MUTUPEKERJA SOSIAL
DI ERA OTONOMI DAERAH
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
MUTUPEKERJA SOSIAL
DI ERA OTONOMI DAERAH
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2001 Tentang Hak CiptaPasal 2
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasannya menurut perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan PidanaPasal 72
(1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
MUTUPEKERJA SOSIALDI ERA OTONOMI DAERAH
Penulis:
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Penerbit:CINTA IndonesiaCimanggis Kota Depok, Mei 2013
MUTU PEKERJA SOSIALDI ERA OTONOMI DAERAH
Oleh: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Cetakan Pertama: Mei 2013
Diterbitkan Oleh CINTA Indonesia
Executive Office : Perkantoran Pesona View B8 2nd Floor Jl. Juanda Kota Depok, Jawa Barat.Production Office : Jl. Bhayangkara No. 9 PGS Cimanggis Kota Depok, Jawa BaratTelp/Fax : (021) 87717007/(021) 87717007Website : www.cia.web.idEmail : [email protected]
Editor : Wahyu Triono KSDesain Sampul : Wahyu Triono KSTata Letak & : Julhan Evendi SianturiPenyelaras Bahasa Yusmiti TarmiziOrganizer : PT. SEVROASIS CITRA INTIPRIMAPercetakan : PT. Khalifah MediatamaDistributor/Penyalur : CV. Jelajah Nusa
Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Situmorang, Chazali H. Dr. Apt, M.Sc Mutu pekerja sosial di era otonomi daerah / penulis Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc; editor, Wahyu Triono KS. Depok : CINTA Indonesia– (Central Informasi Networking Transformasi dan Aspirasi Indonesia), 2013. 262 hlm dan xvi hlm. ; 22 cm x 15 cm
ISBN 978 - 602 - 97251- 3 - 1
1. Pekerja sosial I. Judul. II. WahyuTriono KS
361.309 2
KOMENTARMENTERI SOSIAL REPUBLIK
INDONESIA
“Pekerja Sosial sebagai garda terdepan dalam Pelayanan Sosial memerlukan mutu yang tinggi, kompetensi yang unggul dan harus dapat mengupdate dirinya secara berkelanjutan. Buku ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pencerahan ke arah di maksud”
– Dr. Salim Segaf Al Jufri, MA – Menteri Sosial Republik Indonesia
v
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
KOMENTAR TOKOH
“Buku ini patut mendapat apresiasi karena mengangkat Quality Control dari suatu profesi yang sangat mulia namun sering dicampuradukkan dengan pekerjaan relawan. Social Worker perlu membaca buku ini untuk meningkatkan eksistensi profesi pekerjaan sosial di Indonesia”. (Makmur Sunusi, Ph.D – Staf Ahli Menteri Sosial/Pakar International Social Work).
“Buku Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah karya Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc, memberikan referensi yang holistik dan komprehensif bagi para akademisi, praktisi dan penggiat pembangunan kesejahteraan sosial tentang permasalahan, kebijakan dan evaluasi mutu pekerja sosial di era otonomi daerah. Penulis telah menguraikan kerangka pemikirannya berdasarkan fakta yang lengkap, otentik dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Buku ini layak dijadikan referensi utama di berbagai perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi profesi pekerjaan sosial.” (Dr. Ir. Harry Hikmat, M.Si – Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial
vi
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Penulis buku ini memberikan gambaran bahwa manakala pekerjaan sosial tidak dilakukan oleh orang yang tepat maka akan terdapat celah. Tanpa menafikkan jasa pekerja sosial fungsional yang tidak berlatar belakang pekerjaan sosial, buku ini secara terbuka mengupas mutu mereka.
Meskipun hal ini tidak berarti bahwa mereka yang murni berlatar belakang pendidikan pekerjaan sosial tidak memiliki kekurangan. Menurut saya, buku ini dapat menjadi cambuk bagi para pekerja sosial untuk lebih maju.
Sedangkan bagi para pekerja sosial fungsional, buku ini layak menjadi media refleksi terhadap praktik yang sudah dilakukan. Bagi saya, buku ini semakin menegaskan perlunya perubahan aturan terkait pekerja sosial fungsional agar sejalan dengan reformasi pekerjaan sosial.” (Dr. Kanya Eka Santi, MSW – Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung).
“Dalam era otonomi daerah, masa depan pekerja sosial di Indonesia ada di tingkat pemerintahan yang paling bawah yang langsung berhadapan dengan individu dan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesejahteraan sosial. Buku ini, dengan bahasannya yang mendalam pada kebijakan dan program pelayanan kesejahteraan sosial, menjawab tanta-ngan ini dan membuka wawasan kita bahwa ternyata masih banyak agenda yang harus dibenahi.
Meskipun settingnya lebih pada pelayanan di Kemensos RI, tetapi buku ini berhasil menyajikan informasi yang sangat penting bagaimana meningkatkan mutu pekerja sosial." (Drs. Tata Sudrajat, M.Si – Ketua Umum Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) 2010 - 2016).
vii
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
KATA PENGANTAR
EMBANGUNAN P Sosial dalam pelaksanaannya terkait erat dengan profesi pekerjaan sosial. Oleh karena itu, melihat sejauh mana peran Pekerja Sosial dalam
pembangunan sosial menjadi sangat penting, mengingat profesi Pekerja Sosial menempati posisi garda terdepan dalam pembangunan sosial, khususnya di era otonomi daerah.
Di era otonomi daerah pemberian pelayanan langsung (direct services) kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) menjadi domain dan tanggungjawab dinas/ instansi sosial, sementara peran pemerintah hanya sebatas fasilitasi, dukungan dan kebijakan (indirect services).
Untuk menghindari terjadinya kesenjangan hasil pelayanan peningkatan mutu pekerja sosial menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai upaya pendidikan, pelatihan dan penyediaan perangkat peraturan yang mendukung. Dengan begitu, mutu atau kualitas hasil pelayanan sosial yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.
Sebagai orang yang menggeluti pembangunan kese-jahteraan sosial di lingkungan Kementerian Sosial, tidak diragukan lagi penulis banyak mengetahui berbagai persoalan dan hambatan yang dijumpai baik dalam tataran kebijakan maupun implementasi program. Melalui Buku ini, penulis mencoba untuk membahas bahwa di era otonomi daerah saat ini salah satu isu krusial adalah masih dominannya pembangunan fisik dibandingkan peningkatan kualitas
viii
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Sumber Daya Manusia (SDM). Akibatnya, capaian pelayanan kesejahteraan sosial menjadi kurang maksimal karena ketersediaan dan keterbatasan Mutu Pekerja Sosial.
Penulisan dan penerbitan buku ini selain merupakan wujud kepedulian penulis untuk turut serta memperkaya dis-kursus pembangunan sosial di Indonesia, juga merupakan sumbangan penulis dalam memberikan “mercusuar” bagi penanganan permasalahan kesejahteraan sosial di tanah air.
Dalam buku ini, penulis berupaya membedah berbagai perangkat peraturan yang mencakup Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan berbagai ketentuan lain yang membahas tentang Mutu Pekerja Sosial.
Karenanya, selain memiliki posisi strategis dalam khaza-nah literatur Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial, buku ini sangat bermanfaat bagi para penentu kebijakan sosial maupun para praktisi Pekerjaan Sosial dalam menetapkan dan mengimplementasikan strategi pembangunan sosial yang berkualitas dan berkelanjutan.”
Edi Suharto, Ph.D
ix
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
PENGANTAR PENULIS
UTU Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah adalah Mmerupakan Buku yang berasal dari disertasi yang saya tulis untuk meraih gelar doktor bidang studi
Manajemen Pendidikan pada program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Tahun 2010. Judul aslinya adalah Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pekerja Sosial (Studi Evaluasi Tentang Implementasi Kebijakan Pekerja Sosial Pemerintah Pusat Dan Daerah).
Buku ini membahas kajian mendalam tentang berbagai ketentuan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputu-san Presiden, Keputusan Menpan dan Keputusan Menteri Sosial yang substansinya mengatur tentang Mutu Pekerja Sosial dan Pelayanan Sosial (Pelayanan Kesejahteraan Sosial) yang terdiri dari Rehabilitasi Sosial, Perlindungan Sosial, Jaminan Sosial dan Pemberdayaan Sosial.
Meskipun saya berasal dari latar belakang sebagai seorang Apoteker (Ahli di bidang obat-obatan), namun penga-laman pengabdian saya di lingkup kerja Kementerian Sosial RI dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal semakin menumbuhkan komitmen saya yang sangat kuat untuk meningkatkan Mutu Pekerja Sosial di Indonesia yang pada saat Otonomi Daerah kurang mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh.
Dalam perspektif kajian yang mendalam dari hasil studi yang saya lakukan ini, setidaknya buku ini menyajikan data yang lengkap, bersumber dari stakeholder di lingkup kerja
x
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Kementerian Sosial serta kajian yang mendalam implementasi kebijakan nasional tentang peningkatan mutu pekerja sosial di era otonomi daerah. Karenanya, buku ini menjadi panduan bagi seluruh pekerja sosial di Indonesia dan referensi bagi yang ingin mengetahui dan memahami berbagai kebijakan nasional tentang peningkatan mutu pekerja sosial di Indonesia.
Untuk menerbitkan buku ini saya menyadari bahwa semua dapat diselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu, tidak ada kata lain yang dapat saya ucapkan selain dari ungkapan terima kasih kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian penulisan dan penerbitan buku ini.
Secara khusus saya menyampaikan terima kasih kepada Dr. Salim Segaf Aljufrie, MA, Menteri Sosial RI yang memberikan pandangannya tentang Mutu Pekerja Sosial dan memberikan komentar pada buku ini. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada Dr (Hc). H. Bachtiar Chamsyah, SE, Menteri Sosial RI 2001-2009. Dimana dalam kepemimpinan beliau berdua sebagai Menteri Sosial RI saya berkesempatan melakukan pengabdian di Kemsos RI khususnya dalam upaya dan komitmen saya meningkatkan Mutu Pekerja Sosial di Indonesia.
Selain itu, ucapan terima kasih saya sampaikan juga kepada Makmur Sunusi, Ph.D (Staf Ahli Menteri Sosial RI), Dr. Ir. Harry Hikmat, M.Si, Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial RI, Dr. Kanya Eka Santi, MSW, Ketua Sekolah Tinggi Kesejahte-raan Sosial (STKS) Bandung, Drs. Tata Sudrajat, M.Si, Ketua Umum Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) 2010-2016 Edi , yang memberikan komentar pada buku ini dan Suharto, Ph.D, Direktur Kesejahteraan Sosial Anak Kemensos RI, Social Protection Expert, UNESCAP Bangkok yang memberikan kata pengantar dan komentar pada buku ini.
Kepada semua pihak di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) antara lain Prof. Dr. Bedjo Sujanto, M.Pd, Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof. Dr. H. Djaali (Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta(UNJ),
xi
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Prof. Dr. Muchlis R. Luddin dan Prof. Dr. Thamrin Abdullah, M.Pd, Prof. Dr. Yetti Supriyati, M.Pd, dan Prof. Dr. Ma'ruf Akbar, M.Pd saya mengucapkan terima kasih atas semua upaya dan bantuannya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi yang akhirnya menjadi bahan dalam penerbitan buku ini.
Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada para teman-teman di Kemensos: Dr. Marjuki, Dr. Mukman Nuryana, Armay, SH, M.Hum, MM dan Toto Restuanto sebagai nara sumber dan staf di Sekretariat Jenderal Kemensos (Jaya Rachmat, Zaenal, Nining Irianti, Iin Purwatiningsih, Siti Indriasari Octaviana dan Rifa) yang telah membantu dan memberikan dukungan kemudahan dan kelancaran sampai saya dapat merampungkan disertasi saya yang pada akhirnya menjadi bahan penerbitan buku ini.
Dengan rasa kasih sayang, buku ini saya persembahkan kepada istri saya tercinta Dra. Lenny Brida, M.Si dan juga kepada kedua anak saya yang tersayang Budi Syarif Amanda Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Wahyu Triono KS yang menjadi editor buku ini, juga kepada Julhan Evendi Sianturi dan Yusmiti Tarmizi yang menentukan tata letak dan menyelaraskan bahasa buku ini.
Akhirnya saya berharap kiranya buku ini memberikan manfaat dalam peningkatan mutu Sumber Daya Manusia, khususnya Mutu Pekerja Sosial sebagai lokomotif pemba-ngunan kesejahteraan sosial di Indonesia.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
xii
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
xiii
DAFTAR ISI
KOMENTAR MENTERI SOSIAL RI – vKOMENTAR TOKOH – viKATA PENGANTAR – viiiPENGANTAR PENULIS – xDAFTAR ISI – xiii
BAB IPENDAHULUAN: MASALAH MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH – 3A. Beberapa Catatan Tentang Studi Mutu Pekerja Sosial Di
Era Otonomi Daerah – 3 1. Latar Belakang Studi – 3 2. Ruang Lingkup Studi – 15 3. Rumusan Masalah Studi – 15 4. Kegunaan Studi – 16 B. Pendekatan Studi – 16 1. Tujuan Studi – 19 2. Tahapan Studi – 19 3. Tinjauan Pendekatan Studi – 21C. Metode Studi – 22 1. Sumber Dan Teknik Pengumpulan Data Studi – 22 2. Metode Analisis Studi – 23 D. Pengorganisasian Buku – 27
BAB IIKEBIJAKAN NASIONAL TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL SUATU TINJAUAN TEORITIK – 31A. Kebijakan Nasional – 31B. Kebijakan Publik – 32C. Analisis Kebijakan – 42 1. Pendekatan Analisis Kebijakan – 49 2. Pendekatan Evaluasi Kebijakan – 51 3. Indikator Evaluasi – 56D. Konsep Mutu – 57 1. Sejarah Mutu – 57 2. Definisi Mutu – 59
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
E. Mutu Pekerja Sosial – 67 1. Standar Pelayanan Sosial Di Panti Sosial – 68 2. Pekerja Sosial dan Pekerjaan Sosial (Social Worker and
Social Work) – 71 3. Prinsip-Prinsip Pekerjaan Sosial/Pekerja Sosial – 78 4. Ruang Lingkup Pekerjaan Sosial – 86 F. Panti Sosial/Institusi Kesejahteraan Sosial – 88G. Kerangka Berpikir Tentang Studi – 89
BAB IIIKEBIJAKAN NASIONAL YANG BERKAITAN DENGAN MUTU PEKERJA SOSIAL – 93A. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Keten-
tuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial – 93B. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejah-
teraan Sosial – 94C. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 1994 Tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil – 95
D. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 1999 Tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Ne-geri Sipil – 96
E. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/03/M.PAN/I/2004 Tentang Jabatan Fungsio-nal Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya – 96
F. Keputusan Bersama Menteri Sosial Dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 05/HUK/2004, Nomor 09 Tahun 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fung-sional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya – 101
G. Keputusan Menteri Sosial Nomor 50/HUK/2004 Tentang Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahte-raan Sosial Nomor 193/MENKES-KESSOS/III/2000 Ten-tang Standarisasi Panti Sosial – 101
H. Keputusan Menteri Sosial Nomor 10/HUK/2007 Tentang Pembinaan Teknis Jabatan Fungsional Pekerja Sosial – 103
I. Keputusan Menteri Sosial Nomor 43/HUK/2007, Tentang Pedoman Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial – 103
xiv
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
J. Peraturan Menteri Sosial Nomor 108/HUK/2009, Tentang Sertifikasi Bagi Pekerja Sosial Profesional Dan Tenaga Kesejahteraan Sosial – 106
BAB IVMENJELASKAN HASIL STUDI KEBIJAKAN NASIONAL TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH – 109A. Substansi Kebijakan Tentang Mutu Pekerja Sosial – 110B. Implementasi Kebijakan Mutu Pekerja Sosial – 120C. Evaluasi Hasil Pelaksanaan Kebijakan Tentang Mutu
Pekerja Sosial – 137
BAB VINDIKATOR EVALUASI DAN DESKRIPSI HASIL PELAKSA-NAAN KEBIJAKAN MUTU PEKERJA SOSIAL – 149A. Indikator Evaluasi Hasil Pelaksanaan Kebijakan Mutu
Pekerja Sosial – 149B. Deskripsi Hasil Pelaksanaan Kebijakan Mutu Pekerja
Sosial – 151 1. Pekerja Sosial Di Panti Sosial – 151 1) Latar Belakang Pendidikan – 151 2) Ketentuan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial
(JFPS) – 152 3) Kegiatan Pelayanan Sosial Dan Pengembangan
Kualitas Pelayanan Kesejahteraan Sosial – 176 4) Formasi Pekerja Sosial – 182 5) Penilaian Angka Kredit – 182 6) Kompetensi Profesi Pekerja Sosial – 183 7) Partisipasi Masyarakat – 186 2. Kepala Panti Sosial – 190 1) Latar Belakang Pendidikan – 190 2) Ketentuan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial
(JFPS) – 190 3) Kegiatan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Dan
Pengembangan Kualitas Pelayanan Kesejahteraan Sosial – 207
4) Formasi Pekerja Sosial – 214 5) Penilaian Angka Kredit Pekerja Sosial – 215
xv
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
6) Kompetensi Profesi Pekerja Sosial – 215 7) Sarana Penunjang Kerja Pekerja Sosial – 220 8) Partisipasi Masyarakat – 221
BAB VIMEMBAHAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NASIONAL TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH – 227A. Evaluasi Substansi, Implementasi dan Hasil Pelaksanaan
Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pekerja Sosial – 227 B. Analisis SWOT Kementerian Sosial Dalam Implementasi
Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pekerja Sosial – 235C. Strategi Program Implementasi Kebijakan Nasional Ten-
tang Mutu Pekerja Sosial – 241
BAB VIIKESIMPULAN DAN REKOMENDASI IMPLEMENTASI KEBI-JAKAN NASIONAL TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH – 247A. Kesimpulan Implementasi Kebijakan Nasional Tentang
Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah – 248B. Rekomendasi Implementasi Kebijakan Nasional Tentang
Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah – 250
DAFTAR PUSTAKA – 255RIWAYAT HIDUP – 261
xvi
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
BAB IPENDAHULUAN:
MASALAH MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
1
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
2
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
BAB IPENDAHULUAN:
MASALAH MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
UKU Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah ini
Bmembahas kajian mendalam tentang berbagai
ketentuan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Keputusan Menpan, Keputusan Menteri
Sosial, yang substansinya mengatur tentang mutu Pekerja
Sosial dan pelayanan sosial (pelayanan kesejahteraan sosial)
yang terdiri dari rehabilitasi sosial, perlindungan sosial,
jaminan sosial dan pemberdayaan sosial.
Pada bagian pendahuluan yang merupakan tinjauan
umum ini akan menguraikan beberapa catatan tentang mutu
Pekerja Sosial di era otonomi daerah, pendekatan studi,
metode studi dan pengorganisasian buku ini.
A. Beberapa Catatan Tentang Mutu Pekerja Sosial Di Era
Otonomi Daerah.
1. Latar Belakang Studi. Sumber daya manusia memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial. Integritas dan kompetensi sumber daya manusia kesejahteraan sosial merupakan potensi utama dalam menjawab tuntutan pembangunan dan peningkatan
3
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
kualitas kesejahteraan sosial. Sumber Daya Manusia
sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial mencakup
tenaga kesejahteraan sosial, pekerja sosial profesional,
relawan sosial dan penyuluh sosial.
Adapun potensi SDM/Pegawai Kementerian
Sosial yang di dalamnya mencakup Tenaga Kesejahte-
raan Sosial, Pekerja Sosial, Penyuluh Sosial dan jabatan
fungsional lainnya selama periode tahun 2009, terlihat
pada tabel berikut:
Tabel 1.1
Komposisi Pegawai Kementerian Sosial Berdasarkan
Golongan Tahun 2009
Sumber: Biro Organisasi dan Kepegawaian, 2009.
Tabel 1.2
Komposisi Pegawai Kementerian Sosial Berdasarkan
Tingkat Pendidikan Tahun 2009
Sumber: Biro Organisasi dan Kepegawaian, 2009.
4
Golongan L P Total Orang
Golongan I 102 29 131
Golongan II 529 211 740
Golongan III 1.421 1.370 2.791
Golongan IV 350 233 583
T o t a l 2.402 1.843 4.245
Pendidikan L P Total Orang
SD 135 28 163
SLTP 133 34 167
SLTA 788 525 1.313
Diploma III 111 179 290
Diploma IV 223 172 395
Diploma IV 691 724 1.415
Magister (S-2/Spesialis) 308 175 482
Doktor (S-3) 13 7 20
T o t a l 2.402 1.843 4.245
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Dalam pembangunan kesejahteraan sosial,
sarana dan prasarana mempunyai peranan yang tidak
kalah penting. Sarana dan prasarana pembangunan
kesejahteraan sosial itu berupa Panti Sosial, pusat reha-
bilitasi sosial, pusat pendidikan dan pelatihan, pusat
kesejahteraan sosial, rumah singgah dan rumah perlindu-
ngan sosial. Semua sarana dan prasarana pembangunan
kesejahteraan sosial harus memiliki standar minimum
yang ditetapkan dan sumber daya manusia yang profe-
sional (Pekerja Sosial, Penyuluh Sosial, Relawan Sosial).
Tabel 1.3
Jumlah Panti Sosial Di Lingkungan Kementerian Sosial
Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial 2008.
Selama kurun waktu 2004-2009, terdapat bebe-
rapa persoalan yang dihadapi Kementerian Sosial yang
dapat menjadi faktor penghambat pencapaian kinerja pada
5
No Jenis Permasalahan Nama Panti/UPT Jumlah
1 Anak Balita Terlantar Taman Balita Sejahtera 32
2 Anak Terlantar/Jalanan PS Asuhan Anak & SDC 4
3 Remaja Bermasalah Sosial PS Bina Remaja 3
4 Lanjut Usia Terlantar PS Tresna Werdha 2
5 Paca Tunanetra PS Bina Netra & Balai Braille
Abiyoso
5
6 Paca Rungu Wicara PS Bina Rungu Wicara 2
7 Paca Tubuh PS Bina Daksa & Balai Besar
Dr. Soeharso
6
8 Paca Grahita PS Bina Grahita & BB Kartini 3
9 Paca Psikotik PS Bina Laras 3
10 Paca Lara Kronis PS BL Kronis 1
11 Korban Napza PS Pamardi Putra 2
12 Gelandangan Pengemis PS Bina Karya 1
13 Wanita Tunasusila (WTS) PS Karya Wanita 1
14 Korban Bencana Rumah Sejahtera 1
15 Anak Nakal PS Marsudi Putra 4
16 Korban Tindak Kekerasan, Orang
Terlantar, dan Korban Musibah lain
Rumah Perlindungan Sosial
Anak
3
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
masa yang akan mendatang, khususnya kinerja Pekerja
Sosial yang melaksanakan pelayanan sosial di Panti
Sosial. Tabel 1.4 menggambarkan besarnya masalah
terkait banyaknya PMKS berdasarkan kelompok sasaran.
Tabel 1.4
Distribusi PMKS Berdasarkan Kelompok Sasaran
Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial 2008
Pemerintah menyadari pentingnya pembangunan
di bidang kesejahteraan sosial untuk mengupayakan agar
berbagai masalah sosial tersebut dapat diatasi dan dari 7
(tujuh) kelompok sasaran pada Tabel 1.4 tersebut, urutan
pertama, kedua dan ketiga sangat dominan dan
memerlukan pendekatan pelayanan sosial oleh Pekerja
Sosial secara khusus, walaupun jenis sasaran lainnya juga
memerlukan penanganan Pekerja Sosial.
Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial 2008
Gambar 1.1. Distribusi Penyebaran PMKS per Kelompok Sasaran
6
PMKS Berdasarkan Kelompok Sasaran Jumlah
1. Kemiskinan 9.596.936 53,30%
2. Keterlantaran 4.193.281 23,29%
3. Kecacatan 1.544.184 8,58%
4. Keterpencilan 229.479 1,27%
5. Ketunaansosial dan Penyimpangan Perilaku 239.699 1,33%
6. Korban Bencana 1.866.885 10,37%
7. KTK, Eksploitasi, dan Diskriminasi 333.481 1,85%
KTK, Eksploitasi dan Diskriminasi
Korban Bencana
Ketunaan Sosial dan Penyimpangan Perilaku
Keterpencilan
Kecacatan
Keterlantaran
Kemiskinan
2.000.000 4.000.000 6.000.000 8.000.000 10.000.000 12.000.000
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Permasalahan sosial di Indonesia saat ini
cenderung meningkat dilihat dari jumlah Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial dan kompleksitasnya.
Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial 2008
Gambar 1.2. Perbandingan Jumlah Data PMKS Terhadap
Jumlah Data Penduduk Miskin
Berdasarkan uraian di atas, inti permasalahan
yang sedang dan masih akan dihadapi dapat dirumuskan
sebagai berikut: Jumlah penduduk miskin di Indonesia
menurut data BPS per Maret 2008 sebanyak 34,96 juta
jiwa (15,42 persen). Pada tahun 2004, jumlah penduduk
miskin sebanyak 36,10 juta jiwa (16,66 persen). Berarti
selama tahun 2004-2008 terjadi penurunan sebesar 1,14
juta jiwa (3,15 persen). Rendahnya tingkat capaian
penurunan angka kemiskinan sebagai akibat: (1) Kejadian
bencana alam sepanjang tahun 2005-2008; (2) Terjadinya
krisis ekonomi global, tingginya kurs nilai tukar dolar
terhadap mata uang rupiah yang berdampak terhadap
tingginya harga keperluan pada berbagai sektor dan
memicu kenaikan harga pada sektor lainnya; (3) Kejadian
bencana sosial, seperti korban konflik sosial.
Walaupun terjadi penurunan jumlah, namun
dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia,
masalah kemiskinan merupakan masalah yang masih sulit
7
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
ditanggulangi, karena mayoritas termasuk dalam kategori
kemiskinan kronis (chronic poverty) yang terjadi terus-
menerus atau disebut juga sebagai kemiskinan struktural.
PMKS yang dikategorikan sebagai fakir miskin termasuk
kategori kemiskinan kronis, yang membutuhkan pena-
nganan yang sungguh-sungguh, terpadu secara lintas
sektor dan berkelanjutan. Jumlah Keluarga Fakir Miskin
(KFM) atau (sangat miskin) menurut data Pusdatin Kessos
tahun 2008 sebanyak 3.274.060 KK. Jumlah ini akan
semakin bertambah mengingat masih adanya kelompok
masyarakat yang tinggal di Rumah Tidak Layak Huni
(RTLH) sebanyak 2.456.521 KK dan Keluarga Rentan (KR)
sebanyak 1.885.014 KK (Pusat Data dan Informasi
Kesejahteraan Sosial, 2008).
Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial 2008
Gambar 1.3. Jumlah Keluarga Yang Memiliki Kecenderungan
Menjadi Kelompok ”Chronic Poverty”
Keterlantaran di sini dimaksudkan sebagai penga-
baian/penelantaran anak-anak dan orang lanjut usia
karena berbagai penyebab. Berdasarkan data, pada tahun
2008 jumlah Balita terlantar 299.127 Balita dan anak
terlantar 2.250.152 anak, anak jalanan 109.454 anak.
(Sumber: Pusdatin Kesejahteraan Sosial Depsos 2009).
Sementara itu, jumlah lanjut usia terlantar pada tahun 2008
telah mencapai 1.644.002 lansia. Data ini menunjukan
8
3.500.000
3.000.000
2.500.000
2.000.000
1.500.000
1.000.000
500.000
KFM RTLH KR
3.274.060
2.456.521
1.885.014
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
sebanyak 23,29 persen dari jumlah data PMKS masuk
pada kriteria kelompok terlantar. Fakta ini akan sangat
berdampak pada tuntutan peningkatan kesejahteraan
keluarga. Masalah yang harus dihadapi pemerintah adalah
bagaimana meningkatkan pelayanan sosial bagi para
lanjut usia terlantar melalui panti jompo dan di keluarga
dengan sentuhan Pekerja Sosial yang profesional, agar
mereka dapat hidup bahagia dalam suasana aman dan
tenteram yang tentu saja melalui usaha pelembagaan para
lanjut usia.
Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial 2008
(LUT: Lanjut Usia Terlantar, AT: Anak Terlantar, BT: Balita Terlantar)
Gambar 1.4. Komposisi Jumlah Data Kelompok Terlantar
Kecacatan diartikan sebagai hilang/terganggunya
fungsi fisik atau kondisi abnormal fungsi struktur anatomi,
psikologi, maupun fisiologi seseorang. Kecacatan telah
menyebabkan seseorang mengalami keterbatasan atau
gangguan terhadap fungsi sosialnya sehingga mempe-
ngaruhi keleluasan aktivitas fisik, kepercayaan dan harga
diri yang bersangkutan dalam berhubungan dengan orang
lain ataupun dengan lingkungan. Kondisi seperti ini menye-
9
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
babkan terbatasnya kesempatan bergaul, bersekolah,
bekerja dan bahkan kadang-kadang menimbulkan perla-
kuan diskriminatif dari mereka yang tidak cacat.
Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial 2008
Gambar 1.5. Perbandingan Data Jumlah Penyandang Cacat Dengan Data Jumlah PMKS
Jumlah penyandang cacat berdasarkan Pusdatin
Kesejahteraan Sosial Tahun 2008 sebanyak 1.544.184
orang, (meliputi cacat fisik, mental, cacat ganda). Namun
demikian, jumlah yang sebenarnya jauh lebih besar dari
data yang ada. Hal ini karena keluarga dan masyarakat
yang mempunyai anggota keluarga yang mengalami
kecacatan sering kali menyembunyikannya sehingga
penyandang cacat tidak dapat tersentuh pelayanan.
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial,
selanjutnya disebut PMKS, didefinisikan sebagai sese-
orang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena
suatu hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak dapat
terpenuhi kebutuhan hidupnya (jasmani, rohani dan sosial)
secara memadai dan wajar. Dan banyaknya PMKS terse-
but menjadi tanggungjawab pemerintah dan masyarakat
untuk menanganinya, melalui sistem Panti Sosial maupun
di luar Panti Sosial. Untuk pelayanan sosial di Panti Sosial
maupun yang ada di masyarakat, diperlukan SDM yang
handal yaitu Pekerja Sosial. Dalam melaksanakan profe-
sinya, Pekerja Sosial oleh pemerintah diberikan jabatan
fungsional sesuai dengan jabatan dan jenjang pangkatnya.
10
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Dimensi pelayanan sosial sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2009 tentang Kesejahteran Sosial meliputi rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindu-
ngan sosial. Pelaksanaan pelayanan sosial tersebut pen-
dekatannya melalui pelayanan sosial di dalam Panti Sosial
dan pelayanan sosial di luar Panti Sosial (di masyarakat).
Pelayanan sosial di Panti Sosial khususnya yang
dikelola oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
tidak kurang dari 250 Unit Pelaksana Teknis (UPT),
diantaranya 3 unit dalam bentuk Balai Besar Rehabilitasi
Sosial (Eselon II/b) dan selebihnya dalam bentuk Panti
Sosial (Eselon III/a) yang seluruhnya menangani PMKS
dengan berbagai katagori.
Panti Sosial adalah lembaga pelayanan kesejah-
teraan sosial yang memiliki tugas dan fungsi untuk mening-
katkan kualitas sumber daya manusia dan memberdaya-
kan PMKS ke arah kehidupan normatif secara fisik, mental
dan sosial.
Beberapa prinsip yang menjadi dasar penyeleng-
garaan Panti Sosial dan atau lembaga pelayanan sosial
lain yang sejenis adalah mengacu kepada: rambu-rambu
yang berlaku, memberikan kesempatan yang sama kepa-
da mereka yang membutuhkan untuk mendapatkan pela-
yanan, menghargai dan memberi perhatian kepada setiap
klien dalam kapasitas sebagai individu sekaligus juga
sebagai anggota masyarakat, menyelenggarakan fungsi
pelayanan sosial yang bersifat pencegahan, perlindungan
bersifat pencegahan, perlindungan, pelayanan dan rehabi-
Standarisasi Panti Sosial, (Depsos, Badiklit, 2004), Jakarta.p. 4
Ibid .p. 9-10
1
2
1
2
11
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
litasi serta pengembangan, menyelenggarakan pelaya-
nan sosial yang dilaksanakan secara terpadu antara
profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya yang ber-
kesinambungan, menyediakan pelayanan sosial berdasar-
kan kebutuhan klien guna meningkatkan fungsi sosialnya,
memberikan kesempatan kepada klien untuk berpartisi-
pasi secara aktif dalam usaha-usaha pertolongan yang
diberikan, mempertanggungjawabkan pelaksanaan pela-
yanan sosial kepada pemerintah dan atau masyarakat.
Dalam sistem pelayanan sosial di dalam Panti
Sosial, pada aspek penyelenggaraan Panti Sosial, terdiri
atas 3 unsur, yaitu: 1) Unsur pimpinan meliputi Kepala
Panti Sosial dan kepala-kepala unit yang ada di bawahnya,
diperioritaskan berasal dari latar belakang pendidikan
pekerjaan sosial dan atau fungsional Pekerja Sosial;
2) Unsur operasional pelayanan meliputi Pekerja Sosial,
instruktur, pembimbing rohani dan pejabat fungsional
lainnya sesuai dengan kebutuhan Panti Sosial; 3) Unsur
penunjang pelayanan meliputi Pembina Asrama,
Pengasuh, Juru Masak, Petugas Kebersihan, Satpam dan
Supir.
Yang dimaksud dengan Pekerja Sosial, adalah pe-
jabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana
teknis fungsional yang menyelenggarakan kegiatan pela-
yanan kesejahteraan sosial pada instansi pemerintah
maupun badan/organisasi sosial lainnya. Pekerja Sosial
dimaksud adalah jabatan karier yang hanya dapat diduduki
oleh seseorang yang telah berstatus sebagai Pegawai
Negeri Sipil. (Kepmenpan No: KEP/03/M.PAN/1/2004).
Ibid .p. 12
3
3
12
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Jumlah Pekerja Sosial yang berada di Pemerintah
Pusat, Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota sampai
akhir tahun 2008 berjumlah lebih kurang 3.000 orang,
bekerja di Kementerian Sosial (Kantor Pusat dan UPT/
Panti Sosial), Depkes (Rumah sakit), Kementerian Hukum
dan HAM (LAPAS), Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota
(Dinas Sosial, UPT/Panti Sosial). Jumlah ini sangatlah
sedikit jika dibandingkan dengan banyaknya jumlah PMKS
yang perlu dilayani oleh Pekerja Sosial.
Menurut Pusdatin Kessos (Kesejahteraan Sosial),
dalam Data dan Informasi Pekerja Sosial pada tahun 2003,
potret dari Pekerja Sosial waktu itu adalah 36 persen
Pekerja Sosial berpendidikan SMTA Non Pekerja Sosial,
22 persen pendidikan SMK Pekerjaan Sosial, 13 persen
berpendidikan sarjana non Pekerjaan Sosial, 7 persen
berpendidikan D III Pekerjaan Sosial, dan 6 persen berpen-
didikan D III non Pekerjaan Sosial. Maknanya 55 persen
latar belakang pendidikan Pekerja Sosial adalah non
Pekerjaan Sosial.
Dari sisi jabatan, sesudah era otonomi, dari sejum-
lah Pekerja Sosial yang dilimpahkan kepada Pemerintah
Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, hanya 40 persen
yang masih menjabat sebagai Pekerja Sosial, selebihnya
60 persen pindah ke jabatan struktural atau non jabatan.
Latar belakang menjadi Pekerja Sosial sekitar 20
persen bukan keinginan sendiri tetapi ditunjuk atasan dan
himbauan pimpinan. Terkait dengan kesesuaian antara
jabatan fungsional dengan pelaksanaan tugas, sebanyak
24 persen Pekerja Sosial menyatakan tidak/kurang sesuai.
Data dan Informasi Pekerja Sosial, (Pusat Data dan Informasi Depsos,
2003).
4
4
13
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Bagaimana dengan besarnya tunjangan jabatan,
sebanyak 74 persen menyatakan besarnya tunjangan
jabatan yang diperoleh setiap bulan tidak sesuai dengan
besarnya biaya hidup dan 24 persen menyatakan kurang
sesuai dengan biaya hidup.
Gambaran di atas adalah mencakup problematika
Pekerja Sosial di Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Khusus di Kementerian Sosial, potret Pekerja
Sosial adalah sebagian besar berada pada Direktorat
Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial khususnya di
Balai Besar Rehabilitasi Sosial dan Panti Sosial berjumlah
432 orang, di Balai Besar Diklat Kessos dan STKS 22
orang, di Kantor Kemensos Pusat 27 orang, totalnya
berjumlah 481 orang (25% dari total Pekerja Sosial). Dari
jumlah tersebut yang berlatar belakang pendidikan
Kesejahteraan Sosial adalah 195 orang (sekitar 45%) dan
selebihnya pendidikan non Kesejahteraan Sosial.
Dengan jumlah Panti Sosial Pusat dan Daerah 250
unit, dengan asumsi rata-rata kapasitas 100 klien setiap
Panti, maka total klien yang perlu dilayanai 25.000 klien
untuk periode waktu tertentu. Jumlah Pekerja Sosial Pusat
432 orang, yang berada di Panti Sosial Daerah sekitar
724 orang. Total Pekerja Sosial 1.156 orang. Artinya, setiap
Pekerja Sosial melayani sekitar 22 klien. Menurut Standari-
sasi Panti, ratio yang proporsional adalah satu orang
Pekerja Sosial melayani 5 orang klien.
Dari latar belakang yang diuraikan diatas, ada 2
(dua) masalah besar yang dihadapi pemerintah dan juga
masyarakat, yaitu Pertama, berkaitan dengan tidak pro-
porsionalnya jumlah Pekerja Sosial dibandingkan dengan
jumlah PMKS (klien) yang ada di Panti Sosial (1 : 22), dan
14
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Kedua, ada kesenjangan antara Kebijakan yang telah
digariskan oleh pemerintah tentang upaya menjaga mutu
Pekerja Sosial dengan implementasi dan hasil pelaksana-
an yang sesuai dengan standar pelayanan sosial di Panti
Sosial.
2. Ruang Lingkup Studi.
Berdasarkan latar belakang studi di atas, maka
ruang lingkup studi ini adalah melakukan evaluasi terha-
dap substansi kebijakan, implementasi kebijakan dan hasil
pelaksanaan kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial dalam
melaksanakan standar pelayanan sosial di Panti Sosial
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Periode waktu studi ini dilakukan antara tahun
2004-2009, yaitu periode Rencana Pembangunan Jangka
Menengah I (RPJM I).
3. Rumusan Masalah Studi.
Apa yang menjadi rumusan masalah dalam studi
ini dapat dirangkum dalam 3 (tiga) pertanyaan berikut ini:
Pertama, Apakah substansi kebijakan tentang mutu
Pekerja Sosial sesuai dengan standar pelayanan sosial di
Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah?
Kedua, Bagaimanakah implementasi kebijakan
tentang mutu Pekerja Sosial dalam pelayanan sosial di
Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah?
Ketiga, Apakah hasil pelaksanaan kebijakan ten-
tang mutu Pekerja Sosial sesuai dengan standar pelaya-
nan sosial di Panti Sosial Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah?
15
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
4. Kegunaan Studi.
Hasil dari studi ini berguna dan bermanfaat untuk
mengembangkan keilmuan khususnya mengenai kebija-
kan pengembangan mutu Pekerja Sosial di era otonomi
daerah yaitu terutama pada kurun waktu antara tahun
2004-2009 dalam meningkatkan pelayanan sosial di Panti
Sosial.
Diharapkan juga hasil dari studi ini dapat membuka
horizon pemikiran yang lebih luas dan memperkaya
wawasan intelektual dalam bidang penelitian kebijakan
(policy research).
Manfaat lainnya dari hasil studi ini adalah untuk
perencanaan program yang lebih realistis dalam mening-
katkan kualitas dan kuantitas Pekerja Sosial dalam mema-
suki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
II (RPJMN II) tahun 2010-2014.
B. Pendekatan Studi.
Blair menyatakan bahwa analisis kebijakan (policy
analysis) merupakan suatu proses pengkajian kebijakan dan
produk keputusan yang telah diputuskan oleh lembaga
legislatif maupun lembaga eksekutif. Sementara itu policy
making adalah suatu proses dimana eksekutif melakukan
penjabaran visi politiknya kedalam berbagai bentuk program
dan implementasi yang menghasilkan kegiatan sehingga
terjadinya perubahan-perubahan yang diinginkan. Dalam
analisis kebijakan yang dikaji pada umumnya adalah hasil-
Tony Blair, Medernising Government. With Paper Presented to
Parliament. By the Prime Minister and the Minister for Cabinet Office and by
Command of Her Mayesty, March 1999, p. 15.
16
5
5
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
hasil kebijakan mulai dari legislatif tertinggi sampai dengan
produk kebijakan eksekutif, mulai dari pimpinan tertinggi
sampai dengan pelaksanaannya di tingkat praktis.
Tujuan utama dari analisis kebijakan adalah untuk
memahami sejauh mana suatu kebijakan itu dapat berpe-
ngaruh dan menimbulkan perubahan, mulai tahap substansi
sampai dengan efeknya di lapangan. Fokus Studi ini pada
pelaksanaan kebijakan atau disebut dengan studi evaluasi,
sebagaimana yang dimaksud Hongwood, bahwa studi
evaluasi merupakan penilaian terhadap kebijakan tertentu
tentang sejauh mana hasilnya telah mencapai sasarannya.
Dengan demikian yang dikaji dalam penelitian ini adalah
proses evaluasi dari mulai substansi, implementasi dan hasil
pelaksanaan dari suatu kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial
dalam melaksanakan pelayanan sosial di Panti Sosial Peme-
rintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Di Indonesia analisa kebijakan khususnya di bidang
Pekerja Sosial masih belum pernah dilakukan. Padahal
Pekerja Sosial merupakan tulang punggung pelayanan sosial
dalam kerangka pembangunan kesejahteraan sosial. Oleh
karena itu, literatur tentang studi kebijakan dalam lingkup
pengembangan Sumber Daya Manusia dalam pembangunan
kesejahteraan sosial masih langka. Namun demikian
sebagaimana lazimnya suatu ilmu, menurut Philips, analisa
kebijakan mengikuti metodologi dan logika dari system
positivism.
B.W. Hogwood & Gun L.A., Policy Analysis for the Real World (Oxford:
Oxford University Press. 1990) p. 270
D.C. Philips, After the Wake: Post Positivistic Educational Thought
(Educational Researcher 12 Number 5, 1983) p.4-12
6
6
7
7
17
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
18
Menurut Borg dan Gall positivism adalah system
philosophy yang mengutamakan pada objektivitas dari peneliti
(the research must be as objective as possible) dan lebih
mengutamakan fakta-fakta yang ada dan mencari hubungan
antara fakta yang satu dengan fakta lainnya. Dikemukakan
lebih lanjut oleh Borg dan Gall bahwa dalam hal ini peneliti
menjadi nonparticipant observer. Demikian juga menurut
Muhadjir tesis positivisme adalah bahwa ilmu merupakan
satu-satunya pengetahuan yang valid dan fakta-fakta sajalah
yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan.
Merujuk Mc.Milland dan Schumacher bahwa metodo-
logi dapat didefinisikan sebagai rancangan yang dapat dipakai
peneliti untuk memilih prosedur pengumpulan dan analisis
data untuk menyelidiki masalah tertentu. Disamping itu
Bailey menambahkan bahwa metodologi mencakup asumsi
dan nilai yang berfungsi sebagai rasionalisasi untuk penelitian
dan standar atau kriteria yang dipakai untuk menginterpretasi-
kan data dan mencapai kesimpulan. Adapun standar dan
kriteria yang digunakan dalam studi ini dibangun untuk
keperluan pengumpulan dan analisa data serta pengambilan
keputusan.
Walter R. Borg and Meredith D. Gall, Educational Research: An
Introduction 5th Edition (New York: Longman , 1989).p.17.
Ibid. p. 396.
Noeng Muhadjir. Filsafat Ilmu Positivisme, Post Positivisme, dan Post
modernisme edisi II (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001). P. 69.
J. H. Mc. Milland and Schumacher S, Research and Education: A con-
ceptual Introduction 2nd Edition (III Scrot, Foresman, Glenview, 1989), p.8.
K.D.Bailey, Method of Sosial Research (London Free Press, 1978),
p.32.
8
8
9
9
10
11
12
11
10
12
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
1. Tujuan Studi.
Dengan berbagai teori yang berkaitan dengan
kebijakan dan metodologi studi yang diuraikan di atas,
maka studi ini merupakan suatu penelitian empirik, penga-
matan dilakukan terhadap substansi, implementasi dan
hasil pelaksanaan kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial
dalam pelayanan sosial yang sesuai dengan standar
pelayanan sosial di Panti Sosial Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Secara khusus studi ini bertujuan menganalisis:
(1) substansi kebijakan yang mengatur tentang Pekerja
Sosial, terutama terkait mutu Pekerja Sosial; (2) implemen-
tasi kebijakan yang dilaksanakan oleh stakeholder
Kementerian Sosial (Dirjen Yanrehsos, Ka. Badiklit dan Ka.
Biro Organisasi dan Kepegawaian) dan para Direktur,
Kepala Balai Diklat terkait; (3) dan hasil pelaksanaan
kebijakan yang dilaksanakan pada level operasional
(Pekerja Sosial yang melaksanakan pelayanan sosial di
Panti Sosial).
2. Tahapan Studi.
Studi Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah
ini memiliki tahapan sebagai berikut: (1) menemukan fakta
lapangan bahwa mutu pekerja sosial yang rendah;
(2) masalah yang ditemukan adalah adanya gap antara
mutu pekerja sosial dengan standar pelayanan sosial;
(3) mempergunakan metode analisis kebijakan melalui
pendekatan evaluasi kebijakan; (4) melakukan kajian teori
dengan mempergunakan teori Williem N Dunn, Bridgman
and Davis, Thomas R Dey, Bromley dan Bardach;
(5) melakukan pengumpulan data: data skunder (Undang-
19
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri), data primer, workshop dan Fokus
Group Discussion (FGD); (6) melakukan analisis data
dengan menggunakan Analisis SWOT dan Strategi
Program; (7) menarik kesimpulan dan menetapkan
rekomendasi.
Tahapan studi ini secara lengkap dapat dilihat
melalui gambar berikut ini:
Gambar 1.6: Tahapan Studi
20
Pengumpulan Data- Skunder (UU, PP, Kepres, Kepmen).- Primer.- Worshop.- FGD.
Analisis Data:- Analisis SWOT - Strategi Program
Kesimpulan/Rekomendasi
Fakta Lapangan Mutu Pekerja Sosial Rendah
Masalah Gap: Mutu Pekerja Sosialdengan Standar Pelayanan Sosial
Metode Analisis Kebijakan:Pendekatan Evaluasi Kebijakan
Kajian Teori:- William N Dunn. - Bromley.- Bridgman and Davis - Bardach.- Thomas R. Dye.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
3. Tinjauan Pendekatan Studi.
Pendekatan studi dilakukan dengan pendekatan
kualitatif dan terhadap evaluasi hasil kebijakan dilakukan
pendekatan kuantitatif. Data yang digunakan adalah data
primer dan data sekunder. Data primer, dengan mewawan-
carai stakeholder secara mendalam dan pertanyaan tertu-
lis sebagai implementasi pelaksana kebijakan mulai dari
Direktur Jenderal Pelayanan dan Rahabilitasi Sosial, para
Direktur di lingkungan Ditjen Yanrehsos, Kepala Badan
Pendidikan dan Penelitian Kessos, Kepala Pusdiklat
Kessos, Kepala Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan
Kessos, Kepala Biro Organisasi dan Kepegawaian Kemen-
terian Sosial. Data sekunder menggunakan pendekatan
studi dokumen (documentary study) dan penggalian infor-
masi juga melalui Focus Group Discussion (FGD) yang
dilakukan terhadap Kepala Panti Sosial.
Untuk kepentingan evaluasi hasil pelaksanaan
kebijakan nasional, digunakan pengumpulan data dengan
menyampaikan kuesioner kepada Pekerja Sosial dan Ke-
pala Panti Sosial dengan mengajukan pertanyaan tertutup
dan terbuka, menyediakan kolom jawaban sebagai tamba-
han keterangan terhadap pertanyaan tertentu. Studi doku-
men dan wawancara mendalam dan pengisian kuesioner
dilakukan untuk menganalisis substansi, implementasi,
dan hasil pelaksanaan kebijakan nasional tentang mutu
Pekerja Sosial dalam pelayanan sosial sesuai dengan
standar pelayanan sosial Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Periode waktu yang dipilih adalah
tahun 2004-2009. Periode waktu ini dipilih karena genap
satu periode Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) dan periode
Pembangunan Jangka Menengah Nasional I (PJMN I).
21
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
22
C. Metode Studi.
1. Sumber Dan Teknik Pengumpulan Data Studi.
Sumber data sebagai unit analisis untuk data
primer adalah stakeholder di lingkungan Kementerian
Sosial, Pekerja Sosial dan Kepala Panti Sosial Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai berikut:
Jumlah Panti Sosial sebagai unit kerja yang
melaksanakan pelayanan sosial milik Pemerintah Pusat
(Kemensos) adalah sebanyak 34 unit kerja dan sebanyak
216 Panti Sosial sebagai unit kerja yang melaksanakan
pelayanan sosial milik Pemerintah Daerah Propinsi se-
Indonesia. Jumlah Tenaga Fungsional Pekerja Sosial yang
bekerja pada Kementerian Sosial (Pegawai Pusat) 481
orang dan yang bekerja sebagai Tenaga Fungsional Peker-
ja Sosial di Pemerintah Daerah Propinsi (Pegawai Otonom)
sebanyak 2.500 orang. Adapun Satuan Kerja Kementerian
Sosial yang terlibat langsung dalam membina Tenaga
Fungsional Pekerja Sosial sebanyak 2 unit Eselon I, 14 unit
Eselon II.
Dengan gambaran di atas, maka studi ini melaku-
kan wawancara dan pertanyaan tertulis untuk kepentingan
studi dengan rincian sebagai berikut: (1) Dirjen Yanrehsos
1 orang; (2) Ka. Badiklit 1 orang; (3) Ka. Balai Besar Pendi-
dikan Pelatihan Kessos (6 wilayah) 6 orang; (4) Sesditjen
Yanrehsos 1 orang; (5) Direktur di lingkungan Ditjen Yan-
rehsos 5 orang; (6) Kepala Biro Organisasi dan Kepega-
waian 1 orang; (7) Kepala Panti Sosial Kemensos di 34
Panti Sosial 34 orang; (8) Kepala Panti Sosial Pemerintah
Propinsi 75 orang; (9) Tenaga Fungsional Pekerja Sosial
Trampil Panti Sosial Kemensos 34 orang; (10) Tenaga
Fungsional Pekerja Sosial Ahli Panti Sosial Kemensos
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
34 orang; (11) Tenaga Fungsional Pekerja Sosial Trampil
Panti Sosial Propinsi 75 orang; (12) Tenaga Fungsional
Pekerja Sosial Ahli Panti Sosial Propinsi 75 orang.
Responden dari studi ini terdiri dari (1) Unsur
Kementeriaan Sosial 16 orang; (2) Unsur Kepala Panti
Sosial Kemensos 34 orang; (3) Unsur Kepala Panti Sosial
Propinsi 75 orang; (4) Tenaga Fungsionasl Pekerja Sosial,
Panti Sosial Kemensos (trampil dan ahli) 68 orang;
(5)Tenaga Fungsional Pekerja Sosial, Panti Sosial Propinsi
(trampil dan ahli) 150 orang. Dengan demikian total jumlah
responden studi ini adalah sebanyak 342 orang.
Data sekunder yang dikumpulkan melalui studi
dokumentasi yang terkait dengan kebijakan tentang
Pegawai Negeri, Tenaga Fungsional Pekerja Sosial,
Kesejahteraan Sosial dan implementasi kebijakan,
(Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden, Keputusan Menteri) serta literatur lainnya. Teknik
pengumpulan data yang utama adalah penelusuran
dokumen (document tracking) dan wawancara mendalam
(in-depth interview), pengiriman kuesioner dan Focus
Group Discussion (FGD).
2. Metode Analisis Studi.
Sebagaimana yang telah diungkap di atas, studi ini
menggunakan paradigma “kualitatif” walaupuan khusus
yang berhubungan dengan hasil pelaksanaan kegiatan di-
lakukan dengan kuantitatif. Dalam konteks ini analisis yang
dilakukan adalah analisis kebijakan. Analisis kebijakan
adalah merupakan ilmu sosial terapan sebagai salah satu
hasil nyata dari suatu misi ilmu pengetahuan yang lahir dari
gerakan yang disebut profesionalisasi ilmu-ilmu sosial.
23
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Menghasilkan dan mendayagunakan informasi
ialah suatu bagian dari suatu kegiatan analisis kebijakan
yaitu: pengumpulan, pengolahan dan pendayagunaan
data agar menjadi masukan yang berguna bagi para
pembuat keputusan. Seterusnya, analisis kebijakan akan
meneliti sebab akibat dan kinerja kebijaksanaan dan
program publik (Sufyarma, 2004) yang dikutip oleh Syaiful
Anwar: 2009.
Selanjutnya, sesuai dengan tujuan studi ini,
analisis kebijakan dalam studi ini bukan pada proses
pembuatan kebijakan melainkan pada evaluasi kebijakan:
Pertama, Substansi kebijakan tentang Pekerja Sosial,
khususnya yang berhubungan dengan mutu Pekerja
Sosial dalam melaksanakan standar pelayanan sosial di
Panti Sosial. Kedua, implementasi kebijakan yang
dilaksanakan oleh stakeholder Kementerian Sosial yang
berkaitan dengan mutu Pekerja Sosial dalam melaksana-
kan pelayanan sosial di Panti Sosial. Ketiga, analisis hasil
pelaksanaan kebijakan yang dilaksanakan oleh Pekerja
Sosial (yang bermutu) di Panti Sosial sesuai standar
pelayanan sosial.
Proses analisis kebijakan dalam studi ini mengikuti
tahap-tahap sebagaimana diungkap oleh Dunn dengan
tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) merumuskan
masalah-masalah kebijakan; (2) meramalkan kebijakan di
masa depan; (3) merekomendasikan aksi-aksi kebijakan;
Syaiful Anawar, AB, Peningkatan Mutu, Relevansi dan Dayasaing
Perguruan Tinggi: Analisis Kebijakan di Universitas Bengkulu, (Disertasi
Doktor Pascasarjan UNJ, 2009).p.64.
