Download - Buah Merah

Transcript
  • SKRIPSI

    PENGUJIAN TOKSISITAS AKUT EKSTRAK

    BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.) SECARA IN VIVO

    Oleh

    HAYUNING PAMBAYU RETNOMURTI

    F24103028

    2008

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

  • SKRIPSI

    PENGUJIAN TOKSISITAS AKUT EKSTRAK

    BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.) SECARA IN VIVO

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

    Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

    Fakultas Teknologi Pertanian

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh:

    HAYUNING PAMBAYU RETNOMURTI

    F24103028

    2008

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

  • Hayuning Pambayu Retnomurti. F24103028. Pengujian Toksisitas Akut Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) Secara In Vivo. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi.

    RINGKASAN

    Salah satu tanaman yang memiliki efek farmakologi dan terkenal saat ini

    adalah buah merah. Buah merah yang sebelumnya hanya dibiarkan tumbuh liar dan digunakan sebagai sumber pangan, ternyata menyimpan potensi obat yang luar biasa, karena adanya kandungan senyawa aktif berupa karotenoid, tokoferol, dan senyawa aktif lainnya yang dapat digunakan sebagai obat. Senyawa aktif tersebut berperan sebagai antioksidan yang mampu menetralisir zat-zat radikal bebas dalam tubuh yang merupakan sumber pemicu timbulnya berbagai penyakit.

    Semua yang dikonsumsi manusia, baik bahan pangan nabati maupun hewani selain mengandung zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh, terkadang juga dapat menimbulkan gejala sakit hingga kematian yang disebabkan adanya kandungan zat kimia yang bersifat racun dalam bahan pangan tersebut. Hal ini mendorong perlu dilakukannya uji toksisitas untuk menentukan efek biologis negatif akibat pemberian suatu zat.

    Penelitian ini bertujuan menguji toksisitas akut ekstrak buah merah secara in vivo sehingga dapat diketahui batas dosis yang aman dalam penggunaannya.

    Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah ekstrak buah merah yang berupa fraksi minyak dan fraksi air hasil dari metode ekstraksi sentrifugal yang diperoleh dari Papua. Kedua sampel tersebut diuji toksisitas akutnya terhadap mencit secara in vivo. Dalam pengujian toksisitas akut ekstrak buah merah, mencit diberi fraksi minyak dan fraksi air buah merah dengan dosis 5-137200 mg/kgBB. Pengamatan dilakukan selama 96 jam. Hal-hal yang diamati meliputi jumlah kematian, berat badan, tingkah laku dan gejala toksik, serta penampakan organ secara makroskopis.

    Berdasarkan ekstraksi buah merah dengan metode sentrifugal, diperoleh rendemen fraksi minyak sebesar 15 % dan fraksi air 53 %. Nilai rendemen fraksi air dihitung dari jumlah pasta sisa.

    Berdasarkan hasil pengujian toksisitas akut, tidak ditemukan adanya kematian mencit pada setiap tingkatan dosis (5-137200 mg/kgBB) untuk kedua fraksi. Dari hasil tersebut, diperoleh nilai LD50 untuk fraksi minyak dan fraksi air buah merah sebesar 137200 mg/kgBB. Berdasarkan klasifikasi toksisitas relatif (Lu, 1995), nilai toksisitas tersebut termasuk ke dalam kelompok praktis tidak toksik.

    Berdasarkan hasil pengamatan terhadap berat badan, tingkah laku dan gejala toksik tidak ditemukan adanya suatu efek toksik untuk kedua fraksi. Perubahan yang terjadi hanya menunjukkan suatu proses adaptasi terhadap stres setelah mengalami perlakuan. Berdasarkan pengamatan terhadap organ secara makroskopik untuk perlakuan kedua fraksi, ditemukan adanya perubahan warna organ terutama hati, ginjal, dan limpa yaitu menjadi semakin merah pekat dan terdapat beberapa yang kehitaman terutama dengan semakin meningkatnya dosis yang diberikan. Hal ini disebabkan adanya pengaruh kandungan senyawa aktif dan komponen zat gizi di dalam kedua fraksi terhadap fungsi dan kerja organ.

  • INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    PENGUJIAN TOKSISITAS AKUT EKSTRAK

    BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.) SECARA IN VIVO

    SKRIPSI

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

    Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

    Fakultas Teknologi Pertanian,

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh

    HAYUNING PAMBAYU RETNOMURTI

    F24103028

    Dilahirkan pada tanggal 24 September 1985

    Di Bogor, Jawa Barat

    Tanggal Lulus: 24 Januari 2008

    Menyetujui,

    Bogor, Februari 2008

    Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi Dosen Pembimbing

    Mengetahui,

    Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen ITP

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis bernama lengkap Hayuning Pambayu

    Retnomurti dan dilahirkan di Bogor, pada tanggal 24

    September 1985. Penulis adalah putri dari pasangan Sardino

    Tejosudiro dan Rita Endang. Pendidikan dasarnya diselesaikan

    di SDN Pengadilan 4 Bogor, sampai dengan tahun 1997, SLTP

    Negeri 1 Bogor, hingga tahun 2000, dan di SMU Negeri 1 Bogor sampai dengan

    tahun 2003. Setamat dari SMU, penulis diterima di Departemen Ilmu dan

    Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui

    jalur USMI (Ujian Saringan Masuk IPB).

    Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di

    berbagai kegiatan baik di dalam maupun di luar kampus. Penulis pernah menjadi

    anggota Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan (HIMITEPA), anggota Unit

    Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lises Gentra Kaheman, serta menjadi panitia dalam

    acara-acara kemahasiswaan, seperti Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan (LCTIP)

    tingkat nasional, Konferensi Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia

    (HMPPI), BAUR, Suksesi HIMITEPA, Ki Sunda Midang, dan Dies Natalis IPB.

    Penulis juga pernah menjadi staf pengajar pada Bimbingan Belajar AMPUH pada

    tahun 2005.

    Penulis melakukan tugas akhir penelitian sebagai salah satu syarat untuk

    memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian. Hasil penelitian tersebut telah

    disusun dalam bentuk skripsi yang berjudul Pengujian Toksisitas Akut Ekstrak

    Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) Secara In Vivo di bawah bimbingan

    Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi.

  • KATA PENGANTAR

    Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-

    Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tugas akhir ini disusun

    sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian

    pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,

    Institut Pertanian Bogor.

    Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli hingga November 2007 di

    Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan serta Laboratorium Hewan

    Percobaan Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut

    Pertanian Bogor. Pelaksanaan tugas akhir khususnya dalam hal analisis fisiko-

    kimia, dilakukan atas kerjasama penulis dengan Andini Julia Selly (F24103067)

    dan Eka Kurnia Sari (F24103116).

    Selama penelitian dan penyusunan skripsi, penulis mendapatkan bantuan

    dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis

    menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

    1. Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi selaku dosen pembimbing atas arahan,

    masukan, dan kesabarannya dalam membimbing penulis selama kuliah hingga

    penulisan skripsi ini.

    2. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi atas kesediaannya sebagai dosen penguji serta

    saran yang telah diberikan demi perbaikan skripsi ini.

    3. Dr. Ir. Endang Prangdimurti, MSi atas kesediaannya sebagai dosen penguji

    serta saran yang telah diberikan demi perbaikan skripsi ini.

    4. Bapak, ibu, serta adikku Bowo atas perhatian, motivasi, doa, serta curahan

    kasih sayang yang tidak henti-hentinya.

    5. Rekan-rekan penelitianku satu bimbingan (Andini Julia Selly dan Eka Kurnia

    Sari) atas bantuan, semangat, kerjasama, dan kebersamaannya dalam

    perjuangan kita yang penuh warna.

    6. Tim Manajemen Hibah Bersaing XIV Dirjen Dikti atas bantuannya dalam

    pengadaan dana selama penelitian.

    7. Bapak I Made Budi atas bantuannya dalam penyediaan ekstrak buah merah

    untuk penelitian.

  • 8. Mbak Santi, Supri, dan Kak Jimmy atas bantuan dan masukan yang diberikan

    kepada penulis selama penelitian.

    9. Bu Sri, Pak Karya, dan Pak Ucup atas bantuan dan kerjasamanya selama

    penelitian di Lab Tikus.

    10. Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Koko, Bu Rubiyah, Pak Rojak, dan seluruh

    teknisi yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, atas bantuan yang diberikan

    selama penelitian.

    11. Seluruh dosen Departemen ITP yang banyak memberikan ilmu dan nasehat

    berharga kepada penulis selama berkuliah dan staf departemen yang telah

    banyak membantu penulis.

    12. Sahabat-sahabatku (Teteh, Dhani, Gilang) atas bantuan, dorongan, doa, dan

    persahabatan yang terjalin selama ini.

    13. Teman-teman penelitian (Mbak Asih, Primus, Ade, Tuti, Jeng-jeng, Ina, Fena,

    Martin, Kanin, Nunu, Vina, Dion, Fitri, Hanifah, Aan, Marto, Oboth, Tilo,

    Bebe, Mitoel, Chusni, Eneng, April 41, Shinta 41, Erma 41, Kak Hadie 38,

    Kak Steisi 39) atas bantuan yang diberikan selama penelitian.

    14. Teman-teman seperjuangan ITP 40 yang tak terlupakan.

    15. Teman-teman di Zulfa (Herher, Mbak Dias, Dewi, De Anis, Ibokh, Tria,

    Hatur, De Ajeng, Siska, Erly, Bulan, Irma, De Ela, Nani) atas bantuan,

    motivasi, kebersamaan, dan keceriaan yang dibagi selama ini.

    16. Sepupu-sepupuku (Mas Budi, Mbak Ika, Mas Johan, dan De Angga) atas

    perhatian, semangat, dan doa yang diberikan kepada penulis.

    17. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

    Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan

    masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun

    sangat diharapkan dari semua pihak. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi

    ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

    Bogor, Februari 2008

    Penyusun

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    KATA PENGANTAR ................................................................................... i

    DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

    DAFTAR TABEL ......................................................................................... vv

    DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ivi

    DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. vii

    I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

    A. LATAR BELAKANG ........................................................................ 1 1

    B. TUJUAN ............................................................................................. 22

    II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 33

    A. BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.) .................................... 33

    1. Minyak dan Lemak ....................................................................... 77

    2. Karotenoid ..................................................................................... 11

    3. Tokoferol ...................................................................................... 12

    B. TOKSIKOLOGI .................................................................................. 14

    1. Definisi Toksikologi ..................................................................... 14

    2. Paparan Umum Toksikologi ......................................................... 14

    3. Pengujian Toksikologi .................................................................. 15

    C. PENGUJIAN IN VIVO ........................................................................ 20

    1. Biologi Mencit ............................................................................. 22

    D. METABOLISME ................................................................................ 23

    1. Peranan Organ-organ dalam Metabolisme Lemak ........................ 24

    a. Lambung ................................................................................. 24

    b. Usus ......................................................................................... 24

    c. Hati .......................................................................................... 25

    III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 27

    A. BAHAN DAN ALAT ......................................................................... 27

    1. Bahan ............................................................................................ 27

    2. Alat ................................................................................................ 27

  • B. METODE PENELITIAN .................................................................... 27

    1. Ekstraksi Buah Merah (Metode Sentrifugal) ................................ 27

    2. Pengujian Toksisitas Akut Ekstrak Buah Merah ......................... 29

    a. Persiapan Hewan Percobaan (Persiapan Ransum dan Masa

    Adaptasi) ................................................................................. 29

    b. Tahap Perlakuan (Pemberian Ekstrak Buah Merah) ............... 30

    c. Masa Pengamatan ................................................................... 31

