Download - Fix Kumpul
HUKUM DAN MASYARAKAT
Oleh:Kelompok IV
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAANFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG2015
NAMA ANGGOTA KELOMPOK IV
1. Atika Dwi Lestari NPM. 13130320092. Atika Febtiana Sari NPM. 13130320113. Ersa Susanti NPM. 13130320254. Kurnia Nurkaromah NPM. 13130320405. M. Anas Fanani NPM. 13130320426. Nur Anita Sari NPM. 13130320617. Septa Febriani NPM. 13130320758. Sita Oktaviani NPM. 13130320779. Suciati Nurmala NPM. 131303208110. Tri Yukanti NPM. 131303208611. Yogi Pratama NPM. 1313032096
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang “HUKUM DAN MASYARAKAT”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Sosiologi Hukum di Universitas Lampung.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Dosen mata kuliah Sosiologi Hukum kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Bandar Lampung, Mei 2015
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... iNAMA ANGGOTA KELOMPOK............................................................... iiKATA PENGANTAR.................................................................................... iiiDAFTAR ISI................................................................................................... ivDAFTAR LAMPIRAN................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang....................................................................................... 11.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 21.3 Tujuan Penulisan.................................................................................... 21.4 Metode Penulisan................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN2.1 Definisi Hukum...................................................................................... 32.2 Definisi Masyarakat............................................................................... 32.3 Perubahan Dalam Masyarakat dan Pencapaian Tujuan Hukum............ 42.4 Pemahaman Interpretasi Dalam Suatu Perubahan Hukum Terhadap
UU No. 5 Tahun 1960......................................................................................................................................................................................11
2.5 Contoh Pendekatan Sosiologi Hukum dalam Penyelesaian Persoalan Hak dan Kewajiban...................................................................................... 17
2.6 Hukum Di Indonesia dan Kaitannya Reformasi.................................... 18
BAB III PENUTUP3.1 Kesimpulan............................................................................................ 243.2 Saran....................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN
iv
DAFTAR LAMPIRAN
Gambar-gambar yang berkaitan dengan materi yang dibahas.......................... 26
v
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum merupakan instrumen penting dalam masyarakat karena menjadi
pedoman umum dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Hukum yang
berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dipengaruhi oleh berbagai hal,
diantaranya ialah pengaruh dari kebudayaan dimana hukum itu lahir dan
berlaku. Kebudayaan yang dihasilkan oleh suatu masyarakat dipengaruhi juga
oleh bentuk atau corak dari masyarakat tersebut, semakin pluralis suatu
masyarakat, semakin komplek kebudayaan yang dihasilkan, maka semakin
kompleks juga hukum yang timbul dari kebudayaan tersebut.
Begitu juga sebaliknya, masyarakat yang sederhana menghasilkan
kebudayaan yang sederhana pula. Hukum yang dihasilkan pun sederhana
dalam artian tidak selengkap atau sekomplek hukum pada masyarakat yang
pluralis. Namun kita tidak dapat memungkiri bahwa Masyarakat yang pluralis
tidaklah langsung menjadi plural, melainkan berawal dari masyarakat yang
sederhana. Dan awal dari munculnya konsep hukum ialah pada masyarakat
sederhana. Melihat begitu berhubungan erat antara hukum dan masyarakat.
Maka, dalam hal ini akan membahas tentang hukum dan masyarakat.
Maka dari itu, kami mencoba memaparkan bagaimana konsep-konsep hukum
pada masyarakat sederhana sebagaimana dengan apa yang dihasilkan oleh
para sarjana hukum yang mencoba meneliti hal tersebut.
1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah Definisi dari Hukum?
1.2.2 Apakah Definisi dari Masyarakat?
1.2.3 Bagaimana perubahan dalam masyarakat serta pencapaian tujuan dalam
hukum?
1.2.4 Bagaimana contoh pendekatan sosiologi hukum dalam penyelesaian persoalan hak dan kewajiban?
1.2.5 Bagaimana hukum di Indonesia dan kaitannya dengan reformasi?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Mengetahui dan memahami definisi dari hukum.
1.3.2 Mengetahui dan memahami definisi dari masyarakat.
1.3.3 Mengetahui dan memahami perubahan dalam masyarakat serta pencapaian
tujuan dalam hukum.
1.3.4 Mengetahui contoh pendekatan sosiologi hukum dalam penyelesaian
persoalan hak dan kewajiban.
1.3.5 Mengetahui dan memahami hukum di Indonesia serta kaitannya dengan
reformasi.
1.4 Metode Penulisan
Makalah ini di tulis dengan menggunakan metode literatur, yaitu metode yang
dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang
berhubungan dengan alat, baik berupa buku-buku maupun informasi dari
internet.
2
BAB IIPEMBAHASAN
2.1 Definisi Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian
kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang
politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai
perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap
kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara
negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan
kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan
memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan mereka yang akan
dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan
dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara
berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan
peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah
supremasi hukum akan jauh lebih baik daripada dibandingkan dengan
peraturan tirani yang merajalela.”
2.2 Definisi Masyarakat
Masyarakat Berasal dari kata society yang berarti hubungan persahabatan
dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman,
sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit,
kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai
perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.
Masyarakat juga dapat diartikan sekelompok orang yang membentuk sebuah
sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi
adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata
"masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih
3
abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan
antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang
interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah
masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama
dalam satu komunitas yang teratur.
2.3 Perubahan Dalam Masyarakat dan Pencapaian Tujuan Hukum
Bila membicarakan perubahan dalam masyarakat dan pencapaian tujuan
hukum berarti mengkaji perubahan kehidupan sosial dalam masyarakat yang
berorientasi kepada proses pembentukan hukum dalam pencapaian tujuannya.
Oleh karena itu, objek pembahasan berfokus An Engineering Interpretation
atau interpretasi terhadap adanya perubahan norma hukum sehingga fungsi
hukum sebagai social control dan social engineering dapat terwujud. Dalam
objek pembahasan yang dimaksud, diuraikan konsep dasar An engineering
interpretation, dalam kaitannya dengan social control dan social engineering
dalam menganalisis Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 konteks
pemahaman terhadap social control dan social engineering dalam pencapaian
tujuan hukum.
