HUBUNGAN INTERTEKSTUAL NOVEL MISTERI CINCIN
YANG HILANG KARYA S. MARA GD DAN NOVEL KUBUR BERKUBAH
KARYA AGATHA CHRISTIE
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Debby Agustini
NIM: 054114020
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
i
HUBUNGAN INTERTEKSTUAL NOVEL MISTERI CINCIN
YANG HILANG KARYA S. MARA GD DAN NOVEL KUBUR BERKUBAH
KARYA AGATHA CHRISTIE
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Debby Agustini
NIM: 054114020
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
ii
iii
iv
A Woman Prayer I pray for a man That will be a part of my life A man that really loves You more than everything A man that will take me in the second place of his heart A man that lives not for his self but for You Face and physical attraction are not important The most important is I want a heart that really loves and thirsty of You And has desire to be like Jesus And he must know for whom and for what he lives So his life is not useless Someone that has a wise heart not only smart brain A man that not only loves me, but also respect me A man that not only can adore me, but can warn me when I am wrong A man that loves me not from my smooth levels but from my heart A man can be my best friend in any time and situation A man that makes me feel a women when I am beside him I am not asking for a perfect he But I ask for an important he So I can make he perfect in Your eyes A man that needs my support for the strength A man that needs my prayer for his life A man that needs my smile to cover his sadness A man that needs my love so he could feel love A man that needs me to make he life
And I also ask Make me women that can made he proud Give me a heart that really love You So I could love him with Your love, not love him with my love Give me Your gentle spirit So my personality does not come from my outside, but came from You Give me Your hands that I always be able to pray for him Give me Your eyes so I could so many good things in him not the bad ones Give me Your mouth that is filled with Your words of wisdom and encourage So I could support him everyday Give me Your lips and I will smile at the every time And I want that when we finally meet both of us can say How great thou art Thank you give me someone that can make me like perfect I know that You want us to meet at the right time Amen
Dedicated for: My lovely husband
My parents My little brothers
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 12 Mei 2009
Penulis
Debby Agustini
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Debby Agustini
Nomor Mahasiswa : 054114020
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
”HUBUNGAN INTERTEKSTUAL NOVEL MISTERI CINCIN YANG
HILANG KARYA S. MARA GD DAN NOVEL KUBUR BERKUBAH
KARYA AGATHA CHRISTIE”
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan
secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk
kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan
royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 5 Juni 2009
vii
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan yang Mahaesa karena berkat
kasih-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik untuk memenuhi
dan melengkapi syarat guna mencapai gelar Sarjana Sastra pada Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Besarnya tantangan yang dihadapi menyebabkan penulis memohon
bantuan dari berbagai pihak. Dengan segala hormat, penulis hendak
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat:
1. Ibu SE. Peni Adji, S.S, M.Hum, selaku dosen pembimbing I yang dengan
kesabaran dan kesungguhan membimbing dan mengarahkan dalam
penyusunan skripsi ini.
2. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum, selaku dosen pembimbing II yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
3. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum, selaku dosen penguji.
4. Para dosen dan staf di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
5. Mama dan adik-adik yang menjadi motivasi penulis menyelesaikan skripsi.
6. Un_tha, suami tercinta yang selalu memberikan seluruh waktu dan cintanya
untuk mendampingi dan memberi semangat penulis.
7. Pakdhe, Vika, dan Snoopy yang rela meminjamkan komputer dan printer.
8. Seluruh mahasiswa Prodi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma
angkatan 2005.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
viii
Akhirnya, dengan penuh kesadaran penulis menyadari segala kekurangan
yang ada dalam skripsi ini. Untuk itu, demi perbaikan skripsi ini, kritik dan saran
yang membangun akan peneliti terima dengan senang hati. Semoga skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Penulis
ix
ABSTRAK
Agustini, Debby. 2009. Hubungan Intertekstual Novel Misteri Cincin yang Hilang Karya S. Mara Gd dan Novel Kubur Berkubah Karya Agatha Christie. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Prinsip intertekstual didasari asumsi bahwa setiap teks baru akan bermakna penuh jika dihubungkan dengan teks lain. Dalam hal ini, penulis menemukan keterkaitan antara novel Misteri Cincin yang Hilang (MCH) karya S. Mara Gd dan novel Kubur Berkubah (KB) karya Agatha Christie dalam tiga unsur intrinsiknya, yakni plot, tokoh dan penokohan, dan tema. Kajian ini bertujuan menganalisis ketiga unsur tersebut dalam kedua novel dan meneliti bentuk-bentuk hubungan intertekstualnya.
Dalam penelitian ini, digunakan pendekatan objektif dalam menganalisis struktur kedua novel tersebut dan pendekatan intertekstual untuk mengkaji hubungan di antara struktur kedua novel. Dalam menjalankan penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis untuk menguraikan objek penelitian dan metode deskriptif untuk menjelaskannya dan menyajikannya.
Analisis struktural terhadap kedua novel tersebut menghasilkan pemahaman yang mendalam tentang struktur yang membangun cerita di dalamnya. Kajian intertekstual pada kedua novel tersebut menunjukkan adanya hubungan intertekstual pada unsur plot yang terdapat dalam lima motif, unsur tokoh dan penokohan yang terdapat dalam empat tokoh yang mempunyai peran yang sama, dan unsur tema dalam empat tema minor dan (satu) tema mayor. Novel MCH telah mentransformasikan novel KB yang menjadi hipogramnya. Dalam transformasi tersebut, terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan. Kesamaan yang ada merupakan wujud dari penerusan konvensi, yaitu pola pemplotan yang sama dengan memunculkan beberapa motif yang sama, adanya tokoh pemicu terbongkarnya kasus kejahatan, saksi yang terbunuh, tokoh pemecah masalah, dan pelaku utama kejahatan, serta kesamaan pada tema mayor. Perbedaan yang ada merupakan bentuk penyimpangan yang terkait dengan latar sosial-budaya yang berbeda dan menjadi wujud daya kreativitas dan konsep estetika yang tersendiri. Adapun perbedaan dan variasi itu tampak pada motif pembunuhan saksi-saksi, motif penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah, penokohan pelaku utama kejahatan, tokoh pemecah masalah, serta tema minor.
x
ABSTRACT
Agustini, Debby. 2009. Intertextual Relationship Between Novel Misteri Cincin yang Hilang By S. Mara Gd and Novel Kubur Berkubah By Agatha Christie. Thesis. Yogyakarta: Department of Indonesian Literature, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.
Concept of intertextuality is build with an assumption that every text will get its significance in relation with other text. In this case, the writer found referentiality between Misteri Cincin yang Hilang (MCH) S. Mara Gd and Kubur Berkubah (KB) Agatha Christie on its three instrinsical elements, which are plot, character and characterization, and theme. This study aims to analyze those three elements in both novels and study the referentiality.
In this study, I use objective approach to analyze structural aspect of both novels and intertextual approach to study the relationship of the structure in both novels. To do this study, I use method of analyze to disentangle the object of the study and descriptive method to explain and deliver the result of analysis.
Structural analysis toward both novels results on deep understanding about the structure constructing story in both novels. The study of intertextuality on both novels shows the intertextual relationship on plot element which is on five motives, character and characterization element on four character which have same function, and theme element which is on four minor themes and (a) major theme. MCH has already transformed KB as its hypogram. In this transformation, there are several similarities and differences. The similarities exist are form of convention continuity (affirmation), that are same plotting model in where several similar motives appear, existing of character of case disclosure’s triggerer, murdered witness, problem solver, and the main criminal, and the same major theme. The differences exist are form of deviation which has relation with different sociological-cultural background and become shape of creativity and apart esthetical concept. While the differences and variations appear on motif of witnesses murder, motif of accession toward unguilty person, characterization of main criminal, character of problem solver, and minor theme.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...........................................ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................iii
HALAMAN PERSEMBAHAN........................... ........................................ iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA............ ............................................v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS……...……………… vi
KATA PENGANTAR .................................................................................vii
ABSTRAK…….. .......................................................................................... ix
ABSTRACT…..... ............................................................................................x
DAFTAR ISI.................................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .. ........................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................... ......4
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................... ......4
1.5 Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori ..... ......................................5
1.5.1 Tinjauan Pustaka ... ......................................................................5
1.5.2 Landasan Teori ............................................................................8
1.5.2.1 Analisis Struktural ....................................................................8
1.5.2.1.1 Plot ... .....................................................................................9
1.5.2.1.2 Tokoh dan Penokohan .........................................................11
1.5.2.1.3 Tema ....................................................................................13
1.5.2.2. Kajian Intertekstual .... ...........................................................14
1.6 Metode dan Teknik Penelitian ... ..................................................16
1.6.1 Metode Penelitian ... ..................................................................16
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data ... .....................................................17
1.6.3 Sumber Data ..............................................................................18
1.7 Sistematika Penyajian ... ...............................................................18
xii
BAB II ANALISIS STRUKTURAL NOVEL MISTERI CINCIN YANG HILANG
KARYA S. MARA GD DAN NOVEL KUBUR BERKUBAH KARYA AGATHA
CHRISTIE
2.1 Pengantar ......................................................................................19
2.2 Analisis Struktural Novel Kubur Berkubah.. ................................19
2.2.1 Analisis Plot Novel Kubur Berkubah.........................................20
2.2.1.1 Tahap Penyituasian .. ..............................................................20
2.2.1.2 Tahap Pemunculan Konflik ... ................................................23
2.2.1.3 Tahap Peningkatan Konflik.. ..................................................27
2.2.1.4 Tahap Klimaks... .....................................................................28
2.2.1.5 Tahap Penyelesaian... ..............................................................28
2.2.1.6 Pembahasan Plot Novel Kubur Berkubah...............................31
2.2.2 Analisis Tokoh dan Penokohan Novel Kubur Berkubah ... .......32
2.2.2.1 Tokoh Protagonis... .................................................................32
2.2.2.2 Tokoh Antagonis... ..................................................................35
2.2.2.3 Tokoh Bawahan... ...................................................................36
2.2.3 Analisis Tema Novel Kubur Berkubah... ...................................41
2.2.3.1 Tema Minor.............................................................................41
2.2.3.1.1 Keserakahan pada Harta Berakibat Buruk... ........................41
2.2.3.1.2 Cinta Sejati Menuntut Kejujuran... ......................................42
2.2.3.1.3 Bangunan Bersejarah Patut Dilestarikan..............................43
2.2.3.1.4 Orangtua Seringkali Membela Anaknya Meski Bersalah... .45
2.2.3.2 Tema Mayor: Kejahatan Walau Ditutup-tutupi akan
Terbongkar Juga......................................................................... 46
2.2.4 Keterkaitan Antarunsur Intrinsik................................................48
2.3 Analisis Struktural Novel Misteri Cincin yang Hilang.................50
2.3.1 Analisis Plot Novel Misteri Cincin yang Hilang .......................51
2.3.1.1 Tahap Penyituasian .. ..............................................................51
2.3.1.2 Tahap Pemunculan Konflik ... ................................................52
2.3.1.3 Tahap Peningkatan Konflik.. ..................................................55
2.3.1.4 Tahap Klimaks... .....................................................................59
xiii
2.3.1.5 Tahap Penyelesaian... ..............................................................60
2.3.1.6 Pembahasan Plot Novel Misteri Cincin yang Hilang.. ...........61
2.3.2 Analisis Tokoh dan Penokohan Novel Misteri Cincin yang
Hilang.........................................................................................62
2.3.2.1 Tokoh Protagonis... .................................................................62
2.3.2.2 Tokoh Antagonis... ..................................................................65
2.3.2.3 Tokoh Bawahan... ...................................................................68
2.3.3 Analisis Tema Novel Misteri Cincin yang Hilang.....................72
2.3.3.1 Tema Minor.............................................................................72
2.3.3.1.1 Keserakahan pada Harta Berakibat Buruk... ........................72
2.3.3.1.2 Cinta Sejati Muncul dari Kejujuran... ..................................73
2.3.3.1.3 Hubungan Sesama Jenis Tidak Diterima oleh Masyarakat...76
2.3.3.1.4 Orangtua Seringkali Membela Anaknya Meski Bersalah... .77
2.3.3.1.5 Bangunan Bersejarah Patut Dilestarikan..............................78
2.3.3.2 Tema Mayor: Kejahatan Walau Ditutup-tutupi akan
Terbongkar Juga...................................................................... 79
2.3.4 Keterkaitan Antarunsur Intrinsik................................................81
2.4 Rangkuman... ................................................................................83
BAB III ANALISIS HUBUNGAN INTERTEKSTUAL NOVEL MISTERI
CINCIN YANG HILANG KARYA S. MARA GD DAN NOVEL KUBUR
BERKUBAH KARYA AGATHA CHRISTIE
3.1 Pengantar ......................................................................................84
3.2 Hubungan Intertekstual Unsur Plot .. ............................................85
3.2.1 Motif Perkenalan Antartokoh ....................................................86
3.2.2 Motif Pembunuhan Saksi-saksi .................................................87
3.2.3 Motif Penyelidikan Kasus .. .......................................................88
3.2.4 Motif Penuduhan terhadap Orang yang Tidak Bersalah .. .........89
3.2.5 Motif Pembongkaran Kasus ......................................................90
3.2.6 Kesimpulan .. .............................................................................91
xiv
3.3 Hubungan Intertekstual Unsur Tokoh dan Penokohan .. ..............93
3.3.1 Tokoh Pemecah Masalah .. ........................................................93
3.3.2 Tokoh Pelaku Utama Kejahatan.................................................96
3.3.3 Tokoh Saksi yang Terbunuh.. ....................................................97
3.3.4 Tokoh Pemicu Terbongkarnya Kasus.. ......................................99
3.3.5 Kesimpulan.. ............................................................................100
3.4 Hubungan Intertekstual Unsur Tema.. ........................................102
3.4.1 Tema: Orangtua Seringkali Membela Anaknya meski
Anaknya Bersalah .................................................................... 103
3.4.2 Tema: Keserakahan pada Harta Berakibat Buruk....................103
3.4.3 Tema: Bangunan Bersejarah Patut Dilestarikan.. ....................104
3.4.4 Tema: Cinta Sejati Ada dalam Kejujuran.. ..............................105
3.4.5 Tema: Kejahatan Walau Ditutup-tutupi Akhirnya Terbongkar
Juga .......................................................................................... 106
3.4.6 Kesimpulan.. ............................................................................108
3.5 Rangkuman: Kajian Hipogram.. .................................................109
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan .... ............................................................................112
4.2 Saran ...........................................................................................114
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penulisan sebuah karya sastra tidak lepas dari sejarah sastra pada masa itu
karena tidak ada sebuah karya sastra yang lahir dalam kekosongan situasi (Teeuw,
1980:11). Hal inilah yang mendasari sebuah kajian intertekstual. Hubungan
intertekstual dapat diartikan sebagai keterkaitan sejarah baik berupa pertentangan
maupun persamaan antarsejumlah teks dengan asumsi sebuah teks merupakan
transformasi teks lainnya (Pradopo, 1995: 167). Kajian intertekstual mempunyai
arti penting dalam memberikan makna penuh kepada karya sastra dalam dimensi
yang baru, lebih penuh dari makna yang dapat digali dari unsur-unsur intrinsik
karya itu sendiri (Teeuw, 1983:69). Dengan demikian, kajian intertekstual dapat
dipahami sebagai usaha menemukan makna baru dari karya sastra dengan
membandingkan unsur-unsur yang ada di dalamnya dengan unsur-unsur yang ada
di dalam karya sastra lain yang menjadi latar belakang sejarahnya.
Dalam hal ini, penulis menemukan keterkaitan antara novel Misteri Cincin
yang Hilang (MCH) karya S. Mara Gd dan novel Kubur Berkubah (KB) karya
Agatha Christie dalam beberapa hal, di antaranya adalah unsur-unsur intrinsik
berupa plot, tokoh dan penokohan, serta tema. Kedua novel tersebut mengandung
tema yang sama, yakni kejahatan yang ditutup-tutupi akhirnya terbongkar juga. Di
samping itu, kedua novel itu memunculkan beberapa tokoh yang memiliki
2
kesamaan peran dengan beberapa karakterisasi yang mirip. Plot cerita yang ada
dalam kedua novel tersebut juga mengandung beberapa motif yang sama. Oleh
karena itu, penulis akan menganalisis hubungan intertekstual kedua novel tersebut
secara lebih mendalam.
Penulis tertarik mengkaji kedua novel tersebut karena beberapa alasan.
Pertama, penulis menemukan adanya hubungan pada struktur kedua novel
tersebut. Kedua, sepanjang pengamatan penulis terhadap karya-karya ilmiah yang
mengkaji novel Indonesia, penelitian terhadap novel populer, khususnya novel
detektif Indonesia relatif minim. Hal itu bertolakbelakang dengan relatif
banyaknya penelitian terhadap novel berbobot sastra. Ketiga, pengalaman S. Mara
Gd menerjemahkan novel-novel kriminal-detektif karya Agatha Christie
(Kurniawan, 2002) mendukung teori hubungan intertekstual yang mengatakan
bahwa lahirnya sebuah karya sastra tidak lepas dari sejarah sastra dan situasi yang
tidak kosong. Pengalaman S. Mara Gd tersebut mempunyai peran dalam
hubungan intertekstual novelnya dengan novel karya Agatha Christie.
Novel KB menceritakan tentang petualangan seorang detektif dalam sebuah
undangan permainan pelacakan pembunuhan yang diadakan atas nama sepasang
suami-istri di rumahnya. Pada waktu permainan berlangsung, sang pemeran
korban pembunuhan ditemukan dalam keadaan benar-benar mati terbunuh.
Beberapa hari kemudian, kakek sang korban pembunuhan juga tewas terbunuh.
Setelah diselidiki, ternyata kedua korban pembunuhan tersebut merupakan saksi
kunci suatu kasus pembunuhan yang terjadi beberapa tahun sebelumnya yang
belum terungkap. Korban kasus tersebut adalah sang istri pemilik rumah yang
3
sebenarnya. Wanita yang berperan sebagai istri pemilik rumah sebenarnya
bukanlah istri yang asli. Akhirnya terungkap bahwa sang suamilah yang
membunuh istrinya yang kemudian dikubur di pekarangan rumah yang kini di
atasnya dibangun sebuah bangunan semacam kuil kecil berpilar persegi empat.
Novel MCH menceritakan petualangan seorang gadis yang ingin
mengungkap kembali sejarah keluarga mendiang ayahnya yang sebelumnya tidak
diketahui olehnya. Ia diundang oleh paman dan bibinya ke rumah mereka yang
dulunya adalah rumah kakeknya. Tanpa diduga, sejarah keluarga dari ayahnya
tersebut menyimpan sebuah kasus pembunuhan yang sudah lama terpendam dan
belum terungkap hingga saat itu. Salah satu saudara ayahnya yang merupakan
anak angkat kakeknya konon telah lama meninggalkan rumah kakeknya. Ternyata
ada sebuah rahasia di balik cerita kaburnya saudara ayahnya tersebut. Gadis itu
semakin tertarik menelusuri kasus tersebut sehingga mengusik ketenangan sang
pelaku pembunuhan yang kemudian membunuh beberapa orang yang merupakan
saksi dan terkait dengan kasus pembunuhan di masa lalu itu. Seorang polisi
bersama sahabatnya membantu mengungkap kasus tersebut. Akhirnya terungkap
bahwa cerita kaburnya saudara ayah gadis itu dari rumah kakeknya ternyata hanya
kabar bohong. Saudara ayahnya telah lama dibunuh dan dikuburkan di kebun
belakang rumah, tepatnya di dalam sebuah kandang kuda yang kemudian diplester
semen. Kasus tersebut telah disembunyikan selama bertahun-tahun.
Dari penjelasan singkat tersebut, dapat dilihat adanya beberapa kesamaan
dalam beberapa unsur. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud mengkaji lebih
lanjut mengenai hubungan intertekstual kedua novel tersebut dengan judul
4
“Hubungan Intertekstual Novel Misteri Cincin yang Hilang Karya S. Mara Gd
dan Novel Kubur Berkubah Karya Agatha Christie”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang di atas, peneliti merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana struktur novel Misteri Cincin yang Hilang karya S. Mara Gd
dan novel Kubur Berkubah karya Agatha Christie?
1.2.2 Bagaimana hubungan intertekstual novel Misteri Cincin yang Hilang
karya S. Mara Gd dan novel Kubur Berkubah karya Agatha Christie?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Mendeskripsikan unsur-unsur struktural novel Misteri Cincin yang Hilang
karya S. Mara Gd dan novel Kubur Berkubah karya Agatha Christie.
1.3.2 Mendeskripsikan hubungan intertekstual novel Misteri Cincin yang Hilang
karya S. Mara Gd dan novel Kubur Berkubah karya Agatha Christie.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara praktis
maupun teoretis. Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah memperkaya wacana
hubungan intertekstual novel serta mengembangkan apresiasi terhadap novel
kriminal-detektif khususnya yang lahir dari pengarang Indonesia dan pengetahuan
5
tentang analisis novel. Manfaat praktis yang diharapkan adalah agar hasil
penelitian ini dapat dijadikan bahan bacaan dalam bidang kajian dan apresiasi
novel terutama novel bergenre kriminal-detektif yang saat ini masih sangat minim.
1.5 Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori
1.5.1 Tinjauan Pustaka
Tidak banyak kajian yang mengulas tentang novel-novel bergenre kriminal-
detektif di Indonesia. S. Mara Gd adalah satu di antara beberapa pengarang cerita
detektif yang muncul pertama kali pada tahun 1985 dengan novelnya berjudul
Misteri Dian yang Padam. Novel tersebut merupakan novel pembuka dari
serialnya yang menampilkan tokoh utama Kapten Polisi Kosasih dan sahabatnya
Gozali yang pintar memecahkan kasus kriminal. Hingga kini telah terbit 30 judul
dari serial tersebut. Menurut Kurniawan (2002), beberapa novel serial Kosasih-
Gozali ini mirip dengan novel-novel serial detektif karya Agatha Christie,
pengarang ternama dari Inggris.
Djokosujatno (1997) pernah meneliti aspek genetik cerita detektif di
Indonesia. Ia menyimpulkan, genre cerita detektif Indonesia, termasuk karya S.
Mara Gd, merupakan hasil pengaruh kebudayaan Barat, atau tepatnya sastra Barat
yang jelas terlihat dalam latar belakang para pengarangnya. Padahal, dalam
beberapa aspek budaya Barat sangat berbeda dengan realitas sosial di Indonesia.
Masyarakat Barat yang rasional dan pragmatis percaya bahwa hukum dan polisi
melindungi mereka, sedangkan di Indonesia hal tersebut tidak sepenuhnya
6
terwujud. Adaptasi juga bisa dilihat dari hubungan baik yang selalu terjalin antara
detektif dengan polisi dalam cerita detektif Indonesia jenis manapun.
Knepper (2005) dalam penelitiannya mengenai novel-novel detektif Agatha
Christie menuturkan bahwa novel-novel detektif Agatha Christie memiliki ciri
khas pemplotan yang terjalin secara kreatif sehingga mampu mengecoh pembaca
mengenai siapa pelaku pembunuhan dalam novel tersebut. Agatha Christie juga
mampu membuktikan kelihaiannya dalam mendobrak watak lama yang menjadi
ciri novel detektif klasik. Dalam novel-novel terakhirnya, Agatha Christie
memadukan gaya narasi yang berbeda dan aspek psikologi yang belum pernah ada
pada novel-novel detektif sebelumnya.
Penelitian mengenai hubungan intertekstual novel-novel Indonesia sudah
banyak dilakukan. Indriati (1991) meneliti hubungan intertekstual novel Olenka
dan Di Bawah Lindungan Ka’bah, Atheis, dan Gairah untuk Hidup dan untuk
Mati. Hubungan intertekstual yang ada dalam novel-novel tersebut merupakan
afirmasi, terutama unsur alur dan penokohannya.
Suranto (1991) meneliti hubungan intertekstual roman Melati Van Agam dan
Dian yang Tak Kunjung Padam. Hubungan intertekstual yang ditemukan dalam
novel-novel tersebut dijelaskan dalam beberapa poin sebagai berikut; (1)
penyajian problematika kepangkatan dan pandangan matrealistik sebagai
penghalang percintaan, (2) tema, yaitu kawin paksa berakibat tidak baik bagi sang
tokoh, (3) tersusun atas motif-motif yang sama, yakni motif pertemuan awal,
perkenalan, kawin lari, dan korespondensi.
7
Ekasiswanto (1992) dalam penelitiannya mengenai hubungan intertekstual
novel Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Bermandi Cahaya Bulan menemukan
adanya kesamaan dalam unsur alur, penokohan, dan latar.
Umi Mujawazah (1994) meneliti hubungan intertekstual novel Surat-Surat
Cinta dan Helai-Helai Sakura Gugur. Hubungan intertekstual ditemukan dalam
beberapa poin; (1) motif protagonis sudah beristri, protagonis meninggalkan
tempat, pertemuan awal dan perkenalan protagonis, ketidaksetiaan suami,
kebebasan seksual, keterbukaan, sadar diri, dan surat menyurat, (2) unsur alur,
penokohan, dan latar, dan (3) pusat pengisahan dan gaya surat.
Hidayah (1999) meneliti hubungan intertekstual novel Gairah untuk Hidup
dan untuk Mati dan Siti Nurjanah. Hubungan intertekstual ditemukan dalam unsur
alur, penokohan, dan latar cerita.
Rokhami (2003) meneliti hubungan intertekstual novel Tarian Bumi dan
Gadis Pantai. Hubungan intertekstual ditemukan dalam (1) unsur alur dan (2)
motif kondisi kemiskinan, perjodohan, perkawinan dan kemunculan
permasalahan, perbedaan status sosial dan sistem feodalisme, kesulitan
beradaptasi, protagonis melahirkan bayi perempuan, protagonis kehilangan suami,
dan keterasingan dari lingkungan asal.
Sejauh ini, menurut pengamatan penulis belum ada kajian yang secara
khusus mengulas tentang novel Misteri Cincin yang Hilang karya S. Mara Gd dan
novel Kubur Berkubah karya Agatha Christie, begitu pula mengenai hubungan
intertekstual kedua novel tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
8
penelitian ini bukan merupakan pengulangan dari sebuah penelitian dan bisa
dibuktikan keasliannya.
1.5.2 Landasan Teori
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua acuan teoretis, yakni
analisis struktural dan kajian intertekstual.
1.5.2.1 Analisis Struktural
Sebuah karya sastra tersusun atas unsur-unsur intrinsik yang menjadi
pembangunnya. Untuk memahami struktur tersebut, dapat dilakukan analisis
struktural. Analisis struktural merupakan analisis yang mengidentifikasi, mengkaji
dan menggambarkan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik sebuah karya sastra
sehingga membentuk sebuah pemaknaan yang utuh dan terpadu (Nurgiyantoro,
1995: 37). Analisis struktural merupakan usaha menemukan makna intrinsik yang
terlepas dari berbagai unsur di luar teks itu sendiri. Selain itu, dibutuhkan
pemaknaan yang utuh dan terpadu karena pada dasarnya di antara unsur-unsur
pembangun (intrinsik) sebuah karya sastra terdapat hubungan timbal-balik dan
saling terkait erat.
Dalam usaha meneliti hubungan intertekstual novel MCH dan KB, peneliti
akan melakukan analisis struktural terlebih dahulu. Dijelaskan oleh Teeuw (1983:
61), dalam menganalisis suatu karya sastra dari segi manapun, analisis struktural
merupakan tugas prioritas yang oleh karenanya harus dilakukan terlebih dahulu
sebelum analisis lainnya. Dengan kata lain, prinsip intertekstual memerlukan
pendekatan struktural.
9
Unsur intrinsik sebuah fiksi meliputi tema, pemplotan, tokoh dan
penokohan, pelataran dan penyudutpandangan. Dalam penelitian ini, penulis
memfokuskan pada plot, tokoh dan penokohan, serta tema karena ketiga unsur
tersebut merupakan unsur-unsur yang paling mendasar dalam pengkajian struktur
sebuah novel. Di samping itu, hubungan intertekstual kedua novel itu tampak
menonjol dalam tiga unsur tersebut. Berikut ini adalah penjelasan ketiga unsur itu.
1.5.2.1.1 Plot
Pengertian plot atau alur menurut Foster (Sudjiman, 1992:30) merujuk pada
deretan peristiwa dalam sebuah penceritaan yang mengandung hubungan
kausalitas. Pengertian ini mengisyaratkan pentingnya aspek sebab-akibat dalam
plot yang dibangun, yang menempatkan plot lebih dari sekadar urutan peristiwa.
