HAK KEPEMILIKAN DAN PERSEPSI PEMBUDIDAYA
RUMPUT LAUT TERHADAP ZONA BUDIDAYA BAHARI
DESA KEMUJAN TNKJ
NUR HANNAH MUTHOHHAROH
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hak Kepemilikan dan
Persepsi Pembudidaya Rumput Laut terhadap Zona Budidaya Bahari Desa
Kemujan TNKJ adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Nur Hannah Muthohharoh
NIM I34100022
ABSTRAK
NUR HANNAH MUTHOHHAROH. Hak Kepemilikan dan Persepsi Pembudidaya
Rumput Laut terhadap Zona Budidaya Bahari Desa Kemujan TNKJ. Dibimbing
oleh ARIF SATRIA.
Penelitian ini bertujuan menganalisis sistem hak kepemilikan lahan budi daya
rumput laut, persepsi mengenai Zona Budidaya Bahari, dan hubungan antara
persepsi dengan tingkat kepatuhan aturan Zona Budidaya Bahari. Metode penelitian
ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan
secara de jure pembudidaya rumput laut memiliki hak akses dan hak pemanfaatan,
namun secara de facto memiliki hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan
hak eksklusi. Perbedaan ini menunjukkan bahwa hak kepemilikan masih belum
terdefinisi secara jelas, sehingga dapat memicu konflik hak kepemilikan. Secara
umum, pembudidaya rumput laut memiliki persepsi yang rendah mengenai Zona
Budidaya Bahari. Perbandingan pembudidaya rumput laut yang patuh dan tidak
patuh terhadap aturan perlindungan aturan biota adalah seimbang. Kepatuhan
terhadap aturan perlindungan biota dicirikan oleh moralitas. Selain itu, terdapat
motif lain yang melatarbelakangi kepatuhan. Hal ini berkaitan dengan hasil uji
hubungan yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara persepsi dan tingkat
kepatuhan mengenai Zona Budidaya Bahari.
Kata kunci: budi daya rumput laut, hak kepemilikan, persepsi, TNKJ
ABSTRACT
NUR HANNAH MUTHOHHAROH. Property Rights and Seaweed Cultivators
Perception of Budidaya Bahari Zone in Kemujan Village TNKJ. Supervised by
ARIF SATRIA.
This study aims to analyze the property right system of seaweed culture,
perception about Budidaya Bahari Zone, and the relationship between perception
and compliance level of Budidaya Bahari Zone rules. This study uses qualitative
and quantitative methods. The results shows as de jure, seaweed cultivators have
access right and withdrawl right, but as de facto, they have access right, withdrawl
right, management right, and exclusion right. This difference shows that the
property right is not clearly defined, so it can lead to conflict of property right. In
general, seaweed cultivators have a low perception of the biota protection rules. The
comparison between seaweed cultivators that comply and not comply the biota
protection rules is equal. The compliance is characterized by morality. In addition
there is another motive behind the compliance. This is related to correlation tests
that shows no relationship between the perception and the level of compliance of
Budidaya Bahari Zone.
Keywords: seaweed culture, property rights, perception, TNKJ
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
HAK KEPEMILIKAN DAN PERSEPSI PEMBUDIDAYA
RUMPUT LAUT TERHADAP ZONA BUDIDAYA BAHARI
DESA KEMUJAN TNKJ
NUR HANNAH MUTHOHHAROH
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Hak Kepemilikan dan Persepsi Pembudidaya Rumput Laut
terhadap Zona Budidaya Bahari Desa Kemujan TNKJ
Nama : Nur Hannah Muthohharoh
NIM : I34100022
Disetujui oleh
Dr Arif Satria, SP MSi
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga laporan skripsi yang berjudul
“Hak Kepemilikan dan Persepsi Pembudidaya Rumput Laut terhadap Zona
Budidaya Bahari Desa Kemujan TNKJ” dapat diselesaikan dengan baik. Laporan
skripsi ini ditujukan untuk mendapat gelar Sarjana Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik
karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis
menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta, khususnya Ayahanda
Muhammad Jawahir dan Ibunda Shofiyatin atas doa, dukungan, dan kasih sayang
yang telah diberikan. Dr Arif Satria, SP MSi selaku dosen pembimbing yang selalu
memberikan kritik dan saran, serta terselip berbagai motivasi dan inspirasi selama
proses penulisan laporan skripsi ini. Pembudidaya rumput laut Desa Kemujan pada
khususnya dan masyarakat Desa Kemujan pada umumnya yang telah membagi
cerita, pengalaman hidup, dan hal-hal baru. Balai Taman Nasional Karimunjawa
yang telah memberikan kesempatan dan bantuan bagi penulis untuk melaksanakan
penelitian di TNKJ. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah
memberikan bantuan biaya pendidikan dan penelitian. Sahabat, rekan-rekan
sebimbingan, keluarga besar Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi
Manusia (BEM FEMA) Kabinet Sinekologi dan Kabinet Trilogi, keluarga besar
Organisasi Mahasiswa Daerah IMAGORA, keluarga besar mahasiswa Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) angkatan 47 atas
kebersamaannya selama ini, serta semua pihak yang telah memberikan dorongan,
doa, semangat, bantuan, dan kerja sama kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan skripsi ini masih belum
sempurna. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat penulis
harapkan. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Agustus 2014
Nur Hannah Muthohharoh
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Kegunaan Penelitian 4
PENDEKATAN TEORITIS 5
Tinjauan Pustaka 5
Kerangka Pemikiran 15
Hipotesis Penelitian 18
Definisi Konseptual 18
Definisi Operasional 19
PENDEKATAN LAPANGAN 223
Metode Penelitian 23
Lokasi dan Waktu Penelitian 23
Teknik Pemilihan Responden dan Informan 23
Teknik Pengumpulan Data 24
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 24
GAMBARAN UMUM DESA KEMUJAN 26
Kondisi Geografi dan Demografi 27
Kondisi Sosial dan Ekonomi 28
ZONA BUDIDAYA BAHARI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA 31
Taman Nasional Karimunjawa 31
Zona Budidaya Bahari 32
Aturan Zona Budidaya Bahari 33
Ikhtisar 34
BUDI DAYA RUMPUT LAUT DI DESA KEMUJAN 35
Sejarah Perkembangan Budi Daya Rumput Laut di Desa Kemujan 35
Pola Penanaman Rumput Laut 37
Karakteristik Usaha Budi Daya Rumput Laut di Desa Kemujan 39
Permasalahan 39
Ikhtisar 40
SISTEM HAK KEPEMILIKAN LAHAN BUDI DAYA RUMPUT LAUT DI
PERAIRAN PULAU KEMUJAN 42
Karakteristik Pemanfaatan Lahan Budi Daya Rumput Laut 44
Aturan Hak Kepemilikan 46
Hak Kepemilikan Berdasarkan Bundle of Rights 49
Potensi Konflik Hak Kepemilikan Sumber Daya 51
Ikhtisar 54
PERSEPSI PEMBUDIDAYA RUMPUT LAUT MENGENAI ZONA
BUDIDAYA BAHARI 55
Persepsi Mengenai Aturan Perlindungan Biota 56
Persepsi Mengenai Sanksi Pelanggaran 57
Tingkat Kepatuhan Aturan Zona Budidaya Bahari 62
Ciri Kepatuhan Aturan Zona Budidaya Bahari 68
Legitimasi Aturan Zona Budidaya Bahari 70
Potensi Konflik Pengelolaan Sumber Daya 73
Ikhtisar 74
HUBUNGAN PERSEPSI DENGAN TINGKAT KEPATUHAN ATURAN
ZONA BUDIDAYA BAHARI 75
Hubungan Persepsi Aturan Perlindungan Karang dengan Tingkat Kepatuhan
Aturan Perlindungan Karang 77
Hubungan Persepsi Aturan Perlindungan Penyu dengan Tingkat Kepatuhan
Aturan Perlindungan Penyu 78
Hubungan Persepsi Sanksi Pelanggaran Perlindungan Karang dengan Tingkat
Kepatuhan Aturan Perlindungan Karang 79
Hubungan Persepsi Sanksi Pelanggaran Perlindungan Penyu dengan Tingkat
Kepatuhan Aturan Perlindungan Penyu 80
Hubungan Persepsi Mengenai Zona Budidaya Bahari dengan Tingkat
Kepatuhan Aturan Zona Budidaya Bahari 81
Ikhtisar 82
SIMPULAN DAN SARAN 83
Simpulan 83
Saran 84
DAFTAR PUSTAKA 85
LAMPIRAN 91
RIWAYAT HIDUP 97
DAFTAR TABEL
1 Matriks karakteristik usaha budi daya rumput laut 7
2 Matriks jenis ideal rezim kepemilikan yang relevan dengan sumber daya
bersama 8
3 Matriks status kepemilikan sumber daya alam 10
4 Matriks kasus-kasus hak dan status kepemilikan sumber daya dalam kegiatan
budi daya perairan 11
5 Kasus-kasus potensi konflik dan konflik wilayah perairan dalam aktivitas
budi daya 15
6 Matriks stakeholder dan kepentingannya pada pengelolaan wilayah perairan
Pulau Kemujan 28
7 Jumlah dan persentase penduduk Desa Kemujan menurut mata
pencaharian 29
8 Perbandingan zona yang difungsikan sebagai kegiatan budi daya tahun 2005
dan 2012 32
9 Matriks dasar hukum pemanfaatan zonasi Taman Nasional Karimunjawa 34
10 Karakteristik usaha budi daya rumput laut di Desa Kemujan 39
11 Kalender Musim penanaman rumput laut Desa Kemujan 41
12 Matriks rujukan aturan formal pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa 46
13 Matriks perbandingan rujukan aturan pemanfaatan wilayah perairan 47
14 Matriks aturan hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut secara de
facto 49
15 Matriks tipe hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut secara de jure dan
de facto 50
16 Jumlah dan persentase responden menurut pengetahuan definisi dan lokasi
Zona Budidaya bahari 55
17 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi aturan perlindungan
karang 56
18 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi aturan perlindungan
penyu 57
19 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi aturan perlindungan biota
58
20 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi sanksi pelanggaran
perlindungan karang 59
21 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi sanksi pelanggaran
perlindungan penyu 60
22 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi sanksi pelanggaran aturan
perlindungan biota 60
23 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi mengenai Zona Budidaya
Bahari 61
24 Jumlah dan persentase responden menurut keikutsertaan dalam sosialisasi
TNKJ 61
25 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepatuhan aturan perlindungan karang 62
26 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepatuhan aturan
perlindungan penyu 63
27 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepatuhan aturan
perlindungan biota 66
28 Jumlah dan persentase responden menurut keikutsertaan dalam mengawasi
aturan Zona Budidaya Bahari 66
29 Jumlah dan persentase responden menurut keikutsertaan dalam
mensosialisasikan aturan Zona Budidaya Bahari 67
30 Jumlah dan persentase responden menurut ciri kepatuhan aturan perlindungan
karang 68
31 Jumlah dan persentase responden menurut motif ketidakpatuhan aturan
perlindungan karang 69
32 Jumlah dan persentase responden menurut ciri kepatuhan aturan perlindungan
penyu 70
33 Jumlah dan persentase responden menurut motif ketidakpatuhan aturan
perlindungan penyu 70
34 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi aturan perlindungan
karang dan tingkat kepatuhan aturan pelindungan karang 78
35 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi aturan perlindungan
penyu dan tingkat kepatuhan aturan perlindungan penyu 78
36 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi sanksi pelanggaran
perlindungan karang dan tingkat kepatuhan aturan perlindungan karang 79
37 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi sanksi pelanggaran
perlindungan penyu dan tingkat kepatuhan aturan perlindungan penyu 80
38 Jumlah dan persentase persepsi Zona Budidaya Bahari dan tingkat kepatuhan
aturan perlindungan biota 81
DAFTAR GAMBAR
1 Klasifikasi umum sumber daya 9
2 Kerangka pemikiran 17
3 Sketsa penggunaan lahan yang sesuai di Dusun Batulawang 44
4 Sketsa penggunaan lahan yang sesuai di Dusun Telaga 45
5 Sketsa penggunaan lahan yang sesuai di Dusun Mrican 45
6 Sebaran lokasi budi daya rumput laut di perairan Pulau Kemujan 53
7 Pemasangan jaring dengan pelampung 65
8 Pemasangan jaring di bawah rumput laut 65
DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta Zona Budidaya Bahari di perairan Pulau Kemujan Taman Nasional
Karimunjawa 91
2 Kerangka sampling 92
3 Hasil uji korelasi 94
4 Dokumentasi 96
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumput laut memiliki nilai komersial tinggi yang dapat dikembangkan di
wilayah perairan. Pusdatin KKP (2011) mencatat bahwa volume produksi
perikanan budi daya rumput laut mengalami kenaikan sebesar 9.96% yaitu sejumlah
3 915 017 ton menjadi 4 305 027 ton pada kurun waktu tahun 2010-2011. Kenaikan
volume produksi lebih tinggi jika dilihat dari tahun 2007-2011 yaitu sebesar
26.08%. Akan tetapi, volume produksi dalam negeri ini hanya mampu
menyumbang penyediaan rumput laut dunia sebesar 0.28% dari angka ekspor yang
dilakukan. Produksi rumput laut yang diekspor juga mengalami penurunan dari
tahun 2007-2008 sebesar 37.17%. Hal ini menyebabkan pemerintah menginisiasi
peningkatan produktivitas rumput laut melalui industrialisasi, didasarkan bahwa
bahwa potensi rumput laut di Indonesia belum dikembangkan secara optimal
(Pemerintah ... 2013).
Upaya pengembangan rumput laut tentunya membutuhkan penambahan
luasan wilayah budi daya, tidak terkecuali wilayah yang ditetapkan sebagai
kawasan konservasi. Salah satu wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan
konservasi dan berpotensi tinggi untuk budi daya rumput laut adalah kepulauan
Karimunjawa. Budi daya rumput laut di Karimunjawa mulai dikenalkan kepada
masyarakat pada tahun 2000 sebagai salah satu alternatif mata pencaharian untuk
menghindari kerusakan alam yang lebih tinggi akibat aktivitas penangkapan ikan
dan pemanfaatan kelautan lainnya (Setyaningsih 2011). Kepulauan Karimunjawa
ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No. 78/Kpt-II/1999 yang menggantikan statusnya sebagai kawasan
Cagar Alam. Sejalan dengan penetapan ini, maka pengelolaan kawasan Taman
Nasional Karimunjawa (selanjutnya disingkat menjadi TNKJ) harus didasarkan
pada penyusunan zonasi sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah
No. 28/2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam.
Sistem zonasi yang disusun di TNKJ telah mengalami dua kali perubahan dari
tahun 1989 dubah pada tahun 2005 dan kembali mengalami perubahan pada tahun
2012. Perubahan zonasi pada tahun 2005 didasarkan bahwa zonasi yang ditetapkan
belum mengakomodir berbagai kepentingan terutama dari aspek ekologi, sosial,
ekonomi, serta budaya termasuk kearifan lokal sehingga banyak terjadi tumpang
tindih kebijakan berbagai pihak, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten.
Selanjutnya perubahan zonasi di tahun 2012 didasarkan bahwa zonasi yang telah
direvisi tahun 2005 belum mengakomodir pulau-pulau kecil yang ada di dalam
kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Selain itu, zonasi tersebut masih dianggap
kurang tepat baik luasan maupun letaknya (BTNKJ 2012). Terdapat sembilan zona
yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan dan
Konservasi Alam No: SK. 28/IV-ET/2012 Tentang Zonasi Taman Nasional
Karimunjawa, salah satunya adalah Zona Budidaya Bahari seluas 1 370.729 ha dari
total luasan wilayah penetapan taman nasional seluas 111 625 ha. Budi daya rumput laut menjadi salah satu potensi sumber daya kelautan yang
banyak dilakukan oleh masyarakat Karimunjawa dan tercatat mampu memberikan
2
manfaat langsung yang diterima masyarakat mencapai 13 miliar rupiah per tahun
(Nababan et al. 2010 dikutip BTNKJ 2012). BTNKJ (2012) juga mencatat bahwa
terdapat 13 lokasi budi daya rumput laut yang ada di kawasan Taman Nasional
Karimunjawa. Luas masing-masing lokasi budi daya tersebut bervariasi dari 0.771
ha di Blok Legon Lele hingga 476.337 ha yang berada di sebelah barat Pulau
Kemujan. Secara keseluruhan hingga tahun 2009 terdapat 1 258.969 ha wilayah
perairan Taman Nasional Karimunjawa yang digunakan sebagai lokasi budi daya
rumput laut. Sebelum adanya perubahan zonasi tahun 2012, luasan tersebut telah
melebihi luas zona budi daya yang ada dan telah memanfaatkan kawasan zona lain
seperti zona pemanfaatan perikanan tradisional, padahal Kementerian Kelautan dan
Perikanan berkerjasama dengan pemerintah Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten
Jepara mencanangkan gerakan peningkatan produksi perikanan melalui program
minapolitan (Setyaningsih 2011). Apabila hal ini terus dikembangkan, maka
memerlukan penambahan luasan wilayah perairan untuk budi daya rumput laut.
Budi daya rumput laut dapat dikembangkan di wilayah perairan dengan
spesifikasi tertentu. Wilayah perairan sendiri secara de facto dikenal sebagai
sumber daya akses terbuka dimana setiap orang mampu mengakses sumber daya
yang ada. Sifat sumber daya ini memicu kompetisi setiap pihak untuk
memanfaatkan potensi yang ada sehingga memungkinkan adanya penurunan
kemampuan sumber daya alam dalam memberikan manfaat bagi penggunanya.
Fenomena ini dijelaskan oleh Hardin yang dikutip Adhuri (2006) sebagai the
tragedy of the common. Konsep ini menjelaskan bahwa karena ketiadaan konsep
kepemilikan terhadap sumber daya laut, maka setiap orang akan berlomba dengan
mengeksploitasi sumber daya secara maksimal. Akibatnya akan terjadi eksploitasi
yang berlebihan, sehingga dapat menyebabkan kerusakan sumber daya alam.
Konservasi merupakan salah satu alternatif pengelolaan untuk menghindari
terjadinya penurunan kualitas sumber daya alam, namun penetapannya masih
bersifat sentralistik. Pengelolaan TNKJ sebagai salah satu bentuk konservasi
termasuk dalam tipe sumber daya alam yang dikuasai negara atau disebut sebagai
state property (Berkes 1989). Penguasaan negara tercantum dalam UU No.5/1990
Tentang Konservasi Sumber daya Alam dan Ekosistem sebagai landasan hukum
pengelolaan TNKJ. Hartono et al. (2012) menjelaskan bahwa penetapan kawasan
konservasi secara sentralistik mampu mengubah sistem hak kepemilikan sumber
daya pesisir. Namun, penyusunan zonasi tetap memberikan akses pemanfaatan bagi
masyarakat. Pemanfaatan secara tradisional juga diatur dalam PP No. 28/2011 Pasal
49 ayat 3b mengenai perlunya pembuatan izin pemanfaatan wilayah konservasi.
Izin yang oleh pemerintah diberikan menunjukkan bahwa secara formal,
pemerintah membuka akses pemanfaatan dan memberikan hak pemanfaatan
berdasarkan kriteria tertentu. Pemberian akses bagi masyarakat untuk melakukan
budi daya rumput laut di TNKJ adalah melalui penetapan Zona Budidaya Bahari.
Pembudidaya rumput laut merupakan bagian dari anggota masyarakat yang
memiliki sistem aturan dalam berbagai hal, termasuk pengelolaan sumber daya
alam. Masyarakat merupakan pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya
alam bagi pemenuhan kebutuhan hidup dan berkembang pula aturan lokal (de facto)
yang juga mengatur hak kepemilikan sumber daya alam (Larson 2013). Apabila
tidak terdapat kejelasan hak, maka mampu memicu konflik sumber daya alam
hingga kerusakan lingkungan yang semakin parah, padahal wilayah konservasi
yang ditetapkan oleh pemerintah merupakan respon atas peningkatan kerusakan
3
wilayah perairan yang terjadi. Hidayati (2009) menjelaskan bahwa upaya
pengembangan usaha budi daya rumput laut di Kecamatan Mangarabombang,
Kabupetan Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan belum diimbangi dengan adanya
pengaturan dan penataan ruang perairan. Hal ini mengakibatkan terjadinya tumpang
tindih dengan kegiatan lain, pertentangan antarsesama anggota masyarakat, serta
munculnya berbagai penyakit akibat padatnya aktivitas budi daya rumput laut.
Selain itu, pembudidaya rumput laut sebagai pengguna langsung berperan
dalam meningkatkan efektivitas pengelolaan taman nasional melalui persepsi,
pemberian legitimasi, dan implementasi aturan. Menurut Jentoft (2000), aturan
pengelolaan sumber daya perikanan oleh pemerintah banyak dipengaruhi oleh
perspektif ilmu biologi dan konteks global, sehingga tinjauan dari sisi sosial sangat
penting dilakukan khususnya pada pengembangan budi daya rumput laut. Hal
penting lainnya adalah adanya dukungan dari masyarakat dalam implementasi
aturan-aturan yang telah disusun oleh pemerintah. Apabila terdapat perbedaan
pandangan antara masyaraktat dengan pihak pengelola juga mampu menimbulkan
konflik. Kaitannya dengan pengembangan budi daya rumput laut di TNKJ, penting
untuk dianalisis hak kepemilikan dan persepsi masyarakat terhadap Zona Budidaya
Bahari sebagai wilayah yang difungsikan sebagai budi daya rumput laut.
Perumusan Masalah
Rumput laut merupakan salah satu komoditas yang potensial dikembangkan
di wilayah Kepulauan Karimunjawa. TNKJ dikelola oleh pemerintah sesuai dengan
UU No.5/1990 Tentang Konservasi. Masyarakat diberi akses pemanfaatan sumber
daya berdasarkan sistem zonasi. Namun pada kenyataannya metode budi daya
rumput laut memanfaatkan lahan perairan yang secara umum membuat batasan-
batasan wilayah perairan melalui tali yang difungsikan sebagai pengait bibit rumput
laut yang diduga sekaligus sebagai batas wilayah. Lokasi budi daya rumput laut di
wilayah Karimunjawa telah ditentukan berdasarkan sistem Zonasi TNKJ yang
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan dan
Konservasi Alam No: SK. 28/IV-ET/2012 Tentang Zonasi Taman Nasional
Karimunjawa yaitu dilaksanakan pada Zona Budidaya Bahari.
Sistem zonasi merupakan salah satu bentuk pengelolaan sumber daya alam
yang mengupayakan keseimbangan pembangunan dan konservasi. Masyarat turut
memiliki peran dalam mengupayakan keberhasilan konservasi melalui persepsi,
kepatuhan, dan pemberian legitimasi aturan. Berdasarkan uraian tersebut, maka
secara spesifik rumusan masalah penelitian ini meliputi:
1. bagaimana sistem hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut di TNKJ?
2. bagaimana persepsi pembudidaya rumput laut mengenai zona Budidaya
Bahari? Apakah disertai dengan:
a. kepatuhan terhadap aturan Zona Budidaya Bahari? Apa ciri kepatuhan
yang menyertainya?
b. pemberian legitimasi aturan Zona Budidaya Bahari?
3. bagaimana hubungan antara persepsi dengan tingkat kepatuhan aturan
pengelolaan Zona Budidaya Bahari?
4
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis:
1. sistem hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut;
2. persepsi pembudidaya rumput laut, serta:
a. kepatuhan dan ciri kepatuhan terhadap aturan Zona Budidaya Bahari
b. pemberian legitimasi aturan Zona Budidaya Bahari
3. hubungan antara persepsi dengan tingkat kepatuhan aturan Zona Budidaya
Bahari;
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan mengenai sistem hak
kepemilikan sumber daya perairan dalam aktivitas budi daya rumput laut di wilayah
TNKJ. Secara lebih khusus, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi beberapa pihak, diantaranya adalah:
1. Bagi kalangan akademisi
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan mengenai sistem
hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut di wilayah konservasi, persepsi
penetapan zonasi wilayah konservasi, kepatuhan aturan di wilayah konservasi,
dan bentuk legitimasi aturan pengelolaan kawasan konservasi.
2. Bagi pemerintah
Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan
(decision maker) dalam pencapaian tujuan konservasi dan pembangunan
berkelanjutan khususnya sektor perikanan dan kelautan. Kebijakan yang
dilakukan berkaitan pengelolaan wilayah konservasi yang dilakukan
berdasarkan perspektif ilmu sosial.
3. Bagi masyarakat
Penelitian ini mampu menambah wawasan masyarakat mengenai hal-hal
yang menjadi penentu hak kepemilikan sumber daya lahan budi daya rumput
laut serta peran masyarakat dalam pencapaian tujuan konservasi.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Wilayah Konservasi Kelautan
1) Pelaksanaan Konservasi Kelautan di Indonesia
Berdasarkan UU No. 1/2014 Tentang Perubahan UU No. 27/2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Konservasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil didefinisikan sebagai “... upaya perlindungan, pelestarian,
dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk
menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya...”. Namun, Undang-undang No. 5/1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati masih menjadi referensi utama dalam pelaksanaan
konservasi baik pada sektor kehutanan dan perairan (Satria et al., 2006a). Hal ini
dikarenakan wewenang pengelolaan kawasan konservasi dalam bentuk taman
nasional kawasan kehutanan dan perairan masih berada pada Kementrian
Kehutanan.
Berdasarkan UU No. 5/1990, pelaksanaan konservasi dibedakan dalam
bentuk kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA). KSA
terdiri atas cagar alam dan suaka marga satwa, sedangkan KPA terdiri atas taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Bentuk-bentuk konservasi
secara umum disertai dengan aturan pengelolaan berupa sistem zonasi. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 28/2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam, zonasi pengelolaan kawasan taman nasional meliputi
zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan/atau zona lain sesuai dengan
keperluan masing-masing wilayah dan kriteria tertentu. Menurut Suparno (2009),
penyusunan zonasi dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: (1)
mempertimbangkan kebijakan pembangunan yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat dan Daerah, kepentingan masyarakat dan hak-hak ulayat, serta
kepentingan yang bersifat khusus; (2) pendekatan bio-ekoregion dimana ekosistem
pesisir dibentuk oleh sub-ekosistem yang saling terkait satu sama lain; (3)
pengumpulan data dan informasi yang dapat digali dari persepsi masyarakat yang
hidup di sekitar ekosistem tersebut, terutama konteks historis.
Satria (2009a) memandang bahwa dalam perspektif ilmu sosial, konservasi
bukan suatu metode atau konsep yang berlaku secara universal, melainkan hasil
konstruksi sosial komunitas akademik di Barat yang berusaha diterapkan di negara
dunia ketiga. Padahal, sebenarnya setiap masyarakat telah memiliki konstruksi
sendiri atas konservasi. Penetapan kebijakan konservasi Indonesia sendiri masih
bersifat sentralistik. Wilayah konservasi yang ditetapkan secara sentralistik mampu
mengubah sistem hak kepemilikan sumber daya (Hartono et al. 2012).
Desentralisasi pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan mengalami
perjalanan evolusi yang dijelaskan oleh Satria dan Matsuda (2004) meliputi
dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi. Devolusi menjadi bentuk desentralisasi yang
efektif seperti yang terjadi pada kasus awig-awig di Lombok Barat. Masyarakat lokal membuat aturan bersama secara tertulis dalam mengelola sumber daya
perikanan. Pelaksanaannya terbukti efektif dalam mengatasi permasalahan
6
kerusakan sumber daya perikanan dan kelautan. Hal ini dikarenakan kesepakatan
dibuat dari bawah dan melibatkan partisipasi masyarakat lokal.
2) Konservasi dan Pembangunan Berkelanjutan
Berdasarkan Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 32/1999 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, pembangunan berkelanjutan adalah “... upaya
sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi
ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan
generasi masa depan. ...” Pembangunan berkelanjutan menjadi paradigma
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah didasarkan atas adanya berbagai
dampak lingkungan akibat aktivitas ekonomi.
Dorongan untuk meningkatkan produktivitas rumput laut terus dilakukan
oleh pemerintah salah satunya melalui program pengembangan minapolitan
(Minapolitan ... 2013). Pengembangan usaha budi daya rumput laut di wilayah
konservasi mengharuskan berbagai pertimbangan yang mengarah pada
keberlanjutan taman nasional. Adapun salah satu faktor yang memengaruhi
pengelolaan taman nasional adalah kelembagaan pengelolaan taman nasional
(Clifton 1993 dikutip Purwanti et al. 2008). Pengelolaan TNKJ sendiri saat ini
dilaksanakan berdasarkan prinsip kolaboratif (co-management), sehingga
kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan yang akuntabel. Hal yang
mencirikan kelembagaan yang akuntabel meliputi batas yurisdiksi, hak kepemilikan,
dan aturan representasi dari masing-masing stakeholder (Purwanti et al. 2008).
Karakteristik Usaha Budi Daya Rumpul Laut
Rumput laut tumbuh di daerah perairan yang dangkal dengan kondisi dasar
perairan berpasir, sedikit lumpur, atau campuran keduanya dan melekatkan dirinya
pada karang, lumpur, pasir, batu, dan benda keras lainnya (Hidayati 2009). Rumput
laut dihasilkan melalui aktivitas budi daya di wilayah perairan. Karakteristik usaha
budi daya rumput laut berhubungan dengan berbagai aspek. Apabila ditinjau dari
metode yang digunakan, usaha budi daya rumput laut secara umum menggunakan
metode sebagai berikut:
1) Metode dasar dilakukan dengan mengikat bibit tanaman pada karang atau
balok semen kemudian disebar pada dasar perairan (Kamlasi 2008).
2) Metode lepas dasar yang dilakukan di atas dasar perairan yang berpasir atau
pasir berlumpur dan terlindung dari hempasan gelombang besar (Sudradjat
2008 dikutip Setyaningsih 2011). Metode ini menggunakan kerangka yang
dibuat dari batok kayu atau bambu di dasar perairan untuk mengikat tali
(Anggadiredja 2006 dikutip Samad 2011; Kamlasi 2008).
3) Metode rakit apung yang dilakukan dengan cara mengikat rumput laut pada tali
dan diikatkan pada rakit apung yang terbuat dari bambu (Sudradjat 2008
dikutip Setyaningsih 2011).
4) Metode rawai dan dikenal dengan istilah longline yang menggunakan tali
panjang yang dibentangkan (Sudradjat 2008 dikutip Setyaningsih 2011;
Anggadiredja 2006 dikutip Samad 2011 ).
5) Metode jalur yang merupakan kombinasi antara metode rakit apung dengan
rawai (Sudradjat 2008 dikutip Setyaningsih 2011).
7
Tabel 1 Matriks karakteristik usaha budi daya rumput laut
Aspek Kategori Klasifikasi
Teknis Lokasi Aktivitas budi daya di darat dan laut (Mansyur 2010)
Kedalaman Kedalaman yang sangat sesuai adalah 1-10 m (Sirajuddin
2008)
Sosial Relasi antarpihak Tenaga kerja dari anggota keluarga dan pelibatan
perempuan, adanya prinsip saling ketergantungan
antara petani rumput laut dengan pedagang
pengumpul (Hidayati, 2009)
Sistem patron-klien (Kurniawan 2003 dikutip
Hidayati 2009)
Rantai pemasaran Nelayan/petani rumput, pedagang pengumpul, pedagang
besar, dan eksportir (Hidayati 2009)
Ekonomi Skala usaha Musiman dan tahunan (Mansyur 2008)
Pemodal besar dan pemodal kecil (Hidayati 2009)
Metode yang digunakan disesuaikan dengan kondisi perairan yang berbeda
(Kamlasi 2008). Secara umum, budi daya rumput laut menggunakan lahan perairan
hingga dasar laut. Terdapat tali yang digunakan dalam metode budi daya rumput
laut berfungsi sebagai pengikat rumput laut. Karakteristik usaha budi daya rumput
laut juga dapat ditinjau dari aspek lainnya sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.
Rezim Kepemilikan Sumber Daya Alam
Menurut Sumardjono et al. (2009), “... rezim merupakan kelembagaan sosial
(social institution) yang mengatur aksi-aksi yang terlibat di dalam aktivitas atau sekelompok aktivitas tertentu ...”. Secara yuridis, penguasaan atas sumber daya
alam di Indonesia mengacu pada penguasaan oleh negara sebagaimana yang
tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 bahwa bumi dan air serta seluruh
kekayaan alam yang dikandung didalamnya dikuasai oleh negara. Menurut
Mawuntu (2012), hak penguasaan negara ialah negara melalui pemerintah memiliki
kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak atas sumber
daya alam dalam lingkup mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Penguasaan oleh negara khususnya dalam sumber daya kelautan dan
perikanan terlihat pada masa Orde Baru, dimana sistem pemerintahan yang sedang
berlangsung adalah sistem sentralistik. Menurut Satria dan Matsuda (2004), sistem
sentralistik mampu mengakibatkan penurunan potensi sumber daya perikanan dan
kelautan, dikarenakan secara de facto, wilayah perairan bersifat terbuka sehingga
mendorong terjadinnya persaingan bebas. Lebih lanjut, Satria dan Matsuda (2004)
menjelaskan bahwa desentralisasi mulai diberlakukan berdasarkan UU No. 22/1999
Tentang Pemerintah Daerah. Perubahan sistem pemerintahan berpengaruh terhadap
rezim penguasaan atas sumber daya alam. Berkes (1989) membedakan rezim
kepemilikan sumber daya alam menjadi empat macam yang dijelaskan pada Tabel
2.
