Download - DocumentBP

Transcript
Page 1: DocumentBP

BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s Palsy merupakan salah satu gangguan neurologik berupa paresis

atau paralisis nervus fasialis perifer yang biasanya bersifat unilateral, terjadi

secara tiba-tiba dengan penyebab yang tidak diketahui(idiopatik) atau tidak

terdapat bukti penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis .(2,3,4,7)

Pada Bell’s Palsy terjadi kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-

neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema dan

iskemi. Parese saraf fasialis perifer merupakan kelemahan jenis lower motor

neuron yang terjadi bila nukleus atau serabut distal saraf fasialis terganggu, yang

menyebabkan kelemahan otot-otot wajah.

Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di

dunia dan bertanggung jawab terhadap sekitar dua per tiga dari seluruh kasus

paralisis nervus fasialis. Insiden Bell’s palsy dilaporkan sekitar 60-75% dari

semua kelumpuhan saraf fasialis perifer akut.(2,10) Prevalensi rata-rata berkisar

antara 15–30 pasien per 100.000 populasi per tahun. Wanita dan pria dapat

mengalami Bell’s Palsy dengan perbandingan yang sama.(2,17) Insidensi pada

wanita hamil 3,3% lebih tinggi. (17) Pasien diabetes memiliki resiko 4-5 kali lipat

untuk tekena bell’s palsy.(17) Usia rata-rata terjadinya onset Bell’s Palsy adalah

sekitar 40 tahun, tetapi penyakit ini bisa terjadi pada segala usia.(2) Insidensi

terendah adalah pada anak-anak di bawah 10 tahun dan meningkat pada usia

10-29 tahun, insidensi yang stabil terjadi pada usia 30-69 tahun dan insidensi

tertinggi adalah pada orang yang berusia lebih dari 70 tahun.(2) Sisi kiri dan

kanan wajah dapat terkena dengan kemungkinan kejadian yang sama, kurang

dari 1% kasus terjadi dengan lesi bilateral.(2,8,17) Sebagian besar pasien

mengalami penyembuhan yang sempurna, tetapi beberapa pasien dapat

mengalami kelemahan wajah yang permanen.(2) Sekitar 8-10% kasus

berhubungan dengan riwayat keluarga yang pernah menderita penyakit ini. (2,17)

Belum adanya gold standard diagnosis untuk penyakit Bell’s Palsy menyebabkan

sebagian orang yang keliru menganggap setiap kelumpuhan pada nervus fasialis

dapat didiagnosis sebagai Bell’s Palsy. Sedangkan kelumpuhan nervus fasialis

dengan disertai bukti penyakit lain yang mendasari atau sebagai penyerta dari

Page 2: DocumentBP

penyakit lain tidak dapat didiagnosis sebagai Bell’s Palsy melainkan paralisis

nervus fasialis. Selain itu hingga saat ini penatalaksanaan penyakit ini masih

merupakan sebuah kontroversi karena etiologinya pun belum dapat dipastikan,

serta berdasarkan survey 70-80% kasus dapat sembuh spontan walaupun

beberapa sumber mengatakan bahwa pengobatan dengan kortikosteroid dan

acyclovir dapat memberikan hasil yang lebih baik.(17)

Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhan yang terjadi dapat

sembuh spontan, namun pada beberapa kasus kelumpuhan sembuh dengan

meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini dapat berupa kontraktur dan sinkinesis.

Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s Palsy cukup kompleks, diantaranya masalah

fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi

penderita, dapat timbul permasalahan kapasitas fisik (impairment) antara lain berupa

asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot

wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial

terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan permasahan fungsional (fungsional

limitation) berupa gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah, seperti makan

dan minum, berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicara dan gangguan

ekspresi wajah. Semua hal ini dapat menyebabkan individu tersebut menjadi tidak

percaya diri yang akhirnya mempengaruhi kualitas hidup,produktivitas dan kehidupan

psikososial individu tersebut.

Adapun tujuan penulisan referat ini adalah agar dokter, khususnya

penulis sendiri, memiliki bekal pengetahuan memadai dalam menghadapi pasien

dengan Bell’s Palsy. Oleh karena itu dalam referat ini akan dikemukakan upaya

diagnosis dan penatalaksanaan yang dapat dilakukan oleh dokter umum untuk

menghadapi pasien dengan paresis nervus fasialis, Bell’s Palsy pada khususnya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini jauh dari sempurna, oleh

karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

pembaca.

