Download - Dampak Globalisasi Dalam Pendidikan Di
Dampak Globalisasi dalam Pendidikan di Indonesia
Filed Under: Uncategorized by supanto — 5 CommentsMarch 20, 2008
Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi dewasa ini telah banyak mengubah budaya dan peradaban bangsa Indonesia dengan segala dampak positip dan negatifnya. Kalo kita perhatikan pada tahun 1991 :
1. Masih banyak gedung bioskop baik di kota maupun dipelosok desa dan banyak peminatnya, serta banyak orang hajatan yang memanfaatkan hiburan baik layar tancap maupun video,
2. Wartel masih sangat laku dimana-mana sampai banyak sekali orang yang berminat buka wartel dan berebut yang membuat telkom jadi bingung serta membuat suatu peraturan yang dijadikan syarat untuk mendirikan wartel,
3. Telepon kabel/rumah banyak sekali peminatnya dan telkom kerepotan untuk melayani masyarakat
4. Di kantor-kantor jarang ada komputer, karena komputer masih menjadi barang yang mahal
5. Di Perguruan Tinggi dan sekolah, belajar dengan menggunakan OHP sudah dianggap kere
Coba bandingkan dengan apa yang terjadi sekarang (tahun 2008), tentu sebaliknya. Teknologi berkembang sangat pesat, pemerintah juga jadi kerepotan dan akhirnya mengubah kurikulum pendidikan di Indonesia disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi. pertanyaannya adalah:
BAGAIMANA MODEL SEKOLAH MASA DEPAN?
kalau kita perhatikan di era globalisasi yang dibutuhkan adalah bagaimana diri kita dapat diterima keberadaannya di belahan dunia manapun, dengan bekal sertifikat Nasional apakah cukup tentunya untuk menghadapi era globalisasi kita membutuhkan sertifikasi internasional sebagai pengakuan atas eksistensi kita di level internasional, sehingga kita dapat berselancar ke negara manapun dengan sertifikat internasional yang kita miliki.
mungkin ke depan, peserta didik lebih memilih Ujian Internasional yang Ijazahnya dapat dibanggakan dan dapat digunakan untuk melanjutkan studi ke luar negerti dan mendapat pengakuan secara internasional.
masalahnya adalah
1. Apakah sekolah siap menyelenggarakan pendidikan bertaraf Internasional untuk mendapat Ijazah Internasional
2. Apakah Guru sudah kompeten dalam menyelenggarakan pendidikan
Bagaimana kalau tidak siap?
Globalisasi seperti gelombang yang akan menerjang, tidak ada kompromi, kalo kita tidak siap maka kita akan diterjang, kalo kita tidak mampu maka kita akan menjadi orang tak berguna dan kita hanya akan jadi penonton saja.
Apa yang akan terjadi?
1. Desakan dari orang tua yang menuntut sekolah menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional
2. Desakan dari siswa untuk bisa ikut ujian sertifikasi internasional
Bagaimana jika sekolah tidak mampu memenuhi harapan itu?
sekolah akan ditinggalkan oleh siswa, dan tidak ada lagi yang mau sekolah di sekolah konvensional
Truz, apa trend?
maka akan bermunculan
1. Home schooling, yang melayani siswa memenuhi harapan siswa dan orang tua karena tuntutan global
2. Virtual School dan Virtual University
Bagaimana mempertahankan eksistensi sekolah?
agar sekolah tetap eksis, maka sekolah harus:
1. Meningkatkan mutu SDM terutama Guru dalam penguasaan Bahasa Inggris dan Bahasa Asing lainnya
2. Peningkatan Mutu Guru dalam penguasaan teknologi Informasi dan Komunikasi
3. Peningkatan Mutu Managemen sekolah
4. Peningkatan Mutu sarana dan Prasarana
5. Sertifikasi Internasional untuk guru
demikianlah, semoga kita dapat mengarungi arus derasnya gelombang globalisasi dan kita tidak tenggelam dalam gelombPERUBAHAN KURIKULUM DI TENGAH MITOS GLOBALISASI
Dunia pendidikan kita sudah berkali-kali mengalami perubahan kurikulum. Setidaknya sudah enam kali perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah, yakni Kurikulum 1962, 1968, 1975, 1984, 1994, dan KBK. Namun, apa dampaknya terhadap kemajuan peradaban bangsa? Sudahkah pendidikan di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang visioner; yang mampu membawa bangsa ini berdiri sejajar
dan terhormat dengan negara lain di kancah global? Sudahkah “rahim” dunia pendidikan kita melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial?
Jawaban terhadap semua pertanyaan itu agaknya membuat kita sedikit gerah. Jutaan generasi datang silih-berganti memasuki tembok sekolah. Namun, kenyataan yang kita rasakan, nilai kesalehan, baik individu maupun sosial, nyaris tak terhayati dan teraplikasikan dalam panggung kehidupan nyata. Yang kita saksikan, justru kian meruyaknya kasus korupsi, kolusi, manipulasi, kejahatan krah putih, atau perilaku anomali sosial lain yang dilakukan oleh orang-orang yang notabene sangat kenyang “makan sekolahan”. Yang lebih memprihatinkan, negeri kita dinilai hanya mampu menjadi bangsa “penjual” tenaga kerja murah di negeri orang. Kenyataan empiris semacam itu, disadari atau tidak, sering dijadikan sebagai indikator bahwa dunia pendidikan kita telah “gagal” melahirkan tenaga-tenaga ahli yang memiliki kompetensi untuk bersaing di pasar kerja, meskipun berkali-kali terjadi perubahan kurikulum. Di tengah-tengah keprihatinan semacam itu, secara mendadak Mendiknas meluncurkan Peraturan Nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006 tentang Standar Isi (SI), Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan pelaksanaannya pada awal tahun ajaran 2006/2007 lalu. Melalui ketiga Permendiknas tersebut, sekolah (SD, SMP/MTs, SMA/SMK/MA) harus menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berdasarkan panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Satuan pendidikan (baca: sekolah) dapat menerapkan Permendiknas tersebut mulai tahun ajaran 2006/2007 dan paling lambat pada tahun ajaran 2006/2007 semua sekolah harus sudah mulai menerapkannya. Persoalannya sekarang, apakah KTSP mampu mengantisipasi perubahan dan gerak dinamika zaman ketika semua negara di dunia sudah menjadi sebuah perkampungan global? Apakah KTSP mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas?