8
Tabel 2 Matriks jenis ideal rezim kepemilikan yang relevan dengan sumber
daya bersama
Jenis rezim Definisi
Open acces
(res nullius)
(Grotius [tahun tidak
diketahui] dikutip Berkes
1989)
Bebas untuk semua; hak penggunaan sumber daya tidak eksklusif
dan tidak dapat dipindahtangankan (Grima et al. [tahun tidak
diketahui] dikutip Berkes 1989); hak ini dimiliki bersama tetapi
memiliki akses terbuka untuk semua orang (dan karena itu properti
tidak pada satu orang) (Gibbs dan Bromley [tahun tidak diketahui]
dikutip Berkes 1989).
State property
(res publica)
Kepemilikan dan kontrol pengelolaan dipegang oleh negara bangsa
atau yang berada di pihak atas; sumberdaya publik yang digunakan-
dan hak akses belum ditentukan (Berkes 1989)
Communal property
(res communes)
Penggunaan hak untuk sumber daya dikendalikan oleh kelompok
yang dapat diidentifikasi dan tidak dimiliki secara pribadi atau
dikelola oleh pemerintah; terdapat aturan tentang siapa yang dapat
menggunakan sumber daya, siapa yang dibatasi dari penggunaan
sumber daya, dan bagaimana sumber daya harus digunakan (Jacobs
dan Munro (1987); Bromley (1985) dikutip Berkes (1989); sistem
pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat; milik bersama
(Bishop (1975); Bromley (1985); Ostrom (1986); bromley (1989)
dikutip Berkes (1989).
Sumber: Berkes (1989)
Melengkapi konsep rezim private property pada Tabel 2, Bromley [tahun
tidak diketahui] dikutip Satria (2009a) menjelaskan bahwa terdapat empat rezim
kepemilikan sumber daya alam, salah satunya adalah rezim swasta (baik individual
maupun korporat). Rezim kepemilikan ini biasanya merupakan hak kepemilikan
yang bersifat temporal (dalam jangka waktu tertentu) karena izin pemanfaatan yang
diberikan oleh pemerintah. Selain itu, dijelaskan pula bahwa rezim sumber daya
alam yang lainnya meliputi sumber daya akses terbuka, rezim negara, dan rezim
komunal.
Aturan Hak Kepemilikan Sumber Daya Alam
Salah satu hal yang mempengaruhi hak kepemilikan adalah adanya aturan hak
kepemilikan (Hanna dan Munasinghe 1995). Aturan pengelolaan sumber daya alam
menunjukkan bahwa pada kenyataannya hakikat hak tenurial dapat dipandang
secara de jure dan de facto. Hak menurut undang-undang atau de jure berkenaan
dengan seperangkat aturan yang dibuat dan dilindungi oleh negara (misalnya, bukti
kepemilikan yang terdaftar, kontrak konsesi, peraturan perundang-undangan
tentang kehutanan). Hak de facto merupakan pola interaksi yang ditetapkan di luar
lingkup hukum formal. Hak dalam kenyataannya jauh lebih rumit dari yang
ditetapkan pada hukum secara de jure. Seperangkat hak mungkin mencakup
gabungan hak yang didefinisikan oleh hukum perundang-undangan (de jure) dan
hak dengan definisi setempat (Larson 2013).
Apabila objek sumber daya yang diperebutkan berada di wilayah konservasi,
maka penetapan hak kepemilikan juga erat kaitannya dengan aturan mengenai
wilayah konservasi. Penetapan aturan hak kepemilikan sangat erat kaitannya
dengan peran pemerintah. Prinsip pemerintahan yang sesuai adalah pemerintahan yang dapat memastikan peraturan yang konsisten di berbagai tingkat kewenangan
dan mengoordinasikan antara yurisdiksi (Hanna dan Munasinghe 1995).
9
Sistem Hak Kepemilikan Sumber Daya Alam
Sistem hak kepemilikan sumber daya seringkali diartikan sebagai mekanisme
sosial yang memberikan wewenang, serta mengikat individu dalam suatu
masyarakat atas kepemilikan wewenangnya. Sistem hak kepemilikan sumber daya
dan pola pengelolaan sumber daya juga dapat dipandang sebagai suatu kesatuan
dari struktur hak dan kewajiban. Kesatuan struktur hak dan kewajiban ini dikenal
lebih jauh dengan konsep hak kepemilikan atau property right (Bromley 1991
dikutip Priyatna 2013). Hanna dan Munasinghe (1995) menyebutkan “humans
interact with their environment through systems of property right that are
embedded in social, political, cultural, and economic context”. Hal ini
menunjukkan bahwa hak kepemilikan merupakan hasil dari interaksi manusia
dengan lingkungan yang berkaitan dalam suatu sistem politik, budaya, dan sosial
ekonomi. Selanjutnya Hanna dan Munasinghe (1995) juga menjelaskan bahwa
pemahaman mengenai rezim hak kepemilikan merupakan hal yang penting dalam
mengimplementasikan perlindungan lingkungan.
Ostrom (1994) menjelaskan bahwa karakteristik sumber daya alam erat
dengan dua atribut penting yaitu exclusion dan subtractability. Atribut exclusion
merupakan kemampuan suatu pihak dalam membatasi pihak lain yang ingin
memanfaatkan sumber daya alam, sedangkan subtractability merupakan
tersedianya kesempatan bagi pihak lain yang ingin memanfaatkan sumber daya
alam. Kombinasi tinggi-rendahnya derajat kedua atribut tersebut memunculkan
klasifikasi sumber daya (Gambar 1).
Subtractability
Rendah Tinggi
Exclusion
Sulit Public Goods Common Pool Resource
Mudah Toll Goods Private Goods
Sumber: Ostrom (1994)
Gambar 1 Klasifikasi umum sumber daya
Berdasarkan klasifikasi tipe sumber daya menurut Ostrom (1994),
disimpulkan bahwa tipe sumber daya alam dibedakan menjadi empat, meliputi:
1) Private Goods (Barang Pribadi), ditandai dengan kemudahan mengeksklusi
yang bersifat relatif.
2) Public Goods (Barang Publik), merupakan kebalikan dari Private Goods
berdasarkan atribut exclusion dan subtractability. Barang publik memiliki
derajat kesulitan pada atribut exclusion, sehingga sulit membatasi pihak lain.
3) Toll Goods (disebut juga sebagai Club Goods—barang kelompok) sebagai
barang yang dapat dibagi dengan barang pribadi dan relatif mudah berdasarkan
atribut exclusion.
4) Common-Pool Resources (Sumber Daya Bersama) sebagai barang yang dapat
dibagi dengan barang pribadi (menyediakan kesempatan secara terbuka) dan
memiliki atribut exclusion yang rendah.
10
Menurut Dharmawan (2003), tipe sumber daya erat kaitannya dengan hak
pemilikan atau status penguasaan sumber daya (property rights). Bromley (1991)
dikutip Priyatna (2013) menyebutkan bahwa unsur-unsur atau komponen-
komponen property right dalam pengelolaan sumber daya meliputi: (1) klaim
kepemilikan; (2) batas wilayah pengelolaan dan pemanfaatan; (3) pemegang
wewenang dan pendistribusian hak pengelolaan dan pemanfaatan; dan (4) aturan
pengelolaan dan pemanfaatan (rules of the game). Kunci utama dari hak
kepemilikan sumber daya didasarkan pada bundle of rights (sekumpulan hak dan
kewajiban). Ostrom dan Schlager (1990) dikutip Satria (2009a) mengklasifikasikan
hak kepemilikan berdasarkan konsep bundle of rights meliputi:
1) Hak akses (Access right): hak untuk masuk ke wilayah sumber daya yang
memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non-ekstraktif.
2) Hak pemanfaatan (Withdrawl right): hak untuk memanfaatkan sumber daya
atau hak untuk berproduksi.
3) Hak pengelolaan (Management right): hak untuk menentukan aturan
operasional pemanfaatan sumber daya.
4) Hak eksklusi (Exclussion right): hak untuk menentukan siapa yang boleh
memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain.
5) Hak pengalihan (Alienation right): hak untuk menjual atau menyewakan
sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut di atas.
Kombinasi hak kepemilikan tersebut menunjukkan status kepemilikan
sumber daya alam (Ostrom dan Schlager 1996 dikutip Satria 2009a). Adapun status
yang melekat berdasarkan tipe hak kepemilikan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Matriks status kepemilikan sumber daya alam
Tipe hak Owner Proprietor Claimant Authorized
user
Authorized
entrant
Akses X X X X X
Pemanfaatan X X X X
Pengelolaan X X X
Eksklusi X X
Pengalihan X
Sumber: Ostrom dan Schlager (1996) dikutip Satria (2009a)
Beberapa hasil penelitian mengeni pemanfaatan lahan budi daya perairan
beserta hak dan status sumber daya alam disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4
menunjukkan, tipe hak kepemilikan atas sumber daya alam oleh masyarakat
setempat adalah hak pemanfaatan (withdrawl right) dan status yang dimiliki adalah
sebagai pengguna (user). Terdapat perbedaan yang nyata pada pengelolaan oleh
pihak swasta, bahwa hak kepemilikan atas sumber daya alam adalah hak pengalihan
(alienation right) dan status yang dimiliki adalah sebagai owner.
11
Tabel 4 Matriks kasus-kasus hak dan status kepemilikan sumber daya dalam
kegiatan budi daya perairan
No. Kasus Tipe hak/Status
kepemilikan Deskripsi
1. Budi daya rumput laut
di Gugus Kepulauan
Kaledupa, Kabupaten
Wakatobi (Mansyur,
2010)
Hak pemanfaatan
(withdrawl
right)/authorized
user
Pembudidaya menempati lokasi perairan
berdasarkan hak agunan (hanya memiliki
hak pemanfaatan).
2. Budi daya ikan dalam
keramba jaring apung
(KJA) di Waduk
Jatiluhur (Priyatna,
2013)
Hak pemanfaatan
(withdrawl right)/
authorized user
Pembudidaya memiliki hak untuk
memanfaatkan melalui SIUP (Surat Izin
Usaha Perikanan) dan disertai dengan
rekomendasi Teknik berupa SPPAP (Surat
Perjanjian Pemanfaatan Area Perairan)
dengan masa berlaku satu tahun.
3. Budi daya mutiara
oleh perusahaan di
Desa Gondang dan
Jenggala, Lombok
Barat (Satria et al.
2005)
Hak pengalihan
(alienation
right)/owner
Hak pemilikan diberikan secara formal
kepada perusahaan oleh Pemerintah
Provinsi disertai kewajiban untuk
membayar pajak.
4. Lahan budi daya
rumput laut sebagai
mahar perkawinan di
Kabupaten Bantaeng-
Sulawesi Selatan (Nur
dan Saleng [tahun
tidak diketahui])
Hak pengalihan
(alienation
right)/owner
Pembudidaya rumput laut dapat diakui
penguasaannya dengan syarat menetapkan
batas lahan dan mempunyai SIUP, namun
bukan sebagai bentuk pemilikan. Fakta
yang terjadi menunjukkan bahwa lahan
budi daya rumput laut dapat digunakan
sebagai mahar dan diberikan pada pihak
lain.
Persepsi Penetapan Zonasi Taman Nasional
Menurut Saptorini (1989) dikutip Mardijono (2008), persepsi adalah suatu
proses mental yang rumit dan melibatkan berbagai kegiatan untuk menggolongkan
stimulus yang masuk sehingga menghasilkan tanggapan untuk memahami stimulus
tersebut. Persepsi masyarakat mampu menunjukkan keberhasilan pengelolaan
taman nasional (Wahyuni dan Mamonto 2012). Taman nasional dikelola
berdasarkan sistem zonasi sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan
Pemerintah No. 28/2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam. Taman nasional merupakan salah satu bentuk pelaksanaan
konservasi, sehingga persepsi terhadap zonasi taman nasional juga sejalan dengan
persepsi terhadap wilayah konservasi. Terdapat beberapa hal yang berhubungan
dengan persepsi terhadap konservasi. Mardijono (2008) menjelaskan bahwa
persepsi terhadap konservasi berhubungan dengan pengetahuan lokasi zonasi,
aturan yang berlaku, dan sanksi pelanggaran.
Kepatuhan
Kepatuhan dapat didefinisikan sebagai tunduk atau patuh pada ajaran atau
aturan (Muliari dan Setiawan 2011). Kepatuhan dalam menjalankan aturan
merupakan salah satu atribut keberlanjutan penatakelolaan kawasan konservasi
(Bawole et al. 2011). Namun pada kenyataannya, aturan yang telah disusun pada
pengelolaan wilayah konservasi tidak selamanya berjalan dengan baik. Bawole et
12
al. (2011) juga menjelaskan bahwa kurangnya sumber daya (dana dan transportasi)
untuk mengelola dan menegakkan peraturan-peraturan pemerintah menjadi
masalah. Agar pengelolaan wilayah konservasi mampu berjalan dengan baik maka
harus melibatkan berbagai pihak yang terkait. Pelibatan masyarakat lokal dalam
penyusunan aturan mampu mendorong tingkat kepatuhan terhadap aturan.
Masyarakat didorong untuk melakukan pemantauan dan pengontrolan terhadap
aktivtas pemanfaatan sumber daya kelautan.
Aturan yang dibuat merupakan salah satu bentuk sarana pengendalian.
Etzioni (1982) dikutip Kolopaking (2003) membedakan tiga kategori sarana
pengendalian atau disebut juga sebagai basis otoritas organisasi, yaitu:
1) sistem pengendalian yang menerapkan sarana fisik yang memaksa (seperti
penggunaan senjata, penjara), disebut coersive-authority/wewenang mutlak;
2) sistem pengendalian yang menerapkan ganjaran material (seperti ganjaran
uang atau barang lain), disebut utilitarian authority/wewenang utiliter yang
mengutamakan pertimbangan untung dan rugi; dan
3) sistem pengendalian yang menerapkan simbol-simbol atau ganjaran nilai
(seperti prestise, tanda jasa atau tanda penghargaan), disebut normative
authority yang menggunakan kekuatan sosial.
Tidak menutup kemungkinan bahwa dalam suatu organisasi menerapkan
lebih dari satu sistem pengendalian (Kolopaking 2003). Menurut Etzioni (1982)
dikutip Kolopaking (2003), sarana pengendalian yang mampu menumbuhkan
tanggung-jawab berturut-turut adalah sarana pengendalian simbolik, utilitarian dan
koersif. Tanggapan atas adanya sarana pengendalian tersebut menimbulkan ciri
kepatuhan atau bentuk partisipasi, yaitu:
1) partisipasi dengan ciri kepatuhan alienatif (alienative atau keterlibatan
terpaksa);
2) partisipasi dengan ciri kepatuhan kalkulatif (calculative atau pertimbangan
dengan balas jasa setimpal dengan tawaran kegiatan yang disediakan oleh
organisasi); dan
3) partisipasi dengan ciri kepatuhan moral (keterlibatan dengan dasar mengemban
dan menghargai atau rela membantu organisasi).
Ciri kepatuhan yang ideal dari sarana pengendalian tersebut umumnya
menggambarkan bahwa sistem pengendalian koersif diikuti oleh ciri kepatuhan
alienatif, sistem pengendalian utilitarian diikuti oleh ciri kepatuhan kalkulatif, dan
sistem pengendalian normatif diikuti oleh ciri kepatuhan moral. Efek dari sarana
pengendalian terhadap ciri kepatuhan anggota organisasi sangat bergantung dari
latar belakang sosial budaya masyarakat (Kolopaking 2003).
Legitimasi
Penetapan Zona Budidaya Bahari disertai dengan aturan pengelolaannya.
Aturan merupakan produk hukum yang menurut Beetham dikutip Jentoft (2000)
tidak hanya dipahami sebagai pembenaran terhadap aturan itu sendiri (legalitas),
melainkan perlu mempertimbangkan pembenaran yang didasarkan pada prinsip
moral dan nilai-nilai (legitimasi). Kaitannya dengan hal ini, Jentoft (2000)
menjelaskan bahwa sistem pengelolaan yang dimaksud harus didasarkan pada
standar rasionalitas dan keadilan. Apabila tidak memenuhi, maka masyarakat akan
sulit menerima sistem pengelolaan. Sistem pengelolaan yang memiliki legitimasi
13
dapat dilihat dari kesan yang diciptakan oleh seseorang (dilihat dari perspektif
masyarakat).
Jentoft (2000) membedakan legitimasi menjadi dua macam, yaitu legitimasi
internal dan eksternal. Masyarakat yang terlibat langsung dalam pembuatan
keputusan (internal) mampu meningkatkan legitimasi, sedangkan yang tidak
terlibat dalam pengambilan keputusan (eksternal) mungkin akan memandang
sebagai suatu kesalahan. Adanya perbedaan pandangan dari masyarakat dan
pemerintah menunjukkan terjadinya krisis legitimasi. Masyarakat menganggap
pentingnya pengelolaan didasarkan pada rasionalitas dan kepentingan dalam
konteks lokal, sedangkan pemerintah menganggap pengelolaan didasarkan pada
rasionalitas dan efisiensi dari perspektif global. Menurut Jentoft (1989) dikutip
Satria et al. (2006b), krisis legitimasi dapat dianalisis berdasarkan empat indikator
meliputi:
1) Content of regulation (Isi aturan)
2) Distribution effect (Distribusi dampak)
3) Making the regulation (Pembuatan aturan)
4) Implementation of regulation (Pelaksanaan aturan)
Pengelolaan TNKJ saat ini dilaksanakan berdasarkan prinsip kolaboratif (co-
management) (Purwanti et al. 2008). Jentoft et al. (1998) mendefinisikan prinsip
kolaboratif (co-management) sebagai “the collaborative and participatory process
of regulatory decision-making among representatives of user-groups, government
agencies and research institutions”. Jentoft et al. (1998) juga menjelaskan apabila
merujuk pada pilar institusi secara normatif, maka co-management diharapkan
mampu meningkatkan legitimasi dan kepatuhan karena masyarakat cenderung
mendukung skema pengelolaan sumber daya alam. Keterlibatan masyarakat
mampu meningkatkan kepatuhan karena mereka lebih tahu, berkomitmen, dan
mendukung aturan. Hal ini diungkapkan oleh Hall (1972) dikutip Jentoft et al.
(1998), “compliance is also enhanced because users are likely to become more
knowledgeable of, committed to, and supportive of regulations if they have had a
say in the process”.
Pengelolaan secara co-management salah satunya dapat dilihat dari
penyusunan zonasi TNKJ yang menghasilkan aturan pengelolaan. Zonasi yang
ditetapkan saat ini merupakan hasil revisi dari penetapan sebelumnya dikarenakan
berbagai masalah yang dihadapi. Adapun perubahan zonasi disusun melalui
beberapa tahapan meliputi persiapan, pengumpulan dan analisa data, penyusunan
draft rancangan revisi zonasi, konsultasi publik, dan pengiriman dokumen (BTNKJ
2012). Masyarakat dilibatkan dalam proses konsultasi publik yang dibagi menjadi
tingkat kecamatan dan tingkat desa. Jentoft (2000) berpendapat bahwa legitimasi
aturan mendukung kepatuhan, bahwa nelayan akan mematuhi aturan dan peraturan
jika mereka menganggap sah atas sistem pengelolaan.
Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul
(Limbong 2012). Satria (2002) berpendapat bahwa secara sosiologis, kajian konflik
merupakan bagian dari kajian proses sosial. Proses sosial yang dimaksud terdiri atas
dua bentuk, yaitu proses sosial yang bersifat asosiatif (mendekatkan) dan ada pula
proses sosial yang bersifat disosiatif (menjauhkan), dimana konflik merupakan
proses sosial yang disosiatif. Fisher et. al (2000) dikutip Shaliza (2003)
14
mendefinisikan konflik secara luas, yaitu hubungan antara dua pihak atau lebih
(individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-
sasaran yang tidak sejalan. Ketidakseimbangan hubungan yang dapat menyebabkan
timbulnya konflik, salah satunya adalah akses yang tidak seimbang terhadap
sumber daya dan ketidakseimbangan kekuasaan.
Studi mengenai konflik wilayah pesisir dan laut masih banyak pada sektor
perikanan (kenelayanan). Secara khusus, Satria (2009b) mengidentifikasikan
konflik kenelayanan berdasarkan penyebabnya menjadi 7 (tujuh) tipologi konflik.
Tipologi konflik yang relevan dengan penelitian ini meliputi:
1. Konflik kepemilikan sumber daya, adalah konflik yang terjadi sebagai akibat
dari isu kepemilikan sumber daya, dimana kepemilikan laut serta ikan tidak
dapat terdefinisi secara jelas milik siapa.
2. Konflik pengelolaan sumber daya, adalah konflik yang terjadi akibat
pelanggaran aturan pengelolaan serta adanya isu-isu tentang siapa yang berhak
mengelola sumber daya perikanan atau sumber daya laut.
Konflik juga dipandang sebagai suatu proses dan dapat diidentifikasi melalui
tahapan-tahapan tertentu sebagaimana yang dijelaskan oleh Limbong (2012)
meliputi:
1. Konflik yang bersifat laten. Konflik ini tidak terjadi seketika, tetapi potensi
untuk memunculkan konflik dalam organisasi tetap ada, yaitu bersifat laten,
oleh karena operasi organisasi itu sendiri.
2. Konflik yang dipersepsikan. Tahap ini terjadi ketika suatu kelompok atau
subunit menganggap atau mempunyai persepsi bahwa tujuannya mulai
dihalangi oleh tindakan dari kelompok lain.
3. Konflik yang dirasakan. Pada tahap ini, subunit atau kelompok yang sedang
mengalami konflik dengan cepat mengembangkan tanggapan emosional ke
arah satu sama lainnya.
4. Konflik yang dimanifestasikan. Tahap ini terjadi jika suatu subunit kembali
mencoba untuk menghalangi tujuan dari subunit lainnya. Wujud konflik ini
dapat bermacam-macam dengan bentuk yang paling sering terjadi adalah agresi.
5. Ekor konflik. Tahap ini menunjukkan cara masing-masing kelompok bereaksi
terhadap konflik yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang.
Tahapan konflik di atas menggambarkan bahwa konflik terjadi dalam suatu
rangkain (kronologis). Kondisi sebelum kemunculan konflik dapat dipahami
sebagai potensi konflik. Tipologi konflik kenelayanan menurut Satria (2009b) yang
disebutkan sebelumnya, dapat dijadikan sebagai dasar dalam menganalisis konflik
pada sektor budi daya perairan. Beberapa kasus potensi konflik dan konflik yang
terjadi dalam pemanfaatan perairan disajikan dalam Tabel 5.
15
Tabel 5 Kasus-kasus potensi konflik dan konflik wilayah perairan dalam
aktivitas budi daya
No. Kasus Tipologi Konflik Deskripsi
1. Potensi konflik antara
pemerintah dengan
masyarakat lokal di
Desa Gondang dan
Jenggala, Lombok Barat
(Satria et al. 2005)
Konflik
kepemilikan
sumber daya
Pemerintah provinsi memberikan hak
kepemilikan kepada perusahaan
mutiara (pearl-culture) berdasarkan
aturan formal, sedangkan aturan lokal
yang mengklaim penguasaan sumber
daya alam secara bersama tidak diakui
oleh pemerintah.
2. Konflik antara
pembudidaya kerang
hijau dan nelayan di
Kalibaru, Jakarta Utara
(Kurniasari et al. 2012)
Konflik
kepemilikan
sumber daya
Nelayan masuk ke dalam wilayah
perairan yang terdapat bagan kerang
hijau. Hal ini disebabkan tidak adanya
kejelasan hak antara nelayan dengan
pembudidaya kerang hijau.
3. Konflik masyarakat
pesisir (pembudidaya
ikan di tambak) dengan
Pemerintah Pusat
(Dephutbun) dalam
pemanfaatan lahan
wilayah pesisir
Kecamatan Muara
Gembong, Bekasi
(Yulianti 2006)
Konflik
kepemilikan
sumber daya
Secara legal, lahan dikuasai oleh
Departemen Kehutanan berdasarkan
penunjukan dan pengukuhan yang
dilakukan oleh Departemen Pertanian
dan Agraria melalui SK Mentan No.
92/UM/54 Tahun 1057. Faktanya,
kurang lebih 97% lahan kehutanan
yang berupa mangrove sudah
terkonversi menjadi lahan tambak.
Bukti kepemilikan berupa girik dan
sertifikat oleh waga yang diterbitkan
oleh pemerintah desa dan pemerintah
kabupaten dianggap tidak sah.
Kerangka Pemikiran
Budi daya rumput yang dikembangkan di wilayah TNKJ hanya
diperbolehkan pada Zona Budidaya Bahari. Wewenang pengelolaan TNKJ berada
di tangan pemerintah yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Balai Taman Nasional
Karimunjawa (BTNKJ). Pemerintah berkuasa atas pengelolaan TNKJ, namun
dalam kenyataannya berkembang pula hak kepemilikan yang jauh lebih rumit dari
penetapan hukum secara de jure (Larson 2013). Hak kepemilikan dikategorikan
menjadi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawl right), hak
pengelolaan (management right), hak eksklusi (exclussion right), dan hak
pengalihan (alienation right) (Ostrom dan Schlager 1990 dikutip Satria 2009a).
Hak-hak kolektif yang teridentifikasi dapat menunjukkan status pembudidaya
rumput laut meliputi authorized entrant, authorized user, claimant, proprietor, dan
owner (Ostrom dan Schlager 1996 dikutip Satria (2009a).
Hak kepemilikan diduga berpengaruh terhadap cara pandang atau persepsi
pembudidaya rumput laut terhadap pengelolaan TNKJ yang dilaksanakan dalam
bentuk sistem zonasi. Penetapan zonasi juga penting mengakomodir kepentingan
masyarakat serta pandangan atau persepsi masyarakat mengenai zonasi yang ditetapkan. Persepsi masyarakat terhadap penetapan Zona Budidaya Bahari dalam
penelitian ini dilihat dari aturan yang berlaku dan sanksi pelanggaran pada Zona
Budidaya Bahari.
16
Analisa mengenai persepsi pembudidaya rumput laut terhadap penetapan
zonasi saja tidak cukup. Kepatuhan terhadap aturan pengelolaan penting dalam
mendukung keberhasilan tujuan taman nasional. Masyarakat dilibatkan dalam
penyusunan zonasi dalam kegiatan konsultasi publik. Merujuk pada Hall (1972)
dikutip Jentoft et al. (1998) masyarakat yang terlibat dalam pembuatan aturan akan
lebih tahu, berkomitmen, dan mendukung aturan. Konsep ini dapat diperluas untuk
mengukur tingkat kepatuhan terhadap aturan Zona Budidaya Bahari melalui
tingkatan mematuhi, ikut mengawasi, dan ikut mensosialisasikan. Kepatuhan yang
ditunjukkan oleh pembudidaya rumput laut dapat dianalisis berdasarkan ciri
kepatuhan yang menyertainya meliputi ciri kepatuhan alienatif, kalkulatif, dan
moral. Selain itu, pengakuan (legitimasi) terhadap aturan Zona Budidaya Bahari
serta pengaruhnya terhadap tingkat kepatuhan juga dianalisis mengingat
pembudidaya rumput laut merupakan pihak pemanfaat langsung. Secara ringkas,
kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.
17
Keterangan:
: Memengaruhi
: Menimbulkan
: Berhubungan
: Pengujian
secara statistik
Tipe hak kepemilikan budi
daya rumput laut
Hak akses (Access right)
Hak pemanfaatan
(Withdrawl right)
Hak pengelolaan
(Management right)
Hak eksklusi (Exclusion
right)
Hak pengalihan
(Alienation right)
Status Pembudidaya Rumput
Laut
Authorized entrant
Authorized user
Claimant
Proprietor
Owner
Persepsi Penetapan Zona
Budidaya Bahari di TNKJ
Aturan yang berlaku
Sanksi pelanggaran
Penetapan Zonasi TNKJ
(Zona Budidaya Bahari)
Tingkat Kepatuhan Aturan
Zona Budidaya Bahari
Legitimasi
1) Content of regulation
2) Distribution effect
3) Making the regulation
4) Implementation of regulation
Ciri Kepatuhan (Bentuk
Partisipasi)
Alienatif
Kalkulatif
Moral
Gambar 2 Kerangka pemikiran
18
18
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian ini
meliputi:
1) Hipotesis pengarah:
a. Diduga, hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut memengaruhi
persepsi terhadap penetapan Zona Budidaya Bahari.
b. Diduga, legitimasi aturan memengaruhi tingkat kepatuhan aturan
pengelolaan Zona Budidaya Bahari.
c. Diduga, kepatuhan aturan pengelolaan Zona Budidaya Bahari berhubungan
dengan ciri kepatuhan tertentu.
2) Hipotesis uji:
Diduga, persepsi penetapan Zona Budidaya Bahari di TNKJ berhubungan
dengan tingkat kepatuhan terhadap aturan pengelolaan zonasi.
Definisi Konseptual
1) Hak Kepemilikan adalah bentuk mekanisme sosial yang memberikan
wewenang kepemilikan kepada individu disertai kewajiban atas kepemilikan
sumber daya alam. Menurut Ostrom dan Schlager (1990) dikutip Satria (2009a),
hak kepemilikan dibagi menjadi lima macam meliputi:
a. Hak akses (Access right) adalah hak untuk masuk ke wilayah sumber daya
yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non-
ekstraktif.
b. Hak pemanfaatan (Withdrawl right) adalah hak untuk memanfaatkan
sumber daya atau hak untuk berproduksi.
c. Hak pengelolaan (Management right) adalah hak untuk menentukan aturan
operasional pemanfaatan sumber daya.
d. Hak eksklusi (Exclussion right) adalah hak untuk menentukan siapa yang
boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke
pihak lain.
e. Hak pengalihan (Alienation right) adalah hak untuk menjual atau
menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut di atas.
2) Status adalah tempat atau posisi individu dalam suatu masyarakat berkaitan
dengan hak kepemilikan yang dimiliki. Menurut Ostrom dan Schlager (1990)
dikutip Satria (2009a), status dibagi menjadi lima macam meliputi: a. Authorized entrant adalah pembudidaya rumput laut yang hanya memiliki
hak akses.
b. Authorized user adalah pembudidaya rumput laut yang memiliki hak akses
dan hak pemanfaatan.
c. Claimant adalah pembudidaya rumput laut yang memiliki hak akses, hak
pemanfaatan, dan hak pengelolaan.
d. Proprietor adalah pembudidaya rumput laut yang memiliki hak akses, hak
pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak eksklusi
e. Owner adalah pembudidaya rumput laut yang memiliki hak akses, hak
pemanfaatan, hak pengelolaan, eksklusi, dan hak pengalihan.
19
3) Ciri kepatuhan atau bentuk partisipasi adalah motif atau latar belakang tindakan
kepatuhan aturan pengelolaan Zona Budidaya Bahari. Ciri kepatuhan dianalisis
secara deskriptif menurut hasil kepatuhan responden terhadap aturan
perlindungan biota yang termasuk dalam kategori “Patuh”. Ciri kepatuhan dapat
dibedakan menjadi tiga yaitu ciri kepatuhan alienatif, kalkulatif, dan moral.
a. Ciri kepatuhan alienatif adalah ciri kepatuhan yang ditunjukkan oleh
adanya keterlibatan yang terpaksa (Etzioni 1982 dikutip Kolopaking 2003).
b. Ciri kepatuhan kalkulatif adalah ciri kepatuhan yang ditunjukkan oleh
adanya keterlibatan dengan balas jasa setimpal apabila mengikuti aturan
yang berlaku (Etzioni 1982 dikutip Kolopaking 2003).
c. Ciri kepatuhan moral adalah ciri kepatuhan yang ditunjukkan oleh adanya
keterlibatan dengan dasar mengemban dan menghargai atau rela membantu
(Etzioni 1982 dikutip Kolopaking 2003).
4) Legitimasi adalah pengakuan yang diberikan pembudidaya rumput laut
terhadap aturan pengelolaan Zona Budidaya Bahari bersumber dari kesan yang
diciptakan.
Definisi Operasional
1) Persepsi penetapan zonasi adalah penilaian responden mengenai penetapan
Zona Budidaya Bahari di TNKJ. Variabel persepsi penetapan zonasi diukur
melalui aturan perlindungan biota dan sanksi pelanggaran.
a. Aturan perlindungan biota adalah penilaian responden mengenai adanya
larangan mengambil, mengganggu, dan memindahkan biota baik yang baik
yang masih hidup atau mati beserta bagian-bagiannya, dibedakan persepsi
mengenai aturan perlindungan karang dan aturan perlindungan penyu. Data
diperoleh dari kuesioner menggunakan tingkat ukuran ordinal yang
mengurutkan tingkatan atau gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif
dan menggunakan skala likert dengan skor Sangat Tidak Setuju (1), Tidak
Setuju (2), Setuju (3), dan Sangat Setuju (4).
i) Aturan perlindungan karang adalah penilaian responden mengenai
adanya larangan mengambil, mengganggu, dan memindahkan karang
baik yang masih hidup atau mati beserta bagian-bagiannya.