1. Konsep Dasar an Engineering Interpretation
a. Interpretation
Interpretation adalah usaha untuk menggali, menemukan, dan memahami
nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat, untuk dijadikan sebagai bahan (dasar) pertimbangan dalam
menyusun hukum dan menetapkan suatu keputusan dalam menyelesaikan
suatu permasalahan yang timbul dalam masyarakat, sehingga terwujud
tujuan hukum itu sendiri, yaitu “keadilan”.
Bila melakukan suatu pendekatan dalam mengamati fenomena sosial
dalam masyarakat, yang kemudian hasil pengamatan itu digunakan untuk
memecahkan suatu masalah (dalam hal ini adalah permasalahan hukum
4
yang meliputi penggalian, penyusunan, pemeliharaan, dan penegakan
hukum), maka dapat disebut tercapai tujuan interpretasi.
b. Engineering
Engineering adalah perubahan-perubahan norma dan nilai-nilai yang
terjadi dalam masyarakat seiring dengan terjadinya perubahan
(perkembangan) kebudayaan dalam masyarakat itu sendiri.
c. An Engineering Interpretation
Dasar pemikiran yang dijadikan tolak ukur untuk memberi pengertian an
engineering interpretation adalah bersumber dari Bab VII dalam buku
yang berjudul Interpretation of Legal History yang disusun oleh Roscoe
Pound. Pengertian yang dimaksud adalah usaha-usaha yang dilakukan
oleh kalangan pemikir hukum untuk menemukan nilai-nilai dan norma-
norma yang ada dalam masyarakat yang selalu mengalami perubahan
seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat, untuk
selanjutnya nilai-nilai dimaksud diadaptasikan oleh para legislator dan
praktisi hukum dalam menyelesaikan dan mengambil kebijakan terhadap
konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan mengacu kepada
tercapainya cita-cita dan tujuan hukum itu sendiri.
2. An Engineering Interpretation Dalam Kaitan Fungsi Hukum sebagai
Social Control dan Social Engineering
Rescoe Pound mengemukakan dalam bukunya yang berjudul
Interpretation of Legal History, bahwa law must bestable and yet it
cannot stand still. Pound memperlihatkan usahanya untuk
mengungkapkan mengapa hukum itu selalu dinamis dengan menelusuri
nilai-nilai dan norma-norma yang ada dan berkembang dalam masyarakat
yang selalu berubah-ubah sesuai perkembangan pemikiran masyarakat
setiap waktu dan tempat. Yang dimaksudkan relatif disini adalah berubah
sesuai dengan waktu dan tempat yang sangat erat kaitannya dengan
5
kebudayaan. Namun, hukum memiliki sifat universalitas karena hanya
ada satu ide dari hukum, yaitu keadilan (keseimbaangan).
Pound mencoba mengungkapkan mengapa hukum itu relatif dengan
menampilkan pendapat dari kohler. Kohler bertitik tolak dari kenyataan
bahwa hukum dan kebudayaan itu tidak dapat diceraipisahkan, sehingga
relatifitas hukum itu disebabkan oleh kebudayaan yang ada yang
mendukungnya, serta selalu berkembang dan berubah-ubah sesuai waktu
dan tempatnya.
Kohler menyatakan bahwa walaupun hukum itu relatif, namun tetap
memperhatikan tujuan yang hendak dicapai oleh pembuat hukum itu
sendiri. Hal itu terlihat dari “ide universal” yang dikemukakan sebagai
law of civilization. Selanjutnya hal itu dinyatakan dan ditetapkan secara
berbeda pada setiap kebudayaan. Adapun yang dimaksud dengan ide
universal tersebut adalah kesebandingan yang merupaqkan tujuan dan
cita-cita hukum di dalam pencapaian “ide” atau cita-cita tersebut yang
akan sangat berbeda pada setiap waktu dan tempat.
Ide universal dari Kohler tersebut, kemudian dipertegas oleh Ahren yang
menyimpulkan bahwa pada umumnya setiap individu akan selalu
berusaha untuk mencapai kepuasannya sendiri-sendiri, begitu juga
sebaliknya dengan individu lain. Upaya masing-masing individu untuk
memenuhi kebutuhan dan mencapai kepuasan akan selalu dilindungi oleh
hukum , sehingga akhirnya hak individu itu dianggap sebagai hak dari
masyarakat secara keseluruhan. Ide Ahren yang demikian, semula
memperkuat pendapat Kohler dengan ide universalnya,yang didalam
perkembangannya mengarah ke “totaliter”, sedangkan “ide universal”
yang dimaksud oleh Kohler tidak demikian, maka selanjutnya Pound
menjelaskan bahwa ide universal Kohler tidaklah mengarah ke totaliter,
tetapi lebih diarahkan kepada memperhatikan masing-masing individu
sebagaimana yang diperkenalkan oleh kebudayaan untuk menjaga agar
6
kepentingan-kepentingan individu terlindungi, sehingga disinilah
munculnya “lembaga hukum” dan “lembaga politik”. Isi dari lembaga
hukum dan lembaga politik tersebut untuk selanjutnya akan mengalami
perubahan apabila hak-hak individu itu berkembang yang disebabkan oleh
semakin menuingkatnya tuntutan kebutuhan dan kepentingan yang harus
dipenuhi, sebagai akibat dari perkembangan budaya manusia. Oleh karena
itu, Kohler menyatakan bahwa kebudayaan masyarakat tersebut terbentuk
secara evolusi,yaitu nilai-nilai baru akan timbul mengikuti perkembangan
kebudayaan untuk menggantikan nilai-nilai lama. Demikian juga halnya
dengan hukum yang terbentuk dari budaya masyarakat dengan bekerjanya
creation order sehingga tidak ada hukum yang abadi, tetapi hanya ada
tujuan yang abadi,yaitu terwujudnya ide tentang kekuasaan dan
keseimbangan.
