Transcript
Page 1: Case Report Anestesi

PRESENTASI KASUS

Penatalaksanaan Anestesi Umum Pada

Operasi Kraniotomi Untuk Koreksi Fraktur Impresi Pada

Ossis Frontalis

Pembimbing :

Dr. Diding, Sp. An

Disusun Oleh :

1. Arimas Bramantyo 111.022.11.09

2. Retno Suparihastuti 111.022.11.10

Page 2: Case Report Anestesi

SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASIRUMAH SAKIT WIJAYA KUSUMA PURWOKERTO

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA2012

HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus dengan judul :

Penatalaksanaan Anestesi Umum Pada

Operasi Kraniotomi Untuk Koreksi Fraktur Impresi Pada Ossis Frontalis

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan kepaniteraan klinik di Bagian Anetesiologi

dan Reanimasi Rumah Sakit Wijaya Kusuma Purwokerto.

Di susun oleh :

1. Arimas Bramantyo 111.022.11.09

2. Retno Suparihastuti 111.022.11.10

Telah dipresentasikan dan di setujui

Pada tanggal : Juli 2012

Dokter Pembimbing,

Page 3: Case Report Anestesi

dr. Diding, Sp. An

Penatalaksanaan Anestesi Umum Pada

Operasi Kraniotomi Untuk Koreksi Fraktur Impresi Pada Ossis Frontalis

ABSTRAK

Dilaporkan penatalaksanaan anestesi pada operasi kraniotomi untuk koreksi fraktur

impresi pada os frontalis pada seorang laki-laki berumur 13 tahun dengan anestesi umum, status

fisik ASA 1E

Medikasi induksi dengan memakai Recofol 100mg, Petidin 4 ml. Premedikasi dengan

menggunakan sulfas atropine 0,25mg dan fortanest 2mg. Maintenance dengan inhalasi O2, N2O

dan Halotan menggunakan ET no. 7. Durante operasi 55 menit dengan memonitoring tensi, nadi,

saturasi oksigen.

Operasi berlangung selama 55 menit. Durante operasi tidak didapatkan penyulit anestesi

maupun pembedahan. Postoperasi pasien tetap terintubasi dengan sedasi dan napas kontrol.

Perawatan post operasi dilakukan di Bangsal.

Page 4: Case Report Anestesi

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Definisi Trauma Kepala (Head Injury)

Pada penanganan pasien dengan trauma kepala, seluruh tindakan resusitasi, anamnesis

dan pemeriksaan fisik dilakukan secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat

mengurangi unsur keterlewatannya evaluasi unsur vital. Jika telah terjadi suatu trauma kepala,

tidak ada satu hal pun yang dapat dilakukan untuk mengubahnya. Yang dapat dilakukan

adalah meminimalisir kerusakan yang muncul dari komplikasi sekunder.

I.2 Klasifikasi

Secara sederhana, trauma kepala dibagi berdasar mekanisme, keparahan dan morfologi.

Berdasar mekanisme, trauma kepala dibagi menjadi trauma tumpul atau tajam. Berdasarkan

keparahan cedera, trauma kepala dibagi dalam ringan (GCS 14-15), sedang (GCS 9-13) atau

berat (GCS 3-8). Kemajuan teknologi pencitraan telah memungkinkan pengklasifikasian

kerusakan otak menjadi fokal dan difus, walaupun mungkin saja terdapat keduanya. Selain itu

kerusakan otak juga dapat dikelompokkan menjadi primer (terjadi pada saat benturan) atau

sekunder (berasal dari kerusakan yang telah terjadi).

Yang termasuk kerusakan fokal adalah

1. Laserasi dan kontusio

2. Hematoma intrakranial

3. Herniasi tentorial/tonsilar

4. Infeksi

Yang termasuk kerusakan difus adalah

1. Kerusakan akson difus

2. Edema otak

3. Iskemia otak

Page 5: Case Report Anestesi

I.3 Manajemen Pasien dengan Trauma Kepala

Pasien yang datang dengan trauma kepala, khususnya yang dalam keadaan koma,

memerlukan penatalaksanaan segera dengan prioritas yang sesuai.

Pada cedera kepala sering terjadi gangguan terhentinya pernafasan yang sementara.

Apnea yang berlangsung lama sering merupakan penyebab kematian langsung di tempat

kecelakaan.

