meninggalkan saudara laki-laki seayah (A) dan saudara
perempuan seayah (B), maka saudara-saudara seayah tersebut mendapat
seluruh harta sebagai asabah, dengan perbandingan saudara laki-laki
berbanding saudara perempuan adalah dua berbanding satu (2:1) (Q.4.176e)
Gambar :
Penyelesaian:
A + B = seluruh harga, sebagai asabah (Q.4:176e);
A : B = 2 : 1;
A = saudara laki-laki seayah = 2/3, sebagai asabah binafsihi (Q.4:176e)
B = saudara perempuan seayah = 1/3, sebagai asabah bil-gairi (Q.4:176e)
B A
B A
Ditinjau dari sistem hukum kewarisan Islam ajaran Bilaeral Hazairin dan
Kompilasi Hukum Islam, perolehan harta warisan bagi saudara perempuan
seayah tersebut adalah sama.
5. Apabila pewaris meninggalkan ahli waris seorang saudara perempuan
seayah saja (A) dan kemenakan laki-laki (B) melalui saudara laki-laki
sekandung yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka
saudara perempuan seayah mendapat setengah (1/2) harta warisan (Q.4:176 b)
sebagai zul-fara’id dan sisanya diberikan kepada kemenakan laki-laki (B).
Gambar :
Penyelesaian menurut Patrilineal Syafi’i, seperti telah dikemukakan,
bahwa A = saudara perempuan seayah pewaris mendapat harta warisan
berdasarkan kedudukannya sebagai ahli waris zul fara’id dan B mendapat sisa
1/2.
Menurut ajaran Bilateral Hazairin, B, kemenakan pewaris dapat tampil
sebagai mawali ayahnya (saudara laki-laki sekandung pewaris). Jadi,
pembagian harta warisan sebagai berikut, yaitu = A dan ayah B (saudara laki-
laki sekandung dianggap masih hidup) = seluruh harta warisan, sebagai zul
qurabat (Q.4:176 e);
A : ayah B = 1 : 2;
A = 1/3
Ayah B = 2/3, diberikan kepada B sebagai mawali (Q.4:11 a jo. Q.4 : 33 a)
Kompilasi Hukum Islam belum mengatur secara tegas masalah kewarisan
tersebut. meskipun demikian, dalam menyelesaikannya dapat menerapkan
Pasal 182 dan Pasal 185 KHI, atau berdasarkan ajaran Patrilineal Syafi’i
sebagai aliran yang diikuti KHI, meskipun tidak secara keseluruhan.
Penyelesaiannya sebagaimana diuraiankan di atas, berdasarkan Pasal 182 jo.
Pasal 229 KHI.
B
A
Cara penyelesaian lain pun dapat dilakukan, yaitu berdasarkan Pasal 182
jo. Pasal 185 KHI. Menurut Pasal 182, sebagaimana garis hukum yang
ditemukan penulis, saudara perempuan seayah dapat tampil sebagai ahli waris
bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung.
Garis hukum huruf i dari Pasal 182, dirumuskan bahwa, “bila satu orang
saudara perempuan seayah tersebut bersama-sama dengan saudara-saudara
laki-laki kandung, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu
dengan saudara perempuan.”
Setelah dianalisis, ternyata garis hukum tersebut sesuai dengan hukum
kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin.
Menurut ajaran Bilateral Hazairin, sebagaimana telah diuraikan di atas,
bahwa saudara perempuan seayah dapat menjadi ahli waris bersama-sama
dengan kemenakan pewaris, berdasarkan Q.4:176 e jo. Q.4:11 jo. Q.4 : 33a.
Kompilasi Hukum Islam, juga merumuskan ahli waris pengganti dalam Pasal
185, bahwa;
1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam Pasal 173.
2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris
yang sederajat dengan yang diganti.
Menurut Bilateral Hazairin besar bagian yang diterima B, kemenakan
pewaris melalui saudara laki-laki sekandung pewaris adalah lebih besar dari
A, saudara perempuan seayah pewaris, yang kedudukannya sederajat dengan
ahli waris yang digantikan, yaitu ayahnya B. A mendapat 1/3, sedangkan B
mendapat 2/3.
Oleh sebab itu, penyelesaian kasus kewarisan tersebut berbeda dengan
ajaran Bilateral Hazairin tetapi cenderung sesuai dengan ajaran Patrilineal
Syafi’i.
b. ‘Asabah Maalgairi tidak berdasarkan Q.4:12 g, 12 h, dan Q.4:176
tetapi Hadis.
Ahli waris ‘asabah ma’al-gairi terjadi, jika para ahli waris itu terdiri dari
perempuan saja. Misalnya, anak perempuan bersama-sama dengan saudara
perempuan sekandung atau saudara perempuan seayah pewaris; atau cucu
perempuan melalui anak laki-laki yang telah meninggal dunia terlebih dahulu
dari pewaris menjadi ahli waris bersama-sama dengan saudara perempuan
sekandung atau saudara perempuan seayah pewaris.
Besar bagian yang diterima oleh ahli waris ‘asabah ma’al-gairi tidak
berdasarkan surah an-Nisa ayat 12 maupun ayat 176, tetapi ia memperoleh
sisa, berdasarkan hadis Mu’az bin Jabbal, diriwayatkan Abu Daud dan
Bukhari, bahwa,
“Sesungguhnya Mu’az bin Jabal bagikan pusaka bagi seorang saudara
perempuan (sekandung) dan seorang anak perempuan. Ia beri tiap-tiap
seorang dan mereka separoh, padahal ia di Yaman, sedang Nabi saw pada
ketika itu masih hidup”.
Ahli waris ‘asabah ma’al-gairi dikenal dalam hukum kewarisan Islam
ajaran Patrilineal Syafi’i. Ajaran Bilateral Hazairin tidak mengenal ahli waris
‘asabah ma’al gairi, karena jika pewaris meninggalkan anak perempuan atau
keturunan perempuan melalui anak laki-laki pewaris, maka saudara
perempuan pewaris, baik sekandung atau seayah, atau seibu, tidak dapat
tampil sebagai ahli waris. Hal itu disebabkan karena pewaris belum kalalah.
Kompilasi Hukum Islam, menurut Pasal 181 jo. Pasal 182 jo. Pasal 185
KHI, saudara pewaris dapat tampil sebagai ahli waris jika pewaris tidak
meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, dan ayah.
Contoh kasus kewarisan ahli waris ‘asabah ma’al gairi menurut ajaran
hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i:
1. Apabila pewaris meninggalkan saudara perempuan sekandung (B) dan
seorang perempuan (A). maka anak perempuan pewaris mendapat setengah
(1/2) harta warisan (Q.4:11c), dan saudara perempuan kandung pewaris
mendapat sisa, yaitu setengah (1/2) sebagai asabah ma’al gairi (hadis Ibnu
Mas’ud).
Gambar :
B
A
Menurut Bilateral Hazairin dan Kompilasi Hukum Islam, saudara
perempuan sekandung tidak dapat tampil sebagai ahli waris, karena masih ada
anak perempuan pewaris, A, sebagai zul-fara’id = 1/2 (Q.4:11 c; KHI : Pasal
176), sisanya = 1/2, di-radd-kan kepada A. Jadi A mendapat seluruh harta.
2. Apabila pewaris meninggalkan saudara perempuan kandung (C) dan
dua anak perempuan kandung atau lebih (A dan B) maka dua orang anak
perempuan pewaris mendapat dua per-tiga (2/3) harta warisan (Q.4:11b), dan
saudara perempuan kandung pewaris mendapat sisa, yaitu sepertiga (1/3)
sebagai asabah ma’al gairi (hadis Ibnu Mas’ud).
Gambar :
Penyelesaian menurut ajaran Bilateral Hazairin dan Kompilasi Hukum
Islam adalah sama, yaitu saudara perempuan sekandung (C) tidak dapat tampil
sebagai ahli waris, karena masih ada dua orang anak perempuan ( A dan B).
A + B = 2/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11b; KHI: Pasal 176);
Sisa = 1/3, di-radd-kan kepada A dan B (Pasal 193).
A = 1/2;
B = 1/2.
3. Apabila pewaris meninggalkan saudara perempuan sekandung (B) dan
satu orang keturunan perempuan (A) melalui anak laki-laki yang telah
meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris (cucu perempuan melalui anak
laki-laki pewaris), maka cucu perempuan pewaris (A) mendapat setengah
(1/2) harta warisan (Q.4:11c jo. hadis Zaid bin Sabit), dan saudara perempuan
C
A B
sekandung pewaris (B) mendapat sisa, yaitu setengah (1/2) sebagai asabah
ma’al-gairi (hadis Ibnu Mas’ud).
Gambar :
4. Kedua Harta warisan yang diperoleh ayahnya A dan B, diberikan
kepada A + B = cucu perempuan melalui anak laki-laki = 2/3 sebagai zul-
fara’id (Q.4: 11b; KHI : Pasal 176), sisanya = 1/3, di-radd-kan kepada A + B
(Pasal 193). Jadi A = 1/2 bagian, B = 1/2 bagian.
Gambar :
c. ‘Asabah maal-gairi dalam Kompilasi Hukum Islam
Sebagaimana telah dikemukakan, Kompilasi Hukum Islam belum
merumuskan secara tegas mengenai ‘asabah maal gairi.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, saudara perempuan sekandung atau
saudara perempuan seayah pewaris tidak dapat tampil sebagai ahli waris,
apabila pewaris meninggalkan anak perempuan atau anak laki-laki beserta
keturunannya serta ayah masih hidup.
B
A
C
A
B
Jadi, menurut Kompilasi Hukum Islam, misalnya dalam contoh-contoh
kasus ‘asabah maal-gairi di atas, saudara perempuan sekandung pewaris tidak
dapat tampil sebagai ahli waris, karena pewaris tidak kalalah. Dalam contoh-
contoh kasus kewarisan tersebut, pewaris meninggalkan anak perempuan
dan/atau keturunan perempuan melalui anak laki-laki pewaris yang telah
meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Anak-anak perempuan dan
cucu-cucu perempuan melalui anak laki-laki yang telah meninggal dunia
menurut Pasal 176 jo. Pasal 181, Pasal 182 jo. Pasal 185 KHI, dapat menutup
saudara perempuan sekandung atau saudara perempuan seayah, sehingga ia
tidak dapat tampil sebagai ahli waris.
3. Penerapan Q.4:12 g, 12 h, dan Q.4:176 dalam Kompilasi Hukum Islam
Sebagaimana telah dikemukakan, Pasal 181 Kompilasi Hukum Islam
merupakan rumusan yang bersumber pada surah an-Nisa ayat 12 (Q.4:12g;
Q.4:12b) yang ditafsirkan dalam hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i,
yaitu hanya untuk saudara seibu.
