Transcript
Page 1: cover jurnal Desember 2014.cdr
Page 2: cover jurnal Desember 2014.cdr

I

LIBERTAS, JUSTITIA, VERITAS

Vol. 7 No. 3 Desember 2014 Hal. 213 - 328

ISSN 1978-6506

Terakreditasi LIPI No. 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012

jurnal Desember isi.indd 1 12/12/2014 3:53:01 PM

Page 3: cover jurnal Desember 2014.cdr

jurnal Desember isi.indd 2 12/12/2014 3:53:01 PM

Page 4: cover jurnal Desember 2014.cdr

III

Jurnal Yudisial merupakan majalah ilmiah yang memuat hasil kajian/riset atas putusan-putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jurnal Yudisial terbit berkala empat bulanan di bulan April, Agustus, dan Desember.

Penanggung Jawab: Danang Wijayanto, Ak., M.Si.

Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial RI

Redaktur: 1. Roejito, S.Sos., M.Si. (Administrasi Negara dan Kebijakan Publik)

2. Dra. Titik A. Winahyu (Komunikasi)

Penyunting: 1. Hermansyah, S.H., M.Hum. (Hukum Ekonomi/Bisnis)

2. Imran, S.H., M.H. (Hukum Pidana)

3. Nur Agus Susanto, S.H., M.M. (Hukum Internasional)

4. Muhammad Ilham, S.H. (Hukum Administrasi Negara)

5. Ikhsan Azhar, S.H. (Hukum Tata Negara)

Mitra Bestari: 1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Filsafat Hukum dan Penalaran Hukum)

2. Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum. (Metodologi Hukum dan Etika)

3. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. (Hukum Pidana dan Viktimologi)

4. Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL. (Hukum Pidana, HAM dan Gender)

5. Dr. An An Chandrawulan, S.H., LL.M. (Hukum Perdata)

6. Mohamad Nasir, S.H., M.H. (Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam)

7. Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H. (Filsafat Hukum dan Sosiologi Hukum)

ISSN 1978-6506

Vol. 7 No. 3 Desember 2014 Hal. 213 - 328

jurnal Desember isi.indd 3 12/12/2014 3:53:01 PM

Page 5: cover jurnal Desember 2014.cdr

IV

PE

NG

AN

TAR 8. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. (Hukum Internasional)

9. Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H. (Ilmu Perundang-undangan)

10. Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (Antropologi Hukum)

11. Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu, S.H., M.S. (Hukum Agraria dan Hukum Adat)

12. Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. (Ilmu Hukum/Ilmu Politik)

Sekretariat: 1. Agus Susanto, S.Sos., M.Si.

2. Arnis Duwita Purnama, S.Kom.

3. Yuni Yulianita, S.S.

4. Festy Rahma Hidayati, S.Sos.

5. Andhika Reza Pratama, S.Kom.

6. Eka Desmi Hayati, A.Md.

7. Andry Kurniadi, A.Md.

Desain Grafis

dan Fotografer: 1. Dinal Fedrian, S.IP.

2. Widya Eka Putra, A.Md.

Alamat:Sekretariat Jurnal Yudisial

Komisi Yudisial Republik IndonesiaJl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat,Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906189

E-mail: [email protected]: www.komisiyudisial.go.id

jurnal Desember isi.indd 4 12/12/2014 3:53:02 PM

Page 6: cover jurnal Desember 2014.cdr

V

PE

NG

AN

TAR LIBERTAS, JUSTITIA, VERITAS

Jika dimensi aksiologi hukum dipertanyakan, maka akan banyak jawaan berseliweran. Filsuf hukum dari Jerman bernama Gustav Radbruch (1878-1949), misalnya, meyakini tujuan hukum adalah keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum

(rechtssicherheit), dan kemanfaatan (zweckmäßigkeit). yang sebenarnya berkonvergensi dengan keberlakuan filosofis (filosofische geltung), yuridis (juristische geltung), dan sosiologis (soziologische geltung). Tentu saja, versi populer tentang tujuan hukum dari Radbruch ini bukan satu-satunya. Orang dapat menyebut sekian banyak tujuan, seperti kedamaian, kesejahteraan sosial, kebebasan, kebenaran, dan seterusnya.

Tema sentral yang diangkat dalam edisi Jurnal Yudisial kali ini kebetulan mengambil tiga nilai dasar yang juga sangat dijunjung tinggi oleh hukum, yakni kebebasan (libertas), keadilan (justitia), dan kebenaran (veritas). Kebebasan atau kemerdekaan merupakan nilai dasar bagi lahirnya tanggung jawab. Dalam hukum, hanya mereka yang memiliki kebebasan menentukan sikap dan perilaku yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Itulah sebabnya, mereka yang berbuat karena keterpaksaan atau kondisi darurat tidak layak dimintai pertanggungjawaban secara hukum.

Dengan demikian, tidak boleh ada norma hukum yang memasung kebebasan karena kebebasan adalah tujuan dari hukum itu sendiri. Keadilan adalah nilai dasar berikutnya yang sangat diidam-idamkan karena di sini hak-hak didistribusikan dan/atau dikomunikasikan di antara para pemangku kepentingan. Sementara kebenaran adalah nilai dssar yang menuntut adanya justifikasi secara rasional, empiris, dan/atau pragmatis.

Tulisan-tulisan dalam jurnal edisi kali ini menyentuh nilai libertas, justitia, dan veritas tadi. Ada tulisan yang mengangkat isu tentang kebebasan kekuasaan kehakiman dalam konteks rekrutmen hakim agung. Isu-isu tentang keadilan tercermin dari hampir semua ulasan artikel, misalnya dalam analisis tentang pidana mati. Sementara masalah kebenaran teraksentuasi antara lain dalam putusan-putusan terkait pengujian undang-undang.

Satu putusan dengan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT, kali ini tampil dalam artikel berjudul “Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik.” Bagi pembaca yang jeli akan tahu bahwa putusan ini pernah diulas dalam Jurnal Yudisial edisi sebelumnya oleh penulis berbeda. Sekalipun objek putusannya sama, artikel kali ini berangkat dari optik kajian berlainan. Atas dasar itu, artikel ini memiliki orisinalitasnya sendiri, sehingga layak untuk dibaca kembali guna melengkapi ulasan putusan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT tersebut.

jurnal Desember isi.indd 5 12/12/2014 3:53:02 PM

Page 7: cover jurnal Desember 2014.cdr

DA

FTA

R IS

IPerdebatan nilai-nilai libertas, justitia, dan veritas menawarkan panorma yang sangat luas untuk dijadikan landasan analisis. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi para penulis yang meminati kajian putusan pengadilan atau lembaga adjudikasi lainnya untuk berpangku tangan membiarkan putusan-putusan ini tidak tersentuh ketajaman pena eksaminasi. Jurnal Yudisial adalah forum yang disediakan untuk itu dengan keyakinan bahwa putusan adalah mahkota para pengadil. Harapannya tentu saja, tulisan-tulisan tersebut juga ditulis dengan menjunjung kebebasan, keadilan, dan kebenaran. Selamat berkontribusi!

Terima kasihTertandaPemimpin Redaksi Jurnal Yudisial

jurnal Desember isi.indd 6 12/12/2014 3:53:02 PM

Page 8: cover jurnal Desember 2014.cdr

VII

DA

FTA

R IS

I Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014

DIMENSI AKSIOLOGIS DARI PUTUSAN KASUS “ST” ............. 213 - 235Kajian Putusan Peninjauan Kembali Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012Nur Agus Susanto, Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta

PENAFSIRAN HAKIM TENTANG KONSTITUSIONALITAS DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PIDANA MATI .......................... 237 - 254Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011Budi Suhariyanto, Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan MA-RI, Jakarta

PASSING OFF DALAM PENDAFTARAN MEREK ....................... 255 - 272Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014Mieke Yustia Ayu Ratna Sari, Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang, Bandar Lampung

KETIDAKCERMATAN DALAM PERTIMBANGANPUTUSAN KASUS KAPAS TRANSGENIK ..................................... 273 - 293Kajian Putusan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKTLoura Hardjaloka, Kantor Hukum Bahar & Partners, Jakarta

PEMBATASAN DAN PENGUATAN KEKUASAAN KEHAKIMANDALAM PEMILIHAN HAKIM AGUNG ............................................. 295 - 310Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013Giri Ahmad Taufik, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta

MENYOAL KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSIMENGUJI PERPPU ............................................................................... 311 - 328Kajian terhadap Enam Putusan Mahkamah KonstitusiZairin Harahap, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

ISSN 1978-6505

jurnal Desember isi.indd 7 12/12/2014 3:53:02 PM

Page 9: cover jurnal Desember 2014.cdr

jurnal Desember isi.indd 8 12/12/2014 3:53:02 PM

Page 10: cover jurnal Desember 2014.cdr

IX

UDC 343.1

Susanto NA (Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta)

Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST”

Kajian Putusan Peninjauan Kembali Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012

Jurnal Yudisial 2014 7(3), 213-235

Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 terhadap Putusan Kasasi Nomor 434 K/Pid/2003 untuk terdakwa ST menarik perhatian masyarakat. Permohonan PK untuk ST diajukan oleh istrinya selaku ahli waris. Permohonan ini dikabulkan dengan amar menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada terpidana “terbukti” akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, dan karena itu melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum. Ini mengejutkan, berarti putusan tersebut mementahkan putusan kasasi sebelumnya. Salah satu pertimbangan majelis hakim PK mengabulkan permohonan tersebut adalah status FB sebagai ahli waris sah dari ST yang mendasarkan pada pandangan Yahya Harahap bahwa istri dapat menjadi ahli waris. Pandangan tersebut tidak dikutip secara lengkap. Putusan PK ini memicu sinisme terhadap putusan hakim yang bertujuan memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch. Tulisan ini berkesimpulan bahwa putusan ini tidak mampu menjawab tuntutan aksiologis yang sangat mendasar di dalam putusan hakim.

(Nur Agus Susanto)

Kata kunci: peninjauan kembali, keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum.

UDC 347.962.1; 342.7

Suhariyanto B (Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan MA-RI, Jakarta)

Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Pidana Mati

Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011

Jurnal Yudisial 2014 7(3), 237-254

Norma pidana mati tersebar pada peraturan perundang-undangan di Indonesia. Mahkamah Konstitusi pun telah menegaskan tentang konstitusionalitas norma pidana mati dalam Putusan Nomor 2/PUU-V/2007 dan Nomor 3/PUU-V/2007. Pada umumnya pidana mati diterapkan oleh Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya (meskipun masih terdapat disparitas tafsir terkait pertimbangan hal meringankan dan kualifikasi kejahatan luar biasa). Namun terdapat satu putusan kasasi dengan Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 yang dalam pertimbangan hukumnya mempermasalahkan konstitusionalitas dan pelanggaran hak asasi manusia dalam pidana mati. Berdasarkan hasil analisis, pada putusan tersebut diketahui terdapat penafsiran yang kurang proporsional (melampaui kewenangannya) dan kurang sistematis dalam membaca dan menafsirkan undang-undang sehingga dapat dikatakan untuk cenderung tidak sesuai dengan kaidah penafsiran hukum yang berlaku. Demi menjaga konsistensi penerapan dan penafsiran hukum dalam konteks mewujudkan kepastian dan keadilan hukum, serta sebagai bentuk akuntabilitas yudisial kepada masyarakat maka diperlukan pelurusan penafsiran yang sesuai dengan kaidah ilmu hukum yang berlaku. Sangat penting dilakukan persamaan persepsi pada kamar pidana Mahkamah

JURNAL YUDISIAL

ISSN 1978-6506..................................................................... Vol. 7 No. 3 Desember 2014

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

jurnal Desember isi.indd 9 12/12/2014 3:53:02 PM

Page 11: cover jurnal Desember 2014.cdr

X

Agung guna menentukan kesepakatan tafsir. Hingga akhirnya tercipta harmonisasi penerapan dan penafsiran hukum yang berujung pada terbentuknya ketertiban dan kepastian hukum yang berkeadilan bagi masyarakat.

(Budi Suhariyanto)

Kata kunci: konstitusionalitas, hak asasi manusia, pidana mati.

UDC 347.78

Sari MYAR (Fakultas Hukum, Universitas Tulang Bawang, Bandar Lampung)

Passing Off dalam Pendaftaran Merek

Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014

Jurnal Yudisial 2014 7(3), 255-272

Passing off merupakan tindakan pendomplengan terhadap merek terkenal yang dapat merugikan pemegang hak merek. Tindakan tersebut dilakukan pelaku usaha tidak jujur yang seringkali terjadi dalam praktik perdagangan, oleh karena itu penegakan hukum merek harus mendapatkan perhatian serius. Putusan Mahkamah Agung Nomor 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014, mencerminkan ketidakadilan bagi pemegang hak merek terkenal karena menguatkan putusan pada tingkat judex facti dengan Nomor 71/Pdt.Sus-Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst dan menganggap putusan sudah tepat sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 15 Tahun 2001. Tergugat (termohon kasasi) sebagai pemegang hak merek “OLYMPIC” mengandung persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek milik penggugat (pemohon kasasi) yang merupakan nama lembaga internasional didirikan tahun 1894 yang menangani penyelenggaraan Olimpiade. Merek tergugat telah terdaftar di lima negara, sehingga memenuhi persyaratan sebagai merek terkenal. Tindakan passing off tidak menjadi pertimbangan hakim dalam amar putusannya, namun

justru menitikberatkan pada popularitas merek milik penggugat. Seharusnya hakim mempertimbangkan aspek passing off, sehingga tidak merugikan penggugat (pemohon kasasi) sebagai pemegang hak merek terkenal. Penolakan tersebut berarti pembenaran terhadap tindakan passing off dalam pendaftaran maupun penegakan hukum merek dan cenderung tidak memberikan perlindungan hukum terhadap pemilik merek. Perlindungan hukum bagi pemegang merek terkenal seharusnya mendapat perhatian serius guna menumbuhkan iklim kondusif bagi investasi.

(Mieke Yustia Ayu Ratna Sari)

Kata kunci: passing off, merek terkenal, pendaftaran merek.

UDC 341.64

Hardjaloka L (Kantor Hukum Bahar & Partners, Jakarta)

Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik

Kajian Putusan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT

Jurnal Yudisial 2014 7(3), 273-293

Hakim di dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara memiliki peran yang sangat sentral untuk menegakkan hukum dan keadilan. Agar itu bisa tercapai maka hakim tersebut harus memiliki kapasitas yang memadai dan harus selalu cermat ketika menangani sebuah perkara. Akan tetapi, hal tersebut tidak kita temukan di dalam penanganan kasus kapas transgenik oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Pada kasus itu majelis hakim tidak cermat dalam menganalisis tindakan tergugat yang menerbitkan izin tanpa memperhatikan aman atau tidaknya kapas transgenik sebagai produk GMos. Selain itu, hakim juga tidak cermat dalam melihat pelanggaran penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan pengkajian risiko (risk assessment) dalam pelepasan

jurnal Desember isi.indd 10 12/12/2014 3:53:02 PM

Page 12: cover jurnal Desember 2014.cdr

XI

organisme transgenik. Ketidakcermatan tersebut terjadi karena hakim tidak menelusuri penerbitan izin penggunaan organisme transgenik oleh tergugat selaku Menteri Pertanian melalui SK Nomor 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B Sebagai Varietas Unggul dengan Nama NuCOTN 35B (Bollgard), kepada tergugat II intervensi I.

(Loura Hardjaloka)

Kata kunci: ketidakcermatan hakim, organisme transgenik, prinsip kehati-hatian, hak gugat.

UDC 347.962; 347.993

Taufik GA (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta)

Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman dalam Pemilihan Hakim Agung

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013

Jurnal Yudisial 2014 7(3), 295-310

Kekuasaan kehakiman (yudikatif) merupakan cabang kekuasaan pemerintahan terlemah dibanding kekuasaan pemerintahan lainnya yaitu eksekutif dan legislatif. Kekuasaan riil dari kekuasaan kehakiman hanya terletak pada kewibawaan pengadilan sebagai sebuah institusi. Salah satu yang dapat mewujudkan kewibawaan kekuasaan kehakiman adalah aktor pelaksana kekuasaan tersebut yaitu hakim yang memiliki kompetensi tinggi dan baik. Hubungan kausalitas antara kedua faktor tersebut membuat banyak pakar menyatakan keterkaitan yang kuat antara proses rekrutmen hakim terhadap masa depan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, terlebih lagi pada proses rekrutmen hakim agung di Mahkamah Agung. Proses rekrutmen hakim agung harus terjaga dari intervensi kepentingan politik. Hal ini merupakan rasio dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013. Putusan tersebut telah mendudukkan peran DPR di pelaksanaan rekrutmen

hakim agung dalam posisi yang pasif, untuk menghindari intrusi kepentingan politik. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada kemerdekaan kekuasaan kehakiman secara keseluruhan. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ini maka diperlukan perubahan Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Komisi Yudisial untuk mengakomodir prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman utamanya dalam proses rekrutmen hakim agung sebagaimana terkandung di dalam UUD NRI 1945.

(Giri Ahmad Taufik)

Kata kunci: rekrutmen hakim agung, kekuasaan kehakiman, kepentingan politik.

UDC 347.993

Harahap Z (Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu

Kajian terhadap Enam Putusan Mahkamah Konstitusi

Jurnal Yudisial 2014 7(3), 311-328

Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diatur di dalam Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) adalah melakukan pengujian Undang-Undang (UU) terhadap UUD NRI 1945. Seiring berjalannya waktu, ditemukan praktik bahwa MK telah melakukan pengujian konstitusionalitas peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Padahal tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa MK mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian Perppu terhadap UUD NRI 1945. Bahkan hal tersebut juga tidak kita temukan di dalam UUD NRI 1945. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis dari segi teori-teori hukum yang dapat menjelaskan MK dapat atau tidak dapat dibenarkan melakukan

jurnal Desember isi.indd 11 12/12/2014 3:53:02 PM

Page 13: cover jurnal Desember 2014.cdr

XII

pengujian Perppu terhadap UUD NRI 1945. Melalui penjelasan teori-teori hukum tersebut, akhirnya diketahui bahwa tidak benar jika menyatakan MK berwenang menguji Perppu hanya dengan dasar bahwa Perppu ditempatkan dalam Bab VII UUD NRI 1945 tentang DPR. Selain itu, tidak benar juga jika materi muatan Perppu dinyatakan sebagai materi muatan UU bukan materi muatan PP dalam rangka melaksanakan UU sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945.

(Zairin Harahap)

Kata kunci: perppu, pengujian peraturan perundang-undangan, kewenangan mahkamah konstitusi.

jurnal Desember isi.indd 12 12/12/2014 3:53:02 PM

Page 14: cover jurnal Desember 2014.cdr

XIII

JURNAL YUDISIAL

ISSN 1978-6506..................................................................... Vol. 7 No. 3 Desember 2014

The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge

UDC 343.1

Susanto NA (Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta)

The Axiological Dimension from the Case Decision of “ST”

An Analysis Decisions of Case Review Request Number 97 PK/Pid.Sus/2012 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(3), 213-235

The Decision of Case Review Request Number 97 PK/Pid.Sus/2012 against the Decision of Cassation Number 434 K/Pid/2003 regarding the defendant ST has drawn public’s attention. The application for case review to the decision was filed by FB, the wife of ST. The request was granted by the panel of judges through verdict stating the act alleged to the defendant was proven, but did not constitute a criminal offense and therefore the defendant was released from all charges, which is astonishing. This actually means the decision has nullified the previous decision of cassation. One of the judges’ considerations in granting the request is that FB’s status as the legitimate heir of ST with regard to Yahya Harahap’s standpoint that wife can become the heir. However, this referral is not fully cited. This decision of judicial review has sparked various cynical views over the judges decision which is supposed to reflect justice, ensure legal certainty, and provide utility, as affirmed by Gustav Radbruch. To conclude, this decision has failed to bring about the fundamental axiological dimensions in a court decision.

(Nur Agus Susanto)

Keywords: case review request, justice, utility, legal certainty.

UDC 347.962.1; 342.7

Suhariyanto B (Pusat Penelitian Hukum dan Peradilan MA-RI, Jakarta)

The Interpretation of Judge on Constitutionality and Human Rights Violations Regarding to Capital Punishment

An Analysis of Supreme Court’s Decision Number 39 PK/Pid.Sus/2011 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(3), 237-254

The norm pertaining to capital punishment has been dispersed on the laws and regulations in Indonesia. The Constitutional Court has also underscored the constitutionality of the capital punishment norm in the Decision Number 2/PUU-V/2007 and Number 3/PUU-V/2007. In general, the capital punishment is applied by the Supreme Court and the courts below it (although there are still disparities in the interpretation, in terms of considering the qualifications and alleviating the extraordinary crime). However there is also Cassation Decision Number 39 PK/Pid.Sus/2011, which in its legal considerations, concerned about the constitutionality and human rights violations in capital punishment. Based on the author’s analysis, there is a disproportionate interpretation (overreaching) and unsystematic, in reading and interpreting the law in the decision, even not in accordance to the rules of interpretation of the prevailing law. To keep the consistency in the application and interpretation of the law in the context of realizing the legal certainty and justice, as a form of judicial accountability to the public, straightening out the interpretation to conform with the prevailing law is crucial. It is crucial to unify and integrate the perception and interpretation in the criminal chamber of the Supreme

jurnal Desember isi.indd 13 12/12/2014 3:53:02 PM

Page 15: cover jurnal Desember 2014.cdr

XIV

Court. Thus, a harmonization of the interpretation and implementation of the law for the imposition of legal certainty and social justice can be achieved.

(Budi Suhariyanto)

Keywords: constitutionality, human rights, capital punishment.

UDC 347.78

Sari MYAR (Fakultas Hukum, Universitas Tulang Bawang, Bandar Lampung)

Passing Off in Trademarks Registration

An Analysis of Supreme Court’s Decision Number 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(3), 255-272

Passing off in the Commercial Law is an act of rearguarding against the well-known trademarks that can be disadvantageous to the holders of trademark rights. This action is committed by the unfair businessmen, and often occurs in the decisions of the Commercial Law cases that should be seriously taken heed. The Supreme Court Decision Number 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014 reflects a sense of injustice to one of the holders of famous trademarks, as it has upheld the ruling on the level of judex facti by the Decision Number 71/Pdt.Sus-Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst, and considered appropriate in line with Article 6 paragraph (1) letter b of Law Number 15 of 2001. The Defendants of Cassation as the holder of the rights for the brand “OLYMPIC” has the similarity in principle with the brand name of the Plaintiff, which is the name of the international institute, founded in 1894, which handles the Olympic Games. The Defendant has registered the trademarks/brands in five countries, and has met requirements to be a famous brand name. Passing off action is not taken into consideration by the judge in the decision, but rather the popularity of the brand of the Plaintiff. The judge should take into account the aspect of passing off so as not to disadvantage the plaintiff as the famous trademark’s holder. That refusal is

a justification for the passing off in the trademark registration and this tends to harm the famous brand name holders as well as to create unconducive climate for investment in Indonesia.

(Mieke Yustia Ayu Ratna Sari)

Keywords: passing off, famous brand name, trademark registration.

UDC 341.64

Hardjaloka L (Kantor Hukum Bahar & Partners, Jakarta)

Inaccurate Legal Consideration on the Case of Transgenic Cotton

An Analysis of Decision Number 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(3), 273-293

The role of judges in analyzing and deciding a case is of a great significance in the framework of law enforcement and justice. It means that judge must be highly qualified in handling a case. However, this is not reflected in the judge’s conduct when deciding the case of transgenic cotton in the Jakarta Administrative Court. In this case, the judges did not scrupulously analyze the defendant’s actions to issue the license regardless of the safety of transgenic cotton as a GMos product. In addition, the judges are also negligent in scrutinizing the violations of the precautionary principles and risk assessment in the release of genetically modified organisms. This happened because the judges did not discover any further information on the issuance of licenses of using of the genetically modified organisms by the defendant, occupying as Minister of Agriculture, through Decree Number 107/Kpts/KB.430/2/2001 on Limited Release of Transgenic Cotton Bt DP 5690B as Quality Seed Named NuCOTN 35B (Bollgard), to the defendant II intervention I.

(Loura Hardjaloka)

Keywords: negligent judges, genetically modified

jurnal Desember isi.indd 14 12/12/2014 3:53:03 PM

Page 16: cover jurnal Desember 2014.cdr

XV

organisms, precautionary principle, the right to sue.

UDC 347.962; 347.993

Taufik GA (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta)

Restrictions and Reinforcement of Judicial Power in the Recruitment of the Supreme Court Judges

An Analysis of the Constitutional Court’s Number 27/PUU-XI/2013 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(3), 295-310

Judicial power is the weakest power compared to the executive and legislative power. The actual supremacy of the judicial power lies merely on the authority of the court as an institution. This has caused the judicial honor and dignity is determined by the apparatus executing the judicial power, which is none other than the adept and qualified judges. The causality relationship makes many experts consider that there is a strong link between the process of recruitment of judges with the future independence of the judiciary, especially in the process of recruitment of supreme court judges. The process of recruitment of the supreme court judge must be kept from the intervention of political interests. This is the rationale of the Constitutional Court Decision Number 27/PUU-XI/2013. The decision has put the House of Representatives in the process of recruitment of the supreme court judge in passive position, to avoid the intrusion of political interests. It is intended to provide full protection to the judicial independence. Post-issuance of this decision it is considered necessary to amend the Law on Supreme Court and the Law on Judicial Commission primarily to accommodate the principle of judicial independence in the process of recruitment of the supreme court judges as stipulated in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.

(Giri Ahmad Taufik)

Keywords: recruitment of supreme court judges,

judicial power, political interest.

UDC 347.993

Harahap Z (Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

Questioning the Constitutional Review to the Government Regulation in Lieu of Law (Perppu)

An Analysis of Six Decisions of the Constitutional Court (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2014 7(3), 311-328

One of the authorities of the Constitutional Court, as stipulated on Article 24 C paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia is to conduct a judicial review. However over time, it appears that the Constitutional Court has conducted a constitutional review to the Government Regulation in Lieu of Law (the Perppu). As the matter of fact, there is no regulation set the authority for the Constitutional Court, even not affirmed in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. For that reason, it is necessary to grasp legal theories in the analysis to elucidate this issue: is the Constitutional Court allowed to review the Perppu? Through the elaboration of the legal theories, it can be deduced that it is invalid to confirm that the Constitutional Court has the authority to review the Perppu on the basis that it is stipulated in Chapter VII of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia regarding the House of Representatives. More to the point, it is also could not be justified that the content of the Perppu is asserted as the content of the Law, not as the content of Government Regulation (PP) in order to implement the Law as referred to Article 5 paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.

(Zairin Harahap)

Keywords: the government regulation in lieu of law (perppu), legislation review, constitutional court’s authority.

jurnal Desember isi.indd 15 12/12/2014 3:53:03 PM

Page 17: cover jurnal Desember 2014.cdr

jurnal Desember isi.indd 16 12/12/2014 3:53:03 PM

Page 18: cover jurnal Desember 2014.cdr

Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto) | 213

ABSTRAK

Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 terhadap Putusan Kasasi Nomor 434 K/Pid/2003 untuk terdakwa ST menarik perhatian masyarakat. Permohonan PK untuk ST diajukan oleh istrinya selaku ahli waris. Permohonan ini dikabulkan dengan amar menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada terpidana “terbukti” akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, dan karena itu melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum. Ini mengejutkan, berarti putusan tersebut mementahkan putusan kasasi sebelumnya. Salah satu pertimbangan majelis hakim PK mengabulkan permohonan tersebut adalah status FB sebagai ahli waris sah dari ST yang mendasarkan pada pandangan Yahya Harahap bahwa istri dapat menjadi ahli waris. Pandangan tersebut tidak dikutip secara lengkap. Putusan PK ini memicu sinisme terhadap putusan hakim yang bertujuan memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch. Tulisan ini berkesimpulan bahwa putusan ini tidak mampu menjawab tuntutan aksiologis yang sangat mendasar di dalam putusan hakim.

Kata kunci: peninjauan kembali, keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum.

ABSTRACT

The Decision of Case Review Request Number 97 PK/Pid.Sus/2012 against the Decision of Cassation Number 434 K/Pid/2003 regarding the defendant ST has drawn public’s attention. The application for case review to the decision was filed by FB, the wife of ST. The request was granted by the panel of judges through verdict stating the act alleged to the defendant was proven, but did not constitute a criminal offense and therefore the defendant was released from all charges, which is astonishing. This actually means the decision has nullified the previous decision of cassation. One of the judges’ considerations in granting the request is that FB’s status as the legitimate heir of ST with regard to Yahya Harahap’s standpoint that wife can become the heir. However, this referral is not fully cited. This decision of judicial review has sparked various cynical views over the judges decision which is supposed to reflect justice, ensure legal certainty, and provide utility, as affirmed by Gustav Radbruch. To conclude, this decision has failed to bring about the fundamental axiological dimensions in a court decision.

Keywords: case review request, justice, utility, legal certainty.

DIMENSI AKSIOLOGIS DARI PUTUSAN KASUS “ST”

Kajian Putusan Peninjauan Kembali Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012

THE AXIOLOGICAL DIMENSION FROMTHE CASE DECISION OF “ST”

Nur Agus Susanto Komisi Yudisial Republik Indonesia

Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta 10450E-mail: [email protected]

An Analysis Decision of Case Review Request Number 97 PK/Pid.Sus/2012

Naskah diterima: 7 November 2014; revisi: 21 November 2014; disetujui: 24 November 2014

jurnal Desember isi.indd 213 12/12/2014 3:53:03 PM

Page 19: cover jurnal Desember 2014.cdr

214 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235

PENDAHULUANI.

Hakim yang konsisten dengan kefitrahan nurani dan nalar sehatnya, didukung dengan sistem kekuasaan kehakiman dan peradilan yang transparan, niscaya akan melahirkan sejumlah vonis yang adil dan indah. Di dalamnya bermuatan nafas dan ruh kebenaran, keadilan dan kepekaan yang tajam terhadap sence of justice serta responsive terhadap derita ketidakadilan rakyat (Muqoddas, 2006: v). Kondisi ideal tersebut tercermin pada putusan yang diucapkan dalam ruang-ruang pengadilan sebagai lembaga yang senantiasa memancarkan cahaya kebenaran.Sebaliknya, apabila cahaya itu memudar, maka dapat dipastikan putusan pengadilan hanyalah lembaran kertas yang tak bermakna tanpa memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagaimana diungkapkan Gustav Radbruch.

Pemenuhan tujuan hukum di atas menjadi “satu-satunya” pilihan hakim dalam memutuskan perkara yang terwujud dalam putusannya sebagai mahkota hakim. Frame Loppy mengemukakan bahwa putusan hakim itu mahkota, mencerminkan segalanya bagi hakim, tanggung jawabnya, kejujurannya, kearifannya, kecerdasannya, kreativitasnya, keilmuannya, moralitasnya, ketulusannya, kesalehannya, dan lain sebagainya (Asikin, 2011: 63). Jika mahkota hakim tidak mencerminkan tujuan hukum sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch, maka mahkota tersebut telah kehilangan makna dan kedudukan yang terhormat. Pandangan masyarakat secara umum tentang hakim dan keadilan ibarat langit dan bumi. Putusan hakim hanya tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Maka, tidak berlebihan sebagaimana pandangan Eman Suparman jika mengatakan keadilan hanyalah menjadi ungkapan yang merdu didengar saja, ternyata hanya “isapan

jempol” karena pengadilan dianggap paling pintar dalam memutarbalikkan keadilan. Keadaan itu bahkan telah menjadi rahasia publik di negeri ini (Suparman, 2012: vii). Begitu pula nilai-nilai kemanfaatan dan kepastian hukum dalam putusan hakim dianggap sulit diimplementasikan dan seringkali terjadi perbedaan arah satu dengan yang lain.

Keagungan putusan hakim tercermin dengan mengandung tiga unsur tujuan hukum milik Gustav Radbruch sehingga akan menopang dimensi aksiologis. Dimensi ini akan memenuhi memenuhi ruang-ruang kebutuhan peningkatan kualitas hidup manusia. Aksiologi yang merupakan salah satu cabang filsafat yang bermakna kontribusi ilmu pengetahuan guna meningkatkan kualitas hidup manusia. Melalui dimensi aksiologi akan melipatgandakan makna esensi dari putusan hakim itu sendiri khususnya keadilan dan kemanfaatan.

Kegalauan Gustav Radbruch dan tereliminirnya dimensi aksiologis seakan-akan tergambar dalam Putusan PK Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 terhadap kasus ST. Putusan ini melepaskan terpidana dalam jeratan hukum sungguh disayangkan hadir dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia yang berusaha mewujudkan cita-cita sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945. Putusan PK ini memikat untuk dianalisis yang tidak hanya karena adanya benturan terhadap teori milik Gustav Radbruch, namun juga mengejutkan masyarakat umum yang seakan-akan mimpi di siang bolong karena begitu banyak kejanggalan-kejanggalan yang memudarkan sosok hakim ideal di lembaga puncak keadilan, Mahkamah Agung.

Kasus ini bermula saat ST menduduki jabatan sebagai Direktur Utama PT. BPUI, salah

jurnal Desember isi.indd 214 12/12/2014 3:53:03 PM

Page 20: cover jurnal Desember 2014.cdr

214 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235 Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto) | 215

satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang saham mayoritasnya sebesar 82% dimiliki oleh Bank Indonesia, dianggap menyalahgunakan kewenangannya. ST sebagai pucuk pimpinan PT. BPUI memiliki kewajiban mengelola perusahaan secara tanggung jawab, iktikad baik, dan mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk kewajiban untuk menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential) dalam pengelolaan aset negara, namun kewajiban tersebut tidak dilaksanakan.

Persoalan mulai muncul pada saat ST dinilai tidak mengindahkan kewajibannya selama kurun waktu tahun 1995-2000 dengan memberikan kemudahan pinjaman kepada Kredit Asia Finance Limited (KAFL), dan selanjutnya, KAFL memberikan dana pinjaman tersebut ke pihak-pihak lain. Nilai total aliran dana PT. BPUI kepada KAFL telah mengakibatkan kerugian negara sebesar US$73.841.119,70 (tujuh puluh tiga juta delapan ratus empat puluh satu ribu seratus sembilan belas dan tujuh puluh sen Dollar Amerika Serikat) dan Rp.116.391.349.560,- (seratus enam belas miliar tiga ratus sembilan puluh satu juta tiga ratus empat puluh sembilan ribu lima ratus enam puluh rupiah).

Secara keseluruhan perbuatan ST merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, sebesar US$178.942.801,93 (seratus tujuh puluh delapan juta sembilan ratus empat puluh dua ribu delapan ratus satu dan sembilan puluh tiga sen Dollar Amerika Serikat) dan Rp.369.446.905.115,56 (tiga ratus enam puluh sembilan miliar empat ratus empat puluh enam juta sembilan ratus lima ribu seratus lima belas dan lima puluh enam sen rupiah).

Dalam dakwaan jaksa, aliran dana PT. BPUI sebagai BUMN, melalui atau kepada

KAFL tersebut dengan mengabaikan prinsip-prinsip umum kehati-hatian (prudential) dalam pemberian pinjaman/kredit atau investasi. Tindakan ST yang merugikan negara mendorong aparat penegak hukum mengambil langkah hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 25 November 2002 memutuskan ST lolos dari jeratan hukum. Majelis hakim pada tingkat pertama tersebut memutuskan perbuatan ST terbukti, namun bukanlah merupakan tindak pidana karena perbuatannya semata-mata perbuatan hukum dalam lingkup perdata.

Jaksa penuntut umum menilai putusan tersebut telah mencederai keadilan sehingga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Majelis hakim kasasi mengabulkan permohonan jaksa dan menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) serta membayar uang pengganti Rp.369 miliar (tiga ratus enam puluh sembilan miliar rupiah) yang dibacakan di bulan Desember 2004. Sayangnya, eksekusi terhadap putusan tersebut tidak berjalan sesuai harapan karena ST kabur dan dinyatakan sebagai buronan dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

Proses hukum terpidana ST, tidak berhenti di sini. Tahun 2012, FB, istri selaku ahli waris terpidana, kemudian mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) yang tercatat dalam Putusan Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012. Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa bagi seorang terpidana untuk memohon peninjauan ulang atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan itu dapat berupa putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi, juga dapat berupa putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).

jurnal Desember isi.indd 215 12/12/2014 3:53:03 PM

Page 21: cover jurnal Desember 2014.cdr

216 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235

Majelis hakim PK memutuskan berbeda dengan putusan kasasi. Putusan PK membatalkan Putusan Kasasi Nomor 434 K/Pid/2003 tanggal 03 Desember 2004 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel. tanggal 25 November 2002. Putusan peninjauan kembali dibacakan pada bulan 31 Juli 2013 memutuskan perbuatan yang didakwakan kepada terpidana terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, dan melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum. Meski demikian, putusan PK tersebut tidak disetujui oleh seluruh anggota majelis. Salah satu Hakim Agung SM menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion) yang intinya permohonan PK seharusnya tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung.

Putusan majelis hakim PK inilah yang menimbulkan gejolak yang berkepanjangan di masyarakat umum termasuk Komisi Yudisial (KY). KY memutuskan untuk melakukan kajian mendalam dan pada akhirnya melakukan pemeriksaan kepada pihak-pihak terkait. Setidaknya poin penting yang menjadi perhatian KY terhadap perkara ini adalah yang mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah istrinya sebagai ahli warisnya, padahal tidak ada keterangan yang menyatakan terpidana sudah meninggal dunia, karena terpidana tidak meninggal dunia tetapi melarikan diri untuk menghindari kewajibannya melaksanakan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003. Terhadap kelalaian ini, KY merekomendasikan sanksi kepada majelis hakim PK kecuali Hakim Agung SM sebagai hakim non palu selama enam bulan.

Majelis hakim PK juga dinilai melanggar SEMA No. 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan PK dalam Perkara Pidana yang memperkuat SEMA No. 6 Tahun 1988. Pada

intinya, SEMA tersebut melarang terpidana mengajukan PK dalam perkara pidana tanpa dihadiri terpidana sendiri atau ahli warisnya yang pada kasus ini keduanya tidak terpenuhi mengingat ST masih hidup dan buron (KHN, 2013).

Salah satu aspek yang kontroversi dalam putusan PK ini adalah perdebatan tentang siapa yang berhak mengajukan upaya hukum ini. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 263 ayat (1) membolehkan terpidana atau ahli warisnya sebagai pihak yang dapat mengajukan upaya hukum luar biasa PK kepada Mahkamah Agung, sementara status FB adalah sebagai istri dan ST belum meninggal dunia.

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan paparan di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam kajian ini adalah sebagai berikut: apakah Putusan Peninjauan Kembali Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 telah memenuhi tujuan hukum sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch?

STUDI PUSTAKAIII.

Dalam proses lahirnya putusan hakim, berlangsung apa yang disebut penalaran hukum. Kennet J. Vandevelde menekankan dua hal setiap kali orang berbicara tentang penalaran hukum atau berpikir sebagai ahli hukum. Menurutnya, The phrase to think like a lawyer encapsulates a way of thingking that is characterized by bith the goal pursued and method used.” Maria Farida menyatakan bahwa persoalan pertama (goal pursued) berdimensi aksiologis, sedangkan yang kedua (method used) berdimensi epistemologi (Hidayat, 2013: 158). Dimensi aksiologis

jurnal Desember isi.indd 216 12/12/2014 3:53:03 PM

Page 22: cover jurnal Desember 2014.cdr

216 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235 Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto) | 217

mendorong putusan hakim memberikan manfaat yang sebenar-benarnya bagi ilmu pengetahuan dan manusia, sementara dimensi epistemologi akan fokus pada asal mula atau sumber, struktur, metode, dan sahnya (validitasnya) pengetahuan.

Aksiologis menurut kamus filsafat, berasal dari bahasa Yunani “Axios” (layak, pantas) dan “Logos” (ilmu). Secara sederhana aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai dan kegunaan dari ilmu pengetahuan. Dalam kaitannya dengan putusan hakim, maka dimensi aksiologis akan mewujudkan putusan hakim yang memberikan kesempurnaan hidup manusia, bukan sebaliknya memunculkan friksi-friksi yang berujung pada hilangnya ruh tujuan hukum,

Salah satu teori yang mengungkapkan tentang tujuan hukum adalah milik Gustav Radbruch yang dalam bukunya Rechtsphilosphie mengungkapkan bahwa Nicht dargetan ist der unbedingte Vorrang der durch das positive Recht erfüllten Forderung der Rechtssicherheit vor den von ihm vielleicht unerfüllt gelassenen Forderungen der Gerechtigkeit und der Zweckmäßigkeit, (Radbruch, 1975: 177). Pandangan Gustav Radbruch secara umum diartikan bahwa kepastian hukum tidak selalu harus diberi prioritas pemenuhannya pada tiap sistem hukum positif, seolah-olah kepastian hukum itu harus ada lebih dulu, baru kemudian keadilan dan kemanfaatan.

Gustav Radbruch kemudian meralat teorinya bahwa ketiga tujuan hukum sederajat. Perubahan pandangan itu dipengaruhi kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktik-praktik yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II -dengan jalan membuat hukum yang mengesahkan praktik-praktik kekejaman perang

pada masa itu-, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain (Fanani, 2010). Secara berurutan keadilan menempati posisi yang pertama, dan selanjutnya aspek jaminan kepastian dan kemanfaatan. Meskipun demikian, tujuan hukum milik Gustav dianggap sebagai satu kesatuan yang saling menopang satu dengan yang lain.

Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu pertama tidak merugikan seseorang, dan kedua perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi, barulah itu dikatakan adil (Sanusi, 2011: 621). Kedua prinsip ibarat dua sisi keping mata uang yang sama, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena satu dengan yang lain memiliki keterikatan yang erat. Sebaliknya, jika kedua prinsip tersebut dimaknai terpisah akan menimbulkan perbedaan prinsipil.Keadilan harus menjamin tidak adanya kerugian salah satu pihak, dan juga memastikan setiap orang memperoleh sesuai dengan haknya.

Pandangan Aristoteles mengenai keadilan dalam Rhetorica yaitu ius sun cuique tribuere. Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan penyamarataan. Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama (Apeldoorn, 2008: 11), namun keadilan memberikan seseorang sesuai dengan hak dan sejauhmana melaksanakan kewajibannya.

Socrates menyatakan bahwa hakikat hukum adalah keadilan. Hukum berfungsi melayani kebutuhan keadilan dan masyarakat.

jurnal Desember isi.indd 217 12/12/2014 3:53:03 PM

Page 23: cover jurnal Desember 2014.cdr

218 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235

Hukum menunjukkan pada suatu aturan hidup yang sesuai dengan cita-cita hidup bersama yaitu keadilan. Plato merancang suatu tatanan di mana hanya kepentingan umum yang diutamakan, yaitu partisipasi semua orang dalam gagasan keadilan. Lebih tepatnya, ia mencanangkan suatu negara di mana keadilan dicapai secara sempurna (Wiko, 2009: 11).

Berbicara tentang keadilan, Aristoteles membedakan keadilan distributif (justitia distributif) dan keadilan kumulatif (justitia commulatif). Keadilan distributif ialah suatu keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing, sedangkan keadilan kumulatif adalah keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa memperdulikan jasa masing-masing (Soeroso, 2011: 63-64). Berbeda dengan Aristoteles, Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa keadilan dapat dibagi menjadi dua yaitu keadilan individual dan keadilan sosial. Keadilan individual pelaksanaannya tergantung dari kehendak baik dan buruk masing-masing individu, sedangkan keadilan sosial pelaksanaannya tergantung dari struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat, struktur-struktur mana terdapat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ideologi (Widanti, 2005: 7). Pandangan Magnis Suseno di atas menegaskan bahwa keadilan individu berbanding terbalik dengan keadilan sosial. Keadilan sosial membutuhkan pranata dan kekuasaan dalam menegakkan hukum sehingga baru dapat terwujud kalau dalam masyarakat telah tercipta keadilan pada umumnya, di mana setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya.

Aequum et bonum est lex legume, sesuatu yang adil dan baik, adalah hukum dari segala hukum (Ranuhandoko, 2006: 35). Keadilan dan

hukum menjadi salah satu sisi dari keping mata uang yang sama, keduanya memiliki keterikatan yang erat dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain dalam penegakan hukum dalam menyelesaikan sengketa di masyarakat.

Van Apeldoorn menambahkan bahwa hukum adalah kekuasaan yang bercita-citakan keadilan. Dikatakan bercita-cita karena keadilan yang sungguh-sungguh tidak dapat dicapai dengan hukum:

1. Karena hukum terpaksa mengorbankan keadilan sekedarnya untuk tujuannya, jadi hukum bersifat kompromi.

2. Karena manusia (hukum adalah buatan manusia) tak dikaruniai Tuhan mengetahui apa yang adil dan tidak adil dalam arti mutlak. Pandangan kita apa yang adil, apa yang menjadi bagian orang lain adalah ditentukan dengan sejarah, jadi berubah-ubah menurut tempat dan waktu (Apeldoorn, 2008: 67-68).

Dalam setiap sengketa, keadilan merupakan suatu nilai yang relatif dan subjektif. Bahkan keadilan disebutkan secara jelas dengan istilah rasa keadilan. Rasa keadilan dikatakan bersifat relatif karena memang tidak ada tolok ukur yang bersifat absolut dan universal. Dikatakan subjektif karena rasa keadilan seseorang selalu berbeda dengan rasa keadilan orang lain karena setiap orang memiliki rasa keadilan sendiri-sendiri yang belum tentu sama dengan rasa keadilan orang lain (Arto, 2011: 78).

Bisa jadi keadilan terwujud bagi seseorang yang menang dalam sengketa di peradilan, dan sebaliknya ketidakadilan akan dirasakan bagi mereka yang pada akhirnya kalah di dalam proses peradilan.

jurnal Desember isi.indd 218 12/12/2014 3:53:03 PM

Page 24: cover jurnal Desember 2014.cdr

218 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235 Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto) | 219

Peradilan menunjuk kepada proses mengadili, sedang pengadilan merupakan salah satu lembaga dalam proses tersebut. Lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam proses mengadili adalah kepolisian, kejaksaan, dan advokat. Hasil akhir dari proses peradilan tersebut berupa putusan pengadilan atau yang sering digunakan kata putusan hakim, oleh karena hakimlah yang memimpin sidang di pengadilan itu (Rahardjo, 2006: 182). Putusan tersebut adalah hukum bagi para pihak yang bersengketa agar menghormati dan menaati serta melaksanakannya meskipun terkadang tidak sesuai dengan harapan.

Tujuan hukum kedua milik Gustav Radbruch menekankan kepastian hukum. Kepastian dalam bahasa Inggris adalah certainty atau assurance, (M. Echols & Shadily, 2007: 412). Sementara Bryan A Garner mendefinisikan assuranceis something that gives confidence (Garner, 2010: 135). Berdasarkan definisi di atas, maka kepastian dapat didefinisikan secara sederhana sebagai segala sesuatu yang memberikan bukti kuat sehingga sulit terjadi perubahan, sementara itu kepastian hukum diartikan sebagai jaminan negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara melalui perangkat hukum.

Kepastian hukum akan menjamin seseorang melakukan perilaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sebaliknya tanpa ada kepastian hukum maka seseorang tidak memiliki ketentuan baku dalam menjalankan perilaku. Dengan demikian, tidak salah apabila Gustav Radbruch mengemukakan kepastian sebagai salah satu tujuan dari hukum.

Dalam tata kehidupan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum. Kepastian hukum merupakan sesuai yang bersifat normatif baik ketentuan maupun keputusan hakim.

Kepastian hukum merujuk pada pelaksanaan tata kehidupan yang dalam pelaksanaannya jelas, teratur, konsisten, dan konsekuen serta tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif dalam kehidupan masyarakat.

Masyarakat tidak hanya ingin melihat keadilan diciptakan dalam masyarakat dari kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan juga menginginkan agar dalam masyarakat terdapat peraturan-peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan mereka satu dengan yang lain. Sekarang ini kita melihat bahwa hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya, oleh Gustav Radbruch ketiganya-tiganya disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga nilai dasar adalah keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum (Rahardjo, 2006: 182).

Keadilan tak pernah berlawanan asas dengan hukum, aequitas non facit jus, sed juri auxuliatur (Ranuhandoko, 2006: 35). Salah satu asas hukum adalah yang menjamin adanya kepastian kepada negara dan individu. Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege (Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu) (Moeljatno, 2002: 23). Azas hukum tersebut menjamin adanya keadilan dan kepastian seseorang. Ketentuan hukum harus hadir lebih dahulu untuk menyatakan seseorang melakukan tindak pidana dan atau sebaliknya seseorang akan dilepaskan dari jeratan hukum apabila tidak ada ketentuan yang mengatur lebih dahulu.

Dalam proses di pengadilan, keadilan dan kepastian hukum akan saling memperkuat putusan hakim, sehingga menghasilkan putusan yang lebih bermartabat. Kepastian hukum tanpa adanya keadilan akan terasa hambar, begitu juga keadilan tanpa adanya kepastian hukum maka status hukum seseorang laksana buih di lautan.

jurnal Desember isi.indd 219 12/12/2014 3:53:04 PM

Page 25: cover jurnal Desember 2014.cdr

220 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235

Kepastian hukum yang dituangkan dalam putusan hakim merupakan hasil yang didasarkan pada fakta-fakta persidangan yang relevan secara yuridis serta dipertimbangkan dengan hati nurani. Hakim selalu dituntut untuk selalu dapat menafsirkan makna undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang dijadikan dasar untuk diterapkan. Penerapan hukum harus sesuai dengan kasus yang terjadi, sehingga hakim dapat mengkonstruksi kasus yang diadili secara utuh, bijaksana, dan objektif.

Putusan hakim yang mengandung unsur kepastian hukum akan memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum. Hal ini disebabkan putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, bukan lagi pendapat dari hakim itu sendiri yang memutuskan perkara, tetapi sudah merupakan pendapat dari institusi pengadilan dan menjadi acuan masyarakat dalam pergaulan sehari-hari (Wantu, 2012: 8). Putusan hakim akan selalu melahirkan kesebandingan hukum karena memutuskan satu perkara yang melibatkan kepentingan berbeda di antara dua pihak. Soerjono Dirdjosisworo mengemukakan bahwa betapapun kesebandingan hukum tidak dapat secara mutlak bebas tanpa pedoman yang pasti, sebab kalau hal ini terjadi berarti penerapan kebijaksanaan dan keadilan berjalan tanpa menunjukkan watak dari hukum yang di antaranya menghendaki adanya kepastian yaitu kepastian hukum (Dirdjosisworo, 2008: 135-136).

