Download - perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac/Pertang...terbakarnya kapal motor penumpang laut teduh ii”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : ARUM DWI JAYANTI
NIM : E0008299
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan ( skripsi ) berjudul:
“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI OLEH
PERUSAHAAN PELAYARAN PT BANGUN PUTRA REMAJA DI
PELABUHAN MERAK – BAKAUHENI KABUPATEN SERANG ATAS
TERBAKARNYA KAPAL MOTOR PENUMPANG LAUT TEDUH II”
adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan
hukum ( skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan
gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Juni 2012
Yang membuat pernyataan
ARUM DWI JAYANTI
NIM . E0008299
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
ARUM DWI JAYANTI. E0008299. 2012, PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA KORPORASI OLEH PERUSAHAAN PELAYARAN PT
BANGUN PUTRA REMAJA DI PELABUHAN MERAK – BAKAUHENI
KABUPATEN SERANG ATAS TERBAKARNYA KAPAL MOTOR
PENUMPANG LAUT TEDUH II. Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Dalam KUHP di Indonesia, tidak mengatur korporasi sebagai
subyek hukum. Hanya manusia yang diakui sebagai subyek hukum dalam
KUHP. Namun, dalam perkembangannya ada beberapa Peraturan Perundang-
Undangan di luar KUHP yang menyebutkan korporasi sebagai subyek hukum.
Di Indonesia, korporasi dianggap sebagi subyek hukum terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 7/Drt/ 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi yang
kemudian di susul oleh beberapa Undang-Undang diantaranya Nomor 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka 13, Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 1 angka 19, Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 1 angka 1
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Pasal 1 angka 2
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Tujuan korporasi untuk terus
meningkatkan keuntungan yang diperolehnya, hal ini mengakibatkan sering
terjadi tindakan pelanggaran hukum, seperti yang perbuatan yang dilakukan
oleh PT. Bangun Putra Remaja akibat terbakarnya Kapal Laut Teduh II yang
menelan banyaknya korban jiwa. Korporasi dapat di mintai
pertanggungjawabannya apabila dalam melaksanakan kegiatannya
menimbulkan kerugian terhadap masyarakat, baik kerugian materiil dan
immateril. Berdasarkan latar belakang di atas, maka muncul permasalahan
yakni bagaimana pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi menurut
hukum pidana serta bagaimana pertanggungjawaban PT Bangun Putra Remaja
terhadap korban kecelakaan kapal laut teduh II. Penulisan hukum ini
menggunakan metode Empiris, Lokasi penelitian di PT. Bangun Putra Remaja
dan Pengadilan Negeri Serang. Jenis data yang digunakan meliputi data primer
dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu
wawancara dan studi kepustakaan baik berupa buku-buku, peraturan
perundang-undangan, dokumen-dokumen, dan sebagainya. Analisis data
menggunakan analisis data kualitatif.
Kata kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Korporasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
ARUM DWI JAYANTI. E0008299. 2012, CORPORATE CRIMINAL
LIABILITY BY THE SHIPPING COMPANY PT BANGUN PUTRA
REMAJA OF PORT MERAK – BAKAUHENI SERANG DISTRICT OF
MOTOR PASSENGER SHIP LAUT TEDUH II. Faculty of Law of March
Surakarta.
In Indonesia's Criminal Code, was not regulated corporations as legal subjects.
Only people who are recognized as legal subjects in the Criminal Code. However,
in its development, there are some regulations Legislation outside the Penal Code
which states the corporation as a legal subject. In Indonesia, the corporation was
considered as a subject of law contained in Law No. 7/Drt / 1955 on Economic
Crime which was then in one after another by some such Act No. 5 of 1997
Article 1, item 13, of Law Number 22 Year 1997 on Narcotics Section 1
paragraph 19 of Law Number 31 Year 1999 jo. Act No. 20 of 2001 Article 1
number 1 on the Eradication of Corruption, Law Number 15 Year 2002 jo. Law
No. 25 of 2003 Article 1 paragraph 2 on Money Laundering. The corporate aimed
was to increase profits gained continued, this resulted in frequent acts of law
violation, as the acts committed by PT. Bangun Putra Remaja from the burning of
Laut Teduh II ship which claimed many victims. Corporations can be held
accountable in turn to if their activities cause harm to society, both material loss
and immateril. Based on the above background, it appears the problem of how to
setup corporate criminal liability under criminal law and how accountability PT
Bangun Putra Remaja of accident Laut Teduh II ship. Legal writing was to used
empirical methods, location of research at PT. Bangun Putra Remaja and
Pengadilan Negeri Serang. Type of data used include the primary data and
secondary data. Data collection techniques used are interviews and literature
studies in the form of books, laws, documents. In this study qualitative analysis
was used to analysis data.
Keywords: Criminal Responsibility, Corporate
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
“Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat
suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya
ia dengan kemajuan selangkah pun”
( Bung Karno)
“Orang yang berhasil akan mengambil manfaat dari kesalahan-kesalahan yang ia
lakukan, dan akan mencoba kembali untuk melakukan dalam suatu cara yang
berbeda”
(Dale Carnegie)
“Orang-orang yang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yang
harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka
menyukainya atau tidak”
( Aldus Huxley)
“Bersikaplah kukuh seperti batu karang yang tidak putus-putus-nya dipukul
ombak. Ia tidak saja tetap berdiri kukuh, bahkan ia menenteramkan amarah ombak
dan gelombang itu”
(Marcus Aurelius)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta dan terima kasih
kepada :
1. Allah SWT sang penguasa alam atas segala karunia, rahmat dan nikmat yang
telah diberikan- Nya;
2. Nabi Muhammad SAW, sebagai Uswatun Hasanah yang telah memberi suri
tauladan yang baik bagi umatnya;
3. Ayahanda dan Almh Ibunda Siti Rumiyati tercinta yang telah memberikan
kasih sayang, doa, motivasi, dan dukungan kepada Penulis dalam penyelesaian
skripsi ini;
4. Kakakku Hery Sutopo yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada
penulis;
5. Happy Pramana yang telah memberikan doa, dukungan, motivasi, cinta, kasih
sayang yang senantiasa diberikan untukku;
6. Bpk. Hasyim selaku Manajer Umum PT. Bangun Putra Remaja, yang telah
senantiasa membantu;
7. Sahabat- sahabatku yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini;
8. Teman- teman Fakultas Hukum UNS angkatan 2008;
9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini;
10. Almamaterku, Fakultas Hukum UNS yang telah member bekal ilmu
pengetahuan dan pengalaman untuk mengahadapi kehidupan yang
sesungguhnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang,
serta di iringi rasa syukur kehadirat Illahi Rabbi, penulisan hukum (Skripsi)
yang berjudul ”PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
OLEH PERUSAHAAN PELAYARAN PT BANGUN PUTRA REMAJA
DI PELABUHAN MERAK – BAKAUHENI KABUPATEN SERANG
ATAS TERBAKARNYA KAPAL MOTOR PENUMPANG LAUT
TEDUH II” dapat penulis selesaikan dengan lancar.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dan persyaratan
untuk meraih gelar Sarjana (S1) dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak
bimbingan, arahan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Allah SWT, atas segala rahmat dan karunianya;
2. Nabi Muhammad SAW, semoga penulis mendapat rahmat dijalannya;
3. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret, yang telah meberikan ijin dan kesempatan
kepada penulis untuk dapat melaksanakan Penulisan Hukum ini;
4. Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III yang
telah membantu dalam pemberian ijin dilakukannya penulisan ini;
5. Rehnalemken Ginting, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
sekaligus sebagai pembimbing skripsi yang telah bersedia menyediakan
waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi
penulis;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
6. Winarno Budyatmojo, S.H., M.S., selaku pembimbing skripsi yang
telah bersedia menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan dan arahan bagi penulis;
7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak
dapat saya sebutkan satu persatu atas semua ilmu pengetahuan yang
tiada terkira berharganya bagi hidup dan kehidupan penulis;
8. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum UNS;
9. Semua keluargaku, terutama ibuku yang selalu memberikan cinta,
kepercayaan, nasehat, dorongan, bantuan dan doa yang tiada henti,
semangat, salah satu motivatorku untuk segera lulus;
10. Semua teman-temanku yang telah banyak membantu dalam
penyusunan skripsi ini memberikan pemikiran dalam skripsi ini;
11. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas
semua bantuan baik materiil maupun imateriil.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Untuk itu
saran dan kritik dari pembaca penulis harapkan demi perbaikan penelitian ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak
yang berkepentingan dan yang membutuhkan.
Surakarta, 18 Juni 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………. i
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN …………………………. iii
HALAMAN PERNYATAAN …………………………. iv
ABSTRAK………………………………………………. v
ABSTRACT…………………………………………….. vi
HALAMAN MOTTO…………………………………… vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………….. viii
KATA PENGANTAR …………………………………. ix
DAFTAR ISI …………………………………………… xii
DAFTAR GAMBAR ……………………………… …… xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………….. 1
B. Rumusan Masalah………………... 4
C. Tujuan Penelitian……………….... 4
D. Manfaat Penelitian………………. 5
E. Metode Penelitian ……………….. 6
F. Sistematika Penulisan Hukum …… 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ……………………………………… 11
1. Tinjauan tentang Hukum Pidana……………... 11
2. Tinjauan tentang Korporasi…………………... 16
3. Tinjauan tentang Pertanggungjawaban
Pidana ………………………………………..... 22
4. Tinjauan tentang Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi…………………………… 28
B. Kerangka Pemikiran ……………………………… 38
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
A. Hasil Penelitian
1. Diskripsi PT. Bangun Putra Remaja ……………. 40
2. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi dalam Hukum Pidana……………….. 59
3. Pertanggungjawaban PT. Bangun Putra Remaja
Terhadap Korban Kecelakaan
Kapal Laut Teduh II …………………………... 73
B. Pembahasan
1. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi dalam Hukum Pidana ………………. 77
2. Pertanggungjawaban PT. Bangun Putra Remaja
Terhadap Korban Kecelakaan
Kapal Laut Teduh II ………………………….. 85
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ……………………………………… 89
B. Saran …………………………………………. 90
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Siklus Analisis Data ……………………………………. 9
Gambar 2. Kerangka Berpikir ……………………………………… 38
Gambar 3. Struktur Organisasi Manajemen Keselamatan
PT. Bangun Putra Remaja ……………………………… 42
Gambar 4. Struktur Organisasi Manajemen Keselamatan
Dalam Kapal …………………………………………… 43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Surat Ijin Penelitian kepada Pimpinan PT. Bangun
Putra Remaja Kantor Pusat di Merak.
Lampiran II Surat Ijin Penelitian Kepada Ketua Pengadilan
Negeri Serang.
Lampiran III Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Di
PT Bangun Putra Remaja.
Lampiran IV Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Di
Pengadilan Negeri Serang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Transportasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Dalam kaitan dengan kehidupan manusia transportasi
memiliki peranan signifikan dalam aspek sosial, ekonomi, lingkungan, politik dan
pertahanan keamanan. Transportasi memegang peranan penting dalam usaha
mencapai tujuan pengembangan ekonomi dalam suatu bangsa.
(http://waterforgeo.blogspot.com/2011/01/fungsi-dan-manfaat-transportasi.html)
Sehubungan dengan adanya transportasi, yang perannya lebih besar dan
sering digunakan yaitu transportasi melalui jalur laut, karena transportasi laut
memberikan konstribusi yang sangat besar bagi perekonomian dunia dalam hal
dapat mengangkut barang yang dapat diperkirakan sebanyak kurang lebih tujuh
miliaran ton setiap tahunnya serta dapat mengangkut penumpang yang jumlahnya
relatif banyak. Transportasi laut adalah sebagai mobilitas manusia, barang dan
jasa baik lokal, regional, nasional maupun international.
Kemajuan peradaban dan budaya manusia di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi terutama kecanggihan informasi, komunikasi bahkan transportasi sudah
mendunia dan seolah- olah tak terbatas sehingga kejadian di salah satu tempat
secara cepat dapat langsung segera diketahui.
Penggunaan transportasi laut tidak selamanya berjalan lancar yaitu
mengenai masalah lalu lintas melalui transportasi laut, ini bukan merupakan suatu
hal yang baru dari kehidupan manusia. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam
kehidupan sehari- hari manusia tidak dapat dipisahkan dengan alat transportasi
oleh karena itu keselamatan benda maupun nyawa harus di utamakan.
Sehubungan dengan itu pemerintah telah mengeluarkan peraturan mengenai
pelayaran yaitu Undang- undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Peraturan tersebut dimaksudkan karena transportasi mempunyai nilai penting
sebagai penghubung seluruh wilayah.
Kecelakaan lalu lintas laut saat ini sering terjadi, kecelakaan kapal
merupakan kejadian yang dialami oleh kapal yang dapat mengancam keselamatan
kapal dan/atau jiwa manusia berupa kapal tenggelam, kapal terbakar, kapal
tubrukan, dan kapal kandas. Sebagai contoh yang akan penulis kaji yaitu
mengenai terbakarnya KMP Laut Teduh 2 milik Perusahaan Pelayaran PT.
Bangun Putra Remaja tahun 2011 lalu yang mengakibatkan kurang lebih 266
korban luka-luka, 29 korban meninggal dunia serta 93 muatan baik itu berupa
sepeda motor, kendaraan pribadi, colt diesel, dan sebagainya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa persyaratan kelaiklautan kapal tidak terpenuhi, sebagaimana
yang terdapat dalam undang- undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran
menjelaskan bahwa kelaiklautan merupakan keadaan kapal yang memenuhi
persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal,
pengawakan, pemuatan, kesehatan dan kesejahteraan awak kapal, serta
penumpang dan status hukum kapal untuk berlayar diperairan tertentu.
Pasal yang sering digunakan karena kelalaian tersangka yaitu pasal 359
KUHP yang menyatakan bahwa “ Barang siapa karena kesalahannya
(kealpaannya) menyebabkan orang lain mati diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun” serta Pasal
360 ayat (1) dan (2) KUHP, yang menyatakan bahwa :
(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang
lain mendapat luka- luka berat, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
(2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang
lain luka- luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau
halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu
tertentu, diancam dengan pidana paling lama Sembilan bulan atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling
tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Sedangkan dalam Undang- undang nomor 17 tahun 2008 tentang
Pelayaran, pasal yang sering digunakan dalam kasus ini adalah Pasal 302 yang
menyatakan bahwa :
(1) Nahkoda yang melayarkan kapalnya sedangkan yang bersangkutan
mengetahui bahwa kapal tersebut tidak laik laut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000
(lima ratus juta rupiah ).
(2) jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan
kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000 ( lima ratus
juta rupiah).
(3) jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian seseorang dan kerugian harta benda di pidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp.1.500.000.000.000 ( satu miliar lima ratus juta rupiah).
Melihat banyaknya korban jiwa dalam kasus diatas, maka sudah
seharusnya hukum pidana memberikan sanksi yang sesuai dengan perbuatan yang
dilakukannya tersebut sehingga supremasi hukum benar- benar ditegakkan dan
tercipta ketertiban dalam masyarakat. Disamping itu, sanksi tersebut dimaksudkan
untuk memberikan efek jera terhadap pelaku sehingga tidak akan mengulangi
perbuatannya dimasa mendatang serta mencegah orang lain agar tidak melakukan
kejahatan tersebut karena suatu ancaman sanksi yang cukup berat.
Berdasarkan kenyataan- kenyataan yang terjadi tersebut, maka penulis
tertarik untuk mengambil judul: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
KORPORASI OLEH PERUSAHAAN PELAYARAN PT. BANGUN PUTRA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
REMAJA DI PELABUHAN MERAK – BAKAUHENI KABUPATEN SERANG
ATAS TERBAKARNYA KAPAL MOTOR PENUMPANG LAUT TEDUH II
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang digunakan untuk mengetahui dan menegaskan
masalah- masalah apa yang hendak di teliti, sehingga memberikan kemudahan
dalam mencapai sasaran yang akan di capai. Mengacu pada latar belakang yang
telah di uraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini
sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi menurut hukum
pidana?
2. Bagaimana pertanggungjawaban PT Bangun Putra Remaja terhadap korban
kecelakaan kapal laut teduh II?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan target yang ingin di capai sebagai solusi atas
masalah yang di hadapi (tujuan obyektif), maupun untuk memenuhi kebutuhan
perorangan (tujuan subyektif). Dari permasalahan di atas maka penulis
menetapkan tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan pertanggungjwaban pidana
korporasi menurut Hukum Pidana.
b. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjwaban PT. Bangun Putra
Remaja terhadap korban kecelakaan kapal laut teduh II.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperdalam pengetahuan dan wawasan penulis di bidang Hukum
Pidana pada umumnya, serta memperdalam pengetahuan penulis mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi atas terbakarnya Kapal Motor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Penumpang Lautan teduh 2 di pelabuhan Merak- Bakauheni Kabupaten
Serang.
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar
kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum di fakultas hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian berharap kegiatan penelitian yang di laksanakan dalam penulisan
hukum ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain. Adapun manfaat
yang dapat di peroleh dari penulisan hukum ini antara lain :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil Penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat dalam
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan Hukum Pidana pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini di harapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam dunia kepustakaan tentang pertanggungjawaban
pidana korporasi atas terbakarnya Kapal Motor Penumpang.
c. Hasil ini dapat di pakai sebagai acuan terhadap penulisan maupun
penelitian sejenis.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat di pakai memberikan masukan
bagi semua pihak yang berkepentingan dan menjawab permasalahan
yang sedang di teliti.
b. Hasil penelitian ini di harapkan dapat menjadi wahana bagi penulis
untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir ilmiah
sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan
ilmu yang telah di peroleh selama proses belajar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
E. Metode Penelitian
Metode penelitian dalam sebuah penelitian mempunyai
peranan yang sanganat penting karena dapat dipergunakan sebagai
pedoman untuk mempermudah dalam mempelajari, menganalisa
dan memahami permasalahan yang sedang diteliti. Dengan
demikian metodologi penelitian merupakan unsur yang mutlak
harus ada dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
(Soerjono Soekanto,2010 :7).
1. Jenis penelitian
Berdasarkan judul dan rumusan masalah, penelitian
dikategorikan menjadi penelitian empiris. Penelitian hukum
empiris adalah penelitian hukum yang menggunakan data hukum
primer sebagai data utama, dimana penulis terjun langsung
melakukan penelitian pada data primer dilapangan. Dengan
penelitian langsung kelapangan maka akan memperoleh data- data
yang faktual dan nyata.
2. Sifat penelitian
Dalam penelitian ini, penulis memilih penelitian deskriptif
yaitu suatu penelitian yang memberikan gambaran atau pemaparan
atas subyek dan obyek penelitian sebagaimana hasil yang
dilakukannya ( Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad,
2010 : 183).
Berdasarkan pengertian sifat penelitian tersebut, maka
penelitian yang akan dilaksanakan merupakan penelitian yang
bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk
menggambarkan dan mengurkait dengan penelitian yang akan
dilaksanakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
3. Pendekatan penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif,
yaitu pendekatan yang digunakan oleh peneliti dengan maksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-
lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-
kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Lexi J Moleong,
2007: 6).
4. Lokasi penelitian
Untuk menentukan lokasi pastinya membutuhkan
pertimbangan tertentu. Hal ini guna untuk memfokuskan
penelitian. Dalam penelitian hukum ini, penulis meneliti langsung
kelokasi Perusahaan Pelayaran PT. Bangun Putra Remaja
Pelabuhan Merak di Kabupaten Serang dan Pengadilan Negeri
Serang.
5. Jenis data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer merupakan data atau fakta – fakta yang diperoleh
langsung dari sumber pertama melalui penelitian lapangan
termasuk keterangan dari responden yang berhubungan dengan
obyek penelitian, sehingga dapat memperoleh hasil yang
sebenarnya dari obyek yang diteliti. Data primer dalam penelitian
ini dilakukan di Perusahaan Pelayaran PT. Bangun Putra Remaja di
Pelabuhan Merak kabupaten Serang dan Pengadilan Negeri Serang.
b. Data Sekunder
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Data sekunder merupakan data yang menunjang dan mendukung
data primer, data ini diperoleh melalui studi kepustakaan, buku-
buku literatur, tulisan ilmiah, Koran, majalah, peraturan
perundang- undangan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan
penelitian ini.
6. Teknik analisis bahan hukum
Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk
mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Analisis data
adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah- milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Lexy J
Moleong, 2007: 248).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis
data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data- data,
mengkualifikasikan kemudian menghubungkan dengan teori yang
berhubungan dengan masalah dan menarik kesimpulan untuk
menentukan hasil. Analisis data merupakan langkah selanjutnya
untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Model
analisis data yang dipergunakan dalam penelitian adalah model
interaktif, yaitu data dikumpulkan dalam berbagai macam cara
misalnya wawancara dan dokumen kemudian diproses dalam tiga
alur verifikasi. Model tersebut dilakukan suatu proses siklus antar
tahap sehingga data yang terkumpul akan berhubungan dengan satu
dengan yang lain dan juga data benar- benar mendukung
penyusunan laporan penelitian (HB. Sutopo,2002:35)
Menurut HB Sutopo dasar analisa data untuk menemukan kesimpulan,
meliputi :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
a. Reduksi Data, yaitu proses seleksi, penyederhanaan data, mempertegas,
memfokuskan yang didapatkan penelitian dilapangan.
b. Penyajian data, yaitu sekumpulan informasi tersusun dalam suatu
kesatuan bentuk yang disederhanakan, selektif dalam konfigurasi yang
mudah dipakai, sehingga diberi kemudahan untuk menyimpulkan.
c. Menarik Kesimpulan, setelah data terkumpul, kemudian direduksi yang
berupa seleksi dan penyederhanaan data yang berlangsung terus menerus
selama pemilihan data dan kemudian diambilah kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Dalam penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang masing- masing terdiri
dari subbab sesuai pembahasan dan materi yang di teliti.
Sistematika penulisan yang dimaksud sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Reduksi data Penyajian data
Penarikan kesimpulan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
BAB I : PENDAHULUAN
Pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Menguraikan tinjauan pustaka yang meliputi tinjauan tentang Hukum
Pidana, Tinjauan tentang Korporasi, Tinjauan tentang
Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan tentang Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi hasil dari penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan
pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi menurut hukum pidana
dan pertanggungjawaban PT Bangun Putra Remaja terhadap korban
kecelakaan kapal laut teduh II di Pelabuhan Merak- Bakauheni Kabupaten
Serang.
BAB IV : PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian dan pembahasan yang
dilakukan oleh penulis.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Mengenai Hukum Pidana
a. Pengertian Hukum Pidana
Menurut Moeljatno, Hukum Pidana adalah bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang
mengadakan dasar- dasar dan aturan- aturan untuk :
1) Menentukan perbuatan- perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang dengan di sertai ancaman atau sanksi
yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan
tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang
telah melanggar larangan- larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang di sangka telah melanggar
larangan tersebut.
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara. Bagian lain- lain adalah hukum perdata,
hukum tata negara, dan tata pemerintahan, hukum agraria, hukum
perburuhan, hukum integral, dan sebagainya. Perbuatan yang oleh
hukum pidana dailarang dan di ancam dengan pidana (kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
barang siapa yang melanggar larangan tersebut) dinamakan delik
atau perbuatan pidana.
Menurut Utrecht dalam bukunya Leerboek Nederlands
Strafecht 1937, hukum pidana adalah keseluruhan perintah- perintah
dan larangan- larangan yang diadakan oleh negara dan yang
diancam dengan suatu nestapa (pidana) barang siapa yang tidak
menaatinya, keseluruhan aturan- aturan yang menentukan syarat-
syarat bagi akibat hukum itu dan keseluruhan aturan- aturan untuk
menjatuhi dan menjalankan pidana tersebut.
Van Hamel mengutarakan bahwa hukum pidana adalah
dasar- dasar dan aturan- aturan yang dianut oleh susatu negara
dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu
dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan
mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-
larangan tersebut.
Dari pengertian diatas yang dikemukakan oleh Moeljatno di
tegaskan bahwa:
Pertama, bahwa hukum pidana adalah bagian keseluruhan
hukum yang berdiri sendiri. Dengan ini di tolak pendapat bahwa
hukum pidana adalah bergantung pada bagian- bagian hukum
lainnya dan hanya memberi sanksi saja pada perbuatan – perbuatan
yang telah dilarang dalam bagian- bagian hukum lainnya itu.
Hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat
memperkuat berlakunya norma- norma hukum yang telah ada. Akan
tetapi tidak mengadakan norma baru. Anggapan di atas sesuai
dengan Straf baar feit yaitu “dapat di pidananya orang yang
melakukan perbuatan”.
Kedua, sesuai dengan definisi tersebut maka yang
terpenting dalam hukum pidana adalah bukan saja memidana si
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
terdakwa akan tetapi harus di tetapkan apakah terdakwa benar
melakukan perbuatan pidana atau tidak, dan aspek hukum pidana
yaitu menentukan apakah perbuatan seseorang merupakan
perbuatan pidana atau bukan dan kemudian menentukan apakah
orang yang melakukan perbuatan itu dapat di pertanggungjawabkan
karena perbuatan tersebut atau tidak, hal tersebut tidak boleh di
campuradukkan karena masing- masing ini sifatnya berlainan.
Adanya perbutan pidana di dasarkan atas asas” tidak ada perbuatan
pidana jika sebelumnya tidak dinyatakan sebagai sebagai demikian
oleh suatu ketentuan undang- undang ( Nullum delictum, nulla
poena sine praevia lege)” sedangkan penanggung jawab dalam
hukum pidana adalah asas “ Tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan”.
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini
adalah hukum pidana yang telah di kodifikasi, yaitu sebagian besar
aturannya sudah di susun dalam satu kitab undang- undang
(weetboek) yang dinamakan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.
Selain hukum pidana telah dikodifikasi, bagian hukum ini juga telah
diunifikasi , yaitu berlaku untuk semua golongan rakyat, sehingga
tidak ada dualisme seperti dalam hukum perdata.namun sehubungan
dengan itu Moeljatno menegaskan dalam bukunya “ Asas- asas
Hukum Pidana” pernyataan bahwa Hukum pidana telah di
kodifikasi dan di unifikasi sesungguhnya tidaklah tepat, karena
untuk beberapa daerah diluar daerah Jawa masih ada pengadilan-
pengadilan adat dan pengadilan swapraja untuk mereka yang
yustisiabel kepada pengadilan tersebut antara lain juga masih
berlaku hukum adat. Namun pada saaat ini pengadilan adat dan
pngadilan swapraja sudah di hapus telah di hapus berdasarkan
Undang- Undang Darurat 1951 Nomor 1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
b. Pembagian Hukum pidana
Hukum Pidana dapat di bagi sebagai berikut :
1) Hukum pidana objektif (Jus Punale ) ialah semua peraturan yang
mengandung keharusan atau larangan, terhadap pelanggaran diancam
dengan hukuman yang bersifat siksaan. Hukum pidana objektif dibagi
dalam hukum pidana material dan hukum pidana formal.
a) Hukum Pidana Material berisi tentang peraturan yang
menjelaskan apa yang dapat dihukum, siapa yang dapat
dihukum dan bagaimana orang dapat dihukum. Kemudian
terbagi lagi menjadi:
(1) Hukum pidana umum yaitu hukum pidana yang
berlaku terhadap setiap penduduk (belaku untuk
siapapun yang berada di wilayah Indonesia) kecuali
anggota tentara.
(2) Hukum Pidana Khusus ialah hukum pidana yang
berlaku khusus untuk orang- orang tertentu.
b) Hukum Pidana Formal ialah hukum pidana yang mengatur
cara- cara menghukum seseorang yang melanggar
peraturan pidana, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum
pidana formal merupakan pelaksanaan Hukum Pidana
Material atau memelihara hukum pidana material, karena
isi dari hukum pidana formal ini berisi tentang cara – cara
menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana
atau dapat juga disebut dengan Hukum Acara Pidana.
2) Hukum Pidana Subjektif (Ius Puniendi) dalam arti luas ialah hak dari
negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau
mengancam pidana terhadap perbuatan. Sedangkan dalam arti sempit
yaitu hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbutan yang
dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-badan peradilan.
c. Fungsi Hukum Pidana
Hukum Pidana memiliki fungsi sebagai berikut :
1) Melindungi kepentingan umum dari perbuatan – perbuatan yang
menyerang kepentingan umum tersebut. Kepentingan hukum yang harus
didalam fungsi pertama hukum pidana adalah:
a) kepentingan hukum perseorangan yaitu kepentingan hukum
seseorang sebagai subyek hukum seseorang sebagai subyek
hukum secara pribadi misalnya kepentingan hukum
terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas hak
milik benda dan sebagainya.
b) kepentingan hukum masyarakat misalnya kepentingan
hukum terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban
berlalu lintas di jalan raya dan sebagainya.
c) kepentingan hukum negara misalnya kepentingan hukum
terhadap keamanan negara, kepentingan hukum terhadap
martabat kepala negara dan wakilnya dan sebagainya.
2) Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan
fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi, fungsi
kedua dari hukum pidana sebagai hukum publik ini yaitu menegakkan
dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana
dengan sebaik- baiknya, fungsi ini terutama terdapat dalam hukum acara
pidana yang telah telah dikodifikasikan yaitu Kitab Undang- Undang
Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981) yang
mengatur tentang apa yang dapat dilakukan negara dan bagaimana cara
negara mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum
pidana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
3) Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara
menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi.
Fungsi ketiga ini adalah fungsi dari hukum pidana yang membatasi negara
dalam melaksanakan fungsi kedua dari hukum pidana tadi, yaitu
membatasi kekuasaan negara agar negara sendiri tidak sewenang- wenang
dalam menjalankan kekuasaan.
2. Tinjauan Mengenai Korporasi
a. Pengertian Korporasi
Secara harfiah korporasi (corporatie, Belanda), coporation
(inggris), Coporation (Jerman) berasal dari kata “ corporation” dalam
bahasa latin. Seperti halnya dengan kata- kata lain yang berakhiran dengan
“tio”, “corporatio” sebagai kata benda (subtantivum) berasal dari kata kerja
“corporate” . Coporate sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia=
Badan) yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan
demikian Corporatio itu berasal dari hasil pekerjaan membadankan. Badan
yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia
sebagai lawan terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam.
Secara istilah korporasi diartikan sebagai suatu gabungan orang
yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama- sama sebagai subjek
hukum tersendiri atau suatu personifikasi (Mahrus Ali, 2008: 13-14).
Satjipto Rahardjo mendefinisikan korporasi sebagai suatu badan
hasil ciptaan hukum. Badan hukum yang diciptakannya itu sendiri dari
“corpus” , yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan
unsur “animus” yang membuat badan hukum itu mempunyai kepribadian.
Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum , kecuali
penciptaannya, kematiannya pun juga di tentukan oleh hukum.
Sementara itu, dalam blacks law Dictionary antara lain diberi
penjelasan sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Corporation An artificial person or legal entity created by or under
the authority of the laws of a state or nation, composed, in some
rare instances, of a single person and his succesors, being the
incumbents of a particular office, but ordinarily consisting of an
association of numerous individuals.
Lebih lanjut dalam blacks law Dictionary dikemukakan antara lain :
According to the accepted definitions and rules, a corporation are
classified as follows: Public and private. A public corporation is
one created by the state for political purposes and to act as an
agency as administration of civil government, generally within a
particular territory or subdivision of the state, and usually invested
for that purpose with subordinate and local powers of legislation ;
such as a country city, town, or school district . There are also
sometimes called ” political corporation”
Private corporation are those founded by and composed of private
individuals for privates purposes, as distinguished from
governmental purposes , and having no politicalor governmental
franchises or duties.
Selain dapat dibedakan sebagai badan hukum publik dan badan hukum
swasta korporasi dapat diberi arti sempit maupun yang luas. Menurut artinya
yang sempit, korporasi adalah badan hukum. Dalam artinya yang luas
korporasi dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dalam hukum pidana korporasi mempunyai ruang lingkup yang lebih
luas dibandingkan dengan hukum perdata, di Indonesia perkembangan
korporasi sebagai subyek tindak pidana terjadi diluar KUHP, dalam
perundang-undangan khusus. Adapun subyek tindak pidana korporasi dapat
ditemukan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika
pasal 1 ayat 13, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika,
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 pasal 1 angka 1 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-
undang Nomor 15 Tahun pasal 1 angka 2 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang Yang pada intinya menyatakan:
“Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir baik
merupakan badan hukum maupun badan hukum”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Pengertian Korporasi dalam hukum pidana berarti sangat luas,
tidak hanya berbentu badan hukum saja, melainkan juga yang bukan badan
hukum. Jadi tidak hanya yang berbentuk badan huku saja seperti:
1) Perseroan Terbatas;
2) Yayasan;
3) Koperasi sebagai Korporasi
Sedangkan pengertian korporasi dalam hukum pidana yang tidak
termasuk badan hukum antara lain :
1) Firma;
2) Perseroan Komanditer ;
3) Persekutuan;
4) Dan bahkan sekumpulan orang (Supanto,2010:259).
Sebagai badan hukum, perseroan memenuhi unsur- unsur badan
hukum seperti yang di tentukan dalam UUPT. Unsur -unsur tersebut adalah:
a) Organisasi yang teratur;
b) Harta kekayaan sendiri;
c) Melakukan hubungan hukum sendiri;
d) Mempunyai tujuan sendiri.
Pendirian Hukum Pidana Belanda juga mengartikan Korporasi bukan
hanya badan hukum, tetapi juga bukan badan hukum. Merujuk kepada ayat 3
pasal 51 Sr. Belanda, yang dinamakan dengan korporasi adalah persekutuan
bukan badan Hukum, de maatschap (persekutuan perdata), de rederij
(perusahaan perkapalan) dan het doelvermogen (harta kerkayaan yang
dipisahkan demi pencapaian tujuan tertentu; social fund atau yayasan ). Selain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
itu mencakup persekutuan bukan badan hukum seperti vennootschap onder
firma (perseroan firma), dan commanditaire vennootschap (CV; perseroan
komanditer).
Dalam Rancangan KUHP tahun 1987/1988, korporasi dalam Buku 1
pasal 120 adalah sebagai berikut :
“Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang atau kekayaan baik
merupakan badan hukum ataupun bukan”.
Dengan demikian sudah sejak 1987 korporasi didalam pemikiran para
ahli hukum pidana, tidak hanya diartikan badan hukum seperti pengertian
korporasi dalam hukum perdata tetapi juga yang bukan badan hukum.
RUU KUHP 2004 memberikan pengertian korporasi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 166 sebagai berikut :
“Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.
Pendirian bahwa korporasi dalam pengertian hukum pidana bukan
hanya terbatas pada badan hukum seperti halnya pendirian hukum perdata,
tetapi juga non badan hukum yang bukan orang perseorangan sebagaimana
dianut dalam RUU KUHP 1987/1988, RUU KUHP 1999-2000, dan terakhir
dalam RUU KUHP 2004 tampak pula dalam berbagai peraturan perundang-
undangan pidana Indonesia yang dibuat belakangan.
Dalam kenyataan kemasyarakatan dewasa ini, bukan hanya manusia
saja yang oleh hukum diakui sebagai subbyek hukum. Sekarang dalam hukum
juga diberikan pengakuan sebagai subyek hukum pada yang bukan manusia.
Subyek hukum yang bukan manusia itu disebut badan hukum (legal person).
jadi badan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban berdasrkan hukum
yang bukan manusia, yang dapat menuntut atau dapat subyek hukum lain di
muka pengadilan. Ciri- ciri sebuah badan hukum adalah :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
1) Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang- orang
yang menjalankan kegiatan dari badan- badan hukum tersebut;
2) Memiliki hak – hak dan kewajiban- kewajiban yang terpisah dari hak-
hak dan kewajiban- kewajiban orang- orang yang menjalankan kegiatan
badan hukum tersebut;
3) Memiliki tujuan tertentu;
4) Berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya
tidak terikat pada orang- orang tertentu, karena hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tetap ada meskipun orang- orang yang menjalankannya
berganti.
Menurut ketentuan Undang-undang, eksistensi badan hukum di
Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu :
1) Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah (penguasa negara)
Untuk kepentingan negara dalam menjalankan pemerintahan.
2) Badan hukum yang diakui oleh pemerintah (penguasa negara)
Umumnya bertujuan memperoleh keuntungan atau kesejahteraan
masyarakat melalui kegiatan usaha tertentu,seperti perseroan terbatas
dan koperasi.
3) Badan hukum yang diperbolehkan atau untuk suatu tujuan tertentu
yang bersifat ideal.
Badan hukum tersebut, seperti yayasan pendidikan, yayasan sosial,
yayasan keagamaan, dan yayasan kemanusiaan.
Ditinjau dari wewenang hukum yang diberikan kepda badan
hukum, maka badan hukum dapat pula diklasifikasikan menjadi dua
jenis, yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
1) Badan hukum Publik;
2) Badan hukum Privat;
Di Indonesia kriteria yang dipakai untuk menentukan sesuatu
badan hukum termasuk badan hukum publik atau termasuk badan
hukum privat ada 2 (dua) macam:
1) Berdasarkan terjadinya, yaitu badan hukum privat didirikan oleh
perseorangan, sedangkan badan hukum publik didirikan oleh
pemerintah atau negara;
2) Berdasarkan lapangan kerjanya, yaitu apakah lapangan
pekerjaannya itu untuk kepentingan umum atau tidak. Kalau
lapangan pekerjaannya untuk kepentingan umum, maka badan
hukum tersebut merupakan badan hukum publik. Tetapi kalau
lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan, maka
badan hukum itu termasuk badan hukum privat.
Korporasi sebagai badan hukum bukan muncul begitu saja , artinya
bukan muncul demi hukum. Korporasi sebagai badan hukum bukan ada
dengan sendirinya, tetapi harus ada yang mendirikan yaitu oleh pendiri
atau pendiri- pendirinya yang menurut hukum perdata diakui memiliki
kewenangan secara hukum untuk dapat mendirikan korporasi (Sutan
Remy Syahdeni,2006:43).
Dalam perkembangannya korporasi tidak hanya bergerak di bidang
kegiatan ekonomi saja, akan tetapi sekarang ruang lingkupnya sudah
meluas karena dapat mencakup bidang pendidikan, kesehatan, riset ,
pemerintahan, sosial, budaya dan agama. Perkembangan itu sendiri tidak
dapat lepas dari peranan perkembangan teknologi itu sendiri, karena
perkembangan dan pertumbuhan korporasi dampaknya dapat
menimbulkan efek negatif, maka kedudukan korporasi mulai bergeser dari
subjek hukum biasa menjadi subjek hukum pidana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Sebagai contoh di Malaysia Kejahatan korporasi telah menyebabkan
kebanyakan organisasi menderita berbagai bentuk kerusakan tersebut
sebagai hilangnya aset dan reputasi, penurunan motivasi staf, dan
hubungan bisnis yang rusak. Kasus kejahatan korporasi dilaporkan setiap
tahun berada pada tren dan telah semakin menjadi masalah serius di
Malaysia. Fenomena ini secara empiris didukung oleh sejumlah survei,
misalnya KPMG Malaysia penipuan survei (KPMG, 2005) menemukan
peningkatan dari 33% responden mengalami penipuan dalam organisasi
mereka, dibandingkan dengan survei 2002.
3. Tinjauan Mengenai Pertanggungjawaban Pidana
a. Masalah pertanggungjawaban Pidana
Mengenai pertanggungjawaban pidana, ada dua pandangan yaitu
pandangan yang monistis antara lain di kemukakan oleh simon yang
merumuskan “suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan
hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang
bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya.
Sedangkan menurut pandangan aliran monisme unsur – unsur starfbaar
feit itu meliputi baik unsur perbuatan yang lazim disebut dengan unsur
obyektif, maupun unsur pembuat yang lazim disebut unsur subyektif (
Muladi dan Dwija Priyatna, 2009: 61).
Asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah
“tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen starf zonder schuld; Actus
non facit reum nisi mens rea)”. Asas ini tidak tersebut dalam hukum
tertulis tetapi dalam hukum yang tidak tertulis yang juga di Indonesia
berlaku.
Pertanggungjawaban pidana tanpa ada kesalahan dari pihak yang
melanggar dinamakan leer van het materiele feit (fait materiele). Begitu
juga bagi delik jenis overtredingen, berlaku asas tanpa kesalahan, tidak
mungkin dipidana. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apabila ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
orang yang jatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah. Pasal 6
ayat (2) Undang- undang Nomor 4 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa :
Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan
karena alat pembuktian yang sah menurut Undang- undanag
mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan
atas dirinya.
Dari bunyi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur
kesalahan sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang yaitu berupa
penjatuhan pidana. Untuk memberikan arti tentang kesalahan yang
merupakan syarat untuk menjatuhkan pidana, di jumpai beberapa pendapat
sebagai berikut :
1) Mezger mengemukakan : kesalahan adalah keseluruhan syarat yang
memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap sipembuat
pidana.
2) Simons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “ social
ethisch” dan juga mengatakan : ”sebagai dasar untuk
pertanggungjawaban dalam hukum pidana ia berupa keadaan psikis
(jiwa) dari si pembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya
dan dalam arti bahwa berdasarkan psikis itu perbuatannya
dicelakakan kepada sipembuat.”
3) Van Hamel mengartikan bahwa, “kesalahan dalam suatu delik
merupakan pengertian psychologis, perhubungan antara keadaan
jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur- unsur delik karena
perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungan jawab dalam
hukum.
Mengenai bentuk kesalahan :
a) Sengaja, Bahwa orang dapat diakatakan mempunyai kesalahan,
jika pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan
perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk
mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut.
b) Kelalaian, seseorang dapat dapat diakatakan melakukan
perbuatan pidana apabila dia, meskipun tidak sengaja
dailakukan tetapi terjadinya perbuatan tersebut dimungkinkan
karena dia alpa atau lalai terhadap kewajiban- kewajiban yang
dalam hal tersebut,oleh masyarakat dipandang seharusnya
dijalankan olehnya. Disini celaan berupa kenapa tidak
menjalankan kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan
olehnya dalm hal itu, sehingga karenanya masyarakat dirugikan.
Perbuatan ini terjadi karena kealpaan.
c) Selain itu, seseorang dapat melakukan perbuatan pidana pada
hal tidak mungkin dikatakan bahwa ada kesengajaan atau
kealpaan, sehingga dia tidak dapat dicela apa- apa. Misalnya
orang yang mengendarai mobil, dia sudah menjalankan
kewajiban- kewajiban yang diharuskan padanya oleh peraturan
lalu lintas, tetapi malang sekali, ada anak yang tiba- tiba
memotong jalan sehingga ditabrak oleh mobilnya dan
meninggal dunia. Disini tidak dapat dicelakan apa- apa kepada
pengemudi mobil sebab perbuatan yang mngakibatkan matinya
anak tersebut sama sekali tidak di sengaja ataupun karena
kealpaan. Disini dia dianggap tidak mempunyai kesalahan.
Untuk adanya kesalahan harus dipikirkan dua hal disamping
melakukan perbuatan pidana yaitu:
a) Adanya keadaan psikis (bathin) yang tertentu;
b) Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut
dengan perbuatan yang dilakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan dinamakan delik
dolus, sedangkan yang dilakukan dengan kealpaan dinamakan delik culpa.
Delik culpa ini sendiri menurut wujudnya dibagi menjadi dua macam yaitu
: delik culpa yang sesungguhnya dan delik culpa yang tidak sesungguhnya.
Delik material, dimana akibat yang dilarang tidak di insafinya lebih dulu
bahwa akan terjadi atau dengan kata lain tidak sengaja oleh terdakwa,
tetapi akibat tersebut mungkin akan bisa timbul mungkin karena dia alpa
atau lalai. Selanjutnya delik formal dimana suatu unsur tidak dimengerti
sebagai demikian, tetapi cukuplah kalau tidak di insafi unsur tersebut
disebabkan karena kealpaan atau kelalaian.
Untuk adanya kesalahan antara keadaan batin dan perbuatan harus
berupa kesengajaan atau kealpaan. Kesengajaan dan kealpaan adalah
bentuk dari kesalahan.
Untuk adanya kesalahan terdakwa harus memenuhi :
a) Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);
b) Mampu bertanggung jawab;
c) Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan
atau kealpaan;
d) Tidak ada alasan pemaaf.
Alasan pemaaf ini maksudnya adalah alasan yang menghapuskan
kesalahan dari terdakwa. Jadi, tidak adanya alasan pemaaf tentu berati
tidak adanya alasan untuk menghapuskan kesalahan terdakwa. Menurut
Sudarto alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa
orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia
tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun
perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi, disini ada alasan yang
menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin ada
pemidanaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Sering dikatakan bahwa kesengajaan adalah kesalahan yang besar,
sedangkan kealpaan atau kelalaian adalah kesalahan yang kecil. Karenanya
di dalam KUHP sistemnya ialah bahwa delik – delik dolus diancam
dengan pidana yang jauh lebih besar dari pada ancaman pidana bagi yang
culpa.
Sehubungan mengenai pertanggungjawaban pidana, Barda
Nawawi Arief menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban
pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan lebih dahulu siapa
yang dinyatakan sebagai pembuat untuk satu tindak pidana tertentu.
b. Kemampuan bertanggung jawab
Untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada :
1) Kemampuan untuk membeda- bedakan antara perbuatan yang baik dan
yang buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hukum (faktor akal).
2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang
baik dan buruknya suatu perbuatan (faktor perasaan atau kehendak).
Menurut Simons, kemampuan bertanggung jawab bisa diartikan
sebagai suatu keadaan psikis sedemikian, yang membenarkan adanya
penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun
orangnya. Seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yaitu
apabila :
a) ia mampu untuk mengetahui akan menyadari bahwa perbuatannya
bertentangan dengan hukum.
b) ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
Dalam suatu bentuk kesalahan terdapat kesengajaan maupun
kealpaan. Sehubungan dengan kesengajaan terdapat dua pandangan, antara
lain :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
a) Teori kehendak, yang dikemukakan oleh Von Hippel : sengaja adalah
kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu
akibat karena tindakan itu. Dengan kata lain “sengaja “ adalah apabila
suatu akibat suatu tindakan dikehendaki, apabila akibat itu menjadi
maksud benar- benar dari tindakan yang dilakukan tersebut.
b) Teori membayangkan, yang dikemukakan oleh Frank : menurutnya
sengaja adalah apabila suatu akibat ( yang ditimbulkan karena suatu
tindakan) dibayangkan sebagai maksud (tindakan itu) dan oleh sebab itu
tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang
lebih dahulu telah dibuat tersebut.”
Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan, KUHP sendiri tidak
memberi definisi lain halnya dengan kesengajaan. Kealpaan merupakan
bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan akan tetapi bukan
kesengajaan yang ringan. Syarat untuk adanya kealpaan menurut Van
Hamel, antara lain :
(1) Tidak mengadakan penduga- duga sebagaimana yang diharuskan
oleh hukum.
(2) Tidak mengadakan penghati- hati sebagaimana yang diharuskan
oleh hukum.
Sikap kurang hati- hati atau lalai yang menyebabkan orang mati
dan luka- luka biasanya dikenakan pasal 359 KUHP dan 360 KUHP. Pasal
359 yang menyatakan bahwa barang siapa karena salahnya menyebabkan
matinya orang di hukum penjara selama- lamanya lima tahun atau kurungan
selama- lamanya satu tahun. Apabila menyebabkan luka saja maka
dikenakan pasal 360 KUHP yang menyatakan bahwa:
(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang
lain mendapat luka- luka berat, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
(2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang
lain luka- luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau
halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu
tertentu, diancam dengan pidana paling lama Sembilan bulan atau
pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling
tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Untuk “luka ringan” tidak termasuk dalam pasal ini. Pasal 361
mengancam hukuman yang lebih tinggi yaitu ancaman hukuman di
tambah dengan sepertiga apabila perisstiwa dalam pasal 359 KUHP dan
360 KUHP ini dilakukan oleh orang yang melakukan jabatan atau
pekerjaannya misalnya tabib, bidan, ahli, masinis dan lain- lain, artinya
jika mereka itu dalam menjalankan tugas yang kurang berhati- hati,
sehingga mengakibatkan mati atau luka- luka tersebut di atas.
4. Tinjauan Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
a. Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dalam hukum positif sudah
diakui, bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dapat
dijatuhkan pidana. Di negara Belanda untuk menentukan korporasi sebagai
pelaku tindak pidana berdasarkan pada Arrest “kleuterschool Babel”, yang
menyatakan bahwa perbuatan dari perorangan/ orang pribadi yang dapat
dibebankan pada badan hukum/ korporasi apabila perbuatan tersebut
perbuatan tersebut tercermin dalam lalu lintas sosial sebagai perbuatan dari
badan hukum. Sehubungan dengan berbagai kerusakan yang merugikan
masyarakat, tidaklah apabila perusahaan- perusahaan tidak dapat dijatuhi
pidana sekalipun perbuatan yang menimbulkan kerusakan atau kerugian
bagi masyrakat itu adalah perbuatan para pengurusnya.
Kedudukan Korporasi sebagai subjek hukum pidana mengalami
perkembangan secara bertahap, antara lain dapat di bagi menjadi tiga tahap :
1) Tahap pertama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Tahap ini ditandai dengan usaha- usaha agar sifat delik yang dilakukan
korporasi dibatasi pada perorangan. Sehingga apabila suatu tindak pidana
terjadi dalam korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan
oleh pengurus korporasi tersebut. Dalam tahap ini membebankan “tugas
mengurus” kepada pengurus.
2) Tahap Kedua
Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul setelah Perang
Dunia I dalam perumusan undang- undang bahwa suatu tindak pidana,
dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi).
Tanggung jawab untuk itu juga menjadi beban dari pengurus badan
hukum tersebut. Dalam tahap ini korporasi dapat juga sebagai pembuat
delik, akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para anggota
pengurus, asal asaja dengan tegas dinyatakan demikian dalam peraturan
itu.
3) Tahap Ketiga
Tahap ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang langsung
dari korporasi yang dimulai pada waktu dan sesudah Perang Dunia II.
Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan
meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana.
Penempatan korporasi sebagai subjek hukum pidana sampai
sekarang masih menjadi permasalahan, sehingga timbul sikap pro dan
kontra terhadap subjek hukum pidana korporasi. Adapun yang kontra
mengemukakan alasan sebagai berikut:
a) Menyangkut masalah kejahatan yang sebenarnya kesengajan dan
kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah;
b) Bahwa tingkah laku materiil yang merupakan syarat dapat dipidananya
beberapa macam delik, hanya dapat dilaksanakan oleh persona
alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, dan sebagainya).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
c) Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang,
tidak dapat kepada korporasi ;
d) Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan
sendirinya mungkin menimpa orang yang tidak bersalah; dan
e) Bahwa dalam praktiknya tidaklah mudah menentukan norma- norma
atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau
korporasi itu sendiri atau kedua- duanya harus dituntut dan dipidana.
Sedangkan yang pro menempatkan koprorasi sebagai subjek hukum pidana
menyatakan:
a) Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan
represi terhadap delik- delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu
korporasi. Karenanya pula dimungkinkan untuk memidana koprorasi,
koporasi dan pengurus, atau pengurus saja ;
b) Mengingat dalam kehidupan sosial dan ekonomi ternyata korporasi
semakin memainkan peranan yang penting.
c) Hukum pidana harus mempunyai fungsi dalam masyarakat, yaitu
melindungi masyarakat dan menegakkan norma- norma dan ketentuan
yang ada dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya ditekankan
pada segi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia, maka tujuan
itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu
menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi.
e) Dipidananya korporasi dengan ancaman pidana adalah salah satu upaya
untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai
korporasi itu sendiri.
b. Ajaran Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Ada beberapa ajaran pokok yang menjadi landasan bagi pembenaran
dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, ajaran- ajaran
tersebut antara lain :
1) Doctrine of strict liability
Salah satu pemecahan praktis bagi masalah pembebanan
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja
di lingkungan suatu korporasi kepada korporasi tempat ia bekerja adalah
dengan menerapkan Doctrine of strict liability. Menurut doktrin ini
pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak
pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan
pada pelakunya.
Dalam praktik di Indonesia, ajaran strict liability sudah diterapkan,
antara lain untuk pelanggaran lalu lintas. Misalnya para pengemudi
kendaraan ber motor yang melanggar lampu lalu lintas. Hakim dalam
memutuskan hukuman atas pelanggaran tersebut tidak akan
mempersoalkan ada tidaknya kesalahan pada pengemudi yang melanggar
peraturan lalu lintas itu.
2) Doctrine of Vicarious liability
Ajaran kedua ini untuk memberikan pembenaran bagi pembebanan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah Doctrine of
Vicarious liability atau disebut juga pertanggungjawaban vikarius, adalah
pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang
dilakukan.
Menurut ajaran ini, seseorang dimungkinkan harus bertanggung
jawab atas perbuatan orang lain. Apabila teori ini diterapkan pada
korporasi, berarti korporasi dimungkinkan harus bertanggung jawab atas
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
mandatarisnya, atau siapapun yang bertanggung jawab kepada korporasi
tersebut.
Di Inggris, pertanggungjawaban vikarius pada umumnya berkaitan
dengan tindak pidana yang ditentukan oleh undang- undang. Hal itu
diterapkan dalam hubungan antara pemberi kerja dan bawahan, pemberi
kuasa dan penerima kuasa. Selain itu pertanggungjawaban vikarius ini
dapat dibebankan atas seseorang karena dengan tegas suatu undang-
undang menentukan demikian.
3) Doctrine of Delegation
Doktin ini merupakan salah satu pembenar untuk dapat
membebankan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pegawai
kepada korporasi. Menurut doktrin ini alasan untuk dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah adanya
pendelegasian wewenang seseorang dari kepada orang lain untuk
melaksanakan kewenangan yang dimilikinya.
4) Doctrine of Identification
Doktrin ini mengajarkan bahwa untuk dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada suatu korporasi, siapa yang
melakukan tindak pidana tersebut harus mampu di identifikasikan oleh
penuntut umum.
5). Doctrine of Aggregation
Ajaran ini memungkinkan agregasi atau kombinasi kesalahan dari
sejumlah orang, untuk di atributkan kepada korporasi sehingga korporasi
dapat di bebani pertanggungjawaban. Menurut ajaran ini, semua perbuatan
dan semua unsur mental ( sikap kalbu) dari berbagai orang yang terkait
secara relevan dalam lingkungan perusahaan dianggap seakan- akan
dilakukan oleh satu orang saja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
6). The Corporate Culture Model
The Corporate Culture Model atau Model Budaya Kerja
Perusahaan merupakan pendekatan yang telah diterima di Australia.
Pendekatan ini memfokuskan pada kebijakan korporasi yang tersurat dan
tersirat yang mempengaruhi cara korporasi melakukan kegiatan usahanya.
Dalam kaitan ini, pertanggungjawaban dapat dibebankan korporasi apabila
berhasil ditemukan bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan
melanggar hukum memiliki dasar yang rasional untuk meyakini anggota
korporasi yang memiliki kewenangan telah meberikan kewenangan atau
mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut.
Menurut The Corporate Culture Model, tidak perlu menemukan
orang yang bertanggungjawabkan perbuatan itu kepada korporasi.
Sebaliknya, pendekatan tersebut, menentukan bahwa korporasi sebagai
suatu keseluruhan adalah pihak yang harus juga bertanggungjawab karena
telah dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum dan bukan orang
yang telah melakukan perbuatan itu saja yang harus bertanggung jawab.
Menurut ketentuan Pasal 12.3 (2) Australian Criminal Code Act
1995 di atas, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada
korporasi apabila dapat di buktikan bahwa :
a) Direksi korporasi dengan sengaja, atau mengetahui, atau dengan
sembrono telah melakukan tindak pidana yang dimaksud, atau
secara tegas, atau mengisyaratkan, atau secara tersirat telah
memberi wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana
tersebut; atau
b) Pejabat tinggi dari korporasi tersebut dengan sengaja, atau mengetahui,
atau dengan sembrono telah terlibat dalam tindak pidana yang di
maksud, atau secara tegas, atau mengisyaratkan, atau secara tersirat
telah memberi wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak
pidana tersebut; atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
c) Korporasi memiliki suatu budaya kerja yang mengarahkan,
mendorong, menolelir, atau mengakibatkan tiak di penuhinya
ketentuan peraturan perundang- undangan yang terkait; atau
d) Korporasi tidak membuat (memiliki) dan memelihara suatu budaya
kerja yang mengharuskan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan
perundang- undangan.
7) Reactive Corporate Fault
Dalam tulisannya, Fisse dan Braithwaite mengemukakan bahwa
apabila actus reus dari suatu tindak pidana terbukti dilakukan oleh atau atas
nama korporasi, maka pengadilan, sepanjang telah dilengkapi dengan
kewenangan berdasarkan peraturan perundang- undangan untuk dapat
mengeluarkan perintah yang bersangkutan, dapat meminta kepada
perusahaan untuk :
a) Melakukan penyelidikan sendiri mengenai siapa yang bertanggung
jawab didalam organisasi perusahaan itu.
b) Untuk mengambil tindakan- tindakan disiplin terhadap mereka yang
bertanggung jawab.
c) Mengirimkan laporan yang merinci apa saja tindakan yang diambil
oleh perusahaan.
Menurut Fisse dan Braithwaite, apabila perusahaan (yang menjadi
terdakwa) memenuhi permintaan pengadilan dengan mengirimkan
laporan dan di dalam laporan itu dimuat apa saja langkah- langkah
yang telah diambil oleh perusahaan untuk mendisiplinkan mereka yang
bertanggung jawab, maka pertanggungjawaban pidana tidak akan
dibebankan kepada korporasi yang bersangkutan. Apabila tanggapan
dari perusahaan terhadap perintah pengadilan dianggap oleh
pengadilan tidak memadai, maka baik perusahaan maupun para
pemimpin puncak dari perusahaan itu akan dibebani
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
pertanggungjawaban pidana atas kelalaian atas kelalaian tidak
memenuhi pengadilan itu.
Reactive Liability Model dikomentari oleh para pakar sebagai
suatu pendekatan alternative yang radikal. Sekali suatu actus reus dari
suatu tindak pidana dilakukan atas nama suatu perusahaan, pengadilan
dapat memerintah kepada perusahaan yang bersangkutan untuk
menyelidiki kejadian tersebut agar dapat menjatuhkan sanksi kepada
para pelaku yang bertanggung jawab dan untuk memastikan kejadian
itu tidak akan terulang kembali. Menurut teori ini, kesalahan pidana
dari suatu perusahaan akan muncul apabila, dan hanya apabila,
korporasi tidak bereaksi sebagaimana mestinya sesuai dengan perintah
pengadilan. Model Reactive Liability ini memusatkan perhatian pada
reaksi korporasi dalam hal suatu actus reus terjadi. Pendekatan ini
menempatkan kesalahan korporasi kepada kegagalan korporasi untuk
menyesuaikan kebijakan- kebijakannya, untuk melakukan tindakan
penertiban kedalam, dan untuk mengelola para pegawainya mengingat
kesalahan- kesalahan yang terjadi di masa lalu.
Keuntungan dari pendekatan reactive liability adalah
menghukum korporasi yang tidak bereaksi dengan sengaja ketika
korporasi ditarik untuk memberikan perhatian sebagaimana mestinya
terhadap kegiatan- kegiatan korporasi yang merugikan atau beresiko
tinggi. Di samping itu, pendekatan ini juga dapat memaksa korporasi
untuk meningkatkan kepatuhannya terhadap kebijakan- kebijakan yang
ada (The Law Reform Commission, 2003: 33).
Dalam hal menentukan pertanggungjawaban pidana harus jelas
telebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat (subjek) dalam
kenyataannya, memastikan siapa si pembuatnya tidak mudah. Penetapan
korporasi harus di ikuti pula dengan penentuan kapan suatu korporasi
dikatakan telah melakukan tindak pidana (kejahatan).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Tahap selanjutnya adalah penetapan sistem pertanggungjawaban
korporasi. Dalam hukum pidana terdapat asas fundamental, yaitu asas “ geen
straf zonder schuld” atau “ noela poenasine culpa atau asas “ tiada pidana
tanpa kesalahan.
Masalah pertanggungjawaban korporasi dalam kaitannya dengan
perbuatan para pengurus, dikenal dengan dua teori yaitu teori identifikasi
dan teori imputasi. Teori identifikasi mendasarkan pandangannya, bahwa
tindakan orang- orang yang menggambarkan atau mewakili korporasi adalah
tanggung jawab korporasi, sebab merekalah yang menentukan kebijakan
korporasi. Sementara itu, teori imputasi adalah pertanggungjawaban yang
mewakili. Kesalahan para pegawai korporasi merupakan orang- orang yang
ada hubungan korporasi, artinya perbuatan pegawai harus ada hubungan
dengan dan demi kepentingan korporasi.
8) Ajaran Gabungan
Menurut Sutan Remy, Pembebanan pertanggungjawaban pidana
kepada korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah
apabila dipenuhi semua unsur-unsur sebagai berikut (Sutan Remy Sjahdeini,
2007: 118).
a) Tindak Pidana tersebut (baik dalam bentuk commision maupun
omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi yang
didalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing
mind dari korporasi.
b) Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan
korporasi.
c) Tindak Pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi
perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi.
d) Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud untuk memberikan
manfaat bagi korporasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
e) Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau
alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.
f) Bagi tindak- tindak pidana yang mengharuskan adanya unsur
perbuatan (actus reus) dan unsur kesalahan (mens rea), kedua unsur
tersebut (actus reus dan mens rea) tidak harus terdapat dalam satu
orang saja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
B. Kerangka Pemikiran
Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi
Korporasi sebagai
Subyek Hukum Biasa
Korporasi sebagai
Subyek Hukum Pidana
Melakukan Tindak Pidana di bidang
Pelayaran (Pasal 302 ayat (1) dan (3)
Undang- undang No. 17 tahun 2008).
Hukum Pidana
Perkembangan Korporasi
Manusia Badan Hukum
Subyek Hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Keterangan:
Subyek hukum tidak terlepas dari manusia dan badan hukum, dalam hukum
pidana korporasi mengalami perluasan tidak terbatas hanya pada badan hukum
saja tetapi juga yang bukan badan hukum. Karena perkembangan dan
pertumbuhan korporasi dampaknya dapat menimbulkan efek negatif, maka
kedudukan korporasi mulai bergeser dari subjek hukum biasa menjadi subjek
hukum pidana. Saat ini korporasi tidak hanya bergerak di bidang kegiatan
ekonomi saja, akan tetapi sekarang ruang lingkupnya sudah meluas karena dapat
mencakup bidang pendidikan, kesehatan, riset , pemerintahan, sosial, budaya dan
agama bahkan di bidang pelayaran pun korporasi dapat sebagai pelaku tindak
pidana, korporasi dapat dimintai pertanggungjawabannya apabila perbuatan yang
dilakukan di anggap telah merugikan orang- orang di sekitar atau masyarakat luas.
Mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi ini masih menimbulkan banyak
permasalahan. Permasalahan itu timbul menyangkut siapa yang dapat di bebani
pertanggungjawaban pidana, apakah korporasi itu sendiri, atau yang memberikan
perintah melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan
perbuatan atau kelalaian itu, atau bahkan kedua- duanya. Oleh karena itu, penulis
akan mengkaji mengenai hal tersebut dalam kasus yang akan di teliti, yaitu
pertanggungjawaban korporasi atas terbakarnya kapal yang mengakibatkan
banyak korban ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Diskripsi PT. Bangun Putra Remaja Pusat Merak
a. Sejarah berdiri dan perkembangan PT. Bangun Putra Remaja
Berdirinya PT. Bangun Putra Remaja di bidang Pelayaran ini di
mulai pada tahun 1996 dengan mengoperasikan Kapal Cepat antara
Pelabuhan Merak- Bakauheni, kapal tersebut diberi nama Samudra Jaya – 3.
Kemudian, pada tahun 1997 PT. Bangun Putra Remaja menambah Kapal
Cepat lagi sebanyak satu unit yang diberi nama Samudra Jaya – 2. Pada tahun
1999 PT. Bangun Putra Remaja menambah satu unit Kapal Cepat lagi yang
bernama All Express.
Seiring berjalannya waktu, Pelayanan menggunakan Kapal Cepat
semakin lama semakin mengalami kerugian di sebabkan karena, penumpang
lebih memilih menggunakan Kapal Roro ( milik Perusahaan lain).
Penumpang menganggap Kapal roro ini lebih ekonomis, lain halnya dengan
Kapal Cepat yang menguras biaya yang lebih banyak. Melihat seringnya
mengalami kerugian, PT. Bangun Putra Remaja pada tahun 2000
mengadakan Kapal Roro yang bernama Tristar- 2 dengan rute pelayaran
Ciwandan-Bangka.
Melihat perusahaan pelayaran di Pelabuhan Merak mengalami
perkembangan yang sangat besar, maka PT. Bnagun Putra Remaja pun ikut
mengoperasikan Kapal Roro yang bernama Laut Teduh II dengan rute
pelayaran Merak- Bakauheni. Ternyata setelah satu tahun mengoperasikan
kapal Laut Teduh II, PT. Bangun Putra Remaja menambah satu unit kapal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
lagi jeis Roro yang bernama Rosmala dengan rute pelayaran Merak-
Bakauheni. Namun pada tahun 2011 tepatnya pada bulan januari Kapal Laut
Teduh II mengalami musibah kebakaran yang mengakibatkan kurang lebih
266 korban luka-luka, 31 korban meninggal dunia serta 93 muatan baik itu
berupa sepeda motor, kendaraan pribadi, colt diesel, dan sebagainya. Hingga
saat ini, masih ada satu unit Kapal Roro yang beroperasi yaitu “Rosmala”
setelah Kapal Laut Teduh II terbakar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
b. Struktur Organisasi Manajemen Keselamatan PT. Bangun Putra Remaja
STRUKTUR ORGANISASI MANAJEMEN KESELAMATAN
PT. BANGUN PUTRA REMAJA
Direktur Utama
Petugas:
Loket Penumpang
Ruang Tunggu
Manifest
Ponton
Clearence
Nakhoda Kepala Regu
Tim Internal
/Audit
Kepala Cabang D.P.A Kepala Personalia dan Umum
Tim Kesiapan Keadaan
Darurat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
STRUKTUR ORGANISASI MANAJEMEN KESELAMATAN DALAM
KAPAL
c Tugas dan Tanggung Jawab:
1) Direktur Utama
Direktur utama mempunyai tanggung jawab dan wewenang
keseluruhan untuk mengimplementasikan system ini, yaitu :
a) Mengadakan sumber- sumber daya (termasuk personil) yang
diperlukan untuk mengimplementasikan system ini;
b) Memilih dan mengatur personil yang memadai untuk
mengimplementasikan secara efisien dari system ini;
c) Mengupayakan peningkatan kemampuan dan ketrampilan semua
personil baik didarat maupun dikapal;
Nahkhoda
Mualim - I
Mualim- II
Kelasi
KKM
Masinis - I
Masinis - II
Juru Minyak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
d) Meninjau ulang Sistem Manajemen Keselamatan untuk mengevaluasi
efektivitas, efisiensi dan perbaikan- perbaikan yang diperlukan dari
sistem ini;
e) Memobilisasi Tim kesiapan keadaan darurat ( BPR-100-08) sebagai
kewenagan tertinggi dari Tim;
f) Mengawasi pelaksanaan docking kapal.
2) Kepala Cabang
a) Kepala Cabang memimpin semua kegiatan di Cabang memimpin
semua kegiatan di Cabang termasuk pengoperasian kapal dan
bertanggungjawab kepada Direktur Utama;
b) Mewakili Perusahaan dalam mengambil keputusan terhadap pihak
ketiga sesuai dengan wewenang yang diberikan Perusahaan;
c) Mengawasi dan mengendalikan semua kegiatan di Cabang;
d) Bertanggung jawab secara menyeluruh terhadap terpeliharanya
disiplin dan etos kerja di Cabang/ Kapal.
e) Mengawasi dan mengendalikan pengoperasian kapal secara efisien,
ekonomis, dan aman;
f) Menjaga dan membina hubungan baik dengan instansi terkait/ sesame
anggota GAPASDAP;
g) Membuat rencana Anggaran Cabang untuk diusulkan ke Direktur
Utama;
h) Mengendalikan penggunaan Anggaran Cabang;
i) Memberi persetujuan terhadap belanja/ pengeluaran Cabang;
j) Menerima permintaan pembelian barang/ spare part dari kapal;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
k) Melayani dan meneruskan permintaan kapal yang bersifat sangat
urgen langsung kepada Direksi;
l) Membuat rencana dan Strategi untuk peningkatan HOK;
m) Secara berkala mengadakan monitoring terhadap perawatan kapal,
sesuai rencana kerja tahunan;
n) Mengetahui tentang cuti karyawan darat/ ABK;
o) Menerapkan dan menegakan kebijakan/ peraturan perusahaan,
Instruksi Direksi pada seluruh karyawan agar dilaksanakan dengan
baik;
p) Memberi saran, masukan dan usul kepada Direktur Utama dalam
menentukan langkah- langkah dan kebijaksanaan guna peningkatan
pendapatan perusahaan, peningkatan kesejahteraan karyawan,
keselamatan pengoperasian kapal/ perlindungan lingkungan dan
peningkatan pelayanan kepada pemakai jasa.
3) Kepala Personalia dan Umum
a) Melaksanakan administrasi umum, korespondensi, penanganan
dokumen kapal, hub ungan dengan pihak ketiga dan bertanggung
jawab tentang pelaksanaan semua kegiatan tersebut kepada Kepala
Cabang;
b) Mengadakan penerimaan pegawai baru;
c) Mengusulkan kepada Direktur Utama promosi jabatan, skorsing/
pemberhentian karyawan darat;
d) Merekomendasikan kepada Direktur Utama usulan Nakhoda tentang
promosi jabatan, skorsing/ pemberhentian ABK;
e) Bila diperlukan dapat membuat tata tertib guna menjamin peningkatan
pelaksanaan tugas dan terpeliharanya disiplin karyawan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
f) Menerima dan meneliti semua surat masuk dan meneruskan kepada
kepala cabang dan mendistribusikan sesuai peruntukannya;
g) Menyiapkan konsep keluar;
h) Mempersiapkan permohonan, berkas- berkas persyaratan untuk
perpanjangan surat/ sertifikat kapal;
i) Mengurus perpanjangan surat/ sertifikat kapal;
j) Menangani dan mengurus masalah pengawakan kapal yang
berhubungandengan kesyahbandaran;
k) Menangani kelancaran pemeriksaan kapal oleh instansi terkait;
l) Menangani urusan yang berhubungan dengan instansi terkait:
Depnaker, Jamsostek, PT ASDP, Adpel dan lain- lain;
m) Menyimpan surat- surat kapal, laporan pemeriksaan kapal, laporan
dock, laporan kerja harian kapal, dan daftar inventaris kapal dan
Cabang;
4) Kepala Regu
a) Bertanggung jawab secara umum atas semua kegiatan operasional
lapangan Kepala Cabang;
b) Mengendalikan dan Mengatur kegiatan operasional lapangan secara
menyeluruh;
c) Memonitor dan mengusahakan agar kapal dapat mengisi penuh jadwal
penyebrangannya;
d) Pada saat kapal istirahat/ angker, bila kapal siap agar mengupayakan
kapal dapat mengisi jadwal yang kosong;
e) Memonitor dan mengawasi kegiatan petugas operasional lapangan
agar tidak terjadi penyimpangan dari ketentuan yang ada;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
f) Mengadakan koordinasi dan menjalin kerjasama yang baik dengan
instansi terkait untuk menjamin kelancaran dan keamanan operasional
lapangan;
g) Diluar jam kerja kantor mewakili Kepala Cabang mengambil
keputusan mengenai masalah- masalah operasional lapangan yang
bersifat tidak prinsip, melayani permintaan kapal yang bersifat darurat
misalnya: bahan bakar, air tawar, Tug- Boat, dan lain- lain;
h) Menyelenggarakan jurnal Operasional lapangan;
i) Menyelenggarakan Absensi personil Operasi;
j) Melaksanakan instruksi/ peraturan Perusahaan yang berkaitan dengan
operasional lapangan, menyampaikan kepada petugas operasional
lapangan dan mengawasi pelaksanaannya;
k) Menampung keluhan- keluhan dari pemakai jasa penyebarangan
sebagai bahan penyempurnaan pelayanan yang lebih baik
5) Nakhoda
a) Memenuhi semua ketentuan- ketentuan dan peraturan- peraturan dan
nasional dan internasional, prosedur- prosedur dan instruksi- instruksi
kerja;
b) Menjamin kapal laik laut sebelum memulai setiap pelayaran/
penyebrangan dan selama frekuensi penyebrangan;
c) Bertanggung jawab atas disiplin semua personil diatas kapal;
d) Memiliki kewenangan menyimpan dari system (Ovveriding
Authority) dan bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan
yang berhubungan dengan keselamatan dan pencegahan pencemaran;
e) Memiliki kewenangan untuk meminta bantuan Perusahaan jika
diperlukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
6) Petugas Loket Penumpang
a) Mencatat nomor seri awal dan akhir tiket untuk menegetahui jumlah
tiket yang terjual;
b) Mengawasi kegiatan penjualan tiket agar berjalan cepat dan lancar;
c) Mengarahkan calon penumpang untuk segera menuju loket penjualan
tiket;
d) Mengarah penumpang yang telah bertiket untuk menuju keruang
tunggu kapal.
7) Petugas Portir Ruang Tunggu
a) Mengambil potongan tiket ( lembar pelayaran, asuransi) untuk
menghitung jumlah lembar tiket dan dicatatkan;
b) Memeriksa tiket penumpang yang akan naik ke kapal apakah sesuai
dengan golongan usia pemegang tiket;
c) Mengatur dan mengendalikan penumpang diruang tunggu yang akan
naik ke kapal bila terjadi keterlambatan kapal.
8) Petugas Manifest
a) Mencatat nama dan alamat penumpang yang akan masuk keruang
tunggu;
b) Pada saat terjadi penundaan jadwal atau pembatalan keberangkatan
kapal, bersama- sama dengan perugas portir mengatur dan
mengendalikan penumpang agar tetap tertib dan tenang.
9) Petugas Dermaga / Ponton
a) Melayani penambatan dan pelepasan tross kapal pada saat kapal tiba
dan berangkat;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
b) Mengawasi dan mengatur posisi tangga penumpang ke kapal agar
tidak berbenturan dengan lambung kapal;
c) Membantu mengamankan penumpang yang akan naik/ turun kapal
agar tidak terjatuh atau terpleset terutama pada saat keadaan kolam
dermaga berombak.
10) Petugas Clearence
a) Mengurus Surat Izin Berlayar (SIB) agar lancar sehingga tidak
menghambat jadwal pemberangkatan kapal;
b) Melayani kapal yang akan angker bersama petugas lapangan lainnya;
c) Mengumpulkan manifes penumpang bus/umum sebagai kelengkapan
pengurusan SIB.
Tugas dan Tanggung jawab manajemen keselamatan dalam kapal:
1) Nahkoda
a) Memastikan kapal, perlengkapan dan pemesinan dalam kondisi baik untuk
beroperasi;
b) Memastikan jumlah personil yang memadai dengan kualifikasi yang
diperlukan;
c) Memastikan cukup stabilitas kapal selama penyebrangan;
d) Mengetahui cukup informasi tentang rute penyebrangan, navigasi khusus
dan kondisi- kondisi pelayaran;
e) Menjamin akan keselamatan jiwa manusia diatas kapal;
f) Menjamin Keselamatan Kapal di Pelabuhan dan laut;
g) Menjamin akan mengumpulkan sampah serta limbah lainnya dilaksanakan
dengan baik;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
h) Menjalin hubungan dan komunikasi yang efektif antara kapal dan darat;
i) Bertanggung jawab untuk pengawasan serta penyimpanan dokumen-
dokumen dan catatan- catatan manajemen keselamatan;
j) Menerapkan kebijaksanaan keselamatan pengoperasian kapal dan
perlindungan lingkungan ;
k) Meninjau ulang system Manajemen Keselamatan Perusahaan diatas kapal
dan melaporkan setiap ketidak sesuaian kepada “ Designated Person
Ashore” atau Kepala Cabang;
l) Memberikan instruksi-instruksi yang jelas dan sederhana serta perintah
pelaksanaan kepada semua personil dikapal;
m) Bertanggung jawab untuk memotivasi personil- personil di atas kapal guna
menerapkan secara efektif kebijaksanaan perusahaan tentang keselamatan
dan perlindungan lingkungan;
n) Melakukan secara reguler dan random pemeriksaan perlengkapan
keselamatan diatas kapal;
o) Melaksanakan latihan-latihan keselamatan bagi personil- personil diatas
kapal;
p) Bersama-sama dengan KKM membuat daftar kebutuhan spare-part kapal;
q) Membantu mengadakan pengecekan atas perijinan dan sertifikat – sertifikat
kapal dan melaporkan ke petugas darat untuk keperluan perpanjangan/
pembaharuan perijinan atau sertifikat keselamatan dank lass;
r) Menjaga memelihara dan menguasai pengoperasian alat- alat komunikasi;
s) Bertanggung jawab atas pengawasan dokumen- dokumen dan catatan-
catatan Manajemen Keselamatan.
2) Mualim I
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
a) Sebagai kepala bagian deck melaksanakan instruksi- instruksi kerja
manajemen keselamatan dan perintah- perintah Nakhoda lainnya yang
berhubungan dengan dinas kapal, termasuk pengaturan tugas jaga laut dan
jaga berlabuh;
b) Sebagai Perwira Navigasi diatas kapal bertanggung jawab atas
pemeliharaan, penyiapan alat-alat bantu navigasi dan menguasai
pengoperasiannya;
c) Mengolah gerak kapal waktu sandar dan bertolak atau berlabuh;
d) Sebagai kepala kerja bagian deck, mengatur dan mengawasi pemeliharaan
kapal serta perlengkapan-perlengkapan;
e) Membuat laporan sepuluh hari bagian deck;
f) Membuat permintaan Kebutuhan Deck atas petunjuk Nakhoda;
g) Sebagai kepala bagian Deck, mengatur dan mengawasi pemeliharaan kapal
serta perlengkapan-perlengkapannya;
h) Membantu Nakhoda melaksanakan tugas-tugas administrasi kapal;
i) Memelihara dan memperbaharui Sijil Sekoci, Sijil Kebakaran, dan Sijil
meninggalkan kapal;
j) Bertanggung jawab atas inventaris bagian Radio, dokumen-dokumen dinas
stasiun radio dan pemeliharaan radar serta alat-alat navigasi lainnya sesuai
instruksi Nakhoda.
3) Mualim III
a) Bertanggung jawab atas pemeliharaan dan kesiapan alat- alat penolong/
keselamatan serta penguasaan terhadap pengoperasiannya;
b) Bertanggung jawab atas ketertiban, kelancaran, dan keamanan
embarkasi/debarkasi penumpang;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
c) Bertugas sebagai perwira kesehatan dan bertanggung jawab atas
penyimpanan dan pemakaian obat-obatan P3K dikapal;
d) Melaksanakan tugas jaga laut sebagai Mualim jaga;
e) Melaksanakan tugas-tugas lainnya yang di instruksikan Nakhoda atau
Mualim I.
4) Kelasi
a) Membantu Mualim jaga untuk ketertiban, kelancaran, dan keamanan
kegiatan embarkasi/debarkasi penumpang;
b) Menaikan dan menurunkan Bendera.
5) Kepala Kamar Mesin (KKM)
a) Melaksanakan pengaturan jaga kamar mesin dan jaga berlabuh serta disiplin
kerja dikamar mesin;
b) Merencanakan pemeliharaan terpadu dan menyiapkan pekerjaan survey
tahunan serta Special Survey;
c) Memelihara catatan pemeliharaan dan laporan-laporan survey;
d) Melaksanakan tugas-tugas lainnya yang di instruksikan oleh Manajemen
Perusahaan melalui Nakhoda.
6) Masinis I
a) Bertanggung jawab langsung kepada KKM dan sebagai kepala kerja
dikamar mesin, masinis I mengatur pembagian tugas pemeliharaan kepada
para Masinis;
b) Bertanggung jawab atas keandalan, kesiapan dan pemeliharaan pompa
pemadam kebakaran darurat maupun instalansi pompa pemadam tetap;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
c) Bertanggung jawab atas keandalan, kesiapan dan pemeliharaan alat-alat
pemadam kebakaran dikamar mesin, motor penggerak, generator darurat;
d) Menyelenggarakan pemeriksaan secara rutin hubungan-hubungan listrik
dan isolasi-isolasi jaringan listrikserta penerapan navigasi;
e) Melaksanakan tugas jaga kamar mesin dan tugas-tugas lainnya yang di
instruksikan oleh Masinis I.
7) Masinis II
a) Bertanggung jawab atas keandalan, kesiapan dan memelihara Motor-motor
Bantu, Oil Water Separator (OWS) dan pesawat-pesawat Bantu Lainnya;
b) Bertanggung jawab atas keandalan, kesiapan dan pemeliharaan pompa
pemadam kebakaran darurat maupun instalansi pompa pemadam tetap;
c) Bertanggung jawab atas keandalan, kesiapan dan pemeliharaan alat-alat
pemadam kebakaran di kamar mesin, motor penggerak, generator darurat;
d) Bertanggung jawab atas pemeliharaan kran-kran Air Laut, Air Tawar, dan
saringan-saringan Air Laut;
e) Melaksanakan tugas jaga kamar mesin dan tugas-tugas lainnya yang di
instruksikan oleh Masinis –I.
8) Juru Minyak
a) Bertanggung jawab langsung kepada Masinis I untuk kerja harian dikamar
mesin, kebersihan serta kerapihan kamar mesin dan ruangan-ruangan
permesinnya lainnya;
b) Bertanggung jawab kepada Masinis jaga dan memelihara kebersihan kamar
mesin;
c) Melaksanakan kerja harian yang diatur oleh Masinis diluar jam jaga;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
d) Membantu para Masinis untuk pemeliharaan permesinandan perbaikan-
perbaikan selama tidak bertugas;
e) Melaksanakan tugas-tugas lainnya yang di instruksikan oleh Masinis.
d Aktivitas Perusahaan
Kegiatan pelayanan pelayaran PT. Bangun Putra Remaja cenderung
kepada bisnis dengan berbagai kapal Roro yang di miliki. Kegiatan yang
dilakukan diantaranya adalah mengangkut penumpang yang jumlahnya relatif
banyak dan barang yang diperkirakan sebanyak kurang lebih tujuh miliaran ton
setiap tahunnya.
PT. Bangun Putra Remaja yang berada di Pelabuhan Merak ini merupakan
satu-satunya induk perusahaan di bidang pelayaran dan usaha yang
dilakukannya cenderung menguntungkan. Dalam melakukan kegiatannya PT.
Bangun Putra Remaja mengutamakan sistem keselamatan dalam pengoperasian
kapal dan perlindungan lingkungan. Artinya dalam setiap pelayaran yang
dilakukan ini lebih menitik beratkan pada keselamatan penumpang maupun
barang ataupun seluruh personil/ pegawainya yang berada di dalam Kapal
khususnya. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya kerja sama antara
pemimpin di kapal beserta para personil atau pegawainya dan para penumpang
yang ada dalam kapal tersebut untuk bertindak disiplin dengan mematuhi segala
peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya.
e Kronologi musibah Terbakarnya Kapal Laut Teduh II Diperairan Merak
1) Pada hari juamat tanggal 28 Januari 2011 pukul 02.15 WIB KM. Laut Teduh
II dari pelabuhan/Dermaga I Bakauheni Lampung masuk Dermaga I
Pelabuhan ASDP Merak untuk melaksanakan bongkar muatan yang dari
pelabuhan Bakauheni, bongkar muatan dilaksanakan dengan aman;
2) Pukul 02.15 WIB KM. Laut Teduh II atas perintah petugas STC (Ship Traffick
Control) dari ASDP selaku pengatur jadwal permuatan memerintahkan kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
petugas OperasionalKM. Laut Teduh II untuk mengadakan
permuatan/Pelayanan di Infokan lewat pengeras suara di Pelabuhan;
3) Setelah ada perintah untuk permuatan/pelayanan, petugas
operasional/Lapangan menempatkan diri di posisi masing-masing atas
perintah Kepala Operasional dan Danru selaku penanggung jawab pelayaran/
Permuatan di KM. Laut Teduh II sebagai berikut :
a) Petugas Gang Way 2 orang melayani penumpang pejalan kaki bertiket
untuk naik kekapal.
b) 1 (satu) petugas pencatat nomor polisi kendaraan pribadi atau kendaraan
kecil dan petugas pengambil tiket kendaraan 2 ( dua) orang yang berada
di bawah siaeramp / jalan untuk mobil menuju upperdeck / dek kapal
khusus mobil kecil /deck 2).
c) 1 (satu) petugas pencatat nomor polisi kendaraan di depan rampdoor
kapal, dan 2 orang petugas pengambil tiket kendaraan, serta 2 petugas
lagi sebagai pemilih kendaraan yang akan masuk ke kapal di cardeck
atas permintaan Mualim jaga muat yang di sesuaikan dengan
keseimbangan kapal ( di depan rampdoor total ada 5 petugas).
d) 1 petugas lagi ditempatkan di jalan parkir Dermaga II untuk
mengarahkan mobil yang lewat dan sudah memiliki tiket untuk ke
Dermaga I yang sedang melaksanakan jadwal waktu pelayanan/
permuatan.
e) 1 petugas lagi di tempatkan di jalan parkir Dermaga III untuk
mengarahkan kendaraan yang lewat dan sudah memilki tiket untuk ke
Dermaga I yang sedang melaksanakan jadwal waktu
pelayanan/permuatan.
4) Dalam batas satu jam dari pukul 02.15 WIB KM. Laut Teduh II melaksanakan
kegiatan pelayanan/permuatan, baik penumpang pejalan kaki maupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
kendaraan penumpang dan barang, dengan rincian waktu yang ditetapkan oleh
pihak PT. ASDP sebagai berikut:
a) 15 menit untuk olah gerak kapal hingga sandar terikat sempurna
sekaligus jika rampdoor dan rampest serta tangga penumpang untuk
persiapan bongkar penumpang dan kendaraan.
b) 15 menit untuk bongkar muatan dari pelabuhan asal, baik penumpang
pejalan kaki maupun kendaraan-kendaraan, baik yang ada di cardeck
maupun upperdeck.
c) 15 menit untuk pelaksanaan permuatan, baik penumpang kendaraan dan
clearent kapal sampai dengan tutup rampdoor kapal siap berlayar.
d) 15 menit untuk olah gerak kapal lepas tali untuk keluar dermaga dan
selanjutnya berlayar menuju pelabuhan tujuan yaitu Dermaga I
Pelabuhan Bakauheni.
5) Sekitar pukul 03.20 WIB KM. Laut Teduh II lepas dari Pelabuhan / Dermaga I
Merak menuju Dermaga I Pelabuhan Bakauheni dengan aman.
6) Sekitar pukul 03.50 WIB, ada berita via radio kapal bahwa di cardeck ada
mobil terbakar yang sedang berusaha dipadamkan. Pihak Operasional darat
meneruskan berita tersebut kepada jajaran pimpinan dari Manager Umum
sampai Ke Direktur.
7) Pihak Manager begitu mendengar berita tersebut langsung aksi menuju
Pelabuhan PT indah Kiat Merak, tempat homebase kapal-kapal tugboat, serta
memerintahkan kepada operasional dan kapal via radio agar berusaha
semaksimal mungkin untuk memadamkan.
8) Sekitar pukul 04.05 dapat dua buah tugboat yang siap, yaitu tugboat Gunung
Santri dan Gunung Batur, dan kapal milik Pemda Cilegon, selanjutnya telepon
ke ADPEL Banten / GAMAT dan langsung kirim 2 personil KPLP, selanjutnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
minta bantuan Personil TNI-AL Merak dan dikrim satu orang serta satu orang
lagi dari PT. Bangun Putra Remaja Merak.
9) Sekitar pukul 04.15 dua tugboat berangkat menuju lokasi KM. Laut Teduh 2
yang terbakar dengan Personil diluar ABK ada 2 orang dari KPLP Merak, 1
orang dari Lanal Banten dan 1 orang dari PT. Bangun Putra Remaja selaku
pemilik KM. Laut Teduh II.
10) Selanjutnya menelepon kepada ketua GAPASDAP Merak untuk minta
bantuan kapal-kapal ferry / Roro baik yang sedang anchor atau yang sedang
berlayar untuk membantu evakuasi KM. Laut Teduh II yang terbakar.
11) Sekitar pukul 04.40 WIB, beberapa kapal bantuan sudah mengepung kapal
Laut Teduh II yang terbakar, namun tidak berani mendekat karena api di
cardeck semakin membesar.
12) Sekitar pukul 04.50 WIB, pihak KM. Laut Teduh II sudah tidak bisa
komunikasi lagi dengan pihak darat, karena tidak menjawab ketika berulang
kali dipanggil melalui radio.
13) Sekitar pukul 05.00 Manager Umum membagi tugas kepada seluruh karyawan
PT. Bangun Putra Remaja Merak, sebagai berikut :
a) Melapor dan menghubungi Puskesmas terdekat, Rumah Sakit Krakatau
Medika Cilegon, RSUD Cilegin, untuk minta bantuan mobil ambulance
dan Tenaga Medis.
b) Mencari mobil angkot carter untuk evakuasi korban. Ada 17 mobil dan
siap standby di parkir Pelabuhan ASDP.
c) Membuat posko korban diruang tunggu penumpang pelabuhan PT. ASDP
Merak.
d) Menyiapkan logistic berupa air mineral, roti, air bungkus dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
14) Sekitar pukul 07.00 WIB, semua mobil evakuasi korban berdatangan, baik
dari Rumah Sakit maupun dari pihak TNI dan POLRI, serta mobil-mobil
DALMAS Pemda Cilegon, dan lain sebagainya.
15) Pukul 07.45 WIB, kapal-kapal yang evakuasi korban mulai berdatangan di
Dermaga I,II,III dan IV Pelabuhan PT.ASDP Merak, dan korban baik yang
meninggal, luka, sehat, semua dibawa ke Puskesmas terdekat, Rumah Sakit
Krakatau Medika, dan RSUD kota Cilegon.
16) Semua korban meninggal dan luka-luka berat dirawat di Rumah Sakit
Krakatau Medika, dan yang sehat atau tidak terluka ditampung di Masjid
Rumah Sakit Krakatau Medika dekat Ruang Gawat Darurat, sekaligus sebagai
posko pendataan korban sementara.
17) Korban yang luka ringan di obati di Puskesmas Merak dan RSUD Kota
Cilegon.
18) Korban-korban yang setelah diperiksa kesehatannya, baik di Puskesmas
Merak, Rumah Sakit Krakatau Medika, dan RSUD Cilegon lalu dinyatakan
sehat, dipulangkan ke Posko Pelabuhan PT. ASDP Merak untuk diadakan
pendataan ulang sekaligus deiberikan makanan dan minuman secukupnya.
19) Sekitar pukul 12.15 WIB, korban-korban yang sehat mengusulkan agar
dipulangkan ketempat asal atau tempat tujuan.
20) Sekitar pukul 13.10 WIB , pihak Perusahaan mengabulkan permohonan para
korban setelah diadakan musyawarah yang disaksikan para petugas terkait
yang berada di Posko Pelabuhan Merak.
21) Korban diberikan uang saku/ uang jalan sesuai tujuan masing-masing, yang
jumlahnya bervariasi, hingga ke kampong halaman masing-masing.
22) Bagi Korban yang dirawat inap, baik di Rumah Sakit Krakatau Medika dan
RSUD Cilegon serta Puskesmas Merak, Perusahaan hanya membantu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
memberikan makan 3 kali sehari bagi korban yang menunggu pasien sampai
dengan pasien diijinkan pulang oleh Pihak Rumah Sakit dan Puskesmas.
23) Bagi pasien / korban rawat inap yang sudah di ijinkan pulang, Perusahaan
memberikan uang jalan sampai tempat tujuan atau dengan mobil carter bagi
korban yang keluarganya banyak.
24) Bagi korban meninggal dunia, dipusatkan di satu Rumah Skait Krakatau
Medika guna memudahkan identifikasi dari pihak kepolisian.
25) Bagi korban meninggal dunia yang sudah diijinkan untuk diambil keluarganya
oleh pihak kepolisian, pihak Perusahaan telah membayar biaya perawatan
jenazah dan biaya mobil ambulance serta memberikan uang duka maksimal
Lima juta Rupiah per Jenazah, bahkan ada jenazah yang dipulangkan
menggunakan Pesawat Udara sebanyak dua jenazah dengan biaya Perusahaan
PT. Bangun Putra Remaja Merak.
26) Terlampir sebagai pelengkap laporan kronologi kebakaran KM. Laut Teduh II
disampaikan data lengkap korban selamat dan korban meninggal dunia.
2. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana
Di Indonesia Korporasi sebagai subjek tindak pidana masih merupakan hal
yang baru. Korporasi baru muncul sebagi subjek tindak pidana pada tahun 1951,
yaitu dalam Undang-undanag Penimbunan Barang-barang dan mulai dikenal
secara luas dalam Undang-Udang Nomor 7 Darurat Tahun 1955 Tentang Tindak
Pidana Ekonomi. Selanjutnya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
Undang- undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos, Undang- Undang Nomor 5
tetang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika,
Undang-Undang Nomor 23 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam Hukum Pidana khususnya dalam KUHP pertanggungjawaban
pidana mengenai korporasi ini belum dikenal secara langsung. Indonesia dewasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
ini pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung hanya terdapat pada
perundang-undangan khusus diluar KUHP, sebab dalam KUHP itu sendiri masih
menganut subjek hukum pidana secara umum yaitu manusia ( Pasal 59 KUHP).
Dalam prospek pengaturan pertanggung jawaban pidana korporasi menganut pula
perkembangan yang terjadi di Belanda. Hal ini terlihat dalam Rancangan KUHP
Buku 2004-2005 ternyata korporasi diatur dalam secara umum dalam Buku I1
tentang Ketentuan Umum Pasal 47 sampai dengan Pasal 53 (sebagai prospek
pengaturan korporasi di Indonesia).
Berkenaan dengan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, menurut
Reksodipuro terdapat tiga sistem sebagai berikut:
1) Pengurus korporasi sebagai pembuat maka penguruslah yang
bertanggung jawab;
2) Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab;
3) Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
Dalam Pasal 47 RUU KUHP 2004, menganut pendapat yang
serupa dengan Reksodipuro diatas.
Menurut penjelasan Pasal 47 Rancangan KUHP korporasi
merupakan subjek tindak pidana.
Pasal 48 Konsep Rancangan KUHP Tindak Pidana dilakukan oleh
korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk
dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja, hubungan
lain, dan lingkup usaha korporasi tersebut baik sendiri-sendiri atau
bersama-sama.
Pasal 49 menyatakan bahwa jika tindak pidana dilakukan oleh
korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap
korporasi dan/atau pengurusnya.
Pasal 50 menyatakan bahwa korporasi dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan
yang dilakuakan untuk dan/ atau atas nama korporasi, jika
perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usaha sebagaimana
ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain.
Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur
organisasi korporasi.
Pasal 52 ayat (1), dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana,
harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah
memberikan perlindungan yang lebih berguna dari pada
menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.
Pasal 52 ayat (2), pertimbanagn sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus dinyatakan dalam putusan hakim.
Pasal 53 menyatakan bahwa alasan pemaaf atau alasan pembenar
yang diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/ atau atas
nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan
tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang
didakwakan kepada korporasi.
Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk korporasi, maka
penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat dijatuhkan terhadap
korporasi dan pengurusnya atau pengurusnya saja.
Tim Ahli Penyusunan KUHP Baru dalam laporannya Tahun 1985
menyatakan motivasi untuk mempertanggungjawabkan korporasi adalah:
“Dengan memerhatikan perkembangan korporasi itu, yaitu bahwa
ternyata untuk beberapa delik tertentu ditetapkannya pengurs saja
sebagi yang dapat dipidana rupanya tidak cukup. Dalam delik
ekonomi bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai hukuman
kepada pengurus dibandingkan dengan keuntungan yang telah
diterima oleh korporasi dengan melakukan perbuatan itu, atau
kerugian yang ditimbulkan masyarakat, atau diderita saingannya,
keuntungan dan/atau kerugian itu adalah lebih besar dari denda
yang dijatuhkan sebagai pidana. Dipidananya pengurus tidak
memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak akan sekali
lagi melakukan perbuatan yang dila rang oleh Undang-Undang itu.”
Pendapat tersebut mengandung tujuan pemidanaan yang bersifat
preventif (khusus) dan tindakan represif. Ini berkaitan dengan tujuan
pemidanaan dalam Konsep Rancangan KUHP 2004-2005 yaitu, mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat (Pasal 54 ayat (1) huruf a) serta tujuan yang
menyatakan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat (Pasal 54 ayat (1) sub c).
Jika dilihat secara global, tujuan pemidanaan korporasi yang
bersifat integrative, yaitu mencakup:
a) Tujuan pemidanaan adalah pencegahan ( umum dan khusus).
Menurut Dwidja Priyatno,” dikaatkan ada pencegahan
individual atau pencegahan khusus bilamana seorang penjahat
dapat dicegah melakukan suatu kejahatan dikemudian hari
apabila dia sudah mengalami dan sudah meyakini bahwa
kejahatan itu ,membawa penderitaan baginya” (Dwidja
Priyatno,2004:121).
b) Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat.
Perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan yang
mempunyai dimensi luas, karena secara fundamental ia
merupakan tujuan semua pemidanaan. Secara sempit hal ini
digambarkan sebagai bahan kebijaksanaan pengadilan untuk
mencari jalan melalui pemidanaan agar masyarakat terlindungi
dari bahaya penanggulangan tindak pidana.
c) Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat.
Pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam kaitannya tujuan
pemidanaan adalah untuk penegakan adat istiadat masyarakat
dan mencegah balas dendam perseorangan. Pengertian
solidaritas sering kali dibicarakan pula dalam kaitannya dengan
masalah kompensasi terhadap korban kejahatan yang dilakukan
oleh negara.
d) Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan atau keseimbangan
yaitu adanya kesesuaian antara pidana dengan
pertanggungjawaban individual dari pelaku tindak pidana
dengan memeperhatikan beberapa faktor. Penderitaan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
dikaitkan oleh pidana harus dibatasi dalam batas-batas yang
paling sempit dan pidana harus menyumbangkan pada proses
penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan masyarakat.
Ajaran Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Berikut ini merupakan teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi
antara lain sebagai berikut:
1 ) Doctrine of strict liability
Salah satu pemecahan praktis bagi masalah pembebanan
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja
di lingkungan suatu korporasi kepada korporasi tempat ia bekerja adalah
dengan menerapkan Doctrine of strict liability. Menurut doktrin ini
pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak
pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan
pada pelakunya.
Dalam praktik di Indonesia, ajaran strict liability sudah diterapkan,
antara lain untuk pelanggaran lalu lintas. Misalnya para pengemudi
kendaraan ber motor yang melanggar lampu lalu lintas. Hakim dalam
memutuskan hukuman atas pelanggaran tersebut tidak akan
mempersoalkan ada tidaknya kesalahan pada pengemudi yang melanggar
peraturan lalu lintas itu.
Secara singkat strict liability di artikan sebagai liability without
fault (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan). Menurut L.B. Curson
doktrin strict liability ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:
a) Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting
tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial;
b) Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk
pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial itu;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
c) Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang
bersangkutan.
Menurut Common Law, strict liability berlaku terhadap tiga
macam delik yaitu sebagai berikut:
a) Public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi
jalan raya, menegluarkan bau tidak enak);
b) Criminal libel (fitnah, pencemaran nama);
c) Contempt of Court (pelanggaran tata tertib pengadilan).
Tetapi kebanayakan strict liability terdapat pada delik-delik yang
diatur dalam undang-undang (statutory offences; regulatory offences, mala
prohibita) yang pada umumnya merupakan delik-delik terhadap
kesejahteraan umum. Termasuk regulatory offences misalnya penjualan
makanan dan minuman atau obat-obatan yang membahayakan,
penggunaaan gambar dagang yang menyesatkan, dan pelanggaran lalu
lintas.
Doktrin pertanggungjawaban Strict liability diatur dalam Konsep
Rancangan KUHP 2004-2005 Pasal 38 ayat (1), yang berbunyi :
“Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang bisa menentukan bahwa
seseorang bisa dipidana semata-mata karena telah terpenuhinya unsur-
unsur tindak pidana tersebut tanpa memerhatikan adanya kesalahan”
Pasal 38 ayat (1) ini merupakan pengecualian terhadap asas tiada
pidana tanpa kesalahan. Oleh karena itu, tidak berlaku bagi semua tindak
pidana, melainkan hanay untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh
undang-undang.
2) Doctrine of Vicarious liability
Vicarius liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang
dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal perbuatan yang
dilakukan oleh orang lain itu adalah dalam ruang lingkup pekerjaan atau
jabatan. Jadi hanya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan
antara majikan dengan buruh, pembantu, atau bawahannya.
Ajaran kedua ini untuk memberikan pembenaran bagi pembebanan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah Doctrine of
Vicarious liability atau disebut juga pertanggungjawaban vikarius, adalah
pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang
dilakukan.
Menurut ajaran ini, seseorang dimungkinkan harus bertanggung
jawab atas perbuatan orang lain. Apabila teori ini diterapkan pada
korporasi, berarti korporasi dimungkinkan harus bertanggung jawab atas
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, atau
mandatarisnya, atau siapapun yang bertanggung jawab kepada korporasi
tersebut.
Di Inggris, pertanggungjawaban vikarius pada umumnya berkaitan
dengan tindak pidana yang ditentukan oleh undang- undang. Hal itu
diterapkan dalam hubungan antara pemberi kerja dan bawahan, pemberi
kuasa dan penerima kuasa. Selain itu pertanggungjawaban vikarius ini
dapat dibebankan atas seseorang karena dengan tegas suatu undang-
undang menentukan demikian.
Doktrin pertanggungjawaban vicarious liability diatur dalam
Konsep Rancangan KUHP 2004-2005 Pasal 38 ayat (2), yang menyatakan
bahwa:
“Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh setiap
orang lain.”
Pasal 38 ayat (2) ini pun merupakan pengecualian dari asas tiada
pidana tanpa kesalahan. Lahirnya pengecualian ini merupakan perluasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
dan pendalaman asas regulatif dan yuridis moral, yaitu dalam hal-hal
tertentu tanggung jawab seseorang dipandang patut diperluas sampai
kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan
untuknya atau atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu,
meskipun seseorang dalam kenyataannya tidak melakukan tindak pidana,
namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana ia dipandang
mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam
kedudukan yang sedemikian itu merupakan tindak pidana. Penggunaan
ketentuan ini harus dibatasi untuk kejadian tertentu yang ditentukan secara
tegas oleh undang-undang agar tidak digunakan secara sewenang- wenang.
3) Doctrine of Delegation
Doktin ini merupakan salah satu pembenar untuk dapat
membebankan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pegawai
kepada korporasi. Menurut doktrin ini alasan untuk dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah adanya
pendelegasian wewenang seseorang dari kepada orang lain untuk
melaksanakan kewenangan yang dimilikinya.
Dalam perkara-perkara dibawah ini merupkan contoh
pendelegasian wewenang dari seorang pemberi kerja, yang wewenang itu
diperolehnya karena ia memperolehsuatu izin usaha kepada bawahannya.
Pendelegasian wewenang oleh seorang pemberi kerja kepada bawahannya
merupakan alasan pembenar bagi dapat dibebankannya
pertanggungjawaban pidana kepada pemberi kerja itu atas perbuatan
pidana yang dilakukan oleh bawahannya itu.
Dalam perkara Allen v Whitehead (1930) 1 KB 211, terdakwa
yaitu pemilik sebuah café telah mendelegasikan pengelolaan café miliknya
kepada seorang pegawainya. Sekalipun terdakwa tidak mengetahui bahwa
bangunan tempat café itu digunakan oleh para pelacur (utntuk tempat
mejeng atau mangkal para pelacur), namun hal itu diketahui oleh pegawai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
yang bersangkutan. Terdakwa didakwa telah melakukan tindak pidana
berdasarkan s.44 dari Metropolitan Police Act 1839 karena “ Knowlingly
permitting or suffering prostitute to remain in a place where refreshments
are sold and consumed”. Perbuatan yang dilakukan oleh pegawainya itu
telah di atributkan sebagai perbuatan terdakwa sendiri.
4) Doctrine of Identification
Doktrin ini mengajarkan bahwa untuk dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada suatu korporasi, siapa yang
melakukan tindak pidana tersebut harus mampu di identifikasikan oleh
penuntut umum. Apabila tindak pidana itu dilakukan oleh mereka yang
merupakan “directing mind” dari korporasi tersebut, maka
pertanggungjawaban tindak pidana itu baru dapat di bebankan kepada
korporasi. Teori ini anatara lain dipakai dalam kasus H.L Bolton
Engineering Co. Ltd . v T.J. Graham Sons Ltd. Di Inggris (1957) 1 QB
159 . Dalam perkara tersebut di tentukan bahwa perilaku dan mens rea dari
seseorang terkait dengan suatu perusahaan dapat di atributkan kepada
perusahaan agar pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada
perusahaan tersebut. Dengan kata lain, perilaku dan sikap kalbu dari orang
tersebut dianggap merupakan perilaku dan sikap kalbu dari perusahaan
tersebut. Dengan kata lain sikap perilaku (conduct) dan sikap kalbu (mens
rea) dari orang tersebut dianggap merupakan perilaku dan sikap kalbu dari
perusahaan tersebut.
Dalam pertimbangan hukumnya, Denning L.J berpendapat bahwa
suatu perusahaan dalam banyak hal dapat disamakan dengan tubuh
manusia. Perusahaan memiliki sebuah otak dan pusat saraf yang
mengendalikan apa yang dilakukan oleh perusahaan itu. Perusahaan juga
memiliki tangan-tangan untuk memegang perlengkapan dan untuk
bertindak sesuai dengan pengarahan yang diberikan oeleh pusat saraf itu.
Sebagian orang-orang dari perusahaan itu semata-mata hanya sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
pegawai dan berfungsi tidak lebih sebagai tangan-tangan yang
melaksankan pekerjaan dan tidak dapat dikatakan bahwa mereka itu
mewakili pikiran dan kehendak dari perusahaan itu. Sementara itu, orang-
orang yang lain adalah para direktur dan manajer yang mewakili pikiran
dan kehendak yang mampu mengarahkan perusahaan itu dan berwenang
mengendalikan apa yang dilakukan oleh perusahaan itu. Menurut Denning
L.J, sikap kalbu dari para manajer ini sesungguhnya merupakan sikap
kalbu dari perusahaan itu sendiri dan hukum memperlakukan seperti itu.
5). Doctrine of Aggregation
Ajaran ini memungkinkan agregasi atau kombinasi kesalahan dari
sejumlah orang, untuk di atributkan kepada korporasi sehingga korporasi
dapat di bebani pertanggungjawaban. Menurut ajaran ini, semua perbuatan
dan semua unsur mental ( sikap kalbu) dari berbagai orang yang terkait
secara relevan dalam lingkungan perusahaan dianggap seakan- akan
dilakukan oleh satu orang saja.
Ajaran agregasi ini menurut Clarkson dan Keating memiliki
keuntungan karena dalam banyak kasus tidak mungkin untuk mengisolasi
seseorang yang telah melakukan tindak pidana, dengan memiliki mens rea
dalam melakukan tindak pidana itu dari perusahaan tempat dimana dia
bekerja. Ajaran ini dapat mencegah perusahaan-perusahaan
menyembunyikan dalam-dalam tanggung jawabnya dalam struktur
korporasi. Namun menurut Clarkson dan Keating, ajaran ini
mengabadikan personifikasi dari mitos perusahaan ( perpetuates the
personification of companies myth ). Apabila dalm jaran identifikasi
cukuplah untuk mendapatkan hanya satu orang yang perbuatannya dapat di
atributkan kepada perusahaan, maka dalam ajaran agregasi diharuskan
untuk dapat menemukan beberapa orang yang agregasi dari perbuatan-
perbuatan mereka secara keseluruhan di atributkan sebagai perbuatan
perusahaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
6). The Corporate Culture Model
The Corporate Culture Model atau Model Budaya Kerja
Perusahaan merupakan pendekatan yang telah diterima di Australia.
Pendekatan ini memfokuskan pada kebijakan korporasi yang tersurat dan
tersirat yang mempengaruhi cara korporasi melakukan kegiatan usahanya.
Dalam kaitan ini, pertanggungjawaban dapat dibebankan korporasi apabila
berhasil ditemukan bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan
melanggar hukum memiliki dasar yang rasional untuk meyakini anggota
korporasi yang memiliki kewenangan telah memberikan kewenangan atau
mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut.
Menurut The Corporate Culture Model, tidak perlu menemukan
orang yang bertanggungjawabkan perbuatan itu kepada korporasi.
Sebaliknya, pendekatan tersebut, menentukan bahwa korporasi sebagai
suatu keseluruhan adalah pihak yang harus juga bertanggungjawab karena
telah dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum dan bukan orang
yang telah melakukan perbuatan itu saja yang harus bertanggung jawab.
Menurut ketentuan Pasal 12.3 (2) Australian Criminal Code Act 1995 di
atas, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada korporasi
apabila dapat di buktikan bahwa :
a) Direksi korporasi dengan sengaja, atau mengetahui, atau dengan
sembrono telah melakukan tindak pidana yang dimaksud, atau secara
tegas, atau mengisyaratkan, atau secara tersirat telah memberi
wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut; atau
b) Pejabat tinggi dari korporasi tersebut dengan sengaja, atau mengetahui,
atau dengan sembrono telah terlibat dalam tindak pidana yang di
maksud, atau secara tegas, atau mengisyaratkan, atau secara tersirat
telah memberi wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak
pidana tersebut; atau
c) Korporasi memiliki suatu budaya kerja yang mengarahkan,
mendorong, menolelir, atau mengakibatkan tiak di penuhinya
ketentuan peraturan perundang- undangan yang terkait; atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
d) Korporasi tidak membuat (memiliki) dan memelihara suatu budaya
kerja yang mengharuskan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan
perundang- undangan.
7) Reactive Corporate Fault
Dalam tulisannya, Fisse dan Braithwaite mengemukakan bahwa
apabila actus reus dari suatu tindak pidana terbukti dilakukan oleh atau atas
nama korporasi, maka pengadilan, sepanjang telah dilengkapi dengan
kewenangan berdasarkan peraturan perundang- undangan untuk dapat
mengeluarkan perintah yang bersangkutan, dapat meminta kepada
perusahaan untuk :
a) Melakukan penyelidikan sendiri mengenai siapa yang bertanggung
jawab didalam organisasi perusahaan itu.
b) Untuk mengambil tindakan- tindakan disiplin terhadap mereka yang
bertanggung jawab.
c) Mengirimkan laporan yang merinci apa saja tindakan yang diambil
oleh perusahaan.
Menurut Fisse dan Braithwaite, apabila perusahaan (yang menjadi
terdakwa) memnuhi permintaan pengadilan dengan mengirimkan
laporan dan di dalam laporan itu dimuat apa saja langkah- langkah
yang telah diambil oleh perusahaan untuk mendisiplinkan mereka yang
bertanggung jawab, maka pertanggungjawaban pidana tidak akan
dibebankan kepada korporasi yang bersangkutan. Apabila tanggapan
dari perusahaan terhadap perintah pengadilan dianggap oleh
pengadilan tidak memadai, maka baik perusahaan maupun para
pemimpin puncak dari perusahaan itu akan dibebani
pertanggungjawaban pidana atas kelalaian atas kelalaian tidak
memenuhi pengadilan itu.
Reactive Liability Model dikomentari oleh para pakar
sebagai suatu pendekatan alternative yang radikal. Sekali suatu actus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
reus dari suatu tindak pidana dilakukan atas nama suatu perusahaan,
pengadilan dapat memerintah kepada perusahaan yang bersangkutan
untuk menyelidiki kejadian tersebut agar dapat menjatuhkan sanksi
kepada para pelaku yang bertanggung jawab dan untuk memastikan
kejadian itu tidak akan terulang kembali. Menurut teori ini, kesalahan
pidana dari suatu perusahaan akan muncul apabila, dan hanya apabila,
korporasi tidak bereaksi sebagaimana mestinya sesuai dengan perintah
pengadilan. Model Reactive Liability ini memusatkan perhatian pada
reaksi korporasi dalam hal suatu actus reus terjadi. Pendekatan ini
menempatkan kesalahan korporasi kepada kegagalan korporasi untuk
menyesuaikan kebijakan- kebijakannya, untuk melakukan tindakan
penertiban kedalam, dan untuk mengelola para pegawainya mengingat
kesalahan- kesalahan yang terjadi di masa lalu.
Keuntungan dari pendekatan reactive liability adalah
menghukum korporasi yang tidak bereaksi dengan sengaja ketika
korporasi ditarik untuk memberikan perhatian sebagaimana mestinya
terhadap kegiatan- kegiatan korporasi yang merugikan atau beresiko
tinggi. Di samping itu, pendekatan ini juga dapat memaksa korporasi
untuk meningkatkan kepatuhannya terhadap kebijakan- kebijakan yang
ada (The Law Reform Commission, 2003: 33).
Dalam hal menentukan pertanggungjawaban pidana harus
jelas telebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat (subjek)
dalam kenyataannya, memastikan siapa si pembuatnya tidak mudah.
Penetapan korporasi harus di ikuti pula dengan penentuan kapan suatu
korporasi dikatakan telah melakukan tindak pidana (kejahatan).
Tahap selanjutnya adalah penetapan sistem
pertanggungjawaban korporasi. Dalam hukum pidana terdapat asas
fundamental, yaitu asas “ geen straf zonder schuld” atau “ noela
poenasine culpa atau asas “ tiada pidana tanpa kesalahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Masalah pertanggungjawaban korporasi dalam kaitannya
dengan perbuatan para pengurus, dikenal dengan dua teori yaitu teori
identifikasi dan teori imputasi. Teori identifikasi mendasarkan
pandangannya, bahwa tindakan orang- orang yang menggambarkan
atau mewakili korporasi adalah tanggung jawab korporasi, sebab
merekalah yang menentukan kebijakan korporasi. Sementara itu, teori
imputasi adalah pertanggungjawaban yang mewakili. Kesalahan para
pegawai korporasi merupakan orang- orang yang ada hubungan
korporasi, artinya perbuatan pegawai harus ada hubungan dengan dan
demi kepentingan korporasi.
8) Ajaran Gabungan
Menurut Sutan Remy, Pembebanan pertanggungjawaban
pidana kepada korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang adalah apabila dipenuhi semua unsur-unsur sebagai berikut
(Sutan Remy Sjahdeini, 2007: 118).
a) Tindak Pidana tersebut ( baik dalam bentuk commision maupun
omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi
yang didalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi
sebagai directing mind dari korporasi.
b) Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan
tujuan korporasi.
c) Tindak Pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi
perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi.
e) Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud untuk
memberikan manfaat bagi korporasi.
f) Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar
atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban
pidana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
g) Bagi tindak- tindak pidana yang mengharuskan adanya unsur
perbuatan (actus reus) dan unsur kesalahan (mens rea), kedua
unsur tersebut (actus reus dan mens rea) tidak harus terdapat
dalam satu orang saja.
3. Pertanggungjawaban PT. Bangun Putra Remaja Terhadap Korban
Kecelakaan Kapal Laut Teduh II
Dalam sistem pertanggungjawaban pidana mengenai Korporasi ini
Hakim menggunakan ajaran pertanggungjawaban Korporasi Vicarious
Liability, karena terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan melawan
hukum yaitu sebagaimana telah didakwakan dengan Pasal 302 ayat (1),
ayat (3) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dengan
unsur- unsur sebagai berikut:
1) Nahkoda;
2) Melayarkan Kapalnya sedangkan yang bersangkutan mengetahui bahwa
kapal tersebut tidak laik laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117
ayat (2);
3) Mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda.
Unsur Nahkoda
Bahwa sesuai ketentuan Pasal 1 angka 41 Undang- Undang Nomor 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang dimaksud dengan Nahkoda adalah
salah seorang dari awak kapal yang menjadi pimpinan tertinggi di kapal
dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Unsur Melayarkan Melayarkan Kapalnya sedangkan yang
bersangkutan mengetahui bahwa kapal tersebut tidak laik laut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2);
Bahwa dalam ketentuan Pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang dimaksud dengan kelaiklautan kapal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib di penuhi setiap kapal
sesuai dengan daerah Pelayarannya yang meliputi:
a) Keselamatan Kapal;
b) Pencegahan Pencemaran dari Kapal;
c) Pengawakan Kapal;
d) Garis muat Kapal dan permuatan;
e) Kesejahteraan Awak Kapal dan Kesehatan Penumpang;
f) Status hukum laut;
g) Manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal; dan
h) Manajemen keamanan Kapal.
Unsur Mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda
Bahwa menurut Majelis Hakim, terdakwa telah terbukti terpenuhi
perbuatan terdakwa karena berdasarkan keterangan saksi-saksi
dihubungkan dengan Visum et Repertum ternyata akibat terbakarnya kapal
KMP Laut Teduh II mengakibatkan 29 orang meninggal dunia dan korban
luka-luka serta mengakibatkan kerugian harta benda berupa kendaraan
roda empat dan roda dua.
Dalam pertanggungjawaban Vicarius Liability, seseorang
dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Apabila
teori ini diterapkan kepada korporasi, berati korporasi dimungkinkan harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para
pegawainya, kuasanya, mandatarisnya atau siapapun yang bertanggung
jawab kepada korporasi tersebut.
Pertanggungjawaban Vicarius Liability dapat di bebankan atas
seseorang karena dengan tegas Undang-Undang menentukan demikian.
Dalam kasus ini, Undang- Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang
Pelayaran telah menyatakan secara jelas yaitu terdapat dalam Pasal 249
yang menyatakan bahwa kecelakaan Kapal sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 245 (berupa kapal tenggelam, terbakar, tubrukan, dan kandas )
merupakan tanggung jawab Nahkoda kecuali dapat dibuktikan lain. Selain
tedapat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran
yang menyangkut tanggung jawab seorang Nahkoda, juga terdapat dalam
struktur Organisasi dari PT. Bangun Putra Remaja yang menyatakan
bahwa tanggung jawab seorang Nahkoda yaitu untuk menjamin
keselamatan jiwa manusia di atas Kapal.
Dengan dipidananya Nahkoda terebut sudah mewakili Perusahaan
itu sendiri, selain dipidananya Nahkoda adapun sanksi administratif bagi
Perusahaan Pelayaran ini dengan di berikannya sebuah peringatan oleh
Mahkamah Pelayaran. Dimana Mahkamah Pelayaran memiliki fungsi
untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan atas kecelakaan kapal dan
menegakkan kode etik profesi dan kompetensi Nahkoda dan/ atau Perwira
setelah dilakukan pemeriksaan pendahuluan oleh Syahbandar.
Dalam putusan perkara ini hakim menjatuhkan pidana kepada
Nahkoda sebagai terdakwa, yaitu dengan di jatuhi hukuman penjara
selama 4 (empat) tahun dan denda sebanyak Rp.100.000.000 (seratus juta
rupiah).
PT. Bangun Putra Remaja pun telah berupaya penuh terhadap
korban kecelakaan tersebut, yaitu dengan memberikan santunan atau
bantuan, dengan rincian sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
1) Korban Selamat, dengan bantuan sebagai berikut:
a) Cek Kesehatan di Rumah Sakit Krakatau Medika;
b) Pulang dengan biaya Perusahaan sampai tempat tujuan ( melalui jalur
Darat, Laut, maupun Udara);
c) Diberikan makan/ minum selama dalam penanganan;
2) Korban Rawat Inap, dengan rincian sebagai berikut:
a) Biaya perawatan di tanggung oleh pihak Asuransi;
b) Perusahaan memberi makan bagi keluarga pasien yang menunggu;
c) Perusahaan memberikan biaya transportasi untuk pulang ke tempat
tujuan, apabila pasien di ijinkan pulang.
3) Korban Meninggal Dunia, dengan rincian sebagai berikut :
a) Mendapat santunan dari Asuransi Jasa Raharja;
b) Diberikan uang duka oleh pihak perusahaaan/ Uang Pemakaman;
c) Diberikan biaya Transportasi Ambulance antar jenasah samapai
tempat tujuan oleh Perusahaan;
d) Memberikan makanan/minuman kepada keluarga yang mengurus
jenasah oleh perusahaan.
4) Kendaraan dan muatan, dengan rincian sebagai berikut:
a) Diberikan ganti rugi oleh pihak Asuransi Jasa Raharja;
b) Perusahaan membantu kelengkapan persyaratan administrasinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
B. Pembahasan
1. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana
Badan hukum adalah subyek hukum. Subyek hukum menurut
Sudikno Mertokusumo adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak
dan kewajiban dari hukum. Yang dapat memperoleh hak dan kewajiban
dari hukum hanyalah manusia. Jadi manusia diakui oleh hukum diakui
sebagai penyandang hak dan kewajiban, sebagai subyek hukum atau
sebagai orang. Bahkan janin masih ada dalam kandungan seorang wanita
dalam berbagai tatanan hukum modern, sudah dipandang sebagai subyek
hukum sepanjang kepentingannya memerlukan pengakuan dan
perlindungan hukum.
Kedudukan sebagai badan hukum itu di tetapkan oleh Perundang-
Undangan, kebiasaan atau yurisprudensi. Pada beberapa badan atau
perkumpulan (dalam arti luas) tegas-tegas oleh undang-undang dinyatakan
sebagai badan hukum. Hal ini kita lihat dari dalam perkumpulan koperasi,
bahwa koperasi memperoleh status badan hukum setelah disahkan oleh
pemerintah (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992). Lebih tegas
lagi adalah Perseroan Terbatas di Negeri Belanda, dalam Pasal 37 W.v.k
(Ned). Pada perseroan terbatas dalam KUHD (Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang) Indonesia penegasan itu tidak terdapat, tetapi ini tidak
berarti bahwa perseroan terbatas itu bukan badan hukum.
Pada badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan yang tidak
dengan tegas – tegas dinyatakan sebagai badan hukum, penetapan
kedudukan badan hukum itu ditentukan dengan jalan melihat hukum-
hukum yang mengatur tentang badan-badan atau perkumpulan-
perkumpulan itu. Dalam kenyataan masyarakat yang dewasa ini, bukan
hanya manusia saja yang diakui sebagai subyek hukum. Untuk memenuhi
kebutuhan manusia itu sendiri, sekarang dalam hukum juga diberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
pengakuan sebagai subyek hukum pada yang bukan manusia. Subyek
hukum yang bukan manusi itu disebut sebagai badan hukum.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di indonesia saat ini, tidak
dikenal dalam Hukum Pidana atau tidak terdapat dalam KUHP. Hal ini di
sebabakan karena KUHP masih mempergunakan subjek tindak pidananya
adalah orang dalam konotasi biologis yang dialami, sebab para penyusun
KUHP menerima asas societas universitas delinquere non protest (badan
hukum tidak dapat melakukan tindak pidana).
Menurut Enschede, ketentuan universitas delinquere non protest
adalah contoh yang khas dar pemikiran dogmatis dari Abad XIX, dimana
kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan dan sesungguhnya
hanya kesalahan dari manusia sehingga erat kaitannya dengan sifat
individualisasi KUHP.
Beberapa Undang-Undang yang mengatur mengenai subjek tindak
pidana Koporasi, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika Pasal 1 angka 13, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika Pasal 1 angka 19, Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 1 angka 1 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Pasal 1 angka 2 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang yang pada intinya mengatakan:
“Korporasi adalah kumpulan orang/ dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.”
Dalam ketentuan Pasal 51 Sr, memuat isi sebagai berikut :
1) Tindak Pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun
oleh korporasi;
2) Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan
pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan
(maatregelen) yang disediakan dalam perundang-undangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
sepanjang berkenaan dengan korporasi dapat dijatuhkan. Dalam
hal ini pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap :
a) Korporasi sendiri atau;
b) Mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk
melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk
mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan
tindak pidana dimaksud;
c) Korporasi atau mereka yang mereka di sebut dalam huruf
(b) bersama-sama secara tanggung renteng.
3) Berkenaan dengan penerapan butir-butir sebelumnya, yang
disamakan dengan korporasi: persekutuan bukan badan hukum,
maatschap (persekutuan perdata), rederij (perusahaan perkapalan)
dan doelvermogen (harta kekayaan yang dipisahkan demi
pencapaian tujuan tertentu; social fund atau yayasan).
Korporasi sebagai subjek hukum pidana mengalami
pekembangan beberapa tahap, antara lain :
1) Tahap Pertama
Dalam tahap ini, usaha-usaha agar sifat delik yang
dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan. Apabila suatu
tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi maka tindak
pidana tersebut dianggap telah dilakukan oleh pengurus
korporasi. Tahap ini merupakan dasar bagi Pasal 59 KUHP yang
berisi:
“Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan
pidana terhadap pengurus, anggota badan pengurus, atau
komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau
komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan
pelanggaran tindak pidana.”
Dalam Pasal 59 KUHP memuat alasan penghapusan
pidana. Kesulitan yang timbul dengan pasal 59 KUHP ini adalah
sehubungan dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana
yang menimbulkan kewajiban bagi seorang pemilik atau seorang
pengusaha. Jika pemilik atu pengusahanya adalah korporasi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
maka bagaimana memutuskan tentang pertanggungjawabannya.
Kesulitan ini dapat diatasi dengan Tahap kedua.
2) Tahap Kedua
Dalam tahap ini korporasi dapat sebagai pembuat delik,
akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah apara anggota
pengurus, asal saja dengan tegas dinyatakan demikian dalam
peraturan itu. Dalam tahap ini pertanggungjawaban pidana
korporasi secara langsung masih belum muncul. Contoh
peraturan perundang-undangan dalam tahap ini:
a) Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951, LN. 1951-78 tentang
Senjata Api. Dalam Pasal 4 ayat (1) berbunyi, “Bilamana
sesuatu perbuatan yang dapat dihukum menurut undang-
undang ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan suatu badan
hukum, maka penuntutan dapat dilakukan dan hukuman
dapat dijatuhkan kepada pengurus atau kepada wakilnya
setempat”.
Serta pada ayat (2) berbunyi, “ ketentuan pada ayat (1)
dimuka berlaku juga terhadap badan-badan hukum, yang
bertindak selaku pengurus atau wakil dari suatu badan
hukum lain”.
b) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992
Jo Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan dalam Pasal 6 ayat (2) berbbunyi:
dalam kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan
terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka
penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik
terhadap mereka yang memberi perintah melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam
perbuatan itu atau terhadap kedua-keduanya.
3) Tahap Ketiga
Dalam tahap ini dibuka kemungkinan adanya menuntut
korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum
pidana. Ini didasarkan dengan alasan bahwa dengan hanya
memidana para pengurus saja belum ada jaminan bahwa
korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan
memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai
dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat di paksa korporasi
untuk menaati peraturan yang bersangkutan.
Peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi
sebagai subyek tindak Pidana dan secara langsung dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Undang-Undang
Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusustan, Penuntutan
Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yang lebih dikenal
dengan nama Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam
Pasal 15 ayat (1) berbunyi;
“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama
suatu badan hukum, perseroan, suatu perserikatan orang atau
yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana
serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum
perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka
yang memeri perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau
bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu
maupun terhadap kedua-duanya”.
Dari pernyataan di atas dapat diambil suatu kesimpulan yang
dapat melakukan mapun yang dapat dipertanggungjawabkan
adalah orang dan/ atau perserikatan atau korporasi itu sendiri.
Dalam tahap ketiga ini, peraturan perundang-undangan khusus
diluar KUHP.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Tahap –tahap perkembangan korporasi sebagai subyek hukum
pidana di Indonesia ternyata mengikuti perkembangan yang terjadi di
Negeri Belanda. Pada tahap pertama di dalam KUHP Belanda, pasal 51
sebelum diadakan perubahan ketentuan tersebut, ternyata rumusannya sama
dengan ketentuan Pasal 59 KUHP Indonesia. Hal tersebut karena pengaruh
yang kuat dari asas Universitas delinquere non potest, yang menekankan
sifat delik yang dapat dilakukan korporasi terbatas pada perorangan.
Pada tahap kedua baik di Negeri Belanda maupun di Indonesia,
sudah dikenal pertanggungjawaban pidana korporasi atau korporasi sebagai
subyek tindak pidana sudah dikenal. Akan tetapi pertanggungjawaban
pidana secara langsung belum muncul, sehingga dalam tahap ini yangd
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi.
Tahap ketiga, ternyata di Negeri Belanda maupun di Indonesia,
sudah dikenal pertanggungjawaban pidana korporasi atau korporasi sebagai
subyek tindak pidana sudah dikenal. Di Negeri Belanda perkembangan
pertanggungjawaban pidana secara langsung pada awalnya terdapat dalam
perundang-undangan khusus diluar W.v.S seprti yang terdapat dalam pasal
15 Wet op de Economsche Delicten tahun 1950, Pasal 2 Rijksbelasting
Wet, tahun 1959. Perkembangan tersebut juga di ikuti di Indonesia Pasal 15
Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana
Ekonomi. Namun di Belanda lebih maju yaitu menempatkan korporasi
korporasi sebagai subyek tindak pidana secara umum dengan memuatnya
dalam W.v.S- nya pada tahun 1976. Sedangkan di Indonesia
pertanggungjawaban pidana korporasi secara umum belum dikenal dan
hanya terdapat dan berlaku terhadap beberapa peraturan perundang-
undangan khusus di luar KUHP.
Berikut ini formulasi beberapa perundang-undangan tentang
korporasi sebagai pelaku tindak pidana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Pasal 11 Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1951
tentang penimbunan barang-barang berbunyi sebagai berikut:
1) Bilamana suatu eprbuatan yang boleh dihukum
berdasarkan undang-undang ini, dilakukan oleh suatu
badan hukum, maka tuntutan itu dilakukan dan hukuman
dijatuhkan terhadap badan-badan hukum itu atau terhadap
orang-orang termaksud dalam ayat (2) pasal ini, atau
terhadap kedua-duanya.
2) Suatu perbuatan yang dapat dihukum berdasarkan undang-
undang ini dilakukan oleh suatu badan hukum, jika
dilakukan oleh seorang atau lebih yang dapat dianggap
bertindak masing-masing atau bersama-sama melakukan
atas nama badan hukum itu.
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1965
tentang Tindak Pidana Ekonomi yang berbunyi :
“jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama
suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan, orang
yang lainnya, atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan
hukuman pidana serta tindakan tata tertib di jatuhkan, baik
terhadap mereka yang meberi perintah melakukan tindak pidana
ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam
perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 PNPS Tahun 1963
tentang Tindak Pidana Subversi (undang-undang ini telah dicabut dengan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999) berbunyi :
“ jika duatu tindak pidana subversi dilakukan oleh atau atas nama
suatu badan hukum, perseroan, perserikatan orang, yayasan, atau
organisasi lainnya, maka tindakan peradilan dilakukan, baik
terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan orang, yayasan
atau organisasi lainnya itu, baik terhadap mereka yang member
perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang
bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu, maupun
terhadap kedua-duanya”.
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Penyimpanan Narkotika berbunyi:
“ Jika suatu tindak pidana mengenai Narkotika dilakukan oleh atau
atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
perserikatan, orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka
tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan
tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan,
perserikatan atau yayasan itu, maupun terhadap mereka yang
memberi perintah melakukan tindak pidana Narkotika itu atau
yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggung jawab dalam
perbuatan atau kelalaian itu, ataupun terhadap kedua-duanya.
Pasal 45 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan memberikan formulasi sebagai
berikut :
“ jika suatu tindak pidana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh
atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan, atau organisasi lain ancaman pidana denda diperberat
dengan sepertiganya.
Sementara Pasal 46 ayat (1) undang-undang tersebut menentukan
:
“ jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini
dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan,
perserikatan, yayasan, atau organisasi lain maka tuntutan pidana
dilakukan dan sanksi pidana serta tata tertib sebagimana
dimkasud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum,
perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain tersebut
maupun terhadap mereka yang member perintah untuk
melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai
pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 mengadopsi pemikiran tersebut dalam Pasal 2001
mengadopsi pemikiran tersebut dalam Pasal 20 ayat (1), yang berbunyi :
“Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama
suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan piadana dapat
dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya”.
Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 khususnya Pasal 4 ayat (1) , yang berisi:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
“ Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan / atau
kuasa pengurus atas nama korporasi, maka penjatuhan pidana
dilakukan baik terhadap pengurus dan / atau kuasa pengurus
maupun terhadap korporasi”.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
khususnya Pasal 333 ayat (2) dan Pasal 335, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 333 ayat (2)
"Dalam hal tindak Pidana dilakukan oleh suatu korporasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka penyidikan,
penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi
dan/atau pengurusnya".
Pasal 335
"Dalam hal tindak pidana dibidang pelayaran dilakukan oleh
suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi
berupa pidana denda dengan pemeberatan 3 (tiga) kali dari
pidana denda yang ditentukan dalam Bab ini".
2. Pertanggungjawaban PT. Bangun Putra Remaja terhadap Korban
Kecelakaan Kapal Laut Teduh II
Dalam hukum pidana di kenal beberapa ajaran mengenai
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, diantaranya strict liability,
Vicarius liability, Doctrine of Delegation, Doctrine of Identification,
Doctrine of Aggregation, The Corporate Culture Model, Reactive
Corporate Fault, dan Ajaran Gabungan. Korporasi dapat di mintai
pertanggungjawaban pidana apabila dalam menjalankan tugasnya korporasi
memberikan dampak negative terhadap kepentingan umum/ masyarakat.
Pasal 333 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran menyebutkan bahwa :
(1) Tindak pidana di bidang Pelayaran dianggap dilakukan oleh korporasi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang yang bertindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
untuk dan/ atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi,
baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak
dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-
sama.
(2) Dalam hal tindak pidana di bidang Pelayaran dilakukan oleh suatu
korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka penyidikan,
penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/ atau
pengurusnya.
Menurut Suprapto korporasi dapat mempunyai kesalahan, badan-
badan bisa di dapat kesalahan, bila kesengajaan atau kelalaian terdapat pada
orang-orang yang menjadi alat-alatnya. Dapatlah kiranya kesalahan itu
disebut kesalahan kolektif, yang dapat dibebankan kepada pengurusnya.
Kasus Posisi terbakarnya KMP Laut Teduh II
1) Bahwa pada hari jumat tanggal 28 Januari 2011 sekitar pukul
04.10 Wib telah terjadi kebakaran di Kapal KMP Laut Teduh II
disekitar pulau Tempurung Merak Kota Cilegon.
2) KMP Laut Teduh II berlayar dari Merak menuju Bakauheni
dengan jumlah penumpang tiket 35 orang, mobil 97 unit yang
terdiri dari sepeda motor, mobil penumpang, bus dan truk.
3) Kurang dari 30 menit kapal KMP Laut Teduh II berangkat dari
Merak sekitar pulau Tempurung terjadi kebakaran, kebakaran
tersebut berasal dari bus HD Transport yang berada di card
deck kapal.
4) Bahwa pada saat terjadi kebakaran Nahkoda selaku Terdakwa
tidak mengetahui adanya bus yag terbakar karena terdakwa
tetap berada di anjungan pada saat kejadian.
5) Terdakwa mendengar peristiwa kebakaran di caard deck dari
radio crew dan setelah mendengar dari radio crew tersebut
terdakwa langsung meminta bantuan kepada seluruh kapal-
kapal yang berlayar sekitar KMP Laut Teduh II.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
6) Bahwa pada saat terjadi kebakaran terdakwa menyelamatkan
penumpang terlebih dahulu baru menyelamatkan diri,
7) Nahkoda yang bertanggung jawab atas keselamatan
penumpang dan sekaligus sebagai pemimpin tertinggi diatas
kapal;
8) Terdakwa mengetahui alat standart keselamatan yang tidak
berfungsi dan tidak pernah melaporkan adanya alat standart
keselamatan yang tidak berfungsi
9) Penyelamatan penumpang dapat dilakukan secara manual
dengan cara mengumpulkan penumpang di suatu area, namun
terdakwa tidak melakukan pengumpulan penumpang ke suatu
area untuk diselamatkan sesuai dengan surat plinker system;
10) Terdakwa mengetahui bahwa plinker system, smoke detector,
life craft, dan alarm darurat kebakaran tidak berfungsi di dalam
kapal;
11) Atas perbuatan terdakwa telah menyebabkan adanya korban
baik yang luka-luka maupun yang meninggal dunia kurang
lebih 29 orang serta mengakibatkan kerugian harta benda
berupa kendaraan roda empat dan kendaraan roda dua.
Berdasarkan kasus posisi di atas, hakim dalam menjatuhkan
putusan mengenai kasus terbakarnya Kapal Laut Teduh II yang
mengakibatkan banyak korban ini menggunakan ajaran Vicarius Liability
yaitu dengan menjatuhkan pidana terhadap Nahkoda.
Vicarious Liability ini berlaku hanya terhadap jenis tindak pidana
tertentu, menurut hukum pidana Inggris, vicarious liability hanya berlaku
terhadap :
a) Delik-delik yang mensyaratkan kualitas
b) Delik-delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh
dan majikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Pertanggungjawaban vicarious Liability dapat dibebankan atas
seseorang karena dengan tegas suatu undang-undang menentukan
demikian, dalam kasus ini terkait Pasal 249 yang menyatakan bahwa “
kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 merupakan
tanggung jawab Nahkoda kecuali dapat dibuktikan lain”.
Nahkoda disini melakukan perbuatan melawan hukum yang
tertuang dalam Pasal 302 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran. Kesalahan Nahkoda di sini berupa
kealpaan atau kelalaian. Pasal 302 ayat (1) dan (3) menyatakan bahwa
Nahkoda yang melayarkan kapalnya sedangkan yang bersangkutan
mengetahui bahwa kapal tersebut tidak laik laut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 117 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
tahun atau denda paling banyak Rp.400.000.000 (empat ratus juta rupiah).
ayat 3 berisi "jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
BAB IV
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh
korporasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sebenarnya
sudah diatur. Koporasi di akui sebagai subyek hukum terdapat dalam berbagai
peraturan perundang-undangan antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka 13, Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 1 angka 19, Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 1 angka 1
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Pasal 1 angka 2
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam perkembangannya Korporasi tidak hanya bergerak di bidang kegiatan
ekonomi saja, akan tetapi sekarang ini sudah mulai meluas mencakup bidang
pendidikan, kesehatan riset, pemerintahan, sosial, budaya dan agama.
Hukum Pidana juga mengenal berbagai macam ajaran pertanggungjawaban
Pidana Korporasi diantaranya yaitu strict liability, Vicarius liability, Doctrine
of Delegation, Doctrine of Identification, Doctrine of Aggregation, The
Corporate Culture Model, Reactive Corporate Fault, dan Ajaran Gabungan.
2. Bentuk Pertanggungjawaban PT. Bangun Putra Remaja terhadap korbannya
yaitu dengan di pidananya seorang Nahkoda, dimana Nahkoda tersebut telah
melakukan perbutan melawan hukum yaitu tercantum dalam pasal Pasal 302
ayat (1) dan (3).
Dalam Pasal 333 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
menyebutkan bahwa:
(1) Tindak pidana di bidang Pelayaran dianggap dilakukan oleh korporasi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang yang bertindak
untuk dan/ atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan
korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
(2) Dalam hal tindak pidana di bidang Pelayaran dilakukan oleh suatu
korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka penyidikan,
penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/ atau
pengurusnya.
Dalam hal ini Nahkoda dapat dimintai pertanggungjawabannya secara
pidana. Dengan dijatuhkannya pidana terhadap Nahkoda, dianggap telah
mewakili perusahaan PT. Bangun Putra Remaja, karena Nahkoda disini bertindak
untuk dan atas nama korporasi tersebut.
B. SARAN
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah penulis uraikan,
maka penulis memiliki beberapa saran yang mungkin dapat menjadi masukan
dan pertimbangan yang bermanfaat. Saran yang hendak penulis sampaikan
adalah sebagai berikut:
1. Sebaiknya dalam menentukan pertanggungjawaban pidana mengenai
korporasi ini harus teliti, karena sangat sulit untuk menentukan
korporasi sebagai subyek hukum.
2. Tidak hanya manusia sebagai subyek hukum saja yang dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana, tetapi juga badan hukum pun
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Sanksi yang dapat
dijatuhkan pada badan hukum diantaranya dapat berupa pidana denda,
pidana tambahan berupa pengumuman putusan pengadilan, pidana
tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan,
tindakan administrative berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian
fasilitas tertentu yang telah atau dapat diperoleh perusahaan dan
tindakan tata tertib berupa penempatan perusahaandi bawah
pengampuan yang berwajib.
Dengan demikian penjatuhan hukuman terhadap Nahkoda dengan
Pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebanyak 100.000.000 (
seratus juta rupiah ) dalam kasus terbakarnya Kapal Laut Teduh II ini
sudahlah tepat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Moeljatno.2010. Asas- Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.
HB. Sutopo 1999. Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif Bagian 11.
Surakarta :UNS Press.
Lexy J. Moelong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian
Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas
Indonesia.
Winarno Budyatmojo. 2009. Hukum Pidana Kodifikasi. Solo: UNS Press.
Jan Remmelink. 2003. Hukum Pidana. Jakarta.: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mahrus Ali. 2008. Kejahatan Korporasi. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran.
Muladi dan Dwija Priyatna. 2009. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.
Bandung : Kencana.
Sutan Remy Sjahdeini. 2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta:
Grafiti Pers.
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. 2003. Perseroan Terbatas. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
AbdulKadir Muhammad. 2010. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Supanto.2010. Kejahatan Ekonomi Global dan Kebijakan Hukum Pidana.
Bandung: Alumni.
Perundang- undangan
Kitab Undang- Undang Hukum Pidana
Undang- undang Nomor 17 Tahun 2008, Tentang Pelayaran
Rancangan Undang- undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun
1999-2000.
Rancangan Undang- undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Tahun 2004.
Jurnal
Winarno Budyatmojo. 2008. “ Korporasi Dalam Kejahatan Ekonomi Di Era
Globalisasi”. Tahun XVIII No. 74.
Voon, Mung-Ling, Sze-Ling Voon, and Chin-Hong Puah. 2008. An Empirical
Analysis of Determinants of Corporate Crime in Malaysia. International
Applied Economics and management Letters. Vol. 1 No. 1, pp 13-17.
Angira Singhvi. 2006. Corporate Crime and Sentencing in India: Required
Amendments in Law. International Journal of Criminal Justice Sciences.
Vol 1.
Internet
http://waterforgeo.blogspot.com/2011/01/fungsi-dan-manfaat-transportasi.html
(diakses tanggal 19-03-2012 jam 12.50).
http://alyaspikal.blogspot.com/2010/03/transportasi-laut.html
(diakses tgl 19-03-2012 jam 16.33)