-
HASIL PENELITIAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terletak di Kabupaten Bogor, yaitu di Kampung Adat
Urug, Cigudeg, Jasinga.Kampung Adat Urug merupakan Kampung yang terletak
di Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya.Secara geografis, Desa Kiarapandak
memiliki wilayah yang berbatasan dengan beberapa desa sekitarnya. Sebelah
utara berbatasan Desa Harkatjaya, sebelah selatan berbatasan dengan Desa
Kiarasari dan Desa Cisarua, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan
Nanggung, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Pasir Madang.
Jumlah penduduk Desa Kiarakpandak yaitu sebanyak 10.307 jiwa, yang
terdiri dari 5.419 jiwa laki-laki dan 4 888 jiwa perempuan dengan jumlah Kepala
Keluarga 2.321 jiwa. Desa Kiarapandak terdiri dari lima dusun, 14 RW, dan 50
RT dengan jumlah keluarga miskin sebanyak 558 jiwa. Ditinjau dari segi agama,
mayoritas penduduk Desa Kiarapandak beragama Islam dan sisanya beragama
Katolik dengan jumlah Masjid dan Mushola masing-masing 15 dan 14 buah.
Dari segi pekerjaan, sebagian besar masyarakat Desa Kiarapandak
bermata pencaharian sebagai Petani, hal ini sesuai dengan luas wilayah
penggunaan tanah sebagian besar digunakan untuk sawah yaitu sebanyak
259.570 Ha.Secara umum keadaan topografi Desa Kiarakpandak merupakan
daerah dataran dan perbukitan dengan iklim kemarau dan penghujan.Hal ini
berpengaruh terhadap pola tanam yang ada di Desa Kiarapandak.
Tabel 2 Sebaran luas wilayah penggunaan tanah No Penggunaan Tanah Luas (Ha) 1 Sawah 259.570 2 Kebun 235 3 Pekarangan 15.130 4 Tegal 253.474 5 Hutan 2,0 6 Lainnya 3,5
Total 528.414, 5
Ditinjau dari segi pendidikan, baik berdasarkan penyediaan sarana dan
prasarana maupun berdasarkan tingkat pendidikan masyarakatnya di Desa
Kiarapandak masih cukup rendah.Sebaran pendidikan masyarakat Desa
Kiarakpandak dapat dilihat pada gambar 3.
-
Gambar 3 Sebaran pendidikan masyarakat Desa Kiarakpandak
Kampung Adat Urug yang merupakan bagian dari Desa Kiarapandak
merupakan sisa peradaban masa silam yang sampai saat ini nilainilai
ketradisiannya masih dipertahankan. Urug bukan terucap nama dengan begitu
saja, dibalik kata itu tersembunyi kata GURU. Menurut pikukuh adat
kepercayaan Kampung Urug, sudah berdiri sejak 450 tahun yang lalu, adanya
sebuah mandala urug dengan masyarakatnya yang berpegang teguh kepada
adat istiadat akan memegang suatu keteladanan kesundaan. Menurut cerita
Kampung Urug sejaman dengan masa pemerintahan Prabu Nilakendra (1551
1569 M) beliau seorang raja alim dan bijaksana dan banyak mengabdi pada hal
hal kegaiban, konon sisasisa pengabdiannya diantaranya patilasan raja masih
ada di Kampung Urug, umumnya patilasan disebut Kabuyutan atau mandala
yaitu suatu tempat yang jauh dari keramaian yang dijadikan tempat berkhalwat
atau memuja sang maha pencipta adalah mungkin hal ihwal mula adanya
mandala urug dimulai dari Gedong Ageung. Menurut data yang ada Kampung
Adat Urug mempunyai tingkat kunjungan wisata ratarata 80100 orang setiap
bulan dan jika pada harihari besar bisa mencapai 600800 orang per hari.
Nilai Budaya Kampung Adat Urug Kampung Adat Urug berlokasi di Kampung Urug Desa Kiara Pandak
Kecamatan Sukajaya.Jarak tempuh dari Cibinong sekitar 42 km, arahnya menuju
wilayah barat pada pertigaan Kecamatan Cigudeg.Arah barat daya menuju
Kecamatan Sukajaya 15 km dan dari Kecamatan ini ditempuh lagi jarak 9 km
untuk menuju lokasi tersebut.Kampung adat urug merupakan kampung adat
yang masih memegang teguh adat istiadat memiliki nilai-nilai budaya dalam
kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan sehari-hari.Tali tradisi budaya
lama yang masih dipegang kokoh oleh masyarakat itu adalah :
5.24%
60.97%
25.10%
8.19%1.49%
0.00%
20.00%
40.00%
60.00%
80.00%
persen
tase
TidaktamatSD
TamatSD
TamatSMP
TamatSMA
PerguruanTinggi
-
1. Pola Pemukiman
a. Seni Bangunan
Merupakan perumahan yang mencirikan rumah adat dengan persamaan
bahan yang dipakai serta bentuk rumah yang mempunyai kolong serta
lumbung padi yang bernama leuit.
Gambar 4 Leuit atau tempat penyimpanan padi
b. Arsitektur bangunan
Bentuk rumah yang bercirikan pada tradisi kesundaan (julang ngapak
dan jago anjing).
2. Kekerabatan
Yang menempati tempat tinggal di Kampung Urug, satu sama lain adalah
masih saudara, di kampung ini dikenal dengan sebutan Tatali Kahuripan.
Hubungan bermasyarakat di kampung adat sangat dekat, ketika terdapat salah
satu warga yang melangsungkan hajatan,maka warga yang lain harus mengirimi
makanan kepada orang yang hajatan tersebut. Hal ini dilakukan secara
bergiliran.Makanan yang biasa diberikan adalah asoy, rengginang, dan
renggining.Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari masyarakat setempat (Box
1).
3. Kepemimpinan
Di Kampung Adat Urug dibangun sebuah rumah besar/Gedung Ageung yang
merupakan sentral/pusat kewenangan kepemimpinan adat, disamping itu
terdapat pula Gedong Alit dan Gedong Pangkaleran. Kepemimpinan adat
dipegang oleh Ki Kolot Ukat, yang merupakan keturunan kesembilan dari
turunan terdahulunya.
Box 1 Bu E, kader Posyandu
Tradisi disini adalah ketika warga kampung adat yang mengadakan hajatan, maka warga yang lainnya mengirimkan makanan ke warga yang sedang hajatan.Makanan
yang kita kirim biasanya adalah rengginang, renggining, dan asoy. Banyaknya makanan yang kita kirim tergantung dari kita sendiri akan memberikan berapa banyak. Semakin banyak kita memberikan kepada orang yang sedang hajat,maka nanti ketika kita hajat
kitapun akan mendapatkan kiriman kue yang banyak juga. Karena masyarakat kampung adat yang hajatan akan mencatat kue-kue kiriman dari para tetangganya.
-
Gambar 5 Gedung ageung
Ada tiga kepemimpinan yang mengendalikan keberadaan kampung adat ini
antara lain:
a) Kikolot Ukat atau disebut juga Kokolot Leubak, mempunyai tugas
mengendalikan dan mempertahankan adat istiadat yang sudah turun
temurun antar lain :Acara seren taun, ruwatan, harihari besar kaum
muslimin dan memimpin kegiatan yang dianggap sakral.
b) Kikolot Amat atau disebut juga Kokolot Tengah, bertugas mengatur
masyarakat, pengerahan masa dan memberikan petunjuk bagi
kesepakatan adat yang sedang dijalankan.
c) Kikolot Tengah bernama Rajaya disamping menjalankan petunjuk untuk
penanaman padi secara turun temurun dalam kesempatan ini beliau
juga mempertahankan adat istiadat urug, selalu berperan sebagai
pencerita. Sejarah Kampung Urug, silsilah, riwayat yang berhubungan
dengan nilainilai tradisional Kampung Urug serta cerita yang
mengaitkan rajaraja Pajajaran dengan Kampung Urug.
Nilai-nilai budaya yang juga masih dianut diantaranya adalah dalam
bidang pertanian atau bercocok tanam, perumahan, persalinan dan kehamilan,
pengasuhan anak, hubungan antara orang tua dan anak, kehidupan
bermasyarakat, dan kehidupan sehari-hari.Dalam kehidupan sehari-hari terdapat
larangan-larangan yang dipercaya oleh masyarakat dikampung adat seperti,
tidak boleh ngebutkeun kain dimalam hari, tidak boleh jemur pakaian malam hari
serta tidak boleh menggunting kuku di malam hari. Pengasuhan anak laki-laki
dan perempuan pada usia Balita tidak terdapat perbedaan, tetapi akan mulai
berbeda pada usia sekolah. Tidak ada harapan yang berbeda antara anak laki-
laki dan perempuan, berbeda sesuai dengan pendapat subjektif orang tua.Hal ini
sesuai dengan pernyataan dari abah Ukat yang merupakan kokolot di Kampung
Adat Urug (Box 2).
-
Nilai budaya yang juga terkait dengan pengasuhan adalah penggunaan kalung yang terbuat dari jalinan benang berwarna hitam, yang dipakai anak sejak lahir hingga berusia lima tahun. Kalung ini dipercaya dapat menghindarkan anak dari gangguan setan.
Gambar 6 kalung yang digunakan oleh balita di Kampung Adat Urug
Di dalam pengasuhan ibu khusus untuk perilaku hidup sehat, ibu memiliki
pantangan untuk tidak memotong kuku anaknya ketika mereka sakit. Beberapa
budaya lain yang terdapat di Kampung Adat Urug dalam berbagai aspek tersaji
dalam tabel 3.
Tabel 3 Nilai budaya pada kampung adat urug No Aspek Nilai budaya 1 Pantangan
atau larangan di Kampung Adat Urug
Terdapat banyak pantangan atau larangan umum larangan yang sampaikan secara turun temurun yaitu:
- Tidak boleh makan saat magrib dan makan sambil berdiri
- Tidak boleh makan sambil minum - Tidak boleh menyisakan makanan nanti suaminya
brewokan - Saat ingin tambah makanan, tidak boleh
membersihkan piring dari makanan. - Apabila ayah meninggal atau bercerai dari ibu, anak
dibawa ke atas para atau atap rumah agar tidak ingat lagi dengan ayahnya.
