Download - Gangguan Kecemasan 1. Bacaan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
SERING MERASA CEMAS
Seorang wanita, Ny. M, 54 tahun, dibawa ke UGD RS Dr. Moewardi Surakarta oleh
anaknya karena tiba-tiba sesak napas, seperti tercekik, keluar keringat dingin dan berdebar-
debar. Pasien mengeluh seperti mau pingsan. Kejadian seperti ini pernah dialami oleh pasien
2 minggu sebelumnya sehingga menjalani rawat inap di RS selama 5 hari. Pada saat itu,
tekanan darah pasien 150/90 mmHg. Setelah kejadian pertama tersebut sampai saat ini,
pasien sering merasa cemas. Badan terasa tidak sehat sehingga tidak dapat untuk
mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Dari pemeriksaan status mental didapatkan mood/afek cemas, free floating anxiety
dan preokupasi terhadap kesehatannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja etiologi dari keluhan yang dirasakan pasien?
2. Apa saja etiologi dari kecemasan?
3. Apa saja jenis-jenis gangguan kecemasan?
4. Bagaimana tatalaksana dari gangguan kecemasan?
5. Bagaimana epidemiologi dari gangguan kecemasan?
6. Bagaimana prognosis dari pasien pada kasus skenario?
C. Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui etiologi dari keluhan yang dirasakan pasien.
2. Mahasiswa mengetahui etiologi dari kecemasan.
3. Mahasiswa mengetahui jenis-jenis gangguan kecemasan.
4. Mahasiswa dapat memberikan tatalaksana pada pasien dengan gangguan kecemasan.
5. Mahasiswa mengetahui epidemiologi dari gangguan kecemasan.
6. Mahasiswa dapat mengetahui prognosis dari pasien di kasus cenario.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Cemas
Cemas merupakan suatu reaksi emosional yang timbul oleh penyebab yang tidak
pasti dan tidak spesifik yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman dan merasa
terancam (Stuart dan Sundeen, 1998).
Daradjat (dalam Siswati, 2000) menyatakan bahwa kecemasan adalah manifestasi
dari berbagai proses emosi yang tercampur aduk yang terjadi tatkala orang sedang
mengalami tekanan perasaan dan pertentangan batin atau konflik. Ada segi yang
disadari dari kecemasan itu seperti rasa takut, tak berdaya, terkejut, rasa berdosa atau
terancam, selain juga segi – segi yang terjadi diluar kesadaran dan tidak dapat
menghindari perasaan yang tidak menyenangkan.
Menurut Carpenito (2000) menyebutkan bahwa kecemasan merupakan keadaan
dimana individu atau kelompok mengalami perasaan yang sulit (ketakutan) dan
aktivasi sistem saraf otonom dalam berespon terhadap ketidakjelasan, ancaman tidak
spesifik.
Kecemasan mempunyai berbagai tingkat, Stuart & Sundeen (1998)
menggolongkan sebagai berikut :
1. Kecemasan Ringan Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan
sehari-hari. Pada tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu akan
berhati-hati serta waspada. Individu akan terdorong untuk belajar yang akan
menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Kecemasan ringan diperlukan
orang agar dapat mengatasi suatu kejadian. Seseorang dengan kecemasan
ringan dapat dijumpai berdasarkan hal-hal sebagai berikut : 1) Persepsi dan
perhatian meningkat, waspada 2) Mampu mengatasi situasi bermasalah 3)
Dapat mengatakan pengalaman masa lalu, saat ini dan masa mendatang,
menggunakan belajar, dapat memvalidasi secara konsensual, merumuskan
makna 4) Ingin tahu, mengulang pertanyaan 5) Kecenderungan untuk tidur.
2. Kecemasan Sedang Memungkinkan seseorang untuk memuaskan pada hal
yang penting dan mengesampingkan yang lain sehinga seseorang mengalami
perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.
Orang dengan kecemasan sedang biasanya menunjukan keadaan seperti : 1)
2
Persepsi agak menyempit, secara selektif tidak perhatian tetapi dapat
mengarahkan perhatian. 2) Sedikit lebih sulit untuk konsentrasi, belajar
menuntut upaya lebih. 3) Memandang pengalaman ini dengan masa lalu. 4)
Dapat gagal untuk mengenali sesuatu apa yang terjadi pada situasi, akan
mengalami beberapa kesulitan dalam beradaptasi dan menganalisa. 5)
Perubahan suara atau ketinggian suara. 6) Peningkatan frekuensi pernafasan
dari jantung. 7) Tremor, gemetar.
3. Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi. Individu cenderung
memikirkan pada hal-hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal yang lain.
Individu tidak mampu berpikiran berat lagi dan membutuhkan banyak
pengarahan. Hal-hal dibawah ini sering dijumpai pada seseorang dengan
kecemasan berat, yaitu : 1) Persepsi sangat berkurang/berfokus pada hal-hal
detail, tidak dapat berkonsentrasi lebih bahkan ketika diinstruksikan untuk
melakukannya. 2) Belajar sangat terganggu, sangat mudah mengalihkan
perhatian, tidak mampu untuk memahami situasi saat ini. 3) Memandang
pengalaman saat ini dengan arti masa lalu, hampir tidak mampu untuk
memahami situasi ini. 4) Berfungsi secara buruk, komunikasi sulit dipahami.
5) Hiperventilasi, takhikardi, sakit kepala, pusing, mual.
4. Tingkat panik. Pada tingkat ini persepsi individu terganggu, sangat kacau,
hilang kontrol, tidak dapat berpikir secara sistematis dan tidak dapat
melakukan apa-apa walaupun telah diberi pengarahan. Tingkat ini tidak
sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus dalam waktu yang
lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian. Seseorang
dengan panik akan dapat dijumpai adanya : 1) Persepsi yang menyimpang,
fokus pada hal yang tidak jelas. 2) Belajar tidak dapat terjadi. 3) Tidak
mampu untuk mengikuti, dapat berfokus hanya pada hal saat ini, tidak
mampu melihat atau memahami situasi, hilang kemampuan mengingat. 4)
Tidak mampu berpikir, biasanya aktifitas motorik meningkat atau respon
yang tidak dapat diperkirakan bahkan pada stimuli minor, komunikasi yang
tidak dapat dipahami. 5) Muntah, perasaan mau pingsan.
Rentang respon kecemasan dapat dikonseptualisaikan dalam rentang respon.
Respon ini dapat digambarkan dalam rentang respon adaptif sampai maladative.
Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat konstruktif dan deskruktif. Konstruktif
adalah motivasi seseorang untuk belajar memahami terhadap perubahan-perubahan
3
terutama tentang perubahan terhadap perasan tidak nyaman dan befokus pada
kelangsungan hidup. Sedangkan reaksi deskruktif adalah reaksi yang dapat
menimbulkan tingkah laku maladaptive serta difungsi yang menyangkut kecemasan
berat atau panik Stuart dan Sundeen, 1998).
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) respon terhadap kecemasan meliputi : a)
Respon fisiologis: 1) Sistem kardiovaskuler; Palpitasi, meningkatkan tekanan darah,
rasa mau pingsan, pusing- pusing, tekanan darah menurun, nadi menurun. 2) Sistem
respiratory; Nadi cepat dan pendek, rasa tertekan pada dada, perasaan tercekik,
terengah-engah, pembengkakan pada tenggorokan. 3) Sistem neuromuskuler; Reflek
meningkat, insomnia, tremor, rigid, gelisah, muka tercekik, ketakutan, reaksi kejutan,
wajah tegang, gerakan lambat, kelemahan secara umum. 4) Sistem gastrointestinal;
Rasa tidak nyaman pada abdomen, nafsu makan menurun, mual, diare, rasa penuh di
perut, rasa terbakar pada epigastrum. 5) Sistem urinarius; Tekanan pada sistem,
frekuensi buang air kecil (BAK) meningkat. 6) Sistem integumen Wajah merah, rasa
panas, dingin pada kulit, kering setempat / telapak tangan, wajah pucat dan
berkeringat seluruh tubuh.
Kecemasan Menurut Freud (dalam Siswati, 2000) terjadinya kecemasan pada
individu dapat diterangkan melalui teori-teori :
a. Teori psikomotorik Menurut teori ini. Freud, menyatakan kecemasan terbagi
dalam 4 kategori yaitu : superego anxiety, castration anxiety, separation
anxiety dan id or impulse anxiety. Selanjutnya oleh Freud dikatakan pula
kecemasan adalah hasil konflik yang tidak disadari antara impuls id (terutama
impuls agresif dan seksual) yang melawan ego atau superego. Banyak impuls
id memberikan ancaman pada individu karena berlawanan dengan nilai- nilai
yang dianut oleh individu atau nilai-nilai moral dalam masyarakat.
b. Teori Kognitif. Pandangan teori kognitif menyatakan bahwa kecemasan dapat
terjadi karena adanya penyimpanan cara berfikir (distorsi kognitif) pada
seseorang. Individu akan mengalami gangguan atau penyimpanan dalam
menafsirkan situasi-situasi yang dihadapinya, sehingga kecemasan ini lebih
dipengaruhi oleh proses berfikir individu bukan oleh situasinya.
c. Teori Belajar Kecemasan menurut pandangan teori belajar terjadi bukan
terpusat pada konflik interval tetapi cara-cara ketika kecemasan dihubungkan
dengan situasi-situasi tertentu melalui proses belajar. Para pengikut pandangan
tradisional ini dari teori belajar menganggap bahwa kecemasan berkembang
4
melalui belajar berasosiasi. Sehingga stimulus yang ada awalnya netral
menjadi sesuatu yang mencemaskan karena cenderung terkondisi yang
didasarkan pada hubungan dengan stimulus yang tidak menyenangkan atau
aversive stimulus.
d. Teori kepribadian Kecemasan merupakan dimensi dasar kepribadian dan
kecemasan dapat dilihat sebagai campuran antara intraversi dan neurotisme.
Adapun stressor pencetus kecemasan dikelompokkan menjadi 2 kategori
yaitu : 1) Ancaman terhadap integritas fisik meliputi ketidakmampuan
fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melaksanakan
aktifitas sehari-hari. 2) Ancaman terhadap system diri seseorang dapat
membahayakan identitas, harga diri dan fungsi social yang terintegritas dalam
diri seseorang.
Alat ukur tingkat kecemasan telah dikembangkan oleh beberapa peneliti
sebelumnya diantaranya adalah kecemasan berdasarkan HARS, Demikian halnya
dengan penelitian ini, karena kecemasan berdasarkan HARS telah terbukti dan banyak
digunakan sebagai referensi untuk penelitian-penelitian yang berkaitan dengan
kecemasan maka dalam penelitian ini untuk mengukur kecemasan ibu terhadap
sindrom klimakterium juga menggunakan standar HARS yang berisi tentang perasaan
cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan
depresi, gejala somatik, Gejala kardiovaskuler, gejala resperatori, gejala
gastrointestinal, gejala urogenital, gejala autonom, tingkah laku (Hidayat, 2007).
Gejala kecemasan berdasarkan HARS diukur berdasarkan skala yang bergerak 0
hingga 4. Skor 0 berarti tidak ada gejala atau keluhan, skor 1 berarti ringan (1 gejala
dari pilihan yang ada), sokr 2 berarti sedang (separuh dari gejala yang ada), skor berat
(lebih dari separuh yang ada) dan skor 4 berarti sangat berat (semua gejala ada).
B. Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Kondisi Medis Umum
Untuk membuat kategori secara klinis, Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders IV (DSM-IV) mengandung format subkategorisasi yang membuat
dokter dapat menspesifikasikan jenis faktor psikologis atau tingkah laku yang
mempengaruhi kondisi medis pasien. Faktor-faktor tersebut dirancang sedemikian
mencakup jangkauan yang luas dari fenomena psikologis dan tingkah laku yang
tampaknya mempenganuhi kesehatan fisik.
5
Kriteria diagnostik faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis:
1. Adanya suatu kondisi medis umum (dikodekan dalam Aksis III)
2. Faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis umum dengan salah satu cara
berikut:
a. Faktor yang mempengaruhi perjalanan kondisi medis umum ditunjukkan oleh
hubungan erat antara faktor psikologis dan perkembangan atau eksaserbasi dan,
atau keterlambatan penyembuhan dan, kondisi medis umum.
b. Faktor yang mengganggu pengobatan kondisi medis umum.
c. Faktor yang membuat risiko kesehatan tambahan bagi individu.
d. Respon fisiologis yang berhubungan dengan stres menyebabkan atau
mengeksaserbasi gejala-gejala kondisi medis umum. (Sadock, B.J. and Sadock,
V.A., 2010 ; Maslim, R., 2001)
Berdasarkan kriteria diagnostik tersebut, maka dapat dikelompokan enam jenis
gangguan psikosomatis:
1. Gangguan mental mempengaruhi kondisi medis, seperti gangguan depresif berat
memperiambat pemulihan dan infark miokardium.
2. Gejala psikologis mempengaruhi kondisi medis, misalnya gejala depresif
memperlambat pemulihan dan pembedahan; kecemasan mengeksaserbasi asthma.
