Download - Biografi Abdul Hadi w
BIOGRAFI ABDUL HADI W.M
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengkajian Puisi, Prosa, dan Drama
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.
Disusun Oleh:
Nama : Mekar Sari Dyah Ayu PW
NIM : S841402025
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN BAHASA INDONESIAFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARETSURAKARTA
2014
A. Profil Abdul Hadi W.M
”Saya lebih senang disebut
sebagai penyair saja,” ucap Abdul
Hadi Widji Muthari. Selebihnya,
seperti jabatan redaktur
kebudayaan harian Berita Buana,
dan anggota Dewan Pimpinan
Harian Dewan Kesenian Jakarta,
dapatlah dianggap sebagai
tambahan.
ABDUL HADI WIJI MUTHARI atau yang akrab dikenal Abdul Hadi WM, adalah
sastrawan kelahiran Sumenep, Madura, 24 Juni 1946. Dalam sederetan nama penyair
Indonesia pada periode antara 1960-1980, Abdul Hadi WM termasuk yang layak
diperbincangkan. Pada pertengahan tahun 1960-an Abdul Hadi telah membina
kepenyairannya. Sejak kecil ia memang mencintai puisi. Penulisannya dimatangkan
terutama oleh karya-karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar, ditambah dengan dorongan
orang tua, kawan dan gurunya. Lebih dari 35 tahun ia menggeluti kesusasteraan, sufisme
dan khazanah intelektual nusantara.
Sekitar tahun 1970-an, para pengamat menilainya sebagai pencipta puisi sufis. Ia
memang menulis tentang kesepian, kematian, dan waktu. Seiring dengan waktu, karya-
karyanya cenderung bernuansa mistis Islam dan kadang malah menyatu dengan mistis
Jawa. Orang sering membandingkannya dengan Taufiq Ismail, yang juga berpuisi
religius. Namun ia membantah. “Dengan tulisan, saya mengajak orang lain untuk
mengalami pengalaman religius yang saya rasakan. Sedang Taufiq hanya menekankan
sifat moralistisnya”, kata Abdul Hadi yang lebih senang dipanggil “penyair” saja.
Tentang sosok dan kiprah Abdul Hadi WM, Sutardji Colzoum Bachri, penyair
seangkatannya, menulis dalam Harian Angkatan Bersenjata, 30-10-1978 sebagai berikut,
”Abdul Hadi adalah penyair yang senantiasa berkembang. Dari buku sajaknya yang satu
ke yang lain dia dikenal sebagai penyair yang prolifik alam, sajak mistis dan sufis, sajak
cinta, sajak mbeling, sajak protes sosial,….” Tak ketinggalan H.B. Yassin dalam Harian
Berita Buana, 28-10-1977 juga mengatakan bahwa Abdul Hadi adalah salah satu penyair
yang mempunyai pemikiran atau latar belakang estetik yang jelas. Estetika puisinya jelas
nampak dalam puisinya. Dia tak menulis sajak begitu saja asal jadi dan asal tulis,
melainkan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dia sadari.
Menurut Ahmadun Yosi Herfanda, seorang Redaktur & Pelayan Sastra, Peran dan
keberadaan (eksistensi) Abdul Hadi WM dalam sastra Indonesia sangat paradigmatik.
Dia tidak hanya muncul sebagai penyair dan sastrawan ternama, tapi juga membawa
konsep estetika penting puitika sufistik yang cukup berpengaruh pada perkembangan
kesastraan Indonesia pada masanya dan masa sesudahnya. Jika kebudayaan adalah sistem
nilai, dan kesastraan adalah ekspresi terpenting kebudayaan, maka Abdul Hadi WM
dengan nilai-nilai esoterik Islam yang dikembangkannya melalui sastra itu adalah
paradigma kebudayaan Indonesia. Dia adalah contoh penting dari sedikit sastrawan
Indonesia bersama Kuntowijoyo, dan Emha Ainun Nadjib yang dengan gigih mencoba
membangun tradisi penciptaan (sastra) baru yang lebih mencerahkan.
“Kalau membicarakan sastra Islam itu tidak bisa dilihat dari kebudayaan Arab
saja karena kebudayaan Islam bukan kontribusi Bangsa Arab saja. Kebudayaan Islam
juga milik orang Melayu, Turki, Persia, Urdu, dan lain-lain,” kata Abdul Hadi suatu hari.
"Setiap bangsa memiliki seni dan budaya tertentu. Islam datang tidak untuk menghapus
seni atau budaya itu, tapi justru memberinya nafas agar tetap hidup dan berkembang.
Sayangnya, banyak orang Islam yang tak memahami seni, sehingga mereka kurang
mengapresiasinya. Bahkan, sebagian fuqaha (ahli fikih) malah mengharamkan
keberadaannya. Fikih tidak memadai untuk memahami seni.”
B. Masa Kecil Abdul Hadi W.M
Abdul Hadi WM terlahir dengan nama Abdul Hadi Wijaya. Ketika dewasa ia
mengubah nama Wijaya menjadi Wiji. Ia lahir dari garis keturunan peranakan Tionghoa
di wilayah Sumenep, Madura. Ayahnya, saudagar dan guru bahasa Jerman bernama K.
Abu Muthar, dan ibunya adalah putri keturunan Mangkunegaran bernama RA
Sumartiyah atau Martiyah. Mereka dikaruniai sepuluh orang anak dan Abdul Hadi adalah
putra ketiga; tetapi kedua kakaknya dan empat adiknya yang lain meninggal dunia ketika
masih kecil. Anak sulung dari empat bersaudara (semua laki-laki) ini di masa kecilnya
sudah berkenalan dengan bacaan-bacaan yang berat dari pemikir-pemikir seperti Plato,
Sokrates, Imam Ghazali, Rabindranath Tagore, dan Muhammad Iqbal. Sejak kecil pula ia
telah mencintai puisi dan dunia tulis menulis. Penulisannya dimatangkan terutama oleh
karya-karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Bersama teman-temannya Zawawi Imron
dan Ahmad Fudholi Zaini, Hadi mendirikan sebuah pesantren di kota kelahirannya tahun
1990 yang diberi nama "Pesantren An-Naba", yang terdiri dari masjid, asrama, dan
sanggar seni tempat para santri diajari sastra, seni rupa (berikut memahat dan mematung),
desain, kaligrafi, mengukir, keramik, musik, seni suara, dan drama.
