HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA
PENDERITA TUNA DAKSA
Leoni Dwi Andini
Christiana Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
LEMBAR PENGESAHAN
HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA
PENDERITA TUNA DAKSA
Oleh
Leoni Dwi Andini
802008018
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui pada tanggal: 18 Agustus 2015
Oleh:
Pembimbing Utama
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS
Diketahui oleh,
Kaprogdi
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS
Disahkan oleh,
Dekan
Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA
FKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACAN
SALATIGA
2015
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertandatangan dibawah ini:
Nama : Leoni Dwi Andini
Nim : 802008018
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Satya Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul:
HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DENGAN PENYESUAIAN
DIRI PADA PENDERITA TUNA DAKSA
Yang dibimbing oleh:
1. Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.
Adalah benar – benar hasil karya saya.
Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan
orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat
atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya sensiri tanpa memberikan
pengakuan kepada penulis atau sumber aslinya.
Salatiga,18 Agustus 2015
Yang memberi pernyataan
Leoni Dwi Andini
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda
tangan dibawah ini:
Nama : Leoni Dwi Andini
Nim : 802008018
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana
Jenis Karya : Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk diberikan kepada UKSW hal bebas
royalty non-eksklusif (non-exclusive free right) atas karya ilmiah saya berjudul :
HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DENGAN PENYESUAIAN
DIRI PADA ANAK TUNA DAKSA
Dengan hak bebas royalty-non exclusive ini, UKSW berhak menyimpan mengalih
media/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan
mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada tanggal 18 Agustus 2015
Yang menyatakan,
Leoni Dwi Andini
Mengetahui
Pembimbing Utama
Dr.Chr.Hari.S.MS.
HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA
PENDERITA TUNA DAKSA
Leoni Dwi Andini
Christiana Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
i
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari hubungan antara penerimaan diri dengan
penyesuaian diri pada anak tuna daksa. Hipotesis yang diajukan oleh peneliti yaitu ada hubungan
positif antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada anak tuna daksa. Metode penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan jumlah responden
sebanyak 30 anak. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala penerimaan diri
yang berjumlah 36 item, dan skala penyesuaian diri sebanyak 22 item. Berdasarkan hasil analisis
data diperoleh koefisien korelasi (r) 0,361; p=0,025 (p<0,005), sehingga hipotesis yang diajukan
diterima.
Kata kunci: penyesuaian diri, penerimaan diri, tuna daksa
ii
ABSTRACT
The purpose of this study was find the relationship between self – acceptance with adjustment
self on disabled children. The hypothesis proposed by the researchers that there is a positive
relationship between self-acceptance with adjustment on disabled children. Other research
method used in this research is quantitative method with respondents as many as 30 children.
Measuring instruments used in this study were self-acceptance scale, amounting to 36 items, and
the scale of adjustment as much as 22 items. Based on the analysis of data obtained correlation
coefficient (r) 0,361; p=0,025 (p<0,005), so the hypothesis is accepted.
Keyword: adjustment, self-acceptance, disabled
1
PENDAHULUAN
Anak berasal dari kata adolescene yang memiliki arti tumbuh untuk mencapai
kematangan, baik mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa anak ditandai dengan adanya
perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis dan sosial. Tugas-tugas yang harus
dipenuhi oleh anakakan membentuk suatu perubahan dalam diri anak, baik secara fisik maupun
psikologis (Hurlock, 2008). Reaksi anak terhadap perkembangan fisik dipengaruhi oleh
llingkungan dan kepribadiannya, serta interpretasi terhadap lingkungan (Monks, 2010).
Anak pada umumnya memiliki harapan, cita-cita, dan keinginan yang ingin diraih.
Harapan tersebut akan hilang apabila anak mengalami atau menghadapi masalah atau cobaan
yang dapat membuat hidupnya berubah dari kondisi semula. Setiap orang ingin dilahirkan dalam
keadaan yang sempurna dan normal, akan tetapi tidak semua orang mendapatkan kesempurnaan
yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik yang tidak dapat dihindari seperti kecacatan
atau kelainan.
Mereka yang memiliki kecacatan fisik, biasanya disebut tuna daksa. Tuna daksa sendiri
dibagi menjadi 2 kelompok besar oleh Dierektorat Pendidikan Luar Biasa, yaitu kelainan pada
sistem selebral (Celebral system), dan kelainan pada sistem otot dan rangka (Musculus Skeletal
System). Kelainan pada sistem otot dan rangka didasarkan pada penggolongan anak tuna daksa
yang mengalami kelainan pada anggota tubuh , antara lain: kaki, tangan dan sendi, kemudian
tulang belakang (Mangungsong, 1998). Tuna daksa jenis ini dibagi menjadi dua, yaitu : (1)
poliomylitis biasanya penderita polio mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan mengecil
dan tenaganya lemah., dan (2) Muscle Dystrophy anak mengalami kelumpuhan pada fungsi otot
yang sifatnya progresif, semakin hari semakin parah.
2
Pada dasarnya setiap manusia memiliki aspek fisik dan psikis. Aspek fisik pada penderita
Musculus Skeletal system memiliki keterbatasan atau ketidaksempurnaan. Kondisi tersebut
menyebabkan ruang gerak kehidupan penderita Musculus Skeletal system juga akan terbatas.
Menurut Piaget (dalam Somantri, 2006), anak tersebut tidak mampu memperoleh skema baru
dalam berpartisipasi dengan suatu laju perkembangan yang normal. Hal ini menyebabkan
kesenjangan antara anak-anak normal dan anak-anak tuna daksa musculus skeletal system
menjadi lebih jelas dengan bertambahnya besar anak tersebut. Kesenjangan ini akan lebih
Nampak pada masa anak dimana anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan
baik fisik maupun psikis.
Undang-undang Indonesia No. 4 tahun 1997 tentang penyandang Cacat, pasal 1 ayat 1
menjelaskan bahwa penyandang cacat adalah dimana setiap orang memiliki kelaina fisik dan /
atau mental yang dapat menggangu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan kegiatan secara layak, yang diantar lain : penyandang cacat fisik, penyandang cacat
mental, dan penyandang cacat fisik dan mental (Karyanta) .
Ikraputra (2002) mengungkapakan kata “cacat” secara tidak langsung menunjukkan suatu
diskriminasi yang tanpa disadari telah mempengaruhi sikap masyarakat sehingga timbul
perlakuan yang berbeda terhadap mereka yang cacat.Ketua panitia Hari Penyandang Cacat 2005,
Sakaril mengungkapkan bahwa,penyandang cacat mengahadapi banyak kendala, misalnya ada
diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat, adanya keterbatasan akses untuk fasilitas umum
dan kesempatan bekerja bagi mereka.