1

Page 3: DocumentBP

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Anatomi Nervus Fasialis

Nervus fasialis merupakan saraf cranial terpanjang yang berjalan di

dalam tulang temporal. Saraf fasialis mempunyai 2 subdivisi , yang pertama adalah

saraf fasialis propius(serabut somato-motorik) yaitu saraf fasialis yang murni untuk

mempersarafi otot- otot ekspresi wajah, otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian

posterior dan stapedius di telinga tengah, kedua adalah saraf intermedius (pars

intermedius wisberg), yaitu subdivisi saraf yang lebih tipis yang membawa saraf

aferen otonom, eferen otonom, aferen somatis. (3,14)

Gambar 1. Divisi Nervus Fasialis

Aferen otonom(serabut visero-sensorik) mengantar impuls dari alat pengecap

di dua pertiga depan lidah.(14) Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar

melalui saraf lingual ke korda timpani, kemudian ke ganglion genikulatum dan

kemudian ke nukleus traktus solitarius.(3)

Eferen otonom (parasimpatik eferen) yang mengandung serabut visero-

motorik datang dari nukleus salivatorius superior.(14) Terletak di kaudal nukleus. Satu

kelompok akson dari nukleus ini, berpisah dari saraf fasilalis pada tingkat ganglion

2

Page 4: DocumentBP

genikulatum dan diperjalanannya akan bercabang dua yaitu ke glandula lakrimalis dan

glandula mukosa nasal. Kelompok akson lain akan berjalan terus ke kaudal dan

menyertai korda timpani serta saraf lingualis ke ganglion submandibularis. Dari sana,

impuls berjalan ke glandula sublingualis dan submandibularis, dimana impuls

merangsang salivasi. Selain itu serabut ini juga mengurus glandula dan mukosa

faring, palatum, rongga hidung dan sinus paranasal.(14)

Aferen somatic(serabut somatosensorik) memberikan rasa nyeri (dan mungkin

juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh

saraf trigeminus.(14) Daerah overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf atau

tumpang tindih) ini terdapat di lidah, palatum, meatus akustikus eksterna, dan bagian

luar membran timpani. (14)

Nervus fasialis mempunyai dua inti yaitu inti superior dan inferior. Inti

superior mendapat persarafan dari korteks motor secara bilateral, sedangkan

inti inferior hanya mendapat persarafan ipsilateral.(3) Inti saraf ketujuh terletak

pada daerah pons. Inti ini mendapat informasi dari gyrus precentralis dari

korteks motoric yang mengurus persarafan dahi ipsilateral dan kontralateral.

Traktus kortikalis serebrum juga mempersarafi belahan kontralateral bagian

wajah lainnya.(3) Nukleus motoric hanya mengurus saraf fasialis ipsilateral.

Serabut dari kedua sisi berjalan mengelilingi inti/nucleus nervus abdusen(N.VI),

kemudian keluar di permukaan lateral pons dan meninggalkan pons bersama-

sama dengan nervus VIII(vestibulocoklearis) dan nervus

intermedius(Whrisberg), masuk ke tulang temporal melalui meatus akustikus

internus.(3,14) Setelah masuk ke dalam tulang temporal, N.VII(N.fasialis) akan

berjalan dalam suatu saluran tulang yang disebut kanali fallopi atau canalis

fasialis.(1)

3

Page 5: DocumentBP

Gambar 2. Perjalanan nervus fasialis dalam tulang temporal

Dalam perjalanan di dalam tulang temporal, saraf VII dibagi dalam 3 segmen,

yaitu segmen labirin, segman timpani dan segmen mastoid. Segmen labirin terletak

antara akhir meatus akustikus internus dan ganglion genikulatum . panjang segmen ini

2-4 milimeter.(1) Segmen labirin merupakan bagian tertipis dari saraf fasialis yang

berada di dalam kanalis fallopii. (7) Bagian tersempit terletak pada pintu

masuknya. (7) Bagian tersempit di pintu masuk kanalis fallopii inilah yang

menjadi predisposisi terjadinya strangulasi saraf jika terjadi oedema atau

pembengkakkan.(7) Vaskularisasi pada daerah ini cukup unik karena segmen ini

merupakan satu-satunya bagian dari saraf fasialis yang tidak memiliki

anastomosis dengan arteri-arteri lain.(7) Segmen timpani (segmen vertikal), terletak

di antara bagian distal ganglion genikulatum dan berjalan ke arah posterior telinga

tengah , kemudian naik ke arah tingkap lonjong (venestra ovalis) dan stapes, lalu

turun kemudian terletak sejajar dengan kanal semisirkularis horizontal. Panjang

segmen ini kira-kira 12 milimeter.(1) Segmen mastoid ( segmen vertikal) mulai dari

dinding medial dan superior kavum timpani . perubahan posisi dari segman timpani

menjadi segmen mastoid, disebut segman piramidal atau genu eksterna. Bagian ini

merupakan bagian paling posterior dari saraf VII, sehingga mudah terkena trauma

pada saat operasi. Selanjutnya segmen ini berjalan ke arah kaudal menuju segmen

4

Page 6: DocumentBP

stilomaoid . panjang segmen ini 15-20 milimeter.(1)

