Sindrom encephalitis terdiri dari demam akut disertai beberapa gejala
lainnya, seperti kejang, penurunan kesadaran, bingung, stupor maupun koma.
Afasia, hemiparesis dan refleks babinsky, gerakan involunter, ataksia, nistagmus,
ocular palsy, serta kelemahan otot wajah dapat dijumpai. Gejala meningitis dapat
dijumpai dalam keadaan berat, menengah, maupun tidak ada gejala sama sekali.
Cairan spinal dapat menunjukkan reaksi melalui peningkatan kadar protein.
Pencitraan otak seringkali tidak menunjukkan kelainan, namun dapat
menunjukkan tanda edema difus dari cortex, dan dalam beberapa kasus, subcortex
dan nucleus dapat terkena. Dalam beberapa kasus encephalitis HSV, dapat terjadi
kerusakan dari lobus inframedial temporal dan frontal cerebri. Beberapa temuan
ini menunjukkan arah dari infeksi spesifik, tetapi tanda umum diagnosis
encephalitis tetap menunjukkan adanya gangguan dari fungsi cerebrum, pons dan
cerebellum.
Sindrom encephalitis akut dapat dibagi menjadi dua, yaitu infeksi
langsung ke otak dan meninges, dan post infeksi encephalomyelitis yang
diasumsikan berasal dari reaksi autoimun terhadap infeksi sistemik, dimana virus
tidak terdapat di jaringan saraf, yang disebut juga Acute Disseminated
Encephalomyelitis., yang terjadi beberapa hari setelah gejala infeksi berkurang.
Etiologi
Virus, bakteri, dan fungi, serta agen parasit lainnya dikategorikan sebagai
penyebab tersering dari sindrom encephalitis. Namun dalam bab ini hanya infeksi
viral yang akan dibahas, dikarenakan infeksi viral merupakan penyebab tersering
dari encephalitis.
Berdasarkan Center for Disease Control and Prevention, sekitar 20.000 kasus
encephalitis viral dilaporkan di USA. Kematian mencapai 5-20% dari total pasien
dan gejala sisa, seperti kejang maupun hemiparesis didapatkan dalam 20% kasus.
Namun, hal ini tidak dapat menunjukkan gejala residual berupa kelainan
neurologis pasca infeksi oleh virus yang berbeda jenisnya.
Untuk meningitis aseptik, virus yang dapat menyebabkan encephalitis memiliki
banyak variasi, dan umumnya memiliki gejala klinis yang cukup kompleks.
Namun, encephalitis viral yang memiliki gejala klinis yang cukup jelas jumlahnya
tidak banyak. HSV merupakan penyebab tersering dan tidak memiliki predileksi
geografis maupun waktu musiman. Distribusi umurnya cukup luas dan bersifat
bifasik, dapat mengenai orang dengan usia 5-30 tahun, juga orang dengan usia di
atas 50 tahun.
Virus lainnya memiliki karakteristik geografis dan waktu musiman. Virus
yang paling berpengaruh antara lain ialah golongan Flavivirus, dimana di
dalamnya termasuk jenis West Nile Virus. Dalam outbreak akhir-akhir ini di USA,
kasus yang disebabkan oleh West Nile Virus dilaporkan lebih sering terjadi dari
golongan arbovirus lainnya.
Infeksi yang disebabkan oleh rabies terjadi di seluruh dunia, namun di
USA dilaporkan lebih sering terjadi di Midwest dan sepanjang West Coast.
Japanese B. Encephalitis, Russian spring-summer encephalitis, Murray Valley
Encephalitis, dan beberapa jenis encephalitis lainnya jarang ditemui di USA dan
hanya dilaporkan terjadi baru-baru ini. Hal ini dapat disebabkan adanya
perkembangan transportasi dan menyebabkan peningkatan angka kejadian
penyakit di Amerika Utara dan Eropa.
Mononukleosis infeksius, yang sebabnya merupakan infeksi primer dari
EBV, dapat menjadi akibat komplikasi dari meningitis, ensefalitis, facial palsy,
maupun polyneuritis dari Guillain-Barre dalam beberapa kasus. Berbagai gejala
neurologi dapat terjadi tanpa disertai adanya demam, faringitis, maupun
limfadenopati dari mononucleosis infeksius. Hal ini juga didapatkan pada M.
pneumonia. Dalam hal ini, kedua penyakit tersebut belum dapat dipastikan apakah
merupakan infeksi ensefalitides murni atau merupakan komplikasi post infeksi.
Teknologi dari PCR terkini menunjukkan adanya kemungkinan infeksi langsung
dalam beberapa kasus.
Frekuensi relative dari berbagai infeksi viral yang mengenai sistem saraf
pusat dapat dilihat dari beberapa studi. Walter Reed Academy Institute
menyebutkan dari1.282 pasien yang didiagnosis postitif dan dibuktikan melalui
laboratorium menunjukkan agen infeksius dari kasus meningitis viral aseptik
maupun encephalitis adalah B. Coxsackievirus, echovirus, mumps virus,
lymphoctic choriomeningitis virus, arbovirus, HSV, dan Leptospira. Dalam studi
yang dilakukan di Mayo Clinic tahun 1974-76, diagnosis dari aseptik meningitis,
meningoencephalitis, mauoun encephalitis didapatkan sebanyak 42 kasus dan
agen infeksius diidentifikasi dari 30 pasien. Dalam outbreak terakhir di USA,
hamper 3.000 kasus dilaporkan per tahunnya. Sedangkan Japanese Encephalitis
Virus dilaporkan lebih banyak prevalensinya di seluruh dunia, mendekati 10.000
kematian di Asia per tahunnya.
Di UK, hampir 2.000 pasien dilaporkan tiap tahunnya, yang diidentifikasi
melalui CSF menggunakan PCR dengan hasil positif hanya mendekati 7%, dan
setengahnya merupakan enterovirus. Sisanya merupakan HSV-1, VZV, EBV dan
herpesvirus.
Arboviral Encephalitis
Arbovirus yang menyebabkan ensefalitis di USA dan geografisnya telah
dibahas sebelumnya. Agen infeksi tersebut umunya dikategorikan dalam golongan
Flavivirus. Terdapat siklus yang berbeda dari nyamuk dan manusia. Nyamuk
terinfeksi melalui host (kuda maupun burung) dan kemudian menginfeksi host
lainnya, termasuk manusia. Insidensi musiman terjadi saat musim panas dan
musim gugur, saat dimana nyamuk paling aktif.
Manifestasi klinis dari arbovirus hamper sulit dibedakan dari infeksi
lainnya. Masa inkubasinya 5-15 hari pasca gigitan nyamuk. Pada periode ini
terdapat athralgia dan kemerahan. Pada anak-anak, bisa didapatkan gejala demam
dan kejang. Sedangkan pada orang dewasa dapat ditemukan nyeri kepala, mual,
muntah , pusing, maupun demam selama beberapa hari. Asimetri dari refleks
tendon maupun hemiparesis juga dapat ditemukan.
Beberapa gejala khusus seperti febril, flaksid, maupun poliomyelitis
sebagai akibat infeksi dari West Nile Virus juga sudah diketahui. Gejalanya
berubah-ubah dalam beberapa hari dan dalam beberapa kasus dapat ditemui
paralisis otot wajah. Dalam beberapa kasus juga dapat ditemui gejala EPS.
Demam dan gejala neurologis lain dari infeksi arbovirus meredadalam 4-
14 hari, kecuali bila terjadi kematian maupun kerusakan SSP. Tidak ada agen
antiviral yang terbukti efektif, sehingga terapi utama tetap merupakan terapi
suportif.
Diagnosis
Pemeriksaan CSF hampir sama dengan yang ditemui pada aseptik
meningitis, yaitu pleositosis limfatik, peningkatan kadar protein sedang, dan
kadar glukosa normal. Virus tidak bisa beregenerasi dalam darah maupun CSF,
sehingga PCR hanya dilakukan saat terjadi epidemi lokal. Namun, kadar IgM
dapat meningkat dalam beberapa hari ertama setelah serangan dan dapat dideteksi
melalui ELISA.
Patologi
Umumnya ditemui degenerasi luas dari sel saraf, dengan neurofagia dan
nekrosis inflamatorikyang melibatkan substansia grisea dan alba. Batang otak
umumnya tidak terkena. Dalam beberapa kasus, eastern equine encephalitis dapat
menyebabkan kerusakan luas hemisfer dan dapat dideteksi melalui MRI. West
Nile Virus dapat menyebabkan kerusakan terutama pada sel kornu anterior dari
medulla spinalis, seperti poliomyelitis.
Herpes Simplex Encephalitis
Dari kasus yang sering ditemui, HSV merupakan penyebab tersering dari
ensefalitis. Hampir 2.000 kasus terjadi tiap tahunnya di USA, mencapai 10% dari
semua kasus. 30-70% bersifat fatal dan pasien yang selamat umumnya mengalami
defisit neurologis. Ensefalitis HSV terjadi secara sporadis sepanjang tahun, tidak
memandang usia maupun geografis. Kasus infeksi umumnya disebabkan HSV-1,
dimana umum terjadi pada mukosa oral. HSV-2 jufa dapat menyebabkan
ensefalitis, umumnya pada neonates. Pada orang dewasa HSV-2 terjadi pada
aseptik meningitis dan kadang terjadi pada poliradicultis maupun myelitis.
Klinis
Gejala dapat berubah dalam beberapa hari, berupa demam, sakit kepala,
bangkitan, stupor, maupun koma. Walaupun dalam beberapa bangkitan
merupakan onset umum, status epileptikus jarang didapatkan. Gangguan fungsi
memori bisa didapatkan, tapi umumnya hanya terjadi pasca stupor maupun koma.
Herniasi dapat terjadi dan umumnya memiliki prognosis buruk.
CSF dapat menunjukkan pleiositosis (>500 sel/mm3). Sel tersebut
umumnya berupa limfosit. Dalam beberapa kasus, 3-5% pasien memiliki kadar
CSF normal dalam hari pertama pasca serangan. Kadar protein umumnya dapat
meningkat.
Patologi
Lesi dapat terjadi berupa nekrosis hemoragik dari lobus inferior dan
mediotemporal, dan bagian medioorbital lobusfrontal. Bagian yang mengalami
nekrosis dapat menyebar sepanjang girus singulata dan kadang mencapai insula
atau bagian lateral lobus temporal maupun bagian csudal dari mesencephalon,
namun selalu diikuti nekrosis dari lobus mediotemporal. Distribusi lesi ini sangat
khas, sehingga dapat dideteksi melalui penampakannya di pencitraan. Dalam fase
akut, eosinofil intranuklear sering ditemukan di sel neuron dan glia, mengiringi
gambaran mikroskopis abnormal dari encephalitis akut dan nekrosis hemoragik.
Karakteristik dari letak lesi dapat dijelaskan melalui rute masuknya ke SSP.
Terdapat dua mekanisme yang memungkinkan, yaitu melalui ganglia trigeminal,
dimana terjadi proses reaktivasi virus yang akhirnya menginfeksi nasal dan traktus
olfaktori, dan melalui leptomeninges anterior serta fossa media.
Diagnosis
Encephalitis akut akibat HSV harus dibedakan dari encephalitis viral
lainnya, yaitu leukoensefalitis hemoragik akut, subdural empiema, abses cerebri,
cerebral venous thrombosis,ndan emboli septik. Ketika terjadi afasia, penyakit ini
dapat disangka sebagai stroke. Gambaran CSF dapat menyerupai
meningoensefalitis lainnya. Cairan spinal mengandung sel darah merah dalam
jumlah besar, yang dapat menyerupai ruptur aneurisme sakular. Gambaran CT
scan dapat menunjukkan lesi hipodens dalam 50-60% kasus, dan pada MRI
menunjukkan perubahan sinyal secara keseluruhan.
Peningkatan titer antibodi dapat ditunjukkan pada tahap konvalesen,
namun tidak dapat dijadikan pembantu diagnosis pada fase akut, serta tidak terlalu
signifikan pada pasien dengan infeksi rekuren HSV pada mukosa oral. Tes deteksi
antigen HSV pada CSF melalui PCR dan efektif terutama pada beberapa hari
pertama sejak onset terjadi. Nested PCR juga sudah dikembangkan dan memiliki
sensitivitas 95% dan tidak menunjukkan adanya positif palsu pada 3 minggu
pertama. Terapi antiviral tidak menunjukkan pengaruh saat tes dilakukan.
Sedangkan negatif palsu terutama terjadi 48 jam pasca infeksi febril.
Terapi
Hingga tahun 1970, terapi spesifik untuk ensefalitis HSV belum ada.
Melalui studi dari National Institute of Health dan studi dari Swedia menunjukkan
acyclovir secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit. Oleh
karena itu, terapi ini dilakukan sebagai terapi awal sembari menunggu hasil
pemeriksaan keluar. Acyclovir diberikan secara IV dalam dosis 30 mg/kg/hari
dan diberikan selama 10-14 hari untuk mencegah relaps. Acyclovir memiliki
resiko yang relatif kecil, sehingga dapat dihentikan ketika hasil pemeriksaan
menunjukkan diagnosis yang lain. Problem utama dari obat ini antara lain adalah
iritasi vena lokal tempat infus, peningkatan enzim hepar, dan gangguan fungsi
ginjal ringan.
Relaps pasca terapi dilaporkan terjadi pada penggunaan acyclovir,
terutama pada anak-anak. Menurut Tiege dan koleganya, mekanisme yang
memungkinkan meliputi respon inflamasi imun, namun penggunaan dosis yang
terlalu kecil terbukti secara klinis merupakan penyebab utama relaps pada orang
dewasa. Pada anak-anak, penggunaan acyclovir tahap dua seringkali berhasil.
Ketika jaringan otak yang terkena cukup luas, nekrosis hemoragik dan
edema dapat menyebabkan pembesaran massa otak dan memerlukan perhatian
khusus. Koma dan perubahan pupil dapat disebabkan penekanan pada batang
otak, disebabkan virus dapat menyebar ke mesencephalon dan lobus temporal
bagian dalam, dan menyebabkan koma apsebagai akibat kerusakan langsung pada
otak. Penanganannya hampir sama dengan penanganan edema otak, namun
efektivitasnya belum teruji secara luas di klinis.
Prognosis
Prognosis dari penyakit ini tergantung pada usia pasien dan tingkat
kesadarannya saat dilakukan terapi acyclovir. Jika pasien tidak sadar,
prognosisnya cenderung buruk. Namun, jika terapi dilakukan dalam 4 hari
pertama setelah onset, survivabilitas pasien dapat mencapai 90% (Whitley, 1990).
Evaluasi pada pasien 2 tahun setelah serangan menunjukkan 38% hampir
mendekati normal, sedangkan 53% meninggal atau terjadi kecacatan menetap.
Sekuele neurologis dapat berupa korsakoff amnesia, demensia, kejang, dan afasia
sebelum terapi acyclovir dikenal. Jika terjadi kejang, pemberian anti konvulsan
dapat dipertimbangkan.
