Download - Gadis Misterius
1
“Di mana saya?”
“Anda sudah sadar? Anda jangan cemas, Anda berada di kamar saya di
Obbeyville.”
“Obbeyville? Mengapa saya berada di sini?”
“Saya yang membawa Anda kemari.”
“Mengapa? Apa yang telah terjadi pada diri saya sehingga saya berada
di sini?”
“Anda tidak ingat apa yang terjadi pada Anda?”
“Tidak, saya tidak mampu mengingat apa pun.”
“Siapakah nama Anda?” tanyanya penuh perhatian, “Saya akan
menghubungi keluarga Anda.”
“Nama saya…,” gadis itu termenung.
Wanita itu semakin cemas dibuatnya.
“Saya tidak ingat. Saya tidak dapat mengingat apa pun. Bahkan nama
maupun masa lalu saya,” jawab gadis itu dengan sedih setelah terdiam untuk
beberapa saat.
Wanita tua itu memandang sedih pada gadis itu. Gadis itu tampak
pucat sekali ketika ia menemukannya tergeletak pingsan di tepi Sungai
Alleghei yang mengalir di tepi timur Obbeyville.
Saat itu ia sedang berjalan-jalan di pagi hari di tepi sungai yang berada
di dekat rumahnya itu, seperti biasanya. Belum jauh ia berjalan dari
pondoknya, ia melihat seseorang tergeletak pingsan di tepi sungai itu. Di
sekeliling orang itu tampak sesuatu yang bersinar keemasan.
Segera ia mendekat dan ia menemukan seorang gadis pingsan di tepi
sungai itu. Rambut panjang gadis itulah yang bersinar keemasan tertimpa
sinar matahari pagi di awal musim panas.
Sekujur tubuh gadis itu basah oleh air sungai yang jernih itu. Wajahnya
tampak pucat sekali dan suhu tubuhnya panas sekali.
Ia segera memanggil seseorang untuk membantunya membawa gadis
itu ke pondoknya. Ia merawat gadis yang pingsan itu dengan penuh
perhatian.1
Gadis itu tak sadarkan diri selama beberapa hari. Selama itu sering
suhu tubuhnya tiba-tiba menjadi tinggi sekali sehingga membuatnya panik.
Penduduk Obbeyville menjadi gempar tatkala mendengar berita
diketemukannya gadis itu di sungai yang mereka anggap suci. Penduduk
Obbeyville merupakan sebagian penduduk Kerajaan Zirva yang masih
mempercayai mitos.
Bagi penduduk Obbeyville, Sungai Alleghei yang bermata air di Holly
Mountain merupakan sungai suci tempat para dewa mereka mengirimkan
anugerahnya kepada manusia. Mereka juga percaya sungai itu dibuat oleh
para dewa dari Holly Mountain menuju tempat tinggal manusia.
Sedangkan Holly Mountain itu sendiri dipercayai penduduk Obbeyville
sebagai tempat tinggal pada dewa. Karena itu mereka mengkeramatkan
sungai itu.
Konon Holly Mountain dijaga oleh makhluk halus agar tidak seorangpun
yang dapat mencapai puncaknya yang berkabut. Di balik kabut yang
diciptakan para dewa untuk melindungi tempat itu; terdapat tempat yang
sangat indah yang dipercaya sebagai tempat tinggal para dewa tersebut.
Mereka juga percaya bila awan di puncak Holly Mountain hitam
pertanda para dewa sedang marah. Tetapi bila awan di puncak Holly
Mountain cerah artinya para dewa tidak sedang marah.
Penduduk Obbeyville sering mengadakan upacara persembahan di
Sungai Alleghei. Korban yang diberikan kepada para dewa biasanya berupa
hasil panen selama setahun. Korban itu dibakar hingga berupa abu kemudian
abu itu disebarkan di sungai.
Upacara itu diadakan beberapa kali dalam setahun. Namun yang selalu
dilakukan tiap tahun adalah saat tahun baru, awal musim semi dan akhir
musim semi.
Pada saat tahun baru, mereka berdoa untuk keselamatan dan
kebahagiaan mereka sepanjang tahun yang akan datang juga bersyukur atas
perlindungan dewa kepada mereka selama tahun yang baru berlalu.
Selain mengadakan upacara persembahan, mereka juga mengadakan
pesta di sepanjang sungai itu untuk memeriahkan tahun baru. Tidak jarang
pula mereka mengadakan perlombaan yang tidak hanya diikuti oleh
penduduk Obbeyville juga penduduk Blueberry.
Di awal musim semi mereka mengharapkan berkat para dewa agar hasil
panen mereka sepanjang musim itu berlimpah. Kemudian di penghujung 2
musim, mereka mengadakan upacara untuk bersyukur atas berkat yang
diberikan para dewa sehingga panen mereka berlimpah.
Di Sungai Alleghei banyak sekali ikan, namun tak seorangpun yang
berani mengusik ikan itu apalagi memancing ikan itu. Mereka percaya ikan-
ikan itu adalah suruhan para dewa. Ikan-ikan itu mengantarkan anugerah
dewa kepada manusia sekaligus menjaga Sungai Alleghei agar tidak dikotori
manusia.
Penduduk Obbeyville mulai menduga-duga asal usul gadis itu. Sebagian
dari mereka menduga gadis itu adalah utusan dewa. Sebagian orang yang
tidak mempercayai mitos percaya gadis itu hanyut di sungai itu.
Ia memandang gadis itu dan mengagumi kecantikan serta keanggunan
yang terpancar dari wajahnya yang cantik walaupun wajah itu tampak pucat.
Rambutnya yang selalu bersinar tampak seperti emas yang indah di atas
bantal. Matanya yang berwarna keunguan itu memandang sedih sekeliling
ruangan itu.
Sewaktu ia menemukannya, ia mengenakan gaun yang indah sekali,
seuntai kalung emas yang indah melingkari lehernya yang putih itu. Ia
menduga umur gadis itu sekitar dua puluh tahunan.
“Saya turut menyesal. Anda jangan bersedih karenanya, saya yakin
suatu saat nanti ingatan Anda akan pulih kembali,” kata wanita tua itu.
“Kalau boleh saya tahu, siapakah Anda?”
“Semua orang memanggil saya Mrs. Vye, saya pengurus rumah tangga
di keluarga Sidewinder,” jawab Mrs. Vye.
“Terima kasih telah merawat saya selama saya tak sadarkan diri, Mrs.
Vye,” kata gadis itu, ”Maaf saya telah merepotkan Anda, keluarga tempat
Anda bekerja tentunya marah kepada Anda karena Anda telah menolong
saya, gadis yang tak dikenal ini.”
“Anda tidak perlu khawatir mengenai hal ini, bagi saya ini memang
sudah menjadi kewajiban saya untuk menolong sesama saya. Keluarga
Sidewinder juga tidak mencela tindakan saya,” kata wanita itu.
“Anda beristirahatlah dulu. Saya akan mengambilkan sesuatu untuk
Anda makan. Anda baru sadar setelah beberapa hari tak sadarkan diri
tentunya Anda merasa lapar,” saran wanita itu.
“Anda belum menceritakan kepada saya apa yang terjadi pada saya
sehingga saya berada di pondok Anda,” kata gadis itu mengingatkan.
“Jangan cemas, saya pasti akan menceritakannya pada Anda. Sekarang 3
Anda beristirahatlah dulu, Anda baru saja sadar,” kata Mrs. Vye. Kemudian
tanpa menunggu jawaban gadis itu, ia lekas meninggalkan gadis itu sendirian.
Ia merasa bersalah kepada gadis itu karena telah membohonginya.
Sebenarnya Baroness Lora, majikannya mencelanya karena telah menolong
gadis itu. Ia telah mengetahui sebelumnya, bahwa Baroness Lora akan marah
bila mengetahui ia membawa seorang gadis tak dikenal ke pondoknya.
Tetapi ia juga tidak dapat menyembunyikan hal ini dari majikannya
tersebut. Pondok tempat tinggalnya berada di atas tanah keluarga
Sidewinder.
Pondok yang terletak tak jauh dari rumah utama keluarga Sidewinder
itu, diberikan padanya sebagai tempat tinggalnya saat ia mulai menjabat
sebagai pengurus rumah tangga di keluarga itu.
Lady Debora, putri keluarga Sidewinder sering mendatangi pondok
mungilnya yang terbuat dari kayu itu. Itu sebabnya ia tak dapat
menyembunyikannya dari Baroness Lora. Selain itu seluruh penduduk
Obbeyville membicarakan gadis itu sejak ia menemukannya pingsan di tepi
Sungai Alleghei.
Ketika Mrs. Vye baru tiba di Sidewinder House, seorang wanita cantik
dengan wajahnya yang menampakkan permusuhan, tiba-tiba menghadang
jalan.
Wanita itu melipat kedua tangannya di depan dadanya kemudian ia
menatap Mrs. Vye dengan tatapan yang tajam dan penuh permusuhan.
Mrs. Vye diam saja. Ia tahu apa yang akan ditanyakan majikannya yang
cantik itu.
“Bagaimana gadis itu? Apa ia sudah sadar?” tanya Baroness Lora tanpa
terdengar sedikitpun nada prihatin.
“Sudah, Yang Mulia,” jawab Mrs. Vye.
“Kalau begitu ia dapat segera dipulangkan ke keluarganya,” kata
Baroness Lora.
“Maaf, Yang Mulia. Saya rasa Anda tidak dapat melakukan hal itu, gadis
itu hilang ingatan,” kata Mrs. Vye.
“Apa! Apa katamu tadi?” seru terkejut Baroness Lora.
“Gadis itu tidak dapat mengingat masa lalunya. Ia hilang ingatan,” jelas
Mrs. Vye.
Baroness terdiam. Kedua tangannya tampak bergerak gelisah – tanda ia
sedang memikirkan sesuatu yang sangat serius.4
Mrs. Vye memperhatikan wanita yang dipandang semua orang sebagai
bidadari namun dalam pandangannya bidadari berhati iblis itu sibuk berpikir.
Ia menanti kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulut wanita itu.
“Tidak bisa! Aku tidak mengijinkan gadis itu ada di sini. Aku tidak peduli
apakah ia hilang ingatan atau tidak. Yang pasti ia harus segera meninggalkan
tempat ini,” tegas Baroness Lora.
“Anda tidak bisa melakukan hal sekeji itu padanya,” Mrs. Vye terkejut
mendengar keputusan Baroness Lora. “Mungkin saja gadis itu utusan dewa.”
“Omong kosong! Aku tidak percaya kepada hal-hal semacam itu.”
“Anda tetap tidak boleh melakukannya.”
“Mengapa tidak? Akulah yang berkuasa di sini sejak suamiku meninggal
dan kata-kataku harus dituruti, termasuk kau!” kata Baroness Lora.
“Anda tidak dapat melakukan hal sekeji itu padanya. Kita harus
membantu gadis itu,” kata Mrs. Vye mencoba membela gadis yang
ditolongnya itu.
“Lakukan apa yang kukatakan! Aku tidak peduli apa yang terjadi pada
gadis miskin itu.”
“Anda jangan berkata seperti itu. Memang kita tidak tahu siapa dia,
tetapi mungkin saja ia seorang putri bangsawan.”
“Putri bangsawan katamu?” kata Baroness Lora mengejek.
“Saya yakin ia seorang putri bangsawan. Gaun yang dikenakannya
sewaktu saya menemukannya itu sudah cukup membuktikan bahwa saya
benar.”
“Mengapa aku harus percaya terhadapmu? Bisa saja ia mencuri gaun
itu kemudian mengenakannya,” kata Baroness Lora terus mengejek gadis
yang ditemukan Mrs. Vye tergeletak pingsan di tepi Sungai Alleghei.
“Kalau Anda yakin itu gaun curian, mengapa Anda merampas gaun itu
dari gadis itu?” tantang Mrs. Vye.
“Aku tidak merampasnya, gaun itu tidak cocok dipakai olehnya.
Lagipula gaun itu hanya cocok dipakai putri bangsawan sejati seperti
anakku.”
“Anda merampasnya dari gadis itu! Apa yang akan Anda lakukan
seandainya gadis itu ingat akan gaunnya?”
“Dia tidak akan mengingatnya,” kata Baroness Lora, “Kalaupun kelak ia
ingat, aku tidak peduli. Ia pasti akan sadar bahwa gaun itu tidak cocok
dikenakannya. Gaun itu hanya cocok bagi putriku. Sekarang lakukan apa yang 5
kukatakan. Bawa gadis itu pergi dari tempat ini!”
“Saya tidak akan melakukannya,” kata Mrs. Vye keras kepala.
“Lakukan apa yang kukatakan! Atau kupecat kau,” ancam Baroness
Lora.
“Anda tidak dapat memecat saya,” kata Mrs. Vye mengingatkan.
“Mengapa tidak? Akulah yang berkuasa di sini?”
“Anda ingin kehilangan harta keluarga Sidewinder?” Mrs. Vye terus
menentang Baroness Lora.
Baroness Lora terkejut mendengar kata-kata Mrs. Vye yang
mengingatkannya pada wasiat suaminya yang menyatakan ia harus tetap
mempertahankan Mrs. Vye di keluarga ini bila ingin memperoleh warisannya.
Baron Marx Sidewinder menyayangi Mrs. Vye seperti menyayangi
ibunya sendiri. Karena itu ia tidak ingin Baroness Lora melakukan hal yang
buruk terhadapnya.
Sewaktu ia masih hidup, Baroness Lora tidak berani mencelanya. Tetapi
Baron Marx Sidewinder tahu istrinya tidak menyukai Mrs. Vye.
Demikian pula Mrs. Vye tidak menyukai Baroness Lora. Walaupun
begitu Mrs. Vye tetap bersikap sopan kepada Baroness Lora karena Mrs. Vye
masih memandang wanita itu sebagai istri Baron Marx Sidewinder. Andaikata
Baroness Lora bukan istri anak asuh yang disayanginya, ia takkan mau
bersikap hormat sekali pun dipaksa.
Sejak kematian Baron Marx Sidewinder, permusuhan yang selama ini
mereka pendam mulai tampak dan akhir-akhir ini menjadi semakin panas
sejak Mrs. Vye menemukan gadis itu. Perang dingin telah berubah menjadi
perang panas yang siap meledak setiap saat.
Ia mengumpat marah dan berkata, “Aku memang tidak dapat
memecatmu. Tapi aku bisa melakukan tindakan yang lainnya untuk
mengeluarkan gadis itu dari tanahku.”
Sekarang giliran Mrs. Vye yang terkejut mendengar ancaman Baroness
Lora. Ia tidak mengira Baroness Lora akan nekat mengeluarkan gadis malang
itu dari tempat ini.
Sejak Baroness Lora tahu ia menemukan seorang gadis di Sungai
Alleghei dan merawatnya, Baroness Lora terus-menerus menyuruhnya
mengeluarkan gadis itu.
Baroness Lora mengatakan gadis itu hanya akan membebani keluarga
Sidewinder yang hartanya semakin menipis setiap harinya.6
Namun karena Mrs. Vye mengatakan bahwa semua orang akan
memandang rendah pada Baroness Lora bila ia tidak mau membantu gadis
malang itu, maka Baroness Lora mengijinkan gadis itu tinggal. Tetapi hanya
hingga gadis itu sadar.
Setiap hari Baroness Lora menanyakan keadaan gadis itu kepada Mrs.
Vye hanya karena ia ingin segera mengeluarkan gadis itu dari rumahnya.
Mrs. Vye memandang Baroness Lora sebagai seorang wanita berwajah
bidadari tetapi berhati iblis. Baroness Lora sangat cantik, rambutnya yang
merah bersinar cerah mengimbangi sinar matanya yang hijau.
Mrs. Vye percaya Baroness Lora memanfaatkan kecantikkannya untuk
mendapatkan harta berlimpah dengan memikat Baron Marx Sidewinder. Ia
juga mencurigai Baroness Lora berada di balik peristiwa pembunuhan Baron
Marx Sidewinder.
Sejak Baroness Lora memasuki rumah ini, pengeluaran keluarga ini
terus membengkak. Baroness Lora sangat menyenangi pesta, hampir tiap
hari ia mengadakan pesta besar di rumah ini. Ia juga senang menghamburkan
uang untuk membeli gaun baru. Hampir setiap hari pula, Baroness Lora pergi
membeli gaun baru.
Sewaktu Baron Marx Sidewinder masih hidup, mereka masih dapat
mengatasi jumlah pengeluaran yang terus membengkak itu. Namun sejak
kematian Baron Marx Sidewinder, keuangan keluarga Sidewinder mulai
kacau. Baroness Lora dengan terpaksa mengurangi kebiasaannya membeli
gaun baru dan mengadakan pesta.
Ternyata sifat Baroness Lora menurun pada putrinya. Lady Debora juga
senang pergi ke pesta dan membeli gaun baru. Itulah sebabnya mengapa
gaun gadis itu diambil oleh Baroness Lora. Lady Debora langsung menyukai
gaun itu sewaktu ia melihat Mrs. Vye menjemur gaun itu.
Lady Debora mengatakan kepada ibunya bahwa ia menyukai gaun yang
dijemur Mrs. Vye. Baroness Lora segera pergi melihat gaun yang dijemur Mrs.
Vye karena ia tidak mempercayai kata-kata putrinya.
“Gaun yang dijemur Mrs. Vye itu sangat indah. Benar-benar indah, gaun
itu gaun paling indah yang pernah kulihat. Kainnya pun sangat halus. Aku
ingin mempunyai gaun sebagus itu,” kata Lady Debora kepada ibunya.
Dari sinilah Baroness Lora mengetahui bahwa Mrs. Vye telah menolong
seorang gadis yang tak dikenal. Ia mencela tindakan Mrs. Vye. Setelah itu ia
mengatakan akan membawa gaun itu dan memberikannya kepada putrinya. 7
Mrs. Vye sudah mencoba mempertahankan gaun itu, namun malang ia tidak
dapat berbuat jauh.
Lady Debora sangat senang ketika mendapat gaun itu dan segera
memamerkannya kepada teman-temannya. Lady Debora menjadi semakin
senang ketika teman-temannya memuji gaun barunya itu.
Mrs. Vye merasa bersalah pada gadis itu karena telah membiarkan
mereka mengambil gaunnya sewaktu ia tak sadarkan diri. Tetapi Mrs. Vye
juga merasa lega karena ia tidak menunjukkan kalung emas yang melingkari
leher gadis itu pada mereka.
Bila ia menunjukkannya pada mereka, tentunya mereka juga akan
mengambilnya dari gadis itu.
Sekarang hanya kalung itulah satu-satunya benda yang dapat
membantu gadis itu untuk mengingat masa lalunya.
“Kau dengar tidak apa yang kukatakan? Lekas cepat keluarkan gadis itu
dari rumahku,” perintah Baroness Lora tak sabar.
Mrs. Vye baru akan mencoba memberikan pembelaan terhadap gadis
itu ketika Lady Debora muncul.
“Bagaimana Mrs. Vye, apakah gadis itu sudah sadar?” tanya Lady
Debora.
“Sudah, Tuan Puteri. Hanya saja gadis itu tidak dapat mengingat masa
lalunya,” jawab Mrs. Vye.
“Ia hilang ingatan?” tanya Lady Debora terkejut. “Bagaimana ia bisa
hilang ingatan kalau hanya hanyut di sungai? Seseorang akan hilang
ingatannya bila kepalanya membentur benda dengan keras.”
“Saya tidak tahu, Tuan Puteri. Tapi mungkin kepalanya membentur
sesuatu sewaktu hanyut di sungai.”
“Mungkin saja kepalanya membentur sesuatu sewaktu hanyut di sungai
dan menyebabkannya tak sadarkan diri,” ulang Lady Debora.
“Aku tidak peduli apa yang kalian bicarakan. Sekarang cepat keluarkan
gadis itu dari sini,” kata Baroness Lora semakin tidak sabar melihat Mrs. Vye
tidak segera melakukan perintahnya.
“Jangan, Mama. Biarkan saja gadis itu di sini,” kata Lady Debora.
“Untuk apa kita membiarkan gadis itu di sini? Ia hanya membuat
pengeluaran kita semakin membengkak saja. Semakin cepat ia keluar dari
rumah ini semakin baik. Dengan demikian kita tidak perlu mengeluarkan
biaya yang tidak perlu hanya untuk memelihara gadis miskin itu.”8
Mrs. Vye sangat marah mendengar kata-kata Baroness Lora yang jelas
sekali menunjukkan kebenciannya pada gadis yang sama sekali tidak mereka
kenal itu.
Entah apa yang membuat mereka membenci gadis tak dikenal itu. Mrs.
Vye menduga kedua wanita di hadapannya ini tidak menyukai gadis itu
karena gadis itu cantik. Bagi Mrs. Vye gadis malang itu jauh lebih cantik dari
kedua majikannya dan ia yakin semua orang akan mengatakan hal yang
sama.
Walaupun hatinya telah dipenuhi kemarahan namun Mrs. Vye menahan
amarahnya mengingat kedudukannya di situ hanya sebagai seorang
pengurus rumah tangga.
Baroness Lora dengan mudahnya mengatakan membiarkan gadis itu
berada di keluarga Sidewinder berarti menghambur-hamburkan uang. Ia tidak
melihat kenyataan bahwa sesungguhnya ia sendirilah yang menghambur-
hamburkan uang dengan berfoya-foya setiap harinya.
“Aku bisa memanfaatkan gadis itu, Mama.”
“Memanfaatkan untuk apa?” tanya Baroness Lora tak mengerti.
“Untuk menarik perhatian Alexander. Bila kita membiarkan gadis itu di
sini, keluarga Blueberry akan menganggap kita ini baik dan nilai kita di
hadapan mereka akan naik. Dengan demikian usahaku untuk mendapatkan
Alexander menjadi semakin mudah,” jelas Lady Debora.
“Ide bagus! Tapi apa yang harus kita lakukan pada gadis itu, apakah
kita akan membiarkannya tinggal di sini tanpa melakukan apa pun?” tanya
Baroness Lora.
“Tentu tidak, Mama. Aku akan menjadikannya sebagai pelayanku.
Dengan demikian aku tidak hanya mendapatkan kemudahan untuk menarik
perhatian Alexander, tetapi juga akan membuatku semakin terlihat
berkuasa,” kata Lady Debora bangga.
“Engkau memang pintar. Mama setuju denganmu,” kata Baroness Lora.
Mereka merencanakan suatu rencana jahat tanpa mempedulikan Mrs.
Vye yang mendengar semuanya dengan sangat jelas dari tempatnya berdiri.
Ia merasa marah mendengarnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Ia merasa tidak ada jalan lain yang dapat dilakukannya selain itu,
walaupun itu jalan yang paling buruk. Tetapi ia tidak tahu apakah gadis itu
akan mengerti bila ia mengatakan hal ini kepada gadis itu.
“Kau dengar, Mrs. Vye? Gadis itu boleh tinggal di sini asalkan ia mau 9
menjadi pelayan Debora,” kata Baroness Lora. “Berikan baju pelayan
kepadanya.”
“Katakan kepada kami apabila ia sudah cukup sehat untuk menjadi
pelayanku,” kata Lady Debora. “Aku mengharapkan agar ia cepat sehat.
Semakin cepat, semakin baik.”
“Saya akan melaksanakan perintah Anda,” kata Mrs. Vye.
“Bagus. Sekarang cepat urus dia,” kata Baroness Lora kasar.
Mrs. Vye meninggalkan Ruang Besar. Dengan bergegas, ia menuju
dapur, dan menyiapkan apa yang dipikirkannya ketika ia berjalan menuju
Sidewinder House.
Mrs. Vye segera kembali ke pondok mungilnya dengan membawa
sebuah nampan dengan berbagai macam hidangan di atasnya. Ia tidak peduli
Baroness Lora akan marah bila melihatnya membawa hidangan mewah untuk
gadis itu.
Ia berada di antar perasaan senang dan marah. Ia senang gadis itu
masih dapat tinggal bersamanya, tetapi ia juga marah karena Baroness Lora
serta Lady Debora memperlakukan gadis itu dengan tidak sewajarnya.
Menurut pendapatnya, sebaiknya gadis itu diperlakukan secara layak
seperti halnya seorang putri bangsawan. Ia sangat yakin bahwa gadis itu putri
bangsawan. Kesopanan dalam tutur katanya yang lemah lembut, yang
ditunjukkan gadis itu padanya – membuatnya semakin meyakini
pendapatnya.
Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu melindungi gadis itu tanpa
mempedulikan apa yang akan dikatakan atau dilakukan oleh Baroness Lora.
Mrs. Vye ingin melindungi gadis malang itu bukan hanya karena gadis
itu kehilangan ingatan tetapi juga karena rasa sayang yang telah tumbuh di
hatinya sejak ia merawat gadis itu.
Sebuah senyuman menghiasi wajah Mrs. Vye ketika ia berpikir betapa
mudahnya ia menyayangi gadis yang tak dikenalnya itu. Mrs. Vye mengakui
kalau gadis itu mampu membuat siapa saja menyayangi dirinya.
Beberapa orang yang melihatnya membawa nampan, menghampirinya
dan bertanya pertanyaan yang sama, “Apakah gadis itu sudah siuman?”
Ia juga selalu memberikan jawaban yang sama kepada mereka, “Ya.
Tetapi ia hilang ingatan.”
Kemudian mereka menyatakan simpatinya kepada Mrs. Vye atas
keadaan gadis tak dikenal itu.10
Segera, berita mengenai keadaan gadis itu yang kehilangan ingatannya
tersebar luas ke seluruh penjuru Obbeyville. Secepat menyebarnya berita
diketemukannya gadis itu di Sungai Alleghei oleh Mrs. Vye.
Tanpa mempedulikan penduduk yang berbisik-bisik, ia terus berjalan ke
pondok mungilnya. Tatkala membuka pintu, ia mendengar suara dari dalam
kamar. Bergegas ia menuju kamar tempat gadis itu terbaring.
Mrs. Vye terkejut tatkala melihat gadis itu berusaha berdiri ketika
mendengar langkah kakinya. Ia segera meletakkan nampan di sebuah meja
kecil di samping tempat tidur kemudian ia memaksa gadis itu berbaring
kembali.
“Mengapa Anda meninggalkan tempat tidur?” tanya Mrs. Vye.
“Saya ingin melihat tempat ini,” jawab gadis itu.
“Anda akan dapat melakukannya bila Anda telah sembuh benar.
Sekarang Anda harus banyak beristirahat agar segera sembuh. Saya akan
mengantar Anda berjalan-jalan di sekeliling tempat ini bila Anda telah sehat.”
“Terima kasih atas kebaikan hati Anda.”
“Anda tidak perlu berterima kasih, sudah kewajiban saya menolong
sesama yang membutuhkan pertolongan.”
“Anda baik sekali seperti…,” gadis itu tiba-tiba berhenti.
Ia berusaha memikirkan kelanjutan kata-katanya tetapi seakan-akan
masa lalunya berada di balik kabut yang sangat tebal, di dalam kegelapan
yang pekat.
“Jangan bersedih! Perlahan-lahan ingatan Anda akan kembali,” kata
Mrs. Vye menghibur gadis itu.
Gadis itu tersenyum untuk meyakinkan Mrs. Vye. Sebenarnya, ia
merasa sedih tidak dapat mengingat masa lalunya. Ia tidak ingin membuat
Mrs. Vye ikut menjadi sedih karena itu ia menyembunyikannya dari Mrs. Vye.
“Tampaknya kita akan menemui kesulitan bila Anda tidak mempunyai
nama. Mulai sekarang saya akan memanggil Maria pada Anda. Apakah Anda
menyukainya?”
“Saya senang sekali dengan nama itu. Siapa yang tidak senang
memiliki nama yang sama dengan Bunda Maria, Perawan Suci?” kata gadis itu
– tersenyum.
“Putri saya juga menyenangi nama itu,” kata Mrs. Vye. “Ia selalu
merasa bangga dengan namanya itu.”
“Saya ingin berkenalan dengan putri Anda.”11
“Putri saya meninggal beberapa tahun lalu karena sakit,” kata Mrs. Vye
sedih.
“Maafkan saya, saya tidak berniat mengungkit kesedihan Anda. Saya
turut berduka cita,” kata gadis itu.
“Tidak apa-apa. Saya sudah dapat menerima kenyataan bahwa putri
saya telah meninggalkan saya untuk selama-lamanya,” kata Mrs. Vye.
“Sekarang Anda harus makan kemudian meminum obat yang diberikan
dokter. Dan beristirahat yang banyak agar lekas sehat.”
Mrs. Vye merawat Maria dengan penuh kasih sayang. Ia berusaha
menjaga gadis itu siang malam. Mrs. Vye menyelesaikan tugas rutinnya
dengan cepat kemudian ia kembali ke sisi Maria. Ia melarang gadis itu
meninggalkan tempat tidurnya sebelum sembuh benar.
Ia selalu mengajak gadis itu bercakap-cakap untuk menghilangkan
kebosanan gadis itu dan ia senang bercakap-cakap dengan gadis itu. Banyak
yang diceritakan Mrs. Vye kepada Maria dan ia terkejut tatkala mengetahui
pengetahuan gadis itu yang luas.
“Pengetahuanmu luas sekali. Lebih luas dari Tuan Puteri,” kata Mrs. Vye
ketika ia bercerita kepada gadis itu mengenai mitos yang ada di Obbeyville.
“Terima kasih. Saya merasa pernah mendengar mitos itu karena itu
saya mengetahuinya,” kata Maria merendahkan diri.
Mrs. Vye tersenyum melihat kerendahan hati Maria. Baginya, sifat yang
dimiliki gadis itu sama seperti pemilik namanya yaitu Bunda Maria. Ia semakin
menyayangi gadis itu dalam waktu yang singkat. Ia telah menganggap gadis
itu sebagai putrinya sendiri.
Beberapa kali Lady Debora menjenguk gadis itu, ia tampak sangat
senang ketika melihat keadaan gadis itu yang mulai membaik.
Ketika gadis itu telah benar-benar sembuh, Mrs. Vye merasa
kebingungan. Ia tidak tahu bagaimana menyampaikan pembicaraannya
dengan Baroness Lora dan Lady Debora kepada gadis itu. Tetapi ia tetap
memutuskan untuk memberi tahu segalanya pada gadis itu.
“Maria, aku ingin engkau mengetahui sesuatu. Tetapi sebelumnya aku
minta maaf kepadamu karena telah menyembunyikan hal ini darimu. Engkau
boleh marah kepadaku, aku merasa itu yang seharusnya aku terima,” kata
Mrs. Vye.
Maria tersenyum pada Mrs. Vye. Ia sangat menyayangi Mrs. Vye yang
dirasanya mirip seseorang dari masa lalunya, seseorang yang sangat dekat 12
dengannya.
Walaupun belum lama Maria berada di dekat Mrs. Vye tetapi ia merasa
seperti telah lama mengenal wanita itu. Maria menduga itu karena ia merasa
Mrs. Vye mirip dengan seseorang dari masa lalunya yang gelap.
“Anda sangat baik kepada saya. Tidak pantas bila saya marah kepada
Anda. Anda tidak perlu meminta maaf atas apa pun, walaupun Anda telah
menyembunyikan sesuatu dari saya. Saya percaya Anda melakukannya untuk
kebaikan saya.”
“Engkau tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas tetapi juga
sangat bijaksana. Aku senang mendengar kata-katamu,” kata Mrs. Vye, “Aku
akan mulai dari waktu aku menemukanmu.”
Maria merasa senang karena akhirnya ia dapat mengetahui di mana
dan kapan Mrs. Vye menemukannya. Namun ia menyembunyikan
kesenangan hatinya itu sebab ia mengetahui Mrs. Vye sedang membicarakan
sesuatu yang penting.
“Engkau telah mengetahui bahwa aku mempunyai kebiasaan berjalan-
jalan di tepi Sungai Alleghei di pagi hari, bukan?”
Maria memandang wajah Mrs. Vye yang tampak suram. Ia menduga ada
sesuatu yang sangat menyedihkan yang disembunyikan Mrs. Vye darinya.
Dengan tenang, ia terus menanti cerita Mrs. Vye.
“Pada suatu pagi, aku melihatmu tergeletak pingsan di tepi sungai itu.
Saat itu aku masih belum jauh dari pondokku, aku segera menghampirimu
dan melihat wajahmu yang sangat pucat. Aku segera meminta bantuan untuk
membawamu ke pondokku ini. Kemudian aku segera memanggil dokter.”
Mrs. Vye melihat wajah Maria. Wajah gadis itu tampak tenang
mendengar ceritanya kemudian ia melanjutkan ceritanya,
“Saat aku menemukanmu, engkau mengenakan seuntai kalung emas
yang indah. Gaunmu juga tidak kalah indahnya dari kalungmu. Kain gaun itu
sangat halus seperti sutra, jahitannya sangat lembut. Benangnya yang
berwarna kuning cerah seperti rambutmu tampak seperti emas di kain yang
putih itu. Namun karena itulah engkau kehilangan gaun itu,” katanya dengan
sedih.
“Sewaktu aku menjemur gaun itu, Tuan Puteri datang. Ia melihat gaun
itu dan menyukainya. Ia kembali ke rumahnya dan tak lama kemudian Tuan
Puteri menemuiku bersama Yang Mulia. Mereka marah terutama Yang Mulia
marah sekali ketika mengetahui aku telah menolongmu.”13
Mrs. Vye memperhatikan wajah Maria yang masih tetap tenang sebelum
ia melanjutkan dengan sedih, “Kemudian mereka mengambil gaun itu,
mereka mengatakan gaun itu tidak pantas untukmu. Aku minta maaf
kepadamu karena tidak dapat mempertahankan gaun itu.”
Entah mengapa Maria tidak terkejut mendengar cerita itu. Apa yang
diceritakan Mrs. Vye juga tidak membuat Maria merasa marah kepada
Baroness serta putrinya yang telah mengambil gaunnya saat ia tak sadarkan
diri.
“Tidak apa-apa, Mrs. Vye. Saya tidak marah kepada Anda, Anda jangan
meminta maaf lagi. Saya telah menduga Anda berbohong kepada saya ketika
Anda mengatakan bahwa keluarga Sidewinder tidak memarahi Anda,” kata
Maria – tersenyum pengertian.
“Saya mengerti Anda sengaja berbohong kepada saya karena Anda
tidak ingin saya merasa sedih. Saya semakin percaya hal itu ketika saya
melihat Lady Debora, ia tampak sangat angkuh.”
Maria teringat pada penampilan Lady Debora sewaktu wanita itu
menjenguknya. Lady Debora mengenakan gaun yang indah seperti hendak ke
pesta, rambut merahnya yang digelung tinggi-tinggi dihiasi rangkaian
muntiara yang menambah kesan mewah pada dirinya. Mata hijaunya
menatap rendah padanya.
“Bolehkan saya melihat kalung itu?” tanya Maria.
“Tentu. Kalung itu milikmu. Tunggulah sebentar,” kata Mrs. Vye.
Mrs. Vye menuju kamarnya yang terletak di samping kamar Maria. Ia
membuka sebuah laci yang terdapat di dalam lemari pakaiannya. Diraihnya
sebuah kalung emas yang terletak di sudut paling dalam dari laci itu.
Kemudian ia bergegas kembali ke kamar Maria.
“Inilah kalung yang melingkari lehermu sewaktu aku menemukanmu,”
kata Mrs. Vye.
Maria terdiam memandangi kalung yang berada di tangannya. Rantai
kalung itu sangat halus, sebuah leontin emas berbentuk hati yang sangat
indah menghiasi kalung itu. Permata yang berada di tengah-tengah leontin
itu, tampak berkilau-kilau tertimpa matahari sore. Ia berusaha mengingat
sesuatu yang berkaitan dengan kalung itu.
“Saya merasa kalung ini sangat penting bagi saya. Tetapi saya tidak
tahu mengapa,” kata Maria perlahan.
“Jangan bersedih, Maria! Waktu akan memulihkan ingatanmu,” kata 14
Mrs. Vye, “Engkau tidak boleh menunjukkan kalung itu kepada siapa pun.
Saya khawatir mereka akan menduga engkau mencurinya. Bila Tuan Puteri
mengetahui engkau mempunyai kalung emas yang indah, ia akan
menggunakan segala cara untuk memperoleh kalung itu.”
“Saya merasa kalung ini sangat penting karena itu saya tidak ingin
siapa pun mengambil kalung ini,” kata Maria sambil mengenakan kalung itu.
“Kalung itu merupakan kalung terindah yang pernah kulihat seumur
hidupku. Tetapi aku merasa kalung itu menjadi lebih indah di lehermu.”
“Terima kasih atas pujian Anda. Saya merasa kalung ini tampak lebih
indah bila berkilau di bawah sinar matahari.”
“Sayang, gaun itu diambil oleh Tuan Puteri. Bila engkau mengenakan
gaun itu juga, engkau tentu tampak semakin cantik,” kata Mrs. Vye sedih.
Maria tersenyum lembut, “Janganlah Anda merasa bersalah hanya
karena gaun itu. Nyawa saya yang telah Anda selamatkan jauh lebih penting
daripada gaun yang hilang itu. Anggaplah saya tidak mengenakan gaun itu
ketika Anda menemukan saya.”
“Aku selalu merasa sedang berbicara dengan orang bijak bila berbicara
denganmu.”
“Anda jangan berkata seperti itu. Saya masih hijau dibandingkan Anda
yang telah puluhan tahun menghuni dunia ini,” kata Maria merendahkan diri.
Mrs. Vye tersenyum. Tiba-tiba raut wajahnya menjadi serius lagi dan ia
berkata:
“Aku masih harus menyampaikan sesuatu kepadamu. Engkau telah
mengetahui keluarga Sidewinder marah ketika mengetahui aku merawatmu.
Mereka ingin segera mengusirmu, tetapi aku bersikeras mempertahankanmu.
Mereka akhirnya memperbolehkan aku merawatmu sampai engkau sadar.”
Mrs. Vye menghela napasnya seperti berusaha mengendalikan
perasaannya. Ia melanjutkan ceritanya,
“Kami kembali bertengkar ketika aku mengatakan bahwa engkau hilang
ingatan. Aku tidak pernah menyukai Yang Mulia, karena itu aku dengan gigih
menentangnya. Ia marah sekali, tetapi ia tidak dapat memecatku. Sebab bila
ia melakukannya, ia akan kehilangan harta keluarga Sidewinder. Kemudian
Tuan Puteri muncul, ia mengusulkan engkau boleh tinggal asalkan engkau
mau menjadi pelayannya.”
“Saya mengerti, Mrs. Vye. Saya tidak marah kepada Anda, Anda tidak
perlu meminta maaf. Saya telah merepotkan Anda dan membawa Anda ke 15
dalam kesulitan karena itu saya tidak ingin Anda merasa bersalah,” kata
Maria ketika melihat Mrs. Vye merasa bersalah.
“Saya berterima kasih kepada Anda yang telah merawat saya walaupun
dilarang oleh keluarga Sidewinder. Saya dengan senang hati akan menerima
persyaratan mereka.”
Mrs. Vye tampak terharu mendengar kata-kata Maria, “Engkau sangat
bijaksana walau engkau masih muda. Engkau pasti seorang putri
bangsawan.”
“Saya tidak mengetahui siapa diri saya di masa lalu. Yang saya ketahui
sekarang adalah saya, seorang gadis tak dikenal yang beruntung dapat
bertemu wanita sebaik Anda.” Maria tersenyum lembut pada Mrs. Vye.
“Masih ada yang harus kauketahui. Tuan Puteri memintamu menjadi
pelayannya karena didorong dua hal yang sangat menguntungkannya. Atau
dengan kata lain, ia memanfaatkanmu.”
Sekali lagi Mrs. Vye berhenti bercerita untuk memperhatikan Maria.
Gadis itu tampak sangat tenang, seolah-olah apa yang dikatakan Mrs. Vye
tidak berarti sama sekali baginya.
“Pertama, ia berpikir dengan membiarkanmu tinggal di tempat ini, ia
akan lebih mudah mendapatkan perhatian Tuan Muda Alexander. Kedua,
dengan membawamu sebagai seorang pelayan ke mana pun ia pergi, ia
merasa semakin berkuasa.”
“Siapakah Alexander?” tanya Maria.
“Ia putra Duke of Blueberry. Ia sangat tampan dan baik hati, engkau
akan segera menyukainya seperti gadis-gadis lainnya bila telah bertemu
dengannya,” Mrs. Vye tersenyum menggoda pada Maria.
“Namun aku yakin Tuan Puteri berusaha mendapatkan perhatian Tuan
Muda Alexander bukan karena ia mencintainya. Tetapi karena ia mengejar
harta keluarga Blueberry, seperti ibunya yang dulu menikah untuk
mendapatkan harta keluarga Sidewinder.”
“Mendengar cara Anda berbicara mengenai keluarga Sidewinder,
tampaknya Anda sangat membenci mereka,” kata Maria.
“Aku memang tidak menyukai mereka baik Yang Mulia maupun Tuan
Puteri. Mereka memiliki sifat yang sama, mereka senang berfoya-foya. Itulah
sebabnya mereka mengincar orang kaya. Saya percaya Yang Mulia juga
berperan dalam peristiwa pembunuhan suaminya,” kata Mrs. Vye geram.
“Apa yang terjadi pada Baron Marx Sidewinder?”16
“Sepuluh tahun yang lalu, ketika ia berburu ia ditemukan meninggal.
Pelakunya telah tertangkap, tetapi aku tetap merasa Yang Mulia juga terlibat
dalam peristiwa itu. Aku sangat menyayanginya, akulah yang mengasuhnya
sejak kecil. Ia juga menyayangiku,” kata Mrs. Vye dengan sedih.
“Ia mengetahui di antara aku dan istrinya terdapat permusuhan, karena
itu ia menulis wasiat yang bunyinya Yang Mulia tidak boleh memecatku
ataupun bertindak kasar kepadaku bila ia masih menginginkan harta keluarga
Sidewinder.”
Mrs. Vye berhenti sebentar untuk meredakan kemarahannya kemudian
melanjutkan, “Semula, harta keluarga Sidewinder berlimpah. Namun karena
mereka berdua berfoya-foya setiap hari, harta keluarga itu mulai menipis.
Yang Mulia mulai merasa risau, namun ia mempunyai akal yang licik. Ia
merusak kehormatan keluarga Sidewinder, ia mulai berkencan dengan pria-
pria yang kaya.”
“Maafkan saya, tentunya kedatangan saya makin memperburuk
hubungan Anda berdua,” kata Maria menyesal.
“Aku benar-benar tidak menyukainya sejak dulu. Karena itu engkau
tidak perlu merasa bersalah. Bila engkau melihat kami bertengkar, jangan
cemas. Itu sudah menjadi bagian dari kehidupan kami. Tetapi aku masih
menghormatinya sebagai nyonya keluarga Sidewinder.”
“Kapankah saya memulai pekerjaan itu? tanya Maria.
“Tuan Puteri ingin engkau memulainya setelah engkau sembuh,” jawab
Mrs. Vye.
“Baiklah, saya mengerti. Besok saya akan memulainya.”
“Apakah engkau benar-benar menerimanya?” tanya Mrs. Vye ragu-ragu.
“Saya menerimanya dengan senang hati,” kata Maria meyakinkan.
“Tetapi engkau…,” Mrs. Vye tampak semakin ragu-ragu.
“Mrs. Vye, saya tidak tahui siapa saya di masa lalu. Saat ini hanya satu
yang saya ketahui. Saya seorang gadis yang beruntung dapat bertemu wanita
sebaik Anda. Saya tidak ingin membuat Anda mengalami kesulitan lagi. Saya
dengan senang hati menerima syarat yang diajukan mereka,” kata Maria
meyakinkan Mrs. Vye.
Mrs. Vye tampak ragu-ragu terhadap keputusan Maria. Ia tampak
berusaha menemukan jalan keluar yang terbaik dari masalah ini tanpa perlu
menjadikan gadis itu sebagai pelayan Lady Debora.
“Saya akan merasa bosan bila tidak ada yang dapat saya kerjakan. 17
Menjadi seorang pelayan bukanlah hal yang memalukan. Saya akan
menyukainya.”
Mendengar keputusan Maria yang telah mantap, Mrs. Vye akhirnya
mengangguk mengerti. Ia menghargai segala keputusan yang dibuat gadis
itu.
“Apakah Anda dapat menunjukkan kepada saya sungai tempat Anda
menemukan saya?” tanya Maria mengganti topik pembicaraan yang
dirasanya membuat Mrs. Vye semakin banyak berpikir.
“Tentu saja.”
“Apakah sungai itu berada tak jauh dari sini? Setiap hari saya
mendengar suara air mengalir,” kata Maria.
“Ya. Sungai itu sangat dekat dari sini.”
18
2
Keesokan paginya Mrs. Vye terkejut tatkala melihat Maria tengah sibuk
di dapur. Ia tak menduga gadis itu akan bangun pagi-pagi.
“Selamat pagi, Mrs. Vye,” kata Maria sambil tersenyum.
“Apa yang kaulakukan? Mengapa engkau berada di dapur?” tanya Mrs.
Vye.
“Saya sedang membuat teh untuk kita berdua. Apakah Anda menyukai
teh? Saya tidak menemukan cokelat atau yang lain di sini selain teh.”
“Ya, aku sangat menyukainya. Aku tidak pernah meminum kopi atau
cokelat karena itu aku tidak memilikinya. Apakah engkau menyukai cokelat
hangat? Bila engkau menyukainya, aku dapat mengambilkannya untukmu
dari Sidewinder House.”
“Anda tidak perlu susah payah melakukan itu. Saya juga menyukai teh,”
kata Maria, “Apakah kita akan pergi sekarang?”
Mrs. Vye tersenyum kemudian berkata, “Aku menyukai semangatmu
yang tinggi itu. Tetapi saat ini masih terlalu dini untuk berjalan-jalan di tepi
Sungai Alleghei. Tunggulah hingga matahari mulai menampakkan dirinya.”
“Saya senang melihat matahari terbit. Setiap hari saya bangun pagi-
pagi kemudian menuju…,” kata-kata Maria terhenti.
“Menuju… menuju…,” katanya sambil berusaha menyingkapkan tabir
kegelapan yang pekat di ingatannya.
Mrs. Vye mendekati gadis itu dan memegang lengannya. “Jangan
sedih,” kata Mrs. Vye, “Perlahan-lahan ingatanmu akan pulih kembali.”
Maria menganggukkan kepalanya kemudian ia tersenyum pada Mrs.
Vye.
“Apakah Anda mau secangkir teh?” tanya Maria.
Mrs. Vye dan Maria duduk berhadap-hadapan di meja kayu yang
terdapat di ruang itu. Mereka bercakap-cakap sembari menanti matahari
meninggalkan peraduannya.
“Hari mulai terang,” kata Maria, “Saya akan mengganti gaun ini dengan
baju yang Anda berikan kemarin malam.”
“Untuk apa engkau mengenakan baju pelayan itu sekarang? Bila 19
matahari telah tinggi, engkau baru memulai pekerjaan itu,” kata Mrs. Vye
terkejut.
“Saya berencana berjalan-jalan di tepi Sungai Alleghei hingga tiba
waktunya bagi saya untuk melayani Tuan Puteri.”
“Tetapi mengapa engkau memilih mengenakan baju itu? Kenakanlah
gaun yang aku berikan padamu. Nanti bila engkau akan ke Sidewinder House,
barulah engkau mengenakan baju itu,” saran Mrs. Vye.
“Terima kasih, Mrs. Vye. Saya akan menuruti saran Anda.”
“Mari kubantu,” kata Mrs. Vye mengikuti Maria.
“Terima kasih, Mrs. Vye. Tetapi maafkan saya, saya bisa melakukannya
sendiri,” Maria menolak halus.
“Sudahlah. Biarkan aku membantumu,” kata Mrs. Vye.
Maria tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk mencegah Mrs. Vye.
Wanita tua itu telah menutup pintu kamarnya dan mulai membantunya
mengenakan gaun yang diberikannya kepada gadis itu.
Gaun putih yang sederhana itu menambah kesan keanggunannya.
Leher gaun itu cukup tinggi sehingga dapat menutupi kalung yang
dikenakannya.
Mrs. Vye tampak senang melihatnya dalam gaun itu.
“Engkau cantik sekali,” kata Mrs. Vye.
“Terima kasih.”
Maria melihat Mrs. Vye akan merapikan rambutnya. Ia segera berkata.
“Tidak perlu, Mrs. Vye. Saya akan membiarkan rambut saya terurai.”
“Tetapi rambutmu yang panjang ini akan membuat engkau terganggu,”
kata Mrs. Vye sambil menyentuh rambut panjang Maria.
Maria tersenyum. “Saya senang membiarkan rambut saya terurai. Saya
tidak akan terganggu karenanya.”
“Baiklah,” kata Mrs. Vye mengalah, “Sekarang aku akan bersiap-siap.
Tunggulah aku. Aku tidak akan lama.”
Mrs. Vye segera menghilang dari hadapan Maria.
Sesaat kemudian mereka berdua meninggalkan pondok mungil Mrs.
Vye. Berdua mereka berjalan menuju Sungai Alleghei kemudian menyusuri
tepi sungai itu.
Sinar matahari yang menyilaukan perlahan-lahan muncul di antara
kerimbunan pohon yang berada di seberang Sungai Alleghei.
Embun pagi berkilau-kilau seperti permata. Tetes demi tetes embun itu 20
mengalir jatuh dari dedaunan.
Pohon-pohon tinggi di seberang sungai tampak seperti menghalangi
matahari memancarkan sinar paginya yang lembut ke seluruh permukaan
dunia. Udara pagi yang sejuk membuat perasaan menjadi damai.
Air Sungai Alleghei mengalir tenang. Beberapa ekor ikan tampak
berenang-renang riang menyambut datangnya hari baru di sungai yang jernih
itu. Air sungai yang cukup dalam itu tampak mulai berkilau-kilau tertimpa
cahaya matahari ketika mereka tiba di tepi sungai itu.
“Sungai ini indah sekali. Benar-benar sungai anugerah,” kata Maria.
“Engkau pun bagai anugerah bagiku. Selama ini aku tinggal sendiri di
sini tetapi setelah engkau datang, aku tidak kesepian lagi.”
“Terima kasih, Mrs. Vye. Saya juga senang tinggal bersama Anda.”
“Penduduk Obbeyville menjadi gempar ketika aku menemukanmu
tergeletak pingsan di sungai ini. Mereka menduga engkau utusan pada dewa,
tetapi ada beberapa orang yang menolak anggapan itu,” kata Mrs. Vye.
“Tampaknya kedatangan saya yang tak terduga ini membuat banyak
masalah,” kata Maria dengan menyembunyikan kesedihannya di balik
senyumannya yang menawan.
Ia merasa sedih telah menimbulkan banyak masalah bagi Mrs. Vye juga
bagi penduduk Obbeyville.
“Aku merasa akan timbul masalah yang lebih besar lagi bila mereka
telah melihatmu. Kecantikkanmu sama seperti keindahan sungai tempat kau
ditemukan ini,” kata Mrs. Vye, “Bahkan mungkin engkau lebih cantik dari
sungai ini.”
“Anda jangan membesar-besarkan,” kata Maria merendahkan diri,
“Saya hanyalah seorang gadis biasa bukan utusan para dewa. Saya terlalu
hina untuk menjadi utusan para dewa yang agung.”
Mrs. Vye tersenyum mendengar kerendahan hati Maria, “Mereka akan
semakin percaya bahwa engkau adalah bidadari utusan pada dewa bila
melihatmu mengenakan gaun itu. Engkau semakin mirip bidadari dengan
gaun putih itu. Aku merasa senang dapat berjalan di samping gadis secantik
engkau.”
“Anda jangan memuji saya terlalu tinggi. Saya bukan seorang bidadari
yang cantik jelita. Saya hanyalah manusia biasa yang berdosa. Bagi saya,
cantik tidaknya seseorang bukan dilihat dari wajahnya. Tetapi dari hatinya,”
kata Maria.21
“Engkau memang cantik baik wajah maupun hatimu seperti Bunda
Maria.”
“Saya makhluk berdosa ini tidaklah berarti apa-apa di hadapan Bunda
Maria yang suci. Karena itu Anda jangan menyamakan saya dengan Bunda
Maria.”
“Baiklah. Aku tidak akan melakukannya lagi bila engkau tidak
menginginkannya,” kata Mrs. Vye.
Tak lama kemudian kata-kata Mrs. Vye menjadi kenyataan. Mereka
terus menyusuri tepi sungai itu.
Beberapa orang yang berjumpa dengan mereka tampak terkejut
sewaktu melihatnya. Mereka semakin percaya bahwa Maria adalah bidadari
utusan dewa ketika melihat wajah gadis itu yang cantik dan keanggunannya.
“Ia benar-benar bidadari utusan dewa,” bisik beberapa orang.
Penduduk Obbeyville menjadi gempar lagi tatkala gadis itu keluar
rumah untuk pertama kalinya itu. Sebelumnya ia hanya berada di pondok
Mrs. Vye. Setiap hari ia hanya berbaring untuk memulihkan kesehatannya.
Sebelumnya hanya mereka yang telah menolongnyalah yang melihat
wajahnya. Saat itu mereka tidak sempat memperhatikan wajahnya. Mereka
sibuk menolongnya. Hingga pagi ini hanya Mrs. Vye dan Lady Debora yang
telah melihatnya.
Mrs. Vye selalu memuji kecantikkan Maria, sedangkan Lady Debora
tidak pernah mempedulikan kata-kata Mrs. Vye yang memuji kecantikkan
Maria karena ia menganggap dirinya paling cantik di kerajaan ini.
Tetapi sebenarnya Lady Debora juga merasa iri melihat rambut Maria
yang selalu bersinar cemerlang. Namun keangkuhan Lady Debora tidak
mengijinkannya untuk menunjukkan perasaan irinya itu dengan jelas.
Sebagai pelampiasan atas kekesalannya melihat rambut Maria yang
indah, ia memperlakukan gadis itu sebagai orang yang lebih rendah
kedudukannya dari dirinya. Ia membenci Maria.
Kebenciannya kepada Maria memang tidak pernah diutarakannya
secara langsung tetapi sikapnya membuat Maria mengetahui perasaan benci
dan iri pda wanita itu.
Walaupun telah mengetahui hal itu Maria tetap diam. Ia hanya
tersenyum bila melihat wajah Lady Debora yang berusaha menutupi
kebenciaannya bila mereka bertemu.
Maria menduga kebencian Lady Debora itu karena ia telah membuat 22
keadaan keluarga Sidewinder semakin sulit.
Mereka terus berjalan sambil menikmati udara pagi musim panas yang
hangat hingga Mrs. Vye berhenti. Saat itu mereka tak jauh dari pondok.
“Di sinilah aku melihatmu tergeletak pingsan,” kata Mrs. Vye.
Maria memandangi tepi sungai yang ditunjuk Mrs. Vye. Tepi sungai itu
tampak lebih dangkal daripada tepi sungai yang lainnya. Beberapa ikan
berenang di antara bebatuan di dasar sungai. Airnya yang jernih berkilau-
kilau memantulkan cahaya matahari.
Mrs. Vye melihat Maria tampak berusaha mengingat sesuatu, “Jangan
sedih. Lambat laun ingatanmu akan pulih kembali. Mari kita melanjutkan
perjalanan panjang kita.”
Mereka berdua berjalan menyusuri tepi sungai sambil bercerita
mengenai keindahan Sungai Alleghei. Mereka tidak mempedulikan orang-
orang yang berbisik di belakang mereka. Mereka tampak menikmati
keindahan sungai itu.
Matahari telah menyingkapkan langit gelap di barat. Langit biru tampak
cerah berhiaskan awan putih. Mrs. Vye terkejut melihat langit telah terang.
“Aku harus segera pergi ke Sidewinder House. Aku telah terlambat. Bila
engkau ingin terus menyusuri tepi sungai ini, berhati-hatilah jangan terlalu
dekat ke tepi sungai,” kata Mrs. Vye.
Maria menganggukkan kepala mendengar pesan itu. Ia memandangi
punggung Mrs. Vye yang semakin menjauh. Kemudian ia melanjutkan
perjalanannya lagi.
Sesekali ia memandang permukaan sungai yang memantulkan
bayangan langit biru dan pepohonan di seberang sungai. Angin pagi musim
panas yang hangat bertiup perlahan menerpa tubuhnya.
Ia menghentikan langkah kakinya ketika melihat ikan-ikan berenang
dengan lincahnya di sungai itu. Ikan-ikan itu tampak tidak terganggu dengan
kedatangannya. Mereka terus berenang ke sana ke mari, berkejar-kejaran di
antara bebatuan di dasar sungai.
Maria merasa senang melihat ikan-ikan itu berenang ke sana ke mari di
dasar sungai, sesekali mereka melompat ke permukaan air.
Ia berdiri mematung di tepi sungai memandangi gerakan lincah ikan-
ikan itu. Ia tenggelam dalam dunianya sendiri hingga tidak menyadari
seseorang tengah terpesona di belakangnya.
Pria itu terpesona pada seorang wanita yang berdiri di tepi Sungai 23
Alleghei. Wanita itu berdiri mematung seperti sedang memandangi sesuatu.
Rambut wanita itu sangat panjang, panjangnya mencapai lutut. Baru
sekali ini ia melihat rambut sepanjang rambut wanita itu. Rambut itu tampak
bersinar seperti sinar matahari pagi. Ia senang melihat rambut panjang
wanita itu melambai-lambai tertiup angin.
Wanita itu berdiri dengan anggun di tepi sungai itu seperti ingin
menyatu dengan alam. Ia ingin melihat wajah wanita itu, namun wanita itu
terus berdiri memunggunginya walau kuda yang ditungganginya meringkik.
Ia terus melihat wanita itu dari atas kudanya, ia tidak ingin mendekati
wanita itu karena takut mengganggunya.
“Hati-hati! Tepi sungai itu licin,” serunya ketika melihat wanita itu
berjalan perlahan-lahan ke tengah sungai.
Maria terkejut mendengar seruan itu, ia memandang ke arah asal
seruan itu. Ia lebih terkejut ketika melihat seorang pria duduk di atas kudanya
sembari memandangi wajahnya. Dengan cepat, Maria menghilangkan
keterkejutannya.
Kemudian dengan tenang ia memandangi wajah pria itu. Wajah pria itu
tampan, mata kelabunya memandang ramah kepadanya. Usia pria itu sekitar
dua puluh lima tahunan.
Ia melihat rambut hitam pria itu melambai tatkala ia turun dari atas
kudanya.
Pria itu semakin terpesona padanya ketika wanita itu memalingkan
wajahnya. Wanita itu lebih muda dari yang diduganya. Wajah gadis itu
tampak tenang, namun sesaat yang lalu ia melihat gadis itu terkejut.
Mata yang keunguan jernih itu memandang tenang kepadanya seolah
tidak pernah terjadi apa-apa. Mata itu tampak serasi dengan wajah klasiknya
yang cantik maupun rambut panjangnya yang bersinar seperti sinar matahari
pagi.
Ia segera turun dari kudanya dan mendekati gadis itu.
Ketika ia semakin mendekat dengan gadis itu, ia menyadari mata gadis
itu tidak lagi tampak keungunan melainkan benar-benar berwarna ungu.
Wajah gadis itu tidak hanya memancarkan kecantikannya tetapi juga
keanggunan.
“Tepi sungai ini licin. Anda bisa terjatuh ke dalam sungai yang cukup
dalam ini bila Anda terlalu dekat,” kata pria itu.
“Terima kasih atas peringatan Anda,” kata Maria sembari tersenyum, 24
“Rupanya saya tidak sadar telah semakin mendekati sungai itu ketika
memandang ikan-ikan itu.”
“Suara Anda sangat merdu,” katanya.
Pipi Maria memerah mendengar pujian pria itu. Ia merasa aneh ketika
pria itu memujinya.
“Terima kasih,” katanya tersipu.
“Apakah saya boleh mengetahui nama Anda?”
“Maafkan saya. Saya tidak dapat memberi tahu Anda, saya tidak dapat
mengingat nama saya di masa lalu.”
Pria itu terkejut. Ia telah mendengar berita diketemukannya seorang
gadis oleh Mrs. Vye, ia juga telah mendengar gadis itu kehilangan ingatan.
Sepanjang jalan, ia mendengar orang-orang berbicara mengenai gadis itu.
“Saya senang sekali dapat bertemu Anda. Sepanjang jalan tadi, saya
mendengar orang-orang membicarakan Anda,” katanya, “Mereka
mengatakan Anda cantik sekali seperti seorang bidadari, beberapa di antara
mereka percaya Anda adalah bidadari. Semula saya tidak mempercayai
mereka. Namun setelah bertemu dengan Anda sendiri, saya percaya kepada
mereka. Anda jauh lebih cantik dari yang mereka katakan.”
“Terima kasih. Saya merasa tersanjung mendengar pujian Anda,” kata
Maria. “Namun saya bukan seorang bidadari, saya hanyalah seorang manusia
biasa seperti Anda.”
“Anda jangan merendahkan diri. Anda memang pantas
mendapatkannya. Semua penduduk Obbeyville pasti setuju dengan pendapat
saya.”
“Saya, seorang gadis tak dikenal tidak pantas mendapatkannya,” kata
Maria merendahkan diri.
“Anda jangan berkata seperti itu. Penduduk Obbeyville telah mengenal
Anda sebagai bidadari utusan dewa. Mereka membicarakan Anda sejak Mrs.
Vye menemukan Anda tergeletak pingsan di sungai ini.”
“Rupanya kedatangan saya yang tidak terduga ini membuat banyak
masalah,” kata Maria dengan menyembunyikan kesedihannya di balik
senyumnya yang menawan.
Pria itu menggelengkan kepala, “Anda tidak membuat masalah apa
pun. Penduduk daerah ini tidak mempermasalahkan kedatangan Anda yang
tidak terduga ini. Mereka hanya membicarakan Anda sebab ini pertama
kalinya ditemukan seorang gadis tergeletak pingsan di Sungai Alleghei yang 25
dianggap suci oleh penduduk.”
“Saya berharap setelah saya tidak ada lagi yang mengalami hal ini.”
Pria itu tersenyum padanya. “Saya juga berharap seperti itu,” katanya.
Maria memandangi ikan-ikan yang berenang di dasar sungai. Ia terkejut
ketika melihat bayangan matahari mulai tampak di permukaan sungai itu. Ia
menengadahkan kepala ke langit biru dan melihat matahari bersinar
menyilaukan di pucuk pohon.
“Maafkan saya, saya tidak dapat berbicara lebih lama lagi dengan Anda.
Saya harus terburu-buru agar tidak terlambat,” kata Maria.
“Saya akan mengantar Anda pulang,” kata pria itu menawarkan
bantuan.
“Anda baik sekali, tetapi maafkan saya. Saya lebih menyukai berjalan
menyusuri tepi sungai,” Maria menolak halus.
“Saya dapat mengantar Anda dengan menyusuri sungai ini,” pria itu
menawarkan bantuannya lagi.
Sekali lagi, Maria menolak bantuan pria itu, “Terima kasih, tetapi saya
lebih menyukai berjalan kaki menyusuri sungai yang indah ini.”
Ia mengucapkan selamat tinggal kepada pria itu kemudian
membalikkan badan dan berlari menuju pondok Mrs. Vye.
Ia tidak ingin terlambat pada hari pertamanya. Dengan tergesa-gesa ia
mengganti gaunnya dengan baju pelayan yang diberi Mrs. Vye malam
sebelumnya.
Baju pelayan itu sama seperti yang dikenakan Mrs. Vye. Baju itu
berwarna hitam berhiaskan warna putih pada ujung lengannya yang panjang
dan lehernya yang tinggi.
Rambutnya yang panjang dikepangnya kemudian digelung rapi
olehnya. Ia merasa aneh tatkala melakukan pekerjaan itu, seperti telah biasa
melakukannya.
Setelah merasa dirinya cukup rapi, Maria berjalan menuju Sidewinder
House yang tak jauh dari pondok Mrs. Vye.
Sehari sebelumnya, Mrs. Vye telah bercerita kepadanya mengenai
rumah itu, ia juga berpesan agar Maria masuk melalui pintu belakang.
Rumah yang cukup besar itu tampak tak terawat. Tumbuh-tumbuhan
liar tumbuh di sekitar rumah itu. Sekilas rumah itu tampak seperti rumah tak
berpenghuni.
Warna putih pada dindingnya tampak mulai memucat. Daun ivy yang 26
tumbuh di dindingnya, masih menghijaukan dinding itu di beberapa tempat.
Di beberapa tempat lainnya, daun ivy telah menguning.
Atapnya tampak coklat kekuningan oleh lumut yang kering di musim
panas.
Maria mencoba membayangkan rumah itu di musim semi. Rumah itu
akan tampak hijau oleh ivy yang menutupi dindingnya serta lumut.
Tumbuhan-tumbuhan liar menambah kesan suramnya rumah itu.
Sidewinder House akan tampak rimbun di musim semi tetapi tampak
gersang dan tak terawat di musim panas. Tidak dapat dibayangkan oleh Maria
seperti apakah rumah itu di musim dingin.
Rumah itu akan tampak putih dan sepi tanpa tumbuhan yang bertahan
hidup. Seluruh halaman Sidewinder House yang luas akan tampak putih rata
tanpa ranting semak-semak yang belum menghilang.
Suasana Sidewinder yang tampak dari luar seperti menggambarkan
musim yang sedang berjalan. Di musim semi rumah itu tampak rimbun oleh
tumbuhan liar. Di musim panas tumbuhan mulai berkurang dan puncaknya
adalah di musim gugur, di mana hampir semua tanaman mati. Di musim
dingin rumah itu akan tampak putih oleh salju.
Dari keseluruhan yang tampak dari luar, hanya pintu depan yang
terlihat masih baik. Pintu kayu itu berdiri dengan kokoh di tempatnya. Di
sekujur tubuhnya terdapat ukiran yang indah. Pegangan pintu yang terbuat
dari besi berwarna keemasan itu tampak indah.
Maria ingin memperhatikan lebih teliti Sidewinder House dari luar tetapi
ia tidak melakukannya. Ia tidak ingin terlambat tiba di kamar Lady Debora. Ia
segera memutar ke belakang rumah itu dan dengan mudah ia dapat
menemukan pintu belakang rumah itu.
Ia terkejut ketika membuka pintu itu dan mendapati dirinya berada di
sebuah dapur yang gelap. Maria melihat sekeliling dapur yang tampak kotor
di bawah siraman sinar matahari.
Sebuah meja beserta kursi-kursi tua yang mengelilinginya. Meja itu
tampak seperti akan hancur bila sebuah benda diletakkan di meja jati itu.
Peralatannya yang juga kuno tampak tak terawat.
Suara langkah kaki yang akhir-akhir ini dikenalnya sebagai langkah kaki
Mrs. Vye, terdengar semakin mendekati dapur. Mrs. Vye terkejut sewaktu
melihatnya.
“Selamat pagi, Mrs. Vye.”27
“Apa yang kaulakukan di sini?” tanya Mrs. Vye.
“Saya tidak ingin terlambat tiba di kamar Tuan Puteri,” jawab Maria.
Mrs. Vye tertawa mendengar jawaban Maria seolah-olah jawaban yang
diberikan Maria itu lucu.
Maria kebingungan melihat Mrs. Vye tertawa, namun ia
menyembunyikan kebingungannya di balik wajahnya yang tenang.
“Apakah Anda mau memberi tahu mengapa Anda tertawa?” tanya Maria
sopan.
“Jangan khawatir, saya tidak menertawakanmu. Pergilah berjalan-jalan
lagi.”
“Mengapa Anda menyuruh saya berjalan-jalan lagi? Bukankah saya
harus melayani Tuan Puteri bila ia bangun?”
“Pergilah berjalan-jalan lagi. Hari masih pagi, Tuan Puteri masih tidur.”
“Matahari telah tinggi di langit yang cerah. Sinarnya juga telah merata
di seluruh permukaan bumi ini pertanda hari telah siang.”
“Rupanya aku lupa memberi tahumu,” kata Mrs. Vye, “Bagi mereka,
saat ini masih terlalu pagi untuk bangun. Mereka biasa bangun sekitar pukul
sebelas. Engkau harus mengerti bahwa kedua majikan kita itu pemalas.”
Mrs. Vye duduk di sebuah kursi kayu yang tampak tua sekali. Ia melihat
Maria sedang memandangi sekeliling dapur.
“Keadaan rumah ini telah banyak berubah. Dulu rumah ini sangat indah,
terindah di Obbeyville. Namun sekarang keadaannya tampak menyedihkan.”
Mrs. Vye mendesah sedih kemudian melanjutkan:
“Dulu di sini banyak pelayan. Ada yang bertugas merawat halaman, ada
yang khusus membersihkan Ruang Besar, dan masih banyak pelayan dengan
tugasnya masing-masing. Namun sejak kematian Baron Marx Sidewinder,
segalanya berubah. Perlahan-lahan jumlah pelayan menurun karena dipecat
Yang Mulia. Ia mengatakan mereka tidak berguna dan masih banyak alasan
lagi yang diberikan pada saya.”
Mrs. Vye berhenti untuk meredakan amarahnya kemudian melanjutkan
ceritanya, “Kini pelayan di rumah ini hanya beberapa orang. Aku yang
bertugas sebagai pengurus rumah tangga merangkap sebagai koki. Seorang
pelayan pribadi Yang Mulia dan dua pelayan lain yang bertugas menjaga
kebersihan rumah ini, mereka juga merangkap sebagai tukang kebun.”
“Saat ini pelayan di rumah ini bertambah lagi satu,” kata Maria
tersenyum.28
Mrs. Vye mengangguk sedih membenarkan kata-kata Maria.
Sebenarnya, ia tidak rela Maria menjadi pelayan Lady Debora tetapi karena
tidak ada lagi jalan untuk membuat Baroness Lora membiarkan gadis itu
tetap tinggal di pondoknya. Maka ia terpaksa menyetujuinya.
“Saat ini engkaulah yang paling muda di antara kami. Kami semua
sudah tua,” kata Mrs. Vye. “Apakah engkau mau sarapan? Aku akan
menyiapkannya untukmu.”
Maria belum mengatakan apa-apa tatkala Mrs. Vye sudah berdiri dan
mulai menyiapkan sarapan baginya. Maria duduk di kursi yang mengelilingi
sebuah meja kayu.
“Apakah saya boleh mengelilingi rumah ini? Saya ingin melihat-lihat
keadaan rumah ini,” tanya Maria setelah menghabiskan sarapan paginya.
“Tentu saja. Saya akan mengantarmu mengelilingi rumah ini,” kata Mrs.
Vye.
Mereka meninggalkan dapur melalui pintu tempat Mrs. Vye keluar tadi.
Di balik pintu itu terdapat sebuah lorong. Sinar matahari yang menerobos
masuk melalui gorden-gorden yang belum dibuka, menyebabkan suasana di
dalam lorong itu menjadi remang-remang. Gorden itu tampak indah, kainnya
yang berwarna jingga tampak sejiwa dengan sinar matahari yang
menimpanya.
“Matahari telah tinggi, tetapi mengapa gordennya belum dibuka?”
tanya Maria.
“Yang Mulia tidak menyukai sinar matahari masuk bila ia belum bangun.
Ia mengatakan sinar matahari itu mengganggu tidurnya. Walaupun kamar
Yang Mulia berada di tingkat dua, tetapi ia tetap melarang kami membuka
gorden bila ia belum bangun,” kata Mrs. Vye menjelaskan.
Maria memandang tembok yang membatasi lorong itu di sisi lainnya. Ia
melihat warna tembok itu lebih muda dari yang lainnya di beberapa tempat.
Warna tembok yang lebih muda itu berbentuk sebuah kotak.
“Ke mana perginya lukisan-lukisan yang menggantung di tembok ini?”
tanya Maria.
Mrs. Vye terkejut mendengar pertanyaannya. “Bagaimana engkau tahu
dulu di tembok ini tergantung banyak lukisan?” tanya Mrs. Vye.
“Beberapa bagian yang berwarna lebih muda dari tembok ini
membentuk sebuah kotak,” jawab Maria. “Saya menduga dulu tergantung
lukisan di sini.”29
“Ya, engkau benar dulu di sini tergantung banyak lukisan. Satu per satu
lukisan itu diambil oleh Yang Mulia,” kata Mrs. Vye dengan sedih. “Ia tidak
pernah mengatakan apa-apa kepadaku, namun aku tahu ia menjual lukisan
itu untuk dapat berfoya-foya.”
Mereka melanjutkan perjalanannya. Tiap ruang yang mereka masuki
tampak lenggang. Mrs. Vye mengatakan barang-barang di rumah ini juga
telah habis dijual Baroness Lora. Ia tampak sangat sedih ketika menceritakan
keadaan tiap ruang itu sewaktu Baron Marx Sidewinder masih hidup.
Hanya Ruang Perpustakaan yang tidak tampak lenggang. Beberapa rak
masih dipenuhi buku. Satu-satunya yang janggal di ruang itu adalah tidak
adanya meja ataupun kursi. Yang ada hanyalah rak-rak yang mengelilingi
ruang itu.
Mrs. Vye mengatakan dari dulu keluarga Sidewinder suka membaca
buku karena itu mereka membuat Ruang Perpustakaan menjadi ruang
terbesar di rumah ini.
Baroness Lora tidak pernah memasuki ruangan ini. Ia hanya pernah
sekali masuk ke ruang ini yaitu ketika ia memerintahkan beberapa pelayan
untuk mengeluarkan meja dan kursi yang terdapat di ruang itu.
Maria melihat buku-buku yang terdapat di ruang itu. Ia berharap dapat
membaca buku-buku itu suatu saat. Ia merasa senang membayangkan
membaca buku-buku yang jumlahnya tak seberapa banyak itu tetapi ia juga
merasa sedih ketika melihat buku-buku itu tampak tak terawat.
Kemudian mereka menuju ruang yang lain. Kata Mrs. Vye ruang itu
adalah Ruang Duduk. Walaupun di ruangan itu terdapat beberapa kursi dan
sebuah meja yang tampak antik, namun ruang itu tetap tampak lenggang.
Di ruangan itu tidak tampak benda yang lain selain kursi-kursi antik dan
sebuah meja yang terletak di tengah ruangan. Kaki kursi-kursi itu terbuat dari
kayu yang dipahat sangat halus dan indah.
Demikian pula meja antik itu. Meja itu tampak sangat indah. Ukiran kaki
meja itu berbentuk seekor ular. Lidah ular itu tampak menjulur sedikit di
lantai. Ekornya menyangga permukaan meja yang pada tepinya terukir daun-
daun ivy yang indah.
“Yang Mulia menerima selalu tamunya di sini, karena itu ia tidak
menjual meja itu,” kata Mrs. Vye.
Pada salah satu sisi ruang itu terdapat sebuah pintu, Mrs. Vye membuka
pintu itu. Pintu itu berderit tatkala Mrs. Vye membukanya.30
“Ini adalah Ruang Besar,” katanya kemudian ia mengajak Maria
memasuki ruang itu.
Seorang wanita yang sedang membersihkan tangga yang menuju
tingkat dua, menoleh sewaktu mendengar pintu terbuka. Wanita tua itu
tampak berkeringat setelah bersusah payah membersihkan tangga itu.
Wanita itu lebih muda beberapa tahun dari Mrs. Vye. Rambutnya telah
memutih seperti Mrs. Vye. Wajahnya tampak terkejut ketika melihat Maria.
Wanita itu mendekat. “Selamat pagi, Mrs. Vye. Apakah ia gadis yang
sering kauceritakan itu?” tanya wanita itu sambil memandang Maria.
“Ya. Bagaimana? Aku tidak berbohong, bukan?” kata Mrs. Vye.
“Ya, engkau benar. Ia cantik sekali seperti bidadari. Pantas saja
penduduk Obbeyville menjadi gempar tadi pagi. Mereka semakin percaya
gadis ini utusan para dewa. Aku juga semakin percaya,” kata wanita itu.
“Terima kasih. Tetapi saya bukan bidadari, saya manusia biasa seperti
Anda.”
“Engkau benar lagi, Mrs. Vye. Ia benar-benar rendah hati,” wanita itu
kemudian bertanya kepada Maria, “Siapa namamu?”
“Mrs. Vye memberi nama Maria pada saya,” kata Maria.
“Maria? Nama yang sama dengan nama putrimu?” kata wanita itu
terkejut.
Mrs. Vye menganggukkan kepala. “Maria, ini Mrs. Fat. Sebenarnya
namanya bukan Mrs. Fat, kami memanggilnya begitu karena tubuhnya yang
gemuk ini. Ia dan Mr. Liesting bertugas menjaga kebersihan rumah ini,” kata
Mrs. Vye memperkenalkan Mrs. Fat kepada Maria.
Maria mengulurkan tangannya kepada Mrs. Fat. Mula-mula Mrs. Fat
tampak ragu melihatnya, tetapi kemudian ia menjabat tangan Maria.
“Senang berkenalan dengan Anda, Mrs. Fat,” kata Maria sembari
tersenyum.
“Senang berkenalan denganmu juga,” kata Mrs. Fat, “Jangan terlalu
sopan pada saya. Saya tidak biasa menghadapi orang yang bersikap sopan
kepada saya.”
Mrs. Vye tersenyum pada Maria kemudian berkata, “Engkau tidak akan
dapat menghentikannya, Mrs. Fat. Aku juga telah memintanya agar tidak
terlalu sopan terhadapku. Tetapi ia selalu bersikap sopan.”
“Sudah sewajarnya saya bersikap sopan kepada orang yang lebih tua
dari saya,” kata Maria merendahkan diri.31
“Aku akan memanggil Mr. Liesting. Ia pasti senang dapat bertemu
denganmu, Maria. Setiap hari ia selalu mengharapkan dapat bertemu
denganmu. Tetapi Mrs. Vye melarangnya menjengukmu,” kata Mrs. Fat.
“Saat itu Maria belum sembuh. Aku ingin kalian bertemu dengannya
bila ia sudah sembuh,” kata Mrs. Vye.
“Itulah yang sering kaukatakan kepada kami,” katanya, “Tunggulah di
sini. Aku rasa ia ada di halaman.”
Mrs. Fat membuka pintu berat yang dilihat Maria dari luar Sidewinder
House. Wanita itu tampak senang sekali dapat memanggil temannya untuk
menemui Maria. Maria melihat sekelilingnya setelah Mrs. Fat meninggalkan
ruangan itu.
Ia memandang teras yang terdapat di balik pintu itu. Beberapa pilar
menyangga langit-langit teras depan. Pada batang tubuh pilar itu merambat
dedaunan, menyebabkan pilar itu tampak berwarna hijau di bagian bawah.
Halaman yang terdapat di depan rumah tampak lebih tak terawat
dibandingkan yang terlihat Maria tadi. Tumbuhan-tumbuhan liar tumbuh
dengan suburnya mengelilingi pohon yang sengaja ditanam di halaman.
Berbagai bunga liar musim panas tampak bermunculan di antara sela-
sela warna hijau dedaunan. Bunga itu menambah warna halaman depan
Sidewinder House. Dari kejauhan, Maria merasa bunga itu akan tampak cantik
bila dirangkai dalam sebuah jambangan.
Kemudian Maria melihat sekeliling Ruang Besar. Ruang Besar ini
tampak lebih bersih dari ruangan yang lain. Maria menduga karena Mrs. Fat
baru membersihkan ruang ini.
Ia tertarik pada salah satu sudut ruangan itu. Pada sudut itu seperti
pernah diletakkan sebuah benda yang sangat besar. Tembok sudut itu
tampak lebih muda dari tembok yang lain. Lantai sudut itu tampak seperti
tergores sebuah benda.
“Dulu di situ ada sebuah piano,” kata Mrs. Vye dengan sedih ketika
mengetahui Maria melihat sudut kiri ruangan itu.
Mrs. Vye tidak mengatakan apa yang terjadi pada piano itu. Tetapi
Maria telah mengetahuinya. Kemudian ia memandang tangga yang sedang
dibersihkan Mrs. Fat sewaktu mereka tiba di ruang ini.
Tangga kayu itu berdiri dengan kokoh di tempatnya. Pada tepi kanan-
kiri tangga itu terdapat pagar yang indah. Sepanjang pagar itu terukir badan
seekor ular, di ujung ukiran berbentuk kepala ular. Motif yang sama seperti 32
meja antik yang terdapat di Ruang Duduk.
Sekali lagi Maria melihat pintu depan. Sekali lagi pula ia melihat ukiran
ular. Pada daun pintu terukir seekor ular cobra sedang mengintai mangsanya
di balik kerimbunan rumput.
Lidah ular itu terjulur seolah-olah menikmati mangsanya. Taringnya
yang tajam tersembul di antara lidahnya yang panjang, siap menerkan
mangsanya.
Mata ular itu menatap tajam kepada mangsanya. Membuat Maria
teringat pada tatapan tajam namun ramah pria yang ditemuinya di tepi
Sungai Alleghei pagi tadi.
Maria teringat wajah pria itu dan senyumannya. Maria merasakan suatu
perasaan aneh tumbuh dalam hatinya tatkala ia bertemu pria itu.
Maria merasa malu dan segera menghilangkannya dari pikirannya.
Kemudian melanjutkan penelitiannya terhadap ukiran daun pintu itu.
Kini diperhatikannya tubuh sang ular. Sisik ular itu tampak seperti sisik
asli. Sisik itu diukir dengan teliti sehingga menyerupai ular yang
sesungguhnya. Sang pengukir sepertinya bermata tajam sehingga tidak ada
suatu bagian pun dari tubuh sang ular yang terlewat.
Sebelumnya Maria telah menyadari kemiripan nama keluarga ini
dengan nama seekor ular. Namun kali ini ia baru memahaminya dengan baik.
Ia menduga keluarga ini memiliki lambang berbentuk ular. Hampir semua
ukiran kayu yang ditemukannya di rumah ini berbentuk ular.
Maria menyadari kemiripan sifat Baroness Lora dan Lady Debora
dengan seekor ular. Tajam, berbisa, tidak pernah puas, selalu tampil dengan
segala kemegahannya.
Mata ular di daun pintu depan yang menatap tajam pada mangsanya,
membuatnya semakin merasakan kemiripan kedua orang itu dengan seekor
ular.
Mata kedua wanita itu juga selalu menatap lekat-lekat mangsanya.
Perbedaannya adalah seekor ular mengincar tubuh sang mangsa, sedangkan
Baroness Lora dan Lady Debora mengincar harta sang mangsa.
Sisik ular yang selalu berganti bila telah tua bagaikan Baroness Lora
yang berganti orang setelah harta orang itu habis. Sisik di sekujur tubuh ular
yang berkilauan bagaikan mereka berdua yang selalu tampil dengan segala
kemewahan.
Seseorang tampak berjalan mendekat ketika Maria memandang 33
halaman depan rumah. Di samping orang itu adalah Mrs. Fat. Wajah orang
yang berjalan di sisi Mrs. Fat tampak berseri-seri.
Pria itu juga tampak tua. Rambutnya yang tipis telah memutih
semuanya. Janggutnya yang lebat dan memutih.
34
3
“Selamat pagi,” sapa pria tua itu ketika memasuki Ruang Besar.
“Selamat pagi, Tuan,” balas Maria sembari menganggukkan kepalanya
dengan hormat.
“Ia benar-benar mengagumkan,” kata pria itu.
“Terima kasih, Tuan. Saya merasa tersanjung mendengar pujian Anda,”
kata Maria.
“Sayang Mrs. Dahrien tidak ada di sini,” kata Mrs. Fat, “Ia tidak dapat
bertemu Maria sebelum Tuan Puteri bangun.”
Mrs. Vye membesarkan hati Mrs. Fat, “Jangan khawatir! Esok ia akan
dapat bertemu dengan Maria sebelum Tuan Puteri bangun. Nanti ia juga
dapat bertemu dengannya.”
“Apakah engkau yakin, Mrs. Vye?” kata Mrs. Fat ragu-ragu.
“Aku tidak tahu persis. Tetapi kurasa mereka akan dapat bertemu,”
kata Mrs. Vye meyakinkan Mrs. Fat.
Dari percakapan kedua wanita itu, Maria menduga Mrs. Dahrien sedang
melayani Baroness Lora. Ia juga menduga Lady Debora jarang berada di
rumah dan ia sebagai pelayan Lady Debora, harus mengikuti ke mana pun
perginya sang majikan.
Pria tua yang sedari tadi mengamati Maria itu tampak terkejut sewaktu
menyadari Maria sedang mengenakan pakaian pelayan yang sama seperti
yang dikenakan Mrs. Vye dan Mrs. Fat.
“Mengapa engkau mengenakan pakaian pelayan padanya?” tanyanya
pada Mrs. Vye.
“Ia mulai hari ini bekerja sebagai pelayan Tuan Puteri,” kata Mrs. Fat.
“Apa!” seru pria tua itu terkejut.
“Rupanya aku lupa menceritakan hal ini kepadamu. Aku memang
pelupa,” keluh Mrs. Vye, “Tuan Puteri meminta ia menjadi pelayannya bila
ingin tetap tinggal di sini. Semula aku tidak setuju tetapi apa yang dapat
kulakukan. Maria tidak dapat mengingat masa lalunya dan aku tidak dapat
membiarkannya tanpa arah.”
“Mereka benar-benar kejam,” kata pria tua itu geram.35
“Tetapi ia tetap tampak cantik,” kata Mrs. Fat, “Baju pelayan yang
berwarna hitam ini membuat kulitnya menjadi tampak lebih putih. Ia tetap
tampak anggun dalam baju itu.”
“Ya, ia tetap tampak lebih cantik dari Tuan Puteri walau ia mengenakan
baju pelayan.”
“Aku terlalu membesar-besarkan seperti yang kalian katakan, bukan? Ia
memang lebih cantik dari Tuan Puteri. Aku berani mengatakan ia gadis
tercantik di kerajaan ini,” kata Mrs. Vye.
“Kalian jangan terlalu memuji saya. Saya tidak secantik yang Anda
katakan. Masih banyak gadis yang lebih cantik dari saya,” kata Maria
merendahkan diri.
“Jangan terlalu merendahkan diri, Maria,” kata Mrs. Fat, “Engkau
memang cantik. Tidak seorangpun yang meragukannya.”
“Bila ada yang tidak mengatakan engkau cantik, ia pasti buta,” tambah
Mr. Liesting.
“Sayang aku tidak dapat melihat rambutmu yang panjang itu. Kata Mrs.
Vye rambutmu sangat panjang dan indah. Aku percaya rambutmu sangat
indah. Walaupun engkau menyanggulnya, tetapi rambutmu masih tampak
berkilauan seperti sinar matahari yang terang.”
“Mengapa engkau menyanggulnya?” tanya Mrs. Vye.
“Saya lebih senang menyanggulnya bila hendak bekerja.”
“Apakah engkau menyanggulnya sendiri?” tanya Mrs. Vye lagi,
“Mengapa engkau tidak memberi tahu aku? Aku bisa menyanggulkan
rambutmu.”
“Terima kasih, lain kali saya akan mengingatnya. Tetapi saya tidak ingin
merepotkan Anda, saya sudah biasa menyanggul sendiri rambut saya.”
“Aku sependapat dengannya. Engkau sudah cukup repot mengurus
rumah ini dan Tuan Puteri. Lagipula ia pandai menyanggul. Aku yakin engkau
tidak dapat menyanggul seperti itu.”
“Apakah Anda juga melayani Tuan Puteri selain kedua tugas Anda?”
“Tuan Puteri takkan mau bila ia diminta mengurus dirinya sendiri. Ia
meminta Mrs. Dahrien melayaninya juga. Tetapi karena Mrs. Dahrien sudah
sangat tua, ia tidak dapat melayani dua orang dalam satu waktu.”
“Karena itu aku mengambil alih tugasnya. Mrs. Fat dan Mr. Liesting
sudah kesulitan membersihkan rumah yang besar ini. Satu-satunya orang
yang dapat melakukannya hanya aku.”36
“Apakah Mrs. Dahrien pengasuh Baroness Lora sejak kecil?”
Mrs. Fat tersenyum pada Maria. “Rupanya Mrs. Vye memang sudah
sangat tua. Ia lupa memberi tahumu bahwa Mrs. Dahrien adalah pelayan
yang paling lama tinggal di sini dari kami semua. Ia juga lebih tua dari Mrs.
Vye.”
“Yang Mulia bukan berasal dari keluarga kaya. Ia putri seorang petani
kecil di Obbeyville. Dan ia sangat beruntung dapat mewujudkan keinginannya
sejak kecil, menjadi kaya dan berkuasa.”
“Lebih baik kita berbicara di dapur saja. Di sini kurang leluasa,” usul Mr.
Liesting melihat Mrs. Vye dan Mrs. Fat tidak akan berhenti bercerita pada Mrs.
Vye.
Mr. Liesting mengajak Maria kembali ke dapur. Kali ini mereka tidak
melalui Ruang Duduk melainkan melalui sebuah lorong di dekat tangga yang
berhubungan dengan dapur. Lorong itu terus memanjang di bagian belakang
rumah hingga dapur.
Mereka mengatakan kepada Maria bahwa lorong ini dibuat untuk
memudahkan para pelayan bila dipanggil. Para pelayan biasanya berkumpul
di dapur bila tidak ada yang dapat dilakukan.
Mereka berbicara banyak kepada Maria dan seperti halnya Mrs. Vye,
mereka juga senang berbicara kepada gadis itu. Mereka juga terkejut tatkala
mengetahui pengetahuan Maria yang sangat luas.
Ketiga orang itu telah dibuat kagum oleh Maria dengan pembicaraannya
mengenai mitos yang ada di Obbeyville.
Maria seperti berasal dari mitos itu sendiri. Ia lebih banyak mengetahui
mengenai mitos itu daripada ketiga orang itu yang telah tinggal di Obbeyville
selama puluhan tahun.
“Aku ragu-ragu engkau seorang manusia. Aku rasa engkau benar-benar
seorang bidadari yang berasal dari Holly Mountain,” kata Mr. Liesting.
“Engkau lebih banyak mengetahui mengenai mitos itu daripada kami
bertiga yang telah tinggal puluhan tahun di sini,” kata Mrs. Vye.
“Apakah engkau berasal dari Holly Mountain?” tanya Mrs. Fat.
“Apakah engkau benar-benar utusan para dewa?” tanya Mr. Liesting.
Maria tersenyum mendengar ketiga orang itu terus menerus
mengajukan pertanyaan dan pendapatnya tanpa memberi kesempatan
padanya untuk mengajukan pendapatnya sendiri.
Gadis itu ingin mereka menghentikan pujiannya, namun mereka 37
sepertinya tidak ingin berhenti memujinya.
Maria diam saja. Ia bukan menyukai pujian mereka tetapi karena ia tahu
tidak sopan bila ia menyela pembicaraan mereka.
Ia tidak mendengarkan perkataan mereka. Ia sibuk melamunkan orang
yang bertemu dengannya di tepi Sungai Alleghei tadi pagi. Maria ingin
bertemu dengan pria itu dan berbincang-bincang lagi. Ia merasa pembicaraan
mereka belum selesai.
Suara bel mengejutkan mereka. Maria lebih terkejut daripada tiga orang
yang sibuk bercakap-cakap. Ia tersentak ketika bel itu berulang-ulang
berbunyi dengan nyaring.
“Tuan Puteri sudah bangun. Lebih baik engkau segera menemuinya,”
kata Mrs. Fat.
Maria beranjak dari kursinya dan hendak menuju kamar Lady Debora
ketika Mrs. Vye berkata, “Bawalah serta sarapan untuk Tuan Puteri. Ia senang
sarapan di atas tempat tidurnya.”
“Duduklah dulu sembari menanti Mrs. Vye selesai menyiapkan sarapan
untuk Tuan Puteri.”
“Terima kasih, Mrs. Fat. Tetapi saya lebih menyukai membantu Mrs. Vye
daripada menanti.”
Maria mendekati Mrs. Vye dan mulai membantunya.
Mrs. Vye terperangah ketika tangan gadis itu dengan trampil mengiris
roti yang ada di dekatnya.
Sekali lagi ia membuat ketiga orang itu kagum padanya. Ia sangat
terampil di dapur seakan-akan ia sering menghabiskan waktunya dengan
berada di dapur. Mereka juga melihat Maria menata segalanya di nampan
dengan manis.
“Sebenarnya siapakah engkau?” tanya Mr. Liesting.
Maria tersenyum pada Mr. Liesting. “Saya tidak tahu siapakah saya.
Saya hanya mengetahui bahwa saya seorang gadis yang bernama Maria.”
Sekali lagi bel berbunyi nyaring. Mrs. Vye segera mengajak Maria ke
kamar Lady Debora yang berada di tingkat dua. Mereka melalui lorong yang
menuju dekat tangga.
Mrs. Vye membawa nampan yang baru mereka siapkan. Sepanjang
jalan wanita tua itu memperingati dan berpesan kepada Maria yang
memperhatikan segala yang dikatakannya. Tidak ada suatu pesanpun yang
luput dari pendengaran Maria.38
Maria menjinjing sedikit ujung bajunya tatkala ia menaiki tangga. Baju
yang kebesaran sedikit itu membuatnya agak kesulitan sewaktu menaiki
tangga kayu itu.
Di ujung tangga atas itu ada sebuah pintu berukiran ular yang sedang
mengerami anak-anaknya. Ular betina itu melingkari telur-telurnya erat-erat
dengan tubuhnya. Matanya mengawasi sekitarnya untuk melindungi anaknya
yang belum menetas dari bahaya.
Berdasarkan ukiran pada pintu itu, Maria menduga kamar itu adalah
kamar Baroness Lora. Ukiran pada pintu itu bagaikan Baroness Lora yang
selalu menjaga putrinya dengan baik. Maria dapat merasakan Baroness Lora
menyayangi Lady Debora dengan cara yang salah.
Di sebelah kamar itu ada sebuah pintu yang berukiran ular juga.
Beberapa ular kecil mengelilingi seekor ular betina yang menjaga mereka
dengan matanya yang tajam. Beberapa ular kecil itu tampak bercanda
dengan induk mereka.
Seluruh pintu di rumah ini berukiran berbagai tingkah laku ular dan
mereka yang menempati ruang itu memiliki sifat yang sesuai dengan ukiran
ular di pintu kamar mereka. Ular yang diukir pada pintu kamar Baroness Lora
maupun Lady Debora benar-benar membuat kedua orang itu makin jelas
kemiripannya dengan ular.
Maria merasa geli menyadari semua itu. Seolah-olah pendiri Sidewinder
House telah meramalkan masa depan. Kelak di keturunan keluarga
Sidewinder akan ada yang benar-benar memiliki sifat seperti seekor ular yang
buas. Dan kedua orang itu entah sadar atau tidak telah menempati kamar
yang ‘khusus’ untuk mereka.
Sebelumnya ia telah mendengar dari Mrs. Vye bahwa seluruh keturunan
Sidewinder memang memiliki karakter seperti ular. Namun Maria merasa
kedua wanita itu lebih mirip ular daripada keturunan Sidewinder yang lain.
Mrs. Vye mengetuk perlahan pintu kamar yang berukiran ular-ular kecil
dan seekor induk ular. Tak lama kemudian terdengar jawaban enggan dari
dalam kamar. Maria mengikuti Mrs. Vye masuk ke kamar Lady Debora.
Di balik wajah Maria yang tenang tersembunyi keterkejutannya melihat
keadaan kamar Lady Debora.
Kamar itu tampak suram. Sebuah permadani yang lembut menutupi
seluruh permukaan lantai kamar Lady Debora. Tirai jendela yang terletak
tepat di samping tempat tidur Lady Debora belum dibuka. Sinar matahari 39
tampak bersusah payah menembus tirai tebal itu.
Sebuah meja rias yang antik terletak tak jauh dari tempat Lady Debora
berbaring. Di tepi kaca yang terletak di meja terukir dua ekor ular yang saling
mengelilingi tepi kaca bulat itu. Seekor ular dari tepi kiri dan yang lain dari
tepi kanan. Kepala mereka saling melilit di ujung atas.
Sebuah kursi tanpa sandaran berada di bawah meja itu. Kursi bulat itu
memiliki ukiran yang sama dengan kaca rias. Sedangkan di atas meja rias
terdapat beberapa hiasan rambut emas yang berbentuk bunga daisy.
Sebuah meja lain terletak di tengah kamar. Permukaan meja itu tampak
halus dan mengkilat. Sisik-sisik ular mengelilingi tepi meja itu. Ukiran kaki
meja itu sama seperti ukiran pada meja di Ruang Duduk.
Di atas meja itu berserakan beberapa barang. Sebuah perhiasan emas
berkilauan tertimpa sinar matahari yang memaksa menerobos masuk. Liontin
kalung itu berbentuk bunga besar dengan sebuah batu ruby merah di
tengahnya.
Kalung itu membuat Maria merasa heran bagaimana Lady Debora bisa
mengenakannya. Bila Lady Debora mengenakannya, tentu lehernya tampak
tertelan oleh liontin yang sebesar bunga mawar kecil itu.
Di sampingnya, sebuah topi berwarna jingga tampak menyala tertimpa
sinar matahari. Topi itu tampak indah sekali dengan sebuah bulu berwarna
biru yang menghiasinya.
Sebuah gaun yang indah juga terletak di meja itu. Gaun yang berwarna
biru terang itu diletakkan sembarangan di meja. Seakan-akan sudah tidak
berguna lagi. Selain itu masih ada sebuah pakaian berkuda yang terletak di
atas meja itu dan sebuah cambuk berwarna hitam.
Empat buah kursi mengelilingi meja persegi itu. Keempat kursi yang
saling berhadap-hadapan itu berukiran ular piton pada kakinya dan kepala
ular cobra pada sandarannya.
Kepala ular itu tampak hidup. Mulutnya menengadah ke langit-langit
kamar seakan-akan siap melahap apa pun yang jatuh dari langit-langit.
Lidahnya yang panjang terjulur keluar untuk meneliti keadaan sekitarnya.
Matanya yang tajam menatap langit-langit tanpa henti.
Kemudian Maria memandang Lady Debora. Wanita itu memandang
malas padanya dan Mrs. Vye, tanpa berusaha bangkit dari berbaringnya.
Tubuhnya masih terbungkus selimut rapat-rapat. Rambutnya yang merah
tergerai di atas bantalnya yang putih. Ia terlihat masih enggan membuka 40
matanya untuk memulai hari baru.
Dengan malas ia bertanya, “Jam berapa sekarang?”
“Hampir tengah hari,” jawab Mrs. Vye sambil meletakkan nampan di
meja rias.
“Apa!?” seru Lady Debora terkejut.
“Sekarang hampir tengah hari,” ulang Mrs. Vye.
“Mengapa engkau tidak membangunkan aku?” tanya Lady Debora
panik.
“Anda tidak berpesan apa-apa kepada saya.”
Lady Debora sangat panik sehingga tidak melihat keberadaan Maria di
kamarnya yang dengan tenang memperhatikan kejadian di depannya.
Ia menduga hal ini biasa terjadi sebab Mrs. Vye tidak tampak gelisah
melihat kepanikan Lady Debora. Ia juga menduga Lady Debora berjanji
berkuda bersama seorang pria pagi ini tetapi ia lupa memberi tahu Mrs. Vye
untuk membangunkannya pagi-pagi.
Lady Debora menggerutu kesal. “Jangan banyak bicara lagi! Sekarang
lekas bantu aku mempersiapkan diriku,” katanya sambil bangkit dari tempat
tidurnya.
Maria dengan cepat meraih pakaian berkuda yang ada di atas meja. Ia
hendak membantu Lady Debora mengenakan pakaian itu, tetapi Mrs. Vye
mengambil pakaian itu dari tangannya dan membantu Lady Debora.
Mrs. Vye melakukannya dengan cepat sehingga Maria tidak dapat
berbuat apa-apa untuk menghentikan wanita tua itu. Kemudian Mrs. Vye
menyanggul rambut Lady Debora dan memberinya hiasan berbentuk daisy
yang terletak di meja rias.
Tanpa mengucapkan apa-apa, Lady Debora segera beranjak ke pintu
setelah Mrs. Vye melakukan tugas-tugasnya.
Maria memperhatikan Lady Debora yang tampak mencolok dengan topi
bulu serta kalung yang semula terletak di atas meja di tengah kamar yang
telah menjadi terang setelah tirai jendela dibuka oleh Mrs. Vye.
Di pintu, ia berhenti dan menoleh pada Mrs. Vye.
“Buang gaun yang ada di meja itu,” katanya.
Mrs. Vye mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Ia tidak
menghentikan Lady Debora meninggalkan kamarnya untuk sarapan. Ia
meraih gaun yang terletak di meja tengah ruangan.
“Sayang bila gaun ini dibuang. Ambillah dan kenakanlah,” kata Mrs. Vye 41
kepada Maria.
Maria menggeleng. “Tuan Puteri mengatakan kepada kita untuk
membuang gaun itu. Ia pasti marah bila kita tidak membuangnya,” katanya.
“Ia tidak akan peduli bila gaun ini engkau kenakan. Ia tahu aku
mengumpulkan gaun-gaun yang dibuangnya, tetapi ia tidak pernah
mengatakan apa-apa kepadaku. Baginya gaun yang telah dibuang olehnya
berarti sudah tidak berguna lagi,” kata Mrs. Vye.
Maria menerima gaun yang disodorkan Mrs. Vye kepadanya. Ia belum
mengatakan apa-apa ketika Mrs. Vye telah meninggalkan kamar Lady Debora.
Ia mengikuti Mrs. Vye dengan membawa gaun itu.
Mrs. Vye mengajak Maria ke sebuah ruangan di dekat dapur tempat ia
menyimpan semua gaun yang telah dibuang Lady Debora dan Baroness Lora.
Kata Mrs. Vye, sebelum Baroness Lora memasuki Sidewinder House,
kamar itu adalah kamar pelayan. Namun karena jumlah pelayan yang
semakin menurun, kamar itu tak terpakai.
Kemudian ia menggunakan kamar itu untuk menyimpan semua gaun
yang Baroness Lora dan Lady Debora buang.
Sebuah lemari besar terletak di sudut ruangan yang kecil itu. Lemari
yang berukiran ular itu tampak mencolok di kamar yang sempit itu. Almari itu
seperti memenuhi kamar.
Maria terkesima melihat gaun yang berjajar dalam almari itu. Walaupun
almari itu besar, namun masih tidak dapat menampung seluruh gaun yang
ada. Sebagian gaun itu dipindahkan Mrs. Vye ke almari yang lebih kecil yang
terletak tepat di samping almari itu.
Semula ia tidak dapat memahami mengapa kedua wanita itu memilih
membuang gaun-gaun yang indah itu walaupun gaun itu masih dapat mereka
kenakan. Namun setelah ia teringat pada ucapan Mrs. Vye mengenai
kegemaran kedua wanita itu, ia mulai memahaminya.
Tak satu gaunpun yang berwarna lembut, semuanya berwarna
mencolok. Beberapa gaun berwarna putih tampak menonjol di antara gaun-
gaun yang berwarna cerah.
Mrs. Vye mengambil salah satu gaun putih itu kemudian
memberikannya kepada Maria.
“Sudah sejak lama aku ingin memberikan gaun ini kepadamu. Aku tidak
tahu apakah engkau akan menyukainya, tetapi aku berharap engkau mau
mengenakannya.”42
Gaun yang ditunjukkan Mrs. Vye kepada Maria tidak benar-benar putih.
Gaun itu tampak berwarna putih dari kejauhan, namun sebenarnya gaun itu
berwarna nila yang lembut.
Gaun itu dicobakan Mrs. Vye padanya. “Gaun ini sesuai dengan
tubuhmu yang langsing,” kata Mrs. Vye, “Sayang lengannya terlalu panjang
dan pinggangnya terlalu besar. Aku akan menjahitnya sesuai dengan
ukuranmu.”
“Tidak apa-apa, Mrs. Vye. Biarkan gaun ini apa adanya. Saya lebih
menyukai gaun ini apa adanya.”
“Aku harus menjahitnya kembali, Maria. Ukuran pinggang gaun ini
terlalu besar untukmu. Aku tidak menyangka Tuan Puteri lebih gemuk
darimu,” kata Mrs. Vye memberi pengertian pada Maria.
Maria tersenyum. “Rupanya gaun saya yang besar ini membuat saya
tampak lebih gemuk.”
“Tidak, bukan itu maksudku,” bantah Mrs. Vye, “Semula aku
menyangka ukuran gaunmu sama seperti Tuan Puteri.”
Maria terus memandang Mrs. Vye tanpa menghilangkan senyuman
yang menghias wajahnya yang cantik.
“Aku menduga usia kalian tidak terpaut terlalu jauh. Aku tidak tahu
berapa usiamu dan aku tidak dapat menduganya lagi. Wajahmu seperti gadis
yang berusia dua puluh tahunan, tetapi engkau bijaksana seperti orang yang
telah berusia puluhan tahun.”
Mrs. Vye menghela napasnya sebelum melanjutkan kata-katanya.
“Sewaktu aku menemukanmu, aku menduga engkau berusia sekitar dua
puluh tahun. Tetapi setelah beberapa hari tinggal bersamamu, aku menjadi
tidak yakin engkau berusia sekitar dua puluhan, seperti dugaanku yang
pertama.”
“Mungkin saya benar-benar berasal dari Holly Mountain,” kata Maria
bercanda.
“Ya, itulah satu-satunya yang ada di dalam pikiranku mengenai asal
usulmu. Aku tidak dapat menebak yang lain,” kata Mrs. Vye berterus terang,
“Engkau tampak sangat misterius dan sering membuatku terkejut sekaligus
kagum.”
“Saya tidak merasa telah membuat Anda kagum pada saya. Apa yang
saya lakukan terasa biasa bagi saya,” kata Maria merendahkan diri.
“Mungkin engkau tidak merasakannya, tetapi engkau telah benar-benar 43
membuatku terkejut dan kagum.” Mrs. Vye tersenyum pada Maria, “Aku tidak
pernah menduga engkau sangat ahli di dapur. Entah apa lagi kemampuanmu,
tetapi yang pasti aku tidak dapat menebaknya.”
“Saya tidak memiliki keahlian apa-apa di dapur, tadi saya hanya
membantu Anda. Tanpa petunjuk dari Anda, saya tidak akan dapat
melakukannya dengan baik,” kata Maria.
“Jangan merendahkan diri lagi. Tadi engkau melakukannya tanpa
petunjuk dariku. Engkau sendiri yang melakukannya dengan sangat baik,”
kata Mrs. Vye – tersenyum.
“Terima kasih. Tetapi saya merasa saya masih kalah dari Anda.”
“Percayalah kepadaku, Maria. Tidak hanya aku yang menganggap apa
yang kaulakukan di dapur tadi lebih baik dariku. Engkau menata hidangan
sedemikian rupa hingga dapat membuat tiap orang berselera melihatnya.”
“Terima kasih.”
“Sekarang engkau tidak memiliki pekerjaan apapun. Kembalilah ke
pondok dan bersenang-senanglah,” kata Mrs. Vye sembari menyerahkan gaun
nila itu.
“Mrs. Vye, biarkan gaun ini apa adanya. Lagipula pinggangnya tidak
terlalu besar untuk saya,” kata Maria mengingatkan.
“Kita akan membicarakan masalah itu nanti. Sekarang bersenang-
senanglah, Tuan Puteri tidak akan kembali sebelum senja.”
Maria meninggalkan Sidewinder House. Sepanjang jalan ia bertemu
banyak orang. Ia mengangguk hormat pada mereka. Sebuah senyum yang
menawan hati tiap orang terukir di wajahnya.
Orang-orang itu tampak malu dan bingung melihatnya. Mereka dengan
malu-malu menganggukkan kepala kepada Maria, seperti yang Maria lakukan
kepada mereka. Kemudian mereka berkumpul dan berbisik-bisik.
Sekelompok anak mendekatinya. Mereka tampak senang berjumpa
dengannya. Pandangan mata mereka menunjukan kekaguman mereka pada
Maria.
“Apakah Anda benar-benar berasal dari Holly Mountain?” tanya seorang
anak kecil.
“Saya tidak tahu,” kata Maria.
Beberapa anak berbisik-bisik.
“Mengapa?” tanya anak yang lain.
“Karena saya tidak dapat mengingatnya. Saya lupa.” Maria menjawab 44
sederhana agar mudah dimengerti oleh anak-anak itu.
“Bila saya melupakan sesuatu, ibu saya akan memarahi saya. Apakah
Anda tidak dimarahi orang tua Anda?” tanya anak itu lagi.
Maria tersenyum manis pada mereka. Ia berlutut agar mereka tidak
menengadahkan kepala untuk dapat melihatnya. Gaun-gaun yang dibawanya
diletakkan sedemikian rupa di lengannya hingga tak menyentuh tanah.
“Tidak. Sebab saya lupa siapa orang tua saya.”
Anak-anak itu memandang sedih padanya.
“Anda pasti sedih tidak dapat mengingat orang tua Anda,” kata seorang
anak perempuan. “Saya juga merasa sedih bila jauh dari orang tua saya.”
“Apakah Anda mau bermain bersama kami? Kami ingin berkenalan
dengan Anda,” kata seorang anak anak yang sejak tadi berbisik-bisik dengan
temannya.
“Saya akan senang sekali. Tetapi maafkan saya, saya harus melakukan
sesuatu. Bila saya telah selesai, saya akan mencari kalian. Saya akan
menerima ajakan itu,” kata Maria.
Anak-anak itu tampak kecewa mendengar jawaban Maria. Wajah
mereka yang semula ceria, kini tampak murung.
Maria merasa sedih melihat mereka kecewa. “Jjangan bersedih. Saya
akan bermain dengan kalian bila saya telah menyelesaikan tugas saya.”
“Kapan tugas Anda selesai?” tanya anak-anak itu serempak.
“Saya tidak tahu. Tetapi saya berjanji akan segera menyelesaikannya
agar dapat bermain bersama kalian. Di mana saya dapat menemukan
kalian?”
“Kami biasanya bermain di sekitar rumah ini terutama di pondok Mrs.
Vye yang terbuat dari kayu oak itu,” jawab mereka serempak.
Maria tersenyum melihat kekompakkan anak-anak itu. Mereka seperti
telah sepakat untuk menjawab pertanyaan Maria bersama-sama.
“Baik. Saya akan mencari kalian di sekitar Sidewinder House bila saya
telah menyelesaikan tugas saya,” kata Maria.
Anak-anak itu berseru kegirangan mendengar pernyataan Maria.
Maria bangkit kembali. “Sekarang saya akan pergi memulai tugas itu.
Kalian pergilah bermain, saya akan segera menyusul kalian.”
“Kami ikut Anda. Kami akan menemani Anda ke Sidewinder House,”
kata mereka serempak.
“Aku akan pergi ke rumah itu bila aku telah meletakkan gaun ini di 45
pondok Mrs. Vye. Mrs. Vye menyuruhku meletakkan gaun-gaun ini di
pondoknya,” kata Maria menunjukkan gaun yang dibawanya kepada anak-
anak itu.
“Kami ikut,” kata mereka.
“Baiklah. Tetapi kalian jangan nakal,” kata Maria.
Maria berjalan beriringan dengan anak-anak itu ke pondok Mrs. Vye.
Sepanjang perjalanan mereka bercakap-cakap. Mereka membuat orang-
orang terperangah melihat keakraban mereka.
Setelah meletakkan gaun yang dibawanya di almari pakaian di
kamarnya, Maria bersama anak-anak itu kembali ke Sidewinder House.
“Mengapa engkau kembali? Bukankah aku telah mengijinkanmu untuk
bersenang-senang. Pergilah berkeliling Obbeyville. Bukankah sejak semula
engkau ingin berkeliling Obbeyville?” kata Mrs. Vye terkejut melihatnya
muncul di dapur.
Maria berjalan mendekati Mrs. Vye yang sibuk memasak. “Saya ingin
membantu Anda terlebih dulu.”
Maria mulai membantu Mrs. Vye tanpa mempedulikan larangannya.
Mrs. Vye terkejut melihat keahlian memasak Maria. Gadis itu dengan
cepat membuat bumbu untuk ayam panggang yang akan disajikannya untuk
makan siang Baroness Lora.
Ia tidak memberi tahu apa pun kepada gadis itu apa yang harus
dilakukannya. Tetapi gadis itu dengan cekatan telah menyelesaikan tugas
memasak yang seharusnya dilakukannya.
Sebuah nampan berisi ayam panggang yang harum dan gurih tersaji di
atas meja di Ruang Makan dalam waktu yang singkat, bersama nampan-
nampan lain yang diatur sedemikian rupa oleh Maria. Hidangan di dalam
nampan itu juga diatur Maria dengan ahli.
“Hidangan itu terlalu indah untuk dimakan,” kata Mrs. Vye melihat
Maria menata hidangan itu.
Maria tersenyum pada Mrs. Vye dan meneruskan pekerjaannya. Ia kini
membuat minuman yang tampak segar. Minuman itu dibuatnya dari sari apel
dan tomat yang segar.
“Baru kali ini aku melihat minuman seperti itu,” kata Mrs. Vye.
“Minuman ini enak sekali. Jauh lebih segar dari sari jeruk. Bila Anda
mau, silakan mencobanya,” kata Maria.
Mrs. Vye menerima segelas minuman yang diberikan Maria kepadanya. 46
“Enak sekali. Dari mana engkau mempelajarinya?”
“Saya tidak ingat. Saya membuatnya sesuai dengan apa yang saya
pikirkan.”
“Apakah engkau juga tidak dapat mengingat asal bumbu ayam
panggang itu? Ayam itu tampak gurih dan harum,” kata Mrs. Vye.
“Maafkan saya telah mengecewakan Anda. Tetapi saya benar-benar
tidak dapat mengingatnya. Saya seperti telah mengetahui apa yang harus
saya lakukan pada ayam itu ketika saya membuatnya. Bila Anda ingin, saya
akan memberi tahu bumbunya kepada Anda,” kata Maria.
“Engkau tidak perlu melakukannya. Aku ingin engkau terus lebih pandai
memasak daripada aku,” kata Mrs. Vye.
“Anda jangan berkata seperti itu. Saya tidak mengetahui banyak
mengenai masak-memasak seperti Anda. Anda jauh lebih pandai dari saya,
saya harus belajar banyak dari Anda,” kata Maria.
“Baiklah, daripada kita bertengkar seperti ini lebih baik kita membuat
perjanjian. Aku akan mengajarimu hal-hal yang tidak engkau ketahui. Tetapi
aku ragu engkau tidak mengetahui apa yang kuketahui. Engkau tampak
seperti koki yang ahli di dapur.”
“Terima kasih. Saya akan memberi tahu Anda apa yang saya ketahui.”
“Tidak. Itu tidak perlu. Aku merasa puas melihat engkau lebih pandai
memasak daripada aku.”
Mrs. Vye meyakinkan Maria, “Aku akan lebih bangga mengatakan
kepada semua orang bahwa engkau lebih pandai memasak dari aku daripada
mengatakan kepada mereka bahwa aku lebih pandai dari engkau.”
Maria tersenyum pengertian kepada Mrs. Vye. Akhirnya ia mengalah
pada keinginan wanita tua yang disayanginya itu.
Mrs. Vye meminta Maria untuk memanggil Baroness Lora, tetapi Maria
menolaknya. Ia lebih memilih membersihkan dapur daripada memanggil
Baroness Lora bukan karena ia tidak menyukai Baroness Lora. Tetapi karena
ia tidak ingin membuat Mrs. Vye semakin repot, ia ingin membantunya
membersihkan dapur.
Dengan beberapa bujukan, akhirnya Mrs. Vye setuju dengan keinginan
Maria. Ia mengingatkan Maria untuk tidak membersihkan dapur seorang diri.
Setelah kepergian Mrs. Vye, Maria memulai pekerjaannya
membersihkan dapur dengan cepat. Ia membersihkan seluruh ruangan itu
hingga ruangan itu tampak lebih bersih. Peralatan memasaknya juga dicuci 47
bersih olehnya. Ia telah selesai membersihkan dapur sebelum Mrs. Vye tiba di
dapur.
Maria tidak tahu apa yang sedang dilakukan Mrs. Vye sehingga wanita
itu tidak segera kembali ke dapur. Maria menduga Mrs. Vye sedang melayani
Baroness Lora bersama Mrs. Dahrien hingga tak segera muncul.
Tetapi ia bersyukur karena Mrs. Vye tidak melihatnya membersihkan
seluruh ruangan itu. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Mrs. Vye bila
melihat ia melanggar larangannya.
Sebenarnya, Maria tidak ingin melanggar larangan Mrs. Vye. Tetapi
karena ia tahu Mrs. Vye akan mengalami kesulitan dalam membersihkan
dapur itu, maka ia memutuskan untuk melanggar larangan Mrs. Vye. Di
samping itu, Maria tidak tahan melihat keadaan ruangan yang kotor ini.
Ia meninggalkan dapur dan menuju Ruang Besar. Ruang Besar telah
dibersihkan, Maria tidak melihat Mrs. Fat di sana. Ia menduga Mrs. Fat sedang
membersihkan Ruang Duduk.
Mrs. Fat membersihkan Ruang Duduk sambil bersenandung kecil.
Tangannya seperti menari-nari di permukaan meja. Wanita itu tidak
menyadari suara pintu yang berderit di belakangnya.
Maria mengetuk perlahan pintu yang menghubungkan Ruang Besar
dengan Ruang Duduk.
“Ada apa, Maria?” tanya Mrs. Fat. “Engkau membuatku terkejut.”
“Bila Anda tidak keberatan, saya ingin membantu Anda.”
“Tentu saja aku tidak keberatan,” kata wanita itu senang mendengar
bantuan yang ditawarkan Maria.
Maria mendekati Mrs. Fat. Tatkala ia hendak mulai membersihkan
Ruang Duduk, Mrs. Fat berseru terkejut.
“Tidak! Tidak! Engkau tidak boleh melakukannya. Aku lupa engkau
harus melayani Tuan Puteri.”
“Tuan Puteri sedang berkuda bersama seseorang.”
“Aku tahu. Aku melihatnya meninggalkan rumah dengan terburu-buru,”
kata wanita itu, “Aku yakin Mrs. Vye tidak akan setuju bila melihatmu
melakukan pekerjaan ini. Pergilah berjalan-jalan!”
Maria ragu-ragu melihat wanita tua itu.
Ia tahu Mrs. Fat lebih muda dari Mrs. Vye dan ia mampu membersihkan
rumah ini sendirian. Sebelum kedatangan Maria, mereka telah mengurus
rumah ini sendirian dalam usia mereka yang tidak muda lagi.48
Maria percaya mereka dapat melakukannya sendiri tanpa bantuannya,
tetapi ia tidak tega melihat mereka yang seharusnya menikmati hari tuanya,
bekerja keras membersihkan rumah yang besar ini.
“Aku dapat melakukannya sendiri,” kata Mrs. Fat, “Aku peringatkan
kepadamu, aku tidak suka bila seseorang tidak menuruti apa yang kukatakan.
Pergilah!”
Dengan enggan, Maria meninggalkan Ruang Duduk. Kemudian ia
menemui Mr. Liesting di halaman Sidewinder House.
Pria yang sedang merawat bunga liar musim panas itu, memalingkan
kepalanya tatkala mendengar langkah kaki Maria.
“Ada apa, Maria?” tanya Mr. Liesting.
“Tidak ada yang dapat saya kerjakan. Saya ingin membantu Anda
merawat halaman ini.”
“Engkau bisa bermain bersama anak-anak itu. Sejak tadi mereka
menunggumu,” kata Mr. Liesting, “Mereka menyukaimu.”
“Saya juga menyukai mereka.”
Maria memandang anak-anak yang bermain di dekat Sidewinder House
sambil mengawasi kemunculannya.
“Pergilah bermain bersama mereka sebelum senja datang.”
Anak-anak itu berlari mendekat ketika melihat Maria berjalan ke arah
mereka. Mereka berseru senang sewaktu Maria mengajak mereka bermain.
Maria mengajak anak-anak itu menuju tepi Sungai Alleghei.
Walaupun tidak mengerti mengapa ia membawa mereka ke tepi Sungai
Alleghei, tetapi mereka tetap mengikuti gadis itu.
Mereka telah mengetahui mitos Sungai Alleghei dari orang tua mereka.
Orang tua mereka melarang anak-anak itu bermain tepi Sungai Alleghei.
Kata mereka, para dewa akan marah bila anak-anak itu bermain di
Sungai Alleghei. Para dewa tidak ingin ketenangan mereka terganggu oleh
suara anak-anak. Itulah yang sering dikatakan penduduk Obbeyville pada
anak-anak mereka.
Maria telah mengetahui hal itu dari Mrs. Vye, tetapi ia tetap membawa
anak-anak itu ke Sungai Alleghei.
Anak-anak itu juga tidak terlihat takut ketika mereka menuju Sungai
Alleghei. Rupanya mereka telah sangat percaya bahwa Maria adalah bidadari
yang diutus para dewa. Mereka percaya para dewa tidak akan marah bila
mereka bermain di sungai itu bersama Maria.49
Ketika mereka tiba, Maria segera mencari tempat yang teduh. Ia duduk
pada sebatang pohon yang tumbang.
Anak-anak memandang heran padanya.
“Kalian telah mengetahui cerita mengenai Sungai Alleghei?” tanya
Maria walaupun ia telah mengetahui jawaban anak-anak itu.
“Ya, kami mengetahuinya dari orang tua kami,” kata anak-anak.
“Kalian tahu mengapa saya membawa kalian ke mari?”
“Tidak, tetapi kami percaya para dewa tidak akan marah walaupun
kami bermain di Sungai Alleghei karena kami bersama Anda,” kata seorang
anak.
“Para dewa tidak akan marah bila kalian tidak mengganggu ikan-ikan
yang ada di Sungai Alleghei,” kata Maria sembari tersenyum, “Hari ini kita
kemari bukan karena kita akan bermain di Sungai Alleghei tetapi karena saya
akan menceritakan suatu dongeng yang berkaitan dengan sungai ini.”
“Apakah bedanya dongeng dengan mitos?” tanya anak itu lagi.
“Banyak sekali perbedaannya. Bila mitos dipercayai setiap orang, maka
dongeng merupakan khayalan saja,” kata Maria menjelaskan.
“Maksud Anda dongeng adalah cerita yang sering Ibu ceritakan pada
saat saya hendak tidur?”
“Ya, seperti itu. Tetapi tidak semua dongeng merupakan cerita
khayalan, ada beberapa dari mereka yang dipercayai benar-benar terjadi
seperti yang akan saya ceritakan pada kalian,” kata Maria.
“Apakah dongeng itu benar-benar terjadi?” tanya anak-anak.
“Saya tidak dapat menjawabnya. Kalian sendiri yang akan menjawab
pertanyaan itu setelah kalian mendengar dongeng itu. Kalian yang akan
menilai apakah dongeng itu benar-benar terjadi atau tidak.”
