EMPOWERMENT
(Studi Kasus Program Rintisan Desa Inklusi SIGAB Yogyakarta)
Diajukan kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Konsentrasi
EMPOWERMENT KAUM DIFABEL DALAM ARENA PUBLIK
(Studi Kasus Program Rintisan Desa Inklusi SIGAB Yogyakarta)
Oleh :
FAJAR, S.H.I.
NIM: 1420310051
TESIS
Diajukan kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Magister dalam Ilmu Studi Islam
Program Studi Hukum Islam
Konsentrasi Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam
YOGYAKARTA
2016
i
KAUM DIFABEL DALAM ARENA PUBLIK
(Studi Kasus Program Rintisan Desa Inklusi SIGAB Yogyakarta)
Diajukan kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam
ii
iii
iv
v
A
vi
vii
ABSTRAK
Kaum difabel merupakan kelompok masyarakat yang selama ini berada dalam kondisi marginalisasi baik secara struktural maupun secara kultural.Sehingga mereka senantiasa menjadi objek stigma negatif, terpinggirkan, dan teralienasi dari dunia sosial akibat dari biasnya masyarakat dalam memandang atau memahami fakta disabilitas/difabilitas. Oleh karena itu SIGAB selaku NGO/LSM yang bergerak pada bidang advokasi dan pemberdayaan masyarakat mengupayakan dan mengkonstruksi sebuah ide tentang Desa Inklusi dengan bersandar pada pandangan dunia (world view) atau nilai-nilai HAM, difabilitas, dan inklusi untuk membuka ruang bagi difabel agar mampu tampil dalam arena publik untuk menyuarakan, memperjuangkan, dan mengartikulasikan kepentingan-kepentingannya secara mandiri serta ambil bagian dalam proses pembangunan pada level desa. Oleh karena itu, penulis hendak mendalami pemberdayaan (empowerment) kaum difabel dalam arena publik, dalam hal ini pemberdayaan oleh SIGAB Yogyakarta terhadap kaum difabel melalui program Rintisan Desa Inklusi (RINDI).
Adapun masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) nilai-nilai pijakan yang menjadi basis tindakan SIGAB dalam memberdayakan kaum difabel; (2) konstruksi wacana untuk mewujudkan program RINDI; (3) perubahan yang dicapai dalam program RINDI dari aspek struktur signifikasi, dominasi, dan legitimasi; (4) strategi SIGAB dalam melembagakan desa inklusi. Dalam hal ini penulis menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens sebagai pijakan analisis untuk memahami hubungan agen dan struktur.
Penelitiaan ini merupakan jenis riset kualitatif, yakni merupakan suatu pendekatan dalam melakukan riset yang berorientasi pada penomena atau gejala yang bersifat alami. Risetsemacam ini sering disebut dengan Field Studi, atau Studi Observasional. Data-data diperoleh melalui wawacara, observasi, dan penelusuran kepustakaan.
Temuan atau hasil penelitian ini adalah: Pertama, objektifikasi tindakan SIGAB dalam upaya memberdayakan kaum difabel mengacu kepada tiga pandangan dunia, yaitu pandangan dunia Hak Asasi Manusia (HAM), difabilitas, dan inklusifitas.Kedua, peran SIGAB mewujudkan RINDI sebagai berikut: pewacanaan melulai temu iklusi, membangun perpestif difabilitas pada level desa, kecamatan dan kabupaten, advokasi/audiensi kepada pemerintah dari level sampai kabauten, dan organisir aktor difabel desa.Ketiga,perubahan itu mencakup, aspek struktur signifikasi, dominasi, dan legitimasi. Dari aspek struktur signifikasi, label atau penyebutan “penyandang cacat” berubah menjadi istilah “difabel” yang berarti keragaman manusia dan keberbedan kemampuan. Dari aspek struktur dominasi, keberadaan difabel sudah mulai diakui dengan pelibatan dan pasrtisipasi difabel dalam proses pengambilan kebijakan dan penganggaran di lingkup pemerintah desa.Aspek legitimasi memberikan peluang bagi kaum difabel andil dalam pembangunan desa.Keempat, pelembagaan desa inklusi dilakukan agar tercipta suatu arus tindakan (praktik sosial) yang berorientasi pada nilai inklusi dan difabilitas.
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158/1987 dan 0543b/U/1987, tanggal 22
Januari 1988.
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab
Nama Huruf Latin Keterangan
ا alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan ب ba’ B Be ت ta’ T Te ث sa Ś es (dengan titik atas) ج jim J Je ح h ḥ ha (dengan titik bawah) خ kha’ Kh ka dan ha د dal D De ذ zal Ż ze (dengan titik di atas) ر ra’ R Er ز zai Z Zet س sin S Es ش syin Sy es dan ye ص sad Ş es (dengan titik di bawah) ض dad ḑ de (dengan titik di bawah) ط ta’ Ţ te (dengan titik di bawah) ظ za’ ẓ zet (dengan titik di bawah) ع ’ain ‘ koma terbalik di atas غ gain G Ge ف fa’ F Ef ق qaf Q Qi ك kaf K Ka ل lam L ’el م mim M ’em ن nun N ’en و waw W W ha’ H Ha ھـء hamzah ’ Apostrof ي ya’ Y Ye
ix
B. Konsonan Rangkap karena Syaddah Ditulis Rangkap
مـتعّددة عّدة
ditulis ditulis
Muta‘addidah ‘iddah
C. Ta’ marbutah
1. Bila dimatikan ditulis h
Semua ta’ marbutah ditulis dengan h, baik berada pada akhir kata
tunggal ataupun berada di tengah penggabungan kata (kata yang diikuti oleh
kata sandang “al”). Ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang
sudah terserap dalam bahasa indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya
kecuali dikehendaki kata aslinya.
حكمة علّـة
كرامةاألولیاء
ditulis ditulis ditulis
ḥikmah ‘illah
karâmah al-auliyâ’
2. Bila ta’marbutah hidup atau dengan harkat, fathah, kasrah, dan dammah ditulis
t
Ditulis zakâtul fiṭri زكبة انفطر
D. Vokal Pendek dan Penerapannya
---- َ◌--- ---- ِ◌--- ---- ُ◌---
Fathah Kasrah
Dammah
ditulis ditulis ditulis
a i u
فَعل ُذكر
یَذھب
Fathah Kasrah
Dammah
ditulis ditulis ditulis
fa‘ala żukira
yażhabu
x
E. Vokal Panjang
1. fathah + alif جاھلـیّة
2. fathah + ya’ mati تَـنسى
3. Kasrah + ya’ mati كریـم
4. Dhammah + wawu mati فروض
ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis
â jâhiliyyah
â tansâ
î karîm
û furûḑ
F. Vokal Rangkap
1. fathah + ya’ mati بـینكم
2. fathah + wawu mati قول
ditulis ditulis ditulis ditulis
ai bainakum
au qaul
G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan Apostrof
أأنـتم اُعّدت
لئنشكرتـم
ditulis ditulis ditulis
a’antum u‘iddat
la’in syakartum
H. Kata Sandang Alif + Lam
1. Bila diikuti huruf Qamariyyah maka ditulis dengan menggunakan huruf awal“al”
القرأن القیاس
ditulis ditulis
al-Qur’ân al-Qiyâs
2. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis sesuai dengan huruf pertamaSyamsiyyah tersebut
الّسماء الّشمس
ditulis ditulis
as-Samâ’ asy-Syams
I. Penyusunan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat
Ditulis menurut penyusunannya
ذو�الفروضأھل السنّة
ditulis ditulis
żawî al-furûḑ ahl as-sunnah
xi
KATA PENGANTAR
Puji Syukur alhamdulillah penulis senantiasa panjatkan ke hadirat Allah
SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan sebuah karya kecil berupa tesis yang berjudul “Empowerment
Kaum Difabel dalam Arena Publik: Studi Kasus Program RINDI SIGAB
Yogyakarta”. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada
Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sholawat dan salam
penulis sanjungkan kepada nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun umat
manusia dari kebodohan menuju ilmu pengetahuan untuk kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat.
Selama penyusunan, penulis mengalami banyak hambatan yang
menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan tesis ini, namun berkat
bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-
kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu, segala kerendahan hati, pada
kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada:
1. Kedua Orang Tuaku tercinta, Ayahanda Wajadu (almarhum) dan Ibunda
Hajerang yang telah melahirkan, mendidik, membesarkan, mengarahkan serta
mendoakan ananda dengan tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan tesis ini dan tidak pernah berhenti memberikan dukungan kepada
penulis, baik bersifat materil maupun non materil selama berjalannya tesis ini
demi kesuksesan penulis.
