Download - Ciontoh Tak PK

Transcript

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)

MENGUNGKAPKAN PERASAAN DENGAN BERDISKUSI UNTUK

KLIEN PERILAKU KEKERASAN

DI RUMAH SAKIT Dr RADJIMAN WEDYODININGRAT LAWANG

Oleh:

Devi Fradiana 115070201111026

Arini Nur Hidayati 115070201111004

Fenti Diah Hariyanti 115070201111002

Risyda Ma’rifatul Kh. 115070207111030

Prilly Priskylia 115070200111004

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2015

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Berkowitz (2000) perilaku kekerasan merupakan respons terhadap

stressor yang dihadapi oleh seseorang, yang ditunjukkan dengan perilaku actual

melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara

verbal maupun nonverbal, bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun

psikologis (Yosep, 2010).

Terdapat beberapa tanda dan gejala yang melekat pada penderita resiko perilaku

kekerasan, antara lain muka merah dan tegang, mata melotot, tangan mengepal, rahang

mengatup dengan kuat, wajah memerah, postur tubh kaku, jalan modar mandir, bicara

kasar, suara tinggi, membentak, mengancam, mengumpat, suara keras, dan ketus.

Bila ada faktor pencetus seperti stressor dan koping yang tidak adaptif maka

penderita resiko perilaku kekerasan dapat mengamuk. Pada kondisi ini dibutuhkan

penanganan fase krisis pada penderita perilaku kekerasan, seperti memberikan restrain

dan psikofarmaka. Apabila dibiarkan dan tidak segera ditangani maka dapat

membahayakan diri pasien sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar.

Pada saat penderita masih berada pada kondisi resiko perilaku kekerasan,

penderita cenderung berada pada kondisi yang stabil dan tidak ada perilaku amuk. Pada

tahapan inilah penderita dapat diberikan edukasi dan diajak untuk mengenali penyebab

dan tanda gejala perilaku kekerasan. Edukasi ini diberikan melalui kegiatan terapi

aktivitas kelompok. Terapi aktivitas kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan

sekelompokpasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin

atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih

(Pedoman Rehabilitasi Pasien Mental Rumah Sakit Jiwa di Indonesia dalam Yosep,

2007). Melalui terapi ini diharapkan penderita dapat meningkatkan fungsi psikologis

mengenai kesadaran  tentang hubungan antara reaksi emosional diri sendiri dengan

perilaku defensive (bertahan terhadap stress) dan adaptasi.

1.2 Tujuan

Tujuan Umum

a) Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan yaitu memperoleh pemahaman dan

cara membedakan sesuatu yang nyata dan khayalan.

b) Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk berkumpul,

berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan memberikan tanggapan

terhadap pandapat maupun perasaan ortang lain.

c) Meningkatkan kesadaran hubungan antar reaksi emosional diri sendiri dengan

prilaku defensif yaitu suatu cara untuk menghindarkan diri dari rasa tidak enak

karena merasa diri tidak berharga atau ditolak.

d)   Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti fungsi

kognitif dan afektif.

Tujuan Khusus

a) Meningkatkan identifikasi diri, dimana setiap orang mempunyai identifikasi diri

tentang mengenal dirinya di dalam lingkungannya.

b) Penyaluran emosi, merupakan suatu kesempatan yang sangat dibutuhkan oleh

seseorang untuk menjaga kesehatan mentalnya. Di dalam kelompok akan ada

waktu bagi anggotanya untuk menyalurkan emosinya untuk didengar dan

dimengerti oleh anggota kelompok lainnya.

c) Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk kehidupan sehari-hari, terdapat

kesempatan bagi anggota kelompok untuk saling berkomunikasi yang

memungkinkan peningkatan hubungan sosial dalam kesehariannya

1.3 Manfaat

Umum

1) Meningkatkan  kemampuan  menguji  kenyataan (reality  testing)  melalui komunikasi

dan umpan balik dengan atau dari orang lain.

2) Membentuk sosialisasi

3) Meningkatkan  fungsi  psikologis,  yaitu  meningkatkan  kesadaran  tentang

hubungan antara reaksi emosional diri sendiri dengan perilaku defensive (bertahan

terhadap stress) dan adaptasi.

4) Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti kognitif dan

afektif.

Khusus

1) Meningkatkan identitas diri.

2) Menyalurkan emosi secara konstruktif.

3) Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk diterapkan sehari-hari.

4) Bersifat rehabilitatif: meningkatkan kemampuan ekspresi diri, keterampilan sosial,

kepercayaan diri, kemampuan empati, dan meningkatkan kemampuan tentang

masalah-masalah kehidupan dan pemecahannya

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 PERILAKU KEKERASAN

2.1.1 Definisi

Menurut Berkowitz (2000) perilaku kekerasan merupakan respons terhadap

stressor yang dihadapi oleh seseorang, yang ditunjukkan dengan perilaku actual

melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan,

secara verbal maupun nonverbal, bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik

maupun psikologis (Yosep, 2010).