- Tidak boleh ngebutkeun kain dan menjemur pakaian di malam hari
2 Kehidupan bermasyarakat
Hubungan bermasyarakat di kampung adat sangat dekat, ketika terdapat salah satu warga yang melangsungkan hajatan,maka warga yang lain harus mengirimi makanan kepada orang yang hajatan tersebut. Hal ini dilakukan secara bergiliran. Makanan yang biasa diberikan adalah asoy, rengginang, dan renggining.
Box 2 Abah U, Kokolot Kampung Adat Urug
Anak laki-laki diharapkan untuk bisa bekerja, sedangkan anak perempuan diharapkan mampu mengasuh orangtua ketika sudah tua. Anak perempuan usia 7 tahun sudah diajari pekerjaan
domestik seperti memasak, menyapu, mencuci baju, mencuci piring, menumbuk padi dan sebagainya. Semua ini terdapat ilmu yang diturunkan dari nenek moyang seperti bagaimana ilmu
untuk mencuci perabotan dapur. Anak laki-laki usia 12 tahun, sudah diajari pekerjaan publik dibidang pertanian seperti mencangkul, ngarit dan lain-lain.
-
Lanjutan Tabel 3 3 Perumahan Tidak boleh membuat rumah tingkat karena rumah tidak boleh
melebihi tinggi rumah adat kediaman kokolot. Pembuatan kamar mandi harus sesuai dengan izin dari kokolot, karena kamar mandi tidak boleh berada lebih atas dari rumah kokolot.
4 Kehamilan dan pemberian ASI
- Ibu hamil dilarang untuk mengantri ketika ke kamar mandi umum. Menurut kepercayaan warga Kampung Adat Urug, jika ibu hamil ikut mengantri, maka nanti ketika melahirkan prosesnya akan lama.
- Tidak boleh makan di piring besar, nanti bayinya besar. Ibu hamil biasanya makan dengan menggunakan piring kecil.
- Ketika kehamilan terdapat larangan untuk mempersiapkan perlengkapan bayi sebelum melahirkan, apabila ibu ingin mempersiapkan kebutuhan bayi maka harus disimpan dirumah tetangga.
- Ketika memasak, ibu harus mengetahui mana ujung kayu atas dan bawah, apabila ujungnya bawah dimasukan ke kompor maka terdapat kepercayaan bahwa akan mengalami kehamilan sungsang.
- Anak yang baru lahir harus dipuasakan terlebih dahulu sebelum diberi air susu, paling tidak satu malam sampai 3 hari.
- Masyarakat adat memiliki kepercayaan bahwa anak yang baru lahir harus diberikan madu terlebih dahulu sebagai prelaktal. Hal ini dipercaya akan mengurangi sakit pada mulut bayi sebelum ia mendapatkan ASI.
5 Kelahiran bayi - Setelah bayi lahir, maka paraji akan memberikan kalung yang dibuat dari jalinan benang berwarna hitam. Kalung ini dipakai sampai anak berusia 5 tahun untuk menjaga anak dari gangguan setan.
- Pada setiap maulud saat pembacaan asrakal kalung ini diganti. Hampir semua orang tua di kampung adat urug melakukan tradisi ini dan percaya dengan keampuhan kalung ini dalam menghindarkan anak dari gangguan setan.
- Bayi yang baru lahir harus dimandikan dengan menggunakan air dingin agar bayi kuat dan tidak gampang sakit. Akan tetapi anjuran ini tidak sepenuhnya diikuti oleh orang tua, karena kebanyakan dari orang tua merasa tidak tega memandikan anaknya dengan air dingin.
- Ketika bayi, biasanya nama anak belum tetap, masih berganti-ganti. Ketika anak sering menangis saat bayi, maka orang tua akan segera mengganti nama bayinya.
- Begitupun ketika anak sakit-sakitan maka nama anak harus diganti karena berdasarkan hitungan kokolot, nama tersebut terlalu berat dan menimbulkan anak mudah sakit.
6 Pengasuhan Anak Perempuan
- Anak perempuan usia 7 tahun sudah diajari pekerjaan domestik seperti memasak, menyapu, mencuci baju, memcuci piring, menumbuk padi dan sebagainya. Semua ini terdapat ilmu yang diturunkan dari nenek moyang seperti bagaimana ilmu untuk mencuci perabotan dapur.
- Anak perempuan tidak boleh membuat dan melangkahi kolecer, karena hal ini dapat membuat kolecer tidak dapat berputar
7 Pengasuhan Anak Laki-laki
- Anak laki-laki usia 12 tahun, sudah diajari pekerjaan publik dibidang pertanian seperti mencangkul, ngarit dan lain-lain.
Sumber: tokoh masyarakat Kampung Adat Urug
-
Karakteristik Anak Usia Anak
Anak pada penelitian ini sebanyak 60 orang yang berusia tiga sampai
lima tahun. Menurut Hurlock (1980) usia tiga sampai lima tahun termasuk dalam
kategori kanak-kanak. Proporsi jumlah laki-laki dan perempuan dalam penelitian
ini sama banyak, yaitu masing-masing 30 anak. Tabel 4 menunjukkan bahwa
separuh dari anak (50,0%) yang berjenis kelamin laki-laki berusia tiga tahun,
begitupun anak yang berjenis kelamin perempuan hampir separuhnya (43,3%)
berusia tiga tahun.
Tabel 4 Sebaran anak menurut usia Sebaran usia
(Tahun) Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan Total n % n % n %
3 15 50,00 13 43,3 28 46,6 4 14 46,60 11 36,6 25 41,6 5 1 3,30 6 20,0 7 11,6 Total 30 100 30 100 60 100
Urutan Lahir
Urutan kelahiran dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi empat
kelompok, yaitu tunggal, sulung, tengah, dan bungsu. Tabel 5 menunjukkan anak
yang berjenis kelamin laki-laki separuhnya (50,0%) merupakan anak bungsu.
Sedangkan untuk anak yang berjenis kelamin perempuan lebih dari separuhnya
(56,6%) juga merupakan anak bungsu.
Tabel 5 Sebaran anak berdasarkan urutan kelahiran Urutan
Kelahiran Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan Total n % n % N %
Tunggal 8 26,6 8 26,6 16 26,6 Sulung 3 10,0 4 13,3 7 11,6 Tengah 4 13,3 1 3,3 5 8,3 Bungsu 15 50,0 17 56,6 32 53,3 Total 30 100 30 100 60 100
Karakteristik Orang tua
Usia Orang Tua Pengelompokkan usia orang tua dalam penelitian ini mengacu pada
Hurlock (1980). Menurut Hurlock (1980) usia dewasa dikelompokkan menjadi tiga
kategori, yaitu usia dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun),
dan dewasa akhir (> 60 tahun). Tabel 6 menunjukkan bahwa dua per tiga ayah
contoh masuk pada kategori usia dewasa awal (83,0 % ). Sementara itu, hampir
-
seluruh ibu contoh berada dalam kategori usia dewasa awal (95,0%). Dalam
penelitian ini, tidak ada contoh yang memiliki ibu maupun ayah yang berada
pada kategori usia lanjut.
Tabel 6 Sebaran anak berdasarkan usia orang tua Sebaran Usia
(Tahun) Ayah Ibu
n % n % Dewasa Awal (18-40) 50 83,0 57 95,0 Dewasa Madya (41-60) 10 16,6 3 5,0 Dewasa Tua (> 60) 0 0,0 0 0,0 Total 60 100 60 100 Min-Max 22-60 20-47 Mean std 33,38,2 27,96,0
Besar Keluarga Besar keluarga menurut BKKN (1995) adalah keseluruhan jumlah
anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak, dan anggota keluarga
lainnya. Besar keluarga terbagi tiga yaitu keluarga kecil (4orang), keluarga
sedang (5-7 orang), dan keluarga besar ( 8 orang). Tabel 7 menunujukkan
bahwa lebih dari separuh contoh (53,3%) masuk dalam kategori keluarga kecil
(4 orang).
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Kategori (Orang)
Anak n %
Kecil ( 4) 32 53,3 Sedang (5-7) 20 33,3 Besar ( 8) 8 13,3 Total 60 100 Min-Max 3-12 Mean std 4,831,976 Pendidikan Orang Tua
Menurut Guhardja et al (1992) dalam Setiawati (2007), tingkat pendidikan
orang tua merupakan aspek yang mempengaruhi keefektifan komunikasi dalam
keluarga. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi dan membentuk
cara dan pola pikir seseorang. Pendidikan orang tua contoh berkisar antara tidak
tamat SD sampai dengan tamat SMA dengan lama pendidikan berkisar antara 0-
12 tahun.Lebih dari separuh ayah contoh atau sebesar 70,0 persen memiliki
lama pendidikan antara empat sampai delapan tahun. Tidak berbeda dengan
ayah, pendidikan ibu contoh persentase terbesarnya termasuk ke dalam
-
kelompok dengan lama pendidikan empat sampai delapan tahun (61,6%). Ini
artinya bahwa, sebagian besar orang tua contoh memiliki pendidikan antara tidak
tamat SD sampai tidak tamat SMP.
Tabel 8 Sebaran anak berdasarkan lama pendidikan orang tua Lama Sekolah
(Tahun) Ayah Ibu
n % n % 0-3 (rendah) 14 23,.3 21 35,0 4-8 (sedang) 42 70,0 37 61,6 9-12 (tinggi) 4 6,6 2 3,3 Total 60 100 60 100 Min-Max 0-12 0-10 Mean std 5 2,7 4,32,3 Status Pekerjaan Orang Tua Tabel 10 menunjukkan sebaran pekerjaan orang tua contoh. Berdasarkan
tabel 9 persentase terbesar pekerjaan ayah contoh terletak pada kelompok
wiraswasta (40,0%) dan persentase terbesar kedua terletak pada kelompok
petani yaitu 18,3 persen. Pada penelitian ini, sebagian besar ibu contoh
termasuk dalam kategori tidak bekerja (73,3%).