William N Dunn, Public Policy Analysis. An Introduction, Third Edition
(Pearson Prentice Hall, 2004)p. 55-58.
13
14
13
14
24
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
(4) memantau hasil-hasil kebijakan; (5) mengevaluasi hasil
pelaksanaan kebijakan.
Berdasarkan proses analisis kebijakan di atas,
maka kelima langkah utama dalam proses Analisis
kebijakan dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
(1) Menyusun masalah kebijakan adalah proses yang
meliputi tiga fase yang saling berkaitan yaitu: mengartikan,
mengkonsep, dan mengkhususkan masalah. Masing-
masing fase ini menghasilkan informasi tentang situasi,
substansi, dan bentuk masalah; (2) Meramalkan masa
depan kebijakan, para ahli analisis kebijakan perlu mera-
malkan apa yang akan terjadi berkenaan dengan masalah
kebijakan dan mencari tindakan yang tepat untuk mena-
ngani masalah-masalah di masa yang akan datang.
Peramalan dapat digunakan untuk mengubah
informasi masa kini menjadi informasi masa akan datang
dan menawarkan berbagai kemungkinan pada situasi
yang akan datang, setelah itu menyediakan sejumlah alter-
natif obyektif yang dapat dicapai; (3) Merekomendasikan
penerapan kebijakan, rekomendasi adalah informasi
mengenai jangkauan penerapan kebijakan yang menye-
diakan hasil yang berguna untuk kelompok orang atau
komunitas tertentu secara umum, hal ini dihubungkan
dengan nilai. Oleh karena itu rekomendasi kebijakan tidak
hanya evaluasi empiris saja tetapi juga berhubungan
dengan aspek normatif.
Dengan demikian, rekomendasi dicirikan dengan
fokus tindakan dan orientasi masa depan, prospek, saling
ketergantungan, nilai nyata dan nilai ganda.
Penerapan kebijakan yang terstruktur dalam reko-
mendasi tidak hanya teoritis dan logika empiris tetapi juga
25
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
memberikan keuntungan dalam kontek nilai tertentu. Nilai
ganda yang ingin dicapai adalah nilai intrinsik dan
ekstrinsik. Nilai intrinsik yaitu nilai atau keuntungan yang
langsung dapat diwujudkan. Nilai ekstrinsik yaitu nilai yang
tidak langsung diperoleh; (4) Memonitor hasil-hasil kebi-
jakan, monitoring atau pemantauan merupakan prosedur
yang didasarkan pada analitik kebijakan yang digunakan
untuk memperoleh informasi mengenai penyebab dan
konsekwensi dari kebijakan. Monitoring membantu para
ahli analisis untuk menggambarkan hubungan antara
pelaksanaan program kebijakan dengan hasilnya;
(5) Mengevaluasi hasil pelaksanaan kebijakan, evaluasi
merupakan prosedur yang didasarkan pada analitik kebija-
kan untuk menjeneralisasikan informasi tentang hasil
kebijakan agar sesuai dengan kebutuhan, nilai, atau
kesempatan yang dapat menyelesaikan masalah.
Monitoring menjawab “apa, bagaimana dan mengapa
terjadi?” Sementara itu, evaluasi menjawab “apa perbe-
daan yang dibuat?”
26
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
D. Pengorganisasian Buku.
Pada bagian Pendahuluan buku ini adalah merupakan
tinjauan umum, kemudian pada Bab II membahas tentang
teori-teori dari para ahli yang berkaitan dengan Kebijakan
Nasional Tentang Mutu Pekerja Sosial. Bagian pertama Bab II
menjelaskan tentang teori-teori yang berkaitan dengan
kebijakan nasional, selanjutnya tentang kebijakan publik,
analisis kebijakan, konsep mutu, mutu pekerja sosial, panti
sosial/institusi kesejahteraan sosial dan untuk memudahkan
dalam memahami studi ini akan diuraikan kerangka berpikir
tentang studi ini.
Kemudian pada Bab III menguraikan tentang substansi
produk kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan mutu
pekerja sosial. Berikutnya pada Bab IV menjelaskan hasil studi
kebijakan nasional tentang mutu pekerja sosial di era otonomi
daerah dan akan menjawab satu persatu dari ketiga masalah
studi, yaitu: Apakah substansi kebijakan tentang mutu Pekerja
Sosial sesuai dengan standar pelayanan sosial di Panti Sosial
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah? Bagaimanakah
implementasi kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial dalam
pelayanan sosial di Panti Sosial Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah? Dan Apakah hasil pelaksanaan
kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial sesuai dengan standar
pelayanan sosial di Panti Sosial Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah?
Pada Bab V diuraikan secara lengkap mengenai
indikator evaluasi hasil kebijakan mutu pekerja sosial dan
deskripsi hasil pelaksanaan kebijakan mutu pekerja sosial.
Deskripsi hasil pelaksanaan kebijakan mutu pekerja
sosial dalam rangka memenuhi standar pelayanan sosial di
Panti Sosial disajikan dalam data kuantitatif berkaitan dengan
27
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Latar Belakang Pendidikan, Ketentuan Jabatan Fungsional
Pekerja Sosial (JFPS), Kegiatan Pelayanan Kesejahteraan
Sosial Dan Pengembangan Kualitas Pelayanan Sosial,
Formasi Pekerja Sosial, Penilaian Angka Kredit, Kompetensi
Profesi Pekerja Sosial, Partisipasi Masyarakat dan Sarana
Penunjang Kerja Pekerja Sosial.
Bab VI merupakan kajian mendalam yang membahas
tentang implementasi kebijakan nasional tentang mutu pekerja
sosial di era otonomi daerah dimana terdapat tiga hal utama
yang menjadi pembahasan. Ketiga hal yang menjadi
pembahasan di bab VI ini adalah: Pertama, Evaluasi
Substansi, Implementasi dan Hasil Pelaksanaan Kebijakan
Nasional Tentang Mutu Pekerja Sosial. Kedua, Analisis SWOT
Kementerian Sosial Dalam Implementasi Kebijakan Nasional
Tentang Mutu Pekerja Sosial, dan Ketiga, Strategi Program
Implementasi Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pekerja
Sosial.
Dan Bab VII adalah merupakan bagian penutup dari
buku ini yang merupakan kesimpulan dan rekomendasi dari
implementasi kebijakan nasional tentang mutu pekerja sosial
di era otonomi daerah.
28
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
BAB IIKEBIJAKAN NASIONAL
TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL SUATU TINJAUAN TEORITIK
29
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
30
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
31
BAB IIKEBIJAKAN NASIONAL
TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL SUATU TINJAUAN TEORITIK
PADA bab II ini akan membahas tentang teori-teori dari
para ahli yang berkaitan dengan Kebijakan Nasional
Tentang Mutu Pekerja Sosial.
Bagian pertama menjelaskan tentang teori-teori yang
berkaitan dengan kebijakan nasional, selanjutnya tentang
kebijakan publik, analisis kebijakan, konsep mutu, mutu
pekerja sosial, panti sosial/institusi kesejahteraan sosial dan
untuk memudahkan dalam memahami studi ini akan diuraikan
kerangka berpikir tentang studi ini.
A. Kebijakan Nasional.
Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih
untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau
dan Prewitt (1973) dalam Edi Suharto, 2005, kebijakan adalah
sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku
konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun
yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Titmuss (1974)
dalam (Edi Suharto, 2005) mendefinisikan kebijakan sebagai
prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan
kepada tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan, menurut Titmuss,
Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik (ALFABETA, Bandung 2005) p.7.1
1
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
senantiasa berorientasi kepada masalah dan berorientasi
kepada tindakan. Dengan demikian kebijakan dapat dinyata-
kan sebagai suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip
untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara
terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Kebijakan nasional adalah kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah (eksekutif dan legislatif) dan salah satu
bentuk kebijakan nasional adalah dalam bentuk Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri, Keputusan Dirjen (Pejabat Eselon I) dan
mempunyai legalitas hukum yang berlaku secara nasional
untuk seluruh warga masyarakat.
B. Kebijakan Publik.
Sebagian besar ahli memberi pengertian kebijakan
publik dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan
pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap
akan membawa dampak baik bagi kehidupan warganya.
Menurut Bridgman dan Davis, kebijakan publik pada umum-
nya mengandung pengertian mengenai ‘whatever government
choose to do or not to do.’ Artinya, kebijakan publik adalah apa
saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan.
Kadang-kadang, kebijakan publik menunjuk pada istilah
atau konsep untuk menjelaskan pilihan-pilihan tindakan terten-
tu yang sangat khas atau spesifik, seperti kepada bidang-
bidang tertentu dalam sektor-sektor fasilitas umum, transpor-
tasi, pendidikan, kesehatan, perumahan atau kesejahteraan.
Urusan-urusan yang menyangkut kelistrikan, air, jalan raya,
Peter Bridgman & Glyn Davis, the Australian policy handbook (Crows
Nest: Allen and Unwin 2004) p.3.
32
2
2
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
sekolah, rumah sakit, perumahan rakyat, lembaga-lembaga
rehabilitasi sosial adalah beberapa contoh yang termasuk
dalam bidang kebijakan publik (lihat Suharto, 2007).
Menurut Nakamura dan Smallwood bahwa kebijakan
publik adalah serangkaian instruksi kepada para pembuat
kebijakan yang menjelaskan tujuan dan cara-cara untuk
mencapai tujuan tersebut. Selanjutnya mereka mengatakan
bahwa kebijakan publik berada pada tiga lingkup kebijakan,
yakni perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan
penilaian (evaluasi) kebijakan.
Selanjutnya Edi Suharto (2007:4) mengutip pendapat
beberapa ahli menguraikan bahwa setiap perundang-
undangan adalah kebijakan, namun tidak setiap kebijakan di-
wujudkan dalam bentuk perundang-undangan. Hogwood dan
Gunn (1990) (dalam Suharto, 2007: 4) menyatakan bahwa
kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah
yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Ini tidak
berarti bahwa makna “kebijakan” hanyalah milik atau domain
pemerintah saja. Organisasi-organisasi non-pemerintah,
seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi
Sosial dan lembaga-lembaga sukarela lainnya memiliki kebija-
kan-kebijakan pula. Namun, kebijakan mereka tidak dapat
diartikan sebagai kebijakan publik. Karena kebijakan mereka
tidak dapat memakai sumber daya publik atau tidak memiliki
legalitas hukum sebagaimana kebijakan lembaga pemerintah.
Beberapa ahli memberi definisi kebijakan publik yang
beragam, meskipun pada intinya memiliki kesamaan, yakni
Edi Suharto, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik (CV. Alfabeta, 2007) p.3.
R.T Nakamura dan F. Smallwood, The Politic of Policy Implementation (New
York: St. Martin's Press, 1980) p. 31.
Suharto, op.cit. .p.4.
3
3
4
5
4
5
33
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
sebagai inisiatif atau tindakan yang dilakukan pemerintah.
Thomas R.Dye mendefinisikannya sebagai “what government
do, why they do it, and what defference it makes”. David Easton
(1965: 212) dalam Nugroho (2007: 217) mendefinisikan
kebijakan publik sebagai “the impact of government activity.”
Harold Laswell dan Abraham Kaplan (170: 17) dikutip Nugroho
(2007: 217) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah “a
projected program of goals, values, and practices”. James
Anderson (2004: 4) dikutip Nugroho (2007:217) mengartikan
kebijakan publik sebagai “a relative stable, purposive course of
action followed by an actor or set of actors in dealing with a
problem or matter of concern.” Steven A. Peterson dikutip
Nugroho (2007:218) mengartikan kebijakan publik sebagai
“government action to address some problem.”
Bridgman dan Davis menerangkan bahwasannya
kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang saling
bertautan, Pertama, yakni sebagai pilihan tindakan yang legal
atau sah secara hukum (authoritative choice), Kedua, sebagai
hipotesis (hypothesis) dan Ketiga, sebagai “objective” dari
kegiatan pemerintah.
Kebijakan publik sebagai tujuan (objective) adalah “a
means to an end”, alat untuk mencapai sebuah tujuan. Kebija-
kan publik pada akhirnya menyangkut pencapaian tujuan
publik. Artinya, kebijakan publik adalah seperangkat tindakan
pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu
yang diharapkan oleh publik sebagai konstituen pemerintah.
Thomas R. Dye, Undertanding Publik Policy (Upper Saddle River, New
Jersey 2005) p. 1.
Riant Nugroho, Publik Policy, (PT. Elex Media Komputindo,
Jakarta,2008) p. 217-218.
Peter Bridgman and Glyn Davis, the Australian policy handbook, (Allen
& Unwin Crows Nest NSW, 2004) p.4-7.
34
6
7
8
8
7
6
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Proses kebijakan harus mampu membantu para
pembuat kebijakan merumuskan tujuan-tujuannya. Sebuah
kebijakan tanpa tujuan tidak memiliki arti, bahkan tidak
mustahil akan menimbulkan masalah baru. Misalnya, sebuah
kebijakan yang tidak memiliki tujuan jelas, program-program
akan diterapkan secara berbeda-beda, strategi pencapaian-
nya menjadi kabur dan akhirnya para analis akan menyatakan
bahwa pemerintah telah kehilangan arah.
Bromley melihat proses kebijakan sebagai suatu
hirarki. Aliran ini mengatakan bahwa kebijakan publik
merupakan sumber yang sangat penting dari perubahan
kelembagaan. Dikatakan, bahwa secara umum terdapat tiga
tingkat proses perubahan kelembagaan yaitu: Tingkat
kebijakan (Policy level), tingkat organisasi (organization level),
dan tingkat operasional (operational level).
Proses kebijakan pada setiap tingkatan tersebut akan
menghasilkan institutional arrangements berupa peraturan
perundang-undangan. Proses kebijakan pada policy level
akan menghasilkan institutional arrangements berupa
peraturan perundang-undangan, misalnya undang-undang.
Selanjutnya peraturan perundang-undangan pada tingkat ini
akan diterjemahkan oleh proses kebijakan pada operational
level yang selanjutnya akan mempengaruhi patterns of
interaction dan outcomes dari kebijakan tersebut. Bila hasil
tidak memuaskan, pada umumnya akan ada reaksi kolektif
melalui suatu proses untuk memperbaiki institutional
arrangements pada tingkat atasnya. Secara teoritis, proses ini
akan berjalan secara terus menerus sampai diperoleh suatu
kebijakan yang optimal.
Daniel W. Bromley, Economic Interest and institutions. (New York: Basil
Blackwell, 1989) p. 32-34.
9
9
35
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang legal
(authoritative choice of a government) adalah pilihan tindakan
dalam kebijakan bersifat legal atau otoritatif karena dibuat oleh
lembaga yang memiliki legitimasi dalam sistem pemerintahan.
Keputusan itu mengikat para pegawai negeri untuk bertindak
atau mengarahkan pilihan tindakan atau kegiatan seperti
menyiapkan rancangan undang-undang atau peraturan
pemerintah untuk dipertimbangkan oleh parlemen atau
mengalokasikan anggaran guna mengimplementasikan
program tertentu.
Kebijakan Publik sebagai Kebijakan Sosial diuraikan
oleh Suharto, bahwa kebijakan sosial adalah salah satu
bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan
ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu
yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau
memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Menurut Bessant,
Watts, Dalton dan Smith: “In short, social policy refers to what
governments do when they attempt to improve the quality of
people's live by providing a range of income support,
community services and support programs”.
Secara garis besar, kebijakan sosial diwujudkan dalam
tiga kategori, yakni perundang-undangan, program pelayanan
sosial dan sistem perpajakan (lihat Midgley, 2000). Berda-
sarkan kategori ini, maka dapat dinyatakan bahwa setiap
perundang-undangan, hukum atau peraturan daerah yang
Edi Suharto, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, (Alfabeta
Bandung 2007) p. 10.
Judith Bessant, Rob Watts, Tony Dalton&Paul Smyth, Talking Policy:
How Sosial Policy in Made,(Crows Nest:Allen&Winn,2006) p.4.
James Midgley, Martin B. Tracy, Michelle Livermore (edit), The
Handbook oc Sosial Policy, (Sage Publikations, London, 2000)p. 3-5.
10
11
12
12
11
10
36
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari
kebijakan sosial. Namun, tidak semua kebijakan sosial ber-
bentuk perundang-undangan.
Thomas R. Dye merumuskan 8 model formulasi
kebijakan, yaitu: (1) Model Institusional: Kebijakan adalah
institusional output. Secara simpel model ini dimaksudkan
adalah bahwa tugas membuat kebijakan publik adalah
pemerintah. Jadi apapun yang dibuat pemerintah dengan
berbagai cara dapat disebut sebagai kebijakan publik. Dye
mengutarakan ada 3 karakteristik pendekatan ini yaitu yang
Pertama, bahwa pemerintah mempunyai legitimasi untuk
membuat kebijakan publik, dan yang Kedua bersifat universal,
dan Ketiga pemerintah memonopoli fungsi pemaksaan
(coercion) dalam masyarakat; (2) Model Proses: Kebijakan
adalah aktivitas politik. Dalam model ini menguraikan asumsi
bahwa politik merupakan sebuah aktivitas sehingga dapat
disebut sebagai proses. Dengan demikian kebijakan publik
merupakan juga proses politik. Model ini menjelaskan
bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya dibuat.
Proses kebijakan secara umum garis besarnya sebagai
berikut: Problem Identification; Agenda Setting; Policy
Formulation; Policy Legitimation; Policy Implementation;
Policy Evaluation; (3) Model Teori Rasionalisme: Kebijakan
adalah Maximum Social Gain. Model ini mengedepankan
gagasan “Maximum Social Gain”, yaitu kebijakan publik seba-
gai Maximum Social Gain, yang berarti pemerintah sebagai
pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan
manfaat terbaik bagi masyarakat. Sebagai catatan, secara
realita ada 2 petunjuk penting dari pengertian Maximum Social
Thomas R. Dye, Understanding Publik Policy (Upper Suddle River,
New Jersey, 2005) p.11-27.
13
37
13
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Gain”, Pertama, adalah tidak ada kebijakan akan diadopsi jika
costnya tinggi bagi penerima manfaat. Kedua, adanya
alternatif-alternatif kebijakan, dimana pengambil keputusan
akan memilih kebijakan yang produktif dan mempunyai
keuntungan yang terbaik. Model ini juga mengatakan bahwa
proses formulasi kebijakan haruslah didasarkan pada
keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya.
Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara
pengorbanan dan hasil yang dicapai; (4) Model Inkrementalis:
Kebijakan adalah variasi dari masa lalu. Model Inkrementalis
melihat bahwa kebijakan publik adalah kelanjutan dari aktivitas
pemerintah di masa lalu. Model ini disebut juga model
pragmatis. Model ini diadopsi ketika pengambil keputusan
berhadapan dengan keterbatasan waktu, informasi dan
kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan secara
komprehensif. Sementara itu pengambil keputusan dihadap-
kan pada ketidakpastian yang terjadi di sekelilingnya.
Pilihannya adalah melanjutkan kebijakan di masa lalu dengan
beberapa modifikasi sebelumnya. Pilihan ini biasanya dilaku-
kan oleh pemerintah dalam lingkungan yang pluralistik, yang
tidak mungin membuat kebijakan baru yang dapat memuas-
kan semua pihak. Dalam batas tertentu model ini tidak saja
terjadi keterbatasan sumber dana, melainkan juga karena
keberhasilan di masa lalu yang menimbulkan rasa puas diri
yang berkepanjangan; (5) Model Teori Group: Kebijakan
adalah keseimbangan group (kelompok). Model teori group
(kelompok) mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimba-
ngan. Inti gagasannya adalah interaksi di dalam kelompok
akan menghasilkan keseimbangan dan keseimbangan adalah
yang terbaik. Di sini individu di dalam kelompok-kelompok
kepentingan berinteraksi secara formal dan informal, secara
38
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
langsung atau melalui media masa menyampaikan tuntutan-
nya kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik
yang diperlukan. Di sini peran dari sistem politik adalah untuk
manajemen konflik yang muncul dari adanya perbedaan
tuntutan. Model ini sesungguhnya merupakan abstraksi dari
proses formulasi kebijakan yang di dalamnya beberapa
kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan
bentuk kebijakan secara interaktif. (6) Model Teori Elite:
Kebijakan adalah preferensi elite. Model ini merupakan
abstraksi dari proses formulasi kebijakan, dimana kebijakan
publik merupakan perspektif dari elite politik. Prinsip dasarnya
adalah karena setiap elite politik ingin mempertahankan status
quo maka kebijakan menjadi bersifat konservatif. Kebijakan-
kebijakan yang dibuat oleh para elite politik tidaklah berarti
selalu mementingkan kesejahteraan masyarakat. (7) Model
Pilihan publik: Kebijakan adalah pengambilan keputusan
kolektif oleh setiap orang yang berkepentingan. Intinya model
ini menghendaki agar setiap orang dilibatkan secara
demokratis dalam pengambilan keputusan. Model ini biasanya
dikaitkan dengan implementasi kebijakan good governance
bagi pemerintah yang mengamanahkan agar dalam membuat
kebijakan, para konstituen dan pemanfaat diakomodir kebera-
daannya. Model ini baik tapi kurang efektif dalam mengatasi
masalah-masalah kritis, darurat, dalam kelangkaan sumber
daya. Namun jika dapat dilaksanakan, sangat efektif dalam
implementasinya, karena setiap pihak mempunyai kewajiban
untuk ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan, yang
karena juga setiap pihak bertanggungjawab atas kebijakan
yang dirumuskan. (8) Model Teori Permainan (Game):
Kebijakan adalah pilihan rasional dalam situasi kompetisi.
Gagasan pokok kebijakan dalam model teori permainan
39
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
adalah: Pertama, formulasi kebijakan berada dalam situasi
kompetisi yang intensif, dan Kedua, para aktor tidak berada
dalam situasi pilihan yang tidak independen ke dependen,
melainkan situasi pilihan yang sama-sama bebas atau
independen. Model teori permainan adalah model yang sangat
abstrak dan deduktif dalam formulasi kebijakan.
Sesungguhnya model ini mendasarkan pada formulasi
kebijakan yang rasional namun dalam kondisi kompetitif
dimana tingkat keberhasilan kebijakan tidak lagi hanya
ditentukan oleh aktor pembuat kebijakan, namun juga aktor-
aktor lain.
Pada tahun 1951, Harold Laswell telah membuat proses
perumusan kebijakan ke dalam beberapa tahapan yang
dimulai dari tahap konseptualisasi, rekomendasi, preskripsi,
invokasi, aplikasi, apraisal dan terminasi (Bridgman dan Davis,
2004). Meskipun tahapan ini terlihat tumpang tindih, namun
karya Laswell memberi inspirasi bagi penulis lain untuk
mengembangkannya. Beberapa penulis lain tetap memperta-
hankan formulasi kebijakan berdasarkan pendekatan proses.
Berbagai label tahapan yang dibuat memang berbeda-beda,
namun pada intinya menunjuk pada sebuah sekuen logis yang
terdiri dari identifikasi masalah kebijakan, penetapan agenda
kebijakan, penetapan keputusan kebijakan, implementasi
kebijakan dan evaluasi kebijakan (Sabatier dan Jenkins-
Smith, 1993, Bridgman dan Davis, 2004).
Hampir semua penjelasan mengenai proses perumusan
kebijakan bergerak melalui tiga tahapan (Suharto, 2007), yaitu
Peter Bridgman & Glyn Davis, the Australian policy handbook (Crows
Nest: Allen and Unwin 2004) p.22.
Edi Suharto, op.cit. p. 26-27.
14
14
15
15
40
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
41
pengembangan ide, melakukan aksi dan mengevaluasi hasil.
Secara formal, ketiga langkah itu bisa disederhanakan
menjadi: pengembangan ide (ideation); realisasi (realisation);
dan evaluasi (evaluation). Secara kurang formal, ketiga
tahapan itu bisa pula diformulasikan menjadi: berpikir
(thinking), bertindak (doing) dan menguji (testing) (Bridgman
dan Davis, 2004: 22).
Meskipun proses perumusan kebijakan dapat dilakukan
melalui berbagai tahapan yang beragam, langkah-langkah pe-
rumusan kebijakan publik dapat dimulai dari identifikasi isu,
merumuskan agenda kebijakan, melakukan konsultasi, mene-
tapkan keputusan, menerapkan kebijakan dan mengevaluasi
kebijakan. Keenam langkah tersebut dapat dilihat secara ring-
kas dalam lingkaran kebijakan yang dipresentasikan Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Lingkaran Kebijakan
Menurut Parsons mengutip pendapat para ahli pada
Introduction, menyatakan bahwa kebijakan publik menitik be-
Wayne Parsons, Publik Policy: Pengantar Teori & Praktek Analisis
Kebijakan, (Predana Media Group 2006),p.xi – xii.
16
16
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
42
ratkan pada apa yang oleh Dewey (1927) katakan sebagai
“publik dan problem-problemnya”.Kebijakan publik membahas
soal bagaimana isu-isu dan persoalan-persoalan tersebut
disusun dan didefinisikan dan bagaimana kesemuanya itu
diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik. Selain
itu kebijakan publik juga merupakan studi tentang “bagaimana,
mengapa dan apa efek dari tindakan aktif dan pasif
pemerintah” (Heidenheimer et al.,1990:3). Atau seperti dikata-
kan oleh Dye, kebijakan publik adalah studi tentang “apa yang
dilakukan pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tinda-
kan tersebut dan apa akibat dari tindakan tersebut” (Dye,
1976:1). Studi “sifat, sebab dan akibat dan kebijakan publik”
(Nagel 1990: 440) ini mensyaratkan agar kita menghindari
fokus yang “sempit” dan menggunakan pendekatan dan
disiplin yang bervariasi.
C. Analisis Kebijakan.
Menurut Versi Dunn, mengemukakan bahwa: ”Policy
analysis is an applied social science discipline which use
multiple methods of inquiry and argument to produce and
transform policy-relevant information that my be utilized in
political setting to resolve policy problems”.
Dunn mendefinisikan analisis kebijakan adalah aktivitas
intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan,
secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan
tentang dan dalam proses kebijakan. Analisis kebijakan adalah
disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai
metode pengkajian multipel dalam konteks argumentasi dan
debat politik untuk menciptakan, secara kritis menilai dan
William N. Dunn, Publik Policy Analysis: An Introduction (New Yersey:
Prentice Hall ,1981) p.35.
17
17
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan.
Dunn sendiri melukiskan proses analisis kebijakan (yang
berorientasi pada masalah kebijakan) sebagai berikut :
Gambar 2.2. Analisis Kebijakan yang berorientasi pada masalah
Proses analisis kebijakan yang sebagaimana diilustrasi-
kan pada Gambar 2.2. tersebut di atas, dibuat untuk tujuan
metodologis, untuk mempelajari kelebihan dan kekurangan
dari metode-metode dan teknik-teknik analisis kebijakan.
Gambar 2.2. tersebut, merupakan rekonstruksi logis dari
proses analisis kebijakan, proses aktual mengerjakan analisis
kebijakan dapat sesuai atau tidak sesuai dengan rekonstruksi
logis tersebut, yang merupakan abstraksi dari banyak deskrip-
si konkrit tentang praktek yang dilakukan analisis kebijakan.
43
KebijakanKinerja
Peramalan
KebijakanMasa Depan
Evaluasi
Pemantauan Rekomendasi
MasalahPerumusan
KebijakanHasil
KebijakanMasalah
KebijakanAksi
MasalahPerumusan
Masalah
Perum
usanM
asal
ahPe
rum
usa
n
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Logika yang digunakan analisis dalam praktek, sebagai-
mana dibedakan dari rekonstruksi logis, mencerminkan variasi
yang muncul baik dari karakteristik individual para analisis dan
keadaan institutional dimana mereka bekerja.
Analisis kebijakan juga dapat dibedakan menjadi
analisis prospektif atau ex post yang merupakan produksi dan
diimplementasikan dan analisis retrospektif atau ex ante yang
merupakan produksi dan transformasi informasi sesudah aksi
kebijakan. Di antara keduanya, Dunn menyebutkan analisis
terintegrasi, yaitu produksi dan transformasi informasi baik
sebelum maupun sesudah aksi kebijakan.
Menurut Weimer-Vining, mencermati analisis kebijakan
pertama-tama dari segi produknya, yaitu bahwa produk dari
analisis kebijakan adalah advis yang menginformasikan
keputusan kebijakan publik. (The product of policy analysis is
advice. Specifically, it is advice that inform some public policy
decission). Tentu saja, tidak semua advis adalah produk dari
analisis kebijakan. Advis yang merupakan produk analisis
kebijakan adalah advis yang berkenaan dengan keputusan
publik yang di dalamnya memuat nilai-nilai sosial. Namun
demikian, analisis kebijakan tidak hanya untuk sektor
pemerintahan (publik), namun juga diperlukan untuk sektor
bisnis.
Jadi, pemahaman dasar analisis kebijakan adalah advis
yang berorientasi pada klien yang berkenaan dengan kepu-
tusan publik dan memuat nilai-nilai sosial (policy analysis is
client oriented advice relevant of public decission and informed
by social values). Weimer dan Vining memahami analisis ke-
bijakan sebagai sebuah kegiatan yang mengandung tiga nilai,
David L. Weimer & Aidan R. Vining, 1991 (2rd edition), Policy
Analysis: Concept and Practice, New Jersey: Prentice Hall. Hal.1-2.
18
18
44
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
pragmatis (client-oriented), mengacu pada keputusan
(kebijakan) publik dan tujuannya melebihi kepentingan atau
nilai-nilai klien, melainkan kepentingan atau nilai-nilai sosial.
Definisi ini berbeda dengan definisi “klasik” tentang
analisis kebijakan. Misalnya, definisi dari Walter William (1971)
dikutip oleh Nugroho (2007) bahwa analisis kebijakan adalah
sebuah cara penyintesiskan informasi, termasuk hasil-hasil
penelitian, untuk menghasilkan format keputusan kebijakan
(yang ditentukan dari sejumlah alternatif pilihan) dan
menentukan informasi yang relevan dengan kebijakan; policy
analysis is a means of synthesizing information including
research result to produce a format for policy decission (the
laying out of alternative choice) and of determining future
needs for policy relevant information.
Teori lain tentang kebijakan publik juga disampaikan oleh
Patton & Savicky, bahwa tantangan hari ini bagi analisis
kebijakan publik adalah bagaimana kita dapat mempunyai
metode analisis dan perencanaan kebijakan yang sederhana.
Tantangan ini timbul karena proses pemecahan masalah yang
rasional tidak sesuai dengan kondisi kebutuhan analisis kebi-
jakan yang ditekan oleh sempitnya waktu, terbatasnya penge-
tahuan dan terbatasnya sumber daya. Patton dan Savicky me-
ngatakan: “Policy analyst are often required to give advice to
policy maker in incredibly short periods of time, in contrast to
university researcher and think tank consultant who are hired
specifically to conduct intensive research on publik policy issues.”
Riant Nugroho, op.cit.p.36.
Carl V. Patton & David S. Savicki, 1993 (1986), Basic Methods of
Policy Analysis & Planning, New Jersey: Prentice Hall, 482 + xiii. Dalam buku
Riant Nugroho, Analisis Kebijakan, (Elex Media Komputindo, Jakarta,
2007).p.59-60.
19
19
20
20
45
Teori lain juga disampaikan oleh Quade dan Jenkis
Smith E.S. Quade, Menurut Edward S. Quade adalah ilmu-
wan sekaligus praktisi dan guru analisis kebijakan publik.
Quade mempunyai kredo yang dikutip oleh ahli kebijakan
bahwa (disiplin) analisis kebijakan muncul karena perumusan
kebijakan publik tidak memuaskan unsatisfactory state of
public policy making. Oleh karena itu, tujuan analisis kebijakan
adalah untuk memperbaiki pembuatan keputusan kebijakan.
Dalam kebijakan, digunakan istilah “analisis” yang sebenarnya
menyiratkan penggunaan “intuisi” dan “judgement”.
Quade bukanlah pengikut pendekatan rasionalis murni,
melainkan lebih bersifat pragmatis. Itulah sebabnya ia
mangatakan: “We have not been and never shall be able to
make policy analysis a purely rational, coldly objective,
scientific aid to decision-making that will neatly lay bare the
solution to every problem to which it is applied. There are
always may be not analytically, or even systematically, and
there may be problems with no solution. In the end politics and
intuitive judgement must rule”.
Pemikiran lain dari Quade dan Dunn, disampaikan oleh
Bardach mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah
suatu aktivitas politik dan sosial. Oleh karena itu seseorang
yang tertarik di bidang analisis kebijakan memerlukan suatu
tanggung jawab mental dan intelektual dari kualitas hasil
pekerjaan atau kegiatan di bidang analisis kebijakan.
Selanjutnya, analisis kebijakan pada dasarnya lebih pada seni
E.S.Quade, Analysis for Publik Decisions, Third Edition, Revised
Edition by Grace M Carter, (The RAND Corporation, 1989) p. 11, 46-55.
Eugene Bardach, A Practical Guide for Policy Analysis The Eighfald
Path to More Effective Problem Solving (New York: Seven Bridges Press
2000) p.xiii.
21
22
21
22
46
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
mengambil kesimpulan dan pada ilmunya (more art than
science). Oleh karena itu penggunaan intuisi dan prosedur
atau metode harus digunakan secara seimbang.
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial
dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan
harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau
tujuan yang diinginkan. Dalam hal ini yang dibahas dua hal
pokok, yakni mengenai konsep implementasi dan model-
model implementasi kebijakan. Model yang dibicarakan
adalah model implementasi kebijakan yang diperkenalkan
oleh Donalds S. Van Meter dan Carl E. Van Horn dan model
pelaksanaan kebijakan yang dikemukakan oleh George C.
Edward III, yang dikutip oleh Winarno dalam bukunya “Teori
dan Proses Kebijakan Publik” (2004: 101). Kedua model ini
mempunyai kesamaan dalam aspek-aspek tertentu, sekalipun
dalam aspek-aspek lainnya berbeda.
Menurut Winarno mengutip pendapat James P. Lester
dan Joseph Stewart, Implementasi kebijakan dipandang
dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi
hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik
yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan
guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.
Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang
kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses,
keluaran, maupun sebagai hasil. Sementara itu, Van Meter
dan Van Horn (Winarno: 2004) membatasi implementasi kebi-
jakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-
individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun
swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang
Budi Winarno,Teori dan Praktek Kebijakan Publik, (Yogyakarta,
Media Pressindo,2004).p.1-2.
23
23
47
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebe-
lumnya.
Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk
mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan
operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka
melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-
perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-
keputusan kebijakan.
Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa tahap
implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-
tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau diidentifikasi oleh
keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap
implementasi terjadi hanya setelah Undang-Undang ditetap-
kan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi
kebijakan tersebut.
Masih menurut Van Meter dan Van Horn (Winarno
2004:109) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam
mengembangkan tipologi kebijakan-kebijakan publik. Yakni:
Pertama, kemungkinan implementasi yang efektif akan ber-
gantung sebagian pada tipe kebijakan yang dipertimbangkan.
Misalnya, keberhasilan implementasi kebijakan mengenai
peningkatan mutu pelayanan sosial di Panti Sosial oleh Peker-
ja Sosial, akan berbeda dengan kebijakan untuk menang-
gulangi masalah kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh tipe
kebijakan yang berbeda antara peningkatan mutu pelayanan
sosial di Panti Sosial dengan penanggulangan masalah
kemiskinan. Kedua, faktor-faktor tertentu yang mendorong
realisasi atau non-realisasi tujuan-tujuan program akan berbe-
da dari tipe kebijakan yang satu dengan tipe kebijakan yang
lain. Suatu implementasi akan sangat berhasil bila perubahan
marginal diperlukan dan konsensus tujuan adalah tinggi.
48
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Sebaliknya, bila perubahan besar ditetapkan dan konsensus
tujuan rendah maka prospek implementasi yang efektif akan
sangat diragukan.
1. Pendekatan Analisis Kebijakan.
Pendekatan dalam memahami tentang kebijakan,
dirujuk apa yang ditulis oleh William N Dunn. Bahwa
model-model untuk analisis yaitu: model deskriftif, model
verbal, model simbolik dan model prosedural. Dalam aspek
prosedural Dunn mengemukakan beberapa langkah
proses analisis kebijakan yaitu; (1) Penyusunan agenda
kebijakan, yang berkaitan dengan perumusan masalah;
(2) Formulasi kebijakan, yang berkaitan dengan perama-
lan; (3) Adopsi kebijakan, yang berkaitan dengan rekomen-
dasi yang perlu dilaksanakan; (4) Pelaksanaan kebijakan
yang berkaitan dengan proses pemantauan terhadap
pelaksanaan kebijakan.
Analisis kebijakan memiliki tiga pendekatan, yaitu
(1) pendekatan empiris, berupaya menjawab permasa-
lahan fakta-fakta; (2) pendekatan evaluatif, berupaya
mencari beberapa nilai atas sesuatu; (3) pendekatan
normatif, memberikan upaya tindakan atas apa yang harus
dilakukan.
Seterusnya, terdapat tiga bentuk analisis kebijakan
yaitu prospektif, retrospektif dan integratif. Analisis kebi-
jakan prospektif melibatkan produksi dan transformasi
informasi sebelum pelaksanaan kebijakan dimulai dan
dilaksanakan. Analisis kebijakan retrospektif merupakan
William N Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua
(Gadjah Mada University Press, 2000) Yogyakarta, p. 24, 233-240.
William N Dunn, op. cit. p.117-124.
49
24
24
25
25
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
usaha memproduksi dan mentransformasi informasi se-
sudah kebijakan dilakukan. Analisis kebijakan integratif
adalah analisis yang lebih komprehensif yang mengkombi-
nasikan prospektif dan retrospektif. Dalam studi ini pende-
katan yang dipakai adalah pendekatan retrospektif. Artinya
dilakukan evaluasi terhadap kebijakan yang telah dilaksa-
nakan dalam kurun waktu tertentu.
Penelitian kebijakan didefinisikan sebagai kegia-
tan penelitian yang dilakukan untuk mengevaluasi kebija-
kan. Oleh karena sifatnya mengevaluasi suatu kebijakan,
maka penelitian/studi ini spesifik, namun tidak berarti
mengada-ada (Syaiful Anwar,2009). An Majchrzak (1984)
dalam Danim (2005) mendefinisikan penelitian kebijakan
sebagai proses penyelenggaraan penelitian untuk mendu-
kung kebijakan atau analisis terhadap masalah-masalah
sosial yang bersifat fundamental secara teratur untuk
membantu pengambil kebijakan memecahkan masalah
dengan jalan menyediakan rekomendasi yang berorientasi
pada tindakan atau tingkah laku pragmatis.
Dalam studi ini, analisis kebijakan dipakai untuk
menilai atau mengevaluasi suatu kebijakan. Artinya,
sejauh mana substansi, implementasi dan hasil kebijakan
tentang mutu Pekerja Sosial dalam pelayanan sosial
sesuai dengan standar pelayanan sosial di Panti Sosial.
Kebijakan yang dievaluasi adalah kebijakan Kementerian
Sosial tentang Pekerja Sosial.
Anwar Syaiful, AB, Peningkatan Mutu, Relevansi dan Dayasaing
Perguruan Tinggi: Analisis Kebijakan di Universitas Bengkulu,(Disertasi
Doktor, Pascasarjana UNJ,2009).
Danim Sudarwan, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, (Bumi
Aksara, 2005),p.23.
50
26
27
26
27
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Substansi kebijakan mencakup berbagai pera-
turan yang berhubungan dengan Pekerja Sosial, imple-
mentasi kebijakan mencakup bagaimana para stakeholder
Kementerian Sosial melaksanakan berbagai ketentuan/
peraturan dan apa saja hasil pelaksanaan kebijakan
dimaksud pada tingkat operasional yaitu pelayanan sosial
yang dilakukan Pekerja Sosial di Panti Sosial.
2. Pendekatan Evaluasi Kebijakan.
Evaluasi kebijakan dapat dilakukan dengan me-
ngikuti suatu model tertentu. Mengacu pada Bridgman dan
Davis (2004) sedikitnya ada empat model evaluasi yang
bisa diterapkan: (1) Evaluasi ketepatan (appropriateness
evaluation). Evaluasi yang dilakukan untuk membantu
membuat kebijakan dalam menentukan apakah sebuah
program yang baru perlu dibuat atau apakah program yang
ada masih harus dipertahankan. Pertanyaan kunci pada
evaluasi ini menyentuh aspek mekanisme pemberian pela-
yanan: apakah lembaga pemerintah ataukah swasta yang
harus menyelenggarakan pelayanan sosial?; (2) Evaluasi
efisiensi (efficiency evaluation). Menghitung seberapa
besar barang dan jasa mampu menghasilkan sesuai
dengan sumberdaya yang dikeluarkan. Apakah sebuah
program secara ekonomi efisien dilihat dari uang publik
yang digunakannya?; (3) Evaluasi efektivitas (effective-
ness evaluation). Mengidentifikasi apakah sebuah
program menghasilkan dampak yang bermanfaat bagi
publik? Apakah dampak yang ditimbulkan program dapat
Bridgman, op.cit.,132-133. 28
28
51
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
meningkatkan kesejahteraan publik? Apakah program
dapat mencapai tujuan-tujuannya? (4) Evaluasi meta
(meta-evaluation). Mengevaluasi proses evaluasi itu
sendiri. Apakah lembaga-lembaga yang melakukan
evaluasi menerapkan model dan metode evaluasi yang
profesional? Apakah prosedur evaluasinya sesuai dengan
langkah-langkah evaluasi yang benar? Apakah kriteria
evaluasi sesuai dengan variabel-variabel yang diukur?
Menurut Howlet dan Ramesh (1995) yang dikutip
Nugroho (2008) mengelompokkan evaluasi menjadi tiga
yaitu: Pertama, evaluasi administratif yang berkenaan
dengan evaluasi sisi administratif –anggaran, efisiensi,
biaya– dari proses kebijakan di dalam pemerintah yang
berkenaan dengan: (a) effort evaluation, yang menilai dari
sisi input program yang dikembangkan oleh kebijakan,
(b) performance evaluation, yang menilai keluaran dari
program yang dikembangkan oleh kebijakan, (c) adequacy
of performance evaluation atau effectiveness evaluation,
yang menilai apakah program dijalankan sebagaimana
yang telah ditetapkan, (d) efficiency evaluation, yang
menilai biaya program dan memberikan penilaian tentang
keefektifan biaya tersebut, (e) process evaluation, yang
menilai metode yang dipergunakan oleh organisasi untuk
melaksanakan program; Kedua, evaluasi judisial, yaitu
evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan hukum
tempat kebijakan diimplementasikan, termasuk kemungki-
nan pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika,
aturan administrasi negara, hingga hak azasi manusia;
Riant Nugroho, op,cit. p.478-479.
52
29
29
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
53
Ketiga, Evaluasi politik yaitu menilai sejauh manan konstituen
politik terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan.
Untuk melakukan evaluasi yang baik dengan
margin kesalahan yang minimal beberapa ahli mengem-
bangkan langkah-langkah dalam evaluasi kebijakan. Salah
satu ahli adalah Edward A. Suchman yang dikutip oleh
Winarno (2004), dimana Suchman mengajukan 6 (enam)
langkah dalam evaluasi kebijakan, yakni: (1) Mengidentifi-
kasi tujuan program yang akan dievaluasi; (2) Analisis
terhadap masalah; (3) Deskripsi dan standarisasi kegiatan;
(4) Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang
terjadi; (5) Menentukan apakah perubahan yang diamati
merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena
penyebab yang lain; (6) Beberapa indikator untuk menen-
tukan keberadaan suatu dampak.
Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan
adalah pendekatan evaluasi kebijakan. Ada tiga pendeka-
tan dalam evaluasi kebijakan: (1) evaluasi semu; adalah
pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriftif
untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat
dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk
menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil
tersebut terhadap individu, kelompok, atau masyarakat
secara keseluruhan; (2) evaluasi formal; merupakan
pendekatan yang menggunakan metode deskriftif untuk
menghasilkan informasi yang valid dan cepat, dipercaya
mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi hasil
tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah
diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan
administrator program. Asumsi utama dari evaluasi formal
adalah bahwa tujuan dan target diumumkan secara formal
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
dan merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat dan nilai
kebijakan serta program, dan (3) evaluasi teoritis keputu-
san, adalah pendekatan yang menggunakan metode-
metode deskriftif untuk menghasilkan informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan mengenai hasil-hasil kebijakan
yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku
kebijakan. Perbedaan pokok antara evaluasi teoritis
keputusan di satu sisi dan evaluasi semu dan evaluasi
formal di sisi lainnya adalah bahwa evaluasi keputusan
teoritis berusaha untuk memunculkan dan membuat
eksplisit tujuan dan target baik yang tersembunyi atau
dinyatakan.
Dalam studi ini pendekatan yang dipakai adalah
pendekatan evaluasi formal, karena evaluasi formal meng-
gunakan dokumen-dokumen Undang-Undang, dokumen-
dokumen program dan wawancara dengan pembuat
kebijakan dan administrator untuk mengidentifikasi,
mendefinisikan dan menspesifikasikan tujuan dan target
kebijakan. Kelayakan dari tujuan dan target yang
diumumkan secara formal tersebut tidak ditanyakan.
Dalam evaluasi formal tipe-tipe kriteria evaluatif yang
paling sering digunakan adalah efektivitas dan efisiensi.
Sementara itu, dalam kajian ini digunakan juga
pendekatan evaluasi proses retrosfektif meliputi peman-
tauan dan evaluasi program setelah program tersebut
diterapkan untuk jangka waktu tertentu. Evaluasi proses
retrosfektif, yang cenderung dipusatkan pada masalah-
masalah dan kendala-kendala yang terjadi selama
implementasi kebijakan dan program. Evaluasi retorsfektif
William N. Dunn, Op.cit.p.613-619.
54
30
30
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
lebih menggantungkan pada deskripsi ex post facto
tentang kegiatan aktivitas program yang sedang berjalan,
yang selanjutnya berhubungan dengan keluaran dan
dampak. Evaluasi proses retrosfektif mensyaratkan
adanya sistem pelaporan internal yang mantap dan
memungkinkan pemunculan informasi yang berkelanjutan
dan mempunyai hubungan dengan program.
Selanjutnya tujuan evaluasi, dapat dirinci sebagai
berikut: (1) menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan.
Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian
tujuan dan sasaran kebijakan; (2) mengukur tingkat
efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat
diketahui berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan;
(3) mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan.
Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa besar
dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan;
(4) mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih
lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu
kebijakan, baik dampak positif maupun dampak negatif;
(5) untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi
juga bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan-
penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara mem-
bandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian
target; (6) sebagai bahan masukan (input) untuk kebijakan
yang akan datang. Tujuan akhir dari evaluasi adalah untuk
memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan
agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik. Selanjutnya,
data yang telah dikumpulkan dilakukan reduksi dan
verifikasi data sebelum diambil kesimpulan.
AG.Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan
Aplikasi, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008). p.120.
55
31
31
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
3. Indikator Evaluasi.
Menilai keberhasilan suatu kebijakan perlu dikem-
bangkan beberapa indikator, karena penggunaan indikator
yang tunggal akan membahayakan, dalam arti hasil
penilaiannya dapat bias dari yang sesungguhnya. Indikator
atau kriteria evaluasi yang dapat dikembangkan oleh Dunn
(1994) mencakup lima indikator sebagai berikut:
Tabel 2.1. Indikator Evaluasi Kebijakan
No Kriteria Penjelasan
1 Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah tercapai
2 Kecukupan Seberapa jauh hasil yang telah tercapai dapat
memecahkan masalah?
3 Pemerataan Apakah biaya dan manfaat didistribusikan
merata pada kelompok masyarakat yang
berbeda?
4 Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuat preferensi atau
nilai kelompok dan dapat memuaskan mereka?
5 Ketepatan Apakah hasil yang dicapai bermanfaat?
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
proses evaluasi dapat dipandang sebagai akhir proses
kebijakan, tetapi dapat juga diartikan tidak. Artinya, setelah
tahap evaluasi kebijakan masih ada tahap yang lain, yakni
tahap terminasi atau perubahan kebijakan. Pada
dasarnya, setiap kebijakan mempunyai tujuan tertentu
atau ingin meraih dampak yang diinginkan. Namun
demikian, karena proses kebijakan merupakan proses
yang kompleks, maka seringkali program kebijakan tidak
dapat meraih tujuan atau dampak yang diinginkan.
Evaluasi dalam bahasa yang lebih singkat digunakan untuk
melihat sejauh mana program kebijakan meraih dampak
yang diinginkan.
56
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
57
D. Konsep Mutu.
1. Sejarah Mutu.
Menurut Vaughn, sejarah mengenai mutu suatu
produk dan jasa telah lama dikenal dan usianya sama
lamanya dengan peradaban umat manusia. Orang mulai
memperbincangkan tentang mutu suatu produk atau jasa
pada saat produk atau jasa tersebut tidak mampu
memberikan pelayanan yang diinginkan oleh masyarakat
pengguna.
Pada abad pertengahan sampai dengan lahirnya
revolusi industri, mutu selalu diassosiasikan dengan merek
produk tertentu. Dengan lahirnya revolusi industri maka
produksi masal suatu barang dimulai dan permasalahan
yang muncul kemudian adalah adanya ketidakseragaman
hasil produk, tidak sesuai antara apa yang dihasilkan oleh
mesin dengan apa yang diinginkan pembeli.
Disamping itu, muncul pula persoalan bahan baku
yang tidak seragam sehingga sulit untuk diproses dalam
pabrik. Efisiensi penggunaan mesin mulai menjadi
masalah disamping standar kualitas para pekerja di pabrik
(sumber daya manusia) mulai dipersoalkan. Solusi
pertama yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut di
atas adalah dengan melakukan kontrak produk setelah
prosesnya selesai.
Dari pengalaman produksi suatu barang, kaum
industriawan belajar dari suatu kenyataan bahwa kualitas
suatu barang tidak dapat dikontrol melalui produk akhirnya,
melainkan harus dilakukan pengecekan pada setiap tahap
proses pembuatannya (in process control). Tujuan utama
Richard C. Vaughn, Quality Control (Iowa States University Press,
1974) p.4.
32
32
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
dari pengontrolan tersebut adalah untuk mengetahui dan
menyeleksi produk mana yang tidak sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan (products do not conform to
the standards desired).
Akibat dari itu, maka lahirlah dua jenis produk,
yaitu produk yang sesuai dengan standar dan yang lain-
nya ditolak (reject) dan diproses ulang. Dalam perkemba-
ngannya kemudian fungsi kualitas kontrol menjadi alat
penguji suatu hasil produksi.
Pada tahun 1924 lahir untuk pertama kalinya
pengukur tentang kualitas produk, yaitu Statistic Quality
Control (SQC) pertama dilaboratorium Telepon (Bell Labs)
yang disusun oleh Walter A. Shewhart (1891-1967).
Perkembangan mutu muncul di Jepang setelah
Perang Dunia II. Pada saat itu Jepang mengalami
kehancuran fatal. Ketika akan dibangun kembali, Jepang
mengundang sejumlah orang Amerika pergi ke Jepang
untuk membangun fasilitas manufaktur yang modern.
Salah seorang yang peranannya sangat besar dalam
pembangunan kembali Jepang adalah W. Edward Deming
seorang ahli fisika (1990-1993) yang kemudian dikenal
juga sebagai bapak manajemen kualitas.
Jepang kemudian mengembangkan apa yang
lebih dikenal dengan Total Quality Control (Pengendalian
Mutu Terpadu) hingga akhirnya mencapai hasil-hasil yang
spektakuler. Setelah produk dari industri Jepang sekaligus
penjualannya melampaui Amerika Serikat, barulah
industri-industri Amerika sadar dan akhirnya mulai
memakai konsep itu.
Ibid. p. 5
58
33
33
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
2. Definisi Mutu.
Mutu merupakan suatu konsep yang didasarkan
pada ilusi dan bermakna universal. Oleh karena itu, mutu
memiliki makna yang sangat beragam dan berlainan bagi
setiap orang dan kriterianya berubah secara terus menerus
tergantung pada konteksnya. Mutu merupakan suatu
terminologi yang subjektif dan relatif yang dapat diartikan
dengan berbagai cara dimana setiap definisi dapat
didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Oleh
karena itu, mutu merupakan konsep yang kompleks yang
telah menjadi perdebatan dalam semua teori manajemen.
Konsep mutu itu sendiri sering dianggap sebagai
ukuran relatif tentang kebaikan suatu produk atau jasa
yang terdiri atas mutu dan kesesuaian. Lloyd Dobbins dan
Clare Crawford-Mason dalam Stoner telah mewawan-
carai sejumlah penulis mengenai mutu dan mereka
memperoleh kesimpulan bahwa tidak ada orang yang telah
berbicara dengan kami dapat menyetujui dengan tepat
bagaimana mendefinisikan mutu. Mereka mengutip John
Stewart, seorang konsultan di Mc Kinsey yang mengata-
kan bahwa tidak ada sebuah definisi mengenai mutu, dan
mutu adalah perasaan menghargai bahwa sesuatu lebih
baik dari pada yang lain. Perasaan itu berubah sepanjang
waktu dan berubah dari generasi ke generasi serta
bervariasi sesuai dengan aktivitas manusia.
Perdebatan tersebut terjadi karena konsep mutu
menyangkut adanya dua belah pihak yang saling berkaitan
Reni Marlinawati, Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pendidikan
Periode 1999 - 2004, (Disertasi Doktor Pascasarjana UNJ 2006,) p.15.
James A.F.Stoner, R. Edward Freeman, and Daniel R. Gilbert JR.
Management. (Sixth Edition (New Jersey: Practice Hall Inc. 1995) p.210.