Dalam sebuah cerita yang tersusun rapi, hubungan sebab-akibat ini tidak selalu
dapat dilihat secara jelas. Hubungan tersebut mungkin terdapat di dalam urutan
waktu peristiwa yang meloncat-loncat, atau di dalam tindakan atau ucapan tokoh.
Meski demikian, tiap-tiap peristiwa yang ditampilkan dalam sebuah cerita harus
mempunyai arti di dalam hubungan keseluruhan plot.
Rangkaian peristiwa yang ada dalam plot sebuah cerita berasal dari tindakan
atau aksi para tokoh. Dalam melakukan tindakan atau aksi tersebut, para tokoh
mempunyai karakter dan landasan motif yang kemudian mengakibatkan
munculnya suatu peristiwa. Unsur terkecil dalam suatu cerita yang menggerakkan
plot tersebut disebut motif (Pradopo, 1976: 26). Jadi, motif dapat dipahami
sebagai unsur-unsur teks seperti perbuatan, pernyataan yang mengungkapkan
batin, perasaan, tingkah laku, ataupun adegan lingkungan yang digunakan sebagai
10
penggerak dalam cerita ke arah peristiwa berikutnya. Kedudukan motif dalam
struktur cerita akan memperlihatkan kausalitas kemunculan motif dan letaknya
dalam kaitan temporal antarmotif yang terbentuk dalam setiap cerita. Dengan
memperhatikan urutan kausal motif akan diketahui hubungan antarmotif yang
menghasilkan pemahaman secara utuh mengenai cerita. Dalam konvensi sastra,
motif berfungsi sebagai tanda pengenal yang tetap dan yang menggerakkan atau
mendorong cerita untuk berkembang (Sulastin, 1983: 204).
Tasrif (dalam Nurgiyantoro, 1995:149) membagi tahapan plot menjadi lima
bagian sebagai berikut. Tahap pertama, penyituasian yang berisi pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita serta pemberian informasi awal
yang menjadi landasan cerita. Tahap kedua, pemunculan konflik yang di
dalamnya terdapat masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut
konflik dan nantinya akan berkembang pada tahapan berikutnya. Tahap ketiga,
peningkatan konflik yang di dalamnya konflik semakin berkembang dan
menegangkan melalui peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita, dan
di dalamnya mulai muncul akibat dari peristiwa-peristiwa yang terjalin. Tahap
keempat, klimaks atau puncak permasalahan yang menjadi titik balik dalam
sebuah cerita. Tahap kelima, penyelesaian yang di dalamnya ketegangan
mengendur dan jika perlu diberi jalan keluar lalu cerita diakhiri. Penyelesaian ini
dapat berupa akhir yang menyenangkan, menyedihkan, ataupun tetap
menggantung tanpa pemecahan.
Tahapan yang telah disebutkan di atas tidak harus berurutan. Berdasarkan
urutan waktu, plot dapat dibedakan ke dalam dua kategori; plot lurus atau
11
progresif dan plot sorot-balik atau flash-back. Plot digolongkan sebagai plot lurus
jika peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa-peristiwa selanjutnya secara
kronologis sesuai dengan tahapan plot. Plot digolongkan sebagai plot sorot-balik
jika urutan peristiwa dalam cerita bersifat tidak kronologis, melainkan dari tahap
tengah atau akhir cerita (Nurgiyantoro, 1995:153-154). Dalam sebuah cerita,
terkadang seorang pengarang memasukkan kenangan pada masa lalu yang tidak
dimaksudkan sebagai sorot-balik, melainkan teknik backtracking. Teknik ini
merupakan salah satu teknik pengaluran dengan cara pelaku dalam cerita
mengenangkan apa yang telah terjadi sebelumnya melalui dialog, mimpi, atau
lamunan tokoh (Tasrif lewat Lubis, 1978:10).
1.5.2.1.2 Tokoh dan Penokohan
Tokoh cerita dimaksudkan untuk individu rekaan yang mengalami peristiwa
atau menjadi pelaku di dalam berbagai peristiwa cerita. Tokoh merupakan salah
satu unsur di dalam karya sastra yang memegang peranan penting. Tokoh
melahirkan perilaku dan membawa ide-ide yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca.
Tokoh dalam sebuah cerita perlu digambarkan ciri-ciri, sifat, serta sikap
batinnya agar wataknya dikenal oleh pembaca. Watak, dalam konteks ini,
mencakup kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakan dengan
tokoh lain. Usaha menggambarkan watak dan citra tokoh inilah yang disebut
penokohan (Sudjiman, 1992:23). Nurgiyantoro (1995: 166) menjelaskan,
pengertian penokohan meliputi masalah siapa tokoh cerita, perwatakan tokoh
12
tersebut, penempatan dan penggambaran tokoh, serta pemunculan dan
pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.
Berdasarkan fungsi pemunculannya, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh
protagonis dan antagonis. Menurut Luxemburg dkk (Nurgiyantoro, 1995:180),
tokoh dapat dikategorikan protagonis jika tokoh tersebut diberi lebih banyak
kesempatan uantuk mengemukakan visi, sikap, atau pandangannya sehingga
kemungkinan besar memperoleh simpati dan empati pembaca. Dengan kata lain,
tokoh protagonis dapat membuat pembaca mengidentifikasikan diri dengannya
dan melibatkan diri secara emosional terhadapnya. Tokoh antagonis adalah tokoh
yang beroposisi dengan tokoh protagonis sehingga memunculkan konflik.
Menghadirkan dan menggambarkan tokoh dalam sebuah karya sastra tidak
dapat dilakukan secara sembarangan dengan mengesampingkan tujuan artistik.
Dibutuhkan sarana pelukisan yang tepat dan mampu menyatu dengan unsur-unsur
lainnya agar tujuan tersebut tercapai (Nurgiyantoro, 1995:194). Sebuah tokoh
dapat dilukiskan dengan menggunakan teknik ekspositori dan dramatik. Teknik
ekspositori merujuk pada pelukisan secara langsung dengan memberikan deskripsi
atau uraian tanpa berbelit-belit (Nurgiyantoro, 1995:195-196). Dengan teknik ini,
pengarang dapat menjelaskan watak dan kedirian tokoh dengan sederhana dan
ekonomis sehingga meminimalkan kesalahan dalam penafsiran. Teknik dramatik
merupakan teknik pelukisan secara tidak langsung baik melalui tindakan, ucapan,
pikiran, maupun kejadian (Nurgiyantoro, 1995:198). Teknik ini memungkinkan
pembaca menggunakan imajinasinya dan menyelami karakter tokoh.
13
1.5.2.1.3 Tema
Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya
sastra (Sudjiman, 1992:50). Tema merupakan ide-ide yang ingin disampaikan oleh
pengarang melalui cerita yang dibangun yang menjadi dasar pengembangan cerita
itu sendiri. Dengan demikian, tema mengikat kehadiran berbagai peristiwa,
konflik, serta pemilihan unsur-unsur yang lain seperti penokohan, latar, dan
penyudutpandangan.
Dalam sebuah cerita, tema dapat berjumlah lebih dari satu. Tema dapat
dibagi menjadi dua, yakni tema mayor (tema utama) dan minor (tema tambahan)
(Nurgiyantoro, 1995:82-83). Tema minor sebagai makna-makna tambahan yang
ada dalam sebuah cerita bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan tidak berkaitan
dengan makna pokok. Makna-makna tambahan memiliki keterkaitan yang bersifat
mendukung dan mempertegas keberadaan makna pokok. Artinya, tema mayor
dapat dikatakan sebagai rangkuman dari tema-tema minor.
Penentuan tema dapat dilakukan dengan memahami cerita secara
keseluruhan terlebih dahulu, kemudian mencari kejelasan ide-ide perwatakan,
peristiwa-peristiwa dan konflik, dan latar. Tema disaring dari motif-motif yang
ada dalam cerita. Empat kriteria dalam usaha menemukan tema sebuah novel
dikemukakan oleh Stanton (Nurgiyantoro, 1995:87). Pertama, dengan
mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol. Kedua, tidak bertentangan
dengan tiap detil cerita. Ketiga, tidak mendasarkan pada bukti-bukti yang tidak
dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang
bersangkutan, dengan kata lain tema tidak dapat ditafsirkan hanya berdasarkan
14
perkiraan, imajinasi, atau informasi lain yang diragukan. Keempat, dengan
mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang
disarankan dalam cerita.
1.5.2.2 Kajian Intertekstual
Analisis struktural sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai dua
kelemahan pokok, yakni melepaskan karya sastra dari rangka sejarah sastra dan
mengasingkan karya sastra dari rangka sosial budaya (Teeuw, 1983:61). Oleh
karena itu, setelah kajian struktural dilakukan, peneliti akan mengkaji hubungan
intertekstual unsur-unsur intrinsik kedua novel tersebut. Prinsip intertekstualitas
pertamakali dikembangkan oleh peneliti Prancis Julia Kristeva yang memandang
setiap teks sebagai mosaik kutipan-kutipan yang diserap dan ditransformasikan
dari teks-teks lain (Teeuw, 1984: 120). Kajian intertekstual menurut Nurgiyantoro
(1995:50) merupakan sebuah analisis terhadap sejumlah teks kesastraan untuk
menemukan adanya hubungan tertentu di antara teks-teks tersebut, misalnya
hubungan dalam unsur-unsur seperti ide, plot, penokohan, latar, gaya bahasa, dan
lain-lain. Kajian ini bertujuan menemukan makna lebih pada karya tersebut terkait
dengan teks-teks terdahulu.
Dalam penulisan sebuah karya sastra, biasanya terdapat karya lain yang
telah muncul sebelumnya yang menjadi latar pewujudan karya tersebut baik
dengan maksud meneruskan, menolak, maupun memutarbalikkan esensi karya
sastra yang menjadi latar tersebut (Nurgiyantoro, 1995: 51). Perhatian utama
kajian intertekstual tertumpu pada keberadaan karya-karya yang
ditransformasikan dalam penulisan karya yang muncul sesudahnya. Karya sastra
15
yang menjadi latar dari karya sastra yang muncul kemudian tersebut dinamakan
hipogram (Riffaterre, 1984: 11).
Hipogram, dalam penjelasan Teeuw, mencerminkan sebuah sistem konvensi
atau kode sastra dan budayanya. Konvensi atau kode tersebut bukan merupakan
sistem yang ketat. Inilah yang memungkinkan seorang pengarang dalam
menerapkan sistem itu berhak menyesuaikan, menyimpangi, bahkan
melanggarnya. Dengan demikian, sebuah karya sastra yang dilahirkan oleh
seorang pengarang tetap mengandung dan mencerminkan pandangan dan
kepribadian pengarang tersebut. Hal ini dikarenakan adanya unsur kreativitas dan
konsep estetika yang dimiliki oleh pengarang yang digunakan olehnya dalam
penulisan sebuah karya sastra (Teeuw, 1980:11).
Intertekstualitas berpijak dari dua hal, yakni (1) kesadaran tentang arti
penting teks yang terdahulu yang membuat karya sastra setelahnya mempunyai
arti dan (2) teks terdahulu harus dipertimbangkan sebagai penyumbang kode yang
memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikansi (Culler, 1983: 103). Kajian
intertekstual diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang tuntas dari sebuah
karya sastra dalam kontrasnya dengan hipogramnya. Pengertian ini menolak
pemahaman tradisional yang menjalankan prinsip intertekstualitas dengan
melacak sumber-sumber dan pengaruh-pengaruh. Prinsip intertekstual yang
dikemukakan Riffaterre (Pradopo, 1995: 167) mengatakan, sebuah karya sastra
akan mendapat pemaknaan yang menyeluruh ketika dikaitkan dengan sejarah
sastranya.
16
Hubungan dalam kerangka intertekstual tidak melulu bermakna jiplakan
ataupun pengaruh, tapi secara lebih luas dapat dimaknai sebagai pemahaman
terhadap sebuah karya sastra secara utuh dalam kaitannya dengan karya lain.
Intertekstualitas tidak berkaitan dengan masalah ada atau tidaknya niat eksplisit
atau kesengajaan seorang pengarang, bahkan seringkali seorang pengarang tidak
sadar akan hipogram yang menjadi latar karyanya. Riffaterre (Teeuw, 1983:70)
menekankan, karya sastra tersusun atas teks, karenanya, data-data di luar teks
umumnya tidak dapat membantu dalam usaha untuk memahami teks dengan latar
intertekstualnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, pendekatan intertekstual dapat dipahami
sebagai cara pandang seorang peneliti terhadap karya sastra yang mendasarkan
pada pemahaman bahwa sebuah karya sastra memiliki keterkaitan dengan karya
sastra lain yang merupakan hipogramnya yang ditandai dengan adanya
transformasi baik dalam bentuk yang sama (meneruskan) maupun berbeda
(menyimpang). Dalam konteks intertekstual ini, yang ditransformasikan adalah
konvensi yang ada dalam karya hipogram. Dalam tradisi novel detektif-kriminal,
konvensi yang umum contohnya adanya pembunuhan, tokoh detektif yang cerdas,
dan pembongkaran kasus.
1.6 Metode dan Teknik Penelitian
1.6.1 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka. Data-data dikumpulkan dari
buku-buku yang bersangkutan dalam penelitian ini. Dalam menganalisis karya
17
sastra dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan objektif dan
intertekstual. Pendekatan objektif berpijak dari pandangan yang menekankan
karya sastra sebagai struktur yang sedikit banyak bersifat otonom (Teeuw, 1984:
100). Pendekatan objektif tersebut ditindaklanjuti dengan pendekatan
intertekstual. Pendekatan intertekstual menekankan bahwa dalam usaha
mendapatkan makna penuh dari teks sastra harus didasarkan pada teks sastra lain
yang menjadi latar belakang penciptaannya (Teeuw, 1984: 120).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis dan
deskriptif. Metode analisis merupakan cara membagi suatu subjek yang berupa
gagasan-gagasan, organisasi, makna struktur maupun proses ke dalam komponen-
komponen (Keraf, 1981: 60). Metode ini digunakan untuk menguraikan suatu
pokok permasalahan agar memperoleh pengertian dan pemahaman yang tepat.
Metode deskriptif adalah metode melukiskan atau membeberkan sesuatu dengan
memindahkan hasil pengamatan kepada pembaca (Keraf, 1981: 93). Teknik ini
digunakan untuk memaparkan secara keseluruhan hasil analisis yang dilakukan.
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan untuk penelitian ini adalah
kartu data. Penulis mengumpulkan data dengan cara membaca serta mempelajari
buku-buku yang bersangkutan. Data-data yang ditemukan dituliskan dalam kartu-
kartu data yang kemudian diklasifikasikan sesuai jenisnya untuk mempermudah
analisis terhadap data tersebut. Klasifikasi data antara lain berupa data internal
yaitu unsur intrinsik kedua novel dan semua data yang berhubungan dengan
penelitian. Pencatatan dilakukan sesuai dengan unit analisis yang telah dibuat.
18
1.6.3 Sumber Data
Ada dua buah sumber data dalam penelitian ini, yaitu:
1. Judul novel : Kubur Berkubah (judul asli: Dead Man’s Folly)
Pengarang : Agatha Christie
Tahun terbit : 1984 dalam bahasa Indonesia (naskah asli pada 1956)
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
2. Judul Novel : Misteri Cincin yang Hilang
Pengarang : S. Mara Gd.
Tahun terbit : 1995
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
1.7 Sistematika Penyajian
Laporan hasil penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab satu adalah
pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab dua berisi analisis struktural novel KB karya Agatha Christie dan MCH karya
S. Mara Gd yang meliputi unsur plot, tokoh dan penokohan, serta tema. Bab tiga
membahas hubungan intertekstual ketiga unsur dalam kedua novel. Bab empat
berisi kesimpulan dan saran. Di akhir laporan dicantumkan daftar pustaka.
BAB II
ANALISIS STRUKTURAL
NOVEL MISTERI CINCIN YANG HILANG KARYA S. MARA GD DAN
NOVEL KUBUR BERKUBAH KARYA AGATHA CHRISTIE
2.1 Pengantar
Melalui bab ini, penulis akan menjawab rumusan masalah pertama yang
telah disebutkan dalam bab sebelumnya, yakni mengenai struktur novel Kubur
Berkubah karya Agatha Christie dan novel Misteri Cincin yang Hilang karya S.
Mara Gd. Analisis struktural merupakan kajian untuk mendeskripsikan unsur-
unsur intrinsik yang ada dalam sebuah karya sastra dan menggambarkan
hubungan antarunsur tersebut untuk mendapatkan kesatuan makna. Penulis akan
menganalisis struktur novel KB terlebih dahulu. Hal ini didasari alasan bahwa
novel KB terbit lebih dahulu dibandingkan dengan novel MCH. Berikut uraian
hasil analisis struktural kedua novel.
2.2 Analisis Struktural Novel Kubur Berkubah
Unsur-unsur intrinsik merupakan unsur-unsur pembangun sebuah cerita
yang antara lain terdiri dari plot, tokoh dan penokohan, tema, latar,
penyudutpandangan, gaya bahasa, dan judul. Analisis struktural sebuah novel
setidaknya dilakukan pada tiga unsur utama, yakni plot, tokoh dan penokohan,
serta tema agar didapatkan pemahaman yang utuh. Dalam penelitian ini, analisis
20
dilakukan pada ketiga unsur tersebut yang diduga memiliki hubungan
intertekstual. Untuk menganalisis penokohan, sebelumnya kita harus menganalisis
plot agar kita dapat memahami jalinan cerita yang ada. Analisis plot dan
penokohan akan membantu dalam analisis tema. Oleh karena itu, analisis ini akan
dibahas secara berurutan mulai dari plot, tokoh dan penokohan, serta tema agar
didapatkan pemahaman yang sistematis dan efisien.
2.2.1 Analisis Plot Novel Kubur Berkubah
Novel KB menceritakan petualangan detektif terkenal Hercule Poirot dalam
menyelidiki kasus pembunuhan di Nassecombe, Inggris. Novel ini terdiri atas 286
halaman yang dibagi dalam 20 bab. Berikut uraian plot yang dibagi menjadi lima
tahapan sesuai urutan cerita beserta motif-motif cerita yang ada.
2.2.1.1 Tahap Penyituasian
Tahap penyituasian terdiri dari bab satu hingga bab enam. Bab satu
menjelaskan awal mula keterlibatan seorang detektif swasta Hercule Poirot dalam
cerita yang berlangsung. Hercule Poirot ditelepon oleh sahabatnya bernama
Ariadne Oliver, seorang penulis cerita detektif terkenal yang sedang berada di
daerah Nassecombe. Oliver memintanya segera datang ke tempat itu karena
Oliver sangat membutuhkan Poirot. Oliver tidak dapat menjelaskan masalahnya
kepada Poirot di telepon. Karena penasaran, Poirot menuruti permintaan Oliver.
Ketika Poirot tiba di Nassecombe, Oliver menjelaskan duduk persoalannya.
Oliver sedang bekerja untuk merancang permainan pelacakan pembunuhan yang
diadakan esok hari di Nasse House, rumah mewah milik Sir George. Permainan
21
tersebut merupakan acara utama, di samping permainan-permainan lain yang ada
dalam acara yang terbuka untuk umum itu. Acara itu bertujuan meningkatkan
daya tarik wisata daerah tersebut. Oliver merasa ada sesuatu yang aneh akhir-
akhir ini dan mendapatkan firasat akan terjadi pembunuhan sungguhan pada acara
tersebut (motif firasat buruk). Oliver sendiri tidak mengerti mengapa firasat itu
muncul. Ia meminta Poirot menyelidiki hal itu.
Oliver menjelaskan orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraan acara
itu, yakni Sir George Stubbs dan istrinya Lady Hattie Stubbs, Nyonya Amy Folliat
pemilik Nasse House sebelumnya yang kini tinggal di dekat rumah itu, Marlene
pemeran korban pembunuhan, Amanda Brewis sekretaris Sir George, arsitek yang
sedang bekerja pada Sir George bernama Michael Weyman, pasangan suami-istri
Alec-Peggy Legge yang sedang menyewa rumah kecil di kompleks Nasse House
untuk berlibur, anggota Dewan Perwakilan setempat bernama Wilfrid Masterton
beserta istri dan pengawalnya yang bernama Kapten Jim Warburton. Kepada
Poirot, Oliver bercerita bahwa ia telah menawarkan diri kepada orang-orang itu
untuk mengundang Poirot sebagai tamu kehormatan agar acara semakin menarik
dan dikunjungi banyak pengunjung. Poirot akan diberi tugas menyerahkan hadiah
kepada para pemenang.
Bab dua hingga bab lima menceritakan perkenalan dan perbincangan Poirot
dengan orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraan acara itu satu persatu.
Mula-mula dalam perjalanan menuju Nasse House ia bertemu dengan Michael
Weyman di bangunan kecil berkubah, lalu Nyonya Amy Folliat. Setibanya di
Nasse House, Poirot berkenalan dengan Sir George, Hattie, Brewis, Alec, Peggy,
22
Nyonya Masterton, dan Kapten Jim Warburton (motif perkenalan antartokoh).
Semua orang sedang sibuk mempersiapkan acara untuk besok, kecuali Hattie yang
hanya duduk bermalas-malasan. Poirot memperhatikan situasi sambil berbincang-
bincang dengan orang-orang. Beberapa orang membicarakan Hattie. Sosok Hattie
sempat menarik perhatian Poirot. Poirot juga mempelajari skenario acara secara
detil, tetapi ia tidak juga menemukan petunjuk yang dapat menjelaskan firasat
aneh Oliver. Untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak, Poirot
memutuskan untuk menemui Nyonya Folliat, mengingat ia adalah mantan pemilik
Nasse House yang pasti mengenal orang-orang yang ada di situ. Poirot mendapat
banyak cerita tentang sejarah Nasse House dan bagaimana rumah itu berpindah ke
tangan Sir George.
Dengan hasrat menjelajahi daerah sekitar, Poirot berjalan keluar dari
kompleks Nasse House. Langkahnya terhenti di dermaga kecil di pinggir sungai.
Poirot berkenalan dengan lelaki tua petugas penyebrangan bernama Merdell yang
ternyata bekas mandor pengurus kebun Nasse House. Merdell bercerita banyak
hal tentang keluarga Folliat dan Sir George.
Esok paginya, beberapa jam menjelang penyelenggaraan acara tersebut,
dalam acara makan bersama, Hattie mendapatkan surat dari Etienne De Sousa
sepupunya. De Sousa sudah lama tidak bertemu Hattie dan sekarang ia dalam
perjalanan untuk mengunjunginya. Hattie tampak kaget dan gelisah, lalu berkata
bahwa De Sousa itu orang jahat. Poirot semakin penasaran dengan sosok Hattie.
Beberapa orang membicarakannya, juga membicarakan Nyonya Folliat, dan Sir
George. Pagi itu Poirot juga dikenalkan dengan Marlene.
23
Bab enam menceritakan ketika acara dimulai pada siang harinya. Nasse
House ramai dikunjungi orang-orang sekitar dan wisatawan dari luar daerah.
Ketika acara perlombaan busana anak-anak dimulai, hal yang janggal terjadi.
Hattie tiba-tiba menghilang, padahal ia bertugas menjadi juri lomba busana anak-
anak. Tidak lama kemudian De Sousa datang (motif kedatangan tokoh pemicu
terbongkarnya kasus). Ia mencari-cari Hattie, tetapi tidak dapat menemukannya.
Oliver mengajak Poirot mengecek sejauh mana pengunjung berhasil menemukan
petunjuk-petunjuk pelacakan. Oliver dan Poirot kemudian mendatangi gudang
tempat Marlene bertugas sebagai korban pembunuhan.
2.2.1.2 Tahap Pemunculan Konflik
Konflik mulai muncul pada akhir bab enam ketika Poirot dan Oliver yang
telah tiba di gudang dan mendapati Marlene benar-benar tewas terbunuh (motif
pembunuhan). Berita ini segera tersebar ke semua orang di acara tersebut. Tidak
diketahui siapa yang telah membunuh Marlene.
Bab tujuh hingga bab sebelas menceritakan sesaat setelah terjadinya
pembunuhan atas Marlene polisi datang menyelidiki kasus tersebut (motif
penyelidikan). Polisi kemudian meminta informasi awal dari Sir George sebagai
pemilik rumah. Sir George tampak risau karena istrinya menghilang. Usai
diperiksa, Sir George menyarankan polisi menanyakan informasi yang lebih detil
tentang acara yang diadakan di rumahnya tersebut kepada Nona Brewis,
sekretarisnya. Brewis menjelaskan detil acara tersebut dan orang-orang yang
terlibat. Brewis juga mengatakan, ia sempat mengantarkan makanan kepada
24
Marlene sesaat sebelum Marlene tewas. Ia tidak melihat sesuatu yang aneh pada
waktu itu dan tidak ada siapa-siapa di sekitar gudang.
Polisi lalu menemui ibu Marlene tetapi tidak mendapatkan sesuatu yang
berarti. Tiba giliran Oliver diperiksa, ia tampak gelisah dan mengungkapkan
khayalannya yang beragam tentang motif pembunuhan gadis itu. Salah satunya,
kemungkinan Marlene waktu itu melihat seseorang di perahu sedang
melemparkan seseorang ke dalam sungai di dekat gudang itu dan orang itu
melihat Marlene menyaksikannya, lalu Marlene dibunuh. Dari keterangan Oliver
ini, polisi mendapat informasi tentang kemungkinan keterkaitan De Sousa dengan
kasus itu. Polisi juga meminta keterangan Poirot sebagai saksi.
Polisi kemudian menginterogasi De Sousa dan menanyakan tujuan
kedatangannya dan hal-hal yang diketahuinya tentang Hattie. Polisi tidak
menemukan bukti. Polisi lalu kembali menemui Brewis dan menanyakan tentang
keberadaan Hattie. Brewis tidak percaya jika Hattie hilang seperti kabar yang
berkembang. Menurut dugaannya, Hattie menyelinap keluar rumah dengan laki-
laki lain. Sir George menyela perkataan Brewis dan menceritakan ketakutan
Hattie ketika mendapat kabar De Sousa akan mengunjunginya karena De Sousa
suka membunuh orang. Keterangan Sir George mengarahkan kecurigaan polisi
kepada De Sousa (motif penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah). Polisi
juga menginterogasi Michael Weyman, tetapi Michael mengaku tidak tahu apa-
apa tentang pembunuhan tersebut.
Sebagai seorang detektif, Poirot pun turut tertarik menyelidiki kasus ini
(motif penyelidikan). Poirot memulai penyelidikannya dari Nyonya Folliat. Di
25
tengah pembicaraannya dengan Nyonya Folliat, polisi datang dan turut meminta
keterangan dari Nyonya Folliat. Nyonya Folliat tidak mengerti mengapa Marlene
dibunuh. Polisi kemudian menemui Peggy dan menanyakan di mana ia berada
ketika pembunuhan itu terjadi. Peggy mengatakan, ia sedang istirahat di tenda
tempat minum teh, lalu kembali ke tenda ramalan tempat ia bertugas. Polisi
kemudian berdiskusi dengan Poirot dan memberikan semua informasi yang telah
didapatkan oleh polisi kepadanya. Poirot heran, Peggy mengatakan sempat pergi
ke tempat acara minum teh, padahal Nyonya Folliat tidak melihatnya saat itu.
Bab duabelas menceritakan pada keesokan harinya Poirot mendapati Sir
George tampak gelisah karena istrinya belum ditemukan. Brewis berkata pada
Poirot, Hattie itu sebenarnya licik dan mungkin Hattie pergi dengan laki-laki lain.
Brewis sering melihat Hattie menyelinap keluar rumah sendirian. Brewis juga
menduga, Hattie suka pada Michael, tetapi Michael tidak menyukainya karena ia
lebih menyukai Peggy. Michael bekerja pada Sir George karena
direkomendasikan oleh Peggy yang mengenalnya sejak Peggy belum menikah.
Nyonya Masterton datang dan mengungkapkan kepada Poirot mengenai
dugaannya bahwa Marlene dibunuh setelah ia menyaksikan pembunuhan Hattie.
Bab tigabelas. Poirot pusing mendengar semua perkataan itu. Poirot lalu
keluar berjalan-jalan sambil mengamati setiap sudut di halaman Nasse House
yang begitu luas. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang pemuda asing
dari Wisma Remaja. Pemuda itu terperanjat melihat Poirot lalu segera pergi.