Tujuan hukum terakhir dari Gustav Radbruch adalah kemanfaatan hukum (zweckmaeszigkeit). Kemanfaatan berasal dari kata dasar manfaat yang bermakna guna, faedah, laba, dan untung (Poerwadarminta, 2006: 744). Hukum yang memiliki nilai manfaat akan memberikan kontribusi optimal dalam

tatanan kehidupan masyarakat. Tersedianya hukum namun tidak memiliki nilai manfaat bagi masyarakat secara luas, maka dapat dipastikan hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.

Kemanfaatan ini juga harus tercermin pada putusan hakim. Putusan hakim yang memiliki aspek manfaat tidak hanya terkait dunia peradilan semata, namun juga bermanfaat bagi masyarakat umum dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Putusan hakim yang mencerminkan kemanfaatan, manakala hakim tidak saja menerapkan hukum secara tekstual belaka dan hanya mengejar keadilan semata, akan tetapi juga mengarah pada kemanfaatan bagi kepentingan pihak-pihak yang berperkara dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Artinya hakim dalam menerapkan hukum, hendaklah mempertimbangkan hasil akhirnya nanti, apakah putusan hakim tersebut membawa manfaat atau kegunaan bagi semua pihak.Hakim diharapkan dalam menerapkan undang-undang maupun hukum yang ada didasarkan pada tujuan atau kemanfaatannya bagi yang berperkara dan masyarakat. Mengingat putusan hakim merupakan hukum, maka hakim harus memelihara keseimbangan dalam masyarakat dengan memulihkan kembali tatanan masyarakat pada keadaan semula (restitutio in integrum)(Wantu, 2012: 8).

Dalam mewujudkan nilai-nilai kemanfaatan hakim dituntut tidak hanya semata-mata alasan yuridis semata. Apalagi dalam perkara pidana yang menjadi perhatian publik. Di sinilah kearifan hakim diuji untuk mempertimbangkan beragam aspek sebelum memutuskan sebuah perkara.

Aspek manfaat ini terkait erat dengan dimensi aksiologis. Secara historis, istilah yang

jurnal Desember isi.indd 220 12/12/2014 3:53:04 PM

Page 26: cover jurnal Desember 2014.cdr

220 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235 Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto) | 221

lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai (Wardi, 2013: 65).Nilai dasar dimensi aksiologi untuk mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari ilmu pengetahuan.

Dasar aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Aksiologi hukum (ajaran nilai, waardenleer) menurut Jan Gijssels dan Marks van Hoecke yang diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta adalah penentuan isi dan nilai-nilai seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran, dan penyalahgunaan hak (Rondonuwu, 2014: 75).

Dimensi aksiologis dapat dikatakan menjadi bagian teori tujuan hukum milik Gustav Radbruch. Sayangnya, teori seringkali berbeda dengan fakta yang terjadi. Teori yang diungkapkan oleh Gustav Radbruch seringkali berbenturan sendiri dengan fakta yang terjadi dalam penegakan hukum. Keadilan misalnya saja, belum tentu akan memberikan nilai manfaat bagi masyarakat, begitu juga dengan kepastian hukum belum tentu menjamin nilai-nilai keadilan.

ANALISISIV.

Dalam setiap perkara pidana, adanya putusan bebas selalu menjadi atensi yang kontroversial, apalagi bila putusan itu menjadi public issue (perhatian publik), karena setiap perkara yang mendekati pada urgensi masyarakat akan selalu ditemui political atmosphere (nuansa politik) yang justru menyeliputi perkara itu sendiri secara hukum (Adji & Adji, 2007: 113). Pandangan itu setidaknya tercermin pada Putusan PK Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 tentang permohonan PK yang menjadi sorotan masyarakat luas karena melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum.

Putusan PK tersebut menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terpidana ST tersebut terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, sehingga hak terpidana dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya dipulihkan. Putusan tersebut yang diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Rabu tanggal 31 Juli 2013. Putusan PK mengejutkan masyarakat luas lantaran mematahkan Putusan Kasasi Nomor 434 K/PID/2003 pada tanggal 3 Desember 2004. Adapun amar putusan kasasi menyatakan:

1. Menyatakan bahwa terdakwa ST tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi;

2. Menghukum terdakwa ST oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun;

3. Menetapkan masa penahanan yang pernah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

jurnal Desember isi.indd 221 12/12/2014 3:53:04 PM

Page 27: cover jurnal Desember 2014.cdr

222 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235

4. Menghukum pula kepada terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka kepada terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;

5. Menghukum pula kepada terdakwa dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar US$98,000,000.00 (sembilan puluh delapan juta Dollar Amerika Serikat) atau Rp.369.446.905.115,- (tiga ratus enam puluh sembilan milyar empat ratus empat puluh enam juta sembilan ratus lima ribu seratus lima belas rupiah);

6. Menetapkan barang bukti barang bukti berupa No. 1 sampai dengan 412 digunakan untuk perkara lain, sedangkan No. 1, 2, 3, 4 dirampas untuk negara.

Putusan kasasi yang dipimpin Bagir Manan tersebut mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi yaitu jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Jaksa melakukan langkah kasasi dikarenakan Putusan PN Jakarta Selatan Nomor 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel., tanggal 25 November 2002, juga melepaskan ST dari jeratan hukum.

Patut disayangkan putusan kasasi tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik. Hal itu disebabkan ST memilih meninggalkan negeri ini dibanding menjalankan putusan pengadilan.Status ST yang kabur selanjutnya termasuk dalam DPO hingga saat ini.

Kontroversi putusan ini bermula pengajuan PK dilakukan oleh istri terpidana yang bernama FB. Permohonan FB dikabulkan oleh majelis

hakim PK Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012. Sekedar mengingatkan bahwa permohonan PK adalah upaya hukum luar biasa bagi seorang terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) baik di pengadilan negeri atau pengadilan tinggi, maupun putusan Mahkamah Agung. PK adalah hak setiap orang khususnya yang dirugikan dalam proses hukum.

Andi Hamzah mengemukakan bahwa PK sebagai upaya hukum luar biasa, dan apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan PK itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum, dan putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum menjadi pilihan majelis hakim PK dengan mengabulkan permohonan FB. Dasar pengajuan PK tertuang dalam KUHAP Pasal 263 ayat (2). Seseorang dapat mengajukan peninjauan kembali dengan alasan:

a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

jurnal Desember isi.indd 222 12/12/2014 3:53:04 PM

Page 28: cover jurnal Desember 2014.cdr

222 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235 Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto) | 223

c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Berdasarkan KUHAP di atas, pemohon mengambil poin b dan c di atas sebagai dasar untuk mengajukan PK Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012.Permohonan tersebut juga diyakini majelis hakim sehingga mengabulkan permohonan PK perkara a quo. Pertanyaan selanjutnya dalam tulisan ini adalah apakah putusan PK tersebut memenuhi tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan (gerechtikeit, rechtssicherheit, zweckmabigkeit) sebagaimana dimaksud oleh Gustav Radbruch dalam rumusan masalah ini?

Penulis berpandangan guna membedah putusan PK ini berdasarkan pandangan Gustav Radbruch yang menggunakan tiga indikator yaitu, pihak yang mengajukan PK, status dari terpidana ST pada saat mengajukan PK, dan amar majelis hakim yang memutuskan melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum. Tiga indikator tersebut digambarkan sebagai berikut:

1. Pihak yang Mengajukan PK

Dalam penegakan hukum negara Indonesia membuka peluang seorang terpidana yang dihukum bersalah atau pihak lain yang berkepentingan diberi kesempatan terakhir untuk menempuh upaya hukum luar biasa yang disebut PK. PK juga disebut sebagai “pintu terakhir” dari proses peradilan.

PK merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dikenal dalam sistem peradilan Indonesia. Hal itu dikarenakan tidak semua proses hukum dapat bermuara pada PK. Dasar hukum PK tertera dalam KUHP Pasal 263 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “terhadap putusan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”

Dalil bahwa dalam putusan kasasi telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka FB (istri), yang disebut selaku ahli waris terpidana ST mengajukan permohonan PK. FB mendalilkan bahwa pengajuannya berdasarkan pada berbagai pertimbangan yaitu:

Bahwa dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP • ditentukan pihak-pihak yang berhak mengajukan PK terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang bukan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, adalah terpidana atau ahli warisnya;

Bahwa pemohon PK adalah istri sah dari • terpidana ST yang hingga saat diajukannya permohonan tidak pernah melakukan perceraian (vide Akta Perkawinan Nomor 542/1991 tanggal 28 Desember 1991);

Bahwa KUHAP tidak memberikan • pengertian siapa yang dimaksud “Ahli Waris” dalam Pasal 263 ayat (1) tersebut;

Bahwa dalam sistem hukum yang berlaku • di Indonesia, selain anak yang sah sebagai ahli waris dari orang tuanya, istri juga merupakan ahli waris dari suaminya;

Bahwa makna istilah “Ahli Waris” dalam • Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut dimaksudkan bukan dalam konteks hubungan waris mewaris atas harta benda terpidana, melainkan istilah tersebut ditujukan kepada orang-orang yang

jurnal Desember isi.indd 223 12/12/2014 3:53:04 PM

Page 29: cover jurnal Desember 2014.cdr

224 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235

mempunyai kedudukan hukum sebagai ahli waris dari terpidana berhak pula untuk mengajukan peninjauan kembali;

Bahwa menurut M. Yahya Harahap, S.H., • antara lain menyatakan bahwa hak ahli waris untuk mengajukan peninjauan kembali.

Majelis hakim PK berpandangan alasan tersebut di atas dapat secara formil diterima karena memenuhi KUHAP. Hakim menimbang bahwa FB sebagai pihak yang sah untuk mengajukan upaya hukum luar biasa tersebut. Dalam pertimbangannya, majelis hakim berdasarkan pada pandangan M. Yahya Harahap, S.H., sebagaimana tertulis dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,” disebutkan berdasarkan alasan pemohon: “bahwa hak ahli waris untuk mengajukan PK bukan merupakan hak substitusi yang diperoleh setelah terpidana meninggal dunia. Hak tersebut adalah hak orisinil yang diberikan undang-undang kepada mereka demi untuk kepentingan terpidana.

Menurut pandangan penulis, pertimbangan majelis hakim di atas masih menjadi bahan perdebatan dari berbagai kalangan. Majelis hakim dinilai tidak mengutip dengan secara lengkap pendapat Yahya Harahap, sebagai berikut: “Sekalipun terpidana masih hidup dan sedang menjalani hukuman, ahli waris dapat langsung mengajukan permintaan peninjauan kembali, sekalipun terpidana masih hidup.” (Harahap, 2009: 617).

Pertimbangan hakim tersebut menjadi kontroversi karena keberadaan FB sebagai pihak pemohon. Status tersebut masih menjadi perdebatan lantaran status ST belum jelas, sudah meninggal dunia, atau masih hidup. Dibutuhkan legalitas yang sah membuktikan ST telah

meninggal dunia sehingga FB berhak sebagai ahli warisnya. Terhadap pertimbangan hakim yang mengabulkan permohonan PK tersebut, mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menilai bahwa prosedur PK tidak benar karena diajukan oleh istri terpidana. Istri bukan termasuk ahli waris karena terpidana belum meninggal.Keluarga dapat mengajukan PK jika terpidana dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk PK, misalnya sakit. Selain itu, kata Bagir, status buron juga dipertimbangkan. Arti buron adalah yang bersangkutan melawan putusan hakim.Tindakan pemohon PK telah melecehkan hakim (Hikmawati, 2013).

Penulis sependapat dengan pandangan Bagir di atas. Alangkah arifnya apabila majelis hakim PK lebih dahulu memperjelas status ST sebelum menerima permohonan PK. Dengan kewenangannya hakim dapat meminta kepada pemohon membuktikan status dari ST lebih dahulu sebelum mengajukan PK.

Hakim juga tidak boleh berkilah KUHAP belum menjelaskan arti status “ahli waris,” sehingga dapat menerima permohonan PK. Bagir Manan mengemukakan putusan hakim adalah hukum yang mengikat pihak-pihak yang berkepentingan. Bagir Manan mengatakan memutus menurut hukum merupakan tugas pertama dan terakhir seorang hakim. Hukum adalah pintu keluar setiap putusan hakim. Oleh karenanya hakim memiliki tiga fungsi yaitu menerapkan hukum apa adanya (rechtstoepassing), penemu hukum, dan menciptakan hukum (Manan, 2007: 11-14). Dalam kerangka hakim sebagai pencipta hukum maka ia harus secara aktif untuk melihat secara utuh permohonan PK. Misalnya saja, hakim dapat mengadopsi pandangan masyarakat berdasarkan hukum waris Islam. Waris dan warisan adalah pihak dan objek setelah salah satu

jurnal Desember isi.indd 224 12/12/2014 3:53:04 PM

Page 30: cover jurnal Desember 2014.cdr

224 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235 Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto) | 225

pihak dalam ikatan suami istri telah meninggal dunia. Merujuk dasar dalam hukum Islam tersebut maka status FB adalah sebagai istri bukan sebagai ahli warisnya.

2. Status dari Terpidana ST pada Saat Mengajukan PK

Status ST pada saat FB mengajukan permohonan PK adalah seorang DPO. ST menghindarkan diri dari jeratan hukum putusan kasasi. Status ST yang dinilai tidak taat hukum menjadi sorotan masyarakat luas, dan menimbulkan kecurigaan yang mendalam mengapa permohonan PK tersebut diterima oleh Mahkamah Agung. Dari sudut pandangan Yahya Harahap di atas, terdapat penafsiran mendasar yang menegaskan terpidana yang masih hidup dan sedang menjalani hukuman. Fakta yang terjadi berbanding terbalik di mana ST tidak sedang menjalani hukuman dan tercatat sebagai DPO.

Dalam kerangka ketaatan terhadap hukum, sosok ST bukanlah seseorang yang tunduk pada hukum dan putusan peradilan. Putusan Kasasi Nomor 434 K/Pid/2003 telah memutuskan yang bersangkutan bersalah, namun ia justru memilih kabur dan menjadi salah satu DPO. Dalam konsepsi negara Indonesia adalah negara hukum. Dasar yuridis bagi negara Indonesia sebagai negara hukum tertera pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” maka setiap warga negara wajib menaati hukum yang berlaku.

Ketidaktaatan hukum tersebut semestinya menjadi catatan tersendiri bagi majelis hakim bahwa permohonan PK dari terpidana DPO bukan hanya persoalan hukum formal semata,

namun lebih jauh menyangkut moral dan etika warga negara di mata hukum yang tidak bersedia tunduk pada hukum dalam putusan kasasi. Dibandingkan majelis hakim PK lainnya, penulis berpandangan bahwa alasan Hakim Agung SM yang mengatakan ironis apabila ahli waris terpidana menuntut haknya sementara kewajiban terpidana melaksanakan putusan Mahkamah Agung tidak dipenuhi atau dilaksanakan, jauh lebih bisa diterima oleh nalar. Dengan status DPO maka status ST bukanlah terpidana yang menjalani hukuman sebagaimana diungkapkan Yahya Harahap di atas, melainkan terpidana yang menghindari putusan hukum.

Ketidakhadiran terpidana dalam PK menjadi persoalan tersendiri. Mekanisme pengajuan peninjauan kembali dalam KUHAP Pasal 263 ayat (1), sangat terkait dengan ketentuan KUHAP Pasal 265 ayat (1), (2), dan (3), yang menyatakan:

1. Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2).

2. Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.

3. Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon, dan panitera. Dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.

jurnal Desember isi.indd 225 12/12/2014 3:53:04 PM

Page 31: cover jurnal Desember 2014.cdr

226 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235

Terhadap ketentuan di atas, Komisi Hukum Nasional berpandangan bahwa Pasal 263 ayat (1) secara tegas disebutkan bahwa terpidana atau ahli waris yang dapat mengajukan PK. Pada kasus ini, ST telah melalui putusan kasasi dan telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, apabila mengikuti kaidah dari pasal tersebut dan dalam kaitannya dengan Pasal 265 ayat (2) dan ayat (3), maka seharusnya yang hadir adalah ST (KHN, 2013).

Tidak berlebihan keputusan menerima permohonan majelis PK menjadi pertanyaan berbagai pihak karena ST berstatus sebagai DPO. Status ST justru melanggar Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2012 yang memperkuat SEMA No. 6 Tahun 1988 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana. Dalam SEMA tersebut Mahkamah Agung menegaskan permintaan PK hanya dapat diajukan oleh terpidana dan ahli warisnya. Permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung.

Terhadap pemberlakuan SEMA tersebut, SHD selaku Ketua Majelis Peninjauan Kembali berkilah bahwa pengajuan permohonan PK pada bulan Januari 2012, sedangkan SEMA tersebut berlaku per April 2012 (Hikmawati, 2013). Alasan Hakim Agung SHD benar adanya karena SEMA ini tertanggal pada 28 Juni 2012, dan tidak berlaku surut. Dalam situasi ini dibutuhkan kearifan majelis hakim agar tunduk pada SEMA walaupun terdapat klausul bahwa permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana atau ahli warisnya sebelum berlakunya SEMA, agar berkas perkaranya dilanjutkan ke Mahkamah Agung.

Menurut penulis, fakta di atas memperlihatkan adanya “iktikad kurang baik” majelis hakim tunduk pada SEMA tersebut.Apabila majelis hakim lebih berhati-hati dan tunduk pada ketentuan SEMA maka permintaan PK tidak diterima, sehingga hasil akhir putusan PK dapat dipastikan berbeda dengan putusan PK sekarang ini. Terlebih majelis hakim PK ini memiliki waktu yang cukup untuk menjalankan SEMA tersebut. Putusan PK tersebut tercatat pada tanggal 31 Juli 2013, sementara tanggal surat dalam SEMA No. 1 Tahun 2012 adalah 28 Juni 2012. Ini artinya jangka waktu putusan PK dan pemberlakuan SEMA terdapat selisih waktu lebih dari satu tahun, sehingga majelis hakim seharusnya mempertimbangkan keberadaan SEMA tersebut.

3. Lepas dari Segala Tuntutan Hukum

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum sebenarnya berhubungan dengan masalah pertanggungjawaban pidana (strafuitsluitingsgronden) baik karena seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya (ontoerekeningsvatbaar) maupun karena perbuatan itu sendiri yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya (ontoerekenbaarheid). Suatu perbuatan dikatakan perbuatan tindak pidana, selain harus memenuhi unsur-unsur delik juga harus mengandung sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld). Jika suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukum karena adanya alasan pembenar atau kesalahan dalam diri si pelaku menjadi gugur karena ada alasan pemaaf, maka sesungguhnya perbuatan yang dilakukan bukanlah tindak pidana karena orang yang melakukan perbuatan tersebut tidak dapat dijatuhi pidana (Witanto, 2011).

jurnal Desember isi.indd 226 12/12/2014 3:53:04 PM

Page 32: cover jurnal Desember 2014.cdr

226 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235 Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto) | 227

Lepas dari hukum (ontslag van rechtsvervolging) tertuang dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP dinyatakan ”Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” Dalam praktik peradilan pidana sering kali terdapat putusan hakim yang terhadap terdakwa yang menyatakan lepas dari hukum karena perbuatan terdakwa terbukti, namun tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana seperti berada ranah hukum perdata.

Hakim pada saat menjatuhkan putusan ontslag van rechtsvervolging hendaknya benar-benar dengan pertimbangan yang matang dan didukung setidak-tidaknya dengan dua alat bukti yang sah. Keputusan mengambil putusan ini membutuhkan keyakinan hakim bahwa perbuatan terdakwa dengan adanya keadaan-keadaan istimewa sehingga lepas dari segala tuntutan hukum. Lepas dari hukum ini menjadi amar dalam PK Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012.Menurut penulis, keadaan istimewa tersebut tidak terjadi dalam putusan PK tersebut. Putusan PK yang menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada terpidana ST tersebut “terbukti” akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, dan melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum. Ini mengejutkan berarti putusan tersebut mementahkan putusan kasasi, dan dakwaan jaksa penuntut umum.

Pertimbangan majelis hakim PK memutuskan putusan lepas dari segala tuntutan hukum antara lain: pertama, nilai uang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan maupun berupa kerugian keuangan atau perekonomian negara, belum dapat dihitung karena uang yang mengalir dari PT. BPUI

kepada KAFL, Festival Company Inc maupun Penta Investment Ltd didasari hubungan perdata dalam bentuk pinjam meminjam uang, yang saat disidangkan oleh judex facti masih dalam tahap negosiasi dan restrukturisasi utang-utang debitur serta langkah-langkah lainnya. Kedua, pembebanan uang pengganti sejumlah utang para debitur yakni US$98,000,000 dan Rp.369.446.905.115,56 (tiga ratus enam puluh sembilan milyar empat ratus empat puluh enam juta sembilan ratus lima ribu seratus lima belas rupiah lima puluh enam sen), padahal menurut Pasal 18 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pembayaran uang pengganti yang dibebankan kepada terdakwa jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Ketiga, PT. BPUI sejak berdiri tahun 1973 sampai dengan tahun 1992 dalam kondisi merugi. Tetapi sejak terdakwa ditunjuk sebagai direktur, tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 berdasarkan audit BPKP, sedangkan tahun 1998 mengalami kerugian sebesar Rp.231.000.000.000,- disebabkan oleh selisih nilai kurs rupiah terhadap dollar akibat krisis moneter, kerugian tahun 1999, dan tahun 2000 juga disebabkan oleh krisis moneter. Keempat, meskipun unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain terpenuhi, namun karena aliran dana dimaksud masih dalam koridor hubungan keperdataan dalam hubungan bisnis sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.

Pertimbangan hakim di atas sebagai alasan pembenar bahwa tindakan terpidana ST akhirnya lepas dari segala tuntutan hukum tanpa perlu mempertanggungjawabkan kesalahan dalam pengelolaan perusahaan milik negara. Seharusnya majelis hakim harus membedah lebih

jurnal Desember isi.indd 227 12/12/2014 3:53:05 PM

Page 33: cover jurnal Desember 2014.cdr

228 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235

dalam unsur kerugian tersebut apakah terdapat kesengajaan dan mengabaikan asas prudensial dalam pemberian kredit kepada pihak lain.

Terkait dengan kerugian akibat perbedaan nilai kurs, majelis hakim seyogianya menghitung kerugian akibat perbedaan nilai kurs lebih dahulu. Asumsi kerugian sebesar Rp.231.000.000.000,- harus dihitung lebih dahulu nilai pinjaman awal, selanjutnya dilakukan penghitungan penurunan nilai mata uang rupiah terhadap pinjaman. Jika hasil penghitungan adalah penurunan nilai akibat kurs dengan nilai pinjaman yang sama, maka alasan lepas dari hukum dapat diterima. Sebaliknya, jika perhitungan nilai kerugian dengan penurunan nilai mata uang berbeda, maka terdapat unsur kerugian dan kesengajaan dari terpidana.

4. Putusan PK dan Gustav Radbruch

Satjipto mengemukakan bahwa peradilan menunjuk kepada proses mengadili, sedang pengadilan merupakan salah satu lembaga dalam proses tersebut. Lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam proses mengadili adalah kepolisian, kejaksaan, dan advokat. Hasil akhir dari proses peradilan tersebut berupa putusan pengadilan atau yang sering digunakan kata putusan hakim, oleh karena hakimlah yang memimpin sidang di pengadilan itu. Putusan hakim dianggap benar sepanjang belum ada putusan jenjang lebih tinggi yang membatalkannya.

Keberadaan lembaga peradilan dalam konsepsi negara hukum memiliki peran yang penting. Peran ini tidak bisa dilakukan oleh cabang kekuasaan yang lain karena memiliki keunikan tersendiri khususnya dalam bidang penegakan hukum dan yudikatif. Independensi dan imparsialitas pengadilan menjadi indikator utama menjamin kekuasaan yudikatif berjalan

dengan optimal tanpa ada intervensi dari pihak lain.

Andi Hamzah mengatakan salah satu upaya hukum dalam ranah kekuasaan yudikatif adalah PK yang disebut sebagai upaya hukum luar biasa. Putusan PK dapat dikatakan sebagai pintu akhir mencari keadilan karena tidak semua proses hukum dapat bermuara pada PK. Seseorang dapat mengajukan PK dengan syarat yang ketat sebagaimana dimaksud dalam KUHAP. Syarat ketat itu mendorong seharusnya putusan PK adalah putusan ideal sehingga menjadi hukum yang dapat diterima semua kalangan tanpa ada perdebatan maupun friksi dalam tatanan kehidupan negara hukum. Putusan hakim sebagai hukum yang ideal inilah sejalan dengan harapan Gustav Radbruch, tentang tujuan hukum untuk menjamin kepastian, memberikan keadilan, dan kemanfaatan.

Putusan yang baik dan bijaksana dapat dipastikan akan mengandung tiga tujuan hukum di atas. Sebaliknya, putusan yang kurang baik hanya akan cenderung mengedepankan satu tujuan hukum dibandingkan tujuan hukum yang lain. Putusan yang kurang baik biasanya akan mengundang polemik di masyarakat luas.

Penulis berpendapat salah satu yang tidak sejalan dengan tujuan hukum milik Gustav Radbruch adalah Putusan PK Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012. Putusan ini mengundang perdebatan panjang karena sulit diterima oleh masyarakat luas. Analisis untuk membedah putusan PK dengan menggunakan pandangan Gustav Radbruch memakai tiga indikator yaitu, pihak yang mengajukan PK, status dari terpidana ST pada saat mengajukan PK, dan amar majelis hakim memutuskan melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum. Tiga indikator tersebut

jurnal Desember isi.indd 228 12/12/2014 3:53:05 PM

Page 34: cover jurnal Desember 2014.cdr

228 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235 Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto) | 229

penting untuk menunjukkan ada dan tidak adanya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian dari putusan PK tersebut.

Pertama, dari aspek keadilan. Mengutip pandangan keadilan dalam pandangan Aristoteles dimaknai sebagai ius sun cuique tribuere, keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan penyamarataan sehingga keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama. Keadilan mengedepankan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Dikatakan tidak adil apabila hak yang diperoleh lebih besar atau kecil dari kewajiban yang dilakukan, begitu juga sebaliknya. Dalam KUHAP dijabarkan bahwa pihak yang dapat mengajukan PK adalah terpidana dan ahli warisnya. Syarat ini mengisyaratkan tidak semua pihak dapat mengajukan PK. Peluang itu diharapkan memberikan keadilan dan menjamin kepastian hukum kepada terpidana dan ahli warisnya terhadap perkara yang sedang dihadapinya.

Secara normatif berdasarkan pandangan di atas dalam Putusan PK Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 pihak yang dapat mengajukan PK adalah ST dan ahli warisnya. Status ahli waris ini menjadi pertanyaan mendasar apakah ST telah meninggal dunia? Dalam kenyataannya ST dinyatakan sebagai DPO dan belum ada kepastian status meninggalnya mantan Dirut PT. BPUI tersebut. Selanjutnya, yang mengajukan PK adalah FB sebagai istri dari ST yang dalan status permohonannya tertulis sebagai ahli waris.Bolehkah FB sebagai ahli waris ST, sementara yang bersangkutan belum memiliki legalitas yang menyatakan sudah meninggal dunia?

Apabila kita berkaca pada konsepsi hukum waris menurut Kompilasi Hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak

pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Sementara ahli waris adalah pihak yang berhak mendapatkan perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup. Ahli waris membutuhkan syarat kematian dari salah satu pihak dan selanjutnya memperoleh hak kebendaan.

Berpijak pada konsepsi hukum Islam tersebut maka, syarat “ahli waris” ini FB, selaku pihak yang mengajukan PK Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012, tidak terpenuhi. Ini bermakna FB bukan sebagai ahli waris, namun sebagai istri terpidana.Dengan demikian, adilkah permohonan PK ini diterima? Menjawab pertanyaan tersebut, salah satu hakim agung yang mengadili permohonan tersebut, Hakim Agung SM menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion) yang intinya permohonan PK tidak dapat diterima. Hakim Agung SM beralasan bahwa:

1. Bahwa permohonan peninjauan kembali diajukan oleh istri terpidana;

2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya, artinya ahli waris dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali apabila terpidana sudah meninggal dunia;

3. Bahwa dalam perkara a quo tidak ada keterangan yang menyatakan terpidana sudah meninggal dunia, karena terpidana tidak meninggal dunia tetapi melarikan

jurnal Desember isi.indd 229 12/12/2014 3:53:05 PM

Page 35: cover jurnal Desember 2014.cdr

230 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235

diri untuk menghindari kewajibannya melaksanakan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003 yang telah menjatuhkan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun karena terbukti melakukan korupsi sehingga barang bukti dirampas untuk negara;

4. Bahwa adalah ironis apabila ahli waris terpidana menuntut haknya sementara kewajiban terpidana melaksanakan putusan Mahkamah Agung tidak dipenuhi atau dilaksanakan.

Penulis sependapat dengan pandangan Hakim Agung SM. Alasan SM untuk menolak permohonan PK lebih bisa diterima oleh persepsi historis, dan legalitik. Persepsi historis dimaksudkan bahwa ST adalah adanya putusan kasasi, sementara persepsi legalistik membutuhkan dasar legal formal apabila ST telah meninggal dunia. Putusan PK ini dirasakan jauh dari rasa keadilan karena keberadaan dan status terpidana ST yang masih belum jelas. Kepastian terpidana yang masih hidup dan sudah meninggal menjadi pertanyaan yang mendasar, namun yang pasti adalah ST tidak sedang menjalani hukuman dan tercatat salah satu DPO.

Pandangan Yahya Harahap dalam bukunya yang memperbolehkan pengajuan PK adalah terpidana yang menjalani hukuman, sementara ST sendiri tidak menjalani hukum. ST tidak bersedia tunduk pada hukum dan putusan peradilan, dan memilih kabur dibandingkan menjalankan putusan kasasi, telah mengoyak rasa keadilan di mana seseorang yang tidak menghargai putusan kasasi, dan negara Indonesia sebagai negara hukum. Ini jelas bahwa pandangan Yahya Harahap secara utuh telah dikesampingkan oleh majelis hakim.

Rasa keadilan juga patut dipertanyakan kepada majelis hakim PK dalam menjalankan SEMA No. 1 Tahun 2012 yang mulai berlaku pada tanggal 28 Juni 2012. Jangka waktu antara pembacaan putusan dan pemberlakuan SEMA dalam jangka waktu lebih dari satu tahun. SEMA menegaskan permintaan PK hanya dapat diajukan oleh terpidana dan ahli warisnya, oleh karena itu dengan status ST yang belum jelas, maka seyogianya majelis PK menyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan oleh Mahkamah Agung.

Amar Putusan PK Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 yang melepaskan terpidana lepas dari segala tuntutan hukum, ontslag van rechtsvervolging, dinilai tidak dipertimbangkan dengan matang dan didukung setidak-tidaknya dengan dua alat bukti yang sah. Keputusan mengambil putusan ini seakan-akan memberikan keistimewaan terpidana sehingga lepas dari segala tuntutan hukum justru tidak memberikan keadilan, sehingga aequum et bonum est lex legume, sesuatu yang adil dan baik, adalah hukum dari segala hukum, seakan-akan sirna.

Asas keadilan juga menjadi pertanyaan mendasar bahwa majelis hakim berpendapat alasan-alasan bahwa perbuatan terpidana lepas dari jeratan hukum di antaranya nilai kerugian keuangan atau perekonomian negara, belum dapat dihitung, kerugian karena adanya selisih kurs, nilai pembebanan uang pengganti sejumlah utang para debitur jauh dari ketentuan hukum yang berlaku, terdakwa pernah memberikan keuntungan dalam mengelola PT. BPUI, dan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain terpenuhi, namun karena aliran dana dimaksud masih dalam koridor hubungan keperdataan dalam hubungan bisnis sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.

jurnal Desember isi.indd 230 12/12/2014 3:53:05 PM

Page 36: cover jurnal Desember 2014.cdr

230 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235 Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto) | 231

Atas rasa keadilan maka alasan di atas harus ditepiskan oleh majelis hakim karena ada faktor-faktor lain tidak kalah penting yaitu kehati-hatian dalam pencarian kredit, dan sejauhmana dana kredit tersebut mengalir. Putusan PK ini dirasakan hambar lantaran majelis hakim tidak mengupas secara mendalam alasan di atas, misalnya saja,unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain terpenuhi. Sebaliknya, majelis hakim berpandangan karena aliran dana dimaksud masih dalam koridor hubungan keperdataan dalam hubungan bisnis sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Padahal hal tersebut dapat dikupas lebih mendalam oleh majelis hakim sejauhmana terpidana kurang berhati-hati dalam penyaluran kredit kepada pihak kedua tanpa adanya jaminan sesuai dengan nilai kredit yang dicairkan.

Kedua, aspek kepastian hukum. Satjipto sebagaimana di atas mengungkapkan bahwa masyarakat tidak hanya ingin melihat keadilan diciptakan dalam masyarakat dari kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan menginginkan agar dalam masyarakat terdapat peraturan-peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan mereka satu dengan yang lain. Merujuk pada pandangan Satjipto, maka dapat disimpulkan bahwa kepastian diperlukan oleh masyarakat guna mewujudkan keadilan dalam proses penegakan hukum.

Dalam koridor putusan PK ini, pihak-pihak yang berperkara membutuhkan kepastian hukum apakah terpidana bersalah dan menjalankan hukuman atau tidak bersalah sehingga lepas dari tuntutan hukum. Kedua kepastian tersebut melahirkan konsekuensi yang berbeda apabila diputuskan bersalah maka terpidana harus menjalani hukuman, sementara jika diputuskan tidak bersalah maka ia harus dibebaskan.

Kepastian dibutuhkan untuk memberikan jaminan legalitas di mata hukum. Kepastian ini juga berlaku bagi ST dan keluarganya, termasuk FB. Putusan PK yang menyatakan bahwa melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum bermakna apa yang dilakukan oleh ST tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum karena bersifat keperdataan. Putusan tersebut memberikan kepastian tentang perbuatan yang dilakukan oleh ST.

Putusan PK telah menegaskan perbuatan yang dilakukan ST hingga dampak dari kerugian keuangan negara telah dimaafkan, dan dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat martabatnya dipulihkan. Ini berarti ST memperoleh kepastian tentang kasus posisinya dan kembali memperoleh haknya sebagaimana warga negara yang lain. Putusan lepas dari jeratan hukum dalam perkara pidana mengundang atensi dari masyarakat terlebih dalam perkara korupsi. Melihat atensi tersebut hakim memiliki kewajiban untuk berhati-hati dan memiliki keyakinan bahwa perbuatan terdakwa dengan adanya keadaan-keadaan istimewa sehingga lepas dari segala tuntutan hukum terlebih perbuatan yang dilakukan ST terbukti.

Dengan amar “terbukti” majelis hakim sudah menemukan adanya kesalahan yang dilakukan oleh ST. Namun, karena kesalahan berada di ranah keperdataan maka kesalahan tersebut tidak dapat dijatuhi hukuman. Meskipun mengundang hujatan publik, putusan PK ini dianggap benar sepanjang belum ada putusan PK kedua yang membatalkannya. Peluang pengajuan PK kedua juga tidak mudah karena jaksa penuntut umum membutuhkan bukti lain yang lebih kuat guna membuktikan kesalahan yang dilakukan ST. Kepastian hukum merupakan sesuai yang bersifat normatif berdasarkan peraturan maupun

jurnal Desember isi.indd 231 12/12/2014 3:53:05 PM

Page 37: cover jurnal Desember 2014.cdr

232 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235

putusan hakim. Dengan adanya putusan PK tersebut maka status hukum ST sudah jelas, dan oleh karena itu setiap orang wajib menghormati dan menghargai putusan PK tersebut.

Ketiga, aspek kemanfaatan. Aspek kemanfaatan ini tidak kalah penting dengan dua aspek lain yang disampaikan oleh Gustav Radbruch karena tidak hanya bermanfaat kepada individu pencari keadilan itu sendiri, namun juga memberikan efek kepada masyarakat secara luas.Putusan yang mengandung nilai kemanfaatan mempertimbangkan hasil akhirnya. Apakah putusan hakim tersebut membawa manfaat atau kegunaan bagi semua pihak? Atau sebaliknya, putusan hakim justru akan menciptakan situasi baru yang membawa ketidakstabilan hukum dan masyarakat itu sendiri? Pilihan itu yang hendak dijawab hakim sendiri dalam memutuskan perkara harus mencerminkan kemanfaatan bagi kepentingan pihak-pihak yang berperkara dan kepentingan masyarakat pada umumnya.

Pandangan penulis, nilai kemanfaatan putusan PK jauh dari harapan. Sebab, kemanfaatan putusan ini hanya kepada pihak yang berperkara saja, sementara kemanfaatan kepada masyarakat tidak terlihat. Justru putusan ini menimbulkan gejolak di masyarakat yang tidak puas dengan keputusan majelis hakim. Menyadur pandangan Fence, dalam ruang lingkup yang kecil, kemanfaatan hukum (zweckmasiggkeit) sangat berkorelasi dengan tujuan pemidanaan terutama sebagai tindakan preventif agar tidak terjadi perbuatan yang sama di kemudian hari.

Dengan adanya sanksi bagi yang melanggar diharapkan akan muncul efek jera dan berhati-hati agar tidak mengulang perbuatan yang sama. Dalam rangka memberikan efek jera tersebut maka putusan hakim harus memberikan manfaat

bagi masyarakat. Sementara dalam lingkup yang lebih luas, kemanfaatan akan memelihara keseimbangan dalam masyarakat dan mendorong memulihkan kembali tatanan masyarakat pada keadaan semula (restitutio in integrum).

Harapan Fence akan sulit diwujudkan dalam kaitannya putusan PK di atas. Putusan PK justru akan mendorong lepas dari tuntutan hukum dalam peristiwa yang sama. Sikap ketidakhati-hatian atau pruden sebagai pimpinan BUMN dalam mengelola aset negara akan berkurang dan senantiasa berujung pada berkurangnya nilai ekonomis perusahaan dan selalu menderita kerugian keuangan. Sanksi yang diharapkan akan memberikan efek jera justru hanya menjadi pemanis dinding tanpa memiliki dampak untuk mengubah perilaku seseorang.

Putusan PK ini juga sulit mengembalikan kepercayaan kepada masyarakat untuk kembali pada tatanan semua, restitution in integrum.Putusan ini justru memperburuk tatanan sosial karena memiliki alasan pembenar untuk melakukan perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara di masa mendatang dengan dalil pembenar yang sejatinya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Menurut pandangan penulis, putusan PK ini hanya semata-mata mengedepankan alasan legal formal semata, namun mengesampingkan nilai kemanfaatan kepada masyarakat. Putusan hakim yang seharusnya memberikan menimbulkan efek jera agar perkara serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang tidak terwujud karena terpidana dinyatakan lepas dari jeratan hukum sama sekali. Pada akhirnya hukum yang seharusnya mendorong kemanfaatan dengan mengembalikan tatanan kehidupan masyarakat pada kondisi ideal justru mendorong terciptanya kondisi sebaliknya.

jurnal Desember isi.indd 232 12/12/2014 3:53:05 PM

Page 38: cover jurnal Desember 2014.cdr

232 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235 Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto) | 233

Dimensi aksiologis yang berkolaborasi dengan kemanfaatan juga seakan-akan jauh panggang dari api. Nilai dasar dimensi aksiologi untuk mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari ilmu pengetahuan dan meningkatkan kualitas hidup manusia juga tidak tercermin dalam putusan ini. Sebaliknya, pilihan majelis hakim PK sejak awal sudah mempersempit ruang penalarannya pada pilihan-pilihan normatif, sehingga putusan yang diambil juga cenderung normatif pula.

SIMPULANV.

Tulisan ini diharapkan akan mampu menjawab rumusan masalah di atas yang mempertanyakan unsur tujuan hukum sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch dalam Putusan PK Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012. Penulis berkesimpulan bahwa putusan PK ini jauh dari nilai keadilan dan kemanfaatan, namun memberikan kepastian hukum terhadap ST dan keluarganya. Putusan PK ini juga seakan-akan membangun kontradiksi antara keadilan dan kemanfaatan terhadap kepastian hukum.

Kontradiksi di atas menunjukkan putusan ini juga jauh dari dimensi aksiologis, kemanfaatan terhadap sebuah “nilai” yang lahir dalam keputusan hukum. Putusan ini tidak mendorong kemanfaatan nilai dalam rangka peningkatan kualitas manusia dan mewujudkan keadilan, sebaliknya cenderung normatif sehingga memberikan kepastian hukum semata.

Kesimpulan penulis ini berdasarkan pada tiga indikator, pertama, pihak yang mengajukan PK. Status FB sebagai istri ST tidak memiliki hak untuk mengajukan permohonan PK karena KUHAP menegaskan bahwa yang dapat mengajukan PK adalah terpidana dan

ahli warisnya. Majelis PK seharusnya menilai kejelasan status ST apakah sudah meninggal atau masih hidup, sehingga berdampak pada status FB sebagai ahli waris yang sah. Putusan ini tidak memberikan nilai keadilan karena membuka peluang terjadinya perselingkuhan hukum dengan argumentasi yang masih bisa diperdebatkan.

Kedua, status ST pada saat pengajuan PK. Rasa keadilan juga dirasakan jauh dari putusan PK ini karena keberadaan dan status terpidana pada saat mengajukan PK yang memilih melarikan diri.Status DPO seharusnya menjadi perhatian majelis hakim untuk menilai lebih saksama permohonan PK yang seharusnya tidak dapat diterima.

Ketiga, lepas dari segala tuntutan hukum.Putusan hakim seharusnya menimbulkan efek jera agar perkara serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang. Harapan itu tidak terjadi karena putusan dapat menjadi alasan pembenar perkara serupa di masa mendatang sehingga menjadi yurisprudensi dalam kasus-kasus yang lain.

Hakim memiliki kewajiban dalam memutuskan perkara dengan mengedepankan asas kemanfaatan. Namun hal itu tidak terlihat dalam putusan PK ST yang memutuskan melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum sehingga dirasakan jauh dari nilai kemanfaatan dan keadilan. Hakim dapat mengurai lebih dalam peran ST mengucurkan kredit kepada pihak ketiga tanpa melalui proses due diligence sebagai prinsip kehati-hatian dan good governance sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku saat itu.

jurnal Desember isi.indd 233 12/12/2014 3:53:05 PM

Page 39: cover jurnal Desember 2014.cdr

234 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Oemar Seno & Indriyanto Seno Adji. April 2007. Peradilan Bebas Contempt of Court. Cetakan 1. Jakarta: Diadit Media.

Apeldoorn, L.J. Van. 2008. Pengantar Ilmu Hukum.Cetakan ketigapuluh dua. Jakarta: Pradnya Paramita.

Arto, A. Mukti. 2011. Redefinisi Fungsi Pengadilan sebagai Penegak Hukum dan Keadilan: Kajian Teoritis dan Pragmatis Penyelenggaraan Peradilan Guna Membangun Paradigma Baru.Varia Peradilan. Jakarta: IKAHI Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Asikin. 2011. Rekonstruksi Teori Pemerataan Keadilan.Varia Peradilan. Jakarta: IKAHI Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Dirdjosisworo, Soerjono. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Fanani, Ahmad Zaenal. 2010. “Menomorsatukan Keadilan.”Artikel ini pernah dimuat di Rubrik Opini Koran Nasional Banjarmasin Post tanggal 5 Mei 2010. Akses 4 November 2014.www.badilag.net.

Garner, Bryan A. 2010. Black’s Law Dictionary. Eight edition. USA: Thomson West.

Harahap, M. Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Hidayat, Arif. 2013. Penemuan Hukum Melalui Penafsiran Hakim dalam Putusan Pengadilan.Jurnal Pandecta, Volume 8. Nomor 8. Semarang.

Hikmawati, Puteri. 2013. Polemik Putusan Peninjauan Kembali Sudjiono Timan. Info Singkat, Vol. V, No. 17/I/P3DI/September/2013. Jakarta: Pusat Pengkajian, Majalah, Pengolahan Data dan

Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI.

Komisi Hukum Nasional (KHN). 2013. “Kontroversi Putusan Peninjauan Kembali Sudjiono Timan.” Akses pada tanggal 4 November 2014. http://khn.hukumonline.com/khn/file/KLOB10.

M. Echols, John & Hassan Shadily. 2007. Kamus Indonesia-Inggris. Edisi Ketiga. Cet. Kesepuluh. Jakarta: PT Gramedia Jakarta.

Manan, Bagir. 2007. Hakim sebagai Pembaharu Hukum. Varia Peradilan, Tahun ke XXII No. 254 Januari 2007. Jakarta: IKAHI Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Cetakan ketujuh. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Muqoddas, Busyro, 2006. Kata Pengantar Ketua Komisi Yudisial. Bunga Rampai Refleksi satu tahun Komisi Yudisial. Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia.

Poerwadarminta, W.J.S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Radbruch. Gustav. 1975. Rechtsphilosophie. Stuttgart: K.F. Koehler Verlag.

Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Cetakan keenam. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Ranuhandoko, I.P.M.2006.Terminologi Hukum Inggris-Indonesia.Cetakan keempat. Jakarta: Sinar Grafika.

Rondonuwu, Diana E. 2014. Hukum Progresif: Upaya Untuk Mewujudkan Ilmu Hukum Menjadi Sebenar Ilmu Pengetahuan Hukum. Jurnal Lex Administratum, Vol. II/No.2/Apr-Jun/2014.

Sanusi, Arsyad. 2011. Keadilan Substantif dan Problem Atika Penegakannya. Varia Peradilan. Jakarta: IKAHI Mahkamah Agung Republik Indonesia.

jurnal Desember isi.indd 234 12/12/2014 3:53:05 PM

Page 40: cover jurnal Desember 2014.cdr

234 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 213 - 235 Dimensi Aksiologis dari Putusan Kasus “ST” (Nur Agus Susanto) | 235

Soeroso, 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan kedua belas. Jakarta: Sinar Grafika.

Suparman, Eman. 2012. Kata Pengantar Ketua Komisi Yudisial. Bunga Rampai Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia.

Wantu, Fence M. 2012. Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Putusan Hakim di Peradilan Perdata. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3 September 2012. Purwokerto: Universitas Jenderal Sudirman.

Wardi, Moh. 2013. Problematika Pendidikan Islam dan Solusi Alternatifnya (Perspektif Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis). Jurnal Tadris, Volume 8 Nomor 1 Juni. Pamekasan: STAIN.

Widanti, Agnes. 2005. Hukum Berkeadilan Gender.Cetakan 1, Juni. Jakarta: Kompas.

Wiko, Garuda. 2009. Pembangunan Sistem Hukum Berkeadilan, Buku Memahami Hukum dari Konstruksi sampai Implementasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Witanto, D.Y. 2011. Memahami Perbedaan Antara Wanprestasi dan Delik Penipuan dalam Hubungan Kontraktual. Varia Peradilan, Edisi XXVI No. 308 Juli. Jakarta: IKAHI Mahkamah Agung Republik Indonesia.

jurnal Desember isi.indd 235 12/12/2014 3:53:06 PM

Page 41: cover jurnal Desember 2014.cdr

jurnal Desember isi.indd 236 12/12/2014 3:53:06 PM

Page 42: cover jurnal Desember 2014.cdr

Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto) | 237

ABSTRAK

Norma pidana mati tersebar pada peraturan perundang-undangan di Indonesia. Mahkamah Konstitusi pun telah menegaskan tentang konstitusionalitas norma pidana mati dalam Putusan Nomor 2/PUU-V/2007 dan Nomor 3/PUU-V/2007. Pada umumnya pidana mati diterapkan oleh Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya (meskipun masih terdapat disparitas tafsir terkait pertimbangan hal meringankan dan kualifikasi kejahatan luar biasa). Namun terdapat satu putusan kasasi dengan Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 yang dalam pertimbangan hukumnya mempermasalahkan konstitusionalitas dan pelanggaran hak asasi manusia dalam pidana mati. Berdasarkan hasil analisis, pada putusan tersebut diketahui terdapat penafsiran yang kurang proporsional (melampaui kewenangannya) dan kurang sistematis dalam membaca dan menafsirkan undang-undang sehingga dapat dikatakan untuk cenderung tidak sesuai dengan kaidah penafsiran hukum yang berlaku. Demi menjaga konsistensi penerapan dan penafsiran hukum dalam konteks mewujudkan kepastian dan keadilan hukum, serta sebagai bentuk akuntabilitas yudisial kepada masyarakat maka diperlukan pelurusan penafsiran yang sesuai dengan kaidah ilmu hukum yang berlaku. Sangat penting dilakukan persamaan persepsi

pada kamar pidana Mahkamah Agung guna menentukan kesepakatan tafsir. Hingga akhirnya tercipta harmonisasi penerapan dan penafsiran hukum yang berujung pada terbentuknya ketertiban dan kepastian hukum yang berkeadilan bagi masyarakat.

Kata kunci: konstitusionalitas, hak asasi manusia, pidana mati.

ABSTRACT

The norm pertaining to capital punishment has been dispersed on the laws and regulations in Indonesia. The Constitutional Court has also underscored the constitutionality of the capital punishment norm in the Decision Number 2/PUU-V/2007 and Number 3/PUU-V/2007. In general, the capital punishment is applied by the Supreme Court and the courts below it (although there are still disparities in the interpretation, in terms of considering the qualifications and alleviating the extraordinary crime). However there is also Cassation Decision Number 39 PK/Pid.Sus/2011, which in its legal considerations, concerned about the constitutionality and human rights violations in capital punishment. Based on the author’s analysis, there is a disproportionate interpretation (overreaching) and unsystematic, in reading and interpreting the law in the decision,

PENAFSIRAN HAKIM TENTANG KONSTITUSIONALITAS DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PIDANA MATI

Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011

THE INTERPRETATION OF JUDGE ON CONSTITUTIONALITY AND HUMAN RIGHTS VIOLATIONS REGARDING

TO CAPITAL PUNISHMENT

Budi SuhariyantoPusat Penelitian Hukum dan Peradilan MA-RI

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Jakarta Pusat 10510E-mail: [email protected]

An Analysis of Supreme Court’s Decision Number 39 PK/Pid.Sus/2011

Naskah diterima: 4 November 2014; revisi: 19 November 2014; disetujui: 24 November 2014

jurnal Desember isi.indd 237 12/12/2014 3:53:06 PM

Page 43: cover jurnal Desember 2014.cdr

238 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254

even not in accordance to the rules of interpretation of the prevailing law. To keep the consistency in the application and interpretation of the law in the context of realizing the legal certainty and justice, as a form of judicial accountability to the public, straightening out the interpretation to conform with the prevailing law is crucial. It is crucial to unify and integrate the

perception and interpretation in the criminal chamber of the Supreme Court. Thus, a harmonization of the interpretation and implementation of the law for the imposition of legal certainty and social justice can be achieved.

Keywords: constitutionality, human rights, capital punishment.

PENDAHULUANI.