Seiring dengan perubahan hukum dan kebudayaan yang bagai dua sisi
mata uang yang tidak mungkin untuk dipisahkan antara satu dengan
lainnya, maka fungsi dan keberadaan hukum itu akan dapat dilihat dari
tiga sudut pandang, yaitu:
1) Pada masa lalu, hukum dipandang sebagai produk atau hasil dari
kebudayaan
2) Masa sekarang, hukum dipandang sebagai pemelihara kebudayaan
3) Pada masa yang akan datang,hukum dipandang sebagai alat untuk
memperkaya kebudayaan
Ketiga sudut pandang diatas, terlihat bahwa aturan hukum yang terbentuk
dari nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dan berkembang di tengah-
tengah masyarakat, mempunyai tugas atau fungsi ganda, yaitu disatu
pihak untuk menjaga nilai-nilai yang sudah ada dan berkemabang dalam
masyarakat dan dilain pihak untuk membentuk kebudayaan baru dan
mengembangkan hak-hak manusia.
7
Berkaitan dengan fungsi dan keberadaan dari aturan-aturan hukum
dimaksud, maka menurut Pound dalam Zainuddin Ali (2005: 42) adalah
tidak benar bahwa hukum itu “statis”, karena hukum abadi hanya akan
ditemui dalam masyarakat yang berhenti perkembangan kebudayaannya
atau dalam kebudayaan yang telah “mati”. Hal ini di contohkan oleh
Pound dengan aturan-aturan hukum yang terdapat dalam masyarakat
Hindu, yang menganut sistem stratifikasi vertikal (kasta-kasta). Aturan
hukum yang berlaku dalam masyarakat Hindu menggariskan mereka
untuk selalu tetap pada stratanya dengan hak dan kewajiban yang tetap,
dan tidak ada kemungkinan terjadinya “mobilisasi sosial” ke strata
lainnya. Contoh di atas, memperlihatkan bahwa hukum telah
menempatkan manusia pada suatu tempat tertentu dan menjaganya tetap
di sana.
Sehubungan dengan pendapat yang menyatakan bahwa hukum dan
kebudayaan akan selalu berkembang, lebih lanjut Kohler dalam Zainuddin
Ali (2005:44) mengemukakan bahwa perkembangan yang terjadi di dalam
kebudayaan dan hukum dipengaruhi oleh terjadinya pergeseran-
pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat yang disebabkan oleh adanya
inovasi nilai-nilai norma baru yang diperkenalkan oleh masyarakat lain
sebagai akibat adanya “informasi”. Sebagai contoh, terjadinya perubahan
sistem kontrak pembayaran gaji pada masyarakat petani di pedesaan
Amerika, yang diakibatkan oleh diperkenalkannya “kebebasan
berkontrak” di perkotaan yang tidak lagi memungkinkan pembayaran gaji
secara natural. Disamping itu, perubahan kebudayaan dan hukum juga
dipengaruhi oleh permasalahan-permasalahan politik, ekonomi, dan
kemiliteran. Hal ini akan sangat besar pengaruhnya terhadap penerapan
hukum dan pencapaian “keseimbangan”. Hal itu terjadi karena dalam
perkembangan politik, ekonomi, dan kemiliteran yang cukup pesat, sering
terlihat adanmya golongan “minoritas” yang disebabkan oleh keterbatasan
mereka untuk mengembangkan nilai dan norma yang ada pada mereka,
sehingga pada kenyataannya tidak jarang kita temui mereka menjadi
8
kurang “diperhatikan”. Sebagaimana yang dicontohkan melalui praktik
penyewaan tanah oleh orang-orang Indian AS, mereka betul-betul tidak
mempunyai pengalaman dalam kebebasan berkontrak sehingga tidak
jarang mereka dirugikan.
Dengan adanya keadaan demikian, Kohler menyatakan bahwa
perkembangan kebudayaan menurut waktu dan tempat ada kalanya akan
meninggalkan manusia (golongan minoritas yang terlambat
perkembangannya); sementara mereka sendiri secara sadar atau tidak,
telah memiliki (mengadopsi) kebudayaan baru (seperti halnya dalam
pelaksanaan kontrak dalam masyarakat Indian) dan peraturan hukum yang
baru untuk menarik kebebasan mereka dalam situasi tertentu, untuk
kepentingan tertentu, dan tujuan-tujuan tertentu. Adanya “minoritas”
masyarakat yang secara sadar atau tidak yang disebabkan oleh “inovasi”
nilai-nilai baru, telah masuk ke dalam kebudayaan baru. Sementara itu
mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa hak mereka tidak terlindungi
karena mereka telah “diberi” oleh pilihan sendiri yang mereka tahu dan
tidak menyadari arti dari perbuatannya tersebut. Oleh karena itu, Kohler
menyatakan: jika hakim dihadapkan pada masalah (kasus) yang demikian,
hendaklah hakim mengetahui dan mempelajari latar belakang timbulnya
kasus tersebut sehingga dalam mengadili kasus dimaksud hakim dapat
mewujudkan “keseimbangan”.
Kohler menyadari bahwa penerapan hukum yang demikian akan
menyebabkan sering terjadi perubahan hukum, baik seluruhnya maupun
sebagiannya, sehingga tidak menutup kemungkinan timbulnya hukum
yang relatif (dinamis). Untuk mengantisipasi timbulnya hukum yang
“dinamis” dan menghindari penerapan hukum yang secara kaku, Kohler
mengemukakan bahwa dalam melakukan “interpretasi” untuk
menyelesaikan suatu kasus, hakim harus memperhatikan dalil-dalil
hukum sebagia jural postulates sebagai berikut:
9
1) Hukum itu berada dalam masyarakat yang ditentukan oleh waktu dan
temapt, dan masing-masing kebudayaan mempunyai dalil hukum
sendiri-sendiri
2) Masing-masing individu harus dilindungi haknya dalam upaya
memenuhi kebutuhan ggidupnya, sehingga tanggung jawab seseorang
hanya dapat dimintakan sebatas kemampuannya
3) Tanggung jawab seseorang dapat dimintakan terhadap kegiatan dalam
memumaskan kepentingan yang merupakan “haknya”, yang telah
melanggar “hak” orang (individu) lain.
