Download - Case Tipus
BAB I
PENDAHULUAN
Selama kehamilan, saluran kemih mengalami perubahan morfologi dan
fisiologi. Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi merupakan
predisposisi terjadinya retensi urine satu jam pertama sampai beberapa hari post
partum. Perubahan ini juga dapat memberikan gejala dan kondisi patologis yang
mungkin memberikan dampak pada ibu. 1,2,3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
RETENSI URINE POST PARTUM
Epidemiologi
Salah satu komplikasi umum yang terjadi setelah proses persalinan, baik persalinan
pervaginam atau sectio caesarea adalah retensi urin post partum. Pada tahun 1998, dr. Kartono
dkk dari FKUI-RSCM Jakarta melansir data bahwa terdapat 17,1% kejadian retensi urin pada ibu
melahirkan yang telah dipasang kateter selama enam jam dan 7,1% untuk yang dipasang selama
24 jam pasca operasi section caesarea. Yip SK (Hongkong, 1997) melaporkan terdapat angka
14,6% untuk kasus retensi urin postpartum pervaginam.1 Dr. Pribakti B. dari FK Universitas
Lambung Mangkurat/RSUD Ulin Banjarmasin mencatat, bahwa sepanjang tahun 2002-2003
terdapat sebelas kasus retensi urin post partum dari 2850 kasus (0.38%) yang terdata di RSUD
Ulin Banjarmasin, dengan rincian empat kasus berada di antara kelompok usia 26-30 tahun dan
paritas terbanyak adalah paritas satu (enam kasus). Selain itu, delapan kasus terjadi pada pasien
persalinan pervaginam, dua kasus pada vakum ekstraksi, dan satu kasus pada sectio caesarea.
Data lain datang dari Andolf dkk (1.5%) dan Kavin G. dkk (0.7%).
Anatomi
a. Traktus Urinarius Bagian Bawah4,5,6
Kandung kemih merupakan suatu kantung muskulomembranosa tempat penampungan
urin yang terbentuk dari empat lapisan; serosa, muskuler, submukosa dan mukosa. Secara
anatomis kandung kemih terbagi menjadi dua bagian besar yaitu detrusor (dasar kandung kemih)
dan trigonum (badan kandung kemih).
Gambar 1. Otot-otot vesika urinaria
Detrusor (lapisan muskuler) terdiri dari tiga lapis otot polos yang secara acak bersilangan
satu dengan yang lainnya sehingga merupakan suatu unit fungsional yang berfungsi dalam
peregangan pasif (saat terdapat peningkatan tekanan secara minimal) ataupun dalam kontraksi
kandung kemih. Di leher kandung kemih, otot polos tersusun sirkuler sehingga bertindak sebagai
suatu sfingter fungsional. Trigonum merupakan area segitiga di bagian inferior kandung kemih
yang dibatasi di bagian superior dan lateral oleh orificium ureter serta di bagian inferior oleh
orificium uretra internal. Trigonum bagian dalam merupakan kelanjutan dari otot polos detrusor;
sementara trigonum superfisial merupakan kelanjutan dari otot-otot ureter. Pada wanita, panjang
uretra kurang lebih 4 cm. Terdiri dari tiga lapisan; mukosa, submukosa dan lapisan otot. Lapisan
otot terdiri dari dua lapisan otot polos yang berjalan longitudinal pada bagian dalam yang
merupakan sambungan dari otot kandung kemih dan membentuk sfingter uretra involunter. Di
luar lapisan ini terdapat lapisan otot lurik (volunter) yang berjalan secara sirkuler pada
1/3 tengah uretra.
b. Sfingter Uretra4,5,6
Secara tradisional uretra mempunyai dua sfingter yang berbeda, internal dan eksternal atau
rhabdosphincter. Sfingter internal bukanlah sfingter anatomis murni. Istilah tersebut ditujukan
untuk paut leher kandung kemih dan uretra proksimal, dibentuk oleh susunan sirkuler jaringan
ikat dan serabut otot polos yang meluas dari kandung kemih. Area ini merupakan suatu sfingter
fungsional karena akan terjadi suatu peningkatan progresif tonus progresif seiring dengan
pengisian kandung kemih, sehingga tekanan uretra menjadi lebih besar dari
tekanan intravesikal. Myers dan rekannya menyatakan bahwa sfingter uretra eksternal dari otot
lurik tersebut tidak membentuk suatu pita yang berjalan sirkuler tetapi mempunyai serabut yang
berjalan ke atas menuju dasar kandung kemih. Sfingter ini bekerja di bawah kontrol volunter
dengan proporsi serabut slowtwitch yang cukup besar untuk suatu kompresi tonik yang terus
menerus (steady) dalam uretra.
c. Anatomi Dasar Panggul4,5,6
Dasar panggul merupakan massa otot yang meliputi celah dasar tulang pelvis. DeLancey's
membagi dasar panggul menjadi tiga lapisan utama (dari dalam hingga keluar) :
· endopelvic fascia,
· otot levator ani
· dan sfingter anal eksternal
serta lapisan keempat (otot genital eksternal) yang berhubungan dengan fungsi seksual.
Otot-otot pelvis memegang peranan penting dalam menyokong kandung kemih.Otot-otot ini
tidak hanya harus mampu berkontraksi secara volunter (dan cepat pada satu waktu) tetapi juga
harus dapat mempertahankan tonus istirahat secara berkelanjutan. Penyokong organ pelvis yang
utama ada pada otot levator ani. Saat otot levator ani berkontraksi, leher kandung kemih
terangkat dan membantu menahan gaya yang timbul dari setiap peningkatan tekanan
intraabdominal atau intrauretra. Fascia,seperti pelvic dan endopelvic fascia, membantu
mempertahankan sokongan kandung kemih. Otot levator ani dapat dibagi menjadi 4 regio sesuai
dengan lokasi
anatomisnya :
· pubococcygeus (otot pubovisceral),
· iliococcygeus,
· pubovaginalis
· serta puborectalis puboanalis.
