Download - Ekspor Cpo

Transcript
Page 1: Ekspor Cpo

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR

MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI

OLEH

WIDA KUSUMA WARDANI H14104036

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Page 2: Ekspor Cpo

RINGKASAN WIDA KUSUMA WARDANI. Dampak Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO terhadap Keseimbangan Pasar Minyak Goreng Sawit dalam Negeri. (dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM).

Crude Palm Oil (CPO) merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam perekonomian Indonesia, karena CPO merupakan komoditi ekspor andalan Indonesia. Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor kelapa sawit kedua terbesar setelah Malaysia sampai dengan tahun 2005. Di tahun 2006 Indonesia berhasil menjadi negara produsen minyak sawit nomor satu di dunia. Eksportir CPO akan melakukan ekspor secara besar-besaran apabila harga CPO internasional sedang meningkat secara tajam tanpa memikirkan pasokan dalam negeri. Hal ini akan berdampak pada industri turunan CPO yang didominasi oleh industri minyak goreng. Industri ini akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku, sehingga produksinya akan menurun. Menyadari dampak tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan perdagangan di sektor industri CPO yang berupa pajak ekspor guna membatasi para eksportir CPO untuk tidak mengekspor CPO dalam jumlah yang berlebihan dan lebih memikirkan pasokan dalam negeri. Adanya pajak ekspor CPO akan mempengaruhi volume ekspor CPO, yang secara tidak langsung akan mempengaruhi keseimbangan pasar industri hilirnya, yaitu industri minyak goreng sawit yang akan dicerminkan melalui harga minyak goreng sawit di pasar dalam negeri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor apakah yang mempengaruhi ekspor CPO dan keseimbangan pasar minyak goreng sawit di Indonesia dan menganalisis keterkaitan antar keduanya serta bagaimana dampak pajak ekspor di sektor industri CPO terhadap keseimbangan pasar dan harga minyak goreng sawit dalam negeri . Untuk tujuan tersebut, beberapa variabel yang diteliti adalah ekspor CPO, produksi CPO, luas areal kelapa sawit, harga ekspor CPO, harga CPO domestik, pendapatan nasional Indonesia, jumlah penduduk Indonesia, pajak ekspor CPO, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, harga dan produksi minyak goreng sawit dalam negeri, permintaan minyak goreng sawit dalam negeri, upah tenaga kerja di sektor industri, dummy krisis ekonomi, harga minyak goreng kelapa, impor minyak goreng sawit serta harga impor minyak goreng sawit.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang menggunakan data statistik tahunan dari tahun 1990-2006. Sumber data berasal dari Laporan Tahunan Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian dan Jurnal-jurnal Ekonomi serta instansi-instansi lain yang terkait dengan penelitian yang

Page 3: Ekspor Cpo

dilakukan. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software SAS 6.12 sedangkan analisis data menggunakan metode Two-Stage Least Square (2SLS).

Hasil analisis memberikan kesimpulan bahwa model keterkaitan ekspor CPO dan pengaruh pajak ekspor CPO terhadap keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri menghasilkan lima persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Penawaran ekspor CPO Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil ekspor CPO, nilai tukar riil, pajak ekspor CPO, produksi CPO domestik dan populasi Indonesia. Sedangkan lag ekspor CPO Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO Indonesia. Penawaran minyak goreng sawit Indonesia berasal dari minyak goreng sawit yang diimpor dan minyak goreng sawit produksi Indonesia. Impor minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil impor minyak goreng sawit, permintaan minyak goreng domestik dan pendapatan nasional Indonesia, sedangkan nilai tukar riil dan lag impor minyak goreng tidak berpengaruh nyata. Produksi minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh luas areal kelapa sawit, produksi CPO domestik, dummy krisis ekonomi Indonesia dan lag produksi minyak goreng sawit. Sedangkan harga riil minyak goreng sawit domestik dan upah riil tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap produksi minyak goreng sawit Indonesia.

Permintaan minyak goreng sawit Indonesia merupakan agregasi dari jumlah konsumsi minyak goreng sawit secara langsung dan konsumsi minyak goreng oleh industri pengguna minyak goreng sawit. Permintaan minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil minyak goreng sawit, harga riil minyak goreng kelapa, pendapatan per kapita dan lag permintaan minyak goreng sawit. Variabel-variabel yang mempengaruhi secara nyata harga minyak goreng sawit domestik adalah harga riil CPO domestik, harga riil minyak goreng kelapa dan dummy krisis ekonomi Indonesia. Validasi model dengan menggunakan kriteria statistics of fit, menunjukkan model layak untuk digunakan sebagai peramalan. Hasil simulasi menunjukkan peningkatan sepuluh persen pajak ekspor CPO akan mengakibatkan penurunan permintaan minyak goreng sawit, impor minyak goreng sawit dan volume ekspor CPO masing-masing sebesar 0,0017 persen, 0,0013 persen dan 0,9226 persen, serta diduga akan meningkatkan harga minyak goreng sawit sebesar 2,1470 persen dan produksi minyak goreng sawit sebesar 0,1433 persen.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, upaya yang dapat dilakukan pemerintah adalah perlu suatu adanya kebijakan alternatif selain pajak ekspor sebagai komplemen untuk mengatasi kelemahan dari penerapan pajak ekspor. Perlu juga adanya perhatian khusus dari pemerintah dalam hal senjang pengambilan keputusan pada penetapan pajak ekspor agar penyesuaiannya mengikuti pola perubahan harga CPO dunia yang fluktuatif.

Penerapan operasi pasar yang selama ini dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga keseimbangan pasar minyak goreng dapat efektif jika infrastrukturnya dipersiapkan secara baik dengan koordinasi yang baik dari pemerintah pusat dan daerah untuk menjangkau kalangan yang benar-benar kurang mampu.

Page 4: Ekspor Cpo

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR

MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI

Oleh

WIDA KUSUMA WARDANI H14104036

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Page 5: Ekspor Cpo

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,

Nama Mahasiswa : Wida Kusuma Wardani

Nomor Registrasi Pokok : H14104036

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul : Dampak Kebijakan Perdagangan di Sektor

Industri CPO terhadap Keseimbangan Pasar

Minyak Goreng Sawit dalam Negeri

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian

Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP. 131 846 871

Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 131 846 872

Tanggal kelulusan :

Page 6: Ekspor Cpo

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH

DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA

PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juli 2008

Wida Kusuma Wardani H14104036

Page 7: Ekspor Cpo

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Wida Kusuma Wardani lahir pada tanggal 14 Agustus

1986 di Jakarta. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, dari

pasangan Soeroso dan Tasmiyati. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di Sekolah

Dasar Jati Mekar, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 246 Jakarta. Setelah itu

penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMU Negeri 113 Jakarta dan

lulus pada tahun 2004.

Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian

Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima

sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan

Manajemen (FEM). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai pengurus

organisasi kemahasiswaan seperti Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi

dan Studi Pembangunan (HIPOTESA), Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK)

dan Komisi Pelayanan Khusus (Kopelkhu). Selain itu, penulis juga aktif dalam

beberapa kepanitiaan.

Page 8: Ekspor Cpo

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

berkat dan anugerah yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis diberi kemudahan

dan kekuatan dalam menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Dampak

Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO terhadap Keseimbangan

Pasar Minyak Goreng Sawit dalam Negeri”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah

memberikan bantuan, perhatian dan dukungan sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Untuk itu, ucapan terima kasih penulis

sampaikan kepada :

1. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Soeroso dan Ibu Tasmiyati atas doa dan

dukungannya. Serta mas Ambar dan mas Fajar atas semangat dan

keceriaannya untuk penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini secepatnya.

2. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi yang

dengan sabar dan penuh perhatian membimbing penulis dalam proses

penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr selaku dosen penguji utama atas kesediaan

serta arahan, saran, kritik dan perhatian yang diberikan kepada penulis untuk

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

4. Jaenal Effendi, S.Ag ., MA selaku dosen penguji komisi pendidikan atas

kesediaan serta arahan, saran, kritik dan perhatian yang diberikan kepada

penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

5. Sahabat penulis Deni, Liana, Tika, Rista, Ate, Rolas, Wike, Elsa, Epy dan

Rima terima kasih atas doa, semangat dan dukungannya.

6. Teman-teman penulis, Septi, Niken, Lia, Rani, Della, Hana, Irma, Prima,

Merlyn, Noorish, Titis, Tata, Dila, Dita, Eko, Arum, Tia, Hansen, Agus dan

teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 41. Terima kasih atas masukan dan

dukungannya.

Page 9: Ekspor Cpo

7. Seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini dan

tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuannya.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2008

Wida Kusuma Wardani H14104036

Page 10: Ekspor Cpo

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................... i

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ii

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... iii

I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 7

1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 7

1.5 Batasan Penelitian .................................................................................. 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 9

2.1 Gambaran Umum Industri Kelapa Sawit Indonesia...................................... 9

2.1.1 Perkembangan Industri Kelapa Sawit di Indonesia .................... 10

2.1.2 Pengolahan Kelapa Sawit ........................................................................... 12

2.1.3 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit ...................................................... 13

2.1.4 Perkembangan Ekspor Kelapa Sawit ......................................................... 15

2.2 Gambaran Umum Industri Minyak Goreng Indonesia.................................. 17

2.2.1 Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit Indonesia ........................ 18

2.3 Tinjauan Kebijakan Pemerintah Disektor Industri Minyak Sawit ................ 19

2.4 Studi Terdahulu ............................................................................................. 20

2.4.1 Penelitian Mengenai CPO ............................................................. 20

2.4.2 Penelitian Mengenai Minyak Goreng sawit dan Minyak

Goreng Kelapa ................................................................................................... 21

2.4.3 Penelitian Mengenai Two-Stage Least Square(2SLS) ............................... 24

III. KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................................... 26

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................................................ 26

3.1.1 Teori Perdagangan Internasional.................................................. 26

Page 11: Ekspor Cpo

3.1.2 Teori Nilai Tukar........................................................................................ 29

3.1.3 Teori Penawaran Ekspor CPO Indonesia ................................................... 32

3.1.4 Kebijakan Pajak Ekspor ............................................................................. 33

3.1.5 Teori Penawaran Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................... 37

3.1.6 Teori Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................... 41

3.1.7 Metode Two-Stage Least Square (TSLS) .................................................. 45

3.1.8 Konsep Elastisitas ...................................................................................... 46

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ................................................................. 48

IV. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................... 52

4.1 Jenis dan Sumber Data .................................................................................. 52

4.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data ......................................................... 52

4.3 Spesifikasi Model Simultan .......................................................................... 53

4.3.1 Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia .................................. 55

4.3.2 Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia .................................. 56

4.3.3 Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................................ 57

4.3.4 Penawaran Minyak Goreng Sawit Indonesia ............................................. 58

4.3.5 Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia ............................................ 59

4.3.6 Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia ..................................................... 60

4.3.7 Keseimbangan Penawaran dan Permintaan Minyak Goreng

Sawit Indonesia ................................................................................................... 60

4.4 Hipotesis .................................................................................................. 61

4.5 Identifikasi Model ......................................................................................... 62

4.6 Model Lag yang Didistribusikan ................................................................... 65

4.7 Pengujian Model dan Hipotesis .................................................................... 66

4.7.1 Uji Kesesuaian Model ................................................................................ 66

4.7.2 Pengujian Hipotesis .................................................................................... 67

4.7.3 Uji Autokorelas .......................................................................................... 68

4.7.4 Uji Heteroskedastisitas ............................................................................... 69

4.7.5 Uji Normalitas ............................................................................................ 70

4.7.6 Pengukuran Elastisitas ............................................................................... 70

Page 12: Ekspor Cpo

4.7.7 Validasi Model ........................................................................................... 71

4.7.3 Simulasi Model Kebijakan ......................................................................... 73

4.8 Definisi Operasional...................................................................................... 73

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 76

5.1 Estimasi Parameter Model ............................................................................ 76

5.1.1 Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia .................................. 76

5.1.2 Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia .................................. 81

5.1.3 Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................................ 85

5.1.4 Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia ............................................ 88

5.1.5 Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia ..................................................... 91

5.2 Hasil Validasi Model..................................................................................... 94

5.3 Perubahan Pajak Ekspor CPO Sebesar 10 Persen ......................................... 95

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 100

6.1 Kesimpulan ................................................................................................... 100

6.2 Saran .............................................................................................................. 102

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 104

LAMPIRAN ........................................................................................................ 107

Page 13: Ekspor Cpo

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1 Produksi Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005 (000 Ton) ................. 2

1.2 Volume Ekspor Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005

(000 Ton) .................................................................................................... 3

2.1 Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit di Indonesia

Tahun 2000-2005 ....................................................................................... 19

4.1 Pengujian Order Condition ........................................................................ 64

5.1 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Penawaran

Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia ..................................................... 81

5.2 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Permintaan

Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia ..................................................... 84

5.3 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Produksi

Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................................................ 88

5.4 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Permintaan

Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................................................ 91

5.5 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Harga Minyak

Goreng Sawit Indonesia ............................................................................. 94

5.6 Hasil Validasi Model Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO

terhadap Keseimbangan Pasar Minyak Goreng Sawit Dalam Negeri ....... 95

5.7 Hasil Simulasi Kenaikan Pajak Ekspor Sebesar Sepuluh Persen............... 99

Page 14: Ekspor Cpo

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

2.1 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit Indonesia

Tahun 2000-2006 .......................................................................................... 13

2.2 Perkembangan Ekspor CPO Indonesia Tahun 2000-2006 ............................ 14

2.3 Persentase Volume Ekspor CPO Indonesia Menurut Negara

Tujuan Tahun 2006 ....................................................................................... 15

3.1 Terjadinya Perdagangan Internasional ....................................................... 29

3.2 Dampak Depresiasi Mata Uang Negara Eksportir

pada Keseimbangan Perdagangan Internasional ........................................ 31

3.3 Dampak Pemberlakuan Pungutan Ekspor CPO terhadap

Industri CPO .............................................................................................. 35

3.4 Efek Pajak Ekspor Terhadap Volume Ekspor ............................................ 41

3.5 Keseimbangan Minyak Goreng Sawit Akibat Adanya

Peningkatan Permintaan Minyak Goreng Sawit ....................................... 44

3.6 Diagram Alur Kerangka Pemikiran ........................................................... 51

Page 15: Ekspor Cpo

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kebijakan Pemerintah Pada Industri Kelapa Sawit Indonesia ................... 108

2. Data Riil Penelitian .................................................................................... 110

3. Hasil Estimasi Parameter pada Penawaran Ekspor CPO Indonesia

dengan Menggunakan Program SAS 6.12 .................................................. 112

4. Hasil Estimasi Parameter pada Permintaan Impor Minyak Goreng

Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ....................... 113

5. Hasil Estimasi Parameter pada Produksi Minyak Goreng

Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ........................ 114

6. Hasil Estimasi Parameter pada Permintaan Minyak Goreng

Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ....................... 115

7. Hasil Estimasi Parameter pada Harga Minyak Goreng

Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ....................... 116

8. Hasil Uji Autokorelasi, Heteroskedastisitas dan Normalitas

pada Masing-masing dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ................ 117

9. Hasil Validasi Model Kebijakan Perdagangan

dengan Menggunakan Program SAS 6.12 .................................................. 122

10. Hasil Simulasi Kenaikkan Pajak Ekspor sebesar

10 Persen dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ................................. 123

Page 16: Ekspor Cpo

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan nilai ekspor Indonesia sampai tahun 1986 masih

didominasi oleh ekspor migas, namun sejak tahun 1987 ekspor Indonesia

didominasi oleh sektor non migas. Ekspor komoditas pertanian merupakan salah

satu bagian penting dalam komposisi ekspor non migas. Total nilai ekspor produk

pertanian selama lima tahun terakhir menunjukkan trend yang meningkat, yaitu

dari US$ 3,8 milyar di tahun 2000 menjadi US$ 8,2 milyar di tahun 2004. Selama

periode Januari-Desember 2006, ekspor sektor pertanian secara relatif meningkat

sebesar 16,8 persen dibanding tahun 2005. Dan selama satu tahun, sektor ini telah

menghasilkan devisa senilai US$ 484,7 juta. Dari total komoditas pertanian

tersebut, sub sektor yang memberikan kontribusi terbesar dibandingkan sub

sektor lainnya adalah sub sektor perkebunan, yaitu sebesar 87,57 persen dengan

total nilai ekspor sebesar US$ 7,4 milyar (2004)1.

Salah satu komoditas yang berkontribusi terhadap ekspor perkebunan

Indonesia adalah kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas

perkebunan utama sumber minyak nabati yang berperan penting dalam

perekonomian Indonesia. Pengembangan kelapa sawit memberikan manfaat

dalam peningkatan pendapatan petani dan masyarakat, kemudian produksinya

menjadi bahan baku industri pengolahan yang menciptakan nilai tambah di dalam

negeri, lalu untuk diekspor sebagai penghasil devisa (ekspor Crude Palm Oil

1 Badan Pusat Statistik, Statistik Ekspor Indonesia 2006.

Page 17: Ekspor Cpo

tahun 2006 bernilai US$ 4,8 milyar) dan menyediakan kesempatan kerja

diberbagai sub sistem (menyediakan kesempatan kerja bagi lebih dari 2 juta

orang). Peranan Industri minyak sawit dan produk turunannya akan terus

berkembang, terutama dengan adanya program energi alternatif biodiesel baik

nasional maupun internasional.

Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor kelapa sawit kedua

terbesar setelah Malaysia sampai dengan tahun 2005. Di tahun 2006 Indonesia

berhasil menjadi negara produsen minyak sawit nomor satu di dunia. Produksi

CPO (Crude Palm Oil) Indonesia pada tahun 2006 sebesar 16.000 ribu ton,

sedangkan total produksi CPO Malaysia sebesar 15.881 ribu ton2. Pada data

produksi dan volume ekspor tahun 2001 hingga 2005, terlihat bahwa Malaysia

masih menempati peringkat pertama di dunia untuk produksi dan ekspor CPO

(Tabel 1.1 dan Tabel 1.2).

Tabel 1.1 Produksi Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005 (000 Ton)

Negara 2001 2002 2003 2004 2005

Malaysia 11.804 11.909 13.355 13.976 14.962

Indonesia 8.396 9.622 10.441 12.326 14.620

Nigeria 770 775 785 790 800

Thailand 625 600 640 668 680

Columbia 548 528 527 632 661

Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006.

2 Indonesian Palm Oil Comission (IPOC), 2006.

Page 18: Ekspor Cpo

Tabel 1.2 Volume Ekspor Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005 (000 Ton)

Negara 2001 2002 2003 2004 2005

Malaysia 10.618 10.886 12.248 12.575 13.401

Indonesia 4.903 6.334 6.386 8.662 10.376

Papua New Guinea 328 324 325 348 320

Singapura 224 220 256 240 205

Columbia 90 85 105 183 225

Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006.

Industri CPO membutuhkan input dari perkebunan kelapa sawit dalam

bentuk Tandan Buah Segar (TBS). Perkebunan kelapa sawit dengan hasilnya yang

berupa TBS merupakan industri hulu dari industri CPO, sedangkan industri hilir

utamanya adalah industri minyak goreng sawit, dimana lebih dari 76 persen

penggunaan CPO oleh industri digunakan hanya untuk industri minyak goreng.

Sejak beberapa tahun terakhir di Indonesia, minyak goreng asal kelapa sawit telah

mendominasi pangsa konsumsi minyak goreng yang beberapa tahun lalu dipegang

oleh kelapa3.

Industri minyak goreng Indonesia dari tahun ke tahun semakin pesat

perkembangannya. Hal ini diperlihatkan dengan meningkatnya angka produksi

minyak goreng tiap tahunnya. Pada tahun 1998 total produksi minyak goreng

Indonesia mencapai angka 5,9 juta ton dan untuk tahun selanjutnya produksi

minyak goreng relatif meningkat hingga mencapai 11,9 juta ton pada tahun 2005.

Peningkatan tersebut disebabkan oleh semakin bertambahnya permintaan akan

minyak goreng itu sendiri.

3 http://www.bumn.go.id/news.detail.html=21711 Wayan R. Susila. 2007. Mempertanyakan Efektivitas Pajak Ekspor dalam Mempercepat Pengembangan Industri Hilir Perkebunan.

Page 19: Ekspor Cpo

Nilai dan volume impor minyak goreng sawit selama periode 1996-2002

meningkat rata-rata 565,7 persen dan 23,9 persen per tahun. Volume impor pada

tahun 1996 sebesar 3,3 ribu ton (US$ 3,7 juta) meningkat menjadi 14,9 ribu ton

(US$ 8,5 juta) pada tahun 2002. Peningkatan tersebut akibat adanya kenaikan

kapasitas ekspor dari Crude Palm Oil (CPO) sebagai bahan baku yang lebih

sering dipakai dalam proses produksi pabrik minyak goreng, sehingga kekurangan

tersebut ditutup dengan membuka keran impor minyak goreng (CIC, 2003).

Harga CPO di dalam negeri sangat ditentukan oleh harga CPO

internasional. Harga CPO dunia yang tinggi merupakan insentif yang besar bagi

pengusaha CPO domestik untuk mengekspor CPO dan menghindarkan diri dari

kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan CPO dalam negeri. Harga CPO dunia

naik lebih tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Harga CPO pada

Mei 2007 mencapai US$ 740 per ton dan diperkirakan akan terus naik hingga

mendekati US$ 800 per ton. Lonjakan harga CPO diindikasikan karena adanya

peningkatan permintaan dunia yang tinggi dan tidak sebanding dengan produksi

dan suplai CPO di pasar internasional (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007).

Ketika terjadi kenaikan harga CPO dunia, para produsen sawit akan lebih

memilih memasarkan produknya di pasar internasional. Hal ini menyebabkan

terjadinya kelangkaan CPO untuk bahan baku industri minyak goreng sawit yang

selanjutnya akan memicu ketidakseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam

negeri yang dicerminkan dengan kenaikan harga minyak goreng sawit domestik.

Menyadari dampak negatif tersebut pemerintah menetapkan suatu

kebijakan perdagangan yang berkaitan dengan industri CPO dan industri minyak

Page 20: Ekspor Cpo

goreng. Salah satu kebijakan perdagangan yang ditetapkan pemerintah adalah

kebijakan penetapan pajak ekspor CPO dengan harapan ketersediaan bahan baku

untuk industri pengolahan CPO dalam negeri khususnya industri minyak goreng

menjadi lebih terjamin dengan harga yang lebih murah. Selama ini pemerintah

telah mengeluarkan berbagai paket kebijakan bagi industri kelapa sawit yang

dapat berdampak bagi industri hulu hingga hilir. Kebijakan pemerintah yang

berhubungan dengan CPO senantiasa berubah dari waktu ke waktu.

1.2 Rumusan Masalah

Indonesia yang memiliki potensi sebagai negara penghasil CPO terbesar di

dunia, berupaya mengembangkan industri hilir, mengingat industri yang berbasis

pada SDA lokal berpeluang untuk dapat menyerap tenaga kerja dan sebagai

penghasil devisa dan diperkirakan pada tahun 2010 akan menjadi produsen CPO

terbesar di dunia (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia). Kenyataannya,

tidak perlu menunggu sampai tahun 2010, total produksi CPO Indonesia pada

tahun 2006 telah melampaui Malaysia, sehingga Indonesia menjadi negara

produsen CPO pertama di dunia.

Kondisi permintaan dan penawaran domestik CPO dipengaruhi kekuatan

permintaan dan penawaran di pasar internasional, mengingat Indonesia menganut

sistem ekonomi terbuka. Lonjakan harga CPO dunia mengindikasikan adanya

permintaan dunia yang tidak sebanding dengan produksi dan suplai CPO di pasar

internasional. Harga yang meningkat di pasaran internasional dapat menjadi

insentif ekspor bagi pengusaha CPO domestik. Laju ekspor yang tidak terkendali

Page 21: Ekspor Cpo

dapat mengakibatkan kurangnya pasokan CPO domestik, sehingga industri

minyak goreng sawit tidak mendapatkan pasokan bahan baku yang cukup.

Pengembangan industri hilir CPO banyak mendapat insentif karena

pemerintah akan mengembangkan mekanisme untuk mendorong berkembangnya

industri hilir CPO yang dalam hal ini adalah industri minyak goreng. Pajak ekspor

banyak diterapkan di negara berkembang dengan tujuan untuk meningkatkan

pendapatan pemerintah dan menjamin ketersediaan produk di pasar domestik.

