Transcript
Page 1: Fenomenologi Dan Hermeneutika

FENOMENOLOGI DAN HERMENEUTIKA

PERSAMAAN, KEKUATAN, DAN KELEMAHAN

Oleh: Derichard H. Putra

PENDAHULUAN

Fenomenologi dan hermenutika telah menjadi semakin populer dewasa

ini. Keduanya memiliki karakteristik tersendiri dan penggunaannya disesuaikan

dengan fenomena dan permasalahan yang hendak diteliti. Jika fenomenologi

memberikan atensi lebih besar pada sifat pengalaman yang dihidupkan, sedang

hermeneutika berkonsentrasi pada masalah-masalah yang muncul dari

interpretasi tekstual. Keduanya membicarakan manusia sebagai realita yang

eksistensinya ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik dan budaya yang

mempengaruhi. Fenomenologi dan hermenutika saling bersentuhan, namun juga

mempunyai perbedaan, kekuatan dan kelemahan masing-masing.

Fenomenologi dengan Edmund Husserl-nya mampu “mengusung”

menjadi sebuah disiplin ilmu yang berpengaruh dan banyak mempengaruhi

filsup-fulsup lain di abad 20, sedangkan hermeneutik, dengan Friedrich 

Schleiermacher-nya (dikenal sebagai Bapak Hermeneutika modern), dijadikan

banyak peneliti sebagai metode-metode penelitian tidak hanya menguak makna

teks tetapi juga interpretasi fenomena sosial.

Fenemoneologi didefinisikan sebagai ilmu tentang esensi-esensi

kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran1 sedang

hermeneutik merupakan seni pemahaman dan penginterpretasian tentang teks-

teks historis2.

Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai

subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna

dan pemaknaan yang dilakukan, maka hermeneutik terlibat di dalamnya.

Ricoeur (1985), kemudian menyimpulkan bahwa fenomenologi

merupakan asumsi dasar yang tak tergantikan bagi hermeneutika. Di sisi lain,

fenomenologi tidak berfungsi dengan baik dalam memahami berbagai fenomena

1 Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif,

Yogyakarta: Jalasutra, 2005, hlm. 151.

2 Lihat, Richard E. Palmer. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj. Masnur Heri

Damanhuri Muhammad, hal 14-36.

1

Page 2: Fenomenologi Dan Hermeneutika

secara utuh dan menyeluruh tanpa penafsiran terhadap pengalaman-

pengalaman subjek. Untuk keperluan penafsiran itu, menurut Ricoeur sangat

dibutuhkan disiplin lain yaitu hermeneutika. Jadi pada dasarnya fenomenologi

dan hermeneutik saling melengkapi. Dengan dasar itu, Ricoeur menggunakan

metode fenomenologi hermeneutik.

Metode ini dalam literatur ilmu humaniora diakui sebagai metode

penafsiran yang rigorous (ketat), dapat membawa peneliti kepada pemahaman

tentang fenomena secara apa adanya, menyeluruh dan sistematik terutama

dalam menjelaskan tentang identitas diri tanpa mengabaikan aspek

objektivitasnya.

Uraian singkat di atas mengisyaratkan ada perbedaan dan hubungan

yang jelas antara dua bidang ilmu ini. Namun perbedaan dan hubungan itu

belum terlihat begitu jelas sebelum mengarungi lebih jauh lagi.

Dalam makalah ini, akan dipaparkan perbandingan fenomenoloogi dan

hermeneutik sebagai bagian dari epistemologi. Perbandingan ini difokuskan

kepada persamaan/perbedaan dan juga kelemahan dan kekuatan masing-

masing. Cuff dan Payne (1980: 3), menyebutkan suatu cabang ilmu pada

dasarnya dibedakan mengenai objek yang diteliti, masalah-masalah yang ingin

dipecahkan, konsep-konsep, metode-metode serta teori yang dihasilkan3.

Perbandingan yang baik tentu harus memperhatikan hal-hal tersebut4.

Sebelum melakukan perbandingan, saya mencoba memaparkan secara

singkat asal muasal pemikiran dan tokoh-tokoh yang berpengaruh dibelakang

“kesuksesan” epistemologi tersebut serta pokok-pokok pikirannya, ini

dimaksudkan supaya lebih mudah untuk membandingkannya keduanya.

 

Fenomenologi

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert

(1728-1777), seorang filsuf Jerman dalam bukunya Neues Organon (1764).

Sebelum Lambert, istilah fenomenologi juga pernah dikemukan oleh filsup-filsup

lainnya; Immanuel Kant (1724-1804) dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-

1831). Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-

Prinsip Pertama Metafisika (1786). Kant menyebutkan untuk menjelaskan kaitan

3 Lihat, Ahimsa-Putra. Etnosains dan Etnometodologi, Sebuah Perbandinga. Hal: 104.

4 Ibid

2

Page 3: Fenomenologi Dan Hermeneutika

antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri

dalam relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah.

Selain Kant, Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan

merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakitu suatu

pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan

yang sebenarnya. Fenomena menurut Hegel tidak lain merupakan penampakkan

atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan

manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia5.

Kemudian Edmund Husserl (1859–1838) membawa fenomenologi

berubah menjadi sebuah disiplin ilmu filsafat dan metodologi berfikir yang

mengusung tema Epoche-Eiditic Vision dan Lebenswelt sebagai sarana untuk

mengungkap fenomena dan menangkap hakikat yang berada dibaliknya. Ia

kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi6.

Dalam pemahaman Edmund Husserl, fenomenologi adalah suatu analisis

deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran

dan pengalaman-pengalaman yang didapat secara langsung seperti religius,

moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Ia juga menyarakan fokus utama filsafat

hendaknya tertuju kepada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan)

atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Fenomenologi sebaiknya

menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-

praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.

Fenomenologi menekankan upaya menggapai fenomena lepas dari

segala presuposisi. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum

pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri.

Dengan begitu, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang

mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Selain itu, filsafat fenomenologi

berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos

semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang

sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala

sesuatu”.

5 Lihat, Sutrisno, Para Filusuf Penentu Gerak Zaman.

6 Ibid

3

Page 4: Fenomenologi Dan Hermeneutika

Secara etomologis, asal kata fenomenologi (Inggris: Phenomenology)

berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti

tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata,

ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum

dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak7,

atau ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran. Hegel

(1807) menyebutkan pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai

ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis

perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya,

fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan

inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari

perkembangan pikiran manusia8.