Pidana mati sebagai bagian dari sanksi hukum (selain pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda) pada asasnya dibentuk untuk melakukan upaya represif dan preventif dalam melindungi kepentingan masyarakat dari pelanggaran norma (Suhariyanto, 2012: 25). Penerapan pidana mati disyaratkan sangat selektif hanya untuk tindak pidana dalam kualifikasi “extra ordinary crime” atau “kejahatan berat” (Zulfa, 2011: 110). Selain itu pada diri pelaku dipandang ada unsur/sifat-sifat kemutlakan (absolut), yaitu sudah melakukan kejahatan yang secara absolut sangat membahayakan/merugikan masyarakat dan si pelaku itu dianggap secara absolut/mutlak sudah tidak dapat berubah/diperbaiki (Arief, 2013: 239).

Ditinjau dari perspektif global masih terdapat pandangan pro-kontra mengenai eksistensi pidana mati dan eksekusinya (Arief, 2013: 225). Di Indonesia, secara de jure maupun de facto eksistensi pidana mati diatur dalam undang-undang serta diaplikasikan oleh putusan pengadilan. Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 2/PUU-V/2007 dan Nomor 3/PUU-V/2007 pun telah menegaskan bahwa pidana mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945 (konstitusional). Secara normatif, pidana mati memiliki landasan hukum yang kuat dan mengikat serta mampu

mengubah paradigma dan perilaku masyarakat pada umumnya melalui sistem kenegaraan yang berlaku (Witanto, 2012: 220), khususnya dalam hal mengakhiri polemik tentang pidana mati.

Ditinjau dari optik aplikasi hukum, putusan Mahkamah Agung (MA) dan peradilan di bawahnya secara eksplisit maupun implisit pada umumnya mendalilkan pidana mati adalah konstitusional dan tidak melanggar norma hukum Hak Asasi Manusia (HAM) nasional maupun internasional. Terdapat Putusan MA Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 yang menyatakan secara eksplisit dalam pertimbangan hukumnya bahwa:

Mendasari Declaration of Human Rights article 3: “everyone has the right to life, liberty and security of person.” Bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu. Hukuman mati bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan melanggar Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan dan oleh siapa pun.” Bahwa dengan adanya klausul tidak dapat dikurangi dalam keadaan dan oleh siapa pun dapat diartikan sebagai tidak dapat dikurangi, dan diabaikan oleh

jurnal Desember isi.indd 238 12/12/2014 3:53:06 PM

Page 44: cover jurnal Desember 2014.cdr

238 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254 Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto) | 239

siapa pun termasuk dalam hal ini oleh pejabat yang berwenang sekalipun, tidak terkecuali oleh putusan hakim/putusan pengadilan.

Berdasarkan atas salah satu pertimbangan tersebut, majelis hakim (MIA, AY, dan MHNP) membatalkan Putusan MA Nomor 455 K/Pid.Sus/2007 yang telah menjatuhkan pidana mati terhadap terdakwa HG karena bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama dan berlanjut memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I dan melakukan tindak pidana pencucian uang, kemudian menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun dan denda sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) subsidair selama 4 (empat) bulan kurungan.

Sebelumnya terdakwa HG di pengadilan tingkat banding (Putusan Nomor 256/PID/2007/PT.SBY) dihukum dengan pidana penjara selama 18 (delapan belas) tahun, dan denda sebesar Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan hukuman kurungan selama 6 (enam) bulan. Sedangkan pada pengadilan tingkat pertama (Putusan Nomor 3412/Pid.B/2006/PN.SBY) terdakwa HG dihukum dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun dan denda sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) subsidair selama 4 (empat) bulan kurungan.

Putusan hakim pada dasarnya tidak dapat diganggu-gugat (asas res yudikata), sebagai bentuk akuntabilitas yudisial maka pertimbangan hukum dari putusan tersebut terbuka untuk dikritisi. Dalam perspektif ilmiah, kualitas suatu putusan hakim serta tingkat kecerdasan dan intelektualitas yang dimilikinya akan direfleksikan

sekaligus dipertaruhkan pada bagaimana hakim merumuskan ratio decidendi dalam putusannya (Asnawi, 2014: 8). Melalui ratio decidendi, dapat diketahui suatu keyakinan hukum dari hakim. Dalam konteks inilah, aspek “keyakinan hakim” tidak boleh sekedar disinggung begitu saja, tetapi sebaiknya dilakukan eksplorasi lebih jauh dan dibicarakan dengan serius (Rahardjo, 2010: 199).

Penafsiran dari pertimbangan hukum tersebut dapat dikatakan sebagai kontroversial. Dikatakan kontroversial, karena putusan tersebut pertimbangan hukumnya cenderung tidak dapat “diterima” oleh kalangan luas hukum dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hukum yang telah disepakati selama ini (Sutiyoso, 2010: 63). Selain itu potensi perubahan tatanan sosial (dari masyarakat yang pro pidana mati berubah menjadi masyarakat yang anti pidana mati) dapat terjadi, bilamana yang diputuskan tersebut turut melakukan penstrukturan kembali suatu masyarakat yang didasarkan atas tatanan dan nilai-nilai tertentu untuk ditujukan kepada masyarakat baru Indonesia (Rahardjo, 2009: 163). Oleh karenanya kontraversi dari penafsiran hakim yang demikian fundamental perlu segera disikapi oleh MA. Dengan demikian pengkajian penafsiran hakim tentang konstitusionalitas dan pelanggaran HAM dalam norma pidana mati cukup penting keberadaannya.

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan latar belakang di atas dapat diuraikan rumusan masalah yaitu bagaimanakah penerapan pidana mati dalam putusan MA dan peradilan di bawahnya serta bagaimanakah penafsiran hakim tentang konstitusionalitas dan potensi pelanggaran HAM dalam pidana mati?

jurnal Desember isi.indd 239 12/12/2014 3:53:06 PM

Page 45: cover jurnal Desember 2014.cdr

240 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254

STUDI PUSTAKAIII.

Pada dasarnya dalam suatu negara hukum (rechtstaat) seperti negara Indonesia, hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan merupakan salah satu sendi dasar yang pokok dan utama (Mulyadi, 2012: 54). Mengingat keberadaan undang-undang tidak sempurna maka hakim harus menafsirkan dan atau menggali kandungan norma yang terdapat di dalam undang-undang itu (Pangaribuan, 2009: 188). Kekosongan hukum yang terjadi akibat tidak sempurnanya undang-undang tersebut akan dapat berubah menjadi kekacauan (Ansyahrul, 2011: 134). Dalam melakukan usaha pencapaian terhadap nilai-nilai keadilan, hakim diberikan keleluasaan untuk melakukan penafsiran-penafsiran, penemuan-penemuan hukum bahkan menurut aliran progresif hakim dimungkinkan untuk melakukan penciptaan hukum jika kenyataan telah mengharuskan itu (Witanto & Kutawaringin, 2013: 26). Dalam konteks yang demikian, muncul pemikiran yang berpendapat bahwa adil tidaknya suatu undang-undang berada di pundak hakim (Kamil, 2012: 211).

Hakim bukan satu-satunya yang menafsirkan undang-undang, tetapi menurut Bagir Manan harus diakui peranan hakim sangat penting. Mengapa? Pertama, hakim yang mewujudkan hukum (dalam arti) konkret. Melalui putusan hakim, ketentuan undang-undang (hukum) yang abstrak menjadi suatu kenyataan. Kedua, hakim bukan hanya menyatakan (menetapkan) hukum bagi yang berperkara (menciptakan hukum bagi pihak-pihak), tetapi dapat juga menciptakan hukum yang berlaku umum. Ketiga, hakim menjamin aktualisasi hukum, termasuk mengarahkan perkembangan hukum (Idris et.al., 2012: 84).

Bagir Manan menjelaskan bahwa walaupun banyak sebab yang mendorong melakukan penafsiran, ditambah pula asas kebebasan hakim, tidak berarti hakim dapat melakukan penafsiran secara tanpa batas, setidaknya terdapat beberapa batasan, di antaranya:

1. Dalam hal kata atau kata-kata dan susunan kaidah sudah jelas, hakim wajib menerapkan undang-undang menurut bunyi dan susunan kaidah kecuali didapati hal-hal seperti inkonsistensi, pertentangan, atau ketentuan tidak dapat menjangkau peristiwa hukum yang sedang diadili, atau dapat menimbulkan ketidakadilan, bertentangan dengan tujuan hukum, atau bertentangan dengan ketertiban umum, bertentangan dengan keyakinan yang hidup dalam masyarakat, kesusilaan, atau kepentingan umum yang lebih besar;

2. Wajib memperhatikan maksud dan tujuan pembentuk undang-undang, kecuali maksud dan tujuan sudah usang, terlalu sempit sehingga perlu ada penafsiran yang lebih longgar;

3. Penafsiran semata-mata demi memberi kepuasan kepada pencari keadilan. Kepentingan masyarakat diperhatikan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan pencari keadilan;

4. Penafsiran semata-mata dilakukan dalam rangka aktualisasi penerapan undang-undang bukan untuk mengubah undang-undang;

jurnal Desember isi.indd 240 12/12/2014 3:53:06 PM

Page 46: cover jurnal Desember 2014.cdr

240 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254 Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto) | 241

5. Mengingat hakim hanya memutus menurut hukum, maka penafsiran harus mengikuti metode penafsiran menurut hukum dan memperhatikan asas-asas hukum umum, ketertiban hukum, kemaslahatan hukum, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum;

6. Dalam penafsiran, hakim dapat mempergunakan ajaran hukum sepanjang ajaran tersebut relevan dengan persoalan hukum yang akan diselesaikan dan tidak merugikan kepentingan pencari keadilan;

7. Penafsiran harus bersifat progresif yaitu berorientasi ke masa depan (future oriented), tidak menarik mundur keadaan di masa lalu yang bertentangan dengan keadaan yang hidup dan perkembangan hukum

(Idris et.al., 2012: 86-87).

Salah satu alasan diperlukannya batasan penafsiran hakim ini adalah perlindungan terhadap HAM pencari keadilan khususnya terkait dengan persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum dan peradilan serta terhindarkan dari perlakuan diskriminatif. Asshiddiqie menyatakan bahwa setiap orang, selama hidupnya sejak sebelum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban hakiki sebagai manusia. Pembentukan negara dan pemerintahan (pen: termasuk penegakan hukum dan peradilan), untuk alasan apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia. Setiap orang di mana pun berada harus dijamin hak-hak dasarnya.

Pada saat yang bersamaan, setiap orang di mana pun berada, juga wajib menjunjung tinggi

hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya. Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab (Asshiddiqie, 2010: 92).

ANALISISIV.

A. Penerapan Pidana Mati dalam Putusan Mahkamah Agung dan Peradilan di Bawahnya

Seiring dengan perkembangan pemikiran mengenai pro kontra eksistensi pidana mati di Indonesia, senyatanya putusan untuk menerapkan pidana mati oleh badan peradilan juga memiliki dinamika dan menghasilkan disparitas paradigma yang fundamental sehingga juga mengalami pro dan kontra. Sebagaimana dijelaskan bahwa sesungguhnya pro dan kontra terkait penerapan pidana mati di negeri ini tidak saja dalam level diskursus wacana publik semata, namun sudah beberapa kali konklusi diskursus tersebut diujikan dalam mekanisme judicial review di MK.

Terdapat tiga perkara yang pernah masuk di MK tentang perkara judicial review terkait konstitusionalitas pidana mati di Indonesia, di antaranya Perkara Nomor 2/PUU-V/2007, Perkara Nomor 3/PUU-VI/2007, dan Perkara Nomor 15/PUU-X/2012. Salah satu konklusi dari Putusan MK Nomor 2/PUU-V/2007 dan Nomor 3/PUU-V/2007 memutuskan yaitu:

Ketentuan Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a dalam UU Narkotika, sepanjang yang mengenai ancaman pidana mati, tidak bertentangan dengan Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945, sehingga permohonan pengujian pasal-pasal a quo tidak beralasan

jurnal Desember isi.indd 241 12/12/2014 3:53:06 PM

Page 47: cover jurnal Desember 2014.cdr

242 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254

dan oleh karena itu permohonan para pemohon harus ditolak.

Putusan tersebut terkait dengan konstitusionalitas norma pidana mati dalam UU Narkotika, namun secara umum juga menyangkut eksistensi norma pidana mati dalam peraturan perundang-undangan yang notabene tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 (konstitusional). Juga dalam ratio decidendi-nya MK menyatakan bahwa pidana mati tidak juga bertentangan dengan norma dan prinsip HAM nasional maupun internasional, salah satu pertimbangannya adalah:

Bahwa kejahatan-kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Narkotika adalah tergolong ke dalam kelompok kejahatan yang paling serius baik menurut UU Narkotika maupun menurut ketentuan hukum internasional yang berlaku pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dengan demikian, kualifikasi kejahatan pada pasal-pasal UU Narkotika di atas dapat disetarakan dengan “the most serious crime” menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR.

Bahwa, berdasarkan uraian pada huruf (a) sampai dengan (g) di atas, tidak terdapat kewajiban hukum internasional apa pun yang lahir dari perjanjian internasional yang dilanggar oleh Indonesia dengan memberlakukan pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Narkotika. Sebaliknya, pemberlakuan pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan dimaksud justru merupakan salah satu konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (6) Konvensi, yang intinya bagi negara pihak dapat memaksimalkan efektivitas penegakan hukum dalam kaitan dengan tindak

pidana yang berkait dengan narkotika dan psikotropika dengan memperhatikan kebutuhan untuk mencegah kejahatan dimaksud (to maximize the effectiveness of law enforcement measures in respect of those offences, and with due regard to the need to deter the commission of such offences), sebagaimana telah diuraikan pada huruf (c) di atas.

Meskipun putusan dan pertimbangan hukumnya demikian, namun terdapat dissenting opinion dari empat orang hakim konstitusi dalam Putusan Nomor 2/PUU-V/2007 dan Nomor 3/PUU-V/2007. Ada yang tidak sependapat dengan kedudukan hukum (legal standing) pemohon warga negara asing, sementara yang lain berbeda pendapat terkait pokok permohonan, sedangkan yang lainnya lagi mempunyai pendapat berbeda baik mengenai kedudukan hukum (legal standing) maupun pokok permohonannya.

Dapat dikatakan bahwa meskipun telah merupa dalam putusan MK yang notabene putusannya bersifat final dan mengikat, namun suasana perdebatan pendapat dalam diskursus pembuatan putusan tersebut yang mengemuka dalam sidang majelis mengindikasikan bahwa polemik pro dan kontra tentang penerapan pidana mati di Indonesia masih dirasakan eksistensinya.

Selain terdapat perkembangan yang dinamis dan menghasilkan disparitas paradigma yang fundamental (adanya dissenting opinion) tentang penerapan pidana mati di MK, senyatanya di MA juga mengalami dinamika. Secara umum putusan-putusan MA menerapkan pidana mati dan menganggapnya masih relevan, tidak melanggar HAM dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagaimana misalnya dalam putusan-putusan di antaranya: Putusan Nomor 11 PK/Pid/2002 (terpidana RA), Putusan Nomor 14 PK/

jurnal Desember isi.indd 242 12/12/2014 3:53:06 PM

Page 48: cover jurnal Desember 2014.cdr

242 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254 Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto) | 243

Pid/2002 (terpidana MF), Putusan Nomor 53 PK/Pid/2002 (terpidana T), Putusan Nomor 72 PK/Pid/2002 (terpidana FT, DD, dan MR), Putusan Nomor 22 PK/Pid/2003 (terpidana J), Putusan Nomor 108 PK/Pid/2007 (terpidana I), Putusan Nomor 24 PK/Pid/2003 (terpidana S), Putusan Nomor 39 PK/Pid/2003 (terpidana APC), Putusan Nomor 38 PK/Pid.Sus/2011 (terpidana MS), Putusan Nomor 79 PK/Pid/2008 (terpidana MPS), Putusan Nomor 18 PK/Pid/2007 (terpidana HE), Putusan Nomor 1443 K/Pid.Sus/2009 (terdakwa SM), Putusan Nomor 554 K/Pid/2009 (terdakwa MDA), Putusan Nomor 558 K/Pid/2009 (terdakwa YM), Putusan Nomor 560 K/Pid/2009 (terdakwa MR), Putusan Nomor 1835 K/Pid/2010 (terdakwa HD), dan lain-lain.

Pada beberapa putusan yang terkait dengan pidana mati, meskipun mendalilkan secara implisit bahwa pidana mati adalah berdasarkan undang-undang dan tidak bertentangan dengan HAM, namun diterapkannya harus dengan persyaratan di antaranya adalah tidak adanya hal yang meringankan dari terdakwa. Dalam praktiknya terdapat beberapa variasi penafsiran tentang tidak perlu penerapan pidana mati jika terdapat hal meringankan. Sebagaimana misalnya dalam Putusan Nomor 536 K/Pid.Sus/2011 atas nama terdakwa SME. Pada putusan tersebut majelis hakim menyatakan salah satu pertimbangannya bahwa:

Judex facti yang menjatuhkan hukuman mati atas terdakwa ternyata kurang memberikan pertimbangan terhadap hal-hal yang meringankan, judex facti menyatakan tidak ditemukan hal-hal yang meringankan dalam diri terdakwa, padahal sesuai fakta persidangan telah ditemukan hal yang meringankan dalam diri terdakwa yaitu belum pernah dipidana/dihukum, dalam praktik peradilan Indonesia, apabila seorang terdakwa belum pernah dihukum, maka hal tersebut dapat menjadi salah satu alasan

meringankan hukuman bagi terdakwa, dan apabila pada diri seseorang terdakwa terdapat satu hal yang meringankan maka tidak boleh dijatuhkan hukuman mati (Putusan Nomor 536 K/Pid.Sus/2011, Hal. 21).

Terhadap penafsiran bahwa dengan adanya hal yang meringankan maka tidak boleh dijatuhkan hukuman mati ini, kaidah yang demikian secara normatif tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, keberadaannya sebagai sebuah yurisprudensi di kalangan hakim. Meskipun kaidah bahwa dengan adanya hal yang meringankan maka tidak boleh dijatuhkan hukuman mati ini telah diakui sebagai yurisprudensi, namun dalam hal penafsiran apa saja yang disebut sebagai hal yang meringankan dan relevan untuk dijadikan sebagai bahan argumentasi untuk tidak menjatuhkan hukuman mati ini masih kontraversi. Misalnya dalam sebuah putusan dinyatakan bahwa belum pernah dipidana/dihukum adalah hal yang meringankan dan relevan untuk dijadikan pertimbangan yang bersangkutan tidak boleh dikenakan hukuman mati. Pada putusan yang lain (khususnya kasus kejahatan yang luar biasa misalnya terorisme atau pembunuhan berencana yang sadis dan lain-lain), menyatakan secara implisit bahwa belum pernah dipidana/dihukum bukanlah suatu hal yang meringankan dan relevan untuk digunakan sebagai alasan untuk tidak memberlakukan hukuman mati.

Kontraversi tafsir terkait kualifikasi hal yang meringankan, selain fakta atau data bahwa yang bersangkutan tidak pernah dihukum/dipidana, mengemuka juga pertimbangan tentang sikap sopan dan berterus terang terdakwa dalam persidangan. Terdapat putusan yang menilai bahwa meskipun seorang terdakwa adalah residivis atau pernah dipidana/dihukum, namun

jurnal Desember isi.indd 243 12/12/2014 3:53:06 PM

Page 49: cover jurnal Desember 2014.cdr

244 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254

karena yang bersangkutan bersikap sopan dan berterus terang terdakwa dalam persidangan maka hal ini juga perlu dikualifikasi sebagai hal yang meringankan sehingga dengan demikian tidak boleh dijatuhkan hukuman mati. Hal ini mengemuka dalam Putusan Nomor 268 K/PID.SUS/2008, MA membatalkan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat banding dan tingkat pertama diganti pidana penjara seumur hidup dengan salah satu pertimbangan hukumnya terkait hal yang meringankan berupa bersikap sopan dan berterus terang, dengan menyatakan:

Bahwa keberatan-keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena judex facti salah menerapkan hukum, dalam hal ini telah melanggar Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, yaitu dalam putusannya a quo, judex facti tidak memberikan pertimbangan yang cukup (onvoldoende gemotiveerd) dengan tidak mempertimbangkan keadaan yang meringankan pemidanaan, yang menurut pendapat Mahkamah Agung, hal-hal tersebut terdapat pada diri terdakwa, yaitu antara lain:

1. bahwa dari berita acara persidangan peradilan tingkat pertama ternyata terdakwa telah mengakui terus terang atas kesalahannya dan bersikap sopan selama persidangan berlangsung;

2. bahwa terdakwa telah berusia lanjut.

Menimbang, bahwa oleh karena putusan judex facti tersebut telah melanggar Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, maka putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 21 November 2007 Nomor 378/PID/2007/PT.DKI yang telah menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanggal 16 Agustus 2007 Nomor: 760/Pid.b/2007/PN.JKT.BAR, berdasarkan Pasal 197 ayat (2) KUHAP harus “dinyatakan batal demi hukum” (Putusan Nomor 268 K/PID.SUS/2008, Hal. 57).

Pertimbangan hukum yang mempertimbangkan perilaku terus terang dan bersikap sopan sebagai hal meringankan dan

dijadikan salah satu hal yang menyebabkan tidak dapat diterapkan pidana mati tersebut, berbeda dengan pertimbangan putusan MA lainnya yang menegaskan bahwa bersikap sopan dan berterus terang di persidangan tidak dapat dijadikan alasan untuk menjatuhkan putusan pidana mati. Misalnya Putusan Nomor 2094 K/PID.SUS/2012 yang salah satu pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa:

Hal-hal yang meringankan terdakwa dalam putusan judex facti (pengadilan negeri) berupa bersikap sopan dan berterus terang di persidangan tidaklah dapat digunakan, jika hal itu menghalangi judex facti untuk menjatuhkan putusan maksimum, mengingat ada kepentingan negara dan bangsa yang lebih besar (Putusan Nomor 2094 K/PID.SUS/2012, Hal. 63).

Selain terdapat masalah disparitas tafsir tentang hal meringankan dan relevansinya dengan penerapan pidana mati, terdapat putusan MA yang mensyaratkan hukuman mati dapat dijatuhkan hanya pada kejahatan-kejahatan yang luar biasa, efeknya luas dan membahayakan masyarakat umum atau orang banyak. Jadi jika tidak memenuhi syarat tersebut maka pidana mati tidak perlu dijatuhkan meskipun secara normatif kejahatan tersebut diancam hukuman mati. Hal ini mengemuka dalam Putusan Nomor 85 K/MIL/2006, yang mempunyai salah satu pertimbangan yang menyatakan bahwa:

Penjatuhan pidana mati terhadap terdakwa, atau terhadap para terdakwa, harus dilakukan dengan sangat selektif, di mana pidana mati dijatuhkan adalah terutama terhadap para terdakwa dalam kasus-kasus luar biasa, di mana kasus-kasus tersebut menimbulkan efek yang luas, atau membahayakan atau merugikan bagi masyarakat umum atau bagi banyak orang, misalnya terhadap orang-orang yang terlibat dalam jaringan perdagangan atau peredaran gelap narkotika atau obat-obatan terlarang dalam skala besar, atau terhadap

jurnal Desember isi.indd 244 12/12/2014 3:53:07 PM

Page 50: cover jurnal Desember 2014.cdr

244 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254 Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto) | 245

para pelaku terorisme, para koruptor, para pelaku illegal logging dalam gradasi berat/besar, atau terhadap pelaku pembunuhan yang adalah penderita kelainan jiwa tertentu, yang selalu berniat membunuh orang lain, yang menurut pikirannya, bahwa korban tersebut adalah termasuk kategori yang harus dibunuh dan atau sebab-sebab lain, atau para pelaku lainnya yang umumnya berbahaya untuk masyarakat umum. Bahwa terdakwa tidak termasuk dalam golongan yang telah melakukan perbuatan yang sifatnya berskala besar, atau berefek luas terhadap masyarakat umum lainnya, karena perbuatan itu dilakukan oleh terdakwa adalah karena didorong rasa ketidakadilan yang diterima oleh terdakwa dari putusan pengadilan agama tentang penentuan harta gono-gini yang digugat oleh terdakwa dari mantan istrinya/korban yang telah menggugat cerai terdakwa (Mahkamah Agung, 2012: 350).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa selain terhadap kasus-kasus luar biasa yang dikualifikasikan oleh penafsiran tersebut maka tidak tepat jika dijatuhkan pidana mati meskipun secara normatif dalam peraturan perundang-undangan, tindak pidana tersebut ancaman hukumannya adalah pidana mati. Dalam konteks inilah terjadi penyempitan tafsir penerapan pidana mati, dari luasnya pengaturan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan kemudian disempitkan atau dikualifikasi ulang secara selektif oleh hakim. Pertimbangan hukum Perkara Nomor 85 K/MIL/2006 tersebut selanjutnya diikuti oleh putusan pengadilan lain. Salah satunya Putusan Nomor 124/PID.B/2013/PTR dengan menyatakan salah satu pertimbangannya yaitu:

Majelis hakim tingkat banding sependapat dengan pertimbangan putusan kasasi dalam perkara pidana militer Nomor 85K/MIL/2006 atas nama terdakwa MID yang menyatakan bahwa pidana mati harus diterapkan secara selektif dan hanya untuk kejahatan-kejahatan yang luar biasa yang menimbulkan efek yang luas atau membahayakan atau merugikan masyarakat

umum (Putusan Nomor 124/PID.B/2013/PTR, Hal. 20).

Berdasarkan contoh penafsiran hakim terkait penerapan pidana mati khususnya yang merupa dalam disparitas tafsir mengenai kualifikasi dan syarat dapat tidaknya pidana mati dijatuhkan, sesungguhnya disparitas tafsir tersebut masih memiliki satu acuan dasar yang umum yaitu hukuman mati dapat diterapkan dan memiliki dasar dalam peraturan perundang-undangan. Mengingat bahwa selain hal tersebut, terdapat disparitas tafsir yang kontroversial dan menimbulkan polemik yaitu terkait dengan argumentasi hukum beberapa putusan MA yang menafsirkan hukuman mati bertentangan dengan konstitusi dan melanggar prinsip dan norma yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia.

Disparitas tafsir yang kontroversi dan menghasilkan polemik inilah yang menarik untuk dikaji secara khusus dan terfokus, meskipun demikian bukan berarti tafsir tentang hal-hal lain yang kontraversi sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah kurang menarik. Akan tetapi yang dimaksudkan pula bahwa kajian lebih terfokus dan mendesak, nampaknya merupakan argumen yang tepat untuk memprioritaskan terlebih dahulu kajian tentang putusan yang lebih kontroversial.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pada asasnya putusan MA kebanyakan berpendapat bahwa penerapan pidana mati adalah tidak melanggar HAM dan konstitusional (selain menetapkan persyaratan khusus yaitu selektif hanya terhadap kejahatan luar biasa dan mempertimbangkan hal yang meringankan). Dalam salah satu putusan yaitu Putusan Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 atas nama terpidana HG berbeda dengan putusan-putusan MA pada umumnya yang pro atas pidana mati. Dalam salah

jurnal Desember isi.indd 245 12/12/2014 3:53:07 PM

Page 51: cover jurnal Desember 2014.cdr

246 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254

satu pertimbangan hukumnya pada perkara HG, majelis hakim peninjauan kembali menyatakan bahwa:

Mendasari Declaration of Human Rights article 3: “everyone has the right to life, liberty and security of person.” Bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu. Hukuman mati bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI 1945 dan melanggar Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan dan oleh siapa pun.” Bahwa dengan adanya klausul tidak dapat dikurangi dalam keadaan dan oleh siapa pun dapat diartikan sebagai tidak dapat dikurangi, dan diabaikan oleh siapa pun termasuk dalam hal ini oleh pejabat yang berwenang sekalipun, tidak terkecuali oleh putusan hakim/putusan pengadilan (Putusan Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011, Hal. 53-54).

Berdasarkan atas salah satu pertimbangan tersebut, majelis hakim (MIA, AY, dan MHNP) membatalkan Putusan MA Nomor 455 K/Pid.Sus/2007 yang telah menjatuhkan pidana mati terhadap terdakwa HG karena bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama dan berlanjut memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I dan melakukan tindak pidana pencucian uang, kemudian menghukum dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun dan denda sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) subsidair selama 4 (empat) bulan kurungan.

Sebelumnya terdakwa HG di pengadilan tingkat banding (Putusan Nomor 256/PID/2007/

PT.SBY) dihukum dengan pidana penjara selama 18 (delapan belas) tahun, dan denda sebesar Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan hukuman kurungan selama 6 (enam) bulan. Sedangkan pada pengadilan tingkat pertama (Putusan Nomor 3412/Pid.B/2006/PN.SBY) terdakwa HG dihukum dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun dan denda sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) subsidair selama 4 (empat) bulan kurungan.

Atas adanya putusan MA tersebut, yang berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan HAM dan juga bertentangan dengan konstitusi yaitu UUD NRI 1945, tentu memberikan indikasi kuat bahwa di tingkat hakim agung masih terdapat perbedaan yang fundamental dalam pertimbangan hukum putusan-putusannya. Berdasarkan disparitas pertimbangan hukum yang demikian berbeda secara prinsipil maka semakin menandaskan bahwa pro dan kontra mengenai penerapan pidana mati tidak hanya menjadi polemik dalam diskursus publik saja akan tetapi juga di MA selaku lembaga tertinggi pengadilan mengalami polemik yang serupa.

Pada konteks inilah, pro dan kontra penerapan pidana mati di Indonesia semakin kontroversial, karena bisa jadi diikuti oleh para hakim yang lain di bawah MA. Bilamana hal ini terjadi maka univikasi atau kesatuan hukum dalam putusan-putusan MA dan lembaga peradilan di bawahnya tidak dapat terwujud sehingga menyebabkan masyarakat semakin bingung karena kepastian hukum tidak tercipta dan terwujud dengan baik. Oleh karenanya menarik untuk dianalisis dan dibahas melalui teori dan metode penafsiran hukum yang mendasari adanya pertimbangan kontroversial dari kedua kasus tersebut khususnya yang terkait dengan legal

jurnal Desember isi.indd 246 12/12/2014 3:53:07 PM

Page 52: cover jurnal Desember 2014.cdr

246 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254 Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto) | 247

reasoning inkonstitusionalitas norma pidana mati dan perspektif HAM dalam penolakan penerapan pidana mati.

B. Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas Norma Pidana Mati

Hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan telah dibekali dengan sebuah kebebasan penafsiran dalam melakukan konstruksi kebenaran dan keyakinannya pada putusan yang dibuatnya sesuai dengan kaidah dasar dari ilmu hukum. Sangat dimungkinkan dalam kasus yang sejenis, meskipun undang-undang yang mengaturnya adalah sama, namun diputuskan secara berbeda sesuai dengan konteks pembuktian dan penafsiran hukum yang terbangun dalam keyakinan hakim.

Kondisi yang demikian sekilas nampak terasa aneh, namun jika dicermati secara mendalam tentu pertimbangan yang dinilai menciptakan arus pemikiran baru dan kotroversial pada suatu waktu bisa dimungkinkan jadi dibenarkan dalam perkembangannya. Hal yang sangat penting adalah optik kaidah penafsiran atau metodologi yang digunakannya telah sesuai atau tidak dengan logika dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Jika keluar dari batasan penafsiran hukum yang demikian, maka bisa jadi terdapat kekeliruan atau kekhilafan dalam konstruksi pemikiran dari ratio decidendi hakim.

Apalagi akan kontroversial jika ratio decidendi dari putusan-putusan pengadilan tersebut saling kontradiktif secara prinsipil. Pada pertimbangan hukum dalam penolakan atas penerapan pidana mati dari Putusan MA Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 yang demikian singkat, salah satunya menyatakan bahwa hukuman mati sangat bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 28 A Undang-Undang Dasar NRI 1945 (Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan

hidup dan kehidupannya), senyatanya secara eksplisit telah melampaui kewenangan dari majelis hakim peninjauan kembali khususnya yang terkait dengan pernyataan bahwa hukuman mati sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945, dianggap memiliki arti bahwa pidana mati adalah inkonstitusional. Dengan pernyataan tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang mencantumkan hukuman mati sebagai bentuk pemidanaannya, secara implisit berarti pula inkonstitusional menurut ratio decidendi tersebut.

Secara formil, penilaian yang dilakukan oleh majelis hakim tersebut seolah telah mengambil kewenangan dari MK yang sejatinya berwenang untuk memutuskan apakah dalam perundang-undangan bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau tidak. Pada dasarnya MK yang memiliki hak dan fungsi pemutus konstitusionalitas dari suatu norma undang-undang termasuk eksistensi norma pidana mati. Pada tahun 2007 melalui putusannya Nomor 2/PUU-V/2007 dan Nomor 3/PUU-V/2007, MK telah memutuskan bahwa eksistensi norma pidana mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka secara normatif penerapan pidana mati memiliki landasan hukum yang kuat dan mengikat.

Oleh karenanya kemudian dapat dianggap bahwa majelis hakim peninjauan kembali telah melampaui kewenangannya dalam memutus konstitusionalitas norma pidana mati dan kurang mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya telah memutuskan konstitusionalitas norma pidana mati. dalam konteks inilah penafsiran hakim peninjauan kembali kurang proporsional karena melampaui kewenangan yaitu memutus konstitusionalitas

jurnal Desember isi.indd 247 12/12/2014 3:53:07 PM

Page 53: cover jurnal Desember 2014.cdr

248 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254

dari suatu norma undang-undang yang notabene telah dinyatakan konstitusional oleh lembaga peradilan yang berwenang (MK).

Secara substantif, jika dipahami secara vis a vis diperhadapkan antara hukuman mati dengan hak untuk hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 28 A UUD NRI 1945 yang menyatakan: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Selanjutnya hak untuk hidup ini ditegaskan kembali oleh Pasal 28 I (1) UUD NRI 1945 dengan rumusan “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

Dengan demikian muncul pemahaman bahwa hak untuk hidup ini adalah hak yang tak dapat dikurangi dan tak bisa dikompromikan dengan hak-hak lain, dan tidak dapat dikurangi dalam kondisi dan oleh siapapun. Mungkin (dapat ditafsirkan) pandangan “tak dapat diurangi” yang demikianlah yang dikehendaki dari pernyataan pertimbangan hukum yang singkat dari majelis hakim peninjauan kembali.

Berbeda halnya ketika ditinjau dari penafsiran sistematis, pandangan yang menghendaki hukuman mati dihadapkan dengan Pasal 28 A dan Pasal 28 I (1) UUD NRI 1945 saja, tanpa dihubungkan secara holistik dipahami sebagai satu kesatuan utuh dengan ketentuan Pasal 28 UUD NRI 1945 lainnya khususnya dengan Pasal 28 J UUD NRI 1945 adalah pandangan yang parsial dan kurang memperhatikan sistematika pengaturan Hak Asasi Manusia dalam payung

hukum Bab XA UUD NRI 1945. Keberadaan “pengurangan” yang dimaksud dalam Pasal 28 A dan Pasal 28 I (1) UUD NRI 1945 akan berbeda dengan “pembatasan” yang dimaksud oleh Pasal 28 J UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa:

1. Setiap orang wajib menghormati Hak Asasi Manusia orang lain dalam tertib kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.

2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Secara redaksional dapat dipahami bahwa Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI 1945 merupakan pengecualian terhadap Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945, dengan demikian tak ada satu hak pun termasuk hak untuk hidup yang tidak mengenal pembatasan, dengan syarat pembatasan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI 1945. Oleh karena itu terdapat perbedaan mendasar antara “pengurangan” dengan “pembatasan” HAM.

Jika pengurangan merupakan sebuah tindakan yang melanggar dan mencederai HAM, sementara pembatasan merupakan sebuah perlindungan atas kebebasan HAM yang berpotensi dilanggar oleh orang lain atau dengan kata lain adanya kewajiban untuk menjalankan hak dan kebebasannya secara tertib dan tidak menimbulkan konflik. Dalam konteks ini, peraturan perundang-undanganlah yang mengatur keseimbangan hak dan kewajiban HAM tersebut.

jurnal Desember isi.indd 248 12/12/2014 3:53:07 PM

Page 54: cover jurnal Desember 2014.cdr

248 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254 Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto) | 249

Dalam konteks ini hakim peninjauan kembali melakukan penafsiran kurang sistematis, tidak secara utuh menilai HAM dalam payung hukum Pasal 28 UUD NRI 1945.

C. Penafsiran Hakim Tentang Pelanggaran Norma HAM Nasional dan Internasional dalam Penerapan Pidana Mati

Berdasarkan argumentasi hukumnya dengan alasan bahwa pidana mati bertentangan dengan UUD NRI 1945, dalam Putusan MA Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 juga mendasarkan argumentasinya bahwa hukuman mati bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berbunyi:

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukun, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berbunyi:

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Adapun penjelasan dari Pasal 4 ini berbunyi bahwa yang dimaksud dengan “dalam keadaan apapun” termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat. Yang dimaksud dengan “siapapun” adalah negara,

pemerintah dan atau anggota masyarakat. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.

Jika dipahami secara seksama dari optik penafsiran sistematis yaitu menghubungkan antara satu pasal dengan pasal lain dalam undang-undang yang sama dan undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain, konstruksi daripada Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 4 dari UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tidak dapat dilepas-pisahkan dengan ketentuan-ketentuan pasal lainnya yang mengatur tentang hal yang sama atau berkaitan dalam undang-undang tersebut. Selain mengatur mengenai hak dasar manusia yang di antaranya adalah hidup yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun dan oleh siapapun, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ini juga mengatur mengenai adanya kewajiban dasar manusia dalam menghormati HAM dari orang lain sehingga diatur pula pembatasan atas pelaksanaan masing-masing hak asasi manusia tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 67, Pasal 69, dan Pasal 70 serta Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Penegasan normatif dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa terdapat keseimbangan dalam pelaksanaan hak asasi manusia dengan kewajiban dasar manusia sehingga meskipun pada asasnya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun, namun juga bukan berarti dapat dilaksanakan secara mutlak sehingga menisbikan sebuah pembatasan yang notabene berguna untuk mewujudkan proporsionalitas kemanusiaan.

jurnal Desember isi.indd 249 12/12/2014 3:53:07 PM

Page 55: cover jurnal Desember 2014.cdr

250 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254

Konsepsi pembatasan dari keberadaan hak asasi manusia dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sejalan dengan yang telah dijelaskan sebelumnya (ketika membahas keberadaan Pasal 28 J ayat (2) sebagai batas atau kunci dari pelaksanaan Pasal 28 A sampai dengan I dalam UUD NRI 1945) bahwa terdapat dua konsep yang berbeda yaitu antara “pengurangan” sebagaimana dimaksud (Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) dalam frase “tidak dapat dikurangi oleh dalam keadaan apapun dan oleh siapapun” dan “pembatasan” sebagaimana dimaksud (Pasal 70 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) dalam frasa “setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang” atau sebagaimana dimaksud (Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) dalam frasa:

“Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.”

Jika dipahami secara holistik, konsepsi hak hidup sebagai hak dasar manusia yang dimaksudkan oleh UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tidak menghalangi penerapan pidana mati, sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 9 ayat (1) bahwa:

“setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang baru lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka

tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi.”

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pidana mati yang ditentukan oleh hukum positif (ius constitutum) merupakan bagian penting dari representasi pembatasan dari adanya hak untuk hidup. Sementara itu jika ditinjau dari optik interpretasi antisipatif atau futuristis yang notabene mencari landasan pertimbangan hukum dalam peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam RUU KUHP maka ius constituendum pun juga masih mengakomodir pidana mati dengan bentuk khusus dan tata cara yang selektif. Pasal 66 RUU KUHP, menyatakan bahwa “pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.”

Berdasarkan argumentasi hukumnya dengan alasan bahwa pidana mati bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam Putusan MA Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 ini juga mendasarkan argumentasinya bahwa pidana mati bertentangan dengan 10 Declaration of Human Rights article 3: “every one has the right of life, liberty and security of person, artinya: setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu.”

Atas argumentasi yang demikian singkat dapat dikatakan bahwa persepsi yang mengemuka adalah pandangan yang kurang sistematis dan kontekstual jika penolakan terhadap pidana mati dihubungkan dengan instrumen hukum hak asasi manusia internasional yang hanya didasarkan pada Declaration of Human Rights article 3 tanpa memperhatikan konvensi-konvensi PBB lainnya

jurnal Desember isi.indd 250 12/12/2014 3:53:07 PM

Page 56: cover jurnal Desember 2014.cdr

250 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254 Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto) | 251

yang lebih baru misalnya Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Convenant on Civil and Political Rights), sebagaimana kaidah asas perundang-undangan yaitu lex posteriori derogat legi priori.

Apalagi ketentuan singkat dari Declaration of Human Rights article 3 tersebut belumlah lengkap dan merupakan deklarasi dasar mengenai hak hidup. Pengaturan yang demikian umum tersebut masih terlalu prematur jika ditafsirkan maksudnya adalah menentang atau menghapuskan pidana mati. Oleh karena itu hal yang tepat adalah memperhatikan kehendak dari perumusnya melalui peraturan lanjutan yang menjelaskan secara rinci dan proporsional tentang hak hidup yang dimaksudkan dari Declaration of Human Rights article 3 tersebut.

Sebagaimana diketahui setelah adanya Declaration of Human Rights, pada tahun 1966 telah tersusun perjanjian internasional yang sebagian besar berasal dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yaitu Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Dalam Pasal 6 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, hak untuk hidup didefinisikan dan diperluas, dengan pembahasan pembatasan penggunaan hukuman mati:

1. Setiap mahluk hidup memiliki hak untuk hidup. Hak tersebut harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun seharusnya kehilangan hidup tersebut.

2. Pada negara yang masih memberlakukan hukuman mati, penerapan hukuman tersebut hanya pada untuk kejahatan serius berdasarkan hukum yang berlaku pada Komisi Kejahatan dan tidak bertentangan dengan perjanjian dan Konvensi

Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat diputuskan sebagai keputusan akhir oleh pengadilan berkompeten.

3. Apabila terjadi kejahatan genosida, diyakini bahwa tidak ada pasal yang mengesahkan adanya negara pihak dalam perjanjian untuk mengurangi kewajiban apapun pada ketentuan Konvensi Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida.

4. Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan permohonan pengganti hukuman amnesti, pembebasan atau hukuman pengganti atas hak mati dapat diputuskan pada tingkatan.

5. Hukuman mati sebaiknya tidak dibebankan pada kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur 18 tahun dan wanita hamil.

6. Pasal ini tidak mengandung satu poin yang dapat digunakan untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh negara pihak.

Di Indonesia ketentuan ICCPR ini telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights. Dengan demikian ketentuan hukum HAM internasional tentang hak hidup yang didefinisikan dan diperluas dalam Pasal 6 ICCPR ini berlaku secara sah dan mengikat di Indonesia yang berarti bahwa hukuman mati tetap dapat diterapkan dengan beberapa syarat yang telah ditetapkan.

Sehingga hukuman mati tidak melanggar atau bertentangan dengan ketentuan hukum HAM nasional maupun internasional. Sependapat dengan hal tersebut, terdapat putusan-putusan MA

jurnal Desember isi.indd 251 12/12/2014 3:53:07 PM

Page 57: cover jurnal Desember 2014.cdr

252 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254

yang dalam salah satu pertimbangan hukumnya meluruskan pendapat atau pertimbangan hukum dari putusan yang menolak penerapan pidana mati karena dianggap melanggar norma HAM nasional ataupun internasional. Misal di antaranya:

1. Putusan Nomor 28 PK/Pid.Sus/2011:

Bahwa terdapat kekeliruan yang nyata dalam putusan judex juris Nomor 1782 K/Pid/2006 karena hal-hal yang relevan secara yuridis tidak dipertimbangkan dengan benar yaitu Universal Declaration of Human Rights, tidak bisa dipisahkan dengan konvensi-konvensi PBB lainnya yang telah diratifikasi oleh Indonesia antara lain adalah ICCPR (International Convenant on Civil and Political Rights) dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 yang mensyaratkan penjatuhan hukuman mati dengan sangat selektif jika negara tersebut memberlakukannya (Putusan Nomor 28 PK/Pid.Sus/2011, Hal. 133).

2. Putusan Nomor 37 K/Pid.Sus/2011:

Bahwa walaupun Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang paling mendasar yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, dan TAP MPR Nomor XVI I/MPR/1998 menyatakan, bahwa hak asasi meliputi hak untuk hidup, serta berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional

tentang Hak-hak Sipil dan Politik, di mana pada Bagian III Pasal 6 ayat (1) ICCPR menyatakan, setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya, hak ini wajib dilindungi oleh hukum, tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang, akan tetapi ayat (2) ICCPR menyatakan, di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut; Bahwa hingga saat ini penerapan pidana mati dalam hukum positif Indonesia masih tetap dipertahankan (Putusan Nomor 37 K/Pid.Sus/2011, Hal. 95-96).

3. Putusan Nomor 731 K/Pid.Sus/2009:

Bahwa adanya pro kontra tentang penerapan pidana mati tidak dapat dijadikan sebagai suatu kesalahan hakim dalam menjatuhkan pidana tersebut, karena hukum positif kita masih mengatur adanya pidana mati dan di Indonesia termasuk salah satu negara yang mempertahankan adanya pidana mati (Putusan Nomor 731 K/Pid.Sus/2009, Hal. 43).

Berdasarkan pembahasan di atas, permasalahan disparitas penafsiran hakim dalam penerapan pidana mati telah menghadirkan polemik dan kontroversi di masyarakat yang jika tidak segera diatasi maka dikhawatirkan menimbulkan ketidak-pastian hukum. Meskipun sebab utama disparitas tersebut berhubungan dengan kebebasan hakim yang tidak dapat diganggu-gugat keberadaannya, namun demi menjaga konsistensi penerapan hukum dalam

jurnal Desember isi.indd 252 12/12/2014 3:53:08 PM

Page 58: cover jurnal Desember 2014.cdr

252 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254 Penafsiran Hakim Tentang Konstitusionalitas dan Pelanggaran (Budi Suhariyanto) | 253

konteks mewujudkan kepastian hukum dan sebagai representasi akuntabilitas yudisial kepada masyarakat diperlukan pelurusan penafsiran yang sesuai dengan kaidah ilmu hukum yang berlaku. Sangat penting dilakukan persamaan persepsi atau kesepakatan dalam kamar pidana guna menentukan kriteria dan persyaratan penerapan pidana mati sehingga tercipta harmonisasi penerapan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi hakim pada peradilan di bawah MA.

SIMPULANV.

Pada umumnya pidana mati diterapkan oleh MA dan peradilan di bawahnya, meskipun demikian masih terdapat disparitas tafsir terkait hal yang meringankan dan kualifikasi kejahatan luar biasa dalam mempertimbangkan penjatuhan pidana mati. Namun terdapat salah satu Putusan Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 yang dalam pertimbangan hukumnya mempermasalahkan konstitusionalitas (menilainya sangat bertentangan dengan UUD NRI 1945 ) dan potensi pelanggaran HAM (melanggar Declaration of Human Rights article 3 dan Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM) dalam penerapan pidana mati.

Berdasarkan hasil analisa, terdapat penafsiran majelis hakim yang kurang proporsional (melampaui kewenangannya dengan menilai konstitusionalitas norma yang notabene kewenangan MK) dan kurang sistematis (dalam membaca dan menafsirkan undang-undang HAM yang berlaku) sehingga kurang sesuai dengan kaidah penafsiran hukum yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Ansyahrul. 2011. Pemuliaan Peradilan: dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan, dan Hukum Acara. Jakarta: Mahkamah Agung.

Arief, Barda Nawawi. 2013. Kapita Selekta Hukum Pidana. Cetakan Ketiga. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Asnawi, M. Natsir. 2014. Hermeneutika Putusan Hakim: Pendekatan Multidisipliner dalam Memahami Putusan Peradilan Perdata. Yogyakarta: UII press.

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Idris, et.al. (Ed). 2012. Penemuan Hukum Nasional dan Internasional (dalam rangka Purna Bakti Prof. Dr. Yudha Bhakti, S.H., M.H.). Bandung: Fikahati Aneska.

Kamil, Ahmad. 2012. Filsafat Kebebasan Hakim. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Mahkamah Agung. 2012. Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Tahun 2011, Jakarta: Mahkamah Agung.

Mulyadi, Lilik. 2012. Hukum Acara Pidana Indonesia: Suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Pangaribuan, Luhut M.P. 2009. Lay Judges & Hakim Ad Hoc: Suatu Studi Teoritis mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jakarta: Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Indonesia & Papas Sinar Sisanti.

Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.

jurnal Desember isi.indd 253 12/12/2014 3:53:08 PM

Page 59: cover jurnal Desember 2014.cdr

254 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 255

_______________. 2010. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Kompas

Suhariyanto, Budi. 2012. Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime): Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sutiyoso, Bambang. 2010. Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

Witanto, Darmoko Yuti & Arya Putra Negara Kutawaringin. 2013. Diskresi Hakim: Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana. Bandung. Alfabeta.

Witanto, Darmoko Yuti. 2012. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Zulfa, Eva Achjani. 2011. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung: Lubuk Agung.

jurnal Desember isi.indd 254 12/12/2014 3:53:08 PM

Page 60: cover jurnal Desember 2014.cdr

254 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 237 - 254 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 255

ABSTRAK

Passing off merupakan tindakan pendomplengan terhadap merek terkenal yang dapat merugikan pemegang hak merek. Tindakan tersebut dilakukan pelaku usaha tidak jujur yang seringkali terjadi dalam praktik perdagangan, oleh karena itu penegakan hukum merek harus mendapatkan perhatian serius. Putusan Mahkamah Agung Nomor 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014, mencerminkan ketidakadilan bagi pemegang hak merek terkenal karena menguatkan putusan pada tingkat judex facti dengan Nomor 71/Pdt.Sus-Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst dan menganggap putusan sudah tepat sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 15 Tahun 2001. Tergugat (termohon kasasi) sebagai pemegang hak merek “OLYMPIC” mengandung persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek milik penggugat (pemohon kasasi) yang merupakan nama lembaga internasional didirikan tahun 1894 yang menangani penyelenggaraan Olimpiade. Merek tergugat telah terdaftar di lima negara, sehingga memenuhi persyaratan sebagai merek terkenal. Tindakan passing off tidak menjadi pertimbangan hakim dalam amar putusannya, namun justru menitikberatkan pada popularitas merek milik penggugat. Seharusnya hakim mempertimbangkan aspek passing off, sehingga tidak merugikan penggugat (pemohon kasasi) sebagai pemegang hak merek terkenal. Penolakan tersebut berarti pembenaran terhadap tindakan passing off

dalam pendaftaran maupun penegakan hukum merek dan cenderung tidak memberikan perlindungan hukum terhadap pemilik merek. Perlindungan hukum bagi pemegang merek terkenal seharusnya mendapat perhatian serius guna menumbuhkan iklim kondusif bagi investasi.

Kata kunci: passing off, merek terkenal, pendaftaran merek.

