1
Hati Nurani dan Etika Kasus “korupsi berjamaah” anggota DPR-RI
Tugas mata kuliah Etika
Semester Ganjil 2008/2009
Dosen: Prof. Dr. Soerjanto Poespowardojo
Oleh: Satrio Arismunandar
NPM: 0806401916
Program S3 Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia
Oktober 2008
2
I. Pendahuluan
Pertengahan 2008 ini, masyarakat Indonesia dihebohkan oleh terungkapnya
sejumlah kasus korupsi, yang melibatkan banyak anggota DPR-RI. Para anggota
Dewan ini secara “berjamaah” menerima suap dari berbagai kalangan, yang
menginginkan agar kepentingan mereka diakomodir, didukung, atau digolkan lewat
produk undang-undang oleh anggota DPR.
Maklum, berbeda dengan zaman Orde Baru, di mana anggota DPR kalah
pengaruh oleh eksekutif, di era reformasi ini anggota DPR berperan cukup signifikan.
Mereka dapat mensahkan rancangan undang-undang (yang dampaknya bisa
menguntungkan/merugikan pihak tertentu), atau menyetujui/menolak usulan
pengangkatan pejabat negara tertentu.
Contohnya, seorang anggota DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Agus
Condro Prayitno, belum lama ini terang-terangan mengaku telah menerima uang Rp
500 juta, sebagai imbalan atas dukungan terhadap pemilihan Miranda Goeltom
sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Agus mengklaim, banyak temannya sesama anggota DPR-RI di Komisi IX
juga telah menerima uang suap. Total uang yang digelontorkan untuk menyuap
puluhan anggota DPR ini mencapai puluhan miliar rupiah. Kasusnya kini mulai
ditangani oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).1
Fenomena “korupsi berjamaah” di berbagai tingkatan, dan kasus-kasus
konkret seperti tersebut di atas, mendorong penulis, untuk mengangkatnya menjadi
suatu permasalahan, yang akan dibahas dari aspek etika, khususnya dengan konsep
“hati nurani.”
II. Permasalahan
Perilaku “korupsi berjamaah” di lingkungan anggota DPR itu menimbulkan
sejumlah pertanyaan. Seperti: Bagaimana sebenarnya etika, moral, dan hati nurani
para anggota DPR itu, yang notabene bukanlah orang sembarangan, sehingga mereka
sampai hati menerima suap dan mengkhianati kepercayaan rakyat terhadapnya?
1 Kompas, 29 September 2008, hlm.8. Uang suap itu diberikan dalam bentuk traveler’s cheque, yang
masing-masing cek bernilai Rp 50 juta. Atas permintaan KPK, Ditjen Imigrasi telah mencekal tiga
pengusaha, yaitu Andi Kasih, Hidayat Lukman, dan Budi Santoso, yang dianggap terlibat dan
mengetahui penyaluran cek untuk para anggota DPR-RI itu.
3
Mereka orang yang cukup terdidik, cukup cerdas, tidak kekurangan secara
material (gaji anggota DPR sudah puluhan juta rupiah per bulan). Selain itu, mereka
semua secara formal adalah penganut agama tertentu, yang secara tegas
mengharamkan perilaku korupsi. Setidaknya identitas keagamaan itu tertera jelas di
KTP mereka.
Jadi, tidaklah masuk akal jika dikatakan bahwa mereka melakukan korupsi
karena tidak tahu bahwa korupsi itu salah. Mereka pasti tahu, korupsi itu melanggar
hukum dan undang-undang. Korupsi itu melanggar sumpah jabatan sebagai pejabat
negara. Korupsi itu bertentangan dengan ajaran moral agama. Korupsi itu juga berarti
mengkhianati rakyat dan konstituen mereka, yang dalam pemilu sebelumnya telah
memberikan suara pada mereka, sehingga mereka bisa terpilih menjadi anggota DPR.