Adanya kebijakan perdagangan yang berupa pajak ekspor untuk CPO akan

berdampak negatif pada industri hulunya yang dicerminkan oleh penurunan harga

tingkat petani, areal, produksi dan pendapatan petani. Sebaliknya, industri hilir

memperoleh beberapa manfaat seperti ketersediaan bahan baku yang lebih banyak

dengan harga yang lebih rendah.

Pada tahun 1991-1994 ekspor CPO dibebaskan. Tiga tahun kemudian

ditetapkan tarif ekspor progresif yang mencapai 40 persen sampai dengan 50

persen bagi CPO dan produk olahannya. Tarif ekspor pada tahun 1997 diturunkan

menjadi 2 persen sampai dengan 5 persen, hingga kemudian naik menjadi 15

persen sampai dengan 40 persen. Pada bulan Desember 2005, pemerintah

menetapkan kebijakan tarif ekspor sebesar 1,5 persen dari tarif ekspor sebelumnya

yaitu sebesar 3 persen sejak tahun 2001. Lalu melalui Peraturan Menteri

Keuangan Nomor : 94/PMK.011/2007 ditetapkan tarif pungutan ekspor baru atas

kelapa sawit, CPO dan produk turunannya. Besarnya tarif ekspor baru yang

ditetapkan oleh pemerintah ini adalah sebesar 10 persen, hal ini merupakan

perubahan ketujuh atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 92/PMK.02/2005.

Page 22: Ekspor Cpo

Mengingat pentingnya komoditas kelapa sawit dan minyak goreng sawit

terhadap perekonomian Indonesia, maka permasalahan yang dianalisis dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi ekspor CPO dan keseimbangan

pasar minyak goreng sawit di Indonesia ?

2. Bagaimanakah keterkaitan ekspor CPO dengan keseimbangan pasar minyak

goreng sawit dalam negeri ?

3. Bagaimana dampak pajak ekspor di sektor industri CPO terhadap

keseimbangan pasar dan harga minyak goreng sawit dalam negeri ?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah :

1. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO dan keseimbangan

pasar minyak goreng sawit di Indonesia.

2. Menganalisis keterkaitan ekspor CPO dengan keseimbangan pasar minyak

goreng sawit dalam negeri.

3. Menganalisis dampak pajak ekspor di sektor industri CPO terhadap

keseimbangan pasar dan harga minyak goreng sawit dalam negeri.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi

berbagai pihak yang berkepentingan.

Page 23: Ekspor Cpo

1. Bagi penulis, hasil penulisan ini diharapkan mampu memberikan pemahaman

tentang masalah-masalah yang dihadapi dan mampu memecahkan

permasalahan berdasarkan pengetahuan yang diperoleh selama kuliah.

2. Bagi pemerintah, hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai

bahan masukan dalam pengambilan keputusan terhadap kebijakan

perdagangan disektor industri CPO dan industri minyak goreng sawit.

3. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai salah satu bahan rujukan dan bahan

pertimbangan bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.

1.5 Batasan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kebijakan

perdagangan yaitu pajak ekspor di sektor industri CPO terhadap keseimbangan

pasar minyak goreng sawit domestik. Data yang dipergunakan menjadi

keterbatasan dalam penelitian ini. Kode HS untuk Crude Palm Oil adalah HS

151110000, kode SITC untuk minyak goreng sawit adalah 42229 sedangkan

untuk industri minyak goreng sawit digunakan KLUI 5 digit yaitu 31154 dan

15144. Kemudian penelitian ini juga tidak membedakan antara minyak goreng

sawit kemasan bermerek dengan minyak goreng sawit curah.

Page 24: Ekspor Cpo

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Industri Kelapa Sawit Indonesia

2.1.1 Perkembangan Industri Kelapa Sawit di Indonesia

Walaupun tanaman kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun

tanaman ini dapat berkembang dengan baik dan produk olahannya, Crude Palm

Oil (CPO), menjadi salah satu komoditas perkebunan yang handal. Awal

mulanya, kelapa sawit hanya berperan sebagai tanaman hias langka di Kebun

Raya Bogor dan sebagai tanaman penghias jalan atau pekarangan.

Tahun 1848, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan 4 batang bibit

kelapa sawit dari Mauritius dan Amsterdam yang kemudian ditanam di Kebun

Raya Bogor. Selanjutnya hasil anakannya dipindahkan ke Deli, Sumatera Utara.

Mulai tahun 1911, barulah kelapa sawit dibudidayakan secara komersil

(Satyawibawa dalam Mahisya, 2004).

Kelapa sawit berasal dari benua Afrika, bukti tersebut diperkuat dengan

adanya analisis fosil yang dilakukan oleh Fridel. Fridel menemukan lemak dalam

botol disebuah makam pada daerah Abyados yang diperkirakan adalah kelapa

sawit. Begitu pula Zeven, Zeven melaporkan bahwa fosil dari serbuk sari di Niger

Delta sama dengan serbuk sari yang tumbuh saat ini. Serbuk sari yang ditemukan

tersebut menjadi bukti kuat bahwa kelapa sawit sudah dipelihara.

Awalnya masyarakat dunia tidak mengenal kelapa sawit kecuali Afrika

dan daerah-daerah tropik. Di Afrika, kelapa sawit dikenal sebagai tanaman

domestik dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan akan minyak dan vitamin A

Page 25: Ekspor Cpo

dalam susunan makanan. Kelapa sawit hanya digunakan oleh mereka yang

mengetahui manfaatnya sedangkan yang lain mengabaikan atau sekedar

membawanya saja. Sejak awal abad ke-19 kelapa sawit mulai diperdagangkan

karena masyarakat sudah banyak yang mengetahui manfaat dan kegunaannya.

Sekarang ini kelapa sawit mulai banyak dibudidayakan ditiga daerah tropik

ekuator, yaitu Afrika, Asia Tenggara dan Amerika.

2.1.2 Pengolahan Kelapa Sawit

Buah kelapa sawit dalam pengolahannya menghasilkan dua jenis minyak.

Minyak yang berasal dari daging buah (mesocarp) berwarna merah dikenal

sebagai minyak kelapa sawit kasar atau crude palm oil (CPO), sedangkan minyak

yang kedua berasal dari inti kelapa sawit atau palm kernel oil (PKO). Selain

minyak, buah kelapa sawit juga menghasilkan bahan padatan berupa sabut,

cangkang (tempurung) dan tandan buah kosong kelapa sawit. Bahan padatan ini

dapat dimanfaatkan untuk sumber energi, pupuk, makanan ternak dan bahan untuk

industri.

Keunggulan minyak sawit dapat dilihat dari susunannya yang terdiri dari

asam lemak tidak jenuh dan asam lemak jenuh. Minyak kelapa sawit juga

mengandung beta karoten atau pro-vitamin A, antioksidan dan pro-vitamin E

(tokoferol dan tokotrienol) yang sangat diperlukan dalam proses metabolisme dan

untuk kesehatan tubuh manusia.

Produk kelapa sawit dapat dikelompokkan dalam jenis bahan makanan

(oleofood), bahan non makanan (oleochemical) dan bahan kosmetika dan farmasi.

Page 26: Ekspor Cpo

Minyak kelapa sawit dan inti kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan pangan

diperoleh melalui proses fraksinasi, rafinasi dan hidrogenasi. Umumnya, sebagian

besar CPO difraksinasi sehingga menghasilkan fraksi olein (cair) dan fraksi

stearin (padat). Fraksi olein digunakan untuk bahan pangan, sedangkan fraksi

stearin untuk keperluan non pangan. Bahan pangan dengan bahan naku olein

antara lain : minyak goreng, mentega (margarine), lemak untuk masak

(shortening), bahan pengisi (adatif), industri makanan ringan dan sebagainya.

Minyak kelapa sawit sebagai bahan bukan pangan dapat digunakan untuk

bahan industri ringan maupun berat, antara lain untuk industri penyamakan kulit

agar menjadi lembut dan fleksibel. Industri tekstil menggunakan minyak sawit

sebagai pelumas yang tahan terhadap tekanan dan suhu yang tinggi. Minyak

kelapa sawit pun digunakan oleh industri perak sebagai bahan flotasi pada

pemisahan bijih tembaga dan cobalt. Dan pada industri ringan dipakai sebagai

bahan baku sabun, deterjen, semir sepatu, lilin, tinta cetak dan sebagainya.

Pengolahan minyak sawit melalui proses hidrolisis menghasilkan asam

lemak dan gliserin, yang selanjutnya dapat diproses menjadi turunan-turunan

asam lemak, seperti amine alcohol dan metilester. Bahan-bahan ini dapat

digunakan sebagai bahan dasar pembuatan cat dinding atau cat kayu, tinta cetak,

pasta gigi, pembuatan plastik, minyak diesel, kerosene atau gasoline.

Selain untuk industri bahan makanan dan non makanan, minyak kelapa

sawit juga mempunyai potensi yang cukup besar untuk industri kosmetik dan

industri farmasi. Sifat minyak kelapa sawit yang mudah diabsorbsi kulit, banyak

Page 27: Ekspor Cpo

dipakai untuk pembuatan shampo, krim, minyak rambut, sabun cair, lipstik dan

sebagainya.

2.1.3 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit

Perkembangan produksi kelapa sawit di Indonesia selama tujuh tahun

terakhir cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun berkisar antara

8,44-19,94 persen. Pada tahun 2000 produksi kelapa sawit mencapai 7,00 juta ton

dan meningkat 19,94 persen pada tahun 2001 menjadi sebesar 8,40 juta ton.

Selanjutnya pada tahun 2002 meningkat lagi sebesar 14,60 persen menjadi 9,62

juta ton dan meningkat 8,51 persen pada tahun 2003 menjadi sebesar 10,44 juta

ton. Pada tahun 2004 produksi kelapa sawit meningkat sekitar 18,6 persen atau

menjadi 12,33 juta ton, sedangkan pada tahun 2005 produksi kelapa sawit sebesar

14,62 juta ton yang berarti meningkat sekitar 18,61 persen. Produksi kelapa sawit

kembali mengalami peningkatan sekitar 9,44 persen pada tahun 2006 sehingga

menjadi sebesar 16,00 juta ton. Perkembangan produksi kelapa sawit Indonesia

tahun 2000-2006 disajikan pada Gambar 2.1.

Page 28: Ekspor Cpo

Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006 (diolah). Gambar 2.1 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit Indonesia

Tahun 2000-2006

2.1.4 Perkembangan Ekspor Kelapa Sawit

Produksi minyak sawit Indonesia sebagian besar dipasarkan ke

mancanegara (diekspor) dan sisanya dipasarkan di dalam negeri. Pangsa pasar

untuk produk minyak sawit tersebut telah menjangkau kelima benua yakni Asia,

Afrika, Australia, Amerika dan Eropa. Namun demikian Asia merupakan pangsa

pasar yang paling utama.

Perkembangan ekspor minyak sawit periode 2000-2006 cenderung

mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 dan 2001 volume ekspor minyak sawit

Indonesia masing-masing mencapai 4,11 dan 4,90 juta ton dengan nilai ekspor

sebesar US$ 1,09 milyar dan US$ 1,08 milyar. Dan di tahun 2002, volume ekspor

minyak sawit Indonesia meningkat sekitar 29,17 persen menjadi sebesar 6,33 juta

ton dengan nilai ekspor mencapai US$ 2,09 milyar dan pada tahun 2003

mengalami peningkatan lagi sebesar 0,83 persen atau menjadi 6,39 juta ton

dengan nilai sebesar US$ 2,45 milyar. Pada tahun 2004 volume ekspor mengalami

02000000400000060000008000000

1000000012000000140000001600000018000000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006Tahun

Prod

uksi

CPO

(Ton

)

Page 29: Ekspor Cpo

kenaikan yakni menjadi 8,66 juta ton atau meningkat 35,63 persen dan nilainya

mencapai US$ 3,44 milyar.

Ekspor minyak sawit kembali mengalami peningkatan (19,79%) pada

tahun 2005 dengan volume sebesar 10,38 juta ton dan nilai sebesar US$ 3,76

milyar. Pada tahun 2006 mengalami kenaikkan sebesar 16,61 persen atau menjadi

12,10 juta ton dengan nilai mencapai sebesar US$ 4,82 milyar.

Ekspor CPO Indonesia cenderung meningkat berkisar 1,73-51,68 persen

selama periode 2000-2006. Perkembangan ekspor CPO Indonesia tahun 2000-

2006 dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006 (diolah).

Gambar 2.2 Perkembangan Ekspor CPO Indonesia Tahun 2000-2006

CPO Indonesia diekspor ke berbagai negara tujuan. Pada tahun 2006, lima

besar negara yang menjadi pengimpor CPO Indonesia berturut-turut yaitu India

yang volume ekspornya mencapai 1,89 juta ton atau sebesar 36,42 persen terhadap

total volume ekspor CPO Indonesia dengan nilai sebesar US$ 738,3 juta,

peringkat kedua adalah Belanda dengan volume ekspor sebesar 0,83 juta ton atau

0

2000000

4000000

6000000

8000000

10000000

12000000

14000000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Tahun

Eksp

or C

PO (T

on)

Page 30: Ekspor Cpo

memiliki kontribusi 16,05 persen dan nilai ekspornya sebesar US$ 322,4 juta.

Kemudian yang ketiga adalah Singapura dengan kontribusi 9,41 persen atau

volume ekspornya sebesar 0,49 juta ton dengan nilai ekspor US$ 185,5 juta,

sementara itu Malaysia dan Jerman berada di posisi keempat dan kelima. Ekspor

CPO ke Malaysia pada tahun 2006 mencapai 0,47 juta ton atau sekitar 9,02 persen

dengan nilai ekspor sebesar US$ 166 juta, sedangkan untuk Jerman sebesar 0,17

juta ton atau 3,35 persen dengan nilai ekspor mencapai US$ 68,9 juta. Besarnya

persentase volume ekspor CPO dari lima negara terbesar pengimpor CPO

Indonesia tahun 2006 disajikan pada Gambar 2.3 di bawah ini.

Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006 (diolah). Gambar 2.3 Persentase Volume Ekspor CPO Indonesia Menurut Negara

Tujuan Tahun 2000-2006

2.2 Gambaran Umum Industri Minyak Goreng Indonesia

Minyak goreng merupakan salah satu bahan makanan pokok yang

dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, baik yang berada di

pedesaan maupun di perkotaan. Oleh karena itu, minyak goreng dapat pula

dikategorikan sebagai komoditas yang cukup strategis, karena pengalaman yang

37%

16%9%3%9%

26% India Belanda Malaysia Jerman SingapuraLainnya

Page 31: Ekspor Cpo

ada selama ini menunjukkan bahwa kelangkaan minyak goreng dapat

menimbulkan dampak ekonomis dan politis yang cukup berarti bagi

perekonomian nasional.

Minyak goreng merupakan minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau

hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya

digunakan untuk menggoreng makanan. Minyak goreng dari tumbuhan biasanya

dihasilkan dari tanaman seperti kelapa, kelapa sawit, biji-bijian, kacang-kacangan,

jagung, kedelai dan kanola.

Minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat pada masa sebelum orde

baru dan sampai pada awal pembangunan jangka panjang (PJP) I, didominasi oleh

jenis minyak goreng asal kelapa. Semenjak semakin meningkatnya produksi

kelapa sawit pada tahun 1970-an, minyak goreng asal kelapa tergeser oleh minyak

goreng asal sawit. Dibandingkan dengan minyak sawit, minyak kelapa

mengandung lemak jenuh dalam jumlah tinggi dan diperkirakan sebagai penyebab

penyakit jantung koroner. Rendahnya lemak jenuh dalam minyak sawit

dikarenakan adanya proses pemanasan dan pengepresan dalam produksi minyak

sawit.

Keunggulan lain yang dimiliki oleh minyak sawit dibandingkan minyak

kelapa adalah harga minyak kelapa sawit lebih murah dan juga warnanya lebih

jernih sehingga aman bagi kesehatan. Bagi masyarakat yang sudah paham

pentingnya kesehatan mereka lebih memilih minyak goreng yang berbahan baku

dari minyak kelapa sawit.

Page 32: Ekspor Cpo

Pada awal masa perkembangannya, industri minyak goreng Indonesia

dimulai dari skala rumah tangga dengan menggunakan bahan baku yang berasal

dari minyak kelapa. Sistem perdagangan minyak goreng saat itu dilakukan dalam

bentuk minyak goreng curah, dan selanjutnya mulailah bermunculan minyak

goreng bermerek. Sejalan dengan diperkenalkannya tanaman kelapa sawit sebagai

salah satu tanaman perkebunan di Indonesia, minyak kelapa mulai tergeser

posisinya sebagai bahan baku minyak goreng oleh minyak kelapa sawit. Minyak

kelapa sawit mendominasi penggunaannya sebagai bahan baku industri minyak

goreng nasional. Pergeseran posisi tersebut dikarenakan minyak sawit mentah

yang berasal dari pohon kelapa sawit lebih mudah dibudidayakan. Budidaya

kelapa sawit tidak tergantung musim tertentu, lebih tahan hama dan dapat

diusahakan dalam skala besar sehingga dapat mencapai skala ekonomi tertentu.

Sistem pemasaran minyak goreng dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan

swasta. Akan tetapi mengingat bahwa minyak goreng merupakan komoditas

strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak, pemerintah selalu

memantau perkembangan pemasarannya agar ketersediaan minyak goreng dipasar

selalu tercukupi dengan harga yang relatif stabil.

Pangsa pasar produk minyak goreng saat ini diperebutkan oleh sekitar 120

produsen lokal yang masih aktif berproduksi dengan kapasitas produksi sebesar

8,5 juta ton. Beberapa konglomerat yang terjun dalam bisnis perkebunan dan

pengolahan kelapa sawit diantaranya adalah Salim grup (produsen Bimoli),

Sinarmas grup (produsen Filma), Astra grup, Bakrie grup, Musi Mas grup, Hasil

Karsa grup, Bukit Kapur grup dan Raja Garuda Mas. Kelompok di atas memiliki

Page 33: Ekspor Cpo

industri terpadu mulai dari perkebunan sawit, pengolahan CPO dan pabrik minyak

goreng.

2.2.1 Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit Indonesia

Pada Tabel 2.1 terlihat bahwa perkembangan industri minyak goreng sawit

pada enam tahun terakhir mengalami peningkatan sejalan dengan beralihnya pola

konsumsi masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng sawit.

Rata-rata pertumbuhan produksi minyak goreng sawit di Indonesia selama

periode 1999-2005 sebesar 10,6 persen. Sedangkan konsumsi per kapita minyak

goreng di Indonesia mencapai 16,5 kilogram per tahun dimana konsumsi per

kapita khusus untuk minyak goreng sawit sebesar 14,6 kilogram per kapita per

tahun. Konsumsi minyak goreng sawit yang relatif tinggi ini sejalan dengan

beralihnya pola konsumsi masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak

goreng sawit serta tingginya laju pertumbuhan penduduk Indonesia, yaitu sebesar

1,28 persen per tahun, dimana konsumsi minyak goreng terbesar adalah konsumsi

langsung oleh masyarakat. Perkembangan produksi dan konsumsi minyak goreng

sawit Indonesia disajikan pada Tabel 2.1.

Page 34: Ekspor Cpo

Tabel 2.1 Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit di Indonesia Tahun

2000-2005

Tahun Produksi

(000 Ton)

Pertumbuhan

(%)

Konsumsi/Kap

(Kg/Kap/Tahun)

Pertumbuhan

(%)

2000 6.950 11,2 13,76 -1,6

2001 7.660 10,2 13,97 1,5

2002 9.060 18,3 14,28 2,2

2003 10.110 11,6 14,72 3,1

2004 10.955 8,4 15,38 4,5

2005 11.938 9,0 16,03 4,2

Sumber : Badan Pusat Statistik, Neraca Bahan Makanan dan Statistik Industri Besar dan Sedang Volume II 1999-2005 (diolah).

2.3 Tinjauan Kebijakan Pemerintah di Sektor Industri Minyak Sawit

Kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah pada industri

kelapa sawit tidak hanya dari sisi peningkatan produksi namun yang lebih

kompleks pada sisi pengaturan tataniaga minyak sawit. Hal ini telah dilakukan

sejak tahun 1978 (Lampiran 1). Berbagai instrumen kebijakan telah diaplikasikan

untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : (1) pengendalian laju inflasi dan

mencegah penurunan pendapatan riil masyarakat, dan (2) pengendalian pasokan

minyak sawit kasar di dalam negeri melalui pembatasan ekspor untuk menjaga

kestabilan harga minyak goreng (Amang, 1996).

Beberapa instrumen kebijakan pemerintah yang digunakan untuk

mencapai tujuan tersebut adalah (1) penetapan pungutan ekspor, (2) penetapan

alokasi kebutuhan dalam negeri berupa pembatasan ekspor, (3) pemupukan

cadangan penyangga minyak sawit kasar dan (4) pelarangan ekspor. Instrumen

yang sangat populer dan banyak menimbulkan kontroversi antar pihak-pihak yang

Page 35: Ekspor Cpo

berkepentingan adalah pajak ekspor (tax export) dan pelarangan ekspor (export

ban).

2.4 Studi Terdahulu

2.4.1 Penelitian Mengenai CPO

Penelitian Mahisya (2004), menganalisa permintaan ekspor CPO

Indonesia. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan Error Correction Model

(ECM). Mahisya menyimpulkan bahwa perkembangan harga domestik memiliki

pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekspor. Hal ini dapat dijelaskan

bahwa pertumbuhan harga domestik suatu negara yang meningkat menandakan

adanya defisit supply terhadap komoditi CPO, defisit ini terjadi pada pasar dunia

yang juga memberikan imbas bagi pasar domestik suatu negara, karena adanya

defisit suplai dari pasar dunia maka akan memicu harga CPO dunia meningkat

dan berefek juga produsen CPO dalam negeri untuk melakukan ekspor untuk

memenuhi kebutuhan CPO dunia. Sementara itu, deflasi nilai tukar rupiah

berhubungan positif dengan volume permintaan ekspor, hal ini disebabkan karena

deflasi nilai tukar rupiah yang semakin meningkat menyebabkan harga CPO

Indonesia dipasar dunia akan dirasakan lebih murah oleh konsumen diluar negeri

sehingga mereka meningkatkan permintaannya terhadap CPO Indonesia.

Penelitian tentang CPO juga dilakukan oleh Askadarimi (2007)

mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan minyak sawit

(CPO) Indonesia dengan menggunakan metode Two-Stage Least Squares (2SLS).

Hasil penelitian Askadarimi menunjukkan bahwa produksi minyak sawit (CPO)

Indonesia tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi luas areal kelapa

Page 36: Ekspor Cpo

sawit dan produktivitas minyak sawit Indonesia. Persamaan luas areal kelapa

sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil CPO domestik, harga riil

karet domestik, dummy kebijakan perluasan areal kelapa sawit Indonesia dan luas

areal kelapa sawit Indonesia tahun sebelumnya. Pada persamaan produktivitas

kelapa sawit Indonesia menunjukkan bahwa harga riil ekspor CPO, dummy

kebijakan perluasan areal kelapa sawit dan produktivitas CPO Indonesia tahun

sebelumnya berpengaruh nyata, sedangkan harga riil CPO domestik dan harga riil

pupuk domestik tidak berpengaruh secara nyata. Pengenaan pajak ekspor CPO

untuk pengamanan pasokan domestik mestinya hanya menjadi kebijakan jangka

pendek, sedangkan dalam jangka panjang kebijakan dari sisi produksi akan lebih

efektif.

2.4.2 Penelitian Mengenai Minyak Goreng Sawit dan Minyak Goreng Kelapa

Hasil kajian yang dilakukan oleh Suharyono (1996) mengkaji mengenai

Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi pada Komoditi Minyak Sawit dan Hasil

Industri yang Menggunakan Bahan Baku Minyak Sawit di Indonesia. Data yang

digunakan pada penelitian tersebut adalah data sekunder dalam time series periode

1969-1993. model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

ekonometrika persamaan simultan yang diduga dengan metode pangkat dua

terkecil tiga tahap atau Linear Three Stage Least Squares (LTSLS). Hasil estimasi

menunjukkan bahwa luas areal produktif tidak responsif terhadap perubahan

masing-masing peubah eksogen yang diperhitungkan dalam model, disamping itu

Page 37: Ekspor Cpo

produktivitas minyak sawit domestik hanya responsif terhadap perubahan harga

ekspor.