C. Pendidikan
Pendidikan dasar dan sekolah menengah pertamanya diselesaikan di kota
kelahirannya. Ketika memasuki sekolah menengah atas, Abdul Hadi meninggalkan kota
kelahirannya, pergi ke Surabaya untuk menuntut ilmu di kota itu. Ia kemudian menempuh
pendidikan di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta hingga tingkat
sarjana muda, lalu pindah ke studi Filsafat Barat di universitas yang sama hingga tingkat
doktoral, namun tidak diselesaikannya. Ia beralih ke Fakultas Sastra, Universitas
Padjadjaran, Bandung dan mengambil program studi Antropologi. Selama setahun sejak
1973-1974 Hadi bermukim di Iowa, Amerika Serikat untuk mengikuti International
Writing Program di Universitas Iowa, lalu di Hamburg, Jerman selama beberapa tahun
untuk mendalami sastra dan filsafat. Pada tahun 1992 ia mendapatkan kesempatan studi
dan mengambil gelar master dan doktor Filsafat dari Universiti Sains Malaysia di
Penang, Malaysia, di mana pada saat yang bersamaan ia menjadi dosen di universitas
tersebut. Sekembalinya ke Indonesia, Hadi menerima tawaran dari teman lamanya
Nurcholis Madjid untuk mengajar di Universitas Paramadina, Jakarta, universitas yang
sama yang mengukuhkannya sebagai Guru Besar Falsafah dan Agama pada tahun 2008.
D. Karier Abdul Hadi W.M
Keterlibatannya dalam dunia jurnalistik diawali sejak menjadi mahasiswa, di
mana Hadi menjadi redaktur Gema Mahasiswa (1967-1968) dan redaktur Mahasiswa
Indonesia (1969-1974). Kemudian ia menjadi Redaktur Pelaksana majalah Budaya Jaya
(1977-1978), redaktur majalah Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) (1979-
1981), redaktur Balai Pustaka (1981-1983) dan redaktur jurnal kebudayaan Ulumul
Qur'an. Sejak 1979 sampai awal 1990-an ia menjabat sebagai redaktur kebudayaan harian
Berita Buana. Tahun 1982 ia dilantik menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan ketika
reformasi bergulir, dalam pemilu multi partai 1999, atas desakan rekannya Dr. H.
Hamzah Haz, Abdul Hadi didesak maju sebagai wakil daerah wilayah pemilihan Jawa
Timur dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tahun 2000 ia dilantik menjadi anggota
Lembaga Sensor Film dan sampai saat ini dia menjabat Ketua Dewan Kurator Bayt al-
Qur'an dan Museum Istiqlal, Ketua Majlis Kebudayaan Muhammadiyah, anggota Dewan
Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan anggota Dewan Penasihat
PARMUSI (Persaudaraan Muslimin Indonesia). Keterlibatan Abdul Hadi WM dalam
lingkaran aktivis Muslim telah dimulai sejak ia menjadi anggota Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) selama menjadi mahasiswa di UGM, kemudian ikut merintis lahirnya Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada tahun 1964 bersama-sama Amin Rais dan
sahabatnya sesama penyair, Slamet Sukirnanto
Sebagai pengajar, saat ini tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Falsafah
Universitas Paramadina, dosen luar biasa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia,
dan dosen pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan The Islamic College for
Advanced Studies (ICAS) London kampus Jakarta.
Sebagai sastrawan, Hadi bersama sahabat-sahabatnya antara lain Taufik Ismail,
Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar dan Leon Agusta menggerakkan program
Sastrawan Masuk Sekolah (SMS), di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional
dan Yayasan Indonesia, dengan sponsor dari The Ford Foundation.
E. Karya-karya Abdul Hadi W.M
Dalam pergumulan dengan dunia sastra, Abdul Hadi WM telah menerbitkan 12
antologi puisi, di antaranya: “Arjuna in Meditation” bersama Darmanto Jt dan Sutardji
Calzoum Bachri, dan antoloji puisi dalam bahasa Inggris (At Last We Meet Again).
Sejumlah puisi Abdul Hadi diterjemahkan dalam 14 bahasa yaitu Belanda, Jerman,
Inggris, Prancis, Jepang, Mandarin, Thailand, Spanyol,Urdu, Arab, Rusia, Korea, Bengali
dan Turki.
Sajaknya, Madura mendapat pujian dari Redaktur Majalah Horison (1968),
Kumpulan Sajaknya Meditasi (1976) mendapat Hadiah Buku Puisi Terbaik DKJ
1976/1977, ditahun yang sama ia memperoleh Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI. Tahun 1985 ia memperoleh Hadiah Sastra Asean - South-East Asia
(SEA) Write Award, Bangkok, Thailand. Anugerah Mastera (Majelis Sastra Asia
Tenggara) (2003). Dan di bulan Maret 2011, Abdul Hadi memperoleh Penghargaan
Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, penghargaan diberikan berdasarkan
pertimbangan bahwa si penerima memiliki jasa besar di bidang kebudayaan yang telah
mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan
bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.
"Prof. Abdul Hadi Wm menggiring kita untuk memperkaya jiwa sekaya-kayanya
dan seluas-luasnya dengan khazanah lintas seni, seni sastra, seni rupa, seni musik.
Perhatian khusus pada kebudayaan Melayu yang berjaringan dengan kebudayaan Persia
Islam, India, Tiongkok dll. membuat beliau tampil tiada bandingnya." Komentar Beryl C.
Syamwil, melalui Facebook pada 2 April 2010.
Abdul Hadi WM juga telah menulis sebanyak 7 buah buku fiksi, beberapa kajian
sastra dunia dan terjemahan karya, serta lebih dari 500 artikel, esai, dan karangan ilmiah
di berbagai media tentang sastra Indonesia, sastra dunia, kebudayaan, dan falsafah.
