Download - HUBUNGAN ANTARA STRES PENERBANG DAN GEJALA
UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA STRES PENERBANG DAN GEJALA
PSIKOPATOLOGI PADA PENERBANG
MILITER INDONESIA
TESIS
TARA ASEANA
1006824913
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN JIWA
JAKARTA
JANUARI 2015
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA STRES PENERBANG DAN GEJALA
PSIKOPATOLOGI PADA PENERBANG
MILITER INDONESIA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Kedokteran Jiwa
TARA ASEANA
1006824913
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN JIWA
JAKARTA
JANUARI 2015
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
ii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Tara Aseana
NPM : 1006824913
Tanda tangan :
Tanggal : 16 Februari 2015
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
iii
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh:
Nama : dr. Tara Aseana
NPM : 1006824913
Program Studi : Ilmu Kedokteran Jiwa
Judul Tesis : Hubungan Antara Stres Penerbang dan Gejala
Psikopatologi pada Penerbang Militer Indonesia .
Telah dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Spesialis
Kedokteran Jiwa pada Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas
Kedokteran, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Ketua Penguji : DR. dr. Martina Wiwie, SpKJ (K) (....................)
Pembimbing : dr. Natalia Widiasih, SpKJ(K) (....................)
Pembimbing : Prof. Dr. dr. R. Irawati I.M, SpKJ(K), M.Epid (....................)
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 16 Februari 2015
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
iv
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah S.W.T, atas segala berkat yang
dilimpahkan, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas tesis ini. Penulisan tesis
ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar
Spesialis Kedokteran Jiwa di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya
menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. A.A.A.A. Kusumawardhani, Sp.K.J. (K), sebagai Kepala Departemen
Medik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Prof. Dr. dr. R. Irawati I.M., SpKJ (K), M.Epid, sebagai Pembimbing
Akademik yang memberikan waktu, pengetahuan dan semangat serta
memberi berbagai masukan dari awal perkuliahan sampai penyusunan tesis
ini.
3. dr. Natalia Widiasih, Sp.K.J. (K), sebagai Pembimbing Penelitian yang
memberikan banyak pengetahuan dan masukan serta semangat dalam
penyusunan tesis ini.
4. dr. Natalia Widiasih, Sp.K.J. (K) dan dr. Heriani, Sp.K.J (K), sebagai Ketua
Program Studi Departemen Medik Ilmu Kesehatan Jiwa.
5. DR. dr. Martina Wiwie, Sp.K.J. (K), sebagai ketua penguji yang memberi
banyak masukan dalam proses perbaikan tesis ini, dr. Khamelia, Sp.K.J. (K),
dan dr. Azhari Nurdin, Sp.K.J, yang juga memberi masukan serta saran dalam
penyusunan tesis ini, serta staf pengajar, dan pegawai Departemen Psikiatri
RSCM.
6. Letkol Kes dr Srimpi Indah, SpKJ Kepala Klinik Kesehatan Jiwa Lakespra
Saryanto Jakarta, yang telah memberikan masukan dan saran dalam
penyusunan tesis ini.
7. dr. Indah Suci Widyahening, M.S., M.Sc., CM-FM, yang telah berbagi ilmu
dalam melakukan penelitian kepada penerbang.
8. dr Aria Kekalih, M.T.I yang telah membagikan ilmunya dalam analisis
statistik.
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
v
Universitas Indonesia
9. Seluruh partisipan penelitian di Poli Kesehatan Jiwa Lembaga Kesehatan
Penerbangan dan Ruang Angkasa Saryanto Jakarta yang telah bersedia
mengikuti penelitian ini dan berbagi pengalamannya selama menjalani tugas
sebagai penerbang.
10. Suamiku, Dimas dan kedua putriku, Mahes dan Bening, atas dukungan, doa,
motivasi, dan pengorbanan kalian, serta seluruh keluarga yang selalu
memberikan dukungan moril dan material dalam menjalankan proses
pendidikan.
11. Sahabatku khususnya Wonders 2011 yang selalu memberi semangat dan
membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini, serta teman-teman lain yang
selalu memberi motivasi dalam menyelesaikan proses pendidikan.
Akhir kata, semoga Allah S.W.T berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat
pengembangan bagi ilmu pengetahuan.
Jakarta, 16 Februari 2015
Penulis
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
vi
Universitas Indonesia
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Tara Aseana
NPM : 1006824913
Program Studi : Ilmu Kesehatan Jiwa
Departemen : Psikiatri
Fakultas : Kedokteran
Jenis Karya : Tesis
demi pengembangan Ilmu Pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
HUBUNGAN ANTARA STRES PENERBANG DAN GEJALA
PSIKOPATOLOGI PADA PENERBANG MILITER INDONESIA
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan
mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat : di Jakarta
Pada tanggal : 16 Februari 2015
Yang menyatakan,
(Tara Aseana)
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
vii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : dr. Tara Aseana
Program studi : PPDS I Ilmu Kedokteran Jiwa
Judul : Hubungan antara stres penerbang dan gejala psikopatologi pada
penerbang militer Indonesia
Penerbang militer memiliki kemungkinan kecil mengalami gejala psikopatologi
karena karakter mereka yang kuat dalam menghadapi stres. Penelitian dilakukan
untuk melihat adanya psikopatologi pada penerbang militer Indonesia serta
hubungannya dengan stres penerbang. Metode yang digunakan penelitian analitik
dengan rancang potong lintang terhadap penerbang militer aktif Indonesi. Stres
dinilai dengan kuesioner Sumber Stres Pilot Airline Modifikasi, gejala
psikopatologi diukur dengan kuesioner Symptom Check List 90 (SCL 90). Subyek
penelitian yang mengalami gejala psikopatologi sebesar 7.8%. Tidak ada
hubungan antara stres penerbang dengan munculnya gejala psikopatologi pada
subyek penelitian (p 0.083).
Kata kunci: psikopatologi, stres, dan penerbang militer.
ABSTRACT
Name : dr. Tara Aseana
Study program : PPDS I Ilmu Kedokteran Jiwa
Title : Relationship of stress and psychopatology in Indonesian military
aviator
Military aviators are less likely to experience symptoms of psychopathology
because of their character in the face of stress. This research aimed to find the
presence of psychopatological symptoms in Indonesia military aviators and
relationship with aviator stress. This research was an analytic study with a cross-
sectional design to active military aviators. Stress were evaluated using the
Sumber Stres Pilot Airline Modifikasi questionnaire whereas psychopathological
symptom was evaluated using the Symptom Check List 90 (SCL 90) tool. The
prevalence of psychopathological symptoms were 7.8%. There were no
significant relationships between levels of stress with the presence of
psychopathological symptoms in the study participants (p=0.083).
Key words: psychopathology, stress, and military aviator
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
viii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.......................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL........................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lingkungan Penerbangan .......................................................... 5
2.1.1. Ketinggian........................................................................ 5
2.1.2. Kecepatan dan Percepatan Penerbangan.............. ........... 7
2.2 Sumber Stres Penerbang ............................................................ 8
2.2.1. Stresor Psikososial ........................................................... 8
2.2.2. Stresor Lingkungan Penerbangan .................................... 9
2.2.3. Stresor Individu ................................................................ 10
2.2.4. Stresor Kognitif ................................................................ 11
2.3 Stres Penerbang ......................................................................... 11
2.3.1. Pengertian Stres ............................................................... 12
2.3.2. Macam-macam Stres ....................................................... 14
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
ix
Universitas Indonesia
2.3.3. Patofisiologi Stres ........................................................... 15
2.3.4. Gejala-gejala Stres ................................................. 16
2.3.5. Stres Penerbang ..................................................... 16
2.4 Gejala Psikopatologi pada Penerbang ....................................... 18
2.5 Stres dan Kinerja Penerbang...................................................... 19
2.6 Kepribadian Penerbang.............................................................. 20
2.7 Penerbang Militer Indonesia ...................................................... 23
2.8 Kerangka Teori .......................................................................... 26
2.10 Kerangka Konsep .................................................................... 27
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian ......................................................................... 28
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... 28
3.3 Populasi dan Cara Pengambilan Sampel Penelitian .................... 28
3.4 Kriteria Subjek Penelitian .......................................................... 28
3.5 Besar Sampel ............................................................................... 29
3.6 Perangkat Kerja dan Cara Pengumpulan Data ............................ 29
3.6.1. Perangkat kerja / Instrumen .............................................. 29
3.6.2. Cara Pengumpulan Data ................................................... 30
3.6.3. Data Stres Penerbang ........................................................ 30
3.6.4. Data Gejala Psikopatologi ................................................ 31
3.7 Metode Pengumpulan data .......................................................... 32
3.8 Identifikasi Variabel .................................................................... 33
3.9 Kerangka Kerja ........................................................................... 35
3.10 Definisi Operasional .................................................................. 36
3.11 Manajemen dan Analisis Data .................................................. 37
3.12 Masalah Etik .............................................................................. 38
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Deskriptif Hasil Penelitian ....................................... 39
4.1.1 Karakteristik Subyek Penelitian ..................................... 40
4.1.2 Gambaran Tingkat Stres Penerbang dan Gejala
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
x
Universitas Indonesia
Psikopatologi pada Subyek Penelitian .......................... 41
4.2 Hubungan Faktor Risiko dan Tingkat Stres Subyek
Penelitian Terhadap Terjadinya Gejala Psikopatologi.............. 44
4.3. Hubungan Aspek Sumber Stres Terhadap Terjadinya
Gejala Psikopatologi Pada Subyek Penelitian .......................... 46
BAB 5 BAHASAN
5.1 Gejala Psikopatologi Subyek Penelitian .................................... 47
5.2 Stres Subyek Penelitian .............................................................. 48
5.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gejala Psikopatologi 52
5.4. Keterbatasan Penelitian ............................................................. 56
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan ..................................................................................... 57
6.2 Saran ........................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
xi
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Sebaran Subyek Penelitian ......................................................... 40
Tabel 4.2 Tingkat Stres dan Psikopatologi pada Subyek Penelitian ........... 41
Tabel 4.3 Sumber Stres Berdasarkan Kategori / Aspek .............................. 42
Tabel 4.4 Sepuluh Sumber Stres Terbanyak .............................................. 43
Tabel 4.5 Subskala Gejala pada Subyek Penelitian .................................... 43
Tabel 4.6 Hubungan Faktor Risiko dan Tingkat Stres Terhadap Terjadinya
Gejala Psikopatologi ................................................................... 44
Tabel 4.7 Hubungan Aspek Sumber Stres Terhadap Terjadinya Gejala
Psikopatologi ........................................................................... 46
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
xii
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Model Stres ................................................................................. 14
Gambar 2.2 Stres dan HPA Aksis ................................................................... 15
Gambar 2.3 Keamanan Terbang dengan Fase Penerbangan .......................... 17
Gambar 2.4 Hubungan Antara Stres dan Kinerja .......................................... 20
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
xiii
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Lampiran I : Lembar Informasi untuk Subjek Penelitian ............................ 63
Lampiran II : Lembar Persetujuan Subjek Penelitian ................................... 64
Lampiran III : Formulir Data Demografi ....................................................... 62
Lampiran IV : Kuesioner Sumber Stres Pilot Airline Modifikasi ................. 66
Lampiran V : SCL-90 Questionnaire ........................................................... 70
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
1
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Impian orang untuk bisa terbang akhirnya terwujud dengan menciptakan pesawat
terbang. Manusia dapat melakukan perjalanan antar pulau bahkan benua dengan
waktu yang relatif singkat. Lingkungan penerbangan seperti ketinggian,
akselerasi, kebisingan, komunikasi, getaran, dan motion sickness dapat
mempengaruhi perubahan fisiologi dan psikologi tubuh. Lingkungan penerbangan
tersebut merupakan lingkungan yang memiliki risiko tinggi dan memiliki potensi
menjadi stresor. Stresor lingkungan penerbangan dapat memberikan efek yang
negatif terhadap keselamatan terbang baik terhadap penerbangan sipil maupun
militer. Efek negatif tersebut dapat berupa gejala masalah kesehatan jiwa yang
dialami oleh seorang penerbang.1,2
Penelitian yang dilakukan oleh Otto J terhadap penerbang militer di United State
yang sedang menjalankan tugas di Irak dan Afghanistan, menunjukkan bahwa
penerbang United State Air Force (USAF) remotely piloted aircraft (RPA) yang
mengalami gejala masalah kesehatan jiwa sebesar 8.2% (n=58) dan USAF
manned aircraft (MA) mengalami masalah dengan kesehatan jiwa sebesar 6%
(n=313). Rendahnya prevalensi penerbang USAF yang mengalami masalah
kesehatan jiwa karena penerbang USAF memiliki kognitif yang tinggi, dapat
melewati test fisik dan kesehatan, adanya pemeriksaan psikologi yang standar,
dan pengecekan masalah hukum dan kebiasaannya, dan adanya program latihan
penerbangan. dokter skadron mengevaluasi kemampuan seorang penerbang
termasuk masalah emosi dan kebiasaannya.3
Seseorang untuk menjadi penerbang harus memiliki intelegensi yang tinggi,
motivasi yang kuat untuk terbang, senang terbang, sehat fisik dan mental, emosi
yang stabil, dan memiliki mekanisme adaptasi yang baik. Karakter tersebut harus
dipertahankan selama karir terbangnya. Penelitian yang dilakukan terhadap siswa
penerbang United State Air Force menunjukkan bahwa sebagian besar penerbang
1
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
2
Universitas Indonesia
militer memiliki memiliki karakter yang dominan, agresif, impulsif, dan playful.
Meskipun demikian penerbang militer harus selalu dalam kondisi stabil dalam
berbagai kondisi di kokpit dan bisa mengambil keputusan tepat saat menghadapi
kesulitan selama menyelesaikan tugasnya. Karakter ini diperlukan bagi penerbang
militer untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Tugas penerbang militer adalah
latihan, misi kemanusiaan, dan misi operasional yang sangat ekstrim (menyerang
dan bertempur).1,4,5,6,7
Meskipun penerbang memiliki karakter yang kuat, tidak ada satu orangpun yang
kebal terhadap masalah kesehatan jiwa. Apabila seorang penerbang mengalami
stres dan menunjukkan gejala psikopatologi, maka harus dievaluasi secara
keseluruhan apakah penerbang tersebut layak terbang atau tidak. Gejala
psikopatologi yang dialami oleh seorang penerbang dapat berhubungan dengan
sumber stres baik dari lingkungan penerbangan itu sendiri, masalah di luar
pekerjaan penerbang seperti masalah rumah tangga, kematian, hubungan kerja
juga persepsi penerbang terhadap masalah yang dihadapinya. Selain sumber stres,
gejala psikopatologi berhubungan dengan karakteristik seseorang, seperti
kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kebudayaan setempat. Kondisi individu
seperti fisik (uang, pemeriksaan kesehatan), personal (ketrampilan yang dimiliki
dan mekanisme adaptasi yang digunakan), serta sosial (dukungan sosial) juga
berhubungan dengan terjadinya gejala psikopatologi pada seseorang.1,4,8,9
Penelitian yang dilakukan Ahmadi pada tahun 2007 terhadap penerbang militer
Angkatan Udara Iran 4,5% penerbang mengalami stres sangat ringan, 33,7%
mengalami stres ringan, 48,3% penerbang mengalami stres sedang, 13,5%
penerbang mengalami stres berat. Tidak ada penerbang mengalami stres sangat
berat. Penyebab stres adalah stresor psikososial, organisasi, lingkungan
penerbangan, dan karena tugas. Widyahening pada tahun 2007 menemukan
hubungan antara stres yang tinggi dengan terjadinya gejala psikopatologi pada
penerbang sipil di Indonesia. Penyebab terbanyak stres adalah hubungan
interpersonal dalam tugas (40,3%), organisasi (28,4%), kondisi kerja (18,3%),
aspek fisik lingkungan kerja (13,7%), dan pengembangan karir (1,8%).2,10
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
3
Universitas Indonesia
Berdasarkan pembahasan diatas menunjukkan bahwa penerbang militer memiliki
prevalensi yang kecil untuk terjadinya gejala psikopatologi. Hal ini menunjukkan
bahwa penerbang militer tidak kebal terhadap gejala gangguan mental meskipun
mereka memiliki karakter yang kuat. Namun demikian tidaklah mudah
menemukan gejala gangguan mental pada penerbang militer karena adanya
keengganan penerbang kehilangan surat ijin terbangnya apabila diketahui sedang
memiliki masalah.1,7
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui besaran terjadinya
gejala psikopatologi pada penerbang militer di Indonesia serta ada atau tidaknya
hubungan dengan stres penerbang dan sumber yang dimiliki oleh seorang
penerbang (umur, pangkat, lama kerja, pendidikan, jam terbang, tipe pesawat,
kualifikasi profesi, dan status perkawinan).
1.2. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara stres penerbang dan gejala psikopatologi pada
penerbang militer Indonesia?
1.3. Hipotesis
Terdapat hubungan antara stres penerbang dan gejala psikopatologi pada
penerbang militer Indonesia.
1.4. Tujuan
1.4.1. Tujuan Umum
Menemukan gambaran gejala psikopatologi pada penerbang militer
Indonesia.
1.4.2. Tujuan Khusus
1.4.2.1. Menemukan gambaran gejala psikopatologi pada penerbang
militer Indonesia.
1.4.2.2. Menemukan gambaran stres pada penerbang militer
Indonesia.
1.4.2.3. Menemukan hubungan antara stres penerbang dan gejala
psikopatologi pada penerbang militer Indonesia.
1
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
4
Universitas Indonesia
1.4.2.4. Menemukan faktor-faktor risiko yang mempengaruhi
terjadinya gejala psikopatologi pada penerbang militer
Indonesia.