HHV-6 Encephalitis dalam transplantasi sel stem
Umumnya disebabkan oleh roseola (exanthema subitum), dan dapat
mengakibatkan kejang demam pada anak-anak dan usia muda, epilepsi berulang
lobus temporal, palsy saraf kranial, dan kondisi lainnya. Namun, umumnya
kelainan erupa ensefalitis terjadi di lobus temporomedial, setelah dilakukan
transplantasi stem sel di sumsum tulang belakang. Prognosisnya lebih baik
dibanding encephalitis HSV.
Rabies
Penyakit ini dibedakan dari infeksi viral lainnya dikarenakan periodenya
yang laten dan gejala klinis dan patologis yang khas. Kasus ini jarang ditemui di
USA dan pada tahun 1980-97 hanya 34 kasus yang ditemui, dan sejak 1960,
hanya ada 5 kasus per tahunnya. Setiap tahun 20.000-30.000 orang mendapat
vaksin rabies dan digigit oleh hewan yang dimungkinkan terinfeksi. Walaupun
vaksin rabies menyebabkan komplikasi lebih rendah dari sebelumnya, reaksi
serius tetap dapat terjadi.
Etiologi
Hampir semua kasus rabies merupakan kasus infeksi transdermal akibat
dari gigitan hewan. Di negara berkembang, kasus rabies umumnya disebabkan
oleh gigitan anjing. Sedangkan di Eropa Barat dan USA, penyebabnya antara lain
adalah rakun, sigung, rubah, dan kelelawar untuk hewan liar. Sedangkan kucing
dan anjing merupakan hewan rumahan yang sering menyebabkan infeksi rabies.
Gejala Klinis
Masa inkubasi umumnya sekitar 20-60 hari, namun dapat juga lebih cepat,
sekitar 14 hari, terutama apabila gigitan terjadi di wajah dan leher. Rasa kebas dan
kesemutan dapat dirasakan walaupun luka telah sembuh. Hal ini disebabkan reaksi
inflamasi ketika virus mencapai ganglia basal
Gejala neurologis umum dapat menyertai pada 2-4 hari pada fase
prodromal, seperti demam, nyeri kepala, dan malaise. Juga bisa didapatkan
disartria, overaktivitas psikomotor, disfagia, hydrophobia, kesemutan wajah,
diplopia maupun spasme otot wajah. Kejang, gejala psikosis, dan agitasi dapat
terjadi. Koma terjadi umumnya setelah terjadi gejala encephalitis, dan kematian
dapat terjadi 4-10 hari setelah terjadinya koma.
Patologi
Penyakit ini dapat dibedakan melalui kadar eosinofil, yaitu Negri bodies.
Umumnya ditemukan di sel piramidal dan sel purkinje, namun bisa juga
didapatkan di seluruh bagian otak dan medulla spinalis. Terdapat juga infiltrasi
meningeal oleh sel limfosit dan sel mononuclear dengan nekrosis jaringan, seperti
yang biasa didapatkan pada infeksi viral. Reaksi inflamasi umumnya paling parah
terjadi di batang otak, dengan kumpulan sel mikroglia yang disebut sebagai Babes
nodules.
Terapi
Gigitan dan cakaran hewan dapat dibersihkanndengan sabun dan air
mengalir, kemudian dibersihkan dengakpn benzyl ammonium chlorida. Luka yang
menyebabkan diskontinuitas jaringan memerlukan suntikan anti tetanus untuk
profilaksis.
Pasca gigitan hewan yang terlihat sehat, pengawasan selama 10 hari perlu
dilakukan. Ketika gejala munculm hewan tersebut perlu dibunuh dan bagian
otaknya di periksa di laboratorium. Sedangkan untuk hewan liar, jika tetangkap,
prosedur untuk pemeriksaan juga dilakukan dengan cara yang sama.
Jika pasien digigit oleh hewan dengan antibodi rabies postitif, atau hewan
liar yang kabur, maka suntikan profilaksis perlu diberikan. Human Rabies
Immunoglobulin disuntikkan dengan dosisi 20 U/kgbb (setengah infiltrasi di
sekitar luka, setengahnya secara IM). Suntikan ini menyediakan imunitas pasif 10-
20 hari, hingga imunitas aktif terbentuk. Duck Embryo Vaccine sebelumnya juga
digunakan dan terbukti efektif secara klinis dan mssih digunakan hingga kini di
seluruh dunia. Vaksin terbaru, yaitu Human Diploid Cell Vaccine juga telah
dikembangkan. Pemberiannya sebanyak 1 ml injeksi pada hari pertama saat
gigitan, kemudian hari 3, 7, 14, dan 28 pasca pemberian pertama. HDCV juga
mengurangi reaksi alergi akibat protein asing.
Dengan teknik perawatan intensif dan modern, pasien dengan riwayat
encephalitis dapat diselamatkan, terutama setelah menjalani imunisasi pasca
insiden. Beberapa kelainan yang mungkin didapatkan antara lain peningkatan
tekanan TIK, pelepasan hormon ADH dalam jumlah besar, diabetes insipidus, dan
disfunsi autonom, seperti hiper mauoun hipotensi. Willoughby dan kolega
berhasil merawat seorang gadis berusia 15 tahun yang belum pernah mendapat
vaksin melalui pendekatan empiris pada saat koma menggunakan ketamin dan
midazolam beserta ribavirib dan amantadine. Tujuan dari terapi tersebut adalah
menyediakan imunitas pasif hingga terbentuknya antibodi. Dua kasus lainnya
memiliki gejala klinis yang sama, namun tidak dapat diselamatkan.
Cerebellitis Akut (Ataksia akut pada anak)
Sindrom ini awalnya dijelaskan oleh Westphal pada tahun 1872 terjadi
cacar dan demam tifoid pada orang dewasa, tetapi Batten menjelaskan ataksia
secara umum terjadi setelah infeksi masa kanak-kanak seperti campak, pertusis,
dan demam berdarah. Saat ini, ataksia akut dari masa kanak-kanak yang paling
sering dikaitkan dengan Cacar (seperempat dari 73 kasus berturut-turut dilaporkan
oleh Connolly et al). Selain kasus varicella paling umum terjadi pada individu-
individu setelah EBV dan Myconplasma.
Penyakit ini, yang pada dasarnya adalah "meningocerebellitis," tiba-tiba
muncul, lebih dari sehari, terjadi disartria dan nystagrnus. Tanda-tanda lainnya
termasuk peningkatan ekstremitas, Babinski sign dan rasa kebingungan. Demam
dari infeksi kemungkinaan menurun atau bertahan melalui tahap awal penyakit
ataksia. Dapat ditemukan pleositosis ringan; protein CSF meningkat atau normal.
Didapatkan hasil MRI normal dalam sebagian besar kasus tetapi beberapa hasil
MRI ditemukan gadolinium dari pita kortikal cerebellar. Kebanyakan pasien
mengalami keterlambatan penyembuhan. Karena sifat jinak dari penyakit telah
menghalangi penelitian patologis, sehingga terjadi ketidakpastian sifat menular
setelah sakit ataksia. Ditemukannya fragmen VZV dan Mycoplasma genom dalam
cairan tulang belakang dengan cara teknik amplifikasi DNA pada infeksi
ensefalitis primer, dalam beberapa kasus.
Sindrom Herpes zoster,
Herpes zoster adalah infeksi virus secara umum dari sistem saraf yang
terjadi pada 3-5 kasus per 1.000 orang per tahun, dengan tingkat yang lebih tinggi
pada orang tua. Herpes zoster jelas jarang terjadi di anak. Ini ditandai secara klinis
oleh nyeri radikuler, erupsi kulit vesikular, dan jarang terjadi keterlambatan
motorik. perubahan patologis terdiri dari reaksi akut peradangan di tulang
belakang dan gray metter dari posterior medula spinalis, dan leptomeninges yang
berdekatan. Perubahan inflamasi dalam ganglia yang sesuai dan bagian terkait dari
saraf tulang belakang yang pertama kali dijelaskan oleh von Berensprung pada
tahun 1862. Konsep yang varicella zoster dan disebabkan oleh agen yang sama
diperkenalkan oleh von Bokay pada tahun 1909 dan kemudian dijelaskan oleh
Weller dan rekan-rekannya (1958). Agen secara umum disebut sebagai varicella
atau VZV, adalah virus DNA yang mirip dengan struktur virus herpes simpleks.
Patologi dan Patogenesis
Perubahan patologis pada infeksi VZV terdiri dari satu atau lebih dari
berikut ini: (1) suatu reaksi peradangan di beberapa unilateral ganglion sensoris
yang berdekatan dari saraf tulang belakang atau kranial, sering menyebabkan
nekrosis seluruh atau sebagian dari ganglion, dengan atau tanpa perdarahan; (2)
reaksi peradangan di akar tulang belakang dan saraf perifer berdekatan dan
ganglion; (3) poliomyelitis pada lokalisasi segmental, dan keterlibatan yang lebih
besar dari dorsal horn, roots, dan ganglion; dan (4) leptomeningitis ringan,
sebagian besar terbatas pada segmen tulang belakang atau tengkorak dan akar
saraf. Perubahan patologis yaitu nyeri neurologik, pleositosis, dan kelumpuhan
lokal pada infeksi VZV serta keterlambatan cerebal vaskulitis.
Herpes zoster merupakan reaktivasi spontan dari infeksi VZV, yang
menjadi laten dalam neuron ganglion sensoris setelah infeksi primer cacar air.
Perbedaan manifestasi klinis cacar air dan herpes zoster, meskipun virus yang
sama menyebabkan keduanya. Cacar air sangat menular melalui pernapasan,
terjadi wabah secara musiman (musim dingin dan musim semi). Herpes zoster
tidak menular (kecuali kepada orang yang belum menderita cacar air), terjadi
secara sporadis sepanjang tahun, dan tidak menunjukkan peningkatan kejadian
wabah cacar. Penderita herpes zoster, ada riwayat cacar air sebelumnya. Mungkin
jarang terjadi herpes zoster pada bayi, tetapi dalam kasus ini ditemukan, biasanya
terjadi karna kontak ibu prenatal dengan VZV. VZV DNA terlokalisasi terutama
dalam sel ganglion trigeminal dan ganglion thoracic, di mana lesi cacar air yang
paling sering oleh VZV (Mahalingam et at). Infeksi herpes zoster dan varicella
tejadi vesikel kutaneus sepanjang saraf sensorik ke ganglion, bersifat laten
sampai diaktifkan. Perbanyakan virus dalam sel epidermis menyebabkan
pembengkakan, vakuolisasi, dan lisis sel, menyebabkan pembentukan vesikel
disebut Lipschutz inclusion bodies. Reaktivasi virus terjadi jika terjadi kelemahan
imun tubuh, seperti pada limfoma, pemberian obat inimunosuppresive, AIDS, dan
setelah terapi radiasi.
Gambaran Klinis
Dalam penelitian secara kohort 1.000 orang usia 85 tahun, setengahnya
akan terjadi satu kali serangan herpes zoster dan 10% akan memiliki dua kali
serangan. Anggapan bahwa satu serangan herpes zoster memberikan kekebalan
seumur hidup adalah tidak benar, meskipun dapat terjadi serangan berulang.
Herpes zoster terjadi pada hingga 10% pasien dengan limfoma dan 25% pasien
dengan penyakit Hodgkin-terutama pada mereka yang telah menjalani
splenectomy atau setelah dilakukan radioterapi.
Munculnya vesikel biasanya didahului dengan rasa gatal, kesemutan, atau
sensasi terbakar di dermatom yang terlibat, dan kadang-kadang dengan malaise
dan demam. Ruam terdiri dari kelompok vesikel yang tegang pada basis
eritematosa, yang menjadi menghitam setelah beberapa hari (sebagai akibat dari
akumulasi dalam sel inflamasi), dan kering dan bersisik setelah 5 sampai 10 hari.
Dalam sejumlah kecil pasien, vesikel yang berdarah penyembuhan tertunda
selama beberapa minggu. Dalam kebanyakan kasus, nyeri dan dysesthesia terakhir
selama 1 sampai 4 minggu; tetapi 7-33% terus berlanjut selama berbulan-bulan.
Terjadi penurunan sensasi superfisial di dermatom yang terkena dan kelemahan
segmental dan atrofi pada sekitar 5 persen pasien.
Setengah dari kasus, CSF menunjukkan sedikit peningkatan limfosit, dan
sedikit peningkatan kadar protein (meskipun pungsi lumbal tidak dilakukan untuk
menegakkan diagnosis). Bekas herpes dapat dikonfirmasi dengan
imunofluoresensi langsung dari lesi kulit dibiopsi, menggunakan antibodi
terhadap VZV, atau dengan mencari giant sell berinti pada kerokan Frome pada
dasar vesikel (Tzanck smear). Cairan tulang belakang juga mengandung antibodi
terhadap virus atau bukti organisme dengan pengujian PCR pada 35 persen kasus.
Gambaran dermatom terlihat pada tulang belakang segmen thoracal
terutama T5 ke T10, lebih dari dua pertiga dari semua kasus, diikuti oleh daerah
craniocervical. Ada dua herpes herpes cranial yaitu herpes syndromes-
ophthalmic dan herpes geniculate. Herpes ophthalmic, terjadi 10 sampai 15 persen
dari semua kasus zoster, ditemukan perubahan patologis yang berpusat di
ganglion gasserian berupa nyeri dan ruam. Bahaya utama dari herpes ophthalmic
melibatkan kornea dan konjungtiva, sehingga terjadi mati rasa kornea dan terdapat
sisa berupa jaringan parut. Kelumpuhan otot ekstraokular, ptosis, dan mydriasis,
menunjukkan bahwa saraf kranial 3,4 dan 6 juga terkenaselain ganglion gasserian.
Karakteristik sindrom saraf kranial terdiri dari palsy wajah dan kadang-kadang
terjadi tinnitus, vertigo, dan tuli.
Herpes zoster dari palatum, faring, leher, dan daerah retroauricular (herpes
accipitocollaris) tergantung pada infeksi herpes dari upper cervical dan ganglion
saraf vagus dan glossopharyngeal. Tanda-tanda keterlibatan sumsum tulang
belakang muncul 5-21 hari setelah ruam dan kemudian berkembang untuk jangka
waktu yang sama. Paraparesis asimetris dan gangguan sensorik, gangguan
sphincteric. Temuan CSF lebih normal dibandingkan zoster (pleositosis dan
peningkatan protein). Perubahan patologi berupa myolopathy inflamasi nekrosis
dan vasculilis, pada dorsal horn dan white matter yang berdekatan, pada sisi yang
sama dan pada segmen yang sama. Terapi awal dengan asiklovir.
Zoster angiitis
Sebuah angiitis otak yang kadang-kadang mempersulit infeksi VZV adalah
histologis mirip dengan angiitis granulomatosa dan Wegener granulomatosis.
Biasanya, 2 sampai 10 minggu setelah onset secara spesifik dari zoster
ophthalmic, pasien mengalami hemiparesis akut, hemianesthesia, afasia, atau
neurologis fokal atau defisit retina, pleositosis mononuklear dalam cairan tulang
belakang dan indeks IgG meningkat pada CSF. Antibodi spesifik dalam CSF virus
yang lebih sensitif untuk diagnosis dikarenakan dapat mendeteksi DNA virus.