Akibat seringnya kendala yang penyandang tuna daksa dihadapi, maka mereka berfikir
bahwa mereka berbeda dengan orang yang normal. Pandangan seperti ini dapat mempengaruhi
pandangan individu tuna daksa tentang keberadaan pada dirinya, sehingga membuat para
3
penyandang tuna daksa tersebut merasa kurang bisa berfikir positif tentang keberadaannya,
sehingga akan mempengaruhi pula penerimaan diri individu tersebut terhadap keberadaannya.
Keterbatasan yang dimiliki serta anggapan negative dan perlakuan buruk yang diterima
dari masyarakat dapat menjadikan tuna daksa semakin rendah diridan menarik diri dari
lingkungan, bahkan tidak menutup kemungkinan mereka benar-benar menjadi orang yang tidak
berfungsi secara sosial dan tidak dapat merawat diri sendiri. Hal-hal ini yang pada akhirnya
mempengaruhi penilaian mereka mengenai kualitas hidup yang dimiliki.
Peneliti menjumpai fenomena yang terjadi, adanya gangguan yang dimilki oleh seorang
anak yang mengalami gangguan fisik atau tuna daksa yang tidak diterima oleh orang tua,
keluarga, dan bahkan lingkungan sekitarnya sehingga membuat seorang yang mengalami tuna
daksa ini kurang mampu bahkan tidak mampu menerima dirinya dengan keadaan yang tidak
sempurna.
Menurut hasil wawancara penulis terhadap dua orang ibu yang mempunyai anak tuna
daksa di SLB Wahid Hasyim Bringin, menunjukan bahwa penerimaan diri anak kurang maka
anak tersebut juga mengalami kesulitan untuk menyesuaikan dirinya dimana dia berada, mereka
merasa kurang percaya diri dengan keadaannya, kurang bisa menerima kritikan dan saran dari
orang lain, dan merasa bahwa dirinya selalu berbeda dengan orang lain.
Manusia dengan latar belakang apapun seharusnya bisa menerima dengan baik apapun
keadaan dirinya, karena apapu yang kita miliki adalah pemberian dari Tuhan bagaimanapun
keadaanya (Khoiri, 2012). Mampu menerima dirinya dengan mampu menerima pujian, kritikan,
dan hidup sebagaimana orang lain maka mereka yang mengalami tuna daksa juga tidak akan
merasa bahwa dirinya berbeda dengan orang lain.
4
Menurut salah seorang guru di SLB Wahid Hasyim Bringin, penerimaan diri seseorang
yang mengalami tuna daksa memang masih rendah. Karena kurangnya dukungan dari orang tua,
keluarga, dan lingkungan sekitar, bahkan terkadang mereka memaksakan anaknya untuk tidak
bergaul atau tidak memberikan penjelasan pada anak sehingga anak juga kurang mampu
menerima keadaanya. Ada juga yang orang tuanya merasa mau apabila memiliki anak yang tidak
sempurna seperti dirinya sehingga membuat sang anak hanya bisa terdiam tanpa ingin
menunjukan hal positif yang ada pada dirinya.
Mempunyai kecacatan fisik bila tidak disikapi dengan baik maka akan menimbulkan
kecemasan, kebingungan, bahkan mengalami stress dalam diri seseorang yang mengalami tuna
daksa. Belajar menerima keadaan, dalam hal ini menerima keadaan fisik yang tidak sempurna
seringkali seseorang cenderung melihat suatu peristiwa dari sisi negatife dan jarang sekali orang
melihat dari sisi positif. Ada 2 faktor yang mempengaruhi dalam proses penerimaan diri, yaitu :
(1) faktor keluarga yaitu adanya hubungan yang relative harmonis keluarga dan (2) faktor
lingkungan sosial yaitu didalam lingkungan sosial mengembangkan sikap perhatian, dukungan,
penerimaan, dan sikap empatik pada sesama manusia.
Wardhani(2012) menemukan terdapat hubungan yang sangat tinggi antara penerimaan
diri dengan penyesuaian diri terhadap anak yang mengalami cacat fisik (tuna daksa). Hal ini
menyatakan bahwa anak yang mengalami cacat fisik dapat menerima diri dan dapat
menyesuaiakan diri sehingga dapat perilaku yang matang nantinya akan dapat lebih mudah
menerima keadaannya.
Seseorang akan lebih sulit dalam penerimaan diri dalam menerima keadaanya yang
mengalami kekurangan, misalnya Musculus sceletal system, yaitu kecacatan yang ditunjukan
dengan keterbatatasan fungsi intelektual dan perilaku selama masa perkembangan atau sebelum
5
usia 18 Tahun. Penerimaan ditandai dengan sikap positif, adanya pengakuan atau penghargaan
terhadap nilai-nilai individu tetapi menyertakan pengakuan terhadap tingkah lakunya (Chaplin,
2000).
Penerimaan diri disini dimaksudkan adalah menerima dirinya dengan keterbatasan yang
diberi oleh Tuhan. Biasanya seseorang akan merasa sedih, kecewa, dan marah terhadap kondisi
yang serba terbatas pada dirinya. Ini membuat penerimaan diri pada penderita tuna daksa ini
semakin menjurus ke pemikiran negative pada dirinya sehingga membuat rasa percaya dirinya
berkurang dan akan berpengaruh pada punyesuaian diri untuk mampu bersosialisasi dan
berkomunikasi terhadap duania luar. Orang yang memiliki kecacatan fisik cenderung
mempunyai rasa malu, minder, serta kecemasaan terhadap penilaian orang lain terhadap dirinya.
Bahkan terkadang seseorang yang mengalami cacat fisik ini enggan untuk bersosialisasi.
Sheerer (Cronbach,1954) mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah sikap untuk
menilai diri sendiri dan keadaanya secara objektif, menerima segala yang ada pada dirinya
termasuk kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahannya. Aspek-aspek penerimaan diri
menurut Supratiknya (dalam Rahmawati) dan Sheerer (dalam Cronbach, 1954), meliputi
pembukaan diri, percaya kemampuan diri, kesehatan psikologis, orientasi keluar, bertanggung
jawab, berpendirian, dan menyadari keterbatasan.