1.5. Manfaat
1.5.1 Bagi penerbang militer
Dengan ditemukannya gejala psikopatologi pada penerbang militer,
maka penerbang militer dapat mengetahui secara dini gejala-gejala
psikiatri yang sedang dialaminya dan dapat segera melakukan
konsultasi.
1.5.2 Bagi dokter skadron
Dengan ditemukannya gejala psikopatologi pada penerbang militer
maka diharapkan dokter skadron dapat memberikan tatalaksana
terhadap gejala psikopatologi yang muncul.
1.5.2. Bagi instansi militer
Dengan ditemukannya gejala psikopatologi pada penerbang militer
maka diharapkan instansi militer dapat membuat kebijakan untuk
mencegah dan mengatasi penerbang yang mengalami gejala
psikopatologi.
1.5.3. Bagi pengembangan ilmu
Dengan ditemukannya gejala psikopatologi pada penerbang militer
maka dapat digunakan sebagai bahan dasar pengembangan ilmu bagi
dokter yang bertugas di skadron.
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
5
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lingkungan Penerbangan
Pada lingkungan penerbangan terdapat perbedaan ketinggian dan perbedaan
atmosfer. Hal ini mengakibatkan tekanan udara turun, suhu semakin rendah, dan
adanya risiko radiasi. Pada manuver penerbangan bisa menyebabkan gaya
akselerasi dan perubahan sistem fisiologi organ tubuh. Lingkungan penerbangan
sendiri bisa terjadi masalah pada kebisingan, komunikasi dan pembuangan sisa
gas. Hal-hal tersebut dapat berpotensi menjadi stresor penerbangan. Stresor dapat
menyebabkan stres yang mempengaruhi keamanan penerbangan.1,2,8,10,11
2.1.1. Ketinggian
Bumi kita diselubungi oleh gas atau udara yang disebut atmosfir. Fungsi atmosfir
kecuali sebagai sumber oksigen yang penting bagi kehidupan, juga merupakan
lapisan yang melindungi bumi dari radiasi. Atmosfir memiliki tekanan, semakin
tinggi udara, tekanan atmosfir semakin kurang karena jumlah udaranya juga
berkurang. Ketinggian juga mempengaruhi suhu, semakin tinggi udara, suhu
semakin menurun. Perubahan ketinggian dapat mempengaruhi efek yang
merugikan bagi fisiologi tubuh manusia, yaitu hipoksia, dekompresi, perubahan
suhu (dingin), dan meningkatnya radiasi dari sinar matahari.1,11
2.1.1.1. Hipoksia
Hipoksia adalah kondisi tubuh kekurangan oksigen. Pada penerbangan terjadi
hipoksia kerena makin tinggi suatu ketinggian, jumlah udara semakin menipis dan
tekanan atmosfir semakin berkurang. Kadang-kadang seseorang tidak menyadari
akan adanya situasi hipoksia karena datangnya tidak diketahui dan pada awal
serangan kadang tidak memberikan rasa sakit. Hipoksia dikenal sebagai kondisi
yang sangat membahayakan selama penerbangan karena dapat mengakibatkan
gagalnya pernafasan dan berkurangnya oksigen di paru-paru.1,11
5
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
6
Universitas Indonesia
Gejala yang muncul akibat hipoksia tiap orang berbeda-beda. Gejala awal
hipoksia biasanya terjadi gangguan pada penglihatan (intensitas menerima cahaya
berkurang, luas pandang menyempit), gangguan pada psikomotor (gangguan
pergerakan mata dan tangan), dan gangguan fungsi kognitif (gangguan memori).
Lebih lanjut gejala hipoksia bisa berkembang terjadi perubahan perilaku,
kehilangan tilikan, kehilangan kemampuan mengambil keputusan, kehilangan
kemampuan untuk kritis terhadap situasi, euforia, gangguan ingatan, gangguan
koordinasi pergerakan, gangguan sensori, hiperventilasi, sakit kepala, bingung,
paraesthesia muka dan ekstremitas, pingsan, dan yang paling buruk adalah
kematian. Gejala yang biasanya diketahui pertama kali oleh penerbang adalah
akral yang dingin.1,11
Apabila seseorang mengalami hipoksia, segera berikan oksigen 100%. Setelah
mendapatkan oksigen, biasanya pernafasan akan semakin melambat 12-16
kali/menit. Kecuali pemberian oksigen 100%, apabila memungkinkan penerbang
menurunkan pesawatnya pada ketinggian di bawah 10.000 kaki. Gejala hipoksia
biasanya dapat segera hilang kecuali sakit kepala dan fatigue yang dapat bertahan
lama.1,11
2.1.1.2. Dekompresi
Dekompresi adalah suatu sekumpulan dampak akibat dari ketinggian yang
mengakibatkan perbedaan tekanan udara yang menghasilkan trapped gas atau gas
yang tidak dapat keluar. Meskipun secara umum diterima sebagai kondisi
terperangkapnya gas dalam organ, ada terminologi lain yang menjelaskan kondisi
ini, yaitu “the bends” (sakit pada persendian), dysbarism, aeropathy, dan
aeroembolism. Dekompresi tidak segera terjadi pada saat seseorang terpapar
ketinggian. Membutuhkan beberapa menit terjadinya dekompresi dengan waktu
maksimal 20-60 menit. Dekompresi sifatnya individual pada tiap-tiap orang. 1,11
Dengan adanya perbedaan tekanan dalam tubuh dengan tekanan di luar tubuh,
maka dapat mempengaruhi organ-organ tubuh yang memiliki rongga. Akibat
trapped gas terjadi pembesaran lambung dan usus (perut tidak nyaman, sakit),
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
7
Universitas Indonesia
barotitis media (ear block), barosinusitis, barodontalgia (tooth pain), pulmonary
embolism, pneumothorax (udara di pleural), dan pneumomediastinum (udara di
mediastinum). Kecuali itu dekompresi bisa juga menyebabkan penguapan gas-gas
yang seharusnya larut menjadi keluar yang menyebabkan nyeri sendi (bends),
chokes (sakit pada dada bagian bawah, dyspneu, dan batuk kering), kulit gatal,
nyeri, dan ruam-ruam merah, pada syaraf terjadi gangguan mental (gangguan
memori, gangguan mengambil keputusan, afasia), kelelahan, perubahan perilaku,
kehilangan kesadaran, vertigo, mual, dan muntah.1,11
2.1.1.3. Perubahan suhu
Semakin tinggi suatu tempat maka suhu semakin rendah. Pada penerbangan
modern, stres yang disebabkan suhu yang rendah dapat diminimalkan dengan
adanya struktur pesawat yang modern, baju penerbang yang melindungi tubuhnya,
dan perlengkapan survival. Namun demikian perlengkapan yang melindungi dari
suhu rendah tersebut dapat mengakibatkan stres karena suhu, misalnya baju yang
melindungi (misal pakaian anti G) dapat mempengaruhi kerja dan memberikan
stres karena panas. Hal tersebut dapat mengakibatkan dehidrasi yang dapat
mempengaruhi fungsi kognitif, waktu bereaksi melambat, dan fisik yang
lemah.1,11
2.1.1.4. Radiasi
Pada penerbangan modern efek radiasi matahari dapat dihindari karena disain
pesawat yang modern. Pada beberapa penelitian ditemukan kecil kemungkinan
seorang penerbang mengalami suatu penyakit yang disebabkan radiasi matahari,
misalnya kanker.1,11
2.1.2 Kecepatan dan Percepatan Penerbangan
Kecepatan menggambarkan laju suatu pergerakan tanpa ada tujuannya. Percepatan
menggambarkan laju dan arah tujuan. Hal ini dikarenakan adanya gaya gravitasi
bumi. Jadi pada benda yang diam dan tiba-tiba bergerak, hal itu dikarenakan
adanya percepatan yang bekerja pada benda tersebut dan terdapat gaya yang
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
8
Universitas Indonesia
berlawanan dengan arah percepatan pergerakan benda tersebut. Perubahan
percepatan pada suatu benda disebut akselerasi. Macam-macam akselerasi:1,11,12
Akselerasi linear: akselerasi yang dihasilkan karena perubahan kecepatan,
perubahan arah tidak berubah. Misalnya pada saat takeoff dan landing.
Akselerasi radial: akselerasi yang dihasilkan karena perubahan arah
pergerakan tetapi kecepatan tetap. Misalnya pada banked turns dan loop
manouvres.
Akselerasi angular: akselerasi yang dihasilkan karena perubahan arah dan
kecepatan pergerakan. Misalnya pada roll dan spin.
Akibat adanya akselerasi muncul gaya yang berlawanan arah dengan pergerakan
suatu benda, hal ini di sebut gaya G. Macam-macam gaya G:1,11.12
Gaya G lateral: arah gaya G yang memotong sumbu tubuh, bisa dari depan ke
belakang atau sebaliknya dan dari samping ke samping. Secara umum
efeknya kecil tapi mempengaruhi pergerakan kepala dan kerusakan pada
leher.
Gaya G positif: arah gaya G dari kepala ke kaki. Apabila seseorang
mengalami gaya G positif maka dapat terjadi, misalnya penambahan berat
pada jaringan di kepala sampai dengan kaki sehingga terjadi kesulitan
pergerakan dan tampak wajah seperti orang tua karena tertarik ke bawah.
Gaya G negatif: arah gaya G dari kaki ke kepala. Apabila seseorang
mengalami gaya G negatif maka dapat terjadi, misalnya tekana kepala yang
sangat besar (sakit kepala), udem pada mata (penglihatan kabur), peningkatan
tekanan pembuluh darah.
2.2. Sumber Stres Penerbang
Sumber stres atau yang biasa disebut stresor adalah suatu stimulus atau kejadian
yang mengharuskan seseorang beradaptasi dengan beberapa jalan, baik secara
emosi, fisiologi, atau perilaku. Stresor penerbang bisa berasal dari faktor
psikososial, lingkungan penerbangan, dan kognitif. Sumber stres penting untuk
diidentifikasi guna menentukan rencana tatalaksana yang efektif apabila muncul
stres.12
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
9
Universitas Indonesia
2.2.1. Stresor Psikososial
Stresor psikososial merupakan kejadian-kejadian dalam hidup. Stresor ini bisa
dipicu dari adaptasi atau perubahan gaya hidup seseorang, karir, dan atau interaksi
dengan orang lain.12,13
2.2.1.1. Seseorang harus beradaptasi pada situasi yang baru, seperti gaya hidup,
karir, dan hubungan dengan orang lain. Hal ini bisa menjadi stresor bagi
seseorang.
2.2.1.2. Tanggung jawab kerja. Misalnya penerbang pernah mengalami kegagalan
dalam mengoperasikan suatu instrumen atau gagal dalam komunikasi,
dapat menyebabkan sumber stres.
2.2.1.3. Masalah keuangan. Penerbang yang memiliki permasalahan keuangan
dapat menjadi stresor baginya.
2.2.1.4. Masalah keluarga. Keluarga bisa menjadi sumber kekuatan bagi
penerbang tapi bisa juga sebagai stresor, terutama bila karena tugasnya
seorang penerbang harus pergi jauh dari keluarganya. Perceraian dan
masalah dalam hubungan keluarga juga dapat menjadi stresor.
2.2.2. Stresor Lingkungan Penerbangan
Stresor lingkungan penerbangan adalah stresor akibat adanya perbedaan
ketinggian, adanya kecepatan pesawat, dan pesawat itu sendiri.1,11,12
2.2.2.1. Ketinggian. Perbedaan ketinggian mengakibatkan adanya perubahan
tekanan atmosfir yang dapat mempengaruhi tubuh rentan terhadap
hipoksia dan trapped gas.
2.2.2.2. Kecepatan. Kecepatan dapat mengakibatkan stres karena berhubungan
dengan tingkat kewaspadaan dan konsentrasi yang panjang.
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
10
Universitas Indonesia
2.2.2.3. Temperatur panas atau dingin. Temperatur panas diakibatkan sinar
matahari secara langsung melalui kanopi. Temperatur dingin karena
perbedaan ketinggian atau cuaca.
2.2.2.4. Desain pesawat. Alat-alat yang menunjang penerbangan seperti lampu,
instrumen, kursi, akses kontrol mempengaruhi kerja penerbang. Faktor
lain pada pesawat yang berpengaruh adalah sistem ventilasi, vibrasi,
visibilitas, dan tingkat kebisingan. Apabila alat-alat tersebut tidak
memadai akan mengakibatkan stres bagi penerbang.
2.2.2.5. Karakteristik airframe. Misalnya pada pesawat dengan fixed wing lebih
stabil dari pada rotary wing. Hal ini berpotensi menyebabkan stres pada
penerbang.
2.2.2.6. Instrumen dan kondisi khusus (alam dan cuaca). Misalnya pada
penerbangan dengan cuaca buruk, seorang penerbang sangat
meningkatkan kewaspadaan dalam membaca, mengikuti, dan memantau
instrumen. Pada penerbangan malam, penerbang kehilangan visual biasa
dan harus bergantung pada instrumen.
2.2.3. Stresor Individu
Meskipun penerbang biasanya hidup dalam pengawasan untuk membatasi dirinya
dari stresor, tapi penerbang tidak bisa lepas dari stresor karena kebiasaan-
kebiasannya, seperti:11,12,13
2.2.3.1. Obat-obatan. Obat-obatan yang digunakan oleh penerbang untuk
mengatasi sakitnya tanpa konsultasi dengan dokter. Penerbang sebaiknya
berkonsultasi dulu dengan dokter skadron sebelum mengkonsumsi obat.
Hal ini berhubungan denga efek samping, intoksikasi, alergi, dan
interaksi obat. Misalnya pada antasida untuk mengatasi dyspepsia (pada
ketinggian dapat menyebabkan keluarnya gas karbon dioksida sehingga
perut akan terasa tidak nyaman), aspirin untuk mengatasi sakit dan
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
11
Universitas Indonesia
demam (dapat menyebabkan gangguan lambung dan suhu yang tidak
teratur).
2.2.3.2. Kafein. Kafein terdapat di teh, kopi, coklat, dan obat-obatan. Kafein
dapat mengatasi pusing, kelelahan, dan meningkatkan kewaspadaan,
tetapi memiliki efek meningkatkan tekanan darah, mengganggu
koordinasi tangan-mata dengan waktu, dan meningkatkan emosi yang
mudah marah.
2.2.3.3. Kualitas tidur buruk. Hal ini bisa dikarenakan lingkungan tidur yang
tidak nyaman atau adanya perbedaan waktu saat menjalankan tugas.
2.2.3.4. Alkohol. Apabila seseorang minum alkohol meskipun dalam jumlah
kecil, bisa mempengaruhi persepsi, waktu bereaksi, kontrol terhadap
impuls buruk, dan sulit mengambil keputusan. Alkohol juga mengurangi
kemampuan sel otak menggunakan oksigen.
2.2.3.5. Rokok. Dalam jangka panjang rokok dapat merusak paru-paru dan dapat
menyebabkan sakit jantung. Efek akut dari merokok adalah
menghasilkan karbon monoksida yang dapat menyebabkan hipoksia.
2.2.3.6. Nutrisi seimbang. Penerbang harus mendapatkan nutrisi yang seimbang
dan makan yang teratur. Bila terlambat makan akan menyebabkan
kekurangan energi dan hipoglikemi.
2.2.4. Stresor Kognitif
Stresor kognitif merupakan cara seseorang mempersepsikan suatu masalah.
Seseorang bisa pesimis, obsesif, dan rendah diri. Berikut adalah beberapa
pemikiran yang khas yang dijumpai pada penerbang yang dapat meningkatkan
stres:11,12
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
12
Universitas Indonesia
2.2.4.1. Must and should. Adanya perasaan gagal apabila keadaan tidak sesuai
dengan harapannya. Hal ini dapat membuat seseorang frustasi dan
merasa tidak berfungsi.
2.2.4.2. Choice and no choice. Seseorang merasa gagal sehingga tidak memiliki
pilihan yang lain dari penyelesaian masalahnya.
2.2.4.3. Gagal terhadap fokus here and now. Seseorang yang selalu mengingat
secara berlebihan masa lalunya dan khawatir akan masa depannya, tetapi
kurang fokus pada keadaan sekarang.
2.3. Stres Penerbang
Mengenal stres di penerbangan sangat penting untuk menunjang keselamatan
terbang. Akibatnya setiap awak pesawat harus mengetahui dan mengenal efek
stres pada tubuhnya. Dengan mengenal efek stres pada tubuhnya, maka dikenal
pula kebiasaan yang biasa digunakan untuk mengurangi stres. Stres disebabkan
oleh stresor. Akibat stres dapat mempengaruhi kinerja seseorang.1
2.3.1. Pengertian Stres
Stres menggambarkan keadaan yang mengganggu dan dapat mempengaruhi
fungsi fisik maupun psikologi yang normal dari seseorang. Tahun 1920an Walter
Canon mempelajari adanya hubungan stres dengan penyakit. Tahun 1950an
Harold Wolff mengobservasi gangguan saluran perncernaan dengan status
emosional. William Beaumont seorang flight surgeon, menemukan seorang
pasiennya yang terluka akibat tembakan, terjadi fistula karena darah yang beredar
di bekas luka dipengaruhi oleh emosinya. Hans Selye mengembangkan teori stres
menjadi general adaptation syndrome. Berdasarkan teori tersebut, Hans Selye
mengembangkan stres menjadi 3 tahap: 14,15
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
13
Universitas Indonesia
1. Alarm reaction. Merupakan kejutan awal dengan resistensi rendah diikuti
serangan balik, mekanisme adaptasi seseorang mulai aktif.
2. Resistance. Adaptasi optimal, apabila mekanisme adaptasi berhasil, maka
seseorang akan menjadi normal kembali.
