Download - GEOLOGI SUMATERA
GEOLOGI SUMATERA1. Gambaran Umum Pulau Sumatera
Pulau Sumatra, berdasarkan luas merupakan pulau terbesar keenam di dunia. Pulau ini membujur dari barat laut ke arah tenggara dan melintasi khatulistiwa, seolah membagi pulau Sumatra atas dua bagian, Sumatra belahan bumi utara dan Sumatra belahan bumi selatan. Pegunungan Bukit Barisan dengan beberapa puncaknya yang melebihi 3.000 m di atas permukaan laut, merupakan barisan gunung berapi aktif, berjalan sepanjang sisi barat pulau dari ujung utara ke arah selatan; sehingga membuat dataran di sisi barat pulau relatif sempit dengan pantai yang terjal dan dalam ke arahSamudra Hindia dan dataran di sisi timur pulau yang luas dan landai dengan pantai yang landai dan dangkal ke arah Selat Malaka, Selat Bangka dan Laut China Selatan.
Di bagian utara pulau Sumatra berbatasan dengan Laut Andaman dan di bagian selatan dengan Selat Sunda. Pulau Sumatra ditutupi oleh hutan tropik primerdan hutan tropik sekunder yang lebat dengan tanah yang subur. Gungng berapi yang tertinggi di Sumatra adalah Gunung Kerinci di Jambi, dan dengan gunung berapi lainnya yang cukup terkenal yaitu Gunung Leuser di Nanggroe Aceh Darussalam danGunung Dempo di perbatasan Sumatra Selatan dengan Bengkulu. Pulau Sumatra merupakan kawasan episentrum gempa bumi karena dilintasi oleh patahan kerak bumidisepanjang Bukit Barisan, yang disebut Patahan Sumatra; dan patahan kerak bumi di dasar Samudra Hindia disepanjang lepas pantai sisi barat Sumatra. Danau terbesar di Indonesia, Danau Toba terdapat di pulau Sumatra.
2. Sejarah Terbentuknya Struktur Geologi Pulau Sumatera
Struktur geologi adalah segala unsure dari bentuk arsitektur kulit bumi /
gambaran geometri (bentuk dan hubungan) yang diakibatkan oleh gejala - gejala gaya
endogen. Secara umum terdapat unsur - unsur dari struktur geologi yaitu, Bidang
perlapisan, Lipatan, Patahan dan kekar atau joint.
Pada awal berkembangnya geologi, Pemikiran geologi dimulai oleh Leonardo da
Vinci (1452-1519). Pada awalnya perkembangan geologi didominasi pemikiran klasik
(fixist), yang menganggap pembentukan orogenesa dan geosinklin terjadi di tempat
yang tetap. Mewakili pemikiran ini misalnya Erich Haarmann (1930), yang menyatakan
bahwa orogenesa terjadi karena kulit bumi terangkat seperti tumor, dan melengser
karena gaya berat. Selanjutnya pendapat ini diterapkan oleh van Bemmelen (1933) di
Indonesia sebagai Teori Undasi.
Pemikiran lain, mobilist dikemukakan Antonio Snider-Pellgrini (1658) yang
mencermati kesamaan bentuk pantai barat dan timur Atlantik, serta Alfred Lothar
Wegener (1915) yang mengemukakan konsep “benua mengembara”. Perubahan
mendasar geologi global terjadi setelah Perang Dunia II, ketika data geofisika lantai
samudera menunjukkan bahwa jalur anomali magnet mempunyai rasio yang tetap di
mana-mana. Pada 250 juta tahun yang lalu benua merupakan satu kesatuan benua
induk, atau Pangea. Perputaran bumi mendorong benua untuk bergerak ke arah kutub,
sehingga benua terpecah-pecah sebagai kepingan benua kecil-kecil seperti saat ini: 6
lempeng utama dengan 14 lempeng yang lebih kecil. Dengan demikian maka seluruh
permukaan bumi berada di dalam satu kesatuan proses geologis yang universal:
Tektonik Global.
Peta pembagian lempeng – lempeng di Dunia
Indonesia dikenal sebagai wilayah yang mempunyai tatanan geologi yang unik
dan rumit. Banyak ahli geologi yang berusaha menjelaskan fenomena tersebut, baik
dengan menggunakan pendekatan teori tektonik klasik maupun tektonik global.
Mewakili contoh pemikiran tektonik klasik, Van Bemmelen (1933) menggunakan
Teori Undasi dalam menjelaskan keberadaan jalur-jalur magmatik yang menyebar
secara ritmik menerus dari Sumatera ke Kalimantan barat dan Kalimantan. Berikutnya,
Westerveld (1952) merekontruksikan jalur orogen di Indonesia dengan menggunakan
pendekatan konsep geosinklin. Hasilnya adalah terpetakan lima jalur orogen dan satu
komplek orogen yang ada di Indonesia.
Menurut pemikiran tektonik global, konfigurasi saat ini merupakan representasi
dari hasil kerja pertemuan konvergen tiga lempeng sejak jaman Neogen, yaitu: lempeng
samudera Indo-Australia, lempeng samudera Pasifik, dan lempeng benua Asia
Tenggara. Tatanan tektonik Indonesia bagian barat menunjukkan pola yang relatif lebih
sederhana dibanding Indonesia timur. Kesederhanaan tatanan tektonik tersebut
dipengaruhi oleh keberadaan daratan Sunda yang relatif stabil. Sementara keberadaan
lempeng benua mikro yang dinamis karena dipisahkan oleh banyak sistem sangat
mempengaruhi bentuk kerumitan tektonik Indonesia bagian timur. Berdasarkan konsep
ini pula di Indonesia terbentuk tujuh jalur orogen, yaitu jalur-jalur orogen: Sunda,
Barisan, Talaud, Sulawesi, Banda, Melanisia dan Dayak.
Sekilas mengenai gambaran sejarah terbentuknya geologi Indonesia, pada
paragraph selanjutnya akan dibahas selangkah lebih mengerucut tentang mengenai
dampak yang terjadi dari adanya penunjaman sunda oleh lempeng australia baik bagi
kondisi busur sunda maupun sesar pulau sumatera.
Sistem penunjaman Sunda berawal dari sebelah barat Sumba, ke Bali, Jawa, dan
Sumatera sepanjang 3.700 km, serta berlanjut ke Andaman-Nicobar dan Burma. Arah
penunjaman menunjukkan beberapa variasi, yaitu relatif menunjam tegak lurus di
Sumba dan Jawa serta menunjam miring di sepanjang Sumatera, kepulauan Andaman
dan Burma. Penunjaman mempunyai kemiringan sekitar 7o. Busur akresi terbentuk
selebar 75 – 150 km dari palung dengan ketebalan material terakresi mencapai 15 km.
Cekungan muka busur berada di antara punggungan muka busur dan garis pantai
sistem penunjaman dengan lebar 150 - 200 km. Busur vulkanik yang sekarang aktif di
atas zona Benioff berada pada kedalaman 100 – 130 km. Sistem penunjaman Sunda ini
merupakan tipe busur tepi kontinen sekaligus busur kepulauan, yang berlangsung
selama Kenozoikum Tengah – Akhir. Busur magmatik ini berubah dari kecenderungan
bersifat kontinen di Sumatera, transisional di Jawa ke busur kepulauan di Bali dan
Lombok.
Gambar disamping merupakan gambar mengenai bagaimana suatu penunjaman antar
lempeng terjadi.
Berdasarkan karakteristik morfologi, ketebalan endapan palung busur dan arah
penunjaman, busur Sunda dibagi menjadi beberapa propinsi. Dari timur ke barat terdiri
dari propinsi Jawa, Sumatera Selatan dan Tengah, Sumatera Utara – Nicobar, Andaman
dan Burma. Diantara Propinsi Jawa dan Sumatera Tengah – Selatan terdapat Selat
Sunda yang merupakan batas tenggara lempeng Burma. Penyimpulan ini menyisakan
pertanyaan karena kenampakan anomali gaya berat menunjukkan bahwa pola Jawa
bagian barat yang cenderung lebih sesuai dengan pola Sumatera dibanding dengan
Jawa bagian Timur.
Pengaruh Tektonik Regional pada Perkembangan Sesar Sumatera, Sejarah
tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan pertumbukan antara lempeng India-
Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 Juta tahun lalu yang mengakibatkan
perubahan sistematis dari perubahan arah dan kecepatan relatif antar lempengnya
berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi padanya. Proses tumbukan ini mengakibatkan
terbentuknya banyak sistem sesar geser di bagian sebelah timur India, untuk
mengakomodasikan perpindahan massa secara tektonik. Selanjutnya sebagai respon
tektonik akibat dari bentuk melengkung ke dalam dari tepi lempeng Asia Tenggara
terhadap Lempeng Indo-Australia, besarnya slip-vectorini secara geometri akan
mengalami kenaikan ke arah barat laut sejalan dengan semakin kecilnya sudut
konvergensi antara dua lempeng tersebut.
Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman,
punggungan busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses
yang terjadi. Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension)
Paleosoikum tektonik Sumatera menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan
adanya tiga bagian pola. Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatera, yang
terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk, geometri dan struktur sederhana,
bagian tengah cenderung tidak beraturan dan bagian utara yang tidak selaras dengan
pola penunjaman.
Kompleksitas tatanan geologi Sumatera, perubahan lingkungan tektonik dan
perkembangannya dalam ruang dan waktu memungkinkan sebagai penyebab
keanekaragaman arah pola vektor hubungannya dengan slip-ratedan segmentasi Sesar
Sumatera. Hal tersebut antara lain karena (1) perbedaan lingkungan tektonik akan
menjadikan batuan memberikan tanggapan yang beranekaragam pada reaktivasi
struktur, serta (2) struktur geologi yang lebih tua yang telah terbentuk akan
mempengaruhi kemampuan deformasi batuan yang lebih muda.
3. Kondisi Geologi Pualu Sumatera
Secara garis besar, Pulau Sumatera terbagi menjadi beberapa geologi regional
sumatera yang dalam makalah ini akan dicoba untuk dibahas satu persatu setiap
geologi regional itu.
Dalam pembahasan kali ini, akan dijelaskan mengenai Geologi Regional
Sumbar, Geologi Regional Sumteng dan Sumatera Selatan.
1. Kondisi Geologi Sumbar
Peta indeks provinsi Sumatera Barat
Data geologi daerah Provinsi Sumatera Barat merupakan hasil
kompilasi/perpaduan dari beberapa peta geologi sekala 1 : 250.000 yang \ diterbitkan
oleh Pusat Survey Geologi (Badan Geologi), peta geologi tersebut antara lain adalah
lembar Pulau Telu – Muara Sikabaluan (0615 - 0614); lembar Lubuk Sikaping (0716);
lembar Painan - Muara Siberut (0814 - 0714); lembar Sikakap - Burisi (0713 – 0712);
lembar Sungai Penuh (0813); lembar Padang (0715) dan lembar Solok (0815).