Hurlock menyatakan bahwa penerimaan diri adalah suatu kesadaran individu tentang
karakteristik diri dan kemauan untuk hidup dengan keadaan dirinya. Ketika individu dapat
menerima dirinya akan terbentuk sikap yang positif terhadap suatu keadaan yang tidak
menyenangkan, sehingga individu mampu melihat keadaan yang dialaminya secara rasional,
tidak mudah putus asa atau menghindar dari keadaan yang dialami secara rasional, tidak mudah
6
putus asa atau menghindar dari keadaan yang tidak menyenangkan tetapi akan mencari jalan
keluar atas permaslahan yang dihadapi.
Penyesuaian diri menurut Schneiders (1964) merupakan satu proses yang mencakup
respon-respon mental dan gtingkah laku,yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi
kebutuhan,ketegangan,konflik,dan frustasi yang dialami didalam dirinya.
Menurut hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Septian Agung
(2005),menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif yang berarti antara penerimaan diri
dan penyesuaian diri. Adanya penerimaan tersebut mempengaruhi seseorang yang mengalami
tuna daksa untuk menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan luar. Semakin rendah rasa
penerimaan diri makan akan semakin rendah pula rasa untuk menyesuaikan diri terhadap
lingkungan luar.
Dan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Renaldhi Ardian Putra juga
menunjukan bahwa terdapat hubungan antara penerimaan diri dan penyesuaian diri pada
penderita tuna daksa.Dimana saat seseorang tidak ada dukungan untuk dapat memberi pengertian
tentang keadaan dirinya maka seseorang yang mengalami tuna daksa merasa stress dan membuat
penyesuaian dirinya terganggu.
Peneliti mengambil subjek anak yang mengalami cacat fisik atau Ketuna daksaan karena
pada penelitian sebelumnya beberapa peneliti lebih mengarah terhadap anak yang cacat mental,
sehingga peneliti tertarik mengambil dengan subjek lain.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas dalam latar belakang penelitian, maka
perumuan masalah adalah apakah ada hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri
pada anak yang mengalami tuna daksa.
7
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan tentang penerimaan diri
dengan penyesuaian diri anak yang mengalami tuna daksa. Diharapkan dapat membantu anak
yang mengalami tuna daksa supaya dapat menerima keadaannya dan dapat menyesuaikan dirinya
agar mampu menyingkirkan pikiran negative tentang keadaannya.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas,dapat dirumuskan masalah dalam
penelitian yaitu “Apakah ada hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada
penderita tuna daksa?”
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran ada tidaknya hubungan antara
penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada penderita tuna daksa.
Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan
antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri penderita tuna daksa.
Manfaat Praktis
►Bagi pembaca : Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan wacana agar lebih
menghargai orang-orang yang berada disekitarnya yang tidak sempurna dan menambah
pengetahuan agar dapat membatu sesamanya yang memilki tubuh yang kurang sempurna agar
dapat menerima dirinya dan mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
8
►Bagi peneliti :Manfaat bagi peneliti selanjutnya, adalah untuk bahan pertimbangan
untuk penelitian selanjutnya agar dapat dikembangkan semakin dalam.
TINJAUAN PUSTAKA
Penerimaan diri
Santrock (2008) menyatakan bahwa penerimaan diri sebagai salah satu kesadaran untuk
menerima diri sendiri dengan apa adanya. Sheerer (Cronbach (1954), dalam Nurul „Azizah)
mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah sikap untuk menilai diri dan keadaannya secara
objektif, menerima segala yang ada pada dirinya termasuk kelebihan-kelebihan dan kelemahan-
kelemahannya.
Penerimaan diri ini bukan berarti seseorang menerima begitu saja kondisi dirinya tanpa
berusaha mengembangkan diri dengan lebih baik. Individu yang menerima diri berarti individu
tersebut telah mengenali apa dan bagaimana dirinya serta mempunyai motivasi untuk
mengembangkan diri kea rah yang lebih baik lagi untuk menjalani kehidupan (Ridha, 2012).
Penerimaan diri yang positif banyak dipengaruhi oleh rasa bangga terhadap kelebihan-kelebihan
yang dimiliki. Sedangkan penerimaan diri yang negative terjadi jika hanya memikirkan
kekurangan-kekurangannya saja tanpa memikirkan kelebihan atau potensi yang dimilikinya.
Penerimaan diri memegang peranan penting dalam menemukan dan mengarahkan
seluruh perilaku, maka sedapat mungkin individu harus mempunyai penerimaan diri yang positif
( Rakhmat,2001). Salah satu factor keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan ditentukan oleh kesanggupan individu dalam menerima keadaan dirinya sendiri.
Seorang individu dengan penerimaan diri yang baik akan menangkal emosi yang muncul karena
dapat menerima diri dengan apa adanya.
9
Anak tuna daksa yang memiliki penerimaan diri yang rendah cenderung akan merasa
tidak puas dengan dirinya sendiri, yang disebabkan oleh munculnya pikiran-pikiran negative
terhadap kondisi fisik yang dimiliki anak tuna daksa saat itu. Sebaliknya anak tuna daksa yang
mempunyai penerimaan diri yang tinggi akan lebih mudah memahami realitas yang ada pada
dirinya, yang disebabkan oleh anak tuna daksa dapat menerima kekurangan dan kelebihan serta
mampu memahami dan kemudian mengembangkannya. Anak tuna daksa yang mampu menerima
dirinya dapat membuka diri dan berusaha menjalin hubungan sosial, sebab dengan penerimaan
dirinya atas kelebihan serta kekurangannya anak tuna daksa memiliki kemampuan serta
kemampuan untuk menjalin hubungan sosial dengan lingkungannya serta menjalin hubungan
antar pribadi.
Anak tuna fisik yang memiliki penerimaan diri yang baik akan memiliki keaktifan yang
akan mendorong anak tuna fisik untuk mudah bergaul dengan orang lain maupun dengan
lingkungannya, serta aktif dan memiliki keberanian untuk mengemukakan pendapat sehingga
penyesuaian diri pada individu tersebut akan menjadi tinggi.
Jenis variable yang digunakan dalam penelitian ini adalah selfacceptance (penerimaan
diri) milik Sheerer yang kemudian dimodifikasi oleh Berger. Definisi penerimaan diri menurut
Sheerer yang kemudian dimodifikasi Berger adalah sebagai berikut yaitu yang pertama nilai-nilai
dan standar diri tidak dipengaruhi lingkungan luar, keyakinan dalam menjalani hidup,
bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan, mampu menerima kritik dan saran seobjektif
mungkin, tidak menyalahkan diri atas perasaannya terhadap orang lain, menganggap dirinya
sama dengan orang lain, tidak ingin orang lain menolaknya dalam kondisi apapun, tidak
menganggap dirinya berbeda dari orang lain, dan tidak mau atau rendah diri (Denmark, 1973).