Poirot berjalan lagi dan ketika tiba di bangunan berkubah, Poirot menemukan
gelang yang kemarin dipakai Peggy ketika acara berlangsung. Tidak lama
26
kemudian Peggy muncul, dan Poirot menyerahkan gelang itu kepadanya. Poirot
juga menanyakan beberapa hal kepada Peggy. Akhirnya Poirot mengetahui
masalah rumah tangga Peggy. Peggy tertekan dengan sikap Alec yang sering
marah-marah dan menutup diri. Alec juga sering menerima telepon dan pesan
yang aneh-aneh. Alec tidak mau menceritakan hal itu pada Peggy.
Sesaat setelah Peggy pergi, Poirot mendengar jejak kaki. Poirot menduga itu
pemuda asing yang ditemuinya tadi yang ingin menemui Peggy, tetapi ternyata
Alec yang muncul. Poirot bertanya apakah Alec sedang mencari seorang pemuda
dari Wisma Remaja. Alec kaget dan heran mengapa Poirot bisa menebaknya. Alec
akhirnya mencurahkan kegalauan hatinya, ia telah terperangkap tanpa bisa lepas
dalam suatu hal dan diperalat. Poirot semakin bingung dan bertanya-tanya apakah
Alec dan Peggy terkait dengan kasus tersebut.
Bab empatbelas menceritakan penyelidikan polisi di sungai yang diduga
sebagai tempat De Sousa menenggelamkan Hattie. Diceritakan pula secara singkat
mengenai sidang kasus itu yang tidak membuahkan hasil sehingga sidang harus
ditunda. Poirot juga melakukan penyelidikan di taman tempat acara kemarin
berlangsung, tetapi tidak memperoleh hasil. Poirot sedih karena ia tidak dapat
mencegah terjadinya pembunuhan itu.
Bab limabelas. Dua minggu berlalu tanpa perkembangan yang berarti. Polisi
belum dapat menemukan petunjuk yang mengarah kepada pembunuh. Keesokan
harinya polisi mendapatkan kabar bahwa Merdell ditemukan tewas di sungai
(motif pembunuhan). Sidang pemeriksaan kematiannya memutuskan, Merdell
27
tewas karena kecelakaan tunggal yang disebabkan faktor usia yang sudah lanjut
dan kondisinya yang sedang mabuk.
2.2.1.3 Tahap Peningkatan konflik
Konflik mulai meningkat pada bab enambelas. Sebulan setelah peristiwa
pembunuhan, polisi menemui Poirot untuk mendiskusikan penemuan masing-
masing. Mereka juga mengemukakan segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Dari pembicaraan tersebut, Poirot menyadari bahwa Nyonya Folliat pasti
mempunyai banyak informasi yang berkaitan dengan kasus ini. Maka Poirot pun
kembali bersemangat untuk melanjutkan penyelidikannya. Poirot lalu menemui
Nyonya Folliat, tetapi tetap tidak mendapatkan informasi yang berarti, hanya
keanehan pada sikap Nyonya Folliat yang tampak pasrah dan penuh ketakutan.
Lalu Poirot menemui ibu Marlene. Darinya, Poirot baru mengetahui bahwa
Merdell yang baru saja meninggal ternyata kakek Marlene. Ibu Marlene berkata,
anaknya sering diberi alat kosmetik dan aksesoris oleh Peggy. Marylin, adik
Marlene mengatakan, ibunya salah, Marlene tidak mendapatkan barang-barang itu
dari Peggy, melainkan membelinya sendiri dari uang yang diberikan oleh
seseorang. Marlene sering mengintip orang, lalu orang itu memberinya hadiah
agar Marlene menutup mulut.
Poirot telah mendapatkan banyak informasi yang semakin menguatkan
dugaannya. Untuk meyakinkan dirinya, ia lalu menelepon polisi untuk
menanyakan sesuatu. Poirot mendapatkan jawaban yang semakin membuka titik
terang atas kasus itu.
28
2.2.1.4 Tahap Klimaks
Klimaks dapat dipahami sebagai konflik yang memuncak dan akan
mengakibatkan terjadinya penyelesaian yang tidak dapat dihindari. Klimaks dalam
novel ini terdapat di akhir bab enambelas ketika Poirot menelepon Oliver untuk
menanyakan beberapa hal yang akan menjadi ganjalan terakhirnya dalam
mengungkapkan kasus tersebut. Poirot menanyakan bagaimana Oliver
mendapatkan ide dalam merancang permainan pelacakan pembunuhan itu, siapa
orang yang ditugaskan berperan sebagai tokoh yang dikambinghitamkan dalam
permainan itu, siapa yang mempunyai ide menjadikan gudang sebagai tempat
pemeran korban terbunuh, dan tentang ransel yang ditemukan di gudang. Jawaban
Oliver benar-benar membuat Poirot semakin yakin tentang kuatnya insting Oliver
ketika Oliver mendapat firasat akan terjadi pembunuhan. Naluri Oliver dalam
merancang permainan pelacakan itu sesuai dengan kenyataan yang tersembunyi di
balik watak orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraan acara tersebut.
Keterangan dari Oliver telah menjadi benang merah atas semua keterangan
yang dikumpulkan Poirot. Poirot berteriak girang ketika berhasil menemukan
jawaban atas pembunuhan kasus Marlene yang berhubungan dengan tewasnya
Merdell dan suatu pembunuhan yang telah terpendam bertahun-tahun. Peristiwa
tersebut akan diikuti penyelesaian atas konflik yang muncul sebelumnya.
2.2.1.5 Tahap Penyelesaian
Tahap penyelesaian terdapat pada bab delapanbelas hingga bab terakhir,
yakni bab duapuluh. Tahap penyelesaian dalam novel ini memberikan jalan keluar
bagi permasalahan yang ada, yakni kasus pembunuhan dan masalah rumah tangga
29
Alec. Tokoh Poirot berperan dominan dalam menyelesaikan permasalahan itu.
Diceritakan dalam tahap ini Poirot menemui Alec untuk membicarakan masalah
rumah tangga yang dihadapi pasangan Alec-Peggy. Poirot akhirnya mengetahui
bahwa Alec tidak terlibat dalam kasus pembunuhan tersebut dan persoalan yang
menyelimuti rumah tangga Alec tidak ada kaitannya dengan kasus itu. Poirot
kemudian membantu Alec untuk merenungkan hal-hal yang tanpa disadarinya
telah menyebabkan rumah tangganya hampir bubar. Masalah yang menyelimuti
rumah tangga Alec selama ini, menurut Poirot, tidak lain karena kesalahan Alec
sendiri. Alec akhirnya menyadari kesalahannya. Poirot menyarankan Alec segera
menemui istrinya dan meminta maaf atas kesalahannya selama ini. Peristiwa ini
menjadi penyelesaian atas masalah rumah tangga Alec yang sebelumnya menjadi
misteri dan sempat memunculkan kecurigaan Poirot bahwa masalah rumah tangga
Alec berkaitan dengan kasus pembunuhan itu.
Poirot kemudian menemui polisi untuk memberitahukan hasil penemuannya
berkaitan dengan pemecahan atas kasus pembunuhan yang terjadi. Poirot
mengatakan bahwa sang pembunuh yang sebenarnya adalah Sir George. Bab
terakhir menceritakan Poirot menemui Nyonya Folliat untuk memberitahukan
hasil pemecahan kasus itu yang melibatkan anak Nyonya Folliat sebagai tersangka
utamanya (motif pembongkaran kasus). Anaknya tidak lain adalah Sir George
yang selama ini menutupi identitas jatidirinya sebagai James.
Kepada Nyonya Folliat, Poirot menceritakan awal mula peristiwa
pembunuhan Hattie hingga terjadinya tragedi pembunuhan Marlene. Pembunuhan
yang terjadi beberapa tahun yang lalu itu diawali dari kembalinya James ke
30
Nassecombe setelah melarikan diri dari wajib militer bersama istrinya seorang
wanita Italia. Saat itu Nyonya Folliat sedang diberi pekerjaan oleh pemerintah
untuk merawat Hattie, gadis sebatang kara yang baru saja mengalami musibah
karena seluruh keluarganya tewas terkena gempa bumi. Pekerjaan itu diterima
Nyonya Folliat untuk membayar hutangnya yang telah menumpuk. Hattie saat itu
menjadi gadis yang sangat kaya karena mewarisi seluruh harta keluarganya. Ingin
memanfaatkan situasi tersebut, James kemudian menyamar dengan menjadi
pribadi baru bernama Sir George, seorang bujangan kaya. Ia lalu menikahi Hattie,
membunuhnya, lalu memunculkan istri Italianya yang menyamar sebagai Hattie..
James dan istrinya berhasil menutup kasus kejahatan mereka dan menikmati
kekayaan Hattie hingga bertahun-tahun. Kedatangan De Sousa nyaris
membongkar penyamaran Hattie palsu. Sir George telah membuat sandiwara.
Hattie disuruh menyelinap keluar dari Nassecombe, lalu Marlene dibunuh. Sir
George mengatakan bahwa De Sousa suka membunuh agar orang-orang mengira
Hattie telah dibunuh oleh De Sousa, lalu Marlene juga dibunuhnya karena
menyaksikan pembunuhan itu. Tidak lama kemudian Sir George juga membunuh
Merdell agar tidak membuka mulut.
Poirot mengatakan, polisi sekarang sedang membongkar bangunan berkubah
yang di bawahnya terkubur mayat Hattie asli. Nyonya Folliat akhirnya mengakui
kejahatan yang dilakukan oleh anaknya dan menantunya. Ia menyesali
keputusannya menuruti kemauan anaknya dan tidak melaporkan anaknya kepada
polisi. Ia melakukan semua itu karena ia mencintai anaknya.
31
2.2.1.6 Pembahasan Plot
Dari uraian di atas, ditemukan beberapa motif yang menggerakkan plot,
yakni motif firasat buruk, perkenalan antardftokoh, kedatangan tokoh pemicu
terbongkarnya kasus, pembunuhan, penyelidikan, penuduhan terhadap orang tidak
bersalah, dan motif pembongkaran kasus. Hubungan kausalitas antarmotif tidak
selalu dapat dilihat dalam peristiwa yang berlangsung. Peristiwa-peristiwa yang
dimunculkan tidak selalu menunjukkan keterkaitan seketika itu juga. Hubungan
kausalitas itu dapat dilihat di akhir cerita ketika tokoh protagonis menceritakan
hasil pemecahannya atas kasus tersebut. Hal ini merupakan ciri khas dalam cerita
detektif yang betujuan memberikan efek kejutan bagi pembaca.
Berdasarkan kriteria urutan waktunya, plot novel KB tergolong plot lurus.
Tahap demi tahap berurutan mulai dari awal hingga akhir cerita. Kedatangan
Poirot di Nassecombe disusul dengan tewasnya Marlene, lalu polisi dan Poirot
melakukan penyelidikan, kemudian Merdell terbunuh, dan akhirnya Poirot
berhasil membongkar kasus pembunuhan Marlene dan Merdell yang terkait
langsung dengan kasus pembunuhan Hattie yang terpendam selama bertahun-
tahun. Kisah terbunuhnya Hattie yang diceritakan oleh Poirot di akhir cerita tidak
dimaksudkan sebagai sorot balik melainkan sebagai teknik backtracking. Teknik
penceritaan masa lalu itu dimunculkan dalam bentuk dialog untuk
mengungkapkan hasil penyelidikan tokoh Poirot dalam membongkar kejahatan
yang dilakukan oleh tokoh Sir George.
32
2.2.2 Analisis Tokoh dan Penokohan Novel Kubur Berkubah
2.2.2.1 Tokoh Protagonis
Novel KB menampilkan Hercule Poirot sebagai tokoh protagonis yang
membuat plot cerita terjalin melalui pengalamannya menelusuri kasus
pembunuhan di Nassecombe. Poirot seorang lelaki lajang asal Belgia yang sudah
lama tinggal di Inggris dan berprofesi sebagai detektif. Secara fisik Poirot
digambarkan bertubuh gemuk, pendek, dan berkumis tebal. Poirot adalah tipe
orang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan dan bergaul dengan orang-
orang sekitar. Ia mengenal watak orang-orang Inggris yang penuh dengan basa-
basi dan kesopanan ala bangsawan. Ia menyadari keberadaan dirinya di negeri
tersebut sebagai orang asing sehingga ia harus dapat beradaptasi dengan karakter
orang-orang sekitar. Dalam perkenalannya dengan orang-orang di Nasse House,
Poirot berbasa-basi secukupnya dan bersikap sopan. Karena itu, Poirot mudah
diterima oleh orang-orang dan dapat menggali berbagai keterangan melalui
perbincangan mereka. Seperti yang dilakukannya ketika Oliver mengenalkannya
pada Nyonya Folliat yang akhirnya bercerita panjang lebar tentang Nasse House.
Wajah wanita tua itu berseri-seri. ”Oh, ini rupanya M. Poirot yang terkenal itu! Anda baik sekali mau datang untuk membantu kami besok. Wanita cerdas ini telah merencanakan suatu permainan pemecahan perkara yang hebat. Pasti akan luar biasa.” Poirot agak heran melihat keanggunan wanita kecil itu. Sepantasnya wanita inilah yang menjadi nyonya rumah. ”Nyonya Oliver kenalan lama saya,” kata Poirot dengan sopan. ”Saya senang bisa memenuhi permintaannya. Tempat ini betul-betul indah, bangunannya anggun dan sempurna sekali.” Nyonya Folliat mengangguk membenarkan. ”Ya. Rumah ini didirikan oleh kakek buyut suami saya dalam tahun 1790...” (Christie, 1984:35)
33
Ia mempunyai kepercayaan diri yang kuat dan wibawa yang muncul karena
keahliannya dalam memecahkan kasus pembunuhan. Poirot adalah detektif yang
terkenal karena keberhasilannya dalam memecahkan setiap kasus yang
ditanganinya. Keberhasilannya terwujud karena sifatnya yang gigih tanpa putus
asa dalam menelusuri sebuah kasus. Kegigihannya digambarkan oleh pengarang
dengan teknik pelukisan dramatik melalui ucapan dalam dialog antara Poirot
dengan Nyonya Folliat.
Poirot bangkit dan memandangi wanita tua itu. Dan wanita tua itu berkata dengan kesal, ”Mengapa Anda ribut-ribut, sedang polisi saja sudah menyerah.” Poirot menggeleng. ”Oh, tidak, Nyonya, Anda keliru. Polisi tidak menyerah. Dan saya,” sambungnya lagi, ”juga tidak menyerah. Ingat itu. Saya, Hercule Poirot, tidak menyerah.” Suatu kalimat penutupan yang khas dari Hercule Poirot. (Christie, 1984:242)
Ia juga seseorang yang mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Sahabatnya,
Oliver tahu persis watak Poirot. Karena itu pula, Oliver memintanya datang ke
Nassecombe tanpa memberitahukan alasan dari permintaannya tersebut dan
Oliver yakin bahwa Poirot akan datang. Rasa ingin tahu yang besar itu berkaitan
dengan kecintaannya pada kejujuran. Sesuatu yang tampak ditutup-tutupi dengan
kebohongan membuat naluri detektifnya muncul untuk menguak fakta di balik
kebohongan itu. Dalam berbicara dengan orang lain pun, Poirot selalu memancing
lawan bicaranya untuk menceritakan semua yang diketahui orang itu dengan terus
memberikan pertanyaan-pertanyaan dan ucapan-ucapan yang memancing reaksi.
Terkadang ia harus berbohong untuk memancing pengakuan seseorang. Seperti
yang dilakukannya pada Peggy Legge.
34
”Bukankah Anda tadi sedang mencari-cari sesuatu? Mungkinkah ini barang itu?” Diperlihatkannya jimat emas yang kecil itu. ”Saya—oh, ya—. Terimakasih, M. Poirot. Di mana Anda menemukannya?” ”Di sini, di celah lantai itu.” ”Entah kapan jatuhnya.” ”Kemarin barangkali?” ”Bukan, bukan kemarin. Sebelum itu.” ”Bagaimana mungkin, Nyonya. Saya ingat benar melihat benda ini di pergelangan Anda waktu Anda sedang meramalkan nasib saya.” Tak ada orang yang berbohong sepandai Hercule Poirot. Dia berbicara dengan keyakinan penuh dan Peggy Legge pun tertunduk. (Christie, 1984:202) Meskipun Poirot mempunyai komitmen pada kejujuran, Poirot terkadang
merasa harus berbohong. Hal itu tidak berarti Poirot suka berbohong. Poirot
melakukan kebohongan hanya dalam situasi yang menurutnya tidak bijaksana jika
mengungkapkan kejujuran apa adanya. Kebijaksanaan Poirot kadang bertujuan
untuk menjaga perasaan lawan bicaranya. Seperti yang dilakukannya ketika
mengamati tatanan rambut dan penampilan Oliver yang menurutnya kampungan
dan wajah Nyonya Masterton yang mirip anjing pelacak. Ia hanya menyimpan
pengamatannya tersebut dalam hati dan tidak membicarakannya. Kadang Poirot
juga tidak tulus dalam melakukan sesuatu untuk menghormati orang lain.
Misalnya ketika sedang mengantar Poirot menuju Nasse House dari stasiun kereta
api, sopir Nasse House itu membicarakan beberapa tempat yang sedang
dilewatinya. Poirot kemudian memuji tempat yang dimaksud oleh sopir. Meski
hal itu sebenarnya tidak menarik baginya, ia melakukan itu untuk membesarkan
hati lawan bicaranya.
”Ini Sungai Helm, Tuan,” katanya. ”Yang jauh di sana itu Dartmoor.” Poirot menyadari bahwa dia harus menyatakan kekagumannya. Maka dia pun lalu berdecak dan bergumam, ”Sungguh Indah!” beberapa kali. Sebenarnya alam tidak begitu menarik perhatiannya. (Christie, 1984:16)
35
Poirot juga selalu memperhatikan hal-hal yang ditemuinya seremeh apa pun.
Karena kepekaannya ini, Poirot berhasil memecahkan kasus pembunuhan tersebut
melalui hal-hal remeh yang tidak diperhatikan oleh orang lain, bahkan oleh polisi.
Dalam menentang atau menyangkal sesuatu yang tidak sesuai dengan
pendapatnya, Poirot cenderung menahan diri untuk mengungkapkan
ketidaksetujuannya secara lugas. Ia lebih suka mengajak lawan bicaranya untuk
mempertimbangkan kembali pendapatnya yang dianggapnya keliru dengan
mempertanyakan pendapat tersebut.
Konflik yang muncul antara tokoh protagonis dan antagonis dalam cerita ini
tidak lepas dari penokohan kedua tokoh yang saling bertentangan. Watak Poirot
yang cinta pada kebenaran dan kejujuran bertolakbelakang dengan watak tokoh
antagonis yang jahat dan suka menutupi kejahatannya dengan berbagai
kebohongan.
2.2.2.2 Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis dalam novel ini adalah Sir George. Sir George
digambarkan sebagai orang kaya yang penuh akal licik dan kejam, tetapi pintar
dalam menyembunyikan kejahatannya dan ahli berakting serta mempengaruhi
orang dengan kata-katanya. Ia menutupi kejahatannya dengan sikap sopan, ramah,
dan terbuka. Meskipun sopan, Sir Goerge juga digambarkan berpembawaan kasar,
mudah marah, dan mata keranjang. Sir George selalu marah jika ada orang asing
yang melintasi halamannya tanpa izin.
Dari jendela kamar Lady Stubbs, Sir George bersandar keluar dan berteriak dengan marah pada mereka. ”Kalian memasuki daerah terlarang,” katanya. ”Apa?” kata gadis yang berkerudung kepala hijau.
36
”Ini daerah pribadi! Kalian tak boleh lewat di sini.” Gadis yang seorang lagi, yang memakai kerudung biru muda berkata, “Tolong? Dermaga Nassecombe--,” kata-kata itu dilafalkan dengan berhati-hati. ”Inikah jalannya?” ”Kalian masuk daerah orang!” bentak Sir George. ”Apa?” ”Melanggar daerah pribadi! Tak boleh lewat di sini. Kalian harus kembali. Kembali ke tempat kalian tadi!”(Christie, 1984:85) Ia pintar bergaul dan memanfaatkan keahliannya ini untuk mendekati
wanita-wanita cantik yang ditemuinya. Meskipun sudah beristri, Sir George dalam
suatu kesempatan dengan sembunyi-sembunyi menggoda Peggy Legge, istri Alec
Legge.
Dari jarak yang lebih dekat, terdengar suara Sir George yang lembut dan penuh birahi. ”Pantas benar kau memakai cadar itu. Maunya kau berada dalam haremku, Peggy. Aku akan datang dan banyak-banyak minta nasibku diramalkan besok. Apa yang kau ramalkan?” Terdengar bunyi kaki yang bergeser dan suara Peggy Legge terengah berkata, ”George, jangan.” (Christie, 1984:63) Karakter tokoh antagonis tersebut bertolakbelakang dengan karakter tokoh
protagonis. Pertentangan inilah yang akhirnya memunculkan konflik, meskipun
tidak secara langsung, dalam arti kejahatan yang dilakukan tokoh antagonis tidak
menimpa tokoh protagonis maupun orang yang terkait langsung dengan tokoh
protagonis, tetapi kejahatan tersebut bertentangan dengan watak tokoh protagonis
yang cinta kebenaran dan kejujuran.
2.2.2.3 Tokoh Bawahan
Tokoh bawahan adalah tokoh yang dianggap tidak sentral. Beberapa tokoh
bawahan yang muncul dalam novel ini antara lain Nyonya Amy Folliat, Hattie,
Ariadne Oliver, Etienne De Sousa, Merdell, Marlene, dan Alec Legge. Nyonya
37
Amy Folliat dikisahkan sebagai wanita tua yang lemah dan penuh kepasrahan
setelah ia ditinggal seluruh keluarganya, yakni suaminya dan kedua anaknya, dan
mengalami kebangkrutan hingga akhirnya ia harus menjual rumahnya kepada Sir
George. Ia juga berpandangan sinis pada hidup. Suatu ketika ia berkata pada
Poirot bahwa dunia ini jahat dan banyak pula orang yang jahat sekali di dunia ini.
Di akhir cerita, dijelaskan bahwa Nyonya Folliat sebenarnya adalah ibu dari tokoh
Sir George yang sebenarnya bernama James. Tokoh Amy Folliat merupakan
tokoh bawahan yang berpihak pada tokoh antagonis karena ia membela dan
menutupi tindak kejahatan yang dilakukan oleh tokoh antagonis.
Lady Stubbs alias ”Hattie” palsu digambarkan sebagai wanita yang lugu,
manja, suka kemewahan, dan kekanak-kanakan. Ia juga seorang pemalas yang
lebih suka menyuruh pembantunya melakukan semua pekerjaan rumah tangga.
Hattie Stubbs menggeleng. ”Ah, tidak. Saya rasa itu membosankan sekali dan bodoh sekali. Bukankah ada para pelayan dan tukang-tukang kebun? Mengapa bukan mereka saja yang disuruh menyiapkannya?” (Christie, 1984:44) Hattie juga dikenal tertutup dan jarang bergaul dengan orang-orang. Dalam
beberapa kesempatan digambarkan bahwa Hattie hanya sibuk memandangi cincin
barunya, tidur di kamar, dan hanya keluar kamar ketika makan bersama.
Meskipun demikian, beberapa orang mempunyai pandangan lain tentang
Hattie palsu ini. Brewis berpendapat, meski tampak lugu dan bodoh, Hattie
sebenarnya cerdik dan licik.
”Licik,” kata Nona Brewis lagi. ”Penipu! Selalu berpura-pura bodoh—lebih-lebih bila ada orang—. Saya rasa karena pikirnya suaminya senang kalau dia begitu!” (Christie, 1984:185)
38
Di akhir cerita, karakter Hattie ”palsu” tersebut ditunjukkan. Ia sebenarnya
adalah istri pertama James yang berasal dari Itali dan berkomplot dengan James
melakukan pembunuhan atas Hattie ”asli” dan merebut hartanya. Hattie ”palsu”
tersebut berpura-pura bodoh dan lugu, padahal sebenarnya ia kejam dan licik.
Tokoh Hattie ”palsu” merupakan tokoh bawahan yang berpihak pada tokoh
antagonis.
Ariadne Oliver, sahabat Poirot adalah tokoh yang mengantarkan dan
membawa Poirot memasuki cerita dalam novel ini. Oliver adalah seorang janda
tua yang telah menerbitkan banyak buku cerita detektif. Oliver digambarkan
sebagai wanita yang ramah, baik hati, dan percaya diri baik dengan
penampilannya maupun keahliannya. Ia adalah pengarang cerita yang cerdas dan
mempunyai daya imajinasi yang tinggi tetapi sulit menjelaskan sesuatu kepada
orang lain. Ia menganggap dirinya mempunyai insting wanita yang kuat sehingga
ia merasa mendapatkan firasat bahwa akan ada sesuatu yang aneh terjadi dalam
permainan tersebut. Sisi buruknya, ia terkadang terburu-buru dalam mengambil
keputusan. Contohnya, ketika ia dengan asal berimajinasi tentang motif
pembunuhan tersebut.
”Saya tak bisa membayangkan siapa yang mungkin melakukannya. Atau sekurang-kurangnya saya bisa berprasangka—saya bisa mengkhayalkan apa saja! Itulah sulitnya dengan saya. Sekarang saja—pada saat ini saya sudah bisa mengkhayalkan beberapa hal. Saya bahkan bisa membuatnya agar kelihatan seperti benar. Maksud saya, bisa saja dia dibunuh oleh orang yang suka membunuh anak-anak gadis (tetapi itu terlalu mudah)—dan apalagi kebetulan sekali orang yang suka membunuh anak-anak gadis itu berada dalam keramaian hari ini. Lalu bagaimana dia tahu bahwa Marlene berada di gudang kapal itu? Atau mungkin gadis itu mengetahui tentang rahasia cinta seseorang, atau mungkin dia telah melihat seseorang yang menguburkan mayat malam hari, mungkin pula dia telah mengenali seseorang yang selama ini menyembunyikan dirinya—atau mungkin dia telah mencium rahasia
39
tentang tempat tersembunyinya harta karun selama perang. Atau seseorang di perahu telah melemparkan seseorang ke dalam sungai dan gadis itu telah melihatnya dari jendela gudang kapal—atau dia bahkan telah menemukan suatu pesan yang amat penting, tertulis dengan kode rahasia dan dia sendiri tak tahu apa itu.” (Christie, 1984:126) Oliver adalah tipe orang yang mudah gelisah. Setelah ia mengetahui
Marlene terbunuh, ia tampak syok dan kacau. Karena itu, Poirot menyarankannya
minum obat agar lebih tenang. Oliver suka memperhatikan penampilannya,
termasuk rambutnya. Ia suka sekali mengubah-ubah tatanan rambutnya. Oliver
merupakan tokoh bawahan yang berpihak pada tokoh protagonis. Tokoh Oliver
menghubungkan tokoh protagonis dengan tokoh antagonis dan mendukung usaha
tokoh protagonis dalam membongkar kejahatan tokoh antagonis dengan
menyampaikan dugaan dan semua informasi yang diketahuinya.
Etienne De Sousa, sepupu jauh Hattie, adalah lelaki kaya yang ramah dan
berwibawa. Pembawaannya tenang, sopan dan penuh percaya diri. Ia tidak terlalu
suka bergaul dengan orang-orang. Ia berperan sebagai pemicu konflik yang
membuat Sir George dan Hattie palsu takut jika kejahatannya terbongkar.
Merdell, mantan mandor tukang kebun Nasse House, adalah lelaki tua yang
telah berusia 92 tahun dan sekarang bekerja di dermaga penyebrangan di sungai
dekat Nasse House. Ia selalu berpikiran sederhana dan menghindari konflik.
Merdell juga suka meminum minuman keras. Ia terkadang berbicara dengan nada
sinis ketika membicarakan sesuatu yang menurutnya pantas diejek, seperti yang
tampak dalam dialog antara Merdell dengan Poirot ketika membicarakan tentang
Sir George. Merdell yang mengetahui kebusukan Sir George bercerita kepada
Poirot dengan sinis. Merdell menjadi korban pembunuhan karena ia pernah
40
melihat mayat perempuan di hutan sekitar Nasse House dan mengetahui
penyamaran Sir George.