3. Exhaustion. Terjadi apabila mekanisme adaptasi gagal.
Banyak ahli tidak setuju dengan teori ini menurut mereka respon stres bukan
seperti yang Selye perkirakan. Hal-hal yang mempengaruhi respon terhadap stres
adalah perbedaan stresor, tiap individu yang memiliki karakter yang berbeda-
beda. Persepsi seseorang dalam menghadapi stresor juga mempengaruhi respon
stres. Persepsi berhubungan dengan kognitif seseorang menghadapi suatu
masalah. Stres bukan sesuatu yang sudah ada pada diri seseorang, melainkan
suatu proses seseorang dalam interaksinya dengan orang lain dan berhubungan
dengan lingkungan sosial dan budaya. Proses terjadinya stres dapat dijelaskan
dengan menggunakan teori Lazarus seperti tercantum pada pada gambar 1.9
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
14
Universitas Indonesia
Gambar 2.1. Model Stres
Sumber: Nature, types, and sources of stress.
http//www.onestopias.com/tutorials/psychology/stress/9
2.3.2. Macam-macam stres
Stres tidak dapat dihindari. Selama ini pengertian stres sering bermakna negatif
atau tidak menguntungkan bagi seseorang. Namun ada stres yang dapat
memberikan keuntungan, membantu orang untuk tetap waspada, fokus pada
tugasnya, dan lebih tertarik pada lingkungan di sekitarnya. Tipe stres :13,14
2.3.4.1. Eustress. Stres yang dapat membantu seseorang meningkatkan kinerja
kerjanya sehingga bisa meningkat dari yang biasa dia kerjakan.
2.3.4.2. Distress. Stres yang dapat membuat seseorang menurun kinerja kerjanya
yang menyebabkan dia kehilangan fokus terhadap pekerjaannya.
SUMBER
Fisik
Uang
Pemeriksaan
kesehatan
Personal
Ketrampilan
Mekanisme koping
Sosial
Dukungan
Bantuan profesional
STRESOR
Tipe
Lingkungan
Psikologi
Sosial
Dimensi
Intensitas
Durasi
Kompleksitas
Prediksi
KARAKTER
INDIVIDU
Fisik
Kesehatan fisik
Kerentanan
Psikologis
Kesehatan mental
Temperamen
Konsep diri
Kebudayaan
Arti dari kebudayaan
setempat
Respon dari harapan
STRESS
Respon kognitif
Respon emosi
Respon perilaku
Respon fisik
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
15
Universitas Indonesia
2.3.3. Patofisiologi stres
Stres terjadi akibat adanya stresor. Pada saat seseorang menerima stresor, sinyal
diterima oleh otak dalam sistem saraf otonom yang mengontrol involuntary body
seperti pernafasan, detak jantung, dan tekanan darah. Sinyal tersebut mencetuskan
pelepasan hormon terutama adrenalin dan noradrenalin (juga dikenal epinefrin dan
norepinefrin) dari glandula adrenal. Akibatnya nafas bertambah cepat, detak
jantung meningkat, dan tekanan darah meningkat, sel darah menjadi “stickier”
(lebih adhesive) untuk mencegah perdarahan, lemak dan gula dilepaskan, dan otot
menjadi tegang.14
Kecuali fisik, stres dapat mempengaruhi mental seseorang. Hal ini berhubungan
dengan hypothalamic-pituaitary-adrenal axis (HPA axis). Pada respon stres yang
normal, HPA aksis meningkatkan pelepasan corticotropin releasing factor (CRF),
adrenocortictropin hormon (ACTH), dan glukokortikoid. Glukokortikoid
memberikan dampak negative feedback terhadap pelepasan CRF sehingga HPA
sistem kembali normal. Pada respon stres yang tidak normal, terjadi pelepasan
CRF, ACTH, dan glukokortikoid. Peningkatan glukokortikoid yang menetap,
bukan hanya merusak hipokampus tetapi juga mengganggu inhibisi HPA aksis
sehingga mengakibatkan peningkatan HPA stres hormon yang menghasilkan
gejala kecemasan atau depresi mayor.16
Gambar 2.2. Stress dan HPA aksis
Sumber : Stahl S.M. Stahl essential psychoparmacology. Neuroxcientific basis and practical
applications.16
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
16
Universitas Indonesia
2.3.4. Gejala-gejala stres
Apabila seseorang mengalami stres, akan memberikan gejala :13
2.3.3.1. Gejala fisik : ketegangan otot terutama leher dan pundak, sakit kepala,
sakit perut, mual, muntah, diare atau konstipasi, lelah atau sulit tidur,
detak jantung cepat, berkeringat banyak, kehilangan atau kelebihan berat
badan, mengatupkan gigi, menggigit jari, perubahan pernafasan,
keinginan seks berkurang.
2.3.3.2. Gejala emosi : frustrasi, kemarahan, depresi atau kecemasan, gugup,
bosan, dan apatis.
2.3.3.3. Gejala perilaku : penyalahgunaan alkohol, obat atau zat lainnya, masalah
perkawinan, pesta makan, dan perilaku melukai diri sendiri.
2.3.3.4. Gejala kognitif : mudah lupa, preokupasi dan kesulitan konsentrasi, ragu-
ragu, kehilangan produktivitas, khawatir yang berlebihan, kehilangan
kreativitas, dan kehilangan selera humor.
2.3.5. Stres Penerbang
Dalam mengoperasikan pesawat, seorang penerbang terlibat dalam suatu sistem
yang rumit. Pada tahap persiapan terbang (pre-flight), penerbang harus melakukan
perhitungan yang rumit (misalnya untuk perencanaan rute dan bahan bakar yang
diperlukan) dan pengecekan kesiapan pesawat. Selama penerbangan, penerbang
memiliki tugas utama (penerbangan, navigasi, dan komunikasi), memiliki
perencanaan terhadap aktivitasnya, memberikan supervisi terhadap sistem, dan
mengantisipasi tugas selanjutnya. Oleh karenanya penerbang harus memiliki
kemampuan kognitif dan mental yang baik sehingga dapat mengemudikan
pesawat, mengambil keputusan dalam waktu singkat dan tetap melakukan tugas
perhitungan, pengawasan, dan komunikasi.8.10.11
Pada fase penerbangan, penerbang secara subyektif merasakan stres yang
berbeda-beda. Cara mereka bereaksi terhadap suatu stres akan mempengaruhi
keberhasilan terhadap keselamatan terbang. Dilakukan suatu pengamatan terhadap
hubungan kecelakaan terbang dengan fase penerbangan, hasilnya kecelakaan
sering terjadi selama fase approaches dan landing. Fase landing, fase akhir dari
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
17
Universitas Indonesia
penerbangan merupakan fase yang beban kerja dan kelelahannya adalah
maksimal.13,17
Gambar 2.3. Keamanan terbang dengan fase penerbangan
Sumber : Human Factors and Pilot Error.
http://www.langleyflyingcshool.com/Pages%20Factor--Pilot%20Error.html17
Penelitian stres terhadap penerbang militer Angkatan Udara di Iran diteliti oleh
Ahmadi pada tahun 2007 dengan menggunakan Aviation Stress dan Minnesota
job Satisfaction Questionnaire (MSQ). Hasilnya terdapat 33,7% penerbang
mengalami stres ringan, 48,3% mengalami stres sedang, 13,5% mengalami stres
berat. Penyebabnya adalah stresor psikososial, organisasi, lingkungan
penerbangan, dan karena tugas. Terdapat hubungan antara tingkat stres yang
dialami dengan kepuasan kerja. Pada penerbang yang mengalami stres yang berat
memiliki kepuasan kerja yang rendah.2
Penelitian stres pada penerbang sipil di Indonesia dilakukan oleh Widyahening
pada tahun 2007 dengan menggunakan kuesioner Sumber Stres Pilot Airline.
Sebagian besar subyek berada pada kelompok stres sedang 47,7%, stres tinggi
37%, stres ringan 16%, stres sangat tinggi 4%. Penyebab terbanyak yang
menimbulkan stres adalah hubungan interpersonal dalam tugas (40,3%),
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
18
Universitas Indonesia
organisasi (28,4%), kondisi kerja (18,3%), aspek fisik lingkungan kerja (13,7%),
dan pengembangan karir (1,8%).10
2.4. Gejala Psikopatologi Pada Penerbang
Gejala psikopatologi adalah gejala psikiatri yang dirasakan oleh seseorang. Gejala
psikiatri bisa berupa gangguan psikiatri yang bersifat ringan, tetapi bisa berubah
menjadi gangguan psikiatri yang berat. Gejala ini diantaranya gangguan depresi
tanpa gejala psikotik, cemas, keluhan somatik, sulit konsentrasi dan membuat
keputusan, mudah lupa, insomnia, lelah, mudah marah, dan merasa tidak berguna.
Gejala psikiatri yang ringan ini bukan merupakan diagnosis psikiatri. Namun
apabila seseorang mengalaminya, bisa memberikan tekanan psikologis yang berat
dan dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang lain dan kualitas
hidupnya.8,15
Dilakukan penelitian tentang munculnya gangguan psikiatri ringan pada
penerbang sipil di Brazil. Penelitian ini menggunakan instrumen Self Report
Questionnaire-20 (SRQ 20), dengan cutoff point 8. Hasilnya dari 807 penerbang
yang dievaluasi, prevalensi penerbang yang mengalami gejala psikiatri 6,7%.
Gejala psikiatri muncul berhubungan dengan beban kerja dan latihan fisik secara
teratur. Penerbang yang selalu melakukan latihan fisik secara teratur memiliki
risiko yang rendah mengalami gangguan psikiatri. Penerbang yang memiliki
beban kerja berat memiliki risiko tinggi mengalami gangguan psikiatri. 8
Di Indonesia penelitian dilakukan terhadap penerbang sipil dengan menggunakan
instrumen SCL 90 dengan cutt off 61. Penerbang yang dievalusi berjumlah 109,
yang mengalami gejala psikiatri sebesar 43 orang (39,4%). Gejala yang paling
banyak dialami adalah kecemasan. Gejala psikiatri berhubungan dengan stresor
rumah tangga yang berhubungan dengan faktor privacy dan ketegangan rumah
tangga. Penerbang yang memiliki privacy setiap hari berisiko kecil mengalami
gejala psikiatri. Penerbang yang mempunyai ketegangan rumah tangga sedang-
berat memiliki risiko tinggi mengalami gejala psikiatri daripada penerbang yang
mempunyai ketegangan rumah tangga rendah.10
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
19
Universitas Indonesia
Penelitian di Inggris terhadap penerbang komersil dengan menggunakan
kuesioner modifikasi versi Alkov, Borowsky, dan Gaynor. Penelitian dilakukan
dengan mengetahui persepsi penerbang saat menghadapi stres pekerjaan. Hasilnya
16,2% dapat bercerita kepada orang lain saat menghadapi stres kerja karena
mereka selalu atau hampir selalu kelelahan, 13,1% mengalami pengalaman yang
berulang, 9,1% tidak bisa memusatkan perhatian, 8,4% khawatir dan 8,4%
konsentrasi yang menurun.18
Di Amerika penelitian dilakukan terhadap fighter U.S. Air Force dari lima
skadron. Empat skadron berada di daerah pertempuran, skadron yang ke lima jauh
dari daerah pertempuran. Penelitian menggunakan Beck Depression Inventory
(BDI), hasilnya dari 57 fighter, 86% mengalami insomnia, 86% mudah marah,
63% tidak puas, 61% kelelahan, 47% kesulitan bekerja, 38% pesimis, 38%
perasaan bersalah, 35% kehilangan libido. Tidak ada perbedaan bermakna antara
skadron pada daerah pertempuran dengan skadron yang jauh dari daerah
pertempuran. Diperkirakan adanya penyangkalan terhadap gejala yang muncul
atau adanya toleransi yang tinggi terhadap stres yang tinggi. Dengan latihan yang
keras dan berat dapat melatih seseorang bertahan dari stres yang berat.18
2.5. Stres Dan Kinerja Penerbang
Lingkungan penerbangan merupakan lingkungan yang memiliki risiko tinggi dan
berpotensi sebagai stresor. Stresor dapat membuat stres pada situasi penerbangan.
Stres akan menghasilkan gejala psikiatri yang berpotensi memiliki efek negatif
akan keselamatan terbang. Tidak semua stres menghasilkan efek yang negatif
namun ada juga yang dapat meningkatkan kinerja kerja seseorang. Pada tingkatan
stres paling rendah mekanisme tubuh tidak aktif sehingga perhatian dan kinerja
juga pada titik paling bawah. Namun ketika stres semakin meningkat, seseorang
akan semakin perhatian terhadap lingkungan sekitarnya dan bereaksi secara
optimal. Pada peningkatan stres tertinggi, kinerja akan semakin menurun. Dengan
manajemen stres yang digunakan secara teratur akan meningkatkan kinerja kita
pada saat stres di titik paling atas (Nixon P, 1979).2,12,19
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
20
Universitas Indonesia
Gambar 2.4. Hubungan antara stres dan kinerja
Sumber : How does stress affect performances
http://www.lesstress.net/stress-affect-performance.htm.19
Berdasarkan grafik di atas, menurut sudut pandang penerbang, saat-saat paling
kritis saat penerbangan seperti saat take off dan landing, seorang penerbang akan
berada pada kinerja kerja yang optimal. Selama penerbangan diharapkan seorang
penerbang berada di bagian tengah atas kurva. Oleh karenanya penerbang
diharapkan dapat mempertahankan stres yang dapat dikelolanya guna memberikan
kinerja kerja yang optimal. Stres tersebut tidak sampai ke titik kelelahan tetapi
juga tidak terlalu rendah sehingga seseorang tidak waspada dengan lingkungan
sekitarnya.13
Pada penerbangan, hubungan antara stres dan kinerja kerja dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu:12
2.5.1. Kemampuan mental seseorang menghadapi situasi sulit
Kemampuan seseorang menghadapi situasi yang sulit berhubungan dengan
kemampuan kognitif seseorang seperti perhatian, konsentrasi, memori,
problem solving, atau orientasi visual spatial. Hal tersebut akan
mempengaruhi tingkat stres seseorang dan mempengaruhi kinerjanya.
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
21
Universitas Indonesia
2.5.2. Lingkungan
Lingkungan dan kondisi saat situasi sulit ikut mempengaruhi terjadinya
stres seseorang. Misalnya saat situasi buruk terjadi, dalam kondisi
lingkungan yang tenang dan nyaman akan memudahkan seseorang
mengambil keputusan daripada dalam lingkungan yang panas, tidak
nyaman, dan bising.
2.5.3. Fisik seseorang
Kesehatan fisik sangat mempengaruhi kinerja seorang penerbang.
2.5.4. Kondisi psikologis seseorang
Kesehatan mental seseorang juga mempengaruhi munculnya stres dan
kinerja. Seseorang dengan coping yang bagus, problem solving, dan
kemampuan bersosialisasi dengan orang lain akan lebih baik dalam
menghadapi stres.
2.6. Kepribadian Penerbang
Kepribadian sangat mempengaruhi reaksi seseorang dalam menghadapi situasi
yang berbeda-beda. Kepribadian penerbang sangat penting untuk mewujudkan
kondisi penerbangan yang aman. Sebelum seseorang menjadi penerbang, dia
harus melewati seleksi untuk menentukan kepribadian yang tepat. Pada saat sudah
menjadi penerbang, diperlukan pemeriksaan kesehatan untuk melihat adaptasinya
terhadap lingkungan penerbangan. Beberapa penelitian menunjukkan kepribadian
yang tepat pada penerbang yaitu kepribadian yang bukan hanya satu tipe
kepribadian.20
Beberapa penelitian dilakukan pada penerbang dengan populasi yang tidak
homogen, ditemukan bahwa pada masa kecil penerbang sebagian besar memiliki
hubungan yang dekat dengan ayahnya (positive male identification). Penerbang
memiliki rasa percaya diri yang tinggi, memperlihatkan keinginan yang besar
akan perubahan dan kesuksesan. Mereka memiliki tingkat intelektual yang tinggi,
emosi yang matur dan stabil, mudah beradaptasi, senang mengambil risiko, action
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
22
Universitas Indonesia
oriented, memiliki hubungan dekat dengan orang lain dengan ciri ada jarak emosi,
bisa membedakan pekerjaan dengan masalah rumah, suka mengatur dan
mengontrol.20,21
Retzlaff dan Gibertini (1987) menemukan tiga kategori tipe kepribadian diantara
350 siswa penerbang US Air Force. 6,20,21
2.6.1.Tipe pertama disebut wrong stuff, sebesar 21% dari sampel. Tipe ini
menggambarkan penerbang yang sangat berhati-hati, sopan, kompulsif, dan
mudah lelah. Mereka memiliki motivasi kerja paling rendah. Apabila
penerbang militer memiliki kepribadian seperti ini, maka kinerja kerja akan
muncul di tingkat yang paling minimal, mereka akan memilih hidup aman
daripada keinginannya untuk terbang.
2.6.2.Tipe kedua disebut company man, sebesar 58% dari sampel. Penerbang yang
memiliki kepribadian tipe ini, digambarkan sebagai seseorang yang
memiliki kepribadian dominan, memiliki daya tahan tinggi, berprestasi,
teratur, dan dapat berinteraksi dengan orang lain. Mereka sering berbagi
kesulitan pekerjaan di kokpit dan sering mempertahankan citra positifnya
dalam pekerjaan. Penerbang di tipe ini lebih stabil, profesional, kompeten di
kokpit, dan menghargai persahabatan. Bila dapat memilih, penerbang di tipe
ini lebih memilih jenis pesawat bukan tempur.