Produksi minyak sawit domestik responsif terhadap permintaan minyak

sawit dunia, sedangkan produksi minyak goreng sawit domestik responsif

terhadap teknologi dan permintaan minyak goreng sawit domestik. Disamping itu

produksi margarine dan sabun baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang

juga responsif terhadap permintaan sabun. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan

permintaan minyak sawit minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit akan

besar pengruhnya bagi permintaan minyak sawit domestik secara keseluruhan.

Permintaan minyak goreng sawit, margarine dan sabun baik dalam jangka pendek

maupun dalam jangka panjang responsif terhadap perubahan pendapatan nasional.

Khusus untuk permintaan minyak goreng sawit, dalam jangka panjang juga

dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit dan harga minyak goreng kelapa.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang hubungan minyak goreng

sawit dan minyak goreng kelapa dilihat dari sisi konsumen lebih cenderung

bersifat substitusi.

Peubah trend teknologi ternyata mampu memberikan pengaruh yang besar

pada perubahan penawaran minyak goreng sawit domestik, margarine dan sabun.

Hal ini tidak terjadi pada penawaran minyak sawit domestik. Namun demikian

harga minyak sawit domestik hanya memberikan dampak yang besar pada

penawaran penawaran minyak sawit domestik. Perubahan harga minyak sawit

dunia dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh yang besar terhadap

perubahan harga ekspor minyak sawit Indonesia. Sedangkan harga ekspor minyak

Page 38: Ekspor Cpo

sawit Indonesia ke pasar Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) ternyata memberikan

pengaruh yang besar pada perubahan volume ekspor komoditi itu ke pasar MEE.

Selama kurun waktu 1969-1993 ternyata tidak terjadi perkembangan

teknologi yang cukup berarti. Hal ini terlihat dengan tidak responsifnya perubahan

harga, baik minyak sawit, minyak goreng sawit, margarine maupun sabun

terhadap perubahan teknologi.

Kebijakan ekonomi yang dinilai paling ideal, karena mampu

meningkatkan total surplus produsen domestik, total surplus konsumen domestik

dan total surplus devisa, baik dalam pasar terkendali maupun yang bebas adalah

(1) kebijakan penurunan tingkat bunga sebesar tiga persen dari tingkat bunga

tertinggi; (2) kebijakan peningkatan harga pupuk sebesar lima puluh persen dari

harga pupuk rata-rata dan; (3) kebijakan peningkatan pendapatan nasional.

Penelitian mengenai minyak goreng juga dilakukan oleh Ratri (2004) yang

menganalisis permintaan dan dan penawaran minyak goreng kelapa di Indonesia

dengan menggunakan metode persamaan simultan 2SLS. Hasil estimasi dari

penelitian Ratri menunjukkan bahwa persamaan penawaran menunjukkan bahwa

harga minyak goreng kelapa, harga minyak kelapa kasar dan stok tahun

sebelumnya tidak berpengaruh nyata pada penawaran sedangkan upah dan trend

berpengaruh nyata terhadap penawaran. Hasil estimasi persamaan permintaan

menunjukkan bahwa harga minyak goreng kelapa, harga minyak goreng sawit,

trend dan permintaan tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap permintaan,

sedangkan hasil estimasi persamaan ekspor menunjukkan bahwa harga ekspor,

nilai tukar dan dummy kebijakan pembebasan ekspor berpengaruh nyata terhadap

Page 39: Ekspor Cpo

ekspor. Semua variabel dalam persamaan penawaran, permintaan dan ekspor tidak

responsif dalam jangka pendek.

2.4.3 Penelitian Mengenai Two-Stage Least Square (2SLS)

Jamaludin (2005) melakukan penelitian dengan menggunakan metode

Two- Stage Least Square (2SLS) untuk menganalisis dampak kebijakan

perdagangan gandum-tepung terigu terhadap keseimbangan tepung terigu di

Indonesia. Model yang dirumuskan oleh Jamaludin terdiri dari 7 persamaan yang

di dalamnya terdiri dari persamaan identitas dan persamaan struktural. Seluruh

jumlah variabel yang membangun berjumlah 29 variabel. Hasil penelitiannya

menyimpulkan bahwa produksi tepung terigu Indonesia secara nyata dipengaruhi

oleh variabel harga tepung terigu domestik, jumlah impor gandum, upah tenaga

kerja di sektor Industri, dan bedakala produksi tepung terigu Indonesia.

Permintaan tepung terigu ditentukan dan responsif terhadap harga tepung terigu

domestik, pendapatan nasional, jumlah penduduk dan dummy kebijakan

perdagangan impor gandum-tepung terigu. Sedangkan untuk harga tepung terigu

domestik secara nyata ditentukan oleh penawaran tepung terigu Indonesia dan

trend waktu.

Widayunita (2007) juga melakukan penelitian dengan menggunakan

metode 2SLS untuk menganalisa daya saing industri semen Indonesia periode

1978-2005. Dalam penelitiannya Ia menggunakan metode 2SLS dan metode

Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi daya saing industri semen Indonesia dan pengaruh daya saing

Page 40: Ekspor Cpo

terhadap penyerapan tenaga kerja. Penelitian Pristia menggunakan dua persamaan

struktural yang diestimasi dengan menggunakan persamaan simultan. Kedua

persamaan tersebut diubah kedalam bentuk double log, kecuali variabel-variabel

yang sudah dalam bentuk persen. Bentuk logaritma menunjukkan persentase

perubahan variabel independent terhadap variabel dependent. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa industri semen Indonesia memiliki tingkat daya saing yang

kuat di pasar internasional. Daya saing industri semen Indonesia dipengaruhi

secara positif oleh produktivitas, efisiensi, ekspor semen Indonesia, nilai tukar

rupiah terhadap mata uang asing, jumlah tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja

dan dipengaruhi secara negatif oleh dummy krisis. Daya saing industri semen

Indonesia berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja.

Page 41: Ekspor Cpo

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan atau pertukaran secara ekonomi dapat diartikan sebagai

proses tukar-menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela. Perdagangan akan

terjadi bila diantara pihak yang melakukan perdagangan mendapatkan manfaat

atau keuntungan. Demikian pula halnya dengan perdagangan internasional. Dalam

arti sempit, perdagangan internasional merupakan suatu proses yang timbul

sehubungan dengan pertukaran komoditi antar negara. Apabila perdagangan

internasional tidak ada, maka masing-masing negara harus mengkonsumsi hasil

produksinya sendiri (Salvatore, 1997).

Perdagangan internasional dalam arti luas merupakan alat penggerak bagi

pertumbuhan sektor ekonomi di suatu negara. Seiring dengan terus meningkatnya

taraf hidup dan kebutuhan masyarakat, meningkatnya peran teknologi,

komunikasi, sumberdaya, serta perubahan politik dunia, maka kehidupan suatu

negara akan semakin terkait dengan perkembangan keadaan negara lain.

Menurut Halwani dalam Ervina (2005) negara-negara akan melakukan

perdagangan bila mereka memperoleh manfaat atau keuntungan didalam

perdagangan tersebut (gains from trade). Karena dengan adanya perdagangan

internasional akan berdampak cukup luas terhadap perekonomian suatu negara,

baik aspek ekonomi maupun non-ekonomi. Ada dua alasan mengapa hal ini

Page 42: Ekspor Cpo

terjadi yaitu karena setiap negara mempunyai keunggulan komparatif yang

berbeda dan untuk tujuan skala ekonomis (economic of scale).

Pada dasarnya beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan

internasional suatu negara dengan negara lainnya bersumber dari keinginan

memperluas pasaran komoditi ekspor, memperbesar penerimaan devisa bagi

kegiatan pembangunan, adanya perbedaan penawaran dan permintaan antar

negara, serta akibat adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditi

tertentu. Dalam teori mengenai timbulnya perdagangan internasional, Heckser-

Ohlin menganggap bahwa suatu negara dicirikan oleh faktor bawaan yang

berbeda, sedangkan fungsi produksi di semua negara adalah sama. Berdasarkan

asumsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan fungsi produksi yang sama dan

faktor bawaan yang berbeda antar negara, suatu negara cenderung untuk

mengekspor komoditi yang menggunakan faktor produksi yang lebih banyak dan

secara relatif murah, dan mengimpor barang-barang yang menggunakan faktor-

faktor produksi yang relatif langka dan mahal (Salvatore, 1997).

Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu

komoditi (misal CPO) ke negara lain (misal negara B) karena harga domestik di

negara A lebih rendah jika dibandingkan dengan harga domestik di negara B.

Struktur harga yang relatif rendah di negara A tersebut disebabkan adanya

kelebihan penawaran (excess supply) yaitu produksi domestik yang melebihi

konsumsi domestik. Dalam hal ini faktor produksi di negara A relatif berlimpah.

Dengan demikian negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan

produksinya ke negara lain. Di pihak lain, negara B terjadi kekurangan penawaran

Page 43: Ekspor Cpo

karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik (excess demand)

sehingga harga menjadi tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk

membeli komoditi negara lain yang harganya relatif lebih murah. Jika kemudian

terjadi komunikasi antara negara A dan negara B, maka dapat terjadi perdagangan

antara kedua negara tersebut dimana negara A akan mengekspor komoditi CPO ke

negara B (Salvatore, 1997).

Secara grafis terjadinya perdagangan antara negara A dan negara B dapat

dilihat pada Gambar 3.1. Sebelum terjadi perdagangan internasional,

keseimbangan di negara A terjadi pada titik Ea dengan jumlah produksi sebesar

Qa1 dan harga yang terjadi adalah P1. Di negara B keseimbangan terjadi pada titik

Eb dengan dengan jumlah produksi sebesar Qb1 dan harga yang terjadi adalah

sebesar P3. Harga di negara A (P1) lebih rendah daripada harga di negara B (P3).

Produsen di negara A akan memproduksi lebih banyak dari tingkat

konsumsi domestik untuk harga di atas P1. Hal tersebut akan menyebabkan

terjadinya excess supply di negara A. Sementara untuk harga di bawah P3, negara

B akan meminta lebih banyak dari tingkat produksi domestiknya. Hal tersebut

akan menyebabkan terjadinya excess demand di negara B. Kemudian terjadilah

perdagangan antara negara A dan negara B. Penawaran ekspor pada pasar

internasional digambarkan oleh kurva Sw yang merupakan excess supply dari

negara A. Permintaan impor digambarkan oleh kurva Dw yang merupakan excess

demand dari negara B. Keseimbangan di pasar dunia terjadi pada titik Ew yang

menghasilkan harga dunia sebesar P2 dimana negara A mengekspor sebesar

(Qa2-Qa3) yang sama jumlahnya dengan yang diimpor negara B (Qb2-Qb3) jumlah

Page 44: Ekspor Cpo

ekspor dan impor tersebut ditunjukkan oleh volume perdagangan sebesar Qw pada

pasar dunia.

Grafik A Grafik B Grafik C Pasar di negara A Hubungan perdagangan Pasar di Negara B Untuk komoditi CPO internasional untuk komoditi untuk komoditi CPO CPO

3.1.2Teori Nilai Tukar

Kegiatan ekspor suatu komoditi yang terjadi di pasar internasional tidak

terlepas dari masalah nilai tukar yang terjadi. Nilai tukar adalah harga mata uang

suatu negara yang dinyatakan dalam mata uang lain yang dapat dibeli dan dijual

(Lipsey, 1995). Nilai tukar ini akan mempengaruhi kebijakan perdagangan antara

masing-masing negara pengekspor dan pengimpor. Peningkatan atau penurunan

nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing dapat mempengaruhi volume

ekspor yang diperdagangkan. Bertambah mahal atau murahnya suatu komoditas

Q Q

Ekspor SA

B A

Ea

P P3 P2=Pw P1

Sw

Ew

DA

Dw

P P3 P2

A B

Impor

Eb SB

DB

Sumber : Salvatore, 1997 Gambar 3.1 Terjadinya Perdagangan Internasional

Qa2 Qa1 Qa3 Qb2 Qb1 Qb3 Qw

P P2=Pw P1

Q

Page 45: Ekspor Cpo

ekspor di pasar internasional sangat ditentukan oleh nilai tukar mata uang suatu

negara.

Kondisi nilai tukar seperti terdepresiasinya Rupiah terhadap Dollar

Amerika merupakan faktor yang dapat menyebabkan pergeseran kurva penawaran

ke kanan. Terdepresiasinya Rupiah terhadap Dollar Amerika membuat harga CPO

Indonesia relatif lebih murah sehingga mendorong terjadinya peningkatan jumlah

penawaran ekspor. Mekanisme pengaruh perubahan nilai tukar terhadap volume

ekspor dapat dilihat pada Gambar 3.2. Apabila di negara A terjadi depresiasi nilai

tukar yang terlihat pada penurunan nilai tukar dari e1 menjadi e2. Penurunan nilai

tukar yang terjadi menyebabkan terjadinya peningkatan output pada kurva IS.

Peningkatan output ini terjadi karena adanya peningkatan ekspor bersih

sebagaimana ditunjukkan pada gambar perpotongan keynesian. Oleh karenanya

dapat disimpulkan bahwa penurunan nilai tukar (depresiasi) menyebabkan

tejadinya peningkatan volume ekspor. Selanjutnya dapat dijelaskan pula

bagaimana mekanisme peningkatan volume ekspor yang disebabkan penurunan

nilai tukar pada gambar perdagangan internasional. Semula sebelum terjadinya

penurunan nilai tukar, besarnya excess supply di negara A sebesar X1X2. Setelah

terjadinya penurunan nilai tukar menyebabkan terjadinya peningkatan excess

supply menjadi X3X4. Kondisi ini mengakibatkan kurva supply dunia mengalami

pergeseran dengan titik awal yang sama. Pergeseran kurva supply dunia dari SW

menjadi SW1 menyebabkan tingkat harga dunia yang terjadi lebih rendah dan

volume perdagangan internasional meningkat dari 0Q menjadi 0Q1. Negara

pengimpor merespon perubahan harga ini dengan meningkatkan jumlah impornya.

Page 46: Ekspor Cpo

Besarnya volume ekspor negara A setelah depresiasi nilai tukar (X3X4.) sama

dengan besarnya volume impor negara B (M3M4).

Pengeluaran Pengeluaran aktual

NX2

NX1

E

Y1 Y2

Y1 Y2

Negara Pengimpor

e2

e1

Kurs, e

e2

e1

(Output)

Kurs, e

Perdagangan Internasional

SA DA

(Ekspor bersih) NX2 NX1

SW1

SW

X2 X3 X4 X1

Negara Pengekspor

Q1 Q

DW

M3 M2 M4 M1

SB DB

Pw

0

Sumber : Mankiw, 2003 Gambar 3.2 Dampak Depresiasi Mata Uang Negara Eksportir pada

Keseimbangan Perdagangan Internasional

Page 47: Ekspor Cpo

3.1.3 Teori Penawaran Ekspor CPO Indonesia

Penawaran suatu komoditas merupakan jumlah komoditas yang

ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar pada tingkat harga

dan waktu tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran suatu

komoditas adalah harga komoditas yang bersangkutan, harga faktor produksi,

tingkat teknologi, pajak dan subsidi (Lipsey dkk, 1995).

Berdasarkan pengertian lebih luas, ekspor suatu negara merupakan

kelebihan penawaran domestik atau produksi barang atau jasa yang tidak

dikonsumsi oleh konsumen dari negara yang bersangkutan atau tidak disimpan

dalam bentuk stok (Kindleberger and Lindert, 1982). Dengan pengertian ini, maka

ekspor minyak sawit dapat didefinisikan sebagai berikut :

Xt = Q – Ct + St (3.1)

Dimana :

Xt = Jumlah ekspor pada tahun ke-t

Qt = Jumlah produksi domestik pada tahun ke-t

Ct = Jumlah konsumsi pada tahun ke-t

St = Jumlah stok awal tahun ke-t

Asumsi yang digunakan dalam (3.1) adalah impor minyak sawit negara

pengekspor relatif sangat kecil dibandingkan dengan jumlah produksinya,

sehingga dapat diabaikan. Konsumsi domestik negara produsen pada umumnya

relatif stabil sehingga dapat diabaikan. Mengingat besarnya tingkat produksi

minyak sawit bila dibandingkan dengan permintaannya, maka walaupun terdapat

stok di negara produsen diduga bukanlah berfungsi sebagai penyangga (buffer),

Page 48: Ekspor Cpo

namun merupakan sisa produksi pada akhir tahun yang tidak dapat disalurkan di

pasar internasional.

Penawaran ekspor suatu negara juga dipengaruhi oleh tingkat bunga dan

nilai tukar valuta asing di negara pengekspor dan di negara partner dagang negara

pengekspor (Branson and Litvack dalam Imi, 2007). Demikian juga harga minyak

sawit negara produsen lain sebagai mitra dagang, berbagai kebijakan pemerintah

suatu negara atau kebijaksanaan internasional, tidak kalah pentingnya dalam

mempengaruhi keragaman ekspor suatu negara. Dengan demikian, maka fungsi

penawaran ekspor minyak sawit suatu negara dalam bentuk dinamis dapat

dirumuskan sebagai berikut ;

Xt = f (HXt, HDIt, Qt, XRt, Vt, Xt-1) (3.2)

Dimana :

HXt = Harga ekspor minyak sawit pada tahun t

HDIt = Harga minyak sawit domestik pada tahun t

Qt = Produksi pada tahun t

ERt = Nilai tukar mata uang asing pada tahun t

Vt = Faktor – faktor lain yang mempengaruhi ekspor tahun t

Xt-1 = Jumlah ekspor minyak sawit pada tahun t-1

3.1.4 Kebijakan Pajak Ekspor

Proses perdagangan internasional yang dilakukan oleh berbagai negara

diwarnai dengan adanya hambatan-hambatan perdagangan yang dilakukan oleh

suatu negara untuk tujuan tertentu seperti untuk meningkatkan kesejahteraan

Page 49: Ekspor Cpo

nasional, dan sebagainya. Hambatan perdagangan yang diterapkan oleh suatu

negara dapat mempengaruhi harga suatu komoditi yang diperdagangkan. Apabila

negara yang memberlakukan hambatan perdagangan adalah negara besar, maka

pemberlakuan hambatan tersebut akan berpengaruh pada harga komoditi

perdagangan dunia. Namun, jika negara yang memberlakukan hambatan

perdagangan adalah negara kecil maka pemberlakuan hambatan tersebut hanya

berpengaruh pada harga komoditi di negara tersebut.

Negara-negara dapat menghambat perdagangan luar negeri dengan

membuat hambatan ekspor maupun impor. Salah satu bentuk hambatan

perdagangan yang sering diterapkan di negara eksportir adalah kebijakan tarif

ekspor, yaitu pajak yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diekspor ke negara

lain.

Piermartini dalam Fitri (2007) menjelaskan bahwa produk yang menjadi

subjek untuk pajak ekspor biasanya merupakan produk pertanian seperti gula,

kopi, produk kehutanan, kakao, minyak kelapa sawit, produk perikanan, mineral,

produk logam dan produk kulit. Efek pajak ekspor tergantung pada kekuatan pasar

yang ada. Pelaksanaan pajak ekspor oleh negara yang memiliki kekuatan pasar

akan lebih efektif dibandingkan dengan negara tanpa kekuatan pasar dalam hal

mempengaruhi harga internasional, volume perdagangan dan distribusi

pendapatan. Sementara itu, dampak pajak ekspor pada suatu negara yang tidak

memiliki kekuatan pasar akan memperburuk pertumbuhan ekonomi dan

kesejahteraan sosial. Bagaimanapun apabila terjadi peningkatan perdagangan, hal

tersebut akan diikuti dengan peningkatan harga ekspor.

Page 50: Ekspor Cpo

P

Q Q

D Sd

Se1

Se2

Se

De

Pe2

Pe1

P1 P2

P0

Q1 Q5 Q3 Q4 Q6 Q2

Industri CPO Ekspor CPO

P

Sumber : Puteri et all. dalam Fitri, 2007 Gambar 3.3 Dampak Pemberlakuan Pungutan Ekspor

CPO Terhadap Industri CPO

Crude palm Oil (CPO) adalah salah satu komoditas ekspor perkebunan

yang telah dikenakan pungutan ekspor. Sejak Maret 2001 sampai dengan

November 2005, ekspor CPO dikenakan tarif pungutan ekspor sebesar tiga persen.

Pengaruh pajak ekspor terhadap harga, permintaan, dan penawaran domestik

dibandingkan dengan tidak dikenakan pungutan ekspor dapat dijelaskan pada

Gambar 3.3.

Pada saat tidak dikenakan pajak ekspor maka harga ekspor akan sama

dengan harga domestik, yaitu sebesar P0. Dengan harga tersebut, jumlah CPO

domestik yang ditawarkan sebanyak Q2 dan jumlah yang diminta perusahaan

domestik sebanyak Q1, sehingga banyaknya CPO yang diekspor sebesar Q1Q2.

Dengan pengenaan tarif ekspor sebesar tiga persen maka kurva penawaran (Se)

akan bergeser ke kiri atas menjadi Se1. Pada saat itu harga ekspor sebesar Pe1,

Page 51: Ekspor Cpo

tetapi yang diterima eksportir sebesar P1, yang lebih rendah dari P0. Akibatnya

jumlah CPO domestik yang ditawarkan sebesar Q4 sedangkan yang diminta oleh

perusahaan domestik sebesar Q3. Hal ini berakibat jumlah yang diekspor

berkurang menjadi Q3Q4 (lebih kecil dari Q1Q2). Disisi lain, penurunan ekspor

CPO ini berpengaruh terhadap industri hilirnya yaitu minyak goreng sawit, karena

industri tersebut akan lebih banyak menerima pasokan bahan baku, sehingga

stabilitas harga minyak goreng sawit yang mencerminkan keseimbangan pasar

minyak goreng sawit dalam negeri dapat terjaga.

Pajak ekspor CPO sejak Desember 2005 diturunkan dari tiga persen

menjadi 1,5 persen. Dampak penurunan ini juga dapat dijelaskan pada Gambar

3.3. Penurunan pajak ekspor dari tiga persen menjadi 1,5 persen dapat

digambarkan oleh pergeseran kurva penawaran ekspor dari Se1 menjadi Se2.

Dengan asumsi permintaan ekspor tetap, maka harga ekspor turun dari Pe1

menjadi Pe2 dan harga yang diterima eksportir (produsen CPO) meningkat dari P1

menjadi P2. Hal ini menjadi daya tarik bagi para produsen CPO untuk lebih

banyak lagi dalam mengekspor CPO. Akibatnya jumlah CPO domestik yang

ditawarkan meningkat dari Q6, yang diminta turun dari Q3 menjadi Q5 dan yang

diekspor meningkat dari Q3Q4 menjadi Q5Q6. Hal ini akan berpengaruh pada

kelangkaan bahan baku untuk industri minyak goreng sawit dalam negeri

sehingga supply minyak goreng sawit menjadi berkurang yang akan memicu

kenaikan harga minyak goreng sawit dalam negeri.

Page 52: Ekspor Cpo

3.1.5 Teori Penawaran Minyak Goreng Sawit Indonesia

Penawaran adalah jumlah suatu barang dan jasa yang rela dan mampu

dijual oleh para produsen dalam jangka waktu tertentu dan kondisi tertentu.

Jumlah produksi yang ditawarkan di pasar berasal dari produksi pada waktu

tertentu dan persediaan (inventory) dari periode-periode sebelumnya.

Perubahan pada penawaran dapat terjadi karena adanya pengaruh dari

beberapa faktor seperti :

1. Harga komoditi itu sendiri (H)

Harga komoditi itu sendiri mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah

yang ditawarkan, ceteris paribus. Semakin tinggi harga suatu komoditi,

semakin banyak jumlah komoditi yang akan ditawarkan oleh para

produsen/penjual. Sebaliknya semakin rendah harga suatu komoditi, maka

semakin sedikit jumlah komoditi yang ditawarkan oleh para produsen/penjual.

2. Harga komoditi lain (HS)

Berbagai komoditi dapat disubstitusi atau saling komplemen dalam produksi

maupun dalam konsumsi. Jika harga komoditi substitusi meningkat, maka

penawaran komoditi yang bersangkutan akan menurun. Sebaliknya, penurunan

harga komoditi substitusi akan meningkatkan penawaran komoditi yang

bersangkutan.

3. Teknologi (T)

Bila terjadi perubahan atau peningkatan pada teknologi dalam proses produksi

maka akan terjadi perubahan pada produksi yang cenderung meningkat. Bila

Page 53: Ekspor Cpo

produksi meningkat karena perubahan teknologi berarti penawaran pun akan

meningkat.

