Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Pasca Orde Baru No. 13/WP-‐KAPPOB/I/2017
Hilma Safitri
Pencaplokan Lahan Masyarakat untuk ‘Pabrik Listrik’: Studi Kasus Skema PPP di Proyek PLTU Batang
Agrarian Resources Center
2017
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KTD) Safitri, Hilma Pencaplokan Lahan Masyarakat untuk ‘Pabrik Listrik’: Studi Kasus Skema PPP di Proyek PLTU Batang Seri working paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru, Vol. 1, No. 13/WP-‐KAPPOB/I/2017 Cetakan 1, Bandung: ARC, 2017 21 hlm; 21 x 29,5 cm ISSN 2541-‐0121
Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru Vol. 1 editor seri, Dianto Bachriadi Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru menyajikan hasil-‐hasil penelitian yang dilakukan oleh ARC terkait dengan kebijakan agraria dan pembangunan di Indonesia paska otoritarianisme Orde Baru. Seri ini menampilkan tulisan-‐tulisan hasil penelitian yang terbaru maupun tulisan lama dalam tema terkait yang belum pernah diterbitkan maupun yang sudah pernah dipublikasi dalam kesempatan lain tetapi relevan dijadikan bagian dari seri working paper ini. Seri working paper ini dipersembahkan untuk mengenang (Alm.) Tri Agung Sujiwo (1975-‐2015). Penerbitan seri ini didukung oleh CCFD – Terre Solidaire, Perancis Tulisan ini merupakan versi bahasa Indonesia dari makalah yang berjudul “MP3EI and Politics of Energy and Power: a Case of Central Java Power Plant (CJPP) Project” yang disampaikan dalam Seminar ‘Rethinking History, Politics and (Human) Rights in Indonesia’, Kyoto University, Jepang, 30 November 2013. Makalah yang kurang lebih sama, hanya diberi judul berbeda, juga dipresentasikan dalam satu Konferensi Akademik Internasional bertema ‘Land Grabbing, Conflict and Agrarian-‐Environmental Transformations: Perspectives from East and Southeast Asia’, Chiang Mai University, Thailand, 5-‐6 Juni 2015. Dipublikasi sebagai LDPI Conference Paper No. 56 dengan judul “Commoditization of Energy: A Case of PPP Scheme Implementation in Central Java Power Plant / CJPP Project”. Untuk kepentingan penerbitan seri working paper sekarang, penulis menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
layout & setting: penkee
Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung 40293, INDONESIA +62 – 22 – 7237799 [email protected] www.arc.or.id
Hilma Safitri
Pencaplokan Lahan Masyarakat untuk
‘Pabrik Listrik’: Studi Kasus Skema PPP di Proyek PLTU Batang
Working Paper ARC 13/WP-‐KAPPOB/I/2017
Agrarian Resources Center 2017
Daftar Isi
Politik Energi dan Kelistrikan di Indonesia 2
Kasus PLTU-‐Batang dan Pelaksanaan Skema PPP/KPS 4
Pencaplokan Lahan untuk Komoditisasi Energi 11
Kesimpulan 17
Rujukan 19
Tabel
Tabel 1. Kawasan Perhatian Investasi (KPI) oleh Kegiatan Ekonomi Utama di Jawa 7
Gambar
Gambar 1. Lokasi PLTU-‐Batang 5
Gambar 2. Skema KPSdi PLTU-‐Batang 10
Gambar 3. Perubahan Peraturan Zona Konservasi Laut di Rencana Pembangunan PLTU-‐Batang 15
= Safitri
1
Tulisan ini akan menggambarkan bagaimana Negara terlibat dalam komoditisasi energy
untuk kepentingan publik. Mengambil kasus pelaksanaan mega-‐proyek yang dikembangkan di
Jawa Tengah untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Kabupaten Batang,
selanjutnya disebut PLTU-‐Batang. Persiapan pelaksanaannya merujuk pada pembangunan
ekonomi nasional yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energy dan berkontribusi pada
pertumbuhan ekonomi. Proyek ini memerlukan tanah di lokasi yang strategis dan hal ini akan
mengarah terjadinya fenomena pencaplokan tanah (land grabbing) serta memperlihatkan
bagaimana negara melakukan privatisasi asset-‐aset publik, termasuk tanah dan energy yang
akan dihasilkan. Walaupun proyek ini diperhitungkan akan berdampak pada pertumbuhan
ekonomi, melalui jaminan pasokan anergi yang didistribusikan ke kawasan industry yang
dibangun di sepanjang pulau Jawa, tidak akan merefleksikan bahwa Negara sedang
melaksanakan tugasnya untuk memenuhi kebutuhan dasar warga di sekitarnya, khususnya
layanan kebutuhan energy listrik. Ini adalah analisis pelaksanaan pembangunan di era SBY
yang menekankan efisiensi produksi asset-‐aset Negara yang berkontribusi pada rata-‐rata
pertumbuhan ekonomi negara, yang merupakan kelanjutan kebijakan pemerintah sebelumnya
dan dilanjutkan di pemerintahan sekarang.
Pandangan kelompok elit yang berkuasa saat ini adalah bagaimana memaksimalkan
sumberdaya yang ada untuk meningkatkan angka rata-‐rata pertumbuhan ekonomi, dengan
mengembangkan dan menekan industry-‐industri ekstraktif di wilayah-‐wilayah yang padat
penduduk. Strategi utamanya adalah memotong sebua hambatan khususnya keterbatasan
suplai listrik.1 Tanpa perubahan sudut pandang tersebut yang hanya mengejar angka
pertumbuhan ekonomi, penggunaan sumberdaya menjadi komoditas tidak akan terhindarkan.
Kemudian, kepentingan rakyat akan terabaikan. Kasus ini menggambarkan bagaimana peran
Negara dalam privatisasi asset-‐aset public atau komoditisasi sumberdaya energy/listrik,
dengan melihat peran dan tugas yang dijalankan untuk merealisasikan mega proyek PLTU-‐
Batang, serta bagaimana dampaknya terhadap rakyat yang hidup di sekitar lokasi proyek.
Target untuk meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi adalah latar belakang utama kenapa
Negara memberikan kesempatan untuk mengkomoditisasi sumberdaya listrik, walaupun ini
tidak meningkatkan tingkat kesejahteraan rakyatnya.
Melalui kasus ini, akan terlihat bagaimana Negara diinterpretasikan sebagai sebuah
entitas yang memberikan prioritas kepada kepentingan aliran modal dan mengsubordinasikan
1 Keluhan investor lainnya adalah transportasi darat dan laut, pasokan bahan bakar, hambatan untuk mendapatkan ijin usaha dan perpajakan (KP3EI Jawa 2012).
Pencaplokan Lahan Masyarakat untuk ‘Pabrik Listrik’ = Working Paper ARC No. 13/KAPPOB/I/2017
2
fungsi pentingnya sebagai penyedia layanan publik. Negara di dalam kasus ini digambarkan
sebagai sebuah sistim yang menjamin dan/atau menjalankan pasar bebas. Peran Negara sangat
diperlukan, minimal untuk meminimalkan hambatan-‐hambatan sosial dan politik yang
mempengaruhi aliran akumulasi modal. Merujuk pada konsep New Institutional Economy yang
merupakan kritik dari konsep sebelumnya yaitu teori Neo Klasik khususnya tentang
membatasi peran Negara untuk menjalankan prinsip-‐prinsip pasar bebas, hal terpenting harus
dilakukan oleh Negara adalah mengamankan atau membuat hak-‐hak kepemilikan dan dan
menjamin bekerjanya sistim pasar. Selanjutnya, pada kenyataannya, Negara hanya dibutuhkan
untuk menjamin praktek-‐praktek ekonomi pasar bebas bekerja yang diyakini menjadi pilihan
terbaik untuk mengurangi politisasi layanan public dan untuk meningkatkan efisiensi melalui
mekanisme pasar. Sebagaimana ditunjukkan oleh McDonald bagaimana sektor air dan listrik
menjadi kasus-‐kasus umum yang memperlihatkan proses privatisasi asset publik untuk
memenuhi kebutuhan sektor industri, yang ditujukan untuk mendisribusikan penguasaan
sektor publik kepada pihak swasta (McDonald 2014, 1). Di kasus ini, melalui pemberian kepada
sektor swasta untuk membangun dan memelihara tenaga listrik yang dihasilkan di PLTU
Batang, sejalan dengan konsep efisiensi melalui optimalisasi sumberdaya yang dialirkan untuk
sektor industry dalam rangka memuluskan kegiatan ekonomi pasar bebas. Disini bisa dilihat
bahwa Negara menjadi agen penjamin untuk akumulasi capital serta untuk mencegah
dampak-‐dampak politik yang dapat menghambat kepentingan kelompok-‐kelompok dominan
(Grindle 1986, 12) melalui penerbitan sejumlah undang-‐undang peraturan terkait untuk
memuluskan proses persiapan dan menjalankan mega-‐proyek PLTU-‐Batang.
Politik Energi dan Kelistrikan di Indonesia
Energi dan kelistrikan di Indonesia sudah mengalami evolusi panjang sejak sektor ini
dikuasai oleh pemerintah Republik Indonesia (RI) tahun 1945 setelah proses nasionalisasi
perusahaan Hindia-‐Belanda. Pembangunannya tidak dapat dipisahkan dari evolusi kondisi
politik pembangunan ekonomi Indonesia. Rejim Orde Lama yang menekankan kepemilikan
Negara berubah menjadi keterlibatan sektor swasta di era Orde Baru hingga saat ini melalui
berbagai skema dan cara pemeliharaan dan keterlibatannya. Secara umum, selama
pemerintahan RI, penguasaan dan pengelolaan tenaga listrik sudah berada di tangan sektor
swasta dengan berbagai bentuk keterlibatan serta dipengaruhi oleh pihak-‐pihak lain melalui
beragam kebijakan yang muncul di setiap era dan dekade.