Penyederhanaan geologi didasarkan pada pengelompokan umur dan jenis
batuan, sehingga geologi Prov. Sumatera Barat dari kelompok umur paling tua ke muda
dapat diuraikan sbb. : (Lihat Gambar 1)
Gambar 1. Peta Geologi Regional Sumatera Barat.
Struktur yang berkembang di Provinsi Sumatera Barat adalah struktur perlipatan
(antiklinorium) dan struktur sesar dengan arah umum baratlaut – tenggara, yang
mengikuti struktur regional P. Sumatera. Kondisi stratigrafi dari struktur geologi
sumatera barat adalah sebagai berikut.
Kelompok Pra Tersier : kelompok ini mencakup masa Paleozoikum –
Mesozoikum, dipisahkan menjadi kelompok batuan ultrabasa; kelompok batuan
melange, kelompok batuan malihan; kelompok batuan gunungapi dan kelompok batuan
terobosan.
Kelompok batuan ultrabasa Pra Tersier disusun oleh batuan harzburgit, dunit,
serpentinit, gabro dan basalt.
Kelompok Melange Pra Tersier merupakan kelompok batuan campur aduk
yang disusun oleh batuhijau, graywake, tufa dan batugamping termetakan, rijang aneka
warna. Kelompok batuan malihan Pra Tersier disusun oleh batuan sekis, filit, kwarsit,
batusabak, batugamping termetakan.
Kelompok batuan sedimen Pra Tersier yang didominasi oleh batugamping
hablur sedangkan kelompok batuan terobosan Pra Tersier disusun oleh granit, diorit,
granodiorit, porfiri kuarsa, diabas dan basalt.
Kelompok transisi Pra Tersier – Tersier Bawah yang merupakan kelompok
batuan terobosan yang terdiri dari batuan granodiorit dan granit.
Kelompok Tersier dipisahkan menjadi kelompok batuan ultrabasa; kelompok
batuan melange; kelompok batuan sedimen; kelompok batuan gunungapi dan kelompok
batuan terobosan. Kelompok batuan ultrabasa Tersier disusun oleh batuan serpentinit,
piroksenit dan dunit.
Kelompok batuan melang Tersier yang merupakan batuan campur aduk
disusun oleh graywake, serpih, konglomerat, batupasir kwarsa, arkose, serpentinit,
gabro, lava basalt dan batusabak.
Kelompok batuan sedimen Tersier disusun oleh konglomerat, aglomerat,
batulanau, batupasir, batugamping, breksi dan napal.
Kelompok batuan gunungapi Tersier disusun oleh batuan gunungapi bersifat
andesitik-basaltik, lava basalt sedangkan kelompok batuan terobosan Tersier terdiri dari
granit, granodiorit, diorit, andesit porfiritik dan diabas.
Kelompok transisi Tersier – Kwarter (Plio-Plistosen) dapat dipisahkan menjadi
kelompok batuan sedimen; kelompok batuan gunungapi dan kelompok batuan
terobosan.
Kelompok batuan sedimen Plio-Plistosen disusun oleh konglomerat polimik,
batupasir, batulanau dan perselingan antara napal dan batupasir.
Kelompok batuan gunungapi Plio-Plistosen disusun oleh batuan gunungapi
andesitik-basaltik, tufa, breksi dan endapan lahar sedangkan kelompok batuan
terobosan Plio-Plistosen terdiri dari riolit afanitik, retas basalt dan andesit porfir.
Kelompok Kwarter dipisahkan menjadi kelompok batuan sedimen; batuan
gunungapi dan aluvium.
2. Kondisi Geologi Sumteng (Cekungan Sumatera Tengah)
Tektonik Regional, Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan
sedimentasi tersier penghasil hidrokarbon terbesar di Indonesia. Ditinjau dari posisi
tektoniknya, Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan belakang busur.
Cekungan Sumatra tengah ini relatif memanjang Barat laut-Tenggara, dimana
pembentukannya dipengaruhi oleh adanya subduksi lempeng Hindia-Australia dibawah
lempeng Asia (gambar 1). Batas cekungan sebelah Barat daya adalah Pegunungan
Barisan yang tersusun oleh batuan pre-Tersier, sedangkan ke arah Timur laut dibatasi
oleh paparan Sunda. Batas tenggara cekungan ini yaitu Pegunungan Tigapuluh yang
sekaligus memisahkan Cekungan Sumatra tengah dengan Cekungan Sumatra selatan.
Adapun batas cekungan sebelah barat laut yaitu Busur Asahan, yang memisahkan
Cekungan Sumatra tengah dari Cekungan Sumatra utara (gambar 2).
Gambar 1. Peta pergerakan lempeng Daerah Sumatra dan kawasan Asia Tenggara lainnya pada masa kini
Proses subduksi lempeng Hindia-Australia menghasilkan peregangan kerak di
bagian bawah cekungan dan mengakibatkan munculnya konveksi panas ke atas dan
diapir-diapir magma dengan produk magma yang dihasilkan terutama bersifat asam,
sifat magma dalam dan hipabisal. Selain itu, terjadi juga aliran panas dari mantel ke
arah atas melewati jalur-jalur sesar. Secara keseluruhan, hal-hal tersebutlah yang
mengakibatkan tingginya heat flow di daerah cekungan Sumatra tengah (Eubank et al.,
1981 dalam Wibowo, 1995).
Faktor pengontrol utama struktur geologi regional di cekungan Sumatra tengah
adalah adanya Sesar Sumatra yang terbentuk pada zaman kapur. Subduksi lempeng
yang miring dari arah Barat daya pulau Sumatra mengakibatkan terjadinya strong
dextral wrenching stress di Cekungan Sumatra tengah (Wibowo, 1995). Hal ini
dicerminkan oleh bidang sesar yang curam yang berubah sepanjang jurus perlapisan
batuan, struktur sesar naik dan adanya flower structure yang terbentuk pada saat inversi
tektonik dan pembalikan-pembalikan struktur (gambar 3). Selain itu, terbentuknya
sumbu perlipatan yang searah jurus sesar dengan penebalan sedimen terjadi pada
bagian yang naik (inverted) (Shaw et al., 1999).
Struktur geologi daerah cekungan Sumatra tengah memiliki pola yang hampir
sama dengan cekungan Sumatra Selatan, dimana pola struktur utama yang
berkembang berupa struktur Barat laut-Tenggara dan Utara-Selatan (Eubank et al.,
1981 dalam Wibowo, 1995). Walaupun demikian, struktur berarah Utara-Selatan jauh
lebih dominan dibandingkan struktur Barat laut–Tenggara.
Elemen tektonik yang membentuk konfigurasi Cekungan Sumatra tengah
dipengaruhi adanya morfologi High – Low pre-Tersier. Pada gambar 4 dapat dilihat
pengaruh struktur dan morfologi High – Lowterhadap konfigurasi basin di Cekungan
Sumatra tengah (kawasanBengkalis Graben), termasuk
penyebaran depocenter dari graben dan half graben. Lineasi Basement Barat laut-
Tenggara sangat terlihat pada daerah ini dan dapat ditelusuri di sepanjang cekungan
Sumatra tengah. Liniasi ini telah dibentuk dan tereaktivasi oleh pergerakan tektonik
paling muda (tektonisme Plio-Pleistosen). Akan tetapi liniasi basement ini masih dapat
diamati sebagai suatu komponen yang mempengaruhi pembentukan formasi dari
cekungan Paleogen di daerah Cekungan Sumatra tengah.
Sejarah tektonik cekungan Sumatra tengah secara umum dapat disimpulkan
menjadi beberapa tahap, yaitu :
1. Konsolidasi Basement pada zaman Yura, terdiri dari sutur yang berarah Barat
laut-Tenggara.
2. Basement terkena aktivitas magmatisme dan erosi selama zaman Yura akhir dan
zaman Kapur.
3. Tektonik ekstensional selama Tersier awal dan Tersier tengah (Paleogen)
menghasilkan sistem graben berarah Utara-Selatan dan Barat laut-Tenggara. Kaitan
aktivitas tektonik ini terhadap paleogeomorfologi di Cekungan Sumatra tengah adalah
terjadinya perubahan lingkungan pengendapan dari longkungan darat, rawa hingga
lingkungan lakustrin, dan ditutup oleh kondisi lingkungan fluvial-delta pada akhir
fase rifting.
4. Selama deposisi berlangsung di Oligosen akhir sampai awal Miosen awal yang
mengendapkan batuan reservoar utama dari kelompok Sihapas, tektonik Sumatra relatif
tenang. Sedimen klastik diendapkan, terutama bersumber dari daratan Sunda dan dari
arah Timur laut meliputi Semenanjung Malaya. Proses akumulasi sedimen dari arah
timur laut Pulau Sumatra menuju cekungan, diakomodir oleh adanya struktur-struktur
berarah Utara-Selatan. Kondisi sedimentasi pada pertengahan Tersier ini lebih
dipengaruhi oleh fluktuasi muka air laut global (eustasi) yang menghasilkan episode
sedimentasi transgresif dari kelompok Sihapas dan Formasi Telisa, ditutup oleh episode
sedimentasi regresif yang menghasilkan Formasi Petani.
5. Akhir Miosen akhir volkanisme meningkat dan tektonisme kembali intensif
dengan rejim kompresi mengangkat pegunungan Barisan di arah Barat daya cekungan.
Pegunungan Barisan ini menjadi sumber sedimen pengisi cekungan selanjutnya (later
basin fill). Arah sedimentasi pada Miosen akhir di Cekungan Sumatra tengah berjalan
dari arah selatan menuju utara dengan kontrol struktur-struktur berarah utara selatan.
6. Tektonisme Plio-Pleistosen yang bersifat kompresif mengakibatkan terjadinya
inversi-inversi struktur Basement membentuk sesar-sesar naik dan lipatan yang berarah
Barat laut-Tenggara. Tektonisme Plio-Pleistosen ini juga menghasilkan ketidakselarasan
regional antara formasi Minas dan endapan alluvial kuarter terhadap formasi-formasi di
bawahnya.
Stratigrafi Regional , Proses sedimentasi di Cekungan Sumatra tengah dimulai
pada awal tersier (Paleogen), mengikuti proses pembentukan cekungan half
graben yang sudah berlangsung sejak zaman Kapur hingga awal tersier.
Konfigurasi basement cekungan tersusun oleh batuan-batuan metasedimen
berupa greywacke, kuarsit dan argilit. Batuan dasar ini diperkirakan berumur Mesozoik.