4. Harga Input /Faktor-faktor produksi (HF)

Apabila harga faktor produksi turun, maka produsen akan menambah

penggunaan faktor produksi sehingga produksi akan meningkat. Jika harga

faktor produksi meningkat, maka produsen akan cenderung mengurangi

penggunaan faktor produksi sehingga produksi akan menurun. Turunnya

hasil/produksi secara otomatis menyebabkan turunnya penawaran.

5. Jumlah Produsen (PRD)

Jika jumlah produsen bertambah, maka produksi yang ditawarkan akan

meningkat.

6. Tujuan Perusahaan (TP)

Dalam teori ekonomi, perusahaan diasumsikan bertujuan untuk mencapai laba

yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, terdapat juga perusahaan yang tidak

berorientasi kepada maksimisasi laba sehingga perusahaan tersebut dapat

meningkatkan ataupun menurunkan produksinya tanpa terlalu

memperhitungkan laba atau rugi yang akan diperoleh perusahaan.

7. Pajak dan Subsidi (Tx)

Adanya pajak seperti pajak penjualan, pajak penghasilan akan mengakibatkan

kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif untuk

berproduksi. Dengan demikian, penawaran komoditi tersebut akan berkurang.

Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos produksi dan

Page 54: Ekspor Cpo

meningkatkan keuntungan sehingga penawaran komoditi tersebut akan

meningkat.

Dari uraian di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu

komoditi dapat digambarkan dengan fungsi berikut:

QS = f (H, HS, T, HF, PRD, TP, Tx) (3.3)

Dalam penelitian ini, minyak goreng sawit merupakan hasil olahan dari

CPO, sehingga apabila jumlah CPO meningkat maka produksi minyak goreng

sawit juga akan meningkat. Hubungan ini sesuai dengan teori produksi, dimana

fungsi produksi merupakan hubungan matematik antara input dan outputnya

(Nicholson, 2002). Hubungan antara CPO dan minyak goreng dalam fungsi

produksi dapat dirumuskan sebagai berikut :

QMG = f (HMG, QCPO, UP) (3.4)

Dimana :

QMG = Jumlah minyak goreng sawit yang dihasilkan (ton)

HMG = Harga minyak goreng sawit (Rp/ton)

QCPO = Jumlah CPO yang digunakan untuk memproduksi minyak goreng

sawit (ton)

UP = Upah tenaga kerja (Rp/HOK)

Gambar 3.4 menganalisis tentang permintaan dan penawaran CPO yang

dipengaruhi pajak ekspor. Harga CPO dunia (P1) berada di atas harga ekuilibrium,

hal ini menjadi insentif bagi para produsen CPO domestik untuk menjual CPO ke

pasar internasional. Jika tidak ada pajak ekspor, CPO akan diekspor secara bebas

yakni sejumlah M1 pada tingkat harga dunia sebesar P1 dengan permintaan CPO

Page 55: Ekspor Cpo

sejumlah D1 dan penawaran CPO sejumlah S1. Pengenaan pajak ekspor CPO

sebesar T akan menurunkan harga CPO dunia, dengan harga yang baru

perusahaan-perusahaan CPO dalam negeri akan mengurangi ekspornya karena

biaya yang harus dikeluarkan akan semakin besar dengan adanya pajak ekspor

tersebut dan penerimaan pendapatan melalui ekspor menjadi kurang

menguntungkan. Mereka merespon dengan menurunkan jumlah ekspor CPO dari

S2 ke S1. Sedangkan dengan adanya pajak ekspor, jumlah CPO yang diminta

menjadi bertambah dari D1 ke D2, sehingga jumlah CPO yang diekspor turun

menjadi M2.

Penawaran minyak goreng sawit Indonesia berasal dari produksi minyak

goreng sawit dan impor minyak goreng sawit. Penerapan kebijakan perdagangan

pajak ekspor CPO akan berakibat pada pengurangan volume ekspor CPO

sehingga dapat meningkatkan pasokan CPO untuk industri minyak goreng sawit

domestik, sehingga supply minyak goreng sawit Indonesia akan meningkat.

Page 56: Ekspor Cpo

3.1.6 Teori Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia

Permintaan adalah jumlah barang yang mampu dibeli oleh para pembeli

pada tempat atau waktu tertentu dengan harga yang berlaku pada saat itu. Faktor-

faktor yang mempengaruhi permintaan adalah:

1. Harga komoditi yang bersangkutan (H)

Keadaan harga suatu komoditi mempengaruhi jumlah permintaan terhadap

komoditi tersebut. Bila harga naik maka permintaan akan komoditi tersebut

akan turun. Sebaliknya bila harga turun maka permintaan akan komoditi

tersebut akan naik. Hubungan harga dengan permintaan adalah hubungan yang

negatif dengan asumsi faktor lain yang mempengaruhi jumlah permintaan

dianggap tetap.

T

P2

P1

D0

S0

S2 D2 D1 S1 0 Q

Sumber : Salvatore, 1997 Gambar 3.4 Efek Pajak Ekspor Terhadap Volume Ekspor

M1

M2

P

E

Page 57: Ekspor Cpo

2. Harga komoditi lain (HS)

Terjadinya perubahan pada suatu komoditi akan berpengaruh pada permintaan

komoditi lain. Keadaan ini terjadi bila kedua komoditi tersebut mempunyai

hubungan apakah saling menggantikan (substitusi) atau saling melengkapi

(komplemen). Bila tidak berhubungan, maka tidak akan berpengaruh.

3. Selera (S)

Selera merupakan variabel yang mempengaruhi besar kecilnya permintaan.

Selera dan pilihan konsumen terhadap suatu komoditi bukan saja dipengaruhi

oleh struktur umur konsumen, tetapi juga karena faktor adat dan kebiasaan

setempat, tingkat pendidikan atau lainnya.

4. Jumlah Penduduk (POP)

Semakin banyak jumlah penduduk makin besar pula jumlah komoditi yang

dikonsumsi dan permintaan terhadap komoditi tersebut akan semakin

meningkat.

5. Tingkat Pendapatan (Y)

Perubahan tingkat pendapatan akan mempengaruhi banyaknya komoditi yang

dikonsumsi. Secara teoritis, peningkatan pendapatan akan meningkatkan

konsumsi.

Permintaan terhadap suatu barang (QD) dapat digambarkan dengan fungsi berikut:

QD = f (H, HS, S, POP, Y) (3.5)

Dalam penelitian ini permintaan terhadap minyak goreng sawit secara

garis besar dapat dibedakan atas permintaan langsung dan permintaan tidak

langsung. Permintaan langsung merupakan permintaan masyarakat akan minyak

Page 58: Ekspor Cpo

goreng sawit yang langsung diolah sendiri untuk dikonsumsi, sedangkan

permintaan tidak langsung merupakan permintaan masyarakat akan minyak

goreng sawit dalam bentuk olahan atau bahan baku untuk industri sedang maupun

industri rumah tangga.

Secara umum permintaan minyak goreng sawit dipengaruhi oleh harga

minyak goreng sawit itu sendiri, harga komoditi substitusi atau komplementer

(dalam hal ini minyak goreng kelapa), pendapatan dan jumlah penduduk.

Sehingga persamaan permintaan minyak goreng sawit tersebut dapat dirumuskan

sebagai berikut :

QDT = f (HMG, HMK, Y, POP) (3.6)

Dimana :

QDT = Jumlah minyak goreng sawit yang diminta/dikonsumsi (Kg)

HMG = Harga minyak goreng sawit (Rp/kg)

HMK = Harga minyak goreng kelapa (Rp/kg)

Y = Pendapatan masyarakat (Rp)

POP = Jumlah penduduk (jiwa)

Page 59: Ekspor Cpo

Qmg

D1

D0

Qmg0 Qmg1

E0 E1 Pmg1

Pmg0

Pmg

Sumber : Lipsey, 1995. Gambar 3.5 Keseimbangan Minyak Goreng Sawit Akibatnya Adanya

Peningkatan Permintaan Minyak Goreng Sawit

Faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap

fungsi permintaan. Harga minyak goreng sawit mempunyai pengaruh terhadap

pergerakan sepanjang kurva permintaan, sedangkan faktor yang lainnya

mempunyai pengaruh terhadap pergeseran kurva permintaan (Lipsey, 1995).

Misalnya saja faktor pendapatan masyarakat, maka adanya peningkatan

pendapatan masyarakat akan mengakibatkan peningkatan terhadap permintaan

minyak goreng sawit. Peningkatan pendapatan ini berakibat pada pergeseran

kurva permintaan minyak goreng sawit dari D0 menjadi D1, sehingga

keseimbanganpun berubah menjadi E1. Dimana jumlah minyak goreng sawit

menjadi lebih besar yaitu sebesar Qmg1 dengan tingkat harga yang lebih tinggi

yaitu sebesar Pmg1 (Gambar 3.5).

S

Page 60: Ekspor Cpo

3.1.7 Metode Two-Stage Least Square (2SLS)

Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menduga model

persamaan dengan kondisi overidentified, yaitu Two-Stage Least Squares (2SLS),

Three-Stage Least Squares (3SLS), Limited Information Maximum Likelihood

(LIML), dan Full Information Maximum Likelihood (FIML). Metode yang dipilih,

karena pertimbangan kemungkinan adanya kesalahan dalam perumusan model.

Dengan menggunakan 2SLS, kesalahan spesifikasi satu persamaan tidak

tertransfer ke persamaan-persamaan lain, walaupun penduga yang diperoleh

kurang efisien dibandingkan dengan hasil estimasi 3SLS.

Alasan lain memilih metode 2SLS adalah :

1. Metode ini cocok untuk mengestimasi model persamaan simultan yang berada

dalam kondisi overidentified.

2. Metode ini cocok digunakan pada jumlah sampel pengamatan yang sedikit.

3. Metode ini dapat menghindari estimasi yang bias dan dapat menghasilkan

penduga yang konsisten, serta tidak terlalu sensitif terhadap kesalahan

spesifikasi

Pilihan terhadap metode 2SLS dibandingkan dengan metode lainnya

disebabkan oleh : (1) Penerapan sistem persamaan simultan dengan metode

Ordinary Least Square (OLS) akan menghasilkan koefisien yang bias, karena

terjadi korelasi antara error term dengan peubah endogen yang ada disisi kanan

persamaan; (2) Dengan metode Instrumental Variables (IV) masalah tersebut

dapat diatasi dan menghasilkan koefisien yang tidak bias, tetapi koefisien yang

diperoleh tidak efisien karena terdapat lebih dari satu informasi; dan (3) Jika

Page 61: Ekspor Cpo

menggunakan metode 3SLS (Three-Stage Least Square), kesalahan spesifikasi

dari satu persamaan akan merembet ke persamaan lain, sehingga koefisien yang

diperoleh dari semua persamaan akan bias.

Kelemahan metode 2SLS adalah diantaranya kurang efisien dibandingkan

estimator 3SLS. Metode ini bekerja dengan kurang baik jika koefisien determinasi

(R2) pada tahap pertama estimasi terlalu kecil (mendekati nol).

3.1.8 Konsep Elastisitas

Konsep elastisitas sangat berguna dan banyak sekali diaplikasikan dalam

ilmu ekonomi dalam kaitannya dengan permintaan dan penawaran. Pada

permintaan dikenal tiga konsep elastisitas yang penting, yakni elastisitas

permintaan terhadap harga, elastisitas permintaan terhadap pendapatan dan

elastisitas permintaan silang. Elastisitas permintaan terhadap harga merupakan

usuran besarnya respon jumlah yang diminta dari statu komoditi tertentu terhadap

perubahan harga. Elastisitas didefinisikan sebagai bilangan positif dan dapat

bervariasi dari nol sampai tak terhingga.

Jika bilangan elastisitas lebih kecil daripada satu, maka permintaannya

bersifat inelastis. Ini berarti bahwa persentase perubahan kuantitas lebih kecil

daripada persentase perubahan harga yang menyebabkannya. Jika bilangan

elastisitasnya lebih besar daripada satu, permintaannya bersifat elastis. Ini berarti

bahwa persentase perubahan kuantitas lebih besar daripada persentase perubahan

harga yang menyebabkannya.

Page 62: Ekspor Cpo

Elastisitas permintaan terhadap pendapatan merupakan ukuran besarnya

respon jumlah yang diminta dari suatu komoditi tertentu terhadap perubahan

pendapatan. Untuk kebanyakan jenis barang, kenaikan pendapatan berakibat pada

kenaikan permintaan dan elastisitas terhadap pendapatan akan positif. Barang-

barang demikian disebut barang normal. Barang-barang yang konsumsinya

menurun sebagai respon terhadap kenaikan pendapatan memiliki elastisitas

pendapatan yang negatif dan barang yang demikian disebut sebagai barang

inferior.

Elastisitas permintaan silang merupakan ukuran besarnya respon jumlah

yang diminta dari suatu komoditi tertentu terhadap perubahan harga yang

menyebabkannya dari beberapa komoditi lainnya. Istilah tersebut biasa digunakan

untuk mendefinisikan komoditi yang merupakan barang substitusi antara satu

barang dengan barang lainnya (elastisitas silang yang positif) dan komoditi yang

bersifat komplemen antara barang satu dengan barang lainnya (elastisitas silang

yang negatif).

Elastisitas penawaran dalam ilmu ekonomi merupakan konsep yang

penting. Pada teori penawaran dua konsep elastisitas yang terpenting adalah

elastisitas penawaran terhadap harga dan elastisitas penawaran silang. Elastisitas

penawaran terhadap harga merupakan ukuran besarnya respon jumlah yang

ditawarkan dari suatu komoditi tertentu terhadap perubahan harga. Sementara

elastisitas penawaran silang merupakan ukuran besarnya respon jumlah yang

ditawarkan dari suatu komoditi tertentu terhadap perubahan harga yang

menyebabkannya dari beberapa komoditi lainnya. Apabila elastisitas harga silang

Page 63: Ekspor Cpo

antara dua jenis komoditi adalah positif maka kedua komoditi tersebut adalah

merupakan joint product, dan jika elastisitasnya negatif maka kedua komoditi

tersebut adalah competiting product.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Secara umum perekonomian dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu

perekonomian sektor domestik dan sektor luar negeri. Fluktuasi dari kedua sektor

tersebut akan berpengaruh pada sektor ekonomi secara keseluruhan. Komponen

sektor domestik meliputi konsumsi swasta, investasi, dan pengeluaran pemerintah.

Sedangkan sektor luar negeri (internasional) meliputi ekspor-impor yang secara

statistik tertuang dalam neraca perdagangan dan selanjutnya berpengaruh dalam

neraca pembayaran.

Sektor luar negeri atau yang lebih dikenal dengan perdagangan

internasional adalah perdagangan yang menganalisa arus barang, jasa, dan

pembayaran-pembayaran antara sebuah negara dan negara-negara lain di dunia.

Dalam perdagangan tersebut ada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan untuk

melindungi sektor industri domestiknya. Salah satu kebijakan yang diberlakukan

disini adalah dengan mengenakan pajak ekspor pada komoditi penting yang

diekspor oleh suatu negara. Biasanya komoditi yang dikenakan pajak ekspor

adalah komoditi hasil-hasil pertanian termasuk didalamnya komoditi hasil-hasil

perkebunan, hal ini dilakukan untuk menjamin ketersediaan bahan baku untuk

sektor industri hilirnya.

Page 64: Ekspor Cpo

CPO atau Crude Palm Oil merupakan salah satu komoditi hasil

perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian

Indonesia, karena CPO merupakan komoditi ekspor andalan Indonesia. Eksportir

CPO akan melakukan ekspor secara besar-besaran apabila harga CPO

internasional sedang meningkat secara tajam tanpa memikirkan pasokan dalam

negeri. Hal ini akan berdampak pada industri turunan CPO yang didominasi oleh

industri minyak goreng. Industri ini akan mengalami kesulitan dalam

mendapatkan bahan baku, sehingga produksinya akan menurun. Lebih jauh lagi,

hal ini akan mengakibatkan terjadinya kelangkaan minyak goreng sawit di pasar

domestik yang disertai dengan kenaikan harga minyak goreng.

Menyadari dampak tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan

perdagangan di sektor industri CPO yang berupa pajak ekspor guna membatasi

para eksportir CPO untuk tidak mengekspor CPO dalam jumlah yang berlebihan

dan lebih memikirkan pasokan dalam negeri. Adanya pajak ekspor CPO akan

mempengaruhi volume ekspor CPO, yang secara tidak langsung akan

mempengaruhi keseimbangan pasar industri hilirnya, yaitu industri minyak

goreng sawit yang akan dicerminkan melalui harga minyak goreng sawit di pasar

dalam negeri.

Berdasarkan uraian di atas, akan dianalisis pengaruh kebijakan

perdagangan yang dalam hal ini adalah pajak ekspor CPO terhadap keseimbangan

pasar minyak goreng sawit dalam negeri. Analisis ini akan dilakukan dengan

menggunakan model persamaan simultan. Model terdiri dari tiga persamaan

identitas dan lima persamaan struktural. Persamaan identitas mencakup

Page 65: Ekspor Cpo

penawaran ekspor CPO Indonesia, penawaran minyak goreng sawit Indonesia dan

keseimbangan penawaran dan permintaan minyak goreng sawit Indonesia.

Sedangkan persamaan struktural terdiri dari model faktor-faktor yang

mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia, permintaan impor minyak

goreng sawit Indonesia, produksi minyak goreng sawit Indonesia, permintaan

minyak goreng sawit Indonesia dan harga minyak goreng sawit Indonesia. Dari

hasil analisis, diharapkan akan diperoleh rekomendasi kebijakan perdagangan

yang efektif untuk industri CPO dan industri minyak goreng sawit dalam negeri.

Penulis membuat alur pemikiran yang digambarkan dalam Gambar 3.6 untuk

mempermudah pelaksanaan penelitian.

Page 66: Ekspor Cpo

Ekonomi Terbuka

Perdagangan Internasional Ekspor CPO

Impor MGS

Kebijakan Perdagangan (Pajak Ekspor CPO)

Volume Ekspor CPO Produksi MGS Domestik

Harga MGS

Model Persamaan Simultan

SAS 6.12

Simulasi Kebijakan

Permintaan MGS Penawaran MGS

Saran dan Rekomendasi Kebijakan Perdagangan

Gambar 3.6 Diagram Alur Kerangka Pemikiran

Page 67: Ekspor Cpo

IV. METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

menggunakan data statistik tahunan dari tahun 1990-2006. Sumber data berasal

dari Laporan Tahunan Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Departemen

Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian dan Jurnal-jurnal

Ekonomi serta instansi-instansi lain yang terkait dengan penelitian yang

dilakukan.

Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data tentang antara lain :

data ekspor CPO, produksi CPO, luas areal kelapa sawit, harga ekspor CPO, harga

CPO domestik, pendapatan nasional Indonesia, jumlah penduduk Indonesia, pajak

ekspor CPO, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, harga dan produksi

minyak goreng sawit dalam negeri, permintaan minyak goreng sawit dalam

negeri, upah tenaga kerja di sektor industri, harga minyak goreng kelapa, impor

minyak goreng sawit serta harga impor minyak goreng sawit.

4.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif dan metode

kuantitatif. Untuk gambaran perkembangan CPO di Indonesia dan pembahasan

hasil pengolahan data dilakukan analisis secara deskriptif. Metode kuantitatif

dengan pendekatan bentuk persamaan simultan, karena variabel-variabel yang

digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan perdagangan disektor industri

Page 68: Ekspor Cpo

CPO terhadap keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri tersebut

saling berpengaruh. Masing-masing persamaan dalam penelitian ini diduga

dengan metode Two-Stage Least Square (2SLS) dengan menggunakan program

SAS 6.12.

4.3 Spesifikasi Model Simultan

Model merupakan suatu penjelas dari fenomena aktual sebagai suatu

sistem atau proses. Salah satu model yang sering digunakan dalam menganalisis

masalah ekonomi adalah model ekonometrika. Model ekonometrika adalah suatu

model statistika yang menghubungkan peubah-peubah ekonomi dari suatu

fenomena yang mencakup unsur stokastik. Unsur stokastik ini biasanya diabaikan

dalam model ekonomi lainnya yang pada umumnya mengasumsikan adanya

hubungan-hubungan secara deterministik (Koutsoyiannis, 1977).

Suatu model dikatakan baik jika model tersebut memenuhi kriteria-kriteria

sebagai berikut :

1. Kriteria Ekonomi

Kriteria ini ditentukan oleh dasar-dasar teori ekonomi dan berhubungan

dengan tanda dan besar parameter dari hubungan ekonomi. Model yang

diperoleh akan dievaluasi berdasarkan teori-teori ekonomi yang ada.

2. Kriteria Statistik

Kriteria ini menyangkut uji statistik untuk mengetahui ada tidaknya

pengaruh yang signifikan dari variabel-variabel eksogen terhadap variabel

Page 69: Ekspor Cpo

endogen pada masing-masing persamaan, kemampuan variabel eksogen

dalam menjelaskan variasi atau keragaman variabel endogen.

3. Kriteria Ekonometrik

Kriteria ekonometrik didasari oleh asumsi-asumsi dari model regresi

berganda sebagai berikut :

E (ei) = 0 untuk setiap i, artinya nilai yang diharapkan bersyarat dari ei

tergantung pada Xi tertentu adalah nol.

Cov (ei,ej) = 0 untuk setiap i ≠ j (asumsi non autokorelasi), artinya gangguan

ei dan ej tidak berkorelasi.

Var (ei) = δ2 untuk setiap i (asumsi homoskedastisitas), artinya varians ei

untuk setiap i (yaitu varians bersyarat untuk ei) adalah suatu angka konstan

positif yang sama dengan δ2.

Cov (ei,X2i) = Cov (ei,X3i) = 0, artinya gangguan ei dan varians yang

menjelaskan X tidak berkorelasi.

Sementara itu, pendekatan ekonometrika dibedakan atas persamaan

tunggal dan persamaan simultan. Persamaan tunggal merupakan persamaan

dimana variabel terikat (dependent variable), dinyatakan sebagai sebuah fungsi

linier dari satu atau lebih variabel bebas (independent variable), sehingga

hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas merupakan

hubungan satu arah. Sedangkan persamaan simultan adalah suatu persamaan yang

membentuk sistem persamaan yang menggambarkan ketergantungan diantara

berbagai variabel dalam persamaan tersebut, sehingga model ini tidak mungkin

Page 70: Ekspor Cpo

menaksir hanya pada satu persamaan dengan mengabaikan informasi yang ada

pada persamaan-persamaan lainnya.

Dalam penelitian ini, perumusan model mencakup aspek penawaran

ekspor CPO Indonesia, faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor CPO

Indonesia, penawaran minyak goreng sawit Indonesia, impor minyak goreng sawit

Indonesia, produksi minyak goreng sawit Indonesia, permintaan minyak goreng

sawit Indonesia, harga minyak goreng sawit Indonesia, dan keseimbangan

penawaran dan permintaan minyak goreng sawit di Indonesia. Agar tujuan

penelitian sesuai dengan yang ditentukan, maka model dispesifikasi dalam bentuk

persamaan simultan yang yang terdiri dari lima persamaan struktural dan tiga

persamaan identitas.