10
Skala penerimaan diri yang telah diadaptasi Berger (dalam Denmark,1973) terdiri dari
9 karakter, yaitu:
1. Nilai-nilai dan standar diri tidak dipengaruhi lingkungan luar
2. Keyakinan dalam menjalani hidup
3. Bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan
4. Mampu menerima kritik dan saran seobjektif mungkin
5. Tidak menyalahkan diri atas perasaannya terhadap orang lain
6. Menganggap dirinya sama dengan orang lain
7. Tidak ingin orang lain menolaknya dalam kondisi apapun
8. Tidak menganggap dirinya berbeda dari orang lain
9. Tidak mau atau rendah diri.
Penyesuaian diri
Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment atau personal
adjustment. Schneiders mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang
mencakup respon-respon mental dan tingkah laku,yang merupakan usaha individu agar berhasil
mengatasi kebutuhan,ketegangan,konflik,dan frustasi yang dialami didalam dirinya.
Menurut Patil (2014) penyesuaian diri adalah suatu proses untuk memenuhi kebutuhan
internal dan eksternal individu yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku yang
mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Lazarus (dalam Gunarsa,
2006) lebih spesifik mengartikan penyesuaian diri sebagai usaha individu dalam memenuhi
tuntutan lingkungan fisik dan sosialnya. Seorang Individu tidak mampu memenuhi maka akan
menimbulkan perasaan tidak tenang dan menimbulkan gangguan keseimbangan, sebaliknya jika
11
individu tidak mampu memenuhi maka akan menimbulkan perasaan tidak tenang dan
menimbulkan gangguan keseimbangan, sebaliknya jika individu berhasil menyesuaikan diri
sesuai dengan tuntutan lingkungan psikologis maka akan menimbulkan perasaan puas, superior
dan menumbuhkan rasa percaya diri.
Usaha tersebut bertujuan untuk memperoleh keselarasan dan keharmonisan antara
tuntutan dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan. Schneiders juga mengatakan
bahwa orang yang dengan keterbatasan yang ada pada dirinya,belajar untuk bereaksi pada
dirinya dan lingkungan dengan cara yang matang,bermanfaat,efisien,dan memuaskan,serta dapat
menyelesaikan konflik,frustasi,maupun kesulitan pribadi dan social tanpa mengalami gangguan
tingkah laku.
Ada beberapa Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam menyesuaikan diri
adalah sebagai berikut :
1.Peer Relation
Factor ini mengacu pada upaya individu untuk menyesuaikan diri dan bekerja sama
dengan orang lain
2.Dependency
Faktor ini mengacu pada upaya kurangnya individu untuk dapat berfikir dan mengerjakan
sendiri tanpa meminta tolong orang lain.
3.Hostility
Faktor ini mengacu pada ketidakmampuan individu untuk mengendalikan keinginannya
jika tidak terpenuhi.
4.Productivity
12
Faktor ini mengacu pada kemempuan individu untuk sungguh-sungguh mengerjakan
tugas dan kewajiban yang diberikan.
5.Withdrawal
Faktor ini mengacu pada ketidakmampuan individu untuk melakukan sesuatu dengan
sigap dan tidak duduk termenung tanpa melakukan sesuatu.
Menurut Schneiders (dalam Desmita,2009) ada 4 aspek kepribadian dalam penyesuaian
diri yang sehat antara lain :
1. Kematangan emosional
2. Kematangan intelektual
3. Kematangan social
4. Tanggung jawab
Menurut uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa penyesuaian diri dalam individu
meliputi beberapa sikap pribadi individu seperti adanya penerimaan diri pada dirinya,mempunyai
perasaan atau efeksi yang harmonis dan seimbang,memiliki kepribadian matang dan
terintegrasi,dapat mengendalikan emosi,berpegang teguh pada pendirian,berfikir menggunakan
rasio,punya spontanitas yang bagus dalam mengungkapkan perasaan.
Tuna daksa
Pengertian Anak Tunadaksa Secara etimologis, gambaran seseorang yang
diidentifikasikan mengalami ketunadaksaan, yaitu seseorang yang mengalami kesulitan
13
mengoptimalkan fungsi anggota tubuh sebgai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang
salah bentuk, dan akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu
mengalami penurunan.Secara definitif pengertian kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa)
adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan
oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal,akibat
luka, penyakit, atau pertumbuhan tidak sempurna (Suroyo, 1977). Sehingga untuk kepentingan
pembelajarannya perlu layanan khusus. (Kneedler, 1984) Tunadaksa adalah anak yang
mengalami kelainan atau cacat yan menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa
sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.Jika mereka mengalami gangguan gerakan
karena kelayuhan pada fungsi syaraf otak disebut dengan cerebral palsy (CP).
Penderita Tunadaksa bisa dilihat dari segi fisiknya dan dari segi anatominya. Dari segi
fungsi fisik, tunadaksa diarahkan sebagai seseorang yang kesehatannya mengalaami masalah
sehingga menghasilkan kelainan di dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan untuk
meningkatkan fungsinya diberlakukan program layanan khusus. Istilah kelai knan fisik (physical
disability) sebenarnya tidak digunakan, namun kenyataannya definisi-definisi tersebut digunakan
dalam penerapan IDEA. Istilah yang digunakan dalam undang-undang itu adalah kelainan
ortopedi (orthopedic impairment)dan kelainan kesehatan lain (other health impairment).
Isilah ini didefinisikan sebagai berikut dalam Federal Register kelainan ortopedi
berartisuatu keadaan penurunan fungsi ortopedik yang mempunyai efek merugikan pada prestasi
pembelajaran anak. Istilah ini meliputi gangguan yang disebabkan kelaianan bawaan (misalnya
berkaki pengkar, hilang salah satu anggota tubuh).Kelaianan / gangguan yang disebabkan oleh
penyakit (misalnya poliomyelitis, TBC tulangdll), dan kelainan oleh penyebab lain (misalnya
cerebral palsy, amputasi, patah tulangatau terbakar yang menyebabkan kontraktur).Kelainan
14
kesehatan lain berarti memiliki keterbatan kesehatan, vitalitas ataukewaspadaan yang disebabkan
oleh masalah - masalah kesehatan yang akut misalnya penyakit jantung, tuberculosis, reumatik,
radang ginjal, keracunan tubuh, leukemia ataudiabetes yang mengaakibatkan merugikan pada
prestasi pendidikan (federalregister, 1990).