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 34

    A. PENGARUH PROSES EKSTRAKSI TERHADAP RENDEMEN

    EKSTRAK BUAH MERAH .............................................................. 34

    C. TOKSISITAS AKUT EKSTRAK BUAH MERAH .......................... 36

    1. Penentuan Derajat Toksisitas Ekstrak Buah Merah ...................... 36

    2. Pengaruh Ekstrak Buah Merah Terhadap Berat Badan Mencit .... 38

    3. Efek Toksik Ekstrak Buah Merah ................................................. 41

    a. Ginjal ....................................................................................... 45

    b. Hati .......................................................................................... 46

    c. Jantung .................................................................................... 47

    d. Lambung ................................................................................. 48

    e. Limpa ...................................................................................... 49

    f.. Paru-paru ................................................................................. 49

    g. Usus ......................................................................................... 50

    4. Pengaruh Sifat Kimia Ekstrak Buah Merah Terhadap Toksisitas

    Akut ............................................................................................... 51

    V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 56

    A. KESIMPULAN ................................................................................... 56

    B. SARAN ............................................................................................... 56

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 58

    LAMPIRAN .................................................................................................. 64

  • DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 1. Kandungan senyawa aktif dalam sari buah merah ..................... 6 Tabel 2. Komposisi zat gizi buah merah per 100 gram bagian yang dapat dimakan ............................................................................ 7 Tabel 3. Kriteria derajat toksisitas ............................................................ 17 Tabel 4. Komposisi pakan hewan percobaan menurut AIN ..................... 30 Tabel 5. Rendemen ekstrak buah merah .................................................. 36 Tabel 6. Jumlah kematian mencit perlakuan fraksi air dan minyak buah merah dosis 5-137200 mg/kgBB selama masa pengamatan ...... 38 Tabel 7. Hasil pengamatan tingkah laku dan gejala toksik pada mencit setelah pemberian fraksi air dan minyak buah merah dosis 5-137200 mg/kgBB .................................................................... 41 Tabel 8. Hasil pengamatan efek toksik terhadap organ mencit setelah pemberian fraksi air buah merah dosis 5-137200 mg/kgBB ...... 43 Tabel 9. Hasil pengamatan efek toksik terhadap organ mencit setelah

    pemberian fraksi minyak buah merah dosis 5-137200 mg/kgBB 44

    Tabel 10. Sifat kimia ekstrak buah merah .................................................. 51

  • DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 1. Tanaman buah merah .............................................................. 44 Gambar 2. Daun dan akar tanaman buah merah ....................................... 34 Gambar 3. Buah merah kultivar merah panjang ....................................... 35 Gambar 4. Tahapan inisiasi dan propagasi pada reaksi oksidasi minyak ..................................................................................... 10 Gambar 5. Tahapan pertama reaksi dekomposisi peroksida ..................... 10 Gambar 6. Reaksi hidrolisis trigliserida oleh air ....................................... 10 Gambar 7. Tahapan proses ekstraksi buah merah (Metode Sentrifugal) ... 28 Gambar 8. Kondisi kandang mencit yang digunakan dalam pengujian .... 30 Gambar 9. Pencekokan ekstrak buah merah secara oral ........................... 31 Gambar 10. Teknik dislokasi leher .............................................................. 32 Gambar 11. Tahapan pengujian toksisitas akut ekstrak buah merah .......... 33 Gambar 12. Fraksi minyak (a) dan fraksi air (b) buah merah ..................... 34 Gambar 13. Tahapan proses ekstraksi buah merah (Metode Modifikasi 2) 35 Gambar 14. Perubahan rata-rata berat badan mencit setelah pemberian fraksi air buah merah dengan dosis 5-137200 mg/kgBB selama 96 jam .......................................................................... 39 Gambar 15. Perubahan rata-rata berat badan mencit setelah pemberian fraksi minyak buah merah dengan dosis 5-137200 mg/kgBB selama 96 jam .......................................................................... 39 Gambar 16. Visualisasi organ hasil pembedahan mencit perlakuan fraksi air buah merah dosis 5-137200 mg/kgBB ............................... 43 Gambar 17. Visualisasi organ hasil pembedahan mencit perlakuan fraksi minyak buah merah dosis 5-137200 mg/kgBB ....................... 44

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    Lampiran 1. Hasil penimbangan berat badan mencit perlakuan fraksi air dan minyak buah merah dosis 5-137200 mg/kgBB selama masa adaptasi .............................................................. 64 Lampiran 2. Hasil penimbangan berat badan mencit perlakuan fraksi air dan minyak buah merah dosis 5-137200 mg/kgBB selama masa pengamatan ........................................................ 65 Lampiran 3. Hasil analisis sidik ragam pengaruh dosis terhadap perubahan berat badan mencit perlakuan fraksi air buah merah dosis 5-137200 mg/kgBB .............................................. 66 Lampiran 4. Hasil analisis sidik ragam pengaruh dosis terhadap perubahan berat badan mencit perlakuan fraksi minyak buah merah dosis 5-137200 mg/kgBB .............................................. 66 Lampiran 5. Hasil analisis beda duncan pengaruh dosis terhadap perubahan berat badan mencit untuk perlakuan fraksi air buah merah dosis 5-137200 mg/kgBB ................................ 67 Lampiran 6. Hasil analisis beda duncan pengaruh dosis terhadap perubahan berat badan mencit untuk perlakuan fraksi minyak buah merah dosis 5-137200 mg/kgBB ........................ 67

  • I. PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG

    Indonesia merupakan negara subtropis yang kaya akan keanekaragaman

    hayati, termasuk di dalamnya adalah tanaman yang dapat digunakan untuk

    pengobatan. Kecenderungan masyarakat modern menggunakan obat alamiah

    untuk keperluan medikasi saat ini, mendorong semakin intensifnya penelitian-

    penelitian yang ditujukan untuk eksplorasi dan pemanfaatan tanaman-tanaman

    yang diyakini mempunyai khasiat penyembuhan. Salah satu tanaman yang

    memiliki efek farmakologi dan terkenal saat ini adalah buah merah.

    Buah merah yang sudah dikenal baik oleh masyarakat Papua sering

    dikonsumsi sebagai bahan makanan untuk menambah stamina dan tenaga. Selain

    itu, buah merah ini juga digunakan dalam upacara-upacara adat. Hasil olahan dari

    buah merah yang sangat dikenal adalah dalam bentuk minyak buah merah.

    Buah merah yang sebelumnya hanya dibiarkan tumbuh liar dan hanya

    sebagai sumber pangan, ternyata menyimpan potensi obat yang luar biasa, karena

    adanya kandungan senyawa aktif berupa karotenoid, tokoferol, dan senyawa aktif

    lainnya yang dapat digunakan sebagai obat. Senyawa aktif tersebut berperan

    sebagai antioksidan yang mampu menetralisir senyawa radikal bebas dalam tubuh

    yang merupakan sumber pemicu timbulnya berbagai penyakit.

    Konsumsi bahan pangan merupakan salah satu kebutuhan utama manusia

    dalam upaya mempertahankan dan menjalankan kehidupan. Semua yang

    dikonsumsi manusia, baik yang berasal dari bahan pangan nabati maupun hewani,

    mengandung aneka ragam zat yang bermanfaat dan sangat diperlukan tubuh untuk

    menjalankan aktivitas. Tetapi zat-zat tersebut terkadang dapat menimbulkan

    keadaan yang tidak diinginkan, seperti gejala sakit hingga kematian (Donatus,

    2001). Hal ini disebabkan adanya kandungan zat kimia yang bersifat racun dalam

    bahan pangan tersebut.

    Semua bahan kimia akan beracun bila tidak diberikan secara proporsional.

    Hal tersebut menyebabkan perlu dilakukannya uji toksisitas untuk menentukan

    efek biologis negatif akibat dari pemberian suatu zat. Salah satu uji toksisitas

    adalah uji toksisitas akut untuk menentukan Dosis Lethal (LD50), dimana LD50

  • didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang secara statistik diharapkan akan

    membunuh 50 % hewan percobaan. Dengan adanya uji tersebut diharapkan dapat

    diperoleh batas aman pengkonsumsian suatu bahan agar tidak terjadi efek toksik.

    B. TUJUAN

    Tujuan penelitian ini adalah menguji toksisitas akut ekstrak buah merah

    secara in vivo sehingga dapat diketahui batas dosis yang aman dalam

    penggunaannya.

  • II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.)

    Tanaman buah merah merupakan tanaman endemik Papua yang banyak

    tumbuh liar di hutan-hutan. Pada habitat aslinya, tanaman buah merah tumbuh

    baik di dataran rendah (40 m dpl) sampai dataran tinggi (2000 m dpl). Tanaman

    buah merah tumbuh secara kompetitif di lingkungan dengan kondisi tanah lembab

    dengan pH netral, suhu 23-33oC, dan kelembaban udara antara 73-98 % (Budi et

    al., 2005). Buah merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

    Divisi : Spermatophytae

    Kelas : Angiospermae

    Sub-kelas : Monocotyledonae

    Ordo : Pandanales

    Famili : Pandanaceae

    Genus : Pandanus

    Spesies : Pandanus conoideus Lam.

    Tanaman buah merah termasuk terna berbentuk semak, perdu, atau pohon.

    Daun tunggal berbentuk lanset sungsang, berwarna hijau tua dan letaknya

    berseling. Ujung daun runcing dan pangkal daun memeluk batang. Batang

    tanaman bercabang banyak, tegak, bergetah, dan berwarna cokelat berbercak

    putih. Tinggi tanaman ini mencapai 16 m dengan tinggi batang bebas cabang

    5-8 m di atas permukaan tanah (Budi et al., 2005). Tanaman buah merah dapat

    dilihat pada Gambar 1.

    Akar tanaman berfungsi sebagai penyokong tegaknya tanaman dan

    tergolong akar serabut dengan tipe perakaran dangkal. Akar tanaman cenderung

    masuk hingga kedalaman tanah sekitar 94 cm. Akar-akar tunjang (prop-root)

    muncul dari bagian batang dekat permukaan tanah. Akar tersebut berfungsi

    sebagai penguat batang. Diameter akar terbesar berkisar 6.6-8 cm, sedangkan

    terkecil sekitar 1.5-2.8 cm (Budi et al., 2005).

  • Gambar 1. Tanaman buah merah

    Buahnya panjang dan memiliki bentuk silindris, menyerupai cempedak,

    agak panjang, ujung tumpul, dan pangkal menggantung. Buah tersusun dari ribuan

    biji yang berbaris rapi membentuk kulit buah. Biji kecil memanjang 9-13 mm

    dengan bagian atas meruncing. Biji berwarna hitam kecokelatan dibungkus daging

    tipis berupa lemak. Daging buah berwarna kuning, cokelat, atau merah,

    tergantung dari jenisnya. Perkembangbiakan buah merah melalui pertunasan dan

    biji yaitu tanaman buah merah yang tumbuh dan berbuah akan mengeluarkan

    tunas-tunas di sekitar tanaman induk.

    Gambar 2. Daun dan akar tanaman buah merah

  • Beberapa sentral tanaman buah merah yang terkenal di daerah Papua antara

    lain Puncak Jaya, Timika, Tolikara, Sarmi, Manokwari, Jayawijaya, dan

    Yahukimo. Menurut Budi dan Paimin (2004), buah merah juga dapat ditemukan

    tumbuh di bagian utara Maluku yang menyebar di daerah pantai hingga daerah

    pegunungan.

