Download - Case Report Anestesi
PRESENTASI KASUS
Penatalaksanaan Anestesi Umum Pada
Operasi Kraniotomi Untuk Koreksi Fraktur Impresi Pada
Ossis Frontalis
Pembimbing :
Dr. Diding, Sp. An
Disusun Oleh :
1. Arimas Bramantyo 111.022.11.09
2. Retno Suparihastuti 111.022.11.10
SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASIRUMAH SAKIT WIJAYA KUSUMA PURWOKERTO
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA2012
HALAMAN PENGESAHAN
Presentasi kasus dengan judul :
Penatalaksanaan Anestesi Umum Pada
Operasi Kraniotomi Untuk Koreksi Fraktur Impresi Pada Ossis Frontalis
Disusun untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan kepaniteraan klinik di Bagian Anetesiologi
dan Reanimasi Rumah Sakit Wijaya Kusuma Purwokerto.
Di susun oleh :
1. Arimas Bramantyo 111.022.11.09
2. Retno Suparihastuti 111.022.11.10
Telah dipresentasikan dan di setujui
Pada tanggal : Juli 2012
Dokter Pembimbing,
dr. Diding, Sp. An
Penatalaksanaan Anestesi Umum Pada
Operasi Kraniotomi Untuk Koreksi Fraktur Impresi Pada Ossis Frontalis
ABSTRAK
Dilaporkan penatalaksanaan anestesi pada operasi kraniotomi untuk koreksi fraktur
impresi pada os frontalis pada seorang laki-laki berumur 13 tahun dengan anestesi umum, status
fisik ASA 1E
Medikasi induksi dengan memakai Recofol 100mg, Petidin 4 ml. Premedikasi dengan
menggunakan sulfas atropine 0,25mg dan fortanest 2mg. Maintenance dengan inhalasi O2, N2O
dan Halotan menggunakan ET no. 7. Durante operasi 55 menit dengan memonitoring tensi, nadi,
saturasi oksigen.
Operasi berlangung selama 55 menit. Durante operasi tidak didapatkan penyulit anestesi
maupun pembedahan. Postoperasi pasien tetap terintubasi dengan sedasi dan napas kontrol.
Perawatan post operasi dilakukan di Bangsal.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Definisi Trauma Kepala (Head Injury)
Pada penanganan pasien dengan trauma kepala, seluruh tindakan resusitasi, anamnesis
dan pemeriksaan fisik dilakukan secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat
mengurangi unsur keterlewatannya evaluasi unsur vital. Jika telah terjadi suatu trauma kepala,
tidak ada satu hal pun yang dapat dilakukan untuk mengubahnya. Yang dapat dilakukan
adalah meminimalisir kerusakan yang muncul dari komplikasi sekunder.
I.2 Klasifikasi
Secara sederhana, trauma kepala dibagi berdasar mekanisme, keparahan dan morfologi.
Berdasar mekanisme, trauma kepala dibagi menjadi trauma tumpul atau tajam. Berdasarkan
keparahan cedera, trauma kepala dibagi dalam ringan (GCS 14-15), sedang (GCS 9-13) atau
berat (GCS 3-8). Kemajuan teknologi pencitraan telah memungkinkan pengklasifikasian
kerusakan otak menjadi fokal dan difus, walaupun mungkin saja terdapat keduanya. Selain itu
kerusakan otak juga dapat dikelompokkan menjadi primer (terjadi pada saat benturan) atau
sekunder (berasal dari kerusakan yang telah terjadi).
Yang termasuk kerusakan fokal adalah
1. Laserasi dan kontusio
2. Hematoma intrakranial
3. Herniasi tentorial/tonsilar
4. Infeksi
Yang termasuk kerusakan difus adalah
1. Kerusakan akson difus
2. Edema otak
3. Iskemia otak
I.3 Manajemen Pasien dengan Trauma Kepala
Pasien yang datang dengan trauma kepala, khususnya yang dalam keadaan koma,
memerlukan penatalaksanaan segera dengan prioritas yang sesuai.
Pada cedera kepala sering terjadi gangguan terhentinya pernafasan yang sementara.
Apnea yang berlangsung lama sering merupakan penyebab kematian langsung di tempat
kecelakaan.