35
34
35
34
59
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
yakni pihak yang menghasilkan dan pihak yang meng-
gunakan. Dalam hal ini Deming lebih menekankan kepada
aspek yang lebih umum dan beliau berpendapat bahwa
mutu merupakan kesesuaian (kecocokan) produk dengan
kebutuhan konsumen/pelanggan. Pendapat lain dikemu-
kakan Juran bahwa mutu merupakan fitness for use,
kecocokan penggunaan produk untuk memenuhi
kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Lebih lanjut dikemu-
kakan Juran dalam Nasution bahwa kecocokan penggu-
naan didasarkan pada lima ciri utama, yakni: (1) Teknologi,
yaitu kekuatan atau daya tahan; (2) Psikologis, yaitu citra
rasa atau status; (3) Waktu, yaitu kehandalan; (4)
Kontraktual, yaitu adanya jaminan; (5) Etika, yaitu sopan
santun, ramah atau jujur. Pendapat Juran tersebut
mengindikasikan bahwa mutu memiliki dua aspek utama
yaitu Pertama: Ciri-ciri produk yang memenuhi permintaan
pelanggan. Mutu lebih tinggi memungkinkan perusahaan
atau lembaga dapat meningkatkan kepuasan pelanggan,
membuat produk laku terjual dengan harga tinggi; Kedua:
Bebas dari kekurangan, mutu yang tinggi membuat
perusahaan dapat mengurangi tingkat kesalahan,
mengurangi ketidakpuasan pelanggan dan memperbaiki
kinerja penyampaian produk atau jasa.
W. Edwards Deming, Out of The Crisis ( Cambridge: Massachussett
Institute of Technology, 1982).p.176.
Josep M. Juran, Quality Planning and Analysis. (Third Edition (New
York: Mc.Graw Hill Inc. 1993).p. 32.
M.N.Nasution, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality
Management) (Jakarta: Ghalia Indonesia 2001).p.15.
60
36
37
38
36
37
38
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Hal yang mirip dikemukakan pula oleh Crosby yang
mendefinisikan mutu sebagai “conformance to
requirement”. Menurut Crosby, yang dimaksud mutu
adalah yang sesuai dengan yang diisyaratkan atau distan-
darkan yakni suatu produk memiliki mutu apabila sesuai
dengan standar yang telah ditentukan. Standar tersebut
meliputi bahan baku, proses produksi dan produk jadi.
Feigunbaum dalam Nasution mengemukakan
bahwa mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya.
Suatu produk dikatakan bermutu apabila dapat memberi-
kan kepuasan sepenuhnya pada konsumen. Selain itu
definisi mutu diungkapkan oleh Sallis sebagai berikut:
“Quality has a variety of contradictory meanings. It implies
different things to different people. Everyone is in favour of
providing quality education”.
Sedangkan menurut Goetsch & David dalam
Tjiptono dan Diana, mutu adalah suatu kondisi dinamis
yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses
dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.
Menurut Hubeis bahwa konsep mutu sering
dianggap sebagai ukuran relatif kebaikan suatu produk
atau jasa yang terdiri atas mutu desain dan mutu kesesuai-
an. Mutu desain merupakan spesifikasi produk, sedang
mutu kesesuaian adalah suatu ukuran seberapa jauh suatu
produk memenuhi persyaratan atau spesifikasi mutu yang
Philip B. Crosby, Quality is Free (New York : New American Library,
1978). p. 58.
Nasution. Op.cit.p.16.
Fandi Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality Management,
Yogyakarta: Andi ,2001, p. 27.
61
39
40
40
39
41
41
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
ditetapkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
diterbitkan Balai Pustaka mutu didefinisikan sebagai
ukuran baik buruk suatu benda, kadar, taraf atau derajat
(kepandaian, kecerdasan).
Mengacu pada pengertian di atas, tampak bahwa
belum ada satu definisi tentang mutu yang diterima secara
universal, sehingga Feffer dan Coole mengatakan mutu
sebagai “a slippery concept” yaitu konsep yang licin.
Walaupun argumentasi yang melatarbelakangi
definisi mutu tidak sama antara Deming, Juran, Crosby,
Feigenbaum, Sallis dan lainnya pada prinsipnya penera-
pan mutu memiliki tujuan yang sama yaitu untuk:
(1) Meningkatkan perbaikan secara terus menerus;
(2) Meningkatkan nilai suatu produk atau jasa; (3) Menjaga
kesinambungan antara penghasil dan pengguna produk,
dalam kondisi lingkungan yang selalu berubah.
Beberapa langkah sebagai upaya memperbaiki
mutu menurut Juran dalam Lewis dan Smith adalah
membentuk kesadaran terhadap peluang untuk perbaikan,
mengorganisasikan untuk upaya mencapai tujuan, pelati-
han, melaksanakan proyek-proyek untuk pemecahan
masalah, melaporkan perkembangan, memberi penghar-
gaan, mengkomunikasikan dan mempertahankan hasil
yang dicapai.
Hubeis, M. Sistem Jaminan Mutu Pangan. Pelatihan Pengendalian
Mutu dan Keamanan bagi Staf Pengajar. (Kerjasama Pusat Studi Pangan
dan Gizi IPB dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Bogor: Dirjen Dikti. 1999).
Ralph G. Lewis & Douglas H.Smith, Total Quality for Higher Education
(Florida: St. Lucie Press. 1994) p.55.
42
43
43
62
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
42
Berikutnya yang dikupas Tjiptono dkk (2001)
adalah tentang Joseph M. Juran. Kontribusi Juran yang
paling terkenal antara lain Juran's Three Basic Steps to
Progress, Juran's Ten Steps to Quality Improvement, The
Pareto Principle dan The Juran Trilogy. Selain itu Juran
mengembangkan konsep Managing Business Process
Quality, yang merupakan suatu teknik untuk melaksana-
kan penyempurnaan kualitas secara fungsional silang
(cross- functional).
Juran's Three Basic Steps to Progress: Menurut
Juran, tiga langkah dasar ini merupakan langkah yang
harus diambil perusahaan/manajemen bila mereka ingin
mencapai kualitas tingkat dunia. Juran juga yakin bahwa
ada titik diminishing return dalam hubungan antara kualitas
dan daya saing. Ketiga langkah tersebut terdiri dari:
(1) Mencapai perbaikan terstruktur atas dasar kesinambu-
ngan yang dikombinasikan dengan dedikasi dan keadaan
yang mendesak; (2) Mengadakan program pelatihan
secara luas; (3) Membentuk komitmen dan kepemimpinan
pada tingkat manajemen yang lebih tinggi.
Juran's Ten Steps to Quality Improvement:
Sepuluh langkah untuk memperbaiki kualitas menurut
Juran meliputi: (1) Membentuk kesadaran terhadap kebu-
tuhan akan perbaikan dan peluang untuk melakukan per-
baikan; (2) Menetapkan tujuan perbaikan; (3) Mengorga-
nisasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan;
(4) Menyediakan pelatihan; (5) Melaksanakan proyek-pro-
yek yang ditujukan untuk pemecahan masalah; (6) Mela-
porkan perkembangan; (7) Memberikan penghargaan;
Tjiptono dan Diana op.cit . p.53-5444
44
63
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
(8) Mengkomunikasikan hasil-hasil; (9) Menyimpan dan
mempertahankan hasil yang dicapai; (10) Memelihara
momentum dengan melakukan perbaikan dalam sistem
reguler perusahaan.
The Pareto Principle: Juran menerapkan prinsip
yang dikemukakan oleh Vilfredo Pareto ke dalam
manajemen. Prinsip ini kadang kala disebut pula kaidah
80/20, yang bunyinya “80% of the trouble comes froms
20% of the problems”. Menurut prinsip ini, organisasi
harus memusatkan energinya pada penyisihan sumber
masalah yang sedikit tapi vital (vital few sources) yang
menyebabkan sebagian besar masalah. Baik Juran
maupun Deming yakin bahwa sistem yang dikendalikan
oleh manajemen merupakan sistem dimana sebagian
besar masalah terjadi.
The Juran Trilogy: The Juran Trilogy merupakan
ringkasan dari tiga fungsi manajerial yang utama. Panda-
ngan Juran terhadap fungsi ini dijelaskan sebagai berikut:
Perencanaan kualitas. Perencanaan kualitas
meliputi pengembangan produk, sistem dan proses yang
dibutuhkan untuk memenuhi atau melampaui harapan
pelanggan. Langkah-langkah yang dibutuhkan untuk itu
adalah: menentukan siapa yang menjadi pelanggan;
(1) Mengidentifikasi kebutuhan para pelanggan;
(2) Mengembangkan produk dengan keistimewaan yang
dapat memenuhi kebutuhan pelanggan; (3) Mengembang-
kan sistem dan proses yang memungkinkan organisasi
untuk menghasilkan keistimewaan tersebut, menyebarkan
rencana kepada level operasional.
Pengendalian Kualitas. Pengendalian kualitas
meliputi langkah-langkah berikut: (1) Menilai kinerja
64
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
kualitas aktual; (2) Membandingkan kinerja dengan tujuan;
(3) Bertindak berdasarkan perbedaan antara kinerja dan
tujuan.
Perbaikan Kualitas. Perbaikan kualitas harus
dilakukan secara on-going yang terus menerus. Langkah-
langkah yang dapat dilakukan adalah: (1) Mengembang-
kan infrastruktur yang diperlukan untuk melakukan perbai-
kan kualitas setiap tahun; (2) Mengidentifikasi bagian-
bagian yang membutuhkan perbaikan dan melakukan
proyek perbaikan; (3) Memberikan tim-tim tersebut apa
yang mereka butuhkan agar dapat mendiagnosis masalah
guna menentukan sumber penyebab utama, memberikan
solusi dan melakukan pengendalian yang akan memper-
tahankan keuntungan yang diperoleh.
Pakar Total Quality Control berikutnya adalah
Philip B. Crosby, dikutip dari Tjiptono dkk, (2001) yang
dikenal dengan anjuran manajemen zero defect dan
pencegahan, yang menentang tingkat kualitas yang dapat
diterima secara statistik (acceptable quality level). Ia juga
dikenal dengan Quality Vaccine dan Crosby's Fourteen
Steps to Quality Improvement.
Pandangan-pandangan Crosby dirangkumnya
dalam ringkasan yang disebut sebagai Dalil-dalil Manaje-
men Kualitas. Dalil-dalil ini dikemukakan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan pokok berikut: (a) Apa yang dimak-
sud dengan kualitas? (b) Sistem seperti apa yang dibutuh-
kan untuk menghasilkan kualitas? (c) Standar kinerja
bagaimana yang harus digunakan? (d) Sistem penguku-
ran seperti apa yang dibutuhkan?
Tjiptono dkk. Op.cit . p. 55-58
65
45
45
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Dalil pertama: definisi kualitas adalah sama de-
ngan persyaratan. Definisi kualitas menurut Crosby adalah
memenuhi atau sama dengan persyaratannya (confor-
mance to requirements). Meleset sedikit saja dari persya-
ratannya, maka suatu produk atau jasa dikatakan tidak
berkualitas. Persyaratan itu sendiri dapat berubah sesuai
dengan keinginan pelanggan, kebutuhan organisasi,
pemasok dan sumber, pemerintah, teknologi, serta pasar
atau persaingan.
Dalil kedua: sistem kualitas adalah pencegahan.
Dalam suatu proses pasti ada input dan output. Di dalam
proses kerja internal sendiri ada empat kendali input
dimana proses pencegahan dapat dilakukan, yaitu:
fasilitas dan perlengkapan; pelatihan dan pengetahuan;
prosedur, pedoman/manual operasi standar dan pedoman
standar kualitas; standar kinerja/prestasi.
Dalil ketiga: kerusakan nol (zero defect) merupa-
kan standar kinerja yang harus digunakan. Konsep yang
berlaku di masa lalu, yaitu konsep mendekati (close
enough), misalnya effisiensi mesin mendekati 95 persen.
Tetapi coba dihitung berapa besarnya effisiensi 5 persen
dikalikan penjualan. Orang sering terjebak dengan nilai
persentase, sehingga Crosby mengajukan konsep kerusa-
kan nol yang menurutnya dapat tercapai bila perusahaan
melakukan sesuatu secara benar semenjak pertama kali
dan setiap kali.
Dalil keempat: ukuran kualitas adalah price of non
conformance. Kualitas harus merupakan sesuatu yang
dapat diukur. Biaya untuk menghasilkan kualitas juga
harus terukur. Menurut Crosby, biaya mutu merupakan
penjumlahan antara Price of Non Conformance dan Price
66
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
of Conformance. Price of Non Conformance (PONC)
adalah biaya yang harus dikeluarkan karena melakukan
kesalahan. Price of Conformance (POC) adalah biaya
yang dikeluarkan bila tugas dilakukan secara benar
semenjak pertama kalinya. Untuk keperluan ini dibutuhkan
konfirmasi persyaratan dari para pelanggan.
Crosby's Qualirty Vaccine.
Crosby's Quality Vaccine terdiri atas tiga unsur,
yaitu Determinasi (Determination), Pendidikan (Education),
dan Pelaksanaan (Implementation). Determinasi adalah
suatu sikap dari manajemen untuk tidak menerima proses,
produk atau jasa yang tidak memenuhi persyaratan, seperti
reject, scrap, lead delivery, wrong shipment dan lain-lain.
Menurut Crosby, setiap perusahaan harus divak-
sinasi agar memiliki antibodi untuk melawan ketidak-
sesuaian terhadap persyaratan. Ketidaksesuaian ini
merupakan sebab, sehingga harus dicegah dan dihilang-
kan. Dalam menyiapkan vaksinasi, suatu perusahaan
perlu membuat lima unsur, yaitu: integritas, sistem,
komunikasi, operasi dan kebijakan.
E. Mutu Pekerja Sosial.
Dalam pelayanan sosial di Panti Sosial, salah satu
penyelenggara Panti Sosial adalah Pekerja Sosial. Dalam
pelayanan tersebut telah ditetapkan standar pelayanan sosial
yang harus dipenuhi oleh Pekerja Sosial. Oleh karena itu mutu
Pekerja Sosial diperlukan untuk memenuhi standar pelayanan
sosial dimaksud.
Dengan merujuk definisi mutu yang telah diuraikan,
maka dapat dirumuskan bahwa, Mutu Pekerja Sosial adalah
67
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Pekerja Sosial yang mampu memberikan pelayanan yang
diinginkan oleh masyarakat pengguna, dalam hal ini adalah
para klien sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS).
Gambar 2.4. Pekerja Sosial Dalam Pelayanan Sosial Di Panti Sosial
Sedangkan yang dimaksud Pekerja Sosial (Gambar
2.4.) adalah pejabat fungsional (terampil dan ahli) yang
berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional yang
menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial
kepada klien (PMKS), pada instansi pemerintah maupun
badan/organisasi sosial lainnya. Pekerja Sosial dimaksud
adalah jabatan karier yang hanya dapat diduduki oleh sese-
orang yang telah berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil.
1. Standar Pelayanan Sosial Di Panti Sosial.
Standar pelayanan sosial di Panti Sosial, merupa-
kan standar khusus yang memuat sejumlah kegiatan yang
sistematis sebagai proses pelayanan profesional yang di-
Kepmenpan Nomor: KEP/03/M.PAN/1/2004.
68
46
46
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
69
berikan oleh: Pekerja Sosial dan tenaga profesional
lainnya. Kegiatan pelayanan sosial dimaksud meliputi:
Tabel 2.2. Standar Pelayanan Sosial Di Panti Sosial
1. Pendekatan Awal Sosialisasi program, penjaringan/penjangkauan calon
klien, seleksi calon klien, penerimaan dan registrasi
serta konfrensi kasus.
2. Pengungkapan penetapan tujuan pelayanan, penetapan jenis
pelayanan yang dibutuhkan oleh klien dan sumber daya
yang akan digunakan.
3. Perencanaan penetapan tujuan pelayanan, penetapan jenis
pelayanan yang dibutuhkan oleh klien dan sumber daya
yang akan digunakan.
4. Pelaksanaan a. Bimbingan Fisik dan Kesehatan: pemeliharaan fisik
dan kesehatan; terapi fisik; pemeliharaan kebugaran;
pelayanan menu dalam rangka peningkatan gizi;
orientasi mobilitas.
b. Bimbingan Mental dan Psikososial: bimbingan
keagamaan; bimbingan kedisiplinan dan budi pekerti;
bimbingan psikososial.
c. Bimbingan Sosial: bimbingan Daily Living Activity
(DLA); bimbingan relasi sosial; bimbingan integrasi
sosial; bimbingan rekreasi.
d. Bimbingan Pelatihan dan Ketrampilan: bimbingan
usaha ekonomi produktif; bimbingan ketrampilan
kerja; bimbingan pengelolaan usaha; bimbingan wira
usaha; bimbingan kesenian.
e. Bimbingan Pendidikan: bimbingan paket belajar
klien; bantuan beasiswa; bantuan pendidikan.
f. Bimbingan individu: pelayanan konseling individu;
pelayanan terapi sosial.
g. Bimbingan kelompok: dinamika kelompok;
pelayanan konseling kelompok.
h. Penyiapan lingkungan sosial: penyiapan lingkungan
keluarga; penyiapan lingkungan di sekitar kehidupan
klien; penyiapan lingkungan sosial klien secara luas:
praktek belajar kerja; instalasi produksi/workshop.
Standarisasi Panti Sosial (Balitbang Kessos Depsos, 2004) p. 13-16.47
47
Tahapan Pelayanan Sosial
Kegiatan
dan pemahamanmasalah (Assesmen)
Program Pelayanan(Rencana Intervensi)
Pelayanan (Intervensi)
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
5. Pasca Pelayanan a. Penghentian pelayanan; dilakukan setelah klien
selesai mengikuti proses pelayanan dan telah
mencapai hasil pelayanan sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan.
b. Rujukan; Kegiatan rujukan dilaksanakan apabila
klien membutuhkan pelayanan lainnya yang tidak
tersedia dalam panti.
c. Pemulangan dan Penyaluran; kegiatan pemulangan
dan penyaluran dilaksanakan setelah klien
dinyatakan berhenti atau selesai mengikuti proses
pelayanan. Proses pemulangan yaitu klien
dikembalikan kepada pihak keluarga atau sanak
saudara dan lingkungan tempat klien tinggal. Proses
penyaluran yaitu Klien disalurkan kepada
perusahaan/tempat kerja/instansi yang berminat
mempekerjakan klien sesuai dengan bidang dan
jenis keterampilan yang telah dimiliki klien.
d. Pembinaan lanjut; Berupa kegiatan untuk memonitor
dan memantau klien sesudah mereka bekerja atau
kembali ke keluarga.
Disamping standar khusus pelayanan sosial di
Panti Sosial yang harus dilaksanakan oleh Pekerja Sosial,
menurut Kepmenpan Nomor: KEP./03/M.PAN/1/2004,
standar khusus yang dituntut dari Pekerja Sosial adalah:
(1) Komponen Pendidikan, meliputi Pendidikan Sekolah
dan memperoleh ijazah, Diklat fungsional di bidang pelaya-
nan kesejahteraan sosial dan memperoleh Surat Tanda
Tamat Diklat. (2) Komponen Pengembangan Kualitas
Pelayanan kesejahteraan sosial, meliputi: (a) pengkajian
kebijakan dan penyusunan rencana pelayanan kesejah-
teraan sosial; (b) model pelayanan kesejahteraan sosial;
(c) evaluasi program pelayanan kesejahteraan sosial.
(3) Pengembangan profesi, meliputi: (a) pembuatan karya
tulis/karya ilmiah di bidang pelayanan kesejahteraan
sosial; (b) penerjemahan/penyaduran buku dan bahan
lainnya di bidang pelayanan kesejahteraan sosial;
70
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
(c) pembuatan buku/pedoman/petunjuk pelaksanaan/
petunjuk teknis di pelayanan kesejahteraan sosial;
(d) partisipasi secara aktif dalam penerbitan buku/majalah
di bidang pelayanan kesejahteraan sosial; (e) pelaksanaan
studi banding di bidang pelayanan kesejahteraan sosial.
2. Pekerja Sosial Dan Pekerjaan Sosial (Social Worker
and Social Work).
Pekerja Sosial atau social worker adalah sese-
orang yang melaksanakan profesi Pekerjaan Sosial, dalam
ketentuan peraturan yang ada disebut juga sebagai tenaga
fungsional Pekerja Sosial. Pekerjaan Sosial sebagai profesi
berkembang mulai abad ke-19 seiring dengan tumbuhnya
aksi philanthropi dan reformasi sosial di negara-negara
Eropa terutama Inggris dan di Amerika Serikat. Tepatnya
sejarah pekerjaan sosial ini sebagai sebuah profesi secara
esensial dimulai pada pertengahan abad ke-19 dan
akarnya dalam gerakan pemukiman perumahan dan
organisasi charity pada waktu itu (Blair, 2007).
Lepas dari dimana tempat asli lahirnya pekerjaan
sosial, semua penulis sejarah menekankan bahwa kepri-
hatinannya antara social control dan social change dan
antara perubahan individu dan perubahan kemasyaraka-
tan yang telah lama menjadi isu sentral bagi peranan
Pekerja Sosial dan fungsinya di dalam masyarakat.
Banyak yang memberikan pandangan tentang hu-
bungan antara Pekerja Sosial dan masyarakat, yang mene-
kankan pada social control atau social change sebagai
outcome utama dari aktivitas pekerjaan sosial. Masalahnya
adalah apakah Pekerja Sosial bertindak dengan cara-cara
mempengaruhi atau merubah masyarakat sangat tergan-
tung pada landasan teoritis dari pengamatnya.
71
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Tetapi dalam semua pendekatan, adalah pada
pendekatan individu atau kelompok atau keluarga, disam-
ping juga pada masyarakat yang menjadi fokus pragmatis
aksi Pekerja Sosial. Pekerja Sosial bertindak dengan cara-
cara mengupayakan manfaat primer praktis langsung bagi
individu; konsekuensinya Pekerja Sosial dipandang mem-
pengaruhi struktur kekuasaan elit masyarakat dengan
tidak merubah apapun di atas level mikro/individual, atau
untuk membawa suatu masyarakat yang lebih baik dimana
masing-masing individu memberikan kontribusi kepada
perbaikan masyarakat (Blair, 2007). Analisis Blair ini
menunjukan dilema sentral bagi Pekerja Sosial: apakah
Pekerja Sosial yang bekerja dengan individu itu mendo-
rong kepada suatu masyarakat yang lebih baik atau
apakah pekerjaannya mendorong kepada suatu pengaruh
ketidakadilan dan ketidaksetaraan masyarakat? Payne
(Dalam Blair, 2007) mengakui bahwa “the nature of social
work, therefore, is ambiguous and debated, but we can see
the fundamental elements of that debate”.
Selanjutnya, banyak orang memuji bahwa Pekerja
Sosial itu adalah pekerjaan mulia, dan ada benarnya
mengingat akar pekerjaan sosial adalah nilai-nilai dan
konsep kuno mengenai charity, equality, compassion bagi
orang lain yang membutuhkan pertolongan pada waktu
yang dibutuhkan. Akar profesi kontemporer ini terutama
berhubungan dengan pembangunan kesejahteraan sosial
pada abad ke-19.
Pembangunan ini termasuk di dalamnya gerakan
reformasi untuk merubah sikap masyarakat yang negatif
terhadap orang yang membutuhkan pertolongan, entitas
organisasi charity untuk membantu individu dan keluarga;
72
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
penempatan perumahan untuk meningkatkan kondisi
kehidupan pada level ketetanggaan; dan meningkatkan
advokasi gerakan feminisme atas hak azasi manusia,
keadilan sosial dan kesetaraan gender.
Jadi profesi pekerjaan sosial ditemukan unik pada
nilai-nilai altruistik yang menghargai kehormatan inheren
setiap individu dan kewajiban sistem sosial kemasyaraka-
tan untuk menyediakan sumber-sumber struktural yang
adil bagi semua anggota masyarakat.
Kepedulian primer Pekerja Sosial adalah kesejah-
teraan sosial semua orang yang secara setara menilai
akan pentingnya kesejahteraan fisik, mental dan spiritual.
Perintis Pekerja Sosial adalah mereka yang untuk pertama
kali mengurus signifikansi hubungan koneksitas yang
membentuk konteks sosial dalam kehidupan manusia.
Selain itu, kekayaan warisan pekerjaan sosial yang
banyak diakui adalah sebuah perspektif yang dikenal
sebagai "person-in-environment”, yang mengkarakteris-
tikkan fokus pada hubungan berpusat pada keunikan
(unique relationship-centred focus) dari profesi tersebut.
Kemajuan paralel di bidang lainnya sekarang menyedia-
kan dukungan signifikan bagi pemajuan Pekerja Sosial dan
Pekerjaan Sosial yang terus berkembang sebagai sebuah
profesi yang berpusat pada hubungan (relationship-
centred profession) dengan suatu rentang metoda praktis
yang berorientasi pada hubungan orang dan lingkungan.
Banyak sekali definisi mengenai pekerjaan sosial
(social work), bahkan setiap negara dan universitas
nasional masing-masing memiliki definisi spesifik sesuai
dengan sifat dan karakteristik masalah sosial dan latar
belakang sosial, budaya dan agama. Salah satu yang
73
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
sering dirujuk adalah yang didefinisikan oleh International
Federation of Social Workers (IFSW).
IFSW (2008) mendefinisikan bahwa “profesi
pekerjaan sosial mempromosikan perubahan sosial,
penyelesaian masalah hubungan kemanusiaan dan
pemberdayaan serta pembebasan orang untuk meningkat-
kan kesejahteraan.” Dengan memakai teori-teori perilaku
manusia dan sistem sosial, pekerjaan sosial menengahi
simpul-simpul dimana orang berinteraksi dengan ling-
kungan mereka. Prinsip hak azasi manusia dan keadilan
sosial adalah fundamental bagi Pekerja Sosial.
Definisi internasional mengenai profesi pekerjaan
sosial tersebut menggantikan definisi IFSW yang diadopsi
pada tahun 1982. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa
pekerjaan sosial pada abad ke-21 demikian dinamis dan
berkembang dan oleh sebab itu tidak ada definisi yang
perlu dipegang secara ketat. Definisi yang diuraikan di atas
diadopsi dari IFSW General Meeting di Montréal, Canada,
pada bulan Juli tahun 2000.
Sebagai bahan perbandingan, berikut dua definisi
pekerjaan sosial lainnya. Pertama, yang dikembangkan
oleh The National Association of Sosial Worker dari Wright
State University (2008) di USA, pekerjaan sosial adalah
“aktivitas profesional yang membantu individu, kelompok,
atau komunitas meningkatkan atau merestorasi kapasitas
mereka untuk keberfungsian sosial dan menciptakan kondi-
IFSW adalah sebuah organisasi global yang memperjuangkan
keadilan sosial, hak azasi manusia, dan pembangunan sosial melalui
pengembangan pekerjaan sosial, best practice, dan kerjasama internasional
antara Pekerja Sosial dan organisasi profesional mereka (lihat IFSW
http://www.ifsw.org/).
48
48
74
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
si kemasyarakatan yang mendukung bagi tujuan ini.”
Kedua, Betty Baer and Ron Frederico (2008)
pengajar pada universitas tersebut mendefinisikan peker-
jaan sosial sebagai “kepedulian dan keterlibatan dengan
interaksi antara orang dengan institusi masyarakat yang
mempengaruhi kemampuan orang untuk menyelesaikan
tugas-tugas kehidupan, merealisasikan aspirasi dan nilai,
dan aleviasi distress.” Yang cukup menarik dari pandangan
kedua pakar pekerjaan sosial ini adalah bahwa interaksi
antara orang dan institusi sosial muncul dalam konteks materi
kemasyarakatan yang lebih luas dan menurut pendapatnya
ada tiga kegunaan utama dari pekerjaan sosial yakni:
(1) untuk meningkatkan pemecahan masalah, mengatasi dan
mengembangkan kapasitas orang; (2) untuk mempromosi-
kan operasi sistem kemanusiaan yang efektif yang menye-
diakan orang dengan sumber daya dan pelayanan dan (3)
menghubungkan orang dengan sistem yang menyediakan
mereka dengan sumber daya, pelayanan dan kesempatan.
Ketiga, definisi yang juga banyak dirujuk yang
dikembangkan adalah oleh National Association of Sosial
Workers (NASW) sebagai berikut (Standards for Sosial
Service Manpower, 1973, pp.4) (Zastrow, 1999) sebagai
berikut: Pekerjaan sosial adalah “aktivitas profesional
menolong individu, kelompok atau komunitas untuk mening-
katkan atau restorasi kapasitas mereka untuk keberfungsian
sosial dan untuk menciptakan kondisi kemasyarakatan yang
mendukung tujuan tersebut.”
Untuk lebih rinci mengenai pekerjaan sosial dan definisinya, silahkan
unduh dalam website berikut, http://www.wright.edu/cola/dept/sosial_work/
sw_definition.htm.)
Charles H. Zastrow, The Practice of Sosial Work, Sixth Edition,
(Brooks/Cole Publishing Company USA, 1999) p.10-11.
49
49
75
50
50
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Dengan mengacu kepada definisi sebagaimana
diuraikan di atas, pekerjaan sosial dengan berbagai ben-
tuknya mengurusi multitransaksional yang sangat
kompleks antara orang dengan lingkungan sosial mereka.
Misinya adalah agar memungkinkan semua orang me-
ngembangkan potensi mereka secara penuh, mensen-
tosakan kehidupan mereka dan mencegah disfungsi
sosial. Sebab itu, pekerjaan sosial profesional fokus pada
penyelesaian masalah dan perubahan sosial. Sebagai
sebuah ilustrasi, Pekerja Sosial atau Social Worker
menjadi agen perubahan sosial dalam kehidupan
masyarakat baik perorangan, keluarga maupun komunitas
yang mereka layani.
Pendek kata, pekerjaan sosial adalah merupakan
sebuah sistem nilai yang memiliki inter-relasi antara teori
dan praktis di dalam konteks pelayanan sosial kepada
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Mullaly menguraikan tentang hubungan antara
pekerjaan sosial dengan problem-problem sosial. Aktifitas
pekerjaan sosial harus dapat mengeliminasi, atau men-
cegah problem-problem sosial dan menghilangkan efek-
nya pada setiap orang. Persoalan-persoalan sosial seperti
kemiskinan, penyakit mental, perlu dianalisis, diinterpreta-
sikan dan dijelaskan oleh pekerjaan sosial.
Allen Pincus dan Anne Minahan menyatakan
bahwa fokus dari praktek pekerjaan sosial adalah interaksi
Mullaly, Bob, Structural Social Work: Ideology, Theory, and Practice,
(Oxford University Press Canada 1997) p.35.
Allen Pincus, Anne Minahan, Social Work Practice: Model and
Method, (University Wisconsin, Madison F.E. Peacock Publishers, Inc.
Illinois) p.3.
76
52
51
51
52
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
antara orang dengan sistem dalam lingkungan sosial.
Orang menggantungkan dirinya dalam sistem ini untuk
mendapatkan sumber-sumber material, emosional atau
spiritual dan pelayanan-pelayanan dan peluang-peluang
yang mereka butuhkan untuk mewujudkan aspirasi mereka
dan juga untuk membantu mereka dalam tugas kehidupan
mereka.
Sutarso menguraikan bahwa pekerjaan sosial
adalah suatu bidang keahlian yang mempunyai tanggung
jawab untuk memperbaiki dan atau mengembangkan
interaksi-interaksi diantara orang dengan lingkungan
sosial sehingga orang ini memiliki kemampuan untuk
menyelesaikan tugas-tugas kehidupan mereka, mengatasi
kesulitan-kesulitan, serta mewujudkan aspirasi-aspirasi
dan nilai-nilai mereka.
Atas dasar pengertian ini, maka pekerjaan sosial
mempunyai tujuan untuk: (1) Meningkatkan kemampuan
orang untuk menghadapi tugas-tugas kehidupan dan
kemampuannya untuk memecahkan masalah-masalah
yang dihadapi; (2) Mengaitkan orang dengan sistem yang
dapat menyediakan sumber-sumber, pelayanan-pelaya-
nan dan kesempatan-kesempatan yang dibutuhkannya;
(3) Meningkatkan kemampuan pelaksanaan sistem terse-
but secara efektif dan berprikemanusiaan; (4) Memberikan
sumbangan bagi perubahan, perbaikan dan perkemba-
ngan kebijakan serta perundang-undangan sosial.
Dalam usaha pencapaian tujuan pekerjaan sosial,
Sutarso (2005: 6) menguraikan bahwa Pekerja Sosial
melaksanakan tugas-tugas untuk menyelesaikan satu atau
Sutarso, Praktek Pekerjaan Sosial dalam Pembangunan Masyarakat
( Balatbangsos Depsos, Jakarta,2005) p.5.
53
53
77
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
lebih fungsi sebagai berikut: (1) Membantu orang untuk
meningkatkan dan menggunakan secara lebih efektif
kemampuan-kemampuan mereka untuk melaksanakan
tugas-tugas kehidupan dan memecahkan masalah mere-
ka; (2) Menciptakan jalur-jalur hubungan pendahuluan
diantara orang dengan sistem sumber; (3) Mempermudah
interaksi, merubah dan menciptakan hubungan-hubungan
baru diantara orang dengan sistem sumber kemasyaraka-
tan; (4) Mempermudah interaksi, merubah dan mencipta-
kan hubungan diantara orang-orang di lingkungan dengan
sistem sumber; (5) Memberikan sumbangan bagi peruba-
han, perbaikan dan perkembangan kebijaksanaan dan
perundang-undangan sosial. (6) Meratakan sumber-sumber
material. (7) Bertindak sebagai pelaksana kontrol sosial.
3. Prinsip-Prinsip Pekerjaan Sosial/Pekerja Sosial.
Dasar teori (Midgley, 2008) untuk kesemua prak-
tik pekerjaan sosial tersusun dalam suatu 'prinsip-prinsip
general' yang menggambarkan keyakinan filsafat dari
profesi dan menjadi sebuah pedoman Pekerja Sosial untuk
bekerja dengan klien-klien mereka, beberapa prinsip ini
lebih menekankan nilai-nilai dan ide-ide dari pada prosedur
praktik. Prinsip-prinsip generik ini telah menjadi bahan
kontroversi di kalangan Pekerja Sosial, karena dipandang
tidak sesuai, kontradiksi, serta banyak Pekerja Sosial yang
menghadapi masalah praktik yang menghambat imple-
mentasi mereka secara tepat. Tetapi kesulitan-kesulitan ini
sering terabaikan di dalam buku-buku standar referensi
Midgley, James, 2008, Imperialisme Profesional Pekerjaan Sosial di
Dunia Ketiga, (Biro Organisasi & Kepegawaian Departemen Sosial), p.19.
78
54
54
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
pekerjaan sosial yang menggambarkan idealisme bagai-
mana prinsip-prinsip generik membimbing para praktisi
dan memberikan profesi pekerjaan sosial dengan metodo-
logi yang terpadu.
Konsep individualisasi, yang merupakan karak-
teristik dasar pekerjaan sosial dengan individu, dipandang
sebagai prinsip umum yang melambangkan kepercayaan
pekerjaan sosial seperti yang dinyatakan oleh Friendlander
“sebagai penghargaan, integritas dan kehormatan kepada
individu yang bersifat inheren”.
Dalam istilah praktek Pekerja Sosial kelompok,
mengutamakan penguatan kepribadian dan memperbaiki
fungsi-fungsi sosial dari anggota-anggota kelompok dan
dalam pekerjaan sosial dengan masyarakat relasi-relasi
dengan pemimpin dan warga masyarakat digunakan
dengan individualisasi sebagai prinsip utama.
Intervensi langsung adalah prinsip umum lainnya
yang berkaitan pekerjaan sosial dengan individu. Dalam
penyusunan prinsip ini, Pekerja Sosial memindahkan
pengalaman relasi pekerjaan sosial dengan individu
dengan menolong orang-orang yang memerlukan berda-
sarkan hubungan tatap muka kedalam konsep metodologi
yang sekarang ini sebagai arah dari bentuk intervensi
pekerjaan sosial.
Metode-metode praktik pekerjaan sosial dicirikan
melalui pelayanan langsung. Pekerja Sosial berhadapan
dengan klien mereka secara langsung dan menjalin relasi
yang bermakna dengan mereka. Kesemuanya ini sama
pentingnya dilaksanakan secara penuh dalam pekerjaan
sosial dengan individu, kelompok dan masyarakat.
Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh Pekerja
79
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Sosial digunakan melalui relasi antara interpersonal
dengan anggota kelompok. Pekerja Sosial masyarakat
juga harus menjalin relasi yang baik dengan pemimpin
lokal dan yang lainnya dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Hak untuk menentukan diri sendiri (self-deter-
mination) dan membantu diri sendiri (self-help) adalah
prinsip-prinsip umum yang diberi status yang tinggi dalam
pekerjaan sosial. Satu alasan kelemahan definisi konsep
kebutuhan di dalam literatur ialah karena Pekerja Sosial
percaya bahwa individu, kelompok dan masyarakat
mempunyai hak untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan
mereka dan bagaimana hal itu dapat dicapai. Prinsip self
determination menyatakan bahwa kebutuhan tidak pernah
terabaikan, meskipun Pekerja Sosial percaya bahwa
masalah sosial harus ditentukan dengan tepat, mereka
tidak membicarakan individu, kelompok dan masyarakat
tentang apa yang mereka butuhkan tetapi berusaha untuk
menolong mereka mengidentifikasikan dan memahami
kebutuhan mereka.
Pekerja Sosial juga tidak bersifat memerintah,
memohon atau bahkan mempengaruhi klien-klien mereka
untuk membuat keputusan. Hal ini di dalam pekerjaan
sosial dengan individu dipandang tidak demokratik dan
menghambat perkembangan kepribadian. Masalah-
masalah keputusasaan, kebingungan dan kehancuran
moral tidak dapat diatasi melalui penyelesaian berdasar-
kan solusi pemecahan yang dibuat Pekerja Sosial.
Sebaliknya, Pekerja Sosial membantu klien untuk menda-
patkan kembali keyakinan akan kemampuan kepada diri
sendiri untuk menyelesaikan masalah-masalahnya.
80
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Dalam pekerjaan sosial kelompok dan masyara-
kat, Pekerja Sosial dapat menguraikan masalah-masalah
dan menyarankan cara-cara tindakan alternatif tetapi
mereka tidak memaksakan solusi pemecahan kepada
klien-klien mereka. Sebaliknya Pekerja Sosial memandang
diri mereka sebagai pemungkin (enabler) yang membantu
individu, kelompok dan masyarakat dapat memecahkan
masalah-masalah mereka sendiri.
Prinsip hak untuk menentukan diri sendiri telah
membimbing praktik pekerjaan sosial selama bertahun-
tahun, tetapi juga telah mendatangkan beberapa masalah
praktik profesi Pekerja Sosial. Misalnya, apakah yang
seharusnya Pekerja Sosial lakukan ketika klien mereka
melakukan keputusan yang salah? Karena pengetahuan
dan pengalaman mereka, Pekerja Sosial harus dapat
menilai tindakan-tindakan klien mereka dan seperti ahli-
ahli profesional lain, mereka harus menasehati dan
membimbing klien terhadap penyelesaian masalah yang
dapat dilakukan.
Masalah lainnya ialah mengenai persoalan hak
individu dengan hak kolektif telah menyulitkan penerapan
prinsip hak untuk menentukan diri sendiri. Adakah individu
mempunyai hak kebebasan untuk memilih jika akibat dari
tindakan mereka secara langsung atau pun tidak langsung
merugikan orang-orang lain?
Misalnya, isu ini sangat sulit bagi pekerja
perawatan anak yang harus menghormati hak-hak ibu,
bapak untuk mengasuh anak-anak mereka. Dalam meng-
hadapi masalah ini, Pekerja Sosial diajarkan bahwa
walaupun individu mempunyai hak untuk menentukan
tindakan-tindakan mereka, mereka juga mempunyai
81
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
hak untuk menentukan tindakan-tindakan mereka, mereka
juga mempunyai tanggung jawab yang sama penting ter-
hadap keluarga dan masyarakat. Walaupun Pekerja Sosial
perlu menunjukkan bahwa kebutuhan individu dan sosial
adalah saling mempengaruhi, banyak ditemukan bahwa
sulit untuk menyatukan kehendak individu dan kebutuhan
masyarakat. Hal ini terutama sulit ketika perilaku anti sosial
sebagai subjek dari intervensi pekerjaan sosial.
Prinsip umum penerimaan (acceptance) mengan-
dung arti adanya prinsip tidak menghakimi (non
judgemental) dalam pekerjaan sosial yang mengandung
sikap-sikap untuk menilai secara netral yang tertanam
dalam diri Pekerja Sosial.
Pekerja Sosial diajarkan supaya mereka tidak
berprasangka mengenai standar moral. Karena mereka
meyakini nilai sifat harga diri yang telah ada, klien-klien
diterima sebagai diri mereka sendiri tanpa memandang
masalah yang telah mereka terima sebagai diri mereka
sendiri tanpa memandang masalah yang telah mereka
lakukan atau kesalahan yang mereka kerjakan, pekerjaan
sosial tidak membedakan antara klien yang baik atau jahat.
Akhirnya, prinsip penerimaan didasarkan pada
keyakinan bahwa manusia pada asalnya baik dan suci dan
harus mendapat pelayanan. Tetapi Pekerja Sosial juga
percaya bahwa individu harus bertanggungjawab terhadap
tindakannya dan bertindak dengan penuh tanggung jawab
terhadap orang-orang lain.
Pada abad kesembilan belas, Pekerja Sosial yang
bekerja dengan orang-orang miskin tidak mengindahkan
etika yang memihak orang lain (made no prentence),
kemiskinan diyakini sebagai akibat tingkah laku yang tidak
82
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
bermoral dan Pekerja Sosial tidak setuju khususnya
kepada mereka yang menganggur tetapi secara fisik
dipandang mampu dan dianggap sebagai pemalas. Hal
yang sama, individu manapun yang menyebabkan orang-
orang bergantung kepada menderita, Pekerja Sosial akan
menegur individu tersebut.
Pekerja Sosial kontemporer diperlukan untuk
menggunakan teknik-teknik tambahan secara luas tetapi
kebanyakan mereka mengakui bahwa adalah sulit untuk
tidak bekerjasama dan tidak membina klien sebagai
individu yang menghargai penerimaan. Untuk mengatasi
masalah ini, pekerjaan sosial mengajarkan bahwa para
praktisi harus memisahkan individu dari tindakan-tindakan
mereka, ketika tingkah laku yang tidak bisa diterima perlu
disensor, individu harus dipandang bebas dari pada
tindakannya dan dari pada penilaian moral.
Kerahasiaan (confidentiality) adalah prinsip umum
lainnya yang membimbing praktik pekerjaan sosial. Dalam
cara yang sama, praktisi-praktisi kesehatan, pengacara
yang berurusan dengan kerahasiaan, Pekerja Sosial
meyakini bahwa klien mereka mempunyai hak untuk
menjaga perilaku dan masalah-masalah pribadi mereka
pada masa lalu dan masa sekarang. Walau bagaimana-
pun, Pekerja Sosial seringkali perlu untuk menyampaikan
informasi kepada kolega mereka, profesional lain dan
bahkan kepada keluarga klien. Pekerja Sosial dalam
bidang koreksional dan psikiatrik seringkali menghadapi
masalah ini. Mereka yang mengetahui bahwa klien-klien
mereka telah melanggar peraturan pada masa probasi
atau parole mempunyai dua kewajiban, mereka bertang-
gung jawab melaporkan pesalah kepada pihak berkuasa.
83
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Tetapi jika klien membuat pengakuan secara
sukarela, mereka mungkin merasa bahwa mereka tidak
sepatutnya membuka rahasia ini, bukan saja untuk
menghormati prinsip kerahasiaan tetapi untuk menjaga
hubungan yang sudah terjalin. Demikian juga, terkadang
penting untuk mengungkapkan informasi yang diberikan
oleh pasien psikiatrik kepada anggota keluarga meskipun
klien menginginkan dirahasiakan.
Dua prinsip umum lainnya adalah pengungkapan
emosi dan tidak terlibat secara profesional. Pekerja Sosial
diajarkan agar mereka harus mendorong klien untuk
mengungkapkan perasaan mereka, dalam hal ini Pekerja
Sosial dapat memahami masalah klien secara lebih
mendalam dan menjadi lebih sensitif terhadap kebutuhan
mereka. Pengungkapan emosi juga akan mengeluarkan
berbagai perasaan yang selama ini terpendam. Namun,
pengungkapan emosi harus dikendalikan dan digunakan
untuk tujuan tertentu dalam relasi pekerjaan sosial dan
sebaiknya tidak berpengaruh terhadap nilai profesional
pekerjaan sosial itu sendiri.
Meskipun Pekerja Sosial harus bersimpati dan
memahami, mereka harus menjaga agar tidak terlibat
secara emosional dengan klien mereka, karena akan
mengurangi kemampuan Pekerja Sosial berfungsi secara
rasional dan efektif.
Prinsip-prinsip umum ini menunjukkan tujuan-
tujuan utama pekerjaan sosial yang sering digambarkan
dengan istilah-istilah yang besar di dalam literatur profesi
ini. Dengan dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ini
Pekerja Sosial dapat mengembangkan kepribadian
individu dan meningkatkan relasi sosial diantara orang.
84
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Pekerjaan sosial menuntut bahwa ia membawa
penyesuaian yang sehat diantara individu dengan
masyarakat dan menolong masyarakat untuk berpartisi-
pasi dalam kehidupan kelompok secara lebih bermakna.
Hal ini akan mendorong manusia untuk lebih menyadari
kebutuhan dengan orang lain dan mengajarkan mereka
untuk bergabung dengan anggota masyarakat untuk
memutuskan secara bersama bagaimana kebutuhan-
kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi. Seorang pengajar
pekerjaan sosial menulis: 'Dengan cara ini, pekerjaan
sosial membantu mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi
hak-hak asasi manusia, mencoba memastikan warga
masyarakat memperoleh standar kehidupan yang baik,
jaminan sosial dan pemenuhan kebutuhan secara
menyeluruh menyangkut rasa cinta, penerimaan,
pengakuan dan status'.
Robert & Green menguraikan dengan detail,
berupa manual sebagai panduan bagi Pekerja Sosial
dalam melaksanakan fungsi pelayanan sosial, mulai dari
konteks praktik pekerjaan sosial, assesmen dalam praktik
pekerjaan sosial yang mencakup pengetahuan dan
ketrampilan, penerapan pendekatan penanganan dalam
pekerjaan sosial klinis, panduan manajemen kasus dan
bekerja dengan pasangan dan keluarga dengan pende-
katan pemetaan pola-pola keluarga, situasi ketahanan
keluarga, terapi keluarga sampai dengan mediasi dan
resolusi konflik dalam keluarga.
Albert R. Roberts & Gilbert J. Greene, Buku Pintar Pekerja Sosial,
PT. BPK Gunung Mulia, 2008, Jakarta. p. v-vii.
55
55
85
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
4. Ruang Lingkup Pekerjaan Sosial.
Tiga konsep kunci dalam pekerjaan sosial dalam
rangka untuk memahami ruang lingkup kesejahteraan
sosial, yakni "social well-being", "person-in-environment",
"social functioning". World Health Organization (WHO)
mengakui social well-being sebagai sebuah komponen
integral dalam status kesehatan setiap orang, ia
komplementer tetapi berbeda dari kesentosaan pisik,
mental dan spiritual. Ruang lingkup pekerjaan sosial
memiliki beberapa elemen definisi. (Lihat definisi a.l.
Canadian Association of Sosial Work website: www.casw-
acts.ca.).
Perspektif 'person-in-environment' dalam peker-
jaan sosial menjelaskan area atau domain dimana Pekerja
Sosial melakukan praktik. Orang merujuk kepada kemam-
puan pengembangan (developmental) dan keberfungsian
sosial dalam konteks pengaruh lingkungan. Konsep ling-
kungan dalam pekerjaan sosial mencakup faktor-faktor
dalam masyarakat yang memperluas atau mempersempit
pengembangan kesejahteraan sosial individu.
Domain 'person-in-environment' itu memberikan
pekerjaan sosial sebuah kerangka kerja pengorganisasian
yang umum dan sebuah konteks holistik bagi misi dan
visinya. Sebagaimana diketahui bahwa visi global
pekerjaan sosial adalah sebuah dunia yang secara konsis-
ten bekerja menuju keadilan sosial dan kesejahteraan
untuk semua warga negara. Misi sentralnya adalah agar
Pekerja Sosial terlibat dalam aktivitas yang akan mening-
katkan struktur kesejahteraan dan meningkatkan keber-
fungsian sosial individu, keluarga dan komunitas pada
level lokal, nasional dan internasional.
86
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Fokus utama praktik pekerjaan sosial adalah pada
jaringan kerja hubungan antara individu, sumber dukungan
alamiah mereka, struktur formal dalam komunitas mereka,
dan norma-norma sosial kemasyarakatan dan harapannya
yang membentuk hubungan tersebut. Fokus yang berpu-
sat pada hubungan ini membedakan fitur profesi pekerjaan
sosial dengan profesi lainnya. Pekerja Sosial diharapkan
memiliki sebuah pemahaman komprehensif tentang
keadaan kompleksitas sistem 'person-in-environment'
mereka.
Metoda praktis pekerjaan sosial berakar pada awal
adopsi sebuah studi, diagnosis dan proses perawatan
untuk mensistimasikan praktis dalam konteks orang-
dalam-lingkungan. Implementasi proses praktis secara
resmi dilakukan melalui sebuah ragam bidang-bidang
praktis termasuk kesejahteraan anak, pelayanan keluarga,
pekerjaan sosial medis, pekerjaan sosial psikiatrik dan
school social work dan beberapa metoda spesialisasi,
termasuk pekerjaan kasus sosial (social casework),
pekerjaan kelompok sosial (social group work) dan
organisasi komunitas.
Metoda-metoda praktis dalam pekerjaan sosial
adalah yang secara umum digunakan oleh Pekerja Sosial
terkualifikasi (qualified social worker) atau teregistrasi
sebagai aktivitas terbatas yang dibatasi untuk Pekerja
Sosial dengan kualifikasi spesifik. Aktivitas praktis
pekerjaan sosial digunakan untuk melengkapi fungsi-
fungsi pokok termasuk praktis langsung dengan klien,
perorganisasian komunitas, advokasi, aksi sosial dan
politik, pengembangan kebijakan dan implementasinya,
pendidikan dan riset serta evaluasi.
87
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
F. Panti Sosial / Institusi Kesejahteraan Sosial.
Panti Sosial/Institusi kesejahteraan sosial, adalah
tempat dimana Pekerja Sosial melakukan pelayanan sosial
kepada klien yang menurut hasil penilaian direkomendasikan
untuk menggunakan fasilitas kesejahteraan sosial.
Berdasarkan jenisnya, Panti Sosial/institusi kesejahte-
raan sosial dengan merujuk kepada standar universal teru-
tama yang selama ini dikembangkan di Jepang oleh Ministry of
Health, Labour and Welfare (2004) sebagai berikut. (1) Insti-
tutions Under the Protection Law; (2) Welfare Instituion for the
Aged; (3) Rehabilitation Institutions for the Physically
Handicapped; (4) Protective Facilities for Women dibagi ke
dalam dua jenis Institusi yakni (a) Children's Welfare Facilities
dan (b) Care Facilities for Adults with Mental Retardation;
(5) Care Facilities for Adults with Mental Retardation.
Sesuai dengan Panti Sosial/institusi kesejahteraan
sosial sebagaimana diuraikan di atas, maka kebutuhan
sumber daya manusia untuk mengisi institusi tersebut sangat
beragam. Berikut ini adalah jenis-jenis Pekerja Sosial yang
biasanya bekerja dengan jabatan tertentu di dalam institusi
kesejahteraan sosial, yakni: (1) Head of Facility; (2) Living
Instructor; Children's Recreation Worker; (3) Vocational
Instructor, Work Instructor; (4) Therapist (Phisical Therapist,
Occuvational Therapist, Other Therapist); (5) Phychological,
Statistics and Information Department, Minister's Secretariat,
Japanese Ministry of Health, Labour and Welfare, Health and Welfare
Statistics Association (2004). Statistical Abstracts on Health and Welfare in
Japan 2004.
Statistics and Information Department, Minister's Secretariat,
Japanese Ministry of Health, Labour and Welfare, Health and Welfare
Statistics Association (2004). Statistical Abstracts on Health and Welfare in
Japan 2004.
56
56
88
57
57
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Vocational Aptitude Evaluator; (6) Phisician; (7) Publik Health
Nurse, Midwive and Nurse; (8) Mental Councellor; (9) Nursary
Teacher, Living Support Instructor for Children; (10) Children
Recreation Worker; (11) Matron, Personal Care Staff; (12)
Care Manager (Support Worker); (13) Nutritionist; (14) Cook;
(15) Office Clerk; (16) Other Personnel.
G. Kerangka Berpikir Tentang Studi.
Dalam memudahkan pemahaman tentang studi ini,
maka dikemukakan kerangka berpikir studi sebagaimana
Gambar 2.3. berikut ini.
Gambar 2.3. di atas menunjukkan bahwa Pemerintah,
dalam hal ini Kementerian Sosial berkeinginan untuk mening-
katkan mutu Pekerja Sosial melalui kebijakan yang dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan (UU, PP, Keppres,
Kepmenpan, Kepmensos tentang Jabatan Fungsional Pekerja
Sosial, Angka Kredit dan Diklat Peksos). Substansi kebijakan
tersebut, diimplementasi oleh para stakeholder Kementerian
Sosial (Ditjen Yanrehsos, Ka. Badiklit Kessos, dan Ka. Biro
Organisasi dan Kepegawaian).
89
Mutu
Pekerja Sosial
di Panti Sosial
Evaluasi Kebijakan Mutu
Pekerja Sosial 2004 -2009
Renstra Kessos2010-2014
Mutu
Pekerja Sosial
StandarPelayanan Sosial
di Panti Sosial
Pelayanan SosialUU, PP, Keppres ,
Kepmenpan, Kepmensos tentang
JFPS
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Oleh karena itu, dilakukan kajian mendalam berbagai
ketentuan berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Keputusan Menpan, Keputusan Menteri
Sosial, yang substansinya mengatur tentang mutu Pekerja
Sosial dan pelayanan sosial (pelayanan kesejahteraan sosial)
yang terdiri dari rehabilitasi sosial, perlindungan sosial,
jaminan sosial dan pemberdayaan sosial.
Persoalannya adalah sejauh mana kebijakan tersebut
dapat diimplementasikan dengan baik oleh para stakeholder
Kementerian Sosial, dengan berbagai program dan kegiatan
yang berorientasi pada peningkatan mutu Pekerja Sosial,
dalam melaksanakan pelayanan sosial yang sesuai dengan
standar pelayanan sosial di Panti Sosial. Kemudian dilakukan
evaluasi terhadap hasil pelaksanaan kebijakan tersebut, untuk
mengetahui peningkatan mutu Pekerja Sosial yang melaksa-
nakan standar pelayanan sosial di Panti Sosial dalam kurun
waktu 2004 sampai dengan 2009.
