Download - Garuda - Copy.pdf
-
Nasionalisme Indonesia: Jadi Rebutan di Tahun pemilu
Selama lambang burung Garuda Pancasila belum berubah menjadi Bulan Bintang,
Burung Elang, Kabah, Palu Arit, Tanda Salib, wajah Bunda Maria, atau lambang apapun
itu, Kita dipaksa insyaf bahwa landasan berpolitik dan berbangsa Kita sampai saat ini
adalah Pancasila. Semakin pancasilais nasionalisme Kita, semakin pancasilais politik
Kita, semakin pancasilais demokrasi Kita, maka semakin pancasilais pula seharusnya
pemimpin negeri ini yang nanti akan terpilih. Saya merasakan energi positif yang
menguat di tahun politik kali ini. Energi positif yang Saya maksud adalah semakin
tumbuhnya kesadaran untuk semakin bersikap nasionalis dalam kehidupan berpolitik,
berbangsa, dan bernegara. Memang masih banyak yang pura-pura, adapula yang masih
malu-malu, dan tidak sedikit yang pura-pura malu. Tapi Saya rasakan mereka semua itu
semakin sadar, dan Insya Allah akan terus sadar dan insyaf.
Sesungguhnya hanya ada dua kekuatan besar yang terus bersaing di negeri ini. Saya
tidak menggunakan terminologi kebaikan vs keburukan, karena akan terlalu
perfeksionis. Istilah yang Saya gunakan adalah kekuatan Pancasilais vs kekuatan non
Pancasilais. Dan Saya menyadari bahwa kekuatan Pancasilais tidak pernah terkalahkan.
Sayangnya, kerap kali kekuatan Pancasilais di monopoli oleh mereka yang berlatar
belakang militer, ataupun institusi militer itu sendiri. Padahal sesungguhnya tidak
demikian. Dan sayangnya juga, kekuatan Pancasilais kerap menggunakan cara-cara
yang manipulatif dan keji. Sesungguhnya, tidak demikian juga. Ini terjadi karena para
nasionalis pancasila sering diam dan tidak bersuara, dan tidak pula terwakilkan oleh
institusi, partai, ormas, atau LSM manapun di Tanah Air. Dan mereka terbentang
menjadi apa yang disebut dengan The Silent Majority. Siapakah mereka?
1. Mereka sebagian besar adalah yang meyakini kebenaran Agama mereka masing2,
dan telah selesai dalam dilema Antara Agama dan Negara. Meraka adalah sudara-
saudara Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, dan sebagian Yahudi
penganut Yudaisme dan sangat kritis terhadap Zionisme. Mereka menerima Pancasila
sebagai konsekuensi bahwa Indonesia bukanlah Negara agama, bukan pula Negara
-
sekuler. Sila pertama pancasila (Ketuhanan Yang maha Esa) adalah sebuah penegasan
bahwa Negara ini menempatkan religiusitas dalam posisi tertinggi, dan akan terus
mengawal Sang Garuda.
2. Mereka akan sulit menerima Garuda Pancasila berubah menjadi Bulan Bintang,
Burung Elang, atau Palu Arit. Mereka akan terus mengawal dan menjaga semampu
mereka. Mereka mendapati bahwa Pancasila memiliki persinggungan ataupun inspirasi
dari nilai-nilai Fremasonry, dan beberapa tokoh pendiri Bangsa ini dekat dengan
kalangan theosofi. Tapi mereka pun memahami bahwa perdebatan dalam perumusan
dasar Negara juga melibatkan para tokoh2 lintas agama yang sangat mumpuni,
dimana keberadaan mereka dalam sidang BPUPKI maupun di Konstituante adalah
menjadi fakta sejarah sebagai penyaring. Piagam Jakarta adalah fakta sejarah.
Penghapusan perihal syariat islam juga fakta sejarah kebesaran hati para pemimpin
Islam pada saat itu. Toh Bung Karno mengakui bahwa Pancasila juga terinspirasi dari
beberapa ideologi di dunia. Fakta sampai hari ini, Pancasila menjalankan fungsi nya
sebagai Ideologi Negara untuk menyangga, menyaring, dan menantang ideologi atau
faham manapun selain Pancasila, yang sesungguhnya masih hidup dan terus ada di
Negeri ini.