Mitos GlobalisasiSebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia mustahil mampu menghindar dari dampak dan imbas globalisasi. Globalisasi telah mendorong terciptanya rekonfigurasi geografis, sehingga ruang-sosial tidak lagi semata dipetakan oleh kawasan teritorial, jarak teritorial, dan batas-batas teritorial. A. Giddens (1990) mendefinisikan globalisasi sebagai intensifikasi hubungan sosial global yang menghubungkan komunitas lokal sedemikian rupa sehingga peristiwa yang terjadi di kawasan yang jauh bisa dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di suatu tempat yang jauh pula, dan sebaliknya. Dalam konteks ini, globalisasi juga dipahami sebagai sebuah proses (atau serangkaian proses) yang melahirkan sebuah transformasi dalam spatial organization dari hubungan sosial dan transaksi --ditinjau dari segi ekstensitas, intensitas, kecepatan dan dampaknya-- yang memutar mobilitas antar-benua atau antar-regional serta jejaringan aktivitas.Dunia pendidikan pun tak luput dari imbas dan pengaruh yang dihembuskan oleh globalisasi. Paling tidak, ada tiga perubahan mendasar yang akan terjadi dalam dunia pendidikan kita. Pertama, dunia pendidikan akan menjadi objek komoditas dan komersil seiring dengan kuatnya hembusan paham neo-liberalisme yang melanda dunia. Paradigma dalam dunia komersial adalah usaha mencari pasar baru dan memperluas bentuk-bentuk usaha secara kontinyu. Globalisasi mampu memaksa liberalisasi berbagai
sektor yang dulunya non-komersial menjadi komoditas dalam pasar yang baru. Tidak heran apabila sekolah masih membenani orang tua murid dengan sejumlah anggaran berlabel uang komite atau uang sumbangan pengembangan institusi meskipun pemerintah sudah menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).Kedua, mulai longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Tuntutan untuk berkompetisi dan tekanan institusi global, seperti IMF dan World Bank, mau atau tidak, membuat dunia politik dan pembuat kebijakan harus berkompromi untuk melakukan perubahan. Lahirnya UUD 1945 yang telah diamandemen, UU Sisdiknas, dan PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) setidaknya telah membawa perubahan paradigma pendidikan dari corak sentralistis menjadi desentralistis. Ketiga, globalisasi akan mendorong delokalisasi dan perubahan teknologi dan orientasi pendidikan. Pemanfaatan teknologi baru, seperti komputer dan internet, telah membawa perubahan yang sangat revolusioner dalam dunia pendidikan yang tradisional. Pemanfataan multimedia yang portable dan menarik sudah menjadi pemandangan yang biasa dalam praktik pembelajaran di dunia persekolahan kita.Meskipun demikian, diperlukan kearifan dalam memahami pengaruh dan dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan kita. Mitos yang berkembang selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global. Dalam pandangan Mursal Esten, anggapan atau jalan pikiran semacam itu tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan Iptek telah membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Dalam buku Global Paradox, Naisbitt pun memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan bahwa semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan semakin mendominasi. "Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan", "berfikir lokal, bersifat global," ujar Naisbitt. Ini artinya, proses globalisasi tetap menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis sebagai masalah yang penting yang harus dipertimbangkan. Dalam konteks demikian, perlu ada penekanan dan perhatian yang lebih serius dari tim pengembang KTSP di sekolah untuk “membumikan” unsur-unsur kearifan dan kebudayaan lokal ke dalam kurikulum. Bahasa dan Sastra Jawa, misalnya, harus menjadi muatan lokal yang “wajib” dikembangkan di sekolah, termasuk di SMA/SMK/MA. Bahkan, perlu dikembangkan lebih lanjut melalui kegiatan pengembangan diri secara terprogram dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler dengan merangkul para pemerhati, pakar, atau penggiat Bahasa dan Sastra Jawa. Dengan cara demikian, sekolah benar-benar akan mampu menjalankan fungsinya sebagai “agen peradaban” yang menggambarkan masyarakat mini --lengkap dengan segala atribut, identitas, dan jatidirinya secara utuh-- di tengah-tengah perkampungan global yang gencar menawarkan perubahan gaya hidup dan kultur modern lainnya. Dengan kata lain, sekolah harus menjadi “benteng” terakhir pengembangan unsur-unsur kearifan dan kebudayaan lokal ketika atmosfer sosial-budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat demikian liar dan masif dalam mengadopsi kultur global dengan berbagai ikon modernitasnya. Implementasi KTSP dalam dunia persekolahan kita juga perlu diikuti dengan perubahan sistem pembelajaran yang benar-benar memberikan ruang gerak kepada siswa didik untuk mengembangkan
potensi dirinya agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun, diakui atau tidak, perubahan kurikulum selama ini hanya sebatas papan nama. Secara lahiriah menggunakan label kurikulum baru, tetapi sejatinya masih menggunakan “roh” kurikulum yang lama. Dalam pandangan Prof. Aleks Maryunis, guru besar Universitas Negeri Padang (2006), selama ini pemerintah sibuk mengurusi dan membenahi dokumen tertulisnya saja. Menurutnya, perubahan kurikulum di negara kita kebanyakan menitikberatkan pada perubahan konsep tertulis, tanpa mau memperbaiki proses pelaksanaannya di tingkat sekolah. Kurikulum di Indonesia sebenarnya memiliki empat dimensi dasar, yakni konsep dasar kurikulum, dokumen tertulis, pelaksanaan, dan hasil belajar siswa. Di Indonesia yang kerap mengalami perubahan hanya dimensi dokumen tertulis berupa buku-buku pelajaran dan silabus saja yang sudah dilaksanakan. Persoalan proses dan hasilnya, tak pernah mampu dijawab oleh kurikulum pendidikan kita.Kita berharap, implementasi KTSP saat ini tidak lagi terjebak ke dalam praktik semu di mana perubahan kurikulum hanya sekadar jadi momentum “adu konsep”, sedangkan dimensi proses dan hasil-hasilnya sama sekali tak terurus. Jangan sampai terjadi, dunia persekolahan kita hanya menjadi ladang “kelinci percobaan” yang pada akhirnya hanya akan melahirkan generasi-generasi “setengah jadi” yang gagap menyelesaikan persoalan-persoalan riil yang sedang dihadapinya.
Peran KeluargaYang tidak kalah penting, implementasi KTSP harus diimbangi dengan intensifnya peran pendidikan dalam lingkungan keluarga. Berbagai kajian empiris membuktikan bahwa peranan keluarga dan orang tua berkaitan memiliki pengaruh yang signfikan terhadap prestasi belajar anak. Menurut Idris dan Jamal (1992), peranan orang tua dalam mendidik anak adalah memberikan dasar pendidikan, sikap dan watak, dan ketrampilan dasar seperti pendidikan agama, budi pekerti, sopan-santun, estetika, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar mematuhi peraturan, serta menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan disiplin.Globalisasi, disadari atau tidak, juga telah membawa perubahan dan pergeseran gaya hidup dalam lingkungan keluarga. Kuatnya gerusan gaya hidup konsumtif, materistis, dan hedonis ke dalam ruang keluarga seringkali menimbulkan dampak memudarnya komunikasi antaranggota keluarga. Orang tua sibuk di luar rumah, sedangkan anak yang luput mendapatkan perhatian dan kasih sayang sering kali menghabiskan waktunya dengan cara mereka sendiri. Hubungan anak dan orang tua pun hanya semata-mata bersifat biologis. Orang tua sudah merasa cukup jika sanggup memenuhi kebutuhan hidup materiil sampai kelak sang anak bisa hidup berumah tangga. Sedangkan, hubungan yang hakiki; kesuntukan membangun komunikasi dan interaksi secara utuh – lahir dan batin—luput dari perhatian. Dalam upaya menghadapi “penjajahan” kultur yang dominan sebagai imbas globalisasi, idealnya keluarga harus menjadi “barikade” yang mampu menciptakan “imunisasi” terhadap anasir-anasir negatif globalisasi. Anak-anak tetap berperan aktif dalam lingkungan global, tetapi pendidikan dalam keluarga memberinya kekebalan terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari globalisasi. Dengan kata lain, dari ranah keluarga, anak-anak bangsa negeri ini perlu diarahkan secara optimal untuk meraih manfaat dan nilai positif dari segala macam bentuk pengaruh globalisasi yang demikian liar membombardir keutuhan keluarga. Seiring dengan dinamika globalisasi yang terus merambah ke segenap lapis dan lini kehidupan, sekolah
tidak lagi mampu berperan sebagai in loco parentis yang akan mengambil alih peran orang tua secara utuh. Harus ada sinergi antara pendidikan yang berlangsung di lingkungan keluarga dan di sekolah. Keluarga harus kembali kepada “fitrah”-nya sebagai institusi yang menyenangkan; tempat menaburkan dan membumikan nilai-nilai akhlakul karimah, etika, kasih sayang, dan nilai-nilai luhur lainnya. Jika dasar-dasar karakter anak sudah terbentuk, mereka akan memiliki motivasi berprestasi yang lebih tinggi karena perpaduan antara kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan sosial sudah mulai terformat dengan baik. Dengan cara demikian, peran sekolah dalam mengoptimalkan pengembangan potensi kognitif, afektif, dan motorik anak akan bisa berlangsung dengan baik. Sebagus apa pun konsep perubahan kurikulum, tanpa diimbangi dengan optimalnya peran stakeholder pendidikan, hal itu tidak akan banyak membawa dampak positif bagi kemajuan peradaban bangsa. Sudah terlalu lama bangsa ini merindukan lahirnya generasi bangsa yang “utuh dan paripurna”; berimtaq tinggi, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hanya potret generasi semacam ini yang akan mampu membawa bangsa ini sanggup bersaing di tengah kancah peradaban global yang demikian kompetitif secara arif, matang, dan dewasa. Nah, akankah perubahan kurikulum di awal tahun ajaran ini mampu menjadi momentum bangkitnya kemajuan dunia pendidikan di negeri kita? Kita tunggu saja! ***
Diposkan oleh SAWALI TUHUSETYA di Saturday, July 14, 2007
Comments : 1
dylan said...
on
Wednesday, November 12, 2008 4:38:00 PM
Nama: Bembi Bima
Saya cukup salut dan senang membaca paparan anda dan sebagai seorang guru yang sudah cukup lama berkecimpung di dunia pendidikan (selama 14 tahun), saya cukup dibuat bingung oleh perubahan kurikulum yang terjadi di tanah air yg menurut saya tdk ada alasan yang sangat mendasar dalam melakukan perubahan tersebut. Singkatnya, belum pernah saya membaca ttg adanya hasil evaluasi yg dilakukan terhadap sebuah kurikulum yang tengah diimplementasikan sehingga harus dilakukan perubahan.Hal yang mungkin perlu saya tambahkan dari tulisan anda adalah, saya melihat opini anda tentang globalisasi lebih pada dampak negatif dari globalisasi itu sendiri dimana globalisasi diletakkan sebagai momok yang menakutkan dan telah menggiring bangsa ke hal2 yg negatif. Padahal menurut saya, akan lebih baik juga dipaparkan beberapa dampak positif yang telah ditimbulkan dan sekaligus strategi untuk menyongsong dan menjadi pelaku globalisasi (sebagai innitiator dan innovator).