Husserl menyebut tugas utama fenomenologi adalah menjalin keterkaitan

antara manusia dengan realitas. Keterkaitan ini mendorong manusia untuk

mempelajari fenomena-fenomena yang ada dengan pengalaman langsung

dengan realitas tersebut. Sehingga pengalaman tersebut akan memberikan

sebuah penafsiran, yaitu esesnsi dari realitas tersebut. Husserl menggunakan

istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran

dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori-

kategi yang sudah ada dalam pikiran. Husserl menyebutnya dengan istllah

“kembalilah pada realitas itu sendiri”9.

Dengan kata lain fenomenologi tidak membiarkan kita untuk mencampur

fenomena dengan apa yang ada dalam pikiran kita, dan membiarkan fenomena

tersebut berjalan apa adanya. Karena pikiran hanya bersifat teoritis yang terikat

oleh pengalaman indrawi yang bersifat relatif subjektif sedangkan fenomena

adalah realitas yang bersifat objektif.

Dengan melepaskan segala pikiran tentang fenomena tersebut dan dari

segala yang bukan esensi dari fenomena, maka akan terciptalah pengertian

murni. Jadi fenomenologi ‘hanya’ sebagai jembatan untuk mengungkapkan

noumena dari fenomena. Untuk menjalankan fungsinya, fenomenologi tidak

terlepas dari tiga asumsinya: (1) pengetahuan adalah kesadaran, maksudnya

7 Lihat, Hasan Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet. Ke 9.

8 Ibid.

9 Ibid.

4

Page 5: Fenomenologi Dan Hermeneutika

diperoleh secara sadar; (2) makna sesuatu bagi seseorang selalu terkait dengan

hubungan sesuatu itu dengan kehidupan orang tersebut; dan (3) bahasa

merupakan kendaraan makna.

Pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi yaitu (1)

merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan (2) fenomenologi

sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant,

terutama konsepnya tentang fenomena–noumena. Kant menggunakan kata

fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran,

sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar

kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-

fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena (realitas di luar yang

kita kenal).

Dari uraian di atas bisa dipahami bahwa fenomenologi berarti ilmu

tentang fenomenon-fenomenon atau apa saja yang nampak, tanpa harus

dipengaruhi tanpa harus dipengaruhi oleh apapun. Sebuah pendekatan filsafat

yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang menampakkan diri pada

kesadaran kita.

Tokoh di belakang Fenemenologi

Edmund Husserl (1859-1938)

     Ia menyebut fenomenologi merupakan metode dan ajaran filsafat.

Sebagai metode, fenemenologi membentangkan langkah-langkah yang harus

diambil sehingga sampai pada fenomeno yang murni. Untuk melakukan itu,

harus dimulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk

kembali kepada “kesadaran yang murni”. Sebagai filsafat, fenomenologi memberi

pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang ada. Dengan kata lain,

fenomenologi harus dikembalikan kembali objek tersebut.

          Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai

esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal

dari bahasa Yunani, yang berarti “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri

dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing)

terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak,

tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu.

5

Page 6: Fenomenologi Dan Hermeneutika

Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural

tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan

satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau

dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau

eksistensial objek kesadaran. Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki

empat macam, yaitu (1) Method of historical bracketing; metode yang

mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima

dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama maupun ilmu pengetahuan.

(2) Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap

semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda, (3) Method of

transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang

transcendental dalam kesadaran murni, dan (4) Method of eidetic reduction;

mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi

esensi atau intisari realitas itu. Menerapkan empat metode epoche, maka

seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang diamati10.

Max Scheler (1874-1928)

Ia menyebut metode fenomenologi sama dengan satu cara tertentu untuk

memandang realitas. Fenomenologi lebih merupakan sikap suatu prosedur

khusus yang diikuti oleh pemikiran (diskusi, Induksi, Observasi dll). Dalam

hubungan ini diperlukan hubungan langsung dengan realitas berdasarkan instuisi

(pengalaman fenomenologi).

Ajaran Scheler terfokus kepada tiga hal yang mempunyai peranan

penting dalam pengalaman fenomenologis, yaitu: (1) fakta natural, (2) fakta

ilmiah, dan (3) fakta fenomenologis. Fakta natural berasal dari pengalaman

inderawi dan menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa.

Fakta ilmiah mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung dan

semakin abstrak. Fakta fenomenologis merupakan isi “intuitif” yang merupakan

hakikat dari pengalaman langsung, tidak terikat kepada ada tidaknya realisasi di

luar.

Maurice Merlean-Ponty (1908-1961)

10 Ibid.

6

Page 7: Fenomenologi Dan Hermeneutika

Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang filosof benar-benar harus

memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman, dengan begitu nantinya akan

menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu hanya meneliti atau mengulangi penelitian

tentang apa yang telah dikatakan orang tentang realita, hanya memperhatikan

segi-segi luar dari penglaman tanpa menyebut-nyebut realitas sama sekali.

Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang

dapat mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-

benda yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih

jauh lagi, yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa syarat yang

essensial tentang sesuatu alam di atas kesadaran. Oleh karena itu deskripsi

fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak hanya berurusan dengan data

rasa atau essensi saja, akan tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan

perseptual dengan alam. Marlean-Porty menegaskan sangat perlunya persepsi

untuk mencapai yang real.

Fenomenologi menjadi “boming” dan arus pemikiran yang paling

berpengaruh pada abad ke-20. pemikiran ini mempengaruhi filsup-filsup besar

lainnya seperti Ernst Cassier (neo-Kantianisme), Mc.Taggart (idealisme), Fregge

(logisisme), Dilthey (hermeneutika) Kierkergaard (filsafat eksistensial), Derida

(poststrukturalisme).

HERMENEUTIK

Akar permulaan hermenēuein dan hermēnia bisa ditemukan dalam

Organon, Peri hermēneias karya Aristoteles, yang diterjemahkan dengan “On

Interpretation” . Kata ini juga ditemukan dalam Oedipus at Colunus karya Plato,

juga beberapa karya lainnya dari penulis awal yang terkenal seperti Xenophon,

Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus11.

Dalam Organon, Peri hermēneias dipaparkan kata-kata yang diucapkan

adalah simbol dari sebuah pengalaman mental, dan kata-kata yang ditulis adalah

simbol dari kata-kata yang diucapkan. Tulisan ini dipercaya menjadi titik tolak

bagi dimulainya pembahasan hermeneutika di era klasik. 

11 Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka

Belajar, 2005) 14-16. Lihat juga: Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, (Yogyakarta: UII Press:

2005) 20.

