Download - ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI JAKSA.docx
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia dalam memberikan jamininan kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hukum tentunya membutuhkan upaya konkret agar terselenggara
dengan seksama sebagai bentuk pertanggung jawaban negara bagi kemakmuran
seluruh rakyat Indonesia. Sehingga Indonesia dikatakan sebagai negara hukum.
Indonesia meletakkan hukum sebagai kekuatan tertinggi berlandaskan Pancasila dan
UUD 1945 yang telah memberikan jaminan bagi seluruh warga negaranya untuk
mendapatkan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berdasarkan atas
kebenaran dan keadilan.
Dalam kehidupan masyarakat tidak terlepas dari hukum, sehingga di dalam
masyarakat selalu ada sistem hukum, ada masyarakat ada norma hukum (ubi
societas ibi ius). Hukum berupaya menjaga dan mengatur keseimbangan antara
kepentingan atau hasrat individu yang egoistis dan kepentingan bersama agar tidak
terjadi konflik. Kehadiran hukum bertujuan untuk menegakkan keseimbangan
perlakuan antara hak perorangan dan hak bersama. Sehingga, secara hakiki hukum
haruslah pasti dan adil sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini
1
menunjukkan pada hakikatnya para penegak hukum (hakim, jaksa, Notaris,
Advokat, dan polisi) adalah pembela kebenaran dan keadilan sehingga para penegak
hukum harus menjalankan dengan itikad baik dan ikhlas, sehingga profesi hukum
merupakan profesi terhormat dan luhur (officium nobile). Oleh karena hal tersebut,
profesional hukum sudah semestinya merasakan profesi ini sebagai pilihan dan
sekaligus panggilan hidupnya untuk melayani sesama di bidang hukum. Namun,
ironisnya para profesi hukum kurang memiliki kesadaran dan kepedulian sosial. Hal
tersebut dapat dilihat dari para pakar hukum menjadi orang-orang sewaan yang
dibayar mahal oleh kliennya, pelayanan hanya diberikan kepada orang-orang yang
berdiut saja.
Salah satu penegak hukum yang saya angkat dalam makalh ini adalah
profesi jaksa. Dimana profesi Jaksa yang memerlukan suatu tanggung jawab baik
individual maupun social terutama ketaatan terhadap norma – norma hukum positif
dan kesediaan untuk tunduk ada kode etik profesi, bahkan merupakan suatu hal
yang wajib sehingga akan memperkuat norma hukum yang sudah ada.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat dirumuskan beberapa pokok masalah yaitu :
1. Bagaimana tanggung jawab Jaksa dalam menjalankan profesinya?
2. Bagaimana Kode Etik Profesi Hukum Jaksa?
2
3. Apakah tugas dan wewenag kejaksaan sesuai Undang – undang 16
Tahun 2004 tentang kejaksaan?
1.3. Tujuan
Tujuan dari pembutan makalah ini yaitu ;
1. Untuk dapat mengetahui tanggung jawab Jaksa dalam menjalankan
profesinya.
2. Untuk dapat mengetahui mengenai Kode Etik Profesi Hukum Jaksa
3. Untuk dapat mengetahui tugas dan wewenang Kejaksaan sesuai Undang –
Undang no.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tanggung jawab Profesi Jaksa
Profesi jaksa sudah ada dan dikenal sejak lama sebelum Indonesia merdeka,
bahkan sebelum ada negara Indonesia. Pada masa Kerajaan Majapahit, jaksa dikenal
dengan ilstilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa. Dhyaksa dikatakan sebagai
pejabat negara yang dibebani tugas untuk menangani masalah-masalah peradilan di
bawah pengawasan Majapahit. Gajah Mada selaku pejabat adhyaksa, sedangkan
dharmadhyaksa berperan sebagai pengawas tertinggi dari kekayaan suci dalam
urusan kepercayaan, dan menjabat sebagai ketua pengadilan. Kata dhyaksa ini
kemudian menjadi jaksa.
Setelah Indonesia merdeka, lembaga jaksa tetap dipertahankan, yakni
dengan mengambil alih peraturan yang pernah berlaku pada masa penjajahan
Jepang.
Jaksa adalah pejabat fungsional dari lembaga pemerintahan, berbeda dengan
hakim, pengangkatan dan pemberhentian jaksa tidak dilakukan oleh kepala negara,
tetapi oleh jaksa agung sebagai atasannya.
4
Agar kejaksaan dapat mengemban kewajibannya dengan baik, maka
berdasarkan Keputusan Jaksa Agung No. Kep-052/J.A/8/1979 ditetapkan pula
tentang Doktrin Adhyaksa Tri Krama Adhyaksa. Doktrin tersebut berunsurkan
Catur Asana, Tri Atmaka, dan Tri Krama Adhyaksa.
