HOHO FALUAYA TRADISI LISAN MASYARAKAT NIAS
DI DESA BAWÖMATALUO, KECAMATAN FANAYAMA, KABUPATEN NIAS SELATAN, SUMATERA UTARA:
ANALISIS TEKS DAN STRUKTUR MUSIK
T E S I S
Oleh
Hubari Gulo NIM. 097037004
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N 2 0 1 1
HOHO FALUAYA TRADISI LISAN MASYARAKAT NIAS
DI DESA BAWÖMATALUO, KECAMATAN FANAYAMA, KABUPATEN NIAS SELATAN, SUMATERA UTARA:
ANALISIS TEKS DAN STRUKTUR MUSIK
T E S I S
Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) dalam Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni pada Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Oleh
Hubari Gulo NIM. 097037004
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N 2 0 1 1
ii
Judul Tesis : HOHO FALUAYA TRADISI LISAN MASYARAKAT NIAS DI DESA BAWÖMATALUO, KECAMATAN FANAYAMA, KABUPATEN NIAS SELATAN, SUMATERA UTARA: ANALISIS TEKS DAN STRUKTUR MUSIK
Nama : Hubari Gulo Nomor Pokok : 097037004 Program Studi : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
Menyetujui
Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. NIP. 196402121987031004
Drs. Irwansyah, M.A. NIP. 19621221199970311001
Program Studi Magister (S2) Fakultas Ilmu Budaya Penciptaan dan Pengkajian Seni Dekan, Ketua,
Drs. Irwansyah Harahap, M.A. Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP. 196212211997031001 NIP. 195110131976031001
iii
Tanggal lulus: 16 Agustus 2011
Telah diuji pada
Tanggal 16 Agustus 2011
PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS
Ketua : Drs. Irwansyah Harahap, M.A. ( _________________ )
Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. ( _________________ )
Anggota I : Drs. Kumalo Tarigan, M.A. ( _________________ )
Anggota II : Drs. Irwansyah Harahap, M.A. ( _________________ )
Anggota III : Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. ( _________________ )
iv
ABSTRACT
This research learns Hoho Faluaya in the context ritual of title nobility ceremonies at Bawömataluo village, District Fanayama, South Nias regency, North Sumatra Province. The study was conducted to provide a understanding of the Hoho Faluaya as an inherited form of oral tradition’s society in Nias that very exotic where Hoho Faluaya used as a media to convey ideas, thoughts or feelings in an effort for understanding the values that give culture insight. The existence of language elements (text), musical elements (vocal music), as well as the elements of movement (dance), a major review of this research in looking at the function, the meaning of texts, and musical structure of the Hoho Faluaya consist of Fanguhugö (Hugö), Hivfagö, Hoho Fualö, Hoho Fadölihia, and Hoho Siöligö.
There is some approaching that has be done is an interdisciplinary approach with qualitatively methods of inquiry, which is based on field investigations. Some of the theories are used in support of this research include Functional Theory, Semiotic Theory, Transcription Theory, Weighted Scale Theory.
The results of this research indicate that the Hoho Faluaya is an important role because inherent functions in Hoho Faluaya. Those functions are implementation function of the traditional feast, the function as a symbol of strength, reinforcing the function of social status, the adhesive function of social life, the function as communication and telling message, the function of aesthetic values, the function of entertainment and thanksgiving, the function of dance accompaniment, and the function as a cultural defense.
The result of text analysis indicate the presence of connotative intention of the text Hoho Faluaya consist of Fohuhugö (Hugö) text which is a calling of approve, Hivfagö is an calling for confirmation of the Hugö and there are 3 (three) types of hoho structures in it, that is: (1) Hoho Fu ' alö is a hymn that be inciter preparation and burning the zeal of the soldiers war or war dancers, (2) Hoho Fadölihia is the as a way of hoho group for extolling the greatness of their village, and (3) Hoho Siöligö have the meaning for unity and integrity for the sake of prosperity of the village.
The results of musical analysis, Hoho Faluaya has a pentatonic characteristic in using the scale, the musical structures have styles as call response, counters motifs and counter phrases and using the typical of vocal techniques in their presentation calls "gözö" or vibrate the base of the tongue in the throat area. This is a local wisdom that is only had by the people of Nias, especially in South Nias.
Keyword: Hoho, Faluaya, function, text, music structure.
v
INTISARI
Penelitian ini mengkaji Hoho Faluaya dalam konteks upacara adat pengukuhan gelar bangsawan di Desa Bawömataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Kajian ini dilakukan untuk memberikan pemahaman secara menyeluruh tentang Hoho Faluaya sebagai bentuk warisan tradisi lisan masyarakat Nias yang sangat eksotik dimana Hoho Faluaya digunakan sebagai media menyampaikan ide, pikiran atau perasaan dalam upaya pemahaman nilai-nilai yang memberikan wawasan budaya. Adanya unsur bahasa (teks), unsur musikal (musik vokal), serta unsur gerak (tarian), menjadi kajian utama penelitian ini dalam melihat fungsi, makna teks, dan struktur musikal dari Hoho Faluaya yang terdiri dari Fanguhugö (Hugö), Hivfagö, Hoho Fualö, Hoho Fadölihia dan Hoho Siöligö.
Adapun pendekatan yang dilakukan adalah dengan pendekatan interdisiplin dengan metode penyelidikan kualitatif yang bertumpu pada penyelidikan lapangan. Beberapa teori yang digunakan dalam mendukung penelitian ini diantaranya teori fungsional, teori semiotik, teori transkripsi, dan teori weighted scale.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Hoho Faluaya berperan penting karena fungsi-fungsi yang melekat pada Hoho Faluaya. Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi pelaksanaan pesta adat, fungsi sebagai simbol keperkasaan, fungsi penguat status sosial, fungsi perekat kehidupan masyarakat, fungsi komunikasi dan penyampaian pesan, fungsi nilai-nilai estetis, fungsi hiburan dan ucapan syukur, fungsi pengiring gerakan tarian, dan berfungsi sebagai pertahanan budaya.
Hasil analisis teks menunjukkan adanya makna konotatif dari teks Hoho Faluaya yang terdiri dari teks Fohuhugö (Hugö) yang merupakan seruan persetujuan, Hivfagö seruan penegasan terhadap Hugö dan 3 (tiga) jenis struktur hoho yang ada di dalamnya, yakni: (1) Hoho Fu’alö yang menjadi nyanyian persiapan pembangkit dan pembakar semangat para prajurit perang atau penari perang, (2) Hoho Fadölihia sebagai cara para kelompok hoho mengagung-agungkan kebesaran desa mereka, dan (3) Hoho Siöligö bermakna menjalin persatuan dan kesatuan demi kemakmuran desa.
Hasil analisis musikal Hoho Faluaya memiliki ciri pentatonik dalam penggunaan tangganadanya, struktur musikal bergaya call respons, counter frase dan counter motif serta menggunakan tehnik vokal yang khas dalam penyajiannya yakni “gözö” atau menggetarkan pangkal lidah di daerah tenggorokan. Hal ini merupakan sebuah kearifan lokal yang hanya dimiliki oleh masyarakat Nias, khususnya Nias Selatan.
Keyword: Hoho, Faluaya, fungsi, teks, struktur musik.
vi
PRAKATA
Segala puji dan syukur bagi Allah Bapa di Surga atas kasih dan
pertolongan-Nya, akhirnya penelitian ini dapat selesai hingga dituangkan dalam
bentuk tulisan ilmiah.
Oleh karena itu, ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-
besarnya penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A.
selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya yang telah mengizinkan dan memberi
fasilitas serta sarana pembelajaran sehingga penulis dapat menuntut ilmu di
kampus Universitas Sumatera Utara dalam kondisi yang nyaman.
2. Bapak Drs. Irwansyah Harahap, M.A, selaku Ketua Program Studi Magister
(S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara, sekaligus selaku Pembimbing Ketua yang telah memberikan
bimbingan, arahan dan pertolongan, serta selaku Penguji yang telah memberi
masukan dari materi yang belum sempurna hingga akhir penyelesaian tesis.
3. Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, selaku Sekretaris Ketua Program Studi
Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara, dan selaku Penguji yang telah memberi masukan
dari materi serta tehnik penulisan yang belum sempurna hingga akhir
penyelesaian tesis.
vii
4. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S, selaku Pembimbing Anggota yang
telah memberi masukan, arahan dan menolong dalam memperbaiki penulisan
yang belum sempurna hingga akhir penyelesaian tesis.
5. Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A, selaku Penguji yang telah memberi
masukan dan pandangan-pandangan dari materi yang belum sempurna hingga
akhir penyelesaian tesis.
6. Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D, selaku Dosen dan mantan
Ketua Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara, telah memberikan perhatian dan semangat dari
awal hingga akhir penyelesaian tesis.
7. Bapak Drs. Ponisan, selaku pegawai administrasi Program Studi Magister (S2)
Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera
Utara, yang telah banyak mendukung kelancaran proses administrasi penulis.
8. Seluruh dosen yang telah membuka mata penulis akan kekayaan khazanah
budaya bangsa dan menambah wawasan cakrawala ilmu pengetahuan.
9. Teman-teman seangkatan, sebagai teman senasib-sepenanggungan ikut
memberi sumbangan pemikiran.
10. Pimpinan dan staff perpustakaan dan museum Yayasan Pusaka Nias yang
penulis kunjungi telah memberikan sambutan yang hangat.
11. Bapak Hikayat Manaö, selaku informan utama penulis dan pemimpin sanggar
Baluseda di desa Bawömataluo Nias Selatan, telah memberikan informasi
dalam penelusuran penyelesaian permasalahan penelitian ini.
viii
12. Bapak Dasa Manaö, S.Sn dan keluarga di Teluk Dalam Nias Selatan, yang
telah bermurah hari mengizinkan penulis untuk menginap dirumahnya selama
proses penelitian dan berkenan mengantarkan penulis dengan sepeda
motornya menuju lokasi penelitian.
13. Semua pihak yang telah terlibat secara langsung ataupun tidak langsung, yang
telah memberikan bantuan serta pertolongan yang terlihat ataupun tidak
terlihat, yang namanya tidak dapat disebutkan dalam halaman yang terbatas
ini, penulis ucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas semua kasihnya.
14. Ayahanda F. Gulö, BA dan ibunda Missiani, ibu mertua Ny. H.L.Ginting br.
Sembiring, abangda Simon Ginting, adinda Ida Sudarti Gulö, Handoko Gulö
dan Andreas Ginting, serta istri tercinta Susi Berlianna br. Ginting, terlebih
kepada anak-anakku Cakra Pratama Gulö dan Deron Eiffel Zhou Gulö, atas
dukungan doa selama penulisan tesis ini.
Akhirnya, kiranya Damai Sejahtera Allah yang melampaui segala akal,
akan dilimpahkan kepada kita semua. Allah yang sumber kasih, Dialah kiranya
yang akan membalaskan dengan berkat-berkat melimpah. Amin!
Medan, 16 Agustus 2011
Penulis
Hubari Gulo
ix
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Hubari Gulo
Tempat/Tanggal Lahir : Pematang Siantar / 21 Juni 1972
Alamat : Jl. HOS. Cokroaminoto No. 66 Medan
Agama : Kristen Protestan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : - Dosen, Departemen Etnomusikologi FIB USU Medan
- Dosen, Fak. Sastra Universitas Darma Agung Medan
- Guru Seni Budaya, SMK Telkom S. Putra Medan
- Guru Seni Musik, Methodist 5 Medan
Pendidikan : 1. Sarjana Seni (S.Sn) dari Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Jurusan Etnomusikologi, lulus tahun 1997
2. Akta Mengajar IV dari IKIP UDA Medan, lulus
tahun 2009
Pada tahun akademi 2009/2010 diterima menjadi mahasiswa pada
Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara, dan menyelesaikannya pada 16 Agustus
2011.
x
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 16 Agustus 2011
Hubari Gulo e NIM: 097037004
xi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN................................................................................... ii ABSTRACT ............................................................................................................. iv INTISARI v PRAKATA .............................................................................................................. vi HALAMAN PERNYATAAN .................................................................................. x DAFTAR ISI ............................................................................................................ xi DAFTAR TABEL .................................................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xviii BAB I. PENGANTAR ............................................................................................... 1
1.1. Latar belakang ............................................................................. ......... 1 1.2. Fokus Masalah ............................................................................ ......... 16 1.3. Tujuan & Manfaat Penelitian ....................................................... ......... 17 1.4. Tinjauan Pustaka ......................................................................... ......... 17 1.5. Konsep dan Teori ........................................................................ ......... 19
1.5.1 Konsep ............................................................................. ......... 19 1.5.2 Landasan Teori ................................................................. ......... 23 1.5.2.1 Teori Fungsionalime ............................................. ......... 24 1.5.2.2 Teori Semiotik ...................................................... ......... 29 1.5.2.3 Teori Transkripsi .................................................. ......... 33 1.5.2.4 Teori Weighted Scale ............................................ ......... 33
1.6. Metode penelitian ........................................................................ ......... 34 1.6.1 Rancangan Penelitian ....................................................... ......... 34 1.6.2 Lokasi dan Perjalanan Penelitian ...................................... ......... 35 1.6.3 Informan Kunci ................................................................ ......... 40 1.6.4 Jenis dan Sumber Data ..................................................... ......... 43 1.6.5 Instrumen Penelitian ......................................................... ......... 44 1.6.6 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ............................... ......... 44 1.6.6.1 Observasi .............................................................. ......... 45 1.6.6.2 Wawancara ........................................................... ......... 46 1.6.6.2 Dokumen dan Studi Pustaka .................................. ......... 47 1.6.7 Analisis Data .................................................................... ......... 48 1.6.8 Penyajian Analisis Data .................................................... ......... 49
1.7. Kerangka Penyajian ..................................................................... ......... 50 BAB II. GAMBARAN UMUM BUDAYA MASYARAKAT NIAS ............... ......... 52
2.1. Identifikasi Penduduk ................................................................ ......... 52 2.2. Mitologi .................................................................................... ......... 58 2.3. Penelitian Arkeologi .................................................................. ......... 60 2.4. Pola Menetap ............................................................................ ......... 60 2.5. Sistem Mata Pencaharian Hidup ................................................ ......... 63 2.6. Sistem Kekerabatan ................................................................... ......... 65 2.7. Sistem Kemasyarakatan............................................................. ......... 67 2.8. Agama dan Religi...................................................................... ......... 69 2.8.1 Lani dan Langi ................................................................. ......... 69 2.8.1 Agama Asli Orang Nias .................................................... ......... 70 2.9. Bahasa dan Kesenian ................................................................. ......... 72
xii
2.9.1 Seruan Ya’ahowu ............................................................. ......... 72 2.9.2 Bahasa ............................................................................. ......... 73 2.9.3 Kesenian .......................................................................... ......... 75 2.9.3.1 Sekilas Tarian Faluaya .......................................... ......... 75 2.9.3.2 Atraksi Lompat Batu ............................................. ......... 79 2.9.3.3 Alat-alat Musik ..................................................... ......... 82 2.10. Dokumentasi Sejarah Dalam Gambar ...................................... ......... 84
BAB III. TRADISI LISAN HOHO DALAM MASYARAKAT NIAS ............. ......... 90
3.1. Pengertian Hoho........................................................................ ......... 90 3.2. Bentuk Hoho ............................................................................. ......... 92 3.3. Jenis-Jenis Hoho ....................................................................... ......... 95 3.3.1 Hoho Dalam Pesta Adat ................................................... ......... 97 3.3.2 Hoho Penyembahan Ritual ............................................... ......... 98 3.3.3 Hoho Di Bidang Pertanian dan Peternakan ....................... ......... 100 3.3.4 Hoho Asal Usul Kejadian ................................................. ......... 101 3.3.5 Hoho Faluaya ................................................................... ......... 104 3.4. Sikap Masyarakat Nias Terhadap Hoho ..................................... ......... 107 3.4.1 Perilaku Religius .............................................................. ......... 108 3.4.2 Perilaku Sosial Budaya ..................................................... ......... 110
BAB IV. FUNGSI HOHO FALUAYA SEBAGAI TRADISI MUSIK LISAN ....115
4.1. Deskripsi Penyajian Pertunjukan Hoho Faluaya ........................ ......... 115 4.2. Fungsi Hoho Faluaya Pada Masyarakat Nias Selatan................. ......... 125 4.2.1 Fungsi Pelaksanaan Pesta Adat ......................................... ......... 126 4.2.2 Fungsi Simbol Keperkasaan ............................................. ......... 128 4.2.3 Fungsi Penguat Status Sosial ............................................ ......... 130 4.2.4 Fungsi Perekat Kehidupan Masyarakat ............................. ......... 133 4.2.5 Fungsi Komunikasi dan Penyampaian Pesan..................... ......... 133 4.2.6 Fungsi Nilai-Nilai Estetis ................................................. ......... 135 4.2.7 Fungsi Hiburan dan Ucapan Syukur.................................. ......... 138 4.2.8 Fungsi Pengiring Gerakan Tarian Faluaya ........................ ......... 139 4.2.9 Fungsi Pertahanan Budaya................................................ ......... 140
BAB V. ANALISIS TEKS HOHO FALUAYA ............................................... ......... 142
5.1. Analisis Semiotik Penyajian Teks Hoho Faluaya....................... ......... 142 5.2. Analisis Teks Hoho Faluaya ..................................................... ......... 146 5.2.1 Analisis Teks Fohuhugö (Hugö) ....................................... ......... 148 5.2.2 Analisis Teks Hivfagö ...................................................... ......... 150 5.2.3 Hoho Fu’alö ..................................................................... ......... 151 5.2.4 Hoho Fadölihia ................................................................ ......... 163 5.2.4 Hoho Siöligö .................................................................... ......... 169
BAB VI. ANALISIS STRUKTUR MUSIK HOHO FALUAYA...................... ......... 178
6.1. Transkripsi dan Notasi............................................................... ......... 179 6.1.1 Proses Transkripsi ............................................................ ......... 179 6.1.2 Notasi .............................................................................. ......... 180 6.1.2.1 Pemakaian Durasi Ritmis ....................................... ......... 181
xiii
6.1.2.1 Garis Paranada ....................................................... ......... 182 6.2. Tangga Nada ............................................................................. ......... 182 6.3. Nada Pusat atau Nada Dasar ...................................................... ......... 184 6.4. Birama ...................................................................................... ......... 186 6.5. Analisis Struktur Musik Hoho Faluaya ..................................... ......... 187 6.5.1 Analisis Fohuhugö (Hugö) dan Hivfagö............................ ......... 188 6.5.1.1 Wilayah Nada Hugö dan Hivfagö ........................... ......... 192 6.5.1.1.1 Wilayah Nada Hugö ................................ ......... 192 6.5.1.1.2 Wilayah Nada Hivfagö ............................ ......... 193 6.5.1.2 Jumlah Nada-Nada Hugö dan Hivfagö ................... ......... 194 6.5.1.2.1 Jumlah Nada Hugö .................................. ......... 194 6.5.1.2.2 Jumlah Nada Hivfagö .............................. ......... 195 6.5.1.3 Interval Hugö dan Hivfagö ..................................... ......... 195 6.5.1.4 Pola Kadensa Hugö dan Hivfagö ............................ ......... 196 6.5.1.5 Formula Melodi Hugö dan Hivfagö ........................ ......... 197 6.5.1.6 Kontur ................................................................... ......... 199 6.5.2 Analisis Hoho Fu’alö ....................................................... ......... 201 6.5.2.1 Wilayah Nada Hoho Fu’alö ................................... ......... 203 6.5.2.2 Jumlah Nada-Nada Hoho Fu’alö ............................ ......... 204 6.5.2.3 Interval Hoho Fu’alö ............................................. ......... 205 6.5.2.4 Pola Kadensa Hoho Fu’alö .................................... ......... 205 6.5.2.5 Formula Melodi Hoho Fu’alö ................................ ......... 207 6.5.2.5.1 Kajian Bentuk, Frase Motif Hoho Fu’alö . ....209 6.5.2.6 Kontur ................................................................... ......... 210 6.5.3 Analisis Hoho Fadölihia .................................................. ......... 212 6.5.3.1 Wilayah Nada Hoho Fadölihia............................... ......... 214 6.5.3.2 Jumlah Nada-Nada Hoho Fadölihia ....................... ......... 214 6.5.3.3 Interval Hoho Fadölihia ......................................... ......... 215 6.5.3.4 Pola Kadensa Hoho Fadölihia ................................ ......... 216 6.5.3.5 Formula Melodi Hoho Fadölihia............................ ......... 217 6.5.3.5.1 Kajian Bentuk, Frase Motif Hoho Fadölihia .219 6.5.3.6 Kontur ................................................................... ......... 220 6.5.4 Analisis Melodi Hoho Siöligö ........................................... ......... 222 6.5.4.1 Wilayah Nada Hoho Siöligö ................................... ......... 227 6.5.4.2 Jumlah Nada-Nada Hoho Siöligö ........................... ......... 228 6.5.4.3 Interval Hoho Siöligö ............................................. ......... 229 6.5.4.4 Pola Kadensa Hoho Siöligö .................................... ......... 230 6.5.4.5 Formula Melodi Hoho Siöligö ................................ ......... 233 6.5.4.5.1 Kajian Bentuk, Frase Motif Hoho Siöligö ....238 6.5.4.6 Kontur ................................................................... ......... 241
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. ......... 244 7.1. Kesimpulan ............................................................................... ......... 244 7.2. Saran ......................................................................................... ......... 246
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... ......... 247 DAFTAR INFORMAN ................................................................................. ......... 252 GLOSARIUM ............................................................................................... ......... 253 LAMPIRAN GAMBAR ................................................................................ ......... 259
xiv
DAFTAR TABEL Tabel 5.1 Analisis Teks Hugö ............................................................. ......... ................... 149 Tabel 5.2 Analisis Teks Hivfagö .......................................................... ......... ................... 150 Tabel 5.3 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 1 ...................................... ......... ................... 151 Tabel 5.4 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 2 ...................................... ......... ................... 152 Tabel 5.5 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 3 ...................................... ......... ................... 154 Tabel 5.6 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 4 ...................................... ......... ................... 155 Tabel 5.7 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 5 ...................................... ......... ................... 156 Tabel 5.8 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 6 ...................................... ......... ................... 157 Tabel 5.9 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 7 ...................................... ......... ................... 158 Tabel 5.10 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 8 .................................... ......... ................... 159 Tabel 5.11 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 9 .................................... ......... ................... 160 Tabel 5.12 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 10 .................................. ......... ................... 161 Tabel 5.13 Analisis Teks Hoho Fadölihia - Bait 1-10 .......................... ......... ................... 165 Tabel 5.14 Analisis Teks Hoho Siöligö (pembukaan bagian 1) ............. ......... ................... 170 Tabel 5.15 Analisis Teks Hoho Siöligö (pembukaan bagian 2) ............. ......... ................... 171 Tabel 5.16 Analisis Teks Hoho Siöligö bagian Isi – 1 .......................... ......... ................... 173 Tabel 5.17 Analisis Teks Hoho Siöligö bagian Isi - 2 ........................... ......... ................... 174 Tabel 5.18 Analisis Teks Hoho Siöligö bagian Isi - 3 ........................... ......... ................... 176 Tabel 6.1 Daftar Penyajian Hoho yang Digunakan pada Hoho Faluaya ... 179 Tabel 6.2 Pemakaian Metronome Malzel (MM) Dalam Penyajian Hoho Faluaya .............. 180 Tabel 6.3 Pemakaian Durasi Ritmis Dalam Penyajian Hoho Faluaya... ... 182 Tabel 6.4 Tanda Birama yang Digunakan Dalam Penyajian Hoho Faluaya186 Tabel 6.5 Distribusi Interval melodi Hugö dan Hivfagö ....................... ......... ................... 195 Tabel 6.6 Distribusi Interval melodi Hoho Fu’alö ................................ ......... ................... 205 Tabel 6.7 Formula Melodi Hoho Fu’alö .............................................. ......... ................... 209 Tabel 6.8 Distribusi Interval melodi Hoho Fadölihia ........................... ......... ................... 215 Tabel 6.9 Formula Melodi Hoho Fadölihia ......................................... ......... ................... 219 Tabel 6.10 Distribusi Interval melodi Hoho Siöligö ............................. ......... ................... 229 Tabel 6.11 Formula Melodi Hoho Siöligö ............................................ ......... ................... 238
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.10.1 : Keluarga di desa Bawömataluo, Nias Selatan ............ ......... ................... 84 Gambar 2.10.2 : Jalan sepanjang pantai, Nias, 1930 ............................. ......... ................... 84 Gambar 2.10.3 : Prajurit Perang dengan Belanda, Nias Sumatera Utara, 1920........ ............ 85 Gambar 2.10.4 : Tari Faluaya di Bawömataluo Nias Selatan, 1954............. 85 Gambar 2.10.5 : Penarikan batu “Daro-daro” untuk almarhum Saoenigeho dari Bawömataluo Nias Selatan ............................................................. . ........ ................... 86 Gambar 2.10.6 : Patung leluhur batu Pria ............................................ ......... ................... 86 Gambar 2.10.7 : Bocah di sebelah kursi batu kepala desa Hilisimetanö ..... 87 Gambar 2.10.8 : Sekelompok Laki-laki Nias ....................................... ......... ................... 87 Gambar 2.10.9 : Studio potret dari kelompok perempuan menari dari Nias Selatan ............ 88 Gambar 2.10.10 : Pria Nias pada kostum militer .................................. ......... ................... 88 Gambar 2.10.11 : Pertempuran palsu ................................................... ......... ................... 89 Gambar 8.1 : Peta Sumatera Utara ............................................... ......... ................... 259 Gambar 8.2 : Peta Kepulauan Nias .............................................. ......... ................... 259 Gambar 8.3 : Peta Desa Bawömataluo ......................................... ......... ................... 260 Gambar 8.4 : Peta Desa Bawömataluo ......................................... ......... ................... 260 Gambar 8.5 : Bawömataluo – 87Anak Tangga memasuki Desa Adat 261 Gambar 8.6 : Bawömataluo – Desa Orahili Fau dari Puncak Tangga 261 Gambar 8.7 : Bawömataluo - di teras rumah Hikayat Manaö ....... ......... ................... 262 Gambar 8.8 : Bawömataluo – di rumah Sanoyohi ........................ ......... ................... 262 Gambar 8.9 : Bawömataluo – Plank Merk Sanggar Baluseda ....... ......... ................... 263 Gambar 8.10 : Bawömataluo – Ndrölö Halamba’a dari Omo Sebua ......... ................... 263 Gambar 8.11 : Bawömataluo – Ndrölö Raya, kiri rumah Hikayat Manaö264 Gambar 8.12 : Bawömataluo – Pulang dari Gereja melalui Ndrölö Ana’a/Löu ............. 264 Gambar 8.13 : Bawömataluo – Ndrölö Bagoa di kanan rumah Hikayat Manaö ............ 265 Gambar 8.14 : Bawömataluo – Bale tempat musyawarah (orahu) adat 265 Gambar 8.15 : Bawömataluo – H.M. memimpin Tari Faluaya dan HohoFualö............. 266 Gambar 8.16 : Bawömataluo – H.M. memimpin Tari Faluaya dan HohoFualö............. 266 Gambar 8.17 : Bawömataluo –Bohalima melakukan Gerakan Faluaya Zanökhö .......... 267 Gambar 8.18 : Bawömataluo – Pertunjukan Hombo Batu .............. ......... ................... 267 Gambar 8.19 : Bawömataluo – Kostum Para Bohalima dan Fanari Mogaele ................ 268 Gambar 8.20 : Bawömataluo – Hikayat Manaö sebagai Kafalo Zaluaya ö268 Gambar 8.21 : Gunung Sitoli – Yayasan Pusaka Nias .................... ......... ................... 269
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keindahan dalam penyampaian ide, pikiran atau perasaan kepada orang
lain yang diungkapkan secara simbolik dan puitis merupakan kekayaan budaya
yang menggambarkan cita rasa dan kehalusan budi warga masyarakat
pendukungnya. Apalagi ungkapan tersebut diekspresikan dengan penuh
ketelitian, keahlian, dan kecerdasan melalui bahasa yang dilantunkan sehingga
terjalin hubungan (relasi) tekstual, sifat puitik, dan gaya bahasa di dalam struktur
nyanyian, terlebih dapat menimbulkan keterpengaruhan (reaksi) terhadap jasmani
pelakunya. Keberlangsungan aktivitas seperti ini selalu dilakukan dengan cara
mendengar, melihat dan menghafalkan, demikianlah proses pewarisan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Ini merupakan salah satu bentuk aktivitas tradisi
lisan atau sastra lisan yang hingga kini ‘syukur’ masih dapat kita temui di
beberapa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, walaupun keadaannya
sekarang terus tergerus arus globalisasi.
Tradisi lisan atau sastra lisan merupakan unsur dan ekspresi kebudayaan
manusia. Perubahan dan perkembangnya sejalan dengan proses sosial dan budaya,
dan didukung oleh suatu kelompok masyarakat tertentu, baik yang homogen
ataupun heterogen. Sejarah budaya suatu masyarakat memiliki struktur tertentu
2
yang berfungsi dalam aktivitasnya. Sehingga tak dapat dipungkiri suatu
masyarakat tertentu, biasanya mempunyai wilayah/daerah budaya sendiri.
Secara kuantitatif kajian terhadap tradisi lisan atau sastra lisan di
Indonesia cukup menggembirakan. Hampir semua sastra daerah (lisan) di
Nusantara ini telah diteliti. Pada umumnya, penelitian itu dilakukan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Bahasa, dan Perguruan Tinggi.
Usaha penelitian ini telah membuahkan hasil berupa dokumen sastra lisan yang
dapat dibaca pada berbagai perpustakaan nasional/ daerah dan perguruan tinggi.
Banyak pula yang telah dicetak menjadi buku dan disebarluaskan kepada
masyarakat. Upaya penyebarluasan ini ditujukan agar masyarakat Indonesia dapat
memahami keragaman nilai-nilai budaya bangsa.
Pemahaman nilai-nilai yang terdapat pada tradisi lisan dari setiap daerah
secara tidak langsung membantu masyarakat Indonesia di berbagai tempat
mengenal dan memahami kebudayaan pemilik tradisi lisan tersebut. Pemahaman
ini memberi wawasan budaya yang semakin variatif bagi masyarakat di seluruh
Nusantara ini. Pengetahuan nilai budaya sesama suku bangsa, secara tidak
langsung pula akan menumbuhkan sikap saling memahami dan menerima di
antara sesama bangsa.
Demikian halnya dengan masyarakat yang mendiami Pulau Nias1,
dimana masih dapat kita temui beberapa peninggalan warisan tradisi lisan.
1 Pulau Nias adalah sebuah pulau terbesar di deretan pulau-pulau yang ada di sebelah
barat Pulau Sumatera. Nias merupakan daerah kepulauan yang memiliki pulau-pulau kecil sebanyak 27 buah, namun pulau yang dihuni hanya 11 buah. Menurut letak geografisnya Pulau Nias terletak pada garis 0°12’ - 1°32’ Lintang Utara (LU) dan 97° - 98° Bujur Timur (BT) dekat dengan garis khatulistiwa. Luas wilayah Pulau Nias adalah sebesar 3.495,40 km² (4.88% dari luas
3
Penduduk asli pulau ini biasa dikenal dengan sebutan Ono Niha (orang Nias/etnis
Nias2). Etnis Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan
kebudayaan yang masih tinggi. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya
megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar
yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Seperti
yang tulis Koentjaraningrat (1995) :
Penduduk dari pulau Nias, yang merupakan pulau terbesar dari seluruh deret, kurang sekali terpengaruh oleh kebudayaan Hindu maupun Islam. Berlandaskan kepada suatu kebudayaan Megalithik, yang rupa-rupa-nya telah mereka bawa dari benua Asia pada jaman perunggu, mereka telah mengembangkan suatu kebudayaan sendiri, ialah kebudayaan megalithik yang bukan berdasarkan alat pengurbanan kerbau melainkan babi. Lama sebelum kedatangan orang Belanda pada tahun 1669, orang Nias sudah banyak berhubungan dengan orang-orang Aceh, Cina, Melayu dan Bugis, yang datang ke sana untuk berdagang, tetapi berbeda dengan penduduk pulau Simalur, mereka kurang terpengarunh oleh agama Islam. Agama yang paling banyak mempengaruhi mereka adalah Kristen Protestan yang masuk disana sejak tahun 1865 mulai dari Gunung Sitoli, sedangkan agama Kristen Katolik datang kemudian dari bagian Selatan. (1995: 40).
Masyarakat Nias (sebagaimana masyarakat lain di nusantara ini)
memiliki tradisi lisan seperti mitos, legenda, fabel, dan cerita-cerita lainnya.
Hingga saat ini, tradisi lisan ini belum disusun secara sistematis. Tradisi lisan ini
masih “tercecer”, baik dalam bentuk naskah maupun dalam wujud tuturan
masyarakat Nias. Para peneliti dari bangsa sendiri masih belum menjangkau
tradisi lisan ini.
propinsi Sumatera Utara) sejajar dan berada di sebelah barat Pulau Sumatera serta dikelilingi oleh Samudera Hindia. (sumut.bps.go.id).
2 Etnis Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan "Tanö Niha" sebagai sebutan untuk pulau Nias (Tanö = tanah; Niha = manusia).
4
Setelah enam puluh enam tahun merdeka, tradisi lisan yang dimiliki oleh
etnis Nias di Propinsi Sumatera Utara belum banyak dikenal dan dipahami oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan keterbatasan penelitian
dan publikasi, baik kepada masyarakat maupun oleh pemerintah dibeberapa
Kabupaten yang ada di Nias3. Hingga saat ini, yang lebih banyak melakukan
penelitian tentang Nias adalah peneliti asing. Beberapa peneliti dari bangsa
Eropa, umumnya misionaris Kristen, telah melakukan pendokumentasian tradisi
Nias. Hasil pengkajian mereka ini pada umumnya ditulis dalam bahasa Nias dan
juga dalam bahasa asing (Belanda, Jerman dan Inggris). Pada umumnya tujuan
para peneliti ini diarahkan pada kepentingan pelayanan keagamaan.
Terhadap tradisi lisan Nias yang telah digambarkan di atas, tampaknya
perlu dilakukan penelitian secara sungguh-sungguh dan berkesinambungan. Perlu
diungkapkan secara jelas hakikat dan makna dari warisan budaya masa lampau
ini. Berdasarkan pemikiran tersebut, salah satu hal yang perlu dikaji secara
sistematis dari tradisi lisan yang dimiliki oleh seluruh masyarakat Nias di Pulau
Nias ini dikenal dengan sebutan hoho. Tradisi lisan Nias yang berbentuk hoho ini
adalah syair yang dilagukan secara puitis untuk mengungkapkan hal-hal yang
berhubungan dengan asal usul kejadian, sejarah, hukum adat, dan hal lain yang
berkaitan dengan tata kemasyarakatan (Zebua, 1991). Hoho ini tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat Nias. Hoho memiliki peran yang cukup
3 Nias sebagai wilayah administratif bagian dari Propinsi Sumatera Utara sebelumnya hanya terdiri satu Kabupaten yakni Kabupaten Nias namun dengan semangat dan niat untuk memperjuangkan nasib masyarakat Nias agar terlepas dari kemiskinan dan ketertinggalan, maka dilaksanakanlah pemekaran wilayah. Pemekaran ini dilaksanakan bertahap, dimulai dari pemekaran wilayah Kabupaten Nias Selatan (dimekarkan 25 Pebruari 2003) dan dilanjutkan pada 29 Oktober 2008 pemekaran serempak yakni Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli. Kini Pulau Nias terdiri dari empat daerah Kabupaten dan satu Kota.
5
berarti dalam berbagai peristiwa sosial dan budaya (Mendröfa, 1981). Hoho
adalah cerita lisan yang berkembang di masyarakat Nias dan diwariskan secara
turun-temurun sehingga menyerupai mitos. (Hammerle, 2001). Lewat hoho, para
penutur tradisional Nias mampu berkomunikasi dengan masyarakat atau
penontonnya dengan baik. Harmoni yang dilahirkan memikat pendengarnya.
Seseorang yang hendak menyampaikan ide, pikiran atau perasaan kepada
orang lain, misalnya, biasanya menggunakan syair hoho ini. Tujuannya agar mitra
tutur tidak tersinggung. Pada saat seorang pemuda hendak melamar seorang gadis,
misalnya, juru bicara dari keluarga pemuda ketika menyampaikan keinginannya
kepada keluarga si gadis, pada umumnya menggunakan syair hoho. Dalam hal ini,
hoho merupakan alat atau sarana menyampaikan pikiran kepada pihak lain. Selain
sebagai tradisi lisan, hoho ini dapat digolongkan sebagai salah satu genre sastra
lisan Nias (Harefa, 1985; Zebua, 1991).
Sadieli Telaumbanua4 (2006) dalam wawancaranya dengan Yasato
Harefa (salah seorang pemerhati sastra dan budaya Nias) mengatakan hoho
sebagai salah satu jenis tradisi dan sastra lisan Nias bermacam-macam bentuk dan
jenisnya. Salah satu hoho yang beriskan mitos asal usul kejadian yang hingga
saat ini masih diyakini oleh masyarakat Nias adalah hoho börö gotari gotara
(Utara, Barat, dan Tengah Nias) dan atau foere (Selatan Nias). Berdasarkan
wawancara dengan Yasato Harefa, menurut Sadieli hoho börö gotari gotara ini
adalah induk dari semua hoho yang ada di Nias. Artinya, hoho börö gotari gotara
4 Penulis buku “Representasi Budaya Nias Dalam Tradisi Lisan” dengan fokus bahasan
terhadap hoho yang berisi Mitos Asal-Usul Kejadian (MAUK).
6
telah menjadi sumber hoho lain yang saat ini berkembang di tengah-tengah
masyarakat Nias.
Jaap Kunts, seorang etnomusikolog mengatakan, “Orang Nias bernyanyi
pada setiap kesempatan“, dalam catatannya setelah mengadakan suatu kunjungan
pada tahun 1930; lalu ia mengeluh, “asalkan misi Rheinische belum
menghilangkan sarana untuk menyalurkan perasaan-perasaan mereka secara
alami”. Banyak jenis lagu yang diidentifikasi Kunts. Ada yang dinyanyikan secara
tunggal (solo): nyanyian menidurkan anak, nyanyian anak-anak, pepatah-pepatah
dan nyanyian-nyanyian ratapan, dan nyanyian hiburan lainnya. Tetapi kebanyakan
berupa nyanyian-nyanyian kelompok yang dibawakan pada peristiwa-peristiwa
seperti perayaan, kematian, dan persiapan untuk berperang. Jika dibandingkan
dengan musik vokal, musik instrumental kurang begitu penting artinya dalam
kehidupan musikal di Nias. Musik instrumental biasanya dimainkan untuk
permainan rakyat, dengan maksud mengumpulkan khalayak ramai, atau sekedar
hiburan pribadi si pemain. Di Nias tidak ada ensambel instrumental yang memiliki
peranan dan permainan setara dengan ensambel musik instrumental pada orang
Karo dan Toba; sebaliknya orang Batak tidak memiliki nyanyian yang bisa
disejajarkan dengan nyanyian kelompok dan puisi-puisi yang dilagukan seperti
yang ada di Nias. Sebutan umum untuk nyanyian kelompok ini adalah hoho.
Keberagaman jenis dan bentuk hoho yang terdapat di Nias ini, umumnya
memiliki beberapa unsur yang menjadikan hoho berciri sama dalam penyajiannya,
yakni terdapat unsur bahasa (teks) dan unsur musikal (musik vokal), bahkan ada
hoho yang dalam penyajiannya melibatkan unsur gerak (tarian), dalam hal ini
7
properti yang digunakan dalam tarian pun dapat menjadi bagian dari unsur
musikal (musik ritmis), proses pembelajaran dari seluruh jenis hoho dari generasi
ke generasi di Nias, hingga saat ini masih diwariskan atau disampaikan secara
lisan (oral tradition). Hoho merupakan bentuk kearifan lokal yang sekaligus
menjadi kekayaan budaya masyarakat Nias khususnya dan bangsa Indonesia
umumnya.
Setelah masyarakat Nias mengenal agama modern (Kristen dan Islam)
lambat laun hoho ini mengalami pergeseran peran. Terlebih-lebih dengan
kemajuan zaman yang sering dipersepsi secara salah kaprah oleh masyarakat.
Seakan-akan nilai-nilai yang pernah menjadi pegangan hidup harus disingkirkan
dengan alasan tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman. Padalah, di tengah era
globalisasi dewasa ini transformasi kearifan lokal yang telah teruji sangat berguna
dalam membentengi nilai-nilai yang akan melunturkan moral manusia.
Sebagaimana diungkapkan oleh Darma (1990) bahwa bangsa yang tidak menggali
dan melestarikan nilai-nilai budaya yang pernah menjadi tata nilai dalam
masyarakat akan tercabut dari percaturan kebudayaan global. (periksa Sadieli,
2006)
Pemahaman dan pemberlakuan seperti ini telah membawa konsekuensi
dalam hampir seluruh tatanan kehidupan masyarakat Indonesia termasuk di Nias.
Seakan-akan budaya modern yang biasa diidentikkan dengan Barat atau Eropa
memiliki nilai-nilai yang lebih unggul dibandingkan dengan nilai budaya milik
bangsa sendiri. Dampak dari sikap dan perilaku seperti ini di antaranya,
menyingkirkan bahkan melupakan nilai-nilai budaya sendiri yang telah teruji oleh
8
zaman. Nilai-nilai baru dari bangsa lain diserap begitu saja. Hal ini akan
membawa akibat yang cukup menyedihkan yaitu memudar atau menghilangnya
nilai-nilai budaya milik bangsa sendiri sehingga tidak lagi dikenal oleh generasi
berikutnya. (periksa Sadieli, 2006)
Pemahaman masyarakat (termasuk Nias) yang tidak proporsional
terhadap nilai budaya sendiri perlu dibenahi melalui pengkajian terhadap sistem
nilai yang pernah diyakini oleh nenek moyang sebelumnya. Generasi muda
bangsa perlu memiliki pemahaman yang memadai tentang nilai-nilai yang pernah
diyakini oleh generasi sebelumnya. Untuk itu penelitian hoho yang dimiliki oleh
masyarakat Nias perlu dilakukan agar generasi mereka dapat memahaminya
dengan baik. Berdasarkan penelusuran awal, misalnya, hoho di kalangan
masyarakat Nias, mengisahkan sejumlah hal seperti (1) asal usul manusia (2) asal
usul Pulau Nias, (3) manusia pertama yang “turun” ke Pulau Nias, (4) hukum
yang harus ditaati manusia di Pulau Nias dan aspek-aspek lainnya. Di lihat dari
bentuknya, hoho ini dapat dikategorikan sebagai salah satu syair atau puisi rakyat.
Danandjaja (1993) menegaskan, kisah mengenai terjadinya mado-mado (marga)
di Pulau Nias berupa syair yang disebut hoho. Hoho ini masih tetap dituturkan
oleh masyarakat Nias, terutama pada saat pesta besar (owasa), pesta pernikahan,
dan pesta adat lainnya. (periksa Sadieli, 2006). Dari sejumlah kerangka berpikir di
atas, penulis berpendapat bahwa jenis tradisi lisan dalam bentuk hoho masyarakat
Nias perlu dikaji agar hakikat atau esensinya dapat terungkap dengan jelas.
Temuan ini dapat menambah wawasan putra-putri bangsa Indonesia tentang
keanekaragaman budaya, bahasa, dan sastra nusantara.
9
Menindaklanjuti wacana hoho di atas, penulis tertarik untuk melihat
bentuk dan isi (fungsi, makna teks dan struktur musik) dari jenis hoho yang dalam
penyajiannya terdapat unsur bahasa (teks), unsur musikal (musik vokal dan musik
ritmis), dan unsur gerak (tarian). Jenis hoho ini dikenal dengan sebutan Hoho
Faluaya, istimewanya Hoho Faluaya hanya terdapat di wilayah Kabupaten Nias
Selatan5, dahulu hoho ini dapat di jumpai hampir di seluruh wilayah Nias Selatan,
namun sekarang searah perkembangan zaman beberapa desa di Nias Selatan tidak
lagi mampu mempertahankan tradisi lisan ini, sehingga kini hanya beberapa desa
saja yang masih menggunakan Hoho Faluaya sebagai bagian dari aktivitasnya
seperti pada peristiwa-peristiwa perayaan kematian golongan bangsawan,
persiapan untuk berperang, mengukuhkan gelar bangsawan dan penyambutan
tamu kehormatan.
