EKONOMI ISLAM MENURUT PANDANGAN BARAT ATAU KONVENSIONAL
Begitu banyak sistem perekonomian yang ada di dunia. Semua sistem itu diciptkan untuk
mengatur sirkulasi keuangan di dunia. Tetapi tentu saja sistem yang notabene merupakan ciptaan
manusia tersebut adalah hal yang tidak sempurna. Selalu ada kekurangan yang menyebabkan
banyaknya masalah yang belum terpecahkan dalam perekonomian dunia. Perbedaan mendasar
antara sebuah sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya adalah bagaimana cara sistem itu
mengatur faktor produksinya. Dalam beberapa sistem, seorang individu boleh memiliki semua faktor
produksi. Sementara dalam sistem lainnya, semua faktor tersebut di pegang oleh pemerintah.
Kebanyakan sistem ekonomi di dunia berada di antara dua sistem ekstrim tersebut. Selain faktor
produksi, sistem ekonomi juga dapat dibedakan dari cara sistem tersebut mengatur produksi dan
alokasi. Sebuah perekonomian terencana (planned economies) memberikan hak kepada pemerintah
untuk mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi hasil produksi. Sementara pada perekonomian
pasar (market economic), pasar lah yang mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi barang dan
jasa melalui penawaran dan permintaan.
Terkait sistem ekonomi tersebut, banyak negara yang memilih menerapkan sistem yang
berasal dari barat seperti komunisme, liberalisme, kapitalisme dan sosialisme. Sistem tersebut
mereka anggap adalah sistem - sistem yang paling tepat agar sirkulasi perekonomian berjalan
seimbang dan stabil. Namun ternyata anggapan itu salah. Tanpa disangka, sistem barat yang telah
diterapkan oleh banyak negara tersebut menuai kegagalan. Krisis ekonomi di dunia saat ini
menunjukkan kegagalan sistem ekonomi kapitalis. Dia terbukti hanya meninggalkan kegamangan
berupa ekonomi-ekonomi balon yang dari hari ke hari semakin menggelembung, lalu pecah dan
timbullah krisis. Krisis ekonomi global dewasa ini, yang diawali dengan krisis sub-prime mortgage di
Amerika Serikat menjadi bukti, bahwa kapitalisme merupakan sistem yang terbukti rapuh dan pada
akhirnya gagal menjadi solusi bagi problematika ekonomi dunia yang lebih stabil. Indikasi kegagalan
sistem ekonomi kapitalis sebenarnya memang sudah dapat diramalkan sejak awal. Menurut data
mengenai kronologi krisis ekonomi (Roy & Glyn Davies, 1996), sejak pasca perang dunia I sampai
sebelum tahun 2000 saja, sudah terjadi 21 krisis besar yang menghantam berbagai negara di dunia.
Mulai dari negara besar seperti Jepang, USA, UK, sampai pada negara-negara dunia ketiga, termasuk
Indonesia. Krisis yang terjadi tersebut juga belum termasuk krisis-krisis keuangan kecil yang melanda
berbagai belahan dunia. Krisis itu datang berulang dan terus menerus bahkan dengan frekuensi yang
semakin sering terjadi mendekati millennium ketiga. Dari semua masalah yang timbul karena
ketidakstabilan dari sistem ekonomi konvensional, muncullah beberapa seruan yang mengajukan
sistem ekonomi Islam sebagai pemecahan dari segala masalah yang terjadi. Ekonomi Islam dianggap
lebih stabil dan penuh keteraturan karena sistem ekonomi ini adalah sistem ekonomi yang berasal
dari Tuhan pencipta kita, Allah SWT. Sebagian besar praktisi dan pembuat kebijakan ekonomi masih
meragukan adanya sistem keuangan alternatif dari sistem yang telah dipraktikkan oleh negara-
negara maju. Walau lembaga-lembaga keuangan Islami sudah menunjukkan eksistensi dan daya
tahannya, mereka masih sangsi jika konsep keuangan Islam telah cukup lengkap dan teruji untuk
menggantikan sistem yang berlaku.