Pertanyaan yang lebih spesifik adalah: Di manakah “suara hati nurani” para
anggota DPR tersebut, ketika mereka dengan sadar melakukan korupsi, sementara
mereka tahu bahwa perilaku korupsi itu salah?
III. Pemahaman Konsep
Hati Nurani:
Setiap manusia mempunyai pengalaman tentang hati nurani2, dan mungkin
pengalaman itu merupakan perjumpaan paling jelas dengan moralitas sebagai
kenyataan. Sulit untuk menunjukkan pengalaman lain yang dengan begitu terus terang
menyingkapkan dimensi etis dalam hidup kita. Maka, pengalaman tentang hati nurani
itu merupakan jalan masuk yang tepat untuk suatu studi tentang etika.
Yang dimaksud dengan “hati nurani” adalah penghayatan tentang baik atau
buruk, berhubungan dengan tingkah laku konkret kita. Hati nurani ini memerintahkan
atau melarang kita untuk melakukan sesuatu kini dan di sini. Ia berbicara tentang
situasi yang sangat konkret, bukan sesuatu yang bersifat umum atau di awang-awang.
Jadi, di dalam diri kita seolah-olah ada instansi yang menilai dari segi moral
perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Hati nurani merupakan semacam “saksi’
tentang perbuatan-perbuatan moral kita.
2 Dalam bahasa Indonesia, terkadang orang menggunakan suara hati, kata hati, atau suara batin, untuk
menunjukkan hati nurani.
4
Kesadaran dan Pengenalan:
Hati nurani berkaitan dengan kenyataan bahwa manusia memiliki kesadaran
(consciousness). Yang dimaksud dengan “kesadaran” di sini adalah kesanggupan
manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang dirinya.
Hanya manusia yang memiliki kesadaran. Binatang tidak memilikinya.
Binatang hanya memiliki pengenalan (knowledge), melalui inderanya. Binatang bisa
melihat, mencium, dan mendengar, seperti manusia. Binatang juga bisa merasa takut,
berahi, marah, dan sebagainya. Tetapi binatang tidak bisa berpikir atau berefleksi
tentang dirinya sendiri.
Sedangkan manusia bisa menjadi subyek, sekaligus menjadikan dirinya sendiri
sebagai obyek pengenalannya. Seorang manusia sadar bahwa dirinya adalah manusia.
Sedangkan seekor gajah tidak menyadari bahwa dirinya adalah seekor gajah.3
Dua Macam Hati Nurani:
Hati Nurani Restrospektif:
Ada dua bentuk hati nurani: hati nurani retrospektif dan hati nurani prospektif.
Hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan yang telah
berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini seakan-akan menoleh ke belakang, dan
menilai perbuatan-perbuatan yang sudah lewat. Ia menyatakan, apakah perbuatan-
perbuatan yang sudah dilakukan itu baik atau tidak baik.
Hati nurani akan menuduh atau mencela, jika perbuatannya jelek; dan akan
memuji atau memberi rasa puas, jika perbuatannya dianggap baik. Jadi, hati nurani ini
merupakan instansi kehakiman dalam batin kita tentang perbuatan yang telah
berlangsung.
Jika hati nurani menghukum dan menuduh kita, batin kita merasa gelisah, atau
kita mempunyai a bad conscience. Sebaliknya, jika telah bertingkah laku dengan baik,
3 Perbedaan yang digunakan dalam tulisan ini adalah antara kesadaran (consciousness) dan pengenalan
(knowledge). Tetapi dalam literature lain, perbedaan ini kadang-kadang juga diungkapkan dengan
istilah perbedaan antara kesadaran (consciousness) dan kesadaran-diri (self-consciousness). Jika kita
menggunakan pembagian yang terakhir ini, maka kita katakan binatang juga mempunyai kesadaran
(binatang bisa mendengar bunyi, mencium bau busuk, dan sebagainya, seperti juga manusia), tetapi
hanya manusia yang memiliki kesadaran-diri. Bertens, dan juga tulisan ini, mengikuti tradisi yang lebih
luas yang menyamakan kesadaran dengan kesadaran-diri, sehingga hanya manusialah yang memiliki
kesadaran.
