Download - Case Septum Deviasi
Case Report Session
Septum Devasi
Oleh :
Cici Octari 0910312037
Putri Yuriandini Yulsam 0910313225
Preseptor :
dr. Bestari Jaka Budiman, Sp. THT-KL
BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR.M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2014
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi Septum Deviasi
Septum deviasi didefinisikan sebagai bentuk septum yang tidak lurus di tengah
sehingga membentuk deviasi ke salah satu rongga hidung atau kedua rongga hidung yang
mengakibatkan penyempitan pada rongga hidung1.
1.2 Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:2
1. pangkal hidung (bridge),
2. batang hidung (dorsum nasi),
3. puncak hidung (hip),
4. ala nasi,
5. kolumela dan
6. lubang hidung (nares anterior).
Gambar 1.1. Anatomi Hidung Bagian Luar3
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 2
1. tulang hidung (os nasalis),
2. prosesus frontalis os maksila dan
3. prosesus nasalis os frontal
Gambar 1.2. Anatomi Kerangka Hidung4
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu: 2
1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),
3. beberapa pasang kartilago alar minor dan
4. tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring2.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise2.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista
nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela2.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan
dinding lateral hidung licin, yang disebut agger nasi dan dibelakangnya terdapat konka-
konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung1.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi
ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema
disebut juga rudimenter2.
Gambar 1.3 Anatomi Dinding Lateral Rongga Hidung4
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit
melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid
anterior2.
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior
merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding
superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung2.
Pendarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis
interna2.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna,
di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media2.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach.
Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering
menjadi sumber epistaksis terutama pada anak2.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial2.
Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus.
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila
melalui ganglion sfenopalatina2.
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima serabut-
serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor
dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion sfenopalatina terletak di
belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media2.
Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung2.
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithalium) yang
mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet2.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-
kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket)
pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet2.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah
nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya
sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung2.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat.Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah
epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar
mukosa dan jaringan limfoid2.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler
dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid
vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada
bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan
mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan
demikian mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang
mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini
dipengaruhi oleh saraf otonom2.
1.3 Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori structural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah:2
1. Fungsi respirasi
Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik local.
Udara inpirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu
naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus2.
Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara
inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya2.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º Celcius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan
adanya permukaan konka dan septum yang luas2.
Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
dihidung oleh:2
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir
Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel yang besar
akan dikeluarkan dengan reflex bersin.
2. Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir
atau bila menarik napas dengan kuat2.
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa
manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis
strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk mebedakan rasa ayam yang berasal
dari cuka dan asam jawa2.
3. Fungsi fonetik
Yang berguna untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau (rinolalia)2.
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan konsonan
nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun
untuk aliran udara2.
4. Fungsi statik dan mekanik
Untuk meringankan beban kepala2.
5. Reflex nasal.
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung dan pankreas2.
1.4 Sistem Transpor Mukosilier
Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung
terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya yang terhirup bersama udara.
Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir.
Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa
submukosa2.
Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa, sedangkan pada bagian
permukaannya terdiri dari mukus yang lebih elastik dan lebih banyak mengandung
protein plasma seperti albumin, IgG, IgM, dan faktor komplemen. Sedangkan cairan
serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA
sekretorik (s-IgA)2.
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus berfungsi untuk pertahanan lokal yang
bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan
dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi di
dalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan antigen bakteri2.
Pada sinus maksila, sistem transpor mukosilier menggerakkan sekret sepanjang
dinding anterior, medial, posterior, dan lateral serta atap rongga sinus membentuk
gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium sekret
akan lebih kental tetapi drenasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan
berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan melewati mukosa
yang rusak tersebut. Tetapi, jika sekret lebih kental maka sekret akan terhenti pada
mukosa yang mengalami defek2.
Gerakan sistem transpor mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral.
Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, lalu ke atap, dinding lateral, dan bagian
inferior dari dinding anterior dan posterior menuju resesus frontal. Gerakan spiral
menuju ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid, sedangkan pada sinus etmoid terjadi
gerakan rektilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau gerakan spiral jika
ostiumnya terdapat pada salah satu dindingnya2.
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transpor mukosilier. Rute pertama
merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila, dan etmoid anterior. Sekret ini
biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid yang selanjutnya akan berjalan
menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior
menuju nasofaring melewati bagian antero-inferior orifisium tuba eustachius. Transpor
aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring, selanjutnya
jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan proses menelan2.
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid yang
bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero-superior
orifisium tuba eustachius2.
Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung dengan sekret
rute pertama, yaitu di inferior dari tuba eustachius. Sekret pada septum akan berjalan
vertikal ke arah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian
inferior tuba eustachius2.
1.5 Etiologi
Penyebab deviasi septum nasi yang tersering adalah trauma. Trauma yang terjadi
dapat berupa fraktur fasial, fraktur nasal, fraktur septum, atau akibat trauma saat lahir1,2.
Penyebab lainnya adalah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi
terus tumbuh, sedangkan batas superior dan inferior telah menetap, sehingga terjadilah
deviasi pada septum nasi2.
1.6 Klasifikasi
Deviasi septum nasi dibagi Mladina atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak
deviasi, yaitu:1,5,6
1. Tipe I. Benjolan unilateral, tidak meluas sepanjang kavum nasi, tidak kontak dengan
dinding lateral hidung yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II. Deviasi vertikal anterior. Deviasi kontak dengan katup hidung,
menyebabkan gangguan fungsi.
3. Tipe III. Deviasi vertikal, posterior. Deviasi dekat kepala konka media / area
osteomeatal.
4. Tipe IV. Disebut juga tipe S dimana septum bagian posterior dan anterior berada
pada sisi yang berbeda. Tipe ini merupakan kombinasi dari tipe II dan III.
5. Tipe V. Tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih
normal.
6. Tipe VI. Tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII. Kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.
Gambar 1.4 Klasifikasi Septum Nasi menurut Mladina1
Bentuk-bentuk dari deformitas septum nasi berdasarkan lokasinya yaitu:2
1. Deviasi
Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk “C” atau “S”.
2. Dislokasi
Bagian bawah kartilago septum keluar dari krista maksila dan masuk ke dalam
rongga hidung
3. Krista dan Spina
Penonjolan tulang atau tulang rawan septum yang bila memanjang dari depan ke
belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina.
4. Sinekia
Bertemu dan melekatnya deviasi atau krista septum dengan konka dihadapannya.
Sinekia ini akan menambah beratnya obstruksi.
Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya keluhan yaitu7:
1. Ringan : deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian septum
yang menyentuh dinding lateral hidung.
2. Sedang : deviasi kurang dari setengah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian
septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
3. Berat : deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung
Jin RH dkk juga mengklasifikasikan deviasi septum menjadi 4, yaitu7:
1. Deviasi lokal termasuk spina, krista, dan dislokasi bagian kaudal.
2. Lengkungan deviasi tanpa deviasi yang terlokalisir.
3. Lengkungan deviasi dengan deviasi lokal.
4. Lengkungan deviasi yang berhubungan dengan deviasi hidung luar.
Gambar 1.5. Klasifikasi Deviasi Septum Menurut Jin RH dkk7
1.7 Gejala Klinis
Keluhan yang paling sering dikeluhkan pada pasien dengan deviasi septum nasi
adalah sumbatan hidung, baik unilateral maupun bilateral, hal ini dikarenakan pada sisi
deviasi terdapat konka hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka yang
hipertrofi sebagai akibat mekanisme kompensasi1,2.
Keluhan lainnya dapat berupa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu
penciuman dapat terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviasi
septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi
terjadinya sinusitis1,2.
1.8 Pemeriksaan Fisik Deviasi Septum Nasi
Deviasi septum nasi dapat terlihat dengan mudah pada pemeriksaan rinoskopi
anterior. Sebelum menggunakan spekulum, penting untuk melihat vestibulum terlebih
dahulu. Hal ini dikarenakan ujung spekulum dapat menutupi deviasi bagian kaudal.
Pemeriksaan seksama juga dilakukan terhadap dinding lateral hidung untuk menentukan
besarnya konka. Piramid hidung, palatum, dan gigi juga diperiksa karena struktur-
struktur ini sering terjadi gangguan yang berhubungan dengan deformitas septum.
Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila memungkinkan untuk menilai deviasi septum
bagian posterior atau untuk melihat robekan mukosa. Bila dicurigai terdapat komplikasi
sinus paranasal, perlu dilakukan pemeriksaan radiologi sinus paranasal1.
1.9 Penatalaksanaan
Bila tidak ada gejala atau keluhan yang sangat ringan, tidak perlu dilakukan tindakan
koreksi septum. Sedangkan pada pasien dengan keluhan yang nyat, terdapat 2 jenis
tindakan operatif yaitu reseksi submukosa dan septoplasti2.
