GRATIFIKASI DALAM AL-QUR’AN MENURUT A MA MUS T A A
A -MAR DALAM TA S R A -MAR
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Anis Khoiru Ummah
NIM. 1111034000006
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2017 M.
ii
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah diuji pada Sidang Terbuka pada:
Hari, tanggal : Rabu, 01 November 2017
Pukul : 13.00 WIB
Pembimbing : Drs. A. Rifqi Muchtar, MA
Ketua Sidang : Dr. M. Suryadinata, M.Ag
Sekretaris : Dra. Banun Binaningrum, M.Pd
Tim Penguji : 1. Dr. Abdul Moqsith Ghazali, MA
2. Muslih, Lc, M.Ag.
iv
ABSTRAK
Anis Khoiru Ummah
Gratifikasi Dalam Al-Qur’an Menurut Ahmad Mustafa Al-Marâghî Dalam
Tafsir Al-Marâghî.
Gratifikasi dalam pengertian mendasar yaitu sebuah pemberian, yang
diberikan diluar gaji yang telah ditetapkan. Islam tidak mengenal istilah
gratifikasi, namun istilah yang mendekati dalam penjelasaan mengenai gratifikasi
adalah hadiah dan risywah, risywah dalam bahasa Indonesa disebut suap. Hadiah
jika diberikan semata-mata karena Allah, tanpa tujuan dan kepentingan apapun,
juga bukan karena pekerjaan atau jabatannya. Maka hadiah tersebut bukan
merupakan gratifikasi. Sementara hadiah yang diberikan berkaitan dengan
pekerjaan dan jabatan, serta memiliki tujuan dan kepentigan dalam Islam dikenal
dengan istilah risywah. Risywah atau gratifikasi adalah perbuatan tercela (batil).
Al-Maraghi mengatakan bahwa gratifikasi adalah salah satu hal yang
mengandung kebatilan, seperti kejahatan dalam jual beli, penipuan, pencurian,
korupsi, penyalahgunaan harta untuk kejahatan dan lain sebagainya. Menurut Al-
gh untuk terhindar dari hal-hal tersebut, seseorang hendaknya mengikuti
petunjuk yang diberikan Allah dalam Al-Qu ’ n sebagaimana dalam tafsirnya,
seperti ketentuan dalam memperoleh dan membelanjakan harta. Oleh karena itu
seseorang tidak dibolehkan mencari penghidupan dengan cara-cara yang di larang
oleh sy i’ t (g tifik si), k en h l ini k n me ugik n dan membahayakan
orang lain. Seharusnya dalam mencari penghidupan hendaknya dengan cara yang
di h l lk n oleh sy i’ t, sehingg tid k me ugik n orang lain. Islam
memerintahkan pula untuk menghormati jiwa orang lain, sebagaimana
menghormati jiwa sendiri. Oleh karena itu seorang tidak dibenarkan dan
dibolehkan berbuat aniaya dengan membunuh diri sendiri maupun orang lain, agar
tenhindar dari kesusahan dan kesengsaraan hidup. Walau bagaimanapun beratnya
musibah yang menimpanya, hendaknya bersabar, berharap dan tidak boleh
berputus asa terhadap pertolongan Allah.
Penelitian ini adalah penelitian tokoh, dan lazim disebut dengan studi
tokoh yang termasuk jenis penelitian kualitatif, dengan menggunakan karya-karya
Ahmad Mustafa Al-Marâghî baik berupa buku/kitab serta naskah-naskah lainya
sebagai sumber data primer, sedangkan karya-karya orang lain baik yang pro
maupun yang kontra dijadikan sebagai sumber data sekunder, begitu juga halnya
data yang diperoleh melalui internet, bertujuan menggambarkan dan
mengungkapkan pemikiran Ahmad Mustafa Al-Marâghî mengenai gratifikasi.
Metode yang digunakan adalah Library Research (kepustakaan), dengan
menggunakan analisis deskriptif.
- -
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah swt., Dzat yang memberikan nikmat dan
karunia yang tak terhingga. Salawat serta salam tak lupa penulis curahkan
kepada sosok manusia paling sempurna, Nabi Muhammad saw., Rasul
penutup para Nabi, serta doa untuk keluarga, sahabatnya, dan para
pengikutnya.
Melalui upaya dan Usaha yang melelahkan, Alhamdulillāh akhirnya
dengan rahmat dan Syafaatnya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan sebaik-baiknya. Hambatan yang penulis rasakan dalam penyusunan
skripsi ini, alḥamdulillāh dapat teratasi berkat tuntunan serta bimbingan-
Nya dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rasyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag, selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu
Dekan.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Tafsir
Hadis, Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, dan kak Hani Hilyati, S.Th.I,
selaku Staf Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, MA selaku dosen pembimbing
akademik penulis yang bersedia meluangkan waktunya untuk
vi
memberikan saran dan masukan seputar perkuliahan dan penelitian
yang hendak penulis ambil.
5. Bapak Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA, selaku dosen pembimbing
skripsi, yang selalu memberikan dedikasinya kepada penulis, bersabar
memberikan ilmu dan bimbingannya selama penulis berada di bawah
bimbingannya. Melalui beliau, tumbuh ide-ide baru, pemikiran baru,
sehingga penulis lebih bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan
dedikasinya mendidik penulis, memberikan ilmu, pengalaman, serta
pengarahan kepada penulis selama masa perkuliahan.
7. Segenap pimpinan dan karyawan, Perpustakaan Studi Al-Qur’an
(PSQ), Perpustakaan Pascasarjana, Perpustakaan Utama dan
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
8. Ust. Fauzy, Ustadzah Nur’aini hasan, Ibu Gifty, yang bersedia pula
memberi masukan, ilmu baru, dorongan serta do’anya agar penulis tak
patah semangat dalam menghadapi kesulitan menyusun skripsi ini.
9. Ayahanda tercinta (Bay Susanto) dan Ibunda tersayang (Nenti
Rakhmawati) yang selalu mencurahkan kasih sayangnya, dengan do’a,
dukungan moril maupun materil, semangat dan rasa cintanya yang tak
terhingga, yang selalu dicurahkan sepanjang masa. Kakakku (Restu
Wahyu Aulia) dan adik-adikku tersayang (Hifdziyatul Maula, Ilham
Maulana Hafidz, Mauidzotun Avissa)yang selalu ceria menemani
vii
penulis dengan segenap keceriaan canda dan tawa, selalu
menyempatkan menyemangati penulis dikala sedang mengalami
kesulitan dalam penulisan. Pipit, Eva, Vita, Aie, Sandi, Serta seluruh
keluarga besar yang memberikan motivasi kepada penulis.
10. Teman seperjuangan Wilda Kamalia, Intan Tri A, Siti Annisa, Annisa
Maqbullah, Eka Syarifah, Seman Ansyarie, Nur Hidayat, Ridhan F,
Rajab Husein, Syahrul Bunyan, Saiful Fajar, Bazit Zein, Muflih
Hidayat, Ahmad Zaim, Azka Fahri dan Seluruh teman-teman sektor-
11 (Tafsir Hadis 2011) dari A hingga E yang selalu kompak setia
menemani penulis memberikan warna-warni kehidupan. “Buat semua
makasih ya untuk kebersamaannya dan support kalian. Trust me ! i
never forget our moment and experience. “puun uldi&dpr”
11. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan dalam proses
penyelesaian skripsi ini, namun luput untuk penulis sebutkan, tanpa
mengurangi rasa terima kasih penulis.
Penulis berharap semoga skripsi ini sedikit banyak dapat bermanfaat
bagi pembaca dan semoga Allah swt. selalu memberkahi dan membalas
semua kebaikan pihak-pihak yang turut serta membantu penyelesaian
skripsi ini.
Āmīn yā Rabb al-Ālamīn
Ciputat, 20 September 2017
Anis Khoiru Ummah
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI HURUF ARAB-LATIN
Skripsi ini menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi” yang terdapat
dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Ceqda 2007 dan Pedoman Akademik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta 2011/2012.
Padanan Aksara
No. HurufArab HurufLatin Keterangan
Tidak dilambangkan ا 1
b Be ب 2
t Te ت 3
ts Te dan es ث 4
j Je ج 5
h Ha dengan garis bawah ح 6
kh Ka dan ha خ 7
d De د 8
dz De dan zet ذ 9
r Er ر 10
z Zet ز 11
s Es س 12
sy Es dan ye ش 13
s Es dengan garis di bawah ص 14
d De dengan garis di bawah ض 15
t Te dengan garis di bawah ط 16
z Zet dengan garis di bawah ظ 17
ع 18
„ Koma terbalik di atas hadap
Kanan
gh Ge dan ha غ 19
f Ef ف 20
ix
q Ki ق 21
k Ka ك 22
l El ل 23
m Em م 24
n En ن 25
w We و 26
h Ha ه 27
Apostrof „ ء 28
y Ye ي 29
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tuggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
No. VokalArab VokalLatin Keterangan
1
a Fathah
2
i Kasrah
3
u Dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
No. VokalArab VokalLatin Keterangan
1
ai A dan i
2
au A dan u
Vokal Panjang
ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
x
No.
VokalArab
VokalLatin
Keterangan
1
â A dengan topi di atas
2
î I dengan topi di atas
3
û u dengan topidi atas
Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksaraArab dilambangkan dengan huruf,
yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti oleh huruf syamsiyyah,
maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam tulisan Arab yang dilambangkan dengan
sebah tanda ( _ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata tidak ditulis ad-
darûrah, melainkan al-darûrah, demikian dan seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti kata benda ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3). Contoh:
No Kata Arab Transliterasi
1
Tarîqah
2
al-jâmiʻah al-Islâmiyyah
3
Wahdat al-wujûd
xi
Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
untuk menulisakna permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî,
bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-kindi bukan Al-Kindi.
Beberpa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialih aksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nur al-Dîn al-Rânîrî.
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .........................................................................
TIM PENGUJI SKRIPSI ............................................................................
PERSETUJUAN TIM PENGUJI ...............................................................
ABSTRAK ....................................................................................................
KATA PENGANTAR ..................................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................
DAFTAR ISI ................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................
A. Latar Belakang Masalah .............................................................
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah .....................
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................
D. Metodologi Penelitian .................................................................
E. Kajian Pustaka ............................................................................
F. Sistematika Penulisan .................................................................
BAB II -
- ...........................
A. Biografi l- gh
1. Sej h Hidup .....
2. Aktivit s Keilmu n .....
3. Pemiki n d n K y ..
B. Karakteristik Tafsir l- gh ....
1. Sistematika Penulisan
2. etode d n Co k T fsi ...
N N N ……….
A. Penge ti n G tifik si . ........
B. Unsur-unsu d n K ite i G tifik si ..
1. Unsur-unsur Gratifikasi . .........
2. K ite i G tifik si . ........
C. Pe bed n G tifik si deng n Su p
D. G tifik si seb g i Peny l hgun n H t .
BAB IV GRATIFIKASI DALAM AL-Q ’ N N -
…………………………………………………………………
A. Tafsir Qs-al-Baqarah/2: 188 .....
B. Tafsir QS. Al-Nissa/4: 29-30 ...
i
ii
iii
iv
v
viii
xii
1
1
5
6
7
7
10
12
12
12
13
14
22
22
23
25
25
30
30
35
38
42
45
45
56
xiii
BAB V PENUTUP .....................................................................................
A. Kesimpulan ...............................................................................
B. Saran-saran ...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
Lampiran-lampiran
68
68
69
70
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Fenomena semakin meningkatnya kebutuhan hidup manusia dewasa ini,
menjadikan banyak orang melakukan berbagai macam hal untuk memenuhinya.
Keterdesakan yang mengungkung seseorang tidak jarang memaksa orang yang
bersangkutan untuk melakukan segala cara dan menghalalkan berbagai
improvisasi. Hal itu ditandai dengan maraknya kasus pungutan liar yang
meramaikan daftar pemberitaan media setiap harinya. Di sisi lain, mereka yang
menginginkan urusannya menjadi lebih cepat, lebih lancar dan dapat dituntaskan
sesuai keinginan, tidak segan-segan untuk membayarkan sejumlah bayaran
kepada pihak yang memiliki kewenangan menyelesaikan urusan yang dimaksud.
Bentuk-bentuk perilaku kotor yang kerap kali terjadi di tengah-tengah
masyarakat ini kian hari kian menimbulkan dampak yang semakin memburuk.
Salah satu dari dampak yang cukup penting untuk dijadikan bahan perenungan
adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap para
pelaku dan lembaga yang mengelola urusan umum, baik bersifat swasta ataupun
pemerintah. Maka oleh sebab terbentuknya image buruk tersebut terjadilah
ketimpangan dalam setiap urusan kehidupan.
Satu dari sekian perilaku buruk pengelola urusan masyarakat yang sudah
menjadi rahasia umum adalah sikap menerima uang, barang, tips atau apapun
namanya dengan tujuan memuluskan suatu urusan di luar prosedur yang telah
ditetapkan. Perilaku seperti ini sering diistilahkan sebagai risywah atau dalam
2
terminologi masyarakat negeri ini disebut sebagai suap. Kasus suap ini adalah
bagian dari model korupsi yang marak terjadi di negeri ini, baik dari tingkat
eksekutif hingga tingkat RT.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh PERC (Political & Economic
Risk Consultancy) yang berbasis di Hongkong, dalam survei persepsi korupsi
2011 terhadap pelaku bisnis, Indonesia menjadi negara paling korups dari 16
negara di kawasan Asia Pasifik.1 Sejak 2004, jumlah laporan soal gratifikasi
terus meningkat hingga 2011. Namun angkanya sempat turun pada 2012. Untuk
2010 ada 349 laporan, 2011 sebanyak 1.373 laporan, dan 2012 sebanyak 1.158
laporan.2 Hal yang menunjukkan semakin buruknya indeks korupsi Indonesia
juga dipertegas dengan rangking Indonesia yang semakin meningkat, dimana
berdasarkan rilis Transparancy Internasional indeks tingkat korupsi di Indonesia
naik dari peringkat 100 menjadi 118 pada tahun 2012.
Kasus suap ini tidak hanya menjadi masalah di tingkat pemegang
kebijakan saja, baik legislative, yudikatif dan eksekutif. Akan tetapi kasus suap
ini sudah menjadi budaya yang menjalar ke setiap segmen kehidupan
bermasyarakat. Meskipun ditingkat pemegang kebijakan, telah dibentuk
Undang-undang tindak pidana suap No.11 tahun 1980, bahkan dibentuk pula
lembaga khusus bernama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), namun kasus
suap ini nampaknya belum dapat ditaklukkan, karena bahkan sebagian dari
pengelola kebijakan Negara ini "bertekuk lutut" dihadapan virus yang bernama
suap dan gratifikasi.
1 Survey PERC;Indonesia Negara Terkorup di Asia pasifik, http://nasional.Kompas, com, di-
akses 22/2/2013 pukul. 16.53. 2 KPK Akan Selidiki Suap Berupa Iming-iming Seks, www.Tempo. CO, 09/03/2013 Pukul.
16.59.
3
Gratifikasi ialah uang hadiah kepada pegawai diluar gaji yang telah
ditentukan.3 Merupakan suatu perbuatan yang dilarang negara dan agama.
Hadiah yang digolongkan gratifikasi adalah hadiah yang diberikan orang lain
(bukan yang memberinya tugas atau gaji atas tugasnya) kepada petugas,
pegawai, hakim, dan lain sebagainya. Meskipun semata-mata hanya sebagai
hadiah, orang lain tersebut tidak berhak memberinya hadiah karena
pekerjaannya.4
Perilaku memakan harta haram dengan cara (Gratifikasi) risywah ini
memang sudah sangat mengakar di tengah-tengah masyarakat negeri ini, dan
masyarakat dunia secara umum. Itulah sebabnya, pemerintah mengatur dalam
UU mengenai gratifikasi dalam pasal 12 b ayat 1 UU. No. 31 Tahun 1999 juncto
UU. NO. 20 tahun 2001, bahwa:
“ Yang dimaksud gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti
luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pimnjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik
yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri dan yang dilakukan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.5
Secara konstitusional, gratifikasi diakui sebagai kejahatan luar biasa, namun
dalam prakteknya, yang terungkap cenderung direduksi menjadi persoalan
oknum dan bukan persoalan kultur. padahal, faktor kultural dalam masyarakat
3Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2007), h. 371. 4Lainy Kholilah, “Gratifikasi dalam perspektif hadis ( Telaah Hadis dalam Kitab sunan Abu
Dawus No. Indeks 2943),” (Skripsi S1 Fakultas Ushulussin dan Filsafat Program Studi Ilmu al-Qur‟an
dan tafsir, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2015), h. 3 5 Ermansjah Djaja, KUHP Khusus: kompilasi Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Pidana
Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 247
4
cenderung kondusif untuk mendorong terjadinya korupsi, seperti nilai dan atau
pemberian hadiah kepada pejabat dan atau pegawai pemerintah.6
Islam pun mengaturnya sejak awal kedatangannya, Rasulullah saw telah
menengarai masalah pelik yang berkaitan dengan cara memperoleh harta ini
sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.
أخذماالمزءيباليلسمان الناسعلىيأتيقال:ملسو هيلع هللا ىلصالنبيعه،عنهللارضي،هزيزةأبيعه
الحزاممهأمالحاللأمهمنه
Dari Abu Hurairah RA., Rasulullah saw bersabda, "Akan datang kepada
manusia suatu zaman, seseorang tidak peduli lagi dari mana ia mendapatkan
hartanya, apakah dari jalan yang halal atau haram." (HR. al-Bukhāri).7
Fahmi Salim dalam karyanya menyatakan bahwa gratifikasi adalah salah
satu dari jenis-jenis korupsi, berdasarkan hadis larangan menerima hadiah bagi
pejabat. Juga mengutip komentar Imam Syafi‟i tentang hadis tersebut dalam
kitab al-Umm Vol. 2/63. Bahwa apabila seorang warga memberikan hadiah
kepada pejabat, jika hadiah itu dimaksudkan untuk memperoleh sesuatu hak,
atau sesuatu yang batil, haram atas pejabat itu menerimanya.8 Berbeda dengan
al-Syafi‟ i, Mansur ibn Idris al-Bahuti, penulis buku Kasyf al- t -
mengemukakan bahwa apabila pihak pertama memberikan sesuatu kepada
pihak kedua, dalam rangka mencegah pihak pertama agar terhindar dari
6Syahruddin, “Gratifikasi dalam Kategori Korupsi (Studi Perbandingan Antara Hukum Pidana
Islam dan Hukum Pidana Positif)”, h. 1-3. Lihat Yongki Karman, “ Korupsi Manusia I do esi ” Opini
Kompas, selasa, 10 April 2010. Lihat, Agus Dwiyanto, dkk, Reformasi Birokrasi Publik di Indonnesia
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), h. 30. Penjelasan mengenai pemberian hadiah kepada
pejabat tersebut bagi masyarakat Eropa dan Amerika dianggap sebagai tindak pidana korupsi, tetapi bagi
masyarakat Asia, seperti Indonesia, Korea Selatan atau Thailand dianggap bukan merupakan tindak
korupsi. Bahkan dalam kultur jawa lanjut mas‟oed, pemberian tersebut dianggap sebagai bentuk
pemenuhan kewajiban oleh bawahan (kawula) kepada rajanya (gusti) 7Abu„Abdullah Muhammad bin Ismā‟il al Bukhórị , Ṣ hih Bukhori, kitāb Ahkām, bāb
H dāyā ‘Ummā ,no. 2059, h. 497. 8Fahmi Saim, Tafsir Sesat: Essai Kritis Wacana Islam di Indonesia (Jakarta: Gema Insani,
2013), h. 51
5
kezaliman pihak kedua dan agar pihak kedua mau melaksanakan kewajibannya,
maka pemberian semacam ini di bolehkan.9
Atas dasar fenomena tersebut, penulis mencoba meneliti lebih lanjut
tentang gratifikasi, dan bagaimana al-Qur‟an mengisyaratkan tentang persoalan
gratifikasi. Dibutuhkan tafsiran untuk membaca pesan yang terkandung dalam
al-Qur‟an. Maka penulis ingin melihat bagaimana para mufassir menjelaskan
ayat-ayat yang berkaitan dengan gratifikasi.