ABSTRACT

Passing off in the Commercial Law is an act of rearguarding against the well-known trademarks that can be disadvantageous to the holders of trademark rights. This action is committed by the unfair businessmen, and often occurs in the decisions of the Commercial Law cases that should be seriously taken heed. The Supreme Court Decision Number 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014 reflects a sense of injustice to one of the holders of famous trademarks, as it has upheld the ruling on the level of judex facti by the Decision Number 71/Pdt.Sus-Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst, and considered appropriate in line with Article 6 paragraph (1) letter b of Law Number 15 of 2001. The Defendants of Cassation as the holder of the rights for the brand “OLYMPIC” has the similarity in principle with the brand name of the Plaintiff, which is the name of the international institute, founded in 1894, which handles the Olympic

PASSING OFF DALAM PENDAFTARAN MEREK

Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014

PASSING OFF IN TRADEMARK REGISTRATION

Mieke Yustia Ayu Ratna SariFakultas Hukum Universitas Tulang Bawang

Jl. Gajahmada No. 34 Kotabaru Bandar Lampung 35121E-mail: [email protected]

An Analysis of Supreme Court’s Decision Number 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014

Naskah diterima: 10 November 2014; revisi: 20 November 2014; disetujui: 24 November 2014

jurnal Desember isi.indd 255 12/12/2014 3:53:08 PM

Page 61: cover jurnal Desember 2014.cdr

256 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 257

PENDAHULUANI.

Merek merupakan salah satu bagian dari kekayaan intelektual yang dilindungi hukum. Dalam praktik perdagangan, merek digunakan sebagai media untuk memperkenalkan produknya kepada calon pembeli sehingga merek bernilai ekonomis. Selain itu, merek juga berfungsi sebagai daya pembeda terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan lain. Pentingnya fungsi merek sehingga ada anggapan jaminan kualitas barang identik dengan merek. Dari sudut pandang produsen, merek digunakan untuk promosi barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasaran serta aset perusahaan yang tak ternilai harganya.

Bagi konsumen, merek digunakan untuk mengadakan pilihan barang yang akan dibeli dan simbol harga diri. Sehingga ada merek-merek yang sudah dikenal oleh masyarakat luas, menyebabkan pihak-pihak tertentu ingin ikut sukses tanpa perjuangan panjang, jalan yang paling cepat adalah dengan cara meniru atau mendompleng merek orang lain. Hal ini berakibat merugikan pemilik merek yang sudah dikenal masyarakat luas. Bagi konsumen sebenarnya telah dikelabui oleh merek tiruan tersebut, yang jelas kualitas produk tidak sebagus merek yang sudah dikenal. Apabila hal ini terjadi maka persaingan tersebut merupakan persaingan tidak sehat (Susilowati, 2010: 2).

Persaingan usaha tidak sehat dapat terjadi terhadap merek yang melekat pada produk yang sudah dikenal masyarakat dan memiliki reputasi tinggi. Produsen seringkali memanfaatkan merek terkenal (well-known marks) dengan membuat merek lain yang cenderung meniru dan menyerupai untuk mendompleng ketenaran merek. Perbuatan tersebut dilakukan agar produsen tidak mengeluarkan biaya ekstra bagi keperluan promosi produk. Tindakan passing off dilakukan secara melawan hukum dapat merugikan pihak pemegang merek asli.

Kerugian berdampak langsung pada turunnya omzet, konsumen tertipu dengan merek yang hampir serupa dengan merek asli sehingga mendapat barang dengan kualitas rendah. Oleh karena itu, produsen pemegang merek terkenal pada umumnya melakukan berbagai cara untuk mencegah orang atau perusahaan lain untuk menggunakan merek dalam produknya. Upaya pemilik merek untuk mencegah pemakaian merek oleh pihak lain merupakan hal yang sangat penting mengingat membangun reputasi merek memerlukan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang lama (Margono & Angkasa, 2002: 147).

Permasalahan dalam hukum merek seringkali terjadi di masyarakat dan sampai ke pengadilan, dalam Putusan Nomor 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014 Mahkamah Agung memutus untuk menolak gugatan pemohon kasasi

Games. The Defendant has registered the trademarks/brands in five countries, and has met requirements to be a famous brand name. Passing off action is not taken into consideration by the judge in the decision, but rather the popularity of the brand of the Plaintiff. The judge should take into account the aspect of passing off so as not to disadvantage the plaintiff as the famous

trademark’s holder. That refusal is a justification for the passing off in the trademark registration and this tends to harm the famous brand name holders as well as to create unconducive climate for investment in Indonesia.

Keywords: passing off, famous brand name, trademark registration.

jurnal Desember isi.indd 256 12/12/2014 3:53:08 PM

Page 62: cover jurnal Desember 2014.cdr

256 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 257

dahulu penggugat dalam perkara sengketa merek. Hal ihwal perkara tersebut terjadi adanya pengajuan gugatan oleh penggugat yaitu Comite International Olympique yang merupakan lembaga internasional yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Swiss yang menangani penyelenggaraan Olimpiade (Olympic) ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam gugatannya penggugat menyatakan telah mendaftarkan merek dengan menggunakan kata “OLYMPIC” dan “OLYMPICS” dengan berbagai variasinya secara internasional di berbagai negara di dunia di antaranya Thailand, Jamaica, Australia, Afrika Selatan, dan Malaysia.

Penggugat mengetahui dalam Daftar Umum Merek telah terdaftar merek “OLYMPIC” atas nama tergugat untuk melindungi jenis-jenis barang yang termasuk dalam kelas 09, yaitu radio, televisi, tape deck, kaset recorder, rewinder, video player, VCD player, DVD player, loudspeaker, amplifier, microphone, video game. Penggugat sangat berkeberatan atas terdaftarnya merek milik tergugat yang merupakan nama lembaga internasional milik penggugat. Seharusnya merek atas nama tergugat (termohon kasasi) tidak dapat didaftar dalam Daftar Umum Merek sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Menurut penggugat pendaftaran merek atas nama tergugat dilandasi oleh iktikad tidak baik.

Gugatan penggugat oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan Nomor 71/Pdt.Sus-Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst tertanggal 16 Januari 2014 ditolak oleh hakim, terhadap putusan tersebut penggugat mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 5 Februari 2014. Dalam memori kasasi, pemohon kasasi (penggugat) sangat

berkeberatan dengan putusan hakim di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pemohon kasasi (penggugat) menyebutkan judex facti lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh ketentuan Pasal 178 ayat (2) HIR yaitu hakim wajib mengadili segala bagian tuntutan, sedangkan petitum penggugat tentang merek “OLYMPIC” atas nama tergugat yang menyerupai lembaga internasional penggugat COMITE INTERNATIONAL OLYMPIQUE, judex facti tidak memberikan pertimbangan serta alasan hukumnya, justru mempertimbangkan keterkenalan merek milik penggugat.

Kasus yang dipaparkan di atas dari sudut pandang penegakan hukum merek menjadi sangat menarik, karena poin utama adalah masalah passing off terhadap pendomplengan merek terkenal (well-known marks), terkait dengan kepentingan konsumen serta melibatkan orang asing sebagai penggugat. Dengan demikian hukum di Indonesia menjadi sorotan internasional terutama dalam hal perlindungan hukum merek.

RUMUSAN MASALAHII.

Permasalahan mendasar yang timbul dari Putusan Nomor 224K/Pdt.Sus-HKI/2014, dirumuskan sebagai berikut: apakah Putusan MA Nomor 224K/Pdt.Sus-HKI/2014 telah memberikan perlindungan hukum bagi pemegang merek terhadap tindakan passing off?

STUDI PUSTAKAIII.

Perdagangan bebas yang berlaku di era global dewasa ini menyebabkan tidak ada batasan dalam hal perdagangan produk barang dan jasa, semua jenis produk asing dengan mudahnya masuk ke dalam suatu negara. Merek yang sudah dikenal oleh masyarakat dengan mudahnya

jurnal Desember isi.indd 257 12/12/2014 3:53:08 PM

Page 63: cover jurnal Desember 2014.cdr

258 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 259

menembus perdagangan di pasar internasional, namun di sisi lain juga sangat rentan terhadap upaya pendomplengan merek. Menghadapi kondisi yang demikian diperlukan perangkat hukum khususnya melindungi merek untuk mengatasi persaingan usaha tidak sehat, sehingga menimbulkan rasa nyaman bagi pengusaha untuk berinvestasi di suatu negara. Merek memegang peran penting untuk memperkenalkan produk kepada konsumen.

Merek adalah salah satu atribut yang penting dari sebuah produk yang penggunaannya pada saat ini sudah sangat meluas karena beberapa alasan, di mana memberikan merek pada suatu produk berarti memberikan nilai tambah produk tersebut. Merek merupakan atribut produk yang dianggap penting terutama dalam menumbuhkan persepsi yang positif dan konsumen akan percaya setelah menilai atribut yang dimiliki suatu merek. Persepsi positif dan kepercayaan konsumen terhadap suatu merek tersebut akan menciptakan citra merek, dan pada akhirnya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi minat untuk membeli. Agar lebih dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai pengertian merek ini, maka ada beberapa pengertian menurut para ahli. Menurut Kotler (2000: 404):

“A brand is name, term, sign, simbol, or design, or combination of them, intended to identity the goods or service of one seller or group of sellers and to differentiate them from these of competitors.”

Menurut Fandy Tjiptono (2001: 104) merek merupakan nama, istilah, tanda, simbol atau lambang, warna, gerak, atau kombinasi atribut-atribut produk lainnya yang diharapkan dapat memberikan identitas dan diferensiasi terhadap produk pesaing. Menurut Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah (2003: 154),

merek merupakan alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Pasal 1 butir 1 menyebutkan pengertian tentang merek, yakni:

“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf, angka-angka, susunan, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.”

Fungsi merek pada prinsipnya sebagai pembeda, sebagai alat monopoli, sebagai alat kompetisi, bahkan dewasa ini fungsi merek mengalami perubahan yakni sebagai simbol “gengsi” bagi konsumen. Barang dengan merek terkenal biasanya diikuti dengan harga yang mahal dan itu bagi konsumen adalah “prestige.” Merek sendiri digunakan untuk beberapa tujuan yaitu sebagai identitas yang bermanfaat dalam diferensiasi atau membedakan produk suatu perusahaan dengan produk perusahaan saingannya. Memudahkan konsumen untuk mengenalinya saat berbelanja dan saat melakukan pembelian ulang, sebagai alat promosi, yaitu sebagai daya tarik produk, untuk membina citra yaitu dengan memberikan keyakinan, jaminan kualitas, serta membangun “image” tertentu kepada konsumen, serta untuk mengendalikan pasar.

OK Saidin dalam bukunya mengutip pendapat dari Suryatin (2007: 246) mengenai wujud atau bentuk merek yang dimaksud untuk membedakan dari barang sejenis milik orang lain, terdapat jenis-jenis merek antara lain: merek lukisan, merek kata, merek bentuk, merek bunyi-bunyian, dan merek judul. Jenis merek yang paling baik untuk diterapkan di Indonesia menurut Suryatin adalah merek lukisan. Adapun merek jenis lainnya, terutama merek kata dan

jurnal Desember isi.indd 258 12/12/2014 3:53:08 PM

Page 64: cover jurnal Desember 2014.cdr

258 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 259

merek judul kurang tepat diterapkan di Indonesia karena dapat menyesatkan masyarakat.

Arus globalisasi dan perdagangan bebas menuntut negara-negara mengakomodir tentang perlindungan kekayaan intelektual. Sejak ditandatanganinya persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan (GATT) pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh-Maroko, Indonesia sebagai salah satu negara yang telah sepakat untuk melaksanakan persetujuan tersebut termasuk perdagangan barang-barang palsu (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods/TRIP’s) yang merupakan bagian dari Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization) sebagaimana disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 pada tanggal 2 November 1994.

Dasar hukum merek di Indonesia mengalami empat kali perubahan berawal dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 dan perubahan yang terakhir Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Perubahan Undang-Undang Merek di Indonesia dari waktu ke waktu disesuaikan dengan konvensi internasional yang berhubungan dengan merek yaitu Trademark Law Treaty tahun 1995. Dalam perkembangannya Trademark Law Treaty dibumbui TRIP’s (Trade-related Aspects of Intellectual Property Rights) yang merupakan instrumen hukum internasional (Umar, 2005: 21).

Dasar hukum yang melandasi perlindungan di bidang merek selain diatur dalam hukum

nasional juga terikat pada peraturan internasional salah satunya adalah Konvensi Paris. Konvensi tersebut merupakan salah satu peraturan internasional tentang perlindungan kekayaan industri (Paris Convention for the Protection of Industrial Property) ditandatangani di Paris, Perancis pada 20 Maret 1883.

Konvensi Paris merupakan perjanjian yang paling banyak ditandatangani negara-negara di dunia. Konvensi Paris membahas mengenai perlindungan terhadap kekayaan industri untuk kreasi intelektual dalam bentuk hak kekayaan industri yang dikenal sebagai penemuan (paten), merek dagang, dan desain industri. Konvensi ini diratifikasi dengan Keppres No. 15 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Keppres No. 24 Tahun 1979. Berdasarkan pada Konvensi Paris, secara tradisional hak kekayaan intelektual dibagi atas: industrial property, meliputi paten, merek, dan desain industri; serta copyright dan related right.

Suatu merek diakui keberadaannya melalui permohonan pendaftaran dari pemilik merek melalui Kementerian Hukum dan HAM pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Pendaftaran mutlak dilakukan agar didapat manfaat dari perlindungannya. Pendaftaran merek merupakan suatu cara pengamanan pemilik merek sekaligus perlindungan yang diberikan negara. Substansi pendaftaran berkenaan dengan tenggang waktu antara pelaksanaan pengajuan, penerimaan, dan pengumuman. Ketiga tahap ini dapat mempengaruhi sikap pihak ketiga atas terdaftarnya suatu merek. Dalam pendaftaran merek terbuka kemungkinan terjadi penolakan dan pembatalan merek

Sistem hukum hak kekayaan intelektual (HKI) di Indonesia menghendaki adanya pendaftaran merek sebagaimana diatur dalam

jurnal Desember isi.indd 259 12/12/2014 3:53:08 PM

Page 65: cover jurnal Desember 2014.cdr

260 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 261

Pasal 3 Undang-Undang Merek yaitu merek adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar. Penekanan dalam pasal tersebut bahwa hak atas merek tercipta karena pendaftaran dan bukan karena pemakaian pertama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Merek sebelum UU No. 15 Tahun 2001. Pendaftaran merek menimbulkan kepastian hukum terhadap objeknya, sehingga orang yang didaftarkan sebagai pemilik yang dapat memakai dan memberikan orang lain hak untuk memakai (lisensi).

Dalam mendaftarkan pada kantor merek harus disebutkan jenis barang yang dimintakan pendaftaran, apabila yang dimintakan pendaftarannya adalah merek dagang. Begitu pula terhadap permintaan pendaftaran barang atau jasa harus menyebutkan jenis barang atau jasa yang dimintakan perlindungannya. Tanpa menyebutkan jenis barang atau jasa dalam pendaftaran, merek tidak dapat diterima oleh kantor merek. Merek yang dimintakan pendaftaran tersebut harus digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa (Wahyuni et.al., 2006: 133).

Cara pendaftaran merek di Indonesia melalui pemeriksaan di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Sebelum didaftarkan merek diperiksa terlebih dahulu mengenai merek itu sendiri. Suatu permohonan pendaftaran merek akan diterima pendaftarannya apabila telah memenuhi persyaratan baik yang bersifat formalitas maupun substansi sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Merek yaitu mempunyai kriteria pembeda (Mamahit, 2013: 97). Pemeriksaan substantif dilakukan oleh pemeriksa merek (trademark examiner) yang mempunyai keahlian dan kualifikasi sebagai pemeriksa merek. Hal ini dilakukan untuk penyaringan (screening) terhadap merek yang akan didaftarkan. Hasil pemeriksaan

ini adalah permintaan pendaftaran merek dapat diterima atau ditolak.

Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 memakai sistem konstitutif yakni suatu sistem di mana hak atas merek diberikan kepada pihak yang mengajukan pendaftaran mereknya. Oleh karena itu, hanya melalui pendaftaran hak atas merek dapat timbul dan memperoleh sertifikat sebagai bukti. Sistem ini disebut juga first to file. Konsep tersebut bertolak belakang dengan sistem deklaratif yang menekankan pemakaian pertama terhadap merek. Pihak yang dapat membuktikan sebagai pemakai pertama suatu merek maka otomatis hak merek diberikan kepadanya. Konsep deklaratif disebut juga sebagai first to use.

Konsep first to file ini dipakai UU No. 19 Tahun 1992, UU No. 14 Tahun 1997, dan UU No. 15 Tahun 2001, namun UU No. 21 Tahun 1961 memakai konsep first to use. Peralihan konsep tersebut dilatarbelakangi bahwa konsep first to use/deklaratif yang dianut UU No. 21 Tahun 1961 menimbulkan ketidakpastian hukum dan kesulitan dalam membuktikan pemilik pertama yang sebenarnya. Kondisi demikian dapat dipakai oleh pihak-pihak yang beriktikad buruk untuk melakukan pemalsuan dan pendomplengan merek terkenal. Akibatnya adalah persaingan usaha tidak sehat dalam perdagangan dan menimbulkan kekacauan hukum bidang kekayaan intelektual.

Meskipun pendaftaran merek bertujuan untuk mendapatkan perlindungan sehingga menimbulkan kepastian hukum, namun pendaftaran bukan semata-mata mengandung arti memberikan alat bukti yang kuat tetapi juga dapat menciptakan hak kebendaan. Selama pendaftaran belum terjadi maka hak tersebut hanya mempunyai arti terhadap pihak pribadi dan pihak umum belum mengetahui. Pengetahuan

jurnal Desember isi.indd 260 12/12/2014 3:53:09 PM

Page 66: cover jurnal Desember 2014.cdr

260 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 261

masyarakat baru terjadi pada saat hak tersebut didaftarkan (Saidin, 2007: 58).

Perlindungan hukum terhadap merek dagang terdaftar mutlak diberikan oleh pemerintah kepada pemegang dan pemakai hak atas merek untuk menjamin:

1. Kepastian berusaha bagi produsen,

2. Menarik investor bagi merek dagang asing, sedangkan perlindungan hukum bagi merek dagang lokal diharapkan pada suatu saat dapat berkembang secara meluas di dunia internasional (Firmansyah, 2011: 38).

Dengan adanya perlindungan hukum tersebut, dapat meningkatkan nilai investasi di Indonesia sehingga investor berlomba-lomba menanamkan investasinya dan meningkatkan pertumbuhan pada dunia usaha.

Pendaftaran merek memiliki tujuan tertentu di antaranya perlindungan pemilik merek, perlindungan konsumen, perlindungan masyarakat melalui pencegahan dan penanggulangan segala bentuk persaingan curang. Pendaftaran merek yang tidak sesuai dengan tujuan tersebut maka dapat dicegah. Merujuk pada Pasal 4 UU No. 15 Tahun 2001 bahwa “merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan pemohon yang beriktikad tidak baik.” Dalam hal pendaftaran merek, tidak dapat diterima permohonan merek apabila dilatarbelakangi oleh iktikad buruk.

Ruang lingkup iktikad buruk dalam pendaftaran merek adalah adanya ketidak-jujuran dari pendaftar merek dengan melakukan pemboncengan, meniru, atau menjiplak merek yang sudah dikenal sehingga merugikan orang lain, menciptakan kondisi persaingan curang, mengecoh, dan menyesatkan konsumen. Tindakan

passing off (pemboncengan merek) masuk dalam kriteria iktikad buruk pendaftar merek, sehingga terhadap permohonan yang mengandung indikasi passing off sudah semestinya untuk dibatalkan.

Undang-Undang Merek yang terdahulu hanya mengatur tentang penolakan pendaftaran apabila merek mempunyai persamaan pada pokok atau keseluruhan terhadap barang sejenis, sedangkan dalam Undang-Undang Merek Tahun 2001 mengalami kemajuan tentang kriteria penolakan pendaftaran merek yakni mengakomodir tentang penolakan pendaftaran terhadap barang yang tidak sejenis sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2). Perlindungan tersebut bersifat khusus dan luar biasa serta menerobos dari ketentuan yang sudah ada demi memberikan perlindungan hukum yang lebih komprehensif kepada pemegang merek.

Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 mengatur tentang perlindungan terhadap merek terkenal. Pasal 6 ayat (1) poin b menjelaskan bahwa permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain baik untuk barang dan jasa. Meskipun diatur dalam Pasal 6 UU No. 15 Tahun 2001 tentang merek terkenal, namun tidak dijelaskan secara eksplisit tentang pengertiannya.

Pengertian merek dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2007 menyebutkan bahwa kriteria merek terkenal adalah selain memperhatikan pengetahuan masyarakat, juga didasarkan reputasi yang bersangkutan diperoleh dari promosi oleh pemiliknya disertai dengan bukti pendaftaran merek di beberapa negara. Selain dalam undang-undang, kriteria merek terkenal juga terdapat dalam Yurisprudensi

jurnal Desember isi.indd 261 12/12/2014 3:53:09 PM

Page 67: cover jurnal Desember 2014.cdr

262 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 263

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 426 PK/Pdt/1994 tertanggal 3 November 1994 bahwa merek yang tidak mengenal batas dunia adalah merek yang telah menembus batas-batas nasional dan regional sehingga merek tersebut telah berwawasan globalisasi. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1486 K/Pdt/1994 tertanggal 28 November 1995 memberikan kriteria hukum tentang merek terkenal yakni suatu merek termasuk pengertian well-known mark apabila merek tersebut berada keluar dari batas-batas regional membuka sampai batas-batas transnasional, dan terbukti telah terdaftar di banyak negara di dunia.

Berdasarkan reputasi dan kemasyhuran merek dapat dibagi menjadi tiga, yakni merek biasa, merek terkenal, dan merek termasyhur. Yahya Harahap sebagaimana dikutip Erma Wahyuni dkk (2006: 135) mengatakan merek biasa adalah merek yang tergolong tidak memiliki reputasi tinggi. Konsumen melihat merek tersebut kualitasnya rendah dan tidak mampu memberikan lapisan pasar dan pemakai. Merek terkenal adalah merek yang memiliki reputasi tinggi. Merek yang demikian memiliki kekuatan pancaran yang memukau serta menimbulkan keakraban pada konsumen. Merek termasyhur adalah terkenal di dunia sehingga digolongkan ke dalam “merek aristocrat dunia.” Dalam praktik sangat sulit membedakan antara merek terkenal dan merek termasyhur, karena tidak jelas batas dan ukuran. Sampai saat ini tidak ada definisi tentang merek terkenal yang disepakati dan diterima secara luas, baik dari aturan merek terdahulu dan sekarang maupun pendapat dari para ahli hukum.

Kategori untuk menetapkan suatu merek well-known harus diperhitungkan pengetahuan merek terkenal di sekitar publik tertentu, termasuk pengetahuan di negara anggota

sebagai akibat promosi merek dagang tersebut. Well-known mark masih merupakan topik yang terus diperbincangkan sebab sampai saat ini masih belum ada definisi tentang well-known mark tergantung kepada interpretasi negara-negara anggota. Namun telah ada panduan yang dikeluarkan oleh WIPO yang menyangkut faktor-faktor dalam mempertimbangkan apakah suatu merek terkenal atau tidak. Pihak yang berwenang harus mempertimbangkan antara lain hal-hal di bawah ini:

a. Tingkat pengetahuan atau pengakuan mengenai merek tersebut dalam sektor publik yang bersangkutan;

b. Masa, jangkauan, dan daerah geografis dari penggunaan merek;

c. Masa, jangkauan, dan daerah geografis dari promosi merek, termasuk pengiklanan dan publisitas serta presentasi pada pameran barang-barang atau jasa pada merek tersebut;

d. Masa dan daerah geografis dari setiap pendaftaran dan setiap aplikasi pendaftaran sampai pada suatu tingkat sehingga merefleksikan penggunaan atau pengakuan merek;

e. Catatan dari penegakan hukum yang berhasil atas hak yang melekat pada merek pada suatu tingkat di mana merek tersebut diakui sebagai merek terkenal oleh pejabat yang berwenang; dan

f. Nilai yang berkaitan dengan merek tersebut (Purba, 2005: 71-75).

Dalam pendaftaran merek seringkali pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab melakukan tindakan passing off dilatarbelakangi

jurnal Desember isi.indd 262 12/12/2014 3:53:09 PM

Page 68: cover jurnal Desember 2014.cdr

262 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 263

oleh beberapa faktor, di antaranya dengan mendaftarkan merek yang mendompleng merek orang lain (passing off) akan memperoleh keuntungan secara cepat, menghemat biaya iklan, serta menghemat biaya riset dan pengembangan. Dengan demikian maka harga jual produk, yang mereknya mendompleng milik orang lain, lebih murah, dan bisa memberikan potongan harga yang lebih besar kepada pedagang.

Passing off dapat dikatakan sebagai tindakan yang mencoba meraih keuntungan melalui jalan pintas dengan segala macam cara dan dalih dengan melanggar etika bisnis, norma kesusilaan, maupun hukum (Djumhana & Djubaedillah, 2003: 235). J. Thomas Mc. Carthy dan Perreault Cannon mendefinisikan passing off di bidang merek sebagai:

1. Suatu penambahan pengaturan merek dagang,

2. Merupakan pelanggaran merek di mana pelanggar dengan sengaja menyesatkan atau menipu pembeli,

3. Sekalipun pelanggaran merek tersebut tidak ada bukti untuk menipu tetapi kemungkinan menyesatkan perlu dibuktikan,

4. Di negara-negara common law, pelanggaran tersebut sebagai perbuatan ilegal yang merupakan bagian dari hukum merek, yaitu dengan memberikan penggambaran yang keliru pada masyarakat bahwa barang dan jasa tergugat adalah kompetitor, biasanya

5. Dengan menggunakan merek yang menyerupai (Mc. Carthy & Cannon, 2008: 309).

Passing off terkait erat dengan goodwill. Goodwill sering digunakan dalam arti yang

bersamaan dengan kata reputasi yaitu sebagai sesuatu yang melekat dalam merek. Goodwill diartikan sebagai “iktikad baik.” Goodwill juga diartikan suatu kebaikan yang bermanfaat dan bersifat menguntungkan dari nama baik, reputasi, dan keterkaitannya dengan dunia bisnis. Reputasi atau goodwill dalam dunia bisnis dipandang sebagai kunci sukses atau kegagalan dari sebuah perusahaan sehingga reputasi atau goodwill sangatlah penting bagi produsen karena meyakinkan pihak konsumen untuk membeli produknya (Kurniasih, 2008: 4).

Pada prinsipnya suatu tindakan dapat dikategorikan passing off, apabila memenuhi tiga elemen. Elemen pertama adanya reputasi yang terdapat pada pelaku usaha yaitu apabila seorang pelaku usaha memiliki reputasi bisnis yang baik di mata publik dan juga usahanya tersebut cukup dikenal oleh umum. Keadaan demikian dimanfaatkan oleh pesaing pelaku usaha. Elemen kedua, adanya misrepresentasi dalam hal ini terkenalnya merek yang dimiliki oleh pelaku usaha, apabila ada pelaku usaha lain mendompleng merek yang sama maka publik mudah terkecoh (misleading) atau terjadi kebingungan (confusion) dalam memilih produk yang diinginkan. Elemen yang ketiga, terdapat kerugian yang timbul akibat tindakan pendomplengan atau pemboncengan yang dilakukan oleh pengusaha dengan iktikad tidak baik menggunakan merek yang mirip atau serupa dengan merek yang telah dikenal sehingga terjadi kekeliruan memilih produk oleh publik (publik misleading) (Hidayati, 2011: 179-180).

Passing off (pemboncengan merek) sering terjadi pada persamaan unsur, garis, warna, dan desain kemasan pada suatu produk, dan dalam hal ini segala macam perlindungan segala unsur, garis, warna, dan desain kemasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang

jurnal Desember isi.indd 263 12/12/2014 3:53:09 PM

Page 69: cover jurnal Desember 2014.cdr

264 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 265

Desain Industri. Kondisi di masyarakat banyak sekali produk yang beredar mempunyai tingkat kemiripan antara satu dengan lainnya dari segi desain kemasan. Namun, yang dilindungi dalam kerangka Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2011 adalah etiketnya semata, sehingga perbuatan pemboncengan reputasi terhadap desain kemasan tidak termasuk pelanggaran menurut Undang-Undang Merek. Hal tersebut menimbulkan permasalahan pada praktiknya, seharusnya perlindungan bukan hanya dari segi etiket merek, tetapi harus menjadi satu kesatuan dengan desain kemasan produk.

ANALISISIV.

Dalam memori kasasinya pemohon kasasi (dahulu penggugat) sangat berkeberatan dengan putusan hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat karena judex facti sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa merek “OLYMPIC” atas nama termohon kasasi (dahulu tergugat) menyerupai nama lembaga internasional milik pemohon kasasi (dahulu penggugat) yaitu COMITE INTERNASIONAL OLYMPIQUE (OLYMPIC dalam bahasa Inggris). Objek pelanggaran atau passing off perkara adalah merek dagang yang dimiliki oleh pemegang merek dari luar negeri.

Menurut pertimbangan Mahkamah Agung terhadap memori kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi dan dihubungkan dengan pertimbangan judex facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sudah tepat dan benar serta tidak salah menerapkan hukum, dengan alasan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. 15 Tahun 2001 yaitu permohonan pendaftaran merek wajib ditolak apabila merek didaftarkan

mempunyai persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya dengan merek terkenal milik orang lain.

Persamaan merek pada keseluruhan apabila mempunyai persamaan dalam hal asal, sifat, cara pembuatan, dan tujuan pemakaiannya. Persamaan pada pokoknya meliputi persamaan bentuk, persamaan cara penempatan, persamaan bentuk, dan cara penempatan serta persamaan bunyi ucapan (Sudarmanto, 2012: 85). Persamaan pada pokoknya dianggap terwujud apabila merek tersebut memiliki kemiripan merek orang lain. Kemiripan tersebut didasarkan pada kemiripan persamaan gambar, mirip atau hampir sama susunan kata, warna atau bunyi, dan menyesatkan masyarakat konsumen (Marwiyah, 2010: 46). Kriteria persamaan merek tersebut sesuai dengan merek milik termohon kasasi dengan memakai merek “OLYMPIC” yang merupakan nama lembaga internasional milik pemohon kasasi.

Dalam amar putusan majelis hakim pada Mahkamah Agung No. 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014 yaitu menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi dengan mempertimbangkan bahwa penggugat dalam persidangan ternyata tidak dapat membuktikan dalilnya bahwa merek dagang “THE OLYMPIC;” “OLYMPIC;” dan ”LOGO” adalah merek yang dikenal (terkenal) sebagai merek dagang milik penggugat karena tidak satu pun dari bukti-bukti yang diajukan oleh penggugat yang sah dan kuat menunjukkan adanya kegiatan promosi gencar dan besar-besaran oleh penggugat. Putusan hakim agung tersebut kurang mencerminkan kepastian hukum di mana hakim tidak mempertimbangkan dasar yuridis selain Pasal 6 ayat (1) huruf b, serta kurang memahami makna, pengertian, dan ruang lingkup tentang merek terkenal (well-known marks). Putusan hakim tersebut secara tidak langsung memberi

jurnal Desember isi.indd 264 12/12/2014 3:53:09 PM

Page 70: cover jurnal Desember 2014.cdr

264 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 265

perlindungan bagi pembajak/pendompleng merek terkenal dan tidak melindungi pemilik merek sebenarnya.

Dalam perlindungan merek dikenal adanya teori pencemaran merek terkenal (dilution theory) (Marwiyah, 2010: 45). Teori tersebut tidak mensyaratkan adanya bukti telah terjadi kekeliruan dalam menilai sebuah pelanggaran merek terkenal. Perlindungan didasarkan pada nilai komersial atau nilai jual dari merek dengan cara melarang pemakaian yang dapat mencemarkan nilai eksklusif dari merek atau menodai daya tarik merek terkenal tersebut. Teori tersebut sesuai dengan kedudukan merek milik pemohon kasasi yang telah dicemarkan reputasinya oleh merek milik termohon kasasi.

Selain mempermasalahkan tentang keterkenalan merek milik pemohon kasasi, hakim hendaknya juga mempertimbangkan tindakan passing off dari termohon kasasi. Passing off dilakukan dalam rangka memanfaatkan reputasi baik merek milik orang lain yang sudah cukup dikenal masyarakat, adanya misrepresentasi dari konsumen sehingga mudah terkecoh dengan adanya merek milik termohon kasasi, dan adanya kerugian yang timbul akibat pebuatan passing off misalnya dengan penurunan pendapat yang diderita oleh pemohon kasasi yang disertai bukti fisik yang diajukan ke pengadilan.

Merek milik penggugat (pemohon kasasi) masuk dalam klasifikasi merek terkenal. Memperhatikan dari berbagai dasar hukum baik yang berlaku nasional maupun internasional dan penjelasan dari para ahli hukum bahwa kriteria suatu merek adalah merek terkenal apabila:

a. merek tersebut telah beredar batas-batas luar negara asal,

b. didaftarkan minimal di dua negara,

c. memperhatikan pengetahuan masyarakat yang didasarkan pada reputasi merek yang bersangkutan karena promosi oleh pemiliknya,

d. pemiliknya melakukan investasi di beberapa negara, terhadap merek tersebut telah lama dikenal,

e. dipakai di Indonesia.

Pada prinsipnya untuk menilai keterkenalan suatu merek belum ada kualifikasi baku yang mengatur khusus tentang hal tersebut. Apabila muncul kasus yang mempermasalahkan tentang merek terkenal sepenuhnya diserahkan kepada hakim dalam menilai dan mempertimbangkan merek tersebut sebagai merek terkenal.

Ditinjau dari segi hukum, suatu hasil karya atau produk hanya akan mempunyai arti bagi pemiliknya kalau tersedia sarana hukum untuk melindungi hasil karyanya terhadap perbuatan-perbuatan orang lain yang mencari keuntungan tidak sehat dalam perdagangan dengan cara meniru hasil karya orang lain. Manakala perlindungan hukum bagi pemilik merek belum terwujud, maka sulit untuk mengembangkan kegiatan perdagangan secara global dan penanaman modal, pada akhirnya memperburuk iklim investasi dan tujuan pembangunan nasional tidak tercapai. Dalam perkara merek yang melibatkan merek asing konsekuensinya sangat berat, dalam arti bahwa merek asing tidak mendapatkan perlindungan hukum sebagai pemegang merek terkenal yang akhirnya bisa menurunkan tingkat kepercayaan publik asing terhadap penegakan hukum kekayaan intelektual di Indonesia.

jurnal Desember isi.indd 265 12/12/2014 3:53:09 PM

Page 71: cover jurnal Desember 2014.cdr

266 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 267

Merujuk pada tindakan tergugat (termohon kasasi) dalam mendaftarkan merek miliknya dilandasi oleh praktik peniruan merek dagang, dilakukan dalam kerangka persaingan tidak jujur berwujud upaya penggunaan merek terkenal yang sudah ada sehingga merek milik tergugat (termohon kasasi) seakan-akan adalah produk terkenal tersebut. Hal demikian dapat menyesatkan masyarakat dan menimbulkan kerugian bagi produsen merek terkenal.

Permohonan kasasi dari pemohon (dahulu penggugat) mendalilkan pada merek yang digunakan termohon kasasi (dahulu tergugat) mempunyai persamaan pada pokoknya dan keseluruhannya dengan merek dagangnya sehingga termohon kasasi tidak mempunyai iktikad baik dalam mendaftarkan merek miliknya. Selain itu, dalam permohonan kasasi dari pemohon juga mendalilkan tentang pemboncengan merek (passing off) milik pemohon kasasi sebagai pemakai dan pemilik merek pertama kalinya dalam merek dagangnya. Tindakan passing off yang dilakukan termohon kasasi bertujuan memperoleh keuntungan besar tanpa harus mempromosikan mereknya sendiri dan akan merugikan pemohon kasasi. Sehingga pemohon kasasi mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran merek atas nama termohon kasasi.

Tindakan passing off sulit untuk dibuktikan, karena pemohon kasasi harus bisa menunjukkan reputasinya dari semua yang dimiliki, tentang hal yang tidak bisa didaftarkan, yang telah didaftarkan atau yang belum didaftarkan. Passing off harus ada goodwill (reputasi) yang melekat pada produk. Praktiknya passing off dilakukan terhadap produk yang belum terdaftar namun memiliki goodwill yang cukup melekat padanya. Pihak yang melakukan pendomplengan biasanya mengambil keuntungan ekonomis dengan persaingan curang.

Dalam perkara merek “OLYMPIC,” pihak pemohon kasasi bahkan sudah mendaftarkan merek miliknya di Indonesia, seharusnya hakim bisa mempertimbangkan nama baik/goodwill yang dimiliki oleh pemohon kasasi.

Persaingan merupakan bentuk perbuatan yang dapat menimbulkan keuntungan maupun kerugian. Persaingan jujur atau persaingan sehat merupakan bentuk persaingan yang dibenarkan oleh hukum yang dapat mendatangkan keuntungan tanpa merugikan pesaingnya. Dalam persaingan yang sehat dapat meningkatkan mutu dan kualitas produk dan akan menguntungkan konsumen. Perbuatan passing off oleh termohon kasasi tidak dapat digolongkan persaingan sehat karena perbuatan tersebut merugikan konsumen juga kompetitornya. Persaingan semacam itu disebut sebagai persaingan curang dan melawan hukum (onrechtmatige daad).

Pada prinsipnya merek harus didaftarkan dengan iktikad baik. Artinya bahwa jika seseorang mengajukan merek yang disadari bahwa merek tersebut sudah menjadi milik orang lain atau serupa dengan merek milik orang lain maka merek tersebut tidak dapat didaftarkan. Merek milik pemohon kasasi telah dikenal sebelum termohon kasasi mendaftarkan mereknya, dan bahkan telah didaftar di lima negara, sehingga pengajuan merek dari termohon kasasi patut diduga mendompleng merek milik orang lain. Dengan demikian sepatutnya pemohon kasasi bisa membuktikan bahwa dirinya dan perusahaan miliknya sudah menggunakan merek tersebut dan pendaftaran merek milik pihak lain dapat dibatalkan. Perbuatan termohon kasasi mendaftarkan merek milik orang lain tidak sesuai dengan etika intelektual yang telah diatur dalam undang-undang, kecuali jika ia terlebih dahulu izin dengan pemegang merek asli sehingga

jurnal Desember isi.indd 266 12/12/2014 3:53:09 PM

Page 72: cover jurnal Desember 2014.cdr

266 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 267

pemakaian mereknya menggunakan hak lisensi.

Pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung mempermasalahkan keterkenalan merek milik pemohon kasasi, menurut pendapat hakim tidak ada bukti bahwa pemohon kasasi melakukan promosi. Hakim dalam hal ini hanya memberi penafsiran sempit tentang pengertian merek terkenal dan spesifikasinya. Padahal, merek dianggap terkenal sekalipun belum digunakan dalam negara yang bersangkutan. Promosi secara besar-besaran bukan pertimbangan pokok terhadap keterkenalan merek. Pemohon kasasi tidak melakukan promosi besar-besaran, namun di sisi lain merek miliknya sudah terdaftar di lima negara dan sudah ada sejak puluhan tahun silam. Masyarakat sangat mengenal merek milik pemohon kasasi. Kehadiran merek milik termohon kasasi dapat menimbulkan kebingungan masyarakat dan menyebabkan kerugian bagi pemohon kasasi.

Untuk menetapkan suatu merek sebagai terkenal, pejabat yang berwenang (dalam hal ini hakim agung) harus memperhatikan semua keadaan (circumstances) yang dapat mendukung pengakuan suatu merek terkenal. Informasi-informasi tentang faktor-faktor yang dapat mendukung merek sebagai merek terkenal, termasuk dan tidak terbatas pada:

a. tingkat pengakuan, volume serta luasnya wilayah geografis penggunaan merek tersebut yang pada intinya didukung oleh banyaknya permohonan calon license, produsen, distributor, importir, penjual ritel, dan konsumen, hal mana merupakan bukti langsung adanya pengakuan dari pihak ketiga;

b. tingkat dikenalnya atau pengakuan atas merek tersebut di sektor yang relevan dalam

masyarakat, termasuk volume penjualan dan penetrasi dalam pasar yang mendukung unsur ketenarannya;

c. lama dan luas wilayah geografis promosi merek termasuk pengiklanan dan publikasi serta keikutsertaannya dalam eksebisi dan pameran, merek bisnis advertensi modern dapat terkenal dalam waktu singkat;

d. luas wilayah geografis dari registrasi dan/atau aplikasi registrasi merek dapat mengindikasikan penggunaan dan pengakuan merek misalnya upaya pemilik merek untuk meregistrasi hak miliknya di berbagai negara adalah indikasi dari reputasi merek;

e. Adanya tingkat pembeda yang nyata dari merek terkenal tersebut, terlihat dari sifat eksklusif dan kualitasnya barang dan merek;

f. Luasnya keberhasilan penggunaan hak merek tersebut, khususnya luas pengakuan atas merek yang bersangkutan didukung oleh sirkulasi merek dalam jaringan bisnis yang luas;

g. Tinggi nilai komersial merek tersebut (Komar, 2008: 455).

Hakim di pengadilan niaga dan hakim agung berpendapat bahwa merek terkenal harus memenuhi unsur terkenal dalam masyarakat Indonesia, merupakan suatu persyaratan sempit. Adakalanya suatu produk belum dikenal di Indonesia namun sudah dikenal di mancanegara, sehingga produsen mengimpor barang tersebut ke Indonesia dan mengusahakan pendaftarannya di Dirjen HKI. Langkah yang diambil pengusaha tersebut tepat dan merek miliknya masuk dalam

jurnal Desember isi.indd 267 12/12/2014 3:53:09 PM

Page 73: cover jurnal Desember 2014.cdr

268 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 269

klasifikasi terkenal meski baru masuk ke Indonesia.

Meskipun dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 telah mengatur tentang tolok ukur dalam menentukan merek terkenal, namun pengaturan mengenai hal tersebut masih akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum ada. Sehingga belum bisa digunakan hakim untuk membuat keputusan tentang tindakan passing off. Kondisi demikian menimbulkan keanekaragaman dalam membuat tafsiran mengenai kriteria merek terkenal, serta mengakibatkan inkonsistensi putusan hakim dalam menilai keterkenalan suatu merek. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum terutama kepada perusahaan-perusahaan besar yang memiliki hak atas merek terkenal. Kondisi demikian bisa jadi dimanfaatkan bagi pihak yang mempunyai iktikad tidak baik melakukan tindakan passing off, dan justru hakim memenangkan pemegang merek yang berasal dari pendomplengan.

Dalam kerangka pendaftaran merek sudah seyogianya terhadap merek yang mengandung unsur-unsur tertentu tidak dapat didaftarkan sebagaimana bunyi Pasal 5 Undang-Undang Merek. Unsur-unsur tertentu di sini dimaksudkan bahwa merek tersebut mempunyai kemiripan pada pokoknya sebagian atau keseluruhan dengan merek lain. Alasan demikian dapat diterima untuk memberikan perlindungan terhadap pemilik merek, perlindungan konsumen, dan perlindungan terhadap masyarakat dari upaya curang serta memberikan kepastian hukum khususnya di bidang kekayaan intelektual.

Pada prinsipnya, suatu merek yang didaftarkan tidak boleh mengakibatkan timbulnya kebingungan dan penyesatan (confusion/verwarring) dengan merek yang secara umum

telah terkenal dan dimiliki oleh pihak ketiga. Hal ini tidak saja berlaku untuk merek termasyhur atau “famous” tetapi juga bagi merek terkenal (well-known) di suatu negara (Komar, 2008: 454). Berdasarkan pada prinsip tersebut merek yang didaftarkan oleh termohon kasasi yang mirip dengan merek milik pemohon kasasi dapat menyesatkan masyarakat/konsumen untuk memilih produk.

Seharusnya hakim di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan hakim di Mahkamah Agung mempertimbangkan kriteria tentang passing off. Perbuatan termohon kasasi dalam kasus tersebut di atas mengindikasikan tindakan passing off dari merek milik pemohon kasasi. Passing off menyebabkan kebingungan dalam menggunakan merek dengan menyerupai merek terkenal pada barang dan atau jasa. Kebingungan yang dimaksud di sini adalah kesalahan perkiraan masyarakat bahwa asal barang dan atau jasa adalah sama atau perkiraan masyarakat tentang adanya suatu kesamaan afiliasi bisnis atau hubungan kontrak terhadap barang dan atau jasa. Dalam rangka membuktikan adanya passing off yang terpenting adalah kemungkinan kebingungan masyarakat. Oleh karena itu pemohon kasasi harus dapat menunjukkan alat bukti yang mengarah pada kebingungan masyarakat. Kebingungan tersebut akan membawa masyarakat untuk menyimpulkan bahwa termohon kasasi berhubungan dengan pemohon kasasi, agen, cabang dari bisnis pemohon kasasi. Dalam hal ini pemohon kasasi dapat melakukan upaya hukum peninjauan kembali atas putusan kasasi tersebut.

Memperhatikan posisi kasus dan putusan majelis hakim Mahkamah Agung Nomor 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014 serta dihubungkan dengan dasar hukum tentang merek baik nasional maupun

jurnal Desember isi.indd 268 12/12/2014 3:53:10 PM

Page 74: cover jurnal Desember 2014.cdr

268 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 269

internasional, dapat menimbulkan preseden buruk bagi penegakan hukum merek di Indonesia. Dikhawatirkan merek-merek terkenal milik asing tidak percaya dengan perlindungan hukum tentang kekayaan intelektual khususnya bidang merek di Indonesia, yang pada akhirnya menurunkan tingkat investasi di Indonesia. Putusan hakim agung tersebut menambah panjang daftar putusan yang tidak memberikan perlindungan hukum bagi pemegang merek terkenal.

Pertumbuhan perekonomian di Indonesia masih sangat tergantung dengan investasi asing, oleh karena itu diperlukan penegakan hukum di segala bidang. Khusus tentang kekayaan intelektual, Indonesia sangat terkenal sebagai negara dengan tingkat pembajakan tertinggi di dunia. Kondisi tersebut menimbulkan keprihatinan tersendiri, oleh karena itu pemerintah senantiasa mengupayakan penegakan hukum di bidang kekayaan intelektual. Perbuatan passing off merupakan salah satu bentuk pembajakan, komitmen dari penegak hukum Indonesia sangat penting dalam rangka mengembalikan kepercayaan dunia internasional terhadap perlindungan hukum pemilik merek terkenal. Hakim sebagai ujung tombak penegakan hukum sudah sepatutnya mempertimbangkan hal tersebut, tentunya tetap dengan mengedepankan prinsip keadilan dan kepatutan.

Hakim pada tingkat pertama di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan hakim di Mahkamah Agung dalam kasus ini tidak mempertimbangkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.03.HC.020.1 Tahun 1991, tentang penolakan permohonan pendaftaran merek terkenal atau merek yang mirip dengan merek terkenal milik orang lain. Peraturan ini merupakan penetapan prinsip Pasal 4 ayat (1) Konvensi Uni Paris mengenai Principle Right of Priority (hak

prioritas). Pasal 1 Keputusan Menteri Kehakiman ini menyebutkan bahwa merek terkenal adalah merek asing yang secara umum telah dikenal dan dipakai pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau badan baik di dalam maupun di luar wilayah Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kehakiman tersebut mempunyai penafsiran yang luas untuk mendefinisikan suatu merek sebagai merek terkenal, yaitu tidak hanya berdasarkan pada keterkenalan merek di wilayah Indonesia semata.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Paris dengan Keppres No. 15 Tahun 1997, memperhatikan hal tersebut seharusnya hakim memeriksa perkara pembatalan merek harus mengindahkan Pasal 6 bis Konvensi Paris, yaitu negara anggota harus menolak atau membatalkan pendaftaran dan melarang pemakaian dari merek yang merupakan reproduksi, imitasi atau terjemahan yang dapat menimbulkan kekeliruan atau kekacauan dari suatu merek yang dipandang di negara merek tersebut didaftar atau dipakai sebagai suatu merek terkenal dan merupakan merek orang lain untuk barang yang sama atau serupa. Ketentuan ini juga berlaku apabila bagian penting dari merek tersebut merupakan hasil gandaan dari merek terkenal atau hasil pemalsuan yang dapat menimbulkan kerancuan terhadap produk tersebut. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, produk dari termohon kasasi menimbulkan kekacauan atau kekeliruan merek karena mereknya serupa dengan milik orang lain, sehingga harus dibatalkan pendaftaran mereknya.

Pertimbangan-pertimbangan yang dipakai hakim dalam memeriksa perkara merek khususnya tentang passing off dan merek terkenal harusnya tidak hanya berpedoman pada dasar hukum undang-undang semata. Konvensi-konvensi

jurnal Desember isi.indd 269 12/12/2014 3:53:10 PM

Page 75: cover jurnal Desember 2014.cdr

270 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 271

internasional yang telah diratifikasi dalam hukum Indonesia, seluruh peraturan perundang-undangan, kebiasaan dalam masyarakat, yurisprudensi, pendapat ahli hukum seharusnya menjadi dasar yuridis hakim dalam memutuskan perkara, sehingga jangan sampai hakim salah dalam menerapkan hukum.

Hakim harus merepresentasikan hukum dalam ranah empiris serta melihat perilaku manusia sebagai hukum. Dengan demikian setidaknya pola berpikir dan konsep tentang hukum harus diubah tidak hanya sebagai peraturan tetapi juga perilaku, karena hukum muncul dalam bentuk perilaku. Kerangka berpikir hakim mengenai konsep keterkenalan merek harus diperluas, dalam arti merek terkenal tidak hanya terbatas terkenal di Indonesia saja juga harus terkenal di negara-negara lain. Pada umumnya hakim berpedoman pada first to file, sehingga merek terkenal di luar negeri kalah dalam persidangan.

Hakim sebagai pembuat keputusan, memegang peran sentral dan merupakan ujung tombak peradilan, serta satu komponen terpenting dalam proses pembaruan hukum. Oleh karena itu, hendaknya hakim dalam menjalankan profesinya mengedepankan integritas moral dalam mewujudkan keadilan. Hakim yang menyidangkan perkara-perkara yang bersifat ad hoc (khususnya dalam hal ini perkara merek) dapat meningkatkan pemahamannya secara komprehensif tentang ruang lingkup kekayaan intelektual terutama hak merek. Penguasaan terhadap materi, baik dalam undang-undang maupun secara teoritis, akan memperkecil munculnya putusan yang kontroversi tentang pemegang hak merek terkenal.