Pada beberapa tempat, batuan metasedimen ini terintrusi oleh granit (Koning &
Darmono, 1984 dalam Wibowo, 1995).
Secara umum proses sedimentasi pengisian cekungan ini dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
Rift (Siklis Pematang),Secara keseluruhan, sedimen pengisi cekungan pada
fase tektonik ekstensional (rift) ini dikelompokkan sebagai Kelompok Pematang yang
tersusun oleh batulempung, serpih karbonan, batupasir halus dan batulanau aneka
warna. Lemahnya refleksi seismik dan amplitudo yang kuat pada data seismik
memberikan indikasi fasies yang berasosiasi dengan lingkungan lakustrin.
Pengendapan pada awal proses rifting berupa sedimentasi klastika darat dan lakustrin
dari Lower Red Bed Formation dan Brown Shale Formation. Ke arah atas menuju
fase late rifting, sedimentasi berubah sepenuhnya menjadi lingkungan lakustrin dan
diendapkan Formasi Pematang sebagai Lacustrine Fill sediments.
1. Formasi Lower Red Bed
Tersusun oleh batulempung berwarna merah – hijau, batulanau, batupasir
kerikilan dan sedikit konglomerat serta breksi yang tersusun oleh pebble kuarsit dan filit.
Kondisi lingkungan pengendapan diinterpretasikan berupa alluvial braid-plain dilihat dari
banyaknyamuddy matrix di dalam konglomerat dan breksi
2. Formasi Brown Shale
Formasi ini cukup banyak mengandung material organik, dicirikan oleh warna
yang coklat tua sampai hitam. Tersusun oleh serpih dengan sisipan batulanau, di
beberapa tempat terdapat selingan batupasir, konglomerat dan paleosol. Ketebalan
formasi ini mencapai lebih dari 530 m di bagian depocenter.
Formasi ini diinterpretasikan diendapkan di lingkungan danau dalam dengan
kondisi anoxic dilihat dari tidak adanya bukti bioturbasi. Interkalasi batupasir batupasir–
konglomerat diendapkan oleh prosesfluvial channel fill. Menyelingi bagian tengah
formasi ini, terdapat beberapa horison paleosol yang dimungkinkan terbentuk pada
bagian pinggiran/batas danau yang muncul ke permukaan (lokal horst), diperlihatkan
oleh rekaman inti batuan di komplek Bukit Susah.
Secara tektonik, formasi ini diendapkan pada kondisi penurunan cekungan yang
cepat sehingga aktivitas fluvial tidak begitu dominan.
3. Formasi Coal Zone
Secara lateral, formasi ini dibeberapa tempat equivalen dengan Formasi Brown
Shale. Formasi ini tersusun oleh perselingan serpih dengan batubara dan sedikit
batupasir.
Lingkungan pengendapan dari formasi ini diinterpretasikan berupa danau dangkal
dengan kontrol proses fluvial yang tidak dominan. Ditinjau dari konfigurasi cekungannya,
formasi ini diendapkan di daerah dangkal pada bagian aktif graben
menjauhidepocenter (gambar 6).
4. Formasi Lake Fill
Tersusun oleh batupasir, konglomerat dan serpih. Komposisi batuan terutama
berupa klastika batuan filit yang dominan, secara vertikal terjadi penambahan
kandungan litoklas kuarsa dan kuarsit. Struktur sedimen gradasi normal dengan
beberapa gradasi terbalik mengindikasikan lingkungan pengendapan fluvial-deltaic.
Formasi ini diendapkan secara progradasi pada lingkungan fluvial menuju delta
pada lingkungan danau. Selama pengendapan formasi ini, kondisi tektonik mulai tenang
dengan penurunan cekungan yang mulai melambat (late rifting stage). Ketebalan
formasi mencapai 600 m.
5. Formasi Fanglomerate
Diendapkan disepanjang bagian turun dari sesar sebagai seri dari endapan
aluvial. Tersusun oleh batupasir, konglomerat, sedikit batulempung berwarna hijau
sampai merah. Baik secara vertikal maupun lateral, formasi ini dapat bertransisi menjadi
formasi Lower Red Bed, Brown Shale, Coal Zone dan Lake Fill.
Di beberapa daerah sepertihalnya di Sub-Cekungan Aman, dua formasi terakhir
(Lake Fill dan Fanglomerat) dianggap satu kesatuan yang equivalen dengan Formasi
Pematang berdasarkan sifat dan penyebarannya pada penampang seismik.
Sag
Secara tidak selaras diatas Kelompok Pematang diendapkan sedimen Neogen.
Fase sedimentasi ini diawali oleh episode transgresi yang diwakili oleh Kelompok
Sihapas dan mencapai puncaknya pada Formasi Telisa.
(Siklis Sihapas transgresi awal)
Kelompok Sihapas yang terbentuk pada awal episode transgresi terdiri dari
Formasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap dan Formasi Duri. Kelompok ini
tersusun oleh batuan klastika lingkunganfluvial-deltaic sampai laut dangkal.
Pengendapan kelompok ini berlangsung pada Miosen awal – Miosen tengah.
1. Formasi Menggala
Tersusun oleh batupasir konglomeratan dengan ukuran butir kasar berkisar dari
gravel hingga ukuran butir sedang. Secara lateral, batupasir ini bergradasi menjadi
batupasir sedang hingga halus. Komposisi utama batuan berupa kuarsa yang dominan,
dengan struktur sedimen trough cross-bedding dan erosional basal scour. Berdasarkan
litologi penyusunnya diperkirakan diendapkan padafluvial-channel lingkungan braided
stream.
Formasi ini dibedakan dengan Lake Fill Formation dari kelompok Pematang
bagian atas berdasarkan tidak adanya lempung merah terigen pada matrik (Wain et al.,
1995). Ketebalan formasi ini mencapai 250 m, diperkirakan berumur awal Miosen
bawah.
2. Formasi Bangko
Formasi ini tersusun oleh serpih karbonan dengan perselingan batupasir halus-
sedang. Diendapkan pada lingkungan paparan laut terbuka. Dari fosil foraminifera
planktonik didapatkan umur N5 (Blow, 1963). Ketebalan maksimum formasi kurang lebih
100 m.
3. Formasi Bekasap
Formasi ini tersusun oleh batupasir masif berukuran sedang-kasar dengan sedikit
interkalasi serpih, batubara dan batugamping. Berdasarkan ciri litologi dan fosilnya,
formasi ini diendapkan pada lingkungan air payau dan laut terbuka. Fosil pada serpih
menunjukkan umur N6 – N7. Ketebalan seluruh formasi ini mencapai 400 m.
4. Formasi Duri
Di bagian atas pada beberapa tempat, formasi ini equivalen dengan formasi
Bekasap. Tersusun oleh batupasir halus-sedang dan serpih. Ketebalan maksimum
mencapai 300 m. Formasi ini berumur N6 – N8.
(Formasi Telisa transgresi akhir)
Formasi Telisa yang mewakili episode sedimentasi pada puncak transgresi
tersusun oleh serpih dengan sedikit interkalasi batupasir halus pada bagian bawahnya.
Di beberapa tempat terdapat lensa-lensa batugamping pada bagian bawah formasi. Ke
arah atas, litologi berubah menjadi serpih mencirikan kondisi lingkungan yang lebih
dalam. Diinterpretasikan lingkungan pengendapan formasi ini berupa lingkungan Neritik
– Bathyal atas.
Secara regional, serpih marine dari formasi ini memiliki umur yang sama dengan
Kelompok Sihapas, sehingga kontak Formasi Telisa dengan dibawahnya adalah transisi
fasies litologi yang berbeda dalam posisi stratigrafi dan tempatnya. Ketebalan formasi ini
mencapai 550 m, dari analisis fosil didapatkan umur N6 – N11.
(Formasi Petani regresi)
Tersusun oleh serpih berwarna abu-abu yang kaya fosil, sedikit karbonatan
dengan beberapa lapisan batupasir dan batulanau. Secara vertikal, kandungan tuf
dalam batuan semakin meningkat.
Selama pengendapan satuan ini, aktivitas tektonik kompresi dan volkanisme
kembali aktif (awal pengangkatan Bukit Barisan), sehingga dihasilkan material volkanik
yang melimpah. Kondisi air laut global (eustasi) berfluktuasi secara signifikan dengan
penurunan muka air laut sehingga terbentuk beberapa ketidakselarasan lokal di
beberapa tempat.
Formasi ini diendapkan pada episode regresif secara selaras diatas Formasi
Telisa. Walaupun demikian, ke arah timur laut secara lokal formasi ini memiliki kontak
tidak selaras dengan formasi di bawahnya. Ketebalan maksimum formasi ini mencapai
1500 m, diendapkan pada Miosen tengah– Pliosen.
Inversi
Pada akhir tersier terjadi aktivitas tektonik mayor berupa puncak dari
pengangkatan Bukit Barisan yang menghasilkan ketidakselarasan regional pada Plio-
Pleistosen. Aktivitas tektonik ini mengakibatkan terjadinya inversi struktur sesar turun
menjadi sesar naik. Pada fase tektonik inversi ini diendapkan Formasi Minas yang
tersusun oleh endapan darat dan aluvium berupa konglomerat, batupasir, gravel,
lempung dan aluvium berumur Pleistosen – Resen.
3. Kondisi Geologi Sumsel ( Cekungan Sumatera Selatan)
Wilayah Nusantara dikenal mempunyai 62 cekungan yang diisi oleh batuan
sedimen berumur Tersier. Sekitar 40 % dari seluruh cekungan berada di daratan
(onshore). Ke 62 cekungan tersebut tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Cekungan berumur Pratersier
kebanyakan ditemukan di wilayah Indonesia Bagian Timur, dan kebanyakan sulit ditarik
batasnya dengan cekungan berumur Tersier, karena umumnya ditindih (overlain) oleh
cekungan berumur Tersier.
Hampir semua cekungan batuan sedimen di Indonesia sangat berpotensi
mengandung sumber daya migas, batubara dan serpih minyak (oil shale). Namun,
batasan stratigrafi, sedimentologi, tektonik & struktur maupun dinamika cekungan
semua formasi pembawa potensi sumber daya belum terakomodasi dan tergambar
dalam bentuk atlas.
Geologi Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil kegiatan tektonik yang
berkaitan erat dengan penunjaman Lempeng Indi-Australia, yang bergerak ke arah utara
hingga timurlaut terhadap Lempeng Eurasia yang relatif diam. Zone penunjaman
lempeng meliputi daerah sebelah barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa.
Beberapa lempeng kecil (micro-plate) yang berada di antara zone interaksi tersebut turut
bergerak dan menghasilkan zone konvergensi dalam berbagai bentuk dan arah.