Dengan demikian dapat diperoleh umpan balik bagi
Kementerian Sosial untuk masukan dalam Rencana dan
Strategi Pembangunan Kesejahteraan Sosial 2010-2014
khususnya dalam bidang Pengembangan Sumber Daya
Manusia Kesejahteraan Sosial.
90
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
BAB IIIKEBIJAKAN NASIONAL
YANG BERKAITAN DENGAN MUTU PEKERJA SOSIAL
91
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
92
93
BAB IIIKEBIJAKAN NASIONAL
YANG BERKAITAN DENGAN MUTU PEKERJA SOSIAL
EBAGAIMANA
S diuraikan pada acuan teoritik, bahwa
sebagian besar ahli memberi pengertian kebijakan
nasional sebagai kebijakan publik, dalam kaitannya
dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melaku-
kan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak
baik bagi kehidupan warganya.
Pekerja Sosial adalah jabatan publik yang dalam
melaksanakan tugasnya mengacu pada kebijakan pemerintah
berupa peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya
sebagai kebijakan publik.
Berikut ini adalah substansi produk kebijakan pemerin-
tah berkaitan dengan mutu pekerja sosial yang secara runtut di
uraikan sebagai berikut:
A. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Keten-
tuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.
Undang-Undang ini adalah ketentuan hukum pertama
yang lahir sejak Kementerian Sosial berdiri tanggal 18 Agustus
1945, artiya 29 tahun sesudah Indonesia merdeka, Republik
Indonesia mempunyai Undang-Undang yang mengatur ten-
tang Kesejahteraan Sosial.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
94
Ruang lingkup Undang-Undang tersebut mencakup
aspek: (1) Kesejahteraan Sosial yang diartikan sebagai suatu
tata kehidupan dan penghidupan sosial materil maupun
spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan
ketentraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga
negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-
baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjun-
jung tinggi hak-hak azasi serta kewajiban manusia sesuai
dengan Pancasila; (2) Usaha-usaha Kesejahteraan Sosial,
ialah semua upaya program dan kegiatan yang ditujukan untuk
mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan me-
ngembangkan kesejahteraan sosial; (3) Pekerjaan Sosial,
adalah semua keterampilan teknis yang dijadikan wahana bagi
pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial; dan (4) Jaminan
Sosial yang dimaknai sebagai perwujudan dari pada sekuritas
sosial adalah seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan
kesejahteraan sosial bagi warga negara yang diselenggara-
kan oleh pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara
taraf kesejahteraan sosial.
B. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009.
Dalam sejarah perjalanannya setelah Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1974 berjalan selama 34 tahun, dirasakan
tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi
saat ini, terutama dalam sistem pemerintahan yang telah
mengalami perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam rangka
penyesuaian tersebut pada 16 Januari 2009 lahirlah Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial,
sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
95
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 terdiri dari 60
pasal, XI Bab dan mengatur tentang kesejahteraan sosial
secara lebih komprehensif dan detail. Dalam ketentuan umum
dari Undang-Undang ini, pengertian kesejahteraan sosial lebih
lengkap tidak saja untuk pemenuhan kebutuhan jasmani,
rohani dan sosial, tetapi juga untuk mampu mengembangkan
diri sehingga dapat melaksanakan fungsi-fungsi sosial. Artinya
Undang-Undang Nomor 11/2009, memberikan ruang gerak
seluas-luasnya kepada setiap orang mengembangkan diri
untuk dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan optimal.
Dalam Ketentuan Umum juga diutarakan kebijakan
tentang Pekerja Sosial yang dirubah istilah menjadi Pekerja
Sosial Profesional, yaitu seseorang yang bekerja, baik di lem-
baga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi
dan profesi pekerjaan sosial dan kepedulian dalam pekerjaan
sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan/atau
pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan
tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.
C. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
1994 Tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994,
pada Ketentuan Umum menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil adalah
kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewe-
nang dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu
satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasar-
kan pada keahlian dan/atau keterampilan tertentu serta bersi-
fat mandiri. Dalam jabatan fungsional dikenal rumpun jabatan
fungsional yaitu himpunan jabatan fungsional yang mempu-
nyai fungsi dan tugas yang berkaitan erat satu sama lain dalam
melaksanakan salah satu tugas umum pemerintahan.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
96
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994
diatur juga tentang angka kredit bagi jabatan fungsional, yaitu
satuan nilai dari tiap butir kegiatan dan/atau akumulasi nilai
butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh pejabat fungsional
dalam rangka pembinaan karir yang bersangkutan. Untuk
menyelenggarakan manajemen jabatan fungsional, maka
ditetapkan instansi pembina jabatan fungsional yaitu instansi
pemerintah yang bertugas membina suatu jabatan fungsional
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
D. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun
1999 Tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri
Sipil.
Tujuan ditetapkannya rumpun jabatan fungsional untuk
mewadahi keberadaan dan sekaligus sebagai landasan bagi
penetapan jabatan fungsional keahlian dan/atau jabatan fung-
sional keterampilan yang diperlukan oleh pemerintah dalam
rangka terselenggaranya tugas umum pemerintahan.
Dari berbagai jenis rumpun jabatan fungsional, setiap
rumpun terdiri dari jabatan fungsional keahlian dan jabatan
fungsional keterampilan (Pasal 4).
E. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
KEP/03/M.PAN/I/2004 Tentang Jabatan Fungsional Pekerja
Sosial dan Angka Kreditnya.
Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan Pekerja
Sosial sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu,
adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung-
jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang
berwenang untuk melaksanakan pelayanan kesejahteraan
sosial di lingkungan instansi pemerintah maupun pada badan/
organisasi sosial lainnya.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
97
Sedangkan Pekerjaan Sosial, adalah suatu profesi yang
ditujukan untuk membantu orang, baik individual, kelompok
dan atau masyarakat dalam memperbaiki atau meningkatkan
kemampuannya mencapai keberfungsian sosial secara penuh
serta mengupayakan kondisi-kondisi kemasyarakatan tertentu
yang menunjang pencapaian fungsi sosial.
Sedangkan yang dimaksud pelayanan kesejahteraan
sosial, adalah serangkaian kegiatan pelayanan yang diberikan
terhadap individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat
yang membutuhkan atau mengalami permasalahan sosial
baik yang bersifat pencegahan, pengembangan maupun
rehabilitasi guna mengatasi permasalahan yang dihadapi dan
atau memenuhi kebutuhan secara memadai sehingga mereka
mampu menjalankan fungsi sosialnya secara wajar.
Pengembangan kualitas pelayanan kesejahteraan
sosial, adalah berbagai kegiatan yang dilaksanakan secara
terencana dan sistematis dalam rangka menghasilkan kualitas
pelayanan kesejahteraan sosial yang lebih baik melalui peng-
kajian terhadap kebijakan sosial, pengembangan model pela-
yanan dan evaluasi terhadap program pelayanan kesejah-
teraan sosial. Angka kredit adalah satuan nilai dari tiap butir
kegiatan dan atau akumulasi butir-butir kegiatan yang harus
dicapai oleh seorang Pekerja Sosial dalam rangka pembinaan
karir kepangkatan dan jabatannya.
Tim Penilai Angka Kredit (Tim PAK), adalah tim penilai
yang dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
dan bertugas untuk menilai prestasi kerja Pekerja Sosial.
Dalam Pasal 2 secara jelas dinyatakan bahwa Jabatan
Fungsional Pekerja Sosial termasuk dalam rumpun ilmu sosial
dan yang berkaitan dan Instansi pembina Jabatan Fungsional
Pekerja Sosial, adalah Kementerian Sosial.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
98
Pasal 3 dan Pasal 4 dalam Keputusan Menpan tersebut
menguraikan bahwa Pekerja Sosial adalah pejabat fungsional
yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional yang
menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial
pada instansi pemerintah maupun badan/organisasi sosial
lainnya dan merupakan jabatan karir yang hanya dapat didu-
duki oleh seseorang yang telah berstatus sebagai Pegawai
Negeri Sipil. Sedangkan tugas pokok Pekerja Sosial adalah
menyiapkan, melakukan dan menyelesaikan kegiatan pelaya-
nan kesejahteraan sosial dan pengembangan kualitas pelaya-
nan kesejahteraan sosial.
Untuk memenuhi standar pelayanan sosial di Panti
Sosial, maka Pekerja Sosial harus memenuhi unsur-unsur
kegiatan Pekerja Sosial terdiri dari: (1) Pendidikan; (2) Pelaya-
nan kesejahteraan sosial; (3) Pengembangan kualitas pelaya-
nan kesejahteraan sosial; (4) Pengembangan profesi; dan
(5) Penunjang tugas Pekerja Sosial bagi Pekerja Sosial.
Dalam Keputusan Menpan tersebut juga mengatur
jenjang jabatan dan pangkat Pekerja Sosial. Jabatan Fungsio-
nal Pekerja Sosial terdiri dari Pekerja Sosial tingkat Terampil
dan Pekerja Sosial tingkat Ahli.
Urutan jenjang jabatan Pekerja Sosial tingkat terampil
dari yang terendah sampai dengan tertinggi adalah: Pekerja
Sosial Pelaksana Pemula, Pekerja Sosial Pelaksana, Pekerja
Sosial Pelaksana Lanjutan, Pekerja Sosial Penyelia. Untuk
jenjang jabatan Pekerja Sosial tingkat ahli dari yang terendah
sampai dengan tertinggi adalah: Pekerja Sosial Pertama,
Pekerja Sosial Muda dan Pekerja Sosial Madya.
Pasal 7 dari Keputusan Menpan secara rinci mengurai-
kan kegiatan Pekerja Sosial pada tingkat terampil dan keah-
lian, sesuai dengan jenjang jabatan.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
99
Bagaimana jika dalam satu unit pelayanan sosial tidak
terdapat Pekerja Sosial sesuai jenjang jabatannya untuk
melaksanakan tugas sebagaimana dijelaskan diatas, maka
pasal 8 memberikan solusinya yaitu: Pekerja Sosial satu
tingkat di atas atau satu tingkat di bawah jenjang jabatannya
dapat melaksanakan tugas tersebut berdasarkan surat penu-
gasan tertulis dari pimpinan unit kerja yang bersangkutan.
Pada Pasal 10 sangat detail mengatur tentang jumlah
angka kredit kumulatif minimal yang harus dipenuhi oleh setiap
Pekerja Sosial baik pada tingkat terampil maupun tingkat ahli.
Rambu-rambunya adalah sekurang-kurangnya 80% angka
kredit berasal dari unsur utama dan 20% berasal dari unsur
penunjang.
Untuk penilaian dan penetapan angka kredit, diatur pada
Bab VI, mulai Pasal 12 sampai dengan Pasal 18, yang secara
terinci menguraikan setiap Pekerja Sosial harus mencatat
seluruh aktivitasnya untuk dapat dinilai dan penetapan angka
kredit dan periode penilaian sekurang-kurang 2 kali dalam satu
tahun, 3 bulan sebelum periode kenaikan pangkat Pegawai
Negeri Sipil.
Secara berjenjang sesuai dengan pangkat dan jabatan
Pekerja Sosial, yang berwenang menetapkan angka kredit
adalah Menteri Sosial atau pejabat eselon I yang ditunjuk,
Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial atau
pejabat eselon II yang ditunjuk, Pimpinan instansi pusat di luar
Kementerian Sosial atau pejabat lain yang ditunjuk (serendah-
rendahnya eselon II) yang membidangi pelayanan kesejahte-
raan sosial, Gubernur atau pejabat lain yang ditunjuk (seren-
dah-rendahnya eselon II), Bupati/Walikota atau pejabat lain
yang ditunjuk (serendah-rendahnya eselon II) sesuai dengan
tingkatan pangkat dan jabatan Pekerja Sosial.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
100
Untuk melaksanakan kewenangan pejabat dimaksud,
dibantu oleh Tim Penilai Jabatan Pekerja Sosial Kementerian,
Tim Penilai Direktorat Jenderal, Tim Penilai Instansi, Tim
Penilai Provinsi dan Tim Penilai Kabupaten/Kota. Anggota Tim
Penilai tersebut haruslah Pekerja Sosial sesuai dengan
janjang pangkat dan jabatannya.
Yang menarik dalam Keputusan Menpan ini adalah pada
Pasal 20 ayat (1) untuk diangkat pertama sekali sebagai
Pekerja Sosial tingkat terampil, berijazah serendah-rendahnya
Sekolah Menengah Atas/Diploma I sesuai dengan kualifikasi
yang ditentukan.
Artinya persyaratan ini sangat longgar tidak mensyarat-
kan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan, tetapi memang
ada syarat tambahan yaitu harus mengikuti dan lulus Diklat
fungsional bidang pelayanan kesejahteraan sosial.
Untuk diangkat pertama kali dalam Jabatan Pekerja
Sosial tingkat ahli, syarat pendidikan sekurang-kurangnya
berijazah sarjana (S1), tanpa mensyaratkan bidang ilmu
pendidikan tertentu atau Diploma IV sesuai dengan kualifikasi
yang ditentukan, tapi juga disertai syarat tambahan yaitu harus
mengikuti dan lulus Diklat fungsional di bidang pelayanan
kesejahteraan sosial.
Pasal penting lainnya dari Keputusan Menpan ini adalah
pada Pasal 30, pengalaman dan pengembangan karir, Pekerja
Sosial dapat dipindahkan ke jabatan struktural atau jabatan
fungsional lainnya sepanjang memenuhi persyaratan jabatan
yang ditentukan.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
F. Keputusan Bersama Menteri Sosial Dan Kepala Badan
Kepegawaian Negara Nomor 05/HUK/2004, Nomor 09
Tahun 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan
Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya.
Keputusan Bersama ini merupakan penjabaran lebih
lanjut dan berupa petunjuk pelaksanaan dari Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/03/
M.PAN/I/2004 tentang Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan
angka kreditnya.
Dalam Keputusan Bersama ini, diatur lebih lanjut bagai-
mana usul dan penetapan angka kredit dilakukan, dengan
berbagai matrik formulir yang perlu diisi oleh Pekerja Sosial.
Kemudian tugas Tim Penilai Angka Kredit (Tim PAK) juga
diatur lebih lanjut dan lebih detail. Tugas pokok Tim PAK baik
tingkat Kementerian, tingkat Direktorat Jenderal, tingkat
Instansi, tingkat Kabupaten/Kota, diuraikan secara jelas
sehingga dengan mudah dapat dipahami oleh setiap anggota
Tim Penilai maupun Pekerja Sosial itu sendiri.
Penjabaran lebih lanjut juga mencakup kenaikan pang-
kat dan jabatan dan penetapan angka kreditnya, demikian juga
menjabarkan lebih lanjut tentang tata cara dan mekanisme
pengangkatan, pemberhentian sementara dan pemberhen-
tian dalam dan dari jabatan, termasuk juga pengangkatan
kembali dalam jabatan dan perpindahan jabatan.
G. Keputusan Menteri Sosial Nomor 50/HUK/2004 Tentang
Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejah-
teraan Sosial Nomor 193/MENKES-KESSOS/III/2000
Tentang Standarisasi Panti Sosial.
Dalam Kepmensos tersebut telah mendefinisikan
Sistem Pelayanan Kesejahteraan Sosial atau disebut juga
Sistem Pelayanan Sosial (sesuai dengan Undang-Undang
101
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
102
Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial) yang
diselenggarakan melalui sistem Panti Sosial maupun sistem
non Panti Sosial (keluarga dan masyarakat). Pelayanan Sosial
melalui sistem Panti Sosial merupakan pelayanan alternatif
apabila fungsi dan peran keluarga/masyarakat tidak dapat
memenuhi kebutuhan anggotanya.
Panti Sosial merupakan lembaga pelayanan sosial yang
memiliki tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia dan memberdayakan Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) ke arah kehidupan normatif
secara fisik, mental dan sosial.
Ada 15 jenis Panti Sosial yaitu: Panti Sosial Petirahan
Anak, Panti Sosial Taman Penitipan Anak, Panti Sosial Asuhan
Anak, Panti Sosial Bina Remaja, Panti Sosial Tresna Werdha,
Panti Sosial Bina Daksa, Panti Sosial Bina Netra, Panti Sosial
Bina Rungu Wicara, Panti Sosial Bina Grahita, Panti Sosial
Bina Laras, Panti Sosial Bina Pasca Laras Kronis, Panti Sosial
Marsudi Putra, Panti Sosial Karya Wanita dan Panti Sosial
Bina Karya.
Dalam Kepmensos tersebut, juga sudah diberikan
batasan standarisasi dan katagorinya, dibagi dua katagori
yaitu standar umum dan standar khusus. Standar umum
mencakup: kelembagaan, Sumber Daya Manusia, Sarana dan
Prasarana, Pembiayaan, Pelayanan Sosial Dasar dan
Monitoring dan Evaluasi. Standar khusus mencakup: kegiatan
pelayanan (pendekatan awal, rencana intervensi, intervensi,
terminasi, rujukan, pemulangan, pembinaan lanjut).
Dalam Kepmensos tersebut juga telah menjelaskan
tugas Pekerja Sosial yang harus melaksanakan tugas pelaya-
nan sosial di panti secara profesional sesuai standar pelaya-
nan sosial di Panti Sosial.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
103
H. Keputusan Menteri Sosial Nomor 10/HUK/2007 Tentang
Pembinaan Teknis Jabatan Fungsional Pekerja Sosial.
Tujuan Kepmensos ini adalah: Pertama, memberikan
kejelasan bagi Pekerja Sosial dalam mencapai angka kredit
guna kenaikan jabatan dan pangkat. Kedua, mengoptimalkan
kontribusi Pekerja Sosial dalam mendukung pelaksanaan
pelayanan kesejahteraan sosial di unit kerja masing-masing.
Ketiga, mengoptimalkan peran Unit Pembina Jabatan Fung-
sional Pekerja Sosial dalam melaksanakan pembinaan Peker-
ja Sosial. Keempat, meningkatkan kinerja instansi dalam
melaksanakan pembangunan kesejahteraan sosial, didukung
oleh Pekerja Sosial yang kompeten dan profesional.
Ruang lingkup Pedoman Teknis Jabatan Fungsional
Pekerja Sosial antara lain: Pertama, penetapan Formasi
Jabatan Fungsional Pekerja Sosial. Kedua, Penilaian Angka
Kredit Pekerja Sosial. Ketiga, Pengangkatan, Pembebasan,
Pemberhentian dalam dan dari Jabatan Fungsional Pekerja
Sosial. Keempat, Pembinaan Karir Pekerja Sosial.
I. Keputusan Menteri Sosial Nomor: 43/HUK/2007, Tentang
Pedoman Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Fungsional
Pekerja Sosial.
Tujuannya adalah: Pertama, terwujudnya standarisasi
penyelenggaran Diklat Jabatan Fungsional Pekerja Sosial,
baik yang diadakan oleh unit kerja Diklat di lingkungan Kemen-
terian Sosial maupun lembaga Diklat di luar Kementerian
Sosial. Kedua, terselenggaranya Diklat Jabatan Fungsional
Pekerja Sosial yang tepat sasaran dan waktu untuk mendu-
kung Diklat yang dipersyaratkan dalam menduduki jabatan
Pekerja Sosial per jenjang jabatan. Ketiga, meningkatkan
kompetensi Pekerja Sosial yang diperlukan dalam pelaksana-
an pelayanan kesejahteraan sosial dan pengembangan kuali-
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
104
tas pelayanan kesejahteraan sosial. Keempat, meningkatkan
kompetensi pimpinan dan pengelola Unit Pembina Jabatan
Fungsional dalam mendukung pelaksanaan pelayanan kese-
jahteraan sosial dan pengembangan kualitas pelayanan kese-
jahteraan sosial. Kelima, meningkatkan kinerja instansi dalam
melaksanakan pembangunan kesejahteraan sosial, karena
didukung oleh adanya Pekerja Sosial yang berkompeten dan
profesional.
Ruang lingkup Pedoman Pendidikan dan Pelatihan Jaba-
tan Fungsional Pekerja Sosial mengatur penyelenggaraan:
Pertama, Pendidikan Formal. Kedua, Pendidikan Non Formal.
Pendidikaan Formal, meliputi Pendidikan Akademik dan Pendi-
dikan Profesional. Untuk Jenjang Pendidikan Akademik Jaba-
tan Fungsional Pekerja Sosial (JFPS) meliputi pendidikan
Sarjana (S1), Magister (S2) dan Doktoral (S3). Jenjang
pendidikan akademik Jabatan Fungsional Pekerja Sosial terse-
but diperoleh dengan mengikuti pendidikan pada perguruan
tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta baik di dalam maupun
di luar negeri.
Untuk jenjang pendidikan profesional Pekerja Sosial,
meliputi Diploma (DI, DII, DIII dan DIV), dan Pendidikan
Spesialis (Sp1 dan Sp2). Saat ini belum ada PTN/PTS yang
menyelenggarakan program pendidikan profesional Pekerja
Sosial. Satu-satunya perguruan tinggi di Indonesia yang
menyelenggarakan pendidikan profesional adalah Sekolah
Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, yang merupa-
kan Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) dibawah naungan
Kementerian Sosial. Program pendidikan profesional yang
diselenggarakan saat ini di STKS Bandung meliputi: Jenjang
Diploma IV (DIV) dan Pendidikan Spesialis 1 (Sp1).
Untuk meningkatkan mutu pendidikan Pekerjaan Sosial di
STKS Bandung, dalam Pedoman Mensos sudah mencantumkan
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
105
Standarisasi Pendidikan Pekerjaan Sosial. Pada tahun 2000,
International Association of Schools of Sosial Work (IASSW) dan
Internatonal Federasion of Sosial Work (IFSW) sebagai dua
organisasi yang bersama-sama memperkuat Profesi Pekerjaan
Sosial telah menetapkan standar kualitas pendidikan dan latihan
Pekerjaan Sosial yang berlaku secara internasional.
Pendidikan dan Pelatihan Wajib. Diklat Wajib ditujukan
kepada: (1) CPNS/PNS yang akan diangkat pertama sebagai:
a) Pekerja Sosial tingkat terampil, pendidikan SLTA/sederajat,
DI, DII, DIII, wajib mengikuti Diklat Sertifikasi Jabatan Fungsio-
nal Pekerja Sosial tingkat terampil; b) Pekerja Sosial tingkat ahli;
1) pendidikan S1/DIV Pekerjaan Sosial/Kesejahteraan Sosial
wajib mengikuti Diklat Sertifikasi Jabatan Fungsional Pekerja
Sosial tingkat ahli, 2) pendidikan S1/DIV Non Pekerjaan Sosial/
Kesejahteraan Sosial wajib mengikuti: (a) Pendidikan dan
Pelatihan Dasar Pekerja Sosial (PDPS); (b) Diklat Sertifikasi
Jabatan Fungsional Pekerja Sosial Tingkat Ahli. (2) PNS yang
akan diangkat dari Jabatan lain ke dalam Jabatan Fungsional
Pekerja Sosial sebagai: a) Pekerja Sosial Tingkat Terampil.
Pendidikan SLTA/Sederajat sampai dengan DIII, wajib
mengikuti Diklat Sertifikasi Jabatan Fungsional Pekerja Sosial
Tingkat Terampil; b) Pekerja Sosial Tingkat Ahli; 1) Pendidikan
S1/DIV Pekerjaan Sosial/Kesejahteraan Sosial wajib mengikuti
Diklat Sertifikasi Jabatan Fungsional Pekerja Sosial Tingkat Ahli;
2) Pendidikan S1/DIV Non Pekerjaan Sosial/Kesejahteraan
Sosial wajib mengikuti: (a) Pendidikan dan Pelatihan Dasar
Pekerjaan Sosial (PDPS); (b) Diklat Sertifikasi Jabatan Fungsio-
nal Pekerja Sosial Tingkat Ahli. (3) Pekerja Sosial yang telah
menduduki dan/atau akan naik jenjang jabatan diwajibkan
mengikuti Diklat Penjenjangan Jabatan Fungsional Pekerja
Sosial yang dipersyaratkan sesuai dengan jenjang jabatan,
mulai dari Diklat Penjenjangan Jabatan Fungsional Pekerja
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
106
Sosial Pelaksana Pemula, sampai dengan Diklat Penjenja-
ngan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial Madya. (4) Pekerja
Sosial Tingkat Terampil yang akan diangkat menjadi Pekerja
Sosial Tingkat Ahli dan/atau Pekerja Sosial Tingkat Terampil,
golongan ruang IVa ke atas dengan latar pendidikan DIII ke
bawah yang akan diangkat menjadi Pekerja Sosial Tingkat
Ahli, berdasarkan Pasal 29 Keputusan Menpan Nomor
KEP/03/M.PAN/I/2004 wajib mengikuti: a) Pendidikan S1/DIV;
b) Diklat Penyetaraan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial;
c) Diklat Penjenjangan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial.
Pendidikan dan Pelatihan Penunjang; Diklat ini mencakup Dik-
lat Teknis Substansi Pekerjaan Sosial; Diklat Tim dan Sekre-
tariat Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional Pekerja Sosial;
dan Diklat untuk TOT Jabatan Fungsional Pekerja Sosial.
J. Peraturan Menteri Sosial Nomor: 108/HUK/2009, Tentang
Sertifikasi Bagi Pekerja Sosial Profesional Dan Tenaga
Kesejahteraan Sosial.
Permensos ini diterbitkan untuk melaksanakan keten-
tuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial. Dalam Permensos ini menjelaskan
pengertian tentang Sertifikasi, Sertifikasi kompetensi, Standar
Kompetensi, Lembaga Sertifikasi Pekerja Sosial, Pekerja
Sosial Profesional dan Uji kompetensi.
Pasal 3 menjelaskan tujuan sertifikasi dan Pasal 4
tentang Sertifikasi, Pasal 5 mengatur tentang Sertifikasi
kompetensi, Uji kompetensi. Pasal 16 mengatur tentang
Lembaga Sertifikasi.
Dengan Permensos ini maka diharapkan Pekerja Sosial
mempunyai kompetensi yang tinggi dalam melaksanakan
pelayanan sosial.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
BAB IVMENJELASKAN HASIL STUDI
KEBIJAKAN NASIONAL TENTANGMUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
107
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
108
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
109
BAB IVMENJELASKAN HASIL STUDI
KEBIJAKAN NASIONAL TENTANGMUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
DALAM bab IV ini, akan disajikan hasil studi dari data
sekunder yang berhasil dikumpulkan dan data primer
hasil interview dan kuesioner yang dikirimkan kepada
para responden stakeholder Kementerian Sosial RI dan pelak-
sana langsung pelayanan sosial di Panti Sosial (Pekerja Sosial
dan Kepala Panti Sosial),serta Focus Group Discussion (FGD)
antara stakeholder Kementerian Sosial RI dengan para Kepala
Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Kemudian akan menjawab satu persatu dari ketiga
masalah studi, yaitu (1) Apakah substansi kebijakan tentang
mutu Pekerja Sosial sesuai dengan standar pelayanan sosial
di Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah?
(2) Bagaimanakah implementasi kebijakan tentang mutu
Pekerja Sosial dalam pelayanan sosial di Panti Sosial
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah? (3) Apakah hasil
pelaksanaan kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial sesuai
dengan standar pelayanan sosial di Panti Sosial Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah?
Sebagaimana dikemukakan di metodologi studi, maka
studi ini bukan pada proses pembuatan kebijakan melainkan
pada evaluasi kebijakan, yang menyoroti hasil-hasil dari kebi-
jakan terhadap pelaksanaan program yang telah dilakukan.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
110
A. Substansi Kebijakan Tentang Mutu Pekerja Sosial.
Sebagaimana diuraikan pada acuan teoritik, bahwa
sebagian besar ahli memberi pengertian kebijakan nasional
dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerin-
tah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan
membawa dampak baik bagi kehidupan warganya. Pekerja
Sosial adalah jabatan publik yang dalam melaksanakan tugas-
nya mengacu pada kebijakan pemerintah berupa peraturan
perundang-undangan dan peraturan lainnya sebagai kebija-
kan publik.
Pekerja Sosial yang bermutu tentunya adalah Pekerja
Sosial yang mampu memberikan pelayanan yang diinginkan
oleh masyarakat pengguna, dalam hal ini adalah para klien
sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Pekerja Sosial, dalam Sistem Tata Negara Republik
Indonesia berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil dan aturan
mengenai Pegawai Negeri Sipil, telah ditetapkan dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian yang selanjutnya telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 1999.
Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa
Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indone-
sia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat
oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu
jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yang masuk katagori Pegawai Negeri adalah: a) Pegawai
Negeri Sipil; b) Anggota Tentara Nasional Indonesia dan;
c) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam perjalanan karirnya, seorang Pegawai Negeri
Sipil menempuhnya melalui jabatan struktural dan jabatan
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
111
fungsional yang diduduki setelah memenuhi syarat yang
ditentukan. Karena Pekerja Sosial adalah Pegawai Negeri
Sipil yang melalui jabatan fungsional, maka berbagai jenjang
Diklat dan pengalaman pelayanan sosial di unit kerjanya telah
diatur sehingga memenuhi standar mutu untuk menjadi Peker-
ja Sosial yang professional.
Untuk pengaturan lebih lanjut dari Undang-Undang
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, telah diterbitkan Pera-
turan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan
Fungsional Pegawai Negeri Sipil.
Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil yang selanjut-
nya disebut jabatan fungsional adalah kedudukan yang me-
nunjukkan tugas, tanggung jawab/wewenang dan hak sese-
orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam suatu satuan organi-
sasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada
keahlian dan/atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.
Dalam jabatan fungsional juga dikenal istilah rumpun jabatan
fungsional yaitu himpunan jabatan fungsional yang mempu-
nyai fungsi dan tugas yang berkaitan erat satu sama lain dalam
melaksanakan salah satu tugas umum pemerintahan.
Dalam PP tersebut juga telah ada instrumen untuk
menilai kinerja jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil, yaitu
dengan menggunakan instrumen penilaian angka kredit,
berupa satuan nilai dari tiap butir kegiatan dan/atau akumulasi
nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh pejabat
fungsional dalam rangka pembinaan karier yang bersang-
kutan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994
tersebut juga menjelaskan tanggung jawab suatu instansi
sebagai pembina jabatan fungsional yaitu instansi pemerintah
yang bertugas membina suatu jabatan fungsional menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
112
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga diatur
tentang pengangkatan Pegawai Negeri Sipil ke dalam jabatan
fungsional pada instansi pemerintah dengan mengacu pada
formasi yang disediakan, serta diatur juga penilaian prestasi
kerja bagi pejabat fungsional melalui angka kredit oleh pejabat
yang berwenang setelah memperhatikan pertimbangan Tim
Penilai dan Tim Penilai dimaksud dibentuk oleh pimpinan
instansi pembina jabatan fungsional atau pimpinan instansi
pengguna jabatan fungsional.
Hal lain juga diatur dalam Peraturan Pemerintah ini
menyangkut perpindahan jabatan fungsional ke jabatan
struktural dan sebaliknya dimungkinkan sepanjang meme-
nuhi persyaratan yang ditetapkan untuk masing-masing jaba-
tan tersebut.
Salah satu cara untuk mendapatkan standar mutu
tenaga fungsional (termasuk Pekerja Sosial) adalah dengan
pendidikan dan pelatihan terhadap jabatan fungsional serta
sertifikasi keahlian dan keterampilan jabatan fungsional yang
ditetapkan oleh instansi pembina jabatan fungsional, dengan
pembinaan dari Lembaga Administrasi Negara. Peraturan
Pemerintah ini juga sudah menetapkan adanya tunjangan
jabatan fungsional bagi Pegawai Negeri Sipil yang menduduki
jabatan fungsional dan telah ditetapkan angka kreditnya dan
besarnya tunjangan fungsional dimaksud ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
Penyelenggaraan kediklatan pejabat fungsional
Pegawai Negeri Sipil, diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan
Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, yang dalam Pasal 8
ayat (2) bahwa Diklat jabatan terdiri dari: (a) Diklat Kepemim-
pinan; (b) Diklat Fungsional; dan (c) Diklat Teknis.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
113
Pada Pasal 10, ayat (1) menjelaskan bahwa Diklat
fungsional dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompe-
tensi yang sesuai dengan jenis jenjang jabatan fungsional
masing-masing. Dan pada ayat (2) jenis dan jenjang Diklat
fungsional untuk masing-masing jabatan fungsional sebagai-
mana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh instansi
pembina jabatan fungsional yang bersangkutan. Pada Pasal
15 menguraikan bahwa peserta Diklat fungsional adalah PNS
yang akan atau telah menduduki jabatan fungsional tertentu.
Mengenai kurikulum dan metode Diklat fungsional ditetapkan
oleh instansi pembina jabatan fungsional, sebagaimana ter-
cantum pada Pasal 17.
Terkait dengan rumpun jabatan fungsional, telah dijabar-
kan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun
1999, tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri
Sipil. Dalam Keppres tersebut intinya adalah mengelompok-
kan jenis rumpun jabatan fungsional dengan menggunakan
perpaduan pendekatan antara jabatan dan bidang ilmu penge-
tahuan yang digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan
tugas dan fungsi jabatan dalam rangka pelaksanaan tugas
umum pemerintahan.
Dalam Keppres tersebut pada lampiran sudah mencan-
tumkan Daftar Rumpun Jabatan fungsional dan penjelasan-
nya. Dari daftar tersebut, ternyata belum dicantumkan Pekerja
Sosial pada salah satu rumpun dari 8 rumpun yang ada. Hal ini
mungkin disebabkan pada saat itu, Pekerja Sosial belum
begitu dikenal dikalangan birokrasi pemerintahan. Pada
Keppres 87 tahun 1999 tersebut, juga telah mengatur lebih
rinci tentang jenjang jabatan fungsional secara umum, yang
dikatagorikan dalam jabatan fungsional keahlian dan jabatan
fungsional keterampilan.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
114
Dalam rangka menjaga mutu jabatan fungsional dimaksud,
Keppres juga mensyaratkan bahwa untuk katagori jabatan
fungsional keahlian dalam pelaksanaan tugasnya: Pertama,
mensyaratkan kualifikasi profesional dengan pendidikan
serendah-rendahnya berijasah Sarjana (Strata 1); Kedua,
meliputi kegiatan yang berkaitan dengan penelitian dan pengem-
bangan, peningkatan dan penerapan konsep dan teori serta
metoda operasional dan penerapan disiplin ilmu pengetahuan
yang mendasari pelaksanaan tugas dan fungsi jabatan fungsio-
nal yang bersangkutan; Ketiga, terikat pada etika profesi tertentu
yang ditetapkan oleh ikatan profesinya.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pada tahun
2004, dengan merujuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan
fungsional Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor
101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan
Pegawai Negeri Sipil dan Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun
1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil,
memperhatikan usulan Menteri Sosial selaku Pembina Jabatan
Fungsional Pekerja Sosial melalui surat Nomor A/A.336/XI-
2003/MS tanggal 21 November 2003, serta pertimbangan
Kepala Badan Kepegawaian Negara dengan surat Nomor K.26-
14/HAL2-10/87 tanggal 8 Januari 2004, meninjau kembali
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor 45/MENPAN/1988 tentang Angka Kredit bagi Jabatan
Pekerja Sosial.
Selanjutnya Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
menerbitkan Keputusan Menpan Nomor KEP/03/M.PAN/I /2004
tentang Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
115
Sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam Keppres 87
Tahun 1999, dalam lampiran tidak mencantumkan Pekerja
Sosial sebagai rumpun jabatan fungsional Pegawai Negeri
Sipil, maka pada Keputusan Menpan Nomor KEP/03/M.PAN/I
/2004, telah mencantumkan pada Pasal 2 ayat (1) bahwa
jabatan fungsional Pekerja Sosial termasuk rumpun ilmu sosial
dan yang berkaitan dan pada ayat (2) menegaskan bahwa
Kementerian Sosial adalah Instansi Pembina Jabatan Fung-
sional Pekerja Sosial.
Menindak lanjuti Keputusan Menpan dimaksud, maka
telah dibuat Keputusan Bersama Menteri Sosial dan Kepala
Badan Kepegawaian Negara Nomor 05/HUK/2004 dan 09
Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsio-
nal Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya. Tetapi rupanya
Kementerian Sosial baru menerbitkan Petunjuk Teknis dari
SKB tersebut tiga tahun kemudian dengan menerbitkan
Kepmensos Nomor 10/HUK/2007 tentang Pembinaan Teknis
Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Kepmensos Nomor
43/HUK /2007 tentang Pedoman Pendidikan dan Pelatihan
Jabatan Fungsional Pekerja Sosial.
Dengan adanya masa jeda terbitnya Juknis tentang
Tenaga Fungsional Pekerja Sosial sampai tahun 2007, para
unit-unit kerja di berbagai tingkatan pelaksanaan pelayanan
sosial masih menggunakan Kepmensos Nomor 9/HUK/1989
tentang Sekretariat Tim Penilai Jabatan Pekerja Sosial Pusat,
Kepmensos Nomor 10/HUK/1989 tentang Tata Kerja Tim
Penilai dan Tata Cara Penilaian Angka Kredit Jabatan Pekerja
Sosial dan Kepmensos Nomor 11/HUK/1989 tentang Pende-
legasian wewenang pengangkatan, pembebasan sementara,
pemberhentian dan pengangkatan kembali jabatan Pekerja
Sosial di lingkungan Kementerian Sosial.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
116
Dapat dibayangkan kebingungan yang terjadi pada
tingkat pelaksana pelayanan sosial, terlebih dalam suasana
otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22
tahun 1999.
Dalam Kepmenpan Nomor KEP/03/M.PAN/1/2004 Ten-
tang Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya,
pada Pasal 9 menegaskan bahwa unsur yang dinilai untuk
mendapatkan angka kredit sebagai peningkatan kualifikasi
mutu Pekerja Sosial ada dua unsur yaitu unsur utama dan
unsur penunjang.
Tabel 4.1. Kualifikasi Mutu Pekerja Sosial
Unsur Utama Kriteria
1. Pendidikan Formal1. PendidikanTinggi Kesejahteraan Sosial.
2. PendidikanS1, S2 dan S3
2. Diklat Penjenjangan1. LatihanDasar Pekerja Sosial.
2. Sertifikasi
3. Pelayanan Sosial
1. PendekatanAwal.
2. Assesmen.
3. Rencana Intervensi.
4. Intervensi.
5. Evaluasi (Terminasi, Rujukan).
6. Bimbingandan Tindak Lanjut
4. Pengembangan
KualitasPelayanan
Sosial
1. Kajian kebijakan dan penyusunan rencana pelayanan
kesejahteraansosial.
2. Pengembanganmodel pelayanankesejahteraan sosial.
3. Evaluasi program pelayanan kesejahteraansosial
5. Pengembangan Profesi
1. PembuatanKarya Tulis/Karya Ilmiah.
2. Penerjemah/Penyaduran buku.
3. Pembuatanbuku pedoman/ juklak/juknis pelayanan
kesejahteraansosial.
4. Partisipasiaktif penerbitan buku/majalah pelayanan
kesejahteraansosial.
5. Studibanding pelayanan kesejahteraansosial.
6. Unsur Penunjang :
1. Pengajar/pelatih pelayanan kesejahteraansosial.
2. Peranserta dalam seminar/lokakarya pelayanan
kesejahteraansosial.
3. Keanggotaanorganisasi profesi Pekerja Sosial.
4. KeanggotanTim Penilai Jabatan Fungsional Pekerja
Sosial.
5. Memperolehgelar sarjana, penghargaan/tanda jasa.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
117
Kualifikasi mutu Pekerja Sosial yang diatur dalam
Kepmenpan tersebut diikuti dengan instrumennya sebagai
lampiran dan kualifikasi sesuai dengan standar pelayanan
sosial di Panti Sosial yang tercantum dalam Kepmensos
Nomor 50/HUK/2004 Tentang Standarisasi Panti Sosial,
adalah suatu kebijakan nasional yang dilakukan pemerintah
untuk menjaga agar mutu Pekerja Sosial dalam melaksanakan
pelayanan sosial memenuhi kualifikasi yang telah ditetapkan,
disamping itu kebijakan tersebut juga sudah mengatur
mekanisme dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk
mencapai kualifikasi ahli dari kualifikasi terampil dan dari
jenjang pelaksana pemula, sampai tingkat ahli madya.
Dalam Kepmensos Nomor 50 tahun 2004 tersebut,
menjelaskan bahwa Pekerja Sosial merupakan aspek
penyelenggara Panti Sosial dan berperan sebagai unsur
pimpinan dan juga sebagai unsur operasional. Standar
pelayanan sosial di Panti Sosial telah ditetapkan sebagaimana
diuraikan pada Bab II (merujuk pada Kepmenpan Nomor
03/M.PAN/1/2004), yaitu: Tahap Pendekatan Awal. Pada
tahap pendekatan awal dilaksanakan kegiatan sosialisasi
program, penjaringan/penjangkauan calon Klien, seleksi calon
Klien, penerimaan dan registrasi serta konfrensi kasus. Tahap
Pengungkapan dan Pemahaman masalah (Asesmen). Pada
tahap ini dilaksanakan kegiatan analisis kondisi Klien,
keluarga, lingkungan, karakteristik masalah, sebab dan
implikasi masalah, kapasitas mengatasi masalah dan sumber
daya, serta konfrensi kasus.
Berikutnya, Tahap Perencanaan Progam Pelayanan
(Rencana Intervensi). Pada tahap ini dilaksanakan kegiatan
penetapan tujuan pelayanan, penetapan jenis pelayanan yang
dibutuhkan oleh Klien dan sumber daya yang akan digunakan.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
118
Tahap Pelaksanaan Pelayanan (Intervensi). Pada tahap
pelaksanaan pelayanan terdapat beberapa bentuk kegiatan
yang dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan, karakteristik,
dan permasalahan Klien, sebagai berikut: (a) Bimbingan Fisik
dan Kesehatan: pemeliharaan fisik dan kesehatan, terapi fisik,
pemeliharaan kebugaran, pelayanan menu dalam rangka
peningkatan gizi, orientasi mobilitas; (b) Bimbingan Mental dan
Psikososial: bimbingan keagamaan, bimbingan kedisiplinan
dan budi pekerti, bimbingan psikososial; (c) Bimbingan Sosial:
bimbingan Daily Living Activity (DLA), bimbingan relasi sosial,
bimbingan integrasi sosial, bimbingan rekreasi; (d) Bimbingan
Pelatihan dan Ketrampilan: bimbingan usaha ekonomi produk-
tif, bimbingan ketrampilan kerja, bimbingan pengelolaan usa-
ha, bimbingan wira usaha, bimbingan kesenian; (e) Bimbingan
Pendidikan: bimbingan paket belajar klien, bantuan beasiswa,
bantuan pendidikan; (f) Bimbingan individu: Pelayanan konse-
ling individu, Pelayanan terapi sosial; (g) Bimbingan kelompok:
Dinamika kelompok, Pelayanan konseling kelompok;
(h) Penyiapan lingkungan sosial: penyiapan lingkungan
keluarga, penyiapan lingkungan di sekitar kehidupan klien,
penyiapan lingkungan sosial klien secara luas: praktek belajar
kerja, instalasi produksi/workshop.
Tahap Pasca Pelayanan: Bentuk pelaksanaan pelaya-
nan terdiri dari: (a) Penghentian pelayanan. Dilakukan setelah
klien selesai mengikuti proses pelayanan dan telah mencapai
hasil pelayanan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan;
(b) Rujukan. Kegiatan rujukan dilaksanakan apabila klien
membutuhkan pelayanan lainnya yang tidak tersedia dalam
panti; (c) Pemulangan dan Penyaluran, kegiatan pemulangan
dan penyaluran dilaksanakan setelah klien dinyatakan berhen-
ti atau selesai mengikuti proses pelayanan. Proses pemula-
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
119
ngan yaitu klien dikembalikan kepada pihak keluarga atau
sanak saudara dan lingkungan tempat klien tinggal. Proses
penyaluran yaitu klien disalurkan kepada perusahaan/tempat
kerja/instansi yang berminat mempekerjakan klien sesuai
dengan bidang dan jenis keterampilan yang telah dimiliki Klien;
(d) Pembinaan lanjut: berupa kegiatan untuk memonitor dan
memantau klien sesudah mereka bekerja atau kembali ke
keluarga.
Dari uraian diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa
melalui peraturan yang diterbitkan pemerintah sebagai suatu
kebijakan telah menetapkan kualifikasi kompetensi bagi
Pekerja Sosial dan kualifikasi tersebut ditetapkan untuk
mendapatkan Pekerja Sosial yang bermutu, walaupun secara
eksplisit kami tidak menemukan definisi mutu Pekerja Sosial.
Namun dalam penelitian ini rumusan mutu Pekerja Sosial yang
digunakan adalah mengacu pada tugas pokok dan unsur-
unsur kegiatan sebagai kualifikasi kompetensi yang dilaksana-
kan Pekerja Sosial sesuai dengan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal
5 Kepmenpan Nomor 03/M.PAN/1/2004 tentang Jabatan
Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya.
Atas dasar uraian diatas, maka rumusan mutu Pekerja
Sosial adalah kemampuan memberikan pelayanan yang
diinginkan oleh masyarakat pengguna, dalam hal ini adalah
klien sebagai Penyadang Masalah Kesejahteraan Sosial.
Hal ini juga memberikan makna bahwa substansi
kebijakan yang berhubungan dengan upaya menjaga mutu
Pekerja Sosial sudah secara detail diatur, termasuk unsur-
unsur ataupun kriteria mutu Pekerja Sosial dalam melaksana-
kan pelayanan sosial di Panti Sosial. Kriteria dimaksud meru-
pakan persyaratan untuk tercapainya standar pelayanan
sosial di Panti Sosial (Kepmensos Nomor 50/HUK/2004),
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
120
dengan demikian sangat berkaitan erat antara standar pelaya-
nan Sosial di Panti Sosial dengan mutu Pekerja Sosial.
Semakin tinggi mutu Pekerja Sosial di pastikan akan semakin
baik pelayanan sosial di Panti Sosial.
Dari rangkaian substansi kebijakan nasional tentang
Pekerja Sosial dalam kaitannya dengan mutu Pekerja Sosial
yang telah diutarakan di atas, telah sangat komprehensif
mengatur agar Pekerja Sosial dapat melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya secara optimal dan memenuhi kriteria-
kriteria standar mutu yang ditetapkan.
B. Implementasi Kebijakan Mutu Pekerja Sosial.
Dengan diimplementasikannya kebijakan pemerintah
untuk peningkatan mutu Pekerja Sosial di dalam Panti Sosial
(Kepmenpan Nomor 03/M.PAN/1/2004, SKB Mensos dengan
Ka.BKN Nomor 05 dan Nomor 9 Tahun 2009 dan Kepmensos
Nomor 10 dan 43 Tahun 2007), kondisi obyektif yang dihadapi
selama periode 2004-2009 masih meninggalkan berbagai
masalah yang cukup rumit dan mempengaruhi upaya pengem-
bangan SDM Pekerja Sosial kedepan, antara lain sebagai
berikut: (1) Belum seluruh Pekerja Sosial dapat mengikuti
Diklat Wajib Jabatan Fungsional Pekerja Sosial yang merupa-
kan media untuk meningkatkan kompetensi dan sekaligus
sebagai persyaratan kenaikan jabatan dan pangkat bagi
Pekerja Sosial; (2) Mengingat keterbatasan anggaran untuk
penyelenggaraan Diklat Wajib Jabatan Fungsional Pekerja
Sosial yang belum dapat memenuhi kebutuhan Diklat, kondisi
ini mengakibatkan beberapa Pekerja Sosial tidak dapat naik
pangkat, nota usulan kenaikan pangkatnya ditolak oleh pihak
Badan Kepegawaian Negara (BKN) karena belum mengikuti
Diklat yang dipersyaratkan.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
121
Secara umum kita melihat bahwa kebijakan yang
mengatur pembinaan karir Pekerja Sosial sudah termuat di-
dalam Keputusan Menteri Sosial Nomor 10/HUK/2007 tentang
Pedoman Pembinaan Teknis Jabatan Fungsional Pekerja
Sosial dan Keputusan Menteri Sosial Nomor 43/HUK/2007
tentang Diklat Jabatan Fungsional Pekerja Sosial.
Pada bagian ini disajikan hasil wawancara dan perta-
nyaan tertulis dengan para stakeholder Kementerian Sosial
yang paling bertanggungjawab terhadap pembinaan Pekerja
Sosial, yaitu Sekretariat Jenderal (Biro Organisasi dan Kepe-
gawaian), Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial (Ditjen Yanrehsos) dan Badan Pendidikan dan Peneli-
tian Kesejahteraan Sosial (Badiklit Kessos).
Maksud dari wawancara adalah untuk menggali
informasi sejauhmana implementasi kebijakan tentang mutu
Pekerja Sosial dalam melaksanakan pelayanan sesuai
dengan standar pelayanan sosial di Panti Sosial. Kemudian
mencoba menangkap upaya-upaya yang dilakukan untuk
perbaikan mutu Pekerja Sosial kedepan.
Berikut ini disajikan hasil wawancara dan pertanyaan
tertulis yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Pelaya-
nan dan Rehabilitasi Sosial, Kepala Badan Pendidikan dan
Penelitian Kesejahteraan Sosial dan Kepala Biro Organisasi
dan Kepegawaian Kementerian Sosial.
Makmur Sunusi, Ph.D (Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial)
Dalam upaya meningkatkan mutu Pekerja Sosial, untuk
melaksanakan tugas pelayanan sosial di Panti Sosial, Direk-
torat Jenderal Yanrehsos menyusun buku panduan dan akan
menerbitkan kebijakan sebagai pedoman teknis bagi Pekerja
Sosial yang melaksanakan tugas fungsional di Panti Sosial.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
122
Adanya Kepmensos Nomor 43/HUK/2007 tentang
Pedoman pendidikan dan pelatihan Jabatan Fungsional
Pekerja Sosial, telah dapat memenuhi hal-hal sebagai berikut:
(a) Dapat mewujudkan standarisasi penyelenggaraan Diklat
Jabatan Fungsional Pekerja Sosial, baik yang diadakan oleh
unit kerja Diklat di lingkungan Kementerian Sosial maupun
lembaga Diklat di luar Kementerian Sosial; (b) Dapat menye-
lenggarakan Diklat jabatan fungsional Pekerja Sosial yang
belum secara optimal tepat sasaran dan waktu untuk mendu-
kung Diklat yang dipersyaratkan dalam menduduki jabatan
Pekerja Sosial per jenjang jabatan; (c) Dapat untuk meningkat-
kan kompetensi Pekerja Sosial yang diperlukan dalam pelak-
sanaan pelayanan sosial dan pengembangan kualitas pelaya-
nan sosial; (d) Dapat untuk meningkatkan kompetensi pimpi-
nan dan pengelola unit pembina Jabatan Fungsional Pekerja
Sosial dalam mendukung pelaksanaan pelayanan sosial dan
pengembangan kualitas pelayanan sosial; (e) Dapat untuk
meningkatkan kinerja institusi dalam melaksanakan pemba-
ngunan kesejahteraan sosial, karena didukung oleh adanya
Pekerja Sosial yang berkompeten dan profesional.
Terkait dengan tugas pokok Pekerja Sosial di Panti
Sosial adalah melaksanakan pelayanan sosial mulai dari
pendekatan awal, asesmen, rencana intervensi, intervensi,
evaluasi (terminasi,rujukan), bimbingan dan pembinaan lanjut.
Pekerja Sosial secara keseluruhan belum optimal dan
belum profesional dalam melaksanakan tugas tersebut,
karena para Pekerja Sosial yang diangkat menduduki Jabatan
Fungsional Pekerja Sosial umumnya tidak berlatar belakang
pendidikan profesi pekerjaan sosial.
Jumlah Pekerja Sosial yang bertugas di Panti Sosial baik
yang bekerja pada Unit Pelaksana Teknis Kementerian Sosial
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
123
maupun Unit Pelaksana Teknis Daerah secara keseluruhan
belum mencukupi dibandingkan dengan rasio jumlah perma-
salahan sosial yang ada dan Pekerja Sosial yang bertugas di
Unit Pelaksana Teknis Pusat maupun Unit Pelaksana Teknis
Daerah, dalam melaksanakan tugasnya sebagian besar tidak
sesuai dengan jabatan dan kepangkatannya.
Evaluasi, telah dilakukan secara berkala terhadap
kinerja Pekerja Sosial di panti-panti sosial milik Pusat dan
Daerah. Diperoleh hasil bahwa Pekerja Sosial banyak yang
melakukan tugas pada jenjang lain, dikarenakan terbatasnya
pemahaman tentang apa yang menjadi tugas dan tanggung
jawab dari para Pekerja Sosial. Disamping itu juga banyak
Panti Sosial tidak memiliki Pekerja Sosial yang terampil
khususnya Panti Sosial Pemda, diikuti dengan persoalan
Sumber Daya Manusia yang belum memenuhi jumlah maupun
jabatan yang harus diduduki sesuai dengan jenjang
jabatannya.
Berkaitan dengan koordinasi, telah melakukan koordi-
nasi dengan Direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Pelaya-
nan dan Rehabilitasi Sosial dalam rangka mengevaluasi
implementasi kebijakan tentang Pekerja Sosial, khususnya
terkait dengan pelaksanaan pelayanan sosial di dalam Panti
Sosial.
Dari berbagai data yang diperoleh di Pusdatin dan ber-
dasarkan pengamatan Ditjen Yanrehsos yang dilakukan di
panti-panti sosial dan di Direktorat, mutu Pekerja Sosial masih
rendah dalam melakukan tugasnya, hal ini disebabkan adanya
beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain: (a) Pada
umumnya latar belakang pendidikan para Pekerja Sosial tidak
berprofesi pekerjaan sosial; (b) Kurangnya pelatihan tentang
teori pekerjaan sosial yang diperlukan oleh petugas sesuai
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
124
dengan jenjang yang dimiliki; (c) Kemampuan untuk belajar
dan menekuni pekerjaan terbatas karena seolah-olah Pekerja
Sosial itu adalah merupakan jabatan nomor dua dibanding
dengan jabatan struktural.
Saran-saran dan pemikiran untuk meningkatkan mutu
Pekerja Sosial baik secara kualitatif maupun kuantitatif antara
lain: (a) Perlunya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM) melalui jalur pendidikan formal maupun informal;
(b) Rekruitmen pegawai dalam Jabatan Fungsional Pekerja
Sosial sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan lembaga;
(c) Penempatan pegawai dapat disesuaikan dengan kejuruan
yang dimiliki; (d) Pengangkatan pada Jabatan Fungsional
Pekerja Sosial sebaiknya melalui seleksi, sehingga tidak
melenceng dengan tugas yang harus dilaksanakan; (e) Dalam
melakukan pelayanan dan rehabilitasi sosial secara profesio-
nal diperlukan suatu prinsip dan metode; (f) Diklat-Diklat yang
dilakukan oleh Kementerian Sosial sebaiknya dapat dianggar-
kan secara rutin, sehingga dapat menyerap dan menfasilitasi
kebutuhan pegawai khususnya fungsional Pekerja Sosial.