1. Reseksi Submukosa
Pada operasi ini muko-perikondrium dan mukoperiostium kedua sisi dilepaskan
dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum
kemudian diangkat, sehingga muko-perikondrium dan mukoperiostium sisi kiri dan
kanan akan langsung bertemu di garis tengah2.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi seperti terjadinya hidung
pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung oleh karena bagian atas tulang
rawan septum terlalu banyak diangkat2.
2. Septoplasti
Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang
berlebihan yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang
mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi septum
dan hidung pelana2.
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Y
No. MR : 872496
Umur : 39 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Suku bangsa : Minangkabau
Alamat : Sungai Tutung Air Hangat Timur, Kerinci
ANAMNESIS
Seorang pasien perempuan berumur 39 tahun dirawat di bangsal THT RSUP Dr. M Djamil
Padang pada tanggal 13 Agustus 2014 dengan :
Keluhan Utama :
Hidung tersumbat terutama pada hidung kanan, hilang timbul sejak 2 tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Hidung tersumbat terutama pada hidung kanan, hilang timbul sejak 2 tahun yang lalu.
Nyeri kepala hilang timbul dirasakan pada seluruh kepala sejak 2 tahun yang lalu
Gangguan penciuman tidak ada
Riwayat keluar ingus kental tidak ada
Riwayat terasa ingus mengalir di tenggorok tidak ada
Riwayat terbangun tiba-tiba pada malam hari saat sedang tidur ada
Riwayat rasa berat di pipi tidak ada
Riwayat keluar darah dari hidung tidak ada
Riwayat sakit gigi (+) pada rahang atas 5 tahun yang lalu, sekarang tidak ada
Riwayat bersin-bersin >5x/ bersin bila terkena debu dan dingin tidak ada
Pasien sudah berobat ke RS Kerinci 2 tahun ini dan diberikan obat semprot hidung,
keluhan berkurang namun masih dirasakan. Pasien tidak tahu nama obat yang
digunakan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat Pekerjaan, sosial, ekonomi, dan kebiasaan.
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga
Pemeriksaan Fisik (Tanggal 14 Agustus 2014)
Status Generalis
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran : komposmentis kooperatif
Tekanan darah : 110/ 70
Nadi : 90 x per menit
Napas : 18 x per menit
Suhu : 36,7 oc
Pemeriksaan Sistemik
Kepala : tidak ditemukan kelainan
Wajah : tidak ditemukan kelainan
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Paru : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : irama teratur, bising tidak ada
Abdomen : distensi (-), BU(+) normal
Ekstremitas : teraba hangat, refilling kapiler baik.
Status Lokalis THT
Telinga
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Daun telinga Kel. Kongenital - -
Trauma - -
Radang - -
Kel. Metabolik - -
Nyeri tarik - -
Nyeri Tekan - -
Dinding liang
telinga
Cukup Lapang (N) + +
Sempit - -
Hiperemis - -
Edema - -
Massa - -
Sekret/Serumen Bau - -
Warna - -
Jumlah -
Jenis - -
Membran Timpani
Utuh Warna Sklerotik + Sklerotik +
Refleks cahaya - -
Bulging - -
Retraksi - -
Atrofi - -
Perforasi Jumlah perforasi - -
Jenis - -
Kuadran - -
Pinggir - -
Mastoid Tanda radang - -
Fistel - -
Sikatrik - -
Nyeri tekan - -
Nyeri ketok - -
Tes garputala
512 Hz
Rinne + +
Swabach Sama dengan Sama dengan
pemeriksa pemeriksa
Weber Tidak ada lateralisasi
Kesimpulan Normal
Hidung
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Hidung luar Deformitas - -
Kelainan kongenital - -
Trauma - -
Radang - -
Massa - -
Sinus Paranasal
Inspeksi
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Nyeri tekan - -
Nyeri ketok - -
Rinoskopi Anterior
Vestibulum Vibrise + +
Radang - -
Kavum nasi Cukup lapang (N) - +
Sempit + -
Lapang - -
Sekret Lokasi Tidak ada Tidak ada
Jenis Tidak ada Tidak ada
Jumlah Tidak ada Tidak ada
Bau Tidak ada Tidak ada
Konka inferior Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Edema - -
Konka media Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Edema - -
Septum Cukup lurus/ deviasi Deviasi Cukup lurus
Permukaan Licin Licin
Warna Merah muda Merah muda
Spina - +
Krista + -
Abses - -
Peforasi - -
Massa Lokasi - -
Bentuk - -
Ukuran - -
Permukaan - -
Warna - -
Konsistensi - -
Mudah digoyang - -
Pengaruh
vasokonstriktor