5
kita mempunyai a good conscience atau a clear conscience. Hati nurani kita dalam
keadaan tenang dan puas, dan kita mengalami kedamaian batin.
Hati Nurani Prospektif:
Hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-
perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak kita untuk
melakukan sesuatu, atau mengatakan “jangan” dan melarang untuk melakukan
sesuatu.
Dalam hati nurani prospektif ini terkandung semacam ramalan. Ia
menyatakan, hati nurani pasti akan menghukum kita, jika kita memilih terus
melakukan perbuatan itu. Dalam arti ini, hati nurani prospektif menunjuk kepada hati
nurani retrospektif yang akan datang, jika (niat) perbuatan menjadi kenyataan.
Pembedaan hati nurani retrospektif dan prospektif itu menimbulkan kesan
seolah-olah hati nurani hanya menyangkut masa lalu dan masa depan. Padahal, hati
nurani dalam arti sebenarnya justru menyangkut perbuatan yang sedang berlangsung
kini dan di sini. Hati nurani terutama adalah conscience, “turut mengetahui”, pada
ketika perbuatan itu berlangsung. Dalam perbuatan itu sendiri, si pelaku telah
mengalami –atas dasar hati nurani-- bahwa perbuatan yang dilakukannya itu baik atau
buruk.
Hati Nurani Personal dan Adipersonal
Hati nurani bersifat personal, artinya selalu berkaitan erat dengan pribadi
bersangkutan. Karena tak ada manusia yang sama, maka tidak ada dua hati nurani
yang persis sama. Hati nurani diwarnai oleh kepribadian kita. Hati nurani akan
berkembang bersama dengan perkembangan seluruh kepribadian kita. Hati nurani
seseorang ketika masih remaja tentu berbeda dengan ketika dia sudah dewasa.
Hati nurani hanya memberi penilaian atas perbuatan saya sendiri, bukan
perbuatan orang lain. Maka, jika ada yang menggunakan istilah “hati nurani bangsa,”
seolah-olah ada kolektivitas dalam kepemilikan hati nurani. Namun, ungkapan itu
sebenarnya hanya bersifat kiasan.
Namun, hati nurani menunjukkan juga suatu aspek adipersonal. Selain bersifat
pribadi, hati nurani seolah-olah melebihi pribadi kita, seolah-olah merupakan instansi
di atas kita. Hati nurani memiliki suatu aspek transenden, artinya melebihi pribadi
6
kita. Karena aspek adipersonal itu, orang beragama kerap menyatakan, hati nurani
adalah suara Tuhan atau bahwa Tuhan berbicara melalui hati nurani.4
Bagi orang beragama, hati nurani memang memiliki dimensi religius.
Mungkin, malah tidak ada cara yang lebih jelas untuk menghayati hubungan antara
moral dan agama daripada justru pengalaman hati nurani ini. Tetapi, adalah sangat
naif dan berbahaya, jika orang menganggap bahwa melalui hati nurani Tuhan
berbisik-bisik dalam hatinya. Seorang fanatik beragama bisa saja meyakini tindakan
mereka atas perintah Tuhan, padahal bagi masyarakat luas tindakan itu tak lain adalah
kejahatan.
Hati nurani tidak melepaskan kita dari kewajiban untuk bersikap kritis dan
mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kita secara obyektif. Bahkan, orang
yang tidak mengakui adanya Tuhan pun memiliki hati nurani, yang mengikat mereka
sama seperti orang beragama.
Hati Nurani sebagai Norma Moral yang Subyektif
Dalam sejarah filsafat, sering dipersoalkan apakah hati nurani termasuk
perasaan, kehendak, atau rasio. Namun, dalam filsafat sekarang, diyakini bahwa
manusia tak bisa dipisahkan dalam pelbagai fungsi atau daya. Kita harus bertolak dari
kesatuan manusia, di mana pelbagai fungsi dapat dibedakan, tetapi tidak boleh
dipisahkan.
