Download - bayu setia
TESIS
KADAR RESISTIN YANG TINGGI MERUPAKAN
RISIKO KEJADIAN KARDIOVASKULAR PADA
PENDERITA SINDROMA KORONER AKUT
BAYU SETIA
NIM 0914138202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
BAYU SETIA
NIM 0914138202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 11 OKTOBER 2014
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Dr. dr I Wayan Wita, SpJP(K)FIHA Dr.dr.A.A. Wiradewi Lestari, SpPK
NIP. 194812071977031001 NIP. 197704022002122007
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Direktur Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana,
Prof.Dr.dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS
NIP. 19461213 197107 1001
Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K)
NIP. 195902151985102001
Lembar Persetujuan Pembimbin
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 11 Oktober 2014
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
No.: ……………
Tanggal ……………
Panitia Penguji Usulan Penelitian adalah:
Ketua: Prof. Dr. dr I Wayan Wita SpJP (K) FIHA
Anggota :
1. Dr.dr. AA Wiradewi Lestari, SpPK
2. Dr.dr. Ida Sri Iswari, SpMK
3. dr. IGN Putra Gunadhi, SpJP (K) FIHA
4. dr. Ketut Badjra Nadha, SpJP (K) FIHA
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhanku Yesus Kristus atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan
baik. Terwujudnya tesis yang berjudul “ Kadar Resistin yang Tinggi Memberi
Risiko Kejadian Kardiovaskular Lebih Tinggi Pada Penderita Sindroma Koroner
Akut” tentu tidak lepas dari peran berbagai pihak sehingga penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Prof. Dr. dr I Wayan Wita, SpJP (K) FIHA selaku pembimbing utama
yang dengan tulus ikhlas bersedia meluangkan waktu, tenaga serta perhatian yang
tinggi untuk memberikan dorongan, bimbingan dan arahan mulai dari penyusunan
proposal hingga penyelesaian tesis ini.
Dr.dr. AA Wiradewi Lestari, SpPK selaku pembimbing kedua yang
dengan kesediaan penuh melayani pembimbingan, konsultasi serta memberikan
arahan, dorongan yang tinggi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini.
Seluruh staf pengajar Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK
Udayana yang telah mendidik, memberikan kesempatan dan fasilitas serta ijin
kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program spesialis Kardiologi dan
Kedokteran Vaskular dan menyelesaikan tesis ini.
Ketua Tim dan anggota Tim Penguji tesis yang telah memberikan
pemecahan,saran dan masukan yang bermanfaat guna perbaikan tesis ini.
Yang teristimewa untuk kedua orang tua, (Alm) Markus Ahat Surai dan
Rambu Lewie, bapak dan ibu mertua Teras Bahan dan Hartati Sosiawaty, kakakku
Perry Markus, Susie Repelita, Wanny dan Logia, Adik iparku Sylvia Bahan dan
Alex Candra serta semua keponakanku tercinta yang telah memberikan semangat,
kasih sayang dan dukungan moril dan materi kepada penulis selama mengikuti
pendidikan ini.
dr. Herlina Eka Shinta istriku yang tercinta dan Kedua anakku tersayang
Benedict Markus Setia dan Nathanael Teras Setia yang dalam suka dan duka
selalu menjadi penyemangat , selalu memberikan doa untuk keberhasilan penulis
selama pendidikan ini.
Rekan rekan residen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular terutama
Echolas, Susila, Nyoman, Giok, Lauren, dan Sahabat seperjuangan dr. Enricko
Djangkan, dr. Daniel Dau, dr. Sabrina C. Smit, SpPD, dr. Silvia, yang bersama-
sama merasakan suka dan duka serta memberikan keceriaan, senyuman dan
kekuatan selama mengikuti pendidikan ini.
Teman teman perawat di UGD, ICCU dan Poli PJT yang bersama-sama
bahu membahu dalam bekerja sehingga membuat pendidikan ini menjadi lebih
terasa ringan bila bekerja bersama kalian.
Teman-teman sekretariat mbak Candra, mbak Dian, mbak Ninik, mbak
Andi, pak Ketut yang selalu mendukung dan bekerja sama selama pendidikan
spesialis ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf bila ada kesalahan dalam
penulisan tesis ini dan penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan tesis ini.
Akhirnya dengan iringan doa semoga Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus
memberikan pahala yang berlipat ganda atas segala amal baik yang telah
diberikan kepada penulis. Semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis dan bagi
semua pihak yang berkepentingan.
Denpasar, Oktober 2014
Penulis,
dr. Bayu Setia
ABSTRAK
KADAR RESISTIN YANG TINGGI MEMBERI RISIKO KEJADIAN
KARDIOVASKULAR LEBIH TINGGI PADA PENDERITA SINDROM
KORONER AKUT
Peranan inflamasi terhadap risiko terjadinya sindroma koroner akut telah
banyak diteliti. Resistin adalah salah satu adipokin yang turut berperan dalam
proses inflamasi. Sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan tentang hubungan
antara resistin dengan sindroma koroner akut, akan tetapi belum ada penelitian
yang menilai risiko kadar resistin terhadap kejadian kardiovaskular pada sindrom
koroner akut diIndonesia. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa
kadar Resistin yang tinggi merupakan faktor risiko kejadian kardiovaskular pada
penderita sindroma koroner akut.
Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol pasien sindroma koroner akut (n=
68) yang bertempat di UGD dan ICCU PJT RSUP Sanglah Denpasar. Pasien
dikumpulkan datanya dengan consecutive sampling. Untuk mengetahui hubungan
antara resistin dan kejadian kardiovaskular dipakai uji Chi-Square. Analisis
multivariat dengan cox proportional model digunakan untuk menganalisis
hubungan antara resistin dan faktor risiko konvensional lainnya seperti hipertensi,
diabetes melitus, dislipidemia, merokok dan obesitas.
Analisis bivariat menunjukkan hubungan yang signifikan antara resistin
dengan kejadian kardiovaskular dengan risiko 1,72 kali (HR=1,72, IK 95% =1,28
s.d.2,32 , p = 0,01). Analisis multivariat menunjukkan resisitin secara signifikan
mempengaruhi kejadian kardiovaskular setelah dikendalikan dengan faktor risiko
tradisional lainnya seperti hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, merokok dan
obesitas (OR=1,67, IK 95%= 1,96 s.d. 2,32, p = 0,01).
Kesimpulan : Resistin merupakan faktor risiko terjadinya kejadian
kardiovaskular pada sindroma koroner akut.
Kata kunci: Resistin, Sindroma koroner akut, Kejadian kardiovaskular
ABSTRACT
RESISTIN CONTENT THAT GAVE HIGH RISK OF CARDIOVASCULAR
EVENTS IN PATIENTS HIGHER ACUTE CORONARY SYNDROME
The role of inflammation on the risk of acute coronary syndrome has been
widely studied. Resistin is one of the adipokines that play a role in the
inflammatory process. There's been some research done on the relationship
between resistin with acute coronary syndrome, but there are no studies that assess
the risk levels of resistin on cardiovascular events in acute coronary syndromes.
This research aims to prove that high resistin levels are risk factors for
cardiovascular events in patients with acute coronary syndrome.