Karena tulisan ada dikaitkan dengan kurikulum, maka saya lebih ingin melihat sejauhmana dampak positif dan negatif yang ditimbulkan oleh globalisasi itu sendiri terhadap kurrikulum dan bagaimana kurikulum yang ideal yg mampu menjawab tantangan global. Saya yakin kedepan akan terjadi internasionalisasi kurikulum dimana negara kita akan membeli produk kurikulum dari negara lain karena pendidikan kedepan akan menjadi salah satu komoditi pasar global.
aPENDIDIKAN DALAM DINAMIKA GLOBALISASI
(Tulisan Anita Lie dalam Buku berjudul Pendidikan Manusia Indonesia)
Sebagai suatu entitas yang terkait dalam budaya dan peradaban manusia, pendidikan di
berbagai belahan dunia mengalami perubahan amat mendasar dalam era globalisasi. Seperti kata
Charles Dickens, it’s the best of times and the worst of times (ini adalah masa paling baik
sekaligus paling buruk). Ada banyak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa
dinikmati umat manusia. Sebaliknya, kemajuan itu juga beriringan dengan kesengsaraan banyak
anak manusia.
Mendefinisikan globalisasi tidaklah mudah karena berbagai parameternya yang
kontroversial. Sebagai suatu kekuatan dominan, globalisasi telah membentuk lingkungan budaya
dan peradaban baik secara positif maupun negatif. Di balik segala kerancuan dalam definisi dan
perannya, globalisasi juga telah membawa berbagai dampak besar dalam dunia pendidikan di
Indonesia.
Dinamika Globalisasi
Globalisasi sudah lama menjadi salah satu topik yang paling sering diperbincangkan dalam
bidang politik, ekonomi, dan bisnis. Dalam beberapa tahun terakhir, topik ini juga memasuki
wacana akademis dan menjadi fokus diskusi dalam dunia pendidikan. Ada banyak kerancuan
dalam pemahaman mengenai globalisasi. Maka dari itu, beberapa tema kunci dalam teori dan
pengalaman globalisasi perlu diurai sebagai latar belakang untuk memahami dampak globalisasi
pada pendidikan dan arah pendidikan selanjutnya.
Digerakkan oleh kekuatan ekonomi dan dipacu komunikasi dan teknologi, globalisasi
menghubungkan individu dan istitusi di seluruh dunia dengan tingkat keterkaitan dan kecepatan
yang luar biasa. Anthony Giddens menjelaskan globalisasi sebagai intensifikasi relasi sosial di
seluruh dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sehingga kejadian-kejadian lokal
dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain. Istilah globalisasi sering
digunakan untuk menggambarkan penyebaran dan keterkaitan produksi, komunikasi, dan
teknologi di seluruh dunia. Penyebaran ini melibatkan kompleksitas kegiatan ekonomi dan
budaya. Secara sempit, sebagian kalangan juga menggunakan istilah globalisasi untuk mengacu
upaya-upaya Daa Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia serta kekuatan-kekuatan lain
untuk menciptakan pasar bebas bagi barang dan jasa.
Sebetulnya tindakan oleh beberapa kekuatan dunia itu hanya merupakan sarana untuk
menunggangi seluruh proses besar globalisasi. Globalisasi mempunyai dimensi ekonomis,
politis, kultural, dan sosial. Ada empat tema kunci dalam wacana dan pengalaman globalisasi:
1. Delokalisasi dan lokalisasi2. Inovasi Teknologi Informasi
3. Kebangkitan Korporasi Multinasional
4. Privatisasi dan Pembentukan Pasar Bebas
Tentu saja dinamika globalisasi mengandung berbagai implikasi bagi pendidikan dan karya
pendidikan. Keempat tema kunci dalam wacana dan pengalaman globalisasi juga mulai muncul
dalam dunia pendidikan, termasuk di Indonesia.
Delokalisasi dan Lokalisasi
Satu paradoks dalam proses globalisasi adalah transformasi budaya lokal dalam segala
aspek, sebagai akibat interaksi dengan budaya asing dan adopsi unsur-unsur dari budaya asing
menjadi bagian budaya lokal. Contoh sederhana, selera makan orang Indonesia sudah banyak
berubah. Bagi orang Indonesia usia 50 tahun ke atas yang terbiasa makan nasi pecel, rawon, dan
nasi uduk, burger McDonald’s terasa amat asing dan tidak nikmat. Namun bagi anak-anak muda,
McDonald’s sudah menjadi makanan favorit. Sebaliknya, McDonald’s pun melakukan upaya
lokalisasi produknya sesuai budaya setempat. Khusus untuk Indonesia, McDonald’s menjual
paket nasi. Di Singapura, ada paket kiatsu. Dan di China, McDonald’s menyediakan sup hangat
dan sumpit. Padahal di negara asalnya, tambahan-tambahan itu tidak ada.
Salah satu gejala delokalisasi dalam pendidikan adalah penggunaan bahasa. Di Indonesia,
bahasa Inggris resmi diajarkan dalam kurikulum, mulai dari kelas 1 sekolah lanjutan tingkat
pertama (SLTP). Untuk jenjang sekolah dasar (SD), bahasa Inggris masuk kurikulum sebagai
muatan lokal mulai dari kelas IV. Namun di daerah perkotaan, banyak sekolah mengajarkan
bahasa Inggris sejak kelas I SD. Bahkan, taman kanak-kanak (TK) dan kelompok bermain tidak
mau ketinggalan mengajarkan bahasa Inggris.
Beberapa sekolah “unggulan” mengklaim penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar dalam sebagian atau keseluruhan proses belajar mengajar. Untuk memenuhi klaim ini,
sekolah-sekolah ini sampai harus merekrut guru-guru asing bukan hanya untuk mengajar bahasa
Inggris tetapi juga untuk berbagai mata pelajaran lain. Guru-guru asing ini biasanya didatangkan
dari Amerika Serikat, Australia, Singapura, Filipina, India, dan negara-negara di Eropa Barat.
Belajar bahasa Inggris di SD dan menengah memenuhi tiga tujuan. Pertama, siswa perlu
menyiapkan diri agar bisa membaca buku teks dalam bahasa Inggris di perguruan tinggi. Kedua,
kemampuan berbahasa Inggris juga masih digunakan sebagai faktor penentu untuk mendapatkan
posisi dan imbalan menarik dalam lapangan pekerjaan. Banyak iklan lowongan pekerjaan
mencantumkan kemampuan berbahasa Inggris sebagai salah satu persyaratan utama. Ketiga,
kemampuan berbahasa Inggris juga digunakan sebagai penanda sosial yang berfungsi sebagai
garis pemisah dalam interaksi sosial di antara kelas-kelas ekonomis dan kultural yang berbeda di
masyarakat.
Bahasa mewakili sekaligus membangun realitas sosial. Bahasa memosisikan manusia dan
menciptakan identitas dan relasi. Penggunaan bahasa Inggris (dan akhir-akhir ini bahasa
Mandarin) di sekolah merupakan bagian dari strategi pemasaran banyak sekolah untuk merebut
minat calon siswa dalam era persaingan global yang sudah melanda dunia pendidikan. Ada
korelasi positif antara kadar penggunaan bahasa Inggris di sekolah dan biaya sekolah (baik uang
sumbangan masuk ataupun bulanan). Sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar biasanya mengenakan biaya amat tinggi dengan dalih penggajian guru-guru asing
yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru-guru lokal.