Secara umum karakteristik kelainan anak yang dikatagorikan sebagai penyandang
tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi anak tunadaksa ortopedi (orthopedicallyhandicapped)
dan anak tunadaksa syaraf (neurogically handicapped) (Hallahan danKauffman, 1991).
Menyimak keadaan yang nampak pada tunadaksa ortopedi dan tunadaksa syaraf tidak terdapat
perbedaan yang mencolok, sebab secara fisik kedua jenis anak tunadaksamemiliki kesamaan,
terutama pada fungsi analogi anggota tubuh untuk melakukan mobilitas. Namun apabila
dicermati secara seksama sumber ketidakmampuan untuk memanfaatkan fungsi tubuhnya untuk
beraktifitas atau mobilitas akan Nampak perbedaannya. Jenis pengelompokan anak tunadaksa
ada dua katagori cacat tubuh, yaitu cacat tubuh karena penyakit polio dan cacat tubuhkarena
kerusakan otak sehingga mengakibatkan ketidakmampuan gerak (cerebral palsy).Dilihat dari
pergerakan otot -otot penyandang cerebral dikelompokkan menjadilima jenis yaitu spastic,
athetoid, ataxia, termor dan rigid.
1. Spastic.
Anak yang menglami spastic ini menunjukkan kekejangan pada otot - ototnya,yang
disebabkan oleh gerakan-gerakan kaku dan akan hilang dalam keadaan diammisalnya
waktu tidur. Pada umumnya kekejangan ini akan menjadi hebat jika anak dalam keadaan
marah atau dalam keadaan tenang.
2. Athetoid
15
Anak yang mengalami athetoid, tidak mengalami kekejangan atau kekakuan.Otot -
ototnya dapat bergerak dengan mudah, malah sering terjadi gerakan – gerakanyang tidak
terkendali yang timbul diluar kemampuannya. Hal ini sangat mengganggu
danmerepotkan anak itu sendiri. Gerakan ini terdapat pada tangan, kaki, lidah, bibir
danmata.
3. Tremor
Anak yang mengalami tremor sering melakukan gerakan - gerakan kecil yang berulang.
Sering dijumpai anak yang salah satu anggota tubuhnya selalu bergerak.
4. Rigid
Anak cerebral palsy jenis ini mengalami kekakuan otot – otot. Gerakan - gerakannya
sangat lambat dan kasar. Kondisi - kondisi anak seperti itu jelas memberi dampak pada
aktifitas pada hidupnya.
Hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri
Penyesuaian diri merupakan kemampuan individu meleburkan diri dalam lingkungan
yang dihadapinya (Walgito, 2003), definisi lain menurut Schneiders (2008) individu dikatakan
tidak mampu menyesuaikan diri apabila perasaan sedih, rasa kecewa, atau rasa putus asa
berkembang dan mempengaruhi fungsi-fungsi fisiologi serta psikologinya. Individu menjadi
tidak mampu menggunakan pikiran dan sikap dengan baik, sehingga tidak mampu mengatasi
tekanan-tekanan yang muncul dengan cara yang baik.
Menurut Putra (2014) dalam wawancaranya dengan Psikolog di Balai Besar Rehabilitasi
Sosial Bina Daksa Prof. Dr. Soeharso Surakarta, menunjukkan bahwa terdapat beberapamasalah
yang ditimbulkan karena hambatan penyesuaian diri misalnya: merasa dikucilkan dalam
pergaulan, tidak aktif dalam kegiatan, kurang inisiatif, prestasi belajar menurun, mengalami
16
kejenuhan, kurang percaya diri dengan bentuk tubuh, tidak dapat berbicara dalam diskusi, malu
dengan lawan jenis, tidak ada orang yang memperhatikan, sering merasa minder, tidak bahagia,
serta tidak memiliki teman akrab. Kondisi tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa
individu tersebut kurang bisa menerima keadaan cacat tubuh yang dialami.
Penerimaan diri adalah sikap untuk menilai diri dan keadaannya secara objektif,
menerima segala yang ada pada dirinya termasuk kelebihan-kelebihan dan kelemahan-
kelemahannya.Penyesuaian diri adalah penyesuaian diri merupakan suatu proses mental dan
tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri sesuai dengan keinginan yang
berasal dari dalam diri sendiri,yang dapat diterima oleh lingkungannya.
Seseorang yang mampu menerima dirinya dengan baik maka akan meningkat pula rasa
percaya diri dalam diri seseorang,maka dengan rasa mampu menerima dirinya sendiri itu
seseorang yang mengalami tuna daksa selain mampu memunculkan rasa percaya diri juga dapat
menyesuaikan diri untuk menghadapi keadaan sekitarnya. Namun jika seorang tuna daksa
tersebut tidak mampu menerima dirinya sendiri dengan keadaanya maka orang tersebut juga
tidak memiliki rasa kepercayaan diri dan me ngakibatkan tidak mampu menyesuaikan dirinya
untuk menghadapi sekitarnya.
Maka dari itu penerimaan diri akan berhubungan dengan penyesuaian diri pada seseorang
yang menderita tuna daksa.
HIPOTESIS
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif dan
signifikan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada penderita tuna daksa. Semakin
tinggi penerimaan diri, maka semakin tinggi penyesuaian dirinya.
17
METODOLOGI PENELITIAN
Identifikasi Variabel
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel penelitian yang digunakan, yaitu variabel
bebas dan variabel terikat.Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penerimaan diri, sedangkan
variabel terikat adalah penyesuaian diri.
Definisi Operasional
1. Penerimaan Diri : kemampuann menerima apapun keadaan yang dimilikinya.
2. Penyesuaian Diri : respon-respon mental dan tingkah laku,yang merupakan usaha
individu agar berhasil mengatasi kebutuhan,ketegangan,konflik,dan frustasi yang dialami
didalam dirinya.
Partisipan
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa yang bersekolah di SLB Wahid
Hasyim (SD, SMP, SMA) yang berjumlah 50 orang. Dalam penelitian ini, partisipan yang
digunakan adalah semua anak yang menderita tuna daksa dengan usia sekolah yang bersekolah
di SLB ABCD Wahid Hasyim berjumlah 30 orang, yang semuanya duduk di bangku SD-SMA.
Dikarenakan sekolah tersebut tidak menggolongkan antara tingkat tuna daksa ringan, sedang,
dan berat maka dalam penelitian tidak ada pembagian anak dengan tuna daksa ringan, sedang
dan berat.