Dari serangkaian peristiwa tersebut,di sini saya akan mencoba menjelaskan terkait dengan
sistem ekonomi konvensional dan system ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam sangat menjunjung
etika dalam berbisnis. Namun hal itu tidak membuat negara – negara barat tertarik untuk
menerapkan sistem ekonomi Islam pada negara – negara mereka. Dalam essai ini saya akan
mencoba memaparkan tentang ekonomi Islam dalam pandangan barat atau konvensional.
Sistem perkonomian adalah sistem yang digunakan oleh suatu negara untuk mengalokasikan
sumber daya yang dimilikinya baik kepada individu maupun organisasi di negara tersebut. Banyak
sistem ekonomi yang telah dirumuskan oleh para ahli. Di antaranya adalah Kapitalisme yang
membangun imperiumnya di atas prinsip usaha privat yang tak terbatas, motif mencari untung dan
mekanisme pasar. Sosialisme membangun rumahnya lewat motivasi sosial dan perekonomian
perencanaan pusat (central planning) yang diusahakan langsung oleh negara. Meskipun terdapat
prestasi-prestasi yang mencolok dalam bidang-bidang tertentu, ideologi-ideologi utama dunia ini
telah gagal memecahkan problem-problem utama ekonomi umat manusia. Di bawah dominasi
kapitalisme, kerusakan ekonomi terjadi di mana-mana. Dalam beberapa tahun terakhir ini,
perekonomian dunia tengah memasuki suatu fase yang sangat tidak stabil dan masa depan yang
sama sekali tidak menentu. Setelah mengalami masa sulit karena tingginya tingkat inflasi, ekonomi
dunia kembali mengalami resesi yang mendalam, tingkat pengangguran yang parah, ditambah
tingginya tingkat suku bunga riil serta fluktuasi nilai tukar yang tidak sehat. Banyak negara
mengalami keterpurukan ekonomi dan krisis yang hebat. Negara-negara ASEAN misalnya,
mengalami musibah goncangan ekonomi negara, menyusul ulah raksasa spekulan valuta asing,
George Soros, yang telah menyebabkan anjloknya nilai tukar mata uang negara-negara tersebut
terhadap Dollar Amerika. Hegemoni sistem moneter kapitalisme yang menggunakan fait money
semakin meluluh-lantakkan ekonomi banyak negara. Mata uang Indonesia misalnya terjungkal ke
tingkat yang paling rendah mencapai 500 persen dari semula yang berakibat fatal bagi perekomian
Indonesia. Krisis ekonomi juga melanda Thailand, Malaysia dan sejumlah negara di Asia. Dampaknya
tentu saja kehancuran sendi-sendi perekonomian negara-negara bersangkutan. Puluhan proyek-
proyek raksasa terpaksa mengalami penjadwalan ulang, ratusan pengusaha gulung tikar, harga-
harga barang dan jasa termasuk barang-barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan tak
terkendali. Pasar modal mengalami keterpurukan yang belum pernah terjadi dalam sejarah.
Perlu diketahui, Ekonomi kapitalis saat ini lebih konsern pada masalah dan rasio-rasio makro
ekonomi, sedangkan masalah mikro tidak tersentuh langsung (hanya menjadi dampak makro
ekonomi), inilah yang disebut Tricle Down Effect Mechanism. Sedangkan ekonomi sosialis sendiri
sepertinya berjalan di tempat, terbukti di Indonesia dengan makin tereduksinya Pasal 33 UUD 1945.
