DISPARITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2014 TENTANG MPR,
DPR, DPD, DAN DPRD DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2011
TENTANG PARTAI POLITIK DALAM PEMBERHENTIAN ANGGOTA DPR
DAN DPRD
Studi Kasus Pemberhentian Fahri Hamzah Berdasarkan Surat Keputusan No.
463/SKEP/DPP-PKS/1437
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
ARIF MOHAMAD AZHAR ANNAS
NIM: 1113048000051
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438/2017M
iv
ABSTRAK
ARIF MOHAMAD AZHAR ANNAS, NIM: 1113048000051. DISPARITAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR,
DPD, DPRD DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2011
TENTANG PARTAI POLITIK DALAM PEMBERHENTIAN ANGGOTA
DPR DAN DPRD. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum
Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/2017 M. xi + 70 halaman + 2 halaman
lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami perbedaan arah
dua undang-undang yang berkedudukan sama dalam hierarki peraturan
perundang-undangan di Negara Repubik Indonesia yang didasarkan pada kasus
pemberhentian Fahri Hamzah oleh Partai Keadilan Sejahtera berdasarkan Surat
Keputusan No. 463/SKEP/DPP-PKS/1437 yang berimplikasi pada lepasnya status
anggpta Dewan Perwakilan Rakyat. Pemahaman arah kedua peraturan perundang-
undangan tersebut didasarkan pada penerapan sistem demokrasi perwakilan dan
teori kedaulatan rakyat di Indonesia yang sejatinya direalisasikan melalui adanya
pemilihan umum legislatif. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research) dengan pendekatan peraturan perundang-undangan
(statue approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual aprrocah). Selanjutnya, terdapat tiga kategori sumber data yaitu
bahan hukum primer, bahan sekunder dan bahan tersier. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan arah antara undang-undang No. 42
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang demokratis deliberatif dan undang-
undang No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik yang oligarian dan tidak
bersesuaian dengan teori kedaulatan rakyat.
Kata kunci: Disparitas, Pemberhentian, Dewan Perwakilan Rakyat.
Pembimbing: Nur Rohim Yunus, LLM. dan Dwi Putri Cahyawati, SH. MH.
Sumber Rujukan dari tahun 1960 sampai 2016
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum, Warohmatullah Wabarokatuh
Segala puji bagi allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Tiada daya dan usaha lepas dari kodrat dan iradat-Nya. Salawat serta salam
selamanya dianugerahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, kerabat serta
ummatnya yang senantiasa selalu taat kepadanya.
Berkat rahmat dan kuasa-Nya, Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan
penulisan Skripsi yang berjudul: “DISPARITAS UNDANG-UNDANG NO. 42
TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD DAN UNDANG-
UNDANG NO. 2 TAHUN 2011 TENTANG PARTAI POLITIK DALAM
PEMBERHENTIAN ANGGOTA DPR; Studi Kasus Pemberhentian Fahri
Hamzah Berdasarkan Surat Keputusan (SK) No. 436/SKEP/DPP.PKS/1437 di
Jakarta.
Dalam menyelesaikan penulisan Skripsi ini tentunya tidak dengan cara
yang mudah, melainkan segalanya membutuhkan konsentrasi yang tinggi dan
luangan waktu yang tidak sebentar sehingga menjadi sebuah penulisan yang
terstruktur dan sistematis. Hal ini tidak lepas dari peran serta dukungan berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Bapak Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA.
vi
2. Ketua dan Sekretaris Program Studi (Prodi) Ilmu Hukum, Bapak Dr.
Asep Syarifudin, SH. MH., dan Bapak Drs. Abu Thamrin, SH. MH.
3. Dosen Pembimbing Skripsi, Bapak Nur Rohim Yunus, LLM., dan Ibu
Dwi Putri Cahyawati, SH. MH. yang telah meluangkan banyak
waktunya untuk membantu penulis menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
4. Orang tua dan keluarga besar penulis, Bapak H. Maskon Farid, Hj. Iis,
H. Apep Mohamad Durun Napis, Azka Nuri Alawiah, dan Fikri Anpas
Dinur yang senantiasa mensupport dan memahami fokus penulis
selama mengerjakan penulisan skripsi ini.
5. Kawan penulis, Mochamad Hanafi, Mohamad Nauval Algifari, yang
sedari awal perkuliahan hingga masa akhir pekuliahan menjadi kawan
sejawat saling memberikan motivasi hingga pembelajaran selama masa
kuliah.
6. Kerabat penulis di Lembaga Survey Indonesia, Kanda Asep
Jubaidillah, Kanda Umam Biladi Kusuma, Kanda Aziz Aray dan
segala lainnya yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis
tentang mekanisme dan prosedur penelitian.
7. Kerabat penulis di Himpunan Mahasiswa Syariah Indonesia yang
selalu memotivasi penulis agar selalu semangat dan konsisten dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Demikian ungkapan rasa terimakasih penulis sebagai tindak lanjut atas
kebahagiaan ini yang tiada hingga. Besar harapan penulis agar penulisan skripsi
vii
ini dapat memberikan banyak manfaat bagi khalayak banyak serta pahala untuk
kita bersama.
Waalaikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh.
“Menulis Berarti Membuat Kita Melebihi Usia”
Jakarta, 13 Juli 2017
Arif Mohamad Azhar annas
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………. i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ………………………………………... ii
LEMBAR PERNYATAAN ………………………………………………....... iii
ABSTRAK ……………………………………………………………………... iv
KATA PENGANTAR…………………...……………………………………... v
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………. 1
B. Identifikasi Masalah ……………………………………………………... 7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………………… 9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………………… 10
E. Review Kajian Terdahulu …………………………………………........ 11
F. Kerangka Teori dan Konseptual .…………….………………………… 14
G. Metode Penelitian ...………………………………………………..…... 15
H. Sistematika Penulisan ...………………………………………..………. 20
BAB II KEDAULATAN RAKYAT, SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM
PEMILIHAN UMUM
A. Kedaulatan Rakyat ……………………………………………………... 22
1. Sejarah Teori Kedaulatan Rakyat ..………………………………… 22
2. Prinsip Teori Kedaulatan Rakyat ………………………………....... 25
ix
3. Kedaulatan Rakyat di Indonesia …………………………………… 28
B. Partai Politik dan Sistem Kepartaian ………………………………....... 30
1. Pengertian Partai Politik ..………………………………………….. 30
2. Fungsi Partai Politik ……..………………………………………… 31
3. Sistem Kepartaian …..……………………………………………… 32
4. Sistem Kepartaian di Indonesia …...…………………………..….... 34
C. Sistem Pemilihan Umum Legislatif …….……………………………… 35
1. Sistem Pemilihan Umum ….…………………………………..…… 35
2. Sistem Pemilihan Umum Legislatif di Indonesia ………..………… 40
BAB III PEMBERHENTIAN ANGGOTA DPR DAN ANGGOTA PARTAI
POLITIK
A. Pemberhentian Anggota DPR ………………………………………..… 42
1. Pemberhentian Antarwaktu…………………………………...……. 43
2. Pemberhentian Sementara ……………………………………..…... 49
3. Pemberhentian Tetap……………………………………….……..... 50
B. Pemberhentian Anggota Partai Politik …………………..…………….. 50
1. Faktor Pemberhentian ..…………………………..………………... 51
2. Mekanisme Pemberhentian ..………………..……………………... 52
BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMBERHENTIAN FAHRI HAMZAH
DARI ANGGOTA PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
A. Deskripsi Eksploratif Pemberhentian Fahri Hamzah .…….………........ 53
1. Kronologis Pemberhentian Fahri Hamzah ..………….……………. 53
x
2. Pertimbangan Hukum Pemberhentian Fahri Hamzah ..……………. 59
B. Analisis Terhadap Kasus Pemberhentian Fahri Hamzah Dengan
Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD,
Dan Undang-Undang Partai Politik …………………………………… 62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………..……. 65
B. Saran ……………………………………………………………..…….. 66
Daftar Pustaka……………………………………………………..………….. 67
Lampiran-Lampiran
A. Surat Keputusan (SK) DPP PKS No. 463/SKEP/DPP-PKS/1437…...… 72
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang meletakkan otoritas tertinggi pada
sebuah peraturan atau hukum yang berlaku (Rechtstaat) sebagai pedoman
jalannya penyelenggaraan negara.1 Peraturan ini dijadikan sebagai satu-
satunya pijakan hukum dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan
bernegara baik yang berkaitan dengan interaksi ketatanegaraan maupun
berkaitan dengan aspek kehidupan sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan
aspek kehidupan lainnya. Selain itu, Indonesia pun menggunakan sistem
kedaulatan rakyat, yang pada prinsipnya adalah pengelolaan negara oleh
rakyat.2 Meski demikian, pengelolaan negara ini tidak secara langsung oleh
rakyat seperti demokrasi klasik melainkan dengan memisahkan kelompok
penguasa atau pelembagaan pemerintah yang berawal dari rakyat, dipilih oleh
rakyat, dan menjalankan pemerintahan demi kepentingan rakyat. Pelembagaan
ini merupakan terapan dari teori Trias Politica yang digagas oleh
Montesquieu.
Berkaitan dengan pelembagaan pemerintahan sebagaimana di atas,
kekuasaan penyelenggara negara Indonesia dipisahkan pada 3 (tiga)
1 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1962)
h. 9. 2 Jimly Assiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011) h. 56
2
kelompok, yaitu; kekuasaan legislatif sebagai pembuat peraturan, kekuasaan
eksekutif yang berwenang melaksanakan pengelolaan negara berdasarkan
peraturan yang berlaku, dan kekuasaan yudikatif yang berwenang
mengevaluasi penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku.3
Dalam asas kedaulatan rakyat yang salah satu bukti konkretnya adalah
adanya pengambilan kebijakan berkaitan dengan pelaksanaan dan pengelolaan
negara, terdapat satu lembaga negara yang merupakan lembaga perwakilan
rakyat yakni Dewan Perwakilan Rakyat. Lembaga tersebut merupakan bagian
dari kelompok legislatif yang komposisinya berawal dari rakyat dan dipilih
secara langsung oleh rakyat.4 Artinya, masyarakat memberikan mandatnya
dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan pengelolaan negara dan
pelaksanaan pemerintahan terhadap seseorang yang kemudian disebut sebagai
anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Keterwakilan rakyat tersebut jelas
menjadi sebuah tanggung jawab yang besar anggota DPR untuk senantiasa
membuat kebijakan-kebijakan yang bermanfaat untuk rakyat. Oleh karena itu,
seorang anggota lembaga perwakilan rakyat harus bertanggung jawab
terhadap rakyat sebagai konstituennya.5
Sementara itu, keterwakilan tersebut juga tidak sepenuhnya kembali untuk
rakyat, melainkan juga kembali pada partai politik pengusungnya. Hal ini
3 Jimly Assiddiqie, Perkembangan dan Konsoloidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sekretariat Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006) h. 32 4 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru,
cet.III (Jakarta: Kencana Prenada Media Group ) h. 118 5 Salman A. Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
(Bekasi: Gramata Publishing, 2016) h. 49
3
didasarkan pada Pasal 51 Ayat (1) Huruf (n) Undang-Undang No. 8 tahun
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang
mensyaratkan seorang calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat harus menjadi
anggota partai politik. Dengan demikian, arah pertanggung jawaban seorang
anggota DPR menjadi ganda yaitu bertanggung jawab terhadap konstituen dan
bertanggung jawab terhadap partai politik pengusungnya.
Keterwakilan mandat rakyat sebagaimana dijelaskan di atas dapat berakhir
atau dengan kata lain diberhentikan apabila seorang anggota lembaga
perwakilan rakyat melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagaimana diatur
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bentuk pelanggaran ini
dapat berupa pelanggaran terhadap etika seorang anggota Dewan Perwakilan
Rakyat maupun melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Tidak hanya
itu, mandat rakyat seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat berakhir
atau dengan kata lain diberhentikan jika anggota DPR tersebut diberhentikan
dari anggota partai politik.
Dalam hal pemberhentian terhadap anggota partai politik, pasal 16
Undang-Undang No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik menjelaskan bahwa
pemberhentian terhadap anggota partai disebabkan oleh beberapa faktor
seperti; meninggal dunia, mengundurkan diri secara tertulis, menjadi anggota
partai politik lain dan melanggar kode etik partai politik.
Adapun pemberhentian terhadap anggota lembaga perwakilan rakyat telah
diatur dalam Undang-Undang No. 42 tahun 2014 tentang Majelis
4
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah (MPR, DPR, DPD, DAN
DPRD). Dalam Undang-Undang tersebut, pemberhentian terhadap anggota
dewan dibedakan menjadi tiga kategori; pemberhentian antarwaktu,
pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap anggota dewan. Ketiga
kategori pemberhentian tersebut memiliki faktor yang berbeda, baik
berdasarkan kategori pelanggaran, maupun bentuk usulan pemberhentian.