“Dapatkah Anda memulai menceritakan dongeng itu pada kami?” tanya
mereka serempak.
“Duduklah dengan tenang dulu, baru saya akan memulai dongeng
saya.”
Anak-anak duduk di sekitar Maria. Mereka duduk sambil memandangi
Maria. Beberapa dari mereka ada yang duduk di samping Maria. Ada pula
yang duduk sambil bertopang dagu.
“Dongeng yang saya ceritakan ini ada hubungannya dengan mitos
Sungai Alleghei dan Blueberry.”
“Blueberry? Setahu saya di Blueberry tidak ada dongeng yang 50
berhubungan dengan mitos Sungai Alleghei,” kata anak yang bertanya
perbedaan mitos dan dongeng.
Maria merasa anak itu menyukai mitos.
Karena Maria tidak ingin mitos-mitos yang terkenal di Kerajaan Zirva
punah, ia menceritakan mitos itu pada anak-anak itu. Tetapi ia tidak menduga
ada seorang anak yang mengetahui cukup banyak mengenai mitos Sungai
Alleghei.
“Apakah engkau menyukai mitos?” tanya Maria pada anak itu.
“Saya sangat menyukainya. Saya ingin mengetahui segala sesuatu
mengenai mitos itu, tetapi orang tua saya tidak tahu banyak. Karena itu saya
sering membaca buku-buku mengenai mitos, tetapi tidak ada di antar buku-
buku itu yang bercerita bahwa di Blueberry ada dongeng yang berhubungan
dengan mitos yang ada di Obbeyville,” kata anak itu.
Maria tersenyum pada anak itu. “Kemarilah,” katanya lembut.
Anak itu berjalan mendekat kemudin duduk tepat di depan Maria.
“Siapakah namamu?”
“Nama saya Ityu. Orang tua saya adalah pendeta yang sering menjadi
pemimpin dalam tiap upacara di Sungai Alleghei.”
“Ityu, saya senang engkau menyukai mitos. Tetapi apa yang kauketahui
tidak cukup banyak. Bila saya mempunyai waktu, saya akan menceritakannya
padamu.”
“Sungguh?” tanya Ityu tak percaya.
“Benar, saya akan menceritakan padamu mitos yang tidak engkau
ketahui. Berapakah mitos yang terkenal di Kerajaan Zirva?”
“Satu yaitu mitos Sungai Alleghei,” jawab Ityu dengan yakin.
Maria telah menduga Ityu seperti orang-orang umumnya yang hanya
mengetahui satu mitos yang paling terkenal di Kerajaan Zirva.
“Sesungguhnya, Ityu, di Kerajaan Zirva ada banyak mitos tetapi yang
paling terkenal ada tiga. Salah satunya adalah mitos Sungai Alleghei,” kata
Maria.
“Saya tidak pernah mendengar kedua mitos yang lain,” kata Ityu
mengakui.
“Karena salah satu mitos itu hampir punah dan yang lainnya sengaja
disembunyikan,” kata Maria menerangkan.
“Mengapa mitos itu disembunyikan?” tanya anak-anak yang sejak tadi
mendengarkan pembicaraan Maria dengan Ityu.51
“Saya tidak dapat menjawabnya karena jawaban saya akan
berhubungan dengan mitos yang disembunyikan itu,” kata Maria tanpa
memberikan alasan yang sesungguhnya.
“Saya tidak mengerti mengapa mereka menyembunyikan mitos itu,”
kata Ityu.
“Kelak bila memungkinkan, aku akan mengatakannya padamu. Tetapi
untuk saat ini engkau cukup mengetahui bahwa ada tiga mitos yang terkenal
di Kerajaan Zirva.”
“Kedua mitos yang lain mengenai apa?” tanya Ityu.
“Mitos yang kedua mengenai nama asli Blueberry,” jawab Maria.
“Apakah Blueberry bukan nama asli tempat itu?”
“Bukan, Ityu. Blueberry mempunyai nama asli. Saya akan
menceritakannya padamu suatu saat nanti. Sekarang saya akan memulai
dongeng saya sebelum saya kembali ke Sidewinder House.”
Anak-anak gembira mendengar kata-kata Maria kecuali Ityu. Maria tahu
anak itu sibuk memikirkan kedua mitos yang lain.
“Datanglah ke pondok Mrs. Vye setiap sore dan saya akan
menceritakannya padamu di sana. Bila orang tuamu tidak menyetujuinya,
saya yang akan memintakan ijin kepada mereka. Saya percaya mereka akan
menyetujui hal ini,” bisik Maria pada anak itu.
Ityu tersenyum senang mendengar janji Maria.
Maria tersenyum pada anak itu dan memulai ceritanya. “Dongeng ini
mengenai peperangan antara dewa dengan setan di dekat sini.”
52
4
Terdengar suara kuda mendekat kemudian berhenti di dekat Maria
yang sedang memandang sungai.
Maria memalingkan kepala dan merasa senang melihat pria yang
dinanti-nantikannya muncul.
“Selamat pagi,” katanya mendekati Maria.
“Selamat pagi,” kata Maria dengan tersenyum.
“Saya mendengar engkau kini menjadi idola anak-anak Obbeyville,”
kata pria itu.
“Rupanya berita di Obbeyville juga cepat tersebar ke Blueberry.”
“Bagaimana Anda tahu saya berasal dari Blueberry?” tanya pria itu
keheranan.
“Siapa pun yang melihat pakaian Anda, tidak akan mengatakan Anda
berasal dari Obbeyville. Karena satu-satunya keluarga yang kaya di sini
adalah keluarga Sidewinder.”
“Bagaimana bila baju ini saya peroleh dari mereka?”
“Suatu khayalan yang takkan pernah terjadi apalagi memimpikannya.”
Pria itu memandang tajam wajah Maria.
Dari sorot matanya, Maria tahu pria itu tidak mengerti arti kata-katanya.
“Hal itu tidak akan pernah terjadi. Semua penduduk Obbeyville telah
mengenal baik watak Baroness Lora dan putrinya yang seperti itu.”
“Seperti apakah watak mereka?”
“Anda tidak mengetahuinya, itu berarti asal Anda bukan dari
Obbeyville.” Maria tersenyum pada pria itu.
“Mereka senang berfoya-foya hingga harta keluarga Sidewinder hampir
habis. Itu yang paling diketahui penduduk Obbeyville. Mereka memberikan
sesuatu kepada orang lain hanya bila mereka menginginkan sesuatu dari
orang itu. Hal inilah yang membuat saya percaya Anda berasal dari Blueberry.
Selain itu masih ada yang membuat saya tahu Anda berasal dari Blueberry.”
“Dapatkah Anda memberi tahu saya sebab yang lain?”
“Di Obbeyville tidak ada keluarga yang memiliki kuda selain keluarga
Sidewinder. Kalaupun penduduk yang lain mempunyai, mereka tidak 53
menggunakannya untuk berkuda.”
“Mengapa Anda yakin akan pendapat Anda? Bagaimana bila ternyata
saya berasal dari Obbeyville?” tanya pria itu.
“Karena saya mengetahuinya dengan pasti dan Anda telah
membenarkan kata-kata saya,” jawab Maria sembari tersenyum pada pria itu.
“Apakah Mrs. Vye yang memberi tahumu?”
Maria menggelengkan kepalanya. “Saya mengetahuinya dalam ingatan
saya. Walau saya tidak dapat mengingat masa lalu saya tetapi saya masih
dapat mengingat segala seluk beluk mengenai Obbeyville juga Blueberry.”
“Sungguh?” tanya pria itu tak percaya.
Maria tersenyum dan mulai meyakinkan pria itu, “Kota yang terletak di
kaki bukit dengan suhunya yang sejuk itu menjadi lahan yang baik untuk
tanaman Blueberry. Sehingga kota penghasil utama Blueberry di Kerajaan
Zirva itu terkenal dengan nama Blueberry sejak dulu kala.”
“Anda pasti baru membacanya dari perpustakaan keluarga Sidewinder
sehingga masih dapat mengingatnya dengan tepat,” kata pria itu tak percaya.
Maria meyakinkan pria itu lagi.
“Tanaman itu dibawa masuk dari Asia dan mulai dikembangkan di
Blueberry oleh nenek moyang keluarga Duke of Blueberry. Sebagian besar
perkebunan Blueberry dimiliki oleh Duke of Blueberry yang kini bernama
Shaw. Ia memiliki seorang putra dari istrinya, Chancy yang bernama
Alexander. Mereka tinggal di tepi Blueberry yang terletak kurang lebih tiga
mil dari Obbeyville.”
“Anda dapat mengetahuinya dari Mrs. Vye.”
“Bagaimana bila ini? Blueberry memiliki suatu mitos yang hingga kini
hanya sedikit orang yang mengetahuinya dan mitos itu berhubungan dengan
mitos yang ada di Obbeyville. Mitos tentang nama asli Blueberry, Blackblood.”
Pria itu terkejut mendengar kalimat terakhir Maria.
“Bagaimana Anda mengetahuinya?” tanyanya, “Hingga kini orang yang
mengetahui mitos itu hanya beberapa orang, termasuk saya. Tetapi saya
tidak mengetahuinya sejauh yang Anda ketahui. Sebelumnya saya tidak
mengetahui nama asli Blueberry.”
“Saya telah mengatakan tidak tahu pada Anda. Saya tidak ingat dari
mana saya mengetahuinya, tetapi di dalam ingatan saya hal itu masih ada.”
Maria menyembunyikan keterkejutannya di balik sikapnya yang tenang.
Ia merasa terkejut pada dirinya sendiri yang berusaha meyakinkan pria itu 54
bahwa ia mengetahui banyak mengenai Blueberry.
Ia tidak mengerti mengapa ia melakukannya. Biasanya ia tidak
berusaha meyakinkan orang bila dipandangnya tidak perlu. Ia mencoba
menemukan jawaban atas pertanyaan yang bergaung di kepalanya.
“Dapatkah Anda menceritakan lebih banyak lagi kepada saya mengenai
mitos yang Anda ketahui?”
Maria memperhatikan sungai yang mengalir tenang di hadapannya.
Kemudian ia memandang wajah pria itu. “Apakah Anda mengetahui mitos
sungai ini?” tanyanya.
Pria itu menganggukkan kepala.
“Di samping mitos yang ada di Obbeyville dan Blueberry, masih ada
sebuah mitos lagi yang tidak dapat saya ceritakan kepada Anda. Tetapi saya
dapat mengatakan kepada Anda bahwa ketiga mitos yang hampir hilang itu
saling berkaitan.”
Maria memandang Sungai Alleghei lagi. Ikan-ikan yang semula
bersembunyi, mulai meninggalkan tempat persembunyiannya seolah-olah
mereka ingin mendengarkan cerita gadis itu.
“Mitos Blueberry bercerita mengenai pertempuran antara para dewa
dari Holly Mountain dengan setan. Sebenarnya para dewa itu bukan melawan
setan. Pertempuran dashyat yang berlangsung selama berminggu-minggu itu,
membuat dunia berguncang. Setelah pertempuran itu selesai dengan
kemenangan para dewa dari Holly Mountain, tanah tempat mereka bertempur
menjadi merah kehitam-hitaman.”
“Sebelum Anda melanjutkan cerita Anda, tolong jelaskan kepada saya
siapakah yang melawan para dewa dari Holly Mountain?” sela pria itu.
“Saya tidak dapat memberi tahu Anda. Mitos ketiga itu disembunyikan
dari semua orang kecuali suku itu. Tolong jangan bertanya lagi mengenai
mitos ketiga itu.”
Walaupun pria itu masih ingin mengetahui lebih banyak mengenai mitos
ketiga yang tak pernah didengarnya itu, tetapi ia menjawab, “Baiklah.”
“Dari tanah itu, muncullah beribu-ribu bunga yang berwarna merah
kehitam-hitaman, yang kini tinggal beberapa tangkai. Penduduk percaya
bunga itu adalah jelmaan darah para dewa dan setan yang meninggal dalam
pertempuran. Karena itu mereka memberinya nama Blackblood dan tanah
tempat mereka tumbuh juga dinamai Blackblood. Kemudian mereka mulai
melestarikan bunga yang mereka percayai suci itu,” kata Maria.55
“Mereka menanam bunga itu di halaman rumah mereka. Karena
mereka percaya dengan berbuat seperti itu, mereka akan terhindar dari mala
petaka.”
“Bagaimana mitos itu dapat menghilang?”
“Sejak nenek moyang Duke of Blueberry membawa dan
mengembangkan Blueberry di sana, mitos itu secara perlahan menghilang di
balik kesibukan mereka. Mereka mulai memelihara Blueberry daripada
Blackblood.”
“Apakah Anda menyalahkan keluarga Duke of Blueberry yang
membawa dan mengembangkan tanaman itu?”
Maria mendengar nada yang aneh dalam suara pria itu namun ia tidak
berkata apa-apa. Ia hanya dapat menduga pria itu takut ia tidak menyukai
segala yang berhubungan dengan kota asalnya, Blueberry.
“Saya tidak menyalahkan mereka. Duke of Blueberry pertama telah
melakukan sesuatu yang benar. Bila ia tidak memperkenalkan tanaman itu
kepada penduduk Blueberry, mungkin hingga kini mereka tidak akan
mencapai kemakmuran seperti ini.”
Mata Maria bertemu dengan mata pria itu. Jantungnya berdebar lebih
keras daripada semula.
Ia ingin terus menatap mata kelabu yang menatap tajam namun ramah
itu. Tetapi ia tahu ia harus meneruskan ceritanya. Ia memalingkan kepalanya
kepada Sungai Alleghei.
“Sifat penduduk Blackblood yang praktislah yang membuat mitos itu
semakin hilang sejalan dengan punahnya bunga Blackblood. Setelah memberi
nama pada bunga dan tanah tempat tumbuhnya bunga itu, mereka jarang
menyebutnya Blackblood. Mereka sering menyebut bunga itu ‘BB’ yang
merupakan kependekkan dari Blackblood. Dan tanaman Blueberry, bila
dipendekkan juga menjadi ‘BB’.”
Maria berhenti bercerita. Ia memandang sedih pada Sungai Alleghei. Ia
sedih akan nasib mitos yang ada di Blueberry.
“Itulah sebabnya nama Blackblood secara perlahan tetapi pasti berubah
menjadi Blueberry,” katanya mengakhiri ceritanya yang panjang.
“Apakah engkau memberi tahu orang lain mengenai mitos ketiga itu
kepada orang lain?” tanya pria itu.
Maria menggelengkan kepala. “Saya tahu mereka telah turun-temurun
menyembunyikan mitos itu dari orang luar. Saya tidak ingin merusak apa 56
yang mereka percayai itu.”
Pria itu tampak lega mendengar jawaban Maria. “Dari mana Anda
mengetahuinya?” gumamnya.
“Saya tidak ingat.”
“Apakah Anda berasal dari Holly Mountain?” tanya pria itu.
“Saya tidak tahu.”
“Anda seolah-olah berasal dari mitos itu. Anda mengetahui lebih banyak
mengenai mitos itu daripada kami.”
“Saya tidak mengerti mengapa saya mengetahui banyak mengenai
mitos itu. Tetapi saya merasa saya telah mengetahuinya sejak dulu, jauh
sebelum saya berada di Obbeyville.”
“Kapan Anda mengetahuinya?” tanya pria itu ingin tahu.
“Saat Mrs. Vye menceritakan mitos sungai ini kepada saya. Saya sendiri
juga tak mengerti mengapa saya lebih mengetahui dari ia yang telah tinggal
puluhan tahun di Obbeyville.”
“Mungkin Anda berasal dari Holly Mountain. Tidak ada yang dapat saya
pikirkan mengenai asal usul Anda selain Holly Mountain. Anda sangat
memenuhi syarat sebagai penghuni Holly Mountain.”
Maria tidak menghiraukan kata-kata pria itu, ia memandang langit yang
semakin cerah.
Sinar matahari telah memenuhi langit yang biru. Ia tidak segera
kembali ke Sidewinder House sebab ia yakin Lady Debora belum bangun.
Kemarin Lady Debora pergi sepanjang hari dan baru tiba ketika hari
menjelang malam.
Pria itu memperhatikan Maria yang sedang memandang langit. Ia tidak
ingin gadis itu segera pergi menuju Sidewinder House seperti kemarin. Ia
ingin bercakap-cakap dengannya, ia senang berbicara dengan gadis itu.
“Apakah yang Anda sukai dari anak-anak?”
Perlahan-lahan Maria memalingkan kepala dan mendapati mata kelabu
itu sedang memandangnya dalam-dalam seolah-olah ingin menahan dirinya.
“Pribadi anak-anak sangat unik. Mereka menyenangkan dan lucu,”
jawab Maria. “Mereka selalu mengatakan apa yang mereka pikirkan, yang
mereka inginkan. Tidak pernah ada kebohongan di antara mereka.”
“Bagaimana dengan anak-anak yang senang berbohong?”
“Mereka yang suka berbohong tidak mendapatkan pendidikan yang
baik dari orang tuanya. Mungkin orang tua mereka terlalu sibuk sehingga 57
kurang memperhatikan anak-anaknya.”
“Apakah Anda hendak mengatakan pertumbuhan seorang anak
dipengaruhi orang tua anak tersebut?”
“Pertumbuhan seorang anak tidak hanya dipengaruhi orang tua, tetapi
juga lingkungan. Tidak ada gunanya orang tua mengajarkan hal-hal yang baik
kepada anaknya, tetapi lingkungan tidak mendukung ajaran orang tua,” kata
Maria, “Anak-anak mudah terpengaruh lingkungan.”
“Anda membuat saya terkejut sejak pertemuan kita yang pertama.
Saya tidak tahu apa yang akan Anda perbuat untuk mengejutkan saya lagi,”
kata pria itu dengan tersenyum.
“Saya tidak pernah dengan sengaja membuat Anda terkejut. Saya juga
tidak merasa berbuat sesuatu yang dapat membuat Anda terkejut.”
“Anda tidak menyadari bahwa Anda membuat saya terkejut sejak
pertemuan pertama kita.”
“Dapatkah Anda memberi tahu saya apa yang saya lakukan sehingga
Anda terkejut?” tanya Maria ingin tahu.
“Pertama, saya tidak pernah menduga Anda sangat cantik. Benar-benar
seperti bidadari.”
Maria menundukkan kepala mendengar pujian itu. Ia tidak mengerti
pada dirinya sendiri yang merasa senang mendngar pujian pria itu.
Ia sering menerima pujian dari orang-orang di sekitarnya tetapi ia tidak
pernah merasa senang seperti ini. Rasanya seperti mendapatkan sesuatu
yang sangat langka dan berharga.
Pria itu tersenyum melihat pipi Maria bersemu merah, “Saya tidak tahu
manakah yang lebih cantik, saat wajah Anda memerah atau saat Anda
tersenyum manis. Tetapi Anda telah membuat saya tidak dapat tidur
semalam.”
“Maafkan saya. Saya tidak tahu bahwa saya membawa masalah kepada
Anda,” Maria memandang pria itu dengan tatapan yang menampakkan
penyesalannya.
“Anda tidak bersalah atas kesukaran tidur saya. Saya merasa senang
dapat membayangkan wajah Anda yang cantik sepanjang malam.”
Pria itu tersenyum melihat Maria menundukkan kepalanya lagi, “Kedua,
saya tidak menduga Anda akan menjadi idola anak-anak. Ketiga, saya tidak
menyangka Anda sangat mengetahui mengenai mitos itu. Dan terakhir, Anda
mengejutkan saya dengan kata-kata Anda mengenai anak-anak.”58
“Mengapa Anda tidak menyangka bahwa saya akan disukai anak-
anak?” tanya Maria.
“Saya bukan tidak percaya Anda akan disukai anak-anak. Saya sering
melihat teman wanita saya lebih memperhatikan dirinya sendiri daripada
anak-anak. Karena itu saya terkejut ketika mendengar Anda disukai anak-
anak.”
“Rupanya kekasih Anda tidak menyukai anak-anak sedangkan Anda
menyukai anak-anak,” kata Maria dengan perasaannya yang aneh.
“Saya tidak mempunyai kekasih sejak saya lahir hingga kini,” kata pria
itu, “Saya menyukai anak-anak, tetapi saya tidak mengetahui banyak tentang
mereka seperti Anda. Saya akan percaya bila Anda mengatakan Anda
seorang bidadari yang berasal dari Holly Mountain.”
“Maaf saya mengecewakan Anda. Benar saya tidak ingat dari mana
saya berasal, tetapi saya merasa asal saya bukan dari gunung, walau saya
merasa tempat asal saya sangat tinggi dan sejuk seperti gunung.”
“Mungkin Anda berasal dari Istana para dewa di Holly Mountain.”
“Saya tidak tahu. Saya tidak dapat menembus kabut pekat yang
menyelubungi masa lalu saya. Saya merasa seperti berada di dalam
kegelapan yang kelam bila saya berusaha menyibakkan kabut itu.”
Maria berusaha berbicara dengan tenang untuk menyembunyikan
kesedihannya.
“Jangan sedih, ingatan Anda akan pulih walau membutuhkan waktu
yang lama,” hibur pria itu. “Anda beruntung masih dapat hidup hingga kini.”
“Ya, saya sangat beruntung dapat diselamatkan oleh wanita sebaik Mrs.
Vye. Saya merasa mengenal seseorang yang mirip Mrs. Vye. Orang itu juga
baik hati seperti Mrs. Vye dan ia juga sangat menyayangi saya.”
“Mungkin orang itu adalah ibu Anda.”
“Saya tidak ingat, tetapi hal itu mungkin benar. Seorang anak lebih
dekat dengan ibunya daripada orang lain.”
“Hubungan seorang anak memiliki hubungan batin dengan ibunya.”
“Anda juga mengetahuinya.”
“Saya hanya mengetahui sedikit,” kata pria itu.
Maria melihat langit yang makin terang. Sinar matahari telah
menyentuh seluruh permukaan bumi. Langit sebelah barat juga telah terang.
Awan-awan putih telah berlari-lari di langit yang biru.
“Apakah Anda akan kembali?” tanya pria itu cemas.59
Pria itu semakin cemas tatkala Maria tidak segera menjawab
pertanyaannya.
Gadis itu terus memandang awan yang berkejar-kejaran. Ia ingin
mengenal gadis itu lebih jauh. Ia ingin Maria menemaninya di tepi sungai ini
sambil bercakap-cakap.
Entah mengapa sejak pertemuannya yang pertama dengan gadis itu, ia
tidak dapat melupakannya. Ia tidak dapat memikirkan yang lain tentang gadis
itu selain ia berasal dari Holly Mountain. Ia juga tidak dapat membayangkan
gadis itu berada di tempat lain.
Ia merasa gadis itu sangat cocok dengan pemandangan tepi Sungai
Alleghei yang indah di pagi hari. Gadis itu tampak seperti menyatu dengan
alam ketika berada di tepi Sungai Alleghei.
“Saya harus kembali. Saya harus membantu mereka.” Akhirnya Maria
menjawab pertanyaan pria itu setelah terdiam cukup lama.
“Apakah Anda tidak dapat menunda kepergian Anda?”
Pria itu bertanya dengan tenang, namun Maria tahu pria itu berharap ia
dapat menunda kepergiannya.
“Saya juga ingin berbicara dengan Anda lebih lama lagi tetapi saya
harus membantu mereka. Mereka benar-benar membutuhkan bantuan saya,”
kata Maria tenang.
Pria itu terdiam kemudian berkata, “Baiklah, saya tidak akan memaksa
Anda. Perkenankan saya untuk mengantar Anda.”
“Saya khawatir saya akan menolaknya. Saya ingin berjalan kaki,” kata
Maria sembari tersenyum.
Pria itu tidak mau ditolak. Ia tahu tidak ada gunanya ia memaksa Maria,
tetapi ia ingin mengantar Maria kembali ke pondok Mrs. Vye.
Ia berharap sambil mengantar Maria, ia dapat berbicara lebih banyak
dengannya. Ia mempunyai cara lain, tetapi ia tidak tahu apakah gadis itu
akan menyukainya.
“Maafkan saya,” bisik pria itu sembari mengangkat tubuh Maria.
Maria terkejut hingga tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolak pria
itu. Ia membiarkan pria itu membopongnya ke kudanya kemudian
menaikkannya ke punggung kuda itu.
Jantung Maria berdebar sangat kencang sewaktu pria itu mengangkat
tubuhnya. Maria tidak menyadari tangannya telah melingkari leher pria itu
ketika pria itu membawanya ke kudanya.60
Ia menundukkan kepala, ingin menyembunyikan wajahnya yang terasa
panas ketika tangan kekar pria itu mengangkat tubuhnya.
Maria merasa detak jantungnya semakin cepat ketika pria itu duduk di
belakangnya. Tangan kiri pria itu memeluk pinggangnya yang ramping serta
menarik tubuhnya mendekat. Sedangkan tangannya yang lain memegang tali
kendali kuda.
“Mengapa Anda terus menundukkan kepala?” bisik pria itu di telinga
Maria, “Apakah Anda merasa malu karena penduduk Obbeyville melihat kita?”
Maria baru menyadari penduduk mulai berbisik-bisik di sekitarnya
melihat mereka berdua ketika pria itu bertanya kepadanya. Ia tidak merasa
malu karena dilihat penduduk Obbeyville. Ia merasa aneh sejak pria itu
mengangkat tubuhnya.
“Apakah saya membuat Anda takut?” tanya pria itu ketika Maria tidak
segera menjawab pertanyaannya.
Maria menggelengkan kepalanya, tetapi ia tetap menundukan kepala. Ia
ingin melihat wajah pria itu, tetapi ia takut menganggu perhatian pria itu ke
kudanya.
“Apakah ini pertama kalinya Anda berkuda terutama bersama pria?”
“Saya tidak tahu,” kata Maria, “Saya merasa ini bukan pertama kalinya
saya berkuda tetapi…”
“Tetapi apa?” tanya pria itu.
“Saya tidak dapat mengerti perasaan saya dan diri saya sendiri. Saya
merasa kembali berada di dalam kabut pekat itu.”
“Mungkin sebelum ini Anda sering berkuda bersama pria,” kata pria itu.
Maria memalingkan kepalanya ke wajah pria itu ketika mendengar nada
bicaranya yang aneh. Sesaat ia melihat mata pria itu tampak sedih dan
terkejut pada gerakannya yang tiba-tiba.
Pria itu memandang menuduh padanya. “Hati-hati! Anda dapat jatuh
bila Anda bergerak tiba-tiba seperti ini,” katanya dengan mengetatkan
pelukannya pada pinggang Maria.
“Maafkan saya,” kata Maria lirih.
Dengan perlahan, Maria memalingkan kepalanya ke arah jalanan. Ia
baru menyadari kuda itu berjalan lambat tatkala ia memandang jalanan.
Rupanya sejak tadi ia tidak menyadari hal yang lain kecuali debaran
jantungnya yang semakin cepat dan perasaannya yang aneh, perasaan yang
belum pernah dirasakannya sebelumnya.61
“Mengapa kita berjalan lambat?” tanyanya.
Pria itu diam saja. Ia ragu menjawab pertanyaan Maria, tetapi akhirnya
ia menjawab, “Maafkan saya. Saya sengaja melambatkan kuda ini karena
saya masih ingin berbicara dengan Anda.”
Tanpa disadarinya, kepalanya telah bersandar pada bahu pria itu. “Kita
dapat bertemu lagi esok pagi.”
“Apakah kita tidak dapat bertemu selain pagi hari?”
“Saya kira kita tidak dapat bertemu di lain waktu selain pagi hari. Waktu
luang saya hanya pagi hari. Sepanjang hari saya sibuk.”
“Apakah yang membuat Anda sibuk?” tanya pria itu. “Anda sibuk
membantu Mrs. Vye atau bermain dengan anak-anak?”
“Keduanya,” jawab Maria singkat.
Pria itu diam saja mendengar jawaban Maria. Kemudian ia memacu
kudanya lebih kencang. Ketika pondok Mrs. Vye terlihat di kejauhan, ia
merasa sedih harus berpisah dari gadis itu.
62
5
Mereka berjalan meninggalkan Sidewinder House.
Langit barat masih memerah. Bulan bersinar pucat diiringi bintang-
bintang di balik awan hitam yang menutupi langit malam. Lolong serigala
terdengar di kejauhan, di bukit yang tak jauh dari Obbeyville.
Angin malam bertiup kencang mempermainkan daun-daun di kegelapan
malam. Bunyi gemerisik dedaunan membuat suasana di kota kecil yang sepi
itu semakin mencekam.
Bayangan pepohonan terus memanjang ke Sungai Alleghei. Dari
kejauhan, sungai itu tampak mencekam. Permukaan airnya berkilau-kilau
tertimpa cahaya bulan yang sesekali menampakkan diri dari balik awan gelap
yang menyelimuti langit malam.
Melihat keindahan Sungai Alleghei di malam hari itu, Maria ingin pergi
ke sana, tetapi ia tahu Mrs. Vye tidak akan mengijinkannya. Mrs. Vye sangat
mempercayai mitos dan takhayul seperti umumnya penduduk Obbeyville.
Tiada canda tawa anak-anak yang senantiasa menambah maraknya
kota kecil itu. Tiada anak-anak yang senantiasa berkeliaran di segala sudut
Obbeyville. Anak-anak telah kembali ke rumah masing-masing.
Penduduk menutup rapat pintu rumah mereka. Mereka takut keluar
pada malam hari di musim panas.
Sesaat sebelum matahari menyembunyikan wajahnya, mereka telah
mengunci diri di rumah mereka masing-masing.
Mereka mempercayai awan gelap yang senantiasa menghiasi langit
malam musim panas merupakan suatu tanda dari para dewa bagi mereka
agar bersembunyi dari kejaran para setan.
Siang hari yang panas merupakan angin yang dibawa para setan dari
neraka yang panas, sedangkan malam musim panas adalah saat yang tepat
bagi para setan untuk menghasut manusia.
Saat di mana manusia sedang lengah.
Saat manusia tidak sesibuk musim semi.
Saat matahari bersinar memerah seperti api di ujung barat.
Dari arah matahari yang memerah itulah para setan itu datang. 63
Demikianlah yang mereka percayai.
Mereka berjalan cepat tanpa banyak bicara. Mrs. Vye tampak sangat
tegang berjalan menembus kegelapan malam yang semakin pekat. Langit
barat terasa semakin kelam setiap kali mereka menapakan kaki.
Berlainan dengan Maria yang tampak sangat tenang. Gadis itu berjalan
teramat tenang membuat Mrs. Vye merasa heran melihatnya. Wajahnya yang
senantiasa ceria tidak tampak tegang sedikitpun.
Maria segera menuju dapur sesampainya mereka di pondok. Ia memulai
mengerjakan apa yang menjadi tugasnya akhir-akhir ini. Seperti biasanya, ia
mengerjakannya dengan cepat dan terampil.
Mrs. Vye yang memandang Maria dari tempatnya menanti tampak
terpesona oleh tangan gadis itu yang cekatan dan sangat terampil. Ia
tersenyum melihat gadis itu. Ia merasa sangat beruntung dapat bertemu
dengannya.
“Mengapa Anda tersenyum, Mrs. Vye?” tanya Maria sambil meletakkan
seteko teh di tengah meja.
“Aku merasa sangat beruntung sekali dapat berjumpa denganmu,” kata
Mrs. Vye.
Maria membalas senyuman Mrs. Vye. “Saya juga merasa beruntung
dapat bertemu dengan wanita sebaik Anda, Mrs. Vye.”
“Andaikan engkau putriku,” gumam Mrs. Vye.
“Saya telah menganggap Anda sebagai ibu saya. Anda telah merawat
dan menjaga saya seperti merawat putri Anda sendiri, karena itu anggaplah
saya ini putri Anda,” kata Maria, “Saya memang tidak sama dengan putri
Anda, tetapi saya berharap saya tidak membuat Anda kecewa.”
“Engkau membuatku sangat bangga. Engkau juga sering membuatku
merasa terkejut, heran dan segala macam perasaan yang membuatku harus
berpikir.” Mrs. Vye tersenyum seolah-olah tersenyum pada dirinya sendiri.
“Saya benar-benar menyesal membuat Anda merasakan perasaan
seperti itu. Saya tidak pernah menduga bahwa saya akan mengusik
ketenangan batin Anda.”
“Jangan menyesal apalagi meminta maaf. Ini semua bukan salahmu.
Aku merasa seperti mendapat hiburan dari perasaan itu. Aku yang biasanya
selalu merasa marah kepada Baroness Lora, kini tidak lagi. Aku mulai dapat
mengendalikan emosiku kepadanya.”
“Bukan karena sayalah perasaan Anda dapat Anda kendalikan, sejak 64
semula Anda pandai menguasai perasaan.”
“Tidak hanya aku yang merasakan perubahan sejak kedatanganmu.
Mrs. Fat, Mr. Liesting, dan Mrs. Dahrien juga merasakan perubahan itu. Tadi
pagi mereka mengatakan kepadaku bahwa kehidupan yang semula terasa
membosankan di Sidewinder House kini terasa lebih hidup sejak
kedatanganmu.”
“Anda semuanyalah yang telah menghidupkan suasana di rumah itu.
Saya hanya berperan kecil.”
“Peranmu tidak kecil, Maria. Sejak hari pertama kedatanganmu di sana,
engkau telah mulai membersihkan seluruh ruangan di Sidewinder House.
Engkau melarang kami mengerjakan tugas yang kaukatakan terlalu berat
bagi orang setua kami tetapi kami merasa hal itu telah menjadi bagian hidup
kami.”
“Sudah sewajarnya saya membantu Anda. Bukankah setiap orang harus
saling tolong menolong,” kata Maria merendahkan diri.
Maria menatap lembut wajah Mrs. Vye.
“Saya tidak tega melihat Anda yang seharusnya duduk tenang
menikmati hari tua tetapi bekerja keras pada keluarga yang seperti itu.
Mereka tidak hanya kikir tetapi juga tidak memperhatikan kesehatan para
pelayannya.”
“Kami telah berkerja puluhan tahun di sana sejak kami masih muda.
Aku telah bekerja pada keluarga itu sejak aku berusia enam belas tahun.
Bekerja keras telah menjadi bagian dari kehidupan kami, karena itu janganlah
membantu kami bila engkau tidak mempunyai tugas. Pergilah bermain
bersama anak-anak atau berjalan-jalan di sepanjang sungai.”
“Saran Anda bagus sekali, tetapi saya tidak dapat menahan diri untuk
tidak membantu Anda yang berusaha keras memenuhi segala keinginan
Baroness Lora dan putrinya sementara saya merasa mampu
mengerjakannya.”
“Engkau memang baik hati dan pengertian. Tetapi biarlah apa yang
telah berjalan terus berjalan.”
“Saya harus belajar banyak dari Anda. Anda sangat setia pada keluarga
Sidewinder,” kata Maria mengganti topik.
Ia tidak ingin Mrs. Vye terus mendesaknya agar berhenti membantu
mereka. Bila Mrs. Vye telah memutuskan sesuatu, akan sulit untuk
membuatnya merubah pikiran.65
Maria yang mulai mengenal pribadi Mrs. Vye dalam waktu yang tak
lebih dari dua minggu ini, telah mengetahui baik hal itu. Tetapi Maria harus
mengakui bahwa tidak jarang pula ia berhasil membuat Mrs. Vye merubah
keputusannya.
Mrs. Vye tersenyum menyadari gadis itu sengaja mengganti topik. “Aku
tidak merasa engkau harus belajar dariku, aku merasa akulah yang harus
belajar banyak hal darimu.”
“Saya masih hijau di dunia ini dibandingkan Anda yang telah puluhan
tahun menghuni dunia ini. Saya belum mengetahui apa-apa.”
Mrs. Vye tersenyum mendengar kata-kata gadis itu yang terdengar
sangat tulus. “Engkau membuatku terkejut dengan segala yang telah engkau
lakukan.”
Maria telah menduga Mrs. Vye akan terkejut. Wanita tua itu berdiri di
depan Sidewinder House ketika pria itu mengantarnya ke pondok Mrs. Vye.
“Aku tidak pernah menduga engkau pandai memasak. Aku juga tak
pernah membayangkan engkau amat terampil mengurus rumah,” kata Mrs.
Vye sambil memandang wajah Maria lekat-lekat.
Maria terkejut mendengar kata-kata wanita tua itu, namun dengan
segera ia menguasai perasaannya lagi. Ia tidak menduga itulah yang
dimaksudkan Mrs. Vye. Dengan tenang, ia membalas tatapan mata Mrs. Vye.
“Tanganmu yang selalu cekatan dan terampil dalam mengurus rumah
membuat engkau seolah-olah terbiasa mengurus rumah. Aku semakin tidak
dapat menduga siapakah engkau di masa lalu.”
Mrs. Vye menggeleng sedih, “Terlalu banyak kenyataan yang berbeda
dengan apa yang kuduga. Hal-hal yang saling bertentangan dalam dirimu
terlalu banyak sehingga membuat aku semakin merasa bingung.”
“Janganlah Anda bingungkan masa lalu saya, saya juga tidak tahu siapa
saya di masa lalu. Biarkanlah waktu membuat segalanya jelas bagi saya
maupun bagi Anda.”
“Engkau benar. Kita hanya dapat berusaha sambil menanti waktu yang
telah ditentukan para dewa bagimu untuk mengingat kembali masa lalumu.”
“Masa lalu saya saat ini masih berada di dalam kegelapan, tetapi saya
percaya para dewa akan menunjukkan jalan bagi saya untuk menyibakkan
kegelapan itu,” kata Maria meyakinkan Mrs. Vye.
“Menurutku tak lama lagi Mrs. Dahrien akan sering mengajakmu
berbicara.”66
Mrs. Vye menjawab keheranan yang tercermin pada mata Maria, “Ia
senang berbicara dengan orang yang bijak.”
“Saya kurang bijak dibandingkan Anda semua termasuk Mrs. Dahrien
sendiri,” kata Maria merendahkan diri.
“Bagi Mrs. Dahrien engkau sangat bijaksana melebihi siapa pun. Ia juga
mengatakan bahwa ia harus banyak belajar darimu agar dapat sebijak
engkau,” kata Mrs. Vye dengan tersenyum.
“Saya juga harus banyak belajar dari Mrs. Dahrien agar menjadi sebijak
ia. Tiap orang juga harus banyak belajar agar menjadi lebih bijak. Belajar
tidak mengenal usia dan waktu.”
“Apa dikatakan Mrs. Dahrien memang benar. Sedikitpun aku tidak
meragukannya’” kata Mrs. Vye pada dirinya sendiri.
Mereka berdiam diri. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
Maria memandang keluar jendela. Tetapi ia tidak memperhatikan apa
yang tampak dari balik jendela. Ia memikirkan pria itu lagi, entah berapa kali
ia memikirkan pria itu sejak pertemuan pertama mereka.
Tak dapat dimengertinya mengapa ia selalu memikirkan pria itu. Ia
hanya menduga mungkin karena ia baru pertama kali berjumpa dengan pria
yang sebaik dia sejak ia berada Obbeyville.
Penduduk Obbeyville juga baik terhadap Maria, namun mereka tidak
pernah menganggapnya sebagaimana yang diinginkannya.
Mereka memperlakukannya seperti seorang dewi walau pun ia telah
berkali-kali mengatakan kepada mereka bahwa ia seorang manusia seperti
mereka juga.
Berbeda dengan pria itu. Pria itu juga menganggapnya sebagai bidadari
tetapi ia tidak memperlakukannya seperti orang suci yang bilamana
melakukan sesuatu di luar kebiasaan akan segera membicarakannya. Seperti
penduduk Obbeyville umumnya yang suka membicarakan dirinya.
Walaupun mereka tidak pernah membicarakan segala perbuatannya di
depan matanya, tetapi Maria tahu mereka membicarakan dirinya.
Ia menganggap hal itu wajar karena ia seorang gadis tak dikenal yang
tiba-tiba muncul tanpa diundang di Sungai Alleghei yang dikeramatkan
mereka. Terutama ketika mereka mengetahui ia kehilangan ingatannya.
Masa lalunya yang berada di dalam kegelapan itu membuat dirinya
menjadi misterius di mata penduduk Obbeyville, terutama Mrs. Vye.
Segala tindakan Maria sejak ia muncul dari pondok Mrs. Vye, membuat 67
Maria menjadi semakin penuh misteri.
Bukan hanya itu saja yang disukai Maria dari pria yang tak dikenalnya
itu. Pria itu juga sangat menyenangkan bila diajak berbicara. Mata kelabunya
selalu menatap tajam tetapi ramah pada dirinya setiap kali mereka bertemu.
Maria merasa wajahnya memanas saat ia teringat tangan pria itu yang
memeluknya erat-erat di punggung kudanya.
Hingga kini ia tak mengerti mengapa ia membiarkan pria itu
membopong tubuhnya kemudian mengantarnya pulang dengan kuda coklat
yang juga ditungganginya saat mereka bertemu untuk pertama kalinya.
“Siapa pria itu?” tanya Mrs. Vye tiba-tiba.
Jantung Maria serasa berhenti berdetak mendengar pertanyaan itu. Ia
tahu siapa yang dimaksudkan oleh Mrs. Vye tetapi ia tetap bertanya. “Pria
yang mana, Mrs. Vye?” Jantungnya berdetak cepat.
“Pria yang tadi pagi kulihat mengantarmu,” jawab Mrs. Vye tanpa
menyadari perubahan yang terjadi pada wajah Maria.
Wajah Maria terasa kian memanas dan memerah mendengar kata-kata
Mrs. Vye. Ia berusaha keras agar wajah serta suaranya tenang walau
sebenarnya bergejolak.
“Saya tidak mengenalnya,” jawab Maria jujur.
“Mengapa engkau membiarkan pria itu mengantarmu dengan
kudanya?” sela Mrs. Vye sebelum Maria melanjutkan kata-katanya.
“Kemarin pagi kami telah bertemu. Saya tidak mengetahui namanya,
tetapi saya tahu ia berasal dari Blueberry. Ia baik hati, saya yakin ia tidak
mempunyai maksud yang buruk terhadap saya,” jawab Maria.
“Blueberry?” ulang Mrs. Vye.
Maria menganggukkan kepalanya. Ia berusaha untuk bersikap setenang
mungkin.
“Di manakah kalian bertemu?”
“Kami bertemu di tepi Sungai Alleghei.”
“Mengapa aku tak pernah bertemu dengannya? Selama dua hari ini
engkau dan aku pergi bersama-sama menyusuri sungai itu,” kata Mrs. Vye.
“Kami bertemu tak lama setelah Anda pergi ke Sidewinder House,”
jawab Maria.
“Seperti apakah pria itu?” tanya Mrs. Vye.
“Saya khawatir saya tidak dapat menggambarkan pria itu dengan baik.
Saya hanya dapat mengatakan pria itu ramah terhadap saya, ia juga seorang 68
yang penuh pengertian.”
Tak puas dengan jawaban Maria, Mrs. Vye bertanya lagi, “Apakah pria
itu tampan?”
Sekali lagi Maria mengangguk perlahan.
“Siapakah pria itu?” tanya Mrs. Vye pada dirinya sendiri. Kemudian Mrs.
Vye menatap tajam Maria. “Apakah ia tidak memberi tahumu namanya?”
“Apakah ia mengetahui namamu?” tanya Mrs. Vye ketika melihat Maria
menggelengkan kepalanya.
Sekali lagi Maria menggelengkan kepala.
“Aneh,” kata wanita itu heran, “Apa yang kalian lakukan selama di
sana?”
“Kami hanya berbicara tentang banyak hal. Tak seorangpun dari kami
yang membicarakan mengenai diri kami masing-masing. Pria itu menanyakan
mengenai diri saya pada pertemuan kami yang pertama.”
“Apa yang kaukatakan padanya?” sela Mrs. Vye.
“Saya menjawab bahwa saya hilang ingatan sehingga saya tidak dapat
menjawab pertanyaannya.”
“Bagus. Saat ini kita tidak tahu siapa dia, apakah ia orang baik atau
orang jahat. Berhati-hatilah padanya,” nasehat Mrs. Vye.
“Saya mengerti, Mrs. Vye. Saya akan selalu berhati-hati bila berjumpa
dengannya.”
“Bagus,” kata Mrs. Vye puas. “Bagaimana dengan pekerjaan barumu?”
“Saya menyukainya,” jawab Maria.
“Bagaimana engkau bisa menyukainya bila engkau harus melayani
wanita yang sombong seperti Tuan Puteri,” kata Mrs. Vye heran.
“Saya senang bisa membantunya. Seburuk apapun sifatnya, saya tidak
akan mempedulikannya. Saya akan terus berusaha membantunya sejauh
yang saya bisa.”
“Bagaimana bila ia memakimu? Bila engkau sudah lama bekerja
padanya, sikapnya tidak akan sebaik sekarang.”
“Bila ia memaki saya tentu ada kesalahan yang telah saya perbuat.
Saya akan menghindari kesalahan yang sama,” kata Maria tenang.
“Engkau tidak mengerti. Tuan Puteri dan Yang Mulia tidak hanya
memaki bila engkau melakukan kesalahan. Kadang-kadang mereka marah-
marah tanpa alasan yang jelas.”
“Saya akan mengambil tindakan yang tepat yaitu tidak memasukkan 69
makian mereka ke dalam hati bila demikian halnya. Biarlah mereka memaki
saya sekehendak hati mereka asalkan saya tidak merasa benci kepada
mereka, saya akan berusaha mengubah keburukan hati mereka.”
“Tidak akan berguna bila engkau berniat mengubah sifat mereka.
Mereka tidak akan mau mendengarkan kata-katamu. Mereka hanya mau
bergaul dengan orang yang kaya seperti mereka.”
“Setiap orang tidak boleh berputus asa sebelum mencobanya, Mrs. Vye.
Walaupun mereka tidak mau mendengarkan saya, saya tidak akan berhenti
sebelum mereka mau berubah.”
“Aku mengerti engkau bermaksud baik. Tetapi ikutilah nasehatku,
jangan mencoba merubah sifat buruk yang telah mendarah daging pada diri
mereka,” kata Mrs. Vye dengan menggengam tangan Maria di permukaan
meja, “Biarkanlah hati mereka dipenuhi oleh kebencian asalkan hatimu tidak
dipenuhi kebencian.”
“Kita tidak dapat membiarkan orang lain terus terjerumus ke dalam
dosa, Mrs. Vye. Setiap orang mempunyai tugas menuntun kembali sesamanya
yang tersesat ke jalan yang benar, seperti yang diajarkan Yesus sendiri.”
“Baiklah, Mrs. Vye. Aku tidak akan mencoba menghentikanmu lagi,
tetapi jangan terlalu memaksakan diri. Aku tidak ingin terjadi sesuatu
padamu.”
“Terima kasih, Mrs. Vye. Saya berjanji akan berusaha sebaik mungkin
tanpa menyinggung perasaan mereka.”
“Engkau harus memegang teguh janjimu. Bila terjadi sesuatu padamu,
Mr. Liesting, Mrs. Fat serta Mrs. Dahrien akan marah padaku. Mereka sangat
menyayangi engkau,” kata Mrs. Vye.
Maria tersenyum pada Mrs. Vye, “Saya juga menyayangi mereka semua
termasuk Anda dan segala yang ada di Obbeyville. Saya mencintai suasana di
sini, keindahannya, cuacanya. Saya mencintai segalanya.”
“Andaikan Tuan Puteri dan Yang Mulia sepertimu,” gumam Mrs. Vye.
“Saya yakin mereka juga mencintai tempat ini. Bukankah mereka juga
berasal dari Obbeyville?”
“Aku tidak yakin. Walaupun mereka berasal dari Obbeyville, tetapi
mereka lebih menyukai kota-kota besar seperti Blueberry.”
“Mengapa mereka seperti itu? Bukankah setiap orang mencintai tanah
tempat tinggalnya, tanah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan.”
“Tetapi itulah kenyatannya. Mereka sering mengeluh karena harus 70
tinggal di kota kecil seperti ini. Mereka menjadi semakin sering mengeluh
akhir-akhir ini. Ingin rasanya aku memaki mereka, tetapi apa yang dapat
dilakukan oleh pengurus rumah tangga tua seperti aku,” keluh Mrs. Vye.
“Anda tidak boleh memarahi mereka. Betapa pun besarnya kesalahan
mereka tetapi kita tidak boleh memarahi mereka sekali pun mereka bukan
majikan kita,” kata Maria, “Kita harus dapat memberi pengertian kepada
mereka. Kita harus bersabar dalam menghadapi segala hal.”
“Berkepala dingin dalam menghadapi segala hal, maksudmu?”
Maria menganggukkan kepala.
“Pantas saja engkau selalu tampak tenang dalam segala hal. Walaupun
tadi pagi kudengar Tuan Puteri marah-marah,” kata Mrs. Vye.
“Ia marah karena ia terlambat bangun lagi. Katanya janjinya yang
kemarin dindur hingga hari ini, tetapi karena ia terlambat bangun maka mau
tidak mau janjinya harus mundur lagi,” Maria menerangkan kepada Mrs. Vye.
“Ia memang selalu begitu. Ia tidak pernah mengatakan secara jelas
perintahnya kepada orang lain tetapi ia ingin hasil yang sempurna baginya,”
kata Mrs. Vye.
Maria hanya menganggukkan kepalanya mendengar kata-kata Mrs. Vye.
Dalam beberapa hari ini ia telah mengenal sifat Baroness Lora maupun
Lady Debora. Dan ia membenarkan kata-kata Mrs. Vye. Baik sifat maupun
rupa kedua orang itu sangat mirip.
Keduanya sering meninggalkan rumah. Kadang pagi-pagi sekali mereka
pergi dan baru larut malam mereka pulang. Tidak ada yang tahu mereka
pergi ke mana. Yang jelas mereka pergi ke pertemuan penting bagi mereka.
Mereka selalu mengenakan pakaian mewah baik bila meninggalkan
Sidewinder House maupun di dalam Sidewinder House. Tatanan rambut
mereka pun tak mau kalah dari orang-orang kaya lainnya.
Maria bersyukur Lady Debora menyukai tatanan rambut yang diaturnya.
Wanita itu tak pernah mengeluh pada tatanan rambutnya. Maria selalu
berusaha menyisir rambut wanita itu dengan rapi dan sesuai selera wanita
itu.
Ia juga memaklumi sikap Lady Debora yang seperti tidak peduli akan
tatanan rambutnya yang diakui Mrs. Vye lebih baik dari yang bisa dilakukan
Mrs. Vye sendiri.
Tanpa disadarinya, ia semakin membuat Mrs. Vye merasa bingung
padanya, terutama dirinya di masa lalu. Semakin hari Mrs. Vye semakin tidak 71
dapat menebak diri Maria.
Andaikan Maria seorang putri bangsawan, mengapa gadis itu sangat
pandai dalam merawat rumah? Tidak mungkin seorang putri bangsawan yang
selalu dikelilingi banyak pelayan akan tampak seperti biasa mengurus
rumahnya sendiri.
Walaupun bila sang putri itu sendiri menginginkannya, orang tuanya
pasti tidak akan mengijinkannya ikut mengerjakan tugas pelayan. Hal itu tak
disangsikan oleh siapa pun.
Tetapi bila gadis itu bukan putri bangsawan, mengapa ia mempunyai
keanggunan bangsawan? Sikap dan tutur katanya yang sopan menunjukkan
ia berasal dari keluarga bangsawan. Gaun serta kalung yang ditemukan
bersamanya juga memperkuat dugaan itu.
Kemungkinan lain yang pernah timbul dalam benak Mrs. Vye adalah
Maria berasal dalam lingkungan keluarga yang tidak memiliki pelayan tetapi
masih memiliki darah bangsawan.
Kemungkinan ini juga tidak cocok. Mengapa Maria memiliki kalung dan
gaun yang sangat indah bila ia berasal dari keluarga yang tidak sekaya
bangsawan umumnya?
Gadis itu tidak mungkin mendapatkan gaun dan perhiasan itu dari
orang lain. Mrs. Vye telah mengenal baik sifat Maria dalam beberapa hari ini
yang selalu menolak halus pemberian yang ditujukan padanya.
Ia percaya Maria adalah gadis yang sangat disayangi oleh semua orang
karena kebaikan hatinya. Gadis itu selalu tahu di mana ia harus
menempatkan dirinya dalam situasi apa pun.
Gadis itu telah menawan hati semua orang di Obbeyville baik tua atau
muda bahkan anak-anak dalam dua hari sejak kesembuhannya.
Mrs. Vye benar-benar kebingungan memikirkan masa lalu Maria. Satu-
satunya yang memenuhi segala syarat itu hanyalah Maria berasal dari Holly
Mountain.
Gadis itu adalah bidadari yang cantik, anggun, bijaksana, rendah diri,
rajin serta disukai banyak orang. Hanya itulah yang kini ada di benak Mrs.
Vye.
Seperti hari sebelumnya, Maria terus membayangkan pria itu hingga
menjelang tidur. Bahkan di dalam mimpi pun ia melihat pria itu. Tidak dapat
dimengertinya mengapa ia terus memikirkan pria yang tidak diketahui
namanya itu.72
Pagi ini pun ia berharap dapat bertemu dengan pria itu lagi. Pagi ini
Maria tampak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Rambutnya yang panjang
semakin terlihat bercahaya karena baru saja dicucinya.
Rambutnya panjangnya yang bercahaya itu membuat Mrs. Vye
terkagum-kagum.
“Rambutmu benar-benar indah, selalu bersinar seperti sinar matahari
pagi. Aku ingin sekali mempunyai rambut seperti ini yang lembut seperti
sutra dan bersinar seperti cahaya matahari.” kata Mrs. Vye sambil terus
menyisir rambut panjang Maria.
“Rambut saya menjadi halus dan bersinar seperti ini karena baru
dicuci,” kata Maria merendahkan diri.
“Rambutmu selalu terlihat indah dalam keadaan seperti apa pun,” kata
Mrs. Vye dengan senyuman yang menghiasi wajah bulatnya yang keriput.
“Terima kasih, Mrs. Vye,” kata Maria, “Saya yakin rambut Anda waktu
Anda masih muda juga sangat indah.”
“Rambutku dulu juga indah tetapi tidak pernah seindah rambutmu.
Sekarang rambutku sudah memutih semuanya, tidak terlihat indah lagi,” kata
Mrs. Vye.
“Anda jangan berkata seperti itu,” kata Maria, “Keindahan seseorang
tidak hanya dilihat dari rambutnya, tetapi hatinya.”
“Apakah engkau selalu menilai orang melalui hatinya?” tanya Mrs. Vye
ingin tahu.
Maria menganggukkan kepala. “Saya selalu menilai orang lain dengan
melihat hatinya. Bagi saya tidak akan ada artinya bila seseorang itu cantik
atau tampan tetapi hatinya buruk.”
“Engkau benar-benar bijaksana memilih menilai orang tidak melalui
penampilan tetapi hatinya. Aku harus menirumu dalam hal ini,” kata Mrs. Vye.
“Hal itu sudah ditanamkan orang tua saya pada diri saya sejak saya
masih kecil,” kata Maria.
Ia terkejut akan ucapannya sendiri. Ia berusaha mengingat wajah orang
tuanya serta nasehat-nasehat mereka, tetapi ia masih tidak dapat membuka
tabir yang menutupi masa lalunya itu.
“Jangan sedih, Maria. Ingatanmu perlahan-lahan akan pulih kembali,”
kata Mrs. Vye menghibur, “Sudah suatu kemajuan engkau dapat mengingat
nasehat orang tuamu. Aku yakin mereka adalah orang tua yang baik.”
“Saya juga merasakan hal itu,” kata Maria.73
Kemudian Mrs. Vye berbicara mengenai mitos malam musim panas
pada Maria untuk mengalihkan perhatian gadis itu dari masa lalunya yang kini
berada di balik kegelapan.
Ia senang Maria mendengarkan setiap kata-katanya dengan cermat dan
selalu menanggapinya bila ada mitos yang salah. Berulang kali Maria
membetulkan cerita mitos malam musim panas yang diketahui Mrs. Vye.
Begitulah Maria, gadis itu selalu seperti berasal dari mitos itu sendiri
bila telah berbicara mengenai mitos itu. Ia lebih banyak mengetahui
mengenai mitos itu dari semua penduduk Obbeyville. Bahkan seluruh
penduduk Kerajaan Zirva, menurut Mrs. Vye.
Maria selalu mendengarkan baik-baik segala yang dikatakan orang lain
kepadanya. Tanpa mempedulikan kata-kata itu penting atau tidak, ia selalu
mengingat semua kata orang lain dalam benaknya.
Sesuatu dalam dirinya selalu mengingatkan untuk selalu mencatat
segala yang dikatakan orang lain di dalam benaknya, tidak peduli kata-kata
itu penting atau tidak.
Mrs. Vye merasa enggan saat ia harus kembali ke Sidewinder House. Ia
tidak ingin meninggalkan Maria seorang diri di sungai itu. Ia ingin mengetahui
pria yang telah mengantar Maria pulang kemarin.
Walaupun gadis itu tidak menolak bila Mrs. Vye terus menemaninya
hingga pria itu muncul, tetapi sesuatu telah membisikkan ke telinganya untuk
membiarkan Maria berdua dengan pria itu.
Sebagai orang yang mempercayai mitos, Mrs. Vye percaya bisikan itu
berasal dari para dewa di Holly Mountain. Ia semakin percaya pria itu tidak
bermaksud buruk kepada Maria ketika mendengar bisikan itu.
“Aku percaya pria itu bukan orang jahat, tetapi engkau tetap harus
berhati-hati,” pesan Mrs. Vye sebelum meninggalkan Maria.
Maria menganggukkan kepalanya dan memandang Mrs. Vye yang terus
berjalan menjauh.
Ketika membalikkan badan untuk melanjutkan perjalanannya, ia
terkejut ketika melihat pria itu telah berdiri di sisinya. Pria itu berdiri sangat
dekat darinya.
Jantung Maria kembali berdebar ketika ia menyadari jarak mereka yang
sangat dekat itu. Ia percaya bila tadi ia membalikkan badan sambil
melangkah, ia akan menubruk pria itu.
“Anda membuat saya terkejut,” kata Maria setelah menguasai 74
perasaannya lagi.
“Rupanya saya selalu terlambat,” kata pria itu.
“Anda terlambat sedikit bila Anda ingin bertemu dengan Mrs. Vye. Ia
baru saja kembali ke Sidewinder House. Tetapi Anda dapat menemuinya di
Sidewinder House. Sepanjang hari Mrs. Vye berada di sana,” kata Maria.
“Bukan itu yang saya maksudkan. Saya tidak ingin bertemu dengan
Mrs. Vye untuk saat ini,” kata pria itu.
“Bila demikian halnya, mengapa Anda mengatakan Anda selalu
terlambat?” tanya Maria tak mengerti.
“Saya selalu terlambat untuk menjemput Anda di pondok Mrs. Vye.”
Wajah Maria memerah mendengar kalimat itu, “Mengapa Anda ingin
menjemput saya?”
“Saya ingin lebih lama berbicara dengan Anda. Saya berharap bila saya
dapat menjemput Anda di pondok Mrs. Vye, waktu saya untuk berdua dengan
Anda semakin lama,” kata pria itu.
Maria mendengar nada kecewa dalam kata-kata pria itu. Ia tidak
melakukan yang lain selain memandang wajah pria itu.
“Dapatkah Anda memberitahu saya pukul berapa Anda bangun pagi?”
tanya pria itu dengan sopan, “Saya merasa hari ini saya datang lebih pagi
dari kemarin tetapi saya masih terlambat.”
“Saya selalu bangun pagi-pagi sekali. Saya bangun sekitar pukul tiga
pagi,” jawab Maria.
Maria telah menduga pria itu terkejut mendengar jawabannya. Ia terus
memandang tenang melihat keterkejutan di mata kelabu itu.
“Mengapa Anda bangun pagi-pagi sekali?” tanya pria itu.
“Karena saya selalu melihat matahari terbit mengawali datangnya hari
baru. Tetapi di sini saya tidak dapat melihat matahari terbit,” jawab Maria.
“Rupanya Anda senang melihat matahari terbit. Mengapa Anda tidak
melihat matahari terbit dari Sidewinder House? Rumah itu cukup tinggi untuk
dapat melihat matahari terbit tanpa dihalangi pohon-pohon tinggi ini.”
“Saya juga pernah berpikir mengenai itu, tetapi saya lebih suka melihat
matahari terbit tanpa dihalangi pepohonan. Dari lantai teratas Sidewinder
House, saya melihat matahari yang terbit masih terhalangi pucuk-pucuk
pepohonan.”
“Saya tahu di mana Anda dapat melihat matahari terbit tanpa
terhalangi pepohonan,” kata pria itu.75
“Sungguh,” seru Maria senang.
“Besok saya akan menjemput Anda pagi-pagi sekali.”
“Mengapa?” tanya pria itu melihat keragu-raguan di mata Maria.
“Saya…saya… tidak bisa,” kata Maria ragu-ragu.
“Mengapa?” tanya pria itu lagi.
Melihat Maria diam saja, pria itu bertanya, “Apakah Anda tidak mau
pergi bersama saya? Apakah Anda tidak mempercayai saya?”
“Saya… saya mempercayai Anda. Tetapi…”
Pria itu diam saja. Ia tahu Maria masih ragu-ragu untuk melanjutkan
kata-katanya, tetapi gadis itu pasti akan menyelesaikan kalimatnya.
“Tetapi… saya ragu Mrs. Vye akan mengijinkan saya. Selain itu saya
tidak biasa pergi bersama pria lain selain…”
Kembali Maria menghentikan kata-katanya. Kali ini ia tidak berhenti
karena ragu-ragu tetapi karena tak dapat menemukan lanjutan kata-katanya
yang terdapat di balik kegelapan yang pekat.
“Saya tidak dapat pergi bersama pria yang tidak saya kenal baik,” kata
Maria mengganti kalimatnya.
Pria itu tersenyum aneh, “Apakah ini berarti Anda masih kurang
mempercayai saya?”
“Tidak,” kata Maria tenang, “Saya tidak mengatakan saya tidak
mempercayai Anda, saya sangat mempercayai Anda. Saya mengenal Anda
sebagai orang baik. Tetapi Anda harus mengerti saya tidak dapat pergi hanya
bersama Anda.”
“Mengapa? Apakah Mrs. Vye melarang Anda bertemu dengan saya?”
“Ia tidak melarang saya bertemu dengan Anda. Saya hanya tidak biasa
pergi berdua dengan pria selain… selain… dengan pria yang tidak dapat saya
ingat.”
“Baiklah. Saya tidak akan memaksa Anda,” kata pria itu, “Bagaimana
bila saya mengajak serta Mrs. Vye? Apakah Anda mau?”
“Saya ragu apakah Mrs. Vye bersedia.”
“Saya percaya Mrs. Vye akan setuju. Saya dan Mrs. Vye saling
mengenal baik,” kata pria itu, “Seperti saya mengenal baik bidadari cantik
yang ditemukannya ini.”
“Saya senang melihat wajah Anda memerah, Maria,” kata pria itu.
Semula Maria tidak menyadari pria itu menyebut namanya, ia hanya
diam saja. 76
“Bagaimana Anda mengetahui nama saya?” tanyanya ketika menyadari
hal itu.
Ia merasa tidak pernah menyebutkan namanya kepada pria itu, “Anda
mengetahuinya dari mereka?”
“Dari pembicaraan penduduk Obbeyville? Ya,” kata pria itu mengakui.
“Saya menjadi ragu pada Anda. Jangan-jangan Anda senang
membicarakan segala perbuatan seseorang seperti penduduk Obbeyville,”
kata Maria bergurau.
“Bila saya senang bersikap seperti itu, bagaimana saya harus
menghadapi Anda?” kata pria itu menanggapi gurauan Maria.
“Anda harus bersiap-siap dulu sebelum bertemu saya karena mungkin
saya akan menjadi lebih berbahaya bila telah mengetahui apa yang akan
Anda katakan sebelum Anda mengatakannya.”
“Benarkah itu?” tanya pria itu tertarik.
“Mengapa tidak? Bila Anda senang membicarakan segala tingkah laku
saya selama ini, tentu saya dapat dengan mudah menebak apa yang akan
Anda katakan,” kata Maria, “Dan sebelum Anda mengatakan sesuatu saya
mungkin akan menyerang Anda dulu dengan kata-kata yang sangat tajam
dan menyakitkan.”
“Saya ragu Anda akan berbuat seperti itu, Maria.”
“Bagi saya hal itu mungkin saja. Seseorang yang telah tersakiti hatinya
akan sangat memungkinkan untuk mengucapkan kata-kata kasar yang belum
pernah mereka katakan sebelumnya,” kata Maria.
“Bagaimana Anda mengetahuinya?” tanya pria itu, “Apakah Anda
pernah disakiti seseorang?”
“Walaupun saya tidak pernah disakiti tetapi saya mempercayai hal itu.
Semua orang akan mengucapkan segala kata-kata kasar yang tidak pernah
mereka katakan sebelumnya. Tetapi ada pengecualian untuk mereka yang
terbiasa mengucapkan kata-kata seperti itu dalam kehidupan sehari-harinya.”
Pria itu tersenyum “Anda juga termasuk suatu pengecualian. Saya yakin
Anda tidak akan mengucapkan kata-kata sekasar itu walaupun disakiti orang
lain.”
“Jangan terlalu yakin dengan pendapat Anda. Siapa pun bisa menjadi
tak terduga,” kata Maria memperingatkan.
“Saya setuju denganmu. Anda adalah salah satu orang yang tak pernah
terduga itu. Saya tidak pernah membicarakan orang lain di belakangnya 77
tetapi ada seseorang yang selalu memberi tahu saya segala berita yang ada
di Obbeyville.”
“Rupanya pengasuh Anda tidak pernah kehilangan suatu berita pun.
Saya yakin ia juga telah memberi tahu Anda mengenai segala yang telah saya
lakukan di Sidewinder House.”
“Saya terkejut mendengarnya, Maria. Saya tidak pernah menduga Anda
pandai menebak,” kata pria itu.
“Saya hanya secara kebetulan saja menebak dengan tepat,” kata Maria
merendahkan diri.
“Rasanya tidak adil bila hanya saya yang mengetahui nama Anda,” kata
pria itu, “Panggillah saya Al dan saya akan memanggil Anda Maria agar kita
tidak terlalu formal seperti ini.”
Maria terdiam. Ia merasa pernah mendengar nama itu. Ia sering
mengucapkannya di masa lalu, ia sangat menyayangi nama itu. Ia
menyayangi pemilik nama itu.
Pria itu juga sangat menyayanginya dan selalu melindunginya. Pria itu
selalu memperhatikannya dan memberikan yang terbaik baginya.
Tetapi siapa orang itu? Dan bagaimana rupa orang itu? Apa hubungan
pria itu dengannya?
Pertanyaan itu terus bergaung di telinganya saat Maria berusaha
menyibakkan tabir yang menutupi masa lalunya.
Suatu perasaan rindu muncul di dadanya saat ia terus berusaha
menyibakkan masa lalunya yang berada di balik kegelapan yang sangat pekat
itu.
“Ada apa?” tanya pria itu cemas.
Entah kapan Maria telah berada di dalam pelukan pria itu, tetapi saat
gadis itu mendapatkan kesadarannya kembali, ia telah berada di pelukan pria
itu.
“Tidak ada apa-apa. Terima kasih,” kata Maria sambil berusaha
melepaskan diri dari pelukan pria itu.
Pria itu mempererat tangannya yang merangkul pundak Maria. “Jangan
terlalu sopan lagi terhadapku, Maria,” katanya berbisik, “Apa yang terjadi,
Maria? Mengapa wajahmu memucat? Engkau tampak seperti akan pingsan,
apakah engkau kurang sehat?”
Jantung Maria berdetak semakin cepat ketika pria itu mempererat
pelukannya. Dengan hati-hati ia berusaha melepaskan diri dari pelukan pria 78
itu. Ia merasa kehilangan sekaligus lega ketika tangan pria itu menjauh dari
tubuhnya.
Dengan tenang ia berkata, “Tidak apa-apa. Terima kasih. Saya hanya
merasa sesuatu yang aneh saat Anda mengucapkan nama Anda. Saya…
saya… merasa sering menyebut dan mendengar nama itu. Tetapi saya
menyadari saya berada di kegelapan itu saat saya berusaha menemukan
orang yang sering saya panggil… Al.”
“Aku terkejut ada orang yang bernama sama denganku,” kata pria itu,
“Jangan sedih, Maria. Ingatanmu pasti akan kembali lagi.”
“Saya percaya ingatan saya akan kembali walau memakan waktu yang
lama,” kata Maria.
“Mengapa engkau menerima tugas menjadi pelayan Lady Debora,
Maria?” tanya Al mengganti topik pembicaraan agar tidak membuat Maria
menjadi semakin sedih mengingat masa lalunya yang berada di kegelapan
yang pekat itu.
“Mengapa Anda mempertanyakan hal itu?” Maria bertanya kepada pria
itu, “Apakah menurut Anda menjadi seorang pelayan adalah hal yang
memalukan?”
Pria itu terdiam. Ia terkejut mendengar pertanyaan Maria yang sukar
dijawab itu. “Aku tidak pernah berpikir seperti itu. Aku hanya merasa heran
mengapa engkau mau menerima syarat mereka padahal mereka tidak
menyukaimu terutama Baroness Lora.”
“Saya merasa sangat berterima kasih kepada mereka terutama Mrs.
Vye yang telah merawat saya selama saya tidak sadarkan diri,” kata Maria
tenang.
“Tetapi mereka membencimu, Maria. Mengapa engkau sangat baik
hati? Engkau tidak hanya menjadi pelayan Lady Debora tetapi juga menjadi
pelayan rumah itu.”
“Saya menyenangi pekerjaaan itu. Saya senang dapat membantu Mrs.
Vye dan ketiga pelayan lainnya. Mereka sudah terlalu tua untuk
membersihkan rumah itu. Saya tidak tega melihat mereka, di samping itu
saya juga cepat merasa bosan bila tidak ada yang dapat saya lakukan.”
Pria itu tersenyum. “Engkau benar-benar seorang bidadari yang
sempurna di mata semua orang.”
“Tidak ada yang sempurna di dunia ini, tidak ada makhluk yang tak
bercela,” kata Maria merendahkan diri.79
“Engkau sempurna di mataku, Maria.”
“Itu karena ini pertama kalinya Anda menemukan seorang gadis tak
dikenal membuat Anda merasa terkejut berulang kali dengan hal-hal yang tak
pernah Anda duga sebelumnya,” kata Maria dengan tersenyum.
“Kuakui ini memang pertama kalinya bagiku, seorang gadis mampu
membuatku mengalami berbagai macam perasaan seperti ini,” kata Al,
“Tetapi aku tidak dapat membuat engkau bersikap tidak terlalu sopan
kepadaku. Sikapmu yang terlalu sopan membuatku merasa bingung harus
berbuat bagaimana terhadapmu.”
“Wajar bila saya bersikap sopan terhadap Anda. Anda lebih tua dari
saya,” kata Maria merendahkan diri.
“Apakah itu berarti engkau menganggapku sebagai seorang kakek yang
sudah sangat renta?” tanya pria itu merajuk.
Maria ingin tertawa melihat wajah cemberut pria itu, tetapi ia tahu hal
itu tidak sopan. Ia hanya tersenyum saja melihat tingkah pria itu untuk
menghiburnya, “Saya merasa Anda lebih muda dari saya bila Anda bertingkah
seperti anak kecil yang sedang merajuk.”
“Lalu apa yang akan kaulakukan terhadapku yang seperti anak kecil
ini?” tanya Al.
“Saya akan memperlakukan Anda seperti saya memperlakukan anak-
anak lainnya. Saya akan mendongeng untuk Anda,” jawab Maria dengan
tersenyum.
“Engkau mengingatkanku pada sesuatu yang patut kupertanyakan
padamu,” kata Al tiba-tiba.
Maria melihat keseriusan di mata pria itu, tetapi ia tetap bersikap
tenang. Ia menanti kalimat pria itu.
“Mengapa engkau menceritakan mitos itu kepada Mrs. Vye dan yang
lainnya, tetapi tidak kepadaku?” tanya Al tajam.
Maria tersenyum. Dengan tenang ia berusaha mmeberikan pengertian
kepada pria itu, “Saya tidak akan pernah menceritakan mitos ketiga yang
disembunyikan dari orang luar selain suku itu. Yang saya ceritakan kepada
mereka adalah mitos mengenai nama asli Blueberry.”
“Ayolah, jangan bersikap seperti anak kecil yang sedang marah. Anda
membuat saya ingin tertawa melihat tingkah Anda yang seperti ini,” bujuk
Maria melihat pria itu tidak mempercayai kata-katanya, “Apa yang saya
katakan ini benar.”80
“Aku sering melihatmu tersenyum tetapi aku belum pernah melihatmu
tertawa. Aku ingin melihatmu tertawa,” kata pria itu.
Wajah Maria kembali memerah.
Ia memandang langit yang telah terang. Ia terkejut menyadari mereka
telah berbicara cukup lama. Tak terasa hari telah terang. Maria memandang
wajah pria itu dan sebelum ia mengatakan sesuatu pria itu telah berkata,
“Engkau akan pergi sekarang?” tanyanya.
“Saya harus kembali secepatnya. Saya harus membangunkannya pagi-
pagi. Ia memiliki janji berkuda dengan seseorang,” kata Maria, “Kemarin ia
terpaksa mengundurkan janji yang sangat dinanti-nantikannya itu. Hari ini ia
tidak ingin terlambat bangun lagi.”
“Lady Debora memiliki janji berkuda dengan seseorang tetapi mengapa
ia baru bangun sesiang ini?” tanya pria itu heran.
Maria tersenyum geli. “Bagi mereka saat ini masih terlalu dini untuk
bangun. Kata Mrs. Vye, mereka terbiasa bangun tengah hari sekitar pukul
sebelas.”
“Perbedaan yang sangat mencolok,” kata Al.
Maria tidak tahu siapa yang dibandingkan Al dengan Lady Debora, dan
ia tidak memikirkannya. Ia merasa harus segera sampai di Sidewinder House.
“Bila Anda tidak keberatan, saya akan pergi ke Sidewinder House
sekarang.”
“Aku keberatan sekali bila engkau tidak mengijinkanku
mengantarkanmu,” kata pria itu.
“Dan aku tidak ingin engkau menolak tawaranku ini,” kata pria itu
menegaskan kata-katanya.
Maria tersenyum, “Hal ini lebih tepat disebut suatu tawaran yang
memaksa atau paksaan. Kata tawaran tidak cocok untuk keinginan Anda yang
memaksa itu.”
“Aku merasa aku selalu harus memaksamu agar mau menuruti
keinginanku. Engkau terlalu berhati-hati dan terlalu sopan terhadap siapa
saja. Aku ingin mengetahui dirimu di masa lalu. Apakah engkau bidadari yang
memiliki aturan ketat?”
“Saya khawatir dugaan Anda meleset jauh. Bila melihat apa saja yang
telah saya lakukan dalam hari-hari terakhir ini, rasanya sukar mengatakan
saya adalah bidadari.”
“Apa pun yang kaulakukan, tidak akan membuat orang mengurangi 81
kepercayaan mereka bahwa engkau bidadari yang diutus para dewa Holly
Mountain.”
“Sebaiknya pembicaraan ini kita tunda dulu. Saya harus segera tiba di
Sidewinder House. Banyak pekerjaan yang menanti saya,” kata Maria.
“Apakah engkau menerima tawaranku?”
“Tidak mungkin bagi saya untuk menolak keinginan Anda yang sangat
tulus itu,” kemudian Maria menambahkan dengan tersenyum, “Dan
memaksa.”
Pria itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya dengan sangat cepat. Ia tidak
dapat melakukan apa-apa untuk mencegah gerakan tangan yang tiba-tiba
karena terkejutnya.
“Sebagai hukuman karena engkau mengatakan aku memaksamu,” kata
Al pura-pura serius melihat wajah Maria yang memerah.
“Anda sendiri yang mengatakan bahwa Anda terpaksa memaksa saya
agar menuruti tawaran Anda,” kata Maria mengingatkan.
“Apakah aku mengatakannya? Aku lupa,” kata Al.
Maria tidak mengatakan apa-apa untuk menghentikan pria itu. Ia
menundukkan kepalanya, ia mengulurkan tangannya untuk berpegangan
pada leher Al.
Al meletakkan tubuh Maria dengan lembut di punggung kudanya.
Kemudian ia dengan cepat melompat di punggung kudanya.
Walaupun Maria tidak melihat gerakan pria itu, tetapi ia merasa yakin
pria itu sering berkuda. Al dengan luwesnya melompat ke atas kudanya.
Tangan Al menarik tubuh Maria mendekat. Maria menurut pada gerakan
tangan itu. Ia mengerti Al takut ia jatuh. Ia berusaha tetap tenang saat
punggungnya menyandar di tubuh pria itu.
Seperti biasanya mereka kembali ke pondok Mrs. Vye sambil bercakap-
cakap.
Al turun dari kudanya kemudian mengangkat tubuh Maria ketika
mereka tiba di pondok Mrs. Vye.
“Terima kasih,” kata Maria, tetapi tangan pria itu tidak segera beranjak
dari pinggang Maria setelah Maria mengucapkan terima kasih, seperti
kemarin.
Pria itu membungkuk dan membisikkan sesuatu di telinga Maria, “Besok
akan kujemput engkau pagi-pagi sekali.”
Al masih enggan melepaskan pelukannya walau pesan telah 82
disampaikannya. Tangan kanannya mengangkat dagu Maria yang tertunduk
dan mengecup perlahan bibirnya.
Maria terkejut dengan tindakan pria itu. Ia melepaskan diri dari pelukan
pria itu dan berlari memasuki pondok Mrs. Vye.
Al terkejut melihat wajah Maria yang memerah sambil berlari
menjauhinya. Gadis itu tampak terkejut dengan sikapnya.
Sebelumnya Al tidak menduga Maria belum pernah dicium. Gadis itu
tampak dewasa sekali sehingga sukar baginya untuk memikirkan
kemungkinan bahwa gadis itu belum pernah dicium.
Caranya tadi mengatakan apa yang akan dilakukan seseorang bila sakit
hati membuatnya semakin yakin.
Gadis itu benar-benar tidak dapat diduga.
Kini ia bingung bagaimana harus menghadapi gadis yang tak terduga
itu?
Al meyakinkan dirinya untuk lebih mempercayai perasaannya daripada
apa yang dilihatnya.
Perasaannya mengatakan gadis itu masih polos dan sangat muda
dalam pengalaman. Tetapi kenyataan yang dilihat berbeda dengan
perasaannya. Gadis itu bijaksana dalam segala hal seperti orang yang telah
berpengalaman dalam hidup.
83
6
Pagi itu Maria baru bangun saat ia mendengar suara kereta datang
mendekat. Ia berusaha menembus kegelapan pagi melalui jendela kamarnya
agar dapat melihat kereta yang baru datang itu.
Dalam keremangan pagi itu, ia melihat sebuah kereta yang sangat
indah berdiri dengan anggun di depan pondok Mrs. Vye. Kuda-kuda yang
menarik kereta itu tampak masih mengantuk demikian pula kusirnya yang
tampak enggan membuka mata.
Seorang pria yang berpakaian lengkap turun dari kereta. Pria itu
tampak gagah dalam kemejanya yang putih di pagi yang masih gelap itu.
Maria terkejut menyadari pria itu tak lain adalah Al.
Maria tidak menduga Al bersungguh-sungguh ketika mengatakan akan
menjemputnya pagi-pagi untuk mengantarnya ke tempat di mana ia bisa
melihat matahari terbit tanpa dihalangi pepohonan.
Pagi ini masih sangat dini untuk melihat matahari terbit. Bintang-
bintang masih bersinar terang di langit malam walau bulan telah menghilang
di balik bukit.
Maria menduga tempat itu sangat jauh dari Obbeyville sehingga mereka
harus berangkat sepagi ini agar dapat melihat matahari terbit.
Ia mendengar pintu diketuk perlahan.
Ia tidak beranjak dari kamarnya untuk membukakan pintu itu bagi Al. Ia
masih merasa malu atas kejadian kemarin pagi saat Al mengantarnya pulang.
Terdengar langkah kaki Mrs. Vye yang menuju pintu untuk
membukanya.
Dari kamarnya, Maria dapat mendengar seruan senang bercampur
terkejut Mrs. Vye melihat Al. Maria percaya pria itu mengatakan yang
sebenarnya bahwa ia mengenal baik Mrs. Vye.
Semula Maria dapat mendengar semua permbicaraan mereka, namun
mereka semakin lama berbicara semakin perlahan sehingga Maria tidak dapat
mendengarnya. Tetapi Maria dapat menduga Al meminta ijin kepada Mrs. Vye
untuk membawanya ke sebuah tempat di mana ia dapat melihat matahari
terbit dengan jelas.84
Maria menanti hasil pembicaraan Mrs. Vye. Walaupun ia tahu Mrs. Vye
akan mengijinkan Al membawanya pergi tetapi ia tidak mengganti gaun
tidurnya dengan gaun yang pantas untuk bepergian.
Ia menghampiri almari gaunnya dan memilih gaun biru terang yang
diperolehnya dari Lady Debora pada hari pertamanya bekerja sebagai
pelayan Lady Debora.
Gaun yang tak berbahu itu telah dibetulkan oleh Mrs. Vye sesuai
dengan ukuran tubuhnya. Kerutan-kerutan sepanjang dadanya masih tampak
indah walau bagian pinggangnya telah dikecilkan.
Muntiara-muntiara kecil yang berwarna putih menghiasi kerutan itu di
bagian tengah dada gaun itu. Kainnya yang terbuat dari sifon terasa sangat
lembut di tangannya.
Dengan hati-hati diletakkannya gaun itu di tempat tidurnya kemudian ia
duduk dan mulai menyisir rambutnya.
Ia masih duduk di tepi tempat tidur sembari menyisir rambutnya
dengan santai ketika Mrs. Vye memasuki kamarnya.
“Mengapa engkau masih diam saja? Lekaslah bersiap-siap ia
menunggumu,” kata Mrs. Vye terkejut tanpa mempermasalahkan Maria yang
telah menyembunyikan ajakan pria itu dari pengetahuan Mrs. Vye.
“Saya tidak dapat pergi,” kata Maria.
“Mengapa?” tanya Mrs. Vye heran, “Apakah engkau khawatir aku tidak
mengijinkanmu? Jangan khawatir aku mengijinkanmu pergi bersamanya. Aku
memang salah telah melarangmu bertemu dengannya. Seharusnya aku
percaya ia memang orang yang baik seperti katamu, sekarang aku tidak
menyangsikannya lagi. Pergilah, aku tidak akan melarang.”
“Bukan itu yang saya khawatirkan. Saya ingin Anda turut serta,” kata
Maria, “Saya tidak biasa pergi seorang diri bersama pria.”
Mrs. Vye tersenyum mendengar permintaan Maria dan berkata, “Tadi ia
telah mengajak aku turut serta tetapi kupikir lebih baik engkau pergi berdua
bersamanya. Bila engkau juga menghendakinya, aku tidak dapat menolak
lagi.”
Mrs. Vye mengambil gaun yang diletakkan Maria di tempat tidur
kemudian membantu Maria mengganti gaun tidurnya dengan gaun itu.
“Gaun ini cocok sekali untukmu,” kata Mrs. Vye, “Engkau pandai
memilih gaun. Gaun ini sangat tepat dikenakan sambil melihat matahari
terbit.”85
“Terima kasih, Mrs. Vye. Saya hanya kebetulan saja melihat gaun ini
dan tertarik untuk mengenakannya pagi ini.”
“Duduklah, Maria. Aku akan menata rambutmu.”
“Tidak perlu, Mrs. Vye. Saya senang mengurai rambut saya.”
“Rambutmu yang panjang bisa mengganggu penglihatanmu,” kata Mrs.
Vye menasehati Maria.
“Tidak apa-apa, Mrs. Vye. Saya lebih suka melihat matahari terbit
dengan rambut terurai,” lalu Maria menambahkan dengan bercanda, “Agar
saya bisa membandingkan sinar rambut saya dengan sinar matahari pagi.”
“Bandingkanlah, Maria. Dan engkau akan mendapati rambutmu
memiliki warna yang sama seperti sinar matahari pagi.”
“Terima kasih, Mrs. Vye. Saya akan berusaha membandingkan
keduanya dengan teliti,” kata Maria menanggapi gurauan Mrs. Vye.
“Bawalah serta mantel, Maria. Di luar udara sangat dingin,” kata Mrs.
Vye, “Beginilah cuaca di Obbeyville. Walaupun sudah musim panas tetapi
pagi hari masih banyak kabut dan udaranya sangat dingin.”
“Baik, Mrs. Vye.”
Sebelum Maria menuju almari, Mrs. Vye telah menarik keluar sebuah
mantel dari almari itu.
Mrs. Vye menyodorkan mantel bulu yang berwarna abu-abu kekuningan
pada Maria.
Maria enggan menerima mantel yang menurutnya terlalu mewah itu,
“Lebih baik saya mengenakan mantel lainnya, Mrs. Vye. Saya kurang
menyukai mengenakan mantel bulu.”
“Di sini tidak ada lagi mantel yang lain selain mantel bulu ini,” kata Mrs.
Vye, “Kenakan saja mantel ini daripada engkau sakit. Aku khawatir engkau
sakit terkena udara yang sangat dingin ini.”
“Saya benar-benar tidak menyukainya, Mrs. Vye. Mengenakannya
membuat saya merasa seperti menggantungkan hewan mati di pundak saya.”
Maria melihat kekecewaan di mata Mrs. Vye. “Maafkan saya yang telah
mengecewakan Anda, Mrs. Vye. Saya tidak dapat mengenakannya seperti
yang Anda harapkan. Saya tidak ingin mengenakan mantel yang terbuat dari
kulit hewan itu. Kasihan nasib serigala yang terpaksa harus mati karena
kulitnya dibuat menjadi mantel.”
“Ini bulu hewan asli?” tanya Mrs. Vye terkejut.
“Ya, itu bulu serigala asli. Ini adalah bulu serigala hutan yang mulai 86
dilindungi di kerajaan ini. Lady Debora bisa dihukum bila ketahuan
mengenakan mantel bulu serigala asli.”
“Mantel ini seperti tidak terbuat dari bulu asli,” gumam Mrs. Vye
sembari mengamati mantel yang berwarna kelabu kekuningan di tangannya
itu.
“Benar, mantel bulu ini seperti buatan, bukan yang asli. Pembuat
mantel ini sangat pandai, ia mampu menipu mata Istana. Tetapi ia tidak
dapat menipu mata saya, beberapa tahun yang lalu ia ditangkap dan
dipenjarakan di penjara bawah tanah yang terletak di kota paling barat
kerajaan ini, Xoechbee.”
“Aku tidak pernah mendengarnya sebelumnya. Hingga kapankah pria
itu ditahan?” tanya Mrs. Vye semakin tertarik mendengar cerita Maria.
“Akan saya ceritakan nanti saja,” kata Maria, “Mungkin Al sudah tidak
sabar lagi menanti kita. Saya seperti mendengar langkah kakinya yang
gelisah di lantai kayu ini.”
“Bagaimana dengan mantel ini?”
“Saya tidak ingin mengenakannya, Mrs. Vye.”
“Baiklah, aku tidak akan memaksamu lagi. Tetapi di sini tidak ada
mantel yang lain. Aku tidak dapat mengambilkan mantel yang lain untukmu
dari Sidewinder House sebab kalau aku mengambilkannya sekarang, kita
akan terlambat.”
Maria menganggukkan kepalanya, “Terima kasih telah membantu saya,
Mrs. Vye. Sekarang Anda bisa bersiap-siap.”
“Temuilah pria itu, Maria,” kata Mrs. Vye sebelum meninggalkan kamar
Maria, “Aku akan segera siap.”
Maria meninggalkan kamarnya untuk menemui pria itu. Perlahan-lahan
ia menutup pintu kamarnya dan berjalan menuju ruang duduk yang menjadi
satu dengan ruang makan.
Pria itu berdiri dengan gelisah di ruang kecil itu. Tubuhnya yang tinggi
seperti akan menyentuh langit-langit pondok.
Al memandang lega bercampur kagum ketika melihatnya mendekat.
“Maafkan saya telah membuat Anda menunggu,” kata Maria.
“Engkau tampak cantik sekali pagi ini, Maria. Seperti peri air yang baru
muncul dari laut dalam yang indah,” kata Al.
Maria tersipu mendengar pujian itu. “Terima kasih. Saya berharap saya
tidak mengecewakan Anda.”87
“Engkau tidak pernah mengecewakan aku.”
“Anda jangan berbohong. Anda sebetulnya kecewa karena saya tidak
lekas bersiap-siap sehingga Anda harus menunggu lama, bukan?” kata Maria
dengan tersenyum, “Saya tidak menyangka Anda akan menjemput saya
sepagi ini. Langit masih sangat gelap. Mungkin saat ini baru pukul setengah
empat.”
Pria itu membalas senyuman Maria. “Bukan mungkin lagi, Maria. Saat
ini memang pukul setengah empat tepat.”
“Apakah tempat itu sangat jauh dari Obbeyville?”
Al belum menjawab pertanyaannya ketika Mrs. Vye muncul. Wanita itu
telah mengenakan gaun pelayan khas keluarga Sidewinder yang berwarna
hitam kecuali pada bagian lehernya yang tinggi serta ujung lengannya yang
panjang.
Wajah Mrs. Vye tampak berseri ketika melihat mereka berdua bercakap-
cakap dengan akrab.
Maria merasa lega Mrs. Vye tidak menyadari bahwa ia telah melepas
kalungnya.
“Mari kita berangkat sekarang,” kata Mrs. Vye.
Maria tersenyum melihat Mrs. Vye mengajak mereka berangkat dengan
penuh semangat. Wanita tua itu tidak mempedulikan Maria dan Al yang tidak
segera mengikutinya menuju kereta kuda yang telah menanti mereka.
Al memenggang lengan Maria dan menuntunnya meninggalkan pondok
Mrs. Vye yang kecil itu.
Udara terasa dingin menusuk kulit ketika Maria berada di luar dan kabut
masih menghiasi alam Obbeyville. Sekeliling mereka tampak samar-samar
karena kabut yang cukup tebal itu.
Di dalam kabut itu, Maria dapat melihat kusir kuda membantu Mrs. Vye
naik ke kereta. Maria tersenyum melihat semangat wanita tua itu yang
menggebu-gebu.
Dalam beberapa hari ini, ia telah mengenal watak Mrs. Vye yang
periang seperti Mrs. Fat. Walaupun ia telah lanjut usia tetapi Maria tidak
menyangkal wanita itu masih lincah. Mrs. Vye dapat bergerak cepat dengan
tubuh gemuknya bila diperlukan.
Maria berdiri di samping Al yang sedang menutup pintu pondok Mrs.
Vye. Ia melihat kereta kuda yang menjemputnya itu. Kusir kudanya yang
mirip dengan Mr. Liesting masih berdiri di depan pintu kereta yang masih 88
terbuka. Rambutnya yang memutih tersamar dalam kabut pagi.
Tiba-tiba tubuh Maria menggigil karena udara pagi yang dingin
menusuk kulit itu. Tanpa disadarinya, kedua tangannya memeluk tubuhnya
yang kedinginan.
Al yang melihat Maria kedinginan segera melepas jasnya yang
berwarna hitam.
“Kenakanlah ini,” kata Al sambil menyampirkan jasnya ke pundak Maria
yang telanjang.
“Terima kasih,” kata Maria sembari berusaha menguasai tubuhnya yang
seperti tidak mau berhenti menggigil.
Al menyadari Maria masih kedinginan walau telah mengenakan jasnya.
Ia memeluk gadis itu dengan satu tangannya dan menuntunnya mendekati
kereta.
“Mengapa engkau tidak mengenakan mantel?” tanyanya.
“Karena mantel yang ada hanyalah mantel bulu dan saya tidak senang
mengenakan mantel bulu,” jawab Maria tenang.
“Engkau membuatku heran, Maria. Biasanya wanita senang
mengenakan mantel bulu apalagi bila mantel itu terbuat dari bulu asli.”
“Saya merasa seperti menggantung hewan mati di pundak saya bila
saya mengenakan mantel bulu. Selain itu saya merasa kasihan kepada hewan
yang harus mati hanya karena kita hendak mengambil bulunya.”
Al mengangkat tubuh Maria sesampainya mereka di pintu kereta yang
terbuka itu, agar gadis itu dapat dengan mudah memasuki kereta kemudian
ia menyusul Maria setelah memberikan perintah kepada kusir kuda.
Mrs. Vye tampak gembira sekali. Senyuman gembira selalu menghiasi
wajahnya yang bulat itu tampak semakin lebar ketika Al duduk di samping
Maria.
Maria duduk meringkuk di pojok kereta itu seperti seorang anak kecil
yang baru dimarahi. Tangannya masih memeluk erat-erat tubuhnya yang
kedinginan.
Al tanpa ragu-ragu menarik tubuh Maria ke dalam pelukannya untuk
membuat gadis itu merasa hangat.
Maria yang selalu merasa jantungnya berdebar-debar tiap kali pria itu
menyentuh tubuhnya segera menyembunyikan wajahnya yang memerah
dengan menundukkan kepala.
“Mengapa engkau tidak memberi tahuku sebelumnya, Maria?” tanya 89
Mrs. Vye, “Bila engkau memberi tahuku sebelumnya, aku sapat mencarikan
mantel yang lain untukmu.”
“Ia tidak mempercayai Anda akan mengijinkannya pergi dengan saya,
Mrs. Vye,” kata pria itu.
“Saya tidak menduga Al bersungguh-sungguh ketika mengatakan akan
mengajak saya ke tempat di mana saya bisa melihat matahari terbit,” jawab
Maria jujur, “Lagipula saya tahu di Sidewinder House yang ada hanyalah
mantel bulu asli.”
“Ya, engkau benar. Kurasa tidak mungkin mereka memiliki mantel bulu
buatan,” kata Mrs. Vye, “Mereka harus ditangkap seperti katamu.”
“Mereka tidak akan ditangkap bila polisi yang melihat mantel itu.
Mereka tidak dapat membedakan mantel bulu yang asli dan yang tidak.”
“Mengapa engkau berkata seperti itu, Maria? Bukankah polisi yang
menangkap pembuat mantel bulu serigala asli itu?”
“Memang mereka yang menangkap tetapi bukan mereka yang
menyadari mantel itu terbuat dari bulu asli serigala hutan yang dilindungi.”
“Hingga kapankah pria itu ditahan?” tanya Mrs. Vye.
“Karena ia masih membunuh banyak serigala hutan ketika peraturan itu
dikeluarkan, ia dihukum selama tiga puluh tahun,” kata Maria.
“Kasihan orang itu, ia masih harus tinggal di penjara bawah tanah kota
Xoechbee yang terkenal paling menakutkan di Kerajaan Zirva selama dua
puluh tujuh tahun lagi. Penjara itu sangat gelap, sinar matahari hampir tidak
dapat menembus dinding batunya.”
“Bagaimana engkau mengetahuinya, Maria?” tanya Al terkejut akan
pengetahuan Maria mengenai hal-hal yang berhubungan dengan Kerajaan.
Semula ia menduga Maria hanya mengetahui mengenai mitos saja.
Tidak pernah diduganya Maria akan mengetahui juga mengenai penjara
bawah tanah Kerajaan Zirva yang terkenal paling menakutkan.
Kerajaan Zirva sangat memperhatikan hukum. Dulu Istana sering
memberikan hukuman mati, tetapi sejak bertahun-tahun yang lalu hukuman
itu telah dihapus dan diganti dengan hukuman penjara yang lama.
Dan di penjara itu, ditahan orang-orang yang dianggap berbahaya.
Biasanya mereka yang melakukan kejahatan fatal seperti membunuh,
membunuh binatang yang dilindungi; ditahan di sana.
Sedangkan mereka yang dianggap melakukan kejahatan biasa seperti
mencuri, ditahan di kota-kota yang memiliki rumah tahanan.90
Pengawasan di penjara itu sangat ketat. Tidak seorang sanak
keluargapun yang boleh menjenguk mereka yang ditahan di sana tanpa ijin
Raja. Dan untuk mendapatkan ijin itu sendiri, memerlukan waktu yang sangat
lama dengan prosesnya yang sulit.
Di sekeliling tempat itu, didirikan pagar yang sangat tinggi. Tidak
seorangpun yang dapat mendekati tempat itu apalagi mengetahui keadaan di
dalamnya.
Ia tidak dapat membayangkan Maria mengunjungi saudaranya yang
ditahan di sana sebab ia menduga Maria adalah bidadari bukan seorang
manusia seperti dirinya.
“Saya tidak tahu,” jawab Maria.
“Jangan dipikirkan, Maria. Suatu saat nanti engkau akan dapat
mengingatnya,” kata Mrs. Vye ketika melihat Maria berusaha mengingat
masa lalunya lagi.
Al tidak menanyakan apa-apa lagi mengenai penjara itu. Ia merasa
kata-kata Mrs. Vye benar. Untuk mengalihkan perhatian Maria, ia
menceritakan tempat yang akan mereka datangi.
Sepanjang jalan Maria terus bersandar di tubuh pria itu sambil
mendengarkan pembicaraan pria itu dengan Mrs. Vye. Ia tidak banyak
berkata-kata, ia menikmati rasa hangat yang menjalari tubuhnya karena
pelukan Al sambil berusaha mengingat perasaan yang sama dengan masa
lalunya.
Maria tahu ia sering diperlakukan seperti ini tetapi kapan dan oleh
siapakah itu ia tidak tahu. Ia hanya ingat perasaan hangat waktu itu sama
seperti perasaan hangat kali ini.
Begitu sibuknya Maria berusaha menyikap kabut pekat yang menutupi
masa lalunya hingga ia tidak sadar mereka telah tiba. Gerak cepat Mrs.
Vyelah yang membuatnya sadar.
Mrs. Vye segera melompat turun dari kereta ketika mereka telah
sampai di tempat yang mereka tuju.
Al tersenyum melihat Mrs. Vye yang tampak bersemangat sekali. Ia
turun dari kereta dan membantu Maria.
Tangan Al memegang pinggang Maria untuk memudahkan gadis itu
turun dari kereta.
Tangan Maria memegang pundak Al dan dengan kaki yang masih
berada di kereta, ia memandang laut dan mendapati apa yang dikatakan Al 91
mengenai tempat yang mereka datangi itu benar-benar tepat.
Air laut masih tampak biru kehitam-hitaman walau bintang-bintang
telah menyembunyikan wajahnya.
Sejauh mata memandang, ia melihat laut itu berhiaskan ombak-ombak
putih yang saling berkejar-kejaran, ada yang besar dan ada pula yang kecil.
Ombak yang kecil membaur dengan ombak yang besar untuk kemudian
bersama-sama menerjang pantai.
Di sepanjang pantai yang berpasir putih itu tidak tampak batu-batu
karang yang besar. Seluruh pantai itu tampak bersih dari batu-batu karang.
Pasirnya yang putih menghampar luas di tepi pantai.
Tidak ada seorangpun di pantai yang terletak di sebelah timur
Obbeyville itu kecuali mereka. Mrs. Vye telah berdiri di pantai yang sunyi itu.
Wanita tua itu tampak terpesona pada pemandangan di sekitarnya.
Entah berapa lama Maria terus berada dalam posisi itu sambil
memandangi laut. Pria itu tidak mengeluh sedikitpun, ia terus memegang
pinggang Maria yang ramping.
Maria merasa senang ketika melihat laut di garis cakrawala mulai
memerah tanda matahari akan segera terbit. Dengan lincahnya, ia melompat
ke dalam pelukan pria itu kemudian berlari seperti anak kecil ke pantai.
Ia bermain-main dengan ombak sambil terus memandang garis
cakrawala.
Mrs. Vye tidak mengatakan apa-apa melihat tingkah Maria yang seperti
anak kecil. Dengan mengangkat ujung gaunnya ia bermain dengan ombak
yang mencapai pantai.
Angin yang bertiup tidak mengganggunya yang sedang bermain ombak.
Maria seperti tidak merasakan keberadaan angin itu.
Jas Al yang dikenakannya terlalu besar untuknya, tetapi ia tidak
mempedulikannya walau lengannya yang terlalu panjang sering membuatnya
kesulitan menggerakkan jari-jari tangannya.
Pria itu berdiri di sampingnya seperti ingin melindunginya. Ia juga
bermain-main dengan ombak. Sesekali Al menyiram wajah Maria dengan air
laut yang berhasil ditampung tangannya.
Tiap kali Maria menghindari air itu, rambutnya yang berkibar-kibar
bersinar seperti sinar matahari. Ia tertawa riang sambil membalas Al. Mereka
terus saling menyiramkan air laut hingga hampir semua permukaan laut
memerah.92
Maria menghentikan perlawanannya dan memandangi langit yang
semakin memerah.
Matahari muncul perlahan-lahan seolah-olah muncul dari dalam laut.
Sinarnya yang pertama membuat semua orang silau kecuali Maria.
Wajah gadis itu tampak memucat. Ia merasakan suatu perasaan aneh
ketika ia memandangi matahari yang muncul perlahan-lahan itu. Ia merasa
seperti kembali ke masa lalunya yang kini berada di balik kegelapan.
Maria pernah melihat sinar matahari yang merah seperti itu. Merah itu
seperti merah darah demikian pula langit di sekitarnya. Maria melihatnya
bukan pada saat ia melihat matahari terbit seperti kebiasaan yang diingatnya
tetapi di suatu tempat.
Sesuatu yang sangat penting seakan-akan terbangkitkan kembali
bersama bangkitnya matahari dari balik malam. Tetapi apakah itu, Maria tidak
dapat mengingatnya.
Maria hanya merasakan satu hal yaitu takut! Sebuah ketakutan dan
kengerian yang sangat dalam membuatnya semakin pucat. Dan akhirnya
tepat ketika matahari telah menampakkan keseluruhan dirinya, Maria jatuh
pingsan.
Al yang berada di samping gadis itu segera menangkapnya.
Al segera membopong gadis itu ke kereta. Ia sangat mencemaskan
gadis itu. Badan gadis itu terasa sangat panas. Wajahnya sangat pucat dan
bibir memutih.
Ia mulai menyalahkan dirinya yang mengajak gadis itu bermain ombak
sehingga gadis itu jatuh pingsan.
Mrs. Vye dan kusir kuda berlari-lari mendekat ketika melihat Maria tiba-
tiba jatuh pingsan. Wajah mereka menampakkan kecemasan.
“Apa yang terjadi padanya?” tanya Mrs. Vye dengan kecemasan yang
tampak jelas dari nada bicaranya.
Wanita tua itu mengikuti dengan cemas di samping Al. Ia terus melihat
wajah Maria yang semakin memucat.
“Saya tidak tahu, Mrs. Vye. Ia tiba-tiba pingsan.”
Kusir kuda segera berlari ke kereta dan membuka pintunya lebar-lebar
ketika mereka semakin mendekati kereta yang terletak tak jauh dari pantai
itu.
Mrs. Vye dengan bantuan kusir kuda naik ke kereta kemudian
membantu Al. Dari dalam kereta, ia membantu meletakkan tubuh gadis yang 93
pingsan itu ke dalam posisi yang nyaman bagi gadis itu.
Kemudian Mrs. Vye memegang dahi Maria. Ia sangat terkejut ketika
menyentuh dahi Maria yang sangat panas.
“Ada apa, Mrs. Vye?” tanya Al.
“Suhu tubuhnya tinggi sekali, seperti waktu saya menemukannya.”
“Waktu Anda menemukannya suhu tubuhnya juga seperti ini?” tanya
pria itu tak percaya.
“Ya, suhu tubuhnya sangat tinggi. Kadang-kadang suhu tubuhnya turun
tetapi tiba-tiba tinggi lagi. Ia benar-benar membuat saya sangat khawatir.”
“Lebih baik kita segera membawa Maria ke dokter,” kata Al.
Kusir kuda yang sejak tadi berdiri di pintu kereta segera menutup
perlahan pintu kereta kemudian mulai menjalankan kereta itu, ketika
mendengar majikannya mengatakan kalimat itu.
Walaupun Al tidak menyebutkan ke mana mereka harus pergi. Tetapi
kusir kuda itu tidak bertanya seolah-olah ia tahu dokter mana yang dimaksud
Al.
Dan memang demikian. Sebagai kusir kuda yang telah bekerja puluhan
tahun di keluarga pemuda itu, ia telah mengetahui tempat-tempat yang
sering mereka kunjungi termasuk dokter pribadi mereka.
Mrs. Vye menyarankan kepada Al untuk memangku gadis itu.
Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu segera melakukannya sebab hal
itu telah ada di pikirannya sebelum Mrs. Vye mengatakannya.
Di balik napasnya yang terputus-putus, ia mendengar Maria
mengucapkan sesuatu. Kata-kata yang diucapkan gadis itu sangat lirih, tetapi
masih terdengar olehnya.
“Al… di mana… engkau? Al… Al…, jangan bersembunyi…. Aku… aku
takut…, Al. Al… di… sini dingin… sekali. Al… aku kedinginan. Al… Al….”
Al memandangi wajah Maria yang terkulai lemah di bahunya. Wajahnya
yang tampak semakin pucat tidak mengurangi kecantikkannya. Bulu matanya
yang hitam tampak panjang dan lentik. Bibirnya yang memutih membuka
sedikit dan berkata-kata lirih.
Maria terus mengingau lirih.
Karena Al sangat mencemaskan keadaan gadis itu, ia tidak memikirkan
Al yang mana yang dimaksudkan gadis itu.
Dirasakannya tubuh Maria bergetar kedinginan di pelukannya. Ia
mengetatkan pelukannya dengan harapan dapat membuat gadis itu merasa 94
hangat, namun sepertinya gadis itu terus kedinginan di hawa pagi yang
dingin menusuk kulit.
Pepohonan yang rimbun di sepanjang jalan yang mereka lalui tidak
memberi kesempatan kepada matahari untuk menyinari kereta itu. Angin
yang berasal dari hutan sekeliling mereka terus bertiup.
Dalam tidurnya, Maria merapatkan tubuhnya ke tubuh pria itu seperti
anak kecil yang tidak berdaya melawan rasa dingin yang terus menerpa
tubuhnya yang mungil.
“Ia sangat luar biasa, bukan?” tanya Mrs. Vye memecahkan lamunan
pria itu.
Al yang sejak tadi asyik memandangi wajah Maria, terkejut mendengar
kata-kata Mrs. Vye yang tiba-tiba itu.
Mrs. Vye yang melihat keterkejutan di wajah Al segera mengulangi
kata-katanya.
“Ya, ia sangat luar biasa,” jawab Al.
“Apakah Anda menyukainya?” tanya Mrs. Vye ingin tahu.
“Saya rasa takkan ada orang yang tidak menyukai gadis ini. Ia sangat
ramah dan baik hati.”
“Ia tampak semakin cantik dengan senyum manisnya yang selalu
menghiasi wajahnya, bukan?”
Sambil terus memandangi wajah Maria, Al menjawab pertanyaan Mrs.
Vye. “Ia sering tersenyum tetapi tidak pernah tertawa. Ia lebih cantik bila ia
tertawa, namun sayang ia tidak pernah tertawa. Sejak saya bertemu
dengannya baru sekali saya melihatnya tertawa.”
“Anda benar. Saya juga tidak pernah melihatnya tertawa. Walaupun
bersama anak-anak, ia tidak pernah tertawa. Ia selalu tersenyum. Apakah ia
bersedih karena tidak dapat mengingat masa lalunya?”
“Saya tidak tahu, Mrs. Vye. Ia gadis yang sulit ditebak. Ia sering
membuat saya terkejut dengan tindakan-tindakannya yang di luar dugaan
saya,” kata Al.
Mrs. Vye tersenyum pada pria itu dan berkata, “Ia tidak hanya
membuat banyak kejutan terhadap Anda. Penduduk Obbeyville dan saya juga
sering dikejutkannya dengan segala kemampuannya.”
“Kita tidak tahu kemampuan apa lagi yang dimiliki Maria.”
“Ia seorang gadis yang bijaksana. Saya yang telah tua ini tidak dapat
menyaingi kebijaksanaannya. Mrs. Dahrien, pelayan yang paling tua di 95
keluarga Sidewinder juga mengatakan Maria memiliki kebijaksanaan yang
lebih tinggi dari kami.”
“Mrs. Dahrien sangat menyayangi Maria, ia menyukai kata-kata Maria
yang terdengar seperti kata-kata orang bijak.”
“Bagi saya, ia gadis yang sempurna,” kata Al.
“Tidak hanya bagi Anda, Tuan Muda. Kami juga menganggapnya
sempurna hingga tidak ada seorangpun dari kami, penduduk Obbeyville yang
menyangkal bahwa Maria adalah bidadari.”
“Harus saya akui baru pertama kali ini saya bertemu gadis yang
membuat saya bingung. Kadang saya merasa canggung bila berhadapan
dengannya. Ia selalu bersikap sopan, bahkan kadang-kadang saya merasa ia
terlalu sopan.”
“Mungkin sejak kecil ia telah diajari untuk bersikap sopan terhadap
siapa saja,” kata Mrs. Vye sambil tersenyum.
“Mungkin karena sikapnya yang lain daripada gadis yang lain itulah
yang membuat saya semakin bingung seperti ini.”
“Saya juga dibuat bingung oleh Maria. Saya tak mengerti darimana ia
memperoleh kemampuan seperti itu. Ia sangat pandai dalam urusan rumah
tangga.”
Al memandang wajah Maria. Dalam keadaan yang lemah seperti ini,
gadis itu benar-benar tampak seperti seorang anak yang lemah.
Tetapi bila ia mulai mengatakan sesuatu, sulit menebak usianya yang
sebenarnya. Kata-katanya sering mengejutkan. Sering kali kata-katanya
sangat bijaksana seperti orang tua.
Hilangnya masa lalu gadis itu membuat gadis itu menjadi seorang gadis
misterius di Obbeyville. Wajahnya yang selalu tenang semakin menambah
kesan kemisteriusan dirinya.
Lebih-lebih segala tindakannya yang diluar dugaan siapa saja, sering
membuat semua orang berpikir seribu kali mengenai gadis itu.
Hingga kini tidak ada seorangpun yang dapat memberi jawaban yang
tepat mengenai segala kemisteriusan gadis itu. Satu-satunya jawaban yang
dapat diberikan semua penduduk Obbeyville adalah gadis itu adalah bidadari
yang dikirim para dewa.
Gadis itu menjadi cerita misterius tersendiri bagi penduduk Obbeyville.
Bagi mereka yang baru mengenal gadis itu setelah gadis itu sadar dari
pingsannya, gadis itu adalah Maria, putri Mrs. Vye. Dan tidak seorang pun 96
tahu siapakah Maria di masa lalunya, semua orang hanya dapat menebak
baik yang percaya pada mitos maupun yang tidak.
Kereta berhenti tepat di depan rumah dokter pribadi keluarga Al.
Rumah berdinding batu itu berdiri tegak di perbatasan antara
Obbeyville dan Blueberry. Taman di sekitar rumah tampak rapi dan terawat.
Dedaunan yang telah menguning menghampar di rumput yang
kekuningan. Bunga-bunga musim panas yang bermekaran tampak indah di
taman itu.
Sebelum kusir kuda membukakan pintu, Al telah keluar dari kereta itu
dengan membopong Maria. Mrs. Vye mengikuti di belakangnya.
Dokter yang menyambut kedatangan mereka sangat terkejut melihat
keadaan Maria.
“Baru pertama kali ini saya melihat wajah pasien yang sepucat wajah
gadis ini,” kata dokter yang bernama Roe itu.
Dokter Roe segera mengantar mereka memasuki rumahnya dan
memeriksa Maria di sebuah kamar yang khusus disediakannya bagi pasien
yang berobat ke rumahnya.
Al menanti dengan cemas di pintu kamar itu sementara Dokter Roe
memeriksa Maria.
Suara Mrs. Vye yang sedang menjawab segala pertanyaan Dokter Roe
terdengar dari balik pintu yang membatasi ruangan tempat kerja Dokter Roe
dengan Ruang Pemeriksaan.
Al merasa seperti menunggu kemunculan dokter itu selama berabad-
abad. Setelah beberapa lama, Al dapat menarik napas lega.
Dokter itu keluar dari ruangan tempat ia memeriksa Maria dengan
wajah lega.
“Bagaimana keadaannya, Dokter?” tanya Al dengan cemas.
“Jangan khawatir, ia tidak separah yang saya duga. Ia hanya terkena
demam biasa,” kata Dokter Roe.
“Wajahnya terlalu pucat bila ia hanya terkena demam biasa,” kata Al
tidak yakin akan kata-kata dokter itu.
“Jangan cemas, Tuan Muda. Ia hanya terkena demam biasa. Wajahnya
yang sangat pucat itu tidak perlu Anda khawatirkan. Saya telah
memeriksanya dengan teliti dan saya tidak melihat ia memiliki penyakit yang
lain selain demam,” kata dokter itu dengan senyumannya yang mampu
membuat semua anak tertawa.97
Al masih ingat, ia selalu tertawa bila ia melihat dokter yang berwajah
lucu itu tersenyum.
Namun ini bukan saatnya bagi Al untuk tersenyum atau tertawa. Ia
terlalu mencemaskan keadaan Maria sehingga tidak mampu memperhatikan
hal-hal yang lain.
Dokter Roe memang memiliki perawakan yang lucu. Rambutnya
putihnya yang tipis membuat ia tampak botak. Keriput wajahnya membuat ia
tampak lucu dengan rambutnya yang hampir habis itu. Kacamatanya yang
kebesaran itu juga membuatnya tampak semakin lucu.
Tubuhnya yang pendek gemuk seperti tong itu tidak membuat dirinya
merasa rendah diri. Sebaliknya Dokter Roe sering bergurau mengenai
kegemukan tubuhnya itu.
Namun di balik kelucuannya itu, ia sebenarnya seorang dokter yang
sangat terkenal di Blueberry. Ia terkenal pandai mengobati segala macam
penyakit.
Dengan gayanya yang santai, dokter itu duduk di meja kerjanya dan
mulai menulis.
Al duduk di hadapan Dokter Roe sambil terus mengawasi tangan dokter
itu yang bergerak-gerak di atas kertas.
“Ia gadis itu?” tanya Dokter Roe setelah selesai menulis.
Al tahu apa yang dimaksudkan Dokter Roe. “Ya, ia gadis yang
ditemukan di Sungai Alleghei,” jawabnya.
“Dan wanita tua itu adalah Mrs. Vye?” Dokter Roe bertanya lagi.
“Ya. Wanita tua itulah yang menemukan gadis itu di tepi Sungai
Alleghei.”
“Gadis itu memang seperti yang penduduk Obbeyville katakan. Bahkan
gadis itu lebih cantik dari yang mereka katakan. Sudah lama saya ingin
bertemu dengannya, tetapi saya tidak berani berharap sebab pekerjaan saya
banyak.”
“Menurut Anda, siapakah gadis itu?” tanya Al.
“Saya tidak dapat memberikan jawaban yang tepat atas pertanyaan itu.
Untuk sementara ini, saya hanya dapat menduga gadis itu memang bidadari,
seperti yang penduduk Obbeyville katakan.”
“Ia sangat luar biasa. Tidak hanya kecantikannya yang membuat
Obbeyville mengatakan gadis itu bidadari utusan para dewa, tetapi juga
kebaikan hatinya dan keramahannya.”98
“Anda telah lama mengenalnya?”
“Tidak, saya baru beberapa hari mengenalnya. Dan selama itu ia sering
membuat saya merasa terkejut. Ia gadis yang sulit diduga. Kita tidak tahu apa
lagi yang akan dilakukannya untuk menggemparkan Obbeyville.”
“Saya merasa yakin ia berbeda dari wanita-wanita yang telah Anda
kenal,” kata Dokter Roe sambil tersenyum memandangi wajah Al.
Al menyetujui kata-kata Dokter Roe. Dari semua wanita yang telah
dikenalnya, Maria memang berbeda dari mereka.
Sebagai pria yang berpengalaman dalam menghadapi wanita, ia dapat
dengan mudah menebak segala yang ada di pikiran wanita-wanita itu. Tetapi
ia tidak dapat menebak dengan tepat pikiran Maria.
Segala yang ada pada diri Maria sulit ditebak. Seolah-olah ada sesuatu
yang melindungi gadis itu sehingga tidak seorang pun dapat menebak
pikirannya.
Dari luar, ia tampak seperti gadis yang lugu dan polos. Tetapi kata-
katanya seperti orang yang sangat berpengalaman dalam hidup ini.
Kebijaksanaan gadis itu serta kesopanannya membuat semua orang
mengaguminya. Gadis itu memiliki sesuatu yang jarang ditemui pada gadis-
gadis lainnya, sesuatu yang membuat gadis itu menonjol di antara semua
wanita.
Keanggunan serta tutur katanya yang lemah lembut membuat Al
semakin mengagumi gadis itu.
Al percaya tidak akan ada orang yang berani menganggu Maria walau
gadis cantik itu terlihat seperti orang yang mudah diganggu.
Ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuat semua orang bersikap
hormat kepadanya, seperti gadis itu menghormati orang di sekitarnya. Semua
orang harus berpikir berkali-kali sebelum menganggu ketenangan Maria.
Ketenangan gadis itu juga membuat Al kagum. Gadis itu selalu dapat
menjaga sikapnya setenang mungkin dalam keadaan seperti apa pun, seperti
orang yang telah terlatih untuk menghadapi segala sesuatu dengan kepala
dingin.
“Ia sangat berbeda dari mereka. Walaupun saya lebih tua darinya,
tetapi kadang-kadang saya merasa ialah yang lebih tua. Baru kali ini saya
bertemu dengan seorang gadis yang sangat bijaksana.”
“Saya juga baru kali ini menjumpai gadis yang sangat cantik seperti
gadis itu. Kecantikannya seperti menambah kesan kemisteriusan gadis itu.”99
“Maria selalu dikelilingi kemisteriusan dengan tindakannya yang tidak
dapat diduga.”
“Maria? Indah sekali nama itu. Mrs. Vye pandai memberi nama.”
Menyadari pembicaraan mereka telah jauh menyimpang dari masalah
yang kini mereka hadapi, Al segera berkata,
“Apakah ia benar-benar tidak apa-apa, Dokter? Mrs. Vye mengatakan
gadis itu sepucat saat ini ketika ia menemukannya tergeletak pingsan di tepi
Sungai Alleghei. Dan selama itu sering suhu tubuhnya tiba-tiba berubah.”
“Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, Tuan Muda, Anda tidak
perlu khawatir. Gadis itu hanya demam biasa. Bila Anda masih kurang yakin,
Anda bisa menanyakan keadaan gadis itu pada Dokter Donter.”
“Saya rasa saat ini ia sedang sibuk, ia orang yang selalu sibuk. Entah
siapa yang dirawatnya saat ini. Orang tua saya pernah hendak memeriksakan
diri ke Dokter Donter, tetapi dokter itu sibuk di Istana. Apa yang dilakukannya
di Istana, saya tidak tahu. Mungkin ia sedang merawat Raja atau keluarga
Raja yang lain.”
“Kita memang sulit menemui Dokter Donter. Tetapi percayalah kepada
saya, gadis itu hanya demam. Dokter Donter pernah bercerita kepada saya
bahwa ia memiliki seorang pasien yang memiliki penyakit sangat aneh.”
“Penyakit apa?” tanya Al.
“Katanya, pasien itu tidak tahan udara dingin. Bila terkena udara dingin
sang pasien akan jatuh sakit selama berhari-hari dan selama itu suhu
tubuhnya sangat tinggi. Kadang-kadang suhu tubuhnya turun, tetapi tidak
jarang suhu tubuhnya tiba-tiba naik lagi.”
“Keadaannya sama seperti yang dikatakan Mrs. Vye,” kata Al, “Apakah
Anda yakin Maria tidak apa-apa?”
“Ya, saya sangat yakin. Gadis yang dirawat Dokter Donter masih hidup
dengan tenang di tengah-tengah keluarganya. Kata Dokter Donter, gadis itu
sering mengatakan kepada dirinya:
‘Saya ini orang yang aneh. Setiap orang melarikan diri dari bahaya,
tetapi saya melarikan diri bukan dari bahaya tetapi dari cuaca.’
Gadis itu jarang berada di rumah. Pada musim ini ia berada suatu
tempat. Di musim yang lain, ia berada di tempat yang lain pula.”
“Siapakah gadis itu? Apakah mungkin Maria adalah gadis itu?” kata Al
seolah-olah pada dirinya sendiri.
“Hal itu sangat tidak mungkin, Tuan Muda. Mereka bukan gadis yang 100
sama. Dari yang saya ketahui dari Dokter Donter, gadis itu pada musim ini
berada di rumah musim panasnya di balik Death Rocks.”
“Di samping itu, Tuan Muda, keluarga gadis itu sangat kaya. Tidak
mungkin seorang gadis yang kaya seperti dia mau merendahkan dirinya
dengan melakukan tugas pelayan.”
“Ya, Anda benar. Kata Mrs. Vye, Maria pandai mengatur rumah. Mereka
bukan gadis yang sama,” kata Al membuang pikirannya tentang
kemungkinan gadis yang diceritakan Dokter Roe dan Maria adalah gadis yang
sama.
“Tidak baik saya menahan Anda terlalu lama. Sebaiknya Anda segera
mengantar Maria. Gadis itu membutuhkan banyak istirahat,” kata Dokter Roe
sambil mengulurkan resep obat.
Al menerima kertas itu, “Terima kasih, Dokter. Sekali lagi maafkan saya
yang telah mengganggu Anda sepagi ini.”
“Seorang dokter memang harus siap kapan pun diperlukan. Saya
senang bisa membantu Anda,” kata Dokter Roe. “Sebenarnya saya masih
tidak mengerti mengapa Anda mengajak gadis itu bepergian sepagi yang
dingin seperti ini.”
“Maria mengatakan ia ingin melihat matahari terbit, maka saya dengan
ijin Mrs. Vye mengajak gadis itu pergi ke pantai yang terletak di timur
Obbeyville untuk melihat matahari terbit,” kata Al, “Mrs. Vye juga ikut
bersama kami, jadi Anda jangan berpikir yang tidak-tidak. Antara saya dan
Maria tidak ada apa-apa.”
“Saya mengerti gadis itu memang berbeda dari wanita-wanita saat ini
yang tingkahnya persis seperti wanita pelacur. Setiap hari mereka hanya
mengejar harta orang-orang kaya,” kata Dokter Roe.
“Yang paling mencolok saat ini adalah Baroness Lora dan putrinya tentu
saja. Saya percaya Maria tidak akan terjangkit penyakit yang menjijikkan itu
walau mereka tinggal di tempat yang sama.”
