Transcript
Page 1: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

STUDIO PERANCANGAN ARSITEKTUR KONTEMPORER 2010

STUDIO PERANCANGAN ARSITEKTUR KONTEMPORER 2010

JURUSAN ARSITEKTUR - FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TARUMANAGARA

GERILYA URBAN

GERILYA URBAN

GER

ILYA

UR

BA

NG

ERILY

A U

RB

AN

STUDIO PERANCANGAN ARSITEKTUR KONTEMPORER 2010

STUDIO PERANCANGAN ARSITEKTUR KONTEMPORER 2010

Hidup di ruang publik kota Jakarta bagai berlaga di arena pertarungan.

Penuh taktik, strategi, dan keberanian. Para mahasiswa jurusan

Arsitektur Universitas Tarumanagara, yang mengikuti mata kuliah pilihan

Studio Perancangan Arsitektur Kontemporer pada semester enam 2010

ini, menawarkan beragam taktik dan strategi untuk ‘memenangkan’

kembali ruang publik yang terus-menerus tergerus di ibukota ini dengan

bergerilya. Mereka mengamati, meneliti, dan menanggapi berbagai

permasalahan warga dan ruang publiknya, serta membuat arsitektur

kembali mempermasalahkan tata bina ruang dan perilaku manusia

yang sejatinya tidak hanya mengenai bangunan. Duabelas karya mereka

menjadi karya arsitektur yang memiliki pengertian yang luas, meliputi

desain rompi, tas alas belajar, naungan bermain, paviliun kampung,

sampai sebuah situs interaktif tentang jalanan kota.

Kumpulan karya para mahasiswa ini disertai berbagai foto dan

gambar rancangan dalam halaman berwarna, diulas secara kritis, dan

dilengkapi dengan esai-esai reflektif dari para pengajar yang terlibat.

Buku ini merekam gerilya mereka, sekaligus menjadi catatan dari

pencarian jawaban arsitektur dalam menanggapi permasalahan sehari-

hari yang terus hidup berlaga secara nyata di Jakarta.

JURUSAN ARSITEKTUR - FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TARUMANAGARAKampus I - Jl. S. Parman No. 1, Jakarta Barat, 11440Telp: 021-56958723/46, Fax: 021-56958738/5604478www.tarumanagara.ac.id

Page 2: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 3: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

GERILYA URBAN

Page 4: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 5: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

GERILYA URBAN

STUDIO PERANCANGAN ARSITEKTUR KONTEMPORER 2010

JURUSAN ARSITEKTUR - FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TARUMANAGARA

Page 6: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

GERILYA URBAN: Studio Perancangan Arsitektur Kontemporer 2010Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Tarumanagara

Ardi Yunanto & Farid Rakun (ed), Gerilya Urban: Studio Perancangan Arsitektur Kontemporer 2010

(Jakarta: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara, 2010)

Diterbitkan pertamakali pada Oktober 2010. Dicetak 500 eksemplar. ISBN 978-979-98615-4-2

DOSEN TAMU Ardi Yunanto & Farid Rakun

DOSEN Veronica Gandha, Iswanto Hartono,

Mohammad Nanda Widyarta

PENGULAS TAMU Agustinus Sutanto, Ade Darmawan,

Paramita Atmodiwirjo, Yandi Andri Yatmo

rEDAkTUr &

PErANcANG GrAfiS

Ardi Yunanto

Farid Rakun

PENULiS

Iswanto Hartono

Mohammad Nanda Widyarta

Veronica Gandha

Ardi Yunanto

Farid Rakun

fOTO iSi

koleksi mahasiswa

Studio Perancangan Arsitektur

Kontemporer 2010

fOTO SAMPUL

Kelompok 5

(Archangela E. Natalia, Livia Louis, Yoana Linda)

Semester genap, februari - juni 2010

MAHASiSWA Aditya SetiawanAmeliaAndayani PWAndy WijayaAntoni Winata Antonius Wiradigdaya KosasihArchangela E. NataliaBernadette Adinadia Chin Ronal Purnama ChandraDenny SoedjitoEdwin BudimanFransiskus AnsisGabriela Velda Gabriella Stella Ingrid Anita Stacia Dharmawan Irene Syona Jacson Andika Santoso Jose Mayson Mulia Juanto Putratama Kristanto HadinataKurniadi LimLivia LouisMeidy HimawanMelita FeliciaMickhael FlorencePhelia FelimRicky Goreta Stacia Bernadette Suci Sandra DewiTania Permata SariTony Sunardi Wilie D. Atmaja Willyanto HinardiXena Levina Caesarea Yoana LindaYotanaga Satria Yulianti Chandra

Page 7: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 8: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

6

Page 9: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

Post-moRtEm: stUdIo PILIhAN ARsItEktUR koNtEmPoRER / GERILYA URBAN iswanto Hartono

“Guerrilla warfare is used by the side which is supported by a

majority but which possesses a much smaller numbers of arms

for use in defense against oppression.”

— Ernesto ‘Che’ Guevara, “Guerrilla Warfare”, 1960

1

Studio Pilihan – Arsitektur kontemporer di Jurusan

Arsitektur Universitas Tarumanagara dirintis oleh Agustinus

Sutanto pada 2000, saat dia kembali bergabung di Jurusan

Arsitektur setelah menyelesaikan studi S2-nya di London,

inggris. Saya sempat membantunya menjadi pengajar studio,

sebelum dia kembali berangkat melanjutkan studi S3-nya.

Mata kuliah yang memang dirancang sedemikian rupa sebagai

wadah bagi mahasiswa untuk mengeksplorasi arsitektur

‘tanpa batas’ itu, sempat vakum sejenak setelah ditinggalkan

oleh Agustinus Sutanto.

Pada 2004, saya ditawari untuk meneruskan mata kuliah

ini. Ada beberapa perubahan signifikan yang saya terapkan

bersama dengan mahasiswa saat memulai mata kuliah ini,

terutama dalam pola pikir, metode, dan strategi berasitektur.

Perubahan pertama saya terapkan berdasarkan

pengamatan dan pengalaman saya mendapat pendidikan

di almamater yang sama, di mana mahasiswa tidak pernah

Page 10: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

8

mendapat kesempatan untuk ‘membuat’ karya arsitektur

yang ‘sebenarnya’. Semua studi selama ini dibuat dalam

model berskala. Sehingga mahasiswa tidak pernah membuat

karya arsitektur dalam skala sebenarnya; di mana seorang

mahasiswa juga harus melalui sebuah proses berpikir dan

bertindak secara ‘konstruktif’, layaknya seorang tukang. Maka

pada kuliah ini, setiap mahasiswa

ditantang untuk membuat karya dalam

skala sebenarnya.

kedua, bagi saya, pendidikan

arsitektur di indonesia secara umum

masih terlalu ‘hedonis-romantis’,

dimana arsitektur bagai uber alles; di

atas segalanya, yang mungkin juga

bisa dibaca sebagai jargon arsitektur

nusantara yang agung. Bukankah

arsitektur seharusnya menjadi

jembatan untuk melihat, meneliti, dan

membuka peluang dalam menjawab

persoalan dan tantangan sosial terkini

di sekitarnya? Pendekatan sosial

itu kemudian saya terapkan dalam

kuliah ini. Sehingga isu-isu penelitian

di studio ini diawali dari hal-hal

pragmatis urban di sekitar kita, yang

sangat umum namun esensial dan

krusial, seperti materi rumah Sangat

Sederhana Murah Sekali (2004), kaki

lima (2005), dan rumah portabel (2007

– 2009).

kedua hal itu yang kemudian menjadi roh mata kuliah ini.

Saya pun melibatkan kalangan yang lebih luas dalam proses

penelitian dan kritik studio, dari para aktivis sosial, kurator,

Penilaian hasil karya

mata kuliah pilihan

Arsitektur Kontemporer

“Rumah Portabel” (2009).

Bekerjasama dengan

Habitat for Humanity

dengan juri Eko Prawoto

dan Romo Sandyawan

Sumardi.

Page 11: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

9

Page 12: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

10

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), arsitek, desainer,

peneliti, sampai penulis. Untuk menyebut sejumlah nama,

mereka adalah romo Sandyawan Sumardi, rifky Effendy,

Habitat for Humanity, Eko Prawoto, Suryono Herlambang;

mereka semua pernah terlibat aktif dalam proses studio ini.

Namun perjalanan mata kuliah ini tidaklah semulus

yang saya duga. Tidak

mudah rupanya mengubah

paradigma pendidikan

di indonesia yang selalu

mengacu pada kurikulum

nasional yang menekankan

pada proses pembelajaran

satu arah. Sementara saya

membayangkan studio ini

layaknya proses artists in

residence bagi mahasiswa,

dengan menyisakan proses

evaluasi sebagai satu-satunya

proses formal yang masih saya

jalankan karena saya memang

dituntut untuk memberikan

penilaian kumulatif bagi proses pembelajaran mahasiswa.

Selebihnya, tidak ada proses kuliah satu arah, yang ada adalah

proses lokakarya semata dengan studio tutor selama proses

studio dan pembelajaran mandiri, yang dilakukan langsung

dari proses penelitian dan pengetahuan lapangan.

Metode ini kemudian makin diperkental dengan kehadiran

kawan Veronica Gandha dan Mohammad Nanda Widyarta

yang saja ajak bergabung, sekembalinya mereka ke Jakarta

setelah menyelesaikan studi S2 di cranbrook Academy of

Art dan Architectural Association. Sejak saat itu, saya mulai

Karya-karya Arsitektur Kontemporer “Rumah Portabel” (2009) dalam kolaborasi dengan ArtLab, program proyek seni ruangrupa, Jakarta, yang bertemakan Lonely Market pada 15 - 17 Agustus 2009.

Page 13: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

11

menyerahkan tongkat estafet kepada Veronica Gandha untuk

meneruskan studio ini.

Begitulah kilas balik singkat tentang mata kuliah ini.

2

Gerilya Urban, subyek penelitian dengan judul yang cukup

heroik ini, saya mulai saat berdiskusi dengan Ardi Yunanto

dan farid rakun, kawan-kawan penulis dan peneliti perkotaan

yang mengelola karbonjournal.org terbitan ruangrupa. Saya

kemudian mengajak mereka untuk ikut terlibat dalam proses

studio dengan membawa wacana baru. Sesuatu yang memang

tidak lazim karena biasanya seluruh program studio maupun

mata kuliah dibuat dan disusun oleh dosen tetap Jurusan

Arsitektur, dan saya pikir hampir semua kampus arsitektur di

indonesia menjalankan kebijakan ini.

Saya mengusulkan kepada Veronica Gandha untuk

memberikan peluang kepada kolaborator dari luar Jurusan

Arsitektur untuk menyusun program di mata kuliah ini. Maka

bergulirlah materi Gerilya Urban ini dengan dimotori oleh

Veronica Gandha, serta Ardi Yunanto dan farid rakun sebagai

dosen tamu.

catatan menarik untuk disikapi di sini adalah, bahwa

di tengah karut-marut dan kemandekan dunia pendidikan

arsitektur, ada secuil keterbukaan yang memberi ruang

gerilya bagi upaya untuk menanggapi permasalahan dan

tantangan sosial yang ada. Dan hasilnya, menurut saya lebih

dari sekadar gerilya, namun sebuah revolusi!

Jakarta, 23 Agustus 2010

Page 14: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

dAFtAR IsI

Suasana Penilaian Akhir

Tentang Pengajar

Para Mahasiswa

Post-mortem: Studio Pilihan Arsitektur kontemporer / Gerilya UrbanIswanto Hartono

7

Pendidikan Arsitektur, klasifikasi, dan keseharianMohammad Nanda Widyarta

15karya MahasiswaRompi-tas KoranSeragam Biru JokiAsongan DorongTas Belajar AnakBalok WarnaNaungan BermainJembatan PelayanganPaviliun KampungBel BusZona MerokokIn.For.WaIt.on

Peta Jalan Pintas

37

117126127

29 Sebuah SeruanArdi Yunanto & Farid Rakun

21 Menilik kembali peran tubuh, aktivitas, dan budaya dalam ArsitekturVeronica Gandha

Page 15: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 16: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 17: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

ini hanyalah sebuah catatan kecil mengenai pendidikan

arsitektur di indonesia.