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua Jenis pekerjaan Ayah Ibu
n % n % Tidak bekerja 0 0,0 44 73,3 Petani 11 18,3 13 21,7 Buruh tani 3 5,0 1 1,7 Buruh tambang 8 13,3 0 0,0 Buruh bangunan 9 15,0 0 0,0 Wiraswasta 24 40,0 2 3,3 PNS/ABRI 1 1,7 0 0,0 Becak/Ojek/Sopir 4 6,7 0 0,0 Total 60 100 60 100 Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap kehidupan keluarga.Kondisi ekonomi suatu keluarga berpengaruh
terhadap kondisi mental dan fisik individu yang hidup dalam keluarga dan
mempengaruhi pola hubungan antar anggota keluarga. Berdasarkan garis
kemisikinan Kabupaten Bogor menurut BPS (2010), lebih dari separuh keluarga
anak terkategori pada keluarga miskin (68,4%). Rata-rata pendapatan per kapita
keluarga adalah sebesar Rp220.767,2 dengan nilai minimum Rp25.000 (Tabel
10).
-
Tabel 10 Sebaran pendapatan orang tua Pendapatan
(Rupiah) Total
n % Miskin (< Rp185.335) 41 68,4 Tidak miskin (> Rp 185.335) 19 31,6 Total 60 100 Min-Max 25.000-1.000.000 Mean std 220.767,2 + 211.558
Aktivitas Ibu
Aktivitas ibu dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga kategori,
yaitu keikutsertaan ibu dalam kegiatan keagamaan (pengajian), keikutsertaan ibu
dalam kegiatan kemasyarakatan (Posyandu), serta keikutsertaan ibu dalam
kegiatan pertetanggaan (arisan). Sebanyak 33,3 persen ibu contoh sering
mengikuti pengajian yang dilakukan di lingkungan rumahnya (Tabel 11).
Pengajian ini biasanya dilaksanakan setiap satu minggu sekali dan biasanya
dilaksanakan pada hari minggu.Pengajian ini biasanya dilakukan per wilayah
kampung, yaitu urug lebak, tengah, dan tonggoh.Setiap satu bulan sekali
diadakan pengajian gabungan di masjid desa yang diadakan oleh pihak desa.
Tabel 11 Sebaran anak berdasarkan aktivitas ibu
Posyandu merupakan salah satu aktivitas sosial ibu. Kegiatan posyandu
ini dijadikan sebagai salah satu indikator aktivitas sosial ibu karena dalam
Aktivitas Ibu Ibu contoh n %
Keikutsertaan dalam pengajian Tidak pernah 6 10,0 Jarang 13 21,6 Kadang-kadang 21 35,0 Sering 20 33,3 Total 60 100 keikutsertaan ibu dalam kegiatan kemasyarakatan (Posyandu)
Tidak pernah 5 8,3 Jarang 6 10,0 Kadang-kadang 7 11,6 Sering (selalu datang setiap bulan) 42 70,0 Total 60 100 Keikutsertaan ibu dalam kegiatan arisan pertetanggaan
Tidak pernah 36 60,0 Jarang 5 8,3 Kadang-kadang 12 20,0 Sering 7 11,6 Total 60 100
-
kegiatan posyandu ibu akan bertemu dengan ibu-ibu lainya dan dapat dijadikan
senagai ajang untuk bertukar informasi. Selain itu, kegiatan posyandu dapat pula
dijadikan wadah bagi ibu untuk memperkenalkan anaknya kepada dunia
sosial.Posyandu dilakukan setiap satu bulan sekali dan seperti halnya pengajian,
posyandu pun diadakan per wilayah kampung adat lebak, tengah, dan tonggoh.
Lebih dari separuh ibu contoh (70,0%) sering mengikuti kegiatan posyandu
(Tabel 6).
Lebih dari separuh ibu contoh (60,0%) tidak pernah mengikuti arisan yang
diadakan di lingkungan pertetanggaan (tabel 6). Hal ini dikarenakan, di kampung
adat urug jarang diadakan arisan pertetanggaan. Secara keseluruhan dari ketiga
aktivitas sosial ibu, sebanyak 50,0 persen ibu contoh terkategori sedang dalam
kegiatan sosial (tabel 12).
Tabel 12 Total sebaran anak berdasarkan aktivitas ibu
Pengasuhan Penerimaan-Penolakan
Rohner (1987) menyatakan bahwa gaya pengasuhan dimensi
kehangatan dibagi menjadi dua kategori, yaitu gaya pengasuhan penerimaan
(acceptance) dan gaya pengasuhan penolakan (rejection). Gaya pengasuhan
penerimaan dicirikan dengan curahan kasih sayang orang tua kepada anak baik
secara fisik maupun secara verbal.Secara verbal orang tua senantiasa
mengekspresikan kasih sayang dan perhatiannya melalui pujian, penghargaan,
dan dukungan untuk maju. Sedangkan pengasuhan penolakan dikategorikan
menjadi tiga, yaitu (1) gaya pengasuhan pengabaian, ciri dari gaya pengasuhan
ini adalah ketiadaan perhatian orang tua terhadap kebutuhan anak. orang tua
bisa saja secara fisik berada didekat anak, tetapi tidak secara psikologis,
sehingga anak tidak merasakan kehadiran orang tua; (2) gaya pengasuhan
penolakan, dicirikan dengan perkataan dan perilaku orang tua yang
menyebabkan anak merasa tidak dicintai, merasa tidak dikasihi, tidak dihargai,
bahkan kehadirannya tidak dikehendaki oleh orang tua; dan (3) gaya
Aktivitas Ibu Ibu contoh n %
Rendah (0-3) 14 23,3 Sedang (4-6) 30 50,0 Tinggi (7-9) 16 26,6 Total 60 100
-
pengasuhan permusuhan, yang dicirikan dengan penggunaan perkataan dan
perbuatan yang kasar dan agresif.
Tabel 13 memperlihatkan bahwa secara umum orang tua melakukan
pengasuhan penerimaan (perilaku afektif) kepada anaknya sebesar 57,8 persen.
Sementara itu, perilaku agresif yang diberikan orang tua kepada anak sebesar
42,5 persen, pengabaian sebesar 28,7 persen, dan perasaan tidak sayang
sebesar 34,6 persen (Tabel 13).
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata skor pengasuhan penerimaan (afeksi) dan penolakan secara keseluruhan
Pola Asuh Penerimaan-Penolakan Total Rata-Rata skor Persen Skor Afektif 34,70 57,8 Agresi 25,50 42,5 Pengabaian 17,70 28,7 Perasaan Tidak Sayang 20,70 34,6
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dari segi penerimaan (afeksi)
proporsi terbesar untuk contoh adalah ibu berbincang dengan anak dan secara
bergantian mendengarkan ketika anak berbicara (80,0%), ibu berusaha
membantu anak bila anak sakit (70,0%), dan ibu berusaha membuat anak
bahagia (65,0%). Sedangkan proporsi terendahnya yaitu ibu mengatakan hal
baik tentang anak (33,3%), ibu membuat anak merasa bangga (36,7%), dan ibu
tertarik dengan yang dikerjakan anak sebesar 30,0 persen (lampiran 2).
Pengasuhan penolakan (rejection) dikategorikan menjadi tiga, yaitu gaya
pengasuhan permusuhan atau agresi, pengasuhan pengabaian, dan
pengasuhan penolakan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dari segi
perilaku permusuhan atau agresi proporsi terbesar untuk contoh adalah ibu
mengomeli anak jika anak bertingkah tidak baik (61,7%), ibu mengatakan kepada
anak mengenai kecemasan yang dirasakan ibu (51,7%), dan Ibu
mengancam/menakut-nakuti bila anak salah (63,3%). Sedangkan proporsi
terendahnya yaitu ibu mengejek/menertawakan anak (8,3 persen), ibu merasa
tidak sabar mengahadapi anak (13,3%)dan ibu melukain perasaan anak dengan
masing-masing persentase 10,0 persen (lampiran 2).
Gaya pengasuhan pengabaian dicirikan dengan ketiadaan perhatian
orang tua terhadap kebutuhan anak.Orang tua bisa saja secara fisik berada
didekat anak, tetapi tidak secara psikologis, sehingga anak tidak merasakan
kehadiran orang tua. Berdasarkan hasil penelitian, proporsi terbesar pada
-
dimensi pengabaian pada contoh adalahibu tidak mau tahu tentang anak selama
anak tidak mengganggu ibu (35,0%), ibu mengacuhkan anak ketika anak
meminta tolong (23,3%), dan ibu menyuruh orang lain untuk menjaga anak
(26,7%). Proporsi terendahnya adalah ibu melupakan hal penting mengenai
anak, ibu terlalu sibuk untuk menjawab pertanyaan anak, dan ibu menghindari
teman bermain anaknya dengan masing-masing persentasenya 8,3 persen
(lampiran 2).
Gaya pengasuhan penolakan dicirikan dengan perkataan dan perilaku
orang tua yang menyebabkan anak merasa tidak dicintai, merasa tidak dikasihi,
tidak dihargai, bahkan kehadirannya tidak dikehendaki oleh orang tua.
Berdasarkan penelitian, proporsi terbesar pada dimensi penolakan contoh yaitu,
ibu berteriak kepada anak pada saat marah (55,0%), ibu tidak simpatik dengan
masalah anak dan menganggap bahwa itu adalah kesalahan anak (58,3%), dan
ibu mengatakan kepada anak jika dia malu ketika anak berbuat salah sebesar
28,3 persen. (lampiran 2).
Berdasarkan kecenderungan pengasuhan yang diberikan oleh ibu kepada
anak, hampir seluruh contoh diasuh dengan perilaku afeksi (90,0%). Sebanyak
6,7 persen diasuh dengan perilaku agresi dan 3,3 persen diasuh dengan
perasaan tidak sayang (Tabel 14).