Penunjaman lempeng Indi-Australia tersebut dapat mempengaruhi keadaan batuan,
morfologi, tektonik dan struktur di Sumatera Selatan. Tumbukan tektonik lempeng di
Pulau Sumatera menghasilkan jalur busur depan, magmatik, dan busur belakang.
Cekungan Sumatera Selatan terbentuk dari hasil penurunan (depression) yang
dikelilingi oleh tinggian-tinggian batuan Pratersier. Pengangkatan Pegunungan Barisan
terjadi di akhir Kapur disertai terjadinya sesar-sesar bongkah (block faulting). Selain
Pegunungan Barisan sebagai pegunungan bongkah (block mountain) beberapa tinggian
batuan tua yang masih tersingkap di permukaan adalah di Pegunungan Tigapuluh,
Pegunungan Duabelas, Pulau Lingga dan Pulau Bangka yang merupakan sisa-sisa
tinggian "Sunda Landmass", yang sekarang berupa Paparan Sunda. Cekungan
Sumatera Selatan telah mengalami tiga kali proses orogenesis, yaitu yang pertama
adalah pada Mesozoikum Tengah, kedua pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal dan
yang ketiga pada Plio-Plistosen. Orogenesis Plio-Plistosen menghasilkan kondisi
struktur geologi seperti terlihat pada saat ini. Tektonik dan struktur geologi daerah
Cekungan Sumatera Selatan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu, Zone Sesar
Semangko, zone perlipatan yang berarah baratlaut-tenggara dan zona sesar-sesar yang
berhubungan erat dengan perlipatan serta sesar-sesar Pratersier yang mengalami
peremajaa.
Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier
berarah barat laut – tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di
sebelah barat daya, Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah
tenggara yang memisahkan cekungan tersebut dengan Cekungan Sunda, serta
Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah barat laut yang
memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatera Tengah.Posisi Cekungan Sumatera Selatan sebagai cekungan busur belakang (Blake, 1989)
Tektonik Regional, Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan
Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang
terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari
lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi
daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-
Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah
barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian
Lampung.
Menurut Salim et al. (1995), Cekungan Sumatera Selatan terbentuk selama Awal
Tersier (Eosen – Oligosen) ketika rangkaian (seri) graben berkembang sebagai reaksi
sistem penunjaman menyudut antara lempeng Samudra India di bawah lempeng Benua
Asia.
Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3
episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera
Selatan yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal dan
Orogenesa Plio – Plistosen.
Episode pertama, endapan – endapan Paleozoik dan Mesozoik termetamorfosa,
terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta
telah membentuk pola dasar struktur cekungan. Menurut Pulunggono, 1992 (dalam
Wisnu dan Nazirman ,1997), fase ini membentuk sesar berarah barat laut – tenggara
yang berupa sesar – sesar geser.
Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak –
gerak tensional yang membentuk graben dan horstdengan arah umum utara – selatan.
Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan batuan – batuan
Pra – Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua yang mengontrol
pembentukan Formasi Pra – Talang Akar.
Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio – Plistosen yang menyebabkan
pola pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam pembentukan struktur
perlipatan dan sesar sehingga membentuk konfigurasi geologi sekarang. Pada periode
tektonik ini juga terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan
sesar mendatar Semangko yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan.
Pergerakan horisontal yang terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang
mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar –
sesar yang baru terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan hampir sejajar
dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada
Plio – Plistosen menghasilkan lipatan yang berarah barat laut – tenggara tetapi sesar
yang terbentuk berarah timur laut – barat daya dan barat laut – tenggara. Jenis sesar
yang terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar normal.
Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat laut –
tenggara sebagai hasil orogenesa Plio – Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang
terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara – selatan dan barat laut –
tenggara serta pola muda yang berarah barat laut – tenggara yang sejajar dengan Pulau
Sumatera .
Stratigrafi Regional, Sub Cekungan Jambi merupakan bagian Cekungan
Sumatra Selatan yang merupakan cekungan belakang busur (back arc basin) berumur
Tersier yang terbentuk sebagai akibat tumbukan antara Sundaland dan Lempeng
Hindia. Secara Geografis Sub Cekungan Jambi dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh di
sebelah utara, Tinggian Lampung di bagian selatan, Paparan Sunda di sebelah timur,
dan Bukit Barisan di sebelah barat.
Tatanan stratigrafi Sub Cekungan Jambi pada dasarnya terdiri dari satu siklus
besar sedimentasi dimulai dari fase transgresi pada awal siklus dan fase regresi pada
akhir silkusnya. Secara detail siklus ini dimulai oleh siklus non marin yaitu dengan
diendapkannya Formasi Lahat pada Oligosen Awal dan kemudian diikuti oleh Formasi
Talang Akar yang diendapkan secara tidak selaras di atasnya. Menurut Adiwidjaja dan
De Coster (1973), Formasi Talang Akar merupakan suatu endapan kipas alluvial dan
endapan sungai teranyam (braided stream deposit) yang mengisi suatu cekungan. Fase
transgresi terus berlangsung hingga Miosen Awal dimana pada kala ini berkembang
Batuan karbonat yang diendapkan pada lingkungan back reef, fore
reef, dan intertidal (Formasi Batu Raja) pada bagian atas Formasi Talang Akar. Fase
Transgresi maksimum ditunjukkan dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian
bawah secara selaras di atas Formasi Baturaja yang terdiri dari Batu serpih laut dalam.
Fase regresi dimulai dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian atas dan
diikuti oleh pengendapkan Formasi Air Benakat yang didominasi oleh litologi Batu pasir
pada lingkungan pantai dan delta. Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di
atas Formasi Gumai. Pada Pliosen Awal, laut menjadi semakin dangkal dimana
lingkungan pengendapan berubah menjadi laut dangkal, paludal, dataran delta dan non
marin yang dicirikan oleh perselingan antara batupasir dan batulempung dengan sisipan
berupa batubara (Formasi Muara Enim). Tipe pengendapan ini berlangsung hingga
Pliosen Akhir dimana diendapkannya lapisan batupasir tufaan, pumice dan konglemerat.
1. Batuan Dasar, Batuan Pra-Tersier atau basement terdiri dari kompleks batuan
Paleozoikum dan batuan Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku dan batuan
karbonat. Batuan Paleozoikum akhir dan batuan Mesozoikum tersingkap dengan baik di
Bukit Barisan, Pegunungan Tigapuluh dan Pegunungan Duabelas berupa batuan
karbonat berumur permian, Granit dan Filit. Batuan dasar yang tersingkap di
Pegunungan Tigapuluh terdiri dari filit yang terlipat kuat berwarna kecoklatan berumur
Permian (Simanjuntak, dkk., 1991). Lebih ke arah Utara tersingkap Granit yang telah
mengalami pelapukan kuat. Warna pelapukan adalah merah dengan butir-butir kuarsa
terlepas akibat pelapukan tersebut. Kontak antara Granit dan filit tidak teramati karena
selain kontak tersebut tertutupi pelapukan yang kuat, daerah ini juga tertutup hutan yang
lebat.Menurut Simanjuntak, et.al (1991) umur Granit adalah Jura. Hal ini berarti Granit
mengintrusi batuan filit.
2. Formasi Lahat, Formasi Lahat diendapkan secara tidak selaras di atas batuan
dasar, merupakan lapisan dengan tebal 200 m - 3350 m yang terdiri dari konglemerat,
tufa, breksi vulkanik andesitik, endapan lahar, aliran lava dan batupasir kuarsa. Secara
lebih rinci berikut adalah data mengenaipetroleum system dari formasi lahat.
TOC 1.7 – 8.5 wt% à Excellent potential
HI 130-290 mg
Derajat kematangan 0.64 – 1.4 %Ro.
Kerogen Tipe I dan II, III
Mature T-max 436-441 0C
Formasi ini memiliki 3 anggota, yaitu :
Anggota Tuf Kikim Bawah, terdiri dari tuf andesitik, breksi dan lapisan lava.
Ketebalan anggota ini bervariasi, antara 0 - 800 m.
Anggota Batupasir Kuarsa, diendapkan secara selaras di atas anggota pertama.
Terdiri dari konglomerat dan batupasir berstrukturcrossbedding. Butiran didominasi oleh
kuarsa.
Anggota Tuf Kikim Atas, diendapkan secara selaras dan bergradual di atas
Anggota Batupasir Kuarsa. Terdiri dari tuf dan batulempung tufan berselingan dengan
endapan mirip lahar.
Formasi Lahat berumur Paleosen hingga Oligosen Awal.
3. Formasi Talang Akar, Formasi Talang Akar pada Sub Cekungan Jambi terdiri
dari batulanau, batupasir dan sisipan batubara yang diendapkan pada lingkungan laut
dangkal hingga transisi. Menurut Pulunggono, 1976, Formasi Talang Akar berumur
Oligosen Akhir hingga Miosen Awal dan diendapkan secara selaras di atas Formasi
Lahat. Bagian bawah formasi ini terdiri dari batupasir kasar, serpih dan sisipan batubara.
Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih.
Ketebalan Formasi Talang Akar berkisar antara 400 m – 850 m. Secara lebih rinci
berikut adalah data mengenai petroleum system dari formasi Talang Akar.
TOC 1.5 – 8 wt%à Good - Excellent
HI 150-310 mg
Derajat kematangan 0.54 – 1.3 %Ro.
Kerogen Tipe I dan II,III
Gradien geothermal 490 C/km
Mature T-max 436-4500C
4. Formasi Baturaja, Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Fm. Talang
Akar dengan ketebalan antara 200 sampai 250 m. Litologi terdiri dari batugamping,
batugamping terumbu, batugamping pasiran, batugamping serpihan, serpih gampingan
dan napal kaya foraminifera, moluska dan koral. Formasi ini diendapkan pada
lingkungan litoral-neritik dan berumur Miosen Awal. Secara lebih rinci berikut adalah
data mengenai petroleum system dari formasi Batu Raja.
TOC 0.5 – 1.5 wt% à Fair - Good
Kerogen Tipe I, II, III
Mature T-max 436-4500C
Kerogen Tipe I, II, III
Mature T-max 436-4500C
5. Formasi Gumai, Formasi Gumai diendapkan secara selaras di atas Formasi
Baturaja dimana formasi ini menandai terjadinya transgresi maksimum di Cekungan
Sumatera Selatan. Bagian bawah formasi ini terdiri dari serpih gampingan dengan
sisipan batugamping, napal dan batulanau. Sedangkan di bagian atasnya berupa
perselingan antara batupasir dan serpih.Ketebalan formasi ini secara umum bervariasi
antara 150 m - 2200 m dan diendapkan pada lingkungan laut dalam. Formasi Gumai
berumur Miosen Awal-Miosen Tengah. Secara lebih rinci berikut adalah data
mengenai petroleum system dari formasi Gumai.