Tidak hanya itu, dijelaskan pula tentang mekanisme pemberhentian yang
berbeda antara penggantian antarwaktu, pemberhentian sementara, dan
pemberhentian tetap anggota dewan.
1. Pemberhentian antarwaktu terhadap anggota dewan disebabkan oleh
beberapa hal, seperti; meninggal dunia, mengundurkan diri,
diberhentikan, dan menjadi anggota partai politik lain. Mekanisme
pemberhentian antarwaktu terhadap anggota dewan –kecuali dengan
sebab meninggal dunia, dan menjadi anggota partai politik lain-
meliputi adanya usulan dari partai politik terhadap pimpinan DPR,
kemudian dengan durasi waktu maksimal tujuh (7) hari kerja sejak
diterima usulan pemberhentian pimpinan DPR menyampaikan usulan
tersebut kepada presiden untuk mendapatkan persetujuan.
2. Pemberhentian sementara terhadap anggota dewan disebabkan oleh
beberapa faktor, seperti; menjadi terdakwa dalam kasus tindak pidana
umum dengan hukuman paling singkat lima (5) tahun penjara, dan
menjadi terdakwa dalam tindak pidana khusus. Mekanisme
5
pemberhentiannya adalah melalui Surat Keputusan (SK)
pemberhentian.
3. Pemberhentian tetap disebabkan oleh adanya pengaduan mengenai
pelanggaran yang telah dilakukan oleh seorang anggota dewan seperti;
tidak melaksanakan kewajiban anggota lembaga perwakilan rakyat,
tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
keterangan yang sah, tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota
dewan sebagaimana ketentuan mengenai syarat calon anggota DPR
yang diatur dalam Undang-Undang mengenai pemilihan umum
anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan melanggar ketentuan larangan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 42 tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Mekanisme dalam
pemberhentian tetap anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah
melalui sidang Mahkamah Kehormatan Dewan, kemudian diusulkan
dalam rapat paripurna anggota dewan untuk mendapatkan persetujuan.
Selanjutnya, Undang-Undang No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik
menjelaskan bahwa apabila anggota Partai Politik yang dipecat adalah anggota
Dewan Perawakilan Rakyat, maka seketika harus dicopot keanggotaan dari
anggota DPR-nya. Dengan demikian, pemecatan status keanggotaan partai
politik memiliki implikasi hukum terhadap diberhentikannya seseorang dari
anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan kata lain, Undang-Undang partai
6
politik menerobos masuk pada muatan materi peraturan perundang-undangan
tersebut.
Sebagai salah satu contoh kasus adalah pemberhentian Fahri Hamzah dari
keanggotaannya sebagai anggota kader Partai Keadilan Sejahtera melalui
penerbitan Surat Keputusan Dewan Pengurus Pusat Partai Keadilan Sejahtera
No. 463/SKEP/DPP-PKS/1437 dikarenakan telah dinyatakan melanggar kode
etik Partai Keadilan Sejahtera. Implikasi dari pencabutan status anggota partai
politik tersebut tidak hanya berlaku pada keanggotaannya sebagai anggota
partai politik melainkan juga dari kedudukannya sebagai salah satu anggota
dewan perwakilan rakyat yang pada akhirnya ia pun harus meletakkan
kedudukannya sebagai anggota DPR sekaligus dari posisi wakil ketua DPR
RI.
Hal terakhir ini seketika harus diterapkan mengingat salah satu syarat dari
seorang anggota dewan perwakilan rakyat adalah harus merupakan anggota
salah satu partai politik yang dilegitimasi dan sudah diverifikasi oleh komisi
pemilihan umum. Maka dari itu, kedudukan Fahri Hamzah sebagai anggota
DPR sekaligus wakil ketua DPR RI harus dilepaskan mengingat dia sudah
tidak lagi memenuhi syarat yakni harus merupakan anggota partai politik.
Terpilihnya dia sebagai anggota DPR secara implisit mengatakan bahwa ia
mengemban kepentingan rakyat –pemilih di daerah pilihan (dapil) tempat ia
berkontestasi politik- sekaligus ia diberi mandat rakyat untuk menjadi
wakilnya di tingkat pusat. Selanjutnya, adanya pencabutan status anggota
7
partai politik berakibat pada mandat rakyat yang seketika hilang dan
kepentingan rakyat yang diembannya pun lepas begitu saja. Padahal, perlu
diketahui bahwa etika di partai politik berbeda dengan etika di Dewan
Perwakilan Rakyat, begitupun dengan pelanggaran kode etik partai politik
tidak mesti pelanggaran kode etik Dewan Perwakilan Rakyat. Akan tetapi,
perbedaan tersebut berujung pada sanksi pemberhentian yang sama, sehingga
menimbulkan ketidakpastian hukum yang perlu segera diselesaikan.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah sebagaimana dijelaskan seperti
di atas, penulis bermaksud untuk mengkaji/meneliti dalam bentuk skripsi yang
berjudul: “DISPARITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2014
TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PARTAI POLITIK DALAM
PEMBERHENTIAN ANGGOTA DPR DAN DPRD” (Studi Kasus
Pemberhentian Fahri Hamzah Berdasarkan Surat Keputusan No.
463/SKEP/DPP-PKS/1437).
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
terdapat beberapa persoalan berkaitan dengan mekanisme pemberhentian
anggota DPR, dan DPRD berdasarkan Undang-Undang No. 2 tahun 2011
tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 42 tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD. Selanjutnya, dalam upaya memperjelas tahapan serta
fokus pembahasan dalam penelitian ini dilakukan pengidentifikasian masalah.
8
Identifikasi masalah merupakan kegiatan menemukan sebanyak-banyaknya
masalah yang sekiranya dapat ditemukan jawabannya.6
Selanjutnya, dalam upaya menggali dan menemukan masalah-masalah
yang muncul penulis melakukan pengkajian terhadap keberlakuan hukum dari
sudut pandang efektifitasnya di masyarakat atau yurisdiksi tersebut, juga
penulis melakukan aktfitas pemantauan terhadap berita-berita yang up to date
guna menemukan permasalahan-permasalahan hukum yang muncul. Tidak
hanya itu, penulis juga melakukan kajian-kajian materi tentang penerapan
hukum baik dalam bentuk dialog, diskusi maupun menanyakan langsung
kepada orang maupun lembaga yang bersangkutan berkaitan dengan
permasalahan yang menjadi tema penelitian. Berkenaan dengan tema
penelitian ini, penulis terlebih dahulu menginventarisir aturan hukum yang
berlaku berkenaan dengan tema penelitian seperti, Undang-Undang No. 42
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DAN DPRD, Undang-Undang No. 2
Tahun 2011 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dalam hal pemberhentian
anggota Dewan Perwakilan Rakyat serta pertanggungjawaban seorang
anggota lembaga perwakilan rakyat terhadap konstituennya. Kemudian
melakukan pengkajian membandingkan dengan realita hukum yang terjadi
sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan adanya permasalahan hukum.
6 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, cet.XV, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2015) h. 104
9
Dalam memperketat penggalian masalah berkaitan dengan tema penelitian
ini, penulis membuat identifikasi masalah ke dalam beberapa pertanyaan,
sebagai berikut:
1. Bagaimana realisasi pertanggungjawaban anggota Dewan Perwakilan
Rakyat terhadap konstituennya?
2. Sejauhmana peran serta pengawasan partai politik terhadap
anggotanya yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat?
3. Bagaimana mekanisme penegakkan etik di Dewan Perwakilan
Rakyat?
4. Bagaimana mekanisme penegakkan etik di partai politik?
5. Bagaimana persinggungan antara partai politik dengan rakyat dalam
mengawasi serta meminta pertanggungjawaban atas mandatnya pada
seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan adanya kompleksitas permasalahan yang sangat luas
untuk dibahas, penulis -dalam memudahkan penelitiannya- memfokuskan
pembahasan terhadap perkara pencabutan status keanggotaan partai politik
Fahri Hamzah sebagai gerakan menghambat upaya demokratisasi terutama
pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat, dan membatasi permasalahan pada
sudut pandang dua undang, yaitu Undang-Undang No. 42 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang No. 2 Tahun
2011 tentang Partai Politik.
10
2. Rumusan Masalah
Demi menghasilkan suatu kesimpulan penelitian yang baik sesuai
dengan kebutuhan atas permasalahan yang dijabarkan dalam latar
belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Apa landasan hukum DPP PKS melakukan pemberhentian Fahri
Hamzah sebagai anggota partai politik?
b. Bagaimana tinjauan yuridis terhadap disparitas Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
dalam kasus pemberhentian Fahri Hamzah?
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mengetahui landasan hukum DPP PKS melakukan pemberhentian
Fahri Hamzah sebagai anggota partai politik.
b. Mengetahui tinjauan yudiris terhadap disparitas Undang-Undang
Nomor 42 tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011
dalam penyelesaian kasus pemberhentian Fahri Hamzah.
2. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan mendapat manfaat bagi perkembangan
pengetahuan ilmiah di bidang hukum, terutama berkaitan dengan
perkembangan dan perjalanan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Selain
itu, dari hasil penelitian ini diharapkan pula terbentuknya kesimpulan
11
sementara yang menjadi informasi tentang adanya perbedaan
arah/disparitas antara penerapan sistem kedaulatan rakyat dengan
kedigdayaan ketua umum partai politik. Pun sebagai bentuk masukan bagi
pihak yang terkait dalam melaksanakan upaya demokratisasi di Indonesia
dewasa ini.
E. Review Studi Terdahulu
Penelitian tentang mekanisme penyelesaian kasus pemberhentian anggota
Dewan Perwakilan Rakyat melalui Partai Politik dan Mahkamah Kehormatan
Dewan, sebelumnya pernah dibahas diantaranya:
1. Judul: “Problematika Pemberian Izin Penyidikan Oleh Mahkamah
Kehormatan Dewan Terhadap Anggota DPR Yang Diduga Melakukan
Tindak Pidana”. Skripsi ini ditulis oleh Muhammad Iqbal Hidayatullah,
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, 2015, membahas
tentang ketentuan dan kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan untuk
menerbitkan surat izin penyidikan terhadap anggota dewan yang diduga
telah melakukan tindak pidana, membahas tentang problem yang dihadapi
Mahkamah Kehormatan Dewan dalam memberikan izin penyidikan
dengan dibenturkan dengan kehormatan DPR, dan asas persamaan di
depan hukum. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah bahwa
penelitian ini tidak hanya melihat Mahkamah Kehormatan Dewan dari
sudut pemberian izin penyidikan, melainkan pemberhentian terhadap
12
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan menggunakan pendekatan
normatif, kasus dan doktriner.
2. Judul: “Dilema Badan Kehormatan Dewan Antara Penegak Etika Anggota
Dewan Dengan Kepentingan Fraksi”, skripsi ini ditulis oleh Rizqi
Ramadhani, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif
Hidayatullah, 2013, membahas tentang kewenangan badan kehormatan
dewan dalam menegakkan kode etik Dewan Perwakilan Rakyat, yang
dibenturkan dengan kepentingan fraksi partai politik, membahas tentang
dilema dan tarik-menarik kepentingan politik di fraksi. Skripsi tersebut
berbeda dengan penelitian ini, dimana dalam skripsi tersebut digunakan
sudut pandang politik serta memfokuskan pembahasan pada benturan
kepentingan antara penegakkan etika dengan kepentingan politik di fraksi.
Sementara itu, penelitian ini fokus pada pembahasan terhadap adanya dua
peraturan perundang-undangan sederajat yang mengatur tentang
pemberhentian anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
3. Judul: “Dalam Moncong Oligarki, Skandal Demokrasi di Indonesia”, buku
ini ditulis oleh F. Budi Hardiman, diterbitkan oleh Kanisius, Yogyakarta,
2013, membahas tentang problem-problem demokrasi Indonesia yang
banyak mengandung unsur-unsur bermuatan oligarki, baik dalam sistem
kepartaian, interaksi ketatanegaraan dalam sistem check and balances tiga
kelompok pemisahan kekuasaan, maupun dalam proses pemilihan umum
legislatif, bahkan mengungkapkan beberapa realitas politik demokrasi
Indonesia yang menjadi skandal perjalanan demokrasi di Indonesia. Buku
13
ini berbeda dengan penelitian ini terutama berkaitan dengan penggalian
materi hukum mengenai penyelesaian skandal interaksi ketatanegaraan di
Indonesia, terlebih dalam permasalahan mekanisme pemberhentian
seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tidak hanya itu, pembahasan
dalam buku tersebut tidak secara spesifik mendalami tentang mekanisme
pemberhentian anggota Dewan Perwakilan Rakyat melalui Mahkamah
Kehormatan Dewan, maupun yang diberhentikan oleh Partai Politik serta
keberlangsungan pertanggungjawaban anggota Dewan Perwakilan Rakyat
terhadap konstituennya.
