FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI
NARAPIDANA MENJADI RESIDIVIS
OLEH
TITIS UMMAMI PUTRI
802014199
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari
Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
FAKULTAS PSIKOLOGI
SALATIGA
2018
ii
iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang
bertandatangan dibawah ini:
Nama : Titis Ummami Putri
Nim : 80 2014 199
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Univesitas Kristen Satya Wacana
Jenis Karya : Tugas Akhir
Demi mengembangkan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
UKSW hak bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas
karya ilmiah saya yang berjudul:
FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI NARAPIDANA
MENJADI RESIDIVIS
Dengan hak bebas royalty non-exclusive ini, UKSW berhak menyimpan
mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data,
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada Tanggal : 21 Agustus 2018
Yang menyatakan,
Titis Ummami Putri
Mengetahui,
Pembimbing
Krismi Diah Ambarwati, M.Psi., Psikolog
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan ini:
Nama : Titis Ummami Putri
Nim : 80 2014 199
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Univesitas Kristen Satya Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul:
FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI NARAPIDANA
MENJADI RESIDIVIS
Yang dibimbing oleh:
Krismi Diah Ambarwati, M.Psi., Psikolog
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di salam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan
atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam
bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah
sebagai karya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber
aslinya.
Salatiga, 21 Agustus 2018
Yang memberi pernyataan,
Titis Ummami Putri
LEMBAR PENGESAHAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI NARAPIDANA
MENJADI RESIDIVIS
Oleh
Titis Ummami Putri
802014199
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui Pada Tanggal : 21 Agustus 2018
Oleh:
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
Pembimbing
Krismi Diah Ambarwati, M.Psi., Psikolog
Diketahui oleh,
Kaprogdi
Ratriana Y.E.Kusumiati, M.Si.,Psi.
Disahkan oleh,
Dekan
Berta Esti Ari P, S.Psi., MA.
FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI
NARAPIDANA MENJADI RESIDIVIS
Titis Ummami Putri
Krismi Diah Ambarwati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
i
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor penyebab narapidana
menjadi seorang residivis di Rutan Klas II B Salatiga. Penelitian menggunakan
metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis, penggunaan metode ini
dengan alasan bahwa fokus dalam penelitian ini adalah pada faktor yang
melatarbelakangi narapidana menjadi seorang narapidana residivis. Sementara
pendekatan fenomenologi bertujuan untuk menggambarkan makna dari
pengalaman hidup yang dialami oleh beberapa individu, tentang konsep atau
fenomena tertentu, dengan mengeksplorasi struktur kesadaran manusia. Partisipan
penelitian ini adalah tiga orang residivis umum berusia 23-27 tahun dengan kasus
yang berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukan berbagai faktor yang
melatarbelakangi para partisipan menjadi seorang narapidana residivis, faktor
tersebut terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi:
Kecanduan, mentalitas instan dan konsep diri. Faktor eksternal yang
melatarbelakangi para residivis meliputi: Lingkungan masyarakat, pengangguran,
hubungan antar keluarga dan pengaruh teman sebaya. Tak hanya itu ada pun
dampak psikologis yang mempengaruhi para partisipan, yaitu lost of personal
communication, lost of personality dan lost of security.
Kata kunci: Faktor yang melatarbelakangi, Narapidana, Residivis
ii
ABSTRACT
This study aims to describe the factors causing prisoners to become a recidivist in
Salatiga Class II B Detention Center. The study used qualitative methods with a
phenomenological approach, that focused on the factors behind prisoners to
become recidivist. While the phenomenology approach aims to describe the
meaning of life experienced by some individuals, by exploring the structure of
human consciousness. The participants of this study were three general recidivists
aged 23-27 years with different cases. The results of the study showed that various
factors underlying the participants to become recidivist, these factors consisted of
internal and external factors. Internal factors include: Addictions, instant
mentality and self-concept. External factors behind the recidivism include:
Community environment, unemployment, family relationships and peer influence.
There one also psychological impacts that affect the participants, namely lost of
personal communication, lost of personality and lose of security.
Keywords: Factors, Prisoners, Recidivism
1
PENDAHULUAN
Tindak kejahatan atau kriminal merupakan gejala sosial yang senantiasa
dihadapi oleh masyarakat. Masalah kejahatan tidak bisa lepas dari kehidupan
mereka, baik kota maupun yang tinggal di desa. Semua merasakan dampak dari
kejahatan, baik dari korban kejahatan itu sendiri atau orang yang hanya
menyaksikannya di media massa. Tindak kejahatan menurut ahli kriminologi
adalah suatu perbuatan sengaja atau perilaku seseorang dalam melanggar hukum
pidana (hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan yuris-
prudensi), dilakukan bukan untuk pembelaan diri atau pembenaran, dan
ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan serius (felony) atau kejahatan ringan
(misdemeanor) (Hagan, 2013).
Kejahatan menurut Bemmelen (dalam Muliadi, 2012) merupakan suatu
tindakan anti sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam
masyarakat, sehingga dalam masyarakat terdapat kegelisahan. Pendapat lain dari
definisi kejahatan adalah perbuatan pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan
atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan yang merugikan,
menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan (Moelino, dalam Muliadi 2012).
Kejahatan adalah crime dan criminal dapat diartikan sebagai perbuatan jahat,
maka tindak kriminal diartikan sebagai perbuatan kriminal (Kartono, 2007). Dapat
disimpulkan bahwa kriminal adalah suatu konsep yang berhubungan dengan
perilaku atau perbuatan jahat yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang (Nagib, 2014).
Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, maka seluruh tatanan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus berdasarkan atas hukum yang
2
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memberikan
hukuman bagi yang bersalah. Warga negara yang bersalah, menjalani masa
pidananya di Lembaga Pemasyarakatan (Sudirohusodo, 2002). Lembaga
pemasyarakatan adalah instansi terakhir dalam proses peradilan pidana sebagai
wadah bagi pelaku tindak pidana yang sudah mendapat keputusan dari hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap untuk menjalani pemidanaan, disamping
itu juga diberikan pembinaan dan pembimbingan agar kembali menjadi orang
baik. Pembinaan warga binaan selalu diarahkan pada resosialisasi
(dimasyarakatkan kembali) dengan sistem pemasyarakatan berdasar Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Hal lain yang terjadi adalah berubahnya fungsi Lembaga Pemasyarakatan
di dalam menempatkan narapidana. Namun sekarang tidak hanya Lembaga
Pemasyarakatan yang berfungsi menampung narapidana. Rutan atau Rumah
Tahanan juga difungsikan sebagai tempat penampungan narapidana (Alina, 2012).
Berdasarkan pasal 38 ayat (1) jo. Penjelasan PP No. 27 Tahun 1983 Tentang
Pelaksanaan KUHAP, Menteri dapat menetapkan Lapas tertentu sebagai Rutan.
Kemudian, dengan adanya Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.
M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan
Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara, Lapas dapat beralih fungsi menjadi
Rutan, dan begitu pula sebaliknya.
Data narapidana di Rutan Salatiga terdapat 144 narapidana dengan
jumlah narapidana residivis 25 orang dengan berbagai macam kasus. Ada mereka
yang melakukan tindak kejahatan yang sama dan ada pula dengan kasus yang
berbeda-beda (Wawancara dengan Dwi Murdanto selaku KASUB SIE PELTAH,
3
Februari 2018). Dwiyatmi (2006) mendefinisikan residivis adalah seseorang yang
melakukan suatu tindak kejahatan tertentu, telah dihukum, dan hukumannya telah
dijalani, kemudian orang tersebut melakukan lagi tindakan kejahatan tersebut.
Kata residivis, dalam konteks psikologi, dapat didefinisikan secara luas sebagai
hasil dari perilaku kriminal setelah seseorang telah dihukum dari tindak kejahatan,
hukum dan pemeriksaan (Carvalho, 2002)
Hal tersebut didukung dengan penjelasan secara singkat dalam KUHP
(KUHP & KUHAP, 2012), bahwa residivis adalah orang yang mengulangi
pelanggaran sebelum lewat lima tahun dengan kasus serupa sejak menjalani
putusan bebas. Berdasarkan KUHP (KUHP & KUHAP, 2012) tersebut dijelaskan
bahwa narapidana dikatakan residivis jika seorang narapidana pernah melakukan
kesalahan berupa tindakan kriminal atau kejahatan dalam kurun waktu kurang dari
5 tahun yang menyebabkan ia masuk dan ditahan kembali di sebuah lembaga
pemasyarakatan.