    Beberapa ciri morfologi yang mantap dalam populasi Pandanus conoideus

    Lam. yang dapat dipakai untuk membedakan kultivarnya adalah: warna buah,

    ukuran buah, bentuk buah, bagian atas buah, dan bentuk tempurung atau endokarp

    (Sadsoeitoeboen, 1999). Diperkirakan lebih dari 30 jenis atau kultivar buah merah

    yang tersebar di dunia, termasuk di Papua. Namun, secara garis besar diketahui

    ada empat kultivar yang banyak dikembangkan karena memiliki nilai ekonomis,

    yakni kultivar merah panjang, merah pendek, cokelat, dan kuning

    (Budi et al., 2005).

    Gambar 3. Buah merah kultivar merah panjang

    Kultivar merah panjang memiliki buah berbentuk silindris, ujung tumpul,

    dan pangkal menjantung. Panjang buah sekitar 96-102 cm dengan diameter

    15-20 cm. Bobotnya mencapai 7-8 kg. Warna buah merah bata saat muda dan

    merah terang setelah matang. Buah dibungkus daun pelindung berbentuk lancip

    dengan duri pada tulang utama sepanjang 8/10 bagian dari ujung.

  • Kultivar merah pendek memiliki buah berbentuk silindris, ujung melancip,

    dan pangkal menjantung. Panjang buah mencapai 55 cm dengan diameter

    10-15 cm. Bobot buah 2-3 kg. Warna buah merah kotor saat muda dan merah

    terang saat matang. Buah terbungkus daun pelindung meruncing dengan duri

    sepanjang 1/2 bagian tulang utama.

    Buah dari jenis merah cokelat berbentuk silindris, ujung tumpul, dan

    pangkal menjantung. Panjang buah 27-33 cm, diameter 6.9-12 cm, dan bobot

    2-3 kg. Buah berwarna merah kecokelatan, tertutup daun pelindung meruncing,

    dengan duri sepanjang 2/3 dari tulang utama.

    Kultivar kuning berbentuk silindris, ujung tumpul dengan pangkal

    menjantung. Panjang buah 35-42 cm dan berdiameter 11-12 cm. Daun pelindung

    buah melancip. Tulang utama berduri sepanjang 1/3 bagian dari pangkalnya. Buah

    muda hijau dengan bobot 2-3 kg.

    Menurut Budi et al. (2005), buah merah ini mengandung senyawa aktif dan

    komposisi gizi lengkap yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Kandungan

    senyawa aktif dalam sari buah merah dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan

    komposisi zat gizi buah merah dapat dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 1. Kandungan senyawa aktif dalam sari buah merah (Budi et al., 2005)

    Senyawa aktif Kandungan Total karotenoid 12000 ppm Total tokoferol 11000 ppm -karoten 700 ppm -tokoferol 500 ppm Asam oleat 58 % Asam linoleat 8.8 % Asam linolenat 7.8 % Dekanoat 2.0 %

    Secara tradisional, buah merah telah dikonsumsi masyarakat Papua secara

    turun temurun sebagai campuran bahan pangan. Buah merah biasanya diolah

    secara tradisional untuk mendapatkan minyak dan saus (Sadsoeitoeboen, 1999).

    Buah merah juga digunakan dalam acara adat seperti perkawinan karena

    merupakan lambang persahabatan. Bagi masyarakat Papua, buah ini juga dikenal

  • sebagai obat cacing, penyakit kulit, menghambat kebutaan, dan meningkatkan

    stamina.

    Tabel 2. Komposisi zat gizi buah merah per 100 gram bagian yang dapat dimakan (Sherly, 1998)

    Zat gizi Kandungan Energi 394 kalori Protein 3.3 gram Lemak 28.1 gram Karbohidrat 31.9 gram Total serat 20.9 gram Kalsium 544 mg Fosfor 30 mg Besi 205 mg Vitamin B1 0.96 mg Vitamin C 15.7 mg Niasin 1.8 mg Air 34.9 gram

    1. Minyak dan Lemak

    Hasil ekstraksi buah merah umumnya berupa minyak. Hal ini disebabkan

    buah merah mempunyai kadar lemak yang cukup tinggi. Minyak atau lemak

    adalah trigliserida atau triasilgliserol (Fessenden dan Fessenden, 1992). Pada

    umumnya untuk pengertian sehari-hari lemak merupakan bahan padat pada suhu

    kamar, sedangkan minyak berbentuk cair pada suhu kamar, tetapi keduanya terdiri

    dari molekul-molekul trigliserida (Winarno, 1997).

    Selanjutnya Winarno (1997) juga menyatakan bahwa lemak merupakan

    bahan padat pada suhu kamar. Hal ini dapat disebabkan kandungan asam lemak

    jenuh yang tinggi di dalam lemak. Secara kimia, asam lemak jenuh dalam

    konsentrasi tinggi tidak mengandung ikatan rangkap sehingga mempunyai titik

    lebur yang tinggi. Lain halnya dengan minyak yang mempunyai titik lebur yang

    rendah dan tetap berbentuk cair pada suhu ruang karena kandungan asam lemak

    jenuh yang rendah dan tingginya kandungan asam lemak tidak jenuh yang

    memiliki satu atau lebih ikatan rangkap diantara atom-atom karbonnya.

    Sebagian besar trigliserida pada hewan berupa lemak, sedangkan trigliserida

    dalam tanaman cenderung berupa minyak. Contoh lemak hewani antara lain

  • lemak babi dan lemak sapi, sedangkan contoh minyak nabati antara lain minyak

    jagung dan minyak bunga matahari (Fessenden dan Fessenden, 1992).

    Ketaren (1986) menyatakan molekul lemak disintesis melalui proses

    kondensasi dari satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak. Molekul

    gliserol dan asam lemak tersebut dibentuk dari hasil oksidasi karbohidrat selama

    proses metabolisme berlangsung.

    Proses pembentukan lemak dalam tanaman dapat dibagi menjadi tiga tahap,

    yaitu pembentukan gliserol, pembentukan molekul asam lemak, dan kondensasi

    asam lemak dengan gliserol membentuk lemak (Winarno, 1997). Pada sintesis

    gliserol, fruktosa difosfat diuraikan oleh suatu enzim menjadi dihidroksi aseton

    kemudian direduksi menjadi -gliserofosfat. Gugus fosfat dihilangkan melalui

    proses fosforilasi sehingga akan terbentuk molekul gliserol.

    Fungsi utama lemak dalam tubuh adalah sebagai sumber energi. Lemak

    yang dikonsumsi juga berfungsi sebagai sumber asam-asam lemak esensial

    (linoleat, linolenat) dan sebagai pelarut atau sumber vitamin A, D, E, dan K.

    Lemak merupakan sumber energi tersimpan yang utama sebab dapat

    dimetabolisme dengan cepat oleh banyak sekali jaringan. Konsumsi lemak tidak

    bertujuan menggantikan lemak tubuh karena karbohidrat dan protein dapat dengan

    mudah diubah menjadi lemak. Secara kuantitatif lemak berguna sebagai pensuplai

    energi tetapi untuk tujuan ini tidak selalu lemak yang digunakan. Energi dapat

    diperoleh dari materi yang lain sehingga dalam hal ini tidak bersifat esensial

    (Muchtadi, 1989).

    Asam lemak dalam tubuh dapat dikelompokkan menjadi asam lemak jenuh

    dan asam lemak tak jenuh. Asam lemak tak jenuh terdiri dari poly unsaturated

    fatty acid (PUFA) dan mono unsaturated fatty acid (MUFA). PUFA terdiri dari

    omega-6 dan omega-3 yang berturut-turut disintesa dari asam linoleat dan asam

    linolenat. Sementara omega-9 (oleat) termasuk ke dalam kelompok MUFA.

    Fungsi utama PUFA sebagai komponen struktural dan fungsional dari membran

    sel, berperan pada proses inflamasi dan pengaturan fungsi sel serta sistem

    pertahanan tubuh (Calder et al., 2002).

    Buah merah mengandung asam lemak dalam jumlah tinggi. Dari 28 %

    lemak yang terkandung di dalam buah merah, 85 % diantaranya adalah asam

  • lemak tidak jenuh. Kandungan omega-3 dan omega-9 dalam dosis tinggi pada

    buah merah dapat memperlancar proses metabolisme dalam tubuh sebab kedua

    senyawa tersebut mudah dicerna dan diserap (Budi et al., 2005). Asam lemak

    esensial juga penting untuk berbagai proses fisiologis, termasuk mempertahankan

    keutuhan membran sel dan struktur sel serta mensintesa senyawa biologis

    (misalnya prostaglandin dan leukotrien), terbukti berperan dalam pertumbuhan

    dan perkembangan, serta mencegah beberapa penyakit degeneratif.

    Proses pengolahan minyak dan lemak yang dilakukan tergantung dari hasil

    akhir yang dikehendaki. Ekstraksi adalah cara untuk mendapatkan minyak atau

    lemak (Ketaren, 1986), sedangkan menurut Winarno (1997) lemak dan minyak

    dapat diekstraksi dari jaringan hewan atau tanaman dengan tiga cara yaitu

    rendering, pengepresan (pressing), atau ekstraksi dengan menggunakan pelarut.

    Perubahan-perubahan kimia atau penguraian lemak dan minyak dapat

    mempengaruhi bau dan rasa makanan, baik yang menguntungkan maupun yang

    tidak. Pada umumnya penguraian lemak dan minyak menghasilkan zat-zat yang

    tidak dapat dimakan. Kerusakan lemak dan minyak dapat menurunkan nilai gizi

    serta dapat menyebabkan penyimpangan rasa dan bau pada lemak yang

    bersangkutan (Winarno, 1997). Kerusakan minyak dapat terjadi akibat reaksi

    oksidasi dan hidrolisis.

    Kerusakan minyak atau lemak yang paling utama adalah timbulnya bau dan

    rasa tengik. Ketengikan terjadi karena adanya reaksi autooksidasi radikal asam

    lemak tidak jenuh yang terdapat di dalam lemak itu sendiri. Reaksi oksidasi ini

    dapat berlangsung dengan adanya kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak

    atau lemak. Reaksi autooksidasi dimulai dengan terbentuknya peroksida yang

    kemudian membentuk radikal bebas dan reaksi ini dipercepat dengan adanya

    cahaya, panas, peroksida, dan logam-logam katalis seperti Cu, Fe, Co, dan Mn.

    Reaksi oksidasi pada minyak dapat dilihat pada Gambar 4.

    Dekomposisi peroksida juga terjadi pada minyak yang telah mengalami

    proses pemanasan. Proses ini terjadi melalui beberapa tahapan. Tahap pertama,

    yaitu terputusnya ikatan oksigen-oksigen pada gugus peroksida yang akan

    menghasilkan senyawa alkoksi radikal dan hidroksi radikal seperti yang dapat

    dilihat pada Gambar 5.

  • 1. Reaksi inisiasi

    RH (asam lemak bebas) R (radikal bebas)

    2. Reaksi propagasi

    R + O2 ROO

    ROO + RH ROOH + R

    Gambar 4. Tahapan inisiasi dan propagasi pada reaksi oksidasi minyak

    Reaksi hidrolisis dapat terjadi dengan adanya aktivitas air di dalam minyak

    atau lemak. Minyak yang diekstrak dengan menggunakan air dan suhu tinggi

    dapat menyebabkan proses hidrolisis. Minyak atau lemak yang mengalami reaksi

    hidrolisis akan diubah menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi

    hidrolisis yang dapat menyebabkan kerusakan minyak atau lemak dipercepat

    dengan adanya basa, asam, dan enzim, seperti enzim lipase. Hidrolisis minyak

    terjadi dengan adanya katalis enzim pada ikatan ester trigliserida sehingga

    menghasilkan asam lemak bebas seperti yang terdapat pada Gambar 6.