Pasal 182 Kompilasi Hukum Islam juga merupakan rumusan ulang dari
pendapat Patrilineal Syafi’i atas penerapan an-Nisa ayat 176, tetapi tidak mutlak
seluruhnya sesuai dengan ajaran tersebut. Karena, setelah penulis membuat garis-
garis hukum berdasarkan Pasal 182, ditemukanlah beberapa garis hukum yang
sesuai dengan hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i dan ajaran
Bilateral Hazairin, ada pula yang hanya sesuai dengan hukum kewarisan Islam
ajaran Bilateral Hazairin saja. Sedangkan ahli waris asabah ma’al gairi tidak
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.
BAGIAN WARISAN UNTUK KAKEK
A. Menurut Hukum Kewarisan Islam Ajaran Bilateral Hazairin:
Ketentuan besar bagian bagi kakek tidak ditentukan secara qai’i dalam al-
Qur’an. Menurut hukum kewarisan Islam bilateral Hazairin, kakek (sebagai
mawali untuk mak atau mawali untuk ayah) termasuk dalam kelompok keutamaan
keempat, bersama-sama dengan janda atau duda (Q.4:12a, Q.4:12d), berdasarkan
surah an-Nisa ayat 11e (Q.4:11e). Dengan demikian, menurut penulis besar
bagian kakek, memuat ajaran Bilateral Hazairin ini, tergantung dari garis yang
menghubungkan kakek dengan pewaris dalam garis lurus ke atas, apakah kakek
dari ayah atau kakek dari ibu (mak).
Apabila ada seorang meninggal dunia meninggalkan kakek dari ayah dan
kakek dari ibu, maka besar bagian kakek dari ibu adalah sebesar yang diterima ibu
seandainya ibu masih hidup, yaitu sepertiga (1/3) berdasarkan Q.4:11e sebagai
zul-fara’id, yang diberikan kepada kakek melalui ibu sebagai mawali dari ibu.
Kakek dari ayah menerima bagian harta warisan sebesar bagian ayah
seandainya ayah masih hidup, yaitu mendapat sisa, yaitu sebesar dua per-tiga (2/3)
harta warisan (Q.4:11e) sebagai zul-qarabat, yang kemudian diberikan kepada
kakek melalui ayah sebagai mawali dari ayah. Dan begitu seterusnya dalam garis
lurus ke atas:
Gambar :
Menurut Bilateral Hazairin:
A = kakek melalui ibu = mawali ibu = bagian ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id
(Q.4:11e);
B = kakek melalui ayah = mawali ayah = bagian ayah = sisa, sebagai zul-qarabat
= 1 – 1/3 = 2/3 (Q.4:11e)
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = kakek gairu sahih = zul-arham, tidak dapat menjadi ahli waris karena masih
ada kakek sahih sebagai ‘asabah;
B = kakek sahih = ‘asabah = mendapat seluruh harta
Menurut Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam belum mengatur besar bagian harta warisan bagi kakek.
Berdasarkan Pasal 229 KHI, para Hakim dapat menerapkan hukum kewarisan
A B
Islam ajaran Bilateral Hazairin atau hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal
Syafi’I dalam menyelesaikan masalah kakek, apabila terdapat perkara yang
diajukan ke Pengadilan Agama. Demikian pula masyarakat, para tokoh agama
Islam, atau para ahli hukum Islam dapat menerapkan kedua sistem hukum
kewarisan Islam itu, apabila terdapat anggota masyarakat yang memerlukan
bantuan dalam menyelesaikan masalah kewarisan. Kedua sistem itu dikemukakan
kepada para pihak yang bermasalah, kemudian baru dianjurkan untuk memilih,
hukum kewarisan Islam yang mana yang disepakati oleh para ahli waris.
Kesepakatan antara para ahli waris berdasarkan asas musyawarah adalah sesuai
dengan Pasal 183 KHI, karena kedua-dua sistem hukum kewarisan Islam tersebut
tidak bertentangan dengan syari’ah Islam, terutama surah an-Nisa ayat 59.
Pasal 183 KHI menentukan bahwa, “Para ahli waris dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing
menyadari bagiannya.”
B. Menurut Hukum Kewarisan Islam Ajaran Patrilineal Syafi’i:
Menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, pengertian
kakek ada dua macam, yaitu kakek sahih dan kakek gairu sahih.
Kakek sahih atau kakek sejati, yaitu kakek yang hubungannya dengan
cucu (pewaris) tidak melalui garis perempuan, tetapi dari ayahnya ayah, dan
seterusnya ke atas melalui garis laki-laki. Kakek sahih termasuk golongan ahli
waris karena hubungan darah.
Kakek gairu sahih atau kakek tidak sejati adalah kakek yang
hubungannya dengan cucu (pewaris) melalui garis perempuan, yaitu, ayahnya ibu,
ayahnya nenek, baik nenek melalui ayah maupun nenek melalui ibu, dan
seterusnya ke atas melalui garis perempuan. Kakek gairu sahih, menurut ajaran
kewarisan Patrilineal Syafi’i, termasuk zul-arham, yang dapat tampil sebagai ahli
waris apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris zul-fara’id karena hubungan
darah dan ahli waris ‘asabah.
Gambar: Kakek Sahih, Kakek Gairu Sahih, Nenek Sahihah, Nenek Gairu Sahihah
Keterangan:
Kakek Sahih: A, B, C;
Kakek Gairu Sahih: D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N;
Nenek Sahihah: O, P, Q, R, S, T, Y, AA, BB
Nenek Gairu Sahihah: U, V, W, X, Z;
Jika kakek (C) menjadi ahli waris bersama-sama dengan anak laki-laki (A)
atau cucu laki-laki melalui anak laki-laki pewaris (B) dan ayah pewaris telah
meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka kakek pewaris, C (kakek
sahih) mendapat seperenam (1/6) harta warisan.
Apabila seorang meninggal dunia meninggalkan anak perempuan (A), atau
cucu perempuan melalui anak laki-laki pewaris (B), dan tidak ada anak laki-laki
maupun cucu laki-laki melalui anak laki-laki pewaris, juga ayah pewaris telah
meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, tetapi ahli-ahli waris lain masih
ada, yaitu ibu pewaris (C), suami atau isteri pewaris (D), maka kakek sahih (E)
mendapat seperenam (1/6) harta warisan.
Apabila sesudah dibagikan kepada para ahli waris zul-fara’id tersebut
ternyata masih ada sisa bagi, maka sisa bagi tersebut diberikan kepada kakek
sahih sebagai ‘asabah binafsihi. Dasar hukum dari ketentuan tersebut adalah
Q.4:1 jo. Q. 4:11d jo. hadis Ibnu ‘Abbas tentang liaula rajulin zakarin.
Apabila pewaris tidak meninggalkan anak, tidak meninggalkan cucu
melalui anak laki-laki dan ayah telah meninggal dunia terlebih dahulu dari
pewaris, tetapi pewaris meninggalkan para ahli waris lain, seperti ibu pewaris
(A), suami atau isteri pewaris (B), maka setelah dibagikan kepada ibu dan suami
atau isteri pewaris, sisa bagi diberikan kepada kakek sahih (C) sebagai asabah
binafsihi. Dasar hukumnya, menurut Patrilineal Syafi’i adalah Q.4:11c jo. hadis
Ibnu ‘Abbas tentang liaula rajulin zakarin.
Gambar :
Penyelesaian menurut Patrilineal Syafi’i:
Jika suami sebagai pewaris:
A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4: 11 e);
D = suami 1/2 , sebagai zul-fara’id (Q.4: 12 a);
A
C
B
C = kakek sahih = sisa = 1/6.
Jika isteri sebagai pewaris:
A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11 e)
D = isteri = 1/4, sebagai zul-fara’id (Q.4:12 d);
C = kakek sahih = sisa = 1 – (1/3 + 1/4) = 1 – (4/12 + 3/12) = 5/12
Menurut Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Sabit kakek sahih
dapat menghijab saudara-saudara seibu dari pewaris, sebagaimana ayah, karena
kakek sahih berkedudukan sebagai ayah. Tetapi kakek sahih tidak dapat
menghijab saudara kandung atau saudara seayah pewaris, karena kedudukan
kakek sahih dianggap setara dengan saudara sekandung atau seayah.
Gambar :
Penyelesaian
A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4: 11 e);
B = saudara perempuan/laki-laki seibu = mahjub oleh kakek sahih (C);
C = kakek sahih = sisa = 2/3.
Karena itu, apabila kakek sahih menjadi ahli waris bersama saudara-
saudara kandung atau seayah pewaris, pembagian harta warisan dilakukan
secara muqasamah (merata), seolah-olah kakek sahih itu saudara pewaris.
Zaid bin Sabit berpendapat:
(1) Apabila kakek sahih menjadi ahli waris bersama saudara –saudara
pewaris tetapi tidak bersama dengan ahli waris zul fara’id, maka jika kakek
sahih akan memperoleh lebih banyak bila dilakukan muqasamah (bagi rata), atau
A
C
B
lebih besar dari sepertiga (1/3) dari seluruh harta warisan, maka pembagian
warisan hendaknya berdasarkan muqasamah.
Gambar :
Penyelesaian dengan cara muqasamah:
A + B (saudara laki-laki sekandung) + C (kakek sahih, seolah-olah kakek adalah
saudara) = seluruh harta; A : B : C = 1 : 1 : 1 ;
A = saudara laki-laki sekandung = 1/3 (Q.4 : 176 c)
B = saudara laki-laki sekandung = 1/3 (Q.4 : 176 c)
C = kakek sahih = 1/3 (hadis Zaid bin Sabit)
(2) Apabila kakek sahih menjadi ahli waris bersama saudara-saudara
kandung atau seayah pewaris dan ahli waris zul-fara’id, maka bagian harta
warisan untuk kakek ada dua kemungkinan;
Pertama, kakek sahih mendapat seperenam (1/6) secara fard dan
saudara-saudara pewaris tidak mendapat bagian harta warisan sama sekali, apabila
para ahli waris zul-fara’id lain telah menghabiskan seluruh harta warisan, atau
masih ada sisa bagi sebesar seperenam (1/6), atau lebih kecil lagi.
Gambar :
A
C
B
A
C
B D
Penyelesaian:
A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4: 11e);
B + D = saudara perempuan sekandung = 2/3, sebagai zul-fara’id (Q.4 : 174 d);
C = kakek sahih = 1/6 (hadis Rasulullah)
Kedua, kakek sahih mendapat lebih besar jika dilakukan muqasamah
(dibagi secara merata), atau sepertiga (1/3) sisa, atau seperenam (1/6) dari
seluruh harta , jika setelah harta warisan dibagikan terdapat sisa bagi lebih besar
dari seperenam (1/6) harta warisan.