Bila diperhatikan konsep keberadaan dan perkembangan hukum dalam
usaha mencapai keseimbangan yang dikemukakan oleh Kohler, akan
terlihat bahwa pendapatnya dilatarbelakangi oleh adanya “stagnasi”
dalam bidang peradilan yang menyebabkan timbulnya “pesimistis” atas
ditarapkannya aliran Hegel (suatu aliaran yang ada sebelumnya).
Jika diperhatikan kedua ajaran tersebut, akan tampak dua kutub yang
berbeda: disuatu pihak ajaran Hegel akan menyebabkan timbulnya
“stagnasi” peradilan dan “pesimistis”, aspek lainnya ajaran Kohler
dengan “interpretasi” apabila diterapkan untuk semua kasus akan
menimbulkan “ketidak pastian hukum”. Bertitik tolak dari kedua aliran
tersebut, Pound mencoba menengahi dengan memberikan alternatif baru,
yaitu mengusulkan “terminisme logika” atau determinisme positivis tidak
lagi dilakukan sehingga mengingatkan kita bahwa dalam menerapkan
hukum harus dipenuhi berbagai persyaratan.
Selanjutnya, Pound mengemukakan bahwa analogi baru dapat dilakukan
oleh hakim jika telah terjadi perubahan sosial sebelumnya. Oleh karena
itu, hakim melakukan analogi dalam mengadili kasus-kasus yang
dihadapi dengan terlebih dahulu melakukan interpretasi terhadap kasus
tersebut, sehingga hakim dapat memutus secara seimbang. Dari
interpretasi analogi ini kemudian Pound menyatakan bahwa filsafat
10
adalah merupakan ilmu pengetahuan tentang perubahan masyarakat.
Perubahan masyarakat timbul dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat itu sendiri atau yang mungkin diperoleh dengan mengatur
hubungan-hugungan manusia kearah bentuk yang diingini melalui
kegiatan-kegiatan politik dari masyarakat itu sendiri. Dengan demikian
terlihat,Pound berpendapat bahwa selain hukum itu dapat dijadikan
sebagai pengatur hubungan masyarakat,juga dapat dijadikan sebagai
agent of social change sehingga hukum itu tidak tertinggal dan malah
dapat dijadikan sebagai alat untuk mengubah masyarakat.
2.4 Pemahaman Interpretasi Dalam Suatu Perubahan Hukum Terhadap Uu
Nomor 5 Tahun 1960
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 merupakan
undang-undang pertanahan yang pertama “dibentuk” dan “disusun” oleh
“bangsa” Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagai landasan ideal dan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusionalnya.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dinyatakan sebagai Undang-Undang
Pokok Agraria, bukan Undang-Undang Pokok Pertanahan, dengan dasar
pertimbangan bahwa pemakaian kata “tanah” akan memberikan arti hanya
terbatas pada “muka bumi”, sedangkan kata “agraria” berarti bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta ruang angkasa.
UUPA Nomor 5 Tahun 1960 disusun untuk “penyederhanaan hukum”, secara
khusus terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah agraria. Upaya ini
ditempuh untuk menghindari “dualisme” hukum di negara Republik
Indonesia yang telah merdeka.
Bangsa Indonesia memproklamsikan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945, berarti telah dibentuk political institution dan legal institution,
yang akan “memayungi” kelompok-kelompok individu dalam masyerakat.
Lembaga dimaksud, lebih dikenal dengan nama “negara”. Dikaitkan dengan
pemahaman terhadap Bab II, isi buku Roscoe Pound (an Engineering
Interpretation) maka terlihat bahwa terbentuknya UUPA merupakan public
policy dari legal institution dan legal institution dalam mewujudkan balance
11
of interest dari masyarakat Indonesia yang terdiri atas kurang lebih 13.000
buah pulau besar dan kecil, yang didiami oleh berbagai suku bangsa yang
oleh van Vollenhoven dikelompokkan menjadi 19 lingkungan masyarakat
hukum adat. Masing-masing linhkungan hukum adat dimaksud, mempunyai
legal order tersendiri yang mengatur individu-individu di dalam lingkungan
masyarakat hukum adatnya.
Selain itu, pembentukan UUPA yang merupakan public policy, juga telah
merupakan suatu upaya dari legal institution dan politic Institution di dalam
mewujudkan suatu administration of justice, atau interest yang ada pada
masing-masing individu dalam lingkungan masyarakat hukum adat
Indonesia.bila hal itu dilihat dari kehidupan berbangsa dan berbegara , UUPA
diharapkan dapat mewujudkan suatu general security dari sosial interest di
dalam kehidupan manusia secara individu, sehingga terwujud balance of
interest.
1. UUPA Dipandang sebagai Produk Kebudayaan
Bila UUPA dilihat dari sudut pandang produk kebudayaan, maka dapat
dikatakan bahwa di dalam struktur masyarakat yang sederhana sekalipun pasti
dihasilkan apa yang disebut kebudayaan. Menurut Selo Soemardjan, tidak ada
masyarakat tanpa kebudayaan. Kebudayaan dimaksud, merupakan hasil karya
cipta, rasa, dan karsa manusia yang hidup bersama di dalam masyarakat di
lingkungannya. Dengan “ciptanya”, manusia dapat berfikir dan menciptakan
teknologi guna memanfaatkan alam disekitarnya dan untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya diciptakan benda kebutuhan hidup agar terhindar dari
gangguan alam. Lain halnya unsur “rasa”, menimbulkan nilai-nilai subjektif
dari tiap manusia mengenai baik buruk, patut dan tidak patut, adil dan tidak
adil.
Pengalaman-pengalaman hidup manusia dalam masyarakat selalu dihadapkan
pada nilai-nilai hidup. Nilai-nilai tersebut seklanjutnya akan membentuk pola
tingkah laku masyarakat, yang secara umum harus diindahkan dan dihormati
oleh warga masyarakat di lingkungan tersebut. Nilai-nilai hidup yang
membentuk pola tingkah laku ini pada proses selanjutnya akan membentuk
12
norma-norma yang berisi perintah dan larangan yang tujuan untuk mengatur
kehidupan masyarakat. nilai-nilai inilah yang dinamakan dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat (living law) atau yang biasa dikenal dengan hukum
adat.