Kabupaten Nias Selatan sejak pemekaran secara administratif kini
menjadi 18 daerah Kecamatan6, 354 Desa , dan 2 Kelurahan. Demi fokusnya
kajian terhadap bentuk dan isi (makna teks dan struktur musik) dari Hoho
Faluaya, penulis memilih desa Bawömataluo7 sebagai lokasi penelitian.
Hoho Faluaya di desa Bawömataluo ini sering hanya disebut Faluaya
saja, dibeberapa desa lain mereka terkadang menyebutnya dengan Fatele, Folaya,
5 Kabupaten Nias Selatan berada di bagian barat Provinsi Sumatera Utara. Sebelah
Utara berbatasan dengan Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Barat, sebelah Timur dengan Kabupaten Mandailing Natal dan Kabupaten Tapanuli Tengah, sebelah selatan dengan Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat, dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
6 18 Kecamatan di Kabupaten Nias Selatan: 1) Hibala, 2) Pulau-pulau Batu, 3) Pulau-pulau Batu Timur, 4) Teluk Dalam, 5) Fanayama, 6) Toma, 7) Maniamölö, 8) Mazinö, 9) Amandraya, 10) Aramö, 11) Lahusa, 12) Gomo, 13) Susua, 14) Mazo, 15) Umbunasi, 16) Lölömatua, 17) Lölöwa, dan 18) Hilimegai.
7 Bawömataluo adalah salah satu desa dari 16 desa sejak pemekaran yang berada di Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan.
10
Molaya, Zaluaya, dan Maluaya, dimana pengertiannya hampir sama atau
disetarakan dengan “menggelar kekuatan (show force), sekaligus membangkitkan
semangat patriotisme para prajurit desa, melakukan gerakan berperang, sikap
berperang, dalam kondisi atau seperti dalam situasi berperang”. Sehingga dalam
penyajiannya selalu menggunakan properti perang (perlengkapan perang) seperti
pakaian perang dan senjata perang. Hoho Faluaya cenderung lebih dimaknai
sebagai konteks gerak (tarian). Bila dilihat sebagai produk seni, Hoho Faluaya
adalah suatu genre (ragam) kesenian yang terdiri dari unsur seni: sastra, musik dan
tari, yang memiliki nilai dan makna yang sangat mendalam. Terlebih belum
banyaknya penelitian yang dilakukan dalam konteks nyanyian pemberi semangat
(Hoho) kepada prajurit perang yang dilakukan dengan tarian perang (Faluaya).
Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian dengan memanfaatkan teori ilmiah.
Temuan ini akan dapat memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia secara
umum dan bidang kesastraan, musik serta tari secara khusus.
Dalam penyajian Hoho Faluaya terdapat tiga jenis hoho di dalamnya
yang akan dibicarakan pada bab selanjutnya, yakni: Hoho Fu’alö, Hoho
Fadölihia, dan Hoho Siöligö. Ketiga jenis hoho ini digunakan pada peristiwa
perayaan kematian seorang bangsawan, peristiwa pengukuhan gelar bangsawan,
penyambutan tamu kehormatan, serta pada aktivitas persiapan untuk berperang
atau perayaan atas kemenangan dalam peperangan antar desa.
Sebagai sebuah karya cipta seni masyarakat zaman lampau dan sebagai
salah satu tradisi lisan dari leluhur masyarakat Nias Selatan, perlu dilakukan
pendekatan yang dianggap memadai untuk mengkaji Hoho Faluaya ini yakni
11
dengan pendekatan paradigma antropologi sastra, sebuah pendekatan yang
memusatkan pengkajian pada tulisan etnografis yang bernilai sastra melihat
aspek-aspek budaya masyarakat pemiliknya dan dengan pendekatan
etnomusikologis8.
Sejarah perkembangan etnomusikologi khususnya di Eropa dan Amerika
ditandai oleh berbagai peristiwa terutama yang berkaitan dengan buku-buku dan
tulisan-tulisan yang dikerjakan oleh para ahli, seperti munculnya buku
Dictionnaire de Musique karya Jean Jacques Rousseau (1768) sebagai tonggak
sejarah yang mendasari berkembangnya etnomusikologi. Selain itu ditandai pula
dengan ditemukannya peralatan-peralatan alat ukur frekuensi nada dan rekaman,
serta berdirinya organisasi dan arkaif-arkaif yang berfungsi sebagai tempat
pendokumentasian dan pengkajian musik bangsa-bangsa.
Sebelum tahun 1950-an para etnomusikolog lebih banyak melakukan
aktivitas pencatatan dan pendokumentasian musik bangsa-bangsa yang
pembahasannya lebih banyak pada kajian tekstual. Untuk menyalurkan minat para
etnomusikolog, menampung, serta berbagi informasi mengenai musik etnis dari
berbagai suku bangsa di dunia, maka Masyarakat Etnomusikologi (The Society
For Ethnomusicology) yang didirikan tahun 1955 memberi kesempatan kepada
8 “Studi musik di dalam kebudayaan” (Merriam, 1960), adalah suatu yang penting
bahwa definisi ini sesungguhnya dapat diterangkan jika ia benar-benar dipahami. Makna implisit yang terkandung dalam asumsi bahwa etnomusikologi adalah dibentuk dari musikologi dan etnologi, dan suara musik merupakan hasil dari proses tata tingkah laku manusia, yang dibentuk oleh berbagai nilai, sikap, dan kepercayaan masyarakatnya yang turut mengisi suatu kebudayaan. Suara musik tidak akan tercipta, kecuali dari satu orang ke orang lainnya, dan meskipun kita tidak dapat memisahkan dua aspek tersebut secara konseptual, tidak akan diperoleh kenyataan yang lengkap tanpa mau mempelajarinya. Tata tingkah laku manusia menghasilkan musik, tetapi prosesnya adalah suatu yang kontinu; tata tingkah laku itu sendiri membentuk hasil suara musik, dan dengan demikian studi terhadap aspek yang satu tentunya akan melibatkan aliran studi lainnya.
12
mereka untuk membahas semuanya itudalam jurnal Ethnomusicology. Sejumlah
sarjana aliran komparatif musikologi dari Berlin yang kemudian pindah ke
Amerika juga mempunyai peran yang penting dalam perkembangan
etnomusikologi di belahan barat, khususnya George Herzog, Miezyslaw Kolonski,
dan Wachman. Begitu pula Charles Seeger yang berkebangsaan Amerika telah
banyak memberi sumbangan terhadap disiplin ilmu ini di Amerika Serikat.
Trend etnomusikologi setelah tahun 1950-an banyak dipengaruhi oleh
disiplin ilmu antropologi, sehingga karya-karya tulis hasil penelitian para
etnomusikolog seperti John Blacking, Alan Lomax, Stockmann, Mcallester, Curt
Sachs, dll. banyak melakukan studi kontekstual yang melihat persoalan hubungan
antara musik dan kebudayaan masyarakatnya. Di Amerika disebut anthropology
of music, dimana musik dianggap sebagai bagian dari kebudayaan dan diteliti
dalam konteks kebudayaan. Ilmu ini dipopulerkan oleh Alan P. Merriam,
BrunoNettle, dan Mantle Hood.
Hingga saat ini etnomusikologi masih sering disebut antropologi musik.
Antropologi memfokuskan ilmunya pada others dan difference, yaitu pemahaman
perbedaan termasuk dalam hal etnisitas. Artinya dalam antropologi musik
esensinya adalah bagaimana kita menghargai, memahami, dan mengerti
perbedaan dalam musik. Ada dua pendekatan dalam mempelajari perbedaan itu,
yaitu pertama musik dipelajari sebagai sebuah teks, dan kedua teks itu dipelajari
di dalam konteks. Sehingga dapat dikatakan antropologi musik merupakan ilmu
yang mempelajari musik di dalam konteksnya, seperti definisi yang dirumuskan
13
oleh Alan P. Merriam bahwa Etnomusikologi adalah ilmu yang mempelajari
musik di dalam kebudayaan.
Dengan demikian dasar-dasar yang menjadi perhatian para
etnomusikolog dalam mempresentasikan penelitiannya, sekurang-kurangnya
terdiri dari tiga aspek, yakni: (1) sifat dasar dari proses-proses terjadinya musik
secara teknis; (2) hubungan antara dunia musik dan dunia pembahasannya; dan (3)
fungsi dari totalitas musik di dalam totalitas kebudayaan. Oleh karena orientasi
studi etnomusikologi setelah tahun 1950 berkembang lebih melebar, maka studi
ini menjadi bidang kajian yang multidisiplin karena banyak
menggunakan/meminjam pendekatan dari cabang ilmu lain seperti sejarah,
antropologi, sosiologi, akustika, dll. dalam membahas fenomena musik bangsa-
bangsa yang ada di dunia ini.
Secara etnomusikologis, pentingnya melakukan studi terhadap teks lagu
atau nyanyian adalah untuk mengetahui dan memahami karakteristik masyarakat
pengguna dan pendukung nyanyian tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Alan
Lomax sebagai berikut ini:
A song style, like other human things, is a pattern of learned behavior, common to the people of a culture. Singing is specialized act of communication, akin to speech, but far more formally organized and redundant. Because of its heightened redundancy, singing attracts and holds the attention of group; indeed, as in most primitive societies, it invites group perticipation. Wheter chorally performed or not, however, the chief function of song is to express the shared feelings and hold the joint activities of some human community. It is to be expected, therefore, that the content of the sung communication should be social rather than individual, normative rather than perticular (Lomax, 1968:3).
14
Lomax menyatakan bahwa sebuah gaya nyanyian, pada prinsipnya sama
dengan tingkah laku manusia yang menjadi sifat umum masyarakatnya dalam
suatu kebudayaan. Nyanyian adalah aksi khusus dari komunikasi, yang
berhubungan dengan ujaran bahasa, tetapi lebih jauh dari itu nyanyian ini
diorganisasikan dan diwujudkan lebih formal dibandingkan bahasa. Nyanyian
mendapat perhatian sekelompok manusia, karena penekanannya pada perwujudan
(yang dilebih-lebihkan). Sungguhpun demikian, bagi sebahagian besar
masyarakat primitif, nyanyian mengundang perhatian kelompoknya. Apakah
disajikan dalam paduan suara atau tidak. Dengan demikian, fungsi utama
nyanyian adalah untuk mengekspresikan rasa, dan sekaligus sebagai suatu
aktivitas daripada berbagai jenis komunikasi manusia. Nyanyian sangat
dibutuhkan oleh masyarakatnya. Selanjutnya isi nyanyian tersebut lebih
bersifat komunikasi sosial dibandingkan dengan komunikasi individual, lebih
bersifat normatif dibandingkan menjelaskan fakta. Selain itu, teks juga turut
berperanan dalam membentuk struktur umum yang menjadi acuan bagi
penciptaan nyanyian Hoho Faluaya. Dalam hoho jenis ini, teks memberikan
sumbangan besar terhadap garapan struktur musiknya. Dengan demikian teks
sangat perlu untuk dianalisis sebagai bahagian dari struktur musiknya.
Pernyataan ini didukung pula oleh pendapat Lomax tentang teks pada
nyanyian rakyat (dalam hal ini hoho) seperti berikut:
SCHOLAR [sic.] and enthusiasts in the field of folk song have long believed that the orally transmitted poetry of a people, passed on by them as part of their noncritically accepted cultural heritage, might yield crucial information about their principal concerns and unique world-view. However, in spite of extensive study and
15
collection of folk song texts, little has been done in a systematic way to test this idea. One of the very few such attempts is Sebeok's analysis of Cheremis lore (Sebeok, 1956, 1959, 1964). The present study develops the hypothesis: that folk song texts, if analyzed in a systematic fashion, give clear expression to the level of cultural complexity, and a set of norms which differentiate and sharply characterize cultures (Lomax, 1968:5).
Menurut Alan Lomax, sarjana dan orang-orang yang menaruh minat
yang luar biasa di dalam lapangan nyanyian rakyat, telah lama percaya bahwa
transmisi puisi secara oral pada suatu masyarakat, mereka selami sebagai
bagian dari penerimaan budaya warisan tanpa kritikan, yang dapat
menghasilkan informasi yang penting tentang prinsip yang menjadi perhatian
dunia atas pandangan mereka yang unik. Walau dilakukan kajian dan koleksi
teks-teks nyanyian rakyat secara luas, hanya sedikit saja yang dilakukan
secara sistematik untuk menguji ide ini. Satu dari berbagai usaha ini adalah
analisis terhadap cerita masyarakat Cheremis yang dilakukan Sebeok (1956,
1959, 1964). Kajian masa kini mengembangkan hipotesis: bahwa teks
nyanyian rakyat, jika dianalisis dengan cara yang sistematik, memberikan
ekspresi yang jelas tentang tingkat kompleksitas kebudayaannya, dan
memberikan seperangkat norma yang membedakan dan memperjelas
karakteristrik berbagai kebudayaan.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, penulis akan melihat sejauh apa
penyajian Hoho Faluaya yang merupakan warisan tradisi lisan masyarakat Nias
Selatan yang disajikan oleh kelompok hoho (seorang sondroro dan kelompok
sanoyohi). Dimana mereka telah memanfaatkan bakat dan kemampuan
musikalnya sehingga terpilih dan terseleksi dengan sendirinya oleh masyarakat
16
pendukungnya dan menjadi bagian dalam setiap kegiatan-kegiatan ritual adat
masyarakatnya. Hal ini juga berkaitan dengan kreativitas para kelompok hoho
mereka dalam mengeksplor bakat dan kemampuannya. Begitu juga dengan
menciptakan teks sesuai dengan konteksnya.
Pendekatan kajian tersebut di atas akan penulis pergunakan dalam
mendukung kajian utama penulis, seperti yang akan dituangkan pada sub bab di
bawah ini.
1.2 Fokus Masalah
Dalam penelitian ini, penulis terlebih dahulu menentukan beberapa hal
yang menjadi fokus permasalahan agar penelitian ini lebih terarah. Adapun fokus
kajian yang sekaligus menjadi batasan tulisan ini adalah :
1.2.1 Bagaimanakah fungsi penyajian Hoho Faluaya sebagai bentuk tradisi
musik lisan dalam konteks ritual adat masyarakat di Nias Selatan;
1.2.2 Bagaimanakah struktur teks Hoho Faluaya dalam konteks ritual adat
masyarakat di Nias Selatan;
1.2.3 Bagaimanakah struktur musikal Hoho Faluaya yang meliputi tangga nada
(scale), jumlah pemakaian nada, wilayah nada (range), jarak antar nada
(interval), pola-pola kadens dan kontur serta analisis yang menjadi
fenomena musikal.
17
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun penelitian ini bertujuan untuk :
1.3.1 Menjelaskan fungsi penyajian Hoho Faluaya sebagai bentuk tradisi
musik lisan dalam konteks ritual adat masyarakat di Nias Selatan;
1.3.2 Menjelaskan struktur teks Hoho Faluaya dalam konteks ritual adat
masyarakat di Nias Selatan;
1.3.3 Menjelaskan struktur musikal Hoho Faluaya yang meliputi tangga nada
(scale), jumlah pemakaian nada, wilayah nada (range), jarak antar nada
(interval), pola-pola kadens dan kontur.
Adapun manfaatnya adalah sebagai bahan rujukan bagi masyarakat dan
pemerintah dalam usaha pelestarian seni budaya Nias, dan melengkapi
perbendaharaan musik Nias dalam masyarakat luas khususnya tentang Hoho
Faluaya. Dan sebagai bahan dokumentasi tradisi sastra dan musik lisan yang
akhirnya dapat dibaca pada perpustakaan perguruan tinggi dan sebagai upaya
memperlihatkan kepada masyarakat Nias khususnya dan Indonesia umumnya
dalam memahami nilai-nilai budaya yang luhur sebagai bentuk kearifan lokal dari
Hoho Faluaya.
1.4 Tinjauan Pustaka
Sebelum melakukan kerja lapangan terlebih dahulu penulis melakukan
studi kepustakaan, yakni dengan mempelajari literatur (buku, skripsi, artikel,
makalah, majalah) tentunya yang berkaitan dengan obyek pembahasan yang akan
18
diteliti yakni “Tradisi Lisan Hoho Faluaya Dalam Masyarakat Nias di Desa
Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan: Analisis Teks dan
Struktur Musik”.
Kenyataan yang ada pada kebudayaan tradisi lisan masyarakat Nias, di
Sumatera Utara. Sebagaimana umumnya tradisi lisan yang ada di Indonesia,
tradisi lisan Nias yang memiliki unsur musik (vokal) juga memadukannya dengan
gerak dan disebut Hoho Faluaya secara fungsional sangat terkait langsung dengan
berbagai upacara adat tradisi yang telah dianut secara turun temurun oleh etnis
Nias. Perlu ditegaskan bahwa sepanjang pengetahuan penulis sampai saat ini,
buku yang secara khusus berintikan tentang Tradisi Lisan Hoho Faluaya Nias
Selatan belum pernah ditemukan. Oleh karena itu, buku-buku yang berkaitan
dengan kebudayaan musik Nias secara umum, dan pada bagian tertentu dalam
buku tersebut juga berisi tentang Hoho Faluaya, layak untuk dipertimbangkan.
Tinjauan terhadap buku-buku yang membahas tentang teks hoho, penulis
mengunjungi tulisan Hammerle (1986), dalam bukunya “Famatö Harimao” yang
menuliskan bagaimana deskripsi dari pesta harimau, fondrakhö börönadu dan
kebudayaan lainnya di wilayah Maena Mölö Nias Selatan. Dalam buku ini penulis
dapat melihat bagaimana penyajian Faluaya dalam konteks upacara adat.
Berikutnya Hammerle (1995), bukunya “Hikaya Nadu” telah mengumpulkan
hoho dari beberapa daerah di Nias yang berhubungan dengan berbagai jenis
patung yang disembah dan dipuja oleh masyarakat Nias. Masih Hammerle (1990),
“Omo Sebua” membangun rumah adat yang diekspresikan melalui hoho.
Selanjutnya Hammerle (1990), “Asal Usul Masyarakat Nias” Suatu Interpretasi,
19
dimana banyak pandangan dari masyarakat Nias sendiri tentang asal usul hadirnya
orang Nias di Pulau Nias.
Sadieli (2006), dalam bukunya “Representasi Budaya Nias Dalam
Tradisi Lisan”, dimana beliau melihat fungsi dan makna dari hoho yang berkaitan
dengan mitos asal usul kejadian (MAUK). Pengertian, bentuk, dan jenis-jenis
hoho penulis jadikan pendekatan untuk melihat Hoho Faluaya.
Secara umum di Nias beberapa contoh musikal baik vokal maupun
instrumen sudah pernah didokumentasikan oleh Japp Kunt (1939), dalam bukunya
“Music In Nias” selanjutnya penulis jadikan pendekatan dalam menganalisis
struktur musik vokal (Hoho Faluaya).
Tujuan studi kepustakaan ini agar penulis memperoleh konsep, teori dan
informasi yang dapat menjadi bahan acuan atau bandingan bagi penulis untuk
mengupas permasalahan. Studi kepustakaan ini juga sebagai landasan bagi penulis
dalam penelitian, dan buku-buku tersebut dapat dilihat di bagian daftar pustaka
dari tesis ini.
1.5 Konsep dan Teori
1.5.1 Konsep
Konsep maupun pengertian, merupakan unsur pokok dari sebuah
penelitian. Bila masalahnya serta kerangka teoritisnya sudah jelas, maka dengan
mudah dapat diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang merupakan pusat
perhatian. Defenisi konsep itu sendiri secara singkat berarti sekelompak fakta atau
20
gejala (Koentjaraningrat 1981:32). Seperti yang dikatakan oleh R.Merton bahwa
konsep adalah definisi dari apa yang perlu diamati. Konsep menentukan antara
variabel-variabel mana kita ingin menentukan adanya hubungan empiris (ibid
1981:32).
Tradisi Lisan adalah semua kesenian, pertunjukan atau permainan yang
menggunakan tuturan atau disertai ucapan lisan dalam konvensi budaya
masyarakat (Sibarani, 2000). Selanjutnya disebutkan bahwa jika suatu kesenian,
pertunjukan atau permainan tidak menggunakan atau tidak disertai tuturan atau
ucapan lisan, maka itu tidak termasuk tradisi lisan. Sebaliknya, jika suatu cerita
tidak lagi ditradisikan (dipertunjukkan atau dibiasakan dihadapan masyarakat
pendukungnya) maka itu tidak lagi termasuk ke dalam tradisi lisan meskipun itu
dahulu termasuk tradisi lisan, dan meskipun itu pada suatu saat potensial menjadi
tradisi lisan.
Tradisi lisan tidak hanya dimaksudkan sebagai bagian dari informasi atau
komunikasi untuk diteliti, didokumentasikan, dan untuk kepentingan sendiri
melainkan harus menjadi yang pertama dan utama untuk memahami secara
kontekstual keterhubungan struktur sosial (Chamarik, 1999). Tradisi lisan
merupakan perangkat pengetahuan dan pembelajaran tentang budaya masa lalu
dan fakta kehidupan manusia. Tradisi lisan juga menjadi sumber kekuasaan.
Tradisi lisan adalah sumber asli pembelajaran dan oleh karena itu memungkinkan
pengembangan nilai-nilai sehingga menjadi penghubung keberadaannya. Tradisi
lisan merupakan ekspresi gaya hidup yang tidak tertulis (unletterd) yang dapat
21
digunakan untuk merekonstruksi kehidupan masyarakat saat sekarang. (Periksa
Sadieli, 2006: 31)
Hoho adalah salah satu jenis tradisi lisan masyarakat Nias berbentuk
syair-syair yang biasa diturturkan dalam berbagai peristiwa sosial-budaya di
kalangan masyarakat Nias. Hal ini sejalan dengan pendapat Hammerle (1999: 25)
bahwa hoho dalam berbagai versi merupakan salah satu tradisi lisan Nias yang
dapat dijadikan rujukan dalam memahami kebudayaan lama mereka. Hoho ini
telah berurat berakar dalam kehidupan mereka sehari-hari. Seluruh kehidupan
masyarakat Nias pada zaman dahulu diatur oleh hoho yang dituturkan ini. Itulah
sebabnya mereka sering membedakan antara agama, pemerintah, dan adat. Istilah
yang sering terdengar yaitu sara lala agama, sara fareta, sara lala hada (lain cara
agama, lain cara pemerintah, dan lain cara adat).
Hoho Faluaya merupakan salah satu bagian dari beberapa jenis hoho
yang ada pada masyarakat Nias, dan khusus hanya ada di daerah Nias Selatan.
Hoho jenis ini disajikan untuk merefleksikan suatu kekuatan yang dimiliki
masyarakat Nias Selatan dalam mempertahankan wilayah mereka dari serangan
musuh. Faluaya mempunyai pengertian gerakan atau tarian perang, dimana dalam
penyajiannya dilakukan sambil menyanyikan apa yang dituturkan (di-hoho-kan).
Di dalam penyajian Hoho Faluaya terdapat tiga jenis hoho yakni, Hoho Fu’alö,
Hoho Fadölihia, dan Hoho Siöligö.
Dalam menganalisis teks penulis mengkaji gaya bernyanyi yang ada,
gaya bahasa, dan melihat makna-makna yang terkandung di dalamnya. Konsep
22
teks yang penulis maksudkan hanya tertuju pada teks hoho yang diciptakan dan
dinyanyikan oleh penyaji hoho (sondroro hoho).
Adanya teks lagu atau syair, dan melodi dalam Hoho Faluaya
menunjukkan bahwa Hoho Faluaya merupakan bagian dari suatu kegiatan
kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan telinga yang disebut seni suara
(Koentjaraningrat 1980:395-396)
Analisis stuktur musik dapat dikonsepkan sebagai bagian-bagian dari
suatu komposisi musik yang terintegrasi menjadi satu bentuk yang estetik (lihat
Kamus Besar Bahasa Indonesis 1998). Struktur musik yang penulis maksudkan di
sini adalah mencakup aspek melodi dan ritme dari kelima jenis musikal
(fohuhugö, hivfagö, hoho fu’alö, hoho fadölihia dan hoho siöligö) yang ada pada
penyajian Hoho Faluaya. Kedua besar pokok ini didukung oleh tangga nada, nada
dasar, wilayah nada, persebaran nada-nada, interval, pola-pola kadensa, kontur,
dan lainnya (Malm 1997).
Masyarakat Nias yang penulis maksudkan adalah sekelompok orang atau
manusia yang diikat oleh hukum adat yang disepakati bersama dan telah menjadi
salah satu etnis di Indonesia. Dan dalam penelitian ini penulis mengkhususkan
kepada etnis Nias yang berdomisili di Desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama
Nias Selatan.
23
1.5.2 Landasan Teori
Untuk mengkaji sebuah fenomena alam fisik atau sosial, dengan latar
belakang masalah tertentu, ada yang relatif sederhana dan ada pula yang
kompleks, maka para ilmuwan biasanya menggunakan teori-teori. Teori menurut
pendapat Marckward et al., memiliki tujuh pengertian, yaitu: (1) sebuah
rancangan atau skema yang terdapat dalam pikiran saja, namun berdasar pada
prinsip-prinsip verifikasi dengan cara eksperimen atau pengamatan; (2) sebuah
bentuk prinsip dasar ilmu pengetahuan atau penerapan ilmu pengetahuan; (3)
abstrak pengetahuan yang selalu dilawankan dengan praktik; (4) penjelasan
awal atau rancangan hipotesis untuk menangani berbagai fenomena; (5)
spekulasi atau hipotesis, sebagai ide atau yang mengarahkan seseorang; (6)
dalam matematika berarti sebuah rancangan hasil atau sebuah bentuk teorema,
yang menghadirkan pandangan sistematis dari beberapa subjek; dan (7) ilmu
pengetahuan tentang komposisi musik, yang membedakannya dengan seni
yang dilakukan atau seni yang dieksekusi (Marckward et al. 1990:1302).
Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud teori itu biasanya
mengandung pengertian dalam tahapan yang abstrak. Teori mengarahkan ilmuwan
untuk melakukan kerjanya dalam menganalisis permasalahn keilmuan yang
ditemuinya.
Dalam rangka penelitian ini, teori yang peneliti pergunakan adalah
sebagai berikut :
24
1.5.2.1 Teori Fungsionalime
Dalam upaya melihat fungsi dari Hoho Faluaya sebagai tradisi lisan
masyarakat Nias, penulis melakukan pendekatan terhadap ilmu sosiologi dan
antropologi melalui teori fungsional yang dikemukakan oleh Lorimer, dimana
menurutnya teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang digunakan dalam
ilmu sosial, yang menekankan kepada kebergantungan institusi dengan kebiasaan
pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan
sosial didukung oleh fungsi institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan
pasar. Sebagai contoh pada masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat
tribal, penyertaan dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung
kesatuan sosial dalam kelompok manusia yang berhubungan dengan
kekerabatannya. Teori ini menjadi dasar khususnya bagi Emile Durkheim,
fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah teori yang kokoh sejak
digunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton pada tahun 1950-an. Teori ini
sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi Angloamerika dalam dasawarsa
1970-an. Bronislaw Malinowski dan A. R. Radcliffe-Brown, mengembangkan
teori ini di bidang disiplin antropologi dengan memusatkan perhatian pada
masayarakat bukan Barat. Sejak dekade 1970-an, teori fungsionalisme digunakan
pula untuk mengkaji dinamika konflik sosial (Lorimer et al. 1991:112-113)
Selanjutnya teori fungsionalisme oleh Bronislaw Malinowski dimana
beliau mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi dari
kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tentang
kebudayaan, atau a functiol theory of culture. Konsepnya mengenai fungsi sosial
25
adat, prilaku manusia, dan institusi-institusi sosial menjadi lebih mantap. Ia
membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi, yaitu: (1) fungsi sosial
dari suatu adat, institusi sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi
pertama mengenai pengaruh atau kesannya terhadap adat, prilaku manusia dan
institusi sosial yang lain dalam masyarakat; (2) fungsi sosial dari suatu adat,
institusi sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai
pengaruh atau kesannya terhadap keperluan suatu adat atau institusi lain untuk
mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang
terlibat; dan (3) fungsi sosial dari suatu adat atau institusi sosial pada tingkat
abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau kesannya terhadap keperluan mutlak
untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
Demikian halnya dengan Arthur Reginald Radcliffe-Brown yang
mendasarkan teorinya mengenai prilaku manusia pada konsep fungsionalisme.
Namun berbeda dengan Malinowski, Radcliffe-Brown merasa bahwa pelbagai
aspek prilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan keinginan
individual, tetapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat.
Struktur sosial sebuah masyarakat adalah keseluruhan jaringan dari hubungan-
hubungan sosial yang ada (Radcliffe-Brown 1952).
Fungsi komunikasi memperlihatkan arus gerakan yang seiring dengan
masyarakat atau individu. Komunikasi berfungsi mengikuti keperluan pengguna
atau individu yang berinteraksi. Oleh karenanya fungsi komunikasi boleh
dikaitkan dengan ekspresi (emosi), arahan, rujukan, puitis, fatik dan metalinguitik
26
yang berkaitan dengan bahasa (Ajid Che Kob, 1991:16)9. Secara umum fungsi
komunikasi terdiri dari empat kategori utama iaitu: (1) fungsi memberitahu, (2)
fungsi mendidik, (3) memujuk khalayak mengubah pandangan dan (4) untuk
menghibur orang lain.
Dalam etnomusikologi dan atau pertunjukan budaya, ada seorang tokoh
fungsionalisme yang sangat penting, dan menjadi rujukan utama jika mengkaji
fungsi musik (kesenian atau kebudayaan) dalam konteks masyarakat
pendukungnya. Beliau adalah Alan P. Merriam, etnomusikolog dari Amerika
Serikat. Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba
menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam
membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan
fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah
sangat penting. Para ahli etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti
terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita
menunjuk kepada kebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat,
sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bagian dari pelaksanaan adat
istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-
aktivitas lain (1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian
antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut.
Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing
9 Disertasi Muhammad Takari Bin Jilin Syahrial. 2010. Fungsi Dan Bentuk Komunikasi
Dalam Lagu Dan Tari Melayu Di Sumatera Utara. Jabatan Pengajian Media Fakulti Sastera Dan Sains Sosial Universiti Malaya Kuala Lumpur.
27
a perticular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves. (1964:210).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian
penggunaan dan fungsi musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam
sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi
bagiannya. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Dia
memberikan contoh, jika seeorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk
kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu dapat dianalisis sebagai perwujudan
dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—[yaitu untuk memenuhi
keinginan biologis bercinta, kawin dan berumah tangga dan pada akhirnya
menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang menggunakan
musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut
behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan
ritual dan kegiatan-kegiatan upacara.
“Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan
manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai
melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang
dapat dilayaninya. Dengan demikian, selaras dengan Merriam, mengikut penulis
penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan
dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya.
28
Dari kerangka berpikir di atas, selanjutnya Merriam mendeskripsikan
bahwa sampai tahun 1964, penelitian yang dilakukan para etnomusikolog tentang
fungsi musik dalam kehidupan masyarakat, memperlihatkan adanya 10 fungsi.
Kesepuluh fungsi musik itu adalah: (1) sebagai pengungkapan emosional, (2)
sebagai penghayatan estetika, (3) sebagai hiburan, (4) sebagai komunikasi, (5)
sebagai perlambangan, (6) sebagai reaksi jasmani, (7) sebagai yang berkaitan
dengan norma-norma sosial, (8) sebagai pengabsahan lembaga sosial dan upacara
agama, (9) sebagai kesinambungan kebudayaan, dan (10) sebagai pengintegrasian
masyarakat (Merriam 1964).
Merriam menyatakan bahwa fungsi musik termasuk genre musik
mungkin kurang dari sepuluh fungsinya atau boleh saja meluas lebih dari sepuluh
fungsi tersebut.
Selain itu fungsi seni juga dikaji di bidang etnokoreologi (antropologi
tari). Soedarsono seorang pakar sejarah seni dan ahli etnokoreologi, yang melihat
fungsi seni, terutama dari hubungan praktis dan integratifnya, mereduksi tiga
fungsi utama seni pertunjukan, yaitu: (1) untuk kepentingan sosial atau sarana
upacara; (2) sebagai ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri dan (3)
sebagai penyajian estetika (1995). Pendapat Soedarsono ini sifatnya adalah
induktif dan dia menggeneralisasikan berbagai fungsi sosiobudaya seni.
Dalam bidang tari dan teater pula, fungsi tari bisa saja kita lihat sebagai
ritual pubertas, sarana memohon hujan turun kepada Tuhan, menunjukkan
keberadaan jenis kelamin tertentu, sebagai sarana komunikasi dengan roh-roh
nenek moyang atau dunia gaib, sebagai simbol status sosial, sebagai pengiring
29
ritual kelahiran, perkawinan, berkhitan, kematian, sarana perkenalan, ekspresi
dorongan seksual, upacara kesuburan perempuan atau tanah, dan masih banyak
lagi yang lainnya.
1.5.2.2 Teori Semiotik
Untuk mengkaji makna yang terkandung di dalam kedua hoho di atas,
penulis menggunakan teori semiotik. Menurut Encylopedia Brittanica (2007)
pengertian semiotika atau semiologi itu adalah kajian terhadap tanda-tanda (sign)
serta tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama
pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar
linguistik dari Swiss Ferdinand de Sausurre. Menurutnya semiotika adalah kajian
mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-
tanda itu.” Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad
ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin
ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan
studi, baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20,
ketika munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika
Serikat, Charles Sanders Peirce.
Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotik ini, ia menumpukan
perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefinisikan tanda sebagai
“sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu
sumbangan Peirce yang besar bagi semiotika adalah dalam menginterpretasikan
bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling
30
berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalam
kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan
penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk
memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan
lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol.
Pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang
disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya
bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan referennya (asap adalah tanda
adanya api) dan (c) simbol, yang berkaitan dengan referentnya dengan cara
penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal trafik). Contoh lain apabila
lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika
lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan
diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan,
seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut
dengan simbol. Selanjutnya teori ini digunakan dalam usaha untuk memahami
bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang
membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand
de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Pierce, seorang
filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang
membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau
signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai
lambang bunyi tersendiri.
31
Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya Barthes mengembangkan
semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi.
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan
petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti.
Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan
petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung,
dan tidak pasti. Barthes mengatakan bahwa “semiotika tidak akan menggantikan
penelitian apapun di sini, tetapi sebaliknya, semiotika akan menjadi semacam
kursi roda, kartu As, dalam pengetahuan kontemporer sebagaimana tanda
merupakan kartu As dalam wacana”. Menurutnya, semiotika mempunyai
hubungan dengan science, namun semiotika itu sendiri bukan science. Barthes
menciptakan peta mengenai bagaimana tanda bekerja, sebagaimana dijelaskan
sebagai berikut10 :
Dari gambaran di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur
10 Bahan Perkuliahan Prof. Dr. Robert Sibarani, MS. (Semiotika 2009/2010)
1. Signifier (Penanda)
2. Signified (Petanda)
3. denotative (penanda denotatif)
4. connotative signifier (penanda konotatif)
5. connotative signified (petanda konotatif)
6. connotative sign (tanda konotatif)
32
material. Hanya jika kita mengenal “singa”, barulah konotasi seperti harga diri,
kegarangan dan keberanian menjadi mungkin.
Bagi Peirce dan Barthes, tanda dapat dimaknai secara terbuka, tetapi
dibatasi oleh konteks, baik teks itu sendiri maupun konteks sosial budaya, serta
pengetahuan/pengalaman pembaca. Tanda tidak memiliki makna yang stabil.
Teori Peirce dan Barthes memperlihatkan persamaan dan perbedaan dalam hal
perincian pemaknaan. Barthes dengan jelas membelah makna menjadi denotasi
dan konotasi. Tidak demikian halnya dengan Peirce. Ia mengatasnamakan
keduanya sebagai konsep interpretant. Baginya, yang penting adalah proses
semiosis. Oleh karena itu, dalam analisis, objek amatan memegang peranan dalam
menentukan alat yang lebih sesuai: objek berstruktur dan ada perubahan makna
denotasi ke konotasi atau merupakan ikon, indeks, simbol. Konsep kedua tokoh
bertemu pada titik interpretasi. Interpretant dari Peirce sama dengan konsep
konotasi dari Barthes. Kedua teori dapat bergabung dalam suatu analisis dan
saling melengkapi, terutama dalam analisis teks yang terdiri atas
gambar/nonverbal (ikon dan simbol) dan unsur verbal. Persamaan lain, yaitu
makna bersifat dinamis, berubah sesuai waktu, tempat, dan penafsir.
Melalui pendekatan teori semiotik di atas selanjutnya penulis akan
pergunakan dalam menemukan hakikat dan makna teks dan frase nyanyian Hoho
Faluaya (Fanguhugö, Hivfagö, Hoho Foalö, Hoho Fadölihia, dan Hoho Siöligö).
33
1.5.2.3 Teori Transkripsi
Teori yang berkaitan dengan pentranskripsian, Seeger (1964)
mengatakan ada dua jenis notasi musik, yaitu: (1) notasi preskriptif yaitu notasi
yang hanya menuliskan bagian-bagian yang menonjol dalam musik dan tidak
harus menuliskan secara lengkap tentang detil-detil yang ada dalam musik itu atau
dengan kata lain, suatu pedoman tentang bagaimana musik itu dapat diwujudkan
atau dihasilkan oleh pemain musik; (2) notasi deskriptif yaitu menuliskan musik
secara terperinci tentang detil-detil yang terdapat dalam musik dengan kata lain,
suatu laporan yang disertai notasi secara lengkap tentang bagaimana sebenarnya
suara musikal dalam suatu pertunjukan diwujudkan. (lihat Nettl, 1964: 99-100).
1.5.2.4 Teori Weighted Scale
Dalam mendeskripsikan struktur musik penulis menggunakan teori
weighted scale, yang dikemukakan oleh Malm (1977:15). Teori ini dipergunakan
untuk menganalisis melodi Hugö dan Hivfagö selanjutnya dari Hoho Fu’alö,
Hoho Fadölihia, dan Hoho Siöligö yang merupakan bagian-bagian dari Hoho
Faluaya. Beliau menawarkan delapan unsur melodi, dalam hal ini penulis akan
menganalisis kedelapan unsur dimaksud, antara lain; (1) Tangga Nada (Scale), (2)
Nada Pusat atau Nada Dasar, (3) Wilayah Nada (Range), (4) Jumlah Nada-Nada,
(5) Jarak antar Nada (Interval), (6) Pola-pola Kadens, (7) Formula Melodi, dan (8)
Kontur.
34
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Rancangan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang
bersifat kualitatif. Menurut Merriam dalam etnomusikologi, dikenal istilah
teknik lapangan dan metode lapangan. Teknik mengandung arti pengumpulan
data-data secara rinci di lapangan. Metode lapangan sebaliknya mempunyai
cakupan yang lebih luas, meliputi dasar-dasar teoretis yang menjadi acuan bagi
teknik penelitian lapangan. Teknik menunjukkan pemecahan masalah
pengumpulan data hari demi hari, sedangkan metode mencakup teknik-teknik
dan juga berbagai-bagai pemecahan masalah sebagai bingkai kerja dalam
penelitian lapangan (Merriam 1964:39-40). Metode penelitian kualitatif adalah
suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, baik berupa tulisan
atau pernyataan dari seseorang atau suatu perilaku aktor, maupun fenomena
tertentu yang dapat diamati oleh seorang peneliti. Titik poin dari penelitian ini
adalah memahami fungsi, makna teks dan struktur musik Hoho Faluaya sebagai
tradisi musik lisan masyarakat Nias Selatan.
Oleh karena penulis berasal dari etnis (suku) Nias, dan pengalaman
penulis sejak tahun 1991 hingga sekarang masih terlibat dalam kegiatan seni
pertunjukan Tari Perang (Faluaya) dan Lompat Batu (Hombo Batu) di Kota
Medan dan di beberapa kota di Indonesia serta mempertunjukkannya sampai ke
mancanegara, maka sejak awal rancangan penelitian ini, penulis berusaha
mengkaji permasalahan yang ada berdasarkan pertimbangan emik dan etiknya.
Dimensi emik akan mempertimbangkan suatu fenomena yang ada berdasarkan
35
pemahaman atau persepsi individu atau komunitas pemilik kebudayaan yang
diteliti, dan dimensi etik akan mempertimbangkan fenomena yang ada
berdasarkan persepsi kajian budaya. Dengan demikian fenomena tradisi musik
lisan akan dilihat secara holistik dalam lingkup sosial budaya masyarakat Nias.
1.6.2 Lokasi dan Perjalanan Penelitian
Tercatat ada sekitar 655 desa/kelurahan di Pulau Nias. Dan, uniknya,
mereka memiliki tradisi yang berbeda di setiap cakupan wilayahnya. Sebuah
refleksi bergaris budaya dengan label Bö’ö mbanua, Bö’ö mböwö yang
mempunyai makna lain desa lain pula adat istiadatnya. Dari beragam desa yang
ada di sana, penulis mengunjungi satu desa untuk lebih menyelami denyut
kehidupan Ono Niha. Desa yang penulis tuju adalah desa Bawömataluo di
Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan.
Di desa Bawömataluo penulis jadikan sebagai lokasi penelitian, dimana
di desa ini masih terdapat para pelaku dan penyaji dari Hoho Faluaya.
Bawömataluo termasuk sebuah desa yang masih tetap mempertahankan unsur-
unsur kebudayaan megalitik hingga abad keduapuluh ini. Tangga batu, jalan-jalan
batu, dan benteng pertahanan batu yang mengagumkan, masih dapat dilihat di
desa tua ini. Demikian juga dengan bangku-bangku dari batu dan patung batu
lainnya. Yang didirikan sebagai bagian dari “upacara-upacara kebesaran”, demi
menambah kewibawaan bagi tokoh-tokoh masyarakat atau bagi leluhur mereka.
Desa ini mendapat julukan sebagai desa budaya dan budaya yang terkenal dari
desa ini adalah tradisi "Lompat Batu" (Hombo Batu). Desa ini juga sudah
36
diusulkan menjadi kawasan warisan budaya dunia, dan masuk pada urutan
keempat daftar usulan ke UNESCO untuk menjadi Situs Warisan Dunia setelah
Ubud Bali, Tanah Toraja, dan kawasan Trowulan, Jawa Timur.
Desa Bawömataluo berada di Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias
Selatan Propinsi Sumatera Utara. Kabupaten Nias Selatan merupakan salah satu
Kabupaten dari 4(empat) Kabupaten yang ada di Pulau Nias setelah dari hasil
pemekaran Kabupaten Nias, secara geografis lokasinya berada di sebelah barat
pulau Sumatera dengan jaraknya ± 92 mil laut dari Kota Sibolga atau Kabupaten
Tapanuli Tengah. Kabupaten Nias Selatan berada di sebelah Selatan Kabupaten
Nias yang berjarak ± 120 km dari Kota Gunung Sitoli ke Teluk Dalam (ibukota
Kabupaten Nias Selatan).
Kabupaten Nias Selatan mempunyai luas wilayah 1.825,2 km², dan
pembagian daerah administratif, wilayah ini terdiri dari 104 buah pulau.
Kabupaten Nias Selatan terdiri dari delapan belas kecamatan dimana jumlah
kelurahan ada 2 dan jumlah desa ada 354.