Kontinensia dipertahankan terutama oleh serabut medial levator ani. Pada serabut otot ini
terdapat kombinasi serabut slow- dan fast-twitch. Serabut slowtwitch berfungsi dalam respon
postural sedangkan fast-twitch diperlukan untuk stimulus yang bersifat mendadak. Otot lain yang
juga terdapat dalam diafragma pelvis adalah obturator internis dan piriformis.
d. Struktur dan Fungsi Mekanisme Kontinen pada Wanita4,5,6
Pada wanita, tiga faktor penting diperlukan dalam mempertahankan kontinen adalah :
1) Sokongan dasar panggul (endopelvic fascia dan vagina bagian anterior) yang adekuat
2) Fungsi sfingter yang baik
3) Dipertahankannya posisi bagian proksimal uretra intra abdominal
Selama peningkatan tekanan intra abdominal, kontinen dipertahankan dengan adanya penekanan
organ–organ pelvis ke bawah menuju endopelvic fascia, serta adanya distribusi peningkatan
tekanan intraabdominal ke bagian proksimal uretra intraabdominal. Epitelium uretra yang
sensitif terhadap estrogen dipercayai juga membantu mempertahankan kontinensia wanita
dengan membentuk lapisan mukosa yang tebal.
e. Neuroanatomi Traktur Urinarius Bagian Bawah4,5,6
Persyarafan traktus urinarius bagian bawah berasal dari tiga sumber :
1) Sistem saraf parasimpatis (S2-S4) – n pelvikus
2) Sistem saraf simpatis (T11-L2) – n. hipogastrikus dan rantai simpatis
3) Sistem saraf somatis atau volunter (S2-S4) – n. pudendus
Sistem saraf pusat mengintegrasikan kontrol traktus urinarius. Pusat miksi yang berasal dari
pontine memperantarai relaksasi spingter dan kontraksi detrusor secara sinkron; sementara lobus
frontalis, basal ganglia dan cerebellum mengatur efek inhibisi dan fasilitasi. Penyimpanan urin
dimediasi oleh relaksasi detrusor dan penutupan sfingter. Relaksasi detrusor terjadi karena
inhibisi sistim saraf pusat terhadap tonus parasimpatis, sementara itu penutupan spingter
dimediasi oleh peningkatan refleks aktivitas alfa-adrenergik dan somatis. Pengeluaran urin
terjadi saat detrusor berkontraksi, dimediasi oleh sistem saraf parasimpatis, yang disertai dengan
relaksasi sfingter.
f. Neuroanatomi Kandung Kemih - Sistem Eferen4,5,6
Suplai saraf parasimpatis eferen berasal dari nukleus detrusor yang berada di intermediolateral
gray matter medulla spinalis S2-S4. Eferen sacral keluar sebagai suatu serabut preganglionik di
ventral roots dan berjalan melalui saraf pelvikus (nervi erigentes) ke ganglia dekat atau dalam
otot detrusor untuk memberikan input eksitasi kepada kandung kemih. Setelah impuls tiba di
ganglia parasimpatis, impuls akan berjalan melalui postganglionik yang pendek ke reseptor otot
polos kolinergik, menyebabkan timbulnya kontraksi kandung kemih. Syaraf simpatis eferen
mempersyarafi kandung kemih dan uretra dimulai dari intermediolateral gray column T11 – L2
dan memberikan input inhibisi ke kandung kemih. Impuls simpatis ini berjalan dalam rentang
pendek ke ganglia simpatis paravertebral lumbal, kemudian ke sepanjang syaraf postganglionic
yang panjang dalam saraf hipogastrik untuk bersinaps di reseptor alpha dan beta adrenergik
dalam kandung kemih dan uretra. Stimulasi simpatis akan memfasilitasi penyimpanan urin di
kandung kemih dalam suatu keadaan yang terkoordinasi karena lokasi reseptor adrenergik yang
strategis. Reseptor beta adrenergik terutama terletak di bagian superior kandung kemih dan
stimulasinya menyebabkan relaksasi otot polos. Reseptor alpha adrenergik mempunyai densitas
yang lebih tinggi di dekat dasar kandung kemih dan uretra prostatik, sehingga stimulasinya akan
menyebabkan kontraksi otot polos dan meningkatkan tahanan outlet kandung kemih dan uretra
prostatik.
g. Neuroanatomi Kandung Kemih - Sistem Aferen4,5,6
Saraf-saraf aferen yang penting untuk menstimulasi proses berkemih adalah saraf-saraf yang
melewati medulla spinalis bagian sakral melalui syaraf pelvikus. Saraf aferen ini mencakup dua
tipe yaitu serabut kecil bermielin (Adelta) dan serabut tidak bermielin (serabut C). Serabut A
delta berespon secara berjenjang terhadap distensi kandung kemih dan hal ini penting untuk
proses berkemih yang normal. Serabut C (silent fibers) tidak berespon terhadap distensi kandung
kemih sehingga tidak penting untuk proses berkemih normal, tetapi akan menampakkan firing
spontan bila diaktivasi melalui rangsangan iritasi kimia atau suhu dingin pada dinding kandung
kemih.
h. Persyarafan Sfingter Uretra4,5,6
Sfingter uretra eksternal mempunyai persarafan somatik yang menyebabkan sfingter dapat
tertutup sesuai keinginan. Saraf somatik eferen berasal dari nukleus pudendal di segmen sacral
(S2 sampai S4) yang disebut dengan Onufrowicz’s nucleus (Onuf’s). Saraf eferen ini lalu
berjalan melalui saraf pudendal ke paut neuromuskuler serabut otot lurik di sfingter uretra
eksternal. Sfingter uretra internal bekerja di bawah kontrol sistem otonom. Area ini mempunyai
sejumlah reseptor alfa simpatis, yang jika distimulasi akan menyebabkan timbulnya kontraksi.
i. Pengaruh Susunan Syaraf Pusat pada Traktus Urinarius Bagian Bawah4,5,6
Fasilitasi dan inhibisi sistim syaraf otonom dilakukan dibawah control susunan saraf pusat.
Denny-Brown dan Robertson menduga bahwa proses berkemih terutama dimediasi oleh reflex
miksi sakral. Menurut teorinya, jalur sistim syaraf yang menurun (descending) akan memodulasi
miksi ini. Barrington, Bradley dan de Groat menduga bahwa impuls fasilitasi ke kandung kemih
berasal dari regio di anterior pons yang disebut dengan “Barrington’s center”. Carlsson
memberikan bukti bahwa area mesencephalic pontine ini juga memegang peranan penting dalam
mengkoordinasikan aktivitas detrusor dan sfingter. Stimulasi Barrington’s center secara
signifikan akan menurunkan aktivitas EMG di sfingter lurik periuretral dan menimbulkan
kontraksi kandung kemih. Dari penelitian transeksi kucing diduga efek korteks serebral pada
proses berkemih adalah inhibisi. Hal ini juga terjadi pada basal ganglia dan berhubungan dengan
keadaan klinis detrusor hyperreflexia pada pasien dengan disfungsi basal ganglia (contohnya
penyakit Parkinson). Cerebellum juga diduga mempertahankan tonus otot-otot dasar panggul dan
mempengaruhi koordinasi antara relaksasi otot lurik periuretral dan pengosongan kandung
kemih.