Marlene Tucker, cucu Merdell, adalah gadis lugu yang bodoh dan mudah
disuap. Marlene suka mengintai dan mengintip orang-orang. Ia sering
mendapatkan uang suap dari orang yang diintipnya agar ia menutup mulut. Ia
senang mendapatkan uang suap itu dan membelanjakannya untuk membeli
peralatan kosmetik dan aksesoris pakaian. Secara fisik Marlene tidak cantik dan
wajahnya agak bopeng. Marlene dibunuh karena ia mengetahui kejahatan sang
pembunuh dari cerita kakeknya.
Alec Legge adalah orang luar daerah yang sedang berlibur bersama istrinya
di Nassecombe dan menyewa sebuah rumah di dekat Nasse House untuk beberapa
bulan. Alec digambarkan sebagai orang yang mudah marah, suka menyimpan
masalah sendiri, suka merendahkan kaum perempuan, dan tertutup. Ketika sedang
mengalami masalah dengan partai tempat ia bernaung, Alec tidak mau membagi
masalahnya itu dengan istrinya karena tidak mempercayai istrinya dan lebih suka
memendam masalah itu sendiri. Ia berpendapat, perempuan lebih banyak
membawa masalah.
Di samping tokoh-tokoh di atas, ada pula tokoh-tokoh lain yang berperan
kecil dalam cerita ini, dan karenanya penulis tidak akan mendeskripsikannya
secara detil dalam analisis ini. Di antaranya adalah Nona Brewis (sekretaris Sir
George), Peggy Legge (istri Alec), Michael Weyman (arsitek muda yang bekerja
pada Sir George dan menjadi pemicu kecemburuan Alec karena ia mendekati
Peggy), Nyonya Masterton (istri anggota Dewan Perwakilan setempat), dan
41
Kapten Jim Warburton (pengawal Masterton). Tokoh-tokoh tersebut berperan
untuk menguatkan kelogisan dan menghidupkan alur cerita.
2.2.3 Analisis Tema Novel Kubur Berkubah
Dalam novel KB, penulis menemukan beberapa tema yang dapat
dikelompokkan dalam dua jenis, yakni tema mayor dan tema minor. Penulis akan
mendeskripsikan beberapa tema minor terlebih dahulu. Kemudian, akan diakhiri
dengan perumusan tema mayor. Berikut akan dijelaskan secara beruntun tema-
tema minor dan mayor yang dapat dijumpai dalam KB.
2.2.3.1 Tema Minor
2.2.3.1.1 Keserakahan pada Harta Berakibat Buruk
Tema keserakahan pada harta menjadi salah satu pemicu konflik dalam
novel ini. James, satu-satunya anak Nyonya Folliat yang masih hidup mempunyai
watak yang buruk, di antaranya adalah tamak. Ketamakannya membuatnya
menempuh berbagai cara untuk memperoleh harta, termasuk dengan cara
membunuh. Hattie, korban yang dibunuh James, adalah satu-satunya pewaris
kekayaan sebuah keluarga kaya pemilik perkebunan tebu di Hindia Barat.
Orangtua dan semua saudaranya tewas dalam peristiwa gempa bumi. Hattie yang
hidup sebatang kara akhirnya diasuh oleh Nyonya Folliat. Karena usia Hattie yang
belum dewasa dan kondisi mentalnya yang kurang normal, Nyonya Folliat
menganjurkannya menikah agar ada orang yang melindunginya. James menyamar
sebagai pribadi baru dengan nama Sir George, lalu menikahi Hattie dan
42
membunuhnya agar bisa menikmati harta kekayaan Hattie dan hidup bahagia
bersama istri pertamanya yang berasal dari Italia.
Tindakan James tersebut tidak luput dari dorongan istri gelapnya yang orang
Italia. Istrinya yang berasal dari dunia kejahatan di Italia itu ikut membantu James
membunuh Hattie dan menyamar sebagai Hattie agar dapat turut menikmati
kekayaan Hattie. Keserakahan tersebut berakibat buruk pada diri sendiri dan orang
lain. Di akhir cerita, kejahatan Sir George dibongkar oleh polisi dengan bantuan
Poirot. Keserakahan Sir George juga mengakibatkan tewasnya orang-orang yang
tidak bersalah, yakni Hattie, Marlene, dan Merdell.
2.2.3.1.2 Cinta Sejati Menuntut Kejujuran
Percintaan yang menjadi salah satu tema minor dalam novel ini dialami oleh
pasangan Sir George-Hattie serta pasangan Alec Legge-Peggy Legge yang rumah
tangganya sedang tidak harmonis. Di awal cerita, Sir George digambarkan sangat
mencintai istrinya. Ia senang memanjakan istrinya dengan perhiasan-perhiasan
dan pakaian-pakaian mahal. Meskipun mencintai istrinya, Sir George bukan tipe
suami yang setia. Ia suka berselingkuh secara diam-diam. Tidak hanya Sir George
yang melakukan itu, istrinya ternyata juga berselingkuh secara diam-diam. Hal itu
menunjukkan bahwa cinta yang ada dalam rumah tangga Sir George-Hattie adalah
cinta palsu yang tidak dilandasi dengan kejujuran. Baik Sir George maupun
istrinya sebenarnya lebih mencintai harta daripada pasangannya.
Gambaran cinta dalam rumah tangga Sir George-Hattie berbeda dengan
gambaran cinta dalam rumah tangga pasangan suami-istri Alec dan Peggy.
Awalnya dikisahkan rumah tangga mereka sedang tidak harmonis. Peggy dalam
43
beberapa bulan terakhir kecewa pada suaminya karena suaminya sering marah-
marah dan ia merasa bahwa suaminya menyembunyikan sesuatu darinya. Ia juga
jengkel karena suaminya selalu sibuk dengan urusannya sendiri. Peggy merasa
rumah tangganya kian hambar. Ia tidak lagi merasakan kebahagiaan dalam
hidupnya. Masalah ini tambah memanas dengan kehadiran Michael Waymen yang
suka pada Peggy dan berusaha mendekatinya. Alec mencurigai istrinya selingkuh
dengan Michael. Apalagi Alec mengamati istrinya akhir-akhir ini bersikap
menjauh darinya.
Meskipun sedang dilanda masalah, mereka sebenarnya saling mencintai satu
sama lain. Ketidakjujuran Alec lah yang menyebabkan masalah tersebut muncul.
Di akhir cerita, berkat nasihat Poirot, Alec menyadari kesalahannya merahasiakan
masalah keterkaitannya dengan sebuah partai politik dari istrinya. Masalah yang
dihadapinya itu telah membuatnya gelisah dan tidak memperhatikan istrinya.
Akibatnya, ia tidak dapat membahagiakan istrinya. Poirot lalu menyarankan agar
Alec segera meminta maaf pada istrinya dan mengungkapkan dengan sejujurnya
masalah apa yang sedang dirahasiakannya dari Peggy.
2.2.3.1.3 Bangunan Bersejarah Patut Dilestarikan
Tema ini muncul melalui pandangan tokoh Nyonya Folliat dan Nyonya
Masterton tentang bangunan bersejarah. Dikisahkan bahwa di Nassecombe
terdapat beberapa bangunan kuno yang memiliki nilai arsitektur tinggi. Nasse
House merupakan salah satunya. Nasse House digambarkan memiliki keindahan
tidak ternilai yang didukung oleh halaman yang sangat luas yang menampilkan
panorama alam yang asri. Rumah itu sudah ditinggali keluarga Folliat sejak tahun
44
1598. Awalnya bangunan rumah ini bergaya Elizabeth. Pada tahun 1700 rumah itu
terbakar dan hancur. Kemudian pada 1790 rumah itu dibangun kembali oleh
kakek buyut suami Nyonya Folliat. Hingga kini keindahannya tetap dijaga secara
utuh. Berbeda dengan bangunan-bangunan kuno yang berada di lingkungan
sekitar Nasse House yang sudah banyak yang dirombak karena alasan bisnis.
Salah satu contohnya adalah rumah keluarga Fletcher, tetangga Nyonya Folliat
yang telah menjual rumahnya yang bergaya Victoria. Rumah itu kemudian
dirombak dan dijadikan Wisma Remaja, semacam penginapan bagi para
pelancong yang sedang mengunjungi kawasan Nassecombe.
Menurut cerita Nyonya Folliat, ketika mengalami musibah tewasnya suami
dan kedua anaknya, ia merasa gundah karena beban hutang yang menumpuk di
pundaknya. Mau tidak mau ia harus menjual rumahnya yang sangat dicintainya. Ia
merasa berat menjual rumah yang memuat sejarah panjang keluarganya. Ketika
mengetahui Sir George berniat membeli rumahnya, Nyonya Folliat merasa lega
karena Sir George tidak berniat untuk mengubah bangunan Nasse House dan
mengizinkannya untuk tinggal di rumah kecil di dekat Nasse House. Nyonya
Masterton, istri anggota Dewan Perwakilan setempat juga menyatakan
kebahagiaannya bahwa Nasse House jatuh ke tangan orang yang dapat
menghargai bangunan bersejarah.
Bentuk yang paling tepat dalam menghargai bangunan bersejarah seperti
Nasse House menurut Nyonya Masterton dan Nyonya Folliat adalah dengan
menjaga keutuhannya dan tidak mengubah fungsinya, terutama untuk tujuan
komersil, misalnya dengan menjadikannya sebagai tempat penginapan atau hotel.
45
Mereka menyayangkan beberapa bangunan bersejarah yang ada di daerah
Nassecombe yang akhirnya beralih fungsi menjadi hotel dan wisma penginapan.
2.2.3.1.4 Orangtua Seringkali Membela Anaknya Meski Bersalah
Tema ini dibawakan oleh tokoh Nyonya Folliat, ibu kandung James. Ketika
ditugaskan untuk merawat Hattie, Nyonya Folliat tidak pernah terpikir sedikit pun
untuk membunuh Hattie dan mengambilalih kekayaannya. Kedatangan kembali
James, putra keduanya yang telah melarikan diri dari tugas militer membawa
malapetaka. James yang mengetahui kondisi Hattie segera membuat rencana jahat
untuk mengambilalih kekayaan Hattie. James menyamar menjadi pribadi baru,
seorang bangsaawan kaya bernama Sir George Stubbs, menikahi Hattie, lalu
membunuh Hattie. Nyonya Folliat yang mengetahui tindakan anaknya bergeming.
Ia tahu persis watak buruk anaknya, tetapi ia merasa tidak dapat mencegah
tindakan kejam anaknya itu. Meskipun mengetahui anaknya telah melakukan
tindakan kriminal, Nyonya Folliat menutup mulut kepada semua orang dan tidak
melaporkannya kepada polisi. Ini dilakukannya karena dia mencintai anaknya.
Bertahun-tahun lamanya Nyonya Folliat ikut menyembunyikan kejahatan
yang dilakukan anaknya. Bahkan setelah terjadinya pembunuhan Marlene dan
Merdell, Nyonya Folliat tetap enggan berkomentar banyak dan memberikan
informasi menyangkut peristiwa tersebut kepada polisi dan Poirot. Nyonya Folliat
juga berusaha mematahkan semangat Poirot agar Poirot tidak melanjutkan
penyelidikannya karena takut kejahatan anaknya terbongkar.
46
2.2.3.2 Tema Mayor: Kejahatan Walau Ditutup-tutupi akan Terbongkar
Juga
Tema-tema minor yang telah disebutkan di atas menunjukkan keterkaitan
dan mengerucut pada tema mayor. Tema-tema tersebut menegaskan keberadaan
tema mayor yang penulis temukan, yakni “kejahatan walau ditutup-tutupi akan
terbongkar juga”. Kasus pembunuhan yang dilakukan oleh tokoh antagonis Sir
George disembunyikan dan ditutup-tutupi dengan berbagai kebohongan sehingga
terpendam selama bertahun-tahun. Meski kejahatan tersebut disembunyikan
dengan rapi, kasus tersebut akhirnya terbongkar.
Cerita bermula ketika Sir George yang sebenarnya adalah Tuan James, salah
satu putra Nyonya Folliat, berhasil melarikan diri dari wajib militer dan kembali
ke rumahnya dengan membawa istrinya seorang gadis Italia. Nyonya Folliat
waktu itu sedang merawat Hattie yang hidup sebatang kara tetapi kaya raya. Tema
keserakahan muncul dalam tahap ini dan memicu tindak kejahatan tokoh
antagonis. James tergiur dengan kekayaan Hattie dan ingin merebutnya. Maka ia
menikahi Hattie lalu membunuhnya. Untuk mengubur kasus pembunuhan yang
dilakukannya atas istrinya, Hattie, Sir George menyuruh istrinya yang dari Italia
menggantikan posisi Hattie dan mengaku sebagai Hattie kepada orang-orang di
desa tersebut. Mayat Hattie dikubur di dekat rumah Sir George, lalu di atas
kuburan tersebut dibangun kuil kecil berkubah agar tidak terbongkar.
Nyonya Folliat yang mengetahui tindakan anaknya mengalami konflik batin.
Di satu sisi, ia tidak suka pada tindakan anaknya, tetapi di sisi lain ia sangat
mencintai anaknya. Akhirnya Nyonya Folliat memutuskan untuk tutup mulut atas
47
tindakan anaknya tersebut, bahkan ikut berusaha menutupi kejahatan anaknya.
Tindakan Nyonya Folliat itu menjadi sarana menyampaikan tema orangtua
seringkali membela anaknya meski mengetahui anaknya bersalah.
Satu-satunya saksi kasus pembunuhan tersebut adalah Pak Tua Merdell yang
sebenarnya sudah menceritakan kejadian itu ke orang-orang tetapi orang-orang
tidak percaya karena kebiasaan Merdell yang suka mabuk. Merdell kemudian
menceritakan kejadian tersebut ke cucunya Marlene. Setelah bertahun-tahun kasus
pembunuhan yang dilakukan Sir George tidak terbongkar, De Sousa, sepupu jauh
Hattie berniat mengunjungi Hattie karena sudah lama tidak bertemu dengannya.
Agar identitas Hattie gadungan tidak terbongkar, Sir George menyuruh Hattie
gadungan melarikan diri ke luar kota tanpa sepengetahuan orang-orang sekitar. Sir
George membuat isu bahwa De Sousa adalah orang jahat yang suka membunuh
dan hilangnya Hattie adalah tanggung jawab De Sousa. Agar Merdell dan Marlene
tidak membuka mulut dan membuat skenarionya terbongkar, mereka dibunuh oleh
Sir George.
Sir George memang berhasil menyembunyikan kasus pembunuhan yang
dilakukannya selama bertahun-tahun. Ia juga berhasil menutup mulut Merdell dan
Marlene untuk selamanya. Skenarionya menghilangkan Hattie telah mengecoh
polisi yang kemudian mencurigai De Sousa. Meski demikian, kejahatannya
akhirnya terkuak juga melalui penyelidikan Hercule Poirot, seorang detektif
swasta.
48
2.2.4 Keterkaitan Antarunsur Intrinsik
Deskripsi serta analisis data di atas menunjukkan keterkaitan yang menyatu
antarunsur intrinsik. Sehingga jika salah satu bagian dari unsur tersebut
dihilangkan, maka akan terjadi ketidakjelasan dalam kajian struktural.
Keterkaitan tersebut bisa dilihat dalam hubungan penokohan dengan plot.
Dalam pembentukan plot, karakter tokoh dan peristiwa yang dialaminya membuat
cerita terus bergulir. Misalnya, karakter tokoh Poirot yang berprofesi sebagai
detektif mempunyai rasa ingin tahu yang besar serta mampu beradaptasi dengan
lingkungan sekitar. Hal tersebut menjadi penyebab masuknya tokoh Poirot dalam
jalinan cerita. Ketika Oliver, sahabatnya, meneleponnya dan memintanya datang
ke Nassecombe karena ada sesuatu yang membuatnya gelisah tanpa menjelaskan
lebih detil, naluri detektif Poirot muncul dan membuatnya penasaran sehingga ia
menuruti permintaan Oliver. Kemampuan Poirot dalam beradaptasi dengan watak
orang-orang Nassecombe yang suka berbasa-basi juga membuatnya diterima oleh
orang-orang dan akhirnya ia mampu memecahkan kasus pembunuhan yang terjadi
berdasarkan keterangan-keterangan dari para penghuni Nassecombe. Poirot
mampu mendapatkan keterangan yang tidak didapatkan oleh polisi dari orang-
orang yang sama. Dalam plot sebuah cerita, konflik merupakan unsur utama.
Konflik yang muncul dari pertentangan tokoh protagonis dengan tokoh antagonis
dalam novel KB merupakan konflik tidak langsung. Tokoh utama protagonis
Poirot mempunyai watak selalu ingin tahu, mampu beradaptasi dan bergaul
dengan orang-orang, gigih, dan cinta pada kebenaran, sedangkan watak tokoh
antagonis Sir George adalah kejam, suka membunuh, licik, kasar, pemarah, mata
49
keranjang, tapi pintar menyembunyikan kejahatan dan sifat buruknya. Kasus
pembunuhan yang dilakukan oleh Sir George dan disembunyikannya dengan rapi
memunculkan konflik dengan tokoh Poirot yang dengan semangat dan gigih
menyelidiki kasus tersebut.
Contoh lain adalah hubungan antara penokohan dengan tema. Tokoh-tokoh
dalam cerita ditugasi untuk menyampaikan tema melalui tingkah laku baik verbal
maupun nonverbal, pikiran, perasaan, dan berbagai peristiwa yang dialami tokoh.
Tema utama ”kejahatan walau ditutup-tutupi akhirnya terbongkar juga” tidak
lepas dari penokohan yang ada dalam cerita. Kejahatan yang dilakukan oleh tokoh
antagonis Sir George mampu disembunyikannya dengan baik karena kelicikan
dan kepintarannya dalam menyembunyikan kejahatan dan sifat buruknya.
Meskipun demikian, kegigihan dan komitmen pada kebenaran yang dimiliki oleh
tokoh protagonis utama Poirot mampu membongkar kejahatan Sir George
tersebut. Tema ”orangtua yang seringkali membela anaknya meskipun anaknya
bersalah” didukung dengan penggambaran tokoh Nyonya Folliat sebagai tokoh
yang sangat mencintai anaknya dan tidak mampu menolak keinginan anaknya
yang berniat membunuh Hattie untuk mengambilalih hartanya. Tema keserakahan
pada harta erat kaitannya dengan watak tokoh Sir George dan istrinya yang berani
melakukan tindakan kriminal karena tergiur pada harta. Tema percintaan yang
diwarnai perselingkuhan didukung dengan perwatakan tokoh-tokoh yang
mengalaminya, yakni pasangan Sir George-Hattie dan Alec-Peggy. Sir George
dan Hattie palsu digambarkan sebagai tokoh yang tidak menghargai pernikahan
mereka dan suka berselingkuh. Tokoh Alec merupakan lelaki yang suka
50
menyembunyikan masalah, tidak percaya pada orang lain, pemarah, dan suka
berburuk sangka. Ketika sedang mengalami masalah, Alec memendamnya sendiri
karena tidak percaya pada istrinya. Hal ini, ditambah sikap Alec yang uring-
uringan membuat Peggy gelisah dan merasa tidak bahagia hidup bersama Alec. Di
sisi lain, Peggy yang digambarkan sebagai wanita yang cantik dan pintar menarik
perhatian para lelaki, sehingga Alec cemburu. Kondisi itu membuat rumah tangga
mereka diliputi ketidakharmonisan.
Kemudian hubungan plot dengan tema. Tema-tema yang ditemukan dalam
novel KB berperan dalam membangun plot cerita. Tema keserakahan pada harta
menjadi pemicu (motif) pembunuhan yang dilakukan Sir George atas Hattie.
Tema orangtua yang seringkali membela anaknya meskipun anaknya bersalah
menyebabkan kasus pembunuhan terpendam selama bertahun-tahun. Meskipun
mengetahui anaknya telah membunuh, Nyonya Folliat tidak mau melaporkan
kejahatan anaknya pada polisi karena ia mencintai anaknya. Tema perselingkuhan
dan penghargaan pada bangunan bersejarah membuat jalinan cerita semakin
menarik sekaligus mengecoh pembaca yang penasaran dengan kasus pembunuhan
yang terjadi. Tema utama ”kejahatan walau ditutup-tutupi akhirnya terbongkar
juga” meresap ke dalam jalinan cerita mulai dari awal hingga akhir.
2.3 Analisis Struktural Novel Misteri Cincin yang Hilang
Dalam penelitian ini, analisis struktural yang dilakukan pada novel MCH
meliputi unsur plot, tokoh dan penokohan, serta tema. Analisis plot akan
dilakukan terlebih dahulu agar didapatkan pemahaman akan cerita yang ada. Dari
51
analisis plot tersebut, dapat dianalisis tokoh dan penokohan yang dimunculkan.
Analisis plot dan penokohan akan mengerucut pada tema. Berikut analisis ketiga
unsur tersebut secara berurutan.
2.3.1 Analisis Plot Novel Misteri Cincin yang Hilang
Novel MCH terdiri atas 514 halaman yang terbagi menjadi sembilan bagian
yang didasarkan pada pergantian hari, mulai pada hari Sabtu tanggal 26 Juni
(tahun tidak dijelaskan) hingga Sabtu tanggal 10 Juli. Berikut uraian plot novel
KB berdasarkan urutan cerita yang dibagi ke dalam lima tahap.
2.3.1.1 Tahap Penyituasian
Cerita dimulai pada hari Sabtu, 26 Juni (bab satu). Tahap ini berisi
penggambaran latar utama, yakni sebuah rumah kuno yang megah dan misterius,
serta pengenalan beberapa tokoh. Diawali dengan kunjungan seorang pengusaha
kaya asal Jakarta bernama Edwin ke rumah Firman, teman Edwin yang berada di
kota Lawang, Jawa Timur. Rumah kuno itu ditinggali Firman bersama adik, ibu
kandung, serta ayah tirinya yang bernama Indra. Edwin terpesona keindahan
rumah itu yang didukung pemandangan sekitar yang asri dan sejuk. Ia tertarik
untuk membelinya dan menjadikannya sebagai rumah peristirahatan. Orangtua
Firman menyambut tawaran tersebut karena sudah tidak mempunyai uang yang
cukup untuk merawat rumah itu. Karena rumah tersebut merupakan rumah
warisan orangtua ayah tiri Firman, penjualan rumah tersebut harus atas
kesepakatan para ahli warisnya (motif penjualan rumah warisan).
52
Bab dua, Minggu 27 Juli. Indra beserta istrinya pergi ke Surabaya menemui
Josefina, anak dari kakak kandung Indra yang telah meninggal, Irawan. Indra
ingin meminta persetujuan Josefina sebagai salah satu ahli waris selain Indra
untuk menjual rumah warisan tersebut. Josefina sudah belasan tahun tidak
bertemu dengan pamannya tersebut dan tidak pernah mengetahui riwayat keluarga
ayahnya setelah ayahnya meninggal sewaktu ia masih kecil. Ia kaget karena tidak
pernah tahu bahwa ia mempunyai hak atas sebuah rumah yang diwariskan
kakeknya. Karena belum pernah melihatnya, Josefina bermaksud mengunjungi
rumah tersebut dan menginap beberapa hari di sana sebelum ia mengambil
keputusan untuk menyetujui penjualan rumah itu.
2.3.1.2 Tahap Pemunculan Konflik
Konflik mulai dimunculkan setelah Josefina menginjak rumah warisan
tersebut. Di rumah itu ia mulai mengenal riwayat keluarga ayahnya melalui foto-
foto dan cerita dari bibinya. Sejarah keluarganya ternyata menyimpan banyak
masalah. Kakek Josefina memiliki dua anak kandung, yakni ayahnya (Irawan) dan
Indra, serta seorang anak angkat bernama Hartono. Bibinya bercerita, suatu hari
Hartono kabur dari rumah karena kecewa pada Rahayu, tunangannya, yang
dihamili orang lain. Selang beberapa hari, Irawan juga kabur dari rumah setelah
bertengkar dengan kakek Josefina.
Setelah berbincang-bincang dengan bibinya, Josefina keluar rumah hendak
berjalan-jalan dan membeli koran dan selotip untuk menutup jendela kaca kamar
tempatnya menginap yang tidak dilengkapi gorden. Josefina mendatangi sebuah
warung makan untuk membeli minum. Ternyata warung itu milik Rahayu, dan
53
perempuan yang menjaga warung itu adalah anaknya yang bernama Suharmi.
Josefina berkenalan dan berbincang dengan Suharmi (motif perkenalan
antartokoh). Suharmi mengatakan ibunya tidak pernah mengkhianati Hartono, dan
ia lahir dari benih Hartono.
Josefina kemudian mendatangi sebuah toko kelontong milik seorang lelaki
yang ternyata teman ayahnya sejak kecil. Josefina berkenalan dengan lelaki yang
bernama Hidayat tersebut dan mendapatkan banyak cerita tentang ayahnya dan
kedua pamannya sejak masa kecil hingga peristiwa kepergian Hartono dan Irawan
(motif perkenalan antartokoh). Hidayat mengatakan, kepergian Hartono tidak ada
kaitannya dengan Rahayu. Sebelum Josefina berpamitan, Hidayat menjanjikan
padanya untuk memberikan surat-surat yang ditulis ayahnya untuk Hidayat setelah
kepergian ayahnya dari rumah kakeknya.
Ketika pulang, Josefina berkenalan dengan Firman dan Clara, anak bibinya
(motif perkenalan antartokoh). Malam harinya, setelah makan malam, Indra,
paman Josefina membicarakan kembali soal rencana penjualan tersebut. Indra
mengatakan, rumah tua itu ditawar orang seharga dua ratus juta rupiah, dan
Josefina mendapat separonya. Josefina tetap menolak permintaan Indra.
Bab dua, Senin, 28 Juni. Josefina menemui Hidayat untuk mengambil surat-
surat ayahnya. Hidayat memperkenalkannya dengan istri dan anaknya, Esti
Hidayat dan Fajar. Setelah berbincang-bincang, Hidayat menawarkan Josefina
untuk memperkenalkannya pada Rahayu. Fajar dan Esti Hidayat mengantar
Josefina mengunjungi Rahayu (motif perkenalan antartokoh). Rahayu
menegaskan kepada Josefina, cerita kaburnya Hartono tidak ada kaitan dengan
54
dirinya, dan anak yang dikandungnya ketika itu adalah benih dari Hartono.
Rahayu justru mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi di balik berita
kepergian Hartono yang penuh teka-teki.
Sepulang dari rumah Rahayu, Josefina bertengkar dengan Indra karena Indra
menyalahkan Rahayu sebagai penyebab Hartono kabur dari rumah dan Josefina
tidak sependapat. Josefina juga mengungkit kesalahan Indra ketika menjalankan
perusahaan permen peninggalan kakek Josefina yang mengakibatkan perusahaan
itu bangkrut. Bibi Josefina melerai pertengkaran tersebut. Josefina pergi ke kamar
dan membaca surat-surat tulisan ayahnya. Dari surat itu, Josefina semakin yakin,
kepergian Hartono tidak ada kaitannya dengan kehamilan Rahayu. Malam harinya
Josefina berjalan-jalan ke Malang bersama Firman. Sepanjang jalan mereka
bercengkrama. Inilah awal kedekatan mereka yang membuat mereka saling
tertarik satu sama lain.
Bab empat, Selasa, 29 Juni. Josefina dikenalkan Hidayat dengan Lasito,
mantan tukang kebun keluarga ayahnya (motif perkenalan antartokoh). Lasito
bercerita banyak tentang keluarga ayah Josefina. Secara tidak sengaja Josefina
melihat cincin yang dikenakan Lasito. Josefina pernah melihat cincin itu dipakai
Hartono di foto yang ada di rumah kakeknya. Josefina bertanya kepada Lasito
darimana ia mendapatkan cincin itu, tetapi ia tidak mendapatkan jawaban dari
Lasito. Josefina kemudian menemui Rahayu untuk menanyakan soal cincin
Hartono tersebut. Rahayu mengatakan bahwa cincin itu sangat berharga bagi
Hartono karena itu adalah satu-satunya peninggalan dari ayah kandung Hartono.
55
Dari keterangan tersebut, Josefina mencurigai Lasito mencuri cincin tersebut dari
Hartono.