Kabupaten Nias Selatan berada di bagian barat Propinsi Sumatera Utara.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Barat,
sebelah Timur dengan Kabupaten Mandailing Natal dan Kabupaten Tapanuli
Tengah, sebelah selatan dengan Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat,
dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
Kondisi alamnya/topografi berbukit-bukit sempit dan terjal serta
pegunungan tingginya di atas permukaan laut bervariasi antara 0 – 800 m, terdiri
dari dataran rendah sampai bergelombang mencapai 24% dari tanah, dari tanah
37
bergelombang sampai berbukit-bukit 28,8% dan dari berbukit sampai pegunungan
51,2% dari keseluruhan luas dataran. (BPS Kabupaten Nias Selatan 2010).
Untuk mencapai desa Bawömataluo memang dibutuhkan tenaga ekstra.
Bukan apa-apa, desa ini secara demografi memiliki letak tertinggi dibandingkan
dengan desa-desa lain di Nias. Perjalanan dapat ditempuh lewat udara dan
mendarat di Bandara Udara Binaka, Gunung Sitoli atau dapat ditempuh dengan
Kapal Laut dan berlabuh di Pelabuhan Angin Gunung Sitoli diteruskan lewat
jalur darat bila dari Bandara Udara Binaka perjalanan lebih kurang 2,5 jam, dan
bila dari pelabuhan perjalanan lebih kurang 3 jam menuju kota Teluk Dalam.
Setelah itu perjalanan dilanjutkan menuju Desa Bawömataluo yang masuk ke
dalam Kecamatan Fanayama dengan waktu tempuh selama lebih kurang setengah
jam. Tipografi Nias yang berbukit dan berkelok, menjadi kenangan penulis
sepanjang hayat. Ditambah pemandangan alam yang benar-benar alami, sehingga
lengkaplah sebuah sajian penelitian dengan petualangan budaya.
Desa Bawömataluo sendiri merupakan salah satu perkampungan
tradisional tersebar di Nias. Lokasi desa yang tepat berada di atas bukit, memaksa
penulis untuk menapaki 87 anak tangga yang memiliki kemiringan sekitar 45
derajat dan berada tepat di depan gerbang desa. Selepas manapaki anak tangga,
langsung berada di pelataran desa (ewali). Dari sini, sejauh mata memandang
terlihat pemukiman desa-desa lain yang ada di bawahnya seperti desa Orahili Fau
dan desa Ono Hondrö. Tak hanya itu bentangan laut di kejauhan pun terlihat jelas.
Suasana pedesaan beraroma tradisi, sangat kental terasa. Deretan rumah-
rumah adat masih tampak mendominasi. Di bagian tengah desa, terdapat Omo
38
Nifolasara/OmoSebua/Omo Hada (rumah adat besar) yang berusia dua abad lebih.
Rumah adat ini dibangun keluarga bangsawan Laowö Fau dan hingga kini masih
ditempati oleh keturunan yang ketujuh yakni oleh kakak beradik Mo’arota Fau
dan Buala Fau. Selain itu terdapat Bale (balai pertemuan desa), berlokasi di
seberang sebelah kanan dari Omo Nifolasara. Balai pertemuan ini rutin digunakan
untuk menggelar pertemuan untuk melaksanakan musyawarah atau rapat desa.
Tepat di balai pertemuan ini, terdapat lokasi untuk melakukan atraksi Hombo Batu
(lompat batu) yang menjadi salah satu ikon pariwisata Nias. Penduduk di sini
cukup ramah, terdapat sekitar 800 kepala keluarga yang bermukim di desa ini.
Sapaan khas masyarakat Nias, Ya’ahowu yang penulis ucapkan, langsung
disambut dengan ucapan yang sama.
Desa Bawömataluo merupakan salah satu desa yang paling sering
dikunjungi para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Dan jangan heran
jika sejumlah anak akan berhamburan menghampiri kita, mereka menawarkan
berbagai cendramata, seperti: gelang dan kalung manik-manik, ukiran patung
kayu dan atraksi lompat batu, serta benda-benda aksesoris lainnya.
Menurut Hikayat Manaö, salah seorang informan kunci penulis dimana
beliau adalah juga tokoh masyarakat Bawömataluo, pemimpin Sanggar Seni
Budaya Baluseda, mengatakan Bawömataluo berasal dari dua suku kata, yakni
Bawö yang berarti di atas/bukit dan Mataluo yang berarti Matahari. Jadi,
Bawömataluo bisa diartikan sebagai Bukit Matahari. Secara geografis, letak desa
ini memang berada di atas perbukitan. Karena itulah, ada anggapan ‘jika matahari
39
terbit dan terbenam terlebih dahulu di desa ini, dibandingkan dengan desa-desa
lainnya di Nias’.
Belum banyaknya masyarakat desa ini tersentuh dengan hal-hal yang
berbau modern juga terlihat dalam hal pengobatan. Masyarakat masih lebih
memilih berobat kepada Ere (dukun), dibandingkan ke puskesmas. Selain karena
faktor biaya dan lokasi puskesmas yang jauh dari desa, mereka juga masih
percaya ada penyakit-penyakit tertentu yang tidak bisa ditangani secara medis,
dan hanya manjur diobati oleh Ere. Dengan resep tradisional dan doa-doa sesuai
kepercayaan yang dianut Ere, maka penyakit nyang diderita anggota masyarakat
pun bisa disembuhkan. “Ada penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan saat
mereka ke dokter, tetapi justru sembuh di tangan Ere. Contohnya, saat ada warga
yang terserang muntah darah. Saat dibawa ke dokter, penyakit tersebut tidak bisa
ditangani. Tapi saat diberi ramuan tradisional dan dibacakan doa-doa oleh Ere,
penyakit itu dapat sembuh. Makanya, tidak sedikit warga yang lebih memilih
berobat ke Ere, jika dibandingkan ke puskesmas”, jelas Hikayat Manaö sebagai
kerabat dari salah seorang Ere di Desa Bawömataluo.
Selain gotong royong, di desa ini dikenal sangat menjunjung tinggi adat
kesopanan. Jangan pernah kita pamer kemesraan, apalagi dengan pacar, jika
datang ke desa ini. Apalagi sambil berpelukan atau menunjukkan perbuatan yang
menyimpang. Jika mendapati kondisi seperti ini, tak peduli turis asing maupun
wisatawan lokal, maka tetua adat atau tokoh masyarakat akan langsung menegur
secara halus. Hal ini dilakukan, agar desa tidak tercemar oleh perilaku tak terpuji.
Khususnya, menghindarkan kaum muda di desa dari pengaruh buruk. Larangan
40
ini menjadi kesepakatan para tetua adat, sehingga menjadi aturan yang berlaku
secara umum di desa Bawömataluo.
Begitulah Nias. Segala jelujur tradisinya masih sangat terjaga. Mereka
seolah tak pernah lupa bahwa hidup di zaman ini, merupakan perpanjangan tangan
dari kehidupan di zaman masa lalu. Dan, segala keelokan di masa lalu, bukan
berarti kuno di masa sekarang. Sebuah pemahaman yang patut ditiru oleh desa-
desa lain di penjuru negeri ini. Dalam artian, modernisasi bukanlah segala-
galanya, tapi melestarikan tradisi adalah keharusan. Dan, inilah titik balik bagi
Nias untuk maju dan tetap melestarikan aset leluhur.
1.6.3 Informan Kunci (Key Informan)
Sebelum melakukan kerja wawancara, tentunya penulis mencari
beberapa orang yang kompeten dalam memberikan informasi seputar kajian
penulis, sehingga akhirnya penulis dapat memilih dan menetapkan informan kunci
(key informan) disamping beberapa informan pendukung lainnya. Dalam
penelitian ini penulis menetapkan Hikayat Manaö (Ama Gibson) sebagai informan
kunci (key informan) penulis.
Sekilas Tentang Hikayat Manaö (Ama Gibson)
Hikayat Manaö (Ama Gibson) adalah salah seorang tokoh masyarakat
Bawömataluo yang juga pemimpin Sanggar Seni Budaya Baluseda di
41
Bawömataluo, salah seorang penutur hoho sekaligus sebagai ‘Panglima Perang
atau Panglima Tari Perang’ alias Kafalo Zaluaya.
Usia Hikayat Manaö menginjak 53 tahun, namun pria dengan sorot mata
tajam ini, tetap terlihat gagah. Sesekali ia tersenyum, apalagi saat bercerita tentang
masa mudanya. Di mana Hikayat Manaö pernah ditahbiskan sebagai pelompat
batu terbaik di era delapanpuluhan.
Seiring berjalannya waktu, si pelompat batu ini tetap berada di jalur
impiannya yakni melestarikan tradisi budaya Nias khususnya di Desa
Bawömataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan. Tepatnya sejak
beberapa tahun lalu, pria beranak empat yang akrab disapa Ama Gibson ini,
mengemban amanah penting yakni sebagai ‘Panglima Perang’ Desa
Bawömataluo. Tentunya tugas ini tidaklah mudah, sebab begitu banyak aturan dan
takaran sosial yang harus dipenuhi, sebelum akhirnya Hikayat dipercaya sebagai
pengemban tugas sebagai ‘Panglima Perang’. Namun jangan pernah
membayangkan, sang panglima menghunus pedang dan membunuh lawan yang
menyerang kampungnya, bukan demikian. Sekarang ini, tak ada lagi peperangan
di Nias, Hikayat adalah Panglima Tari Perang alias Kafalo Zaluaya. “Sekarang ini
memang bukan lagi zamannya perang antar kelompok seperti zaman dulu.
Kedudukan panglima perang yang saya sandang bukan lagi sebagai pemimpin
dalam peperangan sesungguhnya, tetapi sebagai pimpinan atau panglima perang
alias Kafalo Zaluaya dalam pertunjukan Tari Perang, ujar Hikayat Manaö.
Jika dirunut ke belakang, Hikayat memang berasal dari keluarga yang
juga memegang tampuk pimpinan Tari Faluaya. Beliau adalah generasi ketiga,
42
sebelumnya sang ayahanda tercinta serta pamannya pernah menduduki posisi ini.
Namun demikian alur ini tak membuat Hikayat dengan mudah menggantikan
posisi para pendahulunya tersebut. Berbagai proses pun ia lalui, termasuk
menunggu keputusan bersama para tetua adat dan kaum bangsawan di sana.
Tepat pada tahun 1992, Hikayat akhirnya dinobatkan sebagai ‘Kafalo
Zaluaya’. Pilihan para tetua adat dan kaum bangsawan ini, tidak mengacu pada
pola sejarah keluarga, melainkan pada aura dan karisma yang dimiliki Hikayat.
Artinya, tingkah laku dan tindak tanduk Hikayat dalam menggeluti hidup bersama
warga desa jadi poin penting. “Kalau dia tidak memiliki karisma itu, ya tidak
mungkin akan terpilih,” tegasnya.
Karisma menjadi syarat mutlak. Sebagai panglima Tari Faluaya, Hikayat
harus bertindak selaku ‘panglima’ dan menjadi sosok panutan masyarakat
khususnya di lingkungan Desa Bawömataluo. Selain itu, sang panglima harus bisa
menjadi mediator dan seorang eksekutor yang baik, terkait dengan permasalahan
yang ada dilingkungannya, di antaranya soal pengembangan seni budaya,
mempertahankan adat istiadat, juga mengatasi gesekan sosial antara warga.
Tanpa karisma, jangan harap apa yang dikatakan orang tersebut bakal
didengar atau dilaksanakan masyarakat. Dan, Hikayat telah membuktikan bahwa
dirinya mampu menjadi seorang panglima yang mumpuni, dalam artian sebagai
panglima Tari Faluaya juga panglima dalam kehidupan bermasyarakat.
Beruntunglah Hikayat, karena para tetua adat senantiasa mendukung apa
yang ia lakukan. Bayangkan saja, terdapat sekitar ± 245 tetua adat yang terdiri
43
dari Si’ulu (60 orang) dan Si’ila (185 orang)11 yang bisa saja tidak sejalan
dengannya, namun semua itu tidak terjadi. Apalagi segala langkah dan tindakan
Hikayat memang berdasarkan tugas sekaligus bermanfaat untuk masyarakat.
“Saya ini belum ada apa-apanya dalam pengalaman hidup dibandingkan para tetua
adat. Tapi, mereka menyokong sepenuhnya apa yang saya lakukan dalam banyak
hal. Ini jelas membuat tugas saya menjadi lebih ringan sebagai panglima,
khususnya sebagai panglima di tengah masyarakat,” ungkap Hikayat.
1.6.4 Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian keseluruhannya berupa data kualitatif.
Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data skunder. Data primer
adalah data yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara pada saat
berlangsung suatu upacara pengukuhan gelar bangsawan di lokasi penelitian.
Data skunder merupakan dokumentasi berupa buku, jurnal, artikel, majalah,
makalah penelitian dan rekaman musik yang masih relevan dengan topik
penelitian ini. Berdasarkan sifat data, ada dua sifat data dalam penelitian ini,
yaitu: data musikal (bunyi musik) dan data informasi (berupa kata-kata). Data
musikal akan direkam dengan kamera video pada saat berlangsung kegiatan musik
vokal dalam mengiringi satu upacara adat yakni pengukuhan gelar bangsawan.
11 Wawancara 5 Juli 2011 dengan Ariston Manaö (Kepala Desa Bawömataluo).
44
1.6.5 Instrumen Penelitian
Berdasarkan karakteristiknya, metode penelitian kualitatif memposisikan
peneliti sebagai instrumen utama (key instrument) dalam mengumpulkan data
karena sebagian besar data yang dikumpulkan adalah berbentuk uraian atau
deskripsi. Penggunaan alat-alat elektronis seperti: Handphone Sony Erickson
W910i untuk merekam wawancara, kamera photo Kodak Easy Share C330 China
MMC 1GB untuk pengambilan gambar, dan kamera video Sony Mini DV 25x
DCR-HC48E Japan + Memory 1 GB untuk dokumentasi audio dan visual adalah
sebagai alat bantu bagi peneliti dalam pengumpulan data lapangan. Penggunaan
alat-alat bantu tersebut sangat tergantung pada kecermatan dan kemampuan
peneliti guna mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian.
Selanjutnya, hasil rekaman-rekaman tersebut masih harus penulis olah untuk
disajikan sebagai bagian dari data penelitian. Oleh karena itu, dalam penelitian
Hoho Faluaya ini, penulis merupakan instrumen utama dalam pengumpulan data.
1.6.6 Tehnik Pengumpulan Data Penelitian
Menurut Nettl (1964:62-64) ada dua hal yang essensial untuk melakukan
aktivitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi yaitu kerja lapangan (field
work) dan kerja laboratorium. Kerja lapangan ini meliputi pemilihan informan,
pendekatan dan pengambilan data, pengumpulan dan perekaman data, latar
belakang perilaku sosial ataupun mempelajari seluruh perilaku penyaji Hoho
Faluaya, sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data yang di dapat
45
dari lapangan, menganalisa dan membuat kesimpulan dari keseluruhan data-data
yang diperoleh.
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
tiga teknik, yaitu observasi, wawancara, dan studi pustaka/dokumen.
1.6.6.1 Observasi
Observasi atau pengamatan yang penulis lakukan adalah secara
langsung, contoh seperti yang penulis lakukan yaitu melihat langsung pertunjukan
Hoho Faluaya lengkap dalam penyajiannya yang khas dalam penyampaian syair
(teks) dengan nyanyian (musik vokal), terekspresikan dalam gerak atau tarian
perang. Tujuan observasi ini adalah untuk memperoleh informasi tentang prilaku
masyarakat Nias seperti yang terjadi dalam kenyataannya. Dengan pengamatan
ini penulis memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang keterikatan masyarakat
Nias terhadap Hoho Faluaya. Sesuai dengan jenis kerja pengamatan di atas,
maka observasi yang selalu penulis gunakan dalam penelitian yang berkaitan
dengan pertunjukan seni tradisi ini adalah partisipasi pengamat sebagai partisipan
(insider) yaitu sebagai anggota masyarakat yang ditelitinya walau harus tetap
menjaga jarak. Menurut S. Nasution (1989:123) keuntungan cara ini adalah
penyelidik merupakan bagian yang menyatu dari keadaan yang dipelajarinya,
sehingga kehadirannya tidak mempengaruhi keadaan itu dalam kewajarannya.
Banyak tanggapan yang muncul di kalangan masyarakat Nias, masing-
masing dari sudut pandangan pribadi mereka. Keseluruhan pandangan dan asumsi
46
yang telah disebutkan di atas merupakan bagian dari pendekatan emik yang
merupakan salah satu unsur penting dalam penelitian yang bersifat kualitatif.
1.6.6.2 Wawancara
Kerja selanjutnya seperti yang dikemukanan Koentjaraningrat
(1991:162), beliau mengatakan bahwa wawancara dalam suatu penelitian
bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia serta
pendiriannya dalam suatu masyarakat, dan sekaligus merupakan bagian penting
ketika melakukan observasi. Wawancara merupakan proses tanya jawab antara
peneliti dengan informan tentang satu masalah yang diteliti. Selain itu, wawancara
juga sangat mendukung guna melengkapi data yang diperoleh dari pengamatan,
maupun dari data pustaka yang ada.
Wawancara juga berguna untuk memperoleh data-data yang tidak dapat
dilakukan melalui pengamatan tersebut (seperti konsep-konsep etnosainsnya
tentang estetika). Dalam kaitan ini yang dilakukan adalah wawancara yang
sifatnya terfokus yaitu terdiri dari pertanyaan yang tidak mempunyai struktur
tertentu, tetapi selalu terpusat kepada satu pokok yang tertentu (Koentjaraningrat
1980:139). S. Nasution membagi jenis wawancara sebagai berikut.
Berdasarkan fungsinya: (a) diagnostik, (b) terapeutik dan (c) penelitian.
Berdasarkan jumlah respondennya: (a) individual, dan (b) kelompok.
Berdasarkan lamanya wawancara: (a) singkat dan (b) panjang. Berdasarkan
47
penanya dan responden: (a) terbuka, tak berstruktur, bebas, non-direktif atau
client centered dan (b) tertutup, berstruktur (S. Nasution 1989:135).
Melalui wawancara yang dilakukan dengan Hikayat Manaö sebagai
informan kunci (key informan), maka dapat diperoleh tentang makna teks dan
struktur musik pada Hoho Faluaya. Selanjutnya wawancara dilakukan dengan
beberapa tokoh masyarakat dan seniman tradisional Nias lainnya guna
mendapatkan data yang menyeluruh, baik tentang makna teks dan struktur musik
pada Hoho Faluaya sebagai kesenian tradisional Nias, maupun kebudayaan musik
Nias pada umumnya.
1.6.6.3 Dokumen dan Studi Pustaka
Pertama akan ditelusuri data skunder yang terkait dengan masalah tradisi
musik lisan di Indonesia. Penelusuran tentang kondisi dan perkembangan
kesenian tradisional di Indonesia dilacak melalui buku, jurnal, surat kabar, dan
media elektronik seperti internet.
Data-data kependudukan didapatkan melalui sumber pemerintah,
khususnya daerah kabupaten Nias Selatan. Berikutnya, data-data tentang sosial
budaya masyarakat Nias dapat diperoleh melalui buku-buku, dokumentasi
seminar, jurnal yang terbit dalam lingkup kebudayaan daerah Nias. Seluruh data
tersebut merupakan data skunder yang diperoleh sebelum dan selama berada di
lapangan mengadakan penelitian.
48
1.6.7 Analisis Data
Penelusuran tentang kondisi dan perkembangan kesenian tradisional di
Indonesia dilacak melalui buku, jurnal, surat kabar, dan media elektronik seperti
internet. Data-data kependudukan didapatkan melalui sumber pemerintah,
khususnya daerah Nias Selatan. Berikutnya, data-data tentang sosial budaya
masyarakat Nias Selatan dapat diperoleh melalui buku-buku, dokumentasi
seminar, jurnal yang terbit dalam lingkup kebudayaan daerah Nias Selatan.
Seluruh data tersebut merupakan data skunder yang diperoleh sebelum dan selama
berada di lapangan mengadakan penelitian.
Data yang terkumpul seluruhnya merupakan data yang bersifat kualitatif
yakni data yang menunjukkan kualitas atau mutu dari suatu keadaan, proses, atau
peristiwa musik yang dinyatakan dalam bentuk perkataan maupun rekaman
musik. Setelah semua data dan informasi diperoleh dari lapangan, selanjutnya
dihimpun dan diolah di laboratorium (analisis data) untuk dijadikan bahan
penulisan. Sedangkan data musik yang telah direkam akan ditranskripsikan dalam
bentuk notasi, dan menganalisanya sesuai dengan kebutuhan tulisan ini. Berkaitan
dengan data yang bersifat kualitatif, Hadari Nawawi (1992:68) mengatakan
bahwa: “Dalam keadaan data kualitatif mengandalkan proses berpikir dalam
melakukan interpretasi dan mengambil keputusan yang dibatasi oleh kualitas
kemampuan berpikir secara perseorangan, jangkauan hasil penelitian akan sangat
bervariasi kedalaman dan kekuatannya. Data yang sama mungkin ditafsirkan
secara berbeda karena sudut pandang dalam proses berpikir berbeda. Dengan kata
lain hasil penelitian menjadi subjektif Atas dasar hal tersebut di atas maka untuk
49
memperoleh seluruh data informasi (observasi, wawancara dan dokumentasi)
senantiasa dilakukan berdasarkan konsep-konsep kerangka pikir dan teori yang
telah ditetapkan sebelumnya. Data-data yang telah diorganisasikan selanjutnya
dianalisis.
Menurut Muhadjir (2002: 142) analisis data merupakan upaya mencari
dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan data
dokumen lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang
diteliti dan menyajikannya bagi orang lain. Data yang berhasil dikumpulkan akan
dikategorikan berdasarkan pokok dan sub pokok masalahnya. Setiap sumber data
akan diseleksi dan dibandingkan antara satu dengan lainnya agar diperoleh data
yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena data
tersebutlah nantinya digunakan sebagai laporan akhir penelitian ini. Seluruh data
yang telah diseleksi dan dikategorisasi tersebut akhirnya dinterpretasikan secara
kronologis dan eksplanatif berdasarkan paradigma bentuk, fungsi dan makna
sesuai dengan teori-teori yang terkait.
1.6.8 Penyajian Hasil Analisis Data
Sebagaimana umumnya penelitian tentang sosial budaya maka
sebahagian besar data yang dikumpulkan adalah berbentuk kata-kata, narasi, teks
dan pola tingkah laku manusia yang diwujudkan dalam bentuk deskripsi tulisan.
Setiap data yang dikumpulkan harus dipilah-pilah berdasarkan tujuan penelitian
dan sekaligus tetap mengacu pada kerangka konsep dan teori yang digunakan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses analisis data sebenarnya telah
50
berlangsung secara bersamaan ketika melakukan pengumpulan data karena data
yang ada pada suatu hasil pengamatan maupun wawancara sangat beragam dan
banyak.
Setelah selesai pengumpulan data maka langkah selanjutnya adalah
kegiatan reduksi data, yaitu kegiatan memilih, mengkategorisasi dan menyortir
seluruh data yang terkumpul guna memfokuskan perhatian untuk penyajian hasil
analisis data.
1.7 Kerangka Penyajian
Untuk memudahkan organisasi penulisan, penulis menyajikan tulisan ini
dalam tujuh bab. Setiap bab merupakan satu kesatuan pokok pikiran yang utuh
dan berhubungan erat. Adapun pembahagian bab itu adalah seperti yang
diuraikan berikut ini.
(1) Bagian "Pengantar" mengawali dan menempati Bab I. Urutan
isinya: latar belakang, fokus masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, konsep dan teori, serta cara penelitian yang meliputi: metode penelitian,
rancangan penelitian, lokasi dan perjalanan penelitian, informan kunci, jenis dan
sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis
data; diakhiri dengan kerangka penyajian secara keseluruhan.
(2) Bab II "Gambaran Umum Budaya Masyarakat Nias " disajikan
identitas penduduk, mitologi, penelitian arkeologi, pola menetap, sistem mata
51
pencaharian hidup, sistem kekerabatan, sistem kemasyarakatan, agama dan religi,
serta bahasa dan kesenian Masyarakat Nias.
(3) Bab III "Tradisi Lisan Hoho Dalam Masyarakat Nias" Dalam bab
ini di jelaskan jenis-jenis hoho yang sudah mengambil bagian dalam kehidupan
budaya masyarakat Nias berikut contohnya dari wilayah Nias bagian utara,
tengah, barat dan selatan.
(4) Bab IV "Fungsi Penyajian Hoho Faluaya Sebagai Tradisi Musik
Lisan" menjelaskan fungsi musik dari Hoho Faluaya dengan pendekatan
gabungan beberapa teori fungsi.
(5) Bab V "Analisis teks Hoho Faluaya " mengartikan teks Hoho
Faluaya yang terbagi dalam analisis 2 bentuk seruan persetujuan (Hugö dan
Hivfagö) dan 3 jenis hoho yakni, Hoho Fu’alö, Hoho Fadöli Hia, dan Hoho
Siöligö dan menginterpretasi hasil abduksi dan deduksi dalam menemukan makna
konotatif penyajian hoho tersebut.
(6) Bab VI "Analisis Struktur Musik Hoho Faluaya " dikemukakan
bentuk proses trasnkripsi dan notasi, analisis melodi yang terdiri dari tangga nada
dan wilayah nada yang digunakan, interval, bentuk, kantur, makna frase melodi
serta garapan nada awal dan akhir dari Hoho Faluaya yang disajikan oleh
kelompok yang dipimpin Hikayat Manaö (Ama Gibson).
(7) Bab VII "Kesimpulan" sebagai bab penutup, dikemukakan
kesimpulan hasil penelitian dan saran.
52
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT NIAS
2.1 Identifikasi Penduduk
Nias adalah salah satu nama suku bangsa yang mendiami Kepulauan
Nias di wilayah Provinsi Sumatra Utara. Dalam buku Sumatra, It’s History and
People (1935), nama asli dari kepulauan ini adalah Tanö Niha (tanah manusia)
dan penduduknya disebut Ono Niha (anak manusia). Semenjak Belanda
memasuki wilayah Kepulauan Nias pada tahun 1825, perkataan niha dikonversi
menjadi Nias. Sejak saat itu, nama Tanö Niha disebut Pulau Nias dan Ono Niha
diganti menjadi orang Nias.
Walupun demikian, hingga kini kata Tanö Niha dan Ono Niha masih
tetap digunakan oleh orang Nias. Kata Nias hanya dipergunakan untuk situasi
formal, seperti, administrasi pemerintahan dan ketika mereka memperkenalkan
diri kepada etnis lain baik Nias maupun di luar Pulau Nias. Dalam keseharian,
mereka tetap mempergunakan kata niha (Tanö Niha atau Ono Niha). Dalam
penulisan tulisan ini, penulis mempergunakan nama resmi dalam tata
pemerintahan Indonesia yaitu Nias.
Penduduk dari pulau Nias, yang merupakan pulau terbesar dari seluruh
deret, kurang sekali terpengaruh oleh kebudayaan Hindu maupun Islam.
Berlandaskan kepada suatu kebudayaan Megalithik, yang rupa-rupa-nya telah
mereka bawa dari benua Asia pada jaman perunggu, mereka telah
mengembangkan suatu kebudayaan sendiri, ialah kebudayaan megalithic yang
53
bukan berdasarkan alat pengurbanan kerbau melainkan babi. Lama sebelum
kedatangan orang Belanda pada tahun 1669, orang Nias sudah banyak
berhubungan dengan orang-orang Aceh, Cina, Melayu dan Bugis, yang datang ke
sana untuk berdagang, tetapi berbeda dengan penduduk pulau Simalur, mereka
kurang terpengarunh oleh agama Islam. Agama yang paling banyak
mempengaruhi mereka adalah Kristen Protestan yang masuk disana sejak tahun
1865 mulai dari Gunung Sitoli, sedangkan agama Kristen Katolik datang
kemudian dari bagian Selatan.
Sebelum terjadi pemekaran wilayah, Kepulauan Nias hanya ada satu
Kabupaten bagian dari Propinsi Sumatera Utara. Namun, setelah terjadi
pemekaran wilayah mulai tahun 2003 dan dilanjutkan pada tahun 2008, kini
Kabupaten Nias sudah menjadi empat wilayah Kabupaten dan satu Kota, yakni
wilayah Kabupaten Nias Selatan (dimekarkan 25 Pebruari 2003) dan dilanjutkan
pada 29 Oktober 2008 pemekaran serempak kepada Kabupaten Nias Barat,
Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli.
Jumlah penduduk yang mendiami keempat kabupaten ini kira-kira 700
ribu jiwa. Dari 700 ribu jiwa ini. Etnis Nias sekitar 96%, selebihnya etnis Batak,
Aceh, Minangkabau, Jawa, Sunda, Cina, dan lain-lain (periksa BPS Nias empat
Kabupaten dan satu Kota, 2010).
Di Nias, selama bertahun-tahun misi agama Protestan (yang memulai
kegiatannya di Nias pada tahun 1865) secara umum telah menentang diadakannya
musik dan tarian tradisional, tetapi akhirnya menyempitkan larangannya agar
berlaku hanya dalam konteks-konteks tertentu saja. Di Nias Tengah, dan terutama
54
di Nias Selatan kebijaksanaan tersebut telah memungkinkan kelangsungan hidup
(dengan repertoar yang sudah dibersihkan) pada jenis musik koor yang begitu
menarik, yaitu hoho.
Pembicaraan mengenai “kelangsungan hidup” bukanlah dalam
pengertian bahwa musik yang dipertunjukkan sekarang di Nias Selatan atau di
dataran tinggi Toba dan Karo persis sama dengan sebelum terjadinya kontak
dengan Eropa. Sebab kecenderungan dalam hal stilistik mungkin saja sudah
berubah.
Selama berabad-abad lamanya pulau tersebut dikenal dengan citra
buruknya, berkenaan dengan adanya kebiasaan perang antar desa dan budak
rampasan, yang baru dapat dihilangkan secara efektif oleh Belanda pada tahun
1914. Nias juga terkenal karena masih tetap mempertahankan unsur-unsur
kebudayaan megalitik hingga abad keduapuluh ini. Tangga batu, jalan-jalan batu,
dan benteng pertahanan batu yang mengagumkan, masih dapat dilihat di desa-
desa tua. Demikian juga dengan bangku-bangku dari batu dan patung batu
lainnya. Yang didirikan sebagai bagian dari “upacara-upacara kebesaran”, demi
menambah kewibawaan bagi tokoh-tokoh masyarakat atau bagi leluhur mereka.
Masyarakat Nias secara umum memiliki sistem kebudayaan yang sama di
seluruh Kepulauan Nias. Meskipun demikian, terdapat varian yang setidaknya
dapat dibedakan menjadi dua wilayah budaya. Wilayah budaya bagian utara
meliputi Lahewa, Tuhemberua, Afulu, Alasa, Lotu, Namohalu, Gunungsitoli,
Hiliduho, Gido, Idanogawo, Bawolato, Lolofitu Moi, Mandrehe, Sirombu,
Lolowau, Lolomatua. Kemudian wilayah bagian selatan yang meliputi Lahusa,
55
Gomo, Amandraya, Teluk Dalam dan Kepulauan Batu. Wilayah bagian selatan ini
masih dapat dibagi lagi menjadi dua wilayah yaitu wilayah budaya Teluk Dalam
dan Kepulauan Batu serta wilayah budaya Amandraya, Gomo dan Lahusa.
Wilayah yang terakhir disebut ini sebenarnya lebih dekat dengan wilayah bagian
utara. Konon, sistem budaya yang saat ini dikenal di bagian utara bersumber dari
wilayah ini, terutama dari Kecamatan Gomo.
Secara umum masyarakat Nias dianggap berasal dari sekelompok
keturunan suku birma dan assam, tapi berbeda dengan asal usul orang batak. Ada
banyak teori tentang asal usul suku nias dan belum ada yang dapat memastikan
karna mereka aslinya berasal dari lebih dari satu grup etnik.
Perpaduan itu akan menjadi sangat bagus karena gabungan dari beberapa
grup etnik. Ferrad (keturunan perancis) melaporkan bahwa seorang pelancong dari
Arab yang bernama sulaiman menyebutkan banyak perbedaan suku-suku di tahun
851 SM.
Penggalian di gua Togi Ndrawa (menurut penelitian yang baru dilakukan
di Heilberg, Jerman), atau gua Pelita menunjukkan bahwa masyarakat sudah
tinggal disana sejak 7000 tahun yang lalu. Banyak tulisan yang juga mendukung
teori tersebut. Contohnya: banyak masyarakat tinggal di pohon-pohon yang
dipanggil Bela dan masyarakat tinggal ditebing yang dipanggil Nadaoya, menurut
kepercayaan masyarakat Nias, dua suku diatas tersebut adalah sejenis roh-roh,
roh terakhir yang jahat.
56
Di daerah Hinako dan di pulau-pulau Wesi Selatan telah ada selama 17 -
18 generasi yang lalu. Mereka disebut suku Maru yaitu suku asli orang bugis di
Nias. Para missionaris menyatakan bahwa bahasa mereka telah hilang kira-kira
100 tahun yang lalu. Orang Aceh datang ke Nias kira-kira 13-14 generasi yang
lalu.
Mereka selalu berhubungan satu sama lain sebagai polem di Nias. Ketika
orang Aceh pertama kali masuk ke desa Foa dengan menyeberangi sungai,
masyarakat Nias memotong pohon besar dan menutup jalan keluar. Salah satu
tujuan masyarakat Nias adalah untuk mempelajari tenaga-tenaga gaib dan cara
berperang dari orang Aceh. Orang Aceh menguasai daerah itu. Ada 3 bentuk
cara berperang di Nias, yaitu: Simataha dari Aceh, Starla dari sumbar, dan
Trapedo yang merupakan gabungan dari keduanya.
Bangsa Belanda melakukan ekspedisi pertama kalinya di Nias tahun
1855, kemudian pada tahun 1863. Nias telah dikuasai Belanda tahun 1914.
Pulau paling terkenal rentang sebelah barat Sumatera mungkin Nias. Itu
setidaknya yang terbesar dan paling padat penduduknya. Pada masa VOC,
pulau ini dikenal sebagai pengekspor budak ke Aceh, Padang dan Benkoelen.
Dengan cara ini bangsawan dari Nias hirarkis meraih emas dibutuhkan untuk
mahar dan pesta-pesta ritual. Nias adalah masyarakat pejuang yang tidak hanya
diperbudak orang, mereka juga pergi berburu kepala, misalnya untuk upacara
pemakaman seorang bangsawan. Pemerintah kolonial berusaha untuk mengakhiri
ini (P. Boomgaard, 2001). Sekelompok pemburu kepala tenang, Nias "kelompok
pemburu datang untuk menyerahkan diri mereka sendiri".
57
Nias menjadi sumber penjualan budak-budak, sehingga masyarakat Nias
disebut “Laku Niha” yang artinya manusia yang diminta. Banyak para pedagang
ke Gunungsitoli yang terdiri dari 3 suku asli yang berasal dari masyarakat
menengah. Orang Aceh, Sumbar, China dan Eropa membawa budak-budak dari
Nias. Didaerah lain banyak budak-budak yang diambil dari suatu daerah,
khususnya dibagian utara. Desa-desa di selatan lebih melindungi masyarakatnya
dan lebih susah untuk dijangkau. Pemerintah kolonial Belanda mendukung
perdagangan budak itu.
Pemerintah Belanda menuliskan disebuah buku bahwa penduduk Nias
Utara telah menjadi sedikit akibat dari perdagangan budak. Budak-budak dari
Nias dikirim ke banyak tempat, contohnya mereka dijual ke Padang (Sumbar)
karena untuk melunasi hutang-hutang. Mereka harus bekerja keras untuk beberapa
tahun, yang biasanya sebagai pelayan sekarang, ada dibeberapa desa yang
masyarakatnya berasal dari Nias di Sumbar. Budak-budak Nias juga dikirim ke
Penang, Malaysia. Para Missionaris Khatolik yang tiba di Nias melaporkan
bahwa orang-orang China membawa budak-budak Nias dengan kapal pada tahun
1820. Budak-budak ini menjadi Kristen karena diberi kebebasan di Penang.
Lyman, seorang missionaris dari Amerika menyatakan bahwa sebuah kapal
Perancis membawa sebanyak 500 orang budak-budak di tahun 1832.
58
2.2 Mitologi
Menurut masyarakat Nias, dalam sebuah mitos, orang Nias berasal dari
sebuah pohon kehidupan yang disebut Sigaru Tora’a yang terletak disebuah
tempat yang bernama Tetehöli Ana’a. Mitologi Nias ini terdapat dalam hoho12.
Dalam hoho diceritakan bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan
Lowalangi13 (pencipta) dari beberapa warna udara yang ia aduk dengan tongkat
yang bernama sihai14. Dewa pencipta terlebih dahulu menciptakan pohon
kehidupan yang disebut Sigaru Tora’a. Pohon ini berbuah dua butir buah yang
segera dierami oleh seekor laba-laba emas. Kemudian lahirlah sepasang dewa
pertama, yang dinamakan Tuhamora’aangi Tuhamoraana’a berjenis kelamin laki-
laki dan Burutiroangi Burutiraoana’a berjenis kelamin perempuan. Keturunan
mereka inilah yang kemudia dikenal sebagai dewa Sirao Uwu Zihönö sebagai
rajanya.
Mitos asal usul masyarakat Nias pun, dimulai sejak zaman raja Sirao.
Dewa ini memiliki tiga istri yang masing-masing beranak tiga putra. Di antara
kesembilan putranya ini timbul pertengkaran yang sengit, yaitu mereka
memperebutkan tahta Raja Sirao ayah mereka. Melihat situasi ini, Sirao
mengadakan sayembara di antara putra-putranya. Intinya, siapapun yang mampu
mencabut tombak (toho) yang telah dipancangkan di lapangan depan istana itulah
yang berhak menggantikan-nya. Satu persatu putranya mulai dari yang tertua
12 Hoho adalah syair yang ditembangkan. Syair ini masih dinyanyikan dalam pesta-
pesta adat, juga oleh mereka yang sudah beragama Nasrai, bdk: Prof. Dr. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 51.
13 Lowalangi adalah nama yang terlanjur dipopulerkan sebagai dewa pencipta/Allah oleh misionaris Kristen Denniger padahal dewa tertinggi dalam mitologi Nias adalah Sihai.
14 Sumber ini masih bisa diragukan karena Sihai adalah nama dewa maha pencipta mana mungkin dijadikan tongkat lowalangi.
59
datang mencoba mencabut tombak tersebut. Tapi tak satupun berhasil. Kemudian
anak yang paling bungsu yang bernama Luo Mĕwöna15 (Lowalangi) datang
mencabutnya dan akhirnya berhasil.
Kakak-kakaknya yang kalah dalam sayembara tersebut diasingkan dari
Tetehöli ana’a, dan dibuang ke bumi, tepatnya di pulau Nias. Dari kedelapan
putra Sirao yang dibuang ke dunia (Pulau Nias) hanya empat orang yang dapat
sampai di empat tempat di pulau Nias dengan selamat dan akhirnya menjadi
leluhur orang Nias. Ke-empat orang lainnya mengalami kecelakaan. Baewadanö
Hia karena terlalu berat, jatuh menembus bumi dan menjelma menjadi ular besar
yang bernama Da’ö Zanaya Tanö Sisagörö16 (dialah yang menjadi alas/fondasi
seluruh bumi). Jika dia bergerak sedikit saja, maka bumi akan bergoncang dan
terjadilah gempa bumi. Agar dapat hidup, naga ini diberi makan oleh burung
setiap hari. Yang lain jatuh ke dalam air dan menjadi hantu sungai, pujaan para
nelayan. Dia sering disebut Hadroli17. Ada yang terbawa angin, dan akhirnya
tersangkut di pohon dan menjelma menjadi hantu hutan, pujaan para pemburu.
Makluk ini sering disebut ”Bela”18. Ada juga yang jatuh di daerah Laraga yang
kondisi tanahnya penuh batu-batu (12 Km dari Gunung Sitoli) menjadi leluhur
orang-orang berilmu kebal.
15 Lowalangi ini sebenarnya anak dari raja Sirao yang bungsu, dialah yang berhasil
memenangi sayembara perebutan tahta ayah mereka. 16 Nama lainnya adalah Latura danõ 17 Makluk yang menghuni air, khususnya yang dalam dan angker, bisa membunuh
orang. 18 Bela ini, seperti manusia, hanya saja seluruh tubuhnya putih seperti kapas, baik itu
rambut dan sebagainya. Bela ini sebagai penguasa hutan dan pemilik seluruh binatang di hutan. Bila berburu harus berdoa dan minta kepada Bela yang empunya.
60
2.3 Penelitian Arkeologi
Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan
hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di
Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada
manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia
ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun
lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional
dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama
dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias
berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut
Vietnam.
2.4 Pola Menetap
Orang Nias mendiami kabupaten Nias yang terdiri dari satu pulau besar
utama dan beberapa pulau-pulau kecil yang berada di sekitarnya seperti pulau
Hinako di Barat, pulau-pulau Senau dan Lafau di Utara, Pulau Batu di Selatan dan
lain-lain. Pulau Utama tersebut dikelilingi oleh lautan yang besar gelombangnya,
terutama di sebelah baratnya. Pedalaman pulau tersebut adalah penuh dengan
bukit yang tertutup hutan sekunder. Di bagian Tengah agak ke Selatan ada juga
gunung-gunung dengan Hili Lomatua sebagai yang tertinggi (886 m). Sungai-
sungai yang pada umumnya dalam keadaan dangkal, tidak penting bagi
perhubungan lalu lintas. Satu-satunya perhubungan di sebagian besar pulau Nias
pada masa ini, adalah jalan setapak yang sempit berlumpur dan sangat licin pada
61
musim hujan. Jalan - jalan serta jembatan-jembatan yang pernah ada pada zaman
Belanda, baru sebagian kecil yang sudah diperbaiki.
Banua-banua (desa-desa) Nias di pedalaman sukar dihampiri karena
desa-desa tersebut, untuk pertahanan dalam masa lampau, selalu didirikan di
puncak-puncak bukit-bukit atau gunung-gunung. Satu banua terrdiri dari beberapa
kampung dan dari dua puluh sampai dua ratus rumah-rumah yang masing-masing
biasanya didiami oleh suatu keluarga-luas virilokal, terdiri dari suatu keluarga
batin senior ditambah dengan keluarga-keluarga batih dari putra-putranya.
Bentuk denah desa di Nias, terutama di bagian Tengah dan Selatan
berbentuk seperti huruf U, dengan rumah Tuhenöri (Kepala Negeri) atau Salawa
(Kepala Desa) sebagai pusat di ujung, menghadapi suatu lapangan yang dilandasi
dengan batu-batu pipih. Di kedua sisi dari lapangan ada dua deret rumah-rumah
penduduk. Di Nias bagian Utara, Timur dan Barat bentuk denah desa tidak
menunjukkan huruf U, tetapi dua garis parallel.
Bentuk rumah (omo) di Nias ada dua macam, yaitu rumah adat (omo
hada) dan rumah biasa (omo pasisir). Bentuk yang pertama adalah bentuk asli
Nias, sedangkan yang kedua berasal dari luar. Bentuk yang pertama pada masa ini
adalah tempat kediaman Tuhenöri, Salawa dan para bangsawan, sedangkan
bentuk kedua adalah tempat kediaman rakyat jelata. Rumah-rumah tersebut
banyak terbuat dari kayu, nibung dengan alas dari daun rumbia. Bentuk rumah
tradisional lebih megah dari rumah biasa yang hamper menyerupai rumah warung
di Jawa. Rumah adat Nias mempunyai dua macam bentuk, satu yang berdenah
bulat telur dan yang lain berdenah segi empat panjang. Bentuk pertama terdapat di
62
Nias bagian Utara, Timur dan Barat, sedangkan bentuk kedua di Nias bagian
Tengah dan Selatan. Seperti halnya dengan rumah biasa, rumah adat adalah juga
rumah panggung di atas tiang tetapi lebih besar dan lebih tinggi. Tiap ruang dalam
rumah adat dibagi ke dalam dua bagian, yang depan dipergunakan untuk
menerima tamu menginap dan yang belakang untuk keluarga yang empunya
rumah. (Schroder, 1917:104-129). Di depan rumah tradisionil pada umumnya
terdapat bagunan-bangunan megalithic seperti tugu batu (menhir) yang disebut
saita gari (Nias Selatan), atau behu (Nias Tenggara) dan gowe zalava (Nias Utara,
Timur dan Barat). Tugu batu tersebut berbentuk seorang laki-laki dengan alat
kelamin yang sangat besar. Selain itu ada juga di depan rumah tempat duduk dari
batu yang disebut daro-daro atau harefa. Bangunan-bangunan tersebut pada
jaman dahulu didirikan untuk membuktikan bahwa yang empunya rumah pernah
mengadakan pesta adat mewah untuk menaiki tangga pelapisan masyarakat. Di
lapangan beberapa desa di Nias Selatan, pada masa ini masih dapat dilihat batu-
batu untuk latihan lompat tinggi (hombo batu). Pada masa dahulu ilmu lompat
tinggi penting untuk melompati pagar pertahanan musuh, sekarang hombo batu
sudah tidak ada bekasnya lagi di Nias bagian lainnya. Rumah adat dan benda-
benda Megalithik megah yang terawat baik sekarang masih ada di desa-desa
Bawömataluo dan Hilisimaetanö.