MOTTO
“Sebuah Cinta Sejati Jika Kita Mampu Melampauai Kedirian Menuju Kepada Dia dan Mereka”
“Aku Ada Karena Aku Bebas Memilih”
“Orang Adil Tidak Mensyaratkan Ketuhanan, Sedang Orang Yang Bertuhan Mensyaratkan Keadilan Secara Mutlak, Jika Tidak, Maka
Ia Telah Kehilangan Tuhan Pada Dirinya”
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... ii
BEBAS PLAGIASI ..................................................................................... iii
PENGESAHAN DIREKTUR .................................................................... iv
PERSETUJUAN TIM PENGUJI ............................................................... v
NOTA DINAS PEMBIMBING ................................................................. vi
ABSTRAK .................................................................................................. vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................. viii
KATA PENGANTAR ................................................................................. xi
MOTTO ...................................................................................................... xiv
DAFTAR ISI ............................................................................................... xv
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xviii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………….. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………. 6
D. Kajian Pustaka …………………………………………………… 7
E. Kerangka Teori …………………………………………………… 11
F. Metode Penelitian ………………………………………………... 19
G. Sistematika Pembahasan …………………………………………. 22
BAB II GAMBARAN UMUM SIGAB, KONTESTASI MAKNA
DIFABILITAS, NILAI PIJAKAN PEMBERDAYAAN DIFABEL
A. Gambaran Umum Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel ……. 24
1. Sejarah Singkat ………………………………………………. 24
2. Visi, Misi dan Nilai-nilai ……………………………………. 28
3. Aktivitas organisasi ………………………………………….. 28
xv
4. Struktur Organisasi ………………………………………….. 31
B. Kontestasi Makna Difabilitas …………………………………… 32
1. Pendekatan Medical Model …………………………………. 32
2. Pendekatan Sosial Model ……………………………………. 40
3. Pendekatan HAM atau Sosial Politik ……………………….. 44
C. Nilai Pijakan Pemberdayaan Difabel ……………………………. 49
1. Hak Asasi Manusia …………………………………………... 49
2. Konsepsi Difabilitas ………………………………………….. 56
3. Konsepsi Inklusifitas …………………………………………. 65
BABIII: TINJAUAN ASPEK REGULASI DAN KONSTRUKSI
WACANA DALAM ARENA PUBLIK
A. Tinjauan aspek regulasi …………………………………………... 69
B. Konstruksi Wacanadalam Arena Publik ………………………… 86
1. Mematangkan Konsep Desa Inklusi …………………………. 89
2. Aksi Diskursif dalam Arena Publik ………………………….. 98
3. Membangun Perspektif Difabilitas …………………………… 104
4. Advokasi di Level Desa, Kecamatan dan Kabupaten ………. 107
5. Organisir Aktor Difabel Desa ………………………………… 112
BAB IV: CAPAIAN PERUBAHAN, PELEMBAGAAN DESA INKLUSI,
DINAMIKA DAN PROBLEMATIKA DALAM IMPLEMENTASI
PROGRAM RINTISAN DESA INKLUSI
A. Capaian Perubahan dalam Program Rintisan Desa Inklusi dari
Aspek Struktur Signifikasi, Dominasi dan Legitimasi …………. 117
B. Pelembagaan Desa Inklusi ………………………………………. 140
1. Aktor Lokal ………………………………………………….. 142
2. Organisasi Difabel Sendangtirto (ODS) …………………….. 144
3. Fasilitator Desa Inklusi ………………………………………. 147
4. Kader Desa Inklusi …………………………………………… 147
5. Sistem Informasi Desa ……………………………………….. 149
6. Peraturan Desa (Perdes) ……………………………………… 151
C. Dinamika dan Problematika dalam Implementasi Rintisan Desa
Inklusi ……………………………………………………………. 166
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ………………………………………………………. 174
B. Saran ……………………………………………………………… 178
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 179
LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………………………. 183
DAFTAR RIWAYAT HIDUP …………………………………………… 188
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Unsur Pimpinan & Anggota SIGAB ………………………… 199
Tabel 2. Daftar Pengurus ODS, fasilitator & Kader Desa ……………. 130
Tabel 3 Aksesibilitas Bangunan Fisik …………………………………. 134
Tabel 4. Perubahan & Capaian Program Rintisan Desa Inklusi ……. 136
Tebel 5. Indikator Desa Inklusi………………………………………….. 164
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Skema teori strukturasi ……………………………………… 17
Gambar 3. Aksesibilitas Fasilitas Publik ……………………………….. 131
Gambar 3. Akesibilitas Fasilitas Publik ………………………………… 133
xviii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berubahnya paradigma pembangunan nasional ke arah demokratisasi dan
desentralisasi, menumbuhkan kesadaran yang luas tentang perlunya peran serta
masyarakat dalam keseluruhan proses dan program pembangunan. Pemberdayaan
dan partisipasi muncul sebagai dua kata yang banyak diungkapkan ketika
berbicara tentang pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan dalam paradigma
demokrasi, menicayakan pemberdayaan masyarakat secara keseluruhan, dimana
kebebasan dan persamaan hak dalam ruang publik menjadi basis untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak politiknya
serta andil dalam proses pembangunan. Melalui tatatan demokrasi ini – dengan
semangat iklusifitas dan partisipatif yang ada padanya, sangat memungkinkan
mewujudkan pemberdayaan dan partisipasi penuh masayarakat dalam ruang
publik, untuk mendorong terciptanya masyarakat yang berdaya saing serta
mandiri secara sosial, ekonomi, dan politik.
Oleh karena itu, tatanan politik demokrasi yang berorientasi pada
inklusifitas tersebut – sangat dibutuhkan sebagai instrumen pemberdayaan
masyarakat sipil (civil society). Karena berdayanya civil society memiliki
koherensi terhadap tegaknya fungsi HAM. Sedangkan pengakuan terhadap Hak
Asasi Manusia (HAM), membawa konsekuensi nyata akan adanya pengakuan
terhadap kebebasan, persamaan, dan keadilan bagi seluruh warga negara tanpa ada
pengecualian sedikit pun. Maka iklim politik demokrasi menjadi sangat relevan
2
berdampingan dengan pemberdayaan masayarakat (termasuk dalam hal ini
pemberdayaan kaum difabel dalam ruang publik). Ruang publik yang dimaksud
disini adalah ruang yang memiliki fungsi politis, dimana para warga negara
berpartisipasi dalam mengawasi jalannya pemerintahan – serta melakukan aksi
sosial, diskusi-diskusi, berkumpul dan musyawarah untuk mengartikulasikan dan
mempertemukan kepentingan-kepentingan mereka sehingga tercapai suatu
kesepekatan bersama yang menjadi representasi dari kepentingan masyarakat
secara umum.
Maka disini, dibutuhkan suatu konsep empowerment (pemberdayaan) yang
pada dasarnya adalah bagian dari upaya untuk membentuk suasana kemanusiaan
yang adil dan beradab secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga,
masyarakat, negara, regional, internasional, maupun dalam bidang sosial, politik,
ekonomi dan lain-lain. Maka upaya perberdayaan masyarakat secara umum sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan harkat dan martabat seluruh lapisan masyarakat
yang dalam konteks hari ini, masih ada sebagian besar masyarakat yang belum
mampu melepaskan diri dari perangkap keterbelakangan akibat dari sistem sosial
dan praktek politik yang masih bernuansa diskriminatif.
Konsep pemberdayaan (empowerment) merupakan upaya untuk
memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam
suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat menyelesaikan
tugasnya sebaik mungkin. Pemberdayaan dapat juga dipahami sebagai upaya
distribusi kekuasaan yang adil sehingga meningkatkan kesadaran politis dan
3
kekuasaan pada kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka
terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan.
Menurut Sumodiningrat dan Gunawan (2002) sebagaimana dikutip Agus
Purbathin Hadi, Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide
pemberdayaan memiliki dua kecenderungan, antara lain: pertama, kecenderungan
primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian
kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu
menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya
membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka
melalui organisasi; dan kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan
yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong atau
memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk
menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dua
kecenderungan tersebut memberikan (pada titik ekstrem) seolah berseberangan,
namun seringkali untuk mewujudkan kecenderungan primer harus melalui
kecenderungan sekunder terlebih dahulu.1
Namun tidak sedikit – untuk tidak mengatakan masih banyak kebijakan
dan implementasi pemberdayaan masyarakat yang dicanangkan oleh pemerintah
belum menyentu seluruh lapisan masyarakat secara keseluruhan dan tentunya
tidak salah jika dikatakan belum tepat sasaran. Salah satu kelompok masyarakat
yang seringkali terabaikan hak-haknya oleh pemerintah adalah kaum difabel2,
1 Agus Purbathin Hadi, “Konsep Pemberdayaan, Partisipasi dan Kelembagaan dalam
Pembangunan”, Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA), hlm. 2. 2 Istilah “difabel” merupakan istilah resmi untuk menggantikan kata “cacat” sejak 1998.
Rujukan akronim difabel merupakan kepanjangan dari frasa different ability people (masyarakat
4
yang mana sampai saat ini kaum difabel masih menjadi masyarakat kelas dua,
yang selalu menjadi korban diskriminasi secara sosial mapaun secara struktural.