Al-Qur‟an merupakan kitab yang oleh Rasulullah Saw. dinyatakan
sebagai “ dub tu h” (Hidangan Ilahi), hidangan ini membantu manusia
untuk memperdalam pemahaman dan penghayatan tentang Islam dan merupakan
pelita bagi umat Islam dalam menghadapi persoalan hidup. Kitab suci ini
memperkenalkan dirinya sebagai hudan li al-nâs (petunjuk bagi seluruh umat
Islam), sekaligus menantang manusia dan jin untuk menyusun semacam al-
Qur‟an. Dari sini kitab suci al-Qur‟an berfungsi sebagai mukjizat, yakni bukti
kebenaran.10
Peneliti memfokuskan pada tafsir al-Maraghi. Karena beberapa
kelebihan (keistimewaan) yang dimilikinya, yaitu tafsir yang bernuansa sosial
kemasyarakatan, dan dianggap sebagai salah satu tafsir yang juga memiliki
corak hukum. Penulis ingin melihat bagaimana metode yang digunakan dalam
penafsirannya, yang membuatnya berbeda dan dianggap sebagai tafsir yang
bercorak hukum.11
Sementara ayat-ayat yang penulis angkat dalam kajian ini
9H.M. Nurul irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2012),, h. 90
10 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. V
11Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, Ed. 1., Cet. 2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002) , h. 149.
6
merupakan ayat-ayat yang oleh beberapa ulama dan tokoh dijadikan dalil atas
persoalan gratifikasi.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
Setelah menelusuri tema yang penulis angkat maka ditemukanlah
beberapa masalah diantaranya mengenai hukum gratifikasi, perbedaan gratifikasi
dengan suap, gratifikasi dalam kategori korupsi, perbedaan gratifikasi dengan
hibah, sanksi gratifikasi, potret gratifikasi di Indonesia, dalil yang menjadi dasar
hukum gratifikasi di negara dan agama, penafsiran atas dalil gratifikasi dan
pandangan ulama mengenai gratifikasi dan lain sebagainya.
Mengingat luasnya permasalahan dalam tema yang diangkat, maka
penulis membatasi penelitian hanya pada seputar penafsiran mengenai ayat-ayat
yang menyinggung soal gratifikasi, dari definisi, kriteria, unsur-unsur,
perbedaan gratifikasi dengan suap, serta penafsiran atas dalil gratifikasi dan
pandangan ulama mengenai gratifikasi.
Adapun rumusan masalah dalam penellitian ini adalah “Bagaimana
penafsiran gratifikasi menurut Ahmad Mus t afa al-Mar ghi ( Kajian QS. Al-
Baqarah 2 1 , QS. Al-Nis 4 29-30)
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih jelas mengenai
apa dan bagaimana gratifikasi itu. Serta mengetahui bagaimana al-Qur‟an
berbicara tentang gratifikasi dengan melihat ke dalam penafsiran Ahmad
Mus t afa al-Mar ghi mengenai ayat-ayat yang terkait gratifikasi.
7
Adapun manfaat yang harap dihasilkan dari penelitian ini adalah
menambah khazanah keilmuan dan pemahaman mengenai gratifikasi dalam
bidang tafsir khususnya dan masyarat pada umumnya.
D. Metodologi Penelitian.
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan
menggunakan metode kepustakaan (library research) dari berbagai buku yang
berkaitan dengan masalah ini. Adapun sumber primer dalam penulisan skripsi
ini, penulis merujuk kepada tafsir yang ditulis oleh Syaikh Ahmad Mus t afa al-
Mar ghi. Sumber sekunder meliputi kitab-kitab tafsir lain dan buku buku yang
ada kaitannya dengan pembahasan penelitian.
2. Metode analisis data.
Analisis data yang digunakan adalah analisa data kualitatif yang
artinya, penelitian ini tidak menggunakan angka-angka atau statistik melainkan
analisis teks, dengan cara pertama, mendeskripsikan gratifikasi yang meliputi
definisi, unsur-unsur, kriteria dan perbedaan istilah. Kedua, menelusuri ayat-ayat
yang berkaitan dengan gratifikasi. Ketiga, menampilkan penafsiran ayat-ayat
tersebut yang diambil dari tafsir Al-Maraghi untuk kemudian di analisa.
3. Teknik penulisan.
Adapun penulisan skripsi ini disandarkan pada pedoman penulisan
karya ilmiah terbitan CeQDA 2007, dan pedoman akademik Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2011/2012.
8
E. Tinjauan Pustaka.
Setelah penulis melakukan pelacakan terhadap penelitian skripsi, tesis,
dan disertasi yang terkait dengan tema pembahasan yang penulis angkat
(Gratifikasi dalam al-Qur‟an menurut Ahmad Mus t afa al-Mar gh ), penulis
menemukan beberapa skripsi dengan tema yang sama tetapi dengan jenis kajian
yang berbeda, adalah;
1. Dadan Ruslan seorang sarjana perbandingan Mazhab dan Hukum 2014 di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul
skripsinya, Gratifikasi dalam Tinjauan Hukum Islam. Membahas
bagaimanakah hukum Islam memandang Gratifikasi dan perbedaan
Gratifikasi dengan Hibah, Hadiah, Risywah, Suht, dan Sedekah.
2. Syahruddin seorang sarjana Ilmu Hukum Islam 2014 di Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan skripsinya Gratifikasi dalam
Kategori Korupsi (Studi Perbandingan antara Hukum Pidana Islam dan
Hukum Pidana Positif). Ia mendeskripsikan kedudukan gratifikasi dan
menganalisisnya serta membandingkannya dalam kategori, penetapan dan
sanksi hukumnya menggunakan pendekatan normatif-yuridis dengan
mengeksplorasi kandungan al-Qur‟an dan Hadis serta undang-undang yang
memuat aturan hukum mengenai gratifikasi.
3. laporan penelitian individual yang dilakukan oleh Ahmad Arif Budiman
pada tahun 2014 dengan judul Praktek Gratifikasi dalam Pelaksanaan
Pencatatan Pernikahan (Studi Kasus di Kantor Urusan Agama Kota
Semarang). Laporan ini berisikan temuan-temuan adanya praktik gratifikasi
di dalam KUA semarang sebelum peraturan gratifikasi dibuat dan setelah
9
dibuat. Juga menjelaskan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
terjadinya praktek gratifikasi di wilayah KUA kota Semarang.
4. Lainy Kholilah, sarjana Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir tahun 2015 Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, dengan judul skripsinya Gratifikasi
dalam Perspektif Hadis e h H dis m it b u Ab ud
Nomor Indeks 2945). Ia meneliti kualitas sanad, matan, serta pemaknaan
hadis dalam Kitab u Ab wud dengan No. Indeks 2945 yang
berkaitan tentang gratifikasi.
Kemudian Beberapa artikel dan jurnal yang telah memuat tema
gratifikasi adalah;
5. Agustina Wati Gubali dengan judul Analisis Pengaturan Gratifikasi
Menurut Undang-u d g di do esi ” dalam jurnal Lex Crimen vol. II/No.
3/Juli/2013. Tulisan ini berisikan analisis mengenai pengaturan Gratifikasi
menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 dan faktor-faktor
yang mempengaruhi timbulnya praktek gratifikasi serta upaya
pemberantasan gratifikasi di Indonesia dengan metode penelitian hukum
normatif.
6. Nadya Safira, dengan judul Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Menerima
Gratifikasi Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Jurnal JOM Fakultas
Hukum Vol. II/No. 2/Maret/2015. Tulisan ini berisi penjelasan mengenai
pengaturan tindak pidana gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi
yang sesuai dengan nilai hidup di Indonesia dan peran hukum yang ideal
dalam pengaturan gratifikasi di Indonesia.
10
7. Dodik Prihatin, dengan tulisannya yang berjudul Tinjauan Yuridis Mengenai
Gratifikasi Berdasarkan UU no. 30 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tulisannya berisikan
penjelasan mengenai apa yang menjadi landasan pengaturan undang-undang
gratifikasi dan tinjauan yuridis mengenai undang-undang gratifikasi.
Melihat dari penelitian yang telah ada, meski tema yang di kaji dalam
penelitian yang dilakukan penulis sama, namun jelaslah perbedaannya
sebagaimana yang tampak pada judul penelitian, penelitian penulis
memfokuskan pada penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan tema
dan jenis kajian yang penulis gunakan adalah tafsir.
F. Sistematika Penulisan.
Penulisan skripsi ini terbagi kedalam lima bab yang terdiri dari
beberapa sub-bab yang sesuai dengan pembahasan
Bab Pertama, berisikan pendahuluan yang menjelaskan latar
belakang masalah, tujuan, serta batasan dan perumusan masalah. Bab
ini digunakan sebagai pedoman, dan arahan sekaligus target penelitian,
agar penelitian terarah dan pembahasaannya tidak melebar.
Bab kedua, berisikan biografi al-Mar ghi dan karakteristik
tafsirnya. Pada bab ini mendeskripsikan sejarah hidup, aktivitas
keilmuan, pemikiran dalam karya-karyanya, sistematika penulisan, serta
metode dan corak tafsirnya.
Bab ketiga, merupakan gambaran umum mengenai Gratifikasi.
Pada bab ini menjelaskan definisi gratifikasi, unsur-unsur dan kriteria
11
gratifikasi, perbedaan gratifikasi dengan suap serta gratifikasi sebagai
penyalahgunaan harta. Bab ini merupakan landasan yang menjadi tolak
ukur dalam penelitian.
Bab keempat, berisi tentang penjelasan tafsir QS. Al-Baqarah 2
1 , Tafsir QS. Al-Nis 4 29-30 dimulai dari menjelaskan makna ayat
secara kebahasaan, mencari munasabah ayat, menjelaskan isi
kandungan ayat menurut al-Maraghi dan beberapa pandangan ulama,
kemudian penulis menganalisanya. Bab ini merupakan penjelasan
menyeluruh yang memuat jawaban atas permasalahan yang diteliti.
Bab kelima, merupakan bab penutup, yang berisi kesimpulan dan
saran untuk studi (penelitian) lebih lanjut.
12
BAB II
-
-
A. - .
1. Sejarah Hidup.
-M M afa -
M M -M
M M M „ -M „ -Q -
M L -M insi Suhaj 500 km. ke arah
selatan kota Kairo pada tahun 1300H/1883M. M „ -
M D T s r - r
dan an-Nur sebuah Studi Perbandingan, I IN S
K -M -M
yang terletak di tepi Barat Sungai Nil, yang penghasilan utamanya berupa
gandum, kapas, padi dan berpenduduk sekitar 10.000 jiwa.1 Beliau
wafat di Hilwan, sebuah kota kecil sebelah selatan kota Kairo pada tahun
1371H/1952M, pada usia 69 tahun.2
Kata -M M -M
K -M
1 “K C M -Q ‟ ; S -ayat Cinta dalam Tafsir
al-M ” S S F U F U I N J 2002
h. 11. 2M ‟ R “P T w -Maraghi Terhadap Penafsira -
M ” T P S J I M U I N
Jakarta, 2007), h. 70. Lihat juga Muhammad Ali Iyaziz, - u ss r tu u u u
(Taheran: Muassasah at-T ‟ w -Nasyr. tt), h. 358. Tim Penulis IAIN Jakarta, Ensiklopedia
Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 618.
13
M ‟ -M M -M T
ditemukannya biografi 13 tokoh dalam kitab u’ - u’ karya
U R Kahlanah, mereka -M
M -M .3
2. Aktivitas Keilmuan.
Di usia sekolah, orang tuanya memasukkan dia ke madrasah di
desanya untuk belajar al-Q ‟ B
menghafal seluruh ayat-ayat al-Q ‟ tiga belas
tahun. Ia menamatkan sekolah disana hingga tingkat menengah dan telah
mempelajari Ilmu Tajwid dan dasar- I S ‟ Pada tahun
1314/1897 ia pergi ke Kairo untuk menuntut ilmu, dan meninggalkan kota
Maraghah atas permintaan orang tuanya. Disana ia mempelajari ilmu
agama, seperti Bahasa Arab, ghah, Tafsir, Ilmu al-Q ‟ H
Ilmu Hadis, Fikih, Ushul Fikih, Akhlak, Ilmu Falak dan lain sebagainya.
Pada saat yang sama ia kuliah di Fakultas r -U Kairo, dan
kemudian dapat menyelasaikan kedua studinya di dua perguruan tinggi
dengan sangat baik pada tahun 1909. Setelah ia menyelesaikan studinya
di Kairo, ia berkairir dengan menjadi guru di sekolah menengah,
kemudian diangkat menjadi direktur madrasah Muallimin di Fayun4.
Pada tahun 1916 ia kembali diangkat menjadi dosen utusan al-
Azhar, untuk mengajar ilmu-ilmu syariah Islam pada fakultas Ghirdun di
3Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir al-Maraghi,(Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1997), h. 16. 4Fayun adalah sebuah kota setingkat kabupaten, Kira-kira 300 km sebelah barat daya kota
kairo.
14
Sudan. Di Sudanlah ia mengarang buku-buku ilmiah disela kesibukan
mengajarnya. Salah satunya ialah U - B . Barulah pada tahun
1920 ia kembali pulang ke Kairo dan menjadi dosen Bahasa Arab serta
ilmu- ‟ r - U , dan menjadi dosen ilmu ghah,
Sejarah Kebudayaan Islam di fakultas Adab Universitas al-Azhar hingga
tahun 1940, kemudian mendapatkan piagam penghargaan dari Raja Mesir
atas jasanya setahun sebelum kematiannya, serta masih dipercayakan
menjadi direktur di madrasah Utsman Mahir Basya di Kairo sampai
menjelang akhir khayatnya pada tanggal 9 juli 1952 M/1371 H di
kediamannya jl. Zulfikar Basya no. 37 Hilwan, jasadnya dikuburkan di
pemakaman keluarga di Hilwan.5
3. Pemikiran dan Karya.
Mengetahui pemikiran seorang tokoh, tidak terlepas dari latar
belakang sosio-historis dimana dan kapan ia hidup.
Ahmad M -M hidup dalam kurun waktu 1883-1952
M, selama 69 tahun. Para ahli sejarah sosial setuju bahwa tahun 1798
merupakan awal sejarah terbentuknya Mesir modern. Dimana Mesir
mengalami perubahan dalam berbagai aspek, sosial, politik dan
pergumulan intelektual.6
5Al-faisal, Konsep Cinta menurut Al-Q ‟ ; Studi Analisis Atas Ayat-Ayat Cinta Dalam
Tafsir Al-Maraghi, h. 13-15. Lihat juga Abdullah Musthafa al-Maraghi, - t - u
T q t -Usu ( Beirut: Muhammad Amin, 1934), h. 202. Lihat juga Abdul Djalal, Tafsir
al-Maraghi dan Tafsir an-Nur sebuah Perbandingan Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1985), h.
110. Lihat juga Adil Nuwayhid, u’ - u ss r S r - s tt - sr - r cet.
Ke-2, j. 1, ( Beirut: Muassasah al-Nuwayhid al-Saqafiyah, 1988), h. 80 6 “T -M ” M K T K
Timur Tengah, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta-
Indonesia, minggu 25 desember 2011. Lihat Bassam Tibi, Arab Nationalism A Critical Enquiry,
(London: Mac Milan, 1990), h. 80.
15
Pada tahun 1919 di Mesir terjadi revolusi dalam rangka
membebaskan diri dari penjajahan Inggris yang berlangsung hingga tahun
1921 dan berakhir dengan diserahkannya pengelolaan Mesir kepada putra
Mesir dibawah pimpinan Sa`ad Zaghlul.7 Satu hal yang tidak dapat
diabaikan dalam mengkaji Mesir adalah, pemikiran politiknya yang sejak
awal abad ke-19 selalu didominasi oleh pertentangan antara golongan
nasionalis sekuler dengan golongan Islam tradisional.8
Banyak T aha Hus M
R R a, Qasim Amin, Ali Abdul Raziq, M afa al-
Mar P -19 dan 20 atau tepatnya tahun 1923-1952, Mesir
mengalami sebuah zaman yang disebut dengan liberal age (zaman
liberal). Disebut demikian karena pada masa itu tumbuh liberalisme yang
berakibat pada munculnya sejumlah gagasan tentang pemisahan antara
agama, kebudayaan dan politik. Menurut Selma Botman,9 zaman liberal
mengutamakan sistem politik yang memiliki konstitusi yang bergaya
barat dan pemerintahan parlementer. Konstitusi Mesir mencontoh
demokrasi Barat yang liberal, dan menarik ahli hukum dari Mesir sebagai
bentuk simpatik kepada Raja Inggris. Dengan berkembangnya liberalisme
di Mesir, lahirlah apa yang disebut dengan t (kelahiran kembali).10
7Syahrin Harahap, Al-Qur’ Seku r s s K Ter p Pe k r T
Husein, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 21-24. 8F w E G “T E I O T C E ‟ C
I M ” H N Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1985), h. 248. 9Seorang Ahli Sejarah Timur Tengah Modern.
10nahdh t adalah gerakan politik dan budaya yang mendominasi periode 1850-1914 di
Mesir.
16
Hal ini dapat dilihat dari usaha penerjemahan dan mengadopsi prestasi-
prestasi yang telah dicapai oleh Eropa modern.11
Secara garis besar di Mesir terdapat tiga kecenderungan pemikiran
yang muncul pada masa itu. Pertama, kecenderungan pada Islam yang
diw M R R a (1865-1935) dan Hasan al-Banna
(1906-1949). Kedua, kelompok yang diwakili Muhammad Abduh, Qasim
Amin (1865-1908) dan Ali Abdul Raziq (1888-1966) yang cenderung
mengambil sintesis dengan berusaha memadukan antara ajaran Islam dan
kebudayaan Barat. Ketiga, kecenderungan rasional dan pemikiran bebas,
w L -S d dan para emigran Syiria yang lari ke
Mesir. Kelompok tersebut senantiasa mengacu kepada prestasi-prestasi
ilmiah yang dicapai oleh Barat. Selain kelompok-kelompok di atas,
terdapat organisasi di luar politik seperti Persatuan Umat Islam,
Kelompok Muda Mesir, Komunis, dan Asosiasi Perempuan juga
memberikan kontribusi bagi pembentukan kultur politik Mesir.12
Tokoh lain yang tidak dapat dilewatkan dalam proses pembaharuan
di Mesir adalah Jamaludin al-Afghani (1838 – 1897). Laki-laki kelahiran
Afganistan ini, banyak mengeluarkan ide-ide tentang persatuan Islam dan
dalam gerakannya itu, yang diiringi pula dengan aktivitas dalam
berpolitik. Jamaludin al-Afghani merupakan penganjur pertama
pembaharuan Islam, perubahan Islam dan merupakan Bapak bagi gerakan
11
Syahrin Harahap, Al-Qur’ Seku r s s K Ter p Pe k r T
Husein,h. 27. 12
M.W. Dali, ed. Cambridge History of Egypt, ( London: Cambridge University Press,
1998), h. 287.
17
Nasionalisme Muslim.13
Gerakan al-Afghani, secara geografis begitu luas
hingga mencakup Iran, India, Dunia Arab, Turki, dan Eropa. Goldsmicht
mengatakan kemanapun al-Afghani pergi, dia senantiasa memberikan
ceramah.14
Lewat ceramahnya, al-Afghani banyak mengkritik, bukan hanya
para pemikir yang berkiblat ke Barat, tetapi juga para Ulama dan rakyat.