2.6.3.Tipe ke tiga disebut right stuff, sebesar 21% dari sampel. Tipe ini
memberikan gambaran yang konsisten antara kepribadiannya dengan
kepribadian yang stereotipik yang dimiliki penerbang militer. Memberikan
gambaran agresif, impulsif, dominan, dan playful. Mereka muncul sebagai
karakter yang arogan, dramatik, bersemangat, mudah bosan denga tugas
rutin, dan impulsif. Impulsif pada penerbang adalah suatu sikap penerbang
untuk melakukan suatu tindakan secara cepat tapi tepat dan mengatur
pemikiran reflek pada suatu keputusan yang tepat. Penerbang terlatih untuk
mengambil keputusan pada situasi yang penuh risiko. 22,23
Penerbang pada
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
23
Universitas Indonesia
tipe ini memiliki komitmen yang tinggi terhadap misi dan lebih terbuka
dalam menghadapi risiko dalam penerbangan daripada tipe yang lain.
Kenyataannya pada penerbang militer yang berpengalaman ditemukan memiliki
kepribadian dengan tipe yang tidak sama persis dengan masing-masing tipe diatas.
Hal ini menunjukkan tidak adanya kepribadian yang stereotipik yang cocok untuk
penerbangan. Jadi pemberian label right stuff atau wrong stuff tidak dapat
membantu memprediksi keberhasilan atau kegagalan penerbangan.20
Secara keseluruhan karakter penerbang militer adalah seseorang yang memiliki
intelektual yang tinggi, memiliki dukungan yang besar dari orang tua, calculated
risk taker, kompulsif (mengikuti cheklist, mengecek pesawat sebelum terbang),
berfikir cepat dalam kondisi gawat, keinginan yang besar untuk mengontrol,
independent (tapi sebagai team player), memiliki ego yang besar (health
narcissism), percaya diri, tidak memiliki gangguan psikiatri di aksis I dan II,
senang akan prestasi dan action oriented, menghindari introspeksi sehingga
apabila mengalami stres akan act out, menekan emosi (isolasi afek, mudah
berteman tetapi ada jarak interpersonal, dan menggunakan rational problem
solving).20,24
Kepribadian dapat membantu seseorang bertindak apabila mengalami situasi
tertentu. Meskipun kepribadian sifatnya menetap, kemampuan seseorang dalam
menghadapi situasi tertentu bisa berubah setiap saat, terutama bila dilatih.
Kemampuan tersebut dapat digunakan dalam situasi penuh tekanan dan berguna
untuk mengurangi stres. Disini tampak bahwa manusia aktif berpartisipasi
mengatasi stres, tidak hanya pasif.21,24
2.7. Penerbang Militer Indonesia
Penerbang militer Indonesi bisa terdiri dari tiga angkatan yaitu Darat, Laut, dan
Udara. Penerbang militer dari Angkatan Udara memiliki tugas menegakkan
kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diwujudkan dalam kegiatan operasi militer perang (operasi
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
24
Universitas Indonesia
pertahanan, penyerangan, dan dukungan udara) serta operasi militer selain perang
mengamankan wilayah perbatasan, Presiden dan Wakil Presiden beserta
keluarganya, membantu bencana alam dan pengungsian, dan lain-lain). Operasi
militer ini dilaksanakan dengan menggunakan alat utama sistem pertahanan
berupa pesawat terbang, dengan jenis pesawat tempur, pesawat latih, pesawat
transportasi, pesawat intai, dan helikopter. Pesawat–pesawat ini terdapat di 17
Skadron Udara yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.25,26
Untuk menjadi seorang penerbang militer di Indonesia harus melalui beberapa
test, diantaranya test kesehatan, psikologi, dan test terbang. Test terbang
dilakukan selama 5 jam dengan menggunakan pesawat latih. Seorang calon
penerbang dilihat ketrampilan terbang dan kemampuannya beradaptasi dengan
ketinggian. Pendidikan dilaksanakan selama dua tahun di Sekolah Penerbangan
Yogyakarta. Selama menjalani pendidikan maupun saat bertugas di kesatuan
seorang penerbang militer di Indonesia hidup dalam lingkungan penuh dengan
tekanan baik dalam penerbangan maupun di darat. Lingkungan penuh tekanan ini
bertujuan untuk melatih seorang penerbang militer di Indonesia apabila mereka
menghadapi situasi yang berat misalnya perang, mereka dapat mempertahankan
ketrampilan terbangnya.
Selesai menjalankan pendidikannya, seorang penerbang militer di Indonesia
ditugaskan ke masing-masing skadron sesuai dengan jenis pesawat yang mereka
terbangkan. Pangkat awal mereka adalah Letnan Dua (Perwira Pertama). Usia
penerbang militer di Indonesia aktif menerbangkan pesawat dalam rentang usia
diantara 24-45 tahun. Di kesatuan masing-masing mereka memiliki dua tugas
pokok yaitu sebagai penerbang dan memiliki jabatan sesuai dengan
kepangkatannya. Sebagai penerbang diawali dengan kualifikasi transisi dan
kualifikasi tertinggi adalah instruktur. Kualifikasi seorang penerbang dapat
diusulkan naik apabila mereka telah terbang dengan jam terbang yang telah
ditentukan dan penilaian samapta, medis, dan sikap (penilai adalah seorang
penerbang dengan kualifikasi instruktur) yang baik. Apabila mereka telah berhasil
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
25
Universitas Indonesia
naik tingkat, kenaikan ini atas persetujuan instruktur, Komandan Skadron,
Komandan Wing, Komandan Pangkalan Udara, dan Panglima Komando Operasi.
Jam terbang disesuaikan dengan kesiapan pesawat, kesiapan diri dari penerbang,
dan misi yang dijalankan. Kesiapan pesawat adalah jumlah pesawat yang dimiliki
dan pesawat yang siap diterbangkan pada suatu skadron. Hal ini membuat
peningkatan jam terbang penerbang militer Angkata Udara berbeda-beda tiap
skadron. Kesiapan diri dari penerbang dapat terhambat bila seorang penerbang
mendapatkan perintah larangan terbang, sakit, dan tugas sekolah. Misi yang
dijalankan adalah misi yang ditentukan oleh dinas.
Tugas pokok lainnya adalah bertugas sesuai dengan jabatan yang disesuaikan
dengan pangkatnya. Jabatan ini semakin meningkat seiring dengan kenaikan
pangkatnya. Seorang penerbang yang telah menjadi instruktur akan
dipertimbangkan menjadi Komandan Skadron apabila dia masih aktif terbang.
Setelah selesai menjalankan tugasnya sebagai Komandan Skadron seorang
penerbang dipersiapkan menjadi staf.
Dalam menjalankan tugasnya, seorang penerbang militer harus memiliki
kesehatan fisik maupun jiwa yang optimal. Kesehatan penerbang militer selalu
dipantau setiap tahunnya dengan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan di
Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) Saryanto
Jakarta. Bagi penerbang yang dinyatakan layak terbang akan mendapatkan surat
layak terbang, dan bagi penerbang yang memiliki masalah dengan kesehatannya
akan diberikan surat grounded terbang hingga masalah kesehatannya teratasi.
Tugas Lakespra lainnya adalah menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan
pengembangan kesehatan di bidang penerbangan.27
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
26
Universitas Indonesia
2.8. KERANGKA TEORI
Karakter Individu
Fisik
Kesehatan fisik Psikologis
Kesehatan mental Kebudayaan
Kebudayaa
setempat
PENERBANG
MILITER
Tingkat Stres
Tidak ada psikopatologi PSIKOPATOLOGI
Sumber Stres
penerbang:
Lingkungan penerbangan
Psikososial penerbang
Individu
Sumber Individu
Fisik
Umur
Pendapatan Personal
Ketrampilan
Mekanisme koping
Ciri kepribadian
Kognitif Sosial
Dukungan lingkungan
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
27
Universitas Indonesia
Ada
psikopatologi
Tingkat Stres
Tidak ada
psikopatologi
Sumber Stres
penerbang:
Lingkungan
penerbangan
Aspek kondisi kerja
Aspek fisik lingkungan kerja
Psikososial penerbang
Aspek pengembangan karir
Aspek organisasi
Aspek interpersonal
dalam tugas
Individu
Karakter Individu
Fisik
Kesehatan fisik
Psikologis
Kesehatan mental Kebudayaan
Kebudayaa setempat
Sumber Individu
Fisik
Umur
Pangkat
Lama kerja
Pendidikan
Personal
Jam terbang
Tipe pesawat
Kualifikasi profesi
Mekanisme adaptasi
Ciri kepribadian
Kognitif
Sosial
Status perkawinan
PENERBANG
MILITER
2.9. KERANGKA KONSEP
Keterangan:
: diteliti
: tidak diteliti
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
28
Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini melihat hubungan stres penerbang (variabel bebas) dan
psikopatologi (variabel tergantung) yang diukur pada satu waktu, maka penelitian
ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan rancangan penelitian
potong lintang.28
3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa
(Lakespra) Saryanto pada bulan Agustus-Oktober 2013.
3.3. POPULASI DAN CARA PENGAMBILAN SAMPEL PENELITIAN
3.3.1. Populasi
Populasi target adalah semua penerbang militer aktif.
Populasi terjangkau adalah penerbang militer yang melakukan pemeriksaan
kesehatan berkala di Lakespra Saryanto pada bulan Agustus-Oktober 2013.
Sampel diambil dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi penelitian.
3.3.2. Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling yaitu semua subyek
yang sedang melaksanakan pemeriksaan kesehatan berkala pada bulan Agustus-
Oktober 2013 di Lakespra Saryantoyang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan
dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi.
3.4. KRITERIA
3.4.1. Kriteria Inklusi
Semua penerbang militer aktif.
Menjalankan tugas sebagai minimal selama enam bulan dengan jenis
pesawat yang sama.
28
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
29
Universitas Indonesia
3.4.2. Kriteria Eksklusi
Sedang sakit atau dirawat di rumah sakit.
3.5. BESAR SAMPEL
Jumlah sampel minimal yang diperlukan untuk penelitian ini diperoleh
berdasarkan rumus :
N = besar sampel
p = proporsi atau prevalensi
(Peneliti menggunakan prevalensi psikopatologi pada penerbang sipil di
Indonesia pada penelitian sebelumnya yaitu 39,4%)
q = 1-p
Zα = 1,96
d = batas kesalahan yang ditoleransi
(ketepatan relatif yang diinginkan sebesar 10%)
Dari rumus tersebut maka besar sampel dapat dihitung sebagai berikut :
3.6. Perangkat Kerja Dan Cara Pengumpulan Data
3.6.1. Perangkat Kerja/Instrumen
Kuesioner Demografi
Sumber Stres Pilot Airline modifikasi
Symptom Check List 90 (SCL 90)
N = (Zα)2 pq
d2
N = (1,96)2x 39,4 x 60,6
(10)2
N = 91,72 (dibulatkan menjadi 92)
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
30
Universitas Indonesia
3.6.2. Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data didapatkan dengan menggunakan tiga buah kuesioner, yaitu
Kuesioner Demografi yang berisi mengenai berbagai faktor demografik individu
yang dapat mempengaruhi timbulnya stres yang kemudian dapat menimbulkan
psikopatologi, Kuesioner Sumber Stres Pilot Airline, dan Kuesioner Symptom
Check List (SCL 90).
Pengumpulan data dilakukan melalui dua tahap :
Tahap persiapan alat
Tahapan ini dilakukan dengan cara mempersiapkan kuesioner yang sudah
dilakukan pengukuran validasi dan realibilitas. Digunakan Kuesioner Sumber
Stres Pilot Airline dan Kuesioner Symptom Check List (SCL90).
Tahap pengumpulan data
Setelah kuesioner disiapkan kemudian dibagikan kepada responden.
3.6.3. Data Stres Penerbang
Pengumpulan data mengenai stres penerbang dilakukan dengan menggunakan
Kuesioner Sumber Stres Pilot Airline modifikasi oleh Widyahening (2007).
Kuesioner ini terdiri dari 55 pertanyaan, sumber stres dikelompokkan menjadi
lima aspek, yaitu:10
Aspek kondisi kerja. Sumber stres yang termasuk dalam aspek ini adalah
pertanyaan no. 1-19.
Aspek fisik lingkungan kerja. Sumber stres yang termasuk dalam aspek ini
adalah pertanyaan no. 20-27.
Aspek pengembangan karir. Sumber stres yang termasuk dalam aspek ini
adalah pertanyaan no. 28-36.
Aspek organisasi. Sumber stres yang termasuk dalam aspek ini adalah
pertanyaan no. 37-46.
Aspek interpersonal dalam tugas. Sumber stres yang termasuk dalam aspek
ini adalah pertanyaan no. 47-55.
Validitas dan reliabilitas Kuesioner Sumber Stres Pilot Airline modifikaasi cukup
baik dengan koefisien korelasi berkisar antara 0,4105-0,8536 dan nilai alfa untuk
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
31
Universitas Indonesia
tiap aspek berkisar antara 0,8842-0,9778. Reliabilitas dihitung dengan
memperkirakan konsistensi internal dari item-item yang ada menggunakan
tekhnik Alpha-Chronbach dengan nilai alfa 0,9399. Responden menjawab
pertanyaan dengan skala 1-5 yang dipilih sesuai dengan penghayatannya.
Berdasarkan nilai total, subyek penelitian diklasifikasikan menjadi stres tingkat
rendah (nilai total kurang atau sama dengan 118), sedang (nilai total 119-152),
tinggi (nilai total 153-190), atau sangat tinggi (nilai total 119 atau lebih).10
Kuesioner ini merupakan modifikasi dari Kuesioner Sumber Stres Pilot Airline
yang dikembangkan oleh Thona (1998). Pada kuesioner yang dikembangkan oleh
Thona terdiri dari 96 pertanyaan dengan pilihan jawaban 1-6. Untuk menentukan
sumber stres yang paling tinggi dialami oleh subyek penelitian dilakukan dengan
cara menentukan mean masing-masing aspek. Apabila nilainya diatas nilai mean
atau sama, maka dianggap aspek tersebut merupakan sumber stres penerbang,
namun bila nilainya dibawah nilai mean, maka aspek tersebut dianggap bukan
sebagai sumber stres. 29
3.6.4. Data Gejala Psikopatologi
Gejala psikopatologi diukur dengan menggunakan kuesioner Symptom Check List
90 (SCL 90) yang bersifat self rating questioner yang terdiri dari 90 pertanyaan
dan terbagi dalam sembilan skala dimensi gejala dan satu gejala tambahan yaitu:32
Depresi. Pertanyaan yang termasuk dalam skala depresi adalah no 5, 14, 15,
20, 22, 26, 29, 30, 31, 32, 54, 71, dan 79.
Ansietas. Pertanyaan yang termasuk dalam skala ansietas adalah no 2,17, 23,
33, 39, 57, 72, 78, 80, dan 86.
Obsesif-kompulsif. Pertanyaan yang termasuk dalam skala obsesif kompulsif
adalah no 3, 9, 10, 28, 38, 45, 46, 51, 55, dan 65.
Phobia. Pertanyaan yang termasuk dalam skala phobia adalah no 13, 25, 47,
50, 70, 75, dan 82.
Somatisasi. Pertanyaan yang termasuk dalam skala somatisasi adalah no 1, 4,
12, 27, 40, 42, 48, 49, 52, 53, 56, dan 58.
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
32
Universitas Indonesia
Sensitifitas interpersonal. Pertanyaan yang termasuk dalam skala sensitivitas
interpersonal adalah no 6, 21, 34, 36, 37, 41, 61, 69, dan 73.
Hostilitas. Pertanyaan yang termasuk dalam skala hostilitas adalah no 11, 24,
63, 67, 74, dan 81.
Paranoid. Pertanyaan yang termasuk dalam skala paranoid adalah no 8, 18,
43, 68, 76, dan 83.
Psikotik. Pertanyaan yang termasuk dalam skala psikotik adalah no 7, 16, 35,
62, 77, 84, 85, 87, 88, dan 90.
Skala tambahan. Pertanyaan yang termasuk dalam skala tambahan adalah no
19, 44, 59, 60, 64, 66, dan 89.
Kuesioner ini memberikan penilaian terhadap berbagai dimensi gejala mental
emosional secara kuantitatif. Responden menjawab pertanyaan ini dengan
memberi nilai untuk setiap pertanyaan dengan skala 0-4 yang dipilih sesuai
dengan gejala yang dialaminya dalam 1 bulan terakhir. Hasil uji validasi di
Indonesia yang dilakukan oleh Herianto didapatkan Cut Off Score SCL-90 sebesar
61 (raw score) dengan sensitivitas dan spesifisitas yang berimbang yang
mendekati 100% yaitu 82,92% dan 83% dengan nilai prediktif positif 80,00% dan
prediksi negatif 84,69%. Uji reliabilitas menunjukkan hasil yang cukup baik
dengan r total=0,67 dan tertinggi 0,94 pada skala depresi.30
3.7. Metode Pengumpulan Data
Peneliti mengajukan lolos uji kaji etik pada Panitia Tetap Etik
Penelitian Kedokteran/Kesehatan FKUI-RSCM.
Peneliti mengajukan surat permohonan ijin penelitian kepada Lakespra
Saryanto Jakarta.
Peneliti melakukan uji Kuesioner Sumber Stres Pilot Airline dan
instrumen SCL-90 sebelum melakukan penelitian.
Peneliti menjelaskan tujuan penelitian kepada responden yang
melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Lakespra Saryanto Jakarta
pada bulan Agustus-Oktober 2013.
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
33
Universitas Indonesia
Responden diminta mengisi Kuesioner Demografi, Kuesioner Sumber
Stres Pilot Airline, dan kuesioner SCL-90.