= Safitri
3
Setelah masa kemerdekaan 1945, pengelolaan listrik oleh Negara mengalami masalah
yang berdampak pada dikembalikan ke pemilik sebelumnya. Namun, awal tahun 1950-‐an,
rejim Orde Lama yang bersandar pada semangat “anti-‐asing” mengeluarkan kebijakan yang
mengubah status perusahaan asing, yang dikuasai oleh pemerintahan Hindia Belanda, menjadi
dibawah penguasaan negara. Kebijakan itu sendiri menyebutkanya sebagau kebijakan
nasionalisasi perusahaan-‐perusahaan asing di Indonesia tahun 1958.2 Setahun kemudian
(1959), seluruh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Perusahaan Gas Negara (PGN) menjadi
bagian dari PLN3 hingga tahun 1960,4 sejumlah perusahaan mengintegrasikan pada Badan
Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU-‐PLN).5 PLN dan PGN dipisahkan kembali
pada tahun 19656 agar dapat memenuhi kebutuhan listrik dan gas nasional, di saat yang sama,
lembaga-‐lembaga tersebut menggantikan tugas-‐tugas BPU-‐PLN.7
Perubahan yang sangat penting ketika PLN membuka sektor swasta untuk terlibat di
dalam pengadaan listrik di Indonesia. Tahun 1972, PLN menjadi Perusahaan Umum8 yang
masih dikontrol oleh Negara. Di pertengahan 1980-‐an, melalui UU Tenaga Listrik 19859
membatasi keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan tenaga listrik (PwC 2011).10 Disini
dimulainya era baru yang PLN membeli produksi listrik dari pihak swasta, yang kemudian
diatur dalam kebijakan yang diterbitkan tahun 1989.11
Seterusnya hingga pasokan listrik disediakan oleh sistim pasar yang diasumsikan akan
lebih efisien melalui skema PLN yang kompetitif dan independen (Sulistiyanto & Xun, 2004).
Hal ini sejalan dengan rekomendasi IMF untuk seluruh sektor ekonomi untuk mengatasi krisis
2 Berdasarkan UU No. 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda, tanggal 27 December 1958 3 Berdasarkan PP No. 18/1959 tentang Penentuan Perusahaan Listrik dan/atau Gas Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi, tanggal 17 April 1959, pasal 1. Terdapat 9 perusahaan yang tertera di peraturan ini. 4Peraturan Pengganti UU No. 19/1960 tentang Perusahaan Milik Negara. 5 Berdasarkan PP No. 67/1961 tentang Pembentukan Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU-PLN), tanggal 29 Maret 1961, pasal 1. 6 Berdasarkan PP No. 19/1965 tentang Pembubaran BPU-PLN dan Pembentukan PLN dan PGN, tanggal 13 Mei 1965, pasal 2. 7 Berdasarkan PP No. 19/1965, pasal 1. 8 PP No. 18/1972 tentang Perusahaan Umum Listrik Negara, pasal 1. Peraturan ini mengubah PP No. 19/1969 dan PP No. 30/1970 pada pasal 11 (1) berubah di PP No. 19/1965. 9 UU No. 15/1985 tentang Listrik. 10 UU No. 15/1985 pasal 7. 11 Berdasarkan PP No. 10/1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, serat lebih rinci tentang penyediaan listrik oleh sektor swasta dalam Keputusan Presiden No. 37/1992.
Pencaplokan Lahan Masyarakat untuk ‘Pabrik Listrik’ = Working Paper ARC No. 13/KAPPOB/I/2017
4
yang terjadi tahun 1997.12 Ini juga diperkuat oleh kebijakan restrukturisasi pengelolaan listrik
tahun 2002. Hal ini tidak hanya memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk
menghasilkan listrik, tetapi juga memberikan kesempatan untuk menentukan tariff listrik.
Tahun 2009, kebijakan tahun 2002 menuai protes, khususnya kesempatan yang lebih besar
untuk menentukan tariff listrik yang seharusnya menjadi tugas pemerintah daerah, sementara
sektor swasta hanya terlibat dalam pembangunan transmisi dan distribusi (PwC, 2011).
Pentingnya sektor swasta untuk terlibat dalam produksi listrik juga didukung oleh
skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KSP/Public Private Partnership (PPP)), yang dimulai
tahun 2005. Peraturan Presiden (Perpres) no. 67/2005 melegalkan sektor swasta di setiap
aktivitas pembangunan ekonomi, termasuk penyediaan tenaga listrik. Kebijakan ini direvisi
tahun 201013 dengan menambahkan beberapa bentuk dukungan kelembagaan didalamnya,
seperti dalam proses pembangunan infrastruktur (listrik), ditentukan PT. Sarana Multi
Infrastruktur (SMI) dan perusahaan turunannya yang dibentuk adalah PT. Indonesia
Infrastructure Financing (PT.IIF). selain itu, tahun 2011, dalam rangka untuk mengisi peran
Negara untuk menjamin resiko-‐resiko, kemudian diatur dan dibentuk PT. Penjamin
Infrastruktur Indonesia (PT.PII/The Indonesia Infrastructure Guarantee Company (PT IIGF)).
Kebijakan kelistrikan dan kebijakan KPS ditujukan untuk mendukung tugas-‐tugas dan
mandate PLN untuk percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik di Indonesia.14
Kasus PLTU-‐Batang dan Pelaksanaan Skema PPP/KPS
Mega-‐proyek PLTU-‐Batang adalah salah satu proyek yang ditargetkan dalam pelaksanaan
kebijakan Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 15, yang juga
menjadi proyek percontohan pelaksanaan skema KPS untuk pembangunan infrastruktur
penting di Indonesia. Proyek yang akan dibangun di wilayah utara pulau Jawa, tepatnya di
kabupaten Batang akan meliputi wilayah seluas 200 ha, berada di dua kecamatan, yaitu
12 Di Indonesia, kebijakan deregulasi dan privatisasi menjadi salah satu klausul yang dikeluarkan oleh IMF dalam Memorandum on Economic and Financial Policies dan telah disepakati oleh pemerintah Indonesia sebagai jalan keluar dari krisis ekonomi. (IMF, 1997). 13 Perpres No. 67/2005 yang telah direvisi oleh Perpres No. 13/2010. 14 Sejalan dengan arahan Bank Dunia tentang IPP di wilayah Asia Tenggara pada pertengahan 2005 (http://siteresources.worldbank.org/INTEASTASIAPACIFIC/Resources/Connecting-East-Asia.pdf (8 Mei 2013)). 15 Kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia 2011-2025 yang diatur dalam Perpres No. 32/2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.
= Safitri
5
kecamatan Kandeman dan Tulis. Terdapat empat desa16 yang akan terdampak secara langsung
proyek ini. Sementara, banyak warga lain di desa lainnya di wilayah kecamatan yang sama dan
tetangganya yang selain akan kehilangan tanah pertaniannya17, mereka juga akan tersingkir
dari penghidupannya sebagai nelayan, yaitu mereka yang tinggal di kecamatan Subah.
Gambar 1. Lokasi PLTU-‐Batang
Proyek ini diperkirakan akan menghasilkan sekitar 2 x 1,000 MW tenaga listrik,
merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Bahan baku utamanya adalah batubara yang
menerpakn teknologi tinggi18 yang membuat rendahnya dampak polusi lingkungan (teknologi
tersebut disebut sistim Flue-‐Gas Desulfurization/FGD).19 Pembangkit listrik ini yang
diasumsikan akan menyediakan kira-‐kira memenuhi 8-‐9% permintaan listrik tahunan nasional
setelah beroperasi di tahun 2016 (Strategic Asia for UK Foreign Commonwealth Office 2012, 35)
Bagi pemerintah Indonesia, ini merupakan jalan keluar untuk merespon kritik dan penolakan
16 Desa Ujung Negoro, Karang Geneng dan Wonokerso do kecamatan Kandeman, dan desa Ponowareng di kecamatan Tulis. 17 Berdasarkan data statistic 2010, seluruh desa adalah desa dengan lahan yang produktif yang memproduksi beras, sekitar 50%-nya di setiap desa ditanami padi dan berbagai tanaman palawija. (BPS 2011, BPS 2011) 18 Teknologi Ultra Super Critical (USC), dimana tenaga penggerak turbin dengan tekanan tinggi yang bekerja sangat efisien. Teknologi ini memungkinkan pengurangan penggunaan batubara dan mengurangi resiko polusi. (http://www.asiapacificpartnership.org/pdf/PGTTF/events-october-06/24%20-%20New%20Gen%20Strategy%20Ultra-Supercritical%20Technlgy.pdf, diakses pada tanggal 26 Maret 2013). 19 FGD adalah perangkat teknologi yang digunakan untuk menghilangkan kandungan sulfur dioxide (SO2) di limbah pembangkit listrik. Untuk pembangkit listrik tenaga uap, FGD akan membuang lebih dari 95% kandungan SO2 di dalam pipa.
PLTU Batang tion
Propinsi Jawa Barat
Propinsi Jawa Timur
DIY
Pencaplokan Lahan Masyarakat untuk ‘Pabrik Listrik’ = Working Paper ARC No. 13/KAPPOB/I/2017
6
atau perlawanan atas penggunaan batubara untuk memproduksi tenaga listrik.20 Salah satu
perusahaan dari konsorsium perusahaan pelaksana proyek yang ditunjuk adalah yang telah
mengembangkan teknologi ini dan telah berhasil meyakinkan pemerintah bahwa prosesnya
akan ramah lingkungan (PT BPI 2011).