Keinginan Pasal 33 UUD 1945 untuk menjadi jalan tengah kapitalisme dan sosialisme, yaitu Ekonomi
Kerakyatan serta lebih dari itu ingin mewujudkan negara ber-Ketuhanan. Tetapi kenyataannya,
bagaimana Ekonomi kita sekarang, menjadi Ekonomi Kerakyatan “semu” atau menjadi subordinat
Neoliberalisme? Bangunan ekonomi yang dibangun Rasulullah berawal dari penguatan ekonomi
rakyat, ekonomi para sahabat yang lebih didominasi fuqara’ wal masakin. Rasulullah berdasarkan Al-
Qur’an melakukan “Back To Nature Economics” sebagai pilar utamanya. Ekonomi Natural diawali
dengan menekankan pentingnya distribusi, keadilan, nilai tambah untuk semua, serta pengelolaan
“keikhlasan” dalam berekonomi. Ekonomi Natural juga tidak dapat dilepaskan dari relasi sosial,
lingkungan dan bahkan tanggung jawab utama kepada Allah. Ekonomi Natural dijalankan dengan
cara mereduksi pola pikir kapitalistik Mekkah yang lebih menekankan mekanisme perdagangan
(intermediasi), dan menganaktirikan produksi (seperti bertani, pertambangan, berkebun, kerajinan,
dan lainnya) serta retail (berdagang eceran). Ekonomi Natural dengan demikian merupakan ekonomi
produktif, intermediasi, sekaligus pertukaran untuk keseimbangan individu, masyarakat, alam dan
akuntabilitas kepada Allah SWT. Tugas kita semua menjaga Ekonomi Islam agar tidak terjebak pada
Tricle Down Effect Mechanism. Ekonomi Islam harus menyeimbangkan kedudukan makro dan mikro
ekonomi. Ekonomi syari’ah tidak mengenal dominasi Makro ekonomi atas Mikro Ekonomi.
Kajian bidang ekonomi pada prinsipnya membicarakan tingkah laku manusia sebagai
konsumen, distributor dan produsen. Sementara obyek pembicaraan utama dalam bidang ekonomi
ialah tingkah laku manusia, maka untuk memahami tingkah laku manusia langkah yang harus
dilakukan adalah menelusuri melalui filsafat dan sikap hidup yang dianut oleh manusia. Perjalanan
panjang ekonomi konvensional ternyata hanya mengantarkan manusia pada keadaan yang sangat
resah bukan pada keadaan yang dapat mengantarkan manusia mencapai keadilan dan kemakmuran
di dunia maupun di akhirat. Keadaan itu diakibatkan oleh karena system ekonomi barat mengabdi
kepada kepentingan peribadi, bukan mengabdi kepada Allah SWT.
Keresahan akibat ketidakadilan tersebut mendorong manusia hidup dalam keadaan konflik
dan cenderung bersaing untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Sementara, ekonomi yang di
dasarkan oleh ajaran Islam menganjurkan manusia mengabdi kepada Allah SWT. (QS. 18:29) dengan
memakai landasan iman dan takwa, sehingga menjadikan manusia tenang dan harmonis. Dari sini
kemudian target pembangunan ekonomi Islam adalah an-nafs al-muthmainnah atau calmness
terhadap akhlak (QS. 89:27-30).
Barat menganggap bahwa sistem ekonomi Islam adalah system ekonomi yang tidak
menguntungkan karena yang dipentingkan dalam ekonomi Islam adalah etika dan moralitas. Dalam
Islam, segala kegiatan yang merugikan orang lain tidak akan dilegalkan. Sedangkan sistem ekonomi
barat / konevensional yang menekankan pada keuntungan sebesar – besarnya dengan tidak
mempedulikan bagaimana keadaan yang dihasilkan untuk mendapatkan keuntungan tersebut. Barat
menganggap bahwa sistem yang terlalu mementingkan etika dan moralitas tidak akan dapat
memberikan keuntungan besar. Barat berorientasi pada kepemilikan, keuntungan dan jumlah yang
dapat diraih. Dalam hal ini, sistem ekonomi barat cenderung acuh dengan cara meraih orientasi
tersebut.