Gambar :
Penyelesaian:
A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4: 11e);
B = (saudara laki-laki sekandung) + C (kakek sahih) = sisa = 2/3, dibagi secara
muqasamah;
B = saudara laki-laki sekandung = 1/2 x 2/3 = 1/3;
C = kakek sahih = 1/2 x 2/3 = 1/3
Kakek Gairu Sahih, menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal
Syafi’i, termasuk zawil-arham, yang baru dapat menjadi ahli waris, apabila
pewaris tidak meninggalkan ahli waris zawil-furud karena nasabiyah (hubungan
darah) dan ahli waris ‘asabah.
A
C
B
C. Menurut Kompilasi Hukum Islam;
Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan besar bagian harta warisan
bagi kakek secara eksplisit. Kedudukan kakek sebagai ahli waris dapat ditafsirkan
secara a contrario dari Pasal 185 KHI yang menentukan ahli waris pengganti.
Apakah cucu dapat berkedudukan sebagai ahli waris pengganti dari
anaknya kakek yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris (yaitu,
kakek), maka, kedudukan kakek pun dapat menempati kedudukan anaknya yang
telah meninggal dunia terlebih dahulu dari kakek dan cucu kakek bersangkutan
yang berkedudukan sebagai pewaris bagi kakek.
Besar bagian harta warisan yang dapat diterima kakek adalah tidak sama
dengan besar bagian harta warisan yang diterima ahli waris pengganti
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 KHI, jika kedudukan kakek itu ditinjau
dari ajaran Patrilineal Syafi’i.
Menurut ajaran Patrilineal Syafi’i, kakek sahih mendapat 1/6 jika ia
menjadi ahli waris bersama anak-anak pewaris, baik anak laki-laki maupun anak
perempuan, atau cucu laki-laki melalui anak laki-laki pewaris, berdasarkan Q.4:11
d jo. Hadis Ma’qil bin Yasar Al-Muzanni yang diriwayatkan oleh Ahmad dan
Abu Daud, bahwa “Rasulullah saw telah hukumkan datuk dapat seperenam.”
Selain kakek dapat berkedudukan sebagai ahli waris zul-fara’id, kakek
juga dapat berkedudukan sebagai ‘asabah, jika ia menjadi ahli waris bersama-
sama dengan ahli waris zul-fara’id. Misalnya, kakek menjadi ahli waris bersama-
sama dengan isteri. Isteri = 1/4, kakek = sisa = 3/4, selain itu dapat ditafsirkan
melalui Pasal 185, Kompilasi Hukum Islam dapat berdasarkan Pasal 229
Kompilasi Hukum Islam yang menentukan.
“Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya
wajib memperhatikan dengan sesungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa
keadilan.”
Penerapan Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam merupakan lahan ijtihad
bagi para Hakim, apakah para Hakim di Pengadilan Agama akan menggunakan
ajaran kewarisan Bilateral Hazairin atau ajaran kewarisan Patrilineal Syafi’i.
Penerapan kedua ajaran atau aliran tersebut, tentunya tidak lepas dari faktor nilai-
nilai hukum dan nilai-nilai rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang
ditentukan dalam Pasal 229 KHI yang harus dihubungkan dengan Pasal 28 ayat
(1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Hukum kewarisan Islam yang memenuhi nilai-nilai hukum dan nilai-nilai
rasa keadilan bagi orang-orang yang beragama Islam di Indonesia adalah hukum
kewarisan Islam, baik berdasarkan ajaran hukum kewarisan Islam Bilateral
Hazairin maupun ajaran hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i, karena
keduanya tidak bertentangan dengan syari’ah Islam sebagaimana ditentukan
dalam surah an-Nisa ayat 59, meskipun ajaran hukum kewarisan Islam Bilateral
Hazairin, masih diperdebatkan.
BAGIAN WARISAN UNTUK NENEK
A. Menurut Hukum Kewarisan Islam Ajaran Bilateral Hazairin
Nenek, menurut hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin, adalah
ibunya ibu, ibunya dari ibunya ibu, ibunya dan ayahnya ibu, dan seterusnya ke
atas. Selain itu, nenek juga ibunya ayah, ibunya dari ibunya ayah, ibunya dari
ayahnya ayah, dan seterusnya ke atas.
Menurut Hazairin, nenek menjadi ahli waris bersama para ahli waris lain
yang termasuk dalam kelompok keutamaan keempat yaitu, (a) janda atau duda
sebagai zawul-furud berdasarkan surah an-Nisa ayat 12; (b) mawali untuk mak
berdasarkan surah an-Nisa ayat 11e; (c) mawali untuk ayah berdasarkan surah an-
Nisa ayat 11e. Mawali untuk mak dan mawali untuk ayah adalah termasuk nenek
dari pihak ibu maupun nenek dari pihak ayah secara bersama-sama dapat tampil
sebagai ahli waris.
Besar Bagian Harta Warisan bagi Nenek menurut Hazairin
Besar bagian untuk nenek sebagai mawali dari ibu, menurut Hazairin,
adalah sepertiga (1/3) harta warisan, yaitu sebanyak yang diterima ibu
berdasarkan Q.4:11e.
Kasus pertama, apabila pewaris meninggalkan ahli waris nenek mawali
ibu, A, kakek mawali ibu, B, nenek mawali ayah, C, kakek mawali ayah, D, dan
suami E.
Gambar :
Penyelesaiannya:
E = suami = 1/2 = 9/18, zul-fara’id (Q.4:12a);
Ibu = seandainya ia masih hidup = 1/3 sebagai zul-faraid (Q.4:11e).
Bagian harta warisan yang diperoleh ibu, karena ia telah meninggal dunia terlebih
dahulu dari pewaris, maka diberikan kepada nenek (A) = nenek mawali ibu
= 1/3 x 1/3 = 1/9 sebagai zul-faraid (Q.4:11e).
B = kakek mawali ibu = sisa = 2/3 x 1/3 = 2/9 sebagai zul qarabat (Q.4:11e)
Ayah = seandainya ia masih hidup = sisa = 1 – (1/2 + 1/3) = 1 – (3/6 + 2/6)
= 6/6 – 5/6 = 1/6 sebagai zul-qarabat (Q.4:11e). Bagian harta warisan yang
diperoleh ayah, karena ia telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris,
maka diberikan kepada nenek (C) dan kakek pewaris (D) sebagai mawali ayah.
C = nenek mawali ayah = 1/3 x 1/6 = 1/18, sebagai zul-faraid (Q.4:11e)
D = kakek mawali ayah = sisa = 2/3 x 1/6 = 2/18 sebagai zul-qarabat (Q.4:11e).
Kasus kedua, pewaris meninggalkan ahli waris nenek mawali ibu, A,
kakek mawali ibu, B, nenek mawali ayah, C, kakek mawali ayah, D, dan isteri, E.
Gambar :
Penyelesaian :
E = isteri = 1/4 = 3/12, zul-fara’id (Q.4:12d);
Ibu = seandainya ia masih hidup = 1/3 sebagai zul-faraid (Q.4:11e).
C D
B A
E
C D
B A
E
Bagian harta warisan yang diperoleh ibu, karena ia telah meninggal dunia terlebih
dahulu dari pewaris, maka diberikan kepada nenek (A) dan kakek (B) pewaris
sebagai mawali ibu.
A = nenek mawali ibu = 1/3 x 1/3 = 1/9 sebagai zul-fara’id (Q.4:11e);
B = kakek mawali ibu = sisa = 2/3 x 1/3 = 2/9 sebagai zul qarabat (Q.4:11e)
Ayah = seandainya ia masih hidup = sisa = 1 – (1/4 + 1/3) = 1 – (3/12 + 4/12)
= 12/12 – 7/12 = 5/12 sebagai zul-qarabat (Q.4:11e). Bagian harta warisan yang
diperoleh ayah, karena ia telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris,
maka diberikan kepada nenek (C) dan kakek pewaris (D) sebagai mawali ayah.
C = nenek mawali ayah = 1/3 x 5/12 = 5/36, sebagai zul-fara’id (Q.4:11e);
D = kakek mawali ayah = sisa = 2/3 x 5/12 = 10/36 sebagai zul-qarabat (Q.4:11e)
Kasus ketiga, pewaris meninggalkan ahli waris ibu, A, nenek mawali ayah,
dan kakek mawali ayah.
Gambar :
Penyelesaiannya:
A = ibu = 1/3, zul-fara’id (Q.4:11e); ibu sebagai kategori utama kelompok
keutamaan ketiga, karena pewaris tidak meninggalkan anak dan saudara;
Sisa = 1 – 1/3 = 2/3
B = (nenek mawali ayah) + C (kakek mawali ayah) termasuk kelompok
keutamaan keempat, karena itu, mereka tidak dapat tampil sebagai ahli waris,
karena ada ibu pewaris yang menjadi kategori utama kelompok keutamaan ketiga;
maka, sisa bagi sebesar 2/3 diberikan kepada ibu seluruhnya secara radd.
Kasus keempat, pewaris meninggalkan ahli waris nenek mawali ibu, A,
yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, tetapi meninggalkan
seorang anak perempuan, H; kemudian cucu perempuan, J, dari anak laki-laki (F)
yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari A; cucu laki-laki, K, dari anak
perempuan (G) yang telah memanggil dunia terlebih dahulu dari A; kakek mawali
ibu, B; nenek mawali ayah, C; kakek mawali ayah, D, yang telah meninggalkan
B C
D A
dunia terlebih dahulu dari pewaris, tetapi meninggalkan cicit perempuan (N) dari
cucu perempuan (M) melalui anak laki-laki (I) yang kedua-duanya telah
meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris.
Gambar :
Penyelesaiannya
Harta warisan dibagikan terlebih dahulu kepada ibu, seolah-olah ia masih hidup:
Ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11e);
A = (nenek mawali ibu) + B (kakek mawali ibu) = bagian ibu = 1/3,
A = 1/3 x 1/3 = 1/9;
Sisa = 1/3 – 1/9 = 3/9 – 1/9 = 2/9, diberikan kepada kakek B;
B = 2/3 x 1/3 = 2/9;
Oleh karena nenek mawali ibu juga telah meninggal dunia terlebih dahulu dari
pewaris, maka bagian nenek tersebut diberikan kepada para mawali-nya:
A = 1/3 x 1/3 = 1/9 diberikan kepada F, G, dan H sebagai zul-qarabat A
(Q.4:11a), dengan perbandingan F:G:H = 2:1:1;
F = anak laki-laki nenek = 2/4 x 1/9 = 2/36 = 1/18 diberikan lagi kepada J sebagai
mawal F, dengan cara :
J = 1/2 x 1/18 = 1/36; sisa = 1/36 di-radd-kan kepada J = 1/36 + 1/36 = 2/36;
G = anak perempuan nenek = 1/4 x 1/9 = 1/36 diberikan lagi kepada K, anak laki-
laki G, sebagai zul-qarabat dan mawali G;
H = anak perempuan nenek = 1/4 x 1/9 = 1/36, mawali dari nenek A.