Namun demikian, seruannya untuk kembali kepada Islam dan persatuan
kaum muslimin diterima oleh kalangan ulama konservatif. Ia berbicara
keras mengenai nasib rakyat Mesir. Menurutnya, bangsa Mesir yang telah
berabad-abad berada dalam perbudakan masih mentolelir penguasa-
penguasa zalim yang secara langsung menindas mereka. Berkat
aktivitasnya dalam menyampaikan ceramah, al-Afghani pernah dicap
sebagai agen provokasi tingkat tinggi. Pembaharuan di dunia Mesir,
kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Abduh, murid al-Afghani, yang
dalam pemikirannya lebih terbuka untuk menerima ide-ide rasional. Ide
pembaharuan Abduh, muncul karena kemunduran umat Islam, dan
banyaknya dorongan untuk mengubah kemunduran ini dengan berupaya
meniru Barat.15
Muhammad Abduh melihat bahwa masyarakat Islam mundur
karena kemiskinan jiwa dan salah dalam membimbing akal pikiran.
Keduanya itu timbul karena merajalelanya sikap egois dan hilangnya
kebersamaan dalam masyarakat. Khusus untuk masyarakat Mesir,
13
John L. Eposito, Islam and Politics, h. 64. 14
M R “P T w -M T -
M ”T -90. 15
Ali Rahema, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1994), h. 50.
18
kelemahan mereka menurut Abduh antara lain: munculnya bid'ah dalam
agama seperti ziarah ke kuburan wali; terjadinya suap menyuap; dan
tumbuhnya sikap individualisme yang disebabkan oleh putusnya
hubungan jiwa satu sama lain.16
Penyebab kemunduran umat Islam lainnya adalah faktor
Pendidikan. Oleh karena itu, ketika Abduh menjabat sebagai anggota
Majlis A`la al-Azhar, dia membawa perubahan dan perbaikan ke dalam
almamaternya itu. Salah satu tawarannya adalah agar Universitas al-Azhar
membuka jurusan kedokteran dan farmasi. Menurutnya kesehatan
masyarakat perlu didukung oleh lingkungannya. Setting sosial yang telah
digambarkan di atas menjadi latar belakang menguatnya pemikiran
rasional tak terkecuali pada penafsiran. Seperti yang dapat dilihat bahwa
sejumlah tokoh yang mengambil peran dalam pembaharuan di Mesir,
diantaranya tercatat beberapa mufassir terkenal. Sementara, sudah
merupakan hukum sosial bahwa penafsiran al-Q ‟
apapun yang melibatkan seorang tokoh, tidak akan terlepas dari latar
belakang sosio-historis di mana dan kapan seorang pemikir itu hidup.
Selain kondisi sosial, pengaruh besar juga senantiasa lahir dari hubungan
seorang guru dan murid, bahkan menentukan corak dan warna
pemikirannya. Seorang guru yang tekstualis, kemungkinan besar akan
melahirkan murid-murid yang tekstualis juga. Demikian juga seorang
guru yang rasional, sedikitnya akan berpengaruh pada cara pandang dan
pemikiran muridnya. Corak pemikiran Jamaluddin al-Afgani sangat
16
Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), h. 166.
19
berpengaruh sekali pada corak pemikiran muridnya Muhammad Abduh,
demikian juga pemikiran Muhammad Abduh sangat berpengaruh pada
pemikiran Rasyid Ridha, dan demikian seterusnya.17
Hingga kepada
Ahmad Musthafa al-Maraghi yang juga merupakan murid dari
Muhammad Abduh. Kehidupannya yang sarat dengan probelematika
sosial dari berbagai aspek kehidupan dan hubungannya dengan beberapa
tokoh rasionalis menunjukkan bahwa pemikirannya, termasuk yang
dituangkan di dalam tafsirnya juga bercorak rasional. Indikator kunci
untuk memasuki bahasan ini selanjutnya adalah bahwa Tafsir al-Maraghi
masuk di dalam kategori corak tafsir al-Adab al-Ijtima`iy18
sebagaimana
tafsir yang dikembangkan oleh gurunya, Muhammad Abduh. Namun
demikian, persentuhannya dengan kaum tradisionalis yang ada di
masanya, tidak sepenuhnya membuatnya meninggalkan pola lama
sebagaimana tafsir -M ghi tidak
pernah mengidentifikasi dirinya sebagai pengikut aliran pemikiran teologi
tertentu, bahkan ia sangat menyesalkan dan mencela perpecahan yang
terjadi di kalangan Islam yang disebabkan oleh adanya berbagai macam
aliran dan sekte dalam teologi. Ia bahkan mensinyalir keberadaan sekte-
sekte inilah yang memporak-porandakan persatuan dan kesatuan umat
Islam serta menodai catatan sejarah Islam.19
17
M R “P T w -M T - M ”
94. 18
Corak Tafsir yang banyak memperhatikan mengenai keadaan sosial masyarakat di
setiap penafsirannya. 19
M R “P T w -M T - M ”
95.
20
Kendati demikian, nampaknya ia banyak terpengaruh dengan
kondisi sosialnya sehingga corak pemikirannya lebih rasional dan lebih
‟ H m
konsepsi mengenai iman. Bagi ka M ‟ I
sekedar pengakuan lisan, atau pembenaran dalam hati, tetapi harus
dibuktikan dengan bentuk amal. Karena inti iman adalah amal, sedang
amal setiap orang bervariasi, maka iman dapat bertambah dan
berkurang.20
Begitu pula dalam pemahaman al-Maraghi;
“Iman adalah pembenaran secara pasti yang disertai dengan
ketaatan dan penyerahan jiwa, dan ditandai dengan amal (perbuatan)
sesuai dengan ketentuan iman tersebut. Iman mempunyai tingkatan yang
berbeda sesuai dengan perbedaan tingkat keyakinan seseorang”21
Inti iman menurutnya ialah keyakinan yang mendalam yang
direalisasikan dengan perbuatan.22
S M U -M
B
; -M
tafsir ini merepresentasikan pandangannnya dalam berbagai masalah
keagamaan. Terdiri dari tiga puluh jilid cetakan pertama pada tahun 1365
H. Tafsir ini menyuguhkan penafsiran dengan bahasa yang ringan, jelas,
ringkas namun komprehensif. Dikatakan komprehensip karena dalam
penafsirannya dimulai dari al-Fatihah hingga al-Nas. ia tidak hanya
sekedar memberikan tafsiran saja tetapi juga melengkapinya dengan
penjelasan sebab turunnya ayat, menjelaskan kata-kata yang dianggap
20
Hasan Zaini , Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, h. 84 21
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid I, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr,
1974M), h. 41. 22
Hasan Zaini , Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, h. 92.
21
sulit, menjelaskan makna ayat secara umum dan khusus, kemudian
sesekali memberikan kesimpulan mengenai istinbath hukum pada ayat-
ayat tertentu yang berbicara tentang hukum. Sedangkan dikatakan ringkas
karena tafsir ini tidak banyak mengutip riwayat-riwayat yang berisikan
kisah-kisah yang dianggap tidak ilmiah.
Adapun karyanya yang lain adalah Ulum al-Balaghah al-B n wa
al-M ni wa al-B ’, yang terbit pada tahun 1414 H.23
Dihalaman
pertama setelah pendahuluan dalam kitabnya, Ia menjelaskan mengenai
sejarah ilmu Balaghah secara singkat. Terkait mengenai sejarah ilmu
balaghah ia pula melahirkan sebuah karya khusus mengenai ilmu ini
dengan judul T rikh Ulum al-Balaghah wa T ’r R .
Sebagaimana yang tampak pada judul karyanya, kitab ini membahas
tentang salah satu cabang ilmu dalam bahasa Arab yaitu ilmu Balaghah.24
Ia menjelaskan secara menyeluruh mengenai pembagian dalam ilmu
Balaghah yaitu ilmu Bayan,25
ilmu M ’ i,26
dan ilmu Badi‟27
juga
bagian-bagian dari pembagian ilmu Balaghah. Jumlah halaman kitab ini
adalah 399 beserta daftar isi.
Karya lain yang dapat dijumpai adalah T -T u h, terdiri
dari dua jilid, yang diterbitkan di universitas as- ‟ K , Mesir pada
tahun 1340 H/1921 M, kitab ini masih berisikan pembahasan mengenai
23
Merupakan cetakan ketiga. 24
ilmu balaghah ialah ilmu yang mempelajari pengungkapan makna dengan jelas dan
benar sesuai dengan situasi dan kondisi lawan bicara. 25
Ilmu bayan adalah ilmu yang mempelajari suatu makna yang dikehendaki, (kepada
lawan bicara) dengan cara yang berbeda beda, 26
Ilmu Maani adalah ilmu yang mempelajari keadaan lafaz yang sesuai dengan situasi
dan kondisinya. 27
I ‟ keindahan-keindahan lafaz dan
makna.
22
ilmu Bahasa Arab yaitu Nahwu pada jilid pertama dengam jumlah
halamanb 328 dan Sharaf pada jilid kedua dengan jumlah halaman ± 206.
Kitab yang diterbitkan di Universitas Al-S ‟adah ini dikarang bukan
hanya oleh Ahmad M -M ghi sendiri tetapi juga bersama
seorang tokoh lain yang bernama Muhammad Salim Ali.
Adapun karya yang lain yang penulis belum jumpai adalah; Al-
nat wa Al-Akhlak, - s - s m, -K ut -K ut ’u
al-Daulatain al-Umawiyyah wa al-Abbasiyyah, - u - -
r , - u Ulum al-Qur’ , Al-Mut ’ - r -
ris al-Sundaniyyah, -R q - - s m, u us
r , Mursyid al-Tu b, R s s t Ru’ - Ramadhan,
R s Zaujat al-Nabiy Saw., S r S sin Hadisan, T s r u
-S l.
B. Karakteristik Tafsir Al-Maraghi.
1. Sistematika penulisan.
S -M w
penulisan tafsirnya dengan menampilkan ayat yang akan ditafsirkan,
terkadang beliau menampilkan beberapa ayat secara berkelompok. Lalu
mengemukakan tafsir al Mufradat yaitu penjelasan dari kata-kata yang
dianggap sulit dipahami dalam ayat tersebut, kemudian menjelaskan
makna Ijmal (global (pengertian umum) yang terdapat dalam ayat
tersebut, didalam makna global ini ia mencantumkan munasabah antar
ayat yang sedang dibahas dengan ayat sebelumnya, disini juga beliau
23
menyebutkan asbab an-nuzul ayat jika ditemukan, meski tidak
semuanya.28
Kemudian pada bagian terakhir beliau melengkapinya
dengan memberikan al-idhah (penjelasan) yang merupakan pembahasan
tafsir ayat dengan cukup panjang lebar karena tidak sedikit melibatkan
riwayat-riwayat dan pendapat mufassir utuk kemudian beliau simpulkan.
Terkadang sebagai penutup, masih dalam bagian terakhir sistematika
penulisan tafsirnya beliau memaparkan tentang istinbath hukum dari ayat-
ayat hukum tertentu.29
2. Metode dan corak tafsir.
Sebagaimana telah diketahui bahwa metode penafsiran ayat-ayat
al-Q ‟ bagi kedalam empat macam yaitu: metode Tahlili (Analisis),
metode Ijmali (global), metode Muqarin (komparatif), dan metode
u u’ D -M
menggunakan metode tahlili (Analisis).30
ini dapat dilihat dari caranya
menafsirkan al-Q ‟ - tihah hingga - s
Ia juga melakukan analisa pada setiap ayat dengan menggunakan
berbagai pendekatan serta melalui tahapan-tahapan yang hati-hati dalam
memadukan bahan kajian yang berkaitan dengan ayat yang sedang
dibahasnya.31
Pendahuluan tafsirnya mengatakan, bahwa setidaknya ada
tujuh metode yang digunakan dalam kitab tafsirnya yaitu pertama,
menyampaikan ayat ayat diawal pembahasan dimulai dengan satu atau
28
W S “T K Asbab al-Nuzul dalam Tafsir al-
M ” 200 w 2% -Nuzul yang digunakan al-Maraghi
bermasalah 29
Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, h. 149. 30
Abd. Al-Hayy al-Farmawi, eto e T s r u u’ : Se u Pe t r,Terj. Suryan
A.Jamran, Ed.1, Cet.2, (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1996) 31
Howard M, Federspiel, Kajian al-Qur’ o es : r u Yu us
Quraish Shihab, terj. Tajil Arifin (Bandung, Mizan, 1996), h. 283-284.
24
dua lebih ayat-ayat al-Q ‟
pengertian yang menyatu. Kedua, menyertakan penjelasan kata secara
bahasa jika terdapat kata yang dianggap sulit dipahami. Ketiga,
menyebutkan makna ayat secara umum untuk memberi informasi inti
pembahasan ayat sebelum masuk kedalam pembahasan penafsiran.
Keempat, menggunakan asbab an-nuzul. Kelima, mengutip pendapat-
pendapat para mufasir dan mengadakan konsultasi dengan orang yang ahli
dibidang ilmu pengetahuannya masing-masing guna mengetahui
perkembangan pengetahuan yang dapat mendukung pemahaman isi al-
Q ‟ -M -Q ‟
selalu sesuai dengan perkembangan zaman. Ia pun menggunakan bahasa
sederhana yang sesuai dengan perkembangan pengetahuan pada masa
kini, Langkah terakhir yang beliau gunakan adalah tidak mengutip cerita-
cerita orang terdahulu kecuali tidak bertentangan dengan agama serta
tidak diperselisihkan.32
32
-M T s r - r (Mesir: Maktabah Musthafa al-Bali al-Halabi
1969), h. 16-20. Tidak diperselisihkan maksudnya tidak bertentangan dengan agama,
tidak bertentangan dengan akal sehat, sudah melalui proses seleksi.
25
BAB III
GAMBARAN UMUM MENGENAI GRATIFIKASI
A. Pengertian Gratifikasi.
Gratifikasi secara etimologis, berasal dari bahasa Belanda “Gratikae”,
yang diadopsi ke dalam bahasa Inggris menjadi“Gratification”yang memiliki
arti pemberian sesuatu/hadiah.Black‟s Law Dictionary mendefinisikan
Gratification sebagai sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu
bantuan atau keuntungan ( A voluntary given reward of recompense for a
service or benefit).1 Demikian makna asal dari gratifikasi adalah pemberian
atau hadiah.
Menurut istilah, Gratifikasi ialah uang hadiah kepada pegawai diluar gaji
yang telah ditentukan.2 Diberikan kepada seseorang yang memiliki jabatan,
kewenangan, dan kekuasaan terhadap sesuatu hal sehingga pemberian tersebut
dapat berhubungan dengan kewenangan, dan kewajiban serta tugasnya sebagai
pejabat.3 Hadiah yang digolongkan gratifikasi adalah hadiah yang diberikan
orang lain (bukan yang memberinya tugas atau gaji atas tugasnya) kepada
petugas, pegawai, hakim, dan lain sebagainya. Meskipun semata-mata hanya
1Bryan A. Garner, ed., Black‟s Law Dictionary, (Unites State of America: West, a
Thomson Bussiness, 2004), h. 721. 2Tim pusat pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 370.
3Dadan Ruslan, “Gratifikasi dalam Tinjauan Hukum Islam” (skripsi Fakultas Syari‟ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Starif Hidayatullah Jakarta, program Studi Perbandingan
Madzhab dan Hukum, 2014), h. 49.
26
sebagai hadiah, orang lain tersebut tidak berhak memberinya hadiah karena
pekerjaannya.4
Dalam hukum Islam gratifikasi merupakan Istilah yang tidak dikenal.
Hukum islam hanya mengenal istilah hadiah dan pemberian. Pemberian itu
sendiri dalam Islam dibedakan kedalam beberapa macam. Diantaranya
risywah, hadiah, hibah, dan sedekah.5
1. Al-Risywah
Term al-Risywah secara Etimologis berasal dari kata Rasya- Yarsyu-
Risywah yang berarti al-Ju‟lu, dalam bahasa indonesiaju‟lu diartikan
dengan hadiah, upah, pemberian, komisi atau suap.6 Sementara itu secara
terminologis ialah mengantarkan sesuatu yang diinginkan diberikan
kepada seseorang untuk mendapat sesuatu yang diharapkan,7 atau sesuatu
yang diberikan dalam rangka membenarkan yang batil/salah atau
menyalahkan yang benar.8
2. Hadiah
Hadiah dalam bahasa Arab dituliskan dengan Hadiyyah, terambil dari
akar kata yang terdiri dari huruf ha, dal, dan ya, termasuk kata majaz yang
4Lainy Kholilah, “Gratifikasi dalam perspektif hadis ( Telaah Hadis dalam Kitab sunan
Abu Dawus No. Indeks 2943),” (Skripsi S1 Fakultas Ushulussin dan Filsafat Program Studi Ilmu
al-Qur‟an dan tafsir, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2015), h. 3 5Dadan Ruslan, “Gratifikasi dalam Tinjauan Hukum Islam” (skripsi Fakultas Syari‟ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Starif Hidayatullah Jakarta, program Studi Perbandingan
Madzhab dan Hukum, 2014), h . 28, 57. 6H.M. Nurul irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, h. 89.
7Gratifikasi secara terminologi ini menurut Ibn al-Atsir dengan redaksi asli l- uslah ila
h jati i al-Mus ana‟ah Ervyn Kaffah dan Moh. Asyiq Amrulla, Fiqh Korupsi: Amanah vs
Kekuasaan (NTB: Solidaritas Masyarakat Transparansi, 2003), h 3. 8Ibrahim Anis, dkk, Al-Mu‟jam al-Wasit, (Beirut: Majma‟ al-Lughah al-Arabiyyah,
1973), cet ke-2, h. 348.
27
berarti dihadiahkan, ha y merupakan bentuk jamak yang berarti
dipersembahkan.9
Hadiyyah merupakan penyampaian sesuatu dengan
lemah lembut guna menunjukkan simpati.10
Selain pengertian tersebut
huda juga memliki makna lain yaitu petunjuk (Qs. Al-Baqarah//2:2).
Petunjuk yang diberikan kepada manusia ialah sebuah pemberian yang
murni langsung dari Allah. untuk kebaikan hambanya sebagai bentuk
kasih sayang Allah, dengan pemberian itulah Allah diinformasikan
memiliki nama dan sifat al-Hadi (sang maha pemberi petunjuk) serta al-
Rahman (Maha pengasih), dan al-Rahim (maha penyayang).
Hadiah secara terminologi adalah pemberian yang diberikan secara
ikhlas tanpa pamrih oleh seseorang kepada orang lain dalam konteks
penghormatan, kasih sayang, persaudaraan atau persahabatan.11
Makna
seperti ini tidak berbeda dengan pengertian hidayah. Hadiah dan hidayah
berasal dari kumpulan huruf yang sama ha, dal, dan ya. Secara sederhana
hidayah diartikan sebagaiama huda, yaitu petunjuk. Dengan demikian
hidayah adalah pemberian satu pihak (Allah), kepada pihak lain (manusia)
untuk tujuan kasih sayang dan kebaikan sehingga terjalin hubungan kasih
sayang antara Allah dan hambanya.
3. Hibah
9Muhammad Mustafa al-Zabidi, Taj al-Urs min Jaw hir al-Qamus, j. 40, ( Lebanon: D r
al-Khattab al-Ilmiyah, 2007), h. 287. 10
M. Quraish Shihab, Asma-al-Husna, buku ke-3, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), h. 144 11Nur Ahmad, “Pencegahan Korupsi dalam perspektif Hadis (Studi Hadis Korupsi
dalam Kutub al-Sittah) ” (Tesis S2 Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 88.