Catur Asana merupakan empat landasan yang mendasari eksistensi, peranan,
wewenang, dan tindakan kejaksaan dalam mengemban tugasnya baik di bidang
yustisial, nonyustisial, yudikatif, maupun eksekutif. Landasan idiilnya adalah
Pancasila, landasan konstitusionalnya adalah UUD 1945, dan landasan peraturan
perudangan yang lainnya.
Tri Atmaka merupakan tiga sifat hakiki kejaksaan yang membedakan dengan alat
negara lainnya. Tiga sifat itu adalah tunggal, mandiri, dan mumpuni. Bersifat
tunggal karena kejaksaan adalah satu-satunya lembaga negara yang mewakili
pemerintah dalam urusan pengadilan dan dengan sistem hierarki tindakan setiap
jaksa dianggap sebagai tindakan seluruh korps. Dikatakan mandiri karena kejaksaan
merupakan lembaga yang berdiri sendiri terlepas dari Departemen Kehakiman, dan
mandiri dalam arti memiliki kekuasaan istimewa sebagai alat penegak hukum yang
mewakili pemerintah dalam bidang yudikatif, satu-satunya aparat yang berwenang
mengenyampingkan perkara, menuntut tindak pidana di pengadilan, dan berwenang
melaksanakan putusan pengadilan. Kekhususan ini merupakan ciri khas lembaga
kejaksaan yang membedakan dirinya dari lembaga atau badan penegak hukum
lainnya. Mumpuni menunjukkan bahwa kejaksaan memiliki tugas luas, yang
5
melingkupi bidang-bidang yustisial dan nonyustisial dengan dilengkapi kewenangan
yang cukup dalam menunaikan tugasnya.
Tri Krama Adhyaksa adalah sikap mental yang baik dan terpuji yang harus
dimiliki oleh jajaran kejaksaan, yang meliputi sifat satya, adi, dan wicaksana.
Profesi jaksa adalah sebuah profesi dalam posisi yang sangat penting dalam
penegakan hukum di peradilan. Lembaga kejaksaan secara umum dan jaksa secara
khusus adalah lembaga independen yang mewakili pemerintah dalam hal peradilan.
Kedudukan ini membuat banyak sorotan terhadap kinerja jaksa dalam menjalankan
profesinya.
Profesi Hukum dapat menjadikan kegiatan bisnis dengan segi tujuan berapa
yang harus dibayar bukan berapa yang harus dikerjakan terutama profesi hokum
dibidang pelayanan. Dikarenakan terdesak oleh bisnis karena imbalan atas
pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan nilai kebutuhan yang layak. Tanpa
terkecuali Profesi Jaksa.
Posisi jaksa sangat riskan menghadapi tantangan baik dari internal maupun
tantangan eksternal. Jaksa mudah saja memanfaatkan posisinya untuk mencari
keuntungan pribadi. Ini adalah tantangan eksternal, yang berasal dari luar diri jaksa
dimana pihak-pihak yang sedang dalam perkara dalam peradilan meminta jaksa agar
memberi keringanan dalam tuntutan dengan memberi sejumlah imbalan/hadiah.
Tantangan internal adalah sikap moral, hati nurani, dan perasaan yang dimiliki
jaksa. Seorang jaksa yang tidak memiliki moral dan hati nurani yang baik akan
6
mudah terpengaruh untuk memanfaatkan kondisi tersebut. Sebagai contoh nyata
adalah terungkapnya dugaan penyuapan yang diterima Jaksa Urip Tri Gunawan
yang sedang menangani kasus BLBI. Kasus ini seolah mengungkap betapa carut-
marutnya lembaga kejaksaan dan jaksa yang ada di dalamnya. Betapa tidak,
kedudukan jaksa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi, bukannya
menjaga wibawa negara dan menegakkan nilai-nilai keadilan.
Menjaga idealisme dan etika profesi jaksa berkaitan dengan moral dan hati
nurani seorang jaksa. Peraturan hukum dan undang-undang yang ada hanya sebagai
jalur dan rambu-rambu untuk jaksa dalam melaksanakan tugasnya. Sebagus apapun
peraturan, saat diri pribadi jaksa tidak mempunyai kesadaran yang tinggi untuk
menegakkan nilai-nilai hukum. Sebaliknya, dengan peraturan yang tidak terlalu
banyak namun ada moral dan hati nurani yang baik, peraturan tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik pula. Nilai-nilai hukum dapat ditegakkan dan dijunjung
tinggi.
2.2. Kedudukan Kode Etik Jaksa
Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung
nilai-nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang
apabila nantinya dapat dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa-jaksa
yang memang mempunyai kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya.
Sehingga kehidupan peradilan di Negara kita akan mengarah pada keberhasilan.