- Rendah (skor 1) : total skor jawaban antara 3-6
- Sedang (skor 2) : total skor jawaban antara 7-9
- Tinggi (skor 3) : total skor jawaban antara 10-12
ii) Aturan perlindungan karang adalah penilaian responden mengenai
adanya larangan mengambil, mengganggu, dan memindahkan karang
baik yang masih hidup atau mati beserta bagian-bagiannya.
- Rendah (skor 1) : total skor jawaban antara 3-6
- Sedang (skor 2) : total skor jawaban antara 7-9
- Tinggi (skor 3) : total skor jawaban antara 10-12
Persepsi aturan perlindungan biota diukur secara akumulatif berdasarkan
total skor jawaban sub variabel persepsi aturan perlindungan karang dan
penyu, sehingga diperoleh rentang:
i) Rendah (skor 1) : total skor jawaban antara 6-12
ii) Sedang (skor 2) : total skor jawaban antara 13-18
20
iii) Tinggi (skor 3) : total skor jawaban antara 19-24
b. Sanksi pelanggaran adalah penilaian responden mengenai adanya hukuman
yang dikenakan bagi pihak yang melanggar aturan perlindungan biota,
dibedakan mengenai aturan perlindungan karang dan penyu. Data diperoleh
dari kuesioner menggunakan tingkat ukuran ordinal yang mengurutkan
tingkatan atau gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif dan
menggunakan skala likert dengan skor Sangat Tidak Setuju (1), Tidak
Setuju (2), Setuju (3), dan Sangat Setuju (4).
i) Sanksi pelanggaran perlindungan karang adalah penilaian responden
mengenai adanya hukuman yang dikenakan bagi pihak yang melanggar
aturan perlindungan karang.
- Rendah (skor 1) : total skor jawaban antara 2-4
- Sedang (skor 2) : total skor jawaban antara 5-6
- Tinggi (skor 3) : total skor jawaban antara 7-8
ii) Sanksi pelanggaran perlindungan karang adalah penilaian responden
mengenai adanya hukuman yang dikenakan bagi pihak yang melanggar
aturan perlindungan karang.
- Rendah (skor 1) : total skor jawaban antara 2-4
- Sedang (skor 2) : total skor jawaban antara 5-6
- Tinggi (skor 3) : total skor jawaban antara 7-8
Persepsi sanksi pelanggaran aturan perlindungan biota diukur secara
akumulatif berdasarkan total skor jawaban sub variabel persepsi sanksi
perlindungan karang dan penyu, sehingga diperoleh rentang:
i) Rendah (skor 1) : total skor jawaban antara 4-8
ii) Sedang (skor 2) : total skor jawaban antara 9-12
iii) Tinggi (skor 3) : total skor jawaban antara 4-8
Persepsi Zona Budidaya Bahari diukur secara akumulatif berdasarkan total
skor rentang (hasil standarisasi) masing-masing variabel persepsi aturan
perlindungan biota dan sanksi pelanggaran perlindungan biota, sehingga
diperoleh rentang:
a. Rendah (skor 1) : total skor rentang antara 2-3
b. Sedang (skor 2) : total skor rentang antara 4-5
c. Tinggi : total skor rentang adalah 6
2) Kepatuhan adalah perilaku tunduk dan melaksanakan aturan perlindungan
biota yang dibagi menjadi beberapa tingkatan meliputi mematuhi aturan,
mengawasi aturan, mensosialisasikan aturan.
a. Mematuhi aturan adalah perilaku melaksanakan aturan perlindungan biota,
dibedakan mengenai aturan perlindungan karang dan penyu. Data diperoleh
dari kuesioner menggunakan tingkat ukuran ordinal dengan skor Ya (2) dan
Tidak (1).
i) Mematuhi aturan perlindungan karang adalah perilaku melaksanakan
aturan perlindungan karang
- Tidak patuh (skor 1) : total skor jawaban antara 3-4
- Patuh (skor 2) : total skor jawaban antara 5-6
ii) Mematuhi aturan perlindungan penyu adalah perilaku melaksanakan
aturan perlindungan penyu
- Tidak patuh (skor 1) : total skor jawaban antara 3-4
- Patuh (skor 2) : total skor jawaban antara 5-6
21
Kepatuhan aturan perlindungan biota diukur secara akumulatif berdasarkan
total skor jawaban sub variabel kepatuhan aturan perlindungan karang dan
penyu, sehingga diperoleh rentang:
i) Tidak patuh (skor 1) : total skor jawaban antara 6-9
ii) Patuh (skor 2) : total skor jawaban antara 10-12
b. Mengawasi aturan adalah keterlibatan responden dalam melakukan
pemantauan pelaksanaan aturan perlindungan biota. Data diperoleh dari
kuesioner menggunakan tingkat ukuran ordinal dengan skor Ya (2) dan
Tidak (1).
i) Tidak mengawasi (skor 1) : total skor jawaban antara 2-3
ii) Ikut mengawasi (skor 2) : total skor jawaban adalah 4
c. Mensosialisasikan aturan adalah perilaku responden yang mengajak pihak
lain untuk mematuhi aturan perlindungan biota. Data diperoleh dari
kuesioner menggunakan tingkat ukuran ordinal dengan skor Ya (2) dan
Tidak (1).
i) Tidak mensosialisasikan (skor 1) : total skor jawaban antara 2-3
ii) Mensosialisasikan (skor 2) : total skor jawaban adalah 4
22
23
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian eksplanatori dan deskriptif.
Penelitian eksplanatori dilakukan dengan menjelaskan hubungan antarvariabel-
variabel melalui pengujian hipotesa, sedangkan penelitian deskriptif dilakukan
dengan mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan
pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi 1989). Metode yang digunakan
adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk
menggali informasi secara emik mengenai sistem hak kepemilikan lahan budi daya
rumput laut dan legitimasi aturan pengelolaan Zona Budidaya Bahari. Metode
kuantitatif digunakan untuk mencari hubungan antaravariabel yang diuji, yaitu
hubungan persepsi masyarakat mengenai penetapan Zona Budidaya Bahari dengan
tingkat kepatuhan aturan pengelolaan Zona Budidaya Bahari, sedangkan ciri
kepatuhan dianalisis secara deskriptif. Ciri kepatuhan diketahui berdasarkan hasil
variabel tingkat kepatuhan yang menunjukkan kategori “Patuh”. Selain itu
dianalisis pula motif ketidakpatuhan responden terhadap aturan.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Kemujan, Kecamatan Karimunjawa,
Kabupaten Jepara, Jawa Tengah (Lampiran 1). Pemilihan lokasi tersebut dilakukan
secara sengaja (purposive) dengan beberapa alasan meliputi:
1. Perairan Pulau Kemujan ditemukan paling banyak pembudidaya rumput laut
dan lokasi yang paling sesuai bagi pengembangan budi daya rumput laut
(Samad 2011).
2. Perairan Pulau Kemujan termasuk dalam Kepulauan Karimunjawa yang
ditetapkan sebagai Zona Budidaya Bahari di TNKJ (BTNKJ 2012).
3. Luasan perairan Pulau Kemujan merupakan wilayah terluas yang ditetapkan
sebagai Zona Budidaya Bahari di TNKJ yaitu seluas 432.421 ha (BTNKJ
2010b).
Waktu pengambilan data dilaksanakan pada bulan April 2014. Selama kurun
waktu tersebut, peneliti melakukan pengumpulan data dengan tinggal bersama
objek penelitian di lapangan.
Teknik Pemilihan Responden dan Informan
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pembudidaya rumput laut di Desa
Kemujan, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Kerangka
sampling yang diambil adalah seluruh pembudidaya rumput laut yang tergabung
dalam kelompok tani rumput laut di Desa Kemujan yaitu sebanyak 14 kelompok dengan total jumlah anggota 145 orang (Lampiran 2). Unit penelitian yang diteliti
adalah individu yang bermatapencaharian sebagai pembudidaya rumput laut.
24
Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik
simple random sampling sebanyak 40 orang.
Informan dalam penelitian ini meliputi pihak BTNKJ, Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Jepara, aparat desa, tokoh masyarakat, dan pembudidaya
rumput laut. Pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan teknik purposive
dan bola salju (snowball sampling). Teknik purposive digunakan untuk menentukan
informan dari pihak BTNKJ dan Dinas Kelautan dan Perikanan, sedangkan teknik
bola salju untuk masyarakat Desa Kemujan yang berkaitan dengan budi daya
rumput laut. Teknik bola salju diawali dengan mengenali informan kunci terlebih
dahulu kemudian meminta mereka untuk memperkenalkan informan lain yang
dapat diwawancarai. Informan kunci dipilih secara sengaja (purposive) yaitu pihak-
pihak yang dikenal memiliki pengaruh dalam masyarakat (Aulia dan Dharmawan
2010). Informan kunci yang pertama kali diwawancarai adalah pihak aparat desa.
Teknik Pengumpulan Data
Metode kualitatif dengan cara wawancara mendalam menggunakan pedoman
wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD), observasi, dan studi
literatur. Metode kuantitatif dilakukan melalui wawancara dengan instrumen
kuesioner. Selain itu, keterangan di luar pertanyaan kuesioner yang dijelaskan oleh
responden dapat mendukung data kuantitatif yang dituliskan dalam slip. Slip adalah
potongan kertas yang disediakan khusus jika ada keterangan kualitatif tambahan
yang diberikan oleh responden (Singarimbun dan Effendi 1989). Data yang
dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang
pengumpulannya dilakukan sendiri oleh peneliti. Data sekunder diperoleh dengan
mempelajari dokumen-dokumen dari berbagai lembaga yang terkait dengan
pengelolaan TNKJ meliputi Kantor Desa Kemujan, Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Jepara, Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ), dokumen
kenegaraan (undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain-lain), buku, internet,
jurnal-jurnal penelitian, skripsi, tesis, dan laporan penelitian yang ada kaitannya
dengan penelitian ini.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data kuantitatif yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan
program komputer Microsoft Excel dan SPSS 20 for Windows. Program Microsoft
Excel digunakan untuk menyusun data sesuai masing-masing variabel dan
memberikan kode skor pada masing-masing variabel. Program SPSS 20 for
Windows digunakan untuk mengolah data hingga dihasilkan tabel frekuensi,
tabulasi silang, dan uji korelasi. Selanjutnya data dianalisis dan diinterpretasikan
untuk melihat fakta yang terjadi dari hasil tabulasi silang dan didukung dengan uji
korelasi Rank Spearman untuk melihat hubungan antara persepsi mengenai Zona
Budidaya Bahari dengan tingkat kepatuhan terhadap aturan yang berlaku.
Data kuantitatif juga didukung dengan data kualitatif yang dianalisis melalui
tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dan
verifikasi (Silalahi 2009). Menurut Silalahi (2009), reduksi data merupakan suatu
25
bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang
tidak perlu, dan mengorganisasikan data hingga diperoleh kesimpulan. Penyajian
data yaitu menyampaikan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan dan verifikasi
merupakan analisis hasil keteraturan data dan melakukan tinjauan ulang terhadap
catatan-catatan selama di lapang.
26
27
GAMBARAN UMUM DESA KEMUJAN
Kondisi Geografi dan Demografi
Secara administratif, Desa Kemujan termasuk dalam wilayah Kecamatan
Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Wilayah Karimunjawa
berbentuk kepulauan yang terdiri atas 27 pulau. Dari 27 Pulau tersebut, hanya 4
pulau yang dihuni oleh penduduk yaitu Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau
Parang, dan Pulau Nyamuk. Masing-masing pulau secara administratif dijadikan
sebagai satu wilayah desa. Desa Kemujan terbagi menjadi 4 dusun, 5 Rukun Warga
(RW) dan 20 Rukun Tetangga (RT). Keempat dusun tersebut adalah Dusun
Kemujan, Dusun Telaga, Dusun Batu Lawang, dan Dusun Mrican. Batas wilayah
Desa Kemujan antara lain: 1) sebelah utara berbatasan dengan wilayah perairan; 2)
sebelah timur berbatasan dengan wilayah perairan; 3) sebelah selatan berbatasan
dengan Desa Karimunjawa; 4) sebelah barat berbatasan dengan wilayah perairan
(Lampiran 1).
Berdasarkan pengamatan penulis, Desa Kemujan termasuk dalam wilayah
dataran rendah hingga bertemu dengan wilayah perairan. Pola pemanfaatan lahan
darat oleh penduduk di Desa kemujan meliputi wilayah pemukiman, kebun, dan
fasilitas umum. Wilayah pemukiman masyarakat masih terbilang tidak padat
penduduk. Pola pemukiman umumnya mengelompok dalam satu keluarga besar
dan suku tertentu. Tanah-tanah milik warga umumnya dimanfaatkan sebagai kebun
yang ditanami pohon, sayur, atau buah-buahan untuk dikonsumsi sendiri. Fasilitas
umum yang berada di Desa Kemujan antara lain tempat ibadah, lapangan,
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), dan Bandar Udara Dewadaru. Selain
itu, desa Kemujan juga langsung berbatasan dengan wilayah perairan. Wilayah
perairan Pulau Kemujan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber mata
pencaharian dan sarana rekreasi.
Desa Kemujan memiliki potensi sumber daya alam baik di wilayah daratan
maupun perairan yang termasuk dalam wilayah TNKJ. TNKJ ditetapkan melalui
SK Menhutbun No 78/Kpts-II/1999 yang meliputi 22 pulau (meliputi wilayah
daratan dan perairan). Merujuk pada hal tersebut, maka pengelolaan wilayah Desa
Kemujan terikat pada aturan Taman Nasional yang dikelola berdasarkan Sistem
Zonasi. Saat ini, zonasi yang berlaku merupakan hasil revisi zonasi sebelumnya
pada tahun 1989 yang direvisi pada tahun 2005, kemudian kembali mengalami
revisi pada tahun 2012. Merujuk pada sistem zonasi tahun 2012, wilayah perairan
Pulau Kemujan termasuk ke dalam beberapa zona meliputi Zona Budidaya Bahari,
Zona Perikanan Tradisional, dan Zona Perlindungan. Penelitian ini mengkaji
mengenai Zona Budidaya Bahari di perairan Pulau Kemujan. Total luas perairan
Pulau Kemujan yang ditetapkan sebagai Zona Budidaya Bahari seluas 432.421 ha
(BTNKJ 2010b). Jumlah kepala keluarga (KK) di Desa Kemujan tercatat hingga
bulan November 2011 adalah sebanyak 917 KK dengan jumlah penduduk sebanyak
2 967 meliputi 1 511 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 1 546 jiwa berjenis kelamin
perempuan.
28
Kondisi Sosial dan Ekonomi
Penduduk Desa Kemujan dari aspek sosial dapat dilihat dari sisi agama yang
dianut, ragam suku budaya, dan pola interaksi antarstakeholder yang berkepentigan
dalam pengelolaan Desa Kemujan. Mayoritas penduduk beragama Islam dengan
jumlah sebanyak 2 950 orang dan Protestan sebanyak 17 orang. Sementara itu,
penduduk yang bermukim di Desa Kemujan berasal dari berbagai suku meliputi
suku Jawa, Bugis, dan Madura. Penduduk mampu hidup berdampingan dalam
keragaman suku tersebut. Saat ini, umumnya penduduk Desa Kemujan merupakan
masyarakat asli yang dilahirkan di Desa Kemujan, namun masih memiliki ikatan
keturunan dari suku orangtua atau pendahulunya. Bahasa sehari-hari yang sering
digunakan oleh masyarakat sesuai dengan asal suku masing-masing.
Sehubungan dengan adanya potensi sumber daya alam, khususnya sumber
daya perairan yang dimiliki oleh Desa Kemujan, terdapat berbagai stakeholder
lainnya yang turut berpengaruh sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 6.
Berdasarkan Tabel 6, stakeholder dapat dibedakan menjadi stakeholder internal dan
eksternal. Stakeholder internal adalah masyarakat asli Desa Kemujan yang
berkepentingan terhadap potensi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, sedangkan stakeholder eksternal adalah pihak luar yang berkepentingan
baik dalam pengelolaan sumber daya alam maupun kepentingan pemanfaatan
sumber daya alam.
Tabel 6 Matriks stakeholder dan kepentingannya pada pengelolaan wilayah
perairan Pulau Kemujan
Stakeholder Kepentingan
Nelayan Menangkap ikan di perairan Pulau Kemujan
Pembudidaya rumput laut Membudidayakan rumput laut di wilayah perairan Pulau
Kemujan
Balai Taman Nasional
Karimunjawa (BTNKJ)
Melaksanakan kebijakan konservasi di perairan Pulau
Kemujan
Dinas Kelautan dan Perikanan Meningkatkan produktivitas potensi perairan Pulau
Kemujan
Pengusaha pariwisata Investasi dan melakukan usaha pariwisata di perairan
Pulau Kemujan
Tabel 6 menunjukkan bahwa masing-masing stakeholder memiliki
kepentingan berbeda. Relasi yang terbentuk di antara stakeholder tersebut juga
berbeda. Pembudidaya rumput laut relatif memiliki hubungan baik dengan nelayan,
sedangkan pembudidaya rumput laut memiliki respon masing-masing (pro dan
kontra) atas kehadiran BTNKJ yang membawa misi konservasi. Pembudidaya
rumput laut juga relatif memiliki hubungan baik dengan Dinas Kelautan dan
Perikanan kabupaten Jepara atas adanya bantuan sarana produksi rumput laut,
sedangkan dengan pengusaha pariwisata tidak terlalu banyak terjadi kontak.
Ragam mata pencaharian penduduk desa Kemujan meliputi petani, nelayan,
pengusaha, pengrajin/industri kecil, buruh, pedagang, pengangkutan, PNS, pensiunan, dan peternak sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7
menunjukkan mata pencaharian penduduk Desa Kemujan didominasi sebagai
peternak, nelayan, dan petani. Menurut penuturan salah satu perangkat desa,
pembudidaya rumput laut sendiri dikategorikan dalam nelayan. Ragam mata
pencaharian penduduk merupakan bentuk adaptasi dari kondisi geografi Desa
29
Kemujan yang yang berada dalam lingkup Kepulauan Karimunjawa. Penduduk
Desa Kemujan masih banyak menggantungkan hidupnya pada potensi alam baik di
wilayah daratan maupun perairan. Hal ini dikarenakan jarak wilayah Kepulauan
Karimunjawa terbilang cukup jauh dari pusat-pusat industri.
Tabel 7 Jumlah dan persentase penduduk Desa Kemujan menurut mata
pencaharian
Pekerjaan Jumlah Persentase (%)
Petani pemilik sawah 407 18.33
Petani penggarap tanah 51 2.29
Nelayan 475 21.39
Pengusaha 12 0.55
Pengrajin/Industri Kecil 55 2.48
Buruh bangunan 153 6.89
Pedagang 22 0.99
Pengangkutan 34 1.53
PNS/TNI 36 1.62
Pensiunan 3 0.13
Peternak sapi 105 4.73
Peternak kambing 159 7.16
Peternak ayam 675 30.42
Peternak itik 33 1.49
Jumlah 2220 100
Sumber: Profil Desa Kemujan 2011 (diolah)
Mata pencaharian penduduk Desa Kemujan masih mengandalkan cara-cara
tradisional pada ketiga mata pencaharian yang mayoritas dilakukan tersebut.
Ternak yang dikembangkan penduduk umumnya hanya dibiarkan mencari makan
sendiri di kebun milik penduduk dan sekitarnya. Aktivitas penangkapan ikan juga
lebih banyak didominasi alat tangkap tradisional seperti bubu, pancing, dan jaring.
Aktivitas pertanian berupa padi sawah dan buah-buahan yang ditanam di kebun
milik penduduk. Hasil panen umumnya dikonsumsi sendiri, sedangkan bahan
pangan pokok lainnya banyak diimpor dari wilayah Kabupaten Jepara
menggunakan alat transportasi laut. Sementara itu, salah satu mata pencaharian
yang cukup menjanjikan di Desa Kemujan adalah budi daya rumput laut.
Ikhtisar
Desa Kemujan termasuk dalam wilayah Kecamatan Karimunjawa,
Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah penduduk sebanyak 2 967
meliputi 1 511 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 1 546 jiwa berjenis kelamin
perempuan. Desa Kemujan terbagi menjadi 4 Dusun, 5 Rukun Warga (RW) dan 20
Rukun Tetangga (RT). Desa Kemujan termasuk dalam wilayah dataran rendah
hingga bertemu dengan wilayah perairan. Pola pemanfaatan lahan darat oleh
penduduk di Desa kemujan meliputi wilayah pemukiman, kebun, dan fasilitas
30
umum. Wilayah perairan Pulau Kemujan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
sumber mata pencaharian dan sarana rekreasi. Wilayah perairan Pulau Kemujan
termasuk ke dalam beberapa zona meliputi Zona Budidaya Bahari, Zona Perikanan
Tradisional, dan Zona Perlindungan TNKJ.
Mayoritas penduduk beragama Islam meliputi 2 950 orang dan Protestan
sebanyak 17 orang. Penduduk berasal dari berbagai suku meliputi suku Jawa, Bugis,
dan Madura. Mata pencaharian penduduk Desa Kemujan didominasi sebagai
peternak, nelayan, dan petani. Salah satu mata pencaharian yang cukup menjanjikan
di Desa Kemujan adalah budi daya rumput laut. Pembudidaya rumput laut sendiri
dalam pendataan desa termasuk dalam kategori nelayan.
31
ZONA BUDIDAYA BAHARI TAMAN NASIONAL
KARIMUNJAWA
Taman Nasional Karimunjawa
Kawasan Karimunjawa pada awalnya ditetapkan sebagai Cagar Alam Laut
Karimunjawa pada tanggal 9 April 1986 melalui SK Menhut No 123/Kpts-II/1986
(BTNKJ 2012). Berdasarkan UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, Cagar Alam didefinisikan sebagai “kawasan suaka
alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan
ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya
berlangsung secara alami”. Merujuk pada definisi tersebut, maka kawasan
Karimunjawa secara murni difungsikan sebagai kawasan perlindungan. Di sisi lain,
terdapat berbagai pihak yang turut berkepentingan terhadap sumber daya kawasan
Karimunjawa, sehingga status kawasan Karimunjawa diubah menjadi Taman
Nasional Karimunjawa SK Menhutbun No. 78/Kpts-II/1999 tanggal 22 Februari
1999. Selanjutnya, pada tahun 2001, seluruh kawasan perairan di TN Karimunjawa
ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam perairan melalui Keputusan Menteri
Kehutanan No.74/Kpts-II/2001 (BTNKJ 2012).
Berdasarkan UU No. 5/1990, kawasan pelestarian alam (KPA) didefinisikan
sebagai “kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang
mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya”. Taman nasional termasuk dalam
kategori KPA didefinisikan sebagai “kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata, dan
rekreasi”. Zonasi sebagai bentuk pengelolaan kawasan taman nasional terdiri dari
zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan.
Zonasi TNKJ yang berlaku saat ini merupakan hasil revisi zonasi yang telah
ditetapkan sejak tahun 1989 direvisi pada tahun 2005 dan kembali mengalami revisi
pada tahun 2012. Adapun pembagian zonasi kawasan TNKJ berdasarkan sistem
zonasi ditetapkan melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan dan
Konservasi Alam No: SK. 28/IV-ET/2012 Tentang Zonasi Taman Nasional
Karimunjawa terbagi menjadi sembilan zona meliputi:
1) Zona Inti;
2) Zona Rimba;
3) Zona Perlindungan Bahari;
4) Zona Pemanfaatan Darat;
5) Zona Pemanfaatan Wisata Bahari;
6) Zona Budidaya Bahari;
7) Zona Religi, Budaya dan Sejarah;
8) Zona Rehabilitasi; dan
9) Zona Tradisional Perikanan.
Kawasan TNKJ dikelola oleh Kementrian Kehutanan dengan Balai Taman
Nasional Karimunjawa (BTNKJ) sebagai unit pengelola (Unit Pelaksana Teknis
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen
32
Kehutanan). BTNKJ termasuk balai taman nasional tipe B yang terdiri atas Sub
Bagian Tata Usaha, Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I, Seksi
Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTN) II, dan Kelompok Jabatan
Fungsional (BTNKJ 2013). Namun dalam pengelolaannya tetap melibatkan
instansi setempat yang terkait.
Zona Budidaya Bahari
Berbagai kegiatan perlindungan dan pemanfaatan dilakukan di wilayah
perairan Pulau Kemujan. Merujuk pada visi TNKJ yaitu, “Taman Nasional
Karimunjawa sebagai keterwakilan ekosistem pantai utara Pulau Jawa yang lestari
untuk kesejahteraan masyarakat” yang diimplementasikan ke dalam salah satu misi
yaitu “mewujudkan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang
lestari untuk kesejahteraan masyarakat”, maka pengelolaan TNKJ mutlak harus
memperhatikan kondisi masyarakat setempat. Masyarakat Desa Kemujan yang
mayoritas menggantungkan hidupnya pada budi daya rumput laut turut diakomodir
kepentingannya yang diwujudkan dalam sistem zonasi TNKJ. Adapun zona yang
difungsikan sebagai kegiatan budi daya adalah Zona Budidaya Bahari. Zona yang
difungsikan sebagai aktivitas budi daya juga mengelami perubahan seiring dengan
revisi zonasi yang telah dilakukan (Tabel 2).
Tabel 8 menunjukkan bahwa terjadi penambahan luasan zona di lokasi baru
yang difungsikan sebagai kegiatan budi daya (Zona Budidaya Bahari). Hal ini
didasarkan semakin tingginya minat masyarakat terhadap sektor budi daya rumput
laut. BTNKJ (2012) mencatat bahwa dari 788.213 ha luasan zona budi daya (zonasi
tahun 2005), kawasan yang lebih banyak digunakan untuk budi daya rumput laut.
Berdasarkan sistem zonasi tahun 2012, luas Zona Budidaya Bahari di perairan
Pulau Kemujan adalah 432.421 ha (BTNKJ 2010b).
Tabel 8 Perbandingan zona yang difungsikan sebagai kegiatan budi daya tahun
2005 dan 2012
Tahun Dasar hukum Luas total
kawasan
(ha)
Nama
peruntukan
zona untuk
budi daya
Luas (ha) Lokasi
2005 Keputusan Dirjen
Perlindungan
Hutan dan
Konservasi Alam
No.SK.79/IV/Set-
3/2005
111 625 Zona
Budidaya
788.213 Perairan P.
Karimunjawa, P.
Kemujan, P.
Menjangan Besar, P.
Parang dan P. Nyamuk
2012 Keputusan
Direktur Jenderal
Perlindungan dan
Konservasi Alam
No: SK. 28/IV-
ET/2012
111 625 Zona
Budidaya
Bahari
1 370.729 Perairan P.
Karimunjawa, perairan
P. Kemujan, perairan
P. Menjangan Besar,
perairan P. Parang dan
perairan P. Nyamuk,
perairan P. Karang
Besi bagian utara
Sumber: BTNKJ 2012 (diolah)
33
Aturan Zona Budidaya Bahari
Zona Budidaya Bahari difungsikan untuk mendukung kepentingan budi daya
perikanan seperti budi daya rumput laut, karamba jaring apung dan sebagainya oleh
masyarakat setempat dengan tetap memperhatikan aspek konservasi. Kegiatan yang
diperbolehkan adalah budi daya rumput laut, karamba jaring apung dan sebagainya,
sedangkan kegiatan yang tidak diperbolehkan adalah secara sengaja atau tidak
sengaja mengambil, mengganggu atau memindahkan biota baik yang masih hidup
atau mati beserta bagian-bagiannya (BTNKJ 2012). Lokasi Zona Budidaya Bahari
di wilayah perairan Pulau Kemujan berada di sebelah utara (Dusun Batulawang
hingga Dusun Mrican) dan sebagian timur (perairan Pelabuhan Bajak-Dusun
Batulawang dan Dusun Kemujan) Pulau Kemujan (Lampiran 1).
Berdasarkan pengamatan penulis, keberadaan biota laut di perairan Kemujan
yang berpengaruh terhadap kegiatan budi daya rumput laut adalah terumbu karang
dan penyu. Keberadaan ekosistem tersebut sangat penting untuk menjaga kestabilan
sistem hidrologi dan iklim mikro wilayah kepulauan Karimunjawa. Hilang atau
rusaknya salah satu ekosistem yang ada akan menyebabkan ketidakseimbangan
fungsi ekosistem lainnya. Ekosistem terumbu karang terdiri dari 3 tipe terumbu,
yaitu terumbu karang pantai (fringing reef), penghalang (barrier reef) dan beberapa
taka (patch reef) (BTNKJ 2012). Tercatat hingga akhir tahun 2013, BTNKJ telah
melaksanakan program rehabilitasi karang di wilayah perairan Pulau Kemujan
menggunakan metode transplantasi terumbu karang menggunakan 6 400 fragmen
karang dengan 1 600 unit substrat transplantasi (BTNKJ 2013). Bagi kegiatan budi
daya rumput laut, keberadaan terumbu karang penting untuk penahan ombak yang
terlalu besar, selain itu beberapa pembudidaya juga menggunakan terumbu karang
untuk mengikatkan tali jangkar. Namun, penanaman rumput laut di perairan
dangkal diupayakan pada perairan yang berpasir agar tidak dimakan oleh ikan yang
tinggal di terumbu karang.
Kawasan TNKJ juga sebagai habitat penyu dengan jenis penyu Hijau
(Chelonia mydas) dan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) (BTNKJ 2012). Pada
tahun 2012 bahkan dijumpai pula perjumpaan Penyu Lekang (Lepidochelys
olivaceae) di Pulau Geleang dan perairan Pulau Kemujan. BTNKJ melakukan
upaya pengelolaan penyu dengan mengidentifikasi tempat bertelur dan upaya
penetasan semi alami yang berlokasi di Pantai Barakuda di SPTN I Kemujan dan
di Pulau Menjangan Besar di SPTN II (BTNKJ 2012). Penyu dewasa menyebar di
wilayah perairan termasuk wilayah perairan pulau Kemujan yang banyak
dimanfaatkan untuk budi daya rumput laut. Baik karang maupun penyu merupakan
biota yang dilindungi dalam kawasan TNKJ. Adapun dasar hukum pemanfaatan
zona TNKJ adalah UU No. 5/1990 (Tabel 9).
34
Tabel 9 Matriks dasar hukum pemanfaatan zonasi Taman Nasional
Karimunjawa
Aspek Pasal Bunyi Sanksi
Pemanfaatan
lokasi sesuai
fungsi zonasi
Pasal
33 (3)
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan
yang tidak sesuai dengan fungsi zona
pemanfaatan dan zona lain dari taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata
alam
Kurungan paling
lama 1 (satu)
tahun dan denda
paling banyak Rp
50 000 000 (lima
puluh juta rupiah)
(UU No5/1990
Pasal 40 (4)
Perlindungan
satwa
Pasal
21 (2)
Setiap orang dilarang untuk:
a. menangkap, melukai, membunuh,
menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa
yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa
yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari
suatu tempat di Indonesia ke tempat lain
di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau
memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian
lain satwa yang dilindungi atau barang-
barang yang dibuat dari bagian-bagian
satwa tersebut atau mengeluarkannya dari
suatu tempat di Indonesia ke tempat lain
di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan,
memperniagakan, menyimpan atau
memiliki telur dan/atau sarang satwa yang
dilindungi.
Kurungan paling
lama 1 (satu)
tahun dan denda
paling banyak Rp
50 000 000 (lima
puluh juta rupiah)
(UU No5/1990
Pasal 40 (4)
Ikhtisar
TNKJ termasuk dalam kawasan pelestarian alam yang dikelola berdasarkan
sistem zonasi. Sistem zonasi TNKJ telah mengalami dua kali revisi yaitu pada tahun
1989 direvisi pada tahun 2005 dan kembali mengalami revisi pada tahun 2012.
Sistem zonasi yang berlaku saat ini didasarkan pada Surat Keputusan Direktur
Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam No: SK. 28/IV-ET/2012 yang
membagi zonasi menjadi sembilan zona, salah satunya adalah Zona Budidaya
Bahari. Total luas kawasan Zona Budidaya Bahari adalah 1 370.729 ha, sedangkan
di perairan Pulau Kemujan seluas 432.431 ha. Zona Budidaya Bahari difungsikan
untuk mendukung kepentingan budi daya perikanan. Kegiatan yang diperbolehkan
adalah budi daya rumput laut, karamba jaring apung dan sebagainya, sedangkan
aktifitas yang tidak diperbolehkan adalah secara sengaja atau tidak sengaja
mengambil, mengganggu atau memindahkan biota baik yang masih hidup atau mati
beserta bagian-bagiannya. Keberadaan biota laut di perairan Kemujan yang
berpengaruh terhadap kegiatan budi daya rumput laut adalah keberadaan terumbu
karang dan penyu. Pelanggaran aturan Zona Budidaya Bahari dikenai sanksi berupa
kurungan dan denda sesuai dengan pasal 21 (2) dan 33 (3) UU No. 5/1990.