63
2.5 Sistem Mata Pencaharian Hidup
Koentjaraningrat, (1995: 44) menjelaskan, mata pencaharian hidup orang
Nias, kecuali yang tinggal di daerah pantai adalah pada umumnya bercocok
tanam, sedangkan di daerah pantai mereka umumnya berkebun kelapa. Ada
bercocok tanam di ladang (sabé’é) tetapi ada pula yang bercocok tanam di sawah
(laza). Alat yang dipergunakan dalam kedua sistem masih sangat sederhana. Pada
peladangan hanya dipergunakan fato (kapak besi) serta béléwa (parang besi)
untuk membuka hutan dan membabat semak-semak dan taru (tongkat tuggal)
untuk menanam benih padi. Pada bercocok tanam di sawah hanya dipergunakan
béléwa dan kadang-kadang juga foku (cangkul) untuk menggemburkan tanah.
Bajak tidak pernah dipakai. Alat yang dipergunakan untuk menuai padi adalah
balatu wamasi, sebuah pisau kecil yang bergagang seperti cincin untuk diselipkan
pada jari si pemakainya, dan guti yaitu ani-ani. Namun alat-alat tadi tidak umum
dipakai, karena orang Nias lebih senang memetik jurai padi dengan tangan saja
tanpa alat. Saat mulai mengerjakan ladang dan sawah tidak sama, karena untuk
yang pertama harus dibuka hutan dahulu. Demikian pekerjaan di ladang dimulai
lebih dahulu pada bulan April, Mei atau Juni, pada akhir musim kemarau,
sedangkan pekerjaan di sawah baru dimulai pada bulan Agustus dan September.
Tanaman yang ditanam di ladang adalah padi digilir dengan palawija, seperti ubi
kayu, ubi jalar, terong, kacang-kacangan, cabe, jagung, pisang dan lain-lain.
Ladang yang sudah beberapa kali dipakai, maka sebelum tanahnya menjadi tandus
sama sekali, ditanami dengan karet, kopi, durian, atau lain-lain pohon buah-
buahan yang berjangka panjang. Karet sekarang malah menjadi bahan ekspor bagi
64
Nias. Ladang yang sudah mulai menjadi tandus juga dipakai untuk memelihara
babi, setelah ditanami dengan ubi jalar untuk makanan babi. Adapun sawah yang
ditanami padi, pematang-pematangnya juga dipergunakan untuk keladi.
Mata pencaharian tambahan orang Nias adalah berburu, menangkap ikan
di sungai, beternak dan pertukangan. Berburu terutama dilakukan setelah benih
padi di ladangnya mulai bersemi dengan maksud melenyapkan binatang-binatang
perusak ladangnnya dan sekaligus memperoleh sumber protein. Binatang yang
diburu adalah sökha (babi hutan), laosi (kancil), boho (rusa), nago atau laoyo
(kijang), sigolu (tenggiling), bogi (kalong), dan lain-lain. Cara memburu adalah
dengan cara menggiring binatang-binatang tersebut dengan bantuan asu (anjing)
ke u’ö (jala) yang dibentangkan di suatu sudut tertutup daun-daun, kemudian
dibunuh dengan toho (tombak) atau béléwa. Alat-alat berburu lainnya adalah
sukha (ranjau) dan bölödi (pelanting). Karena caranya berburu adalah beramai-
ramai maka hasilnyapun harus dibagi-bagi. Di Nias bagian Barat di desa
Sitölubanua misalnya, orang yang mendapat bagian terbesar ialah pemilik u’ö,
yang disebut sahulu; kemudian selebihnya berturut-turut diberikan kepada orang
yang menikam pertama kali, yang disebut siföföna, yang paling dahulu
mengetahui bahwa ada binatang masuk perangkap, dan akhirnya semua orang
yang turut dalam perburuan dan yang membantu menggotong hasil perburuan
tersebut. Di desa sebagian dari daging buruan juga diberikan kepada Tuhenöri,
Salawa, dan Sinenge (guru Injil desa) sebagai tanda hormat. Adapun ikan yang
ditangkap adalah antara lain ikan mugu, semacam teri air tawar yang mempunyai
kebiasaan berenang dalam kawanan secara beriring-iring beberapa meter
65
panjangnya, sehingga mudah ditangkap dengan buwu (tangguk) yang dipasang di
bagian sungai yang menurun. Alat-alat penangkap ikan lainnya adalah fauru
(pukat), gai (kail), dan diala (jala).
Mengenai beternak: binatang peternakan yang terpenting adalah babi,
yang seperti tersebut di atas dipiara di bagian-bagian dari ladang yang sudah
mulai tandus, sesudah bagian ladang tadi ditutup dengan pagar dan ditanami
dengan ubi jalar. Babi memang pernah untuk ekspor, walaupun ekspor babi Nias
itu sekarang sudah amat mundur. Selain babi juga kambing dan sapi dipiara oleh
orang Nias, sedangkan kerbau hanya ada di tempat dengan banyak penduduk
orang beragama Islam.
Hasil pertukangan orang Nias, mulai dahulukala sudah mencapai taraf
yang tinggi. Orang Nias sudah mengenal kepandaian membuat benda-benda
logam sejak zaman prehistori. Mereka pandai membuat, umpamanya séno, gari,
dan télögu, yaitu berbagai jenis pedang dan pisau perang, yang ketajaman serta
keindahan bentuknya tak kalah dengan Mandau orang Dayak. Adapun
pengetahuan mengenai pengecoran perunggu pandai emas, seni pahat batu dan
ukir kayu kini sudah hampir dilupakan oleh orang-orang Nias yang muda-muda.
2.6 Sistem Kekerabatan
Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal).
Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.
Marga Suku Nias: Suku Nias terdiri dari beberapa marga diantaranya:
Amazihönö, Beha, Baene, Bate’e, Bawamenewi, Bawaniwao, Bawo, dan masih
66
banyak lagi. Fungsi marga adalah menunjukkan garis keturunan dan asal
seseorang. Termasuk mengenal famili, sejauh mana garis keturunan dan tahu bisa
atau tidak mereka menikah.
Daftar marga Nias (menurut abjad)
A: Amazihönö
B: Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwao, Bawo, Bali, Bohalima,
Bu'ulölö, Buaya, Bunawolo, Bulu'aro, Bago
D: Dachi, Dachi Halawa, Daeli, Dawolo, Dohare, Dohona, Duha
F: Fau, Farasi,
G: Gaho, Garamba, Gea, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae
H: Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondro, Hulu, Humendru, Hura
L: Lafau, Lahagu, Lahomi, La'ia, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawolo, Lo'i,
Lombu
M: Maduwu, Manaö, Mandrehe, Maruao, Maruhawa, Marulafau, Marundruri,
Mendröfa, Mangaraja,Maruabaya
N: Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe
S: Saoiagö, Sarumaha, Sihura,
T: Tafonaö, Telaumbanua, Talunohi
W: Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalo, Warasi
Z: Zagoto, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamili, Zendroto, Zebua, Zega, Zendratö,
Ziliwu, Zoromi
67
2.7 Sistem Kemasyarakatan
Dalam strata sosial atau pelapisan masyarakat di Nias khususnya wilayah
bagian utara, tengah, dan barat mereka tidak mengenal strata sosial yang begitu
ketat. Di wilayah ini setiap masyarakat memiliki kesempatan menjadi balugu
(kelompok bangsawan) asalkan mampu mendirikan rumah adat, menjamu seluruh
penduduk desa, dan membayar sejumlah uang adat. Masyarakat di wilayah ini
lebih “demokratis”. (Sadieli, 2006). Suku Nias mengenal sistem kasta(12
tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk
mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan
mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama
berhari-hari.
Berbeda dengan di Nias Selatan, konsep kenaikkan strata sosial ditata
secara ketat. Di wilayah ini dikenal tiga strata masyarakat. Pertama, kelompok
bangsawan yang dikenal dengan si’ulu atau balö ziu’lu. Status ini ditentukan oleh
kekayaan dan bersifat turun temurun. Kedua, rakyat kebanyakan yang di sebut
si’ila atau sato. Kelompok ini tidak memungkinkan menaikkan statusnya ke
jenjang si’ulu. Ketiga, kelompok budak yang dikenal dengan sawuyu atau
sondraha hare. Kelompok ini tidak memiliki hak dalam struktur adat istiadat.
Pada umumnya kelompok ini menjadi pekerja di rumah atau di kebun para si’ulu
atau balö zi’ulu. Ada satu lagi kelompok yang terkait dengan religius yang dikenal
dengan ere. Kelompok ini bertugas memimpin upacara penyembahan sesuai
dengan keahlian mereka.
68
Pada zaman dahulu masyarakat di Nias Selatan mengenal empat lapisan
masyarakat, yakni: (1) si’ulu (bangsawan); (2) éré (pemuka agama pelebegu); (3)
ono mbanua (rakyat biasa/jelata); (4) sawuyu (budak). Selanjutnya lapisan si’ulu
dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu balö ziulu (yang memerintah) dan si’ulu
(bangsawan kebanyakan). Ono mbanua dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu
si’ila (cerdik pandai dan pemuka rakyat) dan sato (rakyat kebanyakan). Akhirnya
sawuyu dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu binu (orang yang menjadi budak
karena kalah perang atau diculik), sondrara hare (orang yang menjadi budak
karena tak dapat membayar hutang), dan halite (orang yang menjadi budak
karena ditebus orang setelah dijatuhi hukuman mati). Dari semua golongan budak
nasib binu adalah yang paling buruk, karena dari kalangannyalah yang dapat
dipilih untuk dikurbankan pada upacara-upacara yang memerlukan kurban
manusia. (Koentjaraningrat, 1995: 49).
Lapisan-lapisan masyarakat bersifat exklusif, mobilitas hanya terjadi
dalam lapisan yaitu antar golongansaja. Misalnya anggota dari golongan sato
dapat menjadi anggota dari golongan si’ila, tetapi tidak dapat memasuki golongan
si’ulu. Untuk menjadi anggota balö ziulu, dahulu seorang anggota si’ulu harus
mengadakan upacara owasa yang terdiri dari beberapa tingkat, yang satu lebih
mahal biaya pelaksanaannya daripada yang lain. Hal itu semuanya diakhiri dengan
suatu expedisi pengayauan. Pada zaman dahulu yang dapat menjadi Tuhenöri atau
salawa adalah orang-orang dari lapisan si’ulu, golongan balö ziulu. Pada masa
sekarang masih demikian, karena merekalah yang umumnya sudah berpendidikan
modern.
69
2.8 Agama dan Religi
2.8.1 Lani, Langi
Tradisi lisan Nias sering berbicara tentang langit (lani, langi), tentang
lapisan langit yang satu (lani si sara wenaita), ada juga langit yang berlapis
sembilan (lani si siwa wenaita) dan tentang seorang leluhur yang bernama satu
langit (lani sagörö) atau langit yang satu itu (lani sisagörö). Nama ini dulu
sebenarnya bukan Lowalani melainkan Lawalani artinya yang ada di atas langit.
Bahasa sehari-hari di Nias Selatan sampai sekarang tetap mempertahankan
kebiasaan lama dan mengatakan lawa (atas) dan bukan seperti Nias Utara yang
menyebutnya yawa (atas). Pemakaian istilah Lowalangi sebenarnya dipopulerkan
oleh seorang misionaris Denniger pada tahun 1865. Ia memilih kata Lowalangi
sebagai nama Allah bagi pengikut ajaran Kristen di Nias. Ada kemungkinan saat
itu ia belum mengetahui sebutan tradisi Lawalani di Nias Selatan. Walaupun
demikian istilah ini diterima juga oleh orang Nias Selatan yaitu yang berada di
atas langit.
Menurut versi Pastor Johannes M. Hammerle, orang Nias tidak
mengharapkan firdaus dalam hidup yang akan datang, tidak pula suatu neraka.
Baik hukuman maupun imbalan tidak mereka harapkan. Karena orang Nias
percaya, bahwa semuanya akan berakhir. Maka orang Nias tidak takut akan
sesuatu dan mengharapkan sesuatu. Hanya inilah yang merupakan imbalan atau
hukuman bagi orang Nias. Mereka yang sudah meninggal dipandang terhormat
dan terburuk. Selain itu mereka pasrah saja pada nasib mereka dengan hati
70
tenang19. Akan tetapi, versi ini diragukan kebenarannya karena pada kenyataanya
orang Nias masih percaya pada arwah leluhur dan peranannya bagi kehidupan.
Bisa dilihat dari patung-patung (Nadu) yang dianggap sebagai tempat roh leluhur
bisa hadir. Selain itu, konsep tentang adanya dunia orang mati juga dipercaya
yaitu Tetehõli ana’a.
Bagi orang Nias, setelah meninggal semuanya akan punah. Manusia yang
meninggal akan menjadi makanan cacing dan lalat yang besar (ö gulö-kulö, ö
deteho) seperti dinyanyikan dalam Hoho yang tertinggal hanyalah ”Nama
kebesaran” (töi sebua) dan ”kemuliaan” (lakhömi). Sasaran dari pesta-pesta besar
(owasa fatome) yang dirayakan di Nias pada zaman dulu adalah untuk mendapat
nama yang mulai (töi so-lakhömi).
2.8.2 Agama Asli Orang Nias
“Pelebegu adalah nama agama asli diberikan oleh pendatang yang berarti
”penyembah ruh”. Nama yang dipergunakan oleh penganutnya sendiri adalah
molohĕ adu (penyembah adu). Sifat agama ini adalah berkisar pada penyembahan
ruh leluhur20.” Meskipun tidak ada konsep kehidupan setelah kematian menurut
versi Pastor Johannes M. Hammerle, tapi dalam kepercayaan ini terdapat praktik
penyembahan roh-roh para leluhur (animisme). Para leluhur itu perlu dikenang,
terutama atas jasa-jasa mereka (Nama Besar dan Kemuliaan). Kepercayaan ini
termanisfestasi dalam bentuk adu. Orang Nias percaya bahwa patung-patung
19 Bandingkan: Pastor Johannes Maria Harmmerte, OFMCap, Asal Usul Masyarakat Nias, Suatu
Intepretasi, (Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias, 1999), hlm. 201. 20 Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm. 50
71
(adu) itu akan ditempati oleh roh-roh leluhur mereka, karena itu harus dirawat
dengan baik.
Menurut kepercayaan umat Pelebegu, tiap orang mempunyai dua macam
tubuh, yaitu tubuh kasar (boto) dan tubuh halus. Tubuh halus terbagi dua, yaitu
noso (nafas) dan lumömö-lumö (bayangan). ”Jika orang mati botonya kembali
menjadi debu, nosonya kembali pada Lowalangi (Allah). Sedangkan lumö-
lumönya berubah menjadi bekhu (roh gentayangan)”.21 Orang Nias percaya,
selama belum ada upacara kematian, bekhu ini akan tetap berada di sekitar
jenazahnya atau kuburannya. Agar bisa kembali ke Tetehöli ana’a (dunia roh),
setiap roh harus menyeberangi suatu jembatan antara dunia orang hidup dan dunia
orang mati. Dalam perjalanan itu, semakin roh itu berjalan, jembatannya semakin
mengecil bahkan sampai sekecil rambut. Hal itu akan dialami oleh roh-roh yang
banyak melakukan kejahatan selama hidupnya. Akhirnya ia akan jatuh dan masuk
ke dalam api yang menyala-nyala. Akan tetapi, bila selama hidupnya ia baik,
jembatannya tidak menyempit sehingga perjalanan mulus dan sampai ke Tetehöli
ana’a.
Dalam paham agama asli ini, roh tersebut jika sudah sampai ke dunianya,
akan melanjutkan kembali hidupnya seperti di dunia ini. Kalau dulu semasa hidup
dia seorang raja maka di dunia seberang (Tetehöli ana’a) juga ia akan tetap
menjadi raja dan yang miskin akan tetap miskin di dunia seberang nanti. Dunia
Tetehöli ana’a ini keadaanya ”terbalik”. Apa yang baik di dunia ini, di sana akan
jadi buruk. Maka ada kebiasan, orang-orang Nias, bila menitipkan baju dan
21 Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm. 50
72
barang-barang lainnya, semua barang itu dirusak. ”Pebedaan dunia sana dengan
dunia sini hanya terletak pada keadaan ”terbalik”, yaitu jika di sini siang di sana
malam demikian juga kalimiat dalam bahasa di sana adalah serba terbalik.”
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal
dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di
sebuah tempat yang bernama "Tetehöli ana'a". Menurut mitos tersebut di atas
mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja
Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli ana'a karena
memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-
orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
2.9. Bahasa dan Kesenian
2.9.1 Seruan Ya’ahowu (Kata Salam Etnis Nias)
Ya’ahowu. Pdt. Dal. Zendratö, STh dalam artikelnya Juni 2000,
mengatakan dalam budaya Ono Niha terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup
bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas
bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung
makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh
Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap:
perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap
demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan
orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan
kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang
73
tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana
adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah
persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana
kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.
2.9.2 Bahasa
Bahasa Nias atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah bahasa yang
dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu
bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis darimana asal bahasa ini.
Menurut Koentjaraningrat (1995), bahasa Nias juga termasuk rumpun
bahasa Melayu – Polenesia, tetapi agak berbeda dengan bahasa Nusantara lainnya
sifatnya vokalis, yaitu tidak mengenal konsonan di tengah maupun akhir kata.
Kecuali itu bahasa Nias mempunyai huruf bunyi tunggal (vokal) yang khas yaitu
ö, yang hampir sama dengan ‘e’ pepet. Bahasa Nias mempunyai dua logat, yaitu
logat-logat Nias Utara dan Nias Selatan atau Tello. Logat yang pertama
dipergunakan di Nias bagian Utara, Timur dan Barat, sedangkan yang kedua Nias
bagian Tengah, Selatan dan Kepulauan Batu.
Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan
hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar 700 ribu orang. Bahasa ini
dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya
bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal. Suku Nias
mengenal enam huruf vokal, bukan lima seperti di daerah di Indonesia lainnya.
Suku Nias mengenal huruf vokal a,e,i,u,o dan ditambah dengan ö. Kata-kata
74
bahasa nias tidak mengenal konsonan (huruf mati) sebagai penutup kata; dengan
kata lain, kata-kata Li Niha diakhiri oleh salah satu dari vokal (huruf hidup
berikut): a, e, i, o, ö, u. Contoh: töla (tulang), lahe (jejak), ngöfi (tepi), moyo
(elang), balö (ujung), fandru (lampu).
Dalam Li Niha (Kamus Bahasa Nias Indonesia22), ada beberapa aturan
khusus yang tidak dicakup dalam ejaan Bahasa Indonesia, yaitu yang menyangkut
beberapa huruf dengan bunyi khusus yang hanya ditemukan dalam bahasa Nias.
Õ, ô, atau ö memiliki bunyi seperti bunyi “e” dalam keras, gelas, lemas. Karakter
õ, ô, dan ö dapat dihasilkan di layar komputer dengan menekan dan menaha
tombol Alt lantai berturut-turut menekan tombol-tombol 2, 4, dan 4 (untuk ô), 2,
4, 5 (untuk õ) an 2, 4, 6 (untuk ö) di keypad di sebelah kanan kibor komputer.
Contoh-contoh: hôgô (kepala), hõrõ (mata), töwö (cukur). Lihat juga artikel:
Karakter ö dalam bahasa Nias. Selanjutnya ‘é’ memiliki bunyi seperti dalam kata:
tembok, sepak, enak. Contoh: téma (terima), déha (cabut), éha (batuk). Dan ‘w’
memiliki dua bunyi dalam Li Niha: (1) seperti ‘w‘ dalam bahasa Indonesia
(bahwa, hawa, kawan) - contoh: bawa (bulan), walu (delapan), (2) bunyi ‘w‘ khas
Nias seperti dalam kata wurawura, waruwaru, werewere. Bunyi ‘w‘ dalam
contoh-contoh ini dihasilkan dengan meniupkan udara di antara bibir atas dan
bawah yang dipersempit jaraknya. Bunyi ‘w‘ macam ini kurang lebih seperti ‘w’
dalam kata “wulan” atau “woman” (bahasa Inggris).
Dalam Li Niha berbagai jenis kata yang muncul dalam kalimat pada
umumnya mengalami perubahan pada huruf awalnya, yang dalam ilmu bahasa
22 Lase, Apolonius. 2011. Kamus Li Niha Nias – Indonesia, Penerbit Buku Kompas.
75
disebut mutasi awal (initial mutation), Sebagai contoh, dalam kata “Hadia duria?”
(Apa kabar?), kata “duria” telah mengalami perubahan huruf awalnya; kata
“duria” di sini berasal dari kata dasar “turia” yang berarti berita atau kabar.
Contoh-contoh lain adalah: ama (ayah) menjadi nama; ina (ibu) menjadi nina;
balugu (pengetua adat) menjadi mbalugu; tuhe menjadi duhe; sato (publik, orang
banyak) menjadi zato; So’aya (Tuhan) menjadi Zo’aya.
2.9.3 Kesenian
Terdapat beragam jenis budaya kesenian yang ada di Nias, seperti tradisi
lisan musik vokal seperti Hoho (nyanyian bertutur yang bersifat puitis dan
berperibahasa), jenis perpaduan nyanyian dengan tarian seperti Tari Maena, Tari
Moyo, Tari Mogaele, dan yang sangat sering ditampilkan dalam promosi budaya
yakni perpaduan hoho dengan Tarian Perang (Faluaya), serta atraksi Hombo Batu
(Lompat Batu).
Sekilas penulis akan mendeskripsikan penyajian Tarian Perang (Tari
Faluaya) dan Lompat Batu (Hombo Batu) Nias Selatan, menurut wawancara
dengan informan Hikayat Manaö :
2.9.3.1 Sekilas Tarian Faluaya (Tari Perang) :
Tari Faluaya merupakan tarian yang menggambarkan suasana
peperangan antarsuku atau antardesa di Nias pada zaman dahulu kala.Tarian ini
juga menggambarkan kekompakan sebuah suku atau desa saat harus menghadapi
musuh. Pada tarian ini juga tergambar bagaimana kemampuan seorang panglima
76
perang (Kafalo Zaluaya) dalam memimpin dan memberi komando kepada
pasukannya, baik saat harus menyerang atau bertahan.
Biasanya tarian ini digunakan para leluhur Nias untuk meningkatkan
semangat penduduk desa, sebelum mereka berperang dengan desa lain. Tarian ini
juga menjadi tarian yang sangat prestisius dalam kehidupan kaum lelaki di desa,
dikarenakan melambangkan perubahan status dari lelaki remaja menjadi lelaki
dewasa.
Saat ini, tarian Faluaya banyak ditampilkan dalam berbagai even, baik
lokal, nasional, maupun mancanegara. Dalam setiap kunjungan turis dengan
jumlah besar atau acara-acara budaya berskala nasional yang digelar di
Bawömataluo, tarian ini pasti menjadi sajian utama, di samping tentu saja
pertunjukan Hombo Batu.
Sebagai tarian kolosal, Tari Faluaya melibatkan banyak penari dari
belasan orang hingga ratusan orang. Pembagian posisi para penari biasanya terdiri
dari: panglima di barisan depan, wakil panglima di depan kanan dan pemandu
hoho (pemandu syair atau yel pemberi semangat). Selain itu, Tari Faluaya juga
menggunakan beragam alat, yakni: Baluse (sejenis perisai dari kayu yang dibuat
agak panjang), Toho (tombak yang ujungnya dibuat berkait), Balewa (parang yagn
cukup panjang dan tajam dan bagian pegangannya dimanterai), Tolögu (pedang
terbuat dari besi dan bergagang kayu) serta, Kalabubu (ejenis kalung terbuat dari
tempurung kelapa). Khusus mengenai Kalabubu meski sekilas terlihat sebagai
hiasan, sejatinya kalung ini digunakan untuk melindungi leher dari tebasan senjata
77
tajam musuh. Sepertinya bisa kita bandingkan dengan baju zirah, yakni baju besi
atau baju rantai yang dikenakan pada waktu berperang zaman dahulu di Eropa.
Sementara itu, busana Tari Faluaya terdiri dari :
1. Öröba, salah satu baju tari perang yang hampir punah, bahkan sudah
jarang kita lihat di penampilan tari perang sekarang. Bahannya terbuat dari
plat seng yang agak tebal, dibuat, dirakit sedemikian rupa seperti yang
terlihat pada gambar. Untuk mengerjakannya, didominasi dengan
menggunting dan dipukul-pukul (lalabago), serta memerlukan keahlian
khusus.
2. Leama (terbuat dari ijuk), juga disebut Leama (terbuat dari bahan rumput
hutan) yang dijahit rapi dengan menutup/melapisi rotan yang sudah
dibentuk seperti yang terlihat pada gambar. Setelah Leama selesai dijahit
sesuai keinginan, barulah bagian dalam dilapisi dengan kain atau karung
untuk menghindari tusukan-tusukan.
3. Baru uli Geu (terbuat dari kulit kayu oholu/solou), sejenis kayu
Oholu/Solou, untuk mengmbil bahan baku saja di hutan harus memerlukan
keahlian khusus. Jangan sampai robek saat menguliti kayu tersebut.
Panjang kulit kayu kurang lebih 130-150 cm, lebar 40-50 cm. setelah
bahan kulit kayu sudah ada, kemudian direndam ke dalam air selama
beberapa jam, lalu diangkat dan mulailah dipukul-pukul (lalabago).
Lakukan ini berulang-ulang, secara perlahan. Ingat, kulit kayu tidak akan
bertambah panjang, melainkan bertambah lebar. Setelah kulit kayu terlihat
78
tipis dan lunak, barulah dicuci dan seterusnya dikeringkan. Setelah bahan
baku kulit kayu selesai. Barulah dipotong dan dijahit sesuai kebutuhan.
4. Baru Nukha (terbuat dari kain), bentuk dari baju ini beberapa macam,
ditinjau dari motif coraknya antara lain: Baru Nifobowo Gafasi, Baru Ni’o
La’a Harimao, yang bahannya dari kain atau baldu yang dijahit oleh
tukang jahit yang memiliki keahlian khusus.
5. Öndröra (cawat terbuat dari kain),
Juga ada beragam topi (penutup kepala) dalam Tari Faluaya, yakni:
1. Takula Tefaö (topi besi),
2. Takula Leama (topi ijuk),
3. Laeru (topi kain) dan
4. Leia (topi kulit kayu).
Membicarakan tarian Faluaya, berarti menyebut Hombo Batu (lompat
batu). Sebab, keahlian ini menjadi keharusan bagi setiap laki-laki di desa-desa.
Tujuannya sebagai media latihan para prajurit dalam menerobos pagar benteng
musuh. Baik dalam penyerangan maupun dalam upaya melarikan diri dari
kepungan musuh. Perihal keahlian lompat batu, maka sosok Hikayat pernah
membuktikan kehebatannya. Dan, wajar rasanya jika sekarang ini, ia dipilih
sebagai Panglima (Kafalo Zaluaya) dari Tari Faluaya di Desa Bawömataluo.
79
2.9.3.2 Atraksi Lompat Batu (Hombo Batu) Sebagai Simbol Heroik
Berbicara tentang atraksi wisata di Pulau Nias, pasti tidak bisa dilepaskan
dari atraksi lompat batu atau Hombo Batu. Inilah tradisi kaum pria Nias yang tetap
lestari hingga kini.
Lompat batu bukan sekedar konsumsi atau atraksi pariwisata. Lebih dari
itu, lompat batu merupakan sarana dan proses untuk menunjukkan kekuatan dan
ketangkasan para pemuda, sehingga memiliki jiwa heroik yang prestisius.
Jika seorang putra dari satu keluarga sudah dapat melewati batu yang
telah disusun berdempet itu dengan cara melompatinya, hal ini merupakan satu
kebanggaan bagi orangtua dan kerabat lainnya bahkan seluruh masyarakat desa
pada umumnya. Itulah sebabnya setelah anak laki-laki mereka sanggup melompat
batu, maka diadakan acara syukuran sederhana dengan menyembelih ayam atau
hewan lainnya. Bahkan ada juga bangsawan yang menjamu para pemuda desanya
karena dapat melompat batu dengan sempurna untuk pertama kalinya. Para
pemuda ini akan menjadi pemuda pembela kampungnya samu’i mbanua atau
la’imba horö, jika ada konflik dengan warga desa lain.
Jika seorang pemuda dapat melompat batu dengan sempurna, maka ia
dianggap telah dewasa dan matang secara fisik. Karena itu hak dan kewajiban
sosialnya sebagai orang dewasa sudah bisa dijalankan. Misalnya menikah,
membela kampungnya atau ikut menyerbu desa musuh dan sebagainya. Salah satu
cara untuk mengukur kedewasaan dan kematangan seorang lelaki adalah dengan
melihat kemampuan motorik di atas bartu susun setinggi 2,10 meter.
80
Sejak umur sekitar 7 – 12 tahun atau sesuai dengan pertumbuhan
seseorang, anak laki-laki biasanya bermain dengan melompati tali. Mereka
menancapkan dua tiang sebelah menyebelah, membuat batu tumpuan, lalu
melompatinya. Dari yang rendah, dan lama-lama ditinggikan. Ada juga dengan
bantuan dua orang teman yang memegang masing-masing ujung tali, dan yang
lain melompatinya secara begilir. Mereka bermain dengan semangat kebersamaan
dan perjuangan.
Untuk latihan dan permainan, sekumpulan anak laki-laki menumpuk
tanah liat dan membentuknya seperti lompat batu, walaupun ketinggiannya tidak
sama. Mulai dari satu meter. Setelah mampu melewati itu, maka mereka
menumpukkan tanah liat untuk menambah ketinggiannya. Permainan ini telah
membuat anak-anak terbniasa melompat hingga dapat melompat batu setinggi dua
meter dengan sempurna. Bahkan ada yang lebih.
Dahulu, lompat batu dilakukan untuk persiapan perang. Sekaligus
mempertahankan diri dan membela kampung halaman.
Agar lebih mahir, pada sore hari, ketika pemuda desa pulang dari ladang,
maka mereka beramai-ramai latihan melompat batu. Terlebih pada sore hari
minggu atau hari besar lainnya. Melompat batu merupakan sarana olah raga dan
permainan yang menyenangkan bagi mereka dan menarik perhatian penonton.
Walaupun latihan terus, ternyata tidak semua laki-laki dapat melompat.
Ada yang sangkut-sangkut terus. Bahkan ada juga yang sampai kecelakaan,
misalnya patah lengan, kaki, dan lain-lain. Ada kepercayaan bahwa hal ini
dipengaruhi oleh faktor genetika. Jika ayahnya atau kakeknya seorang pemberani
81
dan pelompat batu, maka di antara para putranya pasti ada yang dapat melompat
batu. Kalau ayahnya dahulu adalah seorang pelompat batu semasih muda, maka
anak-anaknya pasti dapat melompat walaupun latihannya sedikit. Bahkan ada
yang hanya mencoba satu-dua kali, lalu, bisa melompat dengan sempurna tanpa
latihan dan pemanasan tubuh.
Kemampuan dan ketangkasan melompat batu juga dihubungkan dengan
kepercayaan lama. Seseorang yang baru belajar melompati batu, ia terlebih dahulu
memohon restu dan meniati roh-roh para pelompat batu yang telah meninggal. Ia
harus memohon izin kepada arwah para leluhur yang sering melompati batu
tersebut. Tujuannya untuk menghindari kecelakaan atau bencana bagi para
pelompat ketika sedang mengudara, lalu menjatuhkan diri ke tanah. Sebab banyak
juga pelompat yang gagal dan mendapat kecelakaan.
Dahulu melompat batu merupakan kebutuhan dan persiapan untuk
mempertahankan diri dan membela kampung. Apapun dikorbankan demi
kehormatan pada kampung sendiri ‘fabanuasa’. “Öndröra vfabanuasa, kiri-kiri
mbambatö sa”. Itulah motto dan prinsip dalam membela dan mempertahankan
nama kampung. Artinya, rasa patriotis pada kampung lebih utama dari pada
hubungan kekerabatan. Kejadian pada salah seorang warga kampung, merupakan
peristiwa pada seluruh warga. Misalnya: jika salah seorang warga kampung A
disakiti oleh warga desa B, maka warga desa A yang lain akan turut
membalasnya. Demikian sebaliknya. Hal ini menjadi sumber konflik antar
kampung yang penyelesaiannya kompleks dan meninggalkan dendam kesumat
‘horö manana’.
82
Banyak penyebab konflik dan perang antar kampung. Misalnya: masalah
perbatasan tanah, perempuan dan sengketa lainnya. Hal ini mengundang desa
yang satu menyerang desa yang lain, sehingga para prajurit ‘bohalima’ yang ikut
dalam penyerangan, harus memiliki ketangkasan melompat untuk menyelamatkan
diri.
Akan tetapi dahulu, ketika tradisi berburu kepala manusia ‘magai högö’
masih dijalankan, peperangan antar kampung juga sangat sering terjadi. Ketika
pada pemburu kepala manusia dikejar atau melarikan diri, maka mereka harus
mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu
atau bambu atau dari pohon ‘tali’anu’ supaya tidak terperangkap di daerah musuh.
Itulah sebabnya desa-desa didirikan di atas bukit atau ‘hili’(gunung) supaya
musuh tidak mudah masuk dan tidak cepat melarikan diri.
2.9.3.3 Alat-Alat Musik
Jenis kesenian yang lain di Nias yakni terdapatnya alat-alat musik (music
instrument) di Nias seperti tercatat dalam Music In Nias, (J. Kunts, 1939):
1. Klasifikasi Idiophones: Doli-doli (beberapa bilahan kayu - xylophone),
Aramba (gong besar), Taboleeya/Da’ula-da’ula/Daola-daola (The slit drum
or alarm drum, terbuat dari bambu seperti kentongan di Jawa ), Göndra
Hao/Gobi-gobi (zither atau seperti kecapi terbuat dari bamboo),
Faritia/Faritshia (gong kecil seperti kenong di Jawa biasanya dimainkan 2
buah), Duri/Druri Bewe (jew’s harp), Bulu N’Öhi / Feta (rattle made of the
cocoapalm), Tetege’öi (shellrattle or clapper).
83
2. Klasifikasi Membranophones: Tutu/Chuchu (a small more or less barrel-
shaped and bimembranous drum), Tamburu, Tamburu Gowasa (a small
cylindrical, usually rather flat bimembranous drum), Göndra/Köndra (a
bimembranous big drum), Fodrahi/Fondrahi (a vase-shaped drum with one
membrane, beaten with hand), Taburana/Tabularanga (a very long canon-
shaped monomembranous drum).
3. Klasifikasi Chordophones: Taboleeya (Idiochord - terbuat dari bambu dan
dari badannya diambil tipis sebanyak 2 sampai 4 buah sebagai senar, di
masyarakat Karo disebut keteng-keteng), Göndra Hao/Gobi-gobi (zither-
idiochord, terbuat dari bambu dari badannya diambil tipis sebanyak 1 senar
dimainkan dengan dipetik), Laegia (One Stringed Spitted Lute, played with a
bow).
4. Klasifikasi Aerophones: D(r)uri Dana/Da’ul-da’uli (terbuat dari bambu bulat
kecil dibentuk seperti garpu tala, 2 buah dimainkan memukulnya ke lutut
dengan tangan kanan dan kiri), Sigu Bawa/Sigu M’bawa (this a clarinet
consisting of a slender segment of bamboo from 8 – 12 inches (20-30 cm)
long and closed by a nodium on one side), Sigu Waghe (seperti sarune bulu di
Batak), Fifi/Fonoe/Lili (a grassblade showm), Töla Waghe (slit rice stalk
shawm), Sarune, Dsigu/Dsjigu Mbawa (seperti Bansi di Minangkabau),
Wicho-wicho/Ki-ki/Ufu-ufu (bird decoy flutes), Riwi-riwi Löchö (the
bullroarer, whizzer or thunderstick).
84
2.10 Dokumentasi Sejarah Dalam Gambar :
Gambar 2.10.1 : Keluarga di desa Bawömataluo, Nias Selatan
(sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/)
Gambar 2.10.2 : Jalan sepanjang pantai, Nias, 1930
(sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl)
85
Gambar 2.10.3 : Prajurit Perang dengan Belanda, Nias Sumatera Utara, 1920
(sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/)
Gambar 2.10.4 : Tari Faluaya di Bawömataluo Nias Selatan, 1954
(sumber: http://www.lpamnias.org/sejarah.php)
86
Gambar 2.10.5 : Penarikan batu “Daro-daro” untuk almarhum Saoenigeho dari
Bawömataluo Nias Selatan
(sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/)
Gambar 2.10.6 : Patung leluhur batu Pria
(sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/)
87
Gambar 2.10.7 : Bocah di sebelah kursi batu kepala desa Hilisimetanö
(sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/)
Gambar 2.10.8 : Sekelompok Laki-laki Nias
(sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/)
88
Gambar 2.10.9 : Studio potret dari kelompok perempuan menari dari Nias
Selatan
(sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/)
Gambar 2.10.10 : Pria Nias pada kostum militer
(sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/)
89
Gambar 2.10.11 : Pertempuran palsu oleh sekelompok anak laki-laki melompat
di atas batu, Nias, 1930
(sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/)
115
BAB IV
FUNGSI HOHO FALUAYA DALAM TRADISI MUSIK LISAN
Dalam bab IV ini kajian difokuskan pada masalah fungsi Hoho Faluaya
sebagai warisan tradisi lisan masyarakat Nias, dengan pendekatan teori
fungsionalisme dari Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown,
pendekatan teori fungsi Alan P. Merriam serta pendekatan hasil reduksi
terhadap fungsi dari Soedarsono yang telah diuraikan pada Bab I. Berdasarkan
teori-teori mereka penulis dan peroleh data dari lapangan akhirnya penulis
dapatlah terjawab bagaimana fungsi Hoho Faluaya dalam tradisi lisan masyarakat
Nias Selatan. Berikut ini penulis akan menyajikan fungsi Hoho Faluaya dimulai
dari deskripsi penyajian petunjukan Hoho Faluaya, seperti dijelaskan dibawah ini:
4.1 Deskripsi Penyajian Pertunjukan Hoho Faluaya
Penyajian Hoho Faluaya dengan teks berbahasa Nias ciri Selatan ini
pada umumnya hampir sama jika di bandingkan dengan beberapa desa lain di
Kabupaten Nias Selatan (desa Hilisimaetanö, desa Orahili Fau, desa Hilinawalö
Fau, desa Ono Hondrö, desa Lahusa Fau, dan lain-lain). Namun dalam hal ini
penulis mengkhususkannya pada lokasi penelitian penulis yakni di desa
Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan. Menurut Hikayat
Manaö (Ama Gibson), bahwa pelaksanaan Hoho Faluaya harus disesuaikan
dengan konteksnya. Secara umum pelaksanaan hoho jenis ini dilaksanakan dalam
dua konteks kegiatan adat yang besar , yakni: (1) dalam konteks upacara kematian
116
bangsawan, (2) dalam konteks pengukuhan gelar adat (gelar bangsawan). Kini,
Hoho Faluaya sudah sering dipertunjukkan dalam konteks penyambutan tamu
kehormatan maupun turis sebagai salah satu atraksi budaya dari desa
Bawömataluo.
Penyajian Hoho Faluaya yang akan penulis deskripsikan adalah pada
konteks penyambutan tamu kebesaran yang dating ke desa adat Bawömataluo
Nias Selatan, dalam hal ini kunjungan Menteri Negara Pembangunan Desa
Tertinggal (PDT) yakni Ir. H. Ahmad Helmy Faisal Zaini pada Juni 2011,
sekaligus pemberian gelar adat kebangsawanan di Nias kepada beliau yakni
dengan gelar “Tuha Samaeri Nahönö”. Ini merupakan gelar tertinggi bagi strata
bangsawan di Nias Selatan dan gelar ini setingkat dengan seorang raja. Tuha
Samaeri Nahönö bermakna seorang pemimpin yang jujur, cerdas dan adil bagi
rakyatnya atau disebut bapak pemelihara masyarakat banyak. Pelaksanaan
upacara penyambutan dan pengukuhan gelar ini dipimpin langsung oleh Hikayat
Manaö (Ama Gibson) sebagai Kafalo Zaluaya (panglima perang)/ Sondroro/ Ere
Hoho/ Sifahoho (pemimpin/leader hoho) bersama kelompok Sanoyohi / fanema
sato dan seluruh bohalima (prajurit perang/penari perang) dan terlihat hampir 100
orang yang terlibat dalam kelompok Faluaya.
Merupakan syarat bahwa dalam penyajian hoho pada umumnya termasuk
Hoho Faluaya lazim diperankan oleh minimal 5 (lima) orang dalam kelompok
penyaji teks. Kelompok penyaji teks hoho dipimpin oleh seorang penyaji, disebut
sondroro hoho atau ere hoho atau sifahoho yang berasal dari golongan si’ulu atau
si’ila, dan disahut secara bergantian oleh beberapa kelompok kecil, yang terdiri
117
dari dua (kadang-kadang tiga atau empat) penyaji teks yang disebut sanoyohi atau
fanema sato yang berasal dari golongan si’ila atau sato. Semua penyaji Hoho
Faluaya adalah kaum pria. Beberapa teks hoho sedikitnya membutuhkan dua
kelompok penyaji teks, tetapi lebih dari batas minimum juga boleh. Syair-syair
singkat yang bersifat ulangan (repetisi), masih sanggup dihafal oleh semua
penyanyi, dan karenanya boleh dikatakan syair tetap; sedangkan syair yang lebih
panjang akan disusun kembali oleh sondoro, dan sanoyohi harus mampu
menangkap kata-kata itu saat dinyanyikan supaya dengan segera dapat
mengulangi kata-kata itu kembali atau menanggapinya secara tepat.
Hoho Faluaya adalah salah satu jenis tradisi musik lisan yang
menggabung dua aktifitas yang saling mendukung yaitu (1) bernyanyi (ber-hoho):
kegiatan bertutur yang disampaikan dalam bentuk syair (teks) disajikan dengan
menyanyikan tuturan tersebut, dan (2) menari (faluaya) yakni kegiatan untuk
mengekspresikan syair (teks) yang dituturkan dalam bentuk tarian perang,
hubungan yang kuat antara keduanya menimbulkan nuansa sakral dalam keutuhan
penyajiannya. Sehubungan dengan adanya gerakan tarian, maka perlu penulis
sampaikan beberapa nama-nama gerakan yang digunakan pada Hoho Faluaya
yakni:
1. Hugö berarti posisi kuda-kuda siap menyerukan.
2. Manökhö berarti gerakan mengintai musuh.
3. Ohigabölöu berarti melompat sambil berjalan dengan berjingkat
satu kaki dengan mengepakkan baluse (tameng) dan mengayunkan
toho (tombak) dan tolögu (khusus Kafalo Zaluaya)
118
4. Hivfagö hampir sama dengan Ohigabölöu namun gerakan ini hanya
di tempat sesuai posisi masing-masing barisan.
5. Fu’alö melakukan gerakan siap siaga menghimpun kekuatan untuk
berlaga di medan perang.