Terkait Tim PAK, bahwa Tim PAK belum ada maupun
belum di fungsikan di masing-masing Panti Sosial di setiap
Unit Pelaksana Teknis. Tugas penilaian terhadap angka kredit
Jabatan Fungsional Pekerja Sosial masih di emban oleh Biro
Organisasi dan Kepegawaian yang berhubungan langsung
dengan para Kasubag Tata Usaha Panti Sosial dan mengirim-
kan rincian tugas dan kegiatan yang dilakukan oleh Pekerja
Sosial ke Sekretariat Direktorat Jenderal Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial dan selanjutnya diteruskan ke Biro
Organisasi dan Kepegawaian.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
125
Dr. Marjuki (Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Kessos).
Dalam upaya peningkatan mutu Pekerja Sosial, sebagai
unit pembina pengembangan SDM Pekerja Sosial, Badiklit
Kesos telah menerbitkan kebijakan antara lain: (a) Pada tahun
2005 telah membuat Rencana induk pengembangan Jabatan
Fungsional Pekerja Sosial 2005-2010 yang ruang lingkupnya
meliputi pengangkatan awal (rekruitmen), pengembangan dan
pendayagunaan serta pemberian penghargaan bagi Pekerja
Sosial, baik yang bertugas pada instansi/lembaga-lembaga
pelayanan sosial pemerintah, masyarakat termasuk pergu-
ruan tinggi dan dunia usaha yang berstatus PNS dan diangkat
dalam Jabatan Fungsional Pekerja Sosial; (b) Menindaklanjuti
SK Menteri Sosial RI Nomor 43/HUK/2007 Tentang Pedoman
Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial,
maka sebagai acuan untuk mengoperasionalisasikan Keputu-
san Menteri Sosial RI di atas, telah disusun standarisasi dan
akreditasi penyelenggaraan Diklat bagi pejabat fungsional
Pekerja Sosial sebagai acuan, pedoman atau patokan bagi
lembaga-lembaga Diklat dalam menyelenggarakan pengem-
bangan. Sumber Daya Manusia (SDM) pembangunan sosial
melalui pendidikan dan pelatihan (Diklat) bagi pejabat fungsio-
nal Pekerja Sosial, sehingga terwujud keseragaman penye-
lenggaraan Diklat diseluruh Indonesia dan keberlangsungan
(sustainabelity) pelaksanaan Diklat Jabatan Fungsional Pe-
kerja Sosial; (c) Telah diterbitkan Keputusan Kepala Badan
Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial tentang Pe-
doman Penyelenggaraan Pendidikan dan Penelitian Jabatan
Fungsional Pekerja Sosial sehingga memberi kejelasan dan
kemudahan dalam menyelenggarakan Diklat dimaksud.
Secara empiris implementasi SK Menteri Sosial Nomor:
43/HUK/2007 Tentang Pedoman Pendidikan dan Pelatihan
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
126
Jabatan Fungsional Pekerja Sosial terkait pada: Standarisasi,
dan telah dilakukan khususnya di lembaga Diklat di 6 Balai
Besar Diklat Unit Pelaksana Teknis Badiklit Kesos, tentunya
disesuaikan dengan kemampuan kelembagaan di masing-
masing Unit Pelaksana Teknis, Diklat Jabatan Fungsional
Pekerja Sosial telah melakukan seleksi secara ketat berkaitan
dengan kualifikasi calon peserta didik disesuaikan dengan
Diklat-Diklat penjenjangan dan dapat terlaksana sesuai
kebutuhan kurikulum Diklat bersangkutan, Output Diklat
menghasilkan kompetensi dasar para Pekerja Sosial pada
aspek pengetahuan, keahlian/keterampilan dan sikap
profesional para alumni Diklat untuk dapat dikembangkan
dalam praktik pelayanan dan kualitas pelayanan sosial di
masing-masing unit kerja. Kompetensi akan optimal bilamana
dalam implementasinya Pekerja Sosial diberikan peluang dan
kesempatan yang sama dengan berbagai elemen di unit kerja
disertai dengan kejelasan otoritas dan fasilitas yang memadai
untuk menunjang tupoksinya.
Kompetensi pimpinan dan pengelola unit pembina jaba-
tan fungsional juga perlu ditingkatkan sejalan dengan tuntutan
pelaksanaan pelayanan sosial dan pengembangan kualitas
pelayanan sosial, karena fungsi-fungsi manajerial dan monito-
ring evaluasi dapat berkembang menyesuaikan meningkat-
nya kompetensi para tenaga fungsional Pekerja Sosial.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pencapaian
kinerja optimal institusi dapat dibangun dari SDM yang unggul
melalui pendidikan dan pelatihan agar dapat menguasai
pengetahuan, keahlian/keterampilan dan sikap professional.
Selama ini ditengarai tupoksi Pekerja Sosial dalam
melaksanakan tahapan pelayanan sosial masih dimaknai
sebagai tugas teknis dan administrasi yang merupakan
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
127
perpanjangan dari juklak dan juknis pelayanan sosial. Tahapan
pelayanan belum dilihat dari kedalaman dan otonomi profesi
pekerjaan sosial yang mensyaratkan latar belakang pendidi-
kan khusus, kompetensi dan disupervisi oleh seorang ahli/
praktisi Pekerja Sosial professional.
Ironisnya keberhasilan intervensi pekerjaan sosial
dalam setiap tahapan hanya berorientasi pada target-target
fisik dan administrasi dari suatu program/kegiatan, bukan
target fungsional klien.
Kondisi riil di lapangan terlihat Pekerja Sosial pada
dasarnya sudah melaksanakan enam tahapan proses
pelayanan sosial mulai dari pendekatan awal, asesmen,
rencana intervensi, intervensi, evaluasi, terminasi dan
bimbingan lanjut, namun pada implementasi di lapangan
masih banyak Pekerja Sosial yang belum melaksanakan
tahapan-tahapan kegiatannya secara profesional dan
didukung pengetahuan (kompetensi yang dimilikinya).
Formasi Pekerja Sosial yang bekerja di Panti-Panti
Sosial masih belum terlaksana secara merata, sejumlah
Pekerja Sosial masih belum memenuhi standar ideal bagi
Panti-Panti Sosial, masih ada Panti Sosial yang baru memiliki
1 bahkan 3 Pekerja Sosial sedangkan klien yang harus
ditangani rata-rata 100 s/d 150 orang. Dengan demikian perlu
kiranya penataan kembali tentang formasi Pekerja Sosial
untuk masing-masing panti sehingga pelayanan bagi klien
dapat terlayani secara maksimal dengan rasio yang ideal.
Dari laporan dan pengusulan angka kredit yang dinilai
oleh Badiklit, masih terlihat pelaksanaan tugas pekerjaan yang
dilakukan oleh Pekerja Sosial, masih belum maksimal dilaksa-
nakan sesuai jenjang jabatan dan kepangkatannya dan masih
banyak tugas Pekerja Sosial dilakukan oleh berbagai jenjang
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
128
jabatan dan kepangkatan. Hal ini terjadi karena belum baiknya
penataan formasi Pekerja Sosial, juga karena pelaksanan
bimbingan teknis bagi Pekerja Sosial belum maksimal.
Terkait dengan mutu Pekerja Sosial, memang masih
rendah, karena antara lain sekali lagi disebabkan sebagian
besar Pekerja Sosial yang ada di lingkungan Kemeterian
Sosial latar belakang pendidikannya non pekerjaan sosial
(jurusan kesejahteraan sosial).
Evaluasi selalu dilaksanakan secara berkala setiap tahun
terhadap kinerja alumni Diklat dengan menggali data dan
informasi berkaitan dengan kinerja Pekerja Sosial kepada
atasan/pimpinan institusi, rekan sekerja dan alumni. Hasil
evaluasi diketahui antara lain: (1) Pada umumnya alumni Diklat
merasakan manfaat Diklat yang diikuti dengan bertambahnya
pengetahuan/wawasan, keahlian dan keterampilan bidang
pelayanan sosial; (2) Secara kelembagaan, pimpinan dan rekan
sekerja di panti (UPT/UPTD) menilai positif perubahan/
peningkatan kinerja alumni walaupun masih terkendala
kesesuaian penempatan bidang tugas dengan spesialisasi
keahlian yang diperoleh dari Diklat; (3) Hasil evaluasi telah
ditindaklanjuti dengan penyempurnaan kurikulum Diklat yang
sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan baik dalam aspek
lama/waktu Diklat dan muatan kurikulum inti dan penunjang.
Kegiatan tersebut diawali dengan melakukan Training Need
Assesment (TNA), pembuatan modul-modul Diklat, seminar
dan lokakarya alumni Diklat; (4) Koordinasi antar unit kerja
eselon 1 (UKE 1) Kementerian Sosial telah dilakukan dengan
penyampaian informasi dan jejaring kerja sama melalui media
seminar dan loka karya yang dilaksanakan oleh Unit Pelaksana
Teknis Badiklit Kesos dengan melibatkan unsur-unsur eksekutif
dan legislatif pada Pemda Provinsi, Kabupaten/Kota yang
menjadi wilayah kerja Unit Pelaksana Teknis bersangkutan.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
129
Selain itu dari rapat koordinasi para pejabat fungsional di
lingkungan Badiklit Kesos, hasilnya antara lain: (a) Kesepaka-
tan dengan Pemda Provinsi, Kabupaten/Kota untuk mengalo-
kasikan SDM-nya untuk menjadi Pekerja Sosial di Unit Pelak-
sana Teknis Daerah pada Panti-Panti Sosial meskipun dalam
jumlah terbatas karena kecilnya APBD; (b) Terciptanya jejaring
kerjasama dalam bentuk kesepakatan kerja sama (MOU)
dengan Pemda dalam rangka peningkatan SDM Pekerja
Sosial di daerah melalui Diklat, penelitian dan pengembangan
pelayanan sosial dan penjaringan calon peserta pendidikan
tinggi kedinasan jenjang S1 dan S2 di STKS Bandung.
(c) Secara internal Kementerian Sosial telah menghasilkan
integrasi kebijakan pengembangan SDM Pekerja Sosial baik
secara formal dan non formal melalui Ditjen Yanrehsos, Biro
Organisasi dan Kepegawaian, Pusdiklat dan Balai-Balai Besar
Diklat, STKS serta Penelitian dan Pengembangan Pelayanan
Sosial; d) Hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor yang
mempengaruhi rendahnya mutu Pekerja Sosial antara lain:
(1) Ketidakjelasan otoritas profesi berkaitan bidang tugas baik
dalam pelayanan sosial (direct service) maupun pengemba-
ngan pelayanan sosial (indirect service), hal ini ditunjukkan
belum adanya kejelasan pembagian ranah/fungsi manajerial
(struktural) sebagai supporting system dan spesialisasi tugas
(fungsional) sebagai tulang punggung pelayanan sosial;
(2) Fasilitas kerja seperti ATK, biaya operasional, alat transpor-
tasi dan lain-lain kurang memadai; (3) Belum terciptanya
hubungan yang sinergis dan harmonis antara Pekerja Sosial
dengan pejabat struktural serta pejabat fungsional lainnya,
karena keterbatasan pemahaman tupoksi, distribusi dan
reposisi peran; (4) Terbatasnya pemahaman dan kemampuan
Pekerja Sosial pada berbagai jenjang, khususnya jenjang
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
130
Pekerja Sosial ahli, selama ini Pekerja Sosial hanya berorien-
tasi pada pelayanan sosial langsung kepada klien (direct
service), sedangkan kemampuan pada jenjang ahli yang
memerlukan “specialized knowledge” dengan persiapan
waktu dan akademis yang panjang dan intensif seperti
pengembangan kualitas pelayanan kesejahteraan sosial dan
pengembangan profesi sangat terbatas.
Ka.Badiklit memfokuskan pada rekruitmen awal sebagai
entry point menentukan mutu Pekerja Sosial. Rendahnya mutu
Pekerja Sosial selama ini ditengarai karena input SDM tidak
memiliki kualifikasi dan kompetensi sebagai seorang Pekerja
Sosial profesional yang ditandai dengan latar belakang
pendidikan non profesi.
Terkait penilaian angka kredit, bahwa nilai angka kredit
untuk setiap butir kegiatan Pekerja Sosial tidak proporsional
dan tidak semua bentuk kegiatan Pekerja Sosial di panti dapat
diberikan angka kredit. Kondisi tersebut lebih sulit lagi apabila
pejabat penilai angka kredit kurang memahami terhadap
bidang tugas Pekerja Sosial dan angka kreditnya sesuai
dengan Keputusan Menpan Nomor KEP/03/M.PAN/1/2004.
Armay, SH, M.Hum, MM (Kepala Biro Organisasi dan Kepegawaian)
Kondisi riil di lapangan melihat kinerja dan tingkat kom-
petensi Pekerja Sosial yang bekerja di panti pada dasarnya
mereka sudah melaksanakan 6 tahapan proses pelayanan
sosial mulai dari pendekatan awal, assessment, rencana inter-
vensi, intervensi, evaluasi, terminasi dan bimbingan lanjut.
Pada implementasinya di lapangan masih banyak
Pekerja Sosial yang belum melaksanakan tahapan-tahapan
kegiatannya secara profesional dan didukung pengetahuan
(kompetensi yang dimilikinya) hal tersebut dikarenakan masih
banyaknya latarbelakang Pekerja Sosial yang tidak memiliki
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
131
background pendidikan yang mendukung (non-Peksos), hal ini
sama dengan yang disampaikan Dr. Marjuki dan Dr. Makmur
Sunusi.
Formasi Pekerja Sosial yang bekerja di panti-panti masih
belum terlaksana secara merata, jumlah Pekerja Sosial masih
belum memenuhi standar ideal bagi panti-panti.
Dari laporan dan pengusulan angka kredit yang masuk
dan dinilai oleh Biro Orpeg (Organisasi dan Kepegawaian),
masih terlihat pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh Pekerja
Sosial masih belum maksimal sesuai dengan jenjang jabatan
dan kepangkatannya.
Realitanya masih banyak pelaksanaan tugas Pekerja
Sosial dilakukan oleh berbagai jenjang jabatan dan kepang-
katan, karena hal ini disamping belum baiknya penataan
formasi Pekerja Sosial juga pelaksanan bimbingan teknis bagi
Pekerja Sosial belum maksimal.
Biro Organisasi dan Kepegawaian mempunyai data
bahwa sebagian besar Pekerja Sosial yang ada di lingkungan
Kementerian Sosial latarbelakang pendidikannya bukan
pekerjaan sosial (jurusan kesejahteraan sosial).
Disimpulkan bahwa dalam prakteknya Pekerja Sosial
melaksanakan tupoksinya masih sangat tergantung dari
kemauan para pemimpin lembaga dan tenaga lain yang ada di
dalam Panti Sosial. Bagi lembaga yang memiliki pimpinan
yang mendukung dan memberikan penghargaan terhadap
Pekerja Sosial maka peran Pekerja Sosial akan terlihat. Tetapi
sebaliknya, maka Pekerja Sosial hanya akan menjadi simbol
dan syarat suatu organisasi.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
132
Direktur Di Lingkungan Ditjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Bagaimana dengan pendapat para stakeholder yaitu
Direktur di lingkungan Ditjen Yanrehsos, bahwa Direktorat di
lingkungan Ditjen Yanrehsos telah melakukan evaluasi secara
reguler terhadap pelayanan sosial yang dilakukan oleh Pekerja
Sosial, bersama dengan Kepala Panti Sosial Unit Pelaksana
Teknis Kementerian Sosial, melalui berbagai pertemuan,
demikian juga koordinasi sudah dilaksanakan walaupun
sifatnya masih reaksional jika ada kebutuhan dan masalah
yang dihadapi terkait pelayanan dalam Panti Sosial. Terkait
masa depan Pekerja Sosial, kepada mereka perlu terus
menerus diberikan motivasi. Sistem peluang mutasi diagonal
juga harus diwujudkan sehingga masa depan Pekerja Sosial
semakin terbuka.
Disamping itu juga banyak Panti Sosial tidak memiliki
Pekerja Sosial yang terampil khususnya Panti Sosial milik
Pemda, dengan Sumber Daya Manusia yang belum memenu-
hi jumlah maupun jabatan yang harus diduduki sesuai dengan
jenjang jabatannya.
Terkait dengan keberadaan Tim PAK yang sangat pen-
ting untuk penilaian angka kredit bagi Pekerja Sosial, umum-
nya sudah berfungsi di Panti Sosial milik Kementerian Sosial.
Keberfungsian Tim PAK pada unit kerja Panti Sosial atau
instansi di atasnya ternyata belum optimal dan terkesan bahwa
tim tersebut hanya menilai angka kredit yang disodorkan oleh
Kepala Panti Sosial tanpa disesuaikan dengan jenjang jabatan
Pekerja Sosial di setiap Unit Pelaksana Teknis dan ditangani
langsung oleh Biro Organisasi dan Kepegawaian.
Untuk masa mendatang diharapkan sesuai dengan
ketentuan, Tim PAK seharusnya sudah terbetuk di setiap Panti
Sosial dan di setiap Direktorat masing-masing, untuk mem-
bantu kelancaran dalam mengusulkan angka kredit.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
133
Saran-saran dan pemikiran para Direktur Ditjen Yanreh-
sos, serta upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
mutu Pekerja Sosial baik secara kualitatif maupun kuantitatif:
Pertama, perlunya pengangkatan CPNS yang secara
langsung diangkat menjadi tenaga Pekerja Sosial pada Unit
Pelaksana Teknis. Hal ini untuk memenuhi jumlah Pekerja
Sosial sesuai dengan rasio klien yang ada.
Kedua, perlu adanya monitoring maupun pembekalan
dari sekelompok Tim untuk memberikan penyegaran tentang
ilmu pekerjaan sosial sekaligus memantau pelaksanaan tugas
Pekerja Sosial. Disisi lain mereka dapat berkonsultasi apabila
menemui hambatan dalam pelaksanaannya.
Ketiga, Diklat penjenjangan bagi Pekerja Sosial harus
benar-benar terseleksi. Jadi tidak semua yang terdaftar dapat
mengikutinya demikian pula dengan kelulusannya.
Keempat, perlu adanya penegasan bagi Kepala Panti
Sosial untuk lebih memberikan perhatian atas laporan dari
setiap Pekerja Sosial, sehingga laporan tersebut benar-benar
sesuatu yang mereka kerjakan bukan hanya mengcopi dari
Pekerja Sosial lainnya.
Apa yang dilakukan para Direktur di lingkungan Ditjen
Yanrehsos dalam upaya meningkatkan mutu Pekerja Sosial
dalam melaksanakan tugas pelayanan sosial di Panti Sosial,
antara lain adalah menyusun buku panduan dan menerbitkan
kebijakan sebagai pedoman teknis bagi Pekerja Sosial yang
melaksanakan tugas fungsional di Panti Sosial.
Langkah lain yang dilakukan adalah pembinaan teknis
secara berkala terhadap Pekerja Sosial untuk menumbuhkan
semangat dalam bekerja, kepercayaan diri sebagai pejabat
fungsional yang harus mandiri dan terampil baik di lingkungan
panti maupun di masyarakat.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
134
Ka. Balai Besar Diklat Kessos (6 wilayah: Bandung, Yogyakarta,
Makasar, Banjarmasin, Padang, Jayapura).
Bagaimana dengan penyelenggaraan/implementasi
Pedoman Diklat bagi tenaga fungsional Pekerja Sosial
(Permensos Nomor: 43/HUK/2007), maka telah dimintakan
pendapat dan tanggapan secara tertulis kepada Kepala Balai
Besar Diklat Kessos di 6 cluster dan berikut ini rangkuman
pendapat Kepala BBPPKS Bandung, Yogyakarta, Makassar,
Padang, Banjarmasin dan Jayapura.
Penjelasan tentang adanya Keputusan Menteri Sosial
Nomor 43/HUK/2007 tentang Pedoman Pendidikan dan Pela-
tihan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial sebagai berikut,
sampai dengan tahun 2009, BBPPKS belum menyelenggara-
kan Diklat Jabatan Fungsional Pekerja Sosial (JFPS) yang
mengacu pada Keputusan Menteri Sosial Nomor 43/HUK
/2007 tentang Pedoman Pendidikan dan Pelatihan Jabatan
Fungsional Pekerja Sosial.
Kepmensos Nomor 43/HUK/2007 tentang Pedoman
Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial
telah cukup memberikan kerangka landasan dalam mewujud-
kan standardisasi penyelenggaraan Diklat Jabatan Fungsional
Pekerja Sosial.
Melalui pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan ter-
lihat adanya peningkatan kemampuan para Pekerja Sosial di
Panti Sosial dalam melaksanakan pelayanan sosial. Namun
demikian untuk memperluas kemampuan tersebut masih perlu
terus diupayakan Diklat yang mampu menjangkau Pekerja
Sosial secara keseluruhan dan terkait juga jumlah Pekerja
Sosial yang bertugas di Panti Sosial masih perlu ditingkatkan
untuk dapat memenuhi rasio yang ideal. Secara umum Pekerja
Sosial yang bekerja di Panti Sosial telah melaksanakan
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
135
tugasnya sesuai dengan jenjang jabatan dan kepangkatan-
nya. Namun demikian dalam beberapa hal masih terjadi
tumpang tindih pelaksanaan tugas yang antara lain disebab-
kan oleh terbatasnya jumlah Pekerja Sosial.
Latar belakang terjadinya kondisi yang menunjukkan
bahwa sebagian besar Pekerja Sosial tidak berlatar belakang
pendidikan kesejahteraan sosial, adalah besarnya minat
pegawai yang berlatar belakang pendidikan pekerjaan sosial
untuk berkarir dalam jabatan struktural. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan profesionalitas mereka perlu terus diupayakan
pendidikan dan pelatihan dasar Pekerja Sosial.
Hasil evaluasi Diklat yang diikuti Pekerja Sosial menun-
jukkan bahwa Diklat dimaksud dapat membantu Pekerja Sosial
dalam mengubah secara positif pengetahuan dan sikap dalam
pelayanan sosial, tetapi belum terjadi perubahan keterampilan
dalam melakukan pelayanan sosial. Kondisi tersebut menye-
babkan belum terjadinya perubahan kinerja Pekerja Sosial ke
arah yang lebih baik dalam melakukan pelayanan sosial.
Pelaksanaan koordinasi yang berkaitan jenjang Diklat
fungsional Pekerja Sosial, hasilnya adalah: (a) Pengembangan
kurikulum dengan modul Pekerja Sosial; (b) Jadwal pelaksa-
naan pelatihan; (c) Pelaksanaan pelatihan melalui Diklat peme-
rintah daerah; (d) Pelaksanaan evaluasi, motivasi terhadap
pelaksanaan Diklat Pekerja Sosial. Pelaksanaan jenjang Diklat
fungsional Pekerja Sosial meliputi Diklat sertifikasi Pekerja
Sosial, PDPS, Pekerja Sosial terampil dan Pekerja Sosial ahli.
Hasil koordinasi dengan Pusdiklat tentang Diklat Fung-
sional Pekerja Sosial adalah sebagai berikut: Pusdiklat ber-
tanggungjawab dalam hal TOT, kurikulum dan modul serta
penerbitan sertifikat, Balai Besar sebagai penyelenggara Diklat
sertifikat penjenjangan sehingga dalam pelaksanaannya selalu
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
136
berkoordinasi dengan Pusdiklat Kesos dalam penerbitan serti-
fikat dan pelaksanaan ujian.
Untuk peningkatan mutu Pekerja Sosial, langkah-
langkah secara kualitatif yang dilakukan oleh BBPPKS adalah:
(a) Pekerja Sosial perlu mengikuti Diklat penjenjangan sesuai
dengan Kepmensos Nomor 43/HUK/2007 tentang Pedoman
Diklat Jabatan Fungsional; (b) Pekerja Sosial perlu diberikan
literatur-literatur agar mereka dapat mengetahui perkemba-
ngan. Perlu internet pada Diklat terkait.
Secara kuantitatif: (a) Perlu melaksanakan sosialisasi
keseluruh daerah di Indonesia, karena masih banyak daerah
yang belum mengetahui tentang Pekerja Sosial, selain banyak
pihak PNS yang berkemampuan untuk menjadi tenaga fung-
sional Pekerja Sosial; (b) Perlu segera membentuk Tim PAK di
daerah; (c) Balai besar diberikan legalitas untuk melakukan
sosialisasi dengan disertai literatur dan brosur tentang Pekerja
Sosial. Tim PAK belum menyeluruh ada di daerah dan belum
berfungsi termasuk di Panti Sosial dan perlu dilakukan sosiali-
sasi serta diberikan buku-buku dan brosur tentang jabatan
fungsional Pekerja Sosial dengan Tim PAK nya.
Dalam mengikuti pelatihan, belum seluruh Pekerja
Sosial telah mengikuti Diklat menurut jenjang pangkatnya,
terutama bagi Pekerja Sosial yang bekerja pada Panti Sosial
pemerintah daerah, hal ini dipengaruhi antara lain karena
Diklat Jabatan Fungsional Pekerja Sosial selama ini masih
kurang dan terbatas.
Hal lain yang menyebabkan belum berfungsi secara
maksimal dalam proses PAK, karena masih cenderung
mencermati persyaratan administrasi dari pada substansial.
Hal tersebut karena lemahnya kompetensi anggota Tim dalam
menilai angka kredit Pekerja Sosial.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
137
C. Evaluasi Hasil Pelaksanaan Kebijakan Tentang Mutu
Pekerja Sosial.
Untuk mengetahui apakah mutu Pekerja Sosial dalam
kaitannya dengan hasil pelaksanaan kebijakan tentang
Pekerja Sosial sesuai dengan standar pelayanan sosial di
Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pada
periode 2004-2009, salah satu langkah yang dilakukan adalah
melaksanakan “Workshop tentang mutu pelayanan sosial di
Panti Sosial oleh Pekerja Sosial” dilanjutkan dengan Focus
Group Discussion (FGD), yang dihadiri sebanyak 250 Kepala
Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UPT
dan UPTD), pada tanggal 8 - 9 November 2009, di Balai Besar
Diklat Kessos Yogyakarta, dengan merekam sudut pandang
dan pemikiran yang disampaikan oleh Menteri Sosial, Direktur
Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, para Direktur di
lingkungan Ditjen Yanrehsos, masukan dan saran dari para
Kepala Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dr. Salim Segaf Aljufri, MA ( Menteri Sosial RI).
Beri yang terbaik untuk bangsa dengan metode/cara
yang lebih up to date; Kondisi masyarakat cukup memprihatin-
kan, penyakit fisik, psikososial, dan keterlantaran. Kondisi
hidup mereka disabilitas baik fisik, mental, intelektual, sosial
maupun psikososial sehingga keberfungsian sosial mereka
tidak sempurna.
Oleh karena itu, mereka memerlukan pelayanan sosial
yang sesuai melalui panti sosial sebagai salah satu pilihan
kebijakan. Panti sosial sebagai tumpuan terakhir; Lansia
semakin meningkat, mendekati angka 8,5% atau sekitar 1,7
juta lansia terlantar; Kementerian Sosial telah membangun
berbagai sarana dan prasarana fisik panti sosial sebagai pusat
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
138
kesejahteraan sosial yang dirancang untuk memberikan pela-
yanan sosial kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS) terutama orang dengan kecacatan, anak
terlantar, lanjut usia, tuna sosial dan lain-lain sebanyak 200
unit panti sosial yang tersebar di seluruh provinsi pada tahun
1999. Jumlah itu belum termasuk Loka Bina Karya (LBK)
sebanyak 350 unit yang dirancang sebagai fasilitas untuk
meningkatkan keterampilan vokasional penyandang cacat
untuk mencapai kemandirian.
Namun seiring dengan penyelenggaraan Otonomi
Daerah, hampir semua Panti Sosial (190 unit) dan semua LBK
diserahkan kepada Pemerintah Daerah dan saat ini dikelola
oleh Dinas Sosial. Kalau Panti Sosial UPTD (Unit Pelaksana
Teknis Daerah) itu dikelola dengan baik, sebagian permasa-
lahan kesejahteraan sosial sudah dapat diselesaikan di
peringkat daerah.
Kementerian Sosial saat ini dengan hanya memiliki 35
unit panti sosial tidak mungkin memenuhi kebutuhan rehabili-
tasi sosial kepada PMKS, kecuali kerjasama dengan Pemerin-
tah Daerah. Menyusul penyerahan panti sosial, Kementerian
Sosial mengeluarkan Keputusan Menteri Sosial Nomor 50/
HUK/2004 tentang Standarisasi Panti dengan tujuan untuk
menjaga agar kualitas pelayanan sosial yang dilakukan oleh
panti sosial daerah tetap terpelihara.
Standar panti ini diharapkan menjadi rujukan panti sosial
agar kualitas pelayanan sosial yang kita berikan kepada yang
berhak dapat memenuhi kebutuhan klien. Setelah satu dekade
desentralisasi pelayanan sosial dari pusat ke daerah, pada
pertemuan kepala panti seluruh Indonesia ini adalah waktu
yang tepat untuk mengevaluasi apakah standar panti itu tetap
prima dan apakah standar pelayanan sosial tetap terjaga?
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
139
Komitmen yang kami bangun di Kementerian Sosial
adalah terus memberikan perhatian kepada panti sosial eks
pusat sekalipun sudah menjadi milik daerah, karena secara
fungsional kami masih memiliki tanggung jawab untuk membe-
rikan pembinaan fungsional. Hal ini penting mengingat kebija-
kan pusat dalam hal rehabilitasi sosial harus diimplemen-
tasikan oleh Dinas Sosial.
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009
tentang Kesejahteraan Sosial, semakin memperkuat posisi
dan peran Dinas Sosial untuk menyelenggarakan kesejahte-
raan sosial. Evaluasi standar tersebut meliputi 6 aspek, yaitu:
kelembagaan, SDM, sarana dan prasarana, pembiayaan,
pelayanan sosial dasar, monitoring dan evaluasi. Implemen-
tasi keenam aspek manajemen panti sosial itu dapat didisku-
sikan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan sosial.
Diberlakukannya Undang Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, hampir semua Panti
Sosial dan LBK milik Kementerian Sosial termasuk di dalam-
nya personil, perlengkapan, pembiayaan maupun dokumen-
tasi diserahkan sepenuhnya kepada daerah dan menjadi panti
sosial sebagai UPTD.
Dalam perkembangannya, jangkauan dan kualitas pela-
yanan sosial bagi PMKS tampaknya mengalami penurunan
disebabkan kurangnya dukungan pemerintah daerah terha-
dap penyediaan sumber daya manusia, perlengkapan,
teknologi, penganggaran, manajemen dan organisasi.
Kedepan tidak boleh ada lagi alih fungsi panti sosial,
karena bila hal itu terjadi hanya akan mempersempit ruang
lingkup Dinas Sosial. Oleh karena itu, Dinas Sosial harus
mampu memperjuangkan dukungan anggaran lebih besar
melalui APBD.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
140
Sebagaimana kami di pusat (Kementerian Sosial) juga
terus berjuang agar anggaran kesejahteraan sosial meningkat
dalam APBN. Sebab, menurut arahan Bapak Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dalam Sidang Kabinet Paripuna yang
pertama, agenda utama Kabinet Indonesia Bersatu II adalah:
peningkatan kesejahteraan, pemantapan nilai demokrasi dan
penegakan prinsip keadilan bagi semua warga negara.
Kementerian Sosial sewajarnya menjadi leading sector
bagi program kesejahteraan sosial. Panti sosial pusat dan
daerah diarahkan menjadi pusat pelayanan kesejahteraan
sosial (Care Management Center), yang dapat memperluas
jangkauan pelayanan sosial walaupun dengan kapasitas yang
sangat terbatas. Fungsi panti sosial adalah: (1) memberikan
berbagai jenis pelayanan pencegahan, pemulihan, reintegrasi,
perlindungan dan pengembangan serta menjadi sistem pen-
dukung pelayanan sosial lainnya; (2) menjadi pusat informasi
pelayanan kesejahteraan sosial bagi masyarakat yang mem-
butuhkan; (3) menjadi pusat rujukan bagi panti-panti sosial
milik masyarakat/swasta, terutama bagi klien yang membutuh-
kan pelayanan terpadu atau pengembangan kemampuan
secara optimal; (4) memberikan bantuan teknis dalam pe-
ngembangan program pelayanan panti-panti sosial milik mas-
yarakat/swasta; (5) menjadi pusat konsultasi bagi pengemba-
ngan kapasitas pelayanan panti sosial milik masyarakat/
swasta;(6) menjadi lembaga yang dijadikan sasaran penelitian
bagi kalangan perguruan tinggi; (7) menjadi sarana untuk pe-
ngembangan model-model pelayanan kesejahteraan sosial;
(8) melaksanakan outreaching (perluasan) program bagi
PMKS yang berada di luar panti. Pelayan sosial bagi lanjut
usia, anak terlantar, orang dengan kecacatan, tuna sosial dan
lain-lain, secara tradisional dilakukan oleh keluarga.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
141
Kementerian Sosial memberikan pelayanan sosial melalui
panti sosial bagi mereka yang miskin dan terlantar.
Mayoritas masyarakat percaya bahwa pihak keluarga
dapat memberikan perawatan bagi anggota keluarganya yang
mengalami keterbatasan kemampuan tersebut. Tetapi kita
juga menyadari bahwa telah sejak lama pelayanan sosial oleh
keluarga telah menjadi semakin sulit dan menghadapi tanta-
ngan berat. Alasannya adalah: (1) Semakin banyak perem-
puan memiliki pekerjaan di luar rumah sebagai perwujudan
dari peningkatan tingkat partisipasi perempuan dalam berba-
gai aspek kehidupan; (2) Semakin banyak lanjut usia dengan
usia harapan hidup lebih panjang, sementara penyandang
cacat, anak terlantar dan tuna sosial yang membutuhkan pela-
yanan khusus juga semakin banyak; (3) Rasio lanjut usia yang
tinggal dengan anak-anak mereka semakin menurun dengan
cepat, terutama di kota-kota besar dan rasio lanjut usia yang
hidup sebatangkara diperkirakan meningkat signifikan;
(4) Generasi lanjut usia dan generasi anak-anak mereka yang
menginginkan untuk hidup lebih mandiri juga diperkirakan
semakin besar.
Tugas kita antara lain mengubah Panti Tresna Werdha
yang terkesan kusam menjadi “Happy Ending House” atau
“Bait Husnul Khatimah”. Kualitas pelayanan sosial sulit
ditingkatkan mengingat permintaan (demand) jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan pasokan (supply). Tetapi, kita tak pernah
kehilangan semangat untuk menghadapi tantangan itu;
revitalisasi dan kebangkitan kembali pelayanan sosial secara
komprehensif melalui panti sosial mari kita canangkan di
Yogyakarta hari ini.
Sejak tahun 1999 tanggung jawab pelayanan sosial
sudah bergeser dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
142
Daerah dan setiap Dinas Sosial sekarang dalam situasi yang
tepat untuk membuat sebuah Perencanaan Pelayanan Sosial
tahun 2010-2014. Revitalisasi ini kita lakukan dalam kerangka
“Reformasi Desentralisasi.”
Di Indonesia, banyak program peningkatan pelayanan
sosial bagi PMKS berbasis Panti Sosial. Kementerian Sosial
perlu memulai kembali metoda pembangunan yang disebut
sheltered housing atau group home, tempat dimana lanjut usia
melakukan aktivitas sekaligus memperoleh pelayanan sosial
dari komunitas berdasarkan prinsip-prinsip sukarela. Setelah
itu, sistem penyediaan pekerja sosial daerah (kabupaten/kota)
perlu dimulai dan fasilitas pelayanan sosial seperti panti sosial
perlu digairahkan kembali.
Sesuai dengan Rencana Strategis Kementerian Sosial
Tahun 2010-2014, Kementerian Sosial bersama-sama dengan
Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota perlu bahu mem-
bahu memulai kembali membangun panti sosial untuk
berbagai karakteristik PMKS seperti lanjut usia, anak terlantar,
dan penyandang cacat. Saya kira perencanaan pelayanan
sosial perlu diperluas: bisa dalam bentuk Home Help,
Sheltered Housing, Nursing Homes, Day-Care Center,
Fasilitas Kesehatan bagi Lanjut Usia.
Untuk meningkatkan partisipasi sosial masyarakat
dalam pelayanan sosial bagi lanjut usia, anak terlantar,
penyandang cacat dan lain-lain maka perlu ada pemikiran
dibentuknya Night Patrol dan Day-Care Center, Home Health
Care, Technical Aid, Group Living, Modern Old Age Home.
Sedangkan integrasi antara sektor kesejahteraan sosial
dengan sektor kesehatan dan pendidikan perlu segera direali-
sasikan. Saya akan berdiskusi dengan Menteri Kesehatan dan
Menteri Pendidikan Nasional agar dapat melakukan program
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
143
terpadu, sehingga semangat “Program 100 Hari Kabinet
Indonesia Bersatu II” lebih terasa. Pertemuan ini menandai
bahwa seluruh jajaran Kementerian Sosial di pusat dan
daerah siap bekerja sejak hari pertama pembentukan kabinet
baru dengan mengakselerasi dan mengoptimalkan program
yang telah berjalan selama ini.
Rekomendasi Workshop dan FGD.
Akhir dari Workshop, dilanjutkan dengan Focus Group
Discussion (FGD), telah digali berbagai pemikiran dan
kesimpulan dalam rangka perbaikan pelaksanaan untuk
meningkatkan mutu pelayanan sosial oleh pekerja sosial di
Panti Sosial, dengan berpedoman pada standar pelayanan
sosial di Panti Sosial yang mencakup kualifikasi pendidikan
Pekerja Sosial.
Kualifikasi pelayanan sosial yang terdiri dari 6 (enam)
tahap yaitu: pendekatan awal-asesmen-rencana intervensi-
intervensi-evaluasi (terminasi, rujukan) bimbingan dan pembi-
naan tindak lanjut, kualifikasi pengembangan kualitas pelaya-
nan kesejahteraan sosial, pengembangan profesi (karya tulis/
karya ilmiah, pembuatan buku/pedoman/juklak/juknis pelaya-
nan kesejahteraan sosial, aktif dalam penerbitan buku dan
mengikuti studi banding di bidang pelayanan kesejahteraan
sosial).
Aspek penunjang standar pelayanan sosial di Panti
Sosial, antara lain adalah: pengajar/pelatih dalam pelayanan
kesejahteraan sosial, aktif dalam seminar/lokakarya bidang
pelayanan kesejahteraan sosial, keanggotaan dalam organi-
sasi Pekerja Sosial, keanggotaan dalam Tim PAK, mempe-
roleh gelar kesarjanaan lainnya dan perolehan penghargaan/
tanda jasa.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
144
Pada dasarnya semua Panti Sosial (Unit Pelaksana
Teknis Daerah dan Pusat) memiliki tugas pokok dan fungsi
yang sama yakni memberikan pelayanan sosial kepada PMKS
utamanya penyandang cacat, lanjut usia, anak terlantar dan
lain-lain, dengan menggunakan pendekatan pekerjaan sosial.
Walaupun Panti Sosial eks-pusat yang sudah menjadi
Unit Pelaksana Teknis Daerah, tetapi dalam melaksanakan
tugas pokok dan fungsinya dalam memberikan pelayanan
sosial masih tetap merujuk kepada kebijakan dan program re-
habilitasi sosial yang dikembangkan oleh Kementerian Sosial
melalui Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi sosial.
Hal ini menunjukan adanya komitmen yang baik dari peme-
rintah daerah terhadap pembangunan kesejahteraan sosial,
tetapi ini belum cukup untuk meningkatkan mutu Panti Sosial.
Berdasarkan laporan kepala Panti Sosial Unit Pelaksana
Teknis Daerah, kondisi Panti Sosial daerah pada umumnya
sudah tidak layak lagi sebagai sebuah pusat kesejahteraan
sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan PMKS yang semakin
meningkat baik kompleksitas permasalahan kesejahteraan
sosialnya maupun populasinya. Hal ini terjadi karena lemah-
nya dukungan pemerintah daerah dalam aspek finansial,
sumber daya manusia (pekerja sosial), sarana dan prasarana,
fasilitas atau perlengkapan, manajemen, bahkan organisasi.
Untuk mengatasi masalah kelangkaan pekerja Sosial
dalam Panti Sosial Unit Pelaksana Teknis Daerah, adalah
menjadi tanggung jawab Dinas Sosial untuk menyediakan
Pekerja Sosial karena Panti Sosial Unit Pelaksana Teknis
Daerah adalah organisasi yang berada di bawah SKPD
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk memenuhi
kebutuhan ini, Kementerian Sosial telah siap membantu dan
membuka akses bagi Dinas Sosial dalam rangka untuk
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
145
meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM terutama penjenja-
ngan profesi pekerjaan sosial (pekerja sosial).
Walaupun peranan sosial keluarga dan komunitas seba-
gai basis utama dalam pelayanan sosial bagi Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial yang paling membutuhkan,
tetapi keberadaan Panti Sosial tetap sangat diperlukan karena
merupakan sebuah pilihan yang harus tersedia dalam me-
ngantisipasi situasi dimana keluarga dan komunitas tidak
mampu melakukan pelayanan sosial kepada anggota keluar-
ganya yang menjadi PMKS.
Panti Sosial pusat dan daerah di masa yang akan datang
agar diarahkan menjadi pusat pelayanan kesejahteraan sosial
(Care Management Center), yang dapat memperluas jang-
kauan pelayanan sosial walaupun dengan kapasitas yang
sangat terbatas.
Menindaklanjuti kebutuhan akan pedoman atau pan-
duan yang berkaitan dengan pelayanan sosial dalam panti,
akan diupayakan agar direktorat teknis mengirimkan panduan/
pedoman sampai tingkat Unit Pelaksana Teknis Daerah.
Sebaliknya Unit Pelaksana Teknis Daerah dapat berperan aktif
berkoordinasi dengan direktorat teknis Kementerian Sosial.
Terkait dengan kebutuhan pedoman, masukan para
stakeholder di Kementerian Sosial dan dialog dengan Pekerja
Sosial, perlu dibuat kebijakan dalam bentuk Kepmensos yang
mengatur tentang pelayanan sosial di Rumah Sakit dan
Lembaga Pemasyarakatan. Sebab Kepmensos yang ada
substansinya terfokus pada pelayanan sosial di Panti Sosial.
Kepala Panti Sosial diminta memberikan dukungan
dengan komitmen yang kuat untuk mengembangkan lebih lan-
jut Panti Sosial yang ada dalam rangka meningkatkan kinerja
dan mempeluas jangkauan pelayanan sosial kepada PMKS.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
146
Menyangkut persoalan keterbatasan Pekerja Sosial
yang dihadapi oleh Panti Sosial Unit Pelaksana Teknis Daerah,
maka bila memungkinkan mengangkat tenaga honorer de-
ngan mengutamakan mereka yang berlatar belakang pendidi-
kan pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial dan untuk itu
Badiklit Kessos Kementerian Sosial memfasilitasi dan mem-
buka kesempatan pelatihan pekerjaan sosial bagi utusan Panti
Sosial Unit Pelaksana Teknis Daerah.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
BAB VINDIKATOR EVALUASI
DAN DESKRIPSI HASIL PELAKSANAAN KEBIJAKAN MUTU PEKERJA SOSIAL
147
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
148
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
BAB VINDIKATOR EVALUASI
DAN DESKRIPSI HASIL PELAKSANAAN KEBIJAKAN MUTU PEKERJA SOSIAL
ADA bab V ini, akan disajikan indikator evaluasi hasil
Pkebijakan mutu pekerja sosial dan deskripsi hasil
pelaksanaan kebijakan mutu pekerja sosial.
Deskripsi hasil pelaksanaan kebijakan mutu pekerja
sosial dalam rangka memenuhi standar pelayanan sosial di
Panti Sosial disajikan secara lengkap dalam data kuantitatif
berkaitan dengan Latar Belakang Pendidikan, Ketentuan
Jabatan Fungsional Pekerja Sosial (JFPS), Kegiatan Pelaya-
nan Kesejahteraan Sosial Dan Pengembangan Kualitas Pela-
yanan Sosial, Formasi Pekerja Sosial, Penilaian Angka Kredit,
Kompetensi Profesi Pekerja Sosial, Partisipasi Masyarakat
dan Sarana Penunjang Kerja Pekerja Sosial.
A. Indikator Evaluasi Hasil Pelaksanan Kebijakan.
Secara umum, terdapat empat jenis indikator evaluasi
hasil pelaksanaan kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial
sebagai berikut: (1) Indikator masukan, mencakup antara lain
kualifikasi pendidikan dari Pekerja Sosial, formasi yang terse-
dia untuk Pekerja Sosial, dukungan anggaran dan sarana yang
tersedia, dan berbagai kebijakan dan peraturan serta perun-
dang-undangan yang berlaku; (2) Indikator proses, efektifitas
149
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
pelayanan sosial yang dilaksanakan, pengembangan kualitas
pelayanan kesejahteraan sosial, pengembangan profesi
Pekerja Sosial; (3) Indikator keluaran, jumlah klien yang diter-
minasi sesuai dengan rencana program, kualitas/ketrampilan
klien yang diterminasi, monitoring dan evaluasi dan pembi-
naan tindak lanjut; (4) Indikator dampak, antara lain berupa
masa tunggu eks klien (alumni Panti Sosial) mandiri dan
diserap oleh lapangan kerja, pengaruh kelulusan terhadap
lapangan kerja PMKS.
Indikator evaluasi hasil pelaksanaan kebijakan terkait
dengan mutu Pekerja Sosial, meliputi: (1) latar belakang pendi-
dikan Pekerja Sosial; (2) Jabatan Fungsional Pekerja Sosial;
(3) pelayanan sosial dan pengembangan kualitas pelayanan
sosial; (4) Formasi Pekerja Sosial; (5) Penilaian angka kredit
Pekerja Sosial; (6) Kompetensi profesi Pekerjaan Sosial.
150
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
B. Deskripsi Hasil Pelaksanaan Kebijakan Mutu Pekerja
Sosial.
Adapun deskripsi hasil pelaksanaan kebijakan tentang
mutu pekerja sosial dalam rangka memenuhi standar pelaya-
nan sosial di Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan indikator evaluasi hasil kebijakan
disajikan dalam bentuk data-data kuantitatif berikut ini.
1. Pekerja Sosial Di Panti Sosial.
1) Latar Belakang Pendidikan.
Proporsi terbesar (38,05%) adalah berpendidikan
S1 (umumnya pendidikan non kesejahteraan sosial),
diikuti pendidikan SLTA 21,68 %, sedangkan pendi-
dikan DIII dan DIV umumnya dari pendidikan kese-
jahteraan sosial sekitar 17,7%. Sudah ada Pekerja
Sosial yang berpendidikan S2 (4,43%).
151
NO JENJANG PENDIDIKAN F %
1 SLTA 49 21.68
2 SMPS 36 15.93
3 DI 3 1.33
4 DII 2 0.88
5 DIII 20 8.85
6 DIV 20 8.85
7 S1 86 38.05
8 S2 10 4.43
9 S3
JUMLAH 226 100.00
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
2) Ketentuan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial
(JFPS).
(1) Pemahaman Pekerja Sosial terhadap ketentuan
JFPS, tersaji dalam diagram berikut ini :
44,25% Pekerja Sosial yang bertugas di Panti
Sosial memahami ketentuan JFPS secara utuh
terhadap 6 peraturan yaitu: Keputusan MENPAN No.
45/Menpan/1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan
Pekerja Sosial, Surat Edaran Bersama Menteri
Sosial dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian
Negara, Nomor B/C-01-VIII-88/MS, Nomor 17/SE/
1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Pekerja
Sosial, Keputusan Menteri Sosial Nomor 10/HUK/
1999 tentang Tata kerja Tim Penilai dan Tata cara
Penilaian Angka Kredit bagi Jabatan Pekerja Sosial.
Keputusan MENPAN Nomor KEP/03/M.PAN /I/2004
tentang JFPS dan Angka Kreditnya, Keputusan
Bersama Menteri Sosial dan Kepala Badan
Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 05/HUK/
152
44,25%, 100 org
38,50%, 87 org
5,31%, 12 org2,21%, 5 org
9,73%, 22 org
Diagram 1 . Pemahaman Pekerja Sosial Terhadap
Ketentuan JFPS
Ketentuan nomor 1 s/d 6 Ketentuan nomor 3, 4 dan 5
Ketentuan nomor 2 dan 3 Ketentuan nomor 1
Responden yang tidak menjawab
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
2004, Nomor 09 Tahun 2004 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial
dan Angka Kreditnya, Keputusan Menteri Sosial
Nomor 10/HUK/2007 tentang Pembinaan Teknis
JFPS dan Keputusan Menteri Sosial Nomor
43/HUK/2007 tentang Pedoman Pendidikan dan
Pelatihan JFPS.
Sebanyak 38,50% Pekerja Sosial memahami
terhadap 3 peraturan saja yaitu: Keputusan Menteri
Sosial Nomor 10/HUK/1999 tentang Tata kerja Tim
Penilai dan Tata cara Penilaian Angka Kredit bagi
Jabatan Pekerja Sosial, Keputusan MENPAN Nomor
KEP/03/M.PAN/1/2004 tentang JFPS dan Angka
Kreditnya, Keputusan Bersama Menteri Sosial dan
Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara
Nomor 05/HUK/2004, Nomor 09 Tahun 2004 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pekerja
Sosial dan Angka Kreditnya.
Selanjutnya 9,7% Pekerja Sosial tidak menja-
wab, dan 5,31% responden memahami hanya 2
ketentuan yaitu: Surat Edaran Bersama Menteri
Sosial dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian
Negara, Nomor B/C-01-VIII-88/MS, Nomor 17/SE/
1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Pekerja
Sosial, Keputusan Menteri Sosial Nomor 10/HUK
/1999 tentang Tata kerja Tim Penilai dan Tata cara
Penilaian Angka Kredit bagi Jabatan Pekerja Sosial.
Dan selebihnya 2,21% Pekerja Sosial hanya
mengetahui 1 peraturan yaitu, Keputusan MENPAN
Nomor 45/Menpan/1988 tentang Angka Kredit Bagi
Jabatan Pekerja Sosial.
153
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Keterangan
Nomor 1, Keputusan MENPAN Nomor 45/
Menpan/1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan
Pekerja Sosial.
Nomor 2, Surat Edaran Bersama Menteri Sosial
dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian
Negara, Nomor B/C-01-VIII-88/MS, Nomor 17/
SE/1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan
Pekerja Sosial.
Nomor 3, Keputusan Menteri Sosial Nomor 10/
HUK/1999 tentang Tata kerja Tim Penilai dan Tata
cara Penilaian Angka Kredit bagi Jabatan Pekerja
Sosial.
Nomor 4, Keputusan MENPAN Nomor KEP/03/
M.PAN/1/2004 tentang JFPS dan Angka
Kreditnya.
Nomor 5, Keputusan Bersama Menteri Sosial dan
Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Nega-
ra Nomor 05/HUK/2004, Nomor 09 Tahun 2004
tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsio-
nal Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya.
Nomor 6, Keputusan Menteri Sosial Nomor
10/HUK/2007 tentang Pembinaan Teknis JFPS
dan Keputusan Menteri Sosial Nomor 43/HUK/
2007 tentang Pedoman Pendidikan dan Pelati-
han JFPS.
(2) Pengetahuan Pekerja Sosial terhadap perbeda-
an mendasar KeMenpan No 45/MENPAN/1988
tentang Angka Kredit bagi Jabatan Pekerja So-
sial Fungsional dengan Keputusan Menpan No
KEP/03/M.PAN/I/2004 tentang JFPS dan Angka
Kreditnya, tersaji dalam diagram berikut ini :
154
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
80,09% Pekerja Sosial mengetahui terhadap
perbedaan mendasar Kepmenpan No 45/MENPAN
/1988, dengan Kepmenpan No KEP/03/M.PAN/I
/2004. Sebanyak 13,27% menjawab tidak mengeta-
hui perbedaan yang mendasar dan 6,64% tidak
menjawab.
(3) Pengetahuan Pekerja Sosial terhadap perbeda-
an mendasar antara Keputusan Menteri Sosial
Nomor 10/HUK/1989 tentang Tata Kerja Tim
Penilai dan Tatacara Penilaian Angka Kredit Bagi
Pekerja Sosial dengan Keputusan Menteri Sosial
Nomor 10/HUK/2007 tentang Pembinaan Teknis
JFPS dan Keputusan Menteri Sosial Nomor
43/HUK/2007 tentang Pedoman Pendidikan dan
Pelatihan JFPS, tersaji dalam diagram berikut ini:
155
80, 09%,181 org
13,27%, 30 org
6,64%, 15 org
Diagram 2. Pengetahuan Pekerja Sosial terhadap Perbedaan Mendasar Kepmenpan Nomor : 45/MENPAN/1988 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Pekerja Sosial dengan Keputusan
Menpan Nomor: KEP/03/M.PAN/ I/2004 tentang JFPS dan Angka Kreditnya
Mengetahui Tidak mengetahui Responden yang tidak menjawab
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Sebanyak 60,62% Pekerja Sosial menyatakan
mengetahui perbedaan mendasar antara Kepmensos
Nomor 10/HUK/1989 dengan Kepmensos Nomor 10/HUK
/2007 dan Kepmensos Nomor 43/HUK/2007. Dan 24,34%
Pekerja Sosial menyatakan tidak mengetahui perbedaan-
nya dan 15,04% Pekerja Sosial tidak menjawab. Artinya
sekitar 60% Pekerja Sosial yang mengetahui dan mema-
hami ketiga Kepmensos tersebut.