Pendidikan arsitektur di indonesia, sebagaimana yang

kita ketahui, berawal di akhir Perang Dunia i, sekalipun saat

itu yang ada adalah kuliah-kuliah tentang arsitektur di bawah

Jurusan Jalan dan Bangunan Air (de afdeeling der Weg en

Waterbouw) di Technische Hoogeschool te Bandung (sekarang

institut Teknologi Bandung). Perlu diperhatikan bahwa saat itu

pemerintah kolonial merasa butuh untuk mencetak ahli teknik

di indonesia; mereka ingin agar kepentingan kolonialisme

dapat berjalan secara lebih efisien dan efektif, serta nampak

lebih “manusiawi.” kemudian, setelah 1950 barulah jurusan

arsitektur pertama di indonesia didirikan pada institusi yang

sama. kemudian, muncullah jurusan-jurusan arsitektur

lainnya di institusi-institusi lainnya.

Perlu juga diperhatikan bahwa sistem pendidikan

arsitektur di indonesia muncul bukan saja dalam konteks

kolonial (dan kemudian berada dalam konteks pasca-kolonial).

Ada juga konteks lainnya. Sistem pendidikan (formal)

arsitektur yang kita kenal sekarang dibentuk oleh sebuah

paradigma yang ada di abad ke-18 dan ke-19. Seingat saya,

inilah masa yang disebut oleh foucault sebagai masa ketika

klasifikasi menjadi penting dalam pendefinisian tentang

PENdIdIkAN ARsItEktUR, kLAsIFIkAsI, dAN kEsEhARIANMohammad Nanda Widyarta

Page 18: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

16

sesuatu. Mungkin kita ingat bahwa di masa itu, Linnaeus

mengklasifikasikan tanaman berdasarkan genus dan spesies.

klasifikasi ini adalah sebuah metode untuk membedakan

sesuatu dari lainnya, sehingga kita dapat mengetahui sesuatu

itu secara lebih, katakanlah, obyektif. Adalah pada masa

itu di bidang arsitektur muncul ide tentang tipologi (oleh

Quatremère de Quincy), yang mana bangunan diklasifikasikan

berdasarkan “spesies”-nya masing-masing. Bahkan, di abad

ke-19, disiplin arsitektur sendiri diklasifikasikan juga agar

berbeda dari disiplin lainnya; ini terjadi ketika Gottfried

Semper mengemukakan teori Bekleidung, yang membuat

pembicaraan arsitektur menjadi pembicaraan tentang ruang.

Pada perkembangannya di kemudian hari, konteks

tersebut berkelindan dengan konteks lain. kali ini saya

akan memfokuskan pada kasus indonesia. Di masa awal

pendidikan arsitektur di indonesia, ketika kuliah-kuliah

arsitektur diberikan pada Jurusan Jalan dan Bangunan Air

di masa kolonial, kebutuhan yang ada adalah kebutuhan

untuk mengelola kepulauan jajahan secara lebih efisien dan

efektif. Setelah kolonialisme berakhir di indonesia, kebutuhan

yang ada adalah kebutuhan untuk membangun. Maka, terkait

dengan peran pendidikan arsitektur, yang dibutuhkan saat

itu bukanlah ahli sejarah arsitektur, kritikus arsitektur,

maupun arsitek avant garde. Yang dibutuhkan adalah

teknisi. Pendidikan arsitektur diberikan secara pragmatis.

Pragmatisme tersebut agaknya cocok dengan konteks

epistemologis berdasarkan klasifikasi yang disebut di atas,

karena memang ada sifat pragmatis pada sistem klasifikasi

itu sendiri.

kemudian, datanglah masa rezim Soeharto yang punya

keterkaitan erat dengan kepentingan Blok Barat di masa

Perang Dingin. kapital asing mulai masuk ke indonesia.

Pengusaha-pengusaha lokal juga makin banyak. kapitalisme

Page 19: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

17

menjadi aturan main dalam ekonomi indonesia, sekalipun saat

itu nama Pancasila yang didengungkan secara publik. keadaan

ini masih tetap ada di indonesia. Setelah 1998, terutama

saat tulisan ini dibuat (Juli 2010), indonesia masuk di dalam

sistem neo-liberalisme (demikian istilah yang sekarang kerap

dipakai). Di satu sisi, ada kepentingan kapital, dan arsitektur

seakan-akan “bertugas” untuk melayani kepentingan tersebut.

Di sisi lain, masyarakat indonesia saat ini pada umumnya

bersifat mirip sekali dengan masyarakat tontonan (La Société

du Spectacle)nya Guy Debord. Arsitektur pun juga seakan-akan

“bertugas” untuk melayani kebutuhan masyarakat tontonan

itu.

kondisi ini pun mensyaratkan sebuah pragmatisme

terhadap arsitektur. Arsitek yang baik bukanlah arsitek yang

dapat memadukan tekstur dengan cahaya. Arsitek yang

baik bukanlah arsitek yang memenuhi kebutuhan praktek

keruangan yang dituntut atau dimunculkan oleh keseharian

manusia (bahkan yang seperti ini dianggap bukan urusannya

arsitek, tetapi urusannya pedagang kaki lima yang kadang

mengubah ruang sisa kota menjadi apa yang disebut oleh

richard Sennet sebagai ruang berpori, porous space).

Arsitek yang baik adalah arsitek yang dapat memaksimalkan

penggunaan setiap sentimeter persegi—syukur-syukur setiap

millimeter persegi—ruang. karena, setiap ukuran luas punya

nilai jual. Versi lain dari arsitek yang baik adalah arsitek yang

dapat menampilkan tontonan dengan efek “wah!” kepada

masyarakat.

Agar arsitektur dapat lebih efisien dan efektif untuk

melayani kepentingan-kepentingan seperti itu, maka

klasifikasi seperti disebutkan di atas juga dibutuhkan.

Arsitektur “terklasifikasikan” sebagai sebuah disiplin

yang berurusan dengan “bangunan gedung,” kebutuhan

pengembang, efisiensi ekonomis ruang, kegiatan untuk

Page 20: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

18

memperindah tampak luar, industri konstruksi, industri citra,

dan sebangsanya.

klasifikasi telah mendefinisikan arsitektur sebagai sebuah

disiplin. Selain itu, kepentingan hegemoni juga ikut menjadi

subyek pembentuk definisi-definisi tersebut. Akibatnya,

arsitektur dipandang, dengan kacamata kuda. Begitu pula

pendidikan arsitektur; ia pun dipandang dan disikapi melalui

kacamata kuda.

*

Pernah, di awal 1950-an, seorang filsuf Jerman yang baru saja

dituduh telah bekerjasama dengan kaum Nazi, menyampaikan

sebuah karya tulisnya di depan para arsitek. filsuf itu adalah

Martin Heidegger. karya tulisnya berjudul—bila diterjemahkan

dalam bahasa inggris—Building, Dwelling, Thinking, sebuah

teks yang sudah terlalu sering dikutip dan dibahas oleh

kalangan pendidikan tinggi dan praktisi arsitektur selama

puluhan tahun terakhir. Heidegger menyebutkan bahwa makna

keberadaan seorang manusia amat terkait dengan batas-batas

(pera, demikian istilah Yunani yang ia gunakan pada karya tulis

tersebut). Batas-batas itu membatasi secuil dari ruang. Secuil

ruang yang dibatasi tersebut ia sebut sebagai tempat, locus. Di

tempat tersebut, yang ada bukan hanya si manusia dan tempat

itu sendiri, tetapi juga ada hal-hal lain. Misalnya langit yang

meliputi tempat tersebut, manusia-manusia lain di tempat

itu, kepercayaan maupun pandangan-pandangan manusia

di tempat itu, aspek topografis tempat itu, dan sebagainya.

Semua itulah yang memberikan makna pada keberadaan

si manusia. Heidegger meminta kepada para arsitek untuk

memandang arsitektur dalam konteks tersebut.

Pemikiran Heidegger ini kemudian ikut mempengaruhi

pemikiran seorang pemikir Marxis Prancis, Henri Lefebvre.

Page 21: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

19

Pemikiran Lefebvre kemudian mempengaruhi orang-orang

lain, misalnya Michel de certeau dan iain Borden. Saya

akan coba merangkum pemikiran mereka. kita perlu

membedakan antara ruang yang diproduksi oleh para arsitek

dan perencana kota dengan ruang yang diproduksi oleh

keseharian masyarakat. ruang yang diproduksi oleh arsitek

maupun perencana kota merupakan ruang yang ditentukan

oleh abstraksi (dalam bentuk, misalnya, gambar-gambar

denah, potongan, dsb.). Abstraksi tersebut ditentukan oleh

kepentingan tertentu. Misalnya, sebuah denah digambar

sedemikian rupa setelah arsitek dan perencana berdiskusi

dengan pihak pengembang. Pertanyaannya, kepentingan

siapakah yang membentuk abstraksi tersebut? Bila saya boleh

berkomentar, nampaknya pertanyaan ini kerap diabaikan

dalam pendidikan arsitektur kita.

Di sisi lain, ada ruang yang dibentuk bukan oleh abstraksi

tersebut, namun oleh kegiatan-kegiatan sehari-hari para

manusia di tempat tertentu. Di gang-gang kampung (yang

merupakan ruang sirkulasi, menurut abstraksi para arsitek

dan perencana), kita kerap menemui orang-orang memakai

gang tersebut bukan hanya sebagai ruang sirkulasi. Gang

tersebut juga menjadi tempat berjualan, bermain, berpacaran,

bergosip, kencing, berkelahi, menjemur pakaian, dsb.

Pertanyaannya, bagaimana sistem pendidikan arsitektur dapat

mengakomodir aspek ini?

Nampaknya, pertanyaan terakhir inilah yang dicoba untuk

disikapi dalam Studio Eksperimental yang hasilnya termaktub

dalam buku ini. Sedangkan, pertanyaan kedua dari terakhir

(“kepentingan siapakah yang membentuk abstraksi tersebut?”)

masih perlu disikapi oleh pendidikan arsitektur di indonesia.

Jakarta, 12 Juli 2010

Page 22: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

20

Page 23: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

mENILIk kEmBALI PERAN tUBUh, AktIvItAs, dAN BUdAYA dALAm ARsItEktURVeronica Gandha

Penciptaan sebuah karya arsitektur bermula ketika satu

tubuh manusia menempati ruang (christopher k. Egan). Ada

sebuah hubungan langsung antara tubuh dan ruang-ruangan

yang membatasinya. ‘Tarian’ anggota tubuh akibat aktivitas

yang dilakukan dan penempatannya memberikan citra

terhadap sebuah ruang. Proses ini harus sudah berlangsung

sebelum perancang memberi efek material, sebelum proses

penggambaran dimulai, dan bahkan sebelum kita membentuk

dan merangkainya dengan kebutuhan tubuh yang lain. Setiap

tubuh yang berada dalam suatu tempat dan mempunyai

ruang, dia akan membentuk dirinya dalam ruang sekaligus

membentuk ruang itu (Lefebvre).

Hal di atas pula yang membedakan arsitektur dengan

seni visual. Dapat dikatakan hubungan kita terhadap arsitekur

merupakan keterbalikan dari hubungan kita dengan seni

visual: sebagai perancang arsitektur, pengguna dan penikmat

hendaknya tidak memandang sebuah karya dari luar, namun

secara fisik masuk ke dalam karya tersebut, menyentuh

bagian terdalam dan mengisi kekosongan yang ada.

Sebaliknya hubungan kita dengan seni visual adalah dengan

cara memandang dan berinteraksi dengan karyanya dari luar.

Untuk mencapai keberhasilan dalam merancang, melatih

kepekaan terhadap lingkungan sekitar merupakan suatu

kebutuhan. Peka melalui hati dan indra yang dimiliki tubuh

kita sebagai manusia. kulit merupakan permukaan pertama

Page 24: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

22

yang membatasi, melapisi tubuh. ia dapat berfungsi sebagai

pintu yang membuka kepekaan terhadap sekitar. Mata kita

merupakan jendela ke dunia luar. Tulang kita merupakan

struktur rangka yang menopang dan membentuk lingkungan.

Pikiran kita merupakan sarana transportasi memori guna

memberi makna dan identitas suatu tempat.