This study was a case-control study of acute coronary syndrome patients (n = 68)
were located in the ER and hospital ICCU Sanglah IUGR. Patient data were
collected with a sampling consecutive. To determine the relationship between
resistin and cardiovascular events used Chi-Square test. Multivariate analysis with
logistic proportional model was used to analyze the relationship between resistin
and other traditional risk factors such as hypertension, diabetes mellitus,
dyslipidemia, smoking and obesity. Bivariate analysis showed a significant
association between resistin with cardiovascular events with 1.72 times the risk
(HR = 1.72, 95% CI = 1.28 sd2,32, p = 0.01). Multivariate analysis showed
resisitin significantly affect cardiovascular events after controlled with other
traditional risk factors such as hypertension, diabetes mellitus, dyslipidemia,
smoking and obesity (OR = 1.67, 95% CI 1.96, sd = 2.32, p = 0, 03).
Conclusion: resistin is a risk factor for cardiovascular events in acute coronary
syndrome.
Keywords: resistin, acute coronary syndrome, cardiovascular event
.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ................................................................................... i
PRASYARAT GELAR .............................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI .......................................................... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .......................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................. ix
ABSTRACT ............................................................................................... x
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xvii
DAFTAR DAFTAR SINGKATAN ......................................................... vi
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 6
1.3.1 Tujuan umum .......................................................................... 6
1.3.2 Tujuan khusus ......................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 6
1.4.1 Manfaat akademik / ilmiah ...................................................... 6
1.4.2 Manfaat praktis ........................................................................ 7
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sindroma Koroner Akut .................................................................... 8
2.1.1 Definisi ................................................................................. 8
2.1.2 Patofisiologi ......................................................................... 8
2.1.3 Aterosklerosis ....................................................................... 9
2.1.4 Faktor-faktor risiko penyakit jantung Koroner .................... 14
2.1.5 Gambaran klinis SKA ........................................................... 15
2.1.6 Diagnosis sindroma koroner akut ......................................... 16
2.1.7 Pemeriksaan diagnostik PJK ................................................ 17
2.1.8 Pemeriksaan laboratorium .................................................... 18
2..2 Resistin ............................................................................................... 19
2.2.1 Struktur Resistin ................................................................... 20
2.2.2 Peran metabolik resistin ....................................................... 24
2.2.3 Resistin dan obesitas .......................................................... 24
2.2.4 Peran resistin dalam inflamasi ............................................ 27
2.2.5 Hubungan resistin dan PJK ................................................. 29
BAB III. KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir .............................................................................. 32
3.2 Kerangka Konsep ................................................................................ 34
3.3 Hipotesis Penelitian ............................................................................. 34
BAB IV. METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian ....................................................................... 35
4.2. Populasi dan Sampel ....................................................................... 35
4.2.1. Populasi penelitian ................................................................ 35
4.2.1.1. Populasi target ......................................................... 36
4.2.1.2. Populasi terjangkau ................................................. 36
4.2.1.3. Sampel ..................................................................... 36
4.2.2. Penentuan sampel .................................................................. 36
4.2.2.1. Kriteria Inklusi ........................................................ 36
4.2.2.2. Kriteria Ekslusi ........................................................ 37
4.2.2.3. Jumlah Sampel ........................................................ 37
4.3. Variabel penelitian ........................................................................... 38
4.3.1. Variabel bebas ........................................................................ 38
4.3.2. Variabel tergantung ................................................................ 38
4.3.3 Variabel kendali ...................................................................... 38
4.4.4 Hubungan antara variabel ....................................................... 39
4.4. Definisi operasional variabel penelitian .......................................... 39
4.5 Instrumen penelitian dan metode pemeriksaan ................................ 45
4.5.1 Instrumen penelitian ......................................................................... 45
4.5.2 Metode pemeriksaan ........................................................................ 45
4.6 Prosedur Penelitian ......................................................................... 46
4.7 Tempat dan waktu penelitian ........................................................... 48
4.8 Analisa Statistik ............................................................................... 50
4.9 Uji Hipotesis ..................................................................................... 49
4.10. Keterbatasan Penelitian ..................................................................... 50
BAB V HASIL PENELITIAN…………………………………………… 51
5.1 Karakteristik data…………………………………………….. 51
5.2 Gambaran klinis penderita SKA dan KKV…………………… 53
5.3 Uji normalitas dan homogenitas data………………………… 54
5.4 Penentuan titik potong (cut off point) resistin………………… 54
5.5 Analisis perbedaan rerata waktu terjadinya KKV antara kadar
Resistin tinggi dan rendah……………………………………. 55
5.6 Cox proportional model………………………………………. 57
BAB VI PEMBAHASAN………………………………………………… 58
6.1 Normalitas data………………………………………………. 58
6.2 Karakeristik data……………………………………………… 59
6.3 Faktor risiko KKV……………………………………………. 59
6.4 Inflamasi pada SKA………………………………………….. 60
6.5 Resistin sebagai faktor risiko KKV pada SKA………………. 61
6.6 Hubungan resistin yang tinggi sebagai faktor risiko KKV dengan
Cumulative survival dan waktu pemantauan…………………. 63
6.7 Kejadian kardiovaskular………………………………………. 63
6.8 Keterbatasan penelitian……………………………………….. 64
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN…………………………………….. 65
7.1 Simpulan………………………………………………………. 65
7.2 Saran…………………………………………………………… 65
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 67
LAMPIRAN……………………………………………………………… 74
DAFTAR TABEL
No Tabel Judul Halaman
4.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII ............... 42
4.2 Klasifikasi dari overweight dan obesitas pada
dewasa berdasarkan IMT ................................................... 43
5.1 Kejadian kardiovaskular berdasarkan karakteristik subjek.. 51
5.2 Karakteristik demografik faktor risiko konvensional dan
Penanda inflamasi……………………………………….. 52
5.3 Gambaran klinis SKA ........................................................ 53
5.4 Gambaran klinis SKA dengan KKV dan tanpa KKV ........ 53
5.5 Gambaran klinis SKA dan persentase KKV ...................... 54
5.6 Hasil analisis Kaplan-Meier perbedaan rerata waktu terjadinya
KKV antara kelompok subjek dengan kadar resistin tinggi
Dan rendah ......................................................................... 55
5.7 Hasil analisis Cox proportional model pengaruh resistin terhadap
Insiden KKV ...................................................................... 57
5.8 Hasil analisis Cox proportional model pengaruh resistin,
Dislipidemia, DM, hipertensi, obesitas, merokok, umur
Terhadap insiden KKV ...................................................... 57
DAFTAR GAMBAR
No Gambar Judul Halaman
2.1. Proses aterosklerosis ......................................................... 10
2.2. Fagosit mononuklear pada aterogenesis............................. 12
2.3. Pelepasan penanda mioglobin,CKMB, dan troponin ......... 18
2.4. Ilustrasi model hubungan adipokine dan sel endhotelial ... 20
2.5. Pengaruh adipositokin terhadap sistem kardiovaskular dan
Inflamasi ............................................................................. 23
2.6. Jaringan adiposa : komponen seluler dan molekul yang
Dihasilkan .......................................................................... 26
2.7. Skema tentang mekanisme potensial dimana resistin dapat
memediasi disfungsi kardiovaskular .................................. 31
3.1. Kerangka konsep penelitian ............................................... 34
4.1. Rancangan penelitian ......................................................... 35
4.2. Hubungan antar variabel .................................................... 39
5.1. Kurva insiden kumulatif KKV menurut waktu antara
Kelompok subjek dengan kadar resistin tinggi dan rendah.. 56
DAFTAR SINGKATAN
AACE : American Association of Clinical Endocrinologist
ACE : American College of Endocrinology
ADA : American Diabetic Association
ACS : Acute Coronaruy Syndrome
AHA : American Heart Association
APTS : Angina Pektoris Tidak Stabil
APS : Angina Pektoris Stabil
ATP III : Adult Treatment Panel III
BACHORT : Bali ACS Cohort Study
CCU : Coronary Care Unit
CI : Confidence Interval
CKMB : Creatin Kinase Myocardial Band
CRP : C Reactive Protein
DM : Diabetes Mellitus
ELISA : Enzyme Lincked Immunosorbent Assay
GRACE : Global Registry of Acute Coronary Events
HR : Hazard Ratio
HSP : Heart Shock Protein
ICAM-1 : Intercellular Adhesion Molecule-1
IL : Interleukin
IL-1 Ra : Interleukin-1 Receptor antagonist
IMA : Infark Myocard Acute
JNC : Joint National Committee
KRS : Keluar Rumah Sakit
KTP : Kartu Tanda Penduduk
LDH : Lactic Dihydrogenase
LDL : Low Density Lipoprotein
MCP : Monocyte Chemotactic Protein
MMP : Matrix Metalloproteinase
MPh : Macrophage
MRS : Masuk Rumah Sakit
NCEP : National Cholesterol Education Program
NF-B : Nuclear Factor – kappa B
NO : Nitric Oxide
NSTEMI : Non-ST Elevation- Myocardial Infarction
PERKI : Perkumpulan Kardiologi Indonesia
PLATO : Platelet Inhibition and Platelet Outcomes
RR : Relative Risk
SGOT : Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase
SGPT : Serum Glutamic Pyruvic Transaminase
SKA : Sindroma Koroner Akut
STEMI : ST Elevation Myocardial Infarction
TGF : Transforming Growth Factor
TNF : Tumor Necrosing Factor
VCAM-1 : Vascular Cell Adhesion Molecule-1
UPIJ : Unit Perawatan Intensif Jantung
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan keadaan manifestasi akut dan
berat yang merupakan kegawatdaruratan dari koroner akibat ketidakseimbangan
antara pasokan dan kebutuhan dari oksigen ke miokard jantung (Kumar, 2007).