Sore harinya, Josefina dan Indra kembali bertengkar karena Indra mendesak
Josefina menyetujui penjualan rumah tersebut sedangkan Josefina menolak karena
rumah tersebut menyimpan banyak sejarah keluarga ayahnya. Malam harinya
Josefina ditemani Firman mengunjungi Lasito. Josefina menanyakan lagi soal
cincin Hartono tersebut. Lasito tidak menjawab dan hanya duduk terpaku seperti
orang kebingungan. Melihat reaksi pria tua itu ketika terus didesak oleh Josefina,
Firman menjadi tidak tega dan mengajak Josefina pamit. Karena Josefina tidak
mau, Firman meninggalkannya sendiri di rumah Lasito. Sepuluh menit kemudian,
Josefina pulang menyusul Firman di jalan menuju rumah. Dalam perjalanan,
Firman mengungkapkan, sebenarnya temannya menawar rumah tersebut seharga
enam ratus juta rupiah. Josefina sudah menduga, Indra menipunya. Ia semakin
membenci Indra.
2.3.1.3 Tahap Peningkatan Konflik
Konflik mulai meningkat pada bab lima, Rabu, 30 Juni. Tahap ini ditandai
dengan tewasnya Lasito. Lasito ditemukan tewas di depan teras rumahnya oleh
menantunya pada pagi hari (motif pembunuhan). Kejadian ini dilaporkan ke polisi
setempat. Kresno, tetangga Lasito yang melihat Josefina berkunjung ke rumah
Lasito malam hari sebelumnya, menuduh Josefina sebagai pembunuhnya. Josefina
dituduh ingin mengambil kembali cincin paman angkatnya yang dicuri Lasito
sekitar tiga puluh tahun yang lalu (motif penuduhan terhadap orang yang tidak
bersalah).
56
Di Surabaya, ayah tiri Josefina menerima kabar bahwa anaknya dituduh
membunuh. Ayah tiri Josefina lalu meminta bantuan Kapten Polisi Kosasih,
anggota kepolisian Jawa Timur yang masih punya hubungan saudara dengannya
untuk mengeluarkan Josefina dari tuduhan yang diyakininya tidak benar. Kapten
Kosasih mengajak Gozali sahabatnya untuk membantunya menyelidiki kasus
tersebut.
Kosasih dan Gozali berangkat menuju Lawang, lalu menemui polisi
setempat untuk meminta informasi dan meminta izin ikut dalam penyelidikan
(motif penyelidikan). Josefina membantah telah membunuh Lasito. Ia
menceritakan perbincangannya dengan Lasito. Padanya, Lasito mengaku
menemukan cincin itu di bekas istal kuda, tetapi waktu itu ia tidak tahu kalau itu
cincin Hartono. Kosasih dan Gozali kemudian menemui Kresno. Kresno menuduh
Josefina karena semalam ia melihat gadis itu menemui Lasito dan
mempertanyakan cincin yang dipakai Lasito.
Bab enam, Kamis, 1 Juli. Pada bab ini konflik kian menanjak. Kresno
ditemukan tewas pada pagi hari (motif pembunuhan). Polisi setempat mendatangi
Josefina. Polisi mencurigai Josefina sebagai pembunuh Lasito dan Kresno.
Setelah polisi pergi, Josefina menemui Hidayat untuk mencurahkan perasaannya
yang sedang jengkel karena dituduh membunuh. Ketika pulang, Josefina bertemu
Kosasih dan Gozali. Josefina menegaskan, ia bukan pembunuh.
Kosasih dan Gozali pergi menemui polisi setempat untuk meminta
keterangan lebih detil tentang kematian Kresno. Bersama polisi setempat, Kosasih
dan Gozali lalu menemui dokter yang memeriksa mayat Lasito dan Kresno dan
57
mendapatkan keterangan bahwa pembunuh Lasito bertangan kidal. Kosasih dan
Gozali lalu menemui Jumadi, anak Lasito. Jumadi bercerita, sehari sebelum
meninggal ayahnya mengatakan, sebelumnya ia tidak tahu bahwa cincin tersebut
adalah cincin orang mati, jika ia tahu tentunya ia tidak akan mengambil cincin itu.
Lasito juga bercerita pernah mimpi tentang Hartono, tetapi ia tidak mengerti arti
mimpinya itu. Andai ia mengerti waktu itu, ia pasti akan lapor ke polisi (motif
kesadaran akan pembunuhan terpendam). Keterangan Jumadi membuat Gozali
menyimpulkan bahwa Josefina tidak berbohong dan tidak bersalah. Mereka
berdua lalu menyampaikan kabar baik itu kepada Josefina dan ayah tirinya,
kemudian pulang ke Surabaya bersama Josefina dan ayahnya. Selama perjalanan,
Kosasih dan Gozali berbincang dengan Josefina. Josefina bercerita banyak
mengenai latarbelakang perkenalannya dengan Lasito, juga tentang surat ayahnya.
Gozali lalu meminjam surat tulisan ayah Josefina untuk dipelajari.
Bab tujuh, Sabtu, 7 Juli. Gozali bertemu Kosasih dan menyampaikan dugaan
kuatnya setelah membaca surat tersebut, yakni bahwa Hartono tewas dibunuh lalu
dikuburkan di bekas istal kuda. Mereka lalu berangkat ke Lawang untuk
melanjutkan penyelidikan. Sementara itu, Firman mengajak Edwin ke Surabaya
menemui Josefina untuk membicarakan masalah penjualan rumah. Josefina tetap
menolak menyetujui penjualan rumah itu. Edwin membuat janji dengan Josefina
untuk bertemu kembali malam nanti.
Gozali dan Kosasih tiba Lawang, lalu mengajak polisi setempat melanjutkan
penyelidikan. Mereka menemui istri Kresno dan mendapatkan keterangan bahwa
sebelum meninggal, Kresno pamit untuk tahlilan di rumah Lasito dan berencana
58
ke rumah Indra untuk meminta uang atas jasanya memplester bekas istal kuda
puluhan tahun yang lalu. Kemudian mereka pergi ke rumah keluarga Aznan untuk
meminta keterangan dari Indra soal plesteran di bekas istal. Indra sedang keluar
rumah. Tatiek mengatakan, Indra mungkin ada di rumah Suhadi, temannya. Tatiek
sempat bercerita tentang Suhadi ini. Saat ditanya soal plesteran di istal, Tatiek
mengatakan bahwa plesteran itu sudah ada ketika ia mulai tinggal di rumah itu
setelah Indra menikahinya. Mereka menikah setelah Hartono dan Irawan kabur.
Sambil menunggu Indra pulang, Gozali dan para polisi pergi menemui
Hidayat. Hidayat mengatakan, plesteran itu sudah ada jauh sebelum kepergian
Hartono dan Irawan. Mereka berdua lalu kembali mengunjungi rumah keluarga
Aznan, tetapi Indra belum pulang juga. Diantar oleh Firman, mereka pergi ke
rumah Suhadi untuk mencari Indra. Ternyata di rumah Suhadi pun Indra tidak
ditemukan. Suhadi mengatakan, Indra tadi ke rumahnya, tetapi sudah pulang.
Mereka kembali ke rumah Aznan. Indra belum pulang. Karena hari sudah hampir
malam, Gozali dan Kosasih kembali ke Surabaya.
Sementara itu, Josefina bertemu dengan Edwin dan membicarakan kembali
penjualan rumah itu. Josefina tetap menolak. Selesai pertemuannya dengan
Edwin, Josefina pulang dan mendapat kabar bahwa Indra ditemukan tewas
terbunuh di jalan menuju rumahnya (motif pembunuhan). Josefina lalu pergi ke
Lawang. Kosasih dan Gozali juga kembali ke Lawang setelah mendengar kabar
itu.
Bab delapan, Minggu 4 Juli. Kosasih mengungkapkan kepada keluarga
Aznan tentang dugaannya semula bahwa Hartono sebenarnya tewas dibunuh, dan
59
pembunuhnya adalah Indra, tetapi dugaannya itu dipatahkan dengan tewasnya
Indra. Tatiek lalu mengungkapkan dugaannya tentang siapa pembunuh Indra,
Kresno, Lasito, juga Hartono. Ia mencurigai Suhadi. Dengan penuh amarah, ia
membuka rahasia yang ia pendam selama ini, Indra homo dan Suhadi adalah
pasangan homonya. Tatiek membayangkan kemungkinan Hartono pernah melihat
Indra dan Suhadi berhubungan seks lalu Hartono dibunuh.
Gozali bersama Kosasih dan polisi setempat lalu pergi ke rumah sakit untuk
meminta hasil otopsi pada mayat Indra. Dokter menyimpulkan, pembunuh Indra
bertangan kidal, sama seperti yang terjadi pada Lasito. Mereka kemudian pergi ke
rumah Suhadi untuk membawanya ke kantor polisi. Dalam perjalanan, Kosasih
dan Gozali berdebat tentang alasan Suhadi membunuh Indra. Kosasih tetap yakin
bahwa Suhadi lah pembunuhnya, sedangkan Gozali tidak yakin dengan hal itu.
2.3.1.4 Tahap Klimaks
Cerita ini mencapai klimaksnya ketika Kapten Kosasih, Gozali, dan aparat
polisi setempat berhasil menemui Suhadi di rumahnya. Mereka menyampaikan
maksudnya dan menyuruh Suhadi segera berganti pakaian karena akan dibawa ke
kantor polisi. Ketika sedang menunggu Suhadi, mereka mendengar suara tubuh
terjatuh. Suhadi sedang sekarat. Gozali memangkunya. Detik-detik dalam
peristiwa ini digambarkan dengan sangat menegangkan. Akhirnya Suhadi tewas
(motif pembunuhan). Penyelidikan polisi menyimpulkan Suhadi tewas setelah
meminum kopi beracun yang ditemukan di sampingnya. Peristiwa tewasnya
Suhadi ini menjadi petunjuk bagi Gozali dalam memecahkan rentetan kasus
pembunuhan yang terjadi.
60
2.3.1.5 Tahap penyelesasian
Setelah upacara pemakaman Indra, Firman berbincang-bincang dengan
Josefina di rumah yang kini sepenuhnya menjadi milik Josefina. Firman berniat
akan membawa ibu dan adiknya pindah dari rumah yang kini resmi menjadi milik
Josefina. Josefina meminta Firman tetap tinggal. Josefina akan mencari jalan agar
keluarga Firman dapat tetap tinggal dan ia akan memikirkan cara mendapatkan
uang untuk merenovasi dan merawat rumah itu. Josefina juga menanyakan
perasaan Firman pada Suharmi. Firman menegaskan, ia sudah tidak mencintai
Suharmi lagi.
Sesaat kemudian Gozali, Kosasih, dan polisi setempat muncul. Mereka
bermaksud untuk memberitahukan tewasnya Suhadi sekaligus hendak menangkap
pembunuh yang sebenarnya. Di rumah itu telah ada beberapa orang, yakni Tatiek
dan kedua anaknya, Josefina, dan Hidayat. Pada awalnya keluarga Aznan
menduga bahwa Suhadi lah pembunuhnya dan mereka merasa lega bahwa
pembunuh itu bunuh diri karena akan ditangkap polisi. Gozali mematahkan
pendapat tersebut dan mengatakan bahwa pembunuh yang sebenarnya bukanlah
Suhadi.
Cerita selanjutnya, pada bab sembilan yang merupakan bab terakhir,
melompat enam hari setelah kejadian di atas, yakni hari Sabtu, 10 Juli. Edwin
mengungkapkan perasaannya pada Josefina. Josefina menolaknya dengan halus.
Malam harinya, keluarga Josefina mengadakan syukuran kecil atas tuntasnya
permasalahan yang menimpa keluarga mereka dengan mengundang keluarga
Firman, Kosasih, dan Gozali.
61
Pada pertemuan itu, Kosasih dan Gozali mengungkapkan hasil
pemecahannya atas misteri pembunuhan Lasito, Kresno, Indra, dan Suhadi yang
berkaitan langsung dengan kasus pembunuhan Hartono yang terjadi sekitar tiga
puluh tahun yang lalu (motif pembongkaran kasus). Hidayat lah pembunuhnya. Ia
bersama Indra membunuh Hartono setelah Hartono memergoki mereka
berhubungan intim. Hidayat adalah kekasih Indra sebelum Suhadi. Lasito dibunuh
karena belakangan, setelah pertemuannya dengan Josefina, ia menyadari apa yang
sesungguhnya terjadi tiga puluh tahun yang lalu meskipun ia tidak tahu pasti siapa
yang telah membunuh Hartono. Ketika ia mengungkapkan hal ini kepada Kresno,
Hidayat tidak sengaja mendengarnya secara sembunyi-sembunyi. Karena itu pula
Kresno dibunuh. Hidayat membunuh Indra karena takut Indra akan membocorkan
perbuatan mereka kepada polisi. Dalam kasus kematian Suhadi, Hidayat
sebenarnya menyiapkan Suhadi sebagai kambing hitam dengan membuat seolah-
olah Suhadi bunuh diri karena putus asa setelah perbuatannya terbongkar. Dari
penelusuran Gozali juga ditemukan fakta bahwa kepergian Irawan tidak lain
karena tidak tahan melihat sikap ayahnya yang membela dan menutupi perbuatan
Indra yang telah menewaskan kakak angkatnya, Hartono.
Di akhir cerita, dikisahkan bahwa Firman akhirnya menyatakan cintanya
pada Josefina. Peristiwa ini menutup cerita petualangan Josefina yang akhirnya
menguak sejarah keluarga ayahnya dan menemukan cintanya.
2.3.1.6 Pembahasan Plot
Dari uraian di atas, ditemukan beberapa motif yang menggerakkan plot,
yakni motif penjualan rumah warisan, perkenalan antartokoh, kesadaran akan
62
pembunuhan terpendam, pembunuhan, penyelidikan, penuduhan terhadap orang
tidak bersalah, dan motif pembongkaran kasus. Hubungan kausalitas antarmotif
tidak selalu dapat dilihat dalam peristiwa yang berlangsung. Hubungan kausalitas
itu dapat dilihat di akhir cerita ketika tokoh Gozali menceritakan hasil
pemecahannya atas kasus tersebut. Ini merupakan ciri khas dalam cerita detektif
yang betujuan memberikan efek kejutan bagi pembaca.
Susunan plot novel MCH tergolong plot lurus. Peristiwa pertama diikuti oleh
peristiwa-peristiwa selanjutnya secara berurutan. Peristiwa Josefina mengenang
pembicaraannya dengan Firman ketika berjalan-jalan di Malang dan peristiwa
Gozali menceritakan kembali kisah terbunuhnya Hartono tidak dimaksudkan
sebagai sorot balik melainkan sebagai teknik backtracking. Peristiwa Josefina
mengenang pembicaraannya dengan Firman bertujuan menjelaskan awal mula
ketertarikan Josefina pada Firman yang menurutnya berbeda dengan para lelaki
yang pernah ditemuinya, sedangkan peristiwa Gozali bercerita tersebut
dimunculkan melalui dialog untuk mengungkapkan hasil penyelidikan Gozali
dalam membongkar kejahatan yang dilakukan oleh tokoh Hidayat.
2.3.2 Analisis Tokoh dan Penokohan Novel Misteri Cincin yang Hilang
2.3.2.1 Tokoh Protagonis
Josefina, tokoh protagonis dalam cerita ini adalah seorang mahasiswi tingkat
akhir berusia 23 tahun yang dinamis, tegas dalam bersikap, dan cerdas.
Ketegasannya dalam bersikap tampak dalam pendiriannya untuk tidak menyetujui
penjualan rumah warisan kakeknya kepada orang lain meskipun harga penawaran
63
atas rumah itu cukup tinggi. Baginya, rumah itu sangat berharga karena
menyimpan sejarah mendiang ayahnya dan keluarga besarnya sehingga sayang
jika harus berpindah ke tangan orang lain. Meskipun mendapat tekanan dari
beberapa orang, Josefina tetap tidak mau melepaskan haknya atas rumah itu.
Josefina selalu waspada dan curiga pada orang-orang yang baru dikenal
yang menunjukkan sikap-sikap tidak wajar. Ia sangat cerdik dan mempunyai ide-
ide yang cemerlang dalam merencanakan sesuatu. Semua sifatnya itu, ditambah
rasa ingin tahu yang besar, mengantarkannya masuk dalam kisah terbongkarnya
kasus pembunuhan tersebut. Gambaran yang sangat mencolok tentang watak
Josefina ini terlihat ketika ia mencecar Lasito dengan pertanyaan-pertanyaan
tentang cincin Hartono yang sedang dipakai Lasito. Meski tidak mendapat
jawaban sepatah kata pun dari Lasito, Josefina terus menanyakan apakah Hartono
memberikan cincinnya pada Lasito, bagaimana Lasito bisa mendapatkan cincin
Hartono, dan mengapa diberikan kepada Lasito, apa untuk kenang-kenangan
karena dia mau meninggalkan rumahnya (Mara Gd, 1995:184-185). Josefina
pernah mengungkapkan sikapnya ini ketika ditanya oleh Firman mengapa ia
masih terus penasaran dengan cincin yang dipakai Lasito dalam kutipan
ucapannya berikut.
”Entahlah, aku selalu begitu. Kalau ada sesuatu yang belum terjawab, tidurku enggak bisa pulas. Aku akan terus mencari sampai ketemu jawabannya.” (Mara Gd, 1995:213) Di samping sifat-sifat yang telah disebutkan di atas, ia juga mempunyai sifat
jujur, lugas, dan terbuka. Ia sangat membenci kebohongan dan kemunafikan.
Baginya, kejujuran adalah hal utama yang harus dimiliki semua orang, termasuk
64
lelaki idamannya. Hal ini dikatakannya pada Firman ketika Firman menanyakan
tipe lelaki idaman Josefina.
”Ngomong-ngomong gimana pria idamanmu?” ”Bagiku yang nomor satu orangnya harus jujur. Persyaratan lain sih bisa ditawar. Tapi kejujuran itu suatu keharusan. Aku enggak suka orang yang bermulut manis, atau orang yang munafik, atau orang yang suka bohong. Baik laki-laki maupun perempuan, kalau aku merasa orangnya suka berpura-pura, aku enggak mau berteman.” ..... ”Aku ingin suami yang bisa kuhargai sebagai manusia. Aku jelas tidak bisa menghargai seorang penipu, atau tukang bohong. Bagaimana aku bisa respek kepadanya kalau aku menyaksikan dia membohongi atau menipu orang lain?Bagaimana aku bisa cinta padanya kalau aku memandang rendah perbuatannya? Aku menginginkan suami yang bisa kukagumi. Mana bisa aku kagum padanya kalau aku tahu dia manusia yang munafik, membual ke kiri dan kanan, mengobral janji palsu, mengelabui orang lain?” (Mara Gd, 1995:167) Josefina berani mengungkapkan pendapat dan tidak segan menolak sesuatu
yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Ia mandiri dan tidak tergantung pada
orang lain. Selain itu, ia mau mengakui kesalahan yang diperbuatnya, tidak mudah
termakan pujian, percaya diri, tetapi tidak sombong. Sebagaimana gadis muda
pada umumnya, ia juga memperhatikan penampilan. Contohnya, ketika makan
malam dengan Edwin, Josefina hanya makan sedikit. Edwin menyuruhnya makan
lebih banyak, tetapi Josefina menolak.
”Kau makan terlalu sedikit, ayo.” ”Memang saya enggak mau makan banyak-banyak, nanti saya jadi gemuk,” kata Josefina. (Mara Gd, 1995:399). Konflik yang muncul antara tokoh protagonis dan antagonis dalam cerita ini
tidak lepas dari penokohan kedua tokoh yang saling bertentangan. Josefina
mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi dan cinta pada kebenaran dan kejujuran.
Jika ada sesuatu yang tidak ia mengerti dan terlihat ditutup-tutupi, ia akan
65
menelusurinya hingga ia menemukan jawabannya. Watak tokoh protagonis ini
bertolakbelakang dengan watak tokoh antagonis yang jahat dan suka menutupi
kejahatannya dengan berbagai kebohongan. Kasus pembunuhan yang menyangkut
keluarga tokoh protagonis yang dilakukan dan disembunyikan oleh tokoh
antagonis terpendam selama bertahun-tahun tanpa ada tindakan hukum. Sampai
akhirnya kemunculan tokoh protagonis yang dengan gigih menelusuri sejarah
keluarganya yang misterius memicu terbongkarnya kasus pembunuhan tersebut.
2.3.2.2 Tokoh Antagonis
Ada dua tokoh antagonis dalam novel ini, yakni Hidayat dan Indra. Mereka
dikisahkan dulunya merupakan sepasang kekasih homoseksual. Hubungan Indra
dan Hidayat akhirnya terputus setelah mereka dipergoki Hartono ketika sedang
berhubungan seks. Ketika itu mereka bekerjasama membunuh Hartono dan
menyembunyikan mayatnya dengan dikubur di dalam bekas istal kuda. Setelah
peristiwa itu Indra dan Hidayat saling menjauh.
Hidayat adalah tokoh antagonis yang pada awalnya digambarkan sebagai
orang yang baik hati, tulus, dan suka membantu. Di akhir cerita, ketika
kejahatannya terbongkar, terlihatlah watak aslinya yang jahat dan kejam. Ia
menutupi watak aslinya tersebut dengan sikap yang sopan, murah hati, ramah,
humoris, dan terbuka. Semua itu mampu dilakukannya karena kecerdikannya
dalam bersandiwara dan merencanakan sesuatu untuk memutarbalikkan fakta.
Karena kekejamannya, Hartono, Irawan, Lasito, Kresno, Indra, dan Suhadi tewas
ditangannya. Hidayat juga ternyata suka memanfaatkan orang lain. Ketika ia
66
remaja, ia bersahabat dengan Indra dan mau menuruti hasrat seksual Indra hanya
untuk mendapatkan hartanya.
Indra, adik kandung ayah Josefina yang berarti juga paman Josefina adalah
sesosok lelaki yang licik, pemarah, dan suka memaksakan kehendak pada orang
lain. Waktu kecil ia sangat dimanja oleh ayahnya mengingat ia adalah anak
bungsu dan sering sakit-sakitan. Karena itu, ia tumbuh menjadi pribadi yang
egois. Selain itu, Indra juga suka berbohong. Ketika ia diserahi tugas mengelola
perusahaan permen milik ayahnya, ia menipu pelanggan permen dengan
menurunkan kualitasnya dan menjualnya dengan harga yang sama. Begitu pula
ketika rumah peninggalan ayahnya ditawar orang seharga enam ratus juta rupiah,
ia berkata lain pada Josefina dengan mengatakan, rumah itu ditawar orang seharga
dua ratus juta rupiah. Ia juga berbohong soal Hartono dengan mengatakan bahwa
Hartono kabur dari rumah karena tunangannya mengkhianatinya, padahal
sebenarnya Hartono telah tewas terbunuh. Kebohongan lainnya adalah menikah
dengan Tatiek hanya untuk menutupi kelainan seksnya.
Tindakannya menurunkan kualitas permen dan membohongi Josefina
tentang harga penawaran rumah tersebut juga menunjukkan wataknya yang
serakah akan harta. Selain itu, Indra berwatak keras dan tidak bisa menghargai
pendapat orang lain, terutama orang yang lebih muda. Seperti yang tampak ketika
Josefina mengkritik kesalahan yang dilakukan Indra ketika memegang kendali
perusahaan permen yang diwariskan oleh kakek Josefina.
”Oh, jadi kau sekarang mau mengajari om-mu tentang bagaimana seharusnya menjalankan pabrik?” tanya Indra sinis. Josefina tertawa malu.
67
”Oh enggak, om, bukan itu maksud saya. Saya cuma mengutarakan pendapat saya saja.” ”Hmph! Anak kemarin sore sudah mau mengutarakan pendapatnya! Kau sekolah saja belum selesai, Jo. Umurmu baru berapa kok sudah berani memberi nasihat kepada om-mu?” kata Indra. (Mara Gd, 1995:147). Ia juga suka menyuap orang lain untuk menutup mulutnya. Ia sering
memberi uang pada Hidayat ketika masih berhubungan dengannya agar Hidayat
tetap mau melayani hasrat seksnya dan tidak menceritakan kelainannya tersebut
pada orang lain. Indra juga sering memberi uang kepada Kresno yang mengetahui
bahwa di bawah istal kuda ada mayat Hartono agar Kresno tidak membongkar
kejahatannya itu.
Meski demikian, Indra sesungguhnya adalah sosok ayah yang baik dan dekat
dengan anaknya. Masa lalunya yang bergelimang harta, tetapi kemudian jatuh
miskin secara drastis membuatnya sulit menerima kenyataan. Kesulitan hidup
yang dihadapinya di masa tuanya membuatnya mudah naik darah dan sinis dalam
memandang hidup. Ini sebagaimana pandangan Firman, anak tirinya yang telah
lama hidup bersamanya, dalam kutipan berikut.
”Ada begitu banyak kebencian dan amarah di dalam hatinya, sampai aku tidak tahu bagaimana harus bersikap di hadapannya. Dia begitu gampang marah. Dia mengalami krisis identitas. Dia melihat orang-orang lain semuanya sukses, bisnis mereka berlanjut, berkembang, bisa beli rumah baru, mobil baru, sementara usahanya sendiri gulung tikar. Makanya dia selalu marah. Dulu orangnya tidak begitu kok, Jo. Dia ayah yang baik, selalu sayang padaku...” (Mara Gd, 1995:211) Karakter tokoh antagonis yang kejam dan suka menyembunyikan
kejahatannya itu bertolakbelakang dengan karakter tokoh protagonis yang
mempunyai rasa ingin tahu yang besar dan gigih dalam mengungkap kebenaran.
Pertentangan inilah yang akhirnya memunculkan konflik, meskipun tidak secara
68
langsung. Kejahatan yang dilakukan tokoh antagonis tidak menimpa tokoh
protagonis maupun orang yang mempunyai keterkaitan emosional dengan tokoh
protagonis, tetapi kejahatan tersebut bertentangan dengan watak tokoh protagonis
yang cinta kebenaran dan kejujuran.
2.3.2.3 Tokoh Bawahan
Beberapa tokoh bawahan yang muncul dalam novel ini antara lain Firman,
Lasito, Kresno, Suhadi, Gozali, Tatiek, Clara, Suharmi, dan Rahayu. Firman,
lelaki lajang berusia tigapuluh enam yang bekerja di Malang. Firman adalah anak
tiri Indra memiliki watak yang sangat berbeda dengan ayah tirinya. Firman adalah
lelaki yang bijaksana, jujur, dan baik hati. Ia juga sopan dalam bersikap dan
bertutur kata serta sangat menghormati perempuan. Di samping itu, Firman
termasuk lelaki yang cerdas. Karena hal itulah, Josefina menjadi cepat akrab
dengan Firman. Firman juga orang yang realistis dalam menghadapi permasalahan
hidup. Ia merelakan hubungannya dengan Suharmi putus karena ia yakin bahwa
orangtua mereka tidak akan memberikan restu.
Lasito, tokoh yang menjadi salah satu korban pembunuhan adalah seorang
lelaki tua yang selalu berpikiran sederhana. Ketika ia menemukan cincin di istal,
dan keesokan harinya Kresno datang tiba-tiba untuk memplester istal tersebut,
dilanjutkan dengan datangnya Hartono dalam mimpinya, Lasito tidak mencurigai
rentetan kejadian itu sebagai sesuatu yang aneh. Ia baru menyadari keanehan
tersebut setelah Josefina mempertanyakan cincin yang dipakainya. Ia
menunjukkan watak yang selalu ingin menghindari konflik dengan tidak mau
menjawab pertanyaan Josefina yang membuatnya gelisah tersebut. Lasito juga
69
dilukiskan sebagai sosok yang sopan dan ramah. Tokoh Lasito adalah kunci
terbongkarnya kasus pembunuhan yang telah lama terpendam karena cincin
Hartono yang diambilnya dari bekas istal kuda.
Kresno, korban pembunuhan yang juga teman Lasito berwatak keras. Ia suka
menuduh orang tanpa bukti yang kuat. Ia menuduh Josefina sebagai pembunuh
hanya karena Josefina yang terakhir kali dilihatnya bersama Lasito dan
mempertanyakan soal cincin yang dipakai Lasito padahal Kresno tidak melihat
kejadian terbunuhnya Lasito. Kresno juga suka memeras. Ia memeras Indra
setelah perbincangannya dengan Lasito yang membuatnya menyadari bahwa di
bawah plesteran yang dibuatnya di dalam istal kuda terdapat mayat Hartono.
Tokoh Kresno berperan dalam mengarahkan tuduhan sementara kepada Josefina,
sehingga emosi pembaca yang telah mengidentifikasikan dirinya pada Josefina
dapat ikut terhanyut.
Suhadi, teman akrab Indra yang pernah bekerja di pabrik permennya ini
digambarkan sebagai seorang yang sombong, penuh gengsi, dan kasar. Meski
demikian, hatinya sangat peka seperti ketika ia ditanya soal kematian Indra.