Banyak pandangan yang berpendapat bahwa hasil akhir

yang diciptakan seorang arsitek haruslah sebuah bangunan

indah. Pandangan itu tidaklah salah, karena sejak menempati

bangku kuliah arsitektur seringkali kita—sebagai calon

arsitek, lulusan arsitek ataupun pengamat arsitektur—

terjebak untuk menghasilkan dan menilai sebuah karya

dari bungkus terluarnya. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh

unsur kapitalisme yang melihat suatu karya dari segi nilai

ekonominya dalam mencapai daya jual yang tinggi. kita

terlena dengan keindahan yang dipancarkannya, namun lupa

bahwa karya tersebut mempunyai makna yang lebih dalam

yaitu sebagai naungan berbagai aktivitas manusia, baik di

dalam, maupun sebagai penyala kehidupan bagi kegiatan

sekitar. Nilai terindah dari sebuah rancangan adalah ketika

ia mampu menjangkau dan menjembatani interaksi antara

personal dan komunitas, dalam konteks sosial dan budaya.

Sudah sewajarnya jika kita berarsitektur dengan berbahasa

manusiawi, dengan nurani dan tanggung jawab, dan jika

mampu dengan puisi (YB Mangunwijaya).

Sepotong pakaian (sandang) dapat mengajarkan

bagaimana sebuah karya dapat menciptakan perilaku melalui

kapasitasnya dalam mewujudkan suatu identitas sosial. ketika

sebuah potongan kain itu sudah dikenakan, seperti halnya

sebuah karya arsitektur, ia diharapkan untuk dapat membuat

manusia yang ‘menghuninya’ merasa nyaman, sekaligus

dapat menjadi sarana pengekspresian diri, komunikasi, dalam

cerminan sosial budaya. Melalui karya seorang seniman

Page 25: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

23

Perancis Lucy Orta, misalnya, kita dapat melihat peleburan

dari citra pakaian, arsitektur dan aktivitas sosial. Orta

mengembangkan pakaian sebagai alat untuk menggerakan

tubuh sebagai hasil dari suatu ekspresi budaya, sosial, dan

politik.

Ekspresi terhadap suatu budaya juga tak lepas dari

pengaruh unsur kapitalisme. Budaya kita mempunyai

kecenderungan untuk cepat menjadi suatu komoditas utama.

Pakaian, musik, film, televisi, maupun tubuh yang berjalan

sudah menjadi suatu bentuk komoditas. Jika sebuah budaya

sudah menjadi buah komoditas, yang dapat dilakukan

adalah mengembangkan suatu metode untuk membalik dan

mengkonfrontasi arus ini.

ruang publik kini tidak lagi menjadi tempat untuk

kepentingan bersama. ia telah menjadi bagian dari

komoditas ekonomi yang dapat dimiliki dan dibeli. ruang

publik dengan fungsi awal sebagai tempat di mana setiap

pengguna (penghuni) bisa berperan secara demokratis

dan bebas semakin hilang. Sebagai bentuk tanggapan dari

tekanan tersebut banyak perancang arsitektur mulai aktif

mambawa karya mereka lebih lanjut sebagai pelayanan

publik, dengan tujuan untuk memperbaiki hidup keseharian.

Mereka mengembangkan ide konseptual dan fungsional karya,

sebagai buah dari kepekaan terhadap estetika sosial-budaya.

Jika perlu, karya tersebut dapat menghapuskan batas-batas

teritori, meloncat dari satu batas teritori ke batas yang lain.

‘Bergerak’ bukan lagi suatu kebutuhan melainkan sudah

menjadi suatu keharusan, dimana penyusunan taktik dan

strategi sangat diperlukan untuk mengambil langkah awal.

Hal ini pula yang dicoba ditangkap dan diolah oleh para

mahasiswa perancang Studio kontemporer dalam buku ini.

Jakarta 21 Agustus 2010

Page 26: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

24

Page 27: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

25

Page 28: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

26

Page 29: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

27

Page 30: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

“karena antara kita dan kota jang kita tinggali

karena antara rumah dan kita sendiri, tiada lagi hubungan.”

— Ajip rosidi, cukilan puisi “Djembatan Dukuh”, 1956

Page 31: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

sEBUAh sERUANArdi Yunanto & Farid Rakun

Publik, khalayak, maupun umum, merujuk pada suatu

keadaan di mana kebersamaan dibangun melalui kesadaran

atas keberagaman dan kebutuhan untuk hidup, menghidupi,

dan dihidupi dalam ruang yang sama. keberadaan publik dan

ruangnya niscaya adalah kebutuhan penting dalam sebuah

kota. Namun justru ruang publiklah yang paling tergerus

keberadaannya di Jakarta. kurangnya ruang publik membuat

ruang yang tersisa kemudian menjadi arena pertarungan

antara warga, pemerintah, dan korporasi, dan belakangan juga

para milisi sipil atas nama agama; yang membentuk trinitas

baru bersama pemerintah dan korporasi, seraya makin

menyisihkan keberadaan warga kota. keberagaman, sebagai

penaung perbedaan–yang merupakan hak asasi manusia—kini

menjadi semakin langka. Maka hidup di ruang publik Jakarta

sungguh penuh dengan taktik dan strategi.

Peraturan demi peraturan yang dibuat di ruang publik,

sudah menjadi rahasia umum, hanya menguntungkan

sejumlah pihak. Banyak peraturan dibuat tanpa sosialisasi

memadai dan fasilitas pendukung. Tak sedikit yang percaya

bahwa peraturan itu sengaja dibuat untuk dilanggar warga,

karena melalui pelanggaranlah pungutan liar aparat dapat

ditunaikan. Solusi untuk menjadikan ruang publik yang

manusiawi juga seringkali hanya laksana sumbu pendek,

Page 32: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

30

kalau bukan jauh panggang dari api, dan kemudian membakar

masalah baru.

Adalah ironis ketika solusi dari masalah baru itu

kebanyakan justru datang dari warga. Solusi mereka pun,

seperti penyebab masalahnya, adalah solusi sementara.

Namun aksi bertahan hidup mereka yang sekaligus menambal

“gali lubang tutup lubang” dari sebuah sistem, adalah inovasi

tersendiri. Sebutlah beberapa di antaranya: pedagang

asongan, kaki lima, ojek, timer, penukar uang robek, penjual

kopi instan bersepeda, maupun odong-odong. Merekalah

wirausahawan sejati yang tahu betul bahwa harapan urban

ibukota hanyalah omong-kosong belaka. Jenis pekerjaan

baru yang mereka ciptakan atas dasar kebutuhan masyarakat

banyak, yang mencakup diri mereka sendiri di dalamnya,

adalah keniscayaan yang genting, tanpa perlu diembel-embeli

predikat industri kreatif yang kebanyakan hanyalah usaha

penyelamatan diri sejumlah warga kelas menengah.

Merekalah para warga sejati yang tak hanya meminta

dengan tangan di bawah, namun melawannya dengan kepalan

tangan. kepalan yang, seperti halnya anarki, sudah ditabukan

maknanya menjadi kekerasan semata. Sekalipun mereka

tidak main hakim sendiri atas nama keyakinan yang menolak

keberagaman. Sekalipun kepalan mereka mengakar pada

kebutuhan publik, yang dengan sendirinya menjadi sebuah

kepalan yang lembut, sejuk dan mewangi. Tanpa mereka yang

“informal”, Jakarta tak akan bangkit setelah krisis ekonomi

1998.

Namun yang “formal” terus-menerus menggundahkan

ketika dunia perancangan sampai saat ini masih

mendambakan kota yang tertib, rapi, modern, dan mewah.

ketika kota mudah sekali diterjemahkan menjadi mal,

pusat perkantoran, hotel, maupun apartemen. ketika istilah

industri kreatif digemborkan oleh kelas menengahnya yang

Page 33: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

31

baru kemarin sore mendesain untuk kelas mereka sendiri.

ketika jalanan masihlah ditakuti sebagai sesuatu yang asing

dan berbahaya, seperti bagaimana kita diajarkan oleh Orde

Baru melalui buku-buku sekolah. Sejumlah kesadaran yang

seringkali melupakan di mana sampah dari modernitas semu

itu dibuang. Dan hanya yang informallah, yang publik, yang

sehari-hari, yang realistis, yang banal, yang suram, yang

kocak, juga populis, yang setiap hari harus terus berjibaku

dalam arena pertarungan yang nyata.

Maka jangan tanyakan dimana sebagian besar perancang

kini berpijak. Mungkin hanya dalam sebuah koper yang siap

dibawa terbang menuju kota berfasilitas publik lebih baik

agar hidup bisa lebih indah tanpa perlu merasa bertanggung-

jawab atas peran sosial yang memang semakin hari semakin

membebani setiap orang. Dalam dunia arsitektur, yang

tersisa adalah pilihan fungsi bangunan, tapak imajiner, dan

permasalahan standar kemacetan. Permasalahan hidup

manusia seakan lenyap dari presentasi, dibayangkan sudah

diselesaikan perizinan lahan yang kita tahu sehari-harinya

menggusur sekasar apa. Pendekatan sosial-masyarakat,

sebagai hal mendasar dimana sejatinya arsitektur dan ilmu

rancangan lain berpijak, menjadi demikian statistik.

Maka bagaimana jika mereka, para calon perancang itu,

diberikan kebebasan untuk berlarian di jalanan, mengamati

permasalahan yang mereka pikir akan sanggup mereka

tanggapi? Membuat mereka bergabung dalam proses inovasi

warga yang telah hidup sekian lama ketimbang terkungkung

dalam dunia pendidikan perancangan yang kita tahu sangat

jauh dari kenyataan itu?

Apa yang terjadi dan kemudian terekam dalam buku ini

adalah usaha-usaha untuk kembali bereksperimen, yang

seringkali diartikan utopis, tak berguna, tak berdasar, dan

niscaya akan dibunuh oleh yang adiluhung. Eksperimentasi

Page 34: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

32

kali ini justru mencoba menemukan akar dari kehidupan

sehari-hari yang realistis. Sebagai usaha tandingan pada

dunia mutakhir yang ingin serba lebih, lebih cepat, lebih

kuat, dan lebih baik. Suatu usaha untuk menemukan kembali

arti, bentuk, dan ruang publik itu sendiri. Bahwa arsitektur

tak selamanya melulu profesi. Namun juga ilmu, yang di sini

mendapat porsi lebih besar, yang mampu membebaskan

eksperimentasi melampaui bentuk fisik bangunan yang

dipercaya sebagai selalu arsitektur. Hal itu pula yang

menjadikan ulasan dalam lembar halaman setelah ini tak

semata berupa pujian, namun juga memperhatikan konteks

sosial yang luas, sekaligus berupa kritik singkat yang tegas.

Bahwa suatu kegagalan perlu dimaknai sebagai modal

keberhasilan kelak.

Pendekatan sehari-hari yang dilakukan ini sesungguhnya

sederhana. Memercikkan kenyataan sosial sebagai

permasalahan yang nyata yang seharusnya perlu disikapi

lebih mendalam oleh para calon perancang muda sejak

dini. Para perancang yang bisa berasal dari bidang ilmu

apa saja. Apa yang terjadi di sini, adalah contoh kecil dari

penghadiran kembali konteks sosial-kota yang tersingkirkan

oleh megahnya utopia arsitektur dalam dunia pendidikan

kini. Bagaimana kita melihat kembali jalanan yang ternyata

tidak semenakutkan itu seiring terjalinnya perkenalan.

Bahwa impian kota masa depan itu tetap harus berpijak

pada apa yang telanjur ada dan hadir sebagai penyelamat-

penyelamat kecil atas masalah yang disebabkan oleh sistem

yang tak manjur. Dari titik ini, kiranya terhampar medan luas

persemaian pengetahuan yang sesungguhnya.

Jika seruan ini adalah penabuh genderang, maka buku

ini adalah penyingsing lengan baju. kami undang Anda untuk

bergabung.

Jakarta, 3 September 2010

Page 35: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

33

Page 36: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

34

Page 37: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

35

Page 38: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

36

Page 39: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

37

karya-karya mahasiswa

Page 40: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 41: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

RomPI-tAs koRAN Archangela E. Natalia

Yoana LindaLivia Louis

Pedagang kaki lima dan pedagang asongan beserta semua

alat transaksinya terus berevolusi secara alami di ruang

publik Jakarta. Bila kita memperhitungkan alat-alat itu

sebagai artefak kebudayaan kontemporer kota, jelas tak

banyak perhatian yang diberikan pada kebudayaan ini—baik

dari para akademisi, apalagi pemerintah—sekalipun

kehadirannya sangat penting dalam menopang kehidupan

ekonomi dan sosial kota.