4. Judul: “Mekanisme Penggantian Antarwaktu (PAW) Anggota DPR dan
Implikasinya Dalam Konsep Perwakilan Rakyat”. Artikel ini ditulis oleh
Rida Farida, Karyawan Bank Rakyat Indonesia (BRI), dimuat dalam
Jurnal Cita Hukum, 2015, membahas tentang prosedur-prosedur hukum
berkaitan dengan pelaksanaan pemberhentian antarwaktu anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, serta membahas implikasi pemberhentiannya terhadap
konsep perwakilan rakyat sesuai dengan penerapan teori kedaulatan
rakyat, dan membahas mengenai adanya persinggungan antara konsepsi
perwakilan rakyat dengan melalui keterlibatan dan partisipasi publik
dengan partai politik yang memiliki kewenangan hak recall atau
pemberhentian anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Jurnal ini memang
hampir memiliki pembahasan yang sama dengan penelitian ini, akan tetapi
memiliki sudut pandang yang berbeda dan bersifat lebih general tanpa
memfokuskan pada dasar-dasar permasalahan yang menyebabkan
14
seseorang dapat diberhentikan dari keanggotannya di Dewan Perwakilan
Rakyat. Tidak hanya itu, jurnal di atas pun berbeda fokus pembahasan
yang hanya memfokuskan bahasan pada penggantian antarwaktu.
F. Kerangka Teori dan Konseptual
Kerangka teori merupakan suatu susunan dan penjelasan kegiatan
penelitian yang dikonsepsikan dalam menemukan permasalahan hukum yang
timbul serta menjawab segala ketidakjelasan akibat adanya permasalahan
hukum tersebut.7
Kerangka konseptual dalam penelitian ini diartikan sebagai suatu
hubungan antara satu konsep dengan konsep lainnya, dimana dalam penelitian
sosial konsep diambil dari suatu teori tertentu.8 Berdasarkan uraian tersebut,
kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Disparitas, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan
sebagai perbedaan arah; jarak.
2. Partai Politik, Partai Politik merupakan suatu organisasi politik yang
dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara
sukarela dan atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara
melalui pemilihan umum.
7 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004) h. 49 8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia-
Press, 2008) h. 127
15
3. Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat adalah salah satu
lembaga legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dengan fungsi
legislasi, penganggaran dan kontrol pemerintahan.
4. Pemberhentian, pemberhentian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) diartikan sebagai sebagai aktifitas melepaskan dari jabatan,
memberhentikan dari keanggotaan suatu perkumpulan dan membebaskan
dari pekerjaan.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian merupakan aktifitas ilmiah yang menggunakan teknik
analisis dan kontruksi terhadap suatu masalah yang dilakukan secara
metodologis, sistematis dan konsisten.9 Artinya, aktifitas pemecahan suatu
masalah dan penjawaban atas suatu pertanyaan yang dilakukan dengan
cara dan metode yang jelas dan terstruktur, dilakukan dengan berpijak
pada suatu sistem yang jelas dan berkelanjutan, serta dilakukan dengan
tahapan berjangka atau saling berkesinambungan antara satu tahapan
penelitian dengan tahapan penelitian lainnya sebagaimana digambarkan
dalam kerangka penelitian.10
Sedangkan penelitian hukum adalah aktifitas ilmiah yang didasarkan
pada sistematika atau metode tertentu dalam menjawab permasalahan-
permasalahan hukum baik dari sudut pandang efektifitas hukum, politik
9 Fahmi M. Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010) h. 33 10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 42
16
hukum maupun hukum ditinjau dari sudut pandang sosiologis dan
filosofis.11
Kegiatan tersebut merupakan suatu rangkaian tahapan yang
dilakukan untuk melihat gejala-gejala hukum, norma hukum dan norma
non hukum yang berlaku di masyarakat. Tidak hanya itu, kegiatan tersebut
dapat dilakukan dalam melihat massa depan hukum atau hukum yang
bakal berlaku sebagai dampak dari realita kehidupan masyarakat.
Jenis penelitian ini merupakan penelitian normatif, yaitu penelitian
yang data diungkap dalam bentuk kata-kata, norma atau aturan, dengan
kata lain penelitian yang dilakukan dengan memanfaatkan data normatif.12
Data normatif seperti dimaksud di atas dalam penelitian ini difokuskan
pada Undang-Undang No. 42 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD dan Undang-Undang No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik.
Penelitian ini juga merupakan penelitian normatif doktriner, yaitu
penelitian yang mengkaji dan menjelaskan tentang asas-asas dan norma
hukum serta mengiventarisir pendapat-pendapat para ahli hukum
mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan fokus penelitian.
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
11
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, h. 40 12
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008)
h. 27
17
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
atau memiliki otoritas. Bahan hukum primer mencakup peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik. Juga mencakup penjelasan
peraturan perundang-undangan serta catatan-catatan resmi lainnya.
Dalam penelitian ini bahan primer hukum seperti; Undang-Undang
Nomor 42 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum (pemilu) anggota DPR,
DPD, dan DPRD, dan Surat Keputusan DPP PKS No.
463/SKEP/DPP-PKS/1437, SK KPU No 416/Kpts/KPU/2014.
b. Bahan hukum sekunder meliputi publikasi dokumen-dokumen hukum
yang tidak termasuk dokumen resmi, dokumen publikasi berbentuk
teks yang berkaitan dengan pemberhentian anggota lembaga
perwakilan rakyat, kamus hukum, jurnal hukum dan tanggapan-
tanggapan pengamat politik serta akademisi hukum atas putusan
pengadilan yang berkaitan dengan pemberhentian anggota Dewan
Perwakilan Rakyat.
c. Bahan non-hukum merupakan sumber referensi di luar dokumen resmi
dan publikasi tentang hukum seperti buku politik, demokrasi,
hermeneutik, filsafat dan referensi lainnya yang berkaitan dengan tema
penelitian.
18
3. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan tipe dan jenis penelitian normatif, teknik pengumpulan
data yang dilakukan adalah studi documenter melalui tiga tahapan yaitu
pendekatan norma perundang-undangan yang berlaku (Statute Approach),
pendekatan kasus (Cases Approach), dan pendekatan teori atau konseptual
(Conceptual Approach).13
Pendekatan norma peraturan perundang-
undangan yang berlaku dilakukan dengan tujuan untuk melihat prosedur
dan kehendak hukum atas realita kehidupan yang seharusnya. Artinya,
melihat kebijakan-kebijakan dari materi muatan peraturan perundang-
undangan tentang suatu realitas, dalam hal ini adalah prosedur
pemberhentian anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pendekatan kasus
dilakukan dengan tujuan untuk melihat bagaimana rangkaian terjadinya
kasus, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada ketidakberlakuan
hukum sebagaimana dimuat dalam peraturan perundang-undangan dalam
realitas, dalam hal ini adalah interaksi ketatanegaraan di Indonesia yaitu
kasus pemberhentian anggota dewan perwakilan rakyat.
Pendekatan konseptual adalah pendekatan yang dilakukan dengan
tujuan melihat konsepsi atau kebijakan suatu teori tertentu yang berkaitan
dengan tema penelitian dalam hal ini adalah teori kedaulatan rakyat dan
kedudukan DPR sebagai wakil rakyat.14
Tidak hanya itu, studi dokumenter
13
Peter Mahmud Muzaki, Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta: Kencana Pranada Media
Group, 2007) h. 94
14
Peter Mahmud Muzaki, Penelitian Hukum, h. 95
19
seperti dijelaskan di atas dilakukan dengan cara memanfaatkan dokumen
hukum, buku-buku dan arsip lain yang menjadi objek penelitian serta data
lain yang memberikan informasi tentang pokok permasalahan pada tema
penelitian skripsi ini.15
4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Setelah bahan penelitian baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder maupun bahan non-hukum terkumpul, kemudian dilakukan
pengelompokkan atau pengklasifikasian data sesuai dengan hierarki, untuk
selanjutnya dilakukan pengolahan data berdasarkan persesuaian atau
korelasi antara bahan satu dengan bahan yang lainnya. Pengolahan
terhadap bahan atau data yang sudah diklasifikasikan dilakukan dengan
menggunakan metode deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari
permasalahan umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
Dalam menganalisis data, digunakan teknik analisis perbandingan
(Comparative Analityc) antara mekanisme pemberhentian anggota dewan
di Mahkamah Kehormatan Dewan, mekanisme pemberhentian anggota
dewan di Partai Politik. Dengan teknik analitis data ini penulis berusaha
untuk mengdeskripsikan secara detail bahan-bahan yang diperoleh dan
disusun, kemudian melakukan interpretasi dan formulasi yang mana
penulis menggambarkan objek pembahasan dengan apa adanya untuk
kemudian dicermati secara mendalam.
15
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, h. 36
20
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, peneliti mengacu pada buku
pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan Pusat Peningkatan Jaminan
Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2012.
H. Sistematika Penulisan
Dalam upaya memudahkan penyusunan skripsi ini dan agar lebih terarah,
maka peneliti membuat sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN yang meliputi Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review
Penelitian Terdahulu, Kerangka Teori dan Konseptual, Metode Penelitian,
Teknik Pengumpulan Data, Metode Penafsiran Data dan Sistematika
Penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI yang meliputi pengertian sistem kedaulatan
rakyat, realisasi dan demokratisasi Indonesia dengan sistem kedaulatan rakyat,
pengertian sistem kepartaian di Indonesia, bentuk dan bagian sistem
kepartaian, peran partai politik dalam negara demokrasi dan sistem pemilihan
umum di Indonesia.
BAB III GAMBARAN UMUM yang meliputi uraian faktor pemberhentian,
mekanisme serta akibat hukum pemberhetian anggota Dewan Perwakilan
21
Rakyat, faktor pemberhentian, mekanisme serta akibat hukum pemberhentian
anggota partai politik.
BAB IV PEMBAHASAN yang meliputi analisis kasus pemberhentian status
keanggotaan Partai Keadilan Sejahtera Fahri Hamzah melalui Surat
Keputusan (SK) No. 463/SKEP/DPP-PKS/1437.
BAB V PENUTUP yang meliputi kesimpulan penelitian, saran dan
rekomendasi untuk penelitian berikutnya.
22
BAB II
KEDAULATAN RAKYAT, SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM
PEMILIHAN UMUM
A. Teori Kedaulatan Rakyat
1. Sejarah Teori Kedaulatan Rakyat
Gagasan teori kedaulatan rakyat sejatinya telah muncul sejak zaman
Yunani kuno, pada saat itu dikenal dengan istilah demokrasi.1 Istilah
demokrasi berasal dari kata “demos” yang berarti rakyat, dan “kretos”
yang berarti pemerintahan.2 Artinya, demokrasi merupakan pemerintahan
yang dikelola oleh rakyat. Meski belum dipraktekkan secara langsung,
demokrasi zaman Yunani kuno dianggap sebagai matahari terbit yang
memberikan harapan terhadap rakyat sebagai jalan keluar dari kekejian
otoritarianisme dan absolutisme raja masa itu.3
Pada mulanya, kedaulatan rakyat dipraktekkan dengan pola
pengelolaan secara langsung oleh rakyat (direct democracy), dikenal
dengan istilah demokrasi klassik. Artinya, pemerintahan dimana hak
pengambilan keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh
1 Jimly Assiddiqie, Demokrasi dan Ekokrasi, Artikel didownload pada 11 November
2016 dari http://jimly.com/
2 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia; Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde
Baru, h. 37 3 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, cet.V (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010) h. 242
23
seluruh warga dengan menggunakan prosedur mayoritas.4 Pola demokrasi
ini berhasil diterapkan dengan efektif di kota-kota kecil (police) yang
berdaulat dengan wilayah yang terbatas serta jumlah penduduk yang
sedikit.5 Selanjutnya, demokrasi mengalami pembaharuan sejalan dengan
banyaknya negara yang juga menerapkan sistem tersebut yang kemudian
demokrasi langsung berubah menjadi demokrasi perwakilan
(representative democracy). Pemisahan lembaga negara digagas pertama
kali oleh Jhon Locke yang dirumuskan dalam teori Trias Politica. Jhone
Locke merumuskan kedaulatan rakyat atau demokrasi pada tiga
kekuasaan, kekuasaan eksekutif, yudikatif dan federatif.6
Dengan pemisahan kekuasaan penyelenggara negara, Jhone Locke
melihat kepentingan sebuah negara ke dalam dan keluar, terlebih melihat
defency sebuah negara terhadap kepentingan dari negara lain. Juga ia
mendambakan pembagian tugas dan wewenang yang berbeda dan terpisah
untuk dikelola oleh satu kelompok kekuasaan. Dalam penjelesannya,
Locke menggambarkan fungsi eksekutif sebagai penyelenggara negara dan
melaksanakan aturan di dalam negara. Berkenaan dengan konsep
pemisahan kekuasaannya, Jhone Locke tidak menggambarkan eksekutif
sebagai lembaga yang berwenang untuk mengurusi kepentingan luar
4 Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang
Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habernas, (Yogyakarta: Kanisius, 2009) h. 101 5 Robert A. Dahl, Democracy and Its Critics, Penerjemah: Rahman A. Zainudin,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992) h. 4 6 Moh. Mahfud, MD. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, cet.II (Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2001) h. 73
24
negeri seperti diplomasi dan kerjasama antar negara, melainkan hanya
pelaksanaan penyelenggaran Negara di dalam. Fungsi legislatif dalam
konsep teori trias politica Jhone Locke memiliki kewenangan untuk
membuat kebijakan serta peraturan penyelenggaran negara. Tidak hanya
itu, legislatif juga memiliki kewenangan menegakkan peraturan yang telah
dibuatnya. Sementara itu, lembaga kekuasaan federatif berwenang
mengurusi kepentingan negara terhadap negara lain baik dalam bentuk
kepentingan diplomasi, kerjasama antar negara, maupun pertahanan negara
yang berkaitan dengan negara lain.7
Ajaran Trias Politica ini kemudian dimodifikasi oleh Baron De
Montesquiue dengan merubah tiga kekuasaan tersebut menjadi kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif.8 Montesquiue memodifikasi ajaran
Jhone Locke dengan melihat konsepsi penegakkan hukum serta evaluasi
atas penegakkan hukum yang dilakukan oleh satu lembaga kekuasaan,
yaitu lembaga legislatif, serta melihat bahwa kebijakan negara yang
kepentingannya bergerak ke luar negeri tidak diberikan kepada suatu
lembaga kekuasaan yaitu kekuasaan federatif, melainkan kewenangannya
diberikan kepada kekuasaan eksekutif selaku pelaksana peraturan
penyelenggaran negara. Dengan demikian, kekuasaan eksekutif berwenang
untuk melaksanakan peraturan penyelenggaran negara. Kekuasaan
legislatif memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan dan peraturan
7 Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet.II, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010) h. 283 8 Jimly Assiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara, h. 32-34
25
penyelenggaraan negara baik yang berkaitan dengan keutuhan negara di
dalam, maupun kepentingan negara yang berkaitan dengan dunia
internasional atau dengan negara lain. Kekuasaan yudikatif memiliki
kewenangan untuk menegakkan serta mengevaluasi penegakkan hukum
yang berlaku.9
Dari kedua tipologi teori trias politica yang merepresentasikan teori
kedaulatan rakyat di atas pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yakni
bertujuan untuk membatasi dan mengantisipasi bertumpuknya
kewenangan pada satu orang penguasa, dan juga mengantisipasi adanya
pemerintahan yang langsung dikelola oleh rakyat yang berorientasi pada
sistem mobokrasi dan oklokrasi yang rentan terhadap konflik langsung
rakyat.10
2. Prinsip Toeri Kedaulatan Rakyat
Teori kedaulatan rakyat pada dasarnya memberikan kebebasan dan
peluang keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan-keputusan baik
politik maupun keputusan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaran
negara. Penyelenggaraan negara senantiasa berjalan secara demokratis
dengan melibatkan rakyat dalam seluruh tahapan pengambilan
kebijakannya.