Aspek yang sangat penting pada penatalaksanaan segera penderita cedera kepala
berat ini adalah Intubasi endotrakeal. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100%
sampai diperoleh hasil pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang
tepat terhadap FiO2.
Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera kepala
berat. Walaupun hal ini dapat digunakan sementara untuk mengkoreksi asidosis dan
menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah berdilatasi, tindakan
hiperventilasi ini tidak selalu menguntungkan. Hiperventilasi dapat dilakukan secara hati-hati
pada penderita cedera kepala berat yang menunjukkan perburukan GCS atau timbulnya
dilatasi pupil. pCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmHg (3,3-4,7 kPa).
Hipotensi dan hipoksia adalah penyebab utama terjadinya perburukan pada penderita
cedera kepala berat. Karenanya bila terjadi hipotensi maka harus segra dilakukan tindakan
untuk menormalkan tekanan darahnya. Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak
itu sendiri keduali pada stadium terminal medulla oblongata sudah mengalami gangguan.
Yang lebih sering terjadi adalah bahwa hipotensi merupakan adanya kehilangan
darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Penyebab lainnya adalah Trauma Medula
Spinalis (Tetraplegia atau Paraplegia), kontusio jantung atau tamponade jantung dan tension
pneumothorax.
Pada pasien dengan trauma kepala, seringkali anamnesis tidak didapat dari pasien
melainkan dari keluarga atau orang lain yang melihat kejadian trauma tersebut. Hal-hal yang
perlu ditanyakan antara lain adalah :
Berapa lama terjadinya penurunan kesadaran
Periode amnesia pasca trauma
Penyebab trauma
Keluhan nyeri kepala dan muntah
Pada pemeriksaan fisik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ialah :
Kesadaran dan tanda vital
Refleks pupil dan pergerakan bola mata
Kelemahan pada ekstremitas
Tanda fraktur basis cranii
Laserasi dan hematoma
Pemeriksaan yang perlu dilakukan diantaranya adalah :
Pemeriksaan lab rutin
Pemeriksaan radiologis, berupa foto rontgen kepala dan bagian tubuh lain yang
diperlukan. Jika tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan dengan CT scan atau MRI.
I.4 Anestesi pada cedera kepala
Pertimbangan utama dalam memilih obat anestesi, atau kombinasi obat-obatan
anestesi, adalah pengaruhnya terhadap TIK. Karena semua obat yang menyebabkan
vasodilatasi serebral mungkin berakibat peninggian TIK,pemakaiannya sedapat mungkin
harus dicegah. Satu yang terburuk dalam hal ini adalah ketamin, yang merupakan
vasodilator kuat dan karenanya secara umum dicegah penggunaannya pada pasien cedera
kepala. Semua obat anestesi inhalasi dapat meninggikan aliran darah serebral secara ringan
hingga berat. Obat inhalasi volatil seperti halotan. enfluran dan isofluran, semua
meninggikan aliran darah serebral, namun mereka mungkin aman pada konsentrasi rendah.
Isofluran paling sedikit kemungkinannya menyebabkan vasodilatasi serebral. Nitrous oksida
berefek vasodilatasi ringan yang mungkin secara klinik tidak bermakna, dan karenanya
dipertimbangkan sebagai obat yang baik untuk digunakan pada pasien cedera kepala.
Kombinasi yang umum digunakan adalah nitrous oksida (50-70 % dengan oksigen),
relaksan otot intravena, dan tiopental. Penggunaan hiperventilasi dan mannitol sebelum
dan selama induksi dapat mengaburkan efek vasodilatasi dan membatasi hipertensi
intrakranial pada batas tertentu saat kranium mulai dibuka. Bila selama operasi
pembengkakan otak maligna terjadi, yang refraktori terhadap hiperventilasi dan mannitol,
tiopental (Pentothal) pada dosis besar (5-10 mg/kg) harus digunakan. Obat ini dapat
menyebabkan hipotensi, terutama pada pasien hipovolemik, karenanya harus digunakan
hati-hati. Sebagai pilihan terakhir, penggunaan hipotensi terkontrol, dengan trimetafan
(Arfonad) atau nitroprussida (Nipride) dapat dipertimbangkan. Pada setiap keadaan,
penting untuk memastikan penyebab pembengkakan otak, seperti kongesti vena akibat
kompresi leher dan adanya hematoma tersembunyi baik ipsi atau kontralateral dari sisi
kraniotomi.