Lebih menarik lagi, mentalitas pascakolonialisme juga tampak pada pemilahan asal negara
guru-guru asing. Penghargaan (baik secara finansial maupun non material) yang diberikan pihak
sekolah maupun stakeholders sekolah (orangtua dan siswa) kepada guru-guru bule (yang berasal
dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia) cenderung lebih tinggi
daripada yang diberikan kepada guru-guru non-bule (Filipina dan India).
Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga berkaitan erat dengan adopsi
kurikulum asing di Indonesia. Beberapa produk kurikulum dan ujian dari luar negeri yang sudah
(atau pernah dijajaki untuk) dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia yang mengklaim diri sebagai
sekolah internasional, semiinternasional, atau nasional plus adalah IB (International
Baccalaureate), O dan A Level (Cambridge Examination), VCE (Victoria Certificate of
Education), dan NSW HSC (New South Wales High School Certificate).
Kurikulum IB dikelola oleh IBO (Organisasi Bakalaureat Internasional / International
Baccalaureate Organization) yang berpusat di Jenewa, Swiss. Untuk menjadi sekolah IB, ada
proses pengajuan, penilaian, dan akreditasi yang cukup serius dan mahal. Sekolah harus
mengirim guru-gurunya untuk mengikuti berbagai pelatihan di luar negeri, membeli buku-buku
impor untuk siswa, dan mendatangkan tim penilai dari IBO untuk meninjau dan menilai apakah
sekolah itu sudah pantas menjadi sekolah IB. Akhirnya, siswa harus menempuh ujian yang
diselenggarakan IBO.
Program IB terbagi menjadi tiga bagian: PYP (Primary Years Program), MYP (Middle
Years Program), dan Diploma. PYP biasanya dilaksanakan pada jenjang SD, MYP pada jenjang
SMP, dan Diploma adalah program dua tahun di SMA. Jika siswa bisa mendapat nilai rata-rata
memadai untuk ujian IB, mereka akan mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi saat mendaftar
pada banyak perguruan tinggi di Amerika Serikat, Kanada, Australia, Singapura, dan Hongkong.
Ada enam kelompok mata pelajaran dan ujian yang ditawarkan program diploma IB:
kelompok bahasa Ibu (Bahasa Indonesia), kelompok bahasa Inggris, kelompok Individu dan
Masyarakat (misalnya manajemen bisnis, psikologi), kelompok Ilmu Pengetahuan Eksperimental
(misalnya Biologi, Kimia), kelompok Matematika, dan kelompok Seni dan Pilihan (misalnya
seni teater). Siswa harus mengambil satu mata pelajaran dari masing-masing kelompok dan di
akhir jenjang akan diuji dengan skala 1 – 7.
Selain itu, setiap siswa harus mengambil mata pelajaran Teori Pengetahuan (Theory of
Knowledge), menulis esai 4.000 kata, dan melakukan program Kreativitas, Aksi, dan Pelayanan
atau CAS (Creativity, Action, and Service) dan bisa mendapatkan tambahan niali tiga poin.
Angka sempurna untuk ujian IB adalah 45. Untuk bisa mendapatkan diploma, siswa harus
memperoleh minimal 24 poin. Jika tidak, siswa hanya akan mendapat sertifikat. Seperti
McDonald’s yang menyediakan paket nasi untuk menyesuaikan dengan seleralokal, program IB
pun menyisakan ruang untuk muatan lokal berupa mata pelajaran Bahasa Indonesia dan program
CAS.
Ujian O dan A Level digunakan di Singapura dan Hongkong. Sebagai bekas koloni Inggris,
kedua negara ini mengadopsi kurikulum O Level dari Inggris lalu mengembangkannya sampai A
Level. Di Singapura, kelas VI SD diakhiri dengan PSLE (Primary School Leaving Exam)
dilanjutkan dengan empat atau lima tahun di sekolah menengah. Kemudian sekolah menengah
ini diselesaikan dengan ujian O Level. Setelah lulus ujian O Level, siswa bisa melanjutkan studi
di Perguruan Tinggi di luar negeri atau menyiapkan diri untuk mengambil ujian A Level.
Beberapa sekolah di Jakarta, Surabaya, dan kota besar lain mengadopsi kurikulum Singapura dan
menyiapkan siswa untuk menempuh ujian O Level. Untuk menunjang kurikulum, guru-guru dan
buku-buku dari Singapura pun didatangkan.
Ada pula sekolah yang pernah mengadopsi kurikulum dari negara bagian Victoria,
Australia dan mendatangkan banyak guru dari daerah itu. Di akhir jenjang sekolah menengah,
siswa mempunyai pilihan untuk menempuh ujian yang dikeluarkan pemerintah Indonesia atau
ujian VCE (Victoria Certificate of Education). Siswa mempunyai pilihan untuk menempuh enam
mata ujian sesuai rencana studi mereka selanjutnya di jenjang pendidikan tinggi. Biasanya
sekolah di Indonesia memilih mata ujian yang bersifat eksakta seperti matematika, fisika,
teknologi informasi, biologi, dan kimia dengan pertimbangan materi dalam mata pelajaran
eksakta bisa lebih universal dan tidak terikat konteks Australia. Bahasa Inggris merupakan mata
ujian wajib dan jika siswa mendapatkan nilai bagus, nilai ini bisa dipakai sebagai pengganti tes
Bahasa Inggris IELTS sebagai persyaratan penerimaan di Perguruan Tinggi di Australia dan
Selandia Baru. Selain itu, siswa juga mengikuti ujian Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu.
Sekolah-sekolah yang mengadopsi kurikulum asing dan/atau menggunakan bahasa asing
sebagai bahasa pengantar telah membentuk jejaring melalui ANPS (Association of National Plus
Schools). Asosiasi ini beranggotakan sekolah-sekolah nasional di Indonesia yang memposisikan
diri lebih tinggi dari pada kebanyakan sekolah lain berdasarkan tujuh karakteristik: kebijakan dan
prosedur sekolah, budaya dan lingkungan Indonesia, bahasa yang dipakai (Indonesia dan
Inggris), pengembangan profesional guru dan staf, hasil belajar, program belajar mengajar,
sumber daya, dan fasilitas. Untuk masing-masing karakteristik, seperangkat indikator telah
ditetapkan dan dijadikan acuan keanggotaan. Karakteristik ke-3 (penggunaan bahasa Indonesia
dan Inggris) dijabarkan dengan indikator penggunaan bahasa Inggris yang utama dalam proses
pembelajaran terutama dalam mata pelajaran Bahasa Inggris, Matematika, dan Sains.
Selanjutnya proses belajar mengajar di dalam dan di luar kelas (misalnya di perpustakaan)
diarahkan untuk mengembangkan ketrampilan dwibahasa para siswa.
Setelah bahasa dan pengembangan profesional guru dan staf secara berkelanjutan, sekolah-
sekolah nasional plus mengacu standar internasional dalam kerangka kurikulum dan evaluasi
mereka. Secara spesifik, akreditasi yang dilaksanakan juga terkait badan akreditasi yang sudah
diakui di tingkat internasional. Ketika sekolah-sekolah kebanyakan terjebak dalam hegemoni
kekuasaan pendidikan dalam bentuk Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas), Ujian
Akhir Nasional (UAN) dan segala macam variannya, segelintir sekolah mencoba mencari
terobosan dan menemukan alternatif pada model kurikulum dan evaluasi dari luar negeri. Di
sekolah-sekolah itu, siswa tidak perlu mengikuti ujian yang diadakan pemerintah jika dia bisa
mendapatkan nilai baik dalam ujian sertifikasi. Langkah mereka selanjutnya adalah melanjutkan
studi di perguruan luar negeri. Bahkan di Indonesia pun, mulai ada Perguruan Tinggi yang
menerima lulusan program IB atau program sertifikasi asing lainnya.
Di tingkat Perguruan Tinggi, gejala delokalisasi dan keseragaman sebagai bagian dari
dinamika globalisasi juga muncul ke permukaan. Akreditasi program studi dari Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) merupakan syarat minimal namun tidak cukup memadai
untuk dijadikan poin jual. Kini Perguruan Tinggi berlomba-lomba mengemas dan menonjolkan
beberapa program unggulan lain, di antaranya sertifikasi internasional, kerja sama dengan
industri, dan kerja sama internasional.