Metode penelitian dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan menggunakan
skala sebagai alat ukur. Populasi dalam penelitian ini adalah murid tuna daksa di Sekolah Luar
Biasa Wahid Hasyim yang berjumlah 50 orang, dengan sampel sebanyak 30 orang. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan kriteria: (a) cacat
18
dengan kekurangan kondisi fisik (tuna daksa); (b) siswa sedang dalam usia wajib belajar 12
tahun (SD, SMP, SMA).
Dikarenakan sekolah tidak menggolongkan antara tingkat tuna daksa ringan, sedang, dan
berat maka dalam penelitian tidak ada pembagian anak dengan tuna daksa ringan, sedang dan
berat.dalam penelitian iniadalah dengan menggunakan teknikanalisis korelasi.
Alat Ukur Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua alat ukur berupa skala penerimaan diri
Sheerer yang diadaptasi Berger (Denmark, 1973), sedangkan skala penyesuaian diri dibuat
sendiri oleh peneliti. Namun didasarkan pada aspek yang diambil dari teori yang dikemukakan
oleh Schneider. Jumlah item yang diuji dalam skala penerimaan diri, peneliti menggunakan skala
Sheerer yang dimodifikasi oleh Berger. Jumlah item dalam skala penerimaan diri sebanyak 36
item dan yang sudah diuji menjadi 19 item dengan daya diskriminasi bergerak antara 0,382-
0,781 dengan alpha cronbach‟s sebesar 0,887. Sedangkan skala penyesuaian diri dari 22 item
menjadi 7 item dengan daya diskriminasi dari 0,332 sampai dengan 0,524. Salah satu contoh
item skala penerimaan diri yang diambil dari item nomor 1 sebagai berikut: jika ada yang
mendukung, saya berani untuk melakukan sesuatu. Sedangkan salah satu contoh item skala
penyesuaian diri yang diambil dari item nomor 1 sebagai berikut : saya tetap tegar walau sering
dihina oleh orang lain atas kekurangan pada diri saya.
Prosedur Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 4Agustus 2015.Jumlah skala psikologi yang disebar
sebanyak 30 buah skala psikologi yang dibagikan pada penderita tuna daksa.30 responden
merupakan jumlah keseluruhan anak yang menderita tuna daksa yang bersekolah di SLB Wahid
19
Hasyim, yang berada pada tingkat SD-SMA. Sebelumnya, terlebih dahulu peneliti
memperkenalkan diri dan memberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan peneliti
melakukan penelitian kepada siswa tuna daksa dan meminta partisipasi siswa penderita tuna
daksa tersebut untuk berperan serta dalam penelitian ini dengan mengisi skala yang disebarkan
kepada mereka. Selama pengisian skala, subjek diperkenankan bertanya jika ada materi yang
terdapat di dalam skala dianggap sulit dipahami atau tidak jelas.Selama pengisian skala, peneliti
berada di dalam ruangan untuk memberikan penjelasan jika terdapat persoalan yang tidak
dimengerti subjek.Setelah pengisian skala selesai, skala langsung diberikan kepada peneliti dan
peneliti langsung mengecek skala yang telah diisi subjek.Selama pelaksanaan penelitian, subjek-
subjek dapat bekerjasama dengan baik meskipun ada beberapa subjek yang meminta bantuan
peneliti untuk menjelaskan semua materi di dalam skala psikologi dari awal hingga akhir.Pada
penelitian ini, penulis menggunakan try out terpakai yaitu subjek yang digunakan untuk try out
digunakan sekaligus untuk penelitian. Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian diolah
menggunakan bantuan program SPSS 16.0 for windows.
Teknik Analisis Data
Metode analisis menggunakan uji korelasi untuk melihat hubungan signifikan antara penerimaan
diri dengan penyesuaian diri pada penderita tuna daksa. Analisis data dilakukan dengan bantuan
program bantu computer SPSS 16.0 for windows
20
Hasil Penelitian
Analisis deskriptif hasil pengukuran penyesuaian diri dan penerimaan diri
Tabel 4.1 Kategorisasi Pengukuran Skala Penerimaan Diri
No. Interval Kategori Mean N Persentase
1. x ≥ 89 Tinggi
75.20
4 13,33%
2. 62 ≤ x < 89 Sedang 24 80%
3. x < 62 Rendah 2 6,67%
Jumlah 30 100%
SD = 13,84 Min = 44 Max = 110
Keterangan: X = penerimaan diri
Berdasarkan tabel 4.1 di atas, dapat dilihat bahwa 4 subjek memiliki skor penerimaan diri
berada pada kategori tinggi dengan persentase 13,33%, 24 subjek memiliki skor penerimaan diri
yang berada pada kategori sedang dengan persentase 80%, dan 2 subjek yang berada pada
kategori rendah dengan persentase 6,67%. Berdasarkan rata-rata sebesar 75.20, dapat dikatakan
bahwa rata-rata penerimaan diri berada pada kategori sedang. Skor yang diperoleh subjek
bergerak dari skor minimum 44 sampai dengan skor maksimum sebesar 110 dengan standard
deviasi 13.84.
21
Tabel 4.1 Kategorisasi Pengukuran Skala Penyesuaian Diri
No. Interval Kategori Mean N Persentase
1. x ≥ 63 Tinggi
55.76
3 10%
2. 48 ≤ x < 63 Sedang 25 83.33%
3. x < 48 Rendah 2 6,67%
Jumlah 30 100%
SD = 7.26 Min = 45 Max = 75
Keterangan: X = penyesuaian diri
Berdasarkan tabel 4.1 di atas, dapat dilihat bahwa 3 subjek memiliki skor penyesuaian
diri yang berada pada kategori tinggi dengan persentase 10%, 25 subjek memiliki skor
penyesuaian diri yang berada pada kategori sedang dengan persentase 83.33%, dan 2 subjek
yang berada pada kategori rendah dengan persentase 6,67%. Berdasarkan rata-rata sebesar 55.76,
dapat dikatakan bahwa rata-rata penerimaan diri berada pada kategori sedang. Skor yang
diperoleh subjek bergerak dari skor minimum 45 sampai dengan skor maksimum sebesar 75
dengan standard deviasi 7,26.
Uji Asumsi
Uji Normalitas dilakukan untuk mengetahui distribusi sebaran data penelitian variabel
penerimaan diri dan penyesuaian diri mengikuti sebaran distribusi normal atau tidak normal.