Peneliti mengumpulkan Kuesioner Demografi, Kuesioner Sumber Stres
Pilot Airline, dan kuesioner SCL-90 dan mengolahnya dengan
menggunakan program SPSS.
3.8. IDENTIFIKASI VARIABEL
3.8.1. Variabel tergantung
Tabel 3.1 Variabel tergantung
Variabel Definisi Skala Keterangan
Psikopatologi Gejala psikiatri yang
dirasakan seseorang
akibat adanya stres
Nominal 1. Ada
psikopatologi
2. Tidak ada
psikopatologi
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
34
Universitas Indonesia
3.8.1. Variabel bebas
Tabel 3.2 Variabel bebas
Variabel Definisi Skala Keterangan
Tingkat stres
penerbang
Tingkatan suatu keadaan
yang mengganggu dan dapat
mempengaruhi fungsi fisik
maupun psikologi yang
normal dari seorang
penerbang yang disebabkan
karena stresor penerbangan
Interval 1. Rendah
2. Sedang
3. Tinggi
4. Sangat tinggi
Sumber stres
penerbang
Stimulus atau kejadian yang
mengharuskan seorang
penerbang beradaptasi
dengan beberapa jalan, baik
secara emosi, fisiologi, atau
perilaku. Sumber stres
berupa psikososial,
lingkungan, fisiologi, dan
kognitif.
Nominal 1. Kondisi kerja
2. Fisik
lingkungan kerja
3. Pengembangan
karir
4. Organisasi
5. Interpersonal
dalam tugas
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
35
Universitas Indonesia
3.9. KERANGKA KERJA
Persetujuan Etik
Persetujuan pelaksanaan penelitian dari Lakespra Saryanto
Populasi penerbang militer
Hasil Penelitian
Data demografi, stres dan
psikopatologi
Sampel
Kriteria Inklusi:
Penerbang militer aktif
Menjalankan tugas minimal
enam bulan
Kriteria Eksklusi:
Sedang sakit atau dirawat di rumah sakit
Informed consent
Kuesioner demografi, Kuesioner sumber stres pilot
airlines modifikasi, dan SCL 90 Instrumen
Analisis data
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
36
Universitas Indonesia
3.10. Definisi Operasional
Supaya tidak terjadi makna ganda, maka dibuatlah batasan-batasan. Yang
termasuk didalam definisi operasional adalah:
3.10.1. Stresor Penerbang
Stresor penerbang merupakan suatu stimulus atau kejadian yang mengharuskan
seorang penerbang beradaptasi dengan beberapa jalan, baik secara emosi,
fisiologi, atau perilaku. Stresor penerbangan bisa berupa psikososial, lingkungan,
fisiologi, dan kognitif. 5
Stres penerbang diukur dengan menggunakan Kuesioner
Sumber Stres Pilot Airlines modifikasi.10
3.10.2. Stres Penerbang
Stres penerbang adalah suatu keadaan yang dapat mengganggu dan
mempengaruhi fungsi fisik dan psikologi yang normal seorang penerbang yang
diakibatkan stresor penerbangan.14
Stres penerbang diukur dengan menggunakan
Kuesioner Sumber Stres Pilot Airlines modifikasi.10
3.10.3. Gejala Psikopatologi
Gejala psikopatologi adalah keluhan atau gejala klinis psikiatri yang dirasakan
oleh seseorang, bersifat ringan namun bisa berubah menjadi gangguan psikiatri
yang berat. Gejala ini diantaranya gangguan depresi tanpa gejala psikotik, cemas,
keluhan somatik, sulit konsentrasi dan membuat keputusan, mudah lupa,
insomnia, lelah, mudah marah, dan merasa tidak berguna.8,12
Pengukuran gejala
psikopatologi dengan menggunakan kuesioner SCL-90.30
3.10.4. Umur
Umur ditentukan berdasarkan ulang tahun terakhir yang telah dilalui oleh
responden saat menjawab kuesioner penelitian. Umur dikelompokkan menjadi
kurang dari 30 tahun dan lebih dari 30 tahun.
3.10.6. Pendidikan
Pendidikan formal terakhir yang pernah diikuti responden. Terdiri atas dua
jenjang yaitu akademi dan sarjana.
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
37
Universitas Indonesia
3.10.7. Lama Kerja
Lama kerja dihitung berdasarkan tahun pertama kali bertugas sebagai penerbang
militer. Terbagi atas empat kelompok, yaitu kurang dari 5 tahun, 5-10 tahun, 10-
20 tahun, dan lebih dari 20 tahun.
3.10.7. Jam Terbang Total
Jam terbang total dihitung mulai dari responden bertugas sebagai penerbang
militer hingga saat diperiksa. Terdiri atas lima kelompok dengan jumlah jam
terbang kurang dari 1000 jam, 1001-2000 jam, 2001-3000 jam, 3001-4000 jam,
dan lebih dari 4001 jam.
3.10.8. Status kualifikasi profesi
Status kualifikasi profesi pada penerbang transport, intai, dan helikopter
digolongkan menjadi dua yaitu kapten dan kopilot. Status kualifikasi pada
penerbang tempur digolongkan menjadi tiga yaitu wing man dan element reader.
Kualifikasi lainnya adalah transisi yaitu penerbang dalam proses adaptasi dan
instruktur yaitu penerbang yang memiliki kualifikasi untuk melatih seorang
penerbang.
3.10.9. Tipe Pesawat yang Dikemudikan
Tipe pesawat yang dikemudikan adalah pesawat yang dikemudikan oleh
responden selama enam bulan terakhir. Terdapat lima pesawat militer yang
dimiliki :
Pesawat tempur
Pesawat transportasi
Pesawat intai
Pesawat latih
Helikopter
3.11. MANAJEMEN DAN ANALISIS DATA
Langkah-langkah pada tahap analisis data adalah:
a. Pengumpulan lembar kuesioner demografi, sumber stres pilot airline, dan
SCL 90
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
38
Universitas Indonesia
b. Editing yaitu pemisahan data yang relevan
c. Coding yaitu memberikan kode-kode pada data yang merupakan jawaban dari
responden
d. Rekapitulasi
e. Pengelompokan
f. Tabulasi yaitu pengelompokan jawaban kuesioner dalam suatu tabulasi data
g. Data disajikan dalam bentuk tabel dan narasi
h. Analisis data dengan uji statistik nonparametrik menggunakan program SPSS
3.12. MASALAH ETIK
Responden diberi penjelasan tentang tujuan penelitian sebelum penelitian
dilakukan. Semua data dan hal yang menyangkut pribadi responden akan dijaga
kerahasiaannya dan hanya akan digunakan untuk penelitian.
3.13. ORGANISASI PENELITI
Peneliti : dr. Tara Aseana
Pembimbing I (Penelitian) : dr. Natalia W, Sp.KJ (K)
Pembimbing II (Akademik) : Prof. Dr. dr. R. Irawati I.M, Sp.KJ (K), M.Epid
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
39
Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan potong lintang
untuk menilai hubungan antara tingkat stres penerbang dan gejala psikopatologi
pada penerbang militer. Penelitian ini telah dilakukan di Lembaga Kesehatan
Penerbangan dan Ruang Angkasa Jakarta selama empat bulan dari bulan Agustus
- November 2013. Selama penelitian tersebut telah berhasil dikumpulkan 107
penerbang militer sebagai subyek penelitian terpilih, yang telah memenuhi kriteria
inklusi sebanyak 103 penerbang. Berikut akan disajikan hasil-hasil penelitian
yang telah dilakukan.
4.1. Gambaran Deskriptif Hasil Penelitian
4.1.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Tabel 4.1 menggambarkan sebaran subyek penelitian menurut umur, pangkat,
kualifikasi profesi, lama kerja, pendidikan terakhir, status perkawinan, jam
terbang total, dan jenis pesawat. Subyek penelitian berusia antara 24-45 tahun
dengan nilai rata-rata 30.57 tahun (SD ± 4.87). Umur subyek penelitian sebagian
besar berusia diatas 30 tahun dengan jumlah 54 subyek (52.4%). Secara berurutan
pangkat subyek penelitian yang terbanyak adalah Letnan Satu berjumlah 30
subyek penelitian (29.1%) disusul dengan pangkat Kapten berjumlah 26 subyek
penelitian (25.2%). Lama kerja subyek penelitian memiliki rentang waktu hampir
sama. Pendidikan formal terakhir yang diikuti oleh subyek penelitian sebagian
besar adalah Diploma yaitu berjumlah 60 subyek penelitian (58.3%). Sebagian
besar subyek penelitian sudah menikah sebesar 68.9% atau 71 subyek penelitian.
Sebagian besar subyek penelitian memiliki jam terbang kurang dari 1000 jam
yaitu 47 subyek penelitian (45.6%). Secara berurutan jenis pesawat yang
diterbangkan adalah pesawat transportasi sebesar 36 subyek penelitian (35%)
disusul oleh pesawat tempur berjumlah 35 subyek penelitian (34%). Sebagian
besar subyek penelitian memiliki kualifikasi instruktur dengan jumlah 40 subyek
penelitian (38.8%).
39
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
40
Universitas Indonesia
Tabel 4.1 Sebaran subyek penelitian menurut umur, pangkat, lama kerja,
pendidikan terakhir, status perkawinan, jam terbang total, dan jenis
pesawat, dan kualifikasi
Karakteristik Jumlah
(n=103)
Persentase
(%)
Umur
< 30 tahun 49 47.6
≥ 30 tahun 54 52.4*
Pangkat
Letnan Dua 17 16.5
Letnan Satu 30 29.1*
Kapten 26 25.2*
Mayor 20 19.4
Letnan Kolonel 10 9.7
Lama kerja
<5 tahun 33 32
5 – 10 tahun 36 35
>10 tahun 34 33
Pendidikan terakhir
D3 60 58.3*
Sarjana 43 41.7
Status perkawinan
Belum menikah 32 31.1
Menikah 71 68.9*
Jam terbang total
< 1000 jam 47 45.6*
1001-2000 jam 25 24.3
2001-3000 jam 19 18.4
3001-4000 jam 8 7.8
>4001 jam 4 3.9
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
41
Universitas Indonesia
Tipe pesawat
Tempur 35 34.0*
Transportasi 36 35.0*
Intai 5 4.9
Helikopter 25 24.3
Latih 2 1.9
Kualifikasi profesi
Instruktur 40 38.8*
Wingman 8 7.8
Kapten 13 12.6
Kopilot 23 22.3
Transisi 5 4.9
Element reader 14 13.6
*Nilai tertinggi
4.1.2. Gambaran tingkat stres penerbang dan gejala psikopatologi pada
subyek penelitian.
Sebagian besar subyek penelitian berada pada tingkat stres sedang berjumlah 53
subyek (51.5%). Sebagian besar subyek penelitian tidak mengalami psikopatologi
berjumlah 95 subyek (92.2%).
Tabel 4.2 Tingkat stres penerbang dan psikopatologi pada subyek penelitian
Tingkat stres dan Psikopatologi Jumlah
(n=103)
Persentase
(%)
Tingkat stres
Ringan 26 25.5
Sedang 53 51.5*
Tinggi 24 23.3
Sangat tinggi 0 0
Psikopatologi
Tidak ada psikopatologi 95 92.2*
Ada psikopatologi 8 7.8
*Nilai tertinggi
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
42
Universitas Indonesia
Kelima aspek yang terdapat dalam sumber stres yang dianggap oleh subyek
penelitian sebagai kondisi yang paling sering mengakibatkan stres dinilai dengan
mencari nilai mean masing-masing aspek. Masing-masing subyek penelitian
dinilai jumlah total masing-masing aspek sumber stres, bila nilainya sesuai
dengan nilai mean atau lebih maka aspek tersebut dianggap sebagai sumber stres,
namun apabila kurang dari nilai mean maka dianggap bukan sumber stres. Dari
kelima aspek besarannya hampir sama dengan jumlah 53 – 54 subyek penelitian
(51.5% - 52.4%). Hal ini terlihat dalam tabel 4.3.
Tabel 4.3 Sumber stres berdasarkan kategori / aspeknya yang dianggap oleh
subyek penelitian sebagai kondisi yang sering mengakibatkan stres
Sumber Stres Mean Jumlah
(n=103)
Persentase
(%)
Kondisi kerja 2.578 Bukan 50 48.5
Ya 53 51.5
Fisik lingkungan kerja 2.375 Bukan 50 48.5
Ya 53 51.5
Pengembangan karir 2.555 Bukan 50 48.5
Ya 53 51.5
Organisasi 2.700 Bukan 50 48.5
Ya 53 51.5
Interpersonal dalam
tugas
2.444 Bukan 49 47.6
Ya 54 52.4
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
43
Universitas Indonesia
Sepuluh sumber stres yang dianggap oleh subyek penelitian sebagai kondisi yang
paling sering mengakibatkan stres tercantum pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Sepuluh sumber stres terbanyak pada subyek penelitian
No Sumber Stres Penerbang Jumlah
(subyek penelitian)
1. Kesesuaian pendapatan (salary) dengan tanggung jawab
dan risiko pekerjaan
18
2. Paket kesejahteraan kurang memuaskan. 11
3. Keadaan darurat (emergency) dalam penerbangan
(cruising).
10
4. Pemeriksaan kesehatan (Medical examination). 10
5. Pelayanan dalam pemeliharaan dan perawatan pesawat
secara tekhnis yang kurang baik.
10
6. Keadaan alat bantu kemudi yang kurang sempurna
namun masih dapat berfungsi.
9
7. Uji ketrampilan untuk mempertahankan lisensi terbang
(Proficiency check).
9
8. Kondisi pesawat yang kurang baik/prima sebelum
terbang.
8
9. Fase tinggal landas (take-off phase). 8
10. Fase mendarat (landing phase) 7
Subskala gejala psikopatologi yang banyak dialami subyek penelitian dengan
hasil SCL-90 ≥61 tercantum pada tabel 4.5.
Tabel 4.5. Subskala gejala psikopatologi pada subyek penelitian dengan hasil
SCL-90 ≥ 61.
No Subskala gejala psikopatologi Frekuensi
(n=8)
1. Paranoid 4
2. Skala tambahan 2
3. Hostilitas 1
4 Sensitivitas interpersonal 1
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
44
Universitas Indonesia
4.2. Hubungan Faktor Risiko dan Tingkat Stres Subyek Penelitian
Terhadap Terjadinya Gejala Psikopatologi
Tabel 4.6 Hubungan faktor risiko dan tingkat stres subyek penelitian
terhadap terjadinya gejala psikopatologi
†Digabung saat penghitungan
Hubungan antara pangkat dan terjadinya psikopatologi dianalisis dengan
menggabungkan tingkatan pangkat. Penggabungan itu adalah Letnan Dua, Letnan
Satu, dan Kapten digabung menjadi Perwira Pertama dan Mayor serta Letnan
Kolonel digabung menjadi Perwira Menengah. Sebagian besar subyek penelitian
yang berpangkat mayor mengalami psikopatologi dengan jumlah 4 subyek (20%).
Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pangkat dengan terjadinya
Faktor risiko SCL 90 P RPc (IK 95%)
<61 ≥61
n % n %
Umur
≥30 th 49 90.7 5 9.3 Rujukan
<30 th 46 93.9 3 6.1 0.718 0.639 (0.144-2.827)
Pangkat
Perwira Menengah† 26 86.7 4 13.3 Rujukan
Perwira Pertama† 69 94.5 4 5.5 0.226 0.377 (0.088-1.618)
Lama kerja
>10 th 26 86.7 4 13.3 Rujukan
≤ 10 th† 69 94.5 4 5.5 0.226 0.377 (0.088-1.618)
Pendidikan
Sarjana 54 90.0 6 10.0 Rujukan
Akademik 41 95.3 2 4.7 0.463 0.439 (0.084-2.288)
Status
perkawinan
Belum menikah 32 100 0 0 Rujukan
Menikah 63 86.4 8 11 0.055 -
Jam terbang
> 2000 jam† 26 83.9 5 16.1 Rujukan
≤ 2000 jam† 69 95.8 3 4.2 0.051 0.226 (0.050-1.014)
Tipe pesawat
Rotary wing† 24 96.0 1 4.0 Rujukan
Fix wing† 71 91.0 7 9.0 0.676 2.366 (0.277-20.228)
Kualifikasi
Instruktur 36 90.0 4 10.0 Rujukan
Non instruktur† 59 93.7 4 6.3 0.708 0.610 (0.144-2.592)
Tingkat stres
Ringan –sedang† 75 94.9 4 5.1 Rujukan
Tinggi 20 83.3 4 16.7 0.083 3.750 (0.861-16.327)
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
45
Universitas Indonesia
psikopatologi dengan nilai p=0.226 ( > 0.05) dan Ratio Prevalence (RP) 2.65 ( IK
95% 0.51-13.92).
Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan terjadinya
psikopatologi dengan nilai p=0.345 (>0.05). Lama kerja dianalisis dengan
menggabungkan lama kerja ≤ 5 tahun dengan 5-10 tahun menjadi ≤ 10 tahun.
Lama kerja > 10 tahun mengalami psikopatologi paling banyak yaitu sebanyak 4
subyek (11.8%). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama kerja
terhadap psikopatologi dengan nilai p=0.434 (>0.05). Pendidikan formal subyek
penelitian tidak memberikan hubungan yang bermakna terhadap terjadinya
psikopatologi dengan nilai p=0.463 (>0.05) RP 2.28 (IK 95% 0.38-17.30). Tidak
ada hubungan yang bermakna antara status perkawinan dengan munculnya
psikopatologi dengan nilai p = 0.055 (>0.05).