9 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Penerjemah: Raisul Muttaqien,
cet.IX (Bandung: Nusa Media, 2014) h. 360-364
10
Salman A. Magalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara;
Aktualisasi Dalam Teori Negara Indonesia, (Jakarta: Fajar Media, 2013) h. 56
26
Jean Bodin, seorang ahli hukum yang juga aktifis pembela hak rakyat
dari Paris, Prancis dalam bukunya Six Lives De La Republique
mendefinisikan kedaulatan rakyat sebagai suatu kekuasaan yang penuh
dan langgeng dimiliki oleh satu republik sehingga tidak terpecah belah
mengingat di dalam negara hanya terdapat satu kekuasaan tertinggi yang
dimiliki oleh rakyat.11
Sementara itu, Henry B. Maryo mengemukakan
gambaran sistem kedaulatan rakyat dalam mengelola sebuah negara agar
berjalan secara demokratis:
“A democratic political system is one in wich public policies are made
on majority basis, by representatives subject to effective popular
control atperiodic elections wich are conducted on the principle of
political equality and under condition of political freedom”.12
Berbeda dengan kedua pendapat ahli di atas, Jhone Locke justru
menganggap bahwa kedaulatan rakyat merupakan imajinasi semata,
dikarenakan sulitnya menciptakan prosedural teknis manakala demokrasi
langsung dipraktekkan dalam realita pelaksanaan negara. Oleh karena itu,
ia menggambarkan kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan penuh yang
dimiliki oleh rakyat, kemudian diberikan kepada seseorang yang dipilih
secara umum berdasarkan prosedur pengisian jabatan ketiga kelompok
kekuasaan sebagaimana diajarkan pada teori trias politica yang
digagasnya. Meski demikian, Jhone Locke tidak menafikan kendali penuh
11
Moh. Mahfud MD. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 104 12
Henry B. Maryo. An Introduction to Democratic Theori (New York: Oxford
University Press, 1960) h. 70 dimuat dalam buku Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu
Politik, cet.V (Jakarta: Prima Grafika, 2015) h. 117
27
rakyat terhadap perjalanan dan keberlangsungan sebuah negara, melainkan
hanya dengan pola dan prosedur yang lebih detail dan rasional.
Dari beberapa uraian pendekatan ahli di atas, dapat dibentangkan
benang merah teori kedaulatan rakyat pada hakikatnya memiliki beberapa
unsur seperti berikut:
a. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa harus ada hukum
yang menjamin hak-hak individu rakyat baik yang tegolong hak
sipil dan politik, maupun hak ekonomi, social dan budaya.
b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, sebagai lembaga
untuk mengawal penjaminan atas hak-hak individu rakyat.
c. Pemilihan umum yang bebas, sebagai tahapan dimana rakyat
memberikan mandatnya terhadap seseorang untuk menjadi
pemerintah yang kemudian menjadi sebuah kekuasaan pengelolaan
dan penyelenggaran negara.
d. Kebebasan untuk menyampaikan pendapat, bertujuan untuk
mengontrol serta mengevaluasi kebijakan-kebijakan pemerintah
dan wakilnya (wakil rakyat) dalam menciptakan susasana kondusif
yang berakeadilan secara universal dan penjaminannya terhadap
hak-hak rakyat.
e. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi, yang
bertujuan untuk memberikan kebebesan terhadap rakyat dalam
hidup bersama atau berserikat serta kebebasan terhadap sikap
rakyat atas kebijakan-kebijakan penguasa yang telah dipilihnya.
28
f. Pendidikan kewarganegaraan, yang merupakan salah satu bagian
dari hak-hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan yang layak
demi terciptanya kehidupan yang sejahtera dan keadilan yang
merata.13
3. Kedaulatan Rakyat di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang meletakkan kekuasaan tertingginya
pada rakyat, sehingga rakyat memiliki kuasa penuh dalam pengelolaan
negara.14
Penerapan teori kedaulatan rakyat secara tegas diungkapkan
dalam Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar NRI 1945 pasal 1 ayat
(2); “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”, serta dalam sila keempat; “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Bentuk kedaulatan rakyat Indonesia dilaksanakan dengan
menggunakan demokrasi perwakilan (representative democracy). Hal ini
sejalan dengan diterapkannya teori pemisahan kekuasaan pada tiga
kelompok kekuasaan; eksekutif, legislatif, dan yudikatif.15
Rakyat
sejatinya tetap berstatus sebagai pemegang kekuasaan penuh terhadap
penyelenggaraan negara tetapi tidak secara langsung melainkan dengan
memberikan mandatnya terhadap seseorang yang dipilihnya untuk menjadi
13
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet.V (Jakarta: Prima Grafika, 2015)
h. 116 14
Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 414 15
Nur Rohim Yunus, Aktualisasi Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara, Social Science Education Journal, vol.II, no.2 (Februari, 2015) h. 162
29
penguasa yang menjalankan roda pemerintahannya. Wujud kedaulatan
rakyat di Indonesia dengan menggunakan metode pelembagaan kekuasaan
dapat dilihat dari beberapa hal seperti berikut:
a. Prosedur rekruitmen politik, yang ditentukan bahwa pengisian
jabatan eksekutif baik tingkat daerah maupun pusat dipilih secara
demokratis melalui pemilihan umum. Tidak hanya pada bagian
eksekutif, melainkan juga pada kelompok legislatif baik di tingkat
daerah maupun pusat dipilih melalui pemilihan umum.
b. Mekanisme penyusunan kebijakan dari fungsi legislasi, merupakan
tahapan dimana harus ada partisipasi publik dalam proses
penyusunan peraturan perundang-undangan baik secara langsung
maupun tidak.
c. Prosedur pengawasan legislatif terhadap pelaksana kekuasaan,
didasarkan pada efektifitas kerja yang dilihat dari realitas yang
terjadi pada kehidupan rakyat.
d. Lembaga peradilan yang independen, yang berwenang untuk
menegakkan peraturan perundang-undangan demi menegakkan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.16
Hal di atas menjadi wujud konkret dari penerapan teori kedaulatan
rakyat di Indonesia.
16
Jimly Assiddiqie, Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009) h. 106
30
B. Partai Politik dan Sistem Kepartaian
1. Pengertian Partai Politik
Secara konseptual, partai politik merupakan suatu organisasi yang
didirikan secara sukarela oleh sekelompok rakyat dengan tujuan untuk
memfasilitasi penyampaian segala aspirasi rakyat demi menciptakan
kesejahteraan rakyat dan keadilan yang menyeluruh.17
Mengenai definisi
partai politik, terdapat beberapa pakar yang memberikan definisi seperti
berikut:
a. Marc Iver, mendefinisikan partai politik sebagai suatu
perkumpulan yang diorganisasikan untuk mendukung suatu asas
atau perumusan kebijakan yang menurut saluran konstitusional
dicoba dijadikan sebagai dasar penentu pengelolaan pemerintahan.
b. Sigmund Newman, mendefinisikan partai politik sebagai
organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku politik yang aktif
dalam masyarakat yaitu yang memusatkan perhatiannya pada
pengendalian pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh
dukungan rakyat dengan beberapa kelompok lain yang mempunya
pandangan yang berbeda.
c. R. H. Soltau, mendefinisikan partai politik sebagai suatu golongan
rakyat yang tersusun yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik
dan dengan penggunaan kekuasaan memberikan suara bertujuan
17
Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet.II, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010) h. 402
31
untuk mengawasi pemerintahan dan melaksanakan politik untuk
mereka.18
Berdasarkan uraian definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
partai politik memiliki ciri seperti berikut:
1. Merupakan suatu organisasi atau perkumpulan rakyat
2. Dilaksanakan sesuai dengan konstitusi atau peraturan yang berlaku
3. Bertujuan untuk mengawasi cara kerja pemerintahan
2. Fungsi Partai Politik
Adapun eksistensi partai politik dalam negara demokratis berfungsi
sebagai berikut;
a. Partai politik berfungsi sebagai sarana komunikasi politik. Artinya,
partai politik menjadi ruang publik untuk dapat berkomunikasi dengan
pemerintah berkaitan dengan aspirasi rakyat dan kebijakan-kebijakan
politis yang dikeluarkan oleh pemerintah.
b. Partai politik berfungsi sebagai sosialisasi politik. Perannya adalah
sebagai lembaga yang membantu pemerintah dalam memberikan
pendidikan politik terhadap rakyat. Pendidikan politik tidak hanya
berupa prosedur teknis politik praktis melainkan juga pendidikan
mengenai konsep kenegaraan, interaksi ketatanegaraan serta pilar-pilar
negara tersebut.
18
Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet.IV, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2000) h. 266-267
32
c. Partai politik berfungsi sebagai rekruitmen politik. Fungsi ini
menempatkan partai politik sebagai sebuah lembaga yang berwenang
melakukan perekrutan terhadap rakyat untuk menjadi kadernya yang
memfokuskan diri pada pengelolaan maupun pengawasan terhadap
jalannya pemerintahan.
d. Partai politik berfungsi sebagai pengatur dan pengendali konflik.