Adalah suatu keberanian tersendiri ketika Archangela E.

Natalia, Livia Louis, dan Yoana Linda justru tertarik pada isu

ini. Hasilnya adalah kejelian membaca, bahwa dari berbagai

jenis barang jualan pedagang asongan, setidaknya ada satu

dagangan yang belum memiliki alat penjualan, yaitu koran.

Selama ini, para pedagang koran selalu mengandalkan

kedua tangan mereka untuk berjualan. Satu lengan mendekap

koran, tangan lain untuk menyerahkan koran, menerima uang,

dan memberi kembalian. Yang kemudian ditawarkan kelompok

ini adalah rompi sekaligus tas untuk berdagang koran.

Dengan rompi-tas ini, koran-koran itu dapat dipajang

dengan jelas dalam tiga rak transparan di dada. Total koran

yang tertampung sama dengan rata-rata jumlah koran jualan

pedagang, yaitu 80 eksemplar. Namun dengan koran sebanyak

itu, dalam kondisi tersimpan dalam rak rompi, kecepatan

melayani pembeli tak sampai berkurang. Sebuah koran bisa

diberikan dalam 2 - 3 detik. Beban koran yang kini ditopang di

bahu dengan nyaman juga membebaskan tangan mereka yang

semula harus membawa koran.

Page 42: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 43: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

41

rompi-tas ini bisa dipakai dari samping lalu ditutup

dengan resleting. Sisi kanannya dilengkapi kantong penyimpan

uang. Punggung rompi juga berfungsi sebagai tempat

memajang koran, sehingga calon pembeli dari belakang

bisa tahu koran apa saja yang dijual oleh mereka. koran dan

pedagangnya pun aman dari hujan. Tersedia tutup transparan

untuk koran dan tudung kepala untuk pedagang.

Hal menarik terjadi ketika tiba waktunya kelompok ini

melakukan simulasi. Pak Yadi, seorang pedagang koran yang

selama penelitian sangat ramah menemani mereka—yang

mungkin karena kebiasaan—masih menggunakan kedua

tangannya untuk berjualan koran. ia belum terbiasa

dengan rompi-tas itu. Sekalipun, tentu saja, sebagai produk

baru, rompi-tas ini memang sudah menerima tantangan

untuk mengubah kebiasaan lama. Juga menyadari ragam

kemungkinan perlakuan baru atas produk tersebut.

Satu kekurangan rompi-tas ini adalah rendahnya posisi

koran di dada untuk bisa dilihat dari dekat oleh pengendara

mobii—karena semula, koran di tangan pedagang bisa bebas

diacungkan ke jendela pengemudi mobil. Sekalipun dari jarak

jauh, pajangan koran di dada rompi ini jauh lebih rapi dan jelas

dilihat ketimbang di tangan.

Boleh jadi, jika rompi-tas koran ini akhirnya dapat

beredar luas di pasaran, pedagang koran lain lambat-laun

bisa terbiasa untuk membiarkan tangannya leluasa dan

sepenuhnya menyerahkan tugas memajang koran pada

dada dan punggung mereka. Setidaknya, jika para pedagang

koran tetap berjualan dengan tangan, dengan rompi-tas

ini, mereka bisa menjual koran lebih banyak lagi dengan

kenyamanan baru. rompi-tas koran ini bisa menjadi dasar

bagi pengembangan alat lain demi semakin memaksimalkan

penjualan, kenyamanan penjual dan pembeli koran di jalanan

Jakarta.

Page 44: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

42

TAMPAk DEPAN TAMPAk BELAkANG TAMPAk SAMPiNG

Kantong resleting

Penutup Koran saat Hujan

Tempat Memajang Koran

40 cm

50 cm

25 c

m35

cm

47,5

cm

12,5

cm

40 cm

50 cm

Tempat Memajang Koran

Penutup Kepala

10 cm

10 cm

10 cm

Resleting pembuka rompi

Kantong Serba Guna

SAAT DiBENTANGkAN

SAAT DiLiPAT Jumlah halaman: sekitar 22 halamanKetebalan koran terlipat: 0,5 cm - 1 cm

35 cm

28,7

5 cm

17.5 cm

57,5

cm

35 cm

Dari atas ke bawah: Ukuran tipikal koran, sketsa rencana awal rompi-tas. Halaman sebelah: Pak Yadi sedang mengenakan rompi-tas koran.

Page 45: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 46: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 47: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

sERAGAm BIRU JokIBernadette Aninadia

Gabriella StellaStacia Bernadette

Peraturan 3 in 1 diterapkan untuk mengurangi kemacetan

dengan melarang mobil berisi kurang dari tiga orang melintasi

jalan utama kota Jakarta pada pagi dan sore hari. Peraturan

ini tidak didukung oleh pembenahan moda transportasi

umum dan kebijakan menekan jumlah kepemilikan kendaraan

pribadi. Hasilnya adalah memindahkan kemacetan ke area

lain karena banyak kendaraan berpenumpang kurang dari tiga

yang menghindari 3 in 1.

kehadiran joki di area 3 in 1 kemudian menjadi solusi bagi

pengendara yang harus melalui area tersebut. Para joki berdiri

di mulut area 3 in 1, menawarkan jasanya untuk disewa oleh

pengendara mobil dengan tarif rp10,000 – rp20,000 untuk

menambah kekurangan orang di dalam mobil. Awalnya, profesi

joki dilarang. Mereka bahkan dirazia oleh aparat. Tentu saja,

keberadaan joki telah menegaskan kegagalan pemerintah atas

peraturan 3 in 1.

cerminan kegagalan yang dikandung profesi inilah yang

menarik perhatian Bernadette Aninadia, Gabriella Stella, dan

Stacia Bernadette. Setelah memperhatikan joki, menyewa

dan mewawancarai mereka, ada sebuah slentingan yang

mengubah pola pikir mereka terhadap profesi ini. Satgas, yang

seringkali kita asumsikan bertugas ‘menertibkan’ para joki,

ternyata bertugas untuk ‘menjaga’ mereka. Profesi joki adalah

sesuatu yang legal dan butuh perlindungan, tutur seorang

Satgas. Pendapat tersebut memang tak dapat dibuktikan

dengan peraturan tertulis. Namun, lepas dari kebenarannya,

profesi ini telah memiliki penjaganya sendiri. Joki tidak

lagi dikejar-kejar aparat hukum, tak perlu lagi menghindari

Page 48: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

46

Page 49: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

47

apapun kecuali kejahatan dari konsumen mereka sendiri: para

pengendara; karena itu mereka perlu ‘dijaga’. fakta tersebut

yang membuat para mahasiswa ini memilih untuk tidak lagi

membahas pemetaan ruang informal dan proses keberadaan

joki mengakali celah peraturan, namun pada hal-hal yang lebih

mendasar: cuaca dan identitas. Solusi yang kemudian mereka

tawarkan adalah seragam khusus bagi para joki.

Mereka mempelajari berbagai kemungkinan bentuk

seragam untuk mengatasi terik matahari dan basah karena

hujan di jalanan. Selanjutnya, mereka ingin menegaskan

identitas para joki agar dapat dibedakan dari profesi jalanan

lainnya, juga dari para pengguna jalan biasa. Seperti guna

segala seragam, seragam joki ini juga berfungsi untuk

menggarisbawahi kesamarataan di antara pada joki.

Proposal pertama mereka adalah sebuah rompi yang

memiliki tas gendongan bayi untuk para joki perempuan

yang menggendong anaknya. Namun mereka akhirnya

mengubah rompi itu menjadi ransel karena sifat tas yang lebih

demokratis. Joki perempuan tinggal memakai seragam-tas itu

menghadap depan jika ingin menggendong anak, sementara

bagi mereka yang ingin mengangkut barang, tas tinggal

dipakai di belakang layaknya tas biasa. Penggunaan ransel

sebagai seragam juga mempermudah penggunaan jaket

tudung hujan yang disisipkan sebagai lipatan di bagian bawah

ransel tersebut.

Tujuan mereka untuk memvisualisasikan identitas

joki cukup berhasil. Adanya seragam-tas joki ini memang

baru menyentuh aspek fungsi dan estetika—belum sampai

mengkritik dan memberi makna baru atas permasalahan

3 in 1 yang memicu kelahiran profesi ini—namun karya

mereka yang lahir dari perhatian lebih atas profesi joki, dapat

memancing begitu banyak kreasi demi menghidupi beragam

solusi sementara ciptaan warga untuk mengatasi berbagai

peraturan resmi pemerintah yang menyusahkan masyarakat.

Page 50: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

Deretan atas: Contoh pertama, produk serupa rompi.Deretan bawah: Produk akhir rompi joki serupa tas gendong.Sebelah: Pemakaian produk dalam praktek lapangan.

Page 51: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

49

Page 52: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

50

Page 53: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

AsoNGAN doRoNG

Chin Ronal Purnama ChandraAndayani P. W.

Willie D. Atmaja

Sudah sejak dulu jalanan tak pernah aman bagi pedagang

asongan. Pada 1990 di Jakarta, melalui Operasi Esok Penuh

Harapan dibawah komando Soedomo, Menteri koordinator

Politik dan keamanan saat itu, mereka diburu dan dihukum

dengan tudingan mengganggu “ketertiban umum” dan

menyebabkan kemacetan. Padahal dari kemacetan di lampu

merahlah pekerjaan itu memetik inspirasi. Operasi yang

tak seindah namanya itu menuai kontroversi karena tak

menyelesaikan masalah sesungguhnya yang berkelindan di

antara persoalan ekonomi, sosial, dan urbanisasi.

Sekarang, puluhan tahun kemudian, pedagang asongan

tak hanya berjualan di perempatan lampu merah. Apalagi

sejak kemacetan semakin parah melimpah-ruah nyaris

di setiap sudut ibukota. Mereka berjualan di mana-mana.

Namun, makin hari, peran mereka dalam melayani kebutuhan

masyarakat di jalanan dan menopang ekonomi negara,

bersama sektor informal lainnya, justru semakin penting.

Dari ribuan pedagang asongan di Jakarta, mereka yang

sering berjualan di daerah pintu tol kebon Jeruk, Jakarta

Baratlah yang kemudian menjadi perhatian Andayani P. W,

chin ronal Purnama chandra, dan Wilie D. Atmaja. Perhatian

mereka sebenarnya jatuh karena kebetulan lokasi. Semula

mereka mengamati fenomena terminal bayangan di sana,

bergesernya makna pagar pembatas, serta kategorisasi

ruang publik. Namun, akhirnya mereka memutuskan untuk

menangani sesuatu yang kecil dalam skala, namun besar

dalam peran.

Page 54: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

Halaman ini: Model studi ide penambahan terhadap produk yang sudah ada. Halaman selanjutnya: Pemakaian produk akhir dalam praktek lapangan.

Page 55: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

53

Dari pengamatan atas rutinitas sehari-hari pedagang

asongan, mereka menganggap alat jualan itu masih bisa

dimodifikasi agar lebih maksimal fungsinya. Mereka lalu

memasang roda di bagian bawahnya, yang jika ditarik akan

bisa diseret layaknya kopor seret beroda. Awalnya, agenda

mereka lebih dari itu. Mereka juga ingin agar keranjang rokok

itu bisa berdiri dengan topangan kaki roda. Namun karena

permasalahan teknis, rencana itu dibatalkan.

Andai rancangan itu berhasil, kegunaan roda keranjang

bisa bertambah. Di saat pedagang asongan sedang berdiri

diam, mereka bisa tak perlu lagi menopang beban keranjang

dengan bahu. Mereka bahkan bisa terbebas dari keranjang,

untuk duduk-duduk di sebelahnya dengan posisi keranjang

tetap setinggi dada. ketinggian yang nyaman bagi pejalan kaki

yang lewat untuk melihat-lihat dagangan mereka.

Dalam rancangannya, kelompok ini juga mengganti tali

penyangga keranjang dengan selang air. Sekalipun secara

estetis kurang sedap dipandang, selang jelas lebih empuk di

bahu untuk menyangga beban keranjang. Selain itu, penataan

ulang barang jualan juga mereka lakukan, plus penambahan

laci-laci baru di keranjang.

karya ini telah menegaskan batas yang jelas dengan

berbagai inovasi canggih atas sejumlah produk elegan yang

marak dirancang para desainer produk melalui sejumlah

kompetisi nasional. Apa yang selama ini kita anggap sekadar

sebagai keseharian dari sejumlah lapisan masyarakat dalam

bertahan hidup, sungguh perlu diamati dengan jeli. Bahwa

inovasi desain yang memiliki dampak sosial yang nyata selalu

bersumber pada persoalan sehari-hari. Masalahnya tinggal

mengubah perspektif dalam memandang keseharian itu. Satu

hal yang dengan sederhana namun jitu, telah dilakukan oleh

kelompok ini.