Al tertawa mendengar nada bicara Dokter Roe yang jelas-jelas
menunjukkan ketidak sukaannya pada tingkah dua wanita dari Obbeyville
yang mengejar pria-pria kaya.
Entah berapa kali Baroness Lora terlibat skandal yang menggemparkan
Obbeyville. Beratus-ratus kali rasanya wanita itu terlibat skandal dengan
berbagai macam pria dari kalangan bangsawan. Tetapi wanita itu tidak jera-
jera juga. Bahkan hal itu telah menurun pada putrinya.101
Banyak pria yang telah terperosok dalam jerat Lady Debora. Wanita itu
pandai menggunakan kecantikan wajahnya untuk menjerat pria kaya.
Walaupun Maria bekerja sebagai pelayan Lady Debora, tetapi Al
percaya Maria tidak akan tertular penyakit yang dikatakan Dokter Roe. Gadis
itu telah menunjukkan sikapnya yang berbeda dari wanita-wanita lainnya.
“Maria tidak akan terjangkit penyakit itu, Dokter. Walaupun ia masih
sangat muda dan polos, tetapi ia sangat bijaksana dalam menentukan
langkah-langkahnya.”
Al dan dokter itu menuju ruang tempat Maria berbaring.
Mrs. Vye duduk di tepi pembaringan sambil terus mengawasi wajah
Maria yang pucat. Wanita tua itu mengangkat kepalanya ketika Dokter Roe
membuka pintu ruang itu.
Mrs. Vye segera beranjak dari tempat duduknya ketika Al mendekat.
Wanita tua itu seperti tahu apa yang akan dilakukan Al.
Ia memandang wajah Maria yang masih pucat, mata gadis itu masih
terpejam. Kemudian dengan hati-hati, pria itu mengangkat tubuh Maria dari
pembaringan.
Dokter Roe mengantar mereka hingga ke pintu depan.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada Dokter Roe, Mrs. Vye segera
menuju kereta yang telah menanti mereka.
“Terima kasih atas bantuan Anda, Dokter,” kata Al.
“Jangan pernah menyakiti hati gadis itu, Tuan Muda. Jagalah ia baik-
baik. Ia satu-satunya gadis yang tepat untuk Anda. Saya percaya ia akan
menjadi istri yang baik,” kata Dokter Roe menggoda Al. “Saya yakin ialah
yang Anda cari selama ini.”
Al tersenyum mendengar kata-kata Dokter Roe. “Saya pasti akan
menjaganya dengan baik.”
Dokter Roe tersenyum. Ia memandangi punggung Al yang menjauh
kemudian menghilang di dalam kereta.
Entah mengapa ia merasa gadis misterius itu benar-benar tepat untuk
Al yang terkenal sulit didekati.
Banyak wanita yang ditolak pemuda itu. Pemuda itu seperti enggan
menghabiskan masa mudanya. Sementara itu, orang tua pemuda itu
menginginkan anaknya yang tahun ini berusia dua puluh tujuh tahun itu,
segera menikah.
Orang tua pemuda itu juga merasa kesulitan terhadap tingkah anaknya 102
yang pemilih itu. Al menolak semua wanita yang disodorkan orang tuanya.
Mereka tidak mengerti wanita seperti apakah yang diinginkan anaknya.
Akhirnya mereka memilih untuk membiarkan anak mereka memilih
sendiri wanita yang akan dinikahinya. Mereka tidak pernah mendesak
pemuda itu lagi.
“Maafkan saya telah membuat Anda terlambat, Mrs. Vye,” kata Al.
“Jangan khawatir, Tuan Muda. Mereka tidak akan tahu saya terlambat.
Mereka takkan bangun sebelum tengah hari.”
“Saya heran ternyata ada juga wanita sangat malas seperti mereka.
Saya tidak dapat membayangkan wanita yang bangun di tengah hari.”
“Anda pasti juga tidak dapat membayangkan ada gadis yang bangun
pagi-pagi buta seperti Maria.”
“Ya, saya juga merasa sukar mempercayainya. Saya kira ia terlalu
membesar-besarkan saja,” kata Al mengakui.
“Ia tidak membesar-besarkan, Tuan Muda. Ia selalu bangun pukul tiga,”
kata Mrs. Vye meyakinkan Al, “Pada mulanya saya juga tidak mempercayai ia
bangun sepagi itu, saya menduga ia tidak dapat tidur. Tetapi lama kelamaan
saya mengakui Maria berbeda dari gadis-gadis lainnya.”
“Sangat berbeda. Ia sangat berbeda dari semua wanita yang saya
kenal,” kata Al menyetujui pendapat Mrs. Vye.
“Apakah Anda tidak lelah? Dari tadi Anda memangku Maria,” tanya Mrs.
Vye tiba-tiba.
“Tidak, saya tidak lelah. Maria sangat ringan. Saya merasa seperti
memangku seorang anak kecil,” jawab Al.
“Anda memang terlihat seperti seorang ayah yang memangku anaknya
yang sedang tidur,” kata Mrs. Vye.
“Lebih tepat bila Anda mengatakan seorang kakak yang memeluk
adiknya,” kata Al mengkoreksi.
“Apakah Maria pernah menyebut tentang keluarganya kepada Anda?”
“Tidak, ia tidak pernah mengatakan apa-apa.”
“Apakah ia pernah mengingau sewaktu Anda menemukannya?” tanya
Al lagi.
“Tidak. Mengapa Anda menanyakan hal itu?” tanya Mrs. Vye heran.
“Ia tadi mengingau,” jawab Al.
“Benarkah itu? Mengapa saya tidak mendengarnya?” sela Mrs. Vye.
“Ia mengingau sangat lirih hampir tidak terdengar oleh saya.”103
“Apakah yang ia ingaukan?” tanya Mrs. Vye.
“Ia mengatakan ia kedinginan dan ketakutan. Hanya itu, tidak ada lagi
yang disebutkannya.”
“Kasihan Maria. Saya berharap ia lekas sembuh. Saya sedih bila ia sakit.
Suasana di Sidewinder berubah sejak kedatangannya,” kata Mrs. Vye sedih.
“Tidak hanya di Sidewinder House saja. Maria juga membawa
perubahan di Obbeyville,” kata Al ketika mereka telah memasuki Obbeyville.
Kereta berhenti tepat di depan pondok Mrs. Vye. Suasana di Obbeyville
masih lenggang. Tidak banyak orang yang lalu lalang di jalan.
Al melewati Mrs. Vye yang membukakan pintu baginya. Dengan hati-
hati ia melewati pintu kecil itu. Mrs. Vye memegang kepala Maria agar tidak
terantuk pintu.
Ia membimbing Al menuju kamar Maria. Setelah menyingkapkan
selimut yang menutup tempat tidur, ia meminta Al meletakkan Maria di
pembaringan.
Al meletakkan tubuh Maria dengan lembut di atas pembaringan.
Dengan satu tangannya ia menyangga kepala gadis itu kemudian meletakkan
bantal dibawah kepalanya.
“Tampaknya Maria tidak akan sadar dalam waktu dekat ini,” kata Al.
“Dulu ia pingsan hampir satu minggu lamanya. Mungkin kali ini ia
segera sadar.”
“Ya, saya juga berharap begitu,” kata Al, “Selama Maria sakit, siapakah
yang menjaganya?”
“Saya. Tetapi saya tidak bisa terus menerus menjaganya, saya juga
harus menyelesaikan pekerjaan yang telah menanti di Sidewinder House.”
“Ijinkanlah saya menjaga Maria selama Anda tidak berada di sini,” kata
Al.
“Jangan merepotkan diri Anda sendiri dengan menjaga Maria. Anda
masih memiliki banyak tugas. Saya dapat merawatnya sendirian.”
“Jangan khawatir, Mrs. Vye. Papa pasti mengerti bila saya mengatakan
hal ini. Saya akan merasa sangat senang bila Anda mengijinkan. Lagipula
karena sayalah Maria menjadi seperti ini.”
“Baiklah, Anda boleh membantu saya menjaga Maria. Saya memang
tidak dapat membiarkan Maria sendirian selama ia sakit,” kata Mrs. Vye
setelah terdiam beberapa lama.
Setiap pagi, Al tidak lagi menemui Maria di tepi Sungai Alleghei. Ia 104
menggantikan tugas Mrs. Vye menjaga Maria.
Seperti halnya Mrs. Vye, ia merasa khawatir pada Maria yang masih
belum sadar walaupun hari-hari telah berlalu.
Dokter Roe mengatakan Maria baik-baik saja, tetapi hal itu tidak
mengurangi kecemasan Al dan Mrs. Vye.
Hingga pada hari ketiga mereka masih belum dapat bernapas lega
melihat Maria yang masih tertidur.
Al memandangi Maria yang masih belum sadar. Rambut panjangnya
berserakan di atas bantal putih.
Dengan tangannya yang terlipat di dadanya, gadis itu nampak seperti
putri tidur dalam dongeng anak-anak.
Duduk di tepi pembaringan sambil mengawasi Maria telah menjadi
pekerjaan sehari-harinya dalam dua hari terakhir ini. Hari ini merupakan hari
ketiganya, ia menjaga Maria.
Selama itu, Lady Debora tidak pernah mengunjungi Maria walaupun
hanya sekali.
Al telah menduga hal itu dan ia merasa sangat beruntung tidak
berjumpa dengan wanita itu selama ia menjaga Maria.
Dengan demikian ia dapat menjaga Maria dengan tenang, mengawasi
wajah cantik yang tertidur itu.
Bulu mata Maria yang terpejam tiba-tiba bergetar. Detik berikutnya
mata yang indah itu membuka perlahan-lahan.
Al sangat senang melihat Maria telah sadar dari tidur panjangnya.
“Al? Mengapa Anda di sini?” tanya Maria lirih.
“Aku senang engkau sudah sadar,” kata Al, “Rasanya seperti berabad-
abad engkau menjadi putri tidur, padahal sejak kemarin lusa engkau tidak
sadarkan diri.”
“Maafkan saya telah merepotkan Anda,” kata Maria.
“Maria, engkau tidak pernah membuatku repot. Engkau tertidur sangat
nyenyak sehingga tidak menyulitkan apa-apa.”
“Di mana Mrs. Vye?” tanya Maria.
“Ia di Sidewinder House,” jawab Al.
Teringat tugasnya di Sidewinder House, Maria segera bangkit, namun
pria itu mencegahnya.
“Tidurlah, Maria. Engkau membutuhkan banyak istirahat,” kata Al
sambil meletakkan tubuh Maria. “Jangan mengkhawatirkan tugasmu. Kata 105
Mrs. Vye, Lady Debora mengerti akan keadaanmu.”
“Mrs. Vye sangat baik. Andaikan tubuh saya tidak lemah, saya akan
membantunya,” kata Maria lirih.
“Karena itu, Maria, engkau harus banyak istirahat agar tubuhmu
kembali pulih.”
“Saya mengerti, saya harus banyak beristirahat agar segera pulih,” kata
Maria.
Mrs. Vye sangat senang ketika melihat Maria telah sadar. Ia sangat
senang hingga hampir lupa memberi obat kepada Maria.
Walaupun Maria telah sadar, tetapi Mrs. Vye dan Al masih bergantian
menjaga Maria. Mereka berdua terus menjaganya hingga gadis itu sembuh
benar.
Setiap hari, Al membawakan bunga untuk Maria. Maria merasa senang
mendapat berbagai macam bunga musim panas yang indah.
106
7
Entah karena bunga-bunga itu atau karena orang yang
membawakannya, Maria lebih cepat pulih dari yang diperkirakan. Dua hari
kemudian, Maria telah cukup sehat untuk mengerjakan tugasnya di
Sidewinder House.
Seperti biasa, Maria dan Mrs. Vye pergi berjalan-jalan di sepanjang
Sungai Alleghei pagi itu.
Penduduk Obbeyville tampak senang melihat Maria muncul dari pondok
mungil itu setelah selama beberapa hari gadis itu tidak muncul. Beberapa dari
mereka mengajak Maria bercakap-cakap.
Maria merasa sangat senang pagi itu. Ia sengaja berjalan lambat agar
dapat menikmati pemandangan tepi Sungai Alleghei yang hilang darinya
selama beberapa hari.
Tak lama setelah Mrs. Vye kembali ke Sidewinder House, Maria
meninggalkan tempat itu.
Ia ingin segera berjumpa Mr. Liesting, Mrs. Fat, dan Mrs. Dahrien. Ia
menduga mereka pasti senang melihatnya seperti penduduk Obbeyville
lainnya yang senang melihatnya muncul dari pondok mungil Mrs. Vye.
Seperti yang telah diperkirakan Maria sebelumnya, Mrs. Fat, Mr. Liesting
serta Mrs. Dahrien gembira melihat kedatangannya. Mereka mengajak Maria
bercakap-cakap di dapur.
“Engkau membuat kami khawatir, Maria,” kata Mrs. Dahrien.
“Maafkan saya. Saya tidak bermaksud membuat Anda khawatir.”
“Mengapa engkau telah berada di sini pagi-pagi, Maria? Biasanya
engkau masih berada di Sungai Alleghei,” tanya Mrs. Vye.
“Saya merindukan kalian,” kata Maria.
“Anak-anak Obbeyville juga merindukanmu. Mereka mencarimu,
mereka sangat sedih karena tidak dapat menemukanmu,” kata Mrs. Fat.
“Saya juga merindukan mereka.”
“Sayang Mrs. Vye tidak mengijinkan mereka menemuimu.”
“Aku harus melakukannya, Mr. Liesting. Aku tidak dapat membiarkan
mereka mengganggu istirahat Maria. Ia membutuhkan banyak istirahat,” kata 107
Mrs. Vye.
“Aku mengerti, Mrs. Vye. Aku juga setuju pada tindakanmu. Mereka
akan mengganggu istirahat Maria selama ia sakit.”
“Mengapa engkau tidak menemui mereka?” tanya Mrs. Fat.
“Saya ingin menemui mereka setelah saya menyelesaikan tugas saya.”
“Lupakanlah tugasmu, Maria. Engkau baru saja sembuh. Jangan
melakukan pekerjaan yang berat. Kami bisa melakukannya,” kata Mrs.
Dahrien.
“Lebih bijaksana bila saat ini engkau pergi menemui anak-anak itu,”
kata Mrs. Fat.
“Itu bukan bijaksana, Mrs. Fat, tetapi tindakan yang lebih baik. Biarlah
saya membantu Anda sebentar kemudian saya akan menemui mereka. Saya
merasa seluruh tubuh saya kaku selama beristirahat di atas tempat tidur.”
“Renggangkanlah badanmu dengan bermain dengan anak-anak. Jangan
dengan melakukan pekerjaan yang berat. Engkau baru sembuh,” kata Mrs.
Dahrien.
“Sejak kemarin mereka berkeliaran di sekitar rumah ini. Yang Mulia dan
Tuan Puteri dibuat marah karenanya,” kata Mr. Liesting.
“Apakah mereka melakukan sesuatu yang tidak baik?” tanya Maria
cemas.
“Tidak, mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka hanya berkeliaran di
sekitar rumah ini,” kata Mr. Liesting.
“Baroness Lora dan Lady Debora pasti merasa risau melihat banyak
anak berkeliaran di sekitar rumah mereka,” kata Maria dengan tersenyum,
“Saya akan menemui mereka sekarang. Saya tidak ingin mereka dimarahi
kedua wanita itu.”
“Ya, itu yang paling baik. Temuilah mereka dan bersenang-senanglah
hingga tengah hari nanti,” kata Mrs. Fat.
Maria meninggalkan Sidewinder House melalui pintu belakang yang
berada di dapur tempat mereka bercakap-cakap itu.
Ia tidak melihat seorang anak pun di sekitar rumah itu. Suasana di
sekitar rumah itu masih tampak lenggang seperti ketika ia datang.
Hanya beberapa orang yang melintasi jalan di depan Sidewinder House.
Mereka menuju Blueberry.
Maria menduga mereka adalah petani yang bekerja di kebun Blueberry
Duke of Blueberry.108
Dari Mrs. Vye, Maria mengetahui tidak sedikit penduduk Obbeyville
yang bekerja pada Duke. Tetapi juga tidak sedikit penduduk Obbeyville yang
bekerja di tanah pertanian mereka sendiri.
Petani-petani menggembalakan ternak mereka. Beberapa di antara
mereka ada yang menanam bibit di tanah pertanian mereka yang tandus.
Semua bekerja dengan giat dan penuh semangat.
Di kejauhan tampak Sungai Alleghei yang berkilauan seperti
menyambut kedatangannya. Daun-daun bergemirisik tertiup angin pagi.
Daun-daun yang menguning menghiasi tanah.
Matahari masih bersembunyi di balik pepohonan. Awan-awan putih
telah berkejar-kejaran ke sana ke mari di langit yang biru.
Ketika Maria memandang jalan yang menuju Sidewinder House, ia
melihat anak-anak berjalan mendekat. Wajah anak-anak itu tampak ceria.
“Mengapa Anda tidak menemui kami?” tanya mereka.
“Saya harus beristirahat. Maafkan saya, sekarang saya akan menebus
kesalahan saya,” kata Maria.
“Anda belum menyelesaikan dongeng yang Anda ceritakan,” kata
seorang anak.
“Ya, saya masih ingat. Mari kita pergi ke Sungai Alleghei. Saya akan
melanjutkan cerita saya di sana. Kalian tidak ingin dimarahi Baroness Lora
lagi, bukan?” kata Maria.
“Ya, Baroness Lora sangat jahat. Ia memarahi kami padahal kami tidak
melakukan apa-apa. Kami hanya mencari Anda di sini,” kata anak-anak itu.
“Hari ini kalian tidak perlu mencari saya karena saya akan menemani
kalian hingga tengah hari nanti. Tetapi tidak di sini, saya akan menemani
kalian bermain di tempat yang lain.”
Anak-anak itu berseru senang.
Mereka senang dapat bermain dengan Maria sepanjang hari. Itulah
yang mereka harapkan sejak kemarin, tetapi Maria tidak muncul sehingga
mereka harus menahan rasa kecewa mereka.
“Jangan ribut, nanti Baroness Lora marah kepada kalian lagi,” kata
Maria menenangkan anak-anak itu.
Setelah anak-anak itu diam, Maria mengajak mereka meninggalkan
Sidewinder House.
Mereka berebut menggandeng Maria. Dengan tersenyum, Maria melerai
mereka dan membiarkan anak-anak itu menggandeng tangannya beramai-109
ramai.
Belum jauh, Maria dan anak-anak itu meninggalkan Sidewinder House
ketika Maria melihat Al datang mendekat dengan kudanya.
Al tersenyum ketika melihat Maria berjalan beramai-ramai dengan
anak-anak menuju Sungai Alleghei. Tetapi hal itu tidak mengurangi
kekecewaan yang tampak di wajahnya.
Maria mencoba menerka kekecewaan apa yang ditahan Al. Dan ketika
ia menemukan jawabannya, ia merasa bersalah.
“Kelihatannya engkau dan anak-anak itu hendak menuju Sungai
Alleghei. Apakah ini sebabnya engkau tidak menemuiku di sana seperti
biasanya?” tanya Al.
“Maafkan saya telah membuat Anda kecewa. Pagi ini saya merasa ingin
segera berjumpa dengan Mr. Liesting, Mrs. Fat dan Mrs. Dahrien serta anak-
anak ini karena itu saya segera meninggalkan Sungai Alleghei setelah
kepergian Mrs. Vye. Saya tidak bermaksud menghindari Anda,” kata Maria.
“Aku mengerti, Maria. Sekarang apakah engkau mengijinkan aku ikut
dalam rombonganmu?”
“Bila Anda mau turun dari kuda Anda.”
Al melompat dari punggung kudanya kemudian mendekati Maria.
“Anda tidak keberatan mendapat perlakuan yang tidak Anda harapkan?
Saya tidak akan memperhatikan Anda, saya akan lebih memusatkan
perhatian saya pada anak-anak ini. Saya tidak ingin terjadi sesuatu pada
mereka selama mereka bersama saya,” kata Maria.
“Jangan khawatir, aku tidak akan kecewa. Aku akan membantumu
mengawasi anak-anak itu. Aku khawatir mereka terlalu nakal sehingga
membuat engkau kerepotan,” kata Al sambil memandangi anak-anak yang
berada di sekeliling Maria.
Anak-anak marah mendengar kata-kata Al. Mereka menatap Al dengan
wajah cemberut, tetapi pria itu yang pura-pura tidak tahu.
“Kami tidak nakal. Benarkan?” kata mereka sambil memandang Maria.
Maria tersenyum melihat kemarahan anak-anak itu.
“Saya tahu kalian anak yang baik,” kata Maria, “Sekarang, mari kita
pergi. Matahari semakin tinggi di langit.”
Bersama beberapa anak, Maria melangkah meninggalkan mereka yang
masih marah pada Al.
Al mengikuti di samping Maria. Tangan pria itu memegang kendali kuda 110
yang berjalan di sampingnya.
Setelah agak jauh berjalan, Maria berhenti dan membalikkan badan
kepada anak-anak yang belum beranjak dari tempat mereka.
“Bila kalian tetap tinggal di sini, saya tidak akan mengulang cerita yang
akan saya ceritakan pada teman-teman kalian,” kata Maria pada mereka.
Mereka menanti anak-anak yang berlari mendekat itu. Setelah semua
anak telah berkumpul kembali, mereka melanjutkan perjalanannya kembali.
“Mereka marah kepada Anda,” kata Maria pada Al yang berjalan di
sisinya.
“Aku tahu. Mereka sangat lucu ketika marah,” kata Al.
“Anda akan menyesal bila dibenci anak-anak.”
“Mengapa demikian?” tanya Al heran.
“Pikiran anak-anak masih polos. Apa yang mereka pikirkan, mereka
rasakan tidak pernah mereka sembunyikan. Mereka selalu mengatakan apa
yang mereka pikirkan, rasakan. Jangan sampai mereka membenci Anda,
karena anak-anaklah yang membuat kita lebih merasakan kebahagiaan
dunia.”
“Sejujurnya, Maria, aku kurang mengerti yang kaukatakan.”
“Anak-anaklah kebahagiaan dunia. Canda tawa mereka yang menghiasi
dunia membuat dunia semakin ceria.”
“Kau benar. Tanpa canda tawa mereka, dunia ini terasa sepi.”
Seperti biasa, penduduk Obbeyville berbisik-bisik melihat Maria berjalan
beramai-ramai dengan anak-anak menuju Sungai Alleghei dengan didampingi
seorang pria. Namun tak seorang pun dari mereka yang mempedulikan hal
itu.
Mereka terus berjalan menuju Sungai Alleghei. Anak-anak tampak
sangat bersemangat, mereka menanti kelanjutan dongeng yang diceritakan
Maria.
Telah berhari-hari mereka menanti saat itu. Mereka terus menanti
dengan tekun hingga gadis itu muncul dari pondok Mrs. Vye.
Maria duduk di bawah pohon besar di tepi Sungai Alleghei. Anak-anak
duduk di sekitarnya sedangkan Al berdiri di belakang mengawasi mereka dan
kudanya yang sedang merumput.
“Hingga di mana cerita saya?” tanya Maria.
“Ketika para dewa merencanakan untuk menyerang setan-setan,” kata
anak-anak itu serempak.111
Maria tersenyum melihat anak-anak Obbeyville yang kompak. Mereka
seperti telah diajarkan sejak kecil untuk selalu rukun.
Sejak kedatangan Maria di desa kecil ini, ia tidak pernah mendengar
anak yang bertengkar. Mereka selalu bermain bersama-sama tanpa
mempedulikan perbedaan usia.
Kakak menjaga adik, adik menjaga kakak, seperti itulah kerukunan
mereka. Maria mengaggumi cara penduduk Obbeyville dalam mendidik anak-
anak mereka agar rukun satu sama lain.
Antara anak-anak itu telah terjalin hubungan yang akrab sehingga
mereka mau saling membantu bila ada yang kesulitan.
Melihat kerukunan mereka, seperti tiada kecurigaan dan iri hati di
antara mereka. Mereka bermain dalam satu keluarga besar, anak-anak
Obbeyville.
Satu hal yang membuat Maria adalah bila Baroness Lora benar-benar
berasal dari Obbeyville. Mengapa wanita itu enggan bergaul dengan
penduduk lainnya?
Bila sejak kecil Baroness Lora diajarkan untuk hidup rukun seperti anak-
anak itu, mengapa kebencian masih dapat berada di hati wanita itu?
Walaupun penduduk Obbeyville sering membicarakan segala sesuatu
mengenai Maria di belakang gadis itu. Tetapi mereka tidak menyimpan
kebencian kepada Maria di hati mereka seperti Baroness Lora.
Tiada dimengerti oleh Maria mengapa Baroness Lora membenci dirinya.
Seolah-olah Maria telah melakukan suatu kesalahan besar terhadap wanita
itu.
Sering kali pula Maria mencoba menemukan kesalahan yang telah
diperbuatnya terhadap wanita itu. Tetapi ia tidak dapat menemukan jawaban
atas pertanyaan itu. Baik di masa kini maupun di masa lalunya yang tertutup
kabut tebal.
Walaupun Maria tidak dapat mengingat masa lalunya, tetapi ia masih
dapat merasakan bahwa ia tidak pernah bertemu dengan Baroness Lora serta
putrinya sebelumnya. Ini adalah pertama kalinya Maria berada di Obbeyville.
Benar Maria tidak dapat mengingatnya, tetapi perasaan Maria
mengatakan ia belum pernah berada di Obbeyville sebelumnya dan Maria
percaya hal itu.
“Para dewa yang mengetahui rencana setan-setan itu, mulai menyusun
rencana untuk menghentikan setan-setan itu sebelum mereka melaksanakan 112
rencana jahat mereka,” kata Maria memulai ceritanya.
Sesungguhnya yang diceritakan Maria pada anak-anak itu, bukanlah
dongeng tetapi mitos peperangan antara para dewa dengan setan di
Blueberry.
Karena Maria tidak ingin anak-anak itu terlalu terpengaruh mitos yang
diceritakannya, maka ia tidak mengatakan kepada anak-anak itu bahwa apa
yang diceritakannya kepada mereka sesungguhnya adalah mitos bukan
dongeng.
Mitos yang benar-benar ada di masyarakat khususnya penduduk
Blueberry.
Mitos yang pernah terkenal di Kerajaan Zirva dan masih diketahui
sedikit orang.
Walaupun semakin sedikit orang yang mengetahui mitos nama asli
Blueberry, tetapi mitos itu masih tetap hidup seperti mitos yang dimiliki
penduduk Obbeyville.
Dan Maria mempercayai hal itu. Ia tidak ingin mitos itu hilang tertelan
kemajuan peradaban. Melalui ‘dongeng’ yang diceritakannya kepada anak-
anak itu, ia berharap mitos itu masih akan tetap dan terus hidup.
Sesungguhnya, Kerajaan Zirva memiliki tiga mitos yang paling terkenal
di antara mitos-mitos lainnya.
Tetapi hanya dua mitos yang diketahui penduduk, hanya orang-orang
tertentu yang mengetahui mitos ketiga itu termasuk Maria.
Di antara kedua mitos yang diketahui penduduk itu hanya mitos Sungai
Alleghei yang paling terkenal. Sedangkan mitos Blackblood hampir punah.
Walaupun Maria tidak dapat mengingat segala masa lalunya, namun
Maria masih dapat mengingat bahwa mitos ketiga itu sengaja disembunyikan
dari masyarakat luas selain suku tempat mitos itu berasal.
“Kurasa kalian harus menghentikan dongeng kalian di sini. Hari telah
siang dan Maria harus segera kembali ke Sidewinder House,” kata Al
menghentikan dongeng Maria.
Anak-anak mengeluh kecewa karena tidak dapat mendengar kelanjutan
dongeng yang mereka sukai itu.
“Jangan kecewa seperti itu. Besok Maria pasti akan melanjutkan
dongengnya yang belum selesai,” kata Al.
“Sekarang saya harus segera kembali ke Sidewinder House. Besok saya
akan melanjutkan dongeng saya, bila mungkin nanti sore saya akan 113
melanjutkan dongeng tersebut,” kata Maria membenarkan kata-kata Al.
“Aku khawatir sore ini engkau tidak dapat melanjutkan dongengmu,
Maria.”
“Saya tidak mempunyai rencana apa-apa untuk sore ini. Lady Debora
akan pergi sore ini seperti sore-sore lainnya dan baru tiba tengah malam,”
kata Maria.
“Bagus,” kata pria itu senang, “Sekarang lebih baik kita mengantar
anak-anak ini dan aku akan memberi tahumu sesuatu.”
“Kami bisa pulang sendiri bila Anda berdua ingin bercakap-cakap,” kata
anak yang paling tua di antara anak-anak lainnya itu.
“Tidak perlu. Saya akan mengantar kalian, saya bertanggung jawab
terhadap kalian selama kalian bersama dengan saya.”
“Serahkanlah tanggung jawab itu kepada saya. Saya sudah cukup besar
untuk mengawasi anak-anak lainnya,” kata anak itu lagi.
“Ya, Anda tidak perlu mengantar kami. Kami masih ingin bermain,” kata
anak-anak yang lain menyakinkan Maria.
“Biarkanlah mereka kembali sendiri, Maria. Aku yakin anak itu cukup
mampu menjaga teman-temannya,” kata Al ikut membujuk Maria.
“Saya harap kalian berhati-hati. Jangan sampai terjatuh! Perhatikanlah
langkah kalian,” kata Maria.
Anak-anak segera berlari meninggalkan Maria dan Al setelah Maria
menyatakan keputusannya. Mereka tidak menuju Obbeyville, tetapi ke tanah
pertanian milik penduduk Obbeyville yang terletak tak jauh dari Obbeyville.
“Engkau sangat pandai, Maria. Engkau menceritakan mitos itu kepada
anak-anak dalam bentuk dongeng,” kata Al setelah anak-anak itu menghilang
di balik pepohonan.
“Saya hanya menggunakan cara yang tepat untuk membuat mereka
menyukai mitos itu tanpa membuat mereka terpengaruh mitos itu,” kata
Maria.
“Ya, mereka mungkin takut bila mengetahui darah para setan itu telah
menjelma menjadi bunga Blackblood.”
“Bunga Blackblood sangat indah namun ia bisa terlihat menakutkan di
malam hari. Bunga itu pada siang hari tampak indah seperti bunga-bunga
lainnya, tetapi di malam hari ia tampak menakutkan dengan warnanya yang
menyerupai darah.”
“Sayang bunga itu telah semakin langka seperti mitos itu sendiri.”114
Maria mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Ia merasa sedih bunga
Blackblood yang indah namun menakutkan itu mulai langka.
Di hutan-hutan Blueberry sekalipun jarang dijumpai bunga itu. Bunga
itu menghilang bersamaan dengan menghilangnya mitos mengenai bunga itu
sendiri.
“Dapatkah Anda mengatakan apa yang ingin Anda beri tahukan kepada
saya?”
“Aku ingin mengajakmu pergi sore ini,” kata Al.
Al tidak memberi kesempatan pada Maria untuk menolak ajakannya,
“Mrs. Vye telah mengijinkan aku mengajakmu sore ini. Aku yang mengatakan
hal itu kepadanya dan ia memberiku ijin untuk membawamu pergi sore ini.
Bila engkau tidak percaya, engkau dapat bertanya pada Mrs. Vye sendiri.”
“Saya percaya Anda mengatakan yang sebenarnya. Ke manakah Anda
akan mengajak saya?”
“Aku ingin mengajakmu ke pesta dansa yang diadakan oleh keluargaku
sore ini.”
“Saya khawatir, saya tidak dapat ikut beserta Anda,” kata Maria, “Saya
tidak mempunyai gaun yang cocok untuk pergi ke pesta dansa itu.”
“Jangan khawatir, Maria. Aku telah mempersiapkan segalanya,” kata Al,
“Bila tidak ada hal yang menghalangi, engkau akan mendapat kiriman siang
ini.”
“Kiriman dari siapa? Untuk apa?” tanya Maria tak mengerti.
“Engkau akan mengerti nanti siang bila kiriman itu telah sampai
padamu. Apakah engkau menerima undanganku?” kata Al.
“Apakah ada kemungkinan bagi saya untuk menolaknya?” tanya Maria.
“Tidak,” jawab Al tegas.
“Artinya saya tidak memiliki pilihan yang lain selain menerimanya,”
kata Maria sambil tersenyum manis, “Saya berharap saya tidak membuat
Anda merasa malu di pesta dansa itu.”
“Tidak akan, Maria. Engkau tidak akan pernah membuat malu siapapun
termasuk aku. Aku akan merasa bangga sekali nanti sore, pergi ke pesta
dengan ditemani gadis yang sangat cantik sepertimu.”
“Saya berharap demikian,” kata Maria tersipu-sipu. “Tetapi Anda dan
saya sendiri tidak mengetahui apakah saya bisa berdansa dengan baik.”
“Engkau tidak pernah mengecewakan aku, Maria, dan aku yakin engkau
dapat berdansa dengan baik bila melihat gerakanmu yang anggun dan lemah 115
gemulai itu. Sekarang biarkanlah aku mengantarmu,” kata Al, “Hari telah
siang dan engkau tidak ingin terlambat, bukan?”
Seperti hari-hari sebelumnya, Maria menurut saja ketika Al mengangkat
tubuhnya ke punggung kuda dan mengantarnya ke Sidewinder House.
Lady Debora masih belum bangun ketika Maria tiba di tempat itu.
Sambil menanti Lady Debora bangun, Maria membantu Mrs. Fat
membersihkan ruangan-ruangan di Sidewinder House.
Seperti hari-hari sebelumnya, Mrs. Fat menolak bantuan Maria. Tetapi ia
tidak dapat berbuat apa-apa ketika gadis itu telah mulai membantunya.
Betapa pun kerasnya Mrs. Fat menolak bantuan Maria, akhirnya wanita
itu terpaksa mengalah pada keinginan Maria.
Tanpa dapat berbuat apa-apa untuk melarang gadis itu, akhirnya Mrs.
Fat kembali melanjutkan pekerjaannya.
Maria sangat senang dapat melakukan apa yang telah dinanti-
nantikannya selama ia terbaring di tempat tidur.
Dengan hati yang riang, ia membersihkan Ruang Perpustakaan
sementara Mrs. Fat membersihkan ruang yang lain.
Ruang Perpustakaan tampak semakin lenggang dari terakhir kalinya
Maria memasuki ruangan itu, sebelum ia jatuh sakit. Rak buku yang berjajar
di dinding sudah tidak sebanyak dari saat terakhir kalinya Maria memasuki
ruangan itu.
Dengan sedih, ia memandang buku-buku yang semakin langka di Ruang
Perpustakaan. Rasanya aneh Ruang Perpustakaan besar tapi tanpa buku yang
banyak. Tanpa diberi tahu, Maria dapat menduga perginya buku-buku itu.
Entah digunakan untuk apa buku-buku itu oleh Baroness Lora tapi Maria
percaya wanita itu tidak mengambil buku-buku itu dari Ruang Perpustakaan
untuk dibaca.
Tidak mungkin wanita itu meluangkan waktunya yang sangat berharga
untuk membuka buku-buku kuno yang kebanyakan berupa sejarah keluarga
Sidewinder serta mitos-mitos yang ada di Kerajaan Zirva.
Bagi Baroness Lora serta putrinya, Lady Debora buku itu tidak berharga,
tetapi bagi Maria yang senang membaca buku, buku-buku itu sangat berarti.
Satu per satu dibukanya buku-buku yang tersisa dan dibersihkannya
dari debu yang melekat dengan hati-hati.
Pada saat membersihkan rak yang terakhir, Maria melihat sebuah buku
kuno. Dengan hati-hati dibersihkannya sampul buku itu dari debu.116
Judul buku itu tertulis dalam bahasa yang aneh, namun Maria dapat
membacanya. ‘Mitos-mitos terkenal Kerajaan Zirva’ demikian judul buku itu.
Maria merasa ia pernah membaca buku itu. Walaupun Maria masih
dapat mengingat isi buku itu, tetapi ia tetap mengambil buku itu dari Ruang
Perpustakaan. Ia tidak ingin buku itu menghilang dari Ruang Perpustakaan,
seperti buku-buku lainnya.
Dibukanya buku kuno itu. Lembaran-lembaran buku yang telah
menguning itu terasa lembab. Semua tulisan yang berada di lembaran itu
tertulis dalam tulisan yang aneh menyerupai tulisan Mesir Kuno.
Maria mencoba mengingat di mana ia pernah membaca buku itu dan
mengapa ia dapat memahami bahasa yang digunakan di buku yang telah
berusia puluhan tahun itu.
Sekali lagi gadis itu berusaha menyingkapkan kegelapan yang menutupi
masa lalunya.
Suara pintu yang berderit membuat Maria menyadari tempat ia berada
saat ini. Ia memandang ke arah pintu dan melihat Mrs. Vye muncul dari balik
pintu kayu yang berukir seekor ular sedang meremukkan mangsanya dengan
lilitan tubuhnya.
“Temuilah Tuan Puteri, Maria. Ia sudah bangun,” kata Mrs. Vye.
“Baik, Mrs. Vye,” kata Maria.
Mrs. Vye mendekati Maria dan melihat buku yang berada di tangan
gadis itu. Wanita itu mengambil buku itu dari tangan Maria.
“Buku apa ini?” tanyanya sambil mengamati buku itu.
“Buku itu merupakan kumpulan naskah kuno yang bercerita mengenai
mitos-mitos yang terkenal di Kerajaan Zirva termasuk mitos yang ada di
Obbeyville,” jawab Maria.
“Tulisan buku ini aneh sekali. Seperti bukan tulisan saja, tetapi berupa
gambar,” kata Mrs. Vye, “Mengapa engkau membawa buku ini?”
“Saya bermaksud membacanya sebelum buku itu menghilang seperti
buku-buku lainnya.”
“Engkau mengerti bahasa yang digunakan buku ini?” tanya Mrs. Vye
terkejut.
Maria menganggukkan kepalanya.
“Dari mana engkau mempelajarinya?”
“Saya tidak dapat mengingatnya, Mrs. Vye,” kata Maria, “Di manakah
saya dapat menjemur buku ini?”117
“Engkau dapat meletakkannya di jendela itu. Untuk apa engkau
menjemurnya, Maria?”
“Kertas buku ini telah menguning dan lembab. Saya harus
menjemurnya dulu agar buku ini tidak rusak bila saya membukanya.”
“Aku akan menjemurnya. Pergilah menemui Tuan Puteri,” kata Mrs.
Vye, “Sarapan Tuan Puteri telah kuantarkan, engkau tidak perlu pergi ke
dapur.”
“Terima kasih, Mrs. Vye. Saya akan menemui Lady Debora sekarang.”
Maria bergegas menuju kamar Lady Debora. Ia tidak tahu apa yang
telah menantinya di sana, tetapi ia dapat menduga Lady Debora akan marah
padanya karena telah melalaikan tugas selama beberapa hari.
Ketika sampai di ujung tangga, Maria bertemu Baroness Lora. Ia
berhenti untuk memberi hormat pada wanita itu.
“Apa yang kaulakukan sehingga tidak datang selama beberapa hari?”
tanya Baroness Lora marah.
“Maafkan saya, Yang Mulia. Saya harus beristirahat selama beberapa
hari,” jawab Maria tenang menghadapi kemarahan Baroness Lora yang
memuncak.
“Segera temui putriku. Ia pasti telah menantimu,” kata Baroness Lora
tanpa mempedulikan jawaban Maria seolah-olah jawaban itu tidak ada artinya
baginya.
Dan memang demikian, Baroness Lora tidak mau menghiraukan
keadaan Maria. Yang ia ingin ketahui adalah Maria melaksanakan tugasnya
dengan baik.
Sekali lagi Maria membungkuk hormat pada Baroness Lora sebelum ia
meninggalkan wanita yang masih memedam kemarahannya itu.
Baroness Lora tidak pernah mau berbicara terlalu lama dengannya.
Entah apa yang menyebabkan wanita itu sangat menjauhi Maria. Setiap kali
mereka bertemu, Baroness Lora selalu terlihat seperti berusaha menghindar
dari gadis itu.
Bila Baroness Lora mengajak Maria bercakap-cakap, kata-kata wanita
itu selalu terdengar kasar dan menyakitkan hati, tetapi Maria tidak pernah
menghiraukan kata-kata yang menyakitkan hati itu.
Sikap permusuhan Baroness Lora terhadap dirinya membuat Maria
merasa ia telah melakukan kesalahan besar terhadap wanita itu tanpa
mengetahui kesalahan apa yang telah diperbuatnya.118
Maria mengetuk perlahan pintu kamar Lady Debora.
Setelah mendapat jawaban dari Lady Debora, Maria memasuki kamar
itu.
Lady Debora memandang enggan bercampur kesal kepada Maria dari
tempat tidurnya.
Mengetahui apa yang dirasakan wanita itu, Maria segera berkata,
“Maafkan saya. Beberapa hari yang lalu saya jatuh sakit sehingga saya tidak
dapat melayani Anda.”
“Tidak ada gunanya engkau meminta maaf sekarang,” kata Lady
Debora marah, “Sekarang cepat ambil nampan ini dan kerjakan tugasmu.”
Maria yang telah terbiasa dengan perintah-perintah Lady Debora segera
melakukan apa yang diinginkan wanita itu darinya.
Setelah mengambil nampan dari pangkuan wanita itu, ia segera
membuka tirai yang berada di samping tempat wanita itu berbaring.
Dengan cekatan, Maria merapikan kamar Lady Debora. Gaun-gaun yang
berserakan di meja yang terletak di tengah ruangan itu dirapikannya pula.
Tiap gaun dilipatnya dengan rapi dan ditumpuk menjadi satu. Dan
seperti gaun-gaun Lady Debora yang lain, gaun-gaun itu juga tampak mewah
dengan hiasan mutiara atau permata atau sulamannya yang berwarna
terang.
Di antara gaun-gaun itu, Maria melihat sebuah gaun yang berwarna
hijau yang menarik perhatiannya.
Gaun hijau itu sangat berbeda dengan gaun-gaun Lady Debora yang
lainnya. Gaun yang berwarna hijau daun itu, tidak bertaburan muntiara atau
yang lain. Gaun itu bentuknya sederhana.
“Buanglah gaun hijau itu dan yang lainnya berikan pada Mrs. Vye.
Katakan kepada Mrs. Vye agar segera mencuci gaun-gaun yang lainnya. Aku
ingin segera mengenakannya kembali,” kata Lady Debora ketika Maria mulai
merapikan gaun itu.
“Baik, Tuan Puteri,” kata Maria.
Maria segera meninggalkan kamar itu dengan nampan di tangan
kanannya dan gaun-gaun di tangannya yang lain.
Ketika sedang menuruni tangga kayu dengan hati-hati, Mrs. Dahrien
muncul dari balik pintu kamar Baroness Lora.
Maria menghentikan langkah kakinya dan menyapa Mrs. Dahrien.
“Selamat siang, Mrs. Dahrien.”119
“Selamat siang, Maria. Mari kubantu membawakan barang-barang itu,”
kata Mrs. Dahrien sambil mengambil nampan dari tangan Maria.
“Terima kasih, Mrs. Dahrien.”
“Gaun-gaun itu hendak kau bawa ke mana?” tanya Mrs. Dahrien ketika
melihat tumpukan gaun di tangan Maria.
“Tuan Puteri mengatakan gaun-gaun ini harus diserahkan pada Mrs.
Vye.”
“Dan Tuan Puteri mengatakan Mrs. Vye harus segera mencuci gaun-
gaunnya itu?”
Maria tersenyum pada Mrs. Dahrien yang tampak marah. “Seperti yang
Anda ketahui,” kata Maria menanggapi kata-kata Mrs. Dahrien.
Mrs. Dahrien mengeluh dan berkata dengan kesal,
“Yang Mulia dan Tuan Puteri sama saja. Setiap pagi mereka selalu
memberi tumpukan gaun yang harus segera dicuci. Entah apa yang mereka
pikirkan. Apakah mereka tidak menyadari bahwa kami sudah terlalu tua untuk
melakukan pekerjaan dengan cepat.”
“Walaupun Mrs. Vye seorang yang lincah, tetapi ia sudah tidak muda
lagi. Mrs. Vye tidak akan dapat menyelesaikan tugas yang diberikan Tuan
Puteri itu.”
“Saya mengerti akan hal itu, Mrs. Dahrien. Saya telah memutuskan
untuk membantu Mrs. Vye, seperti saya membantu kalian,” kata Maria.
“Memang itu merupakan keputusan yang bijaksana, Maria. Tetapi
engkau tidak patut melakukan itu. Seharusnya engkau mendapatkan segala
sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kauterima saat ini.”
“Apa yang saya dapatkan saat ini lebih baik dari yang saya berani saya
harapkan.”
“Tidak, Maria. Engkau seharusnya tidak perlu menjadi pelayan, engkau
seharusnya mendapat perlakuan yang lebih baik dari mereka agar dapat
memulihkan ingatanmu.”
“Saya merasa lebih baik saya bertemu dengan orang yang baik seperti
Anda daripada bertemu orang kaya. Untuk apa saya menyukai orang kaya
bila saya tidak merasa bahagia,” kata Maria.
“Apa yang kaukatakan itu memang benar, Maria. Tetapi apa yang
dikatakan Mrs. Vye mungkin benar. Engkau mungkin seorang putri
bangsawan,” kata Mrs. Dahrien bersikeras.
“Mrs. Dahrien, saat ini saya tidak mengetahui diri saya di masa lalu. 120
Yang saya ketahui adalah saat ini saya berada di Obbeyville.”
“Memang saat ini engkau berada di Obbeyville sebagai pelayan. Tetapi
pekerjaan itu tidak cocok untukmu, Maria. Menurut pendapatku, engkau
seharusnya mendapatkan yang lebih baik dari ini.”
“Sudahlah, Mrs. Dahrien. Jangan Anda pikirkan hal itu. Siapa pun saya di
masa lalu, saya tetap merasa senang dengan apa yang saya terima saat ini.
Biarkanlah waktu membuktikan apakah yang dikatakan Mrs. Vye benar atau
tidak. Sekarang saya hanya dapat berusaha memulihkan ingatan saya sambil
menjalani apa yang telah ditetapkan para dewa bagi saya.”
“Engkau terlalu baik dan bijaksana, Maria. Engkau selalu memandang
semua hal dengan kedua matamu.”
Maria tersenyum mendengar pujian itu, “Saya tidak sebijaksana yang
Anda katakan, Mrs. Dahrien. Saya hanya mengatakan apa yang ada di pikiran
saya. Saya selalu berusaha tidak hanya menuruti kata hati saya tetapi juga
pikiran saya.”
“Orang seperti itulah yang disebut bijaksana. Orang bijaksana tidak
hanya memandang suatu masalah dari satu sisi tetapi dari banyak sisi.”
“Saya berharap saya bisa sebijaksana yang Anda katakan, Mrs. Dahrien.
Saya harus belajar banyak agar menjadi bijaksana.”
Mrs. Dahrien ingin mengatakan sesuatu ketika Mrs. Fat tiba-tiba muncul
di dapur.
Mrs. Fat terlihat sangat kagum seperti baru melihat sesuatu yang
sangat luar biasa.
“Luar biasa, Maria. Sangat luar biasa,” kata Mrs. Fat.
“Apakah yang terjadi, Mrs. Fat?” tanya Mrs. Dahrien tidak mengerti.
“Segera temui Mrs. Vye di pondoknya, Maria. Ada kejutan untukmu,”
kata Mrs. Fat.
“Apa yang kaukatakan, Mrs. Fat? Engkau seperti bergurau.”
“Tidak, Mrs. Dahrien. Saya tidak bergurau, ini memang benar-benar luar
biasa. Baru saja ada kereta yang mengirimkan sesuatu untukmu, Maria.
Kereta itu sangat indah, jauh lebih indah dari kereta keluarga ini”
“Cepat temuilah Mrs. Vye di pondoknya, Maria. Jangan khawatir
mengenai Tuan Puteri, saya akan melayaninya,” kata Mrs. Dahrien tidak kalah
kagumnya dengan Mrs. Fat.
Maria teringat pada kata-kata Al. Tadi pagi pria itu mengatakan tentang
kiriman. Ia menduga kiriman inilah yang dimaksudkan pria itu.121
Mrs. Fat mengambil tumpukan gaun di lengan Maria.
Setelah berpamitan pada kedua wanita yang masih kagum pada
kiriman yang diperuntukkan baginya, Maria segera menuju pondok Mrs. Vye.
Dalam perjalanan menuju pondok mungil Mrs. Vye, Maria terus
memikirkan mengenai kiriman itu. Ia tidak dapat menebak apa yang
dikirimkan oleh Al.
Mrs. Vye duduk di dapur sambil memandangi sebuah kotak yang besar
di atas meja. Kotak besar itu hampir menutupi seluruh permukaan meja dapur
Mrs. Vye yang kecil.
Wanita itu menoleh ketika Maria mendekat.
“Lihatlah kotak ini, Maria! Aku tidak tahu siapa yang megnirimkannya
tetapi aku merasa isi kotak ini sangat luar biasa,” kata Mrs. Vye bersemangat,
“Bukalah kotak itu, Maria.”
Maria segera membuka kotak itu. Ia dan Mrs. Vye sama-sama terkejut
ketika melihat isi kotak itu.
“Indah sekali gaun ini, Maria. Gaun ini sehalus gaun yang kaukenakan
sewaktu aku menemukanmu. Tuan Puteri pasti akan iri bila melihat gaun ini,”
kata Mrs. Vye sambil menyentuh gaun itu.
Secarik surat terjatuh ketika Maria mengeluarkan gaun merah muda itu
dari kotak.
Mrs. Vye memungut surat itu dan memberikannya pada Maria.
Maria meletakkan kembali gaun itu ke kotaknya sebelum ia menerima
surat yang beramplop putih itu dari tangan Mrs. Vye. Kemudian dengan
ketenangan yang membuat Mrs. Vye merasa bingung, ia membuka surat itu.
Seperti yang diduga Maria sebelumnya, isi surat itu pendek tetapi cukup
jelas menyatakan maksudnya mengirimkan gaun yang cantik itu. Dan tepat
seperti yang diduganya sebelumnya, surat itu dan gaun itu dari Al.
Kini mengertilah Maria pada kata ‘kiriman’ yang dikatakan pria itu tadi
pagi.
“Apa isi surat itu, Maria?” tanya Mrs. Vye ingin tahu.
Maria membaca surat itu untuk Mrs. Vye.
Bidadariku yang cantik,
Kuharap engkau menyukai gaun ini dan sudi mengenakannya dalam
pesta nanti sore. Aku akan menjemputmu tepat pukul lima petang.
122
Al
“Rupanya Tuan Muda benar-benar menyukaimu, Maria. Ia bahkan
mengirim sebuah gaun yang sangat indah untuk kaukenakan di pesta dansa
sore hari ini,” kata Mrs. Vye.
“Ia terlalu baik. Saya merasa tidak pantas mendapatkan ini semua,”
kata Maria.
“Tidak, Maria. Engkau pantas mendapatkannya,” kemudian dengan
nada bersalah, Mrs. Vye meneruskan, “Yang tidak pantas adalah engkau
harus menjadi pelayan Tuan Puteri,”
“Jangan sedih, Mrs. Vye. Saya merasa sangat senang dapat berjumpa
dengan Anda. Jangan risaukan lagi masalah itu.”
Sebelum Mrs. Vye berkata, Maria telah mendahuluinya,
“Dan jangan risaukan masa lalu saya. Saya tidak tahu siapa diri saya di
masa lalu. Yang saya ketahui adalah saya berada di sini sambil berusaha
memulihkan ingatan saya.”
“Kau benar, Maria. Tuhan menentukan dan manusia menjalaninya
sambil terus berusaha,” kata Mrs. Vye membenarkan kata-kata Maria.
“Itulah yang hendak saya katakan, Mrs. Vye.”
“Sekarang mari kita coba gaun yang dibelikan Tuan Muda untukmu,”
kata Mrs. Vye dengan bersemangat melihat gaun yang berada di kotak.
Wanita itu mengeluarkan gaun itu dari kotak dan semakin mengagumi
gaun itu ketika ia membentangkan gaun itu di hadapannya.
Kain gaun yang berwarna merah muda itu berkilau-kilau tertimpa sinar
matahari yang masuk melalui jendela.
Gaun itu mirip gaun biru yang dikenakan Maria sewaktu ia pergi melihat
matahari terbit bersama Al dan Mrs. Vye.
“Gaun ini mirip sekali dengan gaun biru yang kaukenakan waktu itu,”
kata Mrs. Vye.
“Ya, Mrs. Vye. Gaun ini sangat mirip hanya kainnya yang berbeda. Kain
ini lebih halus dari gaun biru itu dan gaun ini dilengkapi dengan sarung
tangannya yang panjang yang berwarna merah muda juga.”
Mrs. Vye terkejut seolah tidak percaya pada kata-kata Maria. Ia melihat
ke dasar kotak dan melihat masih ada sepasang sarung tangan berwarna
merah muda yang terletak dengan rapi di dasarnya dan secarik syal warna
putih yang transparan.
Ia meletakkan gaun itu di meja dan mengambil sarung tangan serta 123
syal itu.
Dari cara Mrs. Vye memandang kedua benda itu, Maria tahu Mrs. Vye
kagum pada gaun pemberian Al.
“Gaun ini benar-benar luar biasa. Engkau pasti tampak semakin cantik
dengan gaun ini,” kata Mrs. Vye sambil membentangkan syal putih yang lebar
dan panjang itu.
“Rupanya Tuan Muda sangat memperhatikan engkau, Maria. Ia tidak
lupa mengirimkan syal beserta gaun ini agar engkau tidak kedinginan,” kata
Mrs. Vye, “Walau syal ini tidak setebal yang kuharapkan, tetapi syal ini akan
cukup menghangatkanmu dan membuatmu semakin cantik.”
“Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan pada Al mengenai gaun
ini. Gaun ini lebih indah dari yang saya bayangkan.”
“Jangan berkata seperti itu, Maria. Gaun ini memang cocok untukmu.”
“Saya berharap demikian,” kata Maria lirih sambil terus memandangi
gaun yang diletakkan Mrs. Vye di meja.
“Aku akan merapikan gaun ini agar siap engkau kenakan nanti sore.”
“Bagaimana nanti saya dapat menghindari Lady Debora dan Baroness
Lora?” tanya Maria tiba-tiba.
“Apa maksudmu?” tanya Mrs. Vye tak mengerti.
“Baroness Lora dan Lady Debora pasti juga hadir di pesta tersebut dan
bagaimana saya bisa menghindari mereka?”
“Jangan khawatir, Maria. Aku akan membuatmu semakin cantik
sehingga mereka tidak akan dapat mengenalimu.”
“Saya khawatir hal itu tidak dapat mengelabuhi mata Baroness Lora
yang jeli. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan adalah menghindari
mereka selama di pesta itu.”
“Mungkin itu yang terbaik yang engkau dapat lakukan. Aku sendiri
sangsi apakah kita dapat mengelabuhi mata Yang Mulia.”
“Hanya itu yang dapat saya lakukan. Saya harap Al mengerti.”
“Jangan khawatir, Maria. Ia akan mengerti. Tuan Muda orang yang
penuh pengertian,” kata Mrs. Vye, “Sekarang engkau hendak melakukan
apa?”
“Saya harus kembali ke Sidewinder House. Saya khawatir Lady Debora
sedang marah-marah saat ini.”
Mrs. Vye tertawa. “Ya, ia pasti marah-marah bila tahu engkau
meninggalkan rumah itu. sekarang pergi dan temuilah dia.”124
Maria meninggalkan Mrs. Vye tepat ketika Ityu datang mendekat.
“Ada apa, Ityu?” tanya Maria pada anak itu.
“Saya ingin bertanya apakah Anda dapat memintakan ijin untuk saya
kepada orang tua saya. Mereka mengatakan saya telah boleh mengganggu
Anda, itu tidak benar bukan?”
“Tidak, Ityu. Engkau tidak menggangguku. Saya merasa senang sekali
dapat meluangkan waktu untuk menceritakan mitos-mitos itu kepadamu,”
kata Maria.
“Benarkah? Dapatkah Anda mengatakan hal itu kepada orang tua saya?
Mereka tidak akan percaya bila saya yang mengatakannya.”
“Maafkan saya, Ityu. Saya tidak dapat menemui orang tuamu hari ini
karena hari ini saya sibuk sekali. Saya berjanji akan menemui mereka besok
pagi.”
“Saya akan senang sekali bila Anda tidak ingkar janji.”
“Saya tidak pernah mengingkari janji saya,” kata Maria meyakinkan.
“Sungguh? Apakah Anda mengetahui rumah saya?”
“Tentu. Rumahmu terletak di dekat sungai itu, bukan? Kata Mrs. Vye,
ayahmulah yang membantunya ketika Mrs. Vye menemukan saya. Saya juga
harus berterima kasih padanya.”
“Saya menunggu kedatangan Anda besok pagi.”
“Berjanjilah kepadaku, Ityu. Engkau tidak akan mengatakan kepada
orang tuamu bahwa besok pagi aku akan datang berkunjung.”
“Baiklah tetapi mengapa?”
“Saya ingin memberi kejutan kepada mereka.”
Ityu menganggukkan kepalanya kemudian berlari senang meninggalkan
Maria.
Setelah anak itu menghilang, Maria melanjutkan perjalanannya ke
Sidewinder House.
Sepanjang jalan ia tidak dapat berhenti memikirkan bagaimana bila ia
bertemu dengan Baroness Lora maupun putrinya di pesta dansa itu.
Ia tahu Baroness Lora dan Lady Debora selalu diundang dalam pesta-
pesta terutama bila pesta itu diadakan di Blueberry. Hampir tidak ada suatu
pesta pun tanpa mereka berdua. Karena itu ia sangsi mereka berdua tidak
hadir dalam pesta dansa nanti sore.
Walaupun belum pernah ke pesta dansa itu, Maria tahu pesta dansa itu
pasti bukan pesta dansa sembarangan. Ia merasa yakin banyak orang 125
terkenal yang akan diundang dalam pesta itu.
Tidak ada seorang pun yang menceritakan kepadanya bagaimana rupa
pesta itu, tetapi Maria dapat membayangkan pesta itu akan berlangsung
meriah menilik gaun yang dikirim Al. Menurutnya, gaun itu terlalu mewah bila
dikenakan untuk pesta dansa biasa.
Ia menduga Lady Debora akan sangat sibuk mempersiapkan dirinya
sendiri untuk pergi ke pesta dansa itu seperti hari-hari lainnya.
Dapat dibayangkannya Mrs. Dahrien sedang kerepotan melayani Lady
Debora dan Baroness Lora. Dan ia merasa bersalah telah meninggalkan
Sidewinder House terlalu lama.
Dan benarlah dugaannya itu, Mrs. Dahrien dan Mrs. Fat dibuat
kerepotan oleh dua wanita itu.
Ketika ia datang, didengarnya Baroness Lora sedang marah-marah
karena tidak ada gaun yang mewah yang dapat memenuhi keinginannya
untuk tampil mewah di pesta dansa keluarga Al.
Lady Debora lebih merepotkan lagi. Wanita itu sibuk membongkar
almari pakaiannya untuk mencari gaun yang mewah sambil mencari
perhiasan yang akan dikenakannya dalam pesta itu. Didengarnya juga Lady
Debora kebingungan akan tatanan rambutnya.
Melihat kebingungan Maria dan Lady Debora yang bagai menghadapi
bencana yang datang tiba-tiba, Maria dapat menduga keluarga Al adalah
keluarga yang cukup berpengaruh di Blueberry.
Lady Debora tidak mempedulikan kedatangan Maria di kamarnya, ia
terus membongkar kamarnya dan terus mencari gaun yang akan
dikenakannya di pesta itu.
“Tuan Puteri, serahkan urusan gaun itu pada saya. Saya akan
membuatkan gaun yang berbeda dari gaun-gaun Anda yang lain,” kata Maria.
Lady Debora membelalakkan matanya pada Maria, “Jangan bercanda!
Sekarang bantu aku mencari gaun yang cocok untuk kukenakan dalam pesta
dansa nanti sore.”
“Saya tidak bercanda. Saya dapat menyediakannya dengan cepat
lagipula saya tidak akan merubah gaun itu, saya hanya akan menambahkan
beberapa hiasan yang akan membuat gaun itu menjadi semakin cantik,” kata
Maria meyakinkan Lady Debora.
Lady Debora yang telah putus asa akhirnya berkata, “Kerjakan
sekarang juga! Dan aku ingin gaun itu telah siap sebelum pukul empat sore 126
hari ini juga.”
Maria mengundurkan diri dari kamar Lady Debora yang berantakan dan
mulai mencari barang yang dibutuhkannya di Sidewinder House yang besar.
Seperti yang telah diduganya, barang-barang itu disimpan Mrs. Vye di
ruangan yang sama dengan gaun-gaun Baroness Lora dan Lady Debora yang
mereka buang.
Setelah menemukan apa yang dicarinya, Maria duduk di dapur dan
mulai mengerjakan gaun hijau yang hendak dibuang Lady Debora hari ini.
Ia duduk seorang diri di sana. Tidak ada yang tahu apa yang
dikerjakannya dengan gaun hijau daun itu.
Mrs. Vye sedang sibuk menyiapkan gaun untuk Maria sedangkan Mrs.
Fat dan Mrs. Dahrien sibuk melayani Baroness Lora dan Lady Debora yang
seperti menghadapi bencana yang datangnya tiba-tiba. Dan seperti biasanya,
Mr. Liesting sibuk dengan halamannya.
Kedua wanita itu masih terdengar marah-marah ketika Maria mulai
mengerjakan gaun itu.
Ketika keributan kedua wanita itu telah mereda. Maria masih sibuk
menyelesaikan gaun itu. ia mengerjakan gaun itu dengan tenang tanpa
terburu-buru tetapi dengan kecepatan yang sangat menakjubkan.
Diam-diam, Maria membayangkan reaksi Mrs. Vye serta dua wanita
lainnya yang kini sedang sibuk menghadapi ‘perang’ Baroness Lora dan Lady
Debora, bila melihat apa yang dilakukannya dengan gaun itu.
Seperti yang telah dikatakan Maria sebelumnya, ia tidak mengubah
gaun hijau daun itu. Ia hanya menambahkan beberapa sulaman yang halus di
ujung gaun itu dan itu membutuhkan waktu yang tidak lama.
Tepat ketika Maria menyelesaikan sulaman terakhir, Mrs. Fat dan Mrs.
Dahrien muncul di dapur dan berseru terkejut melihat apa yang dilakukan
Maria pada gaun hijau daun yang polos itu.
“Engkaukah yang menyulam ini?” tanya Mrs. Fat sambil meraih ujung
gaun itu.
“Siapa lagi bila bukan dia, Mrs. Fat?” kata Mrs. Dahrien, “Lihatlah jarum
dan benang-benang itu.”
Mrs. Fat tidak melihat arah yang ditunjuk Mrs. Dahrien, wanita itu terus
mengagumi pekerjaan Maria. “Bagaimana engkau melakukannya, Maria?
Sulaman ini halus sekali. Bila engkau mau, ajarilah aku caranya,” katanya.
“Mengapa engkau memberikan gambar ular, Maria?” tanya Mrs. 127
Dahrien.
“Karena ular itu lambang keluarga ini dan saya merasa hanya itulah
satu-satunya gambar yang tepat untuk diletakkan di gaun hijau daun itu.”
“Ya, engkau memang pandai. Ular itu tampak semakin hidup dengan
gaun hijau itu. Aku yakin Tuan Puteri merasa sangat senang bila ia menerima
gaun ini. Gaun ini bukan untuk dia, bukan?”
“Sayang sekali, Mrs. Dahrien. Gaun itu saya buat untuk Tuan Puteri,”
kata Maria.
“Sayang sekali. Aku merasa gaun ini akan lebih cocok untuk kulitmu
yag putih itu,” kata Mrs. Dahrien, “Aku merasa Mrs. Vye memang benar.
Engkau memiliki kecantikan dan keanggunan seorang putri bangsawan.”
“Saya tidak tahu harus mengatakan apa mengenai hal itu, Mrs. Dahrien.
Karena saat ini saya tidak dapat mengingat masa lalu saya. Saya hanya
berharap saya akan segera dapat mengingat kembali masa lalu saya dan
menilai pendapat Anda berdua. Apakah saya seorang bidadari atau seorang
putri bangsawan atau yang lain?” kata Maria sambil memberikan
senyumannya yang paling manis yang pernah dilihat kedua wanita itu.
“Engkau seorang putri bangsawan yang berjiwa bagai bidadari,” kata
Mrs. Dahrien membalas senyuman Maria.
“Saya khawatir tidak ada orang yang seperti itu, Mrs. Dahrien,” kata
Maria , “Tidak ada orang yang sempurna di dunia ini.”
“Memang tidak ada orang yang sempurna di dunia ini. Tidak ada
seorang pun yang tidak berdosa. Tetapi aku yakin engkau tidak banyak
melakukan perbuatan yang salah.”
“Saya khawatir Anda salah dalam hal ini, Mrs. Dahrien. Mungkin saja di
masa lalu saya telah membuat banyak dosa,” kata Maria.
Mrs. Dahrien tertawa seolah-olah menertawakan dirinya sendiri. “Tiap
kali aku memujimu, selalu aku tidak dapat memujimu seperti yang ingin
kulakukan. Engkau selalu merendahkan diri dan membuat aku merasa sukar
mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kekagumanku padamu,
Maria.”
“Saya berharap Anda tidak terlalu mengagumi saya seperti penduduk
Obbeyville yang menganggap saya sebagai orang yang suci.”
“Mereka akan selalu begitu, Maria. Engkau sangat tepat untuk disebut
sebagai orang yang suci,” kata Mrs. Dahrien.
Mrs. Dahrien tidak dapat menghentikan senyum gelinya pada dirinya 128
sendiri karena ia tahu Maria akan merendahkan diri lagi dengan kata-kata
yang sopan yang membuatnya kesulitan mengungkapkan kekagumannya.
Dan seperti yang telah diduga Mrs. Dahrien, Maria berkata, “Saya lebih
khawatir disebut sebagai orang yang suci. Saya khawatir kelak saya akan
mengecewakan sebagai orang yang suci.”
Mrs. Dahrien tidak mengatakan apa-apa, ia hanya tertawa geli.
Maria tahu Mrs. Dahrien sedang menertawakan dirinya sendiri dan ia
tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat menatap sinar kegelian di mata
wanita tua itu.
“Coba kenakanlah gaun ini, Maria,” kata Mrs. Fat yang dari tadi
mengagumi gaun hijau itu.
“Maafkan saya. Saya tidak dapat melakukannya, saya harus segera
menyerahkan gaun ini kepada Tuan Puteri.”
“Sayang sekali,” keluh Mrs. Fat sambil menyerahkan gaun itu kepada
Maria.
Setelah merapikan gaun itu, Maria berpamitan kepada kedua wanita itu
dan menemui Lady Debora.
Seperti yang telah dikatakan Mrs. Dahrien, Lady Debora sangat senang
ketika menerima gaun itu dari Maria.
Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi senyum kegembiraan yang penuh
kemenangan di wajahnya membuat Maria mengetahui bahwa wanita itu
sangat senang namun tidak berniat menampakkan kegembiraannya itu
padanya.
129
8
Baroness Lora dan Lady Debora sangat sibuk sejak makan siang.
Mereka kembali marah-marah sambil mempersiapkan dirinya untuk hadir
dengan cantik dan anggun di pesta dansa sore itu.
Suara mereka yang bergema di sepanjang koridor depan kamar mereka
menunjukkan betapa mereka sangat menantikan saat ini terutama Lady
Debora.
Wanita itu terlihat sangat antusias menanti datangnya saat ini.
Sewaktu makan siang tadi, wanita itu tampak tidak sabar untuk segera
menghabiskan hidangan yang dibuat Mrs. Vye bersama Maria.
Baroness Lora yang melihat putrinya tampak terburu-buru berkata,
“Jangan terlalu bersemangat seperti itu.”
“Bagaimana aku tidak bersemangat, Mama? Aku sangat menantikan
pesta ini sejak undangannya kita terima. Aku ingin tampil cantik malam ini
dan aku akan membuat semua pria yang hadir terutama Alexander terpesona
padaku,” kata Lady Debora bersemangat.
Mrs. Vye yang mendengar pembicaraan mereka tersenyum.
“Tuan Puteri akan kalah cantik dari Maria,” bisiknya pada Mrs. Dahrien
yang berdiri di sampingnya.
“Apakah Maria juga akan hadir di pesta itu?” tanya Mrs. Dahrien
terkejut namun tetap berbicara dengan suara perlahan.
“Oh, ternyata aku telah menjadi pelupa akhir-akhir ini. Aku lupa
mengatakan padamu bahwa Maria diajak ke pesta itu dan kotak yang tadi
siang itu berisi gaun yang sangat indah untuk dikenakan Maria dalam pesta
itu.”
“Aku yakin Tuan Puteri akan sangat kecewa bila mengetahui ia tidak
dapat menjadi pusat perhatian,” bisik Mrs. Dahrien.
“Aku percaya engkau akan menjadi pusat perhatian di pesta itu,
anakku,” kata Baroness Lora dengan senyum penuh keyakinan, “Tidak ada
seorang pun yang dapat menandingi kecantikkanmu.”
“Tentu saja, Mama. Tidak akan ada orang yang dapat menandingi
kecantikkan yang kuwarisi dari Mama ini. Aku sangat bangga mempunyai 130
Mama yang cantik,” kata Lady Debora.
“Tentu saja, engkau harus bangga memiliki wajah yang cantik. Sedikit
sekali orang yang bisa mendapatkan perhatian dari banyak orang dengan
kecantikkannya.”
Mrs. Dahrien berbisik, “Maria lebih banyak mendapatkan perhatian
daripada Tuan Puteri bukan saja karena ia lebih cantik tetapi juga karena
kebaikan hatinya.”
Mrs. Vye menganggukkan kepalanya, “Ya, Maria sering berkata
kecantikan seseorang dinilai bukan saja dari wajahnya tetapi lebih pada
kecantikan hatinya.”
“Maria mengatakan itu?” tanya Mrs. Dahrien terkejut.
Mrs. Vye mengangguk lagi.
“Seharusnya aku telah menduganya, gadis itu memang berbeda dari
semua gadis yang pernah kukenal bahkan semua gadis keturunan keluarga
ini tidak ada yang pernah berkata seperti itu.”
“Bagiku ia tidak hanya memiliki kecantikan wajah saja tetapi juga
kecantikkan hati. Aku ingin tahu siapakah dia.”
“Tidak hanya engkau saja, Mrs. Vye. Semua orang juga berkata seperti
itu dan semua orang ingin mengetahui siapakah gadis itu. Apakah benar
gadis itu berasal dari Obbeyville?”
Kedua wanita tua itu kembali memperhatikan majikannya yang masih
sibuk menyelesaikan makan siangnya sambil bercakap-cakap.
“Aku tahu, Mama. Aku sangat beruntung,” kata Lady Debora.
“Ingat, putriku. Apapun yang terjadi engkau harus berusaha sedekat
mungkin dengan Alexander dan menarik perhatiannya. Engkau harus
berusaha mendapatkannya,” kata Baroness Lora mengingatkan putrinya.
“Tentu saja, Mama. Sejak dulu aku memang ingin mendapatkannya.
Aku akan membuktikan kepada semua orang bahwa akulah satu-satunya
orang yang dapat menguasai hati Alexander yang terkenal dingin itu.”
“Engkau juga harus dapat menarik perhatian orang tua Alexander. Aku
yakin bila orang tua Alexander menyukaimu, mereka juga akan membantumu
mendapatkan Alexander,” kata Baroness Lora.
“Tentu saja, Mama. Aku akan berusaha dengan cara apapun untuk
mendapatkan pria itu,” kata Lady Debora, “Dan sekarang, Mama. Ijinkanlah
aku untuk mempersiapkan diriku secantik mungkin.”
“Berdandanlah secantik mungkin,” kata Baroness Lora sambil 131
tersenyum.
Lady Debora segera meninggalkan Baroness Lora yang masih belum
menyelesaikan makan siangnya menuju kamarnya.
Di sana telah menanti Maria. Gadis itu masih sibuk merapikan kamar
yang dibuat berantakan oleh Lady Debora.
Ketika Lady Debora membuka pintu, ia menoleh dan tersenyum
padanya.
“Siapkan air mandiku sekarang juga. Aku ingin bersiap-siap sekarang,”
perintahnya pada Maria.
Maria segera melakukan apa yang diperintahkan Lady Debora.
Lady Debora sebenarnya kagum pada kesigapan Maria dalam
mengerjakan perintah-perintahnya namun ia enggan mengakuinya.
Ia mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa itu adalah keharusan
Maria sebagai pelayannya untuk selalu siap menerima perintah-perintahnya
dan mengerjakannya dengan baik.
Walaupun pada kenyataannya ia tidak hanya mengagumi kesigapan
Maria, namun ia enggan memuji Maria.
Ia masih tetap terpesona pada sulaman yang dibuat Maria pada gaun
hijaunya. Gaun itu yang semula tampak biasa di matanya kini tampak
menarik.
Gaun hijau itu sebenarnya pemberian seorang pria. Walaupun enggan
menerima gaun yang menurutnya ketinggalan jaman itu, tetapi ia tetap
menerimanya dengan tujuan menarik perhatian pria kaya itu.
Menurutnya, pria itu kaya tetapi tidak mengetahui selera wanita dan ia
berniat untuk membuka mata pria itu akan hal itu.
Lady Debora membuang pikirannya mengenai Maria dan mulai
memikirkan cara untuk mendapatkan perhatian Alexander.
Ia berniat mendapatkan hati pria yang terkenal sangat dingin kepada
wanita itu sejak ia bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu dalam pesta
yang sama.
Saat itu Alexander tidak memandangnya bahkan tidak memuji
kecantikkannya seperti pria-pria lainnya yang juga hadir di pesta itu.
Pria itu tidak sedikitpun meliriknya apalagi mengajaknya berdansa. Pria
itu hanya duduk di samping jendela yang terbuka sambil mengawasi setiap
orang yang sibuk di hadapannya.
Sejak ia tiba di pesta itu, ia tidak pernah melepaskan pandangannya 132
dari Alexander yang terlihat sangat angkuh itu.
Hal itu membuatnya geram dan sejak saat itu ia berkata kepada dirinya
sendiri bahwa ia akan mendapatkan hati pria itu bagaimanapun caranya.
Pada awalnya keinginan untuk mendapatkan hati pria itu sangat kuat.
Tetapi ketika ia menyadari betapa kayanya pria itu, ia lebih tertarik untuk
mendapatkan kekayaannya daripada hati pria itu sendiri.
Dan mulailah Lady Debora mendekati orang tua Alexander. Ia sangat
senang ketika orang tua Alexander memberinya sambutan yang hangat
dalam tiap pertemuan mereka. Ia menduga mereka menyukainya.
Lady Debora tidak mengetahui bahwa ia salah besar dalam hal itu.
Duke dan Duchess of Blueberry selalu menerima Lady Debora dengan
tangan terbuka karena mengingat hubungan kedua keluarga itu bukan karena
mereka menyukainya.
Setelah mengetahui skandal mereka berdua terutama Baroness Lora
setelah kematian Baron Marx Sidewinder, Duke dan Duchess of Blueberry
merasa enggan untuk bertemu mereka.
Tetapi hubungan kedua keluarga yang telah lama terjalin membuat
mereka selalu menerima kedua wanita itu dengan tangan terbuka.
Sebenarnya dalam pesta dansa kali ini, mereka juga enggan
mengundang keluarga Sidewinder. Namun karena mereka selalu
mengundang mereka dalam tiap pesta yang mereka selenggarakan, mereka
terpaksa mengundang Baroness Lora dan Lady Debora juga.
Duke dan Duchess of Blueberry sedikit banyak telah mengetahui
keinginan Lady Debora untuk merebut hati putra mereka. Mereka tidak
pernah mengatakan apa-apa kepada Alexander, tetapi mereka yakin
Alexander akan dapat menjauhkan dirinya dari wanita itu.
Lady Debora duduk di depan kaca sambil terus membayangkan pesta
itu sementara Maria menata rambutnya.
Maria yang telah mengetahui Lady Debora suka menata rambutnya
tinggi-tinggi, segera menata rambut merah wanita itu. Setelah ia
menyelesaikannya, ia segera memberi hiasan berupa lambang keluarga
Sidewinder yang berbentuk dua ekor ular Sidewinder yang saling melilitkan
badannya.
Lady Debora menatap puas bayangannya di cermin.
“Saya menyarankan Anda mengenakan kalung Anda yang bermata
jamrud hijau agar terlihat serasi dengan gaun Anda,” kata Maria.133
“Akan lucu sekali kelihatannya. Serba hijau seperti rumput liar,” kata
Lady Debora mengejek namun di dalam hatinya ia merasa apa yang
dikatakan Maria benar.
“Tentu tidak, Tuan Puteri. Anda akan terlihat bagai bunga musim panas
yang indah bila Anda juga mengenakan kalung itu. Saya yakin semua pria
akan semakin tertarik melihat Anda datang dengan kesan serba hijau yang
cerah,” kata Maria.
“Percuma, Maria. Engkau tidak akan dapat membujukku untuk
mengenakan kalung itu. Aku tidak ingin tampil dengan satu warna malam ini.
Aku ingin terihat cantik, mengerti?” katanya dengan kasar.
“Anda akan terlihat sangat segar dan bersemi seperti musim semi bila
Anda megenakan kalung itu juga dan Anda akan terlihat semakin cantik. Bila
Anda tidak mempercayainya, Anda dapat mencobanya sekarang,” kata Maria.
Maria meraih kalung emas yang mengelilingi untaian jamrud-jamrud
hijau kecil yang membentuk nuansa dedaunan yang indah dan segar seperti
daun pepohonan di musim semi.
“Bagaimana pendapat Anda, Tuan Puteri?” tanya Maria setelah
memasangkan kalung itu.
Lady Debora pura-pura enggan melihat bayangannya di cermin.
Sebenarnya ia merasa kata-kata Maria benar. Ia melihat dirinya seperti bunga
musim semi yang segar dalam nuansa serba hijau itu.
Lady Debora berkata dengan malas, “Baiklah kali ini aku menurut
karena aku sudah tidak sabar segera tiba di pesta itu.”
“Jangan khawatir, Tuan Puteri. Mr. Liesting telah memanggil kereta
untuk Anda berdua,” kata Maria, “Anda dapat menunggu dengan tenang di
sini. Tak lama lagi Mr. Liesting akan datang.”
“ Aku juga berharap seperti itu. Aku tidak ingin terlambat,” kata Lady
Debora.
“Bila Anda mengijinkan, Tuan Puteri, saya ingin menemui Mrs. Vye di
dapur untuk menanyakan apakah Mr. Liesting telah tiba,” kata Maria.
“Pergilah.”
Maria membungkuk hormat sebelum meninggalkan kamar Lady Debora
dan segera menemui Mrs. Vye di dapur.
“Mengapa engkau lama sekali, Maria?” tanya Mrs. Vye cemas.
“Maafkan saya, Mrs. Vye. Saya harus membujuk Tuan Puteri.”
“Lupakan Tuan Puteri. Sekarang engkau harus segera bersiap-siap. Satu 134
jam lagi Tuan Muda akan menjemputmu,” kata Mrs. Vye.
“Apakah Mr. Liesting telah tiba?” tanya Maria.
“Belum, tetapi aku yakin tak lama lagi ia telah tiba. Sangat mudah
mencari kereta kuda sewaan di Obbeyville. Walaupun desa ini kecil, tetapi
banyak kereta kuda yang dapat ditemui di sini.”
“Saya harap Mr. Liesting tidak terlalu lama. Lady Debora terlihat sangat
tidak sabar, ia ingin segera tiba di pesta itu.”
Mrs. Vye tertawa. “Ia lebih tidak sabar segera mendapatkan gelar
sebagai Duchess of Blueberry daripada hadir di pesta itu. Tetapi ia tidak akan
berhasil.”
“Mengapa Anda yakin sekali? Saya dengar keluarga itu telah lama
bersahabat dengan keluarga Sidewinder.”
“Sudahlah, Maria. Sekarang mari kita mendandanimu dengan cantik
agar dapat menyaingi Lady Debora,” kata Mrs. Vye.
“Tanpa didandani, ia sudah lebih cantik daripada Tuan Puteri apalagi
bila ia didandani. Ia akan terlihat seperti bidadari yang baru turun dari Holly
Mountain,” kata Mrs. Dahrien yang muncul dari balik pintu dapur.
“Selamat sore, Mrs. Dahrien. Anda sudah selesai melayani Baroness
Lora?” kata Maria.
“Mereka baru saja berangkat,” kata Mrs. Dahrien.
“Oh, saya tidak mendengar kedatangan kereta kuda,” kata Maria.
“Mungkin karena tawa Mrs. Vye yang memenuhi ruangan kecil ini,” kata
Mrs. Dahrien.
“Ya, mungkin saja. Sekarang kita harus segera mendandanimu, Maria,”
kata Mrs. Vye.
“Aku akan membantumu, Mrs. Vye,” kata Mrs. Dahrien.
“Tidak perlu, saya bisa melakukannya sendiri,” kata Maria.
“Tidak apa-apa, Maria. Kami ingin mendandanimu secantik mungkin,”
kata Mrs. Dahrien.
“Mari kita pergi ke pondokku.”
“Aku jangan kalian lupakan,” kata Mrs. Fat yang tiba-tiba muncul di
ambang pintu.
Mrs. Fat mendekat. “Aku juga ingin membantu.”
“Tentu saja. Kita akan mendandani Maria secantik mungkin,” kata Mrs.
Vye.
Maria tersenyum, “Saya merasa seperti seorang putri raja yang 135
memiliki banyak pelayan.”
“Memang seharusnya engkau memiliki banyak pelayan yang siap
melayanimu. Bukan menjadi pelayan,” kata Mrs. Vye sambil membuka pintu
dapur yang menuju halaman Sidewinder House.
Maria merasa ketiga wanita itu lebih antusias daripada dirinya ketika
mereka mendandaninya.
Ketiga wanita itu sangat sibuk tanpa mempedulikan kata-kata Maria
yang melarang mereka untuk membantunya.
Karena tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah ketiga wanita tua
itu, akhirnya Maria menurut saja. Ia membiarkan ketiga wanita itu
memperlakukannya seperti putri raja yang harus didandani secantik mungkin.
Ketika mereka melepaskan sanggul Maria, Mrs. Fat berseru kagum.
“Rambutmu panjang sekali. Jauh lebih panjang dari yang aku
bayangkan,” kata Mrs. Fat.
“Engkau pasti seorang putri bangsawan, Maria. Walaupun rambutmu
sangat panjang, tetapi rambutmu terlihat sangat indah dan lembut,” kata Mrs.
Dahrien turut menimpali.
“Sudahlah. Sekarang apa yang akan kita lakukan dengan rambut
Maria?” kata Mrs. Vye menghentikan kata-kata kedua wanita itu.
Maria diam saja. Ia tahu apapun yang dikatakannya tidak akan didengar
oleh mereka. ia duduk dengan patuh menanti ketiga wanita itu.
“Bagaimana bila kita mengikatnya tinggi-tinggi kemudian
membentuknya menjadi gelungan-gelungan kecil,” kata Mrs. Fat.
“Itu terlalu sederhana, Mrs. Fat. Kita harus membuat Maria tampak
cantik.”
“Bagaimana bila kita menyanggul sebagian rambut atasnya dan
menggelung sisa rambutnya.”
“Apa maksudmu, Mrs. Dahrien?” tanya Mrs. Vye dan Mrs. Fat
bersamaan.
“Turutilah apa yang saya katakan,” kata Mrs. Dahrien sambil menyisir
rambut Maria.
Walaupun keheranan dan bingung, namun kedua wanita itu menurut
pada perintah-perintah Mrs. Dahrien.
Dan mereka sangat mengagumi hasil kerja mereka ketika mereka
akhirnya selesai menata rambut Maria.
“Berdirilah, Maria,” kata mereka serempak.136
Maria menurut. Ia berdiri di depan kaca dan memandangi bayangannya
sendiri.
Gaun merah muda itu tampak serasi dengan kulitnya yang putih.
Kulitnya terlihat lebih berseri dalam gaun itu.
Bahunya yang telanjang ditutupi sehelai syal putih yang tipis. Kedua
ujung syal yang panjang dan lebar itu terulur ke bawah.
Rambutnya yang selalu bersinar seperti sinar matahari pagi
membuatnya tampak semakin berseri.
Mrs. Vye menyampirkan ujung syal putih itu ke tangan Maria dan
berkata, “Engkau terlihat seperti bidadari yang baru turun dari Holly
Mountain.”
“Aku benar, bukan? Ia benar-benar sangat cantik jauh lebih cantik dari
biasanya.”
“Ia akan menjadi pusat perhatian di pesta itu,” kata Mrs. Fat.
Tiba-tiba Mrs. Vye tertawa, “Aku yakin bila penduduk Obbeyville melihat
Maria. Mereka akan segera berlutut kepadanya karena menduga ia adalah
bidadari yang baru turun dari Holly Mountain.”
“Engkau membuatku teringat pada Mr. Liesting, Mrs. Vye. Aku akan
memanggil Mr. Liesting. Aku yakin ia akan merasa senang melihat Maria,”
kata Mrs. Fat.
“Benar. Cepatlah, Mrs. Fat. Karena tak lama lagi Tuan Muda akan tiba,”
kata Mrs. Vye.
Sebelum Maria mencegah, Mrs. Fat telah berlari menuju Sidewinder
House. Ia hanya dapat memandangi punggung Mrs. Fat yang menghilang di
balik pintu.
“Sayang kita tidak memiliki perhiasan untuk menghiasi lehermu yang
cantik itu, Maria,” kata Mrs. Dahrien.
Mrs. Vye melihat kepada Maria dan terkejut menyadari Maria tidak
mengenakan kalung. “Ke mana kalungmu, Maria?” tanyanya.
“Saya menyimpannya, Mrs. Vye. Saya tidak ingin ada yang
mengetahuinya. Kalung itu sangat berharga bagi saya,” kata Maria.
“Apakah engkau mempunyai kalung, Maria?” tanya Mrs. Dahrien tak
percaya pada apa yang didengarnya.
“Sewaktu aku menemukannya, Mrs. Dahrien, ia tidak hanya
mengenakan gaun yang diambil Tuan Puteri tetapi juga seuntai kalung yang
sangat indah. Kalung paling indah yang pernah kulihat,” kata Mrs. Vye.137
“Engkau menyembunyikan kalung itu, Mrs. Vye?” tanya Mrs. Dahrien.
“Ya. Saya tidak memberi tahu mereka. Dan saya merasa beruntung
kalung itu tidak diambil oleh Tuan Puteri atau pun Yang Mulia. Sekarang
hanya kalung itulah satu-satunya barang Maria yang berhubungan dengan
masa lalunya.”
“Bolehkan aku melihat kalung itu, Maria?” tanya Mrs. Dahrien.
Maria belum menjawab ketika terdengar suara langkah kaki kuda
diiringi bunyi roda yang mendekat.
“Itu pasti Tuan Muda,” kata Mrs. Vye sambil menuju pintu.
Mrs. Dahrien mengikuti Mrs. Vye menyambut tamu yang baru datang
itu.
Maria yang kini tinggal sendirian di kamarnya merasa sedikit cemas
pada pesta dansa itu.
Ia khawatir akan bertemu dengan Lady Debora dan Baroness Lora di
pesta itu. Tetapi ia lebih khawatir Al akan kecewa bila melihatnya. Ia takut
pria itu tidak senang pada dandanannya.
Terdengar suara ketiga orang itu bercakap-cakap dengan perlahan
seolah-olah tidak ingin terdengar oleh Maria.
Maria terus duduk diam menanti sambil membuka buku yang
ditemukannya di Ruang Perpustakaan tadi pagi.
Maria merasa ia kembali ke masa lalunya ketika ia membuka buku itu.
Ia merasa ia pernah membaca buku itu, membaca sambil menanti seperti
saat ini.
Ia berusaha mengingat apakah yang sedang dinantikannya. Seseorang
ataukah yang lain. Tetapi ia tidak dapat mengiingatnya.
Sambil terus membuka halaman demi halaman buku itu, ia berusaha
mengingat masa lalunya yang berada di kegelapan.
“Mari, Maria.”
Kata-kata Mrs. Vye mengejutkan Maria. Ia menutup buku itu dan
memandangi Mrs. Vye.
“Tuan Muda menantikanmu,” kata Mrs. Vye sambil menggandeng
tangan Maria.
Maria menurut saja ketika ia dituntun Mrs. Vye. Saat itu pikirannya
masih berada di kegelapan masa lalunya dan mitos itu.
Ia masih belum kembali ke alam nyata ketika Mrs. Vye
menyerahkannya kepada Al. 138
“Jagalah Maria baik-baik, Tuan Muda,” kata Mrs. Vye.
“Tentu, Mrs. Vye. Saya akan menjaganya dengan baik. Percayakanlah ia
kepada saya.”
Suara Al yang ramah dan tegas membuatnya menyadari bahwa
sekarang ia berada di dekat pria itu.
Pria itu mengenakan pakaian malam yang berwarna hitam kebiru-
biruan yang membuatnya nampak semakin gagah dan tampan.
Al meraih tangan Maria yang terbalut sarung tangan yang panjangnya
hingga ke siku tangannya. Pria itu mendekatkan tangan Maria ke bibirnya dan
menciumnya dengan lembut.
Maria terkejut. Ia teringat kembali saat Al menciumnya untuk pertama
kalinya.
Walaupun ia tidak dapat mengingat masa lalunya, tetapi ia tahu ciuman
Al waktu itu adalah ciuman pertama baginya.
“Anda telah mendandaninya sangat cantik sehingga ia terlihat seperti
bidadari,” kata Al.
“Bidadari yang baru turun dari Holly Mountain,” kata Mrs. Dahrien
mengkoreksi.
“Kami ingin ia terlihat sangat cantik dalam pesta itu,” kata Mrs. Vye.
“Ia akan menjadi gadis yang paling cantik dalam pesta itu,” kata Al.
“Itulah yang kami harapkan, Tuan Muda,” kata Mrs. Dahrien.
“Saya khawatir Anda salah. Masih banyak wanita yang lebih cantik dari
saya,” kata Maria yang dari tadi diam saja.
“Secantik apa pun mereka. Engkaulah yang paling cantik, Maria,” kata
Al.
“Lebih baik kalian lekas berangkat daripada kalian terlambat,” kata Mrs.
Vye.
Al menuntun Maria menuju kereta kuda yang telah menantinya. Kereta
kuda itu adalah kereta kuda yang sama dengan kereta ketika merka pergi
melihat matahari terbit.
Kereta kuda yang mengkilat di bawah matahari petang itu telah
menarik perhatian penduduk Obbeyville yang lalu lalang di depan pondok
Mrs. Vye. Namun mereka lebih tertarik melihat Maria yang muncul dengan
anggun dan cantik.
Seperti biasanya, mereka berbisik-bisik melihat Maria.
Dan seperti biasanya pula, Maria tidak menghiraukan hal itu. Ia 139
tersenyum sambil menganggukkan kepala kepada mereka yang kebingungan
membalas anggukan itu.
Ketika Al membantu Maria naik ke kereta. Mrs. Fat muncul dengan
terengah-engah.
“Lihatlah, Mr. Liesting. Engkau hampir saja terlambat.”
“Maafkan aku, Mrs. Fat. Aku harus menyelesaikan tugasku dulu,” kata
Mr. Liesting dengan terengah-engah pula.
Maria yang telah berada di dalam kereta, tersenyum mendengar
pembicaraan kedua orang itu.
Ia memandang keluar melalui jendela kereta dan berkata, “Selamat
sore, Mr. Liesting. Saya minta maaf karena Mrs. Fat telah menyusahkan Anda
dengan terburu-buru membawa Anda ke mari.”
“Selamat sore, Maria. Jangan merasa bersalah, ia memang selalu
menyusahkan saya. Lagipula saya juga ingin melihatmu dan mengantar
kepergianmu,” kata Mr. Liesting sambil menatap kagum pada wajah Maria.
“Anda berkata seolah-olah saya akan pergi untuk selamanya,” kata
Maria sambil terus tersenyum.
“Bila engkau pergi meninggalkan Obbeyville, Maria. Aku akan merasa
sangat kesepian sekali dan anak-anak akan merasa kehilanganmu.”
“Saya tidak akan lama, Mr. Liesting. Saya akan segera kembali.”
“Oh, jangan, Maria. Bersenang-senanglah. Jangan terburu-buru kembali.
Tuan Muda pasti juga tidak ingin engkau lekas pulang,” kata Mr. Liesting
sambil menatap Al.
“Selamat sore, Mr. Liesting,” kata Al.
“Selamat sore, Tuan Muda. Maaf saya tidak segera menyapa Anda.”
“Tidak apa-apa, Mr. Liesting. Saya harus terbiasa bila saya bersama
Maria karena saya yakin semua orang akan memperhatikan dirinya dulu
daripada saya,” kata Al sambil tersenyum.
“Saya tidak mengharapkan itu. Saya tidak suka menjadi perhatian
orang seperti saat itu, saat…,” Maria merasa kembali masuk ke masa lalunya
yang gelap.
Al menyadari hal itu dan segera berkata, “Kami permisi dulu. Kami tidak
ingin terlambat.”
“Ya, pergilah. Kalian tidak boleh terlambat,” kata Mrs. Vye.
Maria melambaikan tangannya pada mereka sebelum kereta semakin
menjauhi pondok Mrs. Vye.140
“Apakah engkau baik-baik saja, Maria?”
“Ya. Saya baik-baik saja,” kata Maria menyembunyikan kegugupannya
karena berdua dengan Al.
“Engkau yakin? Engkau terlihat sangat pucat,” kata Al.
“Ya. Saya hanya merasa kembali ke alam kabut gelap itu tadi, tetapi
sekarang saya merasa lebih baik,” kata Maria dengan tenang.
“Engkau cantik sekali, Maria. Walaupun engkau tidak mengenakan
perhiasan apa pun. Aku yakin engkau akan menjadi pusat perhatian nanti di
pesta itu.”
“Tentang pesta itu…”
“Ada apa, Maria?” tanya Al lembut.
“Saya berharap Anda mengerti bila saya enggan bertemu dengan Lady
Debora dan Baroness Lora,” kata Maria.
“Jangan khawatir tentang itu. Aku telah mengatur segalanya sehingga
engkau tidak perlu cemas akan bertemu dengan Lady Debora ataupun
Baroness Lora.”
“Mereka pasti tidak senang bila tahu saya juga hadir di pesta itu.”
“Mereka pasti akan sangat marah bila tahu engkaulah yang menjadi
pusat perhatian di pesta itu,” kata Al dengan tersenyum.
“Saya tidak akan menjadi pusat perhatian, karena Lady Debora juga
ada di sana. Lady Debora sangat cantik.”
“Percayalah kepadaku, Maria.”
“Saya berterima kasih kepada Anda atas gaun yang Anda kirim ini.”
“Aku senang engkau menyukainya. Aku tadi sempat khawatir engkau
akan menolak mengenakan gaun itu.”
“Saya sangat menyukainya. Dan saya merasa gaun ini terlalu mewah,”
kata Maria.
Al tersenyum lembut pada Maria. “Engkau memang berbeda dengan
wanita-wanita yang lain. Andai wanita lain yang menerima gaun ini, mereka
akan menolak menerimanya.”
“Mengapa demikian? Gaun ini sangat indah.”
“Karena menurut mereka gaun ini kurang mewah.”
“Lucu sekali mereka. Gaun seindah ini masih dikatakan kurang mewah.
Tentunya mereka lebih menyukai gaun yang bertaburan permata dan
berlian,” kata Maria, “Bila saya diberi gaun seperti itu, saya akan
menolaknya.”141
“Mengapa engkau menolaknya?” tanya Al.
“Karena saya merasa lucu dengan gaun seperti itu. Seperti burung
merak,” kata Maria sambil tersenyum geli.
“Burung merak?” kata Al tak mengerti.
“Burung merak memiliki bulu yang sangat indah sehingga dia menjadi
sombong tetapi ia tidak berani terbang karena takut kehilangan bulunya yang
indah. Sama seperti wanita-wanita yang senang mengenakan gaun
bertaburan permata. Mereka tidak berani bergerak banyak karena mereka
takut permata-permata itu jatuh.”
Al tertawa mendengar perbandingan yang diberikan Maria pada wanita-
wanita yang senang pada gaun yang bertaburan permata dengan burung
merak.
“Mereka akan sangat tersanjung bila mendengarnya,” kata Al.
“Tentu, saya tidak menyangsikannya.”
“Aku beruntung tidak memberimu gaun seperti itu. Mulanya aku
sempat khawatir engkau menolak gaun ini karena tidak bertaburan permata.”
“Saya justru akan menolak menerima gaun itu,” kata Maria sambil
tersenyum, “Saya lebih menyukai gaun yang membuat saya merasa seperti
seekor burung yang siap terbang.”
“Bila demikian, aku akan selalu memberikan gaun yang seperti ini
untukmu,” kata Al.
“Saya juga akan menolaknya.”
“Mengapa?” tanya Al keheranan.
“Karena saya tidak ada alasan bagi saya untuk menerimanya,” jawab
Maria.
“Bagaimana bila aku memaksamu menerimanya?”
“Saya ragu Anda akan melakukannya. Walaupun Anda tidak pernah
ditolak, tetapi saya yakin Anda tidak akan memaksa saya. Lagipula saya tidak
suka bila harus menerima sesuatu karena terpaksa.”
“Aku memang tidak akan pernah memaksamu. Katakan kepadaku
Maria, bagaimana perasaanmu saat ini?”
“Saya merasa sangat senang sekali. Juga sedikit cemas,” kata Maria
mengakui perasaannya.
“Jangan cemas, Maria. Engkau tidak akan membuatku merasa kecewa
dan engkau juga tidak akan bertemu dengan Baroness Lora maupun Lady
Debora di pesta itu,” kata Al berjanji.142
Kereta bergerak semakin mendekati rumah Al.
Kedua orang itu bercakap-cakap tanpa menyadari kereta telah
memasuki halaman rumah Al.
143
9
Maria tidak terkejut melihat rumah Al yang megah.
Rumah itu lebih besar dari Sidewinder House. Dan tampak lebih indah
dari Sidewinder House.
Dindingnya yang putih tampak berseri dengan halamannya yang
semarak oleh tumbuh-tumbuhan. Dedaunan yang rontok tidak tampak di
antara rerumputan yang menghampar.
Beberapa tukang kebun terlihat masih sibuk membersihkan dedaunan
yang berjatuhan dari ranting pohon.
Di antara pepohonan dan semak-semak, Maria melihat beberapa bunga
musim panas bermekaran dengan indah.
Mereka telah tiba di pintu rumah itu yang atasnya berbentuk setengah
lingkaran.
Seorang pelayan membukakan pintu bagi mereka. Pelayan itu
menerima mantel Al dan menanti Maria menyerahkan syalnya.
Menyadari hal itu, Maria menggeleng perlahan dengan tersenyum
kepadanya.
Pelayan itu mengangguk mengetahui arti isyarat itu dan membungkuk
hormat ketika mereka berjalan menuju Ruang Besar yang telah dipenuhi
banyak orang, sambil terus mengawasi kepergian mereka dengan ekor
matanya.
Seorang pelayan yang berdiri di depan pintu menuju Ruang Besar
menyerahkan sebuah topeng kepada mereka masing-masing.
Al menyadari kebingungan Maria ketika menerima topeng itu, berbisik
kepadanya, “Aku sengaja menyediakan topeng ini. Semua orang yang hadir
dalam pesta ini harus mengenakan topeng, dengan demikian engkau tidak
akan dikenali.”
“Anda telah memikirkan segala sesuatunya dengan baik,” kata Maria
sambil tersenyum.
“Tentu saja. Aku ingin membuatmu menikmati pesta ini.”
Maria mengangguk sambil tersenyum kepada pelayan yang
membukakan pintu itu bagi mereka sebelum melangkah memasuki Ruang 144
Besar tempat pesta itu diselenggarakan.
“Pesta dansa ini akan menjadi pesta dansa bertopeng yang pertama
sepanjang sejarah keluarga ini,” kata Maria.
“Jangan jauh-jauh dariku, Maria. Walaupun aku akan selalu dapat
mengenalimu dalam kerumunan orang-orang ini, tetapi aku tidak ingin
engkau pergi dari sisiku,” kata Al.
“Saya juga tidak ingin berpisah dari sisi Anda.”
“Lihatlah, Maria. Apa yang kukatakan memang benar, bukan? Semua
orang itu telah melihatmu sejak engkau memasuki ruangan ini. Aku percaya
mereka tidak akan dapat melepaskan pandangan mata mereka darimu,” kata
Al sambil menyelipkan tangan Maria di lengannya.
Maria memandangi orang-orang yang telah berada di ruangan itu.
Mereka semua memandanginya. Di balik topeng mereka, Maria tahu
mata itu bersinar penuh kekaguman tetapi ia tidak mempedulikannya.
Ia berjalan di samping Al yang membawanya mendekati sepasang
orang yang tidak pernah melepaskan pandangan matanya dari mereka
berdua.
Maria menduga kedua orang itu adalah orang tua Al.
Ibu Al terlihat masih cantik walau telah tua. Gaun hitam yang
dikenakannya membuat ia tampak lebih anggun. Ayah Al juga terlihat masih
muda walaupun rambut putih telah muncul di antara rambutnya yang hitam.
Wajah kedua orang itu tampak berseri ketika melihat mereka berjalan
mendekat.
Al mencium kedua pipi ibunya dan mengangguk hormat kepada
ayahnya sebelum berkata, “Papa, Mama, aku ingin mengenalkan seseorang
pada kalian. Ini Maria. Maria mereka orang tuaku.”
“Senang berkenalan dengan Anda,” kata Maria sambil mengangkat
gaunnya dan membungkuk hormat pada mereka.
Al serta kedua orang itu terkejut dengan tindakan Maria.
“Jangan bersikap seperti di dalam Istana seperti itu,” kata ayah Al.
“Bersikaplah yang santai. Saat ini kita tidak berada di dalam Istana
yang senantiasa harus bersikap sopan,” kata wanita yang berdiri di
sampingnya.
“Percuma, Mama. Ia selalu bersikap sopan. Aku juga tidak dapat
menghentikan ia bersikap seperti itu kepadaku,” kata Al.
“Apakah engkau selalu diharuskan bersikap sopan kepada siapapun di 145
keluargamu?” tanya wanita itu kepada Maria.
“Saya tidak dapat mengingat apakah saya selalu diharuskan bersikap
seperti itu di keluarga saya. Tetapi saya tidak dapat tidak bersikap sopan
kepada Anda yang lebih tua dari saya,” kata Maria dengan tersenyum.
“Ia adalah gadis yang sekarang menjadi bahan pembicaraan di
Obbeyville, Mama,” kata Al memberi penjelasan.
“Aku senang sekali dapat bertemu denganmu. Apa yang mereka
katakan mengenai dirimu berbeda jauh dengan apa yang kulihat. Engkau
lebih cantik dari yang mereka katakan,” kata wanita itu.
“Anda terlalu berlebihan. Saya tidak seperti yang mereka katakan,”
kata Maria merendahkan diri.
“Engkau memang tidak seperti yang mereka katakan, Maria. Engkau
lebih baik dari yang penduduk Obbeyville katakan,” kata Al.
“Inikah gaun yang kaubeli tadi siang?” kata wanita itu sebelum Maria
mengucapkan apa pun untuk menanggapi kata-kata Al.
“Ya, Mama. Bagaimana pendapat Mama?”
“Aku hanya dapat mengatakan seleramu terhadap pakaian baik sekali.
Gaun ini cocok sekali dengannya. Dan aku bangga padamu, Al.”
“Apakah benar kata penduduk Obbeyville bahwa engkau mengetahui
mitos Blueberry ?” tanya ayah Al.
“Saya hanya mengetahui sedikit mengenai itu. Bila Anda ingin
mengetahuinya lebih banyak lagi, Anda dapat mencarinya di buku yang
berisikan kumpulan naskah kuno mitos-mitos yang terkenal di Kerajaan
Zirva.”
“Aku mempunyai buku yang tidak dapat kumengerti tulisannya. Tulisan
itu menyerupai tulisan Mesir Kuno,” kata pria itu lagi.
“Bila Anda tidak keberatan, saya ingin melihat buku itu.”
“Ya, tentu saja. Aku akan mengambilkannya untukmu.”
“Jangan, Papa. Saat ini bukan saatnya kita membicarakan hal itu,
sekarang adalah saat kita untuk berpesta,” kata Al menghentikan ayahnya
yang hendak meninggalkan mereka.
“Benar. Aku terlalu senang hingga lupa.”
“Pergilah menemui tamu-tamu yang lain dan perkenalkanlah Maria
kepada mereka.”
“Tentu, Mama. Aku yakin mereka akan semakin kagum padanya setelah
mengenalnya seperti aku. Aku benar-benar dibuat terpesona olehnya,” kata 146
Al sambil tersenyum pada Maria.
Orang tua Al yang melihat hal itu saling berpandangan penuh arti.
Mereka tersenyum bahagia.
Entah apa yang dirasakan kedua orang itu, Maria tidak tahu. Tetapi ia
menduga keduanya merasa senang karena putranya dapat bertemu
dengannya.
Dan memang demikian. Kedua orang itu sangat senang ketika melihat
putra mereka datang bersama seorang gadis yang menarik.
Semua orang memandang Maria sejak gadis itu tiba. Senyum yang
selalu menghias wajahnya, membuat gadis itu semakin menarik hati.
Cara bicara dan tingkah laku Maria yang sopan membuat kedua orang
itu semakin menyukai Maria.
Ketika Maria dan Al menjauh, wanita itu berkata, “Ia gadis yang luar
biasa. Aku yakin ia bukan orang sembarangan, seperti yang penduduk
Obbeyville katakan, ia memang seorang bidadari.”
“Aku juga percaya akan hal itu. Lihatlah, semua orang terus
memandangi gadis itu sejak kedatanganya. Lady Debora tampak kecewa
sekali karena tidak menjadi pusat perhatian lagi.”
“Dibandingkan dengan Lady Debora, Maria jauh lebih cantik. Lady
Debora tidak dapat menyaingi kecantikkan dan keanggunan Maria. Aku ingin
tahu siapakah Maria yang sebenarnya?”
“Aku juga tidak tahu, tetapi aku yakin ia bukan sembarang orang,” kata
suaminya sambil mengajak mendekati tamu-tamu mereka yang telah
menanti.
Al memperkenalkan Maria kepada teman-temannya. Maria tahu Al
sengaja tidak memperkenalkannya kepada semua tamu karena tidak ingin
Maria bertemu Lady Debora ataupun Baroness Lora.
Al menepati janjinya. Ia tidak menyebutkan nama Maria kepada mereka
selain orang tuanya. Dan Al selalu berusaha menjaga jarak dari Lady Debora
yang selalu mendekat.
Setiap kali wanita itu terlihat mendekat, Al mengajak Maria ke tempat
lain.
Hal ini membuat Maria tersenyum geli. Ia merasa seperti sedang
bermain kejar-kejaran dengan Lady Debora.
Lady Debora tampak kesal sekali atas sikap Al yang selalu menjauh.
Tetapi wanita itu tidak berhenti mengejar hingga seorang pria mengajaknya 147
berbicara.
Dari jauh, Maria dapat melihat Lady Debora tersenyum senang kepada
pria itu. Lady Debora tampak senang sekali berbicara dengan pria itu hingga
melupakan tujuannya yang semula.
Al mengajak Maria menuju ke sudut Ruang Besar yang dekat sepi. Al
mengambil sebuah kursi yang berukiran sangat indah yang berada di
dekatnya.
“Duduklah, Maria. Engkau pasti lelah sekali berjalan terus di Ruang
Besar ini,” kata Al sambil mendudukkan Maria di kursi itu.
“Terima kasih. Anda tidak duduk?” kata Maria.
“Aku tidak lelah. Aku telah terbiasa berkeliling sepanjang hari tanpa
duduk walaupun sebentar.”
“Lebih baik Anda duduk juga. Saya merasa seperti seorang putri raja
dengan pengawalnya bila Anda berdiri di samping saya sementara saya
duduk,” kata Maria sambil berharap.
“Tentu, Yang Mulia Tuan Puteri. Hamba akan melakukan titah Paduka,”
kata Al sambil tersenyum.
Pria itu mengambil kursi yang sama seperti kursi yang diambilkannya
untuk Maria, kemudian duduk di samping Maria yang mengawasi kerumunan
orang di depannya.
“Seperti yang telah kukatakan sebelumnya, Maria. Mereka sejak tadi
terus memandangimu sejak engkau tiba.”
“Saya merasa bersalah pada Lady Debora karenanya.”
“Mengapa?” tanya Al tak mengerti.
“Lady Debora sangat berharap ia menjadi pusat perhatian di pesta ini.
Tadi siang ia sangat ribut karena tidak dapat menemukan gaun yang cocok,”
kata Maria.
“Kata Mrs. Dahrien, engkau yang membuat gambar ular di gaun yang
dikenakan Lady Debora itu,” kata Al, “Engkau telah membuatku merasa
terkejut dengan kemampuanmu yang baru muncul ini. Tidak akan ada
seorangpun yang menduga engkau pandai menyulam juga.”
“Anda jangan berkata seperti itu.”
“Seperti apa?”
“Seperti orang yang baru saja menemui hal ini. Sudah seharusnya
setiap wanita pandai melakukan itu,” kata Maria, “Saya berharap saya tidak
terlalu memberi kesan kejam pada Lady Debora dengan gambar itu.”148
Al tersenyum, “Tidak, Maria. Engkau memberikan gambar yang tepat
pada Lady Debora. Ular adalah lambang keluarga Sidewinder.”
“Dan sifat Lady Debora juga seperti ular,” tambah Maria.
“Seperti ular?”
“Ya. Mereka seperti ular yang selalu tampil dengan segala
kemewahannya dan senang berganti-ganti pasangan seperti ular yang sering
menanggalkan kulitnya yang telah tua. Mata mereka selalu menatap lekat-
lekat mangsanya seperti seekor ular.”
Al tertawa mendengar kata-kata Maria. “Kelebihanmu yang lain adalah
engkau pandai membandingkan orang dengan tingkah laku hewan.”
“Saya tidak membandingkan mereka. Saya hanya mengatakan yang
sebenarnya. Kadang kala tingkah laku manusia memang seperti hewan.”
“Ya, kadang kala manusia memang bisa bersikap lebih buruk dari
hewan,” kata Al setelah meredakan tawanya.
“Memang seperti itulah manusia. Manusia adalah makhluk yang
serakah sehingga mereka terlihat lebih buruk dari hewan yang keji sekali pun.
Tetapi tidak semua orang seperti itu. Masih banyak orang yang dapat
mengendalikan keserakahan mereka.”
“Dan hanya sedikit orang yang mampu melakukannya,” kata Al.
Maria tersenyum membenarkan kata-kata Al dan berkata, “Memang
mereka yang mampu mengendalikan keserakahan juga banyak tetapi tidak
sebanyak orang yang serakah.”
“Engkau termasuk di antara yang sedikit.”
“Saya berharap demikian,” kata Maria , “Sulit untuk melakukannya
karena pada dasarnya manusia itu memang serakah dan tidak pernah puas
dengan apa yang diperolehnya.”
Seorang pria yang mendekat membuat mereka berhenti bercakap-
cakap.
Maria tidak senang melihat cara pria itu memandang dirinya. Pria itu
memandang dirinya seakan-akan Maria adalah miliknya. Mata di balik
topengnya selalu menatap lekat-lekat wajah Maria.
Demikian pula Al. Al tampak tidak senang atas gangguan pria itu.
Walaupun begitu ia tidak menampakkannya.
“Selamat malam, Alexander,” kata pria itu.
Sesaat Al memandang wajah Maria. Ia khawatir Maria terkejut
mendengar nama lengkapnya. Dan ternyata ia sendirilah yang terkejut.149
Al terkejut melihat wajah Maria yang tetap tenang, seolah-olah telah
mengetahuinya dari awal perjumpaan mereka.
“Rupanya Andalah bidadari yang selalu bersinar sejak kedatangan
Anda. Saya mengagumi sinar yang Anda nampakkan dalam setiap gerakan
Anda. Baik melalui gaun Anda yang sangat serasi untuk kulit Anda yang putih
itu maupun rambut Anda yang mempesona,” kata pria itu.
Kemudian pria itu mengulurkan tangannya hendak mencium tangan
Maria.
Al terkejut ketika Maria menyambut uluran tangan pria itu dan
membiarkan pria itu mencium punggung tangannya. Al menduga Maria
melakukannya untuk kesopanan bila mengingat sikap Maria yang selalu
menjaga kesopanan.
Maria merasa pria itu mencium tangannya terlalu lama karena itu ia
menarik tangannya dengan sopan.
“Mengapa engkau menyembunyikan bidadari secantik ini di pojok
ruangan yang gelap ini, Alexander?” kata pria itu.
“Aku tidak menyembunyikannya. Aku hanya mencarikan tempat yang
sepi untuknya agar bisa duduk dengan tenang,” kata Al.
“Kukira engkau pandai menghadapi wanita, Alexander. Tetapi ternyata
dugaanku salah. Engkau dapat kukatakan tidak mengerti apa-apa tentang
wanita. Bidadari yang selalu bersinar seperti dia kau letakkan di sudut
ruangan yang gelap,” kata pria itu mengejek.
Maria tersenyum pada pria itu, “Bidadari yang selalu bersinar akan
selalu bersinar sekali pun berada di tempat yang gelap.”
Sesaat pria itu terkejut mendengar kata-kata Maria, tetapi ia segera
menyembunyikannya dengan berkata,
“Tepat seperti yang kuduga. Engkau memiliki suara yang merdu.
Sangat sesuai dengan gerakan Anda yang anggun dan kecantikkan Anda
yang selalu bersinar.”
“Terima kasih. Saya berharap saya tidak terlalu bersinar sehingga
menyilaukan mata semua orang.”
Kata-kata Maria yang seperti memancing pujian selanjutnya membuat
Al terkejut. Ia telah mengetahui sifat Maria yang selalu merendahkan diri
setiap kali dipuji. Tidak pernah diduganya Maria akan berkata seperti itu.
Apa yang dikatakan Al terbukti.
“Engkaulah bidadari yang akan selalu menyilaukan mata semua orang 150
sehingga tidak ada orang yang akan mengalihkan pandangan mereka dari
sinar Anda yang menyilaukan,” kata pria itu.
“Bila demikian, Anda tidak perlu khawatir bila saya duduk di pojok
Ruang Besar yang luas ini,” kata Maria dengan tenang namun membuat pria
itu terkejut dan tidak dapat berkata apa-apa.
Al tersenyum mendengar perkataan Maria yang tepat itu. Sekarang ia
mengerti mengapa Maria sengaja memancing pujian selanjutnya dari pria itu.
“Saya rasa kita belum berkenalan. Siapakah nama Anda?” kata pria itu
menyembunyikan ketidakmampuannya membalas kata-kata Maria yang
tenang dan sopan namun mengenai sasaran yang tepat.
“Siapakah nama saya menurut Anda?” kata Maria balas bertanya.
Priai tu tersenyum, “Saya tidak tahu nama apa yang tepat untuk
bidadari secantik Anda. Menurut saya nama yang tepat untuk Anda adalah
bidadari yang selalu bersinar.”
“Itulah namanya, Marcel. Bidadari yang selalu bersinar di hatiku,” kata
Al seperti yang selalu dikatakannya kepada teman-temannya yang
diperkenalkan kepada Maria.
Kemudian ia berkata dengan tegas, “Dan sekarang bila engkau tidak
keberatan, maukah engkau menjauh. Aku tidak ingin diganggu.”
“Apakah ia calon istrimu, Alexander? Iakah yang akan kaujadikan
Duchess of Blueberry berikutnya.”
“Sayang sekali. Ia terlalu mulia untuk kedudukan itu.”
“Engkau salah, Alexander. Ia sangat pantas menerima kedudukan yang
setinggi mungkin,” kata Marcel.
“Kedudukan yang paling tinggi bagi saya adalah di hati pria yang
mencintai saya,” kata Maria.
“Anda seorang bidadari yang romantis rupanya,” kata Marcel memuji
Maria lagi, “Ia memang pantas untuk menerima gelar kebangsawanan
setinggi mungkin.”
“Apakah Anda tidak merasa bahwa Anda telah menyimpang terlalu jauh
dari tujuan Anda semula?”
Marcel dan Al memandang heran pada Maria yang menatap lurus ke
depan.
Al mengikuti arah mata Maria dan mengerti apa yang dimaksudkan
gadis itu.
Maria mengamati Lady Debora yang berdiri dengan kesal di kejauhan 151
sambil terus menatap mereka. Sikap berdirinya menampakkan
kejengkelannya.
“Lady Debora telah menanti hasil penyelidikan Anda,” kata Maria
memberi tahu dengan tenang.
Merasa telah ketahuan tujuannya, Marcel segera pergi menjauh tanpa
mengatakan apa-apa.
Setelah kepergian pria itu, Al tersenyum geli pada Maria.
“Hari ini aku telah menemukan kelebihanmu yang lain,” kata Al,
“Engkau sangat pandai menghadapi pria seperti dia.”
“Marcel sangat senang mempermainkan wanita. Ia sangat sesuai untuk
Lady Debora,” kata Maria.
“Bagaimana engkau mengetahuinya?”
“Ia terlalu pandai memuji. Mungkin pujian-pujiannya itu akan berhasil
pada wanita yang lain tetapi tidak pada saya.”
Al mengakui kebenaran ucapan Maria. Ia merasa gadis itu benar-benar
berbeda dengan gadis lainnya.
Maria dapat mengendalikan sikapnya agar tetap sopan walaupun ia
tidak menyukai orang itu. Dan ia sangat pandai dalam menghadapi pria
seperti Marcel yang memiliki banyak skandal seperti Baroness Lora.
“Apakah yang membuatmu menduga Lady Debora menyuruh Marcel
menyelidiki dirimu?”
“Tadi saya melihat mereka berdua berbicara. Lady Debora tampak
sangat bersemangat ketika berbicara dengan pria itu. Apalagi yang dapat
membuatnya sangat bersemangat seperti ketika ia akan menghadiri pesta ini
selain mendekati Anda.”
“Sudah kuduga Lady Debora akan sangat senang bila diundang ke
pesta ini. Seperti katamu, ia memang selalu berusaha mendekatiku,” kata Al.
“Ia akan selalu berusaha menyingkirkan saingannya untuk
mendapatkan Anda.”
Al mengangguk dan berkata, “Aku mengagumi ketenanganmu, Maria.
Engkau tidak nampak terkejut sama sekali ketika mengetahui aku adalah
putra Duke of Blueberry.”
“Saya telah mengetahuinya sebelumnya,” kata Maria.
Al keheranan dengan kata-kata Maria. “Kapan?” tanyanya.
“Tadi sewaktu kita memasuki rumah ini. Di pintu rumah ini tergambar
lambang keluarga Blueberry, sepasang daun Blueberry dengan buah 152
Blueberry di antara mereka. Dan sebelumnya saya telah menduga Anda tidak
memberikan nama lengkap Anda.”
“Aku menebak engkau mengetahui lambang keluargaku dari masa
lalumu.”
“Ya, Anda benar,” kata Maria, “Apakah Al nama panggilan Anda?”
“Ya, keluargaku selalu memanggilku Al. Kata mereka lebih mudah
memanggilku Al daripada Alexander. Aku ingin engkau terus memanggilku Al
bukan Alexander,” kata Al menegaskan.
Suara bel yang menggema di ruangan itu membuat Maria memandang
semua orang yang mulai meninggalkan Ruang Besar.
Alexander tidak mengajak Maria berdiri dan mengikuti orang-orang itu.
Ia terus memandangi mereka, seperti Maria.
Dan ketika tamu-tamu yang lain telah menghilang dari Ruang Besar,
Duchess of Blueberry menghampiri mereka.
Alexander membantu Maria berdiri. Kemudian mereka berjalan
mendekati Duchess.
“Mari kita pergi ke Ruang Makan, Maria,” kata Duchess sambil
mengulurkan tangannya.
Maria menyambut uluran tangan itu dan membiarkan wanita itu
menuntunnya dengan akrab seakan-akan Maria adalah putri kandungnya.
Alexander tersenyum melihat keakraban kedua wanita itu. Ia mengikuti
di belakang mereka sambil mendengarkan percakapan mereka.
“Semua tamu-tamu selalu memperhatikanmu sejak kedatanganmu,
Maria,” kata Duchess.
“Saya berharap saya tidak selalu menjadi pusat perhatian. Saya
khawatir saya salah tingkah karenanya,” kata Maria merendahkan diri.
“Jangan berkata seperti, Maria. Engkau sangat tenang walaupun engkau
menjadi pusat perhatian tamu-tamuku khususnya para lelaki. Sikapmu seperti
orang yang telah terbiasa menjadi pusat perhatian,” kata Duchess.
“Sejujurnya, saya memang merasa saya sering menjadi pusat
perhatian. Sepanjang hidup saya, saya selalu diperhatikan dengan sungguh-
sungguh bahkan berlebihan, menurut saya tetapi mereka mengatakan hal itu
memang layak untuk saya,” kata Maria.
“Siapakah mereka itu, Maria? Apakah penduduk Obbeyville? Penduduk
Obbeyville memang selalu memperhatikan tiap gerakanmu. Mereka
menganggapmu sebagai bidadari yang dikirim para dewa dan mereka selalu 153
membicarakanmu.”
“Bukan penduduk Obbeyville yang saya maksudkan. Tetapi mereka
yang berada di masa lalu saya dan saya tidak dapat mengingat siapakah
mereka itu,” kata Maria.
“Oh, Maria. Jangan terlalu kaupikirkan hal itu. Ingatanmu akan pulih
kembali. Percayalah kepadaku.”
“Saya selalu percaya ingatan saya akan pulih suatu hari nanti.”
Alexander tersenyum menyadari kebenaran ucapan Marcel.
Rambut Maria yang panjang selalu bersinar mengiringi setiap
gerakannya yang gemulai seperti gaunnya yang juga selalu bersinar dalam
setiap gerakan Maria.
Syal putih yang panjang dan lebar yang selalu melambai setiap gerakan
Maria, membuat gadis itu tampak semakin menarik perhatian.
Alexander tidak mempercayai bahwa ada seorang gadis yang sangat
sempurna seperti Maria. Ia masih takut mempercayainya. Takut bahwa itu
semua hanya karena perasaannya yang untuk pertama kali membuatnya
bingung.