C D
M
A B
I
N
F G H
J K L
Sisa harta warisan yang telah dibagikan kepada ibu dan dibagikan kembali
kepada para mawali ibu = 2/3, diberikan kepada ayah pewaris, seolah-olah ayah
pewaris masih hidup.
Ayah = 2/3, sebagai zul-qarabat (Q.4:11e) diberikan kepada nenek (C) dan kakek
(D) melalui ayah.
C (nenek mawali ayah) + D (kakek mawali ayah) = sisa = 2/3 = 6/9, zul-qarabat
(Q.4:11e)
C = 1/3 x 2/3 = 2/9 (Q.4:11e)
D = sisa = 2/3 – 2/9 = 6/9 – 2/9 = 4/9, zul qarabat (Q.4:11e) diberikan seluruhnya
kepada I (anak laki-laki D) sebagai mawali D, diberikan lagi kepada M (anak
perempuan I) sebagai mawali I, dengan cara : M = 1/2 x 4//9 = 2/9; Sisa = 2/9 di-
radd-kan kepada M = 2/9 + 2/9 = 4/9, diberikan kepada N sebagai mawali M,
dengan cara: N = 1/2 x 4/ /9 = 2/9; Sisa = 2/9 di-radd-kan kepada N = 2/9 + 2/9 =
4/9.
B. Menurut Hukum Kewarisan Islam Ajaran Patrilineal Syafi’i
Nenek, menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, adalah
terdiri dari nenek sahihah (nenek sejati), dan nenek gairu sahihah (nenek tidak
sejati).
Nenek sahihah atau nenek sejati adalah nenek yang ditarik dari garis
keturunan ke atas dari orang yang meninggal dunia tanpa masukkan kakek gairu
sahih, yaitu tanpa diselingi kakek gairu sahih sama sekali. Di antaranya, (1)
ibunya Ibu, (2) ibunya ayah, (3) ibu dari ibunya ibu (ummu-ummil-ummu), dan (4)
ibu dan ibunya ayah (ummu-ummi-ab), atau (5) ibu dari ayahnya ayah (ummi-abil-
ab), yaitu nenek melalui garis lurus ke atas melalui ayah yang diselingi kakek
sahih.
Nenek Gairu Sahihah
Nenek gairu sahihah atau nenek tidak setuju, oleh sebagian para ahli
hukum kewarisan Islam disebut juga sebagai nenek fasidah, yaitu ibu (perempuan
dalam garis lurus ke atas) yang dihubungkan garis keturunannya dengan orang
yang meninggal dunia (pewaris) dengan memasukkan kakek gairu sahih,
misalnya, ibu dari ayahnya ibu (umm abil-umm), atau ibu dari ibunya dari
ayahnya ibu pewaris (ummi-ummi-abil-ummi), atau perempuan dalam garis lurus
keatas yang dihubungkan garis keturunan kepada orang yang meninggal dunia
(pewaris) itu bukan melalui ‘asabah atau zarul furud. Lihat gambar pada
pembahasan tentang kakek.
Nenek gairu sahihah termasuk ahli waris zawil-arham, yaitu ahli waris
yang baru dapat menerima harta warisan apabila para ahli waris yang
berkedudukan sebagai ‘asabah maupun zawil-furud karena hubungan darah
(nasabiyah) sudah tidak ada semuanya, kecuali ahli waris zawil-furud karena
hubungan semenda atau perkawinan (sababriyah) yang tidak berhak menerima
radd, yaitu suami (duda) atau isteri (janda) pewaris, meskipun tentang radd bagi
suami atau isteri masih terdapat perbedaan pendapat di antara para fuqaha seperti
telah dikemukakan pada sebelumnya.
C. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam belum mengatur secara tegas mengenai
kedudukan sebagai ahli waris dan besar bagian harta warisan bagi nenek pewaris.
Tetapi sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab tentang Kakek, Kompilasi
Hukum Islam memberikan peluang dalam menyelesaikan masalah kewarisan bagi
nenek berdasarkan Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam. Namun perlu segera
dikemukakan pula bahwa kedudukan nenek sebagai pewaris bagi cucu-cucunya
telah diatur dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam.
Dalam menyelesaikan masalah kewarisan yang berkaitan dengan nenek
sebagai ahli waris, para penegak hukum, masyarakat, ataupun instansi-instansi
terkait dapat menyelesaikan masalah kewarisan tersebut berdasarkan ajaran
hukum kewarisan Patrilineal Syafi’i.
BAGIAN WARISAN UNTUK ZUL ARHAM
A. Pengertian Zul-Arham
Istilah zul-arham digunakan dalam hukum kewarisan Islam ajarah
Patrilineal Syafi’i. Dalam hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin tidak
menggunakan istilah zul-arham.
Kompilasi Hukum Islam juga tidak menyebut istilah zul-arham, tetapi
sebutan bagi keturunan dari ahli waris yang berjenis kelamin perempuan, baik
keturunan anak perempuan pewaris atau keturunan saudara perempuan pewaris,
dalam Pasal 185 disebut ahli waris pengganti. Nenek gairu sahihah sebagai ahli
waris zul-arham dalam sistem hukum kewarisan Patrilineal Syafi’i, juga tidak
disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai zul-arham atau sebagai “ahli
waris pengganti”. Bahkan, Kompilasi Hukum Islam, seperti telah dikemukakan,
tidak menentukan secara tegas kedudukan nenek dan kakek sebagai ahli waris
secara tegas dalam pasal-pasalnya, tetapi hanya dapat ditafsirkan dari Pasal 185
KHI, yang menentukan kedudukan ahli waris pengganti;
B. Alasan Diberikannya Warisan kepada Zul-Arham
1. Surah al-Anfal ayat 75
Para fuqaha memberikan harta warisan kepada ahli waris zul-arham
didasarkan kepada kalimat ‘wa ulu-l-arhaami ba’duhum aulaa biba’din fii
kitaabillah (Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya
lebih berhak terhadap sesamanya [daripada yang bukan kerabat],
2. Hadis Rasulullah saw tentang Khal (Saudara Laki-laki dari Ibu Pewaris)
Alasan berikutnya yang menentukan zawil arham sebagai ahli waris
adalah berdasarkan hadis riwayat Tarmizi dari Ahmad yang meriwayatkan tentang
Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah yang pernah mengirim surat kepada Umat bin
Khattab r.a. untuk menanyakan tentang Sahal bin Hanif yang mati terbunuh dan
tidak meninggalkan ahli waris, kecuali seorang khal (saudara laki-laki ibu)-nya.
Umar menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut, “Sesunggunya saya
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: Khal (saudara laki-laki dari ibu pewaris,
penulis) itu adalah pewaris orang yang tidak mempunyai ahli waris.
Gambar :
A = Khal=zul-arham
Gambar :
Penyelesaian:
Menurut Patrilineal Syafi’i:
A = anak perempuan = 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:11c);
B = cucu perempuan melalui anak lelaki = 1/6, sebagai takmilah
(hadis Ibnu Mas’ud)
C = nenek sahih = 1/6, sebagai zul-fara’id (hadis Abu Bakar);
D = nenek gairi sahihah = 0, zul-arham terhijab oleh para ahli waris zul-fara’id
karena hubungan darah.
Sisa = 1 – (1/2 + 1/6 + 1/6) = 6/6 – (3/6 + 1/6 + 1/6) = 1/6 di-radd-kan kepada A,
B, dan C.
A = 3/6 menjadi 3/5;
B = 1/6 menjadi 1/5;
C = 1/6 menjadi 1/5;
Menurut Bilateral Hazairin:
A dan B termasuk kelompok keutamaan pertama:
C dan D (para nenek pewaris) termasuk kelompok keutamaan keempat, maka C
dan D tidak dapat tampil sebagai ahli waris karena masih ada A dan B dari
E
B
A
D C
kelompok keutamaan pertama A dan E (yang dianggap masih hidup) = seluruh
harta warisan, sebagai zul-qarabat (Q.4:11a);
A : E = 1/2;
A = 1/3;
E = mendiang anak lelaki = 2/3, diberikan kepada B sebagai mawali (Q.4:33a)
B = cucu perempuan = 1/2 x 2/3 = 2/6 = 1/3;
Sisa = 2/3 – 1/3 = 1/3 di-radd-kan kepada B
B = 1/3 + 1/3 = 2/3
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
Pasal 185 KHI menentukan ahli waris pengganti bagi ahli waris yang meninggal
terlbih dahulu dari pewaris, yaitu keturunan ahli waris yang meninggal itu.
Jika ayah dari ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu dari
pewaris itu (kakek dari ahli waris pengganti), atau ibu dari ahli waris yang
meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris itu (nenek dari ahli waris pengganti)
dapat membagikan harta warisannya kepada ahli waris pengganti, maka tentunya
ahli waris pengganti bersangkutan juga dapat membagikan harta warisannya
kepada kakeknya atau kepada neneknya tersebut.
Besar bagian yang dapat diterima kakek atau nenek bersangkutan dapat
berdasarkan sistem hukum kewarisan Bilateral Hazairin, yaitu sebesar bagian ibu
atau ayah pewaris yang menjadi penghubung kepada kakek dan/atau nenek
bersangkutan, dapat pula berdasarkan hadis yang disampaikan Abu Bakar, bahwa
besar bagian harta warisan yang dapat diterima oleh nenek adalah sebanyak 1/6
(seperenam) berapapun jumlah nenek (sahihah) yang tampil sebagai ahli waris.
A = anak perempuan 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:11c jo. Pasal 176);
B = cucu perempuan melalui anak lelaki = 1/6, sebagai takimilah (Pasal 176 jo.
Pasal 185 jo. hadis Ibnu Mas’ud);
Ibu = seandainya masih hidup = 1/6 (Pasal 178), diberikan kepada ibunya ibu dan
ayahnya ibu;
Ibunya ibu (nenek pewaris melalui ibu) = 1/3 x 1/6 = 1/18, diberikan kepada
nenek C (neneknya ibu pewaris melalui ibunya ibu pewaris).
Ayah ibu (kakek pewaris melalui ibu) = sisa = 1/6 – 1/18 = 1/18 = 1/18 = 2/18,
diberikan kepada nenek D (neneknya ibu pewaris melalui ayahnya ibu pewaris).
Sisa = 1 – (A + B + C + D) = 1 – (1/2 + 1/6 + 1/18 + 2/18) = 18/18 –
(9/18 + 3/18 + 1/18 + 2/18) = 18/18 – 15/18 = 3/18
di-radd-kan kepda A, B, C dan D (Pasal 193 KHI).
A = 9/8 menjadi 9/15
B = 3/18 menjadi 3/15
C = 1/18 menjadi 1/15
D = 2/18 menjadi 2/15
Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan cara memberikan wasiat atau wasiat
wajibah dari pewaris kepada nenek D.