- -
Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Koana Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang
Sempit - -
Lapang - -
Mukosa Warna Merah muda Merah muda
Edema - -
Jaringan granulasi - -
Adenoid Ada/ tidak Tidak Tidak
Muara tuba
eustachius
Tertutup sekret - -
Massa Lokasi - -
Ukuran - -
Bentuk - -
Permukaan - -
Post nasal drip Ada/ tidak - -
Jenis - -
Orofaring dan Mulut
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Trismus -
Uvula Edema - -
Bifida - -
Palatum mole
arkus faring
Simetris/ tidak Simetris Simetris
Warna Merah muda Merah muda
Edema - -
Bercak/ eksudat - -
Dinding faring Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Tonsil Ukuran T1 T1
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Muara/kripti Tidak melebar Tidak melebar
Detritus - -
Eksudat - -
Perlengketan
dengan pilar
- -
Peritonsil Warna Merah muda Merah muda
Edema - -
Abses - -
Tumor Lokasi - -
Bentuk - -
Ukuran - -
Permukaan - -
Konsistensi - -
Gigi Karies/ radiks Tidak ada Tidak ada
Kesan Gigi geligi baik
Lidah Warna Merah muda Merah muda
Bentuk Normal Normal
Deviasi - -
Massa - -
Laringoskopi indirek
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Epiglotis Bentuk Normal Normal
Warna Merah muda Merah muda
Edema - -
Pinggir rata/ tidak Rata Rata
Massa Tidak ada Tidak ada
Aritenoid Warna Merah muda Merah muda
Edema - -
Massa - -
Gerakan Simetris Simetris
Ventrikular band Warna Merah muda Merah muda
Edema - -
Massa - -
Plika vokalis Warna Putih Putih
Gerakan Simetris Simetris
Pinggir medial Rata Rata
Massa - -
Subglotis/ trakea Massa - -
Sekret ada / tidak - -
Sinus piriformis Massa - -
Sekret - -
Valekulae Massa - -
Sekret (jenisnya) - -
Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher
Pada inspeksi tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening leher.
Pada palpasi tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening leher.
Resume
Anamnesis:
Seorang pasien perempuan berumur 39 tahun dirawat di bangsal THT RSUP Dr. M Djamil
Padang pada tanggal 13 Agustus 2014 dengan keluhan utama hidung tersumbat terutama
pada hidung kanan, hilang timbul sejak 2 tahun yang lalu. Nyeri kepala hilang timbul
dirasakan pada seluruh kepala sejak 2 tahun yang lalu. Riwayat terbangun tiba-tiba pada
malam hari saat sedang tidur ada. Gangguan penciuman, riwayat keluar ingus kental riwayat
terasa ingus mengalir di tenggorok, riwayat rasa berat di pipi, riwayat keluar darah dari
hidung, riwayat bersin-bersin >5x/ bersin bila terkena debu dan dingin tidak ada. Riwayat
sakit gigi (+) pada rahang atas 5 tahun yang lalu, namun sekarang tidak ada. Pasien sudah
berobat ke RS Kerinci 2 tahun ini dan diberikan obat semprot hidung, keluhan berkurang
namun masih dirasakan. Pasien tidak tahu nama obat yang digunakan.
Pemeriksaan fisik:
Hidung:
- Rinoskopi anterior: Kavum nasi sempit/ cukup lapang, sekret -/-, konka inferior
eutrofi/ eutrofi, konka media eutrofi/ eutrofi, septum deviasi ke kanan, krista +/-,
spina -/+
- Rinoskopi posterior: post nasal drip (-)
Assessment:
- Septum deviasi
Terapi : septoplasti
Prognosis
- Quo ad Vitam: dubia at bonam
- Quo ad Sanam: dubia at bonam
- Qua ad Fungsionam : dubia at bonam
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiman BJ, Asyari A. Pengukuran Sumbatan Hidung pada Deviasi Septum Nasi.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2012
2. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam.
2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
3. Hani N. Bagian-bagian Hidung (Indera Pencium). 2013. Diunduh dari
http://hanysundara88.blogspot.com/2013/09/hidungindera-pencium-anatomi-
hidung.html pada tanggal 14 Agustus 2014.
4. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Jilid 1 Edisi 22 hlm. 086, 088.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
5. Budiman BJ, Azami S. Rinosinusitis Kronis dengan Variasi Anatomi Kavum Nasi.
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas Padang. 2012
6. Janardhan RJ. Classification of Nasal Septal Deviations-Relation to Sinonasal
Pathology. Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck Surgery 2005; 57
(3): 199-201
7. Jin RH, Lee YJ. New description method and calssification system for septal
deviation. J Rhinol 2007; 14(1): 27-31