Tiga perusahaan yang termasuk di konsorsium, yaitu konsorsium perusahaan yang
bernama PT Bhimasena Power Indonesia (PT BPI), merupakan kombinasi perusahaan
penyedia batubara, penyedia teknologi tinggi untuk membangun pembangkit listrik dan
perusahaan industri. Mereka adalah PT Adaro,21 PT Itochu22 dan PT J-‐Power.23 Kecuali PT
Adaro, dua perusahaan lainnya adalah perusahaan Jepang yang ditunjuk oleh pemerintah
Indonesia untuk menguasai operasionalisasi, pelaksanaan dan pemeliharaan proyek ini dengan
jangka 25 tahun kontrak (PT BPI 2011). Harapannya adalah untuk memenuhi kebutuhan listrik
di Indonesia.
Walaupun demikian, penting untuk mempertanakan atau menguji lebih lanjut siapa
yang akan menggunakan tenaga listrik ini di kemudian hari, dengan melihat kondisi
kelistrikan di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dan skema percepatan pertumbuhan
ekonomi yang berpusat di Jawa. Dua hal yang akan menjadi alasan kenapa dibutuhkan skema
KPS, jika ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan permintaan listrik oleh publik dan
mengapa tidak memilih lokasi proyek di sekitar wilayah-‐wilayah yang masih membutuhkan
tenaga listrik, khususnya untuk kebutuhan rumah tangga warganya.
Pulau Jawa, dimana pembangkit listrik ini akan dibangun, adalah wilayah yang memiliki
jumlah pengguna listrik yang layak dibandingkan dengan pulau lainnya. Persentase rasio
elektrifikasi (rasio antara pengguna tenaga listrik dan jumlah rumah tangga), menurut data
PLN 2011, di wilayah Jawa-‐Bali mencapai 76%, sementara di pulau lainnya sekitar 64% (PLN
20 Warga lokal bersama-sama dengan Yayasan Green Peace dan LBH Semarang serta kelompok gerakan lingkungan lainnya, hingga saat ini, melakukan gerakan penolakan dengan isu polusi lingkungan dan degradasi lingkungan serta kerugian sosial-ekonomi warga yang akan dialami oleh warga setempat (petani, nelayan) di sekitar lokasi proyek (Antara Jateng.Com 2012, Kompas.com 2013, Mongabay.com 2012, Portalkbr.com 2013). 21 Salah satu perusahaan Indonesia, yang didirikan tahun 1992, yang menyediakan batubara dari pertambangan batubara di wilayah Tabalong, Kalimantan Selatan. Strategi ini mengembangkan Indonesia melalui masimalisasi nilai sumberdaya batubara untuk mengurangi biaya transaksi di berbagai industry yang menggunakan batubara sebagai bahan mentahnya. (PT Adaro, NA) Untuk proyek ini PT Adaro menginvestasikan sekitar 34% dari seluruh total nilai proyek. (PT Itochu 2011) 22 Perusahaan Jepang yang fokus di berbagai industry, seperti tekstil, logam dan mineral, pengolahan pangan, mesin, energy dan kimia, dan industry lainnya yang tersebar di dunia. (PT Itochu n.d.) PT Itochu menginvestasikan sebanyak 32% dari total proyek. (PT Itochu 2011) 23 Perusahaan dengan slogan “From Japan to the World and on the Future” ini adalah satu dari perusahaan Jepang yang fokus pada penjualan tenaga listrik dengan track record yang terbukti handal, pasokan listrik dengan biaya rendah. Sejak 60 tahun yang lalu telah bekerja untuk jaringan transmisi listrik nasional. (JPower 2014) Kontribusi di mega-proyek ini sebesar 32%. (PT Itochu 2011)
= Safitri
7
2012, 20). Terlebih-‐lebih, tahun 2011, dari seluruh jumlah pengguna listrik di Indonesia, 64%-‐
nya berada di pulau Jawa (PLN 2012, 5). Jadi, tidak berlebihan jika mengatakan bahwa PLTU-‐
Batang dengan kapasitas 2.000 MW tidak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan listrik di
level rumah tangga di Jawa (Safitri 2014, 28), dan jika juga dikaitkan dengan kecenderungan
lain bahwa Jawa adalah jantungnya untuk menaikkan angka pertumbuhan ekonomi hingga 6-‐
9% di tahun 2025 sejak pemerintahan sebelumnya, ini menjadi sangat beralasan.24
Perpindahan rejim tidak menghentikan upaya untuk membangun sektor industry di
Jawa, termasuk menjalan skema ‘perepatan’ sebagaimana ditargetkan di kebijakan MP3EI-‐nya
SBY. Wilayah ini sebagai wilayah utama untuk industry tetap menjadi perhatian rejim yang
baru. Paling tidak, terdapat 34 wilayah yang diproyeksikan untuk menjadi lokasi investasi,
khususnya di sepanjang pantai utara pulau Jawa (Tim Kerja MP3EI Jawa 2012) (Tabel 1). Konsep
Kawasan Perhatian Investasi (KPI) yang ditetapkan dalam MP3EI berlanjut dan menjadi target
utama distribusi listrik yang dihasilkan oleh (salah satunya) PLTU-‐Batang.
Tabel 1. Kawasan Perhatian Investasi (KPI) oleh Kegiatan Ekonomi Utama di Jawa
No. Aktivitas Ekonomi Utama
Kawasan Perhatian Investasi (KPI) Total Jawa
Barat DKI
Jakarta Banten Jawa Tengah
Jawa Timur
1. Food and beverage 6 1 3 4 7 21 KPI
2. Tekstil 7 -‐ 1 2 -‐ 10 KPI
3. Pengangkutan 1 -‐ -‐ -‐ 1 2 KPI
4. Defense equipment 2 -‐ -‐ -‐ -‐ 2 KPI
5. Perlengkapan Transportasi 4 1 1 -‐ -‐ 6 KPI
6. ICT 2 -‐ -‐ -‐ -‐ 2 KPI
7. Minyak dan Gas 1 -‐ 1 -‐ -‐ 2 KPI
TOTAL 23 2 6 6 8 45 KPI
Sumber: Hasil Pertemuan Koordinasi, Koridor Ekonomi Jawa (Tim Kerja MP3EI Jawa 2012, 44-‐45)
Hambatan ketersediaan pasokan listrik untuk memenuhi kebutuhan beroperasinya
industry menjadi salah satu hambatan yang dihadapi oleh investor, mengikuti hambatan
lainnya, seperti fasilitas infrastruktur dan ketersediaan bahan bakar. Hasil investigasi tim
24 Merujuk pada kebijakan pembangunan ekonomi era pemerintahan SBY, yang disebut MP3EI, dan sekarang sejalan dengan perubahan rejim ke pemerintahan Jokowi-JK, walaupun MP3EI tidak lagi disebut-sebut, isinya masih sama dan menjadi salah satu pilar dalam kebijakan ekonomi pemerintahan yang bari, sebagaimana dinyatakan dalam program Nawacita.
Pencaplokan Lahan Masyarakat untuk ‘Pabrik Listrik’ = Working Paper ARC No. 13/KAPPOB/I/2017
8
KP3EI tahun 2012 menyimpulkan bahwa ancaman yang disebutkan oleh para pengusaha
adalah jaminan tersedianya tenaga listrik (KP3EI Jawa 2012), yang seringkali tidak tercapainya
target produksi yang berdampak pada pengembalian modal yang lambat. Penjelasan ini
memperlihatkan bagaimana PLTU-‐Batang sangat penting dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan sektor industry di Jawa.
Selain terkait dengan pertumbuhan sektor industri, PT PLN juga meletakkan sektor
komersial menjadi sektor penunjang utama untuk indicator pemenuhan permintaan tenaga
listrik oleh Negara. Walaupun penduduk menjadi latar belakang untuk penyediaan tenaga
listrik, target pemenuhan rasio elektrifikasi menjadi penekanan untuk penjualan tenaga listrik
dan meningkatnya jumlah konsumen di sektor komersial, yaitu sektor industri (Safitri 2014,
36-‐37). Target 93% di tahun 2021 akan dicapai jika target penjualan bertambah hingga 95% di
tahun 2011 (PLN 2012, 770-‐775). Dalih permintaan listrik di Indonesia, yang merespon keluhan
para investor, serta target utama untuk mencapai pasokan listrik yang membuat mega-‐proyek
ini menjadi prioritas utama dan penting.
Alasan bahwa pemerintah tidak memiliki dana, target pasokan listrik ditempuh dengan
melibatkan sektor swasta. Skema KPS yang pertama digunakan di mega-‐proyek PLTU-‐Batang
(Bappenas 2011, Ministry of National Development Planning 2012), dengan berbagai revisi dan
penyesuaian seluruh aturan dan peraturan terkait dengan KPS,25 sejak tahun 2005 hingga
2011.26 Skema KPS ini juga menjadi proyek percontohan di dalam kerangka kebijakan MP3EI.
Sebagai proyek percontohan, seluruh pihak yang tertarik di dalam pembangunan berupaya
memberikan seluruh kemampuannya untuk memberikan contoh sukses skema KPS (Strategic
Asia 2013, 28).