3. Sifat kepribadian atau gaya menghadapi masalah mempengaruhi kondisi medis,
misalnya penyangkaian psikologis terhadap pembedahan pada seorang pasien
kanker, perilaku bermusuhan dan tertekan menyebabkan penyakit
kandiovaskular.
4. Perilaku kesehatan maladaptif mempengaruhi kondisi medis, misalnya tidak
olahraga, seks yang tidak aman, makan benlebihan.
5. Respon fisiologis yang berhubungan dengan stres mempengaruhi kondisi medis
umum, misalnya eksaserbasi ulkus, hipertensi, aritmia, atau tension headache
yang berhubungan dengan stres.
6. Faktor psikologis lain yang tidak ditentukan mempengaruhi kondisi medis,
misalnya faktor interpersonal, kultural, atau religius. (Sadock, B.J. and Sadock,
V.A., 2010; Maramis, W.F., 2009)
Etiologi gangguan psikosomatis:
1. Stresumum
– Tomas Holmes dan Richard RahemenyusunSocial Readjustment Rating scale
• Berisi 43 kejadian hidup dan bobot stresnya masing-masing.
6
• Skor lebih dari 200 dalam setahun meningkatkan insidensi gang
psikosomatik.
2. Strespsikisspesifik
– Kondisi kepribadian spesifik (misal Kepribadian Tipe A atau B) atau konflik
bawah sadar.
3. Stres non spesifik yang kronik (Maramis, W.F., 2009).
C. Jenis-jenis Gangguan Kecemasan
1. Gangguan Neurotik
Gangguan neurotik adalah gangguan di mana gejalanya membuat distres yang
tidak dapat diterima oleh penderitanya. Hubungan sosial mungkin akan sangat
terpengaruh tetapi biasanya tetap dalam batas yang dapat diterima. Gangguan ini
relatif bertahan lama atau berulang tanpa pengobatan.
Neurotik merupakan suatu penyakit mental yang lunak, dicirikan dengan tanda-
tanda:
a) wawasan yang tidak lengkap mengenai sifat-sifat kesukarannya
b) konflik-konflik batin
c) reaksi-reaksi kecemasan
d) kerusakan parsial atau sebagian pada struktur kepribadiannya
e) seringkali, tetapi tidak selalu ada, disertai pobia, gangguan pencernaan, dan
tingkah laku obsesif kompulsif.
Gejala-gejala neurotik :
a) Anxiety, sebagai simbol rasa takut, gelisah, rasa tidak aman, tidak mampu,
mudah lelah, dan kurang sehat.
b) Depressive Fluctuations, tanda mudah tertekan, susah, suasana hati muram,
mudah kecewa.
c) Emosional Sensitivity, sangat perasa, tidak mampu menyesuaikan secara baik
emosi dan sosialnya, labil. Mudah tersinggung dan banyak melakukan
mekanisme pertahanan diri.
Gejala Utama:
a) Afek depresif
b) Kehilangan minat dan kegembiraan
c) Berkurangnya energi, mudah lelah dan menurunnya aktivitas
Gejala Tambahan:
7
a) Konsentrasi dan perhatian berkurang
b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e) Gagasan/perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
f) Tidur terganggu
g) Nafsu makan terganggu
Penyebab neurotik :
a) Tekanan-tekanan menyebabkan ketakutan yang disertai dengan kecemasan dan
ketegangan-ketegangan dalam batin sendiri yang kronis berat sifatnya.
Sehingga orang yang bersangkutan mengalami mental breakdown.
b) Individu mengalami banyak frustrasi, konflik-konflik emosionil dan konflik
internal yang serius, yang sudah dimulai sejak kanak-kanak.
c) Individu sering tidak rasionil sebab sering memakai defence mechanism yang
negatif dan lemahnya pertahanan diri secara fisik dan mental.
d) Pribadinya sangat labil tidak imbang dan kemauannya sangat lemah sosial dan
tekanan.
Penatalaksanaan neurotik :
a) Menurunkan atau menghilangkan gejala gangguan neurotik
b) Mengambalikan fungsi utama tubuh
c) Meminimalkan resiko relaps atau rekurens
Terapi farmakologi :
Jenis Gangguan Obat lini pertama Obat Lini Kedua Alternatif
Gangguan
kecemasan umum
Venlafaxin
Paroksetin
Escitalopram
Benzodiazepin
Imipramin
Buspiron
Hidroksizin
Gangguan
kepanikan
Fluoksamin
Fluoksetin
Imipramin
Klomipramin
Alprazolam
Klonazepam
Fenelzin
Gangguan
kecemasan social
Paroksetin Citalopram Busipron
8
Sertralin
Venlafaxin XR
Escitalopram
Fluvoxamin
Klonazepam
Gabapentin
Fenelzin
2. Gangguan Somatoform atau Psikosomatis
Gangguan psikosomatik dapat diartikan sebagai reaksi jiwa pada fisik (soma).
Menurut American Psychosomatic Society (2005), gangguan psikosomatik berasal
dari bahasa Yunani (Psyche= jiwa dan Soma= fisik), sehingga psikosomatik dapat
diartikan sebagai hubungan fisik dan jiwa. Penggunaan kata "psikosomatik" baru
digunakan pada awal tahun 1980-an. Istilah tersebut dapat ditemukan pada abad ke-19
pada penulisan oleh seorang psikiater Jerman Johann Christian Heinroth dan psikiater
lnggris John Charles Bucknill.
Ada hubungan yang sangat erat antara faktor fisik, faktor psikologis, dan sosial
terhadap perjalanan suatu penyakit (BKKBN NAD, 2010).Gangguan psikosomatis
atau somatoform ini mencakup pasien-pasien yang terutama menunjukkan keluhan
somatis yang tidak dapat dijelaskan dengan adanya gangguan depresif, ansietas, atau
penyakit medis. Ada dua gangguan yang termasuk dalam kelompok gangguan
somatoform: Pertama, yang gambaran utamanya adalah kekhawatiran bahwa gejala
yang ada merupakan bukti adanya penyakit (hipokondriasis) atau deformitas
(dismorfofobia), dan kedua, yang gambaran utamanya adalah kekhawatiran tentang
gejala somatik itu sendiri (antara lain gangguan somatisasi, disfungsi autonomik
persisten, dan gangguan nyeri somatoform persisten) (Maramis, 2009).
3. Gangguan Disosiatif
Gangguan disosiatif adalah gangguan yang ditandai dengan adanya perubahan
individu tentang identitas, memori, atau kesadarannya. Individu yang mengalami
gangguan ini memperoleh kesulitan untuk mengingat peristiwa-peristiwa penting
yang pernah terjadi pada dirinya, melupakan identitas dirinya bahkan membentuk
identitas baru. Ganggguan ini muncul akibat peristiwa traumatik dalam kehidupan dan
digunakan sebagai pertahan diri menghadapi peristiwa tersebut.