Dengan kata lain, bahwa partai politik memiliki peran vital dalam
mengkatalisasi kepentingan-kepentingan politik rakyat serta
mengelola konflik tersebut menjadi kompetisi rakyat sesuai dengan
prinsip negara demokratis.19
3. Sistem Kepartaian
Dalam perjalanan negara demokrasi, adanya partai politik atau sistem
kepartaian merupakan suatu keniscayaan tersendiri. Sistem kepartaian
yang baik sangat menentukan berkerjanya pemerintahan dengan baik dan
efektif. Sebaliknya, kualitas pemerintahan juga sangat menentukan baik
buruknya sistem kepartaian. Oleh karena itu, antara pemerintahan di
negara demokrasi dengan sistem kepartaian merupakan dua unsur yang
saling berkaiatan dan saling mempengaruhi satu sama lain.20
Terdapat beberapa sistem kepartaian yang dianut oleh negara-negara
yang menganut sistem demokrasi, sebagai berikut:
19
Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, h. 269 20
Firmanzah, Mengelola Partai Politik; Komunikasi dan Positioning Ideologi politik
di Era Demokrasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008) h. 73
33
a. Sistem Satu Partai
Dalam sistem tersebut, negara hanya melegitimasi satu partai
saja sebagai sautu wadah aspirasi rakyat yang berhubungan
langsung dengan aspek perpolitikan sebuah negara.Sistem
kepartaian tunggal memiliki kecenderungan pada konsentrasi
kekuasaan yang terpusat, sehingga gerakan dari organisasi-
organisasi lainnya dinilai hanya sebuah perjuangan belaka yang
tidak membuahkan hasil sama sekali. Sistem kepartaian ini
diterapkan oleh beberapa negara seperti Rusia, Vietnam, Cina dan
sebagainya.
b. Sistem Dwi Partai
Sistem ini berarti hanya terdapat dua partai politik yang
dominan mengendalikan pemerintahan. Meski begitu, sejatinya
partai politik tidak saja partai dominan tersebut melainkan masih
terdapat beberapa partai kecil dengan massa yang tidak banyak dan
tidak memiliki dominasi yang besar dalam pemerintahan. Salah
satu kelebihan dari system dwi partai adalah kestabilan
pemerinta/eksekutif dikarenakan eksekutif mendapatkan dukungan
dari mayoritas anggota parlemen. Sistem kepartaian tersebut
diterapkan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, dan Inggris.
c. Sistem Multi Partai
Dalam sistem ini terdapat banyak partai politik yang diakui
oleh pemerintah sebagai partai-partai politik yang bergerak dalam
34
urusan politik dan pemerintahan. Penerapan sistem kepartaian
multi partai di negara demokratis dapat mengakomodir segala
aspirasi rakyat untuk disampaikan kepada pemerintah, terutama
berkaitan dengan keanggotaan parlemen sebagai wakil rakyat.
Tidak hanya itu, berkaitan dengan posisi eksekutif juga senantiasa
dalam keadaan yang stabil, dikarenakan sulitnya mencapai
kesepakatan mayoritas di parlemen dalam menganulir kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sistem ini diterapkan
di beberapa negara seperti Italia, Belanda, Belgia dan Indonesia.21
4. Sistem Kepartaian di Indonesia
Sejalan dengan sistem demokrasi perwakilan (representative
democracy) yang diterapkan di Indonesia, terdapat partai politik yang
memegang peran vital sebagai suatu wadah ide dan aspirasi rakyat
Indonesia. Partai politik dibentuk sebagai wujud dari salah satu hak rakyat
negara, yaitu kebebasan pers, kebebasan untuk berkumpul serta kebebasan
untuk berserikat.22
Sebagaimana telah dijabarkan di atas mengenai beberapa sistem
kepartaian, Indonesia –pasca amandemen UUD NRI 1945- merupakan
salah satu negara yang menerapkan sistem multi partai. Sistem tersebut
diterapkan di Indonesia sesuai dengan pluralitas budaya dan politik
21
Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, h. 269 22
Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 402
35
Indoneisa, meski sejatinya gejala-gejala sistem kepartaian tunggal dan
system dwi partai tidak asing bagi sejarah Indonesia.
Dewasa ini, terdapat lebih dari 3 (tiga) partai politik di Indonesia yang
diakui secara sah oleh pemerintah seperti berikut; Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat (PD), Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat
Nasional (PAN), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan
Bangsa (PKB), dan Partai (PKPI).Partai politik tersebut tercatat sebagai
partai politik yang mengikuti pemilihan umum pada tahun 2014 lalu.
C. Sistem Pemilihan Umum Legislatif
1. Sistem Pemilihan Umum
Sebagai salah satu dari beberapa negara demokratis, Indonesia tentu
tidak asing dengan adanya pemilihan umum. Pemilu menjadi salah satu
tolak ukur terhadap kegiatan partisipasi rakyat terhadap jalannya
pemerintahan di Indonesia. Meski begitu, sejatinya pemilu bukan satu-
satunya parameter untuk mengukur partisipasi rakyat dalam mengawal
serta mendukung kebijakan pemerintahan menjadi keniscayaan sebuah
negara yang demokratis, terlebih untuk negara yang menerapkan sistem
kedaulatan rakyat.
Mengenai prinsip pemilu, terdapat beberapa pandangan pemilihan
umum berkaitan dengan kedudukan individu rakyat, yaitu;
36
a. Pandangan bahwa individu-individu rakyat sebagai individu yang
sama. Artinya, rakyat merupakan suatu kesatuan yang otonom, serta
rakyat merupakan hubungan antar individu yang bersifat kontraktual.
Pandangan ini dikenal sebagai sistem pemilu mekanis.
b. Pandangan yang mengarah pada individu yang hidup bersama
berdasarkan kesamaan geneologis, lapisan social dan lembaga social.
Artinya, rakyat tidak dilihat dari satuan individu yang otonom
melainkan dilihat sebagai sekelompok individu yang dinamakan
masyarakat. Pandangan ini dikenal sebagai sistem pemilu organis.
Keduanya memiliki perbedaan yang jauh berkaitan dengan letak dan
kedudukan rakyat dalam pelaksanaan pemilihan umum.23
Adapun sistem pemilihan umum dilihat dari sudut pandang yang lain,
bahkan yang lebih dikenal di beberapa negara demokratis seperti berikut:
a. Single Member Constituency (Sistem Distrik)
Sistem ini merupakan sistem pemilu yang didasarkan pada
kesaturan geografis suatu wilayah. Hal ini dilaksanakan setelah
dilakukan pembagian wilayah dari satu kesatuan negara yang
ditentukan menjadi daerah pemilihan. Dalam sistem ini satu daerah
pemilihan (distrik) hanya berhak untuk memiliki satu kursi di
parlemen.
Pada praktiknya, pemilihan umum dengan sistem distrik ini tidak
berarti hanya membuka pencalonan kepada satu orang saja melainkan
23
Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 421-422
37
tetap dibuka untuk umum, akan tetapi seseorang yang memiliki
dukungan suara terbanyak sajalah yang berhak melaju dan
mendapatkan kursi di parlemen.24
Hal ini disebut dengan The First
Past The Post (pemenang tunggal meraih satu kursi). Artinya, dalam
sistem ini tidak memandang selisih yang kecil dengan partai lain, dan
suara yang mendukung kontestan lain dianggap hilang serta tidak
dapat dialihkan untuk membantu suara kontestan di distrik lain.
Keuntungan sistem distrik yaitu;
1) Sistem ini lebih menhendaki adanya integrasi partai politik,
dikarenakan kursi yang diperebutkan hanya satu kursi. Dengan kata
lain, partai politik yang berkompetisi akan mengesampingkan
perbedaan-perbedaan yang ada dan menggantinya dengan
kerjasama, terlebih menjelang pemilihan umum.
2) Fragmentasi partai politik dan kecenderungan untuk membentuk
partai politik baru setidaknya terbendung, lagi-lagi dikarenakan
jumlah kursi yang diperebutkan hanya satu kursi.
3) Wakil rakyat lebih cepat dikenal dan melakukan pendekatan
terhadap konstituennya dikarenakan kecilnya komunitas atau
daerah pemilihan umum.
4) Sistem ini sedikit menguntungkan bagi partai besar karena
mendapatkan kedudukan mayoritas melalui distortion effect,
sehingga lebih leluasa menguasai parlemen.
24
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 462
38
5) Dalam sistem ini peluang mendapatkan kedudukan mayoritas
sangat gampang berubah, sehingga tidak langgengnya dominasi
satu partai saja.
Meski demikian, sistem pemilihan umum distrik bukan tanpa
kekurangan dan kelemahan. Sistem ini memiliki kelemahan seperti
berikut;
1) Sistem ini dianggap kurang memperhatikan kalangan minoritas,
terlebih kaum minoritas yang terpencar di beberapa distrik.
2) Sistem ini dinilai kurang representatif, terlihat dalam hilangnya
dukungan atau suara yang diberikan kepada kontestan yang tidak
menjadi pemenang.
3) Di beberapa negara yang majemuk atau plural dengan memiliki
keragaman etnis, ras, dan aliran kepercayaan sistem ini sulit
diterapkan mengingat perlunya keterpaduan ideologi yang menjadi
prasyarat suksesnya sistem ini diterapkan.
4) Sistem ini mengarah pada kecenderungan wakil rakyat untuk lebih
mementingkan kepentingan distriknya, mengesampingkan
kepentingan nasional.25
b. Multi Member Constituency (Proporsional)
Sistem perwakilan berimbang (proporsional) merupakan sistem
pemilihan umum dimana satu daerah pemilihan dianggap sebagai satu
kesatuan administratif, sehingga memiliki banyak kursi sesuai dengan
25
Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 76-77
39
perhitungan yang didasarkan pada demografi penduduk dan komposisi
wilayah kecil (distrik) yang berada di dalamnya. Dalam sistem ini
terdapat beberapa kelebihan sebagai berikut;
1) Sistem ini dianggap lebih representatif karena jumlah suara yang
diperoleh melalui pemilihan umum menentukan jumlah kursi di
parlemen.
2) Sistem ini dianggap lebih demokratis karena tidak adanya
kesenjangan antara suara nasional dengan jumlah kursi di parlemen
(distortion), dan tidak ada suara yang sia-sia atau hilang.
Adapun kelemahan dari sistem pemilu proporsional ini adalah
seperti;
1) Sistem ini tidak mendorong integrasi di antara partai politik dengan
kesamaan yang ada, melainkan malah lebih mempertajam
perbedaan-perbedaan yang dimilikinya.
2) Sistem ini membuka celah besar fragmentasi partai politik sehingga
masyarakat lebih mudah membentuk partai politik baru manakala
terjadi konflik politik di internal.
3) Wakil rakyat terpilih lebih sulit dekat dan dikenal oleh para
konstituennya dikarenakan besarnya daerah pemilihan dan karena
besarnya peran partai politik dibanding peran individunya.26
26
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 463-469
40
2. Sistem Pemilu Legislatif di Indonesia
Berkaitan dengan pemberlakuan sistem parlemen dua kamar, Indonesia
menerapkan kedua sistem pemilihan yaitu, sistem distrik dan sistem
proporsional. Meski demikian, kedua sistem pemilu tersebut diterapkan
pada dua lembaga yang berbeda yaitu, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Pemilihan umum Dewan Perwakilan Daerah dilaksanakan dengan
menggunakan sistem distrik berdasarkan pertimbangan porsi kursi yang
hanya memiliki satu kursi di setiap daerah pemilihannya. Meski begitu,
sejatinya pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Daerah tidak
melalui atau tanpa keterlibatan partai politik.
Sementara itu, dalam pelaksanaan pemilu anggota Dewan Perwakilan
Rakyat diterapkan sistem proporsional. Sistem ini diterapkan di Indonesia
sejak pemilu tahun 1955 silam. Akan tetapi, terdapat perubahan mengenai
sistem proporsional pemilihan umum di Indonesia yang pada awalnya
menggunakan sistem proporsional daftar tertutup menjadi proporsional
daftar terbuka.27
Hal tersebut merupakan bentuk hasil kompromi antara
tuntutan rakyat pasca reformasi dengan pihak partai politik.
Secar teoritis, perbedaan antara kedua bentuk modifikasi sistem
proporsional tersebut adalah bahwa dalam sistem proporsional daftar
27
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia; Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde
Baru, h. 91
41
tertutup masyarakat hanya memilih partai politik yang kemudian
menyeleksi calon yang layak untuk duduk diparlemen sebagai anggota
dewan perwakilan rakyat. Sementara itu, dalam sistem proporsional daftar
terbuka rakyat langsung memilih calon anggota dewan perwakilan rakyat,
sehingga tidak melibatkan terlebih dahulu partai politik untuk menseleksi
calon mana yang layak menjadi anggota dewan perwakilan rakyat.28
Dalam sistem ini pun terdapat ketentuan bahwa ketika memilih partai
politik -tidak memilih calon anggota- suaranya diberikan kepada calon
anggota dengan suara terbanyak pertama, kedua hingga selanjutnya.
28
Abu Thamrin dan Nurhabibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010) h. 97
42
BAB III
PEMBERHENTIAN ANGGOTA DPR DAN ANGGOTA PARTAI
POLITIK
A. Pemberhentian Anggota DPR
Pemberhentian terhadap anggota legislatif merupakan aktifitas yang
dilakukan baik oleh partai politik maupun oleh Mahkamah Kehormatan
Dewan yang bersifat evaluatif berkenaan dengan pelanggaran yang dilakukan
oleh seorang anggota legislatif.1 Pemberhentian didasarkan pada fakta bahwa
seorang anggota dewan telah melakukan tindakan yang tidak pantas baik
terkait dengan pelanggaran kode etik, tindak pidana, maupun penyalahgunaan
kewenangan jabatan seorang anggota dewan.