Menurut Bawengan (1991) residivis disebut juga dengan habitual crime
kejahatan yang dilakukan karena kebiasaanya dan dilakukanya dengan berulang-
ulang kali ini karena adanya gangguan pada kejiwaannya agar menghendaki
demikian. Residivis merupakan penjahat yang berulang-ulang keluar-masuk
penjara, selalu mengulangi perbuatan jahat, baik yang serupa ataupun yang
berbeda bentuk kejahatannya (Kartono, 2013). Menurut Sutherland (dalam
Bawengan, 1991) kecenderungan untuk mengulang-ulang kejahatan jika dilihat
dari segi psikologi sebenarnya tak lain dari melaksanakan kebiasaan. Banyak
penyebab dari perilaku residivis ini diantaranya karena tidak memperoleh fasilitas
untuk bergaul dengan lingkungan yang menaati hukum, kemudian kurang
4
memperoleh kesempatan untuk mengadakan kontak sebelum atau setelah
menjalani suatu hukuman.
Menurut sifatnya perbuatan yang merupakan sebuah pengulangan dapat
dibagi menjadi dua jenis (Prasetyo, 2010) yaitu residivis umum dan residivis
khusus. Dikatakan residivis umum ketika seseorang telah melakukan kejahatan
kemudian ia kembali melakukan kejahatan dengan jenis kejahatan yang berbeda
dengan sebelumnya. Dikatakan residivis khusus ketika seseorang telah melakukan
kejahatan kemudian kembali melakukan kejahatan yang sejenis dengan kejatahan
sebelumnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Simatupang dan Irmawati (2006)
menyebutkan bahwa terdapat faktor psikososial yang menjadi penyebab
timbulnya residivis, antara lain pengaruh keluarga, teman sebaya dan
pengangguran. Sitohang juga berpendapat bahwa residivis disebabkan oleh
kecurigaan, ketakutan, ketidakpercayaan dan kebencian dari masyarakat sebagai
hukuman tambahan yang tidak dapat terelakan sehingga mengulangi kejahatan
yang sama sebagai solusi yang diambil oleh terpidana yang telah bebas untuk
mempertahankan hidupnya (dalam Nurrahma, 2012)
Penelitian lain yang dilakukan oleh Pambudi (2016) menemukan
narapidana residivis melakukan recidive karena beberapa faktor yang bersumber
dari internal diri narapidana residivis itu sendiri. Faktor-faktor internal tersebut
antara lain faktor keluarga yang kurang terbuka, faktor ekonomi yang kurang
mapan, faktor emosional/temperamental, faktor PHK dari tempat mencari nafkah
dan ikut serta dalam kejahatan. Hal-hal tersebut sangat berpengaruh terhadap
tindakan kriminal yang dilakukan kembali oleh narapidana residivis.
5
Penelitian ini akan mengungkap uraian mengenai faktor-faktor yang
melatarbelakangi narapidana menjadi seorang residivis di Rutan Klas II B
Salatiga. Hal ini penting untuk diteliti karena melihat fenomena yang ada di Rutan
Salatiga semakin meningkatnya tingkat kejahatan yang dilakukan oleh para
residivis dengan berbagai macam kasus yang berbeda-beda, karena hal ini peneliti
ingin melihat faktor-faktor penyebab para narapidana mengulang kesalahan untuk
kedua kalinya bahkan lebih.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan tujuan penelitian ini adalah
mengungkapkan faktor-faktor yang melatarbelakangi narapidana menjadi seorang
narapidana residivis.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Penggunaan metode ini dengan alasan bahwa fokus dalam
penelitian ini adalah pada faktor yang melatarbelakangi narapidana menjadi
seorang residivis. Sementara pendekatan fenomenologi bertujuan untuk
menggambarkan makna dari pengalaman hidup yang dialami oleh beberapa
individu, tentang konsep atau fenomena tertentu, dengan mengeksplorasi struktur
kesadaran manusia. Jadi disini peneliti ingin mengetahui makna dari pengalaman
yang dialami oleh para narapidana residivis terkait dengan faktor yang
melatarbelakangi.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
semi terstruktur. Dalam wawancara semi terstruktur pertanyaan bersifat terbuka
6
akan tetapi ada batasan tema dan alur pembicaraan. Terdapat pedoman
waawancara yang menjadi patokan dalam alur, urutan dan penggunakan kata
(Sugiyono, 2008)
Ketiga partisipan diberi pertanyaan yang sama, hal ini untuk menghindari
bias. Sebelum melakukan wawancara terhadap partisipan, peneliti harus meminta
izin terlebih dahulu kepada pihak Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Ham
Provinsi Jawa Tengah. Setelah mendapatkan izin kemudian dilaksanakan proses
wawancara. Proses wawancara hanya boleh dilakukan saat jam kerja yaitu pukul
08.00-14.00 WIB hari Senin sampai Kamis dan pukul 08.00-12.00 WIB pada hari
Jumat dan pukul 08.00-13.00 WIB pada hari Sabtu. Untuk menunjang proses
wawancara di butuhkan peralatan seperti alat tulis menulis dan alat perekam.
Partisipan Penelitian
Kriteria Partisipan:
a. Narapidana residivis umum (minimal 2 kali masuk penjara)
b. Laki-laki
c. Usia 20-30 tahun
7
Tabel 1.1 Data Demografi Partisipan
No Keterangan Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3
1. Inisial BD AC BB
2. Usia 23 tahun 26 tahun 27 Tahun
3. Alamat
Ringinawe, Ledok,
Argomulyo.
Kec Tingkir Kota
Salatiga
Banyumanik,
Semarang.
4. Agama Islam Kristen Protestan Islam
5.
Pendidikan
terakhir
SMK SMA SMA
6.
Vonis
terakhir
4 tahun 2,5 tahun 4 tahun
7. Kasus
Kasus pertama:
Pembobolan ATM
Kasus pertama:
kekerasan
Kasus pertama:
pengeroyokan
Kasus kedua:
Pengedaran narkoba
Kasus kedua:
pencurian Kasus kedua:
penyalahan
narkoba Kasus ketiga :
pencurian
8
HASIL
Berdasarkan analisis data, muncul beberapa tema sebagai berikut: Faktor
internal, faktor eksternal dan ditemukan tema baru yaitu dampak psikologis
menjadi narapidana residivis.
1. Faktor Internal
Adanya faktor internal menjadi penyebab para partisipan masuk penjara
untuk kedua kalinya bahkan lebih. Faktor internal adalah sesuatu yang mendorong
partisipan dari dalam diri partisipan tersebut. Dan faktor internal yang didapat
adalah:
a. Kecanduan
Faktor internal yang pertama adalah kecanduan, kecanduan sendiri
dialami oleh P2 dan P1. Faktor ketagihan ini terlihat pada P2 dan P3, namun
keduanya berbeda jenis ketagihan. P2 ketagihan judi. Pada P2 faktor perjudian
adalah faktor utama bagi partisipan, ia ingin mendapatkan uang banyak secara
instan, dari judi online hingga judi offline ia lakukan. Tak hanya di luar penjara,
saat di dalam penjara pun P2 masih berani melakukan perjudian didalam sel
bersama teman-teman kamarnya yang mengakibatkan partisipan dihukum tidak
boleh keluar sel selama dua minggu.
“... gara-gara judi sih awalnya, jadi kalau punya uang dikit buat main,
kalau uang habis nyari cara gimana biar dapet uang lagi.” (P2, 118- 123)
“Kan nggak boleh pakai kartu?Kan cuma mainan aja. Nggak pakai uang.
Kemarin kan pernah pakai uang to? Yang di sel? Oh iya.. pas aku di sel
kamu masih disini ya. Hehe Oh iyaiyaaaa...... hehe. Iya itu pakai uang
terus di sel 2 minggu. Iya mbaknya pas disini.” ( P2 111- 117)
Berbeda dengan P3, ia mengaku bahwa dirinya ketagihan narkoba jenis sabu-
sabu, pada awalnya ia memakai barang tersebut untuk keperluan pekerjaannya. Ia
9
mengatakan mengkonsumsi sabu-sabu digunakan untuk mendoping dirinya agar
kuat begadang sepanjang malam dan memperlancar pekerjaanya. Namun, setelah
sering memakai narkoba tersebut ia ketagihan narkoba jenis sabu-sabu tersebut.