22
Tabel 4.3
Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
Kolmogorov-Smirnov Z –
Penerimaan Diri
.415
Asymp. Sig. (2-tailed) .995
Kolmogorov-Smirnov Z –
Penyesuaian Diri
.546
Asymp. Sig. (2-tailed) .927
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Berdasarkan hasil uji normalitas pada variabel penerimaan diri diperoleh nilai
Kolmogorov-Smirnov Z = 0.415; signifikansi = 0.995 (p> 0.05). Sedangkan hasil uji normalitas
pada variabel penyesuaian diri diperoleh nilai Berdasarkan hasil tersebut Kolmogorov-Smirnov
Z = 0.546; signifikansi = 0.927 (p> 0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebaran data
variabel penerimaan diri dan variabel penyesuaian diri memenuhi distribusi normal. Berdasarkan
data tersebut dapat disimpulkan bahwa subjek dapat mewakili populasinya.
23
Tabel 4.4
Uji Linieritas
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Penerimaan_Diri
Source Type III Sum
of Squares
Df Mean
Square
F Sig.
Corrected
Model
2405.967a 17 141.527 .539 .881
Intercept 146415.002 1 146415.002 557.978 .000
Penyesuaian_di
ri
2405.967 17 141.527 .539 .881
Error 3148.833 12 262.403
Total 175206.000 30
Corrected Total 5554.800 29
a. R Squared = .433 (Adjusted R Squared = -.370)
Berdasarkan data dalam table tersebut dihasilkan nilai Fbeda linieritas = 557.978 dengan
signifikansi (p) = 0.000 (p < 0,000). Hasil tersebut menunjukkan bahwa variabel penerimaan diri
mempunyai hubungan yang searah (positif) dengan variabel penyesuaian diri.
24
Uji Hipotesis
Analisis data untuk uji hipotesis menggunakan teknik korelasi product moment dari
Pearson.
Tabel 4.3
Uji Korelasi
Correlations
Penyesuaian_diri Penerimaan_Diri
Penyesuaian_diri
Pearson Correlation 1 .361*
Sig. (1-tailed) .025
N 30 30
Penerimaan_Diri
Pearson Correlation .361* 1
Sig. (1-tailed) .025
N 30 30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).
Berdasarkan tabel tersebut dihasilkan nilai korelasi (r) = 0.361 dengan signifikansi (p) =
0.025 (p < 0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan dan positif
antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri anak tuna daksa di SLB Wahid Hasyim Bringin.
Dengan hasil ini, maka hipotesis yang diajukan oleh peneliti diterima, yaitu ada hubungan yang
positif dan signifikan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri anak tuna daksa.
25
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menguatkan penelitian yang dilakukan oleh Wardhani(2012) yang
menemukan bahwa terdapat hubungan yang sangat tinggi antara penerimaan diri dengan
penyesuaian diri terhadap anak yang mengalami cacat fisik (tuna daksa). Penelitian yang
dilakukan oleh Agung Septian (2005) juga menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif
yang berarti antara penerimaan diri dan penyesuaian diri.
Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa seorang anak dengan tuna
daksa jika memiliki penerimaan diri yang positif akan menaikkan penyesuaian diri dalam diri
sendiri. Sehingga anak tuna daksa yang memiliki penerimaan diri yang positif akan lebih bisa
menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan bisa menerima diri apa adanya, tidak merasa berbeda
dengan anak-anak lainnya.
Hal ini disebabkan oleh anak tuna daksa yang mempunyai penerimaan diri yang baik
akan lebih mudah memahami realitas yang ada pada dirinya, yang disebabkan oleh anak tuna
daksa dapat menerima kekurangan dan kelebihan yang dmilikinya serta mampu
mengembangkannya. Anak tuna daksa seperti ini akan mampu membuka diri terhadap jejaring
sosial, sebab mereka memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan sosial dengan lingkungan
sekitar.
Hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri sesuai dengan pendapat yang
dilakukan oleh Cathoun dan Acocella (dalam Carson, 2006) bahwa penerimaan diri merupakan
asset pribadi yang sangat berharga, oleh karena itu penerimaan diri akan membantu dalam hal
penyesuaian diri sehingga seimbang dan terintegritas. Diperkuat oleh pendapat Sari (2002) yang
menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah penerimaan diri,yaitu
individu yang memiliki penerimaan diri yang tinggi akan memiliki tingkat kesadaran yang tinggi
26
pula dalam memandang dan memahami keadaan dirinya, sehingga akan menimbulkan perasaan,
memiliki kepercayaan serta rasa aman di dalam diri jika seseorang dapat diterima dalam
lingkungannya. Hal ini menjelaskan apabila anak tuna daksa dapat menerima kenyataan-
kenyataan yang dirasakan pada setiap keaadaan, maka anak tuna daksa tersebut
dapatmemberikan kesempatan pada dirisendiri untuk menyadari sepenuhnyaserta menyadari
pilihan dan tindakanyang diambil, sehingga anaktunadaksa tidak terhambat atau tidak
merasakesulitan dalam hal penyesuaian diri.
Hasil penelitian ini menujukkan bahwa penerimaan diri dengan segala aspek yang
terkandung di dalamnya memang memberikan kontribusi untuk penyesuaian diri pada anak tuna
daksa, meskipun penyesuaian diri anak tuna daksa tidak hanya dipengaruhi oleh variabel
tersebut. Penerimaan diri memberikan kontribusi positif terhadap penyesuaian diri, yang artinya
semakin tinggi penerimaan diri maka akan semakin tinggi pula penyesuaian diri, sebaliknya
semakin rendah penerimaan diri maka akan semakin rendah pula penyesuaian diri. Sehingga hal
tersebut mencerminkan bahwa memiliki penerimaan diri yang tinggi menjadi salah satu hal yang
dapat memunculkan perilaku penyesuaian diri yang tinggi pada anak tuna daksa.