7

Page 8: Fenomenologi Dan Hermeneutika

Ada dua dimensi besar dalam hermeneutik yaitu hermeneutika

intensionalisme dan hermeneutika gadamerian. Intensioanalisme diawali sejak

hermeneutika romantisis dengan tokohnya Schleiermacher. Pokok pikiran

Hermeneutika intensional ini adalah bahwa makna adalah maksud atau instensi

produsernya. Dengan kata lain, makna kata sesungguhnya telah ada di balik

kata itu sendiri. Makna telah menanti, dan tinggal ditemukan oleh penafsirnya,

dan itu adalah tugas pembaca untuk mencarinya.

Menurut hermeneutika intensionalisme, makna adalah niat atau kemauan

yang diwujudkan dalam suatu tindak atau produknya seperti teks misalnya,

sehingga makna sudah ada dan hanya akan keluar jika diinterpretasikan.

Pengertian ini didasarkan pada arti “makna” (meinen), yang menunjukkan arti

bahwa makna suatu teks, tindak, hubungan, dan seterusnya adalah sesuatu

yang ada dalam pikiran produsen, yang kemudian dikeluarkan melalui suatu

tindak seperti memproduk teks. Dengan kata lain makna telah ada dan menanti

untuk dipahami. Makna hanya berasal dari aktifitas produsen teks, bukan dari

aktifitas orang lain, termasuk aktifitas interpretasi penafsir. Dengan kata lain,

pembaca atau penafsir harus memahami teks yang ia baca, dan pembaca atau

penafsir dapat menangkap konsepsi pengarang mengenai fakta situasinya,

keyakinan, dan keinginannya, namun dengan catatan penafsir harus

menemukan alasan pelaku bersikap seperti yang diperlihatkan.

Sedangkan hermeneutika gadamerian dengan tokohnya Hans-Georg

Gadamer memberikan defenisi berbeda tentang makna. Makna dalam

hermeneutika gadamerian bukan terletak pada instensi produsernya, melainkan

pembacanya itu sendiri. Makna itu belum ada ketika sebuah kata diucapkan atau

ditulis, dan segera muncul ketika kata itu didengarkan atau dibaca.

Konsep ini menemukan titik kulminasinya pada Gadamer yang

menyatakan bahwa sekali teks hadir di ruang publik, ia telah hidup dengan

nafasnya sendiri. Hermeneutika tidak lagi bertugas menyingkap makna objektif

yang dikehendaki pengarangnya, tetapi adalah untuk memproduksi makna yang

seluruhnya memusat pada kondisi historisitas dan sosialitas pembaca. Gagasan

ini dengan sendirinya menyangkal origin. Dengan kata lain ia menolak suatu

realitas di balik fenomena, realitas sumber, realitas terakhir. Dengan demikian,

untuk memperoleh makna sebuah kata, kalimat atau teks tidak diperlukan lagi

maksud original-nya.

8

Page 9: Fenomenologi Dan Hermeneutika

Hermeneutika secara etimologis, berasal dari istilah Yunani dari kata

kerja hermenēuein yang berarti menafsirkan atau menginterpretasi, kata benda

hermēnia diterjemahkan penafsiran atau interpretasi. Kedua kata ini,

diasosiasikan pada Dewa Hermes12 seorang utusan yang mempunyai tugas

menyampaikan pesan Jupiter13 kepada manusia. Hermes adalah simbol seorang

duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang dewa.

Dalam mediasi dan proses penyampaian pesan yang ditugaskan pada

Hermes, dari kata kerja hermenēuein ditarik tiga bentuk makna dasar dalam

pengertian aslinya, yaitu to express (mengungkapkan), to assert (menjelaskan),

dan to say (menyatakan). Makna-makna tersebut bisa diwakilkan dengan bentuk

kata kerja Inggirs “to interpret”, yang membentuk makna independen dan

signifikan bagi interpretasi. Oleh karenanya, interpertasi mengacu ke 3 (tiga)

persoalan berbeda yaitu pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal, dan

penerjemahan dari bahasa lain14.

Berhasil atau tidaknya misi tergantung cara bagaimana pesan itu

disampaikan. Indikasi keberhasilan, manusia yang awalnya tidak tahu, menjadi

mengetahui makna pesan yang disampaikan. Tugas menyampaikan pesan ini

juga berarti harus mengalihbahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa yang

dapat ditangkap intelegensia manusia. Pengalihbahasaan merupakan bentuk lain

12 Hermes adalah anak dari Zeus dan Maia dan merupakan salah satu dewa Olimpus, ia

dilahirkan di Gunung Kellina di Arkadia. Hermes adalah pelindung daerah perbatasan, para

pengelana, gembala, pencuri, penipu, pidato, sastra dan puisi, olahraga, pengukuran, penemuan,

dan perdagangan. Dalam tradisi Yunani nama ini dikenal juga dengan sebutan Mercurius. Di

kalangan Hermeneutika ada juga yang menghungkan Hermes dengan Nabi Idris. Lihat, Adian

Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, 7.

13 Dalam mitologi Romawi, Jupiter atau Jove adalah rajapara dewa, dan dewa langit dan petir.

Dalam mitologi Yunani dia dikenal sebagai Zeus. Ia dipanggil Iuppiter (atau Diespiter) Optimus

Maximus ( "Dewa Terbaik dan Terbesar"). Sebagai dewa pelindung Romawi kuno, ia memerintah

hukum dan tatanan sosial. Dia adalah dewa pemimpin dalam Triad Kapitoline bersama

istrinya Juno. Jupiter juga adalah ayah dari dewa Mars dari hubungannya dengan Juno. Oleh

karena itu, Jupiter adalah kakek dari Romulus and Remus, pendiri kota Roma. Jupiter dihormati di

agama Romawi kuno, dan masih dihormati di Neopaganisme Romawi. Ia adalah putra

dari Saturnus, saudaranya adalah Neptunus dan Pluto. Dia juga merupakan suami dari Ceres,

saudara dariVeritas, dan ayah dari Merkurius.

14 Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai Interpretasi,  15-16.

9

Page 10: Fenomenologi Dan Hermeneutika

dari penafsiran. Dari sini kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan

dengan sebuah penafsiran atau interpretasi.

Kehadiran hermeneutika dipengaruhi oleh beberapa faktor, dalam analisis

Werner, ada tiga sebab yang paling mendominasi pengaruh terhadap

pembentukan hermeneutika, dari masa interpretasi bibel hingga saat ini. Ketiga

yang dimaksud Werner terbut yaitu (1) Masyarakat yang terpengaruh mitologi

Yunani, (2) Masyarakat Yahudi dan Kristen yang mengalami masalah dengan

teks kitab “suci” agama mereka, dan (3) Masyarakat Eropa zaman pencerahan

(Enlightenment) yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan dan membawa

hermeneutika keluar konteks keagamaan15.