(4) Pemahaman Pekerja Sosial terhadap substansi ke-
tentuan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial (JFPS),
tersaji dalam diagram berikut ini:
156
60.62%, 137 org
24.34%,55 org
15.04%, 34 org
Diagram 3 . Pengetahuan Pekerja Sosial terhadap
Perbedaan Mendasar antara Keputusan Menteri Sosial Nomor: 10/HUK/1989 dengan Keputusan
Menteri Sosial No. 10/HUK/2007 dan Keputusan Menteri Sosial Nomor: 43/HUK/2007
Mengetahui Tidak mengetahui Responden yang tidak menjawab
30.97%, 70 org
17.70%; 40 org27.43%, 62 org
13.72%, 31 org10.18%,23 org
Diagram 4 . Pemahaman Pekerja Sosial Terhadap
Substansi Ketentuan JFPS
Memahami 6 Ketentuan JFPS Memahami Ketentuan JFPS Nomor 3, 4 dan 5
Memahami Ketentuan JFPS Nomor 2 dan 3 Memahami Ketentuan JFPS Nomor 1
Responden yang tidak menjawab
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Pemahaman Pekerja Sosial terhadap subs-
tansi ketentuan JFPS, 30,97% Pekerja Sosial me-
mahami keenam ketentuan tersebut yaitu: peneta-
pan formasi; penerapan butir kegiatan pelayanan
kesejahteraan sosial, penerapan butir kegiatan pe-
ngembangan kualitas pelayanan kesejahteraan
sosial, mekanisme penetapan angka kredit, pe-
ngangkatan, pembebasan sementara, pengang-
katan kembali dan pemberhentian dan Diklat JFPS.
27,43% Pekerja Sosial memahami sebanyak dua
ketentuan yaitu: penerapan butir kegiatan pelaya-
nan kesejahteraan sosial; dan penerapan butir
kegiatan pengembangan kualitas pelayanan kese-
jahteraan sosial. Sebesar 17,70% Pekerja Sosial
memahami tiga ketentuan yaitu: penerapan butir
kegiatan pengembangan kualitas pelayanan
kesejahteraan sosial, mekanisme penetapan angka
kredit; dan pengangkatan, pembebasan sementara,
pengangkatan kembali dan pemberhentian. Selan-
jutnya 13,72% Pekerja Sosial memahami hanya
satu ketentuan yaitu penetapan formasi, dan
10,18% Pekerja Sosial tidak menjawab.
Keterangan
Nomor 1, penetapan formasi.
Nomor 2, penerapan butir kegiatan pelayanan kesejahte-
raan sosial.
Nomor 3, penerapan butir kegiatan pengembangan kuali-
tas pelayanan kesejahteraan sosial.
Nomor 4, mekanisme penetapan angka kredit.
Nomor 5, pengangkatan, pembebasan sementara, pe-
ngangkatan kembali dan pemberhentian.
Nomor 6, Diklat JFPS.
157
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
(5) Sumber referensi Pekerja Sosial dalam mema-
hami substansi ketentuan Jabatan Fungsional
Pekerja Sosial (JFPS), tersaji dalam diagram
berikut ini:
47,35% Pekerja Sosial menyatakan bahwa
sumber referensi Pekerja Sosil dalam memahami
substansi ketentuan JFPS, merujuk pada 5 referensi
yaitu: membaca ketentuan yang ada, bimbingan
teknis dari Biro Organisasi dan Kepega-waian;
Diklat JFPS; arahan pimpinan, dan melalui internet.
21,68% Pekerja Sosial menggunakan sumber
referensi yaitu membaca ketentuan yang ada.
11,06% Pekerja Sosial menggunakan referensi
bimbingan teknis dari Biro Organisasi dan Kepega-
waian serta Diklat JFPS. 10,62% Pekerja Sosial
tidak menjawab, 9,29% Pekerja Sosial mengguna-
kan referensi Diklat JFPS, arahan pimpinan dan
melalui internet.
158
47,35%;107 org
9,29% , 21 org11,06%, 25 org
21,68%; 49 org
10,62%; 24 org
Diagram 5. Sumber Referensi Pekerja Sosial Dalam
Memahami Substansi Ketentuan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial
Referensi nomor 1/d 5 Referensi nomor 3, 4 dan 5
Referensi nomor 2 dan 3 Referensi nomor 1
Responden yang tidak menjawab
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Keterangan
Nomor 1, membaca ketentuan yang ada.
Nomor 2, bimbingan teknis dari Biro Organisasi
& Kepegawaian.
Nomor 3, Diklat JFPS.
Nomor 4, arahan pimpinan.
Nomor 5, internet,
(6) Pemahaman Pekerja Sosial terhadap isi buku
pedoman atau panduan bagi Pekerja Sosial,
tersaji dalam diagram berikut ini:
60.62% Pekerja Sosial mengakui pemaha-
man Pekerja Sosial terhadap isi buku pedoman atau
panduan bagi Pekerja Sosial fungsional adalah jelas.
15,04% Pekerja Sosial mengaku kurang jelas, 12,39%
Pekerja Sosial mengaku tidak jelas, dan 11,95% Pekerja
Sosial tidak memberikan jawaban.
159
60,62%, 137
org15,04%, 34 org
12,39%, 28 org
11,95%, 27 org
Diagram 6. Pemahaman Pekerja Sosial terhadap
Isi Buku Pedoman atau Panduan Bagi Pekerja Sosial Fungsional
Jelas Kurang jelas Tidak jelas Responden yang tidak menjawab
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
(7) Upaya Pekerja Sosial dalam penggunaan buku
pedoman/panduan Pekerja Sosial, tersaji dalam
diagram berikut ini:
Dengan persentase yang sama, masing-
masing 26,11% Pekerja Sosial memberikan jawa-
ban yang berbeda, 26,11% pertama mengutarakan
5 upaya dalam penggunaan buku pedoman/
panduan Pekerja Sosial yaitu: melaksanakan tugas
berdasarkan buku pedoman yang ada, mempelajari
lebih mendalam buku pedoman, menyederhanakan
buku pedoman; dan menyusun PAK sesuai buku
pedoman, menyebarluaskan informasi.
26,11% Pekerja Sosial hanya melakukan satu
upaya yaitu melaksanakan tugas berdasarkan buku
pedoman yang ada. 19,91% Pekerja Sosial melaku-
kan 3 upaya yaitu: menyederhanakan buku pedo-
man; menyusun PAK sesuai buku pedoman; dan
menyebarluaskan informasi. Berikutnya 19,91%
160
Diagram 7. Upaya Pekerja Sosial Dalam Penggunaan Buku Pedoman/Panduan Pekerja Sosial
26,11%, 59 org
19,91%, 45 org
19,91%, 45 org
26,11%, 59 org
7,96%, 18 org
5 (Lima) Upaya Upaya Nomor 3, 4 dan 5Upaya Nomor 2 dan 3 Upaya Nomor 1Responden yang tidak menjawab
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Pekerja Sosial melakukan 2 upaya yaitu: mempela-
jari lebih mendalam buku pedoman dan menyeder-
hanakan buku pedoman. Sisanya 7,96% Pekerja
Sosial tidak menjawab.
Keterangan
Nomor 1, melaksanakan tugas berdasarkan buku pedo-
man yang ada.
Nomor 2, mempelajari lebih mendalam buku pedoman.
Nomor 3, menyederhanakan buku pedoman.
Nomor 4, menyusun PAK sesuai buku pedoman.
Nomor 5, menyebarluaskan informasi.
(8) Dukungan terhadap Pekerja Sosial dalam me-
laksanakan pelayanan sosial sesuai pedoman/
panduan Pekerja Sosial, tersaji dalam diagram
berikut ini:
161
16,37%, 37 org
7,96%, 18 org
47,79%, 108 org
18,58%, 42 org
9,29%, 21 org
Diagram 8. Dukungan Terhadap Pekerja Sosial
Dalam Melaksanakan Pelayanan Sosial Sesuai Pedoman /Panduan Pekerja Sosial
Dukungan nomor 1 s/d 8 Dukungan nomor 6, 7 dan 8
Dukungan nomor 1, 2, 3 dan 4 Dukungan nomor 5
Responden yang tidak menjawab
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
47,79% Pekerja Sosial menyatakan menda-
patkan dukungan terhadap Pekerja Sosial dalam
melaksanakan pelayanan sosial sesuai pedoman/
panduan Pekerja Sosial melalui 4 bentuk dukungan
yaitu: adanya petunjuk/bimbingan dari atasan
(Kepala Panti Sosial),Tim Penilai Pusat memberikan
buku pedoman, melakukan kerjasama dengan unit
kerja lain, Tim Penilai memberikan penilaian berda-
sarkan buku pedoman. 18,58% Pekerja Sosial me-
ngaku mendapatkan dukungan dalam bentuk:
adanya pentunjuk/bimbingan dari atasan (Kepala
Panti Sosial). 16,37% Pekerja Sosial mendapatkan
dukungan yaitu: adanya petunjuk/bimbingan dari
atasan (Kepala Panti Sosial), Tim Penilai Pusat
memberikan buku pedoman, melakukan kerjasama
dengan unit kerja lain, Tim Penilai memberikan
penilaian berdasarkan buku pedoman; belum/tidak
dirasakan adanya dukungan, tersedianya buku
pedoman yang lebih teknis bagi Pekerja Sosial, Tim
PAK Pusat memberikan bimbingan dan arahan dan
bentuk dukungan lainnya. 7,96% Pekerja Sosial
mendapat dukungan yaitu: tersedianya buku
pedoman yang lebih teknis bagi Pekerja Sosial, Tim
PAK Pusat memberikan bimbingan dan arahan dan
bentuk dukungan lainnya. Dan sisanya 9,29% Pe-
kerja Sosial tidak menjawab.
Keterangan
Nomor 1, adanya petunjuk/bimbingan dari atasan
(Kepala Panti Sosial).
Nomor 2, Tim Penilai Pusat memberikan buku
pedoman.
162
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Nomor 3, melakukan kerjasama dengan unit
kerja lain.
Nomor 4, Tim Penilai memberikan penilaian
berdasarkan buku pedoman.
Nomor 5, belum/tidak dirasakan adanya
dukungan.
Nomor 6, tersedianya buku pedoman yang lebih
teknis bagi Pekerja Sosial.
Nomor 7, Tim PAK Pusat memberikan bim-
bingan dan arahan.
Nomor 8, lainnya.
(9) Harapan Pekerja Sosial dalam melaksanakan
pelayanan sosial sesuai pedoman/panduan
Pekerja Sosial, tersaji dalam diagram berikut ini:
163
34,51%, 78 org
48,23%, 109 org
8,41%,19 org0,44%, 1 org 8,41%, 19
org
Diagram 9. Harapan Pekerja Sosial Dalam
Melaksanakan Pelayanan Sosial Sesuai Pedoman dan Panduan
Harapan nomor 1 s.d 9 Harapan nomor 4, 5 dan 6
Harapan nomor 2, 3 dan 4 Harapan nomor 1
Responden yang tidak menjawab
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
48,23% Pekerja Sosial mengungkapkan 3
harapan dalam melaksanakan pelayanan sosial
sesuai pedoman/panduan Pekerja Sosial yaitu:
perlu secara lebih teknis tentang pedoman/
panduan, setiap Pekerja Sosial perlu memiliki/
memperoleh pedoman dan perlu petunjuk praktis
dari pedoman/panduan.
Sebanyak 34,51% Pekerja Sosial menaruh
banyak harapan yaitu: perlu secara lebih teknis
diuraikan tentang pedoman/panduan, setiap Peker-
ja Sosial perlu memiliki/memperoleh pedoman, perlu
petunjuk praktis dari pedoman/panduan, pedoman/
panduan selalu disesuaikan dengan perkembangan
kegiatan/tugas baru di lapangan, pedoman/pan-
duan diberikan kepada Pekerja Sosial secara cuma-
cuma, buku pedoman didistribusikan cukup banyak
sampai ke panti, perlu dibuat buku saku, buku
pedoman tersebut diperlengkapi dengan buku-buku
tentang pekerjaan sosial dan perlu kelengkapan lain
dari buku pedoman/panduan tersebut. Berikutnya
8,41% Pekerja Sosial mengungkapkan 3 harapan
yaitu: setiap Pekerja Sosial perlu memiliki/mem-
peroleh pedoman, perlu petunjuk praktis dari pedo-
man/panduan, pedoman/panduan selalu disesuai-
kan dengan perkembangan kegiatan/tugas baru di
lapangan. 0,44% Pekerja Sosial berharap agar perlu
secara lebih teknis diuraikan tentang pedoman/pan-
duan. Dan 8,41% Pekerja Sosial tidak menjawab.
Keterangan
Nomor 1, perlu secara lebih teknis tentang pedoman
/panduan.
164
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Nomor 2, setiap Pekerja Sosial perlu memiliki/
memperoleh pedoman.
Nomor 3, perlu petunjuk praktis dari pedoman/
panduan.
Nomor 4, pedoman/panduan selalu disesuaikan de-
ngan perkembangan kegiatan/tugas baru di lapa-
ngan.
Nomor 5, pedoman/panduan diberikan kepada Pe-
kerja Sosial secara cuma-cuma.
Nomor 6, buku pedoman didistribusikan cukup ba-
nyak sampai ke panti.
Nomor 7, perlu dibuat buku saku.
Nomor 8, buku pedoman tersebut diperlengkapi
dengan buku-buku tentang pekerjaan sosial.
Nomor 9, perlu kelengkapan lain dari buku pedoman
/panduan tersebut.
(10) Pemahaman Pekerja Sosial terhadap proses
pengumpulan angka kredit, tersaji dalam
diagram 14 berikut ini:
165
41,59%, 94 org
11,95%, 27 org
38,50%, 87 org
7,96%, 18 org
Diagram 10. Pemahaman Pekerja Sosial terhadap
Proses Pengumpulan Angka Kredit
Cukup sulit Sulit Mudah Responden yang tidak menjawab
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Sebanyak 38,50% Pekerja Sosial mengungkap-
kan bahwa pemahaman Pekerja Sosial terhadap proses
pengumpulan angka kredit adalah mudah. 11,95% Peker-
ja Sosial menayatakan sulit, 41,59% Pekerja Sosial
menyatakan cukup sulit dan 7,96% Pekerja Sosial tidak
menjawab.
(11) Upaya Pekerja Sosial dalam perolehan angka
kredit, tersaji dalam diagram berikut ini:
27,43% Pekerja Sosial melakukan 8 tindakan
sebagai upaya Pekerja Sosial dalam peroleh kredit
yaitu: bekerja sesuai dengan beban tugas di dalam
Panti Sosial, melaksanakan tugas dan pelayanan
sosial secara professional, bekerja dengan baik dan
mengikuti pelatihan, belajar sendiri dan banyak
bertanya, mengadakan penyuluhan dan pembinaan
masyarakat sekitar Panti Sosial, mengadakan koor-
dinasi dengan unit kerja terkait, mencatat segala
kegiatan dan menyediakan sarana dan prasarana.
166
27,43%, 62 org
26,55%, 60 org36,28%, 82 org
0,88%, 2 org8,85%, 20 org
Diagram 11. Upaya Pekerja Sosial Dalam
Perolehan Angka Kredit
8 (Delapan) Tindakan Tindakan Nomor 5, 6, dan 7
Tindakan Nomor 2, 3 dan 4 Tindakan Nomor 1
Responden yang tidak menjawab
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
26,55% Pekerjaan Sosial melakukan 3
tindakan sebagai upaya dalam memperoleh angka
kredit yaitu: mengadakan penyuluhan dan pembi-
naan masyarakat sekitar Panti Sosial, mengadakan
koordinasi dengan unit kerja terkait dan mencatat
segala kegiatan.
Berikutnya 36,28% Pekerja Sosial melakukan
3 tindakan sebagai upaya yang berbeda yaitu:
melaksanakan tugas dan pelayanan sosial secara
professional, bekerja dengan baik dan mengikuti
pelatihan dan belajar sendiri dan banyak bertanya.
8,85% Pekerja Sosial tidak menjawab dan persen-
tase terkecil. 0,88% Pekerja Sosial melakukan 1
tindakan yaitu: bekerja sesuai dengan beban tugas
di dalam Panti Sosial.
Keterangan
Nomor 1, bekerja sesuai dengan beban tugas di
dalam Panti Sosial.
Nomor 2, melaksanakan tugas dan pelayanan
sosial secara professional.
Nomor 3, bekerja dengan baik dan mengikuti
pelatihan.
Nomor 4, belajar sendiri dan banyak bertanya.
Nomor 5, mengadakan penyuluhan dan pembinaan
masyarakat sekitar Panti Sosial.
Nomor 6, mengadakan koordinasi dengan unit kerja
terkait.
Nomor 7, mencatat segala kegiatan.
Nomor 8, menyediakan sarana dan prasarana.
167
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
(12) Dukungan yang diperoleh Pekerja Sosial
dalam perolehan angka kredit, tersaji dalam
diagram berikut ini:
47,35% Pekerja Sosial memperoleh dukungan
dalam perolehan angka kredit dalam bentuk: pimpinan
memberikan kemudahan dan mendapatkan arahan dari
atasan. 27,88% Pekerja Sosial memperoleh dukungan
dalam bentuk: pimpinan memberikan kemudahan,
mendapat arahan dari atasan dan adanya pengakuan dan
kemudahan dari Tim Penilai Pusat. 13,27% Pekerja
Sosial memperoleh dukungan dalam bentuk: pimpinan
memberikan kemudahan mendapatkan arahan dari
atasan, adanya pengakuan dan kemudahan dari Tim
Penilai Pusat dan dukungan lainnya. Berikutnya 7,08%
Pekerja Sosial ternyata tidak memperoleh dukungan. Dan
4,42% Pekerja Sosial tidak menjawab.
Keterangan
Nomor 1, pimpinan memberikan kemudahan.
Nomor 2, mendapatkan arahan dari atasan.
168
13,27%, 30 org
27,88%, 63 org
47,35%, 107 org
7,08%, 16 org4,42%, 10 org
Diagram 12. Dukungan Yang Diperoleh Pekerja Sosial
Dalam Perolehan Angka Kredit
Dukungan nomor 1 s/d 5 Dukungan nomor 1, 2, dan 4
Dukungan nomor 1 dan 2 Dukungan nomor 3
Responden yang tidak menjawab
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Nomor 3, tidak/memperoleh dukungan.
Nomor 4, adanya pengakuan dan kemudahan dari
Tim Penilai Pusat.
Nomor 5, lainnya.
(13) Harapan Pekerja Sosial dalam perolehan angka
kredit, tersaji dalam diagram berikut ini:
45,13% Pekerja Sosial menaruh harapan
dalam perolehan angka kredit dalam bentuk: perlu/
sering diselenggarakan Diklat teknis/fungsional bagi
Pekerja Sosial untuk memperoleh angka kredit,
perlu selalu diciptakan kerjasama dengan instansi
lain dan organisasi sosial untuk mengembangkan
tugas secara fungsional, pimpinan/atasan membe-
rikan keleluasaan kepada Pekerja Sosial untuk
mencari angka kredit, perlu penambahan/peningka-
tan nilai dari setiap poin kegiatan dan tidak kalah
pentingnya adalah bobot nilai diperbesar, perole-
169
45,13%, 102 org
30,97%, 70 org
8,41%, 19 org7,08%, 16 org
8,41%, 19 org
Diagram 13. Harapan Pekerja Sosial Dalam
Perolehan Angka Kredit
Harapan nomor 1 s.d 7 Harapan nomor 1, 2, 3, 6 dan 7
Harapan nomor 4 dan 5 Harapan nomor 1, 2 dan 3
Responden yang tidak menjawab
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
han angka kredit lebih disederhanakan/fleksibel dan
bentuk-bentuk form yang lebih praktis.
Terbesar berikutnya 30,97% Pekerja Sosial
menaruh harapan dalam bentuk: perlu/sering
diselenggarakan Diklat teknis/fungsional bagi
Pekerja Sosial untuk memperoleh angka kredit,
perlu selalu diciptakan kerjasama dengan instansi
lain dan organisasi sosial untuk mengembangkan
tugas secara fungsional dan pimpinan/atasan mem-
berikan keleluasaan kepada Pekerja Sosial untuk
mencari angka kredit, perolehan angka kredit lebih
disederhanakan/fleksibel dan bentuk-bentuk form
yang lebih praktis.
8,41% Pekerja Sosial menaruh harapan
dalam bentuk: perlu penambahan/peningkatan nilai
dari setiap poin kegiatan dan bobot nilai diperbesar.
Dengan presentase yang sama (8,41%) Pekerja
Sosial dalam bentuk lain yaitu: tidak menjawab. Dan
7,08% Pekerja Sosial menaruh harapan dalam
bentuk: perlu/sering diselenggarakan Diklat teknis/
fungsional bagi Pekerja Sosial untuk memperoleh
angka kredit, perlu selalu diciptakan kerjasama
dengan instansi lain dan organisasi sosial untuk
mengembangkan tugas secara fungsional dan
pimpinan/atasan memberikan keleluasaan kepada
Pekerja Sosial untuk mencari angka kredit.
Keterangan
Nomor 1, perlu/sering diselenggarakan Diklat tek-
nis/fungsional bagi Pekerja Sosial untuk mempe-
roleh angka kredit.
Nomor 2, perlu selalu diciptakan kerjasama dengan
170
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
instansi lain dan organisasi sosial untuk mengem-
bangkan tugas secara fungsional.
Nomor 3, pimpinan/atasan memberikan keleluasaan
kepada Pekerja Sosial untuk mencari angka kredit.
Nomor 4, perlu penambahan/peningkatan nilai dari setiap
poin kegiatan.
Nomor 5, bobot nilai diperbesar.
Nomor 6, perolehan angka kredit lebih disederhanakan/
fleksibel.
Nomor 7, bentuk-bentuk form yang lebih praktis.
(14) Harapan Pekerja Sosial terhadap mekanisme
pengajuan kenaikan jabatan fungsional Pekerja
Sosial, tersaji dalam diagram berikut ini:
Sebagian besar Pekerja Sosial yaitu 46,90%
menaruh harapan sebagai berikut: usulan kenaikan
pangkat tidak dipersulit/tidak bertele-tele/birokrasi
berbelit-belit, perlu ada pembinaan/pelatihan terha-
dap Tim Penilai, proses penilaian dan penurunan
PAK dipercepat, proses pengajuan perlu disederha-
171
18,41%, 41 org
46,90%, 106 org
18,41%, 41 org
8,41%, 19 org8,41%, 19 org
Diagram 14. Harapan Pekerja Sosial Terhadap
Mekanisme Pengajuan Kenaikan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial
Harapan JFPS Nomor 1 s.d 7 Harapan JFPS Nomor 1, 2, 3, 4, 5 dan 6
Harapan JFPS Nomor 1, 2, 3 dan 4 Harapan JFPS Nomor 1
Responden yang tidak menjawab
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
nakan sampai ke tingkat kabupaten/kota, sesuaikan
dengan prosedur resmi/berlaku dan lebih trans-
paran. 18,41% Pekerja Sosial harapannya adalah:
usulan kenaikan pangkat tidak dipersulit/tidak
bertele-tele/birokrasi berbelit-belit, perlu ada pembi-
naan/pelatihan terhadap Tim Penilai, proses peni-
laian dan penurunan PAK dipercepat dan proses
pengajuan perlu disederhanakan sampai ke tingkat
kabupaten/kota.
Dengan persentase yang sama (18,41%)
Pekerja Sosial harapannya adalah: usulan kenaikan
pangkat tidak dipersulit/tidak bertele-tele/birokrasi
berbelit-belit, perlu ada pembinaan/pelatihan terha-
dap Tim Penilai, proses penilaian dan penurunan
PAK dipercepat, proses pengajuan perlu disederha-
nakan sampai ke tingkat kabupaten/ kota, sesuaikan
dengan prosedur resmi/berlaku, lebih transparan,
dan perlu disosialisasikan/penjelasan tentang
mekanisme pengajuan terhadap pejabat fungsional
Pekerja Sosial. 8,41% Pekerja Sosial harapannya
hanya satu saja yaitu: usulan kenaikan pangkat tidak
dipersulit/ tidak bertele-tele/birokrasi tidak berbelit-
belit. Dengan persentase yang sama yaitu 8,41%
Pekerja Sosial tidak menjawab.
Keterangan
Nomor 1, usulan kenaikan pangkat tidak dipersulit/tidak
bertele-tele/birokrasi berbelit-belit.
Nomor 2, perlu ada pembinaan/pelatihan terhadap Tim
Penilai.
Nomor 3, proses penilaian dan penurunan PAK
dipercepat.
Nomor 4, proses pengajuan perlu disederhanakan
172
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
sampai ke tingkat kabupaten/kota.
Nomor 5, sesuaikan dengan prosedur resmi/berlaku.
Nomor 6, lebih transparan.
Nomor 7, perlu disosialisasikan/penjelasan tentang
mekanisme pengajuan terhadap pejabat fungsional
Pekerja Sosial.
(15) Upaya meningkatkan tunjangan Pekerja Sosial,
tersaji dalam diagram berikut ini:
Dalam upaya peningkatan tunjangan Pekerja
Sosial, 43,36% Pekerja Sosial melakukan upaya
dengan memaksimalkan tunjangan dengan beban
kerja; dan mempergunakan tunjangan sesuai dengan
kemampuan yang ada. 20,80% Pekerja Sosial
melakukan upaya dengan mengusulkan ke-naikan
tunjangan kepada pimpinan dan memper-gunakan
tunjangan sesuai dengan kemampuan yang ada.
15,04% Pekerja Sosial melakukan upaya 4 tindakan (1,
2, 3 dan 5). 8,85% Pekerja Sosial melakukan upaya
dengan tidak melakukan usaha apapun dan sisanya
11,95% Pekerja Sosial tidak menjawab.
173
15,04%, 34 org
43,36%, 98 org20,80%, 47 org
8,85%, 20 org11,95%, 27 org
Diagram 15. Upaya meningkatkan Tunjangan Pekerja Sosial
Tindakan Nomor 1, 2, 3, dan 5 Tindakan Nomor 2 dan 3
Tindakan Nomor 1 dan 2 Tindakan Nomor 4
Responden yang tidak menjawab
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Keterangan
Nomor 1, mengusulkan kenaikan tunjangan kepada pimpinan.
Nomor 2, mempergunakan tunjangan sesuai dengan kemam-
puan yang ada.
Nomor 3, memaksimalkan tunjangan dengan beban kerja.
Nomor 4, tidak melakukan usaha apapun.
Nomor 5, mencari dukungan dari instansi lain yang lebih atas
(16) Harapan Pekerja Sosial terhadap upaya peningka-
tan tunjangan fungsional Pekerja Sosial, tersaji
dalam diagram berikut ini :
33,63% Pekerja Sosial menaruh harapan agar
tunjangan Pekerja Sosial disesuaikan dengan tunjangan
jabatan fungsional yang lain. 28,76% Pekerja Sosial
menaruh harapan agar tunjangan Pekerja Sosial dise-
suaikan dengan beban tugas dan besarnya biaya hidup.
25,22% Pekerja Sosial menaruh harapan agar tunjangan
pekerja sosial ditingkatkan besarnya tunjangan 0,88%
Pekerja Sosial menaruh harapan minimal tunjangan
Pekerja Sosial setara dengan tunjangan jabatan
struktural, dan 11,50% Pekerja Sosial tidak menjawab.
174
25,22%, 57 org
33,63%, 76 org
28,76%, 65 org
0,88%, 2 org
11,50%, 26 org
Diagram 16. Harapan Pekerja Sosial Terhadap
Upaya Peningkatan Tunjangan Pekerja Sosial
Ditingkatkan besarnya tunjangan
Disesuaikan dengan tunjangan jabatan fungsional yang lain
Disesuaikan dengan beban tugas dan besarnya biaya hidup
Minimal tunjangan setara dengan tunjangan jabatan struktural.
Responden yang tidak menjawab
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
(17) Pendapat Pekerja Sosial tentang mekanisme
pengajuan kenaikan pangkat, tersaji dalam diagram
berikut ini:
Sebanyak 54,42% Pekerja Sosial menyatakan
mudah tentang mekanisme pengajuan kenaikan pangkat.
32,30% Pekerja Sosial menyatakan sulit tentang
mekanisme pengajuan kenaikan pangkat dan sebanyak
5,75% Pekerja Sosial menyatakan cukup sulit terkait
mekanisme pengajuan kenaikan pangkat dan sisanya
7,52% Pekerja Sosial tidak menjawab.
(18) Pendapat Pekerja Sosial tentang dukungan fasilitas
pembuatan dokumen angka kredit, tersaji dalam
diagram berikut ini:
175
5,75%, 13 org32,30%, 73 org
54,42%, 123 org
7,52%%, 17 org
Diagram 17. Pendapat Pekerja Sosial Tentang
Mekanisme Pengajuan Kenaikan Pangkat
Cukup sulit Sulit Mudah Responden yang tidak menjawab
10,62%, 24 org
32,74%, 74 org45,58%, 103 org
11,06%, 25 org
Diagram 18. Pendapat Pekerja Sosial Tentang Dukungan Fasilitas Pembuatan Dokumen Angka Kredit
Memadai Cukup memadaiTidak memadai Responden yang tidak menjawab
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Terkait dukungan fasilitas pembuatan
dokumen angka kredit, sebanyak 45,58% Pekerja
Sosial menyatakan tidak memadai. 32,74% Pekerja
Sosial menyatakan cukup memadai, 10,62%
Pekerja Sosial menyatakan memadai, dan sisanya
11,06% Pekerja Sosial tidak menjawab.
3) Kegiatan Pelayanan Sosial Dan Pengembangan
Kualitas Pelayanan Kesejahteraan Sosial.
(19) Pemahaman Pekerja Sosial terhadap metode,
tehnik dan ketrampilan pekerjaan sosial, tersaji
dalam diagram berikut ini:
45,13% Pekerja Sosial menyatakan memahami
dan mampu menerapkan sebagian dari metode, teknik
dan ketrampilan Pekerja Sosial. 23,45% Pekerja Sosial
memahami namun tidak mampu menerapkan. Sebanyak
11,95% Pekerja Sosial memahami dan mampu menerap-
kan seluruhnya. 10,18% Pekerja Sosial tidak memahami,
dan sisanya 9,29% Pekerja Sosial tidak menjawab.
176
10.18%, 23 org
23.45%, 53 org
45.13%, 102 org
11.95%, 27 org
9.29%, 21 org
Diagram 19. Pemahaman Pekerja Sosial Terhadap
Metode, Teknik dan Ketrampilan Pekerjaan Sosial
Tidak memahamiMemahami namun tidak mampu menerapkan
Memahami dan mampu menerapkan sebagianMemahami dan mampu menerapkan seluruhnyaResponden yang tidak menjawab
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
(20) Latar belakang ketidakpahaman dalam peng-
gunaan metode, teknik dan ketrampilan peker-
jaan sosial, tersaji dalam diagram berikut ini:
Latar belakang ketidakpahaman dalam peng-
gunaan metode, teknik dan ketrampilan Pekerja
Sosial, sebanyak 34,51% Pekerja Sosial karena
kurang meminati bidang tugas dan karena berlatar
belakang non pekerjaan sosial. 24,78% Pekerja
Sosial dilatarbelakangi oleh: tidak mengetahui
bidang tugas pekerjaan sosial, kurang meminati
bidang tugas dan berlatarbelakang non pekerjaan
sosial.
16,81% Pekerja Sosial dilatarbelakangi/
alasan: tidak mengetahui bidang tugas pekerjaan
sosial dan kurang meminati bidang tugas. 15,04%
Pekerja Sosial mengutarakan alasan (latarbela-
kang): tidak mengetahui bidang tugas pekerjaan
sosial dan kurang meminati bidang tugas. Dan
8,85% Pekerja Sosial tidak menjawab.
177
24,78%, 56 org
15,04%, 34 org
16,81%, 38 org
34,51%, 78 org
8,85%, 20 org
Diagram 20. Latarbelakang Ketidakpahaman Dalam
Penggunaan Metode, Teknik dan Ketrampilan Pekerjaan Sosial
Alasan nomor 1, 2 dan 3 Alasan nomor 1 dan 2Alasan nomor 1 dan 3 Alasan nomor 2 dan 3Responden yang tidak menjawab
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Keterangan
Nomor 1, tidak mengetahui bidang tugas pekerjaan
sosial.
Nomor 2, kurang meminati bidang tugas
Nomor 3, berlatar belakang non pekerjaan sosial
(21) Ketersediaan anggaran untuk peningkatan
kompetensi Pekerja Sosial, tersaji dalam dia-
gram berikut ini:
Sebanyak 39,38% Pekerja Sosial mengakui
sudah tersedia anggaran, 34,96% Pekerja Sosial
menyatakan belum tersedia anggaran dan 25,66%
Pekerja Sosial tidak menjawab.
(22) Tahapan dalam pelayanan sosial yang sering
menemui hambatan, tersaji dalam diagram
sebagai berikut :
178
34,96%, 79 org
39,38%, 89 org
25,66%, 58 org
Diagram 21. Ketersediaan Anggaran Untuk
Peningkatan Kompetensi Pekerja Sosial
Belum Sudah Responden yang tidak menjawab
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Sebanyak 43,81% Pekerja Sosial mengung-
kapkan bahwa keenam tahapan pelayanan sosial
mengalami hambatan yaitu tahapan: pendekatan
awal, asesmen, penyusunan rencana intervensi,
pelaksanaan intervensi, evaluasi, terminasi dan
rujukan dan bimbingan dan pembinaan lanjut.
17,26% Pekerja Sosial menyebutkan 3 taha-
pan yaitu: penyusunan rencana intervensi, pelaksa-
naan intervensi dan evaluasi, terminasi dan rujukan.
15,93% Pekerja Sosial mengeluhkan hambatan
pada tahap asesmen dan penyusunan rencana
intervensi. 14,60% Pekerja Sosial mengungkapkan
hambatan pada tahap bimbingan dan pembinaan
lanjut. Dan 8,41% Pekerja Sosial tidak menjawab.
Keterangan
Tahapan 1, pendekatan awal.
Tahapan 2, asesmen.
Tahapan 3, penyusunan rencana intervensi.
179
43,81%, 99 org
17,26%, 39 org
15,93%, 36 org
14,60%, 33 org8,41%, 19 org
Diagram 22. Tahapan Dalam Pelayanan Sosial Yang
Sering Menemui Hambatan
Tahapan 1 s/d 6 Tahapan 3, 4 dan 5
Tahapan 2 dan 3 Tahapan 6
Responden yang tidak menjawab
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Tahapan 4, pelaksanaan intervensi.
Tahapan 5, evaluasi, terminasi dan rujukan.
Tahapan 6, bimbingan dan pembinaan lanjut.
(23) Pelaksanaan kegiatan pengembangan kualitas
pelayanan kesejahteraan sosial, tersaji dalam
diagram sebagai berikut:
69,91% Pekerja Sosial menyatakan bahwa
kegiatan pengembangan kualitas pelayanan kese-
jahteraan sosial sudah dilaksanakan. Sebanyak
17,26% Pekerja Sosial menyatakan belum dilaksa-
nakan, sisanya 12,83% Pekerja Sosial tidak
menjawab.
(24) Pembagian kewenangan antara pejabat
struktural, fungsional dan Pekerja Sosial di unit
kerja, tersaji dalam diagram berikut ini:
180
17,26%, 39 org
69,91%, 158 org
12,83%, 29 org
Diagram 23. Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan
Kualitas Pelayanan Kesejahteraan Sosial di Unit Kerja
Belum Sudah Responden yang tidak menjawab
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Pembagian kewenangan antara pejabat struktu-
ral, fungsional dan Pekerja Sosial di unit kerja, belum
dilaksanakan sesuai Tupoksi masing-masing, sebagai-
mana diungkapkan oleh 54,42% Pekerja Sosial. 24,34%
Pekerja Sosial menjelaskan sudah dilaksanakan sesuai
Tupoksi. 3,98% Pekerja Sosial ternyata tidak memberikan
jawaban.
(25) Penerapan pembagian kewenangan antar jenjang
Pekerja Sosial sesuai KEPMENPAN No. KEP/03/
M.PAN/I/2004 tersaji dalam diagram berikut ini:
181
59,77%,159 org
14,29%, 38 org
25,94%, 69 org
Diagram 25. Penerapan Pembagian Kewenangan
Antar Jenjang Pekerja Sosial Sesuai KEPMEN PAN No. KEP/3/M.PAN/1/2004
Belum Sudah dilaksanakan Responden yang tidak menjawab
24,34%, 77 org
54,42%, 94 org
3,98%, 9 org
Diagram 24. Pembagian Kewenangan Antara
Pejabat Struktural, Fungsional dan Pekerja Sosial di Unit Kerja
Sudah dilaksanakan sesuai dengan Tupoksi masing -masingBelum dilaksanakan sesuai Tupoksi masing-masingResponden yang tidak menjawab
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Sekitar 59,77% Pekerja Sosial mengungkap
kan bahwa penerapan pembagian kewenangan
antar jenjang Pekerja Sosial sesuai KEPMENPAN
No. KEP/03/M.PAN/I/2004 belum dilaksanakan dan
14,29% Pekerja Sosial menyatakan sudah dilaksa-
nakan dan sisanya (cukup besar) 25,94% Pekerja
Sosial tidak menjawab.
4) Formasi Pekerja Sosial.
(26) Pendapat Pekerja Sosial mengenai formasi di unit
kerjanya, tersaji dalam diagram berikut ini:
Sebanyak 61,06% Pekerja Sosial berpenda-
pat bahwa jumlah formasi di unit kerjanya belum
mencukupi, 30,53% Pekerja Sosial berpendapat
sudah mencukupi dan 8,41% Pekerja Sosial tidak
menjawab.
5) Penilaian Angka Kredit
(27) Tanggapan Pekerja Sosial Tentang pemben-
tukan Tim Penilai Angka Kredit Pembantu di
unit kerja, tersaji dalam diagram berikut ini:
182
30,53%, 69 org
61,06%, 138 org
8,41%, 19 org
Diagram 26. Pendapat tentang jumlah formasi
Pekerja Sosial di Unit Kerja
Sudah mencukupi Belum mencukupi Responden yang tidak menjawab
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Tanggapan Pekerja Sosial (responden) tentang
pembentukan Tim Penilai Angka Kredit Pembantu di unit
kerja, 62,39% Pekerja Sosial menyatakan sudah berjalan
tetapi belum efektif, 16,37% Pekerja Sosial menyatakan
kurang efektif, 11,95% Pekerja Sosial menyatakan efektif
dan sudah berjalan, 0,88% Pekerja Sosial mengatakan
sangat efektif dan sisanya 8,41% Pekerja Sosial tidak
menjawab.
6) Kompetensi Profesi Pekerjaan Sosial.
(28) Keterkaitan antara pendidikan profesi pekerjaan
sosial dengan mutu pelayanan sosial, tersaji dalam
diagram berikut ini :
183
0,88%, 2 org 11,95%, 27 org
62,39%, 141 org
16,37%, 37 org
8,41%, 19 org
Diagram 27. Tanggapan tentang pembentukan Tim
Penilai Angka Kredit Pembantu di Unit Kerja
Sangat efektif Efektif dan sudah berjalan
Sudah Berjalan tetapi belum efektif Kurang efektif
Responden yang tidak menjawab
66,81%, 151 org
7,96%, 18 org
7,96%, 18 org8,85%, 20 org
8,41%, 19 org
Diagram 28. Keterkaitan Antara Pendidikan Profesi Pekerjaan Sosial Dengan Mutu Pelayanan Sosial
Sangat terkait dengan mutu pelayanan
Cukup terkait dengan mutu pelayananBelum begitu terkait dengan mutu pelayanan
Tidak terkait dengan mutu pelayananResponden yang tidak menjawab
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
66,81% Pekerja Sosial berpendapat bahwa
sangat terkait antara pendidikan profesi pekerjaan
sosial dengan mutu pelayanan sosial. 7,96% me-
nyatakan cukup terkait dengan mutu pendidikan,
persentase yang sama yaitu 7,96% menyatakan
belum begitu terkait dengan mutu pelayanan. 8,85%
menyatakan tidak terkait dengan mutu pelayanan,
dan sisanya 8,41% Pekerja Sosial tidak menjawab.
(29) Keinginan Pekerja Sosial Berlatar Belakang
Pendidikan Non Pekerjaan Sosial Untuk Me-
nempuh Pendidikan Profesi Pekerjaan Sosial,
tersaji dalam diagram berikut ini:
65,93% Pekerja Sosial berkeinginan untuk
menempuh pendidikan profesi Pekerjaan Sosial,
25,66% Pekerja Sosial menyatakan tidak berke-
inginan dan 8,41% Pekerja Sosial tidak menjawab.
184
65,93%, 149 org
25,66%, 58 org
8,41%, 19 org
Diagram 29. Keinginan Pekerja Sosial Berlatar
Belakang Pendidikan Non Pekerjaan Sosial Untuk Menempuh Pendidikan Profesi Pekerjaan Sosial
Ada Tidak Responden yang tidak menjawab
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
(30) Unit kerja yang sering melakukan kegiatan
peningkatan kompetensi pekerjaan sosial,
tersaji dalam diagram berikut ini:
Sebanyak 47,35% Pekerja Sosial mengatakan
bahwa Balai Besar Diklat Kessos, Unit kerja dilingku-
ngan Ditjen Yanrehsos, dan Biro Organisasi dan
Kepegawaian merupakan unit kerja yang sering mela-
kukan kegiatan peningkatan kompetensi pekerjaan
sosial. Berikutnya 17,70% menyatakan hanya dua unit
kerja yaitu Balai Besar Diklat Kessos dan Ditjen
Yanrehsos, 16,37% menyatakan 2 unit kerja juga yakni
Balai Besar Diklat Kessos dan Biro Organisasi dan
Kepegawaian, 10,18% juga 2 unit kerja yaitu: Ditjen
Yanrehsos dan Biro Organisasi dan Kepegawaian dan
8,41% tidak menjawab.
Keterangan
Tahapan 1, pendekatan awal.
Tahapan 2, asesmen.
Tahapan 3, penyusunan rencana intervensi.
(31) Upaya yang sering dilakukan Pekerja Sosial
untuk meningkatkan kompetensi pekerjaan
sosial, tersaji dalam diagram berikut ini:
185
47,35%, 107 org
17,70%, 40 org
16,37%, 37 org
10,18%, 23 org
8,41%, 19 org
Diagram 30. Unit kerja Yang Sering Melakukan
Kegiatan Peningkatan Kompetensi Pekerjaan Sosial
Unit Kerja 1, 2 dan 3 Unit Kerja 1 dan 2Unit Kerja 1 dan 3 Unit Kerja 2 dan 3Responden yang tidak menjawab
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Sebanyak 51,33% Pekerja Sosial mengung-
kapkan 3 (tiga) upaya yang dilakukan melalui latihan
Diklat, pembinaan/supervise dari Tim Pusat dan
Juknis pelayanan sosial. 17,70% Pekerja Sosial
mengungkapkan 2 (dua) upaya yaitu: pembinaan/
supervisi dari Tim Pusat dan Juknis pelayanan
sosial. 13,72% Pekerja Sosial menyebutkan 2(dua)
upaya yaitu: mengikuti Diklat dan pembinaan/
supervise dari Tim Pusat. 8,85% Pekerja Sosial
melakukan 2 (dua) upaya yaitu: mengikuti Diklat dan
Juknis pelayanan sosial. Sisanya 8,41% Pekerja
Sosial tidak menjawab.
Keterangan
Kegiatan 1, mengikuti diklat.
Kegiatan 2, pembinaan/supervise dari Tim Pusat.
Kegiatan 3, Juknis pelayanan sosial.
7) Partisipasi Masyarakat
(32) Keterlibatan masyarakat dalam penyeleng-
garaan pelayanan sosial di Panti Sosial, tersaji
dalam diagram berikut ini :
186
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
51,33%, 116 org
13,72%, 31 org8,85%, 20 org
17,70%, 40 org8,41%, 19 org
Diagram 31. Upaya Yang Sering Dilakukan Untuk
Meningkatkan Kompetensi pekerjaan sosial
Kegiatan 1, 2 dan 3 Kegiatan 1 dan 2 Kegiatan 1 dan 3 Kegiatan 2 dan 3Responden yang tidak menjawab
47,79% Pekerja Sosial mengaku masyarakat
terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan sosial di Panti
Sosial, 30,09% Pekerja Sosial menyatakan tidak terlibat
dan selebihnya 22,12% Pekerja Sosial tidak menjawab.
(33) Bantuan dari Organisasi Sosial/Organisasi
Masyarakat terhadap Panti Sosial, tersaji da-lam
diagram berikut ini :
Sebanyak 69,47% responden menyatakan pernah
mendapat bantuan dari Organisasi Sosial/Organisasi
Masyarakat terhadap Panti Sosial. Dan 22,12%
responden menyatakan tidak pernah, dan 8,41%
responden tidak menjawab.
187
47,79%, 108 org
30,09%, 68 org
22,12%, 50 org
Terlibat Tidak terlibat Responden yang tidak menjawab
69,47%, 157 org
22,12%, 50 org
8,41%, 19 org
Pernah Tidak Responden yang tidak menjawab
Diagram 33. Bantuan dari Organisasi
Sosial/Organisasi Masyarakat Terhadap Panti Sosial
Diagram 32. Keterlibatan Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Pelayanan Sosial Di Panti Sosial
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
(34) Pemberian bantuan/sumbangan kepada Panti
Sosial oleh orang tua klien, tersaji dalam diagram
berikut ini :
45,13% Pekerja Sosial membenarkan adanya
pemberian bantuan/sumbangan kepada Panti Sosial oleh
orang tua klien, 19,91% Pekerja Sosial menyatakan tidak
ada pemberian bantuan dan 34,96% Pekerja Sosial tidak
menjawab.
(35) Setelah klien diterminasi, apakah ada organisasi
sosial/organisasi masyarakat atau kelompok
masyarakat yang menggunakan tenaga mereka
untuk kegiatan ekonomi produktif, tersaji dalam
diagram berikut ini :
188
45,13%, 102 org
19,91%, 45 org
34,96% 79 org
Diagram 34. Pemberian Bantuan/Sumbangan Kepada
Panti Sosial oleh Orang Tua Klien
Ya Tidak Responden yang tidak menjawab
41,59%, 94 org
22,12%, 50 org
36,28%, 82 org
Diagram 35. Setelah klien Di Terminasi, Apakah Ada
Orsos/Ormas Atau Pokmas Yang Menggunakan Tenaga Mereka Untuk Kegiatan Ekonomi Produktif
Ada Tidak, Responden yang tidak menjawab
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Sebanyak 41,59% Pekerja Sosial mengung-
kapkan ada yang menggunakan tenaga klien yang
telah diterminasi. 22,12% Pekerja Sosial menyata-
kan tidak ada yang menggunakannya dan 36,28%
Pekerja Sosial tidak menjawab.
(36) Sejauh mana kepedulian masyarakat sekitar
terhadap keberadaan Panti Sosial, tersaji
dalam diagram berikut ini:
Sebanyak 44,69% Pekerja Sosial menyata-
kan bahwa masyarakat sekitar peduli terhadap ke-
beradaan Panti Sosial, 37,17% Pekerja Sosial me-
nyatakan sangat peduli, 7,52% Pekerja Sosial tidak
peduli dan 10,62% Pekerja Sosial tidak menjawab.
189
37,17%, 84 org
44,69%, 101 org
7,52%, 17 org10,62%, 24 org
Diagram 36. Sejauh Mana Kepedulian Masyarakat
Sekitar Terhadap Keberadaan Panti Sosial
Sangat peduli PeduliTidak peduli Responden yang tidak menjawab
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
190
No Jenjang Pendidikan F %
1 SLTA 1 1.03
2 SMPS 0 0.00
3 D I 0 0.00
4 D II 0 0.00
5 D III 3 3.09
6 D IV 3 3.09
7 S1 47 48.45
8 S2 43 44.33
9 S3
JUMLAH 97 100.00
2. Kepala Panti Sosial.
1) Latar Belakang Pendidikan.
Latar belakang pendidikan Kepala Panti Sosial
yang terbanyak adalah S1 (48,45%), diikuti S2 (44,33%),
namun masih ada yang berpendidikan tamatan SLTA,
yaitu sebanyak 1 (satu) orang.
2) Ketentuan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial (JFPS).
(37) Pemahaman Kepala Panti Sosial terhadap keten-
tuan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial, tersaji
dalam diagram berikut:
17.53%,17 org
24.74%, 24 org35,05%, 34 org
22,68%,22 org
Diagram 37. Pemahaman Kepala Panti Terhadap
Ketentuan JFPS
Ketentuan JFPS nomor 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 Ketentuan JFPS Nomor 3, 4 dan 5
Ketentuan JFPS Nomor 2 dan 3 Ketentuan JFPS Nomor 1
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Sebahagian besar (35,05%) Kepala Panti
Sosial, hanya memahami ketentuan yang lama
(1988) tentang Ketentuan JFPS yaitu SE Mensos
dan Kepala BAKN, Nomor B/C-01-VIII-88/MS dan
Nomor 17/SE/1988. Terbesar berikutnya (24,74%)
memahami ketentuan yang diterbitkan tahun beri-
kutnya yaitu: Kepmensos Nomor 10/HUK/1999
tentang Tata Kerja Tim Penilai dan Tata Kerja Peni-
laian Angka Kredit bagi jabatan Pekerja Sosial,
Kepmenpan Nomor KEP/03/M.PAN/I/2004 tentang
JFPS dan Angka Kreditnya, serta Keputusan Ber-
sama Mensos dan Kepala BAKN Nomor 05/HUK/
2004, dan 09 Tahun 2004 tentang Juklak JFPS dan
Angka Kredit. Sebanyak 22,58% menyatakan hanya
memahami satu produk kebijakan pemerintah, yaitu
Kepmenpan Nomor 45/MENPAN/1988 tentang
Angka Kredit bagi JPS. Yang paling rendah yaitu
17,53% memahami seluruh produk kebijakan
pemerintah yang mengatur Pekerja Sosial mulai
tahun 1988 sampai dengan 2007 berupa Kep-
menpan, Kepmensos, maupun Keputusan Bersama
Mensos dan Kepala BAKN.
Keterangan:
Ketentuan nomor 1, adalah Keputusan MENPAN No 45/
MENPAN/1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Pekerja
Sosial.
Ketentuan nomor 2, adalah Surat Edaran Bersama Menteri
Sosial dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara,
Nomor B/C-01-VIII-88/MS, Nomor 17/SE/1988 tentang Angka
Kredit Bagi Jabatan Pekerja Sosial.
Ketentuan nomor 3, adalah Keputusan Menteri Sosial Nomor
10/HUK/1999 tentang Tatakerja Tim Penilai dan Tatacara
Penilaian Angka Kredit bagi Jabatan Pekerja Sosial.
191
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Ketentuan nomor 4, adalah Keputusan MENPAN Nomor
KEP/03/M.PAN/1/2004 tentang JFPS dan Angka Kreditnya.
Ketentuan nomor 5, adalah Keputusan Bersama Menteri Sosial
dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor
05/HUK/2004, Nomor 09 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksa-
naan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya.
Ketentuan nomor 6, adalah Keputusan Menteri Sosial Nomor
10/HUK/2007 tentang Pembinaan Teknis JFPS dan Keputusan
Menteri Sosial Nomor 43/HUK/2007 tentang Pedoman Pendidi-
kan dan Pelatihan JFPS.
(38) Pengetahuan Kepala Panti Sosial terhadap
perbedaan mendasar antara Keputusan
MENPAN Nomor 45/MENPAN/1988 tentang
Angka Kredit Bagi Jabatan Pekerja Sosial
dengan Keputusan MENPAN Nomor KEP/03/
M.PAN/1/2004 tentang JFPS dan Angka
Kreditnya, tersaji dalam diagram, berikut ini.
192
58,76%, 57 org
41,24%, 40 org
Diagram 38. Pengetahuan Kepala Panti Sosial
terhadap Perbedaan Mendasar Kepmenpan Nomor: 45/MENPAN/1988 tentang Angka Kredit bagi
Jabatan Pekerja Sosial dengan Keputusan Menpan Nomor: KEP/03/M.PAN/2004
tentang JFPS dan Angka Kreditnya
Mengetahui Tidak mengetahui
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Sebagian besar Kepala Panti Sosial
(58,76%) mengetahui perbedaan mendasar
Kepmenpan Nomor 45/MENPAN/1988 tentang
Angka Kredit bagi JPS dan Kepmenpan Nomor
KEP/03/M.PAN/I/2004 tentang JFPS dan Angka
Kreditnya. Hal ini berarti, sebagian besar (41,24%)
tidak mengetahui dan tidak membaca salah satu
dari Kepmenpan tersebut.
(39) Pengetahuan Kepala Panti Sosial terhadap
perbedaan mendasar antara Keputusan
Menteri Sosial Nomor 10/HUK/1989 tentang
Tata Kerja Tim Penilai dan Tata Cara Penilaian
Angka Kredit Bagi Jabatan Pekerja Sosial
dengan Keputusan Menteri Sosial Nomor
10/HUK/2007 tentang Pembinaan Teknis JFPS
dan Keputusan Menteri Sosial Nomor 43/HUK/
2007 tentang Pedoman Pendidikan dan Pelati-
han JFPS, tersaji dalam diagram, berikut ini:
193
64,95%, 63 org
35,05%, 34 org
Diagram 39. Pengetahuan Kepala Panti Sosial
terhadap Perbedaan Mendasar antara Keputusan Menteri Sosial Nomor: 10/HUK/1989 dengan
Keputusan Menteri Sosial No.10/HUK/2007 dan Keputusan Menteri Sosial Nomor: 43/HUK/2007
Mengetahui Tidak mengetahui
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Terkait dengan produk kebijakan Mensos,
yang berhubungan dengan Pekerja Sosial, seba-
gian besar Kepala Panti Sosial (64,95%) menge-
tahui perbedaan mendasar antara Kepmensos
Nomor 10/HUK/1999 dengan Kepmensos Nomor
10/HUK/2007 dan Nomor 43/HUK/2007. Gamba-
ran tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar
mengikuti perkembangan perubahan Kepmensos,
walaupun masih ada belum mengetahui perbe-
daan mendasar dari perubahan Kepmensos terse-
but, dengan angka yang cukup signifikan yaitu
35,05%.