    Peningkatan asam lemak bebas juga dapat terjadi selama penyimpanan dan

    pengolahan minyak atau lemak.

    Gambar 5. Tahapan pertama reaksi dekomposisi peroksida

    Gambar 6. Reaksi hidrolisis trigliserida oleh air

    R1-CH-R2 R1-CH-R2 + OH O O OH (peroksida) (alkoksi radikal) (hidroksi radikal)

    Enzim Trigliserida + H2O Digliserida + Monogliserida + ALB + Gliserol

    Panas

  • 2. Karotenoid

    Salah satu kandungan senyawa aktif buah merah yang diunggulkan adalah

    karotenoid yang dapat berpotensi sebagai antioksidan dan merupakan pigmen

    warna pada buah merah. Karotenoid adalah pigmen alami berupa zat warna

    kuning sampai merah yang mempunyai struktur alifatik atau alisiklik yang

    tersusun oleh delapan unit isoprena dan empat gugus metil serta selalu terdapat

    ikatan ganda terkonjugasi diantara gugus metil tersebut.

    Karotenoid dapat dibagi atas dua golongan berdasarkan fungsinya yaitu

    yang bersifat nutrisi aktif seperti -karoten dan non nutrisi aktif seperti

    fucoxanthin, neoxanthin, dan violaxanthin. Berdasarkan unsur penyusunnya,

    karotenoid terdiri dari dua golongan yaitu karoten dan xantofil. Karotenoid

    tersusun oleh unsur-unsur C dan H terdiri dari -, -, dan -karoten serta likopen.

    Sedangkan xantofil tersusun oleh unsur-unsur C, H, dan O. -karoten mempunyai

    aktivitas provitamin A karena adanya cincin -ionon yang tidak terhidroksilasi

    (Olson, 1991). Bila teroksidasi, aktivitas karoten akan menurun karena terjadinya

    perubahan isomer dari bentuk trans menjadi cis (Jensen et al., 1992).

    Faktor utama yang mempengaruhi karoten selama pengolahan pangan dan

    penyimpanan adalah oksidasi oleh oksigen udara dan perubahan struktur oleh

    panas. Karotenoid memiliki ikatan ganda sehingga sensitif terhadap oksidasi.

    Oksidasi karoten dipercepat dengan adanya cahaya, logam, panas, peroksida, dan

    bahan pengoksida lainnya. Panas akan mendekomposisi karoten dan

    mengakibatkan perubahan stereoisomer.

    -karoten mempunyai beberapa aktivitas biologis yang bermanfaat bagi

    tubuh antara lain untuk menanggulangi kebutaan karena xeropthalmia,

    meningkatkan imun tubuh, membantu diferensiasi sel-sel epitel, pertumbuhan,

    reproduksi, dan sebagai antioksidan untuk mencegah timbulnya penyakit kanker,

    mencegah proses penuaan dini serta mengurangi terjadinya penyakit degeneratif.

    Dalam penelitian selama 20 tahun dengan memberikan 300 mg -karoten

    per hari terhadap manusia diperoleh bahwa -karoten tidak bersifat toksik, hanya

    saja menimbulkan efek samping seperti penampakan pigmen kuning atau jingga

    pada kulit (Krinsky, 1988).

  • Hasil penelitian Alam et al. (1990) menunjukkan bahwa minyak yang

    mengandung asam lemak tidak jenuh cenderung menurunkan efisiensi penyerapan

    dan konversi -karoten menjadi vitamin A dibanding minyak yang mengandung

    asam lemak jenuh. Disamping itu, komposisi enzim-enzim pankreas dalam

    dinding usus dan kesempurnaan sel-sel mukosa ikut berpengaruh. Keberadaan

    vitamin E dalam tubuh juga meningkatkan jumlah -karoten yang

    ditransformasikan menjadi vitamin A, dimana vitamin E ini berperan untuk

    menggantikan fungsi -karoten sebagai antioksidan dari asam lemak tidak jenuh

    rantai panjang. Efisiensi penyerapan vitamin A biasanya 80-90 % yang sedikit

    berkurang pada dosis tinggi. Tetapi efisiensi penyerapan -karoten lebih rendah

    (40-60 %) dan turun secara cepat dengan makin tingginya dosis.

    Karoten akan lebih efisien digunakan oleh tubuh dalam jumlah sedikit. Bila

    karoten terlalu tinggi, efisiensi konversi karoten menjadi vitamin A akan

    berkurang. Menurut Goodman et al. (1966), persentase -karoten yang dikonversi

    menjadi vitamin A sekitar 60-70 % dan yang diserap langsung sebagai -karoten

    sekitar 15-25 % (Blomstrand dan Werner, 1967). Karoten yang berlebihan akan

    disimpan dalam jaringan lemak dan pada manusia hal ini akan menyebabkan

    warna kekuningan pada lapisan jaringan lemak (Linder, 1992).

    Buah merah mengandung karotenoid dalam jumlah yang tinggi. Dengan

    tingginya kandungan senyawa tersebut, maka ekstrak buah merah dapat

    bermanfaat sebagai antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas di dalam

    tubuh. Karotenoid dan -karoten dalam konsentrasi tinggi dapat bermanfaaat

    dalam pembentukan jaringan tubuh, membantu dalam pembentukan tulang dan

    gigi, meningkatkan daya tahan tubuh, dan membentuk jaringan mata

    (Calder et al., 2002).

    3. Tokoferol

    Tokoferol tersusun dari cincin aromatik tersubstitusi oleh metil dan rantai

    panjang isoprenoid sebagai rantai samping (Lehninger, 1990). Terdapat empat

    jenis tokoferol yaitu: -, -, -, dan -tokoferol. Jenis tokoferol ini ditentukan oleh

    jumlah dan letak metil yang tersubstitusi pada cincin aromatik. Menurut

    Lehninger (1990), aktivitas biologi terbesar dari keempat jenis tokoferol ini

  • berdasar urutannya dari aktivitas terbesar adalah: -, -, -, dan terendah adalah

    -tokoferol.

    Adanya ikatan tidak jenuh pada struktur tokoferol, menyebabkan senyawa

    tersebut mudah teroksidasi. Oksidasi vitamin E dipercepat dengan adanya cahaya,

    panas, kondisi alkali, dan adanya mineral kelumit seperti besi (Fe3+) dan tembaga

    (Cu2+). Kehadiran asam askorbat akan mencegah efek katalitik dari ion ferri dan

    cupro terhadap reaksi oksidasi vitamin E.

    Menurut Lehninger (1990), tokoferol ditemukan pada minyak sayuran dan

    terutama berlimpah jumlahnya pada kecambah. Hasil observasi dari Booth dan

    Bradford (1963) dalam Draper (1970) menunjukkan bahwa kandungan vitamin E

    yang tinggi dijumpai pada jaringan-jaringan berwarna hijau gelap, daun-daun

    hijau, dan buah-buahan berwarna.

    Dari beberapa kandungan senyawa aktif di dalam buah merah, tokoferol

    merupakan senyawa yang terkandung dalam jumlah yang tinggi. Hal ini

    menunjukkan bahwa ekstrak buah merah sangat berpotensi sebagai sumber

    antioksidan yang dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh, menahan radikal

    bebas, dan mencegah penyakit degeneratif. Selain tokoferol, buah merah juga

    mengandung -tokoferol dalam jumlah yang tinggi. Senyawa ini dapat berfungsi

    memperlambat proses penuaan, mencegah kanker, dan meningkatkan kesuburan.

    Fungsinya sebagai antioksidan dapat melindungi vitamin A dari oksidasi di

    dalam usus sehingga dapat meningkatkan proses penyerapan vitamin A (Guthrie,

    1975). Menurut Linder (1992), manfaat lain dari vitamin E sebagai antioksidan

    adalah mencegah cederanya dinding-dinding sel seperti kerapuhan sel-sel darah

    merah pada manusia sehingga mencegah terjadinya hemolisis. Vitamin E juga

    terlibat dalam beberapa proses sintesis seperti pemasangan pirimidin ke asam

    nukleat, pembentukan sel darah merah dalam sumsum tulang, serta sintesis

    koenzim-A yang penting dalam proses pernafasan (Winarno, 1992). Vitamin E

    juga berperan untuk mencegah terjadinya oksidasi lipida dari asam-asam lemak

    tidak jenuh dalam sel-sel tubuh (Bieri, 1987). Dalam istilah lain, vitamin E

    disebut juga sebagai pembersih radikal bebas.

    Diantara semua vitamin larut lemak, vitamin E adalah vitamin yang paling

    sedikit menimbulkan efek racun bila dikonsumsi dalam jumlah yang tinggi

  • (Guthrie, 1975). Vitamin E tidak larut dalam air, larut dalam lemak, alkohol, serta

    pelarut organik, dan minyak nabati (Desai dan Machlin, 1985 dalam Ball, 1988).

    B. TOKSIKOLOGI

    1. Definisi Toksikologi

    Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari efek kuantitatif zat kimia atas

    jaringan biologi (Loomis, 1978). Secara sederhana dan ringkas, Lu (1995)

    mendefinisikan toksikologi sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek

    toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya.

    Menurut Hodgson dan Levi (2000) toksikologi didefinisikan sebagai cabang

    ilmu pengetahuan yang berhubungan erat dengan senyawa racun dimana racun

    yang dimaksud adalah senyawa-senyawa yang menimbulkan efek merugikan

    tubuh bila dikonsumsi baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Senada dengan

    Hodgson dan Levi, Donatus (2001) mendefinisikan toksikologi sebagai ilmu yang

    mempelajari pengaruh kuantitatif zat kimia atas sistem-sistem biologi dengan

    pusat perhatiannya terletak pada aksi berbahaya zat kimia tersebut.

    2. Paparan Umum Toksikologi

    Peristiwa timbulnya pengaruh berbahaya atau efek toksik racun terhadap

    makhluk hidup terjadi melalui beberapa proses. Menurut Donatus (2001), pertama

    kali makhluk hidup mengalami paparan dengan toksikan. Berikutnya, setelah

    mengalami absorpsi dari tempat paparannya maka toksikan atau metabolitnya

    akan terdistribusi ke tempat aksi (sel sasaran atau reseptor) tertentu yang ada di

    dalam diri makhluk hidup. Di tempat aksi ini kemudian terjadi interaksi antara

    toksikan atau metabolitnya dengan komponen penyusun sel sasaran atau reseptor

    sehingga timbul pengaruh berbahaya atau efek toksik dengan wujud serta sifat

    tertentu.

    Ada dua kemungkinan toksikan masuk ke dalam tubuh, yakni secara

    intravaskuler dan ekstravaskuler. Lebih lanjut Donatus (2001) mengemukakan

    bahwa masuknya toksikan secara intravaskuler meliputi intravena, intrakardial,

    dan intraarteri dimana toksikan langsung masuk ke dalam sirkulasi darah,

    sedangkan masuknya toksikan secara ekstravaskuler meliputi peroral,

  • intramuskular, intraperitonial, subkutan, dan inhalasi dimana toksikan tidak

    langsung masuk ke dalam sirkulasi darah. Toksikan yang masuk secara

    ekstravaskuler selanjutnya akan masuk ke dalam sirkulasi darah setelah melalui

    tahap absorpsi terlebih dahulu. Setelah toksikan berada dalam sirkulasi darah

    maka toksikan akan mengalami distribusi ke tempat aksi (sel sasaran atau

    reseptor).