Sertifikasi internasional bisa berupa pengakuan dari organisasi profesi di luar negeri
(misalnya ada program bisnis yang mengklaim mendapatkan pengakuan dari American
Association of Colleges and Schools of Business (AACSB) atau sertifikasi kendali mutu yang
biasanya dilakukan di dunia industri (ada perguruan tinggi swasta / PTS yang telah memperoleh
ISO 9001). Kerja sama internasional – berupa program transfer, sandwich, double degree dengan
universitas luar negeri, dan pertukaran mahasiswa – sering ditonjolkan sebagai daya tarik karena
dipercaya akan meningkatkan citra Perguruan Tinggi sebagai institusi berkualitas internasional.
Jumlah anak Indonesia yang mengikuti program kurikulum dan evaluasi asing memang
masih amat sedikit. Mereka bisa disebut sebagai the privileged few yang mengejar keunggulan
dalam era globalisasi dan persaingan bebas. Dalam dunia pendidikan, tarik ulur antara
keunggulan dan pemerataan selalu menjadi isu amat menarik untuk dikaji. Ketika ada banyak
gedung sekolah ambruk dan siswanya masih berkutat dengan kemiskinan yang bersifat
struktural, segelintir anak sedang menikmati proses belajar dengan sarana dan prasarana kelas
dunia. Biaya ratusan bahkan ribuan dollar bukan masalah bagi anak-anak ini. Kesenjangan yang
amat mencolok ini menunjukkan betapa sistem pendidikan nasional masih compang-camping.
Menteri Pendidikan Nasional RI sebelum ini, Prof. Abdul Malik Fadjar sendiri mengatakan
(Kompas, 17/6/2002), dunia pendidikan Indonesia saat ini ada pada titik kritis. Lebih jauh
dikatakan, kondisi ini akan semakin memburuk dan memprihatinkan bila hingga tahun 2004
tidak ada pembenahan yang signifikan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, mulai
dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan tingkat pendidikan tinggi.
Menghentikan laju para privileged few dalam mengejar keunggulan melalui regulasi dari
birokrasi, bukan solusi yang tepat dan bijak. Jarum jam tidak bisa diputar kembali dan arus
globalisasi sudah tidak terbendung. Jika pemerintah sampai mengeluarkan ergulasi yang
menghambat perkembangan lembaga-lembaga pendidikan yang berorientasi internasional,
dampaknya akan lebih merugikan bangsa. Bagi para orang tua yang menjadi stakeholders
sekolah-sekolah nasional plus, memindahkan anak untuk studi di luar negeri sama mudahnya
seperti memindahkan tabungan dan asetnya ke luar negeri. Jika ini terjadi, bangsa ini malah akan
kehilangan anak-anak muda yang cerdas dan mungkin bisa memberi kontribusi bagi masyarakat
di kemudian hari.
Lebih bijak jika pemerintah bersungguh-sungguh melakukan pembenahan signifikan
seperti pernah dijanjikan Mendiknas. Jika tidak, kekhawatiran bahwa “ganti menteri ganti
kebijakan” akan menjadi lebih parah karena jangan-jangan “ganti menteri ganti slogan saja”.
Ebtanas yang mengandung banyak masalah ternyata tidak kunjung diganti dengan sistem yang
menjanjikan pembenahan signifikan, malah hanya ganti baju menjadi UAN. Banyak contoh lain
yang serupa dalam bidang kurikulum, manajemen sekolah, dan kebijakan pendidikan. Dua poin
– keunggulan dan pemerataan pendidikan – harus diupayakan secara serius dan sistematis sampai
kesenjangan dalam dunia pendidikan bisa makin diminimalkan dan pendidikan bisa menjadi
jembatan bagi proses demokratisasi bangsa.
Inovasi Teknologi Informasi
Era industrialisasi sudah berganti dengan era informasi. Paradigma dan praktik pendidikan
untuk era informasi tentu berbeda dengan paradigma dan praktik-praktik untuk era
industrialisasi. Laju informasi yang beredar sudah tidak bisa dikendalikan baik dari segi jumlah
maupun jenis dan dampaknya bagi anak. Melalui berbagai media elektronik (televisi, internet
dengan segala variannya), anak-anak diserbu oleh banjir informasi secara dahsyat. Sebagian
informasi itu memang bermanfaat dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap
ajnak. Namun sebagian lain justru bisa merusak anak karena mengandung banyak unsur yang
tidak sesuai untuk konsumsi anak (misalnya kekerasan dan pornografi).
Maka dari itu, satu ketrampilan hidup yang amat penting dalam era ini adalah keterampilan
mencari, menyaring, memilah, dan memanfaatkan informasi dengan benar dan membuang
informasi yang tidak berguna dan merusak. Agar anak bisa memperoleh keterampilan ini,
praktik-praktik di sekolah yang berdasarkan model pendiktean, penghafalan, indoktrinasi, dan
deduksi sudah tidak sesuai zamannya. Anak perlu mendapat kesempatan untuk menjelajahi
kehidupan melalui proses pencarian dan penemuan di sekolah. Sayang, pada kenyataannya,
sekolah yang sudah mengadopsi paradigma yang sesuai era informasi masih amat sedikit.
Berkait dengan era informasi adalah teknologi. Pencarian, penyaringan, pemilahan, dan
pemanfaatan informasi amat dipermudah dengan penggunaan teknologi komputer dan internet.
Maka dari itu, penguasaan teknologi komputer dan internet merupakan salah satu keterampilan
hidup yang amat penting. Siswa/mahasiswa perlu dikondisikan dan diberi kesempatan untuk
menguasai keterampilan hidup ini. Beberapa sekolah dan Perguruan Tinggi terkemuka memang
sudah melakukan antisipasi dan menyediakan sarana/prasarana teknologi informasi. Bahkan
pemanfaatan teknologi informasi juga diintegrasikan dalam beberapa mata pelajaran/kuliah.
Kurikulum didesain sedemikian rupa agar siswa/mahasiswa memanfaatkan jaringan internet
untuk mengerjakan tugas-tugas kelas dan berinteraksi satu sama lain. Selain itu, manajemen
lembaga pendidikan dan layanan untuk para siswa/mahasiswa dan orang tua juga didukung
kecanggihan teknologi informasi. Pendaftaran, perwalian, dan penyimpanan porto folio bisa
dilakukan melalui jaringan intranet.
Ketika segelintir sekolah sudah masuk arena persaingan global dengan memanfaatkan
inovasi teknologi, sebagian besar sekolah di Indonesia justru masih amat jauh dari akses
teknologi informasi. Prasarana komputer di kebanyakan sekolah masih amat minim bahkan tidak
ada. Guru-guru pun masih belum mempunyai kesempatan atau keberanian untuk menggunakan
teknologi komputer dan internet. Tentu saja kesenjangan dalam aksebilitas antara siswa-siswa
dari sekolah mampu dengan siswa-siswa dari sekolah miskin akan mengarah kepada persaingan
yang tidak seimbang antara anak-anak bangsa. Sekali lagi, tarik ulur antara keunggulan dan
pemerataan merupakan isu serius dalam penyusunan kebijakan pendidikan dan perencanaan
anggaran pendidikan.
Implikasi lain dari inovasi teknologi adalah batasan antara pendidikan formal, informal,
dan nonformal secara nyata akan menjadi kabur. Secara positif, ada amat banyak situs yang
menawarkan program atau modul pembelajaran yang bisa diakses anak dengan mudah. Ruang
belajar anak tidak lagi dibatasi empat dinding ruang kelas. Proses pembelajaran di dunia maya –
yang kadang juga dimanfaatkan di segelintir sekolah – tidak mengenal batasan formal dan
nonformal. Beberapa situs menyajikan program amat bermutu bagi pengembangan berbagai
kompetensi anak.
Sebaliknya, ketika anak sudah bisa mengakses dunia maya, segala yang ada di situ akan
bisa diakses anak termasuk situs-situs yang tidak sesuai dan bisa merusak anak. Padahal tidak
banyak guru dan orang tua yang menguasai teknologi informasi cukup baik atau tidak punya
cukup waktu untuk bisa mendampingi anak dan memberi pengarahan dalam penjelajahan ke
dunia maya. Akibatnya, anak-anak menjadi rentan terhadap berbagai dampak negatif dari
penyalahgunaan teknologi informasi.
Kebangkitan Korporasi Multinasional
Pendidikan sudah menjadi komoditas yang kian menarik. Maka dari itu, dewasa ini
pendidikan sudah dikelola menyerupai atau sama dengan industri. Seolah-olah semua orang
bercita-cita mendirikan sekolah dan ini menjadikan sekolah sebagai tempat amat strategis untuk
bisnis. Artinya, seseorang atau lembaga membisniskan sekolah karena mengetahui masyarakat
membutuhkan pendidikan mulai dari tingkat kelompok bermain sampai Perguruan Tinggi.