Putusan hakim yang dinilai kontroversi pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian

hukum dan pada akhirnya menimbulkan ketidakadilan di masyarakat. Keadaan demikian akan menyebabkan ketidakpercayaan publik kepada lembaga peradilan. Putusan majelis hakim Mahkamah Agung Nomor 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014 menghalalkan merek palsu dari pemegang merek yang mendompleng popularitas merek asli dan menggilas merek orisinil yang sudah sah pendaftarannya. Hakim diharapkan objektif dalam mempertimbangkan norma hukum yang ada dan fakta di persidangan secara komprehensif sehingga dapat menghasilkan putusan yang adil.

Bredemeir dalam Laporan Penelitian Putusan Pengadilan Tinggi (KYRI, 2011: 3) mengatakan bahwa “pasaran untuk keadilan yang dihasilkan oleh hukum menjadi sangat tidak menggembirakan.” Kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan secara khusus hakim semakin menurun. Apapun yang dilakukan oleh pengadilan sulit meyakinkan para pihak berselisih dan juga masyarakat, bahwa seluruh kepentingan mereka sesungguhnya telah dipertimbangkan dengan jujur dan penuh respek. Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum, dengan menghasilkan putusan yang progresif mengedepankan keadilan dan menegakkan norma hukum.

Setiap tahap dalam perjalanan hukum adalah putusan-putusan yang dibuat guna mencapai ideal hukum, baik putusan legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Hukum ideal adalah cerminan dari hukum progresif, memuat kandungan moral yang sangat kuat. Progresivisme tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral. Hukum selalu berada pada “law in the making,” peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik lokal, nasional maupun

jurnal Desember isi.indd 270 12/12/2014 3:53:10 PM

Page 76: cover jurnal Desember 2014.cdr

270 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Passing Off dalam Pendaftaran Merek (Mieke Yustia Ayu Ratna Sari) | 271

global (Rahardjo, 2009: 18-19). Dalam rangka mewujudkan hukum progresif yang berkeadilan dan bermartabat, maka putusan hakim hendaknya keluar dari “tradisi konvensional” tidak hanya mempertimbangkan aspek normatif namun merefleksikan konsep dasar “keadilan di atas peraturan.” Apabila dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014, maka sangat jauh dari hukum yang dicita-citakan. Putusan tersebut merefleksikan hukum normatif, tanpa mempertimbangkan aspek lain selain dari keterkenalan produk, hal yang paling penting justru dikesampingkan yaitu masalah pendomplengan merek termohon kasasi serta iktikad tidak baik dalam pendaftaran merek.

SIMPULANV.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014 menerapkan Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dalam amar putusan menyatakan menolak gugatan pemohon kasasi, dengan pertimbangan bahwa pemohon kasasi tidak dapat membuktikan dalilnya sebagai merek terkenal dengan adanya kegiatan promosi gencar dan besar-besaran penggunaan merek tersebut.

Dalam hal ini hakim hanya menyoroti perkara tersebut dari segi terkenal atau tidaknya suatu merek dan tidak mempertimbangkan perbuatan passing off/pendomplengan yang dilakukan termohon kasasi. Putusan tersebut tidak mencerminkan perlindungan hukum bagi pemegang merek terkenal. Perlindungan hukum sangat penting dilakukan dalam rangka menekan kasus pelanggaran merek.

Mengenai kriteria merek terkenal sudah diatur dalam Undang-Undang Merek khususnya

dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) namun tidak secara eksplisit. Meskipun kriteria khusus tentang merek terkenal belum ada, namun setidaknya dalam beberapa ketentuan tentang merek terkenal baik dalam peraturan hukum nasional maupun dalam konvensi internasional serta pendapat para ahli hukum sudah banyak yang membahas tentang merek terkenal. Merek milik pemohon kasasi sudah didaftarkan di lima negara, merek tersebut berasal dari nama lembaga internasional milik pemohon kasasi Comite Internasional Olympique yang didirikan sejak tahun 1894 sebagai penyelenggara Olimpiade.

Seharusnya hakim mempertimbangkan kedua hal tersebut, karena merek milik pemohon kasasi sudah dapat dikualifikasi sebagai merek terkenal dan perbuatan termohon kasasi sebagai tindakan passing off. Sejak dilakukan pendaftaran sudah ada iktikad tidak baik untuk mendapatkan keuntungan dari pendomplengan merek milik pemohon kasasi. Putusan hakim mengakibatkan termohon kasasi tetap berhak sebagai pemegang hak merek “OLYMPIC,” sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum merek.

Perlindungan hukum bagi pemilik merek belum tercermin dalam Putusan Nomor 224 K/Pdt.Sus-HKI/2014. Perkara passing off antara Comite Internasional Olympique sebagai pemilik resmi merek “OLYMPIC” justru dikalahkan dari merek yang sama milik termohon kasasi. Perbuatan passing off oleh termohon kasasi sangat nyata terlihat dari nama merek yang digunakan, yaitu membonceng ketenaran merek milik pemohon kasasi secara melawan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi pemilik merek yang sesungguhnya terhadap reputasi perusahaan. Perangkat hukum yang tersedia masih memungkinkan untuk dilakukan berbagai interpretasi oleh hakim, pada akhirnya upaya

jurnal Desember isi.indd 271 12/12/2014 3:53:10 PM

Page 77: cover jurnal Desember 2014.cdr

272 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 273

untuk mewujudkan perlindungan hukum bagi pemegang merek terkenal belum dapat dilakukan secara maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Djumhana, Muhammad & R. Djubaedillah. 2003. Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Firmansyah, Hery. 2011. Perlindungan Hukum Terhadap Merek. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Hidayati, Nur. 2011. Perlindungan Hukum Pada Merek yang Terdaftar. Ragam. Jurnal Pengembangan Humaniora, Vol. 11/No. 3 Desember. Politeknik Negeri Semarang.

Komar, Mieke. 2008. Bedah Kasus Sengketa Merek Terkenal dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Refleksi Dinamika Hukum: Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir. Jakarta: Perum Percetakan Negara RI.

Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2011. Penerapan dan Penemuan Hukum dalam Putusan Hakim. Laporan Penelitian Putusan Pengadilan Tinggi. Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia.

Kotler, Philip. 2000. Manajemen Pemasaran. Edisi Millenium. Jakarta: Prehallindo.

Kurniasih, Dwi Agustine. 2008. Perlindungan Hukum Pemilik Merek Terdaftar dari Perbuatan Passing Off (Pemboncengan Reputasi). Media HKI Buletin Informasi dan Keragaman HKI, Vol. V/No. 6 Desember.

Mamahit, Jisia. 2013. Perlindungan Hukum Atas

Merek dalam Perdagangan Barang dan Jasa. Lex Privatum, Vol. 1/No. 3 Juli. Manado: Universitas Sam Ratulangi Manado.

Margono, Suyud & Amir Angkasa. 2002. Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Widyasarana Indonesia.

Marwiyah, Siti. 2010. Perlindungan Hukum Atas Merek Terkenal. Jurnal Syariah dan Hukum De Jure, Vol. 2/No. 1 Juni. Jurnal Hukum Universitas Islam Negeri Malang.

Mc. Carthy, J. Thomas & Pereault Cannon. 2008. Manajemen Pemasaran. Jakarta: Salemba Empat.

Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.

Saidin, OK. 2007. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Jakarta: Rajagrafindo.

Sudarmanto. 2012. KI dan HKI Serta Implementasinya Bagi Indonesia. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Susilowati, Etty. 2010. Perlindungan Hukum Atas Merek. Bunga Rampai Hak Kekayaan Intelektual. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Tjiptono, Fandy. 2001. Strategi Pemasaran. Edisi Kedua. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Andi Offset.

Umar, Ahmad Zen. 2005. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIP’s. Bandung: Alumni.

Wahyuni, Erma, et.al. 2006. Kebijakan dan Manajemen Hukum Merek. Yogyakarta: Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI).

jurnal Desember isi.indd 272 12/12/2014 3:53:10 PM

Page 78: cover jurnal Desember 2014.cdr

272 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 255 - 272 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 273

ABSTRAK

Hakim di dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara memiliki peran yang sangat sentral untuk menegakkan hukum dan keadilan. Agar itu bisa tercapai maka hakim tersebut harus memiliki kapasitas yang memadai dan harus selalu cermat ketika menangani sebuah perkara. Akan tetapi, hal tersebut tidak kita temukan di dalam penanganan kasus kapas transgenik oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Pada kasus itu majelis hakim tidak cermat dalam menganalisis tindakan tergugat yang menerbitkan izin tanpa memperhatikan aman atau tidaknya kapas transgenik sebagai produk GMos. Selain itu, hakim juga tidak cermat dalam melihat pelanggaran penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan pengkajian risiko (risk assessment) dalam pelepasan organisme transgenik. Ketidakcermatan tersebut terjadi karena hakim tidak menelusuri penerbitan izin penggunaan organisme transgenik oleh tergugat selaku Menteri Pertanian melalui SK Nomor 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B Sebagai Varietas Unggul dengan Nama NuCOTN 35B (Bollgard), kepada tergugat II intervensi I.

Kata kunci: ketidakcermatan hakim, organisme transgenik, prinsip kehati-hatian, hak gugat.

ABSTRACT

The role of judges in analyzing and deciding a case is of a great significance in the framework of law enforcement and justice. It means that judge must be highly qualified in handling a case. However, this is not reflected in the judge’s conduct when deciding the case of transgenic cotton in the Jakarta Administrative Court. In this case, the judges did not scrupulously analyze the defendant’s actions to issue the license regardless of the safety of transgenic cotton as a GMos product. In addition, the judges are also negligent in scrutinizing the violations of the precautionary principles and risk assessment in the release of genetically modified organisms. This happened because the judges did not discover any further information on the issuance of licenses of using of the genetically modified organisms by the defendant, occupying as Minister of Agriculture, through Decree Number 107/Kpts/KB.430/2/2001 on Limited Release of Transgenic Cotton Bt DP 5690B as Quality Seed Named NuCOTN 35B (Bollgard), to the defendant II intervention I.

Keywords: negligent judges, genetically modified organisms, precautionary principle, the right to sue.

KETIDAKCERMATAN DALAM PERTIMBANGANPUTUSAN KASUS KAPAS TRANSGENIK

Kajian Putusan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT

INACCURATE LEGAL CONSIDERATIONON THE CASE OF TRANSGENIC COTTON

Loura HardjalokaKantor Hukum Bahar & Partners

Jl. DR. Ide Anak Agung Gde Agung Blok 6.2 Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan 12950

E-mail: [email protected]/[email protected]

An Analysis of Decision Number 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT

Naskah diterima: 21 Juni 2014; revisi: 6 Agustus 2014; disetujui: 8 Agustus 2014

jurnal Desember isi.indd 273 12/12/2014 3:53:10 PM

Page 79: cover jurnal Desember 2014.cdr

274 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 275

PENDAHULUANI.

Pada tulisan ini, penulis mengangkat mengenai ketidakcermatan hakim mengenai kasus kapas transgenik yang terjadi dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT yang mana para penggugat antara lain: ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), KONPHALINDO (Yayasan Konsorsium Nasional Untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia), Yayasan Biodinamika Pertanian Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan, Yayasan Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat melawan Menteri Pertanian RI sebagai tergugat dan PT. MK (tergugat II intervensi I) serta para petani dan PNS (para tergugat II intervensi II).

Dalam kasus ini, ketidakcermatan hakim dalam menjatuhkan putusan terlihat saat hakim tidak menelusuri penerbitan izin penggunaan organisme transgenik oleh tergugat selaku Menteri Pertanian melalui SK Nomor 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B Sebagai Varietas Unggul dengan nama NuCOTN 35B (Bollgard) kepada tergugat II intervensi I. Padahal, dalam menjatuhkan putusan hakim memiliki peran penting untuk menelusuri alur penerbitan izin oleh tergugat yang mana sebenarnya tergugat menerbitkan izin tanpa mengetahui aman tidaknya produk organisme transgenik serta tanpa AMDAL terlebih dahulu.

Ketidakcermatan hakim atas hal tersebut juga menunjukkan bahwa hakim tidak cermat melihat bahwa tindakan yang dilakukan tergugat masih lebih mengarah ke prinsip pencegahan dan belum mencerminkan prinsip kehati-hatian. Padahal, pada kasus kapas transgenik ini terdapat

unsur ketidakpastian ilmiah dan ancaman serius berupa risiko bagi lingkungan hidup yang tidak dapat diperkirakan. Ketidakcermatan hakim terhadap kedua hal tersebut ditambah lagi dengan pertimbangan hukumnya terkait terhadap hak gugat dari para penggugat. Berkenaan dengan hak gugat penggugat, hakim kurang tepat dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai ius standi dan persona standi in judicio dari organisasi lingkungan hidup sebagai penggugat.

Berdasarkan penjabaran di atas, penting untuk mengetahui lebih lanjut mengenai aman tidaknya produk GMOs, penerapan prinsip kehati-hatian dan pengkajian risiko terhadap GMOs serta hak gugat terkait kasus lingkungan hidup sebagaimana akan menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini sebagai letak ketidakcermatan hakim dalam memutuskan kasus ini.

Dalam gugatannya, para penggugat antara lain mendalilkan bahwa pelepasan izin bagi produk transgenik tanpa melalui proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) akan mengganggu optimalisasi upaya penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) pada usaha atau kegiatan yang berkaitan dengan produk transgenik, pengelolaan, dan pelestarian lingkungan, perlindungan keanekaragaman hayati, perlindungan konsumen dan sebagainya, yang dapat mengakibatkan menurunnya partisipasi masyarakat dan kemampuan pemerintah untuk melindungi keanekaragaman hayati serta daya dukung lingkungan.

Alasan pengajuan gugatan adalah sebagai berikut:

1. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan tergugat bertentangan dengan ketentuan mengenai AMDAL dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 dan PP

jurnal Desember isi.indd 274 12/12/2014 3:53:10 PM

Page 80: cover jurnal Desember 2014.cdr

274 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 275

Nomor 27 Tahun 1997. Pelepasan kapas transgenik ”Bollgard” tersebut termasuk dalam ”usaha dan/atau kegiatan introduksi jenis tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik” yang dapat menimbulkan kerugian terhadap lingkungan hidup harus didahului dengan proses AMDAL akan tetapi hal tersebut tidak dilakukan. Oleh karena itu, SK ini melanggar undang-undang. Selain itu terdapat perbedaan pendapat antara lembaga pemerintah dan masyarakat mengenai perlu tidaknya pelepasan kapas transgenik yang mana menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor Kep-39/MENLH/08/1996, bila ada keragu-raguan seharusnya meminta kepastian penetapan wajib AMDAL pada Menteri Negara Lingkungan Hidup secara tertulis, namun kenyataannya tergugat tidak melakukan hal tersebut.

2. Tergugat setelah mempertimbangkan semua kepentingan seharusnya tidak sampai pada keputusan a quo (Pasal 53 ayat (2) huruf c UU PTUN) atau tindakan tergugat mengandung unsur sewenang-wenang (willekeur). Hal ini disebabkan SK tidak mempertimbangkan isi dari United Nations Convention on Biological Diversity yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 5 Tahun 1994 mengenai penerapan precautionary principle dan Cartagena Protocol on Biosafety terkait kegiatan/usaha yang berkaitan dengan produk transgenik dilakukan dengan cara yang aman bagi lingkungan maupun kegiatan manusia. SK ini dianggap menyimpang dari visi pemerintah Indonesia untuk mengadopsi precautionary principle dalam penanganan produk transgenik, oleh karenanya dianggap

mengandung unsur sewenang-wenang.

3. Tergugat telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain (Pasal 53 ayat (2) huruf b UU PTUN) atau tindakan tergugat mengandung unsur penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) karena pelepasan produk transgenik itu tidak mencerminkan prinsip kehati-hatian.

4. Tergugat setelah mempertimbangkan semua kepentingan seharusnya tidak sampai pada keputusan a quo (Pasal 53 ayat (2) huruf c UU PTUN) atau tindakan tergugat mengandung unsur sewenang-wenang (willekeur). SK tersebut dikeluarkan dengan tidak mempertimbangkan saran mengenai perlunya pelaksanaan AMDAL dari Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal, Convention on Biological Diversity, Cartagena Protocol on Biosafety, serta usulan dari DPRD Sulawesi Selatan sebagai wakil rakyat.

5. Tindakan tergugat pada proses pembentukan surat keputusan a quo bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, yaitu asas fair play (kejujuran). Tergugat dianggap selalu menutup informasi yang sebenarnya mengenai pelepasan kapas transgenik dan uji keamanan hayati kapas transgenik Bt.

6. SK tersebut dikeluarkan dengan tidak mempertimbangkan pelanggaran yang dilakukan oleh PT. MK sebagai pihak pengusul dalam pelepasan kapas Bt, yaitu tidak melakukan AMDAL.

Berdasarkan dalil gugatan para penggugat, dalam pertimbangan hakim, hakim menyatakan sebagai berikut:

jurnal Desember isi.indd 275 12/12/2014 3:53:10 PM

Page 81: cover jurnal Desember 2014.cdr

276 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 277

1. Objek gugatan: SK Nomor 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B Sebagai Varietas Unggul dengan nama NuCOTN 35B (Bollgard).

2. Gugatan terdaftar tanggal 4 Mei 2001 yang berarti belum melebihi jangka waktu 90 hari masa tenggang.

3. Terdapat putusan sela hakim yang mendudukkan PT. MK sebagai pihak tergugat II intervensi I serta S dkk sebagai para tergugat II intervensi II.

DALAM EKSEPSI

1. Menimbang tentang eksepsi kualitas mengajukan gugatan (ius standi):

a. Pasal 53 ayat (1) UU PTUN sesuai dengan asas point d’ interet point d’ action.

b. Prof. Dr. Paulus Effendie Lotulung, S.H., yang membagi kepentingan menjadi kepentingan umum dan kepentingan kolektif contohnya kepentingan organisasi lingkungan hidup dalam kasus ini.

c. Indroharto, S.H. dalam bukunya yang berjudul Usaha Memahami UU PTUN memuat perihal kepentingan yang dijadikan dasar gugatan harus sesuai dengan tujuan yang diperjuangkan sesuai yang tercantum di dalam AD/ART.

d. Menimbang kepada AD/ART para tergugat.

e. Menurut Prof. Dr. Paulus Effendie Lotulung, S.H., bahwa legal standing

dikatakan juga sebagai actio popularis yang sejalan dengan apa yang dikatakan Rene Van Acht perihal hak subjektif yang diberikan tiap orang atas lingkungan yang bersih.

f. Perihal hak gugat LSM yang diatur di dalam Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997.

g. Kewajiban memelihara lingkungan hidup yang diatur di dalam Pasal 6 UU Nomor 23 Tahun 1997.

h. Pendapat dari Mas Achmad Santosa dkk perihal perbedaan antara hak gugat organisasi lingkungan hidup.

Berdasarkan pertimbangan poin a-h, maka para penggugat dianggap memiliki persona standi in juditio.

2. Eksepsi mengenai salah alamat dianggap keliru:

a. Perihal salah pihak diterbitkan SK yang menjadi objek gugatan memang diterbitkan oleh pejabat TUN yang berwenang dalam hal ini adalah para penggugat merujuk pada Pasal 1 butir 6 UU PTUN.

b. Perihal ketentuan dalam Pasal 6 UU PTUN.

3. Perihal gugatan yang bersifat individual dan final merujuk pada Pasal 1 butir 3 UU PTUN. Hakim hanya mempertimbangkan sifat final dari SK yang artinya bisa langsung dilaksanakan begitu terbit.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari poin 1-3, maka eksepsi ditolak dalam pokok perkara. Perihal gugatan para penggugat agar SK

jurnal Desember isi.indd 276 12/12/2014 3:53:11 PM

Page 82: cover jurnal Desember 2014.cdr

276 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 277

dinyatakan batal disertai alasan dari penggugat.

DALAM POKOK PERKARA

1. PTUN hanya menilai keabsahan hukum dari KTUN.

2. Perihal keharusan KTUN yang digugat apakah harus AMDAL atau tidak:

a. Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 27 Tahun 1999: AMDAL adalah bagian dari proses perizinan usaha.

b. Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1999: Usaha atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar.

c. Penjelasan Pasal 3 PP Nomor 27 Tahun 1999 perihal potensi dampak besar yang ditimbulkan, dikaji apakah SK tersebut bagian dari proses perizinan yang menimbulkan dampak besar atau tidak.

d. SK berisi tindakan berdasarkan kewenangan. Jadi, SK merupakan norma hukum konkret dan individual.

e. Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 27 Tahun 1999 mengenai usaha wajib AMDAL ditetapkan oleh menteri, jadi tidak serta-merta usaha yang berdampak besar harus wajib AMDAL.

f. Pihak yang berwenang menetapkan adalah Menteri Lingkungan Hidup merujuk pada Pasal 1 butir 12 jo. Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1999.

g. Lampiran Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 39/MenLH/08/1996.

h. Jika ada keraguan, maka instansi tersebut wajib meminta kepastian AMDAL kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup.

i. Surat Menteri Lingkungan Hidup Nomor B.1882/MenLH/09/2000 bahwa diwajibkan AMDAL sama seperti pendapat saksi ahli penggugat.

j. Diputuskan untuk dilakukan masa uji coba selama satu tahun bila memang berdampak negatif baru diwajibkan AMDAL. Jadi, SK yang menjadi objek gugatan tidak bertentangan dengan AMDAL.

3. Perihal fakta tindakan tergugat:

a. Melakukan pengumuman kepada masyarakat sebelum KTUN in litis diterbitkan.

b. Memenuhi ketentuan SKB Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Holtikultura tanggal 29 September 1999.

c. Memperhatikan Rekomendasi Tim Penilai dan Pelepas Varietas (TP2V).

d. Pelaksanaan uji laboratorium dan uji daya hasil/uji adaptasi.

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini dengan mencermati pertimbangan hakim dan juga putusan hakim yang kurang cermat adalah sebagai berikut:

jurnal Desember isi.indd 277 12/12/2014 3:53:11 PM

Page 83: cover jurnal Desember 2014.cdr

278 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 279

1. Bagaimanakah ketidakcermatan hakim dalam menganalisis tindakan tergugat yang menerbitkan izin tanpa memperhatikan aman atau tidaknya organisme transgenik (Genetically Modified Organisms)?

2. Bagaimana ketidakcermatan hakim dalam melihat pelanggaran penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan pengkajian risiko (risk assessment) dalam pelepasan organisme transgenik (Genetically Modified Organisms) oleh tergugat?

3. Bagaimana kekeliruan serta ketidaktepatan hakim terhadap hak gugat dalam kasus pelepasan organisme transgenik (Genetically Modified Organisms)?

STUDI PUSTAKAIII.

A. Produk GMOs

Secara umum, pelepasan Genetically Modified Organisms (GMOs) ke lingkungan memang sulit untuk diprediksi mengenai risiko dan dampak jangka panjangnya terhadap lingkungan. Sejak pertama kali penciptaannya yakni pada awal tahun 1970-an hingga sekarang, GMOs telah memunculkan perdebatan mengenai risiko yang akan timbul daripadanya. Pada awalnya memang penciptaan GMOs yang menghasilkan zat berupa toksin Bt ialah untuk mengatasi masalah penggunaan pestisida oleh petani terhadap tanaman yang diusahakannya sehingga hasil panen dapat meningkat. Dengan begitu, kebutuhan manusia yang populasinya semakin bertambah banyak dapat terpenuhi (Lee, 2009: 27).

Akan tetapi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penciptaan GMOs ini sudah

memunculkan perdebatan sejak awal, yang diawali pada tahun 1982 yang mana US Environmental Protection Agency (EPA) dan The Oak Ridge National Laboratory mengemukakan mengenai risiko dari transgenik. Hal tersebut juga dibahas dalam pertemuan para ahli ekologi dan biologi di The Cold Springs Harbor Laboratories yang mendiskusikan mengenai risiko terhadap lingkungan hidup pada tahun 1984.

Perdebatan pertama pada tahun 1980-an berfokus pada dua isu, yaitu apakah ada risiko lingkungan potensial dari organisme transgenik yang layak dinilai dan jika ada, seberapa umum atau spesifik (kasuistis) penilaian tersebut seharusnya dilakukan. Sharples dan Gillett menyimpulkan bahwa untuk setiap tipe organisme transgenik yang dipertimbangkan, ada risiko lingkungan potensial (Sharples, 1982: 43-56). Seralini menyatakan bahwa setiap argumen yang diakui menunjukkan bahwa tidak ada risiko lingkungan substantif dari organisme transgenik, adalah cacat secara logika (Seralini et.al., 2012: 1823-1826). Oleh karena itu, pada pertengahan 1980-an telah jelas bahwa terdapat risiko lingkungan potensial dari tanaman transgenik yang membutuhkan penilaian.

Hasil penelitian juga mengimplikasikan bahwa penilaian risiko seharusnya dilakukan dengan landasan kasuistis (case-by-case basis). National Research Council (NRC), komite ilmiah dari US National Academy of Sciences, menyimpulkan bahwa penilaian risiko yang spesifik untuk per kasus perlu mempertimbangkan sumber daya dan target lingkungan, karakteristik biologis dan ekologis dari organisme transgenik, dan skala serta frekuensi pengenalan lingkungan (Khan, 2011: 199-213). Harapan dari ide ini adalah organisme transgenik sudah siap diklasifikasikan ke berbagai jumlah kecil kategori risiko yang

jurnal Desember isi.indd 278 12/12/2014 3:53:11 PM

Page 84: cover jurnal Desember 2014.cdr

278 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 279

mana setiap kategori memiliki asosiasi dengan praktik manajemen risiko yang tetap dan pre-specified yang mampu mengurangi risiko level yang cocok (Seralini et.al., 2012: 1823-1826). Pada kenyataannya, klasifikasi organisme transgenik ke berbagai jumlah kecil kategori risiko tidak realistis sehingga menurut Ecological Society of America, penilaian risiko lingkungan dari tanaman transgenik tetap diperlukan dan harus dilakukan dengan landasan kasuistis (case-by-case basis).

Implikasi-implikasi dari penciptaan GMOs yang menyebar pada suatu ekosistem yang pada dasarnya bukan habitatnya, secara tidak langsung dapat menyebabkan degradasi atas fungsi dan struktur ekosistem asli tersebut (Boskovic et.al., 2010: 95). Pelepasan produk GMOs juga dapat mengakibatkan timbulnya ledakan populasi spesies yang tidak diharapkan sebelumnya karena perkembangan signifikan dari spesies tersebut telah dikategorikan sebagai salah satu dari tiga masalah utama lingkungan, selain dari perubahan iklim global dan musnahnya habitat.

Kandungan toksin Bt juga mempunyai implikasi terhadap ekosistem tanah dari tanaman transgenik itu ditanam, yakni berupa penurunan gas karbon dan nitrogen yang dapat merusak kesuburan tanah serta penurunan keanekaragaman hayati di bawah tanah. Selain itu, kandungan zat toksin Bt yang ada di GMOs pun secara cepat mengikat partikel-partikel dalam tanah dan menyebabkan ekosistem spesies non-target ikut rusak bahkan mati (Bahagiawati, 2001: 58-59).

Sebelum tahun 1997, kebanyakan penelitian ditujukan pada risiko terhadap spesies yang bukan sasaran dan tidak ada efek apapun dari tanaman transgenik terhadap keanekaragaman hayati, hanya satu penelitian yang menunjukkan

kemungkinan bertahan dari suatu spesies yang bukan sasaran, yaitu Folsomia Candida yang diberi makan jagung dengan konsentrasi Bt yang tinggi (Herman, 2001: 1-13). Meskipun demikian, kebanyakan peneliti dan ilmuwan percaya bahwa spesies yang bukan sasaran tidak terkena risiko signifikan dari tanaman transgenik (OECD, 2013: 25).

Kemudian, penelitian pun dilakukan kembali oleh Zwahlen pada 2003 terhadap cacing bumi/Lumbricus Terrestris L menunjukkan bahwa setelah 200 hari diberi makan jagung Bt, cacing bumi akan mengalami turun berat yang signifikan, dibandingkan dengan cacing bumi yang tidak diberi makan jagung Bt (Hilbeck et.al., 2011: 1200-1222). Penelitian yang dilakukan seputar penggunaan Bt atau tanaman transgenik pun banyak dilakukan, hingga sampai pada kesimpulan bahwa terdapat kebutuhan signifikan untuk mengembangkan dan meningkatkan metodologi pengkajian risiko yang telah ada untuk membuat lebih jelas pengkajian risiko potensial terhadap spesies yang bukan sasaran (Miao et.al., 2011: 743-748).

Implikasi lain dari penciptaan GMOs adalah terjadinya perpindahan gen (hibridisasi). Perpindahan gen ini dapat terjadi, antara lain dari (Hilbeck et.al., 2011: 1223-1225):

1. Penyebaran benih dan propagul;

2. Transfer horizontal; dan

3. Penyebaran serbuk sari (pollen dispersal).

Pada akhir tahun 1980-an dipercaya bahwa risiko perpindahan gen tidak akan signifikan terhadap tanaman transgenik namun, pada tahun 1997 disimpulkan dari berbagai penelitian bahwa perpindahan gen melalui penyebaran benih

jurnal Desember isi.indd 279 12/12/2014 3:53:11 PM

Page 85: cover jurnal Desember 2014.cdr

280 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 281

dan serbuk sari dari tanaman signifikan secara evolusioner dan di mana-mana (ubiquitous and evolutionary significant) bagi populasi tanaman di seluruh dunia (Oliver et.al., 2013: 43).

Intinya, pada tahun 1980-an pendapat yang berkembang adalah bahwa tidak ada bahaya atau risiko signifikan dari tanaman transgenik terhadap spesies yang bukan sasaran dan juga bagi organisme lainnya, namun pada akhir tahun 1990-an ditemukan bahwa terdapat risiko yang signifikan dari penggunaan tanaman transgenik pada organisme bawah tanah dan juga spesies yang bukan sasaran, seperti cacing bumi dan lain sebagainya (OECD, 2013: 26). Penelitian dan penilaian yang harus dilakukan tidaklah secara umum, melainkan harus berlandaskan pada setiap kasus (case-by-case basis) atau landasan kasuistis karena pengaruh dari masing-masing penggunaan tanaman transgenik berbeda-beda (Koch, 2010: 855).

B. Prinsip Kehati-hatian (Precautionary Principle) dan Pengkajian Risiko (Risk Assesment)

1. Prinsip Kehati-hatian (Precautionary Principle)

Prinsip kehati-hatian merupakan “The Golden Rule” yang dianut dalam hukum lingkungan. Prinsip ini pertama kali muncul di Jerman pada awal 1980-an, dalam konteks perdebatan ekologi yang terjadi di sana. Penggunaan prinsip kehati-hatian sebagai paradigma meningkat jumlahnya dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik nasional maupun internasional, untuk melindungi lingkungan dari dampak antropogenik. Prinsip kehati-hatian ini merupakan pendekatan yang berfungsi untuk menangani permasalahan atas keterbatasan bukti ilmiah sebagai usaha dalam

melindungi lingkungan. Prinsip kehati-hatian ini mendapatkan definisinya pada tahun 1992 dalam Pasal 3 Deklarasi Rio 1992 yakni, “Dalam rangka untuk melindungi lingkungan, pendekatan kehati-hatian harus diterapkan secara luas oleh negara-negara sesuai dengan kemampuan mereka. Di mana adanya ancaman atau kerugian yang tidak dapat dipulihkan, kurangnya kepastian bukti ilmiah yang memadai, tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menunda tindakan efektif untuk mencegah degradasi lingkungan.” Dari pengertian prinsip kehati-hatian, terdapat tiga elemen penting untuk penerapannya, yaitu ancaman kerusakan (threats of harm), ketidakpastian ilmiah (scientific uncertainty), dan tindakan pencegahan (precautionary action).

Jadi, ukuran kapan harus diterapkan prinsip kehati-hatian ini adalah apabila terdapat kombinasi antara ancaman kerusakan dengan ketidakpastian ilmiah (Cooney & Dickson, 2012: 45-46). Pada tahun 1996, Gray dan Bewers mengusulkan pendefinisian kembali terhadap prinsip kehati-hatian namun penerimaan atas usulan tersebut akan mengakibatkan penggunaan pendekatan berbasis risiko untuk perlindungan lingkungan daripada pendekatan kehati-hatian yang sesungguhnya (Gray & Bewers, 1996: 768-771). Masih ada kesenjangan besar dalam pemahaman terhadap wujud racun yang dihasilkan ke lingkungan dan juga sifat racun yang bersifat individu atau gabungan kimia yang dihasilkan ke lingkungan.

Cara yang paling tepat untuk menentukan dampak terhadap ekosistem pun belum teridentifikasi. Asumsi toksikologi klasik yang diterapkan juga tidak bisa lagi diterapkan secara universal. Akibatnya, timbullah ketidakpastian yang tidak terpecahkan. Dengan demikian, jelaslah bahwa aplikasi prinsip kehati-hatian

jurnal Desember isi.indd 280 12/12/2014 3:53:11 PM

Page 86: cover jurnal Desember 2014.cdr

280 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 281

sebagai paradigma untuk sarana mengenali dan menghitung keterbatasan bukti ilmiah adalah pendekatan yang mampu menjamin perlindungan lingkungan pada level yang tinggi.

Harremoes mengemukakan bahwa konsep prinsip kehati-hatian seharusnya tidak hanya mencakup masalah kimia tetapi sebaiknya hingga mencakup dampak fisik (Harremoes et.al., 2013: 58-60). Sering terjadi bahwa data-data yang ada tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk mengambil keputusan dikarenakan data-data tersebut masih dianggap kurang. Dengan prinsip kehati-hatian, diharapkan data-data yang belum lengkap masih dapat diperhitungkan khususnya dalam menangani kasus lingkungan, sehingga memungkinkan pengambilan keputusan apabila diperlukan.

Berdasarkan MINDNEC 1987, pada intinya menyatakan prinsip melindungi Laut Utara, yaitu dengan mengurangi emisi yang ada (pencemaran zat-zat beracun yang muncul) serta bertanggung jawab atas penggunaan teknologi (MINDNEC, 1987: 2). Konsep tersebut diterapkan terutama saat munculnya kerusakan dikarenakan zat-zat yang pada kenyataannya tidak dapat dibuktikan hubungan kausalitas antara zat dengan kerusakan tersebut. Deklarasi MINDNEC tidak hanya mendefinisikannya akan tetapi memasukkan prinsip kehati-hatian ke dalam regulasi. Prinsip awal dirumuskan dan dimasukkan ke dalam peraturan sehingga memungkinkan peraturan menyelesaikan kasus yang masih belum memiliki hubungan kausal antara faktor yang dianggap penyebab dengan dampak yang muncul.

Selain itu, ada juga ketentuan OSPAR yang cukup mempengaruhi ketentuan Laut Utara (OSPAR, 1992: 5). Kementerian menegaskan komitmen mereka untuk memasukkan prinsip

kehati-hatian ke dalam regulasi (penerapannya). Selain itu, mereka juga menyetujui untuk mengurangi input dari kandungan-kandungan berbahaya sekitar 50-70%. Deklarasi tersebut juga merekomendasikan agar prinsip kehati-hatian dapat diterapkan dalam pengelolaan perikanan.

Menurut Munthe, prinsip kehati-hatian tidak boleh menjadi bagian dari ilmu pengetahuan karena definisi prinsip kehati-hatian sendiri tidak harus bergantung pada bukti ilmiah namun pendapat ini salah arah (Munthe, 2011: 205-210). Prinsip kehati-hatian harus dilihat bukan sebagai pengganti pendekatan ilmiah, tetapi lebih sebagai prinsip menyeluruh untuk menuntun pengambilan keputusan ketika tidak adanya kepastian analisis atau prediksi. Peran penelitian ilmiah dalam deteksi ancaman dini terhadap kesehatan manusia dan lingkungan secara eksplisit diakui dalam definisi inti prinsip kehati-hatian. Dengan demikian, kemungkinan peran penelitian ilmiah akan meningkat, bukan menurun, melalui peraturan perundang-undangan prinsip kehati-hatian.

Kurangnya hubungan kausal pasti sering dijadikan alasan untuk menunda keputusan regulasi sampai saat penelitian lebih lanjut tersedia. Penundaan tersebut berdasarkan asumsi bahwa:

1. Pemahaman yang lebih besar dari sistem yang diteliti akan menghasilkan sesuatu yang lebih jelas sehingga risiko menjadi lebih jelas dan terukur akan tetapi yang terjadi pada faktanya sering sebaliknya.

2. Risiko yang timbul dari tindakan pencegahan yang diambil sekarang lebih besar daripada risiko jika tidak mengambil tindakan sampai hasil penyelidikan lebih lanjut menjadi tersedia. Akan tetapi, dengan

jurnal Desember isi.indd 281 12/12/2014 3:53:11 PM

Page 87: cover jurnal Desember 2014.cdr

282 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 283

keputusan untuk menunda tindakan berarti bahwa diterimanya segala akibat yang mungkin terjadi.

2. Pengkajian Risiko (Risk Assesment)

Kerangka umum pengkajian risiko terdiri dari identifikasi bahaya dan kemungkinan dari bahaya itu sendiri. Keluaran dari kedua elemen ini kemudian digunakan untuk melakukan pengkajian risiko yang komprehensif sehingga agar risiko dapat ditanggulangi, hal yang harus dilakukan pertama kali adalah mengidentifikasi dan menentukan kuantitasnya, apa yang muncul dan apa yang tidak muncul, setelah itu barulah diidentifikasi lebih rinci. Dua hal yang mendasar dan penting yang akan muncul adalah:

a. Pertama, apakah semua akibat yang mungkin akan muncul dapat diidentifikasi dan dimasukkan dalam pengkajian? Apakah faktor seperti kumulasi efek dari suatu bahan kimia dengan yang lain atau efek adiktif kimia yang lain? Jika tidak, berarti suatu risiko ditimbulkan dari aktivitas atau hal-hal lain yang belum diketahui.

b. Kedua, dapatkah semua dampak yang telah diidentifikasi sepenuhnya dihitung? Terkait pengkajian risiko, setidaknya terdapat empat tahapan yaitu:

a. Identifikasi bahaya (hazard identification);

b. Penilaian paparan (exposure assessment);

c. Penilaian dampak (effects assessment); dan

d. Karakterisasi risiko (risk characterization).

Risiko adalah kemungkinan timbulnya beberapa efek buruk dari bahaya lingkungan, dan terdiri dari:

a. Kemungkinan lingkungan terkena bahaya (exposure assessment); dan

b. Kemungkinan kondisional bahwa efek buruk akan timbul (effects assessment).

Identifikasi bahaya melingkupi identifikasi sebab yang mungkin dari efek buruk potensial, namun biasanya juga mencakup identifikasi konsekuensi buruk yang mungkin terjadi sebagai hasil dari identifikasi bahaya. Karakterisasi risiko menampilkan informasi untuk mengestimasi risiko yang akan muncul.

Haritz menekankan bahwa para pembuat kebijakan hampir selalu diminta untuk bertindak dalam kondisi adanya beberapa ketidakpastian atau keraguan (Haritz, 2011: 123-124). Perihal ini, harus diakui bahwa meskipun penyelidikan ilmiah dan penafsiran adalah penyedia informasi, ketidakpastian akan selalu ada. Analisis ilmiah mungkin dapat menyediakan para pembuat kebijakan dengan informasi berharga yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi bahaya dan untuk memprioritaskan serta menuntun pengambilan keputusan, tetapi informasi tersebut tidak dapat menggantikan proses pengambilan keputusan itu sendiri (Haritz, 2011: 123-124).

Kemudian menurut Renn, ukuran keputusan dan konsekuensi potensial menjadi salah satu pertimbangan penting juga ketika tiba pada keputusan kebijakan (Renn, 2011: 231-246). Selanjutnya, meskipun ilmu murni dan terapan memiliki peran penting dalam identifikasi masalah, gambaran sistem, dan dampak bahaya, mereka sendiri tidak bisa

jurnal Desember isi.indd 282 12/12/2014 3:53:11 PM

Page 88: cover jurnal Desember 2014.cdr

282 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 283

menyetir kebijakan, sehingga hal inilah yang menjadi dasar dan perlunya pendekatan alternatif, khususnya dalam kaitannya dengan masalah lingkungan global, secara luas dibahas oleh Renn, di bawah istilah ‘post-normal science.’

Pada pendekatan ini melekat keterlibatan ‘perluasan komunitas’ dalam evaluasi yang tidak hanya dari kualitas data ilmiah, tetapi juga penerapan data tersebut dan pertimbangan nilai yang terkait dalam perumusan kebijakan. Intinya, prinsip kehati-hatian tidak dapat dan tidak boleh dimasukkan di bawah mekanisme pengkajian risiko (Clayton, 2012: 635-636) melainkan pengkajian risiko tidak harus dilihat sebagai alat untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian.

C. Hak Gugat

1. Hak Gugat Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1997 (UUPLH)

Dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, masalah lingkungan hidup yang merugikan baik bagi masyarakat maupun lingkungan hidup dapat menjadi dasar dilayangkannya suatu gugatan kepada pihak yang terkait permasalahan lingkungan hidup tersebut. Khususnya dalam Pasal 37 dan Pasal 38 UUPLH, sedikitnya terdapat tiga pihak yang memiliki hak tersebut, yaitu:

a. Masyarakat;

b. Pemerintah;

c. Organisasi Lingkungan Hidup.

Ad 1. Masyarakat

Pasal 37 ayat (1) UUPLH menyatakan bahwa,”Masyarakat berhak mengajukan gugatan

perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.” Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) UUPLH dapat diketahui bahwa masyarakat memiliki hak untuk menggugat dan melapor berdasarkan gugatan perwakilan (class action). Menurut Penjelasan Pasal 37 ayat (1) UUPLH, class action adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Class action atau lebih dikenal dengan sebutan gugatan perwakilan kelompok merupakan jenis gugatan yang relatif baru dalam sistem hukum Indonesia saat itu. Gugatan ini, selain diakui secara hukum dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga diakui dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung mengatur gugatan ini dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

Ad 2. Pemerintah

Selain class action, pemerintah juga memiliki hak gugat dengan persyaratan tertentu, seperti yang tercantum dalam Pasal 37 ayat (2) UUPLH bahwa, ”Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup

jurnal Desember isi.indd 283 12/12/2014 3:53:11 PM

Page 89: cover jurnal Desember 2014.cdr

284 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 285

dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.” Berdasarkan Pasal 37 ayat (2) tersebut, maka pemerintah dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat dengan syarat, antara lain:

a. Masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup tersebut;

b. Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat.

Meskipun demikian, dalam pasal tersebut beserta dengan penjelasannya tidak ada keterangan tindakan apa saja yang dapat dilakukan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup tersebut.

Ad 3. Organisasi Lingkungan Hidup

Dalam Pasal 38 UUPLH, terdapat hak gugat organisasi lingkungan hidup, yakni:

1. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

2. Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.

3. Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi persyaratan:

a. berbentuk badan hukum atau yayasan;

b. dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;

c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

Hal tersebut tidak banyak berubah dalam UUPPLH yang baru karena hanya persyaratan ketiga saja yang berubah, yaitu bahwa organisasi lingkungan hidup telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya dalam waktu paling singkat dua tahun.

Dalam Pasal 38 tersebut, jelas diuraikan bahwa organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dengan demikian, gugatan dapat juga diajukan oleh organisasi lingkungan hidup yang meskipun bukan sebagai pihak yang mengalami kerugian nyata (sebagai korban yang konkret atau riil) melainkan hanya pihak yang mewakili kepentingan lingkungan hidup karena lingkungan hidup tidak dapat memperjuangkan kepentingannya sendiri yang karenanya perlu ada pihak yang memperjuangkannya. Gugatan yang dapat diajukan oleh organisasi lingkungan hidup tersebut tidak dapat berupa tuntutan membayar ganti rugi yang biasa dituntut oleh korban, melainkan hanya terbatas gugatan lain yang berdasarkan Penjelasan Pasal 38 ayat (2) UUPLH yaitu:

a. memohon kepada pengadilan agar seseorang diperintahkan untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan

jurnal Desember isi.indd 284 12/12/2014 3:53:11 PM

Page 90: cover jurnal Desember 2014.cdr

284 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 285

dengan tujuan pelestarian fungsi lingkungan hidup;

b. menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan melanggar hukum karena mencemarkan atau merusak lingkungan hidup;

c. memerintahkan seseorang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan untuk membuat atau memperbaiki unit pengolah limbah.

Penjelasan Pasal 38 ayat (2) UUPLH tersebut di atas sebenarnya sangat membatasi organisasi lingkungan hidup yang membuat seakan-akan organisasi lingkungan hidup hanya dapat mengajukan gugatan dengan petitum seperti tersebut di atas. Selain itu, yang dimaksud dengan biaya atau pengeluaran riil dalam Pasal 38 ayat (2) UUPLH adalah biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan telah dikeluarkan oleh organisasi lingkungan hidup.

Kemudian, hanya organisasi lingkungan hidup yang memenuhi persyaratan dalam Pasal 38 ayat (3) UUPLH saja yang memiliki hak gugat untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Selain agar terdaftar sebagai suatu badan hukum atau yayasan serta mencantumkan tujuan didirikannya badan hukum atau yayasan tersebut ialah untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup, organisasi tersebut pun harus memenuhi tujuan didirikannya tersebut dengan kegiatan-kegiatan terkait.

Adanya persyaratan ditujukan agar kedudukan hukum organisasi lingkungan hidup yang telah diseleksi melalui persyaratan tersebut, diakui memiliki ius standi untuk mengajukan gugatan atas nama lingkungan hidup ke pengadilan, baik ke peradilan umum ataupun peradilan tata usaha negara sesuai dengan kompetensi absolut

dari gugatan yang hendak diajukan.

2. Hak Gugat Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009

Undang-undang tentang lingkungan yang paling baru, yakni UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengatur perihal hak gugat organisasi lingkungan hidup dalam Pasal 92:

1. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

2. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi kecuali biaya atau pengeluaran riil.

3. Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan:

a. berbentuk badan hukum;

b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;

c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.

Dalam Pasal 93 UUPPLH yang baru telah mengatur perihal hak gugat organisasi lingkungan hidup, antara lain:

1. Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila:

jurnal Desember isi.indd 285 12/12/2014 3:53:12 PM

Page 91: cover jurnal Desember 2014.cdr

286 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 287

a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen AMDAL;

b. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL, dan/atau;

c. badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.

2. Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

Pengaturan secara khusus tentang gugatan administratif yang bisa dilakukan terkait seputar permasalahan lingkungan baru ditemukan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Apabila dibandingkan dengan Pasal 39 UUPLH yang menyatakan bahwa tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku.

Dengan adanya ketentuan baru perihal diperbolehkannya ada gugatan administratif seputar masalah lingkungan yang tata caranya mengikuti Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, bisa dikatakan merupakan suatu wujud perluasan objek gugatan yang tadinya hanya seputar masalah perdata dan tunduk pada tata cara Hukum Perdata namun sekarang bisa menyentuh sendi-

sendi Peradilan Tata Usaha Negara dikarenakan dimungkinkannya gugatan terhadap KTUN yang merugikan seputar permasalahan lingkungan.

ANALISIS IV.

A. Ketidakcermatan Hakim dalam Menganalisis Tindakan Tergugat yang Menerbitkan Izin Tanpa Memperhatikan Aman atau Tidaknya Kapas Transgenik Sebagai Produk GMOs

Sebagaimana dipaparkan dalam studi pustaka, pada akhir tahun 1990-an ditemukan bahwa terdapat risiko yang signifikan dari penggunaan tanaman transgenik pada organisme bawah tanah dan juga spesies yang bukan sasaran, seperti cacing bumi dan lain sebagainya (OECD, 2013: 26). Dengan demikian, maka jika didasarkan Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dan juga Pasal 15 UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), yang berkaitan dengan kasus ini ialah bahwa kriteria usaha yang berdampak penting yang wajib AMDAL terdiri dari poin:

a. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaaatannya;

b. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;

c. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;

jurnal Desember isi.indd 286 12/12/2014 3:53:12 PM

Page 92: cover jurnal Desember 2014.cdr

286 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 287

d. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.

Berdasarkan keempat poin ini, maka menurut UUPPLH usaha kapas transgenik harus ditetapkan AMDAL. Dalam pertimbangan hakim mengenai aman tidaknya produk GMOs yang kemudian berkaitan erat dengan wajib tidaknya disertai dokumen AMDAL disebutkan berdasarkan kajian terhadap AMDAL dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 27 Tahun 1999 bahwasanya AMDAL merupakan bagian dari proses perizinan melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.

Menurut Penjelasan Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1999 menyatakan bahwa usaha dan/atau kegiatan yang berdampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup ialah yang merupakan kategori usaha dan/atau kegiatan yang berdasarkan pengalaman dan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempunyai potensi dampak besar dan penting bagi lingkungan hidup. Meskipun Penjelasan Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1999, kegiatan seperti kasus a quo wajib AMDAL, namun berdasarkan peraturan kebijaksanaan dari Menteri Negara Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa kegiatan introduksi tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik tidak termsuk kegiatan wajib AMDAL (terdapat dalam Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-39/MENLH/08/1996).

Berdasarkan ketentuan tersebutlah yang menjadi dasar pertimbangan bagi majelis hakim yang mana dalam putusannya menyatakan bahwa kapas transgenik ini bukan merupakan bagian dari proses untuk melakukan usaha dan/

atau perizinan untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL. Dalam hal ini, majelis hakim hanya melihat Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup ini saja tanpa mencermati kembali adanya Pasal 15 UUPLH serta Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1999 dan Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1999 bahwa AMDAL merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.

Dalam hal ini, meskipun di dalam KEPMEN dikatakan bahwa kegiatan introduksi tumbuh-tumbuhan tidak termasuk kegiatan yang wajib AMDAL, peraturan tersebut tidak dapat mengesampingkan PP Nomor 27 Tahun 1999. Hal ini disebabkan oleh hierarki perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa PP lebih tinggi daripada KEPMEN, sehingga berlaku asas lex superior derogat lex inferiori dan dalam hal ini, transgenik (GMOs) termasuk ke dalam introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, sehingga dikategorikan sebagai kegiatan/usaha yang menimbulkan dampak besar dan penting. Sehingga, tindakan tergugat untuk memberikan izin usaha tanpa AMDAL sangat menyalahi aturan dan majelis hakim tidak mencermatinya.

B. Ketidakcermatan Hakim dalam Melihat Pelanggaran Penerapan Prinsip Kehati-Hatian (Precautionary Principle) dan Pengkajian Risiko (Risk Assessment) dalam Pelepasan Organisme Transgenik

Sebagaimana telah dijabarkan dalam studi pustaka, melihat signifikannya dampak yang ditimbulkan oleh kapas transgenik maka tergugat harus memperhatikan prinsip kehati-

jurnal Desember isi.indd 287 12/12/2014 3:53:12 PM

Page 93: cover jurnal Desember 2014.cdr

288 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 289

hatian dan melakukan pengkajian risiko sebelum memberikan izin dengan menerapkan wajib AMDAL terlebih dahulu untuk menghindari adanya kerusakan lingkungan hidup. Akan tetapi, pada kenyataannya, tergugat justru mengabaikan prinsip kehati-hatian dan pelaksanaan kajian risiko dengan memberikan izin tanpa mengetahui dampak kapas transgenik dan tanpa AMDAL.