Page 56: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 57: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 58: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 59: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

tAs BELAJAR ANAk Antonius Wiradigdaya Kosasih

Kurniadi LimMelita Felicia

Pendidikan bagi anak jalanan yang dikelola sejumlah sekolah

alternatif, selain berpusat di rumah, juga dilakukan dengan

langsung mengunjungi ruang hidup anak-anak jalanan.

Salah satunya, yang kemudian menjadi perhatian Antonius

Wiradigdaya kosasih, kurniadi Lim, dan Melita felicia, adalah

di Stasiun Juanda, Jakarta Pusat. Dari kesementaraan proses

belajar-mengajar—baik para guru yang secara periodik

berpindah ke lokasi mengajar lain lalu digantikan guru baru,

atau sejumlah anak yang datang silih-berganti—kelompok ini

lalu memutuskan untuk membuat tas belajar bagi para guru

dan murid.

Prinsip kedua tas ini serupa. Selain untuk membawa

alat tulis, bila tas dibuka, sisi dalamnya bisa menjadi alas

bagi kegiatan belajar yang selama ini berlangsung lesehan

di lantai stasiun. Tas besar untuk guru sebenarnya sudah

cukup untuk menjadi alas bersama guru dan murid. Adanya

tas kecil untuk murid, adalah semacam bonus, yang selain

bisa dipakai layaknya tas sekolah, bagian dalamnya dapat

menjadi alas berbaring untuk tidur di ruang luar. Sebuah alas

tulis merangkap penyimpan alat tulis yang terbuat dari papan

yang tersedia di dalam tas, melengkapi paket sederhana bagi

sarana belajar ini.

Untuk mendesain kedua tas itu, mereka melakukan

studi gerak dan dimensi dari perilaku anak-anak selama

berlangsungnya pelajaran. Studi dilanjutkan dengan pemilihan

warna dan bahan. Tas untuk anak dibuat sebagai tas

selempang, agar lebih mudah dan sesuai dengan kebiasaan

anak-anak di sana dalam menggunakan tas. Sementara

Page 60: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

58

Page 61: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

59

untuk merancang tas guru, yang berupa tas jinjing dengan

ukuran lebih besar demi menjadi alas untuk guru dan murid,

dilakukan studi lipatan, bahan, dan efesiensi pembuatan.

Setelah tas dihamparkan menjadi alas, tali dan velcro-nya bisa

ditempel pada tiang stasiun agar alas tidak bergeser selama

pelajaran.

Pilihan bahan dan warna tas ini, sayangnya tampak terlalu

elegan dan gaya, sehingga tak begitu serasi dengan lokasi

belajar-mengajar. Sekalipun pendapat umum untuk tidak

memberikan sesuatu yang berlebihan kepada anak jalanan

masih bisa diperdebatkan, namun melihat tampilannya, tas

belajar itu cukup pantas untuk dijual di mal. Biaya produksi

satuan tas ini juga terbilang cukup mahal. kedua hal itu

sebenarnya bisa diatasi jika mereka lebih mengeksplorasi

bahan-bahan yang ada, meneliti bahan di sekitar lokasi

atau bahan-bahan murah-meriah seperti kain perca, dan

memanfaatkannya semaksimal mungkin untuk desain tas ini.

Namun lepas dari itu, banyak hal yang bisa kita petik dari

karya mereka. Salah satunya adalah bahwa ladang intervensi

arsitektural juga dapat meliputi tubuh dan gerak dalam

kegiatan. Pandangan ini memperluas kemungkinan intervensi

arsitektural yang selama ini hanya mengerjakan bangunan,

dapat beralih menjadi suatu produk yang bisa digunakan,

dibawa, dan dialami bersama.

Perhatian mereka kepada anak jalanan dan khususnya

untuk menanggapi kegiatan belajar-mengajar mereka di

sebuah lokasi khusus, juga suatu kejelian tersendiri, untuk

kemudian diatasi dengan sebuah tas. Dari sana, karya mereka

bisa mengawali kemungkinan inovasi lain bagi produk-produk

yang bisa dibawa dan dipakai di mana saja, yang pada tas

ini saja, bahkan sudah melampaui fungsi dasarnya sebagai

kegiatan belajar anak, karena berfungsi juga sebagai alas

tidur dan tas mereka sehari-hari.

Page 62: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

60

Contoh modul alas duduk untuk tas guru dengan studi pola visual dan bahan.

Page 63: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

61

Produk akhir tas guru beserta modul papan tulis/tempat pensil.

Page 64: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

62

Halaman ini (kolom kiri): Produk akhir tas anak. Halaman ini dan sebelah: Pemakaian produk akhir dalam praktek lapangan.

Page 65: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

63

Page 66: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 67: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

BALok WARNA

Tony SunardiJose Mason Mulia

Gabriela Velda

Lampu merah di Jakarta tak hanya dipenuhi oleh kendaraan

yang mengantri, namun juga pedagang yang menanti

kendaraan berhenti. Di sejumlah lampu merah, terkadang

bisa kita jumpai pengemis-pengemis cilik. Bocah-bocah

yang tak kunjung menjadi urusan negara. Mereka terpaksa

meminta-minta sepanjang durasi lampu merah yang tak lama.

Anak-anak itu yang kemudian menjadi perhatian Gabriela

Velda, Jose Mayson Mulia, dan Tony Sunardi yang lalu banyak

menghabiskan waktu bersama mereka yang sehari-harinya

meminta-minta di perempatan Grogol, Jakarta Barat itu.

Pertanyaan kelompok ini kemudian adalah apa yang

bisa dilakukan untuk menemani jeda waktu anak-anak itu

selama menunggu lampu lalu lintas kembali merah? Mereka

ingin menawarkan sebuah permainan. Namun apa yang

bisa dimainkan dalam durasi sesingkat itu, atau yang cukup

menarik untuk bisa disambung lagi di jeda lampu berikutnya?

Permainan itu pun harus mampu meladeni banyak anak

sekaligus.

Sehari-harinya, di sela waktu mengemis, anak-anak

itu terus bermain dan bercanda di pinggir jalan selama

lampu hijau. Mereka menjadikan tiang lampu maupun

pagar pembatas, sebagai area permainan mereka. Aksi

yang secara alami dilakukan sebagai keriangan bocah, hal

yang tak dilandasi semangat senang-senang sendiri namun

berdalih mengubah ruang kota menjadi arena permainan

mengasyikkan seperti aktivitas komunitas skateboard.

kelompok ini batal membuat permainan yang perlu

dibangun secara permanen di area lampu merah. Percuma.

Page 68: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 69: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

67

Jalanan tak cukup aman untuk merawatnya. Yang akhirnya

mereka tawarkan adalah suatu permainan yang menawarkan

banyak kemungkinan pengalaman bermain, sederhana, dan

modular dalam bentuk, serta dapat dimainkan secara cepat

mengingat jeda lampu hijau itu. Permainan yang merupakan

gabungan antara Lego, UNO Stacko, dan kartu yang dicocokkan

ini, mereka namakan Go Block. Walau dalam lafal indonesia

terdengar aneh, namun nama itu menjelaskan balok-balok

kayu yang mereka gunakan. Dengan enam sisi warna yang

berbeda, balok-balok ini harus disusun dengan menempelkan

sisi atas balok dengan warna yang sama dengan sisi bawah

balok yang menimpanya. Siapa yang bisa menghasilkan

tumpukan tertinggi, dialah yang unggul.

Namun menurut seorang pemerhati psikologi anak, jenis

permainan ini sesungguhnya diperuntukkan bagi anak-anak

yang lebih muda dari kisaran usia 8 - 9 tahun anak-anak di

sana. kiranya, mahasiswa arsitektur memang perlu belajar

melintasi wilayah wacananya, memperhatikan lebih jauh

faktor psikologis yang memang memperhitungkan kegunaan

mainan bagi pengembangan diri anak. Dengan kenyataan

psikologis tersebut—yang sesungguhnya masih bisa diuji ini—

kegembiraan anak-anak itu ketika menerima dan memainkan

mainan ini, jadi mengundang pertanyaan. Apakah keriangan

itu tercipta karena memang mainan itu sungguh menarik hati

atau hanya karena itu mainan baru, maka niscaya menarik

minat?

Namun dari permainan ini, kita bisa mulai menilik sejauh

mana suatu permainan dibutukan di suatu tempat, dengan

kondisi tertentu, dan permainan macam apa yang cocok

dengan usia tertentu. karya ini, yang sempat menggembirakan

anak-anak kecil itu, dapat mengantarkan kita lebih jauh untuk

mencermati kebutuhan permainan bagi anak-anak jalanan.

Permainan yang bisa menemani keseharian mereka sampai

akhirnya mereka bisa kembali bersekolah.

Page 70: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

Atas: Peta area lampu merah yang jadi perhatian (tak berskala). Tengah: Produk akhir dengan kotak penyimpanan. Bawah: Penjelasan cara bermain. Halaman sebelah: Produk akhir yang dimainkan dalam praktek lapangan.

Page 71: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 72: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

70

Page 73: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

NAUNGAN BERmAIN

Kristanto HadinataDenny Soedjito

Aditya Setiawan

Jakarta memang bukan kota yang ramah terhadap anak.

Mengingat pernyataan Aldo van Eyck—arsitek humanis

legendaris Belanda, yang percaya jika kota tak ramah

pada anak kecil, maka sia-sia ia bagi siapapun—bahkan

Jakarta bukanlah kota. ketidakramahan kota menyebabkan

ketidakpedulian warga. Plang “Jangan ngebut banyak anak”

seharusnya tak perlu ada karena anak-anak tak perlu sampai

bermain di jalan.

Namun semangat bermain tentu tak kenal usia. Selalu

ada kesenangan untuk terlibat pada setiap permainan. Aditya

Setiawan, Denny Soedjito, dan kristanto Hadinata ternyata

juga punya semangat bermain yang tinggi. ketika berjalan-

jalan ke daerah Jembatan Tiga, Jakarta Barat, mereka

terkesima dengan banyaknya fasilitas bermain di daerah

yang terpinggirkan itu. Dari area papan catur, fasilitas bola

sodok, pasar malam kagetan yang membawa komedi putar,

sampai fenomena yang terbilang muda di kota-kota indonesia:

odong-odong, permainan usaha swadaya masyarakat demi

mengantisipasi kurangnya arena bermain anak di ruang kota.

Awalnya, mereka tertarik pada odong-odong. Mereka ingin

menambahkan fungsi lebih pada odong-odong agar orangtua

yang menunggu anak-anaknya bermain bisa duduk santai

sambil mengobrol dan bahkan memainkan permainan lain.

Namun ide itu mentok karena dari sejumlah bangku sampai

papan catur yang mereka rencanakan, berakhir membebani

odong-odong. ide menambahkan papan catur juga kandas

karena waktu bermain catur tentu lebih lama daripada durasi

anak-anak bermain odong-odong. Permainan akan segera

Page 74: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

72

Page 75: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

73

berakhir karena odong-odong mesti pindah. Mobilitas odong-

odong tak mungkin diintervensi demi fungsi lebih yang bukan

menjadi niat awal. Berbagai fasilitas tambahan itu juga tak

bisa dirakit dengan mudah sebagai kesatuan konstruksi di

badan odong-odong tanpa memberatkan kayuhan tukang

odong-odong.

Akhirnya mereka membuat sebuah konstruksi mirip

halte kecil berbahan kayu triplek dan bambu dengan atap-

atap berlubang. Anak-anak bisa bermain di dalamnya dan

melongok dari lubang itu laksana berada di terowongan kecil.

Alas konstruksi dapat diangkat dan diletakkan dalam berbagai

sudut, menawarkan kemungkinan untuk dijadikan perosotan

bagi para balita ataupun menjadi alas papan catur bagi orang

dewasa. ruang ini juga dapat berfungsi untuk ruang jaga

Siskamling di malam hari.