Richard E. Palmer (2005) menyimpulkan enam defenisi hermeneutika,

keenam definisi tersebut merupakan urutan fase sejarah yang menunjuk suatu

peristiwa atau pendekatan penting dalam persoalan interpretasi yang berkenaan

dengan hermeneutika.

“Sejak awal kemunculannya, hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang hermeneutika telah ditafsirkan (secara kronologisnya) sebagai: (1) teori eksegesis Bibel, (2) metodologi filologi umum, (3) ilmu pemahaman linguistic, (4) fondasi metodologis geisteswissenschaften, (5) fenomenologi esistensi dan pemahaman eksistensial, dan (6) sitem interpretasi, baik recollektif maupun iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraik makna di balik mitos dan simbol” (Palmer 2005: 38)

Definisi yang disebut Palmer tersebut mewakili berbagai dimensi yang

sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang

berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan dari setiap penafsiran terutama

penafsiran teks, defenisi tersebut dapat disebut pendekatan Bibel, filologis,

saintifik, geisteswissenschaften, eksistensial, dan kultural. Setiap defenisi

merepresentasikan sudut pandang dari mana hermeneutika dilihat, melahirkan

pandangan-pandangan yang berbeda-beda namun memberi ruang bagi tindakan

interpretasi, khususnya teks.

15 Berdasarkan analisis Werner, Hamid Fahmi Zarkasyi membagi sejarah hermeneutika menjadi

tiga fase, yaitu (1) mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan Kristen, (2) teologi Kristen yang

problematik ke gerakan rasionalisasi dan filsafat, dan (3) hermeneutika filosofis menjadi filsafat

hermeneutika

10

Page 11: Fenomenologi Dan Hermeneutika

Hermeneutika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci

Pemahaman ini merupakan pertama kali digunakan untuk hermeneutik, di

sini hermeneutika difungsikan untuk memahami kitab suci, terutama oleh

kalangan gereja. Hermeneutika bukanlah hasil atau isi penafsiran, melainkan

metode. Tokoh utamanya adalah J.C.Dannhauer. Pada masa ini, bentuk

hermeneutika memunculkan banyak aliran serta corak yang terkadang saling

bertolak belakang. Tokoh selanjutnya adalah Schleiermacher, dengan

mencetuskan hermeneutika modern. Schleiermacher juga berjasa membakukan

hermeneutika sebagai acuan dalam interpretasi secara metodologis.

Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834), tokoh hermeneutika

romantisis, ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian

teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat.

Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur

penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural16.

Hermeneutika sebagai Metode Filologi

Dalam defenisi ini, hermeneutika difungsikan sebagai metode pengkajian

teks dan menempatkan semua teks sama, termasuk kitab suci. Pemahaman

awal bahwa hermeneutik hanya untuk menafsirkan kitab suci mulai mengalami

pergeseran.

Menerapkan metode hermeneutika pada bidang non Kitab Suci yang

terpenting adalah sang penafsir tidak hanya menarik nilai-nilai moral dari suatu

teks, tetapi juga mampu memahami “roh” yang berada di balik teks tersebut, dan

menterjemahkannya secara rasional sesuai konteks yang berlaku. Banyak ahli

yang berpendapat, bahwa pemahaman semacam itu merupakan proses

demitologisasi gerakan pencerahan atas teologi dan agama-agama. Tokoh pada

masa ini adalah Johan August Ernesti, ia diklaim sebagai sosok sekulerisme oleh

kalangan gereja17.

Kajian terpenting dari fungsi metodologi filologi, hermeneutika menuntut

sang penafsir untuk mengerti latar belakang sejarah dari teks yang

16 Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka

Belajar, 2005) 39-42.

17 Id. at 43-44

11

Page 12: Fenomenologi Dan Hermeneutika

ditafsirkannya. Penafsir haruslah mampu berbicara tentang teks yang

ditafsirkannya dengan cara yang sesuai dengan jaman yang berbeda, serta

situasi yang berbeda. Dengan demikian, seorang penafsir juga adalah seorang

ahli sejarah, yang mampu mengerti dan memahami makna historis dari teks yang

dianalisanya, sehingga makna yang tersembunyi dapat terungkap.

Hermeneutika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik

Dari metode filologi, hermeneutika berkembang kearah sebuah ilmu yang

memahami linguistik. Hermeneutika difungsikan sebagai ilmu untuk memahami

berdasarkan teori linguistik dan menjadi landasan interpretasi teks. Filsuf yang

banyak memberikan kontribusi pemahaman linguistik kepada hermeneutika

adalah Schleiermacher. Menurutnya hermeneutika bisa dikatakan semacam

sintesa antara “ilmu” sekaligus “seni” untuk memahami bahasa. Schleiermacher

kurang setuju kalau hermeneutika hanya terfokus kepada metode filologi, tetapi

juga melihat hermeneutika sebagai “hermeneutika umum”. Hermeneutika

semacam ini merupakan semacam sintesa antara tafsir Kitab Suci dan Filologi18.

Hermeneutika sebagai Fenomena Dassein dan Pemahaman Eksistensial

Dalam defenisi ini, hermeneutika berfungsi sebagai penafsiran melihat

fenomena tentang keberadaan manusia dengan menggunakan bahasa sebagai

instrumennya. Martin Heidegger, dalam merefleksikan berbagai problem

metafisika, ia menggunakan fenomenologi seperti yang dikemukakan Edmund

Husserl. Dalam bukunya Being and Time (1927), ia melakukan refleksi atas

(manusia) Dasein, yang disebutnya sebagai hermeneutika atas Dasein19.

Heidegger tidak menyebut hermeneutika sebagai ilmu ataupun aturan

tentang penafsiran teks, atau sebagai metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan, tetapi

sebagai eksplisitasi eksistensi manusia itu sendiri. Dalam konteks ini,

hermeneutika bagi Heidegger bahwa “penafsiran” dan “pemahaman” merupakan

modus mengada manusia. Dengan demikian, hermeneutika Dasein dari

Heidegger, terutama selama berupaya merumuskan ontologi dari pengertian,

18 Id. at 44-45

19 Id. at 46-47

12

Page 13: Fenomenologi Dan Hermeneutika

jugalah merupakan hermeneutika. Ia merumuskan metode khusus hermeneutika

untuk menafsirkan Dasein secara fenomenologis.

Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi

Tokoh dibalik ini adalah Paul Ricoeur, ia mendefinisikan hermeneutika

kembali pada analisis tekstual yang memiliki konsep-konsep distingtif serta

sistematis. “Yang saya maksudkan dengan hemeneutika,” demikian tulis Ricoeur,

“adalah peraturan-peraturan yang menuntun sebuah proses penafsiran, yakni

penafsiran atas teks partikular atapun kumpulan tanda-tanda yang juga dapat

disebut sebagai teks”

Ricoeur membedakan dua macam simbol, yakni simbol univokal dan

simbol ekuivokal. Simbol univokal adalah simbol dengan satu makna, seperti

pada simbol-simbol logika. Sementara itu, simbol ekuivokal, yang merupakan

perhatian utama dari hermeneutika, yang simbol yang memiliki bermacam-

macam makna. Heremeneutika haruslah berhadapan dengan teks-teks simbolik,

yang memiliki berbagai macam makna. Hermeneutika juga haruslah membentuk

semacam kesatuan arti yang koheren dari teks yang ditafsirkan, dan sekaligus

memiliki relevansi lebih dalam serta lebih jauh untuk masa kini maupun masa

depan. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan sebuah sistem penafsiran, di

mana relevansi dan makna lebih dalam dapat ditampilkan melampaui sekaligus

sesuai dengan teks yang kelihatan.

Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi Geisteswissenchften

Wilhelm Dithey, ia menyebut hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat

melayani sebagai fondasi bagi melihat Geisteswissenchften (semua disiplin yang

memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia) Dalam

menafsirkan ekspresi hidup manusia, dibutuhkan tindakkan pemahaman sejarah.

Dalam pandangan Dilthey, apapun yang dibutuhkan dalam ilmu-ilmu

kemanusiaan, merupakan “kritik” nalar yang akan mengurusi pemahaman

sejarah20.

Hermeneutika sebagai Sistem Penafsiran

20 Id. at 45-46

13

Page 14: Fenomenologi Dan Hermeneutika

Hermeneutika difungsikan sebagai seperangkat aturan penafsiran dengan

cara menghilangkan segala misteri yang menyelimuti simbol dengan cara

membuka selubung yang menutupinya. Tokohnya utama dibalik ini adalah Paul

Richouer. Ia membedakan interpretasi teks tertulis dan percakapan. Makna tidak

hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut

pengertian pandangan hidup dari pembacanya. 

Di samping itu masih ada tokoh lain yang turut berperan pada

perkembang hermeneutika pada masa ini, seperti Jurgen Habermas (1929-),

tokoh hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh

kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial

yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran

dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan

gender.  Selain itu juga ada Jacques Derrida (1930), tokoh hermenutika

dekonstruksionis, dan Edmund Husserl (1889-1938), tokoh hermeneutika

fenomenologis.

Tokoh dibelakang Hermeneutika

Perubahan perspektif dan perkembangan hermeneutika tidak terlepas

dari peran tokoh besar di baliknya. Setiap tokoh membawa pengaruh dan corak

yang berbeda dengan dengan tokoh-tokoh sebelumnya. Sumaryono (1999) dan

Palmer (2005) menyebutkan beberapa tokoh tersebut.

Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768 -1834)

Tokoh hermeneutika romantisis, memperluas pemahaman hermeneutika

dari sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam

pengertian filsafat. Schleiermacher menyebutkan, dalam upaya memahami

wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan

konteks kultural.

F.D.E Schleiermacher ditempatkan sebagai tokoh Hermeneutik . Ia

membedakan hermeneutik dalam pengertian sebagai ilmu atau seni memahami

dengan hermeneutik yang mendefinisikan sebagai studi tentang memahami itu

sendiri ( Richard E. Palmer, 1969 : 40 ). Scleiermacher menulis sebagai berikut :

Semenjak seni berbicara dan seni memahami berhubungan satu sama lain,

14

Page 15: Fenomenologi Dan Hermeneutika

maka berbicara hanya merupakan sisi luar dari berpikir , Hermeneutik adalah

bagian dari seni berfikir itu dan oleh karenanya bersifat filosofis ( Schleiermacher,

1977 : 97 ). Penerapan hermeneutik sangatlah luas yaitu dalam bidang teologis,

filosofis, sebab merupakan ” bagian dari seni berfikir “. Pertama- tama buah

pikiran kita mengerti, baru kemudian kita ucapkan. Inilah alasannya

Schleiermacher menyatakan bahwa bicara kita berkembang seiring dengan buah

pikiran kita. Namun bila saat berfikir kita merasa perlu untuk membuat persiapan

dalam mencetuskan buah pikiran kita, maka pada saat itulah disebut sebagai ”

Transformasi berbicara yang internal dan orisinal dan karenanya interpretasi

menjadi penting”.

Wilhelm Dilthey (1833 -1911)

Hermeneutika metodis, ia beragumentasi bahwa proses pemahaman

hermeneutika bermula dari pengalaman, kemudian mengekspresikan nya.

Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah neksus struktural yang

mempertahankan masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini.

Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat digunakan

sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften21. Wilhelm Dilthey adalah seorang

filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal Jerman. Baginya hermeneutika adalah

“tehnik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk

tulisan”. Oleh karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah

yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami

pengalaman tersebut intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan

pengarang. Bentuk kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis

Schleiermacher.

Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah transformasi

psikologis. Namun karena psikologi bukan merupakan disiplin historis, usaha-

usahanya ia hentikan, Ia menolak asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja

pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang.

Ia anggap asumsi ini anti-historis sebab tidak mempertimbangkan pengaruh

eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang.

21 Semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia.

15

Page 16: Fenomenologi Dan Hermeneutika

Edmund Husserl (1889 -1938)

Hermeneutika fenomenologis, ia beranggapan bahwa pemahaman teks

harus dibiarkan berdiri sendiri tanpa adanya prasangka dan perspektif dari dari

penafsir. Oleh sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis

mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada hubungannya, termasuk bias-

bias subjek penafsir dan membiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri

pada subjek.

Martin Heidegger (1889 -1976)

Hermeneutika dialektis, menjelaskan tentang pemahaman sebagai

sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Oleh sebab itu,

pembacaan atau penafsiran selalu merupakan pembacaan ulang atau penafsiran

ulang.

Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis,

meskipun akhirnya Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip

fenomenologi yang dibangun Husserl. Fenomenologi Husserl lebih bersifat

epistemologis karena menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara

fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan

itu sendiri. Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan

persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan

manusia, sementara Husserl cenderung memandang fakta keberadaan sebagai

sebuah datum keberadaan.