28
Hibah secara etimologi merupakan isim masdar dari kata wahaba,
yang berarti memberi tanpa ganti rugi.12
Ibnu Mundzir dalam kitabnya
lisan al-Arab mengungkapkan kata wahaba selain berarti pemberian yang
tak mengharap ganti dan tidak ada tujuan, kata tersebut juga merupakan
salah satu dari asma Allah al-Wahhab,13
dalam al-Qur‟an al-Wahhab
ditemukan dalam tiga ayat, yang kesemuanya adalah Sifat Allah, dan satu
yang dirangkaikan dengan sifat-Nya yang lain yakni al-Aziz (Qs.
Shad/38:9). Allah memberi berulang-ulang bahkan berkesinambungan
tanpa mengharapkan imbalan, baik duniawi maupun ukhrawi.14
Allah Menganugerahkan kepada manusia banyak nikmat dan
melapangkan rezekinya serta memberi balasan yang banyak. Allah
memberi kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan Dia mencegah siapa
yang Dia kehendaki. Tidak ada yang bisa memberi apa yang Dia cegah
dan mencegah apa yang diberi. Allah memberi Sebelum Diminta.15
Demikianlah dasar hibah bahwa pemberian tersebut diberikan sebelum
diminta. Secara umum hibah dalam pengertian ini adalah pemberian yang
diberikan atas dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorang semasa
hidup,16
dengan tujuan mendekatkam diri kepada Allah dimana orang yang
diberi bebas menggunakan harta tersebut.17
Seperti pemberian sebidang
12
Ibrahim Anis, dkk., Mu‟jam al-wasith, jilid 2, h. 1059. 13
Ibn Manzur, Lisan-al-Arab, jilid. 1, (Beirut: D r Sader, 1990), h. 03. 14
M. Quraish Shihab, Asma-al-Husna, buku ke-2, h. 13. 15
Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al- „Abbad al-Badr, Fikih sma „ul Husna, penerjemah
Abdurrahman Tayyib, Sulhan Jauhari, cet.ke-14 (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2015), h. 192. 16
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, jilid III, Ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada,
1993), h. 75. 17
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqih Muamalat, Ed. Ke-1, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), h. 158
29
tanah kepada seorang anak dari orang tuanya, semasa orang tuanya masih
hidup.
4. Sedekah
Sedekah dalam al-Qur‟an disebutkan dengan kata Shadaqah. Berasal
dari kata shadaqa yang berarti benar atau jujur. Secara itilah, sedekah
berarti sebuah pemberian secara suka rela, baik berupa uang, barang, jasa,
kebaikan, dan lainnya, kepada orang yang berhak menerimanya dengan
jumlah yang tidak ditentukan dan diberikan kapan saja serta di mana saja
demi mengharap rida dan pahala dari Allah.18
Sedekah sebagaimana yang
disebutkan dalam al-Qur‟an memiliki dua macam, yaitu sedekah sunah
dan sedekah wajib.19
Sedekah wajib berupa kewajiban zakat dan
penggunaannya (Qs. Al-Taubat/9:60), sementara sedekah sunah adalah
sedekah yang diberikan secara suka rela (tidak diwajibkan) kepada
seseorang atau badan/lembaga.20
Wahbah Zuhaili dalam Kitabnya al-Fiqh al-Isl m wa „Adilatuhu
mendefinisikan; “jika suatu pemberian diserahkan kepada orang yang diberi
hadiah sebagai ungkapan rasa hormat atau kasih maka disebut hadiah. Jika sesuatu
pemberian diberikan kepada orang yang memerlukan semata-mata karena
mengharap rida Allah itu adalah sedekah. Pemberian selain dalam bentuk-bentuk
tersebut adalah hibah.”21
18
Masykur Arif, Sedekah Itu ajib, (Jogjakarta: Diva Press), h. 13-14. 19
Nasrun Harun, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Gaya Media, 2007), h. 88. 20
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, jilid III, h. 82. 21
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Isl m wa „ ilatuhu, Ju . 5, (Beirut: D r al-Fikr, 1997), h.
5
30
Berkaitan dengan kosakatanya gratifikasi tidak berkonotasi buruk, tetapi
pada prakteknya gratifikasi dipergunakan sebagaimana suap. Yaitu uang atau
barang berharga lainnya yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan
tertentu.22
Jelaslah mengenai pengertian gratifikasi, bahwa gratifikasi adalah istilah
baru, yang dalam Islam lebih dikenal sebagai risywah, diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia sebagai suap (hadiah dengan tujuan/kepentingan tertentu).
B. Unsur-Unsur dan Kriteria Gratifikasi.
1. Unsur-unsur Gratifikasi.
Mengacu pada penjelasan yang tertera dalam UU No. 31 tahun 1999
juncto UU No.20 tahun 2001 pasal 12 B ayat 1, yang termasuk dalam unsur-
unsur gratifikasi adalah segala alat yang digunakan dalam proses gratifikasi
yaitu berupa uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-
cuma, dan fasilitas lainnya.23
Tabel: Perbandingan unsur risywah dalam hukum pidana dan hukum
Islam24
Pasal Hukum Pidana Fiqh Jinayah (Hukum Islam)
5 ayat (1)
huruf a
Memberi atau
menjanjikanm sesuatu
kepada pegawai negeri
atau penyelenggara
يب يعطي إلثطبل حق أ إلحقبق ثبطم أ
نيني اليخ أ نيظهى ن إسب
22
Lilik Umi Kaltsum, Abdul Moqsith Ghazali, Tafsir Ahkam, h. 69. 23
Ermansjah Djaja, KUHP Khusus: kompilasi Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang
Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 247 24
H. M . Nurul irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, h. 170
31
negara dengan maksud
supaya pegawai negeri
atau penyelenggara
tersebut berbuat atau
tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya yang
bertentangan dengan
kewajiban.
Sesuatu yang diberikan dalam
rangka untuk menyalahkan yang
benar, membenarkan yang salah,
memperoleh kedudukan dan
kekuasaan atau dalam rangka
agar seseorang bisa berbuat
zalim
5 ayat (1)
huruf b
Memberi sesuatu kepada
pegawai negeri dan
penyelenggara negara
karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang
bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan
atau tidak dilakukan
dalam jabatannya
يب يعطي إلثطبل حق أ إلحقبق ثبطم أ
اليخ أ نيظهى ن إسب نيني
Sesuatu yang diberikan dalam
rangka untuk menyalahkan yang
benar, membenarkan yang salah,
memperoleh kedudukan dan
kekuasaan atau dalam rangka
agar seseorang bisa berbuat
zalim. Juga berarti sesuatu yang
diberikan untuk bisa menunaikan
kemaslahatan, atau sesuatu yang
diberikan untuk mewujudkan
yang salah dan membatalkan
yang benar
5 ayat 2 Bagi pegawai negeri atau
penyelnggar negara yang
menerima pemberian
atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
huruf a atau b, dipidana
dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
يب يعطي إلثطبل حق أ إلحقبق ثبطم أ
نيني اليخ أ نيظهى ن إسب
Sesuatu yang diberikan dalam
rangka untuk menyalahkan yang
benar, membenarkan yang salah,
memperoleh kedudukan dan
kekuasaan atau dalam rangka
agar seseorang bisa berbuat
zalim
6 ayat (1)
huruf a
memberi atau
menjanjikan sesuatu
kepada hakim dengan
maksud untuk
mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili
يب يعطي ثششط اإلعبخ
Sesuatu yang diberikan sebagai
syarat karena telah diberikan
pertolongan
6 ayat (1)
huruf b
Memberi atau
menjanjikan sesuatu
kepada seseorang yang
menurut ketentuan
يب يعطي إلثطبل حق أ إلحقبق ثبطم أ
نيني اليخ أ نيظهى ن إسب
32
peraturan perundang-
undangan ditentukan
menjadi advokat untuk
menghadiri sidang
pengadilan dengan
maksud untuk
mempengaruhi nasihat
atau pendapat yang
diberikan, berhubungan
dengan perkara yang
diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili
Sesuatu yang diberikan dalam
rangka untuk menyalahkan yang
benar, membenarkan yang salah,
memperoleh kedudukan dan
kekuasaan atau dalam rangka
agar seseorang bisa berbuat
zalim
6 ayat (2) Bagi hakim yang
menerima pemberian
atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
huruf a atau advokat
menerima pemberian
atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
huruf b, dipidana dengan
pidana yang sama
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
ن ا يب يعط انشخص نحبكى ا غيش نيحكى
يحه عهي يب يشيذ
Sesuatu yang diberikan seseorang
kepada seorang hakim atau
kepada selain hakim dengan
maksud agar diberi keputusan
yang menguntungkan bagi si
pemberi atau agar keputusannya
itu bisa diarahkan kepada apa
yang diinginkan oleh pihak
pemberi
11 Pegawai negeri atau
penyelenggara negara
yang menrima hadiah
atau janji, padahal
diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah
atau janji tersebut
diberikan karena
kekuasaan atau
kewenangan yang
berhubungan dengan
jabatannya, atau yang
menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah
atau janji tersebut ada
hubungan dengan
jabatannya.
يحشو ثزنب ي يب يعطي ثعذ طهج نب
انشاشي نيحطكى ثجطم ا يذفع ع حقب
Sesuatu yang diberikan karena
ada suatu permintaan dan tidak
diberikannya sesuatu dari
seorang pemberi suap, dengan
maksud agar diputuskan dengan
cara yang salah atau bahkan
agar kebenaran bisa ditolak.
12 huruf a Pegawai negeri atau
penyelenggara negara
yang menerima hadiah
atau janji,
يب يعطي ثعذ طهج نب يحشو ثزنب ي
انشاشي نيحطكى ثجطم ا يذفع ع حقب
33
padahaldiketahui dan
patut di duga bahwa
hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk
menggerakkan agar
melakukan atau tidak
melakukan sesuatu
dengan jabatannya yang
bertentangan dengan
kewajiban.
Sesuatu yang diberikan karena
ada suatu permintaan dan tidak
diberikannya sesuatu dari
seorang pemberi suap, dengan
maksud agar diputuskan dengan
cara yang salah atau bahkan
agar kebenaran bisa ditolak.
12 huruf b Pegawai negeri atau
penyelenggara negara
yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau
patut diduga bahwa
hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau
disebabkan karena telah
melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang
bertentangan dengan
kewajiban.
يب يعط انشخص نحبكى ا غيش نيحكى ن ا
يحه عهي يب يشيذ
Sesuatu yang diberikan seseorang
kepada seorang hakim atau
kepada selain hakim dengan
maksud agar diberi keputusan
yang menguntungkan bagi si
pemberi atau agar keputusannya
itu bisa diarahkan kepada apa
yang diinginkan oleh pihak
pemberi
12 huruf c Hakim yang menerima
hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah
atau janji tersebut
diberikan untuk
memengaruhi putusan
perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili.
يب يعط انشخص نحبكى ا غيش نيحكى ن ا
يحه عهي يب يشيذ
Sesuatu yang diberikan seseorang
kepada seorang hakim atau
kepada selain hakim dengan
maksud agar diberi keputusan
yang menguntungkan bagi si
pemberi atau agar keputusannya
itu bisa diarahkan kepada apa
yang diinginkan oleh pihak
pemberi
12 huruf d Memberi atau
menjanjikan sesuatu
kepada pegawai negeri
atau penyelenggara
negara dengan maksud
supaya pegawai negeri
atayu penyelenggara
negara tersebut berbuat
atau tidak berbuat
طبل حق أ إلحقبق ثبطم أ يب يعطي إلث
نيني اليخ أ نيظهى ن إسب
Sesuatu yang diberikan dalam
rangka untuk menyalahkan yang
benar, membenarkan yang salah,
memperoleh kedudukan dan
kekuasaan atau dalam rangka
34
sesuatu dalam
jabatannya, yang
bertentanga dengan
kewajibannya.
agar seseorang bisa berbuat
zalim
13 Setiap orang yang
memberi hadiah atau
janji kepada pegawai
negeri mengingat
kekuasaan atau
wewenang yang melekat
pada jabatan atau
kedudukannya, atau oleh
pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukan
tersebut, dipidana dengan
pidana penjara paling
lama tiga tahun dan atau
denda paling banyak Rp.
150.000.000,- (seratus
lima puluh juta rupiah)
ت يب يتصم ث اإلسب إني قضبء حبج
يحبثبح ي يبل ا يذاسح يذاخ
Sesuatu yang diberikan oleh
seseorang dengan keinginannya,
pemberian itu bisa berupa harta
yang disenangi, bisa pula berupa
pelayanan dan bisa berupa
prestise
Dalam rumusan sebuah pasal tentang risywah disebutkan dengankalimat
“memberi atau menjanjikan sesuatu,” berarti semangat melakukan perbuatan
risywah bisa dipastikan berasal dari pihak yang akan memberi atau menjanjikan
sesuatu tersebut tanpa menutup kemungkinan bahwa antara pihak yang member
dan pihak yang menerima sesuatu, menerima janji atau menerima hadiah tersebut
sudah melakukan kesepakatan-kesepakatan terlebih dahulu. Oleh sebab itu dalam
fiqh jinayah risywah antara lain mendefinisikan "يب يعطي ثششط اإلعبخ" sesuatu yang
diberikan dengan syarat pertolongan/minta tolong.
Disebutkan “menerima hadiah atau janji” berarti semangat melakukan
perbuatan risywah bisa dipastikan berasal dari pihak yang akan menerima
pemberian, hadiah atau janji walaupun ada kemungkinan antara pihak yang akan
35
menerima dan yang akan memberi telah terjadi kesepakatan-kesepakatan lebih
awal. Oleh sebab itu dalam fiqh jinayah diantara definisi risywah disebutkan
يب يتصم ث اإلسب إني قضبء حبجت يحبثبح ي يبل ا يذاسح يذاخ
“segala sesuatu yang dijadikan sarana oleh seseorang untuk menggapai
keinginannya, baik karena kecintaannya kepada harta, kedudukan, dan karena
penjilatan.25
2. Kriteria Gratifikasi
Penjelasan istilah-istilah pemberian dalam Islam yang dapat bergeser menjadi
gratifikasi, dan definisi dari gratifikasi itu sendiri sesungguhnya tidak
menunjukkan adanya sebuah kriteria. karena mengacu pada definisi dasar yaitu
pemberian. Segala bentuk pemberian disebut gratifikasi. Namun ketika gratifikasi
berubah menjadi persoalan hukum maka kriteria gratifikasi ialah segala hal yang
tertera dan tercantum dalam undang-undang dan kitab hukum,26
baik dalam
hukum Islam maupun hukum pidana. Dalam beberapa hadis27
dinyatakan bahwa
dalam sebuah kasus, risywah melibatkan tiga unsur utama. Yaitu pihak pemberi
(al-r syi), pihak penerima (al-murtasyi) dan jenis barang serta bentuk yang
diserah terimakan.Dalam kasus risywah tertentu ada kemungkinan melibatkan
25
H. M. Nurul Irfan, Korupsi dalam hukum pidana Islam, h. 171 26Achmad Arif Budiman, “Laporan penelitian individual Praktek Gratifikasi dalam
Pelaksanaan Pencatatan Pernikahan (Studi Kasus Kantor Urusan Agama Kota Semarang),”
(Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2014), h. 65-66. 27
Beberapa hadis yang dimaksud ialah:
في انحكى )س احذ ع أثي شيشح قبنهع سسل هللا صهي هللا عهي سهى انشاشي انشتشي
أث داد انتشيزي(
ع عجذ هللا اث عش قبل نع سسل هللا صهي هللا عهي سهى انشاشي انشتشي )سا انخسخ
اال انسبئي صحح انتشيزي(
ع ثثب قبل : نع سسل هللا صهي هللا عهي سهى انشاشي انشتشي يعي انزي يشي ثيب
ذ()س اح
36
unsur lain yaitu pihak ke empat sebagai perantara, atau pihak kelima sebagai
pencatat peristiwa.28
Persoalan hukum yang terkait adalah ketika gratifikasi dilakukan dan diterima
oleh penyelenggara negara, dengan harapan memperoleh kemudahan mencapai
kesepakatan, mempengaruhi keputusan dan kebijakan.29
Nurul Irfan, dalam
karyanya Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual dalam Hukum Pidana Islam,
memberikan pengertian bahwa gratifikasi sama dengan Suap.30
Penegertian ini
mengacu pada gratifikasi yang berupa servis terhadap pegawai negeri atau
penyelenggara negara, bukan mengenai pemberian, tetapi mengenai penerimaan
gratifikasi.31
Contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasiyang
sering terjadi adalah:32
1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hariraya
keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya
2. Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabatoleh
rekanan kantor pejabat tersebut
3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganyauntuk
keperluan pribadi secara cuma-Cuma
28
H. M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, h. 90. 29Dodik Prihatin. “Tinjauan Yuridis mengenai Gratifikasi Berdasarkan UU. No 31. Tahun
1999 JO UU no. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” h. 5-6. diakses
pada tanggal 27 februari 2017 http://Repositori.unes.ac.id/handle/123456789/62976 30
Nurul Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
Amzah, 2014), h. 9. 31
R. Wiyono, Pembahasan Undang Undang Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005), h. 109. 32
Doni Muhardiansyah, dkk, Buku Saku:Memahami Gratifikasi, h.19.
37
4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian
barang dari rekanan
5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat
6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadilainnya
dari rekanan
7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat
kunjungankerja
8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karenatelah
dibantu.
Saat ini, yang berhak menilai sebuah pemberian merupakan gratifikasi atau
bukan adalah lembaga pemerintahan yang ditunjuk langsung mengawasi kinerja
pegawai dan laporan dari masyarakat. Masyarakat tidak berhak menilai pemberian
adalah gratifikasi sebelum dikeluarkan pernyataan dari lembaga tersebut, dalam
hal ini ialah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK telah merilis edaran
dengan perihal pedoman dan batasan Gratifikasi dengan Nomor B. 1341/01-
13/03/ 2017.33
Beberapa contoh yang telah disebutkan diatas adalah kasus umum yang sering
terjadi, namun tidak berarti semua contoh yang disebutkan adalah secara sah
disebut gratifikasi. Pada contoh ke- 2 dan 6 misalnya, dalam surat edaran yang
dirilis, hadiah seperti ini tidak dianggap sebagi gratifikasi dengan batasan nilai
pemberian dalam setiap acara maksimal 1000.000,-. Begitu pula pada contoh
nomor 1, 3, 4 dan 5 tidak dianggap sebagai gratifikasi bila tidak memiliki konflik
33
Isi surat edaran terlampir.
38
kepentingan, wajib melapor dan masksimal pemberian adalah 1000.000,-
sementara contoh nomor 7 dan 8, tidak dianggap sebagai gratifikasi sepanjang
tidak ada pembiayaann ganda, tidak dilarang atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan atau ketentuan yang berlaku.
C. Perbedaan Gratifikasi dengan Suap.
1. Dalam Islam. (Hukum Islam)
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa islam tidak
menegenal istilah gratifikasi, tetapi hukum Islam mengenal istilah pemberian
hadiah, pemberian ini ialah pemberian yang diberikan soleh seseorang lain
dalam konteks penghormatan, kasih sayang, persaudaraan, atau persahabatan
secara ikhlas tanpa pamrih. Namun pemberian dapat berubah menjadi
gratifikasi ketika pemberian atau hadiah tersebut diberikan oleh seseorang
kepada orang lain yang memiliki jabatan, kekuatan, atau wewenang dengan
didasari atas kepentingan halus, terkait jabatan, tugas atau wewenang si
penerima. Hadiah dalam arti khusus inilah yang dikenal dengan istilah
gratifikasi. Maka dalam hukum Islam gratifikasi masuk dalam kategori risywah
.merujuk pada beberapa hadiah terkait jabatan atau tugas namun yang paling
dekat kepada definisi gratifikasi ialah risywah.gratifikasi berbeda dengan suap
2. Dalam hukum Indonesia
Sedangkan dalam hukum Indonesia ada perbedaan definisi antara
gratifikasi dan suap. gratifikasi disimpulkan secara mendasar yaitu pemberian.