(40) Pemahaman Kepala Panti Sosial terhadap
sustansi ketentuan Jabatan Fungsional
Pekerja Sosial (JFPS), tersaji dalam diagram
berikut ini:
Proporsi terbesar yaitu 42,27% Kepala Panti
Sosial pemahamannya terhadap substansi keten-
tuan JFPS yang komplit mulai dari: penetapan
formasi, kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial,
194
42,27%, 41 org
36,08% , 35 org
4,12%, 4 org
17,53%, 17 org
Diagram 40. Pemahaman Kepala Panti Terhadap
Substansi Ketentuan JFPS
Ketentuan JFPS Nomor 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 Ketentuan JFPS Nomor 3, 4 dan 5
Ketentuan JFPS Nomor 2 dan 3 Ketentuan JFPS Nomor 1
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
195
penerapan butir kegiatan pengembangan kualitas
pelayanan kesejahteraan sosial, penerapan butir
kegiatan pengembangan kualitas pelayanan
kesejahteraan sosial, mekanisme penetapan angka
kredit; pengangakatan, pembebasan sementara,
pengangkatan kembali dan pemberhentian dan
tentang Diklat JFPS.Berikutnya 36,08% menyata-
kan memahami tentang penerapan butir kegiatan
pelayanan kesejahteraan sosial, tentang mekanis-
me penetapan angka kredit; dan tentang pengang-
katan, pembebasan sementara, pengangkatan
kembali dan pemberhentian. Sebanyak 17,53%
menyatakan memahami hanya yang berkaitan
dengan penetapan formasi. Dan persentase yang
terkecil yaitu 4,12% hanya memahami tentang
penerapan butir kegiatan pengembangan kualitas
pelayanan kesejahteraan sosial.
Keterangan:
Ketentuan nomor 1, tentang penetapan formasi.
Ketentuan nomor 2, tentang penerapan butir
kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial.
Ketentuan nomor 3, tentang penerapan butir
kegiatan pengembangan kualitas pelayanan
kesejahteraan sosial.
Ketentuan nomor4, tentang mekanisme penetapan
angka kredit.
Ketentuan nomor 5, tentang pengangakatan,
pembebasan sementara, pengangkatan kembali
dan pemberhentian.
Ketentuan nomor 6, tentang DIklat JFPS.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
196
(41) Pemahaman Kepala Panti Sosial terhadap isi dari
buku pedoman atau panduan yang diterbitkan oleh
Kementerian Sosial, tersaji dalam diagram sebagai
berikut ini:
Pemahaman kepala Panti Sosial terhadap isi buku
pedoman atau panduan bagi Pekerja Sosial fungsional
yang diterbitkan Kementerian Sosial, sebanyak 59,79%
menyatakan jelas. 39,18% menyatakan kurang jelas dan
hanya 1,03% menyatakan tidak jelas.
(42) Harapan Kepala Panti Sosial terhadap Pekerja
Sosial dalam melaksanakan pelayanan sosial
sesuai pedoman/panduan Pekerja Sosial tersaji
dalam diagram sebagai berikut :
59,79%, 58 org
39,18%, 38 org1,03%, 1 org
Diagram 41. Pemahaman Kepala Panti terhadap
Isi Buku Pedoman atau Panduan BagiPekerja Sosial Fungsional
Jelas Kurang jelas Tidak jelas
54,64%, 53 org
4,12%, 4 org
23,71%, 23 org
17,53%, 17 org
Diagram 42. Harapan Kepala Panti Terhadap Pekerja
Sosial dalam Melaksanakan Pelayanan Sosial Sesuai Pedoman/Panduan Pekerja Sosial
Harapan Nomor 1 s.d 7 Harapan Nomor 4, 5 dan 6Harapan Nomor 2, 3 dan 4 Harapan Nomor 1
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
197
Sebanyak 54,64% Kepala Panti Sosial
menaruh 7 bentuk harapan kepada Pekerja Sosial,
yaitu: perlu mendapatkan penjelasan secara teknis
tentang pedoman/panduan, perlu memiliki/mempe-
roleh buku pedoman, perlu mendapatkan petunjuk
praktis dari pedoman/panduan, pedoman/panduan
selalu disesuaikan dengan perkembangan kegiatan/
tugas baru di lapangan, pedoman/panduan dapat
diberikan kepada Pekerja Sosial secara cuma-
Cuma, perlu dibuat buku saku, dan buku pedoman
tersebut perlu dilengkapi dengan buku-buku tentang
pekerjaan sosial.
Sebanyak 23,71% Kepala Panti Sosial me-
nyatakan setiap Pekerja Sosial perlu memiliki/
memperoleh buku pedoman, perlu mendapatkan
petunjuk praktis dari pedoman/panduan dan pedo-
man/panduan selalu disesuaikan dengan perkem-
bangan kegiatan/tugas baru di lapangan.
Berikutnya 17,53% Kepala Panti Sosial
menyatakan harapan bahwa perlu menapatkan pen-
jelasan secara teknis tentang pedoman/panduan,
dan 4,12% menyatakan harapan: pedoman/
panduan selalu disesuaikan dengan perkemba-
ngan kegiatan/tugas baru di lapangan, pedoman/
panduan dapat diberikan kepada Pekerja Sosial
secara cuma-cuma, perlu dibuat buku saku.
Keterangan:
Nomor 1, perlu mendapatkan penjelasan secara
teknis tentang pedoman/panduan.
Nomor 2, setiap Pekerja Sosial perlu memiliki/
memperoleh buku pedoman.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
198
Nomor 3, perlu mendapatkan petunjuk praktis dari
pedoman/panduan.
Nomor 4, pedoman/panduan selalu disesuaikan
dengan perkembangan kegiatan/tugas baru di
lapangan.
Nomor 5, pedoman/panduan dapat diberikan kepa-
da Pekerja Sosial secara cuma-cuma.
Nomor 6, perlu dibuat buku saku.
Nomor 7, buku pedoman tersebut perlu dilengkapi
dengan buku-buku tentang pekerjaan sosial.
(43) Pemahaman Kepala Panti Sosial terhadap
proses pengumpulan angka kredit, tersaji
dalam Diagram berikut:
Hampir setengah para Kepala Panti Sosial
(44,33%) memahami proses pengumpulan angka
kredit cukup sulit, sebanyak 37,11% menyatakan
mudah dan 18,56% menyatakan sulit memahami.
44,33%, 43 org
18,56%, 18 org
37,11, 36 org
Diagram 43. Pemahaman Kepala Panti terhadap
Proses Pengumpulkan Angka Kredit Pekerja Sosial
Cukup sulit Sulit Mudah
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
199
(44) Upaya Kepala Panti Sosial agar Pekerja Sosial
dapat memperoleh angka kredit, tersaji dalam
diagram berikut ini:
Sebanyak 42,27% dari Kepala Panti Sosial
melakukan berbagai upaya agar Pekerja Sosial
dapat memperoleh angka kredit yaitu: mendorong
Pekerja Sosial bekerja sesuai dengan beban tugas
di dalam Panti Sosial, melaksanakan tugas dan
pelayanan sosial secara professional, bekerja
dengan baik dan mengikuti pelatihan, belajar sendiri
dan banyak bertanya; mengadakan penyuluhan dan
pembinaan masyarakat sekitar Panti Sosial,
mengadakan koordinasi dengan unit kerja terkait;
mencatat segala kegiatan dan menyediakan sarana
dan prasarana.
Sebanyak 31,96% melakukan upaya dengan
mendorong Pekerja Sosial bekerja sesuai dengan
beban tugas di dalam Panti Sosial. Sebesar 15,46%
melakukan upaya-upaya: mengadakan penyuluhan
dan pembinaan masyarakat sekitar Panti Sosial,
42,27%, 41 org
15,46%, 15 org
10,31%, 10 org
31,96%, 31 org
Diagram 44. Upaya Kepala Panti agar Pekerja Sosial Dapat Memperoleh Angka Kredit
8 (Delapan) Tindakan Tindakan Nomor 5, 6, dan 7 Tindakan Nomor 2, 3 dan 4 Tindakan Nomor 1
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
200
mengadakan koordinasi dengan unit kerja terkait
dan mencatat segala kegiatan. Berikutnya 10,31%
melakukan upaya-upaya: melaksanakan tugas dan
pelayanan sosial secara professional, bekerja
dengan baik dan mengikuti pelatihan dan belajar
sendiri dan banyak bertanya.
Keterangan:
Nomor 1, mendorong Pekerja Sosial bekerja sesuai dengan
beban tugas di dalam Panti Sosial.
Nomor 2, melaksanakan tugas dan pelayanan sosial secara
professional.
Nomor 3, bekerja dengan baik dan mengikuti pelatihan.
Nomor 4, belajar sendiri dan banyak bertanya.
Nomor 5, mengadakan penyuluhan dan pembinaan masya-
rakat sekitar Panti Sosial.
Nomor 6, mengadakan koordinasi dengan unit kerja terkait.
Nomor 7, mencatat segala kegiatan.
Nomor 8, menyediakan sarana dan prasarana.
(45) Upaya yang dilakukan berkaitan dengan me-
kanisme pengajuan kenaikan jabatan Pekerja
Sosial, tersaji dalam diagram berikut :
35,05%, 34 org
4,12%, 4 org46,39%, 45 org
14,43%, 14 org
Diagram 45. Upaya yang Dilakukan Terkait
Mekanisme Pengajuan Kenaikan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial
Upaya Nomor 1 s/d 6 Upaya Nomor 3, 4 dan 5
Upaya Nomor 1, 2 dan 3 Upaya Nomor 6
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
201
Upaya yang dilakukan Kepala Panti Sosial
terkait mekanisme pengajuan kenaikan jabatan
Pekerja Sosial, sebanyak 46,39% diantaranya
melalui upaya: membantu sesuai dengan meka-
nisme yang ada membantu menyesuaikan dengan
ketentuan yang ada, menyederhanakan prosedur
pengajuan kenaikan jabatan. 35,05% menyatakan
melakukan upaya-upaya sebagai berikut: memban-
tu sesuai dengan mekanisme yang ada, membantu
menyesuaikan dengan ketentuan yang ada, menye-
derhanakan prosedur pengajuan kenaikan jabatan,
mengadakan pendekatan dengan tim penilai untuk
mendapatkan petunjuk proses pengajuan, mening-
katkan prestasi kerja, membantu mengumpulkan
nilai angka kredit.
Sebanyak 14,43% menyatakan melakukan
upaya: membantu sesuai dengan mekanisme yang
ada. Dan 4,12% menyatakan upaya yang dilakukan:
menyederhanakan prosedur pengajuan kenaikan
jabatan, mengadakan pendekatan dengan tim
penilai untuk mendapatkan petunjuk proses
pengajuan dan meningkatkan prestasi kerja.
Keterangan:
Nomor1, membantu sesuai dengan mekanisme yang ada.
Nomor 2, membantu menyesuaikan dengan ketentuan
yang ada.
Nomor 3, menyederhanakan prosedur pengajuan kenai-
kan jabatan.
Nomor 4, mengadakan pendekatan dengan tim penilai
untuk mendapatkan petunjuk proses pengajuan.
Nomor 5, meningkatkan prestasi kerja.
Nomor 6, membantu mengumpulkan nilai angka kredit.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
202
(46) Dukungan Kepala Panti Sosial terkait mekanis-
me pengajuan kenaikan jabatan Pekerja So-
sial, tersaji dalam diagram berikut:
Sebanyak 47,42% Kepala Panti Sosial mem-
berikan dukungan terkait mekanisme pengajuan
kenaikan jabatan Pekerja Sosial dalam bentuk koor-
dinasi untuk mendapatkan arahan/bimbingan dari
Tim PAK Pusat. Berikutnya 34,02% memberikan
dukungan dalam bentuk: koordinasi untuk menda-
patkan arahan/bimbingan dari tim penilai pusat,
membantu adanya kemudahan dari pejabat penilai,
memfasilitasi untuk dilakukan pembinaan/petunjuk
dari bagian kepegawaian dan membantu untuk
terpenuhinya angka kredit.
Selanjutnya sebanyak 13,40% memberikan
dukungan dalam bentuk: membantu adanya kemu-
dahan dari pejabat penilai, memfasilitasi untuk
dilakukan pembinaan/petunjuk dari bagian
34,02%, 33 org
13,40%, 13 org
5,15%, 5 org
47,42%, 46 org
Diagram 46. Dukungan Kepala Panti Terkait
Mekanisme Pengajuan Kenaikan Jabatan Pekerja Sosial
Dukungan nomor 1 s/d 5 Dukungan nomor 3, 4 dan 5
Dukungan nomor 2 Dukungan nomor 1
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
203
kepegawaian dan membantu untuk terpenuhinya
angka kredit. Yang menarik adalah 5,15% Kepala
Panti Sosial menyatakan tidak ada dukungan yang
diberikan.
Keterangan:
Nomor 1, berkoordinasi untuk mendapatkan arahan
/bimbingan dari tim penilai pusat.
Nomor 2, tidak ada dukungan.
Nomor 3, membantu adanya kemudan dari pejabat
penilai.
Nomor 4, memfasilitasi untuk dilakukan pembinaan/
petunjuk dari bagian kepegawaian.
Nomor 5, membantu untuk terpenuhinya angka
kredit.
(47) Harapan Kepala Panti Sosial agar mekanisme
pengajuan kenaikan jabatan fungsional
Pekerja Sosial lancar, tersaji dalam diagram
berikut:
29,90%, 29 org
43,30%, 42 org
5,15%, 5 org
21,65%, 21 org
Diagram 47. Harapan Kepala Panti Agar Mekanisme
Pengajuan Kenaikan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial Lancar
Harapan nomor 1 s.d 7 Harapan nomor 1, 2, 3, 4, 5 dan 6
Harapan nomor 1, 2, 3 dan 4 Harapan nomor 1
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
204
Proporsi terbesar yaitu 43,30% Kepala Panti
Sosial berharap agar mekanisme pengajuan kenai-
kan JFPS lancer, melalui berbagai langkah kebija-
kan sebagai berikut: usulan kenaikan pangkat tidak
dipersulit/tidak bertele-tele/birokrasi berbelit-belit,
perlu ada pembinaan/pelatihan terhadap tim penilai,
proses penilaian dan penurunan PAK lebih diperce-
pat, proses pengajuan perlu disederhanakan sam-
pai ke tingkat kota/kabupaten, sesuaikan dengan
prosedur resmi/berlaku; dan lebih transparan.
Terbesar kedua yaitu 29,90% berharap
melalui langkah kebijakan sama dengan diatas,
ditambah dengan: perlu disosialisasikan/penjelasan
tentang mekanisme pengajuan terhadap pejabat
fungsional Pekerja Sosial. Berikutnya 21,65%
berharap melalui langkah kebijakan agar pengusu-
lan kenaikan pangkat tidak dipersulit/tidak bertele-
tele/birokrasi berbelit-belit. Sisanya 5,15% berharap
melalui langkah kebijakan: usulan kenaikan pangkat
tidak dipersulit/tidak bertele-tele/birokrasi berbelit-
belit, perlu ada pembinaan/pelatihan terhadap tim
penilai;,proses penilaian dan penurunan PAK lebih
dipercepat dan proses pengajuan perlu disederha-
nakan sampai ke tingkat kota/ kabupaten.
Keterangan:
Nomor 1, usulan kenaikan pangkat tidak dipersulit/tidak
bertele-tele/ birokrasi berbelit-belit.
Nomor 2, perlu ada pembinaan/pelatihan terhadap tim
penilai.
Nomor 3, proses penilaian dan penurunan PAK lebih
dipercepat.
Nomor 4, proses pengajuan perlu disederhanakan
sampai ke tingkat kota/kabupaten.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
205
Nomor 5, sesuaikan dengan prosedur resmi/berlaku.
Nomor 6, lebih transparan.
Nomor 7, perlu disosialisasikan/penjelasan tentang
mekanisme pengajuan terhadap pejabat fungsional
Pekerja Sosial.
(48) Dukungan terhadap upaya meningkatkan
tunjangan Pekerja Sosial tersaji dalam
diagram berikut:
Sebanyak 62,89% Kepala Panti Sosial
member ikan dukungan te rhadap upaya
meningkatkan tunjangan Pekerja Sosial melalui
berbagai kegiatan dan proyek dan sebanyak
23,71% melalui upaya memperjuangkan kepada
pimpinan Kementerian dan selebihnya (13,40%)
ternyata tidak dan belum memberikan dukungan.
(49) Harapan Kepala Panti Sosial terhadap upaya
meningkatkan tunjangan Pekerja Sosial tersaji
dalam diagram berikut:
13,40%, 13 org
23,71%, 23 org62,89%, 61 org
Diagram 48. Dukungan Terhadap Upaya
Meningkatkan Tunjangan Pekerja Sosial
Tidak/belum ada dukungan.Memperjuangkan kepada Pimpinan Departemen.Adanya dukungan dari kegiatan/proyek.
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
206
Harapan Kepala Panti Sosial terhadap upaya
meningkatkan tunjangan Pekerja Sosial, ternyata
sebanyak 53,61% mengharapkan perlu ditingkatkan
besarnya tunjangan fungsional Pekerja Sosial,
sebanyak 18,56% mengharapkan disesuaikan
dengan tunjangan jabatan fungsional yang ada di
instasi lain dan 14,43% berharap agar besarnya tun-
jangan disesuaikan dengan beban tugas dan besar-
nya biaya hidup di daerah, selebihnya sebesar
13,40% mengharapkan minimal tunjangan fung-
sional Pekerja Sosial setara dengan tunjangan
jabatan struktural.
(50) Pendapat Kepala Panti Sosial tentang meka-
nisme pengajuan kenaikan jabatan fungsional
Pekerja Sosial, tersaji dalam diagram berikut :
53,61%, 52 org
18,56%, 18 org
14,43%, 14 org
13,40%, 13 org
Diagram 49. Harapan Kepala Panti Sosial Terhadap
Upaya Meningkatkan Tunjangan Pekerja Sosial
Perlu ditingkatkan besarnya tunjangan fungsional pekerjasosial.Disesuaikan dengan tunjangan jabatan fungsional yang ada diinstansi lain.Besarnya tunjangan disesuaikan dengan beban tugas danbesarnya biaya hidup didaerahMinimal tunjangan fungsional pekerja sosial setara dengantunjangan jabatan struktural.
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
207
Apa pendapat Kepala Panti Sosial, terhadap
proses mekanisme pengajuan kenaikan jabatan
fungsional Pekerja Sosial, ternyata 51,55% menya-
takan mudah, 42,27% menyatakan cukup sulit dan
angka ini cukup besar dan yang menyatakan sulit
6,19%. Jika digabung yang menyatakan cukup sulit
dan sulit adalah 48,46% .
3) Kegiatan Pelayanan Kesejahteraan Sosial dan
Pengembangan Kualitas Pelayanan Kesejahte-
raan Sosial.
(51) Pemahaman Kepala Panti Sosial terhadap
penerapan metode, teknik dan ketrampilan
pekerjaan sosial, tersaji dalam diagram
berikut:
42,27%, 41 org
6,19%, 6 org
51,55%, 50 org
Diagram 50. Pendapat Kepala Panti Tentang
Proses Mekanisme Pengajuan Kenaikan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial
Cukup Sulit Sulit Mudah
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
208
Sebanyak 34,02% Kepala Panti Sosial menjawab
memahami dan mampu menerapkan sebagian terhadap
penerapan metode, teknik dan ketrampilan Pekerja
Sosial. 16,49% memahami dan mampu menerapkan
seluruhnya. 17,53% memahami namun tidak mampu
menerapkan. Dan 31,96% ternyata tidak memahami.
(52) Latar belakang Kepala Panti Sosial tidak mema-
hami penerapan metode, teknik dan keterampilan
pekerjaan sosial, tersaji dalam diagram berikut :
31,96%, 31 org
17,53%, 17 org
34,02%, 33 org
16,49%, 16 org
Diagram 51. Pemahaman Kepala Panti
Terhadap Penerapan Metode, Teknik dan Keterampilan Pekerjaan Sosial
Tidak memahami
Memahami namun tidak mampu menerapkan
Memahami dan mampu menerapkan sebagian
Memahami dan mampu menerapkan seluruhnya
22,68%, 22 org
10,31%,10 org54,64%,
53 org
12,37%, 12 org
Diagram 52. Latar Belakang Ketidakpahaman
Kepala Panti Terhadap Penerapan Metode, Teknik dan Keterampilan Pekerjaaan Sosial
Alasan nomor 1, 2 dan 3 Alasan nomor 1 dan 2Alasan nomor 1 dan 3 Alasan nomor 2 dan 3
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
209
Latar belakang ketidakpahaman Kepala Panti
Sosial terhadap penerapan metode, teknik dan
ketrampilan Pekerjaan Sosial, sebanyak 54,64%
karena tidak mengetahui bidang tugas Pekerja
Sosial dan tidak memberikan pelayanan langsung.
Sebanyak 22,68% karena tidak mengetahui
bidang tugas Pekerja Sosial, kurang meminati
bidang pekerjaan sosial; dan tidak memberikan
pelayanan lagsung. Diikuti sebanyak 12,37%
menyatakan kurang meminati bidang pekerjaan
sosial dan tidak memberikan pelayanan langsung.
Berikutnya 10,31% karena tidak mengetahui
bidang tugas Pekerja Sosial dan kurang meminati
bidang pekerjaan sosial.
Keterangan:
Nomor 1, tidak mengetahui bidang tugas Pekerja Sosial.
Nomor 2, kurang meminati bidang pekerjaan sosial.
Nomor 3, tidak memberikan pelayanan langsung.
(53) Keterlibatan Pekerja Sosial dalam penyusunan
program dan kegiatan di unit kerjanya, tersaji
dalam diagram berikut ini :
52,58%, 51 org
47,42%, 46 org
Diagram 53. Keterlibatan Pekerja Sosial Dalam Penyusunan Program dan Kegiatan di Unit Kerja
Dilibatkan Tidak Dilibatkan
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
210
Menurut Kepala Panti Sosial, sebanyak
52,58% menyatakan melibatkan Pekerja Sosial
dalam penyusunan program dan kegiatan di unit
kerja, sedangkan sisanya yaitu 47,42% tidak meli-
batkan Pekerja Sosial.
(54) Alasan Pekerja Sosial tidak dilibatkan dalam
penyusunan program unit kerja, tersaji dalam
diagram berikut ini:
Alasan utama Kepala Panti Sosial tidak
dilibatkan dalam penyusunan program unit kerja,
sebesar 73,20% menyatakan karena: bukan bidang
tugas Pekerja Sosial, Pekerja Sosial kurang aktif
dalam penyusunan program dan kemampuan
Pekerja Sosial tidak memadai.
Keterangan:
Nomor 1, bukan bidang tugas Pekerja Sosial.
Nomor 2, Pekerja Sosial kurang aktif dalam penyusunan
program.
Nomor 3, kemampuan Pekerja Sosial tidak memadai.
73,20%, 71 org
11,34%, 11 org1,03%. 1 org
14,43%, 14 org
Diagram 54. Alasan Pekerja Sosial Tidak Dilibatkan
Dalam Penyusunan Program Unit Kerja
Alasan nomor 1 s/d 3 Alasan nomor 1 dan 2
Alasan nomor 1 dan 3 Alasan nomor 2 dan 3
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
211
(55) Ketersediaan alokasi anggaran untuk pening-
katan kompetensi Pekerja Sosial di unit kerja
tersaji dalam diagram 93 berikut ini.
Separuh lebih (52,58%) Kepala Panti Sosial
ternyata belum menyediakan anggaran untuk
peningkatan kompetensi Pekerja Sosial di unit kerja,
dan sisanya 47,42% menyatakan sudah menye-
diakan.
(56) Tahapan pelayanan sosial yang sering
menemui hambatan, tersaji dalam diagram
berikut ini :
52,58%, 51 org
47,42%, 46 org
Diagram 55. Ketersediaan Alokasi Anggaran untuk
Peningkatan Kompetensi Pekerja Sosial Di Unit Kerja
Belum Tersedia Sudah Tersedia
44,33%, 43 org
27,84%, 27 org
10,31%, 10 org
17,53%, 17 org
Diagram 56. Tahapan Praktek Pekerjaan Sosial yang
Sering Menemui Hambatan
Tahapan nomor 1 s/d 6 Tahapan nomor 3, 4 dan 5Tahapan nomor 2 dan 3 Tahapan nomor 6
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Sebanyak 44,33% Kepala Panti Sosial
menyatakan bahwa tahapan pelayanan sosial yang
sering menemui hambatan adalah mulai dari:
pendekatan awal, assemen, penyusunan rencana
intervensi, pelaksanaan intervensi, evaluasi,
terminasi dan rujukan dan bimbingan dan pembinaan
lanjut.
Sebanyak 27,84% adalah pada: penyusunan
rencana intervensi, pelaksanaan intervensi dan
evaluasi, terminasi dan rujukan. Sebanyak 17,53%
menyatakan pada tahapan bimbingan dan pembi-
naan lanjut. Dan sebanyak 10,31% menyatakan pada
tahapan assesmen dan penyusunan rencana
intervensi.
Keterangan:
Nomor 1, pendekatan awal.
Nomor 2, asesmen.
Nomor 3, penyusunan rencana intervensi.
Nomor 4, pelaksanaan intervensi.
Nomor 5, evaluasi, terminasi dan rujukan.
Nomor 6, bimbingan dan pembinaan lanjut.
(57) Pembagian kewenangan antara pejabat struk-
tural, pejabat fungsional dan Pekerja Sosial
tersaji dalam diagram, berikut ini:
43,30%, 42 org
56,70%, 55 org
Diagram 57. Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan
Kualitas Pelayanan Kesejahteraan Sosial
Sudah Dilaksanakan Belum Dilaksanakan
212
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Berapa banyak Kepala Panti Sosial yang
melaksanakan kegiatan pengembangan kualitas
pelayanan kesejahteraan sosial, ternyata sebanyak
43,30% menyatakan sudah melaksanakan dan ter-
besar 56,70% menyatakan belum melaksanakan,
tentunya gambaran ini cukup memprihatinkan dalam
upaya meningkatkan mutu Pekerja Sosial di Panti
Sosial.
(58) Pembagian kewenangan antara pejabat struk-
tural, pejabat fungsional dan Pekerja Sosial
tersaji dalam diagram, berikut ini :
Terkait dengan pembagian kewenangan
antara pejabat struktural, fungsional dan Pekerja
Sosial, angkanya cukup signifikan yaitu 70,10%
para Kepala Panti Sosial menyatakan sudah
dilaksana-kan, dan sekitar 29,90% yang belum
dilaksanakan. Dalam hal ini, kewenangan cepat-
cepat dibagikan, tapi tidak seimbang dengan
dukungan anggaran dan perencanaan yang masih
lebih rendah persentasenya.
213
70,10%, 68 org
29,90%, 29 org
Diagram 58. Pembagian Kewenangan Antara Pejabat Struktural, Fungsional dan Pekerja Sosial
Sudah Dilaksanakan Belum Dilaksanakan
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
(59) Penerapan pembagian kewenangan kegiatan antar
jenjang Pekerja Sosial sesuai Keputusan MENPAN
No. KEP/03/M.PAN/1/2004, tersaji dalam diagram
berikut ini:
Sebanyak 56,70% Kepala Panti Sosial menyata-
kan belum dilaksanakan penerapan pembagian kewena-
ngan kegiatan antar jenjang Pekerja Sosial sesuai
KepMenpan Nomor KEP/03/M.PAN/I/2004,dan sebanyak
43,30% menyatakan sudah dilaksanakan.
4) Formasi Pekerja Sosial.
(60) Pendapat Kepala Panti Sosial tentang formasi
Pekerja Sosial di unit kerjanya, tersaji dalam
diagram berikut ini.
214
43,30%, 42 org
56,70%, 55 org
Diagram 59. Penerapan Pembagian Kewenangan
Kegiatan Antar Jenjang Pekerja Sosial Sesuai Kep.Menpan No. KEP/03/M.PAN/1/2004
Sudah Dilaksanakan Belum Dilaksanakan
24,74%, 24 org
75,26%, 73 org
Diagram 60. Pendapat Kepala Panti tentang
Formasi Pekerja Sosial di Unit Kerja
Sudah Mencukupi Belum Mencukupi
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Hanya sebagian kecil Kepala Panti Sosial
menyatakan bahwa formasi Pekerja Sosial sudah
mencukupi (24,74%), sedangkan terbesar yaitu
75,26% menyatakan belum mencukupi.
5) Penilaian Angka Kredit.
(61) Tanggapan Kepala Panti Sosial tentang pem-
bentukan Tim Penilai Angka Kredit Pembantu
di Unit Kerja, tersaji dalam diagram berikut ini:
45,10% Kepala Panti Sosial menyatakan
kurang efektif, 40,20% menyatakan sangat efektif,
13,73% menyatakan efektif dan sudah berjalan dan
0,98% menyatakan sudah berjalan tapi belum
efektif.
6) Kompetensi Pekerja Sosial.
(62) Tanggapan Kepala Panti Sosial tentang keter-
kaitan antara pendidikan profesi pekerjaan
sosial dengan mutu pelayanan sosial, tersaji
dalam diagram berikut ini:
215
40,20%, 41 org
13,73%, 14 org0,98%, 1 org
45,10%, 46 org
Diagram 61. Tanggapan Kepala Panti TentangPembentukan Tim PenilaiAngka Kredit
Pembantu diUnit Kerja
Sangat efektif Efektif dan sudah berjalanSudah Berjalan tetapi belum efektif Kurang efektif
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Sebanyak 72,16% Kepala Panti Sosial menyata-
kan bahwa pendidikan pekerjaan sosial sangat terkait de-
ngan mutu pelayanan. Sekitar 13,40% menyatakan pen-
didikan pekerjaan sosial cukup terkait dengan mutu pela-
yanan, berikutnya 13,40% menyatakan pendidikan peker-
jaan sosial tidak terkait dengan mutu pelayanan dan
sebanyak 1,03% berpendapat bahwa pendidikan peker-
jaan sosial belum begitu terkait dengan mutu pelayanan.
(63) Keinginan pegawai berlatar belakang pendidikan
non profesi pekerjaan sosial untuk menempuh
pendidikan profesi pekerjaan sosial tersaji dalam
diagram berikut ini:
216
72,16%, 70 org
13,40%, 13 org
1,03%, 1 org13,40%, 13 org
Diagram 62. Tanggapan Kepala Panti Tentang KeterkaitanAntara Pendidikan Profesi Pekerjaan Sosial
Dengan Mutu Pelayanan Sosial
Pendidikan Pekerjaan Peksos sangat terkait dengan mutu pelayanan
Pendidikan Pekerjaan Peksos cukup terkait dengan mutu pelayanan
Pendidikan Pekerjaan Peksos belum begitu terkait dengan mutu pelayanan
Pendidikan Pekerjaan Peksos tidak terkait dengan mutu pelayanan
73,20%, 71 org
26,80%, 26 org
Diagram 63. Keinginan Pegawai Berlatar Belakang
Pendidikan Non Pekerjaan Sosial Untuk Menempuh Pendidikan Profesi Pekerjaan Sosial
Ada Tidak Ada
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Menurut Kepala Panti Sosial, sebanyak 73,20%
menyatakan bahwa ada keinginan pegawai berlatar
belakang non kesejahteraan sosial untuk menem-
puh pendidikan profesi Pekerjaan Sosial, hanya
sekitar 26,80% menyatakan tidak ada lagi keinginan.
(64) Kegiatan yang dilakukan unit kerja untuk
meningkatkan kompetensi Pekerja Sosial,
tersaji dalam diagram berikut ini:
Apa yang dilakukan unit kerja untuk mening-
katkan kompetensi Pekerja Sosial, sebanyak 47,42%
Kepala Panti Sosial menjelaskan melalui: memoti-
vasi kinerja Pekerja Sosial, melalui Diklat, menye-
diakan buku referensi Pekerjaan Sosial.
Sebanyak 34,02% Kepala Panti Sosial mela-
lui upaya memotivasi kinerja Pekerja Sosial, seba-
nyak 13,40% Kepala Panti Sosial melalui diklat dan
sebanyak 5,15% Kepala Panti Sosial dengan kegia-
tan menyediakan buku referensi Pekerjaan Sosial.
217
34,02%, 33 org
13,40%, 13 org5,15%, 5 org
47,42%, 46 org
Diagram 64. Kegiatan yang Dilakukan Unit Kerja Untuk Meningkatkan Kompetensi Pekerja Sosial
Memotivasi kinerja Pekerja SosialMelalui DiklatMenyediakan buku referensi Pekerjaan SosialSemua kegiatan 1 s.d 3
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
(65) Frekuensi kegiatan peningkatan kompetensi
Pekerja Sosial setiap tahun, tersaji dalam diagram
berikut ini:
Frekuensi kegiatan yang dilakukan oleh Kepala
Panti Sosial untuk peningkatan kompetensi Pekerja
Sosial setiap tahun, sebanyak 45,36% melakukan lebih
dari 10 kegiatan, 32,99% sebanyak 1 sampai dengan 2
kegiatan, 13,40% sejumlah 3 sampai dengan 4 kegiatan,
dan 8,25% sejumlah 5 sampai dengan 9 kegiatan.
(66) Unit kerja yang sering melakukan kegiatan pening-
katan kompetensi Pekerja Sosial, tersaji dalam
diagram berikut ini:
218
45,36%, 44 org
8,25%, 8 org13,40%, 13 org
32,99%, 32 org
Diagram 65. Frekuensi Kegiatan Peningkatan
Kompetensi Pekerja Sosial Setiap Tahun
Lebih dari 10 kegiatan 5 s.d 9 kegiatan
3 s.d 4 kegiatan 1 s.d 2 kegiatan
57,73%, 56 org16,49%, 16 org
10,31%, 10 org
15,46%, 15 org
Diagram 66. Unit Kerja yang Sering Melakukan
Kegiatan Peningkatan Kompetensi Pekerjaan Sosial
Unit nomor 1,2 dan 3 Unit nomor 1 dan 2Unit nomor 1 dan 3 Unit nomor 2 dan 3
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Menurut Kepala Panti Sosial, unit kerja yang
sering melakukan kegiatan peningkatan kompetensi
Pekerja Sosial, sebanyak 57,73% menyatakan
Balia besar Diklat Kesejahteraan Sosial, unit kerja
dilingkungan Ditjen Yanrehsos dan Biro Organisasi
dan Kepegawaian. Sebanyak 16,49% mengutara-
kan Balai Besar Diklat Kesejahteraan Sosial dan unit
kerja di lingkungan Ditjen Yanrehsos dan sebanyak
15,46% menyatakan pada unit kerja di lingkungan
Ditjen Yanrehsos dan unit Biro Organisasi dan Kepe-
gawaian. Sisanya 10,31% menyatakan Balai Besar
Diklat Kesejahteraan Sosial dan Biro Organisasi dan
Kepegawaian.
Keterangan:
Nomor 1, Balai Besar Diklat Kesejahteraan Sosial.
Nomor 2, Unit kerja di lingkungan Ditjen Yanrehsos.
Nomor 3, Biro Organisasi dan Kepegawaian.
(67) Jenis kegiatan peningkatan kompetensi Pekerja
Sosial yang dilakukan oleh Unit Kerja, tersaji dalam
diagram berikut ini:
219
31,96%, 31 org
40,21%, 39 org
15,46%, 15 org
12,37%, 12 org
Diagram 67. Jenis Kegiatan Peningkatan Kompetensi
Pekerja Sosial Yang Dilakukan
Kegiatan nomor 1, 2 dan 3 Kegiatan nomor 1 dan 2
Kegiatan nomor 1 dan 3 Kegiatan nomor 2 dan 3
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Sebanyak 40,21% Kepala Panti Sosial
menyebutkan jenis kegiatan peningkatan kompe-
tensi Pekerja Sosial yang dilakukan adalah pembi-
naan/supervise dan penataan administrasi Pekerja
Sosial. 31,96% menyebutkan jenis kegiatan yang
dilakukan adalah pembinaan dan supervise, pena-
taan administrasi Pekerja Sosial dan assesmen
Pekerja Sosial. Berikutnya 15,46% menyebutkan
jenis kegiatan pembinaan dan supervisi dan asses-
men Pekerja Sosial dan sebesar 12,37% menyata-
kan melalui jenis kegiatan penataan administrasi
Pekerja Sosial dan assesmen Pekerja Sosial.
Keterangan:
Nomor 1, pembinaan/supervise.
Nomor 2, penataan administrasi Pekerja Sosial.
Nomor 3, Assesment Pekerja Sosial.
7) Sarana Penunjang Kerja Pekerja Sosial.
(68) Ketersediaan ruang konsultasi Pekerja Sosial,
tersaji dalam diagram berikut ini:
220
43,30%, 42 org
30,93%, 30 org
25,77%, 25 org
Diagram 68. Ketersediaan Ruang Konsultasi
Pekerja Sosial
Tidak ada Ada dan bergabung dengan lainnya Tersendiri
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
25,77% dari Kepala Panti Sosial menyatakan
menyediakan ruangan konsultasi Pekerja Sosial
secara tersendiri dan 30,93% menyatakan menye-
diakan ruang konsultasi Pekerja Sosial bergabung
dengan ruang lainnya, sisanya dan proporsi terbe-
sar (43,30%) Kepala Panti Sosial tidak ada menye-
diakan ruang konsultasi Pekerja Sosial.
8) Partisipasi Masyarakat.
(69) Keterlibatan masyarakat dalam penyeleng-
garaan pelayanan sosial di Panti Sosial, tersaji
dalam diagram berikut ini:
64,00% Kepala Panti Sosial mengaku meli-
batkan masyarakat dalam penyelenggaraan pelaya-
nan sosial di Panti Sosial dan 36,00% dari Kepala
Panti Sosial mengaku tidak melibatkan masyarakat.
(70) Bantuan dari organisasi sosial/organisasi
masyarakat terhadap Panti Sosial, tersaji
dalam diagram berikut ini :
221
64,00%, 32 org
36,00%, 18 org
Diagram 69. Keterlibatan Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Pelayanan Sosial di Panti Sosial
Dilibatkan Tidak Dilibatkan
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Yang menarik memang bantuan orsos dan
ormas luar biasa, hampir 100%, persisinya 91,75%
dari Kepala Panti Sosial mengungkapkan bahwa
Panti Sosial yang dipimpinnya pernah mendapatkan
bantuan dari organisasi sosial/masyarakat. Hanya
8,25% dari Kepala Panti Sosial mengaku tidak per-
nah mendapatkan bantuan dari organisasi sosial/
masyarakat.
(71) Kontribusi orang tua klien terhadap Panti
Sosial, tersaji dalam diagram berikut ini :
222
91,75%, 89 org
8,25%, 8 org
Diagram 70. Bantuan Organisasi Sosial/ Organisasi Masyarakat Terhadap Panti Sosial
Pernah Tidak Pernah
53,12%, 51 org
46,88%, 45 org
Diagram 71. Kontribusi Orang Tua Klien
Terhadap Panti Sosial
Ada Tidak Ada
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Sebanyak 53,12% Kepala Panti Sosial me-
nyatakan bahwa ada kontribusi orang tua klien
terhadap Panti Sosial dan sisanya 46,88% dari
Kepala Panti Sosial menyatakan tidak ada kontribusi
orang tua klien terhadap Panti Sosial.
(72) Kepedulian masyarakat terhadap keberadaan
Panti Sosial, tersaji dalam diagram berikut ini:
Bagaimana dengan kepedulian masyarakat
terhadap keberadaan Panti Sosial, ternyata 60,82%
Kepala Panti Sosial menyatakan peduli dan 39,18%
Kepala Panti Sosial mengungkapkan sangat peduli
dan tidak ada Kepala Panti Sosial yang menyatakan
tidak peduli.
223
39,18%, 38 org
60,82%, 59 org
0%
Diagram 72. Kepedulian Masyarakat Terhadap
Keberadaan Panti Sosial
Sangat Peduli Peduli Tidak Peduli
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
(73) Peran tenaga fungsional Pekerja Sosial dalam
melaksanakan tugas-tugas pekerjaan sosial
untuk masyarakat sekitar, tersaji dalam
diagram berikut ini:
Menurut Kepala Panti Sosial, 69,07% dianta-
ranya menjelaskan bahwa tenaga fungsional
Pekerja Sosial melaksanakan perannya dalam
melaksanakan tugas pekerjaan sosial untuk mas-
yarakat sekitarnya dan sisanya 30,93% Kepala
Panti Sosial mengungkapkan tenaga fungsional
Pekerja Sosial tidak pernah melaksanakan tugas
pekerjaan sosial untuk masyarakat sekitarnya.
224
69,07%, 67 org
30,93%, 30 org
Diagram 73. Peran Tenaga Fungsional Pekerja
Sosial Dalam Melaksanakan Tugas Pekerjaan Sosial Untuk Masyarakat Sekitar
Melaksanakan Tidak Melaksanakan
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
BAB VIMEMBAHAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NASIONAL
TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
225
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
226
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
BAB VIMEMBAHAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NASIONAL
TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
BAGIAN di bab VI ini adalah merupakan kajian menda-
lam yang membahas tentang implementasi kebijakan
nasional tentang mutu pekerja sosial di era otonomi
daerah dimana terdapat tiga hal utama yang menjadi
pembahasan.
Ketiga hal yang menjadi pembahasan di bab VI ini
adalah: Pertama, Evaluasi Substansi, Implementasi dan Hasil
Pelaksanaan Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pekerja
Sosial. Kedua, Analisis SWOT Kementerian Sosial Dalam
Menghadapi Implementasi Kebijakan Nasional Tentang Mutu
Pekerja Sosial dan Ketiga, Strategi Program Implementasi
Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pekerja Sosial.
A. Evaluasi Substansi, Implementasi dan Hasil Pelaksanaan
Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pekerja Sosial.
Masalah semakin menurunnya mutu Pekerja Sosial
diawali dari dibubarkannya Departemen Sosial tahun 1999-
2000 dan adanya otonomi daerah dengan penyerahan personil,
prasarana, peralatan dan dana kepada Pemda Propinsi. Tahun
1999-2000 adalah tahun titik nadir dimana fungsi pelayanan
sosial oleh Pekerja Sosial di Panti Sosial pada titik terendah.
227
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Banyak Panti Sosial yang tidak mempunyai tenaga
fungsional Pekerja Sosial, tidak ada atau tidak standarnya
pelayanan sosial, fungsi Panti Sosial hanya sebagai tempat
untuk memberi makan klien. Untuk Panti-Panti Sosial yang
diserahkan ke pemerintah daerah, sarana prasarana dan
peralatan semakin berkurang, tidak terurus, klien setiap tahun
berkurang, bahkan ada Panti Sosial yang beralih fungsi
menjadi kantor satuan kerja pemerintah daerah yang tidak ada
hubungannya dengan kesejahteraan sosial, bahkan ada yang
dijadikan kantor DPRD Kabupaten dan kepentingan lainnya.
Para Direktur Ditjen Yanrehsos dan para Kepala Balai
Besar Diklat Kessos di 6 (enam) wilayah kerjanya sebagai
stakeholder Kementerian Sosial, memerlukan waktu berta-
hun-tahun (3-5 tahun) untuk memulihkan kembali atmosfir
pelayanan sosial kepada kondisi dan situasi yang lebih
kondusif untuk terlaksananya pelayanan sosial di Panti Sosial.
Dengan keterbatasan baik dana dan tenaga, upaya recovery
telah dilakukan Kementerian Sosial khususnya untuk Panti
Sosial yang dikelola Pemerintah Pusat, sedangkan Panti
Sosial daerah masih sangat lambat, bahkan ada yang
menginginkan agar Panti Sosial daerah kembali diserahkan
dan dikelola oleh Pemerintah Pusat.
Pada periode tahun 2004 sampai dengan 2009, telah
dilaksanakan berbagai kegiatan perbaikan dan penyempur-
naan dari periode awal berdirinya kembali Departemen Sosial
pada tahun 2001, setelah dilikuidasi pada tahun 1999. Secara
bertahap berbagai kondisi dan problema yang dihadapi terkait
peningkatan mutu Pekerja Sosial dalam melaksanakan pela-
yanan sosial di dalam Panti Sosial terus dilakukan walaupun
berjalan dengan lambat.
Dari hasil studi yag diuraikan di bab sebelumnya, maka
228
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
dapat dirumuskan bahwa mutu Pekerja Sosial adalah,
kemampuan memberikan pelayanan sosial yang diinginkan
oleh masyarakat pengguna, dalam hal ini adalah klien sebagai
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial.
Demikian juga setelah dilakukan kajian yang mendalam
substansi kebijakannya, menyimpulkan bahwa substansi
kebijakan yang berhubungan dengan upaya menjaga mutu
Pekerja Sosial sudah secara detail diatur dan komprehensif,
termasuk unsur-unsur ataupun kriteria mutu Pekerja Sosial
dalam melaksanakan pelayanan sosial di Panti Sosial.
Kriteria dimaksud merupakan persyaratan untuk terca-
painya standar pelayanan sosial di Panti Sosial (Kepmensos
Nomor 50/HUK/ 2004), dengan demikian sangat berkaitan erat
antara standar pelayanan Sosial di Panti Sosial dengan mutu
Pekerja Sosial. Semakin tinggi mutu Pekerja Sosial dipastikan
akan semakin baik pelayanan sosial di Panti Sosial.
Namun demikian, ada beberapa tindak lanjut yang perlu
dilakukan untuk melengkapi ketentuan/pedoman yang ada.
Pedoman dimaksud mencakup Pedoman teknis pelayanan
sosial oleh Pekerja Sosial di rumah sakit, lembaga pemasyara-
katan dan berbagai petunjuk teknis yang perlu diterbitkan oleh
Badan Pendidikan dan penelitian Kessos sebagai pedoman
latihan setiap jenjang jabatan dan pangkat fungsional Pekerja
Sosial.
Menilai keberhasilan suatu kebijakan perlu dikembang-
kan beberapa indikator, karena penggunaan indikator yang
tunggal akan membahayakan, dalam arti hasil penilaiannya
dapat bias dari yang sesungguhnya.
Indikator atau kriteria evaluasi yang dapat dikembang-
kan oleh Dunn (1994) mencakup lima indikator sebagai eva-
luasi hasil pelaksanaan kebijakan yang secara umum terbagi
229
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
atas 5 indikator yaitu indikator efektifitas, kecukupan, pemera-
taan, responsivitas dan ketepatan.
Dengan mengacu pada kerangka indikator yang dikem-
bangkan Dunn tersebut, dalam penelitian ini dikembangkan
modifikasi indikator yang mencakup, indikator latar belakang
pendidikan. Proporsi yang berpendidikan SMA/SMPS, dengan
S1 untuk Pekerja Sosial berimbang masing-masing 37% dan
38,5%, bandingkan dengan para Kepala Panti Sosial 90%
berpendidikan S1 dan S2 dan SMA hanya 1 orang. Dalam
situasi seperti ini, seharusnya sudah perlu diperioritaskan
meningkatkan pendidikan bagi Pekerja Sosial. Kondisi
tersebut tentu sangat menyulitkan posisi Pekerja Sosial
terhadap Kepala Pantai Sosial, dilihat dari sudut pendidikan
saja sudah cukup lebar kesenjangannya.
Berikutnya adalah indikator: Ketentuan jabatan
fungsional Pekerja Sosial, Kegiatan pelayanan sosial dan
pengembangan kualitas pelayanan sosial, Formasi;
Penilaian angka kredit, Kompetensi profesi Pekerja Sosial dan
indikator Partisipasi masyarakat.
Kepala Panti Sosial, walaupun pendidikannya lebih
tinggi dari Pekerja Sosial, banyak hal-hal yang harus dipahami,
diketahui, dipedomani dan dilaksanakan terkait dengan
standar pelayanan sosial di Panti Sosial masih belum sebagai-
mana diharapkan. Antara lain penerapan pembagian kewena-
ngan antar jenjang Pekerja Sosial, hanya sekitar 59% dari
Kepala Panti Sosial melaksanakannya. Contoh lain adalah
penerapan Tim PAK, sekitar 62% menyatakan sudah menja-
lankannya tetapi belum efektif.
Terkait dengan indikator penilaian dan pengumpulan
angka kredit, juga kondisinya sangat memprihatinkan, sete-
ngah dari Pekerja Sosial menyatakan cukup sulit dan sulit
230
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
dalam memperoses pengumpulan angka kredit dan sudah
dapat dipastikan sekitar setengah dari Pekerja Sosial akan
mengalami problem untuk kenaikan pangkat, kondisi ini akan
menurunkan semangat dan kinerja para Pekerja Sosial.
Bagaimana dukungan Kepala Panti Sosial untuk
mengatasi kesulitan tersebut, terbesar (47%) memberikan
kemudahan dan memberikan pengarahan. Tentu dukungan
tersebut belumlah optimal dan ironisnya ada sekitar 7%
Kepala Panti Sosial tidak memberikan dukungan atas
kesulitan Pekerja Sosial tersebut.
Keadaan yang sama terjadi pada mekanisme pengajuan
kenaikan pangkat dan dukungan fasilitas pembuatan
dokumen angka kredit, hampir 40% dan 45% Pekerja Sosial
mengeluh cukup sulit/sulit dan tidak memadai.
Hal yang langsung terkait dengan indikator pelayanan
sosial dan pengembangan kualitas pelayanan sosial adalah
mencakup metode, teknik dan keterampilan Pekerja Sosial,
sebanyak 45% dari Pekerja Sosial menyatakan tidak mema-
hami, berarti hampir separuhnya tidak paham bagaimana
caranya melaksanakan pelayanan sosial di Panti Sosial.
Bagaimana dengan 6 (enam) tahap pelayanan sosial,
ternyata hampir setengahnya (43%) dari Pekerja Sosial
mengalami kesulitan/hambatan pada keenam tahap
pelayanan sosial tersebut.
Tentu kondisi ini tidak sesuai dengan standar pelayanan
sosial di Panti Sosial, yang pada gilirannya mempengaruhi
tingkat keterampilan klien yang dihasilkan. Untuk indikator
pengembangan kualitas pelayanan kesejahteraan sosial, 17%
menyatakan belum dan 12% tidak menjawab. Keadaan ini
lebih baik, karena lebih dari 69% menyatakan sudah
melaksanakan. Kondisi lain yang menyebabkan rendahnya
231
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
kemampuan Pekerja Sosial dalam melaksanakan Tupoksinya,
adalah tidak jelasnya pembagian kewenangan pejabat
struktural dan fungsional Pekerja Sosial.
Dalam hal ini setengah dari Pekerja Sosial (54%)
menyatakan belum melaksanakan tugas sesuai dengan
Tupoksinya masing-masing. Hal yang sama juga pada pemba-
gian kewenangan antar jenjang jabatan Pekerja Sosial.
Terkait dengan pendidikan Pekerja Sosial, sebagaian
besar (66%) Pekerja Sosial menyatakan bahwa tingkat
pendidikan profesi Pekerja Sosial sangat terkait dengan mutu
pelayanan sosial. Dengan persentase yang sama, sebagian
besar Pekerja Sosial non pendidikan pekerjaan sosial berke-
inginan untuk mengikuti pendidikan profesi pekerjaan sosial.
Menurut sebagian Pekerja Sosial (47%) ada tiga
instansi yang bertanggung jawab melaksanakan peningatan
kompetensi mereka, yaitu Balai Besar Diklat Kessos, unit kerja
di lingungan Ditjen Yanrehsos dan Biro Organisasi dan Kepe-
gawaian Kementerian Sosial.
Untuk peningkatan kompetensi dimaksud, lebih dari
setengah Pekerja Sosial mengharapkan melalui proses Diklat,
pembinaan dan supervisi dari Tim Pusat dan adanya Juknis
Pelayanan Sosial.
Walaupun gambaran Pekerja Sosial dan Panti Sosial
yang sangat memprihatinkan, ternyata keterlibatan masyara-
kat terhadap penyelenggaraan pelayanan sosial di Panti
Sosial cukup lumayan (47%), bahkan menurut Kepala Panti
Sosial persentasenya lebih tinggi, sedangkan bantuan dari
orsos/ormas terhadap panti, sebagian besar (65%) Pekerja
Sosial menyatakan pernah mendapatkan bantuan. Demikian
juga dari orang tua klien, hampir setengah dari Pekerja Sosial
menyatakan ada bantuan dari orang tua klien.
232
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Berikutnya, bagaimana output dengan kondisi Pekerja
Sosial dan Kepala Panti Sosial yang telah diuraikan diatas.
41% Pekerja Sosial menyatakan, klien yang telah diterminasi
ditampung oleh orsos/ormas/pokmas untuk melaksanakan
kegiatan ekonomi produktif. Hal ini berarti selebihnya tidak
bekerja dan kembali ke rumah orang tuanya atau melakukan
kegiatan mandiri. Maknanya adalah tingkat efektifitas
pelayanan sosial di Panti Sosial masih rendah, sehingga
kegiatan monitoring dan pembinaan lanjut perlu ditingkatkan.
Berkaitan dengan evaluasi hasil pelaksanaan kebijakan
terkait dengan Kepala Panti Sosial yang bertanggung jawab
langsung dan melakukan pembinaan terhadap Pekerja Sosial
dapat diperoleh deskripsinya sebagai berikut:
Terkait dengan aturan dan pedoman yang mancakup
Pekerja Sosial, kurang menjadi perhatian, antara lain pemaha-
man terhadap ketentuan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial
yang diatur dalam Kepmenpan dan Kepmensos (ada 6
perangkat peraturan), hanya 17% lebih yang memahami
keenam perangkat peraturan tersebut. Demikian juga dalam
upaya pengumpulan angka kredit dan mekanisme pengajuan
kenaikan jabatan Pekerja Sosial masih belum optimal.
Berkaitan dengan penerapan metode, teknik dan kete-
rampilan Pekerja Sosial, ditanyakan kepada para Kepala Panti
Sosial, jawabannya 31% tidak memahami, 17% lebih mema-
hami tapi tidak mampu menerapkan, 34% memahami dan
mampu menerapkan sebagian. Kondisi ini sejalan dengan apa
yang dialami Pekerja Sosial dan jauh dari pemenuhan standar
pelayanan sosial di Panti Sosial.
Penerapan keterampilan Pekerja Sosial dalam tahapan
pelayanan sosial di Panti Sosial, substansinya sama dengan
standar pelayanan sosial dan sebagai Standard operation
233
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
procedure (SOP) yang harus diketahui oleh Kepala Panti
Sosial sebagai unsur pimpinan dalam aspek penyelenggaraan
Panti Sosial.
Dari evaluasi menunjukkan bahwa kurang dari setengah
(46%) Kepala Panti Sosial yang menerapkan keenam tahapan
pelayanan sosial dan 30% Kepala Panti Sosial hanya mene-
rapkan 3 tahapan lainnya.
Dalam penyusunan program dan kegiatan, 47% Kepala
Panti Sosial menyatakan tidak melibatkan Pekerja Sosial.
Alasannya sebagian besar menyatakan karena bukan bidang
tugas Pekerja Sosial, Pekerja Sosial kurang aktif dan
kemampuan Pekerja Sosial tidak memadai.