Termasuk bagian dari sindroma koroner akut adalah angina pektoris tidak stabil
(APTS), infark miokard akut (IMA) dengan elevasi segmen ST (STEMI), dan
infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) (Hamm dkk., 2011).
Gambaran klinis pada SKA akan terjadi vasospasme arteri koronaria dan ruptur
plak aterosklerotik yang akan diikuti terbentuknya trombus (Buffon dkk., 2002).
Sindroma koroner akut adalah masalah kesehatan yang serius dan dapat
berakibat kematian. Prasad dkk. (2003) melaporkan terjadi kematian APTS di
Amerika Serikat sekitar 5-10% dan IMA sekitar 10-20%, sedangkan kejadian
SKA di Inggris menurut Avanzas dkk. (2004) sekitar 17,2%. Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992 menunjukkan Penyakit Jantung Koroner
(PJK) merupakan penyebab kematian pertama untuk usia di atas 40 tahun (Anwar,
2004). PJK dalam 15 tahun terakhir dilaporkan merupakan penyebab kematian
utama. Insidennya meningkat dengan cepat seiring meningkatnya angka kejadian
obesitas dan diabetes melitus baik di negara berkembang maupun di negara maju.
PJK merupakan 38% penyebab kematian di Amerika Utara terutama pada usia <
65 tahun (Hansson, 2005).
Penyakit jantung koroner merupakan penyakit jantung yang disebabkan
oleh proses aterosklerosis. Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa
inflamasi memegang peranan penting dalam perkembangan dan perburukan PJK
serta manifestasi lain aterosklerosis (Anonim, 2008). Aterosklerosis sebagai
penyebab utama PJK merupakan penyakit inflamasi di mana mekanisme sistem
imun berinteraksi dengan faktor-faktor risiko metabolik (seperti obesitas, diabetes
melitus, hipertensi) kemudian berinisiasi, mengalami progresivitas dan
pengaktifan lesi pada pembuluh darah arteri jantung (Lisyani, 2006).
Penyakit vaskular aterosklerosis merupakan inflamasi multipel yang
melibatkan sel, molekul dan bermacam substansi. Marker umum yang digunakan
untuk mendeteksi adanya inflamasi adalah laju endap darah dan serum C-reactive
protein (CRP), namun apakah CRP secara langsung terlibat dalam perkembangan
aterosklerosis masih belum jelas mekanismenya (Lisyani, 2006).
Adipokin adalah berbagai peptida bioaktif yang diproduksi oleh jaringan
adiposa. Adipokin bekerja secara lokal maupun umum, melalui efek autokrin,
parakrin dan endokrin, yang mempunyai relevansi dengan penyakit
kardiovaskular, diantaranya adalah sitokin pro inflamasi seperti tumor necrosis
factor α (TNF α), interleukin-6 (IL-6), faktor-faktor yang mempengaruhi
hemostasis seperti plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), hormon yang
terlibat dalam metabolisme energi seperti adiponektin dan leptin serta hormon
yang terlibat dalam inflamasi dan resistensi insulin seperti resistin (Ronti dkk.,
2006; Purwanto, 2007).
Resistin termasuk dalam kelompok protein kaya sistein yang dikenal
sebagai adipose tissue specific secretory factor (ADSF) atau protein yang
ditemukan pada area inflamasi (found in inflammatory zones =FIZZ) merupakan
suatu adipokin baru dari jaringan adiposa yang berhubungan dengan resistensi
insulin dan obesitas pada tikus (Proffitt, 2005; Reilly dkk., 2005. Sejak pertama
kali resistin ditemukan pada tahun 2001, studi klinis tentang pengukuran kadar
resitin pada manusia masih sangat terbatas (Steppan dan Lazar, 2004). Resistin
pada manusia diekspresikan dengan kadar yang rendah di jaringan adiposa dan
terutama diekspresikan oleh sel-sel inflamasi, sehingga didapatkan kadar yang
tinggi di monosit di dalam sirkulasi darah dan disekresi oleh makrofag pada
ateroma (Pischon dkk., 2005; Jung dkk., 2006).
C-reactive protein (CRP) merupakan petanda untuk memprediksi risiko
penyakit kardiovaskular aterosklerosis. Dalam hubungan antara penyakit arteri
koroner dan sindroma metabolik tidak terdapat peningkatan kadar CRP, namun
terdapat peningkatan kadar plasma resitin, oleh karena itu resistin dapat dipakai
sebagai petanda biologi yang menggabungkan tanda inflamasi dan metabolik
(Reilly dkk., 2005). Resistin merupakan petanda yang menjanjikan untuk
menentukan risiko penyakit vaskular aterosklerosis. Resistin relatif stabil,
sehingga pengukuran resistin tunggal adalah cukup untuk penilaian risiko pada
penelitian epidemiologik, sedangkan pengukuran CRP sebaiknya dilakukan
minimal 2 kali oleh karena adanya variasi individual ( Lisyani, 2006; Weikert
dkk., 2007).
Menurut Al-Daghri dkk. (2005), kadar resistin didapatkan lebih tinggi
pada DM tipe 2 dan penyakit jantung kronik dibandingkan kontrol. Sedangkan
Shetty dkk. (2004) melaporkan hasil korelasi positif yang signifikan antara kadar
serum resistin dan CRP serta korelasi negatif yang signifikan antara kadar serum
resisitin dan HDL, meskipun tidak dapat dikonfirmasi dengan analisis bivariat
maupun multivariat. Kawanami dkk. (2004), melaporkan resistin dapat
menginduksi VCAM-1, ICAM-1 dan log pentraxin 3 (PTX3), suatu petanda
inflamasi di sel endotel pembuluh darah. Reilly dkk. (2005), menunjukkan
peningkatan skor kalsifikasi arteri koronaria dengan meningkatnya kadar serum
resisitin pada pria. Pilz dkk. (2007) melaporkan bahwa konsentrasi plasma resistin
berhubungan dengan proses inflamasi dan fungsi ginjal tetapi penelitian ini tidak
mendukung hipotesis resistin sebagai faktor indipenden untuk penyakit
kardiovaskular.