Berdasarkan tindakan tergugat, jika dilakukan analisis terhadap pertimbangan hakim tentang kasus kapas transgenik yang menyatakan bahwa PTUN hanya sebatas menilai keabsahan hukum (aspek legalitas) dari suatu KTUN menurut penulis kurang tepat. Menurut Pasal 53 ayat (2) UU PTUN, KTUN dapat digugat dengan alasan bertentang dengan undang-undang (dalam hal ini UU Nomor 23 Tahun 1997).

Dalam pertimbangan hakim terlihat bahwa hakim tidak mau melakukan penilaian terhadap tahapan sebelum diterbitkannya SK Menteri Pertanian Nomor 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B Sebagai Varietas Unggul Dengan Nama NuCOTN 35B (BOLLGARD) tertanggal 7 Februari 2001. Padahal seharusnya dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, hakim memosisikan diri sebagai pembuat keputusan, sehingga harus mempertimbangkan semua aspek, dorongan, latar belakang yang menyebabkan pejabat tata usaha negara menerbitkan suatu keputusan. Oleh karena itu, alasan bahwa pemeriksaan proses sebelum penerbitan SK adalah aspek kebijaksaan tidak dapat diterima. Hakim wajib memeriksa proses yang melatarbelakangi keluarnya SK tersebut, dalam hal ini adalah diwajibkan dilakukannya AMDAL terkait izin pelepasan terbatas kapas transgenik. Pelepasan kapas transgenik ini, merupakan kegiatan yang termasuk dalam kategori usaha dan/

atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar terhadap lingkungan hidup sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) UUPLH dan Pasal 23 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf i UUPPLH. Selain itu, berdasarkan literatur Assessing Environmental Risks of Transgenic Plants, transgenik berisiko berdampak penting terhadap lingkungan yang dapat merusak ekosistem tanah dan membunuh makhluk lain yang bukan merupakan target dari biopestisida ini sehingga kegiatan introduksi tanaman transgenik diwajibkan AMDAL untuk menghindari risiko tersebut.

Selanjutnya, meskipun uji laboratorium, uji lapangan terbatas, dan uji multilokasi merupakan bentuk instrumen sukarela untuk dilaksanakan namun tidak menghapuskan kewajiban untuk melakukan AMDAL, sehingga baru akan mencerminkan prinsip kehati-hatian dalam penerbitan SK ini, maka tetap harus dilakukannya AMDAL. Uji laboratorium, uji lapangan terbatas, dan uji multilokasi mungkin dapat dikatakan sebagai bagian dari pengkajian risiko (risk assessment) namun berdasarkan jurnal The Precautionary Principle: Protecting Against Failures of Scienific Method and Risk Assesment, pengkajian risiko tidak selalu dilihat sebagai alat untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian.

Kemudian, disebutkan juga bahwa pelepasan kapas transgenik Bt DP 5690B Sebagai Varietas Unggul dengan nama NuCOTN 35B (Bollgard) di daerah Sulawesi Selatan dilakukan secara terbatas untuk jangka waktu satu tahun. Dalam hal apabila dalam jangka waktu satu tahun ternyata berdampak terhadap lingkungan yang sifatnya merugikan, maka dapat dilakukan peninjauan kembali dan baru diterbitkan AMDAL. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan adanya pengakuan bahwa pelepasan kapas transgenik tersebut memang mempunyai dampak yang

jurnal Desember isi.indd 288 12/12/2014 3:53:12 PM

Page 94: cover jurnal Desember 2014.cdr

288 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 289

merugikan terhadap lingkungan. Oleh karena itu, dengan keluarnya SK berupa pelepasan secara terbatas kapas transgenik Bt DP 5690B di tujuh kabupaten di Sulawesi Selatan, tergugat telah menerima risiko yang akan muncul di kemudian hari yang mana hal ini berarti sudah jelas prinsip kehati-hatian tidak diterapkan. Intinya, upaya-upaya yang dilakukan tergugat masih lebih mengarah ke prinsip pencegahan dan belum mencerminkan prinsip kehati-hatian. Padahal, pada kasus kapas transgenik ini terdapat unsur ketidakpastian ilmiah dan ancaman serius berupa risiko bagi lingkungan hidup yang tidak dapat diperkirakan.

C. Kekeliruan Serta Ketidaktepatan Hakim dalam Hak Gugat terhadap Kasus Lingkungan Hidup, Utamanya Pelepasan Organisme Transgenik

Sehubungan dengan hak gugat dalam kasus lingkungan hidup khususnya dalam pelepasan organisme transgenik, terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan hukum bagi majelis hakim untuk memutus atas ius standi/persona standi in judicio adalah, yaitu:

a. Asas point d’interest point d’action sehingga kepentingan para penggugat harus diteliti lebih lanjut sebagai dasar utama dalam mengajukan suatu gugatan;

b. Pasal 6 dan Pasal 38 (1) UUPLH;

c. Pendapat dari Prof. Dr. Paulus Effendie Lotulung, S. H., bahwa setiap orang memiliki hak subjektif atas lingkungan hidup yang bersih yang sejalan sengan Pasal 38 ayat (1) UUPLH;

d. Pendapat Indroharto, S. H., bahwa kepentingan organisasi-organisasi

kemasyarakatan (pencinta lingkungan hidup) dapat merasa berkepentingan karena keluarnya suatu KTUN yang dianggap bertentangan dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi-organisasi tersebut;

e. Pendapat Mas Achmad Santosa bahwa class action berbeda dengan hak gugat Lembaga Swadaya masyarakat;

f. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga para penggugat yang sesuai dengan persyaratan dalam Pasal 38 ayat (3) UUPLH.

Pertimbangan hukum ini kurang tepat yang mana ius standi organisasi lingkungan hidup sebagai penggugat itu sendiri terdapat dalam penjelasan Pasal 38 ayat (3) UUPLH serta Pasal 53 ayat (1) UU PTUN, yang mana untuk kepentingan yang dilanggar dapat mengacu kepada Pasal 5 UUPLH yang sejalan dengan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang saat itu telah diamandemen untuk kedua kalinya. Selain itu, terdapat kekurangan pertimbangan hukum, yaitu adanya kegiatan-kegiatan organisasi-organisasi lingkungan hidup tersebut yang sesuai dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga masing-masing organisasi yang mana tanpa kegiatan-kegiatan tersebut, organisasi-organisasi lingkungan hidup tidak berhak mengajukan gugatan.

Selanjutnya, dalam pertimbangan hukum putusan tersebut terdapat kekeliruan pencantuman kepentingan. Pertimbangan hukum atas eksepsi tersebut menjelaskan bahwa para penggugat memiliki persona standi in judicio dan karenanya dapat bertindak sebagai penggugat dengan mengatasnamakan kepentingan umum. Akan tetapi, sebenarnya para penggugat yang notabene

jurnal Desember isi.indd 289 12/12/2014 3:53:12 PM

Page 95: cover jurnal Desember 2014.cdr

290 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 291

adalah organisasi-organisasi lingkungan hidup, mengatasnamakan kepentingan lingkungan hidup sesuai dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (3) UUPLH dan atas dasar itulah para penggugat memiliki kedudukan hukum/legal standing untuk mengajukan gugatan, selain karena kepentingannya dilanggar.

Ius standi organisasi-organisasi lingkungan hidup ada karena pemenuhan syarat-syarat dalam Pasal 38 ayat (3) UUPLH sehingga memiliki hak gugat sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) UUPLH, sedangkan dalam sengketa Tata Usaha Negara, organisasi-organisasi lingkungan hidup juga harus memiliki ius standi atas kepentingan yang dilanggar, yaitu yang berkaitan dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga masing-masing organisasi tersebut yang juga harus memenuhi persyaratan dalam Pasal 38 ayat (3) UUPLH tersebut. Oleh karena itu, ius standi organisasi-organisasi lingkungan hidup sebagai para penggugat ini, terkait dalam dua undang-undang, yaitu UUPLH dan UU PTUN yang tidak dapat dipisah satu sama lain.

Berbeda halnya dengan organisasi-organisasi perlindungan konsumen yang mengacu kepada UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mana kepentingannya dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN berbeda dengan organisasi-organisasi lingkungan hidup. Hal inilah yang menjadi salah satu kekurangan dalam pertimbangan hukum karena hanya organisasi-organisasi lingkungan hidup saja yang dicantumkan di dalamnya. Dengan demikian, eksepsi tergugat pada poin 2 dan tanggapan dalam eksepsi para tergugat II intervensi II pada poin 1, tidak terjawab dalam pertimbangan hukum ini. Pertimbangan hukum atas eksepsi kedua, yaitu surat gugatan salah alamat dan pihak, dipaparkan alasan penolakan

eksepsi tersebut, yaitu:

a. Objek gugatan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 107/KPTS KB.430/2/2001 diterbitkan oleh tergugat sebagai pejabat dalam Pasal 1 butir 6 UU PTUN;

b. Gugatan para penggugat telah sesuai dengan Pasal 56 UU PTUN.

Terdapat kekeliruan dalam pertimbangan tersebut, yaitu bahwa Pasal 56 UU PTUN adalah untuk hal yang lebih teknis bila surat gugatan tidak salah alamat. Oleh karena itu, lebih tepat bila dasar dari penolakan eksepsi tentang salah alamat adalah mengacu kepada Pasal 1 butir 5 UU PTUN, yaitu bahwa gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan untuk mendapatkan putusan. Dalam penjelasannya, diterangkan bahwa gugatan ini diperuntukkan bagi kasus tertentu yang mana KTUN mengakibatkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata tertentu dan karenanya memerlukan koreksi serta pelurusan dalam segi penerapan hukumnya. Dengan demikian, hal ini terkait dengan Pasal 53 ayat (1) yang telah diuraikan sebelumnya sehingga penggunaan Pasal 56 UU PTUN tidak tepat untuk penolakan eksepsi kedua ini.

Penolakan eksepsi ketiga, pertimbangan hukum hanya menguraikan permasalahan final saja namun untuk individual dan konkret hanya sekedar dicantumkan bersamaan dengan final yang mana pertimbangannya tentu berbeda segi. Pertimbangan hukum antara individual, konkret, dan final berbeda sehingga bila diuraikan, maka sebagai berikut:

a. Individual, yaitu SK ditujukan untuk seseorang atau sekelompok orang tertentu.

jurnal Desember isi.indd 290 12/12/2014 3:53:12 PM

Page 96: cover jurnal Desember 2014.cdr

290 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 291

Dalam hal kasus kapas transgenik, maka SK ini ditujukan kepada petani pekebun khusus di kabupaten tertentu di Sulawesi Selatan;

b. Konkret, yaitu jelas dan riil hal-hal yang diatur di dalamnya, seperti izin pelepasan kapas transgenik Bt DP 5690B sebagai varietas unggul dengan nama NuCOTN 35 B (BOLLVGARD) yang diusulkan PT. MK;

c. Final, yaitu SK ini sudah definitif dan dapat langsung menimbulkan akibat hukum, tanpa perlu menunggu SK lain untuk melaksanakannya.

Dengan demikian, dalam pertimbangan hukum untuk penolakan eksepsi dari tergugat terdapat hal-hal yang kurang tepat atau bahkan keliru yang mana hal ini menunjukkan ketidakcermatan hakim dalam perkara ini. Meskipun demikian, penulis berpendapat sama dengan majelis hakim, yaitu bahwa eksepsi tergugat patut ditolak karena dalil-dalilnya tidak terbukti.

SIMPULANV.

A. Kesimpulan

1. Bahwa tanaman transgenik memiliki nilai keuntungan dan kerugian, yakni dapat menghasilkan biopestisida, sehingga pengguna dapat mengurangi penggunaan pestisida dari bahan kimiawi, namun di sisi lain biopestisida kemungkinan dapat menimbukan dampak yang buruk, yakni selain dapat membunuh hama, ironisnya dapat membunuh hama non-target dan dapat merusak ekosistem tanah. Sehingga, semua argumen yang menyatakan tidak

ada risiko lingkungan dari organisme transgenik adalah cacat, dikarenakan untuk setiap tipe organisme transgenik pasti ada risiko lingkungan yang potensial, dengan demikian setiap pengkajian risiko harus dilakukan dengan case-by-case basis. Pengkajian risiko sendiri terdiri dari 4 langkah, yaitu hazard identification, expossure assessment, effect assessment, dan risk characterization.

2. Dalam kasus pelepasan secara terbatas kapas transgenik Bt DP 5690b sebagai varietas unggul pada dasarnya tidak memenuhi prinsip kehati-hatian karena prinsip tersebut mengandung pendekatan bahwa selama terdapat ancaman serius yang irreversible, ada atau tidak adanya bukti ilmiah tidak menjadi alasan untuk menunda tindakan efektif untuk mencegah degradasi lingkungan. Sedangkan, dalam kasus ini sudah jelas ada ancaman risiko dari penggunaan kapas tersebut walaupun sebelumnya pada saat penelitian tidak ditemukan ancaman tersebut. Ancaman yang timbul dari penggunaan kapas adalah bersifat tidak terduga. Dengan demikian, perlu tindakan pencegahan berupa tidak dikeluarkannya SK (pada saat itu) apalagi pengeluaran SK tersebut tanpa disertai pengkajian risiko yang mencukupi.

3. Sebenarnya para penggugat dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu: kelompok organisasi lingkungan hidup dan kelompok organisasi perlindungan konsumen yang mana untuk legal standing keduanya mengacu pada UU PTUN, sedangkan khusus organisasi lingkungan hidup juga harus mengacu pada UU PPLH dan organisasi perlindungan konsumen mengacu pada

jurnal Desember isi.indd 291 12/12/2014 3:53:12 PM

Page 97: cover jurnal Desember 2014.cdr

292 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 293

UU Perlindungan Konsumen. Akan tetapi, dalam pertimbangan hukum, majelis hakim hanya mempertimbangkan legal standing dari organisasi lingkungan hidup saja. Selain itu, banyak ketidakcermatan hakim dalam menangani perkara ini karena ketidakmengertian dan tidak mau melihat berbagai aspek yang terkait lebih lanjut mengenai kasus lingkungan khususnya terkait kapas transgenik.

B. Saran

1. Dibutuhkan penelitian yang lebih banyak terkait dengan pengkajian risiko yang menitikberatkan pada data yang tidak lengkap. Dalam hal ini, pemerintah harus mampu menekan pemrakarsa untuk lebih terbuka atas informasi yang berkaitan dengan dampak yang mungkin muncul. Dalam pengaturan tersebut lebih ditekankan unsur pencegahan sebagai penangkal ketidakpastian serta adanya sistem pemantauan yang memadai dari pemerintah di mana di dalamnya terdapat perangkat regulasi, metode pengawasan, dan adanya strategi manajemen dalam menanggapi permasalahan-permasalahan terkait lingkungan.

2. Dibutuhkan sebuah penegakan peraturan baru dan kerangka kepatuhan bagi seluruh pihak yang terkait, meliputi masyarakat, pemerintah, dan LSM/organisasi terkait. Dalam hal ini bisa dilakukan dengan memusatkan kewenangan atau otoritas regulasi dalam satu badan. Dengan pemusatan tersebut diharapkan dapat dilakukan koordinasi atas kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan dan

adanya suatu kepemimpinan yang dapat mengimplementasikan peraturan tersebut sehingga dapat berfungsi dengan baik.

3. Diharapkan bagi pembentuk peraturan perundang-undangan untuk lebih memahami substansi dari jenis dan tingkatan peraturan perundang-undangan yang telah ada, agar tidak terjadi pertentangan pengaturan dari peraturan perundang-undangan yang baru dengan peraturan perundang-undangan yang lama agar jika digunakan sebagai dasar hukum dalam persidangan, maka tidak terjadi pertentangan pengaturan. Selain itu, dibutuhkan juga kecermatan serta kemauan dari pihak hakim untuk melihat berbagai aspek yang terkait serta hal-hal baru yang belum diketahui atau dipahami oleh hakim dalam kasus yang sedang ia tangani sehingga dapat menangani kasus secara menyeluruh dan dapat memutuskan dengan benar kasus yang ditangani.

DAFTAR PUSTAKA

Bahagiawati. 2001. “Manajemen Resistensi Serangga Hama pada Pertanaman Tanaman Transgenik Bt.” Jurnal Tinjauan Ilmiah Riset Biologi dan Bioteknologi Pertanian, Vol. 4, Nomor 1, Hal. 58-59.

Boskovic, Jelena V, et.al. 2010. “Assessing Ecological Risks and Benefits of Genetically Modified Crops.” Journal of Agriculture Sciences, Vol. 55 Nomor 1, Hal. 95.

Clayton, Susan D. 2012. Environmental and Conservation Psychology. United Kingdom: Oxford University Press.

jurnal Desember isi.indd 292 12/12/2014 3:53:12 PM

Page 98: cover jurnal Desember 2014.cdr

292 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 273 - 293 Ketidakcermatan dalam Pertimbangan Putusan Kasus Kapas Transgenik (Loura Hardjaloka) | 293

Cooney, Rosie & Barney Dickson. Ed. 2012. Biodiversity & The Precautionary Principle. United Kingdom: Earthscan Publications Ltd.

Gray, J.S. & J.M. Bewers. 1996. Towards a Scientific Definition of The Precautionary Principle. Marine Pollution Bulletin, Vol. 32 Nomor 11, Hal. 768-771.

Haritz, Miriam. 2011. An Inconvenient Deliberation: The Precautionary Principle’s Contributing to the Uncertainties Surrounding Climate Change Liability. Belanda: Kluwer Law International BV.

Harremoes, Poul, et.al. 2013. The Precautionary Principle in the 20th Century. United Kingdom: Earthscan Publications Ltd.

Herman, Muhammad. 2001. “Perakitan Tanaman Tahan Serangga Hama Melalui Teknik Rekayasa Genetik.” Buletin AgroBio, Vol. 5 Nomor 1, Hal. 1-13.

Hilbeck, Angelika, et.al. 2011. “Environmental Risk Assessment of Genetically Modified Plants - Concepts And Controversies.” Environmental Sciences Europe, Vol. 23 Nomor 3, Hal. 1200-1225.

Khan, Mohammad Sayyar. 2011. “Future Challenges. In Environmental Risk Assessment Transgenic Plants with Abiotic Stress Tolerance.” Biotechnology and Molecular Biology Review, Vol. 6 Nomor 9, Hal. 199-213.

Koch, Bernhard A. 2010. Damage Caused by Genetically Modified Organisms: Comparative Survey of Redress Options for Harm to Persons, Property or the Environment. Vienna: Austrian Academy Science, Institute for European Tort Law.

Lee, Maria. 2009. EU Regulation of GMOs: Law and Decision Making for a New Technology. United

Kingdom: Edward Elgar Publishing Limited.

Miao, Jin, et.al. 2011. “The Impact of Transgenic Wheat Expressing GNA”. Environmental Entomology, Vol. 40 Nomor 3, Hal. 743-748.

MINDNEC. 1987. Ministerial Declaration of the Second International Conference on the Protection of the North Sea. London, UK, 24-25 November 1987.

Munthe, Christian. 2011. The Price of Precaution and The Ethics of Risk. New York: Springer.

OECD. 2013. “Low Level Presence of Transgenic Plants In Seed and Grain Commodities: Environmental Risk/Safety Assessment, and Availability and Use of Information”. Akses 29 September 2014. http://www.oecd.org/officialdocuments/publicdisplaydocumentpdf/?cote=env/jm/mono(2013)19&doclanguage=en.

Oliver, Melvin J, et.al. 2013. Plant Gene Containment. United States: John Wiley & Sons, Inc.

OSPAR. 1992. Final Declaration on the Ministerial Meetings of the Oslo and Paris Commissions. Oslo and Paris Conventions for the Prevention of Marine Pollution, Paris, 21-22 September 1992.

Renn, Ortwin. 2011. “Coping with Complexity, Uncertainty and Ambiguity in Risk Governance: A Synthesis.” Ambio, Vol. 40 Nomor 2, Hal. 231-246.

Seralini, Gilles-Eric, et.al. 2012. “Impacts of Genetically Engineered Crops on Pesticide Use in the U.S. -- The First Sixteen Years.” Environmental Sciences Europe, Vol. 26 Nomor 2, Hal. 1823-1826.

Sharples, FE. 1982. Spread of Organisms with Novel Genotypes: Thoughts from an Ecological Perspective. Technology Bulletin, Vol. 6 Nomor 1, Hal. 43-56.

jurnal Desember isi.indd 293 12/12/2014 3:53:13 PM

Page 99: cover jurnal Desember 2014.cdr

Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik) | 295

jurnal Desember isi.indd 294 12/12/2014 3:53:13 PM

Page 100: cover jurnal Desember 2014.cdr

Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik) | 295

ABSTRAK

Kekuasaan kehakiman (yudikatif) merupakan cabang kekuasaan pemerintahan terlemah dibanding kekuasaan pemerintahan lainnya yaitu eksekutif dan legislatif. Kekuasaan riil dari kekuasaan kehakiman hanya terletak pada kewibawaan pengadilan sebagai sebuah institusi. Salah satu yang dapat mewujudkan kewibawaan kekuasaan kehakiman adalah aktor pelaksana kekuasaan tersebut yaitu hakim yang memiliki kompetensi tinggi dan baik. Hubungan kausalitas antara kedua faktor tersebut membuat banyak pakar menyatakan keterkaitan yang kuat antara proses rekrutmen hakim terhadap masa depan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, terlebih lagi pada proses rekrutmen hakim agung di Mahkamah Agung. Proses rekrutmen hakim agung harus terjaga dari intervensi kepentingan politik. Hal ini merupakan rasio dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013. Putusan tersebut telah mendudukkan peran DPR di pelaksanaan rekrutmen hakim agung dalam posisi yang pasif, untuk menghindari intrusi kepentingan politik. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada kemerdekaan kekuasaan kehakiman secara keseluruhan. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ini maka diperlukan perubahan Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-

Undang Komisi Yudisial untuk mengakomodir prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman utamanya dalam proses rekrutmen hakim agung sebagaimana terkandung di dalam UUD NRI 1945.

Kata kunci: rekrutmen hakim agung, kekuasaan kehakiman, kepentingan politik.

ABSTRACT

Judicial power is the weakest power compared to the executive and legislative power. The actual supremacy of the judicial power lies merely on the authority of the court as an institution. This has caused the judicial honor and dignity is determined by the apparatus executing the judicial power, which is none other than the adept and qualified judges. The causality relationship makes many experts consider that there is a strong link between the process of recruitment of judges with the future independence of the judiciary, especially in the process of recruitment of supreme court judges. The process of recruitment of the supreme court judge must be kept from the intervention of political interests. This is the rationale of the Constitutional Court Decision Number 27/PUU-XI/2013. The decision has put the House of Representatives in the process of recruitment of the supreme court judge in passive position, to

PEMBATASAN DAN PENGUATAN KEKUASAAN KEHAKIMANDALAM PEMILIHAN HAKIM AGUNG

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013

RESTRICTIONS AND REINFORCEMENT OF JUDICIAL POWERIN THE RECRUITMENT OF THE SUPREME COURT JUDGES

Giri Ahmad TaufikPusat Studi Hukum dan Kebijakan

Puri Imperium Office Plaza UG: 11-12, Jl. Kuningan Madya Kav.5-6, Jakarta Selatan 12980

E-mail: [email protected]

An Analysis of the Constitutional Court’s Number 27/PUU-XI/2013

Naskah diterima: 10 November 2014; revisi: 21 November 2014; disetujui: 24 November 2014

jurnal Desember isi.indd 295 12/12/2014 3:53:13 PM

Page 101: cover jurnal Desember 2014.cdr

296 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310 Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik) | 297

PENDAHULUANI.

Kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif) merupakan cabang kekuasaan pemerintahan terlemah. Keberlangsungan kekuasaan kehakiman sangat bergantung pada kekuasaan eksekutif dan legislatif. Alexander Hamilton, salah satu founding fathers Amerika, dalam Federalist Paper Number 78 menyatakan bahwa di antara ketiga cabang kekuasaan pemerintahan, kekuasaan kehakiman merupakan cabang kekuasaan yang paling tidak berbahaya dan paling lemah. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak berbahaya dikarenakan kapasitasnya terbatas untuk melaksanakan fungsinya. Pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman sangatlah bergantung pada dukungan dari cabang kekuasaan pemerintahan lainnya.Dalam hal efektivitas penegakan hukum, misalnya cabang kekuasaan kehakiman sangat bergantung pada kekuasaan eksekutif. Pada sisi anggaran, kekuasaan kehakiman bergantung pada legislatif sebagai pemegang kekuasaan anggaran negara. Dalam bahasa yang lugas, Hamilton menyatakan bahwa:

“it may truly be said, the judiciary (pen), to have neither Force nor Will”(Hamilton, 1778).

Hal tersebut mengandung beberapa konsekuensi bahwa kekuasaan kehakiman tidak akan pernah mampu “menyerang” dengan sukses

cabang kekuasaan lainnya ataupun memiliki kekuatan yang dapat menahan dirinya dari serangan cabang kekuasaan lainnya (Hamilton, 1778). Dalam konteks Indonesia, pernyataan ini pernah terbukti setidaknya pada masa rezim orde lama yang menundukkan kekuasaan kehakiman di dalam kekuasaan eksekutif. Hal ini dapat dilihat secara nyata dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa:

“demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan.”

Salah satu kekuatan yang dimiliki olehnya adalah adanya jaminan konstitusional bagi kemerdekaan dan pemisahan kekuasaan yudikatif dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif (Hamilton, 1778). Namun demikian, perlindungan konstitusional saja tidak memadai. Pada negara-negara berkembang, perlindungan konstitusional bagi kekuasaan kehakiman hanya memiliki nilai nominal bahkan di dalam negara dengan karakteristik otoriter memiliki nilai semantik, yang hanya tercantum dalam konstitusi namun tidak tercermin di dalam kenyataannya. Pada konteks inilah, maka peran untuk menjaga kekuasaan yudikatif bergantung pada integritas dari individu yang menjalankannya. Terkadang

avoid the intrusion of political interests. It is intended to provide full protection to the judicial independence. Post-issuance of this decision it is considered necessary to amend the Law on Supreme Court and the Law on Judicial Commission primarily to accommodate the

principle of judicial independence in the process of recruitment of the supreme court judges as stipulated in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.

Keywords: recruitment of supreme court judges, judicial power, political interest.

jurnal Desember isi.indd 296 12/12/2014 3:53:13 PM

Page 102: cover jurnal Desember 2014.cdr

296 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310 Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik) | 297

kehancuran kemerdekaan kekuasaan kehakiman dari pengaruh politik cabang kekuasaan lainnya, tidak berasal dari luar (eksternal), namun disebabkan dari dalam (internal).

Beberapa faktor masuknya intrusi politik ke dalam pengadilan adalah korupsi pengadilan dan/atau tidak kompetennya pengadilan dalam menyelesaikan persoalan hukum di masyarakat (Gloppen, 2011: 68). Sebagai contoh adalah wacana pembentukan Panitia Kerja (Panja) Putusan MA oleh Komisi III DPR Periode 2009-2014, yang dilatarbelakangi banyaknya inkonsistensi putusan-putusan pengadilan di Indonesia dan telah mencederai rasa keadilan masyarakat (detik.com, 2012). Oleh karenanya, tantangan kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada sisi eksternal, adalah pada proses rekrutmen hakim, khususnya hakim agung.

Posisi hakim agung sangatlah sentral bagi kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hal ini disebabkan, institusi Mahkamah Agung merupakan puncak dari seluruh proses peradilan di Indonesia. Pada masa orde baru, sebagai puncak dari proses peradilan, Mahkamah Agung menikmati otonomi di dalam mengelola aturan rumah tangganya sendiri, sedangkan pengadilan di bawahnya berada pada kekuasaan administratif dari Kementerian Kehakiman pada era itu (Firmansyah, 2012: 30-31). Pada konteks inilah menjamin proses rekrutmen yang baik, bersih dan steril dari kepentingan politik merupakan hal yang harus terefleksi di dalam sistem rekrutmen para hakim agung.

Tulisan ini mengelaborasi bagaimana sebuah sistem rekrutmen hakim agung harus dibuat sedemikian rupa dengan menerapkan standar-standar tertentu, sehingga menghasilkan hakim-hakim agung yang tidak hanya berkualitas

namun juga berintegritas dan imparsial. Tulisan ini melakukan elaborasi terhadap kerangka konseptual proses seleksi hakim, pembacaan terhadap evolusi proses seleksi hakim agung dari masa ke masa dan analisis terhadap proses perekrutan hakim agung yang seharusnya berlaku pada saat ini, khususnya pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013.

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 menguatkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Indonesia?

b. Bagaimanakah peran DPR dalam proses seleksi hakim agung pasca keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut?

STUDI PUSTAKA III.

Perekrutan hakim (judicial appointment) merupakan salah satu topik penting dalam diskursus kemerdekaan kekuasaan kehakiman, selain adanya jaminan kepastian masa jabatan dan tidak dapatnya hakim dicopot dari jabatannya.Pada laporan ke-18 tahun 1979, Komisi Hukum Pemerintahan India menyebutkan bahwa penunjukan terhadap individu hakim yang bermasalah dapat menyebabkan buruknya kewibawaan pengadilan di mata masyarakat. Lebih lanjut, laporan tersebut mengelaborasi bahwa runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan dapat membahayakan integritas seluruh sistem hukum/keadilan dari suatu negara, yang pada akhirnya menimbulkan

jurnal Desember isi.indd 297 12/12/2014 3:53:13 PM

Page 103: cover jurnal Desember 2014.cdr

298 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310 Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik) | 299

persoalan keutuhan masyarakat, di mana masyarakat akan mencari cara di luar cara-cara hukum untuk menyelesaikan persoalan yang ada (Law Commission of India, 1978: 5).

Lebih lanjut, dalam analisisnya Prof. R. Daniel Kelemen, dalam salah satu tulisannya yang berjudul ”The Political Foundation of Judicial Indepedence in The European Union,” menyatakan bahwa terdapat lima mekanisme umum yang digunakan oleh cabang kekuasaan di luar yudikatif untuk mempengaruhi hakim dalam memberikan putusan, yaitu: 1) perubahan pada undang-undang terkait dengan kelembagaan pengadilan (legislation override); 2) penghukuman melalui pencabutan dukungan sumber daya operasionalisasi pengadilan, salah satunya dengan menahan anggaran tertentu ataupun mengganggu pembayaran gaji dari para hakim (resource punishment); 3) pencabutan wewenang tertentu dari pengadilan (jurisdiction stripping); 4) mempengaruhi komposisi hakim di dalam institusi pengadilan, seperti memperbesar jumlah hakim di dalam pengadilan sehingga dapat memasukkan hakim-hakim yang dapat mencerminkan lebih baik kepentingan aktor politik (court packing); 5) menggunakan kewenangan untuk menunjuk hakim sehingga diisi oleh para hakim yang sesuai dengan kepentingan para aktor politik (judicial selection and reappointment) (Kelemen, 2001: 3-4).Uraian Kelemen tersebut setidaknya merefleksikan, lima dari dua mekanisme umum yang digunakan untuk mempengaruhi putusan pengadilan, setidaknya terkait dengan proses seleksi hakim yang akan menduduki posisi-posisi di dalam institusi peradilan.

Menurut Anibal Perez-Linan dan Andrea Castagnola, terdapat tiga model pengisian jabatan hakim pada umumnya, yakni, model kerjasama

(cooperative model), model representasi (representative model), dan pemilihan oleh publik (popular election). Model kerjasama mensyaratkan pada proses pemilihan/seleksi hakim harus melibatkan dua lembaga, dalam contoh klasik di Amerika Serikat, hakim agung ditunjuk oleh presiden untuk kemudian dikonfirmasi oleh senat. Pada model representasi, hakim dipilih berdasarkan keterwakilan institusi di mana penunjukannya merupakan kewenangan dari parlemen, di mana 1/3 institusi pengadilan dipilih oleh presiden, 1/3 oleh kongres, dan 1/3 oleh Mahkamah Agung itu sendiri. Terakhir, pemilihan oleh publik dilaksanakan jika publik telah mencapai tingkat pemahaman tertentu dan memiliki kapasitas untuk menilai kandidat hakim yang diajukan. Keseluruhan model pemilihan di atas, adalah untuk memastikan bahwa para hakim dalam bekerja terhindar dari tekanan politik jangka pendek dan kecenderungan politik ke arah satu kubu tertentu (Linan & Castagnola, 2011: 6).

Seperti pengisian jabatan pada umumnya, menempatkan orang pada suatu posisi, setidaknya harus melihat kualifikasi orang yang dinominasikan sesuai dengan prinsip-prinsip kecakapan, kompetensi, dan integritas (merit based principle) dan menjamin proses seleksi yang terjadi harus didesain secara komprehensif dan transparan. Pada konteks seleksi hakim, proses seleksi yang komprehensif dan transparan tidak hanya dimaksudkan untuk menjamin individu terbaik, namun juga untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap kekuasaan kehakiman (Davis & Williams, 2003: 835).

Aspek pertama dari seleksi hakim adalah menguji kapasitas orang tersebut dengan prinsip-prinsip merit. Pendefinisian prinsip merit di dalam pengisian jabatan hakim tidak terlepas

jurnal Desember isi.indd 298 12/12/2014 3:53:13 PM

Page 104: cover jurnal Desember 2014.cdr

298 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310 Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik) | 299

dari definisi umum, terhadap prinsip tersebut. Dalam ”The Oxford Dictionary,” konsep merit didefinisikan sebagai:

“quality of deserving well; excellence, worth’, reflecting its derivation form the Latin for price or value”(kualitas yang pantas, terbaik, berharga, merefleksikan kata asal dalam bahasa latin yang berarti harga atau nilai).

Menurut George Turner sebagaimana dikutip oleh Rachel Davis dan George Williams, untuk mengukur kepantasan seseorang di dalam mengisi jabatan suatu hakim, kriteria umum yang biasa digunakan adalah (i) pengetahuan hukum dan pengalaman yang dimilikinya, (ii) kualitas profesionalitas dari orang tersebut, dan (iii) kualitas personal dari orang tersebut (Davis & Williams, 2003: 831). Selain hal tersebut, terdapat pula kriteria keempat yang di dalam banyak negara sudah diadopsi sebagai standar penilaian, yakni kebutuhan untuk merefleksikan keberagaman di dalam kekuasaan kehakiman (Davis & Williams, 2003: 831).

Pada tahun 2008, European Commission for Democracy Through Law (The Venice Commission), mengeluarkan dokumen terkait dengan kekuasaan kehakiman (judiciary), komentar yang diberikan terkait dengan proses rekrutmen hakim dijelaskan bahwa merit di dalam rekrutmen hakim merujuk pada kualifikasi, integritas, kemampuan, dan efisiensi (The Venice Commission, 2008: 3). Konsekuensi penerapan prinsip merit, menyatakan bahwa kandidat dengan nilai tertinggi merupakan kandidat yang seharusnya ditunjuk sebagai hakim terlepas dari pertimbangan lainnya (Malleson, 2006: 128-129).

Hal ini mengindikasikan diperlukannya sistem perangkingan di dalam melakukan seleksi

kandidat-kandidat yang ada. Proses seleksi tersebut harus dilakukan secara transparan, adil, dan profesional. Aspek kedua dari seleksi hakim menjamin proses rekrutmen haruslah transparan, handal, dan terpercaya. Terkait dengan mekanisme pengisian jabatan hakim ini, beberapa isu di antaranya adalah bebasnya proses pengisian jabatan hakim dari intervensi politik. Salah satu pertanyaan terpenting dari proses ini adalah, apakah proses rekrutmen hakim memerlukan campur tangan dari institusi politik seperti parlemen? Terhadap hal ini The Venice Commission menyatakan sebagai berikut:

“the appointment of judges by the parliament is a method for constituting the judiciary which is highly democratic but [...] the balance might be titled much too far toward the legislative power. This is not without its risks from the point of view of judicial independence, inter alia since judicial appointments may over time be more likely than otherwise to become a subject of party politics” (The Venice Commission, 2008: 6).

(penujukan para hakim oleh parlemen adalah sebuah metode untuk membentuk cabang kekuasaan kehakiman adalah sangat demokratis namun [...] hal ini mungkin terlalu memberikan arah keseimbangan proses kepada kekuasaan legislatif. Hal ini bukan tanpa risiko dari sudut pandang kemerdekaan kekuasaan yudikatif, di antaranya karena rekrutmen hakim dari waktu ke waktu berpotensi untuk menjadi perebutan kekuasaan politik oleh para aktor politik).

Lebih lanjut dalam laporannya tersebut, The Venice Commission mengungkapkan bahwa parlemen merupakan arena pertarungan politik dan proses perekrutan hakim yang melibatkan parlemen berpotensi untuk menjadi alat dalam negosiasi kepentingan politik. Untuk mengatasi hal tersebut, The Venice Commission menyatakan terdapat beberapa pendekatan terbaik di dalam

jurnal Desember isi.indd 299 12/12/2014 3:53:13 PM

Page 105: cover jurnal Desember 2014.cdr

300 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310 Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik) | 301

proses rekrutmen yang melibatkan parlemen, yakni dengan tidak memberikan kekuasaan pemutus final pada parlemen. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan kekuasaan pemutus bagi para kandidat hakim kepada otoritas presiden, dengan pelaksanaan proses seleksi oleh satu otoritas independen untuk kemudian nama-nama kandidat terseleksi diserahkan kepada presiden untuk diputuskan.

Namun demikian, salah satu rekomendasi terkuat dari proses rekrutmen yang disarankan adalah dengan memberikan kewenangan tersebut kepada sebuah badan yang mandiri dan objektif, dengan pemahaman bahwa seleksi yang dilakukan oleh badan ini hanya dapat ditolak dengan alasan-alasan yang sangat kuat.

Lebih lanjut, The Venice Commission merekomendasikan bahwa pengaturan yang demikian harus diatur di dalam konstitusi negara tersebut. Mandat yang diberikan kepada otoritas independen dalam proses pemilihan tersebut harus diberikan porsi proses yang signifikan di dalam menentukan hakim terpilih. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa standar yang harus diterapkan di dalam mekanisme dan proses rekrutmen hakim harus disterilkan dari proses politik (depolitisasi).

ANALISISIV.

Pada masa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, proses rekrutmen hakim agung merupakan kekuasaan bersama antara presiden dengan DPR, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 (UU MA). Lebih lanjut, Pasal 8 ayat (2) UU MA mengatur, DPR memiliki kewenangan untuk mengusulkan daftar nama calon hakim agung

setelah mendengar pendapat Mahkamah Agung dan pemerintah, untuk kemudian dipilih dan ditetapkan presiden selaku kepala negara.

Secara konseptual dapat dilihat bahwa proses tersebut memberikan kewenangan yang besar pada kekuasaan eksekutif. Berhimpunnya peran kepala negara dengan kepala pemerintahan dalam figur presiden memberikan kekuasaan presiden sebagai orang yang harus didengarkan pertimbangannya dalam menyusun daftar yang akan ditetapkan oleh presiden selaku kepala negara. Sebastiaan Pompe dalam bukunya “Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung,” mengatakan kuatnya peran eksekutif dalam mempengaruhi proses pemilihan hakim agung merupakan warisan sejarah. Pada era Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, walaupun secara konseptual menunjukkan peran DPR yang sangat sentral, namun pada praktiknya peran DPR sangatlah tidak signifikan. Pompe beranalisis hal ini disebabkan oleh:

“...kuatnya pemerintah untuk berpegang teguh pada tradisi civil law abad kesembilan belas, pemerintah Indonesia berusaha mendepolitisasi rekrutmen dan bahkan menampilkan Mahkamah Agung dan pengadilan secara keseluruhan sebagai lembaga non-politis, dengan menekankan karakter birokratis Mahkamah Agung ...” (Pompe, 2012: 504).

Kuatnya peran eksekutif terus berlanjut sampai dengan era orde baru. Perdebatan untuk memberikan peran yang lebih besar kepada DPR di dalam melakukan rekrutmen hakim agung, menguat di dalam perdebatan-perdebatan penyusunan RUU tentang Mahkamah Agung, yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

jurnal Desember isi.indd 300 12/12/2014 3:53:13 PM

Page 106: cover jurnal Desember 2014.cdr

300 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310 Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik) | 301

Agung. DPR menginginkan peran yang lebih besar, yakni dengan mengubah usulan nama calon hakim agung disusun oleh DPR. Hal ini bertolak belakang dengan usulan pemerintah yang menginginkan usulan nama disusun oleh pemerintah untuk dibahas oleh DPR. Penolakan ini menguat, bahkan salah satu fraksi di DPR menyatakan DPR tidak diposisikan sebagai kurir, yang hanya meneruskan daftar calon yang disusun oleh Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman (Pompe, 2012: 504).

Argumentasi pemerintah untuk memosisikan DPR sebagai kurir adalah untuk menekan upaya politisasi di dalam proses seleksi hakim agung. Namun demikian, pertarungan sebenarnya tidak hanya terkait peran kelembagaan eksekutif vis a vis legislatif, namun juga pada persoalan sistem rekrutmen terbuka dan tertutup. Banyak desakan dari kaum profesional non-hakim, untuk bisa masuk ke dalam institusi Mahkamah Agung.Usulan pemerintah dianggap memasung hak warga negara yang memiliki kapabilitas dan integritas untuk menduduki posisi hakim agung. Pada akhirnya terjadi rumusan kompromistis antara Menteri Kehakiman dengan DPR, yang memberikan usulan tersebut kepada DPR, namun memberikan posisi juga bagi presiden sebagai pemerintah dan Mahkamah Agung di dalam usulan daftar calon tersebut (Pompe, 2012: 504).

Pembaruan proses rekrutmen hakim agung dilakukan pasca runtuhnya rezim Soeharto. Salah satu agenda reformasi ialah untuk memberikan jaminan konstitusional di dalam UUD NRI 1945 terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman.Beberapa isu mengemuka terkait dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Pada Pasal 1 Bab II butir c TAP MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi

Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, menyebutkan situasi kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada masa Orde Baru, sebagai berikut:

“Selama tiga puluh dua tahun pemerintah Orde Baru, pembangunan hukum khususnya yang menyangkut peraturan perundang-undangan organik tentang pembatasan kekuasaan presiden belum memadai. Kondisi ini memberi peluang terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta memuncak pada penyimpangan berupa penafsiran yang hanya sesuai dengan selera penguasa.Telah terjadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan, dan kepastian hukum bagi masyarakat. Pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktik-praktik negatif pada proses peradillan. Penegakan hukum belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah.”

Untuk mengatasi persoalan tersebut di atas, di dalam TAP MPR Nomor X/MPR/1998 tersebut menyebutkan kebijakan-kebijakan untuk merumuskan tuntutan reformasi hukum, sebagai berikut:

1. Penanggulangan krisis di bidang hukum bertujuan untuk tegak dan terlaksananya hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban, ketenangan, dan ketenteraman masyarakat. Agenda yang harus dijalankan adalah:

a. Pemisahan secara tegas fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum, agar dapat dicapai proporsionalitas, profesionalitas, dan integritas yang utuh.

jurnal Desember isi.indd 301 12/12/2014 3:53:13 PM

Page 107: cover jurnal Desember 2014.cdr

302 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310 Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik) | 303

b. Meningkatkan dukungan perangkat, sarana, dan prasarana hukum yang lebih menjamin kelancaran dan kelangsungan berperannya hukum sebagai pengatur kehidupan nasional.

c. Memantapkan penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia melalui penegakan hukum dan peningkatan kesadaran hukum bagi seluruh masyarakat.

d. Membentuk Undang-Undang Keselamatan dan Keamanan Negara sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Penanggulangan Krisis Subversi yang akan dicabut.

2. Pelaksanaan reformasi di bidang hukum dilaksanakan adalah untuk mendukung penanggulangan krisis di bidang hukum. Agenda yang harus dijalankan adalah:

a. Pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif.

b. Mewujudkan sistem hukum nasional melalui program legislasi nasional secara terpadu.

c. Menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

d. Terbentuknya sikap dan perilaku anggota masyarakat termasuk para penyelenggara negara yang menghormati dan menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

Pada angka 2 huruf a di atas dapat

dilihat kuatnya semangat untuk membangun kemandirian hakim, dengan memisahkannya dari eksekutif. Pada rapat-rapat yang dilakukan oleh PAH III dari Badan Pekerja MPR 1999, beberapa isu yang dirasa penting untuk diatur di dalam perubahan UUD NRI 1945, utamanya terkait dengan Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:

a. Penyatuan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung;

b. Rekrutmen hakim agung;

c. Kewenangan untuk melakukan judicial review; dan

d. Pengawasan terhadap hakim (Wasito et.al., 2010: 602).

Pada isu rekrutmen hakim agung, Prof. Sri Soemantri pada rapat ke-7 PAH III BP MPR, menekankan arti penting dari pengisian jabatan hakim agung, mengingat kewenangan yang besar dari Mahkamah Agung. Pada rapat tersebut, Prof. Sri menitikberatkan arti penting dari proses rekrutmen hakim agung dengan menyatakan:

“Oleh karena itu (reformasi Mahkamah Agung-pen), yang penting bukan hanya memberikan kedudukan yang kuat, tapi menurut saya itu adalah rekrutmen. Bagaimana merekrut hakim agung, yang mempunyai integritas ....” (Wasito et.al., 2010: 602-603).

Pada kesempatan tersebut, Prof. Sri melakukan kritik terhadap pola rekrutmen hakim agung pada saat itu, yang memberikan kewenangan besar bagi presiden, namun menghasilkan kualitas hakim agung yang tidak memadai. Terhadap hal ini beliau mengungkapkan:

“Nah, di Indonesia itu sampai sekarang ini, hakim agung itu diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, yang tadinya

jurnal Desember isi.indd 302 12/12/2014 3:53:14 PM

Page 108: cover jurnal Desember 2014.cdr

302 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310 Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik) | 303

untuk satu lowongan sekarang untuk tidak menyinggung perasaan presiden, diajukan dua orang calon. Ini artinya, memberikan kesempatan kepada presiden untuk, tentunya memilih calon yang kira-kira sesuai dengan keinginan presiden itu sendiri” (Wasito et.al., 2010: 603).

Pernyataan Prof. Sri dapat diletakkan dalam konteks politisasi pemilihan hakim agung pada masa-masa orde baru. Kritik tersebut menyoroti besarnya kewenangan presiden untuk memilih hakim agung yang sesuai dengan selera politik dari presiden. Politisasi rekrutmen hakim agung, pada akhirnya menciptakan intervensi dari kekuasaan eksekutif, sehingga membuat terpuruknya kekuasaan kehakiman.

Pada awalnya usulan rekrutmen diserahkan kepada MPR, namun demikian hal ini dipertanyakan oleh Prof. Dr. I Dewa Gde Atmadja, pada Rapat PAH I BP MPR ke-9, di mana beliau berpendapat:

“Memang ada keinginan katanya ke MPR. Saya kira akan mengalami kesulitan nanti MPR kalau sampai mengangkat Mahkamah Agung, menurut hemat saya” (Wasito et.al., 2010: 605).

Salah satu keberatan dari Prof. I Dewa Gde adalah kekhawatiran bagi MPR untuk bisa memberikan penilaian terhadap calon hakim agung berdasarkan kriteria-kriteria yang independen dan transparan. Prof. I Dewa Gde menolak bentuk pengawasan terhadap hakim agung, namun mendukung proses yang rigid untuk menghasilkan hakim agung yang berkualitas dan berintegritas (Wasito et.al., 2010: 606-607).Kewenangan rekrutmen ini kemudian mengerucut kepada sebuah lembaga independen, dalam hal ini Komisi Yudisial (KY), yang tidak hanya diposisikan menjalankan fungsi pengawasan. Rasionalitas di balik pemberian wewenang yang

demikian dimaksudkan untuk mengamankan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dari tangan cabang kekuasaan lainnya.

Pada konteks pengawasan, isu kemerdekaan kekuasaan kehakiman diusulkan oleh Hamdan Zoelva dari Fraksi PBB, pada saat itu, memberikan pandangan:

“...Mahkamah Agung itu sebagai lembaga yang mandiri. Kemudian yang mengawasi kinerja Mahkamah Agung itu kan .....sebenarnya terletak pada hakimnya ..... Oleh karena itu, perlu dibentuk dan dimuat dalam undang-undang dasar ini, kita bentuk suatu dewan kehormatan hakim yang kita bentuk dari unsur-unsur, baik di kalangan hakim, di kalangan ahli hukum maupun di kalangan orang-orang yang benar-benar mempunyai integritas yang tinggi” (Wasito et.al., 2010: 41).

Lebih lanjut, pada konteks rekrutmen hakim, isu kemerdekaan kekuasaan kehakiman dilontarkan oleh I Dewa Gede Palguna dari F-PDIP, di mana beliau menyatakan:

“...untuk menghindarkan intervensi kekuasaan eksekutif terhadap para hakim, kami mengusulkan suatu badan yang mandiri yang kami sebut Komisi Yudisial....sekarang kami mengusulkan untuk hakim agung diangkat oleh presiden, berdasarkan usul Komisi Yudisial Nasional” (Wasito et.al., 2010: 611).

Rumusan perdebatan tereksplisit di dalam perubahan UUD NRI 1945, disampaikan oleh Agung Gunanjar Sudarsa (F-PG), sebagai berikut:

“...satu menyangkut, itu bisa diukur daripada proses pengangkatannya, sehingga dalam Pasal 24 B itu, kami menyatakan bahwa hakim agung diangkat dan diberhentikan dengan persetujuan DPR atas usul Komisi Yudisial, nah sehingga kata-kata dengan persetujuan DPR. DPR tidak melakukan fit and proper test, DPR tidak lagi melakukan proses seleksi, tapi DPR hanya memberikan

jurnal Desember isi.indd 303 12/12/2014 3:53:14 PM

Page 109: cover jurnal Desember 2014.cdr

304 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310 Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik) | 305

persetujuan, dia dapat menerima atau menolak sejumlah calon-calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial ... agar kekuasaan kehakiman tidak terintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik” (Wasito et.al., 2010: 425).