“Tapi mas P3 make nggak sebenernya? Ya make, awalnya cuma buat
kerjaan aja nggak yang nyandu banget gitu lho. Aku dulu kalau lagi
nyupirin bisa dua hari tiga hari nggak tidur karna nganter klien jadi harus
pakai sabu buat doping. Tapi lama-lama ya jadi pengen make terus
jadinya. Pas nggak kerja ya tetep pengen make”. (P3, 163-169)
b. Mentalitas Instan
Faktor internal yang kedua yaitu mental instan dimana pada partisipan P2
dan P1 ini terlihat, kedua partisipan P2 dan P1 ingin mendapatkan sesuatu dengan
mudah tidak dengan kerja keras. Bahkan pada pasrtisipan P2 pun terlihat malas
untuk bekerja di dalam rutan untuk sekedar melipat dan memasang karpet.
Menurut keterangan partisipan sendiri ia lebih memilih untuk tidur di dalam
kamar dibanding ia harus membantu para narapidana kurve melipat karpet,
mengangkat air dan hal yang lain. Hal tersebut juga saat partisipan masih di luar
penjara ia ingin mendapatkan uang banyak namun dengan cara yang mudah.
“... kontraknya habis. Nggak diperpanjang. Jadi nakal lah abis itu.
pengen dapet uang banyak tapi gampang gitu... Ya karna aku judi. Judi
enak kalau lagi menang... (P2, 54- 66)
Pada P1 hal ini terlihat sejak kasus yang pertamanya, pada kasus yang pertama
partisipan P1 melakukan pembobolan ATM untuk mendapatkan sejumlah uang
yang ia pakai untuk kebutuhannya. Pada kasus yang kedua ia melakukan
pengedaran narkoba, dan menurut keterangan partisipan P1 ia melakukan itu
karena kesusahan mencari lapangan pekerjaan dan menegedarkan narkoba cukup
mudah, hanya dengan di dalam rumah sambil bersantai dan bermain HP ia
mendapatkan uang.
10
“Terus apa yang dipikiran mas P1 waktu jual barang itu? Ya aku mikir
enak aja kali ya jualan barang kayak gitu, tinggal di rumah aja, nggak
ada yang tau juga orang. Tinggal tidur-tidur dapet uang 50 ribu sekali
transaksi”. (P1, 817-822)
c. Konsep Diri
Ketiga partisipan pada umumnya dapat menjelaskan bagaimana konsep
diri pada aspek pengetahuan. Namun konsep diri tidak dapat tergali pada P3
karena ia kurang mengenali dirinya seperti apa. Namun berbeda halnya dengan
partisipan P1 ia dapat menjelaskan konsep diri dan memenuhi ketiga aspek
konsep diri tersebut. Dalam konsep diri sendiri terdapat 3 aspek yaitu,
pengetahuan, harapan dan penilaian.
1. Pengetahuan
Pada konsep diri, partisipan cukup mengetahui dirinya mereka sendiri.
Hal ini mengacu pada usia, jenis kelamin, suku, pekerjaan dan lain-lain. Untuk hal
yang bersifat kualitas seperti sifat pada partisipan P1 dan P2 dapat
menggambarkannya dengan baik.
“Terus mas, yang pengen aku tanyain. Padangan mas bd sama mas bd
sendiri itu apa? Siapa? Aku? Kurang bersyukur. Kurang intropeksi”. (P1,
476-480)
Untuk P2, ia tidak suka keramaian pada dasarnya, ia lebih memilih tidur didalam
kamar dibanding harus keluyuran di luar kamar.
“Gimana ya, aku lebih suka dikamar sekarang, nggak kayak dulu. Nggak
suka terlalu banyak orang. Ini aja tadi aku di kamar tiba-tiba dipanggil.
Kok ya aku terus gitu lho”. (P2, 71-74)
Pada P3 konsep diri kurang begitu terlihat karena ia kurang dapat menilai dirinya
seperti apa dan kurang dapat membandingkan dirinya dengan orang lain.
2. Harapan
11
Ketiga partisipan mempunyai harapan yang berbeda-beda untuk ke
depannya, khususnya ketika mereka sudah keluar dari penjara. Seperti yang
diharapkan oleh P2 ia berharap ini adalah hukuman terakhirnya dan tidak terulang
kembali.
“Iya mas. Harapan mas P2 buat ke depannya apa? Ya semoga ini yang
terakhir, nggak kena hukum lagi, udah kapok. Mau hidup bener wes. Iya
Amin.. semoga terwujud ya mas semuanya. Iya mbak”. (P2, 153-158)
Hal lain diungkapkan oleh P3 ingin secepatnya mendapatkan bekerjaan yang
layak dan tidak akan menggunakan narkoba lagi karena sudah sangat menyesal.
Karena kehilangan ibunya menurut P3 sudah cukup menjadi teguran untuk
dirinya.
“... kalau udah keluar bisa jadi bener bisa dapet kerjaan kaya dulu lagi.
Mau ngulang make lagi? Ya engga lah. udah kegilangan mama nih.
Teguran paling dalem ya itu...”. (P3, 305-313)
Harapan P1 ia lebih mengungkapkan harapan ke depan untuk keluarganya.
Harapan yang cukup sederhana yaitu makan bersama keluarganya disatu meja
makan.
“... Saya pengen makan bareng dimeja makan mbak, bareng-bareng.
Semua kumpul, semua makan, semua ketawa...”. (P1, 776-770)
3. Penilaian
Pada aspek penilain hanya dapat didiskripsikan oleh P1. Ia dapat menjelaskan
mengapa P1 saat ini ada di dalam penjara.
“... Kurang bersyukurnya mungkin apa ya, yang hukuman yang pertama
kurang menyesali... Harusnya kan sadar kalau oh iya kemarin tu aku
dihukum harusnya aku tu gini gini gini... aku nyentuh narkoba aku kan
mikir temen-temenku yang narkoba tu hukumannya tinggi-tinggi..”. ( P1,
481-489)
Berbeda halnya dengan P3, karena P3 kurang mengenali dirinya pada aspek
pengetahuan maka dirinya pun juga tidak dapat menilai dirinya sendiri seperti apa.
12
Dari kesimpulan di atas terdapat 3 faktor internal yang mempengaruhi
para partisipan kembali masuk penjara lebih dati satu kali yaitu ketagihan atau
kecanduan, mental instan dan konsep diri.
2. Faktor Eksternal
Tak hanya dari dalam diri partisipan adanya faktor eksternal atau dari
luar diri partisipan menjadi penyebab partisipan mengulang kesalahannya
kembali. Faktor eksternal yang pertama yaitu:
a. Lingkungan Masyarakat
Pada ketiga partisipan terlihat berbeda-beda pada faktor lingkungan
masyarakat. P1 mengaku bahwa lingkungan disekitar rumah P1 menganggap
masuk penjara bukanlah sesuatu yang biasa, banyak anak muda disekitar rumah
partisipan juga masuk penjara karena narkoba dan beberapa kasus lainnya,
partisipan juga mengungkapkan bahwa kampungnya sudah mendapat label
sebagai kampung narkoba. Hal ini yang membuat orang-orang sekitar memaklumi
jika ada anak muda yang masuk penjara karena narkoba.