Gangguan disosiatif mencakup 4 gangguan yakni;
a) Amnesia Psikogenik/disosiatif
b) Fugue Disosiatif
9
c) Kepribadian Ganda
d) Gangguan Depersonalisasi
Gangguan Disosiatif belum dapat diketahui penyebab pastinya, namun biasanya
terjadi akibat trauma masa lalu yang berat, namun tidak ada gangguan organik yang
dialami. Gangguan ini terjadi pertama pada saat anak-anak namun tidak khas dan
belum bisa teridentifikasikan, dalam perjalanan penyakitnya gangguan disosiatif ini
bisa terjadi sewaktu-waktu dan trauma masa lalu pernah terjadi kembali, dan
berulang-ulang sehingga terjadinya gejala gangguan disosiatif.
Dalam beberapa referensi menyebutkan bahwa trauma yang terjadi berupa :
a) Kepribadian yang labil
b) Pelecehan seksual
c) Pelecehan fisik
d) Kekerasan dalam rumah tangga (ayah dan ibu cerai)
e) Lingkungan social yang sering memperlihatkan kekerasan
Identitas personal terbentuk selama masa kecil, dan selama itupun, anak-anak lebih
mudah melangkah keluar dari dirinya dan mengobservasi trauma walaupun itu terjadi
pada orang lain.
Pada Gangguan disosiatif, kemampuan kendali dibawah kesadaran dan kendali
selektif tersebut terganggu sampai taraf yang dapat berlangsung dari hari kehari atau
bahkan jam ke jam.
Gejala umum untuk seluruh tipe gangguan disosiatif, meliputi :
a) Hilang ingatan (amnesia) terhadap periode waktu tertentu, kejadian dan orang
b) Masalah gangguan mental, meliputi depresi dan kecemasan
c) Persepsi terhadap orang dan benda di sekitarnya tidak nyata (derealisasi)
d) Identitas yang buram
e) Depersonalisasi
Gangguan disosiatif selalu dihubungkan dengan penyulit yang signifikan. Orang-
orang dengan kondisi seperti ini sering tidak dapat mengelola emosi dan stress dengan
baik. Dan reaksi disosiatifnya dapat menyebabkan teman-temannya mengaggap
dirinya aneh.
Orang-orang dengan pengalaman gangguan psikis kronik, seksual ataupun
emosional semasa kecil sangat berisko besar mengalami gangguan disosiatif. Anak-
ana dan dewasa yang juga memiliki pengalaman kejadian yang traumatic, semisalnya
10
perang, bencana, penculikan, dan prosedur medis yang invasif juga dapat menjadi
faktor resiko terjadinya gangguan disosiatif ini.
Psikoterapi adalah penanganan primer terhadap gangguan disosiatif ini. Bentuk
terapinya berupa terapi bicara, konseling atau terapi psikososial, meliputi berbicara
tentang gangguan yang diderita oleh pasien jiwa. Terapinya akan membantu anda
mengerti penyebab dari kondisi yang dialami. Psikoterapi untuk gangguan disosiasi
sering mengikutsertakan teknik seperti hipnotis yang membantu kita mengingat
trauma yang menimbulkan gejala disosiatif.
Penanganan gangguan disosiatif yang lain meliputi :
a) Terapi kesenian kreatif. Dalam beberapa referensi dikatakan bahwa tipe terapi
ini menggunakan proses kreatif untuk membantu pasien yang sulit
mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka. Seni kreatif dapat membantu
meningkatkan kesadaran diri. Terapi seni kreatif meliputi kesenian, tari, drama
dan puisi.
b) Terapi kognitif. Terapi kognitif ini bisa membantu untuk mengidentifikasikan
kelakuan yang negative dan tidak sehat dan menggantikannya dengan yang
positif dan sehat, dan semua tergantung dari ide dalam pikiran untuk
mendeterminasikan apa yang menjadi perilaku pemeriksa.
c) Terapi obat. Terapi ini sangat baik untuk dijadikan penangan awal, walaupun
tidak ada obat yang spesifik dalam menangani gangguan disosiatif ini.
Biasanya pasien diberikan resep berupa anti-depresan dan obat anti-cemas
untuk membantu mengontrol gejala mental pada gangguan disosiatif ini.
4. Gangguan yang Berhubungan dengan Stress
D. Differential Diagnosis
1. Gangguan Cemas Panik
Gangguan panik adalah gangguan yang ditandai dengan terjadinya serangan
panik yang spontan dan tidak diperkirakan.
Terdapat hipotesis yang melibatkan disregulasi sistem saraf perifer dan pusat di
dalam patofisiologi gangguan panik. Dilaporkan adanya peningkatan tonus simpatik
pada beberapa orang yang panik. Sistem neurotransmiter utama yang terlibat adalah
norepinefrin, serotonin dan gamma-aminobutyric acid (GABA).
11
Ada petunjuk kuat faktor genetik ikut berperan. Angka prevalensi tinggi pada
anak dengan orang tua yang menderita gangguan panik. Demikian juga pada kembar
monozigot. Teori psikososial menyatakan bahwa panik terjadi karena kegagalan
mekanisme pertahanan terhadap impuls yang menyebabkan kecemasan.
Serangan sering dimulai dengan periode gejala yang meningkat dengan cepat
selama 10 menit. Pasien biasanya tidak mampu menyebutkan sumber ketakutannya.
Serangan biasanya berlangsung selama 20-30 menit dan jarang lebih lama dari 1 jam.
Serangan panik adalah periode kecemasan atau ketakutan yang kuat dan relatif
singkat (biasanya kurang dari 1 tahun), yang disertai gejala somatik tertentu.
Gangguan panik sering berlanjut menjadi agorafobia dengan serangan panik.
Gejala somatik saat panik:
a. Palpitasi,
b. Berkeringat,
c. Gemetar,
d. Rasa sesak napas atau tertahan,
e. Perasaan tercekik,
f. Nyeri dada atau perasaan tidak nyaman,
g. Mual atau gangguan perut,
h. Pusing, bergoyang, melayang atau pingsan,
i. Derealisasi atau depersonalisasi,
j. Ketakutan kehilangan kendali atau menjadi gila,
k. Rasa takut mati,
l. Parestesi (mati rasa atau sensasi geli),
m. Menggigil atau perasaan panas.