D. Syarat-syarat Hak waris Zul-Arham
1. Pewaris sudah tidak meninggalkan ahli waris zawul-furud karena
hubungan darah (nasabiyah) dan ahli waris ‘asabah.
Menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, apabila pewaris
meninggalkan ahli waris zul-fara’id, misalnya satu orang anak perempuan, di
samping itu ia juga meninggalkan seorang cucu laki-laki dan seorang cucu
perempuan (keturunan) dari anak perempuan yang telah meninggal dunia terlebih
dahulu dari pewaris, oleh karena cucu-cucu tersebut keturunan pewaris melalui
anak perempuan yang telah meninggal dunia, mereka adalah termasuk golongan
zawul-arham. Oleh karena itu, cucu-cucu pewaris tersebut tidak dapat tampil
sebagai ahli waris, mereka mahjub, karena masih ada anak perempuan pewaris
yang berkedudukan sebagai zul-fara’id.
Gambar :
B + C = zul-arham, mahjub oleh A
2. Golongan ahli waris zawul arham dapat tampil sebagai ahli waris
bersama dengan ahli waris zawul-furud karena hubungan perkawinan,
yang bersama-sama dengan suami (duda) atau isteri (janda) pewaris.
A
C
B
a. Contoh kasus kewarisan-kewarisan zul-arham dengan suami:
Gambar :
Penyelesaian menurut Patrilineal Syafi’i:
A = suami pewaris = 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:12 a);
Sisa = 1/2
B + C = cucu perempuan dan cucu laki-laki melalui anak perempuan yang telah
meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris = zawil-arham = sisa, yang
dibagikan kepada B dan C dengan perbandingan dua berbanding satu, B : C = 2:1
(Q.4:11 a);
B = cucu laki-laki melalui anak perempuan = 2/3 x 1/2 = 2/6,
sebagai zul-arham;
C = cucu perempuan melalui anak perempuan = 1/3 x 1/2 = 1/6,
sebagai zul-arham;
Besar bagian harta warisan yang diterima para ahli waris tersebut akan
berbeda jika diselesaikan menurut hukum kewarisan Islam Bilateral Hazairin dan
Kompilasi Hukum Islam.
Penyelesaian menurut Bilateral Hazairin
Ditinjau dari hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin, cucu-cucu
melalui anak perempuan pewaris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari
pewaris adalah bukan disebut sebagai zul-arham, tetapi disebut sebagai mawali
dari anak perempuan pewaris tersebut.
Dasar hukum yang digunakan untuk menyelesaikan kasus tersebut adalah
ketentuan warisan yang diatur dalam Q.4:11 c jo. Q.4:33 a, yaitu seorang anak
perempuan (D) mendapat 1/2 harta warisan, kemudian diberikan kepada cucu-
A
C
B
D
cucu pewaris (B dan C) sebagai mawali, dengan perbandingan cucu laki-laki
berbanding cucu perempuan = 2:1 (Q.4:11a jo. Q.4:33 a).
Suami (A) mendapat 1/4 berdasarkan (Q.4:12 b), karena pewaris
meninggalkan keturunan, yaitu cucu-cucu tersebut. dalam kasus ini terjadi radd
yang diberikan secara proporsional kepada seluruh ahli waris zawil-furud, yaitu
suami dan anak perempuan yang kemudian diberikan kepada anak-anaknya
sebagai mawali.
A = suami = 1/4 , sebagai sul-fara’id (Q.4:12 b)
D = anak perempuan yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris =
1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:11 c);
Sisa = 1 – (1/4 + 1/2) = 1/4, di-radd-kan kepada A dan D; dengan perbandingan A
: D = 1/4 : 2/4 = 1 : 2, pembilang = 3, dijadikan angka penyebut.
A = 1/3
D = 2/3, diberikan kepada B dan C sebagai mawali D, dengan perbanding
B : C = 2 : 1 (Q.4 : 11 a jo. Q.4 : 33 a);
B = cucu laki-laki melalui anak perempuan = 2/3 x 2/3 = 4/9
C = cucu perempuan melalui anak perempuan = 1/3 x 2/3 = 2/9
Penyelesaian menurut Kompilasi Hukum Islam:
Demikian pula menurut Kompilasi Hukum Islam, cucu-cucu pewaris
melalui anak perempuan yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris
adalah sebagai “ahli waris pengganti” berdasarkan Pasal 185 jo. Pasal 176 KHI.
Sedangkan suami memperoleh 1/4 berdasarkan Pasal 179 KHI, karena
pewaris meninggalkan keturunan. Penyelesaian menurut Kompilasi Hukum Islam
hasilnya sama dengan penyelesaian menurut Bilateral Hazairin, dengan
menggunakan Pasal 176 (yang menentukan besar bagian anak pewaris) jo. Pasal
185 (besar bagian ahli waris pengganti) jo. Pasal 193 (radd) Kompilasi Hukum
Islam.
A = suami 1/4 , sebagai sul-fara’id (Pasal 179 KHI);
D = anak perempuan yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris
= 1/2, sebagai zul-fara’id (Pasal 176 KHI);
Sisa = 1 – (1/4 + 1/2) = 1/4 , di-radd-kan kepada A dan D; dengan perbandingan
A : D = 1/4 : 2/4 = 1 : 2; pembilang = 3, dijadikan angka penyebut (Pasal 193
KHI)
A = 1/3
D = 2/3, diberikan kepada B dan C sebagai ahli waris pengganti D, dengan
perbandingan B : C = 2 : 1 (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI);
B = cucu laki-laki melalui anak perempuan = 2/3 x 2/3 = 4/9 sebagai ahli waris
pengganti D;
C = cucu perempuan melalui anak perempuan = 1/3 x 2/3 = 2/9 sebagai ahli waris
pengganti D.
b. Contoh Kasus Kewarisan Zul-Arham Selain Cucu melalui Anak
Perempuan Pewaris
1) Apabila pewaris meninggalkan ahli waris suami (duda, A) bersama
dengan seorang saudara perempuan dari ibu pewaris (bibi pewaris melalui ibu
[khalah], B) dan saudara laki-laki dari ibu pewaris (paman pewaris melalui ibu
[khal], C) Maka, suami (A) mendapatkan setengah (1/2) berdasarkan Q.4:12 a,
sisa bagi-nya diberikan kepada bibi (khalah, B) dan paman (khal, C) pewaris
melalui ibu, sebagai zawul-arham.
Gambar :
Penyelesaian menurut Patrilineal Syafi’i:
A = suami pewaris = 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:12 a);
Sisa = 1/2
B (saudara perempuan dari ibu pewaris) + C (saudara laki-laki dari ibu pewaris)
= zawil-arham = sisa, dibagikan kepada B dan C dengan perbandingan dua
berbanding satu, B:C = 1:2;
B = bibi melalui ibu, khalah = 1/3 x 1/2 = 1/6, sebagai zul-arham;
C = paman melalui ibu, khalah = 2/3 x 1/2 = 2/6, sebagai zul-arham;
Penyelesaian menurut Bilateral Hazairin:
B dan C adalah mawali dari nenek yang berkedudukan sebagai mawali dari ibu,
yaitu termasuk dalam kelompok keutamaan keempat.
A = suami pewaris = 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:12 a);
E
B
A
D C
D = ibu pewaris, seandainya masih hidup = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11 e);
Sisa = 1- (1/2 + 1/3) = 1 – (3/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada A dan D dengan
perbandingan, A : D = 3 : 2; jumlah pembilang = 5, dijadikan penyebut;
A = 3/5;
D = 2/5, diberikan kepada E (nenek mawali ibu). Oleh karena nenek pun telah
meninggal dunia, diberikan kepada B (saudara perempuan ibu, mawali nenek) + C
(saudara laki-laki dari ibu, mawali nenek) dengan perbandingan B : C = 1 : 2.
B = bibi melalui ibu, mawali nenek = 1/3 x 2/5 = 2/15
C = paman melalui ibu, mawali nenek = 2/3 x 2/5 = 4/15
Penyelesaian menurut Kompilasi Hukum Islam:
Kompilasi Hukum Islam belum mengatur kedudukan paman dan bibi
(saudara-saudara sekandung atau seayah atau seibu dari ibu) pewaris secara tegas.
Meskipun demikian, seperti telah dijelaskan, bahwa, jika anak kemenakan
dimungkinkan memperoleh bagian harta warisan dari pamannya atau bibinya,
baik saudara ibu maupun saudara ayah, berdasarkan Pasal 181 dan/atau Pasal 182
jo. Pasal 185 KHI, maka paman dan bibi pun ditafsirkan dapat menerima bagian
harta warisan yang dapat diterima oleh paman atau bibi belum ditentukan secara
pasti, sebagaimana ahli waris pengganti bagi anak pewaris maupun ahli waris
pengganti bagi saudara pewaris dalam Pasal 185 KHI.
2) Contoh lain, apabila pewaris meninggalkan cicit perempuan (A) melalui
cucu perempuan (G) melalui anak laki-laki (D) yang keduanya telah meninggal
dunia terlebih dahulu dari pewaris. Pewaris juga meninggalkan cicit perempuan
(B) melalui cucu laki-laki (H) melalui anak perempuan (E) yang keduanya telah
meninggal dunia terlebih dahulu pula dari pewaris, dan pewaris meninggalkan
cicit laki-laki (C) melalui cucu perempuan (I) melalui anak perempuan (F) yang
keduanya juga telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris.
Menurut ajaran Patrilineal Syafi’I, cicit yang berhak menerima harta
warisan sebagai zul-arham hanya cicit A, karena hubungan kerabat cicit A
melalui anak laki-laki pewaris (D) dinilai lebih kuat dibanding hubungan
kekerabat cicit B dan cicit C melalui anak-anak perempuan pewaris, meskipun
ketiganya sama-sama berkedudukan sebagai zawil-arham. Jadi, seluruh harta
warisan pewaris diberikan kepada cicit A, sebagai zul-arham yang dinilai lebih
kuat hubungan kekerabatannya dengan pewaris.
Penyelesaian menurut Patrilineal Syafi’i:
A = zul-arham = mendapat seluruh harta, karena hubungan kekerabatannya dinilai
lebih dekat atau lebih kuat, melalui anak laki-laki pewaris, yaitu D.
B dan C = zul-arham melalui anak-anak perempuan pewaris, E dan F, karena itu,
dinilai hubungan kekerabatannya kurang kuat dibanding melalui anak laki-laki D,
maka B dan C mahjub oleh A.
Penyelesaian menurut Bilateral Hazairin:
Hasil penyelesaiannya berbeda dengan penyelesaian menurut hukum kewarisan
Islam ajaran Patrilineal Syafi’i.