TOC 0.5-11.5 wt% àfair - excellent
Kerogen Tipe III
Early mature T-max 400-4300C
6. Formasi Air Benakat, Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas
Formasi Gumai dan merupakan awal terjadinya fase regresi. Formasi ini terdiri dari
batulempung putih kelabu dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-abu hitam
kebiruan, glaukonitan setempat mengan dung lignit dan di bagian atas mengandung
tufaan sedangkan bagian tengah kaya akan fosil foraminifera. Ketebalan Formasi Air
Benakat bervariasi antara 100-1300 m dan berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal. Secara lebih rinci berikut adalah
data mengenai petroleum system dari Air Benakat.
TOC 0.5 – 1.7 wt% Fair – Good
Imature T-max < 4300C
0.29-0.30 %Ro
7. Formasi Muara Enim, Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase
regresi tersier. Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada
lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin. Ketebalan formasi ini 500
– 1000m, terdiri dari batupasir, batulempung , batulanau dan batubara. Batupasir pada
formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris volkanik. Pada formasi ini terdapat
oksida besi berupa konkresi-konkresi dan silisified wood. Sedangkan batubara yang
terdapat pada formasi ini umumnya berupa lignit. Formasi Muara Enim berumur
Miaosen Akhir – Pliosen Awal. Secara lebih rinci berikut adalah data
mengenai petroleum system dari Air Benakat.
TOC 0.5-52.7 wt% àFair - Excellent
Imature T-max < 4300C
0.29-0.30 %Ro
8. Formasi Kasai, Formasi Kasai diendapkan secara selaras di atas Formasi
Muara Enim dengan ketebalan 850 – 1200 m. Formasi ini terdiri dari batupasir tufan dan
tefra riolitik di bagian bawah. Bagian atas terdiri dari tufpumice kaya kuarsa, batupasir,
konglomerat, tuf pasiran dengan lensa rudit mengandung pumice dan tuf berwarna abu-
abu kekuningan, banyak dijumpai sisa tumbuhan dan lapisan tipis lignit serta kayu yang
terkersikkan. Fasies pengendapannya adalah fluvial dan alluvial fan. Formasi Kasai
berumur Pliosen Akhir-Plistosen Awal.
9. Sedimen Kuarter, Satuan ini merupakan Litologi termuda yang tidak
terpengaruh oleh orogenesa Plio-Plistosen. Golongan ini diendapkan secara tidak
selaras di atas formasi yang lebih tua yang teridi dari batupasir, fragmen-fragmen
konglemerat berukuran kerikil hingga bongkah, hadir batuan volkanik andesitik-basaltik
berwarna gelap. Satuan ini berumur resen.
http://geofufa.blogspot.com/2010/11/geologi-sumatera.html
Wilayah Kepulauan Nusantara merupakan pertemuan tiga lempeng yang sampai kini aktif bergerak. Tiga lempeng tersebut adalah lempeng eurasia, lempeng indo australia, dan lempeng pasifik. Pertemuan lempeng-lempeng itu menyebabkan Interaksi ketiga lempeng tadi mengakibatkan pengaruh pada hampir seluruh kepulauan yang ada di Indonesia. Pengaruh tersebut dapat menimbulkan patahan atau sesar yaitu pergeseran antara dua blok batuan baik secara mendatar, ke atas maupun relatif ke bawah blok lainnya. Patahan atau sesar ini merupakan perpanjangan gaya yang ditimbulkan oleh gerakan-gerakan lempeng utama. Patahan atau sesar inilah yang akan
menghasilkan gempa bumi di daratan dan tanah longsor.
Selain itu pertemuan Lempeng Samudera India dengan Lempeng Eurasia juga menghasilkan lajur gunung api yang memanjang dari Sumatera sampai Nusa Tenggara dan membentuk sebuah rangkaian gunung api. Rangkaian gunung api ini dikenal dengan istilah busur vulkanik dan berhenti di Pulau Sumbawa, kemudian berbelok arah ke Laut Banda menuju arah utara ke daerah Maluku Utara, Sulawesi Utara dan terus ke Filipina.
Pergerakan lempeng kerakbumi yang saling bertumbukan akan membentuk zona sudaksi dan menimbulkan gaya yang bekerja baik horizontal maupun vertikal, yang akan membentuk pegunungan lipatan, jalur gunungapi/magmatik, persesaran batuan, dan jalur gempabumi serta terbentuknya wilayah tektonik tertentu. Selain itu terbentuk juga berbagai jenis cekungan pengendapan batuan sedimen seperti palung (parit), cekungan busurmuka, cekungan antar gunung dan cekungan busur belakang. Pada jalur gunungapi/magmatik biasanya akan terbentuk zona mineralisasi emas, perak dan tembaga, sedangkan pada jalur penunjaman akan ditemukan mineral kromit.
Tektonik LempengPenyebab dari pergerakan benua-benua dimulai oleh adanya arus konveksi (convection current) dari mantle (lapisan di bawah kulit bumi yang berupa lelehan). Arah arus ini tidak teratur, bisa dibayangkan seperti pergerakan udara/awan atau pergerakan dari air yang direbus. Terjadinya arus konveksi terutama disebabkan oleh aktivitas radioaktif yang menimbulkan panas.Dalam kondisi tertentu dua arah arus yang saling bertemu bisa menghasilkan arus interferensi yang arahnya ke atas. Arus interferensi ini akan menembus kulit bumi yang berada di atasnya. Magma yang menembus ke atas karena adanya arus konveksi ini akan membentuk gugusan pegunungan yang sangat panjang dan bercabang-cabang di bawah permukaan laut yang dapat diikuti sepanjang samudera-samudera yang saling berhubungan di muka bumi. Lajur pegunungan yang berbentuk linear ini disebut dengan MOR (Mid Oceanic Ridge atau Pematang Tengah Samudera) dan merupakan tempat keluarnya material dari mantle ke dasar samudera. MOR mempunyai ketinggian melebihi 3000 m dari dasar laut dan lebarnya lebih dari 2000 km, atau melebihi ukuran Pegunungan Alpen dan Himalaya yang letaknya di daerah benua. MOR Atlantik (misalnya) membentang dengan arah utara-selatan dari lautan Arktik melalui poros tengah samudera Atlantik ke sebelah barat Benua Afrika dan melingkari benua itu di selatannya menerus ke arah timur ke Samudera Hindia lalu di selatan Benua Australia dan sampai di Samudera Pasifik. Jadi keberadaan MOR mengelilingi seluruh dunia. Kerak (kulit) samudera yang baru, terbentuk di pematang-pematang ini karena aliran material dari mantle. Batuan dasar samudera yang baru terbentuk itu lalu menyebar ke arah kedua sisi dari MOR karena desakan dari magma mantle yang terus-menerus dan juga tarikan dari gaya gesek arus mantle yang horisontal terhadap material di atasnya. Lambat laun kerak samudera yang terbentuk di pematang itu akan bergerak terus menjauh dari daerah poros pematang dan ‘mengarungi’ samudera. Gejala ini disebut dengan Pemekaran Lantai Samudera (Sea Floor Spreading).
Keberadaan busur kepulauan dan juga busur gunung api serta palung Samudera yang memanjang di tepi-tepi benua merupakan fenomena yang dapat dijelaskan oleh Teori Tektonik Lempeng yaitu dengan adanya proses penunjaman (subduksi). Oleh karena peristiwa Sea Floor Spreading maka
suatu saat kerak samudera akan bertemu dengan kerak benua sehingga kerak samudera yang mempunyai densitas lebih besar akan menunjam ke arah bawah kerak benua. Dengan adanya zona penunjaman ini maka akan terbentuk palung pada sepanjang tepi paparan, dan juga akan terbentuk kepulauan sepanjang paparan benua oleh karena proses pengangkatan. Kerak samudera yang menunjam ke bawah ini akan kembali ke mantle atau jika bertemu dengan batuan benua yang mempunyai densitas sama atau lebih besar maka akan terjadi mixing antara material kerak samudera dengan benua membentuk larutan silikat pijar atau magma.
Pergerakan LempengBerdasarkan arah pergerakannya, perbatasan antara lempeng tektonik yang satu dengan lainnya (plate boundaries) terbagi dalam 3 jenis, yaitu divergen, konvergen, dan transform.
Batas DivergenTerjadi pada dua lempeng tektonik yang bergerak saling memberai (break apart). Ketika sebuah lempeng tektonik pecah, lapisan litosfer menipis dan terbelah, membentuk batas divergen.Pada lempeng samudra, proses ini menyebabkan pemekaran dasar laut (seafloor spreading). Sedangkan pada lempeng benua, proses ini menyebabkan terbentuknya lembah retakan (rift valley) akibat adanya celah antara kedua lempeng yang saling menjauh tersebut.Pematang Tengah-Atlantik (Mid-Atlantic Ridge) adalah salah satu contoh divergensi yang paling terkenal, membujur dari utara ke selatan di sepanjang Samudra Atlantik, membatasi Benua Eropa dan Afrika dengan Benua Amerika.
Batas KonvergenTerjadi apabila dua lempeng tektonik tertelan (consumed) ke arah kerak bumi, yang mengakibatkan keduanya bergerak saling menumpu satu sama lain (one slip beneath another).Wilayah dimana suatu lempeng samudra terdorong ke bawah lempeng benua atau lempeng samudra lain disebut dengan zona tunjaman (subduction zones). Di zona tunjaman inilah sering terjadi gempa. Pematang gunung-api (volcanic ridges) dan parit samudra (oceanic trenches) juga terbentuk di wilayah ini.