Gangguan panik biasanya muncul dalam masa remaja akhir atau masa dewasa
awal. Biasanya kronik dan bervariasi tiap individu. Depresi dapat mempersulit
keluhan. Pasien dengan fungsi pramorbid yang baik dan lama gejala singkat
cenderung memiliki prognosis yang baik.
Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan dalam
masa kira-kira satu bulan:
a. Pada keadaan-keadaan dimana secara objektif tidak ada bahaya.
b. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga
sebelumnya.
12
c. Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala ansietas pada periode di
antara serangan-serangan panik.
Penatalaksanaan meliputi farmakoterapi dan psikoterapi. Perlu diketahui bahwa
gejala panik baru tampak berkurang setelah minum obat 2-4 minggu. Psikoterapi
meliputi terapi kognitif dan perilaku. Terapi psikososial lain yang dapat digunakan
adalah terapi keluarga dan psikoterapi berorientasi tilikan. Perhatian khusus ditujukan
kepada makna yang tak disadari terhadap panik.
2. Hipokondriasis
Hipokondriasis adalah kekhawatiran berlebihan bahwa penderita mengalami
penyakit serius dan preokupasi morbid terhadap tubuh atau keadaan sehat, yang tidak
sebanding dengan penyakit medis sebenarnya, serta yang muncul hampir setiap
saat.Istilah hipokondriasis juga digunakan untuk menunjukkan tidak hanya gangguan
independen primer, tetapi juga kepribadian atau gejala pada sejumlah gangguan
psikiatrik misalnya depresi. Gejala-gejala hipokondriasi sebenarnya paling sering
terlihat sebagai gambaran gangguan depresif. Istilah hipokondriasis berasal dari
kepercayaan kuno bahwa keadaan tersebut disebabkan oleh gangguan fisik nyata pada
organ-organ di bawah (hipo-) margo costalis (kondrika).
Secara lebih singkat, hipokondriasis dapat didefinisikan sebagai gangguan
dimana penderitanya mengeluh menderita macam-macam penyakit fisik sehingga
penderitanya selalumempermasalahkan kesehatann tubuhnya. Secara lebih rinci, ciri-
ciri yang ditunjukkan oleh orang yang hipokondrik adalah sebagai berikut:
a. Merasa kurang enak pada bagian tubuh tertentu seperti perut dada, kepala,
alat kelamin atau ditempat-tempat lain akan tetapi tidak dapat memberikan
gambaran yang jelas tentang gejala-gejala tersebut
b. Senantiasa peka akan gejala-gejala penyakit paru
c. Biasanya seorang yang hipokondrik senang membaca buku atau artikel
tentang kesehatan, lalu merasa yakin bahwa dirinya mengidap penyakit
tertentu yang baru dibacanya.
Suatu penelitian yang terbaru menyatakan bahwa prevalensi hipokondriasis dalam
enam bulan mencapai 4 sampai 6 persen dari keseluruhan populasi medis umum,
namun demikian angka presentase ini dapat mencapai 15 persen. Laki-laki dan wanita
mempunyai perbandingan yang sama untuk menderita hipokondriasis. Walaupun
13
onset penyakit dapat terjadi pada keseluruhan tingkatan umur, hipokondriasis paling
sering terjadi pada umur 20 sampai 30 tahun.
Hipokondriasis juga didapatkan pada 3 persen mahasiswa kedokteran terutama
pada dua tahun pertamanya, namun keadaan ini hanyalah hipokondriasis yang bersifat
sementara.
Pasien dengan gangguan hipokondriasis secara khas datang dengan ketakutan
dan perhatian terhadap penyakitnya, dibandingkan dengan gejala yang dirasakan.
Pasien dengan hipokondriasis percaya bahwa mereka sedang menderita suatu penyakit
yang serius yang belum pernah dideteksi dan tidak dapat menerima penjelasan akan
gangguan yang dideritainya.. Hipokondriasis biasanya disertai dengan gejala depresi
dan anxietas dan biasanya bersamaan dengan gangguan depresi dan anxietas.
Pasien mempunyai ketakutan yang hebat dan menetap terhadap penyakit. Mereka
mewaspadai gejala penyakit yang sebenarnya sangat ringan sebagai sesuatu yang
sangat berat dan serius. Pada penderita hipokondriasis didapati adanya preokupasi
terhadap kesehatannya sendiri. Biasanya pasien sering mengunjungi dokter dan tidak
puas akan pelayanan atau informasi yang diterima dari dokternya. Pada DSM-IV-TR
dibatasi bahwa gejala yang timbul telah berlangsung paling kurang 6 bulan dan
keadaan dimana berlangsungnya kurang dari enam bulan akan didiagnosis sebagai
gangguan somatoform yang tidak tergolongkan.
Diagnosis hipokondriasis(F45.2) berdasarkan PPDGJ-III, kedua hal ini harus ada:
a) Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang
serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang
berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun
adanya preokupasi yang menetap kemungkinan deformitas atau perubahan
bentuk penampakan fisiknya (tidak sampai waham);
b) Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter
bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-
keluhannya.
Sementara itu, berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder,
Fourth Edition (DSM-IV-TR) mendefinisikan hipokondriasis (F45.2) berdasarkan
kriteria berikut ini:
a) Preokupasi berupa ketakutan atau pikiran menderita penyakit serius berdasarkan
interprestasi yang keliru mengenai gejala yang dirasakan.
b) Preokupasi untuk memastikan kondisinya dengan pemeriksaann medis tertentu.
14
c) Kepercayaan pada kriteria 1 bukanlah intensitas delusi (seperti gangguan delusi,
tipe somatik) dan tidak terpusat pada satu kelainan yang tampak (seperti pada
gangguan dismorfik).
d) Preokupasi yang menyebabkan distress yang signifikan secara klinis atau
gangguan dalam hubungan sosial, pekerjaan dan area penting lainnya.
e) Durasi gangguan tersebut paling tidak terjadi dalam 6 bulan.
f) Preokupasi tidak dapat diklasifikasikan dalam gangguan ansietas menyeluruh,
gangguan Obsessif kompulsif, gangguan panik, episode depresif mayor,
anxietas perpisahan atau gangguan somatoform yang lain.
Terapi psikiatrik spesifik mungkin berguna jika individu tersebut menyadari
kesulitan emosional yang menyebabkan timbulnya keluhan fisis. Terapi psikiatrik
lebih baik diberikan dalam suasana klinis non-psikiatrik, dengan penekanan pada
pengurangan stress psikososial dan pendidikan mengenai peran faktor-faktor
psikologis terhadap timbulnya gejala dan cara mengatasi gejala tersebut. Dokter harus
berhati-hati jika gejala jelas tampak berperan sebagai pertahanan psikologis yang kuat
dan habis-habisan. Terapi perilaku-kognitif adalah terapi spesifik terpilih.