6. Faluaya Zanökhö berarti mengelilingi atau mengepung wilayah
musuh.
7. Fasuwö menggambarkan terjadinya perang antara dua kelompok
balusé bertabrakan.
8. Famanu-manu atraksi ketangkasan patriot bertempur satu lawan
satu.
9. Fatélé atraksi ketangkasan satu orang.
10. Fahidjalé gerakan satu baris membentuk gerakan berliku-liku
seperti ular.
11. Fadölihia merupakan hoho yang dipakai dalam gerakan fahidjalé.
Fadölihia juga diartikan sebagai gerakan berliku-liku (meander
dances)
12. Siöligö gerakan membentuk lingkaran dan bergandengan tangan
menunjukkan adanya persatuan dan kesatuan dalam masyarakat,
pada penyajian Siöligö sudah tidak menggunakan baluse dan toho.
Dari dahulu hingga kini masyarakat Nias Selatan selalu menyelenggara-
kan pesta pemberian gelar kepada para bangsawan dan orang-orang yang dinilai
berjasa besar bagi kalangan suku Nias. Pemberian gelar bangssawan tidak tertutup
pada kalangan etnis Nias bahkan orang luar pun yang dianggap pantas untuk
119
menerima gelar penghormatan tertinggi terbuka kemungkinan untuk
menerimanya. Tujuannya agar kepemimpinan, atau sosok, figur raja tersebut
menjadi pemimpin di daerah ini seperti halnya Menteri Negara Pembangunan
Desa Tertinggal (PDT) yakni Ir. H. Ahmad Helmy Faisal Zaini yang dalam
kunjungannya ke Nias Selatan bulan Juni 2011 lalu dianugerahi gelar bangsawan
oleh masyarakat Nias dengan terlebih dahulu melalui rapat dewan tokoh adat,
agama dan pemerintah Kabupaten Nias Selatan di Desa Bawömataluo.
Pengangkatan Menteri Negara menjadi setingkat raja tentu berdasarkan
penilaian terhadap banyaknya jasa dan besarnya perhatian serta kinerja yang baik
dalam upaya mengangkat harkat Kabupaten Nias Selatan dari ketertinggalan. Tata
acara seseorang menjadi bangsawan atau raja dalam adat Nias Selatan diisi
dengan penyajian Hoho Faluaya, sebagai berikut:
1. Ketika seluruh masyarakat dan para pengetua adat sudah hadir, maka
Hoho Faluaya pun dimulai. Dengan diawali fonguhugö (hugö) yang
dipekikkan oleh seorang Sondroro hoho (Kafalo Zaluaya) dalam hal ini
Hikayat Manaö. Dengan kalimat hugö : “Tari Humöhö Tabörötai
Tabörögö!” Bahijalé !
2. Kalimat ini pun mendapat sambutan dari para bohalima pada posisi yang
belum teratur dengan mengatakan Hu! dan Ha! sambil melakukan gerakan
mengintai (manökhö) dan berhenti serempak ketika Sondroro
mengehentikannya dengan mengatakan Ha!
3. Selanjutnya para bohalima melakukan gerakan ohigabölöu untuk
menyusun formasi barisan dan setelah tersusun dilanjutkan dengan
120
gerakan hivfagö dan berhenti dengan seruan hivfagö yang dimulai oleh
Sondroro dengan mengatakan hefa!. Dan disambut oleh kelompok
Sanoyohi dengan mengucapkan fakhöyöla la imba, imba horö.
4. Para bohalima selanjutkan melakukan nyanyian Hoho Fu’alö dengan
gerakan Fu’alö menunjukkan bentuk kesiapan para bohalima, seperti di
bawah ini :
1. Son : Heia hé haia dahumalö Apa yang mau kita ambil Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya
Son : Ohaia ba haia dahumalö Apa pokok pembicaraan manö-manö
Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya
2. Son : Ohaia hé… haia dahumalö Apa yang mau kita ambil Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya
Son : Ohaia ba haia dahumalö Apa yang dijadikan pepatah famaédo
Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya
3. Son : Ohaia hé… yaé ndraono matua Ini para pria (bohalima) Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya
Son : Ohaia ba yaé ndraono matua Para pria yang gagah perkasa sihino döla
Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya
4. Son : Ohaia hé… yaé ndraono matua Ini para pria (bohalima) Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya
Son : Ohaia ba yaé ndraono matua Para pria generasi penerus desa salio boto
Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya
5. Son : Ohaia hé… oi humokha-hokha Pasukan membuat merinding Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya Son : Ohaia ba oi humokha-hokha Merinding bulu ‘roma’
mbu jamaigi Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya
6. Son : Ohaia hé… oi tumaro mbörö mbu Pasukan membuat ketakutan
Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya Son : Ohaia ba oi tumaro mbörö mbu jiso Jangan sampai melihatnya Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya
121
7. Son : Ohaia hé… oi jumikhi- jikhi Pasukan membuat gemetar Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya
Son : Ohaia ba oi jumikhi- jikhi gahé jagö Seperti bergetarnya atap rumah Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya
8. Son : Ohaia hé… oi huméu-héu Pasukan membuat tergoncang
Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya Son : Ohaia ba oi huméu-héu mbubu nomo Bergoncangnya puncak atap Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya
9. Son : Ohaia hé… ga baéwali hili Di halaman puncak bukit
Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya Son : Ohaia ba ga baéwali hili fanayama Di halaman puncak nusantara Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya
10. Son : Ohaia hé… ga baéwali famaédo Inilah wilayah kita yg luas
Sa.1&2 : Aé hu! Hé… Ya Son : Ohaia ba ga baéwali hili Wilayah desa leluhur kita
famaédo danö Sa.1&2 : Aé hu! Hé é ya’ia-ya’ia hö! Ha… Ya
5. Selesai Fu’alö para bohalima membuat pagar betis untuk mengawal para
penari mogaélé yang dibawakan oleh para ibu-ibu (kaum wanita)
memasuki tempat upacara untuk melaksanakan fameafo, yakni pemberian
sekapur sirih tamu kehormatan dan kepada para pengetua adat dan para
bohalima. Pelaksanaan fameafo diawali dan diakhiri dengan hugö oleh
Sondroro.
6. Setelah fameafo para bohalima melakukan gerakan Faluaya Zanökhö
menggambarkan musuh sudah terkepung dengan mengelilingi atau
mengepung wilayah musuh. Gerakan ini dilakukan sambil membentuk
lingkaran dan mengepakkan baluse serta mengayun-ayunkan toho.
122
7. Pertunjukan ketangkasan (show force) dengan melakukan gerakan fasuwö
untuk menggambarkan dalam suasana pertempuran atau perang antara dua
kelompok, balusé bertabrakan.
8. Dilanjutkan dengan atraksi famanu-manu yakni atraksi ketangkasan
bohalima dalam bertempur melawan musuh satu lawan satu.
9. Dan atraksi fatélé yakni atraksi ketangkasan atau keahlian seorang
bohalima.
10. Selanjutnya melakukan nyanyian Hoho Fadölihia oleh kelompok hoho
dan para bohalima dengan gerakan Fadölihia, seperti syair di bawah ini:
1. Son : Tabörötai Tabörögö Mari kita mulai lagi Sa.1&2 : Aé hijaho! Hé… Ya
2. Son : Ono matua sifakhöyö Pemuda yang sedang bermain Sa.1&2 : Aé hijaho! Hé… Ya
3. Son : Ono matua fotuwusö Kaum pria pilihan yang perkasa Sa.1&2 : Aé hijaho! Hé… Ya
4. Son : Ae ono nasu lawölö Pejantan anjing Lawölö Sa.1&2 : Aé hijaho! Hé… Ya
5. Son : Talau fadöli hia fualö Mari menari fadölihia dan fu’alö Sa.1&2 : Aé hijaho! Hé… Ya
6. Son : Baéwali zi’öfa ndrölö Di empat lorong halaman desa Sa.1&2 : Aé hijaho! Hé… Ya
7. Son : Baéwali fvamaedo danö Didepan pekarangan sang Raja Sa.1&2 : Aé hijaho! Hé… Ya
8. Son : Mai ‘otamahögö majinö Menghadap wilayah adat Mazinö Sa.1&2 : Aé hijaho! Hé… Ya
9. Son : Mai salogoi maenamölö Merangkul wilayah adat Maenamölö Sa.1&2 : Aé hijaho! Hé… Ya
10. Son : Mai erogö bagaramö Membelakangi wilayah adat Garamö Sa.1&2 : Aé hijaho! Hé… Ya
11. Son : Talau fadöli hia fualö Menari fadölihia dan fu’alö Sa.1&2 : Aé hijaho! Ya
Hé é ya’ia -ya’ia hö! Ha benar demikian
123
12. Kemudian melakukan Hoho Siöligö menunjukkan sudah
selesainya perang dan berdamai lalu menari bersama
menggambarkan betapa agungnya perdamaian itu.
1. Son : Andrö da tabörötai. Sekarang kita mulai Sa.1 : Andrö da tabörötai tabörögö. kita mulai ungkapkan Sa.2 : Hé siwöwö no niwa’ömö, yang mendirikan desa ba siwöwö no niwa’ömö ya pendiri desa kita andrö da tabörötai tabörögö ya kita mulai ungkapkan haiwa hö, haiwa hö, ya kumandangkanlah Sa.1&2 : Aéhu hé ya, tuturkan
2. Son : Andre ndrao mané-mané Sekarang kita ceritakan Sa.1 : Andre ndrao mané-mané manö-manö kita ceritakan masa lampau Sa.2 : Hé siwöwö no niwa’ömö, yang mendirikan desa ba siwöwö no niwa’ömö ya pendiri desa kita Andre ndrao mané-mané manö-manö cerita leluhur kita Haiwa hö, haiwa hö, ya kumandangkanlah Sa.1&2 : Aéhu hé ya, tuturkan
3. Son : Lumö mia lumö jimöi . Kalian yang sudah pergi Sa.1 : Lumö mia lumö jimöi hé aehé ho lauwé. sudah pergi leluhur kami Sa.2 : Lumö ae ya Lumö mia lumö jimöi yang kalian tinggalkan ba lumö jiso! akan diteruskan 4. Son + Sa.1 &: Hé..hé…ého ba, Inilah negeri kita Sa.2 mba... lö hili…. di tepi pegunungan wöwö…ö…awöni sudah dibangun ba ndraso! tempat kita Sa.1 : Hé lumö! ya mereka Sa.2 : Hé lumö jimöi! mereka yang pergi Sa.1 : Hé lumö! ya mereka. Sa.2 : Lumö jiso! mereka yang datang Sa.1 & Sa.2 : Hé yai’ia, yai’ia hö! ya, mari kita bersama
13. Pertunjukkan Famadaya Harimao (mengarak patung
menyerupai harimau), tarian ini menggambarkan kebesaran
kerajaan zaman dahulu, mengingatkan seorang raja harus
124
mampu melindungi, mengayomi serta memperhatikan
masyarakatnya.
14. Dan terakhir atraksi Lompat Batu (Hombo Batu).
Kepada Bapak Menteri Negara PDT diberikan baju kebesaran
bangsawan Nias Selatan, yakni rompi sebagai baju penahan panah dari musuh,
kalabubu penangkis tebasan musuh dari senjata tajam di leher, öndröra - pakaian
lengkap kesatria, tolögu - pedang alat menyerang musuh, baluse - perisai
pelindung dari serangan musuh, toho – tombak senjata untuk menyerang musuh
dan takula/rai – mahkota tanda seorang raja.
Dan sebagai pengumuman kepada khalayak ramai bahwa seseorang
melalui keputusan rapat adat telah ditetapkan bahwa telah sah diangkat menjadi
raja, dengan gelar kebangsawanan Tuha Samaeri Nahönö dilakukanlah pekikan
hugö oleh Sondroro sebagai tanda sahnya penobatan gelar kebangsawanan Ir. H.
Ahmad Helmy Faisal Zaini (Menteri Negara Pembangunan Desa Tertinggal).
Setelah penobatan itu, maka penerima gelar bangsawan didudukkan di tahta raja
(osa-osa).
Dalam ritual adat Nias bila seseorang telah diangkat menjadi raja atau
gelar bangsawan, maka harus memenuhi syarat yakni harus mampu menyediakan
hidangan makan besar untuk rakyatnya, sebagai bentuk simboliknya Menteri
Negara PDT menyembelih hewan babi untuk dijadikan makanan rakyatnya
(masyarakat desa Bawömataluo).
125
4.2 Fungsi Hoho Faluaya Pada Masyarakat Nias Selatan
Seperti yang dikatakan Bronislaw Malinowski, bahwa fungsi itu intinya
adalah bahawa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan
suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang
berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah
satu unsur kebudayaan, terjadi karena awalnya manusia ingin memuaskan
keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena
keinginan naluri manusia untuk ingin tahu. Namun banyak pula aktivitas
kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human need itu.
Dengan pemahaman ini seorang penyelidik boleh menganalisis dan menerangkan
banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.24
Sejalan dengan pendapat Malinowski, Hoho Faluaya timbul dan
berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan
naluri masyarakat Nias pada umumnya. Hoho Faluaya timbul, karena masyarakat
pengamalnya ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Namun
lebih jauh daripada itu, akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti
integrasi masyarakat, hiburan, kontinuitas budaya dan lainnya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa penggunaan musik berkaitan
dengan dalam situasi bagaimana musik itu digunakan oleh suatu masyarakat.
24 Takari (2010:347). Disertasi: “Fungsi dan Bentuk Komunikasi Dalam Lagu Dan
Tari Melayu Di Sumatera Utara”. Disertasi Jabatan Pengajian Media Fakulti Sastera Dan Sains Sosial Universiti Malaya Kuala Lumpur.
126
Sedangkan fungsi musik menitikberatkan perhatiannya kepada alasan
penggunaan, terutama maksud dan tujuan lebih luas, yaitu sejauh mana musik
dapat melayani kebutuhan manusia itu sendiri. Berikut ini akan dijelaskan
beberapa fungsi yang ada pada penyajian Hoho Faluaya sebagai salah satu bentuk
tradisi musik lisan.
4.2.1 Fungsi Pelaksanaan Pesta Adat
Masyarakat Nias dalam kehidupannya banyak melakukan pesta adat
sebagai ungkapan syukur dan kegembiraan mereka, khususnya di Nias Selatan
Hoho Faluaya merupakan sarana utama bagi terlaksananya beberapa pesta adat
besar (owasa). Hal ini dapat dilihat pada setiap pelaksanaan pesta upacara
kematian seseorang yang bergelar bangsawan dan telah banyak berjasa kepada
masyarakat dalam memperjuangkan desanya, akan dibuat hasi nifolasara (peti
mayat) yang khusus dan dilaksanakan upacara agung seperti:
1. Folau hoho ba fetataro:
Melantunkan hoho untuk menghormati dan menghantar sang
bangsawan pada tahtanya yang terakhir.
2. Faböli-böli:
Syair-syair yang dilantunkan dalam bentuk nyanyian untuk
menceritakan riwayat hidup sang bangsawan, bagaimana pengaruhnya
selama dia hidup dan setelah dia meninggal dunia. Yang
melantunkannya adalah kaum laki-laki. Selain Faböli-böli, juga
dilakukan Fane’esi yaitu acara meratapi orang mati dengan
menceritakan liku-liku kehidupannya selama hidup dan bagaimana
nasib keluarga yang ditinggalkannya. Acara ini dilakukan oleh kaum
ibu-ibu (perempuan).
127
3. Faluaya:
Perarakan dalam bentuk tari perang. Sebelum dikuburkan, mayat yang
sudah diletakkan dalam hasi nifolasara di arak dalam prosesi yang
agung oleh seluruh warga kampungnya sendiri dan warga kampung
lain yang turut belasungkawa. Jika upacara kematian seorang
bangsawan tidak agung, maka hal itu merupakan pukulan yang
memalukan terhadap anak-anak dan keluarganya dan dapat
menurunkan kewibawaan mereka di hadapan masyarakat.
Demikian juga halnya pada pelaksanaan pesta yang berkaitan dengan
ritual adat pengesahan berbagai bentuk peraturan-peraturan (hukum adat) yang
disusun oleh pengetua-pengetua adat untuk ditaati oleh seluruh anggota
masyarakat Nias dalam menjalani segala kegiatan kehidupannya yang dikenal
dengan fondrakhö (penetapan hukum adat) atau di Nias Selatan lebih dikenal
dengan upacara Famatö Harimao/Famadaya Harimao. Dalam upacara
pengesahan hukum adat ini harus disertai penyajian Hoho Faluaya, Fogaélé
Fatélé dan Fahombo25. Dalam pengertian hukum adat menjadi sah untuk
diberlakukan di tengah-tengah masyarakat Nias bila ditandai dengan mengusung
patung yang menyerupai harimau sebagai lambang perjanjian disertai melakukan
hoho dan melakukan gerak faluaya.
Adapun isi dari hukum adat yang sudah ditetapkan diantaranya mengatur
pada saat peristiwa apa saja Hoho Faluaya dapat disajikan. Pada peristiwa ritual
adat kematian seorang golongan bangsawan (balö zi’ulu) dan balö zi’ila, dan
peristiwa ritual adat pengukuhan gelar bangsawan wajib dilaksanakan Hoho
25 Periksa Pastor Johannes Maria Harmmerte, OFMCap, Famatö Harimao, Pesta
Harimao – Fondrakö – Börönadu dan Kebudayaan Lainnya Di Wilayah Maenamölö – Nias Selatan, (Medan, 1986), hlm. 180,212.
128
Faluaya. Bila tidak disertai dengan Hoho Faluaya, maka akan hilanglah wibawa
atau kesakralan upacara tersebut.
Selanjutnya dapat dilihat pada saat pelaksanaan pesta upacara
pengukuhan gelar bangsawan maupun penyambutan tamu kebesaran Hoho
Faluaya juga dipakai sebagai bagian dari pesta adat tersebut, dalam hal ini
menjadi objek penelitian penulis. Keharusan ini menunjukkan bahwa Hoho
Faluaya memiliki fungsi yang berkaitan upacara adat atau pesta adat.
4.2.2 Fungsi Simbol Keperkasaan
Dahulu masyarakat Nias terkenal sering berperang dan konflik antar desa
(banua/öri). Banyak penyebab konflik dan perang antar kampung terjadi
dikarenakan, miisalnya: masalah perbatasan tanah, perempuan dan sengketa
lainnya. Hal ini mengundang desa yang satu menyerang desa yang lain, sehingga
para prajurit ‘bohalima’ yang ikut dalam penyerangan, harus memiliki
ketangkasan dan kemampuan yang handal dalam berperang melawan musuh dan
tangkas dalam menyelamatkan diri.
Peperangan antar kampung masih sangat sering terjadi, apalagi pada saat
tradisi berburu kepala manusia ‘magai högö’ masih dijalankan. Ketika pada
pemburu kepala manusia dikejar atau melarikan diri, maka mereka harus mampu
melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau
bambu atau dari pohon ‘tali’anu’ supaya tidak terperangkap di daerah musuh.
Itulah sebabnya desa-desa didirikan di atas bukit atau ‘hili’(gunung) supaya
musuh tidak mudah masuk dan tidak cepat melarikan diri.
129
Pada masyarakat Nias menjadi suatu kebanggaan apabila dapat menjadi
seseorang yang berani berkorban demi membela kampung mereka. Apapun
dikorbankan demi kehormatan pada kampung sendiri ‘fabanuasa’. Dalam
kehidupan mereka selalu mengutamakan “öndröra vfabanuasa, kiri-kiri
mbambatö sa”26. Itulah motto dan prinsip dalam membela dan mempertahankan
nama kampung. Artinya, rasa patriotis pada kampung lebih utama dari pada
hubungan kekerabatan. Kejadian pada salah seorang warga kampung, merupakan
peristiwa pada seluruh warga. Misalnya: jika salah seorang warga kampung A
disakiti oleh warga desa B, maka warga desa A yang lain akan turut
membalasnya. Demikian sebaliknya. Hal ini menjadi sumber konflik antar
kampung yang penyelesaiannya kompleks dan meninggalkan dendam kesumat
‘horö manana’.
Dalam teks Hoho Faluaya juga dikumandangkan bagaimana kehebatan
dan keperkasaan para bohalima (prajurit perang) Nias. Seperti frase kalimat la’
imba, imba horö (seperti babi jantan yang liar) yang dimaksudkan untuk
menyebut bahwa inilah prajurit yang gagah perkasa. Frase-frase kalimat yang
digunakan pada Hoho Fu’alö seperti, oi humokha-hokha (merinding), oi tumaro
mbörö mbu (menggigil), oi jumikhi-jikhi (bergetar), oi huméu-héu (berguncang),
yang disampaikan semuanya bermaksud menunjukkan kekuatan para bohalima
yang memiliki makna konotatif barang siapa yang mendengar kedatangan para
pasukan ini akan menggeletar dan lari ketakutan, jangan sampai melihat apalagi
mendatanginya.
26 Wawancara dengan Hikayat Manaö, Mei 2010, di Desa Bawömataluo Nias Selatan.
130
4.2.3 Fungsi Penguat Status Sosial
Salah satu kebiasaan baik bagi masyarakat Nias Selatan khususnya dan
seluruh masyarakat Nias umumnya yang telah berkeluarga (berumah tangga)
adalah adanya kebiasaan tidak menyebutkan nama maupun marganya, namun
menjadi keharusan dalam menyebutkan identitas seseorang adalah dengan
menyebutkan gelar yang telah dianugerahkan kepadanya ataupun dengan
menyebutkan nama anaknya yang paling tua. Sebagai contoh seorang dari
kelompok si’ulu atau kelompok bangsawan Nias yang bernama Bapak F. Wau
beliau dipanggil dengan nama Ama Devi Wau (nama anak yang paling tua adalah
Devi) dan semenjak melaksanaakan ritual owasa (upacara pesta besar) kepada
beliau dianugerahi gelar kebangsawanan “Tuha Samae Ewali” dan sejak saat itu
beliau dipanggil sesuai nama gelarnya. Contoh lain dari kelompok si’ila yakni
Bapak Ariston Manaö kebetulan beliau menjabat sebagai Kepala Desa
Bawömataluo kepada beliau dipanggil oleh masyarakat umum dengan nama
Amada Salawa (Bapak Kepala Desa), untuk lingkungan keluarga dan kerabat
dekat beliau dipanggil dengan nama Ama Rocky Manaö (nama anak yang paling
tua adalah Rocky), dan dalam posisi adat beliau dipanggil sesuai dengan gelar
yang telah diperoleh dari pengetua-pengetua adat yakni “Söfu Farökha”. Ini
merupakan norma yang mendukung terciptanya ikatan sosial yang kuat dalam
kalangan masyarakat Nias.
Adat dan kelompok adat adalah unsur-unsur yang paling sentral dan kuat
dikalangan masyarakat Nias Selatan, maupun masyarakat Nias umumnya.
Kekuatan adat tersebut ditunjukkan dalam kehidupan mereka melalui peristiwa
131
ritual pengukuhan status sosial dalam hal ini seperti gelar kebangsawanan
seseorang. Peranan penyajian Hoho Faluaya dalam konteks pengukuhan gelar
adat ini adalah suatu yang sangat menentukan dan dianggap sebagai penguat
status sosial.
“Musik mencerminkan nilai-nilai, pengatur kondisi sosial dan perilaku
kultur lainnya.” Musik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan.
Dan sebagaimana aspek-aspek kebudayaan lainnya, musik niscaya akan
mencerminkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang mendasarinya, yang
menghidupkan kebudayaan tersebut secara menyeluruh.
Penyajian Hoho Faluaya mempunyai hubungan erat dengan struktur
adat. Status para penyaji Hoho Faluaya didasarkan atas peran yang dimainkannya.
Kafalo Zaluaya/ Sondroro (leader hoho) yakni seorang yang memandu nyanyian
dan tarian serta yang menentukan kapan dimulai dan kapan berhenti dan selalu
diakui sebagai pemimpin secara adat di antara mereka. Ia mempunyai peranan
yang sangat besar dalam menentukan dan mengemas tema pesan yang akan
disampaikan. Menurut adat Nias, apabila pihak yang meminta hoho memberikan
suatu penghargaan maka pemimpin hoho inilah yang harus menerima
penghargaan tersebut. Dalam hal pendapatan di antara para bohalima (peserta
tari), ia juga yang akan mendapat imbalan yang lebih besar.
Tingkatan kedua yaitu para Sanoyohi (fanema sato)yakni mereka yang
mendapat peran sebagai penegas teks hoho yang dilantunkan oleh seorang
Sondroro. Jadi peran mereka adalah menjawab apa yang disyairkan oleh sondroro
dengan gaya nyanyian yang khas dari kelompok sanoyohi yang minimal terdiri
132
dari 2 kelompok sanoyohi dan masing-masing minimal terdapat 2 orang di
dalamnya.
Jabatan yang diperankan dalam Hoho Faluaya juga mempunyai
hubungan dalam kelompok adat khususnya di Nias Selatan, yang terdiri dari
empat kelompok masyarakat yakni: (1) si’ulu (bangsawan); (2) éré (pemuka
agama pelebegu); (3) ono mbanua (rakyat biasa/jelata); (4) sawuyu (budak).
Selanjutnya lapisan si’ulu dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu balö ziulu
(yang memerintah) dan si’ulu (bangsawan kebanyakan). Ono mbanua dapat
dibagi menjadi dua golongan yaitu si’ila (cerdik pandai dan pemuka rakyat) dan
sato (rakyat kebanyakan). Akhirnya sawuyu dapat dibagi menjadi dua golongan
yaitu binu (orang yang menjadi budak karena kalah perang atau diculik), sondrara
hare (orang yang menjadi budak karena tak dapat membayar hutang), dan halite
(orang yang menjadi budak karena ditebus orang setelah dijatuhi hukuman mati).
Dari semua golongan budak nasib binu adalah yang paling buruk, karena dari
kalangannyalah yang dapat dipilih untuk dikurbankan pada upacara-upacara yang
memerlukan kurban manusia.
Sebagaimana peran sondroro/kafalo zaluaya adalah seseorang yang
terpilih karena keahliannya, kecerdasannya dan kemampuannya memimpin
khususnya ber-hoho dan menari faluaya dari kelompok si’ulu atau si’ila bahkan
kelompok ere. Namun peran ini lebih didominasi oleh kelompok si’ila dan
kelompok ere. Sedangkan peran sanoyohi biasanya dari kelompok si’ila (cerdik
pandai dan pemuka rakyat) dan sato (rakyat kebanyakan), keseluruhan penyaji
Hoho Faluaya ini adalah kelompok prajurit perang (bohalima).
133
4.2.4 Fungsi Perekat Kehidupan Masyarakat
Yang dimaksud perekat kehidupan masyarakat adalah tali pengikat
kekeluargaan di antara masyarakat Nias. Hal ini tergambar pada Hoho Siöligö
bahwa seluruh masyarakat harus bersatu bergandeng tangan menunjukkan
semangat kebersamaan membangun dan mempertahankan desa warisan leluhur
mereka. Menurut Merriam (1964: 227) salah satu fungsi musik adalah sebagai
wadah atau sarana untuk berkumpul bagi masyarakatnya. Demikian juga halnya
dengan konteks upacara adat masyarakat Nias merupakan wadah atau sarana bagi
pihak sawatö (pemilik pesta) dengan seluruh unsur kekerabatannya untuk
berkumpul, berinteraksi, dan mempererat hubungan yang terjalin di antara
mereka semuanya. Adanya Hoho Faluaya sebagai sebuah penyajian utama pada
peristiwa ritual besar yang melibatkan seluruh masyarakat khususnya
Bawömataluo, menjadi momen berkumpul serta berinteraksi sehingga melahirkan
ikatan yang kuat di antara mereka.
4.2.5 Fungsi Komunikasi dan Penyampaian Pesan
Masyarakat Nias dalam menyampaikan maksud keinginannya selain
melalui ucapan biasa, akan lebih berharga dirasakan apabila dilakukan dengan
menggunakan pepatah (amaedola). Amaedola atau Vfamaedo (Nias Selatan)
merupakan salah satu cara yang berwibawa dalam menyampaikan maksud dan
tujuan apalagi yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat. Selain
dengan amaedola masyarakat Nias juga mengungkapkannya melalui Hoho.
Menurut Merriam (1964: 220) manusia sebagai makhluk sosial dalam
134
kehidupannya senantiasa berkomunikasi dengan sesamanya. Komunikasi sebagai
proses penyampaian sesuatu pesan kepada yang dituju dapat berupa lisan dan
tulisan, maupun isyarat. Penyampaian semua bentuk komunikasi tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik jika mempunyai sarana-sarana tertentu. Salah satu
sarana komunikasi tersebut adalah melalui musik.
Untuk itu dapat dilihat dan dirasakan bahwa musik hoho disini berfungsi
sebagai alat penyampai pesan. Ketika Hoho Faluaya dikumandangkan dalam
suatu upacara adat berarti sedang terjadi penyampaian pesan kepada seluruh
masyarakat. Seperti fohuhugö (seruan persetujuan yang dipekikkan) berfungsi
mengirim pesan dan meminta jawaban terhadap pesan. Demikian halnya dengan
fu’alö, fadölihia, dan siöligö beberapa pesan dikirim lewat seorang Sondroro dan
yang mewakili masyarakat yakni kelompok Sanoyohi menerima pesan dan
menjawab pesan tersebut. Mereka saling mengerti bahwa musik yang dinyanyikan
dan gerakan tarian tersebut merupakan tanda adanya satu peristiwa upacara adat.
Selain itu, Hoho Faluaya juga mau menyampaikan pesan terhadap
identitas etnis. Sebagai salah satu dari sekian banyak kelompok etnis di Indonesia,
masyarakat Nias yang tertarik pada tari-tarian dan musik tradisionalnya, sangat
menyadari keunikan musik mereka, baik di dalam maupun di luar tradisi Hoho.
Pada acara-acara silaturahmi, sebagian dari anggota masyarakat sering muncul
“nasionalisme primitif kesukuan” dengan musik, tarian dan adat sebagai titik tolak
semangat. Pada acara seperti ini kerap kali sangat membantu penyebaran musik
dan tari-tarian Nias, yang mempengaruhi musik dan tari-tarian nasional Indonesia.
135
Dengan demikian, pergelaran Hoho Faluaya merupakan suatu acara guna
mengkomunikasikan karakter dan kebanggaan etnis mereka.
4.2.6 Fungsi Nilai-Nilai Estetis
Nilai-nilai estetis yang dimaksud di sini adalah bagaimana masyarakat
Nias menempatkan dirinya ketika berada dalam suasana seremonial atau
keterlibatannya dalam upacara adat. Seperti pengukuhan gelar bangsawan yang
diberikan oleh pengetua adat Nias (si’ulu dan si’ila) dilakukan dengan
menuturkan bagaimana gelar tersebut dapat diberikan kepada seseorang yang
ternyata telah banyak memberikan jasa terhadap pembangunan desa mereka.
Dalam konteks Hoho Faluaya sebagai sarana pengukuhan gelar
bangsawan, tuturan yang disampaikan tidak sekedar menggunakan ucapan biasa
namun dengan mempertimbangkan pemilihan kata-kata yang menggambarkan
nilai-nilai estetis yang kemudian dirangkai dalam bentuk kalimat syair dengan
penuh ketelitian, keahlian dan kecerdasan yang dimiliki oleh seorang ere hoho /
sondroro hoho / sifahoho. Kalimat syair tersebut dibahasakan dengan
melantunkannya atau disampaikan dengan nyanyian (ber-hoho) sehingga terjalin
hubungan tekstual, sifat puitik, dan gaya bahasa di dalam struktur nyanyian.
Hubungan inilah yang menjadi ukuran keseriusan pelaksanaan sebuah upacara
adat pengukuhan gelar bangsawan tersebut di atas.
Berbicara nilai-nilai estetis Hoho Faluaya tentu bukan hanya sekedar
melihat yang terhayati dari unsur teks yang dinyanyikan saja (hoho), namun harus
melibatkan penghayatan terhadap keindahan gerak atau tarian (faluaya). Tarian
136
Faluaya merupakan bagian dari ritual adat sehingga tidak boleh dipandang hanya
sebagai suatu aturan atau kebiasaan yang telah dilakukan secara turun-temurun,
oleh sebab itu dalam menarikannya juga sekaligus tergambar nilai-nilai estetika
(keindahan). Nilai-nilai estetik tersebut tidak hanya dapat dirasakan oleh para
pelaku tari (fanari), namun sekaligus juga dapat dimengerti oleh penonton pada
umumnya.
Sikap serius tersebut berhubungan erat dengan penghayatan estetis si
penari terhadap nyanyian yang mengiringinya. Hubungan di antara bunyi musik
dalam mengiringi tarian dan gerakan-gerakan tari yang dilakukan akan
menampakkan nilai-nilai estetik, baik bagi penari, maupun bagi penonton yang
terlibat. Selain itu, menari secara serius dan sungguh-sungguh dalam suatu
upacara adat sekaligus juga merupakan cerminan dari rasa hormat serta sikap tulus
terhadap semua pihak yang terlibat dalam upacara adat tersebut. Sikap serius
dalam menari timbul atas dasar penghayatan bunyi musik yang mengiringinya.
Dimanapun di dunia ini, tampak jelas bahwa musik mempunyai peran
yang kuat dalam mengungkapkan suasana hati seseorang. Pengungkapan suasana
hati itu dapat bersifat spesifik seperti halnya pada lagu yang bernuansa politis
maupun lagu-lagu percintaan yang mau mengungkapkan perasaan dan kepuasan
diri. Apapun jenis suasana hati yang diekspresikan dalam proses pembuatan
musik, akan menggugah reaksi dari para pendengar dan reaksi itu tidak lepas dari
pementasannya. Maksudnya adalah nuansa lagu yang dibawakan disesuaikan
dengan suasana upacara adat. Sebagai contoh, untuk pesta perkawinan, pesta
137
panen dan pesta meriah lainnya tentu sangat berbeda nuansa musiknya dengan
suasana kematian atau kesedihan.
Salah satu faktor yang dianggap penting dalam menentukan reaksi
suasana hati terhadap musik di kalangan masyarakat Nias adalah tempo musik
yang dibawakan. Untuk menunjukkan suasana gembira, maka dipakai tempo
sedang hingga tempo cepat. Sedangkan tempo lambat umumnya dipakai untuk
yang berhubungan dengan hal-hal musibah, kekecewaan, kesedihan dan kerinduan
hati. Banyaknya lagu-lagu sedih di daerah Nias dan digunakannya istilah
fange’esi menggambarkan makna suasana hati dari lagu-lagu tersebut serta
persepsi masyarakat Nias terhadap lagu-lagu tersebut. Pengungkapan perasaan
mungkin paling mudah dan sederhana untuk difahami dari lirik yang
dikandungnya.
Seorang pemimpin (ere/sondroro/sifahoho) mempunyai peran penting
dalam suasana ini. Pemandu hoho ini menjadi pemicu dalam memulai dan
memfasilitasi pengungkapan perasaan yang sesuai untuk masing-masing situasi
dengan cara “menghidupkan” syair yang dibangun untuk yang dinyanyikan.
Sebagai contoh, dalam Hoho Faluaya seorang sondroro harus mampu
membangun teks yang berisikan ungkapan semangat patriotisme atau semangat
perjuangan, semangat kemenangan maupun semangat tidak terkalahkan dan
pantang menyerah. Keberhasilan seorang sondroro, adalah bila syair yang
dibangunnya mendapat respon positif dari para bohalima (prajurit perang/penari
perang), sehingga bagi yang mendengar atau menyaksikan kehadiran mereka akan
ikut terbakar semangatnya atau bahkan menjadi takut dan gentar bila itu orang
138
yang tidak senang pada kehadiran mereka. Teks yang terbentuk dikuatkan
dengan ekspresi gerak tarian berperang oleh para bohalima, sehingga lengkaplah
sudah suasana emosional dapat tersajikan. Bentuk semangat patriotisme yang
diwujudkan dalam aktivitas Hoho Faluaya memiliki fungsi lahirnya nilai-nilai
estetis.
4.2.7 Fungsi Hiburan dan Ucapan Syukur
Ungkapan syukur seperti yang dilakukan para bohalima pada saat
melakukan Hoho Fadölihia merupakan sebuah ungkapan kegembiraan,
kebanggaan, dan kepuasan mereka terhadap apa yang sudah diberikan oleh
pemimpin-pemimpin mereka. Malinowski (dalam Koentjaraningrat, 1987: 71)
menguraikan bahwa semua aktivitas kebudayaan sebenarnya bermaksud untuk
memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan manusia. Dihubungkan
dengan kesenian sebagai aktivitas kebudayaan dalam suatu masyarakat maka
keberadaan suatu bentuk kesenian tidak semata-mata ditentukan oleh seniman
sebagai pelaku kesenian, namun yang lebih penting lagi adalah terletak pada
penerimaan masyarakat sebagai penikmat dan sekaligus apresiator terhadap suatu
bentuk kesenian.
Melihat penyajian Hoho Faluaya utamanya berfungsi sebagai ritual adat
namun dalam pengamatan penulis penyajian tersebut tidak menutup kemungkinan
adanya aspek hiburan dalam penyajiannya. Kenyataan ini dapat terlihat dari
ekspresi para penonton yang hadir menyaksikan pergelaran Hoho Faluaya baik
untuk pengukuhan gelar adat bangsawan Nias maupun untuk atraksi budaya, yang
139
dihadiri oleh para turis asing atau domistik. Dalam penyajiannya penonton dapat
dilibatkan untuk ikut serta menari dan menyanyi khususnya dalam penyajian
Hoho Siöligö yakni salah satu jenis nyanyian dan tarian yang terdapat dalam Hoho
Faluaya. Keterlibatan penonton menunjukkan rasa kebersamaan sesuai dengan
makna Siöligö menggambarkan gerakan persatuan sambil menari dan bernyanyi
bersama sambil bergandengan tangan satu dengan yang lainnya tanpa ada tombak
dan tameng di tangan, sehingga terlihat wajah gembira diantara penonton yang
terlibat.
Proses belajar secara lisan pun tergambar pada saat mereka melakukan
Hoho Siöligö. Saling memberitahukan teks apa yang hendak diucapkan
(dinyanyikan) dan langkah apa yang harus digerakkan dengan perasaan penuh
kegembiraan. Dengan formasi membentuk lingkaran besar terus berkeliling
sambil berpegangan tangan dengan menggerakkan langkah yang sama namun teks
nyanyian (hoho) yang berganti-ganti, dan akhirnya gerakan dan nyanyian
dihentikan dengan syair penutup oleh sondroro hoho dan dijawab dengan secara
serempak oleh peserta yang terlibat dengan jawaban Hu!
4.2.8 Fungsi Pengiring Gerakan Tarian Faluaya
Dalam hal ini Hoho Faluaya berfungsi sebagai musik pengiring untuk
menggerakkan fisik (menari). Kaitan fungsi ini dengan penyajian Hoho Faluaya
dapat dilihat pada saat para bohalima menari. Artinya pada saat hoho dilantunkan
oleh sondroro, alunan melodi secara spontan merangsang perasaan para bohalima
yang mendengarnya, dan dengan rasa itu kemudian menggerakkan fisik mereka
140
dengan melakukan gerakan-gerakan (gesture) berperang sebagai ungkapan
semangat patriotisme yang masih mengalir di darah para prajurit perang / penari
perang (bohalima). Reaksi ini mereka perlihatkan dengan melakukan gerakan
bertahan, mengendap, menyerang, menangkis, dan gerakan lain seperti berperang
melawan musuh dan semua itu dilakukan dengan indah dan khas yang merupakan
gerakan tari.
4.2.9 Fungsi Pertahanan Budaya
Merriam (1964: 225) menjelaskan bahwa musik juga merupakan suatu
perwujudan dan aktivitas yang bertujuan untuk mengekspresikan nilai-nilai.
Dengan demikian, fungsi musik tersebut menjadi bagian dari beragam
pengetahuan manusia lainnya seperti sejarah, mitos, dan legenda. Dengan
demikian musik berfungsi bagi kesinambungan kebudayaan yang diperoleh
melalui transmisi pendidikan, kontrol terhadap perilaku yang salah, menekankan
kepada kebenaran, dan pada akhirnya menyumbangkan kepada stabilitas
(kesinambungan) kebudayaan.
Hoho merupakan salah satu pendukung pelaksanaan berbagai upacara
adat pada masyarakat Nias. Disebutkan sebagai upacara adat karena memiliki
aturan-aturan tertentu dan dilaksanakan secara turun-temurun. Dengan masih
disertakannya Hoho Faluaya dalam ritual adat pengukuhan gelar bangsawan Nias,
maka kesinambungan kebudayaan etnis Nias masih berlangsung sampai saat ini.
Dalam konteks Hoho Faluaya dalam ritual adat pengukuhan gelar bangsawan
141
Nias, bernyanyi sambil menari sebagai satu bagian dari budaya Nias terus
menjadi suatu aktivitas yang digemari oleh masyarakat Nias pada umumnya.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa Hoho Faluaya dijadikan
sebagai sarana untuk menjaga kelangsungan nilai-nilai kultural dan keagamaan.
Hoho Faluaya juga menjadi alat untuk pengikat dan peneguh ikatan sosial dan
upacara-upacara kultural maupun keagamaan yang dianggap penting oleh
masyarakat Nias.
142
BAB V
ANALISIS TEKS HOHO FALUAYA
5.1 Analisis Semiotik Penyajian Teks Hoho Faluaya
Sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat dan selalu melakukan
interaksi dengan masyarakat lainnya tentu membutuhkan suatu alat komunikasi
agar bisa saling memahami tentang suatu hal. Apa yang perlu dipahami? Banyak
hal salah satunya adalah tanda. Supaya tanda itu bisa dipahami secara benar dan
sama membutuhkan konsep yang sama supaya tidak terjadi misunderstanding atau
salah pengertian. Namun pada kenyataannya tanda itu tidak selamanya bisa
dipahami secara benar dan sama di antara masyarakat. Setiap orang memiliki
interpretasi makna tersendiri dan tentu saja dengan berbagai alasan yang melatar-
belakangi-nya. Ilmu yang membahas tentang tanda disebut semiotik ( the study of
signs). Masyarakat selalu bertanya apa yang dimaksud dengan tanda? Banyak
tanda dalam kehidupan sehari-hari kita seperti tanda-tanda lalu lintas, tanda-tanda
adanya suatu peristiwa atau tanda-tanda lainnya. Semiotik meliputi studi seluruh
tanda -tanda tersebut sehingga masyarakat berasumsi bahwa semiotik hanya
meliputi tanda-tanda visual (visual sign). Di samping itu sebenarnya masih
banyak hal lain yang dapat kita jelaskan seperti tanda yang dapat berupa
gambaran, lukisan dan foto sehingga tanda juga termasuk dalam seni dan
fotografi. Atau tanda juga bisa mengacu pada kata-kata, bunyi-bunyi dan bahasa
tubuh (body language). Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis
sistem tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan
143
menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai
lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang
mengacu pada obyek tertentu.
Berdasarkan pendekatan teori-teori semiotik pada bab I, maka penulis
akan menggunakannya dalam rangka melihat makna, maksud dan tujuan teks
Hoho Faluaya. Adapun langkah yang akan penulis lakukan dalam proses
pembentukan interpretant yakni pertama: melakukan abduksi (firstness), berarti
memperoleh gagasan tentatif, sebagai suatu kemungkinan, kedua: lewat proses
nalar deduktif (secondness) diperoleh suatu yang telah memperoleh validasi
berlebih karena ditopang konsekuensi logis, ketiga: lewat nalar induktif
(thirdness), validitas karena konsekuensi praktis dalam masyarakat. Akhirnya,
semiosis pragmatik ini menjadi suatu epistemologi yang memperoleh
keabasahannya bukan lewat teori kebenaran korespondensi (persesuaian gagasan
dengan realitas), tetapi karena ditopang secara pragmatis dalam suatu realitas
khusus, menjadi menganut realisme sosial dalam teori pengetahuannya.