Aspek yang sangat penting pada penatalaksanaan segera penderita cedera kepala

berat ini adalah Intubasi endotrakeal. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100%

sampai diperoleh hasil pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang

tepat terhadap FiO2.

Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera kepala

berat. Walaupun hal ini dapat digunakan sementara untuk mengkoreksi asidosis dan

menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah berdilatasi, tindakan

hiperventilasi ini tidak selalu menguntungkan. Hiperventilasi dapat dilakukan secara hati-hati

pada penderita cedera kepala berat yang menunjukkan perburukan GCS atau timbulnya

dilatasi pupil. pCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmHg (3,3-4,7 kPa).

Hipotensi dan hipoksia adalah penyebab utama terjadinya perburukan pada penderita

cedera kepala berat. Karenanya bila terjadi hipotensi maka harus segra dilakukan tindakan

untuk menormalkan tekanan darahnya. Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak

itu sendiri keduali pada stadium terminal medulla oblongata sudah mengalami gangguan.

Yang lebih sering terjadi adalah bahwa hipotensi merupakan adanya kehilangan

darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Penyebab lainnya adalah Trauma Medula

Spinalis (Tetraplegia atau Paraplegia), kontusio jantung atau tamponade jantung dan tension

pneumothorax.

Page 6: Case Report Anestesi

Pada pasien dengan trauma kepala, seringkali anamnesis tidak didapat dari pasien

melainkan dari keluarga atau orang lain yang melihat kejadian trauma tersebut. Hal-hal yang

perlu ditanyakan antara lain adalah :

Berapa lama terjadinya penurunan kesadaran

Periode amnesia pasca trauma

Penyebab trauma

Keluhan nyeri kepala dan muntah

Pada pemeriksaan fisik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ialah :

Kesadaran dan tanda vital

Refleks pupil dan pergerakan bola mata

Kelemahan pada ekstremitas

Tanda fraktur basis cranii

Laserasi dan hematoma

Pemeriksaan yang perlu dilakukan diantaranya adalah :

Pemeriksaan lab rutin

Pemeriksaan radiologis, berupa foto rontgen kepala dan bagian tubuh lain yang

diperlukan. Jika tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan dengan CT scan atau MRI.

I.4 Anestesi pada cedera kepala

Pertimbangan utama dalam memilih obat anestesi, atau kombinasi obat-obatan

anestesi, adalah pengaruhnya terhadap TIK. Karena semua obat yang menyebabkan

vasodilatasi serebral mungkin berakibat peninggian TIK,pemakaiannya sedapat mungkin

harus dicegah. Satu yang terburuk dalam hal ini adalah ketamin, yang merupakan

vasodilator kuat dan karenanya secara umum dicegah penggunaannya pada pasien cedera

kepala. Semua obat anestesi inhalasi dapat meninggikan aliran darah serebral secara ringan

hingga berat. Obat inhalasi volatil seperti halotan. enfluran dan isofluran, semua

meninggikan aliran darah serebral, namun mereka mungkin aman pada konsentrasi rendah.

Isofluran paling sedikit kemungkinannya menyebabkan vasodilatasi serebral. Nitrous oksida

Page 7: Case Report Anestesi

berefek vasodilatasi ringan yang mungkin secara klinik tidak bermakna, dan karenanya

dipertimbangkan sebagai obat yang baik untuk digunakan pada pasien cedera kepala.

Kombinasi yang umum digunakan adalah nitrous oksida (50-70 % dengan oksigen),

relaksan otot intravena, dan tiopental. Penggunaan hiperventilasi dan mannitol sebelum

dan selama induksi dapat mengaburkan efek vasodilatasi dan membatasi hipertensi

intrakranial pada batas tertentu saat kranium mulai dibuka. Bila selama operasi

pembengkakan otak maligna terjadi, yang refraktori terhadap hiperventilasi dan mannitol,

tiopental (Pentothal) pada dosis besar (5-10 mg/kg) harus digunakan. Obat ini dapat

menyebabkan hipotensi, terutama pada pasien hipovolemik, karenanya harus digunakan

hati-hati. Sebagai pilihan terakhir, penggunaan hipotensi terkontrol, dengan trimetafan

(Arfonad) atau nitroprussida (Nipride) dapat dipertimbangkan. Pada setiap keadaan,

penting untuk memastikan penyebab pembengkakan otak, seperti kongesti vena akibat

kompresi leher dan adanya hematoma tersembunyi baik ipsi atau kontralateral dari sisi

kraniotomi.