D, E, dan F = anak-anak pewaris yang telah meninggal dunia, seandainya mereka
masih hidup, mereka sebagai zul-qarabat (Q.4:11 a);
D : E : F = 2 : 1 : 1;
D = 2/4
E = 1/4
F = 1/4
(1) Proses peroleh bagian harta warisan bagi A:
D = 2/4 = 1/2, diberikan kepada G sebagai mawali D;
G = anak perempuan D = 1/2 x 1/2 =1/4, sebagai mawali D (Q.4:11 c jo.
Q.4:33a)
Sisa = 1/2 – 1/4 = 1/4, di-radd-kan kepada G = 1/4 + 1/4 = 1/2, diberikan
kepada A, mawali G.
Anak = perempuan G = 1/2 x 1/2 = 1/4, sebagai mawali G (Q.4:11 c jo.
Q.4:33 a)
E
H
B
D
G
A
F
I
C
Sisa = 1/2 - 1/4 = 1/4, di-radd-kan kepada A = 1/4 + 1/4 = 1/2, diberikan
kepada A, mawali G
(2) Proses perolehan bagian harta warisan bagi B:
E = 1/4, diberikan kepada H sebagai mawali E;
H = anak laki-laki E = 1/4, sebagai mawali D (Q.4:11 a jo. Q.4:33 a);
diberikan kepada B, mawali H
B = anak perempuan H = 1/2 x 1/4 = 1/8, sebagai mawali H
(Q.4:11 c jo. Q.4:33 a)
Sisa = 1/4 – 1/8 = 1/8, di-radd-kan kepada B = 1/8 + 1/8 = 1/4, diberikan
kepada B, mawali H.
(3) Proses perolehan bagian harta warisan bagi C:
F = 1/4, diberikan kepada I sebagai mawali F:
I = anak perempuan F = 1/2 x 1/4 = 1/8, sebagai mawali F
(Q.4:11 c jo. Q.4:33 a)
Sisa = 1/4 – 1/8 = 1/8, di-radd-kan kepada I = 1/8 + 1/8 = 1/4, diberikan
kepada C, mawali I.
C = anak laki-laki I = 1/4, sebagai mawali I (Q.4:11 jo. Q.4:33 a)
Penyelesaian menurut Kompilasi Hukum Islam:
Penyelesaian kasus kewarisan tersebut jika diselesaikan menurut Kompilasi
Hukum Islam, hasilnya sama dengan penyelesaian menurut hukum kewarisan
Islam Bilateral Hazairin.
Harta pewaris dibagikan terlebih dahulu kepada anak-anak pewaris yang
telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, seolah-olah mereka masih
hidup (anak-anak pewaris D, E, dan F)
Kemudian hasil pembagian tersebut diberikan kepada cucu-cucu pewaris
(G, H, I) sebesar bagian harta warisan yang diterima orang tua mereka (D, E, F).
Kemudian dibagikan kepada A, B, dan C (cicit-cicit pewaris), sebesar
bagian yang diterima orang tua mereka (cucu-cucu pewaris G, H, I).
Perhitungannya sebagai berikut :
D, E, dan F = anak-anak pewaris yang telah meninggal dunia, seandainya mereka
masih hidup, mereka sebagai asabah (Pasal 176 KHI);
D : E : F = 2 : 1 : 1;
D = 2/4;
E = 1/4
F = 1/4
(1) Proses peroleh bagian harta warisan bagi A:
D = 2/4 = 1/2, diberikan kepada G sebagai ahli waris pengganti D (Pasal 176
jo. Pasal 185 KHI);
G = anak perempuan D = 1/2 x 1/2 = 1/4, sebagai ahli waris pengganti D
(Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI);
Sisa = 1/2 – 1/4 = 1/4, di-radd-kan kepada G = 1/4 + 1/4 = 1/2, diberikan
kepada A, mawali G (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI jo. Pasal 193 KHI);
Anak = perempuan G = 1/2 x 1/2 = 1/4, sebagai ahli waris pengganti G (Pasal
176 jo. Pasal 185 KHI);
Sisa = 1/2 - 1/4 = 1/4, di-radd-kan kepada A = 1/4 + 1/4 = 1/2, diberikan
kepada A, ahli waris pengganti G (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI jo. Pasal 193
KHI);
(2) Proses perolehan bagian harta warisan bagi B:
E = 1/4, diberikan kepada H sebagai ahli waris pengganti E (Pasal 176 jo.
Pasal 185 KHI);
H = anak laki-laki E = 1/4, sebagai ahli waris pengganti D (Pasal 176 jo. Pasal
185 KHI); diberikan kepada B, mawali H
B = anak perempuan H = 1/2 x 1/4 = 1/8, sebagai ahli waris pengganti H
(Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI);
Sisa = 1/4 – 1/8 = 1/8, di-radd-kan kepada B = 1/8 + 1/8 = 1/4, diberikan
kepada B, ahli waris pengganti H (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI jo. Pasal 193
KHI);
(3) Proses perolehan bagian harta warisan bagi C:
F = 1/4, diberikan kepada I sebagai ahli waris pengganti F (Pasal 176 jo. Pasal
185 KHI);
I = anak perempuan F = 1/2 x 1/4 = 1/8, sebagai ahli waris pengganti F (Pasal
176 jo. Pasal 185 KHI);
Sisa = 1/4 – 1/8 = 1/8, di-radd-kan kepada I = 1/8 + 1/8 = 1/4, diberikan
kepada C, ahli waris pengganti I (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI jo. Pasal 193
KHI);
C = anak laki-laki I = 1/4, sebagai ahli waris pengganti I (Pasal 176 jo. Pasal
185 KHI jo. Pasal 193 KHI);
MASALAH-MASALAH KHUSUS
A. Sulutsul Baqi atau Garrawain (Umariyatain)
Sulutsul-baqi atau sepertiga sisa merupakan masalah khusus bagi ibu yang
menjadi ahli waris bersama suami atau isteri pewaris dan ayah pewaris. Besar
bagian harta warisan yang dapat diterima ibu adalah sepertiga dari sisa harta
warisan yang telah diberikan kepada suami atau isteri sebagai ahli waris zul-
fara’id.
Menurut Umar bin Khattab ra, apabila pewaris meninggalkan suami, ibu,
dan ayah, maka harta warisan diberikan terlebih dahulu kepada suami sebagai zul-
fara’id sebesar setengah (1/2 = 3/6) harta warisan berdasarkan Q.4:12a.
Kemudian, besar bagian ibu sebagai zul-fara’id adalah sepertiga (1/3 = 2/6)
karena pewaris tidak meninggalkan anak dan saudara berdasarkan Q.4:11e.
Apabila besar bagian warisan bagi ibu diberikan sepertiga dari seluruh harta,
maka ayah sebagai ‘asabah binafsihi mendapat sisa berdasarkan Q.4:11e, yaitu 1
– (3/6 + 2/6) = 6/6 – 5/6 = 1/6. Jadi ayah sebagai ‘asabah binafsihi mendapat
bagian lebih kecil dari ibu, yaitu seperenam (1/6), sedangkan ibu mendapat
sepertiga (1/3 = 2/6). Jadi, perolehan ibu jauh lebih besar dari ayah. Karena itu,
perolehan ayah yang lebih kecil dari ibu, yaitu mendapat 1/6 dipermasalahkan.
Hal itu muncul karena, apabila ahli waris hanya terdiri dari ibu dan ayah saja,
maka ibu mendapat 1/3 sebagai zul-fara’id, dan ayah mendapat sisa, yaitu 2/3,
sebagai ‘asabah binafsihi, atau ayah mendapat dua bagian dan ibu mendapat satu
bagian (2:1).
Ketentuan perbandingan ayah berbanding ibu adalah dua berbanding satu
(2:1), menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, hendaknya tetap
berlaku atau dipertahankan. Karena itu pula, Umar bin Khattab ra ber-ijtihad yang
menentukan besar bagian harta warisan bagi ibu (B) adalah sepertiga (1/3)
dari sisa harta yang telah dibagikan terlebih dahulu kepada suami (A) yang
mendapat 1/2 sebagai zul-fara’id yaitu 1 – 1/2 = 1/2 = 3/6. Jadi ibu mendapat 1/3
x 1/2 (sisa) = 1/6. Dan ayah (C) sebagai asabah binafsihi mendapat sisa, yaitu 6/6
– (3/6 + 1/6) = 2/6 atau 1/3. Jadi perolehan ayah tetap lebih besar dari ibu (2/6 :
1/6) yaitu dua berbanding satu (2 : 1).
Gambar :
Demikian pula apabila pewaris meninggalkan isteri, ibu dan ayah
Gambar :
Berdasarkan teori sulusul-baqi yang dikemukakan Umar bin Khattab
sebagai hasil ijtihad beliau, maka bagian harta warisan yang dapat diterima oleh
ibu adalah sepertiga dari sisa (sulusul-baqi), yang tujuannya untuk
mempertahankan kedudukan ayah agar mendapat bagian harta warisan anaknya
(sebagai pewaris) selalu lebih besar dari ibu, yaitu dua (bagian ayah) berbanding
satu (bagian ibu).
Cara penyelesaiannya adalah sebagai berikut : isteri pewaris (A) sebagai
zul-fara’id mendapat seperempat (1/4) berdasarkan Q.4:12d. Sisanya yaitu tiga
perempat (3/4).
Ibu (B) sebagai ahli waris zul-fara’id mendapat sepertiga sisa, yaitu 1/3 x
3/4 = 3/12 atau 1/4 berdasarkan Q.4:11e jo. hadis Umar bin Khattab.
Ayah sebagai ahli waris ‘asabah binafsihi mendapat sisa berdasarkan
Q.4:11e jo. hadis Umar bin Khattab, yaitu 1 – (1/4 + 1/4) = 4/4 – 2/4 = 2/4 (1/2).
Jika perbandingan besar bagian yang diperoleh ayah (C) berbanding ibu
(B) adalah tetap 1/2 berbanding 1/4 atau dua berbanding satu (2:1).
Apabila besar bagian harta warisan bagi ibu diberikan sepertiga dari
seluruh harta, maka besar bagian ayah sebagai ‘asabah binafsihi mendapat sisa
adalah sebesar = 1 – (1/4 + 1/3) = 12/12 – (3/12 + 4/12) = 5/152.
A
B C
A
B C
Perbandingan peroleh ayah (C) yang memperoleh 5/12 berbanding ibu (B)
yang memperoleh 1/3 atau 4/12 adalah lima berbanding empat (5:4), bukan dua
berbanding satu (2:1).
Karena itulah Umar bin Khattab ra berijtihad dalam menyelesaikan besar
bagian harta warisan bagi ibu, baik ketika ibu menjadi ahli waris bersama suami
dan ayah, maupun ibu bersama isteri dan ayah, perolehan bagian harta warisan
bagi ibu adalah sepertiga dari sisa (sulusul-baqi), setelah diberikan kepada suami
atau isteri pewaris.