Karya-karya puisinya antara lain: Meditasi (1976), Laut Belum Pasang (1971), Cermin
(1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Tergantung Pada Angin
(1977), Anak Laut, Anak Angin (1983). Sedangkan tulisan-tulisan yang berkenaan
dengan Abdul Hadi WM dapat dijumpai misalnya dalam: "Naturmagie und Sufismus -
Gedichte des indonesischen Lyrikers Abdul Hadi W.M.", dalam Orientierungen 1/1991,
S. 113-122, "Struktur sajak penyair Abdul Hadi W.M." (1998) oleh Anita K. Rustapa,
"Arjuna in meditation: three young Indonesian poets: selected verse of Abdul Hadi W.M.,
Darmanto Jt & Sutardji Calzoum Bachri", (1976) Writers Workshop, Calcutta.
F. Daftar Penghargaan yang Pernah Diterima Abdul Hadi W.M
Hadiah Puisi Terbaik II Majalah Sastra Horison (1969)
Hadiah Buku Puisi Terbaik Dewan Kesenian Jakarta (1978)
Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1979)
S.E.A. Write Award, Bangkok, Thailand (1985)
Anugerah Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) (2003)
Penghargaan Satyalancana Kebudayaan Pemerintah Republik Indonesia (2010)
G. Kehidupan Pribadi Abdul Hadi W.M
Pada 25 November tahun 1978, ia menikah dengan wartawati dan pelukis
Tedjawati atau akrab dikenal sebagai Atiek Koentjoro. Atiek adalah saudara sepupu
budayawan Umar Kayam. Mereka dikarunia tiga orang putri yaitu Gayatri Wedotami
(atau juga dikenal sebagai Chen Chen, seorang cerpenis dan aktivis di bidang perdamaian
antar-iman), Dian Kuswandini (seorang jurnalis yang sekarang bermukim di Paris), dan
Ayusha Ayutthaya (seorang guru bahasa Mandarin). Saat ini Abdul Hadi WM
memperoleh tiga orang cucu, dua orang anak perempuan dari Gayatri dan seorang dari
Ayusha. Sewaktu masih tinggal di Jakarta, Abdul Hadi WM hidup bertetangga dengan
saudara sepupu ibunya, Soetarni, istri dari tokoh PKI Nyoto. Dari sini keluarga Sutarni
maupun keluarga Abdul Hadi WM menjadi dekat. Abdul Hadi WM menyukai karya
Bach, Beethoven, dan The Beatles. Selain membaca buku, ia juga gemar berkebun.
DAFTAR PUSTAKA
Machmudy, Arief.
http://ariefmachmudy.blogspot.com/2012/01/sekelumit-tentang-sosok-abdul-
hadi-wm.html?view=sidebar. Diunduh pada tanggal 1 November 2014 pukul 01.30 WIB
http://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/lain-lain/puisi-puisi-abdul-hadi-
wm. Diunduh pada tanggal 1 November 2014 pukul 01.45
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Abdul_Hadi_WM&oldid=8232022. Diunduh pada
tanggal 1 November pukul 01.55 WIB
LAMPIRAN
Karya-karya Abdul Hadi W.M
LAGU DALAM HUJAN
Merdunya dan merdunya
Suara hujan
Gempita pohon-pohonan
Menerima serakan
Sayap-sayap burung
Merdunya dan merdunya
Seakan busukan akar pohonan
Menggema dan segar kembali
Seakan busukan daungladiola
Menyanyi dalam langsai-langsai pelangi biru
Memintas-mintas cuaca
Merdunya dan merdunya
Nasib yang bergerak
Jiwa yang bertempur
Gempita bumi
Menerima hembusan
Sayap-sayap kata
Ya, seakan merdunya suara hujan
Yang telah menjadi kebiasaan alam
Bergerak atau bergolak dan bangkit
Berubah dan berpindah dalam pendaran warna-warni
Melintas dan melewat dalam dingin dan panas
Merdunya dan merdunya
Merdu yang tiada bosan-bosannya
Melulung dan tiada kembali
Seakan-akan memijar api
AMSAL SEEKOR KUCING
Selalu tak dapat kulihat kau dengan jelas
Padahal aku tidak rabun dan kau tidak pula bercadar
Hanya setiap hal memang harus diwajarkan bagai semula:
Selera makan, gerak tangan, gaya percakapan, bayang-bayang kursi
Bahkan langkah-langkah kehidupan menuju mati
Biarlah kata-kataku ini dan apa yang dipercakapkan
bertemu bagai dua mulut yang lagi berciuman
Dan seperti seekor kucing yang mengintai mangsanya di dahan pohon
Menginginkan burung intaiannya bukan melulu kiasan
LA CONDITION HUMAINE
Di dalam hutan nenek moyangku
Aku hanya sebatang pohon mangga
-- tidak berbuah tidak berdaun –
Ayahku berkata, “Tanah tempat kau tumbuh
Memang tak subur, nak!” sambil makan
buah-buahan dari pohon kakekku dengan lahapnya
Dan kadang malam-malam
tanpa sepengetahuan istriku
aku pun mencuri dan makan buah-buahan
dari pohon anakku yang belum masak
LARUT MALAM, HAMBURG MUSIM PANAS
Laut tidur. Langit basah
Seakan dalam kolam awan berenang
Pada siapakah menyanyi gerimis malam ini
Dan angin masih saja berembus, walau sendiri
Dan kita hampir jauh berjalan:
Kita tak tahu ke mana pulang malam ini
Atau barangkali hanya dua pasang sepatu kita
Bergegas dalam kabut, topiku mengeluh
Lalu jatuh
Atau kata-kata yang tak pernah
sebebas tubuh
Ketika terbujur cakrawala itu kembali
dan kita serasa sampai, kita lupa
Gerimis terhenti antara sauh-sauh yang gemuruh
Di kamar kita berpelukan bagai dua rumah yang mau rubuh
WINTER, IOWA 1974
langit sisik yang serbuk, matahari yang rabun
menarilah dari rambutnya yang putih beribu kupu-kupu
menarilah dan angin yang bising di hutan dan gurun-gurun
menarilah, riak sungai susut malam-malam ke dasar lubukku
RAMA-RAMA
rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat
meraba cahaya
terbanglah jangan ke bunga, tapi ke laut
menjelmalah kembang di karang
rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat
di rambutmu jari-jari matahari yang dingin
kadang mengembuni mata, kadang pikiran
melimpahinya dengan salju dan hutan yang lebat
DINI HARI MUSIM SEMI
