Download - HUKUM ISLAM DUA NEGARA
2
HUKUM ISLAM DUA NEGARA
Indonesia dan Malaysia
Tim Penyusun
Ketua : Drs. H. Muhsin Halim, SH, MH
Sekretaris : Drs. H. Almihan, SH, MH
Anggota : Drs. Zulkifli Siregar, SH, MH
Drs. Muhammad Amin, SH, MH
Editor/Penyunting : Alimuddin, S.HI
Copyright © 2012 Edited by Alimuddin, S.HI
Hak Cipta Dilindungi oleh undang-undang
Desain Sampul/Tata Letak
Alimuddin, S.HI
Ilustrasi/Foto
Dokumen PTA Medan
Diterbitkan Oleh
PENGADILAN TINGGI AGAMA MEDAN
Jl. Kapten Sumarsono No. 12 Medan Telp. (061) 8457461 Fax. (061) 8467077
Website : www.pta-medan.go.id E-mail : [email protected] Medan 20124
bekerjasama dengan
UNIVERSITI MALAYA, KUALA LUMPUR MALAYSIA
University of Malaya, 50603 Kuala Lumpur, MALAYSIA
Tel : +603-7967 7022/3273 Fax : +603-7956 0027 Email : [email protected]
3
PENGADILAN TINGGI AGAMA MEDAN
Jl. Kapten Sumarsono No. 12 Medan Telp. (061) 8457461 Fax. (061) 8467077
Website: www.pta-medan.go.id E-Mail: [email protected]
Medan - 20124
SAMBUTAN
KETUA PENGADILAN TINGGI AGAMA MEDAN
أنحد هلل انري جعم ¸أنسال و عهكى زحت هللا بسكاح
انصالة ¸شسعخ عا د انحاة فى اند اندا االخسة
انسالو عه زسل هللا يحد ب عبد هللا عه أن أصحاب
أيا بعد ¸ي حبع دا اال
Dengan membaca bismillahir-rahmanir-rahim, kita
buka kata sambutan buku ini dengan pernyataan
sukur Alhamdulillah. Mengiringi puji dan syukur, kita memohon ke
hadirat Allah Swt., semoga shalawat dan salam-Nya selalu dilimpahkan
kepada Nabi dan Rasul penutup, Muhammad Saw. Tidak terkecuali
untuk para keluarganya, segenap sahabatnya dan semua umatnya. Insya
Allah kita semua berada di dalamnya. Sebagaimana Rasulullah sendiri
menyatakan bahwa: "Setiap orang yang takwa adalah keluarga
Muhammad", kullu taqiyyin 'ala muhammadin.
Berkat rahmat dan 'inayah Allah Swt., serta tuntunan dan
anjuran Rasul-Nya, Alhamdulillah kita umat Islam masih tetap menaruh
peduli dan hormat serta taat terhadap hukum yang disyariatkan Allah
Swt, melalui Rasul-Nya. Terutama dalam bidang hukum keluarga Islam
yang berbeda dengan bidang-bidang hukum Islam lain, yang telah
banyak tidak lagi berlaku oleh umat Islam sendiri, hukum keluarga
Islam masih tetap berlaku secara merata di segenap penjuru dunia dan
kawasan Asia Tenggara.
4
Buku yang berjudul HUKUM ISLAM DUA NEGARA
Indonesia dan Malaysia ini adalah kumpulan makalah seminar
separuh hari, dan hasil studi banding delegasi short course mandiri
Pengadilan Tinggi Agama Medan dan pimpinan Mahkamah Agung RI
yang diwakili oleh Dirjen Badilag MA RI, Drs. H. Wahyu Widiana,
MA, pada Senin 25 Juni 2012 lalu.
Seminar tersebut, bertemakan tentang Hukum Islam di dua
Negara (Indonesia-Malaysia) atas undangan dari Jabatan Agama Islam
Wilayah Persekutuan (JAWI) Malaysia, dan bertempat di Akademi
Pengajian Islam (API), Universiti Malaysia (UM) Kuala Lumpur
Malaysia, dengan dihadiri Hakim Tinggi PTA Medan, delegasi short
course mandiri, para dosen dan mahasiswa pasca sarjana.
Malaysia dan Indonesia merupakan dua negara bertetangga
yang sebenarnya tidak bisa dipisahkan, kecuali oleh formalitas batas
negara, karena adanya kesamaan latar budaya dan agama antar kedua
negara serumpun. Dalam seminar dan studi banding tersebut, seringkali
saya mendapatkan masukan dan atau saran dari berbagai pihak supaya
materi yang disampaikan dalam makalah maupun jawaban-jawaban
lepas yang diberikan kepada peserta, kiranya dapat dihimpun ke dalam
buku yang lebih berguna.
Saran, masukan dan harapan banyak pihak ini ternyata akhirnya
memberikan dorongan tersendiri untuk terus menyelesaikan penulisan
buku ini; meskipun keinginan untuk memberikan sumbangan bagi
kemajuan khazanah ilmu-ilmu hukum Islam khususnya dalam bidang
hukum keluarga dan hukum perwakafan masih tetap menjadi
pendorong utamanya.
5
Untuk itu, buku ini saya harapkan disusun demikian rupa
mengingat peruntukannya tidak semata-mata diproyeksikan bagi
kalangan terpelajar khususnya para Hakim di lingkungan Pengadilan
Tinggi Agama Medan, akan tetapi juga dimaksudkan sebagai bahan
bacaan yang bisa dinikmati oleh kalangan masyarakat luas pada
umumnya.
Sehubungan dengan selesainya buku ini, dengan penuh
keikhlasan dan rendah hati, saya menyampaikan terima kasih yang
tidak terhingga kepada semua pihak yang langsung maupun tidak
langsung, turut andil dan memotivasi penyelesaian buku ini. Harapan
saya, dan Insya Allah kita semua, kehadiran buku ini akan memberikan
manfaat bagi keluarga dan masyarakat muslim khususnya. Amin,
semoga hanya kepada Allah Swt kita beribadah, dan hanya kepada-Nya
kita memohon pertolongan dan perlindungan.
انسالو عهكى زحت هللا بسكاح
Medan, 27 Agustus 2012 M
09 Syawal 1433 H
Drs. H. Soufyan M. Saleh, SH
6
PENGANTAR EDITOR
usim kemarau di kota Pandan Tapanuli Tengah,
2012. Panas cuaca belum juga turun, terasa
dingin ketika malam tiba. Suasana bulan suci
Ramadhan 1433 H cukup mewarnai kota kecil yang
sangat panas di pesisir pantai Barat Sumatera Utara ini.
Alunan suara qari' di setiap masjid silih berganti membacakan ayat-
ayat Al-Quran mengiringi persiapan berbuka puasa, lampu-lampu hias
berkelap-kelip di sepanjang jalan lintas Padangsidimpuan-Sibolga.
Saya masih merenungi udara panas di kota tua yang baru
berulang tahun yang ke-67 ini, wajah-wajah orang kepanasan yang
disertai dengan pakaian tipis, celana pendek, helm, dan kacamata hitam
ketika lalu lalang mengendarai sepeda motor adalah hari-hari yang
melelahkan di penghujung bulan Ramadhan tahun 2012 itu. Lamunan
saya terusik oleh deringan telepon genggam yang berada di atas meja
kerja. Orang nomor satu di jajaran Pengadilan Tinggi Agama Medan
yang menelpon itu menanyakan apa yang akan saya lakukan selama
liburan hari raya. Saya katakan bahwa saya hanya ingin berada di
Pandan dan tidak pulang kampung, saya ingin menulis naskah buku di
sela-sela waktu luang yang ada.
Pucuk dicinta ulam tiba, pak ketua menawarkan saya mengedit
beberapa makalah hasil studi banding di negara Malaysia dan kawasan
Asia Tenggara beberapa waktu lalu, untuk dijadikan buku kompilasi.
Dengan senang hati, saya menerimanya.
M
7
"Bertafakur satu saat lebih baik daripada ibadah satu tahun,"
sabda Nabi Muhammad Saw, di tengah-tengah bangsa yang hidup
dalam alam yang keras. Ketika orang-orang Arab sibuk
mempertahankan hidupnya, ketika hari-hari mereka dipenuhi dengan
pergulatan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, Rasul yang mulia
menyuruh mereka bertafakur. Apakah sabda Nabi itu relevan dengan
tempat dan zamannya? Bukankah tafakur terlalu mewah buat mereka
yang hidup di bawah garis kemiskinan? Bukankah terkenal adagium
primum vivere deinde philosophari__
hiduplah dahulu baru berfilsafat?
Bukankah tafakur itu melangit padahal masalah hidup sangat
membumi?
Buku yang kini berada di hadapan Anda adalah sebuah
kompilasi dari berbagai makalah seminar dan hasil studi banding
delegasi short course mandiri, Hakim Pengadilan Tinggi Agama
Medan, pimpinan Mahkamah Agung RI yang diwakili oleh Dirjen
Badan Peradilan Agama dan Direktur Pembinaan Tenaga Teknis
Peradilan Agama MA RI, para akademisi, dan cendikiawan muslim
Indonesia di negara kawasan Asia Tenggara termasuk Malaysia. Buku
ini berhubungan dengan hukum keluarga Islam dan hukum perwakafan
dalam Islam, sebuah kajian tekstual dan kontekstual atas hukum Islam
dua negara, yaitu Indonesia dan Malaysia, bisa juga disebut sebagai
studi perbandingan hukum Islam dua negara.
Sebagai sebuah karya kompilatif, buku ini bukanlah "buku"
dalam arti kata yang sebenarnya. Sebuah buku lazimnya akan
membahas suatu masalah secara sistematis, dan "tuntas". Tidak
demikian halnya dengan buku yang berada di hadapan Anda ini.
8
Meskipun demikian, ibarat kata pepatah, "tiada rotan akar pun
jadi." Kendatipun buku ini disinyalir belum tuntas secara substansi dan
pembahasan masalah, para penulis yang mumpuni cukup mewarnai
penerbitan buku ini. Sebut saja, Dirjen Badan Peradilan Agama Drs. H.
Wahyu Widiana, MA dan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Medan Drs.
H. Soufyan M. Saleh, SH, turut serta menuangkan gagasannya tentang
hukum Islam dan Peradilan Agama. Dua profesor ahli dalam bidang
hukum keluarga Islam dan hukum perwakafan dari Universiti Malaya
juga ikut mewarnai penulisan buku ini, mereka adalah Prof. Raihanah
Abdullah dan Prof. Siti Mashitoh Mahamood. Di samping itu, ada pula
profesor asli Indonesia yang mengupas tentang seluk-beluk hukum
keluarga Islam dan pendidikan keluarga, yaitu Prof. Dr. H.A. Hamid
Sarong dari IAIN Ar-Raniry Aceh.
Kehadiran para praktisi dan pakar dalam bidang hukum Islam
itu, setidaknya menjadikan buku ini berkualitas dan layak dijadikan
referensi bagi Anda. Sebagai suatu karya akademis yang bersumber
dari penelitian empiris, tentunya kami selalu membuka diri untuk
menerima segala macam kritik dan sanggahan dari pihak-pihak lain.
Kajian hukum keluarga Islam dan hukum perwakafan di
Indonesia dan Malaysia, memang berkaitan erat dengan bidang hukum
Islam, dimana kepentingan-kepentingan politik hukum, pandangan-
pandangan ideologi, dan pendirian-pendirian filsafat hukum Islam
saling berinteraksi satu sama lain. Karena itu, adanya keseragaman
pendapat mengenai suatu masalah adalah sah saja dan harus dipandang
dengan kepala dingin dan hati yang terbuka. Sikap apriori dalam
menerima atau menolak sesuatu secara tanpa kritis, tidak akan
9
membawa kita kepada kebenaran sejati yang justru kita cari dalam
suatu kerja intelektual.
Tentunya, tugas menyunting seluruh naskah saya selesaikan dan
segala kekurangannya saya serahkan kepada yang 'berwajib'. Saya
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikhlas
membantu penerbitan karya kompilatif ini. Demikian banyak orang
yang telah membantu, sehingga sulit untuk menyebutkannya satu demi
satu. Harapan kita, kiranya buku ini bermanfaat bukan saja bagi para
praktisi di lingkungan Peradilan Agama dan kalangan akademisi, tetapi
juga masyarakat luas yang menaruh perhatian terhadap masalah-
masalah hukum Islam konsentrasi hukum keluarga Islam dan hukum
perwakafan.
Kepada Anda, yang membaca buku ini dengan membeli dan
meminjam, saya mohon maaf atas judul dan isi yang lebih bagus
daripada desain grafis. Saya mohon, bacalah buku ini dengan niat
bertafakur, supaya mendapat pahala ibadah satu tahun.
Pandan, 28 Agustus 2012 M
10 Syawal 1433 H
Alimuddin, S.HI
10
DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN
KETUA PENGADILAN TINGGI AGAMA MEDAN
3
PENGANTAR EDITOR 6
DAFTAR ISI 10
PENGADILAN AGAMA DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Drs. H. Wahyu Widiana, M.A
Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI…….. 12
PERADILAN ISLAM ASIA TENGGARA
Drs. H. Soufyan M. Saleh, S.H
Ketua Pengadilan Tinggi Agama Medan………………………………. 28
NILAI-NILAI SYARIAT ISLAM DALAM PENDIDIKAN
KELUARGA
Prof. Dr. H. A. Hamid Sarong, S.H,.M.H
Guru Besar Hukum Islam IAIN Ar-Raniry Aceh……………………… 51
PENDAFTARAN/PENGESAHAN PERNIKAHAN MENGIKUTI
UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA
Prof. Dr. Raihanah Abdullah
Pengarah Pusat Dialog Peradaban Akademi Pengajian Islam Universiti
Malaya…………………………………………………………………..
64
UNDANG-UNDANG PEWAKAFAN MALAYSIA
Prof. Dr. Siti Mashitoh Mahamood
Jabatan Syariah dan UU Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya.. 77
POLIGAMI BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL
(Tinjauan Hukum PP Nomor 10 Tahun 1983)
Drs. H. Almihan, S.H,. M.H
Ketua Pengadilan Agama Binjai……………………………………….. 86
11
PEMBARUAN HUKUM WAKAF DI INDONESIA
Drs. Suhrawardi K. Lubis, S.H,. Sp.N,. M.H
Pembantu Rektor II UMSU Medan……………………………………. 99
HAK-HAK PEREMPUAN MENURUT
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Dra. Hj. Rosmawardani Muhammad, S.H
Hakim Pengadilan Tinggi Agama Medan……………………………… 107
PENUTUP 115
BIOGRAFI SINGKAT 118
A. Penulis………………………………………………………………. 118
B. Penyusun……………………………………………………………. 126
C. Editor………………………………………………………………... 128
12
PENGADILAN AGAMA DAN
HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Drs. H. Wahyu Widiana,. M.A1
A. Pendahuluan
Pengadilan dan hukum memiliki kaitan yang erat. Demikian
Pengadilan Agama memiliki kaitan langsung dengan hukum Islam di
Indonesia. Hukum tidak ada artinya kalau tidak dilaksanakan. Hukum
tidak ada artinya kalau tidak ditegakkan. Ketika seorang remaja muslim
mencapai usia akil baligh atau ketika seorang dewasa menyatakan dua
kalimat syahadat memeluk agama Islam, maka secara otomatis
berkewajiban menaati hukum Islam. Seorang muslim harus
mengerjakan perintah-perintah yang diwajibkan dalam hukum Islam.
Sebagaimana dia harus meninggalkan larangan-larangan yang
diharamkan dalam hukum Islam. Seorang muslim yang melanggar
hukum Islam akan berurusan dengan Pengadilan Agama.
Khalifah Umar dalam surat deriktifnya kepada Qadhi Abu
Musa Al-Asy‘ari mengatakan, ―Tidak ada gunanya berbicara tentang
kebenaran (hukum) tanpa pelaksanaan‖.2 Senada dengan itu seorang
sarjana hukum Belanda Prof. H.R. Hoetink pernah mengatakan, ―Alpha
en omega van de rechtswetenschap is de zien in de bilijke beslissing
van den concrette praktische casus, hiervan gaat zeuit, hiertoe keert ze
terug. Eenmaal los daarvan in voor haar niets te wechten dan ijdelheid
1 Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
2 Bustanul Arifin, Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional bertenun
dengan benang-benang kusut, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2001), h.39.
13
em kwelling des geets‖. (ujung dan pangkal dari ilmu hukum harus
dapat dilihat dari putusannya yang adil dari kasus yang konkrit dan
praktis di pengadilan. Dari sinilah dia bermula dan kesini pulalah dia
bermuara. Sekali terlepas dari yang demikian, maka ilmu hukum itu
akan menjadi hal yang mubazir dan gangguan saja jiwa manusia).3
Pengadilan Agama di Indonesia yang dimaksudkan adalah
Pengadilan Agama Islam. Sekalipun di Indonesia terdapat agama
selain agama Islam. Dalam undang-undang disebutkan bahwa,
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam (Pasal 1 angka 1 UU. No. 7 Tahun 1989). Peradilan Agama
merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 2 UU. No. 7
Tahun 1989). Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang ini. (Pasal 2 UU. No.3 Tahun 2006).
B. Profil Pengadilan Agama
Pengadilan Agama adalah lembaga penegakkan hukum Islam
untuk penduduk Indonesia yang beragama Islam. Bahkan penjelasan
Pasal 49 UU. No. 50 Tahun 2009 menegaskan bahwa yang dimaksud
dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk
orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri
dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan pasal ini.
3 Ibid
14
Drs. H. Wahyu Widiana, M.A sedang menyampaikan sambutan di depan peserta seminar Hukum Islam Dua Negara Indonesia dan Malaysia, bertempat di Universiti Malaya
Kuala Lumpur Malaysia (doc.PTA Medan).
Penyebutan tersebut, yakni Pengadilan Agama saja tanpa
menyebutkan Pengadilan Agama Islam, dikarenakan hukum yang
ditegakkan dalam Pengadilan Agama adalah otomatis berasal dari
hukum Islam dan bagi penduduk yang beragama Islam. Sementara
penduduk yang beragama selain Islam, penegakkan hukumnya melalui
Pengadilan Negeri tanpa embel-embel kristen, sekalipun hukum yang
ditegakkan disana berasal dari hukum Barat yang nota bene adalah
kristen. Kalau kita berbicara tentang asal-usul hukum, maka semua
hukum pada dasarnya berasal dari agama. Hukum positif kita sekarang,
yang berasal dari negeri Belanda dan yang diterapkan di Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi sampai Mahkamah Agung, baik hukum
pidana, perdata dan lain-lainnya, semuanya itu berasal dari ajaran
agama Kristen.4 Prof. Mr. L.J. Van Apeldorn menulis, ―Setiap hukum
4 Ibid, h.41
15
adalah moral positif yang diberi sanksi oleh pemerintah, dan di negeri
kita (maksudnya Belanda) berdasarkan agama Kristen‖.5
Sejak masa kerajaan Islam di nusantara sudah berdiri
Pengadilan Agama, mulai dari ujung Aceh sampai Ternate. Bahkan
pada masa-masa itu Pengadilan Agama menangani semua perkara baik
perdata maupun pidana.
Pada masa penjajahan Belanda, Pengadilan Agama dibentuk
pada tahun 1882 yang ditujukan untuk masyarakat yang memeluk
Agama Islam.6 Kompetensi Pengadilan Agama pada waktu itu adalah
hal-hal yang berhubungan dengan hukum-hukum perkawinan,
kewarisan dan wakaf.7
Menurut Bagir Manan,8 bahwa kiprah Pengadilan Agama di
Indonesia memudar atau surut karena beberapa sebab, antara lain:
Pertama, memudarnya tamaddun Islam di seluruh dunia Islam,
sehingga Peradilan Agama yang menerapkan syariat Islam sama sekali
dihapus atau lingkup yurisdiksinya dibatasi seperti di Indonesia hanya
dikenal sebagai peradilan nikah, talak, dan rujuk; Kedua, surutnya
kerajaan-kerajaan Islam karena berbagai penaklukan negara Barat,
sehingga terjadi pemberlakuan tradisi dan sistem hukum Barat seperti
BW di Indonesia; Ketiga, kemunduran pemahaman agama Islam,
sehingga agama dianggap kebutuhan spiritual individual bukan
kebutuhan sosial; Keempat, proses westernisasi, sehingga hidup dalam
suasana agama dianggap sebagai hidup dalam suasana kumuh dan tidak
5 Ibid
6 Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama, (Jakarta: Gramata Publishing,
2010), h. 35 7 Ibid, h.37
8 Lihat Bagir Manan, Pengadilan Agama dalam Prespektif Ketua
Mahkamah Agung, (Jakarta: Ditjen badilag MA RI, 2007), h.76-80
16
modern; Kelima, salah pengertian mengenai penerapan hukum Islam,
sehingga hukum Islam dianggap sebagai hukum yang kejam;
Keenam,ditonjolkannya hukum adat sebagai hukum yang benar-benar
hidup di masyarakat yang semestinya diterapkan; dan ketujuh,
rendahnya perhatian pemerintah terhadap Peradilan Agama. Di masa
kolonial itu merupakan bagian dari politik kolonial untuk mengecilkan
peranan agama Islam, akibatnya Peradilan Agama sangat terbelakang
dibandingkan dengan Peradilan Umum (PN).
Masih menurut Bagir Manan,9 bahwa Undang-Undang No.14
Tahun 1970 telah memberi dasar-dasar perkembangan Peradilan
Agama dengan dua prinsip: Pertama, menetapkan Peradilan Agama
sebagai salah satu lingkungan badan peradilan negara disamping tiga
badan peradilan lainnya (peradilan umum, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha negara); dan kedua, penghapusan ―fiat eksekusi‖
oleh Peradilan Umum atas putusan Peradilan Agama, sekalipun
kompetensi Peradilan Agama masih berkisar nikah, talak, dan rujuk.
Kompetensi Peradilan Agama menurut Undang-Undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan berubah meliputi perceraian,
penentuan keabsahan anak, perwalian, penetapan asal-usul anak, dan
izin menikah.10
Perubahan lebih nyata dalam Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 49 undang-undang tersebut
menyebutkan enam kekuasaan Peradilan Agama (perkawinan,
9 Ibid, h.81-83
10 Ibid, h.83
17
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah) yang diurai dalam
penjelasan pasal tersebut menjadi 22 macam kewenangan.11
Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, wewenang yang diatur dalam
pasal 49 diperluas menjadi sembilan macam (perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah).12
Menurut Bagir Manan,13
dari berbagai perkembangan Peradilan
Agama, yang paling mendasar adalah pengaturan Peradilan Agama
(dan lingkungan peradilan lain) dalam Undang-Undang Dasar 1945
(Perubahan Ketiga, 2001). Dengan demikian, tidak akan ada perdebatan
lagi mengenai kehadiran Peradilan Agama dalam sistem kekuasaan
kehakiman di Indonesia.
Terbitnya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 membawa era
baru dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Disana dikenal sistem satu atap (one roof system).