Pelayan membukakan pintu Ruang Makan untuk mereka.
Tamu-tamu yang seluruhnya berjumlah sekitar dua puluh lima orang
telah duduk mengelilingi meja makan yang besar itu menoleh ketika mereka
memasuki ruangan itu.
Mereka terpesona pada sikap Duchess yang sangat akrab terhadap
Maria, gadis yang baru pertama kali mereka lihat.
Duchess menyerahkan tangan Maria yang sejak tadi dipegangnya
kepada putranya sebelum ia duduk di tempat yang telah ditentukan
untuknya, di dekat suaminya.
Alexander menarikkan kursi untuk Maria di tempat yang sangat jauh
dari Lady Debora maupun Baroness Lora. Kemudian ia duduk di samping
Maria.
Maria dapat melihat kejengkelan Lady Debora karena Alexander tidak
duduk di dekatnya
Wanita itu memandang cemberut kepadanya seperti anak kecil kepada
Maria tetapi kemudian Lady Debora segera mengalihkan perhatiannya ketika
pria yang duduk di sampingnya mengajaknya bicara.
Maria menduga telah menjadi kebiasaan bagi pesta dansa keluarga
Blueberry untuk menyajikan hidangan malam sebelum pesta tersebut dimulai.154
Hidangan yang disajikan sangat bervariasi. Mulai dari makanan
pembuka hingga makanan penutup semuanya terlihat sangat lezat.
Sepanjang acara makan malam itu, Maria terlihat sangat diam.
Ia terkejut ketika menyadari ia pernah duduk di meja makan yang besar
seperti ini bersama-sama tamu yang banyak pula. Hidangan yang disajikan
juga sangat bervariasi.
Tamu-tamu pria juga sibuk membicarakan masalah kerajaan seperti Al
dan pria yang duduk di seberangnya, juga seperti pria yang duduk di samping
kanannya.
Sedangkan tamu-tamu wanita sibuk membicarakan pakaian, tatanan
rambut, pesta-pesta dan segala hal yang menarik perhatian mereka.
Di mana ia melakukan hal yang sama, Maria tidak dapat mengingatnya.
Tetapi Maria yakin situasi saat itu sama seperti situasi sekarang. Yang
berbeda adalah jumlah tamu.
Pada pesta yang diingat Maria, jumlah tamunya lebih banyak dari pesta
dansa keluarga Blueberry.
Alexander tidak memperhatikan Maria yang diam sejak hidangan
pertama disajikan karena ia sibuk membicarakan masalah kerajaan dengan
tamu yang duduk di dekatnya.
Semua tamu wanita saling berbisik membicarakan Maria sedangkan
tamu-tamu pria sibuk dengan pembicaraan mereka.
Tidak ada yang memperhatikan Maria.
“Mengapa Anda diam saja sejak tadi?” tanya pria setengah baya yang
duduk di samping kanan Maria.
Maria menatap wajah pria itu dan berkata, “Saya sedang
mendengarkan pembicaraan mereka.”
“Apakah Anda menyukai masalah politik?” tanya pria itu.
“Cukup menyukainya,” jawab Maria.
“Bagaimanakah pendapat Anda mengenai penjara bawah tanah kota
Xoechbee?” tanya pria itu.
“Penjara itu sangat gelap, sinar matahari hampir tidak dapat menembus
dinding batunya yang kokoh,” kata Maria.
“Saya rasa Kerajaan Zirva sangat keterlaluan dalam hal hukum. Mereka
terlalu keras,” kata pria itu dengan jengkel.
“Memang pada awalnya mereka sangat keras. Namun sekarang
pemerintah telah memperlunak sanksi hukuman,” kata Maria sambil 155
tersenyum.
“Mereka masih terlalu keras,” kata pria itu dengan jengkel, “Keponakan
saya yang hanya bersalah karena telah melangggar Undang-Undang
Perburuan saja dihukum selama tiga puluh tahun di penjara itu. Dan saya
sebagai pamannya tidak diijinkan berkunjung.”
“Siapakah nama keponakan Anda itu?” tanya Maria.
“Golbert Mantrix,” jawab pria itu.
“Dan Anda tentunya adalah Eisench Mantrix yang sejak Golbert Mantrix
dihukum selalu berusaha meminta ijin dari Raja untuk mengunjungi
keponakan Anda itu,” kata Maria.
“Bagaimana Anda mengetahuinya?” tanya Eisench Mantrix terkejut.
“Saya tidak tahu. Tetapi saya tahu keponakan Anda dihukum selama itu
bersalah karena masih terus membunuh serigala hutan yang dilindungi dan
mengambil bulunya untuk dijadikan mantel walaupun Undang-Undang
mengenai itu telah dikeluarkan.”
“Ya, saya juga menyadari kesalahan keponakan saya. Tetapi
keterlaluan sekali. Hanya karena melanggar Undang-Undang perburuan
dihukum tiga puluh tahun di penjara yang paling menakutkan pula.”
“Anda harus memaklumi sikap Raja. Hukuman itu diberikan
berdasarkan kitab Undang-Undang yang telah diperbarui oleh Raja Croi I,
sekitar delapan puluh tahun lalu,” kata Maria.
“Kitab itu masih harus diperbaharui lagi. Hukumannya masih terlalu
berat,” kata Eisench Mantrix.
“Anda jangan khawatir karena kini Raja sedang berusaha memperbarui
kitab tersebut yang sejak jaman Raja Croi I belum diperbaharui sejak
sekarang. Kemungkinan hukuman keponakan Anda diperpendek sangat luas.”
“Aku tidak percaya kitab itu akan menjadi lebih lunak daripada
sekarang.”
“Percayalah kepada saya,” kata Maria sambil tersenyum, “Raja telah
merencanakan untuk memperlunak hukuman itu sejak beberapa tahun yang
lalu. Tetapi hal itu masih belum terwujud karena masih banyak menteri yang
menolak usul itu.”
“Ya, menteri-menteri yang kuno itu. Mereka tidak mengerti betapa
hukuman itu sangat keras,” kata Eisench Mantrix dengan jengkel.
“Hukuman yang keras dan tegas memang diperlukan untuk mengatur
penjahat yang kejam,” kata Maria, “Dan Anda harus menanti sebentar lagi 156
agar dapat mengunjungi keponakan Anda karena permohonan Anda telah
sampai di tangan Menteri Pertahanan, mungkin saat ini sudah berada di
tangan Menteri Kehakiman. Dan setelah itu akan diserahkan kepada Paduka
Raja.”
“Bagaimana engkau mengetahuinya?” tanya Al keheranan mengetahui
pengetahuan Maria yang sangat dalam mengenai hukum Kerajaan Zirva.
Maria tidak menyadari semua tamu membelalak terkejut pada
perkataannya yang sangat politis. Bahkan Duke of Blueberry serta Duchess
yang duduk di ujung meja yang lain membelalak terkejut.
Rupanya semua orang menghentikan pembicaraan mereka ketika Maria
mulai berbicara mengenai masalah hukum. Sehingga pembicaraan mereka
terdengar hingga ke ujung meja yang lain.
Tidak ada seorang pun di antara tamu itu yang menduga gadis itu
mengetahui cukup dalam mengenai urusan hukum Kerajaan Zirva. Bahkan Al!
Baru kali ini pria itu menjumpai seorang wanita yang masih muda pula
yang mengetahui banyak mengenai urusan hukum. Demikian pula tamu-tamu
yang lain yang tertarik mendengar pembicaraan Maria dengan Eisench
Mantrix.
“Saya tidak tahu. Kata-kata itu seperti meluncur begitu saja dari ingatan
saya,” kata Maria dengan tenang.
“Apakah Anda tahu banyak mengenai politik?” tanya pria yang tadi
berbicara dengan Alexander.
“Tidak sebanyak yang Anda ketahui,” kata Maria sambil tersenyum,
“Karena politik sangat sukar dipelajari, tetapi bila kita mau berusaha kita
dapat melakukannya. Manusia harus berusaha bila ingin berhasil.”
“Siapakah Anda?” tanya pria itu.
“Saya bukan siapa-siapa. Saya hanyalah makhluk tak bernama yang
kebetulan saja hadir di sini,” kata Maria dengan tersenyum.
Pria itu tertawa mendengar jawaban Maria yang sengaja
menyembunyikan namanya.
“Anda sangat pandai menyembunyikan nama Anda, tetapi tidak apa-
apa. Siapa tahu Anda sedang menyamar. Saya Trown Townie.”
“Saya senang dapat berjumpa dengan Anda. Nama Anda sangat
terkenal di Kerajaan Zirva,” kata Maria.
“Anda mengetahui saya rupanya,” kata Trown Townie.
“Siapa yang tak kenal Anda yang terkenal sebagai tokoh politik yang 157
pertama kalinya mengecam politik perdagangan Blueberry Kerajaan Zirva,”
kata Maria sambil tersenyum.
“Pengetahuan Anda membuat saya khawatir suatu hari nanti Anda lebih
terkenal daripada saya,” goda Trown Townie.
Maria tersenyum pada pria yang mirip Mr. Liesting dengan janggut
putihnya yang lebat, “Bila suatu saat nanti hal itu menjadi kenyataan, saya
berharap kita akan bertemu kembali agar saya dapat mengetahui apakah
saya telah lebih unggul dari Anda.”
“Anda pasti akan lebih pandai dari saya. Dalam usia semuda ini Anda
telah mengetahui banyak hal apalagi bila Anda telah semakin dewasa,” kata
Trown Townie.
“Saya tidak akan menjadi sepandai Anda karena saya selalu jauh dari
Istana sehingga saya tidak mengetahui banyak mengenai politik.”
“Anda dapat mengetahui banyak walaupun Anda jauh dari Istana
apalagi bila Anda tinggal di Istana Plesaides,” kata Trown Townie.
“Saya kira saya tidak akan pernah diijinkan tinggal terlalu lama di Istana
Plesaides,” kata Maria.
“Ya, Istana itu memiliki banyak ruangan tetapi kebanyakan kosong.
Saya pernah tinggal di sana ketika membantu Raja menyelesaikan masalah
perdagangan Blueberry. Saya sendiri tidak mengerti mengapa Raja
memanggil saya saat itu walaupun hal itu bukan bidang saya.”
“Tentu karena kecaman Anda atas politik perdagangan Blueberry
kerajaan ini,” kata Al.
“Ya, mungkin karena itu,” kata Trown Townie, “Ada suatu hal yang
sangat aneh di Istana Plesaides.”
“Apakah itu?” tanya Eisench Mantrix.
“Di lantai teratas Istana Plesaides, lantai empat ada sebuah ruangan
yang tidak boleh dimasuki tanpa ijin.”
“Apa yang aneh dari ruangan itu? Aku rasa tidak aneh bila ada ruangan
yang tidak dapat dimasuki secara bebas di Istana,” tanya Eisench Mantrix,
“Mungkin saja ruangan itu kamar Raja atau keluarga Raja yang lain.”
“Memang tidak aneh, tetapi yang membuatku heran adalah mengapa
ruangan itu terpisah dari ruangan lain yang tidak dapat dimasuki secara
bebas. Kamar Raja dan Pangeran serta berbagai ruangan lain yang tidak
dapat dimasuki secara bebas semuanya terletak di lantai pertama dan lantai
kedua. Hanya ruangan itu yang terletak di lantai teratas Istana Plesaides.”158
“Aku rasa tidak ada yang aneh, mungkin saja Raja sengaja
menyendirikan ruangan itu dari ruangan-ruangan lainnya yang terlarang,”
kata Eisench Mantrix.
“Memang hal itu mungkin saja. Tetapi yang membuatku merasa
ruangan itu aneh adalah ijin untuk dapat memasuki ruangan itu.”
“Tidak ada yang aneh bila untuk memasuki suatu ruangan di Istana
memerlukan ijin khusus dari Raja,” kata Eisench Mantrix.
“Di situlah keanehannya, Mantrix. Untuk memasuki ruangan itu kita
harus meminta ijin dari Pangeran bukan dari Raja.”
“Mungkin saja Raja memberi tugas pada Pangeran untuk memberi ijin
orang yang ingin memasuki ruangan itu,” gumam Al.
“Tidak, hal itu memang aneh sekali. Bila aku bercerita pada kalian aku
yakin kalian tidak mempercayaiku.”
“Coba ceritakan kepada kami,” kata Duke, “Mungkin kami
mempercayainya.”
Trown Townie mulai bercerita pengalamannya di Istana,
“Ketika Kepala Pengawal Istana mengantarkanku mengelilingi Istana, ia
hanya melalui ruangan itu.
Aku bertanya kepadanya, “Mengapa kita tidak memasuki pintu itu?”
“Maafkan saya, saya tidak dapat mengajak Anda memasuki ruangan itu
karena untuk memasukinya memerlukan ijin Pangeran dan saat ini Pangeran
sedang sibuk di kebun.”
Aku keheranan mendengar kata-kata Kepala Pengawal itu. “Apa yang
dilakukan Pangeran di kebun bunga itu?” tanyaku.
“Pangeran sedang memetik bunga untuk menghiasi ruangan ini.”
Jawaban Kepala Pengawal itu semakin membuatku merasa heran dan
bingung. Tidak mungkin rasanya bagiku Pangeran yang gagah mencari bunga
untuk menghiasi kamarnya. Tetapi kamar itu bukan kamarnya karena
kamarnya terletak di lantai dua, di samping kamar Raja.
Dan pertanyaan-pertanyaanku itu terjawab ketika pada sore harinya
aku menyempatkan diri untuk menuju ruangan di lantai empat itu. Tujuanku
yang semula adalah untuk melihat ukiran pintu yang menarik hatiku itu.
Pintu itu berukiran seorang bidadari sedang memegang seikat bunga
yang besar dan beberapa peri kecil di sekelilingnya. Ukiran itu demikian
indahnya sehingga aku ingin terus memandanginya.
Saat itu aku melihat Pangeran membuka pintu itu dengan sepasang 159
keranjang besar yang berisi berbagai macam bunga di tangannya.
“Selamat sore,” sapa Pangeran.
“Selamat sore, Pangeran,” balasku.
“Apakah Anda yang tadi hendak memasuki ruangan ini?” tanya
Pangeran.
Aku heran mengapa Pangeran tahu aku tadi siang ingin sekali
memasuki ruangan itu. Aku menduga Kepala Pengawal Istana yang memberi
tahu Pangeran.
Tanpa menanti jawabanku, Pangeran membuka sepasang pintu itu
lebar-lebar dan mengajak aku masuk.
Aku terkejut sekali ketika berada di dalam ruangan itu. Ruangan itu
sama seperti ruangan lainnya yang dihias dengan mewah. Tetapi menurutku,
ruangan itu lebih sederhana dibandingkan ruangan-ruangan yang lain.
Dan yang lebih membuatku merasa sangat terkejut adalah ruangan itu
penuh berisi bunga. Hampir di setiap sudutnya ada pot-pot bunga yang
berisikan berbagai macam bunga segar.
Aku heran sekali dari mana Pangeran memperoleh bunga-bunga itu
padahal waktu itu adalah musim gugur.
Rupanya Pangeran mengerti kebingunganku karena ia berkata, “Bunga-
bunga ini didatangkan dari berbagai tempat. Khusus untuk menghias ruangan
ini.”
Aku diam saja memandangi bunga-bunga yang ada di ruangan yang
sangat besar itu.
Ruangan itu terdiri dari tiga buah kamar tidur dan sebuah kamar duduk.
Masing-masing kamar dihias bunga yang jumlahnya sangat banyak sehingga
membuat ruangan yang besar itu wangi.
Aku bersyukur sekali karena aku tidak mempunyai alergi terhadap
serbuk bunga karena dengan demikian aku bisa mengamati ruangan yang
mengagumkan itu.
Ada sebuah piano putih kuno dari jaman Bartolome Cristofori di sudut
ruangan duduk yang dilengkapi dengan sofa yang indah dan perapian yang
besar.
Besar perapian itu juga membuatku merasa heran karena perapian itu
lebih besar dibandingkan perapian pada umumnya.
Aku tidak sempat memasuki kamar tidur yang lain karena aku terlalu
sibuk memperhatikan ruang duduk. Salah satu sisi ruangan duduk itu ada dua 160
kamar dan di sisi lainnya hanya satu kamar yang terus memanjang hingga
serambi.
Tetapi aku sempat melirik kamar tidur yang terletak di depan dua
kamar tidur lainnya itu ketika Pangeran memasuki ruangan itu.
Sekilas, aku melihat kamar tidur itu sangat indah dan seperti ruang
duduk, kamar itu penuh dengan berbagai macam bunga. Tempat tidurnya
yang besar berwarna putih dengan tiang-tiang besi yang berwarna keemasan.
Kamar tidur itu sangat indah sehingga sukar bagiku untuk
menggambarkannya dengan tepat.
Tetapi aku yakin kalian akan terpesona juga pada ruangan di lantai
empat yang tidak semewah ruangan lainnya tetapi penuh bunga.
Aku yakin ruangan lainnya lebih mewah tetapi tidak seindah ruangan di
lantai empat itu.
Ketika aku berada di ruangan itu. Aku merasa sangat damai dan
tentram dan itu membuat aku ingin terus berada di sana.
Aku terlalu terpesona pada ruangan itu sehingga tidak sempat bertanya
pada Pangeran mengenai ruangan itu lebih jauh.”
“Aneh sekali,” gumam Alexander.
“Ya, memang aneh sekali. Dan yang lebih aneh lagi adalah setiap pagi
dan sore, Pangeran selalu memeriksa ruangan tersebut. Dan tiap kali
Pangeran memeriksa ruangan itu, Pangeran selalu membawa seikat besar
bunga, padahal ruangan itu sudah penuh bunga.”
“Apakah orang yang pernah menempati ruangan itu sudah meninggal
dan arwahnya bergentayangan sehingga tidak ada orang yang berani tinggal
di ruangan itu dan ruangan itu selalu dipenuhi bunga untuk mencegah arwah
itu mengganggu penghuni Istana Plesaides yang lain?” tanya Eisench Mantrix.
“Tidak, Mantrix. Menurut Kepala Pengawal Istana yang waktu itu
mengantarku berkeliling Istana, ruangan itu ada yang menempati. Tetapi
selama aku di sana, aku tidak pernah melihat orang lain memasuki ruangan
itu selain Pangeran.”
“Pasti arwah orang yang dulu tinggal di situ yang kini masih menempati
ruangan itu,” kata Eisench Mantrix dengan yakin.
“Tidak, Mantrix. Karena Pangeran sendiri mengatakan bahwa ruangan
itu ditempati adiknya bersama pengasuhnya,” kata Trown Townie sambil
menggelengkan kepala.
“Adik Pangeran!” seru tamu-tamu yang terkejut mendengarkan kalimat 161
terakhir Trown Townie.
“Setahuku Pangeran tidak mempunyai adik,” kata Eisench Mantrix.
“Engkau salah lagi, Mantrix. Pangeran mempunyai seorang adik
perempuan hanya saja kita tidak pernah mendengar namanya maupun
melihatnya,” kata Trown Townie.
“Apakah engkau yakin, Townie?” tanya Duke.
“Aku yakin sekali. Karena yang memberi tahuku adalah Kepala
Pengawal Istana.”
“Mengapa Princess tidak pernah muncul?” tanya Eisench Mantrix.
“Aku tidak tahu. Aku tidak sempat bertanya pada Pangeran. Kepala
Pengawal Istana yang kutanyai tidak tahu menahu tentang itu. Ia hanya
mengatakan Putri jarang berada di Istana.”
“Ke manakah Princess bila ia sedang tidak berada di Istana?”
“Aku tidak tahu, Mantrix. Jangan bertanya lebih banyak lagi kepadaku
mengenai Princess kita yang tidak pernah muncul itu karena aku sendiri juga
tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari Kepala Pengawal Istana.”
“Apakah engkau tidak bertanya pada penghuni Istana yang lain?” tanya
Eisench Mantrix.
“Pelayan-pelayan lainnya juga tidak menjawab banyak pertanyaan yang
muncul di benakku. Mereka tidak memberi tahu lebih banyak kepadaku selain
mereka selalu merindukan Princess, yang kata mereka sangat cantik tak
tertandingi, seolah-olah mereka sengaja ingin menyembunyikannya.”
“Aneh sekali,” kata Duke.
“Hingga kapan pun, Istana Plesaides akan selalu menyimpan misteri.
Seperti menyimpan misteri politik dan sebagainya,” kata Maria.
Trown Townie tertawa mendengar kata-kata Maria. “Anda benar. Istana
Plesaides akan selalu menyimpan rahasia Kerajaan Zirva.”
“Di manapun, Istana adalah tempat penyimpanan rahasia suatu
negara.”
“Saya senang berbicara dengan Anda, pengetahuan Anda membuat
saya kagum,” kata Trown Townie.
“Apa yang saya ketahui masih kalah jauh dibandingkan Anda,” kata
Maria merendahkan diri.
“Mengapa kita membicarakan urusan Kerajaan di pesta ini?” kata Duke
dari ujung meja, “Saat ini kita berkumpul di sini untuk bersenang-senang
bukan untuk membicarakan masalah politik.”162
“Maafkan saya. Saya terlalu terpesona pada gadis ini,” kata Trown
Townie.
“Kita semua juga terpesona padanya sejak kedatangannya. Kita tidak
tahu siapa dia. Mungkin hanya Alexander saja yang mengetahui siapa gadis
yang mempesona ini sebenarnya,” kata Eisench Mantrix.
“Sejujurnya, saya juga tidak tahu siapa dia. Ia terlalu membingungkan
dan tidak dapat ditebak. Saat ini ia sudah memberi banyak kejutan pada
saya, saya tidak tahu apalagi yang akan dilakukannya untuk membuat saya
semakin terpesona,” kata Alexander sambil tersenyum pada Maria.
“Mari kita kembali ke Ruang Besar dan melanjutkan pesta kita sebelum
hari semakin malam,” kata Duke.
Semua tamu berdiri dan mengiringi Duke menuju Ruang Besar.
Maria dan Alexander masih duduk menanti semua tamu meninggalkan
ruangan itu. Duchess juga masih menanti semua tamu meninggalkan
ruangan.
Eisench Mantrix telah beranjak meninggalkan meja makan. Tetapi
Trown Townie masih tetap berada di ruangan itu.
Ketika semua tamu telah meninggalkan ruangan, Alexander membantu
Maria bangkit dari kursinya kemudian menanti Duchess dan Trown Townie.
“Engkau sangat mengejutkanku, anakku,” kata Duchess pada Maria.
“Maafkan saya bila saya terlalu mengejutkan Anda,” kata Maria.
“Jangan berkata seperti itu. Aku sangat senang bertemu dengan gadis
seperti engkau. Tidak seorang pun yang menduga engkau mengetahui
banyak mengenai politik, kecuali Al.”
“Sejujurnya, Mama, aku sendiri juga terkejut,” kata Al, “Seperti kataku,
ia selalu membuat aku terkejut.”
“Sebenarnya siapakah Anda?” tanya Trown Townie.
“Saya tidak mengetahui siapa saya yang sebenarnya. Saya tidak dapat
mengingat masa lalu saya,” kata Maria.
“Oh, saya turut menyesal. Di manakah Anda tinggal?” tanya Trown
Townie.
“Anda pernah mendengar bidadari yang ditemukan di Sungai Alleghei?”
tanya Duchess sebelum Maria menjawab pertanyaan Trown Townie.
“Saya hanya sekali mendengarnya yaitu ketika kusir kuda yang saya
sewa menceritakan bahwa penduduk Obbeyville mendapatkan seorang
bidadari yang sangat cantik dari dewa-dewi di Holly Mountain. Ia mengatakan 163
gadis itu ditemukan di Sungai Alleghei.”
“Bidadari itu sekarang berdiri di hadapan Anda,” kata Duchess.
Trown Townie berseru terkejut. “Saya tidak pernah membayangkan
akan bertemu sendiri dengannya. Saya sangat senang sekali dapat bertemu
dengan Anda. Saya merasa kusir itu berlebihan ketika menceritakan hal itu
tetapi sekarang saya merasa kusir itu kurang tepat menggambarkannya, ia
jauh lebih baik dari yang diceritakan.”
“Dapatkah saya meminta Anda berjanji untuk tidak mengatakannya
kepada siapapun yang hadir di pesta ini?” kata Alexander.
“Mengapa?” tanya Trown Townie keheranan.
“Karena Maria tidak ingin siapa pun mengetahui ia hadir di pesta ini.
Tentunya Anda mengerti bila ia menghindari penduduk Obbeyville yang selalu
membicarakan segala tindakannya.”
“Tentu, Alexander. Aku berjanji akan merahasiakan hal ini dari siapa
pun.”
“Terima kasih, Mr. Townie,” kata Maria.
“Jangan terlalu sopan seperti itu, Maria,” kata Trown Townie, “Jangan
memanggilku seperti itu, panggil aku dengan nama depanku saja, Trown.”
Duchess tertawa mendengar kata-kata Trown Townie yang sama seperti
yang pernah diucapkannya kepada Maria.
“Anda tidak akan berhasil. Ia selalu sopan terhadap siapa pun walaupun
telah dilarang,” kata Duchess.
“Itulah kelebihannya yang lain, Mama. Ia masih mempunyai banyak
kelebihan lain yang tidak akan Mama percayai.”
“Tidak, saya tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Apa yang saya
lakukan adalah wajar, tidak dapat dikatakan kelebihan,” kata Maria.
“Ini salah satu kelebihannya yang lain, Mama.”
“Aku jadi tertarik untuk mengenal engkau lebih jauh, Maria. Aku ingin
mengetahui apa saja kelebihanmu dan apakah yang dikatakan Al benar.”
“Tentu saja benar, Mama. Bila Mama telah cukup lama mengenal Maria,
Mama akan mengetahui kelebihannya yang lain,” kata Alexander, “Saya ingin
Mama sendiri yang menemukan kelebihan Maria yang lain.”
“Engkau gadis yang menyenangkan, Maria,” kata Trown Townie.
Maria tersenyum mendengar pujian Trown Townie, “Anda juga
menyenangkan, Mr. Townie. Saya senang berbicara dengan Anda.”
“Aku juga senang berbicara dengan gadis yang berpengetahuan luas 164
sepertimu,” kata Trown Townie.
“Pengetahuan saya tidak seluas yang Anda katakan. Saya tidak
mengerti mengenai segala hal yang disukai wanita seperti Baroness Lora.
Saya tidak mengerti mengenai gaun-gaun dan segala macam permata,” kata
Maria sambil tersenyum.
“Itulah yang membuat dirimu berbeda dengan wanita-wanita yang lain,
anakku,” kata Duchess sambil menggandeng Maria, “Sekarang bukan saatnya
kita membicarakan masalah politik. Sekarang saatnya kita menuju Ruang
Besar.”
Trown Townie tertawa, “Anda benar, Duchess. Tetapi saya harus
mengatakan bahwa saya senang sekali membicarakan masalah politik
bersama Maria. Ia dapat menambah pengetahuan saya.”
“Bukan Anda, Mr. Townie. Tetapi sayalah yang akan bertambah
pengetahuannya.”
Alexander membukakan pintu untuk mereka dan berkata, “Mari kita
menuju Ruang Besar. Para tamu pasti telah menanti kehadiran kita.”
165
10
Duchess berjalan bergandengan dengan Maria menuju Ruang Besar.
Pembicaraan mereka yang sangat akrab seperti seorang ibu dengan
putrinya, membuat Maria merasakan sesuatu yang aneh.
Maria merasa sangat bahagia bila berbicara dengan Duchess yang
sangat lembut padanya. Suatu perasaan yang tidak pernah muncul di hatinya
selama ia berada di Obbeyville.
Maria merasa seperti berjalan dan berbicara dengan akrab bersama ibu
kandungnya. Cara Duchess memperlakukannya, cara memandangnya,
caranya tersenyum pada dirinya, membuat Maria merasa seperti berhadapan
dengan ibu kandungnya. Teringat akan ibu kandungnya, Maria berusaha
mengingat wajah ibunya. Dan seperti biasanya, Maria tidak dapat
menyingkap lebih jauh kabut gelap yang menyelubungi masa lalunya.
Sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa ibu kandungnya sangat mirip
seperti Duchess of Blueberry.
Ibu kandungnya sangat cantik dan anggun seperti Duchess. Matanya
selalu tersenyum pada setiap orang. Tutur kata Duchess yang lemah lembut
juga mirip dengan cara ibunya berbicara. Ibunya yang cantik, yang baik, dan
sangat menyayanginya. Semua yang ada di diri Duchess mengingatkan Maria
pada ibunya yang tidak dapat diingat wajah juga namanya.
Ia merasakan kerinduan yang sangat dalam merasuk ke hatinya. Ia
merindukan ibunya, ayahnya dan keluarganya.
Tidak ada yang menyadari perasaan Maria.
Ketika mereka tiba di Ruang Besar, pesta dansa telah dimulai. Beberapa
pasangan telah mulai berdansa di Ruang Besar yang luas itu dengan diiringi
musik yang lembut.
Duchess segera membaur di antara tamu-tamunya.
Alexander membawa Maria ke pojok ruangan yang dekat jendela.
Mereka berdiri di sana sambil memperhatikan tamu-tamu.
Di seberang tempat mereka berdiri, adalah tempat mereka berada
sebelumnya ketika Marcel mencoba mendekati Maria.
Tirai jendela yang berwarna hijau cerah melambai-lambai tertiup angin 166
malam yang menerobos masuk Ruang Besar dari halaman yan luas.
Maria mendekati jendela itu dan memandang halaman Blueberry House
yang terhampar di depannya.
Pintu gerbang Blueberry House yang tak sempat diperhatikan Maria
ketika ia tiba kini tampak bersinar dengan warna putihnya di antara
kegelapan malam dan menampakkan bentuknya yang unik.
Bagian atas gerbang putih yang tinggi itu menyirip seperti daun dan
ujung-ujungnya yang runcing yang mengelilingi ujung pintu gerbang yang
meruncing itu membuat pintu gerbang itu tampak seperti daun Blueberry
yang bergerigi.
Pada bagian tengahnya tergambar lambang keluarga Blueberry,
sepasang daun Blueberry dengan buah Blueberry tepat di tengahnya.
Halaman Blueberry House tidak kalah indahnya dengan pintu gerbang putih
itu. Dari dalam Blueberry House, Maria dapat melihat lebih jelas halaman itu.
Mawar-mawar dengan berbagai macam warna yang tetap tumbuh di musim
panas, bermekaran dengan indahnya dan menyemarakkan Blueberry House.
Demikian pula bunga-bunga lainnya dan pepohonan yang terus bertahan
hidup di musim panas.
Langit malam itu sangat cerah, berbeda dengan malam-malam musim
panas sebelumnya. Bintang-bintang di langit seolah-oleh tersenyum pada
Maria demikian pula bulan purnama yang menghiasi langit malam yang cerah
itu. Sinar mereka menghiasi langit malam yang kelam dan menyejukkan hati
setiap orang yang memandangnya.
Maria tidak menyadari dirinya yang sedang memandang langit malam
itu tampak cantik sekali dengan rambut panjangnya yang melambai-lambai
tertiup angin malam musim panas yang nakal.
Alexander berdiri di samping Maria sambil terus memandangi wajah
gadis itu dari samping. Ia merasa Maria tetap terlihat sangat cantik dalam
keadaan apapun. Dilihat dari manapun ia selalu terlihat cantik.
Mulutnya yang mungil tersenyum lembut. Matanya memandang takjub
pada langit malam.
Alexander percaya andai topeng yang menutup mata gadis itu dilepas,
ia akan melihat mata ungu itu bersinar indah dan akan membuat semua
orang yang ada di ruangan ini terpesona.
Maria sangat asyik dengan pemandangan malam yang dilihatnya
hingga tak menyadari bukan hanya Alexander yang terkagum-kagum pada 167
dirinya yang saat itu terlihat sangat agung seperti bidadari.
“Ia cantik sekali dalam keadaan seperti itu,” kata Trown Townie, “Sejak
tadi aku memperhatikanya dan aku yakin tidak ada yang lebih cantik dari
Maria dalam keadaan seperti ini. Ia terlihat seperti bidadari yang ingin
kembali ke kahyangan.”
Alexander terkejut mendengar suara Trown Townie yang tiba-tiba
mendekatinya, “Ya, ia sangat cantik.”
“Engkau sangat beruntung, Alexander. Andai aku lebih muda darimu,
aku akan merebutnya darimu,” kata Trown Townie pura-pura menyesali
dirinya.
“Harus saya akui ia wanita tercantik yang pernah saya temui dan saya
kenal.”
“Apakah engkau menyadari sejak tadi tamu-tamu pria lainnya
memandangi Maria terutama Marcel?”
“Ya, bahkan Marcel telah mencoba merayu Maria sebelum makan
malam tadi. Tetapi Maria dapat mengatasinya dengan mudah. Ia membuat
Marcel merasa malu sekali dan membuat saya ingin tertawa melihat apa yang
dikatakannya pada Marcel.”
“Ia tidak mengatakan kata-kata yang kasar, bukan?” tanya Trown
Townie dengan cemas.
“Tentu saja tidak. Maria terlalu sopan untuk mengatakan kata-kata itu.
Ia hanya mengatakan suatu kebenaran dengan tenang dan sopan. Tetapi
itulah yang membuat Marcel kesulitan membalasnya. Bagaimana kita dapat
membalas seseorang yang berkata dengan tenang dan sopan tetapi tepat
mengenai kita?”
“Aku tidak percaya ada orang seperti itu,” seru Trown Townie.
“Saya juga sukar mempercayai tindakan Maria terhadap Marcel. Ia
seperti sangat pandai menghadapi orang seperti Marcel ketika itu. Saya yakin
Anda akan sependapat dengan saya bila Anda mengetahuinya,” kata
Alexander.
“Bila demikian engkau harus menjaganya sebaik mungkin, jangan
sampai ia jatuh ke tangan pria lain. Aku juga yakin ia satu-satunya gadis yang
berhasil menundukkan kekerasan hatimu atau lebih tepat kukatakan
kedinginanmu,” kata Trown Townie sambil tersenyum.
Seperti orang-orang lainnya, Trown Townie telah mengetahui juga
bahwa Alexander bukan orang yang mudah bila berhadapan dengan wanita. 168
Banyak sekali bahkan terlalu banyak wanita yang dibuatnya patah hati.
Alexander jarang terlihat bersama wanita lain selain ibunya. Dan tentu
saja apa yang terjadi hari ini membuat semua tamu menjadi terkejut.
Alexander datang bersama seorang gadis yang sangat cantik dalam
kemisteriusannya.
Gadis itu telah menyita perhatian semua tamu sejak kedatangannya
dan membuat Lady Debora yang biasanya selalu menjadi pusat perhatian,
menjadi marah dan jengkel karena kedudukannya telah terebut oleh gadis itu.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Lady Debora sangat ingin menjadi
Duchess of Blueberry. Berbagai usaha dilakukan wanita itu untuk menarik
perhatian Alexander.
Namun gadis misterius itu tanpa melakukan apa-apa telah berhasil
membuat semua orang di pesta dansa itu terpesona padanya terutama
Alexander. Dan itu membuat Lady Debora semakin marah.
Ketika kedua orang itu muncul dan mengejutkan semua tamu, Trown
Townie mendengar wanita itu berkata dengan marah,
“Siapa wanita itu? Mengapa ia berani sekali muncul bersama-sama
Alexander?”
“Tenanglah, anakku. Mungkin wanita itu tamu kehormatan Duke dan
Alexander ditugasi oleh Duke untuk menjemput dan mengawal wanita itu
selama di pesta ini,” kata Baroness Lora membesarkan hati putrinya.
“Mengapa bukan aku yang menjadi tamu kehormatan Duke, Mama?”
rujuk Lady Debora.
“Mungkin saja wanita itu putri teman Duchess akrab atau Duke,” kata
Baroness Lora.
“Tetapi aku juga putri teman Duke. Bukankah keluarga kita telah
berteman lama dengan keluarga Duke?”
“Aku tidak tahu. Semoga Alexander hanya menjemput wanita itu dan
tidak terus menerus berada di sisi wanita itu,” kata Baroness Lora.
“Lihat, Mama!” pekik Lady Debora, “Ia mengajak wanita itu menemui
Duke.”
Saat itu Alexander sedang memperkenalkan Maria kepada orang
tuanya. Semua tamu terkejut melihat sambutan hangat kedua orang tua
Alexander kepada gadis itu terutama Duchess. Dan mereka semakin terkejut
ketika gadis itu membungkuk seperti menghormat pada keluarga Raja.
“Aku akan menemui Alexander sekarang,” kata Lady Debora sambil 169
mendekati Alexander yang memperkenalkan gadis itu pada tamu-tamu yang
lain.
Trown Townie melihat Lady Debora mendekati Alexander dengan
cemburu.
“Ya, ia sangat sempurna. Jauh lebih sempurna dari yang kubayangkan
sehingga saya takut itu semua hanya khayalanku,” kata Alexander.
“Tetapi ia nyata, bukan? Percayalah Alexander, orang yang sedang
jatuh cinta akan merasa semuanya menjadi sempurna,” kata Trown Townie
sambil meninggalkan Alexander.
Gelak tawa Trown Townie masih terdengar ketika pria itu mendekati
seorang wanita dan mengajaknya berdansa.
Duchess mendekat, “Mengapa engkau tidak berdansa bersama Maria,
Al?”
“Maria sedang sibuk memandangi langit, Mama. Aku tidak ingin
mengganggunya,” kata Alexander.
“Ajaklah ia berdansa,” kata Duchess.
“Aku tidak yakin ia akan setuju,” kata Alexander.
“Mengapa?”
“Ia mengatakan padaku bahwa dirinya tidak yakin ia bisa berdansa,”
jawab Alexander.
“Dan engkau mempercayainya?” tanya Duchess.
“Aku tidak tahu, Mama.”
“Baiklah,” kata Duchess, “Sekarang dengarkan, anakku. Ia bukan gadis
biasa. Ia memiliki keanggunan yang sangat berbeda dengan wanita-wanita
lainnya dan ia memiliki kepandaian yang tak mungkin kautemui pada wanita
lainnya. Aku memang baru mengenalnya, tidak selama engkau, tetapi aku
yakin ia bukan gadis sembarangan. Aku sependapat dengan penduduk
Obbeyville, ia memang seorang bidadari.”
“Ia memang sangat berbeda dengan wanita lain yang pernah kutemui,”
kata Alexander.
Mendengar nada keragu-raguan dalam kata-kata putranya, Duchess
berkata, “Baiklah, anakku, bila engkau tidak percaya, aku akan
membuktikannya untukmu.”
“Bagaimana caranya, Mama?” tanya Alexander ingin tahu.
“Engkau akan tahu, tetapi sekarang engkau harus mengajaknya
berdansa dan aku yakin ia akan berdansa jauh lebih baik dari wanita-wanita 170
lainnya termasuk aku.”
“Mama jangan merendahkan diri seperti itu. Kita semua tahu Mama
pandai berdansa. Dulu Mama menang dalam lomba dansa yang diadakan di
Blueberry dan membuat Papa jatuh cinta,” kata Alexander.
“Sudahlah, itu sudah lama sekali. Saat itu aku masih muda sekarang
aku telah tua,” kata Duchess sambil tersenyum.
Duchess selalu tersenyum bila diingatkan pada masa lalunya.
Saat itu ia masih sangat muda ketika ia mengikuti lomba dansa di
musim semi yang selalu diadakan penduduk Blueberry setiap tahunnya.
Sebagai penduduk Blueberry, ia turut serta dalam lomba itu ketika ia sudah
menginjak usia dewasa.
Sebagai salah satu peserta yang termuda, ia merasa putus asa ketika
melihat kemahiran wanita-wanita lainnya. Tetapi ia segera membesarkan
hatinya sendiri dengan mengatakan, “Aku pasti bisa melakukannya lebih baik
dari mereka.”
Dan benar, saat itu Duchess sangat senang dan terkejut ketika juri
memutuskan dialah pemenangnya. Sungguh suatu hal yang tidak pernah
diduganya.
Saat itu pula ia bertemu dengan Duke dan jatuh cinta padanya.
Duke seorang yang romantis karena itu ia selalu menceritakan kepada
putranya bagaimana ia dulu bertemu dengan Duchess.
Karena telah sering mendengar cerita itu, Alexander sering pula
menggoda ibunya yang sangat disayanginya itu.
“Sekarang cepat ajak Maria,” perintah Duchess.
Alexander tersenyum pada ibunya dan mendekati Maria yang masih
asyik memandangi langit malam.
“Mereka tersenyum untukmu, Maria,” kata Alexander.
Maria menoleh dan tersenyum manis pada Alexander, senyuman yang
akan membuat siapa pun terpesona, “Mereka seperti menyambut saya.”
“Mereka memang menyambutmu dan akan selalu menyambutmu,”
kata Alexander, “Tetapi sekarang aku tidak mengijinkan engkau terus
menerima sambutan mereka. Engkau bisa jatuh sakit bila terus berada di
sini.”
“Anda benar,” kata Maria menyadari kesalahannya, “Maafkan saya.”
“Aku ingin mengajakmu berdansa,” kata Alexander.
“Saya tidak yakin bisa berdansa.”171
“Kita akan membuktikannya, Maria,” kata Alexander sambil meraih
tangan Maria yang berada pada tepi jendela itu.
Maria menurut saja ketika Alexander membawanya ke tengah ruangan
dan mengajaknya berdansa.
Alexander tidak terkejut ketika Maria dengan mudah mengikuti iringan
lagu yang lembut itu.
Beberapa tamu yang duduk di sekeliling Ruang Besar memandang
terpesona pada gerakan Maria yang gemulai.
Gaun gadis itu semakin bersinar-sinar seperti rambutnya setiap kali ia
bergerak. Syal putih panjang itu selalu melambai-lambai.
Nuansa yang diciptakan gadis itu dengan gerakannya membuat tamu-
tamu tidak dapat melepaskan pandangannya dari tengah Ruang Besar.
Maria tidak menyadari semua pandangan mata itu.
Maria hanya tahu ia kembali berada di masa lalunya. Ia merasa sering
berdansa bersama pria yang juga tinggi dan gagah seperti Alexander.
Ia seperti melihat wajah pria itu tersenyum padanya dan mengatakan
sesuatu, “Engkau semakin hari semakin pandai berdansa,…”
Tidak ada yang dapat diingatnya lagi selain sepatah kata itu.
Sesuatu di dalam hatinya mengatakan kata-kata pria dalam ingatannya
itu tidak semuanya diingatnya. Masih banyak kata yang diucapkan pria itu
tetapi ia tidak dapat mengingatnya.
“Apakah engkau lelah, Maria?”
Suara Alexander yang dalam itu membuat Maria menyadari ia berada di
Ruang Besar keluarga Blueberry bukan di ruangan dalam ingatan Maria yang
jauh lebih besar dari ruangan ini.
Ruangan dalam ingatan Maria sangat besar dan banyak lukisan yang
besar di dindingnya yang putih. Ia tertawa riang di pelukan pria yang terus
menerus memuji dan menggodanya itu.
Kini setelah ia menyadari tempatnya berdiri, ia merasakan kembali
kerinduan di dalam hatinya. Kerinduan itu seakan menyesakkan dadanya dan
ingin sekali ia pulang ke pelukan pria dalam ingatannya itu.
Maria menggelengkan kepalanya.
“Apakah engkau yakin?” tanya Alexander.
Sebenarnya, Alexander tidak perlu khawatir karena tak lama kemudian
lagu itu berhenti.
Alexander segera membimbing Maria ke tempat duduk yang masih 172
kosong sebelum lagu baru dimainkan.
“Kita telah membuktikan bahwa engkau pandai berdansa,” kata
Alexander.
Maria mengangguk tanpa berkata apa-apa.
“Tampaknya engkau tidak terlalu senang menyadarinya, Maria.”
“Tidak, saya senang sekali. Hanya saja saya merasa seperti kembali ke
masa lalu saya ketika saya berdansa dengan Anda.”
“Apakah pria itu pria yang memiliki nama sama denganku?” tanya
Alexander.
“Saya tidak tahu. Saya tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas,”
kata Maria sambil tersenyum.
“Aku yakin tidak lama lagi engkau akan segera mengingat masa lalumu
dan engkau akan kembali ke keluargamu,” kata Alexander.
“Saya juga berharap seperti itu,” kata Maria.
“Bila engkau kembali ke keluargamu, Maria. Apakah engkau masih akan
berkunjung ke Obbeyville?” tanya Alexander.
“Tentu,” jawab Maria dengan yakin, “Saya mencintai tempat ini dan
walaupun saya telah mengingat kembali masa lalu saya, saya akan sering
pergi ke Obbeyville.”
“Apakah engkau juga akan berkunjung ke Blueberry?”
“Tentu saja. Blueberry tidak akan pernah terpisahkan dari Obbeyville.”
“Apakah engkau hendak mengatakan mitos Obbeyville tidak
terpisahkan dengan mitos Blueberry?” tanya Alexander sambil tersenyum.
“Saya rasa bukan hanya itu saja. Obbeyville hingga kapan pun tidak
akan pernah terpisah dari Blueberry karena banyak penduduk Obbeyville
yang bekerja di kebun Blueberry Anda,” kata Maria balas tersenyum.
“Aku rasa bukan hanya itu saja alasannya,” kata Alexander memancing
Maria berkata lebih banyak.
“Benar. Masih ada beberapa alasan lainnya. Dan beberapa di antaranya
ada hubungannya dengan mitos-mitos itu.”
“Apakah alasan ini ada hubungannya dengan mitos ketiga?” tanya
Alexander.
“Tidak.”
“Engkau mau mengatakannya padaku?”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu tunggulah sebentar, Maria. Aku akan memanggil ayahku, 173
ia pasti akan senang bila engkau menceritakan hal itu kepadanya. Sejak dulu
ayahku memang menyukai segala hal yang berhubungan dengan mitos,” kata
Alexander.
“Jangan, biarkan saya yang ke sana dan menceritakannya pada
mereka,” cegah Maria.
“Tidak apa-apa, Maria. Papa lebih menyukai datang menemui orang itu
sendiri bila ia membutuhkan sesuatu darinya daripada meminta orang itu
datang kepadanya,” kata Alexander dan segera beranjak dari duduknya
sebelum Maria mencegahnya.
Maria tersenyum memandangi Alexander yang menyeberangi Ruang
Besar menuju tempat orang tuanya duduk.
Ia memperhatikan beberapa pasangan yang masih berdansa di tengah
Ruang Besar.
Lady Debora berdansa bersama Marcel. Sebelum itu ia berdansa
bersama seorang pria yang kini tengah berbicara dengan Baroness Lora.
Entah apa yang mereka bicarakan, Maria tidak dapat mendengarnya di
tengah musik yang mengalun dan suara orang yang berisik walaupun mereka
berdiri tak jauh dai tempat Maria duduk.
Seorang wanita muda merampas perhatian Maria. Wanita itu
mengenakan batu jamrud hijau yang besar di lehernya dan gaunnya yang
terbuat dari kain satin bertaburan permata kecil.
Wanita itu tampak berkilauan ketika berjalan mendekatinya.
Ketika wanita itu semakin dekat, Maria menyadari wanita itu tidak
semuda yang dibayangkannya. Rambutnya juga tidak semerah yang
dilihatnya dari kejauhan.
“Selamat malam,” sapa wanita itu sambil duduk di kursi yang tadi
diduduki Alexander.
“Selamat malam,” kata Maria sambil menganggukkan kepalanya.
“Saya mengucapkan selamat kepada Anda,” kata wanita.
Maria melihat wanita itu dan kini ia ingat di mana ia pernah melihat
wanita muda itu. Wanita muda itu tadi duduk di hadapan Lady Debora selama
makan malam. Dan selama itu sikap keduanya seperti dua orang musuh yang
terpaksa berhadapan di meja yang sama.
“Selamat atas apa?” tanya Maria tak mengerti.
“Anda telah berhasil mengalahkan Lady Debora.”
“Maafkan saya. Saya tidak mengerti apa yang bicarakan,” kata Maria.174
“Anda jangan berpura-pura tidak mengerti. Semua tamu wanita yang
hadir di sini sudah mengetahui bahwa Anda berhasil menarik perhatian
semua tamu yang hadir di sini. Bahkan Alexander yang terkenal sulit didekati
dapat dengan mudah Anda tundukkan,” kata wanita itu.
Maria mulai memahami apa yang hendak dikatakan wanita itu. Cara
wanita itu mengatakan nama Lady Debora menampakkan kebenciannya.
Maria pernah mendengar Lady Debora dengan mudahnya menjadi
pusat perhatian di mana pun ia berada. Dan hal itu membuat wanita lainnya
menjadi iri. Lady Debora juga tak jarang merebut teman pria wanita-wanita
itu.
Dan wanita yang duduk di sisi Maria itu satu dari sekian banyak wanita
yang dibuat marah oleh Lady Debora. Kebencian yang tampak dari cara
memandangnya kepada Lady Debora sewaktu di Ruang Makan tadi telah
cukup membuktikan dugaan Maria.
“Al selalu berada di sisi saya karena ia telah berjanji kepada orang tua
saya untuk selalu menjaga saya,” kata Maria.
“Anda pandai sekali menggunakan orang tua untuk mendekati
Alexander,” kata wanita itu.
“Saya tidak pernah menggunakan orang tua untuk kepentingan saya. Al
sendiri yang berkata seperti itu kepada mereka.”
“Saya tidak peduli lagi apa alasan Anda. Tetapi saya mengucapkan
selamat kepada Anda karena telah berhasil mengalahkan Lady Debora.
Menurut kami semua, Anda lebih pantas menjadi Duchess of Blueberry
daripada Lady Debora. Dan kami merasa kagum pada pengetahuan Anda dan
kecantikan Anda. Saya ingin mengatakan Andalah wanita tercantik yang
pernah saya lihat.”
“Terima kasih. Anda jauh lebih cantik dari saya,” kata Maria.
Wanita itu tertawa senang, “Anda memang pandai mengambil hati
orang. Tak salah bila Alexander jatuh cinta pada Anda. Saya masih ingin
berbicara dengan Anda tetapi saya masih punya urusan penting.”
Wanita itu meninggalkan Maria dalam keadaan bersemu merah.
Maria tidak mengerti mengapa wanita itu berkata seperti itu. Mungkin
karena ia dan Al selalu berdua sejak mereka tiba.
Setelah kepergian wanita itu, seorang pria mendekati Maria dan duduk
di tempat yang sama.
Maria tersenyum memikirkan hal itu. Ia merasa seperti orang penting 175
yang selalu mendapatkan teman berbicara walaupun ia duduk seorang diri.
“Mengapa Anda duduk sendirian di sini?” tanya pria itu sambil
tersenyum.
“Saya sedang menanti Al,” jawab Maria.
“Bagaimanakah hubungan Anda yang sebenarnya dengan Alexander?”
“Kami teman,” kata Maria sambil tersenyum memikirkan semua orang
salah menduga.
Ia percaya semua orang yang hadir di situ memiliki dugaan yang sama
seperti pria itu dan wanita yang baru saja berbeicara dengannya.
“Mereka menduga aku adalah kekasih Alexander. Tetapi itu tidak
benar,” kata Maria pada dirinya sendiri.
Saat itu juga Maria menyadari apa yang dikatakannya tidak benar. Ia
tidak mengerti mengapa hati kecilnya berkata seperti itu.
“Apakah Anda sudah lama berteman dengan Alexander?”
“Tidak. Kami baru beberapa hari berkenalan.”
“Saya kagum Anda dapat membuat Alexander tertarik pada Anda hanya
dalam beberapa hari. Dan Anda telah membuat saya jatuh cinta hanya dalam
beberapa jam,” kata pria itu.
Maria tidak menyukai arah pembicaraan pria itu. Ia merapatkan syal
putih itu ke bahunya yang terbuka dan beranjak bangkit dari situ.
“Maafkan saya. Saya harus menemui Alexander. Saya rasa ia pergi
terlalu lama,” kata Maria.
“Lupakan saja Alexander. Berdansalah bersama saya,” kata pria itu
sambil beranjak berdiri.
“Terima kasih, tetapi saya lebih suka mencari Alexander. Saya tidak
pandai berdansa,” kata Maria.
“Anda jangan merendahkan diri seperti itu. Tadi saya melihat Anda
berdansa dengan gemulai. Tadi Anda nampak seperti seorang bidadari yang
sedang menari dan saya terpesona karenanya.”
“Terima kasih. Saya akan senang sekali dapat berdansa dengan Anda di
lain waktu. Saat ini saya harus mencari Al,” kata Maria.
“Alexander sedang bersama orang tuanya,” kata pria itu sambil
menunjuk Alexander yang sedang berbicara bersama kedua orang tuanya di
tepi Ruang Besar.
“Karena itulah saya harus ke sana. Saya berjanji pada Al untuk
menemui Duke.”176
“Tidak dapatkah Anda meluangkan waktu untuk berdansa dengan
saya?”
“Maafkan saya. Saya tidak dapat,” kata Maria.
Maria berjalan meninggalkan pria itu. Ia hendak menuju ke tempat
Alexander berada ketika seorang pria lain mencegatnya di tengah Ruang
Besar.
“Apakah Anda mau berdansa bersama saya?” tanya pria itu sambil
mengulurkan tangannya.
“Saya akan senang sekali tetapi saat ini saya harus menemui Duke,”
kata Maria dengan tenang melihat teman pria itu mendekat.
Tak lama kemudian Maria telah dikerumuni pria, tetapi ia tetap tenang
sambil berjalan mendekati Alexander.
Seolah ada sesuatu pada diri Maria yang membuat pria-pria itu
memberi jalan kepadanya. Mereka yang semula hendak mengajak Maria
berdansa menepi ketika gadis itu terus melangkah dengan anggun, tanpa
sempat mengutarakan keinginan mereka.
Alexander tersenyum ketika Maria mendekat. Tangannya terulur pada
Maria.
“Engkau membuatku semakin kagum,” kata Alexander sambil
mengangkat tangan Maria ke mulutnya dan menciumnya.
Jantung Maria berdebar karena tindakan Alexander yang tidak terduga
itu. Ia tidak menyadari pipinya memerah karenanya.
“Apa yang kaukatakan pada mereka sehingga mereka tidak
menggodamu?” tanya Duchess ingin tahu.
“Saya tidak mengatakan apa-apa kepada mereka. Saya hanya terus
berjalan ke mari dan mereka memberi jalan kepada saya,” jawab Maria.
“Engkau memiliki sesuatu yang membuat semua orang tidak berani
menganggumu,” kata Duke.
“Itulah kharisma. Setiap orang memiliki kharisma sendiri-sendiri. Ada
yang memiliki kharisma yang membuat orang itu disegani orang lain ada pula
kharisma yang membuat orang itu tampak bersinar di tengah orang lain,”
kata Maria.
“Siapakah yang mengatakannya kepadamu?” tanya Duchess kagum
pada kata-kata Maria.
“Saya tidak dapat mengingatnya,” kata Maria.
“Kharisma apa yang terlihat dari kami semua yang ada di sini, Maria?” 177
tanya Trown Townie yang duduk di dekat orang tua Alexander.
“Seperti yang saya katakan sebelumnya, setiap orang memiliki
kharisma sendiri-sendiri yang berbeda antara orang yang satu dengan yang
lain. Anda, Mr. Townie, memiliki kharisma yang membuat semua orang
senang berbicara dengan Anda,” kata Maria.
Trown Townie tertawa mendengar kata-kata Maria. “Engkau pandai
mengambil hati orang, Maria.”
“Saya tidak mengambil hati siapa pun. Saya hanya mengatakan yang
sebenarnya,” kata Maria sambil tersenyum.
“Engkau selalu mengatakan yang sebenarnya tetapi hampir semua
kebenaran yang kaukatakan membuat semua orang menyukaimu,” kata
Trown Townie.
“Tidak semua kebenaran yang saya katakan itu menyenangkan semua
orang. Anda sebenarnya memiliki sesuatu yang membuat sebagian orang
kurang menyukai Anda.”
“Katakan kepadaku apakah itu, Maria?” kata Trown Townie.
“Apakah Anda yakin mau mendengarnya?” tanya Maria.
“Katakanlah Maria. Aku menyukai kebenaran.”
“Saya tahu Anda tidak menyukai kebohongan. Tetapi saya harus
mengatakan kepada Anda apa yang akan saya katakan ini akan sangat
menyakitkan hati Anda.”
“Tidak apa-apa, Maria. Ia tidak akan pernah marah,” kata Duke.
“Itulah hal yang kurang disukai sebagian orang dari Anda, Mr. Townie.
Anda selalu santai menghadapi setiap masalah. Bahkan terkesan
menganggapnya sebagai suatu lelucon. Hal itu membuat sebagian pejabat
Istana kurang menyukainya.”
Trown Townie tertawa lagi mendengar kata-kata Maria.
“Aku telah menduganya, Maria. Menteri-menteri yang kuno itu memang
selalu menganggap serius setiap masalah. Menurutku setiap masalah jangan
dianggap terlalu serius atau kita akan menjadi cepat tua karenanya.”
“Tidak semua menteri beranggapan seperti itu. Masih banyak pejabat
yang menyukai cara Anda memandang suatu masalah,” kata Maria, “Memang
dalam hidup ini selalu saja ada orang yang menyukai kita dan membenci
kita.”
Trown Townie terkejut mendengar kalimat terakhir Maria demikian pula
Duke dan Duchess.178
Maria menyadari keterkejutan mereka bertiga dan berkata, “Apakah
yang saya katakan salah?”
“Jangan cemas seperti itu, Maria. Mereka hanya terkejut pada kata-
katamu yang seperti orang yang telah berpengalaman dalam hidup ini,” kata
Alexander.
“Ya, engkau mengatakan itu seperti orang yang telah berpengalaman
dalam hidup ini,” kata Duke.
“Engkau mengejutkanku, anakku,” kata Duchess sambil menarik Maria
mendekat, “Aku tidak menduga engkau akan berkata seperti itu. Aku yakin
engkau juga telah membuat Mrs. Vye bahkan seluruh penduduk Obbeyville
menjadi terkejut dengan kata-katamu yang seperti orang bijak itu.”
“Ia memang telah mengejutkan Mrs. Vye, Mama. Mrs. Vye mengatakan
padaku Maria sangat bijaksana untuk ukuran gadis seusianya. Kata-katanya
selalu terkesan seperti orang yang sangat berpengalaman di dunia ini,” kata
Alexander.
“Suatu hari nanti aku akan memintamu untuk mengajariku
kebijaksanaan yang lain. Engkau mau bukan?” goda Trown Townie.
“Saya khawatir saya akan mengecewakan Anda. Saya tidak mempunyai
banyak waktu di siang hari dan sebentar lagi saya akan selalu sibuk mulai
dari pagi hingga malam,” kata Maria.
“Apa lagi yang hendak engkau lakukan, Maria? Bukankah engkau selalu
mempunyai banyak waktu di sore hari,” kata Alexander.
“Mulai esok saya tidak akan mempunyai banyak waktu lagi. Saya telah
berjanji pada Ityu untuk menceritakan mitos-mitos itu padanya di sore hari,”
kata Maria.
“Ityu salah satu dari anak-anak itu?”
“Ya, ia sangat tertarik pada mitos. Tetapi yang diketahuinya hanya satu.
Saya berjanji padanya akan menceritakan semua mitos itu.”
“Apakah engkau juga akan menceritakan mitos ketiga itu padanya?”
“Mengenai itu saya masih ragu. Suku itu telah beratus-ratus tahun
menyimpannya dari pengetahuan orang lain.”
“Sebenarnya berapakah mitos yang ada di Kerajaan Zirva?” tanya Duke
yang tertarik mendengar percakapan Alexander dengan Maria.
“Banyak sekali tetapi hanya tiga yang terkenal. Dan buku yang Anda
katakan itu mungkin berisi semua mitos yang ada di Kerajaan Zirva.”
“Sayang saat ini kita sedang berpesta bila tidak aku akan memintamu 179
untuk membacakannya untukku. Aku sama sekali tidak mengerti tulisan buku
itu yang bagiku lebih menyerupai huruf Mesir Kuno daripada huruf Latin.”
“Besok aku akan mengajak Maria ke sini lagi,” kata Alexander berjanji
pada ayahnya.
“Besok saya tidak mempunyai banyak waktu,” kata Maria
mengingatkan.
“Jangan khawatir, Maria. Aku dapat mengatasinya.”
“Sebenarnya siapakah engkau, Maria? Dan apa saja yang engkau
ketahui? Mungkin lebih tepat apa yang tidak engkau ketahui. Aku percaya
engkau lebih banyak mengetahui daripada tidak mengetahui segala
sesuatunya,” kata Trown Townie.
“Ia lebih tepat menjadi bidadari dari Holly Mountain daripada yang lain,”
kata Duchess.
“Aku akan percaya sekali bila ia mengatakan ia berasal dari Holly
Mountain,” kata Alexander menambahkan.
“Anda jangan melihat seseorang dari luarnya saja. Hati seseorang bisa
lebih buruk dari yang terlihat,” kata Maria memperingatkan.
“Engkau tidak hanya menampakkan kecantikanmu yang terlihat dari
luar, Maria, tetapi juga kecantikkan hatimu,” kata Alexander.
“Engkau memiliki hati yang cantik, anakku,” kata Duchess sambil
tersenyum ,”Itulah yang membuat engkau berbeda dengan wanita-wanita
lainnya.”
“Bagaimana pendapatmu mengenai diriku?” tanya Trown Townie.
“Saya menyukai Anda dan cara Anda menghadapi hidup ini. Setiap
orang memiliki cara sendiri-sendiri untuk menghadapi hidup yang penuh
tantangan ini,” kata Maria.
“Aku senang mendengarnya,” kata Trown Townie, “Sejak tadi aku
khawatir engkau tidak menyukaiku.”
“Saya menyukai Anda terutama kecaman Anda terhadap politik
perdagangan Blueberry,” kata Maria.
“Politik perdagangan Blueberry kerajaan ini memang buruk sekali waktu
itu, tetapi sekarang menjadi lebih baik,” kata Trown Townie.
“Aku setuju denganmu yang tidak menyukai cara Istana menjual
Blueberry ke luar negeri. Dulu Istana memang lebih menyukai menjual
seluruh persediaan Blueberry ke luar negeri daripada membusuk di gudang
penyimpanan. Tetapi sekarang kita dapat mengubahnya menjadi selai dan itu 180
tidak akan membuat Blueberry menjadi cepat membusuk,” kata Alexander.
“Memang seharusnya dari dulu itulah yang dilakukan pemerintah.
Tetapi apa boleh buat saat itu yang memerintah Raja Croi I dan ketika Raja
Croi II menggantikan ayahnya, peraturan itu diubah. Tetapi Raja tidak segera
mengubahnya, baru setelah aku memberikan kecaman yang cukup keras,
Raja mengubahnya,” kata Trown Townie.
“Saat itu Raja masih sibuk mengadakan pembaharuan di berbagai
bidang. Di samping itu Raja juga menghadapi menteri-menteri yang masih
berpikiran kuno seperti Raja Croi I. Dan setelah sebagian besar menteri itu
diganti, Raja bisa mengadakan pembaharuan di bidang perdagangan,” kata
Alexander.
“Ya, perjuangan yang sangat berat dari Raja Croi II telah berhasil
membuat kerajaan kita menjadi lebih dikenal penduduk dunia. Kerajaan kita
telah cukup lama terkurung di sekitar pegunungan Skandinavia,” kata Trown
Townie.
Selama beratus-ratus tahun Kerajaan Zirva tidak berhubungan dengan
dunia luar melalui daratan karena pegunungan Skandinavia yang tinggi itu.
Baru setelah Perancis di bawah pemerintahan Napoleon Bonaparte
mengadakan perluasan wilayah, jalan ke Kerajaan Zirva terbuka.
Kerajaan Zirva sangat beruntung karena Napoleon tidak tertarik pada
kerajaan yang letaknya cukup terpencil ini.
Armada laut Kerajaan Zirva menjadi semakin kuat setiap tahunnya
karena selama beratus-ratus tahun mereka berhubungan dengan dunia luar
hanya melalui lautan yang terletak di sebelah barat kerajaan.
Sebagai kerajaan yang cukup terpencil, tidaklah mengherankan bila
banyak penduduk Kerajaan Zirva yang berpikiran kuno.
Sejak pemerintahan Raja Croi I telah banyak diadakan perubahan di
segala bidang. Dan baru pada masa pemerintahan Raja Croi II perubahan itu
terasa sangat nyata dan berdampak cukup besar bagi perekonomian Kerajaan
Zirva.
Raja Croi I kurang mampu menghadapi para menteri yang kebanyakan
masih berpikiran kuno itu. Dan itulah yang menyebabkan perubahan yang
dilakukannya kurang terasa.
Sedangkan Raja Croi II mampu menghadapi menteri-menteri yang kuno
itu. Raja Croi II mengambil tindakan yang cukup tegas ketika ia memutuskan
mengganti menteri yang kuno dengan menteri-menteri yang berpandangan 181
modern.
Langkah pertama yang diambil Raja Croi II ketika ia naik tahta cukup
mengejutkan penduduk Kerajaan Zirva. Namun banyak dari penduduk
Kerajaan Zirva yang telah mengenal pendidikan di luar Kerajaan Zirva, yang
menyetujui usul itu.
Tidak semua menteri diganti oleh Raja Croi II. Sebagian dari menteri
yang masih muda dan bermanfaat bagi kerajaan tetap digunakan. Sebagian
lainnya diganti dengan menteri baru.
Sejak perubahan yang dilakukan Raja Croi II pada pemerintahannya,
perubahan-perubahan yang lain terjadi.
Raja Croi II telah banyak membuat perubahan di segala bidang. Dan kini
yang sedang diperdebatkan adalah Undang-Undang Hukum Kerajaan Zirva.
Masih banyak orang yang ragu mengganti hukum yang keras itu
dengan hukum baru yang lebih lunak.
Selama ini Kerajaan Zirva terkenal damai dengan hukumnya yang
keras. Banyak orang yang khawatir kedamaian yang selama ini tercipta
dengan hukum yang keras menjadi rusak bila hukuman itu diperingan.
“Aku rasa kita bisa memulainya setelah lagu ini selesai,” kata Duchess.
“Kurasa lagu ini akan selesai tak lama lagi,” kata Duke.
Maria tak mengerti apa yang sedang dibicarakan Duke dan Duchess.
Tetapi Alexander dan Trown Townie tampaknya mengerti apa yang
dibicarakan Duke dan Duchess.
Tak lama kemudian lagu itu selesai. Tetapi tidak ada lagu yang
menggantikan lagu terakhir itu.
Duchess berjalan ke depan menuju ke sebuah piano yang terletak di
dekat tempat itu.
Saat itulah Maria menyadari keberadaan piano itu. Mungkin warna
piano yang hitam itulah yang membuat Maria tidak menyadari keberadaan
piano itu.
“Mama pandai bermain piano dan ia selalu memainkan beberapa lagu
di setiap pesta dansa yang diadakan,” bisik Alexander sambil mengajak Maria
mendekati piano itu.
Duchess tidak duduk di depan piano itu seperti yang diduga Maria.
Duchess berdiri di tepi piano itu.
Ia tersenyum pada Maria dan Alexander yang semakin mendekat.
Tangannya terulur pada Maria.182
Maria tidak mengerti apa yang akan dilakukan Duchess.
“Ulurkan tanganmu, Maria,” bisik Alexander.
Maria menerima uluran tangan Duchess. Duchess menarik Maria hingga
gadis itu berdiri tepat di depan piano itu.
“Mainkanlah lagu untuk kami semua, Maria,” kata Duchess kemudian ia
berdiri di samping Alexander.
Maria tidak mengatakan apa-apa, ia hanya memandang wajah Duchess
sebelum ia mengalihkan perhatiannya ke piano itu.
Maria meletakkan jari-jarinya yang terbungkus sarung tangan di atas
piano itu. Tangannya bergerak perlahan di permukaan piano itu, seperti
menyentuh sesuatu yang sangat halus dan menakjubkan.
Tidak ada yang bersuara sedikitpun. Semua menanti tegang tindakan
yang akan dilakukan Maria.
Perlahan-lahan, Maria membuka tutup piano itu yang menutupi tuts-tuts
tetapi ia tidak segera memainkan piano itu. Ia menyentuh permukaan tuts-
tuts itu.
Perasaan aneh menjalari tubuhnya. Ia merasa rindu. Bukan rindu
memainkan piano tetapi kerinduan yang lain.
Saat jari-jarinya menyentuh piano itu, ia merasakan kerinduan yang
sangat dalam pada sesuatu yang tak dapat diketahuinya dengan pasti.
Ia merasa rindu pada orang-orang yang selalu mendengarkan
permainannya di ruangan yang besar. Ia merindukan suasana yang ia
ciptakan dengan permainannya. Ia merindukan semuanya.
Tergerak perasaannya, Maria duduk di depan piano itu dan mulai
menekan tuts-tuts yang sejak tadi hanya disentuhnya.
Tidak ada perasaan ragu ketika ia mulai menekan satu per satu tuts itu.
Lagu pertama yang dimainkannya merupakan lagu Gereja karya Mozart.
Duchess tersenyum pada Alexander. “Tepat seperti yang kukatakan,
bukan? Ia pandai bermain piano dan ia bukan gadis sembarangan,” katanya
pada Alexander.
Semua tamu yang memandang Maria merasa kagum mendengar
permainan Maria yang merdu dan penuh perasaan itu. Permainan piano Maria
sangat jernih dan merdu seakan-akan menggambarkan sifatnya yang selalu
tenang dan disukai banyak orang.
Mendengar permainan Maria yang berisi pujian kepada Bunda Perawan
Maria, Alexander teringat kembali perbincangan ayahnya dan tamu yang lain.183
Ia sedang mengawasi Maria yang tengah berbicara dengan seorang
wanita ketika ayahnya tiba-tiba berkata, “Aku masih tidak percaya Pangeran
mempunyai adik.”
Trown Townie menyahut, “Memang sukar dipercaya. Walaupun
Pangeran sendiri yang memberitahuku tetapi aku sejujurnya sendiri masih
ragu.”
“Itu benar. Pangeran mempunyai adik yang sangat cantik,” kata pria
yang juga duduk di dekat kedua orang tua Alexander.
“Cara bicara Anda seperti telah melihat sendiri Princess.”
Pria tua itu membalas senyuman Duchess dan berkata, “Anda benar,
Duchess. Aku pernah bertemu dengannya.”
Pernyataan pria itu membuat orang-orang yang berada di sekelilingnya
terkejut.
“Sungguhkah itu?” tanya Duke dan Trown Townie hampir bersamaan
sedangkan Duchess hanya terpana mendengar ucapan itu.
Alexander yang semula melihat ke Maria juga menoleh ketika
mendengar ucapan yang mengejutkan itu.
“Benar. Saat itu Princess masih kecil tetapi ia telah tampak menarik
tentu sekarang ia jauh lebih menarik,” kata pria itu.
Mereka terdiam. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Pria itu melanjutkan ceritanya,
“Saat itu aku dipanggil Raja untuk membantunya menangani suatu
urusan yang sangat penting dan rahasia.
Ketika aku dan Raja serta beberapa menteri lainnya telah
menyelesaikan pertemuan kami, Raja mengajak kami semua berkumpul di
suatu ruangan. Sampai saat ini aku masih ingat kejadian yang tak pernah
kuduga sebelumnya yang terjadi di ruangan itu.”
Pria itu berhenti dan mengenang kembali saat ia mengunjungi Istana
Plesaides.
“Ratu dan Pangeran sedang bercanda ketika kami tiba. Mereka tampak
seperti sedang menanti sesuatu.
Tak lama setelah kami terlibat pembicaraan yang menarik, seorang
gadis cilik yang sangat cantik membuka pintu.
Ketika melihat gadis itu aku menduga ia adalah anak pelayan. Tetapi
ketika ia menyapa Raja dan Ratu, aku terkejut sekali terlebih lagi ketika
semua menteri menyapanya, “Selamat siang, Putri kecil.”184
Aku sama sekali tidak menduga sebelumnya bahwa gadis itu adalah
Princess.”
Pria itu terdiam lagi dan tersenyum seolah menertawakan
kebodohannya sendiri.
Trown Townie menggunakan kesempatan ini untuk bertanya, “Mengapa
ketika engkau melihatnya, engkau tidak menduga ia adalah Princess?”
“Karena saat itu Princess tidak mengenakan gaun yang seharusnya
dikenakan putri raja,” jawab pria itu.
“Gaun apa yang dikenakannya? Apakah Raja tidak menyayangi
Princess?” tanya Duchess tak mengerti.
“Tidak, Duchess. Raja dan Ratu juga Pangeran serta semua orang di
Istana sangat mencintai Princess.”
“Lalu mengapa Anda tidak mengenalinya sebagai putri raja?” tanya
Duchess.
“Saat itu Princess muncul dengan rambut terkepang dua seperti gadis
desa dan sebuah nampan besar di tangannya.
Bukan hanya itu saja yang membuatku menduga ia anak salah seorang
pelayan Istana. Saat itu sebuah celemek menutupi gaun sederhana yang
dikenakan Princess.
Apalagi ketika ia memasuki ruangan itu, beberapa pelayan wanita yang
juga membawa nampan di kedua tangan mereka, masuk.
“Kali ini apa yang kaubawa?” tanya Pangeran sambil mendekati
Princess.
Princess mengelak ketika Pangeran hendak mengambil kue yang ada di
atas nampan itu.
“Engkau tidak boleh mengambilnya dulu,” kata Princess menggoda
Pangeran sambil berlari menjauh dari Pangeran yang terus mengikutinya.
Aku keheranan melihat semua itu tetapi semua orang di sana hanya
tersenyum melihat tingkah kedua putra raja itu.
“Musim semi adalah musim cerianya Istana Plesaides,” kata seseorang
kepadaku.
Princess berlari mendekati Raja dan Ratu. “Papa Mama, ambillah dulu
sebelum dia,” kata Princess sambil melirik menggoda pada Pangeran.
“Kue apa yang kali ini engkau buat?” tanya Raja menggoda Princess,
“Apakah kue ini enak? Warnanya seperti kue yang hangus.”
“Papa coba saja. Kue ini sangat enak. Mrs. Wve juga mengatakan kue 185
ini enak.”
“Kali ini siapa yang mengajarimu membuat kue ini?” tanya Ratu.
“Seorang nenek tua di dekat Small Cottage yang mengajariku,” kata
Princess sambil tersenyum, “Cobalah. Kue ini sangat enak.”
“Apa namanya?” tanya Ratu.
“Nenek itu tidak tahu namanya.”
“Karena warnanya seperti kue hangus, aku akan menamakannya ‘Kue
Hitam’,” kata Ratu.
“Nama yang lucu. Cobalah, Mama. Jangan khawatir akan rasa kue ini,”
kemudian ia berkata kepada kami, “Kalian juga harus mencobanya.”
Pangeran cemberut, “Begitu, ya. Aku diletakkan yang paling akhir.”
Princess meletakkan nampan-nampan yang dibawanya di atas meja
kemudian mendekati Pangeran dan memeluknya.
“Jangan berkata seperti itu. Aku menyayangimu. Tetapi aku tidak boleh
mendahulukan orang lain sebelum orang tuaku dan itu termasuk engkau,”
katanya.
Aku terkejut mendengar kata-kata Princess itu. Ia berkata seperti orang
yang telah dewasa padahal waktu itu ia masih sangat kecil, mungkin usianya
tak lebih dari lima atau enam tahun.
Pangeran tersenyum dan menggendong adiknya. “Aku selalu kesepian
bila engkau tidak ada.”
“Apa yang dapat kulakukan? Aku hanya dapat berada di sini selama
musim semi. Setelah musim semi berakhir, aku harus pergi dan kembali lagi
pada musim semi berikutnya. Aku sendiri tak ingin pergi tetapi aku harus,”
kata Princess.
Sekali lagi aku terkejut mendengar kata-kata Princess yang seperti
orang dewasa itu.
“Aku mengerti,” kata Pangeran sambil menurunkan Princess.
Princess segera berlari mengikuti pelayan-pelayan yang telah
meninggalkan ruangan itu setelah mencium pipi Pangeran.
“Mereka selalu seperti itu,” kata Ratu padaku, “Mereka tidak dapat
dipisahkan tetapi apa yang dapat kami lakukan.”
“Adikku hanya berada di Istana Plesaides selama musim semi. Dan
setiap musim semi adalah musim ceria Istana Plesaides,” kata Pangeran.
“Setiap kali ia ada di sini, ia selalu mengumpulkan kami di ruangan ini. Setiap
hari ia mengajak kami untuk mencoba kue yang dibuatnya. Aku percaya bila 186
ia mau menulisnya, ia akan membuat buku resep yang sangat tebal.”
“Putri kecil sangat pandai membuat kue. Aku tidak tahu ia belajar dari
mana. Kue yang selalu dibuatnya bukan berasal dari koki Istana. Mungkin ia
mendapatkan resep kue itu dalam setiap petualangannya,” kata Ratu.
“Ambillah, Mathwe. Kue ini cukup untuk kita semua,” kata Raja.
“Jangan khawatir. Kue buatan Putri kecil selalu enak, Mrs. Wve selalu
membantunya setiap kali Putri kecil membuat sesuatu di dapur,” kata Menteri
Luar Negeri melihat keragu-raguanku.
Aku hingga saat ini masih merasa tak percaya bila mengingat hal itu.
Rasanya aneh bagiku seorang putri kecil bisa menarik seperti itu. Kalian akan
mengatakan aku berlebihan bila aku mengatakan Putri kecil itu tidak hanya
membuatku kagum akan kecantikkannya dan keanggunannya tetapi juga
semua orang yang tinggal di Istana Plesaides.”
“Aku tidak percaya,” kata Trown Townie.
“Kenyataannya memang seperti itu. Aku pernah mendengar berita
kelahiran Princess tetapi setelah itu aku tak pernah mendengar lagi. Jadi aku
mengira berita itu hanya kabar burung saja. Dan aku juga tidak
mempercayainya pada mulanya tetapi semua itu nyata bukan karanganku
belaka,” kata Mathwe.
“Mengapa Princess jarang berada di Istana?” tanya Duke of Blueberry.
“Aku tidak tahu, aku lupa menanyakannya karena saat itu aku terlalu
terpesona pada Putri kecil yang lincah,” pria itu terdiam dan mengenang
masa lalu.
“Hingga saat ini aku masih ingat bagaimana wajah Putri kecil yang
cantik dan rambut panjangnya yang terkepang dua serta gerakannya yang
gemulai. Tetapi lebih dari itu, aku masih ingat jelas tutur katanya yang lembut
dan seperti orang dewasa.”
Ketika lagu pertama selesai dimainkan Maria, semua tamu bertepuk
tangan.
Namun Maria tidak berhenti, ia terus melanjutkan permainannya.
Sementara jari jemarinya terus menari-nari di atas tuts piano,
pandangan Maria menerawang ke depan ke dinding di hadapannya. Namun
pikirannya melayang jauh ke belakang ke masa lalunya.
Topeng yang menutupi mata Maria membuat tiada seorangpun yang
mengetahui pandangan mata Maria yang menerawang itu.
Maria merasa seperti mendengar kata-kata seseorang yang 187
menggodanya sementara ia terus bermain piano putih yang sangat unik
karena kekunoannya. Di samping suara pria itu, ia mendengar suara orang
lain yang marah pada orang yang menggodanya.
Pria itu mendekatinya dan memegang pundaknya, ia menghentikan
permainannya dan menatap wajah orang itu. Tetapi wajah orang itu kabur, ia
tidak dapat melihat wajah orang itu juga wanita yang memarahi pria itu.
Wajah mereka seperti tertutup kabut. Tetapi ia masih dapat melihat
samar-samar tempat ia bermain piano putih itu.
Ruangan tempatnya bermain piano berdinding putih yang cerah, di
sampingnya ada dinding besar berpintu dua yang terbuka lebar. Tirainya
yang berwarna putih tipis tertiup angin. Sesekali tirai itu menerpa wajahnya.
Langit yang cerah dengan awan-awan putihnya seperti tersenyum
mendengar permainannya. Angin sejuk yang menerobos masuk membawa
harum bunga-bunga.
Sentuhan tangan seseorang di pundaknya, membuatnya terhenyak.
Alexander menyadari keterkejutan Maria. Sekilas mata gadis itu tampak
menerawang ketika menatapnya.
Sekilas Maria melihat wajah pria yang dilamunkannya ketika ia
memalingkan wajahnya. Duchess yang berdiri di belakang Alexander sekilas
juga terlihat seperti wajah seorang wanita yang memarahi pria yang
menggodanya ketika ia sedang bermain piano.
“Beristirahatlah, Maria. Engkau pasti lelah,” kata Alexander.
Maria menggelengkan kepalanya. “Tidak, saya tidak lelah.”
“Engkau telah memainkan banyak lagu. Engkau pasti lelah.
Beristirahatlah atau engkau lebih baik pulang, hari telah larut malam. Engkau
tidak ingin kemalaman, bukan?” kata Alexander.
Maria terkejut. Ia tidak menyadari telah banyak lagu yang
dimainkannya ketika ia melamun.
“Biarkanlah saya memainkan lagu terakhir sebelum saya kembali,” kata
Maria sambil tersenyum.
Alexander tersenyum dan menepi untuk memberi Maria kesempatan
memainkan lagu terakhirnya.
Maria kembali meletakkan jari-jarinya yang lentik di atas tuts-tuts piano
dan mulai memainkan lagu Polonaise karya Johann Sebastian Bach yang
berisi pesan kepada istrinya dan ketiga belas putranya.
Ketika ia telah menyelesaikan lirik terakhir dari lagu itu, ia segera 188
bangkit dan mendekati Duchess.
“Engkau memang seperti yang kuduga, Maria. Permainanmu sangat
merdu dan menyejukkan hati,” kata Duchess.
“Anda terlalu berlebihan, Duchess,” kata Maria merendah.
“Aku tidak berlebihan, Maria.”
Sebelum ibunya sempat mengatakan lebih banyak lagi, Alexander
segera berkata, “Sudahlah, Mama. Aku ingin mengantar Maria sekarang. Ia
tidak ingin kemalaman.”
“Engkau akan pulang sekarang?” tanya Duke yang telah berdiri di
samping Duchess.
“Ya, saya tidak ingin membuat Mrs. Vye menanti saya terlalu lama.
Mungkin saat ini ia cemas menanti saya,” kata Maria.
“Sayang sekali engkau harus cepat pulang. Aku harus mengatakan aku
menyukai lagu terakhirmu, Maria. Lagu yang indah di pesta dansa seperti ini,”
kata Duchess, “Datanglah kemari besok atau kapanpun engkau suka.”
189
11
Maria berjalan sendirian di tepi Sungai Alleghei.
Mrs. Vye hampir saja bangun kesiangan andaikata Maria tidak
membangunkannya. Maria merasa bersalah telah membuat wanita tua itu
menantinya hingga larut malam.
Saat ia tiba di pondok Mrs. Vye, waktu menunjukkan hampir pukul dua
belas malam. Wanita itu tampak sangat lelah pagi ini, karena itu ia tidak ikut
Maria berjalan-jalan di tepi sungai Alleghei.
Sebenarnya Mrs. Vye merasa enggan tidak pergi ke Sungai Alleghei
seperti biasanya, tetapi karena tubuhnya sangat letih, ia dengan terpaksa
memilih untuk tidak pergi berjalan-jalan.
Walaupun Mrs. Vye tidak tampak menyesal apalagi marah pada Maria
karena pulang larut, tetapi Maria merasa bersalah.
Pagi tadi ketika Mrs. Vye mengatakan ia akan tinggal di rumah, Maria
ingin menemani wanita itu.
Mrs. Vye menggelengkan kepala dan menyuruh Maria pergi sendirian.
Maria mulanya merasa enggan tetapi ketika ia teringat janjinya pada
Ityu, ia akhirnya memutuskan untuk pergi sendirian menyusuri sungai yang
cukup besar itu sebelum menuju rumah Ityu.
Kini ketika Maria memandangi sungai yang bercahaya tertimpa sinar
mentari pagi itu, Maria teringat kembali perjalanan pulangnya dari rumah
Alexander.
Malam itu, mereka tidak langsung menuju pondok Mrs. Vye. Mereka
berhenti sebentar di tepi Sungai Alleghei.
Ketika mereka melewati sungai itu, Maria memandang terus sungai
yang tertimpa cahaya lembut sang dewi malam.
Seperti mengetahui pikiran Maria, Alexander segera menyuruh kusir
kereta menghentikan kereta dan mengajak Maria menuju sungai itu.
Maria merasa sangat senang. Selama ini ia selalu ingin menikmati
keindahan sungai itu di malam hari. Tetapi karena mengetahui kepercayaan
penduduk Obbeyville, ia memilih untuk mengikuti kepercayaan itu.
Maria tidak pernah mengatakan keinginannya itu kepada siapa pun. 190
Dan kini tanpa diberitahu Alexander mengajaknya menuju sungai itu.
“Sungai ini selalu terlihat indah dan bercahaya,” kata Maria.
“Seperti engkau,” timpal Alexander.
Maria yang asyik memandang permukaan Sungai Alleghei yang
memantulkan cahaya bulan, menatap Alexander. “Mengapa Anda berkata
seperti itu?” tanyanya.
Alexander tersenyum dan berkata, “Karena memang demikian yang
kulihat. Seperti sungai ini, engkau selalu terlihat bercahaya di manapun dan
kapan pun juga.”
“Tidak sama, Al,” kata Maria, “Sungai ini bercahaya karena
kejernihannya dan terlebih lagi karena sinar yang selalu menyertainya baik di
siang hari yang panas maupun di malam hari yang dingin.”
“Aku melihat engkau menyerupai sungai ini. Engkau tampak menarik di
manapun engkau berada,” Alexander mengulurkan tangannya.
Maria terkejut ketika Alexander menyentuh pundaknya yang telanjang.
Tangan pria itu menaikkan syal putih yang terjatuh dari pundaknya.
Walaupun sentuhan itu sesaat, tetapi sudah dapat membuat Maria
merasa pipinya memerah dan jantungnya berdebar-debar.
“Apakah engkau kedinginan?” tanya Alexander kemudian ia meraih
tubuh Maria, “Engkau mengigil.”
Maria menggeleng di pelukan Alexander namun tidak berusaha
melepaskan diri.
Sikap melindungi yang ditunjukkan Alexander membuatnya teringat
pada pelukan yang sama dari seseorang di masa lalunya yang selalu
melindunginya dan menjaganya dari apa pun.
“Apakah engkau yakin?”
“Ya,” jawab Maria lirih.
Mendengar jawaban yang hampir seperti bisikan itu, Alexander berkata,
“Sebaiknya aku mengantarmu pulang sekarang. Udara malam musim panas
di sini sangat dingin, aku tidak ingin engkau jatuh sakit karenanya. Di
samping itu besok engkau mempunyai banyak pekerjaan.”
Seperti biasanya, Alexander mengangkat tubuh Maria tanpa meminta
ijin Maria terlebih dahulu. Dan sesuai yang dikatakannya, Alexander
mengantar Maria kembali ke sisi Mrs. Vye yang telah menantinya.
Maria membelok ke sebuah rumah batu yang beratap jerami yang
berdiri tak jauh dari Sungai Alleghei.191
Ketika Maria akan melangkah masuk ke dalam pagar semak-semak
yang mengelilingi rumah itu, pintu rumah itu terbuka dan seorang anak
berlari dengan riang menyambut kedatangannya.
“Saya senang sekali Anda mau datang. Saya khawatir Anda tidak
datang,” kata anak itu.
Maria tersenyum pada Ityu, “Aku telah berkata padamu aku akan
datang.”
Suara kuda yang mendekat membuat keduanya memalingkan kepala.
Dengan senyum yang menghias wajahnya, Alexander mendekati
mereka. ia turun dari kudanya ketika ia semakin dekat dengan Maria.
“Selamat pagi,” kata Maria.
“Selamat pagi,” balas Alexander sambil menuntun kudanya mendekat.
Kemudian is berkata kepada Ityu, “Di mana saya dapat meletakkan kuda ini?”
“Di sana,” jawab Ityu sambil menunjuk tempat menambatkan tali
kekang kuda di bawah sebatang pohon yang mulai mengering.
Menyadari kebingungan Ityu, Maria segera berkata, “Ia teman saya,
namanya Alexander.”
Ityu mengangguk tetapi sorot matanya masih memancarkan
kebingungan. Maria hanya tersenyum melihat sorot mata anak itu.
“Aku melihat engkau menuju rumah ini maka aku memutuskan untuk
mengikutimu. Engkau tidak keberatan, bukan?” kata Alexander.
“Sama sekali tidak. Tetapi saya tidak tahu bagaimana dengan ayah
Ityu.”
“Ayah tidak akan keberatan,” kata Ityu dengan cepat, “Silakan masuk.”
Maria mengikuti Ityu memasuki rumah yan cukup besar itu. Alexander
mengikuti di belakang Maria.
Suasana di rumah itu terasa sangat sunyi. Perabotannya yang
sederhana namun memiliki kekhasan asli suku asal mitos ketiga, membuat
Maria tersenyum.
Pada saat yang bersamaan, Maria merasakan sesuatu yang aneh.
Seperti ada sesuatu di ruangan itu yang membuat ia merasa seperti berada di
masa lalu.
Anehnya, Maria tidak merasa berada di masa lalunya yang sekarang
berada di balik kabut yang pekat tetapi seperti berada ke relung ingatannya
yang tak tertutup kabut.
Alexander memandang Maria dengan cemas, “Ada apa, Maria? Engkau 192
baik-baik saja?”
“Ya, saya baik-baik saja,” jawab Maria.
“Engkau terlihat aneh.”
“Saya saat ini memang merasa aneh,” kata Maria mengakui
perasaannya, “Saya merasa seperti pernah ke sini sebelumnya. Dan berbeda
dengan biasanya, saya tidak merasa seperti berada di masa lalu saya yang
sekarang berada di kabut pekat itu.”
“Apakah engkau telah ingat siapa dirimu?” tanya Alexander penuh
harapan dan kecemasan.
“Tidak. Saya masih belum dapat mengingat siapa saya di masa lalu.
Saya hanya ingat saya pernah berada di ruangan yang persis seperti ini. Saya
juga masih ingat rumah itu dengan baik,” kata Maria.
Maria memalingkan kepalanya ketika ia mendengar langkah-langkah
kaki mendekat.
Ityu muncul dari dalam rumah dengan menggandeng ayahnya.
Ayah Ityu terkejut ketika melihat Maria berdiri di ruangan itu dengan
memeluk sebuah buku di dadanya, seperti anak sekolah yang siap menerima
pelajaran dan Alexander yang berdiri di dekat pintu seperti seorang pengawal
yang menjaga putrinya.
“Saya merasa tersanjung Anda bersedia datang ke rumah saya yang
sempit ini,” kata ayah Ityu.
“Saya berharap kedatangan saya tidak terlalu pagi, Quiya,” kata Maria
dengan tersenyum.
Alexander mengangkat alisnya tanda tak mengerti ketika mendengar
panggilan yang ditujukan Maria pada ayah Ityu. Ityu juga memandang Maria
tak mengerti.
Ayah Ityu terlihat terkejut mendengar panggilan itu. “Jangan panggil
saya dengan sebutan itu. Saya merasa tidak pantas dipanggil ‘Quiya’ oleh
Anda,” katanya.
“Mengapa? Anda seorang dari pendeta itu,” kata Maria bersikeras,
“Saya tidak melihat ada yang salah bila saya memanggil Anda seperti itu.”
“Ya,” kata pria itu sambil mengangkat bahunya, “Saya memang salah
satu dari mereka tetapi saya merasa kurang pantas bila seorang bidadari
yang dikirim dewa memanggil saya seperti itu.”
Maria tersenyum, “Saya telah menduganya. Biarkanlah saya memanggil
Anda seperti itu sebagai tanda penghormatan saya kepada Anda sebagai 193
pendeta yang sama seperti pendeta suku itu.”
“Suku itu?” tanya pria sambil memegang janggut putihnya yang
panjang.
“Suku yang dulu ada di Death Rocks tetapi sekarang telah banyak dari
mereka yang menyebar ke beberapa daerah di kerajaan ini,” kata Maria, “Dan
membentuk keluarga dengan orang di luar suku mereka.”
“Ya, saya ingat,” kata pria itu, “Saya memang suka lupa bila
menyangkut mereka.”
“Saya mengerti. Mereka memang telah lama menyembunyikan diri
mereka seperti mereka menyembunyikan mitos mereka. Dan sekarang hanya
sedikit sekali keturunan suku itu yang masih memiliki hubungan kental
dengan nenek moyang mereka. Termasuk Anda, saya kira,” kata Maria.
Pria itu terkejut. “Saya tidak dapat mempercayai ini. Anda telah
mengetahuinya sebelum saya mengatakannya. Tak salah lagi Anda pasti
kiriman dewa.”
Maria menggelengkan kepalanya, “Bukan. Saya yakin saya bukan
kiriman para dewa yang agung itu. Saya mengetahuinya dari ukiran-ukiran
kursi di rumah Anda yang masih sangat kentara menunjukkan ciri mereka.”
“Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan,” kata Ityu sambil
menggelengkan kepalanya dengan bingung.
Maria mendekati anak itu. “Jangan khawatir, Ityu. Tak lama lagi engkau
akan mengerti. Aku telah memutuskan untuk memberi tahumu mengenai
suku itu dan bila mungkin mitos mereka.”
“Mitos ketiga?”
Ityu berseru senang ketika melihat Maria menganggukkan kepalanya.
Maria menatap Alexander yang masih berdiri di pintu. Kedua tangan
pria itu terlipat di dadanya sementara itu badannya menyandar pada
pinggiran pintu. Matanya tak pernah lepas dari Maria.
Sorot matanya yang penuh tanda tanya itu menampakkan dengan jelas
bahwa ia tidak mengerti sama sekali apa yang sedang dibicarakan Maria
dengan ayah Ityu.
Sekali lagi Maria merasa sikap berdiri pria itu mengingatkannya pada
seseorang. Seseorang yang juga sering bersikap seperti itu sambil
mengawasinya.
Maria tersenyum pada Alexander sebelum ia memalingkan kepalanya
kepada Ityu.194
“Saya membawakan sebuah buku untukmu,” kata Maria sambil
menunjukkan buku itu pada Ityu.
Ityu mengambil buku itu dan mengamatinya. Anak itu tidak membuka
isinya, ia hanya melihat sampul buku itu sambil berusaha membaca tulisan
yang tertulis di sana.
Karena tak dapat membacanya, Ityu mendekati ayahnya dan
menunjukkan buku itu padanya.
Sang ayah mengerti keinginan anaknya. Ia meraih buku itu dari tangan
Ityu dan berusaha membaca tulisan itu.
“Tulisan ini adalah tulisan terkuno suku itu,” kata Quiya pada putranya,
“Maafkan aku. Aku tidak dapat membacanya.”
Ityu kecewa mendengar jawaban ayahnya itu. Ia berjalan mendekati
Maria yang masih terus berdiri di tengah ruangan itu.
“Tolong bacakan buku ini untuk saya,” kata Ityu sambil menyodorkan
buku itu.
Maria tersenyum dan menerima buku itu. Dengan mudah ia membaca
judul buku itu.
“Anda mengerti tulisan kuno itu?” kata Quiya tak percaya.
“Dari mana engkau mempelajari tulisan ini?” tanya Alexander yang
telah berdiri di belakang Maria.
Alexander mengambil buku itu dari tangan Maria. Setelah mengamati
halaman demi halaman buku itu ia berkata, “Tulisan ini mirip tulisan Mesir
Kuno. Aku pernah melihat buku seperti ini di Perpustakaan. Mungkinkah buku
yang dikatakan ayahku adalah buku yang sama dengan buku ini?”
“Mungkin saja.”
Hampir saja Alexander melupakan pertanyaannya yang belum terjawab
oleh Maria.
“Engkau belum menjawab pertanyaanku, Maria.”
“Saya tidak ingat dari mana saya mempelajarinya,” jawab Maria.
“Dapatkah aku mempelajarinya?” tanya Ityu penuh harap.
“Tentu saja,” kata Maria.
Suasana di ruangan itu menjadi hening ketika seorang wanita tinggi
yang telah tua memasuki ruangan itu dengan nampn di tangannya.
“Ibu,” kata Ityu sambil mendekati wanita itu.
“Jangan nakal, Ityu,” katanya kepada Ityu yang berlari mendekat
kemudian ia berpaling kepada Maria, “Saya berharap anak saya tidak 195
merepotkan Anda.”
“Tidak, ia tidak senakal yang Anda katakan,” kata Maria sambil
tersenyum menatap Ityu yang cemberut mendengar kata-kata ibunya.
“Saya tidak menduga Anda akan datang kemari,” kata wanita itu, “Dan
saya minta maaf karena suami saya dan anak saya ini tidak dapat menjadi
tuan rumah yang baik, mereka tidak mempersilakan Anda berdua untuk
duduk.”
Wanita itu memandang marah pada Quiya yang tersenyum dan Ityu
yang tertunduk malu menyadari kecerobohannya. Kemudian ia berpaling
kepada Maria yang masih tersenyum melihat wanita itu.
Wanita itu tampak terbiasa menghadapi kecerobohan suaminya dengan
sikap yang tegas.
“Silakan duduk,” kata wanita itu.
“Terima kasih, Quiyi,” kata Maria.
Wanita itu mengerutkan kening mendengar panggilan yang diberikan
Maria.
“Jangan memanggil saya seperti itu, saya memang istri seorang
pendeta upacara mitos itu, tetapi saya merasa tidak pantas dipanggil seperti
itu oleh Anda,” katanya.
Maria memperhatikan wanita itu meletakkan nampan yang dibawanya
di atas meja di hadapan Maria dan Alexander. Kemudian ia duduk di hadapan
mereka.
“Sudah seharusnya keluarga pendeta upacara mitos dipanggil Quiya
dan Quiyi,” kata Maria sambil tersenyum.
Wanita itu tertawa, “Sepertinya Anda tidak dapat dihentikan.”
“Anda telah mengetahuinya,” kata Maria.
Quiyi tertawa lagi.
“Adakah yang dapat kami lakukan untuk Anda sehingga Anda datang
kemari,” katanya setelah tawanya mereda.
“Saya hanya ingin memintakan ijin untuk Ityu. Anda tentu sudah
mengerti apa yang saya katakan,” kata Maria.
Wanita itu mengangguk, “Saya mengerti. Tetapi saya tidak dapat
mengijinkan Ityu menganggu Anda.”
“Saya tidak merasa terganggu oleh Ityu,” kata Maria sambil
memandangi Ityu yang berdiri penuh harapan.
“Anda tentunya telah mengerti bahwa bagi penduduk Obbeyville, 196
khususnya kami, Anda adalah bidadari yang tidak boleh diganggu,” kata
Quiya sambil duduk di samping istrinya.
“Saya mengerti. Tidak dapatkah Anda mengijinkan Ityu sekalipun
bidadari itu yang memintanya?” tanya Maria sambil tersenyum.
Alexander melihat senyum Maria yang penuh keyakinan itu. Sebuah
senyum kemenangan yang sangat manis yang akan meluluhkan hati setiap
orang yang melihatnya.
Alexander melihat wajah kedua orang tua Ityu tampak bimbang, tetapi
ia telah mengetahui jawaban keduanya. Ia tahu kedua orang itu takkan
mengatakan ‘Tidak’ terhadap pertanyaan Maria yang tepat itu ditambah
dengan senyum kemenangannya yang manis.
“Saya tidak tahu harus berbuat apa,” kata Quiya sambil mengangkat
bahunya.
“Anda hanya perlu melakukan satu hal, mengijinkan Ityu. Saya akan
menjaganya selama ia bersama saya dan bila Anda masih tidak percaya, saya
dapat datang setiap pagi,” kata Maria meyakinkan kedua orang tua Ityu.
Sekali lagi Quiya mengangkat bahunya dan berkata, “Itu akan semakin
merepotkan Anda. Sepertinya saya hanya dapat mengatakan ‘Ya’ terhadap
ijin yang Anda inginkan itu.”
Sekali lagi senyum kemenangan menghiasi wajah Maria.
Ityu berseru kegirangan dan berlari mendekati ayahnya. Kemudian
memeluk erat-erat ayahnya. “Aku senang sekali, Ayah. Aku senang Ayah
mengijinkanku.”
Melihat tindakan Ityu itu, Maria merasakan suatu perasaan bergejolak di
dadanya. Perasaan yang sangat aneh seperti melihat dirinya sendiri
melakukan hal yang sama ketika ia masih kecil.
“Tetapi Ityu, engkau harus ingat, engkau tidak boleh menganggu
bila…,” kata Quiyi, “Bolehkah saya memanggil Anda Maria?”
“Silakan, saya tidak tahu Anda harus memanggil saya dengan apa
selain nama itu.”
Entah untuk keberapa kalinya wanita periang itu tertawa mendengar
kata-kata Maria, “Anda menyenangkan sekali. Anda membuat saya selalu
ingin tertawa mendengar kata-kata Anda.”
“Tertawa itu sehat. Tetapi saya berharap saya tidak membuat Anda
sakit perut karenanya,” kata Maria sambil tersenyum.
“Ya, tentu saja,” kata Quiyi meyakinkan, “Ityu, engkau boleh pergi ke 197
pondok Mrs. Vye dengan syarat engkau tidak menganggu Maria.”
“Tentu,” kata Ityu riang, “Dapatkah kita memulainya hari ini?”
“Tentu. Pagi ini aku berniat untuk meminjamkan buku ini kepadamu,”
kata Maria kemudian ia berkata kepada Quiya, “Anda tentu dapat
membacanya, Quiya, walaupun sedikit.”
“Tetapi saya tidak akan dapat menerjemahkan bahasa itu dengan tepat
seperti Anda,” kata Quiya.
“Anda dapat?” tanyanya pada Quiyi, “Mungkin Anda dapat
membacanya. Anda salah satu dari keturunan suku itu yang masih memiliki
hubungan kental dengan nenek moyang mereka, bukan?”
Wanita itu memandang heran pada Maria, “Bagaimana Anda tahu?”
“Anda memiliki ciri khas wanita suku itu. Anda telah menunjukkan sikap
Anda yang penuh kekuasaan terhadap keluarga Anda. Seperti wanita suku itu
bila menghadapi sikap suami mereka yang sering ceroboh.”
Wanita itu tertawa mendengar kata-kata Maria, “Anda tepat. Pria suku
Deady memang ceroboh. Mereka tidak akan dapat bertahan bila tidak ada
wanita yang suka memerintah.”
“Anda mau mencoba membacanya?” tanya Maria sambil menyerahkan
buku itu kepada Quiyi.
Wanita itu meraih buku itu dan membacanya. Kerutan yang menghiasi
dahinya bertambah banyak ketika ia membuka buku kuno itu.
“Anda mendapatkannya dari mana?”
“Dari Sidewinder House.”
“Ya, tentu saja. Di sini tidak ada yang memiliki buku itu selain keluarga
Sidewinder,” gumam Quiyi, “Dulu ketika saya masih kecil, ayah saya pernah
membacakan buku ini untuk saya. Saya masih ingat sedikit arti tulisan-tulisan
ini.”
“Sudah saya duga, Anda dapat membacanya,” kata Maria.
“Ya, tentu saja. Wanita suku Deady lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk menenun permadani yang bertuliskan tulisan kuno suku
Deady daripada kaum pria,” kata Quiya.
“Tentu saja,” kata ibu Ityu membanggakan dirinya, “Wanita suku Deady
terkenal pandai membuat permadani yang bertuliskan huruf ini.”
“Sedangkan prianya terkenal sebagai pemburu yang ulung,” sahut
Quiya.
Maria tersenyum. “Dua masalah telah terselesaikan sekarang,” katanya 198
pada Ityu, “Engkau dapat meminta ibumu membaca buku itu untukmu. Dan di
malam hari, aku akan mengajarimu bahasa itu dan memberitahu lebih banyak
tentang segala hal yang ingin kauketahui sejauh menyangkut mitos itu.”
“Anda akan kembali sekarang?” tanya Ityu kecewa mendengar nada
bicara terakhir Maria seperti orang yang telah menyelesaikan tugasnya dan
siap kembali untuk melapor hasilnya pada sang komandan.
“Saya masih mempunyai banyak waktu. Tetapi lebih baik saya segera
kembali,” kata Maria.
“Tidak dapatkah Anda tinggal lebih lama? Saya ingin sekali berbincang-
bincang dengan Anda,” kata Quiya.
“Saya khawatir saya tidak dapat mengimbangi pembicaraan Anda,”
kata Maria.
“Justru sayalah yang merasa khawatir tidak dapat mengimbangi
pembicaraan Anda,” kata Quiya, “Anda mengetahui lebih banyak daripada
saya.”
“Tentang mitos itu?” tanya Maria tak percaya.
Quiya mengangguk. “Saya tidak mengerti apa-apa mengenai mitos
ketiga itu walaupun saya salah satu keturunan yang masih memiliki
hubungan kental dengan leluhur kami.”
“Yang membuat kami heran adalah bagaimana Anda mengetahuinya?
Satu-satunya jawaban yang terpikirkan oleh kami hanya satu, Anda berasal
dari Holly Mountain,” tambah Quiyi.
“Saya tidak ingat darimana saya mengetahuinya, yang pasti bukan dari
buku itu walaupun hal itu termuat di dalamnya. Seseorang sering
menceritakannya kepada saya jauh sebelum saya membuka buku itu,” jawab
Maria.
“Siapakah orang itu?” tanya Alexander yang sejak tadi mendengarkan
pembicaraan Maria dengan kedua orang tua Ityu.
“Saya tidak ingat,” kata Maria.
“Apa yang dikatakan orang itu kepadamu mengenai mitos itu?” tanya
Alexander.
“Mitos itu berhubungan erat dengan kehidupan suku Deady, karena itu
saya tidak boleh mengatakannya kepada siapa pun dengan sembarangan.
Dan diterimanya suku Deady di masyarakat luas dipengaruhi juga oleh mitos
yang disembunyikan itu.”
“Mitos itu disembunyikan hingga kami pun yang masih memiliki 199
hubungan kental dengan leluhur kami, tidak mengetahuinya,” kata Quiya.
“Sekarang hanya suku Deady yang tinggal di Death Rocks yang
mengetahui mitos itu dan orang yang dapat membaca buku itu,” kata Maria.
“Mengapa engkau dapat mengetahuinya? Kurasa engkau bukan
keturunan suku Deady yang tinggal di Death Rocks,” kata Alexander.
“Saya tidak tahu.”
“Engkau tidak berasal dari Death Rocks, bukan?” tanya Quiyi pada
Maria.
“Tidak,” kata Maria dengan yakin.
“Mengapa orang itu memberi tahumu yang bukan suku itu?” kata
Alexander seperti kepada dirinya sendiri.
“Saya tidak mengerti dan tidak dapat mengingatnya, Al. Yang saya
mengerti dan saya ingat saat ini adalah saya berada di Obbeyville sebagai
gadis yang bernama Maria.”
“Hari semakin siang, apakah engkau tidak segera kembali ke
Sidewinder House?” tanya Alexander.
“Apakah Anda tidak dapat menundanya?” tanya Ityu.
“Sayang sekali, saya tidak dapat. Saya harus segera kembali ke
Sidewinder House. Mereka membutuhkan saya,” kata Maria.
“Jangan engkau ganggu Maria, Ityu. Ia masih mempunyai banyak
pekerjaan, tidak seperti engkau yang hanya sibuk bermain tetapi tidak pernah
mau belajar,” tegur Quiyi sebelum anaknya sempat mencegah kepergian
Maria.
“Bila engkau selalu bermain, Ityu, aku khawatir engkau tidak akan
dapat mempelajari bahasa itu,” kata Maria.
“Tidak, saya berjanji tidak akan banyak bermain lagi. Saya akan giat
belajar. Saya pasti bisa,” kata Ityu meyakinkan Maria.
Maria tersenyum. “Aku senang mendengarnya.”
“Sayang sekali Anda harus segera kembali padahal masih banyak yang
ingin saya bicarakan dengan Anda,” kata Quiya.
“Kita dapat berjumpa kembali esok atau kapanpun,” kata Maria.
“Selama Anda masih berada di Obbeyville,” tambah Quiyi.
“Ya, selama saya masih berada di Obbeyville,” ulang Maria perlahan.
Keluarga itu mengantarkan Maria dan Alexander sampai ke depan pintu
rumah mereka. Ityu melambaikan tangannya dengan penuh semangat pada
Maria.200
Maria membalasnya dengan senyuman.
Ketika mereka telah cukup jauh dari rumah Quiya, Alexander berkata,
“Selama ini engkau tidak pernah membicarakan masa lalumu.”
“Saya cukup sering mengatakan kepada Anda apa yang saya ingat
menyangkut masa lalu saya,” kata Maria.
“Ya, engkau sering mengatakannya. Tetapi yang kumaksud dalam hal
ini adalah sejauh mana engkau dapat mengingat masa lalumu itu.”
“Saya hanya mengingat sedikit sekali. Setiap kali saya berusaha
mengingat masa lalu saya, selalu saja ada sesuatu yang sepertinya menahan
saya untuk mengingatnya seolah tidak ingin saya ingat masa lalu saya.”
“Apa saja yang kauingat?” tanya Alexander.
“Sebuah ruangan putih dan samar-samar wajah seorang pria dan
seorang wanita, hanya itu yang muncul ketika saya berusaha mengingat
masa lalu saya itu.”
“Sudah sebulan lebih sejak engkau ditemukan Mrs. Vye di Sungai
Alleghei tetapi engkau masih belum dapat mengingat sesuatu pun. Aneh
sekali,” kata Alexander.
“Karena ada sesuatu yang menghalangi saya itu, maka saya tidak dapat
membuka tirai kegelapan yang menutupi masa lalu saya itu.”
Ketika melihat Alexander ingin membicarakan masa lalunya lagi, Maria
segera berkata, “Mengapa Anda tadi seperti ingin saya segera meninggalkan
rumah itu?”
“Karena aku ingin berdua saja denganmu. Aku sama sekali tidak
menduga engkau akan pergi ke rumah Ityu pagi ini.”
“Maafkan saya. Saya lupa mengatakannya kepada Anda.”
“Aku sedang berpikir, Maria. Sejak aku mengenalmu, berapa kali
engkau meminta maaf kepadaku, sedangkan aku rasanya tidak pernah
meminta maaf kepadamu,” kata Alexander sambil tersenyum.
“Apakah itu salah?” tanya Maria.
Alexander tersenyum lagi, “Tidak, Maria. Engkau tidak salah.”
“Saya senang mendengarnya. Sekarang saya telah berdua dengan
Anda, apa yang akan kita atau tepatnya Anda lakukan?”
“Aku tidak mempunyai rencana apa-apa selain menemuimu seperti
biasanya di tepi Sungai Alleghei dan memenuhi janjiku pada Papa untuk
membawamu ke Blueberry House hari ini.”
“Anda telah tahu saya tidak dapat meninggalkan Sidewinder House di 201
siang hari,” kata Maria mengingatkan.
“Jangan khawatir tentang itu, Maria. Aku telah mengaturnya dengan
rapi dan sekarang engkau boleh pergi menemui Mrs. Vye.”
Maria memandang Sidewinder House yang berdiri di depannya. suasana
di rumah itu masih tampak sunyi seperti rumah kuno yang tak berpenghuni.
“Sebenarnya apa yang sedang Anda rencanakan? Sikap Anda tidak
seperti biasanya,” kata Maria.
“Seperti biasanya bagaimana, Maria?”
“Biasanya Anda selalu berusaha mencegah saya bila saya hendak
kembali ke Sidewinder House tetapi pagi ini Anda seperti mendorong saya
untuk segera ke rumah itu.”
“Percayalah kepadaku, Maria. Aku tidak mempunyai rencana apa-apa di
luar yang telah kukatakan kepadamu.”
Maria berjalan beberapa langkah mendekati Sidewinder House
kemudian membalikkan badannya dan memandang Alexander yang tengah
mengawasinya.
Kini pria itu sudah siap mengarahkan kudanya kembali ke Blueberry.
Pria itu tersenyum kepadanya sebelum melarikan kudanya.
Setelah pria itu menghilang, Maria kembali melangkahkan kakinya
menuju Sidewinder House dan tugas-tugas yang telah menantinya.
Maria segera menemui Mrs. Vye di dapur.
Wanita itu sedang duduk di meja sambil menanti masakannya mendidih
ketika Maria tiba di sana.
“Mengapa engkau sudah kembali, Maria?”
“Seperti biasanya, Mrs. Vye. Saya ingin membantu kalian,” kata Maria
sambil menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.
Walaupun tadi Alexander telah mengatakan untuk mempercayainya,
tetapi Maria tetap sukar mempercayai pria itu. Ia merasa ada sesuatu yang
sedang direncanakan Alexander. Hal itu membuat ia merasa risau.
“Hari ini aku tidak menemukan sesuatu untuk kaukerjakan, Maria.
Engkau telah menyelesaikan semuanya selama beberapa hari ini. Engkau
membantu Mrs. Fat dan Mr. Liesting membersihkan rumah ini dan engkau
telah banyak membantuku di dapur.”
“Belum semuanya, Mrs. Vye. Saya masih belum membantu Mr. Liesting
merawat halaman Sidewinder House.”
“Engkau jangan melakukan itu, Maria. Engkau tidak boleh…”202
Suara Mrs. Vye menghilang ketika pada saat yang bersamaan Maria
ingat ia pernah mendengar kata-kata yang bernada sama,
“Jangan lakukan itu! Anda tidak boleh terkena sinar matahari…”
Wanita itu mengucapkannya dengan penuh kecemasan seperti Mrs.
Vye.
“Tidak apa-apa. Aku akan mengenakan topi,” jawab Maria.
Maria ingat jawaban yang diberikannya pada Mrs. Vye sama seperti
jawaban yang diberikannya pada wanita di masa lalunya.
“Baiklah, aku akan mencarikanmu topi yang cukup lebar untuk
mencegah matahari menyengatmu,” kata Mrs. Vye.
Yang dikatakan selanjutnya berbeda dengan yang dikatakan wanita di
masa lalu Maria. Wanita di masa lalu Maria tidak mengijinkan Maria walaupun
ia telah berusaha membujuknya.
Setelah membujuk cukup lama, barulah wanita itu mengijinkannya.
Sedangkan Mrs. Vye segera mengijinkannnya.
Mrs. Vye menghilang di balik pintu dapur tetapi tak lama kemudian ia
muncul lagi dengan sebuah topi bertali yang cukup lebar.
“Lucu sekali topi ini,” kata Maria, “Seperti topi boneka yang bertali
apalagi bila diberi renda di tepinya.”
“Pendapatmu tentang topi ini berbeda dengan pendapat Lady Debora.
Ia tidak pernah mengenakan topi ini, entah dari mana ia mendapatkannya.
Tetapi begitu ia membawanya, ia segera menyuruhku membuangnya.”
“Terima kasih atas topi ini,Mrs. Vye,” kata Maria sambil mengenakan
topi itu.
Setelah ia mengikat tali topi itu kuat-kuat di bawah dagunya, ia
meninggalkan dapur dan mendekati Mr. Liesting yang sibuk membersihkan
halaman.
Pria itu terkejut ketika melihatnya.
“Selamat pagi, Mr. Liesting,” sapa Maria.
“Selamat pagi, Maria. Engkau hendak pergi ke mana?”
“Tidak kemana-mana. Saya hanya ingin membantu Anda merawat
bunga-bunga ini,” jawab Maria.
“Aku tahu tidak ada gunanya aku melarangmu karena itu aku tidak
mengatakan apa-apa,” kata Mr. Liesting sambil tersenyum mengawasi Maria
yang sudah sibuk dengan bunga-bunga liar di depannya.
Tak lama kemudian Mr. Liesting juga menyibukkan dirinya dengan 203
membersihkan halaman Sidewinder House yang dipenuhi daun-daun kuning
yang berguguran.
Ketika sebuah kereta mendekat, Maria tidak menyadarinya. Ia masih
sibuk dengan bunga-bunga di hadapannya.
Entah sudah berapa tangkai bunga yang layu dan kering yang ia tarik
dari tanah, tampatnya semula.
Mr. Liesting yang lebih dulu menyadari kedatangan kereta itu segera
menyambutnya.
“Inikah keahlianmu yang lain?” tanya seseorang di belakangnya.
Maria terkejut mendengar suara yang telah biasa didengarnya itu, ia
segera memalingkan kepalanya.
Alexander tersenyum padanya sambil mengulurkan tangan.
“Terima kasih tetapi saya tidak ingin mengotori tangan Anda,” kata
Maria menolak uluran tangan itu.
“Tidak apa-apa,” kata Alexander dan sebelum Maria sempat
mengatakan apa-apa untuk menolaknya, ia memegang tangan Maria dan
membantunya berdiri.
“Sekarang engkau tidak perlu khawatir lagi karena aku telah
memegang tanganmu,” kata Alexander sambil tersenyum.
“Senyum Anda itu mengingatkan saya pada seseorang,” kata Maria
tiba-tiba.
“Siapakah dia? Selama ini aku selalu mengira senyumanku tidak ada
yang dapat menyamainya,” kata Alexander pura-pura sedih.
“Senyuman Anda memang tidak pernah ada yang dapat menyamainya.
Tetapi bila Anda tersenyum nakal seperti itu, Anda membuat saya teringat
akan seseorang.”
“Aku ingin tahu siapakah dia. Rasanya engkau sering mengatakan aku
mirip seseorang, aku ingin tahu apakah mereka orang yang sama.”
“Saya memang sering merasa demikian, Anda mirip dengan seseorang
tetapi saya tidak ingat siapa dia.”
“Apakah dia tunanganmu?” tanya Alexander dengan curiga.
“Saya tidak ingat, tetapi kita jangan membicarakan hal itu lagi. Anda
datang kemari tentu ada tujuannya bukan?”
“Ya, aku ingin menemui Lady Debora,” kata Alexander.
“Saya rasa Lady Debora masih tidur.”
“Aku percaya, ia akan segera bengkit dari tidur panjangnya bila 204
mendengar aku mencarinya,” kata Alexander.
Maria mengantar Alexander memasuki Sidewinder House.
“Tunggulah sebentar di sini, Al. Saya tidak bisa segera menemui Lady
Debora, ia pasti marah bila melihat saya dalam keadaan seperti ini,” kata
Maria.
“Tentu saja. Ia pasti tidak senang bila mengetahui engkau tidak hanya
memperhatikan dirinya.”
Maria segera menuju dapur untuk membersihkan tangannya yang
penuh tanah. Tak lama kemudian ia telah kembali di Ruang Besar.
Alexander tersenyum melihatnya.
Maria menapaki satu per satu anak tangga tanpa menyadari mata
Alexander yang terus mengawasinya bahkan ketika ia memasuki kamar Lady
Debora.
Seperti yang telah diduganya, Lady Debora masih tertidur.
Mula-mula Maria tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk
membangunkan wanita itu, tetapi ia terus saja mendekati wanita itu.
Ketika ia melihat tirai yang terutup itu, ia mempunyai ide.
Maria menarik tirai tebal itu sehingga matahari dapat memasuki kamar
Lady Debora.
“Apa yang kaulakukan?” bentak Lady Debora ketika sinar matahari
mengenai matanya.
“Maafkan saya, Tuan Puteri tetapi Tuan Muda Alexander menunggu
Anda di bawah. Ia berkata ingin menemui Anda secepat mungkin karena ada
keperluan yang mendesak,” jawab Maria.
“Biarkan saja. Aku tidak peduli. Seharusnya ia tahu saat ini adalah
waktuku untuk tidur. Semalam aku baru tiba jam dua malam. Siapapun dia,
katakan kepadanya aku tidak ingin diganggu dan sekarang tutup kembali tirai
itu,” kata Lady Debora.
“Baik, Tuan Puteri, saya akan mengatakannya kepada Tuan Muda
Alexander.”
“Cepat katakan kepada Alexander,” tiba-tiba Lady Debora terdiam.
“Alexander katamu?” serunya terkejut seakan baru menyadari pria
yang sedang menantinya adalah pria yang tengah diincarnya.
“Ya, Tuan Puteri. Tuan Muda Alexander, putra Duke of Blueberry,” kata
Maria.
Seperti yang telah dikatakan Alexander, wanita itu segera bangkit dari 205
tempat tidurnya.
“Apa yang dilakukannya di sini? Kemarin aku kesulitan berbicara
dengannya gara-gara wanita itu tetapi sekarang ia mencariku. Ia pasti telah
menyadari bahwa aku lebih baik dari wanita yang kurang ajar itu. Wanita itu
telah berani merebut semua perhatian tamu terutama Alexander tetapi hari
ini ia kalah, Alexander menemuiku bukan menemuinya,” katanya kepada
dirinya sendiri dengan penuh kemenangan.
Lady Debora memandang Maria yang menahan perasaan bersalahnya,
“Katakan kepadanya, aku akan segera siap.”
“Baik, Tuan Puteri.”
Maria meninggalkan Kamar Lady Debora dengan perasaan bersalah. Ia
telah menduga sebelumnya Lady Debora akan membenci dirinya karena ia
telah menghalangi niat wanita itu untuk berdua dengan Alexander.
Maria tidak menduga kebencian wanita itu demikian besarnya hingga
mengetahui Alexander mencarinya membuat dirinya menjadi sangat senang.
Entah apa yang akan dilakukan Lady Debora yang memang telah tidak
menyukainya bila ia mengetahui Marialah wanita yang dimakinya.
Maria segera mengatakan pesan Lady Debora kepada Alexander
kemudian kembali ke kamar Lady Debora untuk membantunya
mempersiapkan diri.
Seperti biasanya, Lady Debora selalu ingin tampil menarik. Tetapi pagi
ini Maria merasa keinginan Lady Debora untuk tampil menarik berlebihan.
Wanita itu memintanya untuk menyanggul rambutnya dan menghiasinya
dengan butiran-butiran permata kecil yang sangat indah. Selebihnya, Lady
Debora sendiri yang mempersiapkannya. Ia melarang Maria membantunya
apalagi mengajukan pendapatnya.
Maria merapikan kamar Lady Debora ketika wanita itu turun untuk
menemui Alexander yang sejak tadi telah menantinya.
Sambil merapikan kamar yang seperti tertiup badai itu, Maria
memikirkan berapa jam yang telah dihabiskan Alexander untuk menanti
wanita itu tampil secantik mungkin.
Maria tersenyum geli membayangkan Alexander yang memang bukan
orang penyabar menanti sekian lama sementara Lady Debora membuat badai
di kamarnya sendiri.
Baru saja Maria selesai merapikan hampir seluruh ruangan itu ketika
Lady Debora muncul kembali dengan wajah berseri-seri tetapi ketika melihat 206
Maria, ia menutupinya.