Hans-Georg Gadamer (900-2002)

Hermeneutika dialogis, baginya pemahaman yang benar adalah

pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis.

Kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan

mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium

sangat penting bagi terjadinya dialog.

Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada

empat kunci heremeneutis (1) kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”, (2)

situasi hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri

pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan

16

Page 17: Fenomenologi Dan Hermeneutika

konteks. Pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari

kesalahan, (3) setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon,

horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomunikasikan agar

ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca

harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon

pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan

dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer

disebut “lingkaran hermeneutik”. (4) menerapkan “makna yang berarti” dari teks,

bukan makna objektif teks.

Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada

asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia

menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger

dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya

Jurgen Habermas (1929)

Hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh

kepentingan. Yang menentukan horison pemahaman adalah kepentingan sosial

yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran

dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan

gender.

Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain

horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.

Menurut Habermas, teks bukanlah media netral, melainkan media dominasi.

Karena itu, ia harus selalu dicurigai. Bagi Habermas pemahaman didahului oleh

kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial

(social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang

interpereter

Jean Paul Gustave Ricoeur (1913-2005)

Ia selalu menekankan betapa pentingnya memperhatikan simbol-simbol

yang hidup di masyarkaat. Ricoeur menjelaskan tentang simbol-simbol dengan

menggunakan simbol kejahatan dan juga menerangkan asal-usul dari kejahatan

itu dengan menggunakan mitos-mitos. Kenyataan selalu tidak akan pernah lepas

dari simbol-simbol yang harus di tafsirkan. Seperti halnya bahasa yang

17

Page 18: Fenomenologi Dan Hermeneutika

diterjemahkan dalam kata-kata, itu semua harus diterjemahkan agar manusia

menemukan makna sesungguhnya. “Setiap teks mempunyai 3 macam otonomi,

yaitu, intensi atau maksud pengarang, situasi cultural dan kondisi social

pengadaan teks, serta untuk siapa teks itu dimaksudkan” (Sumaryono, 1999,109)

Paul Richour mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada

fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam

hermeneutika. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi

dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek

interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam

mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra.

Hermeneutika harus terkait dengan teks simbolik yang memiliki multi makna

(multiple meaning); ia dapat membentuk kesatuan semantik yang memiliki makna

permukaan yang betul-betul koheren dan sekaligus mempunyai signifikansi lebih

dalam. Hermeneutika adalah sistem di mana signifikansi mendalam diketahui di

bawah kandungan yang nampak. Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur

adalah bahwa begitu makna obyektif diekspresikan dari niat subyektif sang

pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin.

Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup (worldview) pengarang,

tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya. Sederhananya,

hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir.

Jürgen Habermas (1929)

Hermenutika dekonstruksionis, mengingatkan bahwa setiap upaya

menemukan makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi

sederhana antara petanda dan penanda. Makna teks selalu mengalami

perubahan tergantung konteks dan pembacanya.

PERBANDINGAN

Dari penjelasan di atas, dapat kita lihat beberapa persamaan dan

perbedaan dari fenomenologi dan hermeneutika. Beberapa persamaan dan

perbedaan bisa dilihat berikut ini.

Teks ketika dipahami seseorang, secara tidak langsung akan

memunculkan interpretasi terhadap teks tersebut. Membicarakan teks tidak

pernah terlepas dari unsur bahasa, Heidegger menyebutkan bahasa adalah

18

Page 19: Fenomenologi Dan Hermeneutika

dimensi kehidupan yang bergerak yang memungkinkan terciptanya dunia sejak

awal, bahasa mempunyai eksistensi sendiri yang di dalamnya manusia turut

berpartisipasi22.

Sebagai metode tafsir, hermeneutika menjadikan bahasa sebagai tema

sentral, kendati di kalangan para filsuf hermenutika sendiri terdapat perbedaan

dalam memandang hakikat dan fungsi bahasa: Intensionalisme dan

Hermeneutika Gadamerian. Intensionalisme memandang makna sudah ada

karena dibawa pengarang/penyusun teks sehingga tinggal menunggu

interpretasi penafsir. Sementara Hermeneutika Gadamerian sebaliknya

memandang makna dicari, dikonstruksi, dan direkonstruksi oleh penafsir sesuai

konteks penafsir dibuat sehingga makna teks tidak pernah baku, ia senantiasa

berubah tergantung dengan bagaimana, kapan, dan siapa pembacanya.

Hermeneutika Gadamerian dianggap sebagai sejarah penting bagi studi

hermeneutika. Sebab, aliran hermeneutika ini memberikan dimensi yang sangat

luas kepada setiap pembaca teks untuk lebih kreatif dan menjelajah dunia makna

dengan sangat luas. Bagi hermeneutika makna tidak saja ada di belakang teks

(meaning behind the texts), melainkan juga di depan teks (meaning before the

texts). Makna di balik teks , berarti dibuat (created), sedangkan yang di depan

teks berarti ditemukan (invented)23.

Pada dasarnya, fenomenologi mengkaji struktur berbagai jenis

pengalaman yang bergerak dari persepsi, pemikiran, memori, imajinasi,

keinginan, kehendak yang diwujudkan dalam tindak nyata, aktivitas sosial

termasuk aktivitas berbahasa.

Fenomenolgi yang selalu bersandar kepada kesadaran manusia, jika

dilihat lebih jauh dalam kehidupan sehari-hari atau ditipifikasikan, maka bahasa

menjadi medium sentral untuk tranformasi tipifikatif, oleh karena ada makna yang

dapat ditemukan dalam tipifikasi (pergaulan sehar-hari). Keadaan ini memberikan

orientasi metodologi bagi fenomenologi tentang kehidupan sosial dengan

memberikan perhatian lebih kepada relasi antara bahasa yang digunakan

dengan obyek pengalaman. Dengan demikian maka fenomenologi sosial

22 Lihat, Terry Eagleton. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif, hal 88.

23 Lihat, Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian,

hal 55.

19

Page 20: Fenomenologi Dan Hermeneutika

dilandaskan atas ajaran bahwa interaksi sosial adalah rancang bangun

sepanjang di dalamnya memuat makna yang dapat diungkap. 

Sedang makna diperoleh dari kajian fenomenologi didapat tidak dengan

menunggu secara pasif melainkan dengan melakukan konstruksi secara aktif

terhadap tumpukan multi struktur yang diupayakan ditemukan maknanya melalui

bahasa, peneliti fenomenlogis harus berusaha menemukan makna tersebut.

Dalam keseharian, penggunaan bahasa dan tipifikasi selalu menciptakan makna

(create a sense) bahwa dunia kehidupan (life-world) adalah substansial,

sehingga mengungkap makna tidak bisa dilepaskan dari bahasa.