4.3.1 Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia

Ekspor minyak sawit merupakan kelebihan penawaran minyak sawit

domestik atau produksi minyak sawit yang tidak dikonsumsi oleh konsumen

Indonesia, sehingga persamaannya dapat ditulis :

XCPO = QCPO – CCPO (4.1)

Faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi ekspor CPO Indonesia antara

lain adalah harga riil ekspor CPO Indonesia, nilai tukar rupiah, pajak ekspor CPO

Indonesia, produksi CPO Indonesia dan ekspor CPO Indonesia tahun sebelumnya,

sehingga penawaran ekspor CPO Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut :

XCPOt = a0 + a1 HXCPOt + a2 XRRt + a3 PEt + a4 QCPOt + a5 POP +

a6 XCPOt-1 + U1 (4.2)

Page 71: Ekspor Cpo

Dimana :

XCPOt = Ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia pada tahun ke-t (ton)

HXCPOt = Harga riil ekspor CPO Indonesia pada tahun ke-t (US$/ton)

XRRt = Nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika pada tahun ke-t

(Rp/US$)

PEt = Pajak ekspor CPO Indonesia pada tahun ke-t (%/tahun)

QCPOt = Produksi CPO domestik pada tahun ke-t (ton)

POP = Jumlah penduduk Indonesia pada tahun ke-t (jiwa)

XCPOt-1 = Lag ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia (ton)

a0 = Intersep

ai = Parameter yang diduga (i = 1,2,3…)

U1 = Kesalahan Pengganggu (error term)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan :

a1, a4 > 0 ; a2, a3, a5< 0 ; 0 < a6 < 1

4.3.2 Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia

Permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia merupakan fungsi dari

nilai tukar rupiah, harga riil impor minyak goreng sawit, permintaan minyak

goreng domestik, pendapatan nasional dan impor minyak goreng sawit tahun

sebelumnya. Persamaan permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia

dirumuskan sebagai berikut :

Page 72: Ekspor Cpo

IMMGt = b0 + b1 XRRt + b2 PIMMGt + b3 QDMGt+ b4 GDPt + b5 IMMGt-1

+ U2 (4.3)

Dimana :

IMMGt = Jumlah impor minyak goreng sawit Indonesia pada tahun ke-t (ton)

PIMMGt = Harga riil impor minyak goreng sawit Indonesia pada tahun ke-t

(US$/ton, CIF Rotterdam)

GDP t = Pendapatan nasional Indonesia pada tahun ke-t (Rupiah)

IMMGt-1 = Lag impor minyak goreng sawit Indonesia (ton)

b0 = Intersep

bi = Parameter yang diduga (i = 1,2,3…)

U2 = Kesalahan Pengganggu (error term)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan :

b1, b3, b4 > 0 ; b2< 0 ; 0 < b5 < 1

4.3.3 Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia

Jumlah produksi minyak goreng sawit Indonesia ditentukan oleh harga riil

minyak goreng sawit domestik, luas areal kelapa sawit, produksi CPO domestik,

upah riil tenaga kerja di sektor industri, dummy krisis ekonomi dan produksi

minyak goreng sawit tahun sebelumnya. Secara matematis persamaan produksi

minyak goreng sawit Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut :

Page 73: Ekspor Cpo

QMGt = c0 + c1 HMGDRt + c2 LAt + c3 QCPOt + c4 DKt + c5 UPRt

+ c6 QMGt-1 + U3 (4.4)

Dimana :

QMGt = Produksi minyak goreng sawit Indonesia (ton)

HMGDRt = Harga riil minyak goreng sawit domestik pada tahun ke-t (Rp/kg)

DK = Dummy krisis ekonomi Indonesia (D1 = 0 untuk tahun 1990-1996,

dan D1 = 1 untuk tahun 1997-2006)

LA = Luas areal kelapa sawit pada tahun ke-t (Ha)

UPR = Upah riil tenaga kerja di sektor industri pada tahun ke-t (Rp/HOK)

QMGt-1 = Lag produksi minyak goreng sawit Indonesia (ton)

c0 = Intersep

ci = Parameter yang diduga (i = 1,2,3…)

U3 = Kesalahan Pengganggu (error term)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan :

c1,c2, c3 > 0 ; c4, c5 < 0 ; 0 < c6 < 1

4.3.4 Penawaran Minyak Goreng Sawit Indonesia

Penawaran minyak goreng sawit domestik merupakan penjumlahan antara

jumlah impor minyak goreng sawit dengan produksi minyak goreng sawit

Indonesia, sehingga persamaannya dapat ditulis :

QSMG = QMG + QIMMG (4.5)

Dimana :

QSMG = Penawaran minyak goreng sawit Indonesia

Page 74: Ekspor Cpo

4.3.5 Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia

Faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi permintaan minyak goreng

sawit Indonesia adalah harga riil minyak goreng sawit domestik, harga riil minyak

goreng kelapa domestik sebagai substitusi minyak goreng sawit, pendapatan per

kapita dan jumlah permintaan minyak goreng sawit tahun sebelumnya, sehingga

persamaan permintaan minyak goreng sawit dapat dirumuskan sebagai berikut :

QDMGt = d0 + d1 HMGDRt + d2 HMKDt + d3 ICPKt + d4 QDMGt-1

+ U4 (4.6)

Dimana :

QDMGt = Jumlah permintaan minyak goreng sawit Indonesia pada tahun ke-t

(ton)

HMKDt = Harga riil minyak goreng kelapa sebagai substitusi minyak goreng

sawit pada tahun ke-t (Rp/kg)

ICPKt = Pendapatan per kapita Indonesia pada tahun ke-t (Rp/kap)

QDMGt-1 = Lag permintaan minyak goreng sawit Indonesia (ton)

d0 = Intersep

di = Parameter yang diduga (i = 1,2,3…)

U4 = Kesalahan Pengganggu (error term)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan :

d2, d3 > 0 ; d1 < 0 ; 0 < d4 < 1

Page 75: Ekspor Cpo

4.3.6 Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia

Faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi harga minyak goreng sawit

domestik antara lain adalah penawaran minyak goreng sawit Indonesia, harga riil

CPO domestik, harga riil minyak goreng kelapa, dummy krisis ekonomi dan harga

minyak goreng sawit Indonesia tahun sebelumnya, sehingga harga minyak goreng

sawit domestik dapat dirumuskan sebagai berikut :

HMGDRt = e0 + e1 QSMGt + e2 HCPOt + e3 HMKD + e4 DK + e5

HMGDRt-1 + U5 (4.7)

Dimana :

HMGDRt = Harga riil minyak goreng sawit Indonesia pada tahun ke-t (Rp/kg)

QSMGt = Penawaran minyak goreng sawit Indonesia tahun ke-t (ton)

HCPO = Harga riil CPO domestik tahun ke-t (Rp/kg )

HMGDRt-1 = Lag harga minyak goreng sawit Indonesia (Rp/kg)

e0 = Intersep

ei = Parameter yang diduga (i = 1,2,3…)

U5 = Kesalahan Pengganggu (error term)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan :

e2, e3, e4 > 0 ; e1 < 0 ; 0 < e5< 1

4.3.7 Keseimbangan Penawaran dan Permintaan Minyak Goreng Sawit

Indonesia

Kondisi keseimbangan penawaran dan permintaan minyak goreng sawit

Indonesia dicapai apabila jumlah minyak goreng sawit yang ditawarkan sama

Page 76: Ekspor Cpo

dengan jumlah minyak goreng sawit yang diminta, sehingga persamaan identitas

keseimbangan penawaran dan permintaan minyak goreng sawit dapat ditulis

sebagai berikut :

QSMGt = QDMGt (4.8)

4.4. Hipotesis

Mengacu pada perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dalam

penelitian ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

1. Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia

Diduga bahwa harga riil ekspor CPO Indonesia dan produksi CPO domestik

berpengaruh positif, sedangkan nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar

Amerika, pajak ekspor CPO Indonesia dan jumlah penduduk Indonesia

berpengaruh negatif.

2. Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia

Diduga bahwa nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika, permintaan

minyak goreng sawit domestik dan pendapatan nasional Indonesia

berpengaruh positif, sedangkan harga riil minyak goreng sawit Indonesia

berpengaruh negatif.

3. Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia

Diduga bahwa harga riil minyak goreng sawit domestik, luas areal kelapa

sawit dan produksi CPO domestik berpengaruh positif, sedangkan dummy

krisis ekonomi Indonesia dan upah riil tenaga kerja di sektor industri

berpengaruh negatif.

Page 77: Ekspor Cpo

4. Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia

Diduga bahwa harga riil minyak goreng kelapa sebagai substitusi dari minyak

goreng sawit dan pendapatan per kapita berpengaruh positif, sedangkan harga

riil minyak goreng sawit Indonesia berpengaruh negatif.

5. Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia

Diduga bahwa harga riil CPO domestik, harga riil minyak goreng kelapa

sebagai substitusi dari minyak goreng sawit dan dummy krisis ekonomi

Indonesia berpengaruh positif, sedangkan penawaran minyak goreng sawit

Indonesia berpengaruh negatif.

4.5 Identifikasi Model

Yang dimaksud dengan masalah identifikasi adalah apakah taksiran angka

dari parameter persamaan struktural dapat diperoleh dari koefisien bentuk

tereduksi yang ditaksir (Gujarati, 1978).

Dalam teori ekonometrika, terdapat dua kemungkinan situasi dalam suatu

identifikasi yaitu:

1. Persamaan Underidentified

Suatu persamaan dikatakan underidentified jika bentuk statistiknya tidak

tunggal. Suatu sistem dikatakan underidentified ketika satu atau lebih

persamaan-persamaan yang ada dalam sistem tersebut underidentified

sehingga tidak mungkin dilakukan pendugaan dari seluruh parameter yang ada

dengan teknik ekonometrik manapun.

Page 78: Ekspor Cpo

2. Persamaan Identified

Jika suatu persamaan memiliki bentuk statistik tunggal, maka persamaan

tersebut dapat diidentifikasi (Identified), dan persamaan tersebut bisa

exactlyidentified, maka metode yang sesuai untuk pendugaan adalah Indirect

Least square (ILS) atau metode kuadat terkecil tak langsung, sedangkan jika

persamaan overidentified, maka salah satu metode yang dapat digunakan

untuk pendugaan adalah Two-stages least square (2SLS).

Dalam tahap identifikasi, terdapat dua tahap yaitu:

1. Order Condition

Order Condition adalah suatu kondisi yang perlu dari identifikasi-identifikasi

yang bertujuan untuk mengetahui apakah persamaan-persamaan yang ada

dapat diidentifikasi. Langkah-langkah dalam order condition :

1) Bila (K-M) > (G-1), maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi

secara berlebih (overidentified).

2) Bila (K-M) = (G-1), maka persamaan tersebut tepat teridentifikasi

(exactlyidentified).

3) Bila (K-M) < (G-1), maka persamaan tersebut tidak teridentifikasi.

Dimana : K = Total variabel dalam model, yaitu variabel endogen dan

eksogen.

M = Jumlah variabel eksogen yang terdapat dalam satu persamaan

tertentu dalam model.

G = Total persamaan dalam model, yaitu peubah endogen dalam

model.

Page 79: Ekspor Cpo

2. The Rank Condition of Identifiability

The Rank Condition of Identifiability digunakan untuk mengidentifikasi

persamaan yang setelah dilakukan uji Order condition (kondisi ordo)

menghasilkan kesimpulan dapat diidentifikasi, yang selanjutnya dilihat apakah

persamaan tersebut exactlyidentified (identifikasi tepat) atau overidentified

(terlalu diidentifikasikan).

Model persamaan simultan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri

dari 5 persamaan struktural dan 3 persamaan identitas dengan total 24 variabel di

dalam model yang terdiri dari 6 variabel endogen dan 18 variabel eksogen.

Berdasarkan rumus identifikasi model di atas, setiap persamaan yang terdapat

dalam penelitian ini termasuk dalam kategori overidentified. Hasil selengkapnya

dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Pengujian Order Condition

Persamaan K M G K-M G-1 Identified

4.2 24 6 6 18 5 Overidentified

4.3 24 5 6 19 5 Overidentified

4.4 24 6 6 18 5 Overidentified

4.6 24 4 6 20 5 Overidentified

4.7 24 5 6 19 5 Overidentified

Hasil dari pengujian order condition menunjukkan bahwa kelima

persamaan struktural dalam model adalah overidentified, sehingga parameter-

parameter pada persamaan simultan diatas dapat diduga dengan menggunakan

metode Two-Stage Least Square (2SLS).

Page 80: Ekspor Cpo

4.6 Model Lag yang Didistribusikan

Dalam ilmu ekonomi, ketergantungan suatu variabel Y atas variabel X

jarang bersifat seketika (Firdaus, 2004). Sangat sering, Y beraksi terhadap X

dengan suatu selang waktu. Selang waktu itu disebut lag. Ada tiga alasan utama

terjadinya lag, yaitu :

1. Alasan Psikologi

Alasan ini disebabkan oleh kekuatan kebiasaan (kelembaman). Contohnya,

orang tidak mengubah kebiasaan konsumsi mereka dengan segera mengikuti

penurunan harga atau peningkatan pendapatan, mungkin karena proses

perubahan melibatkan suatu kehilangan kegunaan (disutulity) yang segera.

2. Alasan yang bersifat teknologi

Jika harga modal dibandingkan dengan tenaga kerja relatif menurun yang

menyebabkan penggantian untuk tenaga kerja secara ilmu ekonomi

dimungkinkan. Tentu saja, penambahan modal tersebut memerlukan waktu

(persiapan).

3. Alasan kelembagaan

Misalkan kewajiban yang bersifat kontrak mungkin mencegah perusahaan

untuk beralih dari satu sumber tenaga kerja atau bahan mentah yang lain.

Untuk alasan tersebut diatas, lag menempati peranan pokok dalam ilmu

ekonomi. Hal ini tercermin dalam metodologi jangka pendek dan jangka panjang

dalam ilmu ekonomi.

Model autoregresif adalah suatu model jika dalam model regresi

memasukkan satu atau lebih nilai masa lalu (lagged) dari variabel tidak bebas

Page 81: Ekspor Cpo

diantara variabel yang menjelaskan. Dengan asumsi dasar bahwa variabel yang

menjelaskan dalam model regresi bersifat nonstokastik, model persamaan linier

dapat dituliskan sebagai berikut :

tttt V+Χ+Υ+=Υ − 3121 βββ (4.8)

atau

tttt V+Χ+Υ−+=Υ − 311 )1( βλβ

4.7 Pengujian Model dan Hipotesis

4.7.1 Uji Kesesuaian Model

Model yang dianalisis membutuhkan pengujian terhadap hipotesis-

hipotesis yang dilakukan. Pengujian hipotesis secara statistik bertujuan untuk

mengetahui nyata tidaknya pengaruh variabel yang dipilih terhadap variabel-

variabel yang diteliti.

Koefisien determinasi (R2) adjusted dipergunakan untuk mengukur

keragaman endogenous variable yang dapat diterangkan oleh predetermined

variable. Semakin besar nilai R2 adjusted, maka semakin layak suatu regresi

untuk dijadikan sebagai alat peramal.

Uji simultan (Uji-F) digunakan untuk menguji secara bersama-sama

apakah peubah-peubah eksogen dapat menjelaskan variasi peubah endogen.

Mekanisme yang digunakan untuk mengkaji hipotesis tersebut adalah sebagai

berikut :

H0 = a1 = a2 = a3 = a4 = ... = ai = 0

(tidak ada pengaruh nyata variabel-variabel dalam persamaan)

Page 82: Ekspor Cpo

H1 = a1 ≠ 0, a2 ≠ 0, a3 ≠ 0, a4≠ 0 ... , ai ≠ 0

(paling sedikit ada satu variabel eksogen yang berpengaruh nyata terhadap

variabel endogen)

Statistik uji yang digunakan dalam uji F :

Fhitung = )/()1/(

knSSEkSSR−− (4.9)

Dimana : SSR = Jumlah kuadarat regresi

SSE = Jumlah kuadrat sisa

k = jumlah parameter

n = jumlah pengamatan (sampel)

Kemudian dilakukan pengujian dimana Fhitung dari hasil analisis

dibandingkan dengan Ftabel. Jika Fhitung > Ftabel, maka tolak H0 yang berarti minimal

ada satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap

keragaman variabel endogen. Sedangkan jika Fhitung < Ftabel, maka terima H0 yang

berarti secara bersama-sama variabel yang digunakan tidak dapat menjelaskan

secara nyata keragaman dari variabel endogen.

4.7.2 Pengujian Hipotesis

Untuk melakukan pengujian secara statistik masing-masing peubah

eksogen yang dipilih berpengaruh nyata atau tidak berpengaruh nyata terhadap

peubah endogen, digunakan uji statistik t. Mekanisme yang digunakan dalam

menguji hipotesis masing-masing peubah penjelas adalah sebagai berikut :

Hipotesis :

Page 83: Ekspor Cpo

H0 = Perubahan suatu variabel eksogen secara individu tidak berpengaruh nyata

terhadap perubahan variabel endogen.

H1 = Perubahan suatu variabel eksogen secara individu berpengaruh nyata

terhadap perubahan variabel endogen.

Statistik uji yang digunakan dalam uji t yaitu :

thitung = bi / S (bi) (4.10)

Dimana : bi = koefisien parameter dugaan

S(bi) = standar deviasi parameter dugaan

Kriteria uji : thitung < ttabel : Terima H0

thitung > ttabel : Tolak H0

Semakin banyak H0 yang ditolak, maka suatu model akan semakin baik untuk

dijadikan model pendugaan persamaan simultan.

4.7.3 Uji Autokorelasi

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota

serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (time series) atau cross

section. Persamaan dalam penelitian ini menggunakan data time series yang

mengandung lagged endogenous variabel. Uji d (Durbin Watson Statistic) sering

digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi. Namun, dikarenakan

di dalam persamaan yang diamati terdapat lagged endogenous variable, maka uji

d menjadi tidak valid. Selain itu, nilai d yang dihitung akan cenderung mendekati

nilai 2 sehingga statistik d dari Durbin Watson sudah tidak valid lagi digunakan.

Page 84: Ekspor Cpo

Oleh karena itu, digunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test,

sebagai alternatif uji autokorelasi jika uji statistik d tidak berlaku pada suatu

persamaan. Pengujian autokorelasi dengan Breusch-Godfrey Serial Correlation

LM Test adalah sebagai berikut :

Mt = α1 + α1Xt-1 + ...+ αkXtk + ρμt-1 (4.11)

Hipotesis : H0 : ρ = 0

H1 : ρ ≠ 0

Dengan kriteria uji sebagai berikut :

Jika nilai (n-1)R2 > X21 (α), maka tolak H0 artinya bahwa persamaan tersebut

mengandung masalah autokorelasi.

4.7.4 Uji Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi yang penting dari pendugaan metode kuadrat terkecil

adalah varian residual bersifat homoskedastisitas atau bersifat konstan.

Heteroskedastisitas adalah suatu keadaan dimana asumsi di atas tidak tercapai.

Dampak adanya heteroskedastisitas adalah tidak efisiennya proses estimasi,

sementara hasil estimasinya sendiri tetap konsisten dan tidak bias. Dengan adanya

masalah heteroskedastisitas, akan mengakibatkan hasil uji t dan F dapat menjadi

tidak berguna, selain itu pengujian hipotesis menjadi tidak valid. Oleh karena itu

dilakukan uji heteroskedastisitas dengan White Heteroskedasticity Test. Langkah-

langkah pengujian adalah sebagai berikut :

Yt = β1 + β2Xt1 + β3Xt2 + e (4.12)

Et2 = α1 + α 2Xt1 + α3Xt2 + α4Xt12 + α5Xt1

2 + α6Xt1Xt2 (4.13)

Page 85: Ekspor Cpo

Hipotesis :

H0 : α 2 = α3 = α4 = α5 = α6 = 0

H1 : minimal salah satu α1 ≠ 0

Dengan kriteria uji sebagai berikut :

Jika nilai nR2 > X2db (α), maka tolak H0 artinya bahwa persamaan tersebut

mengandung masalah heteroskedastisitas.

4.7.5 Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk memeriksa apakah error term mendekati

distribusi normal. Pada software SAS 6.12, uji normalitas diaplikasikan dengan

melakukan deskriptif statistic test. Jika diperoleh nilai probabilitas Normality Test

lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka model simultan tidak

mempunyai masalah normalitas atau error term terdistribusi normal.

Hipotesis :

H0 : error term terdistribusi normal

H1 : error term tidak terdistribusi normal

Penerimaan H0 menandakan error term terdistribusi normal. Jika nilai

probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka

persamaan tidak mengalami masalah normalitas.

4.7.6 Pengukuran Elastisitas

Mengukur dan menjelaskan hingga seberapa jauh reaksi perubahan

kuantitas terhadap perubahan harga dan variabel-variabel lainnya, digunakan

Page 86: Ekspor Cpo

konsep yang disebut elastisitas (Lipsey, 1995). Secara umum nilai elastisitas

dalam jangka pendek (short run) dapat dirumuskan sebagai berikut :

Esr (Yt Xt) = a * Xt/Yt (4.14)

Dimana :

Esr (Yt Xt) = elastisitas jangka pendek peubah endogen terhadap peubah-peubah

eksogen

a = koefisien dugaan dari peubah eksogen

Xt = rataan peubah-peubah eksogen

Yt = rataan peubah-peubah endogen

Kriteria uji sebagai berikut :

1. Jika nilai elastisitas lebih dari satu (E>1), dikatakan elastis (responsive) karena

perubahan satu persen variabel eksogen mengakibatkan perubahan variabel

endogen lebih dari satu persen.

2. Jika nilai elastisitas antara nol dan satu (0<E<1), dikatakan inelastis (non

responsive), karena perubahan satu persen variabel eksogen akan

mengakibatkan perubahan variabel endogen kurang dari satu persen.

3. Jika nilai elastisitas sama dengan nol (E=0), dikatakan inelastis sempurna.

4. Jika nilai elastisitas tak hingga (E= ~), dikatakan elastis sempurna.

5. Jika nilai elastisitas sama dengan satu (E=1), maka dikatakan unitary elastis.

4.7.7 Validasi Model

Validasi model dilakukan untuk mengetahui apakah model cukup valid

untuk membuat suatu simulasi kebijakan sehingga dapat menganalisis sejauh

Page 87: Ekspor Cpo

mana model tersebut dapat merefleksikan dengan baik atau mewakili dunia nyata.

Simulasi kebijakan yang digunakan dalam penelitian ini berupa simulasi

perubahan pajak ekspor CPO Indonesia. Kriteria statistik yang sering digunakan

untuk validasi penggunaan model ekonometrika adalah Root Mean Square Error

(RMSE), Root Mean Square Percent Error (RMSPE), dan Theil’s Inequality

Cofficient (U). Kriteria-kriteria tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :

RMSE =

5,0

1

2)(1

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

−∑=

T

t

at

st YYT

RMSPE =

5,0

1

2

100

1

⎥⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢⎢

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛×

−∑=

T

ta

t

at

st

YYY

T

Koefisien Ketidaksamaan Theil (U) =

( ) ( )5,0

1

25,0

1

2 11 ⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡+⎥

⎤⎢⎣

⎡ ∑∑==

T

t

at

T

t

st YTYT

RMSE

Dimana : RMSE = Akar tengah kuadarat terkecil

RMSPE = Akar tengah kuadarat persen galaat

U = Koefisien ketidaksamaan Theil

stY = Nilai dugaan model

atY = Nilai aktual

T = Jumlah pengamatan dalam simulasi

Statistik RMSPE berguna untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai

peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur-alur nilai-nilai aktualnya

Page 88: Ekspor Cpo

dalam ukuran relatif (persen). Nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui

kemampuan model untuk analisis simulasi historis maupun peramalan. Semakin

kecil nilai RMSE, RMSPE, dan U maka semakin baik pendugaan model. Nilai U

berkisar antara 0 dan 1. Jika U = 0, maka pendugaan model sempurna.

Untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang

disimulasi, dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R2). Pada dasarnya semakin

kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s dan makin besar nilai R2, maka pendugaan

model semakin baik.

4.7.8 Simulasi Model Kebijakan

Tujuan simulasi kebijakan adalah untuk mengetahui dampak kebijakan

yang akan dilakukan terhadap peubah-peubah endogen. Skenario dalam analisis

dampak kebijakan perdagangan disektor industri CPO terhadap keseimbangan

pasar minyak goreng sawit dalam negeri adalah dengan menggunakan kebijakan

peningkatan pajak ekspor sebesar 10 persen.

4.8 Definisi Operasional

1. Minyak sawit (CPO) merupakan hasil olahan dari buah segar kelapa sawit

yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit.

2. Ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia merupakan jumlah total ekspor minyak

sawit Indonesia di pasar internasional dan dinyatakan dalam satuan ton.

3. Pajak atau pungutan ekspor merupakan pajak yang dikenakan setiap tahun

terhadap produk ekspor tertentu. Produk-produk ekspor yang dikenakan

Page 89: Ekspor Cpo

kebanyakan adalah produk perkebunan, seperti kelapa sawit, kelapa dan lain-

lain. Pajak ekspor dinyatakan dalam persen per tahun.

4. Indeks harga konsumen adalah angka indeks yang menggambarkan besarnya

perubahan harga pada tingkat konsumen dari komoditi yang dikonsumsi di

suatu negara.

5. Indeks harga perdagangan besar adalah indeks yang menggambarkan besarnya

perubahan harga pada tingkat harga perdagangan besar/harga grosir dari

komoditas-komoditas yang diperdagangkan di suatu negara.

6. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika merupakan perbandingan dari

perubahan mata uang Amerika terhadap mata uang Indonesia dan telah

dideflasikan (1993=100) dengan IHK Indonesia, dinyatakan dalam satuan

Rupiah per Dollar Amerika.

7. Penawaran minyak goreng sawit Indonesia merupakan jumlah/total dari

impor minyak goreng sawit dan produksi minyak goreng sawit Indonesia yang

dinyatakan dalam ton.