Ganglion mengandung badan sel untuk pengecapan lidah anterior dan

untuk sensasi raba, nyeri dan suhu kanalis akustikus internus. Sejumlah serabut

saraf melewati ganglion dan membentuk saraf petrosus superfisialis

mayor(parasimpatis). Saraf ini berjalan sepanjang dasar fosa media dan masuk

ke dalam kanalis pterigoideus. Selanjutnya melintas menuju ganglion

sfenopalatinum dan beranastomosis dengan serabut yang mengurus apparatus

lakrimalis. Serabut-serabut fasialis membuat belokan tajam ke posterior pada

ganglion genikulatum dan berjalan turun lewat segmen labirin menuju segmen

timpani dari saraf. Saraf memasuki segmen timpani dan membuat genu(putaran)

kedua. Di sini, di dekat fenestra ovalis saraf menjadi terpapar dan dapat diraba

dalam telinga tengah. Saraf berjalan turun dari genu secara vertical dan

mengeluarkan cabang untuk otot stapedius. Di bawah tingkat ini, muncul cabang

kedua dan kembali masuk ke dalam liang telinga sebagai saraf korda timpani.

Korda membawa serabut-serabut nyeri, raba, dan suhu serta pengecapan untuk

duapertiga anterior lidah. Saraf ini juga mengurus salivasi kelenjar

submandibularis. Korda berjalan di antara maleus dan inkus. Kemudian keluar

dari tulang temporal melalui iter anterior. Bagian utama dari saraf fasialis

membawa serabut-serabut motoric dan keluar dari foramen stilomastoideus

tepat di medial prosesus mastoideus dan memberikan cabang-cabang kepada

otot stilohioid dan venter posterior muskulus digastrikus dan otot oksipitalis.

Pangkal sisanya menuju glandula parotis dan memecah menjadi lima cabang

utama yakni temporalis, zigomatikus, bukalis, mandibularis dan servikalis untuk

mempersarafi otot wajah dan platisma(15)

II.2 Bell’s Palsy

Bell’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis otot wajah akut unilateral,

yang disebabkan oleh disfungsi saraf fasialis (N. VII) perifer tanpa diketahui

penyebabnya secara pasti (idiopatik).

Penyebab pasti pada penyakit ini belum diketahui. Banyak teori penyebab

timbulya Bell’s Palsy diantaranya inveksi virus, allergi, lesi vaskular seperti

iskemi, paparan dingin dan penyakit sistemik. Selain itu diabetes melitus,

5

Page 7: DocumentBP

kehamilan dan factor herediter juga dianggap memiliki peran dalam terjadinya

penyakit ini. Namun Kelumpuhan nervus fasialis pada Bell’s Palsy diduga karena

terjadinya oedema dan iskemia nervus fasialis. (3)

Dari penelitian histopatologi tulang temporal, dijumpai beberapa tempat

yang rawan untuk timbulnya lesi akut saraf fasialis pada Bell’s palsy yaitu

foramen meatus atau ujung atas dari kanali fallopi, yang merupakan daerah

paling sempit sehingga apabila terjadi sedikit edema, saraf fasialis bisa langsung

terjepit dalam kanalis.(7,8) Segmen labirin dimana kanalis fallopinya

beranastomosis dengan sistem arteri karotis melalui mikrovaskuler yang

memperdarahi saraf fasialis. Akibatnya saraf di daerah tersebut rawan untuk

cedara diakibatkan iskemia pada arteri karotis, menyebabkan iskemia

mikrovaskular ke saraf fasialis sehingga dapat menimbulkan gangguan.(16)

Jaringan fibrosa sekitar saraf pada tempat keluarnya dari foramen

stilomastoideus dapat merupakan titik konstriksi pada Bell’s palsy. Edema saraf

dan jaringan fibrosa akan mengganggu aliran vena dan drainase limfe, yang akan

memperberat edema itu sendiri.(7,16)

Patofisiologi timbulnya Bell‘s Palsy secara pasti masih dalam perdebatan.

Salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis

menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi

dari saraf pada lokasi tertentu. Contohnya adalah pada foramen stylomastoideus

dimana perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis

fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu

keluar. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi

atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang

dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear,

nuklear dan infranuklear. Kompresi N.VII ini dapat dilihat dengan MRI.

Berdasarkan beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab utama

Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster)

yang menyerang saraf kranialis. Pada radang herpes zoster di ganglion

genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan

kelumpuhan fasialis LMN.

6

Page 8: DocumentBP

Lesi nervus fasialis pada Bell‘s Palsy mengenai nucleus saraf perifer,

dimana timbulnya lesi diduga terletak didekat ataupun tepat pada ganglion

genikulatum. Jika lesi timbul di bagian proksimal ganglion genikulatum maka

akan timbul kelumpuhan motorik disertai dengan gangguan fungsi gustatorium

dan otonom. Apabila lesi terletak di foramen stilomastoideus dapat

menyebabkan kelumpuhan fasial saja.