Bagir Manan14
menjelaskan beberapa perubahan Peradilan
Agama sejak era satu atap, antara lain: Pertama, hal-hal yang
menyangkut pengelolaan organisasi, administrasi, dan keuangan telah
beralih dari Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) ke
Mahkamah Agung; Kedua, perubahan kedudukan Direktorat Peradilan
Agama menjadi Direktorat Jenderal Peradilan Agama; Ketiga,
perubahan sistem penerimaan calon hakim; Keempat, meskipun
anggaran tahunan berada di bawah Mahkamah Agung, tetapi
pengelolaannya dilakukan sendiri oleh pengadilan; Kelima,
11
Ibid 12
Ibid 13
Ibid, h.84-86 14
Ibid, h.86
18
penyelesaian mutasi dan promosi; Keenam, anggaran Direktorat Badan
Peradilan Agama sudah ditingkatkan; Ketujuh, telah diserahkan
sejumlah kendaraan dinas untuk Pengadilan Agama; dan kedelapan,
pelatihan-pelatihan hakim agama dilakukan bersama-sama dengan
hakim-hakim lingkungan peradilan lain;
Saat ini Peradilan Agama di Indonesia memiliki 3.710 hakim,
yang terdiri atas 3.210 hakim tingkat pertama, dan 500 hakim tingkat
banding. Memiliki 3.270 tenaga kepaniteraan dan 1.237 tenaga
kejurusitaan. Sementara total jumlah pegawai Peradilan Agama
termasuk tenaga non teknis adalah 11.678 orang.
Data perkara pada akhir tahun 2011, Peradilan Agama seluruh
Indonesia menerima 363.448 perkara, sementara sisa perkara tahun
2010 berjumlah 62.896, sehingga jumlah perkara pada tahun 2011
adalah 426.344 perkara dari seluruh 29 wilayah Pengadilan Tinggi
Agama/Mahkamah Syar‘iyah Aceh.
Dari data 363.448 perkara tersebut yang masuk ke Pengadilan
Agama seluruh Indonesia pada tahun 2011, terdapat 314.919 kasus
perceraian (99.566 cerai talak dan 215.353 cerai gugat), dan 48.529
kasus selain kasus perceraian.
C. Hukum Materil Pengadilan Agama
Materi hukum yang berlaku di dalam Pengadilan Agama antara
lain, materi fikih munakahat, mu‟amalat, dan ditambah sebagian
jinayat berdasarkan Qanun pada Mahkamah Syari‘ah di Aceh. Boleh
dikatakan bahwa dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 hukum
materil Pengadilan Agama sebatas bidang hukum keluarga, bersumber
dari fikih munakahat dan sebagian fikih mu‟amalat, yaitu wasiat, waris,
hibah, wakaf dan shadaqah. Setelah Undang-Undang No.3 Tahun 2006
19
yang diubah dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama, hukum materil Pengadilan Agama mencakup seluruh
materi fikih mu‟amalat, yaitu materi ekonomi syariah, dan sebagian
fikih ibadat, yaitu zakat.
Pada dasarnya hukum materil Pengadilan Agama bersumberkan
dari fikih, khususnya fikih madzhab Syafi‘i yang dianut oleh mayoritas
muslim di Indonesia. Tradisi di Pengadilan Agama adalah merujuk
hukum Islam dalam kitab kuning (fikih klasik), khususnya kitab fikih
dalam madzhab Syafi‘i, dan belakangan berkembang kepada fikih
umum lintas madzhab seperti kitab Fiqh as-sunnah karangan Sayyid
Sabiq, dan Al-Fiqh al-Islami wa adillatuh karangan Syekh Wahbah
Az-Zuhaili.
Paling tidak ada tiga materi hukum Islam yang berlaku di
Peradilan Agama termasuk di dalamnya Mahkamah Syari‘ah di Aceh:
Pertama, Hukum Keluarga. Dalam literatur fikih klasik, hukum
keluarga identik dengan fiqh al-munakahat. Dalam perkembangannya,
hukum keluarga lazimnya terkait dengan hukum perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, dan wakaf. Sehingga hukum keluarga
memasukkan juga sebagian unsur fiqh al-mu‟amalat yaitu: waris,
wasiat, hibah dan wakaf. Dalam literatur fikih kontemporer dikenal
dengan istilah Al-Ahwal asy-syakhshiyyah.
Kedua, Hukum Ekonomi Syariah. Dalam literatur fikih klasik,
hukum yang berkaitan dengan kebendaan identik dengan fiqh al-
mu‟amalat. Pada umumnya ulama mengelompokkan kajian fikih dalam
empat bagian, yaitu: fiqh al-„ibadat, fiqh al-mu‟amalat, fiqh al-
munakahat, dan fiqh al-jinayat. Sekalipun dalam kajian fiqh al-
mu‟amalat biasanya memasukkan pembahasan waris, wasiat, dan
20
wakaf, pada perkembangannya fiqh al-mu‟amalat dialamatkan pada
fikih ekonomi, sehingga dikenal dengan istilah Hukum Ekonomi
Syariah. Hukum Ekonomi Syariah tidak hanya membahas lingkup fiqh
al-mu‟amalat tetapi juga memasukkan sebagian fiqh al-ibadat, yaitu
zakat. Hal tersebut dikarenakan Hukum Ekonomi Syariah berhubungan
erat dengan hukum kebendaan dan perikatan, sedangkan zakat juga
sangat terkait dengan hukum kebendaan.
Ketiga, jinayat. Hukum jinayat (hukum pidana Islam) yang
berlaku pada Mahkamah Syari‘ah di Aceh adalah terkait dengan Qanun
No. 12, 13 dan 14 Tahun 2003 tentang khamar (menjual dan
mengkonsumsi minuman keras), maisir (judi) dan khalwat (larangan
berduaan di tempat sepi bagi yang bukan muhrim).
D. Hukum Islam Terbatas
Hukum Islam yang berlaku sebagai hukum positif di Pengadilan
Agama masih terbatas, dikarenakan dinamika politik hukum di
Indonesia yang belum menghendaki penerapan hukum Islam secara
kaffah (totalitas).
Hal tersebut tidak terlepas dari sejarah panjang perjalanan
hukum Islam dan Pengadilan Agama itu sendiri, dari fase kerajaan
Islam di nusantara, fase penjajahan, dan fase kemerdekaan.
Dalam fase kerajaan Islam, hukum Islam berlaku secara
menyeluruh. Sultan dan raja-raja Islam sangat menguasai hukum Islam
dan menerapkan hukum Islam dalam kehidupan masyarakatnya.
Sehingga hukum Islam menjadi hukum yang hidup di seluruh wilayah
kerajaan Islam nusantara.
Kemudian pada fase penjajahan, ada masanya hukum Islam
berlaku dan diakui seluruhnya sebagai hukum yang hidup di tengah-
21
tengah masyarakat muslim terjajah (teori receptio in complexu).
Menurut teori itu bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup di
kalangan rakyat pribumi yang beragama Islam.15
Bahkan, bahwa
penerimaan hukum Islam itu bukan hanya sebagian saja, tetapi secara
keseluruhan dalam bentuk kesatuan hukum.16
Berdasarkan teori
tersebut, bahwa hukum yang berlaku mengikuti agama yang dianut
oleh seseorang. Dengan demikian, hukum yang berlaku bagi orang
Islam Indonesia adalah hukum Islam, hukum adat baru dapat berlaku
jika dianggap sesuai dengan ajaran Islam.17
Ada masanya hukum Islam dalam urusan kebendaan diakui dan
berlaku selama hukum tersebut sesuai dengan hukum adat yang hidup
di masyarakat (teori receptie). Menurut teori ini, hukum Islam baru
berlaku bila telah diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum adat.
Dengan demikian, berdasarkan teori ini, hukum kewarisan Islam
dinyatakan tidak berlaku, karena belum diterima oleh hukum adat.18
Dalam fase kemerdekaan, kemudian muncul teori receptie exit.
Teori ini hendak menyatakan bahwa teori receptie harus keluar dari
teori hukum nasional Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945
dan Pancasila serta bertentangan pula dengan Al-Quran dan Hadis.19
Lalu disusul dengan teori receptie a contrario. Teori ini menyatakan
bahwa hukum yang berlaku bagi masyarakat adalah hukum agamanya.
Dengan demikian, hukum adat hanya berlaku sepanjang tidak
15
Op. cit. Hasbi Hasan, h. 34 16
Ibid 17
Ibid, h. 35 18
Ibid, h.38 19
Ibid, h.42
22
bertentangan dengan hukum Islam. Teori ini sejalan dengan konsep ‗urf
yang dikenal dalam Islam.20
Meskipun Belanda tidak berhasil menghapuskan Peradilan
Agama, namun politik kolonial telah berhasil mengerucutkan
kompetensi Peradilan Agama.21
Adapun caranya antara lain, membatasi
kompetensi Peradilan Agama pada perkara-perkara keperdataan (de
burgerlijke rechtzaken). Kemudian dipersempit lagi hanya pada
pembatasan penerapan hukum keluarga khususnya pada persoalan
nikah, talak, dan rujuk.22
Sekalipun pada perkembangannya bertambah
pada soal waris, wasiat, hibah, shadaqah, zakat dan ekonomi syariah,
serta jinayah, yaitu: maysir, khalwat, dan khamer.
E. Pembaruan Hukum Islam
Materi hukum yang diterapkan di Pengadilan Agama bersumber
pada kitab fikih madzhab Syafi‘i yang terhimpun dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).
KHI disusun atas prakarsa penguasa negara, dalam hal ini Ketua
Mahkamah Agung dan Menteri Agama (melalui Surat Keputusan
Bersama) dan mendapat pengakuan ulama dari berbagai unsur. Oleh
karena itu, secara resmi KHI merupakan hasil konsensus (al-ijma„)
ulama dari berbagai ―golongan‖ melalui media lokakarya yang
mendapat legalitas dari kekuasaan negara.23
Sekurang-kurangnya
terdapat tiga hal yang layak dikemukakan dalam kaitannya dengan
tatanan hukum nasional. Pertama, kesesuaian KHI dengan peraturan
20
Ibid 21
Ibid
22 Ibid
23 http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/04/taransformasi-hukum-islam-bagian-
kelima-seputar-khi/ (diakses pada tanggal 20-06-2012 pukul. 11.30 WIB)
23
perundang-undangan yang berlaku, yang dijadikan rujukannya. Kedua,
kelayakan KHI untuk dijadikan pedoman oleh instansi pemerintah dan
masyarakat yang membutuhkannya dalam menyelesaikan masalah dan
perkara perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Ketiga, kelayakan
pelaksanaan KHI bagi umat Islam dalam kehidupan masyarakat bangsa
yang majemuk.24
Kitab fikih madzhab Syafi‘i adalah yang paling dominan
diadopsi dalam KHI, karena mayoritas muslim di Indonesia
melaksanakan hukum Islam bersumberkan dari kitab-kitab fikih
bermadzhab Syafi‘i.
Sekalipun demikian, dalam kenyataannya, KHI tidak
sepenuhnya mengadopsi fikih Syafi‟iyyah, karena ada beberapa kasus
mengalami pembaharuan hukum di dalamnya dengan pertimbangan
maslahat. Kaidah Tasharruf al-imam „ala ar-ra‟iyyah manuth-un bi al-
mashlahah (kebijakan pemerintah atas rakyatnya harus berdasarkan
kemaslahatan) menjadi salah satu pertimbangannya. Materi hukum
dalam KHI yang mengalami pembaharuan dari fikih Syafi‟iyyah
sebagai rujukan utama antara lain sebagai berikut:
1. Cerai hanya di depan pengadilan.
Pasal 115.
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak
2. Harta gono-gini.
Pasal 85.
24
Ibid
24
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.
Pasal 87
(1). Harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di
bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
3. Kawin Hamil.
Pasal 53
(1). Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan
pria yang menghamilinya.
(2). Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1)
dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya.
Pasal 99.
Anak yang sah adalah :
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
4. Ahli waris pengganti.
Pasal 185
(1). Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris
maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali
mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
(2). Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian
ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
5. Warisan lahan kurang dari 2 ha.
Pasal 189
25
(1). Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang
luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya
sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan
bersama para ahli waris yang bersangkutan.
(2). Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak
dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan
ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki
oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara membayar
harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya
masing-masing.
6. Izin poligami.
Pasal 71.
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan
Agama;
7. Dispensasi kawin.
Pasal 15
(1). Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan
hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur
yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974
yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan
calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun
(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat
(2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.
8. Maksimal hibah 1/3 harta.
Pasal 210
26
(1). Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun
berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan
sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau
lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
9. Hibah diperhitungkan sebagai warisan.
Pasal 211.
Hibah dan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai
warisan.
Rektor Universiti Malaya Memberikan Tali Kasih kepada Dirjen Badilag MA RI
(doc. PTA Medan)
F. Penutup
Pengadilan Agama merupakan benteng terakhir untuk
penegakan hukum Islam di Indonesia. Sistem hukum nasional di
Indonesia masih belum memiliki kelamin yang jelas. Sistem hukum
nasional merupakan campuran antara hukum Islam, hukum adat, dan
hukum Barat (baca: Belanda).
27
Hukum di suatu negara akan mudah dilaksanakan dan diikuti
apabila sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakatnya. Pengadilan
Agama dan hukum Islam di Indonesia keduanya menjadi denyut nadi
kehidupan. Dengan tidak mengabaikan hukum positif seperti KHI dan
KHES, sampai saat ini hukum Islam yang bersumberkan dari fatwa
ulama dan kitab-kitab fikih masih hidup di tengah penduduk Indonesia
yang beragama Islam. Tanya jawab hukum Islam di berbagai media
cetak, media elektronik maupun media online menjadi kebiasaan yang
sering kita dapati dalam kehidupan sehari-hari.
Pengadilan Agama tidak saja merujuk kepada kitab kuning atau
fikih klasik (madzhab Syafi‘i), pada perkembangannya banyak
mengadopsi kitab putih atau fikih kontemporer (lintas madzhab).****
28
PERADILAN ISLAM ASIA TENGGARA
Drs. H. Soufyan M. Saleh, S.H
Ketua Pengadilan Tinggi Agama Medan
PENDAHULUAN
Hakikat ajaran Islam terdiri dua ajaran pokok, pertama ajaran
Islam yang absolut dan permanen, kedua ajaran Islam yang bersifat
relatif dan tidak permanen. Ajaran Islam yang bersifat absolut tidak
memungkinkan adanya analogi dan pembaruan karena ajaran tersebut
bersifat abadi dan ta‟abbudi. Sedangkan ajaran Islam yang bersifat relatif
memungkinkan adanya perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.
Salah satu ajaran Islam yang bersifat relatif itu adalah ajaran Islam dalam
bidang hukum.
Hukum Islam dalam pengertian inilah yang memberi
kemungkinan epistemologi bahwa setiap wilayah yang dihuni umat
Islam dapat menerapkan hukum secara berbeda-beda. Kenyataan ini
tercermin pada kecenderungan sistem hukum di negara-negara muslim
dewasa ini. Hal ini bukan saja karena sistem politik yang dianut,
melainkan juga oleh faktor sejarah, sosiologi dan kultur dari masing-
masing negara tersebut.
Penerapan hukum Islam di berbagai negara yang berpenduduk
muslim mempunyai corak serta sistem yang saling berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Di negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam mempunyai nuansa yang berbeda dengan negara yang relatif
berimbang pada setiap pemeluknya, misalnya negara tersebut memiliki
pluralitas agama, dominasi penguasa atau political will (kemauan politik)
29
juga amat berpengaruh terhadap kebijaksanaan hukum suatu negara.
Karenanya implementasi hukum Islam di negara-negara muslim bukan
hanya terletak pada seberapa banyak penganut Islam tetapi juga
ditentukan oleh sistem yang dikembangkan oleh negara tersebut.
Malaysia merupakan salah satu negara yang mempunyai posisi
cukup penting di dunia Islam karena kiprah keislamannya. Berbagai
proses Islamisasi di negeri jiran ini tentu tidak terjadi begitu saja,
melainkan didahului oleh pencarian dan pergulatan yang panjang,
meskipun penduduknya tidak sebanyak penduduk di Indonesia, bahkan
hampir separuh dari keseluruhan warganya adalah non muslim yang
didominasi oleh etnik Cina dan India. Namun demikian, Malaysia telah
tampil di pentas dunia internasional dengan nuansa dan simbol Islam
yang begitu melekat, termasuk dalam membentuk peraturan perundang-
undangan banyak diwarnai oleh nilai-nilai keislaman.
Sebagai bangsa dan negara yang sangat dekat secara geografis,
historis, dan kultural, umat Islam Indonesia perlu mengetahui keberadaan
Malaysia lebih jauh, khususnya dalam penerapan hukum Islam di
Malaysia.
Makalah ini ditujukan untuk mencoba menguraikan hal-hal
singkat tentang perkembangan hukum Islam khususnya hukum keluarga
Islam antara dua negara, yaitu Indonesia dan Malaysia. Tujuannya
adalah untuk mencari kelebihan masing-masing hukum dari kedua
negara, dan pada gilirannya nanti akan dilakukan kerjasama
pembangunan hukum keluarga Islam di Asia Tenggara yang dimulai dari
Indonesia-Malaysia sebagai dua negara serumpun.
30
Ketua PTA Medan Drs. H. Soufyan M. Saleh, S.H sedang menyampaikan makalah di depan peserta seminar Hukum Islam Dua Negara Indonesia dan Malaysia, bertempat
di Universiti Malaya, Kuala Lumpur Malaysia (doc. PTA Medan).
PENERAPAN HUKUM ISLAM DI MALAYSIA
Izinkan kami bila salah mengutip dan membicarakan penerapan
hukum Islam di Malaysia untuk sekedar membuka cakrawala berpikir
demi perkembangan ilmu pengetahuan.
Upaya melaksanakan hukum Islam dalam bidang ibadah dan
hukum keluarga (perkawinan, perceraian, kewarisan) di negara-negara
Asia Tenggara saat ini merupakan fenomena kultural umat yang latar
belakangnya dapat dilihat dari berbagai segi. Diantaranya ialah bahwa
hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup di dalam masyarakat
yang beragama Islam di kawasan Asia Tenggara, karena hukum Islam
berkembang bersamaan dengan masuknya Islam di kawasan ini.
Sebagai hukum yang hidup di tengah-tengah umat Islam, maka
hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan umat, sehingga
hukum Islam tidak lagi dirasakan sebagai norma-norma hukum yang
dipaksakan dari luar diri masing-masing pemeluknya.
31
Jika diamati dari kodifikasi, maka implementasi hukum Islam di
Malaysia telah melewati tiga fase, yaitu periode Melayu, penjajahan
Inggris, serta fase kemerdekaan. Kodifikasi hukum paling awal termuat
dalam prasasti Trengganu yang ditulis dalam aksara Jawi, memuat
daftar singkat mengenai sepuluh aturan dan bagi siapa yang
melanggarnya akan mendapat hukuman. Selain kodifikasi hukum
tersebut, juga terdapat buku aturan hukum yang singkat, salah satu
diantaranya adalah Risalah Hukum Kanun atau buku Hukum Singkat
Malaka yang memuat aturan hukum perdata dan pidana Islam. Pada fase
penjajahan Inggris, posisi hukum Islam sebagai dasar negara berubah.
Administrasi hukum Islam dibatasi pada hukum keluarga dan beberapa
masalah tentang pelanggaran agama. Pada fase awal kemerdekaan
Malaysia, pengaruh serta pakar hukum Inggris masih begitu kuat, namun
di beberapa negara bagian telah diundangkan undang-undang baru
mengenai administrasi hukum Islam. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan pendasaran konstitusi serta wewenang kepada Majelis
Agama Islam, Departemen Agama, dan Pengadilan Syari‘ah
Pada dekade 80-an telah diupayakan perbaikan hukum Islam di
berbagai negara bagian. Untuk itu, sebuah konferensi nasional telah
diadakan di Kedah untuk membicarakan hukum Islam, khususnya yang
berkaitan dengan masalah hukum pidana. Maka dibentuklah sebuah
komite yang terdiri atas ahli hukum Islam dan anggota bantuan hukum,
kemudian mereka dikirim ke berbagai negara Islam untuk mempelajari
hukum Islam dan penerapannya di negara-negara tersebut. Sebagai
wujud perhatian pemerintah federal kepada hukum Islam, maka pada
saat yang sama dibentuk beberapa komite diantaranya bertujuan untuk
menelaah struktur, yuridiksi, dan wewenang Pengadilan Syari‘ah dan
32
merekomendasikan pemberian wewenang dan kedudukan yang lebih
besar kepada hakim Pengadilan Syari‘ah, mempertimbangkan suatu
Kitab Undang-Undang Hukum Keluarga Islam yang baru guna
menggantikan yang lama sebagai penyeragaman undang-undang di
negara-negara bagian. Salah satu komite juga mempertimbangkan
proposal adaptasi hukum acara pidana dan perdata bagi Pengadilan
Syari‘ah. Hasilnya, beberapa produk perundang-undangan telah
ditetapkan, antara lain:
1. Administrasi Hukum Islam
a. Undang-Undang Administrasi Pengadilan Kelantan, 1982
b. Undang-Undang Mahkamah Syari‘ah Kedah, 1983
c. Undang-Undang Administrasi Hukum Islam Wilayah
Federal, 1985
2. Hukum Keluarga
a. Undang-Undang Hukum Keluarga Islam Kelantan, 1983
b. Undang-Undang Hukum Keluarga Islam Negeri Sembilan,
1983
c. Undang-Undang Hukum Keluarga Islam Malaka, 1983
d. Undang-Undang Hukum Keluarga Islam Selangor, 1984
e. Undang-Undang Hukum Keluarga Islam Perak ,1984
f. Undang-Undang Hukum Keluarga Islam Kedah, 1984
g. Undang-Undang Hukum Keluarga Islam Wilayah Federal,
1984
h. Undang-Undang Hukum Keluarga Islam Penang, 1985
i. Undang-Undang Hukum Keluarga Islam Trengganu, 1985
j. Acara Pidana
1. Undang-Undang Acara Pidana Islam Kelantan ,1983
33
2. Undang-Undang Hukum Acara Pidana Islam Wilayah
Federal
3. Acara Perdata
I. Undang-Undang Hukum Acara Perdata Islam
Kelantan 1984
II. Undang-Undang Hukum Acara Perdata Islam
Kedah , 1984.
Pada dasarnya hukum Islam di Malaysia, ada yang menyangkut
persoalan perdata dan ada yang menyangkut persoalan pidana.
Dalam bidang perdata meliputi:
a. Pertunangan, nikah cerai, membatalkan nikah atau
perceraian
b. Memberi harta benda atau tuntutan terhadap harta akibat
perkara di atas
c. Nafkah orang di bawah tanggungan, anak yang sah,
penjagaan dan pemeliharaan anak
d. Pemberian harta wakaf, dan
e. Perkara lain yang diberikan kuasa berdasarkan undang-
undang.
Dalam persoalan pidana mengatur hal sebagai berikut:
a. Penganiayaan terhadap istri dan tidak patuh terhadap
suami,
b. Melakukan hubungan seks yang tidak normal,
c. Penyalah-gunaan minuman keras,
d. Kesalahan terhadap anak angkat, dan
e. Kesalahan-kesalahan lain yang telah diatur lebih jauh
dalam undang-undang.
34
Walaupun beberapa masalah telah diatur dalam hukum Islam di
Malaysia, namun hukum Inggris tetap diberlakukan pada sebagian besar
legislasi dan yudisprudensi. Undang-Undang Hukum Perdata Tahun
1956 menyebutkan, bahwa jika tidak didapatkan hukum tertulis di
Malaysia, Pengadilan Perdata harus mengikuti hukum adat Inggris atau
aturan lain yang sesuai. Dengan demikian hukum Islam hanya berlaku
pada wilayah yang terbatas, yaitu yang berhubungan dengan keluarga
dan pelanggaran agama. Dalam hukum keluarga, pengadilan perdata
tetap memiliki yuridiksi, seperti dalam kasus hak milik, warisan, serta
pemeliharan anak. Bila terdapat pertentangan antara pengadilan perdata
dan syari‘ah, maka kewenangan peradilan perdata lebih diutamakan.