“Apa yang kaulakukan?” tanyanya.
“Saya sedang merapikan kamar Anda,” jawab Maria.
“Kerjakan itu nanti saja sekarang cepat bantu aku mempersiapkan diri.
Duchess ingin menemuiku pagi ini,” kata Lady Debora sambil duduk di depan
meja rias.
Maria keheranan melihat tingkah wanitai tu. Ia tidak mengerti mengapa
wanita itu ingin berdandan lagi sedangkan ia baru saja berdandan tidak lebih
dari setengah jam yang lalu.
Seperti biasanya, Lady Debora mengeluarkan perintah-perintahnya
dengan cepat dan Maria menyelesaikannya dengan cepat pula.
Setelah merasa penampilannya menarik, Lady Debora meninggalkan
kamarnya.
Maria baru saja hendak merapikan ruangan itu lagi setelah dua kali
dibuat berantakan oleh Lady Debora dalam waktu yang hampir bersamaan,
ketika wanita itu muncul lagi di ambang pintu.
“Tinggalkan pekerjaanmu,” perintah wanita itu.
Maria memandang wanita itu yang kini tampak sangat jengkel. Maria
benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya direncanakan Alexander
sehingga membuat wanita itu tampak riang beberapa saat yang lalu dan kini
tampak sangat jengkel.
“Apa lagi yang kautunggu. Tinggalkan pekerjaanmu dan segera ikuti
aku ke Blueberry House,” bentaknya.
“Baik, Tuan Puteri.”
Setelah mendengar jawaban Maria, Lady Debora membanting pintu itu
keras-keras.
Maria mulai dapat menduga rencana Alexander. Ia menduga pria itu
sengaja mengundang Lady Debora ke rumahnya agar dirinya dapat diajak
serta dan Duke dapat bertemu dengannya tanpa khawatir Lady Debora curiga
padanya.
Secepat mungkin menyelesaikan pekerjaannya yang hampir tuntas dan
kemudian segera meninggalkan kamar itu.
Ketika ia menutup pintu kamar itu, ia melihat Lady Debora sedang
menaiki tangga dengan kesal.
“Cepat! Jangan santai-santai saja, Duchess ingin menemuiku sesegera
mungkin,” katanya.207
“Baik, Tuan Puteri. Saya sudah siap berangkat,” kata Maria sambil
tersenyum melihat Lady Debora yang tidak sabar ingin segera tiba di
Blueberry House.
Lady Debora segera meninggalkan Maria yang masih menuruni tangga
itu.
Di luar, Maria melihat Alexander masih berdiri di luar sedangkan Lady
Debora telah berada di dalam kereta.
Alexander tersenyum ketika melihatnya. Ia membantu Maria naik kereta
kuda itu sebelum ia memberi perintah kepada kusirnya.
Ketika melihat Alexander membantu Maria menaiki kereta kuda yang
besar itu, Lady Debora menahan marah yang bergejolak di dadanya.
Sikap permusuhan yang ditampakkan oleh matanya, membuat Maria
memilih duduk di hadapan wanita itu, tetapi itu juga salah karena Alexander
juga memilih duduk di hadapan wanita itu.
Tetapi Lady Debora tidak putus asa, ia memanfaatkan waktu sebaik-
baiknya. Selama perjalanan ia mencoba merayu Alexander.
Maria diam saja. Ia hanya memandang keluar kereta sambil menikmati
pemandangan yang terus berlalu lalang di hadapannya dan angin yang
menerpa wajahnya.
Ia tidak lagi mendengar kata-kata manja Lady Debora yang semula
membuat dirinya merasa jenuh, ketika Sungai Alleghei terlihat di antara
rumah-rumah penduduk dan pohon-pohon tinggi yang mengelilinginya.
Sungai Alleghei yang memanjang seperti pita dan bersinar membuatnya
teringat sesuatu. Sesuatu yang juga memanjang seperti pita dan bersinar di
antara hijaunya dedaunan. Angin sejuk yang menerpa wajahnya membuatnya
teringat sejuknya udara ketika ia melihat pita putih kebiru-biruan yang
bersinar itu.
Ketika mereka tiba di Blueberry House, Maria masih teringat akan
kenangan yang tiba-tiba muncul itu.
Alexander yang menyadari hal itu berkata, “Sebaiknya aku segera
mengantarmu menemui Mama.”
Alexander membawa mereka ke Ruang Besar di mana Duchess telah
menanti.
“Selamat datang, Lady Debora,” kata Duchess.
“Terima kasih, Duchess. Saya merasa tersanjung atas undangan Anda
yang tak terduga ini,” kata Lady Debora.208
Duchess tersenyum pada Lady Debora tetapi matanya mengawasi
wajah Maria, “Jangan berkata seperti itu, Lady Debora. Persahabatan di
antara keluarga kita sudah terjalin puluhan tahun. Tak ada yang perlu merasa
tersanjung bila kita saling mengundang.”
Kemudian Duchess berkata kepada Maria, “Al, antarkan ia ke ruang
yang lain. Aku ingin berbicara berdua dengan Lady Debora.”
Alexander pura-pura terkejut, “Mengapa Mama berkata seperti itu?
Bukankah tadi Mama yang meminta agar aku juga membawa pelayannya
karena Mama ingin mengenalnya?”
“Ya, tetapi baru saja aku berubah pikiran. Aku tiba-tiba teringat sesuatu
yang harus kubicarakan berdua saja dengan Lady Debora.”
“Baik, Mama,” kata Alexander.
“Ayo, Maria,” bisiknya.
Tanpa mengatakan apa-apa Maria segera mengikuti Alexander. Gadis
itu tahu Lady Debora merasa cemburu melihat ia berjalan berduaan dengan
Alexander yang tampan.
Setelah mereka menutup pintu Ruang Besar, barulah Alexander
berbicara, “Inilah yang kurencanakan, Maria. Aku telah merencanakan agar
Lady Debora dapat berdua dengan Duchess sedangkan aku dan Papa bisa
mendengar ceritamu.”
“Bila Anda terus-menerus menipu Lady Debora dengan cara seperti ini,
ia pasti akan sadar juga pada akhirnya.”
“Aku telah menyiapkan berbagai macam cara untuk itu, Maria.”
“Apakah Duchess tidak berkeberatan untuk menemai Lady Debora?”
tanya Maria.
“Mengapa engkau berkata seperti itu, Maria?”
“Karena tadi saya melihat Duchess sebenarnya enggan menemani Lady
Debora.”
Alexander tertawa mendengarnya, “Aku jadi ingin tahu, Maria, apakah
engkau bisa membaca pikiran orang? Engkau memang benar. Ketika Mama
tahu apa yang harus diperankannya, ia tidak menyukainya karena seperti
halnya aku dan Papa, ia lebih senang bersamamu daripada dengan Lady
Debora. Tetapi demi aku dan Papa, ia setuju.”
“Saya merasa bersalah membuat Duchess melakukan hal yang
sebenarnya tidak diinginkannya,” kata Maria.
“Tidak perlu merasa seperti itu, Maria. Karena kami telah membagi 209
tugas. Mama tidak akan selalu menemani Lady Debora.”
Duke sedang duduk sambil membalik-balik sebuah buku di hadapannya.
Ia tampak berusaha keras mengerti isi buku itu. Ketika melihat mereka
datang mendekat, ia menoleh.
“Selamat siang,” sapa Maria.
“Selamat siang, Maria. Duduklah dan akan kutunjukkan buku yang
kemarin malam aku maksudkan,” kata Duke.
Maria memandang sekelilingnya dan ia merasa kagum melihat buku-
buku yang ada di Ruang Perpustakaan itu. Walaupun Ruang Perpustakaan itu
tidak sebesar yang ada di Sidewinder House.
Keadaan kedua Ruang perpustakaan itu berbeda. Di Ruang
Perpustakaan yang dilihat Maria, semua almarinya penuh berisi buku.
Sedangkan di Ruang Perpustakaan di Sidewinder House sebaliknya.
“Ruang Perpustakaan ini memang tidak sebesar yang ada di Sidewinder
House tetapi aku yakin buku-buku yang ada di sini tidak kalah dari yang ada
di sana.”
“Ruang Perpustakaan di Sidewinder House memang lebih besar dari
Ruang Perpustakaan ini tetapi bukunya lebih banyak di ruang ini,” kata Maria.
Duke menatap terkejut kepada Maria.
“Ruang Perpustakaan di sana hampir kosong, sudah tidak pantas lagi
disebut Ruang Perpustakaan,” kata Maria menerangkan.
“Aku tak percaya. Padahal sejak dulu keluarga Sidewinder paling gemar
mengumpulkan buku. Kami semua percaya Ruang Perpustakaannya berisi
banyak buku dan hampir sebanding dengan jumlah buku di Ruang
Perpustakaan Istana Plesaides.”
“Segalanya berubah sejak Baron Marx Sidewinder meninggal sepuluh
tahun yang lalu,” kata Maria.
“Ini buku yang aku katakan kemarin malam,” kata Duke sambil
menyerahkan buku yang semula dibukanya tanpa dapat dimengerti olehnya.
“Ini buku yang sama seperti yang ada di Sidewinder House,” kata Maria
sambil menatap Alexander.
“Ya, buku ini dan buku yang di Sidewinder House berasal dari nenek
moyangku. Nenek moyangku memberikannya sebuah kepada keluarga
Sidewinder,” kata Duke, “Aku tidak mengerti mengapa ia membeli buku yang
belum tentu dapat dibaca keturunannya. Ayahkupun tidak dapat membaca
buku itu.”210
“Ia dapat membacanya, Papa,” kata Alexander.
“Benarkah?” tanya Duke.
“Ya, aku telah mengetahuinya,” kata Alexander meyakinkan Duke.
“Dapatkah engkau membacakan untukku apa yang tertulis di dalam
buku itu?” kata Duke antusias melihat Maria menanggukan kepalanya,
“Percuma mempunyai buku tetapi tidak mengerti isinya.”
“Tentu saja.”
Maria menghabiskan waktunya sepanjang hari itu di Ruang
Perpustakaan bersama Duke dan Alexander sementara Duchess menghadapi
Lady Debora.
Duke terkejut ketika mendengar Maria membaca setiap baris tulisan itu
tanpa mengalami kesulitan, tetapi ia juga merasa senang ketika mengetahui
isi buku itu.
Beberapa kali Alexander menemui Duchess di Ruang Besar agar Lady
Debora tidak curiga, tetapi ia tidak pernah lebih dari sepuluh menit menemui
kedua wanita itu.
Rencana Alexander benar-benar sempurna, selama beberapa kali ia
mengajak Lady Debora dan Maria ke rumahnya dengan berbagai alasan,
wanita itu tidak nampak curiga. Sebaliknya wanita itu tampak semakin
antusias.
Demikian pula Baroness Lora ketika mengetahui apa yang telah terjadi.
Wanita itu semakin memberi semangat putrinya untuk terus berusaha.
Maria menduga itu karena wanita itu menduga rencananya hampir
berhasil. Memikirkan kemungkinan rencana wanita itu berhasil, hati Maria
menjadi sedih. Tetapi ia tidak menyadari perasaan apa yang membuatnya
merasa demikian.
Hari-hari Maria semakin dipenuhi kesibukan.
Di pagi hari ia berjalan-jalan bersama Mrs. Vye kemudian berbicara
bersama Alexander kadang-kadang mereka juga mengunjungi rumah Ityu.
Di siang hari Maria menemani Lady Debora ke Blueberry House dan
bercerita tentang mitos itu kepada Duke dan di malam hari ia juga bercerita
lagi mengenai mitos itu kepada Ityu ditambah mengajari anak itu bahasa
yang sulit itu.
Tetapi itu semua tidak membuat Maria lelah ataupun bosan. Gadis itu
tampak sangat menikmati kesibukannya. Suatu hal yang membuat Mrs. Vye
dan ketiga pelayan lainnya di Sidewinder House merasa heran.211
12
“Aku tidak percaya!” seru Lady Debora dari atas tempat tidurnya.
Maria yang sibuk merapikan meja rias segera memalingkan wajahnya
dan menatap heran kepada wanita itu.
Lady Debora mengangkat tinggi-tinggi koran yang dibacanya dan
kemudian membacanya kembali.
“Lihatlah ini, Maria. Aku tidak dapat mempercayainya,” kata Lady
Debora sambil menyerahkan koran itu pada Maria.
Maria menerima koran itu dan melihat di halaman terdepan koran itu
tertulis sederet huruf yang besar.
PRINCESS MINERVA MENGHILANG
Seluruh warga Xoechbee sedang berduka karena menyebarnya kabar
yang mengatakan Princess Minerva yang mereka sayangi menghilang. Tidak
ada yang tahu dari mana asal berita angin itu. Selain itu beredar pula kabar
yang menyatakan Raja dan Ratu menjadi sedih karenanya dan Ratu jatuh
sakit ketika mendengar berita ini.
Kabar lain menyatakan Princess menghilang dalam kecelakaan kereta.
Saat itu Princess dalam perjalanan pulang dari Castil yang berada di balik
Death Rocks menuju Istana bersama pengasuhnya. Dalam kecelakaan itu,
pengasuh Princess dan kusir kuda mengalami luka-luka yang cukup parah
tetapi mereka masih dapat diselamatkan sedangkan Princess sendiri
menghilang dalam kecelakaan itu.
Keberadaan Princess Minerva yang hanya diketahui oleh warga
Xoechbee membuat seluruh warga kota itu menjadi gempar ketika kabar ini
menyebar.
Sebagian dari Kerajaan Zirva yang tidak mengenal Princess bertanya-
tanya siapakah Princess Minerva itu? Tetapi hingga kini pihak Istana masih
belum mengatakan apa-apa untuk menjelaskan apa yang telah dan tengah
terjadi saat ini dan mengapa Princess Minerva tidak pernah terlihat hingga
saat ini?212
Dari seorang yang kami tanyai, kami mendapat informasi bahwa
Princess jarang berada di Xoechbee sehingga menyebabkan ia jarang terlihat.
Dari penduduk Xoechbee yang lain, kami mendapat keterangan bahwa untuk
menjaga kesehatannya, maka Princess sering menghabiskan waktunya di luar
Xoechbee.
Pangeran Alcon yang mendapat banyak pertanyaan dari rakyat sewaktu
ia mengunjungi penjara bawah tanah juga tidak berkata apa-apa. Ia hanya
tersenyum.
Tetapi dari seorang polisi yang menjaga penjara itu, berkata, “Seluruh
polisi dan tahanan yang berada di penjara ini juga bertanya hal yang sama
kepada Pangeran tetapi beliau hanya tersenyum saja. Kami semua, polisi dan
tahanan, sangat menyayangi Princess, beliau amat baik dan kami merasa
sedih ketika Princess dikabarkan menghilang.”
Seorang warga yang cukup berpengaruh di Xoechbee yang enggan
disebut namanya mengatakan, “Warga Xoechbee dan penghuni penjara
bawah tanah Xoechbee telah memutuskan suatu tindakan tanpa menanti
keterangan dari pihak Istana. Kami memutuskan untuk mencari Princess di
Death Rocks. Tetapi karena sulitnya perjalanan untuk mencapai Death Rocks,
kami memutuskan untuk menyediakan hadiah bagi siapa saja yang berhasil
menemukan Princess yang kami sayangi tersebut.”
Ketika ditanya bagaimana bila pihak Istana melarang tindakannya, ia
mengatakan, “Kami tidak takut apa yang akan dilakukan oleh Istana.
Mengapa hingga kini mereka tidak segera menangani urusan yang sangat
penting ini?”
Pria itu juga mengatakan, “Saya pernah sekali bertemu dengan Princess
dan saya terpesona padanya. Saya akan selalu mengingat Princess. Siapapun
yang bertemu dengan Princess tidak akan dapat melupakannya, mereka akan
segera menyayanginya karena kebaikan hati yang ditunjukkannya.”
Ketika ditanya bagaimana ciri-ciri Princess, pria itu berkata, “Princess
memiliki rambut pirang dan wajah yang cantik, selebihnya sukar dikatakan.
Tetapi yang pasti, Princess selalu disayang siapa pun.”
Pria itu menegaskan siapa pun yang menemukan orang yang tak
dikenal diharapkan segera mengatakannya kepada dirinya agar bisa dikenali
apakah itu benar Princess atau bukan.
Maria melipat kembali koran itu dan menyerahkannya kepada Lady 213
Debora.
“Bagaimana? Luar biasa bukan?” kata Lady Debora, “Aku pernah
mendengar tentang Princess dalam pesta dansa keluarga Blueberry.
Bayangkan, Maria bila aku berhasil menemukan Princess. Aku akan mendapat
hadiah yang sangat banyak.”
“Tetapi, Tuan Puteri, Anda tidak pernah bertemu Princess dan siapa
yang akan mengantar Anda ke sana? Death Rocks sangat jauh dari sini,” kata
Maria.
“Princess pasti bisa segera cocok denganku, aku yakin itu dan jangan
ikut campur urusanku, Maria. Dengan siapa aku akan pergi, itu bukan
urusanmu. Sekarang cepat panggil Mr. Liesting, aku mempunyai rencana.”
Maria meninggalkan Lady Debora dan segera memanggil Mr. Liesting
yang seperti biasanya sibuk membersihkan halaman.
“Ada apa, Maria?” tanya Mr. Liesting ketika melihat Maria mendekat.
“Tuan Puteri memanggil Anda,” jawab Maria.
“Baiklah, aku akan segera ke sana.”
Tak lama kemudian, Maria kembali lagi ke kamar Lady Debora bersama
Mr. Liesting. Sebelum memasuki ruangan itu, Maria mengetuk pintunya dan
mendapat sambutan yang penuh semangat dari Lady Debora. Wanita itu
sudah turun dari tempat tidurnya. Ia sedang menyisir rambutnya di depan
meja rias.
“Mr. Liesting, aku ingin engkau segera menyampaikan surat ini,”
katanya sambil menyerahkan sehelai surat.
“Baik, Tuan Puteri,” kata Mr. Liesting sambil menerima surat itu.
Setelah Mr. Liesting meninggalkan kamar itu, Lady Debora berkata,
“Sekarang bantu aku, Maria. Jangan lamban seperti itu. Aku harus sesegera
mungkin bersiap-siap.”
Maria segera melayani wanita itu dengan terampil.
Kali ini Maria tidak banyak mengatakan apa-apa tentang pendapatnya,
perhatian Maria terpecah karena berita itu.
Maria merasa sedih karena berita itu. Ia merasa kasihan pada seluruh
warga Xoechbee yang kehilangan Princess yang mereka sayangi.
Ketika Maria telah menyelesaikan tugasnya, Lady Debora segera
meninggalkan kamarnya. Kemudian Maria merapikan kamar Lady Debora.
Tak lama kemudian, Lady Debora muncul lagi dengan wajah yang kesal.
“Ada apa, Tuan Puteri?” tanya Maria. 214
“Aku tidak percaya!” kata Lady Debora marah.
Maria terkejut melihat kemarahan Lady Debora yang baru pertama kali
ini dilihatnya. Walaupun wanita itu sering marah-marah padanya, tetapi baru
kali ini ia melihat wajah Lady Debora penuh dengan kemarahan.
“Ada apa?” tanya Baroness Lora yang tiba-tiba muncul mendengar
teriakan kemarahan putrinya, “Apa yang kaulakukan pada anakku, Maria?”
“Saya tidak melakukan apa-apa,” jawab Maria.
Lady Debora membalik badannya dan memeluk ibunya, “Aku tidak
percaya, Mama. Alexander menolak ajakanku.”
“Apa yang terjadi?” tanya Baroness Lora tak mengerti, “Ke mana
engkau akan mengajak Alexander di hari sepanas ini?”
Maria mengambil surat kabar yang diletakkannya di tempat tidur Lady
Debora dan menyerahkannya kepada Baroness Lora.
Baroness Lora menerimanya dengan kasar. Dan seperti halnya Lady
Debora, ia membelalak terkejut ketika membaca berita yang tertulis di
halaman depan koran itu.
“Luar biasa! Bayangkan bila kita menemukan Princess terlebih dulu,
kita akan mendapat hadiah yang sangat besar,” kata Baroness Lora.
“Itulah Mama yang ingin aku lakukan. Tetapi Alexander menolak
ajakanku, ia mengatakan lebih baik kita menunggu berita selanjutnya karena
mungkin saja Princess sudah ditemukan atau berita itu hanya kebohongan
saja.”
Baroness Lora terdiam. “Mungkin Alexander ada benarnya. Death Rocks
bukan tempat yang mudah ditempuh, tempat itu sangat terjal. Aku pernah
mendengarnya dari Papamu, katanya tempat itu sangat berbahaya.”
“Tetapi, Mama, bagaimana bila kita didahului oleh orang lain. Aku tidak
ingin orang lain mendahuluiku. Aku ingin menjadi sahabat karib Princess dan
bila mungkin aku ingin menjadi istri Pangeran.”
“Pasti menyenangkan sekali bila engkau menjadi Ratu. Tetapi
berbahaya bila engkau pergi ke tempat itu tanpa rencana lebih dulu,” kata
Baroness Lora.
Maria ingin mengatakan sesuatu tetapi ketika melihat tatapan Baroness
Lora yang penuh kemarahan kepada dirinya, ia tidak jadi mengatakannya.
“Sekarang biarkanlah Alexander yang merencanakannya dan kita akan
menanti berita selanjutnya,” kata Baroness Lora menenangkan putrinya.
“Baiklah, Mama.”215
Walaupun Lady Debora telah menyetujui usul ibunya, tetapi sepanjang
hari itu Lady Debora tidak dapat melepaskan bayangannya dari kemungkinan
itu.
Sepanjang hari Lady Debora tampak sangat gelisah seperti ingin segera
menanti hari esok tiba.
Maria juga tidak dapat melepaskan pikirannya dari pembicaraan kedua
wanita itu.
Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Alexander bila mengetahui hal
ini.
Sejak Alexander mengundang mereka ke rumahnya, Maria tahu pria itu
menyadari sesuatu yaitu dirinya tidak sebanding dengan Lady Debora maka
ia memilih Lady Debora.
Sering kali ia berusaha mengusir perasaan itu, tetapi ia tidak dapat
melakukannya. Dugaan itu terus terngiang di benaknya.
Di samping itu ia juga tidak dapat membiarkan Lady Debora memasuki
Death Rocks dengan sembarangan. Terlalu berbahaya memasuki Death Rocks
dengan sembarangan, tempat itu adalah tempat suci bagi suku Deady.
Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada Lady Debora maupun
Baroness Lora karena kedua wanita itu tidak mempercayai mitos.
Satu-satunya harapannya untuk mencegah Lady Debora mendekati
tempat itu adalah Alexander. Maria tidak berharap dapat melakukannya saat
Alexander mengajak mereka pergi seperti kebiasaannya akhir-akhir ini sejak
pesta itu.
Apa yang diduga Maria memang benar. Ia sama sekali tidak dapat
berbicara dengan Alexander tanpa kehadiran Lady Debora.
Lady Debora sama sekali tidak mau meninggalkan Alexander.
Tangannya terus menggandeng mesra tangan Alexander.
Selama perjalanan ke Blueberry House, Maria sama sekali tidak melihat
ke Alexander maupun ke Lady Debora. Ia merasa hatinya bergejolak karena
suatu perasaan yang tak dikenalnya setiap kali ia melihat kedua orang itu.
Hari ini Maria sama sekali tidak dapat berhenti memikirkan berita yang
dibacanya di koran tadi pagi. Tulisan-tulisan itu terus terbayang di matanya.
Perhatian Maria yang biasanya selalu terpaku pada keindahan Sungai
Alleghei yang mereka lalui kini tampak menerawang. Tidak ada yang nampak
di mata Maria selain pandangannya yang menerawang.
“Hingga kapan engkau akan duduk di sana?”216
Maria terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia segera menyadari kereta
yang mereka tumpangi telah sampai di House.
Maria segera turun dan kereta dan seperti biasanya ia segera pergi ke
Ruang Perpustakaan setelah mengantar Lady Debora menemui Duchess di
Ruang Besar.
“Hari ini aku mempunyai kejutan untukmu,” kata Alexander.
Maria memandang tak mengerti kepada Alexander yang hanya
tersenyum.
Alexander masih tersenyum ketika ia membukakan pintu Ruang
Perpustakaan untuk Maria.
Maria melihat seseorang duduk di depan Duke. Ia merasa pernah
melihat pria yang duduk membelakangi pintu itu.
Kedua orang itu segera menghentikan percakapan mereka ketika Maria
dan Alexander memasuki ruangan itu.
Maria terkejut ketika pria yang duduk di depan Duke memalingkan
kepalanya.
Pria itu berdiri dan menyambut Maria.
Sebelum Maria sempat berkata apa-apa, pria itu menarik tangan Maria
dan menciumnya.
“Senang dapat berjumpa dengan Anda lagi, Mr. Townie,” kata Maria
dengan tersenyum.
“Aku juga senang dapat berjumpa denganmu, Maria,” kata Trown
Townie.
Trown Townie mengamati wajah Maria. “Aku tidak percaya gadis inilah
yang kutemui di pesta dansamu, Shaw. Ia jauh lebih cantik dari yang kulihat.
Dan matanya membuatku merasa kagum,” kata Trown Townie.
“Telah kukatakan kepadamu ia memiliki mata yang sangat indah. Mata
ungu yang bening dan jernih,” kata Duke.
“Aku percaya jika saat itu Maria tidak mengenakan topeng, ia akan jauh
lebih menarik perhatian tamu-tamu. Matanya benar-benar mengagumkan,”
kata Trown Townie.
“Anda terlalu berlebihan, Mr. Townie. Tidak ada yang menarik dari mata
saya, Anda sendiri yang membuatnya terasa menarik,” kata Maria merendah.
“Duduklah, Maria. Jangan kaubiarkan Trown membuatmu terus berdiri,”
kata Duke.
Trown Townie menarikkan kursi untuk Maria. Maria mengangguk dan 217
tersenyum kepadanya kemudian duduk.
“Hari ini aku mempunyai kabar yang pasti akan membuat kalian merasa
terkejut,” kata Trown Townie antusias.
“Kabar apa?” tanya Duke.
Trown Townie segera menjawab cepat dan penuh semangat, “Princess
hilang!”
Duke tertawa mendengar jawaban itu. “Engkau terlambat. Hari ini
seluruh penduduk Kerajaan Zirva mengetahui berita itu. Lihatlah ini.”
Trown Townie mengambil koran yang diberikan Duke padanya. Setelah
membaca koran itu, Trown Townie mengeluh.
“Aku terlambat. Aku terburu-buru berangkat ke sini tadi pagi sehingga
tidak sempat membaca koran,” keluh Trown Townie, “Maksudku menjadi
orang pertama yang memberi tahu kalian mengenai kabar ini ternyata koran
ini telah mendahuluiku. Tetapi tidak apa, aku yakin kalian pasti masih
bingung dengan berita ini.”
“Ya, aku memang bingung. Mengapa ini semua bisa terjadi,” kata Duke
sambil menunjuk koran.
“Aku mendengar berita hilangnya Princess ini ketika aku kembali ke
Xoechbee. Saat itu masyarakat ribut sehubungan dengan menyebarnya kabar
hilangnya Princess Minerva. Kudengar dari beberapa orang, Princess sedang
dalam perjalanan pulang dari Foentza saat itu.”
“Aku tahu itu. Di koran telah disebutkan,” sela Duke.
“Aku juga tahu tetapi diam dan dengarkanlah apa yang akan kukatakan
ini karena kalian pasti akan terkejut mendengarnya seperti halnya aku ketika
mengetahuinya,” kata Trown Townie.
“Baik. Teruskan ceritamu, aku tidak akan menyela,” kata Duke.
“Saat itu seharusnya Princess tidak berada di Foentza.”
“Mengapa Princess berada di Foentza? Bukankah seharusnya ia berada
di Istana Plesaides pada musim semi?” kata Duke.
Trown Townie terkejut. “Dari mana engkau mengetahuinya?”
“Mathwe yang mengatakannya kepadaku,” jawab Duke.
Sekali lagi Trown Townie mengeluh, “Tidak ada lagi yang akan
kuceritakan kepada kalian. Semua yang semula akan mengejutkan kalian
ternyata telah kalian ketahui.”
“Bagaimana keadaan pengasuh Princess dan kusir kudanya?” tanya
Maria cemas.218
“Kudengar mereka terluka cukup parah tetapi tidak ada yang perlu
dikhawatirkan selain hilangnya Princess. Luka-luka kedua orang itu telah
sembuh tetapi sang putri belum ditemukan,” kata Trown Townie.
Maria merasa bingung pada perasaan lega yang muncul di dadanya
setelah mendengar jawaban itu.
Alexander memanfaatkan keheningan yang muncul di antara mereka,
“Kurasa percakapan kita hari ini cukup. Aku ingin mengajak Maria pergi bila
kalian tidak keberatan.”
“Tentu tidak,” kata Duke dan Trown Townie bersamaan.
“Ayo, Maria,” kata Alexander sambil membantu Maria berdiri.
Maria mengikuti Alexander tanpa banyak berkata apa-apa.
“Kita akan ke mana?” tanya Maria pada akhirnya.
“Aku ingin mengajakmu berkuda. Selama engkau berada di Obbeyville,
engkau tidak pernah berkuda, bukan?” kata Alexander.
“Tetapi saya tidak tahu apakah saya bisa berkuda,” kata Maria cemas.
“Jangan khawatir. Kita akan membuktikannya,” kata Alexander.
Maria diam saja bahkan ia tetap diam ketika mereka bertemu dengan
Lady Debora dan Duchess yang sedang melangkah meninggalkan Ruang
Besar.
Lady Debora memandang curiga pada Maria.
Alexander menyadari hal itu dan segera berkata, “Di sini engkau
rupanya. Aku baru saja menyuruh Maria untuk mencarimu. Tetapi ia tidak
dapat menemukanmu, maka aku membantu Maria mencarimu.”
“Mengapa engkau mencariku?” tanya Lady Debora.
“Aku ingin bertanya apakah engkau mau berkuda denganku? Kurasa
sayang sekali bila kita melewatkan hari yang indah ini,” kata Alexander.
Lady Debora tersenyum senang, “Tentu saja bila Duchess tak keberatan
aku meninggalkannya.”
Duchess cepat-cepat berkata, “Tidak, aku sama sekali tidak keberatan.
Pergilah, Al benar sayang sekali bila hari secerah ini dilewatkan begitu saja.”
“Mari kira pergi,” kata Alexander.
Lady Debora melirik tajam ketika Maria juga mengikuti mereka.
Alexander cepat-cepat bertindak sebelum Lady Debora merasa semakin
curiga, “Aku memintanya untuk ikut dengan kita. Kurasa ada baiknya kita
mengajaknya.”
Lady Debora pura-pura tersenyum senang padahal di dalam hatinya ia 219
merasa jengkel karena gangguan yang ditimbulkan oleh Maria.
Lady Debora memalingkan pandangannya dari Maria dengan angkuh
dan ia segera merangkulkan tangannya di lengan Alexander.
Maria berusaha mengalihkan pandangannya dari pemandangan yang
membuatnya merasa tidak enak itu.
Alexander menyuruh pelayan menyiapkan kuda bagi mereka.
Sambil menanti, Maria memperhatikan halaman Blueberry House yang
tampak indah dengan daun-daun yang mulai menguning.
“Engkau tidak ikut berkuda?” tanya Alexander.
“Terima kasih tetapi saya khawatir saya tidak dapat mengendarai
kuda,” jawab Maria.
“Cobalah dulu. Siapa tahu engkau dapat,” kata Alexander.
Maria menggelengkan kepalanya lagi.
Lady Debora yang telah duduk di atas kuda berkata, “Biarkanlah ia,
Alexander. Ia pasti tidak dapat mengendarai kuda. Lebih baik kita segera
berangkat selagi hari masih belum terlalu panas.”
Alexander tidak mempedulikan ucapan Maria, ia terus mencoba
membujuk Maria. “Cobalah, Maria.”
“Tuan Puteri benar, Tuan Muda. Lebih baik Anda berdua segera
berangkat selagi hari masih belum terlalu panas,” kata Maria menolak
bujukan Alexander.
“Aku tidak tega membiarkanmu terus berdiri di sini sambil menanti
kami. Lebih baik engkau duduk di depanku selagi aku mengendalikan kuda,”
kata Alexander.
“Tidak. Saya lebih suka menanti di sini.”
“Aku tidak tega membiarkanmu berdiri di sini, Maria.”
“Tidak apa-apa. Saya dapat menanti di dalam.”
“Sudahlah, Alexander. Ia tidak mau ikut, jangan engkau paksa,” kata
Lady Debora jengkel.
Sekali lagi Alexander mengabaikan Lady Debora, “Bila engkau tidak
ikut, Maria, aku tidak jadi pergi.”
Maria terkejut mendengar perkataan Alexander dan sebelum Lady
Debora sempat berkata apa-apa, ia segera bertindak.
“Baiklah, saya akan ikut. Saya tidak akan ikut di kuda Anda, saya akan
naik kuda lain.”
Jawaban yang diberikan Maria membuat Alexander tersenyum senang 220
dan Lady Debora menahan marah.
Tanpa mempedulikan Lady Debora yang sejak tadi memendam
kemarahannya, Alexander segera menaikkan Maria ke atas kuda.
Maria merasa gaun pelayan yang dikenakannya terasa menganggu
ketika ia berada di atas kuda.
Tetapi perasaan itu segera digantikan perasaan lain yang tiba-tiba
muncul saat ia mulai menyentakkan tali kendali kuda itu.
Mula-mula Maria seperti halnya Alexander dan Lady Debora, merasa
terkejut melihat kemampuannya mengendarai kuda.
Tetapi tak lama kemudian Maria merasakan kerinduan yang akhir-akhir
ini sering muncul di dadanya.
Maria merasa rindu pada masa lalunya pada kenangan-kenangan masa
kecilnya yang terlupakan. Maria ingin sekali segera mengingat semuanya
tetapi sepertinya semua masa lalunya takkan pernah muncul kembali.
Maria telah lama berada di Obbeyville dalam keadaan hilang ingatan
tetapi hingga kini ia tidak dapat mengingat apa pun. Hanya potongan-
potongan kecil dari masa lalunya saja yang pernah muncul dalam benaknya
tetapi tetap tidak dapat diingat Maria.
221
13
Ketika Maria bertemu dengan Alexander keesokan harinya, Maria telah
merencanakan untuk membicarakan masalah hilangnya Princess Mincerva
segera setelah ia bertemu.
Kemarin ketika mereka berada di Blueberry House tidak ada yang dapat
dilakukan Maria untuk membuat ia dan Alexander hanya berdua. Dan pagi ini
Maria tidak mau membuang waktu yang ada.
“Selamat pagi,” kata Maria.
“Selamat pagi, Maria.”
“Anda telah mendengar berita itu?” tanya Maria walaupun ia telah tahu
jawabannya.
“Ya. Engkau juga telah membacanya bukan? Aku terkejut sekali ketika
membacanya. Aku rasa semua orang juga terkejut mendengarnya terutama
setelah berita kemarin.”
“Saya hanya ingin memperingatkan Anda untuk tidak menuju Death
Rocks. Lebih baik Anda menghindari tempat itu bila Anda ingin selamat.”
“Engkau berkata seperti aku akan menghadapi pasukan iblis bila aku ke
Death Rocks.”
“Itulah yang Anda hadapi bila Anda ke sana,” kata Maria.
“Aku ingin ke sana. Aku ingin melihat tempat kecelakaan yang
menimpa Princess.”
“Saya juga ingin ke sana tetapi tempat itu terlalu berbahaya untuk
didekati dengan sembarangan, bila Anda bersikeras ke sana, saya
mengusulkan untuk pergi di pagi hari,” kata Maria.
“Mengapa demikian, Maria?”
“Karena ada yang harus saya lakukan sebelum Anda ke sana. Saya
harus mempersiapkan kedatangan Anda di sana. Katakanlah memintakan ijin
kepada penghuni tebing itu. Dan satu pesan saya, kembalilah sebelum
matahari tenggelam.”
Alexander tersenyum mendengar kata-kata Maria, “Engkau telah
mengingat sesuatu yang penting? Engkau bersikeras mencegahku ke Death
Rocks.”222
“Saya tidak dapat mengatakannya kepada Anda, tetapi memang benar
tempat itu berbahaya dan saya seharusnya mencegah Anda ke tempat itu.”
“Tetapi engkau tidak dapat menghentikan saya bukan?”
“Ya, karena Anda memang tidak dapat dihentikan,” kata Maria sambil
tersenyum.
“Akhirnya…”
“Akhirnya?” tanya Maria keheranan.
“Akhirnya engkau tersenyum,” kata Alexander sambil menarik tubuh
Maria, “Sejak tadi engkau berbicara dengan serius sekali tidak seperti Maria
yang selama ini kukenal senang tersenyum.”
Maria tersenyum geli, “Karena hal itu memang sangat serius, maka
saya harus mengatakannya dengan serius pula.”
“Kalau engkau tersenyum, engkau sangat cantik. Tetapi lebih cantik lagi
bila engkau tertawa. Dan sayang sekali aku tidak dapat membuatmu tertawa,
engkau hanya pernah sekali tertawa yaitu ketika kita melihat matahari terbit,
setelah itu tidak pernah lagi,” kata Alexander.
Alexander menunduk tetapi kemudian segera melepaskan Maria.
“Aku ingin menciummu tetapi engkau sekarang telah menjadi bidadari.
Aku baru saja menyadarinya,” kata Alexander, “Benarkah itu, Maria? Jarang
ada orang yang mengetahui itu. Walaupun hampir seluruh buku itu telah
kauartikan untuk kami, tetapi aku tidak mengetahui masalah larangn
mendekati Death Rocks itu.”
“Saya tidak ingat, saya hanya ingat saya harus mencegah orang yang
hendak ke sana.”
“Engkau pasti bidadari yang diutus untuk mencegah kami semua
mendekati Death Rocks. Dan Bila tugasmu telah usai, engkau akan kembali
ke Holly Mountain.”
“Saya tidak tahu,” kata Maria.
“Sekarang katakan kepadaku apa yang harus kulakukan,” kata
Alexander.
“Hanya satu yang hendak saya katakan kepada Anda, jangan pergi ke
Death Rocks hari ini pergilah ke sana esok pagi,” kata Maria.
“Hanya itu?” tanya Alexander, “Aku merasa engkau masih ingin
mengatakan yang lain dan banyak yang akan kaukatakan.”
“Untuk sementara hari ini cukup ini saja,” kata Maria.
“Tidakkah engkau menyadari, Maria, engkau menjadi seorang yang 223
sangat berbeda dari Maria yang biasanya bila engkau berbicara dengan
serius,” kata Alexander.
“Apa yang saya katakan ini memang penting karena ini menyangkut
keselamatan Anda bila Anda ingin selamat,” kata Maria.
“Engkau akan ke mana?” tanya Alexander ketika melihat Maria sejak
tadi hendak pergi.
Maria tersenyum. “Menyelesaikan tugas terakhir saya.”
“Dan setelah itu engkau akan menghilang?” tanya Alexander cemas.
“Saya tidak tahu. Tolong jangan cegah saya melakukan tugas terakhir
saya di pagi ini,” kata Maria melihat Alexander hendak mencegahnya pergi.
“Tetapi kita baru saja bertemu, Maria. Dan engkau seperti ingin segera
menghindar dariku. Apakah ini semua karena berita yang menggemparkan
itu?”
“Saya tidak tahu. Tetapi saya memang harus segera menyelesaikan
tugas terakhir saya di pagi hari ini bila saya tidak ingin menyesal di kemudian
hari.”
“Semua orang sibuk membicarakan Princess,” kata Alexander.
“Saya tahu. Semua orang pasti terkejut bila mendengar nama
seseorang yang penting yang tidak pernah didengarnya apalagi bila ia adalah
putri raja,” kata Maria.
“Aku ingin tahu apakah berita itu benar,” kata Alexander.
Maria tersenyum, “Seperti yang Anda katakan. Kita hanya dapat
menanti berita selanjutnya. Saya kira berita tentang Princess akan terus
berlangsung hingga semuanya menjadi jelas. Bahkan mungkin ketika
semuanya menjadi jelas, mereka tidak akan berhenti membicarakan dirinya.”
“Aku juga menduga seperti itu,” kata Alexander, “Aku yakin Trown
Townie sangat tertarik mendengar berita pagi ini.”
“Mengingat betapa semangatnya ia kemarin saat menceritakan hal itu
kepada kita, saya menduga ia pasti juga ikut dalam rombongan orang yang
ingin menemukan Princess,” kata Maria.
“Apakah aku harus menemukannnya dan mencegahnya pergi?” tanya
Alexander sambil tersenyum.
Maria tahu Alexander bertanya tidak dengan sungguh-sungguh tetapi
Maria menganggap pertanyaan itu serius apalagi di keadaan seperti ini. Di
mana semua orang ingin pergi ke Death Rocks yang sebenarnya merupakan
tempat berbahaya.224
“Bila Anda bertemu dengannya, cegahlah ia,” kata Maria dengan
tersenyum, “Dan sekarang jangan menghalangi saya lagi.”
Walaupun Maria telah meminta Alexander untuk tidak menghalanginya,
tetapi pria itu tetap menghalangi Maria.
Alexander menarik tangan Maria ketika gadis itu hendak pergi.
“Engkau akan ke mana?” tanya Alexander, “Aku akan mengantarmu.”
Maria menggeleng dan tersenyum, “Anda akan menyesal bila ikut
saya.”
“Aku tidak akan menyesal, Maria. Aku telah cukup mengenalmu dan
selama ini engkau tidak pernah membuatku merasa menyesal,” kata
Alexander bersikeras.
“Saya tahu Anda memang tidak dapat dicegah dan Anda tidak ingin
dicegah siapa pun bila Anda memiliki suatu keinginan,” kata Maria.
“Engkau telah mengetahuinya karena itu engkau harus mengijinkan aku
mengantarmu.”
“Baiklah,” kata Maria mengalah, “Saya ingin menemui Quiya.”
“Untuk menyelesaikan ‘ijin’ku?”
“Hanya itu yang dapat saya lakukan untuk saat ini,” kata Maria.
Alexander mengantar Maria ke rumah Quiya.
Tidak ada yang berbicara ketika mereka berjalan mendekati rumah itu.
Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Quiya dan Quiyi terkejut ketika melihat Maria datang bersama
Alexander. Sedangkan Ityu tampak sangat senang. Anak itu berlari
menyambutnya.
“Selamat pagi,” kata Ityu.
“Selamat pagi, Ityu. Bagaimana pelajaranmu? Apakah engkau sudah
menguasai apa yang aku ajarkan kepadamu?” kata Maria.
“Hampir. Saya akan belajar terus sampai saya bisa membaca dengan
lancar seperti Anda,” kata Ityu.
“Selamat pagi, Quiya. Dapatkah saya berbicara berdua saja dengan
Anda?” kata Maria dengan tegas.
Ketegasan Maria mengeluarkan setiap patah kata membuat Alexander
merasa terkejut.
Selama hampir tiga bulan ia mengenal Maria, ia selalu mendengar tutur
kata gadis itu selalu lembut. Tidak pernah terdengar ketegasan di dalam nada
bicaranya tetapi apa yang dikatakannya selalu diperbuat orang lain.225
Alexander hanya dapat menduga apa yang akan dibicarakan Maria
dengan Quiya adalah sesuatu yang sangat penting sehingga Maria berkata
tegas.
“Tentu saja,” kata Quiya.
Quiya segera membawa Maria ke sebuah ruangan kecil yang penuh
peralatan yang sering digunakannya untuk melakukan upacara di Sungai
Alleghei.
Dalam keadaan biasa, Maria akan memperhatikan alat-alat itu. Tetapi
kini ia tidak dapat memusatkan perhatiannya kepada hal yang lain. Ia sangat
mencemaskan keselamatan Alexander bila pria itu tetap bersikeras ke Death
Rocks.
“Adakah yang dapat saya bantu?” tanya Quiya.
“Anda telah mengetahui Death Rocks dan mitos yang terpendam di
sana?”
“Saya kurang tahu mengenai itu,” jawab Quiya.
“Anda telah mendengar berita menghilangnya Princess di Death
Rocks?” tanya Maria lagi.
“Ya. Berita itu membuat saya sempat terkejut.”
“Apakah Anda menyadari bahaya yang timbul bila orang-orang
memaksa diri mereka ke Death Rocks?”
Melihat Quiya tidak mengerti apa yang dikatakannya, Maria berkata
lagi,
“Kali ini saya akan menceritakan mitos ketiga itu kepada Anda. Sebagai
salah satu dari suku Deady dan sebagai seorang dari ketiga Quiya Anda
berhak mengetahuinya.”
Quiya duduk diam menatap wajah Maria yang tetap tenang namun
serius.
“Di Obbeyville, penduduk percaya ketika sinar matahari di musim panas
telah memerah di ujung barat, mereka harus segera menyembunyikan dirinya
karena dari sanalah para iblis itu muncul. Di ujung barat tempat matahari
tenggelam itu adalah Death Rocks. Dan dari sanalah para iblis berasal.”
“Death Rocks adalah tempat tinggal para iblis?” kata Quiya tak percaya.
“Itulah sebabnya berbahaya bila setiap orang dengan gegabah
mendekati tempat itu. Dan itu pula sebabnya mitos ketiga itu disembunyikan.
Suku Deady takut bila penduduk lainnya mengetahuinya, mereka tidak akan
diterima di manapun karena mereka dianggap sebagai ‘anak-anak setan’.”226
“Dulu mitos itu tidak disembunyikan. Banyak orang selain suku itu yang
juga mengetahuinya karena itu ada buku kuno itu yang menceritakan
keseluruhan mitos yang ada di Kerajaan Zirva.”
“Mengapa kemudian suku Deady memutuskan untuk
menyembunyikannya?” tanya Quiya.
“Hal itu terjadi ketika suku Deady memiliki musuh, suku Hodly yang
tinggal di Holly Mountain. Kedua suku itu bermusuhan seperti para dewa di
Holly Mountain dengan setan di Deady. Semula kedua suku itu hidup rukun,
tetapi segalanya berubah ketika nafsu serakah manusia tidak terbendung
lagi. keduanya mulai bersaing dalam segala hal dan akhirnya menimbulkan
permusuhan yang sangat hebat. Seperti para dewa dan setan, mereka juga
saling berperang.”
“Aku tidak pernah mendengar nama suku Hodly,” kata Quiya.
“Suku itu punah,” kata Maria sedih, “Berbeda dengan perang antara
dewa dengan iblis, suku itu mengalami kekalahan total. Tidak seorang pun di
antara suku itu yang tersisa dan mitos di sana tidak pernah terdengar.”
“Tragis sekali,” kata Quiya.
Maria mengangguk. “Setelah perang itu selesai, suku Deady mulai
menyadari bahwa mitos yang ada di antara mereka itu tidak menguntungkan,
karena itu mereka berusaha menyembunyikan mitos itu dari pengetahuan
orang di luar suku itu. Mereka tidak ingin seorangpun tahu bahwa mereka
tinggal di Death Rocks yang merupakan tempat bersemayamnya para iblis.
Mereka tidak ingin mendapat sebutan seperti yang diberikan suku Hodly,
‘anak-anak setan’.”
“Sekarang saya mengerti mengapa mitos itu disembunyikan dari pihak
manapun di luar suku itu,” kata Quiya, “Tetapi mengapa Anda
mengetahuinya?”
“Hingga saat ini saya tidak dapat mengingatnya,” kata Maria, “Saya
juga harus mengatakan kepada Anda bahwa sesungguhnya iblis yang tinggal
di Death Rocks adalah dewa yang menentang dewa-dewa yang tinggal di
Holly Mountain.”
“Cerita ini sangat luar biasa hingga saya merasa sukar untuk
mempercayainya.”
“Apa yang saya katakan ini adalah yang saya ketahui. Saya tidak
mengkhayal,” kata Maria tenang, “Suku Deady benar-benar masih ada di
pedalaman Death Rocks dan mereka terus menyembunyikan mitos itu dari 227
orang di luar mereka sendiri.”
“Setelah mereka menyembunyikan mitos itu, sebagian dari mereka
menyebar ke berbagai penjuru dan sebagian menyembunyikan diri di Death
Rocks?”
“Ya, demikianlah yang terjadi.”
“Orang tua saya telah lama berada di luar Death Rocks tetapi keduanya
sama-sama keturunan asli suku itu, di antara nenek moyang mereka belum
ada percampuran dengan suku lain. Sedangkan ayah istri saya asli dari Death
Rocks. Walaupun begitu, ia tidak pernah bercerita apa-apa mengenai itu.”
“Sekarang banyak suku Deady yang membaur dengan suku lain dan
semakin sedikit orang yang benar-benar keturunan suku itu. mungkin itulah
yang membuat ayah Quiyi kurang mempercayai Anda,” kata Maria.
“Ya, sekarang saya tahu itu. Dan apakah yang dapat saya bantu? Anda
tiba-tiba memutuskan untuk menceritakannya kepada saya tentu karena
Anda ingin saya membantu Anda?”
“Anda benar, Quiya. Saya bukan orang dalam suku Deady karena itu
saya tidak dapat berbuat banyak tetapi saya tahu Anda bisa melakukannya.
Dapatkah Anda mengadakan upacara untuk melindungi mereka yang pergi ke
Death Rocks?” tanya Maria.
“Anda memang seorang bidadari yang diutus untuk menolong orang-
orang yang akan ke Death Rocks,” kata Quiya.
“Saya tidak tahu tentang itu, tetapi saya ingin mengetahui apakah Anda
dapat melakukannya hari ini dan di dalam rumah ini?”
Quiya berpikir sambil melihat sekeliling ruangan, “Saya tidak tahu.
Sukar untuk mengatakannya. Selama ini upacara yang saya adakan selalu
diadakan di luar ruangan selain itu Anda memintanya dengan sangat
mendesak.”
“Saya berharap kepada Anda, Quiya. Keselamatan mereka tergantung
pada Anda,” kata Maria.
Quiya mengangkat bahunya, “Bila Anda memaksa, saya akan
mencobanya.”
“Terima kasih, Quiya. Saya tahu Anda dapat melakukannya,” kata
Maria.
Melihat kelegaan yang terpancar di mata Maria, Quiya tersenyum,
“Rupanya Anda sangat mencintainya sehingga Anda sangat
mencemaskannya.”228
“Dia?” tanya Maria tak mengerti.
“Pria yang sering bersama Anda. Sejak penduduk Obbeyville melihat
Anda berduaan dengannya, penduduk Obbeyville sering membicarakan Anda
berdua.”
Maria tersenyum, “Mereka akan lebih membicarakan saya bila mereka
tahu apa yang saya katakan ini kepada Anda. Tetapi saya percaya mereka
tidak akan tahu karena Anda juga tidak akan menceritakannya kepada siapa
pun.”
“Tentu, saya berjanji.”
Maria meninggalkan ruangan itu dengan perasaan lega bercampur
bingung.
Ia mencoba menyadari perasaannya yang sebenarnya kepada
Alexander. Tetapi ia masih sukar menjawab pertanyaan yang terus
menggema di telinganya sejak percakapannnya dengan Quiya.
“Apakah memang benar aku mencintai Alexander?” tanya Maria pada
dirinya sendiri, “Apakah itu bukan karena Alexander mirip seseorang di masa
laluku? Apakah aku menyukai Alexander karena ia mirip dengan pria di masa
laluku itu?”
Sampai hari telah berganti, Maria masih tidak dapat menjawab
pertanyaan yang terus menggema itu sehingga membuat ia sukar tidur.
Ketika Maria bangun, hujan tengah mengguyur tanah.
Tidak ada yang dapat dilakukan Maria di dini hari yang dingin itu,
karenanya Maria duduk menghadap jendela sambil terus memikirkan masa
lalunya dan pertanyaan yang terus bergaung di telinganya.
Untuk pertama kalinya sejak ia berada di Obbeyville, Maria bertanya
kepada dirinya sendiri, “Sebenarnya siapakah aku? Mengapa aku mengetahui
banyak tentang mitos itu? Apakah yang dikatakan Quiya memang benar?
Apakah aku seorang bidadari?”
Maria terus memikirkan semuanya sambil mengawasi hujan yang terus
turun dengan derasnya.
Di akhir musim panas, alam tengah mempersiapkan datangnya musim
yang baru, musim gugur. Hujan telah mulai mengguyur bumi bahkan tak
jarang menyebabkan badai.
Tak terasa hampir tiga bulan Maria berada Obbeyville tanpa sedikitpun
ia dapat mengingat masa lalunya, seolah-olah masa lalunya telah benar-
benar terkubur di kegelapan yang pekat.229
Maria tidak tahu apakah ia akan terus berada di Obbeyville bila
Alexander dan Lady Debora menikah.
Memikirkan kemungkinan itu, membuat Maria sedih dan ingin menangis
tetapi kebiasaannya yang selalu menahan perasaan membuatnya tidak
melakukannya.
Bahkan ketika Maria memikirkan kemungkinan itu, ia tidak dapat
menyadari perasaannya yang sebenarnya kepada Alexander.
“Apakah aku sedih karena Al mirip dengan pria di masa laluku? Apakah
aku sedih karena bila Al menikah bagiku itu sama seperti pernikahan pria di
masa laluku?” tanya Maria pada dirinya sendiri.
“Pria di masa laluku, siapakah engkau? Mengapa aku tidak dapat
mengingatmu bahkan tidak pernah dapat melihat wajahmu dengan jelas
setiap kali aku merasa seperti berada di sisimu? Aku sangat merindukanmu,
pria masa laluku.”
Perasaan rindu yang terus memenuhi dadanya sejak ia mengingat
keberadaan pria itu, tidak terbendung lagi.
Untuk pertama kalinya pula sejak Maria berada di Obbeyville, ia
meneteskan air mata.
“Aku tidak mengerti semua ini seakan-akan tidak ada seorangpun yang
ingin aku mengingat kembali masa laluku,” bisiknya pada hujan di luar yang
mulai mereda.
“Pria di masa laluku, bantulah aku. Aku tidak tahan dengan semua ini,
aku tahu engkau selalu menjagaku, selalu melindungiku. Kini aku berharap
engkau melindungi aku pula. Aku ingin semua ini segera berakhir. Aku tidak
tahu apakah aku benar-benar mencintai Alexander ataukah aku mencintainya
karena ia mirip denganmu,” kata Maria sambil menggenggam erat-erat
kalung yang melingkari lehernya.
“Apakah kalung ini juga darimu, pria di masa laluku?” tanya Maria pada
sosok pria yang muncul di balik kabut masa lalunya.
Maria melihat hujan telah mereda. Tetes air di dedaunan yang
menguning berjatuhan ke tanah diselingi dengan jatuhnya dedaunan di tanah
yang basah.
Maria menyeka air mata yang masih tersisa di pipinya. Tetapi ia tidak
bangkit dari tepi jendela itu. Ia tetap duduk di sana sambil mengawasi
suasana pagi hari.
“Aku takut,” kata Maria pada dirinya sendiri, “Pagi ini mereka akan ke 230
Death Rocks dan aku tidak tahu apa yang akan menimpa mereka. Aku tidak
ingin mereka pergi ke sana di pagi yang basah seperti ini. Tentu perjalanan ke
Death Rocks akan menjadi semakin sulit karenanya.”
Maria terdiam sambil mengawasi kereta kuda milik keluarga Blueberry
yang mendekati Sidewinder House.
“Apa yang dapat kulakukan. Mereka akan pergi. Terlalu terlambat untuk
mencegah mereka.”
“Mengapa aku sangat ingin mencegah mereka pergi ke sana?” tanya
Maria.
Maria terdiam tetapi pandangan matanya tetap terpaku pada sosok pria
yang tengah menuruni kereta kuda itu.
“Tentu karena aku tidak ingin sesuatu yang tak kuharapkan terjadi pada
mereka.”
Jawaban yang dibuat Maria untuk menjawab pertanyaannya sendiri
tidak membuat ia merasa puas. Ia merasa jawaban itu tidak tepat. Ketika ia
melihat Lady Debora keluar dari Sidewinder House dengan berseri-seri di sisi
Alexander, ia mengetahuinya.
“Aku tidak ingin mereka pergi berdua. Mengapa?”
Pertanyaan yang baru saja muncul membuat Maria terdiam entah untuk
ke berapa kalinya sejak gadis itu duduk merenung di depan jendela.
“Itu karena engkau mencintainya tetapi engkau enggan mengakuinya
karena engkau takut menyadari cintamu tak terbalas,” kata suara hati
kecilnya.
Maria sadar apa yang dikatakan hati kecilnya itu memang benar. Ia
mencintai Alexander sejak pertama kali mereka bertemu tetapi ia enggan
mengakuinya karena tidak ingin sakit hati.
Ia tidak ingin sakit hati melihat Lady Debora dan Alexander tampak
semakin akrab setiap harinya sejak Alexander mengundang mereka ke
rumahnya, karena itu ia tidak pernah mengakuinya.
Maria kembali menitikkan air mata.
“Percuma. Semuanya telah terlambat. Lady Debora memang lebih
pantas untuk Alexander daripada aku, Alexander pasti telah menyadari hal
itu. Aku tidak ingin melihat mereka pergi berdua. Aku takut menghadapi hari
ini.”
Maria memandang sayu pada langit yang terus menurunkan hujan dan
mencoba membayangkan wajah seseorang yang sering muncul di tiap 231
mimpinya tetapi tak pernah dapat dilihatnya dengan jelas, seolah-olah pria itu
berada di dalam kabut yang pekat seperti masa lalunya.
“Pria di masa laluku, datanglah dan lindungilah aku, aku takut sekali.
Aku takut menghadapi hari ini. Sejak aku bangun, aku melakukan sesuatu
yang tak pernah kulakukan sejak aku kecil, aku merenungkan diriku sendiri.”
Maria mempererat genggamannya pada leontin kalungnya.
“Selama ini aku tidak pernah melakukannya tetapi hari ini aku
melakukannya dan aku tidak pernah takut menghadapi hari-hari yang harus
kujalani tetapi pagi ini aku merasa taku. Aku merasa sesuatu akan terjadi hari
ini, sesuatu yang tidak dapat kuhindari.”
Setelah menyeka air matanya yang terus mengalir di pipinya, Maria
berkata dengan penuh keyakinan.
“Jika ini memang yang telah ditakdirkan dewa, maka aku akan
menjalaninya seperti biasanya. Biarlah aku terus mencintai Al walaupun ia
tidak mencintaiku. Akan kujaga baik-baik perasaanku ini.”
“Tetapi belum tentu ia tidak menyukaimu, mungkin saja ia seperti
Duchess. Sebenarnya ia enggan melakukannya tetapi karena ia ingin
mengajakmu pergi, maka ia beralasan ingin mengajak Lady Debora pergi,”
kata hati kecilnya memberinya harapan, “Selain itu engkau harus ingat Lady
Debora mempunyai niat untuk menikahi Pangeran bila ia berhasil
menemukan Princess.”
“Ya, itu mungkin saja. Aku terlalu mudah putus asa,” kata Maria
meyakinkan dirinya sendiri, “Tetapi aku tidak dapat berharap lebih bila
mengingat sikap kedua orang itu.”
Maria menyeka air mata yang kembali membasahi pelupuk matanya
dan membulatkan tekad untuk melihat ke halaman Sidewinder House.
Ia terkejut ketika melihat kereta itu masih berada di sana.
Suara ketukan di pintu kamarnya, membuat Maria segera bengkit dari
tempatnya semula.
“Maria, Alexander mengajakmu pergi. Engkau harus segera bersiap,”
kata Mrs. Vye.
Tanpa menanti apapun kata Maria, wanita itu segera menyiapkan Maria
untuk pergi.
Maria diam saja. Ia tidak berusaha mencegah Mrs. Vye, bahkan ketika ia
dibawa Mrs. Vye ke sisi Alexander.
“Aku rasa gaunmu kali ini cukup tebal sehingga aku tidak perlu khawatir 232
engkau kedinginan,” kata Alexander.
“Sayang sekali hujan terus mengguyur bumi sejak tadi sehingga jalan-
jalan menjadi licin. Anda harus berhati-hati agar tidak terjadi apa-apa selama
perjalanan Anda ke Death Rocks.”
“Karena itulah engkau aku ajak. Aku tahu engkau pasti mengetahui apa
yang harus kulakukan di pagi yang basah ini,” kata Alexander.
“Anda harus memutari tebing itu. Bila dari Obbeyville kita terus berjalan
ke barat, kita akan segera sampai ke Death Rocks tetapi jalan itu berbahaya
terutama di jalan yang licin setelah hujan semalam. Satu-satu jalan yang
paling aman adalah memutari Death Rocks dan dari Foentza kita menuju ke
tujuan kita semula. Memang jalan itu lebih membutuhkan waktu lebih lama
tetapi lebih aman,” kata Maria.
“Aku tahu engkau dapat mengatasi masalah ini,” kata Alexander.
Selama perjalanan, Maria menyibukkan diri dengan menatap
pemandangan yang mereka lalui.
Tetapi perhatiannya tidak benar-benar tercurah ke sana.
Maria teringat pada pagi sebelumnya ketika Lady Debora membaca
koran dengan penuh semangat. Dan ketika wanita itu menemukan apa yang
dicarinya, ia berseru senang.
“Berita itu memang benar. Panggilkan Mr. Liesting, Maria,” katanya.
Maria segera meninggalkan kamar itu dan kembali bersama Mr.
Liesting.
“Antarkan surat ini,” kata Lady Debora sambil menyerahkan sepucuk
surat kepada Mr. Liesting.
Setelah menerima surat itu, Mr. Liesting segera menghilang.
Maria telah menduga kepada siapa Lady Debora mengirimkan surat itu.
Kali ini Lady Debora tidak terburu-buru menyiapkan dirinya. Wanita itu
hanya duduk di depan meja rias sambil mencari-cari perhiasan.
Maria meraih koran yang diletakkan Lady Debora di tempat tidurnya
dan membaca halaman pertama yang bertuliskan besar-besar.
PRINCESS MINERVA RESMI DINYATAKAN MENGHILANG
Akhirnya Istana mengeluarkan penjelasannya setelah melihat reaksi
masyarakat terhadap berita hilangnya Princess Minerva.
Menteri Dalam Negeri dalam pidatonya di depan Istana Plesaides 233
mengatakan Princess Minerva telah menghilang di Death Rocks sejak tiga
bulan yang lalu. Princess menghilang dalam kecelakaan kereta yang
menimpanya di Death Rocks. Saat itu Princess dalam perjalanan menuju
Small Cottage dari Castil Yonga di balik Death Rocks.
Menteri Dalam Negeri juga menjelaskan sebab Princess jarang terlihat.
“Princess bukan ingin menghindari kita tetapi Princess harus menghindar dari
cuaca yang dapat menyebabkannya sakit. Sebenarnya Princess juga tidak
ingin sering meninggalkan Xoechbee tetapi karena kondisi kesehatannya,
maka ia terpaksa melakukannya.”
Selain itu, melalui Menteri Dalam Negeri, pihak Istana juga meminta
masyarakat tetap tenang karena usaha pencarian Princess sudah dilakukan
sejak kecelakaan itu dan masih terus dilakukan hingga kini.
Pangeran Alcon yang juga hadir dalam acara pidato itu mengatakan,
“Aku percaya adikku masih hidup karena itu kalian tidak perlu khawatir. Kami
telah mengusahakan mencarinya tetapi kami tidak menolak bantuan kalian.
Kami akan sangat senang bila salah seorang dari kalian yang menemukan
seorang gadis tak dikenal di antara kalian, segera melaporkan kepada kami.”
Ketika masyarakat yang berkumpul di depan Istana Plesaides
menanyakan keadaan Ratu, Pangeran menjawab, “Paduka Ratu memang
terkejut ketika mendengar berita ini tetapi beliau sehat-sehat saja hanya agak
terguncang. Kalian tidak perlu khawatir. Paduka Raja juga sehat-sehat saja.”
Setelah mendengar penjelasan singkat dari Istana, masyarakat tampak
lega. Dengan demikian Istana telah secara resmi menyatakan Princes Minerva
menghilang sejak tiga bulan yang lalu dan hingga kini belum ditemukan.
Berita kedua mengenai Princess Minerva membuat penduduk Kerajaan
Zirva yang kebingungan dengan kebenaran berita yang terdahulu merasa
lega.
Maria yakin setelah keluarnya pernyataan resmi Istana, banyak
penduduk yang mencoba menemukan Princess di Death Rocks.
Maria merasa lega ketika Quiya mengatakan ia telah melakukan apa
yang diminta Maria sebelumnya dan ia berharap orang-orang yang pergi ke
sana akan selamat seperti harapannya.
Seperti yang dikatakan Maria, perjalanan menuju Death Rocks dengan
memutar terlebih dahulu membuat perjalanan itu menjadi semakin lama
tetapi lebih aman.234
Maria terlalu sibuk dengan pemandangan yang terlihat olehnya dan
pikiran-pikirannya sehingga ia tidak menyadari ketika mereka telah tiba di
tempat itu.
“Engkau tidak turun?”
Pertanyaan Alexander membuatnya terkejut. Ia memalingkan wajahnya
dan menatap wajah Alexander yang berada sangat dekat darinya.
Walaupun jantungnya berdebar sangat keras, Maria tetap berkata
tenang, “Saya akan segera turun.”
“Lekaslah bila engkau ingin melihat pemandangan di luar. Lebih indah
pemandangan yang tampak jelas daripada yang kita lihat melalui jendela,”
kata Alexander.
Maria menatap ke tempat duduk di depannya yang telah kosong. Maria
tidak menyadari Lady Debora telah meninggalkan kereta itu.
“Lady Debora sangat bersemangat sekali. Sejak tadi ia menanti tidak
sabar saat-saat ini. Ia segera melompat turun ketika kita tiba,” kata
Alexander.
Alexander membantu Maria turun dari kereta.
Maria tidak memperhatikan Lady Debora yang segera menyambut
mesra Alexander yang baru saja turun dari kereta.
Perhatian Maria kini sepenuhnya tercurah kepada pemandangan yang
terhampar di depannya.
Angin dingin yang meminkan rambutnya tidak membuat Maria
bergeming ketika ia berdiri hampir di ujung tebing yang curam itu.
Holly Mountain yang menjulang tinggi tepat di hadapannya masih
tertutup kabut putih dari puncak hingga kaki gunung.
Sungai Alleghei yang bermata air di Holly Mountain tampak berkilauan
tertimpa sinar matahari. Sungai itu terus memanjang membentuk pita.
Saat Maria memandang sungai itu, Maria ingat ia pernah ke tempat ini.
Pita putih kebiru-biruan di antara hijaunya dedaunan yang diingatnya
ketika ia dalam perjalanan menuju Blueberry House bersama Lady Debora
dan Alexander, adalah Sungai Alleghei yang terlihat dari Death Rocks.
Sungai itu mendekati Death Rocks tetapi ketika jaraknya semakin kecil,
pita itu menjauh dan terus mengalir tenang seolah enggan menyentuh Death
Rocks.
Atap-atap rumah penduduk yang menyembul di antara hijaunya hutan
tampak seperti titik kecil yang menodai warna hijau permadani.235
Maria terus menatap pemandangan di depannya sambil terus berusaha
mengingat masa lalunya.
Maria tahu bila ia dapat mengetahui mengapa ia merasa ngeri ketika ia
berdiri dan menatap pemandangan yang indah itu, ia akan mampu
menyingkap kabut masa lalunya.
Tetapi seperti biasanya, sesuatu menghalangi Maria. Kali ini halangan
itu lebih kuat dari sebelumnya.
Maria terus mencoba membuka tirai itu. Maria seolah-olah melihat
sesuatu yang berwarna kemerahan menyelubungi puncak Holly Mountain
yang berkabut. Udara yang dingin menerpa tubuhnya yang terasa ringan.
Maria merasa tubuhnya seperti meluncur ke bawah tanpa ada yang
menahannya.
Sesaat kemudian Maria benar-benar jatuh. Maria hampir saja jatuh
menimpa tanah jika Alexander tidak segera menangkapnya.
Alexander sejak tadi mengawasi Maria dan ia menyadari wajah Maria
yang terus memucat. Ia tidak dapat berbuat apa-apa karena Lady Debora
merangkul erat-erat tangannya.
Ketika gadis itu jatuh, Alexander segera menyentakkan tangan Lady
Debora dan menangkap Maria sebelum tubuh gadis itu menyentuh tanah.
Lady Debora sangat terkejut dengan tindakan Alexander yang cepat itu
dan ia menjadi jengkel ketika melihat Alexander telah membopong Maria ke
kereta.
“Sebaiknya kita segera pulang saat ini, Lady Debora,” kata Alexander.
Lady Debora menjadi semakin jengkel ketika Alexander tidak
membantunya naik kereta.
Pria itu naik lebih dulu ke kereta dan ketika ia tiba di dalam kereta, ia
melihat Alexander sedang memangku Maria seperti memangku anak kecil.
Alexander sama sekali tidak mempedulikan Lady Debora bahka ketika
wanita itu bertanya, “Apa yang terjadi pada Maria?”
Wajah Maria yang sangat pucat membuatnya terlalu cemas untuk
memikirkan yang lain. Ia khawatir Maria akan pingsan selama berhari-hari
lagi.
Kusir kuda menjalankan keretanya tidak melewati Foentza tetapi
melalui jalan yang lebih pendek menuju Obbeyville, seperti yang
diperintahkan Alexander.
Lady Debora merasa marah karena tidak dipedulikan oleh Alexander. 236
Alexander terus memperhatikan Maria sejak tadi dan menganggap di sana
tidak ada orang lain selain mereka berdua.
Alexander tidak menyadari keberadaan Lady Debora di kereta yang
sama dengannya.
Lady Debora yang mengetahui hal itu hanya diam menahan amarah. Ia
tahu percuma ia berusaha menarik perhatian Alexander dari Maria bila ia
telah menganggap kata-katanya hanya sebagai angin lalu.
Ketika mereka semakin mendekati Obbeyville, Maria membuka
matanya.
“Aku khawatir engkau akan terus menutup matamu,” kata Alexander
tidak menyadari keberadaan Lady Debora.
“Terima kasih. Saya sudah lebih baik sekarang. Anda pasti lelah
memangku saya selama perjalanan yang panjang,” kata Maria.
Permohonan untuk dibiarkan meninggalkan pelukan yang diberikan
Alexander tersirat di matanya ketika ia memandang pria itu.
Alexander menyadarinya tetapi ia pura-pura tidak peduli bahkan ketika
Lady Debora berkata,
“Ia sudah sadar sekarang. Kurasa engkau bisa berhenti memangkunya,”
kata wanita itu.
“Ia masih sangat pucat dan lemah, Lady Debora. Aku tidak ingin ada
yang jatuh sakit selama bersamaku,” kata Alexander.
Lady Debora memandang penuh kebencian kepada Maria yang memilih
untuk menyembunyikan pandangan matanya ke langit-langit kereta yang
berwarna hitam.
“Apakah engkau merasa pusing?” tanya Alexander.
Maria menggelengkan kepalanya.
“Sebaiknya engkau segera beristirahat setibanya kita di Obbeyville.
Mrs. Vye pasti sedih bila engkau sakit,” kata Alexander dengan kelembutan
yang membuat Lady Debora semakin jengkel.
“Saya sudah tidak apa-apa. Saya merasa lebih baik sekarang dan saya
tidak merasa membutuhkan istirahat,” kata Maria menolak usul itu.
“Dengarkan, Maria. Engkau masih lemah dan jangan terlalu banyak
bergerak agar engkau tidak jatuh sakit.”
Maria tersenyum, “Anda berbicara seakan-akan Anda ini dokter.”
Alexander membalas senyuman Maria dan berkata, “Saat ini aku
memang menjadi doktermu.”237
Keduanya berbicara tanpa ingat keberadaan Lady Debora di antara
mereka.
Lady Debora memandang jengkel kepada mereka berdua tanpa
melakukan apa-apa. Ia tahu seandainya ia berteriak, ia tetap tidak akan dapat
membuat Alexander melepaskan Maria.
Lady Debora merasa sangat lega ketika mereka telah tiba di Obbeyville.
Baginya, dengan tibanya mereka di Obbeyville berarti ia dapat merebut
kembali perhatian Alexander. Dan ia sangat kecewa ketika Alexander tidak
membantunya turun dari kereta.
Pria itu masih sangat cemas dengan keadaan Maria. Alexander
membopong Maria ke pondok Mrs. Vye sekalipun Maria menolaknya.
Setelah yakin Maria tidak akan meninggalkan kamarnya, Alexander
kembali menemui Lady Debora yang tampak jengkel.
“Mengapa engkau memperhatikan dia?” tanya Lady Debora.
“Ia memang memerlukan perhatian,” jawab Alexander.
“Baiklah, ia memang memerlukan perhatian. Tetapi bagaimana
denganku, apakah aku tidak memerlukan perhatian?”
“Engkau telah mendapat cukup banyak perhatian dan Maria lebih
membutuhkan banyak perhatian saat ini,” kata Alexander.
“Apa baiknya ia dibandingkan dengan aku?” tanya Lady Debora.
“Maafkan saya, saya tidak ingin membicarakannya. Sekarang saya
mohon diri untuk pulang,” kata Alexander dengan kedinginan yang sopan.
Lady Debora menahan amarahnya ketika melihat Alexander menuju
kereta kudanya dan menghilang di balik pintu kereta itu.
Dengan langkah kesal, ia menaiki tangga dan membanting pintu
kamarnya.
Saat itu Baroness Lora tidak berada di Sidewinder House sehingga ia
tidak tahu apa yang telah terjadi.
Tak lama setelah Lady Debora membanting pintu kamarnya, Maria
muncul di ujung bawah tangga itu.
Ia mendengar suara pintu itu ketika ia tiba di depan pintu masuk
Sidewinder House.
Mrs. Vye tidak tahu ia berada di sana. Seperti halnya Alexander, ia
menduga Maria sedang tertidur.
Maria pura-pura tidur ketika Alexander dan Mrs. Vye menemaninya. Ia
tahu mereka tidak akan pergi sebelum yakin ia tidak akan pergi sebelum 238
yakin ia akan beristirahat.
Tetapi mereka tidak mengetahui Maria hanya pura-pura tidur.
“Ia telah tertidur,” kata Mrs. Vye.
“Sebaiknya kita meninggalkannya agar ia bisa tidur dengan tenang,”
kata Alexander.
Mrs. Vye segera meninggalkan kamar Maria sedangkan Alexander
masih mengawasi Maria yang pura-pura tidur.
Maria tahu Alexander masih berada di kamarnya dan ia khawatir
Alexander tahu ia hanya pura-pura saja.
Alexander mendekati Maria. Ia menyentuh wajah Maria sebelum
mencium pipi gadis itu. Setelah itu ia meniggalkan kamar Maria.
Maria terkejut sekali dengan tindakan Alexander yang tidak diduganya.
Jantungnya masih berdebar keras ketika terdengar suara Mrs. Vye dan
Alexander menjauhi pondok itu.
Sesaat setelah kepergian mereka, ia segera bangkit dan meninggalkan
pondok Mrs. Vye setelah kereta kuda Alexander menghilang.
Maria beruntung tidak ada yang melihatnya meninggalkan pondok Mrs.
Vye.
Ia baru akan menuju kamar Lady Debora ketika pintu depan diketuk
seseorang.
Maria membuka pintu itu dan terkejut melihat Marcel berdiri di sana.
Maria beruntung pria itu tidak mengenalinya.
“Selamat siang. Adakah yang dapat saya bantu?” tanya Maria.
“Aku ingin bertemu Lady Debora,” kata Marcel.
Maria memandang ke tangga kemudian berkata, “Masuklah. Saya akan
segera memanggil Lady Debora.”
Tanpa berkata apa-apa Marcel segera mengikuti Maria memasuki
Ruang Besar.
Setelah membungkuk hormat, Maria segera menuju kamar Lady
Debora.
Dengan cemas, ia mengetuk pintu kamar itu.
“Masuk,” bentak Lady Debora dari dalam.
“Apa yang kauinginkan?” bentak Lady Debora ketika melihatnya
muncul dari balik pintu.
“Tuan Muda Marcel ingin menemui Anda, Tuan Puteri. Ia sedang
menanti di Ruang Besar.”239
“Marcel datang!?” tanya Lady Debora antusias.
“Ya, Tuan Puteri.”
“Cepat bantu aku berdandan,” kata Lady Debora tanpa mempedulikan
lagi kejengkelannya pada Maria.
Setelah yakin penampilannya menarik, Lady Debora bersiap-siap
menemui Marcel. Ia membuka pintu dan hendak melangkah keluar ketika ia
tiba-tiba berhenti.
“Jangan biarkan siapapun menggangguku!” katanya.
“Tetapi Tuan Puteri bagaimana bila Tuan Muda Alexander juga ingin
menemui Anda?” tanya Maria tanpa mengerti mengapa ia bertanya seperti
itu.
“Ia tidak akan datang. Dan bila ia datang, jangan engkau ijinkan untuk
bertemu denganku. Mengerti?”
“Mengapa Anda bisa memilih dua pria dalam waktu yang bersamaan?”
tanya Maria.
“Untuk apa engkau turut campur. Lakukan saja apa yang kukatakan.
Ingat, aku tidak ingin diganggu.”
Maria menggelengkan kepalanya, “Saya heran mengapa seorang
wanita bisa tertarik pada dua pria pada waktu yang bersamaan. Sebenarnya
siapakah yang yang Anda cintai di antara mereka?”
“Itu bukan urusanmu, anak kecil. Siapapun yang aku cintai itu bukan
urusanmu,” kata Lady Debora sambil membanting pintu.
Maria mencoba menasehati Lady Debora tetapi ia gagal. Ia tahu sifat
menurun Lady Debora yang diperolehnya dari Baroness Lora tidak dapat
dirubah. Maria tidak dapat berbuat apa-apa karenanya.
Suara ketukan pintu yang terdengar beberapa saat kemudian membuat
Maria segera berlari membuka pintu itu.
Maria terkejut sama seperti pria itu yang terkejut melihatnya.
“Mengapa engkau di sini, Maria? Bukankah engkau kusuruh tidur?”
tanya Alexander.
“Maafkan saya, tetapi saya tidak dapat melanggar kewajiban saya.
Mengapa Anda kembali?”
“Aku ingin bertemu Lady Debora. Apakah ia ada?”
“Ia ada di Ruang Duduk tetapi saat ini ia tidak ingin diganggu,” kata
Maria.
“Aku harus menemuinya,” kata Alexander bersikeras.240
“Jangan! Lady Debora telah berulang kali mengatakan kepadaku bahwa
ia tidak ingin diganggu,” Maria mencoba mencegah Alexander.
“Maria, engkau telah tahu aku tidak dapat dicegah. Sekarang
minggirlah aku ingin menemuinya,” kata Alexander sambil mendorong lembut
Maria ke sampingnya.
“Jangan, Anda tidak boleh menemuinya,” cegah Maria.
Maria mencoba mencegah pria itu membuka pintu yang
menghubungkan Ruang Besar dengan Ruang Duduk, tetapi terlambat.
Maria melihat wajah Alexander tampak tegang. Ia tidak berani melihat
apa yang telah dilihat Alexander sehingga pria itu tampak sangat marah
tetapi ia tetap melihatnya. Maria terkejut ketika melihat Lady Debora sedang
merangkulkan tangannya dengan mesra di sekeliling leher Marcel.
Maria menatap cemas Alexander. Pria itu tampak geram sekali. Topi
yang dibawanya dilemparkan ke dalam ruangan itu dan mengejutkan kedua
orang itu.
Topi yang dikenakan Lady Debora ketika ia pergi ke Death Rocks jatuh
di dekat kaki Lady Debora. Wanita itu menatap pintu yang terbuka dan
terkejut.
Alexander bergegas meninggalkan ruangan itu.
Maria mengejar pria itu. Ia cemas sekali melihat kemarahan pria itu.
Alexander membalikkan badan ketika melihatnya mendekat.
“Seharusnya sejak dulu aku sadar siapa engkau. Engkau sama saja
seperti Lady Debora. Kalian tak lebih dari wanita yang hanya mengincar harta
pria kaya.”
“Tetapi, Al…” kata Maria mencoba membela dirinya.
“Jangan memanggilku Al!” bentak Alexander, “Cukup sudah aku engkau
bodohi dengan wajah cantikmu. Semua wanita sama saja, berwajah cantik
tetapi berhati iblis.”
“Engkau tidak mengerti,” kata Maria dengan sedih.
“Ya, sejak awal aku memang tidak mengerti siapa sebenarnya dirimu
tetapi sekarang aku tahu. Engkau tidak lebih dari wanita murahan. Aku
mengucapkan selamat untukmu, engkau berhasil membuatku yakin engkau
adalah bidadari. Ya, mungkin engkau memang bidadari tetapi bidadari yang
berhati iblis,” kata Alexander tajam.
Maria terkejut mendengar kata-kata kasar itu. Ia tidak pernah
mengharapkan cinta Alexander tetapi ia juga tidak mengharapkan pria itu 241
mengatakan kata-kata sekasar itu kepadanya.
“Mengapa? Engkau tidak dapat membela dirimu lagi karena aku telah
membuka kemisteriusan yang selama ini menutupimu. Aku curiga engkau
sejak awal tidak pernah hilang ingatan, engkau hanya pura-pura saja.”
Maria tidak menyadari air mata mulai membasahi mata ungunya.
“Percuma saja menangis! Aku tidak akan terpengaruh. Aku tidak ingin
melihatmu lagi.”
Alexander membuktikan ucapannya dengan menaiki kereta kudanya
dan segera menghilang di jalan.
Maria menghapus air matanya yang tak mau berhenti turun.
Hatinya terasa bagaikan teriris-iris. Ia merasa sedih mendengar kata-
kata kasar yang ditujukan Alexander padanya. Ia ingin menangis tersedu-
sedu tetapi suara langkah kaki seseorang membuatnya tidak melakukannya.
Marcel segera meninggalkan Sidewinder House seperti Alexander.
Lady Debora berteriak-teriak di depan pintu memanggil Marcel tetapi
pria itu tidak peduli.
“Marcel, engkau hendak ke mana?” seru Lady Debora tanpa mendapat
jawaban dari Marcel.
Marcel terus melangkahkan kakinya meninggalkan Sidewinder House.
Dan ketika pria itu mengendarai kudanya menjauh dari Sidewinder House,
Lady Debora masuk ke dalam rumah.
Maria segera berlari mengikuti Lady Debora yang dengan marah-marah
memasuki Sidewinder House.
Lady Debora membalikkan badannya ketika mengetahui Maria
mengikutinya.
“Apa lagi yang kauinginkan?” bentaknya.
“Maafkan saya. Saya….”
“Cukup sudah engkau merusak semua rencanaku,” potong Lady
Debora.
Maria mendekati Lady Debora yang hampir tiba di ujung tangga dan
berkata, “Saya telah mencoba melarang…”
Sekali lagi Lady Debora memotong perkataan Maria, “Ya, engkau telah
melarang. Melarang apa? Melarang Alexander mencintaiku? Padahal aku
yakin Alexander sudah hampir jatuh cinta padaku tetapi engkau
mengacaukannya. Aku muak melihatmu. Pergi!”
Tindakan Lady Debora yang tak diduga itu membuat Maria tidak dapat 242
menjaga keseimbangannya sehingga tubuhnya terhempas begitu saja dari
ujung tangga itu.
Lady Debora tidak peduli melihat jatuh terguling dari tangga itu, ia terus
melangkahkan kakinya ke kamarnya dan membantingnya dengan keras.
Mrs. Vye yang berada di tempat itu memanggil cemas Maria yang terus
terguling di tangga kayu yang keras itu.
“Maria… Maria…. Oh, Maria…, Maria….”
243
14
Panggilan Mrs. Vye terus bergema di telinga Maria.
Mula-mula panggilan itu terdengar jelas, “Maria… Maria… Maria.” Tetapi
tak lama kemudian panggilan itu terdengar lain.
Maria berusaha menangkap panggilan yang terasa tak asing lagi di
telinganya itu.
“Maria… Maria… Mar… Ma… Mi… Miner… Minerva… Princess Minerva….
Bangun Princess. Anda berkata ingin melihat matahari terbit dari puncak
Death Rocks.”
Princess Minerva membuka matanya perlahan-lahan dan melihat langit
yang mulai memerah di sekitar Holly Mountain.
“Indah sekali, Mrs. Wve.”
“Tentu saja, Princess Minerva. Ini pertama kalinya Anda melihat
matahari terbit dari Death Rocks di musim semi,” kata Mrs. Wve.
“Aku ingin waktu berhenti di sini agar aku dapat terus melihat
keindahan ini. Tetapi bila keinginanku itu terkabul, segalanya akan berubah
bukan?”
Mrs. Wve tertawa mendengarnya. “Para dewa pasti akan berkenan
memberi kesempatan kepada Anda untuk melihat pemandangan ini."
Mrs. Wve memperhatikan Princess Minerva yang asyik memandang
langit di belakang Holly Mountain yang mulai terang.
“Sayang sekali tahun ini kita tidak dapat pulang ke Istana,” kata Mrs.
Wve.
Princess Minerva menatap sedih pada Mrs. Wve, “Maafkan aku, Mrs.
Wve. Sebenarnya aku juga ingin pulang tetapi aku tidak dapat. Andai Al
menuruti pesanku, kita pasti dapat pulang ke Istana tahun ini.”
“Jangan berkata seperti itu, Princess Minerva. Pangeran pasti sedih, ia
melakukannya karena ia menyayangi Anda.”
“AKu mengerti, Mrs. Wve. Aku sedang berpikir bagaimana aku membuat
semua menteri dan semua orang di Istana kebingungan karena aku tiba-tiba
memutuskan tidak pulang ke Istana tahun ini.”
“Semua orang pasti kecewa, Princess. Anda tiba-tiba memutuskan 244
untuk pergi ke Castil Yonga,” kata Mrs. Wve.
Princess Minerva tersenyum, “Aku percaya padamu, Mrs. Wve. Aku
menyesal telah membuat mereka semua kecewa tetapi mereka telah
mengetahui sebelumnya bahwa aku tidak ingin diadakan pesta besar. Aku
telah menegaskannya sebelumnya. Sebulan sebelum aku kembali, aku telah
mengirim surat itu tetapi mereka tetap mempersiapkannya.”
“Kami semua ingin merayakan secara besar-besaran pesta ulang tahun
Anda yang kedelapan belas, Princess.”
“Aku tahu, Mrs. Wve. Tetapi mereka mengabaikan permintaanku, maka
aku juga tidak dapat disalahkan bila secara tiba-tiba aku meminta Durant
mengarahkan kereta ke Castil Yonga,” kata Princess Minerva.
“Saat itu kita belum memasuki kota Xoechbee, jadi kita masih
beruntung. Tidak ada penduduk yang menyadari Anda membelokkan arah
kereta sehingga mereka tidak sempat mencegah Anda.”
“Al sangat marah ketika ia tiba di Castil, Mrs. Wve.”
“Itu wajar, Princess, Anda telah membuat semua rencananya gagal.”
Princess Minerva tersenyum, “Al mengatakan aku adalah pengacau
rencana orang lain nomor satu di Kerajaan Zirva. Katanya, aku telah
membuat Istana gempar ketika surat keduaku dari Death Rocks tiba, mereka
yang telah mempersiapkan pesta untukku terpaksa membatalkannya.”
“Saya merasa geli ketika melihat Pangeran lebih marah daripada Raja
maupun Ratu,” kata Mrs. Wve.
“Itu tidak aneh, Mrs. Wve. Ialah yang merencanakan semua ini.”
Princess Minerva tersenyum ketika membayangkan kembali kemarahan
kakaknya karena Princess Minerva yang akan dikejutkan ternyata telah
mengejutkan kakaknya terlebih dulu.
“Mengapa engkau diam-diam pergi ke Castil?” tanya Alcon saat
melihatnya.
“Karena aku tidak ingin ada pesta besar untuk ulang tahunku,” jawab
Princess Minerva sambil tersenyum manis.
Walaupun Alcon ingin sekali memeluknya tetapi ia tetap tidak
melakukannya. “Ini ulang tahunmu yang kedelapan belas, Minerva. Dan
setelah ini kami tidak dapat memanggilmu putri kecil lagi. Karena itu kami
ingin merayakannya dengan besar-besaran.”
“Al, aku telah menulis surat kepadamu sebulan yang lalu.”
“Ya, aku telah menerimanya tetapi aku tidak dapat melakukan apa 245
yang kauminta.”
Princess Minerva tersenyum lagi, “Karena engkau tidak dapat
menolakku dan karena engkau tidak ingin aku merayakan ulang tahunku
yang kedelapan belas ini dengan pesta biasa, maka engkau diam-diam
merencanakan pesta besar itu dan mengusahakannya agar aku tidak tahu
sebelum ulang tahunku.”
Alcon mengangguk, “Dari mana engkau mengetahuinya?”
“Aku telah menduga sebelumnya ketika aku melihat suasana di
Xoechbee berbeda dari biasanya. Aku merasa kota itu lebih meriah
dibandingkan sebelumnya, maka kemudian aku meminta Durant
mengantarku ke sini,” kata Princess Minerva.
Alcon tersenyum menuduh, “Dan engkau membuat aku kebingungan
ketika menerima suratmu yang menjelaskan engkau tidak pulang ke Istana
tahun ini tetapi ke Castil Yonga.”
Princess Minerva tersenyum melihat kemarahan kakaknya yang hampir
meledak.
“Dan karena itu pula aku terpaksa membatalkan semua rencanaku dan
akhirnya harus ikut mengungsi ke Castil Yonga untuk merayakan ulang
tahunmu.”
Alcon menatap menuduh wajah adiknya, “Selain itu aku juga harus
membatasi orang yang kuundang ke pestamu.”
“Maafkan aku, Al. Tetapi engkau tahu aku tidak suka menjadi pusat
perhatian,” kata Princess Minerva, “Karena itu pula tahun ini aku tidak ke
Istana seperti biasanya.”
“Tidak apa-apa, Minerva. Seharusnya aku yang minta maaf bukan
engkau,” kata Alcon sambil memeluk adiknya. “Sejak tadi aku ingin sekali
melakukan ini tetapi aku masih harus marah kepadamu,” kata Alcon sambil
tersenyum.
“Aku tahu engkau akan marah bila bertemu denganku, Al.”
“Sayang sekali kita tidak dapat mengundang banyak orang,” kata
Alcon, “Sebenarnya Castil ini sangat luas tetapi sayang Death Rocks sangat
terjal dan sulit didekati sehingga aku hanya dapat mengundang sedikit orang
yang berani mengambil resiko jatuh di sana selain itu aku masih harus
menghadapimu bila aku berani mengundang banyak orang ke Castil ini.”
“Al, aku senang engkau masih ingat apa yang kukatakan,” kata Princess
Minerva sambil mempererat pelukannya.246
Alcon tertawa, “Aku pasti ingat semua yang kaukatakan. Aku masih
ingat ceritamu tentang tebing itu.”
“Engkau selalu merebut Minerva,” tegur Raja yang sejak tadi diam
memandang kedua putranya.
Ratu tersenyum melihat kejengkelan suaminya, melihat kemesraan
yang ditunjukkan kedua putranya.
Alcon menahan adiknya yang ingn menyambut kedua orang tuanya. Ia
tersenyum nakal kepada ayahnya ketika ia membopong adiknya memasuki
Castil.
Princess Minerva masih memperhatikan matahari yang mulai
menunjukkan keseluruhan dirinya ketika tiba-tiba kereta berguncang sangat
keras.
“Apa yang terjadi, Mrs. Wve?” tanya Princess Minerva.
“Saya tidak mengerti, Princess. Saya akan menanyakannya pada
Durant,” kata Mrs. Wve.
Sebelum Mrs. Wve bertanya, Durant telah berseru, “Jangan khawatir!
Kerikil di sini sangat besar tetapi aku bisa mengatasinya. Kalian berpegangan
saja.”
“Anda harus berpegangan yang erat, Princess,” kata Mrs. Wve.
Princess Minerva menuruti perkataan Mrs. Wve. Ia memegang erat-erat
tepi jendela tanpa melepaskan matanya dari matahari yang semakin nampak
bulat.
Tiba-tiba kereta yang ditumpanginya miring dan sesudah itu segalanya
berjalan dengan cepat.
Princess Minerva merasa pintu di sampingnya membuka. Ia tidak siap
menghadapi itu dan merasakan tubuhnya terhempas keluar dari kereta itu. Ia
melihat Mrs. Wve mengulurkan tangannya berusaha untuk menariknya.
Princess Minerva juga mengulurkan tangannya tetapi jarak mereka
terlalu jauh sehingga tangan mereka tidak dapat saling bersentuhan.
Menyadari hal itu, Princess Minerva tersenyum pada Mrs. Wve dan Durant
yang diikuti tertiupnya tubuhnya oleh angin keras yang tiba-tiba bertiup.
Sebelum segalanya menjadi gelap, Princess Minerva melihat matahari
bersinar kemerahan seperti darah di ufuk timur dan ia merasa tubuhnya
sangat ringan. Ia juga melihat keretanya terjatuh dari tepi Death Rocks tetapi
dahan pohon yang tumbuh di sisi tebing itu menahan kereta itu.
Princess Minerva memalingkan kepalanya ke puncak Holly Mountain 247
yang selalu terlihat megah kemudian menutup matanya dan merasakan
tubuhnya yang terus meluncur ke bawah.
Sebelum semuanya benar-benar menjadi gelap, Princess Minerva masih
memanggil nama seseorang.
“Maria! Maria!”
Suara orang yang terus menerus memanggilnya membuat Princess
Minerva tersadar.
Ketika Princess Minerva membuka matanya, Princess Minerva tidak tahu
di mana ia berada. Princess Minerva melihat sekeliling ruangan itu dan
melihat seorang wanita duduk dengan cemas di sisi tempat tidurnya.
“Engkau baik-baik saja, Maria?” tanya wanita itu.
“Maria?” ulang Minerva bingung. Perlahan-lahan ingatannya kembali. Ia
ingat ia telah terdampar di tempat ini dan ditemukan oleh Mrs. Vye. Ia telah
berada dalam perlindungan wanita itu sebagai seorang gadis yang hilang
ingatan bernama Maria.
Sekarang ia berada di kamarnya di pondok Mrs. Vye, wanita yang telah
menjaganya selama ia tidak dapat mengingat masa lalunya.
Princess Minerva mengangguk perlahan.
“Oh, syukurlah. Aku sangat cemas ketika melihat engkau jatuh dari
ujung tangga itu. Apakah engkau yakin engkau baik-baik saja, Maria?”
Sekali lagi Princess Minerva mengangguk perlahan.
“Tunggulah di sini, Maria. Aku akan melihat apakah Mr. Liesting telah
kembali,” kata Mrs. Vye, “Setelah memanggil beberapa orang untuk
membawamu ke sini, ia segera pergi memanggil dokter.”
“Tidak perlu!” bentak seseorang yang tiba-tiba membuka pintu kamar.
Princess Minerva tidak terkejut ketika melihat Baroness Lora berdiri
dengan wajah yang penuh dengan kemarahan dan kemenangan.
Sebaliknya Mrs. Vye terkejut sekali ketika melihat wanita itu muncul
dengan wajahnya yang menakutkan.
“Sekarang juga engkau harus meninggalkan rumahku,” kata Baroness
Lora, Engkau telah mendengar sendiri dari anakku, ia tidak ingin melihatmu
lagi.”
“Tetapi…,” sela Mrs. Vye.
“Sekarang juga!” kata Baroness Lora dengan lantang.
“Tetapi, Yang Mulia, ia baru saja jatuh dari tangga,” kata Mrs. Vye yang
mulai marah.248
“Itu kesalahannya sendiri mengapa ia berani merusak rencana putriku
dan sekarang ia harus meninggalkan rumah ini. Aku tidak sudi memelihara
orang yang tidak berguna lagi.”
“Tetapi Maria belum dapat mengingat masa lalunya,” kata Mrs. Vye.
Princess Minerva mendengar nada kemarahan yang ditahan oleh Mrs.
Vye. Ia mengulurkan tangannya hendak menenangkan wanita itu tetapi
kepalanya yang tadi terbentur tangga sewaktu ia jatuh, tiba-tiba sakit
membuat ia terpaksa menarik kembali tangannya.
“Apa hubungannya denganku? Sejak semula aku memang telah
mengatakan ia bukan gadis baik-baik tetapi karena putriku menginginkan ia
tinggal maka aku mengijinkan dia tinggal. Tetapi sekarang putriku tidak lagi
membutuhkannya. Dan itu artinya ia harus pergi.”
“Ke mana Maria harus pergi?”
“Aku tidak peduli. Sekarang juga ia harus meninggalkan rumahku. Aku
tidak ingin wanita murahan di rumahku,” bentak Baroness Lora.
Mrs. Vye ingin membela Maria lagi tetapi wanita itu telah
mendahuluinya.
“Lakukan sekarang juga! Ingat aku yang berkuasa di sini sekarang,”
kata Baroness Lora sambil membanting pintu.
“Jangan kaudengarkan wanita itu, Maria,” kata Mrs. Vye, “Aku tidak
akan membiarkan ia menyakitimu.”
Walaupun Mrs. Vye telah berkata seperti itu tetapi Princess Minerva
membuat keputusan lain.
“Tolong panggilkan kereta untuk saya, Mrs. Vye,” kata Princess
Minerva.
“Untuk apa, Maria? Ia tidak akan dapat menyakitimu selama aku masih
ada,” kata Mrs. Vye bersikeras.
“Mrs. Vye, tolong jangan bersikeras lagi. Anda telah mendengar sendiri
mereka tidak ingin melihat saya lagi. Tolong panggilkan kereta untuk saya,”
kata Princess Minerva.
Mrs. Vye terdiam.
Princess Minerva menggunakan kesempatan itu untuk membujuk Mrs.
Vye lagi, “Tolonglah, Mrs. Vye. Saya membutuhkan kereta itu sekarang juga.”
“Aku tahu,” kata Mrs. Vye tiba-tiba, “Engkau dapat pergi ke Blueberry
House. Tuan Muda Alexander pasti dapat membantumu.”
Mendengar nama itu disebut, hati Princess Minerva terasa pilu.249
Bagaimana ia dapat meminta bantuan kepada pria yang juga menolak
bertemu dengannya, dengan pria yang membuat hatinya hancur.
“Tolonglah, Mrs. Vye,” kata Princess Minerva tanpa mengatakan yang
lain.
“Tunggulah sebentar, Maria. Aku pasti akan menemukan kereta kuda
untukmu,” kata Mrs. Vye.
Setelah kepergian Mrs. Vye, Princess Minerva bangkit dari tempat tidur.
Kepalanya yang masih terasa sakit membuat ia tidak dapat bergerak
dengan bebas. Dengan perlahan-lahan ia berusaha mendekati almari.
Sambil menanti kedatangan Mrs. Vye, ia mengganti gaun pelayan yang
dikenakannya dengan gaun putih milik Lady Debora yang belum pernah
dipakainya.
Ketika ia melihat gaun merah muda pemberian Alexander, ia menangis.
“Sekarang semuanya telah jelas, Al hanya mencintai Lady Debora,”
katanya pilu sambil menyentuh gaun itu.
Princess Minerva segera menyeka air matanya ketika mendengar suara
Mrs. Vye di depan pondok. Setelah menutup kembali almari itu, ia segera
membuka pintu kamarnya.
Mrs. Vye terkejut ketika melihat Princess Minerva berdiri di dekat pintu.
“Apakah engkau akan pergi sekarang?” tanyanya.
Princess Minerva tersenyum. Walaupun hatinya sedih, tetapi ia tetap
dapat tersenyum manis seperti biasanya. “Anda telah mendengar apa yang
dikatakan Baroness Lora.”
“Tunggulah aku, Maria. Aku ikut denganmu,” kata Mrs. Vye.
“Saya akan senang sekali, Mrs. Vye. Tetapi perjalanan yang akan saya
lakukan ini sangat jauh,” kata Princess Minerva.
“Tidak apa-apa, Maria. Aku tidak ingin engkau pergi sendirian dalam
keadaan seperti itu,” kata Mrs. Vye bersikeras.
“Saya baik-baik saja, Mrs. Vye.”
Tiba-tiba kepala Princess Minerva yang tadi terbentur kembali terasa
pening. Princess Minerva memegang pegangan pintu.
Princess Minerva memegangnya dengan sangat erat sehingga jari-
jarinya tampak memutih. Rambut panjang Princess Minerva menutupi
wajahnya yang tiba-tiba memucat.
Mrs. Vye mendekati Princess Minerva dan memegang tangannya, “Ada
apa denganmu, Maria? Engkau pucat sekali.”250
Princess Minerva memaksa dirinya menggeleng, “Tidak apa-apa, Mrs.
Vye. Saya baik-baik saja.”
“Engkau yakin, Maria?” kata Mrs. Vye tak percaya, “Aku ikut
denganmu.”
Princess Minerva menyentuh tangan Mrs. Vye yang memegang
tangannya dan berkata, “Tidak, Mrs. Vye. Perjalanan ini sangat jauh.”
“Justru karena jauh itulah, maka aku harus ikut. Aku tidak ingin sesuatu
yang tak kuharapkan terjadi padamu. Aku akan ikut denganmu sekali pun
engkau akan menuju ujung dunia,” kata Mrs. Vye bersikeras.
“Tidak, Mrs. Vye. Semua orang yang ada di sini membutuhkan Anda.”
Princess Minerva melepaskan pegangannya pada pintu kamarnya dan
mulai melangkahkan kaki.
“Ke mana engkau akan pergi, Maria?”
Princess Minerva menjawab pertanyaan itu dengan tersenyum. “Kusir
kuda itu telah menanti saya, Mrs. Vye. Saya tidak boleh membuatnya
menunggu saya terlalu lama.”
Ketika Princess Minerva membuka pintu depan pondok itu, Mrs. Vye
tiba-tiba berseru,
“Tunggu, Maria. Aku akan ikut. Aku tidak peduli ke mana engkau akan
pergi. Aku akan dan harus ikut denganmu. Aku tidak dapat membiarkan
engkau pergi dalam keadaan seperti itu. Engkau bisa sakit dalam perjalanan
nanti.”
“Semua orang di sini membutuhkan Anda, Mrs. Vye,” kata Princess
Minerva mengingatkan.
“Tidak akan ada yang membutuhkan aku. Yang Mulia pasti senang bila
aku dapat meninggalkan tempat ini. Sejak dulu ia sangat mengharapkan aku
pergi jauh dari Obbeyville.”
“Bagaimana dengan Mrs. Fat, Mrs. Dahrien, dan Mr. Liesting?”
Mrs. Vye terdiam. “Mereka memang akan kehilangan diriku bila aku
pergi tetapi mereka akan memarahiku bila membiarkanmu pergi dalam
keadaan seperti ini. Mereka pasti mengerti. Aku dapat menemui mereka lagi
setelah mengantarmu.”
“Bagaimana bila Anda tidak dapat kembali?” tanya Princess Minerva.
Mrs. Vye terdiam lagi.
Princess Minerva memanfaatkan keheningan itu untuk membuka pintu
dan berkata, “Selamat tinggal, Mrs. Vye. Maafkan saya yang telah 251
merepotkan Anda selama ini.”
Princess Minerva melangkahkan kakinya meninggalkan pondok Mrs.
Vye.
“Apakah Anda dapat mengantarkan saya ke tempat yang sangat jauh
dari sini?” tanya Princess Minerva kepada kusir kuda yang berdiri di depan
pintu kereta.
“Ke mana Anda akan pergi?” tanya kusir kuda itu.
“Saya ingin pergi ke Xoechbee,” jawab Princess Minerva.
Pekikan terkejut di belakangnya membuat Princess Minerva
membalikkan badannya.
“Engkau akan ke sana? Tunggulah aku,” kata Mrs. Vye.
Sebelum Princess Minerva berkata apa-apa untuk mencegah wanita tua
itu, Mrs. Vye telah berlari ke dalam rumah.
Princess Minerva kebingungan. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Apakah
ia harus menunggu atau pergi sebelum Mrs. Vye muncul.
Sebelum Princess Minerva memutuskan tindakannya, Mrs. Vye telah
muncul dengan membawa sebuah mantel yang tebal di tangannya.
Princess Minerva hendak mengatakan sesuatu tetapi Mrs. Vye telah
mendahuluinya.
“Eido, engkau mau mengantarkan Maria, bukan?” kata Mrs. Vye.
“Tentu, Mrs. Vye.”
“Tempat itu sangat jauh. Anda terpaksa meninggalkan keluarga Anda
bila Anda bersedia,” kata Princess Minerva.
“Jangan khawatir, Miss. Saya tidak mempunyai keluarga lagi, kedua
orang tua saya telah meninggal sejak saya masih kecil dan satu-satunya
orang yang merawat saya sejak kematian orang tua saya juga baru
meninggalkan saya,” kata pria itu.
Princess Minerva terpana, “Maafkan saya.”
“Tidak apa-apa, Miss. Naiklah dan saya akan segera mengantarkan
Anda.”
Pria itu hendak membantu Princess Minerva naik tetapi Princess
Minerva menolakkanya. Princess Minerva memilih untuk menaiki kereta itu
sendiri daripada dibantu.
Mrs. Vye mengikuti Princess Minerva naik ke kereta.
Princess Minerva terkejut. “Mrs. Vye, Anda?”
“Sekarang engkau tidak dapat lagi melarangku, Maria. Aku harus ikut 252
denganmu. Perjalanan yang kautempuh ini sangat jauh,” kata Mrs. Vye
dengan tersenyum.
“Bagaimana dengan keluarga Sidewinder, Mrs. Vye?”
“Jangan khawatir, Maria. Aku telah menjelaskannya kepadamu, mereka
tidak akan merasa kehilangan aku.”
“Tetapi bagaimana dengan Mrs. Fat, Mrs. Dahrien, dan Mr. Liesting?”
Mrs. Vye memegang tangan Maria. “Sudahlah, Maria. Mereka pasti akan
mengerti lagipula setelah mengantarmu aku dapat menemui mereka lagi.
Sekarang duduklah yang nyaman dan pejamkan matamu. Engkau tampak
semakin pucat.”
Mrs. Vye duduk di samping Princess Minerva dan berkata kepada kusir
kuda, “Mari kita berangkat, Eido.”
Kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan pondok Mrs. Vye.
Princess Minerva memandangi pondok Mrs. Vye yang mulai menghilang
di balik Sidewinder House.
Matanya terus mengawasi Sidewinder House yang semakin mengecil
dan akhirnya menghilang. Saat itu ia tahu sangat kecil kemungkinan ia dapat
ke tempat ini lagi, tempat yang telah merebut tempat di hatinya.
Sejak tinggal di Obbeyville, Princess Minerva tahu ia tertarik dengan
keindahan tempat ini. Dengan pohon-pohonnya yang mulai menguning di
awal musim panas. Dengan bunga zinnianya yang indah.
Princess Minerva tahu ia akan merindukan Sidewinder House dan
suasananya yang penuh kegembiraan di tengah pelayan lainnya dan
kemarahan-kemarahan baik Baroness Lora maupun Lady Debora yang telah
menjadi bagian dari hidupnya selama tiga bulan terakhir ini.
Ia akan kehilangan semua yang telah menjadi bagian kehidupannya di
Obbeyville. Keindahan Obbeyville tak akan dapat dilihatnya lagi.
Princess Minerva tidak akan dapat melihat wajah Obbeyville di musim
panas lagi. Ia tidak akan dapat melihat lagi keindahan bunga zinnia yang
bermekaran di tepi Sungai Alleghei. Ia tidak akan dapat melihat halaman
Sidewinder House yang ditatanya bersama Mr. Liesting. Tidak juga dedaunan
yang selalu berserakan di atas rumput yang menguning. Ia tidak akan dapat
menemui Ityu lagi dan bercerita banyak tentang mitos-mitos yang ingin
diketahui anak itu. Princess Minerva juga tahu ia tidak akan dapat bermain
lagi dengan anak-anak Obbeyville di tepi Sungai Alleghei yang selalu bersinar.
Princess Minerva menutup matanya sebelum air matanya menetes. 253
Tetapi ia segera membukanya lagi ketika bayangan seseorang muncul saat ia
menutup matanya.
Dari semua rasa kehilangan yang turut bersamanya, Princess Minerva
merasa paling kehilangan Alexander. Sejak menyadari ia mencintai pria itu,
Princess Minerva tidak pernah mengharapkan cinta Alexander. Ia mengerti
bila Alexander memilih Lady Debora daripada dirinya. Walaupun Lady Debora
mirip dengan ular betina yang buas tetapi tidak dapat disangsikan lagi
kecantikan wanita itu. Lady Debora sangat cantik secantik ibunya, Baroness
Lora. Tidak mengherankan bila Alexander mencintainya.
Kata-kata kasar Alexander yang ditujukan kepadanya dengan penuh
kemarahan masih terngiang jelas di telinga Princess Minerva. Masih
terbayang jelas bagaimana wajah Alexander yang dipenuhi kemarahan.
Mata Alexander yang dingin tampak semakin dingin. Mata itu menatap
tajam padanya dan mengiringi kata-katanya yang menyayat hatinya, seakan-
akan Alexander tidak hanya melukainya melalui kata-kata saja tetapi juga
melalui tatapannya yang tajam.
Wajah Alexander yang biasanya selalu tersenyum tampak sangat
menakutkan.
Terkenang saat-saat bahagianya dengan Alexander, Princess Minerva
ingin menangis. Tetapi Princess Minerva juga tahu tidak ada yang dapat
dilakukannya untuk mengembalikan saat-saat itu.
Ketika Alexander berkata tajam ‘Aku tidak ingin melihatmu lagi’ dengan
penuh kemarahan, Princess Minerva tahu pria itu benar-benar tidak
mengharapkan lagi dan tidak pernah ingin bertemu lagi dengannya.
Princess Minerva tahu walaupun ia dapat kembali ke Obbeyville di hari-
hari yang akan datang, tetapi saat itu akan sangat berbeda dengan saat-saat
yang telah ia lalui di Obbeyville.
Ia tidak akan dapat menemui Alexander lagi walaupun ia ingin bertemu
dengannya. Alexander pasti akan menolak bertemu dengannya. Princess
Minerva percaya Alexander akan memilih untuk pergi jauh daripada bertemu
dengannya, gadis yang dianggapnya hina.
Princess Minerva semakin sedih bila ia mengingat wajah Duchess yang
penuh kasih sayang seperti ibunya juga Blueberry House yang indah dengan
bunga-bunga mawarnya dan pintu gerbang putihnya yang megah.
Princess Minerva bisa saja tetap tinggal di Obbeyville tanpa
mengatakan ia telah mengingat semua masa lalunya, tetapi ia tidak dapat 254
mengabaikan ibunya yang dikabarkan jatuh sakit.
Princess Minerva tidak dapat mengabaikan perasaan rindunya pada
kakaknya, Pangeran Alcon dan semua orang yang ada di Istana Plesaides.
Apalagi pengasuhnya, Mrs. Wve yang pasti juga akan merasa sangat
kehilangan dirinya.
Princess Minerva tahu ia harus kembali ke Istana Plesaides agar tidak
membuat Mrs. Wve terutama Durant, kusir kuda yang mengantarkannya
ketika kecelakaan itu terjadi merasa bersalah karena telah menyebabkan
kecelakaan itu terjadi sehingga ia menghilang.
Princess Minerva menutup matanya yang mulai membasah dan
mencoba tertidur serta berhenti memikirkan kesedihan yang tidak akan dapat
dengan mudah dihapuskan dari hatinya.
255
15
Setelah melalui perjalanan panjang dan melelahkan, akhirnya mereka
memasuki kota Xoechbee.
Sesaat setelah mereka meninggalkan Obbeyville, cuaca masih terang.
Tetapi beberapa saat kemudian hujan deras terus menerus menganggu
perjalanan mereka ditambah lagi keadaan Princess Minerva yang semakin
memburuk.
Selama beberapa kali, Mrs. Vye menghentikan kereta di penginapan
dan memaksa Princess Minerva untuk tinggal beberapa hari tetapi Princess
Minerva selalu menolaknya.
Princess Minerva bersikeras segera pergi ke Xoechbee tanpa
menjelaskan apa-apa kepada Mrs. Vye maupun kepada Eido. Hanya hujan
deraslah yang membuat Princess Minerva terpaksa membatalkan perjalanan
panjangnya. Kadang-kadang keadaan Princess Minerva terus memburuk
sehingga gadis itu menjadi sangat lemah.
Saat itulah Mrs. Vye memanfaatkan keadaan untuk berhenti dan
menginap selama beberapa hari di penginapan yang mereka temui hingga
Princess Minerva pulih kembali.
Bila Princess Minerva mulai pulih, Mrs. Vye tidak segera memutuskan
untuk berangkat walaupun Princess Minerva telah memaksanya.
Princess Minerva tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tahu kondisinya
semakin memburuk karena udara yang dingin dan terus berubah. Mantel
tebal yang dibawa Mrs. Vye untuk mencegahnya jatuh sakit karena udara
dingin bila hari hujan juga tidak membantu apa-apa. Dengan semakin
melemahnya tubuh Princess Minerva, perjalanan berjalan semakin lambat.
Perjalanan yang biasanya dapat ditempuh selama beberapa hari kini
menjadi berminggu-minggu karena banyaknya halangan yang harus mereka
hadapi.
Bahkan ketika mereka memasuki Xoechbee, halangan itu tetap ada.
Hujan deras mengguyur bumi ketika mereka memasuki Xoechbee.
Ketika menyadari kereta telah memasuki Xoechbee, Princess Minerva
berkata perlahan kepada Mrs. Vye, “Tolong antarkan saya ke Istana 256
Plesaides.”
Mrs. Vye terkejut tetapi ia tidak bertanya apa-apa kepada Maria. Ia
berteriak mengalahkan gemuruh hujan deras, “Ke Istana Plesaides, Eido.”
Mrs. Vye tahu Eido pasti sama terkejutnya dengan dirinya.
Selama perjalanan, Mrs. Vye telah banyak menceritakan mengenai
Maria kepada Eido. Dan seperti penduduk Obbeyville, pria itu juga
mengagumi gadis itu.
Mrs. Vye menatap Princess Minerva yang tampak sangat pucat dan
mulai menebak diri gadis itu yang sebenarnya. Mrs. Vye telah membaca
berita hilangnya Princess Minerva di koran dan ia mulai menduga Marialah
sang putri yang hilang itu.
Semua yang ada pada gadis itu sangat tepat bila ia adalah seorang
putri, kecantikkan, keanggunan, keramahan serta kepandaian Maria, kecuali
satu hal, kepandaian memasak gadis itu dan mengurus rumah. Kepandaian
memasak Maria membuat Mrs. Vye kembali berpikir apakah benar Maria
adalah putri yang hilang itu.
Terlalu janggal bagi Mrs. Vye bila Maria sebagai seorang putri yang tak
pernah kekurangan pelayan dapat memasak dan melakukan pekerjaan
lainnya yang tak sesuai dengan kedudukannya seperti menata rumah.
Hal itu telah terbukti. Selama berada di Obbeyville, Maria telah
menunjukkan kepandaiannya menata rumah.
Selama berada di Obbeyville, Maria tidak diam saja melihat Sidewinder
House yang sepi. Gadis itu meramaikan suasana di dalam Sidewinder House
dengan bunga-bunga musim panas. Di beberapa ruangan gadis itu telah
melakukan perubahan yang membuat ruangan itu jauh lebih menarik dari
keadaan semula. Gadis itu juga merubah penampilan halaman Sidewinder
House menjadi lebih menarik.
Mrs. Vye benar-benar kebingungan. Terlalu banyak hal yang
membingungkan pada diri gadis itu bahkan sejak ia menemukan gadis itu.
Ketika kereta berhenti setelah beberapa saat mengelilingi Xoechbee
untuk menemukan Istana Plesaides, Mrs. Vye tahu segalanya akan menjadi
jelas.
Mrs. Vye menanti di dalam kereta tetapi tidak terjadi apa-apa.
Mrs. Vye mulai merasa cemas. Setelah tak sabar menanti akhirnya ia
memutuskan untuk turun. Setelah menutupi tubuh Princess Minerva yang
bersandar lemah pada sisi kereta, ia turun.257
Tanpa mempedulikan hujan yang menerpa tubuhnya, ia segera
menemui Eido yang tengah berdebat bersama dua orang prajurit yang
menjaga pintu gerbang.
“Ada apa, Eido?” tanya Mrs. Vye.
“Mereka tidak mengijinkan kita memasuki Istana, Mrs. Vye,” jawab Eido.
“Mengapa kalian tidak mengijinkan kami masuk dan menemui Raja?”
tanya Mrs. Vye pada kedua prajurit itu.
“Kami bertugas menghadang semua orang yang tidak dikenal yang
ingin memasuki Istana,” jawab salah satu prajurit itu.
“Biarkan kami masuk dan menemui Raja. Ini penting sekali,” kata Mrs.
Vye bersikeras.
Prajurit yang tadi menjawab pertanyaan Mrs. Vye berkata, “Katakan
dulu kepada kami urusan apa?”
“Kami harus menemui Raja sekarang juga,” kata Eido ikut-ikutan
berbantah.
Prajurit yang satunya berkata dengan sabar, “Kami bertugas untuk
menjaga pintu gerbang ini karena itu kami tidak dapat menjaga siapapun
yang ingin memasuki Istana tanpa tujuan yang jelas.”
“Kami membawa Princess,” kata Mrs. Vye.
Jawaban Mrs. Vye mengejutkan ketiga pria itu. Suasana menjadi hening
hingga tawa prajurit yang tadi berbantah dengan Mrs. Vye memecahkan
keheningan itu.
“Princess kami hilang bagaimana kalian dapat menemukannya?
Tunjukkan dulu buktinya kepada kami,” kata prajurit itu.
Mrs. Vye mulai marah, “Princess sekarang berada di kereta. Cepat
ijinkan kami masuk karena ini menyangkut nyawa Princess kalian. Bila terjadi
sesuatu pada Princess, kalianlah yang akan disalahkan.”
“Maafkan kelancangan saya tetapi teman saya benar, kami tidak dapat
melakukan apa-apa bila Anda tidak dapat menunjukkan buktinya kepada
kami,” kata prajurit yang lebih muda dan lebih sabar itu.
“Princess berada di ambang kematian tetapi kalian masih tidak
mengijinkan kami menemui Raja,” kata Mrs. Vye marah.
“Maafkan kami, kami hanya menjalankan tugas,” kata prajurit yang
sabar itu lagi.
“Baiklah,” kata Mrs. Vye sambil melangkah ke kereta.
Mrs. Vye merasa ragu apakah benar Maria adalah Princess yang hilang 258
itu. Walaupun ia telah berulang kali menyebut Maria sebagai Princess, tetapi
ia sebenarnya merasa ragu apakah itu benar.
“Apakah di luar hujan lagi?” tanya Princess Minerva lirih ketika ia
melihat Mrs. Vye memasuki kereta dengan tubuh yang basah.
“Ya, Maria. Musim gugur selalu dipenuhi hujan,” kata Mrs. Vye.
Nada bicara Mrs. Vye yang seperti orang baru bertengkar hebat
membuat Princess Minerva bertanya, “Ada apa, Mrs. Vye?”
Untuk sesaat Mrs. Vye ragu-ragu tetapi akhirnya ia berkata, “Mereka
tidak mengijinkan kita masuk.”
Princess Minerva tersenyum lemah selemah gerakan tangannya yang
menyentuh kalungnya. Setelah melepas kalung itu, Princess Minerva
menyerahkannya kepada Mrs. Vye.
“Mintalah kepada penjaga-penjaga itu untuk menunjukkan kalung ini
pada Pangeran Alcon,” kata Princess Minerva.
Mrs. Vye menerima kalung itu dengan ragu-ragu.
Princess Minerva menyadari keragu-raguan itu dan berkata, “Tolonglah,
Mrs. Vye.”
Mrs. Vye membawa kalung itu di tangannya dan menemui prajurit-
prajurit itu.
“Princess meminta kalian menunjukkan kalung ini pada Pangeran,” kata
Mrs. Vye sambil menunjukkan kalung itu.
Prajurit yang kasar itu tertawa.
Temannya yang lebih sabar menegurnya, “Jangan tertawa!”
“Mengapa aku tidak boleh tertawa? Lucu sekali menunjukkan bukti
dengan seuntai kalung yang bisa didapatkan siapa saja di manapun.”
“Princess berkata seperti itu dan engkau meragukannya,” kata Eido.
“Maafkan temanku. Ia memang seperti itu,” kata prajurit yang lebih
sabar.
“Apakah aku salah bila bersikap seperti ini?” tanya prajurit yang
satunya.
Prajurit yang lebih sabar mengacuhkannya dan berkata kepada Mrs.
Vye, “Saya akan membawa kalung itu dan menunjukkannya pada Pangeran
Alcon.”
Teman prajurit itu tertawa lagi, “Bagaimana bila gadis yang dikatakan
wanita ini bukan Princess?”
“Itu adalah urusan nanti. Sekarang aku hanya melakukan apa yang 259
harus kulakukan,” kata prajurit itu sambil menerima kalung itu.
Sebelum temannya berkata apa-apa, prajurit itu membuka pintu
gerbang yang tinggi dan besar itu dan berlari memasuki halaman Istana yang
luas.
-----0-----
Suasana di Ruang Tahta terasa sangat sunyi dan mencekam.
Semua yang ada di sana tampak termenung memikirkan sesuatu.
“Apakah tidak ada kabar?” tanya Pangeran Alcon.
Menteri Dalam Negeri yang ditanya berkata, “Hingga saat ini belum ada
kabar mengenai Princess, Pangeran.”
“Sudah hampir empat bulan berlalu tetapi mengapa masih belum ada
kabar,” kata Pangeran dengan cemas.
“Maafkan saya, Pangeran. Saya telah memerintahkan beberapa orang
untuk mencari Princess di sekitar Death Rocks tetapi hingga kini kami belum
menemukannya. Kami juga telah mencarinya ke sekitar Foentza tetapi tetap
tak dapat menemukan Princess.”
“Bagaimana perkembangan terakhir usaha pencarian itu?” tanya Raja.
“Hingga saat ini saya telah mengirim banyak orang dan banyak pula
bantuan dari masyarakat yang ingin menemukan Princess tetapi tetap saja
Princess belum ditemukan,” jawab Menteri Dalam Negeri.
“Apakah engkau telah mencari di sekitar Death Rocks terutama di
bawah tebing itu?” tanya Pangeran.
“Saya telah mencari Princess di bawah Death Rocks hingga jarak yang
memungkinkan sebagai tempat jatuhnya Princess,” jawab Menteri Dalam
Negeri. “Tetapi Pangeran….”