Analisis jam terbang dilakukan dengan penggabungan jam terbang menjadi ≤
2000 jam dan > 2000 jam. Sebagian besar subyek dengan jam terbang 2001-3000
jam mengalami psikopatologi dengan jumlah 4 subyek (21.1%). Tidak ada
hubungan antara jam terbang dengan terjadinya psikopatologi dengan nilai
p=0.051 (> 0.05) RP 4.42 (IK 95% 0.84-25.53).
Analisis tipe pesawat yang diterbangkan oleh subyek penelitian digabungkan
menjadi fix wing ( pesawat tempur, transportasi, latih, dan intai) dan rotary wing
(pesawat helikopter). Tipe pesawat tempur dan transportasi memiliki besaran yang
sama untuk terjadinya psikopatologi yaitu 3 subyek (8.6%). Tidak ada hubungan
yang bermakna antara jenis pesawat dan terjadinya psikopatologi dengan nilai
p=0.675 (> 0.05) RP 2.37 (IK 95% 0.27-53.79).
Analisis kualifikasi subyek penelitian digabungkan menjadi instruktur dan non
instruktur (kapten, wingman, kopilot, element reader, dan transisi). Tidak ada
hubungan yang bermakna antara kualifikasi subyek penelitian dengan terjadinya
psikopatologi dengan nilai p=0.436 (>0.05) RP 2.04 (IK 95% 0.36–12.35).
Tingkat stres penerbang dibagi menjadi ringan, sedang, berat, dan sangat berat.
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
46
Universitas Indonesia
Analisis tingkat stres penerbang digabung menjadi berat dan ringan sedang. Tidak
ada hubungan antara tingkat stres penerbang dengan terjadinya psikopatologi
dengan nilai p=0.083 (> 0.05) RP 3.75 (IK 95% 0.70-20.09).
4.3. Hubungan Sumber Stres Berdasarkan Aspek Terhadap Terjadinya
Gejala Psikopatologi pada Subyek Penelitian
Aspek sumber stres tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap terjadinya
gejala psikopatologi pada subyek penelitian dengan hasil p masing-masing
variabel lebih dari 0.05.
Tabel 4.7 Hubungan aspek sumber stres terhadap terjadinya gejala
psikopatologi pada subyek penelitian
Aspek sumber stres SCL 90 Nilai p RPc (IK 95%)
<61 ≥61
n % n %
Kondisi kerja
Bukan 49 98 1 3.9 Rujukan
Ya 46 86.8 7 13.2 0.061 7.457 (0.883-62.970)
Fisik lingkungan
kerja
Bukan 48 96.0 2 4.0 Rujukan
Ya 47 88.7 6 11.3 0.271 3.064 (0.588-15.954)
Pengembangan
karir
Bukan 49 98.0 1 2.0 Rujukan
Ya 46 86.8 7 13.2 0.061 7.457 (0.883-62.970)
Organisasi
Bukan 50 100 0 0 Rujukan
Ya 45 84.9 8 15.1 0.006 -
Interpersonal
dalam tugas
Bukan 47 95.9 2 4.1 Rujukan
Ya 48 88.9 6 11.1 0.274 2.938 (0.564-15.297)
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
47
Universitas Indonesia
BAB 5
BAHASAN
5.1. Gejala Psikopatologi Subyek Penelitian
Pengukuran gejala psikopatologi dilakukan dengan menggunakan instrumen SCL-
90 dan didapatkan 7.8% subyek penelitian mengalami gejala psikopatologi.
Penelitian Otto J membandingkan jumlah United State Air Force (USAF)
remotely piloted aircraft (RPA) dengan USAF manned aircraft (MA) yang
mendapatkan tugas di Irak dan Afghanistan yang mengalami masalah dengan
kesehatan jiwa. Penelitian ini menunjukkan 8.2% (n=58) RPA dan 6% (n=313)
MA mengalami masalah dengan kesehatan jiwa.3 Penelitian yang dilakukan oleh
Feijo (2012) terhadap penerbang sipil di Brasil menghasilkan prevalensi
penerbang yang mengalami gejala psikopatologi sebesar 6.7%. Penelitian ini
menggunakan kuesioner SRQ 20 untuk menilai psikopatologi dengan cutoff point
8.8 Penelitian yang dilakukan oleh Widyahening (2007) menghasilkan prevalensi
penerbang sipil di Indonesia sebesar 39.4% yang mengalami gejala psikopatologi.
Penelitian ini menggunakan instrumen SCL-90 dengan cutoff point 61.10
Hasil penelitian ini menunjukkan prevalensi gejala psikopatologi pada penerbang
militer hampir sama dengan prevalensi penerbang USAF. Penelitian yang
dilakukan oleh Otto J terhadap penerbang USAF menyatakan bahwa rendahnya
prevalensi penerbang USAF yang mengalami masalah kesehatan jiwa karena
penerbang USAF memiliki kognitif yang tinggi, dapat melewati test fisik dan
kesehatan, adanya pemeriksaan psikologi yang standar, dan pengecekan masalah
hukum dan kebiasaannya, dan adanya program latihan penerbangan. dokter
skadron mengevaluasi kemampuan seorang penerbang termasuk masalah emosi
dan kebiasaannya.3
Subyek penelitian melewati beberapa test sebelum menjadi
penerbang militer, diantaranya test kesehatan, psikologi, dan test terbang. Selama
menjalani tugas sebagai penerbang, subyek penelitian selalu dilatih ketrampilan
terbangnya dan adanya pemeriksaan kesehatan secara rutin setahun sekali.
Masalah kesehatan dan emosi dievaluasi oleh dokter skadron.
47
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
48
Universitas Indonesia
Prevalensi gejala psikopatologi penerbang militer di Indonesia lebih kecil
dibandingkan prevalensi gejala psikopatologi penerbang sipil di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena karakter dari kedua populasi ini berbeda. Penerbang militer
harus memiliki karakter kepribadian yang kuat saat menghadapi lingkungan yang
penuh dengan tekanan. Hal ini terlihat saat awal dilakukan tes menjadi penerbang
militer. Seorang calon penerbang dilihat ketrampilan terbang dan kemampuannya
beradaptasi dengan lingkungan ketinggian. Saat menjalankan tugas sebagai
penerbang aktif, seorang penerbang hidup dalam lingkungan yang penuh tekanan
baik dalam penerbangan maupun di darat dengan tujuan melatih penerbang selalu
siap menghadapi situasi yang berat sehingga dia dapat mempertahankan
ketrampilan terbangnya. Gejala psikopatologi yang muncul yang diakibatkan stres
yang tinggi berhubungan dengan ciri kepribadian, mekanisme adaptasi, dan
kognitif seseorang dalam menghadapi stresor, namun faktor tersebut tidak diteliti
di penelitian ini.
Dari delapan subyek penelitian yang mengalami gejala psikopatologi, gejala
psikopatologi terbanyak adalah paranoid. Cara seseorang menghadapi masalah
dipengaruhi oleh karakternya. Penerbang militer selalu di latih agar selalu
waspada terhadap adanya musuh yang akan membahayakan negara. Sikap selalu
waspada ini menetap pada diri seorang penerbang militer. Meskipun gejala
paranoid ini bukan suatu gangguan melainkan suatu gejala, namu perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut karena sudah memiliki risiko menjadi gangguan.20,21,22
5.2. Stres Subyek Penelitian
Stres penerbang diukur dengan dua cara yaitu tingkat stres dan sumber stres.
5.2.1. Tingkat stres subyek penelitian
Penerbang militer bekerja pada lingkungan yang memiliki potensi sebagai stresor.
Stresor didapatkan bukan hanya dari lingkungan pekerjaan melainkan dari faktor
psikososial. Stresor bisa menyebabkan stres pada seseorang tergantung kognitif,
kepribadian, dan mekanisme adaptasi seseorang menghadapi stresor tersebut.
Penerbang militer telah dilatih baik secara fisik maupun mental untuk menghadapi
stresor yang dapat menimpa seorang penerbang. Tingkat stres penerbang diukur
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
49
Universitas Indonesia
dengan menggunakan kuesioner Sumber Stres Pilot Airline yang telah
dimodifikasi.
Sebagian besar subyek penelitian mengalami stres sedang (51.5%) disusul dengan
stres ringan (25.5%) lalu stres berat (23.3%). Tidak ada subyek penelitian yang
mengalami stres sangat berat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ahmadi tahun 2007 terhadap penerbang militer Angkatan Udara Iran yang
sebagian besar mengalami stres sedang sebesar 48.3% disusul dengan stres ringan
33.7%, stres sangat ringan 4.5%. Tidak ada penerbang yang mengalami stres
sangat berat.2 Cambell dalam tulisannya mengatakan bahwa penerbang militer
meskipun hidup dalam lingkungan yang tinggi tingkat stresnya namun tidak
menyebabkan stres karena sebagian besar dari mereka menggunakan mekanisme
adaptasi fokus pada penyelesaian masalah dan menekan emosinya saat
menghadapi masalah. Dengan mekanisme adaptasi ini stresor berat yang dihadapi
seorang penerbang militer bisa diatasinya sehingga tidak menyebabkan stres dan
dapat mempertahankan kinerja kerjanya.31
5.2.2. Sumber stres subyek penelitian
Jenis sumber yang dianggap paling menimbulkan stres bagi subyek penelitian
dilakukan dengan cara melihat aspek yang dianggap paling menimbulkan stres
oleh masing-masing subyek penelitian. Aspek kondisi kerja, fisik lingkungan
kerja, pengembangan karir, organisasi dan interpersonal dalam tugas dianggap
oleh subyek penelitian sebagai sumber stres dengan jumlah subyek penelitian
yang hampir sama. Subyek penelitian terbanyak menganggap aspek interpersonal
dalam tugas merupakan sumber stres dengan jumlah subyek penelitian 54 subyek
penelitian (52.4%) dan aspek yang lain masing-masing sebanyak 53 subyek
penelitian (51.5%).
Sumber stres yang dianggap oleh subyek penelitian sebagai kondisi yang sering
mengakibatkan stres yang terbanyak adalah kesesuaian pendapatan dengan
tanggung jawab dan risiko pekerjaan. Terdapat 18 subyek penelitian menganggap
aspek ini bisa menyebabkan stres disusul dengan paket kesejahteraan kurang
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
50
Universitas Indonesia
memuaskan sebanyak 11 subyek. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ahmadi
tahun 2007 terhadap penerbang militer Angkatan Udara Iran memperlihatkan
bahwa sumber stres tertinggi pada penerbang Angkatan Udara Iran adalah stres
kehidupan dan stres organisasi. Stres kehidupan seperti hubungan dengan istri,
komunikasi dengan anak, hubungan dengan orang lain, manajemen keuangan
keluarga, konflik keluarga dapat memberikan pengaruh untuk membuat stres yang
berat dan memberikan dampak yang besar pada kepuasan kerja.2
Sebagian besar subyek penelitian berusia di usia dewasa (30 tahun). Teori Erick
Erickson tentang perkembangan psikososial usia ini berada pada tahap intimacy vs
isolation. Pada tahap ini sesorang membangun hubungan yang dekat dan siap
berkomitmen hidup bersama dengan orang lain. Mereka yang berhasil pada tahap
ini akan mengembangkan dan mempertahankan hubungan dengan komitmen
tersebut.15
Hal ini yang dapat menjelaskan tentang kesesuaian pendapatan dengan
tanggung jawab dan risiko pekerjaan dan paket kesejahteraan kurang memuaskan
menempati stresor tertinggi yang dialami subyek penelitian. Sebagian besar dari
subyek penelitian sudah menikah serta memiliki istri dan anak. Apabila
pendapatan seorang penerbang dianggap tidak dapat mencukupi kebutuhan
keluarganya bisa menjadi potensi sebagai stresor bagi kehidupan profesionalnya
sebagai penerbang. Penelitian yang dilakukan terhadap penerbang helikopter
untuk mengawasi pantai di USA tahun 2000 menemukan bahwa masalah di
rumah meningkatkan stres pekerjaan bagi penerbang.32
Pemeriksaan kesehatan dan uji ketrampilan untuk mempertahankan lisensi terbang
juga merupakan stresor yang tinggi bagi subyek penelitian. Setahun sekali
penerbang militer menjalani pemeriksaan kesehatan di Lakespra Jakarta. Apabila
ada hasil pemeriksaan yang tidak memungkinkan mereka untuk terbang maka
akan dibuat surat perintah larangan terbang untuk sementara. Mereka harus
berkonsultasi dengan dokter militer dan menjalani terapi hingga mereka
dinyatakan layak untuk terbang. Waktu yang diperlukan untuk menjalani terapi
oleh seorang penerbang tergantung pada masalah medis yang dialaminya.
Misalnya pada saat seorang penerbang dilarang terbang karena masalah berat
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
51
Universitas Indonesia
badan yang berlebih, maka dia harus menjalai terapi untuk menurunkan berat
badannya. Hal ini bisa membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan berat
badan yang ditentukan. Apabila mereka tidak terbang maka pengembangan
karirnya dapat terhambat. Pengembangan karir yang tidak jelas atau tertunda
merupakan stresor bagi seorang penerbang.
Stresor lainnya adalah masalah kondisi dalam pekerjaan tersebut, diantaranya
keadaan darurat dalam penerbangan, kondisi pesawat yang kurang baik/prima
sebelum terbang, fase tinggal landas dan fase mendarat. Keadaan darurat
penerbangan adalah keadaan yang memiliki potensi keberbahayaan. Kondisi
pesawat yang kurang baik/prima sebelum terbang memiliki potensi untuk
munculnya keadaan darurat. Kedua kondisi ini bisa memunculkan stres bagi
seseorang. Fase tinggal landas dan fase mendarat merupakan salah satu stresor
yang dapat membuat stres berat. Hal ini sesuai dengan suatu pengamatan terhadap
hubungan kecelakaan terbang dengan fase penerbangan. Kecelakaan sering terjadi
selama fase approaches dan landing. Fase landing merupakan fase yang beban
kerja dan kelelahannya adalah maksimal dan disusul dengan fase tinggal
landas.13,17
Masalah di organisasi yang dapat menyebabkan stres bagi penerbang adalah
pelayanan dalam pemeliharaan dan perawatan pesawat secara tekhnis yang kurang
baik. Perawatan dan pemeliharaan pesawat militer telah dicantumkan dalam buku
petunjuk pemeliharaan. Pemeliharaan pesawat yang tercantum dalam buku dapat
segera dilakukan, namun ada beberapa kasus yang tidak tercantum dalam buku
petunjuk. Hal ini memerlukan waktu yang cukup bermakna untuk memperoleh
solusinya. Permasalahan kesiapan operasi udara terutama satuan yang jauh dari
pangkalan induk adalah menunggu bantuan dari pusat menjadikan kesiapan
operasi udara lebih lama.33
Pada penelitian yang dilakukan oleh Fazzry yang
menyatakan sering terjadi keterlambatan kesiapan pesawat di salah satu skadron
di Indonesia setelah melaksanakan inspeksi secara periode, sehingga dapat
mempengaruhi kesiapan jumlah pesawat tiap bulannya.34
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
52
Universitas Indonesia
Kondisi fisik di lingkungan kerja yang dapat menyebabkan stres adalah keadaan
alat bantu kemudi yang kurang sempurna namun masih dapat berfungsi. Alat
bantu kemudi yang kurang sempurna namun masih bisa berfungsi memiliki
potensi untuk masuk dalam situasi emergency penerbangan. Hal ini menyebabkan
tingkat stres meningkat.
5.3. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gejala Psikopatologi
5.3.1. Stres penerbang
Dari tinjauan pustaka telah dijelaskan bahwa seseorang yang mengalami stres
tinggi memiliki risiko yang tinggi muncul gejala psikopatologi. Pada penelitian ini
tidak ditemukan adanya hubungan stres yang tinggi dengan munculnya gejala
psikopatologi pada subyek penelitian (p 0.083). Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Otto terhadap penerbang USAF. Meskipun penelitian yang
dilakukan Otto tidak meneliti hubungan antara stres yang tinggi dengan
munculnya gejala psikopatologi, namun penelitian ini dilakukan kepada
penerbang drones USAF yang bertugas di daerah konflik di Irak dan Afganistan.
Subyek pada penelitian dilaporkan memiliki tingkat stres yang tinggi dan
mengalami kejenuhan.3
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi penerbang USAF yang mengalami
masalah dengan kesehatan jiwa rendah. Prevalensi yang rendah pada penerbang
drones USAF dikarenakan subyek penelitian memiliki kognitif yang tinggi, dapat
melewati test fisik dan kesehatan, adanya pemeriksaan psikologi yang standar,
dan pengecekan masalah hukum dan kebiasaannya, dan adanya program latihan
penerbangan. Dokter skadron mengevaluasi kemampuan seorang penerbang
termasuk masalah emosi dan kebiasaannya.3
Penelitian yang dilakukan oleh Lollis terhadap penerbang dan navigator militer di
USAF tahun 2009. Hasil penelitian ini adalah prevalensi penerbang dan navigator
USAF yang mengalami gangguan depresi mayor sebesar 0.06%. Data didapatkan
dari database dari The Air Force Researc Laboratory Institutional Review Board,
Wright-Petterson Air Force Base. Didapatkan 17.781 data dengan 51 kasus
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
53
Universitas Indonesia
gangguan depresi mayor (8 kasus episode berulang dan 43 kasus episode tunggal).