II. 1 Definisi Peningkatan Tekanan Intrakranial
Peningkatan tekanan intrakranial adalah peningkatan tekanan otak normal. Peningkatan
tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan cairan serebrospinal. Juga dapat
disebabkan oleh peningkatan tekanan dalam masalah otak yang disebabkan oleh lesi (seperti
tumor) atau pembengkakan di dalam materi otak itu sendiri. Peningkatan tekanan intrakranial
adalah masalah medis serius. Tekanan itu sendiri dapat merusak sistem saraf pusat dengan
menekan struktur otak yang penting dan dengan membatasi aliran darah melalui pembuluh darah
yang memasok otak. Penyebab umum termasuk: Aneurisma pecah dan pendarahan subarachnoid,
tumor otak, pendarahan otak hipertensi, pendarahan, cedera kepala parah.
II.2 Manifestasi Klinik
a. Muntah
b. Sakit kepala
c. Perubahan kepribadian
d. Diplopia
e. Papil edema
f. Pembesaran lingkar kepala
g. Ubun ubun besar membonjol
h. Trias Cushing :bradikardi, hipertensi,pernafasan ireguler.
i. Herniasi otak
II.3 Diagnosa
a. Anamnesa
b. Tanda vital : suhu, pola dan laju pernafasan, tekanan darah , tekanan dan frekwensi nadi
c. Pemeriksaan Fisik
d. Pemeriksaan neurologis lengkap
e. Tingkat kesadaran
f. Syaraf cranial
g. Fungsi motorik : tonus otot, kekuatan
h. Reflek fisiologis dan patologis
i. Pemeriksaan penunjang
- CT Scan/ MRI kepala
j. Pemeriksaan lain seperti darah rutin, studi koagulasi atas indikasi.
II.3 Penatalaksanaan
II.3.1 Tujuan
a. Menurunkan tekanan intracranial
b. Memperbaiki aliran darah otak
c. Mencegah dan menghilangkan herniasi
II.3.2 Tatalaksana
a. Mengurangi volume komponen-komponen otak
1. Volume darah
o Hiperventilasi
o Pemberian obat-obatan anestesi menyebabkan vasokonstriksi .
o Analgesik,sedative
o Mencegah hipertemi ( menurunkan metabolisme otak )
2. Jaringan otak
o Manitol
o Deksametason
3. Cairan serebrospinal
o Furosemide
o Asetazolamid
b. Mempertahankan fungsi metabolik otak
o Tekanan O2 90-120 mmHg
o Atasi kejang
o Jaga keseimbangan elektrolit dan metabolic
o Kadar Hemoglobin dipertahankan 10 mg/dl.
o Mempertahankan MAP dalam batas normal
c. Menghindari keadaan yang dapat meningkatkan tekanan intracranial
1. Pengelolaan pemberian cairan
o Keseimbangan cairan
Diuresis > 1ml/kgbb/jam
2. Posisi kepala
II.4 Penatalaksanaan intubasi pada pasien dengan peningkatan tekanan intracranial
Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk mengamankan ABCDE (primary
survey) pada pasien. Banyak pasien dengan peningkatan ICP memerlukan intubasi. Pasien
dengan skor GCS kurang dari 8 harus diintubasi untuk melindungi airway. Yang menjadi
perhatian utama pada pemasangan intubasi ini adalah intubasi ini mampu memberikan ventilasi
tekanan positif yang kemudian dapat meningkatkan tekanan vena sentral yang kemudian akan
menghasilkan inhibisi aliran balik vena sehingga akan meningkatkan ICP.
Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung kemih dan usus.
Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa pemberian antibiotik harus dilaksanakan dengan
segera. Pemberian analgesia yang memadai harus diberikan walaupun pasien dalam kondisi di
bawah sadar.