”Apakah kalian bertengkar?” tanya Kosasih. Tak tampak ada reaksi, hanya sedikit air yang mengalir dari kedua matanya yang terbuka (Mara Gd, 1995:457). Tokoh Suhadi sangat berperan untuk mengecoh pembaca dalam
menyimpulkan pembunuh yang sebenarnya. Menjelang klimaks, cerita
menunjukkan beberapa bukti yang mengarah kepada Suhadi. Pada klimaks cerita,
Suhadi tidak terbukti sebagai pembunuh. Ini adalah salah satu teknik
menghadirkan efek kejutan bagi pembaca.
70
Gozali adalah tokoh pemecah masalah yang mulai muncul pada pertengahan
cerita ketika polisi menyelidiki kasus pembunuhan Lasito. Secara fisik, Gozali
digambarkan bertubuh kurus. Gozali seorang lajang yang bersahabat dengan
seorang pejabat kepolisian daerah Jawa Timur bernama Kosasih. Kapten Polisi
Kosasih yang sedang menangani kasus pembunuhan Lasito mengajak Gozali
untuk membantunya menyelidiki kasus tersebut. Gozali berpembawaan tenang,
tidak banyak bicara, selalu memperhatikan hal-hal remeh yang dijumpainya, dan
tidak terburu-buru dalam menyimpulkan sesuatu. Ketika Kosasih menyimpulkan
Suhadi sebagai pembunuh, Gozali mempertanyakannya dan ternyata Kosasih
memang salah duga. Unsur kejiwaan Gozali tidak begitu dimunculkan. Pengarang
hanya menampilkan kecerdikan Gozali dalam menelusuri kasus pembunuhan
tersebut. Seperti yang tampak ketika Gozali berusaha mengetahui apakah Hidayat
bertangan kidal, ia berpura-pura tidak sengaja menyenggol gelas yang disajikan
oleh Hidayat. Secara reflek Hidayat menangkap gelas itu dengan tangan kiri,
padahal gelas itu berada lebih dekat dengan tangan kanannya.
Tatiek, istri Indra serta ibu kandung Firman dan Clara, adalah perempuan
yang tegar dan keibuan. Ia sangat menyayangi anaknya. Setelah ia bercerai dari
suami pertamanya, ia menerima pinangan Indra agar ia tetap mampu menghidupi
anaknya. Ketegarannya membuatnya mampu bertahan dalam menghadapi sikap
Indra yang tidak disukainya. Ia mampu menyimpan masalah rumahtangganya dan
tidak menceritakan kepada anak-anaknya agar tidak membuat mereka kecewa.
Selain itu, Tatiek adalah wanita yang ramah dan mampu bersikap netral ketika
sedang berada di dalam sebuah konflik. Ketika ia dan suaminya ke Surabaya
71
menemui Josefina dan Merri, dialah yang banyak berbicara untuk
mengungkapkan maksud suaminya yang ingin menjual rumah warisan tersebut.
Waktu itu Merri dan Indra masih menyimpan dendam karena konflik di masa lalu.
Tatiek juga selalu melerai dan meredakan ketegangan ketika Indra dan Josefina
bertengkar. Tokoh Tatiek sangat berperan dalam membongkar rahasia bahwa
Indra seorang homoseksual.
Rahayu, mantan tunangan Hartono, adalah wanita yang ramah dan tulus. Ia
juga sangat mencintai Hartono. Rahayu hanya muncul beberapa kali, yakni ketika
Josefina menemuinya. Tokoh Rahayu berperan sebagai orang yang dijadikan
kambing hitam atas kepergian Hartono.
Suharmi, anak Rahayu yang juga darah daging Hartono, adalah perempuan
lajang yang sangat halus perasaannya. Ia sangat menyayangi ibunya. Karena itu
pula, ia rela memutuskan hubungannya dengan Firman agar tidak menyakiti hati
ibunya.
Tokoh-tokoh yang telah disebutkan di atas adalah beberapa tokoh yang
penting untuk dijelaskan dalam analisis ini yang hadir secara langsung dalam
cerita. Di samping tokoh-tokoh tersebut, ada pula tokoh-tokoh penting lain yang
tidak dihadirkan secara langsung, melainkan melalui kenangan tokoh-tokoh yang
hadir. Tokoh-tokoh ini di antaranya adalah Ibrahim Aznan (kakek Josefina),
Nyonya Ibrahim (nenek Josefina), Hartono (anak angkat kakek Josefina), dan
Irawan (ayah kandung Josefina). Keempat tokoh tersebut telah meninggal ketika
cerita berlangsung.
72
Ada pula tokoh-tokoh lain yang tidak akan penulis deskripsikan secara rinci
karena peran mereka kecil dan mereka hanya ditampilkan dalam intensitas yang
relatif sedikit. Di antaranya adalah Edwin (kenalan Firman yang berniat membeli
rumah warisan tersebut), Merri Aznan Sidarta (ibu kandung Josefina), Randi
Sidarta (ayah tiri Josefina), Kosasih (kapten polisi di Polda Jawa Timur, sepupu
jauh Randi, sahabat Gozali), Lettu Hendrik (petugas polisi setempat), Esti Hidayat
(istri Hidayat), Fajar (anak Hidayat yang dijodohkan dengan Josefina), Clara
(anak Tatiek), Jumadi (anak Lasito), Bu Kresno (istri Kresno), Dr Dedi Sukarno
(ahli forensik yang memeriksa mayat Lasito dan Kresno), Untung (Ketua RT
setempat), dan Bik Alia (satu-satunya pembantu yang tersisa dan masih bekerja di
keluarga Aznan). Tokoh-tokoh tersebut dihadirkan untuk menguatkan unsur
kelogisan serta menghidupkan plot cerita yang dibangun.
2.3.3 Analisis Tema Novel Misteri Cincin yang Hilang
2.3.3.1 Tema Minor
2.3.3.1.1 Keserakahan pada Harta Berakibat Buruk
Keserakahan pada harta menjadi salah satu tema minor dalam novel MCH.
Keserakahan tersebut ditunjukkan pada sikap Indra. Ketika ayahnya meninggal,
Indra diserahi tugas untuk mengelola pabrik permen milik ayahnya. Pabrik
permen itu telah mencapai kejayaannya. Penjualan permen sangat tinggi. Laba
yang dihasilkan juga mampu mensejahterakan keluarga Indra dan para
karyawannya. Sayangnya, pabrik tersebut mengalami kemunduran setelah
dipegang oleh Indra. Karena ingin mendapatkan keuntungan yang lebih besar,
73
Indra menurunkan kualitas permen buatannya dengan harga jual yang sama.
Banyak pelanggan yang kecewa dengan turunnya kualitas permen tersebut.
Penjualan permen terus menurun, hingga akhirnya pabrik itu bangkrut.
Ketamakan Indra membuatnya jatuh miskin. Karena tidak bekerja, Indra hanya
mampu menghidupi keluarganya dengan sisa-sisa kekayaan dari orangtuanya dan
penghasilan anak tirinya. Karena hal itu pula, Indra kemudian berniat menjual
rumah warisan orangtuanya yang akhirnya mempertemukannya dengan
keponakannya, Josefina.
Ketamakan Indra juga tampak ketika ia membohongi Josefina tentang harga
penawaran rumah warisan tersebut. Rumah tersebut sebenarnya ditawar oleh
teman Firman senilai enam ratus juta rupiah. Jika jadi dijual, uang hasil penjualan
akan dibagi rata antara Indra dan Josefina yang juga berhak atas rumah tersebut.
Artinya, Indra dan Josefina akan mendapatkan uang masing-masing sebesar tiga
ratus juta rupiah. Akal licik Indra muncul ketika memberitahukan kepada Josefina
harga penawaran atas rumah tersebut sebesar dua ratus juta rupiah, sehingga
Josefina akan mendapatkan bagian sebesar seratus juta rupiah.
2.3.3.1.2 Cinta Sejati Muncul dari Kejujuran
Josefina adalah sosok yang teguh dalam memegang kejujuran. Sifatnya itu
tidak hanya menyebabkan terbongkarnya sebuah kasus kejahatan, tetapi juga
membuat banyak lelaki yang mengenalnya jatuh hati padanya. Di akhir cerita
dikisahkan bahwa Josefina mendapatkan cinta sejatinya setelah melalui berbagai
masalah yang menimpanya.
74
Beberapa tokoh lelaki lajang yang ada dalam cerita jatuh hati pada Josefina
setelah mengenalnya, yakni Fajar, Edwin, dan Firman. Fajar mengenal Josefina
melalui ayahnya (Hidayat) yang merupakan sahabat ayah Josefina. Suatu hari
Hidayat ketika mengenalkan Josefina pada istri dan anaknya (Fajar) mengatakan
pada Josefina, dulu ia dan ayahnya pernah berniat menjodohkan mereka kelak jika
mereka dewasa. Fajar mengatakan pada Josefina, tadinya ia tidak setuju dengan
perjodohan itu, tetapi setelah melihat sosok Josefina ia berubah pikiran karena ia
jatuh hati dengannya. Karena tidak mencintai Fajar, Josefina menolak perjodohan
ini. Edwin, teman Firman, juga mengungkapkan ketertarikannya pada Josefina
karena keteguhannya dalam mempertahankan rumah warisan kakeknya dan
keterbukaannya, tetapi Josefina menolaknya secara halus karena ia tidak
mencintainya.
Kisah percintaan antara Firman dan Josefina mendapat porsi yang lebih dari
kisah percintaan yang lain. Kisah percintaan antara Firman dan Josefina bermula
dari kedatangan Josefina di rumah tempat tinggal Firman atas ajakan orangtua
Firman. Firman adalah anak tiri paman Josefina. Pada waktu itulah mereka
pertama kali bertemu dan berkenalan. Kedekatan mereka bermula ketika Firman
mengajak Josefina jalan-jalan ke Malang. Di sepanjang perjalanan mereka
bercengkrama. Josefina merasa nyaman berada di dekat Firman karena
menurutnya Firman lelaki yang enak diajak berbicara, humoris, dan sopan. Tidak
jarang mereka membicarakan hal-hal yang menyangkut kehidupan pribadi.
Selama Josefina berada di Lawang, Firman sering menemaninya termasuk ketika
ia menghadapi tuduhan pembunuhan atas Lasito. Kedekatannya dengan Firman
75
membuat Josefina jatuh cinta pada Firman. Ia mengetahui bahwa Firman juga
tertarik padanya setelah diberitahu oleh Edwin, teman Firman. Firman tertarik
pada Josefina karena keteguhannya dalam mempertahankan pendapatnya dan
kecintaannya pada kejujuran. Sebaliknya, Josefina juga jatuh hati pada Firman
karena kejujuran dan kebijaksanaannya dalam menjalani hidup. Di akhir cerita,
Firman menyatakan cintanya pada Josefina.
Firman juga dikisahkan pernah menjalin hubungan dengan Suharmi secara
sembunyi-sembunyi. Mereka tidak berani menceritakan hubungan mereka kepada
orangtua masing-masing karena orangtua mereka saling berseteru. Indra, ayah tiri
Firman menuduh Rahayu, ibu Suharmi sebagai penyebab kepergian Hartono.
Rahayu adalah tunangan Hartono. Sebelum Hartono pergi, Rahayu diketahui
hamil. Indra menuduh Rahayu hamil oleh orang lain sehingga Hartono kecewa
dan kabur dari rumah. Karena merasa difitnah oleh Indra, Rahayu membenci
Indra. Perseteruan tersebut membebani hubungan Firman dan Suharmi. Karena
tidak ingin menyakiti hati ibunya, Suharmi akhirnya memutuskan hubungannya
dengan Firman. Meskipun akhirnya mereka memutuskan tali percintaan di antara
mereka, hubungan pertemanan tetap terjalin. Firman masih sering menyambangi
Suharmi di warung makannya. Keputusan Suharmi mengakhiri jalinan cintanya
dengan Firman muncul setelah ia menyadari bahwa rasa cintanya pada ibunya
lebih besar dibanding rasa cintanya pada Firman, dan ia tidak ingin mengingkari
perasaannya itu.
Ada pula cerita cinta yang bertentangan dengan cerita di atas, yakni
percintaan dalam rumah tangga pasangan Indra-Tatiek. Sebenarnya Indra
76
menikahi Tatiek tidak berdasarkan cinta dan hanya untuk menutipi ”kelainan
seksnya”. Mulanya Tatiek tidak tahu hal itu. Ketika tahu bahwa Indra seorang
homo, Tatiek kecewa. Ternyata Indra telah berbohong padanya selama ini,
padahal ia terlanjur cinta pada Indra. Dalam kisah Indra-Tatiek, cinta Tatiek pada
Indra yang tulus tidak terbalas karena cinta Indra pada Tatiek hanyalah sebuah
kebohongan.
2.3.3.1.3 Hubungan Sesama Jenis Tidak Diterima oleh Masyarakat
Indra Aznan, salah satu anak dari keluarga Aznan yang tergolong
terpandang di desanya dikisahkan memiliki kelainan seksual sejak remaja. Tidak
seperti umumnya lelaki, ia lebih tertarik pada sesama lelaki dibanding pada
perempuan. Waktu itu ia masih bisa menahan hasratnya dan menutup rahasianya
kepada orang lain. Setelah ia dewasa, ia tertarik kepada salah seorang temannya
yang bernama Hidayat. Indra lalu memberanikan diri mengungkapkan
perasaannya kepada Hidayat. Karena tergiur dengan kekayaan yang dimiliki
keluarga Indra, Hidayat akhirnya menyambut keinginan Indra untuk berpacaran
dengannya. Hubungan tersebut berlangsung selama kurang lebih tiga tahun hingga
dipergoki oleh Hartono. Setelah itu mereka putus hubungan. Tidak lama
kemudian Indra menjalin hubungan dengan Suhadi, lelaki yang tinggal tidak jauh
dari rumah Indra. Sebelum mengenal Suhadi, Indra sebenarnya telah menikahi
seorang janda yang masih saudara sepupu Hartono, yakni Tatiek. Meski demikian,
pernikahan ini sebenarnya dilakukan Indra untuk menutupi orientasi seksualnya
yang sebenarnya agar orang-orang di sekitar tidak mengetahui rahasia itu.
Hubungan Indra dengan Suhadi akhirnya diketahui oleh Tatiek. Tatiek tidak mau
77
menceritakan masalah tersebut kepada kedua anaknya agar anaknya tidak malu
dan membenci Indra.
Kelainan seksual yang diidap oleh Indra tersebut tidak pernah diungkapkan
kepada oranglain karena norma masyarakat sekitar tidak menerima orientasi
seksual semacam itu. Digambarkan bahwa Lawang adalah kota kecil yang jauh
dari sentuhan modern. Kehidupan masyarakatnya sangat sederhana dan normatif.
Dalam masyarakat seperti itu, homoseksual dianggap sebagai aib dan harus
dijauhi. Tema ini menjadi penyebab utama terjadinya pembunuhan atas Hartono.
Ketika Hartono memergoki Indra dan Hidayat berhubungan seks, Indra dan
Hidayat langsung membunuhnya karena tidak ingin rahasia mereka terbongkar
dan menjadi malu pada masyarakat sekitar yang mencela homoseksual.
2.3.3.1.4 Orangtua Seringkali Membela Anaknya Meski Bersalah
Tema ini menjadi salah satu faktor penyebab terpendamnya kasus kejahatan
Indra dan Hidayat. Ayah Indra digambarkan sebagai sosok yang keras tetapi
sangat mencintai anaknya, terutama Indra. Ayah Indra sangat memanjakannya,
lebih dari saudara-saudaranya. Ketika Indra memberitahu ayahnya dan Irawan
kakak kandungnya bahwa ia telah membunuh Hartono, ayah dan kakaknya sempat
kaget. Karena begitu sayangnya sang ayah kepada Indra, sang ayah tidak mau
melaporkan kasus pembunuhan tersebut kepada polisi dan menutup mulut.
Ayahnya sudah merasa terpukul dengan kematian anak angkatnya itu dan tidak
mau kehilangan anaknya untuk yang kedua kali. Hal inilah yang membuat Irawan,
ayah Josefina bertengkar dengan kakek Josefina dan akhirnya kabur dari rumah.
78
2.3.3.1.5 Bangunan Bersejarah Patut Dilestarikan
Tema ini muncul melalui pandangan tokoh Josefina yang sangat menghargai
peninggalan leluhurnya, dalam hal ini adalah rumah warisan kakeknya. Rumah itu
dibangun oleh Askandar Jiwantono Aznan, kakek buyut Josefina. Kini rumah itu
ditinggali Indra paman Josefina beserta istri, dan kedua anaknya, serta seorang
pembantu yang sudah tua. Indra dan keluarganya merasa kewalahan dalam
merawat rumah itu karena sudah tidak mempunyai uang yang cukup.
Rumah keluarga Aznan tersebut digambarkan sangat besar dan megah
dengan desain arsitektur indah. Lantainya terbuat dari batu pualam, dilengkapi
lampu hias besar dengan puluhan bola lampu yang bergantung di ruang tamu dari
langit-langit yang tinggi, sebuah piano kuno, satu set sofa besar yang kuno, dan
sebuah lemari besar. Namun, rumah itu kini tampak lusuh, lapuk, dan rusak di
beberapa bagian karena kurang perawatan. Rumah itu mempunyai halaman depan
dan belakang yang cukup luas. Di halaman depan terdapat beberapa pohon yang
rimbun, sedangkan di halaman belakang terdapat sebuah bangunan kayu bekas
istal kuda yang berdiri tegak di antara rumput liar yang sudah tinggi dan bekas
tebangan pohon-pohon yang masih bercokol di atas tanah. Suasana lingkungan
sekitar menampilkan panorama alam yang asri dengan kesejukan yang alami.
Keindahan rumah tersebut membuat seorang pengusaha kaya Edwin jatuh
hati dan berniat membelinya. Edwin tidak tega melihat bangunan kuno itu
ditelantarkan. Hal yang sama juga dirasakan oleh Josefina. Ketertarikannya pada
rumah itu bukan hanya karena wujud bangunan itu secara fisik yang tampak
79
indah, tetapi juga karena rumah itu menyimpan sejarah keluarga dari pihak ayah
kandungnya dan rumah itu merupakan peninggalan kakek buyutnya.
Menurut Josefina, cara melestarikan bangunan bersejarah seperti itu adalah
dengan tetap merawatnya dan tidak membiarkannya jatuh ke tangan orang lain di
luar keluarga. Josefina tidak mempermasalahkan jika rumah itu harus
dialihfungsikan sebagian untuk tujuan komersil. Josefina mempunyai ide untuk
memperbaiki dan mengubah sebagian rumah itu untuk dijadikan hotel atau
cottage. Ide itu muncul karena melihat kondisi rumah yang cukup besar itu sudah
banyak kerusakan sementara ia tidak mempunyai cukup uang untuk melakukan
perbaikan dan perawatan. Dengan membangun hotel atau cottage di rumah itu, ia
dapat menghasilkan uang untuk merawat rumah itu tanpa menjualnya ke tangan
orang lain.
2.3.3.2 Tema Mayor: Kejahatan Walau Ditutup-tutupi akan Terbongkar
Juga
Tema mayor yang penulis temukan dalam novel MCH adalah kejahatan
walau ditutup-tutupi akan terbongkar juga. Tema ini menjadi dasar pengembangan
cerita dan meresap ke dalam cerita dari awal hingga akhir. Tokoh antagonis dalam
cerita ini digambarkan mempunyai sifat kejam dan tega membunuh orang. Selain
itu, tokoh antagonis sangat cerdik dalam menutupi kejahatannya dengan berbagai
skenario kebohongan. Namun, kejahatan yang telah disembunyikan tersebut
akhirnya terbongkar setelah kedatangan tokoh protagonis yang secara tidak
sengaja memicu terbongkarnya kasus itu.
80
Dikisahkan bahwa Indra Aznan dan Hidayat adalah pasangan homoseksual
yang telah berhubungan selama beberapa tahun tanpa diketahui oleh keluarga
mereka. Pada suatu hari, Hartono, adik tiri Indra Aznan memergoki Indra dan
Hidayat sedang bermesraan. Karena panik, mereka berdua akhirnya membunuh
Hartono. Indra lalu mengakui kepada orangtua dan kakak kandungnya bahwa dia
telah membunuh Hartono. Kasus ini disembunyikan oleh keluarga Indra dari
orang luar dengan membuat cerita bahwa Hartono kabur dari rumah karena
kecewa dengan pacarnya yang telah berselingkuh. Untuk menyembunyikan
kematian Hartono, mereka berdua lalu mengubur mayat Hartono di dalam istal
tersebut juga. Mereka lalu menyuruh Kresno untuk memplester tanah bekas
kuburan Hartono tersebut dengan semen. Lasito yang saat itu menjadi tukang
kebun menemukan cincin di istal tersebut dan menyimpannya.
Tiga puluh tahun setelah kejadian pembunuhan Hartono, Josefina,
keponakan Indra berlibur selama beberapa hari di rumah Indra yang merupakan
rumah tempat kejadian pembunuhan tersebut dan menginap di sana. Josefina
begitu tertarik menyelidiki kisah kaburnya Hartono yang disusul oleh ayahnya.
Petualangannya mempertemukannya dengan Lasito yang merupakan salah satu
saksi terbunuhnya Hartono. Hal itu memancing ketakutan Hidayat sang pembunuh
yang kemudian secara beruntun membunuh Lasito, Kresno, Indra, dan Suhadi.
Meski Hidayat telah melakukan berbagai usaha, kasus pembunuhan yang
dilakukannya bersama Indra akhirnya terkuak melalui penyelidikan Gozali
bersama temannya Kapten Kosasih, seorang anggota polisi.
81
2.3.4 Keterkaitan Antarunsur Intrinsik
Dari deskripsi serta analisis data di atas, kita dapat melihat adanya kepaduan
antarunsur intrinsik. Jika salah satu bagian dari unsur tersebut dihilangkan, akan
terjadi ketidakjelasan dalam kajian struktural.
Keterkaitan tersebut bisa dilihat dalam hubungan penokohan dengan plot.
Karakter tokoh dan perilaku yang muncul ketika menghadapi berbagai peristiwa
mendukung cerita terus bergulir. Misalnya, karakter tokoh Josefina yang
mempunyai rasa ingin tahu yang besar menjadi awal cerita yang dibangun melalui
penelusurannya atas sejarah keluarganya yang membuatnya penasaran. Konflik
yang muncul dalam cerita terjadi setelah Josefina mendesak Lasito untuk
menjelaskan mengenai cincin Hartono yang dipakai Lasito. Kegigihannya dalam
mengungkap fakta membuat plot cerita berlanjut pada terbunuhnya Lasito yang
belakangan setelah pertemuannya dengan Josefina menyadari bahwa Hartono
tewas karena dibunuh. Watak Kresno yang suka memeras juga membuatnya
terbunuh. Dalam plot sebuah cerita, konflik merupakan unsur utama. Konflik yang
muncul dari pertentangan tokoh protagonis dengan tokoh antagonis dalam novel
MCH merupakan konflik tidak langsung. Tokoh utama protagonis Josefina
mempunyai watak selalu ingin tahu, tegas, lugas, gigih, dan berkomitmen kuat
pada kebenaran, sedangkan watak tokoh antagonis Hidayat adalah kejam, suka
membunuh, licik, tapi pintar dalam menyembunyikan kejahatan dan sifat
buruknya dengan keramahan dan sifat humorisnya. Kasus pembunuhan yang
dilakukan oleh Hidayat bersama Indra dan disembunyikannya dengan rapi
memunculkan konflik dengan tokoh Josefina yang ingin menelusuri sejarah
82
keluarga ayahnya dan secara tidak sengaja memicu terbongkarnya kasus
pembunuhan terpendam.
Keterkaitan antara penokohan dengan tema dapat dilihat dari karakter tokoh
yang membawa makna-makna yang ingin disampaikan oleh pengarang. Tema
”homoseksual tidak diterima oleh masyarakat” didukung dengan penggambaran
tokoh Indra sebagai seorang homoseks yang kemudian menjadikan Hidayat dan
Suhadi sebagai kekasihnya. Hidayat dan Suhadi mau menerima tawaran Indra
untuk menjadi kekasihnya karena mereka berdua menginginkan harta Indra. Tema
utama ”kejahatan walau ditutup-tutupi akhirnya terbongkar juga” tidak lepas dari
karakter tokoh antagonis Hidayat yang kejam dan suka membunuh, tapi pintar
dalam menyembunyikan kejahatan dan sifat buruknya. Karakter Josefina yang
selalu ingin tahu memicu terbongkarnya kasus pembunuhan terpendam yang
dilakukan oleh tokoh antagonis. Tema-tema yang ada dalam MCH berkaitan erat
dengan penokohan yang dimunculkan. Semua tokoh memberikan andil dalam
penyampaian tema sesuai dengan porsinya masing-masing.
Kemudian hubungan plot dengan tema. Tema-tema yang ditemukan dalam
novel MCH berperan dalam membangun plot cerita. Tema ”homoseksual yang
tidak diterima oleh masyarakat” memicu peristiwa pembunuhan Hartono. Tema
”orangtua yang seringkali membela anaknya meskipun anaknya bersalah”
menyebabkan kasus pembunuhan terpendam selama bertahun-tahun. Meskipun
mengetahui anaknya telah membunuh, ayah Indra tidak mau melaporkan
kejahatan Indra pada polisi karena ia sangat mencintainya dan tidak mau
kehilangan anaknya itu. Tema percintaan membuat jalinan cerita semakin menarik
83
karena melibatkan tokoh protagonis dengan anak tokoh antagonis dan anak tokoh
yang dijadikan kambing hitam atas kepergian tokoh yang terbunuh. Tema utama
”kejahatan walau ditutup-tutupi akhirnya terbongkar juga” meresap ke dalam
jalinan cerita mulai dari awal hingga akhir.
2.4 Rangkuman
Di atas telah diuraikan hasil analisis struktural kedua novel. Analisis tersebut
menjadi jawaban atas pertanyaan pertama dalam rumusan masalah yang telah
ditentukan dalam penelitian ini. Hasil analisis struktural kedua novel tersebut
menunjukkan adanya kesamaan dalam unsur plot, tokoh dan penokohan, serta
tema. Oleh karena itu, penulis akan menganalisis lebih lanjut kesamaan dalam
ketiga unsur tersebut dalam kerangka hubungan intertekstualnya pada bab
selanjutnya.
BAB III
ANALISIS HUBUNGAN INTERTEKSTUAL
NOVEL MISTERI CINCIN YANG HILANG KARYA S. MARA GD DAN
NOVEL KUBUR BERKUBAH KARYA AGATHA CHRISTIE
3.1 Pengantar
Bab ini akan menjawab rumusan masalah kedua yang telah ditetapkan dalam
penelitian ini. Hasil analisis struktural novel KB dan MCH yang telah diuraikan
pada bab sebelumnya akan dianalisis hubungan intertekstualnya pada bab ini.
Analisis hubungan intertekstual berangkat dari asumsi bahwa setiap teks akan
bermakna penuh jika dihubungkan dengan teks lain (Riffaterre dalam Pradopo,
1995: 167). Prinsip ini berusaha memahami dan memberikan makna terhadap
suatu teks untuk memudahkan pemahaman makna teks dengan posisi
kesejarahannya. Sebuah proses transformasi tidak hanya dapat bertujuan
meneruskan, tetapi juga menyimpanginya bahkan memutarbalikkan esensinya
(Nurgiyantoro, 1995: 51; Teeuw, 1980: 11).
Dengan demikian, untuk memahami makna novel MCH secara penuh perlu
dihubungkan dengan karya sebelumnya yang diduga menjadi hipogramnya, yakni
novel KB. Hubungan intertekstual MCH dengan KB terlihat dalam plot, tokoh dan
penokohan, serta tema yang dihadirkan. Analisis ini didasarkan pada hasil kajian
struktural yang telah dilakukan pada bab sebelumnya.