Perdebatan-perdebatan yang terjadi tersebut mengerucut, sehingga menghasilkan rumusan Pasal 24 B jo. Pasal 24 C ayat (3) UUD NRI 1945 pada perubahan III, 9 November 2001, yang memberikan kewenangan bagi Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung, untuk kemudian mendapatkan persetujuan DPR. Hal ini kemudian diturunkan secara operasional dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa proses pengangkatan hakim agung yang digariskan di dalam UUD NRI 1945 adalah untuk menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Lebih jauh lagi salah satu proses yang perlu diperhatikan adalah mekanisme bagi perekrutan hakim agung haruslah transparan dan meminimalisasi unsur politikdi dalam rekrutmen hakim agung, sehingga menghasilkan hakim-hakim agung yang kompeten dan memiliki integritas tinggi untuk menjalankan fungsi-fungsi Mahkamah Agung sebagai kekuasaan tertinggi di dalam cabang kekuasaan kehakiman dalam lingkup peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

Pada perjalanannya, pemberian kewenangan kepada KY untuk melaksanakan rekrutmen hakim agung mengalami dinamika. Tujuan utama dari

pemberian kewenangan KY untuk melaksanakan rekrutmen hakim agung adalah melakukan sterilisasi kepentingan politik dalam pelaksanaan seleksi hakim agung, dan lebih utama lagi untuk menciptakan proses seleksi yang transparan, objektif, dan independen. Hal ini ditujukan untuk menghasilkan hakim agung yang memiliki kapasitas dan integritas yang tinggi.

Pada perkembangannya, hal ini diterjemahkan berbeda di dalam pengaturan turunannya. Proses persetujuan yang diperlukan di dalam DPR, berubah menjadi pemilihan dengan mewajibkan KY memberikan tiga nama untuk satu posisi yang lowong, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.

Proses yang demikian dirasakan bertentangan dengan UUD NRI 1945. Hal ini kemudian menyebabkan beberapa akademisi mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap ketentuan tersebut. Pada pokoknya, para pemohon mendalilkan hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa Pasal 24 A ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa:

“calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden.”

2. Bahwa ketentuan tersebut memberikan persetujuan, namun di dalam ketentuan undang-undang mekanisme yang digunakan adalah memilih dari sejumlah calon yang diajukan oleh KY, sebagaimana diatur pada Pasal 18 ayat (4) UU KY dan Pasal 8 ayat (2), (3),dan (4) UU MA.

jurnal Desember isi.indd 304 12/12/2014 3:53:14 PM

Page 110: cover jurnal Desember 2014.cdr

304 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310 Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik) | 305

3. Perubahan konsep persetujuan menjadi pemilihan, telah menimbulkan beberapa persoalan di antaranya:

a. Merupakan penyimpangan serius terhadap ketentuan UUD NRI 1945;

b. Menimbulkan ketidakpastian terhadap para pemohon dan hak setiap warga negara Indonesia pada umumnya yang berkeinginan mengabdi sebagai hakim agung; dan

c. Berpotensi mengganggu indepedensi peradilan karena hakim agung dipilih oleh DPR, di mana dengan mekanisme pemilihan ini memungkinkan bagi DPR menolak calon-calon yang diusulkan oleh KY atas alasan dianggap tidak memenuhi jumlah calon yang disyaratkan UU MA dan KY.

4. Bahwa keterlibatan DPR dalam pengangkatan hakim agung hanya dalam mewujudkan fungsi checks and balances antar cabang kekuasaan negara dalam pemerintahan demokrasi. Perubahan konsep persetujuan menjadi pemilihan berpotensi mempengaruhi independensi sistem peradilan, karena hakim agung dipilih oleh lembaga politik.

5. Bahwa mengutip Jimly Asshiddiqie, bahwa persetujuan DPR hanya dimaknai dalam konteks Right to Confirm. Dalam hal ini, DPR hanya melakukan “political election” yang mengedepankan ideologi calon, karena di situ akan terlihat arah perjuangan seorang pemimpin politik, bukan technical solution seperti yang dilakukan panitia seleksi (pansel) yang

mengurusi persoalan teknis seperti menguji kapasitas, integritas, kesehatan, dan kelengkapan administrasi.

Berdasarkan hal-hal tersebut, pemohon mengajukan beberapa tuntutan permohonan (petitum), untuk menyatakan kata dipilih dan pemilihan pada UU Nomor 3 Tahun 2009 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain hal tersebut rumusan tiga calon hakim agung kepada DPR untuk setiap satu lowongan pada UU Nomor 18 Tahun 2011 dinyatakan tidak mengikat.

Pada pemberian tanggapan, sisi pemerintah tidak terlalu banyak memberikan tanggapan berarti terhadap argumentasi dari para pemohon. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki kepentingan yang berarti pada proses pemilihan hakim agung. Pemerintah hanya memberikan sanggahan dengan mengajukan pembelaan sumir yang menyandarkan diri pada konsep checks and balances, di dalam proses yang digariskan oleh undang-undang tersebut. Hal yang sama juga terlihat di dalam tanggapan oleh DPR. Elaborasi yang diberikan tidak secara langsung ditujukan untuk melawan argumentasi dari para pemohon, namun hanya mendalilkan bahwa hak konstitusional pemohon tidaklah dihilangkan. Kata persetujuan bersama di dalam rumusan UUD NRI 1945, mengimplikasikan adanya bentuk penilaian terhadap para calon hakim agung yang diserahkan oleh DPR, oleh karenanya dalam melakukan penilaian dan penimbangan perlu diajukan lebih dari satu calon.

Pada kedua argumen, baik pemerintah maupun DPR, dapat dilihat bahwa kedua argumentasi tidak menyentuh persoalan mendasar, yakni, terkait dengan hubungan antara

jurnal Desember isi.indd 305 12/12/2014 3:53:14 PM

Page 111: cover jurnal Desember 2014.cdr

306 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310 Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik) | 307

proses rekrutmen dengan independensi kekuasaan kehakiman. Padahal secara substansi, persoalan konstitusional utama dari rumusan pasal-pasal di dalam undang-undang terletak pada hal tersebut.Hal inilah kemudian yang dijadikan pertimbangan MK di dalam memutus permohonan tersebut.Pada pertimbangan hukumnya, MK pertama-tama menjelaskan peran dan tugas KY di dalam konteks kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dengan menyitir konsideran UU KY. Lebih lanjut, MK mencatat salah satu uraian yang disampaikan oleh Agun Gunanjar Sudarsa, yang menghubungkan proses rekrutmen ke dalam konteks penjagaan kekuasaan kehakiman. Oleh karenanya, MK berkesimpulan bahwa permohonan pemohon dapat dikabulkan untuk seluruhnya.

Pada analisis pertimbangan hakim tersebut, dapat dilihat sangat kuatnya keterhubungan antara proses pemilihan hakim agung dengan kemandirian kelembagaannya. Pertimbangan yang demikian sangat tepat baik dari sudut pandang teoritik maupun UUD NRI 1945. Seperti diuraikan di atas, pelibatan institusi demokratis dapat dikatakan sebagai bentuk pelibatan publik terhadap proses pemilihan pejabat pengadilan, namun demikian berpotensi untuk mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dikarenakan institusi tersebut juga merupakan institusi politik (The Venice Commission, 2008: 6).

Hal ini bukanlah merupakan asumsi tanpa dasar, namun ditemukan secara nyata di dalam praktik. Salah satu studi yang dilakukan terhadap kekuasaan kehakiman di Amerika Serikat, menunjukkan adanya hubungan antara praktik rekrutmen hakim agung dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Hal ini ditunjukkan dengan adanya korelasi signifikan antara pandangan politik para hakim paralel dengan presiden yang memilih mereka, apakah berlatar

belakang republik atau demokrat. Salah satu kesimpulan yang diambil di dalam penelitian tersebut, dinyatakan bahwa:

“we have found striking evidence of a relationship between the political party of the appointing president and judicial voting pattern. For the most important questions, Republican appointees differences from Democratic appointees” (Sunstein et.al., 2006:147).

(kami telah menemukan bukti yang mengejutkan relasi antara partai politik dari presiden yang menunjuk dengan pola pengambilan keputusan pengadilan. Terkait dengan pertanyaan terpenting, kandidat hakim yang ditunjuk oleh kubu republik berbeda dengan kandidat yang ditunjuk oleh kubu demokrat).

Lebih lanjut, hasil dari keputusan MK juga mengafirmasi niat dari para penyusun rumusan Pasal 24 A terkait dengan proses pemilihan hakim agung. Perdebatan dan uraian dari para penyusun dan para ahli yang diundang menginginkan proses pemilihan umum yang transparan, objektif, dan menghindari transaksi politik dalam penunjukan hakim agung.

Pada prosesnya, keputusan MK ini memiliki implikasi terhadap proses persetujuan yang berada di DPR. Konsep pemilihan yang memberikan kekuasaan yang besar pada DPR telah dihilangkan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana proses seleksi hakim agung di dalam pelaksanaan ke depannya, untuk menjamin proses yang transparan, objektif, dan independen. Terdapat dua aspek untuk merumuskan jawaban terhadap pertanyaan ini. Pertama, dengan dihapuskannya konsep pemilihan menjadi persetujuan, hal ini menempatkan KY sebagai lembaga kunci di dalam keseluruhan proses pemilihan hakim agung. Kedua, pelibatan DPR sebagai institusi politik yang dipilih secara demokratis bukan berarti hilang. Rumusan Pasal

jurnal Desember isi.indd 306 12/12/2014 3:53:14 PM

Page 112: cover jurnal Desember 2014.cdr

306 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310 Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik) | 307

24 UUD NRI 1945, mengamanatkan proses persetujuan DPR di dalam seleksi hakim agung.

Pada praktiknya, KY, baik pada tataran normatif maupun pelaksanaan telah menunjukkan profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas dalam mengelola proses seleksi hakim agung. Secara teoritik, sebagai sebuah institusi yang independen KY diharapkan mampu melaksanakan proses pemilihan berdasarkan merit based system. Namun demikian, pelibatan institusi DPR di dalam proses persetujuan masih menimbulkan ruang keraguan sejauh mana proses seleksi hakim agung dapat didepolitisasi, atau setidaknya menyisakan ruang yang sempit bagi proses transaksional di DPR. Tantangan di DPR tidak hanya kekhawatiran masuknya intrusi politik di dalam pengambilan keputusan terkait dengan seleksi jabatan, namun juga praktik-praktik suap yang terjadi di dalam proses seleksi jabatan yang melibatkan DPR. Hal ini dapat dilihat dalam catatan tahunan yang disusun oleh PSHK.

Pada catatan tahunan kinerja DPR 2011, PSHK secara khusus menyoroti proses seleksi jabatan yang melibatkan DPR. Kritik terbesar dari catatan tersebut adalah ketidakmampuan DPR untuk mempertanggungjawabkan tolok ukur di dalam melakukan penilaian terhadap kandidat pejabat publik yang diseleksi. Hal ini menyebabkan DPR sebagai sebuah institusi tidak dapat memberikan penilaian dengan prinsip merit based system. Salah satu contoh adalah saat pemilihan pimpinan KPK, di mana DPR mengabaikan perangkingan yang dilakukan oleh tim pansel yang diisi oleh para pakar, tanpa memberikan penjelasan kekurangan metode dari tim pansel tersebut. Lebih lanjut, proses transaksional dalam seleksi pejabat publik juga berpotensi pada pidana, seperti pada kasus

Miranda Goeltom dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia (Nursyamsi, 2012: 53-62).

Pertanyaan sekarang apakah dengan adanya putusan MK tersebut dapat mengurangi praktik-praktik tersebut di atas. Jika dilihat, konsep persetujuan memiliki kemiripan di dalam proses konseptual dengan confirmation process oleh senat, sebagaimana digariskan di dalam konstitusi Amerika Serikat. Namun demikian, sebagaimana dijabarkan di dalam penelitian Cass R. Sunstein intrusi politik dalam pemilihan hakim agung tidaklah dapat dihindari. Perdebatan kontemporer terkait dengan hal proses konfirmasi oleh senat adalah apakah di dalam proses konfirmasi, senat memiliki peran yang aktif atau pasif. Konsekuensi dari jawaban terhadap pertanyaan tersebut, berimplikasi terhadap proses yang harus dilalui (Strauss & Sunstein, 1992: 1493).

Jika senat memiliki peran aktif, maka praktik seleksi yang dilakukan oleh senat menjadi aktif dengan melakukan serangkaian aktivitas untuk menilai pilihan nama yang disodorkan oleh presiden. Jika jawabannya pasif, maka peran senat harus menahan diri hanya sebagai pemeriksa ulang apakah para kandidat yang diajukan sudah sesuai dengan standar yang ditentukan baik dari sisi karakter ataupun kecakapan profesionalnya, dalam bahasa yang lugas David A. Strauss dan Cass R. Sunstein, dalam tulisannya menyatakan:

“under this approach, the senate could not appropriately consider a nominee’s basic commitments or views on controversial issues, unless those view were so extreme as to call into question the nominee’s character or competence” (Strauss & Sunstein, 1992: 1493).

(pada pendekatan ini (peran pasif), senat tidak dapat menanyakan dan mempertimbangkan komitmen dasar atau pandangan dari para kandidat terkait isu kontroversial, kecuali jika pandangan

jurnal Desember isi.indd 307 12/12/2014 3:53:14 PM

Page 113: cover jurnal Desember 2014.cdr

308 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310 Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik) | 309

tersebut dianggap terlalu ekstrim sehingga harus dipertanyakan untuk menilai karakter dan kompetensi dari kandidat).

Pada model proses seleksi di Inggris, perdebatan yang sama pun terjadi terkait dengan peran dari Lord Chancellor di dalam proses penunjukan hakim senior di dalam pengadilan. Sebelum diberlakukannya Constitutional Reform Act 2005 (CRA), proses pemilihan hakim agung Inggris memberikan peran yang dominan pada Lord Chancellor, namun demikian pasca diberlakukannya CRA tersebut, maka peran dominan beralih kepada Judicial Appointments Commission (JCA).

JCA merupakan lembaga independen yang terdiri dari lima belas komisioner. Komisioner ditunjuk dari ragam latar belakang, di antaranya, perwakilan masyarakat, anggota dari profesi hukum, dan para hakim dari seluruh level pengadilan. Namun demikian, peran dari Lord Chancellor juga tidak dihilangkan sepenuhnya, di mana seperti halnya dalam UUD NRI 1945, Lord Chancellor memiliki wewenang untuk memberikan persetujuan atas hasil seleksi yang dilaksanakan oleh JCA (House of Lords, 2012: 8).

Jumlah hakim yang diajukan JCA kepada Lord Chancellor pun hanya terdiri dari satu kandidat untuk setiap lowongan. Pada CRA juga disebutkan, bahwa Lord Chancellor hanya dapat menolak hasil dari JCA, hanya jika beranggapan bahwa kandidat yang diajukan tidak cocok untuk mengisi jabatan tersebut. Lebih lanjut, dinyatakan secara tegas, bahwa dalam hal penolakan dilakukan Lord Chancellor harus menyediakan alasan yang diberikan secara tertulis atas penolakan tersebut. Nominasi dapat dilakukan sampai tiga kali putaran, dalam hal

putaran terakhir, maka tidak ada pilihan bagi Lord Chancellor untuk menerima kandidat yang diajukan (House of Lords, 2012: 12-13).

Pada konteks persetujuan dalam struktur rumusan UUD NRI 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka peran dari DPR dalam persetujuan haruslah bersifat pasif. Hal ini mengisyaratkan jika DPR tidak menemukan informasi material yang perlu diklarifikasi ataupun menolak pencalonan calon hakim agung, maka DPR tidak dapat menolak proses yang sudah dihasilkan oleh KY. Sehingga secara teknis, DPR tidak perlu melakukan proses fit and proper test kepada kandidat, yang perlu DPR lakukan hanya melakukan pemeriksaan ulang (cross check) terhadap hasil yang disampaikan oleh KY.

Apabila DPR memaksakan untuk mengadakan proses fit and proper test kembali, maka metode dan tolok ukurnya harus menggunakan ukuran yang sama dengan yang dilakukan oleh KY di dalam menilai para kandidat hakim agung. Hasil dari fit and proper test ini harus diumumkan secara terbuka kepada publik berikut pertimbangan-pertimbangannya. Dengan sistem pasif, maka diharapkan ruang gerak dari transaksi politik sekaligus intrusi kepentingan politik DPR dapat diminimalisasi. Sehingga, hakim agung yang dihasilkan dalam proses yang demikian merupakan hakim agung terbaik untuk menjalankan fungsi Mahkamah Agung yang merdeka.

Lebih lanjut, pada proses mekanisme dapat ditentukan bahwa keputusan final dari proses seleksi hakim agung harus tetap berada di tangan Komisi Yudisial. Pengadopsian mekanisme hubungan antara JCA dengan Lord Chancellor dapat dipertimbangkan untuk diterapkan di dalam praktik di Indonesia. Namun demikian, untuk

jurnal Desember isi.indd 308 12/12/2014 3:53:14 PM

Page 114: cover jurnal Desember 2014.cdr

308 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310 Pembatasan dan Penguatan Kekuasaan Kehakiman (Giri Ahmad Taufik) | 309

mengadopsi proses tersebut diperlukan perubahan UU MA dan UU KY untuk menegaskan prinsip dan mekanisme yang ada agar sesuai dengan UUD NRI 1945, sebagaimana ditegaskan di dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013.

SIMPULANV.

Kemerdekaan cabang kekuasaan kehakiman di Indonesia merupakan bagian terpenting dari sistem ketatanegaraan yang digariskan di dalam konstitusi Indonesia. Jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak hanya terbatas pada pemberian jaminan kemerdekaan bagi hakim di dalam melaksanakan tugas-tugasnya untuk memutuskan perkara hukum yang dibawa di hadapannya, hanya berdasarkan pada fakta dan hukum yang disajikan di dalam persidangan, tanpa adanya campur tangan dari cabang kekuasaan lainnya.

Pada konstitusi Indonesia, jaminan tersebut juga diperluas dengan mengatur sedemikian rupa agar proses seleksi pengisian jabatan hakim agung, dilakukan secara profesional, independen, dan akuntabel, dengan mengamanatkan mandat pengisian jabatan hakim agung dilaksanakan oleh sebuah komisi, dalam hal ini Komisi Yudisial. Prinsip inilah yang ditegaskan di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013. Oleh karenanya, putusan MK tersebut telah meneguhkan jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Indonesia terkait dengan proses pengisian jabatan hakim agung.

Lebih lanjut, untuk menjalankan prinsip tersebut, maka dapat disimpulkan pula peran DPR haruslah bersifat pasif di dalam proses konfirmasi/persetujuan terkait dengan pengisian jabatan hakim agung. Oleh karenanya, DPR perlu untuk menahan diri untuk tidak melakukan penilaian

ulang terhadap kandidat hasil dari proses di KY, dengan cara melakukan fit and proper test, selama proses di KY dilaksanakan secara transparan, adil, akuntabel, dan profesional. Apabila DPR menginginkan proses penilaian ulang terhadap kompetensi dari kandidat, maka pelaksanaan tersebut harus dilaksanakan dengan menggunakan standar proses dan kriteria penilaian yang sama yang digunakan oleh KY, proses dan hasil dari penilaian tersebut diungkapkan secara terbuka di hadapan publik.

Untuk memberikan jaminan dan peneguhan terhadap prinsip tersebut, maka diperlukan perubahan baik UU MA ataupun UU KY untuk mengakomodir proses pemilihan sebagaimana digambarkan pada paragraf dua dari kesimpulan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Davis, Rachel & George Williams. 2003. Reform of the Judicial Appointments Process: Gender and the Bench of the High Court of Australia.Melbourne Law Review, 27.

Detik.com. 2012. Komisi III DPR Klaim Bentuk Panja Putusan MA Untuk Bela Rakyat Kecil. http://finance.detik.com/read/2012/03/03/102543/1856981/10/komisi-iii-dpr-klaim-bentuk-panja-putusan-ma-untuk-bela-rakyat-kecil

Firmansyah, Rachmad Maulana, et.al. 2012. Kajian Lembaga Penegak Hukum di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia & Konrad Adenauer Shiftung.

Gloppen, Siri. 2011. Court, Corruption, and Judicial Independence. Bergen: CMI Publication.

jurnal Desember isi.indd 309 12/12/2014 3:53:14 PM

Page 115: cover jurnal Desember 2014.cdr

310 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 311

Hamilton, Alexander. 1778. The Federalist Paper Number 78: The Judiciary Department.Independent Journal.

House of Lords. 2012. Report Judicial Appointments. Select Committee on the Constitution: 25th Report of Session2010-12 (HL Paper 272).

Kelemen, R. Daniel. 2011. The Political Foundations of Judicial Independence in the European Union. European Union Studie Association Biennal Convention.

Law Commission of India. 1978. Eightieth Report on the Method of Appointment of Judges. D.O. N.O F.2(12)/77-L.C.

Linan, Anibal Perez & Andrea Castagnola. 2011. Institutional Design and External Independence: Assessing Judicial Appointments in Latin America. The 2011 Meeting of The American Political Science Association.

Malleson, Kate. 2006. Rethingking the Merit Principle in Judicial Selection. The University of Melbourne Journal of Law and Society, 33.

Nursyamsi, Fajri. 2012. Catatan Kinerja DPR 2011 Legislasi: Aspirasi atau Transaksi. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.

Pompe, Sebastiaan. 2012. Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung. Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan.

Strauss, David A & Cass R. Sunstein. 1992. The Senate, the Constitution, and the Confirmation Process. Yale Law Journal, 1491.

Sunstein, Cass R, et.al. 2006. Are Judges Political? an Emperical Analysis of the Federal Judiciary.Washington DC: Brooking Institution Press.

The Venice Commission (European Commission for Democracy Through Law). 2008.Draft Vadenmecum on the Judiciary, CDL-

JD(2008)001.

Wasito, Wiwik Budi, et.al. 2010. Buku VI: Kekuasaan Kehakiman Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

jurnal Desember isi.indd 310 12/12/2014 3:53:14 PM

Page 116: cover jurnal Desember 2014.cdr

310 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 295 - 310 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 311

ABSTRAK

Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diatur di dalam Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) adalah melakukan pengujian Undang-Undang (UU) terhadap UUD NRI 1945. Seiring berjalannya waktu, ditemukan praktik bahwa MK telah melakukan pengujian konstitusionalitas peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Padahal tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa MK mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian Perppu terhadap UUD NRI 1945. Bahkan hal tersebut juga tidak kita temukan di dalam UUD NRI 1945. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis dari segi teori-teori hukum yang dapat menjelaskan MK dapat atau tidak dapat dibenarkan melakukan pengujian Perppu terhadap UUD NRI 1945. Melalui penjelasan teori-teori hukum tersebut, akhirnya diketahui bahwa tidak benar jika menyatakan MK berwenang menguji Perppu hanya dengan dasar bahwa Perppu ditempatkan dalam Bab VII UUD NRI 1945 tentang DPR. Selain itu, tidak benar juga jika materi muatan Perppu dinyatakan sebagai materi muatan UU bukan materi muatan PP dalam rangka melaksanakan UU sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945.

Kata kunci: perppu, pengujian peraturan perundang-undangan, kewenangan mahkamah konstitusi

ABSTRACT

One of the authorities of the Constitutional Court, as stipulated on Article 24 C paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia is to conduct a judicial review. However over time, it appears that the Constitutional Court has conducted a constitutional review to the Government Regulation in Lieu of Law (the Perppu). As the matter of fact, there is no regulation set the authority for the Constitutional Court, even not affirmed in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. For that reason, it is necessary to grasp legal theories in the analysis to elucidate this issue: is the Constitutional Court allowed to review the Perppu? Through the elaboration of the legal theories, it can be deduced that it is invalid to confirm that the Constitutional Court has the authority to review the Perppu on the basis that it is stipulated in Chapter VII of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia regarding the House of Representatives. More to the point, it is also could not be justified that the content of the Perppu is asserted as the content of the Law, not as the content of Government Regulation (PP) in order to implement the Law as referred to Article 5 paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.

Keywords: the government regulation in lieu of law (perppu), legislation review, constitutional court’s authority

MENYOAL KEWENANGANMAHKAMAH KONSTITUSI MENGUJI PERPPU

Kajian terhadap Enam Putusan Mahkamah Konstitusi

QUESTIONING THE CONSTITUTIONAL REVIEW TOTHE GOVERNMENT REGULATION IN LIEU OF LAW (PERPPU)

Zairin HarahapFakultas Hukum Universitas Islam IndonesiaJl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta 55151

E-mail: [email protected]

An Analysis of Six Decisions of the Constitutional Court

Naskah diterima: 4 April 2014; revisi: 20 November 2014; disetujui: 24 November 2014

jurnal Desember isi.indd 311 12/12/2014 3:53:15 PM

Page 117: cover jurnal Desember 2014.cdr

312 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 313

PENDAHULUANI.

Mahkamah Konstitusi (MK) adalah salah satu lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perubahan ketiga UUD NRI 1945 sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 24 C UUD NRI 1945 (Asshiddiqie, 2006: 98-100). Dalam pasal tersebut secara tegas disebutkan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Selanjutnya, dalam Pasal 24 C ayat (6) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa “Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.” Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 C ayat (6) UUD NRI 1945 tersebut telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK 2003), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK 2011), dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (UUMK 2014). Namun, UUMK 2014 tersebut telah dibatalkan oleh MK berdasarkan Putusan Nomor 1/PUU-XI/2014 dan Nomor 2/PUU-XI/2014. Oleh karena itu, UUMK 2014 sudah tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, sehingga tidak dapat diberlakukan lagi. Dengan demikian, saat ini UU yang mengatur tentang MK yang berlaku adalah UUMK 2003 dan UUMK 2011.

Kewenangan MK sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945, selanjutnya dipertegas dan dijabarkan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UUMK 2003 adalah:

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Memutus pembubaran partai politik;

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,

jurnal Desember isi.indd 312 12/12/2014 3:53:15 PM

Page 118: cover jurnal Desember 2014.cdr

312 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 313

penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dari ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dapat diketahui bahwa salah satu kewenangan konstitusional dari MK adalah menguji UU yang diduga bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Kewenangan MK sebagaimana yang dikemukakan di atas dipertegas kembali dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUPUU), yang menyebutkan bahwa: “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.”

Dalam praktiknya, MK tidak hanya menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD NRI 1945 tetapi juga menguji konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagaimana terakhir menguji Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Perppu 1/2013) melalui Putusan Nomor 90/PUU-XI/2013, Nomor 91/PUU-XI/2013, Nomor 92/PUU-XI/2013, Nomor 93/PUU-XI/2013, dan Nomor 94/PUU-XI/2013. Sebelumnya MK juga pernah melakukan pengujian terhadap Perppu Nomor 4 Tahun 2009

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Perppu 4/2009) melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009.

Berangkat dari uraian di atas, tulisan ini bermaksud melakukan pengkajian dan analisis terhadap putusan-putusan MK yang menyatakan MK mempunyai kewenangan melakukan pengujian Perppu terhadap UUD NRI 1945. Karena, baik UUD NRI 1945 maupun UU MK, dan UUPUU sebagaimana yang telah dikemukakan di atas secara tegas menyebutkan bahwa kewenangan MK adalah menguji UU yang diduga bertentangan dengan UUD.

RUMUSAN MASALAHII.

Dalam UUD NRI 1945 secara tegas disebutkan bahwa salah satu kewenangan konstitusional MK adalah menguji UU terhadap UUD NRI 1945, sedangkan kewenangan untuk menguji Perppu merupakan kewenangan konstitusional DPR. Namun, dalam praktiknya, ada Perppu yang telah diuji konstitusionalitasnya oleh MK. Sebagaimana diketahui putusan MK adalah bersifat final dan mengikat, sehingga setiap putusannya menjadi konstitusional, meskipun bisa jadi ada “kekeliruan” atau bahkan “kesalahan.”

Oleh karena itu, putusan MK telah tertutup untuk dipersoalkan secara konstitusional, namun secara akademik tetap terbuka untuk dikaji, khususnya dari aspek keilmuan hukum (teori hukum). Pertanyaan mendasar yang dapat diajukan adalah apakah berdasarkan teori hukum, MK dapat dibenarkan untuk melakukan pengujian Perppu terhadap UUD NRI 1945?

jurnal Desember isi.indd 313 12/12/2014 3:53:15 PM

Page 119: cover jurnal Desember 2014.cdr

314 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 315

STUDI PUSTAKA III.

Putusan MK yang menyatakan mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian konstitusionalitas Perppu terhadap UUD NRI 1945 sangat bersinggungan dengan teori pembagian kekuasaan dan checks and balances, teori kewenangan, dan teori perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam studi pustaka ini akan digunakan berbagai literatur yang membahas teori-teori tersebut.

Menurut teori pembagian kekuasaan, dilakukannya pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara bertujuan untuk mencegah terjadinya kekuasaan absolut yang terpusat pada satu tangan (lembaga) dan/atau munculnya lembaga negara “super power” yang pada gilirannya akan merusak sendi-sendi demokrasi. Setiap lembaga negara dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya diberikan kewenangan yang antara lain bertujuan untuk melakukan checks and balances di antara masing-masing. Oleh karena itu, apakah suatu lembaga negara berwenang untuk melakukan sesuatu dapat dikaji dari teori kewenangan, termasuk di dalamnya kewenangan untuk menguji suatu produk peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, teori perundang-undangan pun cukup relevan digunakan untuk mengkaji putusan MK yang menyatakan berwenang untuk menguji konstitusionalitas Perppu terhadap UUD NRI 1945.

1. Teori Pembagian Kekuasaan dan Checks and Balances

Menurut Ismail Suny adalah John Locke yang pertama kali membicarakan tentang teori pembagian kekuasaan (1690) yang terdiri dari kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat

undang-undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan melaksanakan undang-undang), dan kekuasaan federatif (kekuasaan mengenai perang dan damai, membuat perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri). Mengenai kekuasaan yudikatif (kekuasaan untuk mengadili) oleh John Locke dimasukkan sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif (Suny, 1982: 1-2).

Teori John Locke tersebut, selanjutnya disempurnakan oleh Montesquieu (1748) yang membagi kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif (kekuasaan membentuk undang-undang), eksekutif (kekuasaan menjalankan undang-undang), dan yudikatif (kekuasaan menegakkan hukum). Teori dari Montesquieu ini oleh Immanuel Kant disebut dengan trias politica (Mahmuzar, 2010: 18-19). Dengan demikian, Montesquieu tidak memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif. Hal ini karena sebagai seorang hakim Montesquieu mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif adalah berlainan dengan kekuasaan pengadilan. Sebaliknya, kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut John Locke sebagai kekuasaan federatif yang merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dimasukkan oleh Montesquieu ke dalam kekuasaan eksekutif (Suny, 1982: 2-3). Menurut Soehino, pemisahan kekuasaan yang dilakukan oleh Montesquieu tersebut adalah untuk menghilangkan kemungkinan munculnya tindakan yang sewenang-wenang dari seorang penguasa atau jelasnya tidak memberikan kemungkinan dilaksanakannya sistem pemerintahan yang absolutisme. Oleh karena itu, masing-masing kekuasaan dipegang oleh suatu badan yang berdiri sendiri (Soehino, 2008: 117).

Sir Ivor Jennings dalam menanggapi teori trias politica dari Montesquieu tersebut

jurnal Desember isi.indd 314 12/12/2014 3:53:15 PM

Page 120: cover jurnal Desember 2014.cdr

314 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 315

mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan (separation of powers) dapat berupa dalam arti materiil (pembagian kekuasaan dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahaan kekuasaan) dan dalam arti formal (pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan secara tegas). Oleh karena itu, menurut Ismail Suny, pemisahan kekuasaan dalam arti materiil sepantasnya disebut pemisahan kekuasaan (separation of powers), sedang yang dalam arti formal sebaiknya disebut pembagian kekuasaan (division of powers), tetapi ada juga yang menyebutnya dengan istilah distribution of power (C, 2011: 73).

Di Indonesia, menurut Ismail Suny baik selama periode UUD NRI 1945, UUD 1949, UUDS 1950, dan kembali ke UUD NRI 1945 tidak terdapat atau tidak pernah dilaksanakan pemisahan kekuasaan dalam arti materiil atau dengan kata lain di Indonesia terdapat pembagian kekuasaan dengan tidak menekankan kepada pemisahannya (Suny, 1982: 43). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Anwar C bahwa UUD NRI 1945 mengikuti sistem pembagian kekuasaan (distrubution of power) bukan pemisahan kekuasaan (separation of power). Alasannya adalah antara lain bahwa kekuasaan membentuk undang-undang tidak hanya di tangan legislatif (DPR), tetapi juga ada di tangan eksekutif/presiden (C, 2011: 75-76).

Meskipun ajaran trias politica sulit dilaksanakan secara murni, namun menurut Moh Kusnardi dan Bintan R Saragih bahwa ajaran tersebut mengandung dua prinsip, yaitu: pertama, prinsip untuk mencegah agar kekuasaan jangan sampai berada di dalam satu tangan, karena dengan demikian akan timbul kekuasaan yang sewenang-wenang; dan kedua, prinsip checks and balances

di mana di dalam hubungan antar lembaga negara itu terdapat saling menguji karena masing-masing lembaga tidak boleh melampaui batas kekuasaan yang sudah ditentukan (Kusnardi & Saragih, 1986: 31). Teori checks and balances amat diperlukan dalam suatu sistem ketatanegaraan berhubung manusia penyelenggara negara bukanlah malaikat, meskipun bukan juga iblis. Tetapi, manusia punya kecenderungan memperluas dan memperpanjang kekuasaan yang ujung-ujungnya menjurus kepada penyalahgunaan kekuasaan dengan mengabaikan hak-hak rakyat. Untuk itulah diperlukan sistem saling mengawasi secara seimbang (checks and balances) sebagai counterpart dari sistem trias politica (Fuady, 2009: 124). Namun, menurut Saldi Isra, Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 telah merancukan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) dengan prinsip checks and balances, karena hal itu hanya berlaku bagi lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs) yang terdiri dari MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, MA, BPK, dan MK. Padahal berdasarkan amandemen UUD NRI 1945 sudah tidak dikenal lagi pembedaan lembaga-lembaga negara yang didasarkan kepada pembagian hierarkis yang berupa lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara (Isra, 2010: 305-306). Dengan adanya putusan MK tersebut, maka lembaga negara lainnya seperti KPK, KY, ORI, dan lain-lain disebut sebagai supporting element atau state auxiliary organ (lembaga pendukung).

Di dalam perkembangannya, pembagian kekuasaan di suatu negara tidak hanya bertumpu pada tiga jenis kekuasaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesquieu, seperti yang dikemukakan oleh van Vallenhoven yang kemudian diikuti oleh van Apeldoorn yang membaginya menjadi empat, yaitu: kekuasaan

jurnal Desember isi.indd 315 12/12/2014 3:53:15 PM

Page 121: cover jurnal Desember 2014.cdr

316 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 317

perundang-undangan, kekuasaan peradilan atau kehakiman, kekuasaan kepolisian, dan kekuasaan pemerintahan (Soehino, 2008: 118). Bahkan, menurut Amir Mahmud (Mahfud MD, 2006: 96) bahwa poros-poros kekuasaan di Indonesia yang dirumuskan oleh para perumus UUD NRI 1945 ada lima yang sejajar, yaitu: legislatif (Presiden dan DPR), eksekutif (Presiden), yudikatif (MA), auditif (BPK), dan konsultatif (DPA). Sedangkan Padmo Wahjono (Azhary, 1995: 98) membaginya menjadi delapan, yaitu: legislatif (Presiden dan DPR), yudikatif (MA), kepenasihatan (DPA), peraturan keuangan (Presiden dan DPR), pemeriksaan keuangan negara (BPK), kepolisian, dan hubungan luar negeri (Presiden dan DPR).

Namun, sejak dilakukannya amandemen terhadap UUD NRI 1945, tampaknya pandangan tersebut sudah tidak sepenuhnya dapat diikuti, karena tidak lagi ada lembaga negara yang bernama Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Di samping itu, khusus yang terkait dengan kekuasaan yudikatif tidak lagi sepenuhnya dimonopoli oleh MA, tetapi juga dijalankan oleh MK sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Munculnya MK sebagai bagian dari lembaga yudikatif yang diberi kewenangan untuk melakukan judicial review UU terhadap UUD NRI 1945 menurut Saldi Isra dapat dikatakan sebagai sarana untuk melakukan purifikasi undang-undang yang dihasilkan lembaga legislatif yang bertentangan dengan konstitusi. Tanpa kontrol dari lembaga yudikatif, dengan kuatnya kepentingan politik di

lembaga legislatif, sangat terbuka kemungkinan undang-undang merugikan masyarakat (Isra, 2010: 298).

2. Teori Peraturan Perundang-undangan dan Pengujiannya

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUPUU) menyebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:

a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan MPR;

c. UU/Perppu;

d. Peraturan Pemerintah (PP);

e. Peraturan Presiden (Perpres);

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Hierarki peraturan perundang-undangan tersebut di atas tidak dapat dilepaskan dari teori jenjang norma hukum (stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang mengatakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya (Soeprapto, 1998: 25).

Oleh karena itu, apabila dalam penerapan peraturan perundang-undangan terjadi pertentangan antara peraturan perundang-

jurnal Desember isi.indd 316 12/12/2014 3:53:15 PM

Page 122: cover jurnal Desember 2014.cdr

316 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 317

undangan yang hierarkinya lebih tinggi dengan peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah, maka berlakulah asas lex superior derogat legi inferiori, artinya peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah (Manan, 2004: 56).

Apabila terjadi pertentangan norma hukum dari suatu peraturan perundang-undangan dengan yang lainnya, maka untuk mengesampingkan atau menyatakan tidak berlaku dan tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah harus dilakukan dengan pengujian (review). Di Indonesia pengujian terhadap peraturan perundang-undangan sebagian menjadi wewenang MA dan sebagian lagi menjadi wewenang MK. Dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Sedangkan kewenangan MK dalam menguji peraturan perundang-undangan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 adalah bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD. Hal yang sama juga disebutkan dalam Pasal 9 UU Nomor 12 Tahun 2011, yang berbunyi:

1. Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi;

2. Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga

bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa pengujian yang dilakukan oleh MA adalah pengujian legalitas, sedangkan pengujian yang dilakukan oleh MK adalah pengujian konstitusionalitas (Asshiddiqie, 2006: 6). Kewenangan MA untuk menguji peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI 1945 jo. Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 dikaitkan dengan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011, maka dapat diketahui bahwa kewenangan MA adalah untuk menguji legalitas Peraturan Pemerintah (PP) ke bawah, sedangkan untuk menguji Perppu jelas MA tidak berwenang, karena hierarki Perppu sama dengan UU. Sementara itu, kewenangan MK sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 jo. Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 secara tegas disebutkan adalah menguji UU terhadap UUD. Walaupun berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 disebutkan bahwa UU memiliki hierarki yang sama dengan Perppu, namun UU tidaklah sama dengan Perppu. Dengan demikian, baik Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI 1945 maupun Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 tidak mengatur tentang pengujian Perppu. Oleh karena itu adalah tepat dikemukakan oleh Moh. Mahfud MD bahwa Perppu tidak bisa dimintakan uji materi kepada lembaga yudisial sebab sebagai hukum darurat Perppu hanya diuji melalui political review atau legislative review di DPR pada masa sidang berikut setelah Perppu itu diundangkan (Mahfud MD, 2006: 107). Pandangan Moh. Mahfud MD tersebut, nampaknya sejalan dengan ketentuan Pasal 22

jurnal Desember isi.indd 317 12/12/2014 3:53:15 PM

Page 123: cover jurnal Desember 2014.cdr

318 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 319

UUD NRI 1945 yang berbunyi:

1. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;

2. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut;

3. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

3. Teori Kewenangan

Dalam setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dalam hukum wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban atau rechten en plichten (HR, 2011: 98-99). Wewenang sangat erat kaitannya dengan asas legalitas. Oleh karena itu, asas legalitas mencanangkan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah itu tidak akan dapat memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan dari posisi hukum warga masyarakatnya (Indroharto, 1994: 83). Menurut Franz Magnis Suseno, legalitas adalah salah satu kemungkinan kriteria bagi keabsahan wewenang. Legalitas menuntut agar wewenang dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku. Suatu tindakan adalah sah apabila sesuai, tidak sah apabila tidak sesuai dengan hukum yang berlaku (Suseno, 2001: 59).

Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Nur Basuki Winarno yang mengatakan bahwa istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan “authority” (Inggris) dan “bevoegdheid”

(Belanda), dan salah satu komponen yang penting dalam wewenang adalah dasar hukum. Karena, wewenang itu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya (Winarno, 2009: 85-66). Dengan demikian, apabila suatu badan atau pejabat dalam mengeluarkan suatu keputusan atau putusan tidak dapat menunjukkan dasar hukumnya, maka keputusan atau putusannya adalah tidak sah. Karena, dikeluarkan oleh badan atau pejabat yang tanpa kewenangan yang oleh Paulus Effendi Lotulung disebut sebagai “tanpa kewenangan yang bersifat material,” artinya, materi (masalah) dari keputusan atau putusan yang dikeluarkan adalah merupakan wewenang dari badan atau pejabat lainnya (Lotulung, 1993: 7).

Pada umumnya, ada dua cara pokok dari mana badan atau jabatan TUN itu memperoleh wewenang pemerintahan secara sah, yaitu dengan jalan atribusi dan delegasi (Indroharto, 1994: 91). Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara atributif bersifat asli (oorspronkelijk) dan menyebabkan adanya kekuasaan yang baru (Mulyosudarmo, 1997: 39), oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh original legislator dan delegated legislator. Sedangkan pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan TUN lainnya (Indroharto, 1994: 91).

4. Perppu bukan UU

Paling tidak ada tiga hal mendasar yang membedakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dan Undang-Undang (UU) sebagaimana yang dikemukakan pada tabel di bawah ini:

jurnal Desember isi.indd 318 12/12/2014 3:53:15 PM

Page 124: cover jurnal Desember 2014.cdr

318 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 319

No. Aspek Perbedaan UU Perppu

1. Wewenang pembentukan Persetujuan bersama antara DPR dan Presiden

Presiden

2. Masa berlaku dan kekuatan hukum mengikatnya

Sejak mendapat persetujuan bersama sampai adanya pencabutan atau pembatalan oleh MK

Sejak dikeluarkan Presiden sampai adanya penolakan DPR. Oleh karena itu, masa berlaku dan kekuatan mengikatnya sangat singkat. Namun, Perppu dapat mempunyai masa berlaku yang sama dengan UU, apabila Perppu tersebut mendapat persetujuan dari DPR menjadi UU

3. Alasan pembentukan Tidak memerlukan syarat adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa

Memerlukan syarat adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa

Tabel 1. Perbedaan Perppu dan Undang-Undang

Perbedaan lainnya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Bagir Manan yang menyangkut materi muatannya dan saat pengajuannya. Materi muatan Perppu hanya menyangkut hal-hal di bidang administrasi negara, tidak mengenai masalah-masalah ketatanegaraan atau menyangkut alat kelengkapan negara di luar administrasi negara (Manan, 2004: 49). Pandangan Bagir Manan tersebut penting untuk diperhatikan, karena apabila tidak ada pembatasan seperti itu, maka sangat potensial terjadi pereduksian kekuasaan DPR yang pada gilirannya memunculkan kediktatoran presiden. Sedangkan yang menyangkut saat pengajuannya, kekuasaan presiden untuk membuat dan mengajukan RUU dapat dilakukan setiap saat. Berbeda halnya dengan Perppu yang hanya dapat dibuat oleh presiden ketika DPR sedang tidak bersidang (reses).

Dari berbagai perbedaan yang disebutkan di atas, kiranya sangat tepat dan cukup beralasan pendapat yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa Perppu adalah Peraturan Pemerintah (PP) yang ditetapkan dalam hal ihwal kegentingan

yang memaksa. Hal ini diperkuat dengan ketentuan Pasal 22 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyebutkan: “Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.” Penggunaan nama sendiri sebagai Perppu adalah dimaksudkan untuk membedakannya dengan PP yang bukan sebagai pengganti undang-undang (Manan, 2003: 153).

Namun, apabila dilihat dari hierarkinya, maka hierarki Perppu dan UU adalah sama, sebagaimana yang disebutkan secara tegas dalam Pasal 7 ayat (1) UUPUU, yang menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan MPR;

c. UU/Perppu;

d. Peraturan Pemerintah (PP);

e. Peraturan Presiden (Perpres);

jurnal Desember isi.indd 319 12/12/2014 3:53:16 PM

Page 125: cover jurnal Desember 2014.cdr

320 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 321

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUPUU tersebut menyangkut jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, bukan hanya mengatur tentang jenis peraturan perundang-undangan saja atau mengatur hierarki peraturan perundang-undangan saja namun mengatur kedua-duanya yakni jenis dan hierarki. Artinya, apabila membicarakan jenis peraturan perundang-undangan, maka ada yang namanya UU dan ada yang namanya Perppu. Ditinjau dari aspek ini, jelas bahwa UU tidak sama dengan Perppu. Sedangkan, apabila ditinjau dari hierarkinya, maka Perppu dan UU memiliki hierarki yang sama.

Meskipun UUPUU tidak menjelaskan mengapa menempatkan hierarki Perppu sama atau sederajat dengan UU namun secara teoritis dapat dijelaskan bahwa Perppu dikeluarkan bukanlah karena terjadinya kekosongan hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada tidak tegas mengatur sebagaimana menurut A Hamid S Attamimi sebagai alasan munculnya peraturan kebijakan atau yang disebut dengan beleidsregel (Attamimi, 1993: 12). Tetapi, karena adanya “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangan yang ada dianggap tidak mampu menyelesaikan persoalan pemerintahan yang terjadi. Apabila Perppu hierarkinya tidak ditempatkan sejajar dengan UU, maka kekuatan mengikatnya adalah kurang kuat, sehingga apabila materi muatannya bertentangan dengan UU akan dapat menimbulkan persoalan hukum yang tidak kalah seriusnya atau setidak-tidaknya dapat menghambat pelaksanaan dari Perppu itu sendiri.

ANALISIS IV.

Pembahasan atau analisis yang dilakukan dalam tulisan (penelitian) ini pada dasarnya berangkat dari studi kasus (case study) terhadap putusan-putusan MK yang menguji konstitusionalitas Perppu. Dalam suatu studi kasus, maka pembahasan atau analisis difokuskan kepada alasan-alasan hukum atau pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim MK untuk sampai kepada putusannya (ratio decidendi).

Sejak dibentuknya MK, telah ada Perppu yang dilakukan pengujian konstitusionalitasnya, yaitu: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Perppu Nomor 4 Tahun 2009); dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Perppu Nomor 1 Tahun 2013).

Pengujian terhadap Perppu Nomor 4 Tahun 2009 diputuskan oleh MK melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, sedangkan untuk pengujian terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2013 diputuskan oleh MK melalui Putusan Nomor 91/PUU-XI/2013, Putusan Nomor 92/PUU-XI/2013, Putusan Nomor 93/PUU-XI/2013, dan Putusan Nomor 94/PUU-XI/2013. Melalui Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, MK menyatakan berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara permohonan pengujian Perppu Nomor 4 Tahun 2009. Begitu juga halnya dengan perkara permohonan pengujian Perppu Nomor 1 Tahun 2013 sebagaimana yang tertuang dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XI/2013, Nomor 92/PUU-XI/2013, Nomor 93/PUU-XI/2013,

jurnal Desember isi.indd 320 12/12/2014 3:53:16 PM

Page 126: cover jurnal Desember 2014.cdr

320 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 321

dan Nomor 94/PUU-XI/2013 dapat dikatakan sepenuhnya mengacu kepada Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 yang menyatakan MK berwenang untuk melakukan pengujian terhadap konstitusionalitas Perppu.

Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tidaklah diputuskan secara bulat oleh hakim MK, namun terdapat alasan berbeda (concurring opinion) yang dikemukakan oleh hakim Moh. Mahfud MD dan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang dikemukakan oleh hakim Mohammad Alim.

Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD menyatakan setuju MK melakukan pengujian terhadap Perppu, karena perkembangan ketatanegaraan saat ini melihat perlunya penafsiran atas isi UUD NRI 1945 tidak hanya bertumpu pada original intent, tafsir historik, dan tafsir gramatik melainkan harus menekankan pada penafsiran sosiologis dan teleologis. Beberapa hal yang dicontohkan adalah kemungkinan pembahasan Perppu di DPR berlarut-larut; kemungkinan Perppu tidak jelas keabsahannya, karena tidak nyata-nyata disetujui atau ditolak oleh DPR; adanya polemik perlunya UU untuk pencabutan Perppu yang tidak disetujui oleh DPR, sehingga selama UU-nya belum dikeluarkan keabsahan Perppu menjadi tidak jelas; dan kemungkinan DPR tidak dapat bersidang untuk membahas Perppu, karena situasi tertentu. Hakim Konstitusi Mohammad Alim menyatakan bahwa kewenangan presiden membentuk Perppu telah ada jauh sebelum dilakukannya perubahan terhadap UUD NRI 1945 yang memasukkan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 yang memberikan kewenangan kepada MK untuk menguji UU terhadap UUD. Artinya, rumusan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 tidak berubah dari rumusan aslinya.

Di samping itu, kewenangan MK untuk menguji UU (tanpa menyebut Perppu) sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 adalah pada saat masih berlakunya Tap MPR Nomor III/MPR/2000 yang menyebutkan bahwa posisi (hierarki) Perppu di bawah UU dan posisi (hierarki) Tap MPR di atas UU adalah menunjukkan dengan seterang-terangnya bahwa pembuat UUD, yakni MPR memang hanya menghendaki kewenangan MK untuk menguji UU terhadap UUD. Kewenangan MK yang tertera dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 yang hanya sebatas menguji UU terhadap UUD, apabila ditambah dengan menguji Perppu, menurut saya dilaksanakan tidak menurut UUD, melainkan dilaksanakan menyimpang dari UUD.

Pendapat Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD yang menyatakan bahwa keabsahan Perppu yang tidak mendapat persetujuan DPR perlu mendapat perhatian, karena UUD NRI 1945 tidak mengatur bagaimana mekanisme pencabutannya. Artinya, apakah sebelum ada pencabutan, karena tidak mendapat persetujuan DPR masih tetap dapat diberlakukan. Pasal 22 ayat (3) UUD NRI 1945, menyebutkan: “Jika tidak mendapat persetujuan DPR, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.” Kata-kata “harus dicabut” dalam pasal a quo, menurut Philipus M Hadjon adalah mengandung pengertian “imperatif” yang absolut, sehingga harus ada produk hukum yang dikeluarkan untuk mencabut Perppu yang tidak mendapatkan persetujuan oleh DPR tersebut.

Berdasarkan angka 158 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 disebutkan bahwa “Peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.” Dengan demikian, Perppu hanya dapat dicabut dengan Perppu atau UU. Mengeluarkan Perppu

jurnal Desember isi.indd 321 12/12/2014 3:53:16 PM

Page 127: cover jurnal Desember 2014.cdr

322 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 323

untuk mencabut Perppu sudah jelas tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945. Di samping itu, menurut Philipus M Hadjon, Perppu akan terus muncul dan kembali lagi ke DPR sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD NRI 1945 dan dengan demikian tidak akan tuntas. Oleh karena itu, Philipus M Hadjon berpendapat bahwa untuk mencabut Perppu lebih tepat dengan UU dan yang menyiapkan RUU-nya adalah DPR (Hadjon, 1987: 32-33).