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala dapat menurunkan ICP
pada komdisi normal dan pada pasien dengan cedera kepala melalui mekanisme penurunan
tekanan hidrostatis CSF yang akan menghasilkan aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan
umumnya digunakan untuk elevasi pada kepala adalah 30o. Pasien harus diposisikan dengan
kepala menghadap lurus ke depan karena apabila kepala pasien menghadap ke salah satu sisinya
dan disertai dengan fleksi pada leher akan menyebabkan penekanan pada vena jugularis interna
dan memperlambat aliran balik vena.
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. JS
Umur : 13 tahun
Berat badan : 40 kg
Tinggi badan : 155 cm
Jenis kelamin : Laki – laki
Alamat : Jl. Rempoah RT 03/03, Baturaden
Agama : Islam
Tanggal masuk : 20 Juni 2012, 18.00 WIB
No. CM : 234302
II ANAMNESIS (alloanamnesis)
a. Keluhan utama : Penurunan kesadaran post KLL
b. Keluhan tambahan : Pusing
c. RPS :
Pasien datang ke IGD RS Wijaya Kusumah dengan riwayat kecelakaan lalu
lintas tabrakan sepeda motor dengan sepeda motor dengan benturan pada kepala bagian
depan tanggal 20 Juni 2012 pukul 17.00 WIB. Menurut anamnesis yang dilakukan,
pasien tidak sadarkan diri sesaat setelah terjadinya kecelakaan. Terdapat nyeri pada
bagian kepala tanpa disertai muntah.
d. RPD :
- Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
- Riwayat penyakit DM : disangkal
- Riwayat penyakit alergi : disangkal
- Riwayat penyakit asma : ada, tapi tidak pernah kambuh sejak umur 4 tahun
- Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status generalis
Keadaan Umum : Tampak Sakit Berat
Kesadaran : Somnolen, GCS= E3M6V4
Vital Sign : Tekanan darah = 100/60 mmHg
Respirasi = 22 kali/menit
Nadi = 80x/menit, isi dan tekanan penuh
Suhu = 36 0C
Kepala : Hematom (+)
VL dahi ± 3 x 0,5 x 0,5 cm
VL garis hidung ± 1x 0,5 x 0,5 cm
Mata : Konjungtiva anemis -/-
Sklera ikterik -/-
RCL+/+ , RCTL +/+
Pupil isokor, diameter ± 3 mm
Telinga : dbn
Hidung : Discharge (-) epistaksis (+), deviasi septum (-)
Mulut : dbn
Gigi : dbn, gigi palsu (-)
Leher :Simestris, trakea ditengah, pembesaran tiroid dan kelenjar getah
bening (-)
Thorax : Pulmo : Simetris kanan – kiri
Tidak ada retraksi
SN vesikuler (+/+) normal
Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Dinding perut datar, supel
Hepar/ Lien: tidak teraba.
Usus: BU (+) normal
Extremitas : Edema (-), sianosis (-), akral hangat
VL tungkai atas dextra – sinistra, VL tungkai bawah sinistra
Fraktur MCP II kanan
b. Terapi dari IGD
1. Infus Ringer laktat 20 tts/menit
2. Mannitol 4 x 100 cc
3. Pirabrain 3 x 1200 mg
4. Remopain 3 x 10 mg
5. Kedacillin 2 x 1 gr
6. Fordin 2 x 50 mg
7. Kateter urin
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 20 Juni 2012
1. CT Scan → Kesan : Fraktur impresi os frontale
2. Pemeriksaan darah lengkap :
- Hb : 12,9 g/dl (14 – 18 g/dl)
- Leukosit : 24.600 µl (5000 – 10000 µl)
- Ht : 39,5 % (L 40 – 54 %)
- Trombosit : 243.000/µl (150.000 – 400.000/µl)