Suatu fenomena menarik dalam hal pembiayaan pendidikan menunjukkan gejala
industrialisasi sekolah. Semakin mahal suatu sekolah, justru semakin laku. Semakin sekolah
dikatakan plus, unggulan, atau berbau internasional, orang semakin tergiur untuk memasukinya.
Bahkan ada fenomena menarik yang berkembang akhir-akhir ini. Beberapa pemain dari kalangan
bisnis mengalihkan perhatian dan investasi mereka pada industri persekolahan. Bahkan beberapa
sekolah mahal didirikan dan dikaitkan dengan pengembangan suatu kompleks perumahan elite.
Sekolah-sekolah nasional plus di kota-kota besar di Indonesia dimiliki pebisnis tingkat nasional
dan didirikan dengan mengandalkan jaringan multinasional berupa adopsi kurikulum dan staf
pengajar asing.
Seperti layaknya di perusahaan, banyak lembaga pendidikan mempunyai tim pemasaran
(marketing) khusus meski mereka masih sungkan menggunakan istilah marketing. Umumnya,
tim marketing bekerja dengan bendera humas, tim informasi studi atau biro informasi. Di
beberapa sekolah swasta, tim pemasaran ini bekerja penuh waktu secara profesional dengan
armada lengkap mulai dari staf relasi media, presenter, desainer brosur, sampai dengan petugas
jaga pameran. Periode sibuk bagi tim ini biasanya antara Oktober sampai dengan Mei, tetapi
mereka bekerja sepanjang tahun.
Di luar periode sibuk, tim marketing melakukan pembenahan internal di sekolah. Mereka
merancang prospektus, brosur, dan katalog dengan cetakan dan desain yang tidak kalah mewah
dengan prospektus perusahaan multinasional. Di beberapa Perguruan Tinggi, mereka juga
mengkoordinasi para dosen, wakil mahasiswa dari semua program studi yang ada, dan
melibatkan beberapa di antaranya dalam aneka kegiatan promosi di dalam maupun di luar
kampus. Beberapa dosen pun tidak segan-segan menjalankan peran sebagai petugas promosi
jurusan dalam kemasan seminar maupun pameran studi.
Selama periode sibuk, berbagai macam kegiatan promosi dilakukan. Kegiatan promosi
yang berkaitan langsung dengan jurusan adalah lomba untuk siswa-siswa dari jenjang pendidikan
sebelumnya yang dianggap sebagai calon konsumen. Sebagai lomba, beberapa sekolah dan
Perguruan Tinggi juga menyelenggarakan open house besar-besaran. Ada yang melakukannya di
sekolah/kampus tetapi ada pula yang menyewa hotel bintang lima. Dalam acara open house ini,
berbagai keunggulan institusi dipamerkan melalui presentasi, tayangan video, foto, dan contoh
produk. Seakan tidak ingin kehilangan kesempatan, ajang open house juga dipakai untuk
menerima pendaftaran dan melaksanakan tes masuk saat itu juga.
Kegiatan promosi tidak hanya dilakukan di kota tempat sekolah atau Perguruan Tinggi.
Tim pemasaran juga melakukan perjalanan ke luar kota bahkan ke luar pulau dalam rangka
menjemput bola. Seleksi dan tes masuk juga bisa dilakukan di kota yang dikunjungi, sehingga
siswa tidak harus jauh-jauh meninggalkan kota asalnya untuk berburu Perguruan Tinggi. Kini
adalah era sekolah berburu calon konsumen. Sekolah-sekolah nasional plus di Indonesia bersaing
tidak hanya dengan sekolah nasional lainnya tetapi juga dengan sekolah-sekolah di luar negeri.
Setiap tahun pameran pendidikan mendatangkan tim marketing dari sekolah-sekolah di
Australia, Selandia Baru, Kanada, Singapura, dan China dan berupaya menjaring
siswa/mahasiswa dari Indonesia.
Fenomena globalisasi dalam bidang pendidikan juga muncul dalam bentuk pembukaan
cabang Perguruan Tinggi asing di Indonesia. Memang umumnya Perguruan Tinggi asing belum
beroperasi secara penuh di Indonesia. Proses ekspansi yang sudah dilakukan biasanya baru
sebatas kerja sama dengan institusi dalam negeri dan membuka program bersama. Beberapa
Universitas dan Sekolah Tinggi di Indonesia mempunyai program sandwich atau double degree
melalui kerja sama dengan Perguruan Tinggi luar negeri. Beberapa institusi lain menawarkan
program matrikulasi atau foundation di Indonesia untuk menjaring calon mahasiswa. Daya tarik
yang ditawarkan program ini adalah biaya yang lebih rendah dan mahasiswa tidak perlu ke luar
negeri untuk menyelesaikan tahun pertamanya. Dalam arus globalisasi, lembaga-lembaga
pendidikan asing sudah menapakkan satu kaki di Indonesia dan ikut meramaikan persaingan
antar Perguruan Tinggi di Indonesia.
Privatisasi dan Pembentukan Pasar Bebas
Era persaingan global dan pusaran neo-liberalisme tidak bisa dibendung lagi dan melanda
dunia pendidikan. Di jenjang pendidikan tinggi, mahasiswa di ebrbagai universitas terkemuka di
Indonesia melakukan aksi menentang biaya tinggi pendidikan. Otonomi pendidikan tinggi
membawa implikasi hak dan kewajiban Perguruan Tinggi negeri dan swasta untuk mengatur
pengelolaannya sendiri termasuk mencari sumber-sumber pendapatan guna menghidupi diri.
Konsekuensi logis dari otonomi kampus, saat ini Perguruan Tinggi seakan berlomba membuka
program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana.
Perdebatan antara antiotonomi dan pro-otonomi Perguruan Tinggi tidak akan berkesudahan
dan mencapai titik temu. Kelompok yang menentang otonomi Perguruan Tinggi berpandangan
negara harus bertanggung-jawab atas pendidikan dan menanggung pembiayaan Perguruan
Tinggi negeri. Mereka mengkhawatirkan privatisasi Perguruan Tinggi akan menutup akses bagi
calon mahasiswa dari kalangan tidak mampu dan fenomena komersialisasi ini justru akan
menurunkan komitmen dan mutu pendidikan tinggi. Gejala McDonaldisasi pendidikan tinggi di
Indonesia dianggap sebagai bagian dari gerakan neoliberalisme yang menjelma dalam kebijakan
pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi berbagai aset pemerintah.
Heru Nugroho dkk (2002) menyoroti kontroversi otonomi Perguruan Tinggi di UGM dan
menganggap kebijakan itu telah mengkhianati ideologi negara dan UUD 1945.
Sementara itu, kebijakan privatisasi pendidikan tinggi ini nampaknya akan terus dijalankan.
Dua alasan yang sering dikemukakan adalah ketidak-mampuan pemerintah membiayai
pendidikan tinggi dan kebutuhan untuk meningkatkan daya saing Perguruan Tinggi negeri.
Namun tanpa perhitungan kuota yang tepat dan sistem penunjang aksesibilitas, elitisme dalam
pendidikan tinggi akan mengancam proses demokratisasi di Indonesia. Pendidikan yang
diharapkan menjadi jembatan bagi pemerolehan akses ekonomi, politik, hukum, dan budaya
secara lebih merata menjadi roboh.
Kekuatan globalisasi dan pusaran neo-liberalisme tidak bisa dibendung lagi. Ketidak-
mampuan negara dalam membiayai pendidikan tinggi tidak seharusnya membuat Perguruan
Tinggi negeri terperosok dalam jurang pencarian dana dan pengabaian mutu. Jati diri dan misi
pendidikan tidak boleh dilupakan. Peran pendidikan sebagai jembatan bagi demokratisasi
masyarakat harus tetap menjadi jiwa dalam setiap strategi menghadapi persaingan di tingkat
nasional dan internasional.
Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, siswa dan orang tua juga memprotes
tingginya biaya pendidikan. Pada masa kampanye, para calon anggota legislatif dan calon
presiden menjanjikan pendidikan bermutu yang gratis. Maka dari itu, sebagian masyarakat yang
sudah terlanjur berharap pada pendidikan gratis untuk anak usia 7 sampai dengan 15 tahun akan
merasa kecewa karena ternyata orang tua atau wali murid masih harus membayar iuran
pendidikan. Bahkan dari tahun ke tahun, biaya pendidikan (baik berupa pungutan uang sekolah
maupun biaya buku, seragam dan lain-lain) makin meningkat dan membebani masyarakat
miskin. Masyarakat pun segera beranggapan, yang dilaksanakan hanya penggantian istilah dan
permainan kata-kata (SPP ditiadakan, juga iuran BP3 tidak diberlakukan, namun ujung-ujungnya
tetap saja masih ada biaya yang harus dikeluarkan). Bahkan BP3 dibubarkan karena persepsi
masyarakat terhadap BP3 negatif akibat banyaknya pungutan oleh BP3. Kini ada Komite
Sekolah yang secara normatif seharusnya juga melakukan fungsi kontrol terhadap sekolah
termasuk dalam pengelolaan keuangan. Namun di banyak sekolah, siswa dan orang tua tidak
melihat perbedaan signifikan antara BP3 dan Komite Sekolah.
Berkurangnya tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan mengarah pada
gejala privatisasi pendidikan. Dikotomi sekolah negeri dan swasta menjadi kabur dan persaingan
antar sekolah akan makin seru. Akibat langsung dari privatisasi pendidikan adalah segregasi
siswa berdaasr status sosio-ekonomi. Atau kalaupun fenomena itu sudah terjadi di beberapa kota,
pemisahan antara siswa dari keluarga miskin dan kaya akan makin jelas dan kukuh. Siswa-siswa
dari keluarga miskin tidak akan mampu menanggung biaya yang makin mencekik sehingga
mereka akan terpaksa mencari dan terkonsentrasi di sekolah-sekolah yang minimalis (baca:
miskin).
Sementara itu, siswa-siswa dari kelas menengah dan atas bebas memilih sekolah dengan
sarana dan prasarana memadai. Selanjutnya, karena sekolah-sekolah ini mendapatkan iuran
pendidikan yang memadai dari siswa, sekolah-sekolah ini juga akan mempunyai lebih banyak
keleluasaan untuk makin membenahi diri dan meningkatkan mutu pendidikan. Jadi sekolah yang
sudah baik akan menjadi (atau mempunyai kesempatan) untuk menjadi lebih baik. Sebaliknya,
sekolah yang miskin akan makin terperosok dalam kebangkrutan.
Ke Mana Arah Pendidikan Indonesia?
Di masyarakat muncul pandangan pragmatis. Orientasi pendidikan bukan dimaksudkan
untuk menghasilkan anak yang baik tetapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan praktis.
Anak dimasukkan ke sekolah bergengsi dengan segala atributnya dan dipacu mendapat nilai
bagus agar kelak bisa mendapat pekerjaan atau relasi yang bagus. Investasi untuk pendidikan
anak merupakan investasi pragmatis, bukan proses pembentukan moral dan watak anak. Dalam
dinamika globalisasi, anak-anak bangsa tercecer dalam berbagai sekolah yang beragam menurut
latar belakang sosio ekonomi yang berbeda. Negara belum mampu memberi kesempatan yang
adil bagi semua anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Sampai saat ini, belum
tampak adanya pembenahan signifikan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, mulai
dari tingkat pendidikan dasar sampai Perguruan Tinggi. Muncul pertanyaan besar: Ke mana arah
pendidikan Indonesia?
Pendidikan dimaksudkan sebagai menyiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi masa
depan dan menjadikan bangsa ini bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Masa depan
yang selalu berkembang menuntut pendidikan untuk selalu menyesuaikan diri dan menjadi
lokomotif dari proses demokratisasi dan pembangunan bangsa. Pendidikan membentuk masa
depan bangsa. Namun, pendidikan yang masih menjadi budak sistem politik masa kini telah
kehilangan jiwa dan kekuatan untuk memastikan reformasi bangsa sudah berjalan sesuai tujuan
dan ada pada rel yang tepat.
Dalam konteks globalisasi, pendidikan di Indonesia perlu membiasakan anak-anak
memahami eksistensi bangsa dalam kaitan dengan eksistensi bangsa-bangsa lain dan segala
persoalan dunia. Indonesia tidak bisa lagi menutup diri dan menghalangi masuknya pengaruh
asing. Meski hal ini tidak berarti, kita membiarkan diri hanyut dalam arus dunia dan menerima
segala pengaruh asing. Seperti dikatakan Mahatma Gandhi, “Saya tidak ingin rumah saya
ditemboki pada semua bagian dan jendela saya ditutup. Saya ingin budaya-budaya dari semua
tempat berembus di seputar rumah saya sebebas mungkin. Tetapi saya menolak untuk terbawa
dan terempaskan” (seperti dikutip dalam Kachru, 1983).
(Diambil dari buku: Pendidikan Manusia Indonesia, hal. 217 – 231)
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN
Globalisasi telah membawa dampak besar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Dampak
tersebut ada yang positif tetapi ada pula yang negatif. Hal ini terlihat dalam empat tema kunci
globalisasi:
1. Delokalisasi dan Lokalisasi
Gejala delokalisasi dalam pendidikan dapat dilihat dari penggunaan bahasa asing khususnya
bahasa Inggris dan adopsi kurikulum asing.
Segi positifnya adalah:
Siswa mendapat bekal bahasa yang cukup, mengingat besarnya kegunaan kemampuan
bahasa Inggris bagi seseorang: 1) Buku teks di Perguruan Tinggi banyak yang berbahasa
Inggris, 2) Kemampuan Bahasa Inggris seringkali menjadi penentu untuk mendapatkan
posisi dan imbalan menarik di lapangan pekerjaan, 3) Kemampuan Bahasa Inggris
menjadi penanda sosial yang yang berfungsi sebagai garis pemisah dalam interaksi sosial
di antara kelas-kelas ekonomis dan kultural yang berbeda di masyarakat.
Kurikulum asing menghasilkan sertifikat yang diakui oleh organisasi profesi di luar negeri,
sehingga dengan demikian pemegang sertifikat memiliki kesempatan lebih besar untuk
bekerja yang layak di luar negeri dibandingkan yang tidak bersertifikat.
Segi negatifnya adalah:
Globalisasi di dunia pendidikan yang ditengarai dengan penggunaan bahasa asing, memicu
beberapa sekolah (ada banyak sekolah) yang mengenakan biaya yang tinggi bagi
siswanya karena mengklaim sekolah mereka menggunakan Bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar proses belajar mengajar.
Sekolah yang menerapkan kurikulum asing mengenakan biaya yang sangat tinggi kepada
siswa. Ada sejumlah kecil siswa yang mampu membayar biaya tersebut, mereka disebut
the privilege few. Tetapi hal ini sangat tidak enak dilihat mengingat ada banyak gedung
sekolah yang ambruk dan siswanya berkutat dengan kemiskinan. Seperti biasa, ketika
keunggulan dihadapkan dengan pemerataan, pasti akan menjadi isu yang menarik untuk
dikaji.
2. Inovasi Teknologi Informasi
Inovasi teknologi informasi dapat kita lihat dari cepatnya perkembangan media elektronik
seperti televisi, internet, telepon genggam, dan lain sebagainya.
Segi positifnya adalah:
Sebagian informasi yang dapat diakses melalui media elektronik tersebut memang
bermanfaat dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap anak.
Segi negatifnya adalah:
Sebagian informasi yang lain justru bisa merusak anak karena mengandung banyak unsur
yang tidak sesuai untuk konsumsi anak (misalnya kekerasan dan pornografi).
3. Kebangkitan Korporasi Multinasional
Kebangkitan korporasi multinasional ini ditandai dengan berkembangnya industri
pendidikan. Dengan kata lain, sekolah-sekolah telah berubah fungsi semata-mata menjadi
komoditi bisnis.
Segi positifnya adalah:
Banyak orang atau lembaga yang mendirikan sekolah-sekolah sehingga kebutuhan
masyarakat terhadap sarana pendidikan dapat terpenuhi.
Segi negatifnya adalah:
Banyak sekolah yang dikelola dengan cara bisnis murni sehingga melakukan beberapa
manipulasi dalam marketing untuk menarik minat calon siswa. Hal ini tentu merugikan bagi
siswa.