Aku ingin bangun dini hari, melihat fajar putih
memecahkan kulit-kulit kerang yang tertutup –
Menjelang tidur kupahat sinar bulan yang letih itu
yang menyelinap dalam semak-semak salju terakhir
ninabobo yang menentramkan, kupahatkan padanya
sebelum matahari memasang kaca berkilauan
Tapi antara gelap dan terang, ada dan tiada
Waktu selalu melimpahi langit sepi dengan kabut dulu
lalu angin perlahan-lahan dan ribut memancarkan pagi
-- burung-burung hai ini, sedang musim dingin yang hanyut
masih abadi seperti hari kemarin yang mengiba
harus memakan beratus-ratus masa lampauku
BAYANG-BAYANG
Mungkin kau tak harus kabur, sela
bayang-bayangmu
yang menjauh dan menghindar
dari terang lampu
Ia selalu menjauh dan menghindar
dari terang lampu
Ia selalu mondar mandir
mencari-cari bentuk dan namanya
yang tak pernah ada
DALAM GELAP
Dalam gelap bayang-bayang bertemu dengan jasadnya yang telah menunggu
di sebuah tempat
Mereka berbincang-bincang untuk mengalahkan tertang dan sepakat
mengha-dapi terang yang kurang baik perangainya
Karena itu dalam terang bayang-bayang selalu berobah-robah menggeser-geserkan dirinya dan
ruang untuk menipu terang
Dan jasad selalu siap melindungi bayang-bayangnya dari terang sambil menciptakan gelap
dengan bayang-bayangnya dari sinar terang
MAUT DAN WAKTU
Kata maut: Sesungguhnya akulah yang memperdayamu pergi mengembara sampai tak ingat
rumah
menyusuri gurun-gurun dan lembah ke luarmasuk ruang-ruang kosong jagad raya mencari suara
merdu Nabi Daud yang kusembunyikan sejak berabad-abad lamanya
Tidak, jawab waktu, akulah yang justru memperdayamu sejak hari pertama Qabi kusuruh
membujukmu
memberi umpan lezat yang tak pernah menge-nyangkan hingga kau pun tergiur ingin lagi dan
ingin lagi sampai gelisah dari zaman ke zaman mencari-cari nyawa Habil yang kau kira fana
mengembara ke pelosok-pelosok dunia bagaikan Don Kisot yang malang
AKU BERIKAN
Aku berikan seutas rambut padamu untuk kenangan
tapi kau ingin merampas seluruh rambutku dari kepala
Ini musim panas atau bahkan tengah musim panas
langkahmu datang dan pergi antara ketokan jam yang berat
Mengapa jejak selalu nyaring menjelang sampai
daun-daun kering risik di pohon ingin berdentuman
ke air selokan yang deras
langkahmu datang dan pergi antara ketokan jam yang berat
Aku berikan sepotong jariku padamu untuk kaubakar
tapi kau ingin merampas seluruh tanganku dari lengan
Ini musim atau akhir musim panas aku tak tahu
Burung-burung kejang di udara terik seakan penatku padamu
Maka kujadikan hari esokku rumah
Tapi tak sampai rasanya hari iniku untuk berjumpa
MALAM TELUK
Malam di teluk
menyuruk ke kelam
Bulan yang tinggal rusuk
padam keabuan
Ratusan gagak
Berteriak
Terbang menuju kota
Akankah nelayan kembali dari pelayaran panjang
Yang sia-sia? Dan kembali
Dengan wajah masai
Sebelum akhirnya badai
mengatup pantai?
Muara sempit
Dan kapal-kapal menyingkir pergi
Dan gonggong anjing
Mencari sisa sepi
Aku berjalan pada tepi
Pada batas
Mencari
Tak ada pelaut bisa datang
Dan nelayan bisa kembali
Aku terhempas di batu karang
Dan luka diri
KADANG
Kadang begitu seringnya
ciuman letih pada bibirmu
menghabiskan tetes demi tetes airmatanya sendiri
dan kenangan lain yang lebih sedih mekar karenanya
Daging bagai retasan-retasan arang oleh api
tapi toh seakan abadi
Dan mereka yang menganggapnya tak abadi
karena cemas akan cintanya sendiri
Begitu diambilnya langkah: Ia seperti setangkai api
Pada sehelai kertas yang baru dituliskan
Seseorang atau entah rangkulan yang menggetarkan
mengambil getaran itu lagi
dan aku adalah getaran itu sendiri
SEHABIS HUJAN KECIL
Retakan hujan yang tadi jatuh, berkilau
Pada kelopak kembang yang memerah
Antara batu-batu hening merenungi air kolam
Angin bercakap-cakap, sehelai daun terperanjat dan lepas
GERIMIS
I
Seribu gerimis menuliskan kemarau di jendela
Basah langit yang sampai melepaskan senja
Bersama gemuruh yang dilemparkan jarum jam, kata-kata
bermimpilah bunga-bunga menyusun kenangannya
dari percakapan terik dan hama
“Kau toreh bibirnya yang merkah,” kata hama
“Dan kuhisap isi jantungnya yang masih merah”
II
Kenapa ia tak terkulai
Dan masih bertahan juga
Dan bersenyum pada surya
yang mengunyah-ngunyah airmatanya
III
Untukku ingar itu pun senantiasa menyurat
Atau mimpi
Tapi angin masih saja menggigil
Mendesakkan pago
IV
Tuhan, kau hanya kabar dari keluh
V
Burung-burung pun
asing di sana
karena jarak dan bahasa
NYANYIAN KABUT
Kabut biru semata. Biru. Ada cahaya berisik
helaan angin, lalu percakapan
Kunamakan senandungmu lengang, udara
Berangkat cuaca malam dan ke mana kata-kata
Dan dalam kabut bisik-bisikmu jelaga
Kadang kudengarkan itu sengau yang lepas
dari laringnya, kadang kudengarkan itu
lembar-lembar jatuh dari kenangannya
Kadang kudengarkan itu
doa shalat sebelum sujud diselesaikan
Dan seseorang bangun bagiku
menyalakan lampu sebelum malam
EPISODE
Ombak-ombak ini tidak perih, tidak enggan
merendam ketam-ketam, sinar keong
Pun tidak percuma menungging awam
yang kadang kala murung dekat pencakar
Lentera-lentera kapal yang merah keabuan
kadang seperti mata kanak-kanak
yang melahirkan dongengan (malam
menyebrangi selat dan) melemparkan
biji-biji anggrek di sana
Dan kadang: antara kelam, tidur aku!