- Hitung jenis : - Eosinofil : 0 (0 – 1%)
- Basofil : 3 (1-4%)
- Batang : 4 (2 – 5%)
- Segmen : 50 (40-70 %)
- Limfosit : 22 (19 – 48 %)
- Monosit : 21 (3 – 9%)
- W. pembekuan : 6 detik (2-6 detik)
- W. perdarahan : 3 detik (1-3 detik)
- SGOT : 20 UI/L (<37 UI/L)
- SGPT : 11 UI/L (<41 UI/L)
V. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis : Fraktur impresi
Diagnosis etiologis : CKB
Diagnosis topis : Os frontale
Tindakan : Kraniotomi
VI. KESIMPULAN PEMERIKSAAN FISIK
Status ASA I (E)
VII. LAPORAN ANESTESI
Status Anestesi
1) Persiapan Anestesi
1. Informed concent
2. Stop makan dan minum
2) Penatalaksanaan Anestesi
- Jenis anestesi : General Anestesi (GA)
- Status Fisik : ASA I E
- Vital Sign : TD : 122/68 mm Hg
N : 72 x/menit
S : 36,5 C
R : 18x/menit
BB : 40 Kg
- Premedikasi : Sulfas atropine 0,25mg, Fortanest
2mg
- Anestesi : Recofol 100mg
- Relaksasi : Midazolam 2mg
- Obat lain : Petidin, lidocain, ketorolac, transamin,
vitamin K,
vitamin C, efedrin, neostigmin, dexamethasone
- Maintenance : Halothan, O2, N2O
- Teknik anestesi : Semi Closed System
Induksi IV recofol (propofol)
Intubasi dengan ET
- Respirasi: Terkontrol dengan tangan
- Posisi : Supine
3) Infus : RL, NaCl 0,9, Fimahes 200, Tutofusin ops
4) Pemantauan selama anestesi :
- Mulai anestesi : 14.15
- Mulai operasi : 14.25
- Operasi Selesai : 15.20
5) Cairan yang masuk durante operasi :
- RL : 500 cc
- NaCl 0,9 : 1000 cc
- Fimahes 200 : 500 cc
- Tutofusin ops : 500 cc
BB : 40 kg, durante operasi 55 menit, puasa ± 8 jam, bleeding ± 700 cc, stress: operasi besar
Terapi cairan yang diberikan :
Maintenance
Anak: 2-4cc/ kgBB/ Jam
2 x 40 = 80 cc/jam
Pengganti puasa 8 jam
8 x maintenance
8 x 80 = 640 cc/jam
Stress operasi
8cc / kgBB/ jam
8 x 40 = 320 cc/jam
Mengganti bleeding
3 x jumlah darah yang hilang dalam cc (dengan kristaloid)
3 x 700 = 2100 cc/jam
Pemberian cairan :
Jam I : puasa + maintanance + ½ stress operasi
640 + 80 + ½ 320 = 880 cc
Jam II : puasa + maintanance + ¼ stress operasi
640 + 80 + ¼ 320 = 800 cc
Jam III : ¼ puasa + maintanance + ¼ stress operasi
640 + 80 + ¼ 320 = 800 cc
VIII. PROGNOSIS
Dubia
IX. PEMBAHASAN
1) Pra Operatif
Pasien datang dari bangsal ICU setelah sebelumnya sudah ditangani di IGD terlebih
dahulu. Pada saat datang keadaaan umum pasien sedang, keluhan merasa nyeri di kepala
dengan GCS E4M6V5, TD: 122/68, N: 72x/menit, RR: 18x/menit, S : 36ºC. Pasien tidak
mempunyai riwayat operasi sebelumnya, tidak mempunyai riwayat alergi, hipertensi dan
DM. Pasien memiliki riwayat asma yang sudah lama tidak kambuh.
2) Durante Operatif
Sebelum dilakukan tindakan pembedahan pada pasien ini diputuskan untuk
dilakukan general anestesi dengan teknik semi closed system dan memakai fasilitas
intubasi. Alasannya karena tindakan operasi tersebut termasuk operasi besar khusus, dan
berlangsung kurang lebih 1 jam sehingga dengan teknik ini diharapkan jalan nafas dapat
dikendalikan dengan baik.
Sebelum dilakukan tindakan anestesi terlebih dahulu diberikan premedikasi.