Melihat kenyataan tersebut di atas, eksistensi hukum Islam di
Malaysia sesungguhnya belum berlaku secara menyeluruh terhadap
semua penduduk negara tersebut. Hal ini karena masih adanya pengaruh
hukum kolonial Inggris yang pernah menjajah Malaysia. Tampaknya
hukum Islam di Malaysia masih membutuhkan penelaahan secara
menyeluruh agar proses legislasi untuk membuat hukum Islam di
Malaysia menjadi efektif.
Pada dasarnya, penerapan hukum Islam di Malaysia belum
berlaku secara menyeluruh terhadap semua penduduk. Hal ini
disebabkan karena adanya beberapa faktor penghambat, yaitu:
1. Adanya pluralisme agama,
2. Adanya pengaruh penjajahan, dan
3. Adanya pengaruh sekularisasi dan modernisasi.
PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Di Indonesia perkembangan hukum Islam mengalami berbagai
fase perkembangan, mulai dari masa sebelum dan sesudah penjajahan
35
Belanda. Masa penjajahan Jepang sampai pada masa setelah Indonesia
Merdeka. Proses sejarah hukum Islam di Indonesia diwarnai benturan
tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan
politik kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh
Islam Indonesia terdahulu yang dapat menjadi bahan telaah penting pada
masa datang.
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut
sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada
sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk
kawasan nusantara yang dimulai dari kawasan utara pulau Sumatera,
sehingga kawasan itu dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah bagi
para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian
membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak Aceh Timur.
Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh
berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air, pada abad ketiga belas.
Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai, di wilayah Aceh
Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai
wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam
berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak
jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri
Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan
Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate dan Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah itu
tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif
yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap
kesultanan tersebut, tentu saja menguatkan pengamalannya yang
36
memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu.
Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang
ditulis oleh para ulama nusantara sekitar abad 16 dan 17. Kondisi
tersebut terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke
kawasan nusantara.
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara
dimulai dengan kehadiran organisasi perdagangan Belanda di Hindia
Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi
dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya.
Hal ini sangat dimungkinkan karena pemerintah kerajaan Belanda
memang menjadikan VOC sebagai perpanjang tangannya di kawasan
Hindia Timur. Karena itu, disamping menjalankan fungsi perdagangan
VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi
pemerintahan. Tentu saja, dengan menggunakan hukum Belanda yang
mereka bawa. Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu
menemukan kesulitan, ini disebabkan karena penduduk pribumi berat
menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun
membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini
telah mereka jalankan.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa
kompromi yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
1. Dalam Statuta Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC,
dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para
pemeluk agama Islam
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah
berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun
1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
37
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di
Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone. Di Semarang, misalnya, hasil
kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari
al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan
dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-
kaidah hukum pidana Islam.
Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda
melaksanakan politik hukum yang sadar, yaitu kebijakan yang secara
sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di
Indonesia dengan hukum Belanda. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr.
Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan
penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan
pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama
tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui
umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di
bawah subordinasi dari hukum Belanda.
Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje,
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk
komisi untuk meninjau ulang wewenang Pengadilan Agama di Jawa
dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan dengan alasan, ia belum
diterima oleh hukum adat setempat. Pada tahun 1925, dilakukan
perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling yang isinya
sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement, yang intinya perkara
perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam
jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh
sesuatu ordonasi. Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga
38
menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia
pada tahun 1942.
Ketika Indonesia di jajah oleh Jepang, pemerintah Jepang tetap
melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di
Indonesia, antara lain:
1. Janji panglima militer Jepang untuk melindungi dan memajukan
Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa,
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin
oleh bangsa Indonesia sendiri,
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan
NU,
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia
(Masyumi) pada bulan Oktober 1943,
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang
mendampingi berdirinya PETA, dan
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk
mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta
seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk
menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian
dimentahkan oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan
menundanya hingga Indonesia merdeka.
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi
hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di tanah air. Namun
bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada
Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam
dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso
menyatakan bahwa kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah
39
posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang
terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda
menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika
pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu
kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
Hukum Islam di Indonesia pada masa setelah kemerdekaan mulai
berkembang. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang
menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan
Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan
kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini
kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang
mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini
kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya Undang-Undang No.14
Tahun 1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan
peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan undang-
undang ini, dengan sendirinya–menurut Hazairin, hukum Islam telah
berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber
hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal orde baru, namun upaya-
upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Penegasan terhadap
berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ditetapkan. Hal ini kemudian
disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum
Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil pada
bulan Februari 1988 Soeharto sebagai Presiden menerima hasil
kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri
Agama pada tahun 1991.
40
Peraturan tentang hukum keluarga Islam di Indenesia terdapat
dalam beberapa undang-undang yang terpisah, antara lain; Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang Perwakafan, Undang-Undang Pengelolaan
Zakat, dan beberapa peraturan lainnya dan terakhir dengan kodifikasi
hukum Islam yang dinamakan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pemasalahan hukum Islam yang dapat diselesaikan di Pengadilan
Agama juga sangat terbatas, tidak seluas hukum keluarga Islam di negeri
Pulau Pinang. Di Indonesia, hukum keluarga Islam hanya mengatur
masalah keperdataan dan tidak termasuk masalah pidana terhadap
pelanggaran peraturan keluarga Islam tersebut. Kewenangan Pengadilan
Agama masih sebatas:
1) AHWAL AL SYAKHSHIYAH (Hukum Keluarga) meliputi hal-
hal yang diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989,
kecuali wakaf, hibah dan shadaqah, yaitu:
a. Pencegahan Perkawinan,
b. Penolakan Perkawinan oleh Pejabat Pencatat Nikah (PPN),
c. Pembatalan Perkawinan,
d. Kelalaian atas kewajiban suami atau isteri,
e. Cerai Talak,
f. Cerai Gugat,
g. Harta Bersama,
h. Penguasaan anak,
i. Nafkah anak oleh Ibu karena ayah tidak mampu,
j. Pengesahan anak,
41
k. Pencabutan kekuasaan orang tua,
l. Hak-hak bekas isteri,
m. Pencabutan kekuasaan wali,
n. Penunjukan wali,
o. Asal Usul anak,
p. Penolakan kawin campuran,
q. Izin kawin,
r. Dispensasi kawin, dan
s. Wali adhol.
2) MUAMALAT (Hukum Perdata) yang meliputi :
a. Jual beli, hutang piutang;
b. Qiradh (Permodalan);
c. Musaqah, muzara‘ah. Mukhabarah (bagi hasil pertaniah);
d. Wakilah (kuasa), Syirkah (perkongsian);
e. Ariyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta),
syuf‘ah (hak Langgeh), rahnun (gadai);
f. Ihwalul mawat (pembukaan lahan), ma‘adin (tambang),
luqathah (barang temuan);
g. Perbankan, ijarah (sewa menyewa), takaful;
h. Perburuhan;
i. Wakaf, hibah, shadaqah, dan hadiah.
Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era reformasi ini
setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi
pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin
membuka peluang lahirnya peraturan perundang-undangan yang
berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang
42
menegaskan bahwa peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi
khusus dari suatu daerah di Indonesia perlu ditampung, dan peraturan itu
dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat
umum. Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya
kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan
peraturan lainnya telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah
satu buktinya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang
Pelaksanaan Syari‘at Islam. Aturan inipun masih berlaku hanya untuk
daerah Aceh dan belum merambah ke daerah lain. Hal itupun hanya
sebatas pidana ringan meliputi:
1. Hudud yang meliputi:
a. Zina,
b. Menuduh berzina (qadhaf),
c. Mencuri,
d. Merampok,
e. Minuman keras dan napza,
f. Murtad, dan
g. Pemberontakan (bughaat).
2. Qishash/diat yang meliputi:
a. Pembunuhan,
b. Penganiayaan;
3. Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang
melakukan pelanggaran syari‘at selain hudud dan qishash/diat
seperti:
a. Judi,
b. Khalwat, dan
43
c. Meninggalkan shalat fardhu dan puasa Ramadhan.
Perkembangan baru dari Peradilan Agama di Indonesia adalah di
bawah satu atap dengan semua lembaga peradilan, dimana sebelum
berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Peradilan Agama secara administrasi umum berada di
bawah Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) dan teknis
yustisial berada di bahwa Mahkamah Agung RI. Setelah
diberlakukannya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, kini Peradilan Agama baik secara administrasi umum
maupun teknis yustisial di bawah pembinaan Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Termasuk di dalamnya perluasan kewenangan
Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
PENERAPAN HUKUM ISLAM DI ASIA TENGGARA
Dunia Islam mempunyai pengalaman yang sangat beragam
mengenai berbagai upaya yang dilakukan untuk mempertahankan
eksistensi hukum-hukum agamanya, mulai dari yang paling ekstrim kiri
sampai yang ekstrim kanan. Ekstrim kiri yang dimaksud adalah negara-
negara muslim yang sangat kental dengan faham sosialismenya dalam
menerapkan hukum Islam dalam ranah kehidupan negara. Sedangkan
ekstrim kanan merupakan kekuatan Islam yang tumbuh dan berkembang
dengan visi dan misi menerapkan syariat Islam sebagai paradigma
hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga
sistem sosial yang dibangun berlandaskan kepada hukum Islam.
Upaya untuk melaksanakan hukum Islam di berbagai kawasan
yang paling menonjol adalah dalam bidang hukum keluarga. Meskipun
dalam bidang-bidang lain seperti hukum muamalah atau tata
perekonomian yang berdasakan syari‘ah juga sedang diperjuangkan,
44
hukum pidana Islam (jinayah) serta politik hukum Islam (siyasah
syar‟iyah). Hukum ekonomi Islam mengembangkan sistem ekonomi
yang berdasar syari‘ah, sistem bagi hasil. Hukum pidana Islam (jinayah)
merupakan hukum publik yang berdasarkan syari‘ah Islam.
Politik hukum Islam merupakan strategi dalam memperjuangkan
hukum Islam dan pelaksanaannya melalui sistem hukum dan sistem
peradilan di kawasan tertentu. Di beberapa kawasan yang paling
menonjol adalah dalam bidang hukum keluarga. Sebab hukum keluarga
dirasakan sebagai garda terdepan dalam pembinaan masyarakat muslim
yang diawali dari pembentukan keluarga sakinah. Pembinaan masyarakat
muslim yang paling awal berasal dari keluarga, dengan asumsi bahwa
keluarga yang sejahtera dan berhasil membina seluruh anggotanya akan
memberikan kontibusi kepada kemajuan di tengah masyarakat serta
dalam komunitas yang lebih besar.
Untuk melaksanakan hukum keluarga atau perundang-undangan
hukum perorangan (personal status), maka keberadaan suatu sistem
peradilan merupakan dua sisi dari mata uang, keberadaannya tidak bisa
dipisahkan dari legislasi Islam melalui perundang-undangan dan
pendirian pengadilan.
Di beberapa kawasan untuk menyebutkan sistem peradilan Islam
yang melaksanakan hukum keluarga dengan beraneka nama. Di
Indonesia dengan nama Peradilan Agama, Mahkamah Syari‘ah,
Kerapatan Qadhi, Peradilan Ugama, Raad Agama, Family Court,
Peradilan Surambi, Pristeraad, Majelis Syara‘ dan lain-lain.
Perkembangan hukum Islam di negara modern terutama yang
berhubungan dengan ahwal al-Syakhsiyah (nikah, cerai, rujuk, warisan,
wakaf, hibah dan shadaqah) dapat disebutkan sebagai format baru yang
45
mengakomodasikan gagasan-gagasan pembaharuan pemikiran hukum
Islam yang relatif fenomenal.
Yordania, misalnya merumuskan Jordanian Law of Family Right
tahun 1951, Syiria dengan Syirian Law of Personal Status tahun 1953,
Maroko mengundangkan Family Law of Marocco tahun 1957, Pakistan
dengan Family Law of Pakistan pada tahun 1955, Irak mengundangkan
Law of Personal Status for Iraq tahun 1955, Tunisia dengan Code of
Personal Status tahun 1957 dan Sudan dengan Sudan Family Law tahun
1960 .
Beberapa hal yang baru pada waktu itu dalam hukum
perkawinan, meliputi pencatatan perkawinan, pembatasan usia
perkawinan, persetujuan kedua calon mempelai, izin poligami,
perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan, dan tindakan
hukum yang merupakan upaya untuk mewujudkan perkawinan dengan
segala akibatnya. Hal baru dalam hukum keluarga tersebut dapat dilihat
dari keberanjakannya dari hukum fikih menuju hukum positif yang
berupa perundang-undangan di negara muslim tersebut.
Di Mesir yurisdiksi peradilan mulai 1874 telah menerima
yurisdiksi atas kasus-kasus sipil dan komersial antara orang Mesir dan
orang-orang asing, antara orang asing yang mempunyai kebangsaan
berbeda, atau ketika kepentingan asing terlibat di dalamnya. Pengadilan
nasional Mesir yang diorganisasi pada 1884, berfungsi seiring dengan
pengadilan campuran. Masalah status personal tetap dilimpahkan kepada
pengadilan syariat. Pemerintah melakukan pengaturan organisasi
pengadilan syariat dan kualifikasi para hakimnya. Untuk itu pemerintah
membangun sekolah baru untuk pendidikan dan pelatihan hakim pada
tahun 1907. Sementara itu, berbagai pengadilan millah tetap
46
dipertahankan hidup. Pengadilan ini mempunyai yurisdiksi guna
melayani kasus-kasus yang berhubungan dengan komunitas religius non-
muslim sebagai forum untuk menyelesaikan perselisihan status personal
mereka dan ini berada di luar pengaturan negara. Tetapi baru tahun 1955
Mesir menyatukan sistem peradilannya, yang meletakkan semua perkara
hukum di bawah kewenangan pengadilan nasional. Akan tetapi, dalam
kasus-kasus status personal hukum yang diberlakukan masih ditunjukkan
oleh afiliasi religius pihak-pihak yang berselisih.
Dari Undang-Undang Dasar Republik Arab Mesir tahun 1980
disimpulkan bahwa Mesir adalah negara sosialis demokratis. Islam
merupakan agama negara, prinsip-prinsip hukum Islam merupakan salah
satu sumber utama hukum. Sistem hukum di Mesir dalam bidang-bidang
tertentu seperti perkawinan, pembagian warisan dan perwakafan masih
berlaku hukum Islam cukup utuh, sedangkan bidang-bidang perdata yang
lain dan pidana, prinsip hukum Islam hanya merupakan salah satu
sumber utama hukum disamping sumber-sumber yang lain termasuk
hukum barat .
Di Turki, yurisdiksi yang berhubungan dengan hukum keluarga
(ahwal asy syahsiyah) menjadi yurisdiksi Mahkamah Syari‘ah. Materi
hukum tersebut diambil dari Majjalat al Ahkam al „Adliyah sebagai
hukum materil.
Umat Islam di Singapura berusaha keras mendekati
pemerintah agar mengesahkan suatu undang-undang yang mengatur
hukum personal dan keluarga Islam. Upaya telah ditempuh melalui
perwakilan, baik perorangan maupun melalui organisasi muslim, yang
bekerja selama bertahun-tahun dan baru tahun 1966 pemerintah
mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Parlemen dan menerima
47
Undang-Undang Administrasi Hukum Islam (the Administration of
Muslim Law Act 1966). Sebelum rancangan undang-undang tersebut
diterima, umat Islam dari berbagai mazhab diberi kesempatan untuk
membuat perwakilan dan diminta untuk menghadap Komite Pemilihan
Parlemen untuk mengungkapkan pandangannya terhadap undang-
undang tersebut. Setelah rancangan tersebut diterima dan Undang-
Undang Administrasi Hukum Islam 1966 diberlakukan, kemudian
mengalami beberapa kali amandemen sesuai yang diajukan oleh Dewan
Agama Islam dan selanjutnya ditambahkan ordonansi yang di dalamnya
terdapat Undang-Undang Administrasi Hukum Islam sebagai upaya
pengundangan hukum Islam dalam memberikan ruang gerak yang
fleksibel untuk penerapan hukum syariat.
Di Thailand, kodifikasi syariah yang sistematis telah dimulai
sejak tahun empat puluhan untuk diterapkan dalam masyarakat Islam di
empat provinsi Selatan Thailand. Kodifikasi sekarang telah tercakup
dalam Undang-Undang Sipil Thailand yang berkenaan dengan keluarga
dan warisan, dimana kandungan syariahnya bersifat inklusif mengadili
kasus di antara umat Islam. Seluruh sistem berkaitan langsung dengan
mazhab Syafi‘i, karena mayoritas masyarakat muslim Thai menganut
mazhab ini. Pertentangan antara orang Islam yang menganut mazhab
yang berbeda tidak dapat diselesaikan dengan sistem peradilan yang ada
karena yang digunakan hanyalah yang telah sah dikodifikasikan. Sampai
kini kodifikasi syariah yang ada beserta administrasinya tidak pernah
ditinjau ulang.
Dalam Konstitusi Filipina, wewenang untuk mendefinisikan,
menjabarkan, dan membagi yurisdiksi berbagai pengadilan terletak pada
Dewan Nasional. Dalam Kitab Undang-Undang Perorangan Islam di
48
Filipina yang disebutkan bahwa Pengadilan Islam Daerah dan
Pengadilan Keliling Islam diatur melalui prosedur khusus yang dapat
dikeluarkan Mahkamah Agung. Dalam rangka memberikan batasan yang
jelas, Mahkamah Agung mengeluarkan aturan prosedur khusus dalam
Pengadilan Islam (Ijra-at al-Mahkum al-Syari‟ah) yang disahkan oleh
Mahkamah Agung Filipina pada tanggal 20 September 1985
Ketua PTA Medan, Drs. H. Soufyan M. Saleh, S.H, memberikan cinderamata kepada Rektor Universiti Malaya (doc. PTA Medan).
PENUTUP
Perkembangan hukum Islam di beberapa negara Islam Asia
Tenggara mengalami perkembangan yang luar biasa melintasi struktur
kebijakan negara dan komunitas yang ada di dalamnya bila dibandingkan
dengan era tahun 80-an. Demikian juga halnya negara serumpun
Malaysia dan Indonesia.
Sekalipun demikian, bilamana dibandingkan hukum keluarga
Islam antara Indonesia-Malaysia masih terlihat menempuh jalan
49
kompromi antara syari‘ah dan hukum sekuler. Sedangkan kesamaan
pembaruan hukum keluarga merupakan upaya untuk mengatur sistem
hukum keluarga yang lebih manusiawi sejalan dengan tujuan syari‘ah
agar kehidupan di dunia ini lebih lestari dan membawa kebahagiaan bagi
umat manusia, serta menjaga nilai-nilai secara baik di tengah
masyarakat.
Di samping itu, ada masalah yang perlu dicermati dalam
menyelesaikan hukum keluarga Islam lintas negara yang sangat dibatasi
oleh peraturan perundang-undangan berbeda yang tentunya memiliki
cara yang berbeda pula.
Kita ambil contoh bahwa seorang wanita muslim Indonesia,
menikah di negara Indonesia dengan lelaki muslim Malaysia, kemudian
beberapa tahun kemudian mereka bertempat tinggal cukup lama di
Malaysia. Setelah terjadi kemelut rumah tangga, perempuan Indonesia
kembali ke tanah airnya dan lelaki Malaysia tetap tinggal di negara
Malaysia. Ketidak-akuran rumah tangga menyebabkan mereka harus
berpisah. Problema timbul dalam menyelesaikan perceraian, yaitu:
1. Siapa yang mempunyai inisiatif mengajukan perceraian?
2. Dimana harus mengajukan perceraian bila diukur dengan aturan
domisili atau kewarganegaraan?
3. Dapatkah lelaki Malaysia mengajukan perceraian di tempat isterinya
di Indonesia? Atau dapatkan isteri Indonesia mengajukan
perceraiannya di Malaysia?
Kita ambil contoh yang lain. Orang-orang Melayu di Sumatera
Utara dan Pesisir Sumatera kerap kali mempunyai sanak keluarga
dengan orang-orang Malaysia. Permasalahan muncul dalam
menyelesaikan sengketa warisan dalam hal mana objek perkaranya
50
berada di salah satu negara. Atau di Malaysia ada harta dan di Indonesia
juga ada hartanya. Permasalahan muncul dalam menyelesaikan perkara:
1. Bila orang Malaysia yang berinisiatif mengajukan pembagian
warisan, ke Pengadilan mana mereka ajukan?
2. Bagaimana pula cara mengeksekusi putusan Malaysia yang objeknya
ada di Indonesia atau sebaliknya?
Dan masih banyak lagi contoh yang dapat diutarakan mengingat
Indonesia Malaysia adalah negara serumpun yang kerap kali masih ada
tautan kewarisan satu sama lain atau menjadi kerabat semenda yang
memerlukan pemecahan hukum keluarga.
Untuk itu, bila kita sepakat, Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan Jabatan Kehakiman di Malaysia, dapat melakukan
kerjasama di bidang hukum keluarga Islam untuk menyelesaikan dua
contoh di atas. Bila tidak berlebihan, kerjasama ini dibangun antara
sesama negara Asia Tenggara yang diistilahkan Asia Islamic Family
Law Assosiation (AIFLA). Kerjasama tersebut mungkin saja dapat
terwujud asalkan kita mempunyai sudut pandang yang sama untuk
membangun suatu komunitas Islam majemuk dan cara menyelesaikan
sengketa. Semoga hukum keluarga Islam dapat bersatu mengikuti
iringan hukum perdata lainnya yang telah dipadu dan dipandu melewati
batas-batas negara. Amin.****
51
NILAI – NILAI SYARI’AT ISLAM
DALAM PENDIDIKAN KELUARGA
Prof. Dr. H. A. Hamid Sarong, S.H,.M.H Guru Besar Hukum Islam IAIN Ar-Raniry Aceh
A. PENDIDIKAN KELUARGA DALAM ISLAM
Subtansi pendidikan keluarga dalam perspektif Islam mengacu
pada Al-Qur'an yang artinya: "Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah
adalah Allah menjadikan kamu dari diri kamu berpasang-pasangan
supaya kamu menjadi tenteram dengannya,dan Allah telah menjadikan
diantara kamu cinta dan kasih sayang, sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang
berfikir." (QS.Ar-Rum : 21).
Konsep awal pembinaan keluarga dalam perspektif Islam ada
pada dua kata kunci ayat di atas yaitu, Mawaddah dan Ar-
Rahmah/Rahman untuk mencapai keluarga yang sakinah (nyaman).
Mawaddah Artinya saling mencintai antara suami istri (to love each
other).
Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur‘an mengutip
penafsiran mawaddah dari pakar Al-Qur‘an Ibrahim Al-Biqai‘ (1480),
adalah: ‖Kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak yang
buruk.‖ Dia adalah cinta plus, bukankah yang mencintai sesekali
hatinya kesal sehingga cintanya pudar bahkan putus. Tetapi yang
bersemi dalam hati mawaddah, tidak lagi akan memutuskan hubungan
seperti yang bisa terjadi pada orang yang bercinta. Ini disebabkan
karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga
pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan
batin (1996 : 209).
52
Sementara itu, arti rahmah/rahman adalah kasih sayang, saling
memberi dan menerima, saling merajut kasih sayang antara suami dan
istri dalam keluarga (relive from suffering thorout sympaty,to show
human understanding from one another,love and respect one another).