Angiogram menunjukkan penyempitan atau sumbatan pada arteri karotis interna
berdekatan dengan ganglia; tetapi dalam beberapa kasus, vaskulitis lebih
menyebar, bahkan melibatkan belahan kontralateral.
Tipe yang sama sekali berbeda yaitu vaskulitis pada pembuluh kecil,
dilaporkan pada pasien dengan AIDS dan bentuk lain dari imunosupresi.
Beberapa kasus tampaknya muncul tanpa ruam, tapi DNA virus dan antibodi VZV
ditemukan dalam CSF. MRl menunjukkan beberapa lesi di cortical dan white
matter. Ada pleocytosist ringan.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, kelumpuhan wajah atau nyeri
trigeminal atau saraf segmental (biasanya lumbar atau interkostalis) sebagai akibat
dari ganglionitis herpes, mungkin jarang terjadi tanpa keterlibatan kulit (zoster
sine herpete); herniasi lumbal dapat diduga. Dalam kasus-kasus seperti beberapa,
respon antibodi terhadap VZV telah ditemukan (Mayo dan Booss), dan Dueland
dan rekan telah menjelaskan baha pada pasien immunocompromised yang terjadi
infeksi zoster terbukti dengan tidak adanya lesi kulit. Demikian pula, Gilden dan
rekan (2002) sembuh VZV DNA dari dua orang imunokompeten sehat yang
mengalami nyeri radikuler kronis tanpa ruam zoster.
Pengobatan
Vaksin dapat diberikan kepada orang dewasa. Vaksin terbukti mengurangi
munculnya herpes zoster dan menurunkan kejadian komplikasi.
Selama tahap akut herpes zoster, analgesia dan lotion, seperti calamine,
membantu mengurangi nyeri. Setelah lesi kering, dapat diberikan capsaicin salep
(berasal dari cabai) dapat mengurangi rasa sakit dalam beberapa kasus. Acyclovir
(800 mg oral 5 kali sehari selama 7 hari) dapat mempercepat penyembuhan
vesikel, asalkan pengobatan dimulai dalam waktu kurang lebih 48 jam (beberapa
mengatakan 72 jam) dari munculnya ruam (McKendnck et al, 1986). Famsiklovir
(500 mg tid selama 7 hari) atau valacyclovir (2 g secara oral 7 hari)
Semua pasien dengan zoster ophthalmic harus menerima asiklovir atau
valasiklovir oral; di samping itu, asiklovir dioleskan ke mata, baik dalam larutan
0,1 persen setiap jam atau salep 0,5 persen 4 atau 5 kali sehari, dianjurkan oleh
beberapa dokter mata. Pasien yang immunocompromised atau telah
disebarluaskan zoster (lesi di lebih dari 3 dermatom) umumnya harus menerima
asiklovir intravena selama 10 hari.
PENYAKIT SARAF INDUKSI OLEH RETROVIRUS DAN SEKUNDER
INFEKSI OPORTUNISTIK
Retrovirus adalah kelompok besar virus RNA, disebut demikian karena
mereka mengandung enzim reverse transcriptase, yang memungkinkan arus balik
dari informasi genetik dari RNA ke DNA. Dua keluarga retrovirus yang dikenal
menginfeksi manusia: (1) Ientiviruses, yang paling penting adalah HIV, penyebab
AIDS, dan (2) oncornaviruses, yang meliputi human T-cell lymphotropic viruses
(HTLVs), agen yang menginduksi T-cell secara kronis. leukemia dan limfoma
(HTLV-ll) dan paraparesis spastik tropis (HTLV I).
Sindrom Imunodefisiensi
Hampir semua sistem organ yang rentan, termasuk semua bagian dari SSP,
saraf perifer dan akar, dan otot. Selain itu, sistem saraf rentan terhadap sejumlah
sindrom yang tidak biasa yang langsung hasil dari infeksi virus AIDS.
Epidemiologi
AlDS HIV telah menyebar ke seluruh dunia, mencapai proporsi pandemi.
Pada saat penulisan ini diperkirakan oleh Organisasi Kesehatan dunia (WHO)
bahwa sekitar 34 juta orang terinfeksi di seluruh dunia dan sekitar 1 juta orang
dewasa di Amerika Serikat positiv terinfeksi virus. Didapatkan data yang
mengejutkan yaitu statistik dari Afrika sub-Sahara dan Asia Tenggara, di mana
WHO memperkirakan bahwa sekitar 25.000.000 orang dewasa-atau hampir 9
persen dari populasi orang dewasa-terinfeksi. Di beberapa daerah Afrika Timur,
30 persen orang dewasa yang terinfeksi virus.
Di Amerika Serikat, AIDS terjadi terutama pada homoseksual dan
biseksual laki-laki (setengah dari semua kasus) dan pengguna narkoba pria dan
wanita (sepertiga dari semua kasus). Kurang dari 3 persen pasien yang berisiko
adalah penderita hemofilia dan lain-lain yang menerima darah atau produk darah
yang terinfeksi, dan penyakit ini telah terjadi pada bayi yang lahir dari ibu dengan
AIDS. Selain itu, virus dapat ditularkan oleh ibu asimtomatik. Penyebaran
penyakit dengan hubungan heteroseksual lebih 5 persen kasus, namun jumlah ini
secara bertahap meningkat, sebagian melalui kegiatan pengguna narkoba suntikan.
Sebaliknya, sekitar 80 persen pasien AIDS Afrika memperoleh penyakit mereka
melalui kontak heterosexual.
Gambaran Klinis
Klinis infeksi HIV terjadi limfadenopati dan manifestasi lainnya seperti
diare, malaise, dan penurunan berat badan , Setengah dari pasien meninggal
dengan 1 tahun dan paling oleh 3 tahun. Kelainan neurologis telah dicatat pada
sekitar sepertiga pasien dengan AIDS
Telah disebutkan bahwa infeksi HlV dapat terjadi sebagai meningitis
asymtomatic akut dengan pleositosis limfositik ringan dan elevasi sederhana
protein CSF. Penyakit akut ini juga dapat berupa meningoencephalitis atau
bahkan myelopathy atau neuropati. Kebanyakan pasien dapat sembuh dari
penyakit neurologis akut awal. Setelah terjadi seroconvetsion, pasien menjadi
rentan terhadap semua komplikasi akhir infeksi HIV. Pada orang dewasa, interval
antara infeksi dan berkembang AIDS berkisar dari beberapa bulan sampai 15
tahun atau bahkan lebih lama, latency rata-rata adalah 8 sampai 10 tahun dan 1
tahun. Hal ini diyakini bahwa hampir semua individu seropositif cepat atau lambat
akan berkembang menjadi AIDS, meskipun obat baru terus memperpanjang
periode laten.
Komplek AIDS Demensia
Pada stadium akhir infeksi HIV, komplikasi neurologis yang paling
umum adalah ensefalitis HIV kronis; sebelumnya disebut ensefalopati AIDS atau
ensefalitis, tetapi sekarang umumnya disebut sebagai demensia kompleks AIDS
(ADC). Diperkirakan bahwa hanya 3 persen dari kasus AIDS. Pada anak-anak
dengan AIDS, demensia lebih umum daripada semua infeksi oportunistik, lebih
dari 60 persen pada anak-anak.
Gangguan pada orang berupa demensia progresif (kehilangan memori
kuat, tidak perhatian, gangguan bahasa, dan apatis) disertai kelainan fungsi
motorik. Pasien mengeluh tidak mampu mengikuti percakapan, waktu lebih lama
untuk menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari, dan menjadi pelupa. Inkoordinasi
tungkai, ataksia, dan gerakan mata saccadic menyertai awal demensia. Dalam
kasus yang tidak diobati, demensia berkembang, selama beberapa minggu atau
bulan; kelangsungan hidup setelah timbulnya demensia umumnya 3 sampai 6
bulan tetapi mungkin jauh lebih lama jika dilakukan pengobatan. Tes kecepatan
psikomotorik tampaknya paling sensitif pada tahap awal demensia (misalnya,
pengujian simbol-angka). Gangguan yang sama pada anak-anak, yang
berkembang menjadi ensefalopati progresif sebagai manifestasi utama AIDS.
Penyakit pada anak ditandai dengan penurunan fungsi kognitif dan kejang yang
lemah dan gangguan perkembangan otak.
CSF pada pasien dengan demensia AIDS mungkin normal atau hanya
menampilkan peningkatan sedikit kandungan protein dan, lebih jarang terjadi
limfositosis ringan. Dalam CT diadapatkan adanya pelebaran sulci dan
pembesaran ventrikel.
AIDS Myelopathy, Peripheral Neuropati, dan Miopati
Myelopathy merupakan bentuk degenerasi vacuolar yang memiliki
kemiripan dengan degenerasi karena defisiensi vitamin B12, kadang-kadang
dihubungkan dengan demensia kompleks AIDS. Myelopathy dapat terjadi sebagai
manifestasi utama penyakit (Petito et al).
Komplikasi serius AIDS yaitu Diffuse Infiltrative Iymphocylosr's
Syndrome (DILS). Polineuropati pada pasien AIDS mungkin disebabkan oleh
berkurangnya gizi saat stadium lanjut dari penyakit dan efek dari agen terapi.
Beberapa kasus, miopati telah meningkat dengan terapi kortikosteroid. Obat anti-
AIDS, zidovudine (AZT), menyebabkan miopati, mungkin karena efeknya pada
mitokondria, tetapi beberapa peneliti yang berkaitan hampir semua kasus tersebut
terjadi disebabkan oleh virus AIDS itu sendiri.
Infeksi Oportunistik dan Neoplasma CNS pada AIDS
Efek langsung di bidang neurologis di bidang HIV berbagai jenis
gangguan oportunistik baik vokal maupun general muncul di sejumlah pasien
seperri yang tergambar di tabel 33-2. Menariknya muncul predileksi untuk infeksi
tertentu cito megalo virus, limfoma B cell primer, criptococus, toksoplasma dan
leukoencephalopathy multifokal progresif, dalam hal ini frekuensi (Johnson).
Fokus ensefalitis dan vaskolitis infeksi VZV, dianggap awal bab ini, dan jenis
yang tidak biasa pada tuberculosis dan sifilis adalah infeksi oportunistik umum
lain dari AIDS. Biasanya infekai P. Carinii dan sarkoma tidak menyebar ke sistem
saraf.
Toksoplasma
Dari fokus infeksi yang rumit, toksoplasmosis serebral adalah yang paling
sering (dan diobati: lihat bab 32). Dalam serial otopsi AIDS yang dilaporkan oleh
Navio, Petito, Gold dkk area nekrosis inflamasi yang diasebabkan oleh
toksoplasma ditemukan sekitar 13% (lihat gambar 32-7). Pungsi lumbal, CT scan
kontras dan MRI berguna dalam diagnosis. Cairan tulang belakang biasanya
menunjukkan kadar protein berkisar 50-200mg/dL, dan sepertiga dari pasien
memiliki pleositosis limfositi, karena penyakit ini merupakan reaktivasi infeksi
toksoplasma sebelumnya adalah penting untuk mengidentifikasi pasien
toksoplasma seropositif awal perjalanan dengan oral pyrimethamine (inisial 100
mg dan untuk harian 25 mg) dan sulfonamide (4-6g sehari terbagi dalam 4 dosis).
Anehnya, toksoplasma begitu umum pada otak pasien AIDS, sering menyebabkan
infestasi tipikal, yaitu miositis. Masalah klinis utama untuk toksoplasmosis dalam
AIDS apakah diferensiasi dari limfoma otak seperti di bahas pada bab 31.
Dalam serial Johns Hopkins (johnson, 1998), kira-kira 11% dari pasien
AIDS mrnderita primer CNS lymphoma, yang mungkin di beberapa kasus sulit di
bedakan dengan klinis dan radiologi dari toksoplasma. Jika sitologi CSF negatif
dan belum ada respon terhadap antibiotik (lihat dibawah) biopsi otak stereotaxic
mungkin diperlukan untuk diagnosis. Prognosis jauh kurang menguntungkan dari
pada selain pasien AIDS: respon pada radioterapi, methotrexate dan kortikosteroid
jangka pendek dan kelangsungan hidup biasa diukur dalam beberapa bulan.
Dalam menghadapi peningkatan lesi otak fokal pada AIDS, pendekatan
saat ini adalah pada toksoplasma yang diobati. Test antibodi untuk toksoplasma
harus diperoleh ; ketidak adaan antibodi igG menandakan bahwa pengobatan
diubah untuk mengatasi masalah limfoma otak. Juga jika terapi anti toksoplasma
dengan pyrimethamine dan sulfadiazine gagal untuk mwngurangi ukuran lesi
dalam beberapa minggu, penyebab lain harua di cari lagi, terutama limfoma. Pada
pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping pyrimethamine atau
sulfadiazine (ruam atau trombositopenia), clindamycin mungkin dapat digunakan.
Sekarang ini, telah menyarankan bahwa thaliumisotope single photon emision
computed tomography (SPECT) dan positron emission tomography (PET) dapat
diansalkan untuk mengecilkan lymphoma sebagai penyebab masa leai pada pasien
AIDS. Lesi kemungkunan sering dari tuberkulosis atau abses bakteri harus diingat
jika tidak ada jalan lain untuk diagnosis.
Cytomegalovirus
Diantara komplikasi non fokal neurologi adalah AIDS, yang paling umum
adalah CMV dan cryptococcal infeksi. Pada otopsi, sekitar sepertiga dari pasien
AIDS ditemukan terinfeksi dengan CMN. Namun kontribusi infeksi ini terhadap
total gambaran klinis sering kali tidak pasti. Meskipun ini tidak pasti, gejala khas
tertentu telah muncul sebagai CMV encephalitis pada pasien AIDS. Menurut
Holland dkk, diakhir perjalanan AIDS dan biasanya dengan CMV retinitis,
encelhalopathy berkembang lebih dari 3-4 minggu. Gambaran klinis meliputi
gejala akut atau delirium kombinasi dalam kasus jarang yang disertai dengan
tanda saraf kranial termasuk optalmoparesis, niatagmus, ptosis, kelainan nervus
wajah, atau tuli. Salah satu dari pasien ada kelumpuhan oculomotor progresif
yang di mulai dengan ukuran pupil yang tidak berubah dengan adanya cahaya.
Spesimen patologis dan MRI memperlihatkan proses terkonsentrasi di
perbatasan ventrikel, terutama jelas sebagai sinyal T2 hiperintensif di bagian ini.
Lesi dapat memperpanjang lebih lebar melalui materi putih yang berdekatan dan
disertai dengan peningkatan meningeal oleh godolunium dalam beberapa kasus.