II. 1 Definisi Peningkatan Tekanan Intrakranial

Peningkatan tekanan intrakranial adalah peningkatan tekanan otak normal. Peningkatan

tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan cairan serebrospinal. Juga dapat

disebabkan oleh peningkatan tekanan dalam masalah otak yang disebabkan oleh lesi (seperti

tumor) atau pembengkakan di dalam materi otak itu sendiri. Peningkatan tekanan intrakranial

adalah masalah medis serius. Tekanan itu sendiri dapat merusak sistem saraf pusat dengan

menekan struktur otak yang penting dan dengan membatasi aliran darah melalui pembuluh darah

yang memasok otak. Penyebab umum termasuk: Aneurisma pecah dan pendarahan subarachnoid,

tumor otak, pendarahan otak hipertensi, pendarahan, cedera kepala parah.

II.2 Manifestasi Klinik

a. Muntah

b. Sakit kepala

c. Perubahan kepribadian

d. Diplopia

e. Papil edema

Page 8: Case Report Anestesi

f. Pembesaran lingkar kepala

g. Ubun ubun besar membonjol

h. Trias Cushing :bradikardi, hipertensi,pernafasan ireguler.

i. Herniasi otak

II.3 Diagnosa

a. Anamnesa

b. Tanda vital : suhu, pola dan laju pernafasan, tekanan darah , tekanan dan frekwensi nadi

c. Pemeriksaan Fisik

d. Pemeriksaan neurologis lengkap

e. Tingkat kesadaran

f. Syaraf cranial

g. Fungsi motorik : tonus otot, kekuatan

h. Reflek fisiologis dan patologis

i. Pemeriksaan penunjang

- CT Scan/ MRI kepala

j. Pemeriksaan lain seperti darah rutin, studi koagulasi atas indikasi.

II.3 Penatalaksanaan

II.3.1 Tujuan

a. Menurunkan tekanan intracranial

b. Memperbaiki aliran darah otak

c. Mencegah dan menghilangkan herniasi

II.3.2 Tatalaksana

a. Mengurangi volume komponen-komponen otak

1. Volume darah

Page 9: Case Report Anestesi

o Hiperventilasi

o Pemberian obat-obatan anestesi menyebabkan vasokonstriksi .

o Analgesik,sedative

o Mencegah hipertemi ( menurunkan metabolisme otak )

2. Jaringan otak

o Manitol

o Deksametason

3. Cairan serebrospinal

o Furosemide

o Asetazolamid

b. Mempertahankan fungsi metabolik otak

o Tekanan O2 90-120 mmHg

o Atasi kejang

o Jaga keseimbangan elektrolit dan metabolic

o Kadar Hemoglobin dipertahankan 10 mg/dl.

o Mempertahankan MAP dalam batas normal

c. Menghindari keadaan yang dapat meningkatkan tekanan intracranial

1. Pengelolaan pemberian cairan

o Keseimbangan cairan

Diuresis > 1ml/kgbb/jam

2. Posisi kepala

II.4 Penatalaksanaan intubasi pada pasien dengan peningkatan tekanan intracranial

Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk mengamankan ABCDE (primary

survey) pada pasien. Banyak pasien dengan peningkatan ICP memerlukan intubasi. Pasien

dengan skor GCS kurang dari 8 harus diintubasi untuk melindungi airway. Yang menjadi

perhatian utama pada pemasangan intubasi ini adalah intubasi ini mampu memberikan ventilasi

tekanan positif yang kemudian dapat meningkatkan tekanan vena sentral yang kemudian akan

Page 10: Case Report Anestesi

menghasilkan inhibisi aliran balik vena sehingga akan meningkatkan ICP.

Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung kemih dan usus.

Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa pemberian antibiotik harus dilaksanakan dengan

segera. Pemberian analgesia yang memadai harus diberikan walaupun pasien dalam kondisi di

bawah sadar.

Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala dapat menurunkan ICP

pada komdisi normal dan pada pasien dengan cedera kepala melalui mekanisme penurunan

tekanan hidrostatis CSF yang akan menghasilkan aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan

umumnya digunakan untuk elevasi pada kepala adalah 30o. Pasien harus diposisikan dengan

kepala menghadap lurus ke depan karena apabila kepala pasien menghadap ke salah satu sisinya

dan disertai dengan fleksi pada leher akan menyebabkan penekanan pada vena jugularis interna

dan memperlambat aliran balik vena.

Page 11: Case Report Anestesi

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. JS

Umur : 13 tahun

Berat badan : 40 kg

Tinggi badan : 155 cm

Jenis kelamin : Laki – laki

Alamat : Jl. Rempoah RT 03/03, Baturaden

Agama : Islam

Tanggal masuk : 20 Juni 2012, 18.00 WIB

No. CM : 234302

II ANAMNESIS (alloanamnesis)

a. Keluhan utama : Penurunan kesadaran post KLL

b. Keluhan tambahan : Pusing

c. RPS :

Pasien datang ke IGD RS Wijaya Kusumah dengan riwayat kecelakaan lalu

lintas tabrakan sepeda motor dengan sepeda motor dengan benturan pada kepala bagian

depan tanggal 20 Juni 2012 pukul 17.00 WIB. Menurut anamnesis yang dilakukan,

pasien tidak sadarkan diri sesaat setelah terjadinya kecelakaan. Terdapat nyeri pada

bagian kepala tanpa disertai muntah.

d. RPD :

- Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal

- Riwayat penyakit DM : disangkal

- Riwayat penyakit alergi : disangkal

- Riwayat penyakit asma : ada, tapi tidak pernah kambuh sejak umur 4 tahun

- Riwayat operasi sebelumnya : disangkal

Page 12: Case Report Anestesi

III. PEMERIKSAAN FISIK

a. Status generalis

Keadaan Umum : Tampak Sakit Berat

Kesadaran : Somnolen, GCS= E3M6V4

Vital Sign : Tekanan darah = 100/60 mmHg

Respirasi = 22 kali/menit

Nadi = 80x/menit, isi dan tekanan penuh

Suhu = 36 0C

Kepala : Hematom (+)

VL dahi ± 3 x 0,5 x 0,5 cm

VL garis hidung ± 1x 0,5 x 0,5 cm

Mata : Konjungtiva anemis -/-

Sklera ikterik -/-

RCL+/+ , RCTL +/+

Pupil isokor, diameter ± 3 mm

Telinga : dbn

Hidung : Discharge (-) epistaksis (+), deviasi septum (-)

Mulut : dbn

Gigi : dbn, gigi palsu (-)

Leher :Simestris, trakea ditengah, pembesaran tiroid dan kelenjar getah

bening (-)

Thorax : Pulmo : Simetris kanan – kiri

Tidak ada retraksi

SN vesikuler (+/+) normal

Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Dinding perut datar, supel

Hepar/ Lien: tidak teraba.

Usus: BU (+) normal

Page 13: Case Report Anestesi

Extremitas : Edema (-), sianosis (-), akral hangat

VL tungkai atas dextra – sinistra, VL tungkai bawah sinistra

Fraktur MCP II kanan

b. Terapi dari IGD

1. Infus Ringer laktat 20 tts/menit

2. Mannitol 4 x 100 cc

3. Pirabrain 3 x 1200 mg

4. Remopain 3 x 10 mg

5. Kedacillin 2 x 1 gr

6. Fordin 2 x 50 mg

7. Kateter urin

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal 20 Juni 2012

1. CT Scan → Kesan : Fraktur impresi os frontale

2. Pemeriksaan darah lengkap :

- Hb : 12,9 g/dl (14 – 18 g/dl)

- Leukosit : 24.600 µl (5000 – 10000 µl)

- Ht : 39,5 % (L 40 – 54 %)

- Trombosit : 243.000/µl (150.000 – 400.000/µl)

- Hitung jenis : - Eosinofil : 0 (0 – 1%)

- Basofil : 3 (1-4%)

- Batang : 4 (2 – 5%)

- Segmen : 50 (40-70 %)

- Limfosit : 22 (19 – 48 %)

- Monosit : 21 (3 – 9%)

- W. pembekuan : 6 detik (2-6 detik)

- W. perdarahan : 3 detik (1-3 detik)

- SGOT : 20 UI/L (<37 UI/L)

- SGPT : 11 UI/L (<41 UI/L)