Rahmah merupakan anugerah Allah Swt, yang harus dijaga dan
dipupuk terus-menerus dalam kehidupan sebuah keluarga, karena
dengan munculnya kasih sayang yang tulus dengan sendirinya akan
timbul sifat-sifat yang lain seperti tolong menolong, menghargai, saling
memberi dan menerima, saling percaya, empati, jujur, qanaah, ikhlas,
dan sebagainya. Selanjutnya dari sini pula muncul sifat saling
memenuhi kebutuhan jiwa yang merupakan ujung tombak
keharmonisan sebuah keluarga.
Prof. Dr. H. A. Hamid Sarong,S.H, M.H Guru Besar Hukum Islam IAIN Ar-Raniry Aceh sedang menyampaikan makalah di depan peserta seminar.
53
1. Peran pendidikan keluarga
Pada saat arus globalisasi sedang melanda seluruh sisi kehidupan
anak manusia di muka Bumi ini, peran pendidikan keluarga menjadi
sangat penting sekaligus sangat rumit menghadapinya, jika tidak ada
landasan konsep pendidikan Islam yang mampu mengatasi pengaruh
modernisasi dengan iman dan akhlaqul karimah.
Dalam suatu struktur masyarakat Islam, pendidikan keluarga
merupakan basis yang sangat penting karena keluarga telah diakui
sebagai suatu unit pendidikan sosial utama dalam menjalankan perintah
dan larangan Allah Swt, sebagaimana firman Allah Swt yang artinya:
"Hai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim : 6).
Lebih dari itu lagi, keutamaan pendidikan keluarga tidak hanya
untuk kepentingan individu, tapi juga sangat berpengaruh terhadap
kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Menurut Made Pidata (2000:19), ―Pendidikan keluarga
dipandang sebagai pendidikan pertama karena bayi atau anak itu
pertama kali berkenalan dengan lingkungan serta mendapat
pembinaan pada keluarga. Pendidikan pertama ini dapat dipandang
sebagai peletak pengembangan-pengembangan berikutnya. Pendidikan
perlu bertindak hati-hati pada pendidikan pertama ini. Kalau tidak
bisa memberikan dampak yang kurang baik pada perkembangan-
perkembangan berikutnya‖.
54
Dengan demikian jelaslah, bahwa keluarga merupakan salah satu
pusat pendidikan yang sangat menentukan alam kelangsungan hidup
anak, disamping dua pusat pendidikan lainnya, yaitu sekolah dan
lingkungan masyarakat yang juga sangat memberi pengaruh yang
sangat besar terhadap perkembangan pribadi seseorang.
Pada kurun waktu yang sangat dinamis saat ini, ditambah dengan
arus teknologi komunikasi yang tanpa batas, peran orang tua dalam
keluarga menjadi sangat tinggi dan ditentukan oleh tugas dan tanggung
jawab bersama.
Selanjutnya Sahal Mahfudh (2004) menegaskan, bahwa masalah
pendidikan anak misalnya, memerlukan fasilitas dan sarana yang
makin luas. Beban orang tua untuk itu makin terasa. Tuntutan
kesehatan anak agar jadi manusia produktif, sehat jasmani dan rohani
cukup menarik perhatian. Pengetahuan dan pengalaman agama serta
akhlak anak cenderung melemah, hingga perlu pengawasan ketat.
Semua orang tua tentu sangat menginginkan hasil pendidikan
yang dijalankan dalam institusi keluarga anaknya punya kualitas hidup
dalam rangka menunjang tercapainya kebahagian hidup dunia dan
akhirat. Kualitas hidup seseorang pada dasarnya sangat ditentukan
oleh potensi diri yang dimiliki oleh seorang anak, yakni potensi akal
dan fisik. Potensi akal selanjutnya secara bertahap, berkembang
menjadi potensi ilmu pengetahuan dan kemampuan rasionalitas
lainnya. Sementara potensi fisik secara bertahap juga berkembang
menjadi potensi keterampilan etos kerja dan semangat kerja yang
prima.
55
Dalam Al-Qur‘an, potensi diformulasikan secara singkat dalam
kalimat Qawiyyun atu makinun yang berarti punya Quwwah (potensi)
atau makanah (ketangguhan) (Sahal Mahfudh, 2004 : 60).
Quraish shihab dalam bukunya membumikan Al-Qur‘an,
merincikan potensi yang diberikan Allah Swt kepada manusia menjadi
empat daya:
a. Daya tubuh, yang mengantar manusia berkekuatan fisik.
Berfungsinya organ tubuh dan panca indra berasal dari daya ini.
b. Daya hidup, yang menjadikannya memiliki kemampuan
mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan
serta mempertahankan hidupnya dalam menghadapi tantangan.
c. Daya akal, yang memungkinkannya memiliki ilmu pengetahuan
dan teknologi.
d. Daya kalbu, yang memungkinkannya bermoral, merasa
keindahan, kelezatan iman dan kehadiran Allah. Dari daya
inilah institusi dan indra keenam (2007: 439).
Empat potensi dasar di atas merupakan karunia Allah Swt kepada
anak manusia yang harus dipelihara, dibina dan dikembangkan sampai
mencapai puncaknya insan kamil yang memiliki pribadi yang teguh
imannya kepada Allah Swt, berakhlak mulia, cerdas intelegensi dan
emosinya, memiliki kesalehan sosial, serta memiliki kesehatan fisik
yang prima guna memperoleh kehidupan yang lebih baik. Sebagaimana
firman Allah Swt yang artinya: "Barang siapa yang mengerjakan amal
saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan ia beriman,
maka pasti akan kami berikan kepadanya kehidupan dengan pahala
yang lebih baik, dan akan kami berikan balasan dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah kerjakan." (QS. An-Nahl : 97).
56
2. Titipan Allah Swt
Anak merupakan salah satu titipan Allah Swt kepada orang
tuanya, titipan atau amanah ini menjadi tanggung jawab orang tua yang
tidak boleh diabaikan. Segala kebutuhan lahir dan batinnya harus dapat
dipenuhi guna memperoleh kepribadian yang baik, sehat lahir batinnya,
prima kehidupannya sehingga bermanfaat kepada orang lain. Firman
Allah Swt yang artinya: "Hai orang-orang beriman janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul, jangan pula harus dituntun sedangkan
kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang
kamu mengetahui." (QS. Al-Anfal : 27).
Anak yang di amanahkan Allah Swt harus dituntun secara
berkesinambungan dengan keimanan. Percaya kepada keesaan Allah
Swt sebagai penciptanya. Untuk ini pendidikan agama harus menjadi
prioritas dalam pendidikan keluarga untuk mencapai kebahagian hidup
dunia dan akhirat.
Zakiah Dradjat mengemukakan bahwa agama memberikan
bimbingan hidup dari yang sekecil-kecilnya sampai dengan yang
sebesar-besarnya, mulai dari hidup pribadi keluarga, masyarakat dan
hubungannya dengan Allah, bahkan dengan alam semesta dan mahluk
hidup yang lain. Jika bimbingan dijalankan dengan betul-betul, akan
terjaminlah kebahagiaan dan ketenteraman batin dalam hidup ini.
Anak yang dibesarkan dengan bimbingan agama secara terus-
menerus, dicintai dengan sepenuh hati akan membuai dirinya merasa
kebutuhan jiwanya terpenuhi, sehingga dia memungkinkan memiliki
kepribadian yang seimbang tanpa mengalami kegoncangan-
kegoncangan dan bentuk-bentuk tekanan batin lainya.
57
Prof. Dr. H.A. Hamid Sarong, S.H, M.H dan Drs. H. Purwosusilo, S.H M.H, sedang berdiskusi tentang perubahan hukum keluarga di Indonesia bersama dengan para Hakim PA dan delegasi
short course mandiri (doc. PTA Medan).
B. PERAN DAN TANGGUNG JAWAB ORANG TUA DALAM
MENDIDIK ANAK
1. Keagamaan
Berbicara masalah keagamaan berarti membicarakan masalah
fitrah itu sendiri. Allah Swt berfirman yang artinya: "Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Islam, sesuai fitrah
Allah, disebabkan dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah, itulah agama yang lurus
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Ar-Rum : 30).
Maksud fitrah dalam ayat di atas adalah ciptaan Allah Swt.
Manusia diciptakan Allah Swt mempunyai naluri beragama yaitu
tauhid. Jika manusia yang tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah
wajar.
Rasulullah Saw bersabda tentang fitrah manusia: ‖Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), hanya saja kedua orangtuanya
58
(lingkungan) yang menjadi yahudi, nasrani atau majusi.‖ (Hadist
Riwayat Bukhari).
Dari ayat dan hadis di atas dapat dipahami bahwa sejak asal
kejadiannya, manusia sudah dibekali potensi agama yang lurus, yakni
agama tauhid. Selanjutnya yang membuat anak menyimpang adalah
tergantung pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya, disamping
juga pengaruh lingkungan sekitar.
2. Perlindungan
Sebagaimana telah dimaklumi bersama, anak adalah anugerah
dan amanah Allah Swt yang secara sistematis merupkan generasi masa
depan bangsa dan negara, maka sejak dini bahkan sejak dalam
kandungan dia membutuhkan perlindungan dari orang-orang
sekitarnya, yaitu orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Perlindungan yang melekat padanya adalah untuk memperoleh
kehidupan yang layak, kesempatan untuk tumbuh dan berkembang
dengan benar, baik fisik, mental dan spiritualnya, sehingga dia bisa
menjadi manusia yang mandiri.
Al-Qur‘an menjelaskan tentang kehati-hatian dalam mendidik
anak sebagaimana Allah kembali berfirman yang artinya: "Hai orang-
orang yang beriman sesungguhnya diantara istri-istri dan anak-
anakmu ada yang menjadi musuh. Maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, dan jika kamu memaafkan dan kamu santuni serta
ampuni mereka, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah
cobaan bagimu, di sisi Allah pahala yang besar." (QS. At-Taghabun :
14-15).
59
Dalam surat Al-Munafiqun ayat 9, Allah Swt juga
mengungkapkan tentang memberikan perhatian kepada anak, yang
artinya: ‖Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu
dan anak-anakmu memalingkan kamu dari mengingat Allah. Dan
barang siapa berbuat demikian maka itulah orang-orang yang rugi".
3. Kasih Sayang
Rasa kasih sayang merupakan kebutuhan jiwa yang sangat
memberi pengaruh terhadap kesehatan jiwa seorang anak karena
memupuk kasih sayang dengan memakai acuan kesalingan, dipastikan
seseorang anak akan terlindungi jiwanya dari kecemasan psikologis
yang akan membuat jiwanya tidak sehat.
Memupuk rasa kesalingan seperti saling sayang menyayang,
saling menghargai, saling simpati, saling memberi dan menerima, dan
saling kagum mengagumi satu sama lain dalam keluarga. Ada bentuk
sifat-sifat mulia yang timbul dari orang-orang yang memiliki akhlakqul
karimah, budi pekerti mulia, moralitas yang tinggi, pertanda dia
memiliki kecerdasan emosi dan spritual yang baik.
Sifat-sifat mulia dimaksud harus diaktualisasikan dalam
kehidupan sehari-hari secara berkesinambungan guna meraih
kehidupan yang menyenangkan. Konon lagi, ketika seseorang sudah
masuk dalam instituti keluarga, rasa kehilangan tersebut di atas mutlak
sangat dibutuhkan.
Telaah lebih lanjut tentang fungsi kasih sayang adalah mampu
memelihara kolaborasi kebaikan dalam berbagai sisi secara integral,
sehingga dapat menciptakan kepribadian yang mulia. Kolaborasi
dimaksud antara lain adalah aspek iman, pendidikan, etika, akal, dan
rasa.
60
Fungsi dasar syari‘at Islam adalah mengalihkan semua kekuatan
jiwa ke atas yang akan dapat membantu jiwa untuk meraih kebahagiaan
(Sachiko Murata, 381 : 1996).
Disisi lain, Ali Al-Qadi (1990:146) menyatakan bahwa manusia
hidup dalam suatu masyarakat itu saling pengaruh-mempengaruhi.
Tidak mungkin hidup bahagia kecuali ia mengadakan hubungan baik
dengan masyarakat atas dasar tolong-menolong, saling mengerti dan
rela.
C. PROSES PENDIDIKAN DALAM KELUARGA
Proses pendidikan dalam sebuah keluarga sangat ditentukan oleh
nilai-nilai hidup yang dianut dalam masyarakat dan dipengaruhi juga
oleh sistem hidup yang terpola dalam suatu masyarakat. Kelangsungan
hidup masyarakat secara berkesinambungan dipastikan harus berlanjut
bersama-sama dengan rekan-rekannya. Sebab, manusia tidak mungkin
hidup sendiri tanpa ditemani oleh sesamanya, dia memiliki naluri untuk
senantiasa hidup berkawan dalam sebuah kekeluargaan. Soerjono
Soekanto dalam buku sosiologi keluarga menyebutkan bahwa,
‖…Naluri untuk hidup berkawan itu lazim dinamakan Gregarios
Instinct yang ada pada manusia normal sejak ia dilahirkan.Teman hidup
diperlukan manusia, oleh karena itu tidak dilengkapi dengan sarana
mental dan fisik untuk dapat hidup sendiri‖.
Masyarakat Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai hidup dan
sistem hidup yang terpola melalui dua bentuk hubungan yaitu:
1. Hablum Minallah = hubungan manusia dengan Allah Swt
2. Hablum Minannas = hubungan antar manusia.
Implementasi dua bentuk hubungan tersebut, tercakup dalam
sistem kekeluargaan masyarakat Islam secara keseluruhan. Sistem
dimaksud adalah keseluruhan nilai-nilai, norma, sopan santun, sikap,
61
harapan-harapan dan tujuan. Keseluruhan sistem ini juga dibingkai
dalam format syari‘at Islam, yakni aqidah, ibadah, dan akhlaqul
karimah. Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa sikap hidup seorang
muslim terfokus pada keyakinan tersebut sehingga hampir dalam
semua gerak kehidupan, mereka terikat oleh ajaran syari‘at Islam dalam
arti luas, yaitu menyangkut bidang akidah dan bidang fikih.
PENDIDIKAN ANAK DALAM ISLAM
Setiap orang tua pasti mendambakan anak yang saleh, taat
beribadah, menjalin hubungan yang baik dengan Allah Swt dan
manusia (hablun minallah dan habllun minas nas) serta berbuat kepada
orang tua.
Sementara, semua pendidikan mengharapkan anak didiknya
mampu menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan kepadanya.
Demikian pula masyarakat sangat mendambakan kehadiran anggota
masyarakatnya terdidik, sehingga mampu mewujudkan lingkungan
yang maju dan damai serta sejahtera.
Tiga dimensi di atas, yakni orang tua (keluarga), sekolah (guru)
dan masyarakat (lingkungan), dalam dunia pendidikan disebut dengan
tri pusat pendidikan. Ketiga dimensi ini harus saling mendukung karena
sesungguhnya untuk mencapai keberhasilan pendidikan anak, sangat
tergantung dengan harmonisnya hubungan tiga media pendidikan
dimaksud.
Dalam Al-Qur‘an disebut bahwa anak adalah titipan Allah Swt
kepada ibu bapak nya. Segala kebutuhannya harus dapat dipenuhi, baik
kebutuhan fisik maupun kebutuhan rohani.
62
Orang tua sejak kecil perlu mendidik jiwa raga anak dengan
tuntunan agama sebagaimana pendapat seorang ahli jiwa Zakiah
Dradjat sebagai berikut:
Allah memberi bimbingan hidup dari yang sekecil-kecilnya
sampai yang sebesar-besarnya, mulai dari hidup pribadi
keluarga,masyarakat dan hubungan dengan Allah,bahkan dengan alam
semesta serta makhluk hidup yang lain. Jika bimbingan tersebut
dijalankan dengan benar, akan terjaminnya kebahagian dan
ketentraman batin dalam diri ini.
Seorang anak sejak dilahirkan telah dibekali dengan jiwa yang
fitrah (suci). Fitrah tersebut tidak hilang, namun dalam perkembangan
sangat dipengaruhi oleh pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan
pendidikan lingkungannya untuk mengabdi dan bertakwa kepada Allah
Swt.
Metode pendidikan anak antara lain :
1. Metode pendidikan‟ibrah (melalui perenungan dan tafakkut dari
tanda-tanda kekuasaan Allah),
2. Metode mau‟idhah (nasehat),
3. Metode takzir (peringatan) sangat mungkin,
4. Metode targib (dengan janji yang disertai bujukan sehingga
membuat anak senang terhadap kebaikan),
5. Metode tarhib (menyampaikan nama Allah kepada orang-orang
yang ingkar terhadap perintah-Nya),
6. Metode pendidikan historis (kisah-kisah masa lalu dari kehidupan
para Nabi),
7. Metode perumpamaan yang memiliki nilai-nilai moral, dan
8. Metode diskusi.
63
Metode-metode di atas sangat mungkin dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari dengan tetap memperhatikan penyesuaian
dengan karakteristik anak, sebab setiap anak, berbeda cara
menghadapinya (individual differences).****
64
PENDAFTARAN /PENGESAHAN PERNIKAHAN
MENGIKUT UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM
DI MALAYSIA
Prof. Dr. RAIHANAH ABDULLAH
Pengarah Pusat Dialog Peradaban dan Jabatan Syariah dan Undang-Undang Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya
BUNG MOKTAR DIHUKUM PENJARA
KUALA LUMPUR 19 Mei - Secara tiba-tiba, suasana di dalam
dewan Mahkamah Rendah Syariah Gombak Timur, dekat sini
hari ini bertukar menjadi senyap dan sunyi.
Semuanya berpunca daripada keputusan Hakim Syarie, Wan
Mahyuddin Wan Muhammad yang menjatuhkan hukuman
penjara sebulan terhadap Ahli Parlimen Kinabatangan,
Datuk Bung Moktar Radin.
Dengan keputusan itu, Bung Moktar menjadi ahli Parlimen
pertama di negara ini yang dihukum penjara atas kesalahan
berpoligami tanpa kebenaran mahkamah.
Isteri keduanya, pelakon Zizie Izette yang duduk di sebelah
Bung Moktar, kelihatan terkejut dan terus memandang ke arah
suaminya sebaik mendengar keputusan itu.
Zizie atau nama penuhnya, Zizie Izette A. Samad pula didenda
RM1,000 atau penjara sebulan bagi kesalahan yang sama.
'Tertuduh merupakan seorang ahli Parlimen yang terlibat dalam
meluluskan sesuatu undang-undang. Beliau seharusnya
menghormati dan mendukung undang-undang tersebut tidak
kira undang-undang sivil atau syariah.
65
''Tertuduh wanita pula seorang pelakon wanita Muslim yang
menjadi idola dan ikutan.
''Sekiranya kedua-dua mereka tidak boleh mengikut undang-
undang, ia menunjukkan seolah-olah undang-undang syariah
boleh dipermainkan oleh mereka yang berpengaruh dan
berkepentingan,'' katanya.
Pada pro-siding hari ini, hakim syarie tersebut turut mendenda
RM1,000 atau penjara enam bulan ke atas enam individu
termasuk pelakon wanita itu kerana bersubahat dengan Bung
Moktar yang berpoligami tanpa kebenaran.
Prof. Dr. Raihanah Abdullah menyampaikan Makalah dengan Judul“Pendaftaran/ Pengesahan
Pernikahan Mengikuti Undang-undang Keluarga Islam di Malaysia” (Foto.PTA Medan).
BUNG MOKTAR TERLEPAS HUKUMAN PENJARA
SHAH ALAM 11 Ogos 2010 - Ahli Parlimen Kinabatangan,
Datuk Bung Moktar Radin terlepas dari penjara da hukuman
selama sebulan bagi kesalahan berpoligami tanpa kebenaran
selepas rayuannya untuk mengetepikan hukuman itu diterima
oleh Mahkamah Tinggi Syariah di sini hari ini.
66
Ketua Hakim Syarie Selangor, Mukhyuddin Ibrahim
bagaimanapun menggantikan hukuman tersebut dengan denda
RM1,000 atau penjara enam bulan jika denda berkenaan
gagal dijelaskan.
Zizie pula didenda RM2,000 atau penjara tujuh bulan atas
dua tuduhan bernikah tanpa kebenaran pendaftar dan
bersubahat dengan suaminya itu berpoligami tanpa
kebenaran mahkamah.
Pasangan itu bernikah di sebuah rumah beralamat No. 12,
Jalan TC 2B/3, Cemerlang Heights, Taman Melati, Gombak
pada pukul 8.50 malam, 16 Disember lalu.
Namun begitu, Mahkamah Tinggi Syariah Kuala Lumpur pada
12 Jun lalu memutuskan pernikahan pasangan itu yang
berlangsung pada 9 Jun lepas di rumah Zizie di No. 6, Jalan
Setiawangsa 6, Taman Setiawangsa di ibu negara adalah sah
dan memerintahkan ia didaftarkan.
KEPERLUAN PERKAHWINAN
Di Malaysia, selain dari memenuhi rukun dan syarat-syarat
perkahwinan sebagaimana yang ditetapkan dalam Hukum Syarak,
seseorang yang akan berkahwin perlu memenuhi beberapa keperluan
lain dan mengikut prosedur yang ditetapkan oleh Undang-Undang
Keluarga Islam.
Keperluan-keperluan lain adalah had umur minimum untuk
berkahwin dan persetujuan pengantin perempuan
PROSEDUR PERKAHWINAN
Permohonan kebenaran perkahwinan – dokumen yang perlu
adalah kad pengenalan, kad pengenalan saksi, surat akuan
67
bujang atau anak dara, sijil pra perkahwinan, ujian saringan
HIV (HIV screening test)
Akad nikah dijalankan oleh orang yg berkelayakan menjalankan
akad nikah
Pendaftaran Perkahwinan–surat akuan nikah yang tercatat
butir2 peribadi pasangan dan akuan lafaz ta‘liq.
Walaubagaimanapun banyak terdapat kes-kes di mana pasangan
yang akan berkahwin tidak mengikut peraturan yang telah
ditetapkan.
Perkahwinan sebegini sering dipanggil sebagai nikah sindiket
(Syndicate marriage) atau kahwin lari.
NIKAH SINDIKET DAN KAHWIN LARI
Seseorang yang tidak ditauliahkan oleh Jabatan Agama untuk
mengakadnikahkan pasangan suami dan isteri tanpa mengikut
prosedur dan proses undang-undang yang ditetapkan.
Orang tersebut menjalankan operasinya secara tersembunyi,
bersendirian atau berkumpulan.
Mereka ini menjalankan operasi dengan menyediakan wali dan
saksi.
Bayaran pernikahan secara sindiket ini lebih mahal dari proses
yang dijalankan oleh Jabatan Agama Islam. – Iaitu antara RM
2000–RM 5000. (IDR 5 juta 500 ribu – IDR 14 juta 500 ribu)
Mereka juga akan mengeluarkan surat nikah palsu.
Tempat operasi adalah di mana-mana kawasan d Malaysia.
Jabatan Agama tidak boleh mendaftarkan pernikahannya
melainkan setelah mendapat pengesahan pernikahan tersebut
dari Mahkamah Syariah.
68
Sekiranya Mahkamah mendapati pernikahan tersebut tidak sah
di sisi Hukum Syarak maka pasangan suami isteri itu akan
dipisahkan dan mereka perlu mengadakan akad nikah yang lain
untuk mengesahkan perhubungan mereka sebagai suami isteri.
KAHWIN LARI
Perkahwinan tanpa mengikut Undang-undang Keluarga Islam
dan di jalankan di luar negara.