Sesuai yangdikemukakan oleh Sheerer (dalamSambu, 2011) anak tuna daksa yang
mampu menerima diri adalah anak yang bisa mempunyai perasaan sederajat,percaya kemampuan
sendiri,bertanggungjawab, berorientasi keluar,berpendirian, menyadari keterbatasan,dan
menerima sifat kemanusiaan. Perasaan sederajat adalah individu menganggap bahwa dirinya
berharga sebagai manusia yang sederajat dengan orang lain. Percaya terhadap kemampuan diri
adalah individu yang memiliki kemampuan untuk menghadapi kehidupan terlihat dari sikap
individu yang percaya diri, mengembangkan sikap baiknya dan menghindari sikap buruknya,
serta puas menjadi dirisendiri. Bertanggung jawab adalah individu yang mampu bertanggung
27
jawab terhadap perilakunya. Orientasi keluar diri adalah individu yang senang dan tidak malu
untuk mengaktualisasikan diri.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, koefisien
korelasi antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri dari anak yang menderita tuna daksa di
SLB Wahid Hasyim terdapat hubungan positif dan signifikan antara penerimaan diri dengan
penyesuaian diri pada anak yang mengalami tuna daksa
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka peneliti member saran sebagai
berikut :
1. Bagi anak yang menderita tuna daksa
Diharapkan dapat meningkatkan sikap menerima keadaan dirinya sendIrI bagaimanapun
keadaannya, sebab seseorang yang mampu untuk menerima keadaan dirinya apa adanya
akan mampu pula untuk menyesuaiakan dirinya pada lingkungan
2.Bagi penelitian selanjutnya
a. Penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan, mencari factor-faktor lain yang
mempengaruhi penyesuaian diri
b. Peneliti yang berikutnya diharapkan untuk lebih spesifik dalam memilih subjek anak
tuna daksa
28
DAFTAR PUSTAKA
Machdan, D. M., dkk (2012). Hubungan antara penerimaan diri dengan kecemasaan menghadapi
dunia kerja pada tunadaksa di UPT rehabilitasu sosial cacat tubuh pasuruan.Jurnal
Psikologi Universitas Gunadarma
Putri, G. G., dkk (2013). Perbedaan self-acceptance (penerimaan diri) pada anak panti asuhan
Ani, N. S.(2014). Dinamika penyesuaian diri penyadnag disabilitas ditempat kerja.Jurnal
Komunikasi Dakwah Universitas Islam Negeri Kartasura
Santrock, J. W. (2007). Perkembangan anak (vol 11). Jakarta : Erlangga
Sarwono, S. (2003). Psikologi kepribadian. Jakarta : UMM Persada
Wibowo, M. A. (n.d). penerimaan diri pada individu yang mengalami prekognisi. Jakarta:
Universitas Gunadarma
Hendriati, A. (1990). Psikologi perkembangan. Jakarta : Adita
Renaldhi, A. P. (2014). Hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada tuna
daksa. Jurnal Psikologi Muhamadiyah
Dahlia, N. P. S (2012). Hubungan antara bodu image dan self-esteem pada dewasa awal tuna
daksa. Jurnal ilmiah mahasiswa universitas Surabaya I(1)
Denmark, K. L. (1973). Self-Acceptance and Leader Effectiveness. Journal Extensions. Texas
A&M University
Arif K., N. (n.d). Self-esteem pada penyandang tuna daksa. Surakarta: ProgramStudiPsikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Armatas, V. (2009). Mental retardation: definitions, etiology, epidemiology
anddiagnosis.Journal of Sport and Health Research. 1(2):112-122
Arikunto S. (1998). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek, edisi revisi IV.
Jakarta:PTRineka Cipta
Azwar, S. (1997).Metode penelitian.Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Azwar, S. (2012).Penyusunan skala psikologi, Edisi Kedua.Yogyakarta : PustakaPelajar
Azwar, S. (2012).Reliabilitas dan validitas, Edisi 4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Cozby, Paul C. (2009). Methods in behavioral research, Edisi 9. Yogyakarta: PustakaPelajar
29
Cutrona, C. E., & Russell, D. W. (1987). The provisions of social relationship andAdaptation to
stress.Advances in personal relationship, 1(37-67)
Denmark, Kenneth L. (1973). “Self-Acceptance and Leader Effectiveness”. Journal Extensions.
Texas A & M University
Fausiah, Fitri., Widury, Julianti. (2005). Psikologi abnormal : klinis dewasa. Jakarta:UI-Press
Handayani, M.M., dkk. (1998). Efektifitas pelatihan pengenalan diri terhadappeningkatan
penerimaan diri dan harga diri. Jurnal psikologi, No. 2, hal 47-55
Hendriani, W., dkk. (2006). Penerimaan keluarga terhadap individu yang
mengalamiketerbelakanganmental. INSAN, 8(2)
Hendrianti, A. (2006). Psikologi perkembangan pendekatan ekologi kaitannya dengankonsep diri
dan penyesuaian diri pada remaja. Bandung: PT Refika Aditama
Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjangrentang kehidupan,
edisi kelima. Jakarta: Erlangga
Hurlock, E. B. (2004). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentangkehidupan.
In R. M. Sijabat (Ed.). Jakarta: Erlangga.
Kartono, K. (1990). Psikologi anak (psikologi perkembangan). Bandung: MandarMaju
Machdan, D. M., dkk. (2012). Hubungan antara penerimaan diri dengan kecemasanmenghadapi
dunia kerja pada tunadaksa di UPT rehabilitasi sosial cacat tubuhPasuruan. Jurnal
psikologi klinis dan kesehatan mental, 1(2)
Moningsih, Indah. (n.d). Penerimaan orangtua pada anak mental retardation. Skripsi(tidak
diterbitkan). Jakarta: Universitas Gunadarma
Notosoedirdjo, M. dan Latipun. (2001). Kesehatan mental :konsep dan penerapan,
EdisiKetiga.Malang : UMM Press
Putri, Getrudis G., dkk. (2013). Perbedaan self-acceptance (penerimaan diri) pada anakpanti
asuhan ditinjau dari segi usia
Rachmayanti, S., Anita Z. (n.d). Penerimaan diri orangtua terhadap anak autism danperanannya
dalam terapi autism. Jakarta: Fakultas Psikologi UniversitasGunadarma
Rahmawati, N. A., dkk. (n.d). Hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosialdengan stres
pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta.Surakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Suryabrata, S. (2000).Pengembangan alat ukur psikologis, edisi pertama. Yogyakarta:ANDI
30
Suryabrata, S. (2005).Pengembangan alat ukur psikologis, edisi 3. Yogyakarta: ANDI
Wardhani, Mira K., dkk. (2012). Hubungan antara “personal adjustment” denganpenerimaan
terhadap anak berkebutuhan khusus pada ibu yang memiliki anakberkebutuhan khusus di
rsud x. Prosiding SNaPP2012: Sosial, Ekonomi, danHumaniora. Bandung: Fakultas
Psikologi Universitas Islam Bandung
Wibowo, M. A. (n.d). Penerimaan diri pada individu yang mengalami prekognisi.
Jakarta:Universitas Gunadarma