35
BUDI DAYA RUMPUT LAUT DI DESA KEMUJAN
Sejarah Perkembangan Budi Daya Rumput Laut di Desa Kemujan
Budi daya rumput laut mulai berkembang di Desa Kemujan sekitar tahun
1993. Hingga tahun 2014, sektor budi daya rumput laut mengalami perkembangan
yang fluktuatif. Tahun 1993, budi daya rumput laut di Desa Kemujan (perairan
Pulau Kemujan) hanya dilakukan oleh beberapa orang yang berpusat di perairan
Dusun Mrican. Kendala yang dihadapi pada waktu tersebut adalah belum adanya
rantai pemasaran yang jelas dari hasil panen yang diperoleh, sehingga aktivitas budi
daya rumput laut sempat terhenti. Budi daya rumput laut kembali berkembang
sekitar tahun 2000 setelah kedatangan beberapa pengepul besar (bos) yang berasal
dari luar Karimunjawa, mendorong masyarakat untuk kembali mengembangkan
budi daya rumput laut melalui pengepul lokal (pengepul).
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Setyaningsih (2011) bahwa budi daya
rumput laut di Karimunjawa mulai dikenalkan kepada masyarakat pada tahun 2000.
Keberadaan bos cukup menjanjikan sehingga terdapat peluang diterimanya hasil
panen rumput laut dari Desa Kemujan di pasar. Dorongan mengembangkan budi
daya rumput laut ditunjukkan dengan memberikan pinjaman modal usaha bagi
setiap orang yang mau melakukan budi daya rumput laut. Rumput laut kemudian
menjadi primadona di Desa Kemujan dan perlahan terus mengalami kenaikan harga.
Pada awal perkembangan rumput laut, kisaran harga rumput laut basah adalah
Rp600/kg. Hingga saat ini, Pembudidaya umumnya menjual rumput laut basah
kepada pengepul dengan kisaran harga mulai Rp1 2000 sampai Rp1 300/kg,
sedangkan harga jual rumput laut kering mulai Rp11 000 sampai Rp13 000/kg.
Kenaikan harga rumput laut banyak menarik minat masyarakat untuk
membudidayakan rumput laut.
Desa Kemujan yang diwakili oleh Kelompok Pembudidaya Rumput Laut
Alga Jaya (Dusun Mrican) pernah tercatat menjuarai kompetisi budi daya rumput
laut yang diselenggarakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara
dan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007. Pemerintah memberikan bantuan
sarana produksi rumput laut atas prestasi yang diraih. Hal ini kemudian mendorong
masyarakat lainnya turut melakukan budi daya rumput laut. Hingga kurun waktu
tahun 2013, bantuan pemerintah yang telah diberikan antara lain pada tahun 2012
kepada satu kelompok, dan tahun 2013 pada dua kelompok. Bantuan pemerintah
masih terbatas pada beberapa kelompok dengan kualifikasi tertentu.
Perkembangan jumlah pembudidaya rumput laut lebih banyak dikarenakan
adanya bantuan modal dari pengepul. Kondisi ini kemudian memunculkan
hubungan patron klien antara pembudidaya rumput laut dengan pengepul.
Pembudidaya rumput laut terikat kepada pengepul dan diharuskan menjual hasil
panen kepada pengepul yang bersangkutan apabila masih memiliki hutang.
Akibatnya, harga rumput laut yang dijual oleh pembudidaya juga ditentukan oleh
pengepul. sebagaimana yang disampaikan melalui cuplikan hasil wawancara
berikut:
36
“Petani kene ketergantungan, coro arep mandiri angel. Nek aku mbok
we’i, mbok tuntun, yo ngadek, nek tibo yo junjaten. Dadi pola pikire
isih ngonoiku. Dadi durung ono kepikiran aku tuku tali dewe utowo
taruhlah nggolek bakul dewe. Dadi nduwe jragan, jragan kene lokal.
Adapun harga yo wes kono, mbok regani murah mbok regani larang yo
wes kuwe, padahal sakjane dia iso rong-ewu iso telung-ewu kan nek iso
ngadek dewe. Jenenge barang diwei kan ngono” (IMT, Pembudidaya
Rumput Laut).
– “(Petani di sini ketergantungan, jika ingin mandiri susah. Jika saya
kamu beri, kamu tuntun, saya berdiri, jika jatuh ya kamu angkat. Jadi
pola pikirnya masih seperti itu. Jadi belum terfikir saya beli tali sendiri
atau taruhlah mencari pembeli sendiri. Jadi memiliki bos, bos di sini
lokal. Adapun harga dari mereka, kamu beri murah kamu beri mahal
terserah kamu, padahal seharusnya dia bisa dua ribu-tiga ribu kalau
berdiri sendiri. Namanya barang diberi kan seperti itu” (IMT,
Pembudidaya Rumput Laut).
Perkembangan jumlah pembudidaya rumput laut juga menambah luasan
lahan budi daya yang diperlukan. Perkembangan paling tinggi tercatat pada tahun
2010 dimana hampir seluruh masyarakat Desa Kemujan beralih mata pencaharian
dari nelayan menjadi budi daya rumput laut. Kondisi yang sama juga terjadi di Desa
karimunjawa dan Desa Parang yang juga merasakan keuntungan dan kemudahan
membudidayakan rumput laut. Hal ini membawa dampak positif bagi kelangsungan
konservasi karena mengurangi tingkat degradasi wilayah perairan akibat praktik
penangkapan ikan yang desdruktif. Namun di sisi lain, perkembangan budi daya
rumput laut juga membawa dampak negatif yaitu adanya tekanan terhadap zonasi
(BTNKJ 2010a). Tercatat pada tahun 2009, terdapat 1 258.969 ha wilayah perairan
Taman Nasional Karimunjawa yang digunakan sebagai lokasi budi daya rumput
laut. Ini berarti luasan yang digunakan telah melebihi luas zona budi daya yang ada
dan telah memanfaatkan kawasan zona lain (BTNKJ 2012)1.
Setelah mengalami kejayaan pada kisaran tahun 2010, sektor budi daya
rumput laut di Karimunjawa mengalami penurunan drastis akibat terserang
penyakit ice-ice2 dan lumut gotho3 pada rumput laut. Namun penurunan jumlah
pembudidaya rumput laut secara drastis tidak terjadi di desa Kemujan. Masyarakat
Kemujan menjadikan budi daya rumput laut sebagai mata pencaharian utama dan
sampingan. Diantara ketiga lainnya, masyarakat Kemujan yang masih
mempertahankan usaha budi daya rumput laut. Hal ini dikarenakan telah adanya
kenyamanan dan kemudahan dalam melakukan budi daya rumput laut. Menurut
penuturan salah seorang pembudidaya rumput laut masyarakat Desa Kemujan terus
1 Pada tahun 2009, pengelolaan kawasan TNKJ masih mengacu pada aturan zonasi yang
ditetapkan pada tahun 2005 dengan luas zona budi daya seluas 788,213 ha. 2 Ice-ice adalah jenis penyakit yang disebabkan oleh virus yang menyerang bagian pangkal
batang rumput laut sehingga menyebabkan batang menjadi patah dan rumput laut jatuh ke dasar laut.
Penduduk setempat biasa menyebut sebagai penyakit putih-putih, karena bagian batang yang
diserang berwarna putih. 3 Lumut gotho (sebutan penduduk setempat) menyerang hampir seluruh bagian rumput laut
dengan cara menempel pada rumput laut. Lumut gotho menyebabkan pertumbuhan rumput laut
menjadi lambat.
37
bertahan dikarenakan tidak ada pilihan lain dalam mencari pekerjaan. Berbeda
dengan wilayah desa lainnya terdapat pilihan ragam mata pencaharian lain.
Hingga tahun 2014, sebagian besar masyarakat Desa Kemujan melakukan
kegiatan budi daya rumput laut yang terkonsentrasi di Dusun Batulawang, Telaga,
dan Mrican. Jumlah pembudidaya rumput laut yang tergabung dalam kelompok tani
rumput laut adalah 145 orang. Di samping itu masih banyak pembudidaya rumput
laut yang belum bergabung dalam kelompok. Kelompok tani rumput laut dibentuk
sebagai salah satu langkah pengajuan bantuan sarana produksi rumput laut kepada
pemerintah. Budi daya rumput laut yang dikembangkan oleh masyarakat Desa
Kemujan tidak hanya dilakukan oleh laki-laki. Perempuan juga turun andil dalam
usaha ini mulai dari penanaman hingga pasca panen.
Pola Penanaman Rumput Laut
Jenis rumput laut yang banyak dibudi dayakan di wilayah perairan Pulau
Kemujan adalah Euchema cottonii. Metode yang digunakan adalah metode longline.
Metode ini membutuhkan sedikitnya 3 (Tiga) macam tali, yaitu tali jangkar (Ø 5 –
6 mm), tali pancang (Ø 3 – 4 mm) dan tali ikat (Ø 1 – 1,5 mm). Tali ikat ini bisa
diganti dengan tali rafia, yang berfungsi untuk mengikat rumput laut pada tali
pancang. Agar tali bisa mengapung di permukaan maka dibutuhkan pelampung.
Masyarakat Karimunjawa memanfaatkan botol-botol bekas minuman sebagai
pelampung (BTNKJ 2010a). Tahapan penanaman rumput laut meliputi:
1) Persiapan lahan, alat, dan bahan.
Persiapan lahan dilakukan dengan menentukan lahan yang akan digunakan.
Pembudidaya yang baru pertama kali membudidayakan rumput laut mencari lahan
yang masih kosong. Hal ini penting agar tidak tumpang tindih dengan pembudidaya
lainnya. Pemilihan lahan biasanya terlebih dahulu menanyakan dengan
pembudidaya rumput laut yang telah beroperasi terlebih dahulu. Lahan yang kosong
ditandai dengan tidak adanya tali jangkar atau peralatan rumput laut lainnya.
Terdapat berbagai kriteria pemilihan lahan yang sesuai untuk budi daya rumput laut
yaitu: a) lahan berpasir jika di wilayah dangkal (3–5 m) dan lahan yang ditumbuhi
karang jika di perairan dalam (7–10 m); b) frekuensi tiupan angin yang sedang; dan
c) frekuensi ombak yang sedang. Setelah terpilih lahan yang sesuai, pembudidaya
umumnya memberikan tanda-tanda batas wilayah mereka menggunakan tanda yang
mudah dikenali seperti bendera atau pelampung.
Pembudidaya rumput laut memasang tali jangkar terlebih dahulu setelah
penentuan lahan. Umunya kegiatan ini dibantu oleh pembudidaya lainnya yang
sudah mahir. Tali jangkar merupakan tali utama sebagai pengikat tali pancang.
Sebelum tali pancang diikat pada tali jangkar, terlebih dahulu dipasangkan dengan
tali ikat yang umumnya menggunakan tali rafia. Pemasangan tali rafia dilakukan di
darat dengan jarak antartali sekitar satu jengkal. Panjang masing-masing tali yang
digunakan diperkirakan berdasarkan kondisi wilayah perairan. Persiapan bibit
rumput laut oleh pembudidaya dengan menyediakan bibit yang dapat diperoleh
dengan membeli dari pembudidaya lainnya atau mengambil bagian dari rumput laut
yang sudah sebelumnya ditanam, yang biasa disebut sebagai mencar. Umumnya
pembudidaya menggunakan bibit lokal dan bibit bantuan dari Dinas Kelautan dan
38
Perikanan Provinsi Jawa Tengah yang berasal dari lampung. Menurut penuturan
pembudidaya, pertumbuhan rumput laut lebih baik yang berasal dari Lampung.
2) Penanaman
Teknik penanaman bibit rumput laut adalah dengan mengikatkan bibit rumput
laut pada tali ikat. Umumnya pembudidaya langsung mengikatkan bibit rumput laut
di perairan, namun beberapa pembudidaya mengikat bibit rumput laut saat di darat
dengan alasan kenyamanan. Penanaman rumput laut di wilayah perairan
menggunakan alat bantu jukong4. Penanaman 1 kuintal bibit dapat dilakukan pada
kisaran satu minggu.
3) Perawatan
Perawatan rumput laut mudah dilakukan. Pembudidaya melakukan
pengecekan di lokasi penanaman disesuaikan dengan kondisi musim dan cuaca.
Bentuk perawatan adalah dengan membersihkan tali rumput laut dan rumput laut
dari serangan lumut dan penyakit ice-ice. Lumut yang dapat dibersihkan disebut
dengan lumut penthol yang tidak merugikan rumput laut, sedang kan lumut yang
menyebabkan pertumbuhan rumput laut terhenti adalah lumut gotho. Hingga saat
ini belum ditemukan penanganan seragan lumut gotho, sehingga apabila rumput lat
terserang lumut ini maka pembudidaya lebih memilih untuk memanen. Perawatan
rumput laut yang terkena serangan penyakitt ice-ice adalah dengan memutus bagian
yang terserang sehingga tidak menjalar pada bagian lainnya.
4) Pemanenan
Masa tunggu dari masa tanam hingga panen antara 45-60 hari. Teknik
pemanenan dilakukan dengan melepaskan rumput laut dari ikatan tali. Agar
mempercepat proses panen, rumput laut ditarik hingga terlepas dari tali pengikat.
Pemanenan biasa dilakukan oleh dua orang yang menaiki satu jukong. Rumput laut
kemudian dikumpulkan di atas jukong untuk ditimbang di darat. Pembudidaya
rumput laut umumnya menjuat rumput laut basah kepada pengepul.
5) Pengeringan
Proses pengeringan menjadi tanggung jawab pengepul. Pengeringan rumput
laut dilakukan dengan menjemur rumput laut di atas papan yang berlubang mulai
dari pagi hingga sore hari. Pengepul umumnya menyewa jasa pembudidaya lainnya
untuk memikul rumput laut saat penimbangan hingga pengeringan. Biasanya
pengeringan dilakukan oleh sesama pembudidaya yang berjenis kelamin
perempuan untuk sampingan. Waktu yang diperlukan untuk mengeringkan rumput
laut antara 4-6 hari bergantung pada kondisi cuaca. Rumput laut kering disimpan di
gudang untuk menunggu waktu pengiriman.
4 Jukong adalah sebutan untuk sampan yang dioperasikan menggunakan kayuh. Jukong biasa
dimanfaatkan sebagai alat transportasi budi daya rumput laut mulai dari tahap penanaman,
perawatan hingga panen. Jukong juga digunakan untuk mencari ikan atau alat transportasi di wilayah
perairan yang jaraknya tidak terlalu jauh.
39
Karakteristik Usaha Budi Daya Rumput Laut di Desa Kemujan
Budi daya rumput laut di desa Kemujan yang terus dikembangkan oleh
masyarakat memiliki karaktristik yang dapat dikategorikan berdasarkan aspek
teknis, sosial, dan ekonomi. Aspek teknis meliputi metode, lokasi, dan kedalaman.
Aspek sosial meliputi relasi antarpihak dan stratifikasi pembudidaya rumput laut,
sedangkan aspek ekonomi dilihat dari modal yang digunakan oleh pembudidaya
dalam melaksanakan usaha budi daya rumput laut. Secara ringkas karakteristik
usaha budi daya rumput laut di Desa kemujan dijelaskan pada Tabel 10.
Berdasarkan karakteristik tersebut, aspek yang menarik untuk dikaji adalah metode
budi daya rumput laut dan stratifikasi pembudidaya rumput laut. Metode budi daya
rumput laut yang digunakan berhubungan dengan karakteristik pemanfaatan lahan
yang akan dibahas pada bab selanjutnya, sedangkan stratifikasi pembudidaya
rumput laut mampu menjadi dasar analisis potensi konflik hak kepemilikan yang
dibahas pada bab selanjutnya.
Tabel 10 Karakteristik usaha budi daya rumput laut di Desa Kemujan
Aspek Kategori Karakteristik
Teknis Metode Longline
Lokasi Di laut
Kedalaman 2-7 meter
Sosial Relasi antarpihak Sistem patron-klien antara pembudidaya rumput laut
dengan pengepul dan bos
Statifikasi
pembudidaya
rumput laut
Pembudidaya rumput laut yang hanya menanam (Tipe
1)
Pembudidaya rumput laut yang menanam sekaligus
menjadi pengepul (Tipe 2)
Pembudidaya rumput laut yang menanam dan
menjabat sebagai ketua kelompok (Tipe 3)
Pembudidaya rumput laut yang menanam, menjadi
pengepul, dan menjabat sebagai ketua kelompok
(Tipe 4)
Ekonomi Modal usaha Modal pribadi
Modal pinjaman
Modal pribadi dan pinjaman
Permasalahan
Selain kualitas bibit, pertumbuhan rumput laut juga dipengaruhi oleh berbagai
hal diantaranya arus dan angin (Samad 2011). Dalam kurun waktu satu tahun,
musim dan pola angin musim yang bertiup di perairan berbeda di bulan-bulan
tertentu. Angin yang bertiup di wilayah perairan juga berpengaruh terhadap
kecepatan arus. Kombinasi angin musim dan arus berpengaruh terhadap adanya
penyakit ice-ice dan terserang lumut gotho. Informasi mengenai pola musim dalam
satu tahun menggunakan tenik Kalender Musim dengan metode Focus Group
Discussion. Adapun Kalender Musim budi daya rumput laut Desa Kemujan dapat
dilihat pada Tabel 11.
40
Selain permasalahan produktifitas rumput laut, permasalahan lain yang
muncul berkaitan dengan status perairan Pulau Kemujan yang termasuk dalam
kawasan TNKJ. Sehubungan dengan hal ini, maka pemanfaatannya didasarkan atas
aturan zonasi TNKJ. Aturan zonasi memuat pemanfaatan suatu wilayah sesuai
dengan peruntukannya serta adanya perlindungan biota. Zona yang difungsikan
untuk aktivitas budi daya rumput adalah Zona Budidaya Bahari. Lokasi Zona
Budidaya Bahari di perairan Pulau Kemujan dibatasi, sehingga memperkecil akses
pemanfaatan lahan untuk budi daya rumput laut. Selain itu, adanya aturan
perlindungan karang dan penyu menjadi hambatan bagi pembudidaya rumput laut.
Beberapa pembudidaya rumput laut memanfaatkan karang sebagai pengikat tali
jangkar di dasar perairan, sedangkan keberadaan penyu merupakan hama pemakan
sekaligus perusak rumput laut.
Ikhtisar
Budi daya rumput laut mulai berkembang di Desa Kemujan sekitar tahun
1993. Belum adanya rantai pemasaran yang jelas mengakibatkan budi daya rumput
laut sempat terhenti. Perkembangan terjadi pada tahun 2000 setelah kedatangan
beberapa pengepul besar (bos) yang memberikan modal usaha kepada pengepul
lokal (pengepul) dan pembudidaya. Pemerintah juga mendorong perkembangan
budi daya rumput laut melalui bantuan sarana produksi yang telah diberikan mulai
tahun 2007 hingga 2013 kepada kelompok tani rumput laut berdasarkan kualifikasi
tertentu. Perkembangan paling tinggi tercatat pada tahun 2010 dimana hampir
seluruh masyarakat Desa Kemujan beralih matapencaharian dari nelayan menjadi
budi daya rumput laut. Sekitar tahun 2012 kembali mengalami penurunan produksi
akibat terserang penyakit ice-ice dan lumut gotho. Hingga tahun 2014, sebagian besar
masyarakat Desa Kemujan masih melakukan kegiatan budi daya rumput laut yang
terkonsentrasi di Dusun Batulawang, Telaga, dan Mrican. Penanaman rumput laut
dilakukan melalui: 1) persiapan lahan, alat, dan bahan; 2) penanaman; 3) perawatan;
4) pemanenan; dan 5) pengeringan. Karakteristik usaha budi daya rumput laut di
Desa Kemujan dikategorikan ke dalam aspek teknis, sosial, dan ekonomi.
Permasalahan yang dihadapi meliputi: 1) rumput laut terserang penyakit ice-ice dan
lumut gotho pada musim tertentu; 2) terbatasnya akses pemanfaatan Zona Budidaya
Bahari; dan 3) adanya perlindungan karang dan penyu.
41
Tabel 11 Kalender Musim penanaman rumput laut Desa Kemujan
Bulan
Aspek
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sept Okt Nov Des
Musim Hujan Hujan Hujan Hujan-
Kemarau
Kemarau Kemarau Kemarau Kemarau Kemarau Kemarau-
Hujan
Hujan Hujan
Angin Barat
kencang
Barat
kencang
Barat agak
teduh
Barat
teduh
Barat
teduh
Barat
teduh
(peralihan
angin
timur)
Timur
kencang
Timur
kencang
Timur
agak teduh
Timur
teduh
Timur
teduh
Timur
teduh
(peralihan
angin
barat)
Ombak Besar Besar Cukup
besar
Teduh Teduh Cukup
besar
Besar Besar Cukup
besar
Teduh Teduh Cukup
besar
Lumut Gotho Sedikit Sedikit Mulai
meningkat
Banyak Banyak Mulai
berkurang
Sedikit Sedikit Mulai
meningkat
Banyak Banyak Mulai
berkurang
Ice-ice Sedikit Sedikit Mulai
meningkat
Banyak Banyak Mulai
berkurang
Sedikit Sedikit Mulai
meningkat
Banyak Banyak Mulai
berkurang
Pertumbuhan
rumput laut
Cepat Cepat Berkurang Lambat Lambat Meningkat Cepat Cepat Berkurang Lambat Lambat Meningkat
Masa tanam-
panen
± 45 hari ± 45
hari
± 45 hari ± 60 hari ± 60 hari ± 45 hari ± 45 hari ± 45 hari ± 45 hari ± 60 hari ± 60
hari
± 45 hari
42
43
SISTEM HAK KEPEMILIKAN LAHAN BUDI DAYA RUMPUT
LAUT DI PERAIRAN PULAU KEMUJAN
“Laut itu kan bukan untuk dibatasi. Laut itu untuk semua warga yang
menginginkan. Jadi yang mau membuat ya silakan ...” (ERM,
Pembudidaya Rumput Laut).
Wilayah perairan memiliki karakteristik yang khas dibanding wilayah
daratan. Analisis karakteristik sumber daya perairan berdasarkan klasifikasi tipe
sumber daya alam menurut Ostrom (1994) adalah memiliki derajat exclusion yang
rendah dan subtractability yang tinggi, sehingga sumber daya perairan termasuk
dalam klasifikasi sumber daya bersama (common-pool resources). Kutipan
wawancara di atas memperlihatkan bagaimana masyarakat menganggap sumber
daya perairan adalah sumber daya yang boleh dimanfaatkan oleh siapa saja (rezim
open access). Berkes (1996) dikutip Priyatna (2013) berpendapat bahwa dalam
kenyataannya sangatlah sulit mendapatkan jenis sumber daya bersifat common-pool
resources yang murni ke dalam salah satu rezim kepemilikan sumber daya. Secara
hukum, wilayah perairan di Indonesia adalah milik negara (state property) menurut
Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3. Perairan Pulau Kemujan termasuk
dalam kawasan TNKJ sebagai salah satu bentuk Kawasan Pelestarian Alam (KPA)
yang pengelolaannya dilakukan oleh negara (Pasal 34 ayat 10 UU No. 5/1990).
Sistem zonasi diberlakukan sebagai bentuk pengelolaan TNKJ yang dibagi menjadi
sembilan zona, salah satunya adalah Zona Budidaya Bahari yang diperuntukkan
bagi kegiatan budi daya.
“... andaikan sebuah rumah anggaplah itu Karimunjawa, di dalam
rumah itu kan ada ruang-ruang khusus yang memiiki fungsi berbeda,
misalnya ruang tamu untuk menyambut tamu. Tetapi kan tamu itu
tidak boleh masuk lebih dalam lagi tanpa seizin yang punya rumah.
Apalagi ke kamar tidur misalnya. Dan isi kamar ini kan tidak semua
orang bisa tau atau mengambil barang tertentu. Ada bagian rumah
lainnya yang untuk menopang hidup penghuninya, misalnya dapur.
Dapur untuk memproduksi makanan. Begitu pula disini, kalau
dianalogikan seperti itu... ” (MYD, BTNKJ).
Ilustrasi tersebut menjelaskan bahwa zonasi ditetapkan dengan peruntukan
dan fungsinya masing-masing. Terdapat wilayah yang harus dijaga dan terdapat
wilayah yang boleh dimanfaatkan atas dasar kriteria tertentu 5 . Secara umum
masyarakat telah mengakui penetapan wilayah Kepulauan Karimunjawa sebagai
kawasan taman nasional dan mengakui keberadaan BTNKJ sebagai pengelola.
Sosialisasi yang terencana telah dilaksanakan mengenai sistem zonasi yang berlaku,
namun masih terfokus pada sosialisasi mengenai zona inti dan perlindungan satwa.
Permasalahan muncul karena masyarakat menganggap bahwa wilayah
perairan selain zona inti dapat dimanfaatkan secara bebas. Hal ini juga terjadi pada
5 Metode penentuan zona dengan memberikan skor penilaian pada kriteria ekologi, sosial,
dan ekonomi (BTNKJ 2012)
44
pemanfaatan wilayah perairan untuk kegiatan budi daya rumput laut. Wilayah
perairan selain zona inti dianggap terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkan.
Hal ini memicu pemanfaatan wilayah perairan yang tidak sesuai dengan
peruntukannya. Padahal, sistem zonasi merupakan bentuk pengelolaan yang
ditujukan untuk menjaga keseimbangan lingkungan seiring dengan pemafaatan
yang dilakukan.
Karakteristik Pemanfaatan Lahan Budi Daya Rumput Laut
Metode budi daya rumput laut yang digunakan di perairan Pulau Kemujan
adalah metode longline. Metode ini memanfaatkan wilayah perairan mulai dari
permukaan hingga dasar laut. Bagian permukaan merupakan tempat tumbuhnya
rumput laut, sedangkan pada wilayah dasar laut terdapat tali jangkar sebagai tali
pengikat tali pancang. Rumput laut pada tali yang dibentangkan di perairan
(kondisi yang ideal adalah berada di bawah permukaan air). Pembudidaya rumput
laut menggunakan botol-botol bekas yang diikatkan pada tali pancang agar tidak
tenggelam. Panjang tali pancang yang digunakan antara 70 sampai 120 meter
dengan jarak antar tali pancang 1 sampai 2 meter bergantung kondisi perairan.
Pembudidaya rumput laut menempati lahan yang masih kosong dan dinilai
sesuai untuk pertumbuhan rumput laut (“siapa cepat, dia dapat”). Umumnya
pembudidaya juga memilih lokasi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah.
Apabila pembudidaya ingin menambah jumlah tali yang dimiliki, maka strategi
yang dilakukan adalah mencari lokasi yang masih kosong atau memperkecil jarak
antartali yang sebelumnya sudah dipasang. Pola pemanfaatan lahan umumnya
mengelompok berdasarkan hubungan kekerabatan. Bab sebelumnya telah
membahas pola tanam rumput laut yang dipetakan melalui kalender musim (Tabel
11). Adanya perubahan musim berpengaruh terhadap pola pemakaian lahan yang
berbeda di ketiga dusun. Beberapa pembudidaya melakukan strategi berpindah
lahan pada musim-musim tertentu (Gambar 3, 4, dan 5).
Gambar 3 Sketsa penggunaan lahan yang sesuai di Dusun Batulawang
Keterangan: x x x x x : Lahan yang sesuai
pada musim barat
x x x x x : Lahan yang sesuai
pada musim timur
45
Gambar 4 Sketsa penggunaan lahan yang sesuai di Dusun Telaga
Gambar 5 Sketsa penggunaan lahan yang sesuai di Dusun Mrican
Di Dusun Batulawang (Gambar 3), lokasi yang sesuai saat musim barat
berada pada lokasi yang ditandai dengan tanda silang (x) berwarna biru, sedangkan
saat musim timur ditandai dengan warna merah. Berpindahnya lokasi budi daya
rumput laut juga terjadi di Dusun Mrican (Gambar 5), lokasi yang sesuai saat musim
barat berada pada lokasi yang ditandai dengan tanda silang (x) berwarna biru,
sedangkan saat musim timur ditandai dengan warna merah. Sedangkan di Dusun
Telaga (Gambar 4), pembudidaya tetap membudidayakan rumput laut di lokasi
yang sama. Hal ini dikarenakan pengaruh musim di perairan Dusun Telaga tidak
terlalu berpengaruh drastis, sehingga pembudidaya memilih untuk bertahan dan
melakukan perawatan rumput laut untuk menangani hama penyakit.
Berpindahnya lokasi budi daya menggambarkan bahwa setiap pembudidaya
dapat memiliki lebih dari satu lokasi. Pembudidaya tetap meninggalkan tali jangkar
dan pelampung tali jangkar di lokasi yang tidak digunakan saat musim tidak
mendukung pertumbuhan rumput laut. Tali jangkar sengaja tetap dibiarkan di
wilayah perairan agar lokasi tidak ditempati pembudidaya lainnya, disamping
pemasangan tali jangkar yang sulit dilakukan. Sedangkan tali pancang diambil
untuk dibersihkan dan digunakan di lokasi lainnya yang sesuai dengan musim
tertentu. Hal ini diungkapkan oleh salah satu pembudidaya sebagai berikut:
Keterangan: x x x x x : Lahan yang sesuai
pada musim barat
x x x x x : Lahan yang sesuai
pada musim timur
Keterangan: x x x x x : Lahan yang sesuai
pada musim barat dan
musim timur
46
“... taline digowo muleh kabeh, dadi karek umpal-umpal (lan) tali
jangkar...” (PMN, Pembudidaya Rumput Laut).
– “talinya dibawa pulang semua, jadi tinggal pelampung (dan) tali
jangkar...” (PMN, Pembudidaya Rumput Laut).
Aturan Hak Kepemilikan
Aturan Hak Kepemilikan Secara De Jure
Sesuai dengan Larson (2013), hak menurut undang-undang atau de jure
berkenaan dengan seperangkat aturan yang dibuat dan dilindungi oleh negara
(misalnya, bukti kepemilikan yang terdaftar, kontrak konsesi, peraturan perundang-
undangan tentang kehutanan). Aturan formal (de jure) yang telah dibuat oleh
pemerintah berkaitan dengan pengelolaan wilayah konservasi khususnya TNKJ dan
pemanfaatan sumber daya kelautan yang disajikan pada Tabel 12. Menurut Satria
et al. (2006), Undang-undang No. 5/1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati masih menjadi referensi utama dalam pelaksanaan konservasi. Hal ini
dikarenakan wewenang pengelolaan kawasan konservasi dalam bentuk taman
nasional kawasan kehutanan dan perairan masih berada pada Kementrian
Kehutanan.
Tabel 12 Matriks rujukan aturan formal pengelolaan Taman Nasional
Karimunjawa
Sumber Isi
UU No 5/1990 Tentang
Konservasi Sumber Daya Alam
dan Ekosistem
Pasal 34 (1): Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya,
dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah.
SK Dirjen PHKA No: SK.
28/IV-SET/2012 Tentang
Zonasi Taman Nasional
Karimunjawa Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan
Konsevasi Alam
Pembagian zonasi Taman Nasional Karimunjawa seluas 111
625 hektar menjadi sembilan zona meliputi zona inti, zona
rimba, zona perlindungan bahari, zona pemanfaatan darat,
zona pemanfaatan wisata bahari, Zona Budidaya Bahari,
zona religi budaya dan sejarah, zona rehabilitasi, dan zona
tradisional perikanan.
PP No. 28/2011 Tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam
Pasal 49 (3b): Pemberdayaan masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui pemberian izin
untuk memungut hasil hutan bukan kayu di zona atau blok
pemanfaatan, izin pemanfaatan tradisional, serta izin
pengusahaan jasa wisata alam.
Berdasarkan Tabel 12, secara ringkas bahwa wewenang pengelolaan TNKJ
dilakukan oleh pemerintah. Namun masyarakat tetap diberikan akses pemanfaatan
sesuai dengan kriteria penetapan sistem zonasi TNKJ. Pemanfaatan oleh
masyarakat yang masih menggunakan cara-cara tradisional juga diatur dalam PP
No. 28/2011 bahwa diperlukannya izin yang diajukan kepada pengelola. Namun
aturan teknis mengenai izin pemanfaatan tradisional wilayah TNKJ oleh
masyarakat belum disusun dan belum menjadi prioritas oleh pihak pengelola dalam
konteks pengelolaan TNKJ. Adapun saat ini, pengelolaan wilayah konservasi
kelautan, khususnya dalam bentuk taman nasional menjadi arena yang direbutkan
oleh Kementrian Kehutanan yang saat ini memegang wewenang pengelolaan dan
47
Kementrian Kelautan dan Perikanan yang melingkupi pengelolaan wilayah
kelautan. Aturan mengenai pemanfaatan wilayah kelautan sendiri telah disusun
melalui UU No. 1/2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 27/2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Undang-undang ini
membawa pembaruan bagi aturan pemanfaatan wilayah perairan yang semula
berupa Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang diubah menjadi Izin Lokasi
(Pasal 16:1, 20:2, dan 71:1). Kedua rujukan aturan tersebut sama-sama mengatur
izin pemanfaatan tradisional di wilayah perairan, namun masih terdapat kelemahan
masing-masing aturan sebagaimana yang dibandingkan pada Tabel 13.
Tabel 13 Matriks perbandingan rujukan aturan pemanfaatan wilayah perairan
Aspek UU No 5/1990 dan PP No.