Chu dkk. (2008) mendapatkan hasil, kadar resistin plasma pada pasien
ACS meningkat secara signifikan dalam minggu pertama setelah onset. Hesham
dkk. (2012) melaporkan serum resistin meningkat pada pasien STEMI akut dan
peningkatan ini lebih jelas pada pasien dengan DM tipe 2 di bandingkan dengan
yang bukan DM tipe 2, tetapi serum resistin tidak berkorelasi dengan usia, jenis
kelamin dan resistensi insulin. Ammal dkk. (2011) menyimpulkan pada penelitian
mereka, terjadi peningkatan secara signifikan kadar serum resisitin pada penyakit
jantung koroner akut dan kemungkinan ada hubungan dengan inflamasi, dan
didapatkan resistin berkorelasi positif dengan faktor inflamasi (IL-6 dan CRP).
Pada Penelitian lain dilaporkan, bahwa peningkatan resistin akan meningkatkan
risiko Infark miokard dan mungkin dapat digunakan sebagai marker untuk
penyakit jantung iskhemia pada populasi umum ( Cornelia Weikert dkk., 2008 ;
Leon dkk., 2013).
Proses inflamasi yang terjadi pada sindroma koroner akut masih sulit
untuk di ketahui apakah terus berlangsung atau setelah melewati fase akut dan
mendapat pengobatan proses inflamasi itu berhenti. Jika proses inflamasi terus
berlangsung, akan membuat prognosis penderita sindroma koroner akut menjadi
jelek dan kualitas hidup menjadi rendah.Sampai saat ini, masih belum banyak data
atau penelitian yang menghubungkan antara proses inflamasi dengan kejadian
kardiovaskular pada penderita sindroma koroner akut.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, resistin diketahui
mempunyai peran dalam proses inflamasi sehingga menyebabkan sindroma
koroner akut dan masih menjadi pertanyaan, apakah resistin mempunyai peran
dan hubungan dengan kejadian kardiovaskular pada penderita sindroma koroner
akut. Hal tersebut mendorong kami untuk melakukan penelitian tentang hubungan
kadar resistin dengan risiko kejadian kardiovaskular (KKV) pada penderita SKA.
Dengan demikian apabila terbukti didapatkan hubungan, diharapkan dapat
memberikan kontribusi ilmiah terhadap progresivitas perburukan SKA sebagai
dasar dalam upaya pencegahan KKV pada penderita SKA di masa yang akan
datang.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut :
Apakah kadar resistin yang tinggi merupakan faktor risiko kejadian
kardiovaskular pada penderita sindroma koroner akut?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk membuktikan peranan proses inflamasi pada progresifitas
perburukan dari Sindroma Koroner Akut.
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui kadar resistin yang tinggi merupakan faktor risiko
kejadian kardiovaskular pada penderita sindroma koroner akut.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik / Ilmiah
Apabila penelitian ini terbukti, bahwa kadar resistin yang tinggi
merupakan faktor risiko kejadian kardiovaskular, maka dapat memberikan
kontribusi ilmiah berkaitan prognosis dari sindroma koroner akut.
1.4.2 Manfaat Praktis
Memberikan kontribusi berkaitan dengan prognosis pada sindroma
koroner akut, sehingga bermanfaat untuk pencegahan sekunder / pengendalian
progresifitas perburukan sindroma koroner akut dan dapat memberikan dampak
perbaikan kualitas hidup penderita sindroma koroner akut.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sindroma Koroner Akut
2.1.1 Definisi
Sindroma koroner akut adalah suatu istilah atau terminologi yang
digunakan untuk menggambarkan keadaan atau kumpulan proses penyakit yang
meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina pectoris/UAP),
infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST
(Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark miokard
gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation
myocardial infarction/STEMI) (Baraas, 2006).
2.1.2 Patofisiologi
Aterosklerosis merupakan suatu keadaan di mana fatty plaque terbentuk
pada arteri berukuran besar dan sedang, termasuk pembuluh darah jantung sebagai
akibat dari deposisi kolesterol, lipid dan sisa sel. Plaque dalam arteri jantung
akhirnya menjadi padat sehingga aliran darah ke jantung berkurang. Aliran darah
ke jantung yang berkurang tersebut akan menyebabkan sel otot jantung menjadi
kekurangan oksigen yang disebut iskemia. Kematian sel miokardium akibat
iskemia disebut infark miokard, yaitu terjadi kerusakan, kematian otot jantung dan
terbentuk jaringan parut tanpa ada pertumbuhan kembali sel miokard. Infark
miokard disebabkan oleh oklusi mendadak dari arteri koroner bila ada rupture
plaque yang kemudian akan mengaktivasi sistem pembekuan. Interaksi Antara
ateroma dengan bekuan akan mengisi lumen arteri, sehingga aliran darah
mendadak tertutup, infark miokard juga dapat disebabkan karena spasme dinding
arteri yang menyebabkan oklusi lumen pembuluh darah (Setianto, 2001).
2.1.3 Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan penyakit inflamasi karena terdapat proses
inflamasi pada aterosklerosis sejak terjadinya lesi awal yang disebut fatty streak.
Fatty streak berisi makrofag (berasal dari monosit) dan limfosit T (Suhardjono,
2003; Packard dan Libby, 2008). Fatty streak sering terjadi pada orang usia muda
tidak disertai gejala klinis dan dapat berkembang menjadi ateroma atau hilang
dengan sendirinya. Seperti terlihat di gambar 2.1, endotel arteri mengalami
disfungsi kemudian prosesnya berlanjut sampai terbentuk plak, kemudian plak
mengalami rupture dan terbentuklah thrombus. (Libby, 2002 ; Hanson, 2005;
Packard dan Libby, 2008).
Lesi aterosklerosis (ateroma) terdiri dari sel-sel, elemen jaringan ikat, lipid
dan debris. Ateroma didahului oleh fatty streak, akumulasi sel-sel (makrofag,
bersama dengan beberapa sel T) yang terbungkus lemak di bagian bawah
endotelium. (Hanson, 2005). Aterosklerosis umumnya terbentuk pada arteri-arteri
dengan aliran dan tekanan yang tinggi, seperti jantung, otak, ginjal dan aorta,
khususnya di titik percabangan arteri yang merupakan area dimana terdapat
gangguan aliran darah, sehingga mengurangi aktivitas molekul ateroprotektif
endotel seperti nitrit oksida (NO) dan menyebabkan ekspresi vascular cell
adhesion molecule-1 (VCAM-1) (Boudi dkk., 2008; Packard dan Libby, 2008).
Terdapat 2 teori aterosklerosis yang mendasari kejadian penyakit jantung dan
pembuluh darah, yaitu respone to injury dan kelainan lemak darah (Purwanto,
2007).
Menurut teori respone to injury, permukaan sel endotel senantiasa akan
mengalami mikrolesi yang berulang-ulang atau mungkin pula pada suatu saat
akan terjadi makrolesi karena perubahan dinamik gaya gesek pulsatil atau proses
stress oksidatif lainnya. Sel endotel akan merespon berupa respon imunologik
untuk mengatasi secara dinamik dan berkesinambungan (Baraas, 2006).