Sekiranya perkahwinan tersebut contohnya di jalankan oleh
Majlis Agama Islam Narathiwat, Thailand (yang telah
mempunyai perjanjian persefahaman dengan Jabatan Agama
Islam di Malaysia) maka apabila kembalinya ke Malaysia,
mereka perlu mengemukakan permohonan pendaftaran.
Mereka akan dikenakan denda sebelum mendaftar perkahwinan
Mereka yang berkahwin tanpa mengikut peraturan undang-
undang tidak boleh mendaftar perkahwinannya melainkan
setelah Mahkamah mengesahkan perkahwinan tersebut dan
penalti telah dikenakan.
Setelah itu, barulah perkahwinan tersebut boleh didaftarkan.
SEBAB-SEBAB PERKAHWINAN TANPA MENGIKUT
PERATURAN UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM
Poligami tanpa pengetahun keluarga terutamanya isteri yang
sedia ada.
Hamil di luar pernikahan.
Perkahwinan yang tidak dipersetujui oleh Ibu dan bapa.
69
KESALAHAN BERHUBUNG DENGAN PROSEDUR DAN
PENDAFTARAN PERKAHWINAN SERTA PENALTI
1. Memaksa seseorang untuk berkahwin sedangkan perkahwinan
tersebut bertentangan dengan kemahuannya.
2. Berpoligami tanpa kebenaran Mahkamah Syariah
3. Seseorang yang berkahwin tidak mengikut Undang-undang
Keluarga Islam seperti:-
a) Berkahwin tidak dihadapan wali
b) Permohonan dan kebenaran perkahwinan tidak diperolehi
4. Seseorang yang mengakadnikahkan sesuatu perkahwinan
sedangkan dia tidak diberi kuasa di bawah Undang-undang
Keluarga Islam.
Bagi semua kesalahan-kesalahan ini, dikenakan hukuman
DENDA tidak melebihi RM 1000 atau PENJARA tidak
melebihi enam bulan atau KEDUA-DUANYA DENDA DAN
PENJARA .
PASANGAN NIKAH 'PAK HASHIM' WARGA INDONESIA
DIDAKWA – UTUSAN MALAYSIA 16/11/2010
• KUALA LUMPUR 16 Nov. - Dua pasangan warga Indonesia
didenda RM800 atau 12 hari penjara oleh Mahkamah
Rendah Syariah di sini hari ini setelah mengaku bersalah atas
pertuduhan bernikah tanpa kebenaran Pendaftar Nikah, Ruju'
dan Cerai Jabatan Agama Islam Wilayah Persekutuan (JAWI).
• Pasangan tersebut antara pasangan yang didakwa berhubung kes
nikah sindiket 'Pak Hashim' di Kampung Pantai Dalam di sini,
Ahad lalu.
70
JAIS SIASAT SATU LAGI KES PASANGAN BERPROFIL TINGGI
JAIS dalam satu kenyataannya di sini hari ini memberitahu,
satu pasangan melakukan kesalahan yang lebih besar apabila di
percayai menggunakan khidmat sindiket juru nikah yang
tidak bertauliah di daerah Gombak.
"Pasangan berkenaan berbuat demikian kerana dipercayai mahu
mengambil jalan mudah untuk bernikah segera pada tarikh
yang menjadi idaman ramai iaitu 10 Oktober tahun ini
(101010)," jelas kenyataan itu.
Menurut JAIS lagi, kes tersebut membabitkan seorang pegawai
biro aduan komuniti bagi sayap pergerakan sebuah parti politik,
berusia 32 tahun dan sudah beristeri.
"Pasangannya pula ialah seorang wartawan bahagian berita
sebuah stesen televisyen swasta berusia 25 tahun," jelas
kenyataan tersebut.
Selain menggunakan khidmat sindiket jurunikah tidak
bertauliah, pernikahan pasangan tersebut juga didapati
tidak sah kerana wartawan wanita berkenaan tidak
memaklum atau mendapatkan izin wali yang sah.
Selain itu katanya, sijil nikah yang dikeluarkan oleh sindiket
tersebut kepada pasangan itu juga cuma merupakan sekeping
kertas kajang bertulisan jawi.
"Menurut sumber JAIS, wartawan wanita berkenaan telah
membuat laporan pernikahan itu di Pejabat Agama Islam
Daerah Gombak Timur baru-baru ini tetapi pasangannya belum
berbuat demikian.
71
"Pasangan tersebut dan jurunikah tidak bertauliah yang telah
menikahkan mereka, boleh didakwa di mahkamah syariah
mengikut Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam Selangor
2003.
"Kes tersebut dijangka mendapat perhatian umum kerana
pasangan lelaki adalah pegawai dari sebuah parti politik, yang
pernah terlibat dalam urusan membawa pulang semula wanita
Malaysia yang dilarikan lelaki Lombok," jelas kenyataan itu.
Difahamkan, wartawan wanita tersebut adalah seorang anak
yatim piatu mualaf (saudara baru) yang tidak begitu arif
tentang hukum-hakam Islam, termasuk dalam soal rukun
nikah dan Undang-Undang Keluarga Islam.
ENGGAN NIKAH SECARA SAH PUNCA SINDIKET
BERLELUASA
KOTA BHARU 10 Julai - Sikap masyarakat terutamanya,
golongan lelaki yang tidak memandang serius kepentingan
bernikah secara sah adalah antara penyebab sindiket
pengeluaran sijil nikah palsu di negeri ini terus berleluasa dan
sukar dibendung.
Ketua Hakim Syarie Kelantan, Datuk Daud Mohamed berkata,
implikasinya amat serius kerana ia bukan sahaja
menjejaskan pengesahan perkahwinan itu tetapi turut
melibatkan institusi keluarga sekiranya pasangan
berkenaan telah dikurniakan anak.
Menurut beliau, pihaknya memandang serius kegiatan sindiket
berkenaan walaupun jumlah laporan yang diterima di negeri ini
masih tidak membimbangkan.
72
''Kita telah melaksanakan pelbagai mekanisme bagi memantau
dan mengemas kini prosedur untuk mengelak kejadian
pengeluaran sijil nikah palsu seperti pengenalan kad nikah
pintar," katanya.
Daud berkata, selagi mendapat permintaan daripada anggota
masyarakat maka selama itulah sindiket berkenaan terus
menjalankan kegiatan tidak bertanggungjawab itu.
Pada masa ini, jelas beliau, sindiket itu bukan sahaja
mengeluarkan sijil nikah palsu dari Thailand tetapi turut
berani meniru sijil nikah negeri ini bersama dengan cop dan
tandatangan hakim syarie yang kononnya mengesahkan
pernikahan pasangan terbabit.
''Kita biasanya hanya dapat mengesan sijil palsu apabila
timbulnya masalah seperti perceraian dan tuntutan hak
penjagaan anak serta tuntutan harta sepencarian.
JAIP KESAN SINDIKET NIKAHKAN PASANGAN
DALAM KERETA MEWAH
IPOH 14 Jan. - Jabatan Agama Islam Perak (JAIP) hari ini
mendedahkan kegiatan satu sindiket yang menjalankan upacara
akad nikah di dalam kereta mewah dipercayai didalangi oleh
seorang bekas naib kadi.
Sindiket itu turut mengeluarkan dokumen pernikahan palsu
kepada pasangan Islam yang bermasalah dan lelaki yang ingin
berpoligami dengan mudah di negeri ini.
Pengerusi Jawatankuasa Agama Islam dan Pendidikan Negeri,
Datuk Dr. Abdul Malek Hanafiah ketika mendedahkan kegiatan
73
itu berkata, sindiket itu dilaporkan bermula sejak bekas naib
kadi itu menjadi naib kadi.
Ketika ditemui di pejabatnya di sini hari ini beliau berkata,
kegiatan bekas naib kadi itu terus aktif walaupun selepas
dipecat dan dijatuhkan hukuman oleh Mahkamah Syariah negeri
ini.
Katanya, bekas naib kadi itu telah dikenakan hukuman
penjara mandatori lima bulan oleh Mahkamah Syariah atas
kesalahan menikahkan pasangan tanpa tauliah di bawah
Seksyen 37 Undang-Undang Keluarga Islam Perak 1984.
Bagaimanapun, katanya, selepas menjalani hukuman bekas naib
kadi itu dilaporkan masih bergerak aktif mendalangi sindiket
tersebut.
Katanya, `pelanggan' mereka turut melibatkan pasangan dari
seluruh negara
Menurutnya, mengikut laporan yang diterima oleh JAIP,
upacara akad nikah dalam kereta mewah itu hanya melibatkan
bekas naib kadi itu, pasangan yang hendak bernikah dan
pemandu kereta tersebut sebagai saksi.
Kebiasaannya pasangan yang bernikah dalam kereta mewah itu
melibatkan pasangan lelaki yang berada manakala wanita itu
mungkin sudah mengandung.
Disebabkan terdesak untuk bernikah segera, bekas naib kadi itu
sanggup mengadakan upacara akah nikah di dalam kereta
dengan pemandu kepada lelaki yang berada itu bertindak
sebagai saksi.
74
Dr.Abdul Malek menarik perhatian, siasatan JAIP menunjukkan
selepas menikahkan pasangan yang bermasalah, bekas naib kadi
itu akan mengeluarkan dokumen pernikahan palsu kepada
pasangan terbabit.
JAWI KELUAR SURAT NIKAH BARU ELAK PEMALSUAN
KUALA LUMPUR 9 Jan. - Jabatan Agama Islam Wilayah
Persekutuan (Jawi) telah mengeluarkan surat perakuan nikah
versi baru mempunyai ciri keselamatan yang lebih baik bagi
mengurangkan pemalsuan surat nikah oleh sindiket.
Pengarahnya, Datuk Che Mat Che Ali berkata, surat nikah baru
yang dikeluarkan awal tahun ini untuk mereka yang berkahwin
di Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya, mempunyai beberapa
ciri keselamatan pada logo, kualiti kertas, tulisan, cip serta
nombor sirinya sukar ditiru oleh pihak yang ingin
memalsukannya.
Pada tahun lepas, lapan kes pengeluaran surat nikah palsu di
kesan di Wilayah Persekutuan yang membabitkan sindiket dan
kes-kes itu telah dibawa ke mahkamah, katanya kepada
pemberita pada majlis pelancaran surat nikah baru itu hari ini.
''Pada peringkat ini, pihak mahkamah akan memeriksa rekod
sijil nikah, barulah kita ketahui sama ada ia palsu atau tidak.
Selepas itu, kesan lebih serius akan timbul berhubung
pengesahan pernikahan mereka dan status anak sama ada sah
atau sebaliknya," katanya.
Daud berkata, pihaknya memang bekerjasama dengan jabatan
agama islam lain di negara ini dan Thailand bagi mengenal pasti
sijil nikah palsu.
75
Katanya, tugas mengesannya rumit apabila pasangan yang
berkahwin itu mendiamkan diri selepas mendirikan rumah
tangga dan tidak mendaftarkan perkahwinan mereka secara
rasmi kepada pihak berkuasa agama negeri.
Menurutnya, hanya apabila timbul masalah barulah mereka
merujuk kepada mahkamah dan jika ia berlaku, keadaan akan
lebih sukar terutama apabila melibatkan banyak perkara lain
IMPLIKASI PERUNDANGAN
Wanita (Isteri) tidak dapat mengemukakan hak-haknya dalam
perkahwinan menurut Undang-undang dari segi permohonan
dan tuntutan-tuntutan:
a) Keadilan dalam berpoligami
b)Perceraian kerana tiada akuan sah (bukti)perkahwinan.
c) tuntutan-tuntutan selepas perceraian seperti nafkah iddah,
mut‘ah dan harta sepencarian (harta bersama)
d) pusaka.
KESIMPULAN
• Perkahwinan tanpa mengikut Undang-undang Keluarga Islam
adalah satu tindakan yang membelakangkan peraturan Undang-
undang dan tidak bertanggungjawab atas perkara berbangkit di
kemudian hari.
• Di Malaysia, mereka yang berkahwin sedemikian tidak boleh
mendaftar perkahwinannya melainkan setelah Mahkamah
Syariah mengesahkan perkahwinan dan membayar penalti atas
kesalahan tersebut.
• Sekiranya perkahwinan tersebut tidak didaftarkan, maka yang
akan menjadi mangsa /pihak yang rugi adalah isteri.
76
• Kesalahan pernikahan tanpa mengikut undang-undang ini
adalah merupakan kesalahan matrimoni/ perkahwinan dan
bukannya kesalahan jenayah.
• Peraturan yang dibuat adalah bertujuan untuk memastikan
bahawa setiap perkahwinan itu adalah menepati dengan
kehendak Hukum Syarak dan dalam masa yang sama
memastikan wanita diberi perlindungan perundangan. Sekian,
Terima Kasih.****
77
UNDANG-UNDANG PEWAKAFAN DI MALAYSIA1
Prof. Dr. Siti Mashitoh Mahamood2
PERUNTUKAN DASAR
PERLEMBAGAAN TERTINGGI NEGARA
Senarai II, Senarai Negeri, Jadual Kesembilan, Perlembagaan
Persekutuan
―…Hukum Syarak dan undang-undang diri dan keluarga bagi
orang yang menganut agama Islam, termasuk Hukum Syarak
berhubung dengan mewarisi harta berwasiat dan tak berwasiat,
pertunangan, perkahwinan, nafkah, pengambilan anak angkat,
kesahtarafan, penjagaan anak, pemberian, pembahagian harta
dan amanah bukan khairat, wakaf dan takrif serta peraturan
mengenai amanah khairat dan khairat agama, perlantikan
pemegang-pemegang amanah dan perbadanan bagi orang-orang
mengenai pemberian agama Islam dank hairat, institusi, amanah
dan institusi khairat……‖
1. Seminar Hukum Islam Di Dua Negara: Malaysia–Indonesia 25 June
2012. 2.
Jabatan Syariah dan Undang-Undang Akademi Pengajian Islam
Universiti Malaya 50603 Kuala Lumpur, [email protected]
78
UNDANG-UNDANG YANG BERKUAT KUASA
PP
Statut wakaf
spesifik
Kaedah/Peraturan
EPAIN /Statut Pentadbiran Agama Islam Negeri
STATUT WAKAF
Enakmen Wakaf (Negeri Selangor) 1999 (No.7 Tahun 1999)
Enakmen Wakaf (Negeri Sembilan) 2005 (No. 5 tahun 2005)
Enakmen Wakaf (Negeri Melaka) 2005 (No. 5 tahun 2005)
STATUT WAKAF
Prosedur berwakaf
Syarat pewakaf, penerima, mawquf
Kuasa Majlis Agama Islam
Penubuhan & kuasa Jawatan kuasa PengurusanWakaf
Perletak hakan mawquf
Kumpulan wang Wakaf & Skim Wakaf
Istibdal & rujukan kepada Hukum Syarak & fatwa
Penalti
INSTITUSI BERKAITAN WAKAF
Majlis Agama Islam Negeri
Jabatan Wakaf, Zakat dan Haji (JAWHAR) -
Yayasan Waqaf Malaysia (YWM)-
Sebuah perbadanan ditubuhkan di bawah Akta Pemegang
Amanah (Pemerbadanan) 1952 (Akta 258)
79
Prof. Dr. Siti Mashitoh Mahmood sedang menyampaikan makalah di depan peserta seminar
TAFSIRAN WAKAF
EnakmenWakaf (Negeri Selangor) 1999 (No. 7 Tahun 1999):
Menyerahkan apa-apa harta yang boleh dinikmati manfaat atau
faedahnya untuk apa-apa tujuan kebajikan sama ada sebagai
wakaf am atau wakaf khas menurut Hukum Syarak tetapi tidak
termasuk amanah sebagaimana yang ditakrifkan di bawah Akta
Pemegang Amanah 1949‖.
ENAKMEN (NEGERI SEMBILAN) (NO. 5 TAHUN 2005)
―wakaf‖ ertinya—
(a)menyerahkan hak milik apa-apa harta yang boleh dinikmati
manfaat, faedah atau keuntungannya;
(b)menyerahkan manfaat, faedah atau keuntungan yang boleh
dinikmati dari padaapa-apa harta; atau
(c)memberikan kepakaran dan perkhidmatan yang boleh
dinikmati manfaat, faedah atau keuntungannya,
80
Sama ada sebagai wakaf am atau wakaf khas, menurut prinsip
Syariah, tetap itidak termasuk amanah yang ditakrifkan di
bawah Akta Pemegang Amanah 1949 [Akta 208];
WAKAF KEKAL & BERTEMPOH
KEKAL:
S.2 EPAIN JOHOR 2003 ―wakaf‖ ertinya pemberian yang
berkekalan di atas harta atau sebahagian daripadanya oleh tuan
punya harta itu bagi maksud agama mengikut Hukum Syarak
tetapi tidak termasuk amanah sebagai mana yang ditakrifkan di
bawah Akta Pemegang Amanah 1949 [Akta 208]
(KELANTAN 1994, ORDINAN MAJLIS ISLAM SARAWAK
2001, Pahang 199)
TAK KEKAL:
Selangor 1999, Melaka NS 2005,Kedah 2008 (2004
KEKAL),PP 2004
TAFSIRAN WAKAF AM & KHAS
"wakaf am" ertinya sesuatu wakaf yang diwujudkan bagi tujuan
khairat umum menurut Hukum Syarak‖.
"wakaf khas" ertinya sesuatu wakaf yang diwujudkan bagi
tujuan khairat khusus menurut Hukum Syarak;
Wakaf irsod, muabbad, musyak
KUASA MAJLIS SEBAGAI PEMEGANG AMANAH TUNGGAL
S.32 EWS 1999:
―Walauapa pun apa-apa jua peruntukan yang terkandung dalam
mana-mana surat cara atau perisytiharan yang mewujudkan,
mengawal atau menyentuh sesuatu wakaf, Majlis hendaklah
81
menjadi pemegang amanah tunggal bagi semua wakaf, sama
ada am atau khas, yang terletak di dalam Negeri Selangor.
PENDAFTARAN WAKAF
Seksyen 6 EWNS. Pendaftaran mawquf.
Mana-mana orang yang hendak mewakafkan hartanya
hendaklah mendaftarkan harta itu dengan Majlis mengikut apa-
apa cara yang ditetapkan oleh Majlis.
EWS, EWM jua perlu didaftarkan kepada Majlis
PRINSIP DASAR HUKUM WAKAF
Seksyen 4 EWS & EWM. S4(2) Sesuatu wakaf yang telah
berkuat kuasa, tidak boleh dijual atau dihibah oleh waqif atau
diwarisi oleh mana-mana orang.
SEKSYEN 21. PENUBUHAN JAWATAN KUASA
PENGURUSAN WAKAF
Majlis hendaklah menubuhkan suatu Jawatan kuasa Pengurusan
Wakaf yang akan mentadbir dan menguruskan semua perkara
yang berhubungan dengan wakaf di Negeri Selangor.
SEKSYEN 24. KUASA JAWATAN KUASA PENGURUSAN WAKAF
Jawatan kuasa Pengurusan Wakaf hendaklah mempunyai kuasa-
kuasa berikut:
a) Untuk menjalankan apa-apa arahan, dasar, ketetapan dan
keputusan yang dibuat oleh Majlis berhubungan dengan
apa-apa mawquf;
b) Untuk mengawal selia, mengatur, mengurus dan mentadbir
mawquf;
c) Untuk membangun, memaju dan meningkatkan mawquf;
d) Untuk mentadbir Kumpulan Wang Wakaf; dan
82
e) Untuk menjalankan apa-apa kuasa lain atau fungsi yang
diperuntukkan di bawah Enakmen ini atau sebagaimana
yang diarahkan oleh Majlis dari semasa ke semasa.
Powers including to implement istibdal & invest the mawquf
(S.25)
SEKSYEN 49. FATWA DIKEHENDAKI UNTUK
PEMBANGUNAN HARTA WAKAF
Majlis hendaklah merujuk kepada Jawatan kuasa Perundingan
Hukum Syarak untuk keputusannya berhubung dengan
pembangunan mana-mana mawquf sekiranya ia melibatkan
persoalan Hukum Syarak yang belum terputus atau yang
menimbulkan pertikaian.
ISTIBDAL
Seksyen 19 EWS & EWM. Kuasa Majlis untuk istibdal.
Majlis boleh mengistibdalkan apa-apa mawquf dalam keadaan
berikut
a) Mawquf telah diambil ole hmana-mana pihak berkuasa
awam mengikut peruntukan mana-mana undang-undang
bertulis;
b) Kegunaan mawquf tidak lagi mendatangkan manfaat atau
aedah sebagaimana yang dikehendaki oleh waqif; atau
c) Kegunaan mawquf tidak menepati tujuan wakaf.
Seksyen 25 EWS & EWM. Kuasa tambahan Jawatan kuasa
Pengurusan Wakaf dengan persetujuan Majlis. Jawatan
kuasa Pengurusan Wakaf boleh, dengan persetujuan Majlis
dan tertakluk kepada syarat-syarat persetujuan itu
(a)mengistibdalkan apa-apa mawquf; dan
83
(b)memaju atau melaburkan mawquf.
Seksyen 12 EWNS. Kuasa Majlis untuk istibdal.
(1) Tertakluk kepada sub seksyen (2), Majli sboleh istibdal apa-
apa mawquf dalam keadaan yang berikut:
(a)jika mana-mana syarat wakaf tidak selaras dengan mana-
mana undang-undang bertulis;
(b)jika mawquf diambil oleh mana-mana pihak berkuasa
mengikut mana-mana undang-undang bertulis;
(c)jika kegunaan mawquf tidak mendatangkan manfaat, faedah
atau keuntungan sebagaimana yang dikehendaki oleh waqif;
(d) jika kegunaan mawquf tidak dapat menepati tujuan wakaf;
atau
(e) jika disebabkan berlalu masa atau berlaku perubahan
keadaan, mana-mana syarat yang ditetapkan oleh waqif tidak
dapat dilaksanakan.
Seksyen 12 EWNS. Kuasa Majlis untuk istibdal.
(1) Tertakluk kepada sub seksyen
(2), Majlis boleh istibdal apa-apa mawquf dalam keadaan yang
berikut:
(a)jika mana-mana syarat wakaf tidak selaras dengan mana-
mana undang-undang bertulis;
(b)jika mawquf diambil oleh mana-mana pihak berkuasa
mengikut mana-mana undang-undang bertulis;
(c)jika kegunaan mawquf tidak mendatangkan manfaat, faedah
atau keuntungan sebagaimana yang dikehendaki oleh waqif;
(d)jika kegunaan mawquf tidak dapat menepati tujuan wakaf;
atau
84
(e) jika disebabkan berlalu masa atau berlaku perubahan
keadaan, mana-mana syarat yang ditetapkan oleh waqif tidak
dapat dilaksanakan.
(2) Majlis hendaklah mendapatkan pendapat Jawatan kuasa
Fatwa jika Majlis hendak istibdal
(a) masjid atau tapak masjid yang diwakafkan; atau
(b) dalam hal keadaan selain hal keadaan yang dinyatakan
dalam subs eksyen.
Seksyen 47. Hak Akses.
(1) Pendaftar Wakaf atau Penolong Pendaftar Wakaf atau mana-
mana pekhidmat Majlis, hendaklah pada setiap masa yang
munasabah, mempunyai akses bebas untuk memasuki semua
tanah, bangunan atau premis yang telah terletak hak sebagai
wakaf kepada Majlis bagi maksud melaksanakan peruntukan
Enakmenini atau mana-mana peraturan yang dibuat di
bawahnya.
Tiada di bawah EWS & EWNS
Seksyen 48. Menghalang suatu kesalahan.