Dalam hati nurani pula, perasaan, kehendak, dan rasio tersebut memainkan
peranan. Namun, ada kecenderungan kuat untuk mengakui bahwa hati nurani secara
khusus harus dikaitkan dengan rasio. Alasannya, hati nurani memberi suatu penilaian,
artinya, suatu putusan (judgment). Ia menegaskan: ini baik dan harus dilakukan atau
itu buruk dan tidak boleh dilakukan. Mengemukakan putusan jelas adalah suatu fungsi
dari rasio.
Ada dua macam rasio: rasio teoretis dan rasio praktis. Rasio teoretis bersifat
abstrak, dan merupakan sumber pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Sedangkan rasio
praktis bersifat konkret, terarah pada tingkah laku manusia. Rasio praktis menjawab
4 Sangat menarik untuk melihat bahwa di Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta) maupun
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) menjelaskan kata “hati nurani” begitu saja sebagai: “hati yang
telah mendapat cahaya Tuhan.” Kata “nur” (bahasa Arab) sendiri berarti “cahaya.”
7
pertanyaan seperti: Apa yang harus saya lakukan? Maka, hati nurani yang bersifat
konkret, terkait dengan rasio praktis.
Meski putusan hati nurani bersifat rasional, itu tidak berarti bahwa ia
mengemukakan suatu penalaran logis (reasoning). Ucapan hati nurani umumnya
bersifat intuitif, artinya, langsung menyatakan: ini baik dan terpuji atau itu buruk dan
tercela. Pemikiran intuitif berlangsung “satu kali tembak,” tidak melalui tahapan-
tahapan perkembangan seperti dalam sebuah argumentasi. Meski begitu, kadang-
kadang putusan hati nurani bisa memiliki sifat-sifat yang mengingatkan kita pada
suatu argumentasi, terutama hati nurani prospektif.
Mengikuti hati nurani merupakan hak dasar setiap manusia. Dalam Deklarasi
Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948) disebutkan juga “hak atas
kebebasan hati nurani” (pasal 18). Konsekuensinya, negara harus menghormati
putusan hati nurani para warganya, bahkan sekalipun kewajiban itu menimbulkan
konflik dengan kepentingan lain.5
Maka bisa disimpulkan, hati nurani memiliki kedudukan kuat dalam hidup
moral kita. Bahkan bisa dikatakan: dipandang dari sudut subyek, hati nurani adalah
norma terakhir untuk perbuatan-perbuatan kita. Atau dengan kata lain, putusan hati
nurani adalah norma moral yang subyektif bagi tingkah laku kita.
Meski demikian, belum tentu perbuatan yang sesuai dengan hati nurani adalah
baik juga secara obyektif. Hati nurani bisa keliru. Bisa saja hati nurani menyatakan
sesuatu adalah baik, bahkan wajib dilakukan, padahal secara obyektif perbuatan itu
adalah buruk.
Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan
subyektif dari hati nurani akan sesuai dengan kualitas obyektif dari perbuatannya.
Pada orang semacam itu, yang baik secara subyektif akan sama dengan yang baik
secara obyektif. Maka manusia wajib mengembangkan hati nurani dan seluruh
kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang.
5 Konsekuensinya, negara harus menghormati hak dari conscientious objector, yaitu orang yang
berkeberatan memenuhi suatu kewajiban sebagai warga negara karena alasan hati nurani. Misalnya, di
negara yang mempraktikkan wajib militer, tak jarang ada pemuda yang menolak menjalani wajib
militer dengan alasan hati nurani. Hati nurani melarang mereka mengikuti latihan militer yang
bertujuan membunuh sesama manusia. Di sini negara dihadapkan pada pilihan yang sulit. Terkadang
negara mendahulukan kepentingan militer di atas hati nurani. Petinju Amerika, Muhammad Ali, dulu
pernah dipenjara karena menolak wajib militer, dan gelar juara tinjunya dicopot.