Gambar 2.1 Proses Aterosklerosis (Libby, 2002)
Sel endotel normal tidak mengikat leukosit akan tetapi adanya rangsangan
termasuk diet tinggi lemak jenuh, hiperkolesterolmia, obesitas, hiperglikemia,
resistensi insulin/diabetes melitus, hipertensi dan merokok akan memicu ekspresi
molekul adhesi endotel seperti VCAM-1, intercellular adhesion molecule-1
(ICAM-1) , p-selectin, resistin dan komponen pro inflamasi lainnya yang akan
mengadhesi leukosit di dalam sirkulasi sehingga terjadi disfungsi endotel yang
merupakan kelainan sistemik dan proses awal terjadinya aterosklerosis
(Suhardjono, 2003, Lau dkk., 2005; Packard dan Libby, 2008). Karakteristik
disfungsi endotel adalah adanya ketidakseimbangan antara faktor-faktor
vasodilatasi dan vasokonstriksi. Nitrit oksida (NO) akan mempertahankan
vasodilatasi endotel, berlawanan dengan efek vasokontriktor seperti endothelin
(ET-1) dan angiotensin II (Lau dkk., 2005).
Monosit yang melekat di endotel akan bermigrasi dan menembus ke dalam
lapisan intima dengan bantuan monocyte chemmoattractant protein-1 (MCP-1)
sedangkan lapisan intima yang mengalami inflamasi akan mengekspresikan
macrophage colony stimulating factor (MSCF) dan kemudian akan mengubah
monosit menjadi makrofag. MSCF juga akan meningkatkan ekspresi reseptor
scavenger yaitu merubah makropag menjadi sel busa yang merupakan
karakteristik tanda awal dari aterosklerosis. Makrofag di dalam ateroma
berpoliferasi dan meningkatkan respon inflamasi dengan mensekresi berbagai
growth factors dan sitokin pro inflamasi, termasuk tumor necrosis factor α (TNF
α) dan interleukin 1β (IL-1β) yang terlibat dalam progresif lesi dan komplikasi
seperti terlihat pada gambar 2.2 (Libby, 2002).
Sel T masuk ke dalam lesi sebagai respons terhadap chemokine-inducible
protein-10 dan monokine yang diinduksi oleh interferon γ (IFN-γ) dan IFN-
inducible T cell chemo-attractant yang kemudian menyebabkan limfosit masuk ke
dalam lapisan intima di mana subtype CD4+ mendominasi lesi. Lesi
aterosklerosis mengandung sitokin yang memacu respon T-helper1 (Th-1)
sehingga sel T teraktivasi dan terpicu untuk berdiferensiasi menjadi sel Th-1
efektor yang kemudian meningkatkan aktivitas inflamasi lokal dengan
membentuk sitokin proinflamasi seperti IFN-γ dan CD40 ligand, yang berperan
penting dalam progresifitas plaque (Libby, 2002; Hanson, 2005).
Gambar 2.2 Fagosit Mononuklear pada aterogenesis ( Libby, 2002)
Jika proses inflamasi berlanjut maka aktivasi leukosit dan intrinsic arterial
cells akan melepaskan mediator fibrogenik termasuk faktor-faktor pertumbuhan
yang dapat menyebabkan replikasi, migrasi dan proliferasi sel otot polos, sehingga
dinding arteri menjadi tebal (Suhardjono, 2003). Migrasi dan proliferasi sel otot
polos akan membentuk kapsula fibrosa yang menutupi lesi lipid rich core dan
jaringan nekrosis. Kapsula fibrosa ini akan menonjol ke dalam lumen arteri
sehingga akan mengganggu aliran darah dan menimbulkan manifestasi klinis
dalam sirkulasi koroner berupa angina pektoris tidak stabil atau infark miokard
akut. Jika proses berlanjut maka makrofag dapat merusak matriks ekstraseluler
dengan cara fagositosis atau mengeluarkan enzim proteolitik seperti matriks
mettaloproteinase (MMP), sistein protease dan serin protease. Akibatnya kapsula
fibrosa menjadi lemah dan ruptur sehingga terbentuk trombus (Libby, 2002;
Suhardjono, 2003).
Teori kelainan lemak darah didasarkan pada penelitian-penelitian hewan
dan manusia yang menunjukkan bahwa hiperkolesterolemia menyebabkan
aktivasi lokal endotelium dalam arteri-arteri besar dan sedang. Infiltrasi dan
retensi low density lipoprotein (LDL) dalam tunika intima arteri menginisiasi
respon inflamasi dalam dinding arteri. Partikel LDL yang mengalami reaksi
enzimatik dan oksidasi di intima berubah menjadi modified-LDL (mo-LDL) dan
oxidized-LDL (ox-LDL) (Hanson, 2005; Purwanto, 2007). Mo-LDL melepaskan
fosfolipid yang mengaktivasi sel endotel. Sel endotel yang teraktivasi
mengekspresikan berbagai molekul adhesi leukosit. VCAM-1 biasanya meningkat
terhadap respon hiperkolesterolemia, sehingga sel-sel yang yang memiliki
reseptor VCAM-1 (monosit dan limfosit) akan menempel di tempat adhesi dan
selanjutnya mensekresi sitokin dan growth factors yang akan merangsang adanya
proliferasi, migrasi miosit dan fibroblast memasuki lapisan intima dan
menimbulkan reaksi imun, Ox-LDL bersifat sitotoksik terhadap monosit dan sel
otot polos (Purwanto, 2007). Adanya rangsangan MCSF yang diproduksi oleh
tunika intima yang mengalami inflamasi menyebabkan monosit akan menempel
dan bermigrasi ke subendotel dan berubah menjadi makrofag. Langkah ini
merupakan langkah penting untuk pembentukan aterosklerosis. Makrofag akan
memfagosit partikel ox-LDL menjadi sel busa (sel prototipe aterosklerosis) yang
akan menjadi inisial aterosklerosis (Libby, 2002).
Pada dasarnya terdapat 3 tipe lesi aterosklerosis pada arteri koroner. Lesi
pertama berbentuk seperti tumor pada permukaan dinding sebelah dalam
pembuluh darah koroner yang banyak mengandung fiber, lemak, kolesterol dan
sel-sel otot halus serta menonjol ke dalam lumen sehingga menyebabkan stenosis
pada arteri koroner, lesi ini disebut ateroma dan umumnya bersifat stabil (Libby,
2002).
Lesi kedua berbentuk plaque yang lunak, tidak stabil, mudah ruptur dan
merupakan awal dari proses trombosis, hanya sekitar 30 % trombus terbentuk
pada bagian pembuluh darah arteri koroner yang stenosis (pada puncak ateroma)
sedangkan 70 % trombus sesungguhnya terbentuk pada bagian yang datar dari
ateroma, yang tidak ditemukan sel-sel otot polos ataupun kapsul fibrotik, tetapi
penuh dengan invasi makrofag. Tipe lesi kedua ini mudah mengalami ruptur yang
merupakan awal terjadinya proses trombosis dan secara klinis merupakan
serangkaian sindroma koroner akut (Lehrke dkk., 2004).
Tipe lesi ketiga umumnya hanya berupa sel busa atau garis lemak yang
tipis, lebih bersikap reaktif, spasmodik, dengan lesi aterosklerosis yang kecil dan
tidak luas. Lesi ketiga ini umumnya tidak memberikan keluhan klinis apapun
(asimtomatis) (Libby, 2002).