Selanjutnya dengan tipologi tanda oleh Pierce, proses epistemolgi atau semiosis
berlangsung menurut dua tahap. Tahap pertama adalah lewat proses “logical
argumentation” dalam urutan abduksi, deduksi, dan induksi sehingga tiga tahap
fenomenologi pun diterapkan pada tahap ini. Tahap kedua adalah lewat sistem
triadik, yakni penjelajahan relasi antarunsur-unsur tanda secara tipologis. Dengan
kata lain, tahap pertama memperhitungkan ketiga unsurnya, sedangkan tahap
kedua menkaji kaitan antarunsur secara berturut-turut dalam tipologi semiotik
sebagaimana terlihat berikut :
144
Interpretant
Tanda (Representament) Objek
Pengetahuan diperoleh lewat semiosis dan merupakan pengetahuan tidak
langsung, yang diperoleh lewat tanda-tanda. Pengetahuan tidak diperoleh
langsung dari objek atau realitas (garis terputus-putus).
Lewat Barthes, melihat objek teks sebagai tanda denotatif dan
interpretant sebagai konotatif. Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal
yang dikenal dengan dengan istilah denotasi dan oleh Barthes disebut sistem
primer. Kemudian pengembangannya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder
ke arah ekspresi dise but metabahasa. Sistem sekunder ke arah isi disebut konotasi
yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep konotasi ini tentunya didasari
tidak hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh paham pragmatik yakni
pemakai tanda dan situasi pemahamannya.
Banyak hal yang dapat kita pelajari dari musik disamping perilaku
empunya musik itu sendiri. Suatu hal yang penting untuk dimengerti dari manusia
dalam hubungannya dengan musik adalah teks nyanyian. Teks nyanyian
merupakan lebih dari bahasa tata tingkah laku, tetapi teks nyanyian merupakan
bahagian integral dari musik. (Merriam, 1964: 187)
Dari hasil wawancara penulis dengan Hikayat Manaö, beliau mengatakan
arti dari Faluaya itu sendiri adalah menari dengan membentuk gerakan-gerakan
perang. Dan Hoho Faluaya itu sendiri adalah sebuah nyanyian bertujuan untuk
membakar semangat jiwa para bohalima. Syair (teks) yang disampaikan dalam
145
Hoho Faluaya tersebut berisikan penekanan atau dorongan semangat untuk
mengingatkan bahwa begitu pentingnya mempertahankan wilayah perkampungan
mereka dengan mengisahkan keperkasaan dan perjuangan leluhur mereka dalam
membangun desa dan mempertahankannya dari ancaman musuh. Sehingga dalam
hoho ini kelihatan ekspresi para bohalima yang diungkapkan dalam gerakan fisik
(tubuh) mereka pada saat hoho ini dikumandangkan. Hal ini dapat terlihat saat
mereka menggambarkan bagaimana sikap mereka pada saat melawan atau
menyerang musuh, bertahan terhadap serangan musuh, mengintai posisi musuh,
bagaimana melompati pagar atau tembok pertahanan musuh, dan lain-lain yang
menggambarkan strategi berperang. Gerakan-gerakan yang dilakukan ini sekarang
lebih dikenal dengan nama Tarian Perang (War Dance), dimana ada Panglima
Perang (Kafalo Zaluaya) atau pemimpin tari perang dan ada prajurit perang
(bohalima) atau rombongan tari perang.
Dibawah ini akan penulis transkripsikan teks Hoho Faluaya yang
disajikan oleh Hikayat Manaö (Ama Gibson) sebagai Kafalo Zaluaya/ Sondroro/
Ere Hoho dengan 2 (dua) orang kelompok sanoyohi masing-masing terdiri dari 2
(dua) orang. Dalam pengkajian teks hoho ini penulis mentranskripsi dua jenis
seruan persetujuan yang sering diulang sebagai sebuah penegasan dalam bentuk
hampir seperti pertanyaan disebut Fohuhugö dan Hivfagö serta trasnkripsi struktur
penyajian utama teks yang terbagi dalam 3 (tiga) jenis hoho dengan urutan
pemakaian, yakni: (1) Hoho Fu’alö, (2) Hoho Fadölihia, dan (3) Hoho Siöligö.
Selanjutnya transkripsi penyajian teks hoho ini tidak seluruhnya penulis
tuangkan, hal ini dikarenakan setiap hoho bisa saja disajikan selama berjam-jam.
146
Dengan latar ini, tidak memungkinkan bagi penulis untuk merekam teks hoho
tersebut secara utuh, melainkan hanya mengambil beberapa teks dari jenis hoho
tersebut di atas agar dapat memberi gambaran atas masing-masing hoho.
Analisis ini mengarah kepada teks atau syair nyanyian seperti disebut di
atas, dengan menggunakan teori semiotik, Hal ini dilakukan dalam rangka
memahami dan menafsirkan makna, maksud dan tujuan teks dari jenis-jenis karya
musikal hoho tersebut di atas. Ini penting dilakukan karena bagaimanapun teks
musik adalah sebagai ekspresi lanjutan dari teks ritual masyarakat Nias,
khususnya Hoho Faluaya.
5.2. Analisis Teks Hoho Faluaya
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa penyajian Hoho
Faluaya terdiri dari dua jenis seruan persetujuan (Fohuhugö dan Hivfagö) serta 3
jenis hoho berdasarkan isinya, dengan urutan penyajian (1). Hoho Fu’alö, (2).
Hoho Fadölihia, dan (3). Hoho Siöligö, akan penulis deskripsikan apa yang
menjadi objek tanda dimana penanda (Signifier) dan petanda (Signified)sehingga
dapat terpaparkan makna denotatif dan konotatif dari Hoho Faluaya yang akan
disajikan dengan format penulisan seperti di bawah ini :
Masing-masing jenis hoho tersebut akan dideskripsikan dalam bentuk
tabel seperti contoh di halaman berikut ini :
Contoh format penulisan:
147
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son
Sa.1
Sa.2
-Heia hé haia dahumalö
-Aé hu! Hé
-Aé hu! Hé
- Apa yang mau kita
ambil:
-Ya
-Ya
dahumalö
(mengambil)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1. mengambil: usaha
memperoleh/
mendapatkan sesuatu.
mengambil: tindakan
menanyakan apa yang
hendak dilakukan/
dikerjakan/diperbuat
sekarang.
frase teks pembuka
fu’alö ini merupakan
bentuk pertanyaan
kepada bohalima apa
yang mau diperbuat.
Demi kemudahan penulisan dan untuk efisiensi pencatatan penulis
menggunakan singkatan untuk penyaji Hoho Faluaya, yakni menuliskan
Sondroro dengan “Son”, Sanoyohi pertama dengan “Sa.1” dan Sanoyohi kedua
dengan “Sa.2”. Untuk seluruh prajurit termasuk sanoyohi hoho akan ditulis
dengan “Sa.1 & Sa.2“.
Dalam pendekatan ucapan Bahasa Nias asli (Li Niha) dalam penulisan teks hoho,
maka dalam pentranskripsian ini penulis menggunakan huruf bunyi tunggal
(vokal) yang khas yaitu ö, yang hampir sama dengan ‘e’ pepet seperti
menyebutkan “enam” dan é seperti dalam penyebutan “tembok”, seperti pada
penjelasan sub bab bahasa pada bab II.
5.2.1 Analisis Teks Fohuhugö (Hugö)
148
Kegiatan ini diawali dengan hugö27. Sebelum Hoho Fu’alö terlebih
dahulu dilaksanakan Fohuhugö. Fohuhugö (hugö) adalah sebuah teriakan atau
seruan yang memberi makna ‘meminta’ persetujuan atau kesepakatan atas apa
yang hendak dilaksanakan dan atas apa yang telah dilaksanakan. Seruan ini
diteriakkan oleh seorang Sondroro hoho setelah memahami konteks apa yang
akan diajukan untuk disetujui atau disepakati. Melihat makna dari fohuhugö maka
seruan ini akan hampir sering terdengar diserukan sebelum memulai hoho dan
setelah selesai perbagian dari hoho yang akan dan telah dikumandangkan dalam
rangkaian kegiatan penobatan gelar bangsawan ini. Demikian pula fohuhugö ini
digunakan sebelum Hoho Fu’alö ,dan saat sebelum Hoho Fadölihia, serta saat
sebelum dan sesudah Hoho Siöligö, dengan teks yang terlebih dahulu sudah
disesuaikan dengan konteks apa yang hendak disepakati atau disetujui sebelum
diserukan.
Seperti hugö dibawah ini sebagai pembuka acara. Seorang Sondroro
(Hikayat Manaö) akan melakukan hugö ‘meminta’ jawaban persetujuan adakah
semua yang hadir setuju dan sepakat untuk dilaksanakan acara besar ini (dalam
hal ini pengukuhan gelar kebangsawanan seorang Menteri Negara Pembangunan
Desa Tertinggal yakni Ir. H. Ahmad Helmy Faisal Zaini pada Juni 2011).
Tabel 5.1
27 Dalam J.Kunt (1939:14) penulis terjemahkan: Ketika menyanyi dan menari telah
berlangsung selama beberapa waktu, kebutuhan untuk waktu yang singkat, kebutuhan untuk jeda pendek yang menentukan. Salah seorang pria kemudian menyanyikan fangu hugo. Ini adalah suatu kalimat penuh yang dinyanyikan dalam nada yang sama (g' atau a’) dan dalam nuansa gembira, diteriakkan dengan suara yang lantang. Kalimat yang dikatakan: "hugo-hugo" (CN) atau "mihugo" (SN) "si ha sara todo" yang berarti: "Kami semua seide sepikir". Kemudian bersama-bersama dengan teriakan "Hu" atau "Hiu".
149
Analisis Teks Hugö
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son
Sa.1& 2
Son
Sa.1& 2
-Tari humöhö tabörötai
tabörögö
- Hu!
- Bahijalé
- Ha!
- Sudahkah bisa kita
mulai:
-Ya kami bersedia
-Mari lanjutkan
-Ya mari
tabörötai tabörögö
(memulai)
bahijalé (teruskan)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1. memulai: upaya untuk
segera melakukan
sesuatu.
teruskan: jangan
berhenti
memulai: tindakan
bertanya apa ada
yang keberatan
acara ini
dilaksanakan.
teruskan: jika tidak
ada yang keberatan
boleh dilanjutkan
jangan berhenti.
frase Hugö ini
merupakan bentuk
pertanyaan apakah
masyarakat yang hadir
setuju acara ini dimulai.
frase Hugö ini bersifat
call respons.
Deskripsi Penyajian Teks Hugö: Sondroro menanyakan apakah acara ini sudah
dapat kita mulai? Jika seluruh yang hadir sudah merasa sepakat dan setuju maka
akan dijawab secara serempak oleh kelompok ini dengan mengatakan Hu ! (ya
kami sepakat, ya kami setuju). Namun biasanya mereka semua akan setuju karena
sebelum dilaksanakannya upacara pengukuhan gelar adat bangsawan ini, terlebih
dahulu dilakukan musyawarah (orahu) oleh pengetua-pengetua adat dalam
menetapkan gelar apa yang pantas diberikan nanti untuk disahkan dalam upacara
pengukuhan tersebut. Setelah dijawab dengan Hu !, sondroro mengajak kembali
dengan mengatakan bahijalé yang berarti jika sudah semua sepakat dan setuju
150
untuk dimulai, maka marilah kita lanjutkan, dan ajakan ini sambut kembali oleh
sanoyohi dan seluruh prajurit dengan mengucapkan Ha ! yang berarti ya mari kita
lanjutkan.
5.2.2 Analisis Teks Hivfagö
Setelah hugö oleh sondroro maka kelompok ini akan melanjutkannya
dengan melakukan gerakan ohigabölöu untuk menyusun barisan dan melakukan
gerakan hivfagö apabila barisan sudah tersusun. Untuk menghentikan gerakan ini
dilakukan kembali berupa seruan hivfagö untuk menegaskan hugö di atas, seperti
teks di bawah ini.
Tabel 5.2
Analisis Teks Hivfagö
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son
Sa.1& 2
- Hé fa
- khöyöla,
- La’ imba, imba horö
-He yaiya, yaiya hö!
- Hu ! Hu ! Ha !
-Mari,
-bermain
-babi jantan liar
-Ya, lakukan
-Ya, pasti
1. fakhöyöla (bermain)
2. la’ imba, imba horö
(babi jantan yang kuat)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1.
2.
bermain: beratraksi,
bergerak, bercanda
babi jantan yang kuat:
hewan liar yang
berbahaya.
bermain: aktifitas
beratraksi.
babi jantan yang
kuat: menunjukkan
keperkasaan.
frase Hivfagö ini
menunjukkan symbol
keperkasaan para
bohalima. frase Hivfagö
bersifat call respons.
5.2.3 Hoho Fu’alö
151
Selanjutnya penyajian Hoho Fu’alö yang terdiri dari 10 (sepuluh) bait
syair bermaksud menyatakan bahwa kelompok Faluaya dalam kondisi siap siaga
atau siap berperang. Terlihat dalam isi syair hoho-nya yang banyak menuturkan
perihal keperkasaan dan kehebatan kelompoknya sehingga seolah-olah pasukan
mereka tidak akan terkalahkan, dan sepertinya tidak ada kelompok yang lebih
kuat dari kelompok mereka. Selain dari hoho yang disampaikan, semangat
keperkasaan kelompok ini juga terekspresikan dalam gerakan perang fu’alö.
Berikut analisis teks Hoho Fu’alö Bait 1:
Tabel 5.3
Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 1
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son
Sa.1& 2
Son
Sa.1& 2
- Heia hé haia
dahumalö
- Aé hu! Hé
- Ohaia ba haia
dahumalö manö-manö
- Aé hu! Hé
- Apa yang mau kita
ambil:
-Ya
- Apa pokok
pembicaraan :
-Ya
1. dahumalö
(mengambil)
2. dahumalö manö-
manö
(mengambil bahan
pembicaraan)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1.
2.
mengambil: usaha
memperoleh/
mendapatkan sesuatu.
mengambil bahan
pembicaraan: usaha
mengambil: tindakan
menanyakan apa
yang hendak
dilakukan/
dikerjakan/diperbuat
sekarang.
mengambil bahan
pembicaraan:
frase teks pembuka
fu’alö ini merupakan
bentuk pertanyaan
kepada bohalima apa
yang mau diperbuat.
frase berikutnya
menayakan apa yang
mau dijadikan bahan
152
mendapatkan bahan
pembicaraan.
tindakan
menanyakan apa
bahan pembicaraan
yang hendak disusun
sekarang.
pembicaraan.
(usaha memperjelas
pertanyaan frase 1).
Setiap frase bersifat call
respons dan counter
frase (pengulangan)
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 1: Sebagai teks pembuka dari Hoho
Fu’alö seorang sondroro menuturkan apa yang hendak kita lakukan sekarang,
dan apa yang mau kita jadikan pokok pembicaraan utama kita. Dalam hal ini
sondroro hoho menanyakan kepada kelompoknya kata-kata apa yang tepat yang
harus disampaikan dalam upacara ini.
Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 2:
Tabel 5.4
Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 2
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son
Sa.1& 2
Son
Sa.1& 2
- Ohaia hé haia
dahumalö
- Aé hu! Hé
- Ohaia ba haia
dahumalö vfamaedo
- Aé hu! Hé
- Apa yang mau kita
ambil:
-Ya
- Apa yang diambil
pepatah:
-Ya
1. dahumalö
(mengambil)
2. dahumalö vfamaedo
(mengambil kata
pepatah)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1. mengambil: usaha mengambil: tindakan frase 1 teks bait 2 fu’alö
153
2.
memperoleh/
mendapatkan sesuatu.
mengambil kata
pepatah: usaha
mendapatkan kata
perumpamaan.
menanyakan apa
yang hendak
dilakukan/
dikerjakan/diperbuat
sekarang.
mengambil kata
pepatah: tindakan
menanyakan apa
kata pepatah yang
hendak disusun
sekarang.
ini merupakan bentuk
pertanyaan kepada
bohalima apa yang mau
diperbuat. frase
berikutnya masih
menayakan apa yang
mau dijadikan bahan
kata perumpamaan.
(usaha memperjelas
pertanyaan frase 1)
Setiap frase bersifat call
respons dan counter
frase (pengulangan)
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 2: Apa yang hendak kita
ungkapkan sekarang, dan pepatah yang mana yang hendak kita tuturkan dan
sampaikan. Dalam hal ini sondroro hoho menanyakan kembali kepada
kelompoknya pepatah atau perumpamaan apa yang tepat yang harus disampaikan
dalam upacara ini.
Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 3:
Tabel 5.5
154
Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 3
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son
Sa.1& 2
Son
Sa.1& 2
- Ohaia hé yaé ndraono
matua
- Aé hu! Hé
- Ohaia hé yaé ndraono
matua sihino döla
- Aé hu! Hé
- Inilah para pria:
-Ya
- Para pria yang
gagah perkasa:
-Ya
1. ndraono matua (pria)
2. ndraono matua
sihino döla
(pria yang kuat)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1.
2.
pria: laki-laki (pria)
desa Bawömataluo.
pria yang kuat: laki-laki
(pria) desa
Bawömataluo yang
perkasa.
pria: prajurit perang
(bohalima) sebagai
model panutan yang
harus di contoh.
pria yang kuat:
prajurit perang
(bohalima)sebagai
model panutan /
teladan yang harus di
contoh karena
keperkasaannya.
teks bait 3 fu’alö ini
merupakan bentuk
pernyataan kepada
khalayak bahwa para
bohalima yang perkasa
inilah yang
membentengi desa
Bawömataluo dari
serangan musuh.
Setiap frase bersifat call
respons dan counter
frase (pengulangan)
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 3: Sondroro mengelu-elukan
bahwa yang sedang beratraksi ini adalah para pria pilihan (sebagai bohalima)
yang kuat dan handal, merekalah para pria yang gagah perkasa dari desa
Bawömataluo. Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 4:
Tabel 5.6
Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 4
155
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son
Sa.1& 2
Son
Sa.1& 2
- Ohaia hé yaé ndraono
matua
- Aé hu! Hé
- Ohaia hé yaé ndraono
matua salio boto
- Aé hu! Hé
- Inilah para pria:
-Ya
- Para pria yang
cekatan:
-Ya
1. ndraono matua (pria)
2. ndraono matua salio
boto
(pria cepat tubuhnya)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1.
2.
pria: laki-laki (pria)
desa Bawömataluo.
pria cepat tubuhnya:
laki-laki (pria) desa
Bawömataluo yang gesit
tubuhnya.
pria: prajurit perang
(bohalima) sebagai
model panutan yang
harus di contoh.
pria yang kuat:
prajurit perang
(bohalima)sebagai
model panutan /
teladan yang harus di
contoh karena
kecekatannya.
teks bait 4 fu’alö ini
mendukung bait 3 yang
merupakan bentuk
pernyataan identitas
para bohalima yang
gesit dan cekatan dalam
berperang. Setiap frase
bersifat call respons
dan counter frase
(pengulangan)
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 4: Sondroro kembali mengatakan
bahwa yang sedang beratraksi ini adalah para pria pilihan (sebagai bohalima)
yang kuat dan handal, merekalah para pria generasi penerus pejuang dari desa
Bawömataluo.
Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 5:
156
Tabel 5.7
Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 5
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son
Sa.1& 2
Son
Sa.1& 2
- Ohaia hé oi humokha-
hokha
- Aé hu! Hé
- Ohaia hé oi humokha-
hokha mbu jamaigi
- Aé hu! Hé
- Bisa merinding:
-Ya
- Merinding yang
melihat:
-Ya
1. humokha-hokha
(merinding)
2. humokha-hokha mbu
jamaigi
(merinding yang
melihat)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1.
2.
merinding: seperti
kedinginan sampai
berdiri ujung bulu
dipori-pori.
merinding yang melihat:
seperti kedinginan
sampai ujung bulu
dipori-pori yang
melihat.
merinding:
keperkasaan prajurit
sampai membuat
orang takut.
merinding yang
melihat: keperkasaan
prajurit sampai
membuat siapapun
ketakutan bila
melihatnya.
teks bait 5 fu’alö ini
menegaskan bait 4 yang
merupakan bentuk
pernyataan identitas
para bohalima yang
ditakuti dalam
berperang. Setiap frase
bersifat call respons
dan counter frase
(pengulangan)
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 5: Sondroro mengungkapkan
siapapun yang melihat para prajurit ini pasti merinding ketakutan, dan lari
menghindar.
Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 6:
157
Tabel 5.8
Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 6
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son
Sa.1& 2
Son
Sa.1& 2
- Ohaia hé oi tumaro
mbörö mbu
- Aé hu! Hé
- Ohaia hé oi tumaro
mbörö mbu jiso
- Aé hu! Hé
- Bisa merinding:
-Ya
- Merinding yang
datang:
-Ya
1. tumaro mbörö mbu
(merinding)
2. tumaro mbörö mbu
jiso
(merinding yang
datang)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1.
2.
merinding: seperti
kedinginan sampai
berdiri akar bulu dipori-
pori.
merinding yangdatang:
seperti kedinginan
sampai berdiri akar
bulu dipori-pori yang
datang.
merinding:
keperkasaan prajurit
sampai membuat
orang takut.
merinding yang
datang: keperkasaan
prajurit sampai
membuat siapapun
ketakutan, jangan
sampai
mendatanginya.
teks bait 6 fu’alö ini
menegaskan bait
sebelumnya yang
merupakan bentuk
pernyataan identitas
para bohalima yang
ditakuti dalam
berperang. Setiap frase
bersifat call respons
dan counter frase
(pengulangan)
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 6: Sondroro mengungkapkan lagi
barang siapa yang menemuinya pasti akan ketakutan, sebab itu menghindarlah
jangan sampai terlihat oleh pasukan ini apalagi sampai mendatanginya.
Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 7:
158
Tabel 5.9
Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 7
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son
Sa.1& 2
Son
Sa.1& 2
- Ohaia hé oi jumikhi-
jikhi
- Aé hu! Hé
- Ohaia hé oi jumikhi-
jikhi gahé jagö
- Aé hu! Hé
- Bisa bergetar:
-Ya
- Bergetar kaki ujung
atap :
-Ya
1. jumikhi-jikhi
(bergetar)
2. jumikhi-jikhi gahé
jagö
(bergetar kaki ujung
atap)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1.
2.
bergetar: terjadinya
goyangan kecil
berulang dengan cepat.
bergetar ujung atap:
terjadinya goyangan
kecil berulang dengan
cepat di atap rumah
adat di bagian ujung
titisan air.
bergetar:
keperkasaan prajurit
sampai membuat
tubuh musuh
menggeletar.
bergetar ujung atap:
dengan keperkasaan
prajurit membuat
tubuh musuh
menggeletar
ketakutan.
teks bait 7 fu’alö ini
menegaskan bait
sebelumnya yang
merupakan bentuk
pernyataan identitas
para bohalima yang
ditakuti dalam
berperang. Setiap frase
bersifat call respons
dan counter frase
(pengulangan)
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 7: Sondroro mengingatkan kepada
seluruh yang hadir bahwa pasukan ini bukan hanya membuat orang menggigil
bahkan sampai gemeletar bila sudah mendengarnya. Gemetar bagaikan ujung atap
rumah yang bagian ujungnya tertiup angin, sebab itu menghindarlah jangan
sampai terlihat oleh pasukan ini.
Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 8:
159
Tabel 5.10
Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 8
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son
Sa.1& 2
Son
Sa.1& 2
- Ohaia hé oi huméu-
héu
- Aé hu! Hé
- Ohaia hé oi huméu-
héu mbubu nomo
- Aé hu! Hé
- Bisa berguncang:
-Ya
- Berguncang
bumbung atap :
-Ya
1. huméu-héu
(berguncang)
2. huméu-héu mbubu
nomo
(berguncang bumbung
atap)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1.
2.
berguncang: terjadinya
goyangan lebih besar
berulang dengan cepat.
berguncang bumbung
atap: terjadinya
goyangan lebih besar
berulang dengan cepat
di bagian puncak/
bumbung atap rumah
adat.
berguncang:
keperkasaan prajurit
sampai membuat
tubuh musuh
menggeletar.
berguncang
bumbung atap:
dengan keperkasaan
prajurit membuat
tubuh musuh
menggeletar dan lari
ketakutan.
teks bait 8 fu’alö ini
menegaskan bait
sebelumnya yang
merupakan bentuk
pernyataan identitas
para bohalima yang
sangat perkasa, kuat
dan ditakuti musuh
dalam berperang. Setiap
frase bersifat call
respons dan counter
frase (pengulangan)
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 8: Sondroro kembali mengingatkan
kepada seluruh yang hadir bahwa pasukan ini bukan hanya membuat orang
merinding dan gemetar bahkan lebih dahsyat lagi sampai membuat orang yang
mendengarnya dan melihatnya merasa terguncang ketakutan. Berguncang seperti
160
berguncangnya bumbung atap rumah adat karena tertiup angin yang sangat keras,
Itulah keperkasaan mereka dan oleh sebab itu menghindarlah, jangan sampai
terlihat oleh pasukan ini.
Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 9:
Tabel 5.11
Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 9
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son
Sa.1& 2
Son
Sa.1& 2
- Ohaia hé ga baéwali
hili
- Aé hu! Hé
- Ohaia hé ga baéwali
hili fanayama
- Aé hu! Hé
- Di halaman puncak
gunung:
-Ya
- Di halaman puncak
gunung fanayama:
-Ya
1. ga baéwali hili
(halaman di puncak
gunung)
2. ga baéwali hili
fanayama
(halaman di puncak
gunung fanayama)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1.
2.
halaman di puncak
gunung: pekarangan
desa yang letaknya
paling tinggi sehingga
dapat melihat desa lain.
halaman di puncak
gunung fanayama:
pekarangan desa adat
Bawömataluo yang
letaknya paling tinggi
halaman di puncak
gunung: wilayah
kekuasaan tempat
tinggalnya para
prajurit yang perkasa
dan masyarakat yang
teranyomi.
halaman di puncak
gunung fanayama:
wilayah kekuasaan
yang aman dan
damai tempat
tinggalnya para
teks bait 9 fu’alö ini
merupakan penyataan
baru dengan tema
wilayah keberadaan
mereka Setiap frase
bersifat call respons
dan counter frase
(pengulangan)
Nb. fanayama =
julukan kebesaran desa
Bawömataluo, seperti
Indonesia julukannya
Nusantara. Sekarang
161
sehingga dapat melihat
desa lain.
prajurit yang perkasa
dan masyarakatnya.
nama Fanayama telah
menjadi salah satu
kecamatan di Nias
Selatan
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 9: Sondroro menuturkan bahwa
seluruh pasukan sudah siap siaga di halaman yang letaknya paling tinggi di
puncak gunung, dan di halaman yang letaknya di puncak gunung paling tinggi di
desa kebanggaan mereka.
Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 10:
Tabel 5.12
Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 10
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son
Sa.1& 2
Son
Sa.1& 2
- Ohaia hé ga baéwali
famaédo
- Aé hu! Hé
- Ohaia hé ga baéwali
famaédo danö
- Aé hu! Hé
- Di halaman pemilik
pepatah:
-Ya
- Di halaman
bangsawan kita:
-Ya
1. ga baéwali famaédo
(halaman pemilik
pepatah)
2. ga baéwali famaédo
danö
(halaman bangsawan/
raja)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1.
halaman pemilik
pepatah: pekarangan
desa bangsawan / raja.
halaman pemilik
pepatah: wilayah
kekuasaan para
bangsawan dan para
teks bait 10 fu’alö ini
mendukung bait 9
dengan tema perihal
wilayah kekuasaan
162
2.
halaman
bangsawan/raja:
pekarangan pendiri
rumah adat besar
(nifolasara)di desa
Bawömataluo.
pemimpin desa yang
sangat luas.
halaman
bangsawan/raja:
wilayah kekuasaan
para bangsawan dan
para pemimpin desa
yang luas seluas
jagad raya mari
dijaga dan
dipelihara.
yang luas. Setiap frase
bersifat call respons
dan counter frase
(pengulangan)
Nb. famaédo danö =
nama gelar adat
kebangsawanan pendiri
rumah adat besar
(nifolasara) desa
Bawömataluo.
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 10: Sebagai teks penutup dari Hoho
Fu’alö, sondroro menuturkan bahwa begitu luasnya wilayah kita terbentang
terlihat dari puncak gunung ini, begitulah luasnya wilayah nusantara kekuasaan
kita yang sepatutnya kita jaga bersama. Ungkapan sondroro ini disambut oleh
kelompok sanoyohi dengan mengatakan demikianlah yang kita sepakati.
Dari penyajian Hoho Fu’alö di atas teks (1) merupakan teks pembuka,
teks (2) sampai dengan teks (8) merupakan teks isi, dan bagian penutup dari Hoho
Fu’alö yakni teks (9) sampai dengan teks (10).
5.2.4 Hoho Fadölihia
Setelah kata sepakat diperoleh, maka sebelum melakukan hoho fadölihia
terlebih dahulu dilakukan fameafo oleh para wanita dengan membawa nafo
(perlengkapan makan sirih) sambil menarikan tarian mogaélé. Fameafo
163
(pemberian sekapur sirih) kepada para bohalima dan kepada pengetua adat dan
dalam hal ini kepada tamu kehormatan yakni Menteri Negara yang datang.
Pemberian sirih ini adalah sebagai tanda penghormatan kepada orang-orang yang
dihormati karena peran dan jasanya membela desa mereka. Para penari mogaélé
ini berjalan dengan sangat perlahan melangkah menembus ditengah barisan para
bohalima sebagai pengawal mereka, semua dalam situasi yang sangat hening
menunggu para penari mogaélé melangkah menuju tempat duduk para pengetua-
pengetua adat dan para tamu kehormatan untuk memberikan sekapur sirih. Pada
saat akan diberikan sekapur sirih terlebih dahulu disampaikan hugö oleh
sondroro, sebagai pernyataan bahwa pemberian sekapur sirih merupakan hadiah
yang sangat mulia dari seluruh masyarakat kepada para pengetua adat dan para
tamu kehormatan ini karena mereka sangat senang dan bangga memiliki
pemimpin-pemimpin yang melindungi desanya. Hugö diteriakkan pada awal akan
diberikan dengan teks mengenai akan dimulainya pemberian sekapur sirih dan
frase melodi sama dengan (lihat tabel 5.1). Hugö kembali diteriakkan menandakan
telah selesai pemberian sekapur sirih kepada para pengetua adat dan tamu
kehormatan tersebut.
Selesai fameafo semua yang hadir menjadi gembira dan para bohalima
mengungkapkan kegembiraan mereka dengan melakukan beberapa gerakan
atraktif yang menggambarkan bahwa para bohalima sangat kuat dan perkasa.
Pertunjukan ketangkasan (show force) oleh para bohalima dimulai dari melakukan
gerakan Faluaya Zanökhö menggambarkan musuh sudah terkepung dengan
mengelilingi atau mengepung wilayah musuh. Gerakan Faluaya Zanökhö yang
164
dilakukan yakni dengan melangkahkan kaki kanan dua langkah kea rah kanan
diikuti kaki kiri dan melangkahkan kaki kiri satu langkah ke kiri diikuti kaki
kanan dan ditutup dengan hitungan empat oleh kaki kanan. Gerakan ini dilakukan
sambil membentuk lingkaran dan mengepakkan baluse serta mengayun-ayunkan
toho.
Gerakan ini akan berganti menjadi gerakan hivfagö ketika sondroro
meneriakkan seruan hivfagö (lihat tabel 5.2). Setelah gerakan terhenti atraksi yang
seru dilanjutkan dengan menampilkan gerakan fasuwö untuk menggambarkan
suasana dalam pertempuran atau perang antara dua kelompok, balusé bertabrakan.
Selanjutnya famanu-manu yakni atraksi ketangkasan bohalima dalam bertempur
melawan musuh satu lawan satu. Diteruskan dengan aksi fatélé yakni atraksi
ketangkasan atau keahlian seorang bohalima. Selesai melakukan atraksi akhirnya
para kontestan kembali masuk dalam barisan. Dan dilanjutkan kembali dengan
menampilkan gerakan fasuwö untuk menggambarkan suasana dalam pertempuran
atau perang antara dua kelompok, balusé bertabrakan, dan pada saat semua
bohalima berhadapan dengan posisi kuda-kuda gerakan dihentikan dengan seruan
Ha! Kemudian gerakan dilanjutkan dengan gerakan ohigabölöu dan dihentikan
dengan gerakan hivfagö ketika sondroro menyerukan hivfagö (lihat tabel 5.2).
Untuk melanjutkan kepada penyajian Hoho Fadölihia kembali diawali
oleh sondroro dengan seruan persetujuan (hugö), seperti hugö (lihat tabel 5.1) di
atas. Selanjutnya penyajian Hoho Fadölihia pun dilantunkan. Dalam hal ini
sajikan dalam 10 bait syair Hoho Fadölihia diikuti dengan gerakan Fahidjalé
yakni gerakan satu baris membentuk gerakan berliku-liku seperti ular atau disebut
165
juga gerakan Fadölihia. Adapun isi hoho ini merupakan ungkapan mengagung-
agungkan keperkasaan dan kepedulian pemimpin mereka dan ungkapan rasa
syukur, seperti yang tertuang dalam teks di bawah ini :
Tabel 5.13
Analisis Teks Hoho Fadölihia - Bait 1-10
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son
Sa.1& 2
- Tabörötai tabörögö
- Aé hijaho! Hé
- Mari mulai:
-Ya
1. tabörötai tabörögö
(memulai)
Son
Sa.1& 2
- Ono matua sifakhöyö
- Aé hijaho! Hé
- Pria yg bermain:
-Ya
2. ono matua sifakhöyö
(pria yang bermain)
Son
Sa.1& 2
- Ono matua fotuwusö
- Aé hijaho! Hé
- Pria yg bertumbuh:
-Ya
3. ono matua fotuwusö
(pria yang bertumbuh)
Son
Sa.1& 2
- Talau fadölihia fualö
- Aé hijaho! Hé
- menari fadölihia
dan fualö:
-Ya
4. talau fadöli hia fualö
(menari fadölihia dan
fualö)
Son
Sa.1& 2
- Baéwali zi’öfa ndrölö
- Aé hijaho! Hé
- halaman 4 lorong
desa:
-Ya
5. baéwali zi’öfa ndrölö
(halaman 4 lorong
desa)
Son
Sa.1& 2
- Baéwali famaedo danö
- Aé hijaho! Hé
- halaman rumah
bangsawan:
-Ya
6. baéwali famaedo
danö (halaman rumah
bangsawan)
Son
Sa.1& 2
- Mai ‘ota högö Majinö
- Aé hijaho! Hé
- menghadap
Majinö:
-Ya
7. mai ‘otamahögö
majinö (menghadap
Majinö)
Son
Sa.1& 2
- Mai salogoi
Maenamölö
- Aé hijaho! Hé
- Lindungannya
Maenamölö:
-Ya
8. mai salogoi
Maenamölö
(lindungannya
166
Maenamölö)
Son
Sa.1& 2
- Mai erogö ba Garamö
- Aé hijaho! Hé
- Membelakangi di
Garamö:
-Ya
9. mai erogö ba
Garamö
(membelakangi
Garamö)
Son
Sa.1& 2
- Talau fadölihia fualö
- Aé hijaho! Hé
Yai’ia, yai’ia hö! Ha!
- menari fadölihia
dan fualö:
-Ya
Benar demikian
10. talau fadölihia fualö
(menari fadölihia dan
fualö)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1.
2.
3.
4.
memulai: upaya untuk
segera melakukan
sesuatu.
pria yang bermain: para
pria yang mampu
beratraksi unjuk
kekuatan.
pria yang bertumbuh:
para pria yang sedang
bertumbuh kembang.
menari fadölihia dan
fualö: tarikanlah
fadölihia dan fualö
memulai: tindakan
bertanya apa ada
yang keberatan
acara ini
dilanjutkan.
pria yang bermain:
menyapa hai kalian
prajurit yang sedang
bergmbira.
pria yang
bertumbuh: para
prajurit yang masih
usia muda. Pria
pilihan yang
perkasa.
menari fadölihia dan
fualö: atraksikan
kehebatanmu hai
para prajurit,
lakukan gerakan2
teks bait 1-10 fadölihia
ini bertema ungkapan
rasa syukur atas
keberhasilan dan
kemenangan para
prajurit perang
melawan kelompok
musuh. Aé hijaho! Hé:
merupakan
uangkapan/masyarakat
yang hanya ada pada
tarian penyambutan
kepda ‘bala tentara’
yang kembali dari
medan perjuangan
dengan hasil gemilang.
Setiap frase bersifat call
respons dan counter
frase (pengulangan)
167
5.
6.
7.
8.
9.
halaman 4 lorong desa:
desa Bawömataluo
memiliki 4 buah lorong.
halaman rumah
bangsawan: halaman
rumah pendiri rumah
adat besar (nifolasara)
menghadap Majinö:
tepatnya menghadap
Majinö salah satu ‘öri’
(wilayah adat) di Nias
lindungannya
Maenamölö : merangkul
wilayah adat
Maenamölö, salah satu
‘öri’ (wilayah adat) di
Nias Maenamölö
membelakangi
Garamö: wilayah desa
Bawömataluo yang
membelakangi desa
Garamö
fadölihia dan fualö
halaman 4 lorong
desa: beratraksi di
pusat desa di antara
4 lorong.
halaman rumah
bangsawan:
tepatnya di depan
halaman omo
sebua/nifolasara
(rumah adat
besar)milik raja.
menghadap Majinö:
menunjukkan
wilayah kekuasaan
desa mereka yang
strategis.
lindungannya
Maenamölö :
menunjukkan
wilayah yang
strategis dan
kekuasaan mereka
terhadap desa lain.
membelakangi
Garamö:masih
menunjukkan
wilayah kekuasaan
desa mereka yang
letaknya strategis.
168
10. menari fadölihia dan
fualö: tarikanlah
fadölihia dan fualö
menari fadölihia dan
fualö: atraksikan
kehebatanmu hai
para prajurit,
lakukan gerakan2
fadölihia dan fualö
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fadölihia Bait 1 - 10: Sebagai teks (1) sebagai
pembuka dari Hoho Fadölihia, seorang sondroro mengajak mari kembali kita
mulai tarian ini sebagai ungkapan rasa syukur kita atas telah berlangsungnya
upacara ini, dan teks isi Hoho Fadölihia dilanjutkan dengan menuturkan
bagaimana keperkasaan para prajurit perang (bohalima) para pria yang tangguh
yang terpilih sedang merayakan kemenangan dengan menarikan tarian Fadölihia
dan Fu’alö sebagai rangkaian tarian Faluaya seperti pada teks (2) sampai dengan
(4). Kembali dijelaskan sebagai penghormatan dan ungkapan syukur sondroro
menuturkan keunggulan dari posisi/letak desa mereka yang sangat strategis yang
tidak dimiliki desa lain dengan mengatakan bahwa para bohalima melakukan
tarian ini tepat di tengah perempatan lorong desa28 yakni di halaman atau
pekarangan Tuada Laowö (bangsawan atau raja yang telah mendirikan desa
Bawömataluo) pemilik rumah adat besar (Omo Hada Sebua). Sondroro dalam
tuturannya kembali mengungkapkan bahwa mereka sedang berada dipekarangan
Tuada Laowö yang menghadap wilayah adat Mazinö, dan merangkul wilayah
adat Maenamölö serta membelakangi wilayah adat Garamö seperti pada teks (5)
28 Desa Bawömataluo memiliki 4 buah lorong yang disebut ndrölö (lorong) yakni: 1) ndrölö löu (arah pintu masuk/gerbang melewati 88 anak tangga); 2) ndrölö raya (lorong yang berhadapan dengan löu); 3) ndrölö halamba’a (lorong yang menghadap omo hada sebua); dan 4) ndrölö bagoa (terletak disebelah kiri sejajar dengan omo hada sebua)
169
sampai dengan (9). Dan sebagai syair penutup teks (10) menjelaskan bahwa
disinilah dilakukan tarian Hoho Fadölihia sebagai ungkapan rasa syukur kita atas
telah berlangsungnya upacara ini.
5.2.5 Hoho Siöligö
Setelah melakukan Hoho Fadölihia dengan gerakan Fahidjalé yakni
gerakan satu baris membentuk gerakan berliku-liku seperti ular dan ditutup
dengan teks (10) dari Hoho Fadölihia dan barisan telah membentuk formasi
lingkaran selanjutnya dengan diawali hugö seperti (lihat tabel 5.1), kemudian
diteruskan dengan Hoho Siöligö diikuti dengan gerakan Siöligö yakni dengan
gerakan berpegangan tangan mengungkapkan indahnya sebuah persatuan dimana
dalam gerakan ini diperbolehkan menari bersama baik dari kelompok si’ulu, si’ila
maupun sato, seperti yang tertuang dalam teks di bawah ini :
Tabel 5.14
Analisis Teks Hoho Siöligö (pembukaan bagian 1)
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son
- Hé..hé…ého!
- Ho mba ba
- Inilah negeri kita
- terletak di
1. ého (wilayah/negeri)
170
Sa.1& 2
Son
- Ha…lö...hili no laukha
- A……..
- O Inagu Aé
- Ho Ina…Aéhé ya
- Ho iwa wöwö awöni
ba ndraso
- Lumö….hö….jimöi
- Aé lumö…hö…jiso
- Lau babö…
- Böli…hé….é
- tepi pegunungan
-Ya
- Oh ibuku
- Ya ibuku
- Pembentuk Desa
- Sudah pergi
- Yang datang
- Jangan lupakan
2. hili no laukha
(pinggir gunung)
3. Inagu (ibuku)
4. wöwö awöni ba
ndraso (pendiri desa)
5. jimöi (pergi)
6. jiso (datang)
7. böli (jangan)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
wilayah/negeri :
wilayah desa
pinggir gunung : letak
desa Bawömataluo
ibuku :yang melahirkan
pendiri desa :nenek
moyang
pergi : tidak berada lagi
di desa
datang : hadir di desa
jangan : tidak boleh
dilakukan
wilayah/negeri :
wilayah strategis
desa
pinggir gunung :
letak yang hanya
dimiliki desa
Bawömataluo
ibuku : leluhur desa
pendiri desa :yang
membangun dan
menata desa
pergi : sudah
meninggal dunia
datang :lahir
generasi baru
jangan : teruskan
warisan leluhur
teks bait pembuka
Siöligö ini bertema-kan
pesan pewarisan dan
peran generasi penerus
untuk memeliharanya.
Setiap frase bersifat
call respons.
171
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Siöligö (tabel 5.14 dan 5.15): Sebagai
pembuka dari Hoho Siöligö, seorang sondroro menggambarkan indahnya sebuah
persatuan dan bagaimana kuatnya masyarakat Nias bila bersatu mempertahankan
warisan leluhur nenek moyang mereka, menumbuhkan rasa bangga akan desanya.
Dalam syair pembuka diungkapkan rasa bangga memiliki wilayah desa warisan
leluhur mereka yang terletak tepi dataran tinggi (pegunungan) maupun yang ada
didataran rendah, dan kepada rakyatnya baik yang pergi maupun yang kembali
juga siapapun yang berkunjung ke desa ini merasa bangga dan mengagumi
keharmonisan desa ini. Syair ini kemudian di aminkan dengan dielu-elukan oleh
seluruh masyarakat dan para bohalima dengan syair ke 2 (tabel 5.15), di bawah
ini:
Tabel 5.15
Analisis Teks Hoho Siöligö (pembukaan bagian 2)
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son +
Sa.1& 2
Sa.1
Sa.2
Sa.1
Sa.2
Sa.1&2
- Hé..hé…ého ba
- mba... lö hili
- wöwö…ö…awöni
- ba ndraso!
- Hé lumö!
- Hé lumö jimöi!
- Hé lumö!
- Lumö jiso!
- Hé yai’ia, yai’ia hö!
- Inilah negeri kita
- pegunungan
- sudah dibangun
- tempat kita
- ya mereka
- mereka yang pergi
- ya mereka
- mereka yang
datang
- ya, mari kita
bersama
1. ého (wilayah/negeri)
2. hili (gunung)
3. wöwö awöni ba
ndraso (pendiri desa)
4. jimöi (pergi)
5. jiso (datang)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
172
1.
2.
3.
4.