28/2011
UU No. 1/2014
Wewenang
Pengelolaan
Kementrian Kehutanan Kementrian Kelautan dan
Perikanan
Bentuk Pemanfaatan
Wilayah Perairan
Izin Pemanfaatan Tradisional Izin Lokasi
Kelemahan Belum terdapat aturan teknis
yang spesifik mengatur izin
pemanfaatan tradisional.
Belum terdapat aturan lanjutan
dalam bentuk Pereturan
Pemerintah (PP).
Belum terdapat aturan teknis
yang spesifik mengatur Izin
Lokasi.
Kedua aturan rujukan tersebut menunjukkan bahwa secara umum mengatur
izin pemanfaatan wilayah perairan yag dilakukan oleh masyarakat setempat,
sehingga hal ini memberikan akses pemanfaatan bagi masyarakat setempat. Namun,
kejelasan aturan lanjutan mengenai pemberian izin masih belum ditetapkan
sehingga aturan tersebut masih memiliki kelemahan. Hal krusial mengenai masalah
izin pemanfaatan diantaranya adalah pemberian izin kepada siapa yang memenuhi
persyaratan, batas waktu, dan batas luas wilayah pemanfaatan. Apabila hal ini
menjadi prioritas dalam pengelolaan wilayah perairan maka mampu memberikan
kejelasan hak kepemilikan sumber daya. Selain itu, pemegang otoritas pengelolaan
juga menentukan arah kebijakan pengelolaan TNKJ yang saat ini meliputi wilayah
daratan dan lautan. Berdasarkan bentuk geografisnya, maka idealnya terdapat dua
pihak yang berwenang pada pengelolaan wilayah darat (Kementrian Kehutanan)
dan wilayah laut (Kementrian Kelautan dan Perikanan). Hal ini menuntut kesiapan
pemegang otoritas dalam menjalankan kebijakan lintas sektor.
Aturan Hak Kepemilikan Secara De Facto Menurut Larson (2013), hak de facto merupakan pola interaksi yang
ditetapkan di luar lingkup hukum formal. Karakteristik pemanfaatan lahan budi
daya rumput laut dapat dijadikan sebagai dasar analisis aturan pemanfaatan lahan
secara de facto. Metode longline dalam budi daya rumput laut memanfaatkan
wilayah perairan mulai dari permukaan hingga dasar laut. Kondisi ini
mengakibatkan pembudidaya mampu mengklaim lahan perairan melalui batas-
batas tali rumput laut sebagai wilayah miliknya. Klaim atas hak kepemilikan
merupakan salah satu unsur hak kepemilikan (Bromley 1991 dikutip Priyatna
2013).
48
Terdapat dua tipe klaim lahan budi daya rumput laut: pertama, lahan yang
sedang digunakan secara aktif untuk berproduksi. Lahan demikian tidak boleh
digunakan oleh pembudidaya lainnya dan kedua, lahan yang sedang pasif
berproduksi akibat pergantian musim. Tali pancang dan tali ikat diambil untuk
digunkakan di lokasi yang sesuai, sedangkan tali jangkar yang tetap dibiarkan di
lahan pasif. Hal ini dilakukan selain karena pemasangannya sulit, juga bertujuan
untuk memberi tanda bagi pembudidaya bahwa pada musim selanjutnya akan
digunakan kembali untuk berproduksi, sehingga pembudidaya lainnya juga tidak
diperbolehkan menempati lahan tersebut.
“... (taline) ijek, nek ora diijekake engko dienggoni uwong. Kan ora
pemajekan si? nek ijek ono taline mboten wantun” (YOS,
Pembudidaya Rumput Laut).
– “... (talinya) masih, kalau tidak dibiarkan nanti ditempati orang lain.
Tidak ada pajaknya kan? Kalau masih ada talinya tidak berani” (YOS,
Pembudidaya Rumput Laut).
Kedua tipe klaim lahan budi daya tersebut terbentuk tanpa adanya perumusan
aturan secara bersama antarpembudidaya rumput laut. Ketentuan penggunaan lahan
berdasarkan kebiasaan yang pada akhirnya melembaga. Antarpembudidaya rumput
laut sama-sama tahu ketentuan bahwa lahan yang telah ditempati oleh seorang
pembudidaya tidak dapat lagi digunakan oleh pembudidaya lainnya. Apabila
seorang pembudidaya baru ingin menggunakan lahan, maka mencari sendiri lahan
yang masih kosong. Sedangkan pembudidaya yang ingin meningkatkan produksi
rumput laut atau penambahan tali juga dapat dilakukan dengan mencari lahan lain
yang masih kosong atau dengan mempersempit jarak antartali apabila masih
memungkinkan.
“Kalau minta itu juga dikasih, tapi bilang dulu. Ndak boleh langsung
masang itu. Bilang dulu, (misal) ‘Tempatnya bapak sudah ndak
ditempati? Kalo boleh tak tempati’ ...” (RTA, Pembudidaya Rumput
Laut).
Pembudidaya dapat membatasi pihak lain untuk memanfaatkan lahan yang
“dimilikinya”. Namun, terdapat pengecualian bagi pembudidaya lain yang telah
mendapatkan izin untuk menempati lahan pasif “milik” seorang pembudidaya
sebagaimana yang dijelaskan pada kutipan wawancara tersebut. Apabila tanpa
meminta izin maka dapat menimbulkan konflik pemanfaatan lahan. Hal ini
diungkapkan oleh salah seorang informan sebagai berikut:
“...(tali) jangkar-jangkar nek ono sing nandur kok di tanduri uwong
yo sengketa” (IMT, Pembudidaya Rumput Laut).
– “...(tali) jangkar apabila ditanami kemudian ditanami oleh orang
lain akan menyebabkan sengketa” (IMT, Pembudidaya Rumput Laut).
Secara ringkas, aturan secara de facto penggunaan lahan perairan untuk budi
daya rumput laut yang berkembang di masyarakat disajikan pada Tabel 14.
49
Tabel 14 Matriks aturan hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut secara de
facto
Tipe klaim lahan Deskripsi Aturan
Lahan aktif Lahan yang sedang digunakan
secara aktif berproduksi tidak
dapat digunakan oleh
pembudidaya lainnya.
1) Pembudidaya rumput laut yang akan
memulai budi daya rumput laut
memilih lahan yang masih kosong
(“siapa cepat, dia dapat”);
2) penambahan tali untuk peningkatan
produktivitas rumput laut juga
dilakukan di lahan yang masih kosong
atau memperkecil jarak tali di lahan
yang sebelumnya sudah dipasang;
Lahan pasif Lahan yang sedang tidak
digunakan untuk berproduksi
akibat pergantian musim
dapat digunakan oleh
pembudidaya lainnya dengan
aturan tertentu.
1) Pembudidaya lain tidak diperbolehkan
memanfaatkan lahan yang masih
terdapat tali jangkar milik
pembudidaya sebelumnya (aturan
pemanfaatan lahan sama dengan lahan
aktif pada poin 1 dan 2);
2) pembudidaya lain diperbolehkan
menggunakan lahan apabila
mendapatkan izin dari pembudidaya
yang sebelumnya menempati lahan.
Hak Kepemilikan Berdasarkan Bundle of Rights
Wilayah konservasi yang ditetapkan secara sentralistik mampu mengubah
sistem hak kepemilikan sumber daya (Hartono et al. 2012). Hal ini terjadi pula di
kawasan TNKJ yang sebelumnya berstatus sebagai cagar alam. Pengelolaan
kawasan TNKJ menjadi tanggung jawab pemerintah (UU No. 5/1990).
Implementasinya berupa adanya aturan-aturan pengelolaan kawasan TNKJ. Sistem
zonasi sebagaimana bentuk pengelolaan TNKJ adalah perwujudan dari tiga fungsi
taman nasional sebagai KPA meliputi perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 1 ayat 13 UU No. 5/1990).
Dari ketiga fungsi tersebut, Zona Budidaya Bahari memerankan fungsi yang ketiga
yaitu sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari. Konteks pemanfaatan yang
dilakukan adalah pemanfaatan yang dilakukan secara lestari, sehingga masih terikat
pada hukum yang berlaku. Pemberian akses kepada masyarakat untuk
memanfaatkan kawasan Zona Budidaya Bahari sesuai dengan peruntukannya
menunjukkan bahwa secara hukum (de jure) pembudidaya rumput laut diberikan
hak pemanfaatan. Namun pada kenyataannya, terdapat sekumpulan hak (bundle of
rights) lainnya yang dapat dimiliki oleh pembudidaya rumput laut melalui
mekanisme sosial.
Merujuk pada Hanna dan Munasinghe (1995), hak kepemilikan merupakan
hasil dari interaksi manusia dengan lingkungan yang berkaitan dalam suatu sistem
politik, budaya, dan sosial ekonomi. Sistem hak kepemilikan sumber daya juga dapat dipandang sebagai suatu kesatuan dari struktur hak dan kewajiban (Bromley
1991 dikutip Priyatna 2013). Masyarakat merupakan pihak yang terlibat dalam
pemanfaatan sumber daya alam bagi penemuhan kebutuhan hidup dan berkembang
50
pula aturan lokal (de facto) yang juga mengatur hak kepemilikan sumber daya alam
(Larson 2013). Hal ini menunjukkan bahwa hak kepemilikan akan dipengaruhi pola
interaksi manusia dengan lingkungannya yang mewujud menjadi hak kepemilikan
secara de facto.
Merujuk pada teori hak kepemilikan Ostrom dan Schlager (1990) dikutip
Satria (2009a), terdapat lima tipe hak kepemilikan meliputi hak akses, hak
pemanfaatan, hak pengelolaan, hak eksklusi, dan hak pengalihan. Berdasarkan
kelima tipe hak tersebut, tipe hak yang dimiliki oleh pembudidaya rumput laut dapat
dianalisis berdasarkan aturan hukum (de jure) dan aturan yang berkembang dalam
masyarakat melalui mekanisme sosial (de facto) yang disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Matriks tipe hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut secara de
jure dan de facto
Kategori Tipe hak Deskripsi
Hak berdasarkan aturan
hukum (de jure)
Hak akses Pembudidaya rumput laut diperbolehkan untuk
memasuki wilayah Zona Budidaa Baharit.
Hak
pemanfaatan
Zona Budidaya Bahari difungsikan untuk
aktivitas budi daya perikanan, termasuk budi daya
rumput laut.
Hak berdasarkan
mekanisme sosial (de
facto)
Hak akses Pembudidaya rumput laut mampu memasuki
wilayah perairan.
Hak
pemanfaatan
Pembudidaya rumput laut mampu mengambil
manfaat wilayah perairan untuk berproduksi.
Hak
pengelolaan
Terdapat aturan penggunaan lahan budi daya
rumput laut yang berkembang di masyarakat
(Tabel 11).
Hak eksklusi Pembudidaya rumput laut dapat menentukan
siapa yang boleh memasuki dan memanfaatkan
wilayah lahan budi daya rumput laut yang diklaim
sebagai “miliknya”.
Tabel 15 menunjukkan bahwa secara hukum (de jure) pembudidaya rumput
laut diberikan hak pemanfaatan namun secara de facto pembudidaya rumput laut
memiliki sekumpulan hak meliputi hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan,
dan hak eksklusi. Ostrom dan Schlager (1990) dikutip Satria (2009a)
mendefinisikan hak eksklusi sebagai hak untuk menentukan siapa yang boleh
memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain. Hak
akses yaitu hak untuk masuk ke wilayah sumber daya yang memiliki batas-batas
yang jelas dan untuk menikmati manfaat non-ekstraktif. Namun, hak yang dapat
diberikan kepada pembudidaya lainnya tidak sebatas hak akses, namun juga hak
pemanfaatan. Hak pemanfaatan didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan
sumber daya atau hak untuk berproduksi.
Selanjutnya, Ostrom dan Schlager (1996) dikutip Satria (2009a) juga
menjelaskan bahwa sekumpulan hak yang dimiliki mampu menunjukkan status
kepemilikan sumber daya alam (Tabel 3). Sesuai dengan Tabel 3, status
kepemilikan sumber daya alam ditentukan berdasarkan sekumpulan hak yang
dimiliki. Pembudidaya rumput laut secara de facto memiliki hak akses hingga hak
eksklusi, sehingga dapat dikategorikan pada status Proprietor. Ostrom dan Schlager
(1996) dikutip Priyatna (2013) mendefinisikan Proprietor sebagai “Proprietor are
51
defined as individuals who possess collective-choice rights to participate in
management and exclusion. Proprietors authorize who may access resources and
how resources may be utilized; however, they do not have the right to alienate either
of these collective-choice rights”.
Potensi Konflik Hak Kepemilikan Sumber Daya
Secara de facto, wilayah perairan termasuk dalam sumber daya akses terbuka.
Secara umum masyarakat Desa Kemujan juga menganggap bahwa wilayah perairan
Kemujan boleh dimanfaatkan oleh siapa saja, meskipun masyarakat mengetahui
bahwa secara hukum wilayah perairan Pulau Kemujan termasuk dalam kawasan
TNKJ. Terdapat perbedaan hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut yang
bersumber dari rujukan aturan secara de jure dan de facto, sehingga hal tersebut
menunjukkan bahwa hak kepemilikan masih belum terdefinisi secara jelas. Satria
(2009b) menyebutkan bahwa fenomena tersebut mampu menjadi pemicu konflik
hak kepemilikan sumber daya. Konflik sebagai suatu proses sosial melibatkan
hubungan antarpihak tertentu yang dalam kasus budi daya rumput laut di desa
kemujan teridentifikasi ke dalam tahapan potensi konflik. Adapun pihak yang
terlibat adalah sesama pembudidaya rumput laut dan pihak pengelola (BTNKJ).
Potensi konflik kepemilikan sumber daya perairan budi daya rumput laut di perairan
Pulau Kemujan dibedakan menjadi konflik horizontal dan konflik vertikal.
Potensi Konflik Horizontal
Potensi konflik horizontal terjadi antarsesama pembudidaya rumput laut yang
dalam kasus ini terjadi akibat adanya perbedaan kekuatan diantara keduanya. Hal
ini dikenal sebagai statifikasi sosial yang didefinisikan sebagai pembagian
masyarakat ke dalam lapisan-lapisan orang yang memiliki sumber-sumber langka
tapi diinginkan secara tidak sama (unequal), kesempatan hidup yang tidak sama,
dan pengaruh sosial yang tidak sama (Beteille 1985 dikutip Prasodjo dan Pandjaitan
2003). Munculnya stratifikasi sosial adalah karena adanya kedudukan yang
memberi ketidaksamaan dalam mengakses atau memiliki sesuatu yang dihargai
masyarakat, kesematan hidup (life-chances) yang tidak sama dan pengaruh sosial
yang tidak sama. Stratifikasi pembudidaya rumput laut berdasarkan Tabel 10
meliputi:
1. Pembudidaya rumput laut yang hanya menanam (Tipe 1)
2. Pembudidaya rumput laut yang menanam sekaligus menjadi pengepul (Tipe 2)
3. Pembudidaya rumput laut yang menanam dan menjabat sebagai ketua
kelompok (Tipe 3)
4. Pembudidaya rumput laut yang menanam, menjadi pengepul, dan menjabat
sebagai ketua kelompok (Tipe 4)
Stratifikasi pembudidaya rumput laut juga menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan kekuatan yang dimiliki masing-masing tipe. Tipe 4 merupakan tipe
dengan strata yang paling tinggi dimana seorang pembudidaya rumput laut
memiliki akses yang lebih banyak terhadap moda produksi. Semakin banyak moda
produksi yang dimiliki oleh pembudidaya rumput laut, maka semakin banyak
memanfaatkan lahan perairan. Hal ini mampu menimbulkan dominasi pemanfaatan
lahan perairan yang mampu memicu potensi konflik, sehingga pembudidaya
52
rumput laut Tipe 1 merupakan pihak yang paling rentan terpinggirkan. Kasus
dominasi penggunaan lahan telah terjadi antara dua orang pembudidaya rumput laut
dimana salah satunya memiliki moda produksi yang lebih banyak (Pembudidaya
A) dibanding pembudidanya yang menjadi lawannya (Pembudidaya B).
Pembudidaya A melakukan penambahan jumlah tali yang ditempatkan di sebagian
lahan “milik” pembudidaya B, sehingga sempat menimbulkan perselisihan di antara
keduanya.
Tabel 14 menunjukkan aturan lokal (de facto) mengenai hak kepemilikan
lahan budi daya rumput laut di perairan Pulau Kemujan. Aturan yang berkembang
membebaskan seorang pembudidaya rumput laut untuk menggunakan lahan yang
masih kosong serta belum terdapat batasan penggunaan luas lahan dan waktu
penggunaan lahan. Hal ini menunjukkan belum terdapat kejelasan penggunaan
lahan budi daya rumput laut yang juga mampu memicu konflik hak kepemilikan.
Potensi Konflik Vertikal
Potensi konflik vertikal terjadi antara pembudidaya rumput laut dengan
BTNKJ sebagai unit pengelola TNKJ. Hal yang teridentifikasi mampu memicu
terjadinya konflik hak kepemilikan dalam kasus ini terjadi akibat ketidaksesuaian
penggunaan lokasi budi daya rumput dengan batas Zona Budidaya Bahari.
Penggunaan lokasi diluar zona dapat terjadi karena dan terjadinya delegitimasi
aturan Zona Budidaya Bahari oleh pembudidaya rumput laut. Sebaliknya, BTNKJ
juga tidak memberikan legitimasi aturan lokal tentang hak kepemilikan lahan.
Berdasarkan sistem zonasi tahun 2012, luas Zona Budidaya Bahari di perairan
Pulau Kemujan adalah 432.421 ha meliputi perairan sebelah utara Pulau Kemujan
dan sebagian perairan sebelah selatan Dusun Batulawang (BTNKJ 2010b). Batas
Zona Budidaya Bahari Pulau Kemujan dengan zona lainnya (Zona Perikanan
Tradisional) ditandai dengan barisan terumbu karang di sepanjang perairan. Secara
umum pembudidaya rumput laut tidak mengetahui batas-batas Zona Budidaya
Bahari, sehingga hal ini memicu penggunaan lokasi budi daya rumput laut di luar
batas peruntukan zona yang ditetapkan. Gambar 6 menunjukkan sebaran lokasi budi
daya rumput laut di perairan Pulau Kemujan mulai dari perairan Dusun Batulawang
hingga Dusun Mrican6. Penggunaan lokasi budi daya rumput laut didasarkan atas
kesesuaian spesifikasi lokasi untuk budi daya rumput laut.
6 Pemetaan mengacu pada Peta Zonasi TNKJ 2012 dan pembuatan sketsa didasarkan hasil
wawancara mendalam, observasi lapang, dan focus group discussion (FGD). Pemetaan ini masih
memiliki kelemahan karena belum mampu menunjukkan ketepatan lokasi budi daya rumput laut
dengan batas Zona Budidaya Bahari.
53
Gambar 6 Sebaran lokasi budi daya rumput laut di perairan Pulau Kemujan
Gambar 6 menunjukkan bahwa penggunaan lokasi budi daya rumput laut
telah melebihi batas Zona Budidaya Bahari. Hal ini menjadi isu yang kontroversial
karena keberadaan aturan Zona Budidaya Bahari jelas telah dilanggar. Hal ini
dikarenakan ketidaktahuan adanya aturan batasan zona yang diperuntukan bagi
aktivitas budi daya, salah satunya budi daya rumput laut. Pembudidaya rumput laut
justru menentang adanya pembatasan wilayah yang difungsikan sebagai aktivitas
budi daya karena merasa bahwa wilayah perairan boleh dimanfaatkan oleh siapa
saja dan penggunaan lokasi budi daya rumput laut didasarkan atas kesesuaian
dengan spesifikasi lahan tertentu. Spesifikasi lahan yang sesuai bagi pengembangan
rumput laut adalah yang saat ini banyak digunakan oleh pembudidaya (Gambar 6).
Hal ini diungkapkan oleh salah seorang pembudidaya rumput laut, sebagai berikut:
“Mbiyen pokoe dilarang nandur neng cedake zona inti atau di zona inti.
Ndak ada zona khusus untuk rumput laut. Saiki wes orak, wes nandur
neng endi wae karena dia hanya melarang doang. Lha terus nek rak
oleh kabeh ndung lapo? Tapi nek ndekne gelem ngandani ‘kue neng
kene yo le, neng kene luwih apik’, ngono yo iso seiringan karo
masyarakat” (IMT, Pembudidaya Rumput Laut).
– “Dulu pokoknya dilarang menanam di dekat zona inti atau di zona
inti. Tidak ada zona khusus untuk rumput laut. Sekarang sudah tidak,
sudah menanam di mana saja karena dia hanya melarang. Kalau tidak
boleh kami harus bekerja apa? Tapi kalau dia mau memebri tahu ‘kamu
di sini ya, di sini lebih bagus’, seperti itu bisa seiringan dengan
masyarakat” (IMT, Pembudidaya Rumput Laut).
Fenomena tersebut menunjukkan kelemahan aturan Zona Budidaya Bahari
khususnya yang mengatur batasan peruntukan zona yang direspon negatif oleh
masyarakat. Pembatasan zonasi dinilai tidak sejalan dengan perkembangan isu di
masyarakat. Sebaliknya, BTNKJ sebagai unit pengelola juga tidak memberikan
pengakuan terhadap berkembangnya aturan lokal mengenai hak kepemilikan lahan
budi daya rumput laut. Hal ini dikarenakan pengelolaan TNKJ didasarkan pada
Keterangan: : Terumbu karang
: Zona Budidaya Bahari
: Penggunaan lahan
yang sesuai Zona
Budidaya Bahari
: Penggunaan lahan di
luar Zona Budidaya
Bahari
54
aturan-aturan hukum formal yang secara jelas hanya memberikan akses
pemanfaatan bagi masyarakat. Perbedaan pandangan inilah yang menyebabkan hak
kepemilikan tidak mampu teridentiifikasi secara jelas, sehingga mampu memicu
terjadinya konflik vertikal.
Ikhtisar
Sumber daya perairan termasuk dalam klasifikasi sumber daya bersama
(common-pool resources). Secara de facto, masyarakat menganggap bahwa sumber
daya perairan Pulau Kemujan dapat dimanfaatkan oleh siapa saja (rezim open
access). Padahal, wilayah perairan Pulau Kemujan yang termasuk dalam kawasan
TNKJ secara yuridis adalah milik dan dikelola oleh negara, sehingga rezim
pengelolaannya adalah rezim negara (state property). Metode budi daya rumput laut
yang digunakan di perairan Pulau Kemujan adalah metode longline yang mampu
menimbulkan kalim lahan. Terdapat dua pola klaim lahan budi daya rumput laut:
pertama, lahan yang sedang digunakan secara aktif untuk berproduksi dan lahan
yang sedang pasif berproduksi akibat pergantian musim. Secara hukum (de jure)
pembudidaya rumput laut diberikan hak pemanfaatan. Berdasarkan sekumpulan
hak (bundle of right) yang dimiliki pembudidaya rumput laut, tipe hak yang dimiliki
meliputi hak akses, pemanfaatan, pengelolaan, dan eksklusi. Sehubungan dengan
kumpulan hak yang dimiliki, status pembudidaya rumput laut dikategorikan sebagai
Proprietor. Aturan lokal yang berkembang mengenai hak kepemilikan lahan budi
daya rumput laut menempatkan pembudidaya rumput laut yang hanya menanam
rumput laut menjadi pihak yang terpinggirkan akibat dominasi dari pembudidaya
rumput laut dengan moda produksi yang lebih tinggi. Selain itu, adanya perbedaan
rujukan aturan hak kepemilikan menimbulkan ketidakjelaan hak kepemilikan yang
selanjutnya mampu menjadi pemicu konflik hak kepemilikan.
55
PERSEPSI PEMBUDIDAYA RUMPUT LAUT MENGENAI
ZONA BUDIDAYA BAHARI
Zona Budidaya Bahari yang diperuntukkan bagi aktivitas budi daya harus
dikelola secara lestari. Pembudidaya rumput laut sebagai pihak yang berhubungan
langsung dengan pemanfaatan sumber daya perairan turut memiliki peran dalam
pengelolaan Zona Budidaya Bahari. Aktivitas budi daya rumput laut yang
berorientasi pada produksi harus dihadapkan pada misi konservasi. Hal inilah yang
selanjutnya memunculkan persepsi dalam memandang sumber daya perairan.
Menurut Wahyuni dan Mamonto (2012), persepsi masyarakat mampu
menunjukkan keberhasilan pengelolaan taman nasional, sehingga dalam hal ini
persepsi pembudidaya rumput laut juga sebagai salah satu atribut keberhasilan
pengelolaan Zona Budidaya Bahari. Persepsi merupakan suatu proses mental yang
rumit dan melibatkan berbagai kegiatan untuk menggolongkan stimulus yang
masuk sehingga menghasilkan tanggapan untuk memahami stimulus tersebut
(Saptorini 1989) dikutip Mardijono 2008). Berdasarkan definisi tersebut, maka
persepsi dapat muncul apabila seseorang mengetahui objek yang dipersepsikan.
Namun dalam penelitian ini, semua responden tidak mengetahui mengenai definisi
dan lokasi yang ditetapkan sebagai Zona Budidaya Bahari (Tabel 16).
Tabel 16 Jumlah dan persentase responden menurut pengetahuan definisi dan
lokasi Zona Budidaya bahari
Aspek Tidak tahu Tahu Total
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
Definisi Zona
Budidaya Bahari
40 100 0 0 40 100
Lokasi Zona
Budidaya Bahari
40 100 0 0 40 100
Hal tersebut dapat terjadi karena pihak BTNKJ belum pernah melakukan
sosialisasi mengenai Zona Budidaya Bahari. Berbagai cara dilakukukan oleh
BTNKJ salah satunya dengan membentuk Sentra Penyuluh Kehutanan Pedesaan
(SPKP) yang beranggotakan perwakilan masyarakat untuk melaksanakan peran
sosialisasi. Sosialisasi dilakukan melalui penyuluhan tatap muka dengan jadwal
terencana. Namun, materi sosialisasi hingga saat ini masih difokuskan pada
sosialisasi mengenai zona inti dan perlindungan biota. Selain itu, di wilayah
perairan Pulau Kemujan belum ada tanda batas Zona Budidaya Bahari dengan zona
lainnya. Pemberian tanda batas masih difokuskan pada zona-zona inti.
Ketidaktahuan pembudidaya rumput laut berdampak pada penggunaan lahan yang
tidak sesuai dengan lokasi penetapan Zona Budidaya Bahari di wilayah perairan
Pulau Kemujan. Lahan budi daya rumput laut telah meluas hingga Zona Perikanan
Tradisional (Gambar 6). Lokasi merupakan hak yang krusial karena tujuan dari penyusunan sistem zonasi adalah pembagian wilayah berdasarkan fungsi tertentu.
Selain lokasi, aturan Zona Budidaya Bahari juga memuat aturan perlindungan biota,
sehingga variabel yang dibahas dalam penelitian ini adalah persepsi mengenai
aturan perlindungan biota dan sanksi yang menyertainya.
56
Persepsi Mengenai Aturan Perlindungan Biota
Selain batas-batas lokasi, terdapat aturan lain yang berlaku di Zona Budidaya
Bahari yaitu adanya larangan mengambil, mengganggu atau memindahkan biota
secara sengaja atau tidak sengaja baik yang masih hidup atau mati beserta bagian-
bagiannya (BTNKJ 2012). Terdapat dua kategori biota yaitu biota yang dilindungi
dan tidak dilindungi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 (1) PP No.7/1999
Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Biota yang dilindungi tidak
diperbolehkan diambil, diganggu, dan pindahkan di semua zona, sedangkan biota
yang tidak dilindungi diperbolehkan selain di zona inti.
“Kalau yang dilindungi dimana saja tempat nggak boleh. Tapi kalau
yang tidak dilindungi di zona inti nggak boleh, kalau dibawa keluar
nggak boleh.” (SMD, BTNKJ)
Aturan tersebut secara umum diketahui masyarakat dari berbagai kegiatan
sosialisasi baik yang diselenggarakan secara terjadwal oleh BTKJ, media sosialisasi,
dan dari mulut ke mulut. Sebaran keberadaan biota tertentu belum diketahui secara
pasti. Berdasarkan pengamatan, biota dilindungi yang ditemukan di perairan Pulau
Kemujan adalah karang dan penyu. Keberadaan karang dan penyu juga
berpengaruh terhadap kegiatan budi daya rumput laut.
Persepsi Mengenai Aturan Perlindungan Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu dari lima perwakilan tipe
ekosistem di kawasan TNKJ. Terumbu karang memiliki berbagai fungsi
diantaranya sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak, sebagai habitat ikan,
tempat mencari makan dan asuhan, dan tempat pemijahan biota (Bengen 2000
dikutip Andono 2004). Berbagai fungsi tersebut mengharuskan upaya perlindungan
karang. Di sisi lain, wilayah perairan juga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
sumber mata pencaharian salah satunya adalah budi daya rumput laut. Keberadaan
terumbu karang turut memberikan pengaruh terhadap aktivitas budi daya rumput
laut. Persepsi pembudidaya rumput laut mengenai aturan perlindungan karang
ditunjukkan pada Tabel 17.
Tabel 17 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi aturan perlindungan
karang
Persepsi aturan perlindungan karang Jumlah Persentase (%)
Rendah 2 5.0
Sedang 25 62.5
Tinggi 13 32.5
Total 40 100
Tabel 17 menunjukkan sebesar 5% responden memiliki persepsi rendah, 62.5% sedang, dan 32.5% tinggi mengenai perlindungan karang. Persentase
tertinggi berada pada kategori sedang. Hal ini diakui oleh responden karena adanya
berbagai fungsi karang dalam wilayah perairan, khususnya pada aktivitas budi daya
rumput laut. Dampak positif keberadaan terumbu karang adalah sesuai fungsinya
57
yaitu sebagai penahan ombak. Ombak yang terlalu besar mengakibatkan rumput
laut jatuh ke dasar laut. Sedangkan dampak negatif keberadaan terumbu karang di
wilayah perairan dangkal adalah berkurangnya hasil produksi rumput laut.
Sebagaimana fungsi terumbu karang lainnya adalah sebagai sebagai habitat ikan7.
Ikan yang tinggal di sekitar terumbu karang menjadi hama pemakan rumput laut,
sedangkan di perairan dalam ikan tidak mampu menjangkau rumput laut hingga
permukaan air. Hal ini diungkapkan seperti pada kutipan wawancara berikut:
“... Resikone nek cedak karang dipangan iwak smadar iku mau. Hewan
naluri makane dia hanya makan yang terbaik, dadi sing dimakan
smadar iku tetep nek soko gizi kandungene sing apik.” (IMT,
Pembudidaya Rumput Laut)
– “... Resiko apabila dekat dengan karang akan dimakan ikan smadar
tadi. Naluri hewan adalah memakan makanan yang terbaik, jadi yang
dimakan smadar itu apabila (dilihat) dari kandungan gizinya adalah
yang terbaik.” (IMT, Pembudidaya Rumput Laut)
Namun hal ini tidak menjadi kendala yang besar bagi pembudidaya rumput
laut. Hal ini dapat diantisipasi oleh pembudidaya rumput laut dengan cara
menghindari terumbu karang apabila lokasi budi daya rumput laut berada di
perairan dangkal.
“Lokasi cari yang ndak ada karangnya. Kalau ada karangnya kita
belokkan talinya. Kalau airnya dalam ada karangnya sih ndak
masalah.” (AGM, Pembudidaya Rumput Laut)
– “Lokasi (di)cari yang tidak ada karang. Apabila terdapat karang, kita
belokkan tali. Apabila (lokasi) di perairan dalam dan terdapat karang
tidak menjadi masalah.” (AGM, Pembudidaya Rumput Laut).
Persepsi Mengenai Aturan Perlindungan Penyu
Terdapat tiga jenis penyu yang ditemukan tinggal di perairan TNKJ meliputi
Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate), dan Penyu
Lekang (Lepidochelys olivaceae) (BTNKJ 2012). Persepsi pembudidaya rumput
laut mengenai aturan perlindungan penyu ditunjukkan pada Tabel 18.
Tabel 18 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi aturan perlindungan
penyu
Persepsi aturan perlindungan penyu Jumlah Persentase (%)
Rendah 31 77.5
Sedang 7 17.5
Tinggi 2 5.0
Total 40 100
Tabel 18 menunjukkan sebesar 77.5% responden memiliki persepsi rendah, 17.5% sedang, dan 5% tinggi mengenai perlindungan penyu. Berbeda dengan
persepsi mengenai perlindungan karang, pada aspek perlindungan penyu persentase
7 Jenis ikan yang menjadi hama rumput laut biasa disebut oleh masyarakat sekitar dengan
sebutan ikan smadar.
58
persepsi tertinggi berada pada kategori rendah. Hal ini disebabkan karena
keberadaan penyu hanya memberikan dampak negatif bagi pembudidaya rumput
laut. Pembudidaya rumput laut menganggap bahwa penyu yang biasa disebut
dengan pendok merupakan hama pemakan sekaligus perusak rumput laut
sebagaimana yang dijelaskan pada kutipan wawancara berikut:
“Pendok niku mriki (menunjuk arah bahu) kan wonten kepete sing
depan belakang to, lha niku sing depan ngempet terus mlampah, terus
rontok. Dipadang mboten dipadang nggih rontok...” (MZD,
Pembudidaya Rumput Laut).