GEJALA KLINIS

Pada bell’s palsy terjadi kelumpuhan otot-otot wajah secara tiba-tiba, biasanya

unilateral dan terjadi kurang dari 48 jam. Kelumpuhan yang terjadi bersifat perifer

dan kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa

dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di

dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong

tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari

lokalisasi kerusakan. Gejala yang sering timbul adalah menurunnya reflex

stapedius, dysgeusia, berkurangnya fungsi lakrimasi, hiperakusis, disgeusia,

nyeri pada wajah dan daerah retroaurikular.(17) Tidak dijumpai kelainan

neurologi atau kelainan otak sebelumnya, tidak ada riwayat infeksi telinga

tengah.

FISIOLOGI KERUSAKAN SARAF

Bila suatu akson mengalami cedera akibat trauma langsung ataupun

peristiwa metabolik, dapat terjadi perubahan histologi yang nyata atau

perubahan biokimia yang dapat diukur secara menyeluruh hingga ke badan sel.(4,7) Tekanan pada suatu saraf dapat mengakibatkan hambatan aliran aksoplasma.(4)

Sunderland mengklasifikasikan cedera saraf menjadi lima derajat dengan

kerumitan yang semakin meningkat dan kemungkinan penyembuhan tanpa

komplikasi yang semakin menurun.(4) Derajat pertama sampai ketiga dapat

terjadi pada inflamasi dan infeksi virus dan gangguan imun seperti pada Bell’s

Palsy dan Herpes zoster cephalicus.(7) Derajat empat dan lima terjadi ketika

7

Page 9: DocumentBP

terdapat gangguan dimana saraf terputus seperti saat pembedahan, akibat

trauma tulang temporal dan pertumbuhan tumor yang cepat baik tumor jinak

maupun ganas.(7)

Gambar 3. Cedera saraf dan kemungkinan penyembuhannya

Derajat pertama disebut blok konduksi atau neuropraksia.(7) Terjadi bila

terdapat hambatan dalam konduksi impuls yang membendung aliran transport

aktoplasma (dalam dua arah) namun sebagian transport aktoplasma tetap

berlanjut.(4) Pada derajat ini terjadi kompresi tanpa adanya perubahan struktur

sehingga dapat sembuh spontan.(7) Perbaikan klinis terjadi dalam 1-4 minggu.(7)

Derajat Dua disebut aksonotmesis terjadi bila terdapat penekanan

menetap yang menyebabkan tekanan intraneural meningkat sehingga akson

hilang namun endonerium tetsp utuh.(7) Degenerasi Walleri terjadi dalam 24 jam.(8) Pada derajat ini, penyembuhan neuron terjadi dengan cara akson menyususri

endonerium yang masih utuh dengan kecepatan 1mm per hari.(7) Perbaikan

klinis terjadi dalam 1-2 bulan.(7) Kemungkinan terjadinya regenerasi yang salah

minimal dan akan tampak beberapa perbedaan jelas dari gerakan yang disadari

atau spontan.(7)

8

Page 10: DocumentBP

Derajat tiga atau neurotmesis merupakan aksonotmesis yang melibatkan

selubung endoneural(endoneurium hilang) tetapi perineurium dan epineurium

masih utuh.(7) Perbaikan klinis terjadi dalam 2-4 bulan.(7) Tampak jelas

penyembuhan neuron tidak sempurna karena akson mungkin tumbuh

menyimpang dari jalurnya karena endoneurium terbuka sehingga dapat terjadi

sinkinesis atau deformitas sedang sampai berat. (7)

Derajat empat disebut partial transection.(7) Pada derajat ini terjadi neurotmesis

dengan kerusakan perineurium(putus parsial).(7) Perbaikan klinis terjadi dalam 4-18

bulan. (7) Pada penyembuhan neuron, terjadi regenerasi serabut saraf dan proses

penyembuhan terhambat oleh adanya jaringan ikat sehingga penyembuhan spontan

sangat sulit terjadi. Pada penyembuhan setelah satu tahun akan tampak kelemahan

wajah. (7) Sinkinesis dan spasme jarang terjadi atau tidak ada. (7)

Derajat lima disebut Complete transection.(7) Pada derajat ini terjadi

neurotmesis disertai putusnya epineurium(terjadi kerusakan total).(7) Terdapatnya gap

yang terisi oleh jaringan ikat menghambat pertumbuhan akson dan inervasi otot

sehingga tidak terjadi penyembuhan spontan dan tonus hilang. (7)