5.
wilayah/negeri :
wilayah desa
pinggir gunung : letak
desa Bawömataluo
pendiri desa :nenek
moyang
pergi : tidak berada lagi
di desa
datang : hadir di desa
wilayah/negeri :
wilayah strategis
desa
pinggir gunung :
letak yang hanya
dimiliki desa
Bawömataluo
pendiri desa :yang
membangun dan
menata desa
pergi : sudah
meninggal dunia
datang :lahir
generasi baru
teks bait pembuka 2
Siöligö ini merupakan
penegasan dari
pembuka 1 bertema-kan
pesan pewarisan dan
peran generasi penerus
untuk memeliharanya.
Setiap frase bersifat
call respons & counter
motif.
Selanjutnya sondroro mulai melanjutkan tuturan Hoho Siöligö ini, seperti pada
tabel 5.16 :
Tabel 5.16
Analisis Teks Hoho Siöligö bagian Isi - 1
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son - Andrö da tabörö tai - Sekarang kita 1. ta börö tai (mulai)
173
Sa.1
Sa.2
Sa.1&2
- Andrö da tabörö tai ta
börögö
- Hé siwöwö no
niwa’ömö
- ba siwöwö no
niwa’ömö
- andrö da ta börö tai ta
börögö
- Haiwa hö, haiwa hö
- Aéhu hé
mulai
- Ya kita mulai
ungkapkan
- Pendiri desa
- Ya pendiri desa
- Ya kita mulai
ungkapkan
- Ya nyanyikanlah
- Ya, tuturkan
2. tabörö tai ta börögö
(mulai katakan)
3. siwöwö no niwa’ömö
(pendiri rumah adat)
4. haiwa hö (nyanyikan)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1.
2.
3.
4.
mulai: upaya untuk
segera melakukan
sesuatu.
mulai katakan:
bicarakan dan
sampaikan
pendiri rumah adat :
pendiri rumah adat desa
Bawömataluo
nyanyikan : bersuara
dengan bernada
mulai: tindakan
bertanya apa ada
yang keberatan
acara ini
dilanjutkan.
mulai katakan:
menyampaikan
ungkapan maksud
dan tujuan upacara
ini.
pendiri rumah adat :
kepada generasi
muda diharapkan
peduli pada
peninggalan leluhur
nyanyikan :
ungkapan
kegembiraan dan
teks bait isi -1 Siöligö
ini merupakan bagian
bertema ungkapan rasa
kebersamaan persatuan.
Setiap frase bersifat call
respons & counter
frase.
174
kebersamaan di
kumandangkan
denga bernyanyi
hoho.
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Siöligö isi -1 : Sebagai bagian isi dari Hoho
Siöligö, seorang sondroro dengan dijiwai teks (tabel 5.14 dan 5.15) kembali
menggambarkan indahnya sebuah persatuan dan bagaimana kuatnya masyarakat
Nias bila bersatu mempertahankan warisan leluhur nenek moyang mereka,
menumbuhkan rasa bangga akan desanya. Dengan mengajak untuk memulai
tarian Siöligö kepada para bohalima dan seluruh masyarakat dalam rangka
menumbuhkan jiwa semangat seperti yang tertuang pada teks di tabel 5.16 di
atas. Dengan bentuk hoho yang sama kembali dituturkan oleh sondroro syair
berkait berikutnya, seperti pada teks tabel 5.17 di bawah ini:
Tabel 5.17
Analisis Teks Hoho Siöligö bagian Isi - 2
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son
Sa.1
Sa.2
- Andre ndrao mané-
mané
- Andre ndrao mané-
mané manö-manö
- Hé siwöwö no
niwa’ömö
- ba siwöwö no
niwa’ömö
- andre ndrao mané-
- Sekarang kita
ceritakan
- Ya ceritakan masa
lalu
- Pendiri desa
- Ya pendiri desa
- Ya cerita lelehur
1. mané-mané
(ceritakan)
2. manö-manö (cerita
masa lalu)
3. siwöwö no
niwa’ömö (pendiri
rumah adat)
175
Sa.1&2
mané manö-manö.
-Haiwa hö, haiwa hö
- Aéhu hé
- Ya nyanyikanlah
- Ya, tuturkan
4. haiwa hö
(nyanyikan)
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1.
2.
3.
4.
ceritakan: hal sejarah
desa
cerita masa lalu:
bicarakan dan
sampaikan
pendiri rumah adat :
pendiri rumah adat desa
Bawömataluo
nyanyikan : bersuara
dengan bernada
ceritakan: tindakan
bertanya apa ada yang
keberatan acara ini
dilanjutkan.
cerita masa lalu:
menyampaikan pesan-
pesan moral dan
nasehat yang
dibutuhkan generasi.
pendiri rumah adat :
kepada generasi muda
diharapkan peduli
pada peninggalan
leluhur
nyanyikan : ungkapan
kegembiraan dan
kebersamaan di
kumandangkan denga
bernyanyi hoho.
teks bait isi -2 Siöligö
ini merupakan bagian
bertema ungkapan
rasa kebersamaan
persatuan. Setiap frase
bersifat call respons &
counter frase.
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Siöligö isi -2 : Selanjutnya bagian dari teks isi
dari Hoho Siöligö, seorang sondroro dengan tetap menjiwai teks pada (tabel 5.14
dan 5.15) kembali digambarkan indahnya sebuah persatuan dan bagaimana
kuatnya masyarakat Nias bila bersatu mempertahankan warisan leluhur nenek
moyang mereka, menumbuhkan rasa bangga akan desanya. Dengan mengajak
176
para bohalima dan seluruh masyarakat untuk memulai mencerritakan bagaimana
jiwa semangat persatuan itu dapat tumbuh seperti yang tertuang pada teks isi - 2.
Dengan bentuk hoho yang sama namun di tengah syair sedikit berbeda, dan
menjadi syair penutup dari isi Hoho Siöligö, dituturkan oleh sondroro, seperti
pada teks tabel 5.18 di bawah ini:
Tabel 5.17
Analisis Teks Hoho Siöligö bagian Isi - 3
Penyaji Teks Nyanyian Terjemahan Informan
Objek / Tanda
Son
Sa.1
Sa.2
- Lumö mia lumö jimöi
- Lu mö mia lumö jimöi
- hé aehé ho lauwé
- Lumö…..ae
- Lumö mia lumö jimöi
- ba lumö jiso!
- Kalian yang sudah
pergi
- Kalian yang sudah
pergi
- ya leluhur kami
- ya..
- yang kalian
tinggalkan
- akan diteruskan
1. jimöi (pergi)
2. ho lauwé (leluhur)
3. jiso! (datang)
Sa.1&2 Dilanjutkan sebagai penutup Hoho Siöligö dari keseluruhan Hoho Faluaya dengan menyanyikan seperti pada teks hivfagö di atas.
NO Denotasi Konotasi Keterangan
1.
2.
pergi: tidak berada lagi
di desa
leluhur :nenek moyang
pergi: sudah
meninggal dunia
leluhur :yang yang
berjasa mendirikan
desa mereka.
teks bait isi -1 Siöligö
ini merupakan bagian
bertema ungkapan rasa
kebersamaan persatuan.
Setiap frase bersifat call
177
3.
datang : hadir di desa
datang :lahir
generasi baru
harapan penerus
warisan para leluhur
respons & counter
frase.
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Siöligö isi -3 :: Sebagai teks penutup dari teks
isi dari Hoho Siöligö, dan penutup Hoho Faluaya, seorang sondroro kembali
menggambarkan indahnya sebuah persatuan dan bagaimana kuatnya masyarakat
Nias bila bersatu mempertahankan warisan leluhur nenek moyang mereka,
menumbuhkan rasa bangga akan desanya. Dengan mengajak para bohalima dan
seluruh masyarakat untuk menyatakan lengkaplah sudah tergambar rasa sukacita
desa atas terlaksananya upacara pengukuhan gelar bangsawan di desa ini.
178
BAB VI
ANALISIS STRUKTUR MUSIK HOHO FALUAYA
Struktur musik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)29,
struktur adalah cara bagaimana sesuatu itu disusun. Sehubungan dengan musik,
maka struktur lagu adalah komposisi musik vokal yang disusun sesuai dengan
materi musik tertentu. Kajian dalam Bab VI ini mencakup bagaimana struktur
musik Hoho Faluaya yang merupakan bagian dalam penelitian ini. Seluruh bagian
hoho dari Hoho Faluaya di atas akan dikaji melodinya melalui delapan unsur
seperti yang ditawarkan oleh Malm melalui teori weighted scale. Adapun
kedelapan unsur melodi yang akan dianalisis meliputi: (1) tangga nada, (2) nada
pusat atau nada dasar, (3) wilayah nada, (4) jumlah nada-nada, (5) interval yang
digunakan, (6) pola-pola kadensa, (7) formula melodi (bentuk, frase, motif), dan
(8) kontur.
Unsur melodi Hoho Faluaya dalam penelitian ini penulis dapatkan dari
hasil rekaman kelompok hoho yang dipimpin oleh Hikayat Manaö di Desa
Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan dalam konteks
upacara pengukuhan gelar bangsawan, dan selanjutnya akan penulis
transkripsikan dan analisis yang menjadi fenomena musikal sesuai dengan urutan
penyajiannya yang terdiri dari :
Tabel 6.1
29 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 2007, hal., 825.
179
Daftar Penyajian Hoho yang Digunakan pada Hoho Faluaya
No Penyajian Hoho Faluaya Keterangan
1. Fohuhugö/Hugö Seruan Persetujuan
2. Hivfagö Seruan Penegasan
3. Hoho Fu’alö Persiapan
4. Hoho Fadölihia Ucapan Syukur
5. Hoho Siöligö Kebersamaan
6.1. Transkripsi dan Notasi
6.1.1 Proses Transkripsi
Sesuai yang ditulis May (1987) ...transkripsi dibutuhkan untuk
memvisualisasikan apa yang kita dengar untuk memampukan kita mempelajari
musik secara komparatif dan detail, dan membantu kita mengkomunikasikan
kepada pihak lain apa yang kita pikirkan dari apa yang kita dengar. Disamping itu
Crader (1980) mengatakan pula bahwa tujuan dari pentranskripsian adalah untuk
mencatat hal-hal yang esensil, serta menghindari hal-hal yang dipandang tidak
esensil. Transkripsi penulis gunakan dalam mendeskripsikan Hoho Faluaya
untuk memudahkan penulis di dalam menganalisis musik dan untuk menemukan
strukturnya.
Sebelum melakukan pentranskripsian jenis - jenis melodi dari Hoho
Faluaya penulis menyertakan bunyi ketukan Metronome Malzel (MM) buatan
Jerman untuk mempermudah mengidentifikasi kecepatan/nilai durasi ritmis dari
masing-masing penyajian Hoho Faluaya, seperti di bawah ini :
180
Tabel 6.2
Pemakaian Metronome Malzel (MM) Dalam Penyajian Hoho Faluaya
No Penyajian Hoho Faluaya MM / q =
1. Fohuhugö/Hugö 85 / q = 85
2. Hivfagö 100 / q = 100
3. Hoho Fu’alö 90 / q = 90
4. Hoho Fadölihia 110 / q = 110
5. Hoho Siöligö (Pembuka) 75 / q = 75
6. Hoho Siöligö (Isi & Penutup) 90 / q = 90
Alasan menyatukan musik dengan metronome berhubung Hoho Faluaya
bersifat pulsa yang agak bebas / free meter (tidak mempunyai meter tetap). Karena
Hoho Faluaya ini tidak terikat kepada pulsa dasar akibatnya durasi ritmis yang
tertulis tidak seakurat ritmis yang mempunyai meter tetap.
6.1.2 Notasi
Di dalam membuat transkripsi penulis menggunakan notasi barat, karena
notasi inilah yang paling umum digunakan saat ini untuk penulisan musik. Seeger
mengemukakan seperti yang ditulis Nettl (1964: 99) telah membedakan dua jenis
notasi yang mempunyai dua tujuan yang berbeda, yaitu notasi preskriptif dan
notasi deskriptif yaitu digunakan sebagai petunjuk untuk mengkaji musik. Simbol-
simbol notasi preskriptif kadang-kadang tidak lebih daripada alat pembantu untuk
181
si penyaji supaya ia dapat mengingat apa yang dimainkannya. Sedangkan notasi
deskriptif dimaksudkan untuk menyampaikan kepada para pembaca tentang ciri-
ciri dan detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh si pembaca
sebelumnya. Berdasarkan tujuan pemakaiannya maka notasi yang digunakan
adalah notasi deskriptif. Alasan lain penulis menggunakan notasi Barat dalam
mentranskripsikan Hoho Faluaya karena sejauh ini belum ada ditemukan notasi
khusus untuk menuliskan musik Nias. Alasan lain menggunakan notasi Barat
adalah karena notasi Barat telah terdapat gambaran-gambaran tinggi rendahnya
serta pembagian durasi ritmis yang jelas. Sehingga sangat membantu dalam segi
penulisan dan analisis musikal.
6.1.2.1 Pemakaian Durasi Ritmis
Untuk menuliskan satuan nilai durasi ritmis penulis membuat sebuah not
seperempat ( q ) lebih kurang satu ketuk. Sebuah not seperdelapan (e ) lebih
kurang setengah ketuk dan seterusnya. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa dalam penulisan durasi ritmis dibuat seperti di bawah ini:
Tabel 6.3
Pemakaian Durasi Ritmis Dalam Penyajian Hoho Faluaya
No Bentuk Durasi Ritmis Bunyi Diam
182
1.
4 ketuk
2. 2 ketuk
3.
1 ketuk
4. 1/2 ketuk
5.
1/4 ketuk
6.
1/8 ketuk
6.1.2.2 Garis Paranada
Disamping itu untuk memberi kemudahan dalam kerja analisis maka nilai
not dan diam dalam bentuk melodi yang akan ditranskripsikan akan penulis
tuangkan dalam garis paranada dengan Clef ‘G’, seperti paranada di bawah ini :
Contoh:
6.2 Tangga Nada
Sebelum menganalisis struktur melodinya, maka langkah selanjutnya
adalah melakukan pendekatan dengan menentukan tangga nada dan nada dasar
dengan pendekatan weighted scale, seperti yang dikemukakan oleh Bruno Nettl
(1964:7). Meskipun dapat saja pendekatan ini tidak sesuai dengan cara pandang
masyarakat pendukung Hoho Faluaya, namun teori ini dapat mendeskripsikan
secara umum keberadaan struktur melodi Hoho Faluaya, terutama bagi para
183
pemula yang dilatarbelakangi pendidikan musik Barat—yang selanjutnya lebih
dapat menelusuri konsep dan struktur sebenarnya dari musik ini, baik pandangan
musikologis secara umum maupun masyarakat Nias khususnya.
Dari hasil transkripsi seluruh isi melodi penyajian Hoho Faluaya, penulis
menemukan nada-nada yang dipakai dalam Hoho Faluaya terutama yang paling
banyak dipakai, seperti berikut ini:
Dari nada-nada tersebut di atas didapati nada E sebanyak 42, nada F sebanyak 12,
nada G sebanyak 201, nada Bb sebanyak 112, nada C sebanyak 32 dan nada D
sebanyak 54. Sedangkan nada lain yang lebih sedikit muncul seperti nada Ab
sebanyak 2, nada A sebanyak 4, nada Cb sebanyak 2, dan nada Db sebanyak 8
tidak diabaikan begitu saja melainkan menjadi nada pendukung. Melihat
kecendrungan nada yang paling sering muncul di atas maka dapatlah diyakni
nada-nada tersebut merupakan gambaran tangga nada dari Hoho Faluaya dan dari
struktur tangga nada yang digunakan tersebut kecendrungannya adalah tangga
nada pentatonik.
6.3 Nada Pusat atau Nada Dasar
Dalam menentukan nada dasar, penulis mempergunakan kriteria-kriteria
generalisasi yang ditawarkan oleh Bruno Nettl dalam bukunya yang berjudul
Theory and Method in Ethnomusicology (1984:164). Menurutnya ada tujuh
184
kriteria yang ditawarkannya untuk menentukan nada dasar suatu lagu, yaitu
sebagai berikut:
(1) Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang paling
sering dipakai, dan mana yang paling jarang dipakai dalam sebuah
komposisi musik;
(2) Kadang-kadang nada yang harga ritmisnya besar dianggap sebagai
nada dasar, walaupun jarang dipakai dalam keseluruhan komposisi
musik tersebut.
(3) Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada
bahagian tengah komposisi musik dianggp mempunyai fungsi penting
dalam menentukan tonalitas komposisi musik tersebut.
(4) Nada yang berada pada posisi paling rendah atau posisi tengah
dianggp penting.
(5) Interval-interval yang terdapat di antara nada, kadang-kadang dapat
dipakai sebagai patokan. Umpamanya kalau ada satu nada dalam
tangga nada pada sebuah komposisi musik yang digunakan bersama
oktafnya.
(6) Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga dapat dipakai sebagai
patokan tonalitas.
(7) Harus diingat bahwa barangkali terdapat gaya-gaya musik yang
mempunyai sistem tonalitas yang tidak dapat dideskripsikan dengan
keenam patokan di atas. Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas
185
seperti itu, cara terbaik adalah berdasar kepada pengalaman akrab
dengan gaya musik tersebut (terjemahan Marc Perlman 1990).
Melalui pendekatan ketujuh kriteria di atas, maka nada dasar penyajian
Hoho Faluaya tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini:
(1) Nada yang paling sering dipakai Hoho Faluaya dalam komposisi
Hugö, Hvifagö, Hoho Fu’alö, Hoho Fadölihia dan Hoho Siöligö
adalah nada G
(2) Nada yang memiliki nilai ritmik paling besar dalam keseluruhan
komposisi Hoho Faluaya ini adalah nada G
(3) Nada awal Hoho Faluaya ini dan paling sering digunakan adalah nada G
(4) Nada yang memiliki posisi paling rendah adalah nada G
(5) Dalam hoho ini tidak ada nada yang dipakai sebagai duplikasi oktaf.
(6) Tekanan ritmik pada umumnya terjadi pada nada G dan Bes
(7) Menurut pengalaman musikal penulis dalam bidang musik hoho,
kemungkinan paling besar sebagai nada dasar Hoho Faluaya adalah
nada G minor = la (do=Bb), namun untuk menghindari banyaknya
pemakaian tanda pugar ( § ) untuk nada E yang terdapat pada Hoho
Fadölihia akhirnya penulis mentranspose transkripsi ini menjadi nada
dasar D minor = la (do=F), seperti bentuk visual di bawah ini :
186
6.4 Birama (Ayunan Ketukan)
Sedangkan untuk ayunan ketukan (birama) akan digunakan pendekatan
tanda birama (time signature) seperti di bawah ini:
Tabel 6.4
Tanda Birama yang Digunakan Dalam Penyajian Hoho Faluaya
No Penyajian Hoho Faluaya Tanda Birama
1. Fohuhugö/Hugö
2. Hivfagö
3. Hoho Fu’alö
4. Hoho Fadölihia
5. Hoho Siöligö (Pembuka)
6. Hoho Siöligö (Isi & Penutup)
Seperti pada analisis teks, maka transkripsi melodi dari para penyaji hoho
ini akan penulis sajikan dalam 3 buah garis paranada clef ‘g’ untuk masing-
masing kelompok penyumbang suara (penyaji Hoho Faluaya), yakni garis
paranada pertama untuk sondroro hoho disingkat “Son”, garis paranada kedua
untuk sanoyohi pertama disingkat “Sa.1” dan garis paranada ketiga untuk
sanoyohi kedua disingkat “Sa.2”. Dapat dilihat pada contoh dibawah ini :
187
6.5 Analisis Struktur Musik Hoho Faluaya
Dari lima jenis teks syair yang dinyanyikan oleh kelompok hoho
pimpinan Hikayat Manaö dalam konteks upacara pengukuhan gelar bangsawan,
hoho ini dinyanyikan oleh seorang pemimpin (sondroro) dan dua kelompok koor
(sanoyohi), yang masing-masing terdiri dari dua orang penyanyi berasal dari desa
Bawömataluo, untuk Hugö dan Hivfagö bukan termasuk hoho, kedua jenis ini
merupakan teriakan seruan singkat saja dan bukan nyanyian, hanya satu frasa
panjang. Khusus untuk Hoho Fu’alö, Hoho Fadölihia dan Hoho Siöligö,
ketiganya dikelompokkan ke dalam bentuk hoho yang menggunakan jenis melodi
tritonus namun masing-masing hoho memiliki struktur yang berbeda. Hoho
Fu’alö mulai dengan suatu bagian introduksi yang dinyanyikan oleh sondroro
(pemimpinnya), selanjutnya oleh pemimpin dan sebuah kelompok koor
(sanoyohi). Setelah itu penyanyi-penyanyinya mengulangi suatu rangkaian melodi
yang terdiri dari suatu frasa koor. Hoho Fadölihia memiliki struktur yang hampir
sama dengan Fu’alö. Dan Hoho Siöligö yang sedikit agak rumit dari antara ketiga
hoho ini. Hoho Siöligö mulai dengan nyanyian yang dibawakan oleh sondroro
hoho dan sanoyohi saling tumpang tindih dengan frasa yang dinyanyikan
188
sondroro, lalu dilanjutkan lagi dengan sebuah frase yang dinyanyikan secara
bersamaan sementara kadang-kadang bersatu pada metrum tiga (triple meter).
6.5.1 Analisis Fohuhugö (Hugö) dan Hivfagö
Fohuhugö (hugö) adalah sebuah teriakan atau seruan persetujuan yang
memberi makna ‘meminta persetujuan atau kesepakatan atas apa yang hendak
dilaksanakan dan atas apa yang telah dilaksanakan. Seruan ini diteriakkan oleh
seorang sondroro hoho setelah memahami konteks apa yang akan diajukan untuk
disetujui atau disepakati. Hivfagö adalah seruan dari kelompok sanoyohi untuk
menegaskan Hugö sekaligus merupakan nyanyian untuk menghentikan gerakan
dari gerakan Hivfagö. Pada bagian Hugö dan Hivfagö jenis ini sering dipakai
dalam penyajian Hoho Faluaya yakni pada saat awal acara, dilakukan satu kali
Hugö selanjutnya pada saat hendak menghentikan gerakan Hivfagö dilakukan
seruan Hivfagö, pada saat menghentikan gerakan Faluaya Zanökhö kembali
dinyanyikan seruan Hivfagö. Hugö kembali diserukan pada saat memulai
pemberian sirih dan mengakhiri acara pemberian sirih, Hugö juga diserukan pada
saat pengesahan pemberian gelar bangsawan, dan pada saat akan memulai Hoho
Siöligö kembali dikumandangkan Hugö. Terakhir untuk menyelesaikan gerakan
Ohigabölöu (dalam rangkaian gerakan Siöligö) dinyanyikan kembali Hivfagö.
Dalam hal ini melodi yang digunakan dari Hugö dan Hivfagö pada dasarnya selalu
sama.
189
Sebelum menganalisis struktur melodi Hugö dan Hivfagö yang
merupakan bahagian dari penyajian Hoho Faluaya, maka terlebih dahulu
dibentangkan hasil transkripsi Hugö dan Hivfagö dimaksud. Adapun teknik
transkripsi ini sudah diuraikan pada Bab I tulisan ini. Hasilnya dalam bentuk
notasi (visual) untuk melodi Fohuhugö (Hugö) dan Hivfagö adalah sebagai
berikut:
Dari transkripsi Hugö di atas, dapat dijelaskan bahwa Hugö dalam
transkripsi ini terdiri dari 1 bar bertanda birama 13/4, 2 bar tanda birama 3/4 dan
MM 85 yang dikenal sebagai tempo lagu. Tempo merupakan cepat lambatnya
suatu komposisi musik dinyanyikan ataupun dimainkan. Dalam teori musik,
banyak dijumpai istilah-istilah yang berhubungan dengan tempo tetapi penulis
tidak membahas istilah itu satu persatu cukup hanya menyebutkan istilah tempo
pada lagu yang bersangkutan.
Tempo lagu, cepat atau lambatnya lagu dapat dihitung atau diukur
dengan Metronom Maelzel yang sering disingkat dengan MM, dalam satuan not
190
seperempat. Selanjutnya dilakukan pencarian jumlah rata-rata not permenit
dengan menghitung jumlah not yang ada dalam transkripsi di atas. Maelzel
memiliki rumus untuk menghitung rata-rata permenit yaitu sebagai berikut:
banyak bar x pembilang x 60 detik
M M Berdasarkan MM dan jumlah bar di atas, maka dapat diketahui jumlah
rata-rata not permenit dari Hugö pada birama 13/4 sebagai berikut :
banyak bar x pembilang x 60 detik M M 1 x 13 x 60 detik 85
= 9,176 detik
Selanjutnya berdasarkan MM dan jumlah bar di atas, maka akan
diketahui jumlah rata-rata not permenit dari Hugö birama 3/4 sebagai berikut :
banyak bar x pembilang x 60 detik M M 2 x 3 x 60 detik 85
= 4,235 detik
191
Dari transkripsi Hivfagö di atas, dapat dijelaskan bahwa Hivfagö dalam
transkripsi ini terdiri dari 1 bar bertanda birama 13/4, 2 bar tanda birama 4/4 dan
MM 100.
Selanjutnya dilakukan pencarian jumlah rata-rata not permenit dengan
menghitung jumlah not yang ada dalam transkripsi di atas. Maelzel memiliki
rumus untuk menghitung rata-rata permenit yaitu sebagai berikut:
banyak bar x pembilang x 60 detik
M M Berdasarkan MM dan jumlah bar di atas, maka dapat diketahui jumlah
rata-rata not permenit dari Hivfagö pada birama 13/4 sebagai berikut :
banyak bar x pembilang x 60 detik M M 1 x 13 x 60 detik 100
= 7,8 detik
192
Selanjutnya berdasarkan MM dan jumlah bar di atas, maka akan
diketahui jumlah rata-rata not permenit dari Hivfagö birama 4/4 sebagai berikut :
banyak bar x pembilang x 60 detik M M 2 x 4 x 60 detik 100
= 4,8 detik
6.5.1.1 Wilayah Nada Hugö dan Hivfagö
Dari tangga nada yang telah didapatkan pada nyanyian Hoho Faluaya di
atas, maka selanjutnya dapat ditentukan wilayah nada (ambitus) melodi Hugö dan
Hivfagö. Dengan berpedoman pada nada terendah dan nada yang tertinggi
frekuensinya serta jarak atau interval yang dihasilkan antara keduanya. Dengan
demikian maka wilayah nada kedua lagu ini dapat dilihat sebagai berikut:
6.5.1.1.1 Wilayah Nada Hugö
Penyajian Hugö oleh Sondroro: (1) birama 13/4 (meter 13) disajikan
hanya dalam 1 bar saja, dengan nada yang dihasilkan secara monoton (tetap)
yakni nada D, dan (2) terjadi perubahan ayunan ketukan menjadi 3/4 pada bar
kedua dan ketiga, dengan catatan pada bar ketiga tidak penulis jadikan ukuran
untuk melihat wilayah nada disebabkan hanya berupa bunyi ucapan (seperti
tertawa). Sehingga dapat disimpulkan bahwa wilayah nada pada birama 13/4
(meter 13) adalah nada D secara monoton, dan untuk birama kedua (birama 3/4)
193
wilayah nadanya adalah dari nada C terendah sampai nada F’ oktaf, seperti di
bawah ini:
(1). Wilayah Nada pada birama (meter) 13/4
(2). Wilayah Nada pada birama (meter) 3/4
6.5.1.1.2 Wilayah Nada Hivfagö
Penyajian melodi Hivfagö terdiri dua macam birama yakni birama 13/4
dan birama 4/4. Pada birama 13/4, diawali dengan ritem up beat pada ketukan
pertama oleh Sondroro dan langsung disambut oleh kelompok sanoyohi pada
ketukan ketiga dalam birama yang sama. Selanjutnya terjadi perubahan ayunan
ketukan menjadi 4/4 pada bar 2 dan bar 3, dengan catatan pada bar ketiga tidak
penulis jadikan ukuran untuk melihat wilayah nada disebabkan hanya berupa
bunyi ucapan (seperti tertawa). Dari dua macam birama di atas dapat disimpulkan
wilayah nada Hivfagö yakni dari nada G yang terendah sampai nada Bb tertinggi,
seperti bentuk visual di bawah ini:
194
6.5.1.2 Jumlah Nada-Nada Hugö dan Hivfagö
Untuk menentukan jumlah nada-nada ada dua cara yang perlu dilakukan.
Yang pertama adalah melihat banyaknya kemunculan setiap nada tanpa melihat
jumlah durasinya secara komulatif. Yang kedua adalah melihat kemunculannya
dan sekaligus menghitung durasi komulatif, karena durasi juga menentukan
komposisi jumlah nada dalam melodi. Dengan konsep tersebut, maka didapati
jumlah masing-masing nada dari Hugö dan Hivfagö adalah seperti berikut ini:
6.5.1.2.1 Jumlah Nada Hugö
Dilihat dari jumlah nada-nada yang dipakai, nada D adalah nada yang
paling sering muncul, namun demikian nada-nada lain yang jarang muncul
tidaklah dapat diabaikan begitu saja, karena nada-nada tersebut berfungsi sebagai
nada pendukung.
195
6.5.1.2.2 Jumlah Nada Hivfagö
Jumlah nada-nada yang dipakai pada Hivfagö di atas, hanya terdiri dari 2
macam nada yakni nada G sebanyak 15 dan nada Bb sebanyak 10. Pada penyajian
Hivfagö tidak terdapat nada lain sebagai nada pendukung yang digunakan oleh
Sondroro dan Sanoyohi.
6.5.1.3 Interval Hugö dan Hivfagö
Yang dimaksud dengan interval adalah jarak antara dua nada. Pada Hugö
dan Hivfagö secara keseluruhan hanya memiliki 1 interval yakni interval 1perfect
(murni), namun dipenutup melodi terdapat jenis interval lain yang distribusinya
masing-masing satu kali untuk Hugö dan 2 kali untuk Hivfagö. Lebih jelasnya
distribusi interval tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 6.5
Distribusi Interval melodi Hugö dan Hivfagö
Interval Distribusi Hugö Hivfagö
1 perfect
7 minor
4 perfect
16
1
1
16
-
-
Interval Distribusi Hugö Hivfagö
196
5 diminis
2 minor
6 mayor
1
-
-
-
2
2
6.5.1.4 Pola Kadensa Hugö dan Hivfagö
Pola-pola kadensa dapat dikonsepkan sebagai rangkaian nada-nada akhir
pada setiap frase melodi, namun pola kadensa ini juga dapat diartikan sebagai
nada-nada akhir frase pada musik yang bentuknya harmoni empat suara atau
sejenisnya. Kadens memiliki dua fungsi yaitu menandai berakhirnya suatu frase
dan memulai sesuatu yang lain. Jika memulai sesuatu maka kadens yang datang
sebelumnya kurang empatis dan berperan sebagai jembatan atau figur
perpindahan. Pola-pola kadensa dalam Hugö dan Hivfagö adalah sebagai berikut:
197
Disamping nada yang monoton (tetap) dan memiliki ciri call respons dari
Hugö yang terdapat pada bar 1, hal juga terdapat kadens untuk menandai
berakhirnya suatu frase lagu di bar kedua dari birama 3/4. Berikutnya:
Demikian halnya dengan Hivfagö terdapat gaya melodi call respons dari
kelompok Sanoyohi, yang tergambar pada kadens di bar 1 dari birama 13/4.
6.5.1.5 Formula Melodi Hugö dan Hivfagö
Formula melodi yang dimaksud disini adalah susunan melodi
berdasarkan blok-blok atau kesatuan-kesatuannya. Dalam hal ini ditentukan tiga
jenis blok secara umum dari yang terbesar sampai ke terkecil, yaitu: (a) bentuk,
(b) frase, dan (c) motif melodi.
Yang dimaksud dengan bentuk melodi adalah bagian melodi terbesar yang
menjadi dasar perulangan bagi bentuk-bentuk berikutnya. Satu bentuk melodi
terdiri dari dua frase melodi atau lebih. Yang dimaksud dengan frase melodi
adalah seuntai melodi yang terdiri dari dua frase atau lebih, yang merupakan satu
198
ide melodi yang utuh. Sedangkan motif melodi adalah bahagian melodi terkecil
yang menjadi karakter pengulangan seluruh komposisi (lihat Nettl 1964).
Formula Melodi Hugö dan Hivfagö adalah seperti pada bentuk visual
berikut di bawah ini:
Frase dan Motif Hugö
Dari notasi di atas dapat dilihat bahwa Hugö hanya terdiri dari satu frase
(frase A) dan 3 buah motif (motif a, b,dan c). Pada frase melodi A ini selalu
muncul pada bagian-bagian tertentu dalam urutan penyajian pertunjukan Hoho
Faluaya. Dan Frase A di atas merupakan bagian yang wajib ada pada setiap
penyajian pertunjukan Hoho Faluaya. Dengan perkataan lain frase A pada Hugö
di atas merupakan ciri khas dari Hoho Faluaya.
199
Frase dan Motif Hivfagö
Dari notasi di atas dapat dilihat bahwa Hivfagö juga hanya terdiri dari
satu frase (frase B) dan 5 buah motif (motif a, b, c, c’ dan d). Pada frase melodi B
ini akan selalu muncul setiap dilakukannya gerakan Hivfagö. Pada motif c dan c’
terdapat pengulangan motif melodi yang merupakan bagian dari jawaban (call
respons) kelompok Sanoyohi.
6.5.1.6 Kontur
Kontur adalah garis lintasan melodi yang terdapat pada sebuah nyanyian.
Menurut Malm (1977: 16), kantur dapat dideskripsikan dengan menggunakan
istilah ascending (menaik), descending (menurun), pendulous (melengkung),
attraced (berjenjang), atau dapat diperlihatkan dengan garis-garis dalam bentuk
grafik. Jenis-jenis atau nama kontur dibedakan atas gerakan melodi:
200
(a) Bila gerakan melodi naik maka disebut dengan asending;
(b) Bila gerak melodi tersebut turun maka disebut konturnya dengan
disending;
(c) Jika melengkung seperti lintasan jarum jam maka disebut dengan
pendulum atau pendulous;
(d) Bila susunannya berjenjang disebut dengan terraced;
(e) Bila gerak melodi terbatas gerak intervalnya, maka kontur melodi ini
disebut dengan statis (Malm 1977:17).
Berkaitan dengan pendapat di atas, penulis akan menggambarkan kontur
Hugö dan Hivfagö yang terdiri dari kontur statis, asending dan disending, seperti
di bawah ini:
Kontur Hugö (frae A)
Kontur Hivfagö (frase B)
201
6.5.2 Analisis Hoho Fu’alö
Berikutnya penulis akan menganalisis struktur melodi Hoho Fu’alö yang
merupakan bagian dari penyajian Hoho Faluaya, untuk itu terlebih dahulu
dibentangkan hasil transkripsi Hoho Fu’alö dimaksud. Adapun hasil transkripsi
melodi Hoho Fu’alö adalah seperti bentuk notasi (visual) berikut ini:
202
Dari transkripsi Hoho Fu’alö di atas, dapat dijelaskan bahwa Hoho
Fu’alö dalam transkripsi ini terdiri dari bagian pembuka, isi dan penutup yang
pada dasarnya berkaitan dengan isi teks. Namun secara struktur melodi yang
terlihat hanya berupa gerakan melodi pengulangan saja. Hal ini merupakan ciri
yang unik dari tradisi musik vokal dengan gaya bernyanyi call respons.
Selanjutnya dalam transkripsi di atas dapat dilihat bahwa Hoho Fu’alö
terdiri dari 7 bar bertanda birama 10/4, 1 bar tanda birama 5/4 sebagai penutup
lagu dan MM 90 yang dikenal sebagai tempo lagu.
Selanjutnya dilakukan pencarian jumlah rata-rata not permenit dengan
menghitung jumlah not yang ada dalam transkripsi di atas dengan bantuan rumus .
Maelzel, sebagai berikut:
203
banyak bar x pembilang x 60 detik
M M Berdasarkan MM dan jumlah bar di atas, maka dapat diketahui jumlah
rata-rata not permenit dari Hoho Fu’alö pada birama 10/4 sebagai berikut :
banyak bar x pembilang x 60 detik M M 7 x 10 x 60 detik 90
ikdet90
4200 = 46,6 detik
Dan bar penutup pada birama 5/4, dapat diketahui jumlah rata-rata not
permenit dari Hoho Fu’alö, sebagai berikut :
banyak bar x pembilang x 60 detik M M 1 x 5 x 60 detik 90
ikdet90
300 = 3,3 detik
6.5.2.1 Wilayah Nada Hoho Fu’alö
Dari tangga nada yang telah didapatkan pada nyanyian Hoho Faluaya di
atas, maka selanjutnya dapat ditentukan wilayah nada (ambitus) melodi Hoho
Fu’alö. Dengan berpedoman pada nada terendah dan nada yang tertinggi
frekuensinya dan jarak atau interval yang dihasilkan antara keduanya. Dengan
demikian maka wilayah nada nyanyian ini dapat dilihat di bawah ini:
204
Penyajian Hoho Fu’alö oleh Son dilakukan dengan birama 10/4 (meter
10), dan di akhiri oleh Son, Sa.1 dan Sa.2 dengan birama 5/4, maka wilayah nada
Hoho Fu’alö nada terendahnya adalah nada G dan tertinggi adalah nada D.
6.5.2.2 Jumlah Nada-Nada Hoho Fu’alö
Dalam penjelasan teks pada Bab V disampaikan bahwa penyajian hoho
jenis ini terjadi pengulangan-pengulangan melodi yang terus dilakukan sepanjang
sondroro masih dapat mengutarakan teks baru. Oleh karena itu penyajiannya tidak
dapat diukur dengan waktu yang tetap.
Dari situasi di atas dalam hal melihat jumlah nada yang digunakan Hoho
Fu’alö, penulis hanya menghitung dari hasil trankripsi di atas dan di dapati
jumlah masing-masing nada yang digunakan untuk Hoho Fu’alö adalah seperti
berikut ini:
Dilihat dari jumlah nada-nada
yang dipakai, nada G adalah nada yang paling sering muncul, diikuti nada Bb dan
nada-nada lain yang jarang muncul yakni nada C dan D, nada-nada tersebut
berfungsi sebagai nada pendukung.
205
6.5.2.3 Interval Hoho Fu’alö
Pada Fu’alö terdapat beberapa interval yang didistribusikan. Untuk lebih
jelas distribusi interval tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 6.6
Distribusi Interval melodi Hoho Fu’alö
Interval Distribusi Hoho Fu’alö
1 perfect
2 minor
3 mayor
6 minor
6 mayor
7 minor
55
19
6
3
14
6
6.5.2.4 Pola Kadensa Hoho Fu’alö
Pola-pola kadensa dalam Hoho Fu’alö dalam menandai akhir frase
nyanyian terdapat dua pola kadensa yakni satu pola pada setiap akhir frase dan
satu pola lagi pada penutup Hoho Fu’alö, seperti digambarkan di bawah ini :
206
207
Kadens pada melodi Hoho Fu’alö merupakan ciri call respons dari
Sanoyohi terhadap Sondroro si pemberi respons dan pada bagian penutup hoho ini
terjadi saling isi antara kelompok Sanoyohi dengan Sondroro.
208
6.5.2.5 Formula Melodi Hoho Fu’alö
Formula Melodi Hoho Fu’alö adalah seperti pada analisis berikut di
bawah ini:
209
Melalui bentuk visual di atas, formula melodi Hoho Fu’alö terdiri dari :
210
Tabel 6.7
Formula Melodi Hoho Fu’alö
Bentuk Frase Motif
A = 1 kali Frase 1 = 1 kali Motif 1 = 1 kali
A’ = 1 kali Frase 1’ = 2 kali Motif 1’ = 2 kali
A’’ = 1 kali Frase 2 = 3 kali Motif 2 = 3 kali
Motif 3 = 12 kali
Motif 4 = 3 kali
Motif 5 = 1 kali
Motif 6 = 2 kali
6.5.2.5.1 Kajian Terhadap Bentuk, Frase dan Motif Hoho Fu’alö
Dari notasi dan distribusi formula melodi di atas maka dapat dilihat
bahwa Hoho Fu’alö terdiri dari :
1. Bentuk A terdiri dari 2 frase (frase 1, 2), dan 4 motif (motif 1,2,3,4):
Frase 1 ini bersifat call respons, dapat dilihat pada motif 1 dan 2
merupakan melodi pengantar respon dari Sondroro dan direspon
(disambut) oleh kelompok Sanoyohi seperti pada motif 3. Pada frase
2 bentuk A ini juga bersifat call respons, hal ini terlihat pada motif 4
adalah pengantar respon dan kembali kelompok Sanoyohi
menggunakan motif 3 untuk merespon. Motif 4 ini merupakan melodi
penjelasan terhadap motif 1 dan 2 pada frase 1 yang diperankan oleh
Sondroro. Melihat frase 1 dan frase 2 bentuk A di atas, dapatlah
211
dikatakan bahwa terdapat counter motif, hal ini terlihat ada
pemakaian motif yang sama (motif 3) pada frase 1 dan frase 2.
Dengan demikian hubungan melodi antara frase 1 dan 2 menjadi
lebih kuat karena diikat oleh motif 3.
2. Bentuk A’ terdiri dari 2 frase (frase 1’, 2), dan 4 motif (motif
1,2,3,4):
Pada dasarnya Bentuk A’ adalah sama dengan bentuk A, karena
hanya dibedakan oleh motif 1’ yakni merupakan melodi awal sebagai
pengantar respon dari Sondroro.
3. Bentuk A” terdiri dari 2 frase (frase 1’, 2), dan 6 motif (motif
1,2,3,4,5,6):
Demikian halnya pada Bentuk A” pada dasarnya memiliki frase yang
sama dengan A’ namun dibedakan dengan munculnya motif 5 dan
motif 6 sebagai motif penutup yang bersifat call respons dari
kelompok Sanoyohi dan diikuti Sondroro.
6.5.2.6 Kontur
Dari transkripsi melodi di atas tergambar kontur Hoho Fu’alö yang
terdiri dari kontur statis, terraced, asending dan disending, seperti di bawah ini:
Kontur (1) Hoho Fu’alö (Frase 1)
212
Kontur (2) Hoho Fu’alö (frase 2)
Kontur (3) Hoho Fu’alö (frase 1’)
Kontur (4) Hoho Fu’alö (frase 2, motif 5 & 6)
213
6.5.3 Analisis Hoho Fadölihia
Selanjutnya penulis akan mengkaji struktur melodi dan makna frase
melodi Hoho Fadölihia yang merupakan bahagian dari penyajian Hoho Faluaya.
Untuk itu terlebih dahulu akan dibentangkan hasil transkripsi Hoho Fadölihia
dimaksud. Dan unsur-unsur melodi yang akan penulis analisis adalah seperti pada
uraian pembahasan sub bab 6.5.1. di atas. Hasilnya dalam bentuk notasi (visual)
untuk melodi Hoho Fadölihia adalah sebagai berikut:
214
Dari transkripsi Hoho Fadölihia di atas, maka dapat dijelaskan bahwa
Hoho Fadölihia dalam transkripsi ini memiliki gaya atau bersifat call respons,
lebih jelasnya akan di uraikan pada kajian bentuk, frase dan motif pada sub bab di
bawah ini.
Selanjutnya dalam transkripsi di atas dapat dilihat bahwa Hoho Fadölihia
terdiri dari 9 bar bertanda birama 4/4 dan MM 110 yang dikenal sebagai tempo
lagu.
Selanjutnya pencarian jumlah rata-rata not permenit dilakukan dengan
menghitung jumlah not yang ada dalam transkripsi di atas dengan bantuan rumus .