Fisiologi Berkemih Normal
Berkemih terdiri dari dua fase : fase pengisian dan pengosongan. Fase pengisian terjadi saat
orang tidak mencoba melakukan berkemih. Fase pengosongan terjadi saat pasien berusaha untuk
melakukan berkemih atau diminta untuk berkemih.4,7,8,9 Transpor urin merupakan hasil gaya pasif
dan aktif. Gaya pasif ditimbulkan oleh tekanan filtrasi ginjal. Tekanan proksimal tubular yang
normal adalah 14 mmHg, sedangkan tekanan pelvis ginjal adalah 6,5mmHg, yang sedikit
melebihi tekanan ureter dan kandung kemih saat istirahat. Gaya aktif merupakan hasil gaya
peristaltic calyces, pelvis ginjal dan ureter. Peristaltik dimulai dengan aktivitas elektris sel pacu
di bagian proksimal traktus pengumpul urin (collecting urinary tract). 4,7,8,9 Produksi urine
berjalan secara tetap sekitar 15 tetes per menit (0,5– 1cc/KgBB/jam). Pengisiannya berjalan
konstan kecuali bila ada iritan kandung kemih yang akan meningkatkan produksi urin. Untuk
fase pengisian, sfingter eksternal memegang peranan penting. Kontraksi volunter sfingter
eksternal disebut dengan guarding mechanism, karena mekanisme ini menginterupsi berkemih
atau mencegah keluarnya urin pada saat terjadi peningkatan cepat tekanan intra abdominal.
Peningkatan tekanan intra abdominal akan menyebabkan terjadinya kontraksi otot dasar panggul
untuk mengatasi peningkatan tekanan dan mempertahankan kondisi kontinen. Impuls aferen dari
kontraksi otot dasar panggul, secara refleks menginhibisi kandung kemih (guarding reflex).
Impuls aferen dari syaraf pelvis dan pudendal akan mengaktivasi pontine center, meningkatkan
kontraksi sfingter dan menekan impuls parasimpatis ke detrusor. Selama fase ini, tekanan
intravesikal yang rendah dipertahankan oleh peningkatan progresif stimulasi simpatis dari
reseptor beta yang berlokasi di badan kandung kemih sehingga timbul relaksasi kandung kemih
dan stimulasi reseptor alfa yang berada di dasar kandung kemih dan uretra yang menyebabkan
kontraksi pada area tersebut. 4,7,8,9 Selama proses pengisian, terjadi peningkatan progresif
aktivitas EMG sfingter uretra. Peningkatan aktivitas ini juga akan secara refleks menghambat
kontraksi detrusor. Akumulasi urin akan mendistensikan dinding kandung kemih secara pasif
dengan penyesuaian tonus sehingga tegangan tidak akan meningkat secara cepat hingga
terkumpul kurang lebih 150ml. Reseptor regangan di kandung kemih lalu memberikan sinyal
pada otak yang memberikan suatu impuls urgensi (sensasi pertama berkemih). Otot detrusor
tetap tidak berkontraksi dan otot dasar panggul mempertahankan tonus istirahat normalnya. Bila
tercapai volume urin 200-300 ml, pada kandung kemih dengan compliance yang normal, tekanan
tetap rendah akan tetapi terjadi sensasi urgensi yang lebih kuat karena peningkatan aktivasi
reseptor regangan. Otot detrusor dan dasar panggul tetap tidak mengalami perubahan. Bila
pengisian berlanjut melewati batas kemampuan viskoelastik kandung kemih (volume urin 400
550ml), akan timbul kenaikan tekanan intravesikal yang progresif. Peningkatan ini akan
menstimulasi reseptor regangan di dinding detrusor, menghambat impuls ke segmen sacral
melalui saraf pelvis. Badan-badan sel parasimpatis distimulasi dan impuls eferen akan berjalan
pada syaraf pelvis ke dinding kandung kemih sehingga akan menimbulkan kontraksi otot
detrusor. Urgensi berkemih yang lebih kuat akan timbul dan otak akan memerintahkan seseorang
untuk pergi ke toilet, melepas pakaian dan duduk atau berdiri di toilet. Refleks regangan otonom
(refleks berkemih) ini memberikan kontrol kandung kemih di tingkat spinal.4,7,8,9 Berkemih
merupakan suatu peristiwa neuromuskular yang dimediasi oleh stimulasi parasimpatis sehingga
timbul kontraksi “phasic” otot detrusor. Kontraksi detrusor ini kemudian akan menyebabkan
relaksasi uretra. Saat pasien diminta untuk berkemih (fase pengosongan) terjadi penurunan
aktivitas EMG dan tekanan sfingter uretra. Tidak terdapat refleks inhibisi ke pusat berkemih di
sakral dari mekanisme sfingter yang kemudian diikuti dengan kontraksi detrusor. Sfingter uretra
tetap terbuka selama berkemih, dan tidak terjadi peningkatan tekanan intra abdominalselama
berkemih. 4,7,8,9
Pada orang muda, biasanya tidak terdapat residual urin setelah berkemih (Postvoid Residual),
akan tetapi walaupun begitu volume pasca berkemih (PVR) akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Volume PVR yang normal bervariasi, akan tetapi sebagian praktisi
menganggap bahwa volume PVR 5-50ml di kandung kemih dianggap sesuatu yang normal.
Berkemih dapat terjadi secara volunter sebelum kandung kemih penuh dan dapat juga diinhibisi
saat kandung kemih penuh oleh inhibisi suprapontine. 4,7,8,9 Walaupun proses berkemih dan
penyimpanan urine merupakan fungsi utama sistem syaraf otonom, akan tetapi hal tersebut
berada di bawah kontrol volunteer suprapontine cerebral centers, sehingga kelompok otot lain
(lengan, kaki, tangan) dapat diintegrasikan untuk membantu proses berkemih. 4,7,8,9
Definisi
Retensi urin menurut Stanton adalah ketidakmampuan berkemih selama 24 jam yang
membutuhkan pertolongan kateter, karena tidak dapat mengeluarkan urin lebih dari 50%
kapasitas kandung kemih. Dr. Basuki Purnomo dari FK Unbraw mengatakan, bahwa retensi urin
adalah ketidakmampuan buli-buli (kandung kencing) untuk mengeluarkan urin yang telah
melampaui batas maksimalnya. Pada ibu melahirkan, aktivitas berkemih seyogyanya telah dapat
dilakukan enam jam setelah melahirkan (partus) atau pasca pelepasan keteter. Namun apabila
setelah enam jam tidak dapat berkemih, atau dapat berkemih spontan dengan residu > 100 ml,
maka dikatakan sebagai retensi urin postpartum.1,3,7 Pendapat dari Psyhyrembel menyatakan,
bahwa retensi urin postpartum adalah ketidakmampuan berkemih secara normal 24 jam setelah
melahirkan (ischuria puerperalis). 1,3,7
Etiologi
Berkemih yang normal melibatkan relaksasi uretra yang diikuti dengan kontraksi otot-otot
detrusor. Pengosongan kandung kemih secara keseluruhan dikontrol di dalam pusat miksi yaitu
di otak dan sakral. Terjadinya gangguan pengosongan kandung kemih akibat dari adanya
gangguan fungsi di susunan saraf pusat dan perifer atau didalam genital dan traktus urinarius
bagian bawah.1,8,9 Pada wanita, retensi urine merupakan penyebab terbanyak inkontinensia yang
berlebihan. Dalam hal ini terdapat penyebab akut dan kronik dari retensi urine.1,3,7
a) Retensi urin akut7,9,11,12
Merupakan retensi urine yang berlangsung 24 jam post partum. Retensi urine akut lebih banyak
terjadi akibat kerusakan yang permanen khususnya gangguan pada otot detrusor berupa kontraksi
dari otot detrusor kurang atau tidak adekuat dalam fase pengosongan kandung kemih. Adanya
obstruksi pada uretra, karena overaktivitas otot uretra atau karena oklusi mekanik. Kerusakan
juga bisa pada ganglion parasimpatis dinding kandung kemih. Pasien post operasi dan post
partum merupakan penyebab terbanyak retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari
trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural
anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi
episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya
dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu
dan drainase kandung kemih yang adekuat. Retensio urine biasanya disebabkan oleh trauma
kandung kemih. Nyeri atau interfensi sementara pada persyarafan kandung kemih, nyeri sering
mengecilkan usaha volunter yang diperlukan untuk memulai urinasi/ miksi. Tekanan intra
abdominal berkurang. Otot-otot perut masih lemah,oedem dari uretra,dinding kandung kemih
kurang sensitif. Pada keadaan ini, kandung kemih sangat mengembang ketika keinginan dan
kemampuan untuk berkemih sangat rendah. Walaupun sejumlah kecil urine dapat
dikeluarkan,kandung kemih banyak mengandung urine residu.