Alienasi serta subordinasi kaum difabel secara sosial seringkali kita temui dalam
kehidupan sehari-hari, ditambah kebijakan pemerintah yang juga seringkali tidak
tepat sasaran serta bias normalitas-difabilitas. Dalam artian bahwa kabijakan
pemerintah belum menyentu secara universal aspek-aspek difabilitas yang
notabene menjadi harapan dan cita-cita kaum difabel.
Aspek difabilitas yang dimaksud di atas adalah terwujudnya aksesibilitas
atas seluruh aspek dan sendi kehidupan, termasuk dalam hal ini, akses ekonomi,
akses sosial-politik, akses pendidikan, maupun akses ruang umum (sarana dan
prasarana publik) untuk mempermudah ruang gerak atau mobilitas kaum difabel
dalam menjalani aktivitas dan kehidupan sosialnya. Maka kehidupan yang
aksesibel bukan hanya milik kelompok normalitas (non-difabel), namun
aksesibilitas segala sendi atau aspek kehidupan itu juga seharusnya
mengakomodir kelompok difabel yang notabene juga sebagai warga negara yang
sah, yang sudah selayaknya diperlakukan setara dengan non-difabel. Disini
pemerintah dituntut untuk menempatkan seluruh rakyatnya secara equality
(setara), tanpa terkecuali kaum difabel.
Di beberapa tempat, pemberdayaan kaum difabel dala ruang publik sudah
mulai digalakkan, hal tersebut merupakan buah dari hasil perjuangan yang terus-
berdaya beda). Difabel ialah orang yang menjalankan kegiatan hidup dengan kondisi fisik dan atau mental yang berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. Kondisi seperti ini bisa datang dari bawaan sejak lahir atau muncul saat dewasa sebagai akibat dari suatu penyakit, malnutrisi, kecelakaan atau sebab lain yang mengakibatkan salah satu fungsi fisik dan mentalnya tidak berfungsi semestinya. Lihat Benni Indo, “Urgensi Kesadaran Kolektif Tentang Hak Difabel” (Artikel) http://solider.or.id, diakses: 12 Oktober 2015.
5
menerus dilakukan oleh kaum difabel melalui organisasi-organisasi yang secara
sektoral bergerak pada pemberdayaan kaum difabel (difabel society). Dimana
dalam hal ini, kaum difabel mengorganisir diri mereka kedalam berbagai varian
organisasi semisal Ormas, LSM-NGO, dan beberapa Yayasan Kedifabelan yang
secara sektoral bergerak pada pemberdayaan kaum difabel. Bukti konkret
pemberdayaan tersebut dapat kita lihat dengan berdiriya Pusat Layanan Difabel
(PLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, rintisan Desa Inklusi yang dipelopori
oleh organisasi Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) di Kabupaten
Sleman dan Kulon Progo, serta pelibatan kaum difabel dalam Musrembang baik
pada tingkat Desa maupun pada tingkat Kecamatan. Hal tersebut dapat kita
pahami sebagai bagian dari upaya untuk menekankan eksistensi politis kaum
difabel dalam ruang publik – termasuk dalam hal ini akses ke otoritas pemegang
kebijakan guna untuk mempengaruhi kebijakan publik.
Oleh karena itu, penelitian tentang pemberdayaan kaum difabel dalam
arena publik menjadi sengat relevan dan menarik, mengingat eksistensi kaum
difabel yang semakin hari semankin kuat, baik secara organisasional maupun
secara sosial-politik. Dimana dulunya kaum difabel termarjinalkan secara sosial,
ekonomi dan politik – kini mereka memiliki modal sosial dan modal politik
dengan sokongan organisasi yang rapi dan terorginisir, yang mana organisasi-
organisasi tersebut menjadi wadah penyaluran aspirasi, agregasi, dan artikulasi
kepentingan-kepentingan politik kaum difabel.
Jadi, penelitian ini akan difokuskan pada proses pemberdayaan kaum
difabel dalam arena publik melalui Desa Inklusi yang dirintis oleh organisasi
6
SIGAB di Kabupaten Sleman tepatnya di dua Desa, yaitu Desa Sendangadi dan
Desa Sendangtirto, dalam hal ini akan ditinjau bentuk-bentuk pemberdayaan, serta
strategi pemberdayaannya. Wacana dan praksis Desa Inklusi, dalam pada ini
dipahami sebagai wacana yang berorientasi politis, maka Desa Inklusi ini
diasumsikan akan melahirkan pakta kuasa menuju kesetaraan politik, sehingga
pemberdayaan tersebut membuka ruang bagi kaum difabel untuk andil dalam
kontestasi politik pada arena publik. Demikian fokus permasalahan yang akan
menjadi objek kajian penulis.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas dapat ditarik beberapa pokok
permasalahan yang akan menjadi fokus kajian penulis yaitu sebagai berikut:
1. Apa nilai pijakan yang menjadi basis tindakan SIGAB dalam
memberdayakan kaum difabel dalam arena publik?
2. Bagaimana SIGAB mengkonstruksi wacana di dalam arena publik untuk
mewujudkan program RINDI?
3. Apa perubahan yang dicapai dalam program RINDI dari aspek struktur
signifikasi, dominasi dan legitimasi?
4. Bagaimana strategi SIGAB melembagakan desa inklusi untuk menjaga
sustainabilitas program RINDI?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui proses pemberdayaan kaum difabel dalam arena publik.
7
b. Untuk memberikan penjelasan secara mendalam tentang tentang bentuk-
bentuk dan strategi pemberdayaan kaum difabel baik secara sosial maupun
secara politik.
c. Untuk menjelaskan motiv dan cita-cita politik dibalik pemberdayaan
politik kaum difabel.
2. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi akademik dalam
pengembangan kajian tentang pemberdayaan kaum difabel di Indonesia
secara umum dan Yogyakarta secara khusus.
b. Sebagai tambahan khasana keilmuan mengenai kajian tentang kaum difabel
yang sudah ada sebelumnya.
c. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan bagi peneliti
berikutnya yang mengangkat tema yang sama.
D. Kajian Pustaka
Berdasarkan penelusuran penulis, kajian tentang tema atau wacana
difabilitas sudah banyak dilakukan, namun disini penulis akan mengambil
beberapa tulisan atau penelitian yang secara teoretis relevan dengan kajian
penulis. Berikut beberapa penelitian-penelitian tersebut:
Salah satunya adalah penelitian Abdullah Fikri, dalam tesisnya,
“Eksperimentasi Membangun Demokrasi Inklusif: Studi Kasus terhadap
Akseptabilitas Gusdur dalam Ruang Politik Indonesia”. Kajian ini fokus pada dua
permasalahan: Pertama, Akseptabilitas Gusdur sebagai difabel dalam ruang
8
politik Indonesia; Kedua, Konstruksi demokrasi inklusif bagi kaum difabel
berbasis nilai islam dalam konteks Indonesia.3
Abdullah Fikri berkesimpulan bahwa akseptabilitas Gusdur dalam politik
Indonesia merupakan hasil dari konsolidasi ashobiyah elit politik. Meskipun
Gusdur mengalami difabilitas, namun, hal itu tidak menghambat akseptabilitasnya
dalam ruang politik Indonesia. Dengan mengabaikan difabilitas yang dialami
Gusdur, dan lebih mendasarkan pada kemampuan personalnya untuk memimpin
bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia telah memulai (melakukan
eksperimentasi) untuk mewujudkan demokrasi inklusif, khususnya dalam ranah
politik. Sedangkan konstruksi demokrasi inklusif berbasis nilai islam konteks ke-
Indonesia-an didasarkan atas lima pilar, yaitu: (1) humanisasi, (2) liberasi, (3)
transendensi (misi sosial profetik), (4) inclusive society (hasil dari penerapan misi
sosial profetik), (5) asintant system (bentuk aplikatif dari penerapan demokrasi
inklusif, yang dapat diformulasikan ke dalam tata aturan perundang-undangan).
Menurut fikri, kelima pilar tersebut relevan dengan kondis bangsa Indonesia, yang
memiliki dasar Pancasila dalam bernegara dan memiliki penduduk mayoritas
muslim.4
Selanjutnya penelitian Sakinah Nadir, “Otonomi Daerah Dan
Desentralisasi Desa: Menuju Pemberdayaan Masyarakat Desa”, dalam Jurnal
Politik Profetik Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013. Penelitian ini fokus pada dua
hal: pertama, Pelaksanaan Otonomi Desa secara umum serta beberapa hal terkait
3 Abdullah Fikri, “Eksperimentasi Membangun Demokrasi Inklusif: Studi Kasus terhadap
Akseptabilitas Gusdur dalam Ruang Politik Indonesia”, (Tesis Magister, Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2015), hlm. vii.
4 Ibid.
9
kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah yang dapat mendorong sekaligus
memfasilitasi upaya pemberdayaan masyarakat desa menuju masyarakat Desa
yang lebih demokratis; kedua, respon masyarakat Desa terhadap berbagai upaya
berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat Desa melalui berbagai Peraturan
Daerah.