85
3.2 Hubungan Intertekstual Unsur Plot
Plot novel KB tergolong plot lurus. Pemplotan cerita dari awal hingga akhir
disusun secara kronologis. Cerita bermula ketika Poirot ditelepon Oliver yang
memintanya segera datang ke Nassecombe. Di Nassecombe, Poirot berkenalan
dan berbincang-bincang dengan orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraan
acara pelacakan pembunuhan. Keesokan harinya, Marlene terbunuh di tengah
acara berlangsung. Polisi datang melakukan penyelidikan. Dari kesimpulan
sementara polisi, De Sousa menjadi orang yang paling dicurigai sebagai
pembunuh. Poirot ikut melakukan penyelidikan secara terpisah. Dua minggu
kemudian, Merdell terbunuh. Sebulan kemudian, Poirot dan polisi mendiskusikan
kasus tersebut. Poirot melakukan penyelidikan lebih lanjut dengan menemui
beberapa orang. Poirot berhasil memecahkan kasus pembunuhan tersebut. Poirot
menemui polisi untuk menyampaikan temuannya tentang pemecahan kasus
pembunuhan tersebut. Lalu Poirot menemui Nyonya Folliat untuk mengklarifikasi
kesimpulan yang didapatkannya mengenai kejahatan terpendam yang dilakukan
anaknya.
Struktur plot novel KB ditransformasikan oleh S. Mara Gd ke dalam MCH.
Plot MCH menggunakan pola urutan waktu yang sama dengan KB, yakni plot
lurus. Cerita diawali dengan ketertarikan seorang pengusaha pada rumah keluarga
Aznan dan akhirnya tertarik untuk membeli rumah tersebut. Sang penghuni
rumah, Indra Aznan dan istrinya Tatiek menemui keponakannya Josefina sebagai
salah satu ahli waris rumah tersebut untuk meminta persetujuannya menjual
rumah warisan itu. Atas ajakan bibinya Tatiek, Josefina tiba di rumah warisan itu
86
dan mendapatkan kisah tentang keluarga leluhurnya yang memancing rasa
penasarannya. Josefina berkenalan dengan orang-orang yang pernah berhubungan
dengan keluarga Aznan dan mengetahui sejarah keluarga Aznan. Josefina
berkenalan dengan Lasito dan melihat cincin Hartono dipakai Lasito. Lasito
terbunuh. Polisi melakukan penyelidikan. Josefina dituduh sebagai pembunuh.
Gozali diajak untuk ikut melakukan penyelidikan bersama polisi. Disusul
kemudian Kresno, Indra, dan Suhadi terbunuh secara beruntun. Gozali
menemukan pembunuh yang sebenarnya. Gozali menceritakan kesimpulannya
tentang rentetan kasus pembunuhan yang terkait dengan kasus pembunuhan di
masa lalu yang terpendam.
Penelitian terhadap plot cerita kedua novel ini akan lebih jelas dengan
menghadirkan penyerapan dan transformasi intertekstualnya dalam hal motif-
motif cerita dari kedua novel yang menjadi objek kajian penelitian. Hal ini untuk
membuktikan secara intertekstual hubungan antara motif-motif yang ada dalam
plot cerita kedua novel.
Motif adalah unsur terkecil dalam suatu cerita yang menggerakkan plot
(Pradopo, 1976: 26). Penulis menemukan beberapa motif yang memiliki
kesamaan di antara kedua novel. Berikut dipaparkan motif-motif yang memiliki
hubungan intertekstual.
3.2.1 Motif Perkenalan Antartokoh
Dalam novel KB, tokoh protagonis Poirot di awal cerita bertemu dan
berkenalan dengan tokoh-tokoh lain yang berkaitan dengan kasus pembunuhan
yang diceritakan kemudian. Poirot diminta datang ke Nasse House oleh Oliver
87
sahabatnya yang meminta bantuannya. Melalui Oliver inilah, tokoh Poirot
bertemu dan berkenalan dengan Sir Geroge, Hattie, dan Nyonya Folliat yang di
akhir cerita diketahui terkait dengan kasus pembunuhan.
Motif tersebut ditransformasikan ke dalam novel MCH. Dalam novel MCH,
tokoh protagonis Josefina di awal cerita bertemu dan berkenalan dengan tokoh-
tokoh lain yang berkaitan dengan sejarah keluarganya yang pelik dan penuh
misteri. Perkenalan tersebut terjadi setelah Indra pamannya dan Tatiek bibinya
menemuinya untuk meminta persetujuannya atas penjualan rumah warisan.
Melalui Indra dan Tatiek inilah Josefina tiba di Lawang, kota kelahiran ayahnya.
Di sana ia bertemu dan berkenalan dengan Suharmi anak Hartono, pamannya dan
Hidayat teman ayahnya. Melalui Hidayat, Josefina berkenalan dengan Rahayu dan
Lasito. Meski demikian, terdapat perbedaan dalam bentuk pertemuan yang tidak
disengaja dalam novel MCH, yakni pertemuan Josefina dengan Suharmi dan
Hidayat.
3.2.2 Motif Pembunuhan Saksi-saksi
Dalam novel KB, sang pembunuh (Sir George) akhirnya memutuskan untuk
membunuh Marlene dan Merdell, kakek Marlene setelah kasus pembunuhannya
mulai tercium oleh polisi. Sir George takut jika Merdell dan Marlene
menceritakan kematian Hattie yang telah disembunyikannya selam bertahun-tahun
kepada polisi. Merdell adalah saksi tidak langsung atas pembunuhan terhadap
Hattie. Ia menceritakannya kepada Marlene. Dua saksi tidak langsung tersebut
dibunuh untuk menutupi jejak kasus pembunuhan.
88
Motif tersebut ditransformasikan ke dalam novel MCH. Hidayat membunuh
Lasito setelah Lasito menyadari adanya pembunuhan yang disembunyikan.
Kresno yang tadinya berniat memeras Indra karena dia mengetahui bahwa tanah
yang diplesternya merupakan tempat dikuburnya Hartono juga dibunuh oleh
Hidayat. Begitu pula nasib Indra yang akhirnya dibunuh oleh Hidayat untuk
menutupi kasus pembunuhan yang dilakukannya bersama Indra. Suhadi yang
sebenarnya tidak berkaitan dengan kasus pembunuhan atas Hartono juga dibunuh
untuk dijadikan kambing hitam atas rentetan kasus pembunuhan yang terjadi
dalam cerita yang berlangsung. Dari penjelasan tersebut tampak adanya
persamaan dalam tujuan pembunuhan saksi-saksi dalam kedua novel, yakni untuk
menghilangkan jejak kejahatan. Meski demikian, terdapat variasi dalam hal
jumlah korban yang dibunuh. Dalam KB ada dua korban, sedangkan dalam novel
MCH ada empat.
3.2.3 Motif Penyelidikan Kasus
Dalam KB, penyelidikan dilakukan oleh Poirot dan polisi secara terpisah.
Polisi mulai melakukan penyelidikan setelah Marlene ditemukan tewas terbunuh.
Polisi melakukan penyelidikan dengan cara menginterogasi orang-orang yang
terlibat dalam penyelenggaraan acara di Nasse House dan mengadakan percobaan
di lapangan untuk mengetahui berbagai kemungkinan soal kronologi pembunuhan
Marlene. Poirot juga melakukan cara yang sama dalam penyelidikannya.
Meskipun polisi dan Poirot melakukan penyelidikan secara terpisah, mereka
beberapa kali melakukan pertemuan untuk saling berbagi informasi. Hal itu
mencerminkan adanya kerjasama antara polisi dan Poirot. Rentang waktu dalam
89
proses penyelidikan hingga pembongkaran kasus dalam cerita ini berlangsung
cukup lama, yakni sekitar sebulan. Hal ini dikarenakan begitu rumitnya kasus dan
minimnya informasi yang didapat.
Motif tersebut ditransformasikan ke dalam novel MCH dalam motif yang
sama. Setelah Lasito terbunuh, polisi melakukan penyelidikan dan mengajak
tokoh lain yang bukan polisi untuk membantu mereka. Penyelidikan tersebut
dilakukan dengan cara mendatangi beberapa saksi yang memiliki hubungan
dengan korban dan meminta kesaksian mereka. Pola transformasi motif ini
tampak dalam tujuan penyelidikan yang sama, yakni untuk mengungkap kasus
pembunuhan yang telah terjadi. Perbedaan ditemukan dalam hal rentang waktu
dalam proses penyelidikan hingga pembongkaran kasus dalam cerita ini yang
berlangsung cukup singkat, kurang dari seminggu. Perbedaan juga ditemukan
dalam hal bentuk hubungan polisi dengan tokoh pemecah masalah (detektif)
dalam penyelidikan. Dalam KB, tokoh Poirot melakukan penyelidikan secara
terpisah, sedangkan tokoh Gozali dalam MCH melakukan penyelidikan bersama-
sama dengan polisi.
3.2.4 Motif Penuduhan Terhadap Orang yang Tidak Bersalah
Dalam KB, tokoh De Sousa menjadi orang yang paling dicurigai oleh polisi
sebagai pelaku pembunuhan atas Marlene, padahal ia sebenarnya tidak bersalah.
Tokoh antagonis secara sengaja membuat skenario agar De Sousa jadi kambing
hitam dalam kasus terbunuhnya Marlene dengan mengatakan bahwa De Sousa
suka membunuh orang.
90
Motif tersebut ditransformasikan ke dalam novel MCH dalam motif yang
sama. Dalam MCH, tuduhan pembunuhan menimpa dua tokoh yang sebenarnya
tidak bersalah, yakni Josefina dan Suhadi. Perbedaan ditemukan dalam hal dasar
penuduhan. Penuduhan yang ada dalam MCH terjadi karena kesalahpahaman
tokoh yang melakukakan penuduhan itu dan bukan karena kesengajaan dari sang
pelaku pembunuhan. Dalam penuduhan terhadap Josefina, tokoh Kresno lah yang
menuduhnya sebagai pelaku pembunuhan atas Lasito meskipun ia tidak melihat
kejadian pembunuhan atas Lasito secara langsung. Polisi setempat juga sempat
mempercayai ucapan Kresno. Dalam hal Suhadi, tokoh Tatiek lah yang
menuduhnya sebagai pelaku pembunuhan atas Hartono, Lasito, Kresno, dan Indra.
Tindakan Tatiek menuduh Suhadi dikarenakan ketidaktahuan Tatiek pada
kejadian yang sebenarnya. Ia hanya menduga berdasarkan pengetahuannya yang
tidak lengkap. Penuduhan terhadap kedua tokoh yang sebenarnya tidak bersalah
ini bukan merupakan skenario dari sang pembunuh.
3.2.5 Motif Pembongkaran Kasus
Di akhir cerita novel KB, kasus kejahatan tokoh antagonis dibongkar oleh
tokoh protagonis setelah melakukan penyelidikan secara mendalam. Dalam
pembongkaran kasus kejahatan tersebut, turut terbongkar pula kasus pembunuhan
di masa lalu yang tidak diduga oleh tokoh protagonis sebelumnya. Tokoh
protagonis Poirot akhirnya mengetahui bahwa kasus pembunuhan atas Marlene
berkaitan dengan pembunuhan atas Merdell, dan yang mengejutkan kedua kasus
tersebut berhubungan dengan kasus pembunuhan di masa lalu yang menimpa
91
Hattie. Poirot menyimpulkan bahwa pembunuh Hattie, Marlene, dan Merdell
adalah Sir George yang sebenarnya adalah James, anak Nyonya Folliat.
Motif tersebut ditransformasikan ke dalam novel MCH dengan pola yang
sama. Dalam kedua novel, pembongkaran kasus ditempatkan di akhir cerita dan
menjadi penyelesaian atas konfik yang ada dalam cerita. Dalam MCH, kasus
kejahatan tokoh antagonis dibongkar oleh tokoh bawahan Gozali bersama polisi di
akhir cerita. Dalam pembongkaran kasus kejahatan tersebut, turut terbongkar pula
kasus pembunuhan di masa lalu yang tidak diduga oleh polisi sebelumnya. Tokoh
Gozali akhirnya mengetahui bahwa kasus pembunuhan atas Lasito, Kresno, Indra,
dan Suhadi berkaitan dengan pembunuhan atas Hartono di masa lalu yang tidak
terduga sebelumnya. Gozali menyimpulkan bahwa pembunuh Lasito, Kresno,
Indra, Suhadi, dan Hartono adalah Hidayat yang sebenarnya pernah menjadi
pasangan homo Indra.
3.2.6 Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Hubungan
intertekstual unsur plot antara novel KB dan MCH muncul dalam kesamaan dan
perbedaan (variasi). Variasi yang ada dalam motif pembunuhan saksi-saksi
menjadikan cerita dalam MCH terasa lebih menegangkan karena saksi yang
dibunuh tidak hanya dua orang seperti yang ada dalam KB, melainkan empat
orang yang dibunuh secara beruntun dalam waktu yang berdekatan. Dalam hal
motif penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah, variasi yang dimunculkan
dalam MCH dengan menjadikan tokoh protagonis sebagai korban penuduhan
92
menjadikan emosi pembaca lebih terpancing. Agar lebih jelas, berikut ini penulis
sajikan tabel ringkasan temuan hubungan intertekstual kedua novel itu.
Motif Novel KB Novel MCH Perkenalan Antartokoh
- Tokoh protagonis Poirot tiba di Nassecombe atas permintaan sahabatnya - Poirot dikenalkan oleh sahabatnya dengan orang-orang yang sedang menyiapkan acara
- Tokoh protagonis Josefina tiba di Lawang atas ajakan bibinya - Josefina secara kebetulan berkenalan dengan orang-orang yang pernah berhubungan dengan keluarga ayahnya (Suharmi dan Hidayat)
Pembunuhan Saksi
- Bertujuan menutupi jejak kejahatan - Tokoh antagonis membunuh dua orang saksi
- Bertujuan menutupi jejak kejahatan - Tokoh antagonis membunuh empat orang saksi
Penyelidikan Kasus
- Dilakukan polisi dan Poirot - Penyelidikan terpisah tetapi ada kerjasama - Rentang waktu cukup lama, yakni lebih dari sebulan
- Dilakukan polisi dan Gozali - Penyelidikan bersama - Rentang waktu cukup singkat, kurang dari seminggu
Penuduhan Terhadap Orang yang Tidak Bersalah
- Menimpa tokoh De Sousa - Pelaku kejahatan menghasut polisi agar mencurigai De Sousa
- Menimpa Josefina dan Suhadi - Polisi mendasarkan pada keterangan Kresno dan Tatiek yang telah salah paham akan kejadian yang sebenarnya
Pembongkaran Kasus
- Tokoh Poirot membongkar kejahatan tokoh antagonis setelah proses penyelidikan selesai - Turut terbongkar pula kasus terpendam secara tidak terduga - Terdapat di akhir cerita sebagai bentuk penyelesaian
- Tokoh Gozali membongkar kejahatan tokoh antagonis setelah proses penyelidikan selesai - Turut terbongkar pula kasus terpendam secara tidak terduga - Terdapat di akhir cerita sebagai bentuk penyelesaian
93
3.3 Hubungan Intertekstual Unsur Tokoh dan Penokohan
Tokoh-tokoh dalam KB yang ditransformasikan ke dalam MCH ialah tokoh
Poirot, Sir George, Merdell, dan De Sousa. Tokoh-tokoh tersebut mempunyai
peran masing-masing. Poirot berperan sebagai tokoh pemecah masalah. Sir
George berper an sebagai pelaku kejahatan. Merdell berperan sebagai saksi tak
langsung atas kasus pembunuhan di masa lalu. De Sousa berperan sebagai pemicu
terbongkarnya kasus pembunuhan. Dalam MCH, peran-peran tersebut muncul
dalam tokoh Gozali, Hidayat, Lasito, dan Josefina. Keempat tokoh dalam MCH
tersebut menunjukkan adanya kesejajaran dengan keempat tokoh dalam KB yang
telah disebutkan di atas. Berikut penjelasan hubungan masing-masing tokoh.
3.3.1 Tokoh Pemicu Terbongkarnya Kasus
Tokoh De Sousa ditransformasikan dalam MCH sebagai tokoh Josefina
dengan beberapa kesamaan dan perbedaan. Keduanya berperan sebagai tokoh
yang memicu terbongkarnya kasus pembunuhan terpendam sekaligus dicurigai
sebagai pembunuh. De Sousa adalah sepupu jauh Hattie, korban utama kasus
pembunuhan yang ada dalam cerita, sedangkan Josefina adalah keponakan
Hartono, korban utama kasus pembunuhan dalam cerita.
Perbedaan antara tokoh De Sousa dan tokoh Josefina terdapat dalam hal
bentuk tindakan yang memicu terbongkarnya kasus. De Sousa memicu
terbongkarnya kasus dikarenakan kedatangannya ke Nassecombe. Kedatangan De
Sousa ke Nassecombe untuk mengunjungi Hattie membuat James dan istrinya
takut penyamaran mereka sebagai Sir George Stubbs dan Lady Hattie Stubbs
94
terbongkar. Jika De Sousa melihat Hattie yang ada, tentunya De Sousa akan
mengatakan bahwa Hattie yang ada sekarang bukanlah Hattie yang sebenarnya.
Jika itu terjadi, penyamaran istri pertama Sir George tersebut pasti terbongkar,
demikian juga kejahatannya akan terbongkar. Karena itu, Sir George membuat
skenario dengan menghilangkan Hattie dan membunuh Marlene, lalu
mengkambinghitamkan De Sousa sebagai orang yang bertanggung jawab atas
kematian Marlene dan hilangnya Hattie.
Josefina memicu terbongkarnya kasus karena ia mempertanyakan cincin
Hartono yang dipakai Lasito. Dari Josefina lah Lasito akhirnya mengetahui bahwa
cincin itu milik Hartono dan menyimpulkan dugaannya atas sebuah kasus
pembunuhan di masa lalu. Sebelum dugaan Lasito tersebut sampai ke tangan
polisi, sang pelaku kejahatan membunuh Lasito sesaat setelah kedatangan Josefina
ke rumah Lasito. Josefina pun menjadi orang yang diduga kuat telah membunuh
Lasito.
Selain itu, perbedaan antara tokoh De Sousa dan Josefina juga terdapat pada
fungsi pemunculan dan perwatakannya. De Sousa merupakan tokoh bawahan
yang mulai muncul pada pertengahan cerita, sedangkan Josefina merupakan tokoh
utama protagonis yang muncul mulai awal hingga akhir cerita. De Sousa
digambarkan sebagai pemuda kaya yang berwibawa dengan pembawaan yang
tenang dan agak tertutup sehingga memunculkan kesan misterius, sedangkan
Josefina digambarkan sebagai mahasiswi yang dinamis, tegas, terbuka, dan
mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Kesamaan perwatakan kedua tokoh
terletak pada sifat percaya diri, sopan, dan berani.
95
3.3.2 Tokoh Saksi yang Terbunuh
Merdell adalah mantan mandor tukang kebun Nasse House yang dibunuh
ketika cerita berlangsung. Semasa masih bekerja di Nasse House, Merdell
menemukan sesosok mayat perempuan di hutan dekat Nasse House. Setelah
melihat mayat perempuan itu, ia segera keluar dari hutan dan memberitahukan hal
itu kepada warga sekitar. Ketika warga diajak ke hutan, mayat perempuan itu
sudah lenyap. Sejak itu warga tidak mempercayai kata-kata Merdell. Merdell
mulai mencurigai Sir George yang waktu itu diketahui sebagai pendatang baru
yang telah mengambilalih Nasse House. Merdell mempunyai dugaan kuat bahwa
Sir George sebenarnya adalah James, anak Nyonya Amy Folliat yang melarikan
diri dari wajib militer. Merdell menceritakan soal mayat di hutan dan dugaannya
mengenai penyamaran James sebagai Sir George kepada Marlene cucunya. Ketika
De Sousa datang dan membuat sang pembunuh gusar, Merdell dan Marlene
cucunya dibunuh agar kejahatan sang pembunuh tidak terbongkar.
Tokoh Merdell dalam KB ditransformasikan dalam MCH menjadi tokoh
Lasito. Lasito adalah mantan tukang kebun rumah keluarga Aznan yang juga
dibunuh ketika cerita berlangsung. Lasito juga menjadi saksi pembunuhan
terpendam secara tidak langsung. Ketika terjadi pembunuhan atas Hartono, Lasito
tidak mengetahuinya. Yang Lasito tahu, suatu pagi Kresno datang dengan
membawa setumpuk semen dan pasir, lalu memplester lantai salah satu bagian di
dalam bekas istal kuda. Setelah itu, ia menemukan sebuah cincin di dalam istal
tersebut. Ia kemudian mendengar kabar bahwa Hartono kabur dari rumah, disusul
oleh Irawan yang juga kabur dari rumah dua hari sesudahnya. Beberapa hari
96
setelah kejadian itu, ia berkali-kali mimpi didatangi Hartono. Ia tidak pernah
berpikir adanya keterkaitan antara bekas istal yang tiba-tiba diplester, cincin yang
ditemukannya di bekas istal tersebut, dan kabar minggatnya Hartono. Hingga
akhirnya, tiga puluh tahun kemudian, Josefina mendatanginya dan
mempertanyakan soal cincin yang dipakainya. Dari mulut Josefina inilah ia
akhirnya mengetahui bahwa cincin yang ditemukannya tersebut merupakan cincin
Hartono. Akhirnya ia menyimpulkan sebuah dugaan kuat, Hartono tidak kabur,
melainkan telah dibunuh dan dikuburkan di bekas istal. Ketika ia menceritakan
dugaannya kepada Kresno sahabatnya, sang pembunuh mendengarnya. Lasito
akhirnya dibunuh.
Tokoh Merdell dan Lasito mempunyai kesamaan dan perbedaan dalam
penggambarannya. Merdell dan Lasito sama-sama digambarkan sebagai lelaki tua
yang sederhana dan selalu menghindari konflik. Merdell dikisahkan telah berusia
92 tahun ketika cerita berlangsung, sedangkan Lasito digambarkan sebagai lelaki
tua tanpa disebutkan usianya. Merdell tidak mempunyai keinginan untuk
menceritakan kecurigaannya tentang sosok Sir George kepada orang-orang, begitu
pula Lasito tidak pernah berpikir adanya keanehan dalam rentetan kejadian yang
dilihat dan dialaminya ketika mendengar kabar kepergian Hartono. Ketika
Josefina mendesaknya untuk menjelaskan tentang cincin yang dipakainya pun
Lasito tidak mampu berkata-kata karena ia merasakan perasaan takut dan gelisah
yang muncul secara tiba-tiba. Merdell dan Lasito mempunyai perbedaan dalam
beberapa hal. Merdell suka minum minuman keras dan kata-katanya sinis,
sedangkan Lasito digambarkan sangat ramah dan halus kata-katanya.
97
3.3.3 Tokoh Pemecah Masalah
Poirot, tokoh pemecah masalah dalam KB yang berprofesi sebagai detektif
swasta merupakan tokoh protagonis utama yang muncul mulai dari awal hingga
akhir cerita. Poirot terlibat dalam cerita melalui sahabatnya Oliver yang meminta
bantuannya untuk menyelidiki dugaan akan adanya kasus pembunuhan. Poirot
secara fisik digambarkan bertubuh gemuk, pendek, dan berkumis tebal. Ia adalah
sosok yang gigih, mempunyai rasa ingin tahu yang besar, dan setia pada
kebenaran. Itulah yang menjadikannya detektif handal yang terkenal telah
memecahkan banyak kasus pembunuhan yang ditanganinya. Poirot juga
mempunyai kelebihan yang jarang dimiliki orang awam, yakni ketajaman akal
dalam melihat kebenaran di balik fakta. Poirot juga dikisahkan bersahabat dengan
seorang polisi bernama Kapten Hastings.
Sosok tokoh Poirot sebagai penyelidik handal ditransformasikan ke dalam
novel MCH dalam tokoh Gozali. Keduanya memiliki peran yang sama, yakni
sebagai tokoh pemecah masalah sekaligus pahlawan dalam cerita yang menjadi
kunci penyelesaian konflik yang sama-sama lajang dan bersahabat dengan seorang
kapten polisi. Selain itu, Gozali juga seorang yang tidak mudah putus asa,
mempunyai rasa ingin tahu yang besar, dan memiliki kelebihan dalam melihat
suatu fakta yang tersembunyi. Dalam novel MCH, pemunculan tokoh pemecah
masalah tidak disertai penjelasan yang logis atas relevansi kehadirannya. Tokoh
Gozali hanya diceritakan sebagai sahabat Kapten Polisi Kosasih. Kosasih terlibat
dalam cerita melalui hubungan persaudaraannya dengan ayah tiri tokoh
98
protagonis. Kurang relevannya pemunculan tokoh Gozali dalam cerita MCH
membuat kehadirannya tampak dipaksakan.
Selain memiliki kesamaan, kedua tokoh itu juga memiliki perbedaan. Gozali
digambarkan bersifat tenang dan tidak banyak bicara, sedangkan Poirot
digambarkan banyak berbincang-bincang dengan orang-orang dengan bumbu
basa-basi ala orang Inggris. Begitu juga dalam hal pencirian fisik kedua tokoh
yang berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama. Tokoh Gozali bertubuh kurus,
sedangkan Poirot bertubuh gemuk dan pendek. Pencirian fisik tersebut bertujuan
untuk menunjukkan bahwa seorang pahlawan dalam sebuah cerita tidak harus
bertubuh proporsional seperti halnya para super hero.
Penyimpangan yang ada dalam proses transformasi ini juga terlihat dalam
penempatan tokoh Gozali yang berbeda dengan tokoh Poirot. Tokoh Gozali dalam
MCH tidak ditempatkan sebagai tokoh utama, melainkan tokoh bawahan yang
mulai muncul pada pertengahan cerita. Penyimpangan yang dilakukan pada fungsi
pemunculan tokoh pemecah masalah (Gozali) bukan sebagai tokoh utama
berkaitan dengan pemunculan tokoh Josefina sebagai tokoh utama. Pengarang
MCH memfokuskan cerita pada peristiwa yang dialami tokoh Josefina yang
merupakan orang biasa, berbeda dengan pemunculan tokoh Poirot sebagai tokoh
utama yang merupakan detektif terkenal yang handal. Hal ini menunjukkan usaha
pengarang MCH menonjolkan masalah komitmen pada kebenaran melalui sosok
orang biasa, berbeda dengan pengarang KB yang menonjolkan unsur
kepahlawanan melalui kehebatan tokoh detektif dalam mengungkap fakta.
99
Selain itu, penyimpangan juga dapat dilihat pada status profesi dan
hubungan tokoh pemecah masalah dalam proses penyelidikan. Penyesuaian
tersebut tidak lepas dari latar sosial-budaya yang berbeda dalam kedua novel.
Pengarang MCH tidak menjelaskan profesi Gozali, berbeda dengan tokoh Poirot
dalam KB yang dijelaskan profesinya sebagai detektif swasta. Dalam melakukan
penyelidikan, Gozali melakukan penyelidikan bersama polisi karena ia tidak
mempunyai kewenangan secara resmi, sedangkan Poirot tidak mempunyai
keterikatan dengan polisi meskipun ia sempat bertemu dengan polisi untuk
bertukar informasi. Gozali terlibat dalam cerita melalui sahabatnya seorang kapten
polisi bernama Kosasih yang meminta bantuannya untuk menyelidiki kasus
pembunuhan atas Lasito. Hal itu sesuai dengan latar sosial-budaya Indonesia yang
berbeda dengan latar sosial-budaya Inggris. Di Indonesia, profesi detektif sangat
jarang ditemukan dan itu pun hanya berada pada wilayah hukum perdata karena
pemerintah tidak mengatur kewenangan detektif atau penyelidik swasta dalam
menyelidiki kasus pidana, misalnya kasus pembunuhan. Berbeda dengan di
Inggris yang memang mengenal profesi detektif swasta dan terdapat aturan
mengenai kewenangan detektif swasta dalam menangani kasus pidana.
3.3.4 Tokoh Pelaku Utama Kejahatan
Tokoh Sir George dalam novel KB ditransformasikan dalam novel MCH
menjadi tokoh Hidayat. Tokoh Sir George dan Hidayat adalah tokoh antagonis
yang bertanggung jawab atas semua pembunuhan yang dimunculkan dalam cerita.
Kedua tokoh mempunyai sifat yang sama, yakni kejam, mudah tergiur harta,
tetapi dengan kelicikan yang mereka miliki, mereka menutupi sifat buruknya
100
tersebut dengan menunjukkan keramahan dan kesopanan. Sir George membunuh
Hattie karena tergiur hartanya. Hidayat membunuh Hartono karena Hartono
memergokinya sedang berhubungan badan dengan Indra. Hidayat telah lama
menjadi kekasih Indra yang suka sesama jenis. Hidayat mau menjadi kekasih
Indra karena berharap mendapatkan uang dari Indra yang kaya.