8
IV. Pembahasan
Dalam kasus korupsi oleh anggota DPR yang mengemuka dalam pemberitaan
media massa akhir-akhir ini, bisa kita katakan, bahwa konsep hati nurani yang terkait
di sini adalah hati nurani retrospektif, sebab perilaku atau tindakan korupsi itu sudah
selesai dilakukan. Di sini para anggota DPR bersangkutan melihat ke belakang,
menilai tindakan (korupsi) yang sudah mereka lakukan di masa lalu. Apakah tindakan
itu benar, atau salah?
Namun, bukan berarti selesai sampai di situ. Para anggota DPR ini juga
memikirkan apa yang akan mereka lakukan sekarang dan di masa depan. Dalam
konteks masa depan ini, terkait konsep hati nurani prospektif.
Ketika kasus korupsi ini sedikit demi sedikit mulai terungkap, apa yang
sebaiknya mereka lakukan? Apakah mereka akan mengaku terus terang, seperti yang
sudah dilakukan Agus Condro, bahwa betul mereka sudah menerimsa uang suap?
Atau apakah mereka terus bertahan dengan versi kebohongan yang sudah ada, secara
konsisten (dalam kebohongan), dengan segala risikonya?
Kemudian, apabila kasus yang ada sekarang bisa terselesaikan (dalam arti
kasus korupsi mereka tidak terungkap dan posisi mereka sudah aman), apakah mereka
masih akan melakukan korupsi baru di masa depan, manakala ada peluang, atau
situasi memungkinkan?
Faktanya, mereka masih menjabat sebagai anggota DPR, sampai hasil pemilu
2009 menentukan anggota-anggota DPR yang baru. Bahkan sebagian anggota DPR,
yang dituduh menerima suap sekarang, juga masih terdaftar sebagai caleg dalam
pemilu 2009. Artinya, ada peluang mereka akan terpilih lagi sebagai anggota DPR-RI
untuk masa jabatan 2009-2014.
Tentu saja, kita sulit mengetahui jawaban semua pertanyaan itu, karena semua
itu berlangsung internal pada hati nurani setiap anggota DPR. Hanya para anggota
DPR bersangkutan yang bisa menjawabnya.
Yang bisa kita analisis di sini adalah para anggota DPR itu tampaknya sudah
“melangkahi” sejumlah tahapan gugatan hati nurani, sehingga mereka bisa melakukan
korupsi. Tahapan itu bisa ditunjukkan dari sejumlah “pelanggaran moral” yang sudah
mereka lakukan, yang tentunya melalui suatu pergulatan tertentu di dalam batin.
Tahapan-tahapan itu adalah, bahwa dengan menerima suap atau melakukan
korupsi, mereka telah:
9
1. Mengingkari janji atau berbohong kepada rakyat/konstituen dalam kampanye
pemilu sebelumnya (2004), bahwa mereka akan membela kepentingan rakyat,
dan tidak akan mendahulukan kepentingan pribadi.
2. Melanggar komitmen moral partai politik, untuk mengedepankan politik yang
bersih dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Meskipun mungkin
komitmen partai ini dalam praktiknya lebih bersifat basa-basi, secara normatif
dan dalam program resmi yang tertulis dan dikampanyekan, setiap partai
politik mengklaim akan serius mendukung gerakan antikorupsi.
3. Melanggar peraturan kelembagaan yang berlaku di lembaga tinggi negara
(parlemen), bahwa anggota DPR tidak boleh menerima suap.
4. Melanggar sumpah kepada Tuhan, bahwa mereka akan menjalankan amanat
sebagai anggota DPR dengan sebaik-baiknya. Sumpah jabatan itu mereka
bacakan, ketika mereka dilantik sebagai anggota DPR tahun 2004.