Tabel 14 Sebaran anak berdasarkan kecenderungan pengasuhan penerimaan-penolakan
Pola Asuh Penerimaan-Penolakan n % Afeksi 48 90,0 Agresi 8 6,7 Perasaan Tidak Sayang 4 3,3
Hubungan Karakteristik Anak dan Keluarga dengan Pengasuhan Penerimaan-Penolakan
Jenis Kelamin Tabel 15 memperlihatkan bahwa persentase terbesar afeksi terdapat
pada anak yang berjenis kelamin perempuan (56,2 %) dibandingkan anak yang
berjenis kelamin laki-laki (43,8%). Sementara itu, anak yang berjenis kelamin
laki-laki memiliki persentase agresi dan perasaan tidak sayang yang lebih tinggi
(75,00 %) dibandingkan anak yang berjenis kelamin perempuan (25,00 %). Hal
ini menunjukkan bahwa anak yang berjenis kelamin laki-laki mendapatkan
pengasuhan yang tidak hangat lebih tinggi dibandingkan anak perempuan.
-
Berdasarkan uji hubungan Spearmanmenunjukkan bahwa terdapat
hubunganantara pengasuhan penerimaan-penolakan dengan jenis kelamin
(p=0,055).
Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan pengasuhan penerimaan-penolakan dan jenis kelamin
Jenis Kelamin
Pengasuhan Penerimaan-Penolakan Total Afeksi Agresi Perasaan
tidak sayangn % n % n % n %
Laki-laki 21 43,8 6 75,0 3 75,00 30 50,0 Perempuan 27 56,2 2 25,0 1 25,00 30 50,0 r-koefisien (p-value)
0,249*(p=0,055)
*Siginifikan pada p< 0,1 Usia Anak
Tabel 16 menjelaskan bahwa persentase afeksi terbesar terdapat pada
anak yang berusia empat tahunyaitu sebesar 45,8 persen, sedangkan
persentase terendah terdapat pada kelompok anak dengan usia lima tahun (14,6
%). Persentase agresi dan perasaan tidak sayang terbesar terdapat pada
kelompok anak dengan usia tiga tahun (50,0% dan 75,0 %).
Berdasarkan hasil uji hubungan Spearmanmenjelaskan bahwa tidak
terdapat hubungan (p=0,448) antara usia anak dengan pengasuhan penerimaan-
penolakan.
Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan pengasuhan penerimaan-penolakan dan usia contoh
Usia Contoh (Tahun)
Pengasuhan Penerimaan-Penolakan Total Afeksi Agresi Perasaan
tidak sayangn % n % n % n %
3 19 39,6 4 50,0 3 75,0 26 43,3 4 25 45,8 2 25,0 1 25,0 25 41,7 5 9 14,6 2 25,0 0 0,00 9 15,0 r-koefisien (p-value)
0,100 (p=0,448)
Usia Ibu
Tabel 17 menunjukkan bahwa persentase terbesar afeksi terdapat pada
kelompok anak dengan usia ibu tergolong pada usia dewasa awal, yaitu sebesar
95,83 persen. Begitupun dengan agresi dan perasaan tidak sayang, persentase
terbesarnya terdapat pada kelompok anak dengan usia ibu tergolong dewasa
awal (18,3 % dan 100,00%).
-
Berdasarkan hasil uji hubungan spearmanmenjelaskan bahwa tidak
terdapat hubungan (p=0,338) antara usia ibu dengan pengasuhan penerimaan-
penolakan.
Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan pengasuhan penerimaan-penolakan dan usia ibu
Usia Ibu (Tahun)
Pengasuhan Penerimaan-Penolakan Total Afeksi Agresi Perasaan
tidak sayangn % n % n % n %
Dewasa Awal (18-40)
46 95,8 7 87,5 4 100,0 57 95,0
Dewasa Madya (41-60)
2 4,12 1 12,5 0 0,0 3 5,0
r-koefisien (p-value)
0,126 (P=0,338)
Lama Pendidikan Ibu Tabel 18 menunjukkan bahwa persentase terbesar afeksi terdapat pada
kelompok anak dengan lama pendidikan ibu berkisar antara 4-8 tahun, yaitu
masing-masing sebesar 64,6 persen. Begitupun dengan agresi dan perasaan
tidak sayang persentase terbesarnya terdapat pada kelompok anak dengan lama
pendidikan ibu berkisar antara 4-8 tahun (50,0% dan 75,0%).
Berdasarkan hasil uji hubungan Spearmanmenjelaskan bahwa tidak
terdapat hubungan antara lama pendidikan ibu dengan pengasuhan penerimaan-
penolakan (p=0,563).
Tabel 18Sebaran contoh berdasarkan pengasuhan penerimaan-penolakan dan lama pendidikan orang tua
Lama Pendidikan Ibu (Tahun)
Pengasuhan Penerimaan-Penolakan Total Afeksi Agresi Perasaan
tidak sayangn % n % n % n %
0-3 (rendah) 15 31,3 4 50,0 1 25,0 20 33,3 4-8 (sedang) 31 64,6 4 50,0 3 75,0 38 63,4 9-12 (tinggi) 2 4,1 0 0,0 0 0,0 2 3,3 r-koefisien (p-value) 0,076 (P=0,563)
Status Pekerjaan Ibu Tabel 19 menunjukkan bahwa persentase terbesar afeksi terdapat pada
kelompok anak dengan ibu yang tidak bekerja, yaitu sebesar 77,1 persen,
sedangkan pada ibu yang bekerja persentasenya sebesar 22,9 persen. Pada
-
agresi dan perasaan tidak sayang, ibu yang tidak bekerja memiliki persentase
masing-masing 50,0 persen dan 75,0 persen.
Berdasarkan hasil uji hubungan Spearmantidak terdapat hubungan
(p=0,233) antara pekerjaan ibu dengan pengasuhan penerimaan-penolakan.
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan pengasuhan penerimaan-penolakan dan status pekerjaan ibu
Status Pekerjaan Ibu
Pengasuhan Penerimaan-Penolakan Total Afeksi Agresi Perasaan
tidak sayang
n % n % n % n % Bekerja 11 22,9 4 50,0 1 25,0 16 26,7 Tidak Bekerja 37 77,1 4 50,0 3 75,0 44 73,3 r-koefisien (p-value)
-0,156 (p=0,233)
Pendapatan Keluarga
Tabel 20 menunjukkan bahwa persentase terbesar afeksi, agresi, dan
perasaan tidak sayang terdapat pada kelompok anak dengan pendapatan per
kapita keluarga terkategori miskin (< Rp185.335).
Berdasarkan hasil uji hubungan Spearmantidak terdapat hubungan
(p=0,161) antara pendapatan orang tua dengan pengasuhan penerimaan-
penolakan.
Tabel 20 Sebaran anak berdasarkan pengasuhan penerimaan-penolakan dan pendapatan orang tua
Pendapatan Orang Tua
Pengasuhan Penerimaan-Penolakan
Total
Afeksi Agresi Perasaan tidak
sayang n % n % n % n %
< Rp 185.335 30 62,5 7 87,5 4 100,0 41 68,3 >Rp 185.335 18 37,5 1 12,5 0 0,0 19 31,7 r-koefisien (p-value) 0,183(p=0,161)
Aktivitas Sosial Ibu
Tabel 21 menunjukkan bahwa persentase terbesar afeksi terdapat pada
kelompok anak dengan ibu yang memiliki aktivitas sosial tergolong sedang, yaitu
sebesar 50,0 persen, sedangkan pada ibu yang aktivitas sosialnya rendah
persentasenya sebesar 18,8 persen.
Berdasarkan hasil uji hubungan Spearmanterdapat hubungan (p=0,041)
antara aktivitas sosial ibu dengan pengasuhan penerimaan-penolakan.
-
Tabel 21Sebaran anak berdasarkan pengasuhan penerimaan-penolakan dan aktivitas sosial ibu
Aktivitas Sosial Ibu
Pengasuhan Penerimaan-Penolakan Total Afeksi Agresi Perasaan
tidak sayang n % n % n % n %
Rendah 9 18,8 4 50,0 1 25,0 14 23,3 Sedang 24 50,0 4 50,0 2 50,0 30 50,0 Tinggi 15 31,2 0 0,0 1 25,0 16 26,7
r-koefisien (p-value)
0,265(p=0,041)
*Siginifikan pada p< 0,1 Besar Keluarga
Tabel 22 menunjukkan bahwa sebanyak 47,9 persen keluarga yang
tergolong kecil persentase afeksi lebih tinggi, sedangkan pada keluarga yang
tergolong besar persentasenya sebesar 12,5 persen.
Berdasarkan hasil uji hubungan Spearmantidak terdapat hubungan
(p=0,277) antara besar keluarga dengan pengasuhan penerimaan-penolakan.
Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan pengasuhan penerimaan-penolakan dan besar keluarga
Besar Keluarga
Pengasuhan Penerimaan-Penolakan Total Afeksi Agresi Perasaan
tidak sayang n % n % n % n %
Kecil ( 4) 23 47,9 5 62,5 4 100,0 32 53,3 Sedang (6-7)
19 39,6 1 12,5 0 0,0 20 33,3
Besar ( 8) 6 12,5 2 25,0 0 0,0 8 13,3 Chi-square 0,143 (p=0,277)
PERKEMBANGAN SOSIAL
Salah satu perkembangan yang harus dicapai anak adalah
perkembangan sosial.Perkembangan sosial berkaitan dengan keterampilan
sosial yang dimiliki oleh anak.Perkembangan sosial adalah kemampuan anak
dalam menjalin hubungan dengan lingkungan sosial (Goleman 2007). Salah satu
cara untuk mengukur dan mengetahui perkembangan sosial anak adalah dengan
mengukur kemandiriannya. Doll (1965) mengukur perkembangan sosial-emosi
anak dengan menggunakan instrumen Vineland Social Maturity Scale yang terdiri
dari delapan aspek perkembangan, yaitu Self Help General (SHG) atau
kemandirian umum, Self Help Eating (SHE) atau kemandirian makan, Self Help
Dressing (SHD) atau kemandirian berpakaian, Self Direction (SD) atau
kemandirian mengatur diri, Occupation (O) atau kemandirian beraktivitas,
-
Communication (C) atau berkomunikasi, Locomotion (L) atau bergerak, dan
Socialization (S) atau sosialisasi.