Batas TransformTerjadi bila dua lempeng tektonik bergerak saling menggelangsar (slide each other), yaitu bergerak sejajar namun berlawanan arah. Keduanya tidak saling memberai maupun saling menumpu. Batas transform ini juga dikenal sebagai sesar ubahan-bentuk (transformfault). Batas transform umumnya berada di dasar laut, namun ada juga yang berada di daratan, salah satunya adalah Sesar San Andreas (San Andreas Fault) di California, USA. Sesar ini merupakan pertemuan antara Lempeng Amerika Utara yang bergerak ke arah tenggara, dengan Lempeng Pasifik yang bergerak ke arah baratlaut. Sumber: The Dynamic Earth, USGS dalam http://m-darajat.blogspot.com/2009_01_01_archive.html
CEKUNGAN DI PAPARAN SUNDA
Cekungan Sumatera
Cekungan Sumatra Utara
Pola geologi dan tatanan stratigrafi regional cekungan Sumatra Utara secara umum telah banyak diketahui berkat hasil aktivitas eksplorasi minyak dan gas alam serta pemetaan bersistem pulau Sumatra dalam skala 1:250.000. Keith (1981)dalam google.co.id/cekungan sumatera membuat pembagian stratigraf Tersier Cekungan Sumatra Utara menjadi tiga kelompok yaitu Kelompok I sebagai fase tektonik, pengangkatan dan pengerosian, berumur Eosen hingga Oligosen Awal. Kelompok II merupakan fase genang laut yang dimulai dengan pembentukan formasi-formasi dari tua ke muda yaitu Formasi Butar, Rampong, Bruksah, Bampo, Peutu dan Formasi Baong. Kelompok III adalah perioda regresif dengan pembentukan kelompok Lhoksukon.Jika dilihat dari proses sedimentasi di cekungan sumatera utara. Kecepatan sedimentasi dan penurunan dasar sedimen ataupun cekungan pada awal pembentukan cekungan relatif lambat kemudian dilanjutkan dengan kecepatan sedimentasi lambat tetapi kecepatan penurunan dasar sedimen ataupun cekungan sangat cepat antara 15.5-12.4 juta tahun lalu.
Penurunan cepat dasar cekungan tersebut merupakan akibat mulainya rifting di laut Andaman dan pada saat inilah terbentuk serpih laut dalam Formasi Baong yang kaya material organik dan menjadi salah satu batuan induk potensial di daerah Aru. Periode antara 12.4-10.2 juta tahun lalu ditandai dengan kecepatan sedimentasi cukup besar tetapi penurunan dasar sedimen atau cekungan lebih lambat sebagai awal pengangkatan Bukit Barisan atau dikenal sebagai tektonik Miosen Tengah. Batupasir Baong Tengah terbentuk pada periode ini dan merupakan salah satu batuan waduk (reservoir) daerah Aru. Pada 9.3-8.3 juta tahun lalu kecepatan sedimentasi sangat besar tetapi diikuti pula penurunan dasar sedimen atau cekungan yang sangat besar sehingga penurunan sangat dipengaruhi. oleh pembebanan sedimen disamping akibat penurunan tektonik. Pada waktu tersebut terbentuk endapan klastik kasar Keutapang Bawah, diendapkan dalam lingkungan delta atau laut dangkal dan merupakan juga batuan waduk (reservoir)penting di daerah Aru.
Model penurunan tektonik daerah Aru pada awalnya menunjukkan penurunan lambat dilanjutkan penurunan sangat cepat antara 12.4-10.2 juta tahun lalu akibat rifting di Laut Andaman. Pada Miosen Tengah atau antara 12.4-9.3 juta tahun lalu pola penurunan relatif lambat, stabil atau terjadi pengangkatan akibat tektonik Miosen Tengah. Penurunan kembali cepat antara 9.3-8.3 juta tahun lalu dan menjadi sangat lambat antara 5.3-4.4 juta tahun lalu sebelum terjadi pangangkatan Pilo Pleistosen.
Cekungan Sumatra TengahCekungan Sumatra tengah merupakan cekungan sedimentasi tersier penghasil hidrokarbon terbesar di Indonesia. Ditinjau dari posisi tektoniknya, Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan belakang busur. Faktor pengontrol utama struktur geologi regional di cekungan Sumatra tengah adalah adanya Sesar Sumatra yang terbentuk pada zaman kapur. Struktur geologi daerah cekungan Sumatra tengah memiliki pola yang hampir sama dengan cekungan Sumatra Selatan, dimana pola struktur utama yang berkembang berupa struktur Barat laut-Tenggara dan Utara-Selatan (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995 dalam www.google.co.id/cekungan sumatera). Walaupun demikian, struktur berarah Utara-Selatan jauh lebih dominan dibandingkan struktur Barat laut–Tenggara. Sejarah tektonik cekungan Sumatra tengah secara umum dapat disimpulkan menjadi beberapa tahap, yaitu :Konsolidasi Basement pada zaman Yura, terdiri dari sutur yang berarah Barat laut-Tenggara.Basement terkena aktivitas magmatisme dan erosi selama zaman Yura akhir dan zaman Kapur.
Tektonik ekstensional selama Tersier awal dan Tersier tengah (Paleogen) menghasilkan sistem graben berarah Utara-Selatan dan Barat laut-Tenggara. Kaitan aktivitas tektonik ini terhadap paleogeomorfologi di Cekungan Sumatra tengah adalah terjadinya perubahan lingkungan pengendapan dari longkungan darat, rawa hingga lingkungan lakustrin, dan ditutup oleh kondisi lingkungan fluvial-delta pada akhir fase rifting.
Selama deposisi berlangsung di Oligosen akhir sampai awal Miosen awal yang mengendapkan batuan reservoar utama dari kelompok Sihapas, tektonik Sumatra relatif tenang. Sedimen klastik diendapkan, terutama bersumber dari daratan Sunda dan dari arah Timur laut meliputi Semenanjung Malaya. Proses akumulasi sedimen dari arah timur laut Pulau Sumatra menuju cekungan, diakomodir oleh adanya struktur-struktur berarah Utara-Selatan. Kondisi sedimentasi pada pertengahan Tersier ini lebih dipengaruhi oleh fluktuasi muka air laut global (eustasi) yang menghasilkan episode sedimentasi transgresif dari kelompok Sihapas dan Formasi Telisa, ditutup oleh episode sedimentasi regresif yang menghasilkan Formasi Petani.
Akhir Miosen akhir volkanisme meningkat dan tektonisme kembali intensif dengan rejim kompresi mengangkat pegunungan Barisan di arah Barat daya cekungan. Pegunungan Barisan ini menjadi sumber sedimen pengisi cekungan selanjutnya (later basin fill). Arah sedimentasi pada Miosen akhir di Cekungan Sumatra tengah berjalan dari arah selatan menuju utara dengan kontrol struktur-struktur berarah utara selatan.Tektonisme Plio-Pleistosen yang bersifat kompresif mengakibatkan terjadinya inversi-inversi struktur Basement membentuk sesar-sesar naik dan lipatan yang berarah Barat laut-Tenggara. Tektonisme Plio-Pleistosen ini juga menghasilkan ketidakselarasan regional antara formasi Minas dan endapan alluvial kuarter terhadap formasi-formasi di bawahnya.
Cekungan Sumatra SelatanGeologi Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil kegiatan tektonik yang berkaitan erat dengan penunjaman Lempeng Indi-Australia, yang bergerak ke arah utara hingga timurlaut terhadap Lempeng Eurasia yang relatif diam. Zone penunjaman lempeng meliputi daerah sebelah barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa. Beberapa lempeng kecil (micro-plate) yang berada di antara zone interaksi tersebut turut bergerak dan menghasilkan zone konvergensi dalam berbagai bentuk dan arah. Penunjaman lempeng Indi-Australia tersebut dapat mempengaruhi keadaan batuan, morfologi, tektonik dan struktur di Sumatera Selatan. Tumbukan tektonik lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan jalur busur depan, magmatik, dan busur belakang.
Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier berarah barat laut - tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan cekungan tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah barat laut yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatera Tengah. Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh
Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Menurut Salim et al. (1995) Cekungan Sumatera Selatan terbentuk selama Awal Tersier (Eosen – Oligosen) ketika rangkaian (seri) graben berkembang sebagai reaksi sistem penunjaman menyudut antara lempeng Samudra India di bawah lempeng Benua Asia. Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3 episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal dan Orogenesa Plio – Plistosen.
Episode pertama, endapan – endapan Paleozoik dan Mesozoik termetamorfosa, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta telah membentuk pola dasar struktur cekungan. Menurut Pulunggono, 1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997), fase ini membentuk sesar berarah barat laut – tenggara yang berupa sesar – sesar geser.
Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak – gerak tensional yang membentuk graben dan horst dengan arah umum utara – selatan. Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan batuan – batuan Pra – Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua yang mengontrol pembentukan Formasi Pra – Talang Akar.Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio – Plistosen yang menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga membentuk konfigurasi geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horisontal yang terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar – sesar yang baru terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio – Plistosen menghasilkan lipatan yang berarah barat laut – tenggara tetapi sesar yang terbentuk berarah timur laut – barat daya dan barat laut – tenggara. Jenis sesar yang terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar normal.Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat laut – tenggara sebagai hasil orogenesa Plio – Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara – selatan dan barat laut – tenggara serta pola muda yang berarah barat laut – tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera .
Batuan sedimen tersebut telah mengalami gangguan tektonik sehingga terangkat membentuk lipatan dan pensesaran. Proses erosi menyebabkan batuan terkikis kemudian membentuk morfologi yang tampak sekarang. Cekungan Sumatera Selatan dan Cekungan Sumatera Tengah merupakan satu cekungan besar yang dipisahkan oleh Pegunungan Tigapuluh. Cekungan ini terbentuk akibat adanya pergerakan ulang sesar bongkah pada batuan pra tersier serta diikuti oleh kegiatan vulkanik.
Daerah cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi depresi Jambi di utara, Sub Cekungan Palembang Tengah dan Sub Cekungan Pelembang Selatan atau Depresi Lematang, masing-masing dipisahkan oleh tinggian batuan dasar (“basement”).Di daerah Sumatera Selatan terdapat 3 (tiga)antiklinurium utama, dari selatan ke utara: Antiklinorium Muara Enim, Antiklinorium Pendopo Benakat dan Antiklinorium Palembang. Pensesaaran batuan dasar mengontrol sedimen selama paleogen.
Stratigrafi normal memperlihatkan bahwa pembentukan batubara utara-selatan dimana pada bagian barat daerah penyelidikan sungai-sungai mengalir kearah sungai Semanggus, sedangkan pada bagian timur daerah penyelidikan sungai sungai mengalir ke arah timur dengan Sungai Baung dan Sungai Benakat sebagai sungai Utama.
Cekungan Jawa TimurSecara geologi Cekungan Jawa Timur terbentuk karena proses pengangkatan dan ketidakselarasan serta proses-proses lain, seperti penurunan muka air laut dan pergerakan lempeng tektonik. Tahap awal pembentukan cekungan tersebut ditandai dengan adanya half graben yang dipengaruhi oleh struktur yang terbentuk sebelumnya. Tatanan tektonik yang paling muda dipengaruhi oleh pergerakan Lempeng Australia dan Sunda. Secara regional perbedaan bentuk struktural sejalan dengan perubahan waktu. Aktifitas tektonik utama yang berlangsung pada umur Plio Pleistosen, menyebabkan terjadinya pengangkatan daerah regional Cekungan Jawa Timur dan menghasilkan bentuk morfologi seperti sekarang ini. Struktur geologi daerah Cekungan Jawa Timur umumnya berupa sesar naik, sesar turun, sesar geser, dan pelipatan yang mengarah Barat-Timur akibat pengaruh gaya kompresi dari arah Utara-Selatan.