Bahasa jelas merupakan sangat esensial bagi fenomenologi dan

hermeneutika. Kedua disiplin ini tidak mungkin bisa menjalankan perannya tanpa

menggunakan bahasa dalam “program-programnya”.

Fenomenologi dan hermeneutik juga menganggap bahwa pemaknaan

linguistik merupakan watak turunan dari pengalaman yang dihayati. Dalam upaya

memahami fenomena, kesadaran yang selalu tertuju kepada objek

menggunakan perangkat-perangkat perseptualnya (noesis) untuk memperoleh

gambaran perseptual yang lengkap tentang fenomena (noema). Pembentukan

gambaran perseptual yang lengkap itu mensyaratkan perlengkapan linguistik

yang memadai untuk melakukan pengertian, predikasi, hubungan sintaktik dan

sebagainya agar gambaran itu dapat diartikulasikan. Dari sisi hermeneutik,

penempatan linguistik sebagai kendaraan yang digunakan untuk memahami

analisis terhadap gambaran perseptual pra-lingusitik merupakan prinsip yang

mendasari proses penafsiran.

Ricoeur (1986) menggunakan analogi sebuah permainan dari

pengalaman seni yang pada dasarnya bukan sesuatu yang bersifat linguistik.

Pengalaman seni yang dimaksud adalah yang mengandung unsur permainan.

Ketika seseorang mendapatkan pengalaman seni, dan suatu waktu ia

memamerkan atau menampilkan pengalaman tersebut. Maka secara tidak

langsung, kegiatan memamerkan pengalaman itu tak bisa dilepaskan dari

medium linguistik. Pengalaman yang ditampilkan dan dipahami oleh

penontonnya juga melalui medium linguistik. Jadi, linguistik merupakan turunan

dari pengalaman yang dihayati subjek, baik sebagai pameran maupun penonton.

Selain bahasa, fenomenologi dan hermeneutika diasumsikan sebagai

teori pengalaman atau teori tentang bagaimana kata-kata berhubungan dengan

20

Page 21: Fenomenologi Dan Hermeneutika

pengalaman. Fenomenologi memberikan atensi lebih besar pada sifat

pengalaman yang dihidupkan, sedangkan hermeneutik berkonsentrasi pada

masalah-masalah yang muncul dari interpretasi tekstual tersebut. Keduanya

membicarakan objek sebagai realita yang eksistensinya dimungkinkan dan

ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik dan budaya yang melingkupi.

Persamaan lainnya adalah hermeneutik dan fenomenologi terlihat dalam

penggunaan konsep Labenswelt (dunia-kehidupan) dalam fenomenologi, oleh

hermeneutik dipahami sebagai perbendaharaan makna, surplus kesadaran

dalam pengalaman hidup yang memungkinkan objetivikasi dan pemaknaan yang

kaya terhadap fenomena dalam kehidupan manusia. Dengan konsep

Labenswelt, dimungkinkan pengembangan fenomenologi persepsi yang

membawa fenomenologi kepada hermeneutik untuk memahami pengalaman

historis.

Hermeneutik dan fenomenologi juga memiliki persamaan yang

memungkinkan subjek untuk memaknai pengalaman yang dihayatinya dan

kepemilikannya akan tradisi historis.

Fenomenologi harus dibiarkan termanifestasi apa adanya tanpa

memasukkan kategori pikiran kita padanya. Seperti kata Husserl dengan

menyebutnya dengan ”kembalilah pada realitas itu sendiri”. Dengan kata lain

fenomenologi tidak membiarkan kita untuk mencampur fenomena yang ada

dengan pikiran kita, dan membiarkan fenomena tersebut berbicara apa adanya.

Hal ini disebabkan karena pikiran hanya bersifat teoritis yang terikat oleh

pengalaman indrawi yang bersifat relatif subyektif sedangkan fenomena adalah

realitas yang bersifat obyektif. Berbeda dengan hermeneutika, dalam dalam

menjalankan tugasnya hermeneutika harus memperhatikan sejarah, konteks,

prinsip, religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Dengan memperhatikan

beberapa kaidah tersebut hasil kajian hermeneutika akan jauh lebih sempurna.

Jika dilihat dari akar ilmu, fenomenologi dan hermeneutika jelas sangat

berbeda. Fenomenologi merupakan akar dari Philosophy, dengan pertanyaan

utama ”apa struktur dan esensi pengalaman atas gejala-gejala ini bagi

masyarakat tersebut?” Sedangkan hermeneutika berakar dari teologi, filsafat,

dan kritik sastra, dengan pertanyaan utama, ”apa kondisi-kondisi yang

melahirkan prilaku atau produk yang dihasilkan yang memungkinkan penafsiran

makna?”

21

Page 22: Fenomenologi Dan Hermeneutika

Disamping persamaan dan perbedaan, fenomenologi dan hermeneutika

juga mempunyai kekuatan dan kelemahan. Beberapa kekuatan dan kelemahan

tersebut bisa dilihat di bawah ini.

          Salah satu kekuatan filsafat fenomenologi adalah fenemenologi sebagai

suatu metode keilmuan dapat mendiskripsikan penomena dengan apa adanya

dengan tidak memanipulasi data, aneka macam teori dan pandangan.

Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari

segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semu konstruksi,

asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak

peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya

harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan

sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu

sendiri.

Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan

historis apapun—apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program

utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari

subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret,

lekat, dan penuh penghayatan.

Kekuatan fenomenologi lainnya adalah dapat mendeskripsikan fenomena

sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan

pandangan yang didapat sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari

adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan harus buang dulu, ini dimaksudkan

agar hasil dalam mengungkap pengetahuan atau kebenaran benar-benar

objektif.

Kekuatan lainnya, fenomenologi memandang objek kajian sebagai satu

kesatuan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya, dengan demikian

fenomenologi menuntut pendekatan holistik, bukan pendekatan partial, sehingga

diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati.

        Di samping kekuatan, fenomenologi juga tidak lepas dari kelemahan.

Salah satu kelemahannya adalah tujuan dari fenomenologi itu sendiri.

Fenomenologi bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif

tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama

ataupun ilmu pengetahuan, merupakan suatu yang absurd. Sebab fenomenologi

sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai

22

Page 23: Fenomenologi Dan Hermeneutika

(value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida

yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan

implikasi filosofis status pengetahuan24. Kita tidak dapat lagi menegaskan

objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku

sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh

pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian

fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.