Suatu keadaan dimana seorang individu mengalami perilaku yang dapat

melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri atau orang lain (Towsend, 1998).

Suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan

kline sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang

Dari beberapa sumber di atas, dapat disimpulkan bahawa perilaku

kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang

dapat membahayakan secara fisik maupun psikologis baik terhadap diri sendiri,

orang lain maupun lingkungan yang didasari keadaan emosional.

2.1.2 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala dari perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:

1. Fisik

a. Muka merah dan tegang

b. Mata melotot atau pandangan tajam

c. Tangan mengepal

d. Rahang mengatup dengan kuat

e. Wajah memerah dan tegang

f. Postur tubuh kaku

g. Jalan mondar-mandir

2. Verbal

a. Bicara kasar

b. Suara tinggi, membentak atau berteriak

c. Mengancam secara verbal atau fisik

d. Mengumpat dengan kata-kata kotor

e. Suara keras

f. Ketus

3. Perilaku

a. Melempar atau memukul benda ataupun orang lain

b. Menyerang orang lain

c. Melukai diri sendiri atau orang lain

d. Merusak lingkungan

e. Amuk atau agresif

4. Emosi

Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman rasa terganggu, dendam dan

jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,

menyalahkan dan menuntut.

a. Intelektual: mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan,

sarkasme

b. Spiritual: merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat

orang lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak peduli dan kasar.

c. Sosial: menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan

sindiran.

d. Perhatian: bolos, mencuri, melarikan diri, dan penyimpangan seksual.

2.1.3 Proses Terjadinya Masalah

1. Faktor Predisposisi

a. Teori Biologik

Neurologik factor

Beragam komponen dari system syaraf seperti synap,

neurotransmitter, dendrite, axon terminalis mempunyai peran

memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan – pesan yang

akan mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbic sangat terlibat dalam

menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif.

Genetik factor

Adanya factor yang diturnkan dari orang tua menjadi potensi

perilaku agresif. Menurut riset Kazuo Murakami (2007) dalam gen

manusia terdapat dormant (potensi) agresif yang sedang tidur dan

akan bangun jika terstimulasi oleh factor eksternal.

Menurut penelitian genetic tipe karyotipe XYY, umumnya

dimilki oleh penghuni pelaku tindak criminal serta orang – orang yang

tersangkut hokum akibat perilaku agresif.

Cyrcardian Rhytm (irama sirkardian tubuh)

Hal ini memegang peranan terhadap individu. Menurut

penelitian, pada jam-jam tertentu manusia mengalami peningkatan

cortisol terutama pada jam-jam sibuk seperti menjelang masuk kerja

dan menjelang berakhirnya pekerjaan. Pada jam tersebut mereka

lebih mudah terstimulasi.

Biochemistry factor (factor biokimia tubuh)

Seperti neuritransmiter di otak (epinefrin, norepinefrin,

dopamine, asetilkolin dan serotonin) sangat berperan dalam

penyampaian informasi melalui system persyarafan dalam tubuh,

stimulus dari luar tubuh yang dianggap mengancam atau

membahayakan akan dihantarkan melalui neurotransmitter ke otak

dan meresponnya ke serabut efferent .

Peningkatan hormone androgen dan norepinefrin serta

penurunan serotonin dan GABA pada cairan serebrospinal vertebrata

dapat menjadi factor predisposisi terjadinya periliaku agresif.

Brain area disorder

Gangguan pada system limbic dan lobus temporal, sindrom

otak organic, tumor otak, penyakit ensefalitis, epilepsy ditemukan

sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.

b. Teori Psikologik

Teori psikoanalisa

Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat

tumbuh kembang. Teori ini menjelaskan bahwa adanya

ketidakpuasan fase oral angtara usia 0-2 tahun dimana anak tidak

medapatkan kasih saying dan pemenuhan keubtuhan air susu yang

cukup cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan

setelah dewasa sebagai kompensasi adanya ketidakpercayaan pada

lingkungannya.

Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat

mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri

yang rendah

Imitatiaon, modeling and information processing theory

Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam

lingkungan yang menolelir kekerasan. Adanya contoh, model dan

perilaku yang ditiru dari media atau lingkunga sekitar memungkinkan

individu meniru perilaku tersebut.

Dalam suatu penelitian, beberapa anak dikumpulkan untuk

menonton tayangan pemukulan pada boneka dengan reward positif

(mekin keras pukulannya, maka diberi coklat), anak lain menonton

tayangan cara mengasihi boneka dengan reward positif pula (makin

lembut belaiannya, makin banyak coklat yang diberikan). Dengan hal

ini maka anak dapat melakukan tindakan positif sesuai yamng

didapatkan tadi.