Pemberian yang umum tidak khusus diluar dari yang telah ditentukan.
39
Sementara definisi suap secara mendasar adalah sogok,34
yaitu pemberian
secara khusus. Memberi dana atau sesuatu yang lain untuk digunakan pada
petugas.35
Imam Ash-Shiddiq berkata suap dalam pengadilan sama dengan
kekufuran kepada Allah.36
Adapun perbedaan antara gratifikasi dan suap secara khusus terletak
pada tata cara dan proses. Gratifikasi dilakukan tanpa adanya pembicaraan
mengenai maksud dan tujuan (pemberian yang halus), sedangkan Suap
dilakukan biasanya dimulai dengan membicarakan maksud dan tujuannya
untuk kemudian sang pemberi dan penerima menyetujui dilakukannya
transaksi. Meski demikian secara umum gratifikasi dan suap ialah sama.
Adapun secara hukum (pengaturan, definisi, dan sanksi) perbedaan
gratifikasi dengan suap ialah sebagai berikut;
Perbedaan Suap Gratifikasi
Pengaturan 1. Kitab undang-undang
hukum pidana (
Wetboek van Strafrecht,
Staatsblad 1915 no 37)
2. UU. No 11 Tahun 1980
tentang tindak pidana
Suap
3. UU. No. 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan UU.
No 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
serta diatur pula dalam
UU. No. 30 tahun 2002
tentang komisi
1. UU. No. 20 Tahun
2001 tentang
Perubahan UU No. 41
Tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak
pidana korupsi serta
diatur pula dalam UU
No. 30 tahun 2002
tentang Komisi
Pemberantasan
Korupsi.
2. Peraturan Menteri
Keuangan Nomor
03/PMK.06/2011
tentang pengelolaan
34
Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1094. 35
Jur Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, cet. 2, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), h.
140. 36
Kamal Faqih Imani, n Enlightening Comentary Into The Light if Holy Qur‟an, Vol. II,
(Iran: The Scientific and Religious Research Center, 1998) h. 106.
40
Pemberantasan Korupsi. Barang Milik Negara
yang berasal dari
Barang Rampasan
Negara dan Barang
Gratifikasi
Definisi Barang siapa menerima sesuatu
atau janji, sedangkan ia
mengetahui atau patut dapat
menduga bahwa pemberian
sesuatu atau janji itu
dimaksudkan supaya ia berbuat
sesuatu dalam tugasnya, yan
berlawanan dengan
kewenangan dan kewajibannya
yang menyangkut kepentingan
umum, dipidana penjara
selama-lamanya tiga tahun atau
denda sebanyak-banyaknya
15.000.000.- (lima belas juta
rupiah) (pasal 3 UU3/1980)
Pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian
uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan,
perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan
fasilitas lainnya. Gratifikasi
tersebut baik yang diterima di
dalam negeri maupun di luar
negeri dan yang dilakukan
dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana
elektronik (Penjelasan Pasal
12B UU Pemberantasan
Tipikor)
Sanksi Pidana penjara selama-lamanya
tiga tahun atau denda
sebanyak-banyaknya
15.000.000.- ( lima belas juta
rupiah).
KUHP:
pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah (Pasal
149)
UU Pemberantasan Tipikor:
Dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda
paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah) pegawai
negeri atau
penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji
Pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh)
tahun, dan pidana denda
paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) (Pasal
12B ayat [2] UU
Pemberantasan TipikoR)
41
padahal diketahui atau patut
diduga, bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan
yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut
pikiran orang yang
memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengan
jabatannya(Pasal 11 UU
Pemberantasan Tipikor).
Source: www.hukumonline.com
Kamal Faqih Imani dalam tafsirnya An Enlightening Comentary into
The Light of Holy Qur‟an37
secara khusus mengatakan bahwa suap adalah satu
bencana yang menjerat manusia sejak dahulu. Suap menjadi salah satu
penghalang terbesar atas terciptanya keadilan sosial. Suap menyebabkan
peraturan dan hukum yang pada dasarnya harus menjaga hak-hak manusia
yang tertindas dimanfaatkan, untuk menunjang kepentingan kelompok yang
berkuasa di masyarakat. Lebih jauh lagi kamal menyatakan bahwa ada
beberapa hal yang patut diperhatikan dalam perbuatan suap yang kerap kali
dinaungioleh beberapa argumen palsu dan istilah-istilah lain. Hal ini
menyebabkan pelaku dan penerima suap biasa menggunakan kata-kata semisal
hadiah, tawaran, tip, dan sejenis lainnya.38
37
Telah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia menjadi Tafsir Nurul Qur‟an. 38
Kamal Faqih Imani, n Enlightening Comentary into The Light of Holy Qur‟an, h.108.
42
D. Gratifikasi Sebagai Penyalahgunaan Harta.
Harta sebagaimana yang telah disinggung pada bab awal ialah barang atau
uang dan sebagainya, bernilai, berwujud atau tidak yang menjadi kekayaan.
Harta merupakan jalan untuk mencukupi hajat hidup manusia.
Kata harta di dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 87 kali dalam berbagai
ayat, dengan berbagai makna. Harta digunakan untuk kebajikan (al-Baqarah/2:
177), untuk kesombongan (al-Baqarah/2: 247, maryam/19: 77, Saba/34: 35, al-
Kahfi/18: 34), pemborosan (al-Balad/90: 6) untuk berjihad (al-Nisa/4: 95, al-
Anfal/8: 72, al-taubah/9: 20, al-Hujurat), untuk mengambil harta orang lain (al-
Baqarah/2: 188, al-Nisa/4: 10, 29, 161, al-Taubah/9: 34, 41), untuk menguji
dan menyiksa manusia (al-Baqarah/2: 155, al-Taubah/9: 55, 85, al-Naml/27:
36, al-Fath/48: 11, Ali-Imran/3: 186), dan lain sebagainya.39
Allah Swt. mengetahui betapa pentingnya kekayaan (harta) bagi manusia
agar dapat memenuhi hajat hidup dan meraih tujuan yang diinginkan. Tetapi
Allah juga mengingatkan betapa pentingnya menghindari sifat tamak, kikir,
dan boros agar harta tersebut tidak membawa keburukan baginya.40
“sesungguhnya Pemboros-pemboros itu adalah saudara saudara
Setan dan setan itu sangat ingkar pa a Tuhan” (QS l-Isra/17:27)
"dan Sesungguhnya Dia sangat bakhil karena cintanya kepada
harta ”( al- iy t )
Nabi pun bersabda
39
Azharuddin Sahil, Indek al-Qur’an Panduan Mencari Ayat Berdasarkan Kata Dasar, (Bandung: Mizan, 1999), h. 207.
40Ruqaiyyah Waris Maqsood, Harta dalam Islam, h. 76
43
“ pa ila manusia telah memiliki ua tam ang emas, maka ia akan
erkeinginan untuk memiliki tiga tam ang emas ” (HR Bukhari-
Muslim)41
Begitulah Islam memandang kekayaan sebagai sebuah kebutuhan.
Namun disisi lain memberi peringatan tentang potensi harta yang dapat
menghasilkan hal-hal negatif, seperti penyalahgunaan.
Contoh dari penyalah gunaan kekayaan yang Allah berikan dalam
firmannya adalah sebagai berikut:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal
kamu mengetahui ” (QS l-Baqarah/2:188)
Yaitu menggunakan hartanya untuk diberikan kepada hakim agar perkara
harta yang sedang di permasalahakan dapat diusahakan menang.
“sesungguhnya Pemboros-pemboros itu adalah saudara saudara Setan
an setan itu sangat ingkar pa a Tuhan” (QS l-Isra/17:27)42
41
Dikutip dengan sanad yang lengkap dari kitab Sahih al-Bukhari ma‟a Kasyfi l-musykil
lil Imam ibn al-Jauzi, Juz IV (Kairo: Dar al-Hadits,2008), h. 286.
حذثب أث عيى حذثتب عجذ انشح ث سهيب ث انغسيم ع عجبس ث سم ي سعذ قبل: سعت اث انز
اث ادو عهي انجش ثكخ في خطجخ يقل: يب أيب انبس إبنجي صهي هللا عهي سهى كب يقل: ))ن أ
ني ثبيب أحب إني ثبنثب ال يسذ جف اث ادو إال انتشاة يتة هللا عهي ‘أعطي اديب يهئب ي رت أحت
ي تبة((
42 Ruqaiyyah Waris Maqsood, Harta dalam Islam, (Jakarta, Lintas Pustaka, 2003), h. 95,
103.
44
Pemborosan yang dimaksud ialah mereka yang membelanjakan dan
menggunakan hartanya secara berlebihan dan tidak bermanfaat.
Menangkap pesan Allah dalam firmannya, maka jelaslah bahwa baik
memperoleh maupun mepergunakan harta memiliki aturan agar tidak masuk
kedalam kebatilan dan kesengsaraan. Dalam hal mempergunakan harta
khusunya, seperti pemberian hadiah, apabila dilakukan tanpa pamrih itu adalah
bentuk amal salih yang Allah janjikan pahala yang amat besar. Tidak hanya di
akhirat tetapi juga di dunia. Sebaliknya bila hadiah pemberian dilakukan
dengan memiliki sebuah kepentingan dan tujuan tertentu, maka pemberian itu
dapat dikategorikan (dalam istilah agama sebagai risywah), yang dalam hukum
indonesia dianggap sebagai tindak pidana dan diatur dalam kitab undang-
undang hukum pidana sebagai tindak pidana suap dan gratifikasi.
Meski Allah tak secara jelas memaksudkan bahwa gratifikasi adalah salah
satu dari bentuk penyalahgunaan harta, namun kita dapat melihat dari apa yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemberian hadiah bagai mata uang yang
memiliki dua sisi, dapat menjadi penolong bila digunakan sebagai bentuk amal
salih, dan dapat membawa celaka bila digunakan dengan batil. Begitu pula
dalam memperolehnya. Sebagaimana harta yang disalah gunakan menjadi alat
gratifikasi.
45
BAB IV
GRATIFIKASI DALAM AL-QUR’AN MENURUT
AL-MARAGHI
Bab ini akan dikaji penafsiran al-Maraghi mengenai ayat-ayat yang
menjadi dalil gratifikasi, dan menguraikan secara ringkas pendapat para ulama
lain dan menganalisisnya, urutan dari ayat yang diuraikan dimulai dengan susunan
waktu ayat tersebut diturunkan.
A. Tafsir Qs-al-Baqarah/2: 188.
1. Teks Ayat dan Terjemah.
“Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan
jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian dari
pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
Padahal kamu mengetahui.”
Dalam firman Allah ini ada beberapa kata yang dianggap sulit
untuk dipahami menurut al-maraghi yaitu al-Akl, al-B til, al-Idla‟, B ,
al-F r q, dan al-Itsm.
2. Makna Kosakata.
Al-Akl dalam arti asal ialah makan, tetapi al-Akl disini ialah
mengambil atau menguasai. Arti kata ini mencangkup segalanya dan
paling banyak membutuhkan biaya.1
-B til asal katanya adalah But n yang bermakna curang atau
merugikan. Mengmbil harta dengan cara yang batil berati mengambil harta
1Ahmad Mustafa al-Maraghi, T s r - r , juz 2, h. 80.
46
tanpa imbalan sesuatu yang hakiki. Syariat islam melarang mengambil
harta tanpa imbalan dan kerelaan dari orang yang memilikinya. Dapat juga
diartikan menginfakkan harta dijalan yang tidak bermanfaat dan tidak
sebenarnya.2
Al-Idla‟ bermakna menurunkan timba guna mengambil air. Namun
makna yang dimaksud disini ialah menyuap penguasa untuk membebaskan
beban si penyuap.3 Sementar B merupakan kata sifat yang artinya harta
benda, - r q ialah kelompok atau golongan sedangkan Al-Itsm
bermakna perbuatan dosa. Dimaksud disini ialah kesaksian palsu atau
sumpah semu dan sejenisnya.
Apabila keenam kata yang sulit tersebut disatukan maka bermakna;
mengambil/menguasai dengan menginfakkan harta secara tidak benar
dengan harta benda yang dilakukan oleh sekelompok/golongan yang
disertai dengan kesaksian palsu.
3. Sebab Turunnya Ayat
Allah berfirman dalam ayat ini melarang seseorang memakan harta
orang lain dengan cara yang batil dan melarang seseorang berlaku curang
dalam suatu perkara dengan memberikan harta sebagai alat untuk
mempermudah penyelesaian suatu perkara.4
ikemuk k n oleh nu tim yang bersumber dari S ‟id in
Ju ir, hw „Umru ul-Q is i n „ is d n „ d n in s w l- d r m
2Ahmad Mustafa al-Maraghi, T s r - r , juz 2, h. 80.
3Ahmad Mustafa al-Maraghi, T s r - r , juz 2, h. 80.
4Sayyid Quthb, T s r -Qur‟ n, jilid , penerjem h s‟ d sin, dkk. (J k rt .
Gema Insani Press, 2000), h. 210.
47
bertengkar mengenai tanah, „Umru ul-Qais hendak bersumpah. Ketika
terjadi peristiwa tersebut maka turunlah ayat ini.5
4. Penafsiran Ayat
Dalam pengertian secara umum menurut l- r gh melalui ayat
ini Allah menjelaskan hukum-hukum memakan harta orang lain.
setidaknya ada dua larangan yang terkandung dalam ayat ini, yaitu
larangan memakan harta dengan cara batil dan larangan memberikan harta
kepada hakim.
Ayat ini mencakup seluruh umat, dan seluruh harta tanpa
terkecuali, selain yang ditunjukkan oleh dalil s r‟i hw h rt itu oleh
diambil. Pengambilan yang dimaksud adalah dengan cara yang benar,
halal, tidak berdosa. Setiap yang tidak dibolehkan oleh syariat untuk
diambil dari pemiliknya itu adalah memakan secara batil, meskipun
pemiliknya merelakannya, seperti upah pelacuran, perdukunan, menjual
khamer dan sebagainya.6
Secara khusus, l- r ghi menjelaskan firman Allah
T ‟ u „ lakum Baynakum bi al-B tili (dan janganlah kamu
memakan harta diantara kamu dengan cara yang batil), merupakan
peringatan bahwa umat itu satu di dalam menjalin kerja sama. Selain itu
ayat ini juga sebagai sebuah peringatan dari Allah bahwa menghormati
harta orang lain berarti menghormati harta sendiri. Sewenang-wenang
terhadap harta orang lain sama saja seperti melakukan kejahataan kepada
5Jalaluddin al-Suyuti, u - uq s - u , terj. M. Abdul Mujieb AS
(surabaya: mutiara ilmu, 1986), h. 59. 6Muhammad bin Alii bin Muhammad al-Syaukani, Fathul Qadir (Beirut: Dar al-
‟riif h, t.t.), h. 239
48
seluruh umat. Salah seorang yang diperas merupakan salah satu anggota
umat, tentu yang lain akan terkena efek negatif. Orang yang memakan
harta orang lain berarti memberikan dorongan kepada orang lain untuk
berbuat hal yang sama.
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya,7 harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan.
Dalam ayat di atas Allah melarang umatnya memakan harta orang
lain dengan cara yang tidak di syariatkan. Meng idafahkan kata amwal
kepada dhamir jamak untuk mengisyaratkan bahwa sebenarnya harta
d l h milik um t t u j m ‟ h. Jug mengis r tk n hw mengh rg i
dan menjaga harta orang lain terhitung menghargai dan menjaga harta kita
sendiri. Setiap orang dilarang mengganggu harta orang lain dan dilarang
diganggu hartanya.8 sebagaimana dalam Qs. An-Nis ‟ t 5.
Kata batil dalam firman Allah dalam ayat ini telah dijelaskan
sebelumnya. Sebagai penguat, ibn al-Arabi dalam kitabnya ahkam al-
Qur‟ n meng t k n hw til d l h seg l sesu tu ng tid k
dihalalkan oleh syariat dan tidak memiliki faedah. Seperti pemberian yang
diharamkan yaitu riba. 9
Adapun macam-macam kebatilan menurut al-M r gh dalam ayat
ini adalah;
7Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum balig atau orang
dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya. 8Wahbah zuhaily, T s r - un r t - S r t -Manhaj, ( m skus
r l-Fikr, 2009), jilid I, h. 530. 9 i B kr muh mm d in dull h lm ‟ruf i n r i. Ahkam al-Qur‟ n (beirut: dar al
kuttub ilmiah, 1974), h. 138.
49
a. Riba, meminta tambahan dari sesuatu yang diutangkan.10
Membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan
kepada orang lain.11
b. Risywah (Suap), memberikan harta kepada para penguasa atau
hakim untuk melegalkan yang illegal. Baik dalam sebuah
perkara atau sebuah kepentingan.
c. Memberikan sedekah kepada orang yang mampu dan
berpenghasilan cukup, orang kaya tidak dibenarkan menerima
sedekah dengan memperlihatkan dirinya sebagai orang fakir.
Orang-orang yang sehat yang mampu bekerja dengan baik
tidak dibenarkan meminta-minta sedekah kepada orang lain.12
d. Orang yang mampu berusaha mengambil harta zakat, yang
bukan merupakan penerima zakat. (QS. Al-Taubah/9: 60)13
e. Penjual jimat, rajah, tulisan-tulisan al-Qur‟ n se g i jim t.
f. Menganiaya orang lain dengan cara gasab manfaat, menguasai
milik orang lain dengan memindahkan atau mengalihkannya
dari tangan pemiliknya.14
Al-M r gh memberikan contoh;
membujuk orang untuk bekerja, tetapi tidak memberikan upah
kepadanya. Atau memberikan upah tetapi kurang dari yang
pernah disetujui atau seimbang dengan pekerjaan yang
dilakukan.
10
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: PT. Al-
‟rif , 1996), h. 117. 11Soh ri S hr ni, Ru‟f h dull h, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) , h.
56. 12
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Shapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 152. 13
Narun Hasrun, Fikih Muamalah, h. 92. 14
Nasrun Harun, Fikih Muamalah, h. 59.
50
g. Macam-macam penipuan dan pemerasaan, seperti para
pedagang atau calo yang memalsukan barang yang akan dijual.
Memoles dan menutupi cacat barang yang tidak layak jual.
menjajakan barang cacat sebagai barang yang bagus. Dan lain
sebagainya.
h. Upah sebagai ganti melakukan ibadah. Seperti upah
pengh t m n Qur‟ n.15
Sejalan dengan macam-macam kebatilan yang disebutkan al-Maraghi,
Ibn Katsir juga menjelaskan dalam tafsirnya bahwa memakan harta orang
lain dengan cara pemaksaan, pencurian, pengkhianatan, pada suatu titipan
atau pinjaman dan semacamnya, juga termasuk mengambil dengan cara
barter yang diharamkan; seperti akad-akad, riba, perjudian adalah cara
memakan harta orang lain dengan batil. Selain itu termasuk juga
mengambil untung karena curang dalam jual beli, penyewaan,
menggunakan orang-orang upahan dan mengambil upah mereka,
mengambil upah atas sesuatu yang belum dikerjakan, serta mengambil
upah terhadap ibadah dan perbuatan-perbuatan ketaatan dimana semua itu
tidaklah menjadi sah hingga diniatkan untuk Allah semata, dan dalam hal
ini juga termasuk mengambil harta zakat, sedekah, wakaf, dan wasiat bagi
orang yang tidak memiliki hak darinya atau atas haknya.16
Pengertian yang terkandung dalam “ tu u m ((janganlah)
kamu membawa (urusan) harta kepada hakim)” menurut al-Maraghi
15
Wahbah zuhaily, T s r - un r t - S r t -Manhaj, jilid I, h. 531. 16
Abdurrahman bin Nashir al-s ‟di Tafsir al-s ‟ , penerjemah, Muhammad Iqbal,
(jakarta: Pustaka Sahifa, 2006), h. 300.