Pertanyaan bagi karya ini jatuh pada konsistensi ide yang

tak terjaga. Perhatian awal mereka terhadap odong-odong tak

berbekas pada hasil karya. Sejumlah kendala teknis dan logis

tak didalami dengan analisa. Mengganti ide semula secara

tiba-tiba dengan arena bermain multi-fungsi ini jadi terlalu

instan dan sederhana. konstruksi ini pun bisa lebih diberi

detail demi menawarkan keberagaman permainan itu sendiri.

ketertarikan awal mereka pada permainan, tampaknya

membuat mereka melupakan esensi bermain itu sendiri

karena terlalu asyik bermain-main.

Namun lepas dari itu semua, kita bisa melihat bagaimana

kompleksitas kebutuhan ruang bermain anak, yang bahkan

di suatu kawasan pun, perlu disikapi dengan lebih penuh

perhatian dan detail. Apa saja yang dibutuhkan oleh anak?

Belum lagi jika aneka permainan itu perlu disesuaikan dengan

usia mereka, sehingga sesuai dengan perkembangannya. Satu

hal yang perlu diperhatikan bersama, demi membuat kota

ini ramah kepada anak, sekaligus warganya, dan membuat

Jakarta kembali menjadi sebuah kota.

Page 76: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

74

Page 77: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

75

Page 78: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 79: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

JEmBAtAN PELAYANGAN

Meidy HimawanTania Permata Sari

Fransiskus Ansis

kritik pedas terhadap fasilitas umum kota Jakarta bukan

saja tak pernah habis kita dengar, namun seringkali kandas

menjadi protes usang belaka, lalu tenggelam bersama

permasalahan ruang publik yang memang tak kunjung selesai.

Apalagi solusi-solusi yang ada selama ini seringkali malah

menyumbang masalah baru.

Jembatan penyebrangan adalah salah satu fasilitas

umum yang mungkin sudah bosan dikritisi warga. Terutama

jembatan penyebrangan model lama yang berbahan beton

cor, berukuran besar, dan memiliki ramp di tengah tangganya.

Jembatan yang janggal sejak awal dan telantar sampai akhir,

namun justru menarik perhatian fransiskus Ansis, Meidy

Himawan, dan Tania Permata Sari.

Bagi mereka, ramp itu sangat rawan. Jika standar

kemiringan adalah 4º, kecuraman ramp ini 22º. Bonus curam

18º yang merancukan fungsi sebenarnya karena tak mungkin

dilalui pengguna kursi roda. Bahkan jika ramp ini dilintasi

pengendara motor dan sepeda, dibutuhkan keberanian dan

keahlian yang luar biasa untuk melewatinya.

Namun ramp juga dijadikan perosotan anak-anak jalanan.

Beralaskan kardus, mereka meluncur riang. Permainan

merekalah yang mengilhami kelompok ini. Sebuah kritik tentu

bisa dilontarkan sambil bermain.

Awalnya, mereka meniru keriangan bocah-bocah itu. Di

jembatan penyebrangan di depan kampus mereka, alas kardus

digelar. Sayang, fisika tak sepakat dengan beban dan ukuran

tubuh dewasa mereka. Perosotan jadi seret. Selain itu, tak

semua orang dewasa yang akan mau merosot seperti itu kalau

Page 80: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

78

Page 81: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

79

hanya demi memfungsikan kembali ramp yang cacat. Mereka

harus ‘mengatasi’ ramp agar lebih berguna bagi lebih banyak

kebutuhan dan usia warga.

Mereka lalu mengadopsi jenis permainan yang kita kenal

sebagai flying fox. Dengan itu, mereka tak hanya secara

gamblang memprotes rancangan fasilitas publik, tapi juga

mencapai kemudahan dan kecepatan turun. Menuruni tangga

penyebrangan itu butuh waktu sekitar 28 detik, dengan ramp

memadai seperti jembatan Transjakarta butuh sekitar 36

detik. Dengan sistem mereka, kita bisa turun dalam 13 detik.

Untuk menjamin keselamatan pengguna, mereka

menggunakan jasa manusia. Dalam bayangan mereka,

fasilitas ini akan dilayani seorang operator dari warga sekitar.

Mereka sadar bahwa inovasi mereka bisa membuka lapangan

pekerjaan baru, disewakan secara murah, dan berguna bagi

siapa saja. Tak hanya untuk meluncurkan orang dengan

senang, namun juga menurunkan barang dengan ringan.

Akhirnya, percobaan karya yang mereka lakukan

menjelang subuh agar terhindar dari aparat berlangsung

sesuai rencana. Pertanyaan baru nan menggelitik lalu muncul.

Mungkinkah karya ini diterapkan dalam skala besar? rasanya

memang mustahil. Apalagi di kota Jakarta yang tak peduli

akan kesejahteraan warganya. Solusi formal hal ini adalah

menggantinya dengan jembatan yang baik. Menerapkan sistem

model flying fox hanya akan mempertegas kesalahan awal

pemerintah kota dalam merancang jembatan. Operatornya

pun akan menjadi resmi, bukanlah warga sekitar, sesuatu

yang sangat mengkhianati konsep semula. Namun bukan

dalam poin itu—kemungkinan karya untuk diterapkan dalam

skala besar—yang membuat karya ini bernilai. inovasi kreatif

mereka tak hanya membuka celah solusi baru bagi kebanalan

fasilitas publik selama ini, namun juga menerbitkan harapan,

bahwa kota Jakarta selalu bisa dihidupi dengan riang.

Page 82: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 83: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

812

3

4

1

Halaman sebelah: Percobaan perosotan dan alat-alat yang digunakan dalam karya bersistem flying fox. Halaman ini: Potongan jembatan dengan keterangan alat dan maket studi sistem flying fox yang akan digunakan. Halaman selanjutnya: Sistem flying fox dalam praktek.

1 2 3 4

Page 84: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 85: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 86: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 87: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

PAvILIUN kAmPUNG

Willyanto Hinardi

Suci Sandra DewiMickhael Florence

Sebuah karya arsitektur baru bernilai jika ia tak menjadi

entitas tunggal, namun hidup ramah dengan lingkungannya.

Apalagi jika karya itu mampu menyelesaikan masalah sosial

dan mampu membentuk ruang publik baru. Namun dalam

proses kuliah formal, seringkali fungsi bangunan sudah

ditetapkan sesuai jenjang mata kuliah dan lokasi pilihan

mahasiswa ‘bisa begitu saja cocok’ menerima fungsi tersebut.

Bagaimana jika para mahasiswa diajak menentukan lokasi

sendiri, mencermati permasalahan sosial di sana, sekaligus

menanggapinya?

Permukiman rawa Bahagia di pinggir kali Banjir kanal

Barat, Grogol, Jakarta Barat adalah lokasi pilihan Mickhael

florence, Suci Sandra Dewi, dan Willyanto Hinardi sejak awal.

Berhari-hari mereka mencatat, memotret, berbincang dengan

warga di sana, sampai mereka temukan permasalahan yang

mampu mereka tanggapi.

Ada sebuah jalan di pinggir kali itu, yang berdiri lebih

tinggi daripada kawasan sebelahnya, ‘dipagari’ oleh sederet

rumah-rumah semi permanen warga setempat. Jalan yang

cukup ramai terutama oleh anak-anak kecil yang bermain

kala sore. Namun ada satu deret jalan, sekitar 20 meter, yang

belum dibatasi rumah. Sisi jalan tak berpagar yang rawan bagi

anak-anak untuk terjatuh ke bagian lain permukiman yang

lebih rendah sekitar 2,4 meter.

Niat awal kelompok ini adalah memagari sisi jalan itu.

Namun hanya pagar tentu terlalu biasa. Tanpa rumah warga,

sisi jalan itu juga menjadi sepi tanpa aktivitas. Bagaimana

memagari jalan sekaligus memancing aktivitas baru di sana?

Page 88: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

86

Page 89: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

87

Jawaban mereka adalah dengan membangun paviliun

mungil. Sebuah teras sederhana mirip halte dengan tempat

duduk dan atap yang dirimbuni tanaman rambat. Selain

berfungsi sebagai pagar, paviliun itu juga bisa menjadi

tempat menunggu untuk orangtua yang menjaga anak mereka

bermain, juga untuk tempat bersantai bagi siapapun.

Paviliun kampung itu didirikan di tengah sisi pinggir jalan

yang terjal itu. Desain dibuat sederhana, modular, mudah

dibongkar-pasang, berbiaya cukup murah, dan menggunakan

bahan baku yang mudah dicari di pasaran.

Setelah paviliun yang dibangun bersama warga itu jadi,

tempat itu ramai didatangi warga. Anak-anak kecil bermain,

ikut duduk, bergantian dengan orangtua yang mengasuh adik-

adik mereka. Bersama keramaian baru itu, sejumlah pedagang

makanan bergerobak dorong jadi turut mangkal di sekitarnya.

Bahkan kemudian ada warga yang memasang plang jasa

khitanan lokal di tiangnya. Paviliun mungil sederhana ini

akhirnya benar-benar menjadi ruang publik baru sekaligus

penanda bahaya bagi keterjalan jalan di sekitarnya.

rancangan paviliun ini juga dimaksudkan sebagai cetak

biru bagi warga. Modul rancangan dan biaya diserahkan

kelompok ini kepada ketua rT setempat. Sehingga kapanpun

warga ingin memperbanyak modul paviliun ini di sepanjang

jalan terjal itu, mereka dapat meneruskannya secara swadaya.

Sekalipun dari segi desain arsitektural sangatlah biasa,

paviliun ini telah menunjukkan bahwa suatu karya arsitektur

yang berangkat dari permasalahan yang nyata, dengan

perhatian yang hangat terhadap konteks sosialnya—sekecil

apapun luasan dan sebiasa apapun desainnya—mampu

menciptakan interaksi sosial yang ramah bagi warga, dan

karenanya, karya ini sungguh bernilai.

Page 90: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

Keadaan tapak dan lingkungan sekitar. Banyak anak kecil bermain dan terlihat sisi lahan yang lebih rendah dari jalan.

Page 91: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

Halaman ini: Studi model digital 3 dimensi produk di tapak. Halaman selanjutnya: Proses pembuatan dan hasil akhir karya di tapak dan interaksinya dengan warga sekitar.

Page 92: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 93: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 94: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 95: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

BEL BUS

Xena Levina Caesarea

Antoni WinataIngrid Anita Stacia Dharmawan

Kenek adalah salah satu profesi unik Jakarta. Selain menagih

uang sewa, ia juga menyerukan tujuan demi memancing

penumpang untuk naik bus, menyuarakan informasi yang

lebih jelas ketimbang papan keterangan trayek bus di jalanan.

Dalam perkembangan alaminya, kenek melahirkan sosiolek

tersendiri. Mereka suka berseru dengan menyingkat infomasi

harga, nomor busnya, dan nama antartujuan agar lebih mudah

diucapkan. Kalimat seperti “[e]nam pat nam”, “[Pasar] Minggu

- Depok “, “[Slipi] Jaya – Grogol”, atau “Jauh dekat tiga ribu”,

sudah akrab dimengerti calon penumpang. Suatu bahasa dan

suara yang menjadi identitas pekerjaan, kegiatan, lalu meluas

menjadi pembentuk jati diri Jakarta.

Suara, di sisi lain, adalah salah satu elemen pembentuk

utama ruang. Sisi ini sering dilupakan, namun tidak oleh

Antoni Winata, Inggrid Anita Stacia Dharmawan, dan Xena

Levina Caesarea yang sejak awal memang tertarik dengan isu

suara dalam arsitektur. Awalnya mereka berkonsentrasi pada

polusi suara di ibukota ini. Perhatian mereka lalu tertambat

pada seruan kenek, yang memiliki dua tujuan, pertama untuk

memberi tahu nomor dan tujuan bus kepada calon penumpang

di luar, kedua demi memberitahu penumpang di dalam, akan

sampai di mana bus yang mereka tumpangi itu sebentar lagi.

Dari pengamatan itu, mereka ingin agar kenek tak perlu

lagi berteriak untuk penumpang di luar. Suaranya bisa

diganti dengan rekaman suara yang disiarkan lewat pengeras

suara yang bisa diaktifkan dengan menekan tombol. Dengan

itu, kenek cukup memberi tahu tujuan terdekat kepada

penumpang di dalam bus.