“Tetapi apa, Kendsley?” tanya Pangeran Alcon tak sabar.
“Menurut saya, sangat kecil sekali kemungkinan Princess masih hidup.
Death Rocks sangat curam dan terjal selain itu tempat itu sangat tinggi.
Mustahil Princess masih selamat setelah jatuh dari tebing yang sangat curam
itu.”
“Tidak mungkin!” seru Pangeran, “Bila Minerva telah meninggal, kita
pasti masih dapat menemukan jasadnya tetapi hingga kini kita tidak
menemukan apa-apa selain kuda-kuda yang mati itu dan kereta yang hancur.
Minerva masih hidup. Ia pasti masih hidup, aku yakin itu.”260
“Alcon, apa yang dikatakan Kendsley ada benarnya. Mustahil Minerva
masih hidup setelah jatuh dari tebing yang tinggi itu. Mrs. Wve sendiri telah
mengatakan Minerva terlempar terluar dari kereta dan ia sempat melihat
Minerva jatuh ke bawah,” kata Raja.
“Tidak mungkin, Papa. Minerva pasti masih hidup. Apakah Papa percaya
Minerva telah meninggal?”
Raja berkata sedih, “Aku juga tidak percaya, tetapi hal itu mungkin saja.
Sangat mustahil Minerva masih hidup, mengingat tebing itu sangat curam.”
“Bagaimana dengan Mama, apakah Mama percaya Minerva masih
hidup?”
“Mama tidak tahu, Alcon. Mama ingin mempercayai Minerva masih
hidup tetapi Kendsley benar tidak mungkin Minerva masih hidup. Mama tidak
mengharapkan Minerva telah meninggal tetapi bila benar itu yang terjadi, kita
tidak dapat berbuat apa-apa, Alcon, selain menerimanya,” kata Ratu tak
kalah sedihnya dengan Raja.
“Tidak, Minerva masih hidup. Aku tidak akan percaya Minerva telah
meninggal sampai aku bertemu kembali dengannya. Aku yakin Minerva masih
hidup di suatu tempat,” kata Pangeran melawan pendapat semua orang yang
ada di ruangan itu.
“Alcon!” tegur Ratu.
“Maafkan aku, Mama. Tetapi aku tidak akan pernah percaya Minerva
telah meninggal sebelum aku melihat jasadnya. Aku percaya Minerva masih
hidup.”
Pangeran berjalan mondar-mandir di ruangan itu dan hampir menabrak
seorang prajurit yang memasuki ruangan itu dengan terburu-buru.
Prajurit itu berlutut di depan Raja yang duduk di kursi kebesarannya
dan hendak berkata sesuatu tetapi Pangeran telah mendahuluinya.
“Tidak perlu terlalu formal. Katakan apa yang hendak kaulaporkan,”
kata Pangeran tegas.
“Seorang dari penjaga gerbang meminta ijin untuk bertemu,” kata
prajurit itu.
“Apakah terjadi sesuatu di luar?” tanya Raja.
“Maafkan saya, saya tidak mengetahuinya.”
Pangeran mengambil tindakan lebih dulu, “Suruh dia masuk.”
“Baik.”
Sesaat setelah kepergian prajurit itu, seorang prajurit yang berbaju 261
basah memasuki Ruang Tahta.
Sekali lagi sebelum prajurit itu berkata apa-apa, Pangeran Alcon
mendahuluinya, “Tidak perlu bersikap formal dan segera katakan apa yang
hendak kaulaporkan.”
“Alcon!” tegur Ratu.
“Maaf, Mama. Aku benar-benar merasa gila karena hilangnya Minerva,”
kata Pangeran.
“Itulah yang hendak saya laporkan, Pangeran. Di luar ada seorang
wanita tua yang bersikeras masuk, katanya ini menyangkut hidup matinya
Princess,” kata prajurit itu hati-hati.
Semua orang terkejut mendengar perkataan prajurit itu.
“Katakan sekali lagi,” kata Pangeran tak percaya.
“Di luar ada seorang wanita tua yang mengaku membawa Princess,”
ulang prajurit itu.
“Apakah engkau yakin ia adalah Princess?” tanya Menteri Dalam Negeri.
“Saya tidak tahu. Tetapi wanita itu berkata Princess meminta saya
untuk menunjukkan kalung ini kepada Pangeran,” kata prajurit itu sambil
mengangkat kalung itu.
Leontin kalung yang berbentuk hati itu terayun-ayun dan berkilauan
tertimpa sinar yang memenuhi ruangan itu. Melalui rantainya yang halus, air
dari tangan prajurit itu menetes hingga menyentuh lantai. Air itu terus
menetes seperti air mata.
Semua orang memandang kalung yang terayun-ayun itu tanpa ada
yang berkata apa-apa.
Pangeran Alcon membelalak terkejut. Ia mengambil kalung itu dari
tangan prajurit itu dan mengamatinya.
“Tidak salah lagi ini kalung yang kuberikan pada Minerva pada ulang
tahunnya yang kedelapan belas,” kata Pangeran dengan penuh semangat.
“Apakah engkau yakin, Alcon?” tanya Raja.
“Aku yakin sekali, Papa. Kalung ini hanya ada satu di dunia. Kalung ini
dibuat khusus untuk Minerva. Di mana mereka?” tanya Pangeran.
“Mereka di luar gerbang, Pangeran.”
Pangeran menggenggam kalung itu dan berlari meninggalkan Ruang
Tahta.
Sesaat sebelum ia mencapai pintu, Raja bertanya, “Engkau hendak ke
mana, Alcon?”262
“Aku ingin menemui Minerva.”
Pangeran terus berlari tanpa menghiraukan prajurit dan pelayan yang
terkejut melihatnya berlari seperti orang yang dikejar setan.
Pangeran Alcon juga tak menghiraukan hujan yang menerpa tubuhnya.
Ia terus berlari menembus hujan.
Kemunculan Pangeran yang mendadak dengan tubuh basah kuyup
membuat tiga orang yang menanti di gerbang, kebingungan dan terkejut.
Mrs. Vye terkejut melihat seorang pria yang mirip dengan Maria muncul
dengan berlari-lari dan terus berlari ke kereta tanpa menghiraukan mereka
yang terpaku di tempatnya.
Pangeran Alcon membuka kereta dan melihat adiknya tersenyum lemah
padanya.
“Minerva!” seru Pangeran girang.
“Aku pulang, Al,” kata Princess Minerva lirih sambil tersenyum lemah.
Pangeran memasuki kereta dan saat itulah ia menyadari keadaan
adiknya.
Napas Princess Minerva terputus-putus, seperti orang yang berada di
ambang maut. Rambut yang menutupi wajahnya yang pucat, tidak bersinar
lagi. Mata Princess Minerva memandang lemah pada kakaknya seakan-akan
ia kehilangan tenaganya untuk membuka mata.
“Engkau pucat sekali,” kata Pangeran Alcon, “Aku lupa engkau tidak
tahan udara dingin. Pasti perjalanan ini membuatmu jatuh sakit.”
Pangeran Alcon mengangkat tubuh Princess Minerva yang lemah dan
membawanya meninggalkan kereta.
Princess Minerva merasa lelah. Ia telah berusaha keras agar lekas
sampai di Istana Plesaides dan kini setelah ia sampai, ia merasa tidak
bertenaga lagi. Semua tenaganya telah digunakannya untuk
mempertahankan dirinya agar tidak pingsan selama perjalanan. Kelelahan
dan kelegaan yang menerpa tubuhnya membuat Princess Minerva jatuh
pingsan saat Pangeran membawanya meninggalkan kereta.
Pangeran kembali berlari tanpa mempedulikan ketiga orang yang masih
terkejut. Pangeran berlari menembus hujan sambil melindungi tubuh adiknya
dari tetesan hujan dengan tubuhnya sendiri.
Pangeran terus berlari ketika ia melihat Raja dan Ratu serta beberapa
orang berjalan di halaman dengan payung besar yang melindungi mereka
dari hujan deras.263
“Sekarang engkau akan ke mana?” tanya Raja.
“Aku akan membawa Minerva ke kamarnya,” kata Pangeran sambil
terus berlari meninggalkan sekelompok orang yang terkejut dengan
jawabannya itu.
Seluruh Istana gempar dengan munculnya putri mereka.
Ratu dan Mrs. Wve menangis gembira ketika mendengar putri mereka
yang hilang telah kembali. Mungkin tidak hanya Ratu dan Mrs. Wve saja yang
menangis gembira tetapi juga beberapa pelayan yang menyayangi Princess
Minerva.
Dalam waktu singkat seluruh Istana disibukkan oleh keadaan Princess
Minerva yang parah. Sebagian bingung mencari dokter, sebagian lagi bingung
membuat Princess Minerva merasa hangat.
Raja memerintahkan untuk membawa Mrs. Vye dan Eido masuk setelah
melihat putranya membawa adiknya masuk ke dalam Istana.
Kedua orang itu terkejut ketika mengetahui Maria benar-benar Princess
yang hilang itu terutama Mrs. Vye. Tetapi kebingungan wanita itu masih
belum hilang semuanya. Ia masih tidak mengerti mengapa Princess Minerva
memiliki banyak kepandaian yang sangat tidak sesuai dengan kedudukannya
sebagai seorang putri raja.
Pelayan-pelayan Istana menyambut Mrs. Vye dan Eido dengan penuh
suka cita. Mereka membawakan baju ganti bagi kedua orang itu dan
menyuruh mereka mengganti baju mereka yang basah.
Prajurit yang semula berbantah dengan Mrs. Vye dan prajurit yang
menunjukkan kalung Princess Minerva pada Pangeran terkejut ketika
mengetahui berita itu seperti halnya Mrs. Vye yang menyadari Maria adalah
putri yang hilang itu.
Tadi sewaktu berdiri di depan pintu gerbang sambil menanti prajurit
yang membawa masuk kalung Maria, ia sempat memperhatikan wajah Istana.
Istana itu tampak seperti Istana negeri dongeng dengan dindingnya yang
putih dan halamannya yang luas dan indah. Beberapa ujung menara yang
runcing tampak bersinar setiap kali ada petir yang menggelegar di langit.
Bendera yang berkibar-kibar di ujung menara itu basah oleh air hujan
demikian pula patung-patung yang menghiasi halaman Istana.
Dengan tersebarnya kabar bahwa Princess Minerva telah kembali, Mrs.
Vye merasa senang karena telah membuat prajurit yang kasar itu menjadi
merasa malu. Mrs. Vye tidak menyukai prajurit kasar itu, ia lebih menyukai 264
prajurit satunya yang sabar.
Setelah mengganti gaunnya yang basah dan menghangat dirinya, Mrs.
Vye dibawa pelayan menemui Princess Minerva di kamarnya.
Mrs. Vye terpesona pada kamar Princess Minerva yang luas.
Saat Mrs. Vye memasuki ruangan itu, ia mencium bau harumnya bunga
dan saat ia berada di dalam, barulah ia menyadari bau harum itu berasal dari
bunga-bunga yang memenuhi ruangan yang luas itu.
Udara di ruangan itu hangat. Api di perapian yang besar, menyala dan
menimbulkan bunyi kayu yang terbakar. Sofa yang indah dan antik dengan
mejanya yang tak kalah indahnya terletak di depan perapian menambah
indahnya ruangan itu. Sofa itu terlihat sangat nyaman bila diduduki. Sebuah
jendela panjang menghubungkan ruangan itu dengan serambi. Tirai putih
yang panjang menutupi jendela itu sehingga Mrs. Vye tidak dapat melihat
keadaan serambi itu.
Tetapi Mrs. Vye dapat menebak serambi itu juga tampak indah dengan
pemandangannya yang indah pula.
Piano putih yang berada di dekat jendela menarik perhatiannya. Piano
itu tampak antik dan anggun. Sebuah bangku yang indah berada di depan
piano itu.
Seorang wanita yang setua diri Mrs. Vye muncul dari balik sebuah pintu
yang berada di dalam ruangan tempatnya berdiri. Wanita itu menghampirinya
dan berkata, “Terima kasih Anda telah membawa kembali putri kami.”
Mrs. Vye menggelengkan kepalanya, “Tidak, bukan saya yang
membawa Princess. Ia sendirilah yang membawa dirinya kembali ke Istana,
saya hanya mengikutinya.”
“Saya pengasuh Princess Minerva, Mrs. Wve,” kata wanita itu.
“Saya Mrs. Vye,” kata Mrs. Vye memperkenalkan dirinya.
“Andakah yang merawat Princess selama ini?” tanya Mrs. Wve.
Mrs. Vye menganggukkan kepalanya.
“Terima kasih Anda telah merawat Princess dengan baik. Saya tidak
tahu harus berkata apa selain itu. Saya benar-benar berterima kasih
karenanya.”
“Jangan berkata seperti itu. Saya tidak dapat menjaga Princess dengan
baik buktinya sekarang ia jatuh sakit,” kata Mrs. Vye.
“Tidak apa-apa. Princess memang tidak tahan dengan udara dingin,
tidak ada yang menyalahkan Anda. Saya tetap berterima kasih pada Anda.”265
Pangeran muncul dari balik pintu yang sama dengan pintu tempat
munculnya Mrs. Wve.
Pangeran tersenyum pada Mrs. Vye dan berkata, “Saya berterima kasih
atas bantuan Anda. Anda telah menjaga Minerva dengan baik.”
Mrs. Vye melihat kemiripan senyum Pangeran dengan Maria dan ia
membalas senyuman itu, “Anda terlalu melebihkan.”
“Silakan bila Anda ingin menemui Minerva. Setelah itu saya
mengharapkan kedatangan Anda di Ruang Tahta. Kami membutuhkan
keterangan Anda,” kata Pangeran.
“Baik,” jawab Mrs. Vye.
Pangeran tersenyum lagi. “Tolong kauantarkan Mrs. Wve.”
“Baik, Pangeran,” kata Mrs. Wve.
Setelah Pangeran meninggalkan ruangan itu, Mrs. Wve membawa Mrs.
Vye memasuki ruangan tempat terbaringnya Princess Minerva.
“Apakah pria itu adalah Pangeran Alcon?” tanya Mrs. Vye.
“Ya, ia kakak Princess.”
“Ia mirip sekali dengan Princess.”
“Tentu saja, mereka bersaudara,” kata Mrs. Wve.
Sekali lagi Mrs. Vye terpesona pada ruangan tempatnya berada.
Seperti ruangan sebelumnya, ruangan itu terus memanjang hingga ke
serambi. Antara serambi dan ruangan itu juga terpisah oleh jendela panjang
yang bertirai putih tipis.
Tepat di tengah ruangan itu ada sebuah tempat tidur antik yang besar
yang bertiang emas. Tirai-tirai putih yang menutupi tempat tidur itu
menyentuh permadani hijau cerah yang menutupi lantai di sekitar tempat
tidur. Di setiap kaki tiang-tiang emas itu terletak sebuah pot bunga yang
berisi berbagai macam bunga. Tidak hanya di kaki tiang itu saja yang dihiasi
bunga tetapi hampir di setiap sudut kamar itu. Sebuah meja rias yang juga
terlihat indah dalam keantikkannya terletak tidak jauh dari tempat tidur. Di
sampingnya berdiri sebuah almari besar. Selain benda-benda itu dan pot-pot
yang penuh berisi bunga, di ruangan itu tidak ada apa-apa lagi sehingga
ruangan itu tampak lebih luas dari yang sebenarnya.
Mrs. Wve dan Mrs. Vye mendekati tempat tidur yang terletak tepat di
tengah ruangan itu.
Mrs. Wve menyingkap tirai itu.
Mrs. Vye terkejut melihat seorang gadis yang hampir tidak dapat 266
dikenalinya sebagai Maria yang telah tinggal bersamanya selama lebih dari
tiga bulan di Obbeyville, tengah terbaring di sana.
Wajah Princess Minerva tampak pucat sekali, jauh lebih pucat dari saat
Mrs. Vye menemukannya. Rambutnya yang panjang berserakan di sekeliling
kepalanya. Selimut putih yang lembut dan hangat menutupi sekujur tubuhnya
yang telah mengenakan gaun tidur yang indah. Mata gadis itu terpejam erat.
Napasnya tersengal-sengal. Keringat dingin yang bermunculan di dahinya
membasahi rambut di sekitar dahinya.
Mrs. Wve menyadari kekhawatiran yang muncul di benak Mrs. Vye. Ia
berkata, “Jangan khawatir, Mrs. Vye. Princess memang selalu begini setiap
kali ia pingsan.”
“Tetapi napasnya terputus-putus seperti orang yang berada di ambang
maut,” kata Mrs. Vye cemas.
“Jangan khawatir, Mrs. Vye. Princess memang selalu seperti ini setiap
kali ia kedinginan. Kami sedang berusaha menghangatkan ruangan ini agar
Princess tidak kedinginan lagi,” kata Mrs. Wve.
Mrs. Vye dan Mrs. Wve memperhatikan wajah Princess Minerva yang
tampak terus memucat.
Tiba-tiba Mrs. Wve berkata, “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan
bila Princess tidak kembali. Aku sangat menyayanginya.”
“Aku juga sangat menyayangi Maria,” sahut Mrs. Vye.
“Maria?” tanya Mrs. Wve tak mengerti.
“Itu nama yang kuberikan padanya ketika aku menemukannya,” kata
Mrs. Vye menjelaskan.
Mrs. Wve memandang tak mengerti kepada Mrs. Vye.
“Saya ingin bertanya banyak kepada Anda tetapi lebih baik sekarang
kita segera menemui Pangeran. Di sana Anda dapat menceritakan semua
yang telah terjadi tanpa perlu mengulanginya berkali-kali,” kata Mrs. Wve
sambil menutup kembali tirai yang mengelilingi tempat tidur Princess
Minerva.
“Sebenarnya apa yang terjadi sehingga kecelakaan itu terjadi?”
Mrs. Wve menarik tangan Mrs. Vye meninggalkan kamar itu, “Aku akan
menceritakannya nanti. Sekarang kita lebih baik membiarkan Princess
beristirahat. Kita masih harus menemui Pangeran.”
“Apakah baik bila kita meninggalkan Princess sendirian dalam keadaan
seperti ini?”267
“Kita tidak akan meninggalkan Princess sendirian. Di luar pasti ada
seseorang.”
Apa yang dikatakan Mrs. Wve memang benar.
Di Ruang Duduk mereka melihat seorang pelayan pria sedang
memasukkan beberapa batang kayu ke dalam perapian yang menyala terang.
“Tolong panggilkan seseorang untuk menemani Princess,” kata Mrs.
Wve pada pelayan itu.
“Anda hendak ke mana, Mrs. Wve?” tanya pelayan itu.
“Pangeran memintaku mengantar Mrs. Vye menemuinya di Ruang
Tahta,” jawab Mrs. Wve.
“Baik, Mrs. Wve. Saya akan segera meminta seseorang untuk
menemani Princess. Anda tidak perlu khawatir.”
“Tolong segera engkau carikan. Kami tidak akan lama.”
“Baik, Mrs. Wve.”
“Mari, Mrs. Vye,” kata Mrs. Wve sambil membuka pintu.
Mrs. Vye berjalan di samping Mrs. Wve yang tidak berbicara apa-apa
selama perjalanan.
Mrs. Wve mengerti Mrs. Vye mengagumi Istana. Dan ia memberi
kesempatan kepada wanita itu untuk mengamati setiap bagian Istana yang
mereka lalui. Walaupun banyak pertanyaan yang ingin diajukannya tetapi
Mrs. Wve tetap tidak berbicara apa-apa, ia hanya berjalan pelan-pelan di
samping Mrs. Vye yang sibuk mengamati setiap bagian Istana yang mereka
lalui.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup lama dari kamar Princess
Minerva yang terletak di lantai empat menuju Ruang Tahta yang terletak di
lantai dasar, akhirnya mereka tiba juga di Ruang Tahta.
Prajurit yang melaporkan kedatangan mereka berdua kepada Raja,
muncul tak lama kemudian. Prajurit itu membukakan pintu Ruang Tahta bagi
mereka dan menutupnya kembali setelah kedua wanita itu memasuki Ruang
Tahta.
Pangeran Alcon serta Raja dan Ratu sedang bercakap-cakap dengan
Eido ketika mereka memasuki ruangan itu.
Mereka segera menghentikan percakapan mereka ketika melihat Mrs.
Wve dan Mrs. Vye datang mendekat.
“Kami mengucapkan terima kasih pada Anda yang telah membawa
putriku pulang kembali,” kata Raja.268
“Saya tidak membawanya kembali, Paduka. Princess sendiri yang
membawa dirinya kembali ke Xoechbee, saya hanya mengikutinya,” kata Mrs.
Vye.
“Tidak apa-apa. Kami tetap mengucapkan terima kasih kepada Anda
yang telah menjaga Minerva selama perjalanan.”
“Sudah merupakan kewajiban saya untuk menjaga Princess yang saya
sayangi bahkan sebelum saya mengetahui ia adalah putri yang hilang itu.”
“Sekarang kami ingin mengetahui apa yang telah terjadi pada Minerva
selama ia berada di sisi Anda,” kata Pangeran, “Teman Anda, Eido, tidak
dapat memberi banyak keterangan pada kami. Kata Eido, Andalah yang telah
menemukan Minerva dan merawatnya selama ini.”
Mrs. Vye menganggukkan kepala, “Benar. Saya menemukan Princess
tergeletak pingsan di tepi Sungai Alleghei ketika saya sedang berjalan-jalan di
sepanjang sungai itu.”
“Sungai Alleghei!?” seru Pangeran Alcon terkejut.
“Ya, saya menemukan Princess di Sungai Alleghei,” ulang Mrs. Vye.
“Ya, Tuhan. Itu tidak mungkin. Sungai itu jauh sekali dari kaki Death
Rocks. Tidak mungkin Minerva terlempar dari tebing itu hingga mencapai
Sungai Alleghei yang mengalir jauh di bawahnya,” kata Pangeran.
“Itu mungkin saja, Pangeran. Angin bertiup sangat keras ketika Princess
tiba-tiba terlempar keluar dari kereta. Mungkin angin itulah yang
menerbangkan tubuh Princess ke Sungai Alleghei yang mengalir jauh dari
kaki Death Rocks,” kata Mrs. Wve.
“Pantas saja kita tidak dapat menemukan Minerva walaupun kita telah
mencari di sekitar tebing itu bahkan dalam jarak sekitar lima mil dari tebing
itu,” kata Raja, “Tidak kuduga ternyata Minerva terlempar ke Sungai Alleghei
yang jaraknya kurang lebih sepuluh mil dari kaki tebing itu.”
“Kita harus bersyukur berkat itulah Minerva kembali tanpa kehilangan
suatu apapun. Kita benar-benar harus berterima kasih pada Tuhan yang telah
melindungi Minerva hingga kini. Dan sekarang kita harus berusaha agar
Minerva segera sadar kembali,” kata Ratu.
“Jangan khawatir, Paduka Ratu. Saya telah mengutus orang untuk
memanggil Dokter Donter,” kata Menteri Dalam Negeri.
“Baiklah, itu mungkin saja. Teruskan cerita Anda, Mrs. Vye,” kata
Pangeran.
“Princess tidak sadarkan diri selama beberapa hari dan ketika ia sadar 269
kembali ia tidak dapat mengingat masa lalunya juga namanya,” kata Mrs. Vye
melanjutkan ceritanya.
Kembali Pangeran Alcon memutus cerita Mrs. Vye. “Minerva hilang
ingatan!?”
“Jadi itu sebabnya Minerva tidak segera kembali bahkan setelah berita
itu muncul,” timpal Raja ikut memutuskan cerita Mrs. Vye.
“Jangan memutus cerita Mrs. Vye!” tegur Ratu, “Kalian memang selalu
begini setiap kali ada masalah yang menyangkut Minerva.”
“Mama telah mengerti sifat kami bila mengatasi masalah yang
berhubungan dengan Minerva, karena itu Mama harus mengerti bila kami
sering memutus cerita Mrs. Vye,” kata Pangeran Alcon sambil memberikan
senyuman yang manis tetapi nakal kepada Ratu.
“Engkau tidak pernah berubah bila menyangkut adikmu, Alcon,” kata
Ratu.
“Maafkan kami, Mrs. Vye. Silakan melanjutkan cerita Anda,” kata Raja.
Mrs. Vye kembali melanjutkan ceritanya. “Baroness Lora, majikan saya
sangat marah ketika ia mengetahui saya menemukan seorang gadis. Ia ingin
sekali saya segera mengusir Princess Minerva tetapi saya memaksanya
membiarkan Princess tinggal hingga ia sadar kembali. Baroness Lora tetap
ingin mengeluarkan Princess Minerva walaupun ia tahu Princess kehilangan
ingatannya.”
“Sungguh keterlaluan Baroness Lora. Bagaimana ia bisa berbuat setega
itu pada seorang gadis yang hilang ingatan?” kata Ratu.
Pangeran Alcon tersenyum pada Ratu yang tanpa sadar telah
memotong cerita Mrs. Vye. “Baroness Lora memang sangat keterlaluan.
Bagaimana ia bisa berbuat seperti itu?”
“Saya juga tidak mengerti mengapa ia berbuat seperti itu. Ia berkata
Princess hanya akan menambah pengeluarannya, tetapi sebenarnya dia
sendirilah yang membuat pengeluaran keluarga Sidewinder membengkak dan
hampir hilang semuanya terutama sejak kematian Baron Marx Sidewinder,”
kata Mrs. Vye.
“Saya tahu sepak terjang Baroness Lora. Ia memang bukan wanita yang
baik,” kata Menteri Dalam Negeri, “Saya tidak menyukainya. Dan saya
percaya wanita itu tega melakukan hal yang sangat keji pada seorang gadis
yang tak berdaya.”
“Baroness Lora memaksa saya untuk mengeluarkan Princess, tetapi 270
saya tetap bersikeras mempertahankan Princess. Baroness Lora sangat
marah dan berjanji akan melakukan segala cara untuk mengeluarkan
Princess. Saya sangat ketakutan waktu itu, saya tidak tega membayangkan
Princess yang hilang ingatan harus pergi tanpa arah.”
“Walaupun Baroness Lora tidak dapat memecat saya, tetapi saya tahu
ia bisa membuat Princess meninggalkan Obbeyville. Tetapi untunglah putri
Baroness Lora, Lady Debora tidak menginginkan Princess meninggalkan
tempat itu,” kata Mrs. Vye melanjutkan ceritanya.
“Apakah Baroness Lora menyetujui permintaan putrinya itu?” tanya
Mrs. Wve.
“Tentu saja Baroness Lora menyetujuinya. Baroness Lora sangat
menyayangi Lady Debora. Tetapi baik Lady Debora maupun Baroness Lora
tidak begitu saja menerima kehadiran Princess.”
Mrs. Vye ragu-ragu untuk melanjutkan ceritanya.
“Teruskan cerita Anda, Mrs. Vye,” kata Raja.
“Lady Debora meminta Princess menjadi pelayannya,” kata Mrs. Vye.
Semua orang tercengang mendengar kalimat terakhir Mrs. Vye.
Akhirnya kesunyian itu terpecahkan oleh seruan kemarahan Pangeran
Alcon, “Wanita keji! Bagaimana ia bisa melakukan itu?”
“Baroness Lora bisa melakukan apa saja. Ia bahkan mengambil gaun
yang dikenakan Princess sewaktu saya menemukannya. Saya telah mencoba
mempertahankan gaun itu tetapi mereka tetap mengambilnya. Untunglah
mereka tidak mengetahui Princess mengenakan kalung yang indah saat saya
menemukannya. Setelah mengambil gaun itu, Baroness Lora masih menjelek-
jelekan Princess, ia mengatakan Princess bukan gadis baik-baik.”
“Wanita kejam, aku tidak akan memaafkannya. Bagaimana ia bisa
berkata seperti itu padahal ia belum tahu siapa sebenarnya Minerva itu?
Apakah ia tidak mempunyai perasaan? Bagaimana ia bisa mengambil barang
yang bukan miliknya dan setelah itu menjelek-jelekkan orang itu?” kata
Pangeran Alcon geram.
“Alcon! Jangan marah seperti itu,” tegur Ratu.
“Maafkan aku, Mama. Tetapi aku benar-benar marah sekali kepada
kedua wanita itu,” kata Pangeran Alcon tanpa mengurangi nada
kemarahannya.
Ratu menggelengkan kepalanya dan berkata, “Teruskan cerita Anda,
Mrs. Vye.”271
“Princess menerima syarat yang diajukan Lady Debora dengan senang
hati. Princess sama sekali tidak pernah mengeluh apa-apa ketika ia bekerja
untuk Lady Debora.”
“Princess Minerva memang bukan orang yang suka mengeluh. Princess
pasti melakukan pekerjaannya dengan sangat baik,” kata Mrs. Wve.
“Ya, ia mengerjakan segala sesuatunya dengan sangat baik. Bahkan ia
telah membuat saya tercengang dengan kepandaiannya mengurus rumah
dan kepandaian memasaknya. Tetapi lebih dari itu Princess telah membuat
saya dan pelayan-pelayan lainnya yang masih bekerja di Sidewinder House
tercengang akan kebijaksanaannya.”
Pangeran Alcon tersenyum, “Pasti Minerva telah membuat penduduk
Obbeyville menjadi gempar.”
Mrs. Vye tersenyum, “Ya, ia membuat penduduk Obbeyville menjadi
gempar sejak saya menemukannya di Sungai Alleghei yang kami anggap
keramat. Kami menganggapnya sebagai seorang bidadari yang dikirim para
dewa kepada kami melalui Sungai Alleghei. Tidak ada di antara kami yang
meragukan hal itu apalagi setelah mendengar segala yang diketahui Princess
mengenai mitos itu.”
Semua tercengang mendengar perkataan Mrs. Vye.
“Luar biasa!” seru Pangeran Alcon kagum, “Minerva pasti telah
membuat semua yang tidak mungkin menjadi mungkin.”
“Bagaimana Minerva bisa mengingat kembali masa lalunya, Mrs. Vye?”
“Saya kurang tahu apa yang terjadi hari itu. Saya hanya melihat Lady
Debora sedang memarahi Princess dari ujung tangga dan tiba-tiba ia
mendorong Princess. Ketika Lady Debora mendorong Princess Minerva hingga
terjatuh di tangga, Princess pingsan. Dan setelah ia sadar, Baroness Lora
muncul dan memarahinya.”
“Kasihan Princess,” kata Mrs. Wve, “Mengapa Lady Debora tega
melakukan itu?”
“Mereka pasti tega, Mrs. Wve. Aku tahu mereka akan selalu tega
menyakiti orang lain untuk kepentingan mereka sendiri,” kata Pangeran Alcon
geram.
“Tetapi mungkin berkat itu ingatan Minerva kembali,” kata Raja.
Ratu yang sejak tadi hanya membiarkan mereka menyela cerita Mrs.
Vye akhirnya berkata, “Lanjutkan cerita Anda, Mrs. Vye.”
Mrs. Vye melanjutkan ceritanya, “Princess tidak mengatakan apa-apa, 272
ia hanya meminta saya untuk memanggilkan kereta untuknya. Semula ia
tidak setuju saya ikut dengannya tetapi saya berhasil memaksa ikut dan
akhirnya Princess tidak berkata apa-apa untuk melarang saya.”
“Selama di perjalanan Princess jatuh sakit dan kami terpaksa berhenti
selama beberapa hari di penginapan yang kami temui. Selain itu hujan lebat
juga sering menghalangi perjalanan kami. Karena itulah perjalanan ini lebih
lama dibandingkan yang seharusnya,” kata Mrs. Vye mengakhiri ceritanya.
“Benar-benar luar biasa!” seru Pangeran, “Benar-benar petualangan
yang panjang. Apakah selama itu Minerva terus berada di Obbeyville?”
“Tidak, beberapa kali Tuan Muda Alexander mengajaknya ke Blueberry.
Tetapi Tuan Muda tidak hanya membawanya tetapi juga mengajak Lady
Debora,” kata Mrs. Vye.
“Siapakah Alexander itu?” tanya Ratu.
“Ia putra Duke of Blueberry,” jawab Mrs. Vye.
“Aku tahu Alexander. Aku pernah mendengar namanya. Kudengar ia
seorang pria yang sulit didekati wanita. Bila ia mengajak pergi Minerva dan
Lady Debora maka ada dua kemungkinan ia menyukai Minerva atau
menyukai Lady Debora. Tetapi bila mengingat kedinginan sikap Alexander
bila menghadapi wanita, maka sangat besar kemungkinan ia menyukai
Minerva,” kata Pangeran Alcon.
“Aku ingin bertemu dengannya,” kata Raja.
“Apakah kita harus mengumumkan kepada masyarakat mengenai
kembalinya Princess?” tanya Menteri Dalam Negeri.
“Tentu saja. Kita harus mencegah penduduk terus mencemaskan
keadaan Minerva,” kata Raja.
“Tetapi, Papa, bila kita mengumumkannya sekarang pasti banyak
penduduk yang ingin bertemu dengan Minerva. Sedangkan Minerva sendiri
masih belum sadar,” kata Pangeran.
“Jangan khawatir, Pangeran. Saya hanya akan mengumumkan
penduduk tidak perlu lagi mengkhawatirkan keadaan Princess,” kata Menteri
Dalam Negeri.
“Apakah mereka akan menerima berita itu?” tanya Ratu.
Kendsley terdiam. “Menurut saya, kita harus menambahkan bahwa
Princess sedang sakit dan meminta mereka tidak menganggu Princess hingga
ia sembuh,” katanya.
“Itu juga sulit, Kendsley. Penduduk pasti ingin mengunjungi Minerva,” 273
kata Raja, “Dan kita tidak tahu apakah Minerva masih berada di sini setelah ia
sadar.”
“Bagaimana bila kita mengadakan pesta untuk itu? Kita tetap
mengumumkan kepada semua penduduk bahwa Minerva telah kita temukan
dan berjanji akan memperlihatkan Minerva kepada penduduk dalam pesta itu.
Dengan demikian semua masalah akan selesai,” kata Pangeran.
“Tetapi, Pangeran, Princess Minerva tidak suka menjadi pusat
perhatian,” kata Mrs. Wve.
“Jangan khawatir, Mrs. Wve. Minerva pasti mengerti bila aku
menerangkan segala sesuatunya dan kali ini ia tidak dapat kabur lagi dari
pesta yang akan kuselenggarakan,” kata Pangeran.
“Sebenarnya masih banyak yang tidak saya mengerti,” kata Mrs. Vye,
“Saya tidak mengerti mengapa Princess Minerva pandai memasak? Mengapa
Princess Minerva jarang berada di Istana?”
Sebelum ada yang menjawab pertanyaan Mrs. Vye, seorang prajurit
muncul bersama seorang pelayan.
“Ada apa?” tanya Pangeran.
“Sebaiknya Anda segera menemui Princess, Pangeran. Princess
memanggil-manggil nama Anda dalam tidurnya sejak tadi,” kata pelayan itu.
“Terima kasih, aku akan segera ke sana,” kata Pangeran.
Kemudian Pangeran berpaling kepada Mrs. Vye dan berkata, “Mengenai
pertanyaan Anda tadi, Mrs. Vye. Saya rasa Mrs. Wve akan menjawabnya
dengan senang hati. Anda dapat bertanya segala hal yang tidak Anda
mengerti kepadanya.”
Pangeran terdiam kemudian berkata, “Apakah Anda berdua berkenan
tinggal di sini setidaknya hingga Minerva sadar kembali. Aku yakin Minerva
akan mencari Anda bila ia sadar.”
“Engkau jangan lupa, Alcon, Mrs. Vye dan Eido masih mempunyai
keluarga di Obbeyville. Di samping itu keluarga Sidewinder pasti mencari Mrs.
Vye,” tegur Raja.
“Paduka tidak perlu khawatir mengenai itu, saya tidak mempunyai
keluarga lagi. Jadi tidak ada masalah bila saya tinggal di sini hingga Princess
sadar,” kata Eido.
“Saya juga tidak berkeberatan bila harus tinggal di sini. Keluarga
Sidewinder tidak akan mencari saya. Mereka pasti senang saya telah
meninggalkan rumah itu. Sejak dulu Baroness Lora memang tidak menyukai 274
saya, ia terus berharap dapat mengeluarkan saya dari rumahnya tetapi ia
tidak dapat melakukannya bahkan setelah suaminya meninggal,” kata Mrs.
Vye.
“Baiklah kini semua masalah telah selesai kecuali satu, sadarnya
Minerva,” kata Pangeran Alcon, “Sekarang aku permisi dulu. Aku ingin
menemui Minerva.”
275
16
Pangeran memasuki kamar Princess Minerva dengan hati-hati. Ia
berusaha untuk tidak menimbulkan suara.
Udara di ruangan itu telah menjadi lebih hangat dari saat Pangeran
memasuki meninggalkan kamar itu. Tetapi seorang pelayan tetap
memasukkan beberapa batang kayu ke perapian yang telah menyala terang.
Pelayan itu segera bangkit ketika mendengar langkah Pangeran.
“Tolong kau terus hangatkan ruangan ini. Kamar ini harus benar-benar
hangat agar Minerva tidak kedinginan,” kata Pangeran Alcon sebelum pelayan
itu menyapanya.
“Baik, Pangeran,” kata pelayan itu.
Pangeran Alcon melanjutkan perjalanannya ke kamar Princess Minerva.
Sebelum ia membuka pintu yang tidak tertutup rapat itu, seorang
pelayan telah membukanya lebih dulu.
Pelayan itu mengangguk hormat kepada Pangeran dan berkata,
“Cepatlah, Pangeran. Keadaan Princess semakin memburuk dan ia terus
memanggil nama Anda.”
Pelayan itu menepi untuk memberi jalan kepada Pangeran yang segera
memasuki Ruang Tidur adiknya.
Pangeran mendekati tempat tidur adiknya yang tertutup tirai putih.
Perlahan-lahan Pangeran Alcon membuka tirai putih itu dan melihat
adiknya yang terbaring di ranjang yang besar itu.
Pangeran menatap sedih pada Princess Minerva yang terbaring lemah
di sana.
Princess Minerva tampak sangat kecil di ranjang yang besar itu. Seuntai
kalung tampak menghiasi lehernya yang putih. Di balik napasnya yang
terputus-putus, Princess Minerva berkata-kata lirih.
Pangeran duduk di tepi tempat tidur yang besar itu dan mendekatkan
wajahnya sambil berusaha mendengar bisikan Princess Minerva.
“Al…, jangan… pergi…. Ja… ngan… pergi…. Al… Al…”
Pangeran Alcon menggenggam erat tangan Princess Minerva dan
berbisik di telinga Princess Minerva, “Jangan khawatir, sayang, aku akan 276
selalu di sini. Aku akan selalu berada di sisimu.”
“Al…, jangan… pergi…. Jangan ting… galkan… aku…, Al.”
Kedua tangan Pangeran menggenggam tangan Princess Minerva
semakin erat. Pangeran meletakkan tangan yang dingin itu ke mulutnya dan
berkata, “Aku tidak akan pergi, Minerva. Aku janji aku akan selalu di sisimu.”
Pangeran Alcon menggosokkan tangan Princess Minerva ke pipinya
sambil terus meyakinkan Princess Minerva seakan-akan dengan demikian
Princess Minerva akan mengerti. Tangan Pangeran yang satu menggenggam
erat tangan Princess Minerva dan tangannya yang lain mengusap dahi
Princess Minerva yang dipenuhi keringat dingin.
Pangeran terus memandangi wajah Princess Minerva yang masih
memucat hingga ia mendengar suara yang mendekat.
Mrs. Wve dan Mrs. Vye tersenyum ketika melihat Pangeran Alcon yang
duduk di tepi adiknya sambil menggenggam tangan Princess Minerva.
“Anda sudah mengerti semuanya, Mrs. Vye?” tanya Pangeran.
“Belum. Mrs. Wve belum menjawab pertanyaan saya.”
Pangeran ganti menatap Mrs. Wve, “Mengapa engkau belum menjawab
pertanyaan Mrs. Vye, Mrs. Wve?”
“Saya tidak tahu harus menjawab apa. Anda tidak memberi tahu saya
bagaimana saya harus menjawabnya. Apakah saya harus mengatakan
semuanya ataukah hanya bagian-bagian yang penting saja,” kata Mrs. Wve.
“Engkau dapat menjawab sesuai dengan yang sebenarnya.”
“Saya juga ingin melakukan itu, tetapi biasanya Anda selalu
memutuskan segala sesuatu mengenai Princess dan saya tidak tahu harus
berbuat apa,” kata Mrs. Wve.
“Aku telah memberi wewenang kepadamu untuk menjawab pertanyaan
Mrs. Vye,” kata Pangeran sambil tersenyum.
Mrs. Wve membalas senyuman itu dan berkata, “Saya mengerti,
Pangeran. Tetapi saya pikir lebih baik bila Anda sendiri yang menjawab
pertanyaan Mrs. Vye.”
“Baiklah, Mrs. Wve, aku tidak akan berdebat denganmu lagi. Minerva
pasti tidak senang melihat kita berdebat.”
Mrs. Wve tersenyum, “Princess Minerva memang tidak pernah
menyukai perdebatan kita. Menurut Princess kita bukan berdebat tetapi
bertengkar.”
“Tetapi tidak ada yang dapat disalahkan, Mrs. Wve, kita memang selalu 277
berbeda pendapat mengenai Minerva,” kata Pangeran.
“Ya, saya juga mengakui itu. Pendapat Anda dan saya bila menyangkut
Princess memang selalu berbeda, Pangeran.”
“Kukira, Mrs. Wve, kita membuat Mrs. Vye semakin tidak mengerti apa
yang kita bicarakan,” kata Pangeran, “Saya akan menjelaskan semua yang
tidak Anda mengerti, Mrs. Vye.”
“Sebelum Anda mulai menjawab semua pertanyaan saya, saya ingin
Anda berhenti bersikap sopan kepada saya, jika Anda tidak keberatan. Anda
selalu bersikap sopan kepada saya seperti Maria yang selalu bersikap sopan
kepada semua orang di Obbeyville,” kata Mrs. Vye.
“Maria?” tanya Pangeran tak mengerti.
Mrs. Vye menjawab ragu-ragu, “Itu nama yang saya berikan pada
Princess ketika ia masih belum dapat mengingat masa lalunya.”
“Nama yang indah. Minerva pasti menyukai nama itu,” kata Pangeran.
“Ya, Princess sangat menyukai nama itu seperti putri saya.”
“Di manakah putri Anda, Mrs. Vye?” tanya Mrs. Wve.
“Ia sudah meninggal.”
“Aku turut menyesal, Mrs. Vye.”
“Terima kasih, Mrs. Wve. Aku telah menerima hal itu. Memang berat
rasanya ketika aku kehilangan dia,” kata Mrs. Vye sedih.
“Aku mengerti perasaanmu, Mrs. Vye. Aku juga merasa sangat sedih
ketika Princess menghilang. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan bila
Princess tidak kembali. Aku merasa bersalah telah menyebabkan peristiwa itu
terjadi,” kata Mrs. Wve.
“Aku merasa seperti orang gila ketika Princess masih belum ditemukan
walaupun kecelakaan itu telah berlalu selama lebih dari satu bulan dan aku
merasa benar-benar menjadi orang gila ketika Princess tak ditemukan juga
hingga hari ini Anda membawanya kembali ke Istana.”
Mrs. Wve menghela napas lega dan tersenyum bahagia,
“Sekarang aku merasa Tuhan telah mengabulkan doa yang selalu
kupanjatkan kepadanya setiap malam dan aku benar-benar bersyukur
karenanya. Setiap malam aku terus berdoa dan mengenang peristiwa naas
yang tidak dapat kulupakan itu. Aku terus mengingat senyuman Princess
yang terakhir kali sebelum ia menghilang. Saat itu Princess tersenyum manis
yang pasrah seperti orang yang pasrah terhadap apa yang akan
menimpanya.”278
“Mengapa engkau bisa selamat, Mrs. Wve, sedangkan Princess
terdampar di Sungai Alleghei?” tanya Mrs. Vye ingin tahu.
“Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku dan Durant bisa selamat
sedangkan Princess bisa terjatuh dari Death Rocks. Hanya satu yang kuingat
saat kecelakaan itu terjadi. Saat itu kereta tiba-tiba miring dan pintu kereta di
samping Princess membuka. Princess yang tidak siap menghadapi itu
terlempar keluar.”
“Aku berusaha menangkap Princess tetapi jarak kami terlalu jauh. Saat
itulah aku melihat Princess tersenyum pasrah. Setelah itu aku tidak melihat
Princess lagi karena tiba-tiba kereta kami yang jatuh dari Death Rocks.”
Mrs. Wve menghela napasnya lagi seperti orang yang bersyukur akan
nasibnya,
“Kami masih beruntung dahan pohon yang cukup kuat menahan
jatuhnya kereta kami sehingga kami tidak mengalami luka fatal. Durant dan
aku sendiri hanya luka memar. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari
keadaan kami selain terlemparnya Princess dari kereta.”
“Apakah kalian tidak berusaha mencari Princess setelah kecelakaan
itu?”
Pangeran Alcon yang sejak tadi hanya menjadi pendengar dari
pembicaraan kedua wanita tua itu menjawab,
“Setelah peristiwa kecelakaan itu terjadi, kami secara diam-diam
mencari Minerva di sekitar Death Rocks hingga jarak lima mil dari kaki tebing
itu. Tidak seorangpun dari kami yang menduga Minerva jatuh ke Sungai
Alleghei kemudian terdampar di Obbeyville sebagai gadis yang hilang
ingatan.”
“Benar-benar keajaiban Tuhan, Princess Minerva tidak kehilangan
apapun setelah jatuh dari tebing yang curam itu. Aku benar-benar bersyukur
pada Tuhan yang telah melindungi Princess,” kata Mrs. Wve penuh syukur
pada Tuhan.
“Sebelum bertemu kembali dengan Princess, aku tidak sanggup
membayangkan apa yang terjadi pada Princess tetapi saat ini aku
membayangkan Princess mengalami suatu petualangan yang menarik bagi
Princess sendiri di Obbeyville.”
“Minerva memang mengalami petualangan yang sangat menarik di
Obbeyville,” kata Pangeran.
“Saya tidak mengerti mengapa Princess sangat pandai mengurus 279
rumah sedangkan di sini ia mempunyai banyak pelayan yang selalu siap
melayaninya?” kata Mrs. Vye.
“Sebelum Anda mengerti semuanya, Mrs. Vye. Lebih baik kami memberi
tahu Anda mengapa Minerva jarang berada di Istana dan di mana saja ia
berada bila ia tidak berada di Istana,” kata Pangeran.
Pangeran memandang Princess Minerva yang masih tertidur nyenyak.
“Lebih baik kita pindah ke Ruang Duduk agar tidak menganggu
Minerva,” usul Pangeran.
Pangeran Alcon bangkit dan menutup kembali tirai putih yang
mengelilingi tempat tidur Princess Minerva. Pangeran mendahului kedua
wanita itu menuju Ruang Duduk.
Mrs. Wve yang berjalan paling akhir membiarkan pintu kamar Princess
Minerva terbuka agar udara hangat terus mengalir ke dalam kamar itu.
Pangeran mempersilakan Mrs. Vye duduk dengan tangannya kemudian
ia duduk di depan perapian.
Tidak ada orang lain di Ruang Duduk itu selain mereka bertiga. Pelayan
yang semula menambah kayu di perapian kini telah pergi meninggalkan
perapian yang menyala terang. Cahaya api dari perapian yang besar itu
menerangi seluruh Ruang Duduk. Bahkan sinarnya mencapai Ruang Tidur
Princess Minerva yang terbuka.
Setelah mereka duduk dengan posisi yang mereka anggap nyaman,
Pangeran memulai ceritanya,
“Minerva tidak tahan udara dingin. Ia juga tidak dapat bertahan di
cuaca yang sangat panas. Dan bila ia memaksakan diri berada di cuaca yang
terlalu dingin maupun terlalu panas, ia akan pingsan dan selama ia pingsan
suhu tubuhnya akan terus berubah.”
“Apakah itu tidak berbahaya?” tanya Mrs. Vye.
“Tidak, Mrs. Vye. Kata Dokter Donter, suhu tubuh Minerva yang terus
berubah itu karena tubuhnya sedang menyesuaikan diri dengan udara di
sekitarnya,” kata Pangeran, “Sungguh aneh memang, Minerva lahir di Istana
ini pada musim semi dan hanya pada musim semi saja ia berada di Istana
Plesaides.”
“Di manakah Princess berada bila ia tidak berada di Istana Plesaides?”
tanya Mrs. Vye lagi.
“Di musim panas, ia berada di Castil Yonga yang terletak di balik Death
Rocks. Di musim gugur dan musim dingin, ia berada di Small Cottage yang 280
berada di pulau Clayment di laut barat yang tetap hangat walaupun di musim
dingin.”
Mrs. Vye memikirkan sesuatu yang mengganjal di hatinya. Setelah tidak
dapat menemukan jawabannya, ia bertanya, “Bagaimana dengan pendidikan
Princess?”
“Minerva hanya mendapat pendidikan khusus saat ia berada di Istana.
Tetapi Minerva selalu belajar setiap hari walaupun ia jauh dari Istana. Karena
di manapun Minerva berada, ia selalu mempunyai guru.”
“Menarik sekali!” kata Mrs. Vye kagum, “Seakan-akan keberuntungan
selalu menyertai Princess.”
“Ya, aku kadang merasa seperti itu. Princess selalu mempunyai guru
yang baik di manapun ia berada,” kata Mrs. Wve.
“Di Castil Yonga, Princess mempunyai Quiya yang mengajarinya
mengenai sejarah Kerajaan Zirva dan bahasa Boudibt serta mitos-mitos
Kerajaan Zirva. Di Clayment, Princess mempunyai Granny yang selalu
mengajarinya filsafat dan kebijaksanaan serta segala sesuatu yang
berhubungan urusan rumah.”
“Karena itulah Minerva menjadi seorang gadis yang sangat menarik. Ia
tidak hanya mengerti mengenai sejarah Kerajaan Zirva tetapi juga mitos-
mitosnya, ia juga menjadi seorang gadis yang bijaksana dan kata-katanya
sering mengejutkan,” kata Pangeran mengakhiri cerita Mrs. Wve.
“Princess Minerva juga menjadi seorang gadis yang terampil dalam
urusan menata rumah walaupun sebenarnya ia seorang putri raja,” tambah
Mrs. Vye.
“Ya, tetapi menurutku Minerva memang mempunyai bakat itu. Semua
orang yang mengajari Minerva baik itu Quiya maupun Granny hanya
mengembangkan bakat itu dan membuat bakat itu nampak,” kata Pangeran,
“Minerva seorang gadis yang bijaksana seperti arti namanya, kebijaksanaan.”
“Ia mewarisi bakat-bakat itu dari raja dan ratu sebelumnya, seperti
bakat menata rumahnya yang diwarisinya dari nenek kami. Mrs. Vye. Nenek
kami, Ratu Gorie, juga pandai menata rumah.
“Ialah yang membuat Istana ini menjadi menarik seperti saat ini. Tetapi
menurutku Minerva memiliki bakat sendiri. Minerva lebih berbakat dari Ratu
Gorie, ia telah membuktikan itu. Minerva tidak hanya pandai menata rumah,
ia juga pandai memasak,” kata Pangeran.
“Hanya itu yang dapat saya katakan. Sisanya Mrs. Wve yang lebih 281
mengetahuinya daripada saya,” kata Pangeran mengakhiri cerita panjangnya.
“Saya tahu Princess memang pandai memasak. Sejak kedatangannya
yang tidak terduga, ia selalu membantu saya memasak makanan bagi
Baroness Lora. Walaupun Baroness Lora maupun Lady Debora tidak
mengatakan apa-apa tetapi saya tahu mereka menyukai masakan yang
dibuat Princess,” kata Mrs. Vye, “Saya ingin sekali bertemu dengan Granny.”
“Anda akan dapat menemuinya, Mrs. Vye bila Anda ikut Minerva pergi
ke Clayment. Aku tidak tahu apakah tahun ini Minerva pergi ke sana atau
tidak. Saat ini ia belum sadar dan kita tidak tahu kapan ia akan sadar bila
melihat keadaannya yang jauh lebih parah dari yang sudah-sudah,” kata
Pangeran.
“Apakah Anda yakin Princess baik-baik saja?” tanya Mrs. Vye, “Napas
Princess tersenggal-senggal.”
“Aku percaya pada apa yang dikatakan Dokter Donter. Keadaan
Minerva yang seperti ini karena ia sedang menyesuaikan suhu tubuhnya
dengan suhu lingkungannya. Tanpa Dokter Donter, tentu Minerva tidak akan
menjadi seperti yang sekarang. Dokter Donterlah yang mengusulkan agar
Minerva selalu menghindari cuaca yang dapat menyebabkannya jatuh sakit,”
kata Pangeran.
“Hingga kapan Princess Minerva tidak sadarkan diri?” tanya Mrs. Vye.
“Entahlah, Mrs. Vye. Biasanya Minerva pingsan bisa sampai berhari-hari
dan bila melihat kondisinya yang seperti ini tampaknya Minerva akan terus
dalam keadaan seperti ini hingga musim mendatang,” kata Pangeran.
Mrs. Vye memekik tertahan, “Lama sekali! Saya pasti akan merindukan
senyum dan suara Princess bila harus menunggu selama itu.”
“Aku selalu merindukan Princess sejak menghilangnya Princess dan aku
semakin merasa rindu sejak aku bertemu kembali dengan Princess. Aku sama
sekali tidak menduga Princess akan kembali dalam keadaan seperti ini,” kata
Mrs. Wve.
“Ada satu lagi yang belum saya mengerti. Mengapa pada musim semi
tahun ini Princess tidak berada di Istana Plesaides seperti biasanya?” tanya
Mrs. Vye.
Pangeran tersenyum. “Pertanyaan yang selalu diucapkan oleh semua
orang yang mengetahui mengapa Minerva jarang berada di Istana yang
kemudian mengakibatkan ia jarang muncul di depan masyarakat,”
gumamnya.282
“Saya juga tidak mengerti tentang itu. Mengapa hanya penduduk
Xoechbee dan penghuni penjara bawah tanah Xoechbee saja yang
mengetahui Princess?”
Pangeran tersenyum lagi, “Tahun ini Minerva tidak berada di Istana
sebagaimana seharusnya karena ia berusaha menghindari pesta ulang
tahunnya yang kuselenggarakan secara diam-diam untuknya.”
Mrs. Wve ikut bercerita, “Sebulan sebelum ulang tahunnya yang
kedelapan belas…”
“Delapan belas!?” sela Mrs. Vye.
“Ya, tahun ini Princess Minerva berumur delapan belas,” ulang Mrs.
Wve.
“Aku tidak percaya. Selama ini aku selalu mengira Maria telah berusia
lebih dari dua puluh,” kata Mrs. Vye.
Pangeran dan Mrs. Wve tertawa.
“Minerva selalu tampak lebih dewasa dari wajahnya. Ia selalu membuat
semua orang mengira ia lebih tua dari usianya yang sebenarnya,” kata
Pangeran.
“Aku tidak percaya. Maria selama ini selalu tampak seperti gadis yang
telah dewasa tetapi ternyata ia belum genap dua puluh tahun. Bahkan baru
saja menginjak usia dewasa,” kata Mrs. Vye.
Pangeran mengangguk. “Ya, karena ini ulang tahun yang sangat
penting bagi Minerva, aku merencanakan membuat suatu pesta besar tanpa
sepengetahuan Minerva.”
“Sebulan sebelum Princess kembali ke Istana, ia telah mengirimkan
surat yang menyatakan ia tidak ingin diadakan pesta apapun untuk
menyambut ulang tahunnya,” kata Mrs. Wve meneruskan kalimatnya yang
terpotong oleh seru terkejut Mrs. Vye.
“Sebelumnya aku tahu Minerva pasti tidak ingin aku membuat pesta ini
tetapi aku tetap menjalankan rencana yang telah kubuat selama bertahun-
tahun. Bahkan ketika surat itu datang,” kata Pangeran.
“Entah bagaimana Minerva mengetahuinya sehingga tahun ini ia tidak
menuju ke Istana Plesaides dari Clayment tetapi menuju Foentza. Dari
Foentza, Minerva kembali mengirim surat. Kali ini surat Minerva menyatakan
ia tidak pulang ke Istana Plesaides tahun ini.”
“Kemudian apa yang terjadi?” tanya Mrs. Vye ingin tahu.
“Pangeran tidak membatalkan pesta itu bahkan Pangeran menyusul 283
Princess di Foentza. Bersama-sama dengan Raja, Ratu dan beberapa orang
yang diundang Pangeran, kami mengadakan pesta ulang tahun Princess di
Castil Yonga,” jawab Mrs. Wve.
Pangeran mengeluh sedih. “Sebenarnya aku mengharapkan orang yang
hadir di pesta ulang tahun Minerva lebih banyak dari yang datang itu. Tetapi
satu-satunya jalan terdekat menuju Foentza sangat berbahaya dan hari ulang
tahun Minerva semakin dekat, maka aku dengan terpaksa membatasi jumlah
orang yang kuundang.”
Pangeran melanjutkan ceritanya, “Setelah pesta itu, para undangan
segera kembali ke Xoechbee. Sedangkan kami masih tetap berada di Foentza
untuk menemani Minerva.”
“Mengapa Princess tidak kembali ke Istana setelah pesta itu?” tanya
Mrs. Vye ingin tahu.
“Karena ini pertama kalinya Princess melewatkan musim seminya di
Foentza. Princess ingin menikmati keindahan Foentza pada musim semi,”
jawab Mrs. Wve.
“Andai aku tidak bersikeras mengadakan pesta itu, tentu Minerva tidak
akan mengalami kejadian ini,” keluh Pangeran.
“Anda jangan berkata seperti itu, Pangeran. Saat itu kita semua tidak
tahu apa yang akan terjadi,” kata Mrs. Wve.
Pangeran Alcon mengeluh lagi. “Andai saja waktu itu aku pulang
bersama Minerva, aku yakin peristiwa ini tidak akan terjadi.”
“Saat kecelakaan itu terjadi Anda berada di mana? Bukankah
seharusnya Anda pulang bersama-sama Princess?” tanya Mrs. Vye.
“Saat itu aku sudah berada di sini. Minerva berencana menghabiskan
musim semi tahun ini di Castil dan akan segera berangkat ke Clayment
setelah musim panas berakhir. Tetapi aku membujuknya agar pulang ke
Istana setelah musim semi berakhir,” kata Pangeran.
“Apakah Princess menyetujuinya?” tanya Mrs. Vye ingin tahu.
Pangeran mengangguk.
“Minerva memang menyetujuinya tetapi ia tidak setuju ketika aku
memutuskan untuk kembali ke Istana bersamanya. Ia mengingatkan kami
akan tugas-tugas yang menanti kami di Istana Plesaides maka aku dan Papa
serta Mama kembali dulu. Baru setelah musim semi berakhir, Minerva
menyusul kembali ke Istana.”
“Setiap tahun Princess selalu melakukan perjalanan, apakah ia tidak 284
merasa bosan atau lelah?” gumam Mrs. Vye.
“Princess tidak pernah mengeluh. Ia selalu menikmati perjalanan kami,
walaupun kami harus selalu berpindah setiap pergantian kami,” kata Mrs.
Wve.
“Apakah engkau selalu ikut bersama Princess dalam setiap
perjalanannya?” tanya Mrs. Vye.
“Ya, aku selalu bersamanya. Selain aku, Durant juga selalu mengikuti
perjalanan kami,” jawab Mrs. Wve.
Mrs. Vye memandang tak mengerti pada Mrs. Wve. Sejak tadi ia sering
mendengar Mrs. Wve menyebut-nyebut nama Durant tetapi ia tak
menjelaskan siapa orang itu. Karena rasa keingintahuannya yang besar, Mrs.
Vye bertanya, “Siapakah Durant itu?”
“Ia kusir kuda yang selalu mengantar kami ke manapun kami pergi,”
jawab Mrs. Wve.
Mrs. Vye termenung. “Kasihan Princess, ia selalu terpisah dari
keluarganya dan hanya pada musim semi ia dapat berkumpul kembali
dengan keluarganya,” kata Mrs. Vye.
“Ya, musim semi adalah musim cerianya Istana Plesaides,” kata
Pangeran.
Mrs. Vye memandang tak mengerti pada Pangeran.
“Di manapun Princess berada, ia selalu membawa keceriaan dengan
senyumnya yang menawan hati,” kata Mrs. Wve.
“Senyum Princess memang menawan hati. Aku senang sekali melihat
Princess tersenyum,” kata Mrs. Vye, “Selama di Obbeyville, wajah Princess
selalu dihiasi dengan senyumannya itu.”
“Princess selalu tersenyum. Granny mengatakan Princess memiliki
senyum yang paling manis yang pernah dilihatnya.”
Pangeran Alcon yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan Mrs. Wve
dan Mrs. Vye mulai merasa bosan. Baginya pembicaraan kedua orang itu
tidak akan pernah berakhir. Ia bangkit dari kursi dan berkata, “Silakan kalian
melanjutkan pembicaraan kalian. Aku akan menjaga Minerva.”
Pangeran segera menghilang ke dalam Ruang Tidur Princess Minerva
sebelum kedua wanita itu sempat berkata apa-apa.
Cahaya api dari perapian yang menerobos masuk ke dalam Ruang Tidur
Princess Minerva membuat ruang itu menjadi terang. Tirai-tirai putih yang
menutupi tempat tidur Princess Minerva memantulkan bayang-bayang 285
Princess Minerva yang sedang tertidur.
Pangeran Alcon bersandar di dinding dekat pintu dan tersenyum
melihat bayang-bayang tubuh adiknya muncul di tirai itu. Pangeran berpikir
saat itu Princess Minerva benar-benar tampak seperti seorang putri tidur yang
menanti kecupan sang Pangeran agar dapat bangun kembali dari tidur
panjangnya.
Suara perlahan yang seperti bisikan yang berasal dari tempat tidur
besar itu membuat Pangeran segera mendekat.
“Al…, aku kedinginan…. Al…, di sini dingin sekali….”
Pangeran segera memeluk Princess Minerva yang terbaring lemah.
“Jangan khawatir, Minerva. Aku akan memelukmu sehingga engkau
tidak kedinginan,” kata Pangeran, “Tidurlah yang nyenyak. Aku akan terus
menjaga agar engkau merasa hangat.”
Setelah merasa Princess Minerva agak tenang, Pangeran Alcon
meletakkan tubuh Princess Minerva dengan hati-hati.
Saat Pangeran meletakkan kepala Princess Minerva di atas bantal,
Princess Minerva kembali berkata, “Al…, jangan pergi…. Al…, jangan…
tinggalkan aku.”
Pangeran memeluk Princess Minerva lagi sambil berusaha
menenangkannya.
Setelah merasa adiknya benar-benar tenang, Pangeran Alcon kembali
meletakkan tubuh Princess Minerva ke tempat tidur yang menantinya.
Kali ini Princess Minerva benar-benar tenang. Ia kembali tertidur dengan
tenang walau napasnya masih terputus-putus.
Pangeran meletakkan tangannya di dahi adiknya dan merasakan suhu
tubuh Princess Minerva sangat panas seperti panasnya api yang membara di
perapian. Pangeran menarik kursi meja rias ke samping tempat tidur Princess
Minerva dan duduk di sana sambil terus mengawasi Princess Minerva yang
tetap terbaring lemah.
“Selamat malam, Pangeran.”
Pangeran terkejut mendengar sapaan itu. Ia segera memalingkan
kepalanya dan melihat Dokter Donter tengah tersenyum padanya. Pangeran
bangkit dari kursinya, “Selamat malam, Dokter Donter. Kami menanti Anda
sejak tadi.”
“Princess tampaknya sangat menderita,” kata Dokter Donter sambil
melihat ke Princess Minerva yang tetap terbaring sambil bernapas terputus-286
putus.
“Ya, sejak tadi ia begini.”
“Apakah wanita tua di luar itu yang membawa Princess kembali?” tanya
Dokter Donter.
“Ya dan tidak.”
Jawaban yang diberikan Pangeran Alcon membuat Dokter Donter
menjadi bingung.
“Apa maksud Anda?” tanya Dokter Donter kebingungan.
“Wanita itu mengatakan Minerva pulang atas kehendaknya sendiri dan
ia hanya mengikuti Minerva,” kata Pangeran memberikan penjelasan.
“Ya, saya mulai mengerti. Untung sekali wanita itu mau mengantar
Princess. Entah apa yang akan terjadi bila wanita itu tidak mengikuti Princess
selama perjalanan,” kata Dokter Donter.
“Sebaiknya Anda segera memeriksa Minerva, Dokter Donter. Pasien
yang Anda tinggalkan pasti tidak sabar menanti Anda,” kata Ratu yang
muncul dari balik pintu.
Dokter Donter tersenyum, “Ia pasti mengerti bila saya menjelaskan
saya sedang merawat Princess Minerva yang telah kembali setelah
menghilang selama satu musim lebih.”
“Baiklah, Dokter Donter, saya tidak akan menganggu Anda. Silakan
Anda memeriksa Minerva,” kata Pangeran.
Pangeran segera meninggalkan ruangan itu.
Setelah melihat Pangeran muncul dari Ruang Tidur Princess Minerva,
Mrs. Wve dan Mrs. Vye memasuki kamar itu.
Pangeran Alcon menanti dengan cemas di Ruang Duduk. Ia berjalan
mondar-mandir di depan pintu kamar Princess Minerva sambil berusaha
menangkap suara yang terdengar dari kamar Princess Minerva.
Setelah beberapa saat akhirnya Dokter Donter muncul.
Pangeran menyambutnya dengan setumpuk pertanyaan.
“Bagaimana keadaan Minerva, Dokter Donter?”
Dokter Donter tersenyum melihat kecemasan yang muncul di wajah
tampan Pangeran. Kadang-kadang Dokter Donter berpikir apakah rasa sayang
Pangeran kepada Princess Minerva melebihi rasa sayang Pangeran kepada
kedua orang tuanya. Tetapi tidak ada yang dapat disalahkan bila itu memang
benar. Pangeran Alcon memang selalu terlihat lebih mencemaskan keadaan
Princess Minerva dibandingkan yang lain.287
“Duduklah dulu, Pangeran. Kita akan berbicara dengan santai,” kata
Dokter Donter.
Pangeran mengangguk. Dengan isyarat tangannya ia meminta Dokter
Donter duduk di depannya.
Tanpa membuang-buang waktu, Pangeran segera bertanya,
“Bagaimana keadaan Minerva?”
“Seperti biasanya Princess akan terus begini hingga suhu tubuhnya
turun.”
“Kapankah saat itu tiba?” tanya Pangeran tidak sabar.
Dokter Donter menyandarkan punggungnya di sofa dengan pasrah.
“Saya tidak tahu, Pangeran. Baru kali ini keadaan Princess separah ini.
Ia benar-benar telah berjuang keras agar dapat sampai di sini,” kata Dokter
Donter.
“Minerva telah berusaha sampai di sini walau udara sangat dingin,”
kata Pangeran.
Dokter Donter menggelengkan kepalanya, “Bukan itu yang hendak saya
katakan, Pangeran.”
Pangeran Alcon bertanya tak mengerti, “Lalu apa yang hendak Anda
katakan?”
“Dari wanita tua itu, saya ketahui bahwa selama perjalanan ke Istana,
perjalanan mereka sering dihambat oleh hujan deras. Hal ini membuat
Princess menjadi demam dan semakin lemah setiap harinya tetapi Princess
tetap bertahan agar tidak pingsan hingga ia tiba di Istana,” kata Dokter
Donter.
“Minerva telah berjuang keras melawan sakitnya agar ia tiba di sini dan
sekarang ia tidak sadarkan diri,” kata Pangeran mengulangi perkataan Dokter
Donter.
“Itulah yang saya hendak saya katakan, Pangeran. Princess telah
menghabiskan seluruh tenaganya untuk melawan sakitnya dan kini kita tidak
tahu kapan ia akan sadar. Saya khawatir ia tidak akan sadar hingga musim ini
berakhir.”
“Saya juga menduga hal itu. Tetapi saya tidak berharap dugaan itu
menjadi kenyataan. Saya merindukan Minerva selama ia menghilang.”
“Saya juga merindukan Princess. Selama ia menghilang, kita benar-
benar telah dibuatnya khawatir dan setelah ia muncul kembali, kita tetap
mengkhawatirkannya,” kata Dokter Donter.288
“Setidak-tidaknya sekarang kita tidak perlu khawatir akan keberadaan
Minerva. Kita hanya perlu mengkhawatirkan kesehatannya.”
Dokter Donter mengangguk, “Menghilangnya Princess menjadi suatu
misteri. Saya tidak percaya ia bisa sampai ke Obbeyville.”
“Demikian pula saya, Dokter Donter. Saya tidak percaya ia bisa jatuh di
Sungai Alleghei kemudian terdampar di Obbeyville. Sungguh tidak dapat
dipercaya ia dapat jatuh di sungai itu dari Death Rocks yang tinggi tanpa
kehilangan apapun.”
Dokter Donter menatap lekat-lekat wajah Pangeran yang menampakkan
kelegaan sekaligus rasa tak percayanya. “Tuhan telah melindungi Princess
sehingga ia tetap selamat walaupun terlempar dari Death Rocks,” katanya.
Pangeran mengangguk. “Saya benar-benar bersyukur pada Tuhan. Saya
tidak tahu apa yang harus kulakukan bila Minerva benar-benar tidak kembali.
Ia sangat berharga bagiku bahkan lebih berharga dari nyawaku sendiri.”
“Princess Minerva berharga bagi kita semua, Pangeran. Semua
penduduk Kerjaan Zirva terutama penduduk Xoechbee mencintai Princess,”
kata Dokter Donter.
“Saya tahu, Dokter Donter. Mereka telah menunjukkan besarnya rasa
cinta mereka pada Minerva ketika berita hilangnya Minerva dimuat di koran,”
kata Pangeran, “Saya tidak akan pernah lupa saat penduduk berbondong-
bndong ke Istana untuk menanyakan keadaan Minerva.”
“Apakah Anda telah memutuskan untuk memberitahukan berita
kembalinya Princess?” tanya Dokter Donter.
Pangeran menatap pintu kamar Princess Minerva yang terbuka. “Aku
tidak tahu. Saat ini Minerva masih belum sadar. Saya memang telah
memutuskan untuk mengumumkan hal ini tetapi tanpa membuat penduduk
menjadi khawatir.”
“Apakah Anda bermaksud hanya mengatakan kepada penduduk bahwa
Princess telah kembali?”
“Itulah yang hendak kulakukan tetapi itu sulit. Penduduk pasti ingin
bertemu Minerva sedangkan Minerva masih tidak sadarkan diri. Saya juga
tidak dapat mengatakan Minerva sedang tidak sadarkan diri karena itu akan
membuat penduduk mejadi khawatir. Tetapi saat ini saya telah memikirkan
satu jalan pemecahannya,” kata Pangeran.
“Pemecahan yang bagaimanakan yang Anda maksudkan, Pangeran?”
tanya Dokter Donter ingin tahu.289
“Saya berencana mengadakan pesta untuk memperkenalkan Minerva
kepada penduduk. Tetapi saya tidak tahu kapan saya dapat mengadakannya
bila melihat keadaan Minerva yang seperti itu,” kata Pangeran, “Mungkin
setelah Minerva sadar saya baru dapat memutuskan kapan pesta itu akan
saya selenggarakan.”
“Apakah Princess tidak akan menghindari pesta itu, Pangeran?” tanya
Dokter Donter.
“Minerva pasti mengerti bila aku menjelaskannya. Selain itu hal ini
untuk mencegah terulangnya peristiwa ini. Aku tidak ingin kehilangan Minerva
lagi. Dan juga aku ingin melihat wajah wanita yang telah menghina Minerva.”
Dokter Donter terkejut mendengar kemarahan dalam suara Pangeran.
Wajah Pangeran tampak penuh kemarahan. Matanya menatap dingin dan
tajam ke depan seakan-akan ingin membunuh siapa saja yang dilihatnya.
Dokter Donter berdiri. “Saya tidak dapat berlama-lama lagi, Pangeran.
Masih ada pasien yang harus saya tangani,” katanya.
Pangeran juga berdiri. “Maafkan kami, Dokter Donter. Kami pasti telah
membuat Anda merasa cemas dan pasien Anda merasa jengkel karena harus
menanti Anda yang terburu-buru berangkat ke Istana.”
Dokter Donter tersenyum, “Tidak apa-apa, Pangeran. Pasien saya pasti
rela bila saya mengatakan saya terpaksa meninggalkannya karena saya harus
memeriksa Princess. Tetapi Anda benar saat ini ia pasti merasa jengkel.
Karena terburu-buru, saya tidak sempat menjelaskan hal ini. Atau mungkin
karena saya terlalu senang mendengar kembalinya Princess sehingga saya
lupa menerangkan hal ini kepadanya.”
“Seperti halnya Anda, Dokter Donter, semua orang pasti akan senang
bila mengetahui Minerva telah kembali,” kata Pangeran.
“Saya ingin tahu bagaimana reaksi masyarakat bila mendengar Princess
telah kembali. Apakah mereka akan kembali menjadi gempar seperti ketika
berita menghilangnya Princess menyebar,” kata Dokter Donter sambil
tersenyum.
“Mungkin mereka akan menjadi gempar. Kembalinya Minerva di Istana
ini saja telah membuat seluruh Istana menjadi gempar apalagi masyarakat.”
Pangeran mengantarkan Dokter Donter hanya sampai depan kamar
Princess Minerva.
“Maafkan kami, Dokter Donter. Karena Minerva Anda harus terburu-
buru kemari dan berjalan jauh agar sampai di kamar ini,” kata Pangeran.290
“Tidak apa-apa, Pangeran. Saya senang dapat melakukannya. Bila
dihitung-hitung, berjalan dari lantai dasar Istana hingga ke kamar Princess
yang terletak di lantai teratas Istana ini merupakan olahraga yang cukup baik
terutama bagi saya yang sudah tua ini,” kata Dokter Donter.
Pangeran menatap lorong depan kamar Minerva yang sepi.
“Minerva menyukai ketenangan karena itu ia menyukai kamar ini.
Selain itu kamar ini satu-satunya kamar yang memiliki perapian yang besar.”
Dokter Donter tersenyum, “Saya tidak dapat tinggal lebih lama lagi.
Tolong katakan kepada saya bila Princess sudah sadar. Saya merindukan
kuenya.”
Pangeran berusaha keras menahan tawanya. “Saya juga merindukan
kuenya. Kurasa semua orang di Istana ini juga merindukan kuenya.”
“Dan permainan pianonya,” tambah Dokter Donter.
Pangeran menatap piano putih di pojok Ruang Duduk yang tampak
kesepian.
“Ya, permainan pianonya juga. Kita merindukan segala sesuatunya
tentang Minerva.”
Sebelum Dokter Donter pergi, ia berkata, “Di setiap obat yang saya
berikan untuk Princess, saya memberinya obat tidur.”
Sekali lagi Pangeran berusaha keras menahan tawanya. “Tindakan Anda
sangat tepat, Dokter Donter. Minerva sangat sulit disuruh diam. Sedetikpun ia
tidak mau diam terbaring di atas tempat tidurnya. Hanya obat tidur saja yang
mampu membuatnya terbaring diam.”
Setelah Dokter Donter menghilang di lorong panjang itu, Pangeran
kembali ke tempat adiknya terbaring.
Tiga wanita yang mengelilingi tempat tidur Princess Minerva sibuk
bercakap-cakap sehingga mereka tidak memperhatikan kedatangan
Pangeran. Entah apa yang dibicarakan mereka. Mereka tampak menikmati
pembicaraan mereka sehingga rasanya pembicaraan mereka tidak akan
berakhir.
Pangeran yang semula hendak menjaga adiknya segera membatalkan
keinginannya.
Perlahan-lahan ia meninggalkan kamar Princess Minerva dan segera
mencari Menteri Dalam Negeri untuk menyelesaikan urusan pengumuman
kembalinya Princess Minerva di Istana.
Menteri Dalam Negeri sedang bercakap-cakap bersama Raja di Ruang 291
Tahta ketika Pangeran tiba di sana.
Seakan-akan tahu apa yang akan dikatakan Pangeran, Menteri itu
segera mendekati Pangeran.
Pangeran menjelaskan singkat keinginannya.
Setelah mendengar penjelasan itu, Menteri Dalam Negeri mengangguk
dan berkata, “Saya mengerti, Pangeran. Besok saya akan mengumumkan
kembalinya Princess tanpa menerangkan yang lain.”
“Umumkan itu besok pagi. Agar di siang hari aku dapat mengetahui
bagaimanakah reaksi masyarakat,” kata Pangeran tegas.
“Baik, Pangeran.”
Seperti yang diminta Pangeran, Menteri Dalam Negeri mengumumkan
hal itu keesokan paginya.
Reaksi masyarakat ketika mendengar berita kembalinya Princess
Princess Minerva ke Istana Plesaides tidak meleset dari dugaan Pangeran
Alcon. Mula-mula masyarakat khususnya penduduk Xoechbee senang tetapi
tak lama kemudian mereka berbondong-bondong ingin bertemu Princess
Minerva yang masih belum sadar.
Sejak pagi Pangeran Alcon berada di kamar Princess Minerva. Dari situ
pula ia melihat kerumunan penduduk yang ingin melihat adiknya yang terus
terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Pangeran bersandar di jendela kaca
sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya dan mengawasi
Princess Minerva.
Tirai-tirai yang semalam menutup tempat tidur Princess Minerva telah
disibakkan oleh Mrs. Wve. Sinar matahari pagi yang hangat menyinari wajah
Princess Minerva.
Pangeran tersenyum melihat wajah Princess Minerva yang tampak
semakin cantik di bawah siraman sinar matahari pagi. Pangeran percaya
wajah Princess Minerva yang tersenyum di bawah sinar matahari pagi akan
membuat gadis itu tampak semakin cantik.
Suara Mrs. Wve dan Mrs. Vye yang sedang bercakap-cakap di Ruang
Duduk terdengar di ruangan itu. Suara kedua wanita itu terhenti oleh suara
ketukan di pintu.
Pangeran tetap tidak bergerak. Ia terus bersandar di jendela sambil
mengawasi Princess Minerva.
Sesaat kemudian Menteri Dalam Negeri muncul.
“Engkau hendak melaporkan itu?” tanya Pangeran sambil memalingkan 292
kepalanya ke arah kerumunan orang di depan Istana.
Menteri Dalam Negeri mengangguk. “Apa yang harus saya lakukan
terhadap mereka?”
Pangeran menatap Princess Minerva.
Menteri Dalam Negeri juga menatap Princess Minerva yang terus
terbaring tanpa mempedulikan keadaan di sekitarnya yang mengkhawatirkan
dirinya.
“Saya mengerti Princess Minerva belum sadar, tetapi apa yang harus
saya katakan kepada mereka?” tanya Menteri Dalam Negeri.
“Katakan kepada mereka, untuk saat ini Minerva masih belum dapat
menemui mereka. Minerva akan menemui mereka dalam pesta yang akan
diselenggarakan pada musim dingin nanti. Dan bila mereka bertanya kapan
saat itu tiba, katakan mengenai itu akan diumumkan bila saatnya hampir
tiba.”
“Apakah itu berarti musim dingin tahun ini Princess tidak akan ke
Clayment?” tanya Menteri Dalam Negeri.
“Untuk tahun ini, aku tidak yakin Minerva cukup kuat untuk berpergian
ke Clayment. Kurasa sebaiknya tahun ini ia melewatkan musim dinginnya di
sini,” kata Pangeran.
“Apakah itu tidak berbahaya bagi kesehatan Princess?”
“Tidak, Kendsley, selama kita berusaha membuat ia terus merasa
hangat,” kata Pangeran, “Sekarang temuilah orang-orang itu dan umumkan
kata-kataku yang baru saja kusampaikan kepadamu.”
“Baik, Pangeran.”
Menteri Dalam Negeri membungkuk hormat kemudian meninggalkan
Pangeran yang terus bersandar di jendela sambil mengawasi Princess
Minerva.
Pangeran mendekati Princess Minerva yang masih tertidur.
“Engkau putri yang nakal, Minerva. Semua orang mengkhawatirkanmu
tetapi engkau tetap tidur dengan tenang,” kata Pangeran Alcon sambil
menatap lekat-lekat wajah Princess Minerva yang masih pucat, “Engkau terus
menjadi putri tidur yang cantik tanpa mempedulikan sekelilingmu yang
menjadi gempar karena dirimu.”
Setelah mendengar pengumuman kedua itu penduduk mulai merasa
tenang. Mereka tidak lagi bersikeras ingin berjumpa dengan Princess Minerva.
Walaupun begitu masih ada beberapa orang yang tetap bersikeras berjumpa 293
dengan Princess Minerva. Tetapi semua itu berhasil ditangani oleh Menteri
Dalam Negeri tanpa membocorkan keadaan Princess Minerva yang
sebenarnya.
Pangeran Alcon terus berada di kamar Princess Minerva sepanjang hari.
Sejak Princess Minerva kembali dalam keadaan tidak sadarkan diri,
Pangeran menghabiskan waktunya di kamar Princess Minerva. Hanya tugas-
tugas kenegaraan saja yang mampu membuat Pangeran Alcon meninggalkan
kamar adiknya.
Keadaan Princess Minerva sejak ia kembali di Istana Plesaides tidak
kunjung membaik. Suhu tubuhnya tetap tinggi dan ia tetap tidak sadarkan
diri. Semua orang di Istana benar-benar mengkhawatirkan keadaannya yang
tetap tidak berubah walaupun hari telah berganti minggu. Beberapa saat
menjelang berakhirnya musim gugur, seluruh Istana dapat mulai merasa lega
dan semakin berharap Princess Minerva segera sadar. Saat itu suhu tubuh
Princess Minerva telah turun tetapi ia masih belum sadar. Ia tetap terbaring
lemah di atas tempat tidurnya yang besar.
“Suhu tubuh Princess telah turun,” kata Mrs. Vye mengumumkan.
“Ya, aku senang sekali mendengarnya. Aku yakin tak lama lagi Minerva
akan sadar,” kata Pangeran penuh keyakinan.
“Tetapi hingga kapan Anda akan terus memeluk Princess,” kata Mrs.
Wve sambil menyipitkan matanya.
Pangeran Alcon tersenyum nakal. “Hingga besok pagi,” katanya.
“Biarkan Princess tidur dengan nyenyak dan Anda harus segera kembali
ke kamar Anda,” kata Mrs. Wve, “Hari semakin larut malam.”
“Aku tahu, Mrs. Wve. Tetapi engkau harus mengerti bila aku ingin terus
di sini sampai pagi,” kata Pangeran, “Siapa tahu besok pagi Minerva sadar.
Aku ingin menjadi orang pertama yang dilihatnya.”
“Saya mengerti, Pangeran. Tetapi apakah Anda ingin tetap seperti itu
hingga pagi?” tanya Mrs. Wve.
Pangeran Alcon tersenyum. Ia tahu apa yang dimaksud Mrs. Wve, tetapi
ia tidak meletakkan kembali tubuh Princess Minerva. Pangeran menyandarkan
tubuhnya pada tiang besi tempat tidur kemudian membelai-belai kepala
Princess Minerva yang terkulai tak berdaya di pundaknya dengan satu
tangannya. Tangannya yang lain memeluk tubuh Princess Minerva.
“Ya,” jawab Pangeran dengan senyum nakal, “Kalau bisa aku ingin terus
seperti ini. Tetapi engkau tidak akan mengijinkanku, bukan?”294
“Tentu tidak!” jawab Mrs. Wve dan Mrs. Vye bersamaan.
Pangeran meletakkan jari telunjuknya di mulutnya. “Jangan berteriak
seperti itu. Minerva akan terganggu.”
“Kembalilah ke kamar Anda, Pangeran. Anda harus beristirahat,” kata
Mrs. Wve.
Pangeran cemberut. “Mengapa engkau tidak membiarkan aku memeluk
adikku sampai pagi?” tanya Pangeran.
“Karena kalian telah dewasa,” jawab Mrs. Wve.
“Ketika dulu Minerva masih kecil, mengapa engkau mengijinkan aku
memeluknya sampai pagi?” tanya Pangeran.
Mrs. Wve tersenyum melihat tingkah Pangeran Alcon yang biasanya
selalu penuh wibawa kini menjadi kekanak-kanakan. Tetapi ia mengerti
Pangeran menjadi kekanak-kanakan karena tidak sabar menanti saat Princess
Minerva sadar.
Bukan hanya Pangeran saja yang berubah bila menyangkut Princess
Minerva. Semua orang berubah karena mengkhawatirkan Princess Minerva.
Ini terbukti ketika Princess Minerva belum juga ditemukan walau kecelakaan
itu telah berlalu selama lebih dari satu bulan. Semua orang menjadi gila
memikirkan Princess Minerva yang tidak diketahui keberadaannya. Suasana
di Istana Plesaides menjadi sunyi karenanya. Istana Plesaides yang biasanya
dipenuhi orang yang lalu lalang saat itu menjadi sepi seakan-akan setiap
orang enggan ke Istana.
Setelah Princess kembali, semua orang yang semula membisu karena
sibuk memikirkan keadaan Princess Minerva seakan-akan bangkit dari
kebisuannya. Semua sangat senang Princess telah kembali dan kini mereka
menanti saat Princess tersadar dari tidur panjangnya.
“Karena saat itu Princess yang memintanya,” kata Mrs. Wve tenang.
“Kini Minerva juga yang memintanya. Tidakkah engkau mendengar
Minerva memintaku tak meninggalkannya. Ia juga sering berkata ia
kedinginan,” kata Pangeran Alcon merujuk.
“Pangeran, kalian telah dewasa. Kalau dulu saya mengijinkan Princess
tidur dengan Anda itu karena Princess masih kecil dan saya tahu
kemungkinan besar Anda akan menolaknya,” kata Mrs. Wve.
“Ya, aku menyesal dulu aku sering menolak bila ia meminta aku
menemaninya. Tetapi sejak kejadian itu aku merasa menyesal dan berusaha
memberikan yang terbaik bagi Minerva.”295
“Karena itu, Pangeran, kini berikan pula yang terbaik bagi Princess.
Kembalilah ke kamar Anda dan biarkan Princess tidur nyenyak,” kata Mrs.
Wve membujuk Pangeran Alcon.
“Bagaimana bila ia mencariku lagi?” tanya Pangeran Alcon merujuk lagi.
Tiba-tiba Mrs. Vye yang sejak tadi hanya menjadi pendengar berkata,
“Anda dapat menggunakan kamar yang saya tempati.”
Pangeran Alcon menggelengkan kepalanya. “Dulu kamar itu memang
untukku bila aku ingin tidur di sini. Tetapi sekarang kamar itu adalah kamar
Anda, Mrs. Vye.”
“Tidak apa-apa, Pangeran. Saya dapat tidur di kamar Mrs. Wve. Tempat
tidur Mrs. Wve cukup besar untuk kami berdua.”
Pangeran Alcon menggeleng lagi. “Tidak, Mrs. Vye. Mrs. Wve benar, aku
dan Minerva sudah dewasa. Aku akan kembali ke kamarku.”
Pangeran Alcon meletakkan tubuh Princess Minerva dengan hati-hati.
“Hanya suami Minerva saja yang dapat terus bersamanya sepanjang
hari. Tetapi kapan Minerva menemukannya? Minerva jarang berbicara dengan
laki-laki.”
Setelah mengucapkan itu Pangeran berlalu dari hadapan Mrs. Wve dan
Mrs. Vye yang saling berpandangan tak mengerti.
Mrs. Wve sadar apa yang dikatakan Pangeran Alcon memang benar.
Sejak kecil Princess Minerva selalu berpindah-pindah tempat setiap
pergantian musim sehingga Princess jarang berbicara dengan laki-laki.
Walaupun Castil Yonga cukup besar dan suasana di sekitarnya ramai, tetapi
Princess Minerva lebih sering berada di Castil daripada bepergian ke Foentza.
Princess lebih suka mendengarkan Quiya daripada berjalan-jalan.
Di Clayment pun juga demikian. Di sana Princess Minerva
menghabiskan waktunya di cottage kecil mereka yang Princess namai Small
Cottage. Princess Minerva hanya meninggalkan Small Cottage untuk ke
rumah Granny yang dekat dari Small Cottage.
Ketika Princess Minerva berada di Istana Plesaides, ia juga jarang
bertemu dengan laki-laki. Princess lebih banyak menghabiskan waktunya
untuk belajar dan memasak di dapur Istana.
Aneh memang. Princess Minerva memiliki wajah cantik yang akan
membuat siapa saja merasa tertarik tetapi ia tidak memiliki banyak kawan.
Bahkan teman teman perempuan yang sebaya.
Teman Princess Minerva hanyalah anak-anak kecil di sekitar Small 296
Cottage yang senang mendengarkan cerita Princess Minerva sambil
menikmati kue buatannya.
Selain itu Princess Minerva jarang diketahui sebagai putri raja. Lebih
banyak orang yang mengenalnya sebagai gadis yang menarik daripada
sebagai putri raja.
Hanya penduduk Xoechbee saja yang mengenalnya sebagai putri.
Itupun hanya orang-orang yang pernah ke Istana selama musim semi atau
mereka yang bertemu dengan Princess Minerva saat gadis itu berjalan di
sekitar Istana bersama Pangeran. Setiap kali Princess berada di Istana,
Pangeran selalu meluangkan waktu untuk menemani Princess berjalan-jalan
di sekitar Istana.
Setiap orang yang melihat Princess dan Pangeran berjalan bersama
dengan dikawal beberapa prajurit, mula-mula merasa bingung. Mereka
menduga Princess adalah kekasih Pangeran. Tetapi ketika mereka melihat
kemiripan Princess dan Pangeran, barulah mereka mengerti.
Kadang-kadang Pangeran Alcon juga membawa Princess ke penjara
bawah tanah Xoechbee dalam setiap kunjungan rutinnya. Karena itu cukup
banyak pula tahanan yang menyayangi Princess Minerva bukan saja karena
kecantikan Princess tetapi juga karena kebaikan hati Princess.
Pria-pria yang mengagumi Princess Minerva sadar Princess Minerva
terlalu anggun untuk mereka. Princess dikagumi dan dipuji banyak orang
tetapi tidak seorangpun dari mereka yang dekat dengan Princess seolah-olah
Princess adalah gadis sombong yang enggan berkenalan dengan siapapun
padahal bukan demikian halnya. Mereka yang mengagumi Princess merasa
segan pada keanggunan Princess. Mereka merasa diri mereka tidak cocok
untuk menjadi teman Princess yang dalam pandangan mereka sangat mulia
dan anggun. Mereka merasa diri mereka kecil di hadapan Princess yang selalu
memancarkan kharisma.
Granny pernah berkata kepada Mrs. Wve, “Minerva mempunyai
kharisma seorang putri sejati yang membuat ia disegani banyak orang.” Saat
Granny mengatakan itu, ia sama sekali tidak tahu Princess Minerva memang
seorang putri raja.
Di samping kharismanya yang menonjol itu, Princess memiliki senyum
manis pada wajah bidadarinya yang akan membuat siapa saja tidak dapat
melepaskan pandangan mata mereka dari wajah Princess Minerva.
Tutur kata Princess Minerva yang lemah lembut mampu membuat 297
setiap orang mendengarkannya dengan penuh perhatian walaupun apa yang
dikatakannya membosankan. Tetapi itu tidak akan pernah terjadi. Setiap
orang senang berbicara dengan Princess Minerva. Setiap orang senang
mendengarkan kata-katanya yang bijaksana dan tak jarang mengejutkan.
Tingkah laku Princess Minerva yang selalu tenang membuat setiap orang
semakin mengagumi dan menyayanginya. Namun di antara semua itu,
banyak orang yang mengagumi mata Princess Minerva yang berwarna ungu
jernih. Sekilas mata Princess memang tampak biru keungu-unguan tetapi
semakin dipandang, mata itu semakin tempak berwarna ungu jernih.
Kejernihan mata itu sebening suara Princess Minerva yang lemah lembut
tetapi mampu membuat siapa saja mendengarkannya.
“Suara Minerva yang bening itu mampu mempengaruhi siapa saja,”
demikian pendapat Pangeran.
Mungkin karena itulah Pangeran sering meminta bantuan Princess
setiap kali ia menghadapi masalah yang sulit terutama bila berhubungan
dengan masalah kerajaan. Dengan kebijaksanaan yang dimilikinya, Princess
membantu memecahkan setiap persoalan betapapun sulitnya persoalan itu.
seakan-akan persoalan seberat apapun menjati tidak ada artinya bila Princess
yang mengatasinya.
Sedikit banya berkat Princess Minervalah Raja Croi I disegani dan
disayang penduduk Kerajaan Zirva karena memperhatikan kehidupan
rakyatnya. Princess yang jarang berada di Istana dan hidup di tengah-tengah
masyarakat sebagai gadis biasa bukan sebagai putri raja, selalu kembali ke
Istana Plesaides dengan setumpuk pesoalan yang menyangkut rakyat. Secara
tidak langsung Raja mengetahui keadaan rakyatnya secara lebih terperinci
daripada yang dilaporkan menteri-menteri.
Princess Minerva juga banyak memberikan bantuannya dalam setiap
persoalan yang Princess bawa saat ia kembali ke Istana.
Bagi Mrs. Wve, Princess Minerva sangat berharga. Mrs. Wve sangat
menyayanginya, ia rela melakukan apa saja baginya. Dan seperti orang-orang
umumnya, ia merasa kecil di hadapan kharisma Princess Minerva sebagai
seorang putri.
Tetapi Princess Minerva tetap saja seorang gadis yang masih polos yang
perlu diperhatikan, tidak peduli sebesar apapun kharisma Princess Minerva
mampu membuat orang lain merasa kecil di hadapannya.
Sejak Princess Minerva hilang semua orang di Istana mengkhawatirkan 298
Princess hingga kini. Tetapi setelah mengetahui suhu tubuh Princess Minerva
mulai turun, semua orang mulai tidak seberapa cemas dan mereka semakin
berharap dan menantikan saat Princess sadar.
Tetapi Princess Minerva sendiri masih terus terbaring diam.
Suasana seperti ini benar-benar seperti dongeng putri tidur di mana
Princess tertidur nyenyak dan semua orang menantikan saat Princess
membuka matanya kembali dan menceriakan Istana.
299
17
Princess Minerva memincingkan matanya. Sinar matahari yang
menyilaukan membuat ia sulit melihat tempat ia berada. Tanpa sadar ia
menutupi arah datangnya sinar menyilaukan itu dengan tangannya.
Tiba-tiba sesosok pria menutupi sinar yang menyilaukan itu. Pria itu
berdiri tepat di depan jendela menuju serambi yang memantulkan sinar
matahari yang menyilaukan itu.
Mula-mula Princess Minerva melihat tubuh pria itu tampak hitam
dengan sinar matahari di sekelilingnya yang membuatnya silau. Princess
Minerva berusaha mengenali sosok itu dan ketika ia telah mengenalinya, ia
tersenyum dan berkata lemah, “Al….”
Perkataan Princess Minerva disambut dengan pelukan yang tiba-tiba.
“Minerva, aku khawatir sekali. Kukira engkau akan selamanya menjadi
putri tidur,” kata Pangeran Alcon sambil mempererat pelukannya.
“Al…,” sekali lagi Minerva memanggil Pangeran Alcon.
Pangeran Alcon semakin mempererat pelukannya seolah-olah tidak
ingin melepaskan Princess lagi.
Princess Minerva tersenyum di pelukan kakaknya. Ia meletakkan
kepalanya di pundak Pangeran Alcon dan menutup matanya. Princess Minerva
tahu saat ia terbaring, ia sering dipeluk kakaknya. Sering dalam mimpinya ia
merasakan hangatnya tubuh seseorang melindunginya dari udara dingin di
sekelilingnya.
Pangeran Alcon kebingungan dengan kediaman Princess Minerva.
“Engkau baik-baik saja, Minerva?” tanya Pangeran cemas.
Princess Minerva mengangguk. “Aku baik-baik saja.”
“Mengapa engkau diam saja?”
Princess Minerva tersenyum. “Aku merindukan segala sesuatu
tentangmu, Al. Aku rindu kaupeluk seperti ini.”
Pangeran meletakkan kepalanya di atas kepala Princess Minerva. “Aku
juga sangat merindukanmu, Minerva,” katanya sambil membelai rambut
Princess Minerva.
Princess Minerva melihat sekeliling kamarnya dari pundak Pangeran 300
Alcon.
Kamarnya sama sekali tidak berubah sejak ia meninggalkannya tahun
lalu. Tirai-tirai putih masih menutupi jendela panjang menuju serambi.
Demikian pula tirai-tirai yang menggantung pada tiang tempat tidurnya yang
besar. Bunga-bunga masih memenuhi ruangan itu, di dekat jendela, di pojok
ruangan juga di atas meja rias yang antik.
Pangeran Alcon yang mengetahui adiknya tengah memperhatikan
ruangna yang telah lama ditinggalkannya, tersenyum sambil terus membelai
Princess Minerva.
“Al,” kata Princess Minerva tiba-tiba.
“Ada apa, Minerva?”
“Aku ingin ke serambi.”
Pangeran terkejut mendengarnya. Ia menjauhkan tubuh Princess
Minerva dari pelukannya dan menatap lekat-lekat wajah Princess Minerva
yang kebingungan.
“Tidak, Minerva,” kata Pangeran Alcon sambil menggelengkan
kepalanya.
“Tetapi, Al…. Aku ingin sekali melihat keadaan di luar. Rasanya sudah
lama sekali aku terus berada di sini,” kata Princess Minerva.
“Benar. Engkau terus terbaring diam di sini lama sekali. Rasanya satu
abad engkau menjadi putri tidur.”
“Satu abad?” tanya Princess Minerva sambil tersenyum, “Lama sekali.”
“Benar. Sekarang engkau harus diam di sini.”
“Ayolah, Al. Aku merasa seperti boneka bila engkau tidak mengijinkan
aku ke serambi,” bujuk Princess Minerva, “Aku ingin sekali melihat cuaca di
luar.”
“Tidak, Minerva. Aku lebih senang engkau menjadi boneka yang manis
daripada menjadi putri tidur yang cantik,” kata Pangeran Alcon, “Lagipula
musim gugur hampir berganti.”
“Lama sekali aku tertidur,” kata Princess Minerva.
Pangeran Alcon tersenyum. “Anak nakal. Sejak tadi aku mengatakan
engkau telah menjadi putri tidur selama satu abad tetapi engkau tidak
mendengarkannya.”
“Ayolah, Al, ijinkan aku melihat keadaan luar. Bila engkau tidak
mengijinkan aku ke serambi biarlah aku melihat keadaan luar melalui
jendela,” kata Princess Minerva.301
“Baiklah, Minerva. Aku mengijinkan engkau melihat keadaan luar
melalui serambi,” kata Pangeran.
“Al, aku ingin berjalan sendiri,” kata Princess Minerva ketika Pangeran
Alcon hendak mengangkat tubuhnya.
Pangeran menggelengkan kepalanya. “Tidak, Minerva. Engkau terbaring
cukup lama di tempat tidur ini, aku khawatir engkau tidak cukup kuat untuk
berjalan. Aku akan menggendongmu ke sana.”
“Al, aku ingin berjalan sendiri. Aku dapat berjalan ke sana, Al.”
“Bila engkau memaksa berjalan ke sana sendirian, Minerva, aku tidak
akan mengijinkanmu melihat keadaan luar sampai musim semi.”
“Aku bosan berada di atas tempat tidur terus, Al. Aku ingin melihat
keadaan di luar,” kata Princess Minerva.
Pangeran memeluk tubuh Princess Minerva dengan satu tangannya dan
tangannya yang lain menata bantal Princess Minerva. Setelah merasa
tumpukan bantal itu cukup nyaman, Pangeran meletakkan tubuh Princess
Minerva dengan hati-hati di atas bantal itu.
“Sekarang engkau akan merasa nyaman,” kata Pangeran.
Princess Minerva memandang Pangeran sambil tersenyum. “Engkau
jahat sekali, Al. Engkau mengurungku di kamarku tanpa mengijinkan aku
melihat keadaan di luar. Engkau tahu aku selalu merindukan halaman Istana
yang luas.”
“Aku juga yakin engkau merindukan semua penghuni Istana,” kata
Pangeran.
Tiba-tiba Pangeran terdiam seakan-akan teringat sesuatu yang penting.
“Sejak tadi aku terus di sini tanpa memberi tahu mereka kalau engkau telah
sadar. Aku akan memberi tahu mereka, mereka pasti senang sekali,” kata
Pangeran.
Princess Minerva menahan Pangeran yang hendak meninggalkannya.
“Jangan pergi, Al.”
Pangeran Alcon memandang heran ke wajah adiknya.
“Mengapa engkau menahanku, Minerva? Biasanya engkau selalu
mengingatkan aku akan tugas-tugasku dan selalu memintaku
mengerjakannya setiap kali aku ingin menghabiskan waktu bersamamu tetapi
sekarang engkau menahanku. Aku merasa aneh. Apa yang sebenarnya telah
terjadi, Minerva?”
Princess Minerva tersenyum sambil memiringkan kepalanya 302
memandang wajah kakaknya.
Pangeran Alcon tersenyum melihat adiknya sambil berpikir siapa yang
tidak akan merasa tertarik bila melihat Princess Minerva dalam keadaan
seperti ini, tersenyum manis sambil memiringkan kepalanya.
Melihat senyuman itu, Princess Minerva semakin menyadari kemiripan
kakaknya dengan Alexander. Cara tersenyum mereka sama. Mereka juga
memiliki senyum nakal yang sama. Cara memandang mereka kepada
Princess Minerva hampir sama. Yang membuat pandangan kedua pria itu
kepada Princess Minerva berbeda adalah sinar yang terpancar di sana saat
memandang Princess Minerva.
Pangeran Alcon memandang Princess Minerva penuh kasih sayang,
demikian pula Alexander tetapi mata pria itu lebih tampak tajam dan penuh
tanda tanya saat menatap Princess Minerva.
Ketika Princess Minerva memandang wajah kakaknya, ia merasa seperti
memandang wajah Alexander, Alexander yang telah mengatakan kata-kata
kasar yang tidak dapat dilupakannya hingga kini. Teringat kata-kata terakhir
Alexander yang didengarnya, Princess Minerva merasa sedih. Ia tahu ketika ia
meninggalkan Obbeyville itu adalah saat terakhir ia dapat berjumpa dan
mendengarkan suara Alexander yang sangat dicintainya.
Walaupun banyak kemiripan Alexander dengan kakaknya, Pangeran
Alcon, tetapi Princess Minerva menyadari ia mencintai Alexander bukan
karena kemiripannya tetapi karena Alexander adalah Alexander. Princess
Minerva telah menyadari itu pada saat-saat terakhir ia berada di Obbeyville.
Princess Minerva sadar apa yang dikatakan Alexander tidak akan
diingkari pria itu. Sejak mengenal Alexander, Princess Minerva telah
mengenali watak pria itu yang tidak ingin siapapun menghalangi
keinginannya. Alexander tidak dapat ditahan bila ia mempunyai keinginan.
Dan keinginan terbesar Alexander yang diketahui Princess Minerva adalah
tidak melihat wajahnya lagi. Princess Minerva menjadi semakin sedih
memikirkan ia tidak akan pernah berjumpa lagi dengan Alexander yang
sangat dicintainya tetapi tidak menyukainya.
Saat ini Princess Minerva sadar, sejak pertama kali ia bertemu dengan
Alexander, ia telah mencintai pria itu tetapi ia tidak berani mengakuinya
karena ia takut. Ia takut hatinya tersakiti dan ia semakin enggan
mengakuinya ketika Alexander semakin akrab dengan Lady Debora.
Princess Minerva teringat kembali saat Alexander dan Lady Debora 303
berdua. Mereka tampak sangat mesra sekali.
“Mengapa engkau menangis, Minerva?” tanya Pangeran.
“Aku tidak menangis,” kata Princess Minerva berdusta.
“Engkau menangis,” kata Pangeran sambil menyeka air mata yang
membasahi mata Princess Minerva, “Lihatlah ini.”
Princess Minerva berusaha tersenyum dalam kesedihan hatinya, “Aku
menangis karena aku sangat merindukanmu, Al. Aku senang sekali dapat
berjumpa kembali denganmu sehingga aku menangis.”
Pangeran menatap wajah Princess Minerva. Ia tahu Princess Minerva
tidak mengatakan yang sebenarnya tetapi ia pura-pura percaya.
Princess Minerva tidak menyadari kakaknya terus melihat wajahnya
yang menjadi sayu ketika Princess Minerva mengenang kembali saat ia
berada di Obbeyville dan kenangannya bersama Alexander.
“Aku juga sangat merindukanmu, Minerva.”
“Di mana Mrs. Vye?” tanya Princess Minerva, “Di mana Eido?”
Pangeran Alcon tersenyum, “Akhirnya engkau menanyakan hal itu. Aku
baru saja berpikir hingga kapan engkau tidak bertanya mengenai Mrs. Vye
maupun Eido.”
“Di mana mereka, Al? Apakah mereka telah kembali ke Obbeyville?”
tanya Princess Minerva cemas.
“Tidak, Minerva. Mereka berada di sini. Bahkan Mrs. Vye terus
menemanimu selama engkau tidak sadar bersama Mrs. Wve.”
“Di mana Mrs. Wve, Al? Aku rindu sekali padanya. Aku ingin segera
berjumpa semua orang yang selalu kurindukan ketika aku berada di
Obbeyville.”
“Engkau selalu merindukan kami?” tanya Pangeran Alcon tak percaya.
Princess Minerva tersenyum, “Walaupun aku tidak dapat mengingat
masa laluku tetapi aku selalu merindukan kalian, Al. Aku merindukan kalian
walau aku tidak ingat nama dan wajah kalian.”
Pangeran Alcon tiba-tiba memeluk Princess Minerva. “Aku senang
engkau selalu merindukan aku, Minerva. Semula kukira hanya aku saja yang
merindukanmu.”
“Jangan seperti itu, Al. Aku menyayangi kalian. Aku pasti meridukan
kalian walaupun aku kehilangan ingatan. Sekarang jawablah di mana mereka,
Al?”
“Mereka semua berada di Istana ini, Minerva. Saat ini Mrs. Vye dan Mrs. 304
Wve pasti sedang bercakap-cakap di Ruang Duduk,” kata Pangeran Alcon,
“Tunggulah di sini. Aku akan memanggil mereka.”
Pangeran menghilang ke pintu yang membatasi Ruang Duduk dengan
ruang tempat Princess Minerva berada.
Tak lama kemudian Pangeran Alcon kembali bersama dua orang wanita
tua yang membelalak terkejut dan senang melihat Princess Minerva.
Princess Minerva tersenyum menyambut mereka.
Setelah Mrs. Vye dan Mrs. Wve mengetahui Princess Minerva telah
sadar kembali, semua orang di Istana mengetahuinya juga. Semua orang
merasa sangat senang mendengarnya. Raja dan Ratu segera menghampiri
Princess Minerva yang terus berbaring di tempat tidurnya sambil bercanda
dengan Pangeran Alcon.
Dengan bangkitnya sang putri tidur dari tidur panjangnya, seluruh
Istana kembali menjadi ceria. Keceriaan itu seakan-akan menjalari seluruh
Istana sehingga semua tumbuhan tampak lebih ceria.
Walau Princess Minerva sadar kambali, ia tetap berada di atas tempat
tidurnya dengan Pangeran Alcon yang selalu setia menemaninya dan Mrs.
Wve serta Mrs. Vye yang selalu berada di Ruang Duduk.
Suatu hari saat Pangeran Alcon menemani Princess Minerva, Pangeran
berkata,
“Apakah engkau tidak bosan mendengarkan pembicaraan kedua wanita
itu yang seakan-akan tidak ada akhirnya itu?”
Princess Minerva tersenyum. Ia mendengarkan suara percakapan Mrs.
Wve dengan Mrs. Vye di Ruang Duduk yang telah menjadi bagian dari
hidupnya akhir-akhir ini.
“Mereka memang cocok, ya, Al?”
Pangeran mengangguk. “Mereka memang cocok sekali. Bila mereka
berkumpul, mereka akan selalu berbicara hingga tidak ada habisnya.”
Princess Minerva tersenyum mendengar keluhan kakaknya.
Mrs. Wve dan Mrs. Vye memang sangat cocok. Keduanya juga memiliki
rupa yang sama. Setiap orang yang melihat mereka berdua pasti mengira
mereka bersaudara. Mrs. Wve memiliki tubuh yang sama gemuk dengan Mrs.
Vye. Wajah mereka juga tampak mirip. Dari semua kecocokan Mrs. Wve dan
Mrs. Vye, yang paling mencolok adalah kecocokan kedua wanita itu saat
berbincang-bincang. Kedua wanita tua itu setiap hari menghabiskan waktunya
dengan berbicang-bincang. Perbincangan mereka tidak pernah berakhir. 305
Selalu saja ada yang dibicarakan mereka berdua. Bila hari ini mereka
membicarakan masa lalu mereka, maka esok mereka akan membicarakan hal
yang lain.
“Sejak Mrs. Vye ada di sini, Mrs. Wve jarang memperhatikanmu,” kata
Pangeran, “Aku akan memperingatkan Mrs. Wve.”
Princess Minerva tersenyum, “Biarkanlah mereka, Al. Mereka memang
cocok sekali dan tidak dapat dipisahkan. Sejak dulu Mrs. Wve hanya
mengawalku pergi ke manapun. Ia tidak mempunyai teman berbicara
sekarang ia mempunyai teman yang cocok.”
“Ya,” keluh Pangeran sambil meletakkan kepalanya di dekat tangan
Princess Minerva, “Tetapi mereka berbicara tidak ada akhirnya membuat aku
merasa bosan mendengarnya.”
Princess Minerva meletakkan tangannya di atas kepala kakaknya,
“Jangan berkata seperti itu. Aku menyayangi mereka berdua.”
“Apakah engkau tidak menyayangiku?” tanya Pangeran sambil melirik
tajam pada Princess Minerva.
Tatapan tajam kakaknya membuat Princess Minerva kembali teringat
mata tajam Alexander saat terakhir kali ia melihat pria itu. Princess Minerva
segera menutup matanya.
“Aku juga menyayangimu, Al. Tetapi engkau harus mengerti. Mrs. Wve
pasti merasa bosan dan kesepian karena harus selalu menemaniku ke
manapun aku pergi. Selama itu ia tidak mempunyai teman yang seusia
dengannya. Ia tidak mempunyai teman untuk berbagi cerita. Sekarang ia
mendapatkannya dan demikianlah jadinya.”
“Karena itulah sampai sekarang engkau belum bertanya pada Mrs. Vye
apakah ia mau tinggal di Istana?” tanya Pangeran.
Princess Minerva menatap wajah kakaknya, “Aku tidak tahu, Al. Aku
merasa Mrs. Vye pasti setuju bila ia kuminta tinggal di sini tetapi ia juga
memiliki teman yang menyayanginya di Obbeyville. Aku tidak ingin
membuatnya bingung.”
“Sekarang waktunya kita memanfaatkan kepandaianmu menarik
perhatian orang dan kepandaianku memanfaatkan kesempatan,” kata
Pangeran.
“Apa yang kaumaksud, Al?”
“Engkau harus bertanya kepada Mrs. Vye, Minerva. Kau tahu itu. Dan
sekarang kita berdua yang akan bertanya pada Mrs. Vye. Tunggulah di sini.”306
Pangeran Alcon segera menghilang sebelum Princess Minerva sempat
menghalanginya.
Sesaat kemudian Pangeran kembali dengan Mrs. Vye.
“Ada keperluan apa Anda memanggil saya, Princess?”
Princess Minerva tersenyum ,”Saya telah sering mengatakan kepada
Anda, Mrs. Vye. Jangan memanggil saya Princess Minerva. Saya tahu Anda
belum terbiasa dengan panggilan itu. Panggilah saya Maria seperti saat kita
berada di Obbeyville.”
Mrs. Vye hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa.
“Duduklah di kursi ini, Mrs. Vye,” kata Pangeran sambil menunjuk kursi
yang terletak di samping tempat tidur Princess Minerva.
Pangeran duduk di tepi tempat tidur Princess Minerva dan memulai
percakapan, “Kami ingin bertanya bagaimana perasaan Anda selama berada
di Istana?”
“Jawablah yang jujur, Mrs. Vye. Kami hanya ingin mengetahuinya,” kata
Princess Minerva.
“Saya merasa senang sekali dapat berada di Istana semegah ini tetapi
kadang saya juga merasa tempat ini terlalu mewah untuk saya,” jawab Mrs.
Vye.
“Jangan khawatir, Mrs. Vye. Itu karena Anda belum terbiasa dengan
suasana Istana. Anda telah lama tinggal di sini, Anda akan terbiasa dengan
semua kemewahan ini,” kata Princess Minerva.
“Bagaimana pendapat Anda tentang Mrs. Wve?” tanya Pangeran tidak
membuang kesempatan.
“Saya merasa Mrs. Wve teman bicara yang menyenangkan. Saya dan ia
merasa cocok satu sama lain,” jawab Mrs. Vye jujur.
Princess Minerva tersenyum, “Kami juga merasa demikian, Mrs. Vye.
Kami merasa kalian cocok satu sama lain hingga rasanya tidak mungkin
terpisahkan lagi.”
“Kami ingin bertanya apakah Anda mau terus tinggal di Istana?” tanya
Pangeran.
Mrs. Vye tampak bingung.
Princess Minerva yang menyadari hal itu segera berkata, “Kami tidak
memaksa Anda, Mrs. Vye. Tetapi saya dan juga Mrs. Wve pasti merasa
senang bila Anda mau tinggal bersama kami. Dan bila tiba saatnya untuk
saya pergi ke tempat lain, Anda dapat memutuskan apakah Anda ikut dengan 307
kami atau tidak.”
“Bukan itu yang saya khawatirkan, Princess.”
“Saya mengerti Anda mengkhawatirkan Mrs. Fat, Mr. Liesting dan Mrs.
Dahrien. Mengenai mereka saya juga telah memikirkannya tetapi saya masih
belum menemukan jalan keluar yang terbaik bagi mereka dan keluarga
Sidewinder,” kata Princess Minerva, “Dan mengenai semakin retaknya
hubungan Anda dengan keluarga Sidewinder saya juga merasa harus
bertanggung jawab.”
Mrs. Vye cepat-cepat berkata, “Jangan khawatirkan kami, Princess.
Khawatirkan saja kesehatan Anda. Mengenai hubungan saya yang tidak
begitu baik dengan Baroness Lora, Anda telah mengetahuinya. Anda sama
sekali tidak bersalah dalam hal ini. Saya sendiri yang memutuskan untuk
meninggalkan keluarga itu.”
Pangeran tertawa. “Jika engkau berhasil membuat Minerva diam, aku
akan mengucapkan selamat kepadamu. Selama ini Minerva sangat sulit
disuruh diam, tetapi sejak ia menghilang, ia menjadi lebih penurut.
Sebenarnya apa yang terjadi selama engkau berada di sana, Minerva?”
“Engkau telah mengetahuinya dari Mrs. Vye, bukan?”
Pangeran mengangguk, “Tetapi aku belum mengetahuinya darimu.”
“Ceritanya akan sama saja, Al,” kata Princess Minerva, “Sekarang kita
sedang bertanya pada Mrs. Vye.”
Pangeran memalingkan pandangannya ke wajah Mrs. Vye yang masih
diwarnai kebigungannya.
“Pikirkanlah hal ini, Mrs. Vye. Kami tidak memaksamu. Dan mengenai
kawan Anda, Eido, kami juga telah bertanya apakah ia mau tinggal di sini.
Dan seperti Anda, ia masih merasa bingung.”
“Saya berjanji akan memikirkannya, Pangeran.”
“Terima kasih, Mrs. Vye. Saya sangat senang sekali bila Anda mau
tinggal bersama saya. Mrs. Wve pasti merasa senang mempunyai teman yang
dapat diajaknya berbagi masa lalu,” kata Princess Minerva sambil tersenyum.
Pertanyaan yang diajukan Princess Minerva dan kakaknya benar-benar
telah membuat Mrs. Vye merasa bingung. Setelah berpikir lama dan
bercakap-cakap dengan Eido, akhirnya mereka berdua membuat keputusan
yang sama, keputusan yang membuat Princess Minerva merasa senang
sekali.
Tetapi Mrs. Wve lebih terlihat senang dengan keputusn Mrs. Vye 308
daripada Princess. Sepanjang hari Mrs. Wve bercakap-cakap dengan Mrs. Vye
setelah Mrs. Vye memutuskan untuk tinggal di Istana. Suara percakapan
kedua wanita itu terdengar hingga kamar Princess Minerva dan itu membuat
Pangeran Alcon menjadi bosan.
Princess Minerva yang mengetahui itu hanya tersenyum. Ia tidak dapat
berbuat apa-apa. Pangeran sama sekali tidak mengijinkannya meninggalkan
tempat tidurnya walaupun ia telah cukup sehat.
Tetapi apa yang dikatakan Pangeran Alcon memang benar.
Princess Minerva bukanlah seorang gadis yang mau duduk diam
sepanjang hari. Memang pada mulanya ia mampu mengatasi kebosanannya
tetapi lama kelamaan ia benar-benar merasa bosan dan ingin segera
meninggalkan tempat tidur. Bagi Princess Minerva, semakin ia diam saja itu
artinya ia semakin memiliki banyak waktu untuk memikirkan Alexander.
Tetapi memikirkan Alexander bukanlah suatu hal yang membuatnya
senang. Ia selalu merasa sedih dan ingin menangis bila teringat pria itu.
Ingatannya akan kata-kata terakhir Alexander dan wajah Alexander sebelum
ia meninggakan tempat itu benar-benar telah melekat di hatinya sehingga
setiap kali ia memikirkan pria itu, yang muncul hanyalah saat yang
menyakitkan hatinya itu. Setiap Princess Minerva memejamkan matanya,
yang terlihat hanyalah wajah Alexander yang dingin dan penuh kemarahan.
Pada suatu hari Princess Minerva memanfaatkan kebosanan kakaknya.
“Aku benar-benar merasa jenuh mendengar percakapan mereka,” keluh
Pangeran, “Mengapa engkau bisa tahan dengan semua ini?”
“Sabarlah, Al. Memang beginilah yang seharusnya terjadi. Selama ini
aku selalu melihat Mrs. Wve pendiam tetapi sejak kedatangan Mrs. Vye, ia
menjadi lebih banyak berbicara.”
“Engkau senang melihat aku jenuh?” tanya Pangeran.
“Aku tidak ingin engkau merasa jenuh, Al. Tetapi jangan khawatir,
sekarang aku punya pemecahannya.”
“Apa itu?” tanya Pangeran ingin tahu.
“Ijinkan aku meninggalkan tempat tidurku,” jawab Princess Minerva
tenang.
Pangeran segera menggelengkan kepalanya mendengar jawaban itu.
“Tidak, Minerva. Aku tidak akan mengijinkanmu.”
“Ayolah, Al, aku benar-benar merasa bosan duduk diam di sini
sepanjang hari,” bujuk Princess Minerva.309
Pangeran menatap wajah Princess Minerva yang penuh permohonan.
“Engkau memang pandai memohon,” kata Pangeran.
Princess Minerva tersenyum penuh kemenangan mendengarnya.
“Baiklah, Minerva. Tetapi aku tidak akan mengijinkan engkau berjalan.
Akulah yang akan membawamu meninggalkan tempat tidurmu.”
“Al, aku dapat berjalan sendiri.”
“Aku tahu, Minerva. Tetapi aku tidak akan mengijinkanmu berjalan
sampai aku benar-benar yakin engkau cukup sehat.”
“Al, engkau memperlakukanku seperti aku ini seorang bayi yang baru
belajar berjalan.”
Pangeran tersenyum nakal yang membuat Princess Minerva kembali
teringat pada Alexander.
“Saat ini aku memang merasa engkau seorang bayi yang perlu dijaga
agar tidak nakal.”
Pangeran mengangkat tubuh Princess Minerva dan berkata, “Sekarang
ke mana kita akan pergi?”
Princess Minerva tersenyum senang. Ia tahu ia tidak akan lagi memiliki
banyak waktu untuk memikirkan Alexander dan ia berharap dengan demikian
ia dapat sedikit demi sedikit melupakan Alexander dan kenangan pahitnya.
Tetapi Princess Minerva juga menyadari ia sulit melakukan itu. Princess
Minerva percaya ia tidak akan dapat melupakan Alexander walaupun pria itu
telah menyakitinya. Ia sangat mencintai pria itu bahkan terlalu mencintai pria
itu sehingga memikirkan saat di Obbeyville saja mampu membuat hatinya
terasa teriris. Kepercayaan Princess Minerva jauh lebih tepat dibandingkan
harapannya. Ia sama sekali tidak dapat melupakan Alexander. Pikirannya
tentang pria itu terus saja melekat di kepalanya. Alexander telah
bersemayam tidak hanya di hatinya tetapi juga di pikirannya.
Kebiasaan Princess Minerva yang selalu bersikap tenang membuat tidak
seorangpun menyadari itu. Ia tetap mampu bersikap tenang dan selalu
tersenyum walau hatinya sedang bersedih.
Sejak Pangeran Alcon mengijinkannya meninggalkan tempat tidurnya,
Princess Minerva benar-benar memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Sepanjang hari ia duduk di depan pianonya sambil memainkan lagu-lagu
kesukaan kakaknya. Dengan permainan pianonya, Princess Minerva semakin
menceriakan suasana di Istana Plesaides. Permainannya yang penuh
perasaan terdengar ke seluruh penjuru Istana.310
Tidak seorang pun yang menyadari di balik semua itu Princess Minerva
merasa sangat sedih. Princess Minerva memang pandai menyembunyikan
perasaan hatinya yang sebenarnya. Dengan sikapnya yang selalu tenang dan
penuh senyuman, ia tetap terlihat ceria dan mempesona.
Princess Minerva menyadari hari-hari terus berlalu sejak ia
meninggalkan Obbeyville. Dan ia merasa telah lama sekali ia meninggalkan
Obbeyville yang mendapat tempat di hatinya. Rasanya baru kemarin ia
berada di Obbeyville padahal telah lebih dari empat bulan ia meninggalkan
tempat itu.