Bell’s palsy dapat sembuh spontan dengan sempurna bila kerusakannya

sebatas derajat I atau II dan umumnya proses patologis yang menyebabkan bell’s

palsy biasanya tidak melebihi cedera syaraf derajat 1 atau 2 sehingga sebagian

besar pasien pulih dengan hasil yang baik. (7)

II.3 Aspek Diagnosis

Pendekatan diagnosis pada Bell’s palsy dilakukan dengan menentukan

adanya paresis fasialis tipe perifer kemudian menyingkirkan semua penyakit

lain yang menyebabkan paresis tersebut seperti tanda-tanda tumor, kelumpuhan

bilateral yg serempak, vesikel, riwayat atau tanda-tanda trauma, infeksi telinga,

tanda dari lesi susunan saraf pusat, kelumpuhan fasialis sejak lahir, keterlibatan

dari saraf kranial motori multiple, dan trias infeksi mononucleosis(demam, sakit

tenggorokan, dan limfadenopati cervical). (3,8)

Dari anamnesis didapatkan kelumpuhan fasialis unilateral yang timbul

tiba-tiba dan sering dirasakan saat bangun di pagi hari. Pasien merasa tebal dan

kaku pada sisi wajah yang terkena dan sering terasa tidak nyaman di dalam dan

sekitar telinga. Rasa tidak nyaman dapat berkembang menjadi rasa sakit yang

9

Page 11: DocumentBP

berat. Apabila ini terjadi biasanya merupakan tanda dari prognosis yang buruk.

Pasien tidak dapat ngenggerakkan dahi, mengangkat alis, menutup mata, sulit

menggerakkan sudut mulut da tidak bias bersiul.

Pada pemeriksaan fungsi motorik otot-otot wajah, derajat kelumpuhan

saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan menggunakan klasifikasi

House-Brackmann dan metode Freyss. Berikut merupakan gradasi kelumpuhan

saraf fasialis berdasarkan klasifikasiHouse-Brackmann :(6,7)

Grade I : Normal

Karakteristik : Fungsi otot wajah simetris bilateral pada semua area

Grade II : Disfungsi ringan

Karakteristik Umum : Terlihat kelemahan otot yang ringan saat menutup

mata. Sinkinesis ringan, tidak terdapat kontraktur dan spasme. Saat istirahat

wajah terlihat simetris

Karakteristik gerakan : Pergerakan dahi sedang sampai baik, mata dapat

menutup komplit dengan usaha minimal, pada mulut terdapat asimetris

ringan saat tersenyum

Grade III : Disfungsi sedang

Karakteristik Umum : Kelemahan jelas terlihat tapi tidak terlihat buruk,

perbedaan pada kedua sisi terlihat tapi tidak berat. Sinkinesis, kontraktur

atau spasme hemifasial tapi tidak berat. Saat istirahat wajah terlihat

simetris.

Karakteristik Gerakan : Pergerakan dahi tertinggal ringan sampai sedang.

Mata dapat menutup sempurna dengan usaha maksimal. Terdapat

kelemahan ringan sampai sedang pada mulut, dapat simetris dengan usaha

10

Page 12: DocumentBP

maksimal.

Grade IV : Disfungsi sedang berat

Karakteristik Umum : Terdapat kelemahan otot wajah yang nyata. Saat

istirahat terlihat asimetris ringan. Sinkinesis berat, mass movement dan

spasme

Karakteristik Gerakan : Tidak ada gerakan dahi, Mata tidak menutup

sempurna, Mulut asimetris walau dengan usaha maksimal.

Grade V : Disfungsi Berat

Karakteristik Umum : Saat istirahat wajah terlihat asimetris. Biasanya tidak

terdapat sinkinesis, kontraktur dan spasme.

Karakteristik Gerakan : Gerakan hampir tidak terlihatpada dahi, Mata tidak

bisa menutup, Hanya terdapat sedikit gerakan sudut mulut

Grade VI : Paralisis Total

Karakteristik : Tidak ada gerakan, tidak terdapat sinkinesis, kontraktur

ataupun spasme.

11

Page 13: DocumentBP

Berdasarkan sudut pandang klinis, pasien yang mengalami paralisis fasial

grade I dan II diperkirakan akan mengalami pemulihan yang cukup

baik/memuaskan dibandingkan dengan pasien pada grade III dan IV. Pasien

pada grade V dan VI dianggap memiliki pemulihan yang tidak memuaskan.

Pasien dengan pemulihan grade I dan II dapat dibedakan dengan mudah dari

grade III dan IV berdasarkan ketidakmampuan menggerakan dahi atau

terdapatnya sinkinesis yang jelas pada daerah yang terkena. (7)

Tidak ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan laboratorium yang spesifik

atau pemeriksaan khusus lainnya untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy.(2,15)

Pemeriksaan otology dan pemeriksaan saraf kranialis dapat dilakukan untuk

menyingkirkan penyebab parese fasialis, pada bell’s palsy didapatkan hasil

pemeriksaan yang normal.

Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke diagnose

Bell’s Palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi, karena pasien-pasien

dengan Bell’s Palsy umumnya akan mengalami perbaikan dalam 8-10 minggu. Bila

tidak ada perbaikan ataupun mengalami perburukan, pencitraan mungkin membantu..

Computerized tomography (CT) adalah pemeriksaan radiologi yang sangat ideal

untuk melihat perubahan yang terjadi di dalam tulang temporal. Magnetic

resonance imaging (MRI) mampu melihat lesi pada bagian proksimal dan distal

nervus fasialis seperti abnormalitas dari distal kanalikuli internal dan segmen

labirin dari saraf fasialis, mungkin juga memperlihatkan lesi pada pons, ganglion

genikulatum, bagian proksimal/distal dari segmen timpani dan mastoid serta

mampu menunjukan abnormalitas seperti adanya tumor (misalnya

Schwannoma, hemangioma, meningioma),

II.4 Aspek Terapeutik

- Kapan butuh intervensi?? Gejala/tanda apa yang butuh intervensi??

12

Page 14: DocumentBP

- Kapan kortikosteroid diberikan kapan antivirus diberikan?kapan

kombinasi diberikan?apa gejalanya?

- apan recovery spontan diharapkan terjadi(dalam waktu berapa lama)??

Apa factor yang membantu mempercepat recovery??

- Gimana cara bell’s palsy biar recovery spntan tanpa perlu intervensi?

- Faktor apa saja yg berperan dalam penyembuhan bell’s palsy? Penanda

klinisnya apa?

- Fisioterapi?? Fungsinya apa? Brp prsen yg berhasil?

- Klo recovery spontan th dengan edukasi dan neuralgasia

- Recovery spontan dalam 2-3 minggu. Klo udah lebih dari 2-3 minggu gak

recovery harus cari sbabnya, apakah salah dx(gejala lengkapnya belum

muncul krn derajat kelumpuhan makin buruk, ada gejala penyerta) atau

krn bell’s palsynya gak membaik??

-

The window of opportunity untuk memulai pengobatan adalah dalam 7 hari dari

onset bell’s palsy. Pemberian obat-obatan setelah 7 hari akan memberikan hasil

yang kurang efektif.(16)

Pada kasus paralisis fasialis yang ideopatik dan tidak memiliki factor

resiko dapat diberikan terapi berupa edukasi baik kepada pasien maupun

keluarganya untuk mengurangi keterbatasan fungsi serta membatu pasien

mengatasi masalah social yang dapat mengganggu kualitas hidup dan

produktivitasnya.

Kortikosteroid digunakan untuk mengurangi reaksi inflamasi atau oedema

pada saraf.

Setiap evaluasi harus dipertimbangkan bahwa 71% pasien yang tidak

diterapi pulih sepenuhnya dan 84% mencapai fungsi yang hampir normal. Jadi

20-30% pasien yang tidak pulih sempurna memerlukan terapi. Berbagai temuan

memberikan dasar untuk memberikan terapi yang agrasif dan dilakukan sejak

dini. Temuan pertama adalah selama lebih dari setengah abad, ahli bedah yang

melakukan operasi dekompresi pada pasien dengan Bell’s Palsy menunjukkan

adanya odema pada saraf fasialis yang dapat dikonfirmasi dengan MRI. Selain itu

terdeteksinya virus herpes simpleks pada cairan endoneurial pada pasien

13

Page 15: DocumentBP

dengan Bell’s Palsy menunjukkan kemungkinan keterlibatan virus ini pada

pathogenesis penyakit Bell’s Palsy.(2)

Sejumlah penelitian pada pasien dengan Bell’s Palsy telah membandingkan pengobatan

glukokortikoid dengan acyclovir atau placebo, sedangkan penelitian membandingkan pengobatan

antiviral dengan tanpa pengobatan belum dilakukan. Suatu studi obervasional besar yang

membandingkan 194 pasien yang diterapi dengan prednisone selama 12 hari(40mg selama 4 hari

dan ditapering menjadi 8mg perhari sampai hari ke 12) dengan 110 pasien yang tidak

mendapatkan terapi pada kelompok control, paralisis fasialis komplit diobservasi pada kelompok

pasien yang diberi pengobatan dibandingkan dengan 10% pasien yang tidak menerima terapi.(2)

Pada penelitian lain secara acak dan double-blinded, percobaan pada kelompok control

dengan placebo menunjukkan jumlah pemulihan fungsi fasial yang lebih tinggi (yang dinilai dengan

system penilaian House-Brackmann) yaitu 35 pasien yang diterapi dengan prednisolone(30mg

dua kali sehari selama 5 hari yang ditapering menjadi 5 mg perhari sampai hari ke 10) dan 41

pasien yang diterapi dengan placebo, semua pasien dalam penelitian diterapi dalam lima hari

setelah onset terjadinya paralisis.(2)

Pada pasien diabetes dengan Bell’s palsy yang diterapi dengan prednisolone(200mg

selama 2 hari dan 70mg pada hari ke3-7), tingkat pemulihan(pengembalian sampai fungsi normal)

adalah sebesar 97% jika dibandingkan dengan 58% pasien yang tidak mendapatkan terapi.(2)

Metaanalisis juga telah dilakukan untuk membandingkan glukokortikoid dengan plaseco.