– “Penyu itu di bagian ini (menunjuk arah bahu) terdapat ‘kepet’ yang
depan dan belakang kan, nah itu yang depan mengempit lalu berjalan,
lalu rontok. Dimakan tidak dimakan ya rontok...” (MZD, Pembudidaya
Rumput Laut).
Umumnya fenomena penyu dalam memakan rumput laut terjadi pada malam
hari saat tidak diawasi oleh pembudidaya rumput laut. Kerugian yang diperoleh
oleh pembudidaya rumput laut terbilang besar. Penyu mampu menghabiskan
rumput laut pada satu tali yang kurang lebih berisi satu ton rumput laut yang sudah
tumbuh besar. Hal ini dapat terjadi karena selain memakan, rumput laut juga dapat
patah dan rontok ke dasar perairan akibat terkena bagian lengannya8. Lengan yang
dimiliki penyu di dua bagian sisi mampu sekaligus merontokkan rumput laut di dua
tali yang berdekatan saat berenang searah dengan tali. Hal ini diungkapkan oleh
salah seorang pembudidaya rumput laut:
“Pas kulo nanem ten timur niku telas kok, des! kantun taline.” (Solikun,
53 Tahun).
– “Ketika saya menanam di bagian timur itu habis, hingga semua!
Tinggal talinya.” (Solikun, 53 Tahun)
Berdasarkan uraian masing-masing sub variabel persepsi aturan perlindungan
karang dan penyu, maka dapat diketahui total frekuensi dan persentase persepsi
responden mengenai aturan perlindungan biota yang disajikan dalam Tabel 19.
Tabel 19 menunjukkan sebesar 47.5% responden memiliki persepsi rendah, 37.5%
sedang, dan 15% tinggi mengenai aturan perlindungan biota. Persentase tertinggi
berada pada kategori rendah (47.5%).
Tabel 19 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi aturan perlindungan
biota
Persepsi aturan perlindungan biota Jumlah Persentase (%)
Rendah 19 47.5
Sedang 15 37.5
Tinggi 6 15
Total 40 100
Tabel 19 merepresentasikan bahwa secara umum pembudidaya rumput laut
memiliki persepsi yang rendah mengenai aturan perlindungan biota. Hal ini
8 Pembudidaya rumput laut menyebut lengan penyu dengan sebutan kepet.
59
menunjukkan bahwa pembudidaya rumput laut tidak menyetujui adanya aturan
perlindungan biota. Keberadaan biota dianggap mengganggu aktivitas budi daya
rumput laut. Tabel 19 merupakan penggabungan hasil persepsi mengenai aturan
perlindungan karang dan penyu, sehingga persepsi mengenai masing-masing biota
(karang dan penyu) secara spesifik dapat dilihat pada pembahasan pada masing-
masing sub sub bab pada sub bab ini. Kategori rendah berada pada persepsi
mengenai aturan perlidungan penyu, sedangkan mengenai aturan perlindungan
karang berada pada kategori sedang.
Persepsi Mengenai Sanksi Pelanggaran
Sesuai dengan UU No. 5/1990 Tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati
sebagai dasar hukum pelaksanaan konservasi di TNKJ, terdapat berbagai aturan
yang disertai dengan sanksi pelanggaran (Tabel 9). Selain persepsi mengenai aturan
yang dibuat, penting pula menganalisis persepsi mengenai sanksi yang menyertai
pelanggaran aturan pengelolaan Zona Budidaya Bahari. Seluruh responden tidak
mengetahui secara pasti ancaman sanksi pelanggaran aturan khususnya di Zona
Budidaya Bahari. Namun secara umum, responden mengetahui adanya ancaman
hukuman berupa kurungan penjara dan denda dari informasi yang diperoleh melalui
sosialisasi, mulut ke mulut, maupun melihat secara langsung kejadian penangkapan
pihak yang melanggar.
Persepsi Mengenai Sanksi Pelanggaran Perlindungan Karang
Persepsi pembudidaya rumput laut mengenai sanksi pelanggaran
perlindungan karang disajikan dalam Tabel 20. Tabel 20 menunjukkan sebesar
47.5% responden memiliki persepsi rendah, 37.5% sedang, dan 15% tinggi
mengenai sanksi pelanggaran perlindungan karang. Persentase terbesar pada
kategori rendah dikarenakan responden beranggapan bahwa aktivitas pemanfaatan
karang di perairan Pulau Kemujan tidak mengancam kelestarian terumbu karang,
sehingga tidak sebanding apabila harus menerima sanksi kurungan dan denda.
Tabel 20 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi sanksi pelanggaran
perlindungan karang
Persepsi sanksi pelanggaran aturan
perlindungan karang
Jumlah Persentase (%)
Rendah 19 47.5
Sedang 15 37.5
Tinggi 6 15.0
Total 40 100
Selain itu, apabila terdapat pihak yang melakukan aktivitas yang mampu
mengancam kelestarian terumbu karang, maka sepatutnya mendapatkan sanksi.
Aktivitas yang banyak menyebabkan kerusakan karang diantaranya penggunaan
alat tangkap yang merusak terumbu karang seperti apotasium dan pukat harimau,
sedangkan aktivitas budi daya rumput laut tidak menyebabkan kerusakan terumbu
karang yang signifikan.
60
Persepsi Mengenai Sanksi Pelanggaran Perlindungan Penyu
Persepsi pembudidaya rumput laut mengenai sanksi pelanggaran
perlindungan penyu disajikan dalam Tabel 21. Tabel 21 menunjukkan sebesar 90%
responden memiliki persepsi rendah, 5% sedang, dan 5% rendah mengenai sanksi
pelanggaran perlindungan penyu. Persentase terbesar pada kategori rendah
dikarenakan responden menganggap penyu merupakan hama pemakan sekaligus
perusak rumput laut.
Tabel 21 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi sanksi pelanggaran
perlindungan penyu
Persepsi sanksi pelanggaran aturan
perlindungan penyu
Jumlah Persentase (%)
Rendah 36 90.0
Sedang 2 5.0
Tinggi 2 5.0
Total 40 100
Pembudidaya rumput laut menganggap bahwa di perairan bebas (bukan
termasuk wilayah zona inti), keberadaan penyu yang merugikan pembudidaya perlu
dimusnahkan. Sebagai pihak yang mengalami kerugian, pembudidaya rumput laut
merasa perlu diberikan kompensasi, bukan sanksi. Hal ini mampu memicu
terjadinya pelanggaran aturan perlindungan penyu yang semakin tinggi.
“Entah itu, ndak pernah juga saya dengar (sanksi pelanggaran Zona
Budidaya Bahari), kecuali kita mengambil di lokasi yang masuk zona.
Itu kan kena di lokasi kerja” (ABI, Pembudidaya Rumput Laut).
– “Entah itu, saya juga tidak pernah mendengar (sanksi pelanggaran
Zona Budidaya Bahari), kecuali kita mengambil di lokasi yang
termasuk ke dalam zona. Hal itu terjadi di lokasi kerja” (ABI,
Pembudidaya Rumput Laut).
Berdasarkan uraian masing-masing sub variabel persepsi saknsi pelanggaran
perlindungan karang dan penyu, maka dapat diketahui total frekuensi dan
persentase parsepsi responden mengenai sanksi pelanggaran perlindungan biota
yang disajikan dalam Tabel 22. Tabel 22 menunjukkan sebesar 65% responden
memiliki persepsi rendah, 30% sedang, dan 5% tinggi mengenai aturan
perlindungan biota. Persentase tertinggi berada pada kategori rendah (65%).
Tabel 22 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi sanksi pelanggaran
aturan perlindungan biota
Persepsi sanksi pelanggaran aturan
perlindungan biota
Jumlah Persentase (%)
Rendah 26 65
Sedang 12 30
Tinggi 2 5
Total 40 100
Tabel 22 merepresentasikan bahwa secara umum pembudidaya rumput laut
memiliki persepsi yang rendah mengenai sanksi pelanggaran aturan perlindungan
61
biota. Hal ini menunjukkan bahwa pembudidaya rumput laut tidak menyetujui
adanya pemberian sanksi bagi pelanggar aturan perlindungan biota. Tabel 22
merupakan penggabungan hasil persepsi mengenai sanksi pelanggaran aturan
perlindungan karang dan penyu, sehingga persepsi mengenai sanksi pelanggaran
aturan masing-masing biota (karang dan penyu) secara spesifik dapat dilihat pada
pembahasan pada masing-masing sub sub bab pada sub bab ini. Kedua persepsi
mengenai sanksi perlindungan biota berada pada kategori rendah. Berdasarkan
uraian masing-masing sub variabel persepsi mengenai Zona Budidaya bahari, maka
dapat diakumulasikan persepsi mengenai zona Budidaya Bahari sebagaimana yang
ditunjukkan pada Tabel 23.
Tabel 23 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi mengenai Zona
Budidaya Bahari
Persepsi mengenai Zona Budidaya Bahari Jumlah Persentase (%)
Rendah 26 65
Sedang 12 30
Tinggi 2 5
Total 40 100
Tabel 23 menunjukkan bahwa secara umum pembudidaya rumput laut
memiliki persepsi yang rendah mengenai Zona Budidaya Bahari, namun persepsi
mengenai Zona Budidaya bahari secara spesifik dapat dilihat pada pembahasan
pada masing-masing sub bab pada bab ini. Bab sebelumnya menguraikan mengenai
sistem hak kepelilikan lahan budi daya rumput laut. Penulis juga merumuskan
hipotesis pengarah yang menduga adanya pengaruh hak kepemilikan lahan budi
daya rumput laut terhadap persepsi mengenai Zona Budidaya Bahari. Namun pada
penelitian ini, persepsi pembudidaya rumput laut lebih banyak dipengaruhi oleh
adanya faktor keikutsertaan dalam mengikuti sosialisasi. Keikutsertaan
pembudidaya rumput laut dalam sosialisasi tergolong minim sebagaimana yang
ditampilkan pada Tabel 24.
Tabel 24 Jumlah dan persentase responden menurut keikutsertaan dalam
sosialisasi TNKJ Keikutsertaan sosialisasi TNKJ Jumlah Persentase (%)
Belum pernah mengikuti 34 85
Pernah mengikuti 6 15
Total 40 100
Tabel 24 menunjukkan bahwa keikutsertaan pembudidaya rumput laut masih
minim karena kegiatan sosialisasi yang diselenggarakan oleh BTNKJ difokuskan
pada perwakilan masyarakat, sedangkan fungsi penyuluhan yang lebih luas
dimandatkan pada SPKP. Pembudidaya rumput laut yang pernah mengikuti
sosialisasi cenderung menerima misi konservasi dan memiliki persepsi yang tinggi
mengenai Zona Budiaya Bahari. Terlebih lagi apabila keikutsertaan dalam
mengikuti sosialisasi lebih dari 1 kali.
“ ... Saya pernah dapet pelatihan 3 hari di sana, jadi saya tahu persis
barang yangg dilindungi, misalnya penyu. ... Saya sadar kalau penyu
dilindungi. ... Kehadiran BTN sangat membantu, dulu banyak sekali
62
perusak-perusak karang. Seandainya ndak ada BTN ya hancur lah
Karimun” (HRD, Pembudidaya rumput laut).
Tingkat Kepatuhan Aturan Zona Budidaya Bahari
Aturan pengelolaan Zona Budidaya Bahari TNKJ dibuat tentu ditujukan
untuk mencapai tujuan konservasi, sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan
kerja sama antar berbagai pihak termasuk masyarakat. Kepatuhan merupakan
tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan (Muliari dan Setiawan 2011). Kepatuhan
pembudidaya rumput laut merupakan salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan
aturan Zona Budidaya Bahari sebagaimana yang diungkapkan oleh Bawole et al.
(2011) bahwa kepatuhan dalam menjalankan aturan merupakan salah satu atribut
keberlanjutan penatakelolaan kawasan konservasi. Tanpa adanya penegakan aturan,
maka dapat dikatakan bahwa aturan yang dibuat mengalami “kemandulan”.
Sub bab ini membahas megenai tingkat kepatuhan pembudidaya rumput laut
terhadap aturan perlindungan karang dan penyu. Kedua biota tersebut merupakan
biota dilindungi yang ditemukan di wilayah Perairan Kemujan dan memengaruhi
aktivitas budi daya rumput laut. Hasil temuan akan menunjukkan dua kategori
responden yaitu “Patuh” dan “Tidak Patuh”. Selain itu, dianalisis pula jenjang
kepatuhan yang lebih tinggi yaitu keikutsertaan responden dalam pengawasan dan
sosialisasi aturan. Sub bab sebelumnya menjelaskan bahwa semua responden tidak
mengetahui mengenai aturan Zona Budidaya Bahari, sehingga variabel tingkat
kepatuhan yang diukur adalah berdasrakan pengetahuan yang sudah diketahui
secara umum yaitu perlindungan karang dan penyu. Bagian akhir sub bab ini berisi
ikhtisar yang memuat penjelasan secara ringkas.
Tingkat Kepatuhan Perlindungan Karang
Tingkat kepatuhan terhadap perlindungan karang disajikan dalam Tabel 25.
Tabel 25 menunjukkan sebesar 15% responden termasuk dalam kategori “Tidak
Patuh” dan 8% “Patuh” terhadap aturan perlindungan karang. Persentase terbesar
pada kategori “Patuh” selain dikarenakan pentingnya menjaga kelestarian karang,
pembudidaya rumput laut beranggapan dampak negatif yang ditimbulkan
keberadaan karang masih dapat ditanggulangi.
Tabel 25 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepatuhan aturan
perlindungan karang
Tingkat kepatuhan aturan perlindungan karang Jumlah Persentase (%)
Tidak Patuh 6 15
Patuh 34 85
Total 40 100
Karang diperlukan sebagai penahan ombak agak rumput laut tidak jatuh ke
dasar laut dan dampak positif yang umumnya juga di rasakan masyarakat
Karimunjawa atas fungsi karang lainnya. Hal ini diungkapkan dalam kutipan
wawancara berikut:
63
“yo ngonoiku nek karange do rusak kan bahaya si mbak, iso keno
ombak gede mbelu neng darat ngino kuwi.” (MRP, Pembudidaya
Rumput Laut)
– “ya kalau seperti karangnya rusak bisa membahayakan mbak, bisa
terkena ombak yang besar masuk ke darat seperti itu.” (MRP,
Pembudidaya Rumput Laut)
Sebesar 15% termasuk dalam kategori “Tidak Patuh” dikarenakan responden
menggunakan karang sebagai pengait tali jangkar di dasar laut. Jenis karang yang
digunakan untuk pengait tali jangkar adalah karang yang berukuran besar agar tali
jangkar tidak mudah lepas. Namun tidak semua pembudidaya menggunakan karang
sebagai pengait tali jangkar. Sebagai gantinya dapat digunakan kayu dengan ukuran
panjang sekitar 1 m, lebar 15 cm, dan tebal 3 cm bergantung dengan kondisi wilayah
perairan. Ujung kayu dibuat runcing agar mudah ditancapkan ke dalam pasir.
“Ngeneiki nek karange dipindah, kan ora mati sih. Malah urip tambah
mberu.” (MLS, Pembudidaya Rumput Laut)
– “Seperti ini kalau karangnya dipindah, tidak akan mati. Justru hidup
tambah banyak.” (MLS, Pembudidaya Rumput Laut)
Kutipan wawancara di atas menggambarkan bahwa pembudidaya rumput laut
tidak menganggap penggunaan karang sebagai pengait tali jangkar sebagai masalah
besar. Apabila karang dipindahkan dari tempat asalnya ke lokasi budi daya rumput
laut maka karang akan tetap hidup, bahkan akan berkembang biak. Pengalaman ini
diperoleh dari aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan yang menggunakan alat
tangkap bubu9. Pembudidaya rumput laut juga merasakan dampak penggunaan
bubu oleh nelayan yang mampu memperbanyak jumlah karang. Kerusakan karang
yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh penggunaan apotasium dan pemutihan
karang (bleaching) akibat penurunan permukaan air laut.
Tingkat Kepatuhan Perlindungan Penyu
Hasil tingkat kepatuhan terhadap perlindungan penyu disajikan dalam Tabel
26. Tabel 26 menunjukkan sebesar 57.5% responden termasuk dalam kategori
“Tidak Patuh” dan 47.5% “Patuh” terhadap aturan perlindungan karang. Persentase
terbesar pada kategori “ Tidak Patuh”.
Tabel 26 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepatuhan aturan
perlindungan penyu
Tingkat kepatuhan aturan perlindungan penyu Jumlah Persentase (%)
Tidak Patuh 23 57.5
Patuh 17 47.5
Total 40 100
Ketidakpatuhan ditunjukkan adanya beberapa kegiatan pelanggaran aturan
perlindungan penyu diantaranya: pertama, dengan cara memasang jebakan penyu
9 Bubu merupakan jenis alat tangkap berupa perangkap yang terbuat dari bambu atau kawat
besi. Bubu diletakkan di dasar laut kemudian dikelilingi dengan karang. Penggunaan karang
menjebak ikan agar masuk ke dalam perangkap.
64
kemudian menangkap penyu secara hidup lalu disembelih ketika sampai di darat;
dan kedua, memasang jebakan penyu dan membiarkan penyu tetap hidup di
perairan dalam kondisi terluka. Pemasangan jebakan pada kedua kegiatan
pelanggaran dianggap sebagai strategi pembasmian hama rumput laut. Jebakan
digunakan agar penyu jera dan tidak kembali ke lokasi budi daya rumput laut.
Jebakan yang digunakan oleh pembudidaya rumput laut dengan menggunakan
pancing berukuran besar10. Pancing dikaitkan di tali pancang yang ditutup dengan
rumput laut untuk mengelabuhi penyu.
“... nok ager-agere iku. Diganduli pancing-pancing ngono. Lha ikupun
bertentangan karo BTN. Masalahe (penyu adalah) hewan yang
dilindungi.” (IMT, Pembudidaya Rumput Laut)
– “... di rumput laut tersebut. Dikaitkan pancing-pancing begitu. Itupun
bertentangan dengan BTN. Masalahnya (penyu adalah) hewan yang
dilindungi.” (IMT, Pembudidaya Rumput Laut)
Pada tipe pelanggaran pertama, penyu disembelih ketika berada di darat.
Daging penyu dapat dikonsumsi sendiri oleh pembudidaya rumput laut atau
diberikan kepada orang lain yang menginginkan. Sedangkan pada tipe pelanggaran
kedua, penyu sengaja dibiarkan tetap hidup karena pembudidaya tidak
mengonsumsi penyu atau merasa kesulitan membawa penyu ke daratan. Selain
kedua pelanggaran tersebut, terdapat pembudidaya rumput laut yang menangkap
penyu dan menyerahkan kepada BTNKJ. Pembudidaya yang menyerahkan penyu
kepada BTNKJ diberikan reward sebagai bentuk apresiasi sebagaimana yang
diungkapkan pada kutipan wawancara berikut:
“... tapi yang jelas sebenarnya kalau mereka melaporkan dan
memberikan kepada kita akan kita lepas. Disamping itu, akan kita beri
kompensasi apalah entah rokok atau apa. Kita bukan membeli tapi
untuk menghargai.” (STS, BTNKJ)
Selain kedua strategi di atas, salah satu kelompok tani rumput laut yaitu
Kelompok Tani Sumber Maega menggunakan jaring untuk menghindari penyu.
Strategi ini baru baru dilakukan di lokasi Kebun Bibit11. Kebun bibit merupakan
salah satu strategi pengembangan produktivitas rumput laut yang didanai oleh
pemerintah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah.
Lokasi ini dikelola oleh kelompok yang bertempat di perairan Dusun Batu Lawang.
Lokasi yang digunakan berada di perairan dalam yang mendapatkan ancaman
keberadaan penyu lebih besar daripada di wilayah dangkal. Lokasi sengaja dipilih
di perairan dalam agar mendapatkan hasil yang optimal. Pemasangan jaring
dilakukan bulan Februari 2014 dengan membentangkan jaring di bawah tali
pancang. Jaring diikatkan pada jangkar agar tidak terbawa ombak dan diikatkan
pada pelampung agar tidak tenggelam (Gambar 7 dan 8).
10 Pancing yang digunakan adalah pancing dengan ukuran nomr satu. 11 Kebun Bibit merupakan salah satu program yang diajukan oleh Kelompok Tani Sumber
Maega kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah. Kelompok Tani Sumber Maga
mengajukan permohonan bantuan sarana produksi rumput laut, salah satunya adalah jaring penahan
penyu.
65
Gambar 8 Pemasangan jaring di bawah rumput laut
Strategi tersebut dinilai berhasil untuk mencegah penyu yang akan memasuki
lokasi budi daya rumput laut. Kelompok Tani Sumber Maega berencana menambah
satu lokasi baru dengan strategi yang sama. Hingga penelitian ini dilakukan, 7 ekor
penyu terjebak dalam jaring dan tidak dapat keluar. Pembudidaya membantu
mengeluarkan penyu dan membiarkan hidup di perairan. Namun sekitar 2 ekor
diantaranya ditemukan dalam kondisi mati. Menurut pembudidaya rumput laut,
strategi ini bukan termasuk pelanggaran aturan perlindungan penyu, karena tujuan
pemasangan jaring adalah untuk melindungi rumput laut, bukan sengaja untuk
menangkap penyu. Hal ini diungkapkan oleh pembudidaya sebagai berikut:
“Kita kan ndak ngambil sih, kita kan ngelindungi tanaman kita, kalo
ndak dilindungi kan habis. Kecuali kita memang nangkap penyunya ya
ndak boleh. Coba Mbak pikir, apa kita salah?” (DYT, Pembudidaya
Rumput Laut)
Pengembangan strategi ini dilaksanakan di wilayah perairan dalam (di luar
karang) telah melewati batas Zona Budidaya Bahari. Hal ini menunjukkan bahwa
pengelolaan wilayah TNKJ khususnya pada aktivitas budi daya rumput laut masih
besifat parsial. Pengembangan produktivitas rumput laut oleh Dinas Kelautan dan
Perikanan (DKP) masih belum memperhatikan aspek zonasi TNKJ, padahal
pelaksanaan strategi ini telah melewati berbagai tahap meliputi pengajuan rencana
oleh kelompok, penilaian kelayakan oleh DKP, serta pemantauan. Pemantauan
dilaksanakan dengan mengobservasi secara langsung lokasi Kebun Bibit.
Gambar 7 Pemasangan jaring dengan pelampung
66
Berdasarkan uraian masing-masing sub variabel tingkat kepatuhan aturan
perlindungan karang dan penyu, maka dapat diketahui total jumlah dan persentase
tingkat kepatuhan aturan perlindungan biota yang disajikan dalam Tabel 27. Tabel
27 menunjukkan sebesar 50% responden termasuk kategori “Tidak Patuh” dan 50%
kategori “Patuh.
Tabel 27 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepatuhan aturan
perlindungan biota
Tingkat kepatuhan aturan perlindungan biota Jumlah Persentase (%)
Tidak Patuh 20 50
Patuh 20 50
Total 40 100
Tabel 27 merepresentasikan bahwa perbandingan pembudidaya rumput laut
yang mematuhi dan tidak mematuhi aturan perlindungan biota adalah sama. Tabel
27 merupakan penggabungan hasil tingkat kepatuhan aturan perlindungan karang
dan penyu, sehingga tingkat kepatuhan masing-masing biota (karang dan penyu)
secara spesifik dapat dilihat pada pembahasan pada masing-masing sub sub bab.
Kepatuhan pembudidaya rumput laut pada masing-masing biota dilatarbelakangi
oleh hal yang berbeda.
Pengawasan Aturan
Pengawasan aturan merupakan salah satu hal yang mampu menentukan
keberhasilan pelaksanaan pengelolaan Zona Budidaya Bahari. Jadwal patroli yang
direncanakan oleh BTNKJ dalam satu tahun adalah sebanyak dua kali di wilayah
darat dan dua kali di wilayah laut. Hal ini disebabkan karena terbatasnya sumber
dana. BTKJ membentuk Masyarakat Mitra Polhut (MMP) untuk membantu
pelaksanaan patroli. Jadwal patroli bersama MMP dilaksanakan sebanyak enam
kali dalam satu tahun. Selain itu, BTNKJ menghimbau masyarakat untuk ikut
mengawasi pelanggaran yang mungkin terjadi. Keikutsertaan masyarakat dalam
mengawasi aturan merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari kepatuhan atas aturan
yang dibuat. Tabel 28 menunjukkan keikutsertaan pembudidaya rumput laut dalam
pengawasan aturan di Zona Budidaya Bahari perairan Pulau Kemujan.
Tabel 28 Jumlah dan persentase responden menurut keikutsertaan dalam
mengawasi aturan Zona Budidaya Bahari
Keikutsertaan dalam mengawasi aturan Zona
Budidaya Bahari
Jumlah Persentase (%)
Tidak Mengawasi 39 97.5
Mengawasi 1 2.5
Total 40 100
Tabel 28 menunjukkan sebesar 97.5% responden termasuk dalam kategori
“Tidak Mengawasi” dan 2.5% “Mengawasi” pelaksanaan aturan Zona Budidaya
Bahari di perairan Pulau Kemujan. Persentase tertinggi berada pada kategori “Tidak Mengawasi”. Hal ini dikarenakan oleh berbagai hal, pertama sebagian besar
pembudidaya rumput laut berpersepsi rendah mengenai aturan pengelolaan Zona
Budidaya Bahari, kedua pelanggaran yang terjadi dilakukan oleh kerabat dekat
sesama pembudidaya rumput laut, dan ketiga pembudidaya rumput laut
67
“menyerahkan” tugas pengawasan kepada pihak pengelola sebagai sebagai suatu
keharusan atas gaji yang diterima pengelola, sebagaimana dalam kutipan
wawancara berikut:
“... Masak malah dibebankan sama masyarakat itu wong kita ndak
dapat gaji, dia yang dapat gaji dari pemerintah. Kan aneh dek, lucu.”
(KRD, Pembudidaya Rumput Laut)
– “. Malah dibebankan kepada masyarakat toh kita tidak mendapat gaji,
dia yang mendapatka gaji dari pemerintah. Seperti itu aneh dek, lucu.”
(KRD, Pembudidaya Rumput Laut)
Pandangan di tingkat pengelola terjadi sebaliknya, atas dasar konservasi
seharusnya masyarakat secara sadar menjaga kelestarian sumber daya alam sebagai
tempat tinggal mereka. Pengelola beranggapan masyarakat adalah pihak yang
sebenarnya diuntungkan atas dilaksanakannya konservasi, karena upaya
perlindungan ditujukan bagi keberlangsungan kehidupan di masa mendatang.
Perbedaan persepsi mengakibatkan relasi diantara keduanya menjadi tidak saling
bertemu bahkan menimbulkan kecurigaan satu sama lain.
Sosialisasi Aturan
Selain pengawasan, keikutsertaan masyarakat dalam mensosialisasikan
aturan pengelolaan Zona Budidaya Bahari juga menunjukkan tingkatan yang lebih
tinggi dari kepatuhan dan pengawasan. Sosilisasi aturan juga menentukan
keberhasilan pengelolaan Zona Budidaya Bahari. Keikutsertaan responden dalam
mensosialisasikan aturan disajikan dalam Tabel 29.
Tabel 29 Jumlah dan persentase responden menurut keikutsertaan dalam
mensosialisasikan aturan Zona Budidaya Bahari
Keikutsertaan dalam mensosialisasikan aturan
Zona Budidaya Bahari
Jumlah Persentase (%)
Tidak Mensosialisasikan 39 97.5
Mnsosialisasikan 1 2.5
Total 40 100
Tabel 29 menunjukkan sebesar 97.5% responden termasuk dalam kategori
“Tidak Mensosialisasikan” dan 2.5% “Mensosialisasikan” aturan Zona Budidaya
Bahari di perairan Pulau Kemujan. Persentase tertinggi berada pada kategori “Tidak
Mensosialisasikan”. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal: pertama rendahnya
persepsi mengenai aturan pengelolaan Zona Budidaya Bahari; kedua, aturan yang
berlaku dianggap bertentangan dengan kebutuhan pembudidaya rumput laut; dan
ketiga, rendahnya kepercayaan terhadap pihak pengelola.
Sosialisasi mengenai aturan pengelolaan TNKJ dilakukan melalui berbagai
cara meliputi penyuluhan langsung dan melalui berbagai media seperti poster,
pamflet, dan lain-lain. Tugas penyuluhan dilaksanakan oleh Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP) yang merupakan organisasi bentukan BTNKJ. SPKP
beranggotakan perwakilan masyarakat. SPKP Desa Kemujan melakukan
penyuluhan secara terencana. Hasil yang diharapkan dari penyelenggaraan
penyuluhan salah satunya adalah peserta mampu mengajak sesama anggota
masyarakat untuk mematuhi aturan pengelolaan TNKJ. Namun, pembudidaya
68
rumput laut enggan memberitahukan dan mengajak masyarakat lainnya untuk
melaksanakan aturan. Hal ini juga disebabkan adanya krisis kepercayaan pada
beberapa anggota SPKP, sebagaimana kutipan wawancara berikut:
“... Penyuluhan BTN itu tokoh-tokoh tertentu, sedangkan tokoh-tokoh
itu tau neng laut, cuman bukan pemain laut.” (IMT, Pembudidaya
Rumput Laut)
– “Penyuluhan BTN (dilaksanakan) oleh tokoh-tokoh tertentu,
sedangkan tokoh-tokoh itu pernah ke laut, tetapi bukan pemain laut.”
(IMT, Pembudidaya Rumput Laut)
Ciri Kepatuhan Aturan Zona Budidaya Bahari
Aturan merupakan salah satu produk kelembagaan atau organisasi yang
dalam hal ini adalah BTNKJ sebagai unit pengelola. Aturan yang dibuat juga
dipahami sebagai salah satu bentuk sarana pengendalian bagi seluruh pihak yang
terlibat. Tanggapan anggota atas adanya sarana pengendalian tersebut
menimbulkan ciri kepatuhan atau bentuk partisipasi.
Ciri Kepatuhan Aturan Perlindungan Karang
Tabel 25 menunjukan sebanyak 34 responden atau 85% responden termasuk
dalam kategori “Patuh” terhadap aturan perlindungan karang. Ciri kepatuhan yang
menyertai atas kepatuhan aturan perlindungan karang ditunjukkan pada Tabel 30.
Tabel 30 menunjukkan dari responden yang mematuhi aturan perlindungan karang,
ciri kepatuhan yang menyertai adalah sebesar 2.94% dengan ciri kepatuhan alienatif,
0% kalkulatif, dan 97.06% moral.
Tabel 30 Jumlah dan persentase responden menurut ciri kepatuhan aturan
perlindungan karang
Ciri kepatuhan aturan perlindungan karang Jumlah Persentase (%)
Alienatif 1 2.94
Kalkulatif 0 0
Moral 33 97.06
Total 34 100
Persentase tertingggi ciri kepatuhan aturan perlindungan karang terdapat pada
kategori “Moral” yang dapat diartikan bahwa responden menghargai atau rela
membantu aturan yang ditetapkan. Hal ini terjadi karena adanya kesadaran akan
fungsi karang baik secara umum maupun bagi aktivitas budi daya rumput laut,
sebagaimana diungkapkan dalam kutipan wawancara berikut:
“... Nek wong-wong tuwo sih wes podo ngerti, rak usah dikandani. ... .
Ya kan nek rak ono karange iso keno tsunami, wes ora ono
perlindungan. Ombake kan mecah neng karang.” (MRP, Pembudidaya
Rumput Laut)
– “... Kalau orang-orang tua sudah saling tahu, tidak perlu
diberitahu. ... . kalau tidak ada karang bisa terkena tsunami, sudah
69
tidak ada perlindungan. Ombak akan pecah karena keberadaan
karang.” (MRP, Pembudidaya Rumput Laut)
Selain itu responden juga merespon positif adanya berbagai kegiatan
pemulihan kondisi dan pengembangbiakan karang oleh BTNKJ. Responden
menerima kehadiran BTNKJ yang membawa misi konservasi. Hal ini diungkapkan
pada kutipan wawancara berikut:
“... Ono mek iki rak entuk mek iku rak entuk. Ngonoiku nek tak pikir yo
ono benere.” (PMN, Pembudidaya Rumput Laut)
– “Ada (larangan) ambil ini tidak boleh, ambil itu tidak boleh. Seperti
itu kalu saya pikir ada benarnya juga.” (PMN, Pembudidaya Rumput
Laut)
Berdasarkan Tabel 25, diketahui sebanyak 6 orang atau 15% responden
termasuk dalam kategori “Tidak Patuh” terhadap aturan perlindungan karang.
Terdapat berbagai motif ketidakpatuhan responden terhadap aturan perlindungan
karang yang disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31 Jumlah dan persentase responden menurut motif ketidakpatuhan aturan
perlindungan karang
Motif ketidakpatuhan aturan perlindungan
karang
Jumlah Persentase (%)
Terdesak kebutuhan 5 83.33
Apatis terhadap aturan 1 16.67
Total 6 100
Tabel 31 menunjukkan responden yang tidak mematuhi aturan perlindungan
karang dilatarbelakangi oleh kondisi terdesak oleh kebutuhan (83.33%).