Tatanan geologi Pulau Jawa secara umum dibagi berdasarkan posisi tektoniknya. Secara struktural Blok Tuban dikontrol oleh half graben yang berumur Pre–Tersier. Peta Top struktur daerah telitian dapat dilihat pada Perkembangan tektonik pulau Jawa dapat dipelajari dari pola-pola struktur geologi dari waktu ke waktu. Struktur geologi yang ada di pulau Jawa memiliki pola-pola yang teratur. Secara geologi pulau Jawa merupakan suatu komplek sejarah penurunan basin, pensesaran, perlipatan dan vulkanisme di bawah pengaruh stress regime yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Secara umum, ada tiga arah pola umum struktur yaitu arah Timur Laut –Barat Daya (NE-SW) yang disebut pola Meratus, arah Utara – Selatan (N-S) atau pola Sunda dan arah Timur – Barat (E-W). Perubahan jalur penunjaman berumur kapur yang berarah Timur Laut - Barat Daya (NE-SW) menjadi relatif Timur - Barat (E-W) sejak kala Oligosen sampai sekarang telah menghasilkan tatanan geologi Tersier di Pulau Jawa yang sangat rumit disamping mengundang pertanyaan bagaimanakah mekanisme perubahan tersebut. Kerumitan tersebut dapat terlihat pada unsur struktur Pulau Jawa dan daerah sekitarnya.Pola Meratus di bagian barat terekspresikan pada Sesar Cimandiri, di bagian tengah terekspresikan dari pola penyebarab singkapan batuan pra-Tersier di daerah Karang Sambung. Sedangkan di bagian timur ditunjukkan oleh sesar pembatas Cekungan Pati, “Florence” timur, “Central Deep”. Cekungan Tuban dan juga tercermin dari pola konfigurasi Tinggian Karimun Jawa, Tinggian Bawean dan Tinggian Masalembo. Pola Meratus tampak lebih dominan terekspresikan di bagian timur.
Pola Sunda berarah Utara-Selatan, di bagian barat tampak lebih dominan sementara perkembangan ke arah timur tidak terekspresikan. Ekspresi yang mencerminkan pola ini adalah pola sesar-sesar pembatas Cekungan Asri, Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda pada Umumnya berupa struktur regangan. Pola Jawa di bagian barat pola ini diwakili oleh sesar-sesar naik seperti sesar Beribis dan sear-sear dalam Cekungan Bogor. Di bagian tengah tampak pola dari sesar-sesar yang terdapat pada zona Serayu Utara dan Serayu Selatan. Di bagian Timur ditunjukkan oleh arah Sesar Pegunungan Kendeng yang berupa sesar naik.Dari data stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa pola Meratus merupakan pola yang paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini berumur Kapur sampai Paleosen dan tersebar dalam jalur
Tinggian Karimun Jawa menerus melalui Karang Sambung hingga di daerah Cimandiri Jawa Barat. Sesar ini teraktifkan kembali oleh aktivitas tektonik yang lebih muda. Pola Sunda lebih muda dari pola Meratus. Data seismik menunjukkan Pola Sunda telah mengaktifkan kembali sesar-sesar yang berpola Meratus pada Eosen Akhir hingga Oligosen Akhir.Pola Jawa menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan kembali seluruh pola yang telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994). Data seismik menunjukkan bahwa pola sesar naik dengan arah barat-timur masih aktif hingga sekarang.
Fakta lain yang harus dipahami ialah bahwa akibat dari pola struktur dan persebaran tersebut dihasilkan cekungan-cekungan dengan pola yang tertentu pula. Penampang stratigrafi yang diberikan oleh Kusumadinata, 1975 dalam Pulunggono, 1994 menunjukkan bahwa ada dua kelompok cekungan yaitu Cekungan Jawa Utara bagian barat dan Cekungan Jawa Utara bagian timur yang terpisahkan oleh tinggian Karimun Jawa. Kelompok cekungan Jawa Utara bagian barat mempunyai bentuk geometri memanjang relatif utara-selatan dengan batas cekungan berupa sesar-sesar dengan arah utara selatan dan timur-barat. Sedangkan cekungan yang terdapat di kelompok cekungan Jawa Utara Bagian Timur umumnya mempunyai geometri memanjang timur-barat dengan peran struktur yang berarah timur-barat lebih dominan.
Cekungan Kalimantan TimurKalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Adanya interaksi konvergen atau kolisi antara 3 lempeng utama, yakni lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Asia yang membentuk daerah timur Kalimantan (Hamilton, 1979).Evolusi tektonik dari Asia Tenggara dan sebagian Kalimantan yang aktif menjadi bahan perbincangan antara ahli-ahli ilmu kebumian. Pada jaman Kapur Bawah, bagian dari continental passive margin di daerah Barat daya Kalimantan, yang terbentuk sebagai bagian dari lempeng Asia Tenggara yang dikenal sebagai Paparan Sunda.
Pada jaman Tersier, terjadi peristiwa interaksi konvergen yang menghasilkan beberapa formasi akresi, pada daerah Kalimantan.Selama jaman Eosen, daerah Sulawesi berada di bagian timur kontinen dataran Sunda. Pada pertengahan Eosen, terjadi interaksi konvergen ataupun kolisi antara lempeng utama, yaitu lempeng India dan lempeng Asia yang mempengaruhi makin terbukanya busur belakang samudra, Laut Sulawesi dan Selat Malaka. Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan yang dihasilkan oleh perkembangan regangan cekungan yang besar pada daerah Kalimantan.Pada Pra-Tersier, Pulau Kalimantan ini merupakan salah satu pusat pengendapan, yang kemudian pada awal tersier terpisah menjadi 6 cekungan sebagai berikut :1 Cekungan Barito, yang terletak di Kalimantan Selatan, 2.Cekungan Kutai, yang terletak di Kalimantan Timur,3. Cekungan Tarakan, yang terletak di timur laut Kalimantan,4 Cekungan Sabah, yang terletak di utara Kalimantan,5.Cekungan Sarawak, yang terletak di barat laut Kalimantan,6. Cekungan Melawai dan Ketungau, yang terletak di Kalimantan Tengah
Kerangka tektonik di Kalimantan Timur dipengaruhi oleh perkembangan tektonik regional yang melibatkan interaksi antara Lempeng Samudera Philipina, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasian yang terjadi sejak Jaman Kapur sehingga menghasilkan kumpulan cekungan samudera dan blok mikro kontinen yang dibatasi oleh adanya zona subduksi, pergerakan menjauh antar lempeng, dan sesar-sesar mayor. Cekungan Kutai terbentuk karena proses pemekaran pada Kala Eosen Tengah yang diikuti oleh fase pelenturan dasar cekungan yang berakhir pada Oligosen Akhir. Peningkatan
tekanan karena tumbukan lempeng mengakibatkan pengangkatan dasar cekungan ke arah Barat Laut yang menghasilkan siklus regresif utama sedimentasi klastik di Cekungan Kutai, dan tidak terganggu sejak Oligosen Akhir hingga sekarang.Pada Kala Miosen Tengah pengangkatan dasar cekungan dimulai dari bagian barat Cekungan Kutai yang bergerak secara progresif ke arah Timur sepanjang waktu dan bertindak sebagai pusat pengendapan. Selain itu juga terjadi susut laut yang berlangsung terus menerus sampai Miosen Akhir. Bahan yang terendapkan berasal dari bagian Selatan, Barat dan Utara cekungan menyusun Formasi Warukin, Formasi Pulubalang dan Formasi Balikpapan.
Formasi Pamaluan (Tomp), Batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung, serpih batugamping dan batulanau; berlapis sangat baik. Batu pasir kuarsa merupakan batuan utama, kelabu kehitam-kecoklatan, berbutir halus-sedang, terpilah baik, butiran membulat-bulat tanggung, padat, karbonan dan gamping. Setempat dijumpai struktur sedimen seilang-silang dan perlapisan sejajar. Tebal lapisan antara 1-2 meter. Batu lempung tebal rata-rata 45 cm, serpih, kelabu kecoklatan-kelabu tua, padat, tebal sisipan antara 10 -20 cm. Batu gamping kelabu pejal, berbutir sedang kasar, setempat berlapis dan mengandung foraminifera besar. Batu lanau tua kehitaman. Formasi Pemaluan merupakan batuan palling bawah yang tersinggkap di lembar Samarinda dan bagian atas formasi ini berhubungan menjemari dengan Formasi Bebuluh. Tebal formasi lebih kurang 2000 meter. Berumur Oligosen sampai awal Miosen.
Formasi Bebuluh (Tomb), Batugamping terumbu dengan sisipan batu gamping pasiran dan serpih, warna kelabu padat, mengandung foraminifera besar, berbutir sedang. Setempat batu gamping menghablur, terkekar tak beraturan. Serpih kelabu kecoklatan berseling dengan batupasir halus kelabu tua kehitaman. Foraminifera besar yang dijumpai antara lain : Lepidocyclina Sumatraensis Brady, Miogypsina Sp. Miogupsinaides SPP. Operculina Sp., menunjukan umur Miosen awal – Miosen Tengah. Lingkungan pengendapan laut dangkal dengan ketebalan sekitar 300 meter. Formasi Bebuluh tertindih selaras oleh Formasi Pulau Balang.Formasi Pulubalang (Tmpb), Perselingan antara graywacke dan batupasir kuarsa dengan sisipan batugamping, batu lempung, batubara, dan tuf dasit. Batupasir graywacke, kelabu kehijauan, padat, tebal lapisan antara 50 – 100 cm. Batupasir kuarsa, kelabu kemerahan, setempat tufan muda kekuningan, mengandung foraminifera besar. Batugamping, coklat muda kekuningan, mengandung foraminifera besar, batugamping ini terdapat sebagai sisipan atau lensa dalalm batupasir kuarsa, tebal lapisan 10 – 40 cm. di S. Loa Haur, mengandung foraminifera besar antara lain Austrotrilina howchina, Borelis sp., Lepidocyclina sp., Myogypsina sp., menunjukan umur Miosen Tengah dengan lingkungan pengendapan laut dangkal. Batulempung, kelabu kehitaman, tebal lapisan 1 – 2 cm. Setempat berselingan dengan batubara, tebal ada yang mencapai 4 m. Tufa dasit, putih merupakan sisipan dalam batupasir kuarsa.