Perkembangan Sosial Anak Usia 3-4 Tahun Perkembangan sosial yang harus dicapai anak usia tiga sampai empat
tahun meliputi tiga dimensi yaitu, Locomotion (L), Socialization (S) dan Self Help
Dressing (SHD). Persentase terbesar dari ketiga dimensi pada perkembangan
sosial anak usia tiga sampai empat tahun adalah pada dimensi locomotion
(79,3%). Dimensi locomotion Aspek ini mengukur kemandirian dalam bergerak,
meliputi kemampuan anak dalam berjalan menuruni tangga.Hampir seluruh
contoh mampu menuruni tangga tanpa bantuan dari orang dewasa. Untuk
dimensi socialization persentase rata-rata ketercapaiannya adalah sebesar 52,0
persen. Dimensi socialization yaitu aspek perkembangan yang mengukur
kemampuan anak untuk bergaul dan bersosialisasi dengan lingkungannya,
meliputi kemampuan anak untuk bermain kooperatif dan memberikan
penampilan dihadapan orang lain. Kemampuan anak untuk bermain kooperatif
memiliki persentase yang lebih besar (20,6%) dibanding dengan kemampuan
anak untuk memberikan penampilan dihadapan orang lain (10,6%).
Dimensi terakhir pada aspek perkembangan sosial anak usia tiga sampai
empat tahun adalah Self Help Dressing.Self Help Dressing merupakan aspek
yang mengukur kemampuan anak dalam hal berpakaian, meliputi
mengancingkan baju sendiri dan mencuci tangan tanpa bantuan. Persentase
rata-rata terbesar ada pada kemampuan anak dalam mencuci tangan (22,4%),
sedangkan kemampuan anak untuk mengancingkan baju atau mantel
persentase rata-ratanya hanya 7,8 persen (Tabel 23).
Tabel 23 Rata-rata persentase skor perkembangan sosial yang diukur pada usia 3-4 tahun
Skala Perkembangan Total Rata-rata Persen Rata-rata Locomotion 23,8 79,3 Socialization 15,6 52,0 Self Help Dressing 15,1 50,3
Hampir seluruh anak (96,6%) terkategorikan tinggi pada dimensi
locomotion, sedangkan pada dimensi socialization lebih dari separuh contoh
(63,3%) terkategori rendah. Pada dimensi Self Help Dressing, sebanyak 43,3
-
persen contoh terkategori rendah. Secara keseluruhan, perkembangan sosial
anak usia tiga sampai empat tahun tergolong rendah (Gambar 7).
Gambar 7 Sebaran contoh berdasarkan kategori perkembangan sosial
usia 3-4 tahun
Perkembangan Sosial Anak Usia 4-5 Tahun Perkembangan sosial yang harus dicapai anak usia empat sampai lima
tahun meliputi lima dimensi yaitu, Self Help General (SHG), Self Help Dressing
(SHD, Locomotion (L), Occupation (O), dan Socialization (S). Persentase rata-
rata terbesar dari kelima dimensi pada perkembangan sosial anak usia empat
sampai lima tahun adalah dimensi locomotion (75,0%). Dimensi locomotion
meliputi kemampuan anak untuk berjalan-jalan ke lingkungan sekitar. Lebih dari
dua per tiga contoh (79,17%) mampu untuk berjalan-jalan ke lingkungan sekitar
tanpa didampingi oleh ibu atau orang dewasa lainnya. Dimensi socialization rata-
rata persentase ketercapaiannya yaitu sebesar 60,8 persen. Dimensi ini meliputi
kemampuan anak bermain kompetitif melalui permainan dan lebih dari separuh
contoh (62,50%) mampu melakukannya tanpa arahan dari ibu atau orang
dewasa lainnya.
Pada dimensi occupation yang meliputi kemampuan anak menggunakan
pensil atau crayon untuk menggambar, rata-rata persentasenya adalah sebesar
54,1 persen. Sebanyak 50,0 persen contoh mampu menggunakan pensil atau
crayon tanpa bantuan dari ibu atau orang dewasa lainnya. Dimensi yang
selanjutnya adalah dimensi self help dressing dengan persentase rata-rata
sebesar 52,1 persen. Terdapat dua kemandirian yang dilihat dari dimensi ini,
yaitu kemampuan mencuci muka dan memakai baju sendiri. Lebih dari separuh
contoh (62,5%) mampu mencuci muka tanpa bantuan dari ibu atau orang
dewasa lainnya, sedangkan separuh contoh (50,0%) tidak mampu menggunakan
baju sendiri. Dimensi terakhir pada aspek perkembangan sosial anak usia empat
sampai lima tahun adalah dimensi self help general. Rata-rata persentase pada
0
66.6 63.3 43.3
3.3
33.336.6 24.4
96.6
0 0
32.2
0
50
100
150
locomotion socialization SHD total rata-rata
persen
tase
Dimensi Perkembangan Sosialrendah sedang tinggi
-
dimensi ini adalah sebesar 45,8 persen. Dimensi terakhir ini meliputi kemandirian
anak dalam memberikan perhatian terhadap aktivitas yang berhubungan dengan
toilet. Lebih dari separuh contoh (54,2%) tidak memberikan perhatian terhadap
aktivitas toileting karena tidak ada kesempatan.
Tabel 24 Rata-rata persentase skor perkembangan sosial yang diukur pada usia 4-5 tahun
Skala Perkembangan Total Rata-rata Persen Rata-rata Self Help General 11,0 45,8 Self Help Dressing 12,5 52,1 Locomotion 18,0 75,0 Occupation 13,0 54,1 Socialization 14,6 60,8
Berdasarkan sebarannya. Jumlah terbesar (79,2%) anak usia empat
sampai lima tahun dengan kategori perkembangan sosial tinggi terdapat pada
skala perkembangan dalam aktivitas bergerak. Selanjutnya, jumlah terbesar
contoh dengan kategori perkembangan sosial rendah terdapat pada skala
kemadirian umum atau self help general (SHG) dengan jumlah proporsi
sebanyak 66,7 persen. Proporsi terbesar (50,8%) sebaran contoh berdasarkan
nilai rata-rata perkembangan sosial yang dicapai anak usia empat sampai lima
tahun berada pada kategori tinggi (Gambar 9).
Gambar 8 Sebaran contoh berdasarkan kategori perkembangan sosial
usia 4-5 tahun
Perkembangan Sosial Anak Usia 5 Tahun Pada usia lima sampai enam tahun terdapat lima skala yang diukur, yaitu
occupation (O), communication (C), socialization (S), self direction (SD), dan
locomotion (L). Dalam penelitian ini, mayoritas perkembangan anak dalam
kemandirian mengatur diri sendiri atau self direction (SD) cukup tinggi dengan
66.754.2
4.2
33.3 29.2 37.5
12.5 4.216.7 16.7 8.3 11.7
20.841.7
79.2
50.062.5
50.8
0.020.040.060.080.0100.0
persen
tase
Dimensi Perkembangan Sosial
rendah
sedang
tinggi
-
skor 76,6 persen. Kemandirian anak dalam mengatur diri sendiri atau self
direction (SD) ditunjukkan dengan kemampuan anak untuk dapat menggunakan
uang dengan baik tanpa arahan dari orang tua atau orang dewasa lainnya. Lebih
dari dua per tiga contoh (83,3%) mampu menggunakan uang tanpa bantuan atau
arahan dari orang tua atau orang dewasa lainnya. Akan tetapi kemandirian anak
dalam socialization (S) menunjukkan proporsi terendah (36,6%). Dimensi ini
ditunjukkan dengan kemampuan anak bermain permain sederhana, seperti
congklak atau monopoli. Hal ini dikarenakan lebih separuh dari contoh (66,7%)
tidak mampu memainkan ular tangga karena tidak ada kesempatan, sehingga
ketika peneliti meminta anak untuk bermain, anak tidak mampu (Tabel 25).
Tabel 25 Rata-rata persentase skor perkembangan sosial yang diukur pada usia 5 tahun
Skala Perkembangan
Total Rata-rata Persen Rata-rata
Occupation 4,4 73,3 Communication 3,6 60,0 Socialization 2,2 36,6 Self Direction 4,6 76,6 Locomotion 4,8 80,0
Gambar 10 menunjukkan sebaran anak usia lima tahun berdasarkan
kategori perkembangan sosial yang dicapai. Sebaran anak usia lima tahun
terbesar (66,7 %) dalam kategori rendah berada pada aspek perkembangan
socialization (S). Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh belum
mampu memainkan permainan sederhana seperti congklak atau monopoli
karena tidak ada kesempatan.Pada skala perkembangan locomotion (L) seluruh
anak mampu melakukannya tugas kemandiriannya, sehingga terkategori tinggi.
Secara keseluruhan, lebih dari separuh contoh (60.00%) yang berusia lima tahun
berada pada kategori tinggi (Gambar 9).
-
Gambar
Se
tahun dike
Proporsi
kategori p
kategori ti
Sebaran a
sosial disa
G
H
Jenis KelTa
terkategor
contoh pe
0
20
40
60
80
100
120
persen
tase
r 9 Sebaran
ecara kesel
elompokkan
terbesar a
perkembang
nggi hanya
anak usia t
ajikan pada
ambar 10 S
Hubungan
amin abel 26 men
ri rendah d
erempuan
0.0
33.3
66.
.0
.0
.0
.0
.0
.0
.0
n contoh be
luruhan pe
n menjadi
nak usia t
gan sosial
a 20,0 perse
iga sampai
gambar 11
Sebaran conpe
Antara KarPe
nunjukkan b
dalam perke
(56,8%) te
16.7
33.3
750.0
Dim
20.0
erdasarkan
rkembanga
tiga katego
tiga sampa
yang sed
en dari seba
lima tahun
.
ntoh usia 3erkembanga
rakteristik rkembanga
bahwa lebih
embangan
erkategori s
66.7
33.3
0.0
mensi Perkem
20
60.0
kategori petahun
an sosial an
ori, yaitu re
ai lima tahu
ang, sedan
aran anak u
n berdasark
3-5 tahun bean sosial
Anak dan an Sosial
h dari separ
sosial, sed
sedang dal
0.0 0.16.7
83.3
bangan Sosia
0.0
rkembanga
nak usia ti
endah, sed
un (60,0%)
ngkan yang
usia tiga sam
kan kategor
erdasarkan
Keluarga d
ruh contoh
dangkan leb
am perkem
.016.7
0.0
23
100.0
al
r
s
t
an sosial us
ga sampai
ang, dan t
) berada d
g masuk d
mpai lima ta
ri perkemba
kategori
dengan
laki-laki (66
bih dari sep
mbangan s
73.3
60.0
renda
sedan
tinggi
rendah
sedang
tinggi
ia 5
lima
tinggi.
dalam
dalam
ahun.
angan
6,7%)
paruh
sosial.
ah
ng
i
-
Rata-rata persentase skor perkembangan sosial anak perempuan cenderung
lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki Hal ini menunjukkan bahwa
perkembangan sosial contoh perempuan lebih baik dibandingkan dengan contoh
laki-laki.
Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara jenis kelamin anak dengan perkembangan sosial (p=0,153).
Tabel 26 Sebaran kategori pencapaian skor perkembangan sosial dan rata-rata pencapaian skor perkembangan sosial menurut jenis kelamin
Jenis Kelamin
Perkembangan Sosial Total
Rata-Rata Persentase
Skor Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % n % Laki-laki 8 66,7 16 43,2 6 54,5 30 50,0 68,7 Perempuan 4 33,3 21 56,8 5 45,5 30 50,0 72,8
Total 12 100,
0 37 100,0 11 100,
0 60 100,
0 70,8 r-koefisien (p-value) 0,187 (p=0,153)
Usia Anak Tabel 27 menunjukkan bahwa anak usia tiga tahun terkategori tinggi
dalam pencapaian perkembangan sosial, sedangkan anak usia lima tahun
terkategori rendah. Hasil penelitian pada tabel 29 menunjukkan bahwa tidak
terdapat kecenderungan yang menunjukkan semakin tinggi usia anak maka
perkembangannya semakin baik. Lebih dari separuh contoh (54,5%) pada anak
usia tiga tahun terkategori tinggi dalam perkembangan sosialnya. Uji korelasi
Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara usia anak
dengan perkembangan sosial (p=0,870).
Tabel 27 Sebaran kategori pencapaian skor perkembangan sosial dan rata-rata pencapaian skor perkembangan sosial menurut usia anak
Usia Anak (Tahun)
Perkembangan Sosial Total
Rata-Rata Persentase
Skor Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % n % 3
5 41,7 15 40,5 6 54,5 26 43,3 70,3 4 6 50,0 15 40,5 4 36,4 25 41,7 70,1 5 1 8,3 7 18,9 1 9,1 9 15,0 73,9 Total 12 100,0 37 100,0 11 100,0 60 100,0 70,8 r-koefisien (p-value) 0,022 (p=0,870)
-
Usia ibu Tekanan yang berupa ketidakstabilan emosi dan ekonomi dapat
menentukan kualitas pengasuhan yang diberikan kepada anak. Pengasuhan
yang tidak berkualitas akan membentuk anak menjadi anak yang anti sosial
(Hastuti 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat
kecenderungan bahwa semakin tinggi usia ibu maka akan semakin tinggi pula
perkembangan sosial yang dicapai anak. Berdasarkan sebarannya, propoporsi
terbesar contoh (100,0%) berada pada kategori perkembangan sosial sedang
dengan ibu berada pada kelompok usia 18-40 tahun (Tabel 28).
Hasil uji korelasi Spearmanmenunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
antara usia ibu dengan perkembangan sosial anak (p=0,036) (Tabel 28).
Tabel 28 Sebaran kategori pencapaian skor perkembangan sosial dan rata-rata pencapaian skor perkembangan sosial menurut usia ibu
Usia Ibu (Tahun)
Perkembangan Sosial Total
Rata-Rata Persentase
Skor Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % n % Dewasa awal (18-40) 12 92,3 35 100,0 11 91,7 58 96,7 70,8 Dewasa madya (41-60) 1 7,7 0 0,0 1 8,3 2 3,3 71,9 Dewasa tua (>60) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0,0 Total 13 100,0 35 100,0 12 100,0 60 100,0 70,8 r-koefisien (p-value) -0,129 (p=0,326)
Lama pendidikan ibu Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh
kembang anak.Melalui pendidikan yang baik orang tua dapat menerima segala
informasi dari luar mengenai aspek-aspek perkembangan anak, sehingga orang
tua dapat memberikan stimulus bagi perkembangan anak yang optimal.
Hasil uji korelasi Spearmanmenunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara lama pendidikan ibu dengan perkembangan sosial anak (p=0,026) (Tabel
30). Berdasarkan hasil tabulasi silang pada tabel 29 dapat diketahui jika lama
pendidikan ibu rendah (0-3 tahun) maka perkembangan sosial anak juga rendah.
Jika lama pendidikan ibu tinggi (4-8 tahun) maka perkembangan sosial anak juga
tinggi .Hal ini senada dengan hasil penelitian Fiernanti (2010) yang menyatakan
bahwa semakin lama pendidikan ibu, maka semakin terkategori baik
perkembangan sosial yang dicapai anak.Hal ini diperkuat oleh Hartoyo dan
-
Hastuti (2004) yang menyatakan bahwa orang tua yang berpendidikan lebih
tinggi memiliki kecenderungan untuk dapat memberikan stimulasi lingkungan
(fisik, sosial, emosional dan psikologis) bagi anak-anaknya dibandingkan dengan
orang tua yang pendidikannya rendah.
Tabel 29 Sebaran kategori pencapaian skor perkembangan sosial dan rata-rata
pencapaian skor perkembangan sosial menurut lama pendidikan orang tua Lama Pendidikan Ibu
(Tahun)
Perkembangan Sosial Total
Rata-Rata Persentase
Skor
Rendah Sedang Tinggi n % n % n % n %
0-3 (rendah) 8 66,7 10 27,0 3 27,3 21 35,0 67,3 4-8 (sedang) 3 25,0 27 73,0 7 63,6 37 61,7 73,0 9-12 (tinggi) 1 8,3 0 0,0 1 9,1 2 3,3 67,5 Total 12 100,0 37 100,0 11 100,0 60 100.0 70,8 r-koefisien (p-value) 0,287* (p=0,026)
*signifikan pada p
-
Pendapatan Orang Tua Hasil uji korelasi Spearmanmenunjukkan tidak terdapat hubungan antara
pendapatan orang tua dengan perkembangan sosial anak (p=0,981).
Berdasarkan sebarannya, proporsi terbesar contoh (83,3%) berada pada
kategori perkembangan sosial yang rendah dan terletak pada kelompok keluarga
dengan pendapatan < Rp185.335 (tabel 31).
Tabel 31 Sebaran kategori pencapaian skor perkembangan sosial dan rata-rata pencapaian skor perkembangan sosial menurut pendapatan orang tua
Pendapatan Orang Tua (Rupiah)
Perkembangan Sosial Total
Rata-Rata Persentase
Skor Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % n %
Rp185.335 2 16,7 35,2 4 36,4 19 31,7 71,9
Total 12 100.0 37 100.0 11 100.0 60 100.0 70,8 r-koefisien (p-value) 0.003 (p=0.981)
Aktivitas Sosial Ibu Hasil penelitian pada tabel 32 menunjukkan bahwa terdapat
kecenderungan yang memperlihatkan bahwa semakin tinggi aktivitas sosial ibu,
maka semakin tinggi pula perkembangan sosial anak. Hasil tabulasi silang
menunjukkan bahwa rata-rata perkembangan sosial tertinggi berdasarkan
aktivitas sosial ibu berada pada kelompok ibu dengan aktivitas sosial tinggi.
Berdasarkan sebarannya, proporsi terendah anak (50,0%) berada pada kategori
perkembangan sosial rendah pada kategori ibu dengan aktivitas sosial rendah.
Hasil uji korelasi Spearmanmemperlihatkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara aktivitas sosial ibu dengan perkembangan sosial anak
(0,017) (Tabel 32).
-
Tabel 32 Sebaran kategori pencapaian skor perkembangan sosial dan rata-rata pencapaian skor perkembangan sosial menurut aktivitas sosial ibu
Aktivitas Sosial Ibu
Perkembangan Sosial Total
Rata-Rata Persentase
Skor Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % n %
Rendah 6 50,0 5 13,5 3 27,3 14 23,3 64,8 Sedang 5 41,7 21 56,8 4 36,4 30 50.0 71,1 Tinggi 1 8,3 11 29,7 4 36,4 16 26,7 75,5 Total 12 100,0 37 100,0 11 100,0 60 100,0 70,8 r-koefisien (p-value) 0,307 (p=0,017*)
*Siginifikan pada p< 0,1
Besar Keluarga Hasil penelitian pada tabel 33 menunjukkan bahwa rata-rata persentase
perkembangan sosial anak tertinggi berdasarkan besar keluarga terdapat pada
keluarga kecil ( 4 orang) dengan nilai rata-rata 71,5 persen. Akan tetapi nilai
rata-rata perkembangan sosial tersebut tidak berbeda jauh pada kelompok
keluarga sedang (5-7 orang). Setelah dilakukan uji korelasi Spearman,
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara besar keluarga dan
perkembangan sosial anak (p=0,950) (Tabel 33).
Tabel 33 Sebaran kategori pencapaian skor perkembangan sosial dan rata-rata pencapaian skor perkembangan sosial menurut besar keluarga
Besar Keluarga
Perkembangan Sosial Total
Rata-Rata Persentase
Skor Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % n %
Kecil ( 4) 5 41,7 20 54,1 7 63,6 32 53,3 71,5 Sedang ( 5-7) 5 41,7 11 29,7 4 36,4 20 33,3 71,3 Besar ( 8) 2 16.7 6 16,2 0 0,0 8 13,3 67,1
Total 12 100,0 37 100,0 11 100,0 60 100,0 70,8
r-koefisien (p-value) 0,008 (p=0,950)
Hubungan Antara Pengasuhan Penerimaan-Penolakan dan Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial anak dipengaruhi oleh gaya pengasuhan yang
diterapkan oleh orang tua. Gaya pengasuhan yang diterapkan orang tua akan
mempengaruhi bagaimana stimulus yang akan diberikan kepada anak. Menurut
Rohner (1975), anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan penolakan akan
-
lebih tergantung dan sangat posesif dibandingkan anak yang diasuh dengan
gaya pengasuhan penerimaan. Sunarti (2004) menyatakan bahwa, anak yang
diasuh dengan gaya pengasuhan penolakan berdampak serius terhadap
perkembangan anak, yaitu pada perkembangan sosial anak. Anak yang ditolak
akan bermasalah dalam berhubungan antar personal, yang menyebabkan anak
sulit dalam beradaptasi, berkomunikasi, dan berempati.