Perahu-perahu yang dulu membawamu itu
dalam pelayaran panjang dan telah balik lagi
dengan layar-layar dari dukaku yang pulang
enggan
LAUT
Dan aku pun memandang ke laut yang bangkit ke arahku
selalu kudengar selamat paginya dengan ombak berbuncah-buncah
dan selamat pagi laut kataku pula, siapa bersamamu menyanyi setiap malam
menyanyikan yang tak ada atau pagi atau senja? atau kata-kata
laut menyanyi lagi, laut mendengar semua yang kubisikkan padanya perlahan-lahan
selamat pagi laut kataku dan laut pun tersenyum, selamat pagi katanya
suaranya kedengaran seperti angin yang berembus di rambutku, igauan waktu di ubun-ubun
dan di atas sana hanya bayang-bayang dari sinar matahari yang kuning keperak-perakan
dan alun yang berbincang-bincang dengan pasir, tiram, lokan dan rumput-rumput di atas karang
dan burung-burung bebas itu di udara bagai pandang asing kami yang lupa
selamat pagi laut kataku dan selamat pagi katanya tertawa-tawa
kemudian bagai sepasang kakek dan nenek yang sudah lama bercinta kami pun terdiam
kami pun diam oleh tulang belulang kami dan suara sedih kami yang saling geser dan terkam
menerkam
kalau maut suatu kali mau mengeringkan tubuh kami biarlah kering juga air mata kami
atau bisikan ini yang senantiasa merisaukan engkau: siapakah di antara kami
yang paling luas dan dalam, air kebalaunya atau hati kami tempat kabut dan sinar selam
menyelam?
Tapi laut selalu setia tak pernah bertanya, ia selalu tersenyum dan bangkit ke arahku
laut melemparkan aku ke pantai dan aku melemparkan laut ke batu-batu karang
andai di sana ada perempuan telanjang atau kanak-kanak atau saatmu dipulangkan petang
laut tertawa padaku, selamat malam katanya dan aku pun ketawa pada laut, selamat malam
kataku
dan atas selamat malam kami langit tergunang-guncang dan jatuh ke cakrawala senja
begitulah tak ada sebenarnya kami tawakan dan percakapkan kecuali sebuah sajak lama:
aku cinta pada laut, laut cinta padaku dan cinta kami seperti kata-kata dan hati yang
mengucapkannya
KUSEBUT
Kusebut kata-kata engganmu detik jam
Gemersik berat dihela jarumnya
Senandungmu mengalun bagai desau angin ribut
jatuh ke pelimbahan air perlahan-lahan
Kabut yang senantiasa berjkalan dari dinding ke dinding
membalik-balik beribu percakapan
dan didapatkannya nama-nama asing yang tak ada orangnya
Kabut yang mengatakan sebuah luka
Yang meluas dan mengendap jadi palung di dada
dan palung itu mengisap jantung kita
Dan malam yang senantiasa berdiri di luar
berdiri berjaga mendengarkan yang bakal tak sampai
Dan bayang-bayang terangnya di bawah lampu
bernyanyi gelisah melalui gang yang satu ke gang yang lainnya
CINTA
Cinta serupa laut
selalu ia terikat pada arus
Setiap kali ombak bertarung
Seperti tutur kata dalam hatimu
Sebelum mendapat bibir yang mengucapkanya
Angin kencang datang dari jiwa
Air berpusar dan gelombang naik
Memukul hati kita yang telanjang
Dan menyelimutinya dengan kegelapan
Sebab keinginan begitu kuat
Untuk menangkap cahaya
Maka kesunyianpun pecah
Dan yang tersembunyi menjelma
Kau disampingku
Aku disampingmu
Kata -kata adalah jembatan
Tapi yang mempertemukan
Adalah kalbu yang saling memandang
MIMPI
Aneh, tiap mimpi membuka kelopak mimpi yang lain,
berlapis-lapis mimpi,
tiada dinding dan tirai akhir,
hingga kau semakin jauh dan semakin dalam
tersembunyi dalam ratusan tirai rahasia
membiarkan aku asing pada wujud
hampa dan wajah sendiri.
Kudatangi kemudian pintu-pintu awan, nadi-nadi
cahaya dan kegelapan, rimba sepi dan kejadian
di jalan-jalannya,
di gedung-gedungnya kucari sosok bayangku
yang hilang dalam kegaduhan.
Tetap, yang fana mengulangi kesombongan dan keangkuhannya
dan berkemas pergi entah ke mana gelisah,
asing memasuki rumah sendiri menjejakkan kaki,
bergumul benda-benda ganjil yang tak pernah dikenal,
menulis sajak, menemukan mimpi yang lain lagi berlapis-lapis mimpi,
tiada dinding akhir sebelum menjumpai-Mu.