Kelemahan lainnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek

untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan

objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau

kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus

tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan

ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat

digenaralisasi.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas, kita bisa menarik kesimpulan. Fenomenologi

merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha

memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya tanpa perlu

“intervensi” oleh apapun dan siapapun. Terlepas dari kelebihan dan

kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi yang berharga bagi

dunia ilmu pengetahuan, mengatasi krisis metodologi, dan mampu menjadi

sebuah disiplin ilmu yang berpengaruh dan banyak mempengaruhi filsup-fulsup

lain di abad 20.

Fenomenologi berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta

pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi

manapun sebelumnya. Oleh karena itu, oleh kaum fenomenolog, fenomenologi

dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan

dengan 'prinsip' ilmu pengetahuan, sebagaimana dinyatakan J.B Connant, yang

dikutip oleh Moh. Muslih, bahwa: "The scientific way of thinking requires the habit

of facing reality quite unprejudiced by and any earlier conceptions. Accurate

observation and dependence upon experiments are guiding principles." 

24 Lihat, Donny Gahral Adian. 2002. Pilar-pilar Filsafat Kontemporer.

23

Page 24: Fenomenologi Dan Hermeneutika

Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik

budaya atau pelakunya. Ilmu dianggap bukanlah values free, bebas nilai dari apa

pun, melainkan values bound, memiliki hubungan dengan nilai. Beberapa prinsip

fenomenologi adalah: 1. kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai indiividu

maupun kelompok selalu bersifat majemuk atau ganda yang tersusun secara

kompleks, dengan demikian hanya bisa diteliti secara holistik dan tidak terlepas-

lepas; 2. hubungan antara peneliti dan subjek saling mempengaruhi, keduanya

sulit dipisahkan; 3. lebih ke arah pada kasus-kasus, bukan untuk

menggeneralisasi hasil penelitian; 4. sulit membedakan sebab dan akibat, karena

situasi berlangsung secara simultan; 5. inkuiri terikat nilai, bukan values free.

Hermeneutika yang awalnya “hanya” interpretasi terhadap teks-teks kitab

suci, dalam perkembangannya semakin melebarkan sayapnya hingga ke bidang-

bidang lainnya dalam ilmu sosial: filologi, dassein dan pemahaman eksistensial,

Interpretasi, dan sistem penafsiran.

Hermeneutika setidaknya disusun dalam tiga kesatuan yang sangat

penting, yaitu (1) adanya tanda, pesan berita yang kerap berbentuk teks, (2)

harus ada sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa “asing”

terhadap pesan itu. (3) adanya perantara atau kurir antara kedua belah pihak.

Ada dua dimensi besar dalam hermeneutika yaitu hermeneutika

intensionalisme dan hermeneutika gadamerian. Kedua saling berbeda dalam

meletakan posisi makna: di “produksi” atau di “pemirsa”.

Fenomenologi dan hermeneutika akhirnya dikawinkan oleh Ricoeur.

Fenemenologi dianggap tidak bisa berdiri sendiri, harus didampingi oleh

hermeneutika. Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang “tak tergantikan”

bagi hermeneutika, dan sebaliknya fenomenologi tidak bisa menjalankan

programnya dengan baik jika tidak didukung oleh hermeneutika.

Bahasa merupakan peran yang sangat esensial bagi fenomenologi dan

hermeneutika, melalui bahasa makna sebuah fenomena bisa diinterpretasi

dengan baik.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan, kedua disiplin ilmu ini jika

digabungkan tentu akan akan untuk mendapatkan “efek luar biasa”.

Fenomenologi dan Hermeneutis seperti sepasang suami istri yang ideal untuk

“disandingkan”, mereka saling melengkapi kekurangan masing-masing, dan juga

saling “meninggikan” dengan kelebihan yang dimiliki.

24

Page 25: Fenomenologi Dan Hermeneutika

25

Page 26: Fenomenologi Dan Hermeneutika

DAFATAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral. 2002. Pilar-pilar Filsafat Kontemporer. Yogyakarta:

Jalasutra.

Adian, Donny Gahral. 2005. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar

Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Afandi, Abdullah Khozin. Fenomenologi. Int.

(http://akhozinaffandi.blogspot.com /2010/02/fenomenologi.html/diakses 20

Januari 2011)

Ahimsa-Putra. 1985. Etnosains dan Etnometodologi, Sebuah Perbandingan.

Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, Jilid XII Nomor 2, hlm.103-133. Jakarta:

LIPI.

Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer. Yogyakarta: Fajar Pustaka

Baru.

Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Delgaauw, Bernard. 2001. Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono.

Yogyakarta: Tiara Wacana.

Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif, terj.

Harfiah. Yogyakarta: Jalasutra.

Hadiwijono, Hasan. 1993. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet. Ke 9. Yogyakarta:

Kanisius

Jazim Hamidi. 2005. Hermeneutika Hukum. Yogyakarta: UII Press.

Kuswarno, Engkus. Fenomenologi: Metode Penelitian Kualitati. Int.

(http://id.shvoong.com/books/dictionary/1967914-fenomenologi-metode-

penelitian-kualitatif/ diakses tanggal 19 Januari 2010)

Muhadjir, Noeng. 1998. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Reka Sarasin.

Muslih, Moh.. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan

Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.

Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj.

Masnur Heri Damanhuri Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Poespoprodjo, W. 2004. Hermeneutika, Bandung: Pustaka Setia.

Raharjo, Mudjia. 2008. Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan

Gadamerian, Jogjakarta: Ar-Ruzmedia.

26

Page 27: Fenomenologi Dan Hermeneutika

Raharjo, Mudjia. Hermeneutika. Apa Manfaatnya? (http://mudjiarahardjo.com/

artikel/103-hermeneutika-apa-manfaatnya.html diaksek pada 22 Januari

2011)

Suryaman, Oni. 2005. Hermeneutika, Selayang Pandang. Int.,

(http://id.wordpress.com/tag/hermeneutika/, diakses tanggal 20 Januari

2010)

Sutrisno, et.al.. 2005 Para Filusuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius.

Sutrisno, Mudji. 2004. “Rumitnya Pencarian Diri Kultural” dalam Hermeneutika

Pascakolonial: Soal Identitas . Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor),

Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Supriyono, J. 2004. “Mencari Identitas Kultur Keindonesiaan,” dalam

Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas, Mudji Sutrisno dan Hendar

Putranto (ed.), Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Titus, 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat, Terj. M. Rasyidi, Jakarta: Bulan

Bintang.

Wuisman, J.J.J.M. 1996. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Jilid I: Asas-Asas. Jakarta:

Lembaga Penerbit FE-UI.

27


Top Related