“Ya kalau kampungku tu gimana ya mbak, sepi sih. Istilahnya gini anak
mudanya masuk penjara semua. Kan kayak kampungku kan dikatakan
kampung narkoba tu iya...”. (P1, 385-391)
Dalam hal komunikasi P1 merasa kurang adanya komunikasi dengan tetangga
sekitar rumah, karena sifat tetangga-tetangga yang sudah individual:
“... Belum ada ngobrol-ngobrol mbak, kemarin kan baru 2 minggu di
rumah dan jarang banget keluar... Sepi mbak kampungku tu”. (P1, 245-
250)
Sama halnya dengan P2, para tetangga P2 seolah tidak mempermasalahkan label
residivis yang disandang P2. Bersikap cuek dan tidak peduli dengan keberadaan
13
P2. P2 juga merasa bahwa hubungannya dengan tetangga biasa saja dan merasa
bahwa dirinya tidak dikucilkan para tetangga walaupun dirinya seorang residivis:
“Itu orang-orang sekitar rumah gimana? Nggak gimana-gimana, baik-
baik aja semua. Langsung ketemu RT RW semua. Biasa aja...”. (P2, 173-
179)
Hal berbeda dirasa berbeda dengan P3, ini di karenakan pekerjaan P3 yang sering
keluar kota menyebabkan P3 jarang sekali di rumah dan bertegur sapa dengan
para tetangga, P3 yang tinggal di sebuah komplek perumahan di semarang yang
notabene para tetangga bekerja sebagai buruh pabrik sehingga jarang sekali
berkomunikasi dengan warga sekitar, menurut keterangan P3 para tetangga pun
tidak ada yang tau jika dirinya masuk penjara bahkan untuk kedua kalinya, para
tetangga hanya tau jika dirinya sedang bekerja di luar kota:
“...kemarin sempet keluar tetangga gimana mas? Biasa aja si, soalnya
kan mereka nggak tau kalau aku masuk penjara taunya aku kerja...”. (P3,
202-205)
b. Pengangguran
Faktor eksternal yang kedua adalah susahnya mencari lapangan
pekerjaan yang baru untuk para residivis dan kurangnya skill yang dimiliki. Hal
ini dirasakan oleh P1 saat itu.
“...tuntutan awal kan pulang maunya kerja tapi susah kan, nggak masuk
penjara aja susah. Apalagi akau nggak punya skill apa-apa.Terlintas jual
barang kayak gitu tu, kepenak kerjane...”.(P1, 140-159)
Sama dengan partisipan P2 yang kesulitan mencari pekerjaan yang
diharapankan ia memutuskan untuk sementara waktu ikut membantu tantenya
berjualan di pasar dan mendapat sedikit upah dari tantenya.
“...paling bantu-bantu tanteku disini, tanteku punya rumah makan soto
di pasar raya situ. Paling bantu-bantu disitu aja..”. (P2, 40-49)
14
c. Hubungan Antar Keluarga
Faktor eksternal ketiga yaitu hubungan antar keluarga. Hal ini terungkap
dari partisipan P1 dan P2. Pada partisipan P1 faktor penyebab ia menjadi residivis
adalah partisipan kurang atau hampir tidak pernah berkomunikasi dengan kakak
kandungnya, perbedaan perilaku antara kakak dan partisipan membuat partisipan
mempunyai perasaan iri dengan kakak kandung partisipan, ia menganggap bahwa
ia harus membuktikan kepada orangtua partisipan bahwa dirinya lebih baik dan
dapat mencari uang seperti kakaknya. Cara membobol ATM dan mengedarkan
narkoba dirasa mampu memenuhi kebutuhan keluarganya dan membuktikan
bahwa dirinya juga dapat memberikan uang kepada orangtuanya. P1 merasa
dirinya anggap remeh oleh kedua orangtuanya. Ia mengungkapkan memang benar
bahwa dari dulu kakak kandungnya ini pintar dan dapat membanggakan kedua
orangtuanya. Berbeda dengan P1 yang lebih senang bermain ketimbang belajar.
Namun hal yang paling mengecewakan ketika dirinya ingin berkuliah namun lagi-
lagi orangtua menginginkan P1 untuk sementara bekerja terlebih dulu sampai
kakak P1 selesai kuliah.
“...Dia lebih suka belajar dan saya enggak. Saya lebih suka main. Dan
sebenernya saya minder sama kakak saya, kakak saya pinter selalu dapet
peringkat di kelas, saya sebaliknya. Kakak saya juga masa bodoh sama
saya. saya juga iri sama kakak saya. kakak saya dikuliahin saya
engga...(P1, 729-758)
Berbeda dengan hubungan keluarga P2, ia mengaku bahwa dia jarang
sekali pulang ke rumah kedua orangtua hampir tidak pernah pulang ke rumah.
Jarang berkomunikasi dengan kedua orangtua. Dan mempunyai komunikasi yang
buruk dengan ayah tiri partisipan.
“...papaku dari dulu nggak deket sama aku, jadi aku ya bodoamat si
mbak. dia papa tiriku juga. jadi nek aku di rumah yowes diem-dieman aja.
15
Dia juga nggak pernah ngurus aku. Dari kecil juga sering di pukul aku
mbak. jadi pas gede aku lebih milih buat tinggal sama tanteku di
salatiga...”. (P2, 53- 65)
Hal sangat berbeda dirasa oleh P3, jika P2 dan P1 kondisi keluarga yang sedikit
ada sedikit konflik namun pada P3 tidak ada konflik yang terjadi, justru keluarga
P3 terbilang harmonis dan menurut keterangan partisipan ibu korban hampir tidak
pernah memarahinya. Hampir setiap ada jadwal kunjungan selalu ada keluarga
yang menjenguk dan membawakan makanan meskipun ia sudah dua kali masuk
penjara.
“Sering jenguk ya mas kemarin? Iya sering banget jenguk, hampir setiap
hari jenguk, kalau ku suruh istirahat mama bilang “meh ngopo yoan ning
omah, ning kene isoh weroh kowe”. (P3, 102- 105)
“...Mamaku ga pernah marah sama aku. Serius mas? Iya serius. Masuk
sini juga engga? Enggak dimarah paling ya kecewa. Pas mas P3 masuk
kesini kedua, apa yang dibilang sama mama mas P3? Ya Cuma bilang
“kok yo isoh” tapi ya itu dia jenguk terus”. (P3, 109- 124)
d. Pengaruh Teman
Faktor yang keempat yaitu pengaruh teman, seperti yang dialami oleh
ketiga partisipan ini. P2 mengaku bahwa dirinya pada awalnya mengenal judi
sejak dirinya masih di dalam penjara untuk yang pertama kali. Dimulai dari
sekedar judi bola di dalam kamar lalu berpindah ke judi kartu bersama teman-
teman yang berada di dalam rutan. kemudian berlanjut sampai di luar penjara dan
kemudian menjadi suatu kebiasaan. Di luar pun ia bergabung bersama teman-
temannya.
“... Dari pas kemarin masuk kesini yang pertama kasus yang pertama,
diajak temen-temen sini awalnya, aku juga iseng og awalnya. Dulu kalau
sering ada bola di TV pada ngajakin masang piro masang piro...”. (P2,
72-79)
16
Sama halnya dengan partisipan P1, ia mendapatkan saran untuk berjualan
barang tersebut dari teman-teman satu kamarnya. Semua informasi, bagaimana
cara menjual dan lain sebagainya dia dapat dari teman satu kamarnya. Ia di bujuk
oleh satu bandar besar yang saat itu juga berada di rutan yang sama dengan P1.
Pada awalnya P1 yang sudah tidak mau lagi berurusan dengan hukum kembali
tergiur karena sudah putus asa dalam mencari pekerjaan.
“Mas P1 dapet informasi barang itu darimana? Dari temen disini. Kan
dulu satu kamar, pindah di semarang, di LP semarang. Terus kerja lagi,
jualan lagi tapi dikendalikan dari dalem, jadi kita berhubungan dari HP,
dia juga punya anak buah yang diluar...(P1, 121-140)
P3 pun dalam memakai narkoba juga berawal dari bujuk rayu teman yang
mengatakan berbagai manfaat jika ia mau menggunakan narkoba. Teman-teman
ini adalah teman yang ia kenal di dalam rutan ketika ia masuk penjara yang
pertama.
“Tapi mas aku balik lagi ke kasus yang kedua tadi ya. Ada nggak sih
temen-temen mas P3 yang make juga? atau nggak mas P3 bisa tau barang
itu darimana? Ya ada... ada beberapa yang make, aku make kan biasanya
kalau di salatiga. Awalnya ya dari temen-temen sini...”. (P3, 192- 200)
Dampak psikologis menjadi narapidana residivis
Dampak psikologis akibat dari pemenjaraan jauh lebih berat dibanding
dengan pidana penjara itu sendiri, sehingga sebenarnya narapidana tidak hanya
dipidana secara fisik, tetapi secara psikologis (Harsono dalam azani, 2012).