1) Retensio urin pasca persalinan pervaginam
Trauma intrapartum menyebabkan udem dan hematom jaringan, selain itu penekanan yang lama
bagian terendah janin terhadap periuretra menyebabkan gangguan kontraksi otot detrussor,
sehingga terjadi ekstravasasi ke otot kandung kemih Nyeri karena laserasi atau episiotomi juga
menyebabkan hambatan terhadap kontraksi detrusor .
2) Retensio urin pasca seksio sesaria :
Seksio sesaria dengan riwayat partus lama menyebabkan udem dan hematom jaringan
periuretra
Nyeri luka insisi pada dinding perut menyebabkan pasien enggan mengkontraksikan otot
dinding perut guna memulai pengeluaran urin
Manipulasi kandung kemih selama seksio sesarea menyebabkan spastic sfingter uretra
Anestesi
b) Retensi urin kronik7,9,11
Merupakan retensi urin yang berlangsung > 24 jam post partum. Pada kasus retensi urine kronik,
perhatian dikhususkan untuk peningkatan tekanan intravesical yang menyebabkan reflux ureter,
penyakit traktus urinarius bagian atas dan penurunan fungsi ginjal.
Faktor risiko7,10,11,13
Riwayat kesulitan berkemih
Primipara
Pasca anestesi blok epidural, spinal, atau pudenda
Persalinan yang lama dan/ atau distosia bahu
Kala II lama
Trauma perineal yang berat seperti sobekan para uretral, klitoris, episiotomy yang besar,
rupture grade 2 atau grade 3, oedem yang signifikan.
Kateterisasi selama atau setelah kelahiran.
Perubahan sensasi setelah berkemih.
Pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap.
Patofisiologi1,3,7, 10,13
Retensi postpartum paling sering terjadi. Setelah terjadi kelahiran pervaginam spontan, disfungsi
kandung kemih terjadi 9-14 % pasien; setelah kelahiran menggunakan forcep, angka ini
meningkat menjadi 38 %. Retensi ini biasanya terjadi akibat dari disinergis antara otot detrusor-
sphincter dengan relaksasi uretra yang tidak sempurna yang kemudian menyebabkan nyeri dan
edema. Sebaliknya pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya setelah sectio
cesaria biasanya akibat dari tidak berkontraksi dan kurang aktifnya otot detrusor. Pada masa
kehamilan terjadi peningkatan elastisitas pada saluran kemih, sebagian disebabkan oleh efek
hormon progesteron yang menurunkan tonus otot detrusor. Pada bulan ketiga kehamilan, otot
detrusor kehilangan tonusnya dan kapasitas vesika urinaria meningkat perlahan-lahan.
Akibatnya, wanita hamil biasanya merasa ingin berkemih ketika vesika urinaria berisi 250-400
ml urin. Ketika wanita hamil berdiri, uterus yang membesar menekan vesika urinaria. Tekanan
menjadi dua kali lipat ketika usia kehamilan memasuki 38 minggu. Penekanan ini semakin
membesar ketika bayi akan dilahirkan, memungkinkan terjadinya trauma intrapartum pada uretra
dan vesika urinaria dan menimbulkan obstruksi. Tekanan ini menghilang setelah bayi dilahirkan,
menyebabkan vesika urinaria tidak lagi dibatasi kapasitasnya oleh uterus. Akibatnya vesika
urinaria menjadi hipotonik dan cenderung berlangsung beberapa lama.
Gambar 2. Penekanan bladder oleh bagian terbawah janin
Gambaran Klinis7,10,11
Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya :
Kesulitan buang air kecil;
Pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus;
Keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih.
Rasa tidak puas setelah berkemih.
Kandung kemih terasa penuh ( distensi abdomen).
Kencing menetes setelah berkemih.
Sering berkemih dengan volume yang kecil.
Nokturia lebih dari 2-3 kali yang tidak berhubungan dengan pemberian ASI.
Keterlambatan berkemih lebih dari 6 jam setelah persalinan.
Kesulitan dalam memulai berkemih setelah persalinan.
Letak fundus uteri tinggi atau tidak berpindah dengan kandung kenih yang teraba
( terdeteksi melalui perkusi) dan kemungkinan sakit perut bagian bawah.
Diagnosis
Pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah, maka anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis, pemeriksaan neurologik, jumlah urine yang
dikeluarkan spontan dalam 24 jam, pemeriksaan urinalisis dan kultur urine, pengukuran volume
residu urine, sangat dibutuhkan. 1,7
a) Pemeriksaan subyektif, yaitu mencermati keluhan yang disampaikan oleh pasien yang digali
melalui anamnesis yang sistematik. Dari pemeriksaan subyektif biasanya didapat keluhan seperti
nyeri suprapubik, mengejan karena rasa ingin kencing, serta kandung kemih berasa penuh. 1,7
b) Pemeriksaan obyektif, yaitu melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien untuk mencari data-
data yang objektif mengenai keadaan pasien. Dari pemeriksaan obyektif dengan metode palpasi
atau perkusi, biasanya ditemukan massa di daerah suprasimfisis dengan perkusi yang pekak
karena kandung kemih yang terisi penuh dari suatu retensi urin. Vesika urinaria biasanya dapat
teraba bila terisi > 200 ml. 1,7
c) Pemeriksaan penunjang, yaitu melakukan pemeriksaan-pemeriksaanm laboratorium, radiologi
atau imaging (pencitraan), uroflometri, atau urodinamika, elektromiografi, endourologi, dan
laparoskopi.