Hasil penelitian ini menunjukkan, Kewenangan besar yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan kebijakan
Otonomi Daerah, dapat memberikan peluang bagi tumbuh dan berkembangnya
nilai-nilai local. Pemerintah Daerah menganggap bahwa Otonomi Desa
merupakan bagian Integral dari pelaksanaan Otonomi Daerah. Akibatnya
masyarakat Desa kemudian tetap tersubordinasi dengan kekuatan besar yang
berada di luarnya yakni pada Pemerintah Daerah, tanpa posisi tawar yang
memadai. Dalam kondisi yang demikian, amat sulit bagi kita untuk
membayangkan akan hadirnya pemberdayaan bagi masyarakat Desa melalui
Otonomi Desa.5
Menurut Sakinah Nadir, Seharusnya Otonomi Desa memberikan
kewenangan yang luas kepada Pemerintah Desa bersama-sama dengan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) untuk mengambil inisiatif dalam merencanakan
dan melaksanakan Pembangunan diwilayahnya sesuai dengan kondisi dan aspirasi
masyarakatnya. Dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas
pelayanan kepada masyarakatnya, melalui berbagai peraturan desa.6 Kehadiran
lembaga BPD menunjukan sebuah skema menyangkut pemisahan antara lembaga
5 Sakinah Nadir, “Otonomi Daerah Dan Desentralisasi Desa: Menuju Pemberdayaan
Masyarakat Desa”, Jurnal Politik Profetik Volume 1 No. 1, Tahun 2013, hlm. 97. 6 Ibid., hlm. 94.
10
legislatif desa yang diwakili oleh BPD dengan pihak eksekutif yakni kepala Desa
serta para perangkatnya. Artinya dengan skema ini, posisi Pemerintahan di Desa
akan mengarah kepada kondisi Check and balance diantara kedua lembaga
penting desa tersebut.7
Terakhir, penelitian Otho H. Hadi, “Peran Masyarakat Sipil dalam Proses
Demokratisasi”, dalam Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 14, No. 2,
Desember 2010. Penelitian ditujukan untuk mengidentifikasi permasalahan yang
dihadapi oleh organisasi masyarakat sipil dalam mengimplementasikan perannya
terkait dengan aspek enabling environment (faktor eksternal) dan kapasitas
organisasi serta pengembangan karakter (faktor internal), memperoleh gambaran
mengenai profil perkembangan masyarakat sipil dalam konteks kontribusi peran
sebagai aktor penting pemajuan demokrasi, dan menyusun rekomendasi kebijakan
terkait dengan kontribusi dan peningkatan peran masyarakat sipil dalam proses
konsolidasi demokrasi di Indonesia.8
Hasil studi ini menunjukkan bahwa: (1) hubungan Negara – masyarakat
sipil di Indonesia sangat dipengaruhi oleh konteks lokal (budaya masyarakat dan
budaya politik), karakter organisasi masyarakat sipil (SDM dan manajemen,
finansial, model gerakan, jaringan), dan dinamika ekonomi politik lokal dan
nasional; (2) organisasi masyarakat sipil memiliki potensi penting bagi proses
konsolidasi demokrasi di Indonesia; (3) peran masyarakat dalam mendorong
7 Ibid., hlm. 97. 8 Otho H. Hadi, “Peran Masyarakat Sipil dalam Proses Demokratisasi”, Jurnal Makara,
Sosial Humaniora, Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Indonesia, Vol. 14, No. 2, Desember 2010, hlm. 177.
11
perkembangan LSM/organisasi masyarakat sipil di Indonesia cukup signifikan.9
Pada seluruh daerah penelitian ditemukan adanya respon yang positif dari
masyarakat, dimana tidak ditemukan adanya kasus-kasus benturan antara aktivitas
yang dilakukan oleh LSM dan organisasi masyarakat sipil dengan komunitas
tertentu di daerah.10
Berdasarakan kajian kepustakaaan di atas, penulis melihat bahwa kajian
tentang pemberdayaan kaum difabel dalam arena publik – dalam hal ini
pemberdayaan melalui wacana dan praksis Desa Inklusi yang dirintis oleh SIGAB
belum pernah dilakukan. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis akan
memfokuskan kajian pada aspek pemberdayaan dalam arena publik, yang akan
berbicara masalah proses dan bentuk-bentuk pemberdayaan dalam praksis Desa
Inklusi, yang mana pemberdayaan tersebut diasumsikan berorientasi politis
menuju pelibatan kaum difabel dalam arena publik.
E. Kerangka Teori
Berbicara tentang desa inklusi, tentunya kita akan tertuju pada dua
dimensi, yaitu dimensi teoritis (pandangan dunia) dan dimensi praktis
(objektifikasi konsepsi/ide inklusi ke dalam praktik sosial). Jadi, desa inklusi
tersebut bisa dilihat sebagai sebuah wacana, juga bisa disebut sebagai praksis.
Sebagai sebuah wacana ia adalah konsep yang dibaliknya terdapat pandangan
dunia (ideologi) dan kerangka epitemologi tertentu yang menjadi suatu tujuan
ideal kelompok difabel. Sedangkan sebagai praksis, desa inklusi dapat dilihat
sebagai praktik sosial politik yang berorientasi pada budaya sosial politik yang
9 Ibid. 10 Ibid., hlm. 128.
12
menghargai keragaman kemapuan yang disebut dengan nilai difabilitas, ia juga
berorientasi pada kesetaraan setiap warga negara dalam hal akses ruang publik,
itulah yang disebut dengan nilai inklusi.
Ruang publik dikontruksi untuk memberikan andil kepada kelompok
difabel agar mampu berpartisipasi dan mengartikulasikan kepentingan-
kepentingannya.
Oleh karena ia berorientasi pada suatu nilai dan ideologi tertentu, maka
penelitian ini akan diarahkan pada sejauh mana aktor atau agen sosial
memproduksi dan mereproduksi suatu tindakan tertentu sehingga menghasilkan
sebuah praktik sosial yang berbeda dari kebiasaan umum masyarakat. Singkatnya
penelitian ini akan melakukan telaah mendasar relasi agen dan struktur dalam
menciptakan suatu tatanan baru diluar dari bangunan struktur yang lama. Jadi,
akan difokuskan pada perubahan perspektif yang kemudian berdampak pada
perubahan perilaku masyarakat dan pemerintah, sehingga berdampak pada
perwujudan atau implementasi Program RINDI.
Tentunya berbicara tentang agen dan struktur atau hubungan agen dan
struktur dalam gugus perilaku sosial – kiranya kita akan tertuju pada konsep atau
teori strukturasi Anthony Giddens. Strukturasi merupakan konsep sosiologi utama
Giddens sebagai kritik terhadap teori fungsionalisme dan evolusionalisme dalam
teori strukturalisme. Inti teori strukturasi terletak pada tiga konsep utama yaitu
tentang “struktur”, “sistem”, dan “dualitas struktur”.
Menurut teori strukturasi, domain dasar kajian ilmu-ilmu sosial bukanlah
pengalaman aktor individu, maupun keberadaan bentuk apapun totalitas
13
kemasyarakatan, namun merupakan praktek-praktek sosial yang ditata menurut
ruang dan waktu. Aktivitas-aktivitas sosial manusia, seperti halnya hakikat butir-
butir reproduksi diri, bersifat rekursif. Tujuan aktivitas-aktivitas sosial itu tidak
dilaksanakan oleh aktor-aktor sosial melainkan secara terus menerus mereka
ciptakan melalui alat-alat yang mereka gunakan mengekspresikan dirinya sendiri
sebagai aktor-aktor. Pada dan melalui aktivitas-aktivitasnya, agen-agen
mereproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan dilakukannya aktivitas-
aktivitas.11 Dalam hal ini SIGAB, selaku aktor mereproduksi suatu tindakan untuk
menciptakan sebuah tatanan sosial yang disebutnya sebagai masyarakat inklusi.
Untuk menciptakan tatanan masyarakat inklusi, SIGAB meng-konstruksi
suatu ide atau gagasan lalu diobjektifikasi ke dalam praksis sosial, yaitu melalui
program Rintisan Desa Inklusi (disingkat RINDI). Program tersebut dikonstruksi
untuk mereproduksi bangunan struktur lama sehingga memunculkan praktik sosial
inklusif, suatu praktik sosial yang menekankan partisipasi serta pembauran antara
difabel dan non-difabel dalam ruang publik yang berlandaskan pada konsepsi
difabilitas dan inklusifitas. Yaitu sebuah tatanan dimana setiap masyarakat
diperlakukan sama dan setara dengan masyarakat lainnya tanpa ada diskriminasi
dan alienasi masyarakat tertentu di dalamnya, utamanya kelompok menoritas
seperti masyarakat difabel.
Menurut Giddens, menjadi manusia berarti menjadi agen pelaku bertujuan,
yang keduanya memiliki alasan-alasan atas aktivitas-aktivitasnya dan mampu, jika
11 Anthony Giddens, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial,
terj. Adi Loka Sujono, Cet. 4 (Yogyakarta: Pedati, 2011), hlm. 3.