Maelzel, sebagai berikut:
banyak bar x pembilang x 60 detik
M M Berdasarkan MM dan jumlah bar di atas, maka dapat diketahui jumlah
rata-rata not permenit dari Hoho Fadölihia pada birama 4/4 sebagai berikut :
banyak bar x pembilang x 60 detik M M
215
9 x 4 x 60 detik 110
ikdet
1102160 = 19,636 detik
6.5.3.1 Wilayah Nada Hoho Fadölihia
Dari tangga nada yang telah didapatkan pada nyanyian Hoho Faluaya di
atas, maka selanjutnya dapat ditentukan wilayah nada (ambitus) melodi Hoho
Fadölihia. Dengan berpedoman pada nada terendah dan nada yang tertinggi
frekuensinya dan jarak atau interval yang dihasilkan antara keduanya. Dengan
demikian maka wilayah nada nyanyian ini dapat dilihat di bawah ini:
Penyajian Hoho Fadölihia oleh Son, Sa.1 dan Sa.2 dilakukan dengan
birama 4/4, maka wilayah nada Hoho Fadölihia memiliki nada terendah yaitu
nada E dan tertingginya adalah nada C.
6.5.3.2 Jumlah Nada-Nada Hoho Fadölihia
Dalam penjelasan teks pada Bab V disampaikan juga bahwa penyajian
hoho jenis ini dilakukan dengan pengulangan melodi dan dapat terus dilakukan
sepanjang sondroro masih dapat mengutarakan teks baru. Oleh karena itu
216
penyajiannya tergantung kemampuan sondroro dalam menciptakan syair dengan
melodi tetap.
Dari situasi di atas dalam hal melihat jumlah nada yang digunakan Hoho
Fadölihia, penulis hanya menghitung dari hasil trankripsi di atas dan di dapat
jumlah masing-masing nada yang digunakan untuk Hoho Fadölihia adalah
seperti berikut ini:
Dilihat dari jumlah nada-nada yang dipakai, nada E adalah nada yang
paling sering muncul dan merupakan nada yang hanya digunakan pada hoho ini,
diikuti nada G sementara Nada C hanya muncul sebanyak 4 kali dan berfungsi
sebagai nada pendukung.
6.5.3.3 Interval Hoho Fadölihia
Pada Hoho Fadölihia terdapat beberapa interval yang didistribusikan.
Untuk lebih jelas distribusi interval tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah
ini:
217
Tabel 6.8
Distribusi Interval melodi Hoho Fadölihia
Interval Distribusi Hoho Fadölihia
1 perfect 3 minor 3 mayor 6 mayor
49 5 1 7
6.5.3.4 Pola Kadensa Hoho Fadölihia
Pola-pola kadensa dalam Hoho Fadölihia dalam menandai akhir frase
nyanyian terdapat dua pola kadensa yakni satu pola pada setiap akhir frase dan
satu pola lagi pada birama ke 8 dan 9 sebagai penutup Hoho Fadölihia dimana
kadens penutup ini sama dengan kadens penutup pada Hoho Fu’alö, seperti
digambarkan di bawah ini :
218
Kadens pada melodi Hoho Fadölihia juga bersifat call respons dari
Sanoyohi terhadap Sondroro sebagai si pemberi respons dan pada bagian penutup
hoho ini terjadi saling isi antara kelompok Sanoyohi dengan Sondroro.
6.5.3.5 Formula Melodi Hoho Fadölihia
Formula Melodi Hoho Fadölihia akan diuraikan bentuk, frase dan motif
yang trdapat di dalamnya seperti pada analisis berikut di bawah ini:
219
220
Melalui bentuk visual di atas, formula melodi Hoho Fadölihia terdiri dari :
Tabel 6.9
Formula Melodi Hoho Fadölihia
Bentuk Frase Motif
B = 1 kali Frase 1 = 1 kali Motif 1 = 1 kali
B’ = 1 kali Frase 1’ = 1 kali Motif 1’ = 2 kali
Frase 1’’ = 1 kali Motif 2 = 8 kali
Frase 2 = 1 kali Motif 3 = 1 kali
Motif 4 = 3 kali
6.5.3.5.1 Kajian Terhadap Bentuk, Frase dan Motif Hoho Fadölihia
Dari notasi dan distribusi formula melodi di atas maka dapat dilihat
bahwa Hoho Fadölihia terdiri dari :
221
1. Bentuk B terdiri dari 1 frase (frase 1), dan 2 motif (motif 1,2):
Frase 1 ini bersifat call respons, dan diulang sepanjang Sondroro
mampu menciptakan syair, dapat dilihat pada motif 1 merupakan
melodi pengantar respon dari Sondroro dan direspon (disambut) oleh
kelompok Sanoyohi seperti pada motif 2.
2. Bentuk B’ terdiri dari 3 frase (frase 1’, 1”, 2), dan 4 motif (motif
1’,2,3,4):
Frase 1’ terdiri dari motif 1’ dan motif 2 yang bersifat call respons.
Frase 2 terdiri dari motif 3 dan motif 2 dan frase 2 terdiri dari motif
1’, motif 2 dan motif 4 sebagai penutup dinyanyikan bersama saling
kompak antara Sanoyohi dan Sondroro. Dari kondisi ini dapat
dikatakan bahwa motif 2 adalah kunci karena sebagai call respons
dari hoho ini.
6.5.3.6 Kontur
Dari transkripsi melodi di atas tergambar kontur Hoho Fadölihia yang
terdiri dari kontur statis, terraced, asending dan disending, seperti di bawah ini:
Kontur (1) Hoho Fadölihia (frase 1)
222
Kontur (2) Hoho Fadölihia (frase 1’)
Kontur (3) Hoho Fadölihia (frase 2)
Kontur (4) Hoho Fadölihia (frase 1”)
223
6.5.4 Analisis Melodi Hoho Siöligö
Terakhir penulis akan mengkaji struktur melodi dan makna frase melodi
Hoho Siöligö yang merupakan bagian yang paling menunjukkan karakter
benyanyi pada setiap penyajian hoho masyarakat Nias Selatan, dimana terdapat
gaya bernyanyi yang khas dari jenis hoho ini yang mereka katakan gözö30 yakni
penyaji hoho (Sondroro hoho) menggunakan suara vokal yang digetarkan pada
bagian tekak (rongga tenggorokan). Setiap masyarakat tradisi biasanya memiliki
ciri dalam bernyanyi (bermusik vokal) seperti pada masyarakat Melayu disebut
cengkok, masyarakat Karo disebut rengget, dan lain-lain. Dalam notasi penulisan
ini gaya bernyanyi yang disebut gözö oleh masyarakat Nias Selatan akan penulis
buat dengan simbol “ “. Selain itu dalam frase melodi Hoho Siöligö ini
akan terlihat gaya bernyanyi repetisi atau melakukan pengulangan-pengulangan
frase melodi, hal ini dimulai oleh seorang Sondroro terlebih dahulu melemparkan
sati frase melodi dan disambut atau dijawab dengan frase melodi yang mirip oleh
kelompok Sanoyohi 1 dan Sanoyohi 2. Sehingga dapat terdengar saling mengisi
antara kelompok-kelompok tersebut. Dan hal inilah yang menjadi ciri khas dalam
tradisi musik lisan yang ada di Nias Selatan. Untuk lebih jelasnya terlebih dahulu
dibentangkan hasil transkripsi Hoho Siöligö dimaksud. Dan unsur-unsur melodi
yang akan penulis analisis dibagi mulai dari Hoho Siöligö pembuka, isi dan
penutup. Hasilnya dalam bentuk notasi (visual) untuk melodi Hoho Siöligö adalah
sebagai berikut:
30 Wawancanra dengan Hikayat Manaö, di desa Bawömataluo Nias Selatan.
224
Bagian Pembuka dari Hoho Siöligö :
225
Bagian Isi dari Hoho Siöligö :
226
Bagian Penutup dari Hoho Siöligö :
227
Dari transkripsi Hoho Siöligö di atas, maka dapat dijelaskan bahwa Hoho
Siöligö dalam transkripsi ini memiliki masih bersifat call respons, lebih jelasnya
akan di uraikan pada kajian bentuk, frase dan motif pada sub bab di bawah ini.
Dalam transkripsi di atas dapat dilihat bahwa Hoho Siöligö penulis bagi
menjadi bagian pembuka yang terdiri dari 12 bar bertanda birama 4/4 dan MM 75
dan pada birama yang sama terjadi perubahan tempo MM 90 sebanyak 8 bar
terakhir. Sebagai catatan pada tempo MM 90 ini juga dipakai pada melodi Hoho
Siöligö penutup. Bagian isi Hoho Siöligö terdiri dari 18 bar dengan birama 3/4 dan
MM 90.
Selanjutnya pencarian jumlah rata-rata not permenit dilakukan dengan
menghitung jumlah not yang ada dalam transkripsi di atas dengan bantuan rumus .
Maelzel, sebagai berikut:
banyak bar x pembilang x 60 detik
M M Berdasarkan MM dan jumlah bar di atas, maka dapat diketahui jumlah
rata-rata not permenit Hoho Siöligö pembuka, pada birama 4/4 MM 75 sebagai
berikut :
banyak bar x pembilang x 60 detik M M 12 x 4 x 60 detik 75
ikdet
752880 = 38,4 detik
Berikutnya jumlah rata-rata not permenit Hoho Siöligö pembuka, pada
birama 4/4 MM 90 yang juga dipakai pada Hoho Siöligö penutup, sebagai berikut:
228
banyak bar x pembilang x 60 detik M M 8 x 4 x 60 detik 75
ikdet
901920 = 21,3 detik
Selanjutnya untuk jumlah rata-rata not permenit Hoho Siöligö bagian isi,
dengan birama 3/4 MM 90, sebagai berikut :
banyak bar x pembilang x 60 detik M M 18 x 3 x 60 detik 75
ikdet
903240 = 36 detik
6.5.4.1 Wilayah Nada Hoho Siöligö
Dari tangga nada yang telah didapatkan pada nyanyian Hoho Faluaya di
atas, maka selanjutnya dapat ditentukan wilayah nada (ambitus) melodi Hoho
Siöligö. Dengan berpedoman pada nada terendah dan nada yang tertinggi dan
jarak atau interval yang dihasilkan antara keduanya. Dengan demikian maka
wilayah nada nyanyian Hoho Siöligö ini dapat dilihat seperti di bawah ini:
Penyajian Hoho Siöligö
oleh Son, Sa.1 dan Sa.2 dilakukan dengan birama 4/4 pada bagian pembuka, dan
229
terjadi perubahan birama menjadi 3/4 pada isi selanjutnya kembali ke birama 4/4
pada saat bagian penutup, dari keadaan di atas maka didapati wilayah nada Hoho
Siöligö dari nada terendah yaitu nada F dan tertingginya adalah nada D.
6.5.4.2 Jumlah Nada-Nada Hoho Siöligö
Sebagai hoho terakhir yang disajikan dalam rangkaian Hoho Faluaya,
penyajian Hoho Siöligö hanpir sama penyajiannya dengan Hoho Fu’alö, dan
Hoho Fadölihia di atas, yakni dalam hal pengulangan melodi sepanjang sondroro
masih dapat mengutarakan teks baru. Oleh karena itu lamanya penyajian
tergantung kemampuan sondroro sebagai pencipta syair dengan melodi tetap.
Dari situasi di atas dalam hal melihat jumlah nada yang digunakan Hoho
Siöligö, penulis hanya menghitung nada-nada dari hasil trankripsi di atas dan
jumlah masing-masing nada yang digunakan pada Hoho Siöligö di atas, seperti
berikut ini:
Dilihat dari jumlah nada-nada yang dipakai dalam Hoho Siöligö, nada G
adalah nada yang paling sering muncul, diikuti nada Bb dan nada-nada lain yang
jarang muncul yakni nada F, Ab, A, C, Db dan D, nada-nada tersebut berfungsi
sebagai nada pendukung.
230
6.5.3.3 Interval Hoho Siöligö
Dalam Hoho Siöligö terdapat beberapa interval yang didistribusikan.
Untuk lebih jelas distribusi interval tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah
ini:
Tabel 6.10
Distribusi Interval melodi Hoho Siöligö
Interval Distribusi
Hoho Siöligö
1 perfect
2 minor
2 mayor
3 minor
3 mayor
4 perfect
5 perfect
6 minor
6 mayor
7 minor
7 mayor
141
8
15
17
8
5
3
6
19
12
5
6.5.4.4 Pola Kadensa Hoho Siöligö
231
Pola-pola kadensa dalam Hoho Siöligö dalam menandai akhir frase
nyanyian dari Hoho Siöligö pembuka, isi dan penutup terdapat sedikitnya sepuluh
pola kadensa, seperti visual di bawah ini :
232
233
234
6.5.4.5 Formula Melodi Hoho Siöligö
Formula Melodi Hoho Siöligö adalah seperti pada analisis berikut di
bawah ini:
235
236
237
238
239
Melalui bentuk visual di atas, formula melodi Hoho Siöligö terdiri dari :
Tabel 6.11
Formula Melodi Hoho Siöligö
Bentuk Frase Motif
3 Bentuk
(C, D, E)
dan E’
11 Frase (frase
1,2,3,4,5,6,7,7’,8,9,10)
29 Motif
(1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,14’,
14”,15,16, 17,18,19,20,20’
21,21’,22,23,24,25)
6.5.4.5.1 Kajian Terhadap Bentuk, Frase dan Motif Hoho Siöligö
Dari notasi dan distribusi formula melodi di atas maka dapat dilihat
bahwa Hoho Siöligö terdiri dari:
240
1. Bentuk C sebagai pembuka dari Hoho Siöligö memiliki 4 frase (frase
1,2,3,4), dan 9 motif (motif 1,2,3,4,5,6,7,8,8’,9):
Frase 1 ini memiliki 2 buah motif (motif 1,2) yang bersifat call
respons, dapat dilihat pada motif 1 merupakan melodi pengantar
respon dari Sondroro dan direspon (disambut) oleh kelompok
Sanoyohi seperti pada motif 2. Pada frase 2 terdiri dari 3 motif (motif
3,4,5) yang seluruhnya menjadi frase melodi Sondroro. Frase 3
terdapat 1 motif (motif 6) yang masih menjadi frase melodi
Sondroro. Pada Bentuk C frase melodi terakhir yakni frase 4 yang
terdiri dari 4 motif (motif 7,8,8’,9), dimana motif 9 merupakan
menjadi pengantar menuju bentuk D.
2. Bentuk D terdiri dari 2 frase (frase 5, 6), dan 8 motif (motif
10,11,12,13,14,14’,14”,15):
Frase 5 merupakan melodi berciri unisono antara Sondroro dan
Sanoyohi secara bersama memainkan motif 10, 11, 12, dan motif 13.
Pada frase 5 ini menjadi bagian yang akan diulang pada bagian akhir
dari hoho ini. Selanjutnya frase 6 terdiri dari 4 motif (motif 14,
14’,14” dan motif 15). Dari motif tersebut dapatlah dikatakan bagian
ini terjadi counter motif dimana terjadi saling isi motif antara
Sondroro >< kelompok Sanoyohi 1, Sanoyohi 1 >< Sanoyohi 2, dan
Sondroro >< Sanoyohi 1. Gaya melodi vokal seperti ini menjadi
bagian yang unik dan khas yang hanya dimiliki oleh masyarakat
241
Nias Selatan dalam tradisi musik lisannya. Dari penjelasan di atas,
frase 5 dan 6 ini akan diulang pada bagian akhir dari hoho ini.
3. Bentuk E merupakan bagian isi dari Hoho Siöligö terdiri dari 3 frase
(frase 7,8,9), dan 7 motif (motif 18,19,20,21,21’,22,23):
Frase 7 memiliki 3 motif (motif 18,19,dan motif 20), frase ini
bersifat call respons dimana motif 18 dan 19 sebagai pengantar
respons dari Sondroro dan di respons oleh kelompok Sanoyohi 1
yang merupakan repetisi atau pengulangan dan jawaban terhadap
motif Sondroro. Berikutnya Frase 8 terdiri dari 2 motif (motif 21 dan
21’) yang di nyanyikan oleh kelompok Sanoyohi 2. Selanjutnya
Sanoyohi 2 meneruskannya pada frase 9 dengan motif 20,22 dan 23.
Bentuk E ini diulang terus sampai dengan Sondroro merasa sudah
cukup.
4. Bentuk E’ merupakan bagian pengantar penutup dari Hoho Siöligö
terdiri dari 2 frase (frase 7’,10), dan 6 motif (motif
7,18,19,20’,24,25):
Frase 7’ pada dasarnya hampir sama dengan frase 7 dimana terdiri
dari 4 motif (motif 18,19,20’ dan motif 24), pada frase ini terlebih
dahulu Sondroro mengantar motif (18,19) dan disambut oleh
Sanoyohi 1 dan disusul secara bersamaan pada motif 24 oleh
Sanoyohi 1 dan 2. Pada frase 10 merupakan pengantar penutup Hoho
Siöligö menuju bentuk D seperti di atas, terdiri dari 2 motif yang
diantar sendiri oleh Sondroro.
242
6.5.4.6 Kontur
Dari transkripsi melodi di atas tergambar kontur Hoho Siöligö yang
terdiri dari kontur statis, terraced, asending dan disending, seperti di bawah ini:
Kontur (1) Hoho Siöligö (frase 1)
Kontur (2) Hoho Siöligö (frase 2)
Kontur (3) Hoho Siöligö (frase 3)
243
Kontur (4) Hoho Siöligö (frase 4)
Kontur (5) Hoho Siöligö (frase 5)
Kontur (6) Hoho Siöligö (frase 6)
Kontur (7) Hoho Siöligö (frase 7-7’)
244
Kontur (8) Hoho Siöligö (frase 8)
Kontur (9) Hoho Siöligö (frase 9)
Kontur (10) Hoho Siöligö (frase 10)
244
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Dari uraian-uraian di Bab I sampai VI, maka pada Bab IV, V dan VI ini
penulis menyimpulkan penelitian ini dengan topik utama fungsi musik, makna
teks dan struktur musik Hoho Faluaya Desa Bawömataluo, Kecamatan
Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara sebagai berikut:
(a) Berdasarkan peroleh data dari lapangan dan teori-teori fungsi yang
penulis dapatkan dan akhirnya penulis dapatlah terjawab bagaimana
fungsi Hoho Faluaya dalam tradisi lisan masyarakat Nias Selatan. Hoho
Faluaya sebagai warisan tradisi musik lisan masyarakat Nias Selatan
khususnya dan Indonesia umumnya dapat terdapat bebeberapa fungsi
yang merupakan kearifan lokal masyarakat Nias Selatan. Adapun fungsi
Hoho Faluaya yang penulis dapatkan yakni berfungsi sebagai
pelaksanaan pesta adat atau sebagai sarana upacara pesta adat, berfungsi
sebagai simbol keperkasaan para prajurit perang, penguat status sosial
dalam pengukuhan gelar-gelar adat, perekat kehidupan masyarakat yang
menumbuhkan rasa cinta dan kebersamaan yang kuat di antara
masyarakat Nias, berfungsi sebagai sarana komunikasi dan penyampaian
pesan, menumbuhkan nilai-nilai estetis dalam kehidupan sosial, berfungsi
sebagai hiburan dan pengucapan syukur, sebagai pengiring gerakan tarian
245
faluaya, dan berfungsi sebagai pertahanan budaya sebagai pengawal
identitas budaya masyarakat Nias.
(b) Dari hasil analisis teks penulis dapat menyajikan analisis semiotik yang
pemaparannya dengan pendekatan teori Roland Barthes dalam melihat
signifier dan signified sehingga dapat dilihat makna konotatif dari teks
syair Hoho Faluaya yang terdiri dari teks Fohuhugö (Hugö) yang
merupakan seruan persetujuan, Hivfagö seruan penegasan terhadap Hugö
dan 3 (tiga) jenis struktur hoho yang ada di dalamnya, yakni: (1) Hoho
Fu’alö yang menjadi nyanyian persiapan pembangkit dan pembakar
semangat para prajurit perang atau penari perang, (2) Hoho Fadölihia
sebagai cara para kelompok hoho mengagung-agungkan kebesaran desa
mereka, dan (3) Hoho Siöligö bermakna menjalin persatuan dan kesatuan
demi kemakmuran desa.
(c) Dari struktur analisis musik Hoho Faluaya yang dikaji melalui
pendekatan teori weighted scale yang terdiri dari kajian tangga nada, nada
pusat atau nada dasar, wilayah nada, jumlah nada-nada, interval yang
digunakan, pola-pola kadensa, formula melodi, dan kontur, terdapat ciri
tangga nada tradisi yakni pentatonik. Masyarakat Nias dalam hohonya
memiliki struktur bernyanyi dengan gaya dan sifat musikal tersendiri
seperti adanya call respons dan counter frase maupun counter motif, juga
dalam tehnik vokal dalam menyanyikan hoho ini terdengar sangat khas
dengan menggunakan tehnik “gözö” atau menggetarkan pangkal lidah di
daerah tenggorokan. Hal ini merupakan sebuah kearifan yang hanya
246
dimiliki oleh masyarakat Nias Selatan. Demikianlah Hoho Faluaya ini
disajikan melalui melodi-melodi yang tercipta ternyata dapat menjadi
pembangkit semangat bagi para bohalima (prajurit perang/ penari perang)
juga bagi yang mendengarkannya.
7.2 Saran
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya dan beberapa simpulan yang
telah dibuat, ada beberapa saran yang perlu dikemukakan, mengingat seni tradisi
musik lisan Hoho Faluaya masih memiliki peranan penting dalam masyarakat
Nias dan juga peranan penting dari kesinambungan warisan budaya tradisi musik
lisan yang telah terjadi sekarang ini.
Dalam kenyataannya, walaupun penerima warisan tradisi musik lisan
hoho Faluaya ini sudah sangat berkurang dan sudah mulai ditinggalkan oleh
karena perkembangan teknologi, namun belum sepenuhnya diabaikan karena
masih ada beberapa orang yang peduli khususnya salah satu kelompok di desa
Bawomataluo yakni sanggar Baluseda pimpinan Hikayat Manaö. Dengan
demikian penelitian ini masih terbuka untuk permasalahan-permasalahan yang
berhubungan dengannya, seperti: (a) mengupayakan pengembangan Hoho
Faluaya sebagai warisan tradisi musik lisan masyarakat Nias; (b) mengupayakan
penggunaan genre musik vokal secara proporsional dalam aktivitas masyarakat
Nias, khususnya dalam konteks upacara adat Nias; (c) tetap mengeksiskan Hoho
Faluaya dalam upacara ritual adat, dan mengembangkannya melalui pertujukan-
pertunjukan sebagai sarana wisata budaya di Nias Selatan.
247
DAFTAR PUSTAKA Adler, Mortimer J. et al. (eds.). 1983. Encyclopaedia Britannica (Vol. XII).
Chicago: Helen Hemingway Benton. Adshead, Janet. 1988. Dance Analysis: TheoRy and Practice.London: Dance
Book. Ajid Che Kob, Farid Mohd dan Ramli Saleh, 1987. Pemakaian Kod dan Refleksi Sosial
dalam Masyarakat Melayu. Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia. (Disertasi Muhammad Takari Bin Jilin Syahrial. 2010. “Fungsi Dan Bentuk Komunikasi Dalam Lagu Dan Tari Melayu Di Sumatera Utara”. Jabatan Pengajian Media Fakulti Sastera Dan Sains Sosial Universiti Malaya Kuala Lumpur)
Aston, Elaine dan George Savona. 1991. Theatre as Sign-System:A Semiotics of Text and Performance. London dan New York.- Routledge. (Dalam buku ini termuat analisis semiotis teater olch Tadeus Kowzan dan Patrice pavis).
Bachtiar, Harsya, W. 1985. “Pengamatan sebagai Metode Penelitian.” Dalam Metde-metode Penelitian Masyarakat. Kentjaraningrat (ed.). Jakarta: Gramedia.
Badan Statistik Kabupaten Nias Selatan. 2010. Nias Selatan Dalam Angka.BPS Nias Selatan.
Barthes, R., 1967. Elementss of Semiology. London: Jonathan Cape. Barthes, R., 1977. Image -Musi -Text. New York: Hill & Wang. Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Paris: Seuil. Dananjaya, James. 1993. Cerita Rakyat Dari Sumatera. Jakarta: Grasindo Dananjaya, James. 1998. Pendekatan Foklore dalam penelitian bahan-bahan
tradisi lisan dalam Pudentia MPSS, Metodologi Kajian Tradisi Lisan (hlm 54-66). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
Dananjaya, James dan Koentjaraningrat. 2002. Penduduk Kepulauan Sebelah Sumatera dalam Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Darma, Budi. 1990. Perihal Studi Sastra dalam Basis, Agustus 1990. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta : Balai Pustaka Denzin, Norman K. Dan Yvonna S. Lincoln (eds.). 1995. Handbook of
Qualitative Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications.
Daeli, Fa’ano. Juni 1988. “Pengaruh Nilai-nilai Budaya Nias Terhadap Upaya Meningkatkan Kualitas Manusia”, Seminar Kebudayaan Nias dan Kualitas Manusia, Ikatan Keluarga Nias (IKN) Yogyakarta.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana; Pengantar Analisis teks media. Yogyakarta: LKiS
Goldsworthy, David J. 1979. Melayu Music of North Sumatra: Continuities and Changes. Sydney: Monash University.
248
Hall, D.G.E. 1968. A History of South-east Asia. T.p: St. Martin’s Press. Halliday, M.A.K dan R. Hasan. 1985. Language, Context, and Text: Aspect of
Language in A Social-Semiotic Perspective. Victoria: Deakin University Press.
Hammerle, Johannes M. 1986. Famatö Harimao. Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias.
-------------------. 1990. Omo Sebua. Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias. -------------------. 1995. Hikaya Nadu. Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias,. -------------------. 1998. He’iwisa ba Danö Niha. Gunungsitoli: Yayasan Pusaka
Nias. -------------------. 1999. Asal Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi
Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias. -------------------. 1999. Nidunö-dunö ba Nöri Onolalu. Gunungsitoli: Yayasan
Pusaka Nias. -------------------. 2001 “Asal Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi.”
Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias. Hoed, Benny H., “Strukturalisme, Pragmatik dan Semiotik dalam Kajian
Budaya,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002)
Ihromi, T.O. 1987. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Jambaan. Jones, Georges Thaddeus. 1974. Music Theory. Barnes & Noble Books A
Division Of Harper & Row. Publishers. New York. Evanston. San Fransisco. London.
Kartomi, Margaret J. 1981. “The Processes and Results of Musical Cultural Contact: A Discussion of Terminology and Concept” in Ethnomusicology No. XXV-2:B. Bloomington: Indiana University Press.
Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Rineka Cistra. -------------------. 1991. “Metode Wawancara” dalam Metode-metode Penelitian
Masyarakat (Koentjaraningrat, red). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama -------------------. 1993. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama -------------------. 1995. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan. Koestoro, Lucas Partanda & Ketut Wiradnyana. 2007. “Tradisi Megalit di Pulau
Nias”. Balai Arkeolog Medan. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama Kunts, Jaap. 1939. Music In Nias. Internationales Arciv Fur Ethnographie.Leiden. Laiya, B. 1979. Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di
Nias, Indonesia.Gajah Mada University Press. Lase, Apolonius. 2011. Kamus Li Niha Nias – Indonesia, Penerbit Buku Kompas. Lauer, Robert. H. 2001, Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: PT Rineka
Cipta, terj. Alimandan Legge, J.D. 1964. Indonesia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
249
Legemann, H. 1906. Ein Heldensang der Niasser, Gesang der Gaste Beim Feste Eines Hauptlings, Al ser Sich den title Balugu Beilegte.Batavia: Albrecht & Co.
Lokin. 1990. Nias Tribal Treasures: Cosmic reflection in stone, wood and gold, Volkenkundig Museum Nusantara, Delft.
Lomax, Alan P. 1968. Folk Song Style and Culture. Transaction Books New, Jersey.
Lorimer, Lawrence T. et al. 1991. Grolier Encyclopedia of Knowledge (volume 1-20). Danburry, Connecticut: Groller Incorporated.
Malinowski. 1987. “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori Antroplologi I. Koentjaraningrat (ed.), Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Marckward, Albert H. et al. (eds.), 1990. Webster Comprehensive Dictionary (volume 2). Chicago: Ferguson Publishing Company.
Malm,William P. 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993, Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
Marsden, W. 1966. The History of Sumattra. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Mendröfa, Snk B. Ama Wohada. 1982. Amaedola Nono Niha. Pepatah Nias dan Artinya. Medan.
-------------------. 1982. Li Niha Ba Li Indonesia. Kamus Bahasa Nias - Indonesia. Medan.
Mendröfa, S.W. 1969. Börö Gotari Gotara. Gunung Sitoli: Percetakan BNKP. -------------------. 1981. Fondrakö Ono Niha. Jakarta: Inkultura Fondation, Inc. -------------------. 1996. Sosial Budaya di dalam Masyarakat Ono Niha. Gunung
Sitoli: Tanpa Nama Penerbit. Merriam, Alan P. 1964. The Anhropology of Music. Chicago: North Western
University Prees. Moeliono, Anton dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka Muhadjir, Noeng. 2002, Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Penerbit Rake
Sarasin Mulyana. 2005. Kajian Wacana; Teori, Metode & Aplikasi Prinsip-prinsip
Analisis Wacana, Yogyakarta: Tiara Wacana Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolinguistik; Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama Nasution, S. 1982. Metode Research. Bandung: Jemmars. Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1994. Instrumen Penelitian Sosial.
Yogyakarta: Gajah Mada University Perss Nias, Yayasan Pusaka. (Tanpa Tahun). Daeli Sanau Talinga dan Tradisi Lisan
Onowaembo Idanö. Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias. Nettl, Bruno. 1973. Folk and Traditional of Western Continents, Englewood
Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
250
Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusicology, New York : The Free Press of Glencoe.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Patersen, William. 1995. "Migration: Social Aspects," International Encyclopedia of the Sosial Sciences, volume 9, David L. Sills (ed.), (New York dan London: The Macmillan Publishers).
Radcliffe-Brown, A.R. 1952. Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press.
Robinson, Jenefer (ed). 1997. Music and Meaning. Ithaca and London: Cornell University Press.
Rice, Kenneth A. 1980. Geertz and Culture. Ann Arbor: The University of Michigan Press. Rice, Kenneth A. 1980. Geertz and Culture. Ann Arbor: The University of Michigan Press.
Saragih, Amrin. 2000. Bahasa dan Konteks Sosial: Pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik. Medan: Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Sedyawati, Edi. 1980. Tari: Tinjauan dari Berbagai Segi. Jakarta: Pustaka Jaya. Sibarani, Robert. 2000. “Tradisi Lisan Nias” dalam Warta ATL, Edisi IV/
April/2000, halaman 24-29. Shadily, Hassan. 1983. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ikhtiar Baru-Vanhoeve. Soedarsono, 1995. “Pendidikan Seni dalam Kaitannya dengan Kepariwisataan”.
Makalah Seminar dalam Rangka Penringatan Hari Jadi Jurusan pendidikan Sendratasik ke-10 FPBS IKIP Yogyakarta, 12 Pebruari 1995).
Soedarsono, 1974. Dances in Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. Soekanto, Soerjono. 1995. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Perss. Steinhart, W.L. 1954. Nias Teksten. Vertaald En Van Aantekeningen Voorzien. Suparlan, Parsudi. 1987. “Perubahan Sosial Dalam Masyarakat” dalam Bulletin
Antropologi. Yogyakarta: Perpustakaan Jur. Antropologi UGM Sumarlam, dkk. 2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka
Cakra Takari, Muhammad. 2010. “Fungsi Dan Bentuk Komunikasi Dalam Lagu Dan
Tari Melayu Di Sumatera Utara”. Disertasi Jabatan Pengajian Media Fakulti Sastera Dan Sains Sosial Universiti Malaya Kuala Lumpur.
Tomsen, Martin. 1979. Die vom Stammuater Hija Ein Gesang Ausittelnias.Braunschweig.
Telaumbanua, Sadieli. 2006. Representasi Budaya Nias Dalam Tradisi Lisan.Gunung Sitoli. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Nias.
Ulack, Richard. 2007. Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica 2007 Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica.
Wahab, Abdul. 2000. Mitos Asal Mula Kejadian dan Hidup Setelah Mati Lintas Budaya. Dalam Bambang Kaswanti Purwo (ed). Kajian Serba Linguistik (hlm 795-807). Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Unika Atma Jaya.
Yampolsky, Philip. 1991. “MUSIC OF INDONESIA, VOL. 4: Music of Nias and North Sumatra: Hoho, Gendang Karo, Gondag Toba”. Recorded, edited,
251
and annotated by Philip Yampolsky. 65 minutes. 2-page booklet with map. SWF 40055 (1991).
Zebua, S. 1984. “Sejarah Kebudayaan Ono Niha Seri I”. Makalah yang tidak dipublikasikan. Gunung Sitoli.
Zebua, HS. 1995. Sastra dan Tatabahasa Daerah Nias (Ono Niha). Gunung Sitoli: Depdikbud Kabupaten Nias.
Zebua, S. 1995. Sejarah Kebudayaan Ono Niha. Seri adat istiadat perkawinan di Laraga. Gunung Sitoli.
Zebua, Victor. 2008, Kisah Awuwukha Pemburu Kepala. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zebua, Victor. 2010. Jejak Cerita Rakyat Nias. Yogyakarta: Posko delasiga bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.
Internet: http://collectie.tropenmuseum.nl http://dolinktome.com/browse/284035/pemerintahan-asli-suku-nias-iii-nias-
online.cnet http://halilintarblog.blogspot.com/2010/10/teori-pengembangan-perubahan.html http://learning-of.slametwidodo.com/2010/02/01/perspektif-teori-tentang-
perubahan-sosial-struktural-fungsional-dan-psikologi-sosial/ http://staff.ui.ac.id/internal/130536771/publikasi/metodesemiotika.pdf di
download tgl. 19 Sept 2011 pkl. 10.11 wib http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/Tinjauan%20Teoritik%20tentang%20Se
miotik.pdf di download tgl. 19 Sept 2011 pkl. 10.11 wib http://junaedi2008.blogspot.com/2009/01/teori-semiotik.html
http://www.niasisland.com/ http://niasonline.net/ http://www.nias-bangkit.com/ Majalah: Journal Ethnomusicology (edisi ke-3). 1959. The Hague. Martinus Nijhoff
Media Warisan.2000. Edisi no. 5 tahun I Juni, hal. 7. “Arti dan Makna Salam Ya’ahowu”. Terbitan: Museum Pusaka Nias. Gunung Sitoli.
Majalah Warisan Indonesia.2010. Vol.1 No.01.Agustus2010. “Titik Balik Nias”.
252
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Hikayat Manaö (Ama Gibson)
Umur : 53 Tahun
Pekerjaan : Pimpinan Sanggar Baluseda
Alamat : Desa Bawömataluo Nias Selatan
2. Nama : Sanea Bu’ulölö (Ama Risa)
Umur : 59 Tahun
Pekerjaan : Bertani
Alamat : Desa Bawömataluo Nias Selatan
3. Nama : Dasa Manaö (Ama Sorai)
Umur : 45 Tahun
Pekerjaan : PNS Dinas Pariwisata Nias Selatan
Alamat : Jl. Sudirman Teluk Dalam Nias Selatan
4. Nama : Ariston Manaö (Ama Rocky)
Umur : 48 Tahun
Pekerjaan : Kepala Desa Bawömataluo
Alamat : Desa Bawömataluo Nias Selatan
5. Nama : P. Johannes Maria Hammerle
Umur : 60 Tahun
Pekerjaan : Direktur Yayasan Pusaka Nias
Alamat : Jl. Yos Sudarso 134 A Gunung Sitoli Nias
253
GLOSARIUM
Adu : patung
Afo : sirih
Aramba : gong
Aramö : salah satu wilayah di Nias Selatan, terkenal sebagai tempat
pengambilan kepala orang bagi suku-suku Maenamölö.
“Aramö, halösö mbinu Maenamölö.”
Awöni : pohon besar, salah satu pohon yang dianggap sebagai rumah
Bela.
Bagoa : pohon Pandanus
Bala Högö : hiasan kepala
Balatu Nifolasara : pedang, yang pegangannya berbentuk kepada Lasara.
Bale : balai tempat pertemuan
Bekhu : roh-roh
Bela : 1. Anak dari Sirici 2. Makhluk yang hidup di atas pohon
besar dan berkuasa atas margasatwa di hutan, 3. Ono Mbela
anak atau keturunan Bela
Bohalima : prajurit perang, pasukan perang
Bola nafo : kampin sirih
254
Bosi : derajat untuk orang yang telah mengadakan pesta jasa
(owasa)
Börö : titik dasar, awal, sebab
Börönadu : 1. Nama desa leluhur di Gomo 2. Titik paling dasar pada
patung asal
Böröta Niha : permulaan manusia
Böwö : jujuran adat perkawinan
Buruti Rao : istri pertama dari Sirao
Cuhanaröfa : s.d. Tuhangaröfa, nama seorang leluhur pemilik ikan dan
belut
Daeli : 1. Satu dari empat leluhur yang diturunkan di Tölamaera
sebagai leluhur marga Gea, Daeli, Larosa dsb. 2. Marga yang
berkembang di daerah kecamatan Sirombu
Eho : sejenis pohon Ficus
Ere : orang pintar, pemuka masyarakat. (dulu ere dipercaya
sebagai orang yang bisa mengusir roh-roh jahat dari tubuh
orang sakit dengan melakukan sesembahan. Sebelum agama
Kristen masuk di Nias, masyarakat yang menganut
kepercayaan animism dipimpin oleh ere).
255
Ewali : pekarangan rumah = olayama. jalan atau tanah kosong di
depan rumah tempat orang lalu lalang.
Fakhöyö : mencampur
Falagö : mengelilingi; Sifalagö, 1. nama desa 2. yang dikelilingi
Faluaya : tarian perang
Famadaya : pengusungan
Famadaya Harimao : arak-arakan sambil mengusung patung harimau
Famatö Harimao : 1. pematahan patung harimau 2. ritus membuang patung
harimau
Faritia : canang, gong kecil dengan nada yang berbeda
Fondrahi : gendang tambur
Fondrakhö : pengesahan hukum-hukum adat
Fösi : salah satu pohon yang dianggap keramat
Gari : pedang, parang
Gözö : nama seorang leluhur diturunkan di Hilimaziaya, dan
menjadi leluhur marga Baeha
Gulö : nama suatu marga yang tersebar dan berkembang di wilayah
Nias Barat. Leluhur itu dulu disebut Kulö.
Hada : s.d. böwö- adat istiadat
Halawa : marga orang Nias
256
Harakana : budak
Hasi : peti mayat
Hasi nifedadao : peti mayat duduk
Hasi Nifolasara : peti mayat berbentuk perahu berkepala Lasara
Hia : 1. nama leluhur Nias 2. marga yang berkembang di Nias
Barat
Hili : gunung atau bukit
Ho : 1. nama leluhur s.d. Hia 2. s.d. Eho – sungai yang bermuara
ke laut di sebelah Nias Selatan
Ho ba mböröta : Ho pada mulanya
Hoho : syair yang dilakonkan pada pesta adat Nias, mis. pesta
pernikahan, kematian, pendirian kampung dsb.
Högö : kepala
Huku : hukum
Iwöwöi : dia membentuk
Lahagu : salah satu marga Nias Barat
La’ia : nama satu marga
La’imba : babi hutan jantan
La’imba horö : gelar orang gagah perkasa
Lakhömi : kemuliaan, wibawa
257
Laoya : salah seorang keturunan Hia
Lasara : 1. nama lain dari suatu perahu, 2. sering dipakai sebagai
nama desa di Nias 3. nama binatang khayalan mirip kepala
naga
Li niha : suara manusia, bahasa nias
Lölö : kain lampin dari kulit kayu
Luo : 1. matahari 2. hari
Maenamölo : salah satu wilayah ni Nias Selatan
Mazinö : nama bukit di Sifalagö Gomo
Mölö : leluhur yang pindah ke Nias Selatan dan menjadi leluhur
masyarakat di wilayah Maenamölö
Nadaoya : 1. roh yang ditakuti 2. leluhur yang jatuh ke lembah sungai
yang terjal waktu diturunkan
Nandrua : istri pertama Ho atau Hia
Nawalö : pelbagai
Ndrao : batu kapur yang lembek dan berwarna merah, hitam atau
putih
Nidada : yang diturunkan
Niha : manusia
Omo : rumah
258
Omo bale : rumah balai, tempat pertemuan adat
Omo Nifolasara : rumah tradisional, bagian depannya dilengkapi dengan tiga
kepala Lasara
Ono : anak
Ono Garamö : keturunan dari leluhur Aramö, salah satu rumpun
Ono Niha : anak manusia
Orahua : bermusyawarah
Rai : mahkota, hiasan kepala
Sawuyu : s.d harakana: budak
Si’ila : orang yang maha tahu, penasehat desa
Sirao : dipandang sebagai leluhur dari tiga suku pertama di Nias
Sirici : ibu para leluhur pertama di Nias
Si’ulu : bangsawan, yang ada di sebelah atas
Tanö Niha : bumi manusia; pulau nias
Tora’a : 1. diibaratkan sebagai pohon dalam syair hoho 2. tubuh
perempuan yang menandakan kehamilan
Uli : kulit
Wöwöi : membentuk
Zanökhö : gerakan mengepung musuh tari faluaya
Zebua : nama salah satu marga
259
LAMPIRAN GAMBAR
Gambar 8.1. Peta Sumatera Utara
Sumber: Atlas Indonesia dan Dunia
Gambar 8.2 Peta Kepulauan Nias
Sumber: niasjaya.wordpress.com
260
Gambar 8.3 Peta Desa Bawömataluo
Sumber: Kantor Kepala Desa Bawömataluo
Gambar 8.4 Peta Desa Bawömataluo
Sumber: Kantor Kepala Desa Bawömataluo
261
Gambar 8.5 Bawömataluo – 87Anak Tangga memasuki Desa Adat
Sumber: Dok. Hubari Gulö
Gambar 8.6 Bawömataluo – Desa Orahili Fau dari Puncak Tangga
Sumber: Dok. Hubari Gulö
262
Gambar 8.7 Bawömataluo - di teras rumah Hikayat Manaö
Sumber: Dok. Hubari Gulö
Gambar 8.8 Bawömataluo – di rumah Sanoyohi
Sumber: Dok. Hubari Gulö
263
Gambar 8.9 Bawömataluo – Plank Merk Sanggar Baluseda
Sumber: Dok. Hubari Gulö
Gambar 8.10 Bawömataluo – Ndrölö Halamba’a dari Omo Sebua
Sumber: Dok. Hubari Gulö
264
Gambar 8.11 Bawömataluo – Ndrölö Raya sebelah kiri rumah Hikayat Manaö
Sumber: Dok. Hubari Gulö
Sumber: Dok. Hubari Gulö
Gambar 8.12 Bawömataluo – Penduduk pulang dari Gereja melalui Ndrölö Ana’a/Löu
Sumber: Dok. Hubari Gulö
265
Gambar 8.13 Bawömataluo – Ndrölö Bagoa di sebelah kanan rumah Hikayat Manaö
Sumber: Dok. Hubari Gulö
Gambar 8.14 Bawömataluo – Bale tempat musyawarah (orahu) adat
Sumber: Dok. Hubari Gulö
266
Gambar 8.15 Bawömataluo – Hikayat Manaö memimpin Tari Faluaya dan HohoFualö
Sumber: Dok. Hubari Gulö
Gambar 8.16 Bawömataluo – Hikayat Manaö memimpin Tari Faluaya dan HohoFualö
Sumber: Majalah Warisan Indonesia.2010. Vol.1 No.01.Agustus2010
267
Gambar 8.17 Bawömataluo – Para Bohalima melakukan Gerakan Faluaya Zanökhö
Sumber: Majalah Warisan Indonesia.2010. Vol.1 No.01.Agustus2010
Gambar 8.18 Bawömataluo – Pertunjukan Hombo Batu
Sumber: Dok. Hubari Gulö
268
Gambar 8.19 Bawömataluo – Kostum Para Bohalima dan Fanari Mogaele
Sumber: Dok. Hubari Gulö
Gambar 8.20 Bawömataluo – Hikayat Manaö sebagai Kafalo Zaluaya
Sumber: Majalah Warisan Indonesia.2010. Vol.1 No.01.Agustus2010
269
Gambar 8.21 Gunung Sitoli – Yayasan Pusaka Nias
Sumber: Dok. Hubari Gulö