    Tubuh makhluk hidup memiliki sistem pertahanan terhadap zat-zat asing

    atau xenobiotik yang masuk ke dalam tubuhnya. Secara alami, tubuh makhluk

    hidup akan menolak dan mengekskresikan toksikan atau metabolitnya yang masuk

    di dalam tubuhnya.

    Namun bila kapasitas toksikan melebihi sistem pertahanan tubuh maka

    toksikan yang berlebih tersebut selanjutnya akan bereaksi dengan sel sasaran atau

    reseptor dimana reaksi antara toksikan atau metabolitnya dengan sel sasaran atau

    reseptor dapat bersifat dapat balik (reversible) maupun tidak balik (irreversible).

    Hal tersebut berakibat timbulnya efek toksik yang tidak diinginkan (Donatus,

    2001).

    3. Pengujian Toksikologi

    Menurut Nicholson (1974), racun adalah suatu zat yang masuk ke dalam

    tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan organ sampai dengan kematian.

    Timbulnya efek racun atau toksik di dalam suatu organisme yang disebabkan oleh

    suatu zat tergantung pada banyaknya zat itu di suatu tempat yang rentan di dalam

    tubuh. Pada dasarnya semua obat dapat bersifat toksik, tergantung besarnya dosis

    yang diberikan. Efek toksik biasanya tercapai bila suatu rangsangan mencapai

    suatu nilai tertentu sehingga timbul mekanisme biologis yang nyata. Besar

    rangsangan sebanding dengan besar konsentrasi agen pada receptor site. Interaksi

    racun dan sel tubuh dapat bersifat timbal balik (reversible) atau tak terbalikkan

    (irreversible) (Donatus, 2001).

    Toksisitas merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari farmakologi

    yang merupakan efek biologis negatif akibat dari pemberian suatu zat. Toksisitas

    suatu bahan dapat didefinisikan sebagai kapasitas bahan untuk mencederai suatu

    organisme hidup. Pengetahuan mengenai bahan kimia dikumpulkan dengan

  • mempelajari efek-efek dari pemaparan bahan kimia terhadap hewan percobaan,

    pemaparan bahan kimia terhadap organisme tingkat rendah seperti bakteri dan

    kultur sel-sel dari mamalia di laboratorium, dan pemaparan bahan kimia terhadap

    manusia.

    Untuk menilai bahaya keracunan atau resiko toksisitas, sangat penting untuk

    mengetahui perbandingan jumlah organisme terhadap jumlah zat yang mengenai

    tubuh organisme tersebut maupun perbandingan dalam arti luas terhadap jumlah

    zat yang terdapat di dalam lingkungan tersebut (Koeman, 1987). Derajat

    keracunan suatu obat merupakan kelanjutan dari efek farmakodinamik atau karena

    efek terapinya.

    Uji toksisitas diperlukan untuk penelitian obat baru selain uji farmakokinetik

    dan uji farmakodinamik. Uji farmakokinetik dilakukan melalui penelitian kondisi

    obat di dalam tubuh, menyangkut absorbsi, distribusi, redistribusi,

    biotransformasi, dan ekskresi obat. Sedangkan uji farmakodinamik dilakukan

    untuk mengetahui efek biokimia, fisiologi obat, serta mekanisme kerja obat.

    Uji toksisitas suatu senyawa dibagi menjadi dua golongan yaitu uji toksisitas

    umum dan uji toksisitas khusus. Uji toksisitas umum meliputi berbagai pengujian

    yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu senyawa pada

    hewan uji. Pengujian toksisitas umum meliputi: pengujian toksisitas akut,

    sub-akut, dan kronik. Pengujian toksisitas khusus meliputi uji potensiasi, uji

    kekarsinogenikan, uji kemutagenikan, uji keteratogenikan, uji reproduksi,

    kulit dan mata, serta perilaku (Loomis, 1978).

    1) Uji toksisitas akut

    Uji toksisitas akut merupakan uji untuk menentukan Dosis Lethal

    (LD50), dimana LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang secara

    statistik diharapkan akan membunuh 50 % hewan percobaan. Uji toksisitas

    akut ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji sebanyak

    satu kali selama masa pengujian dan diamati dalam jangka waktu minimal 24

    jam atau lebih (7-14 hari).

    Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan efek toksik suatu

    senyawa yang akan terjadi dalam waktu yang singkat setelah pemejanan atau

    pemberiannya dengan takaran tertentu. Takaran dosis yang dianjurkan paling

  • tidak empat peringkat dosis, berkisar dari dosis terendah yang tidak atau

    hampir tidak mematikan seluruh hewan uji sampai dengan dosis tertinggi yang

    dapat mematikan seluruh atau hampir seluruh hewan uji. Biasanya

    pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus tertentu selama 7-14

    hari. Pengamatan tersebut meliputi: gejala-gejala klinis seperti nafsu makan,

    bobot badan, keadaan mata dan bulu, tingkah laku, jumlah hewan yang mati,

    serta histopatologi organ (Loomis, 1978).

    Menurut Laurence dan Bennet (1995), dari uji toksisitas akut dapat

    diperoleh gambaran kerugian yang terjadi akibat peningkatan dosis tunggal

    dan bagaimana kematian dapat terjadi. Uji toksisitas akut dapat memberikan

    gambaran tentang gejala-gejala ketoksikan terhadap fungsi penting seperti

    gerak, tingkah laku, dan pernafasan yang dapat menyebabkan kematian. LD50

    dapat dihubungkan dengan Efektif Dosis 50 (ED50) yaitu dosis yang secara

    terapeutik efektif terhadap 50 % dari sekelompok hewan percobaan.

    Hubungan tersebut dapat berupa perbandingan antara LD50 dengan ED50 dan

    disebut Indeks Terapeutik (IT), yaitu perbandingan antara dosis obat yang

    memberikan efek terapi yang samar dengan dosis obat yang menyebabkan

    efek toksik yang nyata. Makin besar indeks terapeutik suatu obat makin aman

    obat tersebut.

    Keracunan akut dihasilkan dari jumlah racun yang relatif besar

    memasuki tubuh dihitung dengan periode menit, jam, atau beberapa hari.

    Evaluasi tidak hanya mengenai LD50, tetapi juga terhadap kelainan tingkah

    laku, stimulasi, aktivitas motorik, dan pernapasan mencit atau hewan

    percobaan lainnya untuk mendapatkan gambaran tentang sebab kematian

    (Darmansjah, 1995). Tingkat keracunan senyawa kimia atau obat berdasarkan

    nilai LD50 dan klasifikasi toksisitas akut dapat dilihat pada Tabel 3.

    Tabel 3. Kriteria derajat toksisitas (Lu, 1995)

    Kategori LD50 (mg/kgBB) Supertoksik 5 atau kurang

    Amat sangat toksik 5 - 50 Sangat toksik 50 500 Toksik sedang 500 5000 Toksik ringan 5000 15000

    Praktis tidak toksik > 15000

  • Faktor-faktor yang berpengaruh pada LD50 sangat bervariasi antara jenis

    yang satu dengan jenis yang lain dan antara individu satu dengan individu

    yang lain dalam satu jenis. Beberapa faktor tersebut antara lain:

    a. Spesies, Strain dan Keragaman Individu

    Setiap spesies dan strain yang berbeda memiliki sistem metabolisme

    dan detoksikasi yang berbeda. Setiap spesies mempunyai perbedaan

    kemampuan bioaktivasi dan toksikasi suatu zat (Siswandono dan

    Bambang, 1995). Semakin tinggi tingkat keragaman suatu spesies dapat

    menyebabkan perbedaan nilai LD50. Variasi strain hewan percobaan

    menunjukkan perbedaan yang nyata dalam pengujian LD50 (Lazarovici

    dan Haya, 2002).

    b. Perbedaan Jenis Kelamin

    Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi toksisitas akut yang

    disebabkan oleh pengaruh langsung dari kelenjar endokrin. Hewan betina

    mempunyai sistem hormonal yang berbeda dengan hewan jantan sehingga

    menyebabkan perbedaan kepekaan terhadap suatu toksikan (Lazarovici

    dan Haya, 2002). Hewan jantan dan betina yang sama dari strain dan

    spesies yang sama biasanya bereaksi terhadap toksikan dengan cara yang

    sama, tetapi ada perbedaan kuantitatif yang menonjol dalam kerentanan

    terutama pada tikus (Lu 1995).

    c. Umur

    Hewan-hewan yang lebih muda memiliki kepekaan yang lebih tinggi

    terhadap obat karena enzim untuk biotransformasi masih kurang dan

    fungsi ginjal belum sempurna (Ganong, 2003). Perbedaan aktivitas

    biotransformasi akibat suatu zat menyebabkan perbedaan reaksi dalam

    metabolisme (Mutschler, 1991). Sedangkan pada hewan tua kepekaan

    individu meningkat karena fungsi biotransformasi dan ekskresi sudah

    menurun.

    d. Berat Badan

    Penentuan dosis dalam pengujian toksisitas akut dapat didasarkan

    pada berat badan. Pada spesies yang sama, berat badan yang berbeda dapat

  • memberikan nilai LD50 yang berbeda pula. Semakin besar berat badan

    maka jumlah dosis yang diberikan semakin besar (Mutschler, 1991).

    e. Cara Pemberian

    Lethal dosis dipengaruhi pula oleh cara pemberian. Pemberian obat

    melalui suatu cara yang berbeda pada spesies yang sama akan memberikan

    hasil yang berbeda. Menurut Siswandono dan Bambang (1995), pemberian

    obat peroral tidak langsung didistribusikan ke seluruh tubuh. Pemberian

    obat atau toksikan peroral didistribusikan ke seluruh tubuh setelah terjadi

    penyerapan di saluran cerna sehingga mempengaruhi kecepatan

    metabolisme suatu zat di dalam tubuh (Mutschler, 1991).

    f. Faktor Lingkungan

    Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi toksisitas akut

    antara lain temperatur, kelembaban, iklim, perbedaan siang dan malam.

    Perbedaan temperatur suatu tempat akan mempengaruhi keadaan fisiologis

    suatu hewan.

    g. Kesehatan hewan

    Status hewan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap suatu

    toksikan. Kesehatan hewan sangat dipengaruhi oleh kondisi hewan dan

    lingkungan. Hewan yang tidak sehat dapat memberikan nilai LD50 yang

    berbeda dibandingkan dengan nilai LD50 yang didapatkan dari hewan sehat

    (Siswandono dan Bambang, 1995).

    h. Diet

    Komposisi makanan hewan percobaan dapat mempengaruhi nilai

    LD50. Komposisi makanan akan mempengaruhi status kesehatan hewan

    percobaan. Defisiensi zat makanan tertentu dapat mempengaruhi nilai

    LD50 (Balls et al., 1991).

    2) Uji toksisitas sub-akut

    Uji toksisitas sub-akut dilakukan dengan memberikan bahan berulang-

    ulang, biasanya setiap hari atau lima kali seminggu, selama jangka waktu

    10 % dari masa hidup hewan. Uji ini bertujuan memperoleh informasi

    mengenai efek berbahaya yang mungkin terjadi pada penggunaan obat secara

    berulang dalam jangka waktu tertentu.

  • 3) Uji toksisitas kronik

    Pada dasarnya, uji toksisitas kronik sama dengan uji toksisitas sub-akut.

    Perbedaannya hanya terletak pada lamanya pemberian dosis dan masa

    pengamatannya. Uji toksisitas kronik dilakukan dengan memberikan zat kimia

    berulang-ulang selama masa hidup atau sebagian besar masa hidup hewan.