Soepomo mengemukakan pengertian hukum adat sebagia hukum yang tidak
tertulis di dalam peraturan legislatif (unstatory law) meliputi peraturan-
peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang bewenang
(berwajib), tetap ditaati dan didukung oleh rakyat yang berdasarkan atas
keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Dari pengertian hukum adat dan timbulnya hukum adat yang
berkembangdalam masyarakat, terlihat bahwa hukum adat itu merupakan
hasil kebudayaan. Bila dikaitkan peraturan tidak tertulis (hukum adat) dengan
pembentukan hukum tertulis Indonesia khususnya UUPA, akan terlihat
komitmen “pembentuk” UUPA terhadap hukum tidak tertulis, sebagaimana
tertuang dalam penjelasan umum (III angka I) UUPA yang secara tegas
menyatakan “... oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada
hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula
pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum asli yang
disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam
negara modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional serta
disesuaikan dengan sosialisasi Indonesia.
Uraian di atas dipertegas dengan Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa:
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara,
yang berdasarkan persatuan bangsa, ...”
Berdasarkan penjelasan umum di atas dan isi Pasal 5 UUPA, tampak bahwa
hukum adat yang tercipta dari budaya individu dan pada akhirnya terbentuk
suatu sistem hukum yang berlaku pada masyarakat hukum adatnya,
diinterprestasikan oleh para legislator untuk disusun dalam suatu legal order
13
yang dalam hal ini adalah hukum agraria, sehingga dalam proses
pembentukan UUPA, hukum adat dijadikan sebagai sumber utama.
2. UUPA Dipandang sebagai Pemelihara Kebudayaan
Bila UUPA dilihat dari aspek sebagai pemelihara kebudayaan maka dapat
ditunjukkan penjelasan umum (III angka 1 alenia 2) yang menyatakan bahwa:
“Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka
hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-
ketentuan hukum adat.” Hal ini menunjukkan bahwa legal order yang disusun
akan tetap melindungi “hukum adat” yang merupakan perwujudan dari
kebudayaan masyarakat hukum adat.
Lebih lanjut, Pasal 3 UUPA memperlihatkan bahwa nilai-nilai dan norma-
norma yang terwujud dari kebudayaan masyarakat tersebut akan tetap
terlindungi. Oleh karena itu, tampak ada perlindungan dari undang-undang
yang baru terbentuk terhadap hak ulayat dari masyarakat hukum adat. Hak
ulayat masyarakat masih dilindungi sepanjang hak tersebut masih
dipertahankan oleh masyarakat hukum adatnya. Secara lengkap Pasal 3
UUPA menyatkan: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1
dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat
hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian
rupa seingga sesuai dengan kepentingan nasional negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang
dan peraturan lain yang lebih tinggi”.
Dari isi Pasal 5 dan penjelasan umum (III angka 2), tmapak bahwa pada masa
sekarang hukum dipandang sebagai pemelihara kebudayaan, karena ia tetap
mengakui hubungan kemasyarakatan yang mengandung nilai-nilai budaya
yang sangat terkait dengan keberadaan hak atas tanah ulayat dimaksud.
Dari uraian-uraian di atas terdapat satu hal yang perlu dicatat, hukum adat
tidak lagi merupakan hukum yang utama (terpenting) yang berlaku dan
mengatur masyarakat dalam menuntut “hak”nys, melainkan hukum adat
14
hanya akan dijadikan sebagai salah satu hukum yang berlaku dalam
masyarakat. oleh karena itu, keberadaan hukum adat akan merupakan
“pelengkap” dari “hukum-hukum baru” yang telah terbentuk. Dikatakan
sebagai pelengkap karena apabila dalam hukum yang baru (UUPA) tidak
diatur atau tidak ditemui ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai
sesuatu “kepentingan” yang hidup dan berkembang dalam masyarakat maka
di sini hukum adat akan diperlukan. Hal ini antara lain dapat dilihat pada
Pasal 56 UUPA, yang berbunyi: “Selama unadng-undang mengenai hak milik
sebagaimana tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang
berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-
peraturan lain mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang
sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20, sepanjang
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini”.
3. UUPA dilihat dari aspek memperkaya kebudayaan
Dengan telah disusun dan di berlakukannya UUPA maka untuk
melanjutkannya, Undang-undang lain yang berkaitan dengan masalah
“agraria” secara langsung tidak boleh bertentangan dengan UUPA itu.
Sebagai contih dapat dilihat dari pasal 56 diatas dan juga dapat dilihat dalam
pasal 22 ayat (1) UUPA teng terjadinya hak milik, yang menyatakan :
“terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur agar semua tanah
didaftarkan, demi terwujudnya suatu kepastian hukum. Pasal 19 ini kemudian
dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1961
(sekarang diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997) yang secara khusus mengatur
tentang pendaftaran tanah. Dengan dileksanakan pendaftaran tanah oleh
masyarakat, timbul beberapa konsekuensi, diantaranya: masyarakat sudah
mengenal adanya pemilikan pribadi berdasarkan bukti tertulis sebagaimana
yang tertera dalam surat tanah (sertifikat). Alat bukti demikian sebelum
berlakunya UUPA dan peraturan pelaksanaannya tidak pernah dikenal oleh
masyarakat sehingga dalam transaksi selanjutnya masyarakat tidak akan lagi
menggunakan hukum adat sebagai aturan yang mengaturnya tetapi akan
tunduk pada hukum positif yang telah terbentuk berdasarkan UUPA.
15
Dalam hal UUPA dipandang memperkaya kebudayaan, hal itu akan terlihat
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan “agrarian”, yang tidak lagi menjaikan hukum adat sebagai sumber
pokok sebagaiman a yang dilaksanakan pada saat pembentukan UUPA tetapi
hukum adat hanya akan dijadikan sebagai salah satu sumber penting dalam
pembentukan hukum yang berhubungan dengan “agrarian”. Dari pemahaman
dan uraian tentang An Engineering Interpretation. Dapat ditarik beberapa
asumsi sebagai berikut.