Berikut ini akan kita lihat bingkai pemikiran ekonomi Tjokroaminoto yang dikemas dalam
Dua Prinsip Utama mengenai Konsep Ilmu Sosial Islam. Prinsip Pertama yaitu Kedermawanan Islami.
Menurut beliau kedermawanan bukanlah melakukan sedekah sebagai kebajikan semata, tetapi
sedekah adalah kewajiban untuk meraih cinta Allah. Dampaknya, pertama, menempatkan
kepentingan umum di atas kepentingan pribadi untuk mencapai Keridhaan Allah. Kedua, zakat
sebagai dasar bagi distribusi dan pemerataan kekayaan untuk seluruh masyarakat. Ketiga,
kemiskinan dunia bukanlah kehinaan, tetapi kejahatan dunia adalah kehinaan. Prinsip kedua yaitu
Persaudaraan Islam. Persaudaran Islam menurut beliau harus dibangun bukan berdasarkan pada
suku, warna kulit, ras, kekayaan atau lainnya, tetapi berdasar pada ketakwaan. Dua Prinsip Utama di
atas hanya dapat dijalankan, seperti dijelaskan dalam buku beliau, dengan cara sinergi antara
realitas sosial ekonomi masyarakat merujuk pada sirah dan jejak Muhammad saw.
Umat manusia di bawah kepemimpinan Barat, telah mengalami dua ideologi ekonomi utama
dalam kurun dua ratus tahun terakhir, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Kedua ideologi tersebut
didasarkan secara fundamental pada premis Barat bahwa agama dan moralitas tidak relevan untuk
mengatasi problem-problem ekonomi umat manusia, sehingga urusan-urusan ekonomi lebih tepat
kalau dipecahkan dengan menggunakan hukum-hukum perilaku ekonomi dan bukan ajaran agama
atau moral tertentu.
Pandangan dunia dalam definisi ekonomi konvensional menempatkan Tuhan pada wilayah
yang berbeda sama sekali dan tidak dapat disentuh oleh domain yang lain yang terkait dengan
masalah kemanusiaan dan alam semesta, katakanlah misalnya ekonomi. Dia tidak ada campur
tangan apapun dalam urusan manusia, terutama menyangkut persoalan materi. Oleh karenanya
pengejaran materi merupakan standar rasionalitas dalam definisi ilmu ekonomi sekular, yang oleh
Adam Smith dan diikuti pula oleh Alfred Marshall diformulasikan sebagai the wealth atau well-
being yaitu kesejahteraan; dan oleh Lionel Robbins sebagai the means, sarana dan sekaligus, dengan
nilai yang mungkin lebih tinggi, sebagai the ends atau tujuan.
Rasionalitas sebagai konsekuensinya menuntut pemaksimalan keinginan (wants) akan
kepuasan material sebagai “nilai” yang harus dicapai. Dengan inilah seperangkat asumsi dalam ilmu
ekonomi dibangun. Ilmu ekonomi sebagaimana Robbins definisikan, the science which studies
human behaviour as a relationship between ends and scarce means which have alternative uses,
menggambarkan “keserakahan” manusia terhadap kepuasan material dalam jumlah besar (multiple
ends dengan alternative uses) yang ingin dicapai dalam situasi sumberdaya yang amat terbatas.
Keterbatasan ini digambarkan dengan sarkastik oleh Robbins, mewakili seluruh pikiran sekular,
sebagai “kekikiran alam”, nature is niggardly.
Pernyataan ini dalam dunia yang (semestinya) tidak sekular, misal bagi dunia Muslim,
berimplikasi bahwa Tuhan bersifat kikir dan bakhil terhadap manusia. Disinilah konsistensi
sekularisme untuk tetap menempatkan Tuhan pada “domain”-Nya, dan disinilah persoalan menjadi
amat serius karena umat Islam secara doktrinal tidak meyakini adanya pemisahan tersebut.