Lesi destruktif luas trlah dilaporkan ; dalam kasus terdapat 2 kasus. Lesi tersebut
mungkin terkait dengan perubahan hemoragik di CSF biasanya negatif dan titer
antibodi igG tinggi tidak spesifik, metode baru PCR mungkin berguna. Dimana
diagnosis diduga kuat, pengobatan dengan agen antiviral ganciclovir dan foscamet
sangat disarankan, tetapi seperti yang ditunjukkan oleh Kalayjian, penyakit CMN
dpat tumbuh dan berkembang, sementara pasien mengambil obat ini sebagai
perawatan terapi.
Infeksi Kriptokokus
Meningitis dengan jamur dan jarang dijumpai, cryptococcoma soliter
adalah komplikasi jamur yang paling sering pada infeksi HIV. Gejala mencolok
meningitis/meningoensefalitis mungkin kurang terlihat dan CSF mungkin
menunjukkan sedikit kelainan sehubungan dengan sel, protein dan glukosa. Untuk
respon ini, bukti infeksi cryptococal atau tulang belakang, bukti infeksi
kriptokokus dari cairan tulang belakang harus secara aktif mencari dengan
persiapan tinta india, pengujian antigen, kultur jamur. Penatalaksanaan diuraikan
dalam bab 32.
Varicella Zoster
Infeksi cerebral dengan virus ini apakah komplikasi kurang umum dari
AIDS, tetapi ketika menjadi, cenderung berat. Mereka mengambil bentuk lesi
multifokal dari materi putih otak (substansia alba), sepeti multifokal progresif
leukoencephalopathy, cerebral vasculitis dengan hemiplegia (biasanya berkaitan
dengan ophtalmic zoster) atau jarang sekali myelitis. Encephalitis karena HSV-I
dan HSV-II juga telah diidentifikasi dalam otak pasien dengan AIDS, tetapi
korelasi klinis tidak jelas. Tidak ada bukti bahwa acyclovir atau agen antiviral lain
efektif dalam infeksi virus ini. Herpes zoster yang melibatkan beberapa dermatom
berdekatan diketahui terjadi pada AIDS, seperti dalam kondisi imunosupreai
lainnya.
Tuberculosis
Dua jenis tertentu infeksi mikrobakteri cenderung mempersulit AIDS yaitu
Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium avium-intercellulare.
Tuberculosis medominasi di antara penyalah gunaan obat dan pasien AIDS di
negara terbelakang dan biasanya lebih tinggi proporsi orang-orang imunosupresi
mengembangkan tuberculous meningitis. Diagnosis dan terapi penunjang yang
sama seperti pada pasien AIDS. Infekai microbacterial atypical biasanya
berhubungan dengan lesi otak yang merusak lainnya dan merespon buruk
terhadap terapi.
Neurosyphilis
Meningitis sifilis dan sifilis meningovaskuler tampaknya memiliki
peningkatan insiden dari pasien AIDS, jumlah sel di CSF tidak dapat diandalkan
sebagai tanda-tanda aktivitas luetic, diagnosis tergantung sepenuhnya pada tes
serologi. Tampaknya tidak mungkin bahwa AIDS karena tes positif palsu untuk
sifilis, tetapi masih harus diselesaikan.
Organisme lainnya, seperti Rochalimaea henselae (untuk Merly
Bartonella), penyebab demam catscratch, ditemukan tiba-tiba dengan frekuensi
tinggi di pasien AIDS dan telah terlibat dalam encephalitis. Progresif multifokal
leukoencephalopathy, sebuah penyakit virus yang terkait erat dengan negara
imunosupresi dari AIDS dan terlihat dalam jumlah yang tinggi, dibahas lebih
lanjut dalam bab ini.
Terapi
Terapi untuk infeksi HIV/AIDS, seperti berlaku untuk setiap penyakit
kronis, penyakit yang mengancam kehisupan. Pasien dan keluarga membiruhkan
konseling dan edukasi, dan frekuensi dorongab psikologi selain obat yang
kompleks. Rekomendasi tentang terapi obat untuk infeksi HIV berubah dengan
cepat (Rubin dan Young). Kombinasi dari tiga dan kadang empat obat, termasuk
transkriptase inhibitor (AZT dan 3TC(lamivudine) yang bertindak secara sinergis
dan melewati sawar darah otak) dan yang lebih baru protease inhibitor (seperti
indinavir) membuat 90% pasien bebas deteksi virus lebih dari 1 tahun. Hal ini
diyakini bahwa pendekatan ini akan memperpanjang kelangsungan hidup tapi
mungkin diharapkan juga untuk meningkatkan prwvalensi neurologi dari AIDS,
masing-masing yang harus diterapi seperti yang telah diketahui. Rujukan ke
spesialis/ pusat yang ditunjuk untuk pengelolaan penyakit ini mungkin diperlukan.
Tropical Spastic Paraparesis, Infeksi HTLV-I
Ini adalah gangguan endemik di banyak negara tropis dan subtropis.
Penyebabnya diabaikan sampai 1985, pada saat Gessain dan Coworkers
menemukan antibodi IgG untuk HTLV-I dalam serum dari 68% Tropical spastic
paraparesis (TSP) pasien di Martinique. Antibodi yang sama diidentifikasi di CSF
dari jamaika dan kolombia pasien dengan TSP, dan pada pasien dengan gangguan
neurologi yang sama didaerah beriklim seperti jepang selatan. Gangguan yang
terakhir awalnya disebut HTLV-I-associated myelopathy (HAM), tetapi sekarang
dianggap identik untuk HTLV-I positif TSP (Roman dan Osame). Ini adalah ciri
pejasaran gangguan ini hanya sebagian kecil dari HTLV-I orang yang terinfeksi
(perkiraan 2%) mengalami myelopathy. Contoh penyebaran yang luas kinibtelah
dilaporkan dari berbagai bagian belahan dunia bagian barat. Virus ini
ditransmisikan dalam salah satu dari beberapa cara dari ibu ke anak, baik melalui
plasenta atau dalam ASI; dengan penggunaan obat suntik atau transfusi darah;
atau melalui kontak seksual. Onset biasanya pada usia dewasa, an sering terjadi
pada wanita dibanding dengan pria, dengan perbandingan 3:1.
Gambaran klinis dan patologi penyakit dijelaskan dalam bab 44 dan dalam
beberapa ulasan yang direkomendasikan (Rodgers-Johnson dkk). Perbedaan dari
bentuk tulang belakang yang progresif multipel sclerosis dan dengan degenerasi
kombinasi subakit, dengan yang paling mungkin akan dibajas lebih lanjut di
bawah "Diferensial Diagnosis". Ada juga perbedaan klinis dan patologis dari
myelopati yang disebabkan langsung oleh infeksi HIV. Tidak ada bentuk terapi
yang terbukti efektif dalam mengembalikan bentuk gangguan ini, meskipun ada
laporan Anecdotal bahwa pemberian intravena immunoglobuline dapat
menghentikan perkembangannya.
Retrovirus HTLV-II kurang umum dari HTLV-I namun kedua virologi
sangat mirip. Ada ringkat tinggi infeksi dengan HTLV-II diantara pengguna obat
yang koinfeksi dengan HIV. Beberapa kasus myelopati telah dilaporkan di
HTLV-II bahwa pasien telah terinfeksi, mirip dengan semua respin untuk HTLV-I
yang menghubungkan myelopathy (Lehky dkk).
Infeksi virus dari perkembangan sistem saraf (lihat bab 38)
Infeksi virus dari janin, terutama rubella, CMV, HIV, herpes zoster, epstein-barr,
dan infeksi HSV pada bayi baru lagir adalah penyebab penting dari kelainan CNF.
Pokok masalah ini dibahas secara rinci dalam "intrauterine dan infeksi neonatal"
di bab 38.
Akut Anterior Poliomyelitis
Dimasa lalu, sindrom ini adalah hampir selalu merupakan hasil dari infeksi
oleh salah satu dari 3 jenis poliovirus. Namub, penyakit ini yang secara klinis
menyerupai infeksi virus polio dapat disebabkan oleh enterovirus lain seperti
coxsackie kelompok A dan B dan japanes ensefalitis, serta oleh west nile virus.
Epidemi hemoragik konjungtivitis (disebabkan oleh enterovirus 70 dan
sebelumnya umum di asia dan afrika) bisa juga berhubungan dengan neuron
motorik rendahkelumpuhan menyerupai poliomyelitis (Wadia dkk). Di negaa-
negara dengan program vaksinasi polio yang sukses, virus lainnya kini penyebab
paling umum dari sindrom poliomyelitis anterior, seperti yang dibahas lebih lanjut
pada beberapa kasus, penyakit yang disebabkan oleh virus ini bersifat jinak dan
kelumpuhan terkait tidak signifikan. Virus west nile adalah pengecualian dalam
kasus ensefalitis telah dikaitkan dengan asymmetrical flaccid poliomyelitis yang
berat dan menetap.
Yang penting (lumpuh) penyakit dalam katagori ini tetap poliomyelitis.
Meskipun tidak lagi menjadi bahaya didaerah dimana vaksin eutin efek
mematikan dan melumpuhkan masih segar dalam ingatan dokter yang berpraktik
ditahun 1950an. Pada musim panas 1955, ketika inggris baru mengalami epidemi
yang terakhir, 3,950 kasus poliomyelitis akut dilaporkan di Massachusetts saja
dan 2,771 lumpuh rincian epidemi ini dijelaskan oleh Pope dkk. Sekarang, kira-
kira 15 kasus Pertahun poliomyelitis lumpuh dilaporkan di Amerika serikat.
Secara seimbang dibagi menjadi anak-anak yang tidak divaksin dengan orang
dewasa, orang yang telah terkena vaksinasi sejak bayi. Lebih lanjut, sisa
Kelumpuh dari epidemu sebelumnya masih dapat dilihat dimana-mana. Dalam
kasus ini, perkembangan yang terlambat dari kelemahan otot kadang tampaknya
muncul bertahun-tahun setelah penyakit lumpuh akut, kondisi disebut post polio
syndrome (lihat diskusi Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) di bab 39). Tentu
saja, poliomyelitis akut masih sering terjadi di beberapa bagian dunia dimana
vaksinasi skala besar tidak dilakukan. Untuk alasan ini dan juga karena ia berdiri
sebagai protopipe dari infeksi virus neurotropik, ciri utama dari penyakit ini harus
diketahui oleh ahli saraf.
Etiologi dan Epidemiologi
Agen poliomyelitis adalah virus kecil RNA yang merupakan kelompok
dari grup enterovirus dari family piconarvirus. Tiga tipe antigen telah ditemukan
dan infeksi dari salah satunya tidak memberikan perlindungan melawan yang lain.
Penyakit ini menyebar di seluruh dunia.; puncak insiden infeksi terjadi di belahan
dunia utara pada bulan juli sampai September.
Poliomyelitis adalah infeksi yang sangat menular. Reservoir utama dari
infeksi ini adalah di dalam saluran pencernaan manusia (manusia adalah satu-
satunya host alami yang diketahui), dan jalur utama infeksi adalah fecal-oral,
tangan ke mulut, seperti pathogen enteric lainnya. Virus tersebut memperbanyak
diri di pharynx dan saluran pencernaan. Selama masa inkubasi, dari 1 sampai 3
minggu, virus dapat memulihkan diri di kedua tempat tersebut. Hanya sebagian
kecil pasien yang terinfeksi mengalami invasi hingga system saraf. Sekitar 95
sampai 99 persen pasien yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala atau hanya
mengalami perasaan seperti demam yang tidak spesifik. Tipe terakhir dari pasien-
karier dengan infeksi tanpa gejala - yang paling berperan penting dalam
penyebaran virus dari satu orang ke yang lainnya.
Manifestasi Klinis
Sebagian besar infeksi tidak menunjukkan gejala, atau hanya berupa gejala
sistemik ringan dengan faringitis atau gastroenteritis. Kadangkala disebut abortive
poliomyelitis. Gejala ringan berhubungan dengan periode viremia dan penyebaran
virus.; yang pada banyak kaasus menimbulkan respon imun efektif- gejala sebagai
akibat dari kegagalan untuk menyebabkan meningitis atau poliomyelitis. Pada
jumlah pasien yang relative sedikit system saraf ikut terkena, penyakit tersebut
masih dapat berkembang menjadi parah dari serangan ringan aseptic meningitis
(non paralisis atau preparalisis poliomyelitis) hingga bentuk berat dari
poliomyelitis paralisis.
Nonparalytic atau Preparalytic Poliomyelitis gejala prodromal seperti
kelesuan, nyeri kepala, demam 38 sampai 40°C (100,4 sampai 104°F), kekakuan
dan nyeri otot, tenggorokan serak karena adanya infeksi pernapasan atas,
anorexia, mual dan muntah. Gejala dapat mereda pada batas tertentu, diikuti
setelah 3 sampai 4 hari oleh timbulnya lagi nyeri kepaladan demam dan timbulnya
gejala yang melibatkan system saraf; seringnya fase kedua bercampur dengan fase
pertama. Kekakuan dan nyeri otot, tertariknya otot (spasme) dan nyeri leher dan
punggung meningkat menjadi utama. Manifestasi awal lain yang melibatkan
system saraf meliputi iritabilitas, mudah lelah dan emosi yang tidak stabil; sering
kali ini menuju paralisis. Gejala tambahan adalah kaku kuduk dan temuan khas
pada CSF seperti pada meningitis aseptic. Gejala-gejala tersebut seluruhnya
membentuk suatu penyakit; paralisis mungkin mengikuti gejala preparalytic.
Paralytic Poliomyelitis kelemahan menjadi manifestasi sementara demam
pada puncaknya atau hanya sesekali suhu turun dan gambaran klinis umum
tampaknya akan membaik. Kelemahan otot dapat muncul dengan cepat, mencapai
keparahan maksimal pada 48 jam atau kurang; atau dapat muncul lebih lambat
atau pada bicara gagap selama seminggu, jarang lebih lama. Sebagai aturan
umum, tidak ada kelemahan progresif setelah suhu normal selama 48 jam.
Penyebaran kelumpuhan spinal sangat bervariasi; jarang menjadi kelumpuhan
simetris akut dari otot – otot tulang belakang dan ekstremitas seperti yang muncul
pada Guillain Barre syndrome. Aktivitas fisik yang terlalu banyak dan injeksi
local selama periode infeksi asimptomatik dianggap mendukung perkembangan
kelumpuhan dari ekstremitas yang dilatih atau dng melemah; disuntik tersebut.
Fasikulasi kasar dipandang sebagai otot yang melemah; bersifat sementara
sesuai aturan, tetapi kadang – kadang mereka menetap. Reflek tendon berkurang
dan menghilang sebagai perkembangan kelemahan dan otot yang lumpuh menjadi
lemah. Pasien seringkali mengeluh paraesthesia pada ekstremitas yang terkena,
tetapi kehilangan sensoris objek jarang ditemukan. Retensi urin biasanya muncul
selama fase awal pada pasien dewasa, tetapi tidak menetap. Atrofi otot dapat
diketahui dalam waktu 3 minggu dari onset kelumpuhan, maksimal 12 sampai 15
minggu dan ini bersifat permanen.