Learning theory

Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap

lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat

menerima kekercewaan dan mengamati bagaimana respon ibu saat

merah. Ia juga belajar bahwa dengan agresivitas lingkungan sekitar

menjadi peduli, bertanya, menanggapi dan mengancam bahwa dirinya

eksis dan petut untuk diperhitungkan.

c. Teori Sosiocultural

Dalam budaya tertentu seperti rebutan berkah, uang receh

sesaji atau kotoran kerbau di keraton, serta ritual – ritual yang cenderung

mengarah pada kemusyrikan secara tidak langsung turut menumpuk

sikap agresif dan ingin menang sendiri.

Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima

perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam

masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.

Hal ini juga dipicu oleh maraknya demonstrasi, film-film kekerasan,

mistik, tahayul dan perdukunan (santet, teluh) dalam tayangan televisi.

d. Aspek Religiusitas

Dalam tinjauan religiusitas, kemarahan dan agresivitas

merupakan dorongan dan bisikan syetan yang sngat menyukai

kerusakan agar manusia menyesal (devil support).

Semua bentuk kekerasan adalah bisikan syetan melalui

pembuluh darah ke jantung, otak dan organ vital manusia manusia lain

yang dituruti manusia sebagai bentuk kompensasi bahwa kebutuhan

dirinya terancam dan harus segera dipenuhi tetapi tanpa melibatkan akal

(ego) dan norma agam (super ego).

2. Faktor Presipitasi

Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan seringkali

berkaitan dengan :

Ekspresi diri

Ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti

dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian

masal dan sebagainya.

a. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial

ekonomi.

b. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta

tidak membiasakan dialog untuk memcahkan masalah cenderung

melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.

c. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan

ketidakmampuan menempatkan dirinya sebagai seorang yang

dewasa.

d. Adanya riwayat perilaku anti sosial: meliputi penyalahgunaan obat dan

alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat

menghadapi rasa frustasi.

e. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,

perubahan tahap perkembangan atau perubahan perkembangan

keluarga.

2.1.4 Data yang Perlu Dikaji

1. Data subjektif :

a. Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.

b. Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika

sedang kesal atau marah.

2. Data objektif :

a. Mata merah, wajah agak merah.

b. Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.

c. Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.

2.1.5 Pohon Masalah

2.2 Terapi Aktivitas Kelompok

2.2.1 Definisi TAK

Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu

dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Stuart

& Laraia, 2001 dikutip dari Cyber Nurse, 2009).  Terapi kelompok merupakan

suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompokpasien bersama-sama dengan

jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh

seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih (Pedoman

Rehabilitasi Pasien Mental Rumah Sakit Jiwa di Indonesia dalam Yosep,

2007). Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara

kelompok  untuk  memberikan  stimulasi  bagi  pasien  dengan 

gangguan interpersonal (Yosep, 2008).

2.2.2 Manfaat TAK

Terapi aktivitas kelompok mempunyai manfaat yaitu :

a. Umum

1) Meningkatkan  kemampuan  menguji  kenyataan (reality  testing) 

melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain.

2) Membentuk sosialisasi

Resiko tinggi mencederai orang lain

Perubahan persepsi sensori : HalusinasiPerilaku Kekerasan

Inefektif proses terapi

Isolasi SosialGangguan Harga Diri Rendah

Berduka disfungsional

Koping keluarga tidak efektif

3) Meningkatkan  fungsi  psikologis,  yaitu  meningkatkan  kesadaran 

tentang hubungan antara reaksi emosional diri sendiri dengan perilaku

defensive (bertahan terhadap stress) dan adaptasi.

4) Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti

kognitif dan afektif.

b. Khusus

1) Meningkatkan identitas diri.

2) Menyalurkan emosi secara konstruktif.

3) Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk diterapkan sehari-

hari.

4) Bersifat rehabilitatif: meningkatkan kemampuan ekspresi diri,

keterampilan sosial, kepercayaan diri, kemampuan empati, dan

meningkatkan kemampuan tentang masalah-masalah kehidupan dan

pemecahannya.

2.2.3 Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

Depkes RI mengemukakan tujuan terapi aktivitas kelompok secara

rinci sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

a) Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan yaitu memperoleh

pemahaman dan cara membedakan sesuatu yang nyata dan

khayalan.

b) Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk

berkumpul, berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan

memberikan tanggapan terhadap pandapat maupun perasaan ortang

lain.

c) Meningkatkan kesadaran hubungan antar reaksi emosional diri sendiri

dengan prilaku defensif yaitu suatu cara untuk menghindarkan diri dari

rasa tidak enak karena merasa diri tidak berharga atau ditolak.

d)   Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis

seperti fungsi kognitif dan afektif.

2. Tujuan Khusus

a) Meningkatkan identifikasi diri, dimana setiap orang mempunyai

identifikasi diri tentang mengenal dirinya di dalam lingkungannya.

b) Penyaluran emosi, merupakan suatu kesempatan yang sangat

dibutuhkan oleh seseorang untuk menjaga kesehatan mentalnya. Di

dalam kelompok akan ada waktu bagi anggotanya untuk menyalurkan

emosinya untuk didengar dan dimengerti oleh anggota kelompok

lainnya.

c) Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk kehidupan sehari-

hari, terdapat kesempatan bagi anggota kelompok untuk saling

berkomunikasi yang memungkinkan peningkatan hubungan sosial

dalam kesehariannya.