4. Privatisasi dan Pembentukan Pasar Bebas
Privatisasi dan pembentukan pasar bebas ini ditengarai dengan dilaksanakannya otonomi
Perguruan Tinggi Negeri. Otonomi ini diberlakukan dengan dua alasan: 1) Ketidak-mampuan
pemerintah untuk membiayai pendidikan tinggi; 2) Untuk meningkatkan daya saing
Perguruan Tinggi Negeri.
Segi positifnya adalah:
Privatisasi memungkinkan bagi Perguruan Tinggi untuk mengatur pengelolaannya sendiri
termasuk mencari sumber-sumber pendapatan guna berlangsungnya operasional pendidikan
di sekolah tersebut.
Segi negatifnya adalah:
Privatisasi akan menutup akses bagi calon mahasiswa dari kalangan tidak mampu, dan
fenomena komersialisasi ini justru akan menurunkan komitmen dan mutu pendidikan tinggi.
Karena globalisasi selalu memiliki aspek positif dan negatif, maka dunia pendidikan di
Indonesia harus selalu waspada di tengah arus globalisasi yang sudah tidak bisa dibendung ini.
Pendidikan Indonesia harus merupakan upaya-upaya yang terpadu dari aspek-aspek pemerataan,
peningkatan mutu dan relevansi pendidikan yang dilakukan secara efisien.
Globalisasi dan Nasib Bahasa Lokal Globalisasi merupakan isu penting yang muncul seiring dengan lahirnya revolusi sains, teknologi, dan komunikasi. Ironisnya, globalisasi tidak selamanya memberikan dampak positif bagi negara-negara berkembang. Globalisasi merupakan rangkaian perubahan yang mencakup pelbagai ranah kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, maupun budaya. Sejumlah ahli meramalkan, proses perubahan itu akan berujung pada terbentuknya satu sistem global.
Keberadaan budaya Barat selaku sistem budaya yang mendominasi kekuatan komunikasi massa dunia cendrung bersifat agresif. Akibatnya, identitas, prinsip, dan nilai-nilai budaya lain menjadi terabaikan. Karena itu, mengenal dampak dan krisis yang lahir akibat globalisasi merupakan hal yang sangat urgen bagi negara-negara yang berupaya mempertahankan budaya aslinya.
Istilah "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Secara umum, globalisasi diartikan sebagai berbaurnya kehidupan ekonomi, politik, pandangan sosial, budaya, dan perilaku pelbagai bangsa-bangsa dunia sebagai akibat dari biasnya batas-batas kebangsaan dan negara. Dengan demikian, sesuai dengan perspektif tersebut, maka globalisasi budaya adalah pensejagatan norma, nilai-nilai budaya, dan tradisi dari beragam budaya. Tentu saja, keberadaan agama, bahasa, seni, dan tradisi sebagai anasir pembangun budaya tidak akan bisa terhindar dari pengaruh globalisasi dan serangan hegemoni budaya Barat.
Bahasa merupakan salah satu unsur dasar budaya. Bahasa bisa diperumapakan seperti darah yang bersumber dari hati budaya lantas mengalir ke seluruh jaringan tubuh masyarakat. Bahasa merupakan juga manifestasi budaya masyarakat yang menuturkannya, representasi identitas dan penjelas dunia mereka.
Bahasa adalah fenomena seperti mahluk hidup yang tumbuh dan berkembang bersama masyarakat, sebagai perangkat untuk membantunya mengungkap dan mengambarkan dunia batin dan realitas di sekitarnya. Dengan kata lain, bahasa lahir, hidup, berkembang dan mati bersama manusia. Karena itu, kematian suatu bahasa bermakna sirnanya sebuah elemen dari budaya manusia.
Keberagaman bahasa sejatinya merupakan bagian dari kebhinekaan hidup manusia. Jika suatu saat nanti sejumlah bahasa telah punah dan hanya bersisa beberapa saja, maka dunia kita sebenarnya telah kehilangan sebagian dari warisan budaya yang dimiliki.
Hingga kini telah diupayakan beragam upaya untuk melindungi kebhinekaan bahasa dan budaya. Sebagai misal, tahun lalu PBB menobatkan tahun 2008 sebagai Tahun Internasional Bahasa Ibu. Sejak satu dekade lalu, tanggal 21 Februari juga telah ditetapkan sebagai Hari Internasional
Bahasa Ibu. Setiap kali moment tersebut tiba, pelbagai acara peringatan untuk melestarikan bahasa ibu digelar di pelbagai negara. Ironisnya, keragaman bahasa di era globalisasi kini makin terancam. Menurut data yang ada, dari 7 ribu bahasa, separuh di antaranya terancam punah. Punahnya pelbagai bahasa itu disebabkan oleh banyak faktor seperti: kebijakan politik yang diskriminatif terhadap kaum minoritas, menyebarnya pengaruh media massa dan infiltrasi bahasa-bahasa dominan. Selain itu, makin meningkatnya arus urbanisasi dan perpindahan penduduk, dominasi bahasa resmi suatu negara di sektor ekonomi dan pendidikan, serta pengakuan posisi bahasa resmi merupakan faktor lain yang menyebabkan punahnya bahasa daerah.
Sebagaimana diramalkan oleh sejumlah ahli, globalisasi akan berujung pada penyeragaman satu bahasa dan sebuah sistem kebudayaan. Karena itu, penyeragaman budaya dunia, umumnya didominasi oleh sebuah bahasa internasional, seperti bahasa Inggris. Model globalisasi semacam itulah yang akan mengancam keberadaan bahasa daerah sehingga budaya lokal pun menjadi ikut terancam punah.
Banyak pakar budaya dan ilmuwan sosial yang mengungkapkan kekhawatirannya atas kondisi tersebut dan menilainya sebagai proses perusakan budaya lokal. Terkait masalah ini, Mantan Dirjen Unesco, Koichiro Matsuura, menyatakan, "Selang beberapa generasi lagi, mungkin saja lebih dari 50 persen dari 7 ribu bahasa dunia yang masih bertahan akan musnah semuanya. Tak kurang hanya seperempat dari bahasa-bahasa itu yang masih diajarkan di lingkungan pendidikan dan dunia maya. Namun sebagian besar lagi, digunakan secara terpencar. Sampai kini, terdapat ratusan bahasa yang hanya dituturkan di tengah masyarakat, tanpa memiliki pososi resmi di lingkungan pendidikan dan media massa".
Tentu saja, adanya satu bahasa dunia sebagai alat komunikasi budaya dan media antarbangsa juga memiliki dampak positif. Dengan cara itu, dialog antarbudaya dapat terjalin dengan baik di tengah keragaman yang ada. Sehingga fanatisme budaya dan etnis, perlahan akan terkikis dengan berkembangnya proses perkenalan budaya. Namun begitu, pengaruh bahasa dominan akan tetap berpotensi mengancam budaya dan bahasa lokal. Lantas apa yang mesti dilakukan untuk melestarikan bahasa dan budaya lokal?
Sejumlah kalangan menilai, penyebaran bahasa Inggris di dunia bisa dimanfaatkan memperkuat dan menyebarkan bahasa lain. Untuk mengupayakan hal itu, para penggiat media massa di pelbagai negara harus juga gencar mempromosikan bahasa lokal dan mengisi muatan media lewat bahasa lokal. Dengan cara itu, bukan hanya hubungan internal bahasa lokal yang berkembang tapi juga bisa menarik masyarakat lain untuk mempelajari bahasa tersebut sehingga media massa pun bisa memainkan peran strategis dalam melestarikan bahasa lokal.
Tentu saja, upaya itu juga banyak bergantung pada keseriusan pemerintahan setiap negara dalam mengembangkan bahasa lokalnya. Contoh sukses dari upaya pelestarian bahasa lokal itu bisa kita lihat di Bangladesh. Negara di selatan Asia ini merupakan pihak yang mengusulkan penamaan tahun 2008 sebagai Tahun Internasional Bahasa Ibu. Sejak tahun 1952, masyarakat Bangladesh telah banyak berjuang untuk melestarikan bahasa Bangla.
Di sisi lain, pengakuan bahasa daerah sebagai bahasa resmi dan pengajaran bahasa tersebut di lingkungan sekolah merupakan langkah lain yang bisa dimanfaatkan pemerintah untuk melestarikan bahasa daerah.
Tak syak, peran masyarakat internasional untuk melestarikan warisan budaya bersama juga memegang peranan penting. Masyarakat dunia mesti mengakui bahwa setiap bahasa memiliki keunikan tersendiri namun begitu kekayaan dan perkembangan suatu bahasa juga banyak dipengaruhi oleh bahasa lain.