Selain memiliki kesamaan, mereka juga memiliki beberapa perbedaan dalam
perwatakannya. Sir George digambarkan sangat emosional dan mata keranjang.
Sir George sering marah-marah jika sedang menghadapi masalah. Hidayat
digambarkan sebagai orang yang humoris, tenang, dan setia kepada istrinya.
Karena itu, Josefina tidak pernah menduga sama sekali bahwa Hidayat adalah
sang pembunuh yang sebenarnya. Josefina bahkan sempat merasa dekat dengan
Hidayat karena Hidayat banyak menceritakan tentang sejarah keluarga ayahnya
serta mengenalkan Josefina dengan orang-orang yang pernah terkait dengan masa
lalu keluarga ayahnya seperti Lasito, saksi kasus pembunuhan terpendam dan
Rahayu, mantan tunangan Hartono. Variasi yang diterapkan pengarang MCH
dalam mentransformasikan tokoh antagonis tersebut berfungsi untuk memberikan
efek kejutan yang lebih bagi pembaca.
3.3.5 Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan yang dijelaskan dalam tabel
sebagai berikut.
Fungsi Tokoh Novel KB Novel MCH
Pemicu Terbongkarnya Kasus
- De Sousa (tokoh bawahan) - Sepupu jauh korban utama - Memicu terbongkarnya kasus
- Josefina (tokoh protagonis) - Keponakan korban utama - Memicu terbongkarnya kasus
101
dikarenakan kedatangannya - Sifat: percaya diri, sopan, berani, pembawaan tenang, agak tertutup
karena mempertanyakan mengapa cincin pamannya berada di tangan Lasito - Sifat: percaya diri, sopan, berani, dinamis, dan terbuka
Saksi yang Terbunuh
- Merdell - Mantan mandor tukang kebun Nasse House - Menjadi saksi tidak langsung - Lelaki tua - Sederhana, menghindari konflik, ucapan terkadang sinis
- Lasito - Mantan tukang kebun keluarga Aznan - Menjadi saksi tidak langsung - Lelaki tua - Sederhana, menghindari konflik, ramah dan halus kata-katanya
Pemecah Masalah
- Poirot (tokoh protagonis) - Fisik: gemuk, pendek, berkumis tebal - Sifat: rasa ingin tahu besar, setia pada kebenaran, mempunyai ketajaman akal, banyak bicara - Profesi detektif - Status lajang - Bersahabat dengan Kapten Polisi Hasting
- Gozali (tokoh bawahan) - Fisik: kurus - Sifat: rasa ingin tahu besar, setia pada kebenaran, mempunyai ketajaman akal, pendiam - Profesi tidak dijelaskan - Status lajang - Bersahabat dengan Kapten Polisi Kosasih
Pelaku Utama Kejahatan
- James (tokoh antagonis) - Pelaku pembunuhan atas semua korban yang ada - Sifat: kejam, gila harta, licik, ramah, sopan, emosional, dan mata keranjang
- Hidayat (tokoh antagonis) - Pelaku pembunuhan atas semua korban yang ada - Sifat: kejam, gila harta, licik, ramah, sopan, humoris, dan setia pada istrinya
102
Hubungan intertekstual unsur tokoh dan penokohan antara novel KB dan
MCH muncul dalam bentuk kesamaan dan perbedaan. Kesamaan yang ada dapat
dilihat dari pemunculan empat tokoh yang mempunyai peran yang sama, yakni
tokoh pemecah masalah, tokoh pelaku utama kejahatan, tokoh pemicu
terbongkarnya kasus, dan tokoh saksi tidak langsung yang terbunuh.
Pada tokoh pelaku utama kejahatan, pengarang MCH melakukan variasi
untuk menciptakan efek kejutan yang lebih besar daripada tokoh yang sama dalam
KB. Tokoh tersebut dalam KB dari awal digambarkan memiliki perangai yang
kasar dan emosional. Dalam MCH, tokoh pelaku kejahatan pada awalnya
digambarkan sangat baik dan bersahabat, tetapi di akhir cerita terkuaklah sifat
aslinya yang kejam dan licik.
Terdapat beberapa perbedaan antara tokoh pemecah masalah dalam MCH
dan KB. Pertama, status profesi tokoh pemecah masalah yang merupakan bentuk
penyesuaian dengan latar sosial-budaya yang ditampilkan dalam novel. Kedua,
penempatan tokoh pemecah masalah sebagai tokoh bawahan dalam MCH yang
berbeda dengan KB yang menempatkannya sebagai tokoh utama menunjukkan
usaha untuk mendobrak tradisi novel detektif yang cenderung menonjolkan unsur
kepahlawanan semata. Sebagai tambahan, transformasi tokoh ini dalam MCH
tampak sebagai sesuatu yang dipaksakan dan kurang relevan karena kehadirannya
dalam cerita tidak disertai penjelasan yang logis mengenai latar belakangnya.
103
3.4 Hubungan Intertekstual Unsur Tema
Kajian unsur tema pada bab sebelumnya menunjukkan secara sepintas
adanya hubungan intertekstual antara novel MCH dan KB dalam beberapa tema.
Berikut ini penulis akan mengkaji hubungan interteksual kedua novel tersebut
secara lebih cermat dan sistematis.
3.4.1 Tema: Orangtua Seringkali Membela Anaknya meski Anaknya
Bersalah
Dalam novel KB, ibu sang pembunuh meski sudah mengetahui perbuatan
anaknya tidak mau melaporkan anaknya kepada polisi karena ia mencintai
anaknya. Dalam novel MCH, ayah sang pembunuh tidak mau melaporkan
anaknya ke polisi meskipun anaknya telah mengakui perbuatannya karena tidak
mau kehilangan anak untuk yang kedua kali. Dalam hubungan intertekstual tema
ini, tampak adanya usaha pengarang MCH menyimpangi apa yang disampaikan
dalam novel KB. Novel MCH menunjukkan bahwa tidak hanya seorang ibu yang
dapat menutupi aib anaknya karena cintanya yang besar pada anaknya, seorang
ayah pun dapat melakukan hal yang sama karena rasa cinta yang besar pula.
Pengarang MCH memunculkan kecintaan yang besar terhadap seorang anak
melalui sisi seorang ayah dan menunjukkan bahwa rasa cinta terhadap darah
daging sendiri tidak dibatasi oleh gender. Seorang ayah pun dapat memiliki rasa
cinta terhadap anaknya sama besarnya dengan yang dimiliki seorang ibu.
3.4.2 Tema: Keserakahan pada Harta Berakibat Buruk
Dalam novel KB, keserakahan pada harta dibawakan oleh tokoh Sir George
dan istri pertamanya yang berasal dari Italia. Karena tergiur pada kekayaan Hattie
104
yang sebatang kara, mereka berdua membunuh Hattie. Di akhir cerita dikisahkan
bahwa kejahatan mereka dibongkar oleh polisi. Keserakahan mereka juga telah
menyebabkan kematian banyak orang, yakni Hattie, Marlene, dan Merdell.
Tema ini ditransformasikan ke dalam novel MCH dalam keserakahan tokoh
Indra, Hidayat, dan Kresno. Keserakahan Indra terlihat pada tindakannya
menurunkan kualitas permen pabriknya agar memperoleh laba yang lebih besar.
Tindakannya mengakibatkan pabrik tersebut bangkrut dan keluarga Indra jatuh
miskin. Selain itu, keserakahan Indra juga tampak ketika ia membohongi Josefina
soal harga penawaran rumah, akibatnya ia dibenci oleh Josefina. Keserakahan
Hidayat yang mau menjadi kekasih Indra karena tergiur pada kekayaan Indra
mengakibatkan ia terlibat dalam pembunuhan. Keserakahan Kresno yang berniat
memeras Indra membuatnya terbunuh.
Uraian di atas menunjukkan adanya pola variasi dalam kaitan motif tersebut
dengan konflik utama yang dimunculkan dalam cerita. Tema keserakahan dalam
KB menjadi penyebab langsung atas munculnya konflik (pembunuhan),
sedangkan tema keserakahan dalam MCH tidak menjadi penyebab langsung atas
munculnya konflik pembunuhan.
3.4.3 Tema: Bangungan Bersejarah Patut Dilestarikan
Dalam novel KB, tema ini muncul melalui pandangan tokoh Nyonya Folliat
dan Nyonya Masterton. Mereka dikisahkan mempunyai kepedulian yang tinggi
terhadap bangunan-bangunan kuno yang ada di lingkungan sekitar mereka.
Nyonya Folliat dulunya memiliki sebuah rumah kuno yang sangat megah dan
indah peninggalan leluhurnya. Ketika ia jatuh miskin, ia terpaksa menjualnya. Ia
105
merasa beruntung karena pembeli rumahnya tetap melestarikan rumah itu dan ia
diizinkan tinggal di sebuah rumah kecil bekas tempat peralatan kebun bekas
rumahnya itu. Nyonya Masterton juga merasa senang karena bekas rumah Nyonya
Folliat itu masih tetap terjaga keutuhannya. Ia menyayangkan beberapa rumah
kuno yang ada di daerah itu yang kemudian beralih fungsi menjadi lahan bisnis,
contohnya hotel dan wisma penginapan.
Tema ini ditransformasikan ke dalam novel MCH dalam bentuk pandangan
tokoh Josefina yang sangat menghargai peninggalan leluhurnya, dalam hal ini
adalah rumah warisan kakeknya. Rumah itu dibangun oleh Askandar Jiwantono
Aznan, kakek buyut Josefina. Meski sama-sama menghargai bangunan bersejarah,
Josefina (MCH) memiliki perbedaan sudut pandang dengan tokoh Nyonya Folliat
dan Nyonya Masterton (KB) dalam hal cara melestarikan bangunan bersejarah.
Menurut Josefina, rumah warisan leluhur sebagai bentuk bangunan bersejarah
tidak boleh dibiarkan jatuh ke tangan orang lain di luar keluarga. Josefina tidak
mempermasalahkan jika rumah itu harus dialihfungsikan sebagian untuk tujuan
komersil, sehingga dapat menjadi sumber dana untuk merawat rumah tersebut di
tangan sendiri.
3.4.4 Tema: Cinta Sejati Ada dalam Kejujuran
Tema percintaan dalam KB dialami oleh pasangan suami istri Sir George-
Hattie dan Alec-Peggy Legge. Tema percintaan yang dialami kedua pasangan
tersebut diwarnai dengan perselingkuhan dalam rumah tangga. Cinta yang ada
dalam hubungan Sir George dan Hattie mewakili cinta palsu karena mereka saling
berselingkuh dan hanya lebih mencintai harta daripada pasangannya. Dalam kisah
106
pasangan Alec-Peggy, Alec mencurigai Peggy berselingkuh dengan pria lain,
sedangkan Peggy sebenarnya tidak berselingkuh tetapi merasa tidak bahagia
karena sikap Alec yang tertutup. Mereka berdua sebenarnya masih saling
mencintai. Ketertutupan dan sikap Alec yang uring-uringan membuat kehidupan
rumah tangga mereka tidak harmonis dan hampir bercerai. Tokoh protagonis
Poirot akhirnya menyadarkan Alec dan menyarankannya untuk memperbaiki
hubungannya dengan Peggy.
Tema percintaan yang ada dalam novel KB ditransformasikan ke dalam
novel MCH. Tema percintaan dalam MCH dialami oleh tokoh-tokoh yang sedang
mencari pasangan hidup, yakni Josefina, Firman, Edwin, Firman, dan Fajar.
Firman dikisahkan pernah berpacaran dengan Suharmi tetapi kandas di tengah
jalan. Tokoh Josefina digambarkan sebagai sosok gadis yang menarik perhatian
banyak lelaki, di antaranya adalah Firman, Edwin, dan Fajar. Josefina dikisahkan
dijodohkan dengan Fajar tetapi Josefina menolaknya. Edwin, seorang bujangan
tua yang menetapkan standar tinggi dalam mencari pasangan hidup dikisahkan
tertarik dengan Josefina setelah dikenalkan oleh Firman. Josefina juga
menolaknya. Josefina akhirnya jatuh cinta pada Firman, dan Firman menyatakan
cintanya pada Josefina di akhir cerita. Dalam MCH juga digambarkan cinta yang
penuh dengan kebohongan melalui tokoh Indra yang berpura-pura mencintai
Tatiek.
3.4.5 Tema: Kejahatan Walau Ditutup-tutupi Akhirnya Terbongkar Juga
Dalam novel KB, pembunuhan dilakukan oleh seorang suami (Sir George)
terhadap istri keduanya (Hattie). Mayat korban pembunuhan dikubur di sekitar
107
rumah lalu diatasnya dibangun semacam kuil kecil berkubah agar mengelabuhi
orang-orang. Kasus tersebut ditutupi dengan cara menyuruh istri pertamanya (istri
gelap) menyamar dan berperan sebagai Hattie. Karena Hattie merupakan orang
baru di desa tersebut dan belum pernah memperkenalkan diri kepada warga
sekitar, penyamaran tersebut tidak terbongkar selama bertahun-tahun. Sang
pembunuh akhirnya juga memutuskan untuk membunuh Merdell dan Marlene
cucunya setelah kasus pembunuhannya mulai tercium oleh polisi. Sir George takut
jika Merdell dan Marlene menceritakan kematian Hattie kepada polisi. Kasus
pembunuhan yang telah tersembunyi selama bertahun-tahun itu akhirnya
dibongkar oleh tokoh pemecah masalah. Terbongkarnya kasus pembunuhan
tersebut berawal dari kedatangan sepupu jauh Hattie.
Tema ini ditransformasikan ke dalam MCH dengan pola yang sama. Novel
MCH meneruskan tradisi novel detektif dengan memasukkan tema seputar
kejahatan yang pada awalnya ditutup-tutupi tetapi akhirnya terbongkar juga.
Pembunuhan dalam novel MCH dilakukan oleh Indra beserta pasangan homonya
(Hidayat) terhadap kakak tirinya (Hartono). Mayat korban pembunuhan dikubur
di halaman belakang rumah di dalam bekas istal kuda. Di atas kuburan tersebut
kemudian diplester dengan semen. Kasus tersebut disembunyikan dengan
membuat isu bahwa Hartono kabur dari rumah karena kecewa dengan pacarnya
yang telah selingkuh. Lasito akhirnya dibunuh setelah Josefina menemuinya untuk
menyelidiki kisah menghilangnya Hartono. Kresno yang tadinya berniat memeras
Indra karena dia mengetahui bahwa tanah yang diplesternya merupakan tempat
dikuburnya Hartono juga dibunuh oleh Hidayat. Begitu pula nasib Indra dan
108
Suhadi yang akhirnya dibunuh oleh Hidayat untuk menutupi kasus pembunuhan
yang dilakukannya bersama Indra. Kasus pembunuhan atas Hartono yang telah
terpendam bertahun-tahun akhirnya dibongkar oleh tokoh pemecah masalah.
Terbongkarnya kasus pembunuhan berawal dari kedatangan keponakan korban
pembunuhan. Uraian tersebut menunjukkan adanya kesejajaran hubungan
intertekstual kedua novel dalam tema ini dengan berbagai variasinya.
3.4.6 Kesimpulan
Dalam unsur tema, terdapat lima tema dari novel KB yang ditransformasikan
dalam MCH. Transformasi lima tema tersebut disertai dengan beberapa
penyimpangan. Agar tampak lebih jelas, berikut ini penulis menyejajarkan
beberapa hal utama yang mengandung kesamaan dan perbedaan dalam kedua
novel tersebut.
Tema Novel KB Novel MCH Orangtua Seringkali Membela Anaknya meski Anaknya Bersalah
- Ibu dari sang pembunuh tetap membela anaknya - Dilakukan karena cinta yang besar pada anak
- Ayah sang pembunuh tetap membela anaknya - Dilakukan karena cinta yang besar pada anak
Keserakahan pada Harta Berakibat Buruk
- Dibawakan tokoh Sir George dan istrinya - Bentuk keserakahan mengambil alih seluruh harta Hattie dengan jalan membunuhnya - Menjadi penyebab munculnya konflik utama
- Dibawakan oleh Indra, Hidayat, dan Kresno - Bentuk: membodohi pelanggan produk permen dan menipu Josefina soal harga rumah (Indra), mau menjadi kekasih homo karena tergiur harta (Hidayat), dan melakukan pemerasan (Kresno) - Tidak menjadi penyebab munculnya konflik utama
109
Bangungan Bersejarah Patut Dilestarikan
- Muncul dalam pandangan Nyonya Folliat dan Nyonya Masterton - Bangunan bersejarah tidak boleh beralih fungsi untuk tujuan komersil - Tidak mengapa berpindah tangan asal tetap utuh
- Muncul dalam pandangan Josefina - Bangunan bersejarah boleh beralih fungsi untuk tujuan komersil - Tidak boleh dibiarkan jatuh ke tangan orang lain
Cinta Sejati Ada dalam Kejujuran
- Muncul dalam pasangan Alec-Peggy dan Sir George-Hattie - Ketidakjujuran Alec membuat rumah tangganya hampir hancur, tetapi ia akhirnya sadar - Cinta dalam hubungan Sir George-Hattie adalah palsu karena penuh kebohongan
- Muncul dalam tokoh Josefina, Firman, Edwin, Fajar, Suharmi, dan pasangan Indra-Tatiek - Kejujuran Josefina membuat banyak pria jatuh hati dan salah satu pria itu menjadi cinta sejatinya - Cinta Indra pada Tatiek palsu karena sebenarnya ia seorang homo
Kejahatan Walau Ditutup-tutupi Akhirnya Terbongkar Juga
- Sir George dan istrinya membunuh Hattie - Mayat Hattie dikubur di halaman rumah dan di atasnya dibangun semacam gazebo - Terpendam hingga bertahun-tahun - Saksi-saksi dibunuh
- Hidayat dan Indra membunuh Hartono - Mayat Hartono dikubur di halaman belakang rumah di dalam istal dan di atasnya diplester semen - Terpendam hingga bertahun-tahun - Saksi-saksi dibunuh
Dari penjelasan di atas, terlihat adanya beberapa kesamaan dan perbedaan
sebagai bentuk transformasi yang menandai hubungan intertekstual unsur tema
antara kedua novel itu.
110
3.5 Rangkuman: Kajian Hipogram
Hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar dari karya sastra yang
muncul kemudian (Riffaterre, 1984: 11). Hipogram mencerminkan sebuah sistem
konvensi atau kode sastra dan budayanya (Teeuw, 1980:11). Novel KB yang
diterbitkan pertama kali pada 1956 (dalam bahasa Indonesia pada 1984) ditulis
terlebih dahulu daripada novel MCH yang diterbitkan pertama kali pada 1995.
Berdasarkan waktu penulisannya, dapat disimpulkan bahwa novel KB karya
Agatha Christie merupakan hipogram dari novel MCH karya S. Mara Gd. Baik
disadari oleh S. Mara Gd atau tidak, novel KB memberikan pengaruh secara
langsung atau tidak langsung. S. Mara Gd dalam penulisan karyanya MCH
mentransformasikan karya terdahulu yang menjadi hipogramnya, yakni KB. Karya
yang menjadi hipogram tersebut memberikan inspirasi bagi pengarang MCH
dalam menciptakan karyanya. Hal itu dapat dilihat dari adanya hubungan
intertekstual kedua novel dalam unsur plot, tokoh dan penokohan, serta tema.
Hubungan intertekstual unsur plot kedua novel muncul dalam bentuk
penggunaan pola pemplotan yang sama, yakni plot lurus. Pengarang MCH juga
meneruskan konvensi yang ada dalam novel KB yang menjadi hipogramnya
dengan memunculkan beberapa motif yang sama. Meski terdapat kesamaan dalam
beberapa motif, ada perbedaan pokok pada plot kedua novel, yakni dalam hal
penggerak utama cerita. Novel KB menampilkan motif firasat buruk sebagai
penggerak utama cerita, sedangkan novel MCH menampilkan motif penjualan
rumah warisan sebagai penggerak utama ceritanya.
111
Dalam hal unsur tokoh dan penokohan, S. Mara Gd mentransformasikan
empat tokoh yang ada dalam KB ke dalam MCH dengan pola yang bervariasi.
Variasi yang ada dalam transformasi tokoh pemecah masalah, misalnya, bertujuan
mendobrak tradisi novel detektif-kriminal yang cenderung melulu menonjolkan
unsur kepahlawanan dan kehebatan tokoh pemecah masalah (detektif). Bentuk
variasi yang lain, misalnya dalam hal tidak adanya penyebutan istilah detektif
dalam MCH merupakan upaya adaptasi dengan latar sosial-budaya yang berbeda
dengan novel KB yang menjadi hipogramnya.
S. Mara Gd juga mentransformasikan beberapa tema yang ada dalam KB ke
dalam MCH dengan disertai variasi. Ini menjadi bentuk tanggapan oleh pengarang
MCH terhadap karya hipogram KB dengan cara memunculkan sisi yang berbeda
sebagai bentuk pandangan dan daya kreativitas pengarang.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pada bab-bab di atas telah diuraikan hasil analisis struktural dan hubungan
intertekstual novel KB karya Agatha Christie dan MCH karya S. Mara Gd. Hasil
analisis struktural telah memberikan gambaran yang jelas terhadap struktur kedua
novel tersebut sehingga kemudian dapat dilanjutkan dengan analisis intertekstual.
Kajian intertekstual yang dilakukan menunjukkan adanya keterkaitan intertekstual
dalam kedua novel pada unsur plot, tokoh dan penokohan, dan tema.
Unsur plot yang ada dalam novel KB tergolong dalam jenis plot lurus. Hal
ini ditransformasikan ke dalam MCH yang juga berplot lurus. Selain itu,
ditemukan beberapa motif yang sama yang ada dalam plot cerita kedua novel.
Motif-motif tersebut adalah motif perkenalan tokoh protagonis dengan tokoh-
tokoh lain, motif pembunuhan saksi-saksi, motif penyelidikan kasus, motif
penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah, dan motif pembongkaran kasus.
Dalam unsur tokoh dan penokohan, penulis menemukan adanya keterkaitan
intertekstual kedua novel yang terwujud dalam empat tokoh yang memiliki
kesamaan peran. Tokoh-tokoh tersebut dalam novel KB meliputi tokoh Poirot, Sir
George, De Sousa, dan Merdell. Keempat tokoh dalam KB tersebut mempunyai
kesejajaran dengan tokoh-tokoh yang ada dalam MCH, yakni tokoh Gozali,
Hidayat, Josefina, dan Lasito. Tokoh protagonis Poirot dalam KB memiliki
113
kesamaan dengan tokoh Gozali dalam MCH sebagai tokoh pemecah masalah.
Tokoh Sir George dalam KB memiliki kesamaan dengan tokoh Hidayat dalam
MCH sebagai tokoh pelaku utama kejahatan. Tokoh De Sousa dalam KB memiliki
kesamaan dengan tokoh protagonis Josefina dalam MCH sebagai tokoh pemicu
terbongkarnya kasus pembunuhan terpendam. Tokoh Merdell dalam KB memiliki
kesamaan dengan tokoh Lasito dalam MCH sebagai tokoh saksi tidak langsung
atas kasus pembunuhan di masa lalu yang kemudian dibunuh untuk
menghilangkan jejak kasus tersebut.
Dalam unsur tema, terdapat keterkaitan intertekstual kedua novel pada
beberapa tema. Tema-tema itu yakni tema orangtua seringkali membela anaknya
meski anaknya bersalah, keserakahan pada harta berakibat buruk, bangunan
bersejarah patut dilestarikan, cinta sejati ada dalam kejujuran, dan tema kejahatan
walau ditutup-tutupi akhirnya terbongkar juga.
Kajian hipogram membuktikan bahwa novel KB merupakan hipogram dari
novel MCH. Pembuktian itu didasarkan pada waktu penulisan. Novel KB terbit
lebih dulu dibandingkan dengan novel MCH. Pengarang MCH dalam menciptakan
karyanya mentransformasikan karya yang menjadi hipogramnya, yakni novel KB.
Hipogram tersebut memberikan inspirasi pada penciptaan MCH dalam hal
pembentukan unsur plot, tokoh dan penokohan, serta tema.
Pengkajian terhadap kedua novel dalam penelitian ini dengan pendekatan
intertekstualitas telah memberikan makna yang lebih pada kedua novel. Makna
tersebut lebih penuh daripada makna yang dapat ditemukan pada masing-masing
unsur secara terpisah. Makna yang lebih penuh yang bisa disimpulkan dari
114
hubungan intertekstual kedua novel itu adalah bahwa novel MCH dalam
transformasinya dari novel KB, hipogramnya, telah meneruskan sekaligus
menyimpangi hipogramnya. Persamaan yang terdapat dalam hubungan
intertekstual kedua novel itu merupakan bentuk penerusan terhadap hipogram.
Perbedaan yang ada dalam keterkaitan intertekstual kedua novel itu bukan semata
menyimpanginya, tetapi merupakan tanggapan pengarang untuk menciptakan
cerita yang lebih menarik dan menyajikan pandangan alternatif dari hipogramnya
dan terkait dengan latar belakang sosial-budaya yang berbeda pada kedua novel
itu. S. Mara Gd dalam hal ini menegaskan (meneruskan) tradisi dalam novel
detektif-kriminal sebagaimana yang ada dalam karya Agatha Christie dengan
memasukkan unsur kreatifitas dan konsep estetikanya sendiri ke dalam MCH.
4.2 Saran
Penulis menyarankan kepada peneliti-peneliti lain untuk turut meneliti
novel-novel populer termasuk novel detektif yang ada di Indonesia karena novel-
novel semacam itu juga menarik untuk dikaji. Pengkajian terhadap novel
semacam MCH juga dapat dilakukan dengan pendekatan lain, seperti pendekatan
sosiologis untuk menganalisis bentuk-bentuk kekerasan yang ada karena di
dalamnya dapat ditemukan berbagai bentuk kekerasan. Pendekatan sosiologis juga
dapat digunakan untuk mengeksplorasi pencitraan aparat penegak hukum
Indonesia yang ada dalam novel-novel detektif karya S. Mara Gd.
DAFTAR PUSTAKA Christie, Agatha. 1984. Kubur Berkubah. Trj./sad. Mareta. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. Culler, Jonathan. 1983. The Pursuit of Sign: Semiotics Literature, Deconstruction.
London: Routledge&Kegan Paul. Djokosujatno, Apsanti. 1997. “Aspek Genetik dan Klasifikasi Cerita Detektif
Indonesia”. Laporan Penelitian. Jakarta: Universitas Indonesia. Ekasiswanto, Rudi. 1992. “Intertekstualitas Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah
dan Bermandi Cahaya Bulan: Analisis Strukturalisme Dinamik. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Hidayah, Nuril. 1999. “Hubungan Intertekstual Novel Gairah untuk Hidup dan
untuk Mati dengan Novel Siti Nurjanah: Tinjauan Strukturalisme Dinamik”. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Indriati. 1991. “Struktur Novel Olenka, Tinjauan Intertekstual”. Skripsi.
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Keraf, Gorys. 1981. Eksposisi dan Deskripsi. Flores: Arnodus. Knepper, Marty S. 2005. “The Curtain Falls: Agatha Christie's Last Novels”.
Clues. Volume 23 (4). Hlm. 69-84. Kurniawan. 2002. “Novel Indonesia Masih Mengeja Kriminal”. Koran Tempo. 7
Juli 2002. Lubis, Mochtar. 1978. Teknik Mengarang. Jakarta: Nunang Jaya. Mara Gd, S. 1995. Misteri Cincin yang Hilang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mujawazah, Umi. 1999. “Hubungan Intertekstual Novel Surat-Surat Cinta dengan
Novel Helai-Helai Sakura Gugur: Tinjauan Strukturalisme Dinamik”. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Pradopo, Rahmat Djoko, Ramli Leman Soemowidagdo, Siti Sundari Tjitrosubono. 1976. “Prosa Kesusastraan Indonesia Sebelum Perang Dunia II”. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, UGM.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Riffaterre, Michael. 1984. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University
Press. Rokhani, Umilia. 2003. “Hubungan Intertekstual Novel Tarian Bumi dengan
Novel Gadis Pantai: Tinjauan Strukturalisme Dinamik”. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Sulastin, Sutrisno. 1983. Hikayat Hang Tuah: Analisis Struktural dan Fungsi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Suranto, Bambang. 1991. “Hubungan Intertekstual Roman Melati Van Agam
dengan Novel Dian yang Tak Kunjung Padam: Tinjauan Strukturalisme Dinamik”. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata: Sepuluh Sajak Indonesia Dipilih dan
Dikupas. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Teeuw, A. 1984. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.