Pada pemeriksaan laboratorium paling sering digunakan kateter dan uroflowmetri, yaitu untuk
mengukur volume dan residu urin pada kandung kemih. Dikatakan normal jika volume residu
urine adalah kurang atau sama dengan 50 ml, sehingga jika volume residu urine lebih dari 200
ml dapat dikatakan abnormal dan biasa disebut retensi urine. Namun volume residu urine antara
50-200ml menjadi pertanyaan, sehingga telah disepakati bahwa volume residu urine normal
adalah 25% dari total volume vesika urinaria. 1,7
Karena terjadinya retensi urine yang berkepanjangan, maka kemampuan elastisitas vesica
urinaria menurun, dan terjadi peningkatan tekanan intra vesika yang menyebabkan terjadinya
reflux, sehingga penting untuk dilakukan pemeriksaan USG pada ginjal dan ureter atau dapat
juga dilakukan foto BNO-IVP 14,15
Selain itu juga dapat digunakan voiding cystourethrografi untuk melihat gambaran radiografi
kandung kemih dan uretra. 14,15 Voiding cystourethrografi merupakan teknik atau prosedur
pemeriksaan menggunakan sinar X pada vesika urinaria dan uretra dengan memasukkan media
kontras untuk menegakkan diagnosa. Pasien tidak perlu persiapan khusus, hanya perlu
mengosongkan buli-bulinya terlebih dahulu sebelum pemasangan kateter dilakukan. 14,15
Selain itu dilakukan juga persiapan alat dan bahan berupa :
1. Media kontras iodium 50 cc
2. Larutan NaCl fisiologis sebanyak 150-250cc
3. Folley cateter 8 atau 10 G
4. Spoit 50 cc
5. Needle 19 G
6. Pesawat sinar X
7. Kaset dan film 24 x 30
Setelah semua tersedia, buli-buli diisi kontras dengan kepekatan 15%- 20% dalam larutan NaCl
fisiologis sebanyak 150-250cc. kontras dimasukkan menggunakan kateterisasi ( dengan balon
(folley)/ tanpa balon, ukuran tergantung keadaan, biasanya 16 atau 18 F), transuretra atau punksi
supra pubik. Kemudian di foto pada saat miksi untuk melihat struktur uretra dan
setelah miksi untuk melihat adanya urine sisa dalam vesika urinaria. 14,15
Penatalaksanaan1,7,10,11
Ketika kandung kemih menjadi sangat menggembung diperlukan kateterisasi, kateter Foley
ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam untuk menjaga kandung kemih tetap kosong
dan memungkinkan kandung kemih menemukan kembali tonus normal dan sensasi.
Obat-obatan dapat digunakan :
a) Obat yg bekerja pada sistem parasimpatis. Efek kolinergik bekerja di ganglion atau di organ
akhir tetapi lebih banyak di sinapnya, yaitu yang disebut dengan efek muskarinik. Contohnya
betanekhol. Obat yang bekerja pada sistem simpatis yang sering digunakan adalah antagonis
reseptor alpha yang menyebabkan relaksasi spingter uretra
b) Obat yang bekerja pada otot polos mempengaruhi kerja otot-otot detrusor seperti
Prostaglandin yang merupakan reseptor asetilkolin muskarinik dan merangsang kontraksi
detrusor.
c) Kecemasan dipikirkan mempunyai peranan dalam kesulitan berkemih setelah pembedahan.
Benzodiazepine dapat menolong berkaitan dengan (anxiolisis dan efek pelemas otot). Jika pasien
masih mengalami gangguan dalam berkemih dan dicurigai spasme uretra , dapat diberikan
pelemas otot seperti diazepam.
d) Antibiotik sesuai kuman dan uji resistensi. Bila dalam waktu 5 – 7 hari tidak ada perbaikan
( pasien tetap tidak bisa buang air kecil spontan), pasien dapat dipulangkan denagn memakai
kateter silikon setelah hasil kultur urin steril.
Komplikasi1,7,10,11
Pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap setelah persalinan dapat
menyebabkan komplikasi berikut :
a) Infeksi saluran kemih
b) Inkontinensia urin
c) Disfungsi Kandung kemih baik akut maupun kronik.
d) Refluks ureter
e) hidronefrosis bilateral
f) Gagal ginjal akut.
BAB III
IKHTISAR KASUS
IDENTITAS PASIEN
Identitas Istri
Nama : Ny. N
Umur : 24 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Suku : Betawi
Alamat : Bantar Gebang
Identitas Suami
Nama : Tn. W
Umur : 24 tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan : kuli bangunan
Suku : Betawi
Alamat : Bantar Gebang
Tanggal Masuk RS : 30 Januari 2012, Pkl. 11.17
No RM : 03277618
Asal Pasien : datang sendiri
I. SUBJEKTIF
Dilakukan autoanamnesis tgl 30 Januari , pukul 11.25 WIB
Keluhan Utama:
Perut membesar setelah 6 hari melahirkan
Keluhan Tambahan:
Buang air kecil tidak lampias
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke RSUD Bekasi dengan keluhan perut membesar sejak 6 hari
sebelum masuk RS setelah pasien melahirkan. Sebelumnya, pasien sedang hamil 9 bulan dan
telah melahirkan dengan bantuan bidan puskesmas 6 hari sebelum masuk rumah sakit ( 24
januari 2012). Bayi lahir hidup, jenis kelamin perempuan dengan berat badan 2900 gram apgar
score 8/9.setelah proses melahirkan anaknya pasien mengatakan bahwa bidan yang membantu
persalinan melakukan beberapa jahitan akibat robekan jalan lahir. Pasien juga mengatakan saat
proses melahirkan bayinya di puskesmas pasien sempat dipasang kateter dipuskesmas dan
setelah proses melahirkan selesai kateter dilepas. Pasien pun diperbolehkan pulang, beberapa
hari kemudian pasien mengeluh peutnya makin lama makin membesar, dan terasa sakit jika
ditekan. saat ingin buang air kecil pasien harus mengedan terlebih dahulu dan setelah buang air
kecil pasien merasa tidak lampias. Nyeri saat buang air kecil dan terdapat darah saat berkemih
disangkal oleh pasien
Riwayat Penyakit Dahulu:
Hipertensi(-), DM(-), penyakit jantung(-), asthma(-), alergi(-), kelainan darah(-)
Riwayat Penyakit Keluarga:
Hipertensi(-), DM(-), penyakit jantung(-), asthma(-), alergi(-), kelainan darah(-)
Riwayat operasi
Pasien tidak pernah dioperasi sebelumnya
Kebiasaan Hidup :
Merokok (-), Alkohol (-), minum obat – obatan, jamu & narkoba (-)
Riwayat haid
Menarche pada usia 12 tahun,
Siklus haid tidak teratur, siklus 28 hari
Lama haid 7 hari
Banyaknya : 3 kali ganti pembalut perhari
Sakit saat haid : +
HPHT : pasien lupa
Riwayat Perkawinan
Menikah 1x , umur 19 tahun
Riwayat Kehamilan dan Persalinan:
No. Lahir tahun Jenis
Persalinan
BBL Jenis
Kelamin
Usia
Sekarang
1. 24 - 1- 20012 Normal 2900 gram ♀ 6 hari
Riwayat KB
Tidak KB
Riwayat Ante Natal Care
Selama hamil periksa di puskesmas secara teratur: 10 x di puskesmas.