14
diminta, menguraikannya secara berulang alasan-alasan itu.12 Lanjut Giddens,
agensi berurusan dengan peristiwa-peristiwa yang pelakunya seseorang,
maksudnya individu itu dalam sembarang fase dalam suatu rangkaian perilaku
tertentu, seseungguhnya bisa bertindak secara berbeda. Apapun yang terjadi tidak
akan pasti jika individu itu tidak campur tangan. Tindakan merupakan suatu
proses yang berkesinambungan, suatu aliran, di mana monitoring refleksif yang
dipertahankan individu itu merupakan dasar bagi pengendalian tubuh yang
biasanya diteruskan oleh aktor-aktor itu dalam kehidupan kesehariannya.13
Menurut Giddens seperti dikutip George Ritzer, inti teori struktursi
terletak pada ide mengenai struktur, sistem, dan dualitas struktur itu. Struktur
didefinisikan sebagai “sifat-sifat penyusun aturan-aturan dan sumber daya – sifat-
sifat yang memungkinkan adanya praktik-praktik sosial serupa yang dapat dilihat
membentang dalam lintas ruang dan waktu dan memberi bentuk sistemik pada
mereka. Struktur-struktur itu sendiri tidak ada di dalam ruang dan waktu. Lebih
tepatnya, fenomena sosial mempunyai kapasitas untuk menjadi terstruktur.
Giddens berpendapat bahwa struktur hanya ada di dalam dan melalui kegiatan-
kegiatan agen manusia. Dalam hal ini, Giddens tidak menolak fakta bahwa
struktur dapat membatasi tindakan, tetapi dia merasa bahwa para sosiolog telah
melebih-lebihkan pentingnya pembatas itu. Selanjutnya, mereka telah gagal
menenkankan fakta bahwa struktur “selalu bersifat membatasi dan
memungkinkan”.14
12 Ibid. 13 Ibid., hlm. 11. 14 George Ritzer, Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan terakhir
Postmodern, terj. Saut Pasaribu dkk, Cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 892.
15
Salah satu proposisi utama teori strukturasi adalah bahwa aturan dan
sember daya yang digunakan dalam produksi dan reproduksi tindakan sosial
sekaligus merupakan alat reproduksi sistem (dualitas sruktur).15 Struktur, sebagai
perangkat aturan dan sumber daya yang diorganisasikan secara rekursif, berada
diluar ruang dan waktu, disimpan dalam koordinasi dan kesegeraannya sebagai
jejak-jejak memori dan ditandai oleh ketiadaan subyek. Sebaliknya, sistem sosial
tempat disiratkannya secara rekursif struktur terdiri dari aktivitas-aktivitas agen
manusia dalam situasi tertentu, yang direproduksi dalam ruang dan wakktu.16
Stuktur Sistem Strukturasi
Aturan dan sumber daya
atau seperangkat
hubungan transformasi
yang diorganisasikan
sebagai sifat-sifat sistem
sosial
Hubungan yang
direproduksi antara aktor
atau kolektivitas yang
diorganisasikan sebagai
praktek sosial reguler
Kondisi yang menentukan
kesinambungan atau
transmutasi struktur dan
dengan demikian
reproduksi sistem sosial itu
sendiri
Sumber: Anthony Giddens dalam buku The Constitution of Society17
Menganalisis strukturasi sistem sosial berarti mengkaji mode-mode tempat
diproduksi dan direproduksinya sistem-sistem seperti itu dalam interaksi, yang
didasarkan pada aktivitas-aktivitas utama aktor-aktor di tempat tertentu yang
menggunakan aturan-aturan dan sember daya-sumber daya dalam konteks
tindakan yang beraneka ragam.18
Tentu yang paling penting dalam gagasan strukturasi Giddens adalah
teorema dualitas struktur. Menurut Giddens, pembentukan agen dan struktur-
struktur bukanlah dua gugus fenomena yang saling terpisah, yakni dualisme,
15 Anthony Giddens, The Constitution…, hlm. 23-24. 16 Ibid., hlm. 31. 17 Ibid. 18 Ibid.
16
melainkan menggambarkan suatu hubungan dualitas. Dengan kata lain, konsep
dualitas struktur menekankan pada sifat-sifat struktural sistem sosial keduanya
merupakan media dan hasil tindakan-tindakan aktor yang diorganisasikan secara
rekursif. Struktur tidaklah disamakan dengan kekangan (constraint) namun selalu
mengekang (constraining) dan sekaligus membebaskan (enabling).19
Agen,menurut Giddens “memiliki kemampuan menciptakan perbedaan
sosial di dunia sosial. Lebih kuat lagi, agen tidak mungkin ada tanpa kekuasaan;
jadi, aktor tidak lagi menjadi agen jika ia kehilangan kapasitas untuk menciptakan
perbedaan. Giddens jelas mengakui adanya sejumlah hambatan terhadap aktor,
namun tidak berarti bahwa aktor tidak memiliki pilihan dan tidak menciptakan
perbedaan. Bagi Giddens, secara logis kekuasaan mendahului subjektivitas karena
tindakan melibatkan kekuasaan, atau kemampuan mengubah situasi.20
Kekuasaan menurut Giddens adalah:
“Mampu ‘bertindak lain’ berarti mengintervensi dunia, atau menjaga diri dari intervensi semacam itu, dengan dampak mempengaruhi suatu proses atau keadaan khusus dari urusan-urusan. Hubungan ini mengandaikan bahwa menjadi seorang agen harus mampu menggunakan (secara terus menerus di dalam kehidupan seharihari) sederet kekuasaan kausal, termasuk mempengaruhi kekuasaan-kekuasaan yang dijalankan oleh orang lain. Tindakan bergantung pada kemampuan individu untuk ‘mepengaruhi’ keadaan urusan atau rangkaian peristiwa yang telah ada sebelumnya. Seorang agen tidak lagi mampu berperan demikian jika dia kehilangan kemampuan untuk ‘memengaruhi’, yaitu menggunakan suatu jenis kekuasaan. Banyak kasus menarik bagi analisis sosial bepusat di sekitar batasan-batasan dari apa yang dipandang sebagai tindakan, saat ketika kekuasaan seseorang dibatasi oleh sederet keadaan tertentu. Akan tetapi, yang pertama penting untuk diketahui adalah bahwa keadaan-keadaan dari pembatas sosial yang membuat para individu ‘tidak memiliki pilihan’ tidak boleh disamakan dengan terputusnya tindakan seperti itu.
19 Ibid., hlm. 32. 20 Haedar Nashir, “Memahami Strukturasi Dalam Perspektif”, Jurnal SOSIOLOGI
REFLEKTIF, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dan Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012, hlm. 6.
17
‘Tidak memiliki pilihan’ bukan berarti bahwa tindakan telah tergantikan oleh reaksi (seperti kedipan seseorang ketika ada gerakan cepat di dekat matanya). Mungkin kondisi ini tampak begitu jelas sehingga tidak diperlukan lagi. Tetapi, sejumlah mazhab sosial terkemuka, terutama yang bersinggungan dengan objektivisme dan ‘sosiologi struktural’ belum mengakui pembedaan itu. Mazhab-mazhab sosial itu menganggap bahwa pembatas-pembatas sosial bekerja mirip seperti kekuatan-kekuatan alam, seolah-olah ‘tidak memiliki pilihan’ sama ketika tidak kuasa menahan dorongan dari tekanan-tekanan mekanis”.21 Giddens membagi tiga gugus kesadaran:
1. Kesadaran diskursif mengandung arti bentuk-bentuk ingatan yang mampu
diekspresikan secara verbal oleh aktor bersangkuta;
2. Kesadaran praktis melibatkan ingatan yang aksesnya dimiliki agen dalam
arus (duree) tanpa mampu mengekspresikan apa yang dia ketahui;
3. Ketaksadaran (the unconscious) mengacu pada mode-mode ingatan yang
akses langsungnya tidak dimiliki agen karena ada semacam halangan
negatif yang menghambat penyatuan tanpa mediasi dalam memonitor
secara refleksif tindakan dan terutama dalam kesadaran diskursif.
Gambar. 1
Struktur
Modalitas
Interaksi
Sumber: Anthony Giddens22
21 Ibid., hlm. 7. Lihat Anthony Giddens, The Constitution…, hlm. 18. 22 Ibid., hlm. 36.
Signifikasi Dominasi Legitimasi
Skema Fasilitas Norma
Komunikasi Kekuasaan Sanksi
18
Dimensi-dimensi dualitas struktur digambarkan pada pada gambar 1.
Aktor manusia tidak hanya mampu memonitor aktivitas-aktivitasnya sendiri dan
orang lain dalam regularitas perilaku sehari-hari, namun juga mampu memonitor
kerja monitoringnya sendiri dalam kesadaran diskursif. Skema interpretatif adalah
cara penetapan jenis yang dimasukkan dalam gudang pengetahuan aktor, yang
secara refleksif diterapkan dalam melakukan komunikasi. Gudang pengetahuan
yang digunakan aktor-aktor dalam memproduksi dan mereproduksi interaksi sama
dengan pengetahuan yang mereka gunakan dalam membuat cerita, memberikan
alasan, dan sebagainya.23
Giddens dalam Herry Priyono sebagaimana dikutip Haidar Nashir, melihat
tiga gugus struktur: Pertama, struktur penandaan atau signifikasi (signification)
yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana.