Walaupun skema KPS merupakan kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta, di
proyek ini didominasi oleh sektor swasta, sejak proses persiapan, operasional dan
pemeliharaannya. Sebagaimana digambarkan di gambar dibawah ini, pemerintah diwakili oleh
PLN sebagai pengontrol pembangunannya dan operasionalisasinya serta memberikan mereka 25 Skema KPS adalah metode terbaru untuk menyediakan fasilitas infrastruktur listrik. Ini telah menjadi tren di banyak Negara-negara berkembang sejak tahun 1970-an. Di Indonesia, sektor swasta selalu dilibatkan dalam sistim penyediaan tenaga listrik dan keterlibatannya bermula sejak tahun 1985, ketika UU tentang Listrik membolehkan sektor swasta (koperasi dan perusahaan lainnya) untuk menjual listrik ke PLN, walaupun terbatas (Pasal 7). Selama era Reformasi, PLN mengalami kebangkrutan karena sejumlah penghentian proyek-proyek dan kerjasama, membuat pemerintahan Megawati mengeluarkan ketentuan baru di tahun 2002 yang mana, pada prinsipnya, membuka jalan skema-skema yang lebih kompetitif. Untuk itu, membolehkan sektor swasta untuk menentukan harga (Pasal 9). Namun, Mahkamah Konstitusional kemudian mencabut ketentuan tersebut pada tahun 2004. 26 Peraturan KPS diterbitkan pertama kali tahun 2005, melalui Perpres No. 67/2005, kemudian diubah beberapa kali menjadi Perpres No. 13/2010 tentang perubahan atas Perpres No. 67/2005 dan terakhir, tahun 2011 dengan terbitnya Perpres No. 56/2011.
= Safitri
9
jaminan untuk semua resiko yang dapat terjadi selama proses. Kesepakatan pertama telah
dilakukan antara PT BPI dan pemerintah Indonesia, yang diwakili oleh PT Indonesia
Infrastructure Guarantee Fund (IIGF),27 untuk menjalankan pembangunan dan menjamin
semua resiko, termasuk resiko kerugian dalam proses pengadaan lahan28. Kesepakatan kedua
antara PT PLN untuk pembelian listrik selama 25 tahun (PT BPI 2011). Ini adalah bentuk
terakhir kerjasama antara pemerintah dan sektor swasta yang diberlakukan di PLTU-‐Batang,
dimana pemerintah memberikan kekuasaan penuh kepada konsorsium perusahaan untuk
menyediakan listrik dan produksinya akan dibeli oleh pemerintah dengan harga yang
ditentukan oleh perusahaan (dinyatakan dalam Perpres No. 56/2011 tentang KPS).
Dalam pelaksanaan pembangunan proyek ini, skema KPS yang digunakan adalah skema
Membangun-‐Memiliki-‐Mengoperasikan-‐Memindahkan (Build-‐Own-‐Operate-‐Transfer /
BOOT),29 merupakan bentuk terbari bahwa asset dan produksi hampir dikuasai oleh kelompok
swasta yang ditunjuk sebagai kelompok pengembang. Skema BOOT merujuk pada kerjasama
antara pemerintah dan pengusaha atau kelompok perusahaan, dimana perusahaan memiliki
tanggung jawab penuh untuk menjalankan pendanaan, persiapan, pembangunan, operasinal
dan pemeliharaan serta akan mendapatkan hak kepemilikan atas asset di rentang waktu
tertentu sebagaimana disebutkan di dalam surat kesepakatan atau kontrak. Sektor publik
dalam skema ini menyepakati untuk membeli produk yang dihasilkan oleh kelompok swasta.
Di akhir konsesi, asset dan semua yang ada diatasnya akan kembali ke Negara yang diwakili
oleh lembaga pemerintahan terkait (Kwak, Yingyi and Ibbs 2009, 54). Sebagaimana
digambarkan di Gambar 2, setelah menyelesaikan pembangunan dibawah skema KPA, serta
kesepakatan pembelian listrik (power purchase agreement/PPA) oleh PT PLN, PT BPI
mengoperasikan proyek ini hingga 25 tahun, dan asetnya akan kembali ke pemerintah
Indonesia, yaitu kepada PT PLN.
Dapat dilihat di gambar di bawah ini, skema BOOT akan melewati fase kesepakatan yang
melibatkan pihak-‐pihak terkait. Di tahap awal, PT BPI pada tanggal 6 Oktober 2011
27 PT IIGF adalah turunan kebijakan tahun 2005 yang telah direvisi (Perpres No. 67/2005) berubah menjadi Perpres No. 13/2010, dimana mandate Menteri Keuangan untuk membentuk Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur/BUPI. PT GIIF adalah perusahaan untuk BUPI yang dibantuk pada 30 Desember 2009. (PT IIGF n.d.) 28 Perpres No. 13/2010 tentang Perubahan Perpres No. 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha untuk Penyediaan Infrastruktur. 29 Berbagai skema KPS memperlihatkan sebuah kesinambungan hingga asset menjadi benar-benar dikuasai oleh sektor swasta. Sebagaimana diasumsikan oleh Kwak, Yingyi dan Ibbs yang menyebutnya Continuum of Type of PPP, secara berurutan berbentuk Operation Maintenance (OM), Design-Build-Operate (DBO), Design-Build-Finance-Operate (DBFO), Build-Operate-Transfer (BOT) dan Build-Own-Operate-Transfer (BOOT). (Kwak, Yingyi dan Ibbs 2009)
Pencaplokan Lahan Masyarakat untuk ‘Pabrik Listrik’ = Working Paper ARC No. 13/KAPPOB/I/2017
10
menandatangani kesepatan dengan PT PLN (sebagai pembeli produk listrik) dan IIGF (sebagai
penjamin transaksi pembelian), yang sebelumnya telah ada kesepaatan angara PT PLN dan
IIGF (PT BPI, 2011).30 Kesepakatan ini mengindikasikan bahwa proyek sudah siap untuk
dimulai, yang direncanakan beroperasi pada tahun 2016.
Gambar 2. Skema KPSdi PLTU-‐Batang
Government and Company Agreement
Guarantors
State Owned Electricity Utility
Project Company
PPA1
Recourse Agreement2
Guarantee Agreement3
PT AdaroItochuJ-‐Power
Sponsor Agreement4
Equity
Profit Distribution
LendersLoan Agreement5
Project-‐Finance Debt
Debt Service
OPC, O&M, Fuel Supply Agreements6
EPC Contractor/Itochu & J-‐Power
Fuel Supplier/PT Adaro
O&M Contractor/PT BPI
Operation and Maintenance Contract
Fuel Supply Contract
Engineering, Procurement and Construction Contract
Company and Fund Institution Agreement
Construction, Operation and Maintenance
Transfer
Sumber: Dimodifikasi dari Presentasi di PPP Days 2012 (IIGF 2012) dan Interpretasi Press Release PT Adaro (PT BPI 2011) (dikutip dari (Safitri 2014, 54).
Di fase kedua, PT BPI memainkan perannya sebagai pemegang mandat pembangunan
PLTU-‐Batang, khususnya untuk mencari sponsor dan dana. Sponsor yang teridentifikasi
adalah anggota konsorsium PT BPI; PT Adaro, Itochu dan J-‐Power. Masing-‐masing akan
berkontribusi di dalam proyek ini. J-‐Power merupakan perusahaan yang bergerak di
pengembangan pembangkit listrik dengan teknologi tinggi dengan bahan baku batubara yang
menggunakan teknologi USC. PT Adaro merupakan perusahaan eksplorasi tambang batubara
yang akan mensuplai batubara di PLTU-‐Batang, sementara Itochu adalah perusahaan Jepang
ternama yang baru memulai ekspansi usahanya di proyek pembangkit tenaga listrik.
30 Informasi serupa juga dapat dilihat di website PT IIGF (http://iigf.co.id/Website/News.aspx?id=64, diakses pada 14 Mei 2013)
= Safitri
11
Sebagaimana digambarkan di skema diatas, masing-‐masing perusahaan akan mendapatkan
pembagian keuntungan dari hasil penjualan listrik.31
Setelah fase kedua selesai, PT BPI bisa melanjutkan ke fase ketiga. Kontrak antara
pengembang dan penyedia bahan bakar dilakukan oleh PT BPI, termasuk kontrak untuk
mengoperasikan serta memelihata produk untuk 25 tahun ke depan. Kontrak ini
ditandatangani antara PT BPI dan Itochu dan J-‐Power, sementara kontrak penyedia bahan
bakar akan dilakukan dengan PT Adaro, sementara untuk kegiatan operasional dan
pemeliharaan merupakan kontrak bersama dengan seluruh anggota konsorsium PT BPI.
Dengan penerapan skema BOOT, minila untuk 25 tahun kedepan, pasokan listrik
seharusnya juga disediakan untuk rumah tangga di pedesaan, akan dinikmati oleh sektor
industry di Jawa. Tidak hanya itu, melalui penguasaan sumberdaya listrik dan kewenangannya
untuk menentukan harga jual, sebagaimana diatur dalam Peraturan KPS 2011,32 maka sektor
listrik tidak lagi dibawah kekuasaan Negara, yang seharusnya menjadi pemegang mandate
untuk menyediakan layanan dasar untuk rakyat.