7
Sebagai komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum, adalah
tepat jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan
institusinya, sehingga dari perenungan ini, diharapkan dapat muncul kejaksaan yang
berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan, sehingga
kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai
wakil negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum.
Kejaksaan merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari
tuntutan masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih
profesional dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah
rasanya kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini .
Sorotan serta kritik-kritik tajam dari masyarakat, yang diarahkan kepadanya
khususnya kepada kejaksaan, dalam waktu dekat tampaknya belum akan surut,
meskipun mungkin beberapa pembenahan telah dilakukan.
Sepintas lalu, masalah yang menerpa kejaksaan mungkin disebabkan
merosotnya profesionalisme di kalangan para jaksa, baik level pimpinan maupun
bawahan. Keahlian, rasa tanggung jawab, dan kinerja terpadu yang merupakan ciri-
ciri pokok profesionalisme tampaknya mengendur. Sebenarnya, jika pengemban
profesi kurang memiliki keahlian, atau tidak mampu menjalin kerja sama dengan
pihak-pihak demi kelancaran profesi atau pekerjaan harus dijalin, maka
sesungguhnya profesionalisme itu sudah mati, kendatipun yang bersangkutan tetap
menyebut dirinya sebagai seorang profesional. Hal yang kerap memprihatinkan
8
ialah rasa keadilan masyarakat atau keadilan itu sendiri, tidak dapat sepenuhnya
dijangkau perangakat hukum yang ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung
pada aparat penegak hukum itu sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal. Di
sinalah maka penegak hukum itu menjadi demikian erat hubungannya dengan
perilaku, khususnya aparat penegak hukum, antara lain termasuk jaksa. Hukum
bukan sesuatu yang bersifat mekanistis, yang dapat berjalan sendiri. Hukum
bergantung pada sikap tindak penegak hukum. Melalui aktivasi penegak hukum
tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan memenuhi tujuan-tujuan yang
dikandungnya.
Profesionalisme seorang jaksa sungguh sangat penting dan mendasar, sebab
sebagaimana disebutkan di atas, bahwa antara lain di tangannyalah hukum menjadi
hidup, dan karena kekuatan atau otoritas. Mungkin bagi orang yang berpikiran
normatif, ungkapan ini agak berlebihan. Akan tetapi, secara sosiologis hal ini tidak
dapat dimungkiri kebenarannya, bahkan beberapa pakar sosiologi hukum acap
menyebutkan bahwa hukum itu tidak lain adalah perilaku pejabat-pejabat hukum.
Agar keahlian yang dimiliki seorang jaksa tidak menjadi tumpul, maka
kemampuan yang sudah dimilikinya seyogianya harus selalu diasah, melalui proses
pembelajaran ini hendaknya ditafsirkan secara luas, di mana seorang jaksa dapat
belajar melalui pendidikan-pendidikan formal atau informal, maupun pada
pengalaman-pengalaman sendiri. Karena hukum yang menjadi lahan pekerjaan
jaksa merupakan sistem yang rasional, maka keahlian yang dimiliki olehnya melalui
9
pembelajaran tersebut, harus bersifat rasional pula. Sikap ilmiah melakukan
pekerjaan ditandai dengan kesediaan memperguanakan metodologi modern yang
demikian, diharapkan dapat mengurangi sejauh mungkin sifat subjektif seorang
jaksa terhadap perkara-perkara yang harus ditanganinya.
Dalam dunia kejaksaan di Indonesia terdapat lima norma kode etik profesi
jaksa, yaitu:
a. Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri, berani,
bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan di lingkungannya.
b. Mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara aktif dan kreaatif
dalam pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil.
c. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan.
d. Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam
diri, berkata dan bertingkah laku.
e. Mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan
pribadi atau golongan.
Dalam usaha memahami maksud yang terkandung dalam kode etik jaksa
tidaklah terlalu sulit. Kata-kata yang dirangkaikan tidak rumit sehingga cukup
mudah untuk dimengerti. Karena kode etik ini disusun dengan tujuan agar dapat
dijalankan. Kemampuan analisis yang dikembangkan bukan lagi semata-mata
didasari pendekatan-pendekatan yang serba legalitas, positivis dan mekanistis.
10
Sebab setiap perkara sekalipun tampak serupa, bagaimanapun tetap memiliki
keunikan tersendiri. Sebagai penuntut, seorang jaksa dituntut untuk mampu
merekosntruksi dalam pikiran peristiwa pidana yang ditanganinya. Tanpa hal
itu, penanganan perkara tidaklah total, sehingga sisi-sisi yang justru penting
bisa jadi malah terlewatkan. Memang bukan persoalan mudah untuk memahami
sesuatu, peristiwa yang kita sendiri tidak hadir pada kejadian yang
bersangkutan, apalagi jika berkas yang sampai sudah melalui tangan kedua
(dengan hanya membaca berita acara pemeriksaan atau BAP dari kepolisian).