8. Permintaan minyak goreng sawit Indonesia merupakan agregasi dari jumlah

konsumsi minyak goreng sawit secara langsung dan konsumsi minyak goreng

sawit untuk industri pengguna minyak goreng sawit.

9. Impor minyak goreng sawit Indonesia merupakan jumlah total impor minyak

sawit yang dipasarkan di pasar dalam negeri dan dinyatakan dalam satuan ton.

10. Harga riil CPO domestik merupakan harga CPO domestik setelah dideflasi

(1993=100) dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia dan dinyatakan dalam

satuan Rupiah per kilogram.

Page 90: Ekspor Cpo

11. Harga riil ekspor minyak sawit merupakan harga ekspor minyak sawit

Indonesia yang dideflasikan (1993=100) dengan Indeks Harga Perdagangan

Besar dan dinyatakan dalam satuan Dollar Amerika per ton.

12. Harga riil minyak goreng sawit merupakan harga minyak goreng sawit

domestik setelah dideflasi (1993=100) dengan Indeks Harga Konsumen dan

dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram.

13. Harga riil minyak goreng kelapa merupakan harga minyak goreng kelapa

domestik setelah dideflasi (1993=100) dengan Indeks Harga Konsumen dan

dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram.

15. Upah riil tenaga kerja di sektor industri adalah upah tenaga kerja di sektor

industri yang dideflasi (1993=100) dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia

dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per HOK.

16. Harga riil impor minyak goreng merupakan harga impor minyak goreng

setelah dideflasi (2000=100) dengan Price Index, CIF Rotterdam dan

dinyatakan dalam satuan Dollar Amerika per ton.

Page 91: Ekspor Cpo

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Estimasi Parameter Model

Berdasarkan hasil estimasi model secara keseluruhan, pendugaan dan

pengujian model ekonomi dengan kriteria statistik menunjukkan hasil yang

memuaskan karena sebagian besar parameter-parameter dari setiap persamaan

memberikan tanda yang sesuai dengan teori dan hipotesis. Masalah autokorelasi

dan heteroskedastisitas tidak ditemukan dalam persamaan, baik dalam penawaran

ekspor CPO Indonesia, permintaan impor dan produksi minyak goreng sawit

Indonesia maupun permintaan dan harga minyak goreng sawit Indonesia. Masalah

autokorelasi dapat dilihat pada uji autokorelasi yang menyajikan nilai Breusch-

Godfrey Serial Correlation LM Test. Nilai Breusch-Godfrey Serial Correlation

LM Test yang lebih besar daripada taraf nyata yang digunakan menunjukkan tidak

terdapat masalah autokorelasi dalam persamaan (Gujarati, 2000). Masalah

heteroskedastisitas juga tidak ditemukan dalam persamaan karena nilai White

Heteroskedasticity Test lebih besar daripada taraf nyata yang digunakan, begitu

juga dengan uji normalitas pada setiap persamaan. Hasil selengkapnya dapat

dilihat pada pembahasan di bawah ini.

5.1.1 Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia

Nilai koefisien determinasi pada persamaan penawaran ekspor minyak

sawit (CPO) Indonesia bernilai 0,9940 artinya persamaan penawaran ekspor CPO

Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model

Page 92: Ekspor Cpo

tersebut sebesar 99,40 persen dan sisanya sebesar 0,60 persen dijelaskan oleh

variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-Godfrey Serial

Correlation LM Test sebesar 0,1602 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan

yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi.

Penawaran ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh harga riil ekspor CPO, nilai

tukar riil, pajak ekspor CPO, produksi CPO domestik, jumlah penduduk Indonesia

dan lag ekspor CPO (Tabel 5.1).

Variabel harga riil ekspor CPO Indonesia memberikan pengaruh yang

nyata pada taraf 5 persen terhadap ekspor CPO Indonesia dengan koefisien

dugaan bertanda positif sesuai dengan parameter yang diharapkan dan bernilai

0,0040, artinya apabila harga riil ekspor CPO meningkat sebesar 1 US$/ton maka

akan mengakibatkan peningkatan penawaran ekspor CPO sebesar 0,0040 juta ton.

Ekspor CPO Indonesia tidak responsif terhadap perubahan harga riil ekspor yang

diperlihatkan oleh nilai elastisitas sebesar 0,27 dalam jangka pendek, dengan

asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka

peningkatan harga riil ekspor CPO sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan

ekspor CPO sebesar 0,27 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga

riil ekspor CPO tidak akan memberikan dampak perubahan yang terlalu besar

terhadap peningkatan ekspor minyak sawit Indonesia.

Variabel nilai tukar riil berpengaruh nyata pada penawaran ekspor CPO

Indonesia. Tanda parameter estimasi yang diperoleh tidak sesuai dengan

parameter yang diharapkan. Secara teori ekonomi apabila terjadi depresiasi nilai

tukar rupiah terhadap Dollar Amerika, maka ekspor akan meningkat, tetapi yang

Page 93: Ekspor Cpo

terjadi adalah sebaliknya. Pada saat terjadi apresiasi nilai tukar rupiah terhadap

Dollar Amerika ditahun 1991, jumlah ekspor CPO Indonesia justru mengalami

peningkatan sebesar 43,17 persen karena adanya kebijakan pembebasan pajak

ekspor yang dilakukan oleh pemerintah. Hal tersebut terus berlangsung sampai

dengan tahun 1994 dimana peningkatan volume ekspor yang cukup besar yang

mengakibatkan kurangnya pasokan minyak sawit dalam negeri membuat

pemerintah untuk menetapkan pajak ekspor CPO yang berkisar antara 40 persen

sampai dengan 50 persen. Dengan adanya kebijakan pemerintah pada industri

kelapa sawit yang berupa kebijakan tataniaga minyak sawit seperti pembebasan

ekspor, pelarangan ekspor, patokan harga ekspor dan pajak ekspor menyebabkan

jumlah CPO yang diekspor menjadi fluktuatif.

Produksi CPO domestik berpengaruh nyata pada taraf 1 persen terhadap

ekspor CPO Indonesia dengan koefisien dugaan bertanda positif sesuai dengan

parameter yang diharapkan dan bernilai 1,0354, artinya jika produksi CPO

domestik meningkat sebesar 1 juta ton maka akan mengakibatkan peningkatan

penawaran ekspor CPO sebesar 1,0354 juta ton. Volume ekspor CPO Indonesia

responsif terhadap perubahan produksi CPO domestik dalam jangka pendek dan

mempunyai nilai elastisitas sebesar 1,80, dengan asumsi jika faktor-faktor lain

dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan produksi CPO sebesar 1

persen diduga akan meningkatkan ekspor CPO sebesar 1,80. Hal ini

mengindikasikan bahwa peningkatan produksi CPO Indonesia sebagian besarnya

diperuntukkan bagi ekspor.

Page 94: Ekspor Cpo

Tentunya, orientasi yang lebih dari industri CPO terhadap peluang ekspor

dapat mengganggu kestabilan industri pengolahan kelapa sawit domestik, salah

satunya industri minyak goreng. Kebijakan dari pemerintah terhadap penerapan

PE dapat dikatakan berhasil. Tanda negatif menunjukkan hubungan yang

berlawanan antara ekspor CPO dan PE dengan nilai 0,026, artinya jika pemerintah

menaikkan PE CPO sebesar 1 persen, maka volume ekspor CPO Indonesia diduga

akan mengalami penurunan sebesar 0,026 juta ton. Hal ini dikarenakan dengan

adanya PE, maka penerimaan yang akan diperoleh para eksportir CPO akan

berkurang dibandingkan jika tidak diberlakukan PE CPO, sehingga mereka

mengurangi jumlah CPO yang diekspor. Pernyataan ini kembali dibuktikan

dengan perhitungan pada elastisitas PE CPO Indonesia terhadap ekspor CPO

Indonesia dalam jangka pendek yang bernilai -0.091, dengan asumsi jika faktor-

faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan PE sebesar 1

persen dalam jangka pendek diduga akan menurunkan ekspor CPO sebesar 0,091

persen.

Variabel populasi Indonesia berpengaruh negatif dan nyata terhadap

ekspor CPO Indonesia pada taraf 10 persen dan tanda yang diperoleh sesuai

dengan parameter yang diharapkan. Hal ini dikarenakan kebutuhan CPO sebagai

bahan baku industri minyak goreng sawit domestik akan semakin meningkat

seiring dengan semakin bertambahnya konsumsi minyak goreng sawit karena

peningkatan jumlah penduduk Indonesia.

Lag ekspor CPO Indonesia berpengaruh positif terhadap ekspor CPO

Indonesia tahun analisis dan ini telah sesuai dengan parameter yang diharapkan.

Page 95: Ekspor Cpo

Variabel lag ini tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO Indonesia tahun

analisis. Hal ini dikarenakan adanya PE CPO yang ditetapkan oleh pemerintah.

Jumlah ekspor CPO Indonesia tahun 1990 sebesar 0,8155 juta ton dan meningkat

menjadi 1,1677 juta ton ditahun 1991 karena adanya keputusan pemerintah

mengenai paket kebijakan deregulasi yang berupa pembebasan sistem tataniaga

minyak sawit dan pajak ekspor. Akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama,

karena pada tahun 1994 pemerintah mulai memberlakukan kembali pajak ekspor

antara 40 persen hingga 50 persen yang mengakibatkan penurunan ekspor CPO

dari sebesar 1,6312 juta ton ditahun 1994 menjadi 1,2650 juta ton ditahun 1995.

Adanya kebijakan perdagangan yang dikeluarkan oleh pemerintah di sektor

industri CPO menyebabkan volume CPO yang diekspor menjadi fluktuatif setiap

tahunnya, sehingga lag ekspor CPO tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor

CPO Indonesia tahun analisis.

Dari hasil perhitungan elastisitas pada Tabel 5.1 menunjukkan bahwa

variabel yang mempunyai nilai elastisitas yang lebih responsif adalah variabel

produksi CPO domestik, hal ini menjadi indikasi bahwa memang ekspor CPO

akan terus meningkat setiap tahunnya dimana kondisi Indonesia yang begitu

berlimpah akan komoditas CPO. Kebijakan pengendalian ekspor yang dilakukan

pemerintah agar ditetapkan bukan untuk menghambat industri untuk melakukan

ekspor, namun sebagai instrumen agar ekspor yang terjadi tidak melupakan

kebutuhan pasokan CPO domestik.

Page 96: Ekspor Cpo

Tabel 5.1 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia

Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr)

Koefisien 7,964767 0,1945 Harga riil ekspor CPO (HXCPO)

0,003953

*0,0167

0,25

Nilai tukar riil (XRR)

0,000355

***0,1243

Pajak ekspor CPO (PE)

-0,02590

*0,0045

-0,091

Produksi CPO domestik (QCPO)

1,035426

*0,0006

1,80

Populasi Indonesia (POP)

-0,065287

**0,0767

Lag ekspor CPO (XCPO(-1))

0,060552

0,7753

R2 = 0,9940 F value = 246,59 Prob (F value) = <.0001 Sumber : Lampiran 3. Keterangan : *** Nyata pada taraf 15 % ** Nyata pada taraf 10 % * Nyata pada taraf 5 % 5.1.2 Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia

Nilai koefisien determinasi pada persamaan permintaan impor minyak

goreng sawit Indonesia bernilai 0,7145 artinya persamaan permintaan impor

minyak goreng sawit Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang

terdapat dalam model tersebut sebesar 71,45 persen dan sisanya sebesar 28,55

persen dijelaskan oleh variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-

Godfrey Serial Correlation LM Test sebesar 0,1562 lebih besar dari taraf nyata

yang digunakan yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah

autokorelasi. Permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi oleh

Page 97: Ekspor Cpo

nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, harga riil impor minyak goreng,

permintaan minyak goreng domestik, pendapatan nasional dan lag impor minyak

goreng sawit Indonesia.

Nilai tukar berpengaruh positif terhadap impor minyak goreng sawit

Indonesia dan tanda yang diperoleh sesuai dengan hipotesis, dimana ketika terjadi

apresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar, maka jumlah yang diimpor semakin

besar. Hal ini disebabkan karena apresiasi nilai tukar yang terjadi pada suatu

negara akan menyebabkan harga-harga barang di negara lain relatif lebih murah,

sehingga mendorong bagi negara yang bersangkutan untuk melakukan impor.

Variabel nilai tukar tidak berpengaruh nyata terhadap impor minyak goreng. Hal

ini disebabkan bahwa impor minyak goreng lebih diperuntukkan bagi pemenuhan

kebutuhan dalam negeri, sehingga tidak dipengruhi oleh nilai tukar. Impor minyak

goreng sawit memang masih relatif kecil, yakni hanya sebesar 74,18 ribu ton per

tahun, namun perkembangannya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Rata-

rata perkembangan impor minyak goreng periode 1990-2006 adalah sebesar

55,87 persen per tahun.

Harga riil impor minyak goreng berpengaruh negatif dan nyata pada taraf

5 persen. Parameter yang diperoleh tidak sesuai dengan hipotesis, hal ini

mengindikasikan bahwa harga riil impor minyak goreng tidak mempengaruhi

importir untuk melakukan impor minyak goreng dari negara lain. Adanya

peningkatan harga riil impor minyak goreng pada tahun 1996 sebesar 0,009

persen justru diikuti oleh impor minyak goreng yang meningkat sebesar 56,9

Page 98: Ekspor Cpo

persen. Hal ini dikarenakan konsumsi minyak goreng sawit Indonesia yang tinggi

yaitu sebesar 14,9 kilogram per kapita per tahun.

Pernyataan di atas dibuktikan dengan hasil estimasi parameter pada

variabel permintaan minyak goreng sawit Indonesia yang berpengaruh positif dan

signifikan terhadap impor minyak goreng Indonesia pada taraf 5 persen.

Permintaan minyak goreng sawit yang semakin meningkat akan menyebabkan

impor minyak goreng juga semakin meningkat. Impor minyak goreng Indonesia

tidak responsif terhadap perubahan permintaan minyak goreng sawit Indonesia

dalam jangka pendek dan mempunyai nilai elastisitas sebesar 0,0092, dengan

asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka

peningkatan permintaan minyak goreng sawit domestik sebesar 1 persen diduga

akan meningkatkan impor minyak goreng sebesar 0,0092 persen.

Pendapatan nasional Indonesia berpengaruh positif dan signifikan terhadap

impor minyak goreng Indonesia. Tanda parameter yang diperoleh telah sesuai

dengan hipotesis sebelumnya. Impor minyak goreng Indonesia tidak responsif

terhadap perubahan pendapatan nasional Indonesia dalam jangka pendek dan

mempunyai nilai elastisitas sebesar 0,0085, dengan asumsi jika faktor-faktor lain

dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan pendapatan nasional

sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan impor minyak goreng Indonesia

sebesar 0,0085 persen.

Impor minyak goreng sawit tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata

terhadap impor minyak goreng sawit pada tahun analisis. Koefisien yang

diperoleh juga bertanda negatif dan tidak sesuai dengan hipotesis. Besarnya impor

Page 99: Ekspor Cpo

minyak goreng sawit disesuaikan dengan kebutuhan akan permintaan minyak

goreng dalam negeri, sehingga jumlah impor minyak goreng tahun sebelumnya

tidak mempengaruhi jumlah impor minyak goreng pada tahun analisis.

Jika dilihat dari nilai elastisitas pada persamaan permintaan impor minyak

goreng sawit Indonesia (Tabel 5.2), variabel yang mempunyai nilai elastisitas

yang lebih responsif adalah variabel permintaan minyak goreng domestik.

Artinya, apabila pemerintah ingin mengatasi permasalahan impor minyak goreng

yang semakin lama semakin bertambah, lebih baik pemerintah membuat suatu

kebijakan untuk mengamankan pasokan minyak goreng dalam negeri baik untuk

permintaan langsung bagi masyarakat umum maupun permintaan tidak langsung

oleh industri pengguna minyak goreng sawit.

Page 100: Ekspor Cpo

Tabel 5.2 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia

Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr)

Koefisien -604938,89 0,0091 Nilai Tukar (XRR)

0,019515

0,4384

Harga Riil Impor (PIMMG)

1364,17

*0,0090

Permintaan MG (QDMG)

0,254952

*0,0082

0,0092

Pendapatan Nasional (GDP)

0,00045219

*0,0546

0,0085

Lag Impor MG (IMMG(-1))

-0,028656

0,8826

R2 = 0,7145 F value = 5,003281 Prob (F value) = 0,0014837 Sumber : Lampiran 4. Keterangan : * Nyata pada taraf 5 %

5.1.3 Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia

Nilai koefisien determinasi pada persamaan produksi minyak goreng sawit

Indonesia bernilai 0,9982 artinya persamaan produksi minyak goreng sawit

Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model

tersebut sebesar 99,82 persen dan sisanya sebesar 0,18 persen dijelaskan oleh

variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-Godfrey Serial

Correlation LM Test sebesar 0,2783 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan

yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi.

Produksi minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi harga riil minyak goreng

sawit domestik, luas areal kelapa sawit, produksi CPO domestik, dummy krisis

ekonomi, upah riil tenaga kerja dan lag produksi minyak goreng sawit.

Page 101: Ekspor Cpo

Harga riil minyak goreng sawit domestik berpengaruh positif terhadap

produksi minyak goreng sawit. Hal ini sesuai dengan parameter yang diharapkan,

bahwa adanya peningkatan pada harga minyak goreng sawit merupakan insentif

bagi para produsen minyak goreng untuk memproduksi lebih banyak lagi produk

keluarannya. Variabel harga minyak goreng sawit domestik tidak berpengaruh

signifikan terhadap produksi minyak goreng sawit pada taraf 15 persen, hal ini

dikarenakan minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan strategis masyarakat

Indonesia, dimana penetapan harga dan kuantitasnya akan selalu mendapat

perhatian dari pemerintah, sehingga harga dan ketersediannya terjamin dan

terjangkau oleh seluruh masyarakat Indonesia. Akibatnya, adanya peningkatan

pada harga minyak goreng tidak berpengaruh terhadap produksi minyak goreng.

Dengan laju peningkatan luas areal kelapa sawit sekitar 3,42 juta Ha per

tahun, produksi minyak goreng sebagai industri hilir dari industri minyak sawit

juga mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan yaitu sebesar 11,15 persen

per tahun. Dibuktikan dari hasil estimasi pada persamaan produksi minyak goreng

bahwa luas areal kelapa sawit berpengaruh positif dan nyata pada taraf 5 persen

terhadap produksi minyak goreng sawit, hal ini sesuai dengan hipotesis dimana

adanya peningkatan luas areal kelapa sawit akan meningkatkan jumlah CPO yang

diproduksi sebagai bahan baku dari industri minyak goreng sawit, sehingga

jumlah minyak goreng yang diproduksi juga bertambah. Jika dilihat dari nilai

elastisitasnya, produksi minyak goreng tidak responsif terhadap perubahan luas

areal kelapa sawit dalam jangka pendeknya, yaitu sebesar 0,35. Dengan asumsi

jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan luas

Page 102: Ekspor Cpo

areal kelapa sawit sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan

meningkatkan produksi minyak goreng sebesar 0,35 persen.

Kebanyakan dari produsen minyak goreng memiliki industri terpadu mulai

dari perkebunan sawit, pengolahan CPO dan pabrik minyak goreng, sehingga

adanya peningkatan luas areal kelapa sawit akan meningkatkan jumlah CPO yang

diproduksi dan selanjutnya akan meningkatkan jumlah produksi minyak goreng

sawit, hal ini dibuktikan dari hasil estimasi pada variabel produksi CPO domestik

yang berpengaruh positif dan nyata pada taraf 5 persen. Nilai elastisitas produksi

CPO domestik dalam jangka pendek bernilai 0,32 artinya kenaikan jumlah

produksi CPO domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan

meningkatkan jumlah produksi minyak goreng sebesar 0,32 persen.

Dummy krisis Indonesia berpengaruh nyata terhadap produksi minyak

goreng sawit pada taraf 5 persen dengan koefisien dugaan bertanda negatif sesuai

dengan parameter yang diharapkan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia

sekitar tahun 1997 membuat produsen minyak goreng sawit mengurangi jumlah

produksinya karena mahalnya biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam proses

produksi.

Upah riil tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap produksi minyak

goreng sawit, hal ini telah sesuai dengan hipotesis dimana adanya kenaikan dari

biaya produksi akan membuat produsen untuk mengurangi jumlah produksinya.

Variabel ini tidak berpengaruh nyata terhadap produksi minyak goreng. Hal ini

dikarenakan industri minyak goreng sawit adalah industri yang bersifat padat

modal. Biaya-biaya produksi yang dikeluarkan lebih banyak digunakan untuk

Page 103: Ekspor Cpo

perawatan dan perbaikan mesin-mesin dalam proses produksi, sehingga upah

tenaga kerja tidak mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil produsen

minyak goreng dalam proses produksinya.

Variabel lag produksi minyak goreng sawit berpengaruh positif dan nyata

terhadap produksi minyak goreng sawit tahun analisis. Tanda parameter yang

diperoleh sesuai dengan yang diharapkan, apabila lag produksi minyak goreng

sawit meningkat, maka produksi minyak goreng sawit tahun analisis juga akan

meningkat.

Dari perhitungan nilai elastisitas pada Tabel 5.3 di bawah juga menunjukkan

bahwa apabila pemerintah ingin mengatasi permasalahn kurangnya ketersediaan

minyak goreng di pasaran, lebih baik pemerintah membuat suatu kebijakan yang

mendukung adanya perluasan areal dan peningkatan produktivitas kelapa sawit,

sehingga produksi CPO domestik dapat ditingkatkan untuk industri pengolahan

CPO domestik seperti industri minyak goreng.

Page 104: Ekspor Cpo

Tabel 5.3 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia

Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr)

Koefisien -146,656801 0,8905 Harga riil minyak goreng

sawit domestik (HMGDR)

0,187798

0,2469

Luas areal kelapa sawit (LA)

685,940763 *0,0308 0,35

Produksi CPO (QCPO) 296,603047 *0,0460 0,32 Dummy krisis ekonomi

(DK)

-797,436665

*0,0335

Upah riil (UPR) -0,00932414 0,8213 Lag produksi minyak

goreng sawit (QMG(-1))

0,390933

**0,1083

R2 = 0,9982 F value = 841,222 Prob (F value) = 0,0001 Sumber : Lampiran 5. Keterangan : ** Nyata pada taraf 10 % * Nyata pada taraf 5 %

5.1.4 Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia

Nilai koefisien determinasi pada persamaan permintaan minyak goreng

sawit Indonesia bernilai 0,9736 artinya persamaan produksi minyak goreng sawit

Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model

tersebut sebesar 97,36 persen dan sisanya sebesar 2,64 persen dijelaskan oleh

variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-Godfrey Serial

Correlation LM Test sebesar 0,8446 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan

yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi.

Permintaan minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi harga riil minyak goreng

Page 105: Ekspor Cpo

sawit domestik, harga riil minyak goreng kelapa, pendapatan per kapita dan lag

permintaan minyak goreng sawit Indonesia (Tabel 5.5).

Harga riil minyak goreng sawit domestik mempunyai koefisien dugaan

bertanda negatif sesuai dengan parameter yang diharapkan dan berpengaruh nyata

pada taraf 5 persen terhadap permintaan minyak goreng sawit. Artinya, ketika ada

peningkatan harga pada komoditi minyak goreng sawit, maka masyarakat dan

industri pengguna industri minyak goreng akan mengurangi jumlah konsumsinya

atau jumlah permintaannya. Nilai elastisitas harga riil minyak goreng sawit

domestik dalam jangka pendek bernilai -0,23 artinya adanya peningkatan harga

minyak goreng sawit domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan

menurunkan jumlah permintaan minyak goreng sawit sebesar 0,23 persen.

Harga riil minyak goreng kelapa mempunyai pengaruh yang nyata dengan

koefisien dugaan bertanda positif sesuai dengan parameter yang diharapkan, hal

ini dikarenakan minyak goreng kelapa merupakan substitusi dari minyak goreng

sawit. Adanya kenaikan pada harga minyak goreng kelapa menyebabkan

permintaan akan minyak goreng sawit semakin meningkat karena beralihnya

konsumsi masyarakat dan industri pengguna minyak goreng kelapa ke minyak

goreng sawit. Nilai elastisitas harga riil minyak goreng kelapa domestik dalam

jangka pendek bernilai 0,19 artinya adanya peningkatan harga minyak goreng

kelapa domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan

meningkatkan jumlah permintaan minyak goreng sawit sebesar 0,19 persen.