51
adalah janganlah kalian memberikan harta kepada hakim sebagai suap.17
Ibn Athiyah mengungkapkan makna tudlu berasal dari irsal al-dawi
(mengulurkan ember), sedangkan kata risywah (suap) berasal dari kata al-
rasya, seolah mengulurkan ember untuk memenuhi keperluannya.18
Orang
yang memberi suap seperti seseorang yang memenuhi embernya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia berusaha mencari cara agar
memperoleh yang diinginkan.
Al-Qurtubi mengatakan lafadz tu berada pada posisi jazam
karena di t afkan kepada lafazh wa la t ‟ u u. Seolah Allah berfirman wa
tu . Menggunakan huruf la nahi (larangan).19
Atau pendapat lain
mengatakan wa tu berkedudukasn mansub dengan mentakdirkan
adanya kata „an setelah huruf wawu yang menjadi jawab bagi nahi
(l r ng n), d n i erm kn “mengg ungk n” seol h-olah Allah
berfirman la tajmauna baina „ n t ‟ u u lakum baynakum bi al-
tili wa „ n tu ila hukkam.20
Terk it deng n r tifik si, l- r gh secara ekslplit tidak
mengatakan bahwa gratifikasi adalah salah satu macam hal yang batil,
namun pada point ketiga dari pembagian macam-macam hal yang batil
secara implisit terlihat sebagai gratifikasi. Sadaqah atau sedekah memilki
dua macam yaitu sedekah sunah dan wajib, sedekah wajib ialah pemberian
yang dilakukan dan diberikan kepada orang yang memerlukan, semata-
17 hm d us t f l- r gh , T s r - r , Juz II, h. 72
18 „ dull h uh mm d in hm d l- nsh r l-Qurtu , - ‟ - -
Qur‟ n, (Kairo: T.pn., 1952) , jilid II, cet II, h. 240. 19 „ dull h uh mm d in hm d l- nsh r l-Qurtu , - ‟ - -
Qur‟ n, jilid II, h. 240. 20
Wahbah zuhaily, T s r - un r t - S r t -Manhaj, jilid I, h. 528.
52
mata mengharap rida Allah dengan memiliki ketentuan dan disyariatkan
yaitu zakat. Sedekah sunah adalah diluar dari sedekah wajib. Alat yang
digunakan untuk bersedekah sangat banyak, bahkan tidak terpaku pada
materi saja, termasuk juga immateri seperti dengan senyum dan lain
sebagainya. ini termasuk kedalam sedekah sunah. Orang yang mampu dan
berpenghasilan cukup bukan tidak dibolehkan mendapat sedekah dari
orang lain, tetapi tidak dibenarkan menerimanya, karena tidak tepat
sasaran. Sedekah harus diberikan kepada orang-orang yang benar-benar
sangat membutuhkan. Seseorang yang mampu dan berpenghasilan cukup
seharusnya bersedekah bukan sebagai penerima sedekah.
Dalam sebuah hadis nabi yang diriwayatkan dari Abu Humaid as-
S , er t , “R su u S . enu s n s seor n e
dari suku Azd untuk mengambil zakat bani Sulaim yang bernama Abdullah
(Ibnu Utbiyyah). Ketika telah kembali, beliau pun mengevaluasinya. Dia
berkata inilah pungutan kalian, sedangkan ini adalah hadiah sebagai
n u.‟ u R su u S . ers , “ en p u t u u
saja dirumah bapak atau ibumu sehingga kamu bisa melihat, apakah kamu
akan mendapatkan hadiah atau tidak, jika engau jujur ?!. selanjutnya
beliau naik ke atas mimbar, kemudian memanjatkan pujian kepada Allah
dan menyanjung- , u ers , “sesun u n u enu s n
salah seorang dari kalian atas kepercayaan yang Allah berikan padaku,
e u n e n en t n, “ n n n n n
n or n ep u!” u R su u S . ers , “ en p
dia tidak duduk saja dirumah bapak dan ibunya sehingga datang hadiah
itu padanya jika memang dia benar. Demi Allah! Tidak seorang pun dari
kalian yang mengambil sebagian dari harta sedekah itu, kecuali pada hari
kiamat dia akan datang membawanya drngan seekor unta yang melenguh
dilehernya yang akan mengangkutnya atau seekor sapu yang juga
e en u t u see or n n en e e .” Ke u n e u
mengangkat kedua tangannya sehingga kami dapat melihat warna putih
et n . Ke u n e u ers . “Y h, bukankah aku telah
sampaikan?!” per st n t o e t u n dengar oleh kedua
telingaku.21
21
Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Mesir: al-
Maktabah alIslamiyah, 2011) h. 467.
د ب انعالء, حدثا أبى أسايت, حدثا هشاو, ع أبيه, ع أبي حيد انساعدي, قال: اسخعم زسىل هللا صهي حدثا أبى كسيب يح
ا جاء حاسبه قال: هرا يانكى وهرا هديت. فقال زسىل هللا عهيه و سه ى زجال ي األنزد عهي صدقاث بي سهيى يدعي اب األحبيه,فه
53
Hadis tersebut menerangkan bahwa hadiah untuk pegawai itu tidak
dibenarkan, bahkan Imam Nawawi dalam Syarahnya menyatakan hal
seperti itu adalah haram dan merupakan sebuah penghianatan. Sebab
pengharamannya ialah karena status kekuasaan yang dimiliki oleh pegawai
itu. Adapun ketentuan bagi barang yang diterima diluar ketetapan adalah
dikembalikan kepada pemberinya, jika sulit dilakukan maka diserahkan
kepada instansi terkait.
Hadis tersebut mendukung firman Allah “wa t ‟ u
u n u - tili wa tu u m li t ‟ u n
-n s bi al- ts ntu t ‟ un”.22
Al-Maraghi
menganggapnya sebagai risywah, dan menyatakan batil. Ia mengatakan
meminta bantuan kepada hakim dalam rangka memakan harta orang lain
dengan cara batil, seperti melakukan sumpah bohong atau kesaksian palsu
untuk membuktikan kebenaran adalah haram. Ia juga mengatakan bahwa
hakikatnya, keputusan hakim tidak bisa merubah kebenaran, meski hanya
dalam hatinya. Fungsi hakim hanya melaksanakan keputusan secara
lahiriyah, namun pada hakikatnya ia bukan seseorang yang berhak
menghalalkan atau mengharamkan sesuatu.23
Makna lafadz al- itsm adalah dzalim dan melampaui batas.
Tindakan batil yang banyak disebutkan seperti itu dinamakan dosa, karena
هللا صهي هللا عهيه وسهى : ))فهال جهسج في بيج أبيك وأيك حخي حأحيك هديخك, إ كج صادقا((. ثى خطبا فحد هللا وأثي عهيه,
ا والي هللا, فيأحي فيقىل: هرا يانكى وهرا هديت أهديج ني. أفال جهس ثى قال : ))أيا بعد فإي أسخخعم انسجم يكى عهي انعم ي
في بيج أبيه وأيه حخي حأحيه هديخه إ كا صادقا, وهللا اليأخر أحدا يكى يها شيأ بغيسحقه نقي هللا حعاني يحهه يىو انقيايت,
أحدا يكى نقي هللا يح م بعيسا نه زغاء, أو بقسة نها خىاز, أو شاة حيعس((. ثى زفع يديه حخي زئي بياض إبطيه ثى قال : فألعسف
))انههى هم بهغج((. بصس غيي وسع أذي22
Al-Baqarah/2: 188. 23 hm d us t f l- r gh , T s r - r , Juz II, h. 72
54
yang melakukannya akan mendapatkan dosa.24
Orang yang melakukan
praktek gratifikasi atau suap adalah orang yang zalim. Perbuatan tersebut
terhitung sebagai perbuatan yang membuang-buang harta. Orang beriman
tidak dibenarkan menyuap hakim agar memberi keputusan yang sesuai
keinginannya. Ahlu al-Sunnah sepakat mengambil sesuatu yang dapat
disebut harta, sedikit ataupun banyak maka perbuatannya adalah fasik dan
haram baginya mengambil harta tersebut. 25
Hadis tersebut juga merupakan
bukti adanya praktek yang dikenal saat ini sebagai gratifikasi. Sementara
secara khusus hadis yang mengharamkan perbuatan suap atau gratifikasi
telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
Al-Syaukani, al-Qurtubi, Ibn Katsir dan mayoritas ahli tafsir pun
berpendapat, bahwa ayat ini menunjukkan keputusan hakim tidak dapat
menghalalkan yang haram dan tidak pula mengharamkan yang halal, baik
berkenaan dengan harta maupun kemaluan. Apabila seorang hakim
memenangkan suatu kasus berdasarkan kesaksian palsu maka yang
dimenangkan telah mengambil harta orang lain dengan cara yang batil,
demikian pula dengan menyuap hakim, lalu hakim memenangkan
kasusnya. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu mengenai
hakim yang tidak dapat menghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal.26
Selain itu Larangan memakan harta dengan cara yang batil juga
terdapat dalam Qs. Al-Nisa/4: 29 dan 10.
24 „ dull h uh mm d in hm d l- nsh r l-Qurtu , - ‟ - -
Qur‟ n, h. 240. 25
Wahbah zuhaily, T s r - un r t - S r t -Manhaj, jilid I, h. 534. 26
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, Terj. Amir
Hamzah Fachruddin, Asep Saefullah, ed. Edy Fr. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 732.
55
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-
nyala (neraka). (al-Nisa/4: 10)
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu,27
Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (30) dan Barangsiapa
berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami
kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah.
Dari paparan ayat di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa tidak
pantas jika seorang yang merasa dirinya beriman kepada allah dan hari
akhir mendudukkan dirinya sebagai pembela (hakim) dalam masalah yang
ia ketahui bahwa yang di bela itu berada dalam kesalahan atau dijalan yang
batil, lebih-lebih ia akan membela orang tersebut dengan segala
kepandaian yang ia mliki dengan hanya menerima pemberian dari
tersandung kasus tersebut.
27
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab
membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
56
Oleh karena itu seseorang tidak dibolehkan mencari penghidupan
dengan cara-c r ng di l r ng oleh s ri‟ t, k ren h l ini k n
merugikan dan membahayakan orang lain. Dan seharusnya dalam mencari
penghidup n itu deng n j l n ng di h l lk n oleh s ri‟ t, sehingg
tidak merugikan orang lain. Dalam hal ini juga berdampak negatif pada si
pembela (hakim) yaitu, 1. Dalam menjalankan tugasnya si hakim akan
lebih senang melayani orang yang memberi hadiah kepadanya, sebaliknya
ia akan malas melayani orang yang tidak memberi hadiah. 2. Dalam
melaksanakan tugas selalu mengharap-harap dari orang lain.
B. Tafsir QS. Al-Nissa/4: 29-30.
1. Teks Ayat dan Terjemah.
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu,28
Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (30) dan Barangsiapa
berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami
kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah.
2. Makna kosakata.
28
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab
membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
57
Amwâlakum yaitu harta yang beredar dalam masyarakat. Apabila
di kaitkan dengan penafsiran QS. An-Nis ‟ t 5 t ini
menunjukkan bahwa harta anak yatim dan harta siapapun sebenarnya
merupakan milik bersama, dalam arti ia harus harus beredar dan
menghasilkan manfaat bersama.
Bainakum yaitu diantara kamu maksudnya bukan sesuatu yang ada
di antara dua belah pihak, seharusnya berada di tengah, yakni di antara
mereka atas harta, dan harta itu berada di tengah mereka yang
berhimpun itu.29
Al-Bâtil yaitu kesia-siaan dan keraguan. Yakni mengambil harta
tanpa pengganti hakiki yang biasa, dan tanpa keridaan dari pemilik
yang di ambil itu.30
3. Penafsiran ayat
Secara umum Al- r gh mengatakan ayat ini menerangkan
kaidah-kaidah umum mengenai transaksi harta sebagai pembersih jiwa
dalam mengumpulkan harta yang dicintai. Allah memberi pesan agar
manusia selalu mengerjakan hal sebagaimana yang telah disyariatkan.
Allah memberikan ketentuan tentang perniagaaan, dan larangan berbuat
zalim.
Batil dalam ayat ini sebagaimana ayat sebelumnya secara bahasa
memiliki makna yang sama. Definisi al-B til menurut syara yakni
mengambil harta tanpa pengganti hakiki yang biasa, dan tanpa keridaan
dari pemilik harta yang diambil, Atau menafkahkan harta bukan pada jalan
hakiki yang bermanfaat. Lotre, penipuan dalam jual beli, riba, dan
29
M. Quraish Shihab Tafsir al-Misbah (Pesan, kesan, dan keserasian al-Qur‟ n),
(Ciputat, Lentera Hati, 2000), h. 412-413. 30
Ahmad Mustafa al-Maraghi, T s r - r , juz 5, h. 16.
58
menafkahkan harta pada jalan yang diharamkan, serta pemborosan dengan
mengeluarkan harta untuk hal yang tidak dibenarkan akal adalah hal- hal
yang termasuk dalam kata batil.31
l- r gh mengatakan kata bainakum dalam ayat ini
menunjukkan bahwa harta yang haram biasanya menjadi pangkal didalam
transaksi antara orang yang memakan dengan orang yang hartanya
dimakan. Masing-masing menginginkan harta tersebut menjadi miliknya.
Tidak perduli dengan cara apa saja. Penggunaan kata makan dalam ayat ini
karena ia merupakan cara yang paling banyak dan kuat digunakan.
rt ng terd p t d l m k lim t “ T ‟ u „ u
Baynakum bi al-B til (janganlah kalian memakan harta sebagian yang
lain) dikatakan al-Maraghi bermaksud untuk mengingatkan bahwa umat
adalah kesatuan, harta setiap orang dari mereka adalah harta umat.
Dikatakan demikian karena setiap harta yang dimiliki seseorang terdapat
pula harta orang lain didalamnya. jika salah seorang diantara mereka
meminta dibolehkan memakan harta orang lain. maka ia seperti
membolehkan pula orang lain memakan hartanya.32
Allah melarang
hambanya yang beriman memakan harta diantara mereka dengan cara
batil. Seperti mencuri, menipu, riba, dan lain sebagainya33
Al-J s s as menambahkan bahwa yang dimaksud memakan harta
dengan cara yang batil ialah bukan hanya memakan harta orang lain, tetapi
juga memakan harta dirinya sendiri. Seperti menginfakkan hartanya untuk
31
Ahmad Mustafa al-Maraghi, T s r - r , juz 5, h. 16. 32
Ahmad Mustafa al-Maraghi, T s r - r , juz 5, h. 16 33
Abi Bakr jabir al-Jazairy, s r -T s r, (Jeddah: Racem Advertising, 1987), cet. II,
jilid 1, h. 390
59
perbuatan maksiat dan perbuatan yang tidak bermanfaat serta bertentangan
dengan yang disyariatkan.34
Allah melarang hambanya yang beriman dari memakan harta
diantara mereka dengan cara yang batil. (tanpa ganti yang dibolehkan),
seperti mencuri, menipu, riba, dan lain sebagainya.35
Sebagai penguat, Wahbah Zuhayli menjelaskan bahwa kata
amwalakum menunjukkan kepada harta yang dimiliki orang lain dan juga
harta yang dimiliki oleh diri sendiri. Selain itu kata tersebut juga
mengisyaratkan bahwa semua harta yang dimiliki seseorang hakikatnya
adalah harta umat.36
Quraish Shihab mengatakan bahwa harta yang dimaksud dalam
ayat tersebut adalah harta yang beredar dalam masyarakat, yang
difungsikan sebagai milik bersama, harus dapat menghasilkan manfaat
bersama. Harta hendaknya diilustrasikan berada di tengah, tidak berat
sebelah. Artinya kedua belah pihak sama sama mendapatkan keuntungan,
atau sama-sama mendapat kerugian. Demikian sebagaimana pembeli dan
penjual, penyewa dan penyedia jasa, penyedekah dan penerima sedekah,
dan lain sebagainya.37
Ada sebuah ungkapan yang dikutip al-M r gh , hw “Hidup
adalah Q s s .” Ungkapan ini merupakan sebuah Isyarat bahwa orang yang
memiliki harta berkewajiban mengeluarkan sebagian hartanya kepada
34 B kr hm d in l l-R l-J s s s, Ahkam Al-Qur‟ n, ( iro r ush f , t.t )
Juz III, h 128. 35
Abi Bakr jabir al-Jazairy, A s r -T sir, h. 391 36
Wahbah zuhaily, T s r - un r t - S r t -Manhaj, jilid IV, h. 33. 37
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, kesan, dan keserasian al-Qur‟ n), h. 392.
60
orang yang memerlukan dan tidak pelit dengannya, karena dengan begitu
seakan-akan dia memberikan sebagian hartanya sendiri.
Penjelasan harta, sebagaimana yang dikemukakan al-M r gh dan
Quraish Shihab, mengantarkan pada kesimpulan bahwa harta secara
keseluruhan adalah Milik Allah, tetapi dalam bentuk nyata dan proses
transaksinya tebagi ke dalam dua fungsi yaitu milik bersama dan milik
Pribadi. Harta yang berfungsi sebagai milik bersama disebut juga harta
umat, sedangkan harta yang berfungsi sebagai milik pribadi adalah harta
manusia. harta umat adalah harta Allah yang dikumpulkan oleh manusia
untuk satu tujuan, seperti APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara), kas Masjid, zakat yang penggunaannya sesuai kesepakatan dan
ketentuan. Di luar itu tidak diperkenankan. Sedangkan harta milik pribadi
adalah harta Allah yang diberikan kepada manusia, dimiliki oleh orang-
perorang yang didapat dari hasil kerja atau pemberian. Seperti gaji dan
hadiah yang penggunaannya tergantung kerelaan pemilik.
Agama Islam telah meletakkan kaidah dasar yang adil tentang
harta. Pertama, Dasar dari harta umat adalah bahwa Islam mewajibkan
orang yang memliki banyak harta kewajiban-kewajiban tertentu, seperti
zakat harta, perniagaan38
demi maslahat-maslahat umum. Orang yang
sedikit harta dan orang miskin yang membutuhkan pertolongan, diberikan
kepadanya hak-hak untuk menerima bagian dari harta umat.39
Islam juga
memerintahkan supaya berbuat kebajikan dan kebaikan, serta
mengeluarkan sedekah tiap waktu. Dengan dasar ini pula seharusnya di
38
Disebut muzakki 39
Disebut mustahik
61
dalam Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tidak akan
terdapat orang yang kekurangan makan, atau telanjang, baik muslim
ataupun non muslim, karena Islam telah menghilangkan kesusahan orang.
Sebagaimana mewajibkan di dalam harta mereka hak-hak bagi para fakir
miskin.
Kedua, Islam tidak membolehkan orang-orang yang butuh,
mengambil harta untuk kebutuhannya tanpa seizin pemiliknya. Agar
pengangguran dan kemalasan tidak tersebar luas di antara individu-
individu umat, tidak terdapat kekacauan dalam harta, dan akhlak serta
sopan santun tidak rusak.40
l- r gh meyakini jika kaum Muslim menegakkan panji-panji
agama dan mengamalkan syariatnya, niscaya mereka telah memberikan
contoh teladan kepada manusia, dan mereka mengetahui dengan jelas
bahwa Islam benar-benar syariat terbaik yang dikeluarkan demi
kepentingan umat manusia, dan dapat membangun suatu peradaban yang
benar dizaman ini, yang akan di ikuti oleh setiap orang yang
menginginkan kebahagian masyarakat, dan tidak akan meletakkan
injakkan dibawah kebutuhan dan kemiskinan, sebagaimana terjadi dewasa
ini, dimana para pekerja berbondong-bondong memburu para kapitalis.