Princess Minerva yang menurut setelah Pangeran Alcon memutuskan
hanya dirinyalah yang boleh membawa Princess Minerva meninggalkan
tempat tidurnya, akhirnya mulai merasa bosan. Princess Minerva mulai tidak
senang harus menanti kakaknya bila ia hendak meninggalkan tempat
tidurnya. Ia merasa dirinya telah memberi beban tambahan di pundak
kakaknya. Princess Minerva mengakui sejak ia sadar dari tidur panjangnya, ia
selalu melihat kakaknya di kamarnya. Setiap saat ia terbangun dari tidurnya,
wajah kakaknya selalu ada di kamarnya. Pangeran Alcon jua telah
memindahkan ruang kerjanya ke Ruang Duduk Princess Minerva. Princess
Minerva tahu itu tetapi ia tidak dapat mencegah kakaknya. Ia mengerti
seperti halnya seluruh penghuni Istana, Pangeran merasa rindu padanya dan
ingin menghabiskan waktu sepanjang hari bersamanya.
Raja dan Ratu yang mengerti keadaan itu mengalah. Mereka lebih
menyibukkan diri mereka dengan urusan kerajaan. Mereka juga telah
memberi banyak kesempatan bagi kedua kakak beradik itu untuk selalu
berdua. Tidak hanya Raja dan Ratu saja yang mengerti. Semua orang di
Istana mengerti itu. Mereka tidak banyak menganggu ketika Pangeran Alcon
sedang bersama Princess Minerva yang mereka sayangi. Mrs. Wve dan Mrs.
Vye juga mengerti masalah itu. Mereka lebih banyak berbicara di luar kamar
Princess Minerva daripada di dalam kamar menganggu kakak beradik itu.
Hari-hari terakhir ini Princess Minerva merasa sikap Pangeran Alcon
menjadi aneh. Kakaknya sering terlihat termenung memikirkan sesuatu.
Tetapi Pangeran tidak mau berkata apa-apa walaupun Princess Minerva telah
membujuknya.
Princess Minerva sedang bermain piano ketika terdengar suara ketukan
di pintu kamarnya.
Mrs. Wve dan Mrs. Vye sedang berjalan-jalan di halaman Istana 311
sehingga Pangeran sendiri yang membuka pintu itu.
“Selamat siang, Princess Minerva. Bagaimana keadaan Anda?” tanya
Kendsley.
Princess Minerva yang mendengar sapaan itu segera berjalan
meninggalkan piano dan mendekati Menteri Dalam Negeri yang tersenyum
padanya.
Pangeran Alcon yang telah membiarkan Princess Minerva berjalan
sendiri diam saja.
“Selamat siang, Kendsley. Lama kita tidak berjumpa,” sapa Princess
Minerva.
“Ya, Anda setiap hari berada di kamar Anda.”
Princess Minerva memalingkan kepalanya kepada kakaknya yang
tersenyum nakal, “Ia mengurungku di sini sejak aku sadar. Dan untuk dapat
berjalan sendiri, aku benar-benar harus berusaha keras.”
Pangeran Alcon tersenyum.
Pangeran Alcon ingat sekali saat ia dikejutkan oleh munculnya Princess
Minerva di Ruang Duduk. Saat itu Pangeran menduga Princess Minerva masih
tertidur.
Tidak sedikitpun ia menduga adiknya tengah duduk di Ruang Duduk
sambil bercakap-cakap dengan Mrs. Wve dan Mrs. Vye.
Princess Minerva segera menghampiri Pangeran Alcon yang terpaku di
pintu.
“Mengapa engkau meninggalkan tempat tidurmu?” tanya Pangeran.
“Karena aku mempunyai kaki untuk berjalan dan aku tidak
membutuhkan bantuan orang lain untuk sampai di sini,” jawab Princess
Minerva tenang, “Lama kelamaan sang ‘bayi’ juga akan mampu berjalan
sendiri tanpa bantuan orang lain.”
Pangeran Alcon menyerah pada keinginan adiknya dan sejak saat itu ia
tidak lagi membopong adiknya ke tempat yang diinginkan adiknya. Ia telah
membiarkan ‘bayi’nya berjalan sendiri.
“Ada keperluan apa engkau mencariku, Kendsley?” tanya Pangeran.
“Sejak Anda mengumumkan berita kembalinya Princess, Anda belum
memberi penjelasan kapan Anda akan mengadakan pesta itu. Masyarakat
mempertanyakannya,” kata Kendsley.
“Pesta apa?” tanya Princess Minerva tak mengerti.
Pangeran tersenyum pada Princess Minerva. “Aku mengerti, Kendsley. 312
Aku akan mengumumkannya dalam waktu dekat ini.”
“Akan saya sampaikan perkataan Pangeran pada masyarakat,” kata
Kendsley.
Setelah Menteri Dalam Negeri meninggalkan tempat itu, Princess
Minerva mendekati Pangeran Alcon dan bertanya, “Pesta apa, Al?”
Pangeran Alcon memegang pundak adiknya. “Duduklah dulu.”
Pangeran Alcon mendudukkannya tepat di depan perapian yang
menyala terang. Setelah itu ia duduk di hadapan Princess Minerva.
“Pesta itu kuadakan untuk membuat masyarakat mengenalmu,” kata
Pangeran, “Dan engkau tidak dapat menghindari pesta ini. Tahun ini engkau
tidak akan pergi ke Clayment.”
Princess Minerva tersenyum, “Aku tahu, Al. Musim gugur telah berlalu
dan musim dingin telah berlalu hampir satu bulan. Tidak mungkin ladi bagiku
untuk ke Clayment. Bila aku memaksa ke sana, aku pasti jatuh sakit selama di
perjalanan.”
Pangeran Alcon tersenyum puas, “Bagus. Aku senang engkau mau
mengerti.”
“Tetapi, Al mengapa engkau harus mengadakan pesta untuk itu bila
engkau tidak ingin peristiwa ini terjadi lagi. Masih banyak cara lain agar
penduduk Kerajaan mengenalku,” kata Princess Minerva.
“Memang masih banyak cara lain tetapi aku terlanjur berjanji pada
masyarakat. Engkau paling tidak suka melihat orang melanggar janjinya,
bukan ?”
Princess Minerva membenarkan ucapan Pangeran Alcon.
“Karena itu engkau mau bukan hadir dalam pesta itu?”
“Kapan pesta itu akan kauadakan?”
“Aku belum tahu. Aku belum memutuskannya secara pasti. Tetapi
dalam beberapa hari ini aku telah berpikir untuk mengadakannya bertepatan
dengan hari Natal.”
Princess Minerva cepat-cepat berkata, “Tidak, Al. Engkau jangan
mengadakannya tepat pada hari Natal.”
“Mengapa tidak, Minerva?” tanya Pangeran Alcon tak mengerti.
“Al, pada hari Natal orang-orang umumnya lebih suka merayakannya
bersama keluarganya. Lebih baik engkau mengadakannya sesudah atau
sebelum hari Natal itu.”
Pangeran tak mengerti. “Mengapa tidak, Minerva? Kurasa tidak ada 313
salahnya bila kita mengadakannya tepat pada hari Natal.”
Princess Minerva tersenyum pengertian. “Memang tidak ada masalah.
Tetapi kita harus menghargai keinginan setiap orang yang ingin merayakan
Natal bersama keluarganya, Al. Adakan pesta itu sebelum atau sesudah hari
Natal.”
“Baiklah, Minerva. Bila itu yang kauhendaki. Aku tidak ingin engkau
tiba-tiba pergi seperti pesta ulang tahunmu itu,” kata Pangeran, “Daripada
aku kehilangan engkau lagi lebih baik aku menuruti kehendakmu.”
“Jadi, kapan engkau akan mengadakannya?”
Pangeran berpikir sambil menimbang untung ruginya bila pesta itu
diadakan sebelum atau sesudah hari Natal.
Setelah menemukan jawabannya, Pangeran tersenyum dan berkata,
“Aku akan mengadakannya pada kedua-duanya.”
“Sebelum dan sesudah Natal?” tanya Princess Minerva tak percaya,
“Mengapa engkau mengadakannya dua kali, Al? Sekali saja sudah cukup.”
“Bukan itu maksudku, Minerva sayang,” kata Pangeran, “Aku akan
mengadakannya sebelum hari Natal dan tepat pada hari Natal. Dengan
demikian keinginanmu dan keinginanku sama-sama terkabul.”
“Al, bagaimana dengan mereka yang ingin merayakan Natal bersama
keluarganya?” tanya Princess Minerva.
“Aku telah memikirkannya, Minerva. Bila mereka ingin merayakan Natal
bersama keluarganya, mereka cukup hadir pada pesta pertama tetapi bila
mereka mau merayakan Natal bersama kita, mereka boleh hadir lagi di pesta
kedua.”
“Kapan pesta pertama itu akan kauselenggarakan?” tanya Princess
Minerva.
“Mungkin tanggal dua puluh.”
Princess Minerva menggelengkan kepalanya, “Tidak, Al. Jangan
mengadakannya pada tanggal itu. Bagaimana dengan mereka yang ingin
berkumpul dengan keluarganya yang tempat tinggalnya sangat jauh dari
sini?”
Pangeran terdiam.
Princess Minerva memanfaatkan kesibukan berpikir Pangeran. “Paling
tidak adakanlah sepuluh hari sebelum Natal.”
“Baiklah,” kata Pangeran tiba-tiba, “Aku akan mengadakan pesta
pertama pada pertengahan Desember dan pesta kedua tepat pada hari 314
Natal.”
“Siapa yang akan kauundang, Al? Engkau belum memutuskannya,” kata
Princess Minerva mengingatkan.
“Engkau salah, Minerva sayang. Sebelum aku mengumumkan
kemunculanmu pada penduduk, aku telah mengetahui siapa saja yang akan
kuundang. Aku akan mengundang semua bangsawan yang ada di Kerajaan
Zirva.”
Princess Minerva terkejut. Ia sadar bila semua bangsawan diundang
dalam pesta itu, maka kemungkinan besar ia akan bertemu kembali dengan
Alexander.
Tetapi Princess Minerva tahu Alexander pasti tidak senang bertemu
dengannya. Princess Minerva tahu pria itu akan mengeluarkan kata-kata yang
tak pernah dibayangkannya sebelumnya.
“Apakah itu tidak terlalu berlebihan, Al?”
“Tidak. Aku ingin sekali bertemu dengan Baroness Lora dan Lady
Debora,” kata Pangeran geram.
“Al, aku tidak mengijinkanmu bertemu dengan mereka hanya karena
engkau merasa marah pada perlakuan mereka terhadapku,” kata Princess
Minerva.
“Minerva, mereka telah memperlakukanmu dengan buruk. Aku ingin
mengetahui seperti apa wajah wanita yang menghinamu,” kata Pangeran.
Princess Minerva menggelengkan kepalanya, “Tidak, Al. Walaupun
mereka tidak menyukaiku tetapi mereka masih mengijinkan aku tinggal di
Obbeyville. Sekasar apapun kata-kata mereka, mereka tetap berjasa
kepadaku.”
“Engkau memang terlalu baik hati, Minerva. Engkau bahkan tidak
merasa marah kepada mereka,” kata Pangeran Alcon sambil tersenyum
memandang wajah adiknya.
Pangeran Alcon senang sekali memandangi wajah cantik adiknya. Ia
tidak pernah merasa bosan melihat wajah cantik itu dengan senyumannya
yang manis.
Setiap kali melihatnya, Pangeran Alcon berpikir siapakah yang tidak
akan tertarik melihat adiknya. Jawabannya adalah tidak ada. Semua orang
tertarik melihat wajah Princess Minerva yang cantik dengan senyumannya
yang menawan hati dan matanya yang ungu jernih. Demikian pula tutur
katanya yang lemah lembut akan membuat siapa saja semakin tertarik 315
padanya.
“Berkat mereka aku dapat berada di sini kembali,” kata Princess
Minerva.
“Baiklah, Minerva. Aku mengerti berkat mereka engkau dapat berada di
sini. Dan karena mereka pula engkau masih dapat hidup hingga kini.”
Princess Minerva tersenyum mendengar suara kakaknya yang dibuat
setenang mungkin tetapi tidak dapat menyembunyikan kegeraman yang
muncul terutama saat ia mengatakan ‘mereka’. Princess Minerva tahu
kakaknya pasti tidak menyukai Baroness Lora dan Lady Debora setelah
mendengar peristiwa yang dialaminya selama berada di Obbeyville.
“Masalah itu telah selesai, Al. Sekarang maukah engkau menceritakan
masalahmu yang lain?”
“Masalah apa?” tanya Pangeran Alcon tak mengerti.
“Jangan berbohong kepadaku, Al,” kata Princess Minerva, “Aku tahu
engkau sedang menghadapi suatu masalah yang sulit. Katakanlah kepadaku
mungkin aku dapat membantumu.”
Pangeran tertawa, “Apakah engkau selalu dapat membaca pikiran
orang, Minerva?”
“Aku tidak dapat membaca pikiran orang, Al, tetapi aku tahu engkau
sedang menghadapi masalah yang serius.”
“Aku baru saja menyelesaikan satu-satunya masalah yang menjadi
beban pikiranku akhir-akhir ini.”
Princess Minerva menggelengkan kepalanya, “Tidak, Al. Engkau masih
mempunyai masalah yang lain. Aku tahu itu.”
“Rasanya aku tidak pandai menyembunyikan suatu masalah,” gumam
Pangeran.
Princess Minerva tersenyum, “Karena itu, Al, jangan berbohong lagi
kepadaku. Katakan apa masalahmu itu.”
Pangeran terdiam. Pangeran memandang wajah Princess Minerva
selama beberapa saat kemudian ia menuju jendela yang selalu tertutup.
Princess Minerva melihat kakaknya tampak kebingungan. Ia mendekati
Pangeran Alcon yang sedang memandang keluar melalui jendela.
“Katakanlah kepadaku, Al. Aku pasti dapat membantumu,” bujuk
Princess Minerva.
Pangeran masih tetap diam. “Aku kebingungan, Minerva,” katanya
setelah beberapa saat.316
“Apa yang membuatmu bingung seperti ini, Al. Aku tidak pernah
melihat engkau segelisah ini,” kata Princess Minerva.
Pangeran Alcon membalikkan badannya dan memeluk Princess Minerva.
“Aku bingung, Minerva. Aku tidak ingin meninggalkanmu tetapi aku
telah berjanji pada mereka,” kata Pangeran Alcon.
Princess Minerva menengadah memandang wajah Pangeran Alcon yang
kebingungan. “Engkau akan pergi, Al?”
Pangeran Alcon menatap wajah Princess Minerva dan mengangguk.
“Kapan engkau akan pergi?” tanya Princess Minerva.
“Menurut rencana akhir bulan ini aku harus pergi,” jawab Pangeran
Alcon, “Tetapi aku tidak ingin meninggalkanmu. Tidak setelah semua ini
terjadi. Aku tidak ingin engkau menghilang lagi tanpa aku ketahui di mana
engkau berada.”
Princess Minerva menatap lekat-lekat wajah kakaknya yang
kebingungan, “Engkau telah berjanji pada mereka?”
“Ya, aku berjanji pada mereka tahun lalu. Saat itu aku tidak tahu ini
semua akan terjadi. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Rasanya tidak
mungkin membatalkan janji yang telah kubuat setahun yang lalu.”
“Engkau tahu, Al, aku tidak senang seseorang melanggar janjinya,” kata
Princess Minerva tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Pangeran
Alcon.
Pangeran Alcon tersenyum, “Aku tahu, Minerva sayang. Karena itu aku
merasa bingung.”
“Pergilah, Al. Jangan khawatirkan aku. Aku janji tidak akan ke mana-
mana selama engkau tidak berada di Istana. Papa, Mama, Mrs. Wve, Mrs. Vye
dan semua orang di Istana akan memastikan aku selalu berada di dalam
Istana,” kata Princess Minerva.
“Engkau tidak mengerti, Minerva,” kata Pangeran Alcon sambil
menggelengkan kepalanya, “Bila Papa dan Mama juga berada di sini, aku
tidak akan bingung. Tetapi mereka berdua juga telah berjanji pada kerajaan
tetangga kita untuk juga hadir dalam pesta musim dingin mereka.”
“Papa dan Mama juga akan pergi?” tanya Princess Minerva meyakinkan
dirinya sendiri.
“Engkau memang nakal, Minerva. Aku telah mengatakannya kepadamu
tetapi engkau tidak mendengarkannya,” kata Pangeran Alcon sambil
tersenyum, “Sekarang dengarkan baik-baik. Papa dan Mama juga akan 317
menghadiri pesta musim dingin kerajaan tetangga kita.”
Princess Minerva tersenyum, “Pergilah, Al. Aku berjanji tidak akan
meninggalkan Istana.”
“Aku tahu engkau tidak akan meninggalkan Istana tetapi aku khawatir
engkau menolak meminum obatmu,” kata Pangeran sambil tersenyum nakal.
Princess Minerva tersenyum, “Engkau jahat, Al. Aku selalu meminum
obatku walaupun aku tidak suka obat itu membuatku mengantuk. Aku
percaya engkau meminta Dokter Donter memberi campuran obat tidur dalam
tiap obat itu.”
“Dokter Donter sendiri yang memberinya. Aku sama sekali tidak
memintanya melakukan itu tetapi ia telah mengerti kalau engkau paling sulit
disuruh diam.”
“Aku memang merasa bosan, Al. Aku paling tidak suka bila disuruh
duduk diam seharian,” kata Princess Minerva membenarkan ucapan
kakaknya.
“Itulah yang kukhawatirkan. Aku khawatir engkau mulai melakukan
segala macam kegiatanmu selama engkau berada di Istana. Aku tidak ingin
engkau berkeliaran di Istana selama engkau masih lemah.”
“Jangan khawatir, Al. Di sini masih ada Mrs. Wve dan Mrs. Vye yang
akan menjagaku,” kata Princess Minerva, “Sekarang aku mempunyai dua
orang pengasuh yang selalu menjagaku.”
“Aku tahu mereka akan mampu menjagamu dengan baik,” kata
Pangeran, “Tetapi aku lebih mempercayai diriku sendiri daripada orang lain.”
Princess Minerva tersenyum, “Al, aku tahu engkau mengkhawatirkan
aku tetapi jangan kaulupakan janjimu. Engkau tahu aku paling tidak senang
melihat seseorang melanggar janjinya.”
Pangeran memandang sedih pada Princess Minerva yang masih berada
di pelukannya. “Aku tahu itu. Aku ingin sekali membatalkan janji yang kubuat
tahun lalu itu.”
“Engkau telah berjanji pada mereka tahun lalu untuk menghadiri pesta
musim dingin mereka,” kata Princess Minerva mengingatkan, “Dan jangan
lupa pada kedudukanmu, Al. Engkau putra mahkota Kerajaan Zirva.”
“Karena itu pula aku merasa bingung, Minerva,” kata Pangeran Alcon.
Princess Minerva tersenyum melihat kebingungan kakaknya. Ia
mengangkat tangannya dan memegang wajah Pangeran Alcon.
Pangeran Alcon menggenggam tangan dingin Princess Minerva yang 318
menyentuh wajahnya sambil terus memandang wajah adiknya yang sedang
tersenyum.
“Al, seorang Pangeran tidak boleh melanggar janjinya. Engkau akan
disegani penduduk bila engkau selalu menepati janjimu tetapi bila engkau
selalu melanggar janjimu, masyarakat tidak akan mempercayaimu.”
Pangeran terus memandang wajah Princess Minerva.
“Engkau harus belajar menjadi raja yang baik bagi masyarakat dari hal-
hal yang kecil,” kata Princess Minerva, “Memang janjimu kepada Raja Pyre
tidak dapat dikatakan kecil tetapi engkau tahu engkau harus menepatinya.”
Pangeran Alcon mengangguk, “Aku tahu itu, Minerva.”
“Aku senang engkau mengetahuinya. Aku berjanji tidak akan
melakukan tindakan apa pun yang akan membuat aku menjadi sakit selama
engkau pergi. Aku akan menuruti segala perkataan kedua pengasuhku,” kata
Princess Minerva sambil tersenyum manis.
Pangeran membalas senyuman Princess Minerva dengan senyum nakal
yang kekanak-kanakan, “Aku tahu engkau memang pandai membujuk orang,
Princess Minerva. Engkau selalu membujuk orang dengan senyumanmu yang
manis itu dan membuat semua orang sulit menghindari bujukanmu.”
Kata-kata Pangeran Alcon membuat Princess Minerva menyadari suatu
hal yang selama ini tidak pernah dipikirkannya.
Kata-kata Alexander tiba-tiba terbayang kembali di ingatannya, “Cukup
sudah aku engkau bodohi dengan wajah cantikmu. Semua wanita sama saja,
berwajah cantik tetapi berhati iblis.”
Princess Minerva sadar mungkin karena senyumannya itu yang
membuat Alexander merasa ia adalah wanita perayu yang ulung. Karena
dengan senyumannya yang manis itu, ia mampu membuat siapa saja
menurutinya. Princess Minerva segera menyembunyikan kesedihan hatinya di
balik senyumannya secepat Princess Minerva menyadari hal itu.
“Apakah itu berarti engkau akan pergi menepati janjimu?”
Pangeran Alcon cemberut, “Rupanya engkau sangat bersemangat
menyuruhku meninggalkanmu.”
“Bukan, Al. Aku juga tidak ingin engkau meninggalkanku tetapi aku
ingin engkau menepati kata-katamu.”
Pangeran Alcon tersenyum dan memeluk Princess Minerva lagi, “Aku
akan pergi menepati janjiku sesuai kehendakmu, Tuan Puteri, tetapi aku akan
segera kembali. Aku janji aku akan segera kembali setelah pesta itu selesai.”319
Princess Minerva tersenyum mendengar kata-kata Pangeran Alcon.
Seperti yang telah dikatakan Pangeran pada Princess, Raja dan Ratu
juga ikut pergi ke kerajaan tetangga mereka. Beberapa hari menjelang
keberangkatan mereka, semua orang di Istana sibuk menyiapkan
keberangkatan itu. Menjelang keberangkatan itu, Pangeran Alcon menjadi
semakin sering berada di kamar adiknya. Pangeran Alcon benar-benar
tampak enggan meninggalkan adiknya. Namun sejak Princess Minerva
berhasil membujuk Pangeran, Pangeran tidak pernah mengeluh atau merasa
bingung lagi.
Satu-satunya yang dirasakan Pangeran ketika hari keberangkatannya
semakin dekat adalah rasa sedih harus berpisah dengan Princess Minerva
yang baru saja kembali setelah tak tentu rimbanya selama tiga bulan lebih.
Bahkan hampir setengah tahun bila ditambah dengan saat Princess Minerva
tak sadarkan diri. Walaupun Pangeran tidak mengatakan apa-apa tentang
kesedihannya itu tetapi Princess mengetahuinya. Setiap hari Princess Minerva
menghibur kakaknya juga kedua orang tuanya yang juga enggan berpisah
dengannya. Raja dan Ratu memang tampak sedih karena harus
meninggalkan Princess Minerva yang tidak begitu sehat tetapi Pangeran Alcon
lebih sedih lagi.
Tidak dapat disangkal lagi Princess Minerva lebih akrab dengan
kakaknya daripada kedua orang tuanya. Walaupun demikian Princess Minerva
tetap menyayangi kedua orang tuanya sebesar rasa sayangnya pada
kakaknya. Raja dan Ratu juga mengerti melihat Pangeran Alcon lebih akrab
dengan Princess Minerva daripada dengan mereka.
Sejak kejadian yang menimpa Princess saat Princess berusia empat
tahun, Pangeran Alcon berubah total. Pangeran yang semula tidak menyukai
adiknya menjadi sangat menyayanginya bahkan lebih menyayangi adiknya
daripada nyawanya sendiri.
320
18
Princess Minerva memandang hujan salju dari jendela Ruang Duduk
kamarnya.
Rasa kesepian yang merambati hatinya membuat Princess termenung
melihat hujan salju yang indah di halaman Istana.
Pangeran Alcon baru saja meninggalkan Istana dua hari yang lalu tetapi
bagi Princess Minerva rasanya setahun yang lalu Pangeran pergi dan hingga
kini belum kembali.
Princess terkenang kembali saat hari keberangkatan kedua orang
tuanya bersama kakaknya.
Sejak pagi seluruh penghuni Istana disibukkan persiapan keberangkat
mereka. Pangeran Alcon yang biasanya selalu berada di kamar Princess hari
itu tidak nampak di kamar Princess Minerva. Baru saat mereka akan
berangkat, Pangeran Alcon ke kamar Princess Minerva bersama Raja dan
Ratu.
“Jagalah dirimu, Minerva, selama kami tidak ada,” pesan Ratu.
Princess Minerva mengangguk, “Ya, Mama. Aku berjanji akan selalu
menjaga kesehatanku.”
Raja menatap Mrs. Wve dan Mrs. Vye yang berdiri tak jauh dari Princess
Minerva. “Jagalah Minerva selama kami pergi.”
“Kami berjanji akan menjaga Princess sebaik mungkin,” kata Mrs. Wve
dan Mrs. Vye bersamaan.
“Awasi dia. Jangan biarkan Minerva berkeliling Istana dengan tubuh
lemah seperti ini dan perhatikan ia saat ia minum obat. Pastikan ia selalu
meminum obatnya,” kata Pangeran.
Sekali lagi Mrs. Wve dan Mrs. Vye menjawab serempak, “Kami berjanji,
Pangeran.”
Princess Minerva tersenyum, “Engkau telah mendengarnya, Al. Jangan
khawatir lagi, mereka akan menjagaku dengan baik. Nikmatilah pesta itu.”
“Aku masih kurang mempercayaimu, Minerva. Engkau paling sulit
disuruh diam.”
Princess Minerva tersenyum lagi, “Sekarang aku mau tidak mau harus 321
menuruti pengasuhku, Al. Sekarang pengasuhku ada dua. Mereka sama-sama
keras terhadapku. Aku tidak akan dapat menghindari peraturan mereka.”
“Tentu saja Anda tidak boleh, Princess. Sekarang saya mempunyai
teman yang akan membuat Anda semakin kesulitan melanggar peraturan
saya,” kata Mrs. Wve, “Kalau dulu saya kewalahan menghadapi Anda maka
sekarang Andalah yang kewalahan menghadapi saya.”
Perkataan Mrs. Wve disambut tawa Raja dan Pangeran Alcon.
“Seperti yang Minerva katakan, kalian memang cocok,” kata Pangeran.
“Aku percaya kalian berdua akan mampu membuat Minerva menuruti
segala peraturan kalian,” kata Raja, “Dan aku berharap kalian juga mampu
membuat Minerva duduk diam seharian.”
Ratu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak yakin. Minerva terlalu sulit
disuruh diam walau sedetik. Selalu ada saja yang dilakukan Minerva. Ia hanya
diam bila ia tidur.”
“Saat ia menjadi putri tidur yang cantik, aku justru ingin melihatnya
bergerak,” kata Pangeran Alcon.
“Tidak hanya engkau saja, Alcon. Kami semua juga ingin melihat
Minerva bergerak saat ia menjadi putri tidur,” kata Raja.
Ratu mendekati Princess. “Turutilah kata-kata pengasuhmu, Minerva.”
Princess Minerva mengangguk. “Aku janji, Mama.”
“Baiklah, sekarang kita harus berangkat,” kata Raja.
Princess Minerva tidak mengantar mereka hingga ke depan Istana
walaupun ia sebenarnya ingin melakukannya. Pangeran Alcon melarang
Princess meninggalkan kamarnya walaupun hanya untuk mengantar mereka.
“Tetaplah di sini, Minerva. Aku tidak ingin engkau berkeliaran di Istana
dengan badan yang lemah seperti ini,” kata Pangeran, “Aku janji akan pulang
seminggu sebelum pesta itu.”
Walaupun merasa berat hati tetapi Princess menuruti larangan
Pangeran Alcon. Ia tidak mengantar mereka hingga di depan Istana. Tetapi ia
tetap mengantar mereka dengan pandangan matanya yang tak pernah lepas
dari kereta yang terus bergerak menjauhi Istana.
Princess menatap jalan setapak di halaman Istana yang luas. Melalui
jalan itulah kereta yang membawa kedua orang tua serta kakaknya
meninggalkan Istana. Dari balik jendela, pandangan Princess terus mengikuti
kereta itu hingga kereta itu menghilang.
Princess Minerva merasa kesepian. Ia merasa sangat hampa. Ia tidak 322
dapat melihat wajah kakaknya, melihat sikap dan cara tersenyum kakaknya
yang mirip sekali dengan pria yang dicintainya.
Selama Pangeran Alcon ada di dekatnya, Princess selalu merasa ia
seperti berada di dekat Alexander. Memang hal itu membuatnya merasa
sedih dan sering membuatnya enggan melihat wajah kakaknya yang
tersenyum dengan cara yang sama dengan Alexander. Terutama bila ia
teringat kenangannya bersama pria itu di Obbeyville.
Setiap kali Princess bersama kakaknya, ia selalu berharap dapat
mengusir kenangan Alexander yang selalu muncul setiap kali ia memandang
kakaknya. Dan kini setelah Pangeran Alcon pergi, Princess merasa jauh lebih
kesepian. Ia tidak dapat lagi melihat wajah Alexander di wajah kakaknya. Dan
ia juga tidak dapat lagi bertemu dengan Alexander juga tidak dapat
mendengarkan suaranya yang penuh wibawa walaupun ia dapat pergi ke
Blueberry.
Princess Minerva sadar Alexander pasti lebih suka menjauh darinya
daripada bertemu, daripada melihat wajahnya.
Princess Minerva tahu ia dapat pergi ke Blueberry maupun ke
Obbeyville tetapi itu tidak akan ada artinya bila ia tidak dapat bertemu
dengan Alexander. Walaupun ia ke Blueberry atau ke Obbeyville berulang kali
tetapi ia tidak akan dapat bertemu dengan Alexander, Princess menyadari itu.
Kesedihan dan kesepian yang memenuhi dadanya membuat Princess
tidak menyadari kedatangan Mrs. Wve.
“Mengapa Anda berdiri di situ, Princess?”
Princess Minerva terkejut. Ia menyembunyikan kesedihannya sebelum
ia membalikkan badannya.
“Sekarang aku mengerti, Mrs. Wve.”
“Mengerti apa, Princess?” tanya Mrs. Wve tak mengerti.
“Aku mengerti bagaimana rasa kesepian Al saat aku tidak ada di sini.
Sekarang aku merasa kesepian di Istana sebesar ini tanpa Al.”
“Anda telah lama berpisah dengan Pangeran, Princess. Karena itu Anda
merasa kesepian,” kata Mrs. Wve mencoba menghibur Princess Minerva.
“Tidak, Mrs. Wve,” Princess menggelengkan kepalanya, “Aku sering
berpisah dengan Al dalam waktu yang lama. Dalam setahun aku hanya
bersama Al selama tiga bulan, engkau tahu itu.”
Mrs. Wve mengangguk.
“Selama itu aku tidak pernah merasa kesepian, walaupun aku berada 323
jauh dari Al baik itu di Foentza maupun di Clayment.”
Mrs. Wve memandang sedih pada Princess Minerva. “Saya mengerti
perasaan Anda, Princess Minerva. Tetapi jangan biarkan rasa kesepian itu
membuat Anda terus berdiri di sini. Anda harus beristirahat.”
Princess Minerva tersenyum, “Aku mengerti, Mrs. Wve. Engkau hendak
menyuruhku beristirahat, bukan?”
Mrs. Wve tersenyum. Ia membimbing Princess Minerva ke kamarnya.
Princess Minerva menyandarkan punggungnya pada bantal yang telah
ditatanya.
“Anda harus beristirahat, Princess. Jangan membaca buku,” kata Mrs.
Wve saat melihat Princess mulai membuka buku.
Princess Minerva tersenyum. “Engkau tahu aku merasa bosan diam
seharian, Mrs. Wve. Biarkanlah aku membaca.”
“Tetapi Anda harus beristirahat, Princess.”
Princess Minerva tersenyum. “Baiklah, Mrs. Wve. Aku telah berjanji pada
Mama untuk menuruti segala perkataanmu.”
Mrs. Wve tersenyum puas. Ia mendekati Princess Minerva dan
mengambil buku itu dari tangannya. Saat Mrs. Wve menuju meja rias, Mrs.
Vye muncul.
“Ada apa, Mrs. Vye?” tanya Mrs. Wve.
“Kepala Pengawal Istana ingin bertemu Anda, Princess,” kata Mrs. Vye.
“Biarkan ia masuk, Mrs. Vye,” kata Princess cepat-cepat sebelum Mrs.
Wve mengatakan sesuatu.
Mrs. Vye menghilang di balik pintu. Tak lama kemudian ia muncul
kembali bersama seorang pria yang berbaju putih kebiru-biruan, baju khas
pasukan pengawal Istana Plesaides.
Pria itu membungkuk hormat pada Princess Minerva.
“Ada apa, Jacques?” tanya Princess Minerva, “Apakah terjadi sesuatu di
luar Istana?”
“Tidak terjadi apa-apa baik di dalam maupun di luar Istana, Princess,”
jawab Jacques.
“Apa yang hendak kaulaporkan kepadaku?”
Pria itu ragu-ragu untuk sesaat tetapi ia tetap menjawab pertanyaan
yang diajukan Princess Minerva. “Duke of Blueberry beserta keluarganya ingin
bertemu Anda, Princess.”
Princess Minerva terkejut mendengar nama itu. Jantungnya serasa 324
berhenti berdetak saat ia mendengar Jacques menyebut nama itu.
Dengan cepat ia menguasai perasaannya kemudian dengan suara yang
tenang ia berkata, “Katakan maafku kepada mereka, Jacques. Aku tidak dapat
menemui mereka hari ini.”
Princess Minerva tersenyum memandang Mrs. Wve yang menatap was-
was kepadanya, “Seperti yang engkau lihat, Mrs. Wve mulai marah. Ia tidak
akan mengijinkan siapapun membatalkan istirahat siangku.”
“Tentu saja tidak. Princess membutuhkan banyak istirahat. Walaupun
suhu kamar ini cukup hangat tetapi wajah Princess masih tetap pucat,” kata
Mrs. Wve menegaskan sikapnya.
“Saya mengerti, Princess,” kata Jacques.
Princess Minerva tersenyum lagi, “Katakan permintaan maafku kepada
mereka, Jacques. Hari ini aku tidak dapat menemui mereka karena itu
mintalah mereka untuk tinggal di Istana. Aku berjanji akan menemui mereka
esok pagi.”
Jacques mengangguk, “Akan saya sampaikan permohonan maaf Anda
pada mereka, Princess.”
“Mrs. Wve, tolong kauatur kamar untuk tamu-tamu kita. Aku yakin
mereka akan mau tinggal di sini,” kata Princess Minerva pada Mrs. Wve.
Kemudian Princess menatap Jacques yang masih menanti perintah
selanjutnya, “Setelah engkau mengatakan permintaan maafku, antarkan
mereka ke kamar yang telah diatur oleh Mrs. Wve.”
“Saya mengerti, Princess Minerva.”
Princess Minerva mengangguk.
Setelah menerima tugas-tugas yang harus dilakukannya, baik Mrs.
Wve , Mrs. Vye maupun Jacques segera membungkukkan badannya kemudian
meninggalkan Princess Minerva sendirian di Ruang Tidurnya yang besar.
Mrs. Wve meninggalkan kamar Princess Minerva dengan perasaan
bingung.
“Wajah Princess berubah ketika ia mendengar Jacques menyebutkan
nama Duke of Blueberry,” kata Mrs. Wve.
Mrs. Vye menatap heran pada Mrs. Wve, “Aku tidak merasa wajah
Princess berubah setelah mendengar nama itu.”
“Engkau memang kurang peka bila menyangkut perasaan seseorang.”
Mrs. Vye mengangguk, “Ya, kuakui aku memang kurang pandai
membaca perasaan orang yang tergambar di wajahnya.”325
“Kudengar Blueberry dekat dari Obbeyville.”
Sekali lagi Mrs. Vye mengangguk.
“Apakah Princess bertemu dengan keluarga Duke of Blueberry terutama
putranya yang kata Pangeran sulit didekati, selama ia berada di Obbeyville?”
tanya Mrs. Wve.
“Ya. Selama Princess Minerva berada di Obbeyville, ia sering bertemu
Tuan Muda Alexander.”
“Bagaimana hubungan mereka?” tanya Mrs. Wve penuh harap.
Mrs. Vye berkata tenang, “Mereka baik-baik saja. Aku tidak melihat
yang lain.”
Mrs. Wve mengeluh. “Engkau memang kurang peka bila menyangkut
masalah perasaan. Tidak ada gunanya bertanya lebih jauh padamu.”
Mrs. Vye menatap bingung pada Mrs. Wve tetapi ia segera melupakan
kebingungannya.
Princess Minerva mendengar suara percakapan kedua wanita itu samar-
samar. Ia tidak berusaha menangkap pembicaraan kedua wanita itu. Ia sibuk
dengan pikirannya sendiri. Sejak mendengar Jacques menyebut nama
keluarga Duke of Blueberry, hati Princess menjadi tidak tenang. Jantung
Princess yang semula terasa berhenti berdetak ketika ia mendengar nama itu
kini menjadi berdebar lebih kencang.
Princess Minerva bertanya-tanya apakah yang membuat Duke of
Blueberry ingin menemuinya.
“Tidak mungkin Duke of Blueberry tahu aku adalah sang putri yang
hilang itu,” kata Princess sambil memandang langit-langit kamarnya.
Dugaan itu membuat Princess teringat pengumuman yang disebarkan
Pangeran Alcon sehari sebelum ia meninggalkan Kerajaan Zirva.
Sehari sebelum Pangeran Alcon meninggalkan Istana, Pangeran
menjawab pertanyaan masyarakat. Pengumuman hari pesta itu serta
undangannya disebarkan pada pagi hari itu. Pada saat Pangeran
mengumumkan hal itu, semua terasa berjalan dengan teratur.
Menteri Dalam Negeri mengumumkan di depan Istana kepada semua
penduduk Xoechbee. Undangan-undangan disebarkan sebelum Menteri
Dalam Negeri mengumumkannya. Dan penduduk di luar Xoechbee
mengetahuinya dari koran yang memuat berita tetang pesta itu pada hari
yang sama.
Semuanya berjalan teratur dan serempak pada hari yang sama.326
Saat itu pula Princess Minerva merasa kagum pada kakaknya yang
pandai mengatur segala sesuatunya sehingga tugas yang tidak mudah itu
dapat dijalankan dengan rapi dan teratur.
Memang setelah Pangeran Alcon mengumumkan pesta perkenalan itu
tidak ada reaksi yang jelas dari masyarakat selain penduduk Xoechbee. Tidak
ada orang yang merasa keberatan dengan pesta yang diadakan dua kali itu
dalam waktu yang hanya berselisih sepuluh hari.
Hanya reaksi penduduk Xoechbee saja yang diketahui baik Pangeran
Alcon maupun keluarga Raja lainnya. Penduduk Xoechbee merasa senang
dengan dibukanya kesempatan bagi mereka untuk semakin mengenal putri
mereka.
Pada pesta itu Pangeran Alcon mempersilakan kepada siapa saja yang
ingin hadir. Selain bangsawan yang khusus mendapatkan undangan,
masyarakat umum yang ingin mengenal Princess Minerva dapat hadir juga.
Walaupun Pangeran Alcon tidak mengatakan apa-apa tetapi Princess
tahu kakaknya sangat berharap dapat bertemu dengan Baroness Lora serta
putrinya, Lady Debora dalam pesta itu. Princess Minerva juga tahu Baroness
Lora maupun Lady Debora tidak akan melewatkan pesta ini. Terutama Lady
Debora yang berniat menjadi Ratu Kerajaan Zirva.
Kadang bila memikirkan Lady Debora, Princess Minerva merasa kasihan.
Wanita itu sangat ingin hidup selalu bergelimang kemewahan dan rela
melakukan apa saja demi tercapainya keinginannya itu.
Princess Minerva saja yang hidup dalam kemewahan selalu ingin hidup
sebagai gadis biasa. Karena itulah ia menolak tinggal di rumah yang mewah
di Clayment. Semula keinginan Princess Minerva untuk tinggal di Small
Cottage dilarang orang tuanya terutama kakaknya. Tetapi Princess tidak
berhenti berusaha, Princess Minerva selalu membujuk mereka. Dan akhirnya
mereka mengijinkan Princess tinggal di cottage kecil pilihannya sendiri.
Princess sangat menyukai hidup di Small Cottage yang berada di atas
pulau kecil yang masih berupa pedesaan dengan hutan yang lebat.
Sebenarnya Princess Minerva juga ingin tinggal di rumah yang kecil bila
ia berada di Foentza tetapi karena di sana telah ada Castil Yonga yang
megah, maka Princess Minerva menerima tempat itu menjadi Castil musim
panasnya yang sejuk.
Princess Minerva sering berpikir apa enaknya hidup dengan kekayaan
yang melimpah tetapi tanpa cinta. Tetapi Princess Minerva mempunyai 327
keduanya. Semua orang mencintai Princess Minerva baik karena wajahnya
yang cantik maupun karena kebaikan hatinya. Semua orang sangat
mengagumi Princess, berkebalikan dengan Lady Debora yang ingin selalu
hidup dalam kemewahan.
Lady Debora memang telah memiliki rumah yang besar tetapi ia selalu
merasa kurang. Lady Debora selalu menginginkan kekayaan yang lebih besar
dan lebih banyak dari yang dimilikinya. Keinginan wanita itu untuk selalu
hidup bergelimang kekayaan sangat kuat sehingga ia rela melakukan apa
saja untuk mendapatkannya. Tetapi Lady Debora tidak memiliki orang yang
benar-benar mencintainya dengan cinta yang tulus. Memang banyak orang
yang memuji kecantikan Lady Debora tetapi mereka hanya terpesona pada
kecantikannya saja. Mereka hanya mencintai kecantikan Lady Debora. Lady
Debora tampaknya tidak menyadari itu. Ia selalu tampil penuh percaya diri
pada kecantikannya. Ia mengira kecantikannya tidak tertandingi.
Baru saat Princess Minerva muncul sebagai Maria, gadis yang hilang
ingatan pada pesta yang sama dengannya, di pesta dansa keluarga
Blueberry, Lady Debora merasa kehilangan percaya dirinya. Lady Debora
mulai merasa dirinya mempunyai saingan. Tetapi perasaan itu segera hilang
setelah Alexander yang selalu berada di sisi gadis yang membuatnya merasa
rendah, sering mengajaknya pergi. Sejak saat itu pula Princess Minerva
merasa Alexander benar-benar mencintai Lady Debora. Tetapi keinginan Lady
Debora tidak dapat ditebak. Ia telah mendapatkan cinta Alexander yang
selama ini menjadi sasarannya tetapi ia mengkhianati cinta itu.
Hingga kini Princess Minerva tidak mengerti mengapa Lady Debora tega
mengkhianati cinta pria yang benar-benar mencintainya demi kekayaan.
Demi kekayaan pula Lady Debora berhenti mengincar kedudukan sebagai
Duchess of Blueberry dan beralih ingin menjadi Ratu Kerajaan Zirva setelah
membaca berita hilangnya Princess Minerva di koran.
Dari Lady Debora sendiri Princess Minerva mengetahui keinginan wanita
itu menjadi istri kakaknya, Pangeran Alcon. Namun sayang sekali ia tidak
akan pernah dapat mewujudkan keinginannya itu karena Pangeran Alcon
tidak menyukainya bahkan sebelum mereka bertemu.
Princess Minerva tidak dapat membayangkan betapa kecewanya Lady
Debora bila ia mengetahui ia telah dibenci Pangeran bahkan sebelum mereka
bertemu.
Dengan datangnya undangan itu, Princess dapat membayangkan Lady 328
Debora merasa senang sekali karena baginya ini merupakan kesempatan
yang baik untuk mendekati Pangeran Alcon. Tetapi Lady Debora tidak tahu
pesta ini diadakan juga karena Pangeran Alcon ingin melihat wajah wanita
yang telah menghina adiknya, Princess Minerva ketika adiknya hilang ingatan.
Princess Minerva tidak dapat membayangkan seperti apa pesta itu akan
berlangsung dan bagaimana ia harus menghadapi Alexander di pesta itu.
Pertemuannya dengan Alexander, putra Duke of Blueberry di pesta itu
memang tidak dapat dielakkan lagi walaupun Princess Minerva tidak
menginginkannya. Tetapi Princess Minerva ingin sekali bertemu dengan
Alexander walaupun ia tahu pria itu tidak akan mau bertemu dengannya.
Dan ia sama sekali tidak menduga pertemuannya dengan Alexander
akan lebih cepat dari yang semula dibayangkannya. Ia tidak tahu apa yang
harus dilakukannya besok untuk menghadapi Alexander yang tidak ingin
bertemu dengannya.
Sebenarnya Princess Minerva sendiri berharap tidak bertemu dengan
Alexander walaupun ia sangat ingin bertemu dengannya. Ia tidak ingin
membuat Alexander menjadi semakin membeci dirinya setiap kali mereka
bertemu. Benar-benar sebuah dilemma…
Bagi Princess Minerva lebih baik ia memendam rasa rindunya daripada
membuat pria itu lebih membencinya setiap kali mereka bertemu.
Dalam pesta itu Alexander tidak akan dapat menghindarinya dan
Princess Minerva sendiri juga tidak dapat menghindari pertemuannya dengan
Alexander di pesta itu. Princess Minerva tahu bila ia menghindari Alexander,
itu akan membuat banyak orang menjadi curiga.
Princess Minerva telah memikirkan resikonya dengan menemui
Alexander di pesta itu tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tahu ia harus
bertemu dengan Alexander di pesta itu sekalipun itu berarti kebencian
Alexander terhadapnya akan bertambah besar.
Princess Minerva mencoba untuk tidur tetapi ia sama sekali tidak dapat
berhenti berpikir. Keberadaan Alexander di Istana yang sama dengannya
benar-benar membuatnya merasa bingung dan cemas. Karena ia tidak dapat
juga memejamkan matanya, Princess Minerva akhirnya meninggalkan tempat
tidurnya.
Tidak ada suara di Ruang Duduk. Itu berarti Mrs. Wve dan Mrs. Vye
belum kembali.
Princess Minerva berjalan ke Ruang Duduk yang hangat. Ia menatap 329
kosong sekelilingnya seolah-olah tidak ada apapun di ruangan itu selain
dirinya sendiri dan kehampaan hatinya. Kaki Princess Minerva terus berjalan
ke arah jendela besar yang menghubungkan ruangan itu dengan serambi.
Princess menatap ranting-ranting pepohonan di halaman Istana yang ditutupi
salju putih. Halaman Istana yang luas tampak putih karena salju. Halaman itu
tampak sepi tanpa tanaman-tanaman yang tumbuh di sana.
Hanya ranting-ranting tanaman saja yang masih kelihatan di halaman
itu selain tumbuh-tumbuhan musim dingin seperti cemara yang tumbuh tak
jauh dari sisi Istana di mana kamar Princess Minerva berada.
Tumpukan salju di pohon cemara itu menarik perhatian Princess
Minerva tetapi hal itu tidak membuat Princess Minerva berhenti berpikir
dengan gelisah.
Princess Minerva tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Ia
tidak dapat menghindari pertemuannya dengan Alexander yang lebih awal
dari yang diduganya dan ia tahu Alexander tidak ingin bertemu dengannya.
“Maafkan aku, Al. Aku tahu engkau tidak ingin bertemu denganku tetapi
ini telah menjadi tugasku. Besok aku harus menemuimu,” kata Princess
Minerva sedih.
Tanpa disadarinya, air matanya kembali menitik saat ia teringat betapa
dulu saat ia berada di Obbeyville, ia sangat mengharapkan dapat bertemu
dengan Alexander.
Saat itu ia selalu merasa senang bila dapat bertemu dengan Alexander
tetapi kini yang dirasakannya hanyalah kesedihan dan takut. Sedih karena ia
tidak akan melihat wajah ramah pria itu dan takut karena ia tidak dapat
mengabulkan keinginan pria itu untuk tidak berjumpa dengannya. Princess
Minerva sadar ia sebenarnya takut melihat kemarahan dan kebencian di
wajah Alexander saat menatap dirinya.
Princess Minerva juga mengerti Alexander berhak untuk marah
kepadanya. Ia telah membiarkan bahkan membantu wanita yang dicintai
Alexander mengkhianati cintanya.
Andai dulu ia tidak membiarkan Lady Debora bertemu dengan Marcel
tentu pria itu tidak akan membenci dan menyalahkannya atas kejadian itu. Ia
tetap dapat menjadi teman pria itu walaupun cintanya tak terbalas.
Tetapi sekarang semuanya telah terlambat. Tidak ada yang dapat
mengembalikan waktu. Tidak ada yang dapat membuat kejadian itu berubah.
Kejadian itu telah terjadi dan Alexander menyalahkan serta membenci 330
Princess Minerva karena telah membiarkan semua itu terjadi.
Dulu saat menyadari perasaannya, Princess Minerva merasa sedih
karena pria yang dicintainya mencintai wanita lain. Saat itu Princess Minerva
tidak mengharapkan ia mendapatkan cinta pria itu juga. Ia lebih
mengharapkan kebahagiaan pria yang dicintainya sekalipun itu berarti akan
membuatnya merasa tersiksa.
Tetapi kini bukan hanya kesedihan itu saja yang melanda hatinya tetapi
juga kesedihan yang lain, kesedihan yang lebih membuat hati Princess
Minerva merasa tersayat.
Mengetahui pria yang dicintainya mencintai wanita lain saja sudah
membuat Princess Minerva merasa sedih apalagi saat mengetahui Alexander
membenci dirinya.
Sebesar apapun kesedihan yang harus dialaminya karena rasa cintanya
pada Alexander, Princess Minerva sama sekali tidak dapat membuat dirinya
melupakan pria itu walau sedetik. Bayangan pria itu selalu muncul baik di
wajah kakaknya maupun di mimpi-mimpinya.
Princess Minerva menatap hampa pemandangan di depannya. Tanpa
disadarinya ia teringat kembali saat ia mencoba membayangkan Sidewinder
House di musim dingin dan tanpa disadarinya pula air matanya telah
membasahi pipinya yang pucat.
Kenangan di Obbeyville tidak membuat Princess Minerva merasa
senang. Setiap kali kenangan itu muncul hanya kepedihan yang muncul di
hati Princess Minerva terutama saat Princess Minerva terkenang keramahan
Alexander pada dirinya.
Sekarang ia mengerti mengapa ia merasa Alexander berbeda dari orang
lain. Alexander memang berbeda dari orang-orang yang dikenal Princess
Minerva. Pria itu benar-benar menganggapnya sebagai seorang gadis biasa
dengan segala kelebihan dan kekurangannya bukan sebagai putri raja
ataupun sebagai bidadari yang hanya mempunyai kelebihan. Saat ia
menunjukkan kekurangannya di hadapan Alexander, pria itu tidak
menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat salah. Sedangkan orang-orang
yang dikenal Princess Minerva umumnya menganggap kekurangannya adalah
sesuatu yang sangat salah sesuatu yang tidak seharusnya ada pada dirinya.
Orang-orang itu menginginkan Princess Minerva benar-benar sempurna
sedangkan Alexander ingin Princess Minerva yang seadanya dengan segala
kelebihannya maupun kekurangan. Itulah perbedaan terbesar yang dijumpai 331
Princess Minerva pada diri Alexander.
Dan karena itu pula Princess Minerva jatuh cinta pada pria itu.
Sesuatu yang berwarna hitam yang tiba-tiba meluncur dari ranting
pohon cemara yang tampak dari serambi kamar, membuat Princess merasa
tertarik.
Princess Minerva membuka jendela panjang itu dan melangkah ke
serambi.
Udara yang dingin terasa menusuk tulangnya. Princess Minerva
memeluk dirinya sendiri dan terus melangkah hingga ia sampai ke pagar besi
yang mengelilingi serambi kamarnya.
Princess menatap ke bawah ke tempat pohon cemara itu tumbuh. Di
sana Princess melihat sesuatu yang berwarna hitam tampak seperti noda di
antara putihnya salju yang menyelimuti halaman Istana.
Princess Minerva tertarik kepada noda hitam itu. Ia segera
meninggalkan serambi dan menutup jendela besar itu sebelum ia beranjak ke
Ruang Tidurnya.
Princess Minerva mengambil sehelai mantel panjang yang tebal dari
lemari besar yang antik yang berdiri kokoh di samping meja rias. Setelah
mengenakan mantel panjang itu di atas gaun tidurnya yang tebal, Princess
Minerva meninggalkan kamarnya.
Princess Minerva tidak menemui siapapun saat ia menelusuri lorong
panjang di depan kamar tidurnya. Demikian pula saat Princess Minerva
berjalan di lantai tiga hingga ke lantai dasar. Tidak ada seorangpun yang
tampak oleh Princess Minerva. Suasana Istana terasa sangat sunyi tanpa
suara yang biasanya meramaikan Istana dan pelayan-pelayan yang selalu
berkeliaran di dalam Istana. Tetapi Princess Minerva tidak mempedulikan itu,
ia terus berjalan ke halaman Istana.
Ketika ia sampai di halaman Istana yang luas, ia segera menuju pohon
cemara yang tampak dari kamarnya. Princess Minerva mencoba menemukan
sesuatu yang berwarna hitam itu di antara ranting-ranting yang tumbuh di
sekitar pohon cemara itu.
Salju yang dingin dan udara yang dingin menusuk tulang tidak
membuat Princess menghentikan pencariannya. Princess Minerva terus
membungkuk di bawah pohon cemara itu dan tangannya terus membersihkan
salju dingin yang menyelimuti ranting-ranting. Akhirnya pencarian Princess
Minerva berhasil. Princess melihat benda berwarna hitam yang tadi menarik 332
perhatiannya itu di sela-sela ranting yang tajam.
Princess Minerva memasukan tangannya ke sela-sela ranting itu. Tanpa
mempedulikan rasa sakit saat ranting itu menggores kulitnya yang halus, ia
terus berusaha meraih benda itu.
Princess Minerva terkejut saat jari-jarinya merasakan benda itu terasa
lembut dan hangat. Princess mengangkat benda itu dari sela-sela ranting
dengan kedua tangannya dan ia terpana melihat seekor burung di tangannya.
Ternyata benda hitam yang menarik perhatian Princess Minerva adalah
seekor burung hitam yang jatuh dari pohon cemara.
Princess Minerva berdiri dan mengamati burung itu. “Kasihan sekali
engkau, burung kecil. Engkau kedinginan,” katanya.
Suara seseorang yang berdesis di belakangnya membuat Princess
Minerva terkejut.
Princess Minerva menduga orang itu adalah Mrs. Wve atau Mrs. Vye
yang terkejut melihatnya berada di halaman. Princess tersenyum dan
memalingkan kepalanya.
Senyum yang menghiasi wajah Princess Minerva menghilang saat ia
memandang wajah orang yang berdiri di belakangnya.
“Apa yang kaulakukan di sini, Maria?” tanya Alexander tajam, “Apakah
sekarang engkau bermaksud merayu Pangeran Alcon?”
Princess Minerva terpaku di tempatnya. Ia tidak dapat bergerak juga
tidak dapat berbicara apa-apa.
“Mengapa, Maria? Apakah yang kukatakan tepat sehingga engkau tidak
dapat berbicara apa-apa?” kata Alexander.
Suara Alexander yang sangat tajam dan memancarkan kebenciannya
membuat Princess Minerva merasa sedih. Hampir saja Princess Minerva
menitikkan air matanya saat tiba-tiba terdengar suara lain dari Hall Istana
yang menghadap ke halaman Istana.
“Princess!” seru Mrs. Wve terkejut, “Apa yang Anda lakukan di sana?”
Princess Minerva memalingkan kepalanya ke arah Mrs. Wve yang
memandang marah padanya. Princess Minerva tersenyum dan meninggalkan
Alexander.
“Mengapa Anda berada di halaman? Bagaimana bila Anda jatuh sakit
lagi?” tanya Mrs. Wve marah karena cemas.
“Maafkan aku, Mrs. Wve. Aku melihat burung ini jatuh dari pohon dan
aku merasa terpanggil untuk menolongnya,” kata Princess Minerva sambil 333
tersenyum.
“Tetapi, Princess, di luar sangat dingin sekali.”
“Lihatlah, Mrs. Wve. Burung ini kasihan sekali. Ia kedinginan,” kata
Princess Minerva sambil menunjukkan burung di pelukannya, “Anda tidak
perlu khawatir, aku hanya keluar sebentar untuk menolong burung malang
ini. Lagipula aku telah mengenakan mantel yang tebal.”
“Saya tahu Anda telah mengenakan mantel yang tebal tetapi lihatlah
wajah Anda menjadi pucat kembali,” kata Mrs. Wve menuduh.
Princess Minerva tersenyum manis, “Ayolah, Mrs. Wve, jangan marah.
Sekarang dapatkah engkau membantuku merawat burung ini. Ia tidak hanya
kedinginan tetapi juga terluka akibat ranting-ranting yang tajam.”
Mrs. Wve terpekik terkejut. “Bagaimana dengan tangan Anda, Princess.
Apakah tangan Anda juga terluka?” tanyanya sambil menyentuh tangan
Princess yang masih memeluk burung itu.
Princess Minerva tersenyum lagi, “Aku tidak terluka, Mrs. Wve. Burung
inilah yang terluka. Sekarang katakan apa yang harus kulakukan terhadap
burung malang ini. Aku tidak tahu bagaimana cara mengobati luka burung
ini.”
Mrs. Wve memandang burung di tangan Princess Minerva kemudian
menggeleng sedih, “Maafkan saya, Princess. Saya juga tidak tahu.”
Saat itu mata Princess Minerva menangkap sosok seseorang yang
menutup pintu Ruang Besar.
“Tidak apa-apa, Mrs. Wve. Aku akan bertanya pada Jacques,” kata
Princess Minerva sambil mendekati Jacques.
Jacques terpaku di tempatnya saat ia melihat Princess Minerva berjalan
menghampirinya.
Princess Minerva tersenyum dan berkata, “Dapatkah engkau
membantuku merawat burung malang ini?”
Jacques memandang burung yang berada di pelukan Princess Minerva.
Princess Minerva tersenyum melihat kebingungan pria itu. “Aku baru
saja menemukan burung ini kedinginan di halaman Istana. Ia terluka karena
ranting-ranting itu.”
Jacques menggelengkan kepalanya. “Maafkan saya, Princess. Saya tidak
tahu bagaimana caranya mengobati luka burung ini.”
Princess Minerva tersenyum. “Tidak apa-apa, Jacques. Apakah mungkin
keluar Istana di cuaca semacam ini?”334
Jacques memandang wajah Princess Minerva dengan pandangan tak
mengerti. “Saya rasa kita dapat keluar Istana bila salju tidak terus turun
seperti saat ini. Apakah Anda ingin ke Xoechbee, Princess Minerva?”
Princess Minerva tersenyum. “Tidak, Jacques. Engkau tidak perlu
khawatir aku akan meninggalkan Istana. Engkau tahu aku tidak tahan dengan
udara dingin selain itu aku telah berjanji pada Al untuk tidak meninggalkan
Istana hingga musim ini berakhir.”
Jacques semakin tidak mengerti dengan ucapan Princess Minerva.
“Aku ingin engkau memanggilkan seorang dokter hewan untuk
membantuku merawat burung malang ini.”
Jacques mengangguk. “Baik, Princess. Saya akan segera
memanggilnya.”
Princess Minerva memandang keluar dan melihat salju mulai turun dari
langit. “Engkau tidak perlu memanggilnya saat ini juga, Jacques. Salju mulai
turun lagi.”
Jacques juga memandang hujan salju di halaman Istana. “Baik,
Princess.”
“Apakah engkau mengetahui pelayan yang dapat membantuku?”
“Maafkan saya, Princess Minerva. Saya tidak mengetahuinya tetapi
jangan khawatir. saya berjanji akan mencari orang itu di Istana secepat
mungkin.”
Princess Minerva menggelengkan kepalanya. “Tidak, Jacques. Aku tidak
ingin merepotkan seluruh Istana. Panggilkan saja dokter bila hujan salju telah
berhenti.”
“Tetapi Princess…,” kata Jacques.
Princess Minerva segera memotong perkataan Jacques. “Lakukan saja
apa yang kukatakan, Jacques. Aku yakin aku dapat merawat burung ini hingga
engkau memanggilkan seorang dokter hewan untukku.”
“Baik, Princess Minerva.”
Princess Minerva tersenyum dan membalikkan badannya.
Mrs. Wve masih berdiri di tempatnya semula. Wajah wanita tua itu
masih menampakkan kemarahan yang dipendamnya. Tetapi kemarahan itu
segera hilang ketika ia melihat senyuman Princess Minerva.
“Mari kita merawat burung malang ini,” kata Princess Minerva.
Mrs. Wve tersenyum. Wanita itu masih tetap tersenyum saat mendekati
Princess Minerva yang menantinya.335
“Kami akan merawat burung ini, Jacques,” kata Princess Minerva,
“Tolong gantikan tugasku menjadi tuan rumah bagi Duke of Blueberry. Esok
pagi aku akan menemui mereka.”
“Baik, Princess Minerva,” kata Jacques sambil membungkuk hormat.
Princess Minerva tersenyum kemudian ia pergi meninggalkan tempat
itu bersama Mrs. Wve. Sepanjang jalan Princess Minerva berusaha keras
mengalihkan perhatiannya dengan memperhatikan burung yang terkapar di
lengannya. Sayap burung layang-layang itu terluka dan darah beku mengotori
sayang hitam burung itu.
“Apakah engkau tahu apa yang harus kulakukan pada luka burung ini,
Mrs. Vye?” tanya Princess Minerva pada Mrs. Vye yang tengah kebingungan di
Ruang Duduk kamarnya.
Mrs. Vye terkejut melihat Princess Minerva berdiri di samping Mrs. Wve
dengan menggenakan mantel hijau cerah. Di tangannya, ia memeluk seekor
burung.
Mrs. Vye mengambil burung itu dari lengan Princess Minerva. “Saya
tidak tahu, Princess.”
“Tolong kaucarikan sehelai kain yang cukup tebal untuk burung ini, Mrs.
Wve.”
“Baik, Princess.” Mrs. Wve segera meninggalkan ruangan itu untuk
mencari kain seperti yang diminta Princess Minerva.
Setelah kepergian Mrs. Wve, Princess Minerva melepaskan mantelnya
kemudian ia meraih burung itu dari tangan Mrs. Vye. Diselimutinya burung itu
dengan mantel tebalnya kemudian ia duduk di depan perapian.
Mata burung itu yang semula terpejam mulai membuka kembali saat
merasakan kehangatan dari perapian.
Princess Minerva tersenyum melihat itu. “Kasihan engkau, burung kecil.
Engkau tidak hanya terluka tetapi juga kedinginan. Tetapi jangan khawatir
aku akan merawatmu agar engkau sembuh.”
Mrs. Vye tersenyum mendengar kata-kata itu.
“Saya akan membantu Anda merawat burung ini, Princess Minerva,”
kata Mrs. Vye.
“Terima kasih, Mrs. Vye. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan
untuk mengobati luka burung ini,” kata Princess Minerva sambil tersenyum.
Princess Minerva kembali memperhatikan burung di tangannya. Tetapi
tak lama kemudian ia kembali mengangkat kepalanya saat mendengar suara 336
Mrs. Wve.
Mrs. Wve segera menyerahkan sehelai kain pada Princess Minerva.
“Hanya ini yang saya temukan, Princess.”
“Tidak apa-apa, Mrs. Wve. Kain ini sudah cukup menghangatkan tubuh
burung ini,” kata Princess Minerva sambil menggantikan mantelnya yang
semula menyelimuti tubuh burung di pangkuannya dengan kain yang dibawa
Mrs. Wve.
“Engkau tampak lucu dengan kain putih ini, burung kecil,” kata Princess
Minerva sambil mengamati burung yang telah diselimutinya dengan kain
putih yang dibawa Mrs. Wve, “Tetapi sayang sekali aku tidak tahu apa yang
harus kulakukan untuk merawat lukamu.”
“Sayang sekali saya juga tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Andai
saya tahu saya tentu akan membantu Anda, Princess.”
“Aku mengerti, Mrs. Wve. Jangan engkau pikirkan hal ini. Jacques telah
berjanji untuk memanggilkan dokter hewan untuk merawat burung ini,” kata
Princess.
Suara ketukan pintu membuat Princess Minerva berhenti
memperhatikan burung yang berada di pangkuannya.
Mrs. Vye membuka pintu itu dan mempersilakan orang itu masuk.
“Maafkan saya mengganggu Anda, Princess. Kata Jacques Anda mencari
seseorang yang dapat merawat luka burung,” kata seorang pelayan wanita
yang telah berdiri di tengah Ruang Duduk.
“Apakah engkau tahu bagaimana mengobati luka burung ini?” tanya
Princess Minerva penuh harap.
Pelayan itu mengangguk. “Saya bisa melakukannya, Princess. Bolehkan
saya melihat burung itu?”
Princess Minerva mendekati pelayan itu dan menunjukkan burung di
tangannya. “Burung ini terluka dan kedinginan,” katanya pada pelayan itu.
Pelayan itu mengambil burung itu dan berkata, “Saya akan
merawatnya, Princess. Serahkan saja burung malang ini pada saya, Anda
tidak perlu khawatir.”
Princess Minerva tersenyum. “Terima kasih. Aku senang engkau mau
merawat burung ini.”
“Anda terlalu membesar-besarkan, Princess Minerva. Saya hanya
membantu Anda semampu saya,” kata pelayan itu sambil membalas
senyuman Princess Minerva.337
“Princess, Anda sudah tidak perlu mengkhawatirkan keadaan burung
malang itu lagi,” kata Mrs. Wve, “Sekarang Anda harus memperhatikan
keadaan Anda sendiri. Anda tampak pucat dan Anda harus beristirahat.”
Pelayan itu menatap wajah Princess Minerva dan berkata, “Jangan
mengkhawatirkan keadaan burung ini, Princess Minerva. Mrs. Wve benar,
wajah Anda tampak pucat. Sebaiknya Anda beristirahat.”
“Princess Minerva, berisitrahatlah. Anda tampak pucat,” kata Mrs. Vye
ikut membujuk Princess Minerva.
Princess Minerva tersenyum mendengar ketiga wanita itu
membujuknya. “Kalian ini lucu. Aku belum mengatakan apa-apa tetapi kalian
telah berusaha membujukku.”
Mrs. Wve tersenyum. “Biasanya Anda sangat sulit bila disuruh
beristirahat dengan tenang tanpa memikirkan apa-apa,” katanya menuduh.
“Jangan khawatir, Mrs. Wve. Kali ini aku akan menuruti kata-katamu,”
kata Princess Minerva, “Hari ini aku merasa sangat lelah.”
Ketiga wanita itu tersenyum puas mendengar kata-kata Princess
Minerva. Mrs. Wve segera mengiringi Princess Minerva ke kamarnya
sementara Mrs. Vye membantu pelayan tadi merawat burung yang ditemukan
Princess Minerva.
Seperti biasanya Mrs. Wve menyuruh Princess Minerva meminum
obatnya sebelum tidur. Dan setelah menurunkan tirai putih yang mengelilingi
tempat tidur Princess Minerva, Mrs. Wve meninggalkan kamar itu.
Princess Minerva tidak dapat memejamkan matanya walaupun ia telah
meminum obatnya yang mengandung obat tidur. Biasanya Princess Minerva
selalu cepat tertidur setelah meminum obatnya walaupun ia selalu
memikirkan Alexander tetapi kali ini obat itu tidak berhasil membawa Princess
Minerva ke alam mimpi dan berhenti memikirkan Alexander.
Kenangan akan kejadian yang baru saja terjadi membuat Princess
Minerva menangis.
Alexander tetap seperti yang dikenangnya. Pria itu sama sekali tidak
berubah namun Princess Minerva merasa pria itu lebih tampan dan lebih
tinggi dari yang diingatnya. Satu-satunya yang berubah pada pria itu adalah
sorot matanya. Kemarahan dan kebencian yang tampak di mata Alexander
lebih besar dari yang dilihat Princess Minerva di Obbeyville. Kata-kata pria itu
juga menjadi semakin tajam dan dingin. Rasa marah, curiga dan juga
kebencian yang terkandung di suaranya membuat Princess Minerva semakin 338
sedih.
Air mata Princess Minerva telah merebak di matanya saat ia mendengar
kata-kata tajam pria yang dicintainya namun ia teringat akan kata-kata
Alexander, “Percuma saja menangis! Aku tidak akan terpengaruh.”
Princess Minerva menahan air matanya yang hampir membasahi
wajahnya yang semakin memucat ketika melihat Alexander berdiri di
depannya dengan sorot mata yang menakutkan. Tubuhnya yang tinggi
seakan-akan ingin melumat Princess Minerva juga matanya yang menatap
tajam.
Tidak hanya air matanya saja yang ditahan ketika Princess terpaku di
hadapan pria itu. Princess Minerva juga menahan tubuhnya yang menggigil.
Saat itu Princess Minerva tahu tubuhnya menggigil bukan karena dinginnya
udara tetapi karena rasa takutnya melihat Alexander.
Saat Mrs. Wve memanggilnya, Princess Minerva merasa ia tidak mampu
lagi menahan air matanya yang siap membasahi pipinya. Panggilan Mrs. Wve
benar-benar menyelamatkan Princess Minerva dari hadapan pria itu.
Dengan susah payah, Princess Minerva berusaha tersenyum saat ia
menghampiri wanita itu dan dengan susah payah pula ia terus menahan air
matanya.
Princess Minerva tidak ingin seorangpun tahu apa yang dirasakannya. Ia
juga tidak ingin membuat siapapun menjadi curiga sebab ia tidak tahu harus
menjawab apa pada pertanyaan yang akan ditujukan padanya bila mereka
merasa curiga. Princess Minerva juga tidak tahu bagaimana menceritakan
semua yang telah dialaminya bersama Alexander tanpa mengatakan
perasaannya yang sebenarnya.
Bukan perasaan cintanya pada Alexander yang membuat Princess
enggan mengatakan hal itu tetapi lebih karena perasaan sakitnya karena
cinta itu. Princess Minerva tahu apa yang dirasakannya akan mempengaruhi
orang-orang di sekitarnya. Bila ia merasa gembira, orang-orang di sekitarnya
juga merasa gembira sebaliknya bila ia merasa sedih semua orang juga
merasa sedih. Karena itulah Princess Minerva selalu menjaga perasaannya. Ia
selalu tersenyum walaupun ia merasa sedih. Tetapi kali ini ia merasa
kesulitan menutupi kesedihannya dengan senyumnya. Hanya kebiasaannya
menutupi kesedihannya dengan senyuman yang membuatnya berhasil
mengelabuhi orang-orang.
Di depan Mrs. Wve maupun di hadapan semua orang yang dijumpainya 339
setelah pertemuannya dengan Alexander yang tak terduga di halaman Istana,
Princess Minerva tersenyum dengan wajar.
Kini setelah ia sendirian di kamarnya, kesedihan yang terus ditahannya
tidak terbendung lagi. Air mata Princess Minerva terus mengalir membasahi
wajahnya. Princess menyembunyikan isakannya di balik bantalnya. Ia tidak
ingin wanita-wanita yang berada di Ruang Duduk mendengar isakannya.
Princess Minerva tidak ingin membuat orang lain juga merasa sedih.
Setelah bertemu kembali dengan Alexander setelah perjumpaan
terakhir mereka yang buruk di Obbeyville, Princess Minerva kini merasa yakin
dugaannya tepat. Alexander semakin membencinya ketika mereka bertemu.
Mengenai janjinya untuk bertemu dengan Duke of Blueberry esok hari,
telah dipikirkan masak-masak oleh Princess Minerva. Princess Minerva
memutuskan untuk melakukan tugasnya walaupun itu berarti ia menambah
kebencian Alexander padanya. Princess Minerva telah memutuskan untuk
mengambil resiko itu dan ia siap melihat kebencian di mata Alexander
bertambah besar.
Air mata Princess Minerva mengalir semakin deras ketika ia teringat
kebencian di mata Alexander.
“Maafkan aku, Al. Aku tahu engkau tidak ingin bertemu denganku,” kata
Princess Minerva, “Tetapi jangan khawatir. Aku tidak akan sering
menemuimu. Mungkin besok pagi adalah pertemuan kita yang terakhir dan
setelah itu engkau tidak perlu khawatir lagi akan bertemu denganku. Aku
akan menghilang dari hadapanmu seperti yang engkau inginkan.”
Membayangkan kembali kenyataan ia tidak akan dapat bertemu
dengan Alexander walaupun ia sangat menginginkannya, membuat Princess
Minerva merasa semakin sedih dan semakin banyak menitikkan air mata.
Princess Minerva mencoba berhenti memikirkan Alexander dengan
mengalihkan pikirannya ke burung layang-layang yang ditemukannya. Tetapi
hal itu tidak dapat membuat Princess Minerva berhenti merasa sedih. Bahkan
Princess Minerva menjadi semakin sedih ketika ia menyadari kesamaan
dirinya dengan burung layang-layang itu.
Burung layang-layang itu bukan hanya kedinginan tetapi juga terluka.
Persis seperti Princess Minerva yang juga merasa kedinginan dalam kesepian
yang menyelimuti dirinya dan terluka karena perasaan cintanya pada
Alexander.
Dan seperti halnya dirinya, burung itu juga merasa kesepian. Burung 340
layang-layang itu telah ditinggal temannya tetapi ia dapat berkumpul kembali
dengan teman-temannya setelah musim semi tiba.
Sedangkan Princess Minerva akan selalu merasa kesepian. Tidak ada
yang dapat menggantikan kedudukan Alexander di hatinya. Princess Minerva
tahu ia akan selalu merasa kesepian dan hampa tanpa pria itu di sisinya
walaupun ia berada di keramaian.
Tidak ada yang dapat disalahkan Princess Minerva selain dirinya sendiri
yang telah menyulut api kemarahan yang penuh kebencian pada diri pria itu.
Ia telah bersalah pada pria itu dan ia harus berani menerima resiko dari
perbuatannya sendiri yang membiarkan wanita yang dicintai Alexander
mengkhianati cintanya.
341
19
Princess Minerva membuka matanya dan ia merasakan sinar matahari
yang menyilaukan membutakan matanya untuk sesaat.
Mrs. Wve tersenyum pada Princess Minerva saat menyadari gadis itu
telah bangun.
Princess Minerva terkejut melihat sinar matahari itu mulai memasuki
kamarnya. Ia ingat kemarin siang ia menangis. Princess semakin terkejut
menyadari dirinya terus tertidur hingga pagi.
“Mengapa engkau tidak membangunkan aku?” tanya Princess Minerva.
“Kemarin Anda tampak sangat pucat. Saya pikir memang seharusnya
Anda beristirahat sepanjang hari,” kata Mrs. Wve.
Princess Minerva bangkit dari tempat tidurnya.
Mrs. Vye yang berdiri tak jauh dari tempat tidur, segera mencegah
Princess Minerva saat ia melihat gadis itu hendak meninggalkan tempat
tidurnya.
“Sebaiknya Anda berbaring lagi, Princess,” kata Mrs. Vye, “Sekarang
masih pagi. Mungkin baru pukul setengah tujuh.”
Princess Minerva menggelengkan kepalanya. “Tidak, Mrs. Vye. Aku
harus bangun. Aku telah berjanji untuk menemui mereka pagi ini.”
“Tetapi Anda masih terlihat pucat dan lemah, Princess,” kata Mrs. Wve
terkejut.
Princess Minerva tersenyum. “Tidak apa-apa, Mrs. Wve.”
Princess Minerva telah meninggalkan tempat tidurnya saat Mrs. Wve
kembali berkata, “Di mana Anda akan menemui mereka, Princess?”
Suara Mrs. Wve yang mengandung kecurigaan itu membuat Princess
Minerva kembali tersenyum. “Seperti yang Anda tebak, Mrs. Wve.”
Jawaban itu membuat Mrs. Wve terpekik terkejut. “Tidak, Princess. Saya
tidak akan mengijinkan Anda menemui mereka di Ruang Pertemuan.”
“Anda akan menemui mereka di Ruang Pertemuan?” kata Mrs. Vye tak
kalah terkejutnya dengan Mrs. Wve, “Bagaimana Anda akan ke lantai dasar
dengan tubuh lemah seperti itu?”
“Jangan khawatir. Aku yakin aku dapat ke sana.”342
Princess Minerva melihat Mrs. Wve akan melarangnya lagi, maka ia
segera berkata, “Di mana burung kecilku?”
Mrs. Vye yang selalu mudah terpengaruh kata-kata Princess Minerva
segera menjawab pertanyaan itu. “Kami meletakkan burung itu di dekat
perapian, Princess.”
Tanpa memberi kesempatan kepada Mrs. Wve untuk mencegahnya
Princess Minerva menuju Ruang Duduk.
Princess Minerva tersenyum pada burung yang kini tertidur di dalam
sangkar besi yang berwarna keemasan. “Bagaimana kabarmu, burung
kecilku?” tanya Princess Minerva saat melihat burung itu telah membuka
matanya.
Mrs. Vye mendekati Princess Minerva yang sibuk memperhatikan
burung itu. “Princess, Anda harus bersiap-siap bila Anda ingin menemui
mereka.”
“Tidak, Mrs. Vye. Aku tidak mengijinkan Princess ke Ruang Pertemuan.
Ruangan itu terlalu jauh dari sini. Aku tidak setuju,” kata Mrs. Wve.
“Jangan khawatir, Mrs. Wve. Aku akan baik-baik saja,” kata Princess
Minerva sambil tersenyum.
Senyuman Princess Minerva berhasil mempengaruhi perasaan Mrs.
Wve. Wanita itu mulai merasa bingung. “Tetapi, Princess….”
Sebelum wanita itu menyelesaikan kalimatnya, Princess Minerva segera
berkata, “Aku telah berjanji pada mereka dan aku tidak suka bila aku harus
mengingkari janjiku. Engkau tahu itu, Mrs. Wve.”
“Anda dapat membatalkan janji Anda bila keadaan memang tidak
mengijinkan, Princess,” kata Mrs. Wve membujuk.
Princess Minerva menggelengkan kepalanya, “Mungkin saja Duke of
Blueberry mempunyai keperluan yang penting dan aku tidak dapat
membuatnya menunda keperluannya.”
“Anda dapat menemui mereka di ruang ini, Princess. Saya dapat
menyediakan makan pagi di sini,” kata Mrs. Wve.
Sekali lagi Princess Minerva menggelengkan kepalanya.
“Tidak, Mrs. Wve. Aku tidak ingin merepotkanmu maupun Duke. Saat ini
aku adalah tuan rumah mereka dan sebagai tuan rumah yang baik, aku tidak
dapat bersikap sekehendakku,” kata Princess Minerva tegas.
Mrs. Wve terkejut mendengar ketegasan dalam suara Princess Minerva.
Sebagai pengasuh yang selalu menyertai Princess Minerva ke manapun gadis 343
itu pergi, ia telah mengenal baik Princess Minerva. Selama ini kata-kata
Princess selalu lemah lembut tidak pernah terdengar ketegasan di sana.
Tetapi semua orang yang mendengarkan permintaan Princess akan selalu
melakukannya dengan sebaik-baiknya.
Demikian pula Mrs. Vye. Selama ia mengenal Princess Minerva, ia selalu
mendengarkan suaranya yang lemah lembut. Walaupun Princess memberikan
perintah, ia selalu mengatakannya dengan penuh kelembutan. Dengan itu
saja semua orang selalu melakukan semua yang dikatakan Princess dengan
sebaik-baiknya apalagi bila Princess berkata dengan tegas.
Tidak mengherankan apabila Mrs. Wve yang semula bersikeras
melarang Princess Minerva menemui Duke di Ruang Pertemuan yang terletak
di lantai dasar Istana, akhirnya berubah pikiran.
“Pangeran Alcon benar, kata-kata Anda memang selalu dapat
mempengaruhi siapa saja, Princess,” kata Mrs. Wve sambil tersenyum.
“Terima kasih, Mrs. Wve. Aku tahu engkau tidak akan melarangku.”
“Karena saya telah mengijinkan Anda, maka sebaiknya Anda segera
meninggalkan burung itu. Kami akan mempersiapkan Anda, Princess. Kami
akan membuat Anda tampil dengan penuh keanggunan dan kecantikkan,”
kata Mrs. Wve.
“Walaupun kita tidak mendandaninya, Princess Minerva telah terlihat
anggun dan cantik,” kata Mrs. Vye.
Mrs. Wve mengangguk. “Aku sependapat denganmu, Mrs. Vye.”
Princess Minerva tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Ia
meninggalkan burung itu sendirian di sangkarnya dan mendekati kedua
pengasuhnya.
Kedua pengasuh Princess segera membawa Princess Minerva kembali
ke Ruang Tidurnya dan segera mendandani Princess. Keduanya bekerja
dengan penuh semangat seakan-akan Princess Minerva akan pergi ke pesta
yang sangat penting.
Princess Minerva hanya tersenyum melihat kedua wanita itu berunding
dan kadang-kadang berdebat untuk mempersiapkan dirinya.
Pikiran Princess Minerva tidak tertuju pada penampilannya. Ia lebih
memikirkan bagaimana ia menghadapi Alexander. Ia tidak khawatir
menghadapi Duke dan Duchess of Blueberry. Ia jauh lebih khawatir akan
pertemuannya dengan pria yang tidak ingin bertemu dengannya. Princess
Minerva tahu tentu akan terasa sangat menyebalkan bila harus bertemu 344
dengan orang yang ingin kita hindari. Walaupun Princess Minerva tidak
pernah ingin menghindari seseorang tetapi ia dapat mengerti bagaimana
perasaan Alexander bila berjumpa dengannya.
Kadang kala Princess Minerva merasa dirinya sangat aneh. Bagaimana
ia ingin bertemu dengan pria yang justru tidak ingin menemuinya. Tetapi
Princess Minerva juga tahu itu semua karena ia mencintai pria itu. Karena
cintanya kepada pria itu pula, ia memilih kebahagiaan pria itu di atas
kebahagiannya sendiri.
Princess Minerva sadar dirinya telah bersalah besar pada Alexander dan
ia harus menanggung resikonya seperti yang akan dihadapinya. Ia harus
berani menanggung kebencian Alexander kepada dirinya yang akan
bertambah setelah mereka bertemu.
Pikiran yang memenuhi benak Princess Minerva membuat dirinya tidak
menyadari lamanya waktu yang dihabiskan kedua pengasuhnya untuk
membuatnya tampil secantik mungkin. Princess Minerva kembali menyadari
tempatnya berada saat ia mendengar desah puas dari kedua wanita itu.
“Lihatlah diri Anda, Princess. Anda tampak cantik sekali dan semakin
bersinar,” kata Mrs. Wve dan Mrs. Vye bersamaan.
Untuk menyenangkan hati mereka, Princess Minerva menatap
bayangan dirinya di cermin. Tetapi apa yang muncul di cermin itu tidak
menarik perhatiannya. Princess Minerva sekilas melihat rambutnya diikat
tinggi-tinggi dan dihiasi dengan rangkaian bunga yang semula berada di pot
yang berada di atas meja rias. Gaunnya yang berwarna kuning terang seakan-
akan menambah pesona rambutnya yang bersinar keemasan.
Seuntai kalung pemberian Pangeran Alcon saat ulang tahun Princess
Minerva yang kedelapan belas melingkar di leher Princess yang tertutup leher
gaun yang tinggi. Kalung itu tampak semakin berseri.
“Sekarang kita hanya perlu menunggu waktunya makan pagi,” kata
Mrs. Wve pada Mrs. Vye.
Princess Minerva tersenyum manis, “Tidak, Mrs. Wve. Aku ingin pergi ke
Ruang Pertemuan sekarang.”
“Tetapi saat ini belum waktunya makan pagi, Princess,” kata Mrs. Vye.
“Kurasa Princess Minerva benar, Mrs. Vye. Ia masih lemah dan itu akan
menghambat jalannya menuju Ruang Pertemuan,” kata Mrs. Wve, “Lebih baik
kita berjalan perlahan-lahan ke sana.”
Mrs. Wve memegang lengan Princess Minerva dan membantunya 345
berdiri. Kemudian ia merapikan gaun Princess Minerva yang terlipat ketika ia
duduk.
Princess Minerva tersenyum pada Mrs. Wve. “Anda mempersiapkan
saya seakan-akan saya akan menghadiri suatu pertemuan yang sangat
penting.”
Mrs. Wve mengangguk. “Bagi saya, Anda harus selalu tampil
cemerlang,” katanya sambil menggandeng Princess Minerva meninggalkan
kamarnya.
Mereka berjalan perlahan-lahan menyusuri lorong depan kamar Princess
Minerva sambil bercakap-cakap.
Hingga mereka tiba di lantai tiga, tidak ada seorangpun yang mereka
temui. Baru pada lantai tiga itulah mereka bertemu dengan seorang pelayan
yang segera menyapa Princess Minerva ketika melihatnya.
“Selamat pagi, Princess Minerva.”
Princess Minerva tersenyum. “Selamat pagi.”
Pelayan itu melihat Mrs. Wve dan Mrs. Vye yang berjalan di belakang
Princess Minerva. “Apakah tidak apa-apa Anda meninggalkan kamar Anda?”
“Jangan khawatir. Kedua pengasuhku akan mengawalku dan
memastikan aku baik-baik saja,” kata Princess Minerva, “Aku sudah lama
tidak keluar kamar.”
Pelayan itu mengangguk. “Benar, Princess. Sejak Anda kembali, Anda
belum pernah meninggalkan kamar Anda. Baru hari inilah saya melihat Anda.
Kami semua merindukan Anda.”
“Al telah mengurungku terlalu lama di sana. Sekarang aku merasa
bosan dan aku ingin berjalan-jalan di dalam Istana walaupun Al melarang aku
berkeliaran di dalam Istana.”
Pelayan itu tersenyum, “Saya merasa Anda semakin cantik dari yang
saya ingat, Princess Minerva. Saya percaya semua orang juga merasa begitu.”
“Engkau terlalu melebih-lebihkan. Kita semua selalu merasa seseorang
menjadi lebih cantik atau lebih lama setelah kita lama tak berjumpa. Akupun
merasa engkau semakin cantik dari perjumpaan kita yang terakhir kali sekitar
setahun yang lalu.”
Pelayan yang lebih tua beberapa tahun dari Princess Minerva itu
memerah. “Anda membuat saya merasa tersanjung, Princess Minerva.”
Princess Minerva tersenyum. “Engkau tidak perlu merendahkan diri
karena engkau memang cantik. Semua orang di Istana ini juga berkata seperti 346
itu.”
“Itu karena saya yang paling muda di sini, Princess.”
Princess Minerva menggelengkan kepala. “Tidak. Aku lebih muda
darimu.”
Melihat pelayan itu semakin tersipu, Princess Minerva tersenyum dan
berkata, “Kami akan segera ke Ruang Pertemuan sekarang.”
Pelayan itu membungkuk saat Princess Minerva melewatinya.
Semakin banyak orang yang mereka jumpai dalam perjalanan ke Ruang
Pertemuan selanjutnya. Orang-orang itu selalu menyapa Princess Minerva dan
membungkuk hormat ketika Princess melewatinya.
Suasana di dalam Istana yang semula terasa sepi kini menjadi semakin
ramai. Kemunculan Princess yang tidak terduga ini seakan-akan membawa
kehidupan di dalam Istana.
Mrs. Wve tersenyum melihat hal itu sedangkan Mrs. Vye terbelalak
karena kagum.
Mrs. Vye tidak pernah menduga sedemikian besar pengaruh Princess
Minerva di Istana. Hanya dengan kemunculannya, Princess Minerva mampu
mengubah suasana Istana Plesaides yang semula sepi walaupun banyak
orang yang berlalu lalang, kini menjadi terasa hidup. Orang-orang yang
berlalu lalang tidak hanya berjalan dengan diam. Mereka berjalan sambil
bercakap-cakap dan membungkuk hormat setiap kali Princess Minerva
melewati mereka. Senyum manis yang menghiasi wajah Princess Minerva
membuat orang-orang itu membalas senyuman itu. Tidak sedikit orang yang
terkejut melihat Princess Minerva keluar dari kamarnya dengan dikawal kedua
pengasuhnya, Mrs. Wve dan Mrs. Vye.
Demikian pula prajurit yang menjaga pintu Ruang Pertemuan. Prajurit
itu sangat terkejut melihat Princess Minerva berjalan menghampirinya dengan
kedua pengasuhnya hingga tidak dapat berkata apa-apa.
“Selamat pagi, Princess Minerva,” kata prajurit itu pada akhirnya.
Princess Minerva tersenyum. “Selamat pagi. Tolong bukakan pintu itu.”
Prajurit itu membuka pintu itu.
“Tidak perlu,” kata Princess Minerva saat melihat prajurit itu hendak
mengumumkan kedatangannya.
Princess melangkah ke dalam ruangan itu sambil mempersiapkan
dirinya menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
Suasana di dalam Ruang Pertemuan menjadi sunyi ketika Princess 347
Minerva muncul dengan tak terduga bersama kedua pengasuhnya.
Princess Minerva tersenyum pada semua orang di dalam ruangan itu.
Princess Minerva melihat wajah Duke dan Duchess of Blueberry juga Kepala
Pengawal Istana yang terkejut dengan kemunculannya yang tidak terduga ini.
Tetapi Princess Minerva tidak berani melihat wajah Alexander.
Kepala Pengawal Istana segera berdiri dan menyambut kedatangan
Princess Minerva. “Selamat pagi, Princess Minerva,” kata Jacques sambil
mencium tangannya.
“Selamat pagi, Jacques,” kata Princess Minerva sambil memandang ke
sekeliling ruangan itu, “Aku tidak terlambat, bukan?”
“Tidak, Anda tidak terlambat, Princess. Kami baru saja berkumpul di
ruangan ini,” kata Jacques, “Mengapa Anda tidak memberi tahu saya bahwa
Anda akan menghadiri acara makan pagi di ruangan ini, Princess?”
“Kemarin aku telah mengatakannya kepadamu, Jacques. Aku
mengatakan aku akan menemui Duke pagi ini,” kata Princess Minerva lembut.
“Maafkan saya, Princess. Saya kurang memperhatikan perkataan Anda
sehingga saya tidak menyambut kedatangan Anda sebagaimana
seharusnya.”
Princess Minerva tersenyum, “Tidak apa-apa, Jacques. Kemarin aku
tidak menjelaskan kapan aku akan menemui Duke.”
Jacques segera menarik kursi untuk Princess Minerva yang tersenyum
padanya saat ia duduk di kursi itu.
Mrs. Wve dan Mrs. Vye berdiri tak jauh di belakang Princess Minerva.
Princess melihat wajah Duke dan Duchess yang terkejut dan bingung.
“Maafkan saya, saya baru dapat menemui Anda hari ini.”
“Tidak apa-apa, Princess,” kata Duke kikuk.
Princess Minerva tersenyum berkata, “Apakah Anda dapat beristirahat
dengan baik?”
“Ya, Princess. Semua orang di sini menerima kami dengan baik
sehingga kami tidak mungkin tidak tidur dengan nyenyak,” kata Duke
mencoba menghilangkan kekikukan dalam kata-katanya.
“Saya berharap Anda juga memimpikan para peri Istana,” canda
Princess Minerva mencoba mencairkan rasa kikuk yang muncul di ruangan
itu.
Duke tersenyum mendengar perkataan itu. “Istana ini sangat indah
tidak mungkin saya tidak pergi ke dunia dongeng. Walaupun mereka tidak 348
muncul, saya akan mencari mereka.”
Jacques tertawa mendengar kata-kata Duke yang menanggapi canda
Princess Minerva.
Princess Minerva yang memulai suasana gembira itu tersenyum.
“Engkau kembali menjadi anak-anak dalam mimpi?” kata Jacques.
Princess Minerva berhasil mencairkan suasana kikuk itu. Duke sudah
tidak tampak terlalu kikuk dan Duchess yang sejak tadi terbelalak mulai dapat
tersenyum juga.
Duke mengangguk. “Aku bahkan berharap dapat menjadi anak kecil
dalam dunia nyata ini agar aku dapat bermain dengan bebas di Istana. Aku
ingin sekali menjadi anak kecil yang terbuai di Istana dongeng.”
“Dengan putrinya yang cantik,” tambah Duchess sambil tersenyum
penuh arti melihat Princess Minerva.
“Tampaknya segala sesuatu di Istana ini telah lengkap untuk menjadi
Istana negeri dongeng kecuali cerita dongengnya,” kata Duke.
Princess Minerva benar-benar berhasil mengubah suasana Ruang
Pertemuan yang semula terasa kikuk menjadi ceria seperti ia menceriakan
Istana.
“Sebaiknya Anda berhenti tertawa atau Anda tidak akan dapat
merasakan hidangan yang menarik selera ini,” kata Princess sambil
tersenyum melihat beberapa pelayan masuk sambil membawa hidangan di
tangannya.
Pelayan-pelayan itu juga terkejut melihat Princess Minerva duduk di
Ruang Pertemuan yang selalu menjadi tempat Raja menjamu tamu-tamunya.
Sebelum meletakkan hidangan yang mereka bawa di meja, mereka menyapa
Princess Minerva sambil membungkuk hormat. Princess yang disapa hanya
tersenyum tanpa berkata apa-apa.
Keceriaan yang berhasil ditimbulkan Princess Minerva tidak menghilang
ketika mereka memulai acara makan pagi mereka.
Princess Minerva terus tersenyum sambil memperhatikan wajah Duke
dan Duchess yang tersenyum mendengar lelucon Jacques yang terkenal
paling pandai melucu di Istana Plesaides.
Princess Minerva tidak berani melihat wajah Alexander walaupun ia
sangat ingin melihat wajah pria itu. Ia tidak berani melihat kebencian dan
kemarahan di mata itu. Memikirkan saat ini kebencian Alexander kepadanya
sedang bertambah membuat Princess Minerva semakin merasa tidak enak.349
Mrs. Wve mendekati Princess Minerva dan berbisik, “Sebaiknya Anda
segera kembali kamar Anda, Princess. Suhu ruangan ini lebih dingin dari
kamar Anda dan itu membuat Anda tampak semakin pucat.”
Princess Minerva baru menyadari hal itu. Sejak tadi ia hanya berusaha
mencegah dirinya melihat Alexander sambil terus menahan kesedihan di
hatinya di balik senyumannya. Walaupun perapian di ruang itu telah
dinyalakan tetapi suhu ruangan itu tetap lebih dingin dari kamar Princess
Minerva. Gaun yang dikenakan Princess tidak mampu menahan dingin itu
menyentuh kulitnya walaupun gaun itu adalah gaun musim dingin yang
berlengan panjang dan tebal. Princess baru menyadari tubuhnya sejak tadi
merasa kedinginan dan wajahnya kembali memucat.
Princess Minerva mengangguk. “Baik, Mrs. Wve,” katanya kemudian ia
berkata kepada semua orang di ruangan itu, “Maafkan saya, saya tidak dapat
menemani Anda lebih lama dari yang saya inginkan.”
“Anda hendak kembali sekarang, Princess?” tanya Jacques.
Princess Minerva tersenyum sambil menatap wajah Mrs. Wve. “Kedua
pengasuhku menyuruhku untuk beristirahat lagi.”
Jacques memandang wajah Princess Minerva yang memucat, “Mereka
benar, Princess. Wajah Anda kembali memucat. Anda harus segera
beristirahat.”
Mrs. Vye menghampiri Mrs. Wve kemudian mereka membantu Princess
Minerva berdiri. Mrs. Wve memegang lengan kanan Princess Minerva
sedangkan Mrs. Vye memegang lengan kirinya.
Melihat hal itu, Jacques segera berdiri.
Princess Minerva mengetahui maksud Jacques. “Tidak perlu, Jacques.
Selesaikanlah makan pagimu bersama Duke, aku akan baik-baik saja. Kedua
pengasuhku akan menjagaku,” kata Princess.
“Baik, Princess,” kata Jacques tanpa berusaha membantah kata-kata
Princess Minerva.
Princess Minerva tersenyum dan berkata, “Maafkan saya, saya harus
kembali ke kamar saya.”
Duke of Blueberry berdiri ketika melihat Princess Minerva hendak
meninggalkan ruangan itu.
Tanpa berkata apa-apa, Princess Minerva segera meninggalkan Ruang
Pertemuan dengan kedua pengasuhnya.
Mrs. Wve dan Mrs. Vye masih memegang lengan Princess Minerva saat 350
mereka berjalan kembali ke kamar Princess Minerva.
Princess Minerva sama sekali tidak memperhatikan itu. Ia ingin segera
tiba di kamarnya dan menenangkan kembali perasaan sedihnya. Setibanya di
kamarnya, Princess Minerva segera mengganti gaunnya dengan gaun tidur
yang hangat kemudian naik ke tempat tidurnya.
Saat Princess Minerva memasuki kamarnya, ia baru sadar apa yang
dikatakan Mrs. Wve memang benar. Kamarnya lebih hangat dari Ruang
Pertemuan. Hal itu karena perapian besar di Ruang Duduk terus dibiarkan
menyala terang dan setiap saat ada pelayan yang selalu menambahkan kayu
ke perapian itu.
Mrs. Wve menyelimuti tubuh Princess Minerva kemudian meninggalkan
Princess sendirian. Mrs. Vye menurunkan tirai putih yang mengelilingi tempat
tidur Princess Minerva kemudian mengikuti Mrs. Wve meninggalkan ruangan
itu.
Kepergian kedua pengasuhnya memberikan ketenangan bagi Princess
Minerva untuk meredakan badai kesedihan dalam dirinya. Tetapi Princess
Minerva tidak dapat melakukannya bahkan ia semakin merasa sedih.
Ia tidak tahu bagaimana tatapan Alexander saat melihatnya tetapi ia
yakin mata pria itu dipenuhi kemarahan seperti saat ia bertemu dengannya
kemarin siang di halaman Istana.
Selama Princess Minerva berada di Ruang Pertemuan, ia telah berusaha
keras untuk menahan keinginannya melihat wajah pria yang dirindukannya.
Princess Minerva juga berusaha keras menahan air matanya membayangkan
sorot mata Alexander menjadi semakin tajam pada dirinya.
Princess Minerva merasa beruntung tidak ada yang mencurigai
sikapnya yang berusaha menghindari tatapannya pada Alexander yang duduk
di samping Jacques.
Walaupun Princess Minerva sering melihat ke Jacques tetapi ia tidak
mau melihat ke samping pria itu. Hanya Jacques saja yang dilihatnya.
Sebaliknya bila ia melihat ke arah Duke dan Duchess yang duduk di sisi kiri
meja, ia tidak perlu menghindari siapa pun.
Princess Minerva masih ingat rasa terkejut dan bingung yang muncul di
wajah keduanya. Tetapi semuanya segera menghilang saat ia berhasil
mencairkan suasana kikuk di antara mereka yang tiba-tiba muncul karena
kehadirannya yang tak terduga.
Air mata Princess Minerva mengalir lagi saat ia sadar setelah pagi ini 351
berlalu, ia tidak akan dapat berjumpa kembali dengan Alexander, pria yang
sangat dicintainya.
Rasa sedih yang telah lama mengusik perasaannya membuat Princess
Minerva merasa lelah dan akhirnya tertidur. Princess Minerva tidak tahu
berapa lama ia tertidur. Yang ia ketahui hanyalah saat ia terbangun di luar
sedang turun hujan salju.
Princess Minerva meninggalkan tempat tidurnya dan berjalan ke Ruang
Duduk.
Di Ruang Duduk tidak ada siapa-siapa juga tidak terdengar suara Mrs.
Wve maupun Mrs. Vye.
Burung layang-layang itu masih memejamkan matanya saat Princess
mendekatinya. Princess Minerva mengeluarkan burung layang-layang itu dari
sangkarnya.
Princess Minerva duduk di dekat perapian dan meletakkan burung itu di
pangkuannya. Princess memperhatikan sayap burung itu yang telah bersih
dari noda darah.
“Apakah engkau kedinginan?” tanya Princess saat ia melihat burung itu
membuka matanya.
Seolah-olah mengerti apa yang ditanyakan Princess Minerva, burung itu
menggerakkan kepalanya.
Princess Minerva tersenyum. “Engkau tidak kedinginan lagi, bukan? Aku
telah memelukmu dan api dari perapian juga telah menghangatkanmu.”
“Jangan menggerakkan sayapmu yang terluka,” kata Princess Minerva
ketika melihat burung itu berusaha menggerakkan sayapnya.
“Aku tahu engkau ingin segera berkumpul kembali bersama teman-
temanmu. Tetapi saat ini adalah musim dingin dan kawan-kawanmu berada
jauh dari sini. Mereka berada di daerah yang hangat. Tunggulah di sini
bersamaku, aku akan melepaskanmu kembali setelah musim semi tiba,” kata
Princess Minerva.
Princess Minerva mengelus bulu burung itu. Dan ia tersenyum saat
merasakan kehalusan bulu itu di jemarinya. Burung itu berusaha
menggerakkan sayapnya kembali tetapi Princess Minerva menahan gerakan
burung itu. Princess menatap sedih burung itu. “Engkau masih beruntung,
engkau dapat berkumpul kembali dengan teman-temanmu. Sedangkan aku
tidak dapat lagi kembali ke sisi Alexander bahkan menjadi temannya.”
Air mata Princess Minerva kembali membasahi pipinya. Princess 352
Minerva mengabaikan air matanya dan terus mengelus tubuh burung itu.
“Teman-temanmu hanya meninggalkanmu sendirian di sini sedangkan
Alexander membenciku bahkan tidak ingin bertemu denganku. Aku memang
selalu dikelilingi banyak orang tetapi aku selalu merasa kesepian tanpa
Alexander.”
Seolah mengerti kesedihan Princess Minerva, burung itu menggerakkan
kepalanya. Princess Minerva tersenyum sedih.
“Saat ini engkau tidak memiliki teman tetapi engkau tidak perlu
khawatir akan merasa kesepian, aku akan menjadi temanmu sampai musim
semi tiba,” kata Princess Minerva berjanji pada burung itu.
Princess Minerva tersenyum pada burung yang terus bergerak di
pangkuannya. Princess menyeka air matanya dan meraih kain yang semula
digunakannya untuk menyelimuti burung itu. Burung layang-layang yang
terus bergerak di pangkuannya, membuat Princess melupakan kesedihannya
dan terus memperhatikan burung itu.
“Anda sudah bangun, Princess,” kata Mrs. Wve.
Princess Minerva terkejut melihat Mrs. Wve dan Mrs. Vye berjalan
memasuki kamarnya. Kedua wanita itu tersenyum melihatnya duduk di depan
perapian sambil memangku burung yang terluka.
“Kami menduga Anda belum bangun sehingga kami meninggalkan
kamar Anda. Tadi saya ingin bertemu dengan Duke of Blueberry untuk
menanyakan keadaan Obbeyville tetapi kami tidak dapat menemuinya.
Mungkin Duke sedang berisitirahat,” kata Mrs. Vye.
Teringat akan Duke of Blueberry yang saat ini berada di Istana
Plesaides karena ingin bertemu dengannya, Princess Minerva berkata,
“Apakah kalian bertemu dengan Jacques?”
Kedua wanita itu mengangguk.
“Tolong katakan kepada Jacques aku akan menemui Duke nanti siang
pada saat makan siang,” kata Princess Minerva yang segera disambut seruan
terkejut Mrs. Wve.
“Tidak, Princess. Kali ini saya tidak akan mengijinkan Anda
meninggalkan kamar Anda. Saya tidak tahu harus berbuat apa bila sampai
terjadi sesuatu pada Anda,” kata Mrs. Wve.
Princess Minerva diam menantikan kata-kata Mrs. Wve selanjutnya.
“Tadi pagi Anda tampak sangat pucat seperti akan pingsan. Dan
sekarang di hujan salju selebat ini, jangan berharap saya akan mengijinkan 353
Anda meninggalkan kamar Anda yang hangat ini.”
Princess Minerva tersenyum. Ia tahu apa yang dikatakan Mrs. Wve
benar. Ia tidak mungkin dapat bertahan di ruangan lain yang kurang hangat
dibandingkan kamarnya di saat salju turun. Berada di kamarnya yang telah
hangat saja masih membuat Princess Minerva merasa kedinginan apalagi bila
berada di ruangan yang kurang hangat.
“Baiklah, Mrs. Wve. Aku akan merubah rencanaku,” kata Princess
Minerva, “Tolong katakan kepada Jacques aku ingin Duke segera menemuiku
di sini tetapi bila Duke sedang beristirahat maka biarkanlah ia beristirahat
dulu.”
Mrs. Wve tersenyum puas mendengar jawaban itu.
“Baik, Princess.”
Mrs. Wve segera meninggalkan kamar itu. Mrs. Vye yang selalu
bersama Mrs. Wve mengikuti wanita itu setelah Princess Minerva
mengangguk sambil tersenyum padanya sebagai tanda ia boleh
meninggalkannya.
Princess Minerva kembali memperhatikan burung layang-layang yang
masih bergerak di pangkuannya. Gerakan-gerakan burung itu membuat
Princess Minerva merasa geli. Ia tersenyum pada burung itu sambil terus
mengelus bulunya yang halus. Gerakan burung itu benar-benar
menenggelamkan Princess ke dalam kesibukan yang membuatnya
melupakan segala macam perasaannya kecuali rasa sayangnya pada burung
itu.
Tangan Princess Minerva masih bermain-main dengan sayap burung itu
ketika pintu kamarnya diketuk.
Tanpa menanti jawabannya, orang itu membuka pintu itu.
Princess Minerva tersenyum. Ia tahu siapa yang mengetuk pintu itu.
Mrs. Wve selalu mengetuk pintu kamarnya bila wanita itu tahu ia
berada di dalam dan tidak tidur. Tetapi Mrs. Wve tidak pernah menanti
jawabannya. Setelah mengetuk pintu, wanita itu segera membuka pintu.
Princess Minerva tidak mengangkat kepalanya. Tangannya masih terus
bermain dengan burung itu ketika ia mendengar langkah kaki memasuki
Ruang Duduk kamarnya.
“Seperti yang Anda minta, Princess Minerva, saya mengantar Duke of
Blueberry menemui Anda,” kata Jacques.
Princess Minerva meletakkan burung itu di lengannya dan bangkit dari 354
tempat duduknya.
Princess Minerva tersenyum pada Duke of Blueberry. Ia berusaha
mempertahankan senyumannya saat ia melihat Alexander juga berada di
Ruang Duduk. Begitu melihat pria itu berdiri di samping Duchess, Princess
Minerva segera mengalihkan perhatiannya sebelum matanya bertemu
dengan mata Alexander.
“Maafkan saya yang telah merepotkan Anda,” kata Princess Minerva,
“Saya bermaksud menemui Anda siang ini di waktu makan siang tetapi
rupanya saya membuat istirahat Anda terganggu.”
“Tidak apa-apa, Princess,” kata Duke, “Kami tidak sedang beristirahat.
Ketika kedua pengasuh Anda muncul, kami sedang bercakap-cakap.”
Princess Minerva tersenyum, “Maafkan saya. Untuk menemui saya,
Anda telah melakukan perjalanan yang jauh dan melelahkan.”
Duchess tersenyum, “Tidak apa-apa, Princess. Kami rela menempuh
perjalanan yang jauh untuk melihat kamar yang indah ini.”
“Silakan duduk,” kata Princess.
Mrs. Wve mendekati Princess Minerva. Tangannya terulur pada Princess
Minerva yang segera menyerahkan burung itu.
Princess Minerva memperhatikan Mrs. Wve memasukkan burung itu
kembali ke sangkarnya.
“Maafkan saya, Princess. Saya belum memanggil dokter hewan untuk
membantu Anda merawat burung itu,” kata Jacques.
Princess Minerva tersenyum. “Tidak apa-apa, Jacques. Aku tahu hujan
salju yang terus turun ini membuat engkau tidak dapat melakukan
perintahku. Tetapi aku harus memarahimu, Jacques, engkau telah melanggar
laranganku. Telah kukatakan kepadamu untuk tidak merepotkan seluruh
Istana tetapi engkau tetap melakukannya.”
Kepala Pengawal Istana itu tersenyum mendengar suara Princess yang
tegas namun senyum yang manis menghiasi wajahnya.
“Aku berterima kasih padamu, Jacques. Bila engkau tidak mencari orang
yang dapat menolongku, aku tidak tahu bagaimana keadaan burung itu saat
ini. Entah apa yang diberikan pelayan itu pada burung malang itu sehingga
hari ini burung itu tampak lebih segar dari kemarin.”
“Kata-kata Anda adalah perintah bagi kami, Princess. Dan kekhawatiran
Anda adalah kewajiban kami untuk menyelesaikannya,” kata Jacques sembari
tersenyum.355
“Aku mengerti, Jacques.”
Princess kembali duduk di dekat perapian. Kali ini Princess Minerva
tidak duduk dengan menghadap perapian itu tetapi membelakangi perapian
itu. Api yang menyala di belakang Princess Minerva membuat rambut Princess
tampak bersinar. Secerah wajah Princess Minerva yang dihiasi senyumnya
yang manis. Tetapi di balik itu semua, Princess Minerva merasa khawatir dan
takut menghadapi Alexander.
“Apakah itu burung yang kemarin menjadi keributan di Istana?” tanya
Duchess.
Princess Minerva tersenyum. “Bukan burungnya yang membuat
keributan tetapi sayalah yang menyebabkan keributan itu terjadi.”
“Burung apa itu?” tanya Duke tertarik.
“Itu adalah burung layang-layang,” jawab Princess Minerva.
Duke terkejut. “Bukankah burung layang-layang selalu berpindah
tempat di musim gugur untuk menghindari musim dingin?”
Princess Minerva menganggukkan kepalanya. “Burung layang-layang itu
tertinggal. Ia sama seperti saya yang terlambat menghindari musim dingin.”
“Princess Minerva,” kata Mrs. Wve sedih.
Princess Minerva tersenyum pada Mrs. Wve. “Aku baik-baik saja, Mrs.
Wve. Jangan khawatir. Kupikir hal ini tidak buruk. Sudah lama sekali aku tidak
melewatkan musim dingin di Istana.”
Mrs. Wve mengangguk. “Ya, Anda melewatkan musim dingin di Istana
untuk yang terakhir kalinya adalah saat Anda berusia tiga tahun.”
“Lama sekali?” kata Duchess terkejut.
Mrs. Wve tersenyum. “Sejak berusia empat tahun, Princess harus
berpindah dari satu tempat ke tempat lain setiap pergantian musim.”
Merasa percakapan telah melenceng jauh dari yang direncanakannya,
Princess berkata, “Saya memanggil Anda kemari untuk menanyakan suatu hal
penting yang saya lupakan. Apakah tujuan Anda datang ke Istana Plesaides?”
Duke merasa ragu-ragu tetapi ia tetap menjawab pertanyaan itu.
“Sebenarnya kami kemari untuk meminta ijin pada Pangeran Alcon untuk
tidak menghadiri pesta itu.”
“Saya mengerti saya tidak dapat memaksa Anda menghadirinya
walaupun saya sangat mengharapkan kedatangan Anda di pesta itu,” kata
Princess Minerva, “Tetapi mengenai pesta itu adalah urusan Alcon. Maafkan
saya, saya tidak dapat membantu Anda. Apakah urusan Anda sangat 356
mendesak?”
“Sebenarnya kami tidak mempunyai urusan yang penting, Princess,”
jawab Duke.
“Apakah Anda dapat menunda hal itu. Al berjanji pada saya untuk
segera tiba. Saya yakin lusa ia akan tiba kembali di sini,” kata Princess
Minerva.
“Al?” tanya Duke terkejut.
Princess Minerva tersenyum. “Itu adalah panggilan yang saya berikan
pada kakak saya, Pangeran Alcon. Apakah Anda dapat menunda urusan Anda
selama dua atau tiga hari?”
“Saya tidak tahu, Princess. Sebenarnya istri saya ingin melewatkan hari
Natal tahun ini di….”
Duke belum menyelesaikan kalimatnya ketika Duchess tiba-tiba
berkata, “Kami memutuskan untuk hadir di pesta itu, Princess.”
“Chancy, mengapa engkau tiba-tiba berubah pikiran? Bukankah engkau
selalu menginginkan hal ini?” tanya Duke tak mengerti.
“Itu dulu, Shaw. Sekarang aku memutuskan untuk menghadiri pesta
itu,” kata Duchess menegaskan kata-katanya.
“Chancy, aku tidak mengerti mengapa engkau tiba-tiba mengubah
pikiranmu,” kata Duke.
Duches tersenyum menatap wajah Princess Minerva. “Aku ingin
berkenalan dengan Maria yang telah menjadi Princess Minerva. Aku sama
sekali tidak pernah menduga engkau adalah putri yang hilang itu.”
“Chancy,” bisik Duke pada istrinya yang berani berbuat lancang.
Princess Minerva tersenyum melihat hal itu.
Mrs. Vye juga tersenyum melihat hal itu. “Saya juga tidak pernah
menduga Maria adalah putri yang hilang itu, Duchess.”
“Kurasa kita semua tidak pernah menduga ia adalah Princess Minerva,”
kata Duchess, “Kita hanya menduga Maria adalah bidadari yang dikirim para
dewa dari Holly Mountain.”
“Kemunculan saya yang tak terduga di Sungai Alleghei yang
mempunyai cerita tersediri memang membuat itu semua,” kata Princess
Minerva sambil mencoba melupakan kekhawatirannya akan keberadaan
Alexander di tempat itu.
Mrs. Vye tersenyum, “Bukan hanya itu saja yang membuat kami
percaya Anda adalah bidadari, Princess. Anda mengetahui banyak cerita-357
cerita dewa Holly Mountain seakan-akan Anda berasal dari gunung itu
sendiri.”
Princess Minerva membalas senyuman Mrs. Vye. “Saya mengetahui
semua cerita itu dari Quiya di Foentza. Ia mengetahui lebih banyak dari
saya.”
“Quiya sangat menyukai Princess sehingga ia mau menceritakan semua
yang berhubungan dengan Holly Mountain kepada Princess walaupun itu
adalah mitos yang terlarang,” tambah Mrs. Wve.
Princess Minerva tersenyum.
Perasaan serba salah membuat ia merasa tidak tahan terus berada di
Ruang Duduk tetapi ia juga tahu ia harus melakukan kewajibannya. Ia harus
menjadi tuan rumah bagi Duke of Blueberry.
Mendengarkan Mrs. Wve serta Mrs. Vye bergantian menceritakan
kehidupannya kepada Duke dan Duchess of Blueberry, membuat Princess
Minerva merasa semakin cemas. Princess Minerva khawatir pandangan
Alexander kepada dirinya akan semakin buruk. Ia tidak berharap pandangan
Alexander kepada dirinya semakin buruk tetapi bila memang itu yang terjadi,
Princess Minerva tahu ia hanya dapat menerimanya.
Princess Minerva tahu usahanya untuk merubah pandangan Alexander
terhadap dirinya tidak akan pernah berhasil mengingat ia telah merusak
hubungan pria itu dengan wanita yang dicintainya. Tidak ada yang dapat
dilakukannya selain menerima kenyataan pahit itu.
Kecemasan yang melanda Princess Minerva membuat gadis itu merasa
tidak nyaman dan bingung. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Bila ia
tidak selalu tersenyum, Mrs. Wve, Mrs. Vye juga Jacques akan curiga. Tetapi
bila ia tersenyum, Alexander akan merasa tidak suka bahkan mungkin akan
semakin membenci dirinya. Segala macam perasaan yang berkecamuk di
dadanya membuat Princess Minerva merasa lelah. Ia lelah terus menerus
berusaha tetap terlihat tenang dan ceria sedangkan di balik semua itu ia
merasa tertekan oleh perasaan yang terus mendera batinnya.
Usaha Princess Minerva untuk menahan semua kesedihannya di balik
sikapnya yang tenang dan senyum manisnya benar-benar telah menguras
semua tenaganya. Princess Minerva tahu ia tidak akan mampu terus menerus
bertahan seperti ini. Ia tahu yang harus dilakukannya saat ini bukan
mendengarkan semua orang di hadapannya bercerita melainkan kembali ke
Ruang Tidurnya.358
Gerakan Princess Minerva membuat semua orang berpaling kepadanya.
Princess Minerva tersenyum, “Silakan kalian melanjutkan percakapan kalian.
Saya minta maaf karena saya tidak dapat menemani kalian terlalu lama, saya
merasa lelah.”
Mrs. Wve mengikuti gerakan Princess Minerva.
Melihat pengasuhnya meninggalkan tempat duduknya, Princess Minerva
cepat-cepat berkata, “Tidak perlu, Mrs. Wve. Lanjutkan saja percakapanmu.”
Mendengar kata-kata tegas gadis itu, Mrs. Wve mengangguk kemudian
kembali duduk.
Princess Minerva tersenyum kemudian meninggalkan ruangan yang
menyiksa batinnya. Setelah menutup pintu Ruang Tidurnya, Princess Minerva
tidak segera menuju tempat tidurnya. Ia bersandar di balik pintu itu dan
mendengarkan percakapan orang-orang di Ruang Duduk.
“Bagaimana keadaan Obbeyville?”
Pertanyaan Mrs. Vye membuat Princess Minerva terpana.
Tiba-tiba saja Princess Minerva menyadari ia telah bersikap salah
sebagai seorang putri. Ia lebih mementingkan perasaannya daripada
perasaan Mrs. Vye. Selama ini ia terlalu terhanyut dalam perasaan sedih yang
menyiksanya dan melupakan perasaan Mrs. Vye yang telah lama
meninggalkan tempat kelahirannya.
Princess Minerva merasa bersalah. Ia tahu apa yang harus
dilakukannya. Sekarang ia harus melupakan perasaan sedihnya dan hanya
mengingat kenangan bahagianya bersama Alexander serta memikirkan
perasaan rindu Mrs. Vye kepada Obbeyville.
Tetapi Princess Minerva tetap saja tidak dapat melupakan perasaan
sedihnya. Ia semakin merasa tidak dapat lagi bertahan dalam keadaan seperti
ini di mana ia harus tampil tenang dan penuh senyum sedangkan hatinya
merasa tersiksa.
Princess Minerva tidak perlu merasa cemas lebih lama lagi karena
keesokan harinya Pangeran Alcon datang.
Kedatangan kakaknya merupakan suatu kebahagiaan serta kesedihan
tersendiri bagi Princess Minerva. Dengan kedatangan Pangeran Alcon,
Princess Minerva tidak perlu lagi menemui keluarga Blueberry yang juga
berarti membuat Alexander merasa tenang karena tidak lagi bertemu
dengannya. Bersamaan dengan itu Princess Minerva juga merasa sedih
karena ia tidak dapat bertemu lagi dengan Alexander.359
Princess Minerva tersenyum sendiri menyadari semua itu. Ia merasa
dirinya aneh bagaimana ia bisa merasa sedih sekaligus bahagia dalam waktu
yang bersamaan. Sedih karena tidak dapat lagi berjumpa dengan pria yang
dicintainya dan bahagia karena telah mengabulkan keinginan pria itu untuk
tidak menemuinya. Walaupun Princess Minerva tidak pernah melihat wajah
Alexander bila mereka bertemu tetapi Princess Minerva merasa senang di
samping semua perasaan yang juga muncul bila ia menyadari keberadaan
Alexander di dekatnya.
Dari jendela kamarnya, Princess Minerva melihat kereta yang membawa
orang tua serta kakaknya ke tempat yang jauh, telah kembali. Ketika ia
melihat kereta itu semakin mendekati Istana Plesaides, ia segera mengambil
mantelnya dan meninggalkan kamarnya beserta kedua pengasuhnya yang
terkejut dengan gerakannya yang cepat itu.
Mrs. Wve serta Mrs. Vye mengikuti Princess Minerva yang berlari ke
lantai dasar. Napas kedua wanita itu terengah-engah karenanya.
Princess berhenti di ujung lantai terakhir yang harus dilaluinya dan
berjalan penuh percaya diri ke Hall yang tepat berada di ujung terbawah
tangga itu.
Ketika melalui Ruang Duduk, Princess mendengar suara kakaknya.
Princess Minerva berhenti di depan pintu Ruang Duduk dan berkata
perlahan, “Maafkan aku, Al. Tetapi aku berjanji ini adalah terakhir kalinya aku
muncul di hadapanmu.” Setelah menyakinkan dirinya sendiri, Princess
Minerva segera membuka lebar-lebar pintu itu.
Semua orang yang ada di ruangan itu terkejut melihat ia berdiri di
ambang pintu tetapi Princess Minerva lebih terkejut lagi saat tanpa sengaja
matanya bertemu dengan mata yang selama ini dihindarinya. Princess
Minerva cepat-cepat mengalihkan pandangan matanya dari Alexander
sebelum ia merasa khawatir melihat kekejutan di sana berubah menjadi
pandangan marah dan menghina. Jantung Princess Minerva berdebar sangat
kencang karena ketidak sengajaan itu. Bersamaan dengan itu Princess
Minerva merasa seluruh tubuhnya tiba-tiba terasa lemas.
“Al,” kata Princess Minerva sambil berharap suaranya tidak terlalu
bergetar.
Semua yang ada di ruangan itu menganggap suara Princess Minerva
yang bergetar itu karena ia merasa rindu pada kakaknya.
Pangeran Alcon segera mendekati adiknya yang berlari ke arahnya. 360
Pangeran menangkap adiknya dengan pelukan erat.
“Aku rindu sekali padamu,” kata Pangeran Alcon.
“Mengapa engkau datang lebih cepat, Al?” tanya Princess Minerva
sambil memandang ke dalam mata Pangeran Alcon.
“Engkau tidak suka aku datang lebih cepat,” kata Pangeran Alcon
merajuk.
Princess Minerva menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku senang
engkau datang lebih cepat. Aku hanya tidak menyangka engkau datang lebih
cepat.”
Pangeran Alcon tersenyum. “Engkau memang anak nakal yang tidak
pernah mendengarkan kata-kataku.”
“Engkau berkata akan kembali seminggu sebelum pesta itu,” kata
Princess Minerva mengingatkan.
Pangeran Alcon tersenyum lagi. “Raja Pyre mengerti kalau aku
merindukan putri kecilku yang baru saja menghilang dan ia mengijinkan kami
pulang lebih awal.”
Suara batuk yang dibuat Raja untuk menarik perhatian, membuat
Princess Minerva tersenyum pada orang tuanya yang berdiri di belakang
kakaknya.
Pangeran Alcon tersenyum nakal kepada Raja. Ia menahan tubuh
adiknya yang hendak menghampiri orang tuanya tetapi Princess Minerva
lebih cepat darinya.
Sekarang ganti Princess Minerva yang tersenyum nakal.
Melihat senyum nakal yang manis itu, Pangeran Alcon tersenyum
sambil berkata, “Engkau memang nakal.”
Princess Minerva tersenyum dan berusaha menghindari Pangeran Alcon
yang hendak melarangnya menghampiri orang tuanya.