Kedua penyelesaian masalah khusus tersebut dikenal dengan istilah
sulusul-baqi, atau garrawain (dua bintang yang cemerlang), atau Umarriyatain
atau Garibatain.
Meskipun demikian, Ibnu ‘Abbas ra tidak sependapat dengan Umar bin
Khattab ra. Menurut Ibnu ‘Abbas, ibu mendapat sepertiga (1/3) dari seluruh harta,
bukan dari sisa, berdasarkan surah an-Nisa ayat 11e (Q.4:11e) yang menentukan
besar bagian bagi ibu adalah seperti harta warisan, bukan sepertiga sisa. Pendapat
ini yang diikuti Hazairin.
Kompilasi Hukum Islam menentukan besar bagian harta warisan bagi ayah
dalam Pasal 177 jo. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor II/1994 tentang
Pengertian Pasal 177.
Pasal 177 menentukan, “Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris
tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
“Ketentuan ini secara eksplisit menentukan ayah selalu menjadi ahli waris zul-
fara’id, padahal ayah tidak selalu berkedudukan sebagai ahli waris zul-fara’id,
karena kadang-kadang ayah berkedudukan sebagai ahli waris ‘asabah binafsihi
berdasarkan Q.4:11e dan Q.4:11 f.
Karena itu dikeluarkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
11/1994 tentang “Pengertian Pasal 177” yang menentukan bahwa “Ayah
mendapat sepertiga apabila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi
meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam”.
Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut tidak menyelesaikan masalah,
karena tidak menentukan besar bagian ayah apabila ia menjadi ahli waris bersama
isteri dan ibu pewaris. Selain itu, Kompilasi Hukum Islam jo. Surat Edaran
Mahkamah Agung No. II tahun 1994 juga belum menentukan kedudukan ayah
sebagai ‘asabah (menurut istilah Imam Syafi’i dan KHI) atau zul-qurabat
(menurut istilah Hazairin).
Berbeda halnya dengan kedudukan ibu yang memang selalu menjadi ahli
waris zul-fara’id Pasal 178 Kompilasi Hukum Islam menentukan, bahwa,
(1) “Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua orang saudara
atau lebih. Bila tidak anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ibu
mendapat sepertiga bagian.”
(2) “Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau
duda bersama dengan ayah."
Jadi tampak dengan jelas, bahwa Kompilasi Hukum Islam
menganut ajaran Patrilineal Syafi’i. Pasal 178 KHI tersebut telah
mengakomodir pendapat Umar bin Khattab tentang sulusul-baqi,
atau garrawain, atau Umariyatain. Dengan demikian, dapat dikemukakan pula
bahwa, meskipun Pasal 177 jo. SEMA No. II Tahun 1994
tidak merumuskan secara tegas tentang perolehan ayah jika menjadi
ahli waris bersama-sama dengan ibu dan janda atau duda pewaris,
namun mmusan Pasal 178 KHI telah memuat pendapat Umar bin
Khattab tentang kedua-dua sulusul-baqi atau garrawain itu, yaitu ibu
mendapat sepertiga dari sisa sesudah dibagikan kepada janda atau
duda jika mewaris bersama-sama dengan ayah. Jumlah bagian harta
warisan yang diterima ayah, tentu tidak selalu 1/3 (sepertiga) seba-gaimana
dirumuskan dalam Pasal 177 jo. SE MA No. II Tahun
1994 tersebut.
B. Musyarakah atau Musyarikah
Masalah musyarakah atau musyarikah disebut juga himarriyah atau
hajariyah atau yammiyah adalah merupakan hasil ijtihad Umar bin Khattab ra
juga, Pada masalah musyarakah, pewaris meninggalkan para ahli waris yang
terdiri dari suami, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan saudara laki-laki
sekandung.
Gambar
Penyelesaian menurut hadis Umar bin Khattab:
A = suami =1/2 = 3/6 sebagai zul-fara’id (Q.4:12a);
B = ibu = 1/6 sebagai zul-fara’id (Q.4:11f);
C + D = saudara laki-laki seibu = 1/3 = 2/6 sebagai zul-fara'id (Q.4:12h);
E + F = sisa, sebagai 'asabah binafsihi (Q.4:176c);
Sisa = 1 - (3/6 + 1/6 -f- 2/6) = 0;
Berdasarkan ijtihad Umar bin Khattab, bagian harta waris bagi saudara-saudara
laki-laki seibu dibagi secara sama rata dengan saudara-saudara laki-laki
sekandung. Jadi bagian harta warisan sebagai berikut:
C + D = saudara laki-laki seibu = 1/3 dibagi sama rata dengan E dan F (saudara
laki-laki sekandung), dengan perbandingan ; C : D : E : F = 1 : 1 : 1 : 1;
C = 1/4 x 1/3 = 1/12;
D = 1/4 x 1/3 = 1/12;
E = 1/4 x 1/3 = 1/12;
F = 1/4 x 1/3 = 1/12.
Menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi'i, dua orang
saudara seibu adalah ahli waris zawul-furud yang penyelesaiannya menggunakan
surah an-Nisa ayat 12 h, yaitu sebesar sepertiga (1/3 = 2/6) harta warisan secara
bersyarikah.
Ibu sebagai ahli waris zul-fara'id mendapat seperenam (1/6) berdasarkan
Q.4:11f; suami sebagai ahli waris zul-fara'id mendapat setengah (1/2 = 3/6)
berdasarkan Q.4:12 a, karena pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki dan
keturunan laki-laki melalui anak laki-laki serta ayah telah meninggal dunia
terlebih dahulu dari pewaris (kalalah), dan tidak meninggalkan anak perempuan
pula.
Saudara sekandung sebagai 'asabah mendapat sisa. Jika seluruh bagian harta
warisan yang telah dibagikan kepada para ahli waris zawul-furud itu dijumlahkan,
yaitu: dua orang saudara laki-laki seibu (2/6) + ibu (1/6) + suami (3/6) = 6/6,
maka saudara sekandung sebagai 'asabah binafsihi tidak mendapat apa-apa,
karena seluruh harta warisan telah terbagi habis.
Oleh karena itu, kedua orang saudara laki-laki sekandung tersebut datang
menghadap Umar bin Khattab ra untuk mengadukan permasalahannya, 'Wahai
Amirul Mukminin, andaikanlah ayah kami itu khimar (keledai), bukankah kami
ini semua berasal dari seorang ibu saja?"
Pada riwayat lain kasus kewarisan ini disebut hajariyah atau yammiyah
berdasarkan riwayat berikut. "Andaikanlah ayah kami batu (hajar) yang
dilemparkan di lautan (yammi), bukankah kami ini berasal dan ibu yang satu itu
juga?
Karena itu, Umar bin Khattab ra berijtihad untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Berdasarkan protes dari saudara-saudara kandung pewaris tersebut, maka
Umar bin Khattab berpendapat dan menentukan bahwa, sepetiga (1/3) bagian
yang diperoleh saudara-saudara seibu pewaris dibagi secara merata di antara
mereka, yaitu, saudara-saudara seibu bersama saudara-saudara laki-laki
sekandung pewaris.
Pendapat Umar bin Khattab tentang musyarakah ini, kemudian diqiyaskan
atau dianalogkan terhadap kasus kewarisan serupa. Misalnya, terhadap kasus
kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, dua orang saudara
perempuan seibu (atau satu orang saudara laki-laki seibu dan satu orang saudara
perempuan seibu), dan satu orang saudara laki-laki sekandung dan satu orang
saudara perempuan sekandung. Penyelesaian terhadap kasus ini adalah sama
dengan penyelesaian kasus pada masa Umar bin Khattab tersebut
Demikian juga, penyelesaian kasus berdasarkan musyarikah dapat
diterapkan terhadap saudara-saudara laki-laki seayah, atau saudara laki-laki
seayah dan saudara perempuan seayah, bersama-sama dengan dua orang saudara
seibu, suami dan ibu.
C. Tis'iniyah Zaid
Masalah Tis'iniyab Zaid (masalah sembilan puluh Zaid) adalah kasus
kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari ibu (A), kakek sahih (kakek melalui
ayah) (B), seorang saudara perempuan sekandung (Q, dua orang saudara laki-laki
seayah (E dan F), dan seorang saudara perempuan seayah (D). Masalah khusus itu
perlu dikemukakan. berhubung adanya perbedaan pendapat yang tajam antara
hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i dan hukum kewarisan Islam
ajaran Bilateral Hazairin.
Gambar:
Menurut Patrilineal Syafi'i
A = ibu = 1/6 = 3/18 = 15/90, sebagai zul-fara'id (Q.4:11 f);
Sisa = 1 - 1/6 = 5/6;
B = kakek sahih = 1/3 sisa = 1/3 x 5/6 = 5/18 = 25/90;
C = saudara perempuan kandung = 1/2 = 9/18 = 45/90, sebagai zul-fara’id
(Q.4:176a)
D + F + F = sisa, sebagai ‘asabah hadis Ibnu 'Abbas = 1 - (3/18 + 5/18 + 9/18)
= 18/18 - 17/18 = 1/18;
D : E : F = 1 : 2 : 2;
D = 1/5 x 1/18 = 1/90, sebagai 'asabah bil-gairi;
E = 2/5 x 1/18 = 2/90, sebagai 'asabah binafsihi;
F = 2/5 x 1/18 = 2/90, sebagai ‘asabah binafsihi;
Jumlah = A + B + C + D + E + F = 15/90 + 25/90 + 45/90 + 1/90 +
2/90 + 2/90 = 90/90 = 1.
Penyelesaian dengan angka penyebut berjumlah sembilan puluh, maka disebutkan
dengan istilah tis'iniyah Zaid.
Menurut Bilateral Hazairin:
Jika kasus Tis’iniyah Zaid diselesaikan menurut hukum kewarisan Islam ajaran
Bilateral Hazairin, kondisi pewaris juga kalalah karena tidak mempunyai
keturunan.
Kedudukan kakek, menurut Hazairin, tidak dapat tampil sebagai ahli
waris, karena kakek termasuk dalam kelompok keutamaan keempat, sedangkan
dalam kasus Tis’iniyah Zaid masih ada kelompok keutamaan kedua, yaitu
saudara-saudara pewaris sebagai kriteria utama dalam kelompok keutamaan kedua
tersebut.
Menurut Hazairin, apabila kelompok keutamaan yang lebih tinggi masih
ada, maka kelompok keutamaan berikutnya tidak dapat tampil sebagai ahli waris.
Oleh karena saudara-saudara pewaris masih hidup, maka kakek belum dapat
tampil sebagai ahli waris. Jadi, kasus Tis’iniyah Zaid jika diselesaikan menurut
ajaran Hazairin adalah sebagai berikut.