Page 96: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

94

Page 97: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

95

Percobaan alat mereka lakukan pada sebuah bus P46

jurusan Grogol – cawang bersama seorang kenek kenalan

mereka. Hasil karya mereka kemudian adalah rekaman suara

kenek yang menyuarakan kedua arah jurusan. Sampel suara

itu mereka beri latar lagu tradisional Batak “Alusiau” yang

mereka nyanyikan sendiri. Suara-suara itu diinstalasikan di

bus, lengkap dengan pengeras suara dan tombolnya.

Namun penyelesaian karya kelompok ini jadi terlalu

instan bagi proses berpikir yang sudah menarik sejak awal.

Semacam kegagapan yang melanda ketika teori tertumbuk

kompleksnya realitas. Suara yang dihasilkan tak jernih dan

mereka jadi menghilangkan sosiolek yang telah tercipta

secara alami—walau bagi pendatang, ucapan kata yang

lengkap bisa memperjelas informasi. Lagu tradisional Batak

yang ditempelkan sebagai latar, alih-alih ingin memberi

nuansa budaya lokal, justru mengeneralisir etnis supir dan

kenek yang kini tak lagi didominasi etnis Batak seperti dulu.

Adanya latar lagu itu jadi semakin mengaburkan suara

kenek yang sudah keruh. ide yang menarik ini, seharusnya

bisa dimatangkan lagi jika setiap keputusan dibuat dengan

mempertimbangkan faktor-faktor logis dari hubungan

antara kejelasan informasi, estetika suara, dan hal teknis

pemasangan.

Simulasi yang kemudian mereka lakukan berjalan cukup

lancar, sampai akhirnya bus distop polisi yang siap dengan

mobil derek, sekalipun aparat itu akhirnya bisa diatasi dengan

negosiasi singkat. rekaman suara itu jadi lebih keras daripada

suara kenek biasanya, sehingga memancing polisi, hal yang

kiranya perlu diperhatikan agar tak menjadi polusi suara baru.

Lepas dari hasilnya, sejak awal niat mereka adalah

memberi warna baru bagi Jakarta lewat suara dan

pendengaran. Sebuah perhatian menarik. Semoga kesadaran

awal mereka tetap tak kalah lantang dalam riuh-rendahnya

wacana arsitektur dewasa ini.

Page 98: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

96

. . . a y o . . . a y o . . . ( g ) r o g o l ( s ) l i p i r o g o l i p i . . . r o g o l i p i . . . t o m a n g . . . t e r u s . . . t e r u s . . . t e r u s . . .

. . . a l u . . . s i . . . a u . . . d i b a h e n i . . . a l u . . . s i . . . a u . . .

Page 99: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

97

Atas: Visualisasi dari sepotong karya suara yang dilengkapi lirik.Kiri bawah: Pemasangan peralatan bel bus. Kanan bawah: Ekspresi orang-orang di sepanjang jalan yang dilalui trayek bus.

. . . a y o . . . a y o . . . ( g ) r o g o l ( s ) l i p i r o g o l i p i . . . r o g o l i p i . . . t o m a n g . . . t e r u s . . . t e r u s . . . t e r u s . . .

. . . a l u . . . s i . . . a u . . . d i b a h e n i . . . a l u . . . s i . . . a u . . .

Page 100: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 101: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

ZoNA mERokok

Yotanaga Satria

Jacson Andika SantosoJuanto Putratama

Merokok di Jakarta sangatlah kompleks. Di satu sisi, ibukota

ini surga bagi perokok. Masih sering kita jumpai mereka yang

membumbung asap di dalam angkutan umum tanpa terbakar

protes. Namun di lain sisi, peraturan larangan merokok

pemerintah kota juga tak kalah ajaib. Larangan yang tak

selalu diimbangi penyediaan ruang merokok dalam gedung itu

bahkan mengasap ke jalanan. Orang juga dilarang merokok

di ruang terbuka, dari parkiran sampai trotoar sejumlah

‘kawasan utama’, yang jelas-jelas tak menjanjikan udara sehat

kecuali asap knalpot dari kendaraan yang macet. Sekalipun

jika tertangkap api, kita masih bisa memberikan “uang

rokok” kepada aparat. Namun tampak sekali bahwa tak ada

pembatasan yang jelas antara yang publik dan privat.

isu ini kemudian menarik hati Jacson Andika Santoso,

Juanto Putratama, dan Yotanaga Satria. ide awal mereka

macam-macam. Dari membuat papan larangan merokok

standar, sampai menjadikan para perokok bagai tontonan

di ruang khusus dengan membuat asap-asap mereka

sebagai bagian dari permainan cerobong asap. Mereka juga

memperhatikan batas asap, sejauh apa asap mengganggu

orang lain dalam jarak tertentu. Namun yang akhirnya mereka

lakukan justru sebaliknya: memberi kuasa bagi para perokok

untuk membela tindakannya. Mereka membuat sebuah keset

tempat merokok. Dengan berdiri di atasnya, kita jadi sah untuk

merokok.

ide untuk memberi kuasa dan mempermainkan ruang

imajiner demi mengabsahkan sebuah tindakan, yang justru

bagi perokok ini, sesungguhnya menarik karena dapat menjadi

Page 102: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

100

Page 103: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

101

semacam protes balik dari para perokok atas pemerintah yang

senang mengambil pajak rokok tapi suka melarang orang

merokok. Namun sayangnya, mereka luput melihat kepulan

aspek lain. Orang tentu tak akan mudah percaya dengan

tampilan keset yang kurang berwibawa untuk mengepulkan

kuasa itu. kewibawaan kesan dari keresmian tampilan itu pula

yang membuat sejumlah seniman yang pernah melakukan

aksi serupa, akhirnya meniru persis atau bahkan mencuri

‘papan resmi boleh merokok’ untuk menciptakan sendiri

ruang khusus merokok mereka. Sehingga begitu papan

resmi itu dipindahkan ke suatu tempat, tampilannya akan

‘membenarkan’ aksi merokok di ruang itu. Persis seperti niat

mereka. keset ini bisa dibawa, tinggal digelar di mana saja,

dan merokok jadi sah.

Sayangnya, keset ini tak terancang dengan baik. Orang

lain bisa lantas berpikir bahwa ini hanyalah kenakalan

mengada-ada si perokok saja. Dengan berdiri di atasnya,

tulisan “Please Smoke Here” di atasnya jadi tak terlihat. keset

ini pun hanya mengundang satu orang. Belum lagi dalam

soal bahan. Jika dilipat, keset ini jadi terlalu besar sehingga

merepotkan untuk dibawa kemana-mana. Lagipula, satu hal

yang juga luput dipikirkan adalah, di mana saja keset ini

hendak digunakan? Tentu tidak di jalanan Jakarta karena para

perokok di ibukota ini masih bisa bebas merokok di mana saja,

tanpa bantuan alat apapun.

Jika mereka cukup memahami kompleksitas masalah

merokok di ruang publik, karya ini bisa mengantar mereka

pada kritik tegas yang inovatif atas posisi perokok di ruang

publik yang sebenarnya tak ubahnya dengan masyarakat yang

tak merokok: kenyamanan ruang publik bagi keduanya sama-

sama tak dipedulikan oleh pemerintah kota. Satu hal yang

sejatinya ingin mereka sumbangkan, dan semoga menuai hasil

memuaskan di kali lain.

Page 104: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 105: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

103

IN.FoR.WAIt.oN

Ricky Goreta

AmeliaIrene Syona

rata-rata warga Jakarta menghabiskan 4 – 6 jam sehari

di jalan. kemacetan yang dulu hanya terjadi pada pagi dan

sore hari, kini merambat hingga siang hari. kenyataan ini

merugikan perekonomian kota hingga milyaran setiap tahun.

Belum lagi menghitung dampak psikologisnya. Buruknya

sistem transportasi ini diperparah dengan minimnya runag

publik kota. Warga menjadi komuter abadi. Tak mengalami

ruang kotanya secara manusiawi.

Warga yang berada di jalanan adalah mereka yang sedang

menuju suatu tempat. Sepanjang itu, kerap kali mereka harus

menunggu. Entah menanti bus yang tak kunjung datang

atau kembali menunggu di dalam bus sambil mendambakan

berakhirnya kemacetan jalanan. Menunggu semacam ini, yang

lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya inilah yang

kemudian menarik perhatian Amelia, irene Syona, dan ricky

Goreta.

Bagi mereka, sembari menunggu, selayaknya orang juga

bisa mendapatkan informasi. Tempat yang mereka perhatikan

adalah trotoar luas di depan Plaza indonesia, Jakarta Pusat,

yang memang ramai sepanjang hari. Area itu bahkan lebih

diramaikan orang dari beragam tempat dan tujuan ketimbang

pengunjung mal.

Mereka lalu membuat sebuah struktur kecil serupa halte

yang berisi beragam informasi. Dari majalah gratis sampai

peta rute kendaraan umum. Semula, rancangan ini hendak

dipasang di trotoar plaza, namun karena kendala perizinan,

mereka menggesernya ke trotoar dekat halte Plaza indonesia

di sisi jalan MH. Thamrin.

Page 106: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

Halaman ini: Studi model digital 3 dimensi pemasangan produk akhir dan keterangan trayek bus sekitar bundaran Hotel Indonesia yang di tempel di atas produk akhir sebagai pelengkap informasi. Halaman selanjutnya: Produk akhir yang terpasang di lokasi.

Page 107: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

105

Di sini, analisa mereka atas kegiatan menunggu menjadi

sangat sederhana. Seakan orang yang menunggu niscaya

menganggur. Sementara di area itu, orang justru mengobrol

dan mengaso. Mereka juga bisa menggunakan telepon

genggamnya untuk mengisi waktu. Tak semua orang yang

menunggu membutuhkan informasi, dan andai ya, informasi

seperti apa yang dibutuhkan?

Menyediakan informasi gratis memang baik, namun

barang yang gratis tentu cepat habis sehingga harus terus

disuplai, sesuatu yang hanya mampu mereka lakukan selama

tiga hari. kelompok ini juga luput melihat kemungkinan untuk

menginteraksikan materi karya mereka dengan pedagang

koran dan majalah asongan. Suatu hubungan yang mungkin

bisa melahirkan ide-ide kreatif yang terintegrasi dengan

lingkungan sosialnya.

Namun materi informasi dalam struktur portabel itu

dengan ajaibnya bisa santai berdiri tanpa izin di trotoar itu

dan aman dari gangguan aparat keamanan Plaza indonesia

maupun polisi. Tampaknya masing-masing aparat saling

menduga kalau yang lain sudah memberikan izin.

ketidakpedulian itu, walaupun menguntungkan

bagi mereka, tentu merupakan cerminan mutlak akan

ketidakpedulian pemerintah atas ruang publik Jakarta.

Dengan itu, perhatian kelompok ini untuk meningkatkan

kualitas menunggu, sampai akhirnya transportasi kota

membaik dan ruang publik memarak, perlu dicatat oleh

banyak perancang. Jika kondisi ruang publik Jakarta memang

begitu mengenaskan, apa yang bisa kita lakukan bersama

untuk meningkatkan kualitas hidup, sembari mengusahakan

perubahan jangka panjang di masa depan? Sebuah

pertanyaan yang layak menjadi catatan kita semua.

Page 108: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 109: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 110: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 111: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

PEtA JALAN PINtAs

Edwin BudimanAndy Wijaya

Phelia FelimYulianti Chandra

kita bisa mendefinisikan jarak dengan waktu, namun tak

pernah sebaliknya. Di Jakarta, dengan kemacetannya yang

‘menjanjikan’, buruknya moda transportasi umum, dan

minimnya sistem penunjuk jalan, orang bahkan cukup ikhlas

untuk menempuh jarak lebih jauh asalkan bisa tiba lebih

cepat. Namun itu hanya bisa dilakukan jika kita mengenali

Jakarta, dan menganggapnya sebagai medan pertempuran

sekaligus medan permainan yang unik. Perlu seperangkat

strategi untuk bisa tiba dengan cepat dan nyaman sampai

tujuan.

Warga yang cukup berpengalaman dan lihai, biasanya

ingat kapan jalan tertentu macet dan paham jalan pintas

tersingkat. Jalan-jalan tikus itu, selain menjadi segenggam

pengetahuan, juga perlu terus disegarkan dengan info-info

terkini.

ruwetnya perjalanan kota dan bagaimana warga

mengatasi jalan pintas itu, pada akhirnya menarik perhatian

Andy Wijaya, Edwin Budiman, Phelia felim, dan Yulianti

chandra. Awalnya, mereka masih tertarik pada isu-isu besar

kota. Baru setelah menyusuri Stasiun Manggarai, dan mereka

jumpai jalan pintas berupa tangga bikinan warga, pandangan

mereka berubah.