Mana-mana orang yang menghalang, menggalang, menahan,
melengah-lengahkan atau mengganggu mana-mana pegawai
atau pekhidmat Majlis dari pada menjalankan mana-mana
kuasanya atau melaksanakan fungsi atau kewajipannya yang
sah di bawah Enakmen ini atau mana-mana peraturan di
bawahnya atau tidak memberikan bantuan yang semu
nasabahnya dikehendaki oleh mana-mana pegawai atau
pekhidmat Majlis adalah melakukan suatu kesalahan dan
apabila disabitkan boleh didenda tidak melebihi lima ribu
85
ringgit atau dipenjarakan selama tempoh tidak melebihi tiga
tahun atau kedua-duanya.
BIDANG KUASA MAHKAMAH
Mahkamah Syariah vs. Mahkamah Sivil
Konflik: Litigasi melibatkan salah satu pihak bukan Islam,
wakaf sebagai amanah, perintah perisyhtiharan
subject matter approach vs. remedy prayed for approach:
Penyelesaians ebahagian shj: Majlis Ugama Islam Pulau
Pinang dan Seberang Perai v Shaik Zolkaffily bin Shaik Nata
r& Ors, [2003] 3 MLJ 705 - ―subject matter approach‖. ****
86
POLIGAMI BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL
(Tinjauan Hukum PP Nomor 10 Tahun 1983)
Drs. H. Almihan,. S.H,.M.H Ketua Pengadilan Agama Binjai
A. PERKAWINAN
Dalam kehidupan ini, Allah Swt telah menciptakan manusia yang
terdiri atas laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam sebuah
ikatan suami isteri untuk saling sayang-menyayangi. Kemudian, dengan
lahirnya anak-anak mereka terbentuklah sebuah keluarga yang
diharapkan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah
berlandaskan syariat Islam.
Menurut Fyzee (Jakarta : 106), perkawinan menurut pandangan
Islam mengandung tiga aspek, yaitu aspek hukum, aspek sosial dan
aspek keagamaan.
Rachmadi Usman (2006 : 266) memaparkan, perkawinan dari
segi bahasa berasal dari kata “kawin”, yang merupakan terjemahan
bahasa arab “nikah”. Dalam pemakaian kata sehari-hari, perkataan
nikah lebih banyak dalam arti kiasan daripada arti sebenarnya. Bahkan,
menurut Kamal Mukhtar (1974:11) nikah dalam arti sebenarnya jarang
sekali dipakai pada saat ini.
Allah Swt telah mensyariatkan perkawinan dengan tujuan agar
terciptanya hubungan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, di
bawah naungan syariat Islam dan batasan-batasan hubungan antar
mereka. Adanya hubungan yang erat antara laki-laki dan perempuan
dijelaskan dalam firman Allah Swt :
تج و حن زو و ةج دم و نوككى يم مو بو عو جو و نوا ا منو ك كك ا نمخوسن اجج و ىن أوشن كك نكسم ن أو هو و نوككى يم ن خو م أو ن واحم يم م فم و م
و ﴿ و وخونوكمسك ن واث نمقو و ﴾٢١ذو نمكو
87
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. Ar-Rum : 21).
Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Sehingga suami istri harus saling membantu dan melengkapi, agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai
kesejahteraan spiritual dan material. Dan dijelaskan dalam pasal 3 ayat
(1) bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang laki-laki
hanya diperbolehkan mempunyai seorang istri, dan sebaliknya seorang
perempuan hanya mempunyai seorang suami.
Dari pasal tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut
asas perkawinan monogami. Tetapi, dalam pasal 3 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak bersangkutan.
Dalam artian, bahwa undang-undang perkawinan memberikan
pengecualian bagi suami untuk menikahi lebih dari satu istri karena
peraturan agama yang dianutnya memberikan izin meskipun dengan
syarat-syarat yang cukup berat. Dengan demikian, pengecualian yang
diberikan undang-undang bagi suami untuk menikahi lebih dari satu
istri dalam hukum Islam dikenal dengan istilah perkawinan poligami.
88
Allah Swt menegaskan ketentuan Poligami sebagaimana firman-Nya :
بوااو زك و دو و كالو اام يو نوى و انمسو ا وااو نوككى يم ا يو ى فواكمحك ا فم اننوخوايو ننخكىن أوالم حكقنسم ك ن خم و م
ىن اككك و ن هوكوجن أو ا يو ن يو ةج أو دو احم و ا فو نك دم ننخكىن أوالم حوعن ن خم ا ﴿ فو م نك وى أوالم حوعك ﴾ ٣ذو نمكو أودن
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
(QS. An-Nisa': 3).
Drs. H. Almihan, S.H, M.H (kiri) dan H. Riswan Lubis, S.Ag, S.H, M.H, sedang berdiskusi tentang Hukum Islam Dua Negara di sela-sela acara seminar (doc. PTA Medan).
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni istri,
seperti pakaian, tempat, seksual, dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu.
Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan
oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Ayat ini membatasi
poligami sampai empat orang saja dan menjelaskan tiga hal sebagai
berikut :
89
1. Orang-orang yang khawatir berlaku tidak adil dalam mengurus harta
anak perempuan yatim tidak boleh menikahinya agar terjauhkan dari
berbuat zalim terhadap hartanya tersebut,
2. Mereka hendaklah memilih perempuan lain sebagai istri di antara
perempuan-perempuan yang disukainya, boleh 2 orang atau 3 orang,
atau 4 orang,
3. Jika seorang laki-laki muslim takut tidak dapat berbuat adil dalam
berpoligami, ia lebih baik beristri seorang saja. Jika tidak mampu
beristri seorang, lebih baik dia mengambil budak perempuannya
untuk menjadi pasangan hidupnya.
Dari penjelasan di atas, menerangkan bahwa Islam
memperbolehkan poligami untuk tujuan kemaslahatan yang ditetapkan
bagi tuntutan kehidupan. Allah Swt paling mengetahui kemaslahatan
hamba-Nya. Allah Swt telah mensyariatkan poligami untuk diterima
tanpa keraguan demi kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Tetapi, menurut Musfir Aj-Jahrani (1996:39), Islam juga
memberikan landasan dan dasar yang kuat untuk mengatur serta
membatasi keburukan (mudharat) poligami yang bertujuan untuk
memelihara hak-hak perempuan, memelihara kemuliaan mereka yang
dahulu terabaikan karena poligami tanpa ikatan, persyaratan dan jumlah
tertentu.
Sulaiman (1987:348-349), mengutip hadis Rasulullah Saw
tentang poligami bagi para lelaki yang artinya :
"Hai pemuda-pemuda, barang siapa yang mampu diantara kamu
serta berkeinginan hendak kawin, hendaklah dia kawin, karena
sesungguhnya perkawinan itu akan memejamkan mata terhadap
90
orang yang tidak halal dilihatnya, dan akan memeliharanya dari
godaan syahwat." (Hadits Riwayat Jamaah Ahli Hadits).
Hadits lain Rasulullah Saw bersabda yang artinya :
"Dan barang siapa yang tidak mampu kawin hendaklah dia
puasa, karena puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan
berkurang. Kemudian (dari Aisyah) Nabi Muhammad Saw juga
bersabda: Kawinilah olehmu kaum wanita itu, maka
sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi
kamu." (HR. Hakim dan Abu Daud).
Dengan demikian, seorang suami yang akan berpoligami sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
tidak ditentukan syarat-syarat harus ada izin dari pengadilan, dan tidak
diharuskan ada persetujuan dari istri mereka.
Akan tetapi, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, memberikan batasan kepada suami yang
akan beristri lebih dari seorang yaitu berupa pemenuhan syarat disertai
alasan-alasan yang dapat diterima serta mendapat izin dari pengadilan.
Dalam pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, yaitu :
1. Alasan yang memungkinkan seorang suami diperbolehkan untuk
beristri lebih dari seorang apabila;
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri,
b. Istri mendapat cacat badan / atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, dan
c. Istri tidak boleh melahirkan keturunan.
91
2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan
permohonan kepada pengadilan guna meminta izin beristri lebih dari
seorang adalah ;
a. Adanya persetujuan dari istri / istri-istri,
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, dan
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-
istri dan anak-anak mereka.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 55-59
merekonstruksi alasan-alasan dan syarat-syarat untuk meminta izin
poligami, sebagaimana tertera pada BAB IX KHI tentang beristri lebih
dari seorang, yaitu :
Pasal 55
(1.) Beristri lebih dari satu orang pada waktu
bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang
istri,
(2.) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami
harus mampu berlaku adil terhadap istri dan
anak-anaknya,
(3.) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2)
tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri
lebih dari seorang.
Pasal 56
(1.) Suami yang hendak beristri lebih dari seorang
harus mendapat izin dari Pengadilan Agama,
(2.) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada
ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara
92
sebagaimana diatur dalam BAB VIII Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
(3.) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua,
ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan
Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila :
(1.) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai
istri,
(2.) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan,
(3.) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
(1.) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55
ayat (2) maka untuk memperoleh izin
Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-
syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu :
a. Adanya persetujuan istri, dan
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka.
(2.) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41
hurup b Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun
1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat
93
diberikan secara tertulis atau dengan lisan,
tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,
persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan
lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
(3.) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) hurup a
tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar
dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya
2 tahun atau karena sebab lain yang perlu
mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Menyatakan bahwa dalam hal istri tidak mau
memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk
beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah
satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57,
Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang
pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri
yang bersangkutan di persidangan.
Dari penjelasan pasal di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa seorang suami yang berpoligami menurut pasal 55 ayat (2) dan
(3) Kompilasi Hukum Islam harus mampu berlaku adil terhadap istri
dan anak-anaknya. Berlaku adil merupakan syarat utama dan sekaligus
sebagai alasan yang harus dipenuhi bagi seorang suami untuk poligami
berdasarkan pasal 59 Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan menurut
94
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berlaku
adil hanya sebagai syarat bukan sebagai alasan untuk poligami.
Dengan melihat ketentuan yang ada, dapat diketahui bagi seorang
yang berpoligami harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan agama yang dianutnya
membolehkan atau tidak. Tetapi, apabila seorang yang berpoligami
tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 1
Tahun1974 tentang Perkawinan, maka hakim dapat mempertimbangkan
pasal 55 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam dalam memberikan izin
poligami dengan bukti kesaksian seseorang sehingga syarat dan alasan
pasal 55 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam dapat dipertimbangkan dan
diputuskan oleh pengadilan sebagai syarat yang dapat dipenuhi.
Walaupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan telah menentukan prosedur dan syarat-syarat tertentu bagi
suami yang beristri lebih dari seorang, masih ada syarat-syarat yang
harus dipenuhi bagi golongan tertentu untuk beristri lebih dari seorang,
yaitu golongan TNI, POLRI dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang
harus memenuhi peraturan-peraturan khusus (lex specialis) di samping
peraturan-peraturan umum (lex generalis).
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990, dengan sendirinya tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
Khususnya bagi Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan
perceraian jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983.
95
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 hanyalah kelanjutan
dari kedua perundangan tersebut, dimana sama-sama menganut asas
monogami dan untuk memperketat adanya poligami. Namun, di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 lebih ditekankan pada izin
melakukan poligami dari pejabat/ atasannya.
Buku Register Sudah Masuk Museum, Menyusul Era IT Diberlakukan di Mahkamah Syar'iyah Seluruh Negara Bagian Malaysia (doc. PTA Medan).
B. APLIKASI HUKUM TENTANG POLIGAMI
Secara teoritis, hukum yang dianggap berlaku itu harus
memenuhi beberapa ukuran, sebagaimana yang disebutkan oleh Jimly
Ashsiddiqie (2006:25) sebagai berikut :
1. Keberlakuan secara Yuridis
a. Apabila penentuan berlakunya didasarkan pada hierarki norma
hukum yang tingkatannya lebih tinggi seperti dalam teori Hans
Kelsen,
b. Apabila keadaan hukum tersebut dibentuk menurut cara-cara
yang telah ditetapkan.
2. Keberlakuan secara Sosiologis
96
a. Apabila kaidah hukum itu diberlakukan atas dasar kekuasaan
umum, terlepas dari diterima atau tidaknya oleh masyarakat
(macht-theorie),
b. Apabila kaidah hukum tersebut benar-benar diterima dan
diakui oleh warga masyarakat.
3. Keberlakuan secara filosofis
Sesuatu kaidah hukum dapat dikatakan berlaku secara filosofis
apabila kaidah hukum itu sesuai atau tidak bertentangan dengan
cita-cita hukum suatu masyarakat sebagai nilai positif tertinggi
dalam falsafah hidup masyarakat.
A.A Human Abdurrahman (2004:32) menegaskan bahwa suatu
perbuatan telah dikatakan melanggar hukum, dan dapat dikenakan
sanksi pidana harus memenuhi dua unsur, yakni unsur esensial dari
kejahatan dan keadaan sikap bathin.
Suatu perbuatan yang melanggar aturan hukum dapat
menimbulkan suatu keresahan dalam masyarakat. Oleh karena itu,
menurut Mahmud Mulyadi (2009:45) pemerintah selaku penyelenggara
kehidupan bernegara perlu memberikan perlindungan dan
kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan yang teragenda
dan terprogram. Kebijakan pemerintah ini tergantung dalam kebijakan
sosial (social policy).
Lebih lanjut Mahmud menegaskan, salah satu bagian dari
kebijakan sosial adalah kebijakan penegakan hukum (law enforcement
policy), termasuk di dalamnya kebijakan legislatif. Kebijakan
penegakan hukum harus melihat cakupan yang luas yang terkandung
dalam suatu sistem hukum (legal system).
97
Menurut Friedman (1984:4), sistem hukum memiliki cakupan
yang lebih luas dari hukum itu sendiri, kata hukum sering mengacu
hanya kepada aturan dan peraturan. Sedangkan sistem hukum
membedakan antara aturan dan peraturan itu sendiri, serta struktur,
lembaga dan proses yang mengisinya. Oleh karena itu, bekerjanya
hukum dalam suatu sistem menurut Friedman ditentukan oleh tiga
unsur, yaitu struktur hukum (legal structure), subtansi hukum (legal
substance), dan budaya hukum (legal culture).
Hukum di dalam suatu masyarakat ada yang terhimpun di dalam
suatu sistem yang disusun dengan sengaja, yang sesuai dengan
pembidangannya. Ishaq (2009:28) memberikan contoh di Indonesia,
hukum yang mengatur berkaitan dengan masalah pidana terhimpun
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hukum yang
mengatur tentang perkawinan terhimpun di dalam Undang-Undang
Perkawinan.
Sistem hukum tersebut biasanya mencakup hukum subtantif dan
hukum ajektifnya yang mengatur hubungan antar manusia, antar
kelompok manusia, dan hubungannya antar manusia dengan
kelompoknya, sehingga hukum itu dapat dikatakan sebagai kaidah atau
peraturan bertingkah laku di dalam masyarakat.
Soerjono Soekanto (1983:40) mengatakan, bahwa hukum sebagai
kaidah merupakan patokan pri-kelakuan atau sikap tindak-tanduk yang
sepantasnya. Patokan tersebut memberikan pedoman, bagaimana
seharusnya manusia berprikelakuan atau bersikap tanduk.
Ishaq kembali memaparkan, kaidah hukum adalah kaidah atau
peraturan yang dibuat oleh penguasa negara, yang isinya mengikat
98
setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara dan
pelaksanaannya dapat dipertahankan, misalnya :
1. Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Barang
siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa
perkawinan atau perkawinan-perkawinan yang telah ada menjadi
penghalang yang sah untuk itu (Pasal 279 KUHP),
2. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya (Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974).
Berdasarkan contoh di atas, dapat diketahui bahwa sanksi dari
kaidah hukum adalah tegas dan dapat dipaksakan oleh aparat negara,
sehingga kaidah ini diharapkan dapat terciptanya ketertiban dan
keadilan dalam masyarakat.
Dengan demikian dapat disimpulkan, poligami yang sehat adalah
poligami yang mengikuti kaidah hukum dan norma agama yang dianut
oleh suami yang akan mengajukan poligami. Kaidah hukum tercermin
di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan,
dan norma agama diatur menurut agama masing-masing.****
99
PEMBARUAN HUKUM WAKAF DI INDONESIA
Dr. Suhrawardi K. Lubis, S.H., Sp.N., M.H
Pembantu Rektor II UMSU Medan
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf, terjadi pembaruan di bidang perwakafan di Indonesia.
Dikatakan terjadi pembaruan, karena dengan berlakunya undang-
undang ini banyak terjadi perubahan-perubahan yang signifikan dari
peraturan perundang-undangan mengenai wakaf yang ada sebelumnya.
Apalagi sebelum undang-undang ini, tidak ada undang-undang yang
khusus mengatur perwakafan di Indonesia. Baru setelah undang-
undang inilah ada undang-undang yang yang secara spesifik mengatur
perwakafan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 ini mengatur
substansi yang lebih luas dan membawa pembaharuan di bidang
pengelolaan wakaf secara umum.
Beberapa pengaturan penting sebagai pembaharuan yang ada
dalam undang-undang wakaf, antara lain menyangkut bentuk benda
wakaf, kriteria harta benda wakaf, pendaftaran dan pengumuman
wakaf, kegunaan harta benda wakaf, pemanfaatan benda wakaf, rukun
atau unsur wakaf, wakaf dengan wasiat, penukaran dan perubahan harta
benda wakaf, pemberi wakaf, penerima wakaf, Badan Wakaf
Indonesia dan Penyelesaian sengketa wakaf.
BENTUK BENDA WAKAF
Sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang wakaf, kecendrungan bentuk benda wakaf hanya pada benda
yang tidak bergerak saja. Lazimnya, wujudnya dalam bentuk tanah
100
milik dan bangunan saja, yang dipergunakan untuk pekuburan atau
pertapakan mesjid saja.
Setelah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 diundangkan,
bentuk benda wakaf menjadi lebih luas hingga meliputi harta dalam
bentuk benda bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud seperti
uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan
intelektual, dan hak sewa.
Dr. Suhrawardi K. Lubis, S.H., Sp.N., M.H sedang mempersiapkan makalah untuk pelaksanaan Seminar Internasional 'HUKUM ISLAM DUA NEGARA' Indonesia dan Malaysia
(Repro.www.suhrawardilubis-center.com)
Khusus wakaf benda bergerak berupa uang, perwakafan
dilakukan melalui Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang
(LKS-PWU) yang diatur dalam Pasal 28 sampai Pasal 31 Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004. Pengaturan wakaf ini sebelumnya telah
diperbolehkan melalui fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada
tahun 2002. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, jenis
harta benda wakaf dikelompokkan sehingga meliputi benda tidak
bergerak (seperti tanah dan bangunan), benda bergerak selain uang, dan
benda bergerak berupa uang. Masing-masing jenis harta benda wakaf
ini diperinci lebih lanjut dalam Pasal 16 hingga Pasal 27.
101
KRITERIA HARTA BENDA WAKAF
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, memberi
pengertian yang lebih luas dari kriteria harta benda wakaf yang ada
sebelumnya. Dalam undang-undang ini ditentukan bahwa harta benda
wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau
manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut
syariah yang diwakafkan oleh wakif.
Dengan kriteria seperti ini, maka harta benda yang diwakafkan
harus memiliki daya tahan lama atau manfaat jangka panjang, dan
mempunyai nilai ekonomi secara syariah. Dengan kriteria seperti ini,
semakin banyak jenis benda yang dapat diwakafkan. Selain memenuhi
kriteria seperti di atas, sebagai unsur penting dalam perwakafan ialah
harus jelas keberadaan dan status harta benda wakaf pada waktu terjadi
ikrar wakaf, dan harta benda wakaf harus harta yang dimiliki dan
dikuasai sepenuhnya oleh orang yang berwakaf secara sah.
PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN WAKAF
Penekanan akan kewajiban pendaftaran dan pengumuman wakaf
yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan mengenai wakaf. Kewajiban
pendaftaran dan pengumuman ini tidak memisahkan antara wakaf ahli
yang pada umumnya pentadbiran dan pemanfaatan benda wakaf
terhukum untuk kaum kerabat atau ahli waris dengan wakaf khairi yang
dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat umum sesuai dengan
tujuan dan fungsi wakaf. Pelaksanaan pendaftaran dan pengumuman
adalah untuk menciptakan tertib hukum dan pentadbiran wakaf guna
melindungi benda wakaf. Khusus untuk pelaksanaan dan peningkatan
yang berhubungan dengan tanah wakaf, telah diadakan kerjasama
102
antara Menteri Agama dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional yang
dituangkan dalam Keputusan Bersama Nomor 422 Tahun 2004/Nomor
3/SKB/BPN/2004 tentang Peraturan Tanah Wakaf. Tujuan Keputusan
Bersama ini untuk meningkatkan kegiatan pengaturan tanah wakaf dan
keutamaan penyelesaian pengaturan tanah wakaf yang permohonannya
telah diajukan ke Kantor Pertanahan seluruh Indonesia.
KEGUNAAN HARTA BENDA WAKAF
Selain untuk kepentingan ibadah dan sosial, kegunaan harta
benda wakaf juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum
dengan cara meningkatkan potensi dan manfaat ekonomi benda wakaf.
Dalam hal ini, pengaturan benda wakaf dimungkinkan untuk memasuki
wilayah kegiatan ekonomi dalam arti yang luas, sepanjang
pengaturannya sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi syariah.
Sebagai salah satu lembaga sosial ekonomi Islam, pengaturan dan
pengembangan harta benda wakaf oleh nazhir dilakukan secara
produktif sesuai dengan prinsip syariah. Pengaturan secara produktif
dilakukan antara lain dengan cara pengumpulan, pelaburan, produksi,
kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian,
pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah
susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan,
sarana kesehatan dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan
syariah.
PEMANFAATAN BENDA WAKAF
Konsepsi wakaf mengalami perubahan, sebelumnya wakaf
merupakan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan sebagian dari
benda miliknya dan melembagakan untuk selamanya (Pasal 215
Kompilasi Hukum Islam). Karena itu menurut Adijani (1989: 32),
103
dilarang memberikan batas waktu tertentu dalam perwakafan. Sedang
menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
pemanfaatan benda wakaf sementara atau untuk jangka waktu tertentu
juga diperbolehkan asal sesuai dengan kepentingannya.
RUKUN ATAU UNSUR WAKAF
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 telah menetapkan unsur
yang merupakan rukun wakaf yang harus dipenuhi, yaitu: wakif, nazhir,
harta benda wakaf, ikrar wakaf, kegunaan harta benda wakaf, dan
waktu pelaksanaan wakaf. Dikalangan para mujtahid ada perbedaan
pendapat dalam menentukan unsur yang merupakan rukun wakaf.
Meskipun berbeda, namun tetap sama pendapat untuk mengatakan
bahwa pembentukan lembaga wakaf diperlukan rukun sebagai penentu
tegaknya atau sisi terkuat dalam wakaf. Perbedaan dalam menentukan
unsur atau rukun wakaf ini merupakan implikasi dari perbedaan dalam
memandang substansi wakaf. Pengikut Hanafiah memandang bahwa
rukun wakaf hanyalah sebatas shighat (lafal) yang menunjukkan makna
atau substansi wakaf.
Sementara pengikut Malikiyah, Syafi‟iyah, Zaidiyah, dan
Hanabilah memandang bahwa rukun wakaf terdiri atas, waqif (orang
yang berwakaf), mauquf „alaih (orang yang menerima wakaf), harta
yang diwakafkan, dan lafal atau ungkapan yang menunjukkan proses
terjadinya wakaf (Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, 2004:87).