    C. PENGUJIAN IN VIVO

    Pengujian secara in vivo adalah pengujian yang dilakukan dengan

    menggunakan hewan percobaan untuk mengetahui metabolisme suatu senyawa di

    dalam tubuh. Hewan percobaan yang digunakan pada percobaan secara in vivo

    harus dari jenis mamalia, karena hasilnya dapat diterapkan pada manusia. Ciri-ciri

    hewan mamalia adalah hewan yang menyusui anaknya, berambut, berdarah panas,

    mempunyai empat ruang jantung, dan melahirkan anak.

    Beberapa hewan mamalia yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan

    misalnya mencit, tikus, marmut, kelinci, babi, hamster, monyet, dan anjing. Lima

    macam basic stock tikus putih (Albino rat) antara lain Long Evans, Osborne,

    Sherman, Sparague Dawley, dan Wistar. Albino rat sangat baik digunakan

    sebagai hewan percobaan karena nokturnal (aktif pada malam hari, tidur di siang

    hari), tidak mempunyai kantung empedu, tidak muntah, dan tidak berhenti tumbuh

    meskipun setelah 100 hari pertumbuhan berkurang. Sedangkan mencit dipilih

    sebagai hewan percobaan karena mudah diperoleh, murah, mudah dalam

    penanganan, serta memiliki sistem biologi dan metabolisme yang hampir serupa

    dengan manusia. Hewan yang digunakan harus benar-benar bebas dari mikroba

    (germ-free), bebas dari semua mikroba patogen (pathogen-free), bebas dari

    mikroba patogen tertentu (specific pathogen-free), dan tidak diperlakukan khusus

    terhadap mikroorganisme lingkungannya.

    Hewan percobaan sering disebut juga sebagai hewan laboratorium, yaitu

    semua jenis hewan dengan persyaratan tertentu untuk dipergunakan sebagai salah

    satu sarana dalam berbagai kegiatan penelitian biologi dan kedokteran. Hewan

    percobaan adalah yang sengaja dipelihara dan diternakan untuk dipakai sebagai

    hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang

    ilmu dan skala penelitian serta pengamatan laboratorium (Malole dan Pramono,

  • 1989). Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi

    persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis atau keturunan dan

    lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping faktor ekonomi,

    mudah tidaknya diperoleh, dan mampu memberikan reaksi biologis.

    Kebutuhan gizi hewan selama percobaan harus dipenuhi antara lain

    kebutuhan karbohidrat, lemak atau minyak, protein, vitamin, mineral, dan air.

    Pemberian makanan dan minuman dilakukan secara berlebih (ad libitum). Malole

    dan Pramono (1989) menyatakan bahwa hewan percobaan yang digunakan dalam

    penelitian harus diberi makanan yang berkualitas baik untuk menjamin tingkat

    pertumbuhan dan pembiakan yang normal dan membantu menjaga keseimbangan

    gizi hewan percobaan. Kekurangan nilai gizi dapat menyebabkan tubuh bersisik,

    pertumbuhan terhambat, dan kematian. Oleh karena itu, pemberian ransum yang

    memenuhi standar harus diberikan kepada hewan percobaan setiap hari. Wadah

    ransum dan botol minum juga diusahakan tetap bersih agar tidak mempengaruhi

    jumlah makan dan minum hewan percobaan.

    Kondisi kandang dan ruangan yang digunakan juga mempengaruhi kondisi

    hewan percobaan selain makanan dan minuman. Suhu, kelembaban, cahaya, dan

    kebisingan harus sesuai dengan kebutuhan hidup hewan uji (Siregar et al., 1991).

    Hewan percobaan membutuhkan masa adaptasi terhadap lingkungan percobaan

    selama 4-5 hari.

    Di bidang toksikologi, penggunaan hewan percobaan dilakukan untuk

    menguji keamanan atau efek samping dari suatu bahan kimia atau alami yang

    sering dibubuhkan pada bahan makanan hewan serta manusia dengan tujuan

    memberi warna yang menarik, aroma, obat, pencegahan penyakit, dan pengawet.

    Karena tujuan akhir dari pengujian toksikologi ini adalah untuk keselamatan

    manusia maka hewan percobaan yang digunakan adalah hewan-hewan yang

    mempunyai sifat-sifat respon biologis dan adaptasi mendekati manusia (Malole

    dan Pramono, 1989).

    Penelitian dalam bidang toksikologi dan farmakologi memerlukan

    serangkaian percobaan untuk mengetahui tingkat toksisitas dan keamanan obat.

    Penggunaan berbagai tingkat dosis obat terhadap hewan percobaan dilakukan

    untuk mendapatkan dosis terbesar yang tidak memberikan efek merugikan atau

  • dosis yang sangat besar yang dapat menimbulkan efek toksik yang jelas

    (Darmansjah, 1995). Respon berbagai hewan percobaan terhadap uji toksisitas

    dapat berbeda. Kepekaan terhadap zat toksik antara individu sejenis maupun

    berbeda jenis dapat sangat bervariasi. Pada umumnya hal ini disebabkan oleh

    perbedaan anatomi dan fisiologis, variasi dalam sifat keturunan, umur, dan kondisi

    tubuh individu dalam satu jenis (Koeman, 1987).

    1. Biologi Mencit

    Mencit (Mus musculus) merupakan salah satu hewan percobaan yang sering

    digunakan dalam penelitian. Hewan ini dinilai cukup efisien dan ekonomis karena

    mudah dipelihara, tidak memerlukan tempat yang luas, waktu kebuntingan yang

    singkat dan banyak memilki anak perkelahiran. Mencit mempunyai sifat-sifat

    produksi dan reproduksi yang mirip dengan mamalia besar serta memiliki siklus

    estrus yang pendek (Malole dan Pramono, 1989). Menurut Siregar et al. (1991)

    hewan pengerat merupakan jenis hewan yang paling banyak digunakan pada

    sebagian besar uji toksisitas.

    Mencit dan tikus putih memiliki banyak data toksikologi, sehingga

    mempermudah membandingkan toksisitas zat-zat kimia (Lu, 1995). Sistem

    taksonomi mencit adalah sebagai berikut:

    Kingdom : Animalia

    Filum : Chordata

    Sub filum : Vertebrata

    Kelas : Mamalia

    Ordo : Rodentia

    Genus : Mus

    Spesies : Mus musculus

    Mencit memiliki beberapa data biologis, diantaranya:

    Lama hidup : 1-2 tahun

    Lama produksi ekonomis : 9 bulan

    Lama bunting : 19-21 hari

    Kawin sesudah beranak : 1-24 jam

    Umur disapih : 21 hari

  • Umur dewasa : 35 hari

    Umur dikawinkan : 8 minggu

    Siklus kelamin : poliestrus

    Perkawinan : pada waktu estrus

    Berat dewasa : 20-40 gram (jantan)

    18-35 gram (betina)

    Uterus : dua kornua, bermuara sebelum serviks

    D. METABOLISME

    Metabolisme adalah pertukaran zat yang meliputi pembentukan dan

    penguraian zat organik dalam tubuh. Proses penguraian senyawa kompleks

    menjadi bahan-bahan yang lebih sederhana disebut dengan istilah katabolisme.

    Anabolisme digunakan untuk proses metabolisme dimana senyawa kompleks

    disintesis dari bahan-bahan yang lebih sederhana (Manalu, 1999).

    Menurut Hawab (2002), dengan adanya dua bentuk aktivitas metabolisme

    yaitu katabolisme dan anabolisme yang masing-masing melepaskan dan

    membutuhkan sejumlah energi bebas, dimana di satu pihak ada kelebihan energi,

    dan di pihak lain ada kekurangan energi maka pada proses metabolisme ini

    terdapat proses take and give untuk mencapai proses keseimbangan internal.

    Sebagai hasil dari berbagai proses metabolisme akan dihasilkan energi yang

    nantinya akan tersedia untuk digunakan dalam kerja mekanis dan untuk kerja

    kimia seperti sintesis karbohidrat, protein, dan lemak (Manalu, 1999).

    Metabolit adalah substansi yang dihasilkan oleh metabolisme atau proses

    metabolik. Sebagian besar energi biologis untuk menjalankan reaksi biosintesis

    berasal dari reaksi oksidasi metabolit-metabolit dengan oksigen sebagai pengikat

    elektron dalam reaksi tersebut (Mathews et al., 2000). Enzim merupakan pengatur

    dan pengkoordinir reaksi-reaksi metabolisme (Hawab, 2002). Jumlah enzim

    dalam sebuah sel dapat berubah karena tanggapan terhadap adanya perubahan

    kebutuhan metabolit (Mathews et al., 2000).

  • 1. Peranan Organ-organ dalam Metabolisme Lemak

    a) Lambung Proses pertama yang terjadi di dalam lambung setelah makanan dicerna

    adalah pembentukan emulsi minyak di dalam air, yang dihasilkan oleh

    pergerakan mekanis lambung. Pencernaan lemak di dalam lambung sangat

    terbatas. Adanya aksi proteolitik memungkinkan lipid dilepaskan dari

    makanan, sedangkan aksi pengadukan lambung sangat membantu dalam

    pembentukan emulsi. Lambung memproduksi lipase yang berbeda dengan

    lipase pankreas. Lipase lambung aktif pada pH 3-4, serta lebih mudah

    melepaskan asam lemak rantai sedang daripada rantai panjang (Muchtadi et

    al., 1989).

    b) Usus Pada saat lemak memasuki usus halus, hormon kolesistokinin memberi

    isyarat kepada kantung empedu untuk mengeluarkan cairan empedu yang

    berperan sebagai bahan pengemulsi. Cairan empedu terdapat sebagai asam

    empedu dan garam empedu. Asam empedu dapat menarik molekul lemak

    yang telah dipecah menjadi bagian-bagian kecil ke dalam cairan tubuh. Lemak

    dalam bentuk emulsi ini akan dicerna oleh enzim lipase yang berasal dari

    dinding usus halus dan pankreas (Almatsier, 2002). Hampir setengah dari

    trigliserida yang berasal dari makanan dihidrolisis secara sempurna oleh enzim

    ini menjadi asam lemak dan gliserol. Selebihnya dipecah menjadi digliserida,

    monogliserida, dan asam lemak.

    Menurut Almatsier (2002), terdapat dua kemungkinan bila empedu

    masuk ke dalam usus halus. Pertama, bahan empedu berfungsi sebagai

    pengemulsi lemak sehingga diabsorpsi kembali oleh dinding usus dan

    diedarkan kembali. Kedua, bahan empedu dalam usus halus diserap oleh serat

    makanan tertentu (pektin dan gum yang larut air) dan dikeluarkan tubuh

    dengan feses.

    Fosfolipid dicerna oleh enzim fosfolipase yang dikeluarkan oleh

    pankreas. Hasil pencernaannya adalah dua asam lemak dan lisofosfogliserida.

    Ester kolesterol dihidrolisis oleh enzim kolesterol esterase yang dikeluarkan

    oleh pankreas.

  • Absorpsi lipida terutama terjadi di dalam jejunum. Hasil pencernaan

    lipida diabsorpsi ke dalam membran mukosa usus halus dengan cara difusi

    pasif. Trigliserida dan lipida besar lainnya yang terbentuk dalam usus halus

    dikemas untuk diabsorpsi secara aktif dan ditransportasi oleh darah. Bahan-

    bahan ini bergabung dengan protein-protein khusus dan membentuk alat

    angkut lipida yang dinamakan lipoprotein. Tubuh membentuk empat jenis

    lipoprotein, yaitu kilomikron, Low Density Lipoprotein/LDL, Very Low

    Density Lipoprotein/VLDL dan High Density Lipoprotein/HDL (Almatsier,

    2002).