Suatu analisis yang menggabungkan penemuan dari 4 penelitian yang sudah dipublikasikan

menunjukkan perbaikan kelemahan wajah yang signifikan dengan pemberian terapi

glukokortikoid.(2)

Metaanalisis kedua (random dan control) menunjukkan bahwa pengobatan

glukokortikoid yang dimulai dalam 7 hari setelah onset pada paralisis fasialis komplit meningkatkan

pemulihan fasial yang menyerupai sempurna sebanyak 17% dibandingkan dengan pemberian

placebo. (2)

Tidak semua penelitian menunjukkan manfaat dari pemberian terapi glukokortikod. Pada

satu kelompok control dengan percobaan double-blinded, menunjukkan tingkat pemulihan pada

kelompok glukokortikoid dengan placebo setelah 6 bulan tidak berbeda secara signifikan,

penemuan ini dipertimbangkan sebagai hal yang potensial untuk sejumlah kecil sample dengan

presintasi tinggi pasien dengan kelemahan yang berat. (2)

Penelitian lain pada 239 pasien dengan Bell’s Palsy yang diberikan prednisone atau placebo

menunjukkan pemulihan kekuatan fasial komplit pada 88% pasien yang mendapat gterapi

14

Page 16: DocumentBP

glukokortikoid dan 80% pasien pada kelompok control, perbedaan secara statistic tidak terlalu

signifikan diperlihatkan oleh pasien yang diiobservasi sampai pulih sempurna atau selama satu

tahun. (2)

Suatu percobaan secara acak tanpa kelompok placebo yang menyertakan 101 pasien dan

membandingkan prednisolone oral(1mg per kgBB selama 10 hari yang ditappering sampai 0 pada

hari ke 16) dengan acyclovir(800mg tiga kali sehari selama 10 hari) yang diberikan dalam 4 hari

setelah onset kelemahan wajah. Penelitian ini mengindikasikan bahwa pada bulan ketika atau lebih,

kekuatan otot wajah membaik setelah pemberian terapi prednisolone daripada pemberian terapi

asyclovir. Pada penelian acak lain dengan percobaan double-blinded yang menyertakan 99 pasien,

kombinasi prednisolone dan asyclovir(400mg lima kali sehari) lebih baik daripada kombinasi

prednisone dan placebo dalam memperbaiki fungsi volunteer otot wajah dan mencegah degenerasi

parsial saraf. Secara garis besar, data menunjukan bahwa glukokortikoid menurunkan insidensi

paralisis fasialis permanen, meskipun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui manfaat

dari penambahan terapi antivirus. (2)

Diantara pasien yang tidak mengalami 90% degenerasi dalam 3 minggu

pertama, 80-100% dapat kembali memiliki fungsi yang sangat baik bila kelumpuhan

saraf yang terjadi grade I atau II klasifikasi House-Brackmann.(2) Diantara pasien yang

mengalami 90% atau lebih degenerasi dalam 3 minggu pertama, hanya 50% yang

megalami pemulihan fungsi fasial yang baik.(2) Derajat degenerasi juga dapat

memperkirakan prognosis contohnya pasien dengan 90% degenerasi pada hari ke 5

memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan pasien dengan 90% degenerasi

pada hari ke 14.

Penelitian yang lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui efektivitas penggunaan

glukokortikoid, obat antivirus atau kombinasi keduanya dibandingkan placebo juga

manfaat operasi dekompresi pada pasien yang memiliki resiko tinggi mengalami

paralisis permanen.

Operasi dekompresi (2)

Some patients with Bell’s palsy may be candidates for surgery. The facial nerve may

be compressed (and its conduction blocked) at its narrowest point, the entrance to the

meatal foramen, occupied by the labyrinthine segment and geniculate gangli- on.