2.1.4 Faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner
Menurut Setianto (2001), Faktor-faktor risiko independen untuk PJK
antara lain :
1. Hiperkolesterolemia (khususnya kadar serum LDL)
2. Merokok
3. Hipertensi
4. Hiperglikemia (karena diabetes melitus)
5. Faktor hemostatik : kadar fibrinogen dan faktor VII koagulasi yang tinggi
berhubungan dengan meningkatnya resiko PJK. Kadar faktor VII lebih
tinggi pada individu dengan diet tinggi lemak.
Faktor resiko tidak langsung, tetapi bermakna :
1. Kurang berolahraga
2. Stress
3. Diet tinggi lemak jenuh
4. Diet rendah antioksidan
5. Obesitas
Boudi dkk. (2008) mengklasifikasikan faktor resiko PJK menjadi : faktor yang
tidak dapat diubah : umur,jenis kelamin,riwayat keluarga dan faktor yang dapat
diubah : merokok, hipertensi, diabetes melitus, obesitas, hiperkolesterolemia, diet
tinggi lemak jenuh, faktor hemostatik.
2.1.5 Gambaran klinis SKA
Keluhan yang sering di rasakan adalah nyeri dada seperti ditusuk-tusuk
benda tajam, diremas atau ditindih benda berat yang berlokasi di substernal,
intensitas nyeri berlangsung lebih dari 20 menit. Keluhan nyeri dada akan
dirasakan tembus ke punggung dan menjalar ke lengan kiri disertai mual, muntah
dan keringat dingin (Tanuwidjojo, 2005).
2.1.6 Diagnosis sindroma koroner akut
Diagnosis yang digunakan untuk membedakan antara sindroma koroner
akut berdasarkan 3 kriteria : presentasi klinis adanya angina, perubahan
elektrokardiografi (EKG) dan peningkatan enzim biomarker jantung (lilly, 2011).
Khususnya angina pektoris tidak stabil adalah diagnosis klinis yang ditunjang
perubahan EKG seperti depresi ST segmen dan atau inversi gelombang T dan
tidak ada peningkatan enzim biomarker jantung. NSTEMI dibedakan dari angina
pektoris tidak stabil berdasarkan peningkatan serum biomarker jantung yang
menandakan adanya nekrosis otot jantung, dan sering terdapat perubahan
gelombang ST-T pada EKG yang bersifat menetap. STEMI didiagnosa
berdasarkan riwayat klinis, adanya perubahan EKG berupa elevasi segmen ST dan
peningkatan serum biomarker jantung (Lilly, 2011).
Diagnosis miokard infark (MI) berdasarkan European society of
cardiology (2011), harus memenuhi salah satu kriteria :
A. Peningkatan yang khas dari troponin atau peningkatan yang cepat dari
CKMB, yaitu biomarker dari nekrosis miokard yang diikuti salah satu dari
berikut :
1. Terdapat gelombang Q patologis pada EKG.
2. Perubahan EKG yang mengidentifikasikan iskemi (elevasi atau depresi
segmen ST).
3. Intervensi arteri koroner.
B. Temuan patologis acute Miokard Infarct (AMI) : STEMI (area nekrosis
iskemik yang menembus seluruh ketebalan dinding ventrikel dan
mengakibatkan elevasi segmen ST).
2.1.7 Pemeriksaan diagnostik PJK (Baim dan Grossman, 2005; Nishimura
dkk., 2005) :
1. Electrocardiography (ECG)
ECG selama angina dapat menunjukkan adanya iskemik atau mungkin
normal, dapat juga menunjukkan aritmia, seperti kontraksi ventrikel
premature.
2. Treatmill atau bicycle exercise test.
Dapat memicu nyeri dada dan EkG akan memperlihatkan tanda iskemia
miokard (ST- segmen depresi).
3. Angiografi koroner
Memperlihatkan adanya penyempitan dan sumbatan arteri koroner,
morfologi dan beratnya lesi stenosis dapat dianalisis dengan lebih rinci dan
dapat memberikan informasi untuk tindakan selanjutnya. Analisis biasanya
dilakukan visual dengan memperkirakan prosentase dari diameter tiap lesi
stenosis relatif terhadap segmen acuan disebelahnya, dimana dengan
stenosis > 50 % dianggap signifikan secara hemodinamik. Beratnya lesi
stenosis dapat direpresentasikan sebagai jumlah pembuluh darah koroner
yang mengalami stenosis > 50 % (vessel disease).
4. Myocardial perfusion imaging dengan thallium-201 atau cardiolite selama
latihan treadmill. Myocardial perfusion imaging untuk mendeteksi area
iskemik dari miokardium.
2.1.8 Pemeriksaan laboratorium
Parameter laboratorium untuk standar SKA yang direkomendasikan oleh
American Heart Association adalah Creatinin Kinase-MB (CKMB), isoensim
lactate
dehydrogenase (LDH), Mioglobin dan troponin T dan I (Purwanto, 2007).
Gambar 2.3 Pelepasan penanda mioglobin, CKMB, dan Troponin (Moe and
Wong, 2010)
Pada gambar 2.3 diatas terlihat waktu peningkatan dari enzim jantung creatinin
kinase muscle brain (CKMB) dan protein myoglobin serta troponin T dan I, enzim
tersebut dikeluarkan karena terjadi kerusakan otot jantung (miokard) karena
sindroma koroner akut (Moe and Wong, 2010).
Parameter laboratorik yang baru telah menarik perhatian para ahli,
mengingat berkembangnya patogenesis penyakit sehingga dapat mendeteksi
kejadian pada saat berlangsungnya inisiasi lesi aterosklerosis. Parameter tersebut
adalah penentuan terhadap adanya inflamasi, pembentukan trombus, agregasi
trombosit dan iskemik reversible. Faktor-faktor metabolik (obesitas, diabetes
melitus,hipertensi) mempengaruhi proses ini dengan berbagai cara. Faktor-faktor
metabolik berkontribusi dalam deposisi lipid di arteri serta akan menginisiasi
babak baru dalam rekruitmen sel imun. Adipokin yang merupakan sitokin jaringan
lemak, termasuk juga leptin, adiponektin serta resistin dapat juga mempengaruhi
respon-respon inflamasi dalam organisme (Hanson, 2005).
2.2 Resistin
Resistin merupakan adipositokin yang disekresi oleh jaringan adiposa,
yang kadarnya meningkat pada obesitas. Dikenal sebagai adipose tissue specific
secretory factor (ADSF) yang menginduksi resistensi insulin di otot dan hati
(Boudi dkk, 2008). Resistin termasuk kedalam keluarga kaya protein dan
ditemukan di daerah inflamasi / found in inflammatory zones (FIZZ) (Guerre,
2004).
Pertama kali ditemukan pada tahun 2001 oleh Lazar dan dinamakan
resistin karena penelitian observasi yang dilakukan oleh Steppan ditemukan
adanya resistensi insulin pada mencit yang diinjeksi dengan rekombinan resistin
dan penurunan kemampuan insulin dalam menyalurkan glukosa ke sel adiposa
(Baim dan Grossman, 2005). Penemuan dan fungsi penting resistin pertama kali
dipublikasikan tahun 2011, di mana beberapa penelitian follow up telah
mengeksplorasi pentingnya seluler, fisiologis, dan klinis dari resistin (Rea dan
Donnelly , 2004).
Gambar 2.4 Ilustrasi model hubungan adipokin dan sel endhotelial (Rajalala
dkk., 2003)
Dari ilustrasi gambar 2.4, diperlihatkan resistin bersama dengan
adiponektin, leptin, PAI-1, TNF-α mempunyai pengaruh terhadap peningkatan
VCAM-1, MCP-1, ET-1 dan CD40-L serta penurunan TRAF-3 sehingga
menyebabkan disfungsi dari endotel.