Dampak psikologis hukuman penjara antara lain:
1. Lost of personal communication
Kebebasan untuk berkomunikasi terhadap siapapun juga dibatasi. Di
dalam rutan sendiri terdapat peraturan bahwa seorang narapidana hanya boleh
dijenguk pada hari Senin, Rabu, Kamis dan Sabtu. Setiap harinya ada 2 kloter,
17
dan setiap kloter narapidana hanya boleh di jenguk selama 1 jam. Namun untuk
komunikasi via telepon para narapidana diijinkan selama koperasi dan kantin
dibuka dan selama jam buka blok. Hal tersebut sedikit menjadi beban untuk para
partisipan, waktu yang diberi selama satu jam dirasa kurang untuk membunuh
rasa rindu yang mereka pendam. Terlebih jika ada beberapa keluarga yang datang
dari jauh atau dari luar kota. Bagi P2 dan P1 keduanya sudah sangat jarang
dijenguk oleh kedua orangtuanya. Pada P1 karena sudah masuk penjara untuk
kedua kalinya, P1 mengungkapkan bahwa dirinya sudah jarang dibesuk oleh
keluarganya, tidak seperti saat masuk pertama kali, ketika di penjara untuk
pertama kali ia mengungkapkan bahwa setidaknya seminggu sekali ia dibesuk dan
mendapatkan uang dari orangtuanya.
“Oh.. keponakan lah ya berarti. Masih suka jenguk mas? Masih mbak.
Kemarin-kemarin seminggu sekali pasti jenguk. Tapi sekarang sebulan
sekali aja jarang banget”. (P1, 100-105)
Hal yang sama dirasakan oleh P2 ia sudah tidak pernah dijenguk oleh kedua
orangtuanya. Dengan ibunya pun hanya berkomunikasi lewat telepon dan saudara-
saudara partisipan datang hanya untuk mengantar makanan saja tidak untuk
menjenguk P2.
“Tapi komunikasi sama orangtua masih lancar mas? Masih, ya paling
telepon si mbak. itu juga sama mama. Kalau sama papa gimana? Nggak
pernah si. Kalau jenguk gimana? Nggak pernah si kalau jenguk si kan
udah ada tante disini, yang ngasih makan sama lauk juga dari tante kalau
sore”. (P2, 110-114)
Berbeda dengan P3 dia tidak merasa kehilangan komunikasi dengan keluarganya
krena hampir setiap hari keluarganya datang untuk menjenguk P3.
“Sering jenguk ya mas kemarin? Iya sering banget jenguk, hampir setiap
hari jenguk, kalau ku suruh istirahat mama bilang “meh ngopo yoan ning
omah, ning kene isoh weroh kowe”. (P3, 102-105)
18
2. Lost of personality
Seorang narapidana selama dipidana akan kehilangan kepribadian diri,
identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di Lembaga Pemasyarakatan.
Narapidana selama menjalani pidana, diperlakukan yang sama atau hampir sama
atau hampir sama antara satu narapidana dengan narapidana yang lain. Hal ini
hanya terlihat pada P1 dan P3, mereka mengaku jika yang paling berubah sebelum
dan sesudah di dalam penjara adalah mereka lebih rajin beribadah, hal ini
dikarenakan rutan sudah menyiapkan jadwal untuk beribadah seperti sholat dan
pengajian bagi narapidana muslim dan jadwal kebaktian narapidana nasrani.
“Mas P1 ngerasa ada yang berubah nggak selama disini? Di rutan sini?
Di diri mas P1 ngerasa ada yang beda nggak pas di luar sama di dalam
gitu? oh perubahan. Apa ya paling kalau disini aku ngearsa lebih rajin
sholat lebih sering ngaji...”. (P1, 565-574)
Hal yang sama diungkapkan oleh P3 namun ada sedikit perbedaan, P3 adalah
seorang palkam atau kepala kamar hal ini yang membuat P3 merasa lebih
bertanggung jawab ketika di dalam kamar karena mengawasi 40 narapidana
lainnya dan jika ada salah satu narapidana yang membuat masalah yang pertama
dipanggil adalah kepala kamar tersebut:
“Hal yang paling terlihat ada berubah dari sebelum masuk dan sesudah
apa mas? Ya paling kalau disini ibadahnya rajin. Sholat udah harus ikut
kalau nggak ikut nanti disuruh jalan bebek mbak. harus ikut pengajian
juga. jadi ya mau nggak mau jadi rajin ibdanya kalau disini...”. (P3, 290-
309)
3. Lost of security
Selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas.
Seseorang yang secara terus menerus diawasi, akan merasakan kurang aman,
merasa selalu dicurigai dan merasa selalu tidak dapat berbuat sesuatu atau
bertindak, karna takut kalau tindakannya merupakan suatu kesalahan, yang dapat
19
berakibat dihukum atau mendapat sanksi. Menurut ketiga partisipan Rutan
Salatiga tergolong sangat aman. Karena tempat yang sempit juga sehingga apapun
yang dilakukan oleh para narapidan seolah terlihat oleh para petugas. Tak hanya
itu para tamu yang ingin membesuk para narapidana terlebih dulu diperiksa dan
digeledah seluruh tubuhnya. Tidak boleh membawa barang elektronik, makanan
dan minuman berkemasan dan rokok. Semua di simpan di ruang yang disebut
portir. Hal tersebut juga terungkap oleh P3 dan P1
“Rutan sini menurut mas P3 termasuk aman nggak si? Aman banget si
menurutku. sampai nggak bisa gerak kalau menurutku tapi selama aku
disini nggak ada kasus macem-macem si” (P3, 273-278)
“...Aku nggak tau dari segi volume tahanannya atau apa aku nggak tau.
Perbandingan petugas sama napi aja satu banding 10, disana kesannya
bebas banget. Mereka masih bisa videocall di taman gitu, tiap hari gitu,
sumpah. Apa nggak takut aku tanya...”. (P1, 700-717)
PEMBAHASAN
Menjadi narapidana residivis bukanlah hal yang mudah ada beberapa
faktor internal dan eksternal yang melatarbelakangi para narapidana residivis
melakukan kejahatan lebih dari satu kali tersebut. Faktor pertama adanya faktor
kecanduan atau ketagihan yang mempengaruhi P2 dan P3. Kecanduan adalah
suatu aktivitas atau substansi yang dilakukan berulang-ulang dan dapat
menimbulkan dampak negatif. Contoh dari kecanduan sendiri bisa bermacam-
macam. Bisa ditimbulkan akibat zat atau aktivitas tertentu seperti judi,
overspending, shoplifting, aktivitas seksual dan sebagainya (Keepers, 1990).
Kecanduan yang dialami oleh kedua partisipan ini berbeda jenis.
Menurut Lance Dodes ada dua jenis kecanduan yaitu physical addiction, adalah
jenis kecanduan yang berhubungan dengan alkohol atau kokain, dan non-physical
addiction adalah jenis kecanduan yang tidak melibatkan dua hal di atas. P3
20
termasuk kedalam jenis kecanduan physical addiction hal ini dikarenakan P3
mengalami kecanduan pada narkoba jenis sabu-sabu. Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1997 sabu-sabu termasuk jenis psikotropika
golongan 1. Psikotropika golongan 1 ini memiliki daya adiktif yang sangat kuat
untuk menyebabkan ketergantungan. P3 sudah menggunakan narkoba sejak
dirinya masih bekerja menjadi driver, pada awalnya ia menggunakan narkoba
jenis sabu-sabu ini untuk keperluan pekerjaannya sebagai driver karena menurut
keterangan P3 ketika menggunakan sabu-sabu dirinya merasa bersemangat dan
tidak mudah mengantuk sehingga sangat mendukung pekerjaan P3. Menurut
Alifia (2008) ada beberapa dampak dari pemakaian narkoba secara umum yaitu:
1. Perasaan senang dan gembira yang luar biasa di tambah munculnya keberanian
yang luar biasa. 2. Hilangnya segala beban pikiran, seperti rasa sedih, resah,
khawatir, menyesal dan sebagainya.