Contoh menyebut guru kepada pengajar atau menyalakan lampu kendaraan tanda
belok kiri merupakan praktik sosial pada gugus struktur signifiasi. Kedua, struktur
penguasaan atau dominasi (domination) yang mencakup skemata penguasaan atas
orang (politik) dan barang/hal (economy). Contoh menyimpan uang di bank
merupakan bentuk struktur dominasi ekonomi dalam bentuk kontrol atas uang
atau barang. Contoh lain pemungutan suara dalam pemilihan umum merupakan
bentuk struktur dominasi politik yakni penguasaan atas orang.24
Ketiga, struktur pembenaran (legitimation) yang menyangkut skemata
peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum. Contoh dari praktik sosial
dalam bentuk struktur legitimasi ialah razia polisi lalu-lintas terhadap pengendara
23 Ibid., hlm. 36-37. 24 Haedar Nashir, “Memahami Strukturasi…”, hlm. 4.
19
sepeda motor atau mobil yang tidak membawa SIM (Surat Izin Mengemudi).
Ketiga gugus struktur tersebut saling berkaitan satu sama lain. Contohnya skemata
signifikasi orang yang mengajar disebut guru pada gilirannya menyangkut
skemata dominasi otoritas guru atas murid dan juga skemata legitimasi hak guru
atas pengadaan ujian untuk menilai proses belajar murid. Hal serupa terjadi dalam
struktur dominasi dan legitimasi.25
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitiaan ini merupakan jenis riset kualitatif, yakni merupakan suatu
pendekatan dalam melakukan riset yang berorientasi pada penomena atau gejala
yang bersifat alami. Pelaksanaan riset ini bersifat mendasar atau membumi dan
bersifat naturalistik atau alami. Dengan istilah lain, riset semacam ini sering
disebut dengan Naturalistic Inquiry, Field Studi, atau Studi Observasional. Oleh
karena tidak dapat dilakukan di laboratorium, melainkan di lapangan, maka dilihat
dari sifatnya dapat dikategorikan ke dalam riset deskriptif.26
Metode kualitatif merupakan proses penelitian yang ingin menghasilkan
data bersifat deskriptif, yaitu berupa hasil ucapan, tulisan, dan perilaku individu
atau kelompok yang dapat diamati berdasarkan subyek itu sendiri. Dalam upaya
memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau kelompok
maka wawancara terbuka dan obeservasi menjadi penting untuk dilakukan.
25 Ibid. 26 Muhammad Ali, Memahami Riset Perilaku dan Sosial (Bandung: CV Pustaka
Cendekia Utama, 2011), hlm. 239.
20
Dengan begitu, pendekatan deskriptif ini lebih menekankan kepada latar belakang
perilaku individu atau kelompok yang diteliti secara keseluruhan.27
2. Objek Studi
Penelitian ini menjadikan pemberdayaan kaum difabel dalam program
desa inklusi yang dirintis oleh SIGAB sebagai objek kajian, sebab organisasi ini
merupakan salah satu lembaga organisasi gerakan sosial kaum difabel di
Indonesia, dan dianggap cukup solid, progresif, dan mempunyai jaringan yang
luas. Selain itu, organisasi ini mempunyai ragam arena perjuangan dari struktur
lembaga atas hingga struktur masyarakat bawah (grassroot). Seruan gerakannya
adalah emansipasi dan keadilan agar tercipta masyarakat inklusi, egaliter, dan
humanis yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, yang tentunya berkeadilan
terhadap kaum difabel.
Adapun pemilihan lokasi penelitian di Kabupaten Sleman karena pusat
kepengurusan SIGAB berada di kabupaten tersebut, termasuk pemberdayaan
kaum difabel melalui desa inklusi pertama kali digagas dan dirintis oleh SIGAB di
dua Desa yang berada dalam wilayah Kabupaten Sleman. Selain itu SIGAB
berkedudukan di Kabupaten Sleman, oleh karena itu cukup relevan dan objektif
jika penelitian dilakukan di pusat gerakan organisasi itu sendiri.
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas sumber
primer dan sekunder, atau disebut juga dengan data lunak dalam istilah
27 Saifuddin Azhar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm.6
21
Muhammad Ali28. Sumber primer berasal dari wawancara mendalam yang penulis
lakukan dengan unsur pimpinan dan aktivis-aktivis SIGAB di Yogyakarta sebagai
informan kunci dalam penelitian. Selain itu penulis juga melakukan wawancara
dengan perangkat Desa Sendangtirto dan Camat Berbah, tokoh-tokoh
masyararakat dan pemuda setempat, termasuk dengan anggota Organisasi Difabel
Sendangtirto, fasilitator desa dan kader desa inklusi. Sementara sumber data
sekundernya berasal dari: (a) literatur-literatur, dokumen-dokumen, liputan pers
baik yang diterbitkan SIGAB maupun oleh penerbit-penerbit yang lain, baik yang
sudah tercetak maupun yang masih dalam bentuk elektronik yang tersimpan
dalam situs-situs website. (b) buku-buku, laporan-laporan penelitian, artikel baik
yang sudah diterbitkan maupun yang belum diterbitkan yang mengkaji tentang
perberdayaan kaum difabel melalui desa inklusi. Termasuk dalam data sekunder
ini adalah majalah, koran, buletin yang merekam informasi seputar gerakan
SIGAB di Indonesia.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data terdiri dari dua macam, yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer terdiri dari wawancara mendalam (depth interview)
dan obsevasi langsung (partisipant observastion). Wawancara mendalam
dilakukan untuk memperoleh informasi lebin rinci dari tangan pertama mengenai
ide-ide, konsep-konsep, arena-arena perjuangan dan proses memperjuangkan
arena-arena tersebut secara empiris, implikasinya terhadap komunitas-komunitas
difabel lainnya, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kepentingan penelitian.
28 Lihat, Muhammad Ali, Memahami Riset Perilaku…, hlm. 248.
22
5. Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode yang
menurut Miles dan Huberman seperti dikutip Muhammad Ali, yakni proses
analisis data dengan menempuh tiga langkah utama, yaitu reduksi data, display
atau sajian data, dan verifikasi dan/atau penyimpulan data. Reduksi data adalah
proses memilih, menyederhanakan, memfokuskan, mengabstraksi dan menguba
data kasar ke dalam catatan lapangan. Sajian data merupakan suatu cara
merangkai data suatu organisasi yang memudahkan untuk pembuatan kesimpulan
dan/atau tindakan yang diusulkan. Adapun verifikasi data adalah penjelasan
tentang makna data dalam suatu konfigurasi yang secara jelas menunjukkan alul
kausalnya, sehingga dapat diajukan proposisi-proposisi yang terkait dengannya.29
G. Sistematika Pembahasan
Penulisan hasil penelitian ini nantinya akan dibagi menjadi lima bab. Bab
pertama berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan, kerangka teori, dan
metode penelitian serta sistematika pembahasan. Pada bab pertama ini, akan
dijelaskan mengenai teori yang dijadikan sebagai landasan dalam penelitian ini.
Dalam hal ini penulis menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens.
Pada bab kedua akan dijelaskan gambaran umum dan profil SIGAB,
kontestasi makna difabilitas dari medical model ke social model serta pendekatan
HAM, juga dijelaskan nilai-nilai pijakan yang menjadi dasar perjuangan SIGAB
dalam mendorong pemberdayaan dan partisipasi kaum difabel dalam arena publik.
29 Ibid., hlm. 248-249.
23
Pada bab ketiga akan dijelaskan Struktur Legitimasi: tinjauan aspek
regulasi, konstruksi wacana dalam arena publik untuk mewujudkan pemberdayaan
difabel dalam melalui program rintisan desa inklusi di Kabupaten Sleman
Kecamatan Berbah Desa Sendangtirto.
Sedangkan pada bab empat akan dipaparkan secara mendalam dan
sistematis, capaian perubahan dalam implementasi program rintisan desa inklusi
dari aspek struktur signifikasi, dominasi, dan legitimasi, juga dijelaskan proses
pelembagaan desa inklusi, serta dinamika dan problematika implementasi
program rintisan desa inklusi.
Bab lima akan dijelaskan kesimpulan dan saran. Kesimpulan ini
merupakan jawaban peneliti dari rumusan masalah yang telah diajukan.