Menurut pasien tidak ada keluhan,kelainan dan masalah selama kehamilan
II. OBJEKTIF
A. PEMERIKSAAN UMUM
1. Tanda vital
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/70 mmHg
Nadi : 100 x/menit
Suhu : 36,0oC
RR : 16 x/mnt
2. Kepala
Mata:
i. Konjungtiva anemis (+/+)
ii. Sklera ikterik (-/-)
Gigi : dalam batas normal
THT : dalam batas normal
3. Leher: Kelenjar tiroid tidak teraba membesar, kelenjar getah bening tidak teraba
membesar.
4. Thorax:
a. Payudara : Simetris, besar normal, retraksi papil -/-
b. Jantung : BJ I,II regular, murmur (-), gallop (-)
c. Paru : Sonor, bunyi napas dasar vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-
5. Ekstremitas : Akral hangat, oedema tungkai -/-
B. PEMERIKSAAN PURPURALIS
Abdomen
Inspeksi : perut tampak buncit
Palpasi :teraba massa lunak seperti vesika urinaria, nyeri tekan (+)
Perkusi : pekak, nyeri ketok (+)
Auskultasi : Bising usus (+) 2x/menit
Genitalia eksterna
Inspeksi : tampak jahitan bekas episotomi tidak rapi dan basah, bau +, pus +, lokia
sanguinolenta, fluor -, fluksus -
Inspekulo : Tidak dilakukan
VT : Tidak dilakukan
III. LABORATORIUM
Tanggal 30 januari 2012 pukul 13: 25
Leukosit : 17200 /µl
Trombosit : 342000/µl
Hemoglobin : 6.0 g/ dl
Hematokrit : 17,8 %
IV. RESUME
Pasien Ny.N, 24 tahun, datang dengan keluhan perut membesar sejak 6 hari sebelum masuk RS
setelah pasien melahirkan. setelah proses melahirkan anaknya pasien mengatakan bahwa bidan
yang membantu persalinan melakukan beberapa jahitan akibat robekan jalan lahir. Pasien juga
mengatakan saat proses melahirkan bayinya di puskesmas pasien sempat dipasang kateter
dipuskesmas dan setelah proses melahirkan selesai kateter dilepas. Beberapa hari kemudian
pasien mengeluh perutnya makin lama makin membesar, dan terasa sakit jika ditekan. saat ingin
buang air kecil pasien harus mengedan terlebih dahulu dan setelah buang air kecil pasien merasa
tidak lampias. Nyeri saat buang air kecil dan terdapat darah saat berkemih disangkal oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
` Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/70 mmHg
Nadi : 100 x/menit
Suhu : 36,0oC
RR : 16 x/mnt
Status purpuralis
Abdomen
Inspeksi : perut tampak buncit
Palpasi :teraba massa lunak seperti vesika urinaria, nyeri tekan (+)
Perkusi : pekak, nyeri ketok (+)
Genitalia eksterna
Inspeksi : tampak jahitan bekas episotomi tidak rapi dan basah, lokia sanguinolenta,
fluor -, fluksus –, pus +
V. DIAGNOSIS
P1A0 post partus pervaginam hari 6 dengan anemia berat e.c susp late HHP +
retensio urine
VI. PENATALAKSANAAN
- Pasang dower chateter, Kateter di ugd → sudah debris 1500 cc
- Cek ulang luka hecting
- Tranfusi PRC 500 cc
- Cek Hb ulang post tranfusi
- IVFD RL / 8 jam
- Anbacim 2 X 1
- Rencana usg
Pukul 13.00 di VK
- IVFD 2 line : tangan kanan : RL 1, tangan kiri RL 2
Pukul 21.00
TD : 110/70 mmhg
N : 82 x / menit
RR : 18 x/ menit
S : 36,5 0 C
IVFD 2 line : tangan kanan : RL 1, tangan kiri tranfusi 1
FOLLOW UP
31-1-2012
S lemas, nyeri perut -
O KU/Kes : TSR/CM
TV : TD : 120/80 mmHg
S : 36,00C
N: 100 x/menit
P : 16 x/menit
Mata : Conjungtiva anemis +/+, Sklera Ikterik -/-
Thorax
Cor : BJ I-II regular, Murmur (-), Gallop(-)
Pulmo :BND Vesikuler, Ronkhi-/-, Wheezing -/-
Ekstremitas : Edema -/-, akral hangat, cappilary refill
Status Puerpuralis
I. Abdomen
Inspeksi : Perut tampak mendatar
Palpasi : Supel, NT (+)
Perkusi : NT (-), tympani
Auskultasi : BU (+) normal
II. Genitalia
Inspeksi : Terdapat jahitan bekas episotomi tidak rapih, basah, pus +
Lokia sanguinolenta
A P1A0 post partus pervaginam hari 7 dengan anemia e.c susp late HHP + retensio urine
P IVFD RL / 8 jam
Anbacim 2 x 1 gram
Rencana usg
Cek Hb post tranfusi
Metronidazole 3 x 500 mg
Becom – C 2 x 1
Besok rencana rehecting
1-2-2012
S -
O KU/Kes : TSR/CM
TV : TD : 100/70 mmHg
S : 37 n0C
N: 89 x/menit
P : 20 x/menit
Mata : Conjungtiva anemis -/-, Sklera Ikterik -/-
Thorax
Cor : BJ I-II regular, Murmur(-), Gallop(-)
Pulmo : BND Vesikuler, Ronkhi-/-, Wheezing -/-
Ekstremitas : Edema -/-, akral hangat, CPR < 2 detik
Status Puerpuralis
I. Abdomen
Inspeksi : Perut tampak mendatar
Palpasi : Supel, NT (-)
Perkusi : NT (-), tympani
Auskultasi : BU (+) normal
II. Genitalia
Inspeksi : Terdapat jahitan bekas episotomi tidak rapih, basah, pus +
Lokia sanguinolenta
Hasil laboratorium tanggal 31-1 2012 pukul 17:01
Lekosit : 1200 / ul
Hemoglobin : 8,9 g/dl
Hematokrit : 25,9 %
Trombosit : 339.000 /ul
A P1A0 post partus pervaginam hari 8 dengan anemia e.c susp late HHP + retensio urine
P becom – C 2 x 1
Metronidazole 3 x 1
Dikirim ke ok igd untuk dilakukan rehecting
Instruksi post op :
transfusi PRC 500 cc
aff tampon 24 jam post op
2-2-2012
S -
O KU/Kes : TSR/CM
TV : TD : 100/60 mmHg
S : 36,00C
N: 80 x/menit
P : 20 x/menit
Mata : Conjungtiva anemis -/-, Sklera Ikterik -/-
Thorax
Cor : BJ I-II regular, Murmur(-), Gallop(-)
Pulmo : BND Vesikuler, Ronkhi-/-, Wheezing -/-
Ekstremitas : Edema -/-, akral hangat, CPR < 2 detik
Status Puerpuralis
I. Abdomen
Inspeksi : Perut tampak mendatar
Palpasi : Supel, NT (-)
Perkusi : NT (-), tympani
Auskultasi : BU (+) normal
II. Genitalia
Inspeksi : Terdapat bekas jahitan rehecting,
Lokia sanguinolenta
A P1A0 post partus pervaginam hari 9 dengan dehisensi luka episiotomi + anemia post