Page 14: Case Report Anestesi

V. DIAGNOSIS

Diagnosis klinis : Fraktur impresi

Diagnosis etiologis : CKB

Diagnosis topis : Os frontale

Tindakan : Kraniotomi

VI. KESIMPULAN PEMERIKSAAN FISIK

Status ASA I (E)

VII. LAPORAN ANESTESI

Status Anestesi

1) Persiapan Anestesi

1. Informed concent

2. Stop makan dan minum

2) Penatalaksanaan Anestesi

- Jenis anestesi : General Anestesi (GA)

- Status Fisik : ASA I E

- Vital Sign : TD : 122/68 mm Hg

N : 72 x/menit

S : 36,5 C

R : 18x/menit

BB : 40 Kg

- Premedikasi : Sulfas atropine 0,25mg, Fortanest

2mg

- Anestesi : Recofol 100mg

- Relaksasi : Midazolam 2mg

- Obat lain : Petidin, lidocain, ketorolac, transamin,

vitamin K,

vitamin C, efedrin, neostigmin, dexamethasone

Page 15: Case Report Anestesi

- Maintenance : Halothan, O2, N2O

- Teknik anestesi : Semi Closed System

Induksi IV recofol (propofol)

Intubasi dengan ET

- Respirasi: Terkontrol dengan tangan

- Posisi : Supine

3) Infus : RL, NaCl 0,9, Fimahes 200, Tutofusin ops

4) Pemantauan selama anestesi :

- Mulai anestesi : 14.15

- Mulai operasi : 14.25

- Operasi Selesai : 15.20

5) Cairan yang masuk durante operasi :

- RL : 500 cc

- NaCl 0,9 : 1000 cc

- Fimahes 200 : 500 cc

- Tutofusin ops : 500 cc

BB : 40 kg, durante operasi 55 menit, puasa ± 8 jam, bleeding ± 700 cc, stress: operasi besar

Terapi cairan yang diberikan :

Maintenance

Anak: 2-4cc/ kgBB/ Jam

2 x 40 = 80 cc/jam

Pengganti puasa 8 jam

8 x maintenance

8 x 80 = 640 cc/jam

Stress operasi

8cc / kgBB/ jam

8 x 40 = 320 cc/jam

Page 16: Case Report Anestesi

Mengganti bleeding

3 x jumlah darah yang hilang dalam cc (dengan kristaloid)

3 x 700 = 2100 cc/jam

Pemberian cairan :

Jam I : puasa + maintanance + ½ stress operasi

640 + 80 + ½ 320 = 880 cc

Jam II : puasa + maintanance + ¼ stress operasi

640 + 80 + ¼ 320 = 800 cc

Jam III : ¼ puasa + maintanance + ¼ stress operasi

640 + 80 + ¼ 320 = 800 cc

VIII. PROGNOSIS

Dubia

IX. PEMBAHASAN

1) Pra Operatif

Pasien datang dari bangsal ICU setelah sebelumnya sudah ditangani di IGD terlebih

dahulu. Pada saat datang keadaaan umum pasien sedang, keluhan merasa nyeri di kepala

dengan GCS E4M6V5, TD: 122/68, N: 72x/menit, RR: 18x/menit, S : 36ºC. Pasien tidak

mempunyai riwayat operasi sebelumnya, tidak mempunyai riwayat alergi, hipertensi dan

DM. Pasien memiliki riwayat asma yang sudah lama tidak kambuh.

2) Durante Operatif

Sebelum dilakukan tindakan pembedahan pada pasien ini diputuskan untuk

dilakukan general anestesi dengan teknik semi closed system dan memakai fasilitas

intubasi. Alasannya karena tindakan operasi tersebut termasuk operasi besar khusus, dan

berlangsung kurang lebih 1 jam sehingga dengan teknik ini diharapkan jalan nafas dapat

dikendalikan dengan baik.

Sebelum dilakukan tindakan anestesi terlebih dahulu diberikan premedikasi.