Kekikiran alam ini dalam perspektif sekular, masih mengikuti Robbins, membangun asumsi-
asumsi yang disebut teori penilaian subjektif yang dengannya setiap keinginan individual dengan
berbagai kepentingannya diatur dalam urutan tertentu, dan diturunkan secara teoretik kedalam,
misalnya, fungsi produksi sehingga dapat dideskripsikanlah sebuah hukum yaitu the Law of
Diminishing Returns. Dalam hal ini dinyatakan bahwa secara inisial tanah sebagai faktor produksi
adalah bersifat tetap, karena pemakaian yang terus-menerus, lama-kelamaan “kekikiran alam” ini
makin bertambah.
Islam dengan tegas menyangkal anggapan bahwa alam memiliki sifat kikir seperti itu. Allah
SWT yang Maha Pemurah telah menganugerahkan kepada manusia apa saja yang mereka perlukan
melalui ketersediaan berbagai sumberdaya di alam semesta ini. “Dialah Allah yang menjadikan
segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk kamu semua” (al-Baqarah: 29). Keterbatasan
perspektif manusialah yang menimbulkan adanya kelangkaan sumberdaya, perspektif ini
dipengaruhi oleh dua hal: pertama, kurangnya pengetahuan, informasi, dan kedua kurangnya
kemampuan untuk melakukan eksplorasi sumberdaya yang tersedia, atau bahkan kombinasi dari
keduanya. Dalam arti luas, sumberdaya natural ini tidak akan pernah habis kecuali Allah
menentukannya di Hari Kiamat. Habisnya satu bentuk sumberdaya melahirkan bentuk yang lain yang
bisa baru sama sekali, baik secara natural ataupun melalui invensi pengetahuan dan teknologi yang
berkembang. Jadi kelangkaan ini lebih merupakan persoalan ilmu (pengetahuan) sebagai fungsi
“waktu”. Karenanya Islam amat menegaskan perlunya penguasaan ilmu pengetahuan (al-Mujadilah:
11) dan pengelolaan waktu (al-‘Asr: 1-4). Tambahan lagi bahwa pemberian sumberdaya secara
bertahap ini juga memberi pelajaran manusia agar tidak arogan dan agar manusia menyadari
posisinya sebagai pengemban amanah Allah sebagai Khalifah fil-ardh.
Rasionalitas dalam Islam bukannya kemudian membatasi peluang untuk melakukan
pemaksimalan kepentingan atau kebutuhan secara mutlak. Term “maksimisasi” bisa saja tetap
digunakan, hanya ia dibatasi oleh kendala etika dan moral Islam. Maka istilah “kepuasan” pun
mengalami transformasi pengertian dari “kepuasan tak terbatas” menjadi falah, dalam arti yang luas,
dunia dan akhirat.
Falah di akhirat adalah menjadi tujuan akhir dari proses di dunia secara terus-menerus.
Dalam relasi means-ends, bila diperbandingkan dengan pandangan sekular, material sebagai
representasi falah di dunia adalah berfungsi sebagai the means, dalam rangka mencapai the ultimate
ends, the real falah, di akhirat kelak (lihat surat al-Qashash /28, ayat 77). Dengan demikian
pengejaran sarana material di dunia dapat dimaksimalkan guna memaksimalkan pelaksanaan ibadah
kepada Allah dengan lebih sempurna. The ethical Islamic constraint dalam hal ini misalnya
terealisasikan dalam institusi zakat, infaq dan sadaqah, yang dalam konsep Islam mampu
memberikan peluang pada golongan yang lemah untuk berusaha, karena mereka memiliki hak yang
inherently melekat dalam harta benda si-kaya.
Di zaman klasik bahkan juga di era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak
begitu mendapat tempat. Maka tidak aneh bila masih banyak ekonom kontemporer yang
menggemakan cara pandang ekonom klasik Adam Smith. Mereka berkeyakinan bahwa sebuah bisnis
tidak mempunyai tanggung jawab sosial dan bisnis terlepas dari “etika”. Dalam ungkapan Theodore
Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka.