WAKAF DENGAN WASIAT
Apabila wakaf diberikan melalui wasiat, pelaksanaannya
dilakukan oleh penerima wasiat yang bertindak sebagai kuasa wakif
setelah orang yang berwasiat meninggal dunia. Wakaf melalui wasiat
dilakukan baik secara lisan mahupun tertulis yang disaksikan oleh
104
minimum 2 (dua) orang saksi yang memenuhi persyaratan dewasa,
beragama Islam, berakal sehat, dan tidak terhalang melakukan
perbuatan hukum. Jumlah atau nilai harta benda wakaf yang
diwakafkan dengan wasiat maksimum 1/3 (satu pertiga) dari jumlah
harta warisan setelah dikurangi dengan utang pewasiat, kecuali dengan
persetujuan seluruh ahli waris.
PENUKARAN DAN PERUBAHAN HARTA WAKAF
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 memberikan dasar
hukum terhadap penukaran harta benda wakaf. Penukaran dibenarkan
bila harta benda yang telah diwakafkan diguna untuk kepentingan
umum sesuai dengan rencana umum tata ruang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan syariah.
Selain itu, penukaran hanya boleh dilakukan setelah memperoleh izin
tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
Selanjutnya, harta benda wakaf yang telah diubah statusnya wajib
ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-
kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. Dalam pengurusan
dan pengembangan harta benda wakaf, nazhir pada dasarnya dilarang
melakukan perubahan harta benda wakaf, kecuali atas izin tertulis dari
Badan Wakaf Indonesia. Perubahan kegunaan itu hanya boleh
diberikan apabila harta benda wakaf ternyata tidak boleh diguna sesuai
dengan kegunaan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.
PEMBERI WAKAF (WAKIF)
Wakif sebagai pihak yang mewakafkan harta benda miliknya
terlibat perseorangan, organisasi, atau kerjasama lembaga. Wakif
perseorangan boleh melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan
dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum,
105
dan pemilik sah harta benda wakaf. Dari syarat wakif ini tidak ada
ketentuan bahwa wakif harus beragama Islam, yang boleh diartikan
bahwa pemberi wakaf (wakif) boleh bukan orang Islam. Manakala
wakif organisasi atau kerjasama antar lembaga boleh melakukan wakaf
apabila memenuhi ketentuan organisasi atau kerjasama antar lembaga
untuk mewakafkan harta benda wakaf miliknya sesuai dengan anggaran
dasar masing-masing.
PENERIMA WAKAF (NAZHIR)
Nazhir sebagai pihak yang menerima harta benda wakaf dari
wakif untuk pengurusan dan dikembangkan sesuai dengan kegunaan,
terlibat perseorangan, organisasi, atau kerjasama antar lembaga. Nazhir
perseorangan harus memenuhi persyaratan warga negara Indonesia,
beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani,
serta tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Untuk organisasi
dan kerjasama antar lembaga, selain memenuhi persyaratan nazhir
perseorangan juga harus memenuhi syarat bahwa organisasi atau
lembaga itu bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan
dan/atau keagamaan Islam. Manakala nazhir kerjasama antar lembaga,
maka lembaga itu merupakan kerjasama antar lembaga di Indonesia
yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam melaksanakan tugasnya, nazhir mendapat pembinaan
dan terdaftar pada Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia.
BADAN WAKAF INDONESIA
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 membawa hal baru yaitu
membentuk Badan Wakaf Indonesia yang merupakan lembaga
independen dalam melaksanakan tugas di bidang perwakafan. Badan
ini melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap nazhir, melakukan
106
pengurusan dan pengembangan harta benda wakaf skala nasional dan
internasional, memberikan persetujuan atas perubahan kegunaan dan
status benda wakaf dan pemberian saran serta pertimbangan kepada
Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
PENYELESAIAN SENGKETA WAKAF
Dalam penyelesaian sengketa perwakafan, menurut Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, boleh diselesaikan
melalui musyawarah untuk mencapai mufakat maupun melalui mediasi,
arbitrase atau pengadilan. Peraturan yang ada sebelumnya lebih
memfokuskan penyelesaian sengketa perwakafan melalui lembaga
peradilan semata, seperti Pasal 226 Kompilasi Hukum Islam. Dengan
demikian penyelesaian sengketa wakaf boleh dilakukan, baik melalui
proses peradilan (litigasi) maupun melalui forum di luar proses
peradilan (nonlitigasi).****
107
HAK–HAK PEREMPUAN MENURUT
PERUNDANG–UNDANGAN DI INDONESIA
Dra. Hj. Rosmawardani Muhammad, S.H
Hakim Pengadilan Tinggi Agama Medan
PENDAHULUAN
Ada dua hal yang paling rinci dalam Al Quran. Pertama, hal yang
menyangkut dengan perkawinan. Kedua, hal yang menyangkut dengan
kewarisan. Dua hal ini berinduk pada hukum keluarga. Allah Swt
sangat memahami bahwa kedua hal ini sangat sensitif dalam kehidupan
manusia.
Al Quran memuat 47 ayat yang mengatur tentang perkawinan dan
7 ayat yang membahas tentang pewarisan, Pengaturan yang penuh
persuasif atau juga ketegasan ketegasan yang menunjukkan betapa
penting pengaturan di bidang hukum keluarga.
Dalam kaitannya dengan hukum keluarga, ada tiga isu penting
yang menonjol baik karena faktor eksternal sesuai dengan
perkembangan peradaban dan terbukanya arus informasi global dari
dan ke seluruh penjuru dunia, maupun karena faktor internal yang
berupa masih adanya praktek prilaku dalam keluarga dan rumah
tangga yang bertentangan dengan rasa keadilan dan kemanusiaan
sekaligus pula bertentangan dengan kehendak Allah Swt sebagai
pencipta manusia.
Tiga isu tersebut adalah penegakan hak asasi manusia (HAM),
kesetaraan gender, dan perlindungan anak. Dari isu tersebut, yang
paling mendapat perhatian adalah kesetaraan gender karena itu
108
pemerintah Indonesia 15 tahun sebelum mengeluarkan Undang–
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada
Tahun 1984 telah membuat Undang–Undang tentang Pengesahan
Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
(Convention on The Elimination of Discrimination Against Women).
Dalam Pasal 16 konvensi ini dengan tegas dinyatakan bahwa negara
negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan
yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan.
Dra. Hj. Rosmawardani, S.H. disela-sela acara seminar.
Dalam Pasal 3 Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) keadilan dan
kesetaraan gender dijadikan salah satu asas dari undang–undang ini.
Peradilan Agama sebagai peradilan yang berwenang mengadili perkara
perkara di bidang hukum keluarga sangat berkepentingan dengan isu–
isu terutama tentang kekerasan dalam rumah tangga. Ada dua hal yang
merekomendasi kan kepentingan ini. Pertama karena faktor internal,
yaitu masih adanya praktik prilaku dalam pergaulan rumah tangga dan
109
keluarga yang bertentangan dengan rasa keadilan dan kemanusiaan.
Kedua, Pengadilan Agama diharapkan berhasil membuat produk–
produk hukum atau putusan yang bersifat penemuan hukum atau
konstruksi hukum yang progresif, maka putusan itu akan menjadi
produk hukum monumental dalam pembaruan hukum keluarga, serta
akan mendorong hakim lebih aktif melakukan pembaruan–pembaruan,
mengingat tidak mudah menerapkan pembaruan hukum di tengah
masyarakat yang teguh menerapkan aturan aturan agama yang
konservatif. Masyarakat ada kemungkinan akan lebih percaya kepada
fatwa yang kaku dibandingkan dengan putusan pengadilan yang penuh
dengan uraian analisis hukum agama.
HAK–HAK PEREMPUAN DALAM SYARIAT ISLAM
Hukum Islam yang berkaitan dengan keluarga dalam kitab–kitab
fikih lama (terdahulu) sering menjadi sasaran kritik sebagai produk
yang bias gender. Hal tersebut, karena menempatkan perempuan dalam
kedudukan yang subordinatif, misalnya suami boleh memukul istri, dan
aturan lainnya yang dianggap bias gender. Belum ada uraian makna
―pukul‖ dalam ayat Al Quran. Pada hal ayat Al Quran yang menyebut
dharabu tidak hanya pada ayat yang berkaitan dengan yang
diterjemahkan memukul istri.
Struktur masyarakat Arab sebelum Islam merupakan masyarakat
kesukuan, sementara hukum yang berlaku adalah hukum adat yang
berciri patriatchat dimana status perempuan pada umumnya sangat
rendah, perempuan dapat diwarisi, poligami dan perceraian tanpa batas,
dibolehkan kawin kontrak dengan mengabaikan perempuan tanpa
punya hak apapun. Islam telah menerapkan konsep yang sebenarnya
110
sangat bertentangan dengan konsep pemahaman bangsa Arab pada
waktu itu.
Islam datang mengubah hukum yang tidak berkeadilan dan
memposisikan kesamaan derajat perempuan dengan laki–laki di
hadapan Allah Swt, siapa saja yang beriman dengan Allah Swt apakah
itu lelaki atau perempuan, maka akan mendapat pahala kenikmatan di
sisi Allah Swt (QS. Ali Imran : 195).
Demikian pula perempuan yang telah diberikan hak yang sama
dengan laki–laki untuk mendapat hak kebendaan (QS. An Nisa : 7).
Allah Swt menciptakan manusia berpasang-pasangan untuk
membentuk keluarga sakinah yang dilandasi cinta dan kasih sayang
(QS. Ar Rum : 21) agar melahirkan keturunan sebagai generasi penerus
(QS. An Nisa : 1).
Di antara misi manusia diturunkan di muka bumi ini ialah sebagai
khalifah Allah untuk memakmurkannya serta membentuk budaya di
muka bumi untuk melaksanakan misi tersebut Allah Swt
menganugerahkan insting, pancaindera, akal, ilmu, agama, wahyu, dan
bimbingan langsung dari Nya. Di antara insting yang dianugerahkan
tersebut adalah cinta kepada lain jenis, keturunan, dan harta kekayaan,
sebagaimana yang diinformasikan oleh Al Quran surah Ibrahim. Ayat
tersebut juga mengisyaratkan bahwa manusia yang berbudaya sebagai
khalifah Allah Swt secara fitri selalu hidup dalam masyarakat yang
diatur oleh norma-norma sosial. Isyarat ini ditegaskan dalam surah Al
Hujurat ayat 13. Dalam ayat tersebut Allah Swt menginformasikan
bahwa manusia diciptakan terdiri atas laki laki dan perempuan,
berbangsa- bangsa, dan bersuku–suku untuk saling berinteraksi.
111
Untuk berinteraksi tersebut dibutuhkan norma–norma sosial atau
lembaga–lembaga sosial. Surah Al-Maidah ayat 31 memberikan isyarat
bahwa lembaga sosial yang tertua adalah lembaga perkawinan, dan
pelanggarannya menimbulkan kejahatan besar, yaitu anak Adam
membunuh saudaranya sendiri. Dalam membina rumah tangga ada
pasangan suami istri yang mampu mempertahankan rumah tangganya
sampai akhir hayatnya dan ada pula yang putus di tengah jalan.
Islam memberikan jalan keluar bagi yang tidak mampu
mempertahankan rumah tangganya dengan jalan perceraian, namun
perceraian itu adalah jalan terakhir kalau seandainya perkawinan
tersebut tidak mungkin dapat dipertahankan lagi. ‖Perbuatan halal yang
dibenci Allah ialah perceraian. ―Apabila rumah tangga sudah tidak bisa
dipertahankan lagi, maka suami ada kesempatan untuk mengajukan
penjatuhan talak. Tetapi, bila suami tidak melaksanakan tanggung
jawab, maka istri boleh menggugat cerai suaminya.
Konsep ini telah dikembangkan di Indonesia sejak Tahun 1974.
Suami yang bermaksud menjatuhkan talak tidak boleh merendahkan
martabat perempuan, tidak boleh marah–marah, melakukan pembiaran,
dan mengabaikan hak-hak yang harus diberikan, karena perempuan
yang dinikahi itu adalah amanah Allah Swt. Suami tidak boleh
mengambil kembali apa yang telah diberikan kecuali istri rela
mengembalikannya. Suami tidak boleh menghambat bekas istrinya
untuk menikah lagi setelah habis masa idahnya. Suami yang
menceraikan istrinya wajib memberikan nafkah iddah, mut'ah dengan
makruf dan menyediakan tempat tinggal.
112
Perceraian dalam Islam tidak boleh menjadi bencana dalam
rumah tangga, oleh karena itu perceraian harus dilakukan dengan
makruf sebagaimana Allah Swt berfirman :
‖Talak itu dua kali setelah itu boleh ruju‟ lagi dengan cara yang
makruf atau menceraikannya dengan cara yang baik ‖ (QS. Al Baqarah
: 229).
Jamila atau ikhsan atau dengan cara–cara yang lebih baik.
Menurut Quraish Shihab, ikhsan itu kedudukannya lebih tinggi dari
adil, karena ikhsan itu memperlakukan orang lain lebih baik dari
perlakuan terhadap dirinya sendiri, sedangkan adil memperlakukan
sama orang lain dengan dirinya.
Ayat–ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah Swt sangat
perhatian terhadap perempuan, sehingga suami yang menjatuhkan talak
tidak boleh merendahkan martabat perempuan, harus menghormati dan
tidak boleh mengabaikan hak haknya, karena perempuan yang dinikahi
merupakan amanah dari Allah Swt.
HAK–HAK PEREMPUAN DALAM PERUNDANG–UNDANGAN
Setelah berlakunya Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan secara efektif, di kalangan umat Islam masih juga
terjadi pelanggaran terhadap undang–undang tersebut. Masih banyak
dilakukan perkawinan di bawah umur, poligami tanpa izin pengadilan
dan perkawinan sirri (di bawah tangan) tanpa pengawasan pegawai
pencatat nikah serta tidak dicatat. Hal ini terjadi, karena ajaran
perkawinan yang mereka terima tidak mengharuskan adanya pencatatan
nikah. Perkawinan dengan istri kedua, poligami tidak seizin pengadilan
juga tentunya tidak ada pencatatan. Mereka berani melanggar undang–
113
undang tersebut karena dendanya terlalu rendah, padahal pencatatan
perkawinan adalah perlindungan terhadap perempuan.
Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang–Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua
dengan Undang–Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama juga mengatur masalah perceraian.Dalam peraturan perundang-
undangan tersebut tidak hanya memberikan hak perceraian kepada
suami (laki–laki) saja, akan tetapi juga diberikan kepada perempuan.
Ada yang lebih khusus lagi dimana dalam undang–undang
tersebut menurut Pasal 66 dalam perkara cerai talak, permohonan harus
diajukan di tempat tinggal termohon (istri) dan dalam perkara gugat
cerai menurut Pasal 72 gugatan diajukan di tempat tinggal penggugat.
Selain itu, dalam undang–undang ini juga diatur hak–hak perempuan
pasca perceraian, seperti hak nafkah iddah, mut‟ah, nafkah yang lalu,
dan atas harta bersama, bahkan selama perkawinan istri berhak minta
disita harta bersama kalau suaminya pemboros. Istri berhak menuntut
mahar yang belum dibayar oleh suaminya, berhak melakukan tindakan
hukum terhadap harta miliknya (harta bawaan, hadiah, hibah).
Perlindungan terhadap hak–hak perempuan juga cukup banyak
tertampung dengan diundangkannya Undang–Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia berkaitan dengan
penguatan hak–hak perempuan terdapat dalam pedoman khusus, antara
lain:
114
1. Mendudukkan suami sebagai pihak dalam perkara permohonan
poligami, walaupun disebut sebagai perkara permohonan,
perkara poligami diperiksa secara kontensius.
2. Menentukan bahwa harta yang diperoleh selama dalam ikatan
perkawinan dengan istri pertama merupakan harta bersama
milik suami dengan istri pertama saja, sedangkan harta yang
diperoleh suami dengan istri kedua menjadi harta bersama milik
suami dengan istri pertama dan kedua, begitulah seterusnya.
3. Dalam perkara cerai talak hakim secara ex officio dapat
menetapkan kewajiban membayar nafkah iddah, mut'ah untuk
isteri yang dicerai walau tidak ada tuntutan untuk itu, selama
istri tidak terbukti nusyuz.
4. Dalam perkara cerai gugat hakim secara ex officio dapat
menetapkan kewajiban membayar nafkah iddah kepada istri
selama istri terbukti tidak nusyuz.
PENUTUP
Pembebanan kewajiban-kewajiban lainnya terhadap bekas istri,
seperti pembebanan nafkah iddah dan mut„ah walaupun tidak diminta,
tidak melanggar hukum acara dengan dasar untuk melindungi
perempuan sesuai asas Undang–Undang Perkawinan.
Di akhir tulisan ini, sesungguhnya hak-hak perempuan di
Indonesia tidak hanya terlindungi dengan peraturan perundang-
undangan, melainkan juga dilindungi oleh norma hukum, agama, dan
sosial kemasyarakatan.****
115
PENUTUP
ita telah melihat banyak problema yang dihadapi umat Islam
yang perlu dipecahkan sungguh-sungguh di zaman sekarang.
Dari soal ukhuwah Islamiyah yang masih rentan sampai soal
kepemimpinan dan keberanian mentransformasikan hukum Islam
dalam hukum nasional, ada celah-celah yang pantas kita benahi lewat
penelitian hukum dalam rangka mengadakan perbaikan dan perubahan-
perubahan mendesak dan perlu.
Sudah tiba saatnya umat Islam tidak hanya jadi penonton, tetapi
pemain yang bergulat dengan segala macam problema dunia.
Mampukah umat Islam tampil kembali sebagaimana pada zaman
keemasan dulu? Sudah siapkah kita untuk memimpin dunia?
Umat Islam Indonesia adalah potensi sumber daya manusia
Islam terbesar di dunia. Indonesia adalah negara yang seluruh
penduduknya beragama Islam kecuali beberapa persen saja. Dalam
sebuah negara demokrasi, seharusnya__
karena umat Islam
mayoritas__
Islam menjadi dominan secara kultural, ekonomi, maupun
politik. Kemudian umat Islam juga memiliki sumber daya alam__
tanah,
kebun, dan hasil ekspor. Umat Islam juga mempunyai sejarah
perjuangan yang cukup lama, sehingga tidak berlebihan kalau mereka
mengklaim negara ini sebagai hasil perjuangan mereka. Di samping itu,
umat Islam mempunyai organisasi-organisasi yang telah
berpengalaman dalam membina dan mengembangkan umat. Terakhir,
umat Islam mempunyai sejumlah ulama, cendekiawan, pengusaha,
hakim, politisi yang belakangan ini concern terhadap misi Islam.
K
116
Pelbagai potensi ini belum seluruhnya dioptimalkan, sumber
daya manusianya secara kualitatif masih sangat tertinggal oleh umat
Islam di negara-negara lain. Nilai-nilai Islam tidak menjadi rujukan
utama dalam perilaku sehari-hari. Vatiakotis, wartawan Far Eastern
Economic Review, pernah berkata, "Saya sering lupa bahwa saya
berada di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam."
Mengapa? Karena dia tidak melihat nilai-nilai Islam tersosialisasi di
masyarakat. Pengetahuan__
baik keislaman maupun non-keislaman__
di
masyarakat kita masih rendah. Seperti pernah dikatakan Nurcholish
Madjid, kita lebih banyak menjadi konsumen ketimbang produsen
ilmu.
Yang sering menyedihkan kita ialah kenyataan bahwa di
samping mempunyai sejarah perjuangan yang panjang, kita pun
mempunyai sejarah perpecahan yang panjang juga. Fanatisme golongan
seringkali menghancurkan potensi ini. Akibatnya, kita tidak pernah
mempunyai pemimpin__
baik ulama, hakim, cendekiawan, akademisi,
maupun politisi__
yang dapat diterima oleh semua golongan. Tidak perlu
disebutkan bahwa keadaan ini telah melemahkan juga penggunaan
sumber daya alam yang kita miliki.
Sebagai penutup buku ini, berdasarkan penelitian seperlunya,
hukum Islam dua Negara (Indonesia dan Malaysia) khususnya hukum
keluarga Islam dan hukum perwakafan dalam Islam secara luas dan
sistematis, berlaku di negara-negara kawasan Asia Tenggara, bahkan
negara Islam dunia. Secara umum dan garis besar, hukum keluarga
Islam dan hukum perwakafan yang berlaku di Indonesia dan Malaysia
adalah sama. Kalaupun ada perbedaan di sana-sini, maka perbedaan itu
117
lebih banyak berhubungan dengan soal-soal teknis-administratif
daripada perbedaan-perbedaan yang bersifat filosofis-yuridis.
Persamaan-persamaan itu terutama disebabkan sumber
hukumnya yang sama, yaitu Al-Quran dan Al-Hadis, sementara
perbedaannya lebih disebabkan yang sedikit banyak turut
mempengaruhi perbedaan-perbedaan hukum keluarga Islam secara
sosiologis dan kultural.
Demikianlah ringkasan dan kesimpulan yang menjadi penutup
dari buku ini. Dengan harapan, sekali lagi semoga kehadiran buku ini
benar-benar memberikan sumbangan berharga bagi perkembangan
hukum Islam di Tanah Air Indonesia tercinta, dan pada saat yang
bersamaan juga benar-benar memberikan manfaat (nilai guna) bagi
para pembacanya. Amin, ya Mujibas-sa'ilin, wal-hamdulillahi rabbil-
'alamin.
118
BIOGRAFI SINGKAT
A. PENULIS
Drs. H. Wahyu Widiana, M.A, dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat, 18 September 1952. Pendidikan formal ditempuh mulai Sekolah Dasar Negeri Ciawi, Tasikmalaya (1965), SMP Negeri Ciawi Tasikmalaya (1968), SMA Islam Cipasung jurusan Paspal (1971), S1 jurusan Peradilan Agama Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1977), dan S2 Near Eastern Studies
University of Michigan Amerika Serikat (1990).
Selain pendidikan formal, penggigat olahraga tenis lapangan ini juga banyak mengenyam pendidikan dan pelatihan (non formal) baik di dalam negeri maupun luar negeri, antara lain Pendidikan Hakim 10 hari, PTA Bandung (1980), Pendidikan Perkantoran 2 minggu, PTA Bandung (1981), P4 2 Minggu, BP7 Jakarta (1984), Sekolah Pimpinan Administrasi Tk. Lanjutan (SPALA) 3 bulan, Depag/LAN Jakarta (1985), Training of English for Academic Purpose I,5 bulan, British Council Jakarta (1986), Training of English for Academic Purpose II 3 bulan, Australian LC Jakarta (1987), Training of Management/Computer 2 bulan, PPM Jakarta (1987), Tarpadnas 2 minggu, BP7 Jakarta (1991), Sekolah Pimpinan Administrasi Tk. Madya (SPADYA), Depag/LAN Jakarta 3 bulan (1994), Diklat Pimpinan Tk. II Nasional/SESPANAS 3 bulan, LAN Jakarta (2001), Educational Policy and Planning Program 1 bulan, Simon Fraser University, Vancouver, Canada (2001), Pelatihan Hakim di Mesir (2002), Pelatihan IT dan Mediasi di Family Court Australia 2 Minggu (2005), Pelatihan perbandingan Hukum Keluarga di Southwestern University, Los Angeles 2 Minggu (2006), serta masih banyak lagi.