Among 12 patients with facial-nerve paralysis who underwent decompression

15

Page 17: DocumentBP

surgery, bulbous swelling of the facial nerve was seen proximal to the geniculate

ganglion in 11, and intraoperative evoked-potential electromyography performed in 3

documented conduction block proximal to the geniculate ganglion.26

The role of surgical decompression in manage- ment remains controversial. In a

prospective obser- vational study of 31 patients with complete paral- ysis and 90

percent or more nerve degeneration as determined by electroneurography, 91 percent

of those who underwent decompression had a good outcome (i.e., a grade 1 or 2 on

the House–Brack- mann scale) by the seventh month, as compared with 42 percent of

those who were treated with glucocorticoids.27 Other observational studies com-

paring outcomes at 6 to 36 months after prednisone treatment with outcomes after

decompression28-31 have not confirmed a benefit of surgery, however. Data from

randomized trials are lacking to compare surgery with medical therapy, and available

data

are limited by small samples, possible bias in the selection of patients for surgery, the

use of varying surgical approaches and systems to assess facial function, and a lack of

blinding in studies assess- ing functional outcomes.

After decompression surgery, permanent uni- lateral deafness may occur, with

estimates rang- ing from less than 1 percent27 to 15 percent29 of pa- tients. Because

severe degeneration of the facial nerve is probably irreversible after 2 to 3 weeks,32

decompression should not be performed 14 days or more after the onset of paralysis.

II.5 PROGNOSIS

Pada umumnya prognosis Bell’s Palsy baik, sekitar 80-90 % penderita sembuh

dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Faktor-faktor yang

dapat memperburuk prognosis penyembuhan adalah factor usia di atas 60 tahun,

hipertensi, menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,

nyeri pada bagian belakang telinga, berkurngnya air mata dan paralisis komplit.(2)

Pada 3 hari pertama munculnya gejala, studi elektrik menunjukkan tidak ada

perubahan pada otot-otot wajah, dimana penurunan aktifitas elektrik sering tercatat

pada hari ke 4 sampai 10.(2) Jika terdapat respons pada perangsangan, 90 % pasien

sembuh sempurna. Namun bila tidak sudah tidak dapat dirangsang hanya 20% pasien

yang sembuh dengan sempurna. (2)

Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh

total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun

atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15% antara sembuh total dengan

16

Page 18: DocumentBP

meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita

cenderung meninggalkan gejala sisa yang dapat berupa sinkinesis, crocodile tears dan

kadang spasme hemifasial. Crocodile tears merupakan peningkatan lakrimasi

unilateral yang meliputi sisi lesi berhubungan dengan makan mungkin terjadi

dengan lesi denervasi yang berat dimana lesi nervus fasialis terjadi tepat atau di

atas ganglion genikulatum atau sepanjang the greater peterosal nerve. Keadaan

ini mungkin merupakan akibat dari kesalahan regenerasi serabut parasimpatis

yang menginervasi glandula lacrimal padahal seharusnya menginervasi glandula

salivasi.

Sekitar 80-85% kasus dapat sembuh spontan dalam 3 bulan. Akan tetapi beberapa penelitian

mengatakan obat antivirus dan antiinflamasi efektif mempercepat proses penyembuhan

apalagi jika pemberiannya sedini mungkin. Sedangkan nyeri dapat diatasi dengan analgetik 

seperti parasetamol dan ibuprofen, untuk pertumbuhan serabut saraf yang rusak dapat

digunakan terapi vitamin dengan menggunakan vitamin B6 dan B12. Evaluasi terhadap

derajat kerusakan saraf dapat dilakukan setelah melewati fase akut dengan menggunakan

pemeriksaan elektromiografi (EMG) pada minggu kedua dengan memeriksa refleks kedip

(blink reflex). Dengan demikian pemeriksaan ini dapat digunakan untuk memprediksi

prognosis penyakit.

Fisioterapi tidak perlu dilakukan segera. Memaksakan fisioterapi sebelum ada tanda saraf 

mulai bekerja akan membuat masalah yang lebih jauh lagi. Pemijatan terhadap wajah boleh

dilakukan. Untuk rasa nyeri atau tidak nyaman , pemanasan dapat membantu. Untuk 

pengobatan dapat dicoba pemanasan dengan herbal.

BAB III

KESIMPULAN

Bell’s Palsy merupakan salah satu gangguan neurologik berupa paresis

atau paralisis nervus fasialis perifer yang biasanya bersifat unilateral, terjadi

secara tiba-tiba dengan penyebab yang tidak diketahui(idiopatik) atau tidak

17

Page 19: DocumentBP

terdapat bukti penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis. Lesi

paling sering terjadi di daerah infragenikulatum. Etiologi dan patofisiologi pasti

Bell’s Palsy belum dapat ditentukan.

Gejala pada penyakit Bell’s Palsy biasanya timbul secara tiba-tiba dan

mencapai puncaknya dalam 48 jam. Gejala yang muncul terjadi sesuai lokasi lesi.

Untuk dapat mendiagnosis suatu Bell’s Palsy hal utama yang harus dilakukan

adalah menentukan bahwa paralisis yang terjadi bersifat perifer dengan

kerusakan pada lower motor neuron. Lalu menyingkirkan penyakit-penyakit lain

yang mendasari adanya paralisis fasialis.

18


Top Related