Paralisis otot bulbar lebih sering pada dewasa muda, tetapi biasanya pasien
tersebut memiliki keterlibatan tulang belakang juga. Yang paling sering terlibat
adalah otot cranial seperti system menelan, menunjukkan keterlibatan dari nucleus
ambiguous. Bahaya besar lain dari penyakit medullary adalah gangguan respirasi
dan pengendalian vasomotor- cegukan, sulit menelan, dan melambatnya
pernafasan secara progresif, sianosis, gaduh dan gelisah gelisah (kekurangan
udara), hipertensi, dan akhirnya, hipotensi dan kegagalan system sirkulasi. Saat
gangguan ditambah dengan paralisis otot diafraghma dan intercosta, tingkat
kehidupan pasien terancam dan pendampingan institusi bagian pernafasan serta
intensive care dibutuhkan dengan sangat segera.
Perubahan Patologik dan Hubungan Patologiklinik
Pada infeksi yang fatal, lesi ditemukan pada precentral (motorik) gyrus
otak (biasanya tidak cukup berat untuk menyebabkan gejala), batang otak, dan
sumsum tulang belakang. Beban penyakit ditanggung oleh hypothalamus,
thalamus, nucleus motorik dari batang otak dan disekeliling formasi reticular,
nucleus vestibular dan roof nucleus dari cerebellum, dan terutama neuron pada
bagian anterior dan antara materi abu-abu dari sumsum tulang belakang yang
memberikan suatu penyakit sesuai dengan namanya. Pada area tersebut, sel saraf
dihancurkan dan difagosit oleh microglia (neuronophagia). Reaksi local lekosit
muncul hanya dalam beberapa hari, tetapi sel mononuclear bertahan sebagai
akumulasi perivaskular selama beberapa bulan. Perubahan histopatologi paling
awal pada sel tanduk anterior corda adalah terjadi kromatolisis pada inti sel saraf,
bersamaan dengan reaksi inflamasi. Perubahan ini berhubungan dengan
multiplikasi virus pada CNS dan, pada monyet yang terinfeksi, onset paralisis
berawal satu atau beberapa hari.
Pada materi penelitian Bodian, saraf motorik yang terinfeksi tetap
berfungsi sampai tingkat kromatolisis berat tercapai. Lagi pula, bila kerusakan sel
hanya mencapai tingkat kromatolisis sel, kesembuhan secara morfologi dapat
diharapkan- suatu proses yang membutuhkan waktu satu bulan atau lebih. Setelah
itu, derajat kelumpuhan dan atrofi berhubungan erat dengan jumlah sel saraf
motorik yang telah mengalami kerusakan; dimana ekstremitas tetap atrofi dan
lumpuh, kurang dari 10 persen sel saraf selamat pada segmen corda yang
berhubungan.
Lesi pada saraf motorik batang otak dihubungkan dengan paralisis di otot
yang berhubungan. Gangguan menelan, pernafasan, dan control vasomotor
dihubungkan pada lesi pada formasi reticular medulla, berpusat pada bagian inti
sel ambiguous seperti yang sudah disebutkan.
Atrofi, berhubungan dengan paralisis flexi dari otot pada tulang belakang
dan ekstremitas, tentu saja, karena kerusakan saraf pada bagian anterior dan
intermediate tanduk pada segmen yang berhubungan dengan materi abu – abu
sumsum tulang belakang. Kekakuan dan nyeri pada leher dan punggung, dianggap
berasal dari “iritasi meningeal”, kemungkinan berkaitan dengan eksudat inflamasi
ringan pada bagian meningen dan pada lesi ringan pada dorsal root ganglia dan
dorsal tanduk. lesi tersebut juga bertanggung jawab pada nyeri otot dan
paraestesia pada bagian yang akhirnya menjadi lumpuh. Abnormalitas fungsi
autonom berasal dari lesi pada jalur autonom pada substansi reticular batang otak
dan pada sisi lateral sel tanduk pada sumsum tulang belakang.
Yang menjadi perhatian bahwa polivirus telah dengan mudah diisolasi
dari jaringan CNS pada kasus-kasus fatal tetapi jarang dapat disembuhkan dari
CSF (cerebro spinal fluid) selama klinis penyakit. berbanding terbalik dengan
coxsackie dan echo picornavirus, yang telah dapat diisolasi dari CSF selama
keadaan sakit saraf.
Terapi
Pasien pada akut poliomyelitis memerlukan pengawasan cermat mengenai
fungsi menelan, kapasitas vital, nadi dan tekanan darah untuk antisipasi
komplikasi pernafasan dan sirkulasi. Dengan paralisis otot ekstremitas, footboard,
bebat tangan dan lengan, dan lutut serta trochanter roll mencegah foot-drop dan
deformitas lainnya. Gerakan pasif yang rutin mencegah kontraktur dan ankylosis.
Gagal nafas, sebagai akibat dari paralisis otot intercosta dan diafragma
atau karena depresi pusat pernafasan pada batang otak, memerlukan penggunaan
respirator tekanan positif dan, pada kebanyakan pasien, dilakukan tracheostomy.
Selama masa eidemic sekitar pertengahan abad ke 20 penggunaan Dinker’s “iron
lung” mencapai ketenaran luas. Penatalaksanaan komplikasi system pernafasan
dan sirkulasi tidak terlalu berbeda dengan penatalaksanaannya pada penyakit
seperti myasthenia gravis dan Guillain-Barre syndrome dan terbawa pada unit
special respiratory atau intensive neurologic.
Penulis tidak mengetahui penelitian sistematik mengenai potensi dari agen
antiviral pada penyakit ini.
Pencegahan
Pencegahan, tentu saja, telah terbukti merupakan salah satu penyelesaian
yang luar biasa pada pengobatan modern. Penanaman polivirus pada kultur
jaringan embrionik manusia dan sel ginjal monyet- hasil dari Enders dkk-
memungkinkan pengembangandari vaksin yang efektif. Yang pertama adalah
vaksin suntik Salk, berisi formalin-inaktif virulent strain dari tiga serotype virus.
Kemudian diikuti oleh vaksin Sabin, yang terdiri dari virus hidup yang
dilemahkan, dengan petunjuk penggunaan secara oral dalam 2 dosis 8 minggu
terpisah; booster dibutuhkan pada usia 1 tahun dan kemudian diulang sebelum
mulai sekolah. Sejak tahun 1965, laporan tahunan mengenai incidence rate
poliomyelitis di Amerika telah kurang dari 0,01 per 100.000 ( dibandingkan pada
rata-rata 24 kasus per 100.000 selama tahun 1951 sampai 1955). Sangat jarang,
poliomyelitis dapat mengikuti vaksinasi dengan virus hidup yang dilemahkan
(0,02 sampai 0,04 kasus per 1 juta dosis). Satu-satunya halangan untuk
melengkapi pencegahan dari penyakit adalah vaksin tidak mencukupi untuk
populasi besar. Dapat dibayangkan, dengan kurangnya peningkatan kekebalan
pada Negara berkembang (yg disebut kekebalan kumpulan), wabah besar
poliomyelitis dapat muncul sekali lagi.
Prognosis
Kematian dari acute paralytic poliomyelitis adalah antara 5 dan 10 persen-
lebih tinggi pada orang tua dan orang sangat muda. Jika pasien selamat pada
stadium akut, paralisis system pernafasan dan menelan biasanya sembuh
sempurna; pada hanya sebagian kecil pasien yang memerlukan alat bantu napas.
Beberapa pasien juga sembuh sama sekali dari kelemahan otot awal, dan bahkan
kelumpuhan paling berat membaik hingga beberapa tahap. Kembalinya kekuatan
otot dapat mucul terutama pada 3 sampai 4 bulan pertama dan mungkin
menghasilkan pemulihan secara morfologi dari kerusakan sel saraf yang terkena.
Cabang dari axon pada sel motorik yang utuh dengan reinervasi kolateral dari
serabut otot unit motorik yang di inervasi juga mungkin ambil bagian.
Penyembuhan yang lambat pada derajat ringan kemungkinan dapat berlanjut
hingga satu tahun atau lebih, akibat dari hipertrofi dari otot yang tidak rusak.
Sindrom postpolio dibahas pada “differential diagnosis of ALS” pada chap.39 dan
di chap.55.
Nonpoliovirus Poliomyelitis
Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, jumlah dari virus RNA yang
biasanya menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas biasa atau infeksi enteric
sekarang menjadi penyebab utama penyebaran sindrom poliomyelitis. 52 kasus
tercatat oleh Pusat Pencegahan dan Pengawasan Penyakit selama periode 4 tahun.
Kebanyakan dari kasus tersebut disebabkan olehsalah satu echovirus dan sejumlah
kecil Coxsackie enterovirus khususnya strain 70 dan 71. Bekas penyakit
meninggalkan sedikit sisa paralisis, tapi Coxsackievirus, yang telah dipelajari
pada beberapa wabah di Amerika, Bulgaria, dan Hungaria, mempunyai lebih
banyak variable yang mempengaruhi. Enterovirus 70 menyebabkan akut
hemorrhagic conjunctivitis pada epidemic terbatas dan diikuti oleh poliomyelitis
pada 1 disetiap 10.000 kasus. Wabah Enterovirus 71 di Eropa, dikenal di Amerika
sebagai sebab dari hand-foot-and-mouth disease dan meningitis aseptic,
menghasilkan paralisis tipe poliovirus, termasuk sedikit kasus bulbar fatal
(Chumacov, et.al). pada wabah di Taiwan, Huang dkk menguraikan encephalitis
batang otak dengan keterlibatan myoclonus dan saraf cranial dalam perbandingan
yang tinggi pada pasien. Kecenderungan virus West Nile dalam menyebabkan
poliomyelitis sudah dijelaskan sebelumnya.
Penelitian kami sendiri denagn bentuk poliomyelitis ini terdiri dari 4
pasien yang telah dirujuk bertahun-tahun untuk penyakit kelumpuhan yang
awalnya disangka sebagai Guillain-Barre syndrome (Gorson dan Ropper). Pada
tiap kasus, diawali dengan demam dan meningitis aseptic (50 sampai 150
lymphosite /mm3 pada CSF), diikuti oleh nyeri punggung dan meluas,
kelumpuhan yang relative simetris, termasuk otot oropharingeal pada 2 kasus dan
kelemahan asimetris terbatas pada tangan di 2 pasien. Tidak ada perubahan
sensoris. Satu pasien mempunyai penyakit ensefalitis ringan yang terjadi
bersamaan dan meninggal 1 bulan kemudian. Perubahan electromyografi
menunjukkan bahwa paralisis disebabkan oleh hilangnya sel tanduk anterior dari
pada neuropati motorik atau murni radiculopati motorik, tapi perbedaannya tidak
selalu pasti. MRI luar biasa dalam menunjukkan perbedaan perubahan pada materi
abu- abu corda, terlebih di ventral (Fig. 33-3). Tidak ada virus dapat diisolasi dari
CSF dan test serologi pada 2 pasien gagal disangkutkan dengan virus RNA
ensefalitis biasa, termasuk poliovirus. Pasien telah diimunisasi terhadap virus
poliomyelitis.
Infeksi Virus Subakut Dan Kronik
Konsep bahwa infeksi virus mungkin berperan penting pada penyakit
kronik, khususnya pada system saraf, telah diperkenalkan sejak tahun 1920-an,
tetapi hanya beberapa decade kemudian ditetapkan. Bukti tidak langsung dan
langsung mendukung pandangan ini : (1) percobaan degenerasi progresif
noninflamasi pada saraf nigral jauh setelah serangan letargia ensefalitis; (2)
penemuan badan inklusi pada kasus subakut dan kronik sklerosisng ensefalitis; (3)
penemuan penyakit saraf kronis pada domba disebabkan oleh virus RNA biasa
(Visna)- terdapat hubungan antara penyakit pada domba yang Sirgurdsson
pertama gunakan jangka waktu infeksi virus lambat (slow virus infection) untuk
menggambarkan periode inkubasi lama dimana hewan terlihat sehat; dan (4)
percobaan oleh mikroskop electron terhadap partikel virus pada lesi dari progresif
multifokal leukoencepalopati dan, kemudian, mengisolaso virus dari lesi tersebut.
Saran bahwa onset akhir dari kelemahan progresif setelah poliomyelitis (“post
polio syndrome”) mungkin mewakili infeksi lambat telah di buktikan. Tuntutan
juga telah beberapa kali padalm setahun untuk virus penyebab multiple sklerosis,
amytrophic lateral sklerosis dan penyakit degenerative lainnya, namun sejauh ini
buktinya masih dipertanyakan.
Infeksi lambat system saraf disebabkan oleh virus biasa meliputi subakut
sklerosis panencefalitis (measles virus), progresif panencefalitis rubella, progresif
multifocal leukoencefalitis (JC virus), dan visna pada domba. Penyakit tersebut
kecuali untuk PML, adalah jarang. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus biasa
dan tidak keliru dengan grup dari penyakit saraf kronik yang juga kadang –
kadang berubah menjadi “slow infection”, tetapi bukan hasil dari prions,
sepenuhnya berbeda dengan agen menular konvensional. Ini diberikan bagian
terpisah kemudian pada chapter ini.
Subakut sklerosing panencefalitis
Penyakit ini pertama dijelaskan oleh Dawson pada tahun 1934 dengan
nama “encephalitis badan inklusi” dan dipelajari secara meluas oleh Van Bogaert,
yang mengganti nama penyakit tersebut dengan subakut sklerosing panencefalitis.
Sekarang dikenal sebagai akibat dari infeksi kronisk virus measles.tidak pernah
menjadi penyakit yang umum, kondisi ini muncul sampai akhir-akhir ini rata-
ratanya mencapai 1 kasus per 1 juta anak per tahun. Dengan pengenalan dan
penyebarluasan vaksin measles. Praktis penyakit ini menghilang di Amerika.
Seiiring dengan pemberantasan polio, ini telah menjadi kemajuan yang penting
dalam pencegahan neuropedriatic.
Anak – anak dan remaja adalah sebagian besar yangh terpengaruh,
penyakit ini jarang muncul melebihi usia 10 tahun. Biasanya ada riwayat infeksi
primer measles pada usia sangat dini, sering sebelum 2 tahun, diikuti oleh 6
sampai 8 tahun periode asimptomatik. Penyakit ini berkembang dalam beberapa
stadium. Awalnya terdapat penurunan kemampuan sekolah, ledakan kemarahan
dan berbagai perubahan kepribadian, kesulitan bahasa, dan kehilangan minat pada
aktivitas biasanya. Kemudian segera terjadi kemerosotan intelektual yang berat
dan progresif pada asosiasi dengan kejang fokal atau umum, myoklunus yang
luas, ataxia, dan kadang – kadang gangguan penglihatan disebabkan oleh
progresif chorioretinitis. Pada penyakit lanjutan, rigiditas, hiperaktif reflek,
babinski sign, kehilangan kesadaran progresif, dan tanda dari disfungsi autonom
muncul. Pada stadium akhir, anak tampak mati raasa, sebenarnya “dekortikasi”.