Beliau memulai pekerjaan dari bawah, sebagai staf pada Pengadilan Agama Jakarta Utara (1978-1981), Hakim Anggota Tidak Tetap (Hakim Honor) PA Jakarta Utara (1981-1982), Kepala Seksi Hisab Rukyat pada Ditbinpera (1981-1991), Kasubdit Pertimbangan Hukum Agama & Hisab Rukyat (Agustus 1991 - Mei 1996), Kasubdit Penelitian & Pengabdian Masyarakat (Mei 1996-
119
Desember 1996), Kepala Hubungan & Kerjasama Luar Negeri (Desember 1996-November 1998), Kepala Bagian Tata Usaha Pimpinan (November 1998-September 1999), Staf Ahli Menteri Bidang Kerukunan Umat Beragama (September 1999-Mei 2000), Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama (Dirbinbapera) pada Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (Mei 2000-Juni 2001), Direktur Pembinaan Peradilan Agama (Dirbinpera) pada Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji (Juni 2001-2005), dan sekarang dipercayakan sebagai Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI.
Penguasaan beliau dalam bidang manajemen dan kepemimpinan, IT, dan diplomasi, berhasil mengantarkan Badan Peradilan Agama di Indonesia menjadi maju, modern, dan mandiri secara nasional dan internasional. Karya tulis beliau, baik dalam bentuk buku, makalah seminar dan pelatihan, artikel, dan ulasan jurnalistik, tersebar di berbagai media cetak dan elektronik, dalam dan luar negeri.
*****************
Drs. H. Soufyan M. Saleh, S.H, dilahirkan di Banda Aceh, 7 Juli 1947. Pendidikan formal ditempuh mulai SRIN 6 tahun (1961), SMI/SMIA (1964), SP.IAIN (1966), Diploma III IAIN Djamiah Ar-Raniry Darussalam jurusan Hukum Islam (1970), S1 jurusan Qadha Fakultas Syari'ah IAIN Ar-Raniry Aceh (1975), dan S1 Fakultas Hukum UNSAM (1988).
Kursus dan pelatihan yang pernah diikuti, antara lain Sepadya Depag XIV (Februari 1984), Pendidikan Hakim Senior Pengadilan Agama Angkatan I (Desember 1991), Sespanas (Januari 1995), dan masih banyak lagi.
Dalam bidang pekerjaan, beliau mengawali karirnya sebagai CPNS/Cakim pada Mahkamah Syar'iyah IDI (1976), Hakim Mahkamah Syar'iyah IDI (1978), Wakil Ketua Mahkamah Syar'iyah IDI (1978), Ketua Mahkamah Syar'iyah IDI (1980), Ketua Mahkamah Syar'iyah Langsa (1984), Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Medan (1992), Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jambi (1997), Ketua Mahkamah Syar'iyah Persiapan di NAD (2000), Ketua Pengadilan Tinggi Agama Banten (2008), dan
120
sekarang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Agama Medan sejak 12 Maret 2010.
Pak Kiai, (sebutan beliau menurut berbagai sumber) adalah seorang hakim yang ulama dan ulama yang juga hakim, pelaku sejarah terbentuknya Mahkamah Syar'iyah Aceh, dan pemimpin yang kharismatik. Beliau tidak hanya berada dibalik layar, tetapi berdiri tegak di depan untuk memperjuangkan nilai-nilai hukum dan keadilan. Hal itu terbukti dari kepemimpinan beliau di pelbagai Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Syar'iyah di Aceh.
Dalam bidang tulis-menulis, karya pak 'Yan' tersebar di berbagai media massa cetak dan elektronik. Hasil karya dalam bentuk buku, makalah seminar, dan artikel ilmiah, banyak menjadi referensi dan panduan para praktisi hukum, akademisi, dan ulama. Di usianya yang tidak muda lagi, beliau masih konsisten melakukan outer journey (perjalanan ke luar) dalam rangka mencari masukan terhadap perubahan hukum dan keadilan, khususnya hukum Islam di Tanah Air Indonesia, dan buku ini salah satu hasil rihlah beliau.
****************
Prof. Dr. H. A. Hamid Sarong, S.H, M.H, dilahirkan di Aceh Utara, 12 Oktober 1949. Pendidikan formal dimulai sejak tahun 1977 pada jenjang S1 jurusan Perdata/Pidana Islam Fakultas Syari'ah IAIN Ar-Raniry Aceh, S1 jurusan Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (1981), S2 Ilmu Hukum pada Universitas Indonesia Jakarta (1993), dan S3 Ilmu Hukum pada Universitas Sumatera
Utara (2008).
Pendidikan non formal berupa pelatihan profesional, antara lain Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter, ICRC delegasi Indonesia (2006), Training Leadership and Management for Senior Leader pada Center Education of Leadership (CEL), Mc. Gill University of Canada (2007), Pelatihan Pluralisme Hukum Analisis Hukum Islam, kerjasama Kanada dan IAIN Ar-Raniry (2008), Mediation Training di Jakarta, Pusat Mediasi Nasional (2009), dan masih banyak lagi.
121
'Buya' Hamid Sarong, mengawali karirnya sejak tahun 1993-2000 sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Syari'ah IAIN Ar-Raniry, Dekan Fakultas Syari'ah IAIN Ar-Raniry (2000-2008), dan sekarang menjabat sebagai Guru Besar Hukum Islam IAIN Ar-Raniry Aceh.
Suami dari Dra. Hj. Rosmawardani Muhammad, SH (Hakim PTA Medan) ini, banyak meluangkan waktu dengan melakukan beragam macam penelitian, yaitu sebagai Ketua Tim Penelitian tentang Formalisasi Syariat Islam di Aceh, sumber dana BRR (2008), dan penelitian tentang Pola Penguatan Akidah Umat Islam, sumber dana Dinas Syari'at Islam Aceh (2010).
Karya tulis beliau, antara lain: Hukum dan Politik; Prospek Keberlakuan Hukum Islam di Indonesia (2008), Mediasi dan Arbitrase; Tantangan Kurikulum Fakultas Syari'ah dan Hukum (2009), Pencatatan Pernikahan; Pembaharuan Hukum Keluarga di Indonesia (2010), dan masih banyak lagi.
**************
Prof. Dr. Raihanah binti Haji Abdullah, adalah profesor madya bidang Syari'ah pada Akademi Pengajian Islam Departement of Syari'ah and Law University of Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Mengawali karir akademiknya pada Bachelor of Syariah (HONS), University of Malaya, MA (Islamic Societies and Cultures)(SOAS), UNIVERSITY OF LONDON, UK, dan PhD(IIUM), UNIVERSITI ISLAM
ANTARABANGSA (UIAM).
Profesor yang menggeluti kajian isu gender, hukum keluarga Islam dan hukum Islam kemasyarakatan ini, mengawali karirnya sebagai Anggota Panitia Penasehat Akademik pada Institute of Higher Learning, Department of Syariah And Law, Academy of Islamic Studies (1993 – 1994), Anggota Panitia Dana Sosial Mahasiswa Universiti Malaya (2008-2009), Anggota Panitia Workshop Penelitian Kehakiman, Department of Syariah And Law, Academy of Islamic Studies, University of Malaya (2000), Auditor Internal pada Universiti Malaya (2007-2009), dan Guru Besar Syari'ah dan Hukum (Syari'ah and Law) pada Universiti Malaya.
122
Sebagai seorang profesor ahli, beliau banyak menulis dan menghasilkan karya ilmiah. Baik dalam bentuk buku, hasil editor, jurnal ilmiah, makalah seminar, simposium, workshop, pendidikan dan pelatihan, bahan kuliah, dan esai di berbagai media massa terbitan Malaysia, Australia, Kanada, dan Inggris. Salah satu karya ilmiah beliau yang terbaru (2010), adalah; Wanita Islam di Malaysia Selepas 50 Tahun Kemerdekaan: Pencapaian dan Cabaran (peny.), Wanita Islam: Isu-isu dan Pemerkasaan Hak, Selangor: Persatuan Ulama Malaysia (2010), Wanita Islam dan Isu-Isu Gender Masa Kini (Muslim Women and Contemporary Gender Issues) (peny), Wanita Islam: Isu-isu dan Pemerkasaan Hak, Selangor: Persatuan Ulama Malaysia (2010).
Sekedar informasi untuk bertukar sapa, Profesor bidang kajian hukum keluarga Islam dan isu gender ini dapat dihubungi melalui alamat korespondensi: Department of Syariah and Law, Academy of Islamic Studies Building, University of Malaya, 50603 Kuala Lumpur, MALAYSIA. Email: [email protected]
****************
Prof. Dr. Siti Mashitoh binti Mahamood, adalah profesor madya bidang kajian hukum wakaf, zakat, wasiat, hibah, dan manajemen syari'ah. Beliau mengawali karir akademiknya pada Bachelor of Syariah (HONS), UNIVERSITY OF MALAYA (UM), Master of Syariah pada UNIVERSITY OF MALAYA (UM), dan PhD, pada BIRMINGHAM UNIVERSITY, BIRMINGHAM, UK.
Karirnya dimulai sebagai konsultan hukum pada Syarie Lawyers And Law Consultancy, (2005), As-Salihin Trustee Bhd, Member of Shariah Committee, (2005), dan Guru Besar pada Department of Awqaf, Zakat and Hajj (JAWHAR) University of Malaya, Kuala Lumpur Malaysia sejak tahun 2005.
Sang profesor termasuk salah satu ahli bidang hukum wakaf, zakat, haji, dan manajemen syariah yang aktif menulis buku, jurnal ilmiah, melakukan penelitian dalam dan luar negeri, mengajar, dan pengabdian kepada masyarakat. Karya tulis beliau, yaitu; Waqf in Malaysia: Legal dan Administrative Perspectives, Kuala
123
Lumpur: UM Press; (2002), Pelaksanaan Istibdal Dalam Pembangunan Harta Wakaf di Malaysia, (The Implementation of Istibdal in the Development of Wakaf Property in Malaysia), Kuala Lumpur: Syariah dan Law Department, Academy of Islamic Studies, University of Malaya (2001), Bagaimana Membuat Wakaf (How to Constitute Wakaf), KL: Syariah dan Law Department, Academy of Islamic Studies, University of Malaya.
Beliau dapat dihubungi; Department of Syariah and Law, Academy of Islamic Studies University of Malaya, 50603 Kuala Lumpur, MALAYSIA. Email : [email protected]
****************
Drs. H. Almihan, S.H., M.H., dilahirkan di Kampung Tempel, 2 Agustus 1960. Pendidikan formal dimulai sejak Sekolah Dasar tahun 1973, kemudian SLTP (1976), SLTA (1981), S1 Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara Medan (1989), S1 Fakultas Hukum UMSU Medan (1989), dan S2 Ilmu Hukum Program Pascasarjana UMSU Medan (2006). Mengawali karirnya sebagai CPNS (1992), PNS
(1993), Hakim (1995), dan sekarang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama Binjai sejak 3 September 2004. Pendidikan dan pelatihan yang pernah diikuti, antara lain DIKLAT PIM Tk. III selama 45 hari yang diselenggarakan oleh Pusdiklat DEPAG RI, Diklat teknis Orientasi Peningkatan Kemampuan Kepemimpinan Ketua Pengadilan Agama, selama 3 hari yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI, Pendidikan Calon Hakim selama 11 bulan, diselenggarakan oleh Direktorat Peradilan Agama. Beliau beralamat di Jalan Palembang No.24 Binjai-Sumatera Utara, dalam kesibukannya masih menyempatkan diri untuk menulis artikel, opini, dan esai di berbagai media cetak dan elektronik, baik terbitan internal PTA Medan, www.badilag.net, maupun lokal. Tulisannya dalam buku ini, salah satu karya ilmiah dari hasil penelitian di Malaysia.
**************
124
Dr. Suhrawardi K Lubis, S.H., Sp.N., M.H, dilahirkan
di Desa Baru Pasaman Barat, Sumatera Barat, 15 Juni tahun 1962. Setelah menyelesaikan Sekolah Dasar Negeri di Silayang Kecamatan Ranah Batahan (1974), Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah (1978) dan Madrasah Aliyah Muhammadiyah (1981) di Silaping Kecamatan Ranah Batahan, melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara (UMSU) Medan dan tercatat sebagai alumni Pertama (1987), menyelesaikan pendidikan Spesialis Notariat di Universitas Sumatera Utara (1998) dan menamatkan pendidikan Program Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan telah menyelasaikan pendidikan Doktor Falsafah/Ph.D di Universiti Sains Malaysia Pulau Pinang.
Suhrawardi pernah bekerja sebagai Guru SD Muhammadiyah di Jalan Mandailing Medan (1981), Kepala Bagian Tata Usaha di FKIP-UMSU Medan (1984-1987), Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FKIP-UMSU Medan (1987-1989), Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Hukum UMSU (1989-1991), Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Hukum UMSU Medan (1991-1996), Dekan Fakultas Hukum UMSU Medan (1996-2004) Pembantu Rektor Bidang Administrasi dan Keuangan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (1994-sekarang). Kini tercatat sebagai Dosen Tetap (Lektor Kepala) pada Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
Selain aktif sebagai tenaga pengajar, beliau juga aktif menggeluti profesi hukum yaitu Pengacara dan Konsultan Hukum (1987-1998) dan sebagai Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah di Deli Serdang (1989-sekarang), dan kini tercatat sebagai Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah Notaris Deli Serdang (2006-2009).
Sebagai aktivis, beliau juga aktif di berbagai organisasi profesi, seperti pada Ikatan Notaris Indonesia (INI), Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), dan juga pernah aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IRM), Ikatan Mahasiswa
125
Muhammadiyah (IMM), Pemuda Muhammadiyah (PM), sekarang aktif di Persyarikatan Muhammadiyah sebagai Bendahara Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara (2005-2010) setelah sebelumnya tercatat sebagai Kordinator Bidang Hukum dan HAM dan Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara (2000-2005).
Dalam bidang riset, beliau pernah melakukan penelitian tentang Assimilasi Hukum Perkawinan Adat Minangkabau dan Mandailing di Ujung Gading Kabupaten Pasaman (Skripsi Sarjana Fakultas Hukum UMSU), Kontribusi Hukum Islam Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi di Indonesia (Tesis Program Magister Ilmu Hukum UMJ), dan penelitian lainnya yang berhubungan dengan tugas-tugas sebagai tenaga pengajar di Perguruan Tinggi.
Beberapa karya tulisnya, tersebar di berbagai harian yang terbit di Medan, Majalah Media Hukum Fakultas Hukum UMSU dan Jurnal Madani yang diterbitkan oleh Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, dan menulis buku yang berjudul Etika Profesi Hukum, Hukum Ekonomi Islam, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Karya bersama Drs. H.Chairuman Pasaribu), Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis) (karya bersama dengan Komis Simanjuntak) diterbitkan oleh Penerbit Sinar Grafika Jakarta, dan sekarang sedang mempersiapkan penerbitan beberapa judul buku tentang hukum, khususnya bidang hukum ekonomi Islam.
**********
Dra. Hj. Rosmawardani Muhammad, S.H, dilahirkan di Aceh Utara, 8 Desember 1954. Mengawali pendidikan formal di Madrasah Ibtidaiyah (MIN), Madrasah Tsanawiyah (MTsN), Madrasah Aliyah, Sekolah Persiapan Ar-Raniry, S1 Fakultas Syariah IAIN Ar Raniry Aceh, S1 Fakultas Hukum Universitas Syah Kuala Banda Aceh, dan sekarang tengah
menyelesaikan Magister Ilmu Hukum (S2) Pascasarjana Universitas Pembangunan Panca Budi Medan. Istri dari Prof. H.A. Hamid Sarong ini, banyak mengikuti kursus singkat dan pelatihan, antara lain Kursus Penerapan Hukum Keluarga (Family Court Australia Tahun 2005), Orientasi
126
Peningkatan Kemampuan Kepemimpinan (Jakarta, 2007), Pelatihan Hukum dan Peradilan (Pemerintah Jerman, Tahun 2007), Pelatihan Mediasi (Jakarta, 2010), Training of Trainer Diklat Hakim Berkelanjutan ( Jakarta, 2011), Pelatihan Mengenai Hukum Keluarga : Kekerasan dalam Rumah Tangga, KDRT dan CEDAW bagi Hakim Mahkamah Syar’iyah(oleh Unifem Aceh di Banda Aceh, 2008), Seminar Nasional Hukum Materil Peradilan Agama antara Cita, Realita dan Harapan(Jakarta,2010), Seminar Internasional Hukum Keluarga (Medan, 2011).
Ibu tiga orang anak ini, sekarang menjabat sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Agama Medan dan beralamat di Jl. Hamzah Fansury No. 27 Dusun Utara Kopelma Darussalam, Aceh.
*********
B. PENYUSUN
Drs. H. Muhsin Halim, S.H., M.H., dilahirkan di Pasar Sorkam, 9 April 1954. Menyelesaikan studi S1 IAIN Sumatera Utara (1982), dan S2 pada Universitas Islam Riau. Pernah mengikuti pendidikan non formal, antara lain Diklat Hisab Rukyat (1993), Diklat Hakim Senior (1996), dan masih banyak lagi.
Suami dari Hadiana Marbun ini, mengawali karir sebagai Panitera Sekretaris PA Sidikalang (1984), Hakim PA Tanjung Balai (1998), Wakil Ketua PA
Gunung Sitoli (1992), Ketua PA Gunung Sitoli (1996), Ketua PA Tanjung Balai (1997), Ketua PA Sibolga (2002), Hakim Tinggi PTA Pekan Baru (2005), dan sekarang menjabat sebagai Hakim Tinggi PTA Medan.
Sebagai seorang Hakim, ayah tiga anak ini sangat aktif dan produktif menulis. Tulisannya tersebar di berbagai media cetak dan elektronik, baik internal Mahkamah Agung dan Badilag, maupun regional.
**********
127
Drs. Zulkifli Siregar, S.H,. M.H, dilahirkan di Langga Payung, 31 Desember 1965. Pendidikan Formal pada SDN Sei Sembilang (1972-1977), MTs. Darul Ulum Kisaran (1978–1981), MA Darul Ulum Kisaran (1981–1984), S I Fakultas Syari'ah IAIN Yogyakarta (1984–1989), S I Fakultas Hukum
UMSU (1995–1998), dan S2 Ilmu Hukum Program Pascasarjana UMSU Medan (2004–2006). Selain pendidikan formal, suami dari Dra. Eni Jamilah ini juga pernah menempuh kursus singkat dan pelatihan profesi, yaitu Latihan Pra Jabatan (1992), Pendidikan Calon Hakim (1992), dan pelatihan lainnya.
Ayah dari Reja El Hakim, Raihan Afiq, dan Alfan Mubarak ini, mengawali karirnya dari bawah sebagai CPNS di PA Balige (1992-1993), PNS di PA Balige (1993), Hakim di PA Balige (1995), Wakil Ketua PA Balige (2002-2006), Wakil Ketua PA Pematang Siantar (2006-2010), dan sekarang menjabat sebagai Ketua PA Kabanjahe sejak tahun 2010.
Sebagai seorang Hakim dan intelektual, beliau termasuk aktif menulis di berbagai media cetak dan elektronik, termasuk di website www.badilag.net. Beliau saat ini berdomisili di Jln. Kapten Selamat Ketaren No.19 Kabanjahe Email-Alamat Kantor Jalan Jamin Ginting No.73 Kabanjahe Telepon Kantor 0628-20503 Faximile 0628-324878.
**********
Drs. Muhammad Amin, S.H., M.H, dilahirkan di Lubuk Pakam, 6 Maret 1961. Mengawali pendidikan formal pada jenjang SD/Ibtidyah (1974), Tsanawiyah/MtsN (1977), MAS/MAN (1980), S I Fakultas Syari'ah UISU Medan (1991), S I Fakultas Hukum UNIVA (2004), S2 Magister Hukum UMJ (2004).
Pendidikan dan Pelatihan yang pernah diikuti, yaitu Pra Jabatan (1993), Pendidikan Calon Hakim (1993), Pelatihan Teknis Fungsional di Medan (2004), Pelatihan Teknis Yustisial di Medan,
128
Pelatihan Khusus Teknis Fungsional di Yogyakarta (2003), dan Pelatihan Sertifikasi Mediator di Bogor (2009).
Beliau mengawali karirnya, sebagai Hakim PA Binjai Tahun 1998– 2006, Hakim PA Lubuk Pakam Tahun 2006–2010, dan Wakil Ketua PA Kabanjahe Tahun 2010–sekarang. Tulisan beliau banyak bertebaran di sejumlah media cetak dan elektronik, termasuk di Newsletter Dinamika Yustisia PTA Medan, dan website www.badilag.net.
Alamat rumah saat ini, di Jl. Bakaran Batu, Desa Tumpatan, Gg. Sempali, Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
***********
C. EDITOR
Alimuddin, S.HI, dilahirkan di Palembang, 6 Jumadil Akhir 1402 Hijriyah. Mulai mengenyam pendidikan formal di Palembang pada Sekolah Dasar Muhammadiyah 6 Palembang (1992), Pondok Pesantren Darussalam (cabang Gontor) Tegineneng Lampung Selatan (1995), Madrasah Tsanawiyah Salafiyah Perguruan Al-Hikmah Lirboyo (1996),
MAPK Bandar Lampung (1999), S1 jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syari'ah IAIN Raden Fatah Palembang (2003), S2 Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Pembangunan Panca Budi Medan (proses).
Selain pendidikan formal, pernah mengikuti kursus singkat di luar kedinasan, antara lain; Intensive English Course, Bandar Lampung (1997), English First di Bandar Lampung (1998), Pelatihan Hukum Perlindungan Anak Korban Kekerasan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah Sumatera Selatan (2001), Kursus Pramuwisata Pemula, Disbudpar Sumsel dan Himpunan Pramuwisata Indonesia (2002), Diklat Kepengacaraan, Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Sumsel (2003), Diklat Jurnalistik, Lembaga Pers Ukhuwah (2003), Diklat Jurnalistik Radio, Tim News Radio Smart FM Palembang (2004), dan In House Training ESQ Ary Ginanjar Agustian (2004).
129
Pendidikan dan pelatihan non formal kedinasan, yaitu; Pendidikan dan Pelatihan Pra Jabatan Golongan III di Megamendung Bogor (2010), Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim di Megamendung Bogor (2010), dan Pelatihan Sertifikasi Mediator, kerjasama MA RI dan IICT (2010).
Mengawali karir (dinas) sebagai calon Hakim pada Pengadilan Agama Baturaja kelas IB pada tahun 2009, dan sekarang menjabat sebagai Hakim pada Pengadilan Agama Pandan kelas II sejak Desember 2011.
Pengalaman kerja dimulai sebagai wartawan, majalah Ukhuwah Palembang (2002), Reporter Berita, Radio Hangtuah FM Palembang (2003), Koresponden Berita, Radio Smart FM Palembang (2003), Redaktur Tabloid Madani Sumsel (2004-2005), Assisten Trainer ESQ Leadership Center, Ary Ginanjar Agustian di Jakarta (2005), Advokat magang pada Kantor Advokat dan Rekan Indra Kasyanto Pasaribu, SH, di Jakarta (2005-2006), dan terakhir menjadi Wartawan harian, koran Seputar Indonesia di Jakarta (2006-2008).
Karya tulis, baik sebagai penulis maupun editor yang pernah dipublikasikan, antara lain; Peran Jaksa di Pengadilan Agama Dalam Perkara Pembatalan Perkawinan, buku penerbit nulisbuku.com dan Limas (2012), Menggagas Masyarakat Madani di Indonesia (Editor), penerbit Madani (2006), Panduan Membela Klien dalam Perkara Perdata dan Pidana (Editor), penerbit LKBH APSI (2008), dan masih banyak lagi tulisan yang tersebar di media cetak dan elektronik, baik berupa artikel, opini, resonansi, maupun liputan jurnalistik (berita).
130