rehecting hari 1
P therapi injeksi
- kalnex 3 x 1
- kaltrofen supp 3 x 1
- Aff tampon
3 -2-2012
S -
O KU/Kes : TSR/CM
TV : TD : 120/80 mmHg
S : 36,00C
N: 78 x/menit
P : 20 x/menit
Mata : Conjungtiva anemis -/-, Sklera Ikterik -/-
Thorax
Cor : BJ I-II regular, Murmur(-), Gallop(-)
Pulmo : BND Vesikuler, Ronkhi-/-, Wheezing -/-
Ekstremitas : Edema -/-, akral hangat, CPR < 2 detik
Status Puerpuralis
I. Abdomen
Inspeksi : Perut tampak mendatar
Palpasi : Supel, NT (-)
Perkusi : NT (-), tympani
Auskultasi : BU (+) normal
II. Genitalia
Inspeksi : Terdapat jahitan bekas rehecting
Lokia sanguinolenta
Hasil laboratorium tanggal 02-2 2012 pukul 17:55
Lekosit : 1020 / ul
Hemoglobin : 10,3 g/dl
Hematokrit : 30,8 %
Trombosit : 369.000 /ul
A P1A0 post partus pervaginam hari 10 dengan dehisensi luka episiotomi + anemia ringan
post rehecting hari 2
P - metronidazole 500 mg 3 x 1
- asam mefenamat 500 mg 3 x1
- becom – c 2 x 1
- anbacim 2 x 1
- aff DC → disesuaikan BAK
- BAK normal boleh pulang
PROGNOSIS :
Ad Vitam : Bonam
Ad Fungsionam : Bonam
Ad Sanationam : Bonam
BAB IV
ANALISA KASUS
Pada kasus ini, diagnosis P1A0 post partus pervaginam dengan dehisensi +
anemia berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Analisa anamnesis :
Dari anamnesis kasus diatas keterangan yang mendukung diagnosis adalah :
Dari anamnesis didapatkan keterangan bahwa seorang ibu umur 24 tahun datang dengan
keluhan utama perut membesar sejak 6 hari sebelum masuk RS setelah pasien melahirkan.
Berdasarkan literatur,
Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya :
Kesulitan buang air kecil;
Pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus;
Keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih.
Rasa tidak puas setelah berkemih.
Kandung kemih terasa penuh ( distensi abdomen).
Kencing menetes setelah berkemih.
Sering berkemih dengan volume yang kecil.
Nokturia lebih dari 2-3 kali yang tidak berhubungan dengan pemberian ASI.
Keterlambatan berkemih lebih dari 6 jam setelah persalinan.
Kesulitan dalam memulai berkemih setelah persalinan. Dari pemeriksaan subyektif
biasanya didapat keluhan seperti nyeri suprapubik, mengejan karena rasa ingin kencing,
serta kandung kemih berasa penuh
Analisa pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik diatas, yang mendukung ke arah diagnosis adalah :
Pada pemeriksaan fisik pasien ini, didapatkan tekanan darah 130 /780 mmHg
yang menunjukan keadaan normal, tapi nadi 100x/menit yang menandakan takikardi.
Hal ini merupakan estimasi perdarahan yang keluar 500-1000 cc. Hal ini sesuai dengan
literatur yang menyebutkan bahwa pada perdarahan post partum yang terjadi masih
terkompensasi
Didapatkan pula konjungtiva yang anemis di kedua mata yang menunjukan gejala
umum anemia ( sindrom anemia ). Berdasarkan literatur, anemia timbul karena iskemia
organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya
angkut oksigen ( penurunan kadar hemoglobin ), yang dalam hal ini disebabkan oleh
perdarahan.
Pada pemeriksaan purpuralis, inspeksi tampak Inspeksi: perut tampak buncit Palpasi
:teraba massa lunak seperti vesika urinaria, nyeri tekan (+) Perkusi : pekak, nyeri ketok
(+) Berdasarkan literatur, . Dari pemeriksaan obyektif dengan metode palpasi atau
perkusi, biasanya ditemukan massa di daerah suprasimfisis dengan perkusi yang pekak
karena kandung kemih yang terisi penuh dari suatu retensi urin. Vesika urinaria biasanya
dapat teraba bila terisi > 200 ml. Pada masa kehamilan terjadi peningkatan elastisitas pada
saluran kemih, sebagian disebabkan oleh efek hormon progesteron yang menurunkan
tonus otot detrusor. Pada bulan ketiga kehamilan, otot detrusor kehilangan tonusnya dan
kapasitas vesika urinaria meningkat perlahan-lahan. Akibatnya, wanita hamil biasanya
merasa ingin berkemih ketika vesika urinaria berisi 250-400 ml urin. Ketika wanita hamil
berdiri, uterus yang membesar menekan vesika urinaria. tekanan menjadi dua kali lipat
ketika usia kehamilan memasuki 38 minggu. Penekanan ini semakin membesar ketika bayi
akan dilahirkan, memungkinkan terjadinya trauma intrapartum pada uretra dan vesika
urinaria dan menimbulkan obstruksi. Tekanan ini menghilang setelah bayi dilahirkan,
menyebabkan vesika urinaria tidak lagi dibatasi kapasitasnya oleh uterus. Akibatnya
vesika urinaria menjadi hipotonik dan cenderung berlangsung beberapa lama. Saya setuju
dengan pemeriksaan fisik yang dilakukan sudah sesuai dengan literatur untuk mendukung
diagnosis
Analisa pemeriksaan penunjang :
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan ultrasonografi. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
adalah pemeriksaan darah rutin (Hb, hematokrit, leukosit, dan trombosit). Yang
mendukung pemeriksaan fisik sebelumnya yang menunjukan keadaan anemis adalah
pemeriksaan lab pada tanggal 30 Januari 2012 pada pkl. 13.25 dimana didapatkan Hb 6.0
gr/dl, Menurut literatur dikatakan bahwa gejala umum anemia biasanya menjadi lebih jelas
bila Hb < 7 gr/dl.
Pemeriksaan USG juga dilakukan dan hasilnya adalah uterus retrofleksi serta
tidak didapatkan sisa jaringan plasenta. Dan tampak balon kateter Sehingga dari hasil
USG menyingkirkan terjadinya perdarahan karena sisa plasenta.