Pencaplokan Lahan untuk Komoditisasi Energi
Skema KPS diyakini sebagai skema efektif untuk menjalankan prinsip efisiensi di sektor
vital dalam rangka meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi. Skema ini berkaitan dengan
kerja bersama antara pemerintah dan kelompok pengusaha dalam pelaksanaan pembangunan,
khususnya pembangunan fasilitas publik. Sejak awal inisiatif ini, peran Negara sangat
dominan, selain sebagai pihak yang otoritatif untuk merumuskan berbagai kebijakan dan juga
menjadi penjamin pengadaan layanan publik. Di berbagai pengalaman, skema ini
mempergunakan terminology kolaborasi maupun partisipatif secara bergantian, yang
mengarah pada privatisasi asset publik (ADB n.d., 1). Evolusi skema ini memperlihatkan bahwa
peran Negara sedikit demi sedikit hilang, hal ini terjadi ketika pengembalian asset dalam
jangka waktu tertentu. Buku panduan yang diterbitkan oleh ADB menjelaskan bahwa terdapat
lima bentuk generic pelaksanaan KPS, yang memperlihatkan evolusi peran Negara, yaitu
Kontrak Layanan (Service Contract), Kontrak Pengelolaan (Management Contract), Kontrak
Sewa (Lease Contract), Konsesi dan Membangun-‐Mengoperasikan-‐Mengembalikan (Build-‐
Operate-‐Transfer/BOT) (ADB n.d., 28). Dalam rangka menangani dinamika politik lokal dan
31 Pemberi dana untuk PT BPI masih belum diketahui. 32 Perpres No. 56/2011 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha untuk Penyediaan Infrastruktur
Pencaplokan Lahan Masyarakat untuk ‘Pabrik Listrik’ = Working Paper ARC No. 13/KAPPOB/I/2017
12
internal, lembaga penjamin menjadi prasyarat skema ini, yang ditujukan agar proyek dapat
terus berlanjut walaupun terjadi pergantian rejim dan hambatan politik terkait lainnya,33
termasuk mencegah resiko lainnya yang mungkin terjadi selama proses pembangunan,
pendanaan, kemampuan dan tuntutan sosial serta penurunan nilai (Wibowo 2012, 34, Kwak,
Yingyi and Ibbs 2009, 68). Di bagian ini, dengan melihat dengan cermat kasus PLTU-‐Batang,
akan memperlihatkan bagaimana Negara melepaskan asset publiknya ke sektor swasta,
sehingga Negara tidak lagi memiliki otoritas untuk mengelola dan mengatur lebih lanjut.
Skema PPP membuat Negara hanya bekerja di ruang yang terbatas dan minim di
wilayahnya, khususnya jika skema BOOT diterapkan. Walaupun ini dibatasi dengan masa
kontrak dalam kesepakatan, penguasaan asset serta operasionalnya hingga pemeliharaan yang
diikuti dengan keuntungan yang didapatkan akan berada di tangan kelompok pengusaha yang
ditunjuk sebagai agen pengembang di skema ini. Di hampir banyak pengalaman, Negara hanya
memiliki lima macam tanggungjawab dan peran, yaitu untuk membuat iklim investasi yang
layak, untuk merumuskan dan memutuskan berbagai kerangka kebijakan yang mendukung
bekerjanya investasi, untuk membangun skema koordinasi antara lembaga pemerintah di
berbagai level, untuk menentukan wilayah-‐wilayah konsesi dan untuk secara aktiv di setiap
tahapan pembangunan (Kwak, Yingyi and Ibbs 2009, 59-‐61). Namun, pada prakteknya dapat
dibaca sebagai bentuk intervensi Negara untuk merespon ketidakmampuan pasar untuk
mendistribusikan berbagai resiko dan hambatan perputaran modal, yang kemudian dianggap
sebagai bentuk jaminan atau garansi Negara untuk bekerjanya sistim pasar (Wibowo 2012) dan
dengan skema BOT dan BOOT, walaupun asetnya akan dikembalikan ke Negara, kontribusi
Negara yang lebih krusial adalah ketika menyerahkan asset publik ini ke sektor swasta dalam
jangka waktu yang panjang (ADB n.d., 1).
Di kasus PLTU-‐Batang, skema KPS-‐BOOT membuat konsorsium memiliki penguasaan
penuh atas lahan/wilayah yang akan dijasikan lokasi PLTU, dan juga produksinya. Pilihan
lokasi lebih ditentukan oleh PT BPI dengan pertimbangan-‐pertimbangan politis dan teknis,
sementara pemerintah hanya melegitimasi proses pengambilalihan lahan. Berbagai bentuk
legitimasi yang ada adalah menerbitkan atau merevisi peraturan terkait agar piliha lokasi tidak
bertumbukan dengan aturan yang sudah ada yang terkait dengan wilayah yang dipilih.
Pemerintah Indonesia menjamin pengadaan lahan untuk lokasi pembangunan PLTU-‐Batang.
Di skema KPS, yang menjadi tugas utama pemerintah adalah mencari lokasi dan menjamin
33 Perbandingan dan pengalaman lembaga-lembaga penjamin dijelaskan di kajian yang dilakukan oleh Imam Pandu Wibowo (2012), termasuk masa depan PT IIGF sebagai lembaga penjamin yang dibangun oleh pemerintah Indonesia tahun 2011.
= Safitri
13
bahwa area tersebut siap untuk diambil alih. Peraturan pengadaan tanah terbaru yang
diterbitkan di awal tahun 2012 (UU No. 2/2012) juga diterapkan di proyek ini, bahwa
pemerintah (tingkat pusat dan kabupaten) menjamin lahan ini untuk kepentingan publik
(pasal 4) dan melaksanakan proses pengadaannya (pasal 6).
Dalam UU No. 2/2012 yang menjelaskan bahwa setiap pihak yang terkait (termasuk
rakyat di sekitarnya) harus mematuhi peraturan ini (pasal 8). Walaupun demikian, selain
proses pemberian kompensasi yang tidak adil, jaminan untuk mendapatkan kehidupan yang
lebih baik di masa datang bagi warga yang terkena dampak juga harus menjadi pertimbangan.
Di kasus ini, rakyat setempat tidak pernah mendapatkan penjelasan yang layak dari PT BPI
terkait dengan skema masa depan untuk mereka kecuali mereka hanya mendapatkan
perkiraan harga tanah yang akan dibayar.34 Walaupun demikian, menurut kebijakan KPS dan
pelaksanaan MP3EI, sangat sedikit penjelasan tentang jaminan bagi rakyat setempat yang
lahannya akan diambil alih, selain akan mendapatkan kompensasi dan kemungkinan untuk
terlibat di dalam proyek pembangunan sebagai pekerja upahan.35
Akan lebih baik jika lokasi yang dipilih adalah tanah Negara, proses akuisisi lahannya
lebih mudah dengan tanpa mengganggi kehidupan rakyat setempat. Selai itu, proses akuisisi
tanah Negara, jika sebelumnya bukan lahan kosong, hanya memerlukan koordinasi diantara,
minimal, dua lembaga dan tidak memerlukan proses restitusi, hanya memerlukan alokasi
tanah yang dimiliki Negara di wilayah lain – yang dapat dipergunakan untuk tujuan yang sama
sebagaimana tujuan penggunaan sebelumnya.
Sejak rencana pembangunan PLTU-‐Batang, beberapa lokasi telah diidentifikasi dan
dikaji sebelum diputuskan lokasinya di kabupaten Batang. Menurut Kepala Dinas Sumberdaya
Energi dan Mineral Provinsi Jawa Tengah,36 beberapa kabupaten mengajukan kandidat lokasi
yaitu di kabupaten Kendal, Pemalang dan Batang (SuaraMerdeka.com, 2011). Di Kabupaten
Batang, lokasi yang diusulkan adalah di wilayah Tanjung Celong, Pantai Ujung Negoro,
Degayu, dan Labuhan, dan lokasi lainnya di kabupaten Kendal, di Tanjung Korowelang
(SuaraMerdeka.com, 2011). Lokasi di Kabupaten Kendal tidak lagi bisa dipilih karena akan
dibangun pembangkit listrik yang lain, yang dibiayai oleh investor dari India. Sehingga
kabupaten Batang satu-‐satunya pilihan yang mungkin, karena kabupaten Pemalang pada saat
34 Berdasarkan salah satu kesimpulan yang dinyatakan oleh Komisioner Komnas HAM (Dianto Bachriadi) pada pertemuan dengan warga setempat dan PT BPI, PT PLN dan pemerintah kabupaten, tanggal 21 February 2013. 35 Poin ini akan didiskusikan secara khusus di bagian terakhir, dalam rangka melihat seberapa banyak kerugian yang dialami oleh warga setempat karena pembangunan PLTU Batang. 36 Teguh Dwi Priyono adalah pejabat yang berwenang saat itu.
Pencaplokan Lahan Masyarakat untuk ‘Pabrik Listrik’ = Working Paper ARC No. 13/KAPPOB/I/2017
14
itu juga dipertimbangkan tidak mungkin, karena dibandingkan dengan lokasi di Kabupaten
Batang, lokasinya berada di tanah Negara yang diperuntukan untuk usaha perkebunan besar,
yang dikuasai oleh PT Perkebunan (SuaraMerdeka.com, 2011). Terkait dengan status tanah
Negara, pemerintah provinsi Jawa Tengah merekomendasikan wilayah Tanjung Celong dan
Labuhan, dimana terdapat perkebunan, yang akan dengan mudah diambil alih untuk
pembangunan PLTU ini.
Walaupun demikian, proses selanjutnya ditangani investor yang memutuskan Pantai
Ujung Negoro sbagai lokasi terpilih. Beberapa alasan mengemuka, salah satunya terkait
dengan kelayakan kondosi fasilitas transportasi di wilayah ini. Walaupun masih memerlukan
perbaikan, namun secara umum, wilayah ini lebih baik dibandingkan wilayah lainnya. Alasan
lain adalah kondisi pantainya, yang memadai bagi kapal pengangkit batubara untuk bersandar.