Premedikasi yang digunakan adalah Sulfas Atropin (SA) dan Fortanest. SA diberikan

Page 17: Case Report Anestesi

dengan dosis 0,01 mg/kgBB pemberiannya secara intravena. Pada pasien ini diberikan

dengan dosis 0,25 mg. Indikasi SA adalah untuk penanganan hipersekresi dan

hipersalivasi sebelum atau setelah operasi. Efek sampingnya berupa kekeringan mulut

dan kekaburan pandangan. Sedangkan pemberian fortanest yang mengandung midazolam

dengan dosis 2 mg iv digunakan sebagai pelemas otot. Midazolam mempunyai durasi dan

onset cepat. Onsetnya adalah 2-12 menit dengan durasi 2,5 jam. Efek samping midazolam

adalah amnesia anterograde sehingga diharapkan pasien tidak dapat mengingat kejadian

selama di ruang operasi untuk menghindari trauma psikologis.

Untuk induksi diberikan Recofol yang berisi Propofol. Indikasi Propofol adalah

sebagai induksi sedative pada anastesi umum dan sedasi pada perawatan intensif.

Suntikan secara iv seringkali menyebabkan nyeri oleh karenanya dapat diberikan lidocain

1-2 mg/kgBB secara iv dan harus dilakukan perlahan untuk mengurangi nyerinya. Dosis

pemberian propofol untuk induksi adalah 2−3mg/kgBB sehingga pada pasien ini

diberikan dosis 100mg. Pada wanita hamil tidak dianjurkan karena dapat menembus

plasenta.

Untuk pemeliharaan anestesi diberikan dengan cara inhalasi. Zat anestesi yang

digunakan adalah N2O, O2, dan Halothan. N2O merupakan zat anestesi yang lemah tapi

mempunyai efek analgetik yang kuat. Pemberian N2O biasanya bersamaan dengan O2

dengan tujuan untuk mencegah terjadinya hipoksia. Selain itu N2O bersifat mendesak

oksigen dalam tubuh karena sebagian besar N2O maasuk ke dalam alveoli yang akan

menyebabkan terjadinya hipoksia dan tindakan yang dilakukan untuk mencegah

terjadinya hipoksia difusi adalah dengan cara pemberian O2 tinggi beberapa menit setelah

selesai anestesi. Selain digunakan juga halothan untuk menjaga tingkat sedasi dari pasien.

Baunya tidak mengganggu dan tidak merangsang jalan nafas, maka oleh sebab itu sering

digunakan untuk maintenance anastesi umum dan induksi inhalasi pada pasien anak yg

umumnya kurang kooperatif. Pada rumatan nafas spontan biasanya diberikan 1−2 vol%

sedangkan pada rumatan pasien dengan nafas terkendali sekitar 0,5−1 vol%. Halothan

menyebabkan vasodilatasi serebral yang meninggikan aliran darah ke otak yang sulit

dikendalikan sehingga tidak dianjurkan untuk operasi pada bedah otak.

Pada pasien kraniotomi dengan menggunakan gas halothan sebagai rumatan biasanya

disertai perdarahan yang cukup banyak sehingga diperlukan obat yang bersifat

Page 18: Case Report Anestesi

hemostatik. Untuk mengatasinya maka pada pasien diberikan Transamin yang berisi

Asam traneksamat dengan dosis 500mg iv dikombinasi dengan vitamin K yang berperan

dalam faktor pembekuan darah dan vitamin C yang bertujuan untuk meningkatkan kerja

dari obat Transamin sehingga volume perdarahan bisa ditekan.

Untuk mengatasi atau mengurangi nyeri operasi dan pasca operasi diberikan petidin

dengan dosis 0,2−0,5mg/kgBB iv dan ketorolac dengan dosis 30 mg/ml. Petidin adalah

zat sintetik opioid mirip morfin yang bersifat analgesi kuat dan sedasi namun

menstimulasi saraf parasimpatis sehingga dapat menyebabkan mual muntah dan

hiperaktif reflex spinal. Seperti morfin, petidin dapat menyebabkan konstipasi tapi efek

terhadap sfinter oddi lebih ringan. Lama kerja petidin lebih pendek disbanding morfin

sehingga pemulihan pasca bedah pasien menjadi lebih cepat.

Ketorolac merupakan senyawa anti inflamasi non steroid bekerja pada jalur siklo

oksigenase, menghambat biosintesis prostaglandin dengan aktifitas analgetik yang kuat

secara perifer maupun sentral, disamping itu memiliki efek anti inflamasi dan anti piretik.

Ketorolac tromethamine memiliki efek analgetik yang setara dengan morfin atau pethidin

namun efeknya lebih lambat. Sehingga digunakan untuk nyeri pasca operasi.