Pembudidaya rumput laut memanfaatkan karang sebagai pengikat tali jangkar di
lokasi yang berpasir. Tidak semua pembudidaya rumput laut melakukan hal ini.
Penggunaan karang sebagai pengikat tali jangkar dapat diganti dengan kayu.
Sehubungan yang telah dijelaskan pada bab tingkat kepatuhan aturan perlindungan
karang, pembudidaya rumput laut tidak menganggap hal ini sebagai sebuah
pelanggaran. Karang yang dipindahkan dari tempat asalnya ke lokasi budi daya
rumput laut akan tetap hidup, bahkan akan berkembang biak.
Ciri Kepatuhan Aturan Perlindungan Penyu
Berdasarkan Tabel 26, diketahui sebanyak 17 responden atau 47.5%
responden termasuk dalam kategori “Patuh” terhadap aturan perlindungan penyu.
Ciri kepatuhan yang menyertai orang responden atas kepatuhan aturan
perlindungan penyu ditunjukkan pada Tabel 32. Tabel 32 menunjukkan dari
responden yang mematuhi aturan perlindungan penyu, ciri kepatuhan yang
menyertai adalah sebesar 29.41% dengan ciri kepatuhan alienatif, 0% kalkulatif, dan 70.59% moral.
70
Tabel 32 Jumlah dan persentase responden menurut ciri kepatuhan aturan
perlindungan penyu
Ciri kepatuhan aturan perlindungan penyu Jumlah Persentase (%)
Alienatif 5 29.41
Kalkulatif 0 0
Moral 12 70.59
Total 17 100
Berdasarkan Tabel 26, diketahui sebanyak 23 responden atau 57.5%
responden termasuk dalam kategori “Tidak Patuh” terhadap aturan perlindungan
penyu. Terdapat berbagai hal yang menjadi alasan ketidakpatuhan responden
terhadap aturan perlindungan penyu yang disajikan pada Tabel 33. Persentase
tertinggi pada kategori pertama yaitu penyu merupakan hama bagi rumput laut
(95.65). Selain itu sebanyak 4.35% menyatakan apatis terhadap aturan.
Tabel 33 Jumlah dan persentase responden menurut motif ketidakpatuhan aturan
perlindungan penyu
Alasan ketidakpatuhan responden terhadap
aturan perlindungan penyu
Jumlah Persentase (%)
Hama rumput laut 22 95.65
Apatis terhadap aturan 1 4.35
Total 23 100
Legitimasi Aturan Zona Budidaya Bahari
Aturan yang dibuat oleh pemerintah seringkali bersifat top down, namun
dalam penyusunan sistem zonasi TNKJ berupaya memberi ruang partisipasi bagi
masyarakat melalui proses konsultasi publik. Konsultasi publik yang
diselenggarakan dimaksudkan untuk menghimpun aspirasi masyarakat mengenai
lokasi-lokasi yang ditetapkan sebagai zona-zona tertentu, namun tidak semua
anggota masyarakat terlibat dalam proses tersebut. Dibedakan dua pihak yang
terlibat dalam penyusunan aturan zonasi yaitu pihak internal (masyarakat yang
terlibat) dan pihak eksternal (masyarakat yang tidak terlibat). Kaitannya dengan hal
tersebut, legitimasi aturan yang dihasilkan juga dibedakan menjadi legitimasi
internal dan eksternal (Jentoft 2000). Masyarakat yang terlibat langsung dalam
pembuatan keputusan (internal) mampu meningkatkan legitimasi, sedangkan yang
tidak terlibat dalam pengambilan keputusan (eksternal) mungkin akan memandang
aturan sebagai suatu kesalahan.
Konsultasi publik yang diselenggarakan di Desa Kemujan dihadiri oleh
perwakilan masyarakat (BTNKJ 2010b). Poin utama hasil konsultasi publik yang
dilakukan terfokus pada penetapan wilayah sebagai zona inti. Pembahasan pada
konsultasi publik yang diselenggarakan menunjukkan masih adanya kelemahan,
yaitu tidak adanya pembahasan mengenai Zona Budidaya Bahari, padahal wilayah
perairan Pulau Kemujan merupakan salah satu wilayah yang termasuk dalam Zona
Budidaya Bahari. Tidak terlibatnya pembudidaya rumput laut dan ketidaktahuan
mengenai Zona Budidaya Bahari mampu memicu terjadinya perbedaan persepsi
dengan pembuat kebijakan.
71
Adanya perbedaan pandangan dari masyarakat dan pemerintah sebagaimana
yang dijelaskan pada bab persepsi mampu menyebabkan terjadinya krisis legitimasi.
Masyarakat menganggap pentingnya pengelolaan didasarkan pada rasionalitas dan
kepentingan dalam konteks lokal, sedangkan pemerintah menganggap pengelolaan
didasarkan pada rasionalitas dan efisiensi dari perspektif global. Terjadinya krisis
legitimasi terhadap aturan Zona Budidaya Bahari diananlisis berdasarkan empat
indikator menurut Jentoft (1989) dikutip Satria et al. (2006b) meliputi isi aturan,
distribusi dampak, pembuatan aturan, dan pelaksanaan aturan.
Krisis Legitimasi Zona Budidaya Bahari
1) Isi Aturan
Aturan yang berlaku pada Zona Budidaya Bahari meliputi dua hal yaitu
aturan pemanfaatan wilayah perairan bagi kepentingan budi daya dan perlindungan
biota. Pertama, sehubungan dengan pembahasan pada bab persepsi sebelumnya,
pembudidaya rumput laut belum mengetahui kawasan yang ditetapkan sebagai
Zona Budidaya Bahari. Ketidaktahuan pembudidaya rumput laut jelas
menunjukkan adanya kritis legitimasi aturan penetapan kawasan perairan Pulau
Kemujan sebagai Zona Budidaya Bahari. Hal ini juga ditunjukkan dengan
meluasnya lokasi budi daya rumput laut hingga keluar batas wilayah Zona
Budidaya Bahari (Gambar 6). Kedua, aturan perlindungan biota yang dibahas
dalam penelitian ini meliputi aturan perlindungan karang dan perlindungan penyu.
Krisis legitimasi terjadi pada aturan perlindungan penyu dikarenakan keberadaan
penyu merupakan hama pemakan dan perusak rumput laut. Dalam konteks
perlindungan, pembudidaya rumput laut memberikan penilaian yang salah apabila
penyu dibiarkan bebas di wilayah perairan, sebagaimana yang diungkapkan pada
kutipan wawancara berikut:
“Cuman nek opo yo, nek wong Jowo ngarani ‘bahasa pokrol, bahasa
samin 12 ’, kalo memang itu hewan yang dilindungi, kenapa tidak
dikandangi? Utowo didokok ning tempat perlindungan.” (IMT,
Pembudidaya Rumput Laut)
– “Cuma kalau apa ya, kalau orang Jawa mengistilahkan ‘bahasa
pokrol, bahasa samin’, kalau memang itu hewan dilindungi, mengapa
tidak diberi kandang? Atau ditempatkan di tempat perlindungan.”
(IMT, Pembudidaya Rumput Laut)
Pandangan yang berbeda diungkapkan oleh pihak BTNKJ sebagai pengelola.
Perlindungan penyu merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam kerangka
konservasi. Upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan penetasan semi alami
dan membiarkan penyu hidup di habitat yang lestari, sehingga pembatasan habitat
penyu tidak memungkinkan dilakukan. Kerugian yang diperoleh oleh pembudidaya
rumput laut juga dinilai sebagai akobat dari berkurangnya Sargassum yang
sebelumnya merupakan makanan bagi penyu. Namun keberadaan Sargassum
menurun drastis setelah diperjualbelikan oleh masyarakat setempat.
12 Bahasa pokrol atau samin dalam hal ini perumpamaan sebagai orang dengan tingkat
kemampuan berfikir yang rendah.
72
“... Habis kita mau gimana, masak mau ngandang penyu kan nggak
bisa juga. Kalau nelayan suruh mageri juga nggak bisa. .... Sebenernya
nggak itu (rumput laut) makannya, kerangkam (Sargassum). Tapi
sudah diambili tahun kemarin. Pas booming diambili dan dijual sama
masyarakat, ada pengepulnya dulu. Otomatis makannanya habis trus
kan dia (penyu) ngrayah itu, rumput laut.” (SMD, BTNKJ)
– “... Habis kita mau bagaimana, masak mau memberi kandang penyu
juga tidak bisa. Kalau nelayan disuruh memberi pagar juga tidak
bisa. ... sebenarnya bukan itu (rumput laut) makanannya, Sargassum.
Tetapi sudah diambil tahun kemarin. Ketika booming diambil dan
dijual oleh mesyarakat, ada pengepulnya dul. Otomatis makanannya
habis lalu dia (penyu) menjarah itu, rumput laut.” (SMD, BTNKJ)
2) Distribusi Dampak
Aturan lokasi yang ditetapkan sebagai Zona Budidaya Bahari tidak memihak
pada pembudidaya rumput laut. Batas wilayah Zona Budidaya Bahari adalah
sebelah utara perairan Pulau Batu Lawang hingga batas Pulau Mrico (Lampiran 1)
dan sebagian selatan dusun Batulawang. Penggunaan lokasi rumput laut telah
meluas hingga perairan sebelah barat Dusun Mrican (Gambar 6). Wilayah ini tidak
ditetapkan sebagai Zona Budidaya Bahari karena merupakan wilayah lalu lintas
kapal pariwisata (Lampiran 1). Kegiatan izin jasa pariwisata telah diatur melalui
SK No: P-12/IV-SET/2011 tentang Pedoman Persyaratan Administrasi dan Teknis
Permohonan Izin Pengusahaan Pariwisata alam di Suaka Marga, Taman Nasional,
Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata alam, sedangkan aturan teknis mengenai
izin pemanfaatan tradisional masih belum memiliki aturan yang spesifik.
Mengacu pada indikator distribusi dampak, perlindungan penyu bias terhadap
misi konservasi. Pembudidaya rumput laut menjadi pihak yang mengalami
kerugian. Solusi penyerahan penyu yang tertangkap kepada BTNKJ juga tidak
memuaskan pembudidaya rumput laut, sebagaimana yang diungkapkan pada
kutipan wawancara berikut:
“... maunya cuma melarang, dia ndak mau tanggung jawab. Kalo
merusak kan kita rugi, ndak mau dia ganti kerugian. Tapi dilarang.
Dulu ada, orang cuma dikasih uang 20 ribu. Buat apa itu 20 ribu, orang
rusak ratusan ribu. Sekarang kalau ada yang dapat langsung dikasih
mati, urusannya belakangan.” (ABI, Pembudidaya Rumput Laut)
3) Pembuatan Aturan
Krisis legitimasi juga dapat dilihat dari minimnya partisipasi pembudidaya
rumput laut dalam pembuatan aturan. Penentuan zonasi sebagaimana berdasarkan
UU No. 5/1990 dan PP No. 28/2011 disesuaikan dengan kondisi kawasan taman
nasional. Analisis permasalahan telah dilakukan oleh BTNKJ untuk menghimpun
data yang mendukung (BTNKJ 2012), namun pada penyusunan zonasi, partisipasi
masyarakat khususnya pembudidaya rumput laut masih minim. Minimnya
partisipasi pembudidaya rumput laut mengakibatkan kurang adanya pembahasan
pada aturan Zona Budidaya Bahari dan permasalahan yang dialami13.
13 Hasil pembahasan pada proses Konsultasi Publik Desa Kemujan menitikberatkan pada: 1)
Perlunya peningkatan pengamanan di zona inti dan zona perlindungan; 2) larangan penggunaan
73
4) Pelaksanaan Aturan
Krisis legitimasi berdasarkan indikator pelaksanaan aturan juga dianalisis dari
aturan lokasi Zona Budidaya Bahari dan Perlindungan Penyu. Lemahnya aturan
Zona Budidaya Bahari dikarenakan masih minimnya perhatian pengelola terhadap
aktivitas budi daya rumput laut. Penggunaan lahan perairan secara tradisional
apabila merujuk pada PP No. 28/2011 Pasal 49 ayat 3b harus disertai dengan izin
pemanfaatan. Namun hingga kini belum terdapat aturan lanjutan mengenai izin
pemanfaatan tradisonal oleh masyarakat.
Pengaruh Legitimasi terhadap Kepatuhan
Jentoft (2000) berpendapat bahwa legitimasi aturan mendukung kepatuhan.
Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan aturan mampu meningkatkan legitimasi
yang selanjutnya mampu meningkatkan kepatuhan karena mereka lebih tahu,
berkomitmen, dan mendukung aturan (Hall 1972 dikutip Jentoft et al. 1998).
Masyarakat dilibatkan dalam proses konsultasi publik dalam penyusunan revisi
zonasi TNKJ, namun keikutsertaan pembudidaya rumput laut masih bersifat minim.
Keikutsertaan dalam mengikuti sosialisasi zonasi juga minim. Selain itu, informasi
mengenai pengelolaan TNKJ yang disosialisasikan masih fokus pada Zona Inti dan
Zona Perlindungan. Hal inilah yang mengakibatkan ketidaktahuan pembudidaya
rumput laut mengenai aturan pengelolaan TNKJ. Apabila aturan tidak diketahui dan
dipahami, maka sulit untuk mendapatkan dukungan dan komitmen pelaksanaan
aturan dari pembudidaya rumput laut. Krisis legitimasi dapat terjadi karena
pembudidaya rumput laut tidak terlibat dalam proses pembuatan aturan, sehingga
aturan dianggap jauh dari keadilan dan menimbulkan kesan penolakan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, sebanyak 85% responden mematuhi aturan
perlindungan karang dan 57.5% tidak mematuhi aturan perlindungan penyu. Secara
umum pembudidaya rumput laut mematuhi aturan perlindungan karang
dilatarbelakangi oleh hal lain di luar legitimasi seperti yang yang telah dijelaskan
pada sub bab Ciri Kepatuhan yang banyak dicirikan pada moralitas. Ketidakpatuhan
pembudidaya rumput laut berhubungan dengan adanya krisis legitimasi yang terjadi
pada aturan perlindungan penyu. Hal ini menunjukkan bahwa krisis legitimasi
berpengaruh terhadap kepatuhan aturan perlindungan penyu.
Potensi Konflik Pengelolaan Sumber Daya
Berdasarkan uraian pada sub bab sebelumnya, secara umum pembudidaya
rumput laut memiliki persepsi rendah pada sanksi pelanggaran aturan biota, padahal
sanksi merupakan suatu bentuk sarana pengendalian yang menjadi tombak utama
dibuatnya suatu aturan. Persepsi yang rendah mengenai sanksi yang ditetapkan juga
merepresentasikan bahwa pembudidaya rumput laut tidak memiliki rasa takut
terhadap sanksi yang akan diterima jika melanggar aturan. Selain itu, kepatuhan
aturan perlindungan biota juga menunjukkan bahwa lebih banyak pembudidaya
rumput laut tidak mematuhi aturan perlindungan penyu karena keberadaan penyu
menimbulkan kerugian bagi pembudidaya rumput laut.
jaring muroami dan alat tangkap kompresor; 3) larangan masuknya nelayan luar di wilayah TNKJ;
4) penentuan tanda batas; dan 5) pengurangan/penambahan lokasi zona inti (BTNKJ 2012b).
74
Pandangan yang berbeda dimiliki oleh BTNKJ sebagai pihak pengelola yang
mengemban misi konservasi. Aturan yang dibuat belum mampu memuaskan
pembudidaya rumput laut, sehingga pembudidaya rumput laut justru merespon
negatif berupa pelanggaran aturan. Hal ini terjadi karena aturan dibuat dan
dilaksanakan secara sepihak. Konsultasi publik yang diselenggarakan guna
menyusun aturan pengelolaan TNKJ masih memiliki kelemahan. Selain itu, aturan
yang sudah terbentuk belum “dimasyarakatkan” sehingga pelaksanaan misi
konservasi belum menjadi kepentingan bersama. Isu pelanggaran yang
kemungkinan akan terus dilakukan menjadi isu kontroversial dalam kasus ini
karena mampu menjadi pemicu konflik sumber daya.
Menurut Satria (2009b), konflik pengelolaan sumber daya adalah konflik
yang terjadi akibat pelanggaran aturan pengelolaan serta adanya isu-isu tentang
siapa yang berhak mengelola sumber daya perikanan atau sumber daya laut.
Pelanggaran aturan dalam kasus ini terjadi salam dua hal yaitu pelanggaran zonasi
dan pelanggaran aturan perlindungan penyu. Pelanggaran zonasi terjadi karena
batas-batas zona belum diketahui oleh pembudidaya rumput laut, sedangkan
pelanggaran aturan perlindungan penyu terjadi karena keberadaan penyu
menimbulkan kerugian bagi pembudidaya rumput laut. Ketidaktahuan mengenai
zonasi dan krisis legitimasi terhadap aturan perlindungan penyu mampu memicu
penolakan aturan yang dibuat oleh pihak pengelola.
Selain itu, kejelasan pengelolaan TNKJ khususnya pada aktivitas budi daya
rumput laut juga mampu memicu konflik sumber daya. BTNKJ merupakan pihak
yang berwenang untuk mengelola kawasan TNKJ, namun masih terdapat pihak-
pihak lain yang juga berkepentingan dalam memanfaatkan potensi wilayah perairan
TNKJ khususnya perairan Pulau Kemujan, salah satunya adalah Dinas Kelautan
dan Perikanan (DKP). DKP sesuai dengan perannya berkepentingan untuk
mengembangkan produktivitas potensi kelautan termasuk sektor budi daya rumput
laut. Salah satu kasus upaya pengembangan budi daya rumput laut yang dimotori
oleh DKP masih bersifat parsial, yaitu pengembangan Kebun Bibit yang
dilaksanakan di luar zonasi. Pengelolaan sumber daya yang masih bersifat sektoral
akan mengedepankan kepentingan masing-masing pihak. Apabila hal ini tidak
mampu dikelola dengan baik maka mampu memicu timbulnya konflik dan
menghambat pencapaian tujuan TNKJ.
Pembudidaya rumput laut yang cenderung tidak memberikan legitimasi
pada aturan pengelolaan Zona Budidaya Bahari juga merepresentasikan sikap
“kurang menerima” keberadaan BTNKJ yang memiliki wewenang sebagai
pengelola. Hal ini salah satunya dipengaruhi adanya pandangan terhadap sumber
daya perairan yang bersifat terbuka (open access) sehingga pembudidaya rumput
laut juga merasa memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya yang ada tanpa
adanya pembatasan dari pihak lain. Sebaliknya, respon positif diberikan kepada
DKP karena program-program pengembangan produktivitas rumput laut dianggap
sejalan dengan kebutuhan pembudidaya rumput laut.
Ikhtisar
Budi daya rumput laut yang berorientasi pada produksi harus dihadapkan
pada misi konservasi. Hal inilah yang selanjutnya memunculkan persepsi mengenai
75
Zona Budidaya Bahari. Secara umum pembudidaya rumput laut memiliki persepsi
sedang terhadap aturan perlindungan karang (62.5%), sedangkan pada aturan
perlindungan penyu termasuk kategori rendah (77.5%). Secara umum pembudidaya
rumput laut memiliki persepsi yang rendah terhadap sanksi pelanggaran aturan
perlindungan karang (47.5%) dan pada sanksi pelanggaran aturan perlindungan
penyu (90%). Hasil akumulasi sub variabel persepsi mengenai Zona Budidaya
Bahari dengan persentase tertinggi pada kategori rendah (65%).
Secara umum pembudidaya rumput laut mematuhi aturan perlindungan
karang (85%), namun tidak mematuhi aturan perlindungan penyu (57.5%). Total
tingkat kepatuhan responden terhadap aturan perlindungan biota yang menempati
persentase tertinggi adalah kategori Patuh (72.5%). Keikutsertaan masyarakat
dalam mengawasi dan mensosialisasikan aturan merupakan tingkatan yang lebih
tinggi dari kepatuhan atas aturan yang dibuat. Sebanyak 97.5% pembudidaya
rumput laut termasuk dalam kategori “Tidak Mengawasi” dan 97.5% termasuk
dalam kategori “Tidak Mensosialisasikan” aturan Zona Budidaya Bahari di perairan
Pulau Kemujan. Ciri kepatuhan dianalisis dari jumlah responden yang termasuk
dalam kategori “Patuh”. Ciri kepatuhan aturan perlindungan karang dan penyu
secara umum atas dasar moralitas.
Perbedaan pandangan dari masyarakat dan pemerintah mampu menyebabkan
terjadinya krisis legitimasi. Berdasarkan aspek isi aturan, krisis legitimasi terjadi
pada aturan perlindungan penyu. Berdasarkan aspek distribui dampak, penetapan
lokasi Zona Budidaya Bahari di perairan Pulau Kemujan tidak memihak pada
pembudidaya rumput laut. Selain itu, perlindungan penyu bias terhadap misi
konservasi menempatkan pembudidaya rumput laut sebagai pihak yang mengalami
kerugian. Krisis legitimasi juga terjadi dari minimnya partisipasi pembudidaya
rumput laut dalam pembuatan aturan. Selain itu, perhatian pengelola terhadap
aktivitas budi daya rumput laut masih minim. Analisis mengenai persepsi,
kepatuhan dan legitimasi aturan Zona Budidaya Bahari pada penelitian ini mampu
menjadi pemicu konflik sumber daya alam.
76
77
HUBUNGAN PERSEPSI DENGAN TINGKAT KEPATUHAN
ATURAN ZONA BUDIDAYA BAHARI
Persepsi dan kepatuhan merupakan dua hal yang berbeda. Apabila persepsi
merupakan proses mental, maka kepatuhan adalah wujud tindakan dari seseorang.
Tindakan merupakan tahapan dimana pengetahuan/informasi mulai dilaksanakan
seseorang dalam suatu tingkah laku individu yang disesuaikan dengan kebutuhan
dan motivasinya (Ahmadi 1991 dikutip Sepdianti 2006). Tidak selamanya tidakan
seseorang merupakan representasi dari persepsi atas suatu stimulus yang dalam hal
ini adalah mengenai penetapan Zona Budidaya Bahari. Bab sebelumnya telah
diuraikan pembahasan hasil persepsi pembudidaya rumput laut mengenai aturan,
sanksi pelanggaran aturan Zona Budidaya Bahari, dan tingkat kepatuhan aturan
yang berlaku. Analisis tabulasi silang berdasarkan persentase tertinggi pertemuan
variabel x dan y yang menempati posisi tertinggi di setiap kolom.
Hasil analisa tabulasi silang didukung dengan uji korelasi Rank Spearman
untuk mengetahui signifikansi hubungan antarvariabel, kekuatan signifikasi, dan
selang kepercayaan. Signifikansi menunjukkan ada atau tidaknya hubungan
antarvariabel yang diketahui apabila nilai sig (2-tailed) < 0,05 (Bungin 2001 dikutip
Lubis 2013). Kekuatan signifikansi diketahui dari nilai Corelation Coefficient yang
dijelaskan oleh Bungin (2001) dikutip Lubis (2013) dengan kriteria:
1) +0.70 – +ke atas : hubungan positif yang sangat kuat
2) +0.50 – +0.69 : hubungan positif yang mantap
3) +0.30 – +0.49 : hubungan positif yang sedang
4) +0.10 – +0.29 : hubungan positif yang tak berarti
5) -0.0 – -0.09 : hubungan negatif tak berarti
6) -0.01 – -0.29 : hubungan negatif yang rendah
7) -0.30 – -0.49 : hubungan negatif yang sedang
8) -0.50 – -0.59 : hubungan negatif yang mantap
9) -0.70 – -ke bawah : hubungan negatif yang sangat kuat
Hubungan Persepsi Aturan Perlindungan Karang dengan Tingkat
Kepatuhan Aturan Perlindungan Karang
Tabel 34 menunjukkan bahwa kombinasi antara variabel persepsi aturan
perlindungan karang yang sedang dengan tingkat kepatuhan yang termasuk kategori
patuh memiliki frekuensi tertinggi (n=21). Hasil tabulasi silang kurang mampu
menunjukkan hubungan dikarenakan frekuensi dan persentase di masing-masing
kolom yang tertinggi menunjukkan pola mendatar yaitu pada kategori persepsi
aturan perlindungan karang yang sedang. Interpretasi hasil tersebut adalah sebagian
responden dengan persepsi yang sedang menunjukkan tindakan mematuhi aturan
dan lebih banyak yang tidak mematuhi aturan. Uji korelasi dilakukan untuk melihat
hubungan dan kekuatan hubungan.
78
Tabel 34 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi aturan perlindungan
karang dan tingkat kepatuhan aturan pelindungan karang
Persepsi aturan
perlindungan
Karang
Tingkat kepatuhan aturan perlindungan karang Total
Tidak Patuh Patuh
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
Rendah 2 33.33 0 0 2 5
Sedang 4 66.67 21 61.76 25 62.5
Tinggi 0 0 13 38.26 13 32.5
Total 6 100 34 100 40 100
Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan terdapat hubungan antara
persepsi tentang perlindungan karang dengan tingkat kepatuhan perlindungan
karang yang ditunjukkan dari nilai signifikansi sebesar 0.006. Nilai tersebut
memenuhi kriteria batas signifikansi hubungan sebesar < 0.05. Hubungan kedua
variabel tersebut termasuk dalam kategori hubungan sedang yang ditunjukkan dari
nilai Correlation Coefficient sebesar 0.428 dan nilai alpha 0.01 menunjukkan
selang kepercayaan sebesar 99%. Hubungan yang ditunjukkan adalah hubungan
timbal balik yang berarti bahwa variabel persepsi tentang aturan perlindungan
karang berhubungan dengan kepatuhan perlindungan karang, dan sebaliknya.
Kategori hubungan termasuk dalam kategori sedang dikarenakan tidak selalu
persepsi pembudidaya rumput laut diwujudkan dalam tindakan yang bersesuaian.
Terdapat motif lain diluar persepsi yaitu kebutuhan pemanfaatan karang sebagai
salah satu sarana produksi rumput laut. Karang dimanfaatkan oleh pembudidaya
rumput laut sebagai pengikat tali jangkar di dasar laut.
Hubungan Persepsi Aturan Perlindungan Penyu dengan Tingkat Kepatuhan
Aturan Perlindungan Penyu
Tabel 35 menunjukkan bahwa kombinasi antara variabel persepsi aturan
perlingdungan penyu yang rendah dengan tingkat kepatuhan yang termasuk
kategori tidak patuh menempati frekuensi tertinggi (n=23). Hasil tabulasi silang
kurang mampu menunjukkan hubungan dikarenakan frekuensi dan persentase di
masing-masing kolom yang tertinggi menunjukkan pola mendatar yaitu pada
kategori persepsi aturan perlindungan penyu yang rendah. Interpretasi hasil
tersebut adalah sebagian responden dengan persepsi yang rendah menunjukkan
tindakan mematuhi aturan dan lebih banyak yang tidak mematuhi aturan. Uji
korelasi dilakukan untuk melihat hubungan dan kekuatan hubungan.
Tabel 35 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi aturan perlindungan
penyu dan tingkat kepatuhan aturan perlindungan penyu
Persepsi aturan
perlindungan
Penyu
Tingkat kepatuhan aturan perlindungan penyu Total
Tidak patuh Patuh
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
Rendah 23 100 8 47.06 31 77.5
Sedang 0 0 7 41.18 7 175
Tinggi 0 0 2 11.76 2 5
Total 23 100 17 100 40 100
79
Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan terdapat hubungan antara
persepsi tentang perlindungan penyu dengan tingkat kepatuhan perlindungan penyu
yang ditunjukkan dari nilai signifikansi sebesar 0.000. Nilai tersebut memenuhi
kriteria batas signifikansi hubungan sebesar < 0.05. Hubungan kedua variabel
tersebut termasuk dalam kategori hubungan mantap yang ditunjukkan dari nilai
Correlation Coefficient sebesar 0.623 dan nilai alpha 0.01 menunjukkan selang
kepercayaan sebesar 99%. Hubungan yang ditunjukkan adalah hubungan timbal
balik yang berarti bahwa variabel persepsi tentang aturan perlindungan penyu
berhubungan dengan kepatuhan perlindungan penyu, dan sebaliknya. Kategori
hubungan termasuk dalam kategori mantap dikarenakan secara umum persepsi
mengenai aturan perlindungan penyu yang rendah ditunjukkan dengan tindakan
yang tidak mematuhi aturan.
Hubungan Persepsi Sanksi Pelanggaran Perlindungan Karang dengan
Tingkat Kepatuhan Aturan Perlindungan Karang
Tabel 36 menunjukkan bahwa kombinasi antara variabel persepsi tentang
sanksi pelanggaran perlindungan karang yang rendah dengan tingkat kepatuhan
yang termasuk kategori patuh menempati frekuensi tertinggi (n=15). Hasil tabulasi
silang kurang mampu menunjukkan hubungan dikarenakan frekuensi dan
persentase di masing-masing kolom yang tertinggi menunjukkan pola mendatar
yaitu pada kategori persepsi mengenai sanksi pelanggaran aturan perlindungan
karang yang rendah. Interpretasi hasil tersebut adalah sebagian responden dengan
persepsi yang rendah menunjukkan tindakan tidak mematuhi aturan dan lebih
banyak yang mematuhi aturan. Uji korelasi dilakukan untuk melihat hubungan dan
kekuatan hubungan.
Tabel 36 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi sanksi pelanggaran
perlindungan karang dan tingkat kepatuhan aturan perlindungan karang
Persepsi sanksi
pelanggaran perlindungan
karang
Tingkat kepatuhan aturan perlindungan
karang
Total
Tidak patuh Patuh
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
Rendah 4 67 15 44.12 19 47.5
Sedang 2 33.33 13 38.23 15 37.5
Tinggi 0 0 6 17.65 6 15
Total 6 100 34 100 40 100
Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan
antara persepsi tentang sanksi pelanggaran perlindungan karang dengan tingkat
kepatuhan perlindungan karang yang ditunjukkan dari nilai signifikansi sebesar
0.235. Nilai tersebut tidak memenuhi kriteria batas signifikansi hubungan sebesar
< 0.05. Persepsi mengenai sanksi perlindungan karang tidak mampu menunjukkan tingkat kepatuhan karang. Tabel 36 juga menjelaskan demikian, kombinasi persepsi
mengenai sanksi pelanggaran yang rendah dengan tingkat kepatuhan dalam
80
kategori patuh menempati persentase tertinggi. Terdapat variabel di luar persepsi
yang dimungkinkan memiliki hubungan dengan tingkat kepatuhan.
Responden beranggapan bahwa pemanfaatan karang di wilayah perairan
Pulau Kemujan tidak mengancam kelestarian ekosistem karang. Pemanfaatan
karang sebagai pengikat tali jangkar di dasar laut dalam jumlah yang sedikit,
sehingga apabila tindakan tersebut mendapat hukuman dirasa kurang tepat.
Hubungan Persepsi Sanksi Pelanggaran Perlindungan Penyu dengan
Tingkat Kepatuhan Aturan Perlindungan Penyu
Tabel 37 menunjukkan bahwa kombinasi antara variabel persepsi tentang
sanksi pelanggaran perlindungan karang yang rendah dengan tingkat kepatuhan
yang termasuk kategori patuh menempati persentase tertinggi (n=24). Hasil tabulasi
silang kurang mampu menunjukkan hubungan dikarenakan frekuensi dan
persentase di masing-masing kolom yang tertinggi menunjukkan pola mendatar
yaitu pada kategori persepsi mengenai sanksi pelanggaran aturan perlindungan
penyu yang rendah. Interpretasi hasil tersebut adalah sebagian responden dengan
persepsi yang rendah menunjukkan tindakan tidak mematuhi aturan dan lebih
banyak yang mematuhi aturan. Uji korelasi dilakukan untuk melihat hubungan dan
kekuatan hubungan.
Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan terdapat hubungan antara
persepsi tentang sanksi pelanggaran perlindungan penyu dengan tingkat kepatuhan
perlindungan penyu yang ditunjukkan dari nilai signifikansi sebesar 0.014. Nilai
tersebut memenuhi kriteria batas signifikansi hubungan sebesar < 0.05. Hubungan
kedua variabel tersebut termasuk dalam kategori hubungan sedang yang
ditunjukkan dari nilai Correlation Coefficient sebesar 0.387 dan nilai alpha 0.05
menunjukkan selang kepercayaan sebesar 95%. Hubungan yang ditunjukkan adalah
hubungan timbal balik yang berarti bahwa variabel persepsi tentang sanksi
pelanggaran aturan perlindungan penyu berhubungan dengan kepatuhan
perlindungan penyu, dan sebaliknya. Kategori hubungan termasuk dalam kategori
sedang dikarenakan persepsi mengenai sanksi pelanggaran aturan perlindungan
penyu tidak selalu ditunjukkan dengan tindakan mematuhi aturan. Terdapat
variabel di luar persepsi yang dimungkinkan memiliki hubungan dengan tingkat
kepatuhan.