Analisa penatalaksanaan :
Penanganan pertama pada pasien ini adalah mencegah terjadinya syok
terkompensasi yang terjadi akibat perdarahan, dengan memasang dua kanul IV berlubang
besar ( ukuran 18 ) dan memulai infus larutan kristaloid ( Ringer Laktat ) dengan
tetesan cepat ( 1 liter dalam 8 jam )
pemasangan kateter Folley untuk memantau produksi urin dan
pengeluaran urin, setelah dipasang kateter di ugd di dapatkan 1500 cc. berdasarkan
literatur kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam untuk menjaga
kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih menemukan kembali
tonus normal dan sensasi. Kegel Exercise adalah terapi non operatif yang paling
populer .Latihan ini memperkuat otot-otot di sekitar organ reproduksi dan memperbaiki
tonus otot tersebut (Bobak, 2004). Kegel Exercise dapat dilakukan untuk meningkatkan
mobilitas kandung kemih ( Kane dkk., 1996). Kegel Exercise membantu meningkatkan
tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra.
Kegel Exercise atau biasa disebut latihan otot dasar panggul adalah latihan yang
bertujuan untuk mengembalikan fungsi sepenuhnya sesegera mungkin dan membantu
mencegah masalah atau prolaps urine jangka panjang. Senam dasar panggul harus
dimulai sesegera mungkin setelah persalinan untuk mencegah hilangnya kendali kortikal
pada otot-otot karena nyeri perineum dan cemas tentang kerusakan jahitan (Stepherd,
1980).
Teknik Kegel Exercise
dapat dilakukan dengan cara :
a. Kedutan Perlahan tipe I (Slow Twitch I)
1. Mengencangkan anus seperti menahan defekasi.
2. Mengerutkan uretra dan vagina seperti menahan berkemih.
3. Tahan dengan kuat selama mungkin sampai 10 detik dengan tetap bernapas secara
normal.
4. Rileks dan istirahat selama 3 detik.
5. Ulangi dengan perlahan sebanyak mungkin sampai maksimum 10 kali.
b. Kedutan Cepat tipe II (Fast Twitch II)
Setelah melakukan gerakan itu, ulangi senam dengan mengencangkan dan mengendurkan
dengan lebih cepat sampai 10 kali tanpa menahan kontraksi.
Pada pasien ini didapatkan Hb 6.0 gr/dl dan Ht 17,8 %, dilakukan pemberian transfusi
darah dengan PRC sebanyak 2 X 250 cc. Post transfusi dilakukan pemeriksaan Hb ulang
dan didapatkan hasil Hb 8,9 gr / dl dan Ht 25,9 %. Berdasarkan literatur, indikasi
dilakukannya transfusi adalah bila kadar Hb < 8 gr / dl. Pemberian PRC digunakan untuk
meningkatkan jumlah sel darah merah, tanpa menambah beban volum seperti pada
pemberian whole blood. Pada orang dewasa, 1 unit PRC akan meningkatkan Hb sekitar 1
gr/dl atau Ht 3-4 %.
Setelah keadaan umum pasien baik, dan Hb lebih dari 8 gr / dl , maka pasien segera
dilakukan operasi untuk membuka kembali jahitan yang terdapat pada jalan lahir. Pasien
masih tetap mendapat tranfusi lagi sebanyak 2x250 cc post operasi, dan Post transfusi
dilakukan pemeriksaan Hb ulang dan didapatkan hasil Hb 10,3 gr / dl dan Ht 30,8 %.
Selama perawatan, pasien juga diberikan terapi antibiotik untuk mengurangi adanya
infeksi yang dapat terjadi serta diberikan vitamin. Setelah keadaan umum pasien baik,
dan Hb lebih dari 8 gr / dl , maka pasien dapat dipulangkan.
Kesimpulan
• Pada kasus ini, diagnosis P1A0 post partus pervaginam dengan dehisensi luka episiotomi
+ anemia berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
• Penanganan pada pasien dengan pemasangan kateter Folley untuk memantau produksi
urin dan pengeluaran urin.
• Perlu dilakukan terapi non operatif misalnya :Kegel Exercise .Latihan ini memperkuat
otot-otot di sekitar organ reproduksi dan memperbaiki tonus otot.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tobing, Retensi urine postpartum. [online]. 2003. [ cited October 20, 2003] Available
from http://sectiocadaveris.wordpress.com/artikel-kedokteran/retensi-urinpostpartum/
2. Widjanarko, Bambang. Masa Nifas [online]. 2009. [cited July 30, 2009] Available
from URL : http://obfkumj.blogspot.com/
3. Gardjito W. Retensi urin permasalahan dan penatalaksanaannya dalam Juri voll 4.
UPF Ilmu Bedah FK Unair, Surabaya : 1994.
4. Vitriana, Evaluasi Dan Manajemen Medis Inkontinensia Urin. Bagian ilmu kedokteran
fisik dan rehabilitasi FK-unpad . 2002.
5. Edmonds DK. Urinary Incontinence in Dewhurtst’s textbook of Obstetrics and
Gynaecology for Postgraduates. Blackwell Science, London, 1999 : 474-500.
6. Mitchell GW. The Urinary Tract as Related to Gynecology in Obstetrics and
Gynecology. Medical Department Harper & Row, publishers Hagerstown,
Maryland new York, San Francisco, London,1977 : 849 – 66.
7. Kartika, Visi. Retensi Urine Post Partum. [online]. 2006. [cited Mei 21, 2006]
Available from URL : www.jevuska.com/2007/04/19/retensi-urine-post-partum
8. Wiknjosastro H. Beberapa Aspek Urologi pada Wanita dalam Ilmu Kandungan. PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo jalan Kramat Sentiong 49A, Jakarta, 2009 :
448-71
9. Zietraelmart. 2008. Perubahan Fisiologi Masa Nifas [online]. 2010. [cited Feb 6,
2010] Available from URL :
http://zietraelmart.multiply.com/journal/item/22/perubahan_fisiologis_masa_nifas
10. Anonym, Post Partum Bladder Dysfunction. [online]. 2009. [ cited October 20, 2009]
Available from URL:
http://www.health.sa.gov.au/ppg/Default.aspx?PageContentMode=1&tabid=185
11. Santoso BI, Mengatasi Komplikasi Pasca Operasi Berupa Gangguan Miksi
(Retensio Urine) Dan Infeksi (Pemberian Antibiotic Profilaksis). Divisi
Uroginekologi Rekonstroksi Dept. Obstetric Dan Ginekologi FKUI, Jakarta :
2009.
12. Magowan BA. Owen P, Drife J. Urinary Incontinence in Clinical Obstetrics &
Gynaecology. Elsevier, London, 2004 : 175 – 81.
13. Liang CC, Chang SD, ChenSH, et all. Postpartum urinary retention after cesarean
delivery in International Journal of Gynecology and Obstetrics 99, 2007 : 229–
32.
14. Rasad S. Ureter dan Uretra in Radiologi Diagnostik. FKUI, Jakarta, 2005 : 315-6
15. Ghazali MR. Urogenital in Radiologi Diagnostik. Pustaka Cendekia Press,
Yogyakarta, 2007 : 75-89