Obat antidepresan, terutama tipe SSRI, dianjurkan oleh beberapa orang ahli
untuk semua pasien seperti ini, terutama jika sebagian besar gejala hipokondrial
dalam populasi umum disebabkan oleh depresi. Terapi antidepresan tentu saja
merupakan pilihan terapi lini kedua jika terapi perilaku-kognitif gagal atau jika
terdapat penyakit penyerta yang bermakna atau gejala-gejala yang berat. Psikoterapi
kelompok adalah pendekatan psikoterapi terpilih meskipun tujuan utama terapi ini
biasanya suportif bukan kuratif.
3. Gangguan Cemas Menyeluruh
Gangguan Kecemasan Menyeluruh merupakan kecemasan dan kekhawatiran
yang berlebihan akan banyak aktivitas atau peristiwa, yang berlangsung hampir setiap
hari, selama 6 bulan atau lebih.
Kecemasan dan kekhawatiran ini sangat berlebihan sehingga sulit dikendalikan.
Selain itu, penderita mengalami 3 atau lebih dari gejala-gejala berikut: gelisah, mudah
lelah, sulit berkonsentrasi, mudah tersinggung, ketegangan otot, gangguan tidur.
Kekhawatiran bisa mengenai pekerjaan, keuangan, kesehatan, keselamatan dan
tugas-tugas. Berat, frekuensi atau lamanya kekhawatiran tidak sebanding dengan
keadaan yang sesungguhnya.
15
Gangguan ini sering terjadi, sekitar 3-5% orang dewasa pernah mengalaminya
dan dua kali lebih sering terjadi pada wanita. Gangguan ini seringkali berawal pada
masa kanak-kanan atau remaja. Keadaan ini berfluktuasi, semakin memburuk ketika
mengalami stres dan menetap selama bertahun-tahun.
Untuk mengatasinya biasanya diberikan obat golongan benzodiazepin (misalnya
Alprazolam, Lorazepam, Clonazepam, Diazepam, Chlordiazepoxide, Oxazepam)
tetapi obat ini hanya untuk jangka pendek karena pemberian jangka panjang bisa
menyebabkan ketergantungan. Dosis obat akan dikurangi secara perlahan dan tidak
dihentikan secara tiba-tiba.
Buspirone merupakan obat lain yang juga efektif untuk mengatasi kecemasan
menyeluruh. Pemakaian obat in tampaknya tidak menyebabkan ketergantungan fisik.
Tetapi efeknya baru tampak setelah 2 minggu atau lebih, sedangkan efek
benzodiazepin bisa terlihat beberapa menit setelah pemberian obat.
Terapi kognitif dan perilaku telah menunjukkan manfaat untuk mengatasi
gangguan kecemasan menyeluruh. Dengan terapi ini, penderita belajar untuk
mengenali apakah pikiran mereka terganggu, bagaimana cara mengendalikannya, dan
sekaligus bagaimana memodifikasi perilaku. Teknik relaksasi, yoga, meditasi,
olahraga, dan biofeedback juga bisa membantu.
Penyakit kecemasan menyeluruh bisa berhubungan dengan pertentangan
psikis. Pertentangan ini seringkali berhubungan dengan rasa tidak aman dan sikap
kritis yang merusak diri sendiri. Pada keadaan ini dilakukan psikoterapi untuk
membantu memahami dan menyelesaikan pertentangan psikis.
4. Delirium
Delirium adalah suatu sindrom dengan gejala pokok adanya gangguan kesadaran
yang biasanya tampak dalam bentuk hambatan pada fungsi kognitif.
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai pola
gejala serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pasien.
Penyebab utama berasal dari penyakit susunan saraf pusat, penyakit sistemik, dan
intoksikasi atau reaksi putus obat maupun zat toksik. Penyebab delirium terbanyak
terletak diluar sistem saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan hati.
Neurotransmiter yang dianggap berperan adalah asetilkolin, serotonin, serta
glutamat. Area yang terutama terkena adalah formasio retikularis.
Faktor predisposisi terjadinya delirium, antara lain:
16
1. Usia
2. Kerusakan otak
3. Riwayat delirium
4. Ketergantungan alkohol
5. Diabetes
6. Kanker
7. Gangguan panca indera
8. Malnutrisi
Gambaran dapat bervariasi tergantung pada masing-masing individu. Mood,
persepsi, dan tingkah-laku yang abnormal merupakan gejala-gejala psikiatrik umum;
tremor, asteriksis, nistagmus inkoordinasi, inkontinensia urin, dan disfasia merupakan
gejala-gejala neurologik umum.
Gambaran utama adalah gangguan kesadaran berupa kesadaran yang berkabut
dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan, mencantumkan, dan mengalihkan
perhatian. Keadaan ini berlangsung beberapa hari dengan berkembangnya ansietas,
mengantuk, insomnia, halusinasi yang transien, mimpi buruk, dan kegelisahan.
Pasien delirium yang berhubungan dengan sindrom putus zat merupakan jenis
hiperaktif yang dapat dikaitkan dengan tanda-tanda otonom, seperti flushing,
berkeringat, takikardi, dilatasi pupil, nausea, muntah, dan hipertermia. Orientasi
waktu seringkali hilang, sedangkan orientasi tempat dan orang mungkin terganggu
pada kasus yang berat. Pasien seringkali mengalami abnormalitas dalam berbahasa,
seperti pembicaraan yang bertele-tele, tidak relevan, dan inkoheren.
Fungsi kognitif lain yang mungkin terganggu adalah daya ingat dan fungsi
kognitif umum. Pasien mungkin tidak mampu membedakan rangsang sensorik dan
mengintegrasikannya sehingga sering merasa terganggu dengan rangsang yang tidak
sesuai atau timbul agitasi. Gejala yang sering nampak adalah marah, mengamuk, dan
ketakutan yang tidak beralasan. Pasien selalu mengalami gangguan tidur sehingga
sering tampak mengantuk sepanjang hari dan tertidur di mana saja.
Pemeriksaan status mental berguna untuk mengetahui adanya gangguan kognitif
dan bagaimana perjalanan penyakitnya. Pemeriksaan laboratorium disesuaikan
dengan keadaan klinis. Elektroensefalografi (EEG) pada delirium menunjukkan
perlambatan aktivitas.
17
Biasanya delirium mempunyai muncul tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari).
Perjalanan penyakitnya singkat dan berfluktuasi. Perbaikan cepat terjadi apabila
faktor penyebabnya telah dapat diketahui dan dihilangkan.