Variabel pendapatan per kapita Indonesia berpengaruh nyata pada taraf 5

persen terhadap permintaan minyak goreng sawit Indonesia dengan koefisien

Page 106: Ekspor Cpo

dugaan bertanda positif sesuai dengan parameter yang diharapkan. Nilai elastisitas

pendapatan per kapita dalam jangka pendek bernilai 1,57. Dengan asumsi jika

faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka kenaikan pendapatan

per kapita sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan meningkatkan

permintaan minyak goreng sawit sebesar 1,57 persen. Hal ini menunjukkan bahwa

konsumsi minyak goreng sawit semakin meningkat dengan meningkatnya

pendapatan seseorang dan jumlah penduduk Indonesia.

Variabel lag permintaan minyak goreng sawit berpengaruh signifikan

terhadap permintaan minyak goreng sawit tahun analisis. Tanda parameter yang

diperoleh sesuai dengan yang diharapkan, apabila lag permintaan minyak goreng

sawit meningkat, maka permintaan minyak goreng sawit tahun analisis juga akan

meningkat. Kecenderungan konsumen yang rentan akan isu-isu yang berkembang

dan keputusan ekonomi di masa lalu akan mempengaruhi perilaku pembelian

mereka.

Nilai elastisitas dari variabel-variabel pada persamaan permintaan minyak

goreng sawit Indonesia mengindikasikan bahwa jika tidak ada usaha pemerintah

untuk mengintroduksi produk substitusi minyak goreng sawit dan peningkatan

ketersediaan minyak goreng, maka variabel-variabel tersebut dalam jangka

panjang akan memberikan respon perubahan yang cukup besar terhadap

permintaan minyak goreng sawit.

Page 107: Ekspor Cpo

Tabel 5.4 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia

Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr)

Koefisien -2070,861915 0,0332 Harga riil minyak goreng

sawit (HMGDR)

-0,137087

*0,0441

-0,17 Harga riil minyak goreng

kelapa (HMKD)

0,431732

***0,1226

0,19 Pendapatan/kap (ICPK) 0,422148 *0,0144 1,10

Lag permintaan MG (QDMG(-1))

0,689786

*0,0004

R2 = 0,9736 F value = 116,3347 Prob(F value) = 0,0001 Sumber : Lampiran 6. Keterangan : *** Nyata pada taraf 15 % * Nyata pada taraf 5 %

5.1.5 Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia

Nilai koefisien determinasi pada persamaan produksi minyak goreng sawit

Indonesia bernilai 0,5403 artinya persamaan produksi minyak goreng sawit

Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model

tersebut sebesar 54,03 persen dan sisanya sebesar 45,97 persen dijelaskan oleh

variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-Godfrey Serial

Correlation LM Test sebesar 0,6347 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan

yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi.

Harga riil minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi oleh penawaran minyak

goreng sawit, harga riil minyak goreng kelapa, harga riil CPO domestik, dummy

krisis ekonomi dan lag harga minyak goreng sawit (Tabel 5.5).

Page 108: Ekspor Cpo

Hubungan yang negatif antara harga dan penawaran minyak goreng sawit

domestik telah memenuhi logika ekonomi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Ketika penawaran suatu barang meningkat maka harga dari barang tersebut akan

turun. Variabel penawaran minyak goreng tidak signifikan terhadap harga minyak

goreng sawit, hal ini disebabkan oleh karakteristik dari minyak goreng sawit itu

sendiri, dimana komoditas ini telah menjadi konsumsi pokok bagi masyarakat

maupun industri pengguna minyak goreng sawit di Indonesia dan dapat

menyebabkan keresahan sosial jika terjadi gejolak. Oleh karena itu, pemerintah

akan mengeluarkan berbagai kebijakan pengendalian jika terjadi kemelut dari sisi

ekonomi maupun ketersediaan produk tersebut, agar harga dan ketersediannya

selalu terjamin dan terjangkau.

Hubungan yang positif dan sesuai dengan hipotesis yang telah ditetapkan

juga ditunjukkan dari hasil estimasi harga riil CPO domestik terhadap harga riil

minyak goreng sawit. Ketika harga input meningkat, porsi biaya yang ditanggung

industri akan semakin besar, sehingga solusi menaikan harga keluaran merupakan

alternatif yang logis bagi para pelaku industri. Variabel harga CPO domestik ini

berpengaruh signifikan terhadap harga minyak goreng sawit Indonesia. Nilai

elastisitas harga riil CPO domestik dalam jangka pendek bernilai 0,68 artinya

adanya peningkatan harga CPO domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek

diduga akan meningkatkan harga riil minyak goreng sawit sebesar 0,68 persen.

Kebijakan pemerintah dalam stabilisasi harga minyak goreng lebih baik

difokuskan pada stabilisasi harga CPO domestik. Penetapan harga minimum dan

maksimum patut untuk dicoba selain PE. Harga minimum digunakan ketika harga

Page 109: Ekspor Cpo

CPO domestik sangat rendah dibanding harga internasional dan harga maksimum

pada kondisi sebaliknya. Hal ini dilakukan agar kondisi harga CPO domestik pada

tingkat dimana industri CPO diuntungkan dan begitu juga industri pengolahan

CPO.

Harga riil minyak goreng kelapa mempunyai koefisien dugaan bertanda

positif sesuai dengan parameter yang diharapkan. Variabel ini berpengaruh nyata

terhadap harga minyak goreng sawit Indonesia pada taraf 10 persen. Artinya,

adanya peningkatan dalam harga minyak goreng kelapa akan mendorong para

konsumen pengguna minyak goreng kelapa untuk beralih ke minyak goreng sawit,

sehingga membuat permintaan akan minyak goreng sawit semakin meningkat dan

selanjutnya harga minyak goreng sawit juga akan mengalami kenaikan.

Dummy krisis Indonesia berpengaruh nyata terhadap harga minyak goreng

sawit pada taraf 10 persen dengan koefisien dugaan bertanda positif sesuai dengan

parameter yang diharapkan. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun

1997 yang ditandai dengan kenaikan harga sejumlah barang-barang pokok

ternyata berpengaruh pada harga minyak goreng sawit.

Lag harga minyak goreng sawit tidak berpengaruh nyata terhadap harga

minyak goreng sawit dengan koefisien dugaan bertanda negatif yang tidak sesuai

dengan parameter yang diharapkan. Apabila lag harga minyak goreng sawit

meningkat, maka harga minyak goreng sawit tahun analisis belum tentu akan

meningkat. Hal ini disebabkan intervensi pemerintah dalam penentuan harga

minyak goreng sering berubah dari waktu ke waktu, sehingga harga minyak

goreng sawit tahun sebelumnya tidak berpengaruh terhadap harga minyak goreng

Page 110: Ekspor Cpo

sawit pada tahun analisis. Intervensi pemerintah dalam penentuan harga minyak

goreng sawit ini terutama terjadi ditingkat pabrik. Pengendalian ini pada dasarnya

bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi mengingat pentingnya peranan

minyak goreng sawit dalam perekonomian. Salah satu intervensi pemerintah

dalam hal harga minyak goreng sawit adalah dengan menetapkan Harga Eceran

Tertinggi (HET) dan adanya Program Stabilisasi Harga minyak goreng (PSH).

Tabel 5.5 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia

Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr)

Koefisien 4303,141 0,0100 Penawaran minyak

goreng sawit (QSMG) -0,116881 0,2192

Harga riil CPO domestik (HCPO) 2,459150 ***0,1208

0,68

Harga riil minyak goreng kelapa (HMKD) -2,417950 **0,0623

Dummy krisis ekonomi (DK) 1243,969 **0,0814

Lag harga minyak goreng sawit (HMGD(-1))

-0,049384 0,8968

R2 = 0,5403

F value = 2,350661

Prob(F value) = 0,0117162

Sumber : Lampiran 7. Keterangan : *** Nyata pada taraf 15 % ** Nyata pada taraf 10 %

5.2 Hasil Validasi Model

Sebelum melakukan simulasi model, terlebih dahulu dilakukan validasi

model. Pada penelitian ini, validasi model menggunakan kriteria Root Mean

Square Percent Error (RMSPE) dan Ststistic U-Theil. Keakuratan model melalui

Page 111: Ekspor Cpo

nilai statistics of fit menghasilkan nilai RMSPE lebih kecil dari 23 persen.

Artinya, nilai prediksi dapat mengikuti kecenderungan data historisnya dengan

tingkat kesalahan 23 persen pada persamaan QDMG.

Bias (UM), Reg (UR) dan Var (US) mendekati nilai idealnya yaitu nol,

sedangkan nilai Dist (UD) dan Covar (UC) juga mendekati nilai idealnya satu.

Begitu juga dengan nilai U-Theil mendekati nol, yang mengindikasikan bahwa

simulasi model mengikuti data aktualnya dengan baik. Hasil validasi

selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.6.

Tabel 5.6 Hasil Validasi Model Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO terhadap Keseimbangan Pasar Minyak Goreng Sawit Dalam Negeri

Peubah

RMS %

Error

Kesalahan

U-Theil Bias

(UM)

Reg

(UR)

Dist

(UD)

Var

(US)

Covar

(UC)

HMGDR 15,1994 0,00 0,00 1,00 0,21 0,79 0,0939

QDMG 22,4842 0,00 0,00 1,00 0,01 0,99 0,0379

QMG 2,7877 0,00 0,01 0,99 0,01 0,99 0,1536

IMMG 5,5164 0,00 0,02 0,98 0,07 0,93 0,1030

XCPO 16,3633 0,00 0,00 1,00 0,00 1,00 0,0242

Sumber : Lampiran 9.

5.3 Perubahan Pajak Ekspor CPO Sebesar Sepuluh Persen

Tabel 5.7 di bawah ini menunjukkan hasil simulasi berdasarkan

peningkatan pajak ekspor CPO sebesar sepuluh persen. Peningkatan pajak ekspor

CPO sebesar sepuluh persen diduga akan mengakibatkan penurunan permintaan

minyak goreng sawit, impor minyak goreng sawit dan volume ekspor CPO

masing-masing sebesar 0,0017 persen, 0,0013 persen dan 0,9226 persen, serta

Page 112: Ekspor Cpo

diduga akan meningkatkan harga minyak goreng sawit sebesar 2,1470 persen dan

produksi minyak goreng sawit sebesar 0,1433 persen.

Adanya kebijakan kenaikkan PE sebesar sepuluh persen diduga akan

menurunkan permintaan minyak goreng sawit dan meningkatkan harga minyak

goreng sawit. Secara ekonomi, ketika harga CPO dunia meningkat akan

menimbulkan kecenderungan bagi industri CPO untuk mengekspor. Karena itu,

ketika ekspor mencapai posisi tertinggi sehingga terjadi gejolak pada harga

minyak goreng, ada dua versi yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama,

volume ekspor CPO yang terlalu tinggi berakibat pada pasokan CPO untuk

industri minyak goreng sawit menjadi berkurang. Dampak dari hal tersebut adalah

produksi minyak goreng sawit menjadi berkurang, sehingga ketersediaan minyak

goreng untuk permintaan domestik tidak tercukupi dan pada akhirnya harga dari

minyak goreng sawit ini melonjak. Kedua, naiknya harga minyak goreng sawit

adalah karena adanya kenaikan harga minyak nabati dunia termasuk CPO.

Jika dilihat dari hasil simulasi yang telah dilakukan, penjelasan versi

kedua lebih masuk akal. Adanya lonjakan harga minyak goreng sawit adalah

karena adanya kenaikkan harga minyak nabati dunia, sehingga permintaan akan

minyak goreng sawit mengalami penurunan dengan meningkatnya harga minyak

goreng sawit. Karena dari hasil simulasi, produksi minyak goreng tidak

mengalami penurunan dan justru mengalami kenaikan, sehingga hal ini

mengindikasikan bahwa tidak adanya kekurangan pasokan CPO domestik

walaupun ekspor sedang tinggi-tingginya.

Page 113: Ekspor Cpo

Untuk ekspor CPO sendiri diduga akan mengalami penurunan ketika PE

ditingkatkan sebesar sepuluh persen. Dengan adanya peningkatan PE, para

produsen CPO akan mengurangi jumlah ekspornya karena semakin berkurangnya

penerimaan yang mereka peroleh. Ketersediaan CPO untuk industri minyak

goreng sawit akan semakin bertambah dengan adanya pengurangan ekspor CPO.

Adanya dampak multiflier dari kenaikan harga minyak goreng sawit juga akan

mengakibatkan jumlah produksi minyak goreng semakin meningkat. Dimana

harga minyak goreng yang tinggi menjadi insentif bagi para produsen minyak

goreng untuk meningkatkan jumlah outputnya.

Kenaikan PE juga akan menurunkan impor minyak goreng sawit, hal ini

dimungkinkan karena kebutuhan akan minyak goreng sawit dapat dipenuhi dari

produksi minyak goreng dalam negeri.

Dari hasil simulasi di atas, adanya kebijakan kenaikan PE akan

berimplikasi pada :

1. Melemahkan posisi daya saing Indonesia di pasar dunia. Hal ini ditandai

dengan hilangnya potensi pasar ekspor Indonesia ketika permintaan CPO

dunia sedang tinggi-tingginya, serta kekhawatiran akan berpindahnya pembeli

ke negara kompetitor (Malaysia).

2. Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Askadarimi (2007), adanya

kebijakan kenaikan PE akan menurunkan pendapatan yang diterima oleh

petani kelapa sawit.

3. PE yang tinggi akan memicu kegitan penyelundupan. Dengan pajak ekspor

CPO yang semakin tinggi, ekspor CPO legal memang semakin berkurang,

Page 114: Ekspor Cpo

namun ekspor CPO ilegal atau penyelundupan CPO semakin tinggi, hal ini

dikarenakan produsen CPO lebih tertarik dengan harga CPO dunia yang lebih

tinggi dibandingkan dengan harga CPO domestik, sehingga para produsen

CPO lebih memilih menjual CPO ke pasar internasional dengan cara ilegal.

Selama Januari sampai dengan Februari 2008, penyelundupan CPO ke luar

negeri melonjak drastis, Oil World memperkirakan penyelundupan CPO

mencapai 400 ribu ton, meningkat dibandingkan tahun 2007 periode Januari-

September yang hanya 660 ribu ton. Oil World mencatat, ekspor CPO

Indonesia yang terdaftar pada periode Juli-September 2006 mencapai 2,93 juta

ton dan turun menjadi 2,18 juta ton pada periode yang sama di tahun 2007,

penurunan itu terjadi akibat adanya ekspor CPO yang tidak terdaftar karena

adanya penetapan pajak ekspor yang semakin tinggi.

4. Bagi pihak industri minyak goreng, adanya PE akan memberikan sedikit

jaminan tersedianya input untuk proses pengolahan dan bagi pemerintah dapat

menjadi alternatif penerimaan bukan pajak.

5. Pemerintah diharapkan untuk lebih memfokuskan pada kebijakan

pengendalian harga minyak goreng dengan memberikan subsidi kepada

industri atas kenaikan harga CPO. Subsidi ini penting agar harga minyak

goreng dapat ditekan dengan disubsidinya biaya input oleh pemerintah.

Page 115: Ekspor Cpo

Tabel 5.7 Hasil Simulasi Kenaikkan Pajak Ekspor Sebesar Sepuluh Persen

Variabel Nilai Dasar Skenario Simulasi PE naik 10 %

Predicted Mean Predicted Mean % ∆ Harga riil minyak goreng

sawit (HMGDR)

3,400

3,473 2,1470 permintaan minyak

goreng sawit (QDMG)

60,3136

60,3126 -0,0017 produksi minyak goreng

sawit (QMG)

9,773

9,787 0,1433 Impor minyak goreng

sawit (IMMG)

15,4530

15,4528 -0,0013 Ekspor minyak sawit

(XCPO)

4,3137

4,2739 -0,9226 Sumber : Lampiran 10.

Page 116: Ekspor Cpo

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Model keterkaitan ekspor CPO dan pengaruh pajak ekspor CPO terhadap

keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri menghasilkan lima

persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Persamaan identitas

mencakup penawaran ekspor CPO Indonesia, penawaran minyak goreng

sawit Indonesia dan keseimbangan penawaran dan permintaan minyak

goreng sawit Indonesia. Sedangkan persamaan struktural terdiri dari model

faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia,

permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia, produksi minyak goreng

sawit Indonesia, permintaan minyak goreng sawit Indonesia dan harga

minyak goreng sawit Indonesia.

2. Penawaran ekspor CPO Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil

ekspor CPO, nilai tukar riil, pajak ekspor CPO, produksi CPO domestik dan

populasi Indonesia. Sedangkan lag ekspor CPO Indonesia tidak berpengaruh

nyata terhadap ekspor CPO Indonesia. Variabel yang mempunyai nilai

elastisitas yang lebih responsif adalah produksi CPO domestik, dimana

peningkatan produksi CPO sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan

ekspor CPO sebesar 1,80 persen.

3. Penawaran minyak goreng sawit Indonesia berasal dari minyak goreng sawit

yang diimpor dan minyak goreng sawit produksi Indonesia. Impor minyak

goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil impor

Page 117: Ekspor Cpo

minyak goreng sawit, permintaan minyak goreng domestik dan pendapatan

nasional Indonesia, sedangkan nilai tukar riil dan lag impor minyak goreng

tidak berpengaruh nyata. Nilai elastisitas pada persamaan impor minyak

goreng semakin tidak elastis dalam jangka panjang. Variabel yang

mempunyai nilai elastisitas yang lebih responsif adalah permintaan minyak

goreng domestik dengan nilai elastisitas sebesar 0,0092 dalam jangka

pendek, dengan asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris

paribus), maka peningkatan permintaan minyak goreng sawit domestik

sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan impor minyak goreng sebesar

0,0092 persen dalam jangka pendek.

4. Produksi minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh luas

areal kelapa sawit, produksi CPO domestik, dummy krisis ekonomi

Indonesia dan lag produksi minyak goreng sawit. Sedangkan harga riil

minyak goreng sawit domestik dan upah riil tenaga kerja tidak berpengaruh

nyata terhadap produksi minyak goreng sawit Indonesia. Nilai elastisitas

jangka pendek dari variabel luas areal kelapa sawit sebesar 0,35. Dengan

asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka

peningkatan luas areal kelapa sawit sebesar 1 persen dalam jangka pendek

diduga akan meningkatkan produksi minyak goreng sebesar 0,35 persen.

5. Permintaan minyak goreng sawit Indonesia merupakan agregasi dari jumlah

konsumsi minyak goreng sawit secara langsung dan konsumsi minyak

goreng oleh industri pengguna minyak goreng sawit. Permintaan minyak

goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil minyak

Page 118: Ekspor Cpo

goreng sawit, harga riil minyak goreng kelapa, pendapatan per kapita dan

lag permintaan minyak goreng sawit.

6. Variabel-variabel yang mempengaruhi secara nyata harga minyak goreng

sawit domestik adalah harga riil CPO domestik, harga riil minyak goreng

kelapa dan dummy krisis ekonomi Indonesia. Nilai elastisitas harga riil CPO

domestik dalam jangka pendek bernilai 0,68 artinya adanya peningkatan

harga CPO domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan

meningkatkan harga riil minyak goreng sawit sebesar 0,68 persen.

7. Validasi model dengan menggunakan kriteria statistics of fit, menunjukkan

model layak untuk digunakan sebagai peramalan. Hasil simulasi

menunjukkan peningkatan sepuluh persen pajak ekspor CPO akan

mengakibatkan penurunan permintaan minyak goreng sawit, impor minyak

goreng sawit dan volume ekspor CPO masing-masing sebesar 0,0017

persen, 0,0013 persen dan 0,9226 persen, serta diduga akan meningkatkan

harga minyak goreng sawit sebesar 2,1470 persen dan produksi minyak

goreng sawit sebesar 0,1433 persen.

6.2 Saran

1. Adanya kenaikkan pajak ekspor CPO justru berdampak negatif bagi para

produsen dan petani sawit karena menurunkan pangsa pasar dan daya saing

Indonesia di pasar dunia, untuk itu diperlukan adanya kebijakan alternatif

selain pajak ekspor sebagai komplemen untuk mengatasi kelemahan dari

penerapan pajak ekspor. Perlu juga adanya perhatian khusus dari pemerintah

Page 119: Ekspor Cpo

dalam hal senjang pengambilan keputusan pada penetapan pajak ekspor agar

penyesuaiannya mengikuti pola perubahan harga CPO dunia yang fluktuatif.

2. Penerapan operasi pasar yang selama ini dilakukan oleh pemerintah untuk

menjaga keseimbangan pasar minyak goreng dapat efektif jika

infrastrukturnya dipersiapkan secara baik dengan koordinasi yang baik dari

pemerintah pusat dan daerah untuk menjangkau kalangan yang benar-benar

kurang mampu.

3. Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai

variabel-variabel yang lebih relevan yang berkaitan dengan harga minyak

goreng sawit domestik. Perlu juga dilakukan penelitian tentang kebijakan

pengendalian mana yang paling efisien yang dapat dipilih oleh pemerintah

dalam mengatasi masalah keseimbangan pasar dan harga minyak goreng tetapi

tidak mengorbankan potensi ekspor CPO Indonesia yang cukup menarik

ketika harga CPO dunia sedang tinggi.

Page 120: Ekspor Cpo

DAFTAR PUSTAKA

Ardana, I. K. 2004. Struktur Produksi dan Peranan Minyak Goreng dalam Perekonomian Indonesia [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Askadarimi, I. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perdagangan Minyak Sawit (CPO) Indonesia [skripsi]. Program Studi Ekonomi dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik. 1990-2006. Harga Perdagangan Besar Sektor Industri.

Badan Pusat Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. Indeks Harga Konsumen Indonesia. Badan Pusat Statistik,

Jakarta. ______. 1990-2006. Indeks Harga Perdagangan Besar Indonesia. Badan Pusat

Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. Indeks Harga Pedagang Besar Indonesia. Badan Pusat

Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. Statistik Impor Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. Statistik Industri Besar dan Sedang Volume II dan III.

Badan Pusat Statistik, Jakarta. ______. 2006. Statistik Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990-2006. Badan Pusat

Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. 1990-2006. Statistik Ekspor Indonesia. Badan Pusat Statistik,

Jakarta. ______. 1990-2006. Statistical Year Book of Indonesia. Badan Pusat Statistik,

Jakarta. ______. 1990-2006. Neraca Bahan Makanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bank Indonesia. 1990-2006. Laporan Tahunan Bank Indonesia. Bank Indonesia,

Jakarta Corinthian Indopharma Corpora. 2003. Studi tentang Pemasaran Minyak Goreng

di Indonesia. Jakarta.

Page 121: Ekspor Cpo

Deliarnov. 1995. Pengantar Ekonomi Makro. UI Press, Jakarta. Departemen Perindustrian. 1990-2006. Perkembangan Impor Komoditi Indonesia

Menurut KLUI 5 Digit. Departemen Perindustrian, Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun). 2007. Road Map Kelapa Sawit.

Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Djaenudin, D. R. 2000. Analisis Pasar Minyak Goreng Domestik : Dampak

Kebijakan Pemerintah dan Kemungkinan Pemberlakuan Liberalisasi Perdagangan [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bumi Aksara,

Jakarta. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah].

Erlangga, Jakarta. Indonesian Palm Oil Comission (IPOC). 2007. Indonesian Palm Oil Statistics

2006. Indonesian Palm Oil Comission (IPOC), Jakarta. Jamaludin, J. 2005. Dampak Kebijakan Perdagangan Gandum-Tepung Terigu

terhadap Keseimbangan Tepung Terigu di Indonesia [skripsi]. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kindleberger, C. P. dan P. H. Lindert. 1995. Ekonomi Internasional [terjemahan].

Edisi Keempat. Erlangga, Jakarta. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics : Second Edition. Harper & Row

Publishers, Inc. Barnes & Nobles Import Division, New York. Lipsey, R. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Binarupa Aksara, Jakarta.

Mahisya, F. 2004. Analisis Permintaan Ekspor CPO Indonesia : Suatu Pendekatan Error Correction Model [skripsi]. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mankiw, G. 2003. Teori Makroekonomi. Erlangga, Jakarta. Margaretha, E. 2005. Dampak Liberalisasi Perdagangan Disektor Industri Tekstil

Terhadap Neraca Perdagangan Indonesia [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nicholson, W. 1991. Teori Mikroekonomi. Binarupa Aksara, Jakarta.