Minat baru itu kemudian mengantar mereka pada

beragam pendefinisian atas jalan pintas Jakarta. Ada

rangkaian rute yang dihubungkan secara alami. Ada jalan yang

ditembus dan diciptakan warga. Ada pula yang dihubungkan

dengan alat bantu seperti rakit dan perahu untuk menyebrangi

Page 112: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

110

Page 113: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

111

kali. Mereka juga mendata mana jalan pintas yang berbayar

dan mana yang gratis, serta mana jalan pintas bagi pejalan

kaki maupun kendaraan bermotor.

Sekumpulan data itu kemudian diolah menjadi sebuah

blog: petapotongpendek.blogspot.com. Di sana, orang juga

mendapat detail informasi berharga lainnya, seperti waktu

yang bisa dihemat, rawan licin, rawan terjal, atau rawan

tertubruk mobil di jalan pintas. Tak cuma itu, mereka juga

menyediakan foto panduan, agar kita bisa mengingat posisi

jalan pintas di kenyataan.

karya ini adalah sebuah terobosan. Selain lahir sebagai

kritik atas kompleksitas transportasi kota, merekam

strategi warga dalam menyiasati kotanya yang selama ini

menyesatkan orang banyak, juga membuka interaksi baru

melalui peta yang berbeda, dan mungkin jauh lebih hidup dan

berguna, untuk melengkapi peta formal yang ada.

Blog ini akan diteruskan oleh mereka dengan informasi

baru, tampilan lebih menarik dan komunikatif, serta

sosialisasi dan publikasi yang lebih luas. ke depan, akan

kita lihat, apakah blog ini mampu berevolusi menjadi sebuah

platform sendiri yang lebih publik? Mengajak siapapun

untuk bergabung, menyumbang dan mengoreksi data, serta

bersenang-senang atas manfaatnya. Potensi karya ini untuk

menjadi sebesar, atau bahkan lebih daripada foursquare—

sebuah fasilitas geo-tagging yang mengubah satu bumi

menjadi arena permainan—tak mustahil. Tantangan inilah

yang hanya dapat dijawab oleh mereka.

Sementara itu, karya ini saja telah memperjelas

bagaimana sebenarnya kita sudah melakukan intervensi ruang

yang bermakna. Bahwa sesungguhnya kita semua mampu

berarsitektur, tanggap, dan tangkas menghidupi kotanya.

Disiplin arsitektur perlu menyesuaikan kembali sikapnya atas

fenomena seperti ini. Sesuatu yang telah mereka kerjakan

dengan sangat baik.

Page 114: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

Lewat gang Hemat jarak

Resiko tercebur

Resiko tergelincir Hemat uang Hemat

waktu

Dapat dilalui mobil

Dapat dilalui motor / sepeda Naik perahuDapat dilalui

orangMasuk gedung

Sejumlah ikon hasil pengembangan studi penanda jalan pintas.

Pemetaan dan foto hasil survei visual beberapa jalan pintas yang ditemukan sendiri oleh kelompok ini.

Page 115: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

Tampilan situs Peta Potong Pendek.

Page 116: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

Tampilan situs. Tampak bagaimana alur penjelajahan pengguna dalam situs ini. Dari peta besar, sejumlah keterangan, sampai panduan foto lokasi jalan pintas.

Page 117: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

123

45

543

21

Page 118: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

116

Page 119: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

117

sUAsANA PENILAIAN AkhIR

Page 120: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 121: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 122: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 123: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 124: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 125: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 126: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 127: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 128: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

315070070

315070056

315050181

315070150

315070096

315070168

315070089

315070170

315070113

315070172

315070152

315070064

315070167

315070124

315070122

315070060

315070181

315070165

315070149

315070173

315070158

315070048

315070040

315070166

315070178

315070140

315070027

315070104

315070098

315070042

315070163

315070103

315070198

315070204

315070107

315070071

315070200

Aditya Setiawan

Amelia

Andayani PW

Andy Wijaya

Antoni Winata

Antonius Wiradigdaya Kosasih

Archangela E. Natalia

Bernadette Adinadia

Chin Ronal Purnama Chandra

Denny Soedjito

Edwin Budiman

Fransiskus Ansis

Gabriela Velda

Gabriella Stella

Ingrid Anita Stacia Dharmawan

Irene Syona

Jacson Andika Santoso

Jose Mayson Mulia

Juanto Putratama

Kristanto Hadinata

Kurniadi Lim

Livia Louis

Meidy Himawan

Melita Felicia

Mickhael Florence

Phelia Felim

Ricky Goreta

Stacia Bernadette

Suci Sandra Dewi

Tania Permata Sari

Tony Sunardi

Wilie D. Atmaja

Willyanto Hinardi

Xena Levina Caesarea

Yoana Linda

Yotanaga Satria

Yulianti Chandra

Mahasiswa Nomor induk Mahasiswa

Page 129: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

Ardi Yunanto lahir di Jakarta, 21 November 1980. Setelah lulus

dari jurusan Arsitektur di institut Teknologi Nasional Malang di

Malang, Jawa Timur, ia kembali ke Jakarta pada 2003, kota di mana

ia dibesarkan. Sejak 2004 bergabung dengan ruangrupa, organisasi

seni rupa kontemporer dan sejak 2007 menjadi redaktur untuk

karbonjournal.org, sebuah jurnal online tentang kota, karya dan

budaya visual, yang diterbitkan oleh organisasi tersebut. ia juga

bekerja lepas sebagai desainer grafis, peneliti, dan penyunting, sambil

terus meluangkan waktu menulis fiksi.

farid rakun lahir di Jakarta pada 1982. ia belajar arsitektur di

fakultas Teknik Universitas indonesia pada 2000 - 2005. Setelah

terjun ke industri konstruksi selama empat tahun dan menjadi tukang

gambar di Bali, New Orleans, dan Phnom Penh, ia memutuskan untuk

rehat. Selain menjadi redaktur karbonjournal.org, saat ini ia menjadi

asisten dosen di almamaternya.

Dosen Tamu

Page 130: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

iswanto hartono lahir di Purworejo, 1972. ia seorang seniman yang

berpendidikan formal di jurusan Teknik Arsitektur di Universitas

Tarumanagara juga School of Planning and Architecture di New Delhi,

india. karya-karya seni rupanya sering dipamerkan di dalam dan

luar negeri, baik dalam pameran bersama maupun tunggal. ia juga

pernah mengikuti program residensi seniman di Jerman, Jepang, dan

Amerika Serikat.

Veronica Gandha lahir di Purwokerto pada 1979. Setelah lulus

dari jurusan Arsitektur Universitas Tarumanagara pada 2001, ia

sempat bekerja di konsultan arsitektur. Namun pada akhir 2002

ia memutuskan untuk mengajar di almamaternya. Pada 2004,

ia menempuh pendidikan arsitektur di cranbrook Academy of

Art, Michigan, Amerika Serikat. Saat ini ia masih mengajar di

almamaternya dan mulai membantu jurusan Arsitektur Universitas

indonesia pada pertengahan 2010.

Mohammad Nanda Widyarta kuliah arsitektur di University of

Oklahoma, menjadi pendengar di mata kuliah Semiotika di Universitas

indonesia, dan kuliah sejarah & teori arsitektur di Architectural

Association School. Pernah menjadi salah satu konseptor pameran

“Tegang Bentang” di Erasmus Huis, Jakarta, 2007 bersama tim Pusat

Dokumentasi Arsitektur (PDA). Pernah menerbitkan sebuah buku dan

terlibat dalam penulisan beberapa buku, seperti misalnya Rumah

Silaban/Silaban House (bersama modern Asian Architecture Network),

Warisan De Javasche Bank (bersama tim PDA), serta sebuah bab untuk

sebuah buku mengenai konsep ruang dalam arsitektur Jawa (bab

tersebut ditulis bersama Josef Prijotomo). Artikelnya pernah sekali

muncul di harian The Jakarta Post, beberapa kali muncul di harian

Surabaya Post, dan dua kali muncul di sebuah jurnal kebudayaan

terbitan Paris, le Banian. Saat ini ia mengajar di Depok, karawaci dan

Jakarta.

Dosen

Page 131: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

Agustinus Sutanto adalah seorang arsitek yang sempat mengenyam

pendidikan di Universitas Tarumanagara dan lulus pada 1992.

ia kemudian melanjutkan pendidikan di The Bartlett School of

Architecture, inggris dimana ia meraih gelar M.Arch pada 1998 dan

MSc. pada 2003, lalu kembali belajar di Sheffield University di inggris

dan mendapatkan gelar PhD by Design pada 2009. Selain menjadi

Direktur Desain pada PT. Studio Akar karya, ia juga menjadi dosen

tetap di almamater tanah airnya.

Ade Darmawan lahir di Jakarta pada 1974. ia belajar di jurusan

Seni Grafis institut Seni indonesia di Yogyakarta (1992-1997), dan

rijksakademie Van Beeldende kunsten - institute for Advance Art

Studies and research di Amsterdam, Belanda (1998-2000). Bersama

sejumlah seniman di Jakarta, pada 2000 ia mendirikan ruangrupa,

sebuah organisasi seni rupa kontemporer di mana ia menjabat

sebagai direktur. ia juga seorang seniman yang kini mengajar di

Jurusan Desain komunikasi Visual, Universitas Tarumanagara.

Paramita Atmodiwirjo lahir pada 1972. Setelah menyelesaikan

studinya di Departemen Arsitektur Universitas indonesia pada 1997, ia

mendapatkan beasiswa untuk menempuh pendidikan di University of

Sheffield, inggris raya, dan memperoleh gelar Master of Architectural

Studies serta PhD. Sekarang ia aktif melakukan penelitian dan

mengajar di almamaternya. ia juga mendirikan dan merupakan editor

dari jurnal arsitektur online arsitektur.net.

Yandi Andri Yatmo lahir pada 1971. Setelah menyelesaikan studinya di

Departemen Arsitektur Universitas indonesia (1996), ia mendapatkan

beasiswa untuk menempuh pendidikan di University of Sheffield,

inggris raya, dan memperoleh gelar Postgraduate Diploma in

Architecture (with riBA Part ii), Master of Architecture serta PhD.

Sekarang ia aktif melakukan penelitian dan memimpin berbagai

program studio perancangan di almamaternya. ia juga mendirikan dan

merupakan editor dari jurnal arsitektur online arsitektur.net.

Pengulas Tamu

Page 132: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 133: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 134: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 135: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010
Page 136: GERILYA URBAN - Karya-karya mahasiswa Arsitektur Universitas Tarumanagara , 2010

Hidup di ruang publik kota Jakarta bagai berlaga di arena pertarungan.

Penuh taktik, strategi, dan keberanian. Para mahasiswa jurusan

Arsitektur Universitas Tarumanagara, yang mengikuti mata kuliah pilihan

Studio Perancangan Arsitektur Kontemporer pada semester enam 2010

ini, menawarkan beragam taktik dan strategi untuk ‘memenangkan’

kembali ruang publik yang terus-menerus tergerus di ibukota ini dengan

bergerilya. Mereka mengamati, meneliti, dan menanggapi berbagai

permasalahan warga dan ruang publiknya, serta membuat arsitektur

kembali mempermasalahkan tata bina ruang dan perilaku manusia

yang sejatinya tidak hanya mengenai bangunan. Duabelas karya mereka

menjadi karya arsitektur yang memiliki pengertian yang luas, meliputi

desain rompi, tas alas belajar, naungan bermain, paviliun kampung,

sampai sebuah situs interaktif tentang jalanan kota.

Kumpulan karya para mahasiswa ini disertai berbagai foto dan

gambar rancangan dalam halaman berwarna, diulas secara kritis, dan

dilengkapi dengan esai-esai reflektif dari para pengajar yang terlibat.

Buku ini merekam gerilya mereka, sekaligus menjadi catatan dari

pencarian jawaban arsitektur dalam menanggapi permasalahan sehari-

hari yang terus hidup berlaga secara nyata di Jakarta.

JURUSAN ARSITEKTUR - FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TARUMANAGARAKampus I - Jl. S. Parman No. 1, Jakarta Barat, 11440Telp: 021-56958723/46, Fax: 021-56958738/5604478www.tarumanagara.ac.id


Top Related