Semua kasus yang berulang mendapatkan diskualifikasi terbang dan kasus
episode tunggal mendapatkan waiver terbang. Prevalensi ini lebih rendah daripada
prevalensi gangguan depresi mayor dengan populasi umum (6.7%), populasi
eksekutif (2.8%), dan populasi profesional (4.1%) di Amerika.35
Hal ini disebabkan karena adanya proses seleksi yang sangat selektif dan adanya
program latihan yang selalu dilakukan oleh penerbang. Pada proses seleksi
seorang penerbang harus memiliki rasa percaya diri yang tinggi, menyukai
petualangan, orientasi akan kesuksesan, berambisi, fokus pada tugas, bisa bekerja
sendiri meskipun dalam pekerjaannya merupakan suatu tim, menghindari
instrospeksi emosi, kognitif tinggi, menyukai aktifitas yang agresif, memiliki
motivasi yang tinggi untuk terbang. Seorang bisa menjadi penerbang yang handal
bila dia memiliki ketrampilan memimpin, bekomunikasi, kemampuan mengambil
keputusan, berorganisasi dan merencanakan, menganalisis, empati, kedewasaan
emosi, motivasi, dan energi.35
Subyek penelitian pada penelitian ini berdasarkan tinjauan pustaka adalah
sekelompok orang yang sudah terbiasa hidup dalam lingkungan yang penuh
tekanan baik di darat maupun di penerbangan. Lingkungan penuh tekanan ini
bertujuan untuk melatih subyek penelitian terbiasa menghadapi situasi yang berat
namun mereka dapat mempertahankan ketrampilan terbangnya. Subyek penelitian
sebelum menjadi penerbang militer harus menjalani beberapa test diantaranya test
kesehatan, psikologi, dan terbang. Jadi untuk menjadi seorang penerbang harus
memiliki kognitif yang tinggi, dapat melewati test fisik dan kesehatan, dan dapat
terbang dengan stresor yang tinggi. Mereka juga selalu melakukan program
latihan terbang dan ada dokter skadron yang selalu mengevaluasi masalah
kesehatan dan emosi seorang penerbang.
5.3.2. Umur, pangkat, lama kerja, dan kualifikasi profesi
Umur, pangkat, dan kualifikasi profesi tidak memberikan hubungan terhadap
munculnya psikopatologi. Penelitian ini menunjukkan sebagian besar subyek
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
54
Universitas Indonesia
penelitian yang berpangkat Mayor yang mengalami psikopatologi dengan jumlah
4 subyek (50%) disusul dengan Letnan Satu berjumlah 2 (25%) subyek dan
Kapten 2 subyek (25%). Pada tahap pangkat Mayor ini subyek penelitian masih
aktif terbang namun tidak semua subyek memiliki jabatan di skadron. Pada tahap
ini subyek penelitian disiapkan untuk menjadi Komandan Skadron. Komandan
Skadron dipilih satu dari tiap angkatan. Ada beberapa kognitif yang khas yang
dapat dijumpai pada seorang penerbang, seperti must and should, choice and no
choice, gagal fokus pada here and now, maka apabila kenyataan tidak sesuai
dengan harapan maka seseorang berpotensi mengalami gejala psikopatologi.
Penelitian ini tidak meneliti tentang kognitif penerbang sehingga perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut.
Dari keempat mayor yang muncul gejala psikopatologi, keempatnya berusia lebih
dari 30 tahun dan memiliki kualifikasi profesi instruktur. Dari hasil penelitian
subyek penelitian berusia lebih dari 30 tahun sebagian besar mengalami gejala
psikopatologi yaitu berjumlah 5 subyek penelitian (62.5%) dan sebagian besar
memiliki kualifikasi instruktur sebanyak 4 subyek penelitian (50%) disusul
dengan kapten berjumlah 2 subyek penelitian (25%) dan kopilot dan wingman
berjumlah masing-masing 1 subyek penelitian (12.5%).
5.3.3. Pendidikan terakhir
Pendidikan tidak berhubungan dengan munculnya gejala psikopatologi. Subyek
penelitian mendapatkan pendidikan akademi yang sama yaitu Akademi Militer
selama tiga tahun dan dilanjutkan dengan sekolah penerbangan selama dua tahun.
Pendidikan formal lanjutan yang diikuti oleh subyek penelitian tidak berhubungan
dengan pendidikan terbangnya.
5.3.4. Jam terbang total
Penelitian yang dilakukan oleh Chappelle terhadap penerbang drones USAF
menunjukkan penerbang yang memiliki jam terbang lebih dari 50 jam perminggu
dan bekerja lebih dari 24 minggu memiliki risiko lebih tinggi mengalami post
traumatic stress disorder.38
Penelitian yang dilakukan oleh Feijo terhadap
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
55
Universitas Indonesia
penerbang sipil di Brazil menemukan risiko munculnya gejala psikopatologi pada
penerbang diakibatkan karena beban kerja yang tinggi dan olah raga yang tidak
teratur. Beban kerja yang tinggi dinilai berdasarkan total jam terbang per bulan.8
Jam terbang pada penelitian ini adalah jam terbang total yang ditempuh subyek
penelitian mulai saat menjalankan tugas terbang hingga saat dilakukan penelitian.
Seperti yang telah dijelaskan di tinjauan pustaka bahwa jam terbang yang
ditempuh oleh subyek penelitian berhubungan dengan kesiapan pesawat, kesiapan
diri dari penerbang, dan misi yang dijalankan. Hal ini menyebabkan karakteristik
jam terbang subyek penelitian ini berbeda-beda pada tiap skadron. Jam terbang
maksimal seorang penerbang militer adalah 8 jam perhari. Apabila negara
membutuhkan jam terbang lebih dari 8 jam perhari misalnya dalam rangka misi
kemanusiaan saat bencana alam, maka akan diberlakukan double crew sehingga
jam terbang tidak melebihi 8 jam perhari.
Pada penelitian ini tidak tergambar beban kerja subyek penelitian meningkat
akibat jam terbang yang tinggi. Semakin tinggi jam terbang seorang penerbang
semakin dia mengenal karakteristik pesawat yang diterbangkannya. Dia semakin
tahu tindakan atau keputusan yang akan diambilnya dengan risiko yang akan
dihadapinya. Hal ini dapat membuat seorang penerbang semakin berhati-hati
terhadap tindakan dan keputusan yang akan diambilnya. Sikap semakin berhati-
hati pada penerbang bukan suatu gejala psikopatologi melainkan suatu sikap
antisipasi penerbang terhadap situasi yang mungkin bisa terjadi.
5.3.5. Tipe pesawat
Jenis pesawat tidak ada hubungannya dengan terjadinya gejala psikopatologi.
Subyek penelitian dengan tipe pesawat tempur dan transportasi merupakan subyek
penelitian yang banyak mengalami gejala psikopatologi, yaitu masing-masing
sebesar 3 subyek penelitian disusul dengan intai dan helikopter yang masing-
masing sebesar 1 subyek penelitian. Berdasarkan karakteristik pesawat, pesawat
tempur dan transportasi merupakan pesawat yang lebih stabil daripada pesawat
helikopter. Namun masing-masing pesawat memiliki tugas yang berbeda-beda.
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
56
Universitas Indonesia
Salah satu tugas pesawat tempur adalah mengawasi dan menyerang bila ada
musuh yang membahayakan negara. Tugas ini membutuhkan keputusan yang
tepat saat akan melakukan penyerangan. Tugas pesawat transportasi diantaranya
adalah pengawasan wilayah negara Indonesia terhadap ancaman dari luar, bantuan
kemanusiaan bila ada bencana, dan mendukung penerjunan pasukan.
5.4. Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari adanya beberapa keterbatasan pada penelitian ini, diantaranya:
Penelitian ini menggunakan metode potong lintang, sehingga hanya diketahui
hubungan antara tingkat stres dan gejala psikopatologi tanpa mengetahui
penyebabnya.
Hasil jumlah subyek penelitian yang mengalami psikopatologi jumlahnya
sedikit (8 subyek penelitian) sehingga saat dilakukan analisis hasilnya tidak
seimbang antara subyek penelitian yang tidak mengalami gejala psikopatologi
dan yang mengalami gejala psikopatologi.
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa self report sehingga
diperlukan kejujuran dari subyek peneliti.
Penelitian ini tidak meneliti faktor-faktor lain yang berhubungan dengan
munculnya psikopatologi, diantaranya ciri kepribadian, mekanisme adaptasi,
dan kognitif subyek penelitian.
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
57
Universitas Indonesia
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. SIMPULAN
6.1.1. Prevalensi gejala psikopatologi yang terjadi pada penerbang militer sebesar
7.8%. Prevalensi ini hampir sama dengan prevalensi gangguan mental pada
USAF RPA sebesar 8.2% dan USAF MA sebesar 6%, namun lebih rendah
daripada prevalensi gejala psikopatologi yang terjadi pada penerbang sipil
di Indonesia yaitu sebesar 39.4%.
6.1.2. Sebagian besar penerbang militer mengalami stres sedang (51.5%) saat
menghadapi stresor penerbangan. Jenis stresor yang dianggap paling
menimbulkan stres adalah kesesuain pendapatan dengan tanggung jawab
dan risiko pekerjaan dan disusul dengan paket kesejahteraan kurang
memuaskan.
6.1.3. Stres penerbang tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan
munculnya gejala psikopatologi pada penerbang militer. Hal ini terlihat
pada analisis bivariat didapatkan hasil p=0.083 (>0.05).
6.1.3. Tidak ada faktor-faktor lain yang menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna terhadap munculnya gejala psikopatologi yang diperlihatkan
dengan adanya nilai p dari semua faktor lebih dari 0.05.
6.2. SARAN
6.2.1. Terdapat 7.8% subyek penelitian (n=103) yang mengalami gejala
psikopatologi. Gejala psikopatologi yang dialami oleh subyek penelitian
perlu dilakukan tatalaksana yang tepat guna mencegah berkembangnya
gejala psikopatologi menjadi gangguan psikopatologi.
6.2.2. Peran dokter skadron dalam mengawasi penerbang militer sangat besar,
bukan hanya dari segi fisik namun juga mental dan emosi. Perlu dilakukan
57
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
58
Universitas Indonesia
pelatihan kepada dokter skadron dalam mendeteksi dini terjadinya gejala
psikopatologi pada penerbang militer. Kuesioner SCL 90 dapat digunakan
dokter skadron sebagai skrining penerbang militer yang memiliki indikasi
mengalami gejala psikopatologi. Bila ditemukan gejala psikopatologi pada
penerbang dapat dilakukan tatalaksana oleh dokter skadron. Apabila kasus
tersebut tidak bisa diatasi oleh dokter skadron maka dokter skadron dapat
merujuk ke psikiater militer.
6.2.3. Subyek penelitian menjalani tes terlebih dahulu sebelum menjadi
penerbang. Selama menjalani tugas sebagai penerbang dilakukan program
latihan dan kesehatan fisik dan mental dimonitor oleh seorang skadron.
Hal-hal tersebut dapat dipertahankan untuk menghasilkan seorang
penerbang yang dapat bertahan terhadap stresor dan dapat mempertahankan
ketrampilan terbangnya.
6.2.4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor lain
yang dapat menyebabkan munculnya gejala psikopatologi seperti faktor
kepribadian, kognitif, dan mekanisme adaptasi yang digunakan oleh subyek
penelitian. Penelitian ini menggunakan kuesioner self report yang memiliki
banyak faktor bias, perlu dilakukakan wawancara terhadap subyek
penelitian untuk mendukung hasil yang didapatkan.
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
59
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. Davis J, Johson R, Stepanek J. Fundamentals of aerospace medicine. 4th
edition. Lippincott Williams and Wilkins, 2006.
2. Ahmadi K, Aliresa K. Stress and job satisfaction among Air Force military
pilots. Journal of Science 3 (3) : 159 – 163. 2007.
3. Otto J, Webber M. Mental health diagnose and counseling among pilots of
remotely piloted aircraft in the United States Air Force. Medical
Surveillance Monthly Report. Vol 20 No 3. March 2013
4. Bor R, Hubbard T. Aviation mental health. Psychological implications for
air transportation. Ashgate publishing limited. 2006.
5. Grice R, Katz L. Personality profiles of US Army initial entry rotary wing
students versus career aviators. Technical report 1208. United State Army
Research Institute for the Behavioral and Social Sciences. September 2007.
6. Grice R, Katz L. Personality profiles of experienced US Army aviators
across mission platfors. Technical report 1185. United State Army Research
Institute for the Behavioral and Sciences. September 2006.
7. Paulding T, Chappele W, Patterson J. United States Air Force School of
Aerospace Medicine. USAF Flight Surgeon Survey : Aircrew mental health
refferals and satisfaction with local mental health providers response. USAF
School of Aerospace Medicine. Aerospace Medicine Department Clinical
sciences Division. 2008.
8. Feijo D, Luiz R, Camara V. Common mental disorders among civil aviation
pilots. Aviat Space Environ Med 2012 ; 83 : 509 - 13.
9. Nature, types, and sources of stress. Di unduh di
http://www.onestopias.com/tutorials/psychology/stress pada hari Selasa, 13
November 2012 pk 11.00 WIB.
10. Widyahening I. High level of work stressors increase the risk of mental
emotional disturbances among airline pilots. Med J. Indones vol 16, No 2,
April – June 2007; 16 : 117-21.
11. Rainford D, Gradwel D. Ernsting’s aviation medicine. 4th
edition. Hooder
education. 2006.
58
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
60
Universitas Indonesia
12. Aeromedical training for flight personnel. Field manual No 3 – 04.301 (1-
301). Headquarters Department of the Army Washington, DC. 29
September 2000.
13. What is stress and how stress relate to. Diunduh di
http://aviationknowledge.wikidot.com/aviation:stress pada hari Sabtu, 10
November 2012 pk 15.00 WIB
14. Accumulated stress presents range of health risks. FSF Editorial Staff.
Flight Safety Foundation Human Factors and Aviation Medicine vol 53 No
1. January – February 2006.
15. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry.
Behavioral sciences clinical psychiatry. 10th
edition. Lippincott Williams
and Wilkins. 2007.
16. Stahl SM. Stahl essential psychoparmacology neuroscientific basis and
practical applications. 3rd
edition. Cambridge University Press. 2008.
17. Human factors and pilot error. Langley Flying School. Student Reading
Reference. Diunduh di www.langleyflyingschool.com/pages/Human Factor
- Pilot Error.html pada hari Selasa, 13 November 2012 pk 11.00 WIB.
18. Young J. The effect of life stress on pilot performance. National aeronautics
and Space Administration. Ames Research Center Moffet Field, California.
December 2008.
19. How does stress affect performance? Diunduh di
http://www.lesstress.nett/stress-affect-performance.htm pada hari Sabtu, 10
November 2012 pk 16.30 WIB.
20. Ganesh A, Joseph C. Personality studies in arcrew : An Overview. Review
article. Ind. J. Aerospace Med 49 (1) : 54 – 62. 2005.
21. Dillinger T. The Aviator personality. Flying Safety 56. June 2000.
22. Causse M, Dehais F, Pator J. Executive functions and pilot characteristics
predict flight simulator performance in general aviation pilots. The
International journal of aviation psychology, 21(3), 115-123. 2011.
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
61
Universitas Indonesia
23. Chapter 17. Aeronautical decision making. Diunduh hari Rabu, 30 Januari
2013 pk 15.00 di
www.faa.gov/library/manuals/aviation/pilot_handbook/media/phak-chapter
17.pdf
24. Kirschner J. The Stress coping skills of undergraduate collegiate aviators.
Thesis. Purdue University. 4-12-2012.
25. Tugas TNI Angkatan Udara. Diunduh dari http://tni-au-mil-id/content/tugas
pada hari Minggu, 25 November 2012 pk 21.00 WIB.
26. Hailuki MA. Inilah daftar lengkap Skuadron Udara TNI AU.
INILAH.COM. 16 Februari 2011. Diunduh di
http://nasional.inilah.com/read/detail pada Minggu, 25 November 2012 pk
21.00 WIB.
27. Penyempurnaan pokok-pokok organisasi dan prosedur Lembaga Kesehatan
Penerbangan dan Ruang Angkasa “Saryanto” (Lakespra Saryanto).
Peraturan Kepala Staf Angkatan Udara Nomor: Perkasau/26/VIII/2007.
28. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi
ketiga. CV Sagung Seto. 2008.
29. Thona LS. Sumber stres pilot airline. Skripsi. Fakultas Psikologi.
Universitas Indonesia. Juli 1998.
30. Herianto M. Penentuan T.Score standar normal instrumen psiko metrik
SCL. 90 dan uji coba 1994. Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Departemen Psikiatri. Jakarta. 1994.
31. Campbell J, O’Connor P. Coping with stress in military aviation: A review
of the research. Human Performance Enhacements in High-Risk
Environments: Insight Developments and Future Directions from Military
Research. pp 169-188. 2010.
32. FSF editorial Staff. Accumulated stress presents range of health risks.
Human Factor and Aviation Medicine. January 2006.
33. Sumari A, Wuryandari A. Konsep desain dan implementasi sistem
pemeliharaan alat utama sistem persenjataan udara berbasis kecerdasan.
Angkasa Cendikia. Dinas Penerangan Angkatan Udara. Juli 2008.
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
62
Universitas Indonesia
34. Fazzry B. Implementasi manajemen pemeliharaan untuk meningkatkan
kesiapan pesawat C-212-200 di Skuadron Udara 4. Laporan Penelitian.
Jurusan Teknik Mesin Universitas Gajayana Malang. 2009.
35. Lollis B, Marsh R, Sowin T, Thompson W. Major Depressive Disorder in
military aviators: A retrospective study of prevalence. Aviation, Space, and
Environmental Medicine. Vol 80, no 8. August 2009.
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
63
Universitas Indonesia
Lampiran 1
PENGANTAR
Responden Yth.
Saya adalah mahasiswa semester enam pada Program Spesialis Kesehatan
Jiwa Universitas Indonesia yang saat ini sedang mengadakan penelitian ilmiah
untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Spesialis Kesehatan Jiwa.