2.2.4 Dampak Terapeutik dari Kelompok

Terjadinya interaksi yang diharapkan dalam aktivitas kelompok dapat

memberikan dampak yang bermanfaat bagi komponen yang terlibat. Yalom

(1985) dalam tulisannya mengenai terapi kelompok telah melaporkan 11

kasus yang terlibat dalam efek terapeutik dari kelompok. Faktor-faktor

tersebut adalah :

1) Universalitas, klien mulai menyadari bahwa bukan ia sendiri yang

mempunyai masalah dan bahwa perjuangannya adalah dengan membagi

atau setidaknya dapat dimengerti oleh orang lain.

2) Menanamkan harapan, sebagian diperantarai dengan menemukan yang

lain yang telah dapat maju dengan masalahnya, dan dengan dukungan

emosional yang diberikan oleh kelompok lainnya.

3) Menanamkan harapan, dapat dialami karena anggota memberikan

dukungan satu sama lain dan menyumbangkan ide mereka, bukan hanya

menerima ide dari yang lainnya.

4) Mungkin terdapat rekapitulasi korektif dari keluarga primer yang untuk

kebanyakan klien merupakan problematic. Baik terapis maupun anggota

lainnya dapat jadi resepien reaksi tranferensi yang kemudian dapat

dilakukan.

5) Pengembangan keterampilan sosial lebih jauh dan kemampuan untuk

menghubungkan dengan yang lainnya merupakan kemungkinan. Klien

dapat memperoleh umpan balik dan mempunyai kesempatan untuk

belajar dan melatih cara baru berinteraksi.

6) Pemasukan informasi, dapat dapat berkisar dari memberikan informasi

tentang ganguan seseorang terhadap umpan balik langsung tentang

perilaku orang dan pengaruhnya terhadap anggota kelompok lainnya.

7) Identifikasi, prilaku imitative dan modeling dapat dihasilkan dari terapis

atau anggota lainnya memberikan model peran yang baik.

8) Kekohesifan kelompok dan pemilikan dapat menjadi kekuatan dalam

kehidupan seseorang. Bila terapi kelompok menimbulkan

berkembangnya rasa kesatuan dan persatuan memberi pengaruh kuat

dan memberi perasaan memiliki dan menerima yang dapat menjadi

kekuatan dalam kehidupan seseorang.

9) Pengalaman antar pribadi mencakup pentingnya belajar berhubungan

antar pribadi, bagaimana memperoleh hubungan yang lebih baik, dan

mempunyai pengalaman memperbaiki hubungan menjadi lebih baik.

10) Atarsis dan pembagian emosi yang kuat tidak hanya membantu

mengurangi ketegangan emosi tetapi juga menguatkan perasaan

kedekatan dalam kelompok.

11) Pembagian eksisitensial memberikan masukan untuk mengakui

keterbatasan seseorang, keterbatasan lainnya, tanggung jawab terhadap

diri seseorang.

2.2.5 Indikasi dan Kontraindikasi Terapi Aktifitas Kelompok (TAK)

Adapun indikasi dan kontra indikasi terapi aktivitas kelompok (Depkes

RI (1997) adalah :

1) Semua klien terutama klien rehabilitasi perlu memperoleh terapi aktifitas

kelompok kecuali mereka yang : psikopat dan sosiopat, selalu diam dan

autistic, delusi tak terkontrol, mudah bosan.

2) Ada berbagai persyaratan bagi klien untuk bisa mengikuti terapi aktifitas

kelompok antara lain : sudah ada observasi dan diagnosis yang jelas,

sudah tidak terlalu gelisah, agresif dan inkoheren dan wahamnya tidak

terlalu berat, sehingga bisa kooperatif dan tidak mengganggu terapi

aktifitas kelompok.

3) Untuk pelaksanaan terapi aktifitas kelompok di rumah sakit jiwa di

upayakan pertimbangan tertentu seperti : tidak terlalu ketat dalam

tehnik terapi, diagnosis klien dapat bersifat heterogen, tingkat

kemampuan berpikir dan pemahaman relatif setara, sebisa mungkin

pengelompokan berdasarkan problem yang sama.

2.2.6 Komponen Kelompok

Kelompok terdiri dari delapan aspek, sebagai berikut (Kelliat, 2005) :

1) Struktur kelompok.

Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses

pengambilan keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur

kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku

dan interaksi. Struktur dalam kelompok diatur dengan adanya pemimpin

dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan

keputusan diambil secara bersama.

2) Besar kelompok

Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang

anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jika angota kelompok terlalu

besar akibbatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan

mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu

kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi (Kelliat,

2005).

3) Lamanya sesi

Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok

yang rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi.