    Kilomikron pada dasarnya mengemulsi lemak sebelum masuk ke dalam

    aliran darah. Proses ini menyerupai kegiatan lesitin dan asam lemak dalam

    usus halus dalam upaya mengemulsi lemak makanan selama pencernaan.

    Dalam aliran darah trigliserida yang ada pada kilomikron dipecah menjadi

    gliserol dan asam lemak bebas oleh enzim lipoprotein lipase yang berada pada

    sel-sel endotel.

    Sebagian asam lemak yang terbentuk di dalam tubuh diabsorpsi oleh sel-

    sel otot, lemak dan sel-sel lain. Asam lemak ini dapat langsung digunakan

    sebagai zat energi atau diubah kembali menjadi trigliserida. Sedikit lemak dan

    kolesterol yang terkurung dalam serat makanan akan dikeluarkan melalui feses

    (Almatsier, 2002).

    c) Hati Sebagian besar trigliserida yang telah dipisahkan dari kilomikron, yaitu

    berupa kolesterol dan protein, akan dibawa ke hati dan mengalami

    metabolisme. Hati merupakan alat memproduksi lipida utama di dalam tubuh.

    Sel-sel lemak tidak membuat lemak, tetapi hanya menyimpan lemak.

    Di dalam hati, lipida dipersiapkan menjadi lipoprotein sehingga dapat

    diangkut melalui aliran darah. Lipoprotein yang dibentuk dalam hati ini adalah

    VLDL, yaitu lipoprotein dengan densitas sangat rendah yang terutama terdiri

    atas trigliserida. Bila VLDL meninggalkan hati, lipoprotein lipase kembali

    bekerja dengan memecah trigliserida yang ada pada VLDL. VLDL kemudian

    mengikat kolesterol yang ada pada lipoprotein lain dalam sirkulasi darah.

  • Dengan berkurangnya trigliserida, VLDL bertambah berat dan menjadi LDL,

    yaitu lipoprotein dengan densitas rendah.

    Reseptor LDL yang ada di dalam hati akan mengeluarkan LDL dari

    sirkulasi. Pembentukan LDL oleh reseptor ini penting dalam pengontrolan

    kolesterol darah. Bila sel-sel lemak membebaskan gliserol dan asam lemak,

    kemungkinan kolesterol dan fosfolipida akan dikembalikan pula ke dalam

    aliran darah. Hati dan usus halus akan memproduksi HDL (lipoprotein dengan

    densitas tinggi) yang masuk ke dalam aliran darah. HDL mengambil kolesterol

    dan fosfolipida yang ada di dalam aliran darah. HDL menyerahkan kolesterol

    ke lipoprotein lain untuk diangkut kembali ke hati guna diedarkan kembali

    atau dikeluarkan dari tubuh (Almatsier, 2002). Disamping melewati siklus

    antara hati dan sel-sel tubuh lain, lipoprotein dan kolesterol dapat diubah oleh

    hati menjadi bahan empedu dan disimpan dalam kantung empedu.

    Hati berfungsi sebagai pengatur lemak secara normal bukan sebagai

    akumulator. Hati menjaga kandungan lemaknya relatif seragam sebesar 3-8 %,

    walaupun sejumlah besar lemak ditimbun di jaringan lemak. Sumber cadangan

    utama lemak ada di lapisan subkutan yang biasanya adalah yang terbesar, tapi

    cadangan penting lainnya ada di jaringan ikat intermuskular, omentum,

    mesenteries, dan jaringan ikat yang melapisi organ-organ seperti jantung dan

    ginjal (Mitchel, 1956).

  • III. METODOLOGI PENELITIAN

    A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan

    Bahan baku yang digunakan adalah buah merah varietas merah panjang

    yang diperoleh dari Drs. I Made Budi dalam bentuk fraksi minyak dan fraksi air

    hasil metode ekstraksi sentrifugal (Gambar 7). Kedua fraksi tersebut dikemas

    dalam botol plastik berwarna gelap (tidak transparan). Sedangkan bahan-bahan

    yang diperlukan dalam analisis toksisitas akut adalah mencit jantan, sekam, dan

    ransum standar.

    2. Alat

    Peralatan yang digunakan terdiri dari sentrifugator, lemari pendingin, neraca

    analitik, peralatan gelas, kandang non metabolik, sonde, ram kawat, peralatan

    bedah, masker, dan sarung tangan.

    B. METODE PENELITIAN

    Sebelum dilakukan pengujian toksisitas akut, terlebih dahulu dilakukan

    ekstraksi buah merah dengan metode sentrifugal dan penentuan sifat fisiko-kimia

    ekstrak buah merah. Proses ekstraksi buah merah untuk mendapatkan fraksi

    minyak dan fraksi air dilakukan di Papua oleh Drs. I Made Budi. Adapun data

    sifat kimia yang tercantum dalam skripsi ini merupakan hasil kerjasama dengan

    Andini Julia Selly (F24103067) dan Eka Kurnia Sari (F24103116) yang dituliskan

    dalam skripsi Selly (2008).

    1. Ekstraksi Buah Merah (Metode Sentrifugal)

    Buah merah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dalam bentuk fraksi

    air dan fraksi minyak. Kedua fraksi tersebut diperoleh dari proses ekstraksi

    metode sentrifugal. Tahapan proses ekstraksi buah merah dapat dilihat pada

    Gambar 7.

  • Gambar 7. Tahapan proses ekstraksi buah merah (Metode Sentrifugal)

    Pembelahan dan pengeluaran empulur

    Daging buah

    Pemotongan

    Pencucian dengan air bersih

    Pengukusan pada suhu 75oC selama 30 menit

    Pengepresan dengan hydraulic pressure 1010 psi

    Pengendapan (sentrifugasi 15 menit, 888 x g)

    Minyak

    Ampas (biji dan serat)

    Pemvakuman(30 menit, 50oC)

    Fraksi minyak murni

    Analisis sifat fisiko-kimia dan toksisitas akut

    Pasta

    Penyaringan

    Pasta (air dan endapan)

    Pengendapan (sentrifugasi 15 menit, 888 x g)

    Fraksi air Endapan

    Buah merah matang

  • Buah merah varietas merah panjang matang dibelah menjadi dua, kemudian

    dikeluarkan bagian empulurnya (bagian kayu di bagian tengah buah). Daging

    buah dipotong-potong dan dicuci dengan air bersih. kemudian dikukus (75oC; 30

    menit). Daging buah yang telah dikukus selanjutnya dipres dengan tekanan 1010

    psi sehingga diperoleh minyak yang masih tercampur air dan pasta. Campuran

    tersebut disentrifus dengan kecepatan 888 x g selama 15 menit sehingga fase

    minyak terpisah. Fase minyak yang diperoleh kemudian divakum (30 menit,

    50oC) untuk menghilangkan air dari minyak sehingga komponen aktif ekstrak

    buah merah tidak banyak mengalami kerusakan. Selanjutnya dilakukan proses

    filtrasi untuk mengikat pasta granula amilum di dalam minyak sehingga diperoleh

    fraksi minyak murni. Pasta yang diperoleh dari proses pemisahan dengan minyak,

    disentrifugasi kembali sehingga diperoleh fraksi air yang akan dianalisis.

    2. Pengujian Toksisitas Akut Ekstrak Buah Merah (EPA, 1998)

    Prinsip pengujian toksisitas akut adalah pemberian bahan uji pada beberapa

    kelompok hewan uji sebanyak satu kali selama masa pengujian dengan berbagai

    tingkatan dosis. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik

    dan kematian. Hewan yang mati selama pengujian dan yang hidup sampai akhir

    masa pengujian dibedah untuk dilakukan evaluasi.

    a. Persiapan Hewan Percobaan (Persiapan Ransum dan Masa Adaptasi)

    Pengujian toksisitas akut ekstrak buah merah secara in vivo

    menggunakan mencit sebagai hewan percobaan. Mencit yang digunakan

    adalah mencit jantan berumur 6 minggu dengan bobot tubuh rata-rata 20 g.

    Hewan percobaan diberi ekstrak buah merah yaitu fraksi minyak dan fraksi air

    hasil metode sentrifugal.

    Mencit diadaptasikan selama satu minggu. Selama masa adaptasi, mencit

    diberi ransum dan minuman secara ad libitum. Formulasi makanan mencit

    yang diberikan adalah berdasarkan AIN (American Institute of Nutrition)

    (Reeves et al., 1993) seperti yang tersaji pada Tabel 4.

    Pada pengujian toksisitas akut, disiapkan 6 kelompok mencit

    (berdasarkan dosis yang diberikan), dimana tiap-tiap kelompok terdiri dari 5

    ekor mencit. Kandang yang digunakan adalah kandang non metabolik dan

  • dibersihkan setiap 2-3 hari sekali serta sekam diganti untuk menjaga

    kelembaban lingkungan. Kondisi kandang yang digunakan dalam pengujian

    dapat dilihat pada Gambar 8.

    Tabel 4. Komposisi pakan hewan percobaan menurut AIN

    Komposisi Jumlah (g bahan/kg diet) Minyak kedelai (Happy Salad Oil) Kasein CMC (Carboxy Methyl Cellulose) Campuran mineral Campuran vitamin (Sakatonik ABC) Tepung maizena Tepung gula

    70 200 50 35 10 535 100

    Gambar 8. Kondisi kandang mencit yang digunakan dalam pengujian

    b. Tahap Perlakuan (Pemberian Ekstrak Buah Merah)

    Pada setiap kelompok diberikan ekstrak buah merah secara oral

    (pencekokan menggunakan sonde) dengan beberapa tingkatan dosis, yaitu 0

    (sebagai kontrol), 5, 50, 500, 5000, dan 50000 mg/kg BB. Penentuan dosis ini

    mengacu pada kriteria derajat toksisitas (Lu, 1995) yang dapat dilihat pada

    Tabel 3. Karena pada keenam tingkatan dosis tersebut belum ditemukan efek

    toksik dan nilai LD50 belum dapat ditentukan, maka dilakukan pengujian

    kembali.

    Pada pengujian selanjutnya digunakan empat peringkat dosis dengan

    perkalian 1.4 dimulai dari dosis terendah (50000 mg/kgBB) sampai dengan

    dosis tertinggi (137200 mg/kgBB) yang merupakan dosis maksimal yang

    secara teknis dapat diberikan kepada mencit. Menurut Siregar et al. (1991)

    dosis uji yang ditetapkan dibagi menjadi beberapa tingkat dosis dengan faktor

  • perkalian tetap 1.2 sampai 1.6. Volume maksimum pemberian bahan uji

    (cairan) untuk mencit secara oral adalah sekitar 3 ml (Puryanti, 2006). Teknik

    pencekokan secara oral dapat dilihat pada Gambar 9.

    Semua mencit yang digunakan dalam pengujian dipuasakan selama 24

    jam (hanya diberi minum) sebelum diberi perlakuan agar sampel (bahan yang

    diujikan) dapat terabsorpsi lebih sempurna di dalam pencernaan sehingga

    pemberian sampel lebih efektif, serta mencegah timbulnya efek-efek tertentu,

    seperti muntah pada saat pemberian zat. Setelah dipuasakan 24 jam, mencit

    diberi perlakuan pencekokan sampel yaitu fraksi minyak dan fraksi air buah

    merah dengan berbagai tingkatan dosis. Pemberian ransum kembali dilakukan

    4 jam setelah pemberian sampel. Pengujian toksisitas akut ini dilakukan

    sebanyak dua kali ulangan.