Premedikasi yang digunakan adalah Sulfas Atropin (SA) dan Fortanest. SA diberikan
dengan dosis 0,01 mg/kgBB pemberiannya secara intravena. Pada pasien ini diberikan
dengan dosis 0,25 mg. Indikasi SA adalah untuk penanganan hipersekresi dan
hipersalivasi sebelum atau setelah operasi. Efek sampingnya berupa kekeringan mulut
dan kekaburan pandangan. Sedangkan pemberian fortanest yang mengandung midazolam
dengan dosis 2 mg iv digunakan sebagai pelemas otot. Midazolam mempunyai durasi dan
onset cepat. Onsetnya adalah 2-12 menit dengan durasi 2,5 jam. Efek samping midazolam
adalah amnesia anterograde sehingga diharapkan pasien tidak dapat mengingat kejadian
selama di ruang operasi untuk menghindari trauma psikologis.
Untuk induksi diberikan Recofol yang berisi Propofol. Indikasi Propofol adalah
sebagai induksi sedative pada anastesi umum dan sedasi pada perawatan intensif.
Suntikan secara iv seringkali menyebabkan nyeri oleh karenanya dapat diberikan lidocain
1-2 mg/kgBB secara iv dan harus dilakukan perlahan untuk mengurangi nyerinya. Dosis
pemberian propofol untuk induksi adalah 2−3mg/kgBB sehingga pada pasien ini
diberikan dosis 100mg. Pada wanita hamil tidak dianjurkan karena dapat menembus
plasenta.
Untuk pemeliharaan anestesi diberikan dengan cara inhalasi. Zat anestesi yang
digunakan adalah N2O, O2, dan Halothan. N2O merupakan zat anestesi yang lemah tapi
mempunyai efek analgetik yang kuat. Pemberian N2O biasanya bersamaan dengan O2
dengan tujuan untuk mencegah terjadinya hipoksia. Selain itu N2O bersifat mendesak
oksigen dalam tubuh karena sebagian besar N2O maasuk ke dalam alveoli yang akan
menyebabkan terjadinya hipoksia dan tindakan yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya hipoksia difusi adalah dengan cara pemberian O2 tinggi beberapa menit setelah
selesai anestesi. Selain digunakan juga halothan untuk menjaga tingkat sedasi dari pasien.
Baunya tidak mengganggu dan tidak merangsang jalan nafas, maka oleh sebab itu sering
digunakan untuk maintenance anastesi umum dan induksi inhalasi pada pasien anak yg
umumnya kurang kooperatif. Pada rumatan nafas spontan biasanya diberikan 1−2 vol%
sedangkan pada rumatan pasien dengan nafas terkendali sekitar 0,5−1 vol%. Halothan
menyebabkan vasodilatasi serebral yang meninggikan aliran darah ke otak yang sulit
dikendalikan sehingga tidak dianjurkan untuk operasi pada bedah otak.
Pada pasien kraniotomi dengan menggunakan gas halothan sebagai rumatan biasanya
disertai perdarahan yang cukup banyak sehingga diperlukan obat yang bersifat
hemostatik. Untuk mengatasinya maka pada pasien diberikan Transamin yang berisi
Asam traneksamat dengan dosis 500mg iv dikombinasi dengan vitamin K yang berperan
dalam faktor pembekuan darah dan vitamin C yang bertujuan untuk meningkatkan kerja
dari obat Transamin sehingga volume perdarahan bisa ditekan.
Untuk mengatasi atau mengurangi nyeri operasi dan pasca operasi diberikan petidin
dengan dosis 0,2−0,5mg/kgBB iv dan ketorolac dengan dosis 30 mg/ml. Petidin adalah
zat sintetik opioid mirip morfin yang bersifat analgesi kuat dan sedasi namun
menstimulasi saraf parasimpatis sehingga dapat menyebabkan mual muntah dan
hiperaktif reflex spinal. Seperti morfin, petidin dapat menyebabkan konstipasi tapi efek
terhadap sfinter oddi lebih ringan. Lama kerja petidin lebih pendek disbanding morfin
sehingga pemulihan pasca bedah pasien menjadi lebih cepat.
Ketorolac merupakan senyawa anti inflamasi non steroid bekerja pada jalur siklo
oksigenase, menghambat biosintesis prostaglandin dengan aktifitas analgetik yang kuat
secara perifer maupun sentral, disamping itu memiliki efek anti inflamasi dan anti piretik.
Ketorolac tromethamine memiliki efek analgetik yang setara dengan morfin atau pethidin
namun efeknya lebih lambat. Sehingga digunakan untuk nyeri pasca operasi.