Tabel 34 menunjukkan bahwa anak yang mendapatkan afeksi dari orang
tua, lebih dari separuhnya terkategori tinggi dalam perkembangan
sosial.beberapa anak yang menerima pengasuhan penerimaan dan terkategori
rendah dalam perkembangan sosial memperoleh skor yang rendah untuk
dimensi kemampuan mengancingkan baju, memberikan penampilan di hadapan
orang lain, memakai baju sendiri, memberikan perhatian dalam aktivitas yang
berhubungan dengan toilet, dan pergi sekolah tanpa diantar.
Anak yang menerima agresi dari orang tua, sebanyak 16,7 persen
terkategori rendah dalam perkembangan sosial. Anak yang menerima agresi dan
terkategori sedang dalam perkembangan sosial memperoleh skor yang tinggi
untuk dimensi kemampuan bermain kooperatif dalam kelompok dan memakai
baju.
Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara pengasuhan penerimaan dan penolakan dengan
perkembangan sosial anak usia 3-5 di Kampung Adat Urug (p=0,916).
Tabel 34 Hasil uji hubungan pengasuhan penerimaan-penolakan dengan perkembangan sosial anak
Pengasuhan Penerimaan dan
Penolakan
Perkembangan Sosial Total
Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % n %
Afeksi 9 75,0 30 78,9 9 81,8 48 80,0 Agresi 2 16,7 5 13,1 1 9,1 8 13,3 Perasaan tidak
sayang
1 8,3 2 5,0 1 9,1 4 6,7
r-koefisien (p-value) 0, 014 (p=0,916)
-
PEMBAHASAN Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik,
adat-istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni (Priyono
2009).Brooks (2001) menyatakan bahwa budaya menyediakan satu set keyakinan diantaranya (1) pentingnya orang tua, (2) peran anggota keluarga dan
komunitas (3), tujuan pengasuhan, (4) metode disiplin dan (5) peran anak dalam
masyarakat. Sebagai daerah yang masih memegang adat istiadat, masyarakat
Kampung Adat Urug pun tidak lepas dari budaya yang sudah ada sejak zaman
dahulu.Budaya yang ada tidak hanya berupa anjuran, tetapi juga larangan atau
pantangan-pantangan.Dalam kehidupan bermasyarakat, hubungan
bermasyarakat di kampung adat sangat dekat, ketika terdapat salah satu warga
yang melangsungkan hajatan, maka warga yang lain harus mengirim makanan
kepada orang yang hajatan tersebut. Kegiatan dilakukan secara bergantian. Budaya yang juga masih diterapkan pada masyarakat Kampung Adat
Urug adalah dalam bidang pengasuhan anak.Ketika bayi lahir, maka paraji akan
memberikan kalung yang dibuat dari jalinan benang berwarna hitam. Kalung ini
dipakai sampai anak berusia 5 tahun untuk menjaga anak dari gangguan
setan.Pada setiap maulud saat pembacaan asrakal kalung ini diganti.Hampir
semua orang tua di kampung adat urug melakukan tradisi ini dan percaya
dengan keampuhan kalung ini dalam menghindarkan anak dari gangguan
setan.Bayi yang baru lahir dimandikan dengan menggunakan air dingin agar
bayi kuat dan tidak mudah sakit. Akan tetapi anjuran ini tidak sepenuhnya diikuti
oleh orang tua, karena kebanyakan dari orang tua merasa tidak tega
memandikan anaknya dengan air dingin. Bayi yang berusia 3 hari dipotong tali
pusarnya dan dilakukan syukuran, begitupun setelah 40 hari kelahirandilakukan
syukuran. Ketika bayi, biasanya nama anak belum tetap, masih berganti-ganti.
Ketika anak sering menangis saat bayi, maka orang tua akan segera mengganti
nama bayinya. Begitupun ketika anak sakit-sakitan maka nama anak harus
diganti karena berdasarkan hitungan kokolot, nama tersebut terlalu berat dan
membuat anak mudah sakit.
Budaya lain yang berkaitan dengan pengasuhan adalah hubungan antara
orang tua dan anak, anak laki-laki maupun anak perempuan lebih dekat dengan
ibu karena ibu yang menjadi pengasuh utama. Ayah yang bekerja di sawah
-
setiap hari sangat sedikit intensitas bertemu dengan anak, sehingga anak akan
cenderung lebih dekat dengan ibu. Apabila ayah meninggal atau bercerai dari
ibu, anak dibawa ke atas para atau atap rumah agar tidak ingat lagi dengan
ayahnya. Anak yang menjadi korban cerai biasanya akan lebih sering sakit.
Menurut kepercayaan masyarakat kampung adat urug, anak tersebut mudah
sakit karena ingat dengan ayahnya, sehingga harus dibawa ke atas para agar
tidak ingat lagi dengan ayahnya.
Dalam praktek pengasuhan, orang tua tidak hanya mengasuh, tetapi juga
mendidik anak untuk memelihara budaya yang ada di Kampung Adat Urug.
Orang tua mentransfer segala nilai-nilai dari kokolot serta menjaga anak untuk
tidak melanggar semua aturan leluhur. Mengasuh anak laki-laki dan perempuan
akan berbeda setelah anak mencapai usia 15 tahun, anak perempuan harus
selalu dijaga harga diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak baik. Namun
pada saat anak balita tidak ada perbedaan yang signifikan dalam mengasuh
anak.terdapat pantangan bagi anak perempuan di Kampung Adat Urug, yaitu
anak perempuan dilarang membuat atau melangkahi kolecer karena nanti
kolecernya tidak bisa berputar. Hal ini membuat orang tua di Kampung Adat urug
tidak membolehkan anak perempuannya untuk mendekati anak laki-laki yang
sedang membuat kolecer.
Perbedaan budaya menunjukkan perbedaan orang tua dalam
mengekspresikan cinta kepada anaknya. Di Amerika, penggunaan komunikasi
verbal seperti penyampaian pujian, sanjungan, atau ungkapan cinta kasih melalui
bahasa merupakan hal yang biasa, tetapi tidak biasa bagi sebagian masyarakat
di negara timur. Masyarakat di jepang atau india lebih menekankan penggunaan
pesan-pesan simbolik seperti bahasa tubuh, mimik muka, raut wajah, bahkan
manik mata memberi pesan yang lebih mendalam dibandingkan dengan
penggunaan bahasa verbal (Sunarti 2004). Pada keluarga Kampung Adat Urug,
lebih dari separuh keluarga menerapkan pengasuhan yang lebih memberikan
kehangatan atau penerimaan, yang dicirikan dengan curahan kasih sayang
orang tua kepada anak baik secara fisik maupun secara verbal.Secara verbal
orang tua senantiasa mengekspresikan kasih sayang dan perhatiannya melalui
pujian, penghargaan, dan dukungan untuk maju.Persentase pengasuhan
kehangatan ini tidak jauh berbeda dengan perilaku agresi, yang merupakan salah
satu dimensi pengasuhan penolakan yang diberikan.Perilaku agresi dicirikan
dengan penggunaan perkataan dan perbuatan yang kasar dan agresif. Menurut
-
Abah Ukat dan beberapa responden, pada masyarakat Kampung Adat Urug
orang tua boleh memukul anak tetapi hanya di bagian kaki.Anak perempuan
diasuh dengan pengasuhan kehangatan yang lebih tinggi dibandingkan anak
laki-laki.Hal ini diduga karena ada beberapa keluarga di Kampung Adat Urug
yang berpandangan subjektif bahwa anak perempuan lebih berharga
dibandingkan dengan anak laki-laki.Hasil penelitian menunjukkan terdapat
hubungan antara jenis kelamin dengan pengasuhan penerimaan-penolakan
orang tua.Nurrohmaningtyas (2008) menyatakan bahwa, jenis kelamin akan
mempengaruhi cara pengasuhan orang tua terhadap anak. Dalam menghadapi
anak laki-laki dan perempuan orang tua akan memiliki praktek pengasuhan yang
berbeda karena perbedaan pertumbuhan fisik serta perkembangan mental dan
sosial anak. Riset Witkin-Lanoil di acu dalam Puspitawati (2009) menunjukkan
bahwa, dalam pengasuhan orang tua mempunyai ekspektasi untuk anak laki-
lakinya agar kuat dan agresif dalam mencapai cita-cita, sedangkan anak
perempuan lebih sensitif dan sopan serta hormat. Anak perempuan diperlakukan
dengan lembut, sering dipeluk dan dijaga, sedangkan anak laki-laki diperlakukan
lebih agresif.
Keluarga dengan pendapatan yang lebih tinggi cenderung akan
menerapkan pengasuhan penerimaan kepada anaknya dibandingkan keluarga
dengan pendapatan yang lebih rendah. Kondisi keluarga yang memiliki tingkat
pendapatan yang cukup menyebabkan orang tua lebih mempunyai waktu untuk
membimbing anak karena orang tua tidak lagi memikirkan mengenai keadaan
ekonomi yang kurang. Sebaliknya, adanya kondisi keluarga yang memiliki tingkat
pendapatan yang rendah menyebabkan orang tua memperlakukan anaknya
dengan kurang perhatian, penghargaan, pujian untuk berbuat baik yang
mengikuti peraturan, dan penanaman nilai moral (Gunarsa dan Gunarsa 2004).