174
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang telah penulis uraikan di atas, maka
penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Arus tindakan SIGAB dalam upaya memberdayakan kaum difabel dalam
arena publik mengacu kepada tiga pandangan dunia, yaitu pandangan
dunia Hak Asasi Manusia (HAM), difabilitas, dan inklusifitas. Ketiga
pandangan dunia tersebut secara signifikasi mempengaruhi kesadaran
diskursif dan terinternalisasi secara kelembagaan dalam internal
Organisasi SIGAB, sehingga objektifikasi tindakan SIGAB senantiasa
mengacu kepada tiga pandangan dunia tersebut. HAM menghendaki
penghormatan atas martabat dan harkat kemanusiaan, difabilitas
menghendaki apresiasi atas keragaman (keberbedaan) kamampuan – yakni
tidak melihat kecacatan/kekurangan individu semata melainkan lebih
melihat kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang baik ia difabel
maupun non-difabel. Sedangkan inklusi menghendaki adanya ruang
(arena publik) dimana keragaman kemampuan itu bisa diaktualkan dan
diapresiasi keberadaannya tanpa ada diskriminasi dan peminggiran
kelompok tertentu, khususnya kaum difabel. Maka objektifikasi desa
inklusi ke dalam praktik sosial dapat dikatakan sebagai sintesis dari
pandangan dunia HAM, difabilitas, dan inklusi.
175
2. Peran SIGAB dalam mewujudkan program RINDI mengacu kepada
beberapa peluang dimana secara struktural memungkinkan aktor bebas
memilih tindakannya. Dari aspek dualitas struktur, struktur dipahami
sebagai aturan dan sumberdaya dimana ia eksis sebagai medium tindakan
dalam gugus kesadaran praktis para agen atau aktor, sehingga
memungkinkan bagi aktor memproduksi dan mereproduksi tindakan yang
berbeda. Dalam hal ini SIGAB melakukan beberapa aksi pewacanaan
sehingga berdampak pada perubahan pola pikir masyarakat dalam
memandang kaum difabel. SIGAB selaku agen melakukan aksi
pewacanaan dengan memafaatkan aturan dan sumberdaya dalam struktur
sebagai medium tindakan untuk mereproduksi struktur sosial yang
mengekang dan mendiskriminasi kaum difabel, dengan mengarahkan
kesadaran diskursif masyarakat ke dalam perspektif/wacana tentang
difabilitas dan iklusifitas sehingga tercipta sistem sosial yang inklusif,
yakni sistem sosial yang mengakomodir fakta difabilitas sebagai bagian
dari keragaman yang harus diapresiasi. Dengan aksi pewacanaan tersebut,
masyarakat dan pemerintah selaku struktur memahami dan mengenal fakta
difabilitas, sehingga memungkinkan terjadinya perubahan pada kesadaran
praktis (pola tindakan) masyarakat ke arah praktik sosial yang
berlandaskan pada nilai-nilai inklusi, yang berujung pada objektifikasi
nilai ke dalam praktik sosial, yakni desa inklusi. Aksi pewacanaan itu
diarahkan untuk pengarusutamaan difabilitas dengan beberapa aksi
pewacanaan seperti berikut: pewacanaan melulai temu inklusi, aksi
176
diskursif dalam arena publik, membangun perpestif difabilitas pada level
desa, kecamatan dan kabupaten, advokasi/audiensi kepada pemerintah dari
level sampai kabauten, dan organisir aktor difabel desa.
3. Akomodasi kebutahan difabel dalam akses ruang publik tidak terlepas dari
pengaruh agen dalam hal ini SIGAB, yang secara cerdas membangun
kesadaran kelompok difabel, masyarakat, dan pemerintah. Sehingga
tercipta praktik sosial secara rekursif yang mencerminkan budaya inklusi
dalam rutinitas keseharian masyarakat, dimana kelompok difabel bersama-
sama masyarakat lainnya secara aktif menyuarakan kepentingannya. Desa
inklusi yang dicanangkan oleh SIGAB secara signifikan mampu
mengantarkan kelompok difabel dari pinggiran sistem menuju ke tengah
sistem. Dalam artian kelompok difabel yang selama ini berada di pinggiran
sistem, tidak diakui bahkan keberadaannya hanya dipsosisikan sebagai
masyarakat kelas dua yang cukup dikasi belas kasih dalam bentuk karitas –
melalui serangkain gerakan penyadaran yang dicanangkan oleh SIGAB
melalui program RINDI ini, akhirnya, difabel bukan hanya sekedar
identitas melainkan ia melambung jauh menjadi sebuah kekuatan baru di
desa yang memiliki daya tawar melalui serangkain pengorganisasian. Jadi,
perubahan itu mencakup, aspek struktur signifikasi, dominasi, dan
legitimasi. Dari aspek struktur signifikasi, label atau penyebutan
“penyandang cacat” berubah menjadi istilah “difabel” yang berarti
keragaman manusia dan keberbedan kemampuan. Dari aspek struktur
dominasi, keberadaan difabel sudah mulai diakui dengan pelibatan dan
177
pasrtisipasi difabel dalam proses pengambilan kebijakan dan
penganggaran di lingkup pemerintah desa. Sedangkan aspek struktur
legitimasi, memberikan dasar legitimasi atas perubahan pemaknaan ke
arah yang lebih positif terhadap kelompok difabel, dari label “penyandang
cacat menjadi difabel – orang berbeda kemampuan”, serta memberikan
landasan normatif untuk mendorong pemerintah desa dan masyarakat
untuk melakukan aksi pemberdayaan dan mendorong partisipasi difabel
dalam ruang publik, khususnya di desa.
4. Proses pelembagaan desa inklusi dilakukan oleh SIGAB dengan
menyiapkan landasan yang memungkinkan praktik-praktik sosial dalam
struktur desa inklusi senantiasa langgeng dalam arus tindakan di dalam
lintas ruang dan waktu. Suatu nilai atau sebuah ide/gagasan (kesadaran
diskursif) akan melembaga jika ia diobjektifikasi ke dalam praktik sosial
(kesadaran praktis). Dengan kata lain, ketika suatu ide/nilai ditransformasi
ke dalam praktik sosial ia akan bertransformasi menjadi kesadaran praktis
yang terpola di dalam sebuah rutinitas kehidupan sehari-sehari dan dalam
lintas ruang dan waktu. Ketika ia menjadi praktik sosial yang rutin dalam
lintas ruang dan waktu, pada saat itulah ia akan melembaga menjadi
sebuah struktur atau tatanan yang dipedomani baik pada level
pemikiran/perspektif maupun pada level perilaku. Demikian halnya
praktik-praktik sosial yang inklusif dalam sebuah wilayah yang
dikonstruksi ke dalam sebuah praksis yang disebut desa inklusi – pada sisi
ini, desa inklusi dapat dikatakan sebagai praktik sosial yang berorientasi
178
pada nilai-nilai inklusif sebagaimana yang dipahami dalam kesadaran
diskursif aktifis-aktifis dan kelompok-kelompok difabel semisal SIGAB.
Oleh karena itu dibutuhkan landasan agar praktik sosial tersebut senantiasa
berada dalam keterulangan-keterulangan secara rekursif dalam lintas ruang
dan waktu. Adapun landasan-landasan tersebut adalah aktor lokal,
Organisasi Difabel Sendangtirto (ODS), Fasilitator Desa, Kader Desa
Inklusi, Sistem Informasi Desa (SID), Peraturan Desa (Perdes).
B. Saran
Penelitian ini baru berbicara pada aspek proses dan pembentukan desa
inklusi sebagai sarana pemberdayaan dan partipisasi difabel dalam ruang publik
pada tingkat desa, jadi, dalam hal ini penulis baru menyentu pada aspek politis.
Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan mengenai dampak
program RINDI dari aspek sosial dan ekonomi untuk melihat sejauhmana
program RINDI mampu menyentu ruang-ruang permasalahan yang dihadapi
difabel pada tingkat desa.
179
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad, Memahami Riset Perilaku dan Sosial, Bandung: CV Pustaka Cendekia Utama, 2011.
Azhar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Blau, Judith, dan Alberto Moncada, “Teori Sosiologi dan Hak Asasi Manusia”,
dalam Bryan S. Truner (ed.), Teori Sosial: Dari Klasik sampai Postmodern, terj. E. Setiyawati A. dan Roh Shufiyati, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Yogyakarta:
LKiS Yogyakarta, 2002. El Muhtaj, Majda, Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Foucault, Michel, Arkeologi Pengetahuan, terj. Inyiak Ridwan Muzir,
Yogyakarta: IRCiSoD, 2012. Fikri, Abdullah, “Eksperimentasi Membangun Demokrasi Inklusif: Studi Kasus
terhadap Akseptabilitas Gusdur dalam Ruang Politik Indonesia”, Tesis Magister, Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2015.
Faqih, Mansour, “Akses Ruang yang Adil: Meletakkan Dasar Keadilan Sosial
bagi Kaum Difabel”, dalam Suharto dan Haris Munandar (ed.), Pokok-pokok Pikiran Dr. Mansour Fakih: Refleksi Kawan Seperjuangan, Yogyakarta: SIGAB, 2004.
Giddens, Anthony, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis
Sosial, terj. Adi Loka Sujono, Cet. 4, Yogyakarta: Pedati, 2011. , Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial
Kemasyarakatan, terj. Maufur & Daryatno, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas, 2003. Jaya Hatma Indra, Pajar, Analisis Masalah Sosial: Breakdown Teori-teori Sosial
Menuju Praksis Sosial, Yogyakarta: SENTER, 2008. Mudzakir, Ro’fah, dan Slamet Thohari, “Kaum Difabel dalam Pergulatan Makna:
Sekilas Pergeseran Persepsi Disability dan Relevansinya di Indonesia”,
180
dalam Sahiron dan Asep Jahidin (ed.), Ontologi Pekerjaan Sosial, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010.