Banyaknya sesi bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali/dua

kali perminggu, atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan

(Kelliat, 2005).

2.2.7 Proses Terapi Aktifitas Kelompok

Proses terapi aktifitas kelompok pada dasarnya lebih kompleks dari

pada terapi individual, oleh karena itu untuk memimpinnya memerlukan

pengalaman dalam psikoterapi individual. Dalam kelompok terapis akan

kehilangan sebagian otoritasnya dan menyerahkan kepada kelompok.

Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya

suasana yang tingkat kecemasannya sesuai, sehingga klien terdorong untuik

membuka diri dan tidak menimbulkan atau mengembalikan mekanisme

pertahanan diri. Setiap permulaan dari suatu terapi aktifitas kelompok yang

baru merupakan saat yang kritis karena prosedurnya merupakan sesuatu

yang belum pernah dialami oleh anggota kelompok dan mereka dihadapkan

dengan orang lain.

Setelah klien berkumpul, mereka duduk melingkar, terapis memulai

dengan memperkenalkan diri terlebih dahulu dan juga memperkenalkan co-

terapis dan kemudian mempersilakan anggota untuk memperkenalkan diri

secara bergilir, bila ada anggota yang tidak mampu maka terapis

memperkenalkannya. Terapis kemudian menjelaskan maksud dan tujuan

serta prosedur terapi kelompok dan juga masalah yang akan dibicarakan

dalam kelompok. Topik atau masalah dapat ditentukan oleh terapis atau usul

klien. Ditetapkan bahwa anggota bebas membicarakan apa saja, bebas

mengkritik siapa saja termasuk terapis. Terapis sebaiknya bersifat moderat

dan menghindarkan kata-kata yang dapat diartikan sebagai perintah.

Dalam prosesnya kalau terjadi bloking, terapis dapat membiarkan

sementara. Bloking yang terlalu lama dapat menimbulkan kecemasan yang

meningkatoleh karenanya terapis perlu mencarikan jalan keluar. Dari keadaan

ini mungkin ada indikasi bahwa ada beberapa klien masih perlu mengikuti

terapi individual. Bisa juga terapis merangsang anggota yang banyak bicara

agar mengajak temannya yang kurang banyak bicara. Dapat juga co-terapis

membantu mengatasi kemacetan.

Kalau terjadi kekacauan, anggota yang menimbulkan terjadinya

kekacauan dikeluarkan dan terapi aktifitas kelompok berjalan terus dengan

memberikan penjelasan kepada semua anggota kelompok. Setiap komentar

atau permintaan yang datang dari anggota diperhatikan dengan sungguh-

sungguh dan di tanggapi dengan sungguh-sungguh. Terapis bukanlah guru,

penasehat atau bukan pula wasit. Terapis lebih banyak pasif atau katalisator.

Terapis hendaknya menyadari bahwa tidak menghadapi individu dalam suatu

kelompok tetapi menghadapi kelompok yang terdiri dari individu-individu.

Diakhir terapi aktifitas kelompok, terapis menyimpulkan secara singkat

pembicaraan yang telah berlangsung / permasalahan dan solusi yang

mungkin dilakukan. Dilanjutkan kemudian dengan membuat perjanjian pada

anggota untuk pertemuan berikutnya. (Kelliat, 2005).

2.2.8 Tahapan dalam TAK

Kelompok sama dengan individu, mempunyai kapasitas untuk tumbuh

dan berkembang. Kelompok akan berkembang melalui empat fase, yaitu:

Fase prakelompok; fase awal kelompok; fase kerja kelompok; fase terminasi

kelompok (Stuart & Laraia, 2001 dalam Cyber Nurse, 2009).

a. Fase Prakelompok

Dimulai dengan membuat tujuan, menentukan leader, jumlah anggota, 

kriteria anggota, tempat dan waktu kegiatan, media yang digunakan.

Menurut Dr. Wartono (1976) dalam Yosep (2007), jumlah anggota kelompok

yang ideal dengan cara verbalisasi biasanya 7-8 orang. Sedangkan

jumlah minimum 4 dan maksimum 10. Kriteria anggota yang memenuhi

syarat untuk mengikuti TAK adalah : sudah punya diagnosa yang jelas,

tidak terlalu gelisah, tidak agresif, waham tidak terlalu berat (Yosep, 2007).

b. Fase Awal Kelompok

Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya kelompok baru, dan

peran baru. Yalom (1995) dalam Stuart dan Laraia (2001) membagi fase

ini menjadi tiga fase, yaitu orientasi, konflik, dan kohesif. Sementara

Tukman (1965) dalam Stuart dan Laraia (2001) juga membaginya dalam

tiga fase, yaitu forming, storming, dan norming. 

1) Tahap Orientasi

Anggota mulai mencoba mengembangkan sistem sosial masing-

masing, leader menunjukkan rencana terapi dan menyepakati kontrak

dengan anggota.