KETIKA MASIH BOCAH
Ketika masih bocah, rumahku di tepi laut
Bila pagi pulang dari perjalanan jauhnya
Menghalau malam dan bayang-bayangnya, setiap kali
Kulihat matahari menghamburkan sinarnya
Seraya menertawakan gelombang
Yang hilir mudik di antara kekosongan
Sebab itu aku selalu riang
Bermendung atau berawan, udara tetap terang
Setiap butir pasir buku pelajaran bagiku
Kusaksikan semesta di dalam
Dan keluasan mendekapku seperti seorang ibu
Batang kayu untuk perahu masih lembut tapi kuat
Kuhadapkan senantiasa jendelaku ke wajah kebebasan
Aku tak tahu mengapa aku tak takut pada bahaya
Duri dan kepedihan kukenal
Melalui kakiku sendiri yang telanjang
Arus begitu akrab denganku
Selalu ada tempat bernaung jika udara panas
Dan angin bertiup kencang
Tak banyak yang mesti dicemaskan
Oleh hati yang selalu terjaga
Pulau begitu luas dan jalan lebar
Seperti kepercayaan
Dan kukenal tangan pengasih Tuhan
Seperti kukenal getaran yang bangkit
Di hatiku sendiri
KEMBALI TAK ADA SAHUTAN DI SANA
Kembali tak ada sahutan di sana
Ruang itu bisu sejak lama dan kami gedor terus pintu-pintunya
Hingga runtuh dan berderak menimpa tahun-tahun
penuh kebohongan dan teror yang tak henti-hentinya
Hingga kami tak bisa tinggal lagi di sana memerah keputusasaan dan cuaca
Demikian kami tinggalkan janji-janji gemerlap itu dan mulai bercerai-berai
Lari dari kehancuran yang satu ke kehancuran lainnya
Bertikai memperebutkan yang tak pernah pasti dan ada
Dari generasi ke generasi
Menenggelamkan rumah sendiri ribut tak henti-henti
Hingga kautanyakan lagi padaku
Penduduk negeri damai macam apa kami ini
raja-raja datang dan pergi seperti sambaran kilat dan api
Dan kami bangun kota kami dari beribu mati.
Tinggi gedung-gedungnya di atas jurang dan tumpukan belulang
Dan yang takut mendirikan menara sendiri membusuk bersama sepi
Demikian kami tinggalkan janji-janji gemerlap itu
dan matahari 'kan lama terbit lagi
DO’A UNTUK INDONESIA
Tidakkah sakal, negeriku? Muram dan liar
Negeri ombak
Laut yang diacuhkan musafir
karena tak tahu kapan badai keluar dari eraman
Negeri batu karang yang permai, kapal-kapal menjauhkan diri
Negeri burung-burung gagak\
Yang bertelur dan bersarang di muara sungai
Unggas-unggas sebagai datang dan pergi
Tapi entah untuk apa
Nelayan-nelayan tak tahu
Aku impikan sebuah tambang laogam
Langit di atasnya menyemburkan asap
Dan menciptakan awan yang jenaka
Bagai di badut dalam sandiwara
Dengan cangklong besar dan ocehan
Batuk-batuk keras
Seorang wartawan bisa berkata : Indonesia
Adalahberita-berita yang ditulis
Dalam bahasa yang kacau
Dalam huruf-huruf yang coklat muda
Dan undur dari bacaan mata
Di manakah ia kausimpan dalam dokumntasi dunia ?
Kincir-kincir angin itu
Seperti sayap-sayap merpati yang penyap
Dan menyebarkan lelap ke mana-mana
Sebagai pupuk bagi udaranya
Lihat sungai-sungainya, hutan-hutannya dan sawah-sawahnya
Ratusan gerobag melintasi jembatan yang belum selesai kaubikin
Kota-kotanya bertempat di sudut belakang peta dunia
Negeri ular sawah
Negeri ilalang-ilalang liar yang memang dibiarkan tumbuh subur
Tumpukan jerami basah
Minyak tanahnya disimpan dalamkayu-kakyu api bertumpuk
Dan bisa kau jadikan itu sebagai api unggun
Untuk persta-pesta barbar
Indonesia adalah buku yang sedang dikarang
Untuk tidak dibaca dan untuk tidak diterbitkan
Di kantor penerimaan tenaga kerja
Orang-orang sebagai deretan gerbong kereta
Yang mengepulakan asap dan debu dari kaki dan keningnya
Dan mulutnya ternganga
Tatkala bencana mendamprat perutnya
Berapa hutangmu di bank ? Di kantor penenaman modal asing ?
Di dekat jembatantua
malaikat-malaikat yang celaka
Melagu panjang
Dan lagunya tidak berarti apa-apa
Dan akan pergi ke mana hewan-hewan malam yangterbang jauh
Akan menjenguk gua mana, akan berteduh di rimba raya mana ?
Ratusan gagak berisik menuju kota
Menjalin keribuan di alun-alun, di tiap tikungan jalan
Puluhan orang bergembira
Di atas bayangan mayat yang berjalan
Memasuki toko dan pasar
Di mana dipamerkan barang-barang kerajinan perak
Dan emas tiruan
Indonesia adalah kantor penampungan para penganggur
yang atapnya bocor dan administrasinya kacau
Dijaga oleh anjing-anjing yang malas dan mengantuk
Indonesia adalah sebuah kamus
Yang perbendaharaan kata-katanya ruwet
Dibolak-balik, digeletakkan, diambil lagi, dibaca, dibolak-balik
Sampai mata menjadi bengkak
Kata kerja, kata seru, kata bilangan, kata benda, kata ulang,
kata sifat
Kata sambung dan kata mejemuk masuk ke dalam mimpimu
Di mana kamus itu kau pergunakan di sekolah-sekolah dunia ?
Di manakah kamus itu kaujual di pasaran dunia ?
Berisik lagi, berisiklagi :
Gerbong-gerbong kereta
membawa penumpang yang penuh sesak
dan orang-orang itu pada memandang ke sorga
Dengan matanya yang putus asa dan berkilat :
Tuhanku, mengapa kaubiarkan ular-ular yang lapar ini
Melata di bumi merusaki hutan-hutan
Dan kebun-kebunmu yang indah permai
Mengapa kaubiarkan mereka ……….
Negeri ombak
Badai mengeram di teluk
Unggas-unggas bagai datang dan pergi
Tapi entah untuk apa
Nelayan-nelayan tak tahu
DALAM PASANG
Dan pasang apalagikah yang akan mengenyahkan kita, kegaduhan apa lagi?