Formasi Balikpapan (Tmbp), perselingan batupasir dan lempung dengan sisipan lanau, serpih, batugamping dan batubara. Batupasir kuarsa, putih kekuningan, tebal lapisan 1 – 3 m, disisipi lapisan batubara, tebal 0,5 – 5 m. Batupasir gampingan, coklat, berstruktur sedimen lapisan bersusun dan silang siur, tebal lapisan 20 – 40 cm, mengandung Foraminifera kecil, disisipi lapisan tipis karbon. Lempung, kelabu kehitaman, setempat mengandung sisa tumbuhan, oksida besi yang mengisi rekahan-rekahan setempat mengandung lensa-lensa batupasir gampingan. Lanau gampingan, berlapis tipis; serpih kecoklatan, berlapis tipis. Batugamping pasiran, mengandung Foraminifera
besar, moluska, menunjukan umur Miosen Akhir bagian bawah – Miosen Tengah bagian atas. Lingkungan pengendapan delta, dengan ketebalan 1000 – 1500 m..Formasi Kampungbaru (Tpkb), Batupasir kuarsa dengan sisipan lempung, serpih; lanau dan lignit; pada umumnya lunak, mudah hancur. Batupasir kuarsa putih, setempat kemerahan atau kekuningan, tidak berlapis, mudah hancur, setempat mengandung lapisan tipis oksida besi atau kongkresi, tufan atau lanauan, dan sisipan batupasir konglomeratan atau konglomerat dengan komponen kuarsa, kalsedon, serpih merah dan lempung, diameter 0.5 – 1 cm, mudah lepas. Lempung, kelabu kehitaman mengandung sisa tumbuhan, batubara/ lignit dengan tebal 0,5 – 3 m, koral. Lanau, kelabu tua, menyerpih, laminasi, teballl 1 – 2 m. Diduga berumur Miosen Akhir – Pilo Plistosen, lingkungan pengendapan delta – laut dangkal, tebal lebih dari 500 m. Formasi ini menindih selaras dan setempat tidak selaras terhadap Formasi Balikpapan. Endapan Alluvium, Kerikil, pasir dan lumpur terendapkan dalam lingkungan sungai, rawa, delta dan pantai.
Secara umum wilayah Kepulauan Nusantara merupakan pertemuan tiga lempeng yang sampai kini aktif bergerak. Tiga lempeng tersebut adalah lempeng eurasia, lempeng indo australia, dan lempeng pasifik. Pergerakan tiga lempeng tersebut menyebabkan patahan atau sesar yaitu pergeseran antara dua blok batuan baik secara mendatar, ke atas maupun relatif ke bawah blok lainnya, menghasilkan lajur gunung api, membentuk zona sudaksi dan menimbulkan gaya yang bekerja baik horizontal maupun vertikal, yang akan membentuk pegunungan lipatan, jalur gunungapi/magmatik, persesaran batuan, dan jalur gempabumi serta terbentuknya wilayah tektonik tertentu. Selain itu terbentuk juga berbagai jenis cekungan pengendapan batuan sedimen seperti palung (parit), cekungan busurmuka, cekungan antar gunung dan cekungan busur belakang. Cekungan-cekungan yang terbentuk di cekungan busur belakangan adalah cekungan sumatera utara, cekungan sumatera tengah, cekungan sumatera selatan, cekungan jawa, dan cekungan Kalimantan
http://hasanisenk.blogspot.com/2009/06/cekungan-sunda.html
Geology Of Central Sumatra BasinFiled under: Geology of Indonesia,Uncategorized — haris @ 12:37 am
The Central Sumatra Basin is bound to the southwest by the Barisan Mountains
geanticlinal uplift and volcanic arc, to the north by the Asahan arch, to the southeast by
the Tigapuluh high, and to the east by the Sunda craton (Heidrick and Aulia, 1993).
The Central Sumatra basin represents one of a series of present day, back-arc basins
which are present along the eastern regions of Sumatra island and West Java. These
basins represent the most prolific, hydrocarbon-productive, Tertiary basins in Indonesia
with exception of the Mahakam Delta of East Kalimantan. In the Central Sumatra Basin,
oil and gas are trapped in sandstones of Miocene and Pliocene ages in mostly structural
closures, which were created during the latest structural episode between the Late
Miocene and Pleistocene. Geochemical analyses reveal that the hydrocarbons were
generated from organic-rich shales which were deposited in a lacustrine environment
extensional rift systems during Eocene-Oligocene times (Williams et al., 1985 in
Soeryowibowo et al., 1999).
The Paleogene sediments were deposited during the development of an extensional
phase (F1) that created a graben system oriented generally north-south. There is no
precise dating on the initial formation of the graben but regional correlations would
suggest that it began during Eocene times (Heidrick and Aulia, 1993).
Fluvial/lacustrine-related sediments characterize the Paleogen stratigraphy of the Central
Sumatra Basin. Lithostratigraphically, they are recognized as, from older to younger, the
Lower Red Bed, Brown Shale and Upper Red Bed formations. The Lower Red Bed
Formation consists predominantly of fluvial sandstones, siltstones and claystones and
alluvial fan conglomerates, the latter of which were developed along graben-bounding
faults (Yarmanto et al., 1995 in Soeryowibowo et al., 1999).
The Brown Shale Formation has been described as a lacustrine deposit. It consists of dark
brown, organic-rich shales to very fine-grained sandstones. The Upper Red Bed
Formation comprises coarse to fine grained sandstone, interbedded red, mottled
siltstones and claystones (Soeryowibowo et al., 1999).
The development of the extensional rift system waned during the Late Oligocene and
was followed by regional transgression in the Early Miocene, depositing thick, marine
sandstones and shales that filled in the grabens and covered the basement platforms.
The contact between the synrift and the unconformity along hinge margines and is
locally refered to as sequence boundary 25.5 Ma. Towards to the graben centers this
contact grades into a paraconformity (Soeryowibowo et al., 1999).
A right-lateral wrench system developed between F1 (Eo-Oligocene) and F2 (Lower to
Middle Miocene) followed by a compressional phase (F3) Middle Miocene to present
(Heidrick and Aulia, 1993). Stratigraphically, commencing from the Early Miocene the
entire Central Sumatra Basin is covered by marine, clastic deposits consisting of
interbedded sandstones, siltstones and claystones (Mertosono and Nayoan, 1974).
Tectonostratigraphically, the Neogene is divisible into two stages, i.e., Sihapas and Petani
groups (Yarmanto et al., 1995 in Soeryowibowo et al., 1999). The Sihapas Group has
been the target for most hydrocarbon exploration activities. It contains over ninety
percent of the oil and gas reserves in the Central Sumatra Basin (Soeryowibowo et al.,
1999).
In general, the synrift is characterized by sub parallel seismic reflector dips towards the
border faults. The internal reflectors often show transparent, discontinuous character in
deeper portions of the graben and do not indicate a sharp change of reflection from
basement to the synrift section. Mapping of the basement was, therefore, accomplished
with great difficulty. Towards the upper portion of the graben fill strong, subparallel
reflectors were recognized. The most continuous, strong amplitude reflector was mapped
as a horizon that is equivalent to the Brown Shale event of Late Oligocene age, in the
South Aman Graben (Soeryowibowo, 1999).
Daly et al. (1991), on the other hand, thought that Indonesian, back-arc basins were
generated due to subduction rollback. These basins were created during the Middle to
Late Eocene (40 Ma), which is coincident with collision between the Indian subcontinent
and the Eurasian margin, as indicated by an abrupt decreasing in India’s northward rate
of movement. Heidrick and Aulia (1993) suggested similar timing and kinematics for the
formation of the Bengkalis Trough. They suggested that geometric and kinematic
considerations of the left-stepping, graben doglegs indicate that the minimum horizontal
principal stress (S3) was oriented predominantly E-W during the rift formation
(Soeryowibowo, 1999).
PETROLEUM SYSTEM
Source Rocks
Eo-Oligocene grabens in western Indonesia play a major role in the petroleum systems
by providing world-class-quality source rocks (Davies, 1984 in Soeryowibowo et al.,
1999). The source rocks were mainly deposited in lacustrine environment during the syn-
rift development.
Reservoir
In the Central Sumatra Basin, several reservoir rocks had been deposited since Oligocene
to Middle Miocene. The most prolific reservoirs are sands in the Menggala (mostly fluvial
sand) and Bekasap (fluvial to marine/deltaic sand) formations. The Sihapas Group
mineralogy composed of quartz grain with lesser amount of feldspars. Other reservoirs
such as Bangko sands, Pematang sands and fractured basement occasionally also
produce hydrocarbon.
Trap
Extensional tectonics, compressive tectonics, strike-slip, and inversion faulting since 28
Ma to the present have formed effective traps in the basin, while the last 5 Ma tectonic
was the most active structuring for the trap formation.
Three different types of structural closures trap significant quantities of hydrocarbons
within the Central Sumatra Basin including: 1) high-to moderate-relief double-plunging F3
anticlinal culminations bearing N10-25oW parallel to compressional oblique-slip faults; 2)
high-relief F0 anticlinal folds juxtaposed along F3 restraining fault bends; and 3) low-
relief F2/F3 pop-up structures and minor footwall uplift closures within or flanking N-NNE-
trending belts of transtensional deformation.
Seal
The Bangko and Telisa Formations consists of transgresive marine shale, which form
effective top seals. Locally, the interstratified calcareous sands within Telisa shale also
produce hydrocarbon. In deeper parts of the Pematang trough the Brown Shale also
become an effective seal.
Hydrocarbon generation, migration and accumulation
The process of hydrocarbon generation, migration and accumulation have commenced
since 26 Ma and continued to present day. The maximum hydrocarbon generation in the
deeper trough occurred at about 11 Ma to 3 Ma. In the shallower part of the basin the
peak generation is younger, post dating the 5 Ma structural formation. The time of Telisa
deposition coincide with the start of the peak hydrocarbon generation time at about 16
Ma. This age is a critical moment for the Central Sumatra Basin petroleum system.
Geothermal Gradient
The discovery of Duri Field at 600’ depth by Caltex in 1941, and the discovery of Minas
Field at 2000’ depth by the apanese occupation army in 1944, indicated a major new
shallow oil province. In fact, the Central Sumatra Basin has proven to be the most prolific
free-world petroleum province between California and the Middle East. One reason the
Central Sumatra Basin is so prolific is because of its very high heat flow. Good quality
reservoir sands, derived from quartzitic and granitic terrain, occur within the Menggala,
Bekasap and Duri formations. The very high heat flow has caused the rich Tertiary shales
in the section to generate large volumes of hydrocarbons. The average of geothermal
gradient in the Central Sumatra Basin is 3.43oF/100’. The very high heat flow in the basin
results from magmatic intrusions and associated mantle waters penetrating the shallow
Pre-Tertiary basement to within a few miles of the surface, exposing the Tertiary
sedimentary cover to high temperatures (Eubank and Makki, 1981).
http://h4ris.wordpress.com/2006/09/28/geology-of-central-sumatra-basin/