2) Tahap Konflik

Merupakan  masa  sulit  dalam  proses  kelompok.  Pemimpin  perlu

memfasilitasi ungkapan perasaan, baik positif maupun negatif dan

membantu kelompok mengenali penyebab konflik. Serta mencegah

perilaku perilaku yang tidak produktif (Purwaningsih & Karlina, 2009).

3) Tahap Kohesif

Anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi dan

lebih intim satu sama lain (Keliat, 2004).

c. Fase Kerja Kelompok

Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim. Kelompok menjadi stabil

dan realistis (Keliat, 2004).  Pada  akhir  fase  ini,  anggota  kelompok 

menyadari produktivitas  dan  kemampuan  yang  bertambah  disertai 

percaya  diri  dan kemandirian (Yosep, 2007).

d. Fase Terminasi

Terminasi  yang  sukses  ditandai  oleh  perasaan  puas  dan 

pengalaman kelompok  akan  digunakan  secara  individual  pada 

kehidupan  sehari-hari. Terminasi dapat bersifat sementara (temporal)

atau akhir (Keliat, 2004).

2.2.9 Macam Terapi Aktivitas Kelompok

Terapi aktivitas kelompok (TAK) dibagi empat, yaitu :

a. Terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi

Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi

yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus terkait dengan

pengalaman dan atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok

(Keliat, 2004). Fokus terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi

adalah membantu pasien yang  mengalami  kemunduran  orientasi 

dengan  karakteristik:  pasien  dengan gangguan persepsi; halusinasi,

menarik diri dengan realitas, kurang inisiatif atau ide, kooperatif, sehat

fisik, dan dapat berkomunikasi verbal (Yosep, 2007).

Adapun tujuan dari TAK stimulasi persepsi adalah pasien

mempunyai kemampuan  untuk  menyelesaikan  masalah  yang 

diakibatkan  oleh  paparan stimulus kepadanya. Sementara, tujuan

khususnya: pasien dapat mempersepsikan stimulus yang dipaparkan

kepadanya dengan tepat dan menyelesaikan masalahyang timbul dari

stimulus yang dialami (Darsana, 2007).

Aktivitas mempersepsikan stimulus tidak nyata dan respon yang

dialami dalam kehidupan, khususnya untuk pasien halusinasi. Aktivitas

dibagi dalam empat sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu :

1)      Sesi pertama : mengenal halusinasi

2)      Sesi kedua : mengontrol halusinasi dan menghardik halusinasi

3)      Sesi ketiga : menyusun jadwal kegiatan

4)      Sesi keempat :  cara minum obat yang benar

b. Terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori

TAK stimulasi sensori adalah TAK yang diadakan dengan memberikan

stimulus tertentu kepada klien sehingga terjadi perubhan perilaku.

Bentuk stimulus :

1)      Stimulus suara: musik

2)      Stimulus visual: gambar

3)      Stimulus gabungan visual dan suara: melihat televisi, video

Tujuan dari TAK stimulasi sensori bertujuan agar klien mengalami :

1)      Peningkatan kepekaan terhadap stimulus.

2)      Peningkatan kemampuan merasakan keindahan

3)      Peningkatan apresiasi terhadap lingkungan

Jenis TAK yaitu :

1)      TAK Stimulasi Suara

2)      TAK Stimulasi Gambar

3)      TAK Stimulasi Suara dan Gambar

c. Terapi aktivitas orientasi realita

Terapi Aktivitas Kelompok Oientasi Realita (TAK): orientasi

realita adalah upaya untuk mengorientasikan keadaan nyata kepada

klien, yaitu diri sendiri, orang lain, lingkungan/ tempat, dan waktu.

Klien dengan gangguan jiwa psikotik, mengalami penurunan

daya nilai realitas (reality testing ability). Klien tidak lagi mengenali

tempat,waktu, dan orang-orang di sekitarnya. Hal ini dapat

mengakibatkan klien merasa asing dan menjadi pencetus terjadinya

ansietas pada klien. Untuk menanggulangi kendala ini, maka perlu ada

aktivitas yang memberi stimulus secara konsisten kepada klien tentang

realitas di sekitarnya. Stimulus tersebut meliputi stimulus tentang realitas

lingkungan, yaitu diri sendiri, orang lain, waktu, dan tempat.

Tujuan umum yaitu klien mampu mengenali orang, tempat, dan

waktu sesuai dengan kenyataan, sedangkan tujuan khususnya adalah:

1. Klien mampu mengenal tempat ia berada dan pernah berada

2. Klien mengenal waktu dengan tepat.

3. Klien dapat mengenal diri sendiri dan orangorang di sekitarny dengan

tepat.

Aktivitas yang dilakukan tiga sesi berupa aktivitas pengenalan orang,

tempat, dan waktu. Klien yang mempunyai indikasi disorientasi realitas

adalah klien halusinasi, dimensia, kebingungan, tidak kenal dirinya, salah

mngenal orang lain, tempat, dan waktu.