Persoalan menjadi rumit kalau pembagian tugas men-
jadi kaku dan secara prinsip managemen, Kepala Panti Sosial
bertanggung jawab meningkatkan kemampuan managemen
dan peran serta Pekerja Sosial dalam menyusun program dan
kegiatan di unit kerjanya masing-masing. Hal yang sama juga
tergambar dalam keterlibatan Pekerja Sosial untuk pengelo-
laan anggaran.
Untuk meningkatkan mutu Pekerja Sosial, tidak cukup
perangkat hukum yang lengkap, tetapi juga dukungan ang-
garan untuk kompetensi Pekerja Sosial. Namun kenyataannya
50% Kepala Panti Sosial tidak menyediakan anggaran untuk
peningkatan kompetensi dimaksud.
Untuk kegiatan pengembangan kualitas pelayanan
kesejahteraan sosial, 56% Kepala Panti Sosial menyatakan
belum dilaksanakan, situasi ini hampir sama dengan yang
disampaikan Pekerja Sosial.
Demikian juga keinginan pegawai yang berpendidikan
non pekerjaan sosial untuk mengikuti pendidikan profesi
pekerjaan sosial cukup tinggi (73%).
234
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
B. Analisis SWOT Kementerian Sosial Dalam Implemen-
tasi Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pekerja Sosial.
Dari berbagai analisis dan kajian yang diuraikan di atas,
dalam implementasinya, Kementerian Sosial menghadapi per-
masalahan dan tantangan yang tidak kecil. Untuk itu dilakukan
pendekatan analisis SWOT, untuk mengetahui apa saja
kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi.
Analisis situasi merupakan awal proses perumusan
strategi. Selain itu, analisis situasi juga mengharuskan para
pimpinan strategis untuk menemukan kesesuaian strategis
antara peluang-peluang eksternal dan kekuatan-kekuatan
internal, disamping memperhatikan ancaman-ancaman
eksternal dan kelemahan-kelemahan internal.
Satu cara untuk menyimpulkan faktor-faktor strategis
sebuah organisasi adalah mengkombinasikan faktor strategis
eksternal (EFAS) dengan faktor strategis internal (IFAS)
kedalam sebuah ringkasan analisis faktor-faktor strategis
(SFAS) organisasi Kementerian Sosial dalam pengembangan
Pekerja Sosial, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 6.1.
IFAS dan EFAS Pekerja Sosial, berisi 20 faktor strategis, 5
faktor untuk kekuatan (strerngths), 7 faktor kelemahan
(weakness), 4 faktor peluang (opportunities) dan 4 faktor
ancaman (threats). Dari 20 faktor tersebut diambil 12 faktor
strategis kunci, yang tercantum dalam SFAS (Strategic Factor
Analysis Summary) Pekerja Sosial.
Penyusunan bentuk SFAS meliputi langkah-langkah
sebagai berikut: Pertama, susun item IFAS dan EFAS yang
paling penting (12 item) dalam kolom Faktor Startegis Kunci;
untuk kekuatan beri tanda (S), kelemahan (W), peluang (O)
dan ancaman (T). Kedua, tinjaulah bobot yang diberikan untuk
faktor-faktor dalam tabel IFAS dan EFAS tersebut dan
235
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
dilakukan penyesuaian bobot IFAS dan EFAS sehingga total
bobot mencapai angka 1,00. Ketiga, masukan dalam Kolom
Peringkat dengan interval 1 s/d 5, dengan peringkat tertinggi 5
dan terendah 1. Keempat, kalikan bobot dengan peringkat
untuk menghasilkan jumlah pada Kolom Skor Bobot. Kelima,
berikan tanda (X) dalam Kolom Durasi untuk mengambarkan
apakah satu faktor memiliki horizon waktu jangka pendek (< 1
Tahun), jangka menengah (1-3 tahun) dan jangka panjang
(> 3 tahun). Keenam, berikan keterangan untuk masing-
masing Faktor Strategis Kunci.
SFAS yang dihasilkan meringkas faktor-faktor strategis
internal dan eksternal Pekerja Sosial dalam satu bentuk. SFAS
hanya berisi faktor-faktor yang paling penting dan menyedia-
kan basis bagi perumusan strategis.
236
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
237
Tabel 6.2. IFAS (Internal Factors Strategis) Pekerja Sosial
Faktor Strategis Internal Bobot Peringkat Perbobot (1) (2) (3) (4)
Kekuatan
Produk Peraturan Perundang- 0.15 4 0.60 undangan tentang Pekerja Sosial
Motivasi kerja Pekerja Sosial 0.10 3 0.30 Dukungan manajemen puncak 0.10 5 0.50 Keterampilan Pekerja Sosial 0.05 3 0.45 Budaya kerja Pekerja Sosial 0.05 3 0.45
Kelemahan
Pendidikan Pekerja Sosial 0.15 5 0.75 Jumlah Pekerja Sosial 0.10 4 0.40 Anggaran untuk Pekerja Sosial 0.05 3 0.15 Sarana dan Prasarana Pelayanan 0.05 3 0.15 Sosial di Panti Sosial
Keberadaan Tim PAK Pekerja Sosial 0.05 2 0.10 Pelaksanaan Tupoksi Pekerja Sosial 0.05 2 0.10 Insentif Pekerja Sosial 0.10 4 0.40
Total 1.00 3.75
Keterangan
(5)
Substansi peraturan sudah cukup mendukung.
Motivasi kerja sudah terbentuk lama.
Kuatnya dukungan Pimpinan Pusat dan Panti
Sosial.
Karena pengalaman dapat diandalkan.
Sudah terbentuknya budaya kerja Pekerja Sosial
dalam pelayanan sosial.
Pendidikan Pekerja Sosial rendah (SMA/SMK).
Ratio Peksos dan klien tidak proporsional
(seharusnya 1 : 5 kenyataannya 1 : 22).
Tunjangan fungsional Pekerja Sosial rendah.
Sarana dan prasarana Panti Sosial terbatas dan
out of date.
Tidak semua Pemda Provinsi ada Tim PAK.
Tupoksi Pekerja Sosial belum optimal
dilaksanakan
Tidak ada insentif untuk Pekerja Sosial.
Tabel 6.3. EFAS (External Factors Strategis) Pekerja Sosial
Faktor Strategis Internal Bobot Peringkat Perbobot (1) (2) (3) (4) Peluang
Peningkatan struktur organisasi 0.20 5 1.00 Pembinaan Jabatan Fungsional
Pekerja Sosial.
Renstra Pengembangan SDM RPJM II 0.15 4 0.60 (2010-2014).
Formasi tenaga Fungsional Pekerja 0.05 3 0.15 Sosial.
Standar minat pendidikan Pekerja 0.10 5 0.50 Sosial.
Tantangan/Ancaman
Tuntutan pelayanan oleh klien (PMKS) 0.15 5 0.75 Kemandirian alumni Panti Sosial (Klien) 0.20 4 0.80 Komitmen Pemerintah Daerah untuk 0.05 3 0.15 pembinaan Pekerja Sosial.
Tren peminat pendidikan tinggi 0.10 5 0.50 Kesejahteraan Sosial.
Total 1.00 4.45
Keterangan
(5)
Peningkatan eselonering pembinaan jabatan
fungsional Pekerja Sosial.
Tercantumnya rencana strategis pengembangan
Pekerja Sosial.
Terbentuknya formasi jabatan fungsional Pekerja
Sosial oleh Pemerintah Daerah.
Peningkatan standar minimal pendidikan Pekerja
Sosial (Dll).
Klien di Panti Sosial menuntut pelayanan yang
optimal.
Rendahnya out put Klien untuk mandiri dan masuk
lapangan kerja.
Pemerintah Daerah belum menjadikan pengem-
bangan Pekerja Sosial sebagai program prioritas.
Semakin sedikitnya jumlah perguruan tinggi dan
mahasiswa yang berminat mengikuti pendidikan
tinggi Kesejahteraan Sosial.
Tabel 6.1. SFAS (Strategic Factors Analysis Summary) Pekerja Sosial
Faktor Strategis Internal Bobot Peringkat Perbobot Durasi Keterangan (1) (2) (3) (4) (5) (6) Pendek Menengah Panjang
Produk Peraturan Perundang 0.10 4 0.40 x Payung hukum. undangan tentang Pekerja Sosial (S)
Dukungan manajemen puncak (S) 0.10 5 0.50 x Kunci sukses. Keterampilan Pekerja Sosial (S) 0.10 2 0.20 x Peningkatan mutu. Pendidikan Pekerja Sosial (W) 0.05 3 0.15 x Peningkatan kompetensi. Jumlah Pekerja Sosial (W) 0.15 3 0.45 x Pemerataan pelayanan sosial. Insentif Pekerja Sosial (W) 0.10 4 0.40 x Untuk motivasi kerja. Peningkatan struktur organisasi 0.10 4 0.40 x Dukungan politik pembinaan jabatan fungsional Pekerja pemerintah Sosial (O).
Renstra pengembangan SDM RPJM II 0.05 3 0.15 x Kesinambungan pembi- (2010-2014) (O). naan Pekerja Sosial. Standar minimal pendidikan Pekerja 0.10 4 0.40 x Peningkatan profesiona- Sosial (O). litas Pekerja Sosial. Kemandirian klien (T) 0.05 4 0.20 x Keadilan untuk kelompok marjinal. Tuntutan pelayanan oleh klien (T) 0.05 3 0.15 x Hak azasi manusia bagi klien. Tren peminat pendidikan tinggi 0.05 4 0.20 x Berkurangnya peminat Kesejahteraan Sosial (T) Perguruan Tinggi Kese- jahteraan Sosial.
Total 1.00 3.60
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Pembuatan Matrik SWOT (TOWS).
Tahap berikutnya adalah Kementerian Sosial mengiden-
tifikasi cara-cara alternatif, dengan menggunakan kekuatan-
kekuatan khusunya dengan menggunakan kesempatan atas
peluang-peluang atau untuk menghindari ancaman-ancaman,
dan mengatasi kelemahan-kelemahannya. Matrik SWOT
(dikenal juga dengan TOWS) menggambarkan bagaimana
manajemen dapat mencocokkan peluang-peluang dan
ancaman-ancaman eksternal yang dihadapi suatu organisasi
dengan kekuatan dan kelemahan internalnya, untuk meng-
hasilkan empat rangkaian alternatif strategis.
Tabel 6.4. adalah Matrik SWOT Pekerja Sosial dengan
menggunakan Tabel IFAS dan EFAS, dengan penjelasan
sebagai berikut: Pertama, Pada blok berlabel Peluang, daftar
peluang eksternal yang tersedia (EFAS, Tabel 6.5). Kedua,
Pada blok berlabel Ancaman, daftar ancaman eksternal yang
tersedia (EFAS, Tabel 6.5). Ketiga, Pada blok berlabel
Kekuatan yang dimiliki (IFAS, Tabel 6.6). Keempat, Pada blok
berlabel Kelemahan, daftar kelemahan yang dimiliki (IFAS,
Tabel 6.6). Kelima, Kemudian dibuat sekumpulam strategi
yang mungkin bagi Kementerian Sosial, berdasarkan kombi-
nasi tertentu dari empat kumpulan faktor strategi tersebut.
Perumusan Strategi.
Perumusan Strategi SO (disebut juga: Comparative
Advantage), adalah memikirkan cara-cara tertentu untuk
dapat menggunakan kekuatan-kekuatannya untuk mengambil
manfaat dari peluang-peluang yang ada. Dengan kata lain
bagaimana memanfaatkan kekuatan yang ada untuk mening-
katkan posisi kompetitifnya.
238
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Strategi ST (disebut juga: Mobilization), adalah dengan
mempertimbangkan kekuatan yang ada untuk menghindari
ancaman-ancaman atau bagaimana caranya berusaha
memobilisir sumber daya yang merupakan kekuatan organi-
sasi untuk memperlunak ancaman dari luar.
Strategi WO (disebut juga: Investment/Divestment),
adalah dengan mengambil keuntungan dari peluang yang ada
dengan mengatasi berbagai kelemahan yang ada atau
peluang yang tersedia sangat meyakinkan, tetapi tidak ada
kemampuan organisasi untuk menggarapnya dan memberi-
kan reaksi positif.
Strategi WT (disebut juga: Demage Control), adalah
strategi defensif untuk meminimalisasi kelemahan dan meng-
hindari ancaman. Strategi yang ditempuh adalah untuk
mengendalikan kerugian yang diderita sehingga tidak separah
dengan yang diperkirakan.
239
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
KekuatanKelemahan
Pelu
ang
Tant
anga
n/A
ncam
an
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Peluang
Peningkatan struktur organisas Pem-
binaan Jabatan Fungsional Pekerja
Sosial.
Renstra Pengembangan SDM RPJM II
(2010-2014).
Formasi tenaga Fungsional Pekerja
Sosial.
Standar minat pendidikan Pekerja
Sosial.
Tantangan Ancaman
Tuntutan pelayanan oleh klien
(PMKS).
Kemandirian alumni Panti Sosial
(Klien).
Komitmen Pemda untuk pembinaan
Pekerja Sosial.
Tren peminat pendidikan tinggi
Kesejahteraan Sosial.
Tabel 6.5. IFAS (Internal Factors Strategis) Pekerja Sosial
Faktor Strategis Internal Bobot Peringkat Perbobot (1) (2) (3) (4)
Kekuatan
Produk Peraturan Perundang- 0.15 4 0.60 undangan tentang Pekerja Sosial
Motivasi kerja Pekerja Sosial 0.10 3 0.30 Dukungan manajemen puncak 0.10 5 0.50 Keterampilan Pekerja Sosial 0.05 3 0.45 Budaya kerja Pekerja Sosial 0.05 3 0.45
Kelemahan
Pendidikan Pekerja Sosial 0.15 5 0.75 Jumlah Pekerja Sosial 0.10 4 0.40 Anggaran untuk Pekerja Sosial 0.05 3 0.15 Sarana dan Prasarana Pelayanan 0.05 3 0.15 Sosial di Panti Sosial
Keberadaan Tim PAK Pekerja Sosial 0.05 2 0.10 Pelaksanaan Tupoksi Pekerja Sosial 0.05 2 0.10 Insentif Pekerja Sosial 0.10 4 0.40
Total 1.00 3.75
Keterangan
(5)
Substansi peraturan sudah cukup mendukung.
Motivasi kerja sudah terbentuk lama.
Kuatnya dukungan Pimpinan Pusat dan Panti Sosial.
Karena pengalaman dapat diandalkan.
Sudah terbentuknya budaya kerja Pekerja Sosial dalam pelayanan sosial.
Pendidikan Pekerja Sosial rendah (SMA/SMK). Ratio Peksos dan klien tidak proporsional
(seharusnya 1 : 5 kenyataannya 1 : 22).
Tunjangan fungsional Pekerja Sosial rendah.
Sarana dan prasarana Panti Sosial terbatas dan out of date.
Tidak semua Pemda Provinsi ada Tim PAK.
Tupoksi Pekerja Sosial belum optimal dilaksanakan
Tidak ada insentif untuk Pekerja Sosial.
Tabel 6.6. EFAS (External Factors Strategis) Pekerja Sosial
Faktor Strategis Internal Bobot Peringkat Perbobot (1) (2) (3) (4) Peluang
Peningkatan struktur organisasi 0.20 5 1.00 Pembinaan Jabatan Fungsional
Pekerja Sosial.
Renstra Pengembangan SDM RPJM II 0.15 4 0.60 (2010-2014).
Formasi tenaga Fungsional Pekerja 0.05 3 0.15 Sosial.
Standar minat pendidikan Pekerja 0.10 5 0.50 Sosial.
Tantangan/Ancaman
Tuntutan pelayanan oleh klien (PMKS) 0.15 5 0.75 Kemandirian alumni Panti Sosial (Klien) 0.20 4 0.80 Komitmen Pemerintah Daerah untuk 0.05 3 0.15 pembinaan Pekerja Sosial.
Tren peminat pendidikan tinggi 0.10 5 0.50 Kesejahteraan Sosial.
Total 1.00 4.45
Keterangan
(5)
Peningkatan eselonering pembinaan jabatan fungsional Pekerja Sosial.
Tercantumnya rencana strategis pengembangan Pekerja Sosial.
Terbentuknya formasi jabatan fungsional Pekerja Sosial oleh Pemerintah Daerah.
Peningkatan standar minimal pendidikan Pekerja Sosial (Dll).
Klien di Panti Sosial menuntut pelayanan yang optimal.
Rendahnya out put Klien untuk mandiri dan masuk lapangan kerja.
Pemerintah Daerah belum menjadikan pengem-bangan Pekerja Sosial sebagai program prioritas.
Semakin sedikitnya jumlah perguruan tinggi dan mahasiswa yang berminat mengikuti pendidikan tinggi Kesejahteraan Sosial.
Tabel 6.4. Matrik SWOT (TOWS) Pekerja Sosial
Kekuatan
Produk Peraturan Perundang-unada-
ngan tentang Pekerja Sosial.
Motivasi kerja Pekerja Sosial.
Dukungan manajemen puncak.
Keterampilan Pekerja Sosial.
Budaya kerja Pekerja Sosial.
SO (Comparative Advantage)
Komitmen manajemen puncak untuk
pembinaan Jabatan Fungsional
Pekerja Sosial.
Produk Peraturan Perundang-unda-
ngan untuk peningkatan Standar mini-
mal pendidikan Pekerja Sosial.
ST (Mobilization)
Mobilisasi keterampilan Pekerja Sosial
untuk peningkatan kualitas out put
Panti Sosial.
Mendorong manajer puncak Panti
Sosial untuk peningkatan peleyanan
sosial di Panti Sosial.
Kelemahan
Jumlah Pekerja Sosial.
Anggaran untuk Pekerja Sosial.
Sarana dan prasarana pelayanan
sosial di Panti Sosial.
Keberadaan Tim PAK Pekerja Sosial.
Pelaksanaan Tupoksi Pekerja Sosial.
Insentif Pekerja Sosial.
WO (Investment/Divestment)
Implementasi Renstra SDM RPJM II
untuk pemberdayaan Pekerja Sosial.
Peningkatan eselonering pembinaan
Jabatan Fungsional Pekerja Sosial
akan meningkatkan alokasi anggaran
untuk insentif dan pelaksanaan
Tupoksi Pekerja Sosial.
WT (Damage Control)
Fokus pada kemudahan dan pembe-
rian beasiswa untuk calon mahasiswa
perguruan tinggi Kesejahteraan
Sosial.
Supervisi pada input dan proses pela-
yanan sosial di Panti Sosial.
240
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
C. Strategi Program Implementasi Kebijakan Nasional
Tentang Mutu Pekerja Sosial.
Dengan Analisis SWOT yang telah diuraikan di atas,
melalui pendekatan IFAS (Internal Factors Strategic) dan
EFAS (External Factors Strategic) dan Strategi SO, WO, ST
dan WT, maka telah dirumuskan 8 (delapan) strategi program
yaitu:
Pertama, Komitmen pimpinan untuk pembinaan Jaba-
tan Fungsional Pekerja Sosial. Dalam strategi ini, pimpinan
Kementerian Sosial (menteri Sosial, Pejabat Eselon I dan II
terkait), berkomitmen untuk melaksanakan pembinaan
Jabatan Fungsional Pekerja Sosial. Dengan komitmen yang
tinggi ini diharapkan para Pekerja Sosial dapat ditingkatkan
kompetensinya dalam melaksanakan pelayanan sosial di
Panti Sosial dan mengembangkan karirnya mendapat perha-
tian yang lebih proporsional.
Kedua, Produk peraturan perundang-undangan untuk
peningkatan standar pendidikan Pekerja Sosial. Saat ini
sesuai dengan Kepmenpan Nomor: KEP/03/M.PAN/1/2004,
untuk menjadi tenaga fungsional Pekerja Sosial, pendidikan
terendah adalah SMA/SMK dan untuk jangka pendek akan
diusulkan kepada Menpan standar minimal pendidikan tenaga
fungsional Pekerja Sosial adalah D III. Peningkatan standar
minimal pendidikan D III merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan mutu Pekerja Sosial dan peningkatan profesio-
nalitas dalam melaksanakan pelayanan kesejahteraan sosial.
Ketiga, Implementasi Renstra RPJM II (2010-2014)
untuk pemberdayaan Pekerja Sosial. Mendorong agar
Renstra Pembangunan Jangka Menengah II (2010-2014)
yang telah merumuskan berbagai program dan kegiatan untuk
pemberdayaan Pekerja Sosial melalui penyediaan anggaran
241
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
untuk pendidikan dan pelatihan, pengembangan karir, pening-
katan kinerja Pekerja Sosial dan penambahan formasi untuk
mengisi tenaga fungsional Pekerja Sosial di Panti Sosial dapat
diimplementasikan mulai tahun pertama RPJM II.
Keempat, Peningkatan eselonering pembinaan fung-
sional Pekerja Sosial. Diusulkan kepada Menpan untuk
meningkatkan eselonering pembinaan Jabatan Fungsional
Pekerja Sosial dari level eselon III menjadi eselon II. Pening-
katan eselonering ini tentu dapat mendorong motivasi kerja
para Pekerja Sosial, karena semakin terbentuknya peluang
untuk terlaksananya Tupoksi Pekerja Sosial dan pemberian
insentif sesuai dengan kinerja para Pekerja sosial.
Kelima, Mobilisasi keterampilan Pekerja Sosial untuk
peningkatan kualitas out put Panti Sosial. Karena pengalaman
yang panjang sebagian besar Pekerja Sosial mempunyai
keterampilan yang baik dalam melaksanakan pelayanan
sosial di Panti Sosial. Dengan mobilisasi keterampilan Pekerja
Sosial diharapkan dapat mendorong Panti Sosial meningkat-
kan kualitas out put klien sehingga menjadi mandiri dan dapat
diserap lapangan kerja.
Keenam, Mendorong Kepala Panti Sosial untuk
meningkatkan pelayanan sosial di Panti Sosial. Komitmen
Kepala Panti Sosial merupakan faktor penting untuk memba-
ngun suasana kerja yang kondusif bagi Pekerja Sosial.
Kepemimpinan Kepala Panti Sosial merupakan faktor utama
berhasilnya pelayanan sosial dan mendorong partisipasi dan
solidaritas seluruh komponen di Panti Sosial.
Ketujuh, Program beasiswa untuk mahasiswa Pergu-
ruan Tinggi Kesejahteraan Sosial. Untuk memenuhi kebutu-
han tenaga kesejahteraan sosial maka Perguruan Tinggi
Kesejahteraan Sosial memberikan kemudahan dan beasiswa
242
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
kepada calon mahasiswa, sehingga Perguruan Tinggi tetap
eksis dan kebutuhan tenaga Kesejahteraan Sosial dapat
terpenuhi. Oleh karena itu, perlu kerja sama dengan Pemerin-
tah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, organisasi Sosial
untuk mendapatkan program beasiswa dimaksud.
Kedelapan, Supervisi pada in put dan proses pelayanan
sosial di Panti Sosial. Pada tahap in put, perlu dilakukan secara
cermat pendekatan awal yang dilakukan terhadap klien dan
dalam tahap proses perlu dilakukan kontrol dan supervisi pada
setiap tahapan pelayanan sosial. Langkah supervisi ini perlu
dilakukan untuk mengoptimalkan sumber daya yang terbatas
agar dapat lebih produktif.
243
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
244
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
BAB VIIKESIMPULAN DAN REKOMENDASI
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NASIONAL TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL
DI ERA OTONOMI DAERAH
245
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
246
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
BAB VIIKESIMPULAN DAN REKOMENDASI
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NASIONAL TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL
DI ERA OTONOMI DAERAH
DENGAN pembahasan hasil studi melalui penyajian
data yang lengkap dan kajian serta analisis yang
mendalam dengan pemaparan yang panjang lebar
pada halaman-halaman sebelumnya, dimaksudkan untuk
menjawab tiga pertanyaan utama dari studi ini tentang:
Apakah substansi kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial
sesuai dengan standar pelayanan sosial di Panti Sosial Peme-
rintah Pusat dan Pemerintah Daerah? Bagaimanakah imple-
mentasi kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial dalam pelaya-
nan sosial di Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah? Dan apakah hasil pelaksanaan kebijakan tentang
mutu Pekerja Sosial sesuai dengan standar pelayanan sosial
di Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah?
Pertanyaan penting dari studi tentang mutu pekerja
sosial di era otonomi daerah (Pemerintah Pusat dan Pemerin-
tah Daerah) telah mendapat jawaban secara utuh bagaimana
situasi Pekerja Sosial yang memiliki nasib yang kurang
beruntung dan tidak mendapat perhatian yang sungguh-
sungguh dalam kurun waktu berjalannya otonomi daerah.
Hasil evaluasi dan analisis dari studi ini menghasilkan
kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut:
247
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
A. Kesimpulan Implementasi Kebijakan Nasional Tentang
Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah.
Hasil studi tentang mutu pekerja sosial di era otonomi
daerah ini dirumuskan dalam kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Kebijakan nasional dalam bentuk berbagai peratu-
ran perundang-undangan (Undang-Undang, PP, Keputusan
Presiden, Kepmenpan, Kepmensos), yang mengatur tentang
mutu Pekerja Sosial sesuai standar pelayanan sosial (di Panti
Sosial), cukup lengkap dan mudah dipahami sebagai pedo-
man/acuan oleh birokrasi Kementerian Sosial dan Pekerja
Sosial.
Dikaitkan dengan Pengembangan Manajemen Sumber
Daya Manusia (PMSDM), ada beberapa unsur pengemba-
ngan PMSDM yang belum terlihat pada kebijakan nasional
yang mengatur mutu Pekerja Sosial yaitu: motivasi dan
insentif, disamping seleksi dengan standar rendah, penilaian
kinerja yang rumit dan sulit, manajemen gaji dan upah dibawah
standar serta tunjangan dan program kesejahteraan yang
terbatas.
Kedua, Implementasi Kebijakan Nasional. Implementasi
kebijakan nasional peningkatan mutu Pekerja Sosial dalam
pelayanan sosial di Panti Sosial, selama kurun waktu lima
tahun (2004-2009), belum dilaksanakan secara maksimal.
Faktor utama belum maksimalnya implementasi
kebijakan tersebut adalah: (a) adanya tenggang waktu yang
lama (tiga tahun) untuk menindaklanjuti Kepmenpan Nomor:
03/M.PAN/1/2004 Tentang Jabatan Fungsional Pekerja Sosial,
seharusnya dijabarkan dengan Keputusan Menteri Sosial
sebagai Pedoman Pembinaan Jabatan Fungsional Pekerja
Sosial dan Pedoman Diklat Tenaga Fungsional Pekerja Sosial
pada tahun yang sama, ternyata Kepmensos dimaksud
248
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
(Nomor 10/HUK/2007 dan Nomor 43/HUK/2007) dikeluarkan
pada tahun 2007; (b) Kementerian Sosial sebagai pembina
Jabatan Fungsional Pekerja Sosial, tidak didukung dengan
struktur organisasi yang sesuai dengan beban tugas. Saat ini
pejabat struktural yang bertanggungjawab pada tingkat eselon
III, idealnya ditangani oleh pejabat setingkat eselon II;
(c) kurangnya advokasi dan sosialisasi dari stakeholder tingkat
Kementerian Sosial terhadap berbagai produk peraturan yang
berkaitan dengan Pekerja Sosial kepada Pemerintah Daerah
(Dinas Sosial Provinsi, Kabupaten/Kota) Kepada Panti Sosial
dan Pekerja Sosial pada Panti Sosial Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Ketiga, Evaluasi hasil pelaksanaan kebijakan nasional.
Evaluasi hasil pelaksanaan kebijakan nasional tentang mutu
Pekerja Sosial dalam melaksanakan pelayanan sosial yang
sesuai dengan standar pelayanan sosial di Panti Sosial,
sebagai berikut: (a) dari sisi efektifitas ternyata Pekerja Sosial
belum efektif menjalankan profesinya, karena hanya 40%
Pekerja Sosial yang melaksanakan 6 (enam) tahap pelayanan
sosial (pendekatan awal, assesmen, rencana intervensi,
intervensi, evaluasi-terminasi-rujukan, bimbingan dan tindak
lanjut) secara lengkap dan 38% melaksanakan 3 (tiga) tahap
dari 6 (enam) tahap pelayanan sosial di Panti Sosial;
(b) kualifikasi Jabatan Fungsional Pekerja Sosial 65% pada
tingkat terampil dan 35% pada tingkat ahli. Dengan latar
belakang pendidikan terbesar tingkat SMA/SMK dan S1 Non
Pekerjaan Sosial. Kondisi tersebut tentu belum mencukupi
untuk mendapatkan standar pelayanan sosial di Panti Sosial;
(c) Unit Pekerja Balai Besar Diklat Kessos, Direktorat Jenderal
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Biro Organisasi dan
Kepegawaian Kemensos, berperan besar dalam merespons
249
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
dan fasilitator untuk peningkatan kompetensi Pekerja Sosial;
(d) terbatasnya jumlah Pekerja Sosial (1 orang Pekerja Sosial
melayani 22 klien di Panti Sosial seharusnya 1:5), rendahnya
tunjuangan jabatan fungsional, kesempatan pendidikan dan
pelatihan jenjang jabatan fungsional yang terbatas, dukungan
anggaran untuk pelayanan Panti Sosial yang minim, sebagai
faktor utama penyebab belum meratanya jangkauan pelaya-
nan sosial maupun mutu keluaran (out put) PMKS di Panti
Sosial; (e) masih ada Kepala Panti Sosial yang tidak memberi-
kan ruang gerak dan kesempatan yang cukup kepada Pekerja
Sosial untuk melaksanakan Tupoksinya. Hal tersebut berdam-
pak kurang efisien (inefficiency) Pekerja Sosial dalam
melaksanakan profesinya.
B. Rekomendasi Implementasi Kebijakan Nasional
Tentang Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah.
Setelah dirumuskan kesimpulan dari studi mutu pekerja
sosial di era otonomi daerah ini, maka diperlukan rekomendasi
yang ditujukan kepada stakeholder dalam hal ini ditujukan
terutama kepada pemerintah (Kementerian Sosial), dengan
rekomendasi sebagai berikut:
Pertama, Peningkatan profesionalitas dan Standar
Kompetensi Pekerja Sosial. Untuk menjaga mutu Pekerja
Sosial, skala prioritas yang perlu dilakukan adalah dilaksana-
kannya peningkatan profesionalitas dan kompetensi Pekerja
Sosial. Upaya yang dilakukan adalah melalui: peningkatan
pendidikan rata-rata, motivasi kerja, memberi tanggung jawab,
menciptakan cara kerja baru dan pemberdayaan. Untuk
penerapan sertifikasi bagi Pekerja Sosial, perlu diatur
penetapan standar kompetensi yang meliputi pengetahuan,
keterampilan dan perilaku yang dipersyaratkan bagi Pekerja
250
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Sosial untuk dapat melaksanakan praktek Pekerja Sosial dan
penyelenggaraan kesejahteraan Sosial.
Kedua, Penyelenggaraan Diklat wajib JFPS dan Diklat
Teknik dan Keterampilan Pekerja Sosial jarak jauh. Penye-
lenggaraan Diklat yang bersifat klasikal membutuhkan pem-
biayaan yang cukup besar, jangka pendek ini Diklat dilak-
sanakan di lokasi tugas Pekerja Sosial, dengan penyediaan
modul Diklat dan pengiriman Widyaiswara sebagai Tutorial.
Dengan demikian kenaikan jenjang jabatan dan pangkat
fungsional Pekerja Sosial dapat dipenuhi sesuai persyaratan
yang ditetapkan.
Ketiga, Komitmen Pimpinan untuk pembinaan Jabatan
Fungsional Pekerja Sosial. Pimpinan Kementerian Sosial
(Menteri Sosial, Pejabat Eselon I dan II terkait), berkomitmen
untuk melaksanakan pembinaan Jabatan Fungsional Pekerja
Sosial. Dengan komitmen yang tinggi ini diharapkan para
Pekerja Sosial dapat ditingkatkan kompetensinya dalam
melaksanakan pelayanan sosial di Panti Sosial dan pengem-
bangan karirnya mendapat perhatian yang lebih proporsional.
Keempat,Produk peraturan perundang-undangan untuk
peningkatan standar pendidikan Pekerja Sosial. Saat ini
sesuai dengan Kepmenpan Nomor: KEP/03/M.PAN/1/2004,
untuk menjadi tenaga fungsional Pekerja Sosial, pendidikan
terendah adalah SMA/SMK dan untuk jangka pendek akan
diusulkan kepada Menpan standar minimal pendidikan tenaga
fungsional Pekerja Sosial adalah D III. Peningkatan standar
minimal pendidikan D III merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan mutu Pekerja Sosial dan peningkatan profesio-
nalitas dalam melaksanakan pelayanan kesejahteraan sosial.
Kelima, Implementasi Renstra RPJM II (2010-2014)
untuk pemberdayaan Pekerja Sosial. Mendorong agar Renstra
251
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Pembangunan Jangka Menengah II (2010-2014) yang telah
merumuskan berbagai program dan kegiatan untuk pember-
dayaan Pekerja Sosial melalui penyediaan anggaran untuk
pendidikan dan pelatihan, pengembangan karir, peningkatan
kinerja Pekerja Sosial dan penambahan formasi untuk mengisi
tenaga fungsional Pekerja Sosial di Panti Sosial dapat
diimplementasikan mulai tahun pertama RPJM II.
Keenam, Peningkatan eselonering pembinaan fung-
sional Pekerja Sosial. Diusulkan kepada Menpan untuk
meningkatkan eselonering pembinaan Jabatan Fungsional
Pekerja Sosial dari level eselon III menjadi eselon II. Pening-
katan eselonering ini tentu dapat mendorong motivasi kerja
para Pekerja Sosial, karena semakin terbentuknya peluang
untuk terlaksananya Tupoksi Pekerja Sosial dan pemberian
insentif sesuai dengan kinerja para Pekerja sosial.
Ketujuh, Mobilisasi keterampilan Pekerja Sosial untuk
peningkatan kualitas out put Panti Sosial. Karena pengalaman
yang panjang sebagian besar Pekerja Sosial mempunyai
keterampilan yang baik dalam melaksanakan pelayanan
sosial di Panti Sosial. Dengan mobilisasi keterampilan Pekerja
Sosial diharapkan dapat mendorong Panti Sosial meningkat-
kan kualitas out put klien sehingga menjadi mandiri dan dapat
diserap lapangan kerja.
Kedelapan, Mendorong Kepala Panti Sosial untuk
meningkatkan pelayanan sosial di Panti Sosial. Komitmen
Kepala Panti Sosial merupakan faktor penting untuk memba-
ngun suasana kerja yang kondusif bagi Pekerja Sosial.
Kepemimpinan Kepala Panti Sosial merupakan faktor utama
berhasilnya pelayanan sosial dan mendorong partisipasi dan
solidaritas seluruh komponen di Panti Sosial.
Kesembilan, Program beasiswa untuk mahasiswa Per-
252
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
guruan Tinggi Kesejahteraan Sosial. Untuk memenuhi kebutu-
han tenaga kesejahteraan sosial maka Perguruan Tinggi
Kesejahteraan Sosial memberikan kemudahan dan beasiswa
kepada calon mahasiswa, sehingga Perguruan Tinggi tetap
eksis dan kebutuhan tenaga Kesejahteraan Sosial dapat
terpenuhi. Oleh karena itu, perlu kerja sama dengan Pemerin-
tah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, organisasi Sosial
untuk mendapatkan program beasiswa dimaksud.
Kesepuluh, Supervisi pada in put dan proses pelayanan
sosial di Panti Sosial. Pada tahap in put, perlu dilakukan secara
cermat pendekatan awal yang dilakukan terhadap klien dan
dalam tahap proses perlu dilakukan kontrol dan supervisi pada
setiap tahapan pelayanan sosial. Langkah supervisi ini perlu
dilakukan untuk mengoptimalkan sumber daya yang terbatas
agar dapat lebih optimal.
253
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
254
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
DAFTAR PUSTAKA
AG.Subarsono,(2008), Analisis Kebijakan Publik: Konsep,
Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
AB. Syaiful Anwar, (2009), Peningkatan Mutu, Relevansi dan
Dayasaing.
Perguruan Tinggi: Analisis Kebijakan di Universitas Bengkulu,
Disertasi Doktor, Pascasarjana UNJ, Jakarta.
Bardach, Eugene, (2000), A Practical Guide for Policy Analysis
The Eighfold Path to More Effective Problem Solving,
New York: Seven Bridges Press.
Bailey, K.D.,(1978), Method of Social Researh, London Free
Press.
Bessant Judith, Watts Rob, Dalton Tony&Smyth Paul (2006),
Talking Policy How Social Policy is Made, Allen & Unwin
Crows Nest NSW.
Bridgman Peter & Davis Glyn (2004), the Australian Policy
Handbook, Allen & Unwin Nest NSW.
Bromley, Daniel W. (1989), Economic Interest and Institutions.
New York: Basil Blackwell.
Blair, K. (2007). Social Work and the Cultural Dialogue. Critical
Social Work, 2007 Vol. 8, No. 1.
Blair, Tony. Mondernising Government. With Paper Presented
to Parliament. By the Prime Minister and the Minister for
Cabinet Office and by Commandof Her Mayesty, March
1999.
Borg, Walter R. and Meredith D. Gall. Educational Research:
An Introduction 5th Edition. New York: Longman, 1989.
Brooks, S. (2002). Introduction: The Challenge of Cultural
Pluralism, in Stephen Brooks ed., The Challenge of
Cultural Pluralism. Westport, Connecticut: Preager.
255
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
BPS dan Desos (2007), Analisis Deskriptif Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial Tahun 2006, Jakarta.
Depsos, Biro Orpeg. (2008), Pemetaan Karier Pekerja Sosial.
Jakarta.
Depsos. (2006), Peran dan Perjalanan Departemen Sosial,
PT. DN Media, Jakarta.
Depsos (2009), Rencana Strategis Pembangunan
Kesejahteraan Sosial 2010-2014, Jakarta.
Depsos (2009), Pelaksanaan Program Pembangunan
Kesejahteraan Sosial di Indonesia Tahun 2004-2009,
Jakarta.
Dhooper S., Moore S. (2001). Social Work Practice with
Culturally Diverse People. Thousand Oaks: Sage.
Dunn, William N., (2000, 2nd edition), Pengantar Analisis
Kebijakan Publik, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Dunn, William N. (1981). Public Policy Analysis: An
Introduction, New Jersey: Prentice Hall.
Dubois, Brenda & Miley, Karla Krogsrud.(1996, 2nd edition).
Social Work An Ampowering Profession, Allyn and
Bacon A Simon & Schuster Company Needham Heights,
Mass.
Dwidjowito, Riant Nugroho, (2003), Kebijakan Publik:
Perumusan Implementasi Evaluasi, Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Dwidjowito, Riant Nugroho D. (2007), Analisis Kebijakan.PT.
Elex Media Komputindo, Jakarta.
Dwidjowito, Riant Nugroho D, (2008), Public Policy. PT.Elex
Media Komputindo, Jakarta.
Dye, Thomas R., (1995), Understanding Public Policy, New
Jersey: Prentice Hall.
256
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Hill Michael (1996), Social Policy A comparative analysis,
Prentice Hall, London.
Hogwood, B.W & Gun L.A., Policy Analysis for the Real World.
Oxford: Oxford University Press.
Jusman Iskandar, Carolina Nitimihardjo (Penyunting, 1411 H),
Pengantar Penelitian Pekerjaan Sosial, STKS Bandung.
Leibfried S., & Mau S., (Eds). (2007) Welfare states:
Construction, Deconstruction, Reconstruction.
Northampton/Cheltenham: An Elgar Reference
collection.
Mc.Milland,J.H, and Schumacher S,(1989), Research and
Education: A conceptual Introduction 2nd Edition. III
Scot, Foresman, Glenview.
Mullaly, Bob (1997), Structural Social Work, Ideology, Theory,
and Practice, Oxford University Press Canada.
Midgley, James,( 2008), Imperialisme Profesional Pekerjaan
Sosial di Dunia Ketiga, (Biro Organisasi & Kepega-
waian), Departemen Sosial R.I.
Midgley, James, Tracy B.Martin, Livermore Michelle,(2000),
The Handbook of Social Policy, Sage Publications,
California USA.
Muhadjir, Noeng.(2001), Filsafat Ilmu Positivisme, Post
Positivisme, dan Post Modernisme edisi II, Rake
Sarasin, Yogyakarta.
National Association of Social Workers (2007), Indicators for
the Achievement of the NASW Standards for Cultural
Competence in Social Work Practice, NASW,
Washington D.C
Naumann, I. (2005). Child care and feminism in West Germany
and Sweden in the 1960s and 1970s, Journal of
European Social Policy 15 (1), 133-152.
257
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Nakamura,R.T, Smallwood.F.(1980). The Politic of Policy
Implementation. New York: St.Martin's Press.
Parsons, Wayne, 2005 (2001), Public Policy: Pengantar Teori
dan Praktik Analisis Kebijakan, Jakarta: Prenada Media.
Patton, Carl V., & David S. Sawicky, (1993), Basic Methods of
Policy Analysis and Planning, London: Prentice Hall.
Philips D.C,.(1983), After the Wake: Post Positivistic
Peducational Thought, Educational Researcher 12
Number 5.
Pincus, Allen & Manahan, Anne, Social Work Practice: Model
and Method, University of Wisconsin Madison,
F.E.Peacock Publishers,Inc. Illinois.
Pusdatin Depsos (2003), Data dan Informasi Pekerja Sosial,
Jakarta
Quade, E.S., (1982), Analysis for Public Decission, New York:
Elseveir Science Publishing.
Roberts,Albert R & Greene Gibert J, (2008), Buku Pintar
Pekerja Sosial, PT.BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Reeves Paul (1996), an introduction to Social Housing, Arnold
London.
Reni Marlinawati, (2006), Kebijakan Nasional Tentang Mutu
Pendidikan Periode 1999 – 2004, Disertasi Doktor Pasca
Sarjana UNJ,Jakarta.
Sudarwan Danim, (2005), Pengantar Studi Penelitian
Kebijakan, Bumi Aksara.
Sue D. W. & McGoldrick M. (2006) . Multicultural Social Work
Practice, Hoboken. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Svetlana T. (2008) , The impact of multiculturalism on social
work practice and the welfare state reforms, Journal of
Critical Social Work, JOURNAL ISSUE 18 Fall.
258
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Sutarso (2005), Praktek Pekerjaan Sosial Dalam
Pembangunan Masyarakat, Balatbangsos, Depsos
Jakarta.
Suharto Edi, (2006), Analisis Kebijakan Publik, Alfabeta,
Bandung.
Suharto Edi. (2007), Kebijakan sosial sebagai kebijakan
publik, Alfabeta, Bandung.
Singarimbun, Masri, Sofian Efendi (1989), Metode Penelitian
Survei, LP3ES,Jakarta.
The Columbia Encyclopedia (2001-07). Reformation, Sixth
Edition. New York. Available at http://www.bartleby.com/
65/re/Reformat.html.
Tjiptono, Fandy, & Diana, Anastasia, 2001 (2001, Edisi Revisi),
Total Quality Mangement, Yogyakarta: Andi.
Tricket, E., Watts R. & Briman, D. (1994). Human Diversity:
Perspective of people in context. San Francisco: Jossey
Bass, Inc.
Thompson Neil (2005), Understanding Social Work Preparing
for Practice, Palgrave MacMillan N.Y.
Vaughn, Richard C.(1974), Quality Control. Iowa: Iowa State
University Press.
Wayne Parsons. (2006). Public Policy: Pengantar Teori &
Praktek Analisis Kebijakan, Predana Media Group,
Jakarta.
Weimer, L. David & Vining.R.Aidan (1991), Policy Analysis
Concepts and Practice, Prentice Hall New Jersey.
Williams, Walter, (1971), Social Policy Research and Analysis:
The Experiencein the Federal Social Agencies, New
York: American Elseveir Publishing.
Zastrow H. Charles,(Sixth edition,1999), The Practice of Social
Work, Brooks/ Cole Publisihing Company,USA.
259
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Himpunan Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009, Tentang Kesejahteraan
Sosial.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994, tentang Jabatan
Fungsional Pegawai Negeri sipil.
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000, tentang Pendidikan
dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil.
Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999, tentang Rumpun
Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil.
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor: 45/MENPAN/1988 Tentang Angka kredit Bagi Jabatan
Pekerja Sosial.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:
KEP/03/PAN/1/2004 Tentang Jabatan Fungsional Pekerja
Sosial dan Angka Kreditnya.
Keputusan Bersama Menteri Sosial Dan Kepala Badan Administrasi
Kepegawaian Negara Nomor: 05/HUK/2004, Nomor: 09
Tahun 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan
Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya.
Keputusan Menteri Sosial Nomor : 50/HUK/2004 Tentang
Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan
Sosial Nomor: 193/Menkes-Kessos/III/2000 Tentang
Standarisasi Panti Sosial.
Keputusan Menteri Sosial Nomor 10/HUK/2007, Tentang Jabatan
Fungsional Pekerja Sosial.
Keputusan Menteri Sosial Nomor 43/HUK/2007, Tentang Pedoman
Pendidikan & Pelatihan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial.
Keputusan Menteri Sosial Nomor: 108/HUK/2009, Tentang
Sertifikasi Pekerja Sosial
260
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
RIWAYAT HIDUP
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc, lahir di Medan
Sumatera Utara tanggal 25 Juni 1955, merupakan
putra ketiga dari sembilan bersaudara, dari Bapak Haji
Idham Situmorang (Almarhum),Purnawirawan TNI dan
Ibu Hajjah Isnaniah (Almarhumah), seorang ibu rumah
tangga yang gigih mendorong pendidikan anak-anak-
nya. Menyelesaikan pendidikan SD Negeri di sebuah
perkebunan negara di Kabupaten Deli Serdang tahun
1968, SMP Negeri Perbaungan Kabupaten Deli Serdang tahun 1971, SAA
(Sekolah Asisten Apoteker) Negeri Medan tahun 1974.
Menyelesaikan pendidikan Sarjana Farmasi di FMIPA Universitas
Sumatera Utara (USU) tahun 1981 dan pendidikan profesi Apoteker tahun
1982. Pada tahun 1988-1990 melanjutkan pendidikan S2 Public Health di
Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI) bidang studi Biostatistik dan
Kependudukan dan mendapatkan predikat lulusan terbaik II dan pada tahun
2010 menyelesaikan pendidikan S3 Bidang Studi Manajemen Pendidikan di
Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Semasa mahasiswa aktif dalam organisasi intra dan ekstra
universitas. Pernah duduk sebagai Pengurus Senat Mahasiswa FMIPA USU,
Ikatan Mahasiswa Farmasi FMIPA USU, Ketua Umum HMI Cabang Medan
dan Ketua Badko HMI Sumatera Bagian Utara.
Mulai bekerja di BKKBN Propinsi Sumatera Utara tahun 1983 dan
pada tahun 1984 sebagai PH Kasi Kontrasepsi, kemudian melanjutkan
pendidikan S2 dengan tugas belajar dan pada tahun 1990 di tugaskan
sebagai Kepala BKKBN Kota Pematang Siantar. Tahun 1994 ditarik ke
BKKBN Pusat dan berturut-turut menjabat sebagai Kepala Bagian Pemeli-
haraan dan Kendaraan Biro Tata Usaha, Kabag Peningkatan Mutu
Pelayanan Kontrasepsi Biro Kontrasepsi, Kepala Sub Direktorat Pening-
katan Kelompok Usaha Direktorat Pemberdayaan Ekonomi Keluarga. Tahun
2001 pindah ke Departemen Sosial dan menjabat sebagai Sekretaris
Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, tahun 2006 menjabat
sebagai Direktur Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial dan akhir tahun 2007
menjabat sebagai Sekretaris Jenderal sampai dengan Oktober 2010. Dan
sejak Oktober 2010 sampai dengan saat ini menjabat sebagai Staf Ahli
Menteri Sosial Bidang Otonomi Daerah.
261
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Disamping jabatan di Kemensos, pada September 2008 diangkat
sebagai Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Agustus 2010
sebagai Plt. Ketua DJSN dan sejak tahun 2011 dengan Keputusan Presiden
diangkat sebagai Ketua definitif. Pada Agustus 2009 diangkat dengan
Keputusan Presiden sebagai Anggota Dewan Pengarah BNPB (Badan
Nasional Penanggulangan Bencana).
Pada tahun 1982-1988 pernah juga mengajar sebagai Guru SAA di
Medan dan Dosen Luar Biasa Jurusan Tadris Fakultas Tarbiyah IAIN
Sumatera Utara. Anggota Panja RUU Penanggulangan Bencana (2007),
Ketua Panja unsur Pemerintah pada Penyusunan RUU tentang
Kesejahteraan Sosial tahun 2008, anggota Panja RUU Penanganan Fakir
Miskin (2011) dan anggota Panja RUU BPJS (2010-2011). Seluruh jenjang
pendidikan Struktural kedinasan telah diikuti (Spama, Diklat PIM Tkt.II dan
Diklat PIM Tk.I mendapat katagori 10 lulusan terbaik). Telah mengunjungi
berbagai negara dalam rangka pelatihan, konferensi internasional dan studi
banding ke Swedia, Finlandia, Belanda, Jepang, Korea Selatan, Thailand,
Australia, New Zealand, Iran, India, Sudan, Inggris, Jerman, Taiwan dan
Philipina.
Saat ini juga aktif mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) Universitas Nasional (UNAS) dan Kepala Laboratorium Administrasi
Negara FISIP UNAS dan di Fakultas Ilmu Pendidikan dan Studi Islam UNIDA
Ciawi Bogor dan pernah sebagai Konsultan beberapa penelitian di
Puslitbangkesos.
Di organisasi profesi, aktif sebagai pengurus pusat Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia (ISFI) dan saat ini sebagai Wakil Ketua Penasehat BPP
IAI ( Pengganti nama dari ISFI) dan Ketua Yayasan ISFI.
Pada organisasi intelektual muslim, sewaktu bertugas di Kota
Pematang Siantar, membentuk dan menjadi Ketua Orsat ICMI Pematang
Siantar. Salah satu tugas waktu itu adalah mendirikan BPRS Amanah
Bangsa dan selama 18 tahun sampai dengan saat ini BPRS tersebut tetap
eksis untuk menghadang rentenir yang cukup banyak di Siantar. Sehari-hari
di celah waktu yang tersisa masih menyempatkan diri memberikan pelaya-
nan profesi kefarmasian di Apotik sebagai pengelola dan pemilik Apotik.
Menikah dengan Dra. Leny Brida Siregar, Dipl. TESOL, M,Psi
(Mahasiswa S3 UNJ, Dosen Politeknik Negeri Jakarta), pada tahun 1983
dan dikaruniai dua orang putra, Budi Syarif Amanda Situmorang,SH, LL,M,
dan Boby Nirwan Ramadhan Situmorang, SE, B,Econ (Mahasiswa Post
Graduate Ilmu Ekonomi University Of Quensland Australia).
262
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc
Mutu Pekerja SosialDi Era Otonomi Daerah
Mutu Pekerja SosialDi Era Otonomi Daerah
..................................................................................................................................................“Pekerja Sosial sebagai garda terdepan dalam Pelayanan Sosial memerlukan mutu yang tinggi, kompetensi yang unggul dan harus dapat mengup-date dirinya secara berkelanjutan. Buku ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pencerahan ke arah dimaksud”. (Dr. Salim Segaf Al Jufri, MA – Menteri Sosial RI)....................................................................................................................................“Buku ini patut mendapat apresiasi karena mengangkat Quality Control dari suatu profesi yang sangat mulia namun sering dicampuradukkan dengan pekerjaan relawan. Social Worker perlu membaca buku ini untuk meningkatkan eksistensi profesi pekerjaan sosial di Indonesia”. (Makmur Sunusi, PhD – Staf Ahli Menteri Sosial/Pakar International Social Work)...................................................................................................................................................Mutu Pekerja Sosial di Era Otonomi Daerah karya Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc, memberikan referensi yang holistik dan komprehensif bagi para akademisi, praktisi dan penggiat pembangunan kesejahteraan sosial tentang permasalahan, kebijakan, dan evaluasi mutu pekerja sosial di era otonomi daerah. Penulis telah menguraikan kerangka pemikirannya berdasarkan fakta yang lengkap, otentik dan dapat dipertanggungjwabkan secara ilmiah. Rekomendasi yang diajukan penulis untuk peningkatan mutu pekerja sosial yang terkait dengan standar kompetensi pekerja sosial, pendidikan penyelenggaraan diklat, reformasi peraturan perundang-undangan, dan pendayagunaan pekerja sosial di lembaga-lembaga kesejahteraan sosial; sangat relevan untuk diterapkan di era otonomi daerah. Buku ini layak dijadikan referensi utama di berbagai perguruan tinggi yang menyelengarakan pendidikan tinggi profesi pekerjaan sosial. (Dr. Ir. Harry Hikmat, M.Si – Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial RI)......................................................................................................................................“Dalam era otonomi daerah, masa depan pekerja sosial di Indonesia ada di tingkat pemerintahan yang paling bawah yang langsung berhadapan dengan individu dan masyarakat yang membutuhkan layanan-layanan kesejahteraan sosial. Buku ini, dengan bahasannya yang mendalam pada kebijakan dan program layanan kesejahteraan sosial, menjawab tantangan ini dan membuka wawasan kita bahwa ternyata masih banyak agenda yang harus dibenahi. Meskipun settingnya lebih pada pelayanan di Kemensos, tetapi buku ini berhasil menyajikan informasi yang sangat penting bagaimana meningkatkan mutu pekerja sosial." (Tata Sudrajat – Ketua Umum IPSPI, 2010 - 2016). .......................................................................................................................................
Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc, Lahir di Medan, 25 Juni 1955. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Farmasi di FMIPA USU tahun 1981, dan pendidikan profesi Apoteker tahun 1982. Pada tahun 1988-1990 melanjutkan pendidikan S2 Public Health di Pasca Sarjana Universitas Indonesia Bidang Studi Biostatistik dan
Kependudukan, dan mendapatkan predikat lulusan terbaik II dan pada tahun 2010 menyelesaikan pendidikan S3 Bidang Studi Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Di Kementerian Sosial menjabat sebagai Direktur Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial tahun 2006 dan akhir tahun 2007-Oktober 2010 menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial RI. Saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Sosial Bidang Otonomi Daerah, dan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Selain itu juga aktif mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nasional (UNAS).
donesiaCINTACentral Informasi Networking Transformasi & Aspirasi IndonesiaPenerbit:CINTA IndonesiaPGS Building Jl. Bhayangkara No. 9 CimanggisKota Depok Jawa Barat 16951Telp: 021-87717007; Fax: 021-87717007