Dinas ESDM Jawa Tengah sudah mengingatkan PT BPI dan PT PLN terkait dengan pilihan
Pantai Ujung Negoro karena wilayah ini merupakan bagian dari wilayah konservasi laut yang
sudah ditetapkan oleh pemerintah kabupaten Batang pada tahun 2005.37
Akhirnya, PT BPI memilih lokasi di Pantai Ujung Negoro, desa Karang Geneng, yang
berada diatas lahan pertanian warga. Tidak seperti apa yang dikatakan oleh pemerintah
provinsi, PT BPI yang mempertimbangkan bahwa lokasi ini lebih mudah untuk diambil alih
daripada lokasi yang sebelumnya merupakan tanah negara. Pandangan investor, menggunakan
tanah hutan atau tanah perkebunan Negara akan menambah biaya. Alasan lainnya, ini terkait
dengan birokrasi, karena – berdasarkan pengalaman lain, misalnya pembangkit listrik LOntar
– sertifikasi memakan waktu tiga tahun (ListrikIndonesia.com, N/A). Perhitungan pengusaha,
skema kompensasi adalah langkah yang paling strategis untuk ditempuh, walaupun resiko
penolakan sering terjadi sebagaimana terjadi di PLTU-‐Batang.
Segera setelah lokasi dipilih dan diijinkan oleh pemerintah, PT BPI bisa segera
melakukan akuisisi lahan dan prose restitusi untuk setiap meter tanah yang mereka gunakan.
Pemerintah memberikan jaminan hukum kepada PT BPI jika warga menolak, dengan UU
Pengadaan Tanah (No 2/2012), setiap pembangunan untuk tujuan kepentingan public, seperti
PLTU-‐Batang, pemegang hak atas tanah sebelumnya wajib menyerahkan asset tanahnya dan
harus siap menerima kompensasi yang ditawarkan.
Kebijakan lain yang menggambarkan terbatasnya peran Negara adalah pengaturan lokasi
atau status lokasi yang dipilih, sehingga tidak melanggar aturan. Pemerintah
37 Berdasarkan Keputusan Bupati Batang No. 523/283/2005 tentang Kesepakatan Zona Konservasi Laut di Ujungnegoro-Roban kabupaten Batang.
= Safitri
15
Kabupaten/Provinsi ditekan oleh pemerintah pusat (melalui skema pelaksanaan MP3EI dan
KPS) untuk mengubah sejumlah peraturan terkait dengan pembangunan PLTU-‐Batang.38
Tahun 2005, wilayah tertentu yang menjadi bagian dari lokasi pembangunan PLTU-‐Batang
dinyatakan sebagai zona konservasi laut dengan Perda Kab. Batang No. 523/283/2005.
Kemudian, investor membuat keputusan untuk membangun PLTU-‐Batang di wilayah tersebut
setelah hanya tiga bulan melakukan kajian dan tanpa konsultasi dengan warga setempat.
Kemudian, wilayah tersebut menjadi wilayah buangan beroperasinya PLTU-‐Batang.
Tanggal 7 Juni 2011, PT BPI ditunjuk sebagai pengembang. Pada saat yang sama,
pemerintah pusat meminta Pemkab Batang untuk mengubah zona konservasi laut menjadi
zona bebas untuk mendukung pembangunan PLTU-‐Batang. Pemkab Batang mengambil
langkah cepat atas instruksi tersebut. Perubahan dilakukan dua kali dengan dikeluarkannya
dua Perda: pertama di tahun 2011 (Perda Kab. Batang No. 523/306/2011) dan kedua di tahun
2012 (Perda Kab. Batang No. 523/194/2012). Selain itu, pemangku kewenangan di kabupaten
Batang sepakat untuk pembangun PLTU-‐Batang di wilayah tersebut (kabupaten Kendal
menjadi lokasi alternatifnya39). Perubahan-‐perubahan dalam zonasi digambarkan di gambar di
bawah ini.
Gambar 3. Perubahan Peraturan Zona Konservasi Laut di Rencana Pembangunan
PLTU-‐Batang
Sumber: disarikan oleh LBH Semarang dan dikutip oleh Mongabay (Mongabay.com 2012). Perubahan-‐perubahannya dari wilayah yang diarsir hijau ke wilayah arsir merah dan kemudian ke wilayah berwarna biru. (dikutip dari Safitri 2014, 64)
38 Dinamika perubahan kebijakan menghasilkan perlawanan kuat dari kelompok-kelompok aktivis lingkungan dan pembela hak-hak rakyat; baik yang berbasis di Jawa Tengah maupun Jakarta, seperti Go Green, LBH Semarang, YLBHI dan Green Peace. (YLBHI dan LBH Semarang 2012, YLBHI, LBH Semarang, GreenPeace dan Warga Batang 2012) 39 Berdasarkan wawancara dengan aktivis Go Green tanggal 3 September 2013.
Pencaplokan Lahan Masyarakat untuk ‘Pabrik Listrik’ = Working Paper ARC No. 13/KAPPOB/I/2017
16
Pada bulan Agustus 2011, rencana proyek PLTU-‐Batang termasuk dalam Rencana Tata
Ruang (RTR) Kabupaten Batang, yang berlaku hingga 2031 (PP No. 7/2011). Menurut Go Green,
sebuah organisasi yang fokus pada dampak lingkungan pembangunan di kabupaten Batang,
RTR tersebut tidak disoalisasikan ke public,40 selain juga pada prosesnya tidak melibatkan
warga setempat.
Kritik lain terhadap proyek tersebut, percepatan perumusan dokumen AMDAL sebagai
langkah cepat untuk memotong panjangnya proses birokrasi merupakan langkah yang
penting. Warga setempat menuntut baik PT BPI dan pemerintah untuk menyediakan pilihan
untuk menyelesaikan masalah sosial dan ekonomi warga yang terdampak41. Permintaan dan
tuntutan mereka ditujukan pada apa yang ada di dalam dokumen AMDAL, yang hingga bulan
Agustus 2013 masih berstatus rancangan. Berdasarkan penilaian, rancangan AMDAL tertanggal
5 Juli 2013 menyatakan bahwa proyek tersebut tidak layak. Sehingga prosesnya, khususnya
pembangunan lokasi, harus dihentikan. Tetapi, versi revisi dokumen tersebut dilakukan
dengan sangat cepat. Dalam waktu sebulan (tanggal 21 Agustus 2013), isi rancangan AMDAL
berubah drastis. Jika draft sebelumnya menguraikan 80 poin kritik atas proyek tersebut, di
edisi revisinya sudah dinyatakan bahwa proyek tersebut layak untuk dilakukan.42
Proses percepatan di kasus ini terkait dengan dinamika politik pada saat itu; yaitu,
momemn pergantian gubernur Jawa Tengah. Dokumen AMDAL sebelumnya ditandatangani
oleh gubernur sebelumnya, persis sebelum gubernur terpilih yang baru dilantik pada tanggal
23 Agustus 2013. Kemudian, tanggal 25 Agustus 2013, gubernur yang baru harus
mensosialisasikan dokumen tersebut ke banyak pihak, termasuk kepada warga Batang.43
Sehingga, dua hambatan terbesar termasuk perlawanan warga setempat yang bekerja
bersama dengan kelompok aktivis lingkungan dan pembela hak-‐hak rakyat dapat dikelola dan
dikuasai. Masalah yang ada dan terbesar adalah akuisisi lahan, yang kemudian dapat
diselesaikan dengan aturan pengadaan tanah 2012 (UU No. 2/2012) dimana tidak seorangpun
atau pihak manapun dapat menolak lokasi dimanapun yang sudah ditentukan menjadi lokasi
proyek pembangunan. Isu bahwa Indonesia mengalami krisis energy, PLTU-‐Batang adalah
salah satu jalan keluar dan dianggap sebagai sumber energy vital yang diperhitungkan akan
40 Berdasarkan wawancara dengan aktivis Go Green tanggal 3 September 2013. 41 Berdasarkan wawancara dengan Komisioner Komnas HAM yang melakukan mediasi antara warga setempat, perusahaan dan pemerintah provinsi tanggal 4 September 2013. 42 Didukung oleh wawancara dengan aktivis Go Green tanggal 3 September 2013. 43 Berdasarkan pengumuman Gubernur Jawa Tengah tentang Sosialisasi dokumen AMDAL, tanggal 26 Agustus 2013.
= Safitri
17
memenuhi kebutuhan listrik nasional (Strategic Asia for UK Foreign Commonwealth Office
2012). Sementara, isu lingkungan, yang terkait dengan wilayah konservasi sebagaimana
disebutkan di peraturan daerah sebelumnya, dapat diselesaikan dengan mengubah peraturan
terkait dengan yang baru. Walaupun proyeknya belum dimulai, persiapannya telah
diselesaikan secara hukum dan tidak ada pertentangan hukum didalamnya.
Kesimpulan
Komoditisasi asset untuk layanan publik, termasuk sumber energy, telah dilakukan oleh
Negara secara sistimatis. Sehingga, asetnya telah berubah menjadi komoditas yang seharusnya
menjadi sumber publik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan rakyat. Kasus PLTU-‐Batang telah
memperlihatkan bahwa sumber-‐sumber energy sebagai asset publik kemudian tidak hanya
menjadi barang dagangan dimana peran Negara sangat penting di dalam prosesnya, tetapi juga
Negara telah mengabaikan atau menghilangkan sumber-‐sumber penghidupan rakyat karena
prinsip efisiensi di dalam proses pembangunannya.