Dari apa yang diuraikan oleh Roscue Pound dalam bukunya Interpretation of
legal history, secara khusus tentang An Engineering Interpretation, terlihat
bahwa dalam krangka ilmu pengetahuan hukum, dapat dilihat adanya
hubungan-hubungan peristiwa hukum dengan kenyataan-kenyataan sosial
dalam masyarakat. Masyarakat selalu mengalami perubahan, sehingga
interpretasi sangat dibutuhkan untuk dapat menyelesaikan pergeseran
kepentingan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, dengan memperhatikan
keadaan sosial budaya masyarakat yang selalu berkembang. Pound
mengemukakan bahwa law must be stable and yet it can not stand stell maka
untuk menghindari agar tidak terjadi stagnasi peradilan dan timbulnya
pesimistis, dan mengantisispasi terjadinya ketidak pastian hukum, semua
interpretasi yang dilakukan harus melalui analogi.
Roscue Pound adalah penganut sociological jurisprudence, sehingga
interpretasi Kohler dipakai sebagai paradigma dalam mengemukakan
bagaimana melakukan analogi yang menggunakan pendekatan sosiologi dan
filsafat. Pound mengemukakan bahwa hukum disamping hidup dan
berkembang serta digunakan untuk mengatasi pergeseran kepentingan, juga
dapat dijadikan sebagai agent of social change dalam upaya mengurangi
pertentangan di tengah masyarakat.
Bila ditelusuri dari fungsi dan keberadaan hukum, dan dikaitkan dengan jural
postulates yang dikemukan Kohler, terlihat bahwa didalam UUPA, nilai-nilai
budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat mulai
16
dikesampingkan dan digantikan oleh “hukum” yang baru didalam mengatur
kehidupan masyarakat, sehingga menyebabkan seringnya timbul pertentangan
kepentingan sebagaimana yang sering kita lihat dan kita saksikan.
2.5 Contoh Pendekatan Sosiologi Hukum dalam Penyelesaian Persoalan Hak
md dan Kewajiban
Pendekatan yuridis empiris dalam menyelesaikan persoalan hak dan
kewajiban merupakan suatu penyelesaian hukum berdasarkan kenyataan
sosial dalam masyarakat. dalam hal ini dikemukakan suatu kondisi mayarakat
tertentu, untuk kemudian dilihat penyelesaian hukumnya. Oleh karena itu,
memilih Sulawesi Tengah sebagai masalah tertentu dalam mengemukakan ide
mengenai “pendayagunaan sosiologi hukum dalam menyelesaikan persoalan
hak dan kewajiban”. Hal itu berdasarkan pertimbangan bahwa norma-norma
hukum adat masyarakat Sulawesi Tengah berbeda dari norma-norma hukum
adat masyarakat yang berlaku di Jawa, Madura, dan tempat lainnya. Isu
mengenai hak-hak individu dan masyarakat, demokrasi, serta krisis ekonomi
dan krisis-krisis lainnya semakin muncul kepermukaan melalui hasil
pemikiran intelektual pada umumnya dan para ahli hukum di Indonesia pada
khususnya. Hal itu terjadi, karena banyak dipengaruhi opini masyarakat
dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang berdasarkan atas
hukum pancasila. Sadar atau tidak, setuju atau tidak, pasti muncul tuntutan
pada berbagai sektor dalam tatanan hidup masyarakat saat ini agar diadakan
perubahan hukum yang mengacu dan sekaligus mengantisipasi keberadaan
isu-isu di atas. Sementara itu, apapun yang terpengaruh dari isu tersebut tentu
tidak akan terlepas dari permasalahan hukumnya. Oleh karena itu, tidak
berlebihan bila dinyatakan sejak dini perlu perhatian khusus bagi bangsa
Indonesia terhadap masih adanya pengaruh politik hukum kolonial di zaman
penjajahan terhadap keberadaan norma-norma hukum masyarakat yang
mendiami negara Republik Indonesia di zaman orde reformasi.
17
2.6 Hukum Di Indonesia dan Kaitannya Reformasi
Hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia adalah hukum yang
berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan amandemennya. Di
dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu, terdapat pasal 2 Aturan Peralihan,
yang menyangkut kedudukan peraturan-peraturan yang pernah digunakan
oleh kolonial Belanda dalam menjajah bangsa Indonesia, yaitu hukum yang
ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru atau sebelum
dibuat produk hukum oleh lembaga legislatif. Oleh karena itu, tampak
kekakuan praktisi hukum yang menggunakan pendekatan yuridis normatif
dalam menyelesaikan permasalahan hak dan kewajiban tertentu, kepada
warga negara dan masyarakat dengan hadirnya seperangkat nilai bawaan dari
reformasi (baca: modernisasi). Namun, bila dilakukan dengan pendekatan
sosiologi hukum dalam menyelesaikan masalah-masalah hak dan kewajiban
tertentu, tidaklah demikian halnya. Hukum yang berlaku di negara Republik
Indonesia saat ini (zaman reformasi) masih tampak dipengaruhi politik
hukum kolonial Belanda, sebagai contoh Pasal 284 KUH Pidana sebagai
hukum tertulis yang diwarisi oleh bangsa Indonesia dari penjajah Belanda.
Hukum tertulis itu, sebagian besar menjadi buku pintar para praktisi hukum
di Indonesia dalam mengatasi masalah-masalah perzinaan dan pelecehan
seksual. Demikian juga pasal lainnya digunakan untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan pranata sosial yang bersifat universal.
Selain itu, produk hukum nasional masih banyak memiliki kelemahan-
kelemahan karena masihadanya pengaruh-pengaruh politik hukum kolonial.
Pengaruh yang disebutkan tadi di antaranya: kurang memperhatikan budaya
hukum yang berlaku pada setiap suku, daerah, dan sebagainya. Sekedar
contoh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Undang-undang itu menganut
berbagai asas di antaranya : mengurangi kekuatan keberlakuan hukum adat
terntentu pada setiap suku yang kemudian membentuk asas-asas hukum yang
berlaku secara nasional.
18
Uraian dan contoh-contoh tersebut menunjukan bahwa hukum yang berlaku
di Negara republik Indonesia saat ini, dalam hal tertentu masih tampak
tertinggal kalau tidak disebut ketinggalan bila dibandingkan Negara lain
ditambah dengan tuntutan agar standar demokrasai dan pembangunan harus
lebih valid dan bersifat universal sebagai Negara yang berdasar atas hukum.