„ n T n T r ratan „ n Tar n inkum. i rtik n oleh
l- r gh deng n “j ng nl h k li n term suk or ng-orang yang tamak,
yang memakan harta orang orang lain tanpa ganti rugi mata uang atau
sesuatu manfaat, tetapi makanlah harta itu dengan perniagaan yang pokok
40
Ahmad Mustafa al-Maraghi, T s r - r , juz 5, h. 17
62
penghalalannya ialah saling meridai. Itulah yang patut bagi orang yang
menjunjung tinggi kem nusi n d n g m .” ini sek ligus pes n d rin
bila ingin termasuk kedalam golongan orang-orang yang banyak harta.41
Sementara menurut al-Syaukani kata t rah bukan hanya diartikan
sebagai perniagaan, tetapi terkadang juga dugunakan sebagai arti dari
“ l s n m l per u t n” k t ini sif tn m j i se g im n firm n
Allah42
Sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat
menyelamatkanmu dari azab yang pedih?
Sejalan dengan al- r gh , n tsir le ih d hulu men t k n
maksud dari „ n T na T r ratan „ n Tar n inkum ialah jangan
melakukan praktik-praktik yang di haramkan dalam memperoleh harta
kekayaan, lakukanlah perdagangan yang disyariatkan berdasarkan kerelaan
penjual dan pembeli.43
Harta yang di dapat dari hasil jual beli yang
dasarnya saling rela antara kedua belah pihak adalah halal dimakan.44
Demikianlah Allah melalui firmannya memberikan alternatif solusi
yang dapat dilakukan oleh manusia agar terhindar dan menjauhi
mendapatkan harta dan membelanjakannnya dengan cara yang batil. Yaitu
dengan melakukan pekerjaan dan usaha yang jujur melalui perniagaan.
Perniagaan merupakan jalan tengah yang bermanfaat untuk orang
yang akan membelanjakan hartanya (konsumen) dan orang yang ingin
41
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir a - r , juz 5, h. 18 42
Muhammad ali bin muhammad al- Syaukani, Fath al-Qadir, juz I, (Beirut: Dar al-Fikr,
1973) h. 457. 43 uh mm d N si Rif ‟i, Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, Terj.
Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 693. 44
Abi Bakr jabir al-Jazairy, s r -T s r, h. 391
63
mendapatkan harta (produsen) yang dilakukan dengan memasarkan
barang. Perniagaan ini berarti pelayanan antara kedua belah pihak, saling
mendapatkan manfaat, yang perolehan manfaatnya didasarkan pada
kemahiran dan kerja keras.45
m m S fi‟ mengatakan, bahwa pada dasarnya semua jual-beli
adalah Mubah selama dilakukan secara suka sama suka, kecuali jual beli
yang diharamkan oleh Rasulullah Saw.. Segala jual beli yang tergolong
dalam larangan Rasulullah Saw pasti haram untuk dilakukan. Sementara
segala bentuk jual beli yang berbeda dengannya, nilai hukumnya mubah
dan digolongkan sebagai jual beli yang dalam kitabullah dinyatakan
mubah.46
Dasar halal dan mubahnya perniagaan gi l- r ghi dan ulama
mayoritas adalah saling meridai anatara pembeli dan penjual. Abi Bakr al-
jazairy menambahkan saling meridai diantara keduanya selama kedua
belah pihak belum berpisah.47
Penipuan , pendustaan dan pemalsuan
adalah hal yang diharamkan.
Demikian pula dengan Praktek gratifikasi, suap ataupun korupsi,
sering kali dianggap menjadi sebuah proses jual beli, karena adanya
transaksi. Meski kedua belah pihak sama-sama rida namun jelas hal seperti
ini tidaklah dibenarkan. Bisa saja Seseorang yang memberikan sebagian
hartanya kepada orang lain (sedang ia dalam keadaan memiliki
kepentingan) tidak menyadari atau dengan sadar bahwa apa yang
45
Sayyid Quthb, T s r Z Qur‟ n ( B un n -Qur‟ n), jilid II, Terj.
s‟ d Y sin, kk, h. 342. 46
Ahmad Mustafa al-Farran, T s r S ‟ , terj.Fedrian Hasan dkk, Ed, Tim
alMahira (Jakarta: Almahira, 2008) , h. 118. 47
Abi Bakr jabir al-Jazairy, s r -T s r, h. 392
64
dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Ia menganggap hal yang ia
lakukan adalah benar dan menjadi sebuah keharusan dan kewajaran yang
logis. Namun ini adalah sebuah kesalahan yang besar, karena ia tidak
terlebih dahulu memeriksa dan memikirkan matang-matang apakah yang
akan dia lakukan benar atau salah. Allah tidak membenarkan hal-hal
seperti ini.
Allah pun melarang seorang musim melakukan aniaya kepada diri
pada akhir Qs. Al-Nisa ayat 29.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.
Ayat diatas menjelaskan tentang tindakan kriminal seseorang
terhadap orang lain adalah tindakan kriminal terhadap dirinya sendiri,
bahkan terhadap seluruh manusia. tindak kriminal tidak hanya terbatas
kepada pembunuhan. Penipuan, pencurian, korupsi, dan gatifikasi
termasuk di dalamnya. Semua ini berakhir pada menyengsarakan diri
sendiri (aniaya).
Seorang muslim haram membunuh dirinya atau muslim lainnya
karena pada dasarnya muslim itu adalah umat yang satu48
al-Syaukani
menambahkan bahwa Allah melarang segala bentuk aniaya dan bunuh diri
48
Abi Bakr jabir al-Jazairy, s r -T s r, h. 392
65
(baik yang dilakukan terhadap orang lain maupun diri sendiri), kecuali
yang ditetapkan syariat Islam.49
Allah memerintahkan pula agar manusia menghormati jiwa orang
lain, sebagaimana ia menghormati jiwanya sendiri.
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh
manusia seluruhnya, dan Barangsiapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya.50
Melalui larangan dan perintah yang Allah berikan, Dia
menunjukkan kasih sayangnya. Memelihara darah, dan harta manusia
merupakan pokok kemaslahatan dan manfaat bagi manusia itu sendiri.
Mengajarkan saling menyayangi, mencintai, tolong-menolong, dan
memelihara serta melindungi diri jika keadaan membutuhkan
perlindungan. Ini lah bentuk sayang yang Allah berikan.
Maka barangsiapa yang melanggar larangan Allah, seperti yang
telah dipaparkan Allah dengan tegas memberikan sanksi dengan
memasukannya ke dalam neraka. Ini jelas dikatakan Allah pada Penutup
Qs. Al-Nisa ayat 30.
“Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian
itu adalah mudah bagi Allah).
49
Seperti hukum qisas. Muhammad ali bin muhammad al syaukani, Fath al-Qadir, juz I.
H. 457. 50
Qs. Al-Maidah/5: 32
66
Abu Bakr al-jazairy dan al-Syakuani dalam tafsirannya pun
mengatakan bahwa ancaman yang keras bagi pembunuh yang zalim dan
penuh permusuhan(dendam) adalah dimasukan kedalam neraka dengan
dibakar.51
Dan jika ingin terhindar dari azab itu, maka hendaklah melakukan
segala perintah, aturan, serta anjuran yang diberikan Allah dalam firman-
firman-Nya.
Dalam ayat ini dapat disimpulkan bahwa hikmah yang dapat
diperoleh adalah anjuran menyenangi perniagaan, karena manusia sangat
membutuhkannya, dan peringatan agar menggunakan kepandaian dan
kecerdikan di dalam memilih barang serta teliti di dalam transaksi, demi
memelihara harta sehingga tidak sedikitpun darinya keluar dengan
kebatilan atau tanpa manfaat. Apabila dalam perdangangan terdapat
untung yang banyak tanpa penipuan dan pemalsuan, melainkan dengan
saling meridhai antara kedua belah pihak, maka tidak ada kesempitan
baginya, sebab tanpa hal itu niscahaya tidak ada seorang pun yang senang
berniaga, dan juga tidak aka ada dari ahli agama yang akan sibuk
dengannya, padahal manusia sangat membutuhkannya.
Oleh karena itu harta tidak ubahnya seperti ruh, maka dilarang
merusaknya dengan kebatilan, sebagaimana kita dilarang untuk
merusaknya (membunuh) diri. Cara yang paling banyak dilakukan orang
untuk membunuh diri adalah dengan merampas harta dan hal-hal yang
berhubungan dengannya (gratifikasi) yang digunakannya.
51
Abi Bakr al-jazairy, s r -T sir h. 390
67
Dan dalam ayat ini juga kita diperintahkan untuk menghormati
jiwa orang lain, sebagaimana kita menghormati jiwa kita sendiri. Oleh
karena itu seorang tidak boleh membunuh dirinya sendiri agar tenhindar
dari kesusahan dan kesengsaraan hidup. Walau bagaimanapun beratnya
musibah yang menimpanya hendaknya bersabar, berharap dan tidak boleh
berputus asa terhadap pertolongan Allah.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Islam tidak mengenal istilah gratifikasi, namun Islam mengenal istilah
pemberian dan hadiah. Bentuk pemberian dalam Islam dengan berbagai
istilahnya tidak dapat dikatakan sebagai gratifikasi kecuali istilah tersebut
mengandung unsur dan kriteria gratifikasi. Istilah dalam Islam yang mendekati
tentang penjelasaan mengenai gratifikasi dalam Islam adalah hadiah dan
risywah. Risywah dalam bahasa Indonesa disebut suap.
Hadiah jika diberikan semata-mata karena Allah, tanpa tujuan dan
kepentingan apapun, juga bukan karena pekerjaan atau jabatannya, maka hadiah
tersebut bukan merupakan gratifikasi. Sementara hadiah yang diberikan
berkaitan dengan pekerjaan dan jabatan, serta memiliki tujuan dan kepentingan
inilah yang disebut gratifikasi, yang dalam Islam dikenal dengan istilah risywah.
Risywah atau gratifikasi adalah perbuatan tercela (batil), yang dikatakan l-
gh , al-Syafi ‘ l- i n k r dan beberapa ulama lain sebagai
pengkhianatan. Allah serta Rasul-Nya melaknat perbuatan Khianat.
Al-Maraghi mengatakan bahwa gratifikasi adalah salah satu hal yang
mengandung kebatilan, seperti kejahatan dalam jual beli, penipuan, pencurian,
korupsi, penyalahgunaan harta untuk kejahatan dan lain sebagainya. Al-Maraghi
mengatakan untuk terhindar dari hal-hal tersebut, seseorang hendaknya
mengikuti petunjuk yang diberikan Allah dalam Al-Qu ’ n epe i ke en u n
dalam memperoleh dan membelanjakan harta. Segala sesuatu yang berkenaan
dengan kebutuhan material dimulai dengan harta, maka manusia harus benar
69
dalam memperoleh dan menggunakan hartanya agar terhindar dari hal-hal yang
batil.
Oleh karena itu seseorang tidak dibolehkan mencari penghidupan dengan
cara-c y ng di l ng oleh y i’ (g ifik i) k en h l ini k n me ugik n
dan membahayakan orang lain maupun diri sendiri. Seharusnya dalam mencari
penghidupan manusia melalui j l n y ng di h l lk n oleh y i’ ehingga
tidak merugikan orang lain. Menghormati jiwa orang lain sebagaimana kita
menghormati jiwa kita sendiri pun, merupakan perkara yang diperintahkan oleh
Allah. Tidak dibenarkan dan tidak dibolehkan melakukan aniaya terhadap setiap
jiwa dengan berbagai bentuk, agar terhindar dari kesusahan dan kesengsaraan
hidup. Walau bagaimanapun beratnya musibah yang dialami dalam hidup,
hendaknya bersabar, berharap, dan tidak berputus asa terhadap pertolongan
Allah.
B. Saran-saran.
Kajian mengenai gratifikasi bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia
Akademis. Telah banyak penelitian yang mengangkat tema ini dari berbagai
pendekatan. Penulis menyadari bahwa penelitian ini memiliki banyak
kekurangan terutama dalam penyajian dan konten. Karena itu penulis berharap
dikemudian hari akan ada penelitian dengan tema serupa yang lebih baik dan
berkualitas. Melakukan penelitian secara menyeluruh dengan pendekatan baru,
seperti Sosial dan Budaya, karena tidak dapat dihindari bahwa memberi dan
menerima hadiah telah menjadi sebuah kebiasaan di masyarakat.
70
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Nur. “Pencegahan Korupsi dalam perspektif Hadis (Studi Hadis Korupsi
dalam Kutub al-Sittah).” Tesis S2 Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Alfaisal, “Konsep Cinta Menurut al-Qur‟an; Studi Analisis Ayat-ayat Cinta dalam
Tafsir al-Maraghi.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universita Islam Negeri Jakarta, 2002.
Anis, Ibrahim, dkk. Al-Mu’jam al-Wasit. Beirut: Majma‟ al-Lughah al-Arabiyyah,
1973.
Arif, Masykur. Sedekah Itu ajib. Jogjakarta: Diva Press, 2014.
al-Badr, „Abdul al-Razzaq bin „Abdul Muhsin al- „Abbad. Fikih Asma ‘ul Husna.
penerjemah Abdurrahman Tayyib, Sulhan Jauhari, cet.ke-14. Jakarta:
Darus Sunnah Press, 2015.
Al-Bukh r , Sahih al-Bukhari ma’a kasyfi al-musykil lil imam ibn al jauzi. Juz IV.
Kairo D r al- ad ts, .
Budiman, Achmad Arif. “Laporan penelitian individual Praktek Gratifikasi dalam
Pelaksanaan Pencatatan Pernikahan (Studi Kasus Kantor Urusan Agama
Kota Semarang).” Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo,
2014.
Dali, M.W. ed. Cambridge History of Egypt. London: Cambridge University
Press, 1998).
Djaja, Ermansjah. KUHP Khusus: kompilasi Ketentuan Pidana dalam Undang-
Undang Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
al-Farmawi, Abd. Al-Hayy. Metode Tafsir Maudhu’iy: Sebuah Pengantar. Terj.
Suryan A.Jamran. Ed.1. Cet.2. jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1996.
al-Farran, Ahmad Mustafa. Tafsir Imam Syafi’i. terj. Fedrian Hasan dkk. Ed.Tim
al-Mahira. Jakarta: Almahira, 2008.
Federspiel, Howard M. Kajian al-Qur’an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus
Hingga Quraish Shihab. terj. Tajil Arifin. Bandung, Mizan, 1996.
Garner, Bryan A. ed.. Black’s Law Dictionary. Unites State of America: West a
Thomson Bussiness, 2004.
Ghazaly, Abdul Rahman, dkk. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010.
71
Hamzah, Jur Andi. Terminologi Hukum Pidana. cet. 2. Jakarta:Sinar Grafika,
2009.
Hanafi, Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.
Harahap, Syahrin. Al-Qur’an dan Sekularisasi Kajian Terhadap Pemikiran Thaha
Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Harun, Nasrun. Fiqh Muamalat. Jakarta: Gaya Media, 2007.
Ibn Arabi, Abi Bakr muhammad bin abdullah alma‟ruf. Ahkam al-Qur’an. Beirut:
dar al kuttub ilmiah, 1974.
Imani, Kamal Faqih. An Enlightening Comentary Into The Light if Holy Qur’an.
Vol. II. Iran: The Scientific and Religious Research Center, 1998.
Irfan, H.M. Nurul. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah, 2012.
_______________Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual dalam Hukum Pidana
Islam. Jakarta: Amzah, 2014.
al- as s as, Ab Bakr Ahmad bin Al al-Raz . Ahkam Al-Qur’an. Kairo D r
Mushaf, t.t.
al-Jazairy, Abi Bakr Jabir. Aisar al-Taf sir. Jeddah: Racem Advertising, 1987.
Kholilah, Lainy. “Gratifikasi dalam perspektif hadis ( Telaah adis dalam Kitab
sunan Abu Dawus No. Indeks 2943).” Skripsi S1 Fakultas Ushulussin
dan Filsafat Program Studi Ilmu al-Qur‟an dan tafsir. Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2015.
KPK Akan Selidiki Suap Berupa Iming-iming Seks. www.Tempo.com.
09/03/2013 Pukul. 16.59.
al-Mar gh , Ahmad Mus t afa. Tafs r al-Mar gh , jilid I. Juz I. Beirut: Dar al-Fikr,
1974M.
----------------------------------- Tafs r al-Mar gh . (Mesir: Maktabah Musthafa al-
Bali al-Halabi 1969).
Manzur, Ibn. Lisan-al-Arab. jilid. . Beirut D r Sader, .
al-Naisaburi, Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi. Shahih Muslim. Mesir:
al-Maktabah alIslamiyah, 2011.
Nasution, Harun. Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1985.
Prihatin, Dodik. “Tinjauan Yuridis mengenai Gratifikasi Berdasarkan UU. No 3 .
Tahun 1999 JO UU no. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
72
Pidana Korupsi.” h. 5-6. diakses pada tanggal 27 februari 2017
http://Repositori.unes.ac.id/handle/123456789/62976.
al-Qurtub , Ab „Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshar . al- Jami’ al-Ahk m
al-Qur’an. (Kairo: T.pn., 1952).
Quthb, Sayyid. Tafsir fii D il l al-Qur’an. jilid I. penerjemah as‟ad yasin dkk.
Jakarta. Gema Insani Press, 2000.
Rahema, Ali. Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Mizan, 1994.
Rauf, Mu‟min. “Pendekatan Takwil Al-Maraghi Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat
Mutasy bih t.” Tesis Pasca Sarjana Jurusan Islam dan Modernitas,
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2007.
Rifa‟i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibn Katsir.
Terj. Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Ruslan, Dadan. “Gratifikasi dalam Tinjauan ukum Islam.” skripsi Fakultas
Syari‟ah dan ukum Universitas Islam Negeri Starif idayatullah
Jakarta, program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum, 2014.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. alih bahasa Kamaluddin A. Marzuki. Bandung: PT.
Al-Ma‟rif, 1996.
al-Sa‟di, Abdurrahman bin Nashir. Tafsir al-sa’di. Penerjemah. Muhammad Iqbal.
Jakarta: Pustaka Sahifa, 2006.
Salim, Fahmi. Tafsir Sesat: Essai Kritis Wacana Islam di Indonesia. Jakarta:
Gema Insani, 2013.
Sahrani, Sohari, Ru‟fah Abdullah. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia,
2011.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah (Pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an).
Ciputat, Lentera Hati, 2000.
________________ Asma-al-Husna. buku ke-3. Jakarta: Lentera Hati, 2008.
Suma, Moh. Amin. Pengantar Tafsir Ahkam. Ed. 1. Cet. 2. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002.
Survey PERC;Indonesia NegaraTerkorup di Asia pasifik. http://nasional.Kompas.
Com. di-akses 22/2/2013 pukul. 16.53.
al-Suyuti, Jalaluddin. Lub b al-Nuq l fi Asb bi al-Nu l. terj. M. Abdul Mujieb
AS. Surabaya: Mutiara Ilmu, 1986.
al-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Fathul Qadir. Beirut: Dar al-
Ma‟riifah, t.t.
73
_________________________________________Tafsir Fathul Qadir. Terj.
Amir Hamzah Fachruddin, Asep Saefullah, ed. Edy Fr. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008.
Tim Penulis IAIN Jakarta, Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan,
1992.
Tim pusat pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 2007.
Wiyono, R. Pembahasan Undang Undang Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar
Grafika, 2005.
al-Zabidi, Muhammad Mustafa. Taj al-Urs min Jaw hir al-Qamus. Lebanon: D r
al-Khattab al-Ilmiyah, 2007.
Zaini, Hasan. Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir al-Maraghi. Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1997.
Zuhdi, Masjfuk. Studi Islam. jilid III. Cet II. Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada,
1993.
Zuhayli, Wahbah. al-Fiqh al-Isl m wa ‘Adilatuhu. Beirut D r al-Fikr, 1997.