Lubis Yusuf, Akhyar, Postmodernisme: Teori dan Metode, Cet. 2 (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014). Mufti, Muslim, Teori-teori Politik, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012. Nursyamsi, Fajri, dkk, Kerangka Hukum Disabilitas Di Indonesia: Menuju
Indonesia Ramah Disabilitas, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2015.
Ritzer, George, Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan
terakhir Postmodern, terj. Saut Pasaribu dkk, Cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Salim, Ishak, Dkk, Indonesia dalam Desa Inklusi, Yogyakarta: sigab, 2015. Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, Ed. 24, Cet. 27, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1999. Sukamto, Sunarman, Best Practice Advokasi Kebijakan Daerah Perperspektif
Difabel: Pengalaman PPRBM Solo, Solo: PPRBM Solo, 2013. Saidah, Cucu, dkk, Panduan Advokasi Hak Asasi Manusia Bagi Organisasi
Penyandang Disabilitas, Jakarta: Australian Aid, 2014. Setiadi M., Elly, dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta:
Kencana, 2013. Tim Kontras, Panduan untuk Pekerja HAM: Pemantaun dan Inevetigasi Hak
Asasi Manusia (Kontras, 2009). Piliang A., Yasraf, Transpolitika: Dinamikan Politik di dalam Era Virtualitas,
Yogyakarta: Jalasutra, 2005. Yulianto, Joni, “Terminologi: Difabel atau Penyandang Disabilitas”, dalam
M.Syafi’ie, dkk, Potret Difabel Berhadapan dengan Hukum Negara, Yogyakarta: sigab, 2014.
, “Terminologi: Difabel atau Penyandang Disabilitas”, dalam M.Syafi’ie,
dkk, Potret Difabel Berhadapan dengan Hukum Negara, Yogyakarta: sigab, 2014.
181
, “Nothing About us Without us’, dalam Ishak Salim (ed.), Memahami Pemilihan Umum dan Gerakan Politik Kaum Difabel, Yogyakarta: SIGAB, 2014.
Hoed H., Benny, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Depok: Komunitas
Bambu, 2011. JURNAL
Asyhabuddin, “Difabilitas dan Pendidikan Inklusif: Kemungkinannya di STAIN Purwokerto,” Jurnal INSANIA, P3M STAIN Purwokerto, Vol. 13, No. 3, Sep-Des 2008.
Hadi Purbathin, Agus, “Konsep Pemberdayaan, Partisipasi dan Kelembagaan
dalam Pembangunan”, Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan
Masyarakat Agrikarya (PPMA).
Nadir, Sakinah, “Otonomi Daerah Dan Desentralisasi Desa: Menuju Pemberdayaan Masyarakat Desa”, Jurnal Politik Profetik Volume 1 No. 1, Tahun 2013.
Hadi H., Otho, “Peran Masyarakat Sipil dalam Proses Demokratisasi”, Jurnal
Makara, Sosial Humaniora, Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Indonesia, Vol. 14, No. 2, Desember 2010.
Harahap Repindowaty, Rahayu, dan Bustanuddin, “Perlindungan Hukum
Terhadap Penyandang Disabilitas Menurut Convention on the Rights of Persons With Disabilities (CRPD),” Jurnal Inovatif, Volume VIII, Nomor I, Januari 2015.
Kuntoro, “Analisis Wacana Kritis: Teori Van Dijk Dalam Kajian Teks Media
Massa”, Jurnal Leksika, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Vol.2 No.2, Agustus, 2008.
Lubis, Asri, “Upaya Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan”,
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED, Vol.6, No. 2, Tahun 2009. Nashir, Haedar, “Memahami Strukturasi Dalam Perspektif”, Jurnal SOSIOLOGI
REFLEKTIF, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dan Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012.
182
Ro’fah, “Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur”, dalam Kamil Alfi Arifin (ed.), Analekta Difabilitas: Sumbangsih untuk Pengayaan Rancangan Undang-undang Difabilitas, Jurnal DIFABEL, Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB), Vol. 2, No. 2, Tahun 2015.
Salim, Ishak, “Perspektif DIfabilitas dalam Politik Indonesia”, dalam Kamil Alfi Arifin (ed.), Analekta Difabilitas: Sumbangsih untuk Pengayaan Rancangan Undang-undang Difabilitas, Jurnal DIFABEL, Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel, Vol. 2, No. 2, 2015.
, “Perspektif Disabilitas dalam Pemilu 2014 dan Kontribusi Gerakan
Difabel Indonesia bagi Terbangunnya Pemilu Inklusif di Indonesia,” Jurnal The Politics, Vol. 1, No. 2, Juli 2015.
Prasetyo Galih, Antonius, “Menuju Demokrasi Rasional: Melacak Pemikiran
Jürgen Habermas tentang Ruang Publik,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 16, Nomor 2, November 2012.
Paper dipresentasikan dalam acara Lokakarya Pemetaan Kegiatan Disabilitas:
ILO (PROPEL-Indonesia) & World Bank (DPO Window), Jakarta tanggal 26-27 September 2012.
Yulianto, Joni, “Konsepsi Inklusi dan Pendidikan Inklusif”, Jurnal INKLUSI,
Vol.1, No.1, Januari - Juni 2014. WEB
Indo, Benni, “Urgensi Kesadaran Kolektif Tentang Hak Difabel”, dalam
http://solider.or.id, diakses: 12 Oktober 2015. Maryani, “Assesment Desa dan Pembentukan Tim SID”, dalam
www.combine.or.id, diakses: 24 Februari 2016. Yulianto, Joni, “Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No.4 Tahun 2012
Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas”, dalam www.solider.or.id, diakses: tanggal 29 Januari 2016.
Purwanta Adi, Setya, “Bagaimana Aku menyebut Mereka? Penyandang Cacat,
Disabilitas, atau Difabel”, dalam http://komitedisabilitasdiy.blogspot.co.id, diakses: 3 Februari 2015.
183
LAMPIRAN-LAMPIRAN
184
Diskusi proposal tesis penelitian di Aula sekretariat SIGAB
Rapat evaluasi Program RINDI bersama Fasdes dan aggota SIGAB
Pertemuan bulanan Organisasi Difabel Sendangtirto (ODS)
185
Pertemuan Rutin Organisasi Difabel Sendangtirto (ODS)
Pelatihan bercocok tanam Organisasi Difabel Sendangtirto (ODS)
186
187
188
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
Nama : Fajar, S.H.I.
Tempat / tgl. Lahir : Baliase, 10 Mei 1989
Alamat Rumah
:
Kel. Baliase, Masamba, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi
Sulawesi Selatan
Nama Ayah : Wajadu
Nama Ibu : Hajerang
Email : [email protected]/[email protected]
B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. SDN 155 Lindu, Kecamatan Masamba, Kabupaten Luwu Utara, tahun
2001.
b. SMP 2 Masamba, tahun 2004.
c. MA DDI Masamba, tahun 2007.
d. S-1 Jurusan Syariah Program Studi Peradilan Agama (Ahwal Al
Syakhsyiyyah), STAI DDI Maros, tahun 2012.
e. S-2 Prodi Hukum Islam Konsentrasi Studi Politik dan Pemerintahan dalam
Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2016.
189
C. Prestasi/Penghargaan
1. Piagam Penghargaan Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia
sebagai Peserta PSP3 Selama dua Tahun.
2. Sertifikat penghargaan Komandan Resimen Induk (Kamando Daerah Militer
Jaya/Jayakarta) dalam kegiatan pembekalan dan Pelatihan mental, fisik dan
disiplin di Rindam Jaya.
3. Piagam penghargaan sebagai peserta dalam kegiatan Pengembangan
Kepemimpinan Pemuda Balai Pemuda dan Olahraga DIY.
D. Pengalaman Kerja
1. Tenaga Kontrak Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Pedesaan
(PSP3) Kementerian Pemuda dan Olahraga RI 2013-2015.
2. Staf Koperasi Al Barakah Makassar 2013.
E. Pengalaman Organisasi
a. Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STIS Al Azhar Makassar.
b. Kordinator Celebes Philosophy Club.
c. Wakil Ketua Osis MA DDI Masamba.
F. Minat Keilmuan: islamic philosophy dan Politik Islam
G. Karya Ilmiah
1. Penelitian
Skripsi: Problematika Tingginya Kasus Perceraian (Studi Kasus Cerai Gugat
di Pengadilan Agama Masamba Kec. Masamba Kab. Luwu Utara).
2. Penelitian
Tesis: Empowerment Kaum Difabel dalam Arena Publik (Studi Kasus
Program Rintisan Desa Inklusi SIGAB Yogyakarta)
Yogyakarta, 7 Juni 2016
Fajar, S.H.I.