Berdasarkan uraian tersebut, hukum yang siap dipakai/digunakan oleh
praktisi hukum dalam menyelsaikan permasalahan hak dan kewajiban di
zaman reformasi saat ini adalah hukum yang bersifat politis, sedangkan tugas
menemukan dan menerapkan hukum atas kasus-kasus konkret berbeda pada
setiap orang dan tekniknya pun berbeda dalam fungsi pemerintahan. Oleh
karena itu, produk-produk hukum sering dinyatakan sebagai adil secara
yuridis normatif atau yang berdasarkan undang-undang (dogmatis), tetapi
tidak adil secara yuridis empiris sesunggguhnya merupakan produk hukum
yang sia-sia sebab, hakikat hukum itu adalah hukum yang bekerja dalam
masyarakat dan untuk keadilan masyarakat luas, tidak demi keadilan hukum
itu sendiri atau orang-orang tertentu saja. Untuk mengetahui sampai sejauh
mana rasa keadilan yang dicapai oleh masyarakat, tentu memerlukan
pengamatan hukum secara efektif, dan hal itu hanya dapat diusahakan melalui
bagian-bagian study sosiologi hukum dan antropologi hukum. Artinya, study
hukum untuk kemaslahatan masyarakat luas tidak cukup dengan hanya
mempelajari bidang-bidang yuridis normative. Hal itu perlu mengingat
masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami perubahan social secara
besar-besaran, sehingga akan banyak masalah social yang tidak dapat digarap
atau diselsaikan dengan kaca mata hukum normative dogmatis saja, yang
sudah menjadi tradisi keilmuan di kalangan pendidikan hukum di Indonesia.
Dari uraian di atas muncul pertanyaan penting yang perlu mendapat jawaban
dari orang yang berwenang, yaitu
1) Sudah banyak kah permasalahan hak dan kewajiban yang muncul sebagai
bawaan nilai-nilai reformasi yang tidak dapat diselsaikan oleh instansi
berwenang di Sulawesi tengah?
19
2) Sudah adakah penelitian mengenai penyimpangan hak dan kewajiban,
penyelewengan kekuasaan yang mewujudkan kolusi, korupsi, dan
nepotisme yang dapat menjadi acuan dalam menyelsaikan permasalahan
hak dan kewajiban di daerah ini. Penulis tidak menjawab pertanyaan
tersebut, melainkan menyerahkan kepada para pembaca yang berkompeten
menjawabnya dan tentunya muncul paradigma sosiologi, paradigma
structural, dan paradigma birokrat.
3) Bila menggunakan pendekatan sosiologi hukum, tampak bahwa yang
menjadi objek kajianya adalah yuridis empiris atau biasa disebut
kenyataan norma-norma hukum yang ada dan hidup dalam masyarakat.
Sebagai contoh: 1) mengapa kongres PDI dilaksanakan di kota palu tahun
1998, penyandraan/ pemboikotan kampus universitas Tadulako oleh
masyarakat tertentu kampus dimaksud, sampai detik ini( hari sabtu jam
09.00 tanggal 26 september 1998) belum dapat dimanfaatkan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa (kepentingan umum) dan adanya
koperasi simpan pinjam. (KOSPIN)
Ketiga contoh itu, semuanya terjadi di kota Palu dan dampak contoh-contoh
tersebut dirasakan oleh masyarakat yang mendiami negeri ini.
Pernyataan tersebut dikemukakan atas asumsi bahwa penyelesaian terhadap
keresahan social tersebut, tidak efektif karena menggunakan pendekatan
yuridis normative, melainkan semestinya diselesaikan melalui pendekatan
yuridis empiris yang menggunakan pendekatan holistis (tokoh agama, tokoh
adat, kekerabatan, sejarah, dan sebagainya) sehingga dapat memenuhi tuntutan
nilai-nilai reformasi lain halnya pendekatan normative yuridis, dapat disebut
misalnya “ KOSPIN” (koperasi simpan pinjam) di kota palu. Kospin bila
dilihat, berasal dari asas-asas hukum buatan colonial belanda, dan asas hukum
itu masih menjadi pedoman di kalangan penegak hukum di Negara republik
ini, yaitu selama ini tidak ada pihak yang dirugikan atau mengajukan
persoalannya kepada yang berwenag. Maka selama itu pula tidak akan
mendapatkan teguran atau larangan dari pihak penegak hukum.
20
Namun bila KOSPIN dilihat melalui pendekatan yuridis empiris, yaitu nilai-
nilai hukum yang ada dan hidup dalam masyarakat yang mendiami kota pal,
keresahan itu tidak akan muncul. Analisisnya adalah sebagai berikut.
1) Masyarakat yang mendiami kota palu pada umumnya beragama islam,
sehingga nilai-nilai hukum yang melekat dalam masyarakat itu adalah
hukum islam( baca: hukum perdata islam)
2) Kajian hukum perdata islam di antaranya mengajarkan bahwa selama
sesuatu kegiatan kerja sama itu saling menguntungkan dan tidak ada pihak
yang dirugikan, baik pada saat kerja sama dimaksud berlangsung maupun
sesudahnya maka hal itu diperbolehkan
3) Sesuatu kerja sama yang dilakukan oleh kedua belah pihak tidak boleh
mengandung unsur-unsur riba,judi,dan spekulasi.
Berdasarkan analisis yuridis empiris tersebut, semestinya pihak penegak
hukum di kota palu melatang keberadaan kospin sehingga tentunya tidak
mungkin keluar izin untuk beroperasi di daerah ini yang menimbulkan
keresahan social di Kota palu. Kalau pendekatan sosiologi hukum yang
mempunyai objek kajian yang telah disebutkan, merupakan tuntutan
mendesak yang harus dilaksanakan sebagai dampak reformasi yang dipetik
maka diakui dengan jujur, bahwa pendidikan hukum dalam kajian
jurisprudence model: rules (normative), logic, pratical, dan decision. Yang
bersifat terapan tidak mampu memerlukan pemahaman hukum yang utuh
kepada masyarakat yang diayomi oleh negara yang berdasarkan pancasila dan
UUD 1945.