    Gambar 9. Pencekokan ekstrak buah merah secara oral

    c. Masa Pengamatan

    Pengamatan dilakukan selama 96 jam. Jumlah kematian diamati dan

    dicatat pada jam ke-0, ke-1, ke-2, ke-3, ke-24, ke-48, ke-72, dan ke-96 setelah

    pemberian dosis. Hal ini berdasarkan pada standar Environmental Protection

    Agency (EPA, 1998) yang menyatakan bahwa LD50 digunakan untuk

    mengetahui kematian 50 % hewan percobaan dalam 24-96 jam. Data jumlah

    hewan yang mati pada setiap kelompok peringkat dosis dipergunakan untuk

    memperhitungkan nilai LD50 menggunakan salah satu metode statistika yang

    sesuai, salah satunya adalah metode Thomson dan Weil (1952), dengan

    rumus:

    Log LD50 = Log D + d (f + 1)

  • Untuk kisaran LD50 digunakan rumus :

    Keterangan: D = dosis terkecil yang digunakan d = logaritma kelipatan dosis f = suatu faktor pada tabel ( n = jumlah hewan percobaan per kelompok, k = jumlah kelompok hewan percobaan 1) f = suatu nilai pada tabel yang tergantung pada nilai n dan k

    Pada setiap kematian yang terjadi selama masa pengamatan dan pada

    akhir pengujian dilakukan pembedahan untuk pengamatan organ secara

    makroskopik. Sebelum dilakukan pembedahan, mencit dibunuh dengan cara

    dislokasi leher, yaitu perusakan hubungan antara tulang leher dan kepala yang

    menyebabkan tulang leher terpisah dari kepala dan merusak jaringan syaraf

    pengatur kesadaran (Malole dan Pramono, 1989). Teknik dislokasi leher dapat

    dilihat pada Gambar 10.

    Gambar 10. Teknik dislokasi leher

    Selain kematian, dilakukan pula pengamatan terhadap berat badan,

    tingkah laku dan gejala toksik, serta penemuan makropatologi. Pengamatan

    berat badan dilakukan dengan melakukan penimbangan 2 hari sekali selama

    masa adaptasi dan setiap hari selama masa pengamatan. Tingkah laku dan

    gejala toksik diamati pada jam-jam pengamatan, yang meliputi cara berjalan

    dan perubahan warna feses. Pengamatan organ dilakukan secara makroskopis,

    sehingga yang diamati hanya sebatas warna dan penampilan organ. Organ

    yang diamati meliputi: lambung, hati, limpa, ginjal, jantung, paru-paru, dan

    usus. Tahapan pengujian toksisitas akut ekstrak buah merah dapat dilihat pada

    Gambar 11.

    Log LD50 2 d . f

  • Gambar 11. Tahapan pengujian toksisitas akut ekstrak buah merah

    Mencit (6 minggu, 20 gram)

    Pengelompokkan (@ 5 ekor)

    Proses adaptasi selama 1 minggu (pemberian ransum dan minum secara ad libitum)

    Dipuasakan selama 24 jam

    Pemberian fraksi air dan minyak buah merah dosis 5-137200 mg/kgBB

    Pengamatan selama 96 jam (Hal yang diamati: jumlah kematian, berat badan, tingkah laku dan gejala

    toksik, serta pengamatan organ secara makroskopik)

    Penentuan derajat toksisitas

  • IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. PENGARUH PROSES EKSTRAKSI TERHADAP RENDEMEN EKSTRAK BUAH MERAH

    Ekstrak buah merah berupa fraksi minyak dan fraksi air yang digunakan

    dalam penelitian ini merupakan hasil ekstraksi yang diperoleh dari Papua. Fraksi

    minyak dan fraksi air buah merah dapat dilihat pada Gambar 12. Kedua ekstrak

    tersebut diperoleh dari satu rangkaian metode ekstraksi sentrifugal menggunakan

    pengepresan mekanis, seperti yang telah tercantum dalam bab sebelumnya

    (Gambar 7).

    Gambar 12. Fraksi minyak (a) dan fraksi air (b) buah merah

    Metode ekstraksi sentrifugal yang digunakan untuk mengekstrak buah merah

    memiliki beberapa persamaan tahap dengan metode ekstraksi buah merah yang

    dilakukan oleh Susanti (2006), yaitu pengukusan, pengepresan, sentrifugasi, dan

    penguapan. Metode ekstraksi modifikasi 2 tersebut dapat dilihat pada Gambar

    13.

    Tujuan ekonomis dari setiap proses ekstraksi minyak adalah untuk

    memperoleh nilai rendemen yang setinggi-tingginya. Rendemen merupakan salah

    satu parameter untuk mengetahui seberapa besar produk yang dihasilkan dari

    suatu proses, yang dinyatakan dengan perbandingan antara jumlah produk yang

    dihasilkan dengan jumlah bahan yang digunakan. Hasil rendemen dari proses

    ekstraksi metode sentrifugal dapat dilihat pada Tabel 5.

    Menurut Budi et al. (2005), rendemen fraksi minyak buah merah yang

    dihasilkan adalah sebesar 15 % dari buah merah utuh, sedangkan dari 3 liter pasta

    (a) (b)

  • diperoleh 1.6 liter atau sekitar 53 % fraksi air. Rendemen fraksi minyak pada

    metode sentrifugal lebih rendah jika dibandingkan dengan metode ekstraksi

    modifikasi 2 yang menghasilkan rendemen minyak buah merah sebesar 18 %.

    Perbedaan rendemen minyak yang dihasilkan dari kedua metode tersebut

    disebabkan adanya perbedaan dalam tahapan dan parameter proses ekstraksi.

    Gambar 13. Tahapan proses ekstraksi buah merah (Metode Modifikasi 2)

    Buah merah segar

    Pembelahan dan pembuangan empulur

    Penimbangan (1 kg daging buah)

    Pengukusan (100oC, 15 menit)

    Penambahan air (2 L, 80 oC)

    Pemisahan biji dan daging buah

    Pasta Biji

    Pengepresan (P 4000 4500 psi)

    Pengendapan (sentrifugasi 1998 x g, 10 menit)

    Minyak kasar

    Ampas

    Penguapan vakum (50 oC, 15 menit) Minyak (ekstrak buah merah)

  • Tabel 5. Rendemen ekstrak buah merah

    Fraksi Rendemen (%) Metode sentrifugal Metode modifikasi 2b

    Minyak 15 18 Air 53a -

    a dihitung dari pasta sisa b sumber: Susanti (2006)

    Tahapan penambahan air pada metode modifikasi 2 dapat mempercepat

    penetrasi panas dalam bahan, yang berasal dari uap air panas. Hal ini

    mengakibatkan penggumpalan protein bahan lebih sempurna dan minyak lebih

    mudah keluar sehingga rendemen pengepresan menjadi lebih tinggi. Sedangkan

    pada proses ekstraksi metode sentrifugal tidak digunakan pelarut. Menurut

    Thieme (1968), ekstraksi dengan pelarut lebih cocok untuk bahan yang rendah

    kandungan minyaknya.

    Rendemen juga dipengaruhi oleh suhu pemanasan dan besarnya tekanan

    pengepresan. Suhu pengukusan dan tekanan pengepresan pada metode modifikasi

    2 lebih tinggi dibandingkan pada metode sentrifugal. Dalam proses ekstraksi

    minyak biji jarak, semakin tinggi suhu pemanasan menyebabkan bahan menjadi

    semakin lunak dan protein dalam bahan semakin mudah terkoagulasi sehingga

    menghasilkan rendemen yang semakin meningkat (Liestiyani, 2000). Rendemen

    yang dihasilkan juga akan semakin tinggi seiring dengan semakin besarnya

    tekanan pengepresan hingga mencapai tekanan optimum. Semakin besar tekanan

    yang digunakan, menyebabkan daya tekan alat terhadap biji semakin besar

    sehingga jaringan bahan semakin mudah rusak dan minyak dalam biji semakin

    mudah keluar (Liestiyani, 2000).

    B. TOKSISITAS AKUT EKSTRAK BUAH MERAH

    1. Penentuan Derajat Toksisitas Ekstrak Buah Merah

    Hasil pengamatan secara periodik dari jam ke-1 sampai dengan jam ke-96,

    tidak ditemukan adanya mencit yang mati pada setiap peringkat dosis untuk kedua

    fraksi yang diujikan. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui derajat toksisitas

    untuk fraksi minyak buah merah dan fraksi air buah merah menurut klasifikasi

    toksisitas relatif (Lu, 1995) adalah praktis tidak toksik dengan nilai LD50 di atas

  • 15000 mg/kgBB sebab tidak ditemukan adanya kematian pada tingkat dosis

    5 mg/kgBB hingga 50000 mg/kgBB. Karena nilai LD50 belum dapat ditentukan,

    maka pengujian dilanjutkan kembali menggunakan dosis yang lebih tinggi dengan

    batasan dosis tertinggi adalah dosis yang secara teknis masih dapat diberikan pada

    hewan uji.

    Hasil pengamatan secara periodik dari jam ke-1 sampai dengan jam ke-96,

    tidak ditemukan adanya mencit yang mati pada dosis 50000 sampai dengan

    137200 mg/kgBB untuk kedua fraksi yang diujikan. Data jumlah kematian mencit

    untuk perlakuan fraksi air dan minyak buah merah dosis 5 sampai dengan 137200

    mg/kgBB selama pengamatan dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan hasil pada

    Tabel 6, dapat dianggap bahwa dosis 137200 mg/kgBB sebagai nilai LD50 untuk

    fraksi air dan fraksi minyak buah merah. Donatus dan Nurlaila (1986) menyatakan

    bahwa bila tidak dijumpai adanya hewan yang mati pada setiap kelompok

    peringkat dosis, maka dosis tertinggi yang secara teknis dapat diberikan pada

    hewan uji, dianggap sebagai nilai LD50nya.

    Nilai LD50 bukan suatu tetapan biologi yang mutlak, melainkan hanya

    merupakan salah satu petunjuk toksisitas akut (Siregar et al., 1991). Bila toksisitas

    akutnya rendah LD50 tidak perlu ditentukan secara tepat dan suatu angka perkiraan

    sudah dapat memberi manfaat (Lu, 1995). Informasi bahwa dosis yang cukup

    besar saja menyebabkan hanya sedikit kematian, mungkin cukup (EPA, 1988).

    Menurut Lu (1995), apabila sejumlah zat diberikan kepada hewan dengan dosis

    tinggi dan tidak ada hewan yang mati, dianggap bahwa semua toksisitas akut yang

    berbahaya dapat diabaikan.

    Hasil pengujian toksisitas akut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti

    spesies, keragaman individu, jenis kelamin, umur, berat badan, cara pemberian,

    kesehatan hewan, dan lingkungan (Balls et al., 1991). Faktor-faktor tersebut

    dianggap seragam sehingga respon yang dihasilkan hanya dipengaruhi perlakuan.

    Ketidaktoksikan ekstrak buah merah juga telah dibuktikan oleh penelitian

    Sukirno (2007). Penelitian tersebut dilakukan secara in vitro menggunakan sel

    limfosit manusia. Berdasarkan penelitian tersebut, diperoleh hasil bahwa

    penambahan ekstrak air, ekstrak metanol, ekstrak n-heksan, dan minyak buah

    merah relatif tidak menyebabkan toksisitas terhadap sel limfosit manusia.

  • Tabel 6. Jumlah kematian mencit perlakuan fraksi air dan minyak buah merah dosis 5-137200 mg/kgBB selama masa pengamatan

    Sampel

    Dosis (mg/kg BB)

    Jumlah mencit yang mati pada jam ke- 0 1 2 3 24 48 72 96

    Fraksi air

    5 0 0 0 0 0 0


Top Related