______________ Tafs r al-Mun r f Ak dat wa al- Syar at wa al-Manhaj.
(Damaskus D r al-Fikr, 2009.
���
Menimbang :
23
Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada tanggal 23-27 Rabi’ul Akhir 1421 H/ 25-29 Juli 2000 M dan membahas tentang Suap (Risywah) Korupsi (Ghulul) dan Hadiah kepada Pejabat, setelah :
1. bahwa pengertian risywah dan status hukum-nya, hukum korupsi, dan pemberian hadiah kepada pejabat atau pejabat menerima hadiah dari masyarakat, kini banyak dipertanyakan kembali oleh masyarakat;
2. bahwa oleh karena itu, MUI dipandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang hukum ma-salah dimaksud.
1. Pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat tentang masalah pengertian risywah dan status hukumnya, hukum korupsi, dan pemberian hadiah kepada pejabat atau pejabat menerima hadiah dari masyarakat yang dikaitkan dengan penegakan pemerintahan/ manajemen yang bersih dan sehat;
2. Pendapat dan saran-saran peserta sidang/Munas.
Memperhatikan :
RISYWAH (SUAP), GHULUL (KORUPSI) DAN
HADIAH KEPADA PEJABAT
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
���
Mengingat : 1. Firman Allah SWT:
“Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. al-Ba-qarah [2]: 188).
“Hai orang yang beriman! Janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan ja-lan yang batil...” (QS. al-Nisa’ [4]: 29).
“… Barang siapa yang berkhianat dalam urusan harta rampasan perang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu...” (QS. Ali ‘Imran [3]: 161).
2. Hadis-hadis Nabi dan atsar menegaskan, antara lain:
الحكامإلىبهاوتدلوابالباطلبينكمأموالكموالتأكلواتعلمونوأنتمباإلثمالناسأموالمنفريقالتأكلوا
:.(البقرة(بالباطلبينكمأموالكمتأكلواالواآمنالذينياأيها
:النساء(
نموللغيأتيابمغلمويةاميالق)آلعمران:
أنسولراللهلىصاللههليعلمسولمعتاسلاامعاءهفجلامالعنيحغفرنمهلمعفقالايولسر
اللهذاهلكمذاهويدأهيلفقاللهأفلاتدقعثملاأملكأيهدىفنظرتوأمكأبيكبيتفيقامولسراللهلىصاللههليعلمسوةيشعدعب
لاةالصدهشفتىأثنولىعاللهابموهلهأهثمقالهذافيقولفيأتينانستعملهالعاملبالفمابعدأمانمكملمعذاهويدأهيلأفلادقعيفتيبأبيه
هأموظرفنلهىدهيلهأملايالذفوفسندمحمهدبيلالغيكمدأحاهنمئايشإلااءجبهموي
ةاميالقلهمحيلىعهقنعإنكاناريعباءجبهلهوإنخوارلهابهاجاءبقرةكانتوإنرغاء
تكاناةشاءجابهرعيتفقدتلغبفقالوأبديمحثمفعرولسراللهلىصاللههليعلمسوهديىتحسمعوقدحميدأبوقالإبطيهعفرةإلىلننظرإنا
كذليعميزدنبثابتنمبيالنلىصاللههليعلمسولوهفس)رواه،البخاريكتاباألميان
)النيبمينيكانتكيفبابوالنذور،لمعتاسولسراللهلىصاللههليعلمسولاجرنم
دالأسقاليلهنابةبياللتقالورمعنابوأبيرمعليوهذالكمهذاقالقدمفلماالصدقةعلى
الحكامإلىبهاوتدلوابالباطلبينكمأموالكموالتأكلواتعلمونوأنتمباإلثمالناسأموالمنفريقالتأكلوا
:.(البقرة(بالباطلبينكمأموالكمتأكلواالواآمنالذينياأيها
:النساء(
نموللغيأتيابمغلمويةاميالق)آلعمران:
أنسولراللهلىصاللههليعلمسولمعتاسلاامعاءهفجلامالعنيحغفرنمهلمعفقالايولسر
اللهذاهلكمذاهويدأهيلفقاللهأفلاتدقعثملاأملكأيهدىفنظرتوأمكأبيكبيتفيقامولسراللهلىصاللههليعلمسوةيشعدعب
لاةالصدهشفتىأثنولىعاللهابموهلهأهثمقالهذافيقولفيأتينانستعملهالعاملبالفمابعدأمانمكملمعذاهويدأهيلأفلادقعيفتيبأبيه
هأموظرفنلهىدهيلهأملايالذفوفسندمحمهدبيلالغيكمدأحاهنمئايشإلااءجبهموي
ةاميالقلهمحيلىعهقنعإنكاناريعباءجبهلهوإنخوارلهابهاجاءبقرةكانتوإنرغاء
تكاناةشاءجابهرعيتفقدتلغبفقالوأبديمحثمفعرولسراللهلىصاللههليعلمسوهديىتحسمعوقدحميدأبوقالإبطيهعفرةإلىلننظرإنا
كذليعميزدنبثابتنمبيالنلىصاللههليعلمسولوهفس)رواه،البخاريكتاباألميان
)النيبمينيكانتكيفبابوالنذور،لمعتاسولسراللهلىصاللههليعلمسولاجرنم
دالأسقاليلهنابةبياللتقالورمعنابوأبيرمعليوهذالكمهذاقالقدمفلماالصدقةعلى
الحكامإلىبهاوتدلوابالباطلبينكمأموالكموالتأكلواتعلمونوأنتمباإلثمالناسأموالمنفريقالتأكلوا
:.(البقرة(بالباطلبينكمأموالكمتأكلواالواآمنالذينياأيها
:النساء(
نموللغيأتيابمغلمويةاميالق)آلعمران:
أنسولراللهلىصاللههليعلمسولمعتاسلاامعاءهفجلامالعنيحغفرنمهلمعفقالايولسر
اللهذاهلكمذاهويدأهيلفقاللهأفلاتدقعثملاأملكأيهدىفنظرتوأمكأبيكبيتفيقامولسراللهلىصاللههليعلمسوةيشعدعب
لاةالصدهشفتىأثنولىعاللهابموهلهأهثمقالهذافيقولفيأتينانستعملهالعاملبالفمابعدأمانمكملمعذاهويدأهيلأفلادقعيفتيبأبيه
هأموظرفنلهىدهيلهأملايالذفوفسندمحمهدبيلالغيكمدأحاهنمئايشإلااءجبهموي
ةاميالقلهمحيلىعهقنعإنكاناريعباءجبهلهوإنخوارلهابهاجاءبقرةكانتوإنرغاء
تكاناةشاءجابهرعيتفقدتلغبفقالوأبديمحثمفعرولسراللهلىصاللههليعلمسوهديىتحسمعوقدحميدأبوقالإبطيهعفرةإلىلننظرإنا
كذليعميزدنبثابتنمبيالنلىصاللههليعلمسولوهفس)رواه،البخاريكتاباألميان
)النيبمينيكانتكيفبابوالنذور،لمعتاسولسراللهلىصاللههليعلمسولاجرنم
دالأسقاليلهنابةبياللتقالورمعنابوأبيرمعليوهذالكمهذاقالقدمفلماالصدقةعلى
الحكامإلىبهاوتدلوابالباطلبينكمأموالكموالتأكلواتعلمونوأنتمباإلثمالناسأموالمنفريقالتأكلوا
:.(البقرة(بالباطلبينكمأموالكمتأكلواالواآمنالذينياأيها
:النساء(
نموللغيأتيابمغلمويةاميالق)آلعمران:
أنسولراللهلىصاللههليعلمسولمعتاسلاامعاءهفجلامالعنيحغفرنمهلمعفقالايولسر
اللهذاهلكمذاهويدأهيلفقاللهأفلاتدقعثملاأملكأيهدىفنظرتوأمكأبيكبيتفيقامولسراللهلىصاللههليعلمسوةيشعدعب
لاةالصدهشفتىأثنولىعاللهابموهلهأهثمقالهذافيقولفيأتينانستعملهالعاملبالفمابعدأمانمكملمعذاهويدأهيلأفلادقعيفتيبأبيه
هأموظرفنلهىدهيلهأملايالذفوفسندمحمهدبيلالغيكمدأحاهنمئايشإلااءجبهموي
ةاميالقلهمحيلىعهقنعإنكاناريعباءجبهلهوإنخوارلهابهاجاءبقرةكانتوإنرغاء
تكاناةشاءجابهرعيتفقدتلغبفقالوأبديمحثمفعرولسراللهلىصاللههليعلمسوهديىتحسمعوقدحميدأبوقالإبطيهعفرةإلىلننظرإنا
كذليعميزدنبثابتنمبيالنلىصاللههليعلمسولوهفس)رواه،البخاريكتاباألميان
)النيبمينيكانتكيفبابوالنذور،لمعتاسولسراللهلىصاللههليعلمسولاجرنم
دالأسقاليلهنابةبياللتقالورمعنابوأبيرمعليوهذالكمهذاقالقدمفلماالصدقةعلى
���
الحكامإلىبهاوتدلوابالباطلبينكمأموالكموالتأكلواتعلمونوأنتمباإلثمالناسأموالمنفريقالتأكلوا
:.(البقرة(بالباطلبينكمأموالكمتأكلواالواآمنالذينياأيها
:النساء(
نموللغيأتيابمغلمويةاميالق)آلعمران:
أنسولراللهلىصاللههليعلمسولمعتاسلاامعاءهفجلامالعنيحغفرنمهلمعفقالايولسر
اللهذاهلكمذاهويدأهيلفقاللهأفلاتدقعثملاأملكأيهدىفنظرتوأمكأبيكبيتفيقامولسراللهلىصاللههليعلمسوةيشعدعب
لاةالصدهشفتىأثنولىعاللهابموهلهأهثمقالهذافيقولفيأتينانستعملهالعاملبالفمابعدأمانمكملمعذاهويدأهيلأفلادقعيفتيبأبيه
هأموظرفنلهىدهيلهأملايالذفوفسندمحمهدبيلالغيكمدأحاهنمئايشإلااءجبهموي
ةاميالقلهمحيلىعهقنعإنكاناريعباءجبهلهوإنخوارلهابهاجاءبقرةكانتوإنرغاء
تكاناةشاءجابهرعيتفقدتلغبفقالوأبديمحثمفعرولسراللهلىصاللههليعلمسوهديىتحسمعوقدحميدأبوقالإبطيهعفرةإلىلننظرإنا
كذليعميزدنبثابتنمبيالنلىصاللههليعلمسولوهفس)رواه،البخاريكتاباألميان
)النيبمينيكانتكيفبابوالنذور،لمعتاسولسراللهلىصاللههليعلمسولاجرنم
دالأسقاليلهنابةبياللتقالورمعنابوأبيرمعليوهذالكمهذاقالقدمفلماالصدقةعلى
يدأهيلقالفقامولسراللهلىصاللههليعلمسولىعربنالمدمفحاللهىأثنوهليعقالوام
ليأهديوهذالكمهذافيقولأبعثهعاملبالينظرحتىأمهبيتفيأوأبيهبيتفيقعدأفلا
يناللابيدهمحمدنفسوالذيلاأمإليهأيهدىدأحكمنماهنمئايشإلااءجبهمويةاميالقلهمحيشاةأوخوارلهابقرةأورغاءلهبعريعنقهعلىرعيتثمفعرهيديىتحانأيرةفرعهطيإبثمقالماللهلهتلغبنيترماثندحقحإسنبرإبيماهدبعونبديمحقالاانربأخدبعاقزالراثندحرمعمنعريهالزنعةورعنعأبيديمحيداعالساللتبيةابنوسلمعليهاللهصلىالنبياستعملقال
إلىفدفعهبالمالفجاءالصدقةعلىزدالأمنرجلابيالنلىصاللههليعلمسوفقالذاهالكممهذهوعليهاللهصلىالنبيلهفقالليأهديتهديةلمسوأفلاتدقعيفتيبأبيككأموظرنفتعليهاللهصلىالنبيقامثملاأمإليكأيهدىلمسوايبطخثمذكروحنيثدحانفيس)رواهحترمياإلمارة،الساعدي،حميدأبيعنمسلم)العمالهدايا
نلعولسراللهلىصاللههليعلمسوياشالريشترالمويفكمالحقاليفوابالبنعدبعالله
أبوقالسلمةوأمحديدةوابنوعائشةعمروبنصحيححسنحديثهريرةأبيحديثعيسى
قدوويرذاهيثدالحنعأبيةلمسنبدبعاللهصلىالنبيعنعمروبناللهعبدعنالرحمن
هليعلمسوويرونعأبيةلمسنعأبيهنعبيالنعبدعتسموقاليصحولاوسلمعليهاللهصلىاللهنبدبعنمحالرقولييثدحأبيةلمسنعدبعاللهنبرومعنعبيالنلىصاللههليعلمسو
BIDANG SOSIAL DAN BUDAYA
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
���
يدأهيلقالفقامولسراللهلىصاللههليعلمسولىعربنالمدمفحاللهىأثنوهليعقالوام
ليأهديوهذالكمهذافيقولأبعثهعاملبالينظرحتىأمهبيتفيأوأبيهبيتفيقعدأفلا
يناللابيدهمحمدنفسوالذيلاأمإليهأيهدىدأحكمنماهنمئايشإلااءجبهمويةاميالقلهمحيشاةأوخوارلهابقرةأورغاءلهبعريعنقهعلىرعيتثمفعرهيديىتحانأيرةفرعهطيإبثمقالماللهلهتلغبنيترماثندحقحإسنبرإبيماهدبعونبديمحقالاانربأخدبعاقزالراثندحرمعمنعريهالزنعةورعنعأبيديمحيداعالساللتبيةابنوسلمعليهاللهصلىالنبياستعملقال
إلىفدفعهبالمالفجاءالصدقةعلىزدالأمنرجلابيالنلىصاللههليعلمسوفقالذاهالكممهذهوعليهاللهصلىالنبيلهفقالليأهديتهديةلمسوأفلاتدقعيفتيبأبيككأموظرنفتعليهاللهصلىالنبيقامثملاأمإليكأيهدىلمسوايبطخثمذكروحنيثدحانفيس)رواهحترمياإلمارة،الساعدي،حميدأبيعنمسلم)العمالهدايا
نلعولسراللهلىصاللههليعلمسوياشالريشترالمويفكمالحقاليفوابالبنعدبعالله
أبوقالسلمةوأمحديدةوابنوعائشةعمروبنصحيححسنحديثهريرةأبيحديثعيسى
قدوويرذاهيثدالحنعأبيةلمسنبدبعاللهصلىالنبيعنعمروبناللهعبدعنالرحمن
هليعلمسوويرونعأبيةلمسنعأبيهنعبيالنعبدعتسموقاليصحولاوسلمعليهاللهصلىاللهنبدبعنمحالرقولييثدحأبيةلمسنعدبعاللهنبرومعنعبيالنلىصاللههليعلمسو
نسأحءيشيفذاهابالبحأصو)رواهالترمذينعأبي،ةريرهاألحكامعنرسولاهللا(
نلعولسراللهلىصاللههليعلمسوياشالريشترالمو)رواهالترمذينعدبعاللهنب،رومع
)صحيححسنحديثهذاعيسىأبوقالقالولسراللهلىصاللههليعلمسونلعالله
ياشالريشترالموشائوالريفكمالح)رواهأمحد)هريرةأبيعنواألربعةمسندهيف
ويرنعنابدوعسمهأنذأخضبأرةشبالحعنورويسبيله،فخليدينارينفأعطىبشيء،ةاعمجنمةمأئنيابعالتاقالوأسالبأنانعصيالنهاية(الظلمخافإذاومالهنفسهعنالرجل)األثريالبن
مراحمذهأخمرحهطاؤإع
احلقيبطلأوالباطلماحيققالرشوة(
���
نسأحءيشيفذاهابالبحأصو)رواهالترمذينعأبي،ةريرهاألحكامعنرسولاهللا(
نلعولسراللهلىصاللههليعلمسوياشالريشترالمو)رواهالترمذينعدبعاللهنب،رومع
)صحيححسنحديثهذاعيسىأبوقالقالولسراللهلىصاللههليعلمسونلعالله
ياشالريشترالموشائوالريفكمالح)رواهأمحد)هريرةأبيعنواألربعةمسندهيف
ويرنعنابدوعسمهأنذأخضبأرةشبالحعنورويسبيله،فخليدينارينفأعطىبشيء،ةاعمجنمةمأئنيابعالتاقالوأسالبأنانعصيالنهاية(الظلمخافإذاومالهنفسهعنالرجل)األثريالبن
مراحمذهأخمرحهطاؤإع
احلقيبطلأوالباطلماحيققالرشوة(
3. Kaidah Fiqhiyah :
“Sesuatu yang haram mengambilanya haram pula memberikannya.”
نسأحءيشيفذاهابالبحأصو)رواهالترمذينعأبي،ةريرهاألحكامعنرسولاهللا(
نلعولسراللهلىصاللههليعلمسوياشالريشترالمو)رواهالترمذينعدبعاللهنب،رومع
)صحيححسنحديثهذاعيسىأبوقالقالولسراللهلىصاللههليعلمسونلعالله
ياشالريشترالموشائوالريفكمالح)رواهأمحد)هريرةأبيعنواألربعةمسندهيف
ويرنعنابدوعسمهأنذأخضبأرةشبالحعنورويسبيله،فخليدينارينفأعطىبشيء،ةاعمجنمةمأئنيابعالتاقالوأسالبأنانعصيالنهاية(الظلمخافإذاومالهنفسهعنالرجل)األثريالبن
مراحمذهأخمرحهطاؤإع
احلقيبطلأوالباطلماحيققالرشوة(
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
FATWA MUSYAWARAH NASIONAL VI MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG RISYWAH (SUAP) GHULUL
(KORUPSI) DAN HADIAH KEPADA PEJABAT
Pertama : Pengertian
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1. Risywah adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syari’ah) atau membatilkan perbuatan yang hak. ( الرشةومايقحقالبلاطأويبلطالحق ). Pemberi disebut rasyi; penerima disebut murtasyi; dan penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra’isy (Ibn al-Atsir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, II, h. 226).
2. Suap, uang pelicin, money politic dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak.
3. Hadiah kepada pejabat adalah suatu pemberian dari seseorang dan/atau masyarakat yang diberikan kepada pejabat, karena kedudukannya, baik pejabat di lingkungan pemerintahan maupun lainnya.
4. Korupsi adalah tindakan pengambilan sesua-tu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara yang tidak benar menurut syari’at Islam.
BIDANG SOSIAL DAN BUDAYA
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
���
Kedua : Hukum
1. Memberikan risywah dan menerimanya hu-kumnya adalah haram.
2. Melakukan korupsi hukumnya adalah haram.
3. Memberikan hadiah kepada pejabat:
a. Jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka pemberian seperti itu hukumnya halal (tidak haram), demikian juga menerimanya;
b. Jika pemberian hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka dalam hal ini ada tiga kemungkinan:
1) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan ada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah tersebut tidak haram;
2) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan (perkara), maka bagi pejabat haram menerima hadiah tersebut; sedangkan bagi pemberi, haram memberikannya apabila perberian dimaksud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang batil (bukan haknya);
3) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan, baik sebelum maupun sesudah pemberian hadiah dan pemberiannya itu tidak bertujuan untuk sesuatu yang batil, maka halal (tidak haram) bagi pem-beri memberikan hadiah itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya.
Ketiga : Seruan
Semua lapisan masyarakat berkewajiban untuk memberantas dan tidak terlibat dalam praktek hal-hal tersebut.
Keempat : Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan : Jakarta, 27 Rabi’ul Akhir 1421 H29 Juli 2000 M
��0
DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua Umum
ttd
K.H. M.A. Sahal Mahfudh
Sekretaris Umum
ttd
Prof. DR. H.M. Din Syamsuddin
BIDANG SOSIAL DAN BUDAYA