2.2.1 Struktur resistin
Resistin merupakan 12,5 kDa peptida kaya sistein yang disekresi dari
adiposa dan ditemukan dalam sirkulasi (Rong-Ze dkk, 2003). Panjang propeptida
resistin manusia 108 asam amino (Ronti dkk., 2006). Sebelum disekresi ke
sirkulasi, resistin melepaskan signal peptida yang terdiri dari 16 asam amino
hidrofobik, resistin kemudian bersirkulasi sebagai dimer terdiri dari 92 asam
amino yang dihubungkan oleh jembatan disulfida ( Stejskal dkk., 2002).
Resistin termasuk dalam salah satu keluarga protein sekresi, yang dikenal
sebagai resistin-like molecules (RELM) dengan karakteristik residu sistein pada
akhir struktur C- terminal. Terdapat 4 keluarga RELM pada mencit, yaitu :
RELM-α (FIZZ-1), dan RELM-β (FIZZ-2), resistin (FIZZ3) dan RELM-γ,
masing-masing dengan distribusi jaringan yang berbeda (Kusminski dkk., 2005).
RELM α diekspresikan pada fraksi stroma adiposa dan paru-paru. RELM-β
diekspresikan secara spesifik dan banyak di intestinum dan kolon. RELM-β juga
menginduksi resistensi insulin hepatik. Resistin diekpresikan di adiposa, plasenta,
sedangkan RELM-γ diekspresikan pada adiposa, gastrointestinal dan paru-paru.
Sampai dengan saat ini hanya 2 RELM, yaitu resistin dan RELM-β yang
ditemukan pada manusia (Rong-Ze dkk., 2003; Rea dan Donnelly, 2004; Steppan
dan Lazar, 2004).
Terdapat bukti bahwa struktur dan ikatan mempengaruhi aktivitas biologis
keluarga RELM. Banerjee dan Lazar (2001) menunjukkan bahwa resistin dan
RELM-β tampak sebagai homodimer dengan ikatan disulfida, tetapi pada kondisi
tertentu, homodimer ini bermigrasi menjadi monomer. Dimerisasi dari RELM
sangat tergantung pada residu sistein N-terminal (Cys 26), sehingga RELM-α
(yang kurang dari Cys 26) tampak sebagai monomer. Ketiga protein dalam
keluarga resistin dapat membentuk heterodimer baik tergantung atau tidak
tergantung dengan ikatan disulfida. Protein resistin juga tampak lebih kompleks
terdiri dari bebarapa molekul protein (Rea dan Donnelly, 2004).
Penelitian resistin menggunakan crystallographic X-ray menunjukkan
komplek resistin dalam bentuk struktur heksamer. Resistin bersirkulasi dalam dua
bentuk di mana bentuk yang lebih predominan high molecular mass (HMM)
hexsamer dan kompleks yang lebih aktif dalam bentuk low molecular mass
(LMM) yang tidak dapat membentuk ikatan disulfide intertrimer. Hal ini
menunjukkan bahwa proses regulasi melalui pelepasan disulfida dibutuhkan untuk
inisiasi bioaktivitas bentuk LMM dan memungkinkan target site yang potensial
untuk interaksi reseptor selanjutnya (Kusminski dkk., 2005).
Berbeda dengan tikus, resistin manusia diekspresikan pada kadar yang
rendah di jaringan adiposa. Pelacakan pada jaringan manusia dengan real-time
polymerase chain reaction (PCR) menunjukkan bahwa resistin ditemukan dalam
sumsum tulang, paru-paru, jaringan plasenta (terutama tropoblas) dan sel islet
pancreas (Yura dkk., 2003; Pang dan Le, 2006). Resistin pada manusia terutama
diekspresikan oleh sel-sel inflamasi, terutama pada monosit di sirkulasi dan juga
disekresi oleh makrofag pada ateroma (Pischon dkk., 2005; Jung dkk., 2006).
Rong-Ze dkk. (2003) melaporkan resistin juga diekspresikan oleh sel
leukosit yang berasal dari mieloblas dan limfoblas dan sel-sel leukemia tetapi
korelasi antara ekspresi, kadar dan tingkat penyakit atau asal sel (darah tepi atau
sum-sum tulang) masih belum jelas. Ekspresi, kadar resistin yang tinggi pada
leukosit semakin menguatkan kemungkinan keterlibatan resistin dalam proses
inflamasi dan resistensi insulin yang juga berhubungan dengan inflamasi.
Adanya perbedaan sumber resistin pada manusia dan tikus kemungkinan
berimplikasi terhadap perbedaan peran fisiologis diantara spesies. Kapan dan
bagaimana perbedaan ini berhubungan dengan fungsi biologi resistin pada
manusia masih belum diketahui hingga saat ini (Rong-Ze dkk., 2003). Penemuan
resistin, bersama-sama dengan hormon adiposa lainnya, mendorong dilakukannya
penelitian intensif terhadap peranan mediator lemak pada obesitas yang
menginduksi resistin insulin dan diabetes tipe 2 (Rea dan Donnely, 2004).
Resistin dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik. Penelitian-penelitian yang
meneliti variasi genetik pada gen resistin, termasuk single nucleotide
polymorphisms (SNP) masih kontroversial. Beberapa penelitian genetik case-
control menunjukkan variasi genetik dari gen resistin yang berhubungan dengan
resistensi insulin dan obesitas pada manusia (Ronti dkk., 2006). Peneliti lainnya
menunjukkan ekspresi mRNA resistin yang sangat rendah pada isolasi adiposit
manusia tidak berhubungan konsisten dengan insulin dan obesitas, sehingga peran
resistin manusia pada resistensi insulin tidak jelas (Pang dan Le, 2006).
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Menzaghi dkk. (2006)
menunjukkan adanya 1 SNP mengubah aktivitas transkripsi dan berhubungan
dengan peningkatan kadar mRNA resistin di lemak abdominal dan serum pada
subyek kaukasia dari Italia yang tidak menderita diabetes dan anggota
keluarganya. Berdasarkan data tersebut, resistin dianggap sebagai salah satu
mediator baru dari resistensi pada manusia. Penelitian ini mendukung hipotesis
bahwa resistin mempunyai peran patogenik dalam resistensi insulin dan
abnormalitas yang berhubungan dengan resistensi insulin, termasuk diabetes tipe
2 dan penyakit kardiovaskular.
Pada gambar 2.5, memperlihatkan pengaruh dari adipositokin terhadap
sistem kardiovaskular. Dan tampak resistin mempunyai pengaruh meningkatkan
resistensi insulin, dislipidemia, perburukan dari infark miokard dan gagal jantung,
meningkatkan risiko penyakit jantung dan APTS serta prognosis yang jelek bagi
pasien jantung koroner (Mattu dan Randeva, 2013).
Gambar 2.5 Pengaruh adipositokin terhadap sistem kardiovaskular dan
inflamasi (Mattu dan Randeva, 2013)
2.2.2 Peran metabolik resistin
Peran fisiologis resistin pada manusia masih belum dengan jelas diketahui.
Adanya homolog inkomplit (59%) antara resistin manusia dan tikus dan tidak
adanya dua dari empat isoform resistin pada manusia, mungkin menyebabkan
perbedaan peran fisiologis resistin antara manusia dan tikus (pang dan Le, 2006).