Walaupun delirium biasanya terjadi mendadak, gejala-gejala prodromal mungkin
telah terjadi beberapa hari sebelumnya. Gejala delirium biasanya berlangsung selama
penyebabnya masih ada namun tidak lebih dari 1 minggu.
Bila kondisi ini merupakan toksisitas antikolinergik, digunakan fisostigmin
salisilat 1-2 mg iv atau im dengan pengulangan dosis setiap 15-30 menit. Selain itu,
perlu dilakukan terapi untuk memberi dorongan perbaikan pada fisik, sensorik, dan
lingkungan.
Untuk mengatasi gejala psikosis digunakan haloperidol 2-10 mg im, yang dapat
diulang setiap 1 jam. Insomnia sebaiknya diobati dengan benzodiazepin yang
mempunyai waktu terapi pendek.
Pedoman Diagnostik
a) Gangguan kesadaran dan perhatian:
Dari taraf kesadaran berkabut sampai dengan koma;
Menurunnya kemampuan untuk mengarahkan, memusatkan, mempertahankan,
dan mengalihkan perhatian;
b) Gangguan kognitif secara umum
Distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi- seringkali visual;
Hendaya daya pikir dan pengertian abstrak, dengan atau tanpa waham yang
bersifat sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang ringan;
Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek, namun daya ingat jangka
panjang relatif masih utuh;
Disorientasi waktu, pada kasus yang berat, terdapat juga disorientasi tempat
dan orang;
c) Gangguan psikomotor
Hipo- atau hiper-aktivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak terduga dari satu
ke yang lain;
Waktu bereaksi lebih panjang;
Arus pembicaraan yang bertambah atau berkurang;
Reaksi terperanjat meningkat;
18
d) Gangguan siklus tidur-bangun :
Insomia atau, pada kasus yang berat, tidak dapat tidur sama sekali atau
terbaliknya siklus tidur- bangun; mengantuk pada siang hari;
Gejala yang buruk pada malam hari;
Mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk, yang dapat berlanjut menjadi
halusinasi setelah bangun tidur;
e) Gangguan emosional:
Misalnya depresi, anxietas atau takut, lekas marah, euforia, apatis atau rasa
kehilangan akal.
f) Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang timbul sepanjang hari, dan
keadaan itu berlangsung kurang dari 6 bulan.
E. CLP
Psikiatri konsultasi-penghubung (consultation-liaison psychiatry) merupakan suatu
bidang keahlian yang berkembang dengan cepat dan semakin diperhatikan. Dokter
psikiatrik berperan sebagai konsultan bagi sejawat kedokteran atau profesional kesehatan
mental lainnya. Pada umumnya, psikiatri C-L adalah berhubungan dengan semua
diagnosis, terapetik, riset, dan pelayanan pendidikan yang dilakukan dokter psikiatrik di
rumah sakit umum dan berperan sebagai jembatan antara psikiatrik dan spesialisasi
lainnnya.
Dokter psikiatrik C-L harus mengerti banyak penyakit medis yang dapat tampak
dengan gejala psikiatrik. Alat yang dimiliki oleh dokter psikiatrik C-L adalah wawancara
dan observasi klinis serial. Tujuan diagnosis adalah untuk mengidentifikasi gangguan
mental dan respon psikologis terhadap penyakit fisik, mengidentifikasi diri kepribadian
pasien, dan mengidentifikasi teknik mengatasi masalah yang karakteristik dari pasien.
Rentang masalah yang dihadapi dokter psikiatrik C-L adaiah luas. Penelitian
menunjukkan bahwa sampal 65 % pasien nawat map medis memiliki gangguan
psikiatrik. Gejala paling sering adalah kecemasan, depresi, dan disorientasi.
Masalah konsultasi-penghubung yang sering:
a) Usaha atau ancaman bunuh diri
b) Depresi
19
c) Agitasi
d) Halusinasi
e) Gangguan tidur
f) Gejala tanpa dasar onganik
g) Disorientasi
h) Ketidakpatuhan atau menolak menyetujui suatu prosedur
20
BAB III
PEMBAHASAN
Gangguan kecemasan diperkirakan diidap 1 dari 10 orang. Menurut data National
Institute of Mental Health (2005) di Amerika Serikat terdapat 40 juta orang mengalami
gangguan kecemasan pada usia 18 tahun sampai pada usia lanjut.
Gangguan cemas prevalensinya di masyarakat diperkirakan 3 %, dan prevelansi
seumur hidup (life time) rata-rata 5 %. Di Indonesia prevalensinya secara pasti belum
diketahui, namun diperkirakan 2% -5%. Gangguan ini lebih sering dijumpai pada wanita
dengan ratio 2 : 1, namun yang datang meminta pengobatan rationya kurang lebih sama atau
1 :1 antara laki-laki dan wanita.
Pasien yang mengalami gangguan kecemasan tingkat panik sering mengalami
kehilangan kendali. Orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan suatu walaupun
dengan pengarahan, panik mengakibatkan disorganisasi kepribadian, menurunnya
kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan
kehilangan pemikiran yang rasional, dan yang sangat menonjol yaitu adanya peningkatan
aktivitas motorik. (Stuart & Sundent, 2000).
Gangguan kecemasan dapat ditandai hanya dengan rasa cemas, atau juga dapat
memperlihatkan seperti fobia atau obsesif dan kecemasan muncul bila gejala utama tersebut
dilawan. Kecemasan diperantarai oleh suatu sistem kompleks yang melibatkan (sedikitnya)
sistem limbik (amigdala, hipokampus), thalamus, korteks frontal secara anatomis dan
norepinefrin (lokus seruleus), serotonin dan aminobutirik-gamma neuroregulator (GABA),
reseptor GABA berpasangan dengan reseptor benzodiazepin pada sistem neurokimia. Hal-
hal yang terlibat dalam sistem kompleks inilah yang nantinya bisa menimbulkan berbagai
macam gejala fisik seperti sesak nafs, berdebar-debar, dan mau pingsan seperti pada skenario
(Tomb, 2004).
Bila terjadi stress, kecemasan, kegelisahan, maka tubuh akan bereaksi
secara otomatis berupa perangsangan hormon dan neurotransmiter. Dalam hal ini stress
akan merangsang pusat hormonal di hipotalamus. Fungsi Hipotalamus disini adalah:
21
mengatur keseimbangan air, suhu tubuh, pertumbuhan tubuh, rasa lapar, mengontrol
marah, nafsu, rasa takut, integrasi respons syaraf simpatis, mempertahankan
homeostasis. Bila syaraf simpatis terangsang maka, denyut nadi dan jantung akan
meningkat yang menyebabkan sensasi berdebar-debar, aliran darah ke jantung, otak, dan
ototpun meningkat, sementara terjadi vasokontriksi pembuluh darah sehingga tekanan darah
pun akan ikut meningkat, pemecahan gula di hati meningkat sehingga gula darah ikut
meningkat di darah. Kortisol yang dikeluarkan oleh korteks adrenal karena perangsangan
hipotalamus, menyebabkan rangsangan susunan syaraf pusat otak. Tubuh waspada dan
menjadi sulit tidur (insomnia). Kortisol merangsang sekresi asam lambung yang dapat
merusak mukosa lambung dan menurunkan daya tahan tubuh.Selain itu aktivitas motorik
yang berlebihan dan peningkatan saraf simpatis akan mengakibatkan pasien merasa terengah-
engah dan sesak nafas.