Jika pada tingkat analisis telah menderita keterbatasan-keterbatasan, maka
sebagai konsekuensi logisnya kebenaran yang hendak kita tegakkan tidaklah
dapat diraih secara bulat. Tidak adanya faktor tunggal, menyebabkan setiap
perkara memiliki keunikan sendiri.
Di dalam mengemban profesi, usaha-usaha yang dilakukan oleh jaksa
bukan hanya untuk memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan
hukum semata, melainkan apa yang sesungguhnya benar-benar terjadi dan
dirasakan langsung oleh masyarakat juga didengar dan diperjuangkan. Inilah
yang dinamakan pendekatan sosioligis. Memang tidak mudah bagi jaksa untuk
menangkap suara yang sejati yang muncul dari sanubari anggota masyarakat
secara mayoritas. Di samping masyarakat Indonesia yang heterogen, kondisi
yang melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang tidak sepenuhnya normal.
11
2.3. Tugas dan wewenag kejaksaan sesuai Undang – undang 16 Tahun 2004
tentang kejaksaan
1. Berdasarkan Undang – Undang nomor 16 Tahun 2004
Berdasarkan pasal 6 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 jaksa dalam
pelaksanaan tugasa dan wewenangnya adaalah :
Bertindak untuk atas nama Negara bertanggung jawab sesuai saluran
hirarki
Demi keadilan dan kebenaran yang berdasarkan ketuhanan yang
maha esa, melakukan penuntutan dengan keyakinan yang
berdasarkan bukti yang sah.
Senantiasa bertindak berdasarkan hukum, mengindahkan norma –
norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan
Wajib menggali dan menjujung tinggi nilai – nilai kemausiaan yang
hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan
martabat profesinya.
2. Doktrin Tri Krama Adhyaksa ( KEPJA No.KEP- 030/J.A/3/1988)
Satya adalah kesetiaan yang bersumber dari ras yang jujur, baik
terehadap tuhan yang maha esa, diri pribadi dan keluarga maupun
sesame manusia.
12
Adhi adalah kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama
pemilikan rasa tanggung jawab terhadap tuhan yang maha esa,
keluarga dan sesame manusia.
Wicaksana adalah bijaksana dalam tutur kta dan tingkah laku,
khususnya dalam pengetrapan tugas dan kewenangannaya.
3. Perilaku Jaksa
Seorang jaksa harus dapat mencerminkan tata pikir,tata tutur, tata laku
terpuji sebagaimana tercantum dalam kode etik dan sumpah jabatan, antara
lain :
Memiliki kesungguhan dalam bekerja, berani, adil, tidak
membedakan suku, agama, ras, dan golongan
Dalam melaksanakan tugas jaksa senantiasa memupuk serta
mengembangkan kemampuan professional, intergritas pribadi dan
kedisiplinana yang tinggi
Meghormati adat kebiasaan setempat tercermin dalam sikap dan
perilaku sehari –hari
Dapat menerima kebenaran, bersikap mawas diri, berani bertanggung
jawab dan menjadi teladan dilingkungannya.
Memindakan norma kesopanan dan keputusan dalam menyampaikan
pandangan dan menyalurkan aspirasi profesi
13
Seorang jaksa senantiasa membinadan mengembangkan kader
adhyaksa dengan semangat ing ngarso sung tulodo, ing madyo
mangun karso, tut wuri handayani,
Senantiasa menolak atau tidak menerima atau tidak dipengaruhi oleh
campur tangan siapapun juga.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang – Undang No.16 tahun 2004, “Jaksa adalah
pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang – Undang untuk bertindak
sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang – Undang”
Profesi jaksa adalah sebuah profesi dalam posisi yang sangat penting dalam
penegakan hukum di peradilan.
Dalam dunia kejaksaan di Indonesia terdapat lima norma kode etik profesi
jaksa, yaitu: Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri,
berani, bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan di lingkungannya.,
mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara aktif dan kreaatif dalam
pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil, bersikap adil dalam
memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan, berbudi luhur serta berwatak
mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam diri, berkata dan bertingkah laku dan
mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan pribadi atau
golongan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Bandung : Citra
Umbara, 2004.
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-
067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa Jaksa Agung
Republik Indonesia.
http://blogspot.com/kode-etik-jaksa_files/comment-
iframe.html.
http://myblogspot.com/Tanggung Jawab Profesi Jaksa.html
Supriadi, S.H., Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di
Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.
Dr. Sidharta, SH.,MH., Moralitas PROFESI HUKUM, Bandung :
PT Refika Aditama, 2006.
16