Efedrin merupakan agonis reseptor α, β1, dan β2 sehingga merangsang pelepasan

norepinefrin dari neuron simpatis. Dengan lepasnya norepinefrin akan menyebabkan

bronkodilatasi dan meningkatkan aktivitas kardiovaskular dengan cara menstimulasi

detak jantung sehingga mempengaruhi cardiac output disertai dengan vasokonstriksi

sehingga berefek pada meningkatnya tekanan darah. Efedrin dapat meningkatkan gula

darah sehingga penggunaannya pada pasien diabetes perlu diperhatikan.

Neostigmin merupakan salah satu antikolinesterase yang paling sering digunakan

sebagai penawar pelumpuh otot. Dosis neostigmin adalah 0,04−0,08 mg/kgBB.

Neostigmin bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, hipersekresi,

bradikardi, bronkospasme, hipermotilitas usus, sehingga penggunannya harus

diperhatikan dan disertai obat vagolitik seperti Atropin dosis 0,01−0,02mg/kgBB.

Penggunaan deksametason dimaksudkan untuk mengurangi peradangan pasca

pembedahan.

Untuk mengganti kehilangan cairan tubuh diberikan cairan kristaloid dan koloid pada

pasien selama operasi dan cairan kristaloid selama puasa perioperatif. Setelah selesai

Page 19: Case Report Anestesi

operasi, pasien dibawa ke ruang pemulihan dan diberikan O2 secara inhalasi 2 l/mnt untuk

mencegah hipoksia akibat N2O. Aldrette score pada pasien ini sewaktu memasuki

recovery room pada pukul 15.45 adalah 7 dengan rincian sebagai berikut: aktivitas

motorik (1), pernafasan (1), tekanan darah (2), kesadaran (1), warna kulit (2) dan keluar

recovery room pada pukul 15.50 dengan aldrette score 8 dengan rincian sebagai berikut:

aktivitas motorik (1), pernafasan (2), tekanan darah (2), kesadaran (1), warna kulit (2),

dan langsung dipindahkan ke ruang ICU.

3) Post operatif

Laporan di Ruangan ICU

Masuk ICU tanggal 22 – 06 – 2012, jam 15.50 WIB

A : Clear

B : Rr : 24 x / mnt, SN vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/- , ventilator (−)

C : TD : 120/80 mmHg, N: 90 x /mnt, S : 36,7 0C

D : GCS : 9 (E2M5V2)

X. KESIMPULAN1) Fraktur impresi pada cranial harus mendapat tindakan segera karena dapat

mengakibatkan perdarahan intracranial

2) Penatalaksanaan anestesi pada pasien yang di lakukan operasi craniotomy pada

seorang pria usia 13 tahun adalah dengan anestesi umum.

3) Pasien yang akan dioperasi diperiksa terlebih dahulu, meliputi anamnesis,

pemeriksaaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan ASA.

4) Anestesi umum dengan teknik intubasi dipilih karena operasi tersebut dilakukan

di region kapitis dan termasuk operasi mayor darurat sehingga dengan teknik ini

diharapkan jalan nafas dapat dikendalikan dengan baik.

5) Perawatan pasien di ICU dilakukan dengan tujuan memonitoring stabilitas pasien

post operatif sampai keadaan umum pasien membaik dan dapat dipindahkan ke

ruangan.

Page 20: Case Report Anestesi

XI. SARAN1) Sebaiknya dilakukan pengawasan ketat terhadap pasien post operatif kraniotomi

untuk memonitor kemungkinan yang terjadi, misalnya sepsis atau peningkatan

TIK.

2) Untuk operasi pada cranial hindari penggunaan obat – obat yang meningkatkan

aliran darah ke otak untuk mengurangi resiko kehilangan darah lebih besar.

Page 21: Case Report Anestesi

DAFTAR PUSTAKA

1. JAPARDI,S. Pentatalaksanaan Cedera Kepala Secara Operatif.

http://library.usu.ac.id/modules.php?

op=modload&name=Downloads&file=index&req=getit&lid=827.

2. NN. 2000. Catatan Kuliah AnestesiEdisi 1.SINAN

3. Pramudianti, Arlina, dkk. 2011. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 10. Jakarta :

BIP

4. Said,A Latief. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan

Terqpi Intensif FK UI.


Top Related