Penelitian yang saya lakukan bertujuan untuk mengetahui tingkat stres,
sumber–sumber stres, dan gambaran psikopatologi pada penerbang TNIAU.
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk pencegahan dan tatalaksana yang akan
diberikan apabila penerbang mengalami psikopatologi akibat stresor. Untuk itu
saya mohon kesediaan anda untuk meluangkan sedikit waktu anda untuk mengisi
daftar pertanyaan yang telah saya lampirkan.
Pemilihan anda sebagai salah seorang responden penelitian semata – mata
karena faktor kebetulan dan walaupun pada daftar pertanyaan tercakup pula
identitas pribadi, semua jawaban dijamin kerahasiaannya dan hanya akan
digunakan untuk keperluan penelitian ini saja.
Kuesioner ini dilengkapi dengan petunjuk pengisian. Perlu anda ketahui
tidak ada jawaban yang benar atau salah. Semua tergantung pada pengalaman dan
penghayatan pribadi masing – masing. Oleh karena itu anda sangat diharapkan
untuk memberikan jawaban sejujurnya dan bukan hasil diskusi atau bertanya pada
orang lain.
Akhirnya atas perhatian dan kerelaan anda meluangkan waktu untuk
membantu, saya ucapkan banyak terimakasih yang sebesar – besarnya.
Jakarta, Desember 2012
dr. Tara Aseana
Peneliti
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
64
Universitas Indonesia
Lampiran 2
Lembaran Persetujuan Subyek Penelitian
Judul Penelitian : Hubungan psikopatologi dan stresor penerbangan
pada penerbang TNI AU.
Nama Partisipan : _____________________
Jenis kelamin : _____________________
Tanggal lahir (usia) : _____________________
1. Saya menegaskan bahwa saya telah membaca lembar informasi dan telah
mendapat penjelasan mengenai penelitian diatas, dan saya telah mendapat
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan.
2. Saya memahami bahwa tidak ada efek samping atau komplikasi yang
timbul dalam penelitian ini.
3. Saya memahami bahwa partisipasi saya dalam penelitian ini bersifat
sukarela dan saya bebas mengundurkan diri setiap waktu.
4. Saya setuju untuk ikut serta dalam penelitian ini.
Jakarta,____________________
Partisipan
( ______________________ )
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
65
Universitas Indonesia
Lampiran 3
Formulir Data Demografi
Pada halaman ini terdapat beberapa pertanyaan yang merupakan data
kontrol yang sangat penting artinya bagi penelitian ini karena akan berhubungan
dengan pengolahan data. Anda diminta untuk menjawab sebagian besar
pertanyaan di bawah ini dengan memberikan tanda silang ( V ) dan beberapa
pertanyaan dengan jawaban singkat, sesuai dengan keadaan diri anda yang
sebenarnya. Mohon diteliti lagi jangan sampai ada pertanyaan yang tidak dijawab
atau tidak diisi.
Semua informasi akan kami jaga kerahasiaannya.
1. Usia :................................tahun
2. Pangkat :................................
3. Kualifikasi :................................
4. Bertugas sebagai penerbang TNI AU sejak tahun :...........................
5. Pendidikan terakhir :
( ) D3 ( ) Sarjana
6. Status perkawainan :
( ) Belum menikah ( ) Menikah ( ) Duda cerai
( ) Duda meninggal ( ) Berpisah (belum cerai)
7. Jam terbang total :
( ) < 1000 jam ( ) 1001 – 2000 jam ( ) 2001 – 3000 jam
( ) 3001 – 4000 jam ( ) > 4001 jam
8. Tipe pesawat :
( ) Pesawat tempur ( ) Pesawat transport
( ) Pesawat intai ( ) Helikopter
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
66
Universitas Indonesia
Lampiran 4
KUESIONER SUMBER STRES PILOT AIRLINE MODIFIKASI
Sejumlah pernyataan di bawah ini menggambarkan keadaan yang mungkin
anda hadapi sebegai penerbang. Anda diminta menggambarkan sejauh mana hal
yang dikemukakan dalam pernyataan tersebut dianggap mengancam, merusak,
atau membahayakan atau dengan kata lain dianggap dapat menyebabkan stres
yang akhirnya akan mempengaruhi kinerja (performance) anda sebagai
penerbang.
Jawaban tidak dinilai benar atau salah, semua jawaban tersebut benar
apabila benar – benar sesuai dengan pengalaman serta penghayatan anda. Untuk
itu pilihlah satu dari lima pilihan jawaban di bawah ini sesuai dengan skala yang
tersedia dengan cara melingkari angka yang terdapat di sebelah kanan setiap
pernyataan.
1 Bila kondisi yang diuraikan sangat jarang menimbulkan stres
2 Bila kondisi itu jarang menimbulkan stres
3 Bila kondisi itu kadang – kadang menimbulkan stres
4 Bila kondisi itu sering menimbulkan stres
5 Bila kondisi itu sering sekali menimbulkan stres
Contoh : Fase tinggal landas
1 2 3 4 5
1 Keadaan darurat (emergency) dalam penerbangan (cruising). 1 2 3 4 5
2 Keadaan abnormal dalam penerbangan (keadaan non teknis). 1 2 3 4 5
3 Cuaca buruk di tempat tujuan yang mempersulit pendaratan (terpaksa
melakukan instrumen approach).
1 2 3 4 5
4 Kondisi pesawat yang kurang baik / prima sebelum terbang. 1 2 3 4 5
5 Jumlah tinggal landas dan mendarat (take off dan landing) yang melebihi
batas ketentuan (over limited).
1 2 3 4 5
6 Kurang istirahat (baik di rumah maupun di penginapan). 1 2 3 4 5
7 Pengambilan keputusan dalam keadaan darurat. 1 2 3 4 5
8 Jam terbang yang melampaui batas ketentuan (Exceeding Flight Hours). 1 2 3 4 5
9 Penerbangan dengan prakiraan cuaca yang buruk di tempat tujuan. 1 2 3 4 5
10 Akurasi dan kondisi alat pendukung navigasi pesawat (yang minimum). 1 2 3 4 5
11 Cuaca yang buruk dalam jalur penerbangan (Cruising) yang terpaksa
harus dilalui.
1 2 3 4 5
12 Penundaan jadwal terbang (delayed) akibat faktor – faktor di luar
kontrol.
1 2 3 4 5
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
67
Universitas Indonesia
13 Terpaksa menuju bandara alternatif (terutama yang jauh). 1 2 3 4 5
14 Sistem operasi di bandara yang kecil (sarana pendukung dan navigation
aid yang kurang memadai).
1 2 3 4 5
15 Lalu lintas udara yang padat (mendapat cruising – altitude lebih rendah
dari optimum) / Air – Traffic Sequencing.
1 2 3 4 5
16 Misi / dinas terbang yang terlalu panjang (lebih dari 8 hari). 1 2 3 4 5
17 Fase mendarat (landing phase). 1 2 3 4 5
18 Kondisi alam yang bergunung – gunung di sekitar tempat tujuan
(obstacles terrain) yang tinggi.
1 2 3 4 5
19 Fase tinggal landas (take – off phase). 1 2 3 4 5
20 Jarak pandang yang minimal. 1 2 3 4 5
21 Keadaan alat bantu kemudi yang kurang sempurna namun masih dapat
berfungsi.
1 2 3 4 5
22 Instrumen cockpit yang kurang terpasang dengan baik dan tepat pada
tempatnya.
1 2 3 4 5
23 Sistem sirkulasi pendingin udara (AC) dalam cockpit kurang terpelihara. 1 2 3 4 5
24 Keadaan kursi pesawat yang kurang baik sehingga sering terasa kurang
nyaman (armrest atau head rest yang kurang baik posisinya).
1 2 3 4 5
25 Kebersihan dalam cockpit kurang terpelihara. 1 2 3 4 5
26 Kebisingan radio dalam cockpit. 1 2 3 4 5
27 Suhu yang ekstrim panas atau dingin di luar cockpit. 1 2 3 4 5
28 Kesesuaian pendapatan (salary) dengan tanggung jawab dan risiko
pekerjaan.
1 2 3 4 5
29 Uji ketrampilan untuk mempertahankan lisensi terbang (Proficiency
check).
1 2 3 4 5
30 Jenjang karir di perusahaan tempat saya bekerja 1 2 3 4 5
31 Kenaikan pangkat (Up grading seperti captaincy, dll). 1 2 3 4 5
32 Pemeriksaan kesehatan (Medical examination) tiap 1 tahun. 1 2 3 4 5
33 Sistem senioritas yang berlaku di tempat kerja. 1 2 3 4 5
34 Perkembangan karir tidak sesuai dengan yang dicita-citakan. 1 2 3 4 5
35 Peraturan tentang usia pensiun terbang. 1 2 3 4 5
36 Mutasi ke jenis pesawat baru. 1 2 3 4 5
37 Pelayanan dalam pemeliharaan dan perawatan pesawat secara tekhnis
yang kurang baik
1 2 3 4 5
38 Pengurus atau pejabat organisasi yang kurang profesional dalam
bidangnya.
1 2 3 4 5
39 Penerapan aturan kerja dari pimpinan yang tidak konsekuen dengan
berbagai alasan.
1 2 3 4 5
40 Peraturan – peraturan kerja yang sering menekan (peraturan day off
schedule).
1 2 3 4 5
41 Gaya manajemen tempat bekerja (tidak jelas / terbuka). 1 2 3 4 5
42 Stabilitas perusahaan. 1 2 3 4 5
43 Peraturan – peraturan kerja yang sering direvisi. 1 2 3 4 5
44 Paket kesejahteraan pegawai kurang memuaskan. 1 2 3 4 5
45 Fasilitas antar jemput yang kurang memadai 1 2 3 4 5
46 Citra tempat kerja saya di mata masyarakat 1 2 3 4 5
47 Rekan kerja yang sulit diajak bekerja sama sebagai saru tim / kurang 1 2 3 4 5
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
68
Universitas Indonesia
kooperatif, mau menang sendiri.
48 Pasangan kerja dalam kokpit yang ceroboh (over confidence). 1 2 3 4 5
49 Pasangan kerja dalam kokpit yang kurang profesional (kurang
menguasai teknis pesawat / rute penerbangan).
1 2 3 4 5
50 Terbang dengan pasangan kerja yang emosional (membawa masalah
pribadi dalam situasi kerja).
1 2 3 4 5
51 Berbeda pendapat dengan petugas Air Traffic Controler 1 2 3 4 5
52 Terbang dengan rekan kerja yang pernah punya masalah pribadi dengan
saya (berselisih dengan saya).
1 2 3 4 5
53 Terbang dengan rekan kerja / atasan yang kurang memberi kepercayaan
dalam tugas.
1 2 3 4 5
54 Berbeda pendapat dengan pihak manajemen perusahaan. 1 2 3 4 5
55 Berbeda pendapat dengan sesama awak kokpit. 1 2 3 4 5
HARAP MENGISI SEMUA PERNYATAAN, JANGAN SAMPAI ADA
NOMOR YANG TERLEWAT. SELAMAT MENGISI
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
69
Universitas Indonesia
Lampiran 5
SCL-90 QUESTIONNAIRE
NOMOR/ANGKA JAWABAN:
0 = tidak sama sekali
1 = sedikit
2 = cukup
3 = agak banyak
4 = banyak
Dalam 1 (satu) bulan terakhir ini saya merasa,
NO
MASALAH
Tid
ak s
am
a
se
ka
li
se
dik
it
cu
ku
p
Ag
ak
ban
yak
ba
ny
ak
1 Sakit kepala 2 Anda merasa gugup dan berdebar-debar 3 Anda mempunyai pikiran yang tidak menyenangkan, berulang-ulang, dan sukar dihilangkan 4 Anda merasa mau pingsan atau pusing 5 Anda kehilangan gairah/ kesenangan seksual 6 Anda merasa ingin mengkritik orang lain 7 Anda merasa bahwa orang lain dapat mengkontrol pikiran anda 8 Perasaan ingin menyalahkan orang lain untuk sebagian besar kesulitan yang anda hadapi 9 Anda sukar mengingat sesuatu
10 Anda merasa khawatir melakukan kelalaian atau hal-hal yang kotor 11 Perasaan anda mudah terganggu atau tersinggung 12 Anda mengalami rasa sakit didaerah dada/ jantung 13 Anda merasa lemah atau menjadi lebih lamban 14 Anda ketakutan bila berada ditempat terbuka atau di jalan umum 15 Adanya pikiran untuk mengakhiri hidup 16 Anda mendengar suara-suara, sedangkan orang lain disekitar anda tidak mendengarnya 17 Gemetar 18 Anda beranggapan bahwa orang-orang lain sebagian besar tidak dapat dipercaya
No.
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
70
Universitas Indonesia
No
MASALAH
Tid
ak s
am
a s
eka
li
se
dik
it
cu
ku
p
Ag
ak
ban
yak
ba
ny
ak
19 Nafsu makan anda menurun 20 Anda mudah menangis 21 Anda merasa malu atau tidak tenang dengan pria/wanita lawan jenis anda 22 Anda mempunyait perasaan bahwa anda sedang dijebak 23 Anda mendadak merasa takut tanpa alasan 24 Temperamen anda mudah meledak yang tak dapat anda kontrol 25 Merasa takut keluar rumah sendirian 26 Perasaan menyalahkan diri sendiri 27 Rasa sakit di daerah pinggang bawah 28 Anda merasa terhalang untuk menyelesaikan sesuatu 29 Anda merasa kesepian 30 Perasaan anda diliputi kesedihan 31 Anda mempunyai kekhawatiran yang berlebihan terhadap sesuatu 32 Anda kehilangan minat terhadap sesuatu 33 Anda mudah ketakutan 34 Perasaan anda mudah terluka 35 Anda merasa pikiran-pikiran pribadi anda diketahui oleh orang lain 36 Anda merasa orang lin tidak memahami anda atau anda merasa mereka tidak simpatik 37 Perasaan bahwa orang lain tidak ramah atau tidak menyukai anda 38 Anda merasa sangat lambat dalam menyelesaikan sesuatu karena menghindari kesalahan
39 Anda merasa debaran jantung anda kuat dan cepat 40 Rasa mual atau perasaan tak enak di perut
41 Perasaan rendah diri terhadap orang-orang lain 42 Anda merasa sakit-sakit pada otot 43 Perasaan bahwa orang lain memperhatikan atau membicarakan anda 44 Sukar tidur
45 Anda harus memeriksa berulang-ulang apa saja yang telah anda kerjakan 46 Sukar membuat keputusan 47 Anda merasa takut bepergian mengendarai bis, kereta api atau pesawat terbang 48 Kesukaran untuk bernafas dengan lega 49 Rasa panas dan dingin 50 Keharusan untuk menghindari tempat, benda atau kegiatan tertentu karena hal tersebut menakutkan 51 Pikiran anda terasa kosong
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
71
Universitas Indonesia
NO
MASALAH
Tid
ak s
am
a s
eka
li
se
dik
it
cu
ku
p
Ag
ak
ban
yak
ba
ny
ak
52 Hilang rasa/ kebas atau kesemutan pada bagian-bagian tertentu tubuh anda 53 Seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokan 54 Perasaan bahwa tak ada harapan untuk masa depan 55 Anda sukar berkonsentrasi 56 Merasa lemah pada bagian tubuh tertentu 57 Merasa tegang atau terpaku/ bengong 58 Kaki dan tangan terasa berat 59 Pikiran-pikiran tentang kematian atau akan mati 60 Terlalu banyak makan 61 Perasaan tidak tenang bila orang memperhatikan atau membicarakan anda 62 Anda mempunyai pikiran-pikiran yang bukan milik anda sendiri 63 Adanya dorongan untuk memukul, melukai atau merugikan orang lain 64 Terbangun pada dini hari 65 Keharusan untuk mengulang-ulang tindakan yang sama, seperti menyentuh, menghitung atau mencuci 66 Gelisah atau merasa terganggu waktu tidur 67 Adanya dorongan untuk merusak atau menghancurkan barang-barang 68 Pikiran atau keyakinan bahwa orang lain tak mau bekerja sama 69 Perasaan malu terhadap diri sendiri di antara orang-orang 70 Perasaan tidak tenang berada di tengah orang banyak seperti saat berbelanja atau menonton film 71 Perasaan bahwa segala sesuatu perlu dicapai dengan perjuangan berat 72 Serangan-serangan panik atau teror (ketakutan hebat) 73 Perasaan tidak nyaman dalam soal makan 74 Sering terlibat dalam perdebatan/ adu argumentasi 75 Gugup bila ditinggal sendirian 76 Orang lain kurang menghargai apa yang telah anda capai 77 Merasa kesepian walaupun tidak sendirian 78 Perasaan amat gelisah sehingga tidak dapa duduk dengan tenang 79 Perasaan tidak berguna 80 Adanya perasaan bahwa sesuatu yang buruk akan menimpa anda 81 Berteriak atau membuang barang-barang 82 Merasa takut akan jatuh pingsan di tempat umum 83 Merasa bahwa orang-orang akan memanfaatkan anda
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015
72
Universitas Indonesia
NO
MASALAH
Tid
ak s
am
a s
eka
li
se
dik
it
cu
ku
p
Ag
ak
ban
yak
ba
ny
ak
84 Pikiran-pikiran tentang seks yang amat mengganggu 85 Pikiran bahwa anda pantas mendapat hukuman karena dosa-dosa anda 86 Anda mempunyai pikiran-pikiran atau imajinasi tentang sesuatu yang menakutkan 87 Pikiran bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam tubuh anda 88 Anda tidak pernah dekat dengan orang lain 89 Perasaan bersalah 90 Merasa ada yang tak beres dengan pikiran anda
TOTAL
Hubungan Antara..., Tara Aseana, FK UI, 2015