Tahapan kegiatan :

1)      Sesi I      : Orientasi Orang

2)      Sesi II    : Orientasi Tempat

3)      Sesi III   : Orientasi Waktu

BAB III

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK

STIMULASI PERSEPSI: RESIKO PERILAKU KEKERASAN

3.1 Definisi

Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi merupakan terapi yang

menggunakan aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman dan

kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok.

3.2 Tujuan

Tujuan umum :

Klien mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh

paparan stimulus kepadanya

Tujuan khusus :

1. Klien dapat mempersespsikan stimulus yang dipaparkan kepadanya dengan tepat.

2. Klien dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami.

3.2 Aktivitas dan Tindakan

Aktivitas TAK dilakukan lima sesi yang melatih kemampuan klien dalam

menyelesaikan masalah akibat paparan stimulus. Klien yang mempunyai indikasi

adalah klien dengan resiko perilaku kekerasan dan halusinasi.

3.3 Tugas dan Wewenang

1. Tugas Leader dan Co-Leader

Memimpin acara; menjelaskan tujuan dan hasil yang diharapkan.

Menjelaskan peraturan dan membuat kontrak dengan peserta.

Memberikan motivasi kepada peserta.

Mengarahkan acara dalam pencapaian tujuan.

Memberikan reinforcemen positif terhadap peserta.

2. Tugas Fasilitator

Ikut serta dalam kegiatan kelompok.

Memastikan lingkungan dan situasi aman dan kondusif bagi peserta.

L

P F P O

P P FF

Menghindarkan peserta dari distraksi selama kegiatan berlangsung.

Memberikan stimulus/motivasi pada peserta lain untuk berpartisipasi aktif.

Memberikan reinforcemen terhadap keberhasilan peserta lainnya.

Membantu melakukan evaluasi hasil.

3. Tugas Observer

Mengamati dan mencatat respon klien.

Mencatat jalannya aktivitas terapi.

Melakukan evaluasi hasil.

Melakukan evaluasi pada organisasi yang telah dibentuk (leader, co leader, dan

fasilitator).

4. Tugas Peserta

Mengikuti seluruh kegiatan.

Berperan aktif dalam kegiatan.

Mengikuti proses evaluasi.

3.4 Kegiatan

1. Peserta diharapkan mengikuti seluruh acara dari awal hinggga akhir.

2. Peserta tidak boleh berbicara bila belum diberi kesempatan; perserta tidak boleh

memotong pembicaraan orang lain.

3. Peserta dilarang meninggalkan ruangan bila acara belum selesai dilaksanakan.

4. Peserta yang tidak mematuhi peraturan akan diberi sanksi :

Peringatan lisan.

Dihukum : menyanyi, menari, atau menggambar.

Diharapkan berdiri dibelakang pemimpin selama lima menit.

Dikeluarkan dari ruangan/kelompok.

3.5 Setting

Keterangan :

L : Leader

F : Fasilitator

O : Observer

P : Pasien (Klien)

Petunjuk : Klien duduk membentuk persegi bersama dengan perawat

PETUNJUK PELAKSANAAN

TAK STIMULASI PERSEPSI: RESIKO PERILAKU KEKERASAN

Sesi 1 : Mengenal Perilaku Kekerasan yang biasa dilakukan.

Tujuan :

1) Klien dapat menyebutkan stimulasi penyebab kemarahannya

2) Klien dapat menyebutkan respons yang dirasakan saat marah (tanda dan gejala

marah)

3) Klien dapat menyebutkan reaksi yang dilakukan saat marah (perilaku kekerasan)

4) Klien dapat menyebutkan akibat perilaku kekerasan.

Setting :

1. Terapis dan klien duduk bersama dalam bentuk persegi

2. Ruangan nyaman dan tenang

Alat :

3. Buku catatan dan pulpen

4. Bola kertas dan musik

5. Jadwal kegiatan klien

Metode:

1. Diskusi dan tanya jawab

2. Dinamika kelompok

3. Bermain peran/simulasi

Langkah Kegiatan:

1. Persiapan

a. Memilih klien perilaku kekerasan yang sudah kooperatif.

b. Membuat kontrak dengan klien sebelum dilakukan pertemuan

c. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan

2. Orientasi

a. Salam terapeutik

1) Salam dari terapis kepada klien

2) Perkenalan nama dan panggilan terapis (pakai papan nama)

3) Menanyakan nama dan panggilan semua klien (beri papan nama)

b. Evaluasi/validasi

1) Menanyakan perasaan klien saat ini

2) Menanyakan masalah yang dirasakan

c. Kontrak

1) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mengenal perilaku kekerasan yang

biasa dilakukan

2) Menjelaskan tujuan pertemuan pertama yaitu:

i. Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus meminta izin

kepada terapis

ii. Lama kegiatan 45 menit

iii. Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai

3. Tahap Kerja

a. Terapis mendiskusikan penyebab marah

1) Tanyakan pengalaman tiap klien

2) Tulis di buku catatan

b. Terapis mendiskusikan tanda dan gejala yang dirasakan klien saat terpapar

oleh penyebab marah sebelum perilaqku kekerasan terjadi.