Berbeda halnya pada P2, ia mengaku bahwa dirinya kecanduan judi hal
ini yang mengakibatkan P2 melakukan tindak pidana pencurian, hasil keuntungan
dari pencurian ini ia gunakan untuk berjudi. Kecanduan terhadap judi termasuk
pada jenis non-physical addiction (Lance Doses dalam Yee, 2002). Judi dapat
mengakibatkan kecanduan karena ketika seseorang bermain judi, bahkan ketika ia
kalah tubuh masih menghasilkan adrenalin dan endorfin (Baraniuk, 2016) hal ini
yang mengakibatkan para pecandu judi ingin melakukannya lagi karena merasa
tertantang.
Tak hanya merasa tertantang namun partisipan mengungkapkan judi
adalah salah satu cara mendapatkan uang dengan mudah tanpa harus bekerja
keras, hanya dengan duduk-duduk saja atau sekedar menebak skor bola ia
21
mendapatkan uang dua hingga sepuluh kali lipat sekali bermain, hal ini yang
dinamakan dengan mentalitas instan. Mentalitas Instan artinya suatu bentuk
perilaku untuk tidak usah melalui proses berbelit-belit dalam hal mendapatkan
suatu kebahagian. Ada kecenderungan untuk memilih lebih baik hidup enak,
mewah dan serba berkecukupan tanpa bekerja keras (Jamil, 2018). Tak hanya P2,
mentalitas instan juga terungkap dari P1 yang pada awalnya tidak tergiur oleh
teman-teman di dalam rutan karena susah mencari pekerjaan kemudian P1
akhirnya tergiur dan menurut keterangan P1 hanya dengan berdiam diri dirumah
dan bermain HP dirinya setidaknya mendapatkan uang 50 ribu sekali transaksi.
Mentalitas instan yang membuat kedua P2 dan P1 tidak ingin melalui proses
berbelit-belit dalam mendapatkan sesuatu yaitu uang. P2 dan P1 memilih
menggunakan cara yang mudah untuk mendapatkan uang tanpa harus bekerja dan
melakukan tindakan kriminal. Dalam mentalitas instan pun bisa dilihat aspek
perilaku yang terjadi karena aspek psikologis dari perilaku artikan sebagai suatu
aksi-reaksi organisme terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada
sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut
rangsangan. Berarti rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku
tertentu (Notoadmodjo, 2003).
Pada P1, ia dapat menyebutkan sifat dan menggambarkan akibat dari
sifat itu sendiri dapat berpengaruh pada keadaan dirinya saat ini. Sifat-sifat atau
karakteristik terungkap dari konsep diri para partisipan. Konsep diri adalah
gambaran mental yang dimiliki oleh seorang individu. Konsep diri memiliki tiga
aspek yaitu pengetahuan yang dimiliki individu mengenai dirinya sendiri,
pengharapan yang dimiliki individu untuk dirinya sendiri serta penilaian diri
22
sendiri. Ketiga partisipan pada umumnya dapat menjelaskan bagaimana konsep
diri pada aspek pengetahuan, menurut Calhoun & Acocella (1990) aspek pertama
dari konsep diri adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki individu
merupakan apa yang individu ketahui tentang dirinya. Pada konsep diri di aspek
pengetahuan para partisipan cukup mengetahui dirinya mereka sendiri. Hal ini
mengacu pada usia, jenis kelamin, suku, pekerjaan dan lain-lain dan sesuatu yang
merujuk pada istilah-istilah kualitatif seperti individu yang egois, baik hati, tenang
dan bertemperamen tinggi. dan lain-lain. Untuk hal yang bersifat kualitas seperti
sifat pada P1 dan P2 dapat menggambarkannya dengan baik. Untuk P2, pada
dasarnya tidak suka keramaian, ia lebih memilih tidur di dalam kamar dibanding
harus keluyuran di luar kamar. Pada P1 sifat-sifat yang ia ungkapkan yaitu kurang
sabar, kurang bersyukur dan kurang berintrospeksi diri.
Tak hanya itu ia juga memberikan alasan dan memberi dampak akibat
sifat-sifat tersebut. Menurut Calhoun & Acocella (1990) individu berkedudukan
sebagai penilai terhadap dirinya sendiri setiap hari. Penilaian terhadap diri sendiri
adalah pengukuran individu tentang keadaan saat ini dengan apa yang menurutnya
dapat dan terjadi pada dirinya. P1 mengungkapkan bahwa dirinya kurang sabar,
hal ini dikarenakan partisipan dalam mencari pekerjaan dan dengan mudahnya
tergiur untuk melakukan pengedaran narkoba sehingga ia kembali berurusan
dengan hukum, P1 juga menjelaskan dirinya juga kurang bersyukur hal
dikarenakan dia kurang berintrospeksi diri dengan hukuman yang sebelumnya ia
mengatakan jika seharusnya ia lebih harus bersyukur karena hukuman yang
sebelumnya ringan dan tidak terlalu lama bagi dirinya.
23
Menurut Perdana (2017) ketika seorang residivis memiliki penilaian diri
positif. Ia akan mampu menerima segala sesuatu yang ada pada diri sendiri dan
berusaha memperbaiki diri yang sempat mengecewakan kebanyakkan orang
menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Sedangkan setiap ejekkan, cemoohan bahkan
sindiran orang lain menjadi suatu pemicu semangat untuk berubah dan
menjadikannya sebuah motivasi bagi residivis.
Didalam proses mengungkapan aspek pengetahuan dan penilaian
terungkap aspek kognitif didalamnya, kognitif adalah konsep umum yang
mencakup semua bentuk pengenalan, termasuk didalamnya mengamati, melihat,
memperhatikan, memberikan, menyangga, membayangkan, memperkirakan,
menduga, dan menilai (Chaplin dalam Desmita, 2008)
Tak hanya mengungkapkan pengetahuan dalam diri, namun ketiga
partisipan dalam hal ini juga mengungkapkan beberapa aspek psikologis yaitu
emosi apa saja yang di rasakan ketiga partisipan saat diri mereka masuk penjara
untuk kedua kali bahkan lebih. Pada umumnya ketiga partisipan merasa sedih dan
menyesal atas perbuatannya, terlebih bagi P3 yang kehilangan ibunya saat masih
di dalam penjara membuat perasaan menyesal semakin dalam.
Walaupun mereka beberapa kali masuk penjara hal ini tidak menghalangi
mereka untuk mempunyai harapan atas dirinya maupun orang lain seperti
keluarga. Ketiga partisipan mempunyai harapan yang berbeda-beda untuk ke
depannya, khususnya ketika mereka sudah keluar dari penjara. Menurut Rogers
dalam Calhoun & Acocella (1990) Selain individu mempunyai satu set pandangan
tentang siapa dirinya, individu juga memiliki apa yang diharapkan dimasa
mendatang, setiap individu mempunyai pengharapan bagi dirinya sendiri dan
24
pengharapan tersebut berbeda-beda pada setiap individu. Seperti yang diharapkan
oleh P2 ia berharap ini adalah hukuman terakhirnya dan tidak terulang kembali.
Hal lain diungkapkan oleh P3 yang ingin secepatnya mendapatkan pekerjaan
layak dan tidak akan menggunakan narkoba lagi karena sudah sangat menyesal.
Kehilangan ibunya menurut P3 sudah cukup menjadi teguran untuk dirinya. Pada
P1 ia lebih mengungkapkan harapan ke depan untuk keluarganya. Harapan yang
cukup sederhana yaitu makan bersama keluarganya di satu meja makan.
Tak hanya faktor-faktor internal di atas namun ada beberapa faktor
eksternal yang mempengaruhi para narapidana menjadi seorang residivis. Faktor
eksternal yang pertama adalah faktor lingkungan masyarakat, menurut P2 dan P1
warga sekitar rumah mereka seakan tidak peduli dan seolah menganggap masuk
penjara adalah hal yang wajar di lingkungannya, bahkan di lingkungan P1 sudah
mendapatkan label kampung narkoba. Banyak anak-anak muda ditangkap karena
narkoba dan para warga sekitar menganggapnya sesuatu yang wajar. Menurut
Alifia (2008) kondisi lingkungan sosial yang tidak sehat atau rawan, dapat
menjadi faktor terganggunya perkembangan jiwa ke arah perilaku yang
menyimpang yang pada gilirannya terlibat penyalahgunaan/ketergantungan
narkoba. Hal ini sama seperti keadaan lingkungan P1 yang sudah tercemar dengan
narkoba dan menganggap masuk penjara adalah hal yang wajar.