Program ini biasanya berlanjut progresif, menimbulkan kematian dalam waktu 1
sampai 3 tahun. Kurang lebih 10 persen dari kasus perjalanan penyakit ini lebih
lama dengan satu atau lebih remisi. Pada sejumlah kecil perjalannya menjadi
fulminant, kearah kematian dalam onset bulan. Kecuali bila penyakit muncul pada
usia dewasa muda. Serangkaian 39 kasus dewasa tersebut dari India dengan rata –
rata usia 21 tahun telah dilaporkan oleh Prashanth dkk, pasien tertua berusia 43
tahun. Gejala utama hampir sama dengan kasus anak-anak, kecuali beberapa
mengalami gangguan penglihatan dan 2 orang mengalami gejala ekstrapiramidal,
meningkatkan kemungkinan penyakit prion. Myoclonus muncul pada permulaan
penyakit pada 26 orang dan muncul kemudian di semua kasus; gerakan
digambarkan “lambat”, karakteritas disinggung pada seri yang lain. Pada 2 kasus
yang muncul pada wanita hamil, pandangan kabur dan kelemahan ekstremitas
diikuti oleh akinetik mutism, tanpa bekas myoclunus atau ataxia cerebral.
Meskipun demikian, progresif ataxic-myoclonic demensia kronik pada anak-anak
sangat khas sehingga biasanya dapat dilakukan bedside diagnostic.
EEG menunjukkan kelainan karakteristik terdiri dari ledakan periodik
(setiap 5 atau 8 detik)dari 2 sampai 3 detik gelombang tegangan tinggi, diikuti
oleh pola datar relatif. CSF berisi sedikit atau tanpa sel, tetapi jumlah protein
meningkat, khususnya jenis gamma globulin, dan elektroforesis gel agarosa
mengungkapkan ikatan oligoclonal igG. Protein ini telah meunjukkan gambaran
antibody spesifik virus measles (Mehta dkk). Baik serum maupun CSF berisi
konsentrasi tinggi antibody penetralisir virus measles (rubeola), tetapi virus telah
pulih dari jaringan otak hanya dengan kesulitan. Perubahan MRI dimulai pada
materi putih subcortikal dan menyebar ke region periventricular (Anlar et al).
Secara histology, lesi meliputi kortek cerebral dan materi putih dari semua
hemisfer dan batang otak. Cerebellum biasanya bebas. Kerusakan sel saraf,
neuronofagia dan pengikatan perivenous oleh limfosit dan sel mononuclear
menunjukkan sifat infeksi virus. Pada materi putih terdapat degenerasi dari
serabut medulla ( baik myelin dan axon), disertai dengan pengikatan perivaskular
oleh sel mononuclear dan gliosis serabut (maka istilah sclerosing encephalitis).
Inklusi eosinofilik, tanda histopatologis dari penyakit, ditemukan di sitoplasma
dan inti neuron dan sel glia. Virion, berfikir bahwa nukleocapsid measles, telah
diamati pada pemeriksaan sel inklusi-bearing dengan mikroskop electron.
Bagaimana infeksi virus ada dimana-mana dan transient pada anak – anak
yang tampaknya normal memungkinkan pengembangan, beberapa tahun yang
lalu, dari encephalitis langka adalah masalah spekulasi. Sever percaya bahwa
terdapat keterlambatan dari respon imun selama infeksi awal dan kemudian
respon imun menjadi tidak adekuat dalam menekan infeksi. Hipotesis lainnya
mengatakan bahwa sel otk gagal mensintesa protein yang disebut protein M, yang
penting dalam penyusunan membrane virus, dan keterbatasan kemampuan sel host
dikaitkan dengan menyebarluasnya bibit virus dalam otak selama infeksi awal
(Hall dkk).
Diagnosis banding SSPE meliputi penyakit demensia pada anak-anak dan
remaja seperti penyakit penyimpanan lipid (Chap. 37), prion disease (Creutz-
Jakob), dan Schilder-type demyelinative disease (Chap.36).
Pada kasus klilis presumtif SSPE, penemuan kompleks periodic di EEF,
peningkatan gamma globulin dan ikatan oligoclonal pada CSF, dan peningkatan
titer antibody measles di dalam serum dan CSF adalah cukup untuk menegakkan
diagnosis.
Tidak ada terapi yang efektif. Pemberian amantandine dan inosine
pranobex (dalam bentuk inosiplex) ditemukan oleh beberapa peneliti mengarah
pada perbaikan dan kelangsungan hidup yang lebih lama, tetapi efeknya belum
dibenarkan. Manfaat terapi pemberian intrathecal dari alpha interferonmasih di
teliti.
Subakut Measles Encephalitis dengan Imunosupresi
Mengingat SSPE muncul pada anak-anak yang sebelumnya normal, tipe
langka measles encephalitis lainnya telah digambarkan bahwa baik anak-anak atau
dewasa dengan respon imun yang dimediasi sel yang rusak (Wolinsky dkk). Pada
tipe ini measles atau paparan measles yang mendahului encephalitis dengan 1
sampai 6 bulan. Kejang (seringnya epileptic sebagian yang terus-menerus), tanda
neurologis fokal, stupor dan koma adalah gejala utama dari gangguan neurologis
dan menuju kematian dalam waktu kurang dari satu hari atau kurang dari 1
minggu. CSF dapat normal, dan level antibody measles tidak meningkat. Aicardi
dkk telah mengisolasi virus measles dari otak beberapa pasien. Lesi mirip dengan
gambaran SSPE (sumbatan eosinofil di neuron dan glia, dengan derajat nekrosis
yang berbeda-beda) kecuali perubahan inflamasi yang kurangartinya, subakut
measles encephalitis ini adalah infeksi oportunistik dalam otak pada pasien
imunosupresi interval yang relative pendek antara paparan dan onset dari
gangguan neurologic, perkembangan penyakit yang cepat, dan gangguan
kekurangan antibody adalah bentuk dari subakut measles encephalitis baik SSPE
maupun postmeasles (post infeksi) encephalomyelitis (Chap.36).
Panensefalitis Rubela Progresif
Umumnya, defisit yang berhubungan dengan infeksi rubela kongenital di
otak sifatnya nonprogresif setidaknya selama dua hingga tiga tahun pertama
kehidupan. Namun, ada kasus anak dengan sindrom rubela kongenital yang
mengalami deteriorasi neurologis yang progresif setelah menjalani periode stabil 8
hingga 19 tahun. Pada tahun 1978, Wolinsky menemui 10 kasus, sebagian kecil
merupakan rubela yang didapat bukannya kongenital. Sejak saat itu, sindrom
progresif yang muncul lambat ini tampaknya telah hilang, tidak ada kasus baru
yang dilaporkan selama 30 tahun terakhir.
Sindrom klinisnya lumayan seragam. Berdasarkan stigma lawas rubela
kongenital, akan terjadi deteriorasi perilaku dan kemampuan belajar di sekolah,
sering berhubungan dengan kejang dan kemudian diikuti gangguan fungsi mental
yang progresif (demensia). Cara berjalan yang janggal merupakan gejala awal,
diikuti frank ataxia gait kemudian tungkai. Timbul juga spastisitas tanda traktur
kortikospinal lainnya, disartria dan disfagia. Mutisme palor menandakan fase
akhir penyakit ini. CSS tampak ada peningkatan ringan limfosit dan protein, serta
peningkatan nyata proporsi gamma globulin (35 hingga 52 persen dari protein
total), yang menunjukkan pola oligoklonal pada elektroforesis gel agarose. CSS
dan titer antibodi rubela serum juga sangat meningkat.
Pemeriksaan patologi otak tampak meluas, panensefalitis subakut yang
progresif utamanya menyerang white matter. Tidak terlihat iclusion-bearing cell.
Sehingga, tampaknya infeksi virus rubela didapat dalam rahim atau waktu
postnatal, bisa menetap dalam sistem saraf selama bertahun-tahun yang
menimbulkan infeksi aktif kronis.
Leukoensefalopati Multifokal Progresif
Kelainan ini, pertama kali ditemukan secara klinis oleh Adam dan rekan
pada tahun 1952, dideskripsikan secara morfologi oleh Astrom dan rekan pada
tahun 1958, kemudian diperluas oleh Richardson pada tahun 1961. Ditandai
dengan lesi demyelinasi yang luas, terutama di hemisfer otak tapi kadang bisa di
batang otak dan serebelum, walapun jarang bisa juga di medula spinalis. Lesi ini
ukuran dan derajat keparahannya bervariasi, mulai dari fokus demyelinasi
mikroskopis hingga zona kerusakan multifokal baik pada myelin maupun silinfer
aksis yang melibatkan sebagian besar hemisfer serebral atau serebelar. Kelainan
sel glia juga tampak nyata. Banyak astrosit reaktif dalam lesi ini ukurannya besar
dan mengandung nukleus dan bentukan mitotik yang berubah bentuk dan
berbentuk aneh, ini merupakan perubaha yang hanya terlihat pada tumor glia
maligna. selain itu, pada perifer lesi, nukleus aligodendrosit juga sangat membesar
dan mengandung inklusi abnormal. Banyak dari sel ini hancur, mengakibatkan
demyelinasi. Perubahan vaskuler tidak seberapa banyak dan perubahan inflamasi
biasanya ada meski tidak signifikan kecual dalam sejumlah kecil kasus menarik
dimana rekonstitusi imun dengan obat retroviral AIDS akan menimbulkan
inflamasi hebat.
Tampilan Klinis
Ini merupakan penyakit dewasa akhir yang jarang terjadi, PML biasanya
timbul pada pasien dengan denoplasma atau dalam kondisi imunodefisiensi
kronis. Sebagian besar kasus ada pada pasien AIDS dimana insidensi PML
mendekati 5%. Jika dilihat dari sudut pandang lain, lebih dari 75% kasus PML
pada zaman ini ada hubungannya dengan AIDS. Memang, insidensinya jauh lebih
tinggi daripada bentuk imunosupresi lain selain hubungan antara HIV dan virus
kausatif PML yang telah disebutkan sebelumnya. Hubungan lain yang penting
adalah dengan penyakit neoplastik kronis (utamanya leukimia limfositik kronis,
penyakit Hodgkin, limfosarkoma, dan penyakit myeloproliferatif) dan meski
jarang, adalah dengan granulomatosis nonneoplastik seperti tuberkulosis atau
sarkoidosis. Sejumlah kasus terjadi pada pasien yang mendapatkan obat-obatan
imunosupresif untuk transplantasi ginjal atau untuk tujuan lainnya.
Perubahan kepribadian dan gangguan intelektual juga akbat sindrom
neurologis, yang kemudian berkembang dalam beberapa hari hingga minggu.
Manifestasinya seperti satu kombinasi hemiparesis atau lebih yang berkembang
jadi quadriparesis, defek lapang pandang, buta kortikal, afasia, ataksia, disartria,
demensia, confusional state, dan koma. Beberapa kasus dalam pengamatan kami
didominasi sindrom serebelar. Kejang jarang terjadi, hanya ada pada sekitar 10%
kasus. Pada sebagian besar kasus, kematian terjadi pada 3 hingga 6 bulan sejak
onset gejala neurologi dan semakin cepat pada pasien dengan AIDS kecuali
diberikan terapi antriretroviral agresif. CSS biasanya normal. CT dan MRI akan
jelas menampakkan lokasi lesinya tapi variabilitas dalam ukuran ukuran, lokasi
dan multiplisitas membuat diagnosis lebih dependen pada konteks imunosupresi.
Patogenesis
Usulan awal Waksman terbukti benar bahwa PML dapat disebabkan oleh
infeksi virus dalam CSS pada pasien dengan gangguan respon imunologi.
ZuRhein dan Chou melakukan studi lesi serebral menggunakan mikroskop
elektron pada pasien dengan PML, ternyata didapatkan jajaran partikel kristal
yang menyerupai papovavirus dalam oligodendrosit. Sejak saat itu, human
polyomavirus, dikenal “JC virus” atau JCV, diketahui sebagai agen kausatif. JCV
ada dimana-mana, berdasarkan keberadaan antibodi virus pada 70% populasi
orang dewasa normal. Virus ini diketahui dorman hingga kondisi imunosupresif
memungkinkan virus ini bereplikasi. Virus ini telah diisolasi dari urin, limfosit
darah, sumsum tulang, dan ginjal, tapi tidak ada bukti klinis kerusakan pada
struktur ekstraneural.
Terapi
Penyakit ini umumnya dipercaya tak dapat teratasi pada pasien dengan
AIDS. Laporan anekdot mengenai efikasi berbagai medikasi seperti cystosine
arabinoside, cidofovir, mirtazapine, interferon dan topotecan, semuanya antara
belum teruji atau gagal pada trial yang lebih besar. Pada pasien AIDS, teerapi
agresif menggunakan kombinasi obat antiretroviral, termasuk inhivitor protease,
akan sangat memperlambat progresi PML dan berujung pada remisi pada hampir
setengah kasus tiap tahunnya, sebagaimana dilaporkan oleh Antinori dan kolega
pada penelitiannya dalam serangkaian kasus besar. Beberapa serial retrospektif
menemukan bahwa hitung CD4 dibawah 100 sel/μL merupakan tanda prognostik
yang buruk untuk PML. Sebuah review mengenai masalah ini, khususnya
berkaitan dengan AIDS dan PML, sedang dilakukan oleh Mangi dan Miller.
Perhatian khusus harus diberikan pada perburukan klinis PML meski
sesaat tapi kadang juga bisa berat. Perburukan ini bisa terjadi selama terapi awal
infeksi HIV dengan obat antiretroviral. Sindromin ini berhubungan dengan
munculnya inflamasi akut yang mengelilingi lesi demyelinasi sebagai hasil dari
rekonstitusi sistem imun. Sejalan dengan mekanisme ini, pada MRI akan tampak
pemekaran lesi paralel jika menggunakan gadolinium. Terapi dengan
kortikosteroid telah diusulkan dan katanya dapat meningkatkan survival dan
remisi PML sementara, meski kami hanya mendapati satu pengecualian dramatis.
Harus waspada jika menggunakan kortikosteroid jika timbul reaksi-reaksi lain.
Ensefalitis Letargika (penyakit von Economo, Sleeping Sickness)
Meski contoh ensefalitis somnolen-optalmoplegi telah ada pada literatur
medis awal, namun ketika pandemi influenza pada Perang Dunia I virus ini mulai
prominen dan mulai muncul terus menerus hingga 10 tahun. Agen viralnya masih
belum dapat diidentifikasi, tapi tampilan klinis dan patologisnya menyerupai
infeksi virus. Meski demikian, pemeriksaan material otak terkini gagal
memperlihatkan RNAnya, sehingga ensefalitis letargika masih “dianggap/diduga”
sebagai penyakit virus. Pandangan alternatif mengenai patogenesis imun ada di
bawah ini.