Di dunia bisnis dewasa ini, paham klasik tersebut sempat berkembang secara subur
sehingga mengakibatkan terpuruknya ekonomi dunia ke dalam jurang kehancuran. Kolusi, korupsi,
monopoli, penipuan, penimbunan barang, pengrusakan lingkungan, penindasan tenaga kerja,
perampokan bank oleh para konglomerat, adalah persoalan-persoalan yang begitu telanjang
didepan mata kita baik yang terlihat dalam media massa maupun media elektronik.
Sekarang ini, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya oleh para
konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya, mempertanyakan apakah tepat
mempersoalkan etika dalam wacana ilmu ekonomi. Munculnya penolakan terhadap etika bisnis,
dilatari oleh sebuah paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free).
Memasukkan nilai etis sosial dalam ilmu ekonomi, menurut kalangan ekonom seperti di atas, akan
mengakibatkan ilmu ekonomi menjadi tidak ilmiah, karena hal ini mengganggu obyektivitasnya.
Mereka masih bersikukuh memegang jargon “mitos bisnis a moral” Di sisi lain, etika bisnis hanyalah
mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip ekonomi, menurut mereka,
adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
Sistem ekonomi Islam berangkat dari kesadaran tentang etika, sedangkan sistem ekonomi
lain, seperti kapitalisme dan sosialisme, cendrung mengabaikan etika sehingga aspek nilai tidak
begitu tampak dalam bangunan kedua sistem ekonomi tersebut. Keringnya kedua sistem itu dari
wacana moralitas, karena keduanya memang tidak berangkat dari etika, tetapi dari kepentingan
(interest). Kapitalisme berangkat dari kepentingan individu sedangkan sosialisme berangkat dari
kepentingan kolektif. Namun, kini mulai muncul era baru etika bisnis di pusat-pusat kapitalisme.
Suatu perkembangan baru yang menggembirakan.
Al-Qur’an sangat banyak mendorong manusia untuk melakukan bisnis. (Qs. 62:10,). Al-
Qur’an memberi pentunjuk agar dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha, tidak
ada unsur eksploitasi (QS. 4: 29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan
membuat administrasi transaksi kredit (QS. 2: 282).
Rasulullah sendiri adalah seorang pedagang bereputasi international yang mendasarkan
bangunan bisnisnya kepada nilai-nilai ilahi (transenden). Dengan dasar itu Nabi membangun sistem
ekonomi Islam yang tercerahkan. Prinsip-prinsip bisnis yang ideal ternyata pernah dilakukan oleh
Nabi dan para sahabatnya. Realitas ini menjadi bukti bagi banyak orang, bahwa tata ekonomi yang
berkeadilan, sebenarnya pernah terjadi, meski dalam lingkup nasional, negara Madinah. Nilai, spirit
dan ajaran yang dibawa Nabi itu, berguna untuk membangun tata ekonomi baru, yang akhirnya
terwujud dalam tata ekonomi dunia yang berkeadilan.
Syed Nawab Haidar Naqvi, dalam buku “Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sistesis Islami”,
memaparkan empat aksioma etika ekonomi, yaitu, tauhid, keseimbangan (keadilan), kebebasan,
tanggung jawab.
Tauhid, merupakan wacana teologis yang mendasari segala aktivitas manusia, termasuk
kegiatan bisnis. Tauhid menyadarkan manusia sebagai makhluk ilahiyah, sosok makhluk yang
bertuhan. Dengan demikian, kegiatan bisnis manusia tidak terlepas dari pengawasan Tuhan, dan
dalam rangka melaksanakan titah Tuhan. (QS. 62:10)
Keseimbangan dan keadilan, berarti, bahwa perilaku bisnis harus seimbang dan adil.
Keseimbangan berarti tidak berlebihan (ekstrim) dalam mengejar keuntungan ekonomi (QS.7:31).