Baik pengasuhan penerimaan maupun penolakan dilakukan oleh
keluarga dengan lama pendidikan rata-rata untuk ayah adalah lima tahun dan ibu
4.3 tahun. Pengasuhan penerimaan cenderung terlihat pada keluarga yang
tergolong kecil (4). Besar keluarga yang dicerminkan dari kuantitas anggota
keluarga akan mempengaruhi pola dan corak komunikasi antar anggota keluarga
(Gunarsa & Gunarsa 2004 diacu dalam Afriani 2010). Semakin besar jumlah
anggota keluarga, maka jumlah interaksi interpersonal yang terjadi akan semakin
banyak dan kompleks. Selain itu, aktivitas sosial ibu juga berhubungan dengan
pengasuhan penerimaan-penolakan.Ibu yang memiliki aktivitas sosial yang
-
terkategori sedang cenderung lebih banyak memberikan pengasuhan
kehangatan atau penerimaan.
Perkembangan sosial adalah adalah kemampuan anak dalam menjalin
hubungan dengan lingkungan sosial. Proses sosial meliputi perubahan dalam
hubungan individu dengan orang lain, perubahan pada emosi, dan perubahan
dalam kepribadian (King, 2010). Salah satu aspek perkembangan sosial anak
usia 3-4 tahun adalah dimensi locomotion. Aspek ini mengukur kemandirian
dalam bergerak, meliputi kemampuan anak dalam berjalan menuruni
tangga.Hampir seluruh contoh mampu menuruni tangga tanpa bantuan dari
orang dewasa.Hal ini diduga disebabkan karena keadaan demografis kampung
adat yang berbukit-bukit, sehingga membuat anak terbiasa berjalan menuruni
tangga. Hal ini, didukung dengan pernyataan Hurlock (1980) ketika anak sudah
mampu berjalan, maka anak akan mengalihkan perhatian untuk mempelajari
gerakan-gerakan yang menggunakan kaki, seperti naik dan turun tangga,
melompat, berlari, bermain sepatu roda, dan menari. Aspek perkembangan
sosial anak usia empat sampai lima tahun salah satunya adalah dimensiself help
general. Dimensi ini meliputi kemandirian anak dalam memberikan perhatian
terhadap aktivitas yang berhubungan dengan toilet.Lebih dari separuh contoh
tidak memberikan perhatian terhadap aktivitas toileting karena tidak ada
kesempatan.Hal ini disebabkan karena, hampir separuh contoh di rumahnya
tidak memiliki kamar mandi dan akses menuju kamar mandi umum, baik
pancuran maupun kali cukup jauh.Untuk menuju kamar mandi umum (pancuran)
atau kali harus berjalan sekitar hampir 5 sampai 30 meter dari rumah contoh.Hal
ini membuat anak tidak memberikan perhatian terhadap aktivitas toileting dan
mereka lebih sering buang air kecil di samping rumah.Orang tua juga tidak terlalu
melatih anak untuk memperhatikan aktivitas toileting dengan alasan jarak yang
jauh.
Aspek perkembangan sosial pada anak usia lima tahun salah satunya
adalah kemandirian anak dalam mengatur diri sendiri atau self direction (SD)
ditunjukkan dengan kemampuan anak untuk dapat menggunakan uang dengan
baik tanpa arahan dari orang tua atau orang dewasa lainnya. Hampir seluruh
contoh mampu menggunakan uang tanpa bantuan atau arahan dari orang tua
atau orang dewasa lainnya.Hal ini diduga karena anak-anak di kampung adat
urug cukup tinggi intensitas dalam kegiatan yang menggunakan uang, seperti
jajan.Anak-anak di kampung adat biasanya menghabiskan hampir Rp10.000
-
setiap harinya untuk jajan dan bisanya mereka jajan sendiri tabpa didampingi
oleh orang tua atau orang dewasa lainnya.Akan tetapi kemandirian anak dalam
socializatin (S) menunjukkan proporsi terendah.Dimensi ini ditunjukkan dengan
kemampuan anak bermain permain sederhana, seperti ular tangga.Hal ini
dikarenakan lebih separuh dari contoh tidak mampu memainkan ular tangga
karena tidak ada kesempatan, sehingga ketika peneliti meminta anak untuk
bermain, anak tidak mampu.
Secara keseluruhan perkembangan sosial anak usia 3-5 tahun di
Kampung Adat Urug terkategori cukup baik. Perkembangan sosial anak
perempuan lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki.Tanen dalam Santrock (2003)
menyatakan bahwa, anak laki-laki dan perempuan tumbuh dalam dunia berbicara
yang berbeda.Sehingga Tanen menyimpulkan bahwa anak perempuan lebih
memiliki orientasi hubungan interpersonal dibandingkan anak laki-laki.Hal ini
senada dengan hasil penelitian Fiernanti (2010) yang menyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan perkembangan
sosial anak.Anak yang berasal dari keluarga dengan pendapatan lebih tinggi,
memiliki perkembangan sosial yang lebih baik dibandingkan dengan contoh yang
berasal dari keluarga dengan pendapatan yang rendah.Pendapatan orang tua
berkaitan dengan status sosial orang tua. Orang tua dengan status sosial
ekonomi yang rendah cenderung menginginkan anaknya menyesuaikan diri
dengan keinginan masyarakat, menciptakan suasana rumah yang lebih
menekankan otoritas orang tua, lebih sering menggunakan hukuman fisik kepada
anak, serta lebih suka mengatur anak dan kurang suka mengadakan percakapan
dengan anak. Sulistyani (2006) dalam Fiernanti (2010) menyatakan bahwa
kondisi ekonomi keluarga yang memadai akan dapat menunjang tumbuh
kembang anak, karena orang tua akan dapat menyediakan kebutuhan anak, baik
yang primer maupun sekunder. Semakin tingginya tuntutan kehidupan masa kini
membuat tidak hanya ayah yang bekerja, tetapi juga ibu.Ibu yang biasanya
hanya bekerja pada sektor domestik juga diharuskan bekerja pada sektor publik
membuat waktu ibu semakin sedikit untuk memberikan stimulus kepada
anak.Anak dari ibu yang bekerja memiliki perkembangan sosial yang lebih
rendah dibandingkan contoh yang ibunya tidak bekerja.
Perkembangan sosial cenderung lebih tinggi pada contoh yang besar
keluarganya tergolong kecil (4). Hal ini diduga, keluarga yang tergolong kecil
akan lebih fokus dalam memberikan stimulasi kepada anaknya dan lebih sering
-
berinteraksi dengan anak. Semakin besar jumlah anggota keluarga, maka jumlah
interaksi interpersonal yang terjadi akan semakin banyak dan kompleks. Hasil
peneiltian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara lama pendidikan ibu
dengan perkembangan sosial anak.semakin lama penididkan ibu, maka semakin
baik perkembangan sosial anak. Hal ini senada dengan hasil penelitian Fiernanti
(2010) yang menyatakan bahwa semakin lama pendidikan ibu, maka semakin
terkategori baik perkembangan sosial yang dicapai anak.Hal ini diperkuat oleh
Hartoyo dan Hastuti (2004) yang menyatakan bahwa orang tua yang
berpendidikan lebih tinggi memiliki kecenderungan untuk dapat memberikan
stimulasi lingkungan (fisik, sosial, emosional dan psikologis) bagi anak-anaknya
dibandingkan dengan orang tua yang pendidikannya rendah.Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tedapat hubungan yang siginifikan antara perkembangan
sosial anak dengan aktivitas sosial ibu.Semakin tinggi aktivitas sosial ibu maka
perkembangan sosial anak semakin baik, begitupun sebaliknya.
Menurut Hurlock (1980) keterampilan yang dipelajari anak usia dini
bergantung pada kesiapan kematangan terutama kesempatan yang diberikan
untuk mempelajari dan bimbingan yang diperoleh dalam menguasai keterampilan
secara cepat dan efisien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ketiga
kelompok umur, aspek perkembangan sosial yang persentasenya paling tinggi
adalah locomotion.Aspek locomotion adalah kemampuan anak dalam
bergerak.Anak yang berasal dari lingkungan yang buruk umumnya lebih cepat
dan lebih banyak menguasai keterampilan dibandingkan dengan anak-anak yang
berasal dari lingkungan yang lebih baik.Hal ini tidak disebabkan karena anak
lebih cepat matang melainkan karena orang tuanya terlampau sibuk sehingga
tidak sempa menjaganya terus menerus (Hurlock 1980).Hal inilah yang diduga
menyebabkan persentase aspek locomotion pada ketiga kelompok umur
terkategori baik.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa pengasuhan
penerimaan-penolakan tidak berhubungan signifikan dengan perkembangan
sosial.Berdasarkan hasil penelitian, terdapat dua orang anak yang
pengasuhannya cenderung kepada pengasuhan penolakan, tetapi memiliki
perkembangan sosial yang baik.Karakteristik keluarga dari kedua anak ini adalah
berasal dari keluarga dengan lama pendidikan ibu enam tahun.Status pekerjaan
ibu, besar keluarga dan, pendapatan per kapita tidak terlalu berhubungan karena
pada kasus ini, anak ada yang berasal dari keluarga besar dan kecil.Penelitian ini
-
juga menunjukkan bahwa, terdapat sembilan anak yang mendapatkan
pengasuhan kehangatan atau penerimaan memiliki perkembangan sosial yang
rendah.Karakteristik keluarga untuk anak tersebut adalah berasal dari keluarga
dengan besar keluarga antara sedang dan besar.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara pengasuhan penerimaan-penolakan dengan perkembangan
sosial anak. Hal ini tidak sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa
perkembangan sosial anak dipengaruhi oleh gaya pengasuhan yang diterapkan
oleh orang tua. Gaya pengasuhan yang diterapkan orang tua akan
mempengaruhi bagaimana stimulus yang akan diberikan kepada anak. Menurut
Rohner (1975), anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan penolakan
akanlebihtergantung dan sangatposesif dibandingkan anakyang diasuh dengan
gaya pengasuhan penerimaan. Sunarti (2004) menyatakan bahwa, anak yang
diasuh dengan gaya pengasuhan penolakan berdampak serius terhadap
perkembangan anak, yaitu pada perkembangan sosial anak. Anak yang ditolak
akan bermasalah dalam berhubungan antarpersonal, yang menyebabkan anak
sulit dalam beradaptasi, berkomunikasi, dan berempati. Ketidaksesuaian hasil
penelitian dengan literatur diduga karena adanya keseragaman gaya
pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua di Kampung Adat Urug kepada
anak.