5. Melanggar ajaran agama yang mereka anut, yang secara tegas mengharamkan
korupsi, suap, dan berbagai penyimpangan keuangan lainnya.
Jika melihat begitu banyaknya janji, sumpah, dan norma yang telah dilanggar,
sehingga terjadi kasus suap/korupsi besar-besaran tersebut, tindakan “pengabaian
suara hati nurani” yang dilakukan oleh para anggota DPR tersebut betul-betul telah
mencapai tingkatan yang luar biasa.
V. Kesimpulan
1. Pengalaman tentang hati nurani dapat menjadi jalan masuk yang tepat, untuk
suatu studi tentang etika.
2. “Hati nurani” adalah penghayatan tentang baik atau buruk, berhubungan
dengan tingkah laku konkret kita. Hati nurani ini memerintahkan atau
melarang kita untuk melakukan sesuatu kini dan di sini. Hati nurani
merupakan semacam “saksi’ tentang perbuatan-perbuatan moral kita.
3. Hati nurani berkaitan dengan kesadaran (consciousness), yaitu kesanggupan
manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang
dirinya.
10
4. Hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan yang telah
berlangsung di masa lampau. Sedangkan, nurani prospektif melihat ke masa
depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang.
5. Namun, hati nurani dalam arti sebenarnya justru menyangkut perbuatan yang
sedang berlangsung kini dan di sini. Hati nurani terutama adalah conscience,
“turut mengetahui”, pada ketika perbuatan itu berlangsung.
6. Hati nurani bersifat personal, artinya selalu berkaitan erat dengan pribadi
bersangkutan. Karena tak ada manusia yang sama, maka tidak ada dua hati
nurani yang persis sama.
7. Hati nurani diwarnai oleh kepribadian. Hati nurani akan berkembang bersama
dengan perkembangan seluruh kepribadian kita.
8. Hati nurani hanya memberi penilaian atas perbuatan saya sendiri, bukan
perbuatan orang lain.
9. Selain bersifat pribadi, hati nurani memiliki suatu aspek transenden, artinya
melebihi pribadi kita. Karena aspek adipersonal itu, orang beragama kerap
menyatakan, hati nurani adalah suara Tuhan.
10. Hati nurani tidak melepaskan kita dari kewajiban untuk bersikap kritis dan
mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kita secara obyektif.
11. Perasaan, kehendak, dan rasio memainkan peranan dalam hati nurani. Namun,
hati nurani secara khusus dikaitkan dengan rasio, karena hati nurani memberi
suatu penilaian, artinya, suatu putusan. Mengemukakan putusan jelas adalah
fungsi dari rasio.
12. Meski putusan hati nurani bersifat rasional, itu tidak berarti ia mengemukakan
suatu penalaran logis. Ucapan hati nurani umumnya bersifat intuitif, tidak
melalui tahapan-tahapan perkembangan seperti dalam sebuah argumentasi.
13. Hati nurani memiliki kedudukan kuat dalam hidup moral kita. Dipandang dari
sudut subyek, hati nurani adalah norma terakhir untuk perbuatan kita. Atau,
putusan hati nurani adalah norma moral yang subyektif bagi tingkah laku kita.
14. Hati nurani bisa keliru. Belum tentu perbuatan yang sesuai dengan hati nurani
adalah baik juga secara obyektif.
15. Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan
subyektif dari hati nurani akan sesuai dengan kualitas obyektif dari
perbuatannya. Maka manusia wajib mengembangkan hati nurani dan seluruh
kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang.
11
16. Dalam kasus suap dan “korupsi berjamaah”, yang melibatkan sejumlah
anggota DPR-RI belum lama ini, patut diduga telah terjadi “pengabaian hati
nurani” dalam tingkatan yang luar biasa, mengingat begitu banyak janji,
norma, aturan moral, dan peraturan yang dilanggar.
Depok, Oktober 2008
Referensi:
Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah
Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Bertens, K. Etika. 2004. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New
York: Oxford University Press.
Kompas, 29 September 2008.