Efedrin merupakan agonis reseptor α, β1, dan β2 sehingga merangsang pelepasan
norepinefrin dari neuron simpatis. Dengan lepasnya norepinefrin akan menyebabkan
bronkodilatasi dan meningkatkan aktivitas kardiovaskular dengan cara menstimulasi
detak jantung sehingga mempengaruhi cardiac output disertai dengan vasokonstriksi
sehingga berefek pada meningkatnya tekanan darah. Efedrin dapat meningkatkan gula
darah sehingga penggunaannya pada pasien diabetes perlu diperhatikan.
Neostigmin merupakan salah satu antikolinesterase yang paling sering digunakan
sebagai penawar pelumpuh otot. Dosis neostigmin adalah 0,04−0,08 mg/kgBB.
Neostigmin bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, hipersekresi,
bradikardi, bronkospasme, hipermotilitas usus, sehingga penggunannya harus
diperhatikan dan disertai obat vagolitik seperti Atropin dosis 0,01−0,02mg/kgBB.
Penggunaan deksametason dimaksudkan untuk mengurangi peradangan pasca
pembedahan.
Untuk mengganti kehilangan cairan tubuh diberikan cairan kristaloid dan koloid pada
pasien selama operasi dan cairan kristaloid selama puasa perioperatif. Setelah selesai
operasi, pasien dibawa ke ruang pemulihan dan diberikan O2 secara inhalasi 2 l/mnt untuk
mencegah hipoksia akibat N2O. Aldrette score pada pasien ini sewaktu memasuki
recovery room pada pukul 15.45 adalah 7 dengan rincian sebagai berikut: aktivitas
motorik (1), pernafasan (1), tekanan darah (2), kesadaran (1), warna kulit (2) dan keluar
recovery room pada pukul 15.50 dengan aldrette score 8 dengan rincian sebagai berikut:
aktivitas motorik (1), pernafasan (2), tekanan darah (2), kesadaran (1), warna kulit (2),
dan langsung dipindahkan ke ruang ICU.
3) Post operatif
Laporan di Ruangan ICU
Masuk ICU tanggal 22 – 06 – 2012, jam 15.50 WIB
A : Clear
B : Rr : 24 x / mnt, SN vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/- , ventilator (−)
C : TD : 120/80 mmHg, N: 90 x /mnt, S : 36,7 0C
D : GCS : 9 (E2M5V2)
X. KESIMPULAN1) Fraktur impresi pada cranial harus mendapat tindakan segera karena dapat
mengakibatkan perdarahan intracranial
2) Penatalaksanaan anestesi pada pasien yang di lakukan operasi craniotomy pada
seorang pria usia 13 tahun adalah dengan anestesi umum.
3) Pasien yang akan dioperasi diperiksa terlebih dahulu, meliputi anamnesis,
pemeriksaaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan ASA.
4) Anestesi umum dengan teknik intubasi dipilih karena operasi tersebut dilakukan
di region kapitis dan termasuk operasi mayor darurat sehingga dengan teknik ini
diharapkan jalan nafas dapat dikendalikan dengan baik.
5) Perawatan pasien di ICU dilakukan dengan tujuan memonitoring stabilitas pasien
post operatif sampai keadaan umum pasien membaik dan dapat dipindahkan ke
ruangan.
XI. SARAN1) Sebaiknya dilakukan pengawasan ketat terhadap pasien post operatif kraniotomi
untuk memonitor kemungkinan yang terjadi, misalnya sepsis atau peningkatan
TIK.
2) Untuk operasi pada cranial hindari penggunaan obat – obat yang meningkatkan
aliran darah ke otak untuk mengurangi resiko kehilangan darah lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
1. JAPARDI,S. Pentatalaksanaan Cedera Kepala Secara Operatif.
http://library.usu.ac.id/modules.php?
op=modload&name=Downloads&file=index&req=getit&lid=827.
2. NN. 2000. Catatan Kuliah AnestesiEdisi 1.SINAN
3. Pramudianti, Arlina, dkk. 2011. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 10. Jakarta :
BIP
4. Said,A Latief. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan
Terqpi Intensif FK UI.