Dengan dalih skema percontohan pelaksanaan KPS, proses-‐proses PLTU Batang
difasilitasi dengan baik oleh berbagai kebijakan yang dikeluarkan baik oleh pemerintah pusat
maupun daerah. Target utamanya adalah rasio elektrifikasi sebanyak 97%. Namun, targetnya
hanya dihitung atau difokuskan pada konsumsi listrik atau penggunaan oleh sektor industry
atau komersial yang berlokasi di Jawa. Agen pengembang dan pelaksana proyek adalah swasta,
yang disyaratkan oleh skema KPS dengan jenis BOOT. Skema ini memungkinkan sektor swasta
untuk mengelola, tidak hanya menjadi sumber energy, tetapi seluruh prosesnya, untuk
memelihara dan untuk menjual produknya. Dengan skema ini juga membuat sektor swasta
menguasai proses distribusi dan mengintrol harga. Untuk menjamin seluruh proses tersebut,
sejak proses pembangunan hingga distribusi produk, Negara sepakat untuk menjamin seluruh
resiko yang mungkin akan dialami oleh mereka. Ini dituangkan dalam aturan-‐aturan yang
dibuat secara khusus untuk melengkapi sejumlah peraturan KPS yang sudah ada sejak tahun
2005.
Walaupun skema KPS dibentuk dalam rangka mendistribusikan sejumlah resiko yang
mungkin dihadapi oleh pemerintah di setiap proses pembangunan, pada kenyataannya terjadi
sebaliknya, dimana sektor swasta yang seringkali meminta seluruh resiko dipindahkan ke
Negara atau pemerintah, khususnya yang terindikasi akan merugikan atau menghambat
perputaran modal. Fokus pada peran Negara sebagai pemegang mandate untuk pemenuhan
kebutuhan dasar rakyatnya, dari kasus ini akan menjadi salah satu bukti bahwa mandatnya
Pencaplokan Lahan Masyarakat untuk ‘Pabrik Listrik’ = Working Paper ARC No. 13/KAPPOB/I/2017
18
hanya dipergunakan sebagai alasan untuk menjalankan kegiatan komersial lainnya yang
bertolak belakang dari tujuan awalnya fungsi negara. Tidak berlebihan bahwa Negara menjadi
alat atau penjaga lalu lintas untuk bekerjanya kepentingan kelompok tertentu yang bertujuan
untuk mengakumulasi keuntungan atau manfaat melalui peran mereja sebagai pemegang
pengelolaan asset-‐aset publik.
= Safitri
19
Rujukan
ADB. Public Private Partnership Handbook. Manila: Asian Development Bank.
Antara Jateng.Com. "Kesiapan Warga Hadapi PLTU Batang." Antara News. 26 Februari 2012. http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=58899#.UZ8RsaJT48E (diakses 24 Mei 2013).
Bappenas. Public Private Partnership: Infrastructure Project Plans in Indonesia. Jakarta: National Development Planning Agency of Indonesia, 2011.
BPS. Kecamatan Kandeman Kabupaten Batang dalam Angka 2010. Batang, Jawa Tengah: Badan Pusat Statistik Kabupaten Batang, 2011.
—. Kecamatan Tulis Kabupaten Batang dalam Angka 2010. Batang, Jawa Tengah: Badan Pusat Statistik Kabupaten Batang, 2011.
Byres, Terence J. "Agriculture and Development: The Dominant Orthodoxy and an Alternative View." Dalam Rethinking Development Economics, Ha Joon Chang, 235-‐253. London: Anthem Press, 2003.
Grindle, Merilee S. State and Countryside: Development Policy and Agrarian Politics in Latin America. Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1986.
IIGF. "The Role of IIGF for PPP Projects Development in Indonesia." PPP Days 2012. Geneve, February 21-‐24, 2012.
JPower. Corporate Profil of JPower EPDC. 2014. http://www.jpower.co.jp/english/company_info/jpower/aisatu/index.html (diakses 6 Juni 2015).
Kompas.com. Tolak PLTU, Massa Bawa Papan Nisan di Kemenkeu. 1 Mei 2013. http://www.ylbhi.or.id/2013/05/tolak-‐pltu-‐massa-‐bawa-‐papan-‐nisan-‐di-‐kemenkeu/ (diakses 14 Mei 2013).
KP3EI Jawa. "Hasil Kunjungan Lapangan Industri Prioritas 2011-‐2012: Inventarisasi Persoalan dan Kebutuhan Investor." Vers. Rapat Koordinasi KP3EI. MP3EI Koridor Jawa. MP3EI Koridor Ekonomi Jawa. February 29, 2012. mp3ei.info (diakses 28 Agustus 2012).
Kwak, Young Hoon, Chih Yingyi, and C William Ibbs. "Towards a Comprehensive Understanding of Public Private Partnership for Infrastructure Development." California Management Review 51, no. 2 (Winter 2009): 51-‐78.
ListrikIndonesia.com. PLTU Pembangkitan Lontar Memperkuat Kelistrikan Jawa-‐Bali. N/A. http://listrikindonesia.com/pltu_pembangkit_lontar_memperkuat_kelistrikan_jawa-‐bali_372.htm (diakses 14 Mei 2013).
McDonald, David A. "Public Ambiguity and the Multiple Meanings of Corporatization." Dalam Rethinking Corporatization and Public Services in Global South, David A McDonald. London: Zed Books, 2014.
Ministry of National Development Planning. Public Private Partnership: Infrastructure Projects Plan in Indonesia 2012. Jakarta: Public Private Partnership: Infrastructure Projects Plan in Indonesia, 2012.
Mongabay.com. Proyek PLTU Batang Terabas RTRW dan Konservasi Laut tanpa AMDAL. 1 Oktober 2012. http://www.mongabay.co.id/2012/10/01/proyek-‐pltu-‐batang-‐terabas-‐rtrw-‐dan-‐konservasi-‐laut-‐tanpa-‐amdal/#ixzz2JFaKSfsW (diakses 27 Januari 2013).
PLN. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2012-‐2021. Jakarta: PT PLN Persero, 2012.
Pencaplokan Lahan Masyarakat untuk ‘Pabrik Listrik’ = Working Paper ARC No. 13/KAPPOB/I/2017
20
—. Statistik PLN 2011. Jakarta: PT. Perusahaan Listrik Negara, 2012.
Popkin, Samuel L. The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam. Berkeley-‐Los Angeles-‐London: University of California Press, 1979.
Portalkbr.com. Warga Batang Demo Tolak PLTU dan Proyek MP3EI. 1 Mei 2013. http://www.ylbhi.or.id/2013/05/warga-‐batang-‐demo-‐tolak-‐pltu-‐dan-‐proyek-‐mp3ei/ (diakses 14 Mei 2013).
PT Adaro. Creating Maximum Value From Indonesian Coal: Our Vision. NA. http://www.adaro.com/about-‐adaro/vision-‐strategy/ (diakses 16 April 2015).
PT BPI. "Penandatanganan Perjanjian Jual Beli Listrik Jangka Panjang untuk Proyek IPP Bertenaga Batubara Berkapasitas 2 GW di Indonesia." PT Adaro. 6 Oktober 2011. http://www.adaro.com/files/ADRO_20111006___Keterbukaan_Informasi_Penandatanganan_PJBL_Jawa_Tengah.pdf (diakses 28 April 2013).
PT IIGF. Latar Belakang Perusahaan PT IIGF. http://www.iigf.co.id/Website/AboutIIGF.aspx?rowid=11 (diakses 6 April 2015).
PT Itochu. About Itochu. http://www.itochu.co.jp/en/about/ (diakses 4 Juni 2015).
—. ITOCHU Acquires Letter of Intent for New Coal-‐Fired IPP Project in Indonesia. June 20, 2011. www.itochu.co.jp/en/news/2011/110620.html (diakses 27 Februari 2013).
PwC. "Indonesian Electricity Guide 2011." pwc.com. 2011. http://www.pwc.com/id/en/publications/assets/indonesian-‐electricity-‐guide_2011.pdf (diakses 4 April 2013).
Safitri, Hilmayati. Debottlenecking Priciple in Indonesia's Economic Corridor (IEC) Policy: A Look at Sei Mangkei Industrial Area and Central Java Power Plant Project (CJPP). EADN Working Paper No. 85 (2014), Manila: East Asian Development Network, 2014.
Strategic Asia. Buku Pedoman: Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah-‐Swasta di Indonesia. Vol. Maret 2013. Jakarta: Strategic Asia and UK Foreign and Commonwealth Office (UK FCO), 2013.
Strategic Asia for UK Foreign Commonwealth Office. Public Private Partnership in Indonesia: Opportunities from Economic Master Plan. Vol. June 2012. Foreign Commonwealth Office and Strategic Asia, 2012.
SuaraMerdeka.com. Jateng Siapkan Lima Calon Lokasi PLTU. 6 Juli 2011. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/07/06/90246 (diakses 4 Mei 2013).
—. Tim Pengkaji Lokasi PLTU Batang Dibentuk. 26 September 2011. http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/09/26/97509/Tim-‐Pengkaji-‐Lokasi-‐PLTU-‐Batang-‐Dibentuk (diakses 14 Mei 2013).
Sulistiyanto, Priambudi, and Wu Xun. "The Political Economy of Power Sector Restructuring in Southeast Asia." Conference on Regulation, Deregulation and Re-‐regulation in Globalizing Asia. Singapore, 2004.
Tim Kerja MP3EI Jawa. "MP3EI Info." MP3EI Koridor EKonomi Jawa. 10 Mei 2012. http://mp3ei.info/downloads/documents/UPDATE%20KORIDOR%20JAWA%2010%20Juni%202012.pdf (diakses 28 Agustus 2012).