Page 122: Ekspor Cpo

Nurdiyani, F. 2007. Analisis Permintaan dan Penawaran Industri Minyak Goreng Kelapa di Indonesia [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ratri, C. D. 2004. Analisis Dampak Rencana Penerapan Pungutan Ekspor Kakao

Terhadap Integrasi Pasar Kakao Indonesia [skripsi]. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Erlangga, Jakarta.

Sitepu R. Karo-karo, Bonar M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika : Estimasi, Simulasi, dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sugema I, M Fadhil Hasan, Aviliani, Usman H, Sugiyono. 2007. Strategi

Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit. INDEF, Jakarta. Suharyono. 1996. Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi pada Komoditi Minyak

Sawit dab Hasil Industri yang Menggunakan Bahan Baku Minyak Sawit di Indonesia [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sumaryanto dan Marcellus, R. 1996. Sistem Agribisnis dan Peranan Minyak

Goreng dalam Perekonomian Nasional. hal. 37-88. Dalam : Amang, Beddu, Pantjar Simatupang dan Anas Rachma, (Eds.). Ekonomi Minyak Goreng di Indonesia. IPB Press. Bogor.

Widayunita, P. 2007. Analisis Daya Saing Industri Semen Indonesia Periode

1978-2005 [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Winarno, W. W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews.

YKPN, Jogjakarta.

Page 123: Ekspor Cpo

L A M P I R A N

Page 124: Ekspor Cpo

Lampiran 1. Kebijakan Pemerintah Pada Industri Kelapa Sawit Indonesia

Tanggal Surat Keputusan Hal

11 Des’78 SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No.268/KP/XII/78

Pengaturan tataniaga minyak sawit untuk tujuan ekspor

16 Des’78 SK Bersama tiga menteri Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan Koperasi : No. 764/Kpts/UM/12/1978 No. 252/M/SK/12/1978 No. 275/KPB/XII/78

Pengaturan tataniaga minyak sawit untuk kebutuhan dalam negeri dan juga untuk tujuan ekspor

11 Jan’79 SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 001/Dagri/Kp/79

Pengaturan alokasi atau jatah untuk kebutuhan dalam negeri beserta harganya

23 Jan’83 SK 17/Dagri/Kp/I/83 SK 22/Dagri/Kp/I/83

Pemberlakuan lisensi dari Departemen Perdagangan untuk ekspor.

1984 SK Menteri Perdagangan No. 47/KMK/001/84

Pajak ekspor minyak sawit dan produk sejenis sebesar 37.18%.

1986 Pembebasan Pajak Ekspor minyak sawit.

3 Juni’91 Paket Kebijakan Deregulasi Pembebasan sistem tataniaga kelapa sawit dan pajak ekspor CPO. Jika dibutuhkan impor diperbolehkan dengan bea masuk 5%.

1992 Paket Deregulasi Penetapan minyak goreng sawit ke dalam daftar negatif investasi, baik untuk PMA, PMDN, dan non PMA/PMDN. Investasi diizinkan jika terpadu dengan pengembangan perkebunan sawit (penyediaan bahan baku 65%). Tarif bea tambahan (20%) dihapuskan.

31 Agst’94 SK Menteri Keuangan No. 439/KMK.017/1994

Penetapan pajak ekspor CPO bervariasi 40%-50%.

4 Juli’97 SK Menteri Keuangan No. 300/KMK.01/1997

Penurunan pajak ekspor CPO dan produk turunannya dari sekitar 10%-12% menjadi 2%-5% secara ad-volerem.

17 Des’97 SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 456/MPP/Kep/12/1997

Penetapan pajak ekspor tambahan (PET) untuk RBD-PO dan Olein 30% dan RBD Olein 28%.

Page 125: Ekspor Cpo

Tanggal Surat Keputusan Hal

19 Des’97 SK Menteri Keuangan No. 622/KMK.01/1997

Penetapan alokasi/kuota 80% dari produksi untuk pasokan dalam negeri.

24 Des’97 SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 420/DJPDN/XI/1997

Pelarangan ekspor.

22 April’98 SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan

Pengaturan pengolahan CPO, pembatalan (outstanding contract), pengaturan pembayaran minyak goreng secara cash flow.

7 Juli’98 SK Menteri Keuangan No. 334/KMK.07/1998

Kenaikan PE (CPO : 40% menjadi 60% dan RBD Olein 35% menjadi 55%). Pelarangan ekspor sawit produksi PTPN.

29 Jan’99 SK Menteri Keuangan No. 30/KMK.01/1999

Penurunan PE CPO dari 60% menjadi 40%.

3 Juni’99 SK Menteri Keuangan No. 189/KMK.017/1999

Penurunan PE CPO dari 40% menjadi 30%.

21 Juli’99 SK Menteri Keuangan No. 360/KMK.017/1999

Penurunan PE CPO dari 30% menjadi 10%.

12 Sept’00 SK Menteri Keuangan No. 387/KMK.017/2000

Penurunan PE CPO menjadi 5%.

2001 SK Menteri Keuangan No. 66/KMK.071/2001

Penurunan PE CPO menjadi 3%.

2005 SK Menteri Keuangan No. 130/KMK.010/2005

Pajak Ekspor CPO 1.5%.

10 Sept’05 Peraturan Pemerintah No. 35 Penentuan Harga Patokan Ekspor (HPE) mengacu pada harga minyak sawit dunia.

29 Mar’06 SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 17/M-Dag/Per/3/2006

HPE ditetapkan setiap bulan oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri.

8 Mei’06 SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 21/M-Dag/Per/5/2006

HPE berlaku satu bulan mulai 10 Mei-9 Juni 2006, yaitu US $ 358/MT.

Sumber : http://www.deperin.go.id

Page 126: Ekspor Cpo

Lampiran 2. Data Riil Penelitian

Tahun XCPO (Juta Ton)

HXCPO (US $/Ton)

QCPO (Juta Ton)

XRR (Rp/US $)

QMG (000 Ton)

IMMG (000 Ton)

1990 0,815580 303,2 2,412612 2403,18 2413 27 1991 1,167689 299,5 2,657600 2300,16 2658 39 1992 1,030272 327,4 3,266250 2276,62 3266 310 1993 1,632012 338,0 3,421449 2118 3421 158 1994 1,631203 413,4 4,008062 2018,12 4008 130 1995 1,265024 481,9 4,479670 1941,87 4480 72 1996 1,671957 474,9 4,898658 1887,02 4899 113 1997 2,967589 430,6 5,448508 4061,28 5385 100 1998 1,479278 188,2 5,930415 3249,228 5902 27 1999 3,298987 165,8 6,455590 3394,28 6250 9 2000 4,110027 134,1 7,000508 3068,68 6950 24 2001 4,903218 112,1 8,396472 3207,40 7660 20 2002 6,333708 159,0 9,622345 2505,82 9060 52 2003 6,386409 186,6 10,440834 2226,05 10110 26 2004 8,661647 176,3 12,326419 2303,44 10955 45 2005 10,376200 135,04 14,619830 2206,61 11938 51 2006 12,101000 142,08 16,000000 1785,25 12921 58

QSMG (000 Ton)

POP (Juta Jiwa)

QDMG (000 Ton)

PI (2000=100)

GDP HK’93 (Milyar Rupiah)

UPR (Rp/HOK)

LA (Ha)

2440 179,2478 1573,94 106,47 959550 27923,29 11266772697 182,9401 1476,53 75,30 1019354 27308,65 13109963576 186,0427 1701,31 94,02 1085199 26051,03 14646863579 186,5448 2013,04 128,83 1155694 26233,01 16131874138 189,6751 2202,41 98,53 1242834 26677,58 18041494552 192,7128 2383,88 141,90 1344995 28319,08 20249865012 195,5249 2569,11 152,75 1450149 29440,99 22495145485 198,6758 2699,94 164,14 1518305 30478,58 29222965929 201,5378 2830,49 146,98 1317868 21500,98 35601966259 204,7839 2880,33 154,83 1329436 18175,19 39018026974 195,1033 2842,04 156,48 1394845 18779 41580777680 201,7033 2917,74 100,00 1442985 17031,39 47134359112 202,7074 3027 69,47 1505216 16483,53 506705810136 214,3741 3169 93,76 1579559 15533,73 528355711000 217,0723 3357 103,44 1656826 15507,33 544756211989 218,8688 3546 146,12 1750656 15591,48 564172112979 222,192 4108,25 98,65 1846655 15391,61 5824566

Page 127: Ekspor Cpo

HCPO (Rp/Kg)

HMGDR (Rp/Kg)

HMKD (Rp/Kg)

PIMMG (US$/ton)

DK ICPK (000 Rp/Kap)

IHPB (1993=100)

IHK (1993=100)

674,91 1827,74 1154,91 443,4484 0 5353,204 79,88 79,27 754,43 2112,31 1128,31 443,4497 0 5572,064 94,83 86,82 799,12 2519,06 1413,17 443,5317 0 5833,064 104,71 91,1

694 2566,62 1132,2 443,5422 0 6195,262 100 100 904,27 3118,27 1108,91 443,5048 0 6552,436 107,14 109,26 1074,14 3917,03 1205,73 443,4806 0 6979,272 122,00 118,7 908,3 3360,96 1168,29 443,5193 0 7416,697 104,02 126,39

1014,61 5478,3 1100,18 443,4743 1 7642,123 112,15 140,35 1581,69 3631,98 1700,55 443,5115 1 6539,061 360,25 249,29 1171,4 3680,59 1661,83 443,4977 1 6491,897 264,12 254,31 867,31 3418,54 1284,39 443,5 1 7149,264 231,21 278,1 631,92 3078,23 1045,43 443,4981 1 7153,998 246,23 324,25 796,03 3520,66 1186 443,5161 1 7425,56 244,67 356,77 867,8 3694,08 1232,23 443,4867 1 7368,236 239,61 380,27 910,47 3779,05 1291,34 443,5383 1 7632,6 259,72 403,31 895,3 3422,92 1025,3 443,5013 1 7998,655 268,07 445,48 921,2 3091,333 1029,93 443,6543 1 8311,078 280,12 503,85

Sumber : BPS, Deptan, Deperin dan Depdag 1990-2006, diolah. Keterangan : XCPO : Ekspor CPO IMMG : Impor minyak goreng HXCPO : Harga riil Ekspor CPO QSMG : Penawaran minyak goreng QCPO : Produksi CPO POP : Populasi XRR : Nilai tukar QDMG : PermintaanMinyakgoreng QMG : Produksi minyak goreng PI : Price index, CIF Rotterdam GDP : Pendapatan nasional HMGDR : Harga riil minyak goreng sawit ICPK : Pendapatan/kap UPR : Upah riil HMKD : Harga riil minyak goreng kelapa LA : Luas areal kelapa sawit PIMMG : Harga riil impor minyak goreng HCPO : Harga riil CPO domestic DK : Dummy krisis ekonomi

Page 128: Ekspor Cpo

Lampiran 3. Hasil Estimasi Parameter pada Penawaran Ekspor CPO Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12

22:20 Monday, July 14, 1997 1

The SAS System

SYSLIN Procedure

Two-Stage Least Squares Estimation

Model: SEXPORT Dependent variable: XCPO

Analysis of Variance

Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Prob>F

Model 6 186.14818 31.02470 246.588 0.0001 Error 9 1.13234 0.12582 C Total 15 187.28052

Root MSE 0.35471 R-Square 0.9940 Dep Mean 4.31351 Adj R-SQ 0.9899 C.V. 8.22313

Parameter Estimates

Parameter Standard T for H0: Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob >

|T|

INTERCEP 1 7.964767 5.681348 1.402 0.1945 HXCPO 1 0.003953 0.001348 2.932 0.0167 XRR 1 0.000355 0.000209 1.695 0.1243 PE 1 -0.025899 0.006892 -3.758 0.0045 QCPO 1 1.035426 0.200860 5.155 0.0006 POP 1 -0.065287 0.032666 -1.999 0.0767 LAGXCPO 1 0.060552 0.205803 0.294 0.7753

Page 129: Ekspor Cpo

Lampiran 4. Hasil Estimasi Parameter pada Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12

22:20 Monday, July 14, 1997 2

The SAS System

SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation

Model: DIMPORT

Dependent variable: IMMG

Analysis of Variance

Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F

Model 5 61037.43780 12207.48756 5.003281 0.0014837 Error 10 24384.31252 2438.43125 C Total 15 85421.75000

Root MSE 49.38047 R-Square 0.7145 Dep Mean 77.12500 Adj R-SQ 0.5718 C.V. 64.02655

Parameter Estimates

Parameter Standard T for H0: Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob>|T|

INTERCEP 1 -604938.89 187432.000000 -3.228 0.0091 XRR 1 0.019515 0.024180 0.807 0.4384 PIMMG 1 1364.166822 422.564790 3.228 0.0090 QDMG 1 0.254952 0.077568 3.287 0.0082 GDP 1 0.00045219 0.000208 2.176 0.0546 LAGIMMG 1 -0.028656 0.189214 -0.151 0.8826

Page 130: Ekspor Cpo

Lampiran 5. Hasil Estimasi Parameter pada Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12

22:20 Monday, July 14, 1997 3

The SAS System

SYSLIN Procedure

Two-Stage Least Squares Estimation

Model: PRODUCE Dependent variable: QMG

Analysis of Variance

Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F

Model 6 158567696.78 26427949.463 841.222 0.0001 Error 9 282745.16000 31416.12889 C Total 15 158850441.94

Root MSE 177.24596 R-Square 0.9982 Dep Mean 6866.43750 Adj R-SQ 0.9970 C.V. 2.58134

Parameter Estimates

Parameter Standard T for H0: Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| INTERCEP 1 -146.656801 1035.451907 -0.142 0.8905 HMGDR 1 0.187798 0.151634 1.238 0.2469 LA 1 685.940763 268.212579 2.557 0.0308 QCPO 1 296.603047 128.208859 2.313 0.0460 DK 1 -797.436665 318.191885 -2.506 0.0335 UPR 1 -0.00932414 0.040087 -0.233 0.8213 LAGQMG 1 0.390933 0.219313 1.783 0.1083

Page 131: Ekspor Cpo

Lampiran 6. Hasil Estimasi Parameter pada Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12

22:20 Monday, July 14, 1997 4

The SAS System

SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation

Model: DMINYAK

Dependent variable: QDMG

Analysis of Variance

Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F

Model 4 6729156.0607 1682289.0152 116.3347 0.0001 Error 11 159068.49156 14460.77196 C Total 15 6888224.5522

Root MSE 120.25295 R-Square 0.9736 Dep Mean 2732.75438 Adj R-SQ 0.9685 C.V. 4.40043

Parameter Estimates

Parameter Standard T for H0:

Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T|

INTERCEP 1 -2070.861915 850.842772 -2.434 0.0332 HMGDR 1 -0.137087 0.060333 -2.272 0.0441 HMKD 1 0.431732 0.258135 1.673 0.1226 ICPK 1 0.422148 0.145392 2.904 0.0144 LAGQDMG 1 0.689786 0.139807 4.934 0.0004

Page 132: Ekspor Cpo

Lampiran 7. Hasil Estimasi Parameter pada Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12

22:20 Monday, July 14, 1997 5

The SAS System

SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation

Model: HARGA

Dependent variable: HMGDR

Analysis of Variance

Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F

Model 5 4524042.8236 904808.56472 2.350661 0.0117162 Error 10 3849167.2726 384916.72726 C Total 15 8373210.0963

Root MSE 620.41658 R-Square 0.5403 Dep Mean 3399.37081 Adj R-SQ 0.3104 C.V. 18.25092

Parameter Estimates

Parameter Standard T for H0:

Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob>|T|

INTERCEP 1 4303.141208 1358.443115 3.168 0.0100 QSMG 1 -0.116881 0.089164 -1.311 0.2192 HCPO 1 2.459150 1.450211 1.696 0.1208 HMKD 1 -2.417950 1.248058 -1.937 0.0623 DK 1 1243.968554 593.057321 2.098 0.0814 LAGHMGDR 1 -0.049384 0.371212 -0.133 0.8968

Page 133: Ekspor Cpo

Lampiran 8. Hasil Uji Autokorelasi, Heteroskedastisitas dan Normalitas pada Masing-masing dengan Menggunakan Program SAS 6.12

The SAS System

MODEL Procedure 2SLS Estimation

Nonlinear 2SLS Summary of Residual Errors

DF DF Equation Model Error SSE MSE Root MSE R-Square Adj R-Sq

XCPO 7 9 1.13234 0.12582 0.35471 0.9940 0.9899

Heteroscedasticity Test

Equation Test Statistic DF Prob Variables

XCPO White's Test 16.00 15 0.3821 Cross of all vars Breusch-Pagan 5.30 6 0.5063 1, HXCPO, XRR, PE,

QCPO, POP, LAGXCPO

Autocorrelation Test

Equation Lag Statistic Value Prob

XCPO 1 Godfrey's AR 1.973 0.1602 2 Godfrey's AR 3.744 0.1538

3 Godfrey's AR 4.149 0.2458

Normality Test

Equation Test Statistic Value Prob XCPO Shapiro-Wilk W 0.960 0.6395 System Mardia Skewness 0.056 0.8129 Mardia Kurtosis -0.950 0.3431 Henze-Zirkler T 0.240 0.8102

Page 134: Ekspor Cpo

22:20 Monday, July 14, 1997 14

The SAS System

MODEL Procedure 2SLS Estimation

Nonlinear 2SLS Summary of Residual Errors

DF DF Equation Model Error SSE MSE Root MSE R-Square Adj R-Sq

IMMG 5 11 119558 10868.9 104.25412 0.9396 0.9086

Heteroscedasticity Test Equation Test Statistic DF Prob Variables

IMMG White's Test 16.00 15 0.3821 Cross of all vars Breusch-Pagan 5.77 4 0.2169 1, XRR, PIMMG, GDP,

LAGIMMG

Autocorrelation Test

Equation Lag Statistic Value Prob IMMG 1 Godfrey's AR 11.04 0.7145 2 Godfrey's AR 11.81 0.6125 3 Godfrey's AR 12.16 0.5679

Normality Test

Equation Test Statistic Value Prob IMMG Shapiro-Wilk W 0.864 0.2107 System Mardia Skewness 4.922 0.2065

Mardia Kurtosis 0.625 0.5317 Henze-Zirkler T 2.101 0.3257

Page 135: Ekspor Cpo

22:20 Monday, July 14, 1997 19

The SAS System

MODEL Procedure 2SLS Estimation

Nonlinear 2SLS Summary of Residual Errors

DF DF Equation Model Error SSE MSE Root MSE R-Square Adj R-Sq

QMG 6 10 285339 28533.9 168.91972 0.9982 0.9973

Heteroscedasticity Test

Equation Test Statistic DF Prob Variables QMG White's Test 16.00 15 0.3821 Cross of all vars

Breusch-Pagan 7.63 5 0.1779 1, LA, QCPO, DK, UPR, LAGQMG

Autocorrelation Test

Equation Lag Statistic Value Prob QMG 1 Godfrey's AR 1.175 0.2783 2 Godfrey's AR 2.235 0.3271 3 Godfrey's AR 7.540 0.0565

Normality Test

Equation Test Statistic Value Prob QMG Shapiro-Wilk W 0.971 0.8178 System Mardia Skewness 0.077 0.7812 Mardia Kurtosis -0.350 0.7258 Henze-Zirkler T -2.540 0.0112

Page 136: Ekspor Cpo

22:20 Monday, July 14, 1997 24

The SAS System

MODEL Procedure 2SLS Estimation

Nonlinear 2SLS Summary of Residual Errors

DF DF Equation Model Error SSE MSE Root MSE R-Square Adj R-Sq QDMG 4 12 1357898 113158.2 336.38989 0.8029 0.7536

Heteroscedasticity Test Equation Test Statistic DF Prob Variables QDMG White's Test 16.00 14 0.3134 Cross of all vars Breusch-Pagan 4.60 3 0.2037 1, HMKD, ICPK, LAGQDMG

Autocorrelation Test

Equation Lag Statistic Value Prob QDMG 1 Godfrey's AR 0.038 0.8446 2 Godfrey's AR 0.713 0.7001 3 Godfrey's AR 4.736 0.1922

Normality Test

Equation Test Statistic Value Prob QDMG Shapiro-Wilk W 0.845 0.2110 System Mardia Skewness 3.302 0.5692

Mardia Kurtosis 2.339 0.3193 Henze-Zirkler T 2.133 0.2329

Page 137: Ekspor Cpo

22:20 Monday, July 14, 1997 29

The SAS System

MODEL Procedure 2SLS Estimation

Nonlinear 2SLS Summary of Residual Errors

DF DF

Equation Model Error SSE MSE Root MSE R-Square Adj R-Sq HMGDR 5 11 4511723 410156.6 640.43471 0.4612 0.2652

Heteroscedasticity Test Equation Test Statistic DF Prob Variables HMGDR White's Test 16.00 15 0.3821 Cross of all vars Breusch-Pagan 8.55 4 0.0733 1, HCPO, HMKD, DK,

LAGHMGDR

Autocorrelation Test

Equation Lag Statistic Value Prob HMGDR 1 Godfrey's AR 0.123 0.6347

2 Godfrey's AR 0.244 0.8852 3 Godfrey's AR 1.628 0.6531

Normality Test

Equation Test Statistic Value Prob HMGDR Shapiro-Wilk W 0.945 0.4011 System Mardia Skewness 0.804 0.3698

Mardia Kurtosis 0.555 0.5787 Henze-Zirkler T 0.211 0.8328

Page 138: Ekspor Cpo

Lampiran 9. Hasil Validasi Model Kebijakan Perdagangan dengan Menggunakan Program SAS 6.12

15:28 Wednesday, July 9, 1997 137

The SAS System

SIMNLIN Procedure

Simultaneous Simulation

Solution Summary

Dataset Option Dataset DATA= WIDA

Variables Solved 5

Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 2.0033E-16 Maximum Iterations 1 Total Iterations 16 Average Iterations 1

Observations Processed

Read 17 Solved 16 Failed 1

Variables Solved For: HMGDR QDMG QMG IMMG XCPO

15:28 Wednesday, July 9, 1997 138

The SAS System

SIMNLIN Procedure

Simultaneous Simulation

Descriptive Statistics

Actual Predicted

Variable Nobs N Mean Std Mean Std

HMGDR 16 16 3399 747.1372 3.400 6.487942 QDMG 16 16 2733 677.6540 60.3136 98.158 QMG 16 16 6866 3254 9.787 48.64 IMMG 16 16 77.1250 75.4638 15.4530 25.155 XCPO 16 16 4.3135 3.5335 4.3137 3.5227

Statistics of Fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs % RMS RMS % Variable N Error Error Error Error Error Error R-Square

HMGDR 16 0.4334 0.8671 305.4141 9.08035 358.8133 15.1994 0.7540 QDMG 16 600403 22546 600403 22546 607782 22.4842 0.858039 QMG 16 2906 41.0446 2906 41.04459 3306 2.7877 0.1009 IMMG 16 154453 418187 154453 418187 156367 5.5164 0.4579739 XCPO 16 0.000173 0.5109 0.2330 11.05769 0.2660 16.3633 0.9940

Page 139: Ekspor Cpo

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions Inequality Coef

Variable N MSE Corr Bias Reg Dist Var Covar U1 U (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC)

HMGDR 16 128747 0.000 0.000 0.000 1.000 0.21 0.79 0.1032 0.0939 QDMG 16 3.69398E11 0.956 0.000 0.000 1.000 0.01 0.99 21.2600 0.0379 QMG 16 10930387 0.998 0.000 0.01 0.99 0.01 0.99 0.4376 0.1536 IMMG 16 2.44506E10 -.436 0.000 0.02 0.98 0.07 0.93 14.71824 0.1030 XCPO 16 0.07077 0.997 0.000 0.000 1.000 0.00 1.00 0.0483 0.0242

Lampiran 10. Hasil Simulasi Kenaikkan Pajak Ekspor sebesar 10 Persen dengan Menggunakan Program SAS 6.12

15:28 Wednesday, July 9, 1997 118

The SAS System

SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation

Descriptive Statistics

Actual Predicted

Variable Nobs N Mean Std Mean Std

HMGDR 16 16 3399.0000 747.1372 3.4730 7.063563 QDMG 16 16 2733.0000 677.6540 60.3126 98.159000 QMG 16 16 6866.0000 3254.0000 9.7870 48.580000 IMMG 16 16 77.1250 75.4638 15.4528 25.156000 XCPO 16 16 4.3135 3.5335 4.2739 3.547900


Top Related