Sekarat dan terbakar sudah kita oleh tahun-tahun penuh pertikaian,
ketakutan dan perang saudara
Terpelanting dari kebuntuan yang satu ke kebuntuan lainnya
Tapi tetap saja kita membisu atau berserakan
Menunggu ketakpastian
Telah mereka hancurkan rumah harapan kita
Telah mereka campakkan jendela keluh dan ratap kita
Hingga tak ada yang mesti kuceritakan padamu lagi
tentang laut itu di sana, yang naik dan menarik ketenteraman ke tepi
Kecuali serpih matahari dalam genggam kesia-siaan ini
yang bisa menghanguskan kota ini lagi
- Raja-raja dan kediaman mereka yang bertangan besi
Kecuali segala bual dan pidato kumal yang berapi-api
Antara kepedihan bila kesengsaraan dan lapar tak tertahankan lagi
Kita adalah penduduk negeri yang penuh kesempatan dan mimpi
Tapi tak pernah lagi punya kesempatan dan mimpi
Kita adalah penduduk negeri yang penuh pemimpin
Tapi tak seorang pun kita temukan dapat memimpin
Kita....
BARAT DAN TIMUR
Barat dan Timur adalah guruku Muslim, Hindu, Kristen, Buddha,
Pengikut Zen dan Tao
Semua adalah guruku
Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani
Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala
Dan tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya
Ya, semua adalah guruku
Ibrahim, Musa, Daud, Lao Tze Buddha, Zarathustra,
Socrates, Isa Almasih Serta Muhammad Rasulullah
Tapi hanya di masjid aku berkhidmat
Walau jejak-Nya
Kujumpai di mana-mana.
SAJAK SAMAR
Ada yang memisah kita, jam dinding ini
ada yang mengisah kita, bumi bisik-bisik ini
ada. Tapi tak ada kucium wangi kainmu sebelum pergi
tak ada. Tapi langkah gerimis bukan sendiri
MADURA
Angin pelan-pelan bertiup di pelabuhan kecil itu
ketika tiba, dengan langit, pohon, terik, kapal
dan sampan yang tenggelam di pintu cakrawala
Selamat pagi tanah kelahiran
Sebab aku tak menghitung untuk ke berapa kali
Kapan saat menebal pada waktu
Sebab aku tahu yang paling berat adalah rindu
Sangsi selalu melagukan hasrat dan impian-impian
Dan adakah yang lebih nikmat daripada bersahabat
dengan alam, dengan tanah kelahiran, dan
dengan kerja serta dengan kehidupan?
Aku akan mengatakan, tapi tidak untuk yang penghabisan:
Ketenangan Selat Kamal
adalah ketenangan hatiku
membuang pikiran dangkal
yang mengganggu sajakku
kurangkul tubuh alam
seperti mula kelahiran Adam
sedang sesudah mengembara
baiklah kita rahasiakan
dari perjalanan ini
aku membawa timbun puisi
bahwa aku selalu asyik mencari
keteduhan mimpi
kebiruan Selat Kamal
adalah kebiruan sajakku
dan terasa hidup makin kekal
sesudah memusnah rindu
bertemu segala milik dan hak
dalam cinta dan sajak
noktah-noktah berdebu di bersihkan
di kedua tangan
kuberi pula salam sayup
kepada pantai yang berbatas pasir
dan langit yang mulai redup
pada waktu sajak lahir
Kedangkalan Sungai Sampang
adalah kedangkalan hatiku
menimbang hidup terlalu gamang
dan di situ ketergesaan mengganggu
dan terlalu tamak
dengan kesempurnaan
dengan sesuatu yang bukan hak
dengan kejemuan
tetapi sekali saat tiba juga
pada suatu tempat
tanpa petunjuk siapa-siapa
asal kita bersempat
mengerti juga kenapa kiambang
bertaut sepanjang sungai
dengan belukar dan kembang-kembang
sebelum kita sampai ke dasar dan muaranya
Diamnya Sungai Sampang
adalah diamnya sajakku
sekali waktu banjir datang
sekali waktu airnya biru
dan bertetap tujuan
ke suatu muara
yang berasal dari suatu daerah pegunungan
untuk sumber pertama
Kerendahan Bukit Payudan
adalah kerendahan hatiku
menerima nasib dalam kehidupan
di atas kedua bahu
sesekali pernah kita
tidak tahu tentang kelahiran
dan bertakut menjadi tua
karena ancaman kematian
Keramahan Bukit Payudan
adalah keramahan sajakku
untuk mengerti kepastian
yang lebih keras dari batu
sesekali pernah kita
tidak tahu ke mana mengembara
kemudian muncul kembali di tanah kesayangan
dengan kehampaan di tangan
tak seorang menyambut datang
tak seorang menanti pulang
tak seorang menerima lapang
atau membacakan tembang-tembang
dan kesia-siaan begini
akan selalu kualami
namun tak selalu kusesali
sebab kubenam sebelum jadi
Keterpencilan desa Pasongsongan
adalah keterpencilan hatiku
sebelum memulai perjalanan
ke jauh kota dan pulau
tapi keabadian lautnya kini
telah mengembalikan cintaku
tanah yang pernah tersia sebelum dimengerti
dan ditinggalkan rasa kebanggaanku
dan sebagai anak manusia
sekali aku minta istirah mengembara
berhenti membuat puisi yang mendera
dan berhenti memikat dara-dara
sebab di sinilah tumpahnya
darah kita pertama
dan terakhir berhentinya
mengaliri nadinya
FRAGMEN
Belumkah ada lindap sebelum
kau kembali ke kamar
yang suram dan kutandai musik beku?