3. Mereka sesungguhnya gandrung, atau setidaknya beberapa kali membaca tulisan2,
buku2, dan artikel2 konspiratif, khususnya yang berkaitan dengan Freemasonry, Secret
Society, Illuminati, Kabalah, Bilderberg Group, Zionisme Internasional, Peran Amerika
Serikat beserta CIA nya, operasi-operasi intelijen, bahaya laten komunis, infiltrasi black
pope, Theosofi, politik katolik-vatikan, kristenisasi, misionarisasi, pergerakan Syiah di
Indonesia, posisi Ahmadiyah di Indonesia, dan lain sebagainya. Hanya saja mereka
secara berkelanjutan membentengi diri mereka dengan pemahaman Agama mereka
masing-masing, dan pemahaman Sejarah Nasional sebaik-baiknya. Mereka tidak skeptis
total terhadap kisah2 konspiratif tersebut, karena biasanya mereka juga
menyandingkan dengan data2 empiris yang mereka temui.
-
3. Khsususnya mereka yang Muslim/Muslimah, mereka tidak bisa mengakui Front
Pembela Islam (FPI) mewakili aspirasi mereka, demikian pula Jaringan Islam Liberal
(JIL). Guru2 ngaji mereka sejak kecil, dan guru2 Agama mereka sejak Sekolah Dasar
sebagian besar adalah dari kalangan Nahdlatul Ulama, atau Muhammadiyah. Meskipun
tokoh-tokoh berlatar NU dan Muhammadiyah juga terdapat di dalam FPI ataupun JIL,
tetap kedua organisasi tersebut (FPI dan JIL) tidak bisa benar2 mewakili aspirasi
Mereka. Politik FPI tidak identik dengan Politik Islam, pula metode hermeunetika yang
dianut JIL tidak bisa seenaknya menggantikan posisi Ilmu Tafsir.
4. Mereka tentu sangat memerhatikan masalah Hak Asasi Manusia. Tapi mereka
menyadari pula bahwa banyak pejuang HAM di negeri ini secara langsung maupun tidak
langsung terafiliasi dengan donator asing. Dilema nya adalah bahwa memperjuangkan
HAM akan identik dengan melawan Militerisme Represif di Indonesia. Ini terjadi karena,
sebagaimana Saya sebut di awal tulisan ini, Militer seolah sebagai satu2 nya institusi
yang mengawal Nasionalisme dan NKRI. Hal ini rentan berujung pada penyalah
gunaan/kekhilafan menentukan posisi. Sementara itu para pejuang HAM terlihat begitu
welcome dengan donasi asing. Supremasi sipil yang nasionalis hanya akan tegak
apabila kalangan sipil bisa lebih militan daripada kalangan militer. Dan pula militan
untuk membentengi diri dari bujuk rayu dolar yang tentunya ditunggangi oleh agenda
tertentu dari si donator. Menegakkan Nasionalisme memang tidak pernah mudah, dan
itu adalah pilihan.
5. Mereka sebagian besar cukup aktif di sosial media. Seringkali mencurahkan waktu
mereka untuk memposting artikel yang mewakili pemikiran mereka, ataupun yang tidak
mereka sukai. Mereka terkadang menjad aktivis status di sosial media, apalagi di
momen poltik seperti sekarang ini. Tahun ini Saya menemui banyak dari mereka yang
mulai berani menjadi relawan murni karena yakin dengan pilihan politik mereka.
Biasanya mereka skeptis dan anti politik dan ujung-ujungnya golput. Saya apresiasi
mereka yang berpartisipasi aktif mendukung calon mereka masing-masing.
-
6. Mereka biasanya dengan mudah mendukung perjuangan Tim Nasional PSSI (Timnas
Garuda) ataupu para pahlawan Bulu Tangkis Kita. Kecewa dengan prestasi yang masih
melempem itu pasti, tapi selalu ada energi untuk mendukung para pahlawan olahraga
Kita.