Wibowo, Imam Pandu. Government Guarantee in Public Private Partnership: The Features of Indonesia Infrastructure Guarantee Fund. Vol. Master Program Thesis. International Business Law, 2012.
= Safitri
21
YLBHI dan LBH Semarang. "Siaran Pers." Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. 17 Oktober 2012. www.ylbhi.or.id (diakses 28 Februari 2012).
YLBHI, LBH Semarang, GreenPeace dan Warga Batang. "Siaran Pers." Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. 18 Oktober 2012. www.ylbhi.or.id (diakses 28 Februari 2013).
Penulis
Hilma Safitri
Pendiri dan Peneliti Agrarian Resource Center (ARC). Saat ini selain menjadi peneliti juga Koordinator ARC. Meminati kajian agraria dan pembangunan, serta sejarah perdagangan komoditas pertanian. Menulis buku ‘Debottlenecking dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia’ (MP3EI)” (ARC Books, 2014). Tulisan lain yang sudah dipublikasi adalah Debottlenecking Principle in Indonesia’s Economic Corridor (IEC) Policy: A Look at Sei Mangkei Industrial Area (KISMK) and Central Java Power Plant Project (CJPP), EADN Working Paper No. 85 (EADN, May 2014). Menyelesaikan pasca sarjana di Program Studi Pembangunan, International Institute of Social Studies (ISS) The Hague, Belanda.
Agrarian Resources Center (ARC)
Lembaga kajian sosial independen yang dibentuk tahun 2005 oleh sejumlah aktivis-‐pemikir agraria di Indonesia. Lembaga ini dibentuk untuk mengisi kekosongan kerja-‐kerja penelitian dan kajian kritis di bidang agraria, khususnya yang dilakukan oleh peneliti-‐peneliti muda. Juga dimaksudkan untuk menjadi tempat bagi aktivis-‐aktivis gerakan sosial melakukan refleksi atas kerja-‐kerja mereka dalam mendorong perubahan sosial. Hasil kajian ARC terutama didedikasikan sebagai masukan kritis untuk kelompok-‐kelompok gerakan sosial baik di pedesaan maupun perkotaan, selain untuk memberikan sumbangan kepada kajian-‐kajian agraria kritis. Publikasi hasil-‐hasil kajian ARC disebarkan dalam berbagai bentuk, seperti: working paper, position paper, buku, dan artikel-‐artikel lepas untuk tujuan publikasi di jurnal-‐jurnal ilmiah maupun untuk diskusi, seminar dan konferensi. Selain melakukan sejumlah kajian dan refleksi, ARC juga menyelenggarakan pelatihan kajian agraria kritis secara reguler yang dikhususkan untuk mahasiswa dan peneliti-‐peneliti muda. Program pelatihan ini dinamakan “Pelatihan Kajian Agraria Kritis Indonesia” atau “Critical Agrarian Studies of Indonesia” (CASI). Pelatihan dilakukan secara intensif dengan skema dukungan penuh lembaga dalam bentuk fellowship dan disusun berjenjang dari tingkat dasar hingga tingkat lanjutan. Di luar pelatihan terstruktur, ada program Peneliti Tamu (visiting researcher) ARC yang diselenggarakan untuk memberi kesempatan khususnya kepada para aktivis gerakan sosial untuk melakukan refleksi dan menuliskan pengalamannya, serta memberi kesempatan kepada peneliti muda dari berbagai latar belakang ilmu sosial untuk mengembangkan minat dan memperluas pengalamannya dalam mengkaji masalah-‐masalah agraria di Indonesia. Peneliti tamu akan bekerja bersama peneliti-‐peneliti ARC untuk mendalami gagasan-‐gagasan dan ide-‐ide penelitian dan penulisan yang akan digarapnya selama berada di ARC. ARC memiliki perpustakaan yang menyimpan koleksi ribuan buku dan jurnal ilmiah dalam bidang agraria, gerakan sosial, antropologi, sosiologi, politik, geografi, ekologi, ekonomi-‐politik, hukum, hak asasi manusia, sejarah, filsafat dan lainnya yang terbuka untuk umum. Perpustakaan ini juga menyimpan koleksi data-‐data hasil penelitian serta dokumen-‐dokumen yang sesuai dengan perhatian dan minat lembaga. Di perpustakaan ARC secara rutin juga dilakukan diskusi-‐diskusi dalam tema-‐tema tertentu, baik untuk menyikapi dinamika sosial-‐ekonomi-‐dan politik yang terkait dengan pembangunan dan masalah-‐masalah agraria maupun untuk mendalami isu-‐isu ekonomi-‐politik lainnya. ARC terbuka untuk kerjasama dengan berbagai pihak, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, selama dapat berpegang pada prinsip-‐prinsip bekerja bersama untuk mewujudkan keadilan sosial, pembebasan, anti penindasan, independensi, dan kesetaraan. Alamat:
Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung 40293, INDONESIA Telepon/fax.: +62 – 22 – 7237799 Email: [email protected] www.arc.or.id
Buku
Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi. Six Decades of Inequality: Land Tenure Problems in Indonesia . 2011.
Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi. Enam Dekade Ketimpangan: Masalah Penguasaaan Tanah di Indonesia . 2011.
Bachriadi, Dianto (editor). Dari Lokal ke Nasional, Kembali ke Lokal: Perjuangan Hak Atas Tanah di Indonesia . 2012.
Safitri, Hilma. Debottlenecking dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) . 2014.
Bachriadi, Dianto dan Henry Bernstein. Kedaulatan Pangan: Pandangan Skeptikal . 2014.
Working Paper dan Kertas Posisi Bachriadi, Dianto dan Meidi Pratama. Dijual Tanah! yang Berminat Si lahkan Hubungi
Pemil ik, Seratus Persen Dijamin oleh Pemerintah: Krit ik dan Implikasi Pelaksanaan Land Management Policy and Development Project (LMPDP) di Indonesia , Kertas Posisi ARC No. 001/2006 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2006.
Sujiwo, Tri Agung. Perubahan Penguasaan Tanah di Atas Lahan Pendudukan Pasca Reformasi (Studi Kasus Tanah Cieceng, Desa Sindangasih Tasikmalaya) , Working Paper ARC No. 1/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
Suryana, Erwin. Struktur Agraria dan Dinamika Gerakan Sosial Pedesaan di Karawang , Working Paper ARC No. 2/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
ARC, Tim. Kecenderungan Advokasi Gerakan dan Kebijakan Agraria Nasional Pasca Reformasi , Working Paper ARC No. 3/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
Baihaqi. Redistr ibusi Lahan di Cipari Kabupaten Cilacap , Working Paper ARC No. 4/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
Rohman, Lina M. dan Rahmi Indriyani. Pembangunan DAM Jatigede: Beberapa Catatan Awal , Working Paper ARC No. 001 – Agustus 2016 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2016
Qoriah, Sityi M. Masyarakat Dusun Bonto, Desa Kompang, Kec. Sinjai Tengah, Sulawesi Selatan: Catatan Awal , Working Paper ARC No. 002 – September 2016 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2016.
Publikasi-‐publikasi ARC (terbaru)
Bachrioktora, Yudi, Hilma Safitri dan Dianto Bachriadi. Pelanggaran yang Disengaja: Maladministrasi di Bidang Pertanahan Warisan Orde Baru , Working Paper ARC No. 01.a/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Safitri, Hilma, Dianto Bachriadi dan Yudi Bachrioktora. Belok Kanan Demi Kapital: Sistem Hukum dan Kebijakan Agraria di Indonesia sejak Orde Baru , Working Paper ARC No. 01.b/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Tanah untuk Petani Tak Bertanah , Working Paper ARC No. 02/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Melihat Kembali ke Belakang: Upaya-upaya Mendorong Terbitnya TAP MPR RI tentang Pembaruan Agraria , Working Paper ARC No. 03/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Jalan Lain Penyelesaian Konfl ik Agraria: KNuPKA , Working Paper ARC No. 04/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Keruk Terus: Tambang di Hutan Lindung , Working Paper ARC No. 05/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Intervensi Asing: Legislasi Agraria paska Orba , Working Paper ARC No. 06/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Reforma Agraria untuk Indonesia: Krit ik atas Reforma Agraria à la SBY , Working Paper ARC No. 07/WP-KAPPOB/1/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas. Trees, Money, Livelihood and Power: The Polit ics of Conservation in Decentralisation Era in Bengkulu , Working Paper ARC No. 08/WP-KAPPOB/1/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Penantian Panjang yang Belum Berakhir: Refleksi Satu Dasawarsa Reformasi dalam Perspektif Reforma Agraria , Working Paper ARC No. 09/WP-KAPPOB/1/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Basya, Baihaqi. Bagi-bagi Tanah untuk Dijual: Implementasi PPAN di Satu Tempat di Jawa Tengah , Working Paper ARC No. 10/WP-KAPPOB/1/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Marina, Lina, Rahmi Indriyani dan Hilma Safitri. Tenggelamkan Kampung dan Sawah demi Infrastruktur: Pembangunan Waduk Jatigede dan Dalih Kesejahteraan Rakyat , Working Paper ARC No. 11/WP-KAPPOB/1/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Qoriah, Sityi M. dan Hilma Safitri. Komodifikasi Komodo dan Penyingkiran Masyarakat: Sebuah Catatan Awal , Working Paper ARC No. 12/WP-KAPPOB/1/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
13/WP-‐KAPPOB/I/2017
ISSN: 2541-‐0121
Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung 40293, INDONESIA
+62 – 22 – 7237799 [email protected]
www.arc.or.id