Pentingnya ensefalitis letargika ini berhubungan dengan sindrom klinis
dan sekuelnya yang unik dan karena penyakit ini yang paling pertama dikenali
sebagai “infeksi virus lambat” (ironisnya tanpa diketahui agen kausanya) pada
sistem saraf manusia. Gejala uniknya meliputi optalmoplegi dan somnolen yang
nyata, sesuai nama penyakitnya. Manifestasi kelainan lainnya berupa bradikinesia,
katalepsi, mutisme, korea atau mioklonus. Pleositosis limfositik ditemukan dalam
cairan spinal pada setengah pasien. Begitu jgua dengan peningkatan kandungan
protein dalam CSS. Lebih dari 20% pasien meninggal dalam beberapa minggu,
dan banyak yang selamat mengalami gangguan mental dengan berbagai derajat
tertentu. Namun, tampilan paling luar baisa adalah munculnya sindrom
menyerupai parkinson, setelah interval beberapa minggu atau bulan (sesekali
beberapa tahun) pada sebagian besar pasien. Contoh sekuel lain antara lain seperti
mioklonus, distonia, krisis okulogirus dan spasme otot lainnya, bulimia, obesitas,
pola tidur terbalik, dan pada anak-anak berupa perubahan perilaku kompulsif. Ini
bukan satu-satunya bentuk ensefalitis yang diketahui menyebabkan sindrom
ekstrapiramidal tertunda pada tipe ini (sindrom yang serupa meski tidak identik
dengan latensi yang jauh lebih pendek bisa timbul setelah Japanese B encephalitis
dan ensefalitis arboviral lainnya).
Patologinya menyerupai infeksi virus lain, lokasi utamanya di otak tengah,
subtalamus dan hipotalamus. Pada pasien yang meninggal beberapa tahun
kemudian dengan sindrom Parkinson, temuan utamanya berupa depigmentasi
substansia nigra dan lokus ceruleus akibat destruksi sel saraf. Perubahan
neurofibil pada sel saraf substansia nigra yang tersisa dan okulomotor dan nukleus
di sebelahnya juga ditemukan, susah dibedakan dari palsi supranuklear progresif.
Tidak tampak badan Lewy, berbeda dengan penyakit Parkinson idiopatik yang
sering terlihat. Hanya sedikit kasis tipe pastensefalik baru yang ditemukan di
Amerika Serikat dan Eropa sejak 1930. Kasus-kasus sporadis seperti 4 kasus yang
dilaporkan Howard dan Less bisa merupakan contoh penyakit ini, tapi masih
belum bisa membuktikan identitasnya.
Saat ini, sindrom ekstrapiramidal postinfeksi diduga hasil dari antibodi
yang bersirkulasi. Meski asalnya bukan viral, ini merupakan tempat yang tepat
untuk menyimpulkan temuan Dale dan kolega, yang meneliti masalah ini dengan
hati-hati dan mempresentasikan 20 kasus yang sangat mirip dengan yang
dideskripsikan oleh von Economo. Setengah dari pasiennya telah menderita
faringitis yang diikuti somnolens atau insomnia patologis, parkinsonisme,
diskinesiadan gejala psikiatri. Banyak yang memiliki ikatan oligoklonal dalam
CSS dan pada MRI beberapa pasien mengalami perubahan ganglia basalis.
Temuan tunggal mereka adalah bahwa 95% pasien memiliki antibodi serum
terhadap antigen neural ganglia basalis (dua pertiga lainnya memiliki antibodi
terhadap anti-streptolisin O). Pemeriksaan patologi pada 1 kasus menunjukkan
adanya inflamasi perivaskuler. Dengan demikian, pernyataan selama ini bahwa
bentuk ensefalitis ini disebabkan oleh virus masih dipertanyakan. Dale dan rekan
meragukan hubungannya dengan influenza pada temuan von Economo.
Bentuk Lain Ensefalitis Subakut
Sejumlah kelainan yang jarang terjadi dan tidak disebutkan di atas ditandai
dengan inflamasi regional di otak. Diantara semua ini, Rasmussen encephalitis,
yang menyebabkan kejang fokal yang kaku dan hemiparesis progresif, diketahui
berhubungan dengan infeksi CMV dan HSV-1 pada berbagai studi yang
menggunakan teknik CPR. Namun, sebuah reaksi imun spesifik yang terdiri atas
antibodi reseptor glutamat memiliki implikasi yang lebih konsisten dan terapi
imunosupresif mungkin efektif. Masih belum jelas apakah proses ini dapat
digolongkan dengan ensefalitis infeksius; hal ini dibahas dengan penyakit
epileptik lain pada Bab 16. Serupa dengan hal ini, kelainan inflamasi terbatas
yang disebut limbic encephalitis dan “ensefalitis batang otak” – seringnya
merupakan efek jauh kanker paru – memiliki beberapa karakteristik dari
ensefalitis virus subakut, tapi tidak ada agen yang berhasil diisolasi secara
konsisten dan mereka juga sering dianggap sebagai reaksi imunologis. Penyakit
ini masuk ke bahasan penyakit paraneoplastik pada bab 31.
TRANSMISSIBLE SPONGIFORM ENCEPHALOPATHIES (PENYAKIT
PRION)
Kategori infeksi ini meliputi 4 penyakit manusia – penyakit Creutzfeldt-
Jakob (dan satu varian yang menginfeksi sapi dan sangat jarang ditransmisikan ke
manusia), sindrom Gerstmann-Straussler-Scheinker, kuru, dan mungkin, fatal
familial insomnia.
Meski kelompok penyakit ini telah dibahas dalam bab virus yang
menyerang sistem saraf, telah terbukti selama beberapa waktu bahwa penyebab
penyakit-penyakit ini bukanlah virus atau viroid (hanya asam nukleat saja, tanpa
struktur kapsidnya). Prusiner dihadiahi nobel karena membahas masalah ini.
Prusiner telah menyajikan bukti kuat bahwa patogen yang dapat ditransmisikan
merupakan sebuah partikel infeksius proteinaceous yang tidak memiliki asam
nukleat, tahan terhadap enzim yang merusak DNA atau RNA, tidak menimbulkan
respon imun, dan jika diperiksa menggunakan mikroskop elektron tidak memiliki
struktur sebuah virus. Untuk membedakan patogen ini dari virus dan viroid,
Prusiner menyebutkan istilah prion. Terlebih lagi, protein prion yang sama (PrP)
disandi oleh sebuah gen pada lengan pendek kromosom 20 manusia. penemuan
mutasi dalam gen PrP pasien dengan riwayat penyakit keluarga menderita
penyakit Creutzfeldt-Jakob dan sindrom Gertsmann-Straussler-Scheinker
menunjukkan fakta bahwa penyakit prion bisa bersifat genetik dan infeksius. Ini
merupakan keunikan lain dari prion diantara semua patogen infeksius lainnya.
Sekarang sudah mungkin untuk mendeteksi tipe penyakit prion yang diwariskan
menggunakan DNA yang diekstraksi dari leukosit. Bagaimana prion muncul
dalam bentuk sporadis pada spongiform encephalopathy masih belum dipahami
sepenuhnya. Konversi protein seluler normal pada bentuk infeksius melibatkan
perubahan struktur protein sebagaiman dijelaskan oleh Prusiner pada tahun 2001.
Luarbiasanya, sebagaimana dijelaskan di bawah ini, teori terkini menyebutkan
bahwa protein prion yang terlipat secara abnormal dapat bertindak sebagai
template untuk konversi PrP normal menjadi PrPsc (scarpe prion).
Deskripsi penyakit prion pada manusia telah disebutkan disini., yang
paling penting sejauh ini adalah penyakit Creutzfeldt-Jakob.
Ensefalopati Spongiform Subakut (Penyakit Creutzfeldt-Jakob)
Istilah ini merujuk pada penyakit serebral dimana demensia luas dengan
progresifitas yang cepat berhubungan dengan renjatan mioklonik difus dan
sejumlah kelainan neurologi lain, utamanya visual atau serebral. Perubahan
neuropatologi yang utama ditemukan pada koteks serebral dan serebelar, tampilan
klinisnya berupa hilangnya neuron dalam jumlah besar dan gliosis yang diikuti
vakuolasi yang nyata atau spongy state pada regio yang tekena – itu kenapa
dinamakan subacute spongiform encephalopathy (SSE). Perubahan yang tidak
seberapa parah pada patchy distribution ditemukan pada kasus dengan perjalanan
klinis yang lebih pendek.
Istilah penyakit Creutzfeldt-Jakob yang digunakan secara luas (CJD)
mungkin bukan merupakan eponim yang cocok karena tidak semua pasien
pertama kali ditemukan oleh Creutzfeldt dan setidaknya 3 dari 5 pasien yang
dideskripsikan oleh Jakob memiliki penyakit serupa yang sekarang kita kenali
sebagai subacute spongiform encephalopathy. Namun, penggunaan selama
bertahun-tahun jadi makin susah untuk dilupakan. Presisi dalam definisi kondisi
ini menjadi lebih penting dari sebelumnya sebagaiman ditunjukkan oleh Gibbs
dan Gajdusek bahwa jaringan otak dari pasien dengan SSE, yang diinjeksikan
pada simpanse, dapat mentransmisikan penyakit ini setelah periode inkubasi 1
tahun atau lebih.
Epidemiologi dan Patogenesis
Penyakit ini muncul pada semua bagian di dunia dan pada setiap musism,
dengan insidensi tahunan 1 hingga 2 kasus per satu juta populasi. Insidensi ini
lebih tinggi pada orang Israel keturunan Lybia, pada imigran ke Prancis dari
Afrika Utara dan mungkin di Slovakia. Insidensi SSE tampak lebih tinggi di kota
daripada di desa, tapi belum ada bukti pasti mengenai hal ini, setidaknya di
Amerika Serikat. Sebagian kecil dari kasus-kasus ini bersifat familial – bervariasi
dari 5% seperti yang dilaporkan Cathala dan rekan hingga 15% dari 1435 kasus
yang dianalisis oleh Masters dan rekan (1979). Munculnya kasus familial yang
tidak serumah, menandakan kerentanan genetik terhadap infeksi, meski tidak
dapat disingkirkan kemungkinan paparan dini terhadap agen. Satu-satunya
mekanisme yang menjelaskan penyebaran CJD adalam secara iatrogenik,
sebagaimana terjadi pada beberapa kasus setelah transplantasi kornea atau dural
graft pada individu yang terinfeksi, setelah implantasi elektroda EEG dalam yang
terinfeksi, dan setelah injeksi human growth hormone atau gonadotropin yang
didapat dari kadaver. Setidaknya seorang dokter bedah saraf telah mengidap
penyakit ini. Namun individu yang terpapar domba yang terinfeksi scarpie atau
terpapar pasien SSE malah tidak terpengaruh. Yang menarik adalah temuan oleh
Zanusso dan rekan mengenai protein prion infeksius pada mukosa nasal 9 pasien
yang diteliti mengidap penyakit sporadis. Hal ini menunjukkan route masuk
kedalam sistem saraf dan juga bisa berpotensi untuk pemeriksaan diagnostik.
Tonsil pasien yang menderita varian CJD juga bisa tampak prion pada pengecatan
imunologi.
Perhatian telah tertuju pada epidemi penyakit prion yang menyerang sapi
di Inggris (penyakit sapi gila). Epidemi ini mulai pada tahun 1985, diduga terjadi
transmisi penyakit pada 24 orang. Pasien ini lebih muda (rata-rata 27 tahun)
daripada pasien CJD pada umumnya (65 tahun) dan timbul gejala psikiatri dan
sensoris sebagai tanda pertama penyakit; tapi tidak muncul temuan yang biasa
ditemukan dengan EEG bahkan ketika penyakit ini telah berkembang ke tahap
selanjutnya. Penyakit ini dinamakan “varian baru penyakit Creutzfeldt-Jakob”.
Telah diketahui bahwa rantai prion pada pasien ini mirip dengan yang menyerang
sapi dan berbeda dengan agen sebelumnya yang menyebabkan CJD. Modus
transmisis, diduga akibat ingesti daging yang terinfeksi, serupa dengan munculnya
kuru pada New Guinea ketika upaca adat tak sengaja memakan jaringan otak
orang yang terinfeksi sehingga hal ini merupakan era baru pemahaman penyakit
prion.
SSE erat hubungannya dengan konversi protein seluler, PrPc, menjadi
PrPsc. Transformasi ini melibatkan perubahan bentuk fisik protein dimana bagian
heliksnya mneghilang dan bagian β-pleated sheet meningkat. Pemahaman terkini
adalah bahwa infektivitas prion dan propagasi mereka dalam jaringan otak berasal
dari kerentanan PrP asal dalam merubah bentuknya sebagai respon paparan fisik
terhadap protein abnormal. Perubahan bentuk prion ini memiliki kecenderungan
untuk semakin meningkat, dan ini mungkin merupakan mode destruksi seluler
yang berjung pada penyakit neuronal. Sebaliknya, kasus penyakit prion familial
diduga merupakan hasil dari salah satu aberasi gen pada regio yang menyandi
PrPc.
Seiring telah dilakukan klasifikasi isoform prion yang menimbulkan
penyakit, pola klinis telah bermunculan dalam bentuk konfigurasi protein tertentu
yang lebih atau lebih tidak tipikal, dan juga genotip yang mendasarinya. Beberapa
sistem klasifikasi telah dibuat berdasarkan keberadaan methionine (M) atau valin
(V) pada kodon 129 protein prion dan sifat psikokimia mana yang ditampilkan
(tipe 1 atau tipe 2). Varian tersering pada studi ini adalah MM dan yang paling
jarang adalah VV, dan tipe 1 lebih sering daripada tipe 2 (itu sebabnya MMI
merupakan tipe yang paling sering, ada pada dua ertiga kasus sporadis). Namun,
klasifikasi ini dipersulit oleh fakta bahwa beberapa sampel otak menunjukkan
lebih dari satu tipe protein. Meski beberapa studi mempermasalahkan poin ini,
pola EEG yang khas paling sering diamati pada tipe satu dengan setidaknya satu
metionin, sementara kasus MV2 lebih tampak perubahannya dengan MRI.
Beberapa studi menunjukkan bahwa subtipe MV2 cenderung menimbulkan
ataxia, perubahan psikiatri, lebih sedikit gelombang positif pada EEG dan
perpanjangan durasi penyakit, tapi hal ini masih belum pasti. Juga telah ada
kontroversi mengenai hubungan genotip ini terhadap sensitivitas uji diagnostik di
bawah ini. Detail dugaan hubungan ini dapat ditemukan pada studi internasional
dari 2541 kasus CJD positif yang dilakukan oleh Collins dan kolega.
Tampilan Klinis
SSE seringnya merupakan penyakit pada usia pertengahan, meski bisa
terjadi pada dewasa muda. Distribusi jenis kelaminnya sama. Pada kasus yang
diteliti oleh Brown dan rekan, gejala prodromal – seperti kelelahan, depresi,
penurunan berat badan, gangguan tidur dan nafsu makan yang berlangsung
beberapa minggu – dapat ditemukan pada seperti pasien.