Bentuk dari upaya evaluatif terhadap anggota legislatif sejatinya lahir
sebagai wujud dari pemecahan masalah keterwakilan di Indonesia. Problem
keterwakilan rakyat dalam sistem demokrasi di Indonesia berada dalam aspek
profesionalitas seorang anggota dewan perwakilan dan berkaitan dengan
proporsionalitas perjuangan seorang anggota dewan yang dipilih oleh
konstituen.2 Dewan Perwakilan Rakyat dituntut untuk mengedepankan upaya
memperjuangkan kepentingan rakyat di parlemen sebagai feedback untuk para
konstituennya, sehingga tidak terjadi monopoli kedaulatan rakyat yang hanya
sesekali diminta dari rakyat pada saat pemilihan umum. Dengan demikian,
1 M. Hadi Subhan, “Recall”: Antara Hak Partai Politik dan Hak Berpolitik Anggota
Parpol, Jurnal Konstitusi Vol.III No.4 (September 2006) h. 46 2 Garuda Wiko, Hukum dan Politik di Era Reformasi, (Surabaya: Srikandi, 2006) h. 151
43
Dewan Perwakilan Rakyat tidak hanya memperjuangkan kepentingan politik
melainkan juga kepentingan rakyat bersama sesuai dengan amanat pancasila
dan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Berdasarkan undang-undang No. 17 tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) pemberhentian seorang
anggota dewan dibagi ke dalam dua kategori:
1. Pemberhentian Antarwaktu (PAW)
Pemberhentian antarwaktu atau lebih dikenal dengan istilah recall
secara etimologi terdiri dari dua suku kata “re” yang berarti melakukan
kembali, dan “call” yang berarti panggilan atau memanggil. Dengan
demikian, recall adalah pemanggilan kembali seorang anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang dilakukan oleh organsisasi induknya,
yakni partai politik pengusungnya.3 Juga pemberhentian antarwaktu
(recall) diartikan sebagai penarikan kembali seorang anggota Dewan
Perwakilan Rakyat yang dilakukan oleh partai politik pengusung untuk
digantikan dengan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang lainnya
sebelum habis masa jabatan.4
Pemberhentian antarwaktu sejatinya merupakan hak partai politik yang
berkedudukan sebagai pilar demokrasi indonesia dan berfungsi sebagai
3 BN. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006) h. 417
4 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) h. 318
44
pengawal aspirasi rakyat dalam mengontrol anggotanya yang menjadi
anggota DPR.5 Dalam demokrasi, partai politik merupakan lembaga yang
dibentuk untuk menampung segala aspirasi rakyat untuk kemudian
disalurkan menjadi kepentingan bersama yang bersifat nasional demi
kepentingan rakyat banyak.6
Dalam pasal 239 undang-undang No. 42 tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD dijelaskan bahwa pemberhentian antarwaktu
terhadap seorang anggota DPR disebabkan oleh beberapa hal, seperti;
a. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat telah meninggal dunia. Posisi
seorang anggota yang meninggal dunia digantikan oleh calon anggota
dewan perwakilan rakyat lain yang berasal dari partai politik yang
sama.
b. Pemberhentian antarwaktu dilakukan manakala seorang anggota
dewan mengundurkan diri dari keanggotaannya di Dewan Perwakilan
Rakyat.
c. Pemberhentian antarwaktu dilakukan apabila seorang anggota dewan
diberhentikan dengan beberapa alasan seperti:
1) Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 bulan berturut-
turut tanpa keterangan apa pun.
5 Ni’matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2011) h. 166 6 Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di
Era Reformasi, h. 65
45
2) Melanggar sumpah dan kode etik DPR
3) Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara lima (5) tahun penjara atau lebih.
4) Diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
5) Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai
dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum
anggota DPR, DPD, dan DPRD.
6) Melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimuat dalam undang-
undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Adapun rincian ketentuan
larangan adalah sebagai berikut :
a) Anggota DPR merangkap jabatan dengan jabatan publik lain,
menjadi Hakim di lembaga peradilan, pegawai negeri sipil,
tentara Nasional Indonesia, Polri, BUMN, BUMD, dan badan
lain yang sumber anggarannya berasal dari APBN/APBD.
b) Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat
struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik,
konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain
yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR serta
hak sebagai anggota DPR.
46
c) Anggota DPR dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan
nepotisme sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
d) Diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e) Menjadi anggota partai politik lain.
Dari beberapa faktor pemberhentian antarwaktu di atas dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori;
a. Pelanggaran yang berkaitan dengan profesionalitas seorang wakil
rakyat berkaitan dengan kemampuam menjalankan tugas dan
fungsinya sebagai wakil rakyat. Mekanisme pemberhentian
berdasarkan faktor tersebut ditempuh melalui sidang di mahkamah
kehormatan dewan yang kemudian putusannya diajukan kepada
pimpinan DPR untuk diparipurnakan.
b. Perbuatan tindak pidana yang ancaman pidananya lima (5) tahun
penjara atau lebih.
c. Pelanggaran atau permasalahan terkait partai politik dimana dewan
tersebut berasal.
Untuk mekanisme pemberhentian kategori kedua dan ketiga
didahului oleh usulan dari partai politik kepada pimpinan DPR,
kemudian dalam jangka waktu maksimal 7 hari pimpinan DPR
menyampaikan tembusan pemberhentian kepada presiden, yang
47
selanjutnya presiden yang menentukan pengesahan pemberhentian
antarwaktu anggota dewan tersebut.
Adapun mekanisme penggantian antarwaktu –sesuai dengan pasal 242
Undang-Undang No. 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD- terhadap seorang anggota dewan yang diberhentikan secara
antarwaktu melalui penyampaian laporan nama anggota dewan yang
diberhentikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk digantikan
dengan calon anggota dewan yang memiliki suara terbanyak kedua dari
partai politik yang sama dan berasal dari daerah pemilihan yang sama.
Kemudian pimpinan KPU menyerahkan nama calon anggota dewan
pengganti kepada DPR, yang selanjutnya disampaikan kepada presiden
untuk ditetapkan melalui keputusan presiden.
Mengenai adanya pemberhentian antarwaktu (recall), terdapat
beberapa tanggapan dari beberapa pakar hukum, seperti:
a. Moh. Isnaeni
Moh. Isnaneni berpendapat bahwa hak penarikan kembali
seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat merupakan sebuah
“pedang democles” bagi seorang anggota dewan.7 Hal ini berarti
adanya penuntutan terhadap seorang anggota Dewan Perwakilan
Rakyat untuk senantiasa menunggu kebijakan dan intruksi dari
7 Rida Farida, Mekanisme Penggantian Antarwaktu (PAW) Anggota DPR dan Implikasi
Dalam Konsep Perwakilan Rakyat, Jurnal Cita Hukum Vol.III No.2 (Desember 2015) h. 370
48
pimpinan fraksi partai politiknya, serta meminimalisir sikap oto-
aktivitasnya yang dapat mengakibatkan adanya proses recalling
partai politik.8 Dengan demikian, seorang anggota Dewan
Perwakilan Rakyat cenderung untuk tidak melakukan langkah
sekaligus mengambil sikap sebelum mendapatkan instruksi dari
pimpina fraksinya demi kemananan dan keanggotannya di Dewan
Perwakilan Rakyat.
b. Moh. Hatta
Moh. Hatta berpendapat bahwa upaya pemberhentian
antarwaktu hanya berlaku di beberapa negara komunis dan otoriter,
sehingga tidak dapat diberlakukan di indonesia mengingat bahwa
itu sangat berlawanan dengan prinsip Pancasila.9 Adanya
pemberhentian anggota Dewan Perwakilan Rakyat merupakan
indikasi sistem pemerintahan yang otoriter atau setidak-tidaknya
memiliki indikasi sistem oligarki, mengingat kekuatan elite partai
politik yang sangat berkuasa dan tanpa monitoring langsung dari
rakyat. Dalam penjelasan lain, ia mengatakan bahwa elite partai
politik berwenang untuk mengesampingkan pilihan rakyat dalam
pemilihan umum anggota DPR.
8 M. Isnaeni, MPR-DPR Sebagai Wahana Mewujudkan Demokrasi Pancasila, (Jakarta:
Yayasan Indayu, 1982) h. 58 9 Deliar Noer, Moh. Hatta Suatu Biografi Politik, (Jakarta: LP3ES, 1989) h. 305
49
c. Mahfud MD
Hak penggantian antarwaktu terhadap seorang anggota dewan
merupakan hak yang utuh bagi partai politik untuk mengganti
anggota dewan perwakilan rakyat sebelum massa jabatannya
habis.10
Penggantian antarwaktu dinilainya sebagai sebagai
tindakan yang konstitusional dan merupakan tindakan pengawasan
partai politik terhadap anggotanya yang duduk di DPR sebagai
wakil untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
2. Pemberhentian Sementara
Pemberhentian sementara adalah upaya memberhentikan sementara
waktu yang dilakukan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap
anggotanya yang tengah menjalani proses hukum di persidangan –dengan
status terdakwa- sampai memiliki putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Kelanjutan status seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat didasarkan
pada keputusan atau hasil akhir proses hukum yang berjalan di lembaga
peradilan. Artinya, terdapat kemungkinan seorang anggota Dewan
Perwakilan Rakyat tersebut diberhentikan tetap manakala putusan
pengadilan menetapkan bahwa ia bersalah, atau bahkan dipulihkan nama
baiknya dan kembali aktif menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat
10
Mahfud. MD, Perkembangan Politik: Studi Tentang Pengaruh Konfigurasi Politik
Terhadap Produk Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: FH- Universitas Gadjah Mada Press,
1993) h. 324
50
apabila putusan pengadilan menyatakan bahwa ia tidak bersalah atas
perkara yang sebelumnya diproses hukum.
3. Pemberhentian Tetap
Pemberhentian tetap merupakan sanksi bagi anggota dewan yang
merangkap jabatan di lembaga negara lain, menjadi hakim di badan
peradilan, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), menjadi anggota Tentara
Nasional Indonesia (TNI), menjadi anggota kepolisian Republik Indonesia
(Polri), melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga
pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat, notaris, dan
pekerjaan lain yang berkaitan dengan hak dan kewenangan anggota DPR.
Tidak hanya itu, pemberhentian tetap juga dilakukan pada anggota DPR
yang terbukti -sudah memperoleh kekuatan hukum tetap (incracht)-
melakukan tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme.
B. Pemberhentian Anggota Partai Politik
Seperti status keanggotaan di lembaga lain, seorang anggota partai politik
dituntut untuk melaksanakan tugas dan fungsi sesuai dengan tujuan dan dasar
sebuah lembaga yang menaunginya. Partai politik sejatinya merupakan sebuah
organisasi yang dibentuk secara sukarela untuk memperjuangkan nilai, cita
dan kepentingan bersama.11
Oleh karena itu, sebagai organisasi bersama dan
untuk kepentingan bersama anggota partai politik dituntut untuk mentaati tata
tertib dan aturan lainnya yang diatur dalam partai politik.
11
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404
51
Dalam memelihara dan menegakkan kode etik serta tata tertib
organisasinya partai politik berwenang untuk melakukan tindakan yang
bersifat evaluatif terhadap prilaku anggotanya. Hal itu didasarkan pada
pengaturan organisasi partai politik yang disusun dan dituangkan dalam
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) partai politik.
Meski demikian, peraturan mengenai tata tertib prilaku anggota partai politik
diberikan kewenangan langsung oleh negara terhadap partai politik untuk
merumuskan serta menegakkannya. Selanjutnya, berkenaan dengan
pemberhentian Fahri Hamzah dari keanggotaanya di Partai Keadilan Sejahtera
terdapat beberapa penjelasan sebagai berikut :
1. Faktor Pemberhentian
Dalam upaya mengontrol serta mengevaluasi anggotanya Partai
Keadilan Sejahtera mencatat beberapa larangan terhadap anggota dengan
ancaman sanksi pemberhentian dari keanggotaannya di partai politik.
Beberapa faktor melandasi pemberhentian dalam Pasal 16 Undang-
Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik adalah sebagai berikut:
a. Meninggal dunia
b. Mengundurkan diri
c. Menjadi anggota partai politik lain
d. Melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan
aturan lainnya.
52
e. Akan menduduki suatu jabatan yang oleh peraturan perundang-
undangan dilarang dijabat oleh partai politik.
2. Mekanisme Pemberhentian
a. Anggota yang meninggal dunia status keanggotaan berhenti
dengan sendirinya.
b. Anggota yang mengundurkan diri atau tidak aktif diberhentikan
melalui surat keputusan partai.
c. Anggota yang menjadi anggota partai politik status keanggotannya
dicabut oleh partai berdasarkan keputusan majlis tahkim.
d. Anggota yang melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga status keanggotaannya diberhentikan oleh partai dengan
keputusan majelis tahkim.
53
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PEMBERHENTIAN FAHRI HAMZAH DARI
ANGGOTA PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
A. Deskripsi Eksploratif Pemberhentian Fahri Hamzah
1. Kronologis Pemberhentian Fahri Hamzah
Dimulai dari kegiatan Konsolidasi Penyamaan Arah dan Visi Partai
Keadilan Sejahtera pada tanggal 10 Agustus 2015 di kantor DPP Partai
Keadilan Sejahtera.1 Kegiatan tersebut bermaksud untuk menyeragamkan
orientasi segenap jajaran keluarga Partai Keadilan Sejahtera -sebagai
etalase politik nasional- untuk memperjuangkan cita-cita partai, terlebih
dengan pertimbangan bahwa Partai Keadilan Sejahtera yang berada di luar
pemerintahan Joko Widodo - Jussuf Kala.