Tabel 37 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi sanksi pelanggaran
perlindungan penyu dan tingkat kepatuhan aturan perlindungan penyu
Ppersepsi sanksi
pelanggaran perlindungan
penyu
Tingkat kepatuhan aturan perlindungan
penyu
Total
Tidak patuh Patuh
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
Rendah 23 100 13 76.48 36 90
Sedang 0 0 2 11.76 2 5
Tinggi 0 0 2 11.76 2 5
Total 23 100 17 100 40 100
81
Anggapan bahwa keberadaan penyu merupakan hama pemakan dan perusak
rumput laut juga menjadi alasan bahwa tidak diperlukan sanksi bagi pihak yang
melanggar. Tingkat kepatuhan yang ditunjukkan didasarkan atas berbagai motif
yang secara rinci dibahas pada sub bab Ciri Kepatuhan.
Hubungan Persepsi Mengenai Zona Budidaya Bahari dengan Tingkat
Kepatuhan Aturan Zona Budidaya Bahari
Tabel 38 menunjukkan bahwa kombinasi antara variabel persepsi mengenai
Zona Budidaya Bahari yang rendah dengan tingkat kepatuhan yang termasuk
kategori patuh memiliki frekuensi tertinggi (n=14). Hasil tabulasi silang kurang
mampu menunjukkan hubungan dikarenakan frekuensi dan persentase di masing-
masing kolom yang tertinggi menunjukkan pola mendatar yaitu pada kategori
persepsi mengenai mengenai Zona Budidaya Bahari yang rendah. Interpretasi hasil
tersebut adalah sebagian responden dengan persepsi yang rendah menunjukkan
tindakan tidak mematuhi aturan dan lebih banyak yang mematuhi aturan. Uji
korelasi dilakukan untuk melihat hubungan dan kekuatan hubungan.
Tabel 38 Jumlah dan persentase persepsi Zona Budidaya Bahari dan tingkat
kepatuhan aturan perlindungan biota
Persepsi Zona budidaya
Bahari
Tingkat kepatuhan aturan perlindungan
biota
Total
Tidak patuh Patuh
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
Jumlah Persentase
(%)
Rendah 14 70 12 60 26 65
Sedang 6 30 6 30 12 30
Tinggi 0 0 2 10 2 5
Total 20 100 20 100 40 100
Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan
antara persepsi mengenai Zona Budidaya Bahari dengan tingkat kepatuhan
perlindungan biota yang ditunjukkan dari nilai signifikansi sebesar 0.407. Nilai
tersebut tidak memenuhi kriteria batas signifikansi hubungan sebesar < 0.05.
Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini ditolak.
Berdasarkan hasil uji korelasi tersebut, maka untuk menjawab hipotesis uji yang
dirumuskan pada penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:
H1 : Terdapat hubungan antara persepsi mengenai Zona Budidaya Bahari dengan
tingkat kepatuhan aturan Zona Budidaya Bahari
H0 : Tidak terdapat hubungan antara persepsi mengenai Zona Budidaya Bahari
dengan tingkat kepatuhan aturan Zona Budidaya Bahari
Nilai signifikansi sebesar 0.407 menunjukkan tidak terdapat hubungan antara
persepsi mengenai Zona Budidaya Bahari dengan tingkat kepatuhan perlindungan
biota, sehingga H1 ditolak dan H0 diterima. Hasil tersebut merupakan akumulasi
kedua variabel dari masing-masing sub variabel, sehingga untuk mengetahui hubungan masing-masing hubungan sub variabel dapat dilihat pada pembahasan
masing-masing sub sub bab pada bab ini. Apabila melihat signifikasi hubungan
82
pada masing-masing sub variabel maka terdapat sub variabel yang memenuhi
hipoteis yaitu:
1) hubungan persepsi aturan perlindungan karang dengan tingkat kepatuhan
aturan perlindungan karang;
2) hubungan persepsi aturan perlindungan penyu dengan tingkat kepatuhan aturan
perlindungan penyu; dan
3) hubungan persepsi sanksi pelanggaran aturan perlindungan penyu dengan
tingkat kepatuhan aturan perlindungan penyu.
Ikhtisar
Persepsi dan kepatuhan merupakan dua hal yang berbeda. Apabila persepsi
merupakan proses mental, maka kepatuhan adalah wujud tindakan dari seseorang.
Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan terdapat hubungan antara persepsi
tentang perlindungan karang dengan tingkat kepatuhan perlindungan karang,
persepsi tentang perlindungan penyu dengan tingkat kepatuhan aturan perlindungan
penyu, dan persepsi mengenai sanksi pelanggaran aturan perlindungan penyu
dengan tingkat kepatuhan aturan perlindungan penyu. Namun, hasil uji korelasi
Rank Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara persepsi mengenai
sanksi pelanggaran aturan perlindungan karang dengan tingkat kepatuhan aturan
perlindungan karang. Hasil uji korelasi Rank Spearman pada akumulasi masing-
masing sub variabel menunjukkan tidak terdapat hubungan antara persepsi
mengenai Zona Budidaya Bahari dengan tingkat kepatuhan aturan perlindungan
biota.
83
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Secara hukum (de jure), pembudidaya rumput laut diberikan hak pemanfaatan,
namun secara de facto pembudidaya rumput laut memiliki sekumpulan hak (bundle
of right) melalui klaim lahan. Berdasarkan Teori Ostrom (1990), pembudidaya
rumput laut memiliki hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak
eksklusi sehingga dapat dikategorikan ke dalam status sebagai Proprietor.
Perbedaan hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut yang bersumber dari
rujukan aturan secara de jure dan de facto menunjukkan bahwa hak kepemilikan
masih belum terdefinisi secara jelas, sehingga mampu memicu konflik hak
kepemilikan.
Budi daya rumput laut yang berorientasi pada produksi harus dihadapkan
pada misi konservasi, sehingga memunculkan persepsi dalam memandang sumber
daya perairan. Secara umum pembudidaya rumput laut berpersepsi sedang terhadap
aturan perlindungan karang, namun berpersepsi rendah terhadap aturan
perlindungan penyu, sanksi pelanggaran aturan perlindungan karang, dan sanksi
pelanggaran aturan perlindungan penyu. Berdasarkan hal tersebut, persepsi
mengenai Zona Budidaya Bahari termasuk dalam kategori rendah. Secara umum
pembudidaya rumput laut mematuhi aturan perlindungan karang, namun tidak
mematuhi aturan perlindungan penyu. Hasil akumulasi keduanya menunjukkan
tingkat kepatuhan terhadap aturan perlindungan biota yang secara umum termasuk
kategori Patuh. Kepatuhan yang ditunjukkan dicirikan oleh moralitas.
Perbedaan pandangan dari masyarakat dan pemerintah mampu menyebabkan
terjadinya krisis legitimasi. Berdasarkan aspek isi aturan, krisis legitimasi terjadi
pada aturan perlindungan penyu. Berdasarkan aspek distribusi dampak, penetapan
lokasi Zona Budidaya Bahari di perairan Pulau Kemujan tidak memihak pada
pembudidaya rumput laut. Selain itu, perlindungan penyu bias terhadap misi
konservasi menempatkan pembudidaya rumput laut sebagai pihak yang mengalami
kerugian. Partisipasi pembudidaya rumput laut masih minim dalam pembuatan
aturan. Selain itu, perhatian pengelola terhadap aktivitas budi daya rumput laut
masih minim. Ketidakpatuhan yang ditunjukkan dan adanya perbedaan pandangan
menjadi pemicu konflik sumber daya alam.
Terdapat hubungan antara persepsi tentang perlindungan karang dengan
tingkat kepatuhan perlindungan karang, persepsi tentang perlindungan penyu
dengan tingkat kepatuhan aturan perlindungan penyu, dan persepsi mengenai sanksi
pelanggaran aturan perlindungan penyu dengan tingkat kepatuhan perlindungan
penyu. Namun, tidak terdapat hubungan antara persepsi mengenai sanksi
pelanggaran aturan perlindungan karang dengan tingkat kepatuhan perlindungan
karang. Hasil uji korelasi pada akumulasi masing-masing sub variabel
menunjukkan tidak terdapat hubungan antara persepsi mengenai Zona Budidaya
Bahari dengan tingkat kepatuhan aturan perlindungan biota.
84
Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penulis dibagi menjadi saran untuk
pengelolaan Zona Budidaya bahari TNKJ dan saran pengembangan penelitian.
Saran bagi pengelolaan Zona Budidaya bahari khususnya ditujukan bagi BTNKJ
sebagai pihak pengelola. Berdasarkan hasil penelitian, seluruh pembudidaya
rumput laut tidak mengetahui Zona Budidaya Bahari beserta aturannya, sehingga
diperlukan penyusunan kembali strategi sosialisasi Zona Budidaya Bahari yang
mampu membangkitkan kesadaran kritis pembudidaya rumput laut atas pentingnya
konservasi. Kesadaran kritis perlu dibangun secara menyeluruh karena pada hasil
penelitian juga menemukan bahwa kesadaran mematuhi aturan masih dimiliki oleh
sebagian pembudidaya rumput laut. Sosialisasi juga perlu diiringi dengan penataan
kembali pelaksanaan aturan Zona Budidaya Bahari yang mampu mendefinisikan
hak dan kewajiban pembudidaya rumput laut atas pertimbangan rasionalitas dan
keadilan. Perlu dipersiapkan strategi pemanfaatan wilayah Zona Budidaya Bahari
untuk mengatasi konflik pemanfaatan lahan dan ekspolitasi yang berlebihan apabila
penambahan luasan budi daya rumput laut terus terjadi. Peningkatan partisipasi
pembudidaya rumput laut mutlak diperlukan dalam pengawasan, dan sosialisasi
aturan. Selain itu, diperlukan komitmen dan kesiapan pihak pengelola untuk
pengawasan dan penegakan hukum. Hal ini terkait dengan hasil penelitian bahwa
sebagian pembudidaya rumput laut yang belum menjumpai penyu memilii
kecenderungan untuk melanggar aturan.
Saran berikutnya adalah perlunya dilakukan penelitian mengenai distribusi
hak kepemilikan sumber daya perairan pada berbagai aktor yang terlibat. Hal ini
perlu diketahui agar mampu menunjukkan distribusi hak kepemilikan tidak hanya
pada satu aktor pengguna. Selain itu, diperlukan pula analisis mengenai kesesuaian
penggunaan lahan budi daya rumput laut berdasarkan batas Zona Budidaya Bahari.
Hal ini penting untuk mengetahui keefektifan penetapan lokasi Zona Budidaya
Bahari.
85
DAFTAR PUSTAKA
Adhuri DS. 2006. Setelah reformasi: memahami konflik-konflik perikanan
“kontemporer”. Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.
1(2):205-217.
Aulia TOS, Dharmawan AH. 2010. Kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya
air di Kampung Kuta. Sodality [Internet]. [diunduh 2014 Mar 9]; 4(3): 345-355.
Tersedia pada:
https://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5839/4504.
Andono G. 2004. Kajian Kesesuaian dan Pengelolaan Kawasan Konservasi
Terumbu Karang di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta. [tesis]. [Internet]. [diunduh 2014 Jun 16]. [Institut
Pertanian Bogor]. Tersedia pada:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/7623/2004gan.pdf?seq
uence=4.
Bawole R, Yulianda F, Bengen DG, Fachrudin A. 2011. Keberlanjutan
penatakelolaan zona pemanfaatan tradisional dalam kawasan konservasi laut
Taman Nasional Teluk Cendrawasih Papua Barat. JMHT [Internet]. [diunduh
2012 Mar 9]; XVII(2): 71-78. Tersedia pada:
https://journal.ipb.ac.id/index.php/jmht/article/download/3979/2718.
Berkes F. 1989. Common Property Resources. Great Britain (GB): Belhaven Press.
[BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2010a. Analisis Dampak Budi Daya
Rumput Laut terhadap Kawasan SPTN II Karimunjawa. Semarang (ID):
BTNKJ.
[BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2010b. Konsultasi Publik Desa
Kemujan-Revisi Zonasi TN Karimunjawa Tahun 2010. Semarang (ID): BTNKJ.
[BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2012. Zonasi Taman Nasional
Karimunjawa. Semarang (ID): BTNKJ.
[BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2013. Statistik Balai Taman
Nasional Karimunjawa Tahun 2013. Semarang (ID): BTNKJ.
Dharmawan AH, Daryanto A. 2003. Pengelolaan sumber daya perikanan dalam era
otonomi daerah: ruang kekuasaan dan model manajemen sumber daya ekonomi
(the revolutive movement for rural democratization). Sosial Ekonomi
Pertanian. 16(1):21-35.
[Dir. PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2012.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi alam
No: SK. 28/IV-SET/2012 Tentang Zonasi Taman Nasional Karimunjawa.
Jakarta (ID): Dir. PHKA.
Hanna S, Munasinghe M. 1995 . Property Rights in a Social and Ecological
Context: Case Studies And Design Applications. [Buku Elektronik]. [Internet].
[diunduh 2014 Feb 26]. Tersedia pada:
http://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=OFVk3vW8vJ8C&oi=fnd&p
g=PP5&dq=property+right+by+world+bank&ots=_uM4VcU7Mu&sig=yIlee
9nOAlGT3maEb9ruS6LrpPs&redir_esc=y#v=onepage&q=property%20right%20by%20world%20bank&f=false.
Hartono TT, Kartodiharjdo H, Purbayanto A, Satria A. 2012. Rezim hak
kepemilikan dan akses terhadap sumber daya lahan bagi efektivitas insitusi
86
pengelolaan kawasan konservasi penyu. Sosial Ekonomi Kelautan dan
Perikanan [Internet]. [diunduh 2013 Des 13]; 7(2): 165-175. Tersedia pada:
http://www.bbrse.kkp.go.id/publikasi/jurnal_2012_v7_no2_(4)_full.pdf.
Hidayati W. 2009. Analisis struktur, perilaku dan keragaan pasar rumput laut
Eucheuma cottoni: kasus di Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar,
Provinsi Sulawesi Selatan. [tesis]. [Internet]. [diunduh 2014 Jan 12]. [Institut
Pertanian Bogor]. Tersedia pada:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/43873.
Jentoft S, McCay BJ, Wilson DC. 1998. Social theory and fisheries co-management.
Marine Policy [Internet]. [diunduh 2014 Mar 19]; 22(4-5): 423-436. Tersedia
pada: http://dx.doi.org/10.1016/S0308-597X(97)00040-7.
Jentoft S. 2000. Legitimacy and disappointment in fisheries management. Marine
Policy [Internet]. [dikutip pada tanggal 14 maret 2014]; 24 (2000) 141-148.
Dapat diunduh dari: http://dx.doi.org/10.1016/S0308-597X(99)00025-1.
Kamlasi Y. 2008. Kajian ekologis dan biologi untuk pengembangan budi daya
rumput laut (Eucheuma cottinii) di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten
Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur. [tesis]. [Internet]. [diunduh 2013 Des
27]. [Institut Pertanian Bogor]. Tersedia pada:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/11666.
[Kemenhut] Kementrian Kehutanan. 1999. Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No. 78/Kpt-II/1999 Tentang Revisi Zonasi/Mintakat Taman
Nasional Kepulauan Karimunjawa. Jakarta (ID): Kemenhut.
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2004. Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor: KEP.02/MEN/2004 Tentang Perizinan Usaha
Pembudidayaan Ikan. Jakarta (ID): KKP.
Kolopaking LM. 2003. Organisasi dan birokrasi. Di dalam: Nasdian FT, Sitorus F,
Sumarti T, Dharmawan AH, Nawireja IK, editor. Sosiologi Umum. Bogor (ID):
IPB Press.
Kurniasari N, Satria A, Rusli S. 2012. Konflik dan potensi konflik dalam
pengelolaan sumber daya kerang hijau di Kalibaru Jakarta Utara. Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan [Internet]. [diunduh 2013 Des 13]; 7(2):215-
207. Tersedia pada:
http://www.bbrse.kkp.go.id/publikasi/jurnal_2012_v7_no2_(7)_full.pdf.
Larson AM. 2013. Hak tenurial dan akses ke hutan: manual pelatihan untuk
penelitian. [Internet]. [diunduh 2014 Feb 27]. Tersedia pada:
http://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/BLarson1302.pdf.
Limbong B. 2012. Konflik Pertanahan. Jakarta (ID): Margaretha Pustaka.
Lubis FLS. 2013. Perilaku ekonomi nelayan rajungan dalam kerangka
industrialisasi perikanan. [skripsi]. [Internet]. [diunduh 2014 Mei 22]. [Institut
Pertanian Bogor]. Tersedia pada:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/65055/I13fls.pdf?sequ
ence=1.
Mansyur K. 2008. Pengelolaan sumberdaya Pulau Lingayan untuk pengembangan
budi daya rumput laut dan ikan kerapu. [tesis]. [Internet]. [diunduh 2014 Jan
12]. [Institut Pertanian Bogor]. Tersedia
pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/9774.
Mansyur A. 2010. Pengelolaan perairan pesisir gugus pulau kaledupa untuk usaha
budi daya rumput laut. [tesis]. [Internet]. [diunduh 2014 Jan 8]. [Institut
87
Pertanian Bogor]. Tersedia pada:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/40871.
Mardijono. 2008. Persepsi dan partisipasi nelayan terhadap pengelolaan kawasan
konservasi laut Kota Batam. [tesis]. [Internet]. [diunduh 2014 Feb 23]. [Institut
Pertanian Bogor]. Tersedia pada:
http://eprints.undip.ac.id/18092/1/Mardijono.pdf.
Mawuntu JR. 2012. Konsep penguasaan negara berdasarkan pasal 33 UUD 1945
dan putusan mahkamah konstitusi. [Internet]. [diunduh 2014 Jan 8]. XX(3):11-
21. Tersedia pada:
http://repo.unsrat.ac.id/273/1/KONSEP_PENGUASAAN_NEGARA_BERD
ASARKAN__PASAL_33_UUD_1945__DAN_PUTUSAN_MAHKAMAH_
KONSTITUSI.pdf.
Minapolitan rumput laut Parigi Moutong tingkatkan kesejahteraan pembudidaya.
2013. [Internet]. [diunduh 2013 Des 13]. Tersedia pada:
http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/10152/MINAPOLITAN-RUMPUT-
LAUT-PARIGI-MOUTONG-TINGKATKAN-KESEJAHTERAAN-
PEMBUDIDAYA/?category_id=91.
Muliari NK, Setiawan PE. 2011. Pengaruh persepsi tentang sanksi perpajakan dan
kesadaran wajib pajak pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi di
kantor pelayanan pajak pratama Denpasar Timur. Ilmiah Akuntasi dan Bisnis
[Internet]. [diunduh 2014 Mar 9]; 6(1):1-23. Tersedia pada:
http://ojs.unud.ac.id/index.php/jiab/article/view/2641/1855.
Nur S, Saleng A. 2013. Aspek sosioyuridis lahan budi daya rumput laut sebagai
mahar perkawinan di kabupaten bantaeng-sulawesi selatan. [Internet].
[diunduh 2013 Feb 26]. Tersedia pada:
http://222.124.222.229/handle/123456789/5941.
Ostrom E, Gardner R, Walker J. 1994. Rules, games, and common-pool resources.
United States of America (US): The University of Michigan Press.
Pemerintah Desa Kemujan. 2011. Monografi Desa Kemujan Kecamatan
Karimunjawa Kabupaten Kepara.
Pemerintah Dorong Industrialisasi Rumput Laut. 2013. [Internet]. [diunduh 2014
Jan 13]. Tersedia pada:
http://www.antaranews.com/berita/398899/pemerintah-dorong-industrialisasi-
rumput-laut.
Pemerintah Republik Indonesia. 1990. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumber daya Alam dan Ekosistem. Jakarta (ID): Sekretariat
Negara.
Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-undang Nomor 32/1999 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999
Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta (ID): Sekretariat
Negara.
Pemerintah Republik Indonesia. 2011. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011
Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan pelestarian Alam.
Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
Pemerintah Republik Indonesia. 2014. Undang-undang No. 1 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Undang-undang No. 27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
88
Prasodjo NW, Pandjaitan NK. 2003. Organisasi dan birokrasi. Di dalam: Nasdian
FT, Sitorus F, Sumarti T, Dharmawan AH, Nawireja IK, editor. Sosiologi
Umum. Bogor (ID): IPB Press.
Priyatna FN. 2013. Kontestasi kepentingan dalam pengelolaan sumber daya
perairan Waduk Djuanda, Jatiluhur. [tesis]. [Internet]. [diunduh 2014 Jan 8].
[Institut Pertanian Bogor]. Tersedia pada:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/40871.
Purwanti F, Alikodra HS, Basuni S, Soedharma D. 2008. Pengembangan co-
management Taman Nasional Karimunjawa. Ilmu Kelautan [Internet].
[diunduh 2014 Feb 17]; 13 (3):159-166. Tersedia pada:
http://eprints.undip.ac.id/1426/1/07_%230908%23_Frida_Purwanti_159_-
166.pdf
[Pusdatin KKP] Pusat Data Statistik dan Informasi Kementrian Kelautan dan
Perikanan. 2011. Kelautan dan perikanan dalam angka 2011. [Internet].
[diunduh 2014 Jan 14]. Tersedia pada:
statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/file/37/kpda11_ok_r06_v02.pdf/. 100 hal.
Samad F. 2011. Analisis kesesuaian lahan budi daya rumput laut menggunakan
penginderaan jauh dan SIG di Taman Nasional Karimunjawa. [skripsi].
[Internet]. [diunduh 2013 Des 27]. [Institut Pertanian Bogor]. Tersedia pada:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/47156.
Satria A. 2002. Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta (ID): PT. Pustaka Cidesindo.
Satria A. 2009a. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor (ID): IPB Press.
Satria A. 2009b. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta (ID): PT. LkiS Printing
Cemerlang.
Satria A, Matsuda Y. 2004. Decentralization of fisheries management in Indonesia.
Marine Policy [Internet]. [diunduh 2014 jan 8]; 28 (5):437-450. Tersedia pada:
10.1016/j.marpol.2003.11.001.
Satria A, Matsuda Y, Sano M. 2005. Contractual solution to the tragedy of property
right in coastal fisheries. Marine Policy [Internet]. [diunduh 2013 Nov 6]; 30:
226-236. Tersedia pada: 10.1016/j.marpol.2005.01.003.
Satria A, Sano M, Shima H. 2006a. Politics of marine conservation area in
Indonesia: from a centralised to a decentralised system. Environment and
Sustainable Development [Internet]. [diunduh 2014 Jan 8]. 5(3):240-261.
Tersedia pada:
http://inderscience.metapress.com/index/D90K84MD41NYU394.pdf.
Satria A, Matsuda Y, Sano M. 2006b. Questioning community based coral reef
management systems: case study of awig-awig in Gili Indah, Indonesia.
Environment, Development, and Sustainability [Internet]. [diunduh 2014 Jan
8]. Tersedia pada: 10.1007/s10668-005-0909-9.
Sepdianty AE. 2006. Perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah. [skripsi].
[Internet]. [diunduh 2014 Jun 16]. [Institut Pertanian Bogor]. Tersedia pada:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/50441/A06aes.pdf?seq
uence=1.
Setyaningsih H. 2011. Kelayakan usaha budi daya rumput laut Kappaphycus
alvarezii dengan metode longline dan strategi pengembangannya di perairan
Karimunjawa. [tesis]. [Internet]. [diunduh 2014 Des 27]. [Institut Pertanian
Bogor]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/52405.
89
Shaliza F et al. 2003. Dimensi Agraria Masyarakat Pesisir: Sebuah Wacana
Menuju Reforma Agraria Kelautan. Bogor (ID): Program Studi Sosiologi
Pedesaan program Pascasarjana IPB.
Silalahi U. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung (ID): PT. Refika Aditama.
Singarimbun M. 1989. Metode dan Proses Penelitian. Singarumbun M, Effendi S,
editor. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): Lembaga Penelitian,
Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Sirajuddin M. 2008. Analisa ruang ekologi untuk pengelompokan zona
pengembangan budi daya rumput laut (Eucheuma cottonii) di Teluk Waworada
Kabupaten Bima. [tesis]. [Internet]. [diunduh 2014 Jan 12]. [Institut Pertanian
Bogor]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/10027.
Sumardjono MS, Ismail N, Rustiadi E, Damai AA. 2009. Final report kajian kritis
undang-undang terkait penataan ruang dan sumber daya alam. Jakarta (ID):
Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan
ESP2 – DANIDA.
Suparno. 2009. Zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai salah satu
dokumen penting untuk disusun oleh pemerintah daerah
propinsi/kabupaten/kota. Mangrove dan Pesisir. IX(1):1-8.
Wahyuni NI, Mamonto R. 2012. Persepsi masyarakat terhadap taman nasional dan
sumberdaya hutan: studi kasus Blok Aketawaje, Taman Nasional Aketajawe
Lolobata. Info BPK Manado [Internet]. [diunduh 2014 Feb 24]; 2(1): 1-16.
Tersedia pada: http://forda-
mof.org/files/Persepsi_Masyarakat_terhadap_Taman_Nasional_dan_Sumberda
ya.pdf.
90
91
Lampiran 1 Peta Zona Budidaya Bahari di perairan Pulau Kemujan Taman
Nasional Karimunjawa
Keterangan: : Zona Budidaya
Bahari : Terumbu
karang
92
Lampiran 2 Kerangka samplinga
No Nama
1 MMR
2 MIY
3 SLY
4 ABZ
5 BUK
6 ABM
7 SBN
8 SBR
9 RSM
10 MKR
11 SGY
12 AGS
13 JND
14 NRT
15 RSD
16 MFU
17 MRH
18 SEK
19 MLS
20 SUM
21 ABR
22 RKL
23 ALR
24 MUS
25 SNR
26 MST
27 STN
28 NFT
29 YTM
30 SLS
31 TPK
32 ASW
33 ASD
34 SAD
35 SHR
36 IMT
37 RDH
38 TMS
39 NGT
40 STW
No Nama
41 SWN
42 HWS
43 ARF
44 JUN
45 ASN
46 MTS
47 SHO
48 MUA
49 NRO
50 CHM
51 DDI
52 SFH
53 SYD
54 ABK
55 YON
56 NHZ
57 KHM
58 MZD
59 ERM
60 TGR
61 JMR
62 AKD
63 JRM
64 ABH
65 RBN
66 MIS
67 SGY
68 SDY
69 SYH
70 WLA
71 RNA
72 PMN
73 NUA
74 SLK
75 PRT
76 YOS
77 AND
78 DKR
79 YAT
80 DRS
93
No Nama
81 KYT
82 MUR
83 RBY
84 JKS
85 RAM
86 ABI
87 SLW
88 MIS
89 KRD
90 SRT
91 MNW
92 EDS
93 IND
94 ABW
95 SUL
96 ABY
97 MSF
98 JDK
99 IRM
100 MMR
101 NRD
102 AHM
103 SYR
104 HRD
105 MST
106 MMS
107 RTA
108 ZEA
109 USM
110 AGM
111 SKR
112 LHM
113 SMR
No Nama
114 BNT
115 ANR
116 HBB
117 SDR
118 STK
119 TNR
120 SPY
121 JKP
122 MUT
123 STN
124 MOA
125 ABS
126 SHR
127 SMK
128 NJH
129 ABM
130 IDR
131 NGT
132 JMY
133 MRP
134 UMN
135 MSH
136 SYO
137 MHG
138 NUR
139 NRD
140 ADK
141 DYT
142 ZAN
143 SYD
144 MHM
145 SHT
aWarna kuning merupakan responden yang dipilih menggunakan teknik simple
random sampling.
94
Lampiran 3 Hasil uji korelasi
Hasil Uji Korelasi Persepsi Aturan Perlindungan Karang dengan Tingkat
Kepatuhan Aturan Perlindungan Karang
Correlations
PERSEPSI
ATURAN
KARANG
KEPATUHAN
KARANG
Spearman's
rho
PERSEPSI ATURAN
KARANG
Correlation Coefficient 1,000 ,428**
Sig. (2-tailed) . ,006
N 40 40
KEPATUHAN
KARANG
Correlation Coefficient ,428** 1,000
Sig. (2-tailed) ,006 .
N 40 40
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Hasil Uji Korelasi Persepsi Aturan Perlindungan Penyu dengan Tingkat
Kepatuhan Aturan Perlindungan Penyu
Correlations
PERSEPSI
ATURAN
PENYU
KEPATUHAN
PENYU
Spearman's
rho
PERSEPSI
ATURAN PENYU
Correlation Coefficient 1,000 ,351*
Sig. (2-tailed) . ,026
N 40 40
KEPATUHAN
PENYU
Correlation Coefficient ,351* 1,000
Sig. (2-tailed) ,026 .
N 40 40
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Hasil Uji Korelasi Persepsi Sanksi Pelanggaran Perlindungan Karang dengan
Tingkat Kepatuhan Aturan Perlindungan Karang
Correlations
PERSEPSI
SANKSI
KARANG
KEPATUHAN
KARANG
Spearman's
rho
PERSEPSI SANKSI
KARANG
Correlation Coefficient 1,000 ,192
Sig. (2-tailed) . ,235
N 40 40
KEPATUHAN
KARANG
Correlation Coefficient ,192 1,000
Sig. (2-tailed) ,235 .
N 40 40
95
Hasil Uji Korelasi Persepsi Sanksi Pelanggaran Perlindungan Penyu dengan
Tingkat Kepatuhan Aturan Perlindungan Penyu
Correlations
PERSEPSI
SANKSI
PENYU
KEPATUHAN
PENYU
Spearman's
rho
PERSEPSI SANKSI
PENYU
Correlation Coefficient 1,000 ,378*
Sig. (2-tailed) . ,014
N 40 40
KEPATUHAN
PENYU
Correlation Coefficient ,378* 1,000
Sig. (2-tailed) ,014 .
N 40 40
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Hasil Uji Korelasi Persepsi Responden Mengenai Zona Budidaya Bahari dengan
Tingkat Kepatuhan Aturan Zona Budidaya Bahari
Correlations
PERSEPSI
ZONA
BUDIDAYA
BAHARI
KEPATUHAN
ATURAN
Spearman's
rho
PERSEPSI ZONA
BUDIDAYA
BAHARI
Correlation Coefficient 1,000 ,135
Sig. (2-tailed) . ,407
N 40 40
KEPATUHAN
ATURAN
Correlation Coefficient ,135 1,000
Sig. (2-tailed) ,407 .
N 40 40
96
Lampiran 4 Dokumentasi
Budi daya rumput laut di perairan Pulau
Kemujan
Proses mengikat bibit rumput laut pada
tali pancang
Penimbangan rumput laut setelah panen
Proses pengeringan rumput laut Tali pancang dan tali ikat – sarana
produksi rumput laut
Persiapan penggunaan jaring untuk
melindungi rumput laut dari penyu
Proses memanen rumput laut
Observasi dan wawancara di lokasi budi
daya rumput laut
97
RIWAYAT HIDUP
Nur Hannah Muthohharoh dilahirkan di Jepara pada tanggal 24 Februari
1993. Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara yang lahir dari
pasangan Muhammad Jawahir dan Shofiyatin. Penulis memulai pendidikannya di
Raudhatul Athfal (RA) Nahdlatul Ulama’ pada tahun 1997-1998, kemudian
melanjutkan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Miftahul Huda Tegalsambi pada tahun
1998-2004, Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Jepara pada tahun 2004-2007,
dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Jepara pada tahun 2007-2010. Penulis
melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 melalui
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia.
Penulis tidak hanya menekuni aktivitas akademik selama menimba ilmu di
Institut Pertanian Bogor, namun juga aktif di berbagai organisasi, kepanitiaan, dan
kegiatan di luar bidang akademik. Penulis memulai pengalaman berorganisasi di
Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan Mahasiswa Bogor Jepara (OMDA
IMAGORA) sebagai Bendahara pada tahun 2010-2012. Penulis juga mengikuti
Unit Kegatan Mahasiswa (UKM) Paduan Suara Mahasiswa (PSM) Agriaswara
pada tahun 2010-2011 dan bergabung dalam konser angkatan pada tahun 2011.
Penulis juga aktif menjadi pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi
Manusia (BEM FEMA) sebagai sekretaris Departemen Sosial dan Lingkungan
(Sosling) pada kepengurusan tahun 2011-2012. Penulis melanjutkan kontribusinya
di organisasi yang sama yaitu BEM FEMA di kepengurusan tahun 2012-2013 dan
menjabat sebagai Sekretaris Umum.
Penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan beberapa acara yang
diselenggarakan di tingkat IPB, diantaranya sebagai Penanggung Jawab Laskar
Tani (PJLT) Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) IPB angkatan
48 tahun 2011, divisi Acara pada kegiatan I-Share Himasiera tahun 2011, sekretaris
kegiatan Desa Mitra Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (Samisaena) pada tahun
2012, sekretaris kegiatan Kemah Riset (Keris) pada tahun 2012, sekretaris kegiatan
FEMA Care and Share pada tahun 2012, sekretaris kegiatan Indonesian Ecology
Expo (INDEX) pada tahun 2012, divisi Acara pada kegiatan Masa Perkenalan
Fakultas Ekologi Manusia tahun 2012, sekretaris Penanggung Jawab Anggota
Kelompok pada kegiatan Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat tahun 2012, dan sekretaris kegiatan Canvasing IPB
pada tahun 2012. Selain itu penulis juga menjadi asisten Mata Kuliah Dasar-dasar
Komunikasi selama tiga kali periode.