Pangeran Alcon mengejar Princess Minerva yang berlari di memutari
ruangan itu.
Duke dan Duchess of Blueberry yang melihat hal itu terpana sedangkan
Raja tertawa dan Ratu tersenyum.
Mrs. Wve juga tersenyum melihat tingkah kedua putra Raja yang seperti
anak kecil itu.
Mrs. Vye terpana seperti keluarga Blueberry dan ia semakin terpana
ketika Princess Minerva tertawa sambil terus berusaha menghindari kakaknya
yang terus mengejarnya di ruangan itu.361
“Sudah. Kalian jangan bertingkah seperti anak kecil lagi,” kata Ratu,
“Untung sekali ruangan ini luas.”
Princess Minerva masih tertawa ketika ia menjatuhkan dirinya ke dalam
pelukan ayahnya.
“Al nakal, Mama,” kata Princess Minerva sambil tersenyum kepada
kakaknya.
Pangeran Alcon pura-pura marah melihat itu. “Begitu, ya. Sekarang aku
yang nakal.”
“Sejak dulu engkau memang nakal, Alcon. Engkau selalu merebut
Minerva dariku,” kata Raja.
Pangeran Alcon tersenyum nakal mendengar kata-kata itu. “Papa sudah
punya Mama dan aku hanya punya Minerva.”
Princess Minerva menghampiri ibunya dan mencium kedua pipi ibunya.
“Sudah lama sekali engkau tidak tertawa,” kata Ratu.
Princess Minerva melihat Pangeran Alcon. “Bagaimana aku bisa tertawa
kalau aku dikurung dalam kamarku?”
“Sekarang engkau sudah keluar dari kamarmu dan itu berarti engkau
melanggar janjimu,” kata Pangeran Alcon.
Mendengar tuduhan itu, Princess Minerva tersenyum. “Engkau senang
bila aku tidak menyambutmu?”
Pangeran Alcon mengeluh. “Engkau semakin pandai membuat aku
kebingungan. Benar aku tidak senang engkau tidak menyambutku tetapi aku
lebih tidak senang melihat engkau jatuh sakit. Lihatlah sekarang wajahmu
memucat kembali.”
Raja menatap wajah Princess Minerva dan terpekik terkejut.
“Kembalilah ke kamarmu, Minerva. Kakakmu benar wajahmu kembali
memucat.”
Pangeran Alcon tersenyum penuh kemenangan, “Sekarang giliranku.”
Alexander terkejut melihat senyum kemenangan itu seperti senyum
Maria saat ia membujuk ayah Ityu agar mengijinkan putranya bermain ke
pondok Mrs. Vye di malam hari.
Princess Minerva tersenyum mendengar kata-kata itu. Ia tahu apa yang
dimaksudkan kakaknya. Kakaknya akan merebut kembali dirinya dari
ayahnya.
Raja mengeluh mendengar kata-kata kemenangan itu. “Senyum
kemenangan itu,” kata Raja.362
Ratu tersenyum mendengarnya. “Senyum kemenangan khas keluarga
Raja,” kata Ratu pada semua orang.
Pangeran Alcon mendekati adiknya. Sambil tersenyum kemenangan
kepada Raja, ia mengangkat tubuh adiknya.
Ratu tersenyum melihat kedua putranya meninggalkan ruangan itu dan
Raja yang memandang iri.
“Sejak dulu mereka selalu berebut Minerva,” kata Ratu ketika
menyadari kebingungan tamu-tamunya serta Mrs. Vye.
“Dan selalu saja Alcon yang menang,” kata Raja sedih.
“Sudahlah,” hibur Ratu, “Mereka memang akrab sekali. Aku yakin
semua orang akan mengira mereka adalah kekasih bila mereka tidak mirip.”
“Ya, mereka sangat akrab sehingga aku merasa mereka terlalu akrab.”
Ratu tersenyum mendengar kata-kata Raja yang pura-pura cemburu
terhadap keakraban kedua putra mereka.
“Mari kita ke kamar Minerva,” kata Ratu kepada semua orang yang ada
di sana.
Mereka segera mengikuti Ratu ke kamar Princess Minerva untuk ikut
dalam kegembiraan Pangeran Alcon dan Princess Minerva.
Ketika mereka tiba di sana, Princess Minerva sedang bermain piano
untuk kakaknya yang berdiri di sampingnya. Walaupun Princess Minerva
bermain sambil bercanda tetapi permainannya tetap terdengar merdu.
Keduanya sibuk dengan diri mereka sendiri hingga tidak mengetahui
orang-orang yang mereka tinggalkan di Ruang Duduk kini telah berada di
sana. Dan tidak seorang pun yang ingin mengganggu kebahagiaan kakak
beradik yang telah lama berpisah itu.
363
20
Pangeran Alcon yang sedang berbicara dengan Duke of Blueberry di
Ruang Perpustakaan terkejut ketika Mrs. Wve memasuki ruangan itu dengan
tergesa-gesa.
“Ada apa, Mrs. Wve?” tanya Pangeran.
“Princess Minerva pingsan.”
Pangeran terkejut mendengar jawaban yang diberikan Mrs. Wve. Ia
segera bangkit dari tempat duduknya. “Di mana ia pingsan?”
“Di dapur.”
Sekali lagi Pangeran Alcon terkejut mendengar jawaban Mrs. Wve.
“Minerva memang anak nakal. Sekali diberi ijin meninggalkan kamarnya, ia
akan menggunakannya sebaik-baiknya untuk memulai segala kegiatan
rutinnya.”
“Saya sudah berusaha melarang Princess tetapi ia tetap memaksa. Kata
Princess, ia tidak akan kedinginan bila berada di dapur. Ia justru akan merasa
kedinginan bila diam saja,” kata Mrs. Wve.
“Minerva memang anak yang tidak dapat diam,” kata Raja.
“Anak satu ini memang sangat sulit diminta diam walau hanya satu
detik. Selalu saja ada yang dilakukannya tetapi kali ini memang benar-benar
keterlaluan. Bagaimana ia bisa bermain di dapur yang terletak di bawah
tanah?” kata Pangeran.
“Kita tidak dapat menyalahkan sifatnya yang sulit disuruh diam itu,”
kata Ratu yang juga berada di ruang itu, “Sikapnya yang sulit diam itu justru
membuat Istana ini menjadi ceria.”
“Musim semi tahun ini memang datang lebih cepat di Istana Plesaides
tetapi udara tetap saja terlalu dingin bagi Minerva untuk berkeliaran di dalam
Istana seperti kebiasaannya,” kata Pangeran Alcon.
“Princess Minerva berkata ia tidak akan kedinginan di sana karena di
sana banyak orang,” kata Mrs. Wve.
Pangeran Alcon tersenyum melihat Mrs. Wve berusaha terus menerus
membela Princess Minerva. “Aku mengerti, Mrs. Wve. Sekarang tunjukkan
padaku di mana anak nakal itu berada.”364
“Kami telah membaringkan Princess di Ruang Duduk,” kata Mrs. Wve.
Pangeran segera meninggalkan ruangan itu dan bergegas menuju
Ruang Duduk yang dekat dengan tangga menuju dapur.
Mrs. Vye yang sedang memangku kepala Princess Minerva segera
membaringkan kepala Princess di sofa panjang itu dan menepi demikian pula
beberapa pelayan yang mengelilingi Princess Minerva ketika melihat
Pangeran Alcon.
Pangeran mendekati Mrs. Vye. “Ia pucat sekali,” kata Pangeran Alcon
sambil menyibakkan rambut yang menutupi wajah adiknya.
“Princess Minerva terlalu lelah, Pangeran,” kata Mrs. Vye.
Pangeran Alcon tersenyum. Ia segera mengangkat tubuh Princess
Minerva.
“Mintalah Durant segera memanggil Dokter Donter,” kata Ratu pada
Mrs. Wve.
Mrs. Wve mengangguk dan membungkuk sebelum meninggalkan Ruang
Duduk.
Seperti kemarin Ratu beserta Raja dan keluarga Duke of Blueberry
segera mengikuti Pangeran Alcon yang membawa Princess Minerva ke
kamarnya. Bedanya kemarin mereka mengikuti Pangeran dan segera
terhanyut dalam keceriaan yang dibuat Pangeran Alcon bersama Princess
Minerva, sekarang mereka cemas akan keadaan Princess Minerva.
“Apakah Anda kuat membawa Princess Minerva ke kamarnya?” tanya
Duke ketika mengikuti Pangeran Alcon yang berjalan ke kamar Princess
Minerva sambil membopong adiknya.
Pangeran Alcon tersenyum. “Aku telah biasa melakukan ini lagipula
Minerva sangat ringan.”
Duke hanya termangu mendengar jawaban itu. Bagi Duke ini adalah
pertama kalinya ia melihat hubungan kakak beradik yang sangat akrab
seperti Pangeran Alcon dengan Princess Minerva.
Dokter Donter segera datang tak lama kemudian. Dokter itu tidak kalah
cemasnya dari orang-orang yang telah berkumpul di kamar Princess Minerva.
Setelah Dokter Donter memeriksa Princess Minerva, mereka segera
meninggalkan Princess sendirian di kamarnya.
“Bagaimana keadaan Minerva?” tanya Ratu.
“Ia baik-baik saja. Princess Minerva hanya terlalu lelah dan juga sedikit
kedinginan, saya rasa. Di manakah ia berada sebelum pingsan?”365
“Anda dapat menebaknya, Dokter. Di mana Minerva biasa berada bila ia
berada di Istana selain di Ruang Perpustakaan?” kata Pangeran.
“Di dapur!” seru Dokter Donter terkejut, “Apa yang dilakukannya di
sana?”
“Seperti biasanya, apa yang dilakukan Minerva di dapur,” kata
Pangeran.
“Princess Minerva tidak memasak, ia hanya memperhatikan kami,” kata
Mrs. Wve membela Princess Minerva.
Pangeran Alcon tersenyum melihat usaha Mrs. Wve membela Princess
Minerva. “Aku mengerti, Mrs. Wve. Aku tidak menyalahkan siapa pun karena
memang Minerva tidak pernah dapat diam.”
“Ia adalah satu-satunya Princess yang tidak pernah dapat diam,” kata
Dokter Donter.
“Untuk membuatnya diam, kita harus memberikan obat tidur
kepadanya,” kata Pangeran sambil menatap penuh arti pada Dokter Donter.
Dokter Donter tersenyum. “Saya mengerti, Pangeran.”
“Terima kasih, Dokter,” kata Ratu, “Saya yakin cara ini akan mampu
membuat Minerva tetap berada di kamarnya.”
Raja termangu seperti sedang berpikir. “Aku heran, Minerva memang
mewarisi hampir semua sifat ratu sebelumnya tetapi seingatku tidak ada
nenek moyangku yang tidak mau diam, seperti dia.”
Duke yang tak mengerti akan perkataan Raja berkata, “Mewarisi sifat?”
Raja tersenyum mendengar pertanyaan tak mengerti itu.
“Minerva memang mewarisi hampir semua sifat Ratu sebelumnya.
Kepandaiannya menata ruangan berasal dari nenekku, Ratu Gorie. Kebaikan
hatinya berasal dari nenek Ratu Gorie. Dan masih banyak lagi yang diwarisi
Minerva dari Ratu sebelumnya,” kata Raja menjelaskan.
“Kemahirannya bermain piano diwarisi Minerva dari Mama,” tambah
Pangeran Alcon sambil tersenyum menatap ibunya.
“Minerva memang memiliki sifat tersendiri yang membuatnya tampak
menarik di samping semua sifat yang diwarisinya itu. Minerva memiliki
kebijaksanaan yang membuat kami semua merasa kagum selain itu ia
memiliki mata ungu yang indah,” kata Ratu.
“Saya mengagumi mata ungu Princess Minerva yang jernih. Ini pertama
kalinya saya melihat mata yang berwarna ungu,” kata Duchess.
“Ini juga yang pertama kalinya bagi kami semua,” kata Ratu.366
Merasa semua orang akan mulai membicarakan adiknya, Pangeran
tersenyum. Ia juga ingin ikut membicarakan kelebihan adiknya yang
membuatnya berbeda dari gadis-gadis seusianya tetapi ia tahu ada suatu
masalah penting yang harus diselesaikannya.
“Aku akan menjaga Minerva,” kata Pangeran Alcon.
Raja dan Ratu mengangguk mendengar hal itu sedangkan Mrs. Wve
berkata, “Biarkan saya yang menjaga Princess Minerva.”
“Tidak perlu, Mrs. Wve,” kata Pangeran sambil menatap penuh arti
kepada Mrs. Wve.
Mrs. Wve mengerti arti tatapan itu. Ia tersenyum pada Pangeran Alcon
seakan-akan ia memberi dukungan kepada Pangeran.
Setelah mendapat ijin dari kedua orang tuanya, Pangeran Alcon
berkata, “Temani aku, Alexander.”
Alexander segera mengikuti Pangeran Alcon meninggalkan Ruang
Duduk sambil bertanya-tanya mengapa Pangeran Alcon mengajaknya.
Selama perjalanan menuju kamar Princess Minerva, Pangeran hanya
tersenyum dan membuat Alexander semakin bertanya-tanya.
Api di perapian menyala terang menerangi seluruh Ruang Duduk kamar
Princess Minerva. Udara terasa sangat hangat di dalam ruangan itu.
Tanpa berkata apa-apa, Pangeran Alcon mendekati perapian itu dan
memasukkan beberapa batang kayu.
Alexander berdiri termangu. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang
sebenarnya direncanakan Pangeran Alcon. Ia sendiri juga tidak mengerti
mengapa ia sangat percaya Pangeran Alcon sedang merencanakan sesuatu.
“Berapa usiamu?” tanya Pangeran Alcon.
Alexander terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu dan tidak
pernah diduganya. “Dua puluh tujuh, Pangeran ,” jawabnya.
Pangeran tersenyum. “Panggilah aku Alcon dan lupakan segala
kesopanan itu. Aku hanya satu tahun lebih tua darimu.”
Pangeran duduk kemudian ia menunjuk kursi di hadapannya.
“Duduklah. Aku tidak bermaksud menghukummu, aku hanya ingin memberi
sedikit pertanyaan.”
Alexander duduk di kursi yang ditunjuk Pangeran.
Tanpa mengulur waktu, Pangeran Alcon bertanya, “Apakah sebelum ini
engkau mengenal Minerva? Maksudku waktu ia masih sebagai Maria di
Obbeyville.”367
Alexander mengangguk membenarkan kata-kata Pangeran Alcon.
“Engkau tentunya telah mengetahui segala sesuatu tentang Minerva
baik dari Mrs. Wve, Mrs. Vye maupun semua orang di Istana ini. Sekarang aku
ingin tahu bagaimana Minerva menurut pandanganmu? Apakah ia menarik
atau bagaimana?”
“Seperti orang-orang lainnya, aku menganggap ia sangat menarik,”
kata Alexander.
Pangeran Alcon tersenyum. “Ia memang seorang gadis yang sangat
menarik. Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu terhadapnya?”
Alexander terdiam mendengar pertanyaan itu.
“Aku mengerti pertanyaanku ini sulit dijawab tetapi aku tidak dapat lagi
menahan rasa ingin tahuku.”
Melihat Alexander masih belum menjawab pertanyaannya, Pangeran
Alcon berkata, “Aku tidak memaksamu menjawab pertanyaan itu. Aku hanya
ingin mengatakan kecurigaanku terhadap kalian berdua.”
“Curiga?” tanya Alexander tak mengerti.
“Aku memang tidak tahu apa yang telah terjadi selama Minerva berada
di Obbeyville tetapi aku tahu telah terjadi sesuatu. Sejak aku tiba, aku melihat
sikap Minerva aneh. Ia seperti berusaha menghindarimu. Dan ketika Minerva
kembali dari Obbeyville, ia sering mengingau memanggil nama ‘Al’. Memang
itu nama panggilan yang diberikan Minerva padaku tetapi aku tahu bukan aku
yang dicari Minerva. Sebenarnya apa yang telah terjadi?”
Alexander terdiam mendengar pertanyaan itu.
“Aku mengerti bila engkau juga tidak mau menceritakan hal itu
kepadaku tetapi aku yakin telah terjadi sesuatu. Minerva memang tidak akan
pernah mau menceritakan perasaannya kepada siapapun termasuk aku.
Apakah ia pernah mengatakan perasaannya atau pendapatnya mengenai
sesuatu kepadamu?”
Alexander memandang bingung. “Ia pernah mengatakan perasaannya
kepadaku juga pendapatnya mengenai suatu masalah tetapi tidak terlalu
sering.”
Pangeran Alcon tersenyum. “Sudah kuduga.”
Alexander benar-benar tidak mengerti dengan permainan yang sedang
dilakukan Pangeran Alcon. Pangeran Alcon sejak tadi hanya tersenyum dan
matanya bersinar aneh seperti sinar kemenangan.
Pangeran Alcon tahu Alexander tidak mengerti dengan semua 368
pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Untuk mengurangi perasaan tidak
mengerti Alexander itu, ia berkata, “Engkau telah mengetahui segala
sesuatunya tentang Minerva baik dari Mrs. Wve, Mrs. Vye maupun Jacques?”
Alexander mengangguk.
“Apa yang dikatakan mereka memang benar, Minerva seorang gadis
yang menarik. Tetapi ada suatu hal yang hanya diketahui olehku,” kata
Pangeran Alcon, “Minerva adalah gadis yang tertutup. Ia tidak menyukai
suasana yang ramai. Karena itu ia memilih tempat ini yang jauh dari
keramaian.”
“Karena itukah kamar Princess terpisah dari kamar-kamar keluarga Raja
lainnya,” gumam Alexander.
Pangeran mengangguk. “Ya, di sinilah Minerva biasa menghabiskan
waktunya selain di Ruang Perpustakaan atau di dapur. Semua orang
mengetahui Minerva sebagai seorang gadis yang tidak mau diam tetapi aku
mengenalnya sebagai seorang gadis yang tertutup.”
“Minerva sama sekali tidak pernah mau membicarakan perasaannya. Ia
tidak pernah mengatakan hal itu kepadaku. Bila ia mempunyai pendapat
mengenai suatu masalah, ia tidak akan pernah mengutarakannya. Hanya
kepadaku saja ia mau mengatakan pendapatnya karena itu aku yakin bila ia
membuka dirinya kepada orang lain, itu berarti ia memiliki perasaan istimewa
terhadap orang itu.”
Alexander diam berpikir mendengar kata-kata Pangeran Alcon.
“Sesuatu memang telah terjadi tetapi itu tidak seburuk yang engkau
bayangkan.”
“Aku memang telah menduganya. Aku mengerti bila engkau tidak mau
menceritakan lebih jauh kepadaku mengenai itu. Aku percaya kepadamu apa
yang terjadi itu tidak seburuk yang kukira,” kata Pangeran Alcon, “Aku hanya
meminta engkau segera menyelesaikan masalah itu. Aku tidak ingin Minerva
disakiti seperti yang pernah kulakukan.”
Alexander terkejut mendengar perkataan Pangeran Alcon. “Engkau
pernah menyakiti hati Princess?”
Pangeran Alcon tersenyum. “Memang tidak dapat dipercaya aku pernah
menyakiti perasaan Minerva bila melihat akrabnya hubungan kami. Tetapi itu
memang benar aku telah menyakiti hati Minerva.”
Pangeran Alcon mulai menceritakan kejadian yang tidak pernah
dilupakannya kepada Alexander.369
Sewaktu kecil Pangeran Alcon sangat membenci adiknya. Ia tidak
menyukai adiknya yang telah merebut semua perhatian orang tuanya yang
semula hanya ditujukan padanya. Selama sepuluh tahun, ia menyukai
kehidupannya sebagai putra tunggal yang selalu mendapat perhatian siapa
saja. Tetapi sejak adiknya lahir, perhatian semua orang berpindah pada
adiknya. Apalagi sejak lahir Princess Minerva sering demam.
Rasa iri yang terus tumbuh di hatinya membuat Pangeran Alcon
semakin tidak menyukai Princess Minerva. Tetapi Princess Minerva yang
masih kecil tidak menyadari itu bahkan ia bersikap manja kepada kakaknya.
Pangeran Alcon semakin tidak menyukai adiknya yang selalu bersikap manja
terhadapnya. Princess Minerva sering meminta Pangeran menemaninya
sewaktu ia akan tidur tetapi Pangeran Alcon selalu menolaknya dengan kata-
kata yang tajam.
Hal itu tidak membuat Princess Minerva merasa gentar bahkan Princess
Minerva dengan tersenyum manis meminta Pangeran Alcon menjaganya
sampai ia tertidur. Senyum manis Princess Minerva mampu membuat setiap
orang berubah pikiran demikian pula Pangeran Alcon. Walaupun Pangeran
Alcon sering berubah pikiran bila melihat senyum itu, ia tetap
mempertahankan dirinya untuk tidak menuruti keinginan adik yang sangat
dibencinya. Hanya sesekali saja Pangeran Alcon menuruti keinginan Princess
Minerva.
Sejak kecil Princess Minerva telah menunjukkan rasa sayangnya kepada
kakaknya tetapi Pangeran Alcon selalu menolaknya hingga suatu kejadian
yang merubah semua itu.
Saat itu Princess Minerva baru berusia empat tahun tetapi ia telah
menjadi seorang putri kecil yang menarik hati setiap orang demikian pula
Pangeran Alcon tetapi saat itu Pangeran Alcon tidak mau mengakuinya.
Ketika Princess Minerva meminta Pangeran Alcon mengantarnya ke laut
yang dekat Istana, Pangeran Alcon menurutinya.
Saat itu Pangeran Alcon menuruti keinginan Princess Minerva bukan
karena ia terpesona pada Princess hingga mau melakukan apa saja untuk
Princess seperti semua orang, tetapi karena suatu keinginan yang tiba-tiba
muncul di hatinya. Pangeran Alcon berharap dengan membawa Princess ke
pantai sesuai keinginan adiknya, ia dapat dengan mudah menyingkirkan
Princess Minerva yang telah merebut hati semua orang.
Pangeran Alcon tahu Princess Minerva sangat suka melihat matahari 370
terbit atau tenggelam karena itu ia mengajak Princess Minerva pergi ke
pantai tepat sebelum matahari terbit.
Princess Minerva sangat senang karenanya.
Saat matahari mulai tenggelam, Pangeran Alcon sengaja meninggalkan
Princess Minerva yang terpesona pada pemandangan di hadapannya.
Pangeran bersembunyi di balik sebuah pohon tempat ia menambatkan
kudanya. Semula Pangeran Alcon memang bermaksud meninggalkan Princess
Minerva di sana dan berkata kepada orang tuanya bahwa Princess Minerva
hilang. Tetapi perasaan iba dan sayang yang tiba-tiba muncul membuat
Pangeran Alcon merasa ragu. Akhirnya Pangeran Alcon bersembunyi di balik
pohon itu sambil terus mengawasi Princess Minerva.
Setelah matahari itu benar-benar tenggelam, barulah Princess Minerva
mengalihkan perhatiannya dari permukaan laut. Princess Minerva sangat
cemas ketika melihat Pangeran Alcon tidak ada di dekatnya.
“Al! Di mana engkau?” tanya Princess Minerva cemas.
Tetapi tidak ada jawaban. Princess Minerva semakin cemas karenanya.
Melihat langit yang semakin malam, Princess Minerva menjadi semakin
takut. Ia tidak berani meninggalkan tempatnya. Princess Minerva terus
menerus memanggil nama kakaknya.
Pangeran Alcon terus bersembunyi di balik pohon itu walaupun ia
mendengar suara panggilan Princess Minerva yang mencemaskan
keadaannya. Langit semakin malam dan udara semakin dingin tetapi
Pangeran Alcon tidak segera menghampiri adiknya.
Princess Minerva benar-benar cemas. Ia berusaha mengabaikan udara
dingin yang menerpanya sambil terus memanggil nama kakaknya. Akhirnya
Princess Minerva tidak sanggup bertahan lagi dalam udara dingin itu. Ia jatuh
pingsan.
Saat itulah Pangeran Alcon keluar dari persembunyiannya. Pangeran
Alcon sangat cemas ketika melihat adiknya pingsan dan ia semakin cemas
karena tubuh Princess Minerva sangat panas. Pangeran Alcon segera
membawa adiknya kembali ke Istana.
Ketika Dokter Donter sedang memeriksa Princess Minerva di kamarnya,
Pangeran Alcon berkata, “Maafkan aku, Papa. Aku tidak dapat menjaga
Minerva dengan baik.”
Raja tersenyum mendengar penyesalan putranya. “Tidak apa-apa,
Alcon. Aku mengerti.”371
Pangeran Alcon menggelengkan kepalanya. “Papa, tidak mengerti. Tadi
aku berniat meninggalkan Minerva sendirian di sana.”
Raja masih tetap tersenyum walaupun telah mendengar pengakuan
putranya. “Aku mengerti, Alcon. Aku tidak menyalahkanmu.”
“Aku menyesal, Papa. Aku benar-benar menyesal telah menyebabkan
Minerva sakit dan aku menyesal telah membencinya.”
Raja menepuk pundak Pangeran Alcon sambil tersenyum penuh
pengertian.
“Aku mengerti, Alcon. Aku dan Mamamu memang telah menduga
engkau akan membenci adikmu. Kami mengerti bagaimana perasaanmu
setelah sepuluh tahun engkau mendapat perhatian penuh tiba-tiba perhatian
itu tercurah pada adikmu. Kami mengerti semua itu, Alcon, dan kami tidak
menyalahkanmu. Minerva memang mudah sakit.”
Saat itu Dokter Donter muncul dari kamar Princess Minerva beserta
Ratu.
“Bagaimana keadaan Minerva, Dokter?” tanya Raja.
“Ia demam,” kata Dokter Donter, “Dan seperti yang telah saya duga,
Princess Minerva tidak tahan dengan udara dingin. Selama ini saya telah
berusaha menemukan sebab Princess Minerva sering demam dan saya
mengambil kesimpulan ia tidak tahan udara dingin.”
“Apakah itu berbahaya bagi kesehatannya?” tanya Raja.
“Sebaiknya kita menghindari Princess Minerva sering demam,” jawab
Dokter Donter.
“Apakah yang dapat kami lakukan untuk mencegah Minerva sakit?”
tanya Ratu.
Dokter Donter terdiam. “Mungkin kita harus memindahkan Princess
Minerva ke tempat lain yang lebih hangat. Tetapi itu sulit, karena saya yakin
Anda tidak akan tega berpisah dengan Princess Minerva.”
Raja tersenyum. “Anda benar, Dokter Donter.”
“Saya hanya dapat mengusulkan Princess Minerva pindah ke tempat
lain yang udaranya lebih hangat daripada di Istana Plesaides di saat udara
dingin dan udara panas. Tetapi itu berarti Anda hanya dapat berkumpul
dengan Princess Minerva selama kurang lebih tiga bulan.”
Raja dan Ratu terdiam mendengar usul Dokter Donter.
Pangeran Alcon yang sejak tadi termenung mendengar kata-kata Dokter
Donter semakin merasa bersalah.372
“Bila itu satu-satunya cara, kami hanya dapat melakukannya,” kata
Raja pada akhirnya.
“Baiklah, sekarang semuanya telah selesai. Saya mohon diri dulu, bila
Anda tidak berkeberatan,” kata Dokter Donter.
Raja dan Ratu mengantar Dokter Donter hingga di depan Istana
Plesaides sedangkan Pangeran Alcon menjaga adiknya. Pangeran Alcon
merasa menyesal melihat wajah adiknya yang pucat. Saat itulah Pangeran
Alcon menyadari wajah adiknya sangat cantik.
“Mengapa sebelumnya aku tidak pernah menyadari wajah adikku
sangat cantik?” tanya Pangeran Alcon pada dirinya sendiri. Pangeran Alcon
sibuk memandangi wajah Princess Minerva hingga tidak menyadari
kedatangan kedua orang tuanya.
“Alcon,” kata Ratu.
“Aku menyesal, Mama. Aku benar-benar menyesal,” kata Pangeran
Alcon.
Ratu tersenyum. “Mama mengerti, Alcon. Mama minta maaf. Selama ini
Mama hanya sibuk memperhatikan adikmu sehingga engkau merasa benci
pada adikmu. Mama berjanji juga akan memperhatikan dirimu. Tetapi Mama
juga meminta engkau berjanji tidak akan membenci adikmu lagi.”
“Apakah semua telah terlambat?” kata Pangeran Alcon penuh
penyesalan.
Raja menggelengkan kepalanya. “Tidak, Alcon. Selama engkau mau
berubah semuanya tidak terlambat.”
Pangeran Alcon tersenyum mendengar hal itu. “Aku berjanji, Mama. Aku
janji tidak akan membenci Minerva lagi. Aku akan selalu berada di samping
Minerva dan menjaganya.”
Ratu tersenyum sedih mendengar janji Pangeran Alcon. “Engkau telah
mendengar sendiri apa yang dikatakan Dokter Donter. Kita tidak akan dapat
berkumpul lagi dengan Minerva sepanjang tahun.”
Pangeran Alcon terkejut. Ia teringat akan kata-kata Dokter Donter dan
semakin merasa menyesal.
“Papa, ijinkan aku mengurus Minerva,” kata Pangeran Alcon setelah
terdiam beberapa saat, “Ijinkan aku yang mengurus segala hal yang
menyangkut Minerva. Ijinkan aku memutuskan segala sesuatunya untuk
Minerva.”
Raja dan Ratu terkejut mendengar permintaan Pangeran Alcon.373
“Engkau masih terlalu kecil, Alcon,” kata Ratu.
Pangeran Alcon tidak menyerah. “Ijinkan aku, aku janji aku tidak akan
mengecewakan kalian. Aku akan menjaga Minerva sebaik kalian. Ijinkan aku,
karena ini satu-satunya cara untukku untuk menebus dosaku kepada
Minerva.”
Raja tersenyum melihat keteguhan putranya. “Baiklah, Alcon. Aku
menyerahkan Minerva kepadamu. Sekarang engkaulah yang memutuskan
segala sesuatunya untuk Minerva tetapi aku berpesan engkau tidak boleh
melupakan kami. Bila engkau mendapatkan kesulitan, mintalah bantuan
kami.”
Pangeran Alcon sangat senang setelah mendapat ijin dari ayahnya.
“Apakah itu baik?” tanya Ratu pada suaminya.
“Tidak apa-apa. Alcon sudah besar lagipula ia harus dapat menunjukkan
rasa sayangnya pada Minerva. Sudah lama ia membenci Minerva sekarang
saatnya ia menunjukkan besarnya rasa sayangnya pada Minerva,” kata Raja
meyakinkan Ratu.
Ratu tersenyum mendengarnya. Ia tahu keputusan Raja adalah benar.
Dengan demikian Pangeran Alcon akan merasa bertanggung jawab
sepenuhnya terhadap adiknya dan tidak akan lagi merasa benci kepada
adiknya.
Sejak saat itu sikap Pangeran Alcon terhadap Princess Minerva benar-
benar berubah. Pangeran Alcon menjadi sangat menyayangi adiknya dan
selalu memperhatikan adiknya seperti janjinya pada orang tuanya. Raja dan
Ratu merasa senang dengan perubahan Pangeran Alcon. Mereka senang
melihat hubungan kedua kakak beradik itu yang menjadi semakin akrab.
Setiap kali Princess Minerva tidak berada di Istana Plesaides, Pangeran
Alcon merasa sedih dan kesepian. Tetapi bila Princess ada di Istana Plesaides,
Pangeran Alcon menjadi seorang yang sangat periang yang selalu
memanjakan Princess.
Setiap kali Princess Minerva berada di Istana, selalu ada tawa yang
menghiasi kehidupan Istana. Princess Minerva dengan daya tariknya
membuat semua orang di sekitarnya merasa gembira dan selalu ceria. Karena
itu semua orang mengatakan musim semi adalah musim cerianya Istana
Plesaides.
Walaupun Raja telah mengatakan Pangeran Alcon boleh memutuskan
segala sesuatunya untuk adiknya tetapi mereka tidak pernah melewatkan 374
pengawasan mereka terhadap segala keputusan Pangeran Alcon.
Sejak Pangeran Alcon memperoleh kepercayaan dari kedua orang
tuanya, Pangeran benar-benar memanfaatkan kesempatan itu untuk
menebus kesalahannya. Tidak pernah ada keputusan yang dibuat Pangeran
untuk Princess yang tidak disetujui Raja dan Ratu.
Alexander terkejut mendengar cerita itu. Ia tidak pernah menyangka
Pangeran Alcon yang selama ini terlihat sangat menyayangi adiknya ternyata
dulu pernah menyakiti perasaan adiknya.
“Karena itu engkau yang memutuskan segala sesuatu mengenai
Minerva,” kata Alexander.
Pangeran Alcon mengangguk. “Karena itu pula aku tidak ingin Minerva
disakiti lagi. sekarang yang kuinginkan adalah engkau segera menyelesaikan
masalahmu dengan Minerva.”
Alexander tampak ragu-ragu. “Apakah Princess akan mau menerima
penjelasanku dan memaafkanku?”
Pangeran Alcon tersenyum. “Engkau tahu arti nama Minerva?”
Alexander mengangguk. “Minerva dari bahasa Yunani yang berarti
kebijaksanaan.”
“Dan seperti arti namanya, Minerva memang seorang gadis yang
bijaksana. Ia selalu tahu bagaimana ia harus bersikap. Ia pasti mau
mendengarkan kata-katamu,” kata Pangeran Alcon, “Minerva seorang anak
yang penurut kecuali bila disuruh diam. Ia paling tidak dapat diam.”
“Ya, sewaktu di Obbeyville, ia juga tidak pernah mau diam. Selalu ada
saja yang dilakukannya. Entah itu membantu Mrs. Vye di Sidewinder House,
berdongeng kepada anak-anak.”
Pangeran Alcon tertawa mendengar kata-kata Alexander. “Aku telah
menduganya. Nanti bila ia bangun, ia pasti juga tidak mau diam. Sekarang
jagalah dia. Aku akan menyelesaikan urusanku.”
Pangeran Alcon berjalan ke pintu dan sebelum ia menghilang di balik
pintu itu, ia berkata, “Bila masalahmu dengan Minerva sudah selesai, aku
ingin engkau memberi tahuku bagaimanakah rupa Baroness Lora maupun
Lady Debora.”
Alexander berdiri termangu di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya. Baginya ini pertama kalinya ia sendirian di kamar Princess
Minerva yang besar.
Suara burung yang berasal dari dekat piano menarik perhatian 375
Alexander.
Ketika ia memperhatikan burung itu, pintu terbuka kembali dan
tampaklah Pangeran Alcon yang terkejut.
“Mengapa engkau belum ke tempat Minerva?” tanya Pangeran.
Alexander diam saja.
“Aku mengerti engkau merasa ragu. Tetapi ingatlah apa yang telah
kukatakan kepadamu. Minerva selalu tahu apa yang harus dilakukannya.”
Walaupun Pangeran Alcon telah meyakinkannya tetapi Alexander tetap
merasa ragu-ragu. “Aku telah sangat bersalah kepadanya. Mungkin ia tidak
mau mendengarkan kata-kata saya.”
Pangeran tersenyum. “Apakah ia pernah tertawa bersamamu?”
Pertanyaan itu membuat Alexander merasa bingung.
“Minerva selalu tahu apa yang harus dilakukannya karena itu ia selalu
menahan dirinya. Apa pun yang dirasakannya, Minerva selalu tersenyum,”
kata Pangeran Alcon memberi penjelasan.
Alexander mengangguk mendengar penjelasan Pangeran Alcon. Selama
berada di Obbeyville, ia selalu melihat Princess tersenyum sehingga semua
orang menganggap Princess merasa senang. Hanya dirinya sendiri yang tahu
sesungguhnya Princess Minerva merasa sedih dan bingung oleh masa lalunya
yang hilang dari ingatannya.
“Princess Minerva selalu terlihat tenang dengan senyum yang selalu
menghiasi wajahnya,” kata Alexander.
“Aku mengagumi ketenangan yang dimilikinya. Ia selalu dapat
tersenyum walaupun hatinya sedang sedih. Dan bila ia merasa senang, ia
juga selalu tersenyum. Ia jarang tertawa karena itu aku yakin bila ia pernah
tertawa bersamamu, ia pasti mempunyai perasaan khusus terhadapmu.”
“Princess Minerva selalu tertawa bersamamu, Alcon,” kata Alexander.
Pangeran Alcon mengangguk. “Ya, Minerva memang selalu tertawa bila
ia bersamaku. Seperti yang pernah kukatakan Minerva hanya membuka
dirinya kepadaku tetapi ia tidak membuka dirinya sepenuhnya. Ia tidak mau
mengatakan apa yang telah terjadi selama ia berada di Obbeyville.”
Alexander merasa bersalah mendengar nada sedih dalam suara
Pangeran Alcon. Alexander tahu sedikit banyak ia juga yang telah membuat
Pangeran Alcon merasa sedih karena Princess Minerva tidak mau
menceritakan apa yang telah terjadi selama ia berada di Obbeyville. “Jangan
sedih, Alcon. Mungkin Princess Minerva tidak pernah mau mengatakannya 376
karena ia tidak ingin membuatmu merasa sedih,” hibur Alexander.
Pangeran Alcon mengangguk sedih. “Ya, karena itu pula ia tidak pernah
terlihat sedih di hadapanku. Entah engkau percaya atau tidak tetapi ini benar.
Aku selalu melihatnya tertawa tetapi tidak pernah melihatnya sedih atau
menangis hingga detik ini.”
Alexander terkejut mendengar kata-kata Pangeran Alcon. “Princess
tidak pernah menangis?” tanyanya tak percaya.
“Ia selalu tersenyum dan tertawa tetapi ia tidak pernah terlihat
menangis. Kurasa bukan hanya aku saja yang tidak pernah melihatnya sedih,
semua orang selalu melihat ia gembira,” kata Pangeran Alcon.
Alexander terpana mendengar kata-kata Pangeran. Ia sukar
mempercayai apa yang didengarnya.
Pangeran Alcon tersenyum. “Minerva memang hebat, bukan? Sungguh
suatu kemampuan yang luar biasa untuk dapat menahan kesedihan di balik
senyum.”
“Mungkin Princess Minerva tidak pernah merasa sedih,” kata Alexander.
Pangeran Alcon menggelengkan kepalanya. “Engkau salah, Alexander.
Minerva pernah merasa sedih, hanya saja ia tidak ingin orang lain tahu
kesedihannya. Hanya di saat ia masih seorang bayi saja, ia menangis. Setelah
itu ia sama sekali tidak pernah terlihat sedih.”
“Sukar dipercayai.”
Pangeran Alcon mengangguk. “Memang sukar dipercayai tetapi ini
nyata.”
Alexander berdiri termangu di tempatnya. Berbagai macam pikiran
muncul di benaknya.
Melihat Alexander tidak segera ke tempat adiknya terbaring, Pangeran
Alcon berkata, “Sekarang lekas temui Minerva dan selesaikan masalahmu
sebelum semuanya terlambat.”
Alexander tak mengerti apa yang dikatakan Pangeran Alcon.
Pangeran Alcon berjalan ke pintu. “Cepat selesaikan masalahmu
dengan Minerva. Aku tidak akan menganggu kalian. Tadi aku hanya ingin
memeriksa apakah segala sesuatunya telah beres.”
Melihat Alexander masih berdiri di tempatnya, Pangeran Alcon berkata,
“Aku akan memberi tahumu sesuatu yang tidak diketahui oleh Minerva
sendiri. Hidup Minerva tidak lama lagi. Kata Dokter Donter, bila Minerva
sering demam, itu berarti hidupnya tidak lama lagi. Karena itu, Alexander, 377
temui Minerva atau engkau akan menyesal seumur hidupmu.”
Alexander terkejut mendengarnya.
“Tinggalkan burung kesayangan Minerva, Alexander, dan temui putri
tidurku. Jagalah ia,” kata Pangeran Alcon sambil menutup pintu.
Alexander memandang Pangeran Alcon yang meninggalkan kamar
Princess Minerva. Setelah Pangeran Alcon menghilang di balik pintu itu,
Alexander meninggalkan sangkar burung layang-layang itu. Alexander
memandang ruangan itu. Tanpa diberi tahu siapapun, ia tahu letak Ruang
Tidur Princess Minerva. Perlahan-lahan dibukanya pintu Ruang Tidur itu.
Cahaya api dari perapian yang menerobos masuk ke ruangan itu
membuat ruangan itu menjadi terang. Sosok tubuh yang terbaring di tempat
tidur, terlukis pada tirai-tirai putih yang mengelilingi tempat tidur itu.
Alexander tersenyum sedih melihat sosok yang terlukis pada tirai-tirai
putih itu.
“Putri tidur yang cantik,” gumam Alexander sambil mendekati tempat
tidur itu, “Dan terluka karenaku.”
Alexander telah tiba di samping tempat tidur besar itu tetapi ia tidak
segera membuka tirai yang menutupi tempat tidur itu. Ia hanya memandangi
sosok yang terlukis di tirai itu. Keindahan ruang itu tidak membuat Alexander
terpesona seperti pada saat pertama kali ia memasuki kamar Princess
Minerva yang penuh bunga. Sekarang Alexander hanya terpesona pada sosok
mungil yang terbaring di tempat tidur.
Perlahan-lahan Alexander membuka tirai itu dan tersenyum sedih
melihat Princess Minerva yang terbaring di sana. Melihatnya, Alexander
teringat saat ia menjaga Princess Minerva yang terus tidur di Obbeyville.
Princess Minerva terlihat kecil di atas tempat tidur yang besar itu.
Wajahnya yang pucat tertutupi oleh rambutnya yang tergerai di atas tempat
tidur.
Alexander menyibakkan rambut yang menutupi wajah Princess Minerva
dan melihat seuntai kalung yang indah melingkari lehernya yang tertutup
leher gaun tidurnya.
Hampir seluruh ruangan ini berwarna putih, bantal yang putih, tempat
tidur putih, tirai putih. Alexander tersenyum sedih melihat Princess Minerva
dengan segala warna putih di sekitarnya.
Alexander teringat kata-kata Mrs. Wve. “Princess Minerva menyukai
warna putih. Katanya warna putih adalah warna suci dan bagi saya warna 378
putih adalah lambang kesucian hati Princess.”
“Anda benar, Mrs. Wve. Ia memang suci tetapi saya telah
menyakitinya,” gumam Alexander.
Alexander melihat sebuah kursi di depan meja rias dan membawanya
ke samping tempat tidur Princess Minerva.
Selama tiga hari Alexander berada di Istana Plesaides, ia telah banyak
menyadari kesalahannya. Ia merasa menyesal dan tidak tahu harus
bagaimana mengungkapkan penyesalannya pada Princess Minerva.
Wajah yang pucat tanpa senyum itu mengingatkan Alexander akan saat
terakhir kali ia bertemu Princess Minerva di Obbeyville. Saat itu wajah
Princess Minerva sangat pucat mendengar kata-kata kasarnya tetapi itu tidak
membuat Alexander bergeming bahkan ketika Princess Minerva menangis.
Kata-kata yang tak berbelas kasihan terus keluar dari mulut Alexander dan
terus membuat Princess Minerva menangis.
Alexander tidak tahu apa yang akan dikatakan Pangeran Alcon bila
Pangeran tahu ia telah membuat Princess Minerva menangis. Alexander tidak
merasa senang menjadi orang pertama yang membuat Princess Minerva
menangis, ia merasa sedih bahkan menyesal. Dan ia semakin menyesal
karena ia masih mengatakan kata-kata yang kasar setelah berjumpa kembali
dengan Princess Minerva.
Alexander tidak pernah dapat melupakan peristiwa pertemuannya yang
tidak terduga dengan Princess Minerva di halaman Istana.
Setelah diantar Jacques ke kamarnya, Alexander tidak ingin beristirahat.
Ia tertarik pada patung-patung yang menghiasi halaman Istana yang
dilihatnya saat ia tiba. Ketika Alexander sedang berjalan-jalan di halaman
Istana yang ditutupi salju itu, tiba-tiba ia melihat sesuatu berwarna hijau
cerah berjalan di halaman itu.
Warna hijau cerah itu menarik perhatian Alexander. Alexander terus
memandangi sosok tubuh dalam warna hijau itu yang terus berjalan di
halaman Istana. Alexander melihat sosok itu berhenti di bawah sebatang
pohon cemara dan membungkuk mencari sesuatu di sana. Lama Alexander
memandang sosok itu mencari sesuatu di bawah pohon cemara itu. Ketika
melihat sosok itu tidak segera bangkit, Alexander memutuskan untuk
mendekat dan membantunya.
Betapa terkejutnya Alexander ketika ia tiba di belakang sosok itu. Ia
melihat rambut panjang yang keemasan menyentuh salju yang menutupi 379
halaman Istana. Alexander merasa curiga dan was-was. Alexander mengenal
pemilik rambut yang juga panjang dan keemasan seperti sosok yang
membungkuk di depannya.
Alexander terpaku di tempatnya hingga ia lupa tujuannya semula.
Tak lama kemudian sosok itu berdiri dan berkata, “Kasihan sekali
engkau, burung kecil. Engkau kedinginan.”
Alexander terkejut mendengar suara yang dikenalnya itu. Suara itu
selalu ada dalam ingatannya tetapi ia selalu berusaha melupakan suara itu.
Sama seperti ia ingin melupakan pemilik suara itu.
“Maria,” desis Alexander.
Sosok itu membalikkan badannya dan tersenyum. Senyum yang
menghiasi wajah gadis itu menghilang ketika mata mereka bertemu.
Alexander terkejut melihat wajah gadis yang berdiri di hadapannya.
Wajah gadis itu adalah wajah gadis yang selama ini memenuhi benaknya
tetapi selalu berusaha dilupakannya.
Sejak melihat Maria membiarkan Lady Debora bersikap semesra itu
kepada Marcel di belakangnya, Alexander mulai mencurigai Maria dan tidak
menyukai Maria. Dalam pandangan Alexander, Maria sama seperti Lady
Debora yang selalu berusaha merayu laki-laki demi kekayaan.
“Apa yang kaulakukan di sini, Maria?” tanya Alexander tajam, “Apakah
sekarang engkau bermaksud merayu Pangeran Alcon?”
Alexander melihat gadis itu berdiri terpaku di depannya tanpa dapat
berkata apa-apa. Melihat wajah gadis itu memucat, Alexander menduga
tebakannya benar. Gadis itu adalah Maria yang sekarang bermaksud merayu
Pangeran Alcon.
“Mengapa, Maria? Apakah yang kukatakan tepat sehingga engkau tidak
dapat berbicara apa-apa?” kata Alexander tajam.
Alexander melihat wajah gadis itu semakin memucat mendengar kata-
katanya tetapi gadis itu tetap tidak bergeming. Alexander juga melihat air
mata mulai membasahi mata yang dulu pernah dikaguminya dan ia merasa
muak melihat melihatnya. Baru saja Alexander hendak berkata lagi ketika
tiba-tiba terdengar suara seseorang.
“Princess! Apa yang Anda lakukan di sana?”
Alexander terkejut mendengar perkataan wanita itu. Ia melihat wajah
gadis di depannya yang masih tetap pucat kemudian ia melihat wajah wanita
yang mengucapkan itu.380
Wajah wanita itu mirip dengan Mrs. Vye sehingga untuk sesaat
Alexander menduga wanita itu adalah Mrs. Vye.
Alexander menatap lagi wajah gadis di depannya dan ia merasa
bingung.
Gadis itu pergi meninggalkan Alexander terpaku di tempatnya. Ketika
gadis itu melewatinya, Alexander melihat senyum menghiasi wajah gadis itu
tetapi sebutir air mata mengalir dari matanya.
Peristiwa itu membuat Alexander benar-benar bingung hingga ia tidak
dapat tidur pada malam harinya. Ia terus memikirkan panggilan wanita yang
diberikan pada gadis yang dikenalnya sebagai Maria.
“Tidak mungkin Maria adalah Princess Minerva,” kata Alexander pada
dirinya sendiri, “Kata Jacques, Princess Minerva sedang tidak enak badan. Jadi
tidak mungkin Maria adalah Princess Minerva. Mungkin wanita itu salah
memanggil.”
Memang Alexander telah berhasil meyakinkan dirinya sendiri tetapi ia
tetap tidak dapat menghapus semua kebingungan yang meliputinya.
“Seandainya Maria bukan Princess, mengapa ia mendatangi wanita itu,”
tanya Alexander pada dirinya sendiri.
Kebingungan yang saat itu melanda dirinya benar-benar seperti
kebingunan yang melanda dirinya saat ia pertama kali berjumpa dengan
Maria. Ketika pertama kali berjumpa dengan Maria, Alexander benar-benar
merasa terpesona pada kecantikkan gadis itu. Gadis itu telah membuat
Alexander tidak dapat tidur setelah pertemuan mereka yang pertama.
Alexander selalu teringat wajah cantik gadis itu dengan senyumannya yang
menawan hati. Alexander ingin mengenal lebih jauh gadis yang belum pernah
dilihatnya di Obbeyville. Alexander sering berkuda ke Obbeyville dan ia telah
mengenal hampir semua penduduk Obbeyville tetapi ia tidak pernah melihat
wajah gadis itu. Malam itu Alexander berharap dapat berjumpa lagi dengan
gadis yang ditemuinya di Sungai Alleghei dan ia merasa senang ketika esok
harinya ia berjumpa kembali dengan gadis itu.
Gadis itu tampak misterius. Matanya yang menawan selalu tampak
tenang dan senyum yang manis selalu menghiasi wajahnya yang cantik.
Gerakannya yang anggun membuat Alexander semakin ingin mengetahui diri
gadis itu yang sebenarnya. Tutur katanya yang lembut namun mampu
menarik perhatian setiap orang membuat Alexander semakin mengagumi
gadis itu.381
Sejak pertama kali bertemu dengan Maria, Alexander menyadari dirinya
telah terpikat pada daya tarik gadis itu. Alexander juga menyadari dirinya
telah berubah sejak mengenal gadis itu. Alexander yang dulunya enggan
mendekati wanita mulai mendekati gadis yang selalu membuatnya merasa
bingung pada pesonanya.
Namun sejak Alexander mengetahui gadis itu membiarkan Lady Debora
merayu laki-laki di saat wanita itu sedang akrab dengannya, Alexander
merasa benci pada gadis itu. Ia menganggap gadis itu tidak berbeda jauh dari
Lady Debora yang seorang perayu.
Dalam pandangan Alexander, Maria juga seorang wanita yang senang
merayu laki-laki hanya demi kekayaan. Alexander merasa dirinya terkecoh
oleh kecantikkan dan semua daya tarik gadis itu dan ia menjadi semakin
marah karenanya. Ia juga sadar ia telah terkecoh oleh gadis itu saat ia
menciumnya untuk pertama kalinya. Bila ia teringat gadis dalam pelukannya
itu terkejut seperti baru pertama kalinya dicium, ia merasa semakin marah
telah membiarkan dirinya menganggap gadis itu suci.
Dulu saat Maria berhasil memukul telak rayuan Marcel terhadap dirinya,
Alexander merasa kagum pada gadis itu tetapi kejadian itu telah membuat
Alexander berpandangan lain. Alexander menduga sebelum Maria mengenal
dirinya, ia telah mengenal Marcel dan peristiwa di pesta dansa keluarganya
adalah sandiwara mereka untuk mengelabuhi dirinya. Yang membuat
Alexander merasa semakin yakin adalah Lady Debora sedang bersama pria
itu ketika ia berhasil membongkar sandiwara mereka.
Alexander benar-benar marah pada dirinya sendiri dan Maria yang telah
berhasil mengecohnya dan ia semakin marah pada dirinya sendiri karena
keinginannya memeluk Maria ketika gadis itu menangis di hadapannya.
Kemarahan yang telah menguasai dirinya membuat Alexander melupakan
keinginannya dan meninggalkan Maria yang terus menangis.
Alexander semakin yakin dugaannya benar ketika keesokan harinya
seluruh penduduk Obbeyville gempar karena menghilangnya Maria bersama
Mrs. Vye. Penduduk Obbeyville menduga Maria kembali ke Holly Mountain dan
membawa serta Mrs. Vye yang selama ini telah menjaganya. Sedangkan
Alexander menganggap Maria meninggalkan Obbeyville karena topengnya
telah terbuka dan ia membawa Mrs. Vye beserta dengannya untuk menutupi
kejadian yang sebenarnya dari penduduk Obbeyville.
Walaupun Alexander telah berhasil membongkar semua sandiwara 382
gadis itu, tetapi ia tetap tidak dapat melupakan gadis yang pertama kali
membuat dirinya membuka diri terhadap wanita.
Alexander menjadi semakin membenci dirinya dan gadis itu ketika ia
tidak dapat melupakan gadis itu walaupun ia telah berusaha melupakannya.
Sekeras-kerasnya Alexander melupakan Maria, ia tetap sering merindukan
Maria. Dan ia itu membuatnya kian marah.
Pertemuannya dengan Maria yang tak terduga di halaman Istana
membuat Alexander kembali merasa bingung. Dan ia semakin bingung ketika
keesokan harinya ia bertemu dengan Maria di Ruang Pertemuan saat makan
pagi.
Ketika pintu Ruang Pertemuan terbuka, Alexander terkejut melihat
prajurit yang membuka pintu itu menepi dan seorang gadis berjalan dengan
memasuki ruangan. Di belakang gadis itu berjalan dua orang yang sangat
mirip sehingga membuat Alexander menduga kedua wanita tua itu
bersaudara.
Gadis itu memasuki Ruang Pertemuan dengan anggun. Senyum
menghiasi wajahnya yang cantik walaupun agak pucat. Tetapi kepucatan
wajah gadis itu tertutupi oleh gaunnya yang berwarna cerah. Alexander terus
memandang wajah gadis itu. Bukan kecantikkan gadis itu yang membuat
Alexander terus menatapnya melainkan keanggunan dan wibawa yang
terpancar pada diri gadis itu.
Tiba-tiba Jacques mendekati gadis itu dan mencium tangannya serta
menyapanya.
Seperti halnya kedua orang tuanya, Alexander merasa terkejut
mendengar Jacques menyapa gadis itu. Saat itulah Alexander mau tidak mau
harus menerima kenyataan bahwa Maria adalah orang yang sama dengan
Princess Minerva. Selama makan pagi itu Alexander tidak pernah melepaskan
pandangannya dari wajah Princess Minerva yang duduk di ujung meja makan
yang besar.
Alexander terus melihat senyum yang menghiasi wajah Princess
Minerva. Senyum Princess sama sekali tidak berubah dengan senyumnya
saat ia berada di Obbeyville. Tutur kata Maria masih tetap lembut namun ada
wibawa dalam setiap kata-katanya. Yang berubah pada Maria hanyalah
keanggunannya. Maria yang biasanya tampil sederhana namun anggun kini
nampak penuh keanggunan dan wibawa dengan gaun yang indah dan seuntai
kalung emas yang melingkari lehernya. Rambut Maria yang biasanya hanya 383
disanggul biasa atau dibiarkan tergerai, saat itu ditata rapi dan dihiasi bunga-
bunga yang memberikan kesan kecantikan alami pada Princess Minerva.
Setiap kalimatnya didengarkan semua orang dengan penuh perhatian.
Alexander mengagumi kemampuan Princess Minerva mengubah
suasana yang semula terasa kaku menjadi ceria hanya dengan satu kalimat
pendeknya. Alexander tahu ia telah memberikan penilaian yang salah kepada
gadis itu dan ia harus segera meminta maaf pada gadis yang telah menerima
tuduhannya yang kejam. Alexander merasa menyesal telah memberikan
tuduhan yang sangat kejam pada Maria. Saat itu pula Alexander menyadari ia
tidak mencintai gadis yang salah. Ia mencintai seorang gadis yang suci, yang
penuh pesona.
Selama perjamuan pagi itu Alexander tahu Princess Minerva tidak
pernah memandang dirinya walaupun Princess Minerva melihat ke arah
Jacques yang duduk di sampingnya.
Alexander sedih. Ia menduga Princess Minerva tidak menyukai dirinya
yang telah memberikan tuduhan kejam pada dirinya. Alexander tahu Princess
Minerva berhak merasa marah pada dirinya tetapi itu tidak mengurangi
kesedihan hatinya.
Princess Minerva sama sekali tidak pernah menatap wajahnya bahkan
ketika ia mengundang keluarganya ke kamarnya yang luas dan dipenuhi
bunga.
Alexander teringat gerak Princess Minerva yang anggun saat ia berdiri
dari kursinya. Perapian di depannya, membuat tubuh Princess Minerva
tampak bersinar. Dengan burung mungil di tangannya, Princess Minerva
benar-benar tampak seperti seorang bidadari yang penuh belas kasih.
Tetapi kebingungan Alexander masih tidak berakhir.
Alexander kembali merasa bingung ketika keesokan harinya ia melihat
Princess Minerva yang kemarin tampak penuh wibawa kini tampak kekanak-
kanakan ketika menyambut kakaknya.
Ketika Princess Minerva memasuki Ruang Duduk, tanpa sengaja mata
mereka bertemu. Tetapi Princess Minerva segera mengalihkan pandangan
matanya dan berkata, “Al.”
Alexander terkejut mendengar panggilan itu dan merasa rindu pada
panggilan yang sama. Ia rindu mendengar Princess Minerva memanggil ‘Al’
pada dirinya.
Saat ini ketika ia memandang wajah gadis yang itu, ia merasa rindu 384
melihat mata ungu gadis itu dan senyumnya yang menawan hati.
Alexander meraih tangan Princess Minerva yang terlipat di depan
dadanya dan mempermainkan jemari Princess Minerva yang lentik dalam
genggamannya. Sementara tangan kirinya mempermainkan jemari Princess
Minerva, tangan Alexander yang lain menyentuh muka Princess Minerva.
Ketika tangannya menyentuh bibir Princess Minerva, Alexander kembali
teringat saat ia mencium bibir itu.
Terdorong oleh kenangannya, Alexander membungkuk di depan wajah
Princess Minerva dan menatap wajah Princess Minerva dalam-dalam.
Dan kejadian selanjutnya benar-benar bagaikan dongeng putri tidur di
mana ketika Pangeran mencium putri tidur, kutukan sang putri berakhir.
Merasakan napas Princess Minerva mulai tidak teratur, Alexander
segera menjauhkan wajahnya dan wajah Princess Minerva.
Princess Minerva membuka matanya perlahan-lahan. Ketika matanya
menangkap sosok pria yang diterangi sinar dari serambi di depannya,
Princess Minerva berkata lirih, “Al.”
Alexander terkejut mendengar panggilan itu, ia baru saja hendak
menjawab panggilan itu ketika ia melihat wajah Princess Minerva tiba-tiba
berubah.
Sinar yang menerangi wajah itu membuat Princess Minerva sadar pria
itu bukan kakaknya. Princess Minerva terkejut ketika menyadari pria itu
adalah Alexander.
385
21
Princess Minerva kembali merasa takut melihat pria itu berdiri di
dekatnya. Ia takut mendengarkan kata-kata pria itu, ia takut melihat sinar
kemarahan bercampur kebencian di mata pria itu.
Alexander merasa sedih melihat Princess Minerva memalingkan
wajahnya. Ia menduga Princess Minerva tidak ingin melihatnya.
Tiba-tiba Princess Minerva sadar Alexander berada di Ruang Tidurnya
karena ingin mendengar penjelasannya yang masih berani muncul di
hadapannya Princess Minerva tidak ingin mendengar pria itu mengatakannya,
maka ia berkata dulu.
“Maafkan saya, Alexander,” kata Princess Minerva tanpa memalingkan
wajahnya, “Saya tahu Anda tidak ingin melihat saya lagi tetapi mengertilah ini
adalah tugas saya. Setelah pesta itu berakhir saya benar-benar akan
menghilang dari pandangan Anda seperti yang Anda inginkan.”
Alexander sedih mendengar kata-kata Princess Minerva. Ia sedih telah
diingatkan kata-katanya sendiri yang berbunyi, “Aku tidak ingin melihatmu
lagi.”
“Engkau tidak mengerti,” kata Alexander perlahan.
Hati Princess Minerva terasa pedih mendengar itu. Ia mengerti apa yang
hendak dikatakan Alexander. “Tidak, Alexander. Saya mengerti. Saya
mengerti Anda marah kepada saya yang telah membiarkan wanita yang Anda
cintai mengkhianati cinta Anda,” kata Princess Minerva.
Mendengar Princess Minerva mengucapkan kata-kata pedih itu dengan
sopan dan tanpa menyebut nama panggilannya, Alexander semakin sedih. Ia
ingin sekali mendengar Princess Minerva memanggil ‘Al’ kepada dirinya.
“Tidak, Maria. Engkau tidak mengerti, sama sekali tidak mengerti,” kata
Alexander menegaskan.
Princess Minerva menggelengkan kepalanya. “Tidak, Alexander. Saya
mengerti. Saya minta maaf karena itu. Saya mengerti saya telah bersalah
besar pada Anda hingga kata maaf saja tidak cukup. Tetapi saya ingin Anda
percaya saat itu saya benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi.”
Alexander ingin sekali memalingkan tubuh Princess Minerva 386
menghadap dirinya dan menjelaskan segala perasaannya. Tetapi ia tahu bila
ia melakukan tindakan kasar itu mungkin Princess Minerva semakin tidak
menyukainya.
“Tidak, Maria. Engkau tidak mengerti,” kata Alexander, “Aku tidak
mencintai Lady Debora.”
Princess Minerva terkejut mendengar kata-kata Alexander tetapi ia
tetap tidak memalingkan kepalanya. Ia tetap memandang pintu yang
menghubungkan Ruang Tidurnya dengan Ruang Duduk.
“Aku mencintaimu, Maria. Aku tidak pernah mencintai Lady Debora
hanya dirimu yang kucintai,” kata Alexander.
Princess Minerva semakin terkejut mendengar kata-kata yang tidak
pernah diduganya itu. Tanpa sadar ia memalingkan kepalanya ke Alexander
yang membelakangi serambi.
Alexander tersenyum melihat wajah terkejut Princess Minerva. “Aku
mencintaimu, Maria,” ulangnya.
Princess Minerva merasa bahagia mendengar kata-kata itu. Tetapi ia
masih tidak mempercayai apa yang didengarnya. Princess Minerva masih
sukar mempercayai kata-kata yang selalu ingin didengarnya tetapi tidak
berani dibayangkannya.
Melihat gadis yang dicintainya tampak sedih dan bingung, Alexander
tidak dapat menahan dirinya lagi untuk tidak memeluk gadis yang terbaring
di hadapannya.
“Aku mencintaimu sejak pertama kali aku berjumpa denganmu, Maria.
Sejak aku bertemu denganmu, aku sadar diriku telah terpesona pada daya
tarikmu dan hanya kepadamu saja cintaku kuberikan,” kata Alexander sambil
memeluk Princess Minerva erat-erat.
“Mengapa engkau tidak pernah mengatakannya sewaktu kita di
Obbeyville?” tanya Princess Minerva.
Alexander tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Aku selalu ingin
mengatakan perasaanku kepadamu, Maria. Setiap kali aku melihatmu, aku
selalu ingin menyatakan cintaku tetapi aku selalu menahan diriku, Maria.”
Princess Minerva terkejut mendengar kata-kata Alexander yang
terdengar pilu.
“Saat itu aku tahu engkau merasa sedih karena tidak dapat mengingat
masa lalumu dan aku tidak ingin engkau merasa terbebani oleh cintaku. Aku
tahu engkau sedang berusaha mengingat masa lalumu dan aku takut engkau 387
telah mencintai pria lain, Maria.”
“Mengapa engkau berpikir seperti itu?” tanya Princess Minerva sedih.
Alexander membelai kepala Princess Minerva seakan-akan ingin
mengurangi kesedihan dalam setiap kata Princess.
“Karena engkau sangat cantik, Maria. Engkau sangat cantik hingga aku
takut engkau telah mempunyai tunangan bahkan mungkin suami. Engkau
sering mengatakan kepadaku kalau aku mirip seorang pria dalam ingatanmu
dan aku semakin yakin engkau telah mencintai pria lain.”
Princess Minerva tersenyum. “Aku tidak mempunyai tunangan maupun
suami.”
“Aku juga baru tahu itu setelah aku berjumpa denganmu kembali,” kata
Alexander, “Dan aku minta maaf, Maria. Aku minta maaf telah mengucapkan
kata-kata yang kasar kepadamu bahkan ketika aku bertemu denganmu di
halaman Istana.”
Pandangan Princess Minerva kembali menjadi sayu mendengar hal itu.
Princess Minerva menyembunyikan wajah sedihnya di dada Alexander yang
bidang.
Alexander tahu apa yang dikatakannya telah membuat Princess merasa
sedih. Ia terus menghibur Princess dengan membelai kepalanya.
“Aku tahu apa yang kukatakan memang menyedihkan, Maria, tetapi
aku ingin menjelaskan semuanya kepadamu,” kata Alexander lembut.
Princess Minerva menahan air matanya yang mulai membasahi
matanya. Ia meletakkan tangannya di dada Alexander dan terus menahan air
matanya.
“Aku tidak pernah mencintai Lady Debora, Maria. Aku tahu engkau
menduga aku mencintainya karena saat itu aku marah sekali. Saat itu aku
marah bukan karena aku cemburu dam menyalahkanmu, Maria. Aku marah
karena aku menduga engkau sama seperti Lady Debora.”
Princess Minerva tidak dapat menahan air matanya mendengar
Alexander menceritakan kenangan yang sedih itu dengan kata-katanya yang
lembut.
“Menangislah, Maria. Aku tahu engkau selama ini telah menahan
kesedihanmu,” bisik Alexander di telinga Maria, “Menangislah.”
Alexander terus membelai Princess Minerva sambil membisikkan kata-
kata lembut untuk menenangkan Princess. Setelah merasa Princess Minerva
mulai tenang, Alexander melanjutkan kata-katanya.388
“Melihat Lady Debora merayu Marcel di belakangku, aku menduga
engkau juga sama seperti dia karena saat itu Marcellah yang berada di sana.
Aku menduga engkau dan Marcel telah saling mengenal jauh sebelum engkau
mengenalku. Dan aku menduga selama itu engkau sedang bermain
sandiwara termasuk ketika engkau menghadapi rayuan Marcel di pesta dansa
keluargaku.”
Princess Minerva kembali terisak-isak di pelukan Alexander.
Alexander merasa sedih telah membuat gadis yang dicintainya
menangis. Ia mempererat pelukannya sambil terus berusaha menghibur gadis
itu.
“Aku tahu apa yang kukatakan ini memang menyedihkan hatimu, Maria.
Tetapi aku harus menjelaskannya kepadamu,” kata Alexander lagi, “Bila
engkau merasa sedih, menangislah, Maria.”
“Bila engkau tidak mencintai Lady Debora mengapa engkau sering
mengajaknya pergi setelah pesta itu?” tanya Princess Minerva di sela-sela
isakannya.
Alexander tersenyum mendengarnya. “Aku memang tidak mencintai
Lady Debora, Maria. Bagaimana aku bisa mencintai wanita lain setelah aku
menyadari diriku terjerat pada daya tarikmu?”
“Engkau sering mengajaknya pergi,” kata Princess Minerva
mengingatkan.
Princess Minerva menengadahkan kepalanya tetapi ketika ia melihat
senyuman di wajah Alexander, ia merasa malu dan bermaksud
menyembunyikan kepalanya lagi ketika tangan Alexander yang semula
melingkari tubuhnya memegang dagunya.
Alexander tersenyum melihat wajah Princess Minerva basah oleh air
mata. Walaupun wajahnya basah oleh air mata, tetapi kecantikkan Princess
Minerva tidak pudar. Dengan tangannya yang lain, Alexander menyeka air
mata yang masih membasahi mata Princess Minerva.
“Aku selalu membuatmu sedih dan menangis,” gumam Alexander.
Princess Minerva malu melihat senyum di mata Alexander. Ia
mengalihkan pandangan matanya ke bawah dan melihat hasil perbuatannya
pada kemeja Alexander.
“Kemejamu basah,” kata Princess Minerva sambil menyentuh kemeja
yang basah itu.
Mendengar suara yang bersalah itu, Alexander tersenyum. “Tidak apa-389
apa. Memang seharusnya itu yang kuterima. Aku telah membuatmu
menangis maka aku harus menyediakan tempat untukmu menangis sepuas
hatimu.”
Princess Minerva malu mendengar godaan itu. Ia hendak menunduk
tetapi tangan Alexander yang memegang dagunya menahannya.
“Baru kali ini aku melihatmu merasa malu,” kata Alexander sambil
tersenyum.
Kata-kata Alexander membuat Princess Minerva semakin merasa malu.
Alexander tersenyum melihat wajah Princess yang bersemu merah.
“Sudah lama aku tidak melihat wajahmu memerah,” kata Alexander sambil
menunduk mencium pipi Princess Minerva yang memerah.
“Aku ingin terus menggodamu agar wajahmu semakin memerah seperti
buah apel tetapi aku masih harus menjelaskan segala masalah yang timbul
karena kesalahanku,” kata Alexander.
Princess Minerva tidak berani melihat mata Alexander ketika pria itu
menjelaskan segala sesuatunya. Princess kembali berusaha menyembunyikan
wajahnya dari Alexander. Kali ini Alexander tidak mencegah Princess.
Setelah Princess Minerva menyembunyikan wajahnya di dadanya,
Alexander kembali memeluk Princess.
Jantung Princess Minerva berdebar-debar setelah canda mereka yang
singkat itu. Princess Minerva merasa wajahnya memanas.
Alexander tersenyum dan kembali membelai Princess Minerva.
“Sejak pesta itu aku memang sering mengajak Lady Debora pergi tetapi
sesungguhnya aku bermaksud mengajakmu pergi. Selama aku mengenalmu
hingga engkau tahu aku putra Duke of Blueberry, aku telah mengetahui kalau
engkau senang hidup sederhana sedangkan aku ingin menghiasimu dengan
segala yang indah dan mewah.”
Alexander tersenyum lagi. “Lucu, bukan? Setelah mengetahui engkau
seorang putri, rasanya aku tidak perlu mewujudkan keinginanku karena
engkau telah hidup dalam kemewahan.”
Princess Minerva hanya diam saja mendengar ucapan Alexander.
“Setelah mengetahui aku putra Duke of Blueberry, aku khawatir engkau
tidak mau lagi pergi denganku sedangkan aku ingin mengajakmu ke berbagai
tempat. Maka aku menggunakan Lady Debora sebagai alatku untuk
mengajakmu pergi,” kata Alexander.
“Lady Debora pasti sangat marah bila ia tahu engkau menggunakannya 390
untuk mengajakku pergi,” kata Princess Minerva.
Alexander tersenyum. Ia baru saja menyadari Princess Minerva sudah
tidak sesopan dulu lagi kepadanya. Sekarang yang diinginkan Alexander
adalah mendengar Princess Minerva memanggilnya ‘Al’.
“Biarkan saja. Ia juga ingin menggunakan aku sebagai alat agar dia bisa
menjadi Duchess of Blueberry.”
Princess Minerva terkejut. Ia menengadahkan kepala dan memandang
Alexander. “Engkau sudah tahu?”
Alexander tersenyum. “Tentu saja aku tahu, Maria.”
“Lady Debora pasti akan semakin sedih.”
“Ia tidak akan sedih melainkan jengkel, Maria,” kata Alexander
mengkoreksi, “Ia akan semakin jengkel kalau tahu aku menggunakannya
untuk membawamu ke Blueberry House.”
Princess Minerva menatap wajah Alexander tanpa mengatakan apa-apa.
Alexander tidak dapat membaca apa yang dirasakan Princess Minerva
saat ini. Mata Princess Minerva kembali tampak tenang walaupun sisa air
matanya masih ada. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Alexander merasa
bahagia melihat senyum itu. Ia tahu senyum itu hanya ditujukan padanya.
Sudah lama sekali ia ingin melihat gadis yang dicintainya tersenyum hanya
pada dirinya.
“Apakah engkau memaafkan aku, Maria?”
Princess Minerva mengangguk. “Aku memaafkanmu. Sejak semula aku
telah memaafkanmu.”
Alexander tersenyum. “Sejak semula aku tahu engkau memang baik
hati. Rasanya sulit kupercayai engkau mau memaafkan aku setelah aku
dengan begitu kejam melukai perasaanmu.”
“Aku memaafkanmu,” kata Princess Minerva meyakinkan Alexander.
Princess Minerva tersenyum melihat keinginan Alexander yang tampak
di wajahnya. Walaupun Alexander tidak mengucapkannya tetapi Princess
Minerva dapat menduganya. “Aku mencintaimu, Al,” kata Princess Minerva
sambil tersenyum manis.
Alexander tersenyum bahagia mendengarnya. Ia memeluk Princess
Minerva erat-erat. “Katakan lagi, Maria.”
Princess Minerva tersenyum dan mengulangi kata-katanya, “Aku
mencintaimu, Al. Aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu.”
Alexander semakin mempererat pelukannya.391
“Al, kalau engkau terus mempererat pelukanmu, aku akan mati
tercekik,” goda Princess Minerva.
“Tidak akan, Maria. Aku akan melindungimu agar engkau tetap merasa
tentram,” kata Alexander, “Sekarang, Maria, apakah engkau mau menikah
denganku?”
Princess Minerva terkejut. “Mengapa, Al?”
Alexander memandang wajah Princess Minerva lekat-lekat. “Apakah
engkau tidak suka?”
Princess Minerva menggelengkan kepalanya. “Bukan itu maksudku.
Yang kumaksudkan mengapa engkau terburu-buru?”
Alexander tersenyum. “Aku tidak ingin melepaskanmu lagi. Aku tidak
akan membiarkan engkau tiba-tiba menghilang seperti engkau tiba-tiba
menghilang dari Obbeyville.”
“Tetapi, Al, engkau sudah tahu aku berada di mana setiap musim apa.
Aku tidak akan menghilang lagi.”
“Engkau tidak senang menikah denganku?” tanya Alexander cemberut.
Princess Minerva tersenyum penuh pengertian. “Aku senang sekali, Al.”
“Maka menikahlah denganku,” sela Alexander.
“Tetapi engkau seperti orang yang terburu-buru, Al. Kita baru saja
bertemu lagi dan engkau ingin segera menikah denganku.”
Alexander tersenyum. “Ijinkanlah aku membahagiakanmu di sisa
hidupmu, Maria. Aku tahu engkau tidak dapat hidup lebih lama lagi karena itu
ijinkan aku membahagiakan hidupmu selagi engkau masih hidup.”
Princess Minerva terkejut. “Siapa yang memberi tahumu?”
Alexander sadar ia telah melakukan kesalahan tetapi ia sudah
terlambat untuk mundur maka ia mengaku. “Kakakmu yang mengatakannya.
Kata kakakmu, Dokter Donter yang memberi tahunya.”
Princess Minerva tertawa geli mendengar kata-kata itu.
Alexander kebingungan melihat Princess Minerva tertawa kecil. “Apa
yang terjadi, Maria?”
“Engkau tidak perlu khawatir, Al. Aku masih dapat hidup hingga tua.”
Mendengar penjelasan Princess Minerva, Alexander semakin tidak
mengerti. “Kakakmu yang mengatakannya, Maria. Kata kakakmu engkau
belum tahu.”
“Al, Dokter Donter tidak pernah berbohong kepadaku. Ia tahu bila ia
berbohong maka ia tidak akan mendapatkan kue buatanku. Ia sangat 392
menyukai kue buatanku sehingga ia tidak pernah berbohong kepadaku,” kata
Princess Minerva menjelaskan.
“Aku tidak peduli apakah kakakmu benar atau tidak. Yang kupedulikan
adalah engkau mau atau tidak menikah denganku?”
Princess Minerva tersenyum melihat kesungguhan dalam mata
Alexander. Mata pria mengatakan ia tidak ingin keinginannya ditolak. “Karena
aku mencintaimu dan engkau tidak ingin keinginanmu ditolak,” kata Princess
Minerva lambat-lambat.
Alexander semakin tidak sabar mendengar kata-kata yang diucapkan
Princess Minerva lambat-lambat seakan-akan enggan menyelesaikan
kalimatnya.
Princess Minerva mengetahui hal itu. Ia tersenyum manis dan
melanjutkan kalimatnya dengan penuh kesungguhan, “Aku bersedia, Al.”
Kalimat pendek itu membuat Alexander merasa sangat bahagia. Tidak
disangkanya gadis yang dicintainya ternyata sangat mencintai dirinya hingga
mau memaafkan segala kesalahannya serta bersedia menikah dengannya.
Alexander tersenyum ketika teringat saat ia merasa khawatir Princess
Minerva tidak mau memaafkan kata-kata kejamnya. Selama berada di Istana
Plesaides, ia selalu melihat Princess Minerva selalu tersenyum ceria dan
matanya masih tetap tenang seolah-olah tidak pernah terjadi apapun selama
ia berada di Obbeyville. Alexander begitu khawatir Princess Minerva tidak
mau mengingat segala kenangannya di Obbeyville setelah ia membuat
Princess Minerva menangis.
Alexander ragu Princess Minerva masih mau mengingat dirinya apalagi
setelah melihat Princess Minerva tampak sangat ingin menjaga jarak
dengannya. Setiap kali mereka bertemu Princess Minerva sama sekali tidak
mau melihat wajahnya bahkan tidak pernah mengajaknya bicara. Princess
Minerva menganggap dirinya tidak ada.
Itulah yang semula dirasakan Alexander sebelum ia meyakinkan dirinya
pada kata-kata Pangeran Alcon. Pangeran Alcon berusaha keras meyakinkan
Alexander bahwa Princess Minerva tidak pernah memperlihatkan
perasaannya kepada siapapun. Dalam keadaan sedih maupun senang,
Princess Minerva selalu tersenyum.
Dengan menyakinkan dirinya akan kata-kata Pangeran Alcon, Alexander
menuju Ruang Tidur Princess Minerva dan kini ia sedang memeluk gadis yang
dicintainya.393
Perasaan Alexander benar-benar terasa tenang dan bahagia. Alexander
tidak lagi khawatir gadis yang dicintainya tidak mau memaafkannya. Ia
bahagia setelah mendengar kata-kata gadis itu.
Alexander sadar Princess Minerva tidak pernah melihatnya bahkan
menganggapnya tidak ada ketika mereka bertemu bukan karena Princess
Minerva tidak mau memaafkannya tetapi karena Princess Minerva ingin
melakukan permintaannya. Permintaan untuk tidak melihat wajah Princess
lagi.
Bukan hanya Alexander saja yang merasa bahagia. Princess Minerva
juga merasa sangat bahagia apalagi setelah menyadari kesedihannya selama
ini tidak akan pernah terwujud.
Princess Minerva membaringkan kepalanya di dada Alexander dan
tersenyum bahagia.
Tiba-tiba Princess Minerva teringat sesuatu. Princess menengadahkan
kepalanya. “Bagaimana kita mengatakannya kepada mereka, Al?” tanya
Princess Minerva cemas.
Alexander tersenyum. Ia tahu apa yang dimaksudkan Princess Minerva.
“Jangan khawatir, Maria. Kita yang akan mengatakannya kepada mereka.”
“Bagaimana kita mengatakannya kepada mereka tanpa mengatakan
segala sesuatunya?”
“Kakakmu benar, engkau seorang gadis yang tertutup. Engkau tidak
mau seorang pun tahu apa yang engkau rasakan bahkan aku,” kata
Alexander, “Engkau bahkan tidak pernah tertawa ketika bersamaku. Engkau
hanya menangis. Aku tidak dapat membuatmu tertawa, aku hanya
membuatmu merasa sedih.”
Princess Minerva tersenyum sedih mendengar suara sedih Alexander.
“Engkau salah, Alexander. Hanya kepadamu saja aku menunjukkan
perasaanku. Engkau selalu membuat aku tertawa tetapi aku menahannya.”
Alexander tak percaya pada apa yang didengarnya. “Mengapa engkau
menahannya, Maria?”
“Mungkin karena aku telah terbiasa menahan segala perasaanku.”
“Aku ingin engkau tidak pernah menahan perasaanmu bila bersamaku,
Maria. Aku ingin melihat engkau tertawa, menangis, marah bukan hanya
selalu tersenyum,” kata Alexander, “Aku selalu senang melihat senyummu
tetapi aku lebih senang melihat semua perasaanmu.”
Princess Minerva tersenyum. “Aku tidak pernah menutupi perasaanku 394
kepadamu, Al. Aku tahu engkau berbeda dari semua orang.”
“Berbeda?” tanya Alexander tak mengerti.
“Engkau tidak pernah mengharapkan aku selalu terlihat sempurna
sedangkan orang lain ingin melihat aku yang selalu sempurna,” kata Princess
Minerva menjelaskan, “Mereka menganggap kesalahanku adalah sesuatu
yang tidak wajar sedangkan engkau tidak.”
“Aku juga melihat engkau berbeda dari gadis-gadis lainnya,” kata
Alexander mengakui, “Engkau selalu terlihat sempurna di mataku, Maria.
Engkau benar-benar seorang gadis yang sempurna di mataku.”
“Bila aku tidak sempurna seperti yang kaulihat, engkau tidak akan
menyukaiku?”
Alexander tersenyum mendengar kekhawatiran Princess Minerva. “Aku
telah terjerat oleh daya tarikmu, Maria, dan aku tidak dapat melepaskan diri.
Tetapi aku memang tidak ingin melepaskan diriku darimu atau lebih tepat aku
tidak ingin engkau menghilang dari sisiku.”
“Bagaimana kita memberi tahu mereka tanpa mengatakan semuanya,
Al. Aku tidak ingin mereka juga merasa sedih mendengar cerita ini,” kata
Princess Minerva.
“Jangan khawatir, Maria. Kita akan mengatasinya,” kata Alexander
sambil tersenyum.
“Tetapi mereka pasti tidak percaya bila kita tidak menjelaskan
semuanya mulai dari yang terjadi di Obbeyville hingga saat ini.”
Princess Minerva menatap cemas wajah Alexander.
Suara pintu yang tiba-tiba terbuka membuat kedua insan yang
berpandang-pandangan itu memalingkan kepalanya.
Pangeran Alcon tersenyum senang di ambang pintu. “Tidak perlu repot-
repot memberi tahu kami. Kami semua sudah tahu semuanya.”
Princess Minerva bingung mendengar kata-kata kakaknya.
Pangeran Alcon tersenyum nakal kemudian ia memalingkan kepalanya
dan bertanya, “Benar, bukan?”
Sebagai jawaban dari pertanyaan Pangeran Alcon, muncullah beberapa
orang dari belakang Pangeran sambil tersenyum senang.
Alexander dan Princess Minerva terkejut melihat Raja dan Ratu serta
Duke dan Duchess of Blueberry mendekati tempat mereka. Di belakang
mereka masih ada Mrs. Wve serta Mrs. Vye.
“Sejak kapan kalian berada di sana?” tanya Princess Minerva curiga.395
Pangeran Alcon duduk di samping Princess Minerva dan tersenyum
nakal. “Sejak tadi.”
“Mengapa aku tidak mendengar kalian?” tanya Alexander kebingungan.
Pangeran Alcon tersenyum. “Sejak tadi engkau hanya memperhatikan
Minerva. Bagaimana mungkin engkau akan memperhatikan yang lainnya?”
“Sejak kapan kalian mempunyai kebiasaan mencuri dengar pembicaran
orang?”
“Ayolah, Minerva. Jangan berkata seperti itu. Kami semua ingin tahu
bagaimana hubungan kalian,” kata Pangeran Alcon sambil menatap nakal
pada adiknya.
“Mengapa engkau berbohong kalau aku tidak akan hidup lama?” tanya
Princess Minerva.
Pangeran Alcon tersenyum sambil menatap wajah Alexander. “Tadi aku
melihat Alexander ragu-ragu menemuimu maka aku memberinya sediki
dorongan dengan menipunya.”
“Engkau memang jahat, Al,” kata Princess Minerva sambil tersenyum
pada kakaknya.
“Kakakmu benar, Maria. Tadi aku memang ragu-ragu menemuimu,”
kata Alexander.
“Mengapa engkau ragu-ragu menemui Minerva?” tanya Pangeran Alcon.
Alexander tersenyum sambil menatap Princess Minerva yang kini diapit
dua lelaki.
Pria yang paling dicintainya duduk di tepi kiri pembaringannya
sedangkan kakak yang disayanginya duduk di tepi kanan pembaringannya.
“Aku telah mengatakan sesuatu yang membuat Maria menjauhiku,”
kata Alexander tanpa melepaskan pandangannya dari Princess Minerva.
“Minerva selalu tahu apa yang harus dilakukannya,” kata Raja yang
berdiri di belakang Pangeran Alcon.
Alexander mengangguk. “Tetapi saya khawatir Maria tidak mau
menemui saya lagi.”
“Minerva anak yang penurut kecuali kalau disuruh diam. Ia selalu
mendengarkan kata-kata semua orang dan melakukannya dengan baik,” kata
Pangeran Alcon.
“Hanya bila disuruh berbaring saja, Minerva menjadi anak yang tidak
penurut. Hanya pada awalnya saja ia menjadi penurut tetapi bila ia mulai
merasa bosan, ia mulai melakukan segala kesibukannya,” tambah Raja.396
“Itulah kelebihan Princess Minerva dibandingkan semua orang,” kata
Mrs. Wve, “Saya yakin ia satu-satunya putri yang tidak mau disuruh diam.”
Ratu tersenyum pada putrinya, “Selamat, Minerva. Semoga Alexander
berhasil membuat engkau diam tanpa melakukan segala kesibukanmu yang
rutin itu.”
Princess Minerva menyandarkan kepalanya di dada Alexander dan
tersenyum.
Duchess tersenyum melihat Alexander yang memeluk Princess dengan
mesra.
“Tidak percuma aku membatalkan perjalananku,” gumam Duchess.
Duke terkejut mendengarnya. “Engkau membatalkan perjalanan yang
paling kauinginkan untuk ini?”
Duchess tersenyum. “Aku melihat Alexander berubah setelah bertemu
dengan Princess Minerva dan aku merasa ada sesuatu di antara mereka yang
harus diselesaikan.”
“Saya juga merasa seperti itu,” kata Mrs. Wve.
“Saya merasa mereka hubungan baik-baik saja. Saya tidak melihat
yang lain,” kata Mrs. Vye.
Mrs. Wve menggelengkan kepalanya. “Aku susah mengatakan
kepadamu, Mrs. Vye. Engkau tidak dapat mengerti masalah perasaan.”
Mrs. Vye mengangguk. “Aku memang paling tidak mengerti dengan
masalah perasaan.”
Pangeran Alcon tersenyum. “Ketika mendengar engkau pingsan di
dapur, aku mengira aku telah membuat keputusan yang salah tetapi kini aku
merasa keputusanku benar.”
Teringat akan peristiwa yang baru saja menggemparkan Istana, Ratu
bertanya, “Mengapa engkau ke dapur, Minerva? Bukankah engkau tahu dapur
Istana terletak di bawah tanah yang dingin.”
“Aku ingin membuatkan sesuatu untuk Al, Mama. Aku tahu ia
merindukan kueku,” jawab Princess Minerva sambil tersenyum melihat wajah
kakaknya.
“Engkau memang nakal, Minerva,” kata Pangeran Alcon, “Tetapi aku
merasa senang ternyata engkau memperhatikan aku.”
“Aku selalu memperhatikan engkau, Al. Engkau kakakku,” kata Princess
Minerva.
Pangeran Alcon tersenyum, “Aku belum mengucapkan selamat 397
kepadamu, Minerva.”
Princess Minerva membalas senyuman kakaknya, “Engkau baru
melakukannya.”
“Kurasa akan merupakan kejutan yang sangat menarik bila kita juga
mengumumkan hal ini kepada masyarakat,” kata Raja.
“Benar, Papa. Mengapa hal ini tak terpikirkan olehku,” kata Pangeran
Alcon, “Aku akan mengumumkannya di pesta nanti.”
“Pesta itu pasti akan menjadi pesta yang tak terlupakan oleh penduduk
Kerajaan Zirva,” kata Mrs. Wve.
“Tentu saja, Mrs. Wve,” kata Pangeran Alcon dengan tersenyum
senang.
“Saya mengucapkan selamat kepada Anda, Princess,” kata Mrs. Wve.
Setelah menerima ucapan selamat dari orang-orang yang dekat
dengannya, Princess Minerva masih menerima banyak ucapan selamat dari
orang lain.
Sambil menanti pesta itu, Alexander lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk menemani Princess Minerva.
Raja tersenyum kesal melihat saingannya bertambah satu. Pangeran
Alcon juga tersenyum kesal melihat ia mempunyai saingan baru yang lebih
dekat dengan adik kesayangannya dibandingkan dirinya. Tetapi baik Raja
maupun Pangeran merasa senang melihat Alexander semakin dekat dengan
Princess Minerva.
Ratu yang mengetahui hanya tersenyum seperti biasanya. Ratu sendiri
juga bahagia dengan semua ini. Hubungan Ratu dan Duchess semakin dekat
setiap harinya demikian pula hubungan Duke dengan Raja dan Pangeran.
Princess Minerva tersenyum melihat semuanya.
Walaupun tidak pernah keluar dari kamarnya tetapi Princess Minerva
tidak pernah merasa kesepian. Raja dan Ratu juga kedua orang tua Alexander
setiap hari menghabiskan waktunya di kamar Princess Minerva.
Harapan Ratu terkabul. Alexander benar-benar membuat Princess
Minerva tidak merasa bosan berada di atas tempat tidurnya tanpa melakukan
segala kesibukannya.
Bukan hanya Ratu saja yang senang melihat Princess Minerva mau
diam demi kesehatannya. Semua orang senang melihat Princess Minerva mau
berada di kamarnya hingga pesta yang direncanakan Pangeran Alcon
berlangsung.398
Persiapan yang dilakukan oleh semua orang di Istana untuk
menghadapi pesta musim dingin yang dibuat Pangeran Alcon, membuat
Princess Minerva tertarik untuk meninggalkan kamarnya dan membantu
semua orang.
Tetapi Alexander tidak mengijinkan Princess Minerva meninggalkan
kamarnya. Bukan hanya Alexander saja yang melarang Princess. Semua
orang melarang Princess.
“Kami ingin membuat kejutan untuk Anda, Princess,” kata mereka.
Walaupun setiap orang mengatakan hal yang sama pada Princess
Minerva tetapi gadis itu tetap bersikeras membantu mereka.
“Engkau harus diam di sini, Maria,” bujuk Alexander, “Biarkan mereka
menyiapkan segala sesuatunya untuk membuatmu terkejut.”
“Aku ingin membantu mereka, Al,” kata Princess Minerva.
Alexander tersenyum. “Engkau sudah membantu dengan tetap diam di
sini. Aku akan tinggal di sini dan menghiburmu agar engkau tidak bosan.”
“Aku mulai bosan terus menerus berada di atas tempat tidur. Rasanya
seluruh badanku terasa kaku seperti boneka.”
“Jadilah boneka yang manis dan cantik,” kata Alexander.
Akhirnya Princess Minerva tidak lagi memaksa membantu setiap orang.
Ia hanya diam di kamarnya bersama Alexander sambil menantikan hari esok.
Ketika hari telah berganti, Pangeran Alcon terlihat sangat bersemangat.
Sepanjang hari Pangeran Alcon menyibukkan diri dengan memeriksa kembali
semua persiapan yang kemarin mereka kerjakan.
Princess Minerva tidak mengetahui kakaknya tampak antusias sekali
menanti sore hari. Princess Minerva juga tidak tahu pesta seperti apa yang
disiapkan kakaknya untuknya.
Semua orang tampak sibuk menyelesaikan persiapan terakhir pesta dan
meninggalkan Princess Minerva sendirian di kamarnya. Alexander yang selalu
menemani Princess Minerva juga tidak tampak di kamar Princess.
Karena tidak boleh meninggalkan kamarnya, Princess Minerva hanya
duduk di depan pianonya sepanjang hari. Untuk menghabiskan waktu yang
harus dilaluinya sendirian, Princess Minerva memainkan pianonya dan
menghiasi seluruh koridor lantai empat dengan alunan pianonya yang merdu.
Princess Minerva mengerti Alexander serta semua orang sangat sibuk
sehingga tidak seorang pun yang menemaninya.
Setelah menyediakan sarapannya, Mrs. Wve dan Mrs. Vye 399
meninggalkan kamar Princess Minerva dan baru muncul ketika mereka akan
mempersiapkan Princess Minerva untuk menghadapi pesta itu.
Princess Minerva masih duduk di depan pianonya ketika kedua wanita
itu datang.
Kedua wanita tua itu menggiring Princess Minerva ke Ruang Tidurnya
dan mulai mendandani Princess Minerva secantik mungkin.
“Anda cantik sekali, Princess. Saya yakin semua orang akan terpesona
pada Anda,” kata Mrs. Wve sambil memperhatikan Princess Minerva.
Princess Minerva tersenyum sambil memandangi wajahnya di cermin.
Mrs. Wve dan Mrs. Vye mendandani Princess Minerva persis seperti saat
Princess Minerva menemui Duke of Blueberry di Ruang Pertemuan. Hanya
saja kali ini bunga-bunga yang menghiasi rambut Princess Minerva semuanya
berwarna putih, bukan bunga yang berwarna-warni. Demikian pula gaun
Princess Minerva yang berwarna putih polos. Kainnya yang lembut bersinar
setiap kali Princess Minerva bergerak.
“Pangeran Alcon meminta Anda menanti di sini hingga ia memanggil
Anda, Princess,” kata Mrs. Wve.
Princess tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
Kedua wanita itu membungkuk dan segera meninggalkan Princess.
Princess Minerva tersenyum pada bayangannya kemudian menuju
sangkar burung layang-layang di dekat piano putihnya. Burung layang-layang
itu tampak lebih sehat daripada waktu Princess Minerva menemukannya.
Burung itu telah bergerak di sangkarnya yang besar dan mulai terbang ke
sana kemari.
“Sebentar lagi musim semi dan engkau akan segera berkumpul kembali
dengan teman-temanmu,” kata Princess kepada burung itu.
Burung itu terbang dengan gembira di dalam sangkarnya seolah-olah
mengerti apa yang dikatakan Princess Minerva.
Princess Minerva tersenyum ketika ia teringat kekhawatiran yang dulu
dirasakannya ketika ia membayangkan pesta ini.
Saat itu Princess Minerva sangat khawatir memikirkan bagaimana harus
menghadapi Alexander. Kini Princess Minerva tidak lagi merasa khawatir.
Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan Princess Minerva setelah Alexander
melamarnya.
“Tinggalkan burung kesayanganmu itu, Minerva.”
Princess Minerva terkejut mendengar teguran yang tiba-tiba itu. Ia 400
tersenyum dan memalingkan kepalanya kepada Pangeran Alcon.
Pangeran Alcon mendekati Princess Minerva. “Aku yakin engkau tidak
ingin mengurung burung ini dalam sangkarnya.”
“Engkau benar, Al. Aku ingin melepas burung ini di dalam kamar ini
tetapi aku tahu kedua pengasuhku akan marah,” kata Princess Minerva
sambil tersenyum.
“Sebentar lagi engkau akan dapat melepaskannya.”
“Ya, sebentar lagi musim semi dan teman-teman burung ini akan tiba,”
kata Princess Minerva sambil menatap wajah kakaknya.
Pangeran Alcon tersenyum. “Hari ini engkau cantik sekali, Minerva. Dan
sekarang aku ingin menunjukkan kecantikanmu itu pada setiap orang,” kata
Pangeran Alcon sambil mengulurkan tangannya.
Princess Minerva tersenyum sambil menerima uluran tangan Pangeran
Alcon.
Tangan Pangeran Alcon terus menggenggam erat tangan Princess
hingga mereka tiba di Hall yang telah berisi beberapa orang.
Semua orang melihat pada Princess Minerva ketika melihat Princess
Minerva menuruni tangga bersama Pangeran Alcon.
Princess Minerva tersenyum pada orang-orang itu kemudian bersama
kakaknya, ia menghampiri kedua orang tuanya.
Ketika ia telah berada di sisi kedua orang tuanya, Princess Minerva
mencium pipi orang tuanya.
“Engkau cantik sekali, Minerva,” kata Raja sambil memegang pundak
Princess Minerva.
“Terima kasih, Papa.”
“Sambutlah setiap tamu yang ada, Minerva,” kata Ratu.
Princess Minerva mengangguk dan segera menerima uluran tangan
Pangeran Alcon.
“Bila melihat cara mereka menatap kita, kurasa mereka mengira kita
adalah sepasang kekasih,” kata Pangeran Alcon.
Princess Minerva tersenyum mendengar kata-kata itu.
Bersama kakaknya, Princess Minerva menyambut setiap tamu yang
datang.
Setiap tamu itu mula-mula mengira Princess Minerva adalah kekasih
Pangeran Alcon ketika melihat sikap Pangeran Alcon yang penuh perhatian
kepada Princess Minerva tetapi setelah diperkenalkan pada Princess Minerva, 401
mereka tahu dugaan mereka salah.
Princess Minerva hanya tersenyum ketika ia mengetahui dugaan tamu-
tamunya ketika melihat sikapnya yang akrab dengan kakaknya tetapi
Pangeran Alcon berpendapat lain.
“Aku khawatir bila mereka terus mengira aku adalah kekasihmu,
Alexander akan cemburu padaku,” kata Pangeran Alcon sambil mendekati
tamu yang lain.
Princess Minerva tersenyum melihat tamu yang terkejut melihatnya.
“Selamat sore, Mr. Townie,” sapa Princess Minerva.
“Engkau telah mengenalnya?” tanya Pangeran Alcon terkejut.
Princess Minerva mengangguk. “Aku bertemu dengannya ketika aku
berada di Obbeyville.”
Mendengar Princess Minerva mengucapkan nama ‘Obbeyville’, Trown
Townie semakin merasa terkejut. “Maria?” kata Trown Townie tak percaya
pada apa yang dilihatnya.
“Lama kita tidak berjumpa,” kata Princess Minerva.
“Aku tidak percaya,” gumam Trown Townie, “Apakah Anda benar
Maria?”
Princess Minerva tersenyum. “Seperti yang Anda lihat, Mr. Townie. Saya
adalah Maria.”
“Anda juga Princess Minerva,” tambah Trown Townie.
Pangeran Alcon tersenyum. “Ia adalah Maria dan juga Princess
Minerva,” ulang Pangeran Alcon.
“Saya tidak percaya masih dapat melihat Anda setelah Anda
menghilang dari Obbeyville,” kata Trown Townie, “Ketika Anda tiba-tiba
menghilang, semua penduduk Obbeyville mengatakan Anda kembali ke Holly
Mountain dan membawa serta Mrs. Vye.”
Pangeran Alcon tertawa mendengarnya. “Engkau hebat, Minerva.
Engkau membuat banyak sensasi di Obbeyville.”
Princess Minerva tersenyum melihat gelak tawa kakaknya.
“Saya yakin Duke of Blueberry juga terkejut bila ia mengetahui Anda
adalah Maria,” kata Trown Townie.
“Duke of Blueberry telah mengetahuinya dan ia juga terkejut seperti
Anda ketika mengetahui Maria adalah gadis yang sama dengan Minerva,”
kata Pangeran Alcon.
Trown Townie terkejut. “Apakah Duke telah tiba?”402
“Ia telah berada di Istana Plesaides jauh sebelum pesta ini
dilaksanakan,” jawab Pangeran Alcon.
“Saya tidak mengetahuinya. Saya hanya mendengar Duke sedang
pergi.”
“Duke ke Istana Plesaides dulu sebelum ia pergi. Semula Duke hendak
meminta ijin saya untuk tidak menghadiri pesta ini tetapi kemudian ia
merubah pikirannya,” kata Pangeran Alcon.
“Saat ini Duke sedang berbicara bersama orang tua saya. Bila Anda
mau, saya akan memanggilkan Duke,” kata Princess Minerva.
Trown Townie menggelengkan kepalanya. “Terima kasih, Princess
Minerva. Tetapi saya akan menemui mereka sendiri. Saya melihat Anda dan
Pangeran masih hendak menyambut tamu-tamu yang lain.”
“Saya akan menemani Anda, Trown Townie,” kata Pangeran Alcon.
Trown Townie menatap Princess Minerva.
Pangeran Alcon mengerti apa yang hendak dikatakan Trown Townie.
“Saya akan meminta Alexander menggantikan saya. Sejak tadi semua orang
menduga saya dan Minerva adalah kekasih. Saya rasa sebaiknya pandangan
itu dirubah.”
Pangeran Alcon menatap dalam-dalam wajah Princess Minerva.
“Tunggulah di sini, Minerva.”
Princess Minerva mengangguk. Princess Minerva melihat Trown Townie
mendekati kedua orang tuanya bersama kakaknya.
“Baroness Sidewinder dari Obbeyville tiba.”
Princess Minerva terkejut mendengar suara prajurit yang
mengumumkan kedatangan Baroness Lora. Princess Minerva memalingkan
kepalanya dan melihat Baroness Lora serta Lady Debora berjalan dengan
anggun memasuki Hall.
Seperti biasanya Baroness Lora maupun Lady Debora selalu tampil
dengan penuh kemewahan. Gaun yang dikenakan Lady Debora dan Baroness
Lora juga tampak menyolok dibandingkan gaun wanita-wanita lainnya. Wajah
senang dan penuh percaya diri di kedua wanita itu berubah ketika melihat
Princess Minerva mendekati mereka dengan senyum yang manis.
Kedua wanita itu terpaku melihat Princess Minerva mendekat.
“Selamat datang, Baroness Lora dan Lady Debora,” sapa Princess
Minerva, “Saya telah menantikan Anda.”
“Terima kasih,” kata Baroness Lora gugup.403
Baroness Lora dan Lady Debora tidak tahu mengapa gadis yang dulu
mereka kenal sebagai Maria bisa berada di Istana Plesaides tetapi mereka
masih belum tahu kalau gadis yang berdiri di hadapan mereka itu adalah
Princess Minerva.
Princess Minerva tersenyum. “Silakan masuk. Kami semua telah
menanti Anda.”
Baroness Lora mengangguk dan segera memasuki Hall. Rasa terkejut
dan heran di wajah kedua wanita itu masih belum hilang ketika mereka
mendekati kerumunan orang di Hall yang membicarakan Princess Minerva.
Ketika mereka mendengar pembicaraan itu, barulah mereka mengerti
mengapa Maria bisa berada di Istana Plesaides dan mereka semakin merasa
gugup ketika menyadari gadis yang menyambut mereka adalah Princess
Minerva.
Princess Minerva tersenyum melihat Baroness Lora serta Lady Debora
mendekati tamu-tamu yang lain.
Kemudian Princess Minerva berdiri di jendela dan memandang ke
halaman Istana.
“Maria.”
Panggilan itu membuat Princess Minerva memalingkan kepalanya.
Princess Minerva tersenyum pada Alexander.
“Mengapa engkau berada di sini? Engkau bisa sakit lagi,” kata
Alexander.
“Aku sedang menanti seseorang, Al,” kata Princess Minerva sambil
kembali menatap halaman Istana. Ketika menyadari ia telah mengatakan
sesuatu yang salah, Princess Minerva segera memalingkan kepalanya lagi.
“Aku memang sedang menanti orang yang dekat denganku tetapi tidak
seperti kauduga, Al.”
Alexander tersenyum. “Aku mengerti, Maria. Tetapi kalau engkau terus
berdiri di sini, engkau dapat jatuh sakit.”
“Tidak apa-apa, Al. Aku tidak akan lama. Kurasa sebentar lagi mereka
datang,” kata Princess.
Alexander memegang pundak Princess Minerva dari belakangnya.
“Engkau memang seperti yang orang-orang itu katakan, Maria. Engkau selalu
tampak bercahaya,” kata Alexander.
“Rupanya sejak tadi tamu-tamu itu membicarakan diriku,” kata Princess
Minerva tanpa mengalihkan perhatiannya dari halaman Istana.404
“Ya, sejak tadi mereka membicarakanmu. Aku melihat engkau
menyambut Baroness Lora dan Lady Debora,” kata Alexander, “Kulihat
mereka terkejut melihatmu.”
Princess Minerva mengangguk. “Mereka memang terkejut melihatku
dan mereka semakin terkejut ketika mereka mengetahui siapa diriku dari
tamu-tamu itu.”
“Mereka pasti merasa bingung menghadapimu, Maria.”
Princess Minerva mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Saat itu
mata Princess Minerva menangkap sesuatu yang berjalan mendekati gerbang
Istana.
Ketika kereta itu semakin mendekat, Princess Minerva tersenyum.
“Mereka telah tiba,” kata Princess Minerva kepada Alexander.
Walaupun tidak mengerti apa yang akan dilakukan Princess Minerva,
Alexander tetap mengikuti Princess Minerva.
Princess Minerva mendekati Mrs. Vye yang sedang berbicara dengan
Mrs. Wve di dekat tangga.
“Mrs. Vye, ikutlah denganku,” kata Princess Minerva sambil menarik
tangan Mrs. Vye.
Mrs. Vye kebingungan melihat perbuatan Princess Minerva. Ia
membiarkan Princess Minerva menarik tangannya ke pintu depan Istana
Plesaides.
Mrs. Wve yang mengikuti Mrs. Vye juga tidak mengerti dengan
perbuatan Princess Minerva.
Ketika mereka tiba di depan pintu masuk Istana Plesaides, Princess
Minerva tersenyum pada Mrs. Vye.
“Lihatlah apa yang ada di luar, Mrs. Vye,” kata Princess Minerva.
Walaupun tidak mengerti apa yang sedang dilakukan Princess Minerva,
Mrs. Vye membuka pintu itu dan segera melihat apa yang ada di luar.
Setelah melihat Mrs. Wve mengikuti Mrs. Vye ke halaman Istana
Plesaides, Princess Minerva segera memberi perintah kepada prajurit yang
menjaga pintu itu untuk menutup pintu dengan tangannya.
“Apa yang sedang kaulakukan, Maria?” tanya Alexander ketika melihat
Princess Minerva berjalan ke jendela.
“Aku membuat kejutan untuk Mrs. Vye, Al,” kata Princess Minerva
sambil tersenyum, “Aku tahu Mrs. Vye merindukan Mrs. Fat, Mrs. Dahrien juga
Mr. Liesting, maka aku mengundang mereka ke mari.”405
“Engkau mengirim kereta kuda untuk menjemput mereka dan mereka
berangkat setelah Baroness Lora berangkat ke Istana Plesaides.”
Princess Minerva tersenyum mendengar kata-kata Al. “Engkau benar,
Al. Saat kakakku tiba, aku meminta ia melakukan ini dan ia melakukannya
sesuai permintaanku. Mrs. Vye pasti merasa senang.”
“Mrs. Fat, Mrs. Dahrien juga Mr. Liesting pasti merasa terkejut tiba-tiba
sebuah kereta kuda mewah menjemput mereka dan mengantar mereka ke
Istana Plesaides,” tambah Alexander.
Princess Minerva tersenyum mendengar itu. “Kurasa sebaiknya kita
membaurkan diri dengan tamu-tamu lainnya, Al, dan membiarkan Mrs. Vye
berbicara dengan teman-temannya.”
Alexander merangkulkan tangannya di pinggang Princess Minerva dan
membawa Princess Minerva ke sisi orang tuanya.
“Kurasa semua orang telah tiba,” kata Pangeran Alcon.
Princess Minerva melihat jumlah tamu yang memenuhi Hall Istana dan
ia tersenyum melihat banyaknya orang di Hall. Ia telah menduga kakaknya
akan mengundang banyak orang dalam pesta ini.
“Aku akan memperkenalkanmu pada setiap orang,” kata Pangeran
Alcon.
Princess Minerva menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu, Al. Aku yakin
semua orang telah mengenalku.”
“Tetapi, Minerva, belum tentu mereka semua tahu siapa dirimu.”
“Al, aku tidak ingin menganggu percakapan mereka. Tidakkah engkau
melihat mereka sedang sibuk bercakap.”
“Minerva, kakakmu benar. Tidak semua orang di sini yang
mengenalmu,” kata Raja.
“Sebaiknya kita menghormati keinginan Minerva. Semua orang
membicarakan Minerva dan itu berarti semua telah mengenal Minerva,” kata
Ratu. “Tidakkah engkau mendengar mereka membicarakan kecantikkan
Minerva?”
Pangeran Alcon mengangguk. “Aku mendengarnya, Mama. Tetapi aku
ingin mengenalkan Minerva secara resmi pada mereka.”
“Al, aku tidak ingin mereka mengenalku secara resmi. Kukira
perkenalan tidak selalu harus berlangsung dengan resmi.”
Pangeran Alcon tersenyum mendengar kata-kata adiknya. “Engkau
memang pandai merusak rencana orang.”406
Princess Minerva tersenyum.
“Baiklah, aku tidak akan memaksa lagi. Aku tahu engkau ingin
berduaan dengan tunanganmu, Alexander.”
“Berbicara mengenai itu, aku memiliki usul,” kata Raja.
“Usul apa?” tanya Ratu ingin tahu.
Raja membisikkan sesuatu kepada Ratu.
Ratu tersenyum mendengarnya. “Kurasa itu ide yang paling bagus yang
pernah kudengar. Aku akan membicarakannya dengan Duke dan Duchess.”
Ratu mendekati Duke dan Duchess yang sedang berbicara bersama
beberapa orang di dekat mereka.
“Apa yang Papa usulkan?” tanya Pangeran Alcon.
Sekali lagi Raja mengatakan usulnya dengan berbisik.
Pangeran Alcon tersenyum mendengarnya. “Ide bagus, Papa. Mengapa
aku tidak pernah memikirkannya.”
Princess Minerva dan Alexander saling berpandangan tak mengerti.
“Sekarang kalian pergilah ke mana kalian suka dan berduaanlah,” kata
Pangeran Alcon, “Kami tidak akan menganggu kalian.”
Alexander menggandeng tangan Princess Minerva ke dekat jendela.
Setelah membantu Princess Minerva duduk, Alexander duduk di
samping Princess Minerva.
“Aku tidak mengerti apa yang mereka rencanakan,” kata Alexander.
“Aku juga tidak mengerti.”
Princess Minerva menatap pintu masuk yang masih tertutup. Dan ia
tersenyum ketika melihat Mrs. Fat, Mrs. Dahrien dan Mr. Liesting
mendekatinya bersama Mrs. Vye dan Mrs. Wve.
Princess Minerva bangkit dan menyapa mereka, “Selamat malam.”
“Selamat malam, Princess Minerva,” kata mereka.
Ketika mereka melihat Alexander berdiri di samping Princess Minerva,
mereka berkata, “Selamat malam, Tuan Muda.”
Alexander tersenyum dan membalas sapaan itu. “Selamat malam.”
“Saya senang sekali kalian mau datang,” kata Princess Minerva sambil
tersenyum.
“Tentu saja kami bersedia datang, Princess. Apalagi Anda telah repot-
repot mengirim kereta khusus untuk menjemput kami,” kata Mr. Liesting.
“Kami sangat terkejut ketika tak lama setelah kepergian Baroness Lora,
sebuah kereta yang megah datang. Semula kami mengira kereta itu berhenti 407
di tempat yang salah tetapi rupanya kereta itu datang untuk menjemput
kami,” tambah Mrs. Fat.
“Mula-mula kami terkejut ketika kusir kereta itu mengatakan ia datang
untuk menjemput kami tetapi ketika ia menunjukkan surat pendek dari Anda,
kami mengira kami telah bermimpi,” kata Mrs. Dahrien meneruskan.
Princess Minerva tersenyum melihat ketiga orang yang dekat
dengannya ketika ia tinggal di Obbeyville bergantian bercerita dengan penuh
semangat.
Ketiga orang itu tidak berubah. Mrs. Fat yang gemuk masih suka
bercanda. Mr. Liesting masih memiliki janggut putih lebatnya dan Mrs.
Dahrien masih terlihat segar walaupun ia sudah tua.
“Tentu kalian mengira saya hendak membawa serta kalian ke Holly
Mountain,” kata Princess Minerva sambil tersenyum, “Seperti kalian menduga
saya membawa Mrs. Vye ke Holly Mountain.”
Mrs. Dahrien menatap wajah Princess Minerva yang selalu dihiasi
senyum. Wajah Princess Minerva terlihat tampak sangat cerah dan tiada
kesan kemisteriusan di wajahnya yang cantik. Yang ada hanya kesan
keanggunan yang menawan hati.
Mrs. Dahrien tersenyum. “Mula-mula kami memang berpikir seperti itu.
Surat Anda sangat pendek. Anda tidak menjelaskan apa pun dalam surat
Anda. Anda hanya menulis:
Saya ingin mengundang Anda ke tempat saya. Kereta ini
saya datangkan khusus untuk menjemput Anda semua.
Maria.
Lagipula Anda dan Mrs. Vye tiba-tiba menghilang dari Obbeyville.”
Princess Minerva tersenyum mendengar Mrs. Dahrien mengulang isi
suratnya. “Saya ingin membuat kalian juga Mrs. Vye terkejut.”
“Karena itu Anda tidak pernah mengatakan apa-apa kepada saya?” kata
Mrs. Vye.
Princess Minerva mengangguk. “Saya tahu engkau merindukan
Obbeyville khususnya Mrs. Fat, Mrs. Dahrien dan Mr. Liesting. Karena itu saya
ingin membuat suatu kejutan bagi kalian semua.”
“Anda berhasil melakukannya, Princess. Kami benar-benar terkejut
ketika kereta yang menjemput kami membawa kami ke tempat yang megah
seperti ini,” kata Mrs. Fat.
“Saya sama sekali tidak pernah menduga Anda dan Maria adalah orang 408
yang sama,” kata Mrs. Dahrien. “Anda terlihat berbeda daripada waktu Anda
masih menjadi Maria.”
Mendengar kata-kata yang penuh rasa tidak percaya itu, Princess
Minerva tersenyum. “Saya dan Maria adalah gadis yang sama. Yang berbeda
dari kami hanyalah Maria seorang gadis yang kehilangan ingatannya dan saya
yang sekarang adalah seorang gadis yang hidup dalam kemewahan.”
“Anda tampak semakin cantik dengan gaun yang indah, Princess.
Memang Anda lebih pantas mengenakan gaun yang indah daripada gaun
pelayan,” kata Mrs. Dahrien.
Princess Minerva tersenyum. “Saya mengundang kalian kemari bukan
untuk membuat Anda mengagumi saya.”
“Tetapi Anda memang pantas untuk selalu dikagumi, Princess,” kata
Mrs. Wve.
“Ia memang satu-satunya gadis yang paling dikagumi di pesta ini,” kata
Alexander, “Lihatlah semua orang sejak tadi memandanginya sehingga aku
khawatir dibuatnya.”
Princess Minerva tersenyum pada Alexander.
Mrs. Wve tersenyum melihatnya. “Saya rasa Anda benar, Princess. Anda
mengundang mereka ke pesta ini untuk bersenang-senang. Kami akan
bersenang-senang.”
Rupanya bukan hanya Mrs. Wve saja yang tahu apa yang harus
dilakukannya saat ini. Tanpa mengatakan apa-apa, mereka semua
membungkuk dan meninggalkan Princess Minerva berdua dengan Alexander.
“Nikmatilah pesta ini,” kata Princess Minerva sambil memandangi
sekelompok orang yang disayanginya itu menjauh.
Alexander tersenyum pada Princess Minerva. “Engkau memang baik,
Maria. Engkau memikirkan mereka juga.”
Princess Minerva membalas pujian itu dengan senyuman. “Saat ini aku
sedang memikirkan Lady Debora.”
“Mengapa?” tanya Alexander tak mengerti.
“Lady Debora sangat ingin merebut hati Al tetapi Al tidak menyukainya.
Andai ia tahu entah apa yang akan dikatakannya.”
“Bagus!” seru seseorang dari samping Princess Minerva.
Princess Minerva terkejut mendengarnya. Ia memalingkan kepalanya
dan melihat kakaknya sedang tersenyum puas. Tiba-tiba Princess Minerva
menyadari makna senyum puas di wajah kakaknya. “Tidak, Al. Engkau tidak 409
boleh melakukannya.”
“Tidak apa-apa, Minerva. Ia telah menyakitimu dan aku tidak akan diam
melihatnya.”
“Tidak, Al. Aku tidak mengijinkan engkau mempermainkan Lady
Debora. Ia memang ingin sekali menjadi Ratu tetapi engkau tidak boleh
mempermainkannya,” bujuk Princess Minerva.
“Ia telah mempermainkan engkau, mengapa aku tidak boleh?” tanya
Pangeran Alcon merajuk.
Princess Minerva tersenyum, “Karena berkat ia pula aku dapat berada
di sini saat ini selain itu engkau telah berjanji padaku.”
Pangeran Alcon mengeluh karena diingatkan janjinya. “Dan engkau
tidak senang pada orang yang melanggar janjinya.”
“Dari mana engkau mengetahuinya, Maria?”
“Lady Debora sendiri yang mengatakan hal itu kepada Baroness Lora
dan aku berada di sana saat itu. Ketika itu Lady Debora baru saja membaca
berita hilangnya diriku dan ia sangat mengharapkan dapat menjadi temanku
kemudian menjadi Ratu,” kata Princess Minerva menjelaskan.
Princess Minerva melayangkan pandangannya kepada Lady Debora
yang berada di kerumunan antara tamu-tamu. Princess Minerva tidak tahu
apa yang dirasakan wanita itu setelah mengetahui ia tidak akan dapat
menjadi Ratu terutama karena Princess Minerva telah mengetahui segala
rencananya.
Pangeran Alcon mengikuti pandangan Princess Minerva. “Kurasa tidak
ada buruknya bila aku mempermainkan ia sedikit saja. Ia telah berencana
memanfaatkanmu untuk dapat menjadi Ratu dan aku tidak dapat memaafkan
siapa pun yang memanfaatkan adikku.”
“Sebenarnya apa tujuanmu kemari, Al?” tanya Princess Minerva
mengalihkan perhatian kakaknya dari Lady Debora.
“Aku hanya ingin melihat kalian,” jawab Pangeran.
“Kami baik-baik saja di sini,” kata Alexander.
Pangeran Alcon mengangguk. “Aku juga melihatnya. Aku hanya merasa
cemburu melihat kalian semakin akrab. Sebentar lagi aku akan benar-benar
kehilangan Minerva.”
“Mengapa engkau berbicara seakan-akan aku akan meninggalkan
engkau untuk selama-lamanya?” tanya Princess Minerva sedih.
“Karena memang engkau tidak lama lagi berada di Istana Plesaides. 410
Tidak sampai satu bulan lagi engkau akan meninggalkan tempat ini dan ikut
suamimu,” kata Pangeran Alcon sambil menatap Alexander.
Princess Minerva tidak mengerti apa yang dikatakan kakaknya. “Apa
yang kaumaksudkan, Al? Apa yang kalian rencanakan sebulan lagi?”
Pangeran Alcon terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia tidak menduga
dirinya telah membicarakan sesuatu yang seharusnya menjadi kejutan untuk
adiknya, Princess Minerva.
“Karena aku telah mengatakannya kurasa sebaiknya aku mengatakan
semuanya kepadamu,” kata Pangeran Alcon, “Kami telah memutuskan untuk
menyelenggarakan pernikahanmu di hari ulang tahunmu, Minerva.”
Princess Minerva terkejut tetapi Alexander lebih terkejut lagi.
“Engkau merencanakannya tanpa sepengetahuan kami?”
“Sebenarnya aku hanya ingin memberi tahu Alexander dan membuat
hal ini menjadi kejutan di hari ulang tahunmu tetapi karena aku tidak sengaja
mengatakannya maka kalian berdua kuberi tahu.”
“Sayang sekali hal ini tidak jadi menjadi kejutan untuk hadiah ulang
tahun Maria,” kata Alexander.
Mendengar Alexander secara tidak langsung juga menyetujui ide
kakaknya serta kedua orang tuanya, Princess Minerva tersenyum. Sekarang ia
mengerti mengapa tadi ibunya tampak gembira mendengar sesuatu dari
ayahnya. Raja membisikkan ide itu kepada Ratu dan Pangeran Alcon.
Kemudian Ratu membicarakannya dengan Duke dan Duchess dan mereka
semua menyetujui ide Raja.
“Engkau benar, Minerva. Semua orang telah mengenalmu sebagai
Princess Minerva tanpa kuumumkan,” kata Pangeran Alcon, “Tetapi aku masih
mendengar Alexander memanggilmu Maria.”
Mendengar rasa ingin tahu dalam suara Pangeran Alcon, Alexander
berkata, “Aku lebih suka Minerva sebagai Maria yang tidak pernah menahan
dirinya daripada Minerva sebagai seorang putri yang selalu menahan dirinya
dan menjaga perasaannya.”
“Engkau telah mendengarnya, Al. Al lebih suka aku menjadi Maria
daripada menjadi Princess Minerva.”
Pangeran Alcon tersenyum. “Aku heran engkau memanggil kami
dengan panggilan yang sama, Al. Tetapi mengapa aku selalu tahu siapa yang
kaupanggil.”
“Aku tidak tahu, Al,” kata Princess Minerva sambil tersenyum.411
“Tetapi aku tahu. Engkau memanggil Alexander lebih mesra daripada
saat engkau memanggilku,” kata Pangeran Alcon cemberut.
Princess Minerva tersenyum.
“Engkau tersenyum melihat aku cemburu.”
Melihat kakaknya semakin cemberut, Princess Minerva tertawa.
Pangeran Alcon terkejut melihat adiknya tiba-tiba tertawa di depan
banyak orang yang juga terkejut melihat Princess Minerva tiba-tiba tertawa.
Namun ia ikut tertawa juga melihat tawa ceria adiknya. Ia belum pernah
melihat adiknya demikian terbuka. Princess Minerva tidak lagi berusaha
menutupi semua perasaannya. Pangeran Alcon senang melihat adiknya telah
menemukan pria yang mampu membuatnya tertawa.
Alexander tersenyum melihat tawa Princess Minerva. Ia tahu Princess
Minerva tidak akan lagi berusaha menahan semua perasaannya. Princess
Minerva akan selalu menjadi Maria yang tidak pernah menahan perasaannya.
Princess Minerva tersenyum pada Alexander. Princess Minerva tidak
tahu apa yang sedang dipikirkan Alexander tetapi ia tahu ia tidak akan
pernah menahan perasannya di hadapan pria itu. Ia membiarkan pria yang
dicintainya itu melihat apa yang dirasakannya.
Alexander juga tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Princess Minerva.
Tetapi ia dapat melihat cinta di mata gadis itu. Gadis itu mencintainya dan
akan selalu membuka dirinya kepada dirinya, hanya itu yang diketahui
Alexander.
Mereka sama-sama tahu sejak saat itu mereka mempunyai seseorang
yang dapat diajak berbagi perasaan. Mereka akan selalu tertawa bersama dan
menangis bersama sepanjang masa.
412