Adapun kronologi pemberhentian Fahri Hamzah oleh DPP-PKS adalah
sebagai berikut:2
a. Pada tanggal 1 September 2015, diselenggarakan Briefing terhadap
Fahri Hamzah di Kantor Dewan Pimpinan Tingkat Pusat (DPTP)
Partai Keadilan Sejahtera yang dihadiri oleh Ketua Majelis Syuro,
Wakil Ketua Majelis Syuro, dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera
1
https://www.google.com/amp/s/m.tempo.co/amphtml/read/news/2016/04/04/078759550/fahr
i-hamzah-dipecat-pks-ini-kronologinya/ 2 Partai Keadilan Sejahtera, “Penjelasan Partai Keadilan Sejahtera Tentang Fahri
Hamzah” diakses pada 21Maret 2017 dari http://pks.id/file/penjelasan-pks-tentang-
pelanggaran-disiplin-partai-yang-dilakukan-saudara-fahri-hamzah/
54
(PKS). Pertemuan ini membahas tentang arahan terhadap Fahri
Hamzah untuk mengindahkan arahan partai serta menghilangkan
sikap kontroversial demi menghindari citra negatif partai politik.
b. Pada tanggal 23 Oktober 2015, Pemanggilan terhadap Fahri
Hamzah oleh ketua Majelis Syuro yang diselenggarakan di ruang
kerja Dewan Pimpinan Tingkat Pusat (DPTP). Dalam surat
panggilannya, disampaikan kepada Fahri Hamzah tentang penilaian
KMS dan pimpinan partai yang mengatakan bahwa sikap FH tidak
sesuai sesuai dengan arahan partai serta banyak membuat
kontroversi bagi publik sehingga penugasan FH dari partai politik
perlu ditinjau. Pimpinan partai menawarkan rotasi kursi pimipinan
DPR kepada Fahri Hamzah. Kemudian, Fahri Hamzah merespon
dengan meminta waktu untuk mempertimbangan permintaan
pimpinan partai tersebut serta menyelesaikan tugasnya terlebih
dahulu sebagai bagian dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
c. Pada tanggal 1 Desember 2015, Dewan Pengurus Tingkat Pusat
kembali memanggil Fahri Hamzah untuk membahas rotasi
Pimpinan DPR. Dalam pertemuan itu, Fahri Hamzah menyatakan
bahwa tidak bersedia untuk dirotasi dari pimpinan DPR.
d. Pada tanggal 11 Desember 2015, diselenggarakan pertemuan
antara Fahri Hamzah, Tubagus Soenmandjaja dan Ketua Majelsi
Syuro. Dalam pertemuan tersebut Fahri Hamzah kembali
55
menegaskan sikap untuk melaksanakan tugas dan arahan partai
meskipun diposisikan dimanapun.
e. Pada tanggal 12 Desember 2015, Ketua Majelis Syuro menugaskan
Tubagus Soenmandjaja untuk membuatkan surat pengunduran diri
Fahri Hamzah dari kursi Pimpinan DPR dan menyampaikannya
kepada Fahri Hamzah. Kemudian Tubagus Soemandjaja menemui
Fahri Hamzah di gedung Nusantara V Lt. 2 No. 209 untuk
memberikan surat pengunduran dirinya dari kursi pimpinan DPR
pada tanggal 13 Desember 2015.
f. Pada tanggal 14 Desember 2015, Fahri Hamzah menjawab surat
dari Ketua Majelis Syuro dengan beberapa catatan:
1) Belum membaca isi dokumen tersebut;
2) Belum matang untuk melakukan pengunduran diri dari kursi
Pimpinan DPR;
3) Berencana mendiskusikan terlebih dahulu kepada Lawyer dan
Pakar Hukum Tata Negara;
4) Alasan lainnya terkait DPR.
Jawaban tersebut kembali direspon oleh Ketua Majelis Syuro
dengan memberinya waktu sampai tanggal 15 Desember 2015.
g. Pada tanggal 16 Desember 2015, Fahri Hamzah mendatangi kantor
Dewan Pengurus Tingkat Pusat untuk menyampaikan
ketidaksediaannya mengundurkan diri dari kursi Pimpinan DPR.
Atas jawaban tersebut Ketua Majelis Syuro menyatakan
56
mengembalikan perkara kepada Dewan Pimpinan Pusat Partai dan
menyerahkan kepada Badan Penegak Disiplin Organisasi terkait
ketidakdisiplinannya terhadap Aanggaran Dasar/Anggaran Rumah
Tangga partai.
h. Pada tanggal 26 Desember 2015, Dewan Pimpinan Pusat partai
menugaskan Bagian Kaderisasi Partai Keadilan Sejahtera untuk
melaporkannya kepada BPDO terkait pelanggaran atas AD/ART
partai. Kemudian, pada tanggal 28 Desember 2015 BPDO
memanggil Fahri Hamzah sebagai teradu dengan agenda
permintaan keterangan yang dijadwalkan pada 4 Januari 2016.
i. Pada Tanggal 2 Januari 2016, Fahri Hamzah mengirimkan surat
kepada BPDO tentang ketidaksiapannya hadir karena sedang
berada di luar negeri. Atas jawaban itu, BPDO memutuskan untuk
menunda pemanggilan menjadi tanggal 11 Januari 2016.
j. Pada tanggal 13 Januari 2016, BPDO menetapkan:
1) Menyerahkan perkara Fahri Hamzah ke Majelis Qhada;
2) Membentuk Majelis Qhada berjumlah 3 (tiga) orang;
3) Menetapkan jadwal persidangan pada tanggal 19 Januari 2016.
k. Pada Tanggal 14 Januari 2016, Fahri Hamzah menyampaikan surat
berisi ketidaksiapannya hadir karena sedang menghadiri PUIC OIC
di Bagdhad Iraq dan mengajukan penjadwalan ulang pada tanggal
27 Januari 2016.
57
l. Pada tanggal 19 Januari 2016, Majelis Qhada menyelenggarakan
persidangan tanpa dihadiri teradu dengan menetapkan penjadwalan
ulang pada tanggal 28 Januari 2016.
m. Pada tanggal 28 Januari 2016, Majelis Qhada menyelenggaran
persidangan dihadiri teradu.
n. Pada tanggal 29 Januari 2016, Majelis Qhada menetapkan:
1) Fahri Hamzah terbukti melanggar disiplin organisasi partai
kategori berat;
2) Mengabulkan tuntutan BPDO yaitu pemberhentian Fahri
Hamzah.
Majelis Qhada kemudian menyampaikan putusannya kepada
BPDO, kemudian BPDO merekomendasikannya kepada Majelis
Tahkim dengan berkas No. 01/D/PDO/PKS/1437.
o. Pada tanggal 11 Februari 2016, Majelis Tahkim memeriksa berkas
rekomendasi BPDO.
p. Pada tanggal 18 Februari 2016, Majelis Tahkim memeriksa Ketua
Majelis Syuro sebagai saksi dan menetapkan penjadwalan
pemanggilan Fahri Hamzah pada tanggal 22 Februari 2016.
q. Pada tanggal 20 Februari 2016, Fahri Hamzah meminta penundaan
jadwal sidang tetapi pada pekan yang sama karena sedang berada
di Azerbaijan.
r. Pada tanggal 21 Februari 2016, Mahfudz Abdurrahman
menyampaikan informasi kepada Hidayat Nur Wahid tentang
58
agenda Muhibah Fahri Hamzah dipercepat kepulangannya.
Sehingga pada tanggal tersebut Fahri Hamzah sudah berada di
Jakarta.
s. Pada tanggal 22 Februari 2016, Majelis Tahkim menggelar
persidangan tanpa dihadiri teradu, dan memanggil kembali pada
tanggal 25 Februari 2016. Pada tanggal tersebut Teradu
mengirimkan surat yang berisi ketidaksiapannya untuk menghadiri
persidangan dengan alasan bahwa majelis tidak mempertimbangan
keberatan dan keterangannya pada saat persidangan Majelis Qhada.
Selanjutnya, Majelis Tahkim tetap menyelenggarakan persidangan
tanpa dihadiri oleh teradu.
t. Pada tanggal 7 Maret 2016, Majelis Tahkim memanggil kembali
teradu untuk menghadiri persidangan yang akan dilaksanakan pada
tanggal 11 Maret 2016.
u. Pada tanggal 10 Maret 2016, Teradu mengirimkan surat kepada
Majelis Tahkim yang berisi penolakan untuk hadir di persidangan.
v. Pada tanggal 11 Maret 2016, Majelis Tahkim menggelar
persidangan dan memutuskan memberhentikan Fahri Hamzah dari
semua jenjang keanggotaan partai politik dengan berkas putusan
No. 02/PUT/MT-PK/2016.
w. Pada tanggal 20 Maret 2016, Majelis Tahkim menyampaikan
putusannya ke Dewan Pengurus Tingkat Pusat.
59
x. Pada tanggal 23 Maret 2016, Dewan Pengurus Tingkat Pusat
melimpahkan berkas putusan kepada DPP Partai Keadilan
Sejahtera.
Mekanisme pemberhentian Fahri Hamzah dilakukan secara internal
dalam lingkup Partai Keadilan Sejahtera melalui tiga tahapan, yaitu;
penanganan laporan oleh BPDO, peradilan etik oleh majelis syuro, dan
peradilan etik oleh majelis tahkim.
2. Pertimbangan Hukum Pemberhentian Fahri Hamzah
Adapun pertimbangan hukum dari Ketua Majelis Syuro, BPDO dan
Dewan Pengurus Pusat yang melandasi pemberhentian Fahri Hamzah dari
semua jenjang keanggotaan di partai politik adalah sebagai berikut:3
a. Pasal 26 ayat 3 Anggaran Dasar Partai Keadilan Sejahtera. Berbunyi:
“Partai menjatuhkan sanksi berupa sanksi administrative,
pembebanan, pemberhentian sementara, penurunan jenjang
keanggotaan dan pemberhentian dari kepengurusan dan/atau
keanggotaan atas perbuatan lain yang bertentangan dengan
AD/ART dan/atau peraturan partai lainnya”
Bentuk sanksi yang dijatuhkan oleh Partai Keadilan Sejahtera
terhadap Fahri Hamzah adalah berupa sanksi administratif yaitu
pemberian surat berisi evaluasi terhadap kinerja anggota partai dengan
tujuan untuk mengupayakan peningkatan loyalitas anggotanya, dan
3 PKS, “Penjelasan Partai Keadilan Sejahtera Tentang Fahri Hamzah”, Edisi Revisi
Final h. 10-11
60
sanksi pemberhentian tetap sebagai anggota partai politik serta
mencabut Fahri Hamzah dari segala jenjang politik selama ini.4
b. Pasal 11 ayat 2 huruf a, b, e, g dan m Pedoman Partai Keadilan
Sejahtera No. 1 Tahun 2015. Berbunyi :
“Pelanggaran kategori 3 (tiga) merupakan perbuatan yang melanggar
keputusan syuro, tsawabit, anggaran dasar dan/atau anggaran rumah
tangga partai termasuk tetapi tidak terbatas seperti: (a) melanggar
sumpah atau janji setia anggota partai politik; (b) melanggar
peraturan dan keputusan partai; (e) tanpa alasan yang sah tidak
melaksanakan hasil musyawarah partai, tidak mematuhi keputusan
pimpinan yang harus ditaati, tidak mematuhi kebijakan-kebijakan
dan/atu sikap-sikap partai; (g) mengutamakan kepentingan diri
sendiri, kelompok, atau pihak lain di atas kepentingan partai; (m)
menyebarkan berita yang menyebabkan ukhuwah dan persauan
jamaah.”
Dewan Pengurus Tingkat Pusat berpendapat bahwa Fahri Hamzah
telah melakukan tindakan yang tidak mencerminkan kader Partai
Keadilan Sejahtera, melanggar sumpah dan janji untuk senantiasa
selalu bersikap loyal dan taat kepada keputusan pimpinan partai serta
mengkhianati kesiapannya untuk memperbaiki kinerja sesuai hasil
briefing antara Fahri Hamzah dengan DPP Partai Keadilan Sejahtera.5
c. Disiplin anggota partai
Sesuai dengan penjelasan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai
Keadilan Sejahtera, Fahri Hamzah sering melakukan tindakan yang
kontroversial baik dari tutur kata, pernyataan politik yang berlawanan
4 http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/04/04/o539wa334-presiden-
pks-beberkan-kronologi-dan-daftar-pelanggaran-fahri-hamzah, diakses pada Sabtu, 13 Mei
2017.
5
http://nasional.kompas.com/read/2016/04/04/14362761/Ini.Dosa.Fahri.Hamzah.Menurut.PK
S, diakses pada Senin, 20 Maret 2017.
61
dengan sikap Partai Keadilan Sejahtera, serta melakukan tindakan-
tindakan yang tidak mengindahkan disiplin serta etika kader Partai
Keadilan Sejahtera.6
d. Pasal 11 ayat 1 huruf d Anggaran Dasar Partai Keadilan Sejahtera,
yang berbunyi: “Anggota diberhentikan keanggotaanya apabila
melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta peraturan
lainnya.” Sesuai dengan keputusan Majelis Qhada Partai Keadilan
Sejahtera, Fahri Hamzah dinyatakan telah melanggar janji dan sumpah
keanggotaannya di Partai Keadilan Sejahtera sebagimana diatur dalam
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
e. Pasal 6 ayat 1, 3, dan 6 Anggaran Rumah Tangga Partai Keadilan
Sejahtera, yang berbunyi:
“(1) setiap anggota wajib mengikrarkan janji sebagai berikut: Saya
berjanji untuk senantiasa berpegang teguh pada AD/ART dan
peraturan lain partai serta setia kepada pimpinan partai; (3) setiap
anggota wajib taat dan berpegang teguh kepada anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga dan peraturan parta; (6) setiap anggota
wajib menjalankan tugas yang diamanahkan oleh partai.”
f. Pasal 11 ayat 2 huruf d Anggaran Dasar Partai Keadilan Sejahtera,
yang berbunyi: “Anggota yang melanggar Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga serta Peraturan Partai lainnya diberhentikan
berdasarkan keputusan dari Majelis Tahkim”
6 https://m.tempo.co/read/news/2016/04/05/078759775/fahri-hamzah-dan-6-dosa-
besarnya-versi-pimpinan-pks, diakses pada Minggu 14 Mei 2017.
62
g. Pasal 44 ayat 4 Pedoman Partai No. 2 Tahun 2015, yang berbunyi:
“Putusan Majelis Tahkim Bersifat Final dan Mengikat”
B. Analisis Terhadap Kasus Pemberhentian Fahri Hamzah Dengan UU
MD3 dan UU Partai Politik
Sebagai seorang perwakilan rakyat sekaligus anggota partai politik,
anggota dewan memiliki tanggung jawab yang sama besar terhadap konstituen
maupun terhadap partainya.7 Dalam satu sudut pandang, anggota dewan
merupakan perseorangan menjadi anggota partai politik peserta pemilu
sehingga bertanggung jawab terhadap partainya. Dalam pandangan lain,
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih secara langsung umum bebas dan
rahasia oleh masyarakat sehingga memiliki pertanggungjawaban terhadap
konstituennya.8
Dalam konsepsi teori kedaulatan rakyat, seorang anggota Dewan
Perwakilan Rakyat menjadi tumpuan konstituennya untuk menyampaikan
segala aspirasi masyarakat terkait kebijakan publik yang bersinggungan
dengan kehidupan masyarakat luas, sehingga memerlukan komitmen yang
jelas serta loyalitas yang tinggi terhadap rakyat. Wujud komitmen yang
diemban oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat kemudian dikelompokkan
pada tiga fungsi, yakni; sebagai pembuat peraturan (Legislation), sebagai
lembaga pembuat anggaran belanja negara (Budgetting), dan sebagai lembaga
7 Malicia Evendia, Implikasi Hak Recall Partai Politik Terhadap Sistem Kedaulatan
Rakyat” Jurnal Ilmu Hukum Vol. 6 No. 2 (Desember 2012) h. 5 8 Michael G. Roskin, dkk, Political Science: An Introduction, Penerjemah: Liana
Nurul, (Jakarta: Kencana, 2016) h. 292
63
yang berfungsi mengontrol serta mengaevaluasi kinerja pemerintahan
(Controlling).9
Selanjutnya, dalam kasus pemberhentian Fahri Famzah berawal dari
beberapa faktor seperti; ucapan kontroversial, prilaku kepribadian,
pernyataannya terkait revisi undang-undang KPK, pernyataannya dalam kasus
pencatutan nama Presiden RI Joko Widodo dalam kasus Freeport yang
melibatkan Setya Novanto.10
Atas dasar itulah Partai Keadilan Sejahtera
melakukan peninjauan ulang penugasannya sebagai anggota DPR terlebih
sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Berlandaskan terhadap undang-undang no. 42 tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, DPRD sikap dan perlakuan tersebut di atas tergolong pada
kategori larangan etik seorang anggota dewan, sehingga manakala fahri
hamzah bersikap atau melakukan hal tersebut dapat diproses secara hukum di
peradilan etik Dewan Perwakilan Rakyat.11
Hal ini sesuai dengan
pengamanatan mandat rakyat dalam menunjuk seseorang menjadi wakilnya di
DPR yang kemudian dalam rangka penegakkan etika dibentuklah peradilan
etik anggota DPR yang disebut Mahkamah Kehormatan Dewan.
Selanjutnya, disebutkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD bahwa syarat untuk
9 Kusnardi dan Bintan, R. Saragih, Ilmu Negara, h.261-262
10
http://nasional.kompas.com/read/2016/04/04/14362761/ini.dosa.fahri.hamzah.menurut.PKS/
diakses pada Senin, 20 Maret 2017. 11
Nurhabibi, Praktik “Pengawasan Etika Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia” Jurnal Cita Hukum Vol.I No.1 (Juni 2014) h. 45
64
mencalonkan diri sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat harus
menjadi anggota Partai Politik peserta pemilu. Hal ini mengartikan bahwa
sikap maupun prilaku yang dilakukan oleh Fahri Hamzah tersebut dapat
masuk pada ranah evaluasi partai politiknya yakni Partai Keadilan Sejahtera.
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 dijelaskan mengenai peraturan
internal baik terkait etika maupun penegakkannya diatur kemudian oleh
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) partainya.
Idealnya, penegakkan kode etik terhadap sikap dan prilaku Fahri Hamzah
berkenaan dengan etikanya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Partai Keadilan Sejahtera ditangani oleh dua dua lembaga peradilan
etik kedua lembaga tersebut, yakni; Mahkamah Kehormatan Dewan dan
Majelis Tahkim sehingga memiliki keseragaman antara kedua proses evaluasi
tersebut.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk menjawab semua rumusan masalah dan pembahasan sebagaimana
dipaparkan pada bab terdahulu, penulis mengemukakan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Landasan hukum pemberhentian Fahri Hamzah oleh DPP Partai Keadilan
Sejahtera adalah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai
Keadilan Sejahtera, Pedoman No. 1 Tahun 2015 PKS tentang Pemberian
Penghargaan dan Penjatuhan Sanksi, Pedoman No. 2 Tahun 2014 PKS,
Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik berkenaan
dengan pelanggaran etik sebagai anggota DPR, dan pelanggaran kode etik
partai.
2. Tinjauan yuridis terhadap pemberhentian Fahri Hamzah sebagai anggota
Partai Keadilan Sejahtera bahwa terdapat perbedaan arah antara Undang-
Undang No. 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang
mengarah pada evaluasi kinerja dan kehormatan anggota dewan sebagai
wakil rakyat sesuai dengan sistem kedaulatan rakyat, dengan Undang-
Undang No. 2 Tahun 2011 yang menyerahkannya langsung terhadap
aturan internal partai, sehingga menjauh dari sistem kedaulatan rakyat dan
lebih menonjolkan karakter sistem monarki.
66
B. Saran
Berdasarkan semua penjelasan tersebut, penulis memberikan saran sebagai
berikut:
1. Diperlukan peninjauan ulang terhadap mekanisme pemberhentian anggota
partai terlebih yang dengan kapasitasnya menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat mengingat dalam genggaman anggotanya tersebut
terdapat kepercayaan masyarakat (Konstituen) yang harus
dipertanggungjawabkan.
2. Masyarakat sebagai konstituen dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
diberikan ruang untuk mengevaluasi kinerja seorang anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas dan etos
kerja wakil rakyat serta dalam rangka merevitalisasi sistem kedaulatan
rakyat.
3. Pemerintah (Menkumham) membentuk department baru yang berfungsi
untuk mensinergikan antara peraturan-peraturan yang sederajat agar tidak
saling tumpang tindih sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
67
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku :
A Magalatung, Salman. dan Nur Rohim Yunus. Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara,
Aktualisasi Dalam Teori Negara Indonesia, Bandung: Fajar Media, Cet-1,
2013.
____________, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
Bekasi: Gramata Publishing, 2016.
Amirudin dan Asikin. Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, cet-1, 2004.
Assiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2006.
______________, Green Constituton: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2009.
______________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, Cet-2, 2010.
_______________, Konstitusi dan Konstitusionalisem di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika, 2011.
B. Maryo, Henry. An Introduction to Democratic Theory, New York: Oxford
University Press, 1960.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Prima Grafika, Cet-5
2015.
Dahl, A Robet. Democracy And Its Critics, Penerjemah Rahman A. Zainudin,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992.
68
Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi
Politik di Era Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Hardiman, Budi. Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang
Publik Dalam Teori Diskursus Jurgen Habernes, Yogyakarta: Kanisius,
2009.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafino
Persada, cet-5, 2010.
_____________, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi, Yogyakarta: FH-UII Press, 2011.
Iman, Sohibul “Pelanggaran Disiplin yang Dilakukan oleh Fahri Hamzah” dalam
Penjelaan Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera, Jakarta: PKS,
2016.
Isnaeni, M. MPR-DPR sebagai Wahana Mewujudkan Demokrasi Pancasila,
Jakarta: Yayasan Indayu, 1982.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State, Penerjemah Raisul Muttaqien,
Bandung: Nusa Media, Cet-9, 2014.
Kusnardi dan Saragih, R, Bintan. Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama,
Cet-4, 2000.
Mahmud Muzaki. Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Pranada Media
Group, cet-3, 2007.
Marbun, BN. Kamus Hukum Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006.
Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde
Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet-3, 2012.
MD, Mahfud. Perkembangan Politik: Studi Tentang Pengaruh Konfigurasi Politik
Terhadap Produk Hukum di Indonesia, Yogyakarta: FH-UGM Press,
1993.
69
____________, Dasar dan Struktur Ketatangeraan Indonesia, Jakarta: PT Rinela
Cipta, Cet-2, 2001.
_____________, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Mohamad A, Fahmi dan Aripin. Zainal, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, cet-1, 2010.
Noer, Deliar. Moh. Hatta Suatu Biografi Politik, Jakarta: LP3ES, 1989.
Roskin, G, Michael, dkk. Political Science: An Indtroduction, Penerjemah Liana,
Jakarta: Kencana, 2016.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, Cet-15, 2015.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 2008.
Thamrin. Abu, dan Ihya. Nurhabibi, Hukum Tata Negara, Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, cet-1 2010.
Utrech, E. Pengantar Hukum Adminstrasi Negara Indonesia, Jakarta: Ichtiar,
1962.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
Wiko, Garuda. Hukum dan Politik di Era Reformasi, Surabaya: Srikandi, 2006.
Putusan :
Surat Keputusan Dewan Pimpinan Pusat No. 463/SKEP/DPP-PKS/1437 tentang
Pemberhentian Fahri Hamzah
70
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar (UUD) NRI 1945
Undang-Undang No. 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD.
Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Pedoman PKS No. 1 Tahun 2015 tentang Pemberian Penghargaan dan Penjatuhan
Sanksi
Pedoman PKS No. 2 Tahun 2015 tentang Majelis Tahkim
Jurnal Ilmiah :
Evendia, Malicia. “Implikasi Hak Recall Partai Politik Terhadap Sistem
Kedaulatan Rakyat” Jurnal Ilmu Hukum, 2012.
Farida, Rida, “Mekanisme Penggantian Antarwaktu (PAW) Anggota DPR dan
Implikasi Dalam Konsep Perwakilan Rakyat”, Jurnal Cita Hukum, 2015.
Assiddiqie, Jimly. Demokrasi dan Ekokrasi, Artikel diakses pada 11 November
2016 dari http://jimly.com/
Yunus, Nur Rohim. “Aktualisasi Demokrasi Pancasila Dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara”, Social Science Education Journal, 2015.
Nurhabibi, “Praktik Pengawasan Etika Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia”, Jurnal Cita Hukum, 2014.
71
Subhan, Hadi, M. “Recall: Antara Hak Partai Politik dan Hak Berpolitik Anggota
Parpol” Jurnal Konstitusi. 2016.
Website
https://www.google.com/amp/s/m.tempo.co/amphtml/read/news/2016/04/04/0787
59550/fahri-hamzah-dipecat-pks-ini-kronologinya/
http://pks.id/file/penjelasan-pks-tentang-pelanggaran-disiplin-partai-yang-
dilakukan-saudara-fahri-hamzah/
http://nasional.kompas.com/read/2016/04/04/14362761/ini.dosa.fahri.hamzah.men
urut.PKS/
72
LAMPIRAN-LAMPIRAN
SALINAN SURAT KEPUTUSAN (SK) DEWAN PIMPINAN PUSAT
PARTAI KEADILAN SEJAHTERA NO. 463/SKEP/DPP-PKS/1437
73