Tahap awal penyakit neurologi ini ditandai dengan bermacam-maca
manifestasi klinis, tapi yang paling sering adalah perubahan perilaku, respon
emosi dan fungsi intelektual, sering juga diikuti ataxia dan gangguan pandangan,
seperti distorsi bentuk dan kesejajaran obyek atau gangguan pandangan yang
sebenarnya. Khususnya, fase awal penyakit ini didominasi oleh gejala seperti
kebingungan, dengan halusinasi, delusi dan agitasi. Pada kasus lain, cerebellar
ataxia telah sebelum timbul perubahan mental dan bisa menjadi tampilan klinis
paling menonjol selama beberapa bulan. Pasien sering mengeluhkan nyeri kepala,
vertigo dan gejala sensoris tapi akan dengan cepat dikaburkan oleh demensia dan
mutisme.
Sebagai aturannya, penyakit ini berkembang cepat, sehingga deteriorasi
yang jelas akan terlihat dari minggu ke minggu bahkan dari hari ke hari. Cepat
atau lambat, pada hampir semua kasus, kontraksi mioklonik pada berbagai bagian
otot akan mulai muncul, mungkin unilateral pada awalnya tapi lama-lama akan
menyeluruh. Atau meski jarang, mioklonus tidak akan muncul sampai beberapa
minggu atau bahkan beberapa bulan setelah perubahan mental pertama.
Mioklonus ini berhubungan dengan respon kejut yang nyata, terutama pada suara
keras. Pada sebagian kecil pasien, renjatan mioklonis ini dapat dipicu oleh
stimulus sensoris mendadak (suara, cahaya terang, sentuhan). Denyutan jari
individu memang sering tapi harus dipastikan bahwa kejang yang nyata bukan
merupakan komponen penyakit. Perubahan ini akan berubah ke kondisi mutisme,
stupor dan koma, tapi kontraksi mioklonus bisa berlangsung sampai akhir. Tanda
degenerasi traktus piramidalis atau anterior horn cells, kelemahan konvergensi
dan meliri ke atas, serta tanda ekstrapiramidal juga bisa terjadi pada sebagian kecil
pasien seiring berkembangnya penyakit.
Diagnosis klinis selama kehidupan hanya bersandar terutama pada
identifikasi salah satu cluster tampilan klinis yang tipikal ini, khususnya sindrom
demensia yang unik – yang berkembang lebih cepat daripada penyakit dgeneratif
pada umumnya – digabungkan dengan mioklonus yang sensitif terhadap stimulus
dan perubahan EEG yang khas terjadi pada pasien.
Penyakit ini bisa fatal, biasanya kurang dari setahun sejak onset. Pada 10%
pasien, penyakit ini penyakit ini muncul seperti serangan stroke yang berkembang
dengan sangat cepat, dalam hitungan minggu. Pada sebagian kecil pasien,
dilaporkan ada yang bertahan dari 2 sampai 10 tahun, tapi laporan ini harus
ditelaah lagi, karena sebagian dari mereka, SSE tampaknya telah superimpose
pada Alzheimier atau Parkinson atau penyakit kronis lainnya yang menekan
penyakit prion ini.
Diagnosis Laboratorium
Pemeriksaan CSS rutin dan pemeriksaan laboratorium lainnya normal.
Pada sebagian besar pasien, pola EEGnya tampak jelas, perubahan perjalanan
penyakit dari perlambatan difus dan nonspesifik menjadi gelombang tajam dan
pelan (1 hingga 2 Hz) bertegangan tinggi nantinya tampak pada latar belakang
gelombang yang meningkat perlahan dan bertegangan rendah. Gelombang tajam
bertegangan tinggi, yang memperlihatkan periodisitas, merupakan tanda
mioklonus. Studi pencitraan otak hingga saat ini masih belum berkontribusi
banyak, tapi hingga 80% kasus tampak memperlihatkan sedikit hiperintensitas
lenticular nuclei. Yang lebih terlihat lagi adalah perubahan dalam sekuens
diffusion-weighted imaging (DWI). Segmen korteks kontinyu yang panjang,
begitu juga sebagian ganglia basalis, memperlihatkan beberapa perubahan yang
khas untuk cerebral anorexia. Menurut Shiga dan rekan, perubahan ini terjadi
pada 90 persen kasus (korteks lebih sering dibanding caudate atau lenticular
nuclei dan kadang-kadang keduanya), ini membuat tes ini jadi paling sensitif
untuk penyakit ini tapi proporsinya menurun pada pasien kami. Kerumitan
interpretasi temuan MRI pada penyakit ini telah dilaporkan dari Jepang ketika
meneliti lesi white matter pada beberapa kasus autopsi.
Sekarang ada beberapa pemeriksaan diagnostik yang dapat membantu, tapi
mereka seringnya tidak diperlukan. Hsich dan rekan menyebutkan pemeriksaan
sensitif untuk CSS – temuan menggunakan imunoasai fragmen peptida protein
otak normal, yang disebut “14-3-3”. Pemeriksaan ini berguna untuk membedakan
CJD dari penyakit demensia noninflamasi kronis lainnnya. Tapi kadang hasilnya
masih mengecewakan karena masih didapat hasil positif dan negati palsu.
Beberapa studi telah menyebutkan informasi yang berbeda mengenai tes 14-3-3
sehubungan dengan berbagai bentuk prion dan presentasi klinis yang berbeda, tapi
semuanya tampak berujung pada kesimpulan yang sama, bahwa dengan
pengulangan 3 kali nanti akan memberikan hasil positif. Selain itu, konsentrasi
enolase dan neopterin dalam CSS akan meningkat pada sebagian besar kasus, tapi
pelepasan zat ini juga ditemukan pada lesi otak lainnya, khususnya infark. Selain
itu, sejumlah tes lain juga bermunculan dari laboratorium khusus yang juga
mampu mendeteksi isoform PrPsc abnormal spesifik pada protein prion tapi masih
belum jelas aplikabilitas klinisnya.
Material tonsiler dari pasien dengan varian baru penyakit Creutzfeldt-
Jakob (penyakit sapi gila) tampak antibodi pada pengecatan terhadap protein prior
abnormal, tapi teknik ini tampaknya kurang dapat diaplikasikan untuk diagnosis
dini penyakit sporadis. Maish perlu ditentukan apakah temuan yang disebutkan
sebelumnya mengenai material prion infeksius di mukosa nasal dalam bentuk
sporadis nantinya akan terbukti memiliki nilai dalam diagnosis.
National Prion Disease Pathology Surveillance Center, yang didirikan di
Universitas Case Western Reserve, tersedia untuk membantu klinisi dengan
menyediakan pemeriksaan diagnostik spesifik gratis.
Patologi
Penyakit ini utamanya menyerang korteks serebral dan serebelar, biasanya
difus, meski pada beberapa kasus regio occipitoparietal hampir terlibat seperti
pada penelitian oleh Heidenhain. Pada penelitian oleh Brownell dan
Oppenheimer, serebelum hampir terkena seluruhnya, dengan ataxia dini dan
prominen. Degenerasi dan hilangnya sel saraf ini berhubungna dengan proliferasi
astroglial yang meningkat; studi ultrastruktural menunjukkan bahwa vakuola
mikroskopik, yang memberikan gambaran spongy pada jaringan, berlokasi dalam
proses sitoplasmik sel glia dan dendrit sel saraf. Hilangnya neuron inhibitor
tertentu pada thalamic reticular nuclei berhubungan dengan adanya mioklonus
dan gelombang tajam positif pada perekaman EEG menurut Tschampa dan rekan.
Terlepas dari fakta bahwa penyakit ini disebabkan oleh agen yang dapat
ditransmisikan, lesi ini tidak menunjukkan bukti reaksi inflamasi dan tidak ada
partikel virus yang terlihat.
Diagnosis Banding
Diagnosis sebagian besar kasus SSE tidaklah sulit jika telah didapati
mioklonus dan progresivitas penyakit telah terdeteksi. Namun, seringnya kita
dikejutkan oleh kasus tipikal yang ternyata merupakan penyakit lain. Intoksikasi
litium, ensefalopati Hashimoto, penyakit Whipple, limfoma intravaskuler, dan
meningitis karsinomatus – semuanya ditandai dengan mioklonus dan demensia –
dapat menyerupai CJD pada minggu-minggu pertama penyakit. Sebaliknya,
perubahan mental dini pada SSE dapat disalahartikan sebagai reaksi emosional
atipikal atau yang tidak biasanya intens, sebagai salah satu psikosis mayor,
sebagai bentuk penyakit Alsheimer yang tidak biasa, dengan mioklonus atau
penyakit badan Lewy. Terlepas dari penetapan CJD sebagai demensia progresif,
kemiripan dengan Alzheimer yang berkembang cepat juga tidak jauh beda. Selai
itu, diagnosis akan sulit pada pasien yang menderita pusing, gangguan gait,
diplopia, atau gangguan visual hingga gambaran klinis yang berubah dengan cepat
mengklarifikasi masalah ini. Subacute sclerosing panencephalitis, pada bentuknya
yang biasa, dapat menyerupai CJD, tapi SSP merupakan penyakit yang sering
pada anak atau dewasa muda, dan pada CSS akan tampak peningkatan gamm
globulin (IgG), sementara CJD seringnya di usia pertangahan dan pralansia,
sementara pada CSS normal-normal saja. Limbic-brainstem-cerebellar
encephalitis pada pasien dengan tumor dan demensia AIDS juga bisa jadi
diagnosis banding. Lipidosis serebral pada anak-anak dan dewasa muda juga
dapat meninmbulkan kombinasi mioklonus dan demensia, tapi perjalanan
klinisnya sangatlah kronis dan ada perubahan retina yang tidak tampak pada SSE.
Konvulsi yang nyata sebaiknya langsung diarahkan ke diagnosis lain.
Manajemen
Tidak ada terapi spesifik yang diketahui. Agen antiviral tidaklah efektif.
Dalam sudut pandang kemampuan transmisi dari manusia ke primata dan secara
iatrogenik dari orang ke orang dengan material terinfeksi, beberapa langkah harus
ditempuh secara medis untuk menangani hal ini. Ruang isolasi khusus juga
diperlukan dan kaluarga pasien yang terkena dan staf perawat harus diyakinkan
bahwa kontak ringan tidak akan berisiko, tapi masih ada ketidakpastian dalam hal
ini. Agen yang dapat ditransmisikan ini tahan terhadap pemanasan, terapi dengan
formalin dan alkohol, dan radiasi ultraviolet dapat menginaktivasi tapi melalui
autoklaf pada suhu 132OC pada 15 lb/in2 selama 1 jam atau dengan imersi selama
1 jam dalam 5% sodium hipoklorite (pemutih rumah tangga). Pekerja yang
terpapar material infeksi (tukang daging, petugas kesehatan) harus mencuci
tangan dengan baik menggunakan sabun biasa. Jarum, benda pecah belah,
eketroda jarum, dan peralatan lain harus ditangani dengan hati-hati dan
dibersihkan dengan disinfektan dan diautoklaf atau diinsinerasi. Tindakan biposi
otak atau otopsi memerlukan sejumlah persiapan yang harus dipatuhi,
sebagaimana dijelaskan oleh Brown. Yang jelas, pasien yang diketahui mengidap
demensia tidak boleh jadi donor organ untuk transplantasi atau transfusi darah.
Sindrom Gerstmann-Straussler-Scheinker
Ini merupakan penyakit familial kuat yang langka yang diturunkan sebagai
sifat dominan autosom. Penyakit ini timbul mendadak pada pertengahan
kehidupan dan berkembang secara kronis (durasi rata-rata 5 tahun). Ciri utamanya
adalah ataxia serebelar progresif, tanda traktus kortikospinalis, disartria dan
nistagmus. Demensia sering terjadi tapi biasanya relatif ringan.
Disestesi dan kelemahan tungkai proksimal merupakan tanda awal
penyakit ini sebagaimana dijelaskan oleh Arata dan rekan. MRInya biasanya
normal, seiring progresi penyakit, bisa ditemukan atrofi generalisata.
Ada perubahan spongiform yang khas pada jaringan otak seperti pada
CJD. Jairngan otak pasien dengan penyakit ini, ketika diinokulasikan ke
simpanse, akan menimbulkan SSE. Studi genetik molekuler pada anggota
keluarga yang terkena menunjukkan adanya mutasi gen protein prion. Sindrom ini
merupakan subset familial SSE yang kecil, dan dari tipe dengan progresivitas
lambat.
Fatal Familial Insomnia
Ini merupakan penyakit familial lain yang langka dalam kelompok SSE.
Ditandai dengan insomnia berat, overaktivitas simpatetik, dan demensia, yang
berujung pada kematian dalam 7 hingga 15 bulan. Perubahan patologinya, yang
meliputi hilangnya neuron dan gliosis, seringnya ditemukan di medial thalamic
nuclei. Studi pada sebagian keluarga menunjukkan adanya mutasi gen protein
prion dan material otak ditemukan mengandung bentuk gen yang resisten terhadap
protease. Transmisi penyakit melalui inokulasi material otak yang terinfeksi maish
belum tercapai.
Kuru
Penyakit ini eksklusif terjadi diantara penduduk Fore Papua Nugini. Ini
merupakan infeksi lambat pertama yang ditemukan pada manusia dan disebabkan
oleh agen yang ditransmisikan secara tidak konvensional. Secara klnis, penyakit
ini menimbulkan ataxia serebelar progresif dan afebris, dengan abrnormalitas
pergerakan ekstraokuler, kelemahan yang berujung ke imobilisasi, inkontinensia
pada tahap akhir, dan kematian dalam 3 hingga 6 bulan semenjak onset. Pada
beberapa kasus, kadang menyerupai varian ataxia CJD (Brownell-Oppenheimer).
Kemiripan epidemiologi dan patologi yang menonjol antara kuru dan scrapie
dijelaskan oleh Hadlow pada thaun 1959. Dia menyebutkan bahwa mungkin
untuk mentransmisikan kuru pada primata. Hal ini tercapai pada tahun 1966 oleh
Gajdusek dan rekan, inokulasi pada simpanse dengan material otak manusia yang
terkena penyakit ini menimbulkan gejala mirip kuru pada ismpanse setelah latensi
18 hingga 36 bulan. Sejak saat itu, penyakit ini ditransmisikan dari satu simpanse
ke simpanse lainnya menggunakan jaringan neural atau nonneural. Berdasarkan
penelitian Prusiner, secara histologi didapatkan hilangnya neuron tanpa disertai
proses inflamasi dan juga ada perubahan spongiform diseluruh otak, tapi
utamanya di korteks serebelar, dengan proliferasi astroglia dan plak stelat periodik
pada materail yang menyerupai amilodi dan positif pada pemeriksaan asam Schiff
(plak kuru). Namun agen yang dapat ditransmisikan ini masih belum dapat
divisualisasikan.
Kuru perlahan-lahan mulai menghilang, mungkin karena dihentikannya
kanibalisma ritual yang merupakan metode transmisi penyakti ini. Pad aritual ini,
jaringan otak yang terinfeksi diingesti dan digosok-gosokkan pada tubuh kerabat
korban (wanita atau anak yang masih muda), sehingga agen akan terabsorbsi
melalui konjungtiva, membran muosa dan abrasi kulit.