1) Tanyakan perasaan tiap klien saat terpapar oleh penyebab (tanda dan

gejala)

2) Tulis di buku catatan

c. Mendiskusi perilaku kekerasan yang pernah dilakukan klien (verbal, merusak

lingkungan, menciderai/memukul orang lain, dan memukul diri sendiri).

1) Tanyakan perilaku yang dilakukan saat marah

2) Tulis di buku catatan

d. Membantu klien memilih salah satu perilaku kekerasan yang paling sering

dilakukan untuk diperagakan.

e. Melakukan bermain peran/simulasi untuk perilaku kekerasan yang tidak

berbahaya (terapis sebagai sumber penyebab dan klien yang melakukan

perilaku kekerasan).

f. Menanyakan perasaan klien setelah selesai bermain peran/simulasi

g. Mendiskusikan dampak/akibat perilaku kekerasan.

1) Tanyakan akibat perilaku kekerasan

2) Tuliskan di papan buku catatan

h. Memberikan reinforcement pada peran serta klien

i. Dalam menjalankan a sampai h, upayakan semua klien terlibat.

j. Beri kesimpulan penyebab: tanda dan gejala perilaku kekerasan dan akibat

perilaku kekerasan.

k. Menanyakan kesediaan klien untuk mempelajari cara baru yang sehat

mengahadapi kemarahan.

4. Terminasi

a. Evaluasi

1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK

2) Terapis memberikan pujian terhadap perilaku klien yang positif.

b. Tindak lanjut

1) Terapis menganjurkan klien menilai dan mengevaluasi jika terjadi penyebab

marah, yaitu tanda dan gejala: perilaku kekerasan yang terjadi, serta akibat

perilaku kekerasan.

2) Menganjurkan klien mengingat penyebab, tanda dan gejala perilaku

kekerasan dan akibatnya yang belum diceritakan.

c. Kontrak yang akan datang

1) Menyepakati belajar cara baru yang sehat untuk mencegah perilaku

kekerasan

2) Menyepakati waktu dan tempat TAK berikutnya

Evaluasi dan Dokumentasi

1. Evaluasi

Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap

kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Untuk

TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan sesi 1, kemampuan yang diharapkan adalah

mengetahui stimulus penyebab kemarahan, dapat menyebutkan respons yang dirasakan

saat marah (tanda dan gejala marah), dapat menyebutkan reaksi yang dilakukan saat

marah (perilaku kekerasan) dan dapat menyebutkan akibat perilaku kekerasan. Data

tersebut kemudian masukkan ke dalam formulir evaluasi pada tabel 1.

2. Dokumentasi

Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien ketika TAK pada catatan proses

keperawatan tiap klien. Misalnya, klien mengikuti sesi 1 TAK stimulasi persepsi, klien

mampu mengenal periaku kekerasan yang dilakukan, tanda gejala dan sebagainya.

Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses

keperawatan tiap klien. Contoh: Klien mengikuti sesi 1, TAK stimulasi persepsi: perilaku

kekerasan. Klien mampu menyebutkan penyebab perilaku kekerasan(disalahkan dan

tidak diberi uang), mengenal tanda dan gejala yang dirasakan (“geregetan”dan “deg-

degan”), perilaku kekerasan yang dilakukan (memukul meja), akibat yang dirasakan

(tangan sakit dan dibawa kerumah sakit jiwa). Anjurkan klien mengingat dan

menyampaikan jika semua dirasakan selama di RS.

TABEL 1: FORMULIR EVALUASI

TAK STIMULASI PERSEPSI: RESIKO PERIAKU KEKERASAN

SESI 1: MENGENAL PERILAKU KEKERASAN

a. Kemampuan Psikologis

No Nama

Klien

Penyebab PK Menulis hal positif diri sendiri

Tanda dan gejala

PK

Perilaku

Kekerasan

Akibat PK

1

2

3

4

5

Petunjuk :

1. Di bawah judul nama klien, tulis nama panggilan klien yang ikut TAK.

2. Untuk tiap klien, semua aspek dinilai dengan memberi tanda cek list (√) jika ditemukan

kemampuan pada klien ,atau tanda (x) jika tidak ditemukan.

3. Jumlahkan kemampuan yang ditemukan, jika nilai 3 atau 4 klien mampu, dan jika nilain

0, 1 atau 2 klien belum mampu.

DAFTAR PUSTAKA

Keliat B., A. 1999. Proses keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta: EGC.

Stuart G., W., Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 thed.).

St.Louis Mosby Year Book.

Damaiyanti, Mukhripah. 2012. Asuhan keperawatan jiwa. Bandung : Refika Aditama

Direja, A., H., Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha

Medika.

Yosep, I. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama

Videbeck, S., L. 2008.Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.


Top Related