Bayangan itu jadi gerimis
dan meleleh di kebon rumah yang gelap
Aku jadi garang pada malam seperti itu
dan ingin kukecup bibirmu semutlak mungkin
seperti juga hujan di padang-padang
dengan ringkik kuda yang memburu mega terbit
Rampungkan sepimu dan matangkan dagingmu
sampai jadi lengkap perjalanan kita nanti
pelancongan menuju dunia tanpa penyesalan
hingga pada suatu hari nanti
aku tak lagi bermimpi
tentang gua di rimba perburuan itu
TUHAN, KITA BEGITU DEKAT
Tuhan,
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
kini aku nyala
dalam lampu padammu
SAJAK PUTIH
Kita telah menjadi sekedar kenangan
lembaran asing pada buku harian
seperti tak pernah kautuliskan
peristiwa itu
Bunga-bunga sudah berguguran
tangkai dan kelopaknya
Pohon-pohon kering
Dan jendela jadi kusam
Seperti senja bakal tenggelam
Dan Titi telah semakin tua
meninggalkan masa kanak-kanaknya
Seakan cairan lilin
yang mengental
jadi malam
Dan masa-masa cintamu
hanyalah onggokan
puntung rokok
di lantai
yang dingin
Dan dengan pot-pot bunga
betapa asingnya
Kita
EXODUS
Menyandang beban sunyi ini di sini
Menyandang beban salib ini di sini
Menyandang kehilangan
Yang seakan
Genderang mainan dipukul ombak
Di antara teluk dan pasir pantai
Serta senja yang menutup dinding laut ini
Kau mencari
Jejak nelayan
Nyiur tidak mendesir dan pelabuhan
Sudah jarang dikunjungi kapal-kapal
Menyandang sepi ini di sini
Menyandang kesal pikiran dan kekacauan ini
Menyandang mainan
Yang diberai ombak, senja, teluk dan pasir hitam
Seakan pecahan batu karang pada pantai yang legam
Kau mencari
Jejak nelayan
Nyiur tidak mendesir dan pelabuhan
Sudah jarang dikunjungi pelaut
Burung-burung pantai pergi, senja pergi
Tinggal genderang mainan ini
Berbunyi dan berbunyi juga
Dan betapa dekatnya sekarang
Hari haus dan lapar kita
Betapa dekatnya
MEDITASI
Itulah bidadari Cina itu, dengan seekor kilin
dan menyeret kainnya basah: menggigil dalam kuil
(daun-daun salam berguguran dan di beranda
masih terdengar suara hujan, hujan pasir) Ia
menunjukkan yin-yang yang kabur di atas pintu
dan di mataku terasa hembusan angin yang merabunkan
(lihatlah, ujarmu, ia mengajak kita ke tempat sepi
di mana berdiri sebuah makam kaisar yang mati
dalam pertempuran merebut kota dari desa) Angin
berlarian menghamburkan bau-bauan dari tangan
perempuan-perempuan yang wangi dan kedinginan
di atas gapura yin-yang yang mulai memuat lumut
dengan tulisan-tulisan tua yang tak terbaca sudah
(langit adalah bayang-bayang, kau menyesal
telah memimpikannya; dan di sebelahnya
berdiri gedung, beribu sungai dan tebing gunung
yang terbuat dari batu, anggur dan lempung
yang kini menampakkan bintang kemukus yang panjang)
Itulah bidadari Cina itu dan mendekat ke arahmu
memandang dinding dan bertelanjang di sofa, tapi tak mengerti
(ia membeku jadi arca, waktu tentara kaisar mulai
membangun kota di langit) dan beribu mantra
memenuhi telinganya yang tuli
ANGIN: MENDESIR LAGI
Angin; mendesir lagi
Hampir mengantuk
Ada sepi
Berbisik di dahan-dahan pohon
Lagi tahu, gerimis turun
Di luar kamar yang tembaga
Di luar rongga kata
Engkau gemetar karena musim
Cemas dalam kata
Dan tahu: ada yang tiada
Bangkit di jendela
Dan mungkin: senja
BAHKAN
Bahkan jarum jam pun hanya mengulang
andai detiknya bukan kejemuan, kau tangkap
keluh bumi seperti anak yang tak habis berharap
dan mata kecilnya yang gelisah
memandang laut hanya dunia garam dan ikan-ikan
Bayang-bayangmu juga
yang susut karena lampu di pelupukmu padam
Lebih menjemukan dari rembang petang
Tapi berangkatlah!
Di seberang gelombang mungkin udara terang
ANAK
Anak ingin menangkap gelombang
rambutnya memutih seketika
Ia mengerti laut dalam
tapi tak tahu di mana suaranya terpendam
Ketika angin berhembus
bahkan dahan-dahan pun diam
Ketika air surut
bahkan pasang pun tak karam
Ketika tidur merenggut
di langit tak sebutir bintang
GNOTI SEAUTON
Manusia bebas, ruhnya bagai
firman Tuhan, embun dalam cuaca putih
mencucinya
Manusia bebas, ruhnya berjalan
ke tempat-tempat jauh dan menemui para nabi dan orang suci
Di muka laut, ditemuinya batu karang
dan awan buruk
Manusia bebas, ruhnya bagai
rantai emas yang dibelenggu matahari dan waktu
Di tengah alam yang sempit: Nasib
menyesak jantung dan tenggorokan
dan menimbulkan batuk dan dahak kotor
di tengah alam yang sempit: Kita
mencari puncak kenikmatan
Manusia bebas, ruhnya mencari
bayang-bayang Tuhan
gambar binatang
perwujudan dewa-dewa
yang putus asa
Di gerbang kuil besar:
Ruh terbang dan tidak kembali
IN MEMORIAM AMIR HAMZAH
Keranjang itu masih menatap. Tahun mau berbunga
Tapi langit berangkat kemarau di jendela
Tanganmu: Mulut yang mengucapkan kebenaran ombak
Tapi pendayung-pendayung datang terlambat
Kita jenguk ke air. Obor itu menyalakan malam
Angin itu angin kita. Tapi tak menghembus sampai senja
lain tiba.
BATIMURUNG I
Tubuhmu membuat air di jeram ini berterjunan
lagi
lebih gemuruh kini melemparkan rusukku
ke tebing-tebing gunung
Aku terbangun
seperti kupu dari pompongnya
Perih
karena kelahiran
Tapi sumber-sumber yang kutemukan
dari sanalah kata memancurkan sajak dan mantra
Ladang-ladang yang kau gemburkan
kutanam di sana segala jenis padi dan buah-buahan
Penat kini kupikul hasil panennya
berupa rindu dan cinta
berupa gelisah dan luka
Seperti lama dulu
kupapar lagi jiwaku dalam madu di atas bara