2.2.3 Resistin dan obesitas
Resistin merupakan adipositokin di mana peran fisiologisnya masih
diperdebatkan terkait dengan obesitas. Dalam kaitannya dengan obesitas,
observasi terhadap peran resistin masih terus berkembang. Penelitian pada
manusia telah melaporkan adanya peningkatan ekspresi resistin dijaringan
adiposa, khususnya pada jaringan lemak abdominal dan terdapat korelasi positif
antara serum resistin dengan isi lemak tubuh. Penelitian terbaru mengenai
hubungan resistin manusia terhadap obesitas menunjukkan adanya peningkatan
kadar serum yang lebih tinggi pada subjek dengan obesitas dibandingkan dengan
tanpa obesitas, dimana korelasi positif didapatkan perubahan indeks massa tubuh
(IMT) dan area viseral (Lee dkk, 2003; Kusminski dkk., 2005).
Implikasi pentingnya resistin pada jaringan adiposa manusia telah
didukung oleh penelitian-penelitian yang menunjukkan adanya peningkatan
ekspresi protein pada obesitas, yang dikenal sebagai protein yang disekresi dari
isolasi adiposit, Beberapa penelitian terbaru telah menunjukkan adanya
peningkatan kadar serum resistin dan ekspresi gen pada jaringan lemak abdominal
dengan peningkatan adiposit. Penelitian lain telah menunjukkan bahwa penurunan
berat badan dan tindakan post-gastric bypass menyebabkan pengurangan kadar
resistin disirkulasi yang bermakna, sehingga di duga resistin dapat secara tidak
langsung memiliki pengaruh terhadap regulasi nutrisi tubuh pada manusia (Ternan
dkk., 2003; Kusminski dkk., 2005).
Penelitian-penelitian pada manusia menunjukkan hasil yang kontroversi
mengenai peran resistin pada obesitas. Penelitian Lee dkk. (2003), didapatkan
tidak adanya korelasi antara kadar serum atau plasma resitin dengan petanda-
petanda adiposit. Heilbronn dkk. (2004), melaporkan tidak adanya hubungan
antara kadar serum resistin dan prosentase lemak tubuh, lemak viseral dan hasil
yang berbeda tersebut diduga karena adanya variabel perancu dimana umur
subyek yang tidak obesitas secara signifikan lebih muda dibandingkan subyek
yang obesitas.
Penelitian pada mencit menunjukkan resistin menyebabkan resistensi
insulin dengan cara bekerja sebagai antagonis insulin dan memodulasi salah satu
langkah pada jalur signal insulin, juga menunjukkan bahwa resistin mungkin
mengurangi kerja insulin dalam menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan
perifer sehingga mengurangi sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin terutama
pada sel-sel otot lurik seperti hepatosit dan adiposit (Kusminski dkk., 2005).
Mencit transgenik yang mengekspresikan resistin secara berlebihan
memperlihatkan gangguan pada insulin dalam mentransport glukosa, perubahan
metabolisme glukosa terjadi tanpa menyebabkan perubahan signal reseptor
insulin, sehingga bekerja dengan cara mengurangi aktivitas intrinsik sel
transporter pada permukaan glukosa (Kusminski dkk., 2005). Steppan dan Lazar
(2005) menunjukkan resistin menginduksi ekspresi suppressor of cytokine
signaling (SOCS-3) suatu inhibitor signal insulin. Berkurangnya fungsi SOCS
menunjukkan gangguan resistin dari kerja antagonis insulin di adiposit. Hal ini
menunjukkan bahwa kerja resistin pada adiposa tidak tergantung insulin, sebagian
dapat dimediasi oleh SOCS-3 yang dapat berpengaruh pada homoestasis glukosa.
Rajala dkk. (2003) menunjukkan bahwa pemberian resistin atau RELM-β pada
tikus mengurangi sensitivitas insulin, khususnya pada hati. Perburukan hemostasis
glukosa ditunjukkan dengan adanya gangguan berat pada insulin dalam
mensupresi glukoneogenesis hepatik, dibandingkan dengan resistensi insulin
diperifer. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa resistin dan RELM-β kedalam
sirkulasi vena porta tampaknya menghubungkan epitel di intestinal hati sehingga
meningkatkan metabolisme hepatik. Pada gambar 2.6, diperlihatkan peran resistin
dalam proses terjadinya obesitas.
Gambar 2.6 Jaringan adiposa: komponen seluler dan molekul yang
dihasilkan (Fantuzzi, 2005)
Penelitian-penelitian pada manusia menunjukkan hasil yang berbeda
terhadap hubungan antara resistin dan metabolisme glukosa. Penelitian pada orang
Indian Vozarova dkk. (2004), melaporkan kadar resistin tidak berhubungan
dengan kadar glukosa puasa dan insulin, meskipun berhubungan dengan adiposit,
sebaliknya Heilbronn dkk. (2004), mengindikasikan kadar serum resistin
berhubungan dengan metabolisme glukosa, Mc Ternan dkk. (2003) menunjukkan
adanya efek resistin pada pengambilan glukosa in vitro.
2.2.4 Peran resistin dalam inflamasi
Resistin di sirkulasi berasal dari leukosit mononuclear dan sel-sel sumsum
tulang sehingga resistin juga turut berperan dalam kaskade inflamasi,
mengaktivasi sel-sel endotel vaskular, ekspresi molekul adhesi dan MCP (Verma
dkk., 2003 ; Bokarewa dkk., 2005). Resistin juga menstimulasi proliferasi sel otot
polos, angiogenesis serta akumulasi kolesterol dan trigliserida pada makrofag
yang menunjukkan resistin berperan dalam aterosklerosis. Ekspresi resistin juga
telah diidentifikasi pada plak aterosklerotik manusia, dimana hal ini didukung
oleh fakta bahwa kadar resistin di sirkulasi meningkat pada pasien dengan pasien
arteri koronaria dan merupakan suatu petanda inflamasi dari aterosklerosis pada
manusia (Calabro dkk., 2004; Reilly dkk., 2005).
Resistin pada manusia terutama diekspresikan oleh sel-sel inflamasi, di
dapatkan kadar yang tinggi pada monosit di sirkulasi darah dan ekspresi resistin
pada monosit meningkat dengan terapi pemberian endotoksin dan sitokin
proinflamasi, resistin juga diekspresikan di makrofag dan mungkin merupakan
sebuah mata rantai baru yang menghubungkan inflamasi dan resistin insulin
(Pischon dkk., 2005).
Beberapa agen proinflamasi seperti lipopolysccharide (LPS). TNF-α dan
ILL-6 dapat meregulasi ekspresi gen resistin. Peran resistin sebagai faktor
inflamasi ditunjukkan dengan adanya peningkatan regulasi ekspresi resistin di
jaringan adiposa tikus putih ( Banerjee dan Lazar, 2001; Pang dan Le, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Bokarewa dkk. (2005) menunjukkan bahwa
resistin meregulasi ekspresi sitokin proinflamasi. Resistin meningkatkan regulasi
TNF-α, IL-6 pada manusia melalui jalur Nuclear factor kappa B (NF-κB).
Penambahan rekombinan protein resistin manusia pada makrofag baik dari tikus
maupun manusia, menghasilkan peningkatan sekresi sitokin proinflamasi, TNF-α
dan IL-12, Lehkre dkk. (2004), melaporkan resistin juga menginduksi ekpresi gen
makrofag manusia melalui jalur yang melibatkan sekresi sitokin inflamasi.
Bukti lain yang menghubungkan resistin dengan inflamasi adalah
ditemukannya hubungan kadar plasma resistin dