Download - diabetes mellitus
PENDAHULUAN
Diabetes Melitus ( DM ) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kesuanya. 1 Pada DM tipe II, bentuk DM ini lebih ringan dan terutama dijumpai pada
orang dewasa ketimbang anak-anak.2
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia,
kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat
yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.2
Di pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di daerah itu banyak
perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado, Waspadji menyimpulkan mungkin
angka itu tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari orang-orang yang datang
dengan sukarela, jadi agak lebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan
budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan bahwa prevalensi di Manado
memang tinggi, karena prevalensi diabetes di Filipina juga tinggi yaitu sekitar 8,4%
sampai 12% di daerah urban dan 3,85% sampai 9,7% di daerah rural.2
Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah
urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69% sedangkan di daerah rural di suatu
daerah di Jawa Barat tahun 1995, angka itu hanya 1,1%. Di sini jelas ada perbedaan
antara prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya
hidup mempengaruhi kejadian diabetes. Tetapi di Jawa Timur angka itu tidak berbeda
yaitu 1,43% di daerah urban dan 1,47% di daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan
tingginya prevalensi Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM) atau yang sekarang
disebut diabetes tipe lain di daerah rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 21,2% dari seluruh
diabetes di daerah itu.2
Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi
DM tipe 2 sebesar 14,7%, suatu angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di
Makasar, prevalensi diabetes terakhit tahun 2005 yang mencapai 12,5%. Pada tahun
2006, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
bekerja sama dengan Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan
melakukan Surveilans Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular di Jakarta yang melibatkan
1591 subyek, terdiri dari 640 laki-laki dan 951 wanita. Survei tersebut melaporkan
prevalensi DM di lima wilayah DKI Jakarta sebesar 12,1% dengan DM yang terdeteksi
sebesar 3,8% dan DM yang tidak terdeteksi sebesar 11,2%. Berdasarkan data ini
diketahui bahwa kejadian DM yang belum terdiagnosis masih cukup tinggi, hampir 3x
lipat dari jumlah kasus DM yang sudah terdeteksi.2
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan
terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan
demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau
2 dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat dengan drastis.3
Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO, Indonesia akan
menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4
juta orang pada tahun 2025, naik 2 tingkat disbanding tahun 1995.2
ISI
Patofisiologi dan Etiologi pada DMTTI
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan jenis yang lebih sering terjadi, tetapi jauh
lebih sedikit yang telah dipahami karena bersifat multifaktorial. Defek metabolik karena
gangguan sekresi insulin atau karena resistensi insulin di jaringan perifer.3
Genetika : toleransi karbohidrat dikontrol oleh berjuta pengaruh genetik. Oleh
karena itu DM II merupakan kelainan poligenik dengan faktor metabolik berganda
yang berinteraksi dengan pengaruh eksogen untuk menghasilkan fenotip tersebut
koordinasi genetik pada DM tipe 2 pada kembar identik mendekati 90%. 4
Resistensi insulin
o Mekanisme mayor resistensi insulin pada otot skeletal meliputi gangguan aktivasi
sintase glikogen , disfungsi regulator metabo0lis, reseptor doen-regulation, dan
abnormalitas transporter glukosa.4
o Meningkatkan penurunan ambilan glukosa selular yang dimediasi oleh insulin.4
o Hepar juga menjadi resisten terhadap insulin, yang biasanya berespon terhadap
hiperglikemia dengan menurunkan produksi glukosa. Pada DM II, produksi
glukosa hepar terus berlangsung meskipun terjadi hiperglikemia, mengakibatkan
peningkatan keluaran glukosa hepar basal secara tidak tepat.4
o Obesitas, terutama obesitas abdomen, berhubungan langsung dengan peningkatan
derajat resistensi insulin.4
Disfungsi sel beta
o Disfungsi sel beta mengakibatkan ketidakmampuan sel pulau (sel islet) penkreas
menghasilkan insulin yang memadai untuk menyediakan insulin yang cukup
setalah sekresi insulin dipengaruhi.4
o Diteorikan bahwa hiperglikemia dapat membuat sel beta semakin tidak responsif
terhadap glukosa karena toksisitas glukosa.4
o Sekresi insulin normalnya terjadi dalam dua fase. Fase pertama terjadi dalam
beberapa menit setelah suplai glukosa dan kemudian melepaskan cvadangan
insulin yang disimpan dalam sel beta; fase dua merupakan pelepasan insulin yang
baru disintesis dalam beberapa jam setelah makan. Pada DM II, fase pertama
pelepasan insulin sangat terganggu.4
o Fungsi sel beta (termasuk fase awal sekresi insulin) dan resistensi insulin
membaik dengan penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas fisik.4
Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan &
manajemen; ahli bahasa, HY Kuncara, editor bahasa Indonesia, Devi
Yulianti. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2007.
Manifestasi Klinik
Diabetes mellitus diklasifikasikan berdasarkan proses patogenik yang
menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Secara garis besar dibagi menjadi DM tipe 1 dan
tipe 2. Kedua jenis DM ini didahului oleh fase hemostasis glukosa abnormal seiring
dengan proses patogenik berlanjut. Tipe 1 disebabkan oleh defisiensi insulin total atau
mendekati total. DM tipe 2 merupakan sekelompok kelainan yang dicirikan dengan
berbagai derajat resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, dan peningkatan produksi
glukosa. Defek metabolik dan genetic yang jelas pada fungsi/sekresi insulin merupakan
penyebab hiperglikemia yang umum pada pasien DM tipe 2, dan mempunyai peranan
yang penting dalam implikasi terapi karena sekarang sudah terdapat obat yang dapat
memperbaiki gangguan metabolic secara spesifik. DM tipe 2 didahului oleh homeostasis
glukosa abnormal yang disebut sebagai impaired fasting glucose (IFT) dan impaired
glucose tolerance (IGT).5,6
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk
memastikan diagnosis DM , pemeriksaan glukosa seyogyanya di laboratorium klinik
yang terpercaya. Waalupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai
bahan darah utuh (whole blood), vena maupun kapiler dengan memperhatikan angka-
angka kriteria diagnostic yang berbeda sesuai dengan pembakuan oleh WHO. Untuk
pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa kadar glukosa kapiler.6
Ada perbedaan uji diagnostic DM pemeriksaan penyaring. Uji diagnostic DM
dilakukan pada mereka yang menunjukkan tanda/gejala DM. sedangkan pemeriksaan
penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang
mempunyai faktor risiko DM. serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada
mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis
definitive.6
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM
sebagai berikut:6
Usia > 45 tahun
BB > 110% berat badan ideal atau IMT > 23kg/m2
Hipertensi ( > 140/90 mmHg)
Riwayat DM
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau berat badan lahir bayi >
4 kg.
Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan
langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan
sementara menuju DM. setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan
berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT, dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT
sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya
atherosclerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan
dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola
kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan
pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes
toleransi glukosa oral (TTGO) standart.
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
plasma vena < 110 110 – 199 > 200
darah kapiler < 90 90 - 199 > 200
Kadar glukosa darah puasa
plasma vena < 110 110 – 125 > 126
darah kapiler < 90 90 - 109 > 110
Langkah-langkah Untuk Menegakkan Diagnosis DM dan Gangguan Toleransi
Glukosa.
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan,
gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Jika
keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. hasl pemeriksaan kadar glukosa darh puasa > 126 mg/dL
juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM,
hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kal saja abnormal, belum cukup kuat
untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat
sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dL, kadar glukosa
darah sewaktu > 200 mg/dL pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa
(TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan > 200 mg/dL.6
Powers AC. Diabetes melitus in: Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17 ed.
USA: McGraw-Hill; 2008.p.2275-6
Gustaviani R. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Sudoyo, Aru
W, dkk, editor. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.Jakarta : FKUI; 2009.h. 1879-80.
Anamnesis
Pertanyaan-pertanyaan yang biasa ditanyakan pada saat anamnesis padien diabetes
adalah gejala-gejala khas diabetes serta komplikasi yang biasa sudah menyertainya pada
saat diagnose. Pertanyaan yang biasa diajukan antara lain :
Poliuria. Apakah pasien merasakan volume urin yang meningkat. Biasanya
sering disertai dengan adanya nokturia yang membangunkan pasien dari
tidurnya dan sering menganggu kualitas tidur.
Polidipsia. Tanyakan apakah pasien sering merasa haus. Polidipsia disebabkan
oleh banyaknya volume urin yang dikeluarkan.
Poliphagia. Tanyakan apakah pasien sering merasa lapar.
Penurunan berat badan.
Neuropati. Tanyakan apakah pasien mengalami kesemutan, hilang rasa pada
bagian distal tubuh seperti kaki.
Infeksi. Tanyakan apabila pasien mendapat luka, apakah luka tersebut sukar
sembuh, terutama pada bagian kaki..
Retinopati. Tanyakan pada pasien apakah ia mengalami gangguan
penglihatan.
Pemeriksaan
Fisik
Sebagai tambahan dari pemeriksaan fisik komplit pada umumnya,
perlu diberikan perhatian khusus pada aspek-aspek yang berkaitan dengan
DM seperti BMI, pemeriksaan mata, tekanan darah ortostatik, pemeriksaan
kaki, pemeriksaan denyut perifer. Tekanan darah > 130/80 mHg sudah
dianggap sebagai tekanan darah tinggi pada pasien dengan diabetes.
Pemeriksaan ektremitas bawah yang teliti dilakukan untuk melihat adanya
neuropati perifer, calus, infeksi jamur superficial, penyakit kuku, reflex APR
KPR, dan bentuk kaki yang abnormal (hammer atau claw toes, dan charcoat
foot). Dinilai juga kemampuan untuk merasakan sentuhan menggunakan
benang monofilament dan kemampuan untuk menentukan letak sakit/tusukan
(pinprick) untuk menentukan seberapa parah neuropati perifernya. Penyakit
periodontal, gigi, dan gusi lebih sering terjadi pada pasien DM, sehingga juga
harus diperiksa.7
Penunjang
TEMUAN LABORATORIUM PADA DM
Pemeriksaan glukosa dan badan keton dalam kemih , juga glukosa
plasma atau darah dari sampel yang diambil dalam keadaan basal dan sesudah
pemberian glukosa sangat penting dalam evaluasi pasien diabetes Uji untuk
hemoglobin glikosilasi telah terbukti bermanfaat untuk evaluasi awal dan
dalam penilaian efektivitas terapi. Pada keadaan- keadaan tertentu,
pengukuran kadar insulin atau peptida C dan kadar hormon-hormon lain yang
terlibat dalam homeostasis karbohidrat (misal, glukagon, hormon
pertumbuhan) mungkin berguna. Dari pandangan tingginya risiko
aterosklerosis pada diabetes, maka penentuan kadar kolesterol serum
(termasuk fraksi HDL yang menguntungkan) dan trigliserida dapat
membantu. Dari tiga pengukuran ini dapat dibuat perkiraan kadar LDL.
Urinalisis
Glikosuria
Apapun metode yang dipakai, terdapat beberapa masalah yang
berkaitan dengan pemakaian glukosa kemih sebagai petunjuk glukosa darah.
Yang pertama, kadar glukosa kemih dalam kandung kemih mencerminkan
kadar glukosa saat kemih dibentuk. Oleh sebab itu, spesimen yang pertama
dikeluarkan di pagi hari mengandung glukosa yang diekskresi sepanjang
malam dan sama sekali tidak mencerminkan kadar glukosa darah pagi hari.
Sedikit perbaikan dalam korelasi glukosa kemih dengan glukosa darah dapat
diperoleh jika pasien "berkemih dua kali"—yaitu, mengosongkan kandung
kemih seluruhnya, membuang sampel, dan kemudian berkemih lagi kira-kira
setengah jam kemudian, dan hanya sampel kedua ini yang diuji kandungan
glukosanya. Akan tetapi, kesulitan dalam mengosongkan kandung kemih
seluruhnya (volume residu besar), masalah-masalah dalam memahami
instruksi, dan ketidaknyamanan mengurangi manfaat dari uji ini. Pemantauan
kadar glukosa darah sendiri telah menggantikan pemeriksaan kadar glukosa
kemih pada kebanyakan penderita DMTI dan sebagian pasien DMTTI
(khususnya yang mendapat terapi insulin).
Tersedia beberapa produk komersial untuk menentukan adanya
glukosa dan jumlahnya dalam kemih. Penilaian glikosuria di samping tempat
tidur yang sudah lama dan sulit dengan tablet Clinitest kini telah diganti
dengan metode carik celup yang lebih cepat, mudah dan spesifik glukosa.
Metode ini menggunakan carik kertas (Clinistix, Diastix, Tes- Tape) yang
diimpregnasi dengan enzim (glukosa oksidase dan hidrogen peroksidase) dan
suatu zat warna kromogenik yang akan menjadi pucat dalam keadaan
tereduksi. Terbentuknya hidrogen peroksida di bawah pengaruh enzim akan
mengoksidasi zat warna untuk menghasilkan warna yang intensitasnya
bergantung pada kadar glukosa. Uji carik celup ini peka terhadap kadar
glukosa sekecil 0,1 % glukosa(100 mg/dL) tetapi tidak bereaksi terhadap
umlah kecil glukosa yang biasanya terdapat dalam :emih. Carik kertas dapat
mengalami kerusakan ika terpapar udara, kelembaban dan panas yang lebat,
dan perlu disimpan dalam tabung kedap udara jika tidak digunakan. Hasil
negatif palsu dapat liperoleh bilamana ada alkaptonuria dan bila zat-zat
tertentu seperti asam salisilat atau askorbat di- consumsi berlebihan. Semua
hasil negatif palsu ini erjadi akibat bahan-bahan pereduksi kuat yang lapat
mengganggu oksidasi kromogen.
Ketonuria
Dalam keadaan tidak ada insulin dalam jumlah cukup, maka tiga
“badan keton" utama dibentuk dan diekskresi ke dalam kemih: asam β-
hidroksibutirat, asam asetoasetat. dan aseton. Produk-produk komersil untuk
menguji adanya keton dalam kemih kini tersedia. Tablet Acetest, Ketostix,
dan Keto-Diastix menggunakan suatu reaksi nitroprusida yang hanya
mengukur aseton dan asetoasetat. Dengan demikian, uji-uji ini dapat keliru
mengarahkan bila asam β-hidroksibutirat merupakan metabolit yang dominan.
Kondisi-kondisi lain di samping ketoasidosis diabetik dapat
menyebabkan badan-badan keton tampil dalam kemih; antara lain kelaparan,
diet tinggi lemak, ketoasidosis alkoholik, demam, dan kondisi lain di mana
kebutuhan metabolik meningkat.
Proteinuria
Proteinuria seperti yang ditemukan pada pemeriksaan carik celup rutin
seringkali menjadi tanda pertama komplikasi diabetes pada ginjal. Jika pro-
teinuria terdeteksi, maka perlu dilakukan analisis kumpulan kemih 24 jam
untuk menentukan derajat proteinuria (individu normal mengekskresikan < 30
mg protein per hari) dan laju ekskresi kreatinin kemih; pada saat yang sama,
kadar kreatinin serum perlu ditentukan sehingga bersihan kreatinin (suatu
perkiraan dari laju filtrasi glomerulus) dapat dihitung. Pada beberapa kasus
kelak terjadi proteinuria yang berat (3-5 g/hari) dengan gejala-gejala sindroma
nefrotik lain seperti edema, hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemia.
Mikroalbuminuria
Albumin kemih kini dapat dideteksi dalam hitungan mikrogram
menggunakan metode radioimmunoassay yang lebih peka daripada metode
carik celup yang batas deteksi minimalnya adalah 0,3- 0,5%. Kumpulan
kemih 24-jam konvensional menyebabkan ketidaknyamanan bagi pasien, dan
di samping itu juga memperlihatkan variabilitas ekskresi albumin disebabkan
beberapa faktor se perti berdiri larra protein dalam diet, dan latihan fisik
cenderung meninggikan lajuekskresi albumin. Karena alasan-alasan inilah
banyak klinik lebih suka melakukan pemeriksaan penyaring dengan suatu
kumpulan kemih semalam yang diberi batasan waktu yaitu mulai dari saat
menjelang tidur, di mana kemih dibuang dan jam dicatat. Pengumpulan
kemih diakhiri saat kandung kemih dikosongkan di pagi hari. dan kemih ini
serta kemih yang dikeluarkan dalam semalam, ditera terhadap albumin.
Subjek normal mengekskresikan kurang dari 15 µg/menit dalam
pengumpulan kemih semalam; angka di antara 20 dan 200 µg/menit atau
lebih menggambarkan mikroalbuminuria abnormal yang mungkin merupakan
prediktor dini dari perkembangan nefropati diabetik.
PEMERIKSAAN GLUKOSA DARAH
Angka Normal
Nilai normal glukosa darah puasa bervariasi antara 60 hingga 110
mg/dL (3,3-6,1 mmol/L). Kadar plasma atau serum adalah 10-15% lebih
tinggi karena komponen-komponen struktural sel darah dihilangkan,
sehingga akan lebih banyak glukosa per unit volume. Jadi, nilai normal
glukosa plasma atau serum puasa adalah 70-120 mg/dL (3,9-6,7 mmol/L).
Secara klinis, pengukuran glukosa plasma atau serum lebih sering digunakan
karena bebas dari hematokrit, lebih dekat dengan kadar glukosa ruang
jaringan interstisial, dan memudahkan prosedur analisis otomatis. Penentuan
kadar glukosa darah penuh dilakukan di tempat untuk menguji glukosa pada
keadaan-keadaan darurat dan juga pada prosedur pemantauan sendiri glukosa
ka- piler. suatu teknik yang telah diterima luas dalam penatalaksanaan diabetes
melitus (lihat bawah).
Nilai normal glukosa plasma atau darah yang sudah diterima
memerlukan koreksi usia sebesar 1 mg/dL (0,056 mmol/L) per tahun usia di
atas 60 tahun. Jadi kadar glukosa plasma puasa pada orang tua non-diabetes
berkisar antara 80 hingga 150 mg/dL (4,4-8,3 mmol/L).
Sampel Darah Vena
Sampel perlu diletakkan dalam tabung yang mengandung natrium
fluorida yang akan mencegah glikolisis dalam darah sampel dan dapat
menurunkan kadar glukosa yang diukur. Jika tabung seper ini tidak tersedia,
maka sampel perlu dipusing da lam waktu 30 menit sesudah diambil dan
plasma atau serum disimpan pada suhu 4 °C.
Metode laboratorium yang biasa digunakan untuk menentukan
glukosa plasma menggunaka metode enzimatik (misal, glukosa oksidase
atau heksokinase), metode kolorimetrik (misal, o-tolui din) atau metode
otomatis. Metode otomatis memanfaatkan reduksi dari senyawa tembaga
atau be dengan mereduksi gula dalam serum diálisis. Cara ini mudah tetapi
tidak spesifik terhadap glukosa karena juga bereaksi dengan bahan-bahan
pereduksi lainnya (yang meningkat pada keadan azotem atau asupan asam
askorbat yang tinggi).
Sampel Darah Kapiler
Terdapat beberapa metode carik kertas (glukosa oksidase) untuk
mengukur glukosa darah kapiler Semuanya sudah diadaptasi untuk
pemakaian mudah dalam bentuk meter pengukur bertenaga baterai yang
dapat dibawa-bawa dengan bacaan digital Suatu perangkat uji carik,
Chemstrip bG, dilengkap; suatu bagan warna untuk perbandingan visual dan
perkiraan kadar glukosa darah. Meter pengukur yang lebih konvensional
(misal, Glucometer, Glu- coscan, Glucocheck, Diascan, atau AccuChek
memerlukan penentuan waktu yang tepat oleh pengguna serta pembersihan
carik kertas dari jejas- jejas darah dengan teliti sebelum pembacaan warna
Alat-alat generasi kedua (misal, One Touch II, ExacTech) telah menghapus
dua sumber kesalahan teknis ini dengan penentuan waktu secara otomatis
dan memungkinkan kuantitasi kolorimeter tanpa membersihkan darah. Untuk
memantau kadar glukosa darahnya sendiri, pasien harus menusuk jarinya
dengan lanset kecil (misal, Monolet), yang dapat dipermudah pemakaiannya
dengan alat pelatuk plastik kecil (misal, Autolet, Penlet). Dengar instruksi
teknik yang tepat, pasien dapat memperoleh pengukuran kadar glukosa
darah sendiri yang akurat dan dapat diandalkan, yang sangat bernila untuk
penatalaksanaan diabetes jangka panjang Metode ini juga sangat bermanfaat
untuk para profesional kesehatan dalam penatalaksanaan di samping tempat
tidur pasien DM serius yang dirawat dirumah sakit.
UJI DIAGNOSTIK SEDERHANA DENGAN KADAR GLUKOSA
PLASMA
Kadar glukosa plasma puasa diatas 140 mg/dL (7,8 mmol/L0 pada
lebih dari satu pemeriksaan memastikan diagnostik DM. Sampel untuk
pemeriksaan kadar glukosa paling baik diamnbil pada pagi hari sesudah
puasa semalaman.1
UJI TOLERANSI GLUKOSA ORAL
Tes ini digunakan untuk mendiagnostik DM awal secara pasti, namun
tes ini tidakdibutuhkan untuk penapisan dan sebaiknya tidak dilakukan pada
pasien dengan manifestasi klinik DM dan hiperglikemia. 2
Persiapan Uji
Guna mengoptimalkan sekresi insulin dan efektivitasnya, terutama
bila pasien tengan menjalani seatu diet rendah karbohidrat, maka jumlah
minimum 150-200 g karbohidrat per hari perlu dimasukan dalam diet selama
3 hari sebelum menjalani uji.pasien tidak boleh memakan apapun sesudah
tengah malam sebelum hari pengujian.1
Prosedur Uji
Kadar glukukosa diukur sebelum dan sesudah membebanan 75 g
glukosa. Orang dewasa diberikan glukosa 75 g dalam 300 mL air, sedangkan
anak –anak mendapat 1,75 g glukosa per kilogram berat badan ideal. Beban
glukosa dikonsumsi dalam 5 menit. Kadar glukosa diukur setiap ½ jam
selama 2 jam setelah pemberian glukosa. 1,2
Interpretasi
Pada keadaan sehat, kadar glukosa puasa individu yang dirawat jalan
dengan toleransi glukosa normal adalah 70 hingga 110 mg/dL. Setelah
pemberian glukosa, kadar glukosa akan meningkat pada awalnya namun akan
kembali ke keadaan semula dalam waktu 2 jam atau dengan kata lain glukosa
plasma pu8asa kurang dari 115 mg/dL dan setelah 2 jam kadarnya akan turun
dibwah 140 mg/dL dan nilai – nilai dari sampel lainnya tidak ada yang
melampaui 200 mg/dL (National Diabetes Data Group Criteri).1,2
Hasil – hasil positif palsu dapat terjadi pada pasien yang mal nutrisi
pada saat pengujian, berbaring ditempat tidur, atau terserang suatu infeksi
atau suatu stress emosional yang berat. Diuretika, kontraseptif oral,
glukokortikoid, tiroksin yang berlebihan, fenitoin, asam, nikotinat, dan
beberapa obat psikoteropik juga dapat menyebabkan hasil positif palsu.1
KADAR INSULIN
Untuk menukur kadar insulin saat melakukan uji toleransi glukosa,
maka serum atau plasma perlu dipisahkan dalam waktu 30 menit sesudah
pengambilam spesimen sebelum diassay. Kadar insulin imunoreaktif normal
berkisar antara 5 - 20µU/mL dalam keadaan puasa, dan mencapai 50 – 130
µU/mL sesudah satu jam, dan biasanya turun kembali dibawah 30µU/mL
sesudah 2 jam. Kadar insulin selama TTGO jarang memiliki manfaat klinis
karena alasan-alasan berikut ini : bila kadar glukosa puasa melampaui 120
mg.dL, hiperinsulinemia dapat timbul secara terlamabat sebagai akibat
resistensi insulin pada penderita DM II; akan tetapi juga dapat terjadi pada
bentuk ringan ataupun fase-fase awal dari DM I dimana pelepasan insulin
dini yang lambat dapat menyebabkan hiperglikemia tertunda yang dapat
merangsang pelepasan insulin berlebihan setelah 2 jam.
UJI TOLERANSI GLUKOSA INTRAVENA
Uji tooleransi glukosa IV dilakukan dengan cara pemberian infus
glukosa secara cepat diikuti serangkaian pemeriksaan glukosa plasma untuk
menentukan laju hilangnya glukosa per menit. Laju hilangnya glukosa
mencerminkan kemampuan pasien untuk memindahkan suatu beban glukosa.
Uji ini digunakan untuk evaluasi toleransi glukosa pada pasien – pasien
dengan klainan GI (malabsorpi). Uji ini relatif tidak peka, dan belum ada
kriteria yang memadai untuk diagnostik diabetes pada berbagai kelompok
umur.
Komplikasi
Komplikasi Akut
Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-
kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan
ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD
dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus (DM) yang
serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik,
KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai
menyebabkan syok. Pada pasien KAD dijumpai pernapasan cepat dan dalam
(Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir
kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari
hawa napas tidak terlalu mudah tercium. Gambaran klinis KAD sebagai
berikut keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului KAD serta
didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Muntah-
muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak.
Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan
dengan gastroparesis-dilatasi lambung. Derajat kesadaran pasien dapat
dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi sampai dengan koma.
Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan
kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi
merupakan faktor pencetus yang paling sering.8
Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik
Keto asidosis diabetik (KAD) dan koma hiperosmolar hiperglikemik
non ketotik (HHNK) merupakan komplikasi akut/ emergensi Diebetes Melitus
(DM). Sindrom HHNK ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa
disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat,
hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguan neurologis dengan atau
tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam
jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala
khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi dan penurunan berat
badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus. HHNK biasanya
terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit penyerta yang
mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Keluhan pasien HHNK ialah:
rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula ditemukan
keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan dengan
KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi,
disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor yang buruk, mukosa pipi
yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi
yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak
terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen,
yang membaik setelah rehidrasi adekuat. Perubahan pada status mental dapat
berkisar dari disorientasi sampai koma. Derajat gangguan neurologis yang
timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif serum. Koma
terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350
mmol per kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang
umum, lokal, maupun mioklonik. Dapat juga teijadi hemiparesis yang bersifat
reversibel dengan koreksi defisit cairan.9
Hipoglikemik iatrogenik
Hipoglikemia pada pasien diabetes tipe 1 (DMT 1) dan diabetes tipe 2
(DMT 2) merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran
kendali glukosa darah normal atau mendekati normal. Tidak ada definisi
kendali glukosa darah yang baik dan lengkap tanpa menyebutkan bebas dari
hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul akibat ketidaksempurnaan terapi
saat ini, di mana kadar insulin di antara dua makan dan pada malam hari
meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis tubuh gagal
melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman. Faktor paling utama
yang menyebabkan hipoglikemia sangat penting dalam pengelolaan diabetes
adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan.
Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad Whipple merupakan
panduan klasifikasi klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut
meliputi: a), keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma
yang rendah, b), kadar glukosa darah yang rendah (<3 mmol/L hipoglikemia
pada diabetes), dan c), hilangnya secara cepat keluhan-keluhan sesudah
kelainan biokimiawi dikorekasi. Akan tetapi pasien diabetes (dan insulinoma)
dapat kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan atau mendeteksi
keluhan dini hipoglikemia. Dengan menambah kriteria klinis pada pasien
diabetes yang mendapat terapi, hipoglikemia akut dibagi menjadi
hipoglikemia ringan, sedang dan berat.10
Komplikasi Kronik
Retinopati diabetik
Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari
retinopati diabetic non-proliferatif sampai perdarahan retina dan lebih lanjut
lagi dapat mengakibatkan kebutaan.11 Retinopati diabetik nonproliperatif
merupakan bentuk yang paling ringan dan sering tidak memperlihatkan
gejala. Stadium ini sulit dideteksi hanya dengan pemeriksaan oftalmoskopi
langsung maupun tidak langsung. Cara yang paling baik ialah dengan
menggunakan foto fundus dan FFA (Fundal Fluorescein Angiography).
Mikroaneurisma yang terjadi pada kapiler retina merupakan tanda paling
awal yang dapat dilihat pada RDNP (retinopati diabetic nonproliperatif).
Kelainan morfologi lain ialah penebalan membrane basalis , perdarahan
ringan, eksudat keras yang tampak sebagai bercak berwarna kuning dan
eksudat lunak yang tampak sebagai cotton wool spot. Retinopati diabetik
nonproliperatif berat sering disebut juga sebagai retinopati diabetic iskemik,
obstruktif atau preproliperatif. Gambaran yang dapat ditemukan yaitu bentuk
kapiler yang berkelok tidak teratur akibat dilatasi yang tidak beraturan dan
cotton wool spot, yaitu daerah retina dengan gambaran bercak berwarna putih
pucat dimana kapiler mengalami sumbatan. Retinopati diabetik proliperatif
ditandai dengan pembentukan pembuluh darah baru. Pembuluh darah baru
tersebut berbahaya karena bertumbuh secara abnormal keluar dari retina dan
meluas sampai ke vitreus, menyebabkan perdarahan disana dan dapat
menimbulkan kebutaan. Apabila perdarahan terus berulang, dapat terjadi
jaringan fibrosis atau sikatriks pada retina. Makulopati diabetik merupakan
penyebab kebutaan paling sering pada retinopati diabetik. Makulopati
diabetik dapat dibedakan dalam beberapa bentuk yaitu makulopati iskemik
(akibat penyumbatan yang luas dari kapiler di daerah sentral retina),
makulopati eksudatif (karena kebocoran setempat suhingga terbentuk eksudat
keras seperti pada RDPN) dan edema macula (akibat kebocoran yang difus).12
Nefropati diabetik
Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM dimulai dengan
adanya mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria
secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan
berakhir dengan keadaan gagal ginjal yang memerlukan pengelolaan dan
pengobatan substitusi. Ditemukannya miroalbuminuria mendorong dan
mengharuskan agar dilakukan pengelolaan DM yang lebih intensif termasuk
pengelolaan berbagai faktor resiko lain untuk terjadinya komplikasi kronik
DM seperti tekanan darah, lipid dan kegemukan serta merokok. Penyandang
DM dengan laju filtrasi glomerulus atau bersihan kretinin < 30 mL/menit
seyognyanya sudah dirujuk ke ahli penyakit ginjal untuk menjajagi
kemungkinan dan untuk persiapan terapi pengganti bagi kelainan ginjalnya,
baik nantinya berupa dialisis maupun transplantasi ginjal.11
Neuropati diabetik
Neuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronis
paling sering ditemukan pada diabetes melitus (DM). risiko yang dihadapi
pasien DM dengan ND antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak
sembuh-sembuh dan amputasi jari/kaki. Polineuropati sensori-motor simetris
diatas atau distal symmetrical sensorymotor polyneuropathy (DPN)
merupakan jenis kelainan ND yang paling sering terjadi. DPN ditandai degan
berkurangnya fungsi sensorik secara progresif dan fungsi motorik (lebih
jarang) yang berlangsung pada bagian diatal yang berkembang kea rah
proksimal. Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari,
sangat bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Bentuk lain ND yang juga sering sitemukan ialah neuropati otonom
(parasimpatis dan simpatis) atau diabetic autonomic neuropathy (DAN). Uji
komponen parasimpatis DAN dilakukan dengan tes respons denyut jantung
terhadap maneuver valsava, variasi denytu jantung (interval PR) selama
napas dalam (denyut jantung maksimum-minimum). Uji komponen simpatis
DAN dilakukan dengan respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan
sistolik), respons tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan
diastolik).13
Penyakit Jantung Koroner
Penyebab kematian dan kesakitan utama pada pasien DM (baik DM
tipe 1 maupun DM tipe 2) adalah Penyakit Jantung Koroner, yang merupakan
salah satu penyulit makrovaskular pada diabetes melitus. Penyulit
makrovaskular ini bermanifestasi sebagai aterosklerosis dini yang dapat
mengenai organ-organ vital (jantung dan otak. Penyebab aterosklerosis pada
pasien DM tipe 2 bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks dari
berbagai keadaan seperti hiperglikemia, hiperlipidemia, stress oksidatif,
penuaan dini, hiperinsulinemia dan/atau hiperproinsulinemia serta perubahan-
perubahan dalam proses koagulasi dan fibrinolisis. Pada pasien DM, risiko
payah jantung meningkat 4 sampai 8 kali. Peningkatan risiko ini tidak hanya
disebabkan karena penyakit jantung iskemik. Dalam beberapa tahun terakhir
ini diketahui bahwa pasien DM dapat pula mempengaruhi otot jantung secara
independen. Selain melalui keterlibatan aterosklerosis dini arteri koroner
yang menyebabkan penyakit jantung iskemik juga dapat terjadi perubahan-
perubahan berupa fibrosis interstitial, pembentukan kolagen dan hipertrofi
sel-sel otot jantung. Pada tingkat selular terjadi gangguan pengeluaran
kalsium dari sitoplasma, perubahan struktur troponin T dan peningkatan
aktivitas piruvat kinase. Perubahan-perubahan ini akan menyebabkan
gangguan kontraksi dan relaksasi otot jantung dan peningkatan tekanan end-
diastolik sehingga dapat menimbulkan kardiomiopati restriktif.14
Preventif
Pencegahan primer. Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena
yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang belum sakit artinya mereka
masih sehat. Cakupannya menjadi sangat luas. Yang bertanggung jawab
bukan hanya profesi tetapi seluruh masyarakat termasuk pemerintah. Semua
pihak harus mempropagandakan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup
berisiko. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh
lebih baik daripada mengobatinya. Kampanye pola makan sehat dengan pola
tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola makanan seimbang
adalah alternatif terbaik dan harus sudah mulai ditanamkan pada anak-anak
sekolah sejak taman kanak-kanak. Tempe misalnya adalah makanan
tradisional kita yang selain sangat bergizi, ternyata juga banyak khasiatnya
misalnya sifat anti bakteri dan menurunkan kadar kolesterol. Caranya bisa
lewat guru-guru atau lewat acara radio atau televisi. Selain makanan juga cara
hidup berisiko lainnya harus dihindari. Jaga berat badan agar tidak gemuk,
dengan olahraga teratur. Dengan menganjuran olah raga kepada kelompok
resiko tinggi, misalnya anak-anak pasien diabetes, merupakan salah satu
upaya pencegahan primer yang sangat efektif dan murah. Motto
memasyarakatkan olah raga dan mengolahragakan masyarakat sangat
menunjang upaya pencegahan primer. Hal ini tentu saja akan menimbulkan
konsekuensi, yaitu penyediaan sarana olah raga yang merata sampai ke
pelosok, misalnya di tiap sekolahan harus ada sarana olah raga yang
memadai.15
Pencegahan sekunder. Mencegah timbulnya komplikasi, menurut logika
lebih mudah karena populasinya lebih kecil, yaitu pasien diabetes yang sudah
diketahui dan sudah berobat, tetapi kenyataanya tidak demikian. Tidak
gampang memotivasi pasien untuk berobat teratur, dan bisa menerima
kenyataan bahwa penyakitnya tida bisa sembuh. Syarat untuk mencegah
komplikasi adalah kadar glukosa darah harus selalu terkendali mendekati
angka normal sepanjang hari sepanjang tahun. Di samping itu seperti tadi
sudah dibicarakan, tekanan darah dan kadar lipid juga harus normal. Dan
supaya tidak ada resistensi insulin, dalam upaya pengendalian kadar glukosa
darah dan lipid itu harus diutamakan cara-cara non farmakologis dulu secara
maksimal, misalnya dengan diet dan olah raga, tidak merokok dan lain-lain.
Bila tidak berhasil baru menggunakan obat baik oral maupun insulin. Pada
pencegahan sekunder pun, penyuluhan tentang perilaku sehat seperti pada
pencegahan primer harus dilaksanakan, ditambah dengan peningkatan
pelayanan kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan mulai dari
rumah sakit kelas A sampai ke unit paling depan yaitu puskesmas. Di samping
itu juga diperlukan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang
berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi.
Penyuluhan ini dilakukan oleh tenaga yang terampil baik oleh dokter atau
tenaga kesehatan lain yang sudah dapat pelatihan ntuk itu (diabetes educator).
Usaha ini akan lebih berhasil bila cakupan pasien diabetesnya juga luas,
artinya selain pasien yang selama ini sudah berobat juga harus dapat
mencakup pasien diabetes yang belum berobat atau terdiagnosis, misalnya
kelompok penduduk dengan resiko tinggi. Kelompok yang tidak terdiagnosis
ini rupanya tidak sedikit. Oleh karena itu pada tahun 1994 WHO menyatakan
bahwa pendeteksian pasien baru dengan cara skrining dimasukkan ke dalam
upaya pencegahan sekunder agar supaya bila diketahui lebih dini komplikasi
dapat dicegah karena masih reversibel. Peran profesi sangat ditantang untuk
menekan angka pasien yang tidak terdiagnosis ini, supaya pasien jangan
datang minta pertolongan kalau sudah sangat terlambat dengan berbagai
komplikasi yang dapat mengakibatkan kematian yang sangat tinggi. Dari
sekarang harus sudah dilakukan upaya bagaimana caranya menjaring pasien
yang tidak terdiagnosis itu agar mereka dapat melakukan upaya pencegahan
baik primer maupun sekunder.15
Pencegahan tersier. Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang
diakibatkannya termasuk ke dalam pencegahan tersier. Upaya ini terdiri dari 3
tahap :15
o Pencegahan komplikasi diabetes, yang pada konsensus dimasukkan
sebagai pencegahan sekunder
o Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus
kepada penyakit organ
o Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan
organ atau jaringan.
Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik sekali baik antara pasien
dengan dokter maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang
terkait dengan komplikasinya. Dalam hal ini peran penyuluhan sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan
diabetesnya. Peran ini tentu saja akan merepotkan dokter yang jumlahnya
terbatas. Oleh karena itu dia harus dibantu oleh orang yang sudah dididik
untuk keperluan itu yaitu penyuluhan diabetes (diabetes educator).
Strategi pencegahan
Dalam menyelenggarakan upaya pencegahan ini diperlukan suatu
strategi yang efisien dan efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Ada
2 macam strategi untuk dijalankan, antara lain:15
1. Pendekatan populasi / masyarakat. Semua upaya yang bertujuan untuk
mengubah perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud adalah mendidik
masyarakat agar menjalankan cara hidup sehat dan menghindari cara
hidup berisiko. Upaya ini ditujukan tidak hanya untuk mencegah diabetes
tetapi juga unuk mencegah penyakit lain sekaligus. Upaya ini sangat berat
karena target populasinya sangat luas, oleh karena itu harus dilakukan
tidak hanya oleh profesi tetapi harus oleh segala lapisan ma yarakat
termasuk pemerintah dan swasta (LSM, pemuka masyarakat dan agama)
2. Pendekatan individu berisiko tinggi. Semua upaya pencegahan yang
dilakukan pada individu-individu yang berisiko untuk menderita diabetes
pada suatu saat kelak. Pada golongan ini termasuk individu yang: berumur
> 40 tahun, gemuk, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat melahirkan
bayi > 4 kg, riwayat DM pada saat kehamilan, dislipidemia.
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari:
pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan
melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis,
meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan
dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi
farmakologis, yang meliputi pemberian obat ati diabetes oral dan injeksi insulin.
Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non
farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa
darah sebagaimana yang diharapkan. Pemberian terapi farmakologis tetap tidak
meninggalkan terapi nom farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya.16
TERAPI GIZI MEDIS
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologis yang
sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes (diabetisi). Terapi gizi medis
ini pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan
pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual.16
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain:16
1. menurunkan berat badan
2. menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik
3. menurunkan kadar glukosa darah
4. memperbaiki profil lipid
5. meningkatkan sensitivitas reseptor insulin
6. memperbaiki system koaguasi darah
Tujuan Terapi Gizi Medis
Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan:16
1. kadar glukosa darah mendekati normal
glukosa puasa berkisar 90 – 130 mg/dl
glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl
kadar A1c <7%
2. tekanan darah < 130/80
3. profil lipid
kolesterol LDL < 100 mg/dl
kolesterol HDL > 40 mg/dl
Trigliserida <150 mg/dl
4. berat badan senormal mungkin
JENIS BAHAN MAKANAN
Karbohidrat. Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetisi
tidak boleh lebih dari 55 - 56% dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh
lebih dari 70% jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai
tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat
terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori.16
Rekomendasi pemberian karbohidrat:16
1. kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat,
lebih ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan dengan jenis karbohidrat
itu sendiri.
2. dari total kebutuhan kalori per hari, 60 – 70% diantaranya berasal dari
sumber karbohidrat.
3. jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah karbohidrat
maksimal 70% dari total kebutuhan kalori per hari.
4. jumlah serat 25 – 50 gram per hari.
5. jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun
jangan sampai lebih dari total kalori per hari.
6. sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti sakarin,
aspartame, acesulfam dan sukralosa
7. penggunaan alcohol harus dibatasi tidak boleh lebih dari 10 gram/hari
8. fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/hari
9. makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi
Protein. Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10 – 15% dari
total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan
pembatasan asupan protein sampai 40 gram per hari, maka diperlukan tambahkan
pemberian suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar
4 kilokalori/gram.16
Rekomendasi pemberian protein:16
1. kebutuhan protein 15 – 20% dari total kebutuhan energi per hari.
2. pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak
akan mempengaruhi konsentrasi glukosa darah.
3. pada keadaan kadar glukosa darah tidak terkontrol, pemberian protein
sekitar 0,8 – 1,0 mg/kg berat badan/hari.
4. pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai
0,85 gram/kg berat badan/hari dan tidak kurang dari 40 gram
5. jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati
lebih dianjurkan dari protein hewani.
Lemak. Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya.
Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam
lemak seperti vitamin A, D, E, K. berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak
dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan
lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat
memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering dijumpai pada diabetes. Asam
lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acids),
merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah
dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan dadar
trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol
HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (PUFA =
polyunsaturated fatty acid) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar
trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak
omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan
aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di
jaringan perifer, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL.16
Rekomendasi pemberian lemak:16
1. batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah
maksimal 10% dari total kebutuhan kalori per hari
2. jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan lemak jenuh diturunkan
sampai maksimal 7% dari total kalori per hari.
3. konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL ≥
100 mg/dl, maka maksimal kolesterol yang dapat dikonsumsi 200
mg/hari.
4. batasi asupan asam lemak bentuk trans
5. konsumsi ikan seminggu 2 – 3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam
lemak tidak jenuh rantai panjang.
6. asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari
asupan kalori per hari.
PERHITUNGAN JUMLAH KALORI
Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur, ada tidaknya
stress akut, dan kegiatan jasmani. Penentuan status gizi dapat dipakai indeks
massa tubuh (IMT) atau rumus Brocca.16
Penentuan Status Gizi Berdasarkan IMT
IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi
dengan tinggi badan (dalam meter) kuadrat.16
Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT:16
Berat badan kurang < 18,5
BB normal 18, 5 – 22,9
BB lebih ≥23,0
Dengan risiko 23 – 24,9
Obes I 25 – 29,9
LATIHAN JASMANI
Pengelolaan diabetes mellitus (DM) yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik
merupakan salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal
lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan oleh
semua orang termasuk diabetisi sebagai kegiatan sehari – hari, seperti misalnya:
bangun tidur, memasak, berpakaian, mecuci, makan bahkan tersenyum. Berangkat
kerja, bekerja, berbicara, berfikir, tertawa, merencanakan kegiatan esok,
kemudian tidur. Semua kegiatan tadi tanpa disadari oleh diabetisi, telah sekaligus
menjalankan pengelolaan terhadap DM sehari – hari.16
Diabetes merupakan penyakit sehari – hari. Penyakit yang akan
berlangsung seumur hidup. Kadang, diabetes dipandang sebagai tantangan,
diwaktu lain dianggap sebagai beban. Tanggung jawab terhadap pengelolaan
diabetes sehari – hari, merupakan milik masing – masing diabetisi. Mereka yang
telah memutuskan untuk hidup dengan diabetes dalam keadaan sehat mempunyai
satu persamaan, bahwa mereka harus melakukan kegiatan fisik.16
Anjuran untuk melakukan kegiatan fisik bagi diabetisi telah dilakukan
sejak seabad yang lalu oleh seorang dokter dari dinasti Sui di China, dan manfaat
kegiatan ini masih terus diteliti oleh para ahli hingga kini. Kesimpulan semn\
entara dari penelitian itu aialah bahwa kegiatan fisik diabetisi (type 1 maupun 2),
akan mengurangi resiko kejadian kardiovaskular dan meningkatkan harapan
hidup. Kegiatan fisik akan meningkatkan rasa nyaman baik secara fisik, psikis
maupun social dan tampak sehat. Kemajuan teknologi agak bersebrangan dengan
anjurang untuk melakukan kegiatan fisik, karena akan membuat seseorang kurang
bergiat. Mengingat hal ini, maka harus dibuat suatu kegiatan fisik yang terencana
dengan baik dan teratur bagi diabetisi.16
PENYULUHAN DIABETES
Dalam rangka mengantisipasi ledakan jumlah pasien diabetes dan
meningkatnya komplikasi terutama PJK. Diperlukan tenaga trampil yang dapat
berperan sebagai perpanjangan tangan dokter endokrinologis. Di luar negri tenaga
tersebut sudah ada disebut diabetes educator yang terdiri dari dokter, perawat.
Ahli gizi atau pekerja social dan lain – lain yang berminat. Di Indonesia sejak
tahun 1933 telah diselenggarakan kursus penyuluh diabetes yang sampai saat ini
masih berlangsung secara teratur. Kursus itu ternyata mendapat sambutan luar
biasa dari rumah sakit seluruh Indonesia. Dalam pelaksanaan nya para penyuluh
diabetes itu sebaiknya memberikan pelayanan secara terpadu dalam suatu instansi
misalnya dalam bentuk sentral informasi yang bekerja 24 jam sahari dan akan
melayani pasien atau siapapun yang ingin menanyakan seluk beluk tentang
diabetes. Isi dari penyuluhan diabetes mengenai pengenalan mengenai diabetes
mellitus, perencanaan makan, latihan jasmani, pengenalan tentang obat – obatan
yang dipakai serta pemantauan laboratorium baik urin maupun gula darah.17
Medika Mentosa
Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2
Langkah pertama dalam mengelola DM selalu dimulai dengan
pendekatan non – farmakologis,, yaitu berupa perencanaan makan/terapi
nutrisi medic, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat
obesitas. Bila denganlangkah – langkah tersebut sasaran pnegendalian
diabetes belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau
intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan intervensi
farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam –
macam penyebab terjadinya hiperglikemia. Pada kegawatan tertentu
(ketoasidosis, diabetes dengan infeksi, stress), pengelolaan farmakologis
dapat langsung diberikan, umumnya dibutuhkan insulin. Keadaan seperti ini
memerlukan di perawatan rumah sakit.18
MACAM – MACAM OBAT ANTI HIPERGLIKEMIK ORAL :18
1. Golongan Insulin Sensitizing
Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah
metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di
dalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat
dikeluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut maka
metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari dalam
bentuk extended release. Pengobatan dengan dosis maksimal akan
dapat menurunkan A1C , sebesar 1-2%. Efek samping yang dapat
terjadi adalah asidosis laktat dan untuk menghindarinya sebaiknya
tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin
> 1.3 mg/dL pada perempuan dan > 1.5 mg/dL pada laki – laki) atau
pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan
denga hati – hati pada orang lanjut usia.
Penggunaan dalam klinik
Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai
kombinasi dengan SU, repaglinid, nateglinid, penghambat alpha
glikosidase dan glitazone. Efektivitas metformin menurunkan
glukosa darah pada orang gemuk sebanding dengan kekuatan SU.
Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah
penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka
metofrmin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada
orang gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat
merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil
maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetic
lain.
Glitazone
Golongan Thiazolidinediones atau Glitazone adalah golongan obat
yang mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas
insulin.
Obat ini dapat diberikan secara oral dan secara kimiawi maupun
fungsional tidak berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi
dengan glitazone dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah
puasa hingga 59-80 mg/dL dan A1C 1.4 – 2.6% dibandingkan
dengan placebo. Rosiglitazone dan pioglitazone dapat digunakan
sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi dengan metformin dan
sekretagok insulin.
Penggunaan dalam klinik
Rosiglitazone dan pioglitazone saat ini dapat digunakan
sebagai monoterapi dan juga sebagai kombinasi dengan metformin
dan sekretagok insulin. Secara klinik rosiglitazon dengan dosis 4 dan
8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari)
memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dL dan A1C
sampai 1.5% dibandingkan dengan placebo. Sedang pioglitazon juga
mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan
sebagai monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis
sampai 45 mg/dL dosis tunggal.
2. Golongan Sekretagok Insulin
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemikdengan cara
stimulasi sekresi insulin oleh sel beta penkreas. Golongan ini meliputi
sulfonylurea dan glinid.
Sulfonylurea
Sulfonylurea telah digunakan untukpengobatan DM tipe 2
sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis
pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi
glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin.
Sulfonylurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena
kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi
insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dengan
sedikit efek samping (termasuk hipoglikemi) dan rwlatif murah.
Berbagai macam obat golongan ini umumnya mempunyai sifat
farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis dan mekanisme
kerjanya.
Penggunaan dalam klinik
Pada pemakaian sulfonylurea, umumnya selalu dimulai dari
dosis rendah , untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada
keadaan tertentu di mana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat
diberikan sulfonylurea dengan dosis yang lebih besar dengan
perhatian khusus bahwa dalam beberapa ahri sudah dapat diperoleh
efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan
kadar glukosa darah yang cukup bermakna.
Dosis permulaan sulfonylurea tergantung pada beratnya
hiperglikemia. Bila konsentrasi glukosa puasa < 200 mg/dL, SU
sebaiknya dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara
bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa
90-130 mg/dL. Bila glukosa darah puasa > 200 mg/dL dapat
diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan
setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada
obat yang diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan
makanan porsi terbesar.
Kombinasi sulfonylurea dengan insulin,.
Pemakaian kombinasi kedua obat ini didasarkan bahwa rerata
kadar glukosa darah sepanjang hari terutama ditentukan oleh kadar
glukosa darah puasanya. Umumnya kenaikan kadar glukosa darah
sesudah makan kureang lebih sama, tidak tergantung pada kadar
glukosa darah pada keadaan puasa. Dengan memberikan dosis
insulin kerja atau insulin glargin pada malam hari, produksi glukosa
hati malam hari dapat dikurangi sehingga kadar glukosa darah puasa
dapat turun. Selanjutnya kadar glukosa darah siang hari dapat diatur
dengan pemberian sulfonylurea seperti biasa.
Kombinasi sulfonylurea denga insulin ini ternyata lebih baik
daripada insulin sendiri dan dosis insulin yang diperlukan pun
ternyata lebih rendah. Dan cara kombinasi ini lebih dapat diterima
pasien daripada penggunaan insulin multiple.
Glinid
Sekretagok insulin yang baru, bukan merupakan sulfonylurea
dan merupakan glinid. Kerjanya juga melalui reseptor sulfonylurea
(SUR) dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonylurea
tetapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid dan nateglinid
kedua – duanya diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolism dalam hati sehingga
diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan
glukosa darah puasa walaupun mempunyai paruh yang singkat
karena lama menempel pada kompleks SUR sehingga dapat
menurunkan ekuivalen A1C pada SU.
Sedang nateglinid mempunyai masa tinggi lebih singkat dan
tidak menurunkan kadar glukosa darah puasa. Sehingga keduanya
merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa
postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Karena sedikit
mempunyai efek terhadap glukosa darah puasa maka kekuatannya
menurunkan A1C tidak begitu kuat.
3. Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat enzim alfa
glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat
menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemik
postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan
hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.
Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala
gastrointestinal seperti meteorismus, flatulens, dan diare. Flatulens
adalah efek yang paling tersering terjadi pada hamper 50% pengguna
obat ini. Penghambat Alfa Glukosidase dapat menghambat
bioavailibilitas metformin jika bersamaan dengan orang normal.
Acarbose hampir tidak diabsorpsi dan bekerja local pada saluran
pencernaan. Acarbose mengalami metabolism di dalam saluran
pencernaan, metabolism terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis
intestinal dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma
kira – kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui
feses.
Penggunaan dalam klinik
Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau sebagai
kombinasi dengan insulin,metformin, glitazone, atau sulfonylurea.
Untuk mendapatkan efek maksimal, obat ini harus diberikan segera pada
saat makanan utama. Hal ini perlu karena merupakan penghambat
kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat yang
sama karbohidrat berada di usus halus. Dengan memberikannya 15
menit sebelum atau sesudahnya makan akan mengurangi dampak
pengobatan terhadap glukosa postprandial. Monoterapi dengan acarbose
dapat menurunkan rata – rata gluokosa postprandial sebesar 40-60
mg/dL dan glukosa puasa rata – rata 10-20 mg/dL dan A1C 0.5-1%.
Dengan terapi kombinasi bersama sulfonylurea, metformin dan insulin
maka acarbose dapat menurunkan lebih banyak terhadap A1C sebesar
0.3-0.5% dan rata – rata glukosa postprandial sebesar20-30 mg/dL dari
keadaan sebelumnya.
Sasaran pengelolaan DM bukan hanya glukosa darah saja, tetapi
juga termasuk factor – factor lain yaituberat badan, tekanan darah, dan
profil lipid, seperti tampak pada sasaran pengendalian DM yang
dianjurkan dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM Tipe 2 di
Indonesia tahun 2006 (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia).
4. Penghambat Dipeptidyl Peptidase IV (Penghambat DPP-IV).
Terdapat dua macam penghambat DPP-IV yang ada saat ini yaitu
sitagliptin dan vildagliptin. Pada terapi tunggal, penghambat DPP-IV
dapat menurunkan HbA1c sebesar 0,79-0,94% dan memiliki efek pada
glukosa puasa dan post prandial. Penghambat DPP-IV dapat digunakan
sebagai terapi alternative bila terdapat intoleransi pada pemakaian
metformin atau pada usia lanjut. DPP-IV tidak mengakibatkan
hipoglikemia maupun kenaikan berat badan. Efek samping yang dapat
ditemukan adalah nasofaringitis, peningkatan risiko infeksi saluran
kemih dan sakit kepala. Reaksi alergi yang berat jarang ditemukan.
Diagnosis Banding
Diabetes Melitus tipe I
Merupakan bentuk diabetes yang berat dan disertai ketosis pada kasus
– kasus yang tidak tertangani. DM ini sering dijumpai pada orang muda tetapi
dapat pula pada orang dewasa. Penderita akan mengalami gangguan metabolik
di mana todak ada insulin dalam sirkulasi, glukagon plasma meningkat, dan
sel – sel beta pankreas gagal berespon terhadap semua rangsangan
insulinogenik yang telah diketahui. Tanpa adanya insulin; hati, otot, dan
jaringan lemak gagal mengambil zat – zat gizi yang telah diabsorpsi dan
bahkan terus melanjutkan pengeluaran glukosa, asam amino, dan asam lemak
ke dalam aliran darah dari depot cadangan masing – masing. Kemudian
perubahan metabolisme lamak pun mengakibatkan akumulasi benda – benda
keton.1
Sindrom Metabolik
Obesitas sentral
Obesitas yang digambarkan dengan indeks massa tubuh tidak begitu
sensitif dalam menggambarkan risiko kardiovaskular dan gangguan metabolik
yang teijadi. Studi menunjukkan bahwa obesitas sentral yang digambarkan
oleh lingkar perut (dengan cut-off yang berbeda antara jenis kelamin) lebih
sensitif dalam memprediksi gangguan metabolik dan risiko kardiovaskular.
Lingkar perut menggambarkan baik jaringan adiposa subkutan dan vis- ceral.
Meski dikatakan bahwa lemak viseral lebih berhubungan dengan komplikasi
metabolik dan kardiovaskular, hal ini masih kontroversial. Peningkatan
obesitas berisiko pada peningkatan kejadian kardiovaskular. Variasi faktor
genetik membuat perbedaan dampak metabolik maupun kardiovaskular dari
suatu obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak berkembang menjadi
resistensi insulin, dan sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada
individu tanpa obes (lean subjects). Interaksi faktor genetik dan lingkungan
akan memodifikasi tampilan metabolik dari suatu resistensi insulin maupun
obesitas.19
Resistensi Insulin
Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom
metabolik. Sejauh ini belum disepakati pengukuran yang ideal dan praktis
untuk resistensi insulin. Teknik clamp merupakan teknik yang ideal namun
tidak praktis untuk klinis sehari-hari. Pemeriksaan glukosa plaama puasa juga
tidak ideal mengingat gangguan toleransi glukosa puasa hanya dijumpai pada
10% sindrom metabolik. Pengukuran Homeostasis Model Asessment
(HOMA) dan Quantitative Insulin Sensitivity Check Index (QUICKI)
dibuktikan berkorelasi erat dengan pemeriksaan standar, sehingga dapat
disarankan untuk mengukur resistensi insulin. Bila melihat dari patofisiologi
resistensi insulin yang melibatkan jaringan adiposa dan sistem kekebalan
tubuh, maka pengukuran resistensi insulin hanya dari pengukuran glukosa dan
insulin (seperti rumus HOMA dan QUICKI) perlu ditinjau ulang. Oleh
karenanya, penggunaan rumus ini secara rutin di klinis belum disarankan
maupun disepakati.19
Dislipidemia
Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolic ditandai dengan
peningkatan trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL
biasanya normal, namun mengalami perubahan struktur berupa peningkatan
small dense LDL. Peningkatan konsentrasi trigliserida plasma diperkirakan
akibat peningkatan masukan asam lemak bebas ke dalam hati sehingga terjadi
peningkatan produksi trigliserida. Namun studi pada manusia dan hewan
menunjukkan bahwa peningkatan trigliserida tersebut bersifat multifaktorial
dan tidak hanya diakibatkan oleh peningkatan masukan asam lemak bebas ke
hati.19
Hipertensi
Resistensi insulin juga berperan pada pathogenesis hipertensi. Insulin
merangsang sistem saraf simpatis meningkatkan reabsorpsi natrium ginjal,
mempengaruhi transport kation dan mengakibatkan hipertrofi sel otot polos
pembuluh darah. Pemberian infus insulin akut dapat menyebabkan hipotensi
akibat vasodilatasi. Sehingga disimpulkan bahwa hipertensi akibat resistensi
insulin terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor.
The Insulin Resistance Atherosclerosis Study melaporkan hubungan antara
resistensi insulin dengan hipertensi pada subyek normal namun tidak pada
subyek dengan DM tipe 2.19
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik jika disertai dengan penanganan yang baik dan
sedini mungkin. Pencegahan seperti penyuluhan oleh petugas kesehatan dapat mencegah
terjadinya komplikasi yang dapat memperberat penyakit sampai terjadinya kematian.
KESIMPULAN
Diabetes Melitus ( DM ) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kesuanya. Pengendalian hiperglikemi dan hipertensi terbukti dapat mencegah atau
memperlambat progresivitas dari komplikasi.. Edukasi tentang perawatan kaki telah
memberikan kontribusi yang besar dalam menurunkan morbiditas pada masalah kaki
diabetes. Pengaturan hipertensi, dislipidemi, dan penghentian merokok memberikan
keuntungan yang besar dalam mengurangi progresivitas dari retinopati, nephropati, dan
atherosclerosis. Kecerdasan, motivasi, dan kesadaran pasien memberikan peranan yang
sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Sebagai tambahan, edukasi yang
memadai untuk pengetahuan pasien, tatalaksana, dan alat-alat yang digunakan akan
meningkatkan prognosis jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Greenspan FS, Baxter JD. Endokrinologi dasar & klinik, ahli gahasa, Caroline
Wijaya,