Faktor teman pun mempengaruhi para narapidana menjadi seorang
residivis. Menurut keterangan ketiga partisipan mereka melakukan tindak
kejahatan untuk kedua kali atau lebih karena ketiga partisipan tergiur oleh ajakan
teman yang berada di dalam rutan. seperti P1, menurut keterangan P1 ia mendapat
semua informasi mengenai narkoba dan kepada siapa ia harus bertemu ketika
25
nanti keluar adalaah dari rekan satu kamar P1 sebelumnya. Sama halnya dengan
P3 ia pertama kali mengenal narkoba dari rekan satu kamar terdahulu bahkan
mereka ditangkap secara bersamaan. Tak berbeda dengan P2 dalam melakukan
aksi pencuriannya ia melakukan dengan rekan satu kamar yang ia kenal dari
penjara. Dalam hal ini, pemilihan teman bukan merupakan hal yang remeh karena
sudah dapat dipastikan bahwa teman bergaul sangat mempengaruhi seluruh
kehidupan anak, baik mempengaruhi agama, pandangan hidup, kebiasaan dan
sifat-sifat (Alifah, 2015)
Keluarga kurang harmonis juga menjadi salah satu penyebab seseorang
berperilaku menyimpang. Keluarga yang kurang harmonis dirasa oleh P2 dan P1.
Hubungan keluarga P1 kurang harmonis dikarenakan kurangnya komunikasi
antara dirinya dan kakak laki-lakinya, faktor iri dan perbedaan perilaku orangtua
P1 yang dirasakan membuat P1 ingin membuktikan bahwa dirinya lebih dari
kakaknya, segala upaya ia lakukan untuk membuktikan bahwa dirinya dapat
mencari uang untuk kedua orangtuanya walaupun dengan cara membobol ATM
pada kasus yang pertama dan pengedaran narkoba pada kasus kedua. Hal sama
juga dirasakan oleh P2 namun yang menjadi perbedaan adalah P2 mengalami
ketidak harmonisan dengan kedua orangtuanya. P2 hampir tidak pernah
berkomunikasi dengan kedua orangtuanya, apalagi status ayahnya sekarang adalah
ayah tiri. Hal ini yang mengakibatkan P2 kurang nyaman di rumahnya dan lebih
memilih tinggal bersama tantenya yang berada di Salatiga.
Kondisi keluarga yang tidak harmonis, hubungan saudara kandung dan
orangtua yang bertengkar merupakan salah satu stressor dari lingkungan yang
menyebabkan kedua partisipan mengalami tekanan sehingga berdampak pada
26
sikap kedua partisipan yang mencari ketenangan di luar lingkup keluarga. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Willis (2005) bahwa
tekanan lingkungan terhadap individu dan kelompok menimbulkan stress. Artinya
individu merasakan pukulan hebat terhadap usaha dan tujuannya.
Selain faktor-faktor eksternal di atas kesulitan mencari pekerjaan juga
dialami oleh P2 dan P1. Keduanya sudah mencoba melamar di berbagai tempat
dari warung makan hingga counter pulsa, mereka cukup kesulitan mencari
pekerjaan karena sudah menyandang label mantan narapidana. Menurut Badan
Pusat Statistik (2013), besarnya jumlah angka pengangguran mempunyai
pengaruh sosial yang luas karena mereka tidak memiliki pekerjaan sekaligus tidak
memiliki pendapatan. Maka semakin tinggi jumlah angka pengangguran semakin
tinggi pula tingkat kerawanan sosial yang ditimbulkan, contohnya kriminalitas.
Dampak psikologis menjadi narapidana residivis
Ditemukan tema baru dalam proses pengambilan data, tema tersebut
terkait dengan dampak psikologis yang dialami oleh narapidana residivis tesebut.
Proses pemenjaraan yang dialami oleh para narapidana residivis memberikan juga
dampak psikologis akibat dari pidana penjara jauh lebih berat dibandingkan
pidana penjara itu sendiri, sehingga sebenarnya seorang narapidana tidak hanya
dipidana secara fisik, tetapi juga secara psikologis. Berbagai dampak psikologis
yaitu adanya lost of personal communication atau seseorang akan kehilangan
komunikasi secara personal.
Di Rutan Salatiga mempunyai aturan besuk yang berlaku sehingga para
narapidana dibatasi untuk bertemu dan berkomunikasi baik dengan keluarga,
teman atau dengan lainnya. Ruang besuk yang disediakan oleh pihak rutan pun
27
hanya aula terbuka, tidak ada ruangan khusus antara satu narapidana dengan
narapidana yang lain. Orang-orang yang membesuk pun juga tidak boleh
sembarangan setidaknya mereka harus menunjukan kartu identitas agar pembesuk
diijinkan untuk bertemu dengan para narapidana di dalam termasuk ketiga
partisipan. Waktu yang diberikan juga tergolong sebentar setidaknya sekali kloter
kunjungan hanya satu jam pertemuan. Hal ini sama yang dinyatakan oleh Harsono
(dalam Azani, 2012) bahwa ketika seseorang menjadi narapidana kebebasan
untuk berkomunikasi terhadap siapapun juga dibatasi. Namun walaupun
komunikasi ketiga partisipan dibatasi baik dengan keluarga dan teman dari luar
Rutan, ketiga partisipan masih dapat berkomunikasi dengan teman-teman di
dalam Rutan dan dengan petugas-petugas rutan.
Dampak yang kedua yaitu lost of personality atau kehilangan ciri
kepribadian. Ini tidak serta merta merubah seluruh kepribadian ketiga partisipan,
namun ada beberapa perbedaan dari para partisipan ketika sebelum masuk dan
ketika masih di luar penjara. Hal yang paling menonjol dari perubahan
kepribadian ketiga partisipan ini adalah aspek religiusitas. Ketiga partisipan
mengaku bahwa mereka merasa lebih rajin beribadah ketika di dalam penjara dan
ketika waktu luang pun mereka gunakan untuk mengaji dan sholat sunnah seperti
yang dilakukan oleh P3 dan P1. Bagi P3 sendiri, dirinya merasa lebih bertanggung
jawab di dalam rutan karena memiliki kedudukan sebagai kepala kamar yang
bertugas untuk mengawasi para narapidana lainnya di dalam kamar tersebut.
Menurut Harsono (dalam Azani, 2012) seorang narapidana selama
dipidana akan kehilangan kepribadian diri, identitas diri, akibat peraturan dan tata
cara hidup di Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana selama menjalani pidana,
28
diperlakukan atau hampir sama antara satu narapidana dengan narapidana lainnya.
Kenyataan ini akan membentuk satu kepribadian yang khas pula. Namun ketiga
partisipan tidak sampai kehilangan identitas diri mereka karena penerapan
pembinaan di Rutan Salatiga sendiri masih bersifat kemanusiaan.
Dampak psikologis yang terakhir yaitu lost of security, selama menjalani
pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas. Seseorang yang secara terus
menerus diawasi, akan merasakan kurang aman, merasa selalu dicurigai dan
merasa selalu tidak dapat berbuat sesuatu atau bertindak, karna takut kalau
tindakannya merupakan suatu kesalahan, yang dapat berakibat dihukum atau
mendapat sanksi (Harsono dalam Azani, 2012). Menurut ketiga partisipan Rutan
Salatiga tergolong sangat aman, karena tempat yang sempit juga sehingga apapun
yang dilakukan oleh para narapidana seolah terlihat oleh para petugas. Tak hanya
itu para tamu yang ingin membesuk para narapidana terlebih dulu diperiksa dan
digeledah seluruh tubuhnya. Tidak boleh membawa barang elektronik, makanan
dan minuman berkemasan dan rokok. Semua di simpan di ruang yang disebut
portir. Menurut keterangan ketiga partisipan ketika ada salah satu narapidana yang
sampai ketahuan misal membawa handphone maka sanksi yang akan diberikan
adalah di sel selama satu bulan, artinya narapidana ini tidak boleh keluar dari sel
selama satu bulan dan tidak boleh mengajukan pembebasan bersyarat.