Apabila memperhatikan penjelasan Pasal 22 UUD NRI 1945 sebelum perubahan tidak ada penjelasan yang menyebutkan jenis produk hukum yang dikeluarkan oleh DPR untuk menyetujui atau menolak Perppu yang diajukan oleh presiden. Penjelasan Pasal 22 UUD NRI 1945 hanya menekankan bahwa persetujuan DPR dibutuhkan sebagai bentuk pengawasan, karena kekuatan hukum dari Perppu sama dengan UU. Oleh karena itu, berdasarkan penafsiran sistematik dan analogi, apabila selama ini persetujuan DPR terhadap Perppu langsung berwujud UU, maka seharusnya bentuk penolakan DPR terhadap Perppu yang diajukan oleh presiden juga langsung berwujud UU.

Dengan kata lain, apabila Perppu mendapat persetujuan DPR, maka dikeluarkanlah UU tentang Persetujuan Perppu menjadi UU, sedangkan apabila ditolak, maka yang dikeluarkan adalah UU tentang Pencabutan Perppu. Dengan demikian, DPR atau presiden tidak perlu mengajukan RUU tersendiri untuk pencabutan Perppu pasca penolakan yang dilakukan oleh DPR. Penafsiran sistematik dan analogi di atas, paling tidak dapat menjawab polemik di sekitar keabsahan Perppu yang ditolak oleh DPR, namun belum ada pencabutannya dan membuat UU yang mencabut Perppu membutuhkan waktu yang lama dan mungkin berlarut-larut.

Meskipun penafsiran dan analogi tersebut belum pernah diterapkan, namun tidak dapat dijadikan dasar legitimasi MK untuk menguji Perppu terhadap UUD. Karena, Perppu yang ditolak atau tidak mendapat persetujuan dari DPR secara otomatis sudah tidak memiliki kekuatan hukum lagi dan oleh karena itu sudah tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar hukum.

Keharusan pencabutan Perppu sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (3) dapat dikatakan hanya bersifat formalitas belaka. Meskipun demikian, ada baiknya apabila kelak dilakukan kembali perubahan terhadap UUD NRI 1945, kiranya ketentuan Pasal 22 UUD NRI 1945 tersebut perlu disempurnakan, khususnya yang terkait dengan jenis produk hukum yang dikeluarkan apabila Perppu mendapat persetujuan atau penolakan dan mekanisme pembentukannya. Kecuali, penafsiran sistematis dan analogi yang dikemukakan di atas dapat diterima.

Mengingat, tulisan (penelitian) ini adalah merupakan studi kasus (case study), maka kajian yang dilakukan adalah dengan melakukan analisis terhadap alasan-alasan hukum atau pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim MK untuk sampai kepada putusannya (ratio decidendi).

1. Putusan MK (ratio decidendi) ditinjau dari Teori Pembagian Kekuasaan dan Teori Kewenangan

Sebagaimana telah dibahas dalam kajian pustaka bahwa dalam teori pembagian kekuasaan (distribution of power) diperlukan adanya pembagian kekuasaan adalah bertujuan untuk mencegah munculnya kekuasaan yang absolut dan sewenang-wenang. Dengan adanya pembagian kekuasaan di antara masing-masing kekuasaan, maka masing-masing kekuasaan

jurnal Desember isi.indd 322 12/12/2014 3:53:16 PM

Page 128: cover jurnal Desember 2014.cdr

322 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 323

tersebut akan saling melakukan pengawasan, sehingga terwujudlah checks and balances.

Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan bahwa teori pembagian kekuasaan sangat erat kaitannya dengan teori kewenangan, karena pembagian kekuasaan pada dasarnya juga menyangkut pembagian kewenangan kepada masing-masing kekuasaan (lembaga negara). Berdasarkan teori kewenangan, legalitas wewenang suatu lembaga negara haruslah bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang diperoleh secara atribusi (wewenang asli) maupun secara derivatif (pelimpahan wewenang).

Pertimbangan hukum dari hakim MK (ratio decidendi) yang dijadikan dasar pembenaran untuk mengatakan berwenang menguji konstitusional Perppu, antara lain adalah: 1) Sistematika UUD NRI 1945 menempatkan pengaturan Perppu dalam Bab VII tentang DPR, sehingga sangat erat hubungannya dengan kewenangan DPR dalam pembuatan undang-undang. Karena Perppu diatur dalam bab tentang DPR sedangkan DPR adalah pemegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang, maka materi Perppu adalah materi yang menurut UUD NRI 1945 diatur dengan undang-undang dan bukan materi yang melaksanakan undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945 dan materi Perppu juga bukan materi UUD NRI 1945; dan 2) Perppu dikeluarkan karena terjadinya kekosongan hukum dalam rangka untuk mengatasi situasi dan kondisi yang bersifat mendesak secara cepat sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945.

Pertimbangan hukum dari hakim MK sebagaimana yang dikemukakan di atas, kurang sejalan dengan pembagian kekuasaan

dan kewenangan yang dianut oleh UUD NRI 1945. Sejak awal berlakunya hingga dilakukan amandemen, UUD NRI 1945 telah secara tegas melakukan pembagian kekuasaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan pengujiannya. Kekuasaan untuk membentuk Perppu berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 ada di tangan presiden. Sedangkan kekuasaan untuk menentukan eksistensi dan keabsahan Perppu berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 ada di tangan DPR. Bahkan, penjelasan Pasal 22 UUD NRI 1945 sebelum perubahan dengan tegas menyebutkan bahwa kewenangan tersebut merupakan bentuk pengawasan dari DPR.

Sedangkan kekuasaan MK di bidang perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 adalah menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD NRI 1945. Baik Pasal 22 UUD NRI 1945 maupun Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 tidak membicarakan atau mempersoalkan bahwa materi muatan dari Perppu adalah sama dengan UU dan/atau hierarki Perppu sama dengan UU. Oleh karena itu, materi muatan Perppu yang sama dengan UU atau hierarki Perppu yang sama dengan UU tidaklah cukup alasan untuk menyatakan bahwa MK berwenang untuk menguji Perppu terhadap UUD NRI 1945 karena UUD NRI 1945 sudah secara tegas mengatur kekuasaan dan kewenangan dari masing-masing lembaga negara. Di samping itu, hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 yang telah dicabut dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 dapat saja berubah di kemudian hari dengan menempatkan kembali hierarki Perppu yang tidak sama dengan UU sebagaimana yang pernah dilakukan berdasarkan Tap MPR Nomor III/MPR/2000.

jurnal Desember isi.indd 323 12/12/2014 3:53:16 PM

Page 129: cover jurnal Desember 2014.cdr

324 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 325

Di samping itu, kekuasaan presiden membentuk Perppu telah ada sebelum dilakukannya perubahan terhadap UUD NRI 1945. Bahkan, ketika dilakukan perubahan terhadap UUD NRI 1945 ternyata rumusan Pasal 22 UUD NRI 1945 tidak mengalami perubahan, artinya masih tetap sama dengan aslinya baik mengenai isi rumusan pasalnya maupun sistematika penempatannya, yakni masih tetap dalam Bab VII tentang DPR. Padahal pasca perubahan UUD NRI 1945, kekuasaan membentuk undang-undang telah bergeser dari presiden ke DPR yang ditandai dengan perubahan rumusan Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945. Oleh karena itu adalah tidak tepat menyatakan MK berwenang menguji Perppu dengan dasar bahwa Perppu ditempatkan dalam Bab VII tentang DPR dan materi muatan Perppu adalah materi muatan UU bukan materi muatan PP dalam rangka melaksanakan UU sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 sangat mudah dipahami bahwa alasan presiden mengeluarkan Perppu adalah karena adanya “hal ihwal kegentingan yang memaksa” bukan karena sebab lainnya, termasuk bukan karena adanya “kekosongan hukum” untuk mengatasi kegentingan yang memaksa itu.

Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan sering sekali justru Perppu yang dikeluarkan oleh presiden materi muatannya bertentangan dengan materi muatan suatu UU yang masih berlaku. Salah satu contohnya adalah dikeluarkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2013 yang materi muatannya banyak yang bertentangan dengan UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana yang telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011. Oleh karena itu adalah tidak tepat apabila

dikatakan bahwa Perppu dikeluarkan karena terjadinya “kekosongan hukum.”

2. Putusan MK (ratio decidendi) ditinjau dari Teori Perundang-undangan

Pertimbangan hukum hakim MK lainnya yang dijadikan dasar pembenaran kewenangan untuk melakukan pengujian konstitusional Perppu yang sangat relevan untuk dianalisis dari teori perundang-undangan, antara lain adalah: 1) Hierarki Perppu berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 sebagaimana yang telah dicabut dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sama dengan UU; 2) Materi muatan Perppu adalah materi muatan yang seharusnya diatur dalam wadah undang-undang, tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD NRI 1945 memberikan hak kepada presiden untuk menetapkan Perppu.

Apabila hak tersebut diberikan kepada DPR, maka kebutuhan hukum secara cepat untuk mengatasi keadaan yang mendesak tidak dapat terpenuhi. Hal itu disebabkan proses pengambilan keputusan di DPR ada di tangan anggota melalui rapat-rapat, sehingga memerlukan waktu yang cukup lama; dan 3) Perppu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan: (a) status hukum baru; (b) hubungan hukum baru; dan (c) akibat hukum baru.

Norma hukum tersebut lahir sejak Perppu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perppu, namun demikian sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui Perppu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti undang-undang. Oleh karena dapat menimbulkan

jurnal Desember isi.indd 324 12/12/2014 3:53:16 PM

Page 130: cover jurnal Desember 2014.cdr

324 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 325

norma hukum yang kekuatannya mengikat sama dengan undang-undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perppu tersebut MK dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD NRI 1945. Dengan demikian MK berwenang untuk menguji Perppu terhadap UUD NRI 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena Perppu tersebut telah menjadi undang-undang.

Pertimbangan hukum hakim MK sebagaimana yang dikemukakan di atas kurang sejalan dengan teori perundang-undangan sebagaimana yang tergambar dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku dan yang masih berlaku hingga saat ini. Sebagaimana diketahui bahwa pengaturan tentang hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan. Ketika berlakunya Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 menempatkan hierarki Perppu sama dengan UU. Namun, ketika berlakunya Tap MPR Nomor III/MPR/2000 menempatkan hierarki Perppu berada satu tingkat di bawah UU. Selanjutnya, ketika berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 menempatkan hierarki Perppu sejajar dengan UU, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hierarki peraturan perundang-undangan tersebut tidak menjelaskan alasan mengapa menempatkan hierarki Perppu dalam posisi seperti itu.

Berangkat dari tinjauan historis tersebut, maka sangat terbuka peluang untuk memperdebatkan dan selanjutnya menempatkan kembali posisi hierarki Perppu yang tidak sama dengan UU. Adanya realitas bahwa materi muatan Perppu yang dikeluarkan acapkali bertentangan dengan UU yang berlaku dapat

membawa pemikiran bahwa hierarki Perppu boleh jadi sesungguhnya lebih tepat ditempatkan hierarkinya lebih tinggi dari UU. Dengan kondisi hierarki yang lebih tinggi dari UU ini, maka masa berlakunya bersifat sementara dan harus segera mendapatkan respons dari DPR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3).

Oleh karena itu, pertimbangan hukum MK yang menyatakan bahwa MK berwenang menguji Perppu, karena hierarki Perppu sama dengan UU tidak memiliki landasan teori dan bersifat a-historis. Jika konstruksi berpikir yang digunakan oleh hakim MK adalah logika hierarki peraturan perundang-undangan, maka bukan tidak mustahil di kemudian hari MK akan menguji peraturan perundang-undangan lainnya semisal Perpres dengan alasan UU menempatkan hierarki Perpres sama dengan UU.

Sedangkan terkait dengan persoalan materi muatan Perppu yang sama dengan UU telah mendapatkan legitimasinya sejak dikeluarkannya UU Nomor 10 Tahun 2004 yang kemudian ditegaskan kembali dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 yang mencabut UU Nomor 10 Tahun 2004. Namun, peraturan perundang-undangan yang lebih awal yang mengatur tentang hierarki peraturan perundang-undangan, yakni Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 dan Tap MPR Nomor III/MPR/2000 baik secara eksplisit maupun implisit tidak pernah menyebutkan bahwa materi muatan Perppu sama dengan UU sebagaimana yang telah dibahas dalam studi pustaka. Bahkan, UUD NRI 1945 sendiri pun tidak pernah menyebutkan bahwa materi muatan Perppu haruslah merupakan materi muatan UU. Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 baik secara eksplisit maupun implisit memberikan kewenangan sepenuhnya kepada presiden untuk menentukan materi muatan dari Perppu yang dikeluarkannya.

jurnal Desember isi.indd 325 12/12/2014 3:53:16 PM

Page 131: cover jurnal Desember 2014.cdr

326 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 327

Bahkan, menurut Herman Sihombing, kewenangan presiden dalam mengeluarkan Perppu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) adalah lebih genting dan amat terpaksa dibandingkan dengan keadaan bahaya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 UUD NRI 1945. Oleh karena itu, menurut Herman Sihombing, kewenangan presiden dalam mengeluarkan Perppu tanpa menunggu adanya syarat-syarat yang ditentukan lebih dahulu (Sihombing, 1996: 2).

Oleh karena itu, putusan MK yang menyatakan berwenangan menguji Perppu terhadap UUD NRI 1945 yang didasarkan karena materi muatan Perppu sama dengan UU sebagaimana yang disebutkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 yang telah dicabut dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah inkonstitusional. UUD NRI 1945 telah secara tegas menyebutkan bahwa kewenangan MK adalah menguji UU terhadap UUD NRI 1945 bukan menguji “materi muatan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD.”

Selanjutnya, berdasarkan teori perundang-undangan beberapa perbedaan yang mendasar antara norma hukum dengan norma-norma lainnya (adat, agama, dan etika) adalah bahwa norma hukum menimbulkan akibat hukum bagi semua orang tanpa terkecuali (Asshiddiqie, 2006: 5), dan penerapan sanksinya dapat dipaksakan (Mertokusumo, 1999: 18).

Norma hukum yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud UU Nomor 12 Tahun 2011, bukan hukum positif. Menurut Bagir Manan hukum positif tidak hanya peraturan perundang-undangan, tetapi termasuk di dalamnya yurisprudensi dan hukum adat (Manan, 2004: 3). Oleh karena itu, peraturan

perundang-undangan yang menimbulkan akibat hukum bukanlah hanya Perppu semata. Tetapi, semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan. Perbedaan yang mendasar antara Perppu dengan jenis peraturan perundang-undangan lainnya adalah masa berlaku Perppu yang sangat singkat.

Keberlanjutan pemberlakuan Perppu sangat tergantung dari “penilaian” yang dilakukan oleh DPR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 ayat (2) UUD NRI 1945 bukan oleh MK. Dalam UUD NRI 1945 tidak ada satu pasal atau ayat pun yang memberikan kewenangan kepada MK untuk menguji Perppu terhadap UUD NRI 1945. Oleh karena itu, pertimbangan hukum MK mengatakan berwenang menguji Perppu, karena Perppu telah dapat diberlakukan sebelum adanya pendapat DPR dan telah menimbulkan norma hukum, sehingga nasibnya tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada DPR dapat dikatakan bersifat subjektif.

Dikatakan demikian, karena ketika suatu Perppu diuji di MK tidaklah membawa konsekuensi atau secara otomatis presiden harus menghentikan pelaksanaan Perppu atau Perppu tidak boleh dilaksanakan sebelum adanya putusan MK. Di samping itu, tidak ada jaminan bahwa putusan MK tentang pengujian Perppu akan lebih cepat daripada persetujuan DPR.

Problem ketatanegaraan lainnya yang tak kalah rumitnya akan muncul adalah apabila kedua lembaga negara ini dalam waktu yang bersamaan melakukan penilaian terhadap Perppu yang sama, namun putusannya berbeda. Keadaan ini sangat mungkin terjadi, karena tidak ada larangan bagi DPR untuk menyidangkan Perppu yang diajukan oleh presiden, karena Perppu tersebut sedang diuji di MK. Oleh karena itu, kewenangan MK

jurnal Desember isi.indd 326 12/12/2014 3:53:16 PM

Page 132: cover jurnal Desember 2014.cdr

326 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328 Menyoal Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Perppu (Zairin Harahap) | 327

untuk menguji Perppu terhadap UUD NRI 1945 menjadi sangat prematur.

Satu hal lagi yang menunjukkan kelemahan dari pertimbangan hukum hakim MK tersebut ditinjau dari teori perundang-undangan adalah bahwa pengujian Perppu oleh DPR merupakan kewenangan konstitusional dari DPR secara mandiri. Artinya, kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan pengujian tidak tergantung pada kekuasaan lainnya. Sementara, kewenangan MK untuk menguji Perppu sangat tergantung kepada adanya orang atau badan hukum yang mengajukan permohonan pengujian. Oleh karena itu, meskipun secara substansi maupun secara realitas pelaksanaan Perppu menimbulkan kerugian dan inkonstitusional, namun apabila tidak ada yang mengajukan pengujian, maka MK juga tidak mungkin dapat membatalkannya.

SIMPULANV.

Pertimbangan hukum MK yang menyatakan berwenang untuk menguji Perppu adalah karena Perppu telah menimbulkan norma hukum baru, hubungan hukum, dan akibat hukum tidaklah cukup kuat untuk dijadikan dasar karena pada dasarnya semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan memiliki unsur-unsur tersebut.

Di samping itu, pengujian yang dilakukan MK tidaklah serta merta menghentikan pelaksanaan Perppu dan pembahasannya di DPR. Bahkan, bukan tidak mungkin putusan yang diambil oleh MK tidak sama dengan yang diambil oleh DPR. Jika demikian halnya, maka keadaan ini akan memunculkan masalah ketatanegaraan yang kompleks.

Oleh karena itu, sebaiknya MK tidak terlalu memaksakan diri untuk menguji Perppu, apalagi

dengan mempertimbangkan masa berlaku Perppu yang bersifat sementara dan tidak adanya jaminan putusan MK akan lebih cepat dikeluarkan daripada keputusan yang diambil oleh DPR. Mengingat, kewenangan MK dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan sangat tergantung dengan adanya permohonan yang diajukan oleh orang atau badan hukum. Berbeda dengan DPR yang dalam melakukan “pengujian” terhadap Perppu adalah bersifat mandiri tanpa perlu adanya permohonan dari pihak manapun, karena sudah menjadi kewenangan konstitusionalnya.

Dengan demikian, putusan MK (ratio decidendi) yang mengatakan berwenang untuk melakukan pengujian konstitusional Perppu ditinjau dari teori pembagian kekuasaan, teori kewenangan, dan teori perundang-undangan mengandung berbagai kelemahan.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI.

_______________. 2006. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Konpress.

_______________. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI.

Attamimi, A Hamid S. 1993. Hukum tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan). Pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap Fakultas Hukum UI. Jakarta.

jurnal Desember isi.indd 327 12/12/2014 3:53:17 PM

Page 133: cover jurnal Desember 2014.cdr

328 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328

Azhary. 1995. Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-Unsurnya. Jakarta: Universitas Indonesia.

C, Anwar. 2011. Teori dan Hukum Konstitusi: Paradigma Kedaulatan dalam UUD NRI 1945 (Pasca Perubahan) Implikasi dan Implementasi pada Lembaga Negara. Malang: Intrans Publishing.

Fuady, Munir. 2009. Teori Negara Hukum Modern (Rechtsstaat). Bandung: PT Refika Aditama.

Hadjon, Philipus M. 1987. Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945 Suatu Analisis Hukum dan Kenegaraan. Surabaya: PT Bina Ilmu.

HR, Ridwan. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Indroharto. 1994. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Harapan.

Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Kusnardi, Moh & R Bintan Saragih. 1986. Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945. Cetakan Kelima. Jakarta: PT Gramedia.

Lotulung, Paulus Effendi. 1993. Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah. Cetakan Kelima. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Mahfud MD, Moh. 2006. Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi. Jakarta: LP3ES.

Mahmuzar. 2010. Sistem Pemerintahan Indonesia: Menurut UUD NRI 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen. Bandung: Nusa Media.

Manan, Bagir. 2003. Lembaga Kepresidenan. Yogyakarta: FH UII Press.

___________. 2004. DPR, DPD, dan MPR dalam UUD NRI 1945 Baru. Yogyakarta: FH UII Press.

___________. 2004. Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik). Yogyakarta: FH UII Press.

Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Liberty.

Mulyosudarmo, Suwoto. 1997. Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sihombing, Herman. 1996. Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Soehino. 2008. Ilmu Negara. Cetakan Kedelapan. Yogyakarta: Liberty.

Soeprapto, Maria Farida Indrati. 1998, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius.

Suny, Ismail. 1982. Pembagian Kekuasaan Negara: Suatu Penyelidikan Perbandingan dalam Hukum Tata Negara Inggris, Amerika Serikat, Uni Sovyet dan Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.

Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Winarno, Nur Basuki. 2009. Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Negara. Yogyakarta: Laksbang Mediatama.

jurnal Desember isi.indd 328 12/12/2014 3:53:17 PM

Page 134: cover jurnal Desember 2014.cdr

328 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014: 311 - 328

Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 1 April 2014

AAbdi, Mualimin 50, 107Acquittal 1, 2Agrarian Dispute 53Al Araf, Muchamad Ali 68Ali, Ahmad 33Alkostar, Artidjo 33Arief, Barda Nawawi 86Asshiddiqie, Jimly 16, 51, 68, 86Aziz, Machfud 51BBedner, Adriaan W 68Binding Force 34Bintari, Aninditya Eka 51Black, Henry Cambell 86Budiardjo, Miriam 86Bzn, Ter Haar 33CCassation 1, 2, 7Chandranegara, Ibnu Sina 51Constitutional Court 1, 2, 34, 39, 42, 70, 71, 88,

89Corruption 70, 71Criminalization 53DDarmodiharjo, Darji & Shidarta 33Daya Ikat 34, 37, 38EEddyono, Luthfi Widagdo 51Ence, Irianto A Baso 16FFadel 40, 41, 51Faisal 75, 86Faqih, Mariyadi 51Fuady, Munir 16, 86GGaffar, Janedjri M 51HHak Asasi 5, 6, 12, 34, 35, 41, 42, 46, 48, 50, 53,

55, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 68, 71, 78, 94, 95, 101, 103

Hak Asasi Manusia 5, 6, 12, 35, 41, 42, 46, 48,

53, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 68, 71, 78, 94, 95, 101, 103

Halevy, Eva Etzioni 102Hamzah, Andi 17, 51Harahap, M. Yahya 17, 51Hoebel, E. Adamson 68Huda, Ni’matul 17, 102Hukum Progresif 70, 74, 75, 76, 80, 81, 82, 83,

84, 85, 86, 104Human Right 34, 53Husodo, Siswono Yudo 86IIsmujoko 41, 51Isra, Saldi 52, 102Isra, Saldi et.al 52KKasasi 1, 2, 3, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16,

43, 68Keadilan Prosedural 18, 27, 28, 32Keadilan Substantif 18, 22, 23, 24, 28, 32, 57,

85Kelsen, Hans 17, 102Kepastian Hukum 1, 3, 4, 6, 9, 11, 12, 13, 14, 16,

21, 40, 41, 45, 48, 59, 72, 85, 101Komisi Negara 88Komisi Yudisial Republik Indonesia 33, 51, 108Konsorsium Pembaruan Agraria 60, 69Kriminalisasi 53, 55, 56, 57, 62, 63, 64, 66, 68,

71Kristiana, Yudi 86Kumoro, Endro 33Kurde, Nukthoh Arfawie 17Kurnia, Titon Slamet 17Kusuma, Mahmud 86LLand Dispute 19Latif, Abdul 102Legal Certainty 2Lembaga Negara 35, 43, 67, 88, 89, 90, 91, 93,

97, 98, 99, 100, 101Local Official 71Luthan, Salman & Muhamad Syamsudin 33MMagnar, Kuntara et.al 102

INDEKS VOLUME AKHIR TAHUN

jurnal Desember isi.indd 329 12/12/2014 3:53:17 PM

Page 135: cover jurnal Desember 2014.cdr

Mahfud MD, Moh 52Mahkamah Konstitusi 1, 2, 3, 12, 13, 14, 15, 16,

34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 34, 71, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 62, 63, 68, 70, 80, 83, 85, 86, 88, 89, 92, 94, 102, 104, 107

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 52

Manan, Bagir 17Marbun, S.F 102Marpaung, Leden 69, 87Mertokusumo, Sudikno 33, 102Mertokusumo, Sudikno & Mr. A. Pilto 102Muhammad, H. Rusli 17Muladi 60, 69NNegara Hukum 1, 3, 4, 5, 6, 12, 16, 41, 48, 70,

71, 74, 78, 81, 83, 90Nugroho, Setio Sapto 52Nurjaya, I Nyoman 69PPejabat Daerah 70, 73, 74, 75, 76, 77, 79, 80, 81,

82, 85, 86Peterson, Yan 87Pompe, Sebastiaan 102Pospisil, L 69Prasetyo, Stanley Adi 69Procedural Justice 18, 19Progressive Law 71Putusan Bebas 1, 2, 3, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16RRahardjo, Satjipto 87Ridwan 22, 33, 90, 102Ridwan, HR 102Rousseau, Jean Jacques 102Rule of Law 1, 2, 5SSaleh, Moh 52Santoso, Topo 87Saptaningrum, Indraswaty D 102Sengketa Agraria 53, 56, 57, 62, 65Sengketa Tanah 18, 24, 30, 32, 60Serikat Petani Indonesia 64, 65, 69Shidarta 21, 22, 33Siahaan, Maruarar 52Sidharta, Bernard Arief 69Simamora, Janpatar 17Simarmata, Rikardo 69Soedirdjo 7, 17

Soekanto, Soerjono 69Soemantri, Sri 87Soesilo, R 69State Commission 89State Institution 89Subiyanto, Achmad Edi 52Substantial Justice 19, 86Sudarto 72, 87Sudirman, Antonius 52Suhariningsih 54, 69Supriadi 54, 69Susanto, Anthon F 87Suteki 76, 77, 87Sutikno 4, 17Syamsudin 33, 102Syamsudin, Muhamad 33TTahir, Heri 17Testimonium de Auditu 34, 35, 37, 41, 42, 48Tindak Pidana Korupsi 70, 72, 74, 75, 76, 77, 79,

80, 81, 82, 83, 85, 86UUmar, Sholehudin 33WWahjono, Padmo 17Wignyosoebroto, Soetandyo 69Wiradi, Gunawan 69ZZoelva, Hamdan 52Zohar, Danah, & Ian Marshall 87Zuhro, Siti 69

Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014

AAbidin, A.Z. & Andi Hamzah 115Abuse of Authority 103, 104Agusmidah 118, 121, 134Agusmidah, et.al 134Ali, Achmad 115Altman, Edward. I 171Alwi, Hasan et.al 116Anisah, Siti 170Anonymous 154, 188, 194APBN 197, 198, 200, 201, 202, 203, 204, 205,

206, 207, 208, 209, 210, 211, 212Ardhiwisastra, Yudha Bhakti 116Aristya, Sandra Dini F 194Arminger, Josef 170

jurnal Desember isi.indd 330 12/12/2014 3:53:17 PM

Page 136: cover jurnal Desember 2014.cdr

Armour, John & Douglas Cumming 170Arrasjid, Chainur 170Arto, A. Mukti 154Asshiddiqie, Jimly 212Athreya, Kartik, et.al 170Ayotte, Kenneth & David A. Skeel Jr 170Azizi, Wawan Nur 154BBal, Jay, et.al. 170Bankrupt 158, 160Bappenas 197, 201, 202, 208, 212, 217Bastary, M. Luqmanul Hakim 155Bintania, Aris 155Brantingham, Patricia L 170Bruckner, Matthew 170Budgeting Function 197, 198Budiardjo, Miriam 212

CCaprio Jr, Gerard & Daniela Klingebiel 171Checks and Balances 197, 198, 199, 200, 202,

204, 205, 206, 209, 210, 211Corruption 104, 106, 197Creditor 158DDamanik, Sehat 134Daryono 174, 194Debitor 157, 158, 159, 161, 162, 163, 166, 167,

168, 165, 169, 164, 170Debtor 157, 158Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Republik Indonesia 121, 134Disparitas 173Disparity 173Dragu, Tiberiu et.al 212EEquitable Remedy 160, 173, 174FFGD 183, 185, 194Fuady, Munir 155Fungsi Anggaran XII, 197, 198, 199, 203, 204,

205, 206, 208, 209, 210, 211GGarner, A Bryan 116, 171Ginsburg, Tom 212HHalim, A. Ridwan 194Hamid, A.T 194

Hamzah, Andi 116Harahap, M. Yahya 94, 155Hartanti, Evi 116Hasim 141, 155Heynes, Richard M 171Hoff, Jerry & Gregory J. Churcil 171IInsolvency 158, 160, 161Insolvensi 157, 158, 159, 160, 161, 165, 166,

167, 169, 170JJackson, Thomas H 171Juwono, Vishnu & Sebastian Eckardt 212

KKementerian Keuangan 201, 212Kepailitan 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163,

165, 166, 167, 168, 169, 170, 172, 216Kepaniteraan Mahkamah Agung RI 174, 194Komalasari, Dewi Yetty 171Korupsi 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 112,

114, 115, 198, 199, 200, 203Kreditor 157, 158, 159, 161, 162, 163, 166,

167, 168, 165, 169, 164, 169Krugman, Paul 171LLamintang, P.A.F 116Lamintang, P.A.F. & Theo Lamintang 116Laporan Hasil Seminar Hukum Nasional Ke-VI

1994 194Law Making Method 104Levratto, Nadine 171Loqman, Loebby 116Lovells, Hogan 171Lutz, Donald S 212MMahkamah Agung RI 114, 116, 174, 178, 187,

194Ma, Jun & Yilin Hou 212Makarao, Moh. Taufik 195Marlina 110, 116Martin, A., et.al 171Martitah 123, 134Masterman, Roger 212Mertokusumo, Sudikno 116, 134, 195, 134, 195Mertokusumo, Sudikno & A. Pitlo 116Monetary Remedy 173, 174Montesquieu 198, 199, 200, 212Mujahidin, Ahmad 155

jurnal Desember isi.indd 331 12/12/2014 3:53:18 PM

Page 137: cover jurnal Desember 2014.cdr

Muladi & Barda Nawawi Arief 116Mulyadi, Lilik 116, 195Myrdal, Gunnar 116NNeils, Andrew 195PPenemuan Hukum 103, 110, 113, 114, 117, 119,

123, 126, 179, 180, 193, 194Penyalahgunaan Wewenang 103, 113, 114, 115,

199Perceraian 137, 138, 139, 140, 141, 143, 144,

145, 148, 149, 151, 152, 153, 154Perjanjian Kerja 117, 120, 121, 125, 126, 127,

128, 132Perselisihan 127, 119, 132, 134, 138, 119, 128,

119, 120, 122, 123, 124, 125, X, 137, 140, 117, 140, 134, 140, 141, 143, 144, 145, 147, 148, 149, 151, 152, 153, 154, 186, 199

Phipson, Sydney L 195PHK 117, 119, 120, 122, 123, 124, 125, 126,

127, 129, 131, 132, 133, 134Pontier, J.A 116Prasetya, Rudhi 171Prinst, Darwan 195QQuinn, Michael 171RRahardjo, Satjipto 171Rahman, A. Aisyah, et.al 171Razak, Adilah Abd 171Rechtsvinding 103, 104, 110, 113, 179Roe, J. Mark & Frederick Tung 171SSaksi 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144,

145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 189, 190, 191, 208

Salam, Moch. Faisal 134Saleh, Mohammad & Lilik Mulyadi 134Sanusi, Ahmad 195Sapardjaja, Komariah Emong 116Schwartz, Alan 171Sekjen DPR-RI 207, 208, 212Sgard, Jerome 172Sherlock, Stephen 212Shubhan, M. Hadi 172Sjahdeini, Sutan Remy 172Skeel Jr., David A 172

Soebekti 120, 121, 134Soebekti, R & R. Tjitrosudibio 134Soekanto, Soerjono 172Soeriaatmadja, Arifin et.al 212Soeroso, R 122, 134, 186, 187, 189, 195Subekti 168, 172Sudono 143, 155Suharnoko 128, 135Sukri, Muntasir 155Sunarmi 158, 172Susanto, Anthon F 116Sutiyoso, Bambang 135Suyanto, Siswo 212Syahrizal, Darda & Rukiyah L 135Syam, Marjohan 155TTenaga Kerja Asing 117, 118the National Budget Plans 198Turak, J. Alisha 172UUgo & Pujiyo 122, 135VVan Apeldoorn, L.J 195WWattimena, Reza A.A 116Wignjosoebroto, Soetandyo 172Wijayanta, Tata, et.al 195Wijayanta, Tata & Firmansyah, Herry 195Wiyono 107, 108, 116Wood, QC & R. Philip 171ZZulaika, Fuji Kadriah 172

Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014

AAdji, Oemar Seno & Indriyanto Seno Adji 234Ansyahrul 240, 253Apeldoorn, L.J. Van 234Arief, Barda Nawawi 253, 331, 332, 334Arto, A. Mukti 234Asikin 214, 234Asnawi, M. Natsir 253Asshiddiqie, Jimly 253, 328, 331, 332, 334Attamimi, A Hamid S 328Azhary 316, 328BBahagiawati 279, 293

jurnal Desember isi.indd 332 12/12/2014 3:53:18 PM

Page 138: cover jurnal Desember 2014.cdr

Boskovic, Jelena V, et.al 293CC, Anwar 328Capital Punishment 237, 238Case Review Request 213Clayton, Susan D 293Constitutional Court’s Authority 311Constitutionality 237, 238Constitutional Review 311Cooney, Rosie & Barney Dickson 293DDavis, Rachel & George Williams 309Detik.com 309Dirdjosisworo, Soerjono 234Djumhana, Muhammad & R. Djubaedillah 272FFamous Brand Name 256Fanani, Ahmad Zaenal 234Firmansyah, Hery 272Firmansyah, Rachmad Maulana, et.al 309Fuady, Munir 328, 331, 333, 334GGarner, Bryan A 234Genetically Modified Organisms 273Gloppen, Siri 309Gray, J.S. & J.M. Bewers 293HHadjon, Philipus M 328Hak Asasi Manusia 237, 238, 246, 248, 249,

250, 252, 302Hak Gugat 273, 274, 276, 278, 283, 284, 285,

289, 290Hamilton, Alexander 309Harahap, M. Yahya 234, 331, 333, 334Haritz, Miriam 293Harremoes, Poul, et.al 293Herman, Muhammad 293Hidayat, Arif 234Hidayati, Nur 272Hikmawati, Puteri 234Hilbeck, Angelika, et.al 293House of Lords 308, 309HR, Ridwan 328Human Rights 237, 238IIdris, et.al 253Indroharto 276, 289, 318, 328Isra, Saldi 328, 331, 333, 334

JJudicial Power 295, 296Justice 213KKamil, Ahmad 253Keadilan 213, 214, 215, 217, 218, 219, 220,

221, 223, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 237, 240, 241, 247, 269, 270, 271, 273, 297, 301

Kekuasaan Kehakiman 214, 295, 296, 297, 299, 301, 303, 304, 306, 309

Kelemen, R. Daniel 310Kemanfaatan 213, 214, 217, 220, 223, 228, 229,

232, 233Kepastian Hukum 213, 214, 217, 219, 220, 221,

223, 229, 231, 233, 237, 246, 252, 253, 260, 264, 268, 301

Kepentingan Politik 295, 299Ketidakcermatan Hakim 273, 274, 278, 291,

292Kewenangan Mahkamah Konstitusi 311Khan, Mohammad Sayyar 293Koch, Bernhard A 293Komar, Mieke 272Komisi Hukum Nasional (KHN) 234Komisi Yudisial Republik Indonesia 213, 234,

235, 272, 331, 333, 335, 344Konstitusionalitas 237, 239, 241, 242, 247, 253,

311, 313, 314, 317, 320, 321, 323Kotler, Philip 272Kurniasih, Dwi Agustine 272Kusnardi, Moh & R Bintan Saragih 328LLaw Commission of India 298, 310Lee, Maria 293Legal Certainty 213, 238Linan, Anibal Perez & Andrea Castagnola 310Lotulung, Paulus Effendi 328MMahfud MD, Moh 328Mahkamah Agung 214, 215, 216, 221, 222,

223, 224, 225, 226, 230, 234, 235, 237, 238, 241, 244, 245, 253, 255, 262, 253, 256, 262, 264, 267, 268, 269, 270, 271, 272, 283, 295, 297, 298, 300, 301, 302, 303, 304, 308, 310, 316, 317, 339

Mahmuzar 314, 328Malleson, Kate 310Mamahit, Jisia 272

jurnal Desember isi.indd 333 12/12/2014 3:53:19 PM

Page 139: cover jurnal Desember 2014.cdr

Manan, Bagir 234, 328, 332, 333, 335Margono, Suyud & Amir Angkasa 272Marwiyah, Siti 272Mc. Carthy, J. Thomas & Pereault, Cannon 272M. Echols, John & Hassan Shadily 234Merek Terkenal 255, 261, 262, 267, 268, 269Mertokusumo, Sudikno 328, 332, 333, 335Miao, Jin, et.al 293MINDNEC 281, 293Moeljatno 219, 234Mulyadi, Lilik 253Mulyosudarmo, Suwoto 328Munthe, Christian 293Muqoddas, Busyro 234NNegligent Judges 273Nursyamsi, Fajri 310OOECD 279, 280, 286, 293Oliver, Melvin J, et.al 293Organisme Transgenik 273, 274, 278, 279, 289,

291OSPAR 281, 293PPangaribuan, Luhut M.P 253Passing Off 255, 256, 257, 261, 262, 263, 264,

265, 266, 268, 269, 271Pendaftaran Merek 255Pengujian Peraturan Perundang-undangan 311,

327Peninjauan Kembali 213, 215, 216, 222, 223,

224, 225, 229, 245, 247, 248, 268, 289Perppu 311Pidana Mati 237, 238, 244, 245, 246, 247, 251,

252, 253Poerwadarminta, W.J.S 234Political Interest 296Pompe, Sebastiaan 310, 332, 333, 335Precautionary Principle 273, 274, 275, 278Prinsip Kehati-hatian 215, 233, 273, 274, 275,

278, 280, 281, 283, 288, 289, 291Purba, Achmad Zen Umar 272RRadbruch. Gustav 234Rahardjo, Satjipto 234, 253, 272, 253, 272, 332,

333, 335, 234, 253, 272, 332, 333, 335, 234, 253, 272, 332, 333, 335, 234, 332, 333, 335

Ranuhandoko, I.P.M 234

Recruitment of Supreme Court Judges 295, 296Rekrutmen Hakim Agung 295, 300, 302, 303,

304Renn, Ortwin 294Rondonuwu, Diana E 234SSaidin, OK 272Sanusi, Arsyad 234Seralini, Gilles-Eric, et.al 294Sharples, FE 294Sihombing, Herman 328Soehino 314, 316, 328Soeprapto, Maria Farida Indrati 328Soeroso 218, 235Strauss, David A & Cass R. Sunstein 310Sudarmanto 264, 272Suhariyanto, Budi 254Sunstein, Cass R, et.al 310Suny, Ismail 329Suparman, Eman 235Suseno, Franz Magnis 329Susilowati, Etty 272Sutiyoso, Bambang 254TThe Government Regulation in Lieu of Law 311The Right to Sue 273The Venice Commission (European Commission

for Democracy Through Law) 310Tjiptono, Fandy 272Trademark Registration 256UUmar, Ahmad Zen 272Utility 213WWahyuni, Erma, et.al 272Wantu, Fence M 235Wardi, Moh 235Wasito, Wiwik Budi, et.al 310Widanti, Agnes 235Wiko, Garuda 235Winarno, Nur Basuki 329Witanto, Darmoko Yuti 254Witanto, Darmoko Yuti & Arya Putra Negara

Kutawaringin 254Witanto, D.Y 235ZZulfa, Eva Achjani 254

jurnal Desember isi.indd 334 12/12/2014 3:53:19 PM

Page 140: cover jurnal Desember 2014.cdr

UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI

Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 3 Desember 2014. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT.

1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.

2. Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum.

3. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum.

4. Mohamad Nasir, S.H., M.H.

5. Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum.

ISSN 1978-6506

Vol. 7 No. 3 Desember 2014 Hal. 213 - 328

jurnal Desember isi.indd 335 12/12/2014 3:53:19 PM

Page 141: cover jurnal Desember 2014.cdr

jurnal Desember isi.indd 336 12/12/2014 3:53:19 PM

Page 142: cover jurnal Desember 2014.cdr

BIODATA PENULIS

Nur Agus Susanto, lahir di Demak pada tanggal 1 Agustus 1979. Menyelesaikan sarjana strata satu di Fakultas Hukum UMY pada tahun 2002 dengan predikat lulusan terbaik, dan melanjutkan pendidikan strata dua di Pasca Sarjana Universitas Sahid Jakarta tahun 2006-2008 melalui Program Beasiswa Mahasiswa Unggulan Depdiknas. Pernah bergabung THE RIDEP INSTITUTE, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang penelitian keamanan, militer, dan perdamaian, sebagai associate researcher pada tahun 2002-2004. Selanjutnya, bekerja sebagai wartawan di tabloid dan harian KONTAN, kelompok Kompas Gramedia, sejak 2004-2009. Semasa bekerja sebagai jurnalis pernah mendapatkan penghargaan dari Bank Indonesia dan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia. Pengalaman organisasi tercatat pernah sebagai President Student English Activity UMY, Ketua Umum Senat Mahasiswa FH UMY, dan Ketua Penelitian Mahasiswa UMY.

Budi Suhariyanto, lahir di Jember, Jawa Timur, 2 Mei 1983. Menyelesaikan pendidikan sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Jember tahun 2006, dan magister hukum di Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2009. Bekerja sebagai Peneliti bidang hukum dan peradilan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail [email protected] atau surat ke alamat Kantor Puslitbang Kumdil lantai 10 Gedung Sekertariat Mahkamah Agung Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 Cempaka Putih Timur Jakarta Pusat.

Mieke Yustia Ayu Ratna Sari, lahir di Sleman, Jawa Tengah,tanggal 13 Februari. Menyelesaikan studi pada program strata satu di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia pada tahun 2004 dengan konsentrasi Hukum Perdata. Selanjutnya pada tahun 2006 melanjutnya studi pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dengan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana dari Dikti. Bekerja sebagai dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang Lampung sejak tahun 2008 sampai dengan sekarang. Mengampu mata kuliah: Hukum Perdata, Hukum Perjanjian, Hukum HKI, Hukum Acara Perdata. Di Universitas Tulang Bawang Lampung pernah menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat dan sekarang menjabat sebagai Kepala Program Studi Hukum pada Fakultas Hukum. Pada tahun 2013 sampai sekarang penulis juga menjadi Anggota Senat Universitas Tulang Bawang Lampung. Penulis aktif melakukan berbagai kegiatan penelitian baik dana internal UTB Lampung maupun dana eksternal dari DIKTI. Penelitian yang pernah dilakukan diantaranya Implementasi Perda No. 2 Tahun 2008 tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung dalam Rangka Perlindungan Kain Tapis Sebagai Traditional Knowledge (Studi di Raswan Tapis) yang dilaksanakan pada tahun 2013 dana bersumber dari Hibah Internal UTB Lampung. Penelitian selanjutnya adalah Model Kebijakan Perlindungan Terhadap Komoditi Lada Hitam (black pepper) Sebagai Indikasi Geografis (Studi di Provinsi Lampung) pada tahun 2014 dana bersumber dari Hibah Desentralisasi DIKTI. Selain kegiatan penelitian, penulis juga aktif melakukan kegiatan pengabdian sesuai tridharma perguruan tinggi. Di samping itu, juga aktif mengikuti berbagai

jurnal Desember isi.indd 337 12/12/2014 3:53:19 PM

Page 143: cover jurnal Desember 2014.cdr

pelatihan, seminar, lokakarya, serta menulis artikel yang dimuat di beberapa jurnal nasional. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: [email protected].

Loura Hardjaloka, lahir di Jakarta, 21 Februari 1992, adalah Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saat ini bekerja sebagai konsultan hukum bidang infrastruktur dan transportasi di Konsultan Hukum Bahar & Partners. Aktif sebagai penulis dalam artikel ilmiah, diantaranya adalah (1) E-Voting: Kebutuhan vs Kesiapan (Menyongsong) E-Demokrasi (diterbitkan di Jurnal Konstitusi Volume 8, No. 3 Tahun 2011); (2) Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle Sebagai “Ius Cogen” dalam Kasus Gunung Mandalawangi (diterbitkan di Jurnal Yudisial Volume 5 No. 2 Tahun 2012); dan (3) Potret Keterwakilan Perempuan dalam Wajah Politik Indonesia Perspektif Regulasi dan Implementasi (diterbitkan di Jurnal Konstitusi Volume 9 No. 2 Tahun 2012). Selain itu turut berperan dalam menulis artikel di Getting The Deal Through – Air Transport pada bagian Negara Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2014.

Giri Ahmad Taufik, Sarjana Hukum lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada tahun 2005 kemudian melanjutkan pendidikan program magister-nya di University of Melbourne pada tahun 2009 dan berhasil mendapatkan gelar Master of Law (LLM) pada tahun 2010. Pengalaman kerja meliputi, asisten pengajar FH Unpad pada bagian Hukum Tata Negara (2005-2008), saat ini bekerja sebagai Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Fokus topik-topik kajian ilmu hukum meliputi, Hak Asasi Manusia, Legislasi, dan Konstitusi Ekonomi. E-mail: [email protected].

Zairin Harahap adalah dosen Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, dengan pangkat Lektor Kepala (IVB). Menyelesaikan S1 (SH) di FH UII dan S2 (M.Si) di UGM. Saat ini sedang menyelesaikan S3 (Doktor Ilmu Hukum) di FH UII. Telah menulis beberapa buku dan artikel di jurnal dan media massa. Menjadi narasumber dalam berbagai seminar, diskusi, dan bimbingan teknis, khususnya di bidang hukum administrasi, legal drafting, dan pembahasan rancangan produk hukum daerah. Di samping itu, juga sering diminta menjadi tenaga ahli dalam pembuatan naskah akademik dan draft rancangan produk hukum daerah. Pernah menjabat sebagai Ketua Departemen Hukum Administrasi, Pembantu Dekan III, Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum, dan Direktur LKBH FH UII.

jurnal Desember isi.indd 338 12/12/2014 3:53:19 PM

Page 144: cover jurnal Desember 2014.cdr

Jurnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan Komisi Yudisial pada bulan April, Agustus, dan Desember. Naskah yang diterima merupakan hasil penelitian putusan pengadilan (court decision) atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri. Penerbitan jurnal ini bertujuan mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil. Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan perspektif penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial.

FORMAT NASKAH

1. Naskah diketik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris

2. Naskah diketik di atas kertas ukuran A-4 sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 poin.

3. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.

SISTEMATIKA NASKAH

Judul NaskahJudul ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Judul utama ditulis

di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), diletakkan di tengah margin (center text), dan maksimal 12 kata (anak judul tidak dihitung). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:

PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA ANAK

Kajian Putusan Nomor 50/Pid.B/2009/PN.Btg

IMPOSING PENAL SANCTIONS FOR CRIMES COMMITED BY KIDSAn Analysis of Decision Number 50/Pid.B/2009/PN.Btg

PEDOMAN PENULISAN

jurnal Desember isi.indd 339 12/12/2014 3:53:20 PM

Page 145: cover jurnal Desember 2014.cdr

Nama dan Identitas PenulisNama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang.

Nama penulis dilengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi. Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:

Mohammad TariganFakultas Hukum Universitas Tarumanagara

Jl. S. Parman No. 1 Jakarta 11440, E-mail [email protected].

Ilyasa Sitanggang & Ibrahim PelupessyFakultas Hukum Universitas YudisialJl. Kramat Raya No. 57 Jakarta 10450

E-mail: [email protected] & [email protected]

Abstrak

Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jumlah kata masing-masing antara 150 s.d. 200 dalam satu paragraf dengan jarak satu spasi. Abstrak dilengkapi dengan kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms).

PENDAHULUAN I.

Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut. Pertimbangan majelis terkait permasalahan yang akan disorot wajib dijadikan bagian dari latar belakang. Nama–nama para pihak dan majelis hakim yang dikutip dari putusan, ditulis dengan inisial. Pendahuluan harus memberi pengantar yang cukup bagi masalah yang akan dirumuskan.

RUMUSAN MASALAH II.

Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan (maksimal tiga pertanyaan).

jurnal Desember isi.indd 340 12/12/2014 3:53:20 PM

Page 146: cover jurnal Desember 2014.cdr

STUDI PUSTAKA III.

Subbab ini memuat tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab.

ANALISISIV.

Subbab ini memuat analisis yang harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.

SIMPULANV.

Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.

DAFTAR PUSTAKA VI.

Daftar pustaka harus terdiri dari referensi yang digunakan sebagai acuan naskah, tidak termasuk peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan/atau putusan pengadilan berjumlah minimal 15 referensi. Untuk kemutakhiran, pengacuan pustaka 80% harus dari terbitan lima tahun terakhir dan 80% harus berasal dari sumber acuan primer (bukan mengutip dari sumber kedua). Pengacuan pustaka harus dari situs ilmiah yang kredibel dan bukan berasal dari blog pribadi.

PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA

Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut:

1. Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ...2. Dua penulis: (Abelson & Friquegnon, 2010: 50-52); 3. Lebih dari dua penulis: (Hotstede et.al., 1990: 23);4. Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).

Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:

Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press.

Abdi, Mualimin. 2012. “Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012.” Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 9 No. 4. Hlm. 535-546.

jurnal Desember isi.indd 341 12/12/2014 3:53:20 PM

Page 147: cover jurnal Desember 2014.cdr

Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. <http://www.library.cornell.edu/resrch/intro>.

Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall.

Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2012. Laporan Tahunan 2011. Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial.

Pengacuan pustaka 80% harus dari terbitan lima tahun terakhir dan 80% harus berasal dari sumber acuan primer. Pengacuan pustaka tidak boleh berasal dari blog pribadi, harus dari situs ilmiah yang kredibel.

PENILAIAN

Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.

CARA PENGIRIMAN NASKAH

Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail: [email protected] dengan tembusan ke: [email protected] dan [email protected]

Personalia yang dapat dihubungi (contact persons): Ikhsan Azhar (085299618833); atauArnis (08121368480).

Alamat redaksi: Pusat Analisis dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57

Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906189.

jurnal Desember isi.indd 342 12/12/2014 3:53:20 PM

Page 148: cover jurnal Desember 2014.cdr

Top Related