Seseorang yang mengalami gangguan kecemasan akan terpaksa melarikan diri
(flight) atau berkelahi (fight), yaitu dengan cara mengerahkan seluruh energi psikologis guna
mempertahankan dirinya. Energi psikologis yang masih tersedia semakin lama semakin
berkurang sebagai akibat mekanisme pembelaan yang tidak mampu melawan ancaman
tersebut, sehingga menimbulkan sejumlah perubahan pada organ tubuh, yang ditandai dengan
gangguan fisiologik, otonomik, biokimiawi, hormonal dan gangguan psikologik. Pada posisi
dimana energi pasien untuk melawan gangguan habis, pasien bisa pingsan atau seperti mau
pingsan, seperti yang ada pada skenario.
Pada skenario, Nyonya M, datang ke UGD dengan keluhan tiba-tiba sesak napas,
seperti tercekik, keluar keringat dingin dan berdebar-debar. Kejadian seperti ini pernah
dialami oleh pasien 2 minggu sebelumnya sehingga menjalani rawat inap di RS selama 5
hari. Hal ini dapat disebabkan karena neurotransmiter yang berhubungan pada gangguan
panik sebelumnya. Pada skenario juga dikatakan tekanan darah pasien 150/90 mmHg.
Tekanan darah yang tinggi disebabkan karena panik yang dialami pasien tersebut. Ketika
seseorang panik hal ini akan merangsang hipotalamus lalu menuju sistem saraf otonom
(simpatis) dan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah, sehingga aliran darah ke ginjal
akan menurun dan menyebabkan peningkatan renin dan angiotensin.
Pada pasien dengan gangguan kecemasan, dihasilkan neurotransmitter yang memacu
kerja sistem saraf otonom. Ketika sistem saraf otonom dipacu, akan timbul fungsi yang
abnormal dari organ-organ yang kerjanya dipengaruhi oleh sistem saraf otonom. Pada pasien
22
di skenario, pasien mengalami sesak napas, keluar keringat dingin, berdebar-debar, dan
tekanan darah yang tinggi.
Dari hasil pemeriksaan status mental didapatkan mood/afek cemas. Hal ini
menunjukkan emosi pasien didominasi oleh rasa cemas terhadap suatu hal. Selain itu pada
pasien juga didapatkan free floating anxiety. Pasien merasa cemas, namun hal yang
menyebabkan pasien merasa cemas tidak jelas atau nyata. Hasil pemeriksaan status mental
yang lain adalah pasien mengalami preokupasi terhadap kesehatannya. Hal ini menunjukkan
bahwa pasien dikuasai oleh keadaan kesehatannya, artinya pasien terlalu fokus terhadap
kesehatannya atau merasa ada yang salah dengan kesehatannya yang sebenarnya tidak
menunjukkan kelainan serius.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan status mental, didapatkan diagnosis kerja
pasien di skenario adalah gangguan cemas panik. Penatalaksanaan meliputi farmakoterapi
dan psikoterapi. Perlu diketahui bahwa gejala panik baru tampak berkurang setelah minum
obat antianxietas 2-4 minggu. Psikoterapi meliputi terapi kognitif dan perilaku. Terapi
psikososial lain yang dapat digunakan adalah terapi keluarga dan psikoterapi berorientasi
tilikan. Perhatian khusus ditujukan kepada makna yang tak disadari terhadap panik.
23
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1 Pada skenario ini, pasien menderita Gangguan Kecemasan
2 Gangguan Kecemasan pada pasien diyakini timbul karena preokupasi yang
dirasakan oleh pasien terhadap kesehatannya.
B. Saran
1 Dokter bisa memberikan tatalaksana yang tepat serta edukasi untuk pasien untuk
mengurangi Kecemasan yang dirasakan pasien.
2 Keluarga pasien bisa lebih memperhatikan keadaan pasien agar pasien bisa lebih
tenang, dan agar apabila ada perubahan pada kondisi pasien keluarga bisa segera
menghubungi Dokter untuk memeriksa pasien.
24
DAFTAR PUSTAKA
BKKBN NAD. 2010. Gangguan Psikosomatis. http://nad.bkkbn.go.id/rubrik/200/ (diunduh
pada 11 Desember 2011).
Basant K.P, Paul J.L, Ian H.T, di dalam Buku Ajar Psikiatri (Textbook of Psychiatry), Edisi
ke-2, Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Bab: Gangguan Disosiasi (Konversi) dan
Somatoform, Gangguan Hipokondrial, hal 224-7.
Benjamin J.S, Virginia A.S, In Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/ Clinical Psychiatry, 10th Edition, 2007, Lippincott Williams & Wilkins,
Chapter 17: Somatoform Disorder, Hypochondriasis. page 642-3.
Jonathan S. A, University of North Carolina at Chapel Hill, Hypochonriasis: What is it and
How do you Treat it. Available from
(http://www.ocdchicago.org/images/uploads/pdf/EP13.pdf)
Kaplan H, Sadock B, Grebb J. (1997). Kaplan dan Sadock: Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Psikiatri Klinis. Edisi Ketujuh. Jilid Dua. Jakarta: Binarupa Aksara
Mansjoer, Arif. et.al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Satu. Jakarta: Media
Aesculapius FK UI.
Maramis, W. F.; Maramis, A. A. 2009. Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform, dan
Gangguan Terkait Stres, dalam Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya, Pusat
Penerbitan dan Percetakan (AUP).
Maslim Rusdi, (2001). Buku Saku Diagnosa Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari PPDGJ –
III. Jakarta: Nuh Jaya
Michael B., James J.S, In Psycosomatic Medicine, Section 3: Psychiatric Conditions, Chapter
33: Hypochondriasis, page 565-9
Michael H.E, Peter T.L, Barry N, In CURRENT Diagnosis & Treatment in Psychiatry, Lange
2000, Section III: Syndromes and Their Treatments in Adult Psychiatry, Chapter 25:
Somatoform Disorder, Hypochondriasis.
25