Kepemilikan individu yang tak terbatas, sebagaimana dalam sistem kapitalis, tidak dibenarkan.
Dalam Islam, harta mempunyai fungsi sosial yang kental (QS. 51:19)
Kebebasan, berarti, bahwa manusia sebagai individu dan kolektivitas, punya kebebasan
penuh untuk melakukan aktivitas bisnis. Dalam ekonomi, manusia bebas mengimplementasikan
kaedah-kaedah Islam. Karena masalah ekonomi, termasuk kepada aspek mu’amalah, bukan ibadah,
maka berlaku padanya kaedah umum, “Semua boleh kecuali yang dilarang”. Yang tidak boleh dalam
Islam adalah ketidakadilan dan riba. Dalam tataran ini kebebasan manusia sesungguhnya tidak
mutlak, tetapi merupakan kebebasan yang bertanggung jawab dan berkeadilan.
Pertanggungjawaban, berarti, bahwa manusia sebagai pelaku bisnis, mempunyai tanggung
jawab moral kepada Tuhan atas perilaku bisnis. Harta sebagai komoditi bisnis dalam Islam, adalah
amanah Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Jadi kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh manusia tidak hanya untuk mencari keuntungan, tapi juga mencari ridho Allah SWT.
Setelah pembuktian dan pengujian segala bentuk sistem ekonomi yang berasal tidak dari
Islam, dapat kita simpulkan bahwa semua sistem tersebut mengalami kegagalan dalam
menyejahterakan kehidupan umat manusia. Banyak penyimpangan yang justru terjadi karena
pengabaian aspek etika dan moral dalam berbagai proses pelaksanaan kegiatan ekonomi. Segala
kegagalan itu hendaknya membuat kita berpikir ulang dan mulai melaksanakan apa yang diajarkan
dalam sistem ekonomi Islam. Dengan memperhatikan etika dan moral dalam kegiatan
perekonomian, niscaya Allah akan memperlancar apa yang kita kerjakan. Selain itu, dengan sistem
ekonomi Islam, kita tetap bisa mendapatkan keuntungan dari segala kegiatan ekonomi yang kita
lakukan tanpa menindas orang lain. Rasulullah telah membuktikan bahwa sistem ekonomi Islam
dapat menciptakan kehidupan yang baik dalam ridho Allah SWT. Jadi tidak ada salahnya bukan, jika
sistem ekonomi Islam kita jadikan sebagai sistem baru demi kemaslahatan semua umat manusia ?
DAFTAR PUSTAKA
http://champa.ngeblogs.com/2009/12/31/macam-macam-sistem-perekonomian-di-
dunia/
http://mitaspeaksoftly.multiply.com/reviews/item/1
http://ms.wikipedia.org/wiki/Sistem_ekonomi_Islam
http://www.islamic-center.or.id/-slamiclearnings-mainmenu-29/syariah-mainmenu-
44/27-syariah/424-sistem-ekonomi-islam
http://osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-01/msg00784.html
http://trimudilah.wordpress.com/2006/12/14/sistem-ekonomi-islam/
http://www.facebook.com/note.php?note_id=122205178384
http://sofyan.syafri.com/2010/03/03/sistem-kapitalis-dan-konvensional-gagal-
tumbuhkan-ekonomi-yang-makmur-dan-merata/
http://fe.umj.ac.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=158:workshop&catid=42:fe-
articles&Itemid=94
http://one.indoskripsi.com/node/1856
http://nurkholis77.staff.uii.ac.id/perbedaan-mendasar-ekonomi-islam-dan-ekonomi-
konvensional/
http://telagaalkautsar.multiply.com/journal/item/102
“TUGAS EKONOMI ISLAM”
Ekonomi Islam Menurut Pandangan Barat /
Konvensional
Disusun Oleh :
Ennovia Lintang Kinasih
08312407
Universitas Islam Indonesia
2010