A = ibu = 1/6 = 6/36, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f);
B = kakek tidak dapat tampil sebagai ahli waris karena termasuk
dalam kelompok keutamaan keempat;
Sisa = 1 – 1/6 = 5/6;
C + D + E + F = sisa, sebagai zul-qarabat (Q.4:176e) dengan perbandingan:
C : D : E : F = 1 : 1: 2 : 2;
(Mereka dapat bersama-sama tampil sebagai ahli waris tanpa membedakan
hubungan saudara dengan pewaris berdasarkan Q.4:176e, karena ayah pewaris
telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris).
C = 1/6 x 5/6 = 5/36;
D = 1/6 x 5/6 = 5/36;
E = 2/6 x 5/6 = 10/36;
F = 2/6 x 5/6 = 10/36;
Jumlah = A + C + D + E + F= 6/36 + 5/36 + 5/36 + 10/36 + 10/36 = 36/36 = 1
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
Kompilasi Hukum Islam belum menentukan besar bagian bagi kakek secara tegas.
Meskipun dapat menggunakan Pasal 185 KHI (menentukan cucu sebagai ahli
waris pengganti) yang ditafsirkan secara a contrario terhadap kakek jo. Pasal 229
KHI, sebagaimana telah diuraikan terdahulu.
Saudara perempuan sekandung yang menjadi ahli waris bersama-sama
dengan saudara-saudara laki-laki seayah dan saudara perempuan seayah juga
belum ditentukan secara tegas dalam Pasal 182. Meskipun demikian. seperti telah
dikemukakan berulang kali, bahwa Hakim diberikan kesempatan untuk
menggunakan hukum kewarisan Islam menurut ajaran Patrilineal Syafi’I atau
hukum kewarisan Islam menurut ajaran Bilateral Hazairin berdasarkan Pasal 229
KHI.
Jika dilihat dan adanya rumusan ketentuan kewarisan yang dipisahkan
antara ketentuan bagi saudara seibu (dalam Pasal 181 KHI) dengan ketentuan
kewarisan bagi saudara sekandung atau seayah dalam Pasal 182 KHI, maka dapat
dikemukakan bahwa Kompilasi Hukum Islam lebih cenderung menerapkan
hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i.
Meskipun demikian, jika Pasal 182 KHI diterapkan terhadap masalah
Tisiniyah Zaid tampaknya terdapat kekosongan hukum dalam hal menentukan
besar bagian saudara perempuan sekandung pewaris yang mewaris bersama-sama
dengan saudara-saudara laki-laki seayah dan saudara perempuan seayah,
sebagaimana garis-garis hukum yang ditafsirkan penulis terhadap Pasal 182 KHI
yang dikemukakan dalam Bab tentang Saudara.
Hal ini tidak berarti tidak ada solusi, karena, pasal-pasal Kompilasi
Hukum Islam yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah tis’iniyah
adalah Pasal 178 (bagian harta warisan untuk ibu), Pasal 182 (bagian harta
warisan untuk saudara sekandung atau seayah) jo. Pasal 229 KHI yang
memberikan keleluasaan kepada Hakim dalam menyelesaikan perkara wajib
memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat., sehingga putusan Hakim sesuai dengan rasa keadilan.
D. Minbariyah
Masalah minbariyah disebut juga masalah bakbilab, yaitu tentang ‘aul
yang merupakan hasil ijtihad Sayyidina Ali bin Abi Thalib r a.
Ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. sedang di atas mimbar di mesjid
Kuffah, beliau memberikan khutbah mengenai pembagian harta warisan,
datanglah seseorang yang menanyakan penyelesaian masalah kewarisan yang para
ahli warisnya terdiri dari isteri, ibu, ayah, dan dua orang anak perempuan. Orang
tersebut berkata: “bukankah isteri mendapat seperdelapan, dalam masalah
tersebut?". Secara spontanitas, Sayyidina Ali bin Abi Thalib r a menjawab, bahwa
dalam kasus tersebut isteri mendapat sepersembilan. Khutbah beliau tetap
berlangsung tanpa terganggu oleh adanya pertanyaan tersebut. Orang-orang yang
hadir pada ketika itu, sangat keheranan (kagum) atas kecerdasan beliau. Karena
itu, kasus atau masalah kewarisan tersebut diberi nama masalah minbariyah,
sebab Sayyidina Ali bin Abi Thalib r a menyelesaikannya di atas mimbar mesjid.
Kasus minbariyah yang dihadapkan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib,
adalah pewaris meninggalkan isteri (A), ibu (B), ayah (C), dan dua orang anak
perempuan (D dan E).
Gambar:
Penyelesaian menurut Minbariyah.
A = isteri = 1/8 = 3/24, sebagai zul-fara’id (Q.4:12 e);
B = ibu = 1/6 = 4/24, sebagai zul-fara’id (Q.4:11 d);
C = ayah = 1/6 = 4/24, sebagai zul-fara’id (Q.4:11 d);
D + E = 2/3 = 16/24, sebagai zul-fara’id (Q.4:11 d);
A + B + C + D + E= 3/24 + 4/24 + 4/24 + 16/24 = 27/24 = 9/8, terjadi ketekoran
(‘aul) sebesar 1/9. Karena itu, besar bagian harta warisan masing-masing ahli
waris dikurangai:
A = 3/27 = 1/9;
B = 4/27;
C = 4/27;
D + E = 16/27 dibagi dua;
D = 8/27;
E = 8/27.
Selain masalah-masalah khusus yang telah diuraikan, perlu juga
dikemukakan mengenai Mu’addah.
E. Mu'addah
Masalah mu'addah atau diperhitungkan" adalah masalah khusus yang
berkaitan dengan besar bagian kakek sahih yang menjadi ahli waris bersama-
sama dengan seorang saudara laki-laki sekandung dan seorang saudara laki-laki
seayah.
Seperti telah diketahui, dalam hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i,
saudara seayah, baik laki-laki maupun perempuan ter-hijab-hirman oleh saudara
laki-laki sekandung. Namun, dalam masalah khusus mu'addah ini, untuk
memperkecil besar bagian yang diterima kakek sahih (yang besar bagiannya
disamakan dengan saudara), maka saudara laki-laki seayah "diperhitungkan"
(mu’addah) seolah-olah ia mendapat bagian harta warisan. Dengan demikian,
besar bagian kakek sahih lebih kecil, yaitu mendapat 1/3 harta warisan,
dibandingkan dengan jika saudara laki-laki seayah itu tidak "diperhitungkan",
yaitu mendapat setengah (1/2) harta warisan.
Gambar
Keterangan
A = saudara laki-laki sekandung;
B = kakek sahih,
C = saudara laki-laki seayah, terhijab oleh A.
(Tetapi untuk memperkecil perolehan bagian harta warisan kakek sahih, maka C
[saudara laki-laki seayah] "diperhitungkan" atau mu'addah seolah-olah ia
menerima harta warisan, padahal sebenarnya ia terhijab-hirman oleh A [saudara
laki-laki sekandung])
Cara peayelesaiannya sebagai berikut
A + B + C = seluruh harta dengan perbandingan perolehan A : B : C = 1:1:1;
A = saudara laki-laki sekandung =1/3 ditambah bagian C (karena
C terhijab oleh A);
B = kakek sahih = disamakan dengan saudara = 1/3;
C = saudara laki-iaki seayah = 1/3, kemudian diberikan kepada A, karena C
terhijab oleh A; Jadi,
A = saudara laki-laki sekandung = 1/3 + 1/3 = 2/3;
B = kakek sahih = disamakan dengan saudara = 1/3.
Seperti telah dikemukakan pada bab terdahulu, bahwa menurut hadis Zaid
bin Sabit, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan pendapat empat Imam Mazhab,
kecuali Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, dan Undang-undang Warisan
Mesir, bahwa kakek sahih dapat menghijab saudara-saudara seibu pewaris,
sebagaimana ayah menghijab mereka, karena kakek sahih berstatus sebagai ayah,
kecuali terhadap saudara-saudara kandung atau saudara-saudara seayah, maka
kakek sahih tidak dapat menghijab mereka, karena status kakek sahih dianggap
setara atau sama dengan saudara-saudara tersebut.
Karena itu, kakek sahih dapat menjadi ahli waris bersama dengan saudara
sekandung atau saudara seayah, yang pembagiannya dilakukan secara merata atau
muqasamah seolah-olah kakek sahih berkedudukan sebagai saudara. Karena itu
pula, muncullah pemikiran dari para fuqaba dalam menyelesaikan masalah
kewarisan yang disebut mu'addab ini.
Namun perbedaan antara kakek sabih dengan ayah adalah
ayah dapat meng-hijab-hirman seluruh saudara pewaris, baik saudara
sekandung, saudara seayah, maupun saudara seibu. Sedangkan kakek sahih hanya
dapat meng-hijab-hirman saudara seibu saja. Demikian ajarau hukum kewarisan
Islam Patrilineal Syafi’i.
Menurut Bilateral Hazairin:
Bila ditinjau dari hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin,
maka penyelesaian kasus mu'addab tersebut sebagai berikut:
B = kakek = adalah termasuk ahli waris dalam kelompok keutamaan
keempat, karena itu kakek tidak dapat tampil sebagai ahli waris bersama saudara-
saudara pewaris yang termasuk dalm kelompok keutamaan kedua.
Karena itu pula, dalam kasus kewarisan mu'addab, ahh waris
yang dapat tampil sebagai ahli waris adalah A (saudara laki-iaki sekandung
pewaris) dan C (saudara laki-laki seayah pewaris), yang berkedudukan sebagai
zul-qarabat.
Maka, A dan C mendapat seluruh harta warisan berdasarkan Q.4:176c.
A + C = seluruh harta warisan, sebagai zul-qarabat (Q.4:176c);
A = 1/2 sebagai zul-qarabat (Q.4:176c);
C = 1/2 sebagai zul-qarabat (Q.4:176c).
Menurut Kompilasi Hukum Islam:
Kompilasi Hukum Islam belum mengatur masalah mu'addab baik tentang kakek
sahib maupun tentang saudara laki-laki sekandung yang tampil sebagai ahli waris
bersama-sama dengan saudara laki-laki seayah dalam Pasal 182 KHI,
sebagaimana telah ditafsirkan penulis pada Bab tentang Saudara.
Meskipun demikian, sebagaimana penyelesaian kasus-kasus kewarisan
lainnya yang ketentuannya belum dimuat secara tegas dalam Kompilasi Hukum
Islam, penyelesaian masalah mu’addah dapat menggunakan Pasal 229 KHI yang
memberi peluang kepada para Hakim atau para penegak hukum Islam lainnya
untuk menerapkan hukum kewarisan Islam yang belum diatur secara tegas dalam
Kompilasi Hukum Islam, baik berdasarkan mu’adah dari ajaran Patrilineal Syafi'i,
ataupun berdasarkan hukum kewarisan Islam Bilateral Hazairin, sebagaimana
telah dijelaskan dan diselesaikan pada halaman sebelumnya.
Wallahu 'alam bi-sawab.