Menurut Harsono (dalam Azani, 2012) pengawasan yang dilakukan
setiap saat, narapidana menjadi ragu dalam bertindak, kurang percaya diri,
jiwanya menjadi labil, salah satu tingkah dan tidak mampu mengambil keputusan
secara baik. Situasi yang demikian dapat mengakibatkan narapidana melakukan
tindakan kompensasi demi stabilitas jiwanya. Padahal tidak seperti kompensasi
29
berdampak positif. Rasa tidak aman di dalam Lembaga Pemasyarakatan akan
tetap terbawa sampai keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, dan baru akan hilang
jika mantan narapidana telah mampu beradaptasi dengan masyarakat. Namun hal
tersebut hanya terlihat pada partisipan P2, ia mengaku bahwa dirinya sudah
sedikit berubah ia lebih senang di dalam kamar dan kurang suka keramaian,
bahkan ketika kunjungan ia lebih memilih di dalam kamar.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
adanya faktor yang melatarbelakangi para partisipan menjadi narapidana residivis.
Faktor tersebut terdiri dari faktor internal dan eksternal. Gambaran yang diperoleh
dari faktor tersebut merupakan kolaborasi antara internal dan eksternal. Diantara
faktor internal yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindakan kriminal
adalah faktor kecanduan, mentalitas instan dan konsep diri. Adapun faktor
eksternal yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindakan kriminal adalah
lingkungan masyarakat, pengangguran, hubungan keluarga yang kurang harmonis
dan pengaruh teman sebaya.
Dampak psikologis yang diperoleh oleh ketiga partisipan dalam
melakukan tindakan kejahatan ini, dampak yang diperoleh oleh ketiga partisipan
adalah: adanya beberapa perubahan dalam diri subjek masalah kedisiplinan waktu
ibadah hal ini karena peraturan di dalam rutan yang berlaku dalam hal beribadah,
kebebasan dalam berkomunikasi. Di dalam rutan sendiri terdapat peraturan,
bahwa seorang narapidana hanya boleh dijenguk pada hari dan durasi yang sudah
ditetapkan oleh pihak rutan.
30
SARAN
Mengakhiri uraian hasil penelitian tentang faktor-faktor yang
melatarbelakangi narapidana menjadi residivis , pentingnya diutarakan beberapa
saran untuk pihak yang terkait:
1. Partisipan
Untuk para partisipan hendaknya lebih sabar dalam mencari pekerjaan,
melatih skill tertentu agar nantinya dapat membuka usaha baru, memulai memilih-
milih teman yang baik dalam bergaul serta meminimalisir kegiatan yang tidak
bermanfaat.
2. Keluarga
Bagi keluarga kendaknya mau menerima kembali anggota dari keluarga mereka
sendiri, karena jika tidak keluarga kepada siapa lagi para mantan narapidana ini
kembali. Menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis. Salah satu upaya yang
dapat ditempuh adalah dengan cara membangun komunikasi yang intens dengan
anak untuk sekedar mendengarkan permasalahan yang dihadapi anak.
3. Masyarakat
Bagi masyarakat, hendaknya dapat saling mendukung untuk menciptakan
lingkungan yang baik. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan
mengadakan kegiatan positif khususnya bagi remaja agar waktu luang yang
dimiliki remaja lebih bermanfaat.
4. Pemerintah dan Pihak Rumah Tahanan Salatiga
Diharapkan instansi tetap mengontrol dengan memberikan pembenahan
psikologis agar subjek siap untuk hidupnya lebih baik ketika telah keluar dari
Rutan. Bekerjasama dengan dinas sosial melakukan pelatihan-pelatihan kerja
31
sederhana seperti salon, bengkel motor, dan sebagainya agar para residivis mampu
menciptakan lapangan kerja sendiri.
5. Penelitian selanjutnya
Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu keterbatasan tempat menjadikan peneliti
tidak bisa menggali data dengan leluasa karena saat wawancara bercampur dengan
para pengunjung, untuk peneliti selanjutnya agar lebih mengkoordinasikan tempat
dengan petugas rutan setempat agar menyediakan waktu dan tempat yang lebih
bersifat privasi agar waawancara berjalan lebih nyaman dan terbuka. Penelitian
selanjutnya dapat dilakukan pada partisipan residivis wanita dengan karakteristik
dan jumlah yang berbeda dengan penelitian ini, dan dapat juga mengambil tema
baru yaitu dinamika psikologis pada narapidana residivis.
32
DAFTAR PUSTAKA
Acocella, J. R., & Calhoun, J. F. (1990). Psychology of adjustment human
relationship (3th ed). New York : McGraw-Hill.
Alifah, A. M., Prihartanti, N., & Rosyidi, I. (2015). Dinamika psikologis
narapidana anak pelaku pembunuhan: Studi kasus di lapas anak Kutoarjo.
Jurnal Indigeous, 13, 9-18.
Alifia, U. (2008). Apa Itu narkotika dan napza. Semarang: PT Bengawan Ilmu.
Alina, Y.M, Sularto, R. B., & Purwoto. (2012 ). Penempatan narapidana di dalam
rumah tahanan dalam konteks sistem penegakan hukum pidana di indonesia.
Diponegoro Law Review. 1, 1-10.
Azani. (2012). Gambaran psychological well-being mantan narapidana. Empathy.
1, 1-18.
Bawengan, G.W. (1991). Pengantar psikologi kriminal. Jakarta: PT. Pradnya
Paramita.
Carvalho, J.R., Bierens, H.J. (2002). A competing risk analysis of recidivism.
Brazil: Federal university of ceara.
Desmita, R. (2008). Psikologi perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Dwiyatmi, H.Sri. (2006). Pengantar hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hagan, F. E. (2013). Pengantar kriminologi: Teori, metode, dan perilaku
kriminal, Jakarta: Kencana.
Jamil, R. Arsyad, M., & Upe, A. (2018). Perilaku konsumeris pengunjung mall
lippo plaza kota Kendari. Neo Societal. 3, 518-525.
Kartono, K. (2013). Patologi sosial. Jakarta: CV Rajawali.
Kartono, K. (2007). Patologi Sosial 1. Jakarta: Raja grafindo persada.
33
Muliadi, S. (2012). Aspek kriminologis dalam penanggulangan kejahatan. Fiat
Justitia Jurnal Ilmu Hukum, 6, 1-11.
Nagib, C. (2014). Studi deskriptif faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
tindak kriminal oleh anak-anak di balai pemasyarakatan Purwokerto. Thesis
(tidak dipublikasikan). Purwokerto: Universitas Muhammadiyah
Purwokerto.
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nurrahma, E. (2013). Perbedaan self esteem pada narapidana baru dan residivis di
lembaga pemasyarakatan klas I malang. Jurnal Psikologi, 1, 1-12.
Pambudi, P., Sularto, R. B., & Wisaksono, B, (2016). Pengaruh sistem pembinaan
di lembaga pemasyarakatan sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana
dengan peningkatan jumlah narapidana residivis (studi di lembaga
pemasyarakatan kelas I Semarang). Diponegoro Law Journal, 5, 1-17.
Perdana, T. S, (2017). Konsep diri residivis di kota Pekanbaru. Jom Fisip, 4, 2-12.
Prasetyo, T. (2010). Hukum pidana, Jakarta: Rajawali Pers.
Simatupang, H.M., & Irmawati. (2006). Dinamika faktor-faktor pada residivis
remaja pria (studi kasus residivis remaja pria di lembaga pemasyarakatan
anak Tanjung Gusta Medan). Jurnal Psikologia, 2, 31-38
Sugiyono. (2012). Memahami penelitian kualitatif, Bandung: Alfabeta
Sugiyono. (2009). Metode penelitian bisnis (Pendekatan Kuantitatif, kualitatif,
dan R&D, Bandung: Alfabeta
Willis, (1994). Problema Remaja dan Pemecahannya. Bandung: PT. Angkasa
34
Yee, Nicholas. (2002). Ariadne – Understanding MMORPG Addiction. Web page,
October 2002. Diakses pada 21 Juni 2018 dari situs
http://www.nickyee.com/hub/addiction/home.html. [internet]
35