Menurut pengetahuan hukum yang demikian itu, hukum hanya dilihat sebagai
dogmatis sehingga tidak mampu memenuhi kualifikasi sebagai pendidikan
keilmuan (baca: ilmu hukum). Oleh karena itu, sosiologi hukum dan
antropologi hukum dapat mengembalikan hukum didalam lingkungan
kehidupan dalam lingkungan kehidupan masyarakat, yang oleh hukum
21
dogmatis itu dilepaskan dari masyarakatnya dengan membelakangkan adanya
“realistas hukum”.
Realistas hukum yang dimaksud,terutama yang secara ekstren diajarkan oleh
tokoh Begriffjusprudenz, mengosongkan hukum serta konsep-konsepnya dari
realitas sosialnya sehingga jadi konsep-konsep abstrak. Kalu realitas hukum
itu menjadi mitos dan diterima sebagai kenyataan alami, sifat seperti itu akan
sangat menurunkan kapabiliatas ilmu hukum untuk disebut sebagai lembaga
keilmuan. Oleh karena itu, dapat dirumuskan suatu prediksi bahwa hukum ada
untuk masyarakat sehingga hukum itu perlu diintegrasikan kembali dengan
masyarakatnya. Pengintegrasian hukum itu hanya dapat dilakukan oleh
sosiologi hukum bersama dengan ilmu empiris lainnya.
Sosiologi hukum bersama dengan empiris lainnya akan menempatkan kembali
kontruksi hukum yang abstrak ke dalam struktur sosial yang ada, sehingga
hukum menjadi lembaga yang utuh dan realistis. Sebagai contoh: (1) hukum di
Amerika Serikat diartikan hak (law is right), (2) hukum di Jepang diartikan
moral (law is morality); (3) hukum di Indonesia (Negara Republik Indonesia
di zaman penjajahan diartikan kekuasaan (law is power atau power is law).
Hal itu terjadi karena hukum dibuat oleh penjajah untuk melanggengkan
kekuasaannya dan atau hukum dibuta oleh penguasa atau golongan atas untuk
menguasai masyarakat menengah kebawah. Namun, untuk memberikan
pengertian hukum di Indonesia di zaman orde lama dan orde baru, penulis
menyampaikan bahwa siapa yang berani menentang apa lagi berbuat yang
tidak disenangi oleh penguasa amaka hal itu bisa disebut: bahaya laten
komunis (PKI), perilaku subversi, dan sebagainya. Lain halnya diawal zaman
orde reformasi, tentunya penulis tidak menguraikan karena semua penduduk
yang didiami republik Indonesia merasakannya saat ini.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sosiologi hukum bersama ilmu
empiris lainnya niscaya dapat memberikan sahamnya untuk memahami dan
menjelaskan proses-proses hukum di Indonesia bila hukum itu dilihat dari
22
struktur sosial masyaraktnya.oleh karena itu, pemahaman secara legistive-
positifistis dapat mengakibatkan kekakuan pemahamna terhadap hukum.
Antropologi hukum misalnya, memantu mengembalikan hukum kedalam
konteksnya lebih untuk, yaitu sebagai bagian dari kehidupan subtansi.
Pluralitas kehidupan di Indonesia akan memperoleh makna yang sebenarnya
bila digunakan pendekatan dan pemahaman antropologis. Uraian diatas
menunjukkan bahwa mesti diakui politik hukum nasioanal yang menekankan
pada penyeragaman keadaan tertentu di Indonesia lebih bersifat “merusak”
daripada membangun suatu kehidupan yang sehat dan harmonis.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa hukum yang berlaku di
Republk Indonesia adalah hukum yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Penerapan hukum itu ada yang bersifat yuridis normative dan yuridis empiris
segingga dapat terayomi penduduk yang mendiami negara RI. Oleh karena itu,
perlu dipergunakan pendekatan sosiologi hukum dalam melihat kasus-kasus
tertentu. Pelaksanaan hukum yang dianggap mapan untuk mengayomi
penduduk yang mendiami negara republik Indonesia di zaman orde lama dan
orde baru akan hilang maknanya dan juga tidak mencapai tujuannya bila
dalam kasus-kasus tertentu tidak menggunakan pendekatan soisologi hukum.
23
BAB IIIPENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas tentang hukum dan masyarakat maka dapat
disimpulkan bahwa hukum merupakan rangkaian peraturan yang bertujuan
untuk mencapai ketertiban dalam bermasarakat serta mewujudkan fungsi dari
hukum, yakni fungsi hukum sebagai social control dan social engineering.
Adapun Konsep Dasar an Engineering Interpretation antara lain:
Interpretation, Engineering, An Engineering Interpretation. Selain itu fungsi
dan keberadaan hukum itu akan dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu:
1) Pada masa lalu, hukum dipandang sebagai produk atau hasil dari
kebudayaan
2) Masa sekarang, hukum dipandang sebagai pemelihara kebudayaan
3) Pada masa yang akan datang,hukum dipandang sebagai alat untuk
memperkaya kebudayaan
Dari tiga sudut pandang diatas terlihat bahwa aturan hukum yang terbentuk
dari nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dan berkembang di tengah-
tengah masyarakat, mempunyai tugas atau fungsi ganda, yaitu disatu pihak
untuk menjaga nilai-nilai yang sudah ada dan berkemabang dalam masyarakat
dan dilain pihak untuk membentuk kebudayaan baru dan mengembangkan
hak-hak manusia.
3.2 Saran
Dalam masyarakat hukum seharusnya ditegakkan dengan baik dan seadil-
adilnya sehingga tercipta masyarakat yang damai. Sebagai seorang pendidik
khususnya pada mata pelajaran PPKn seorang guru harus menanamkan nilai-
nilai keadilan dan nilai kejujuran pada peserta didik sedini mungkin sehingga
diharapkan setelah terjun dimasyarakat mereka mampu menjadi masyarakat
yang baik yang menaati hukum.
24
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. 2005. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
http:// wikipedia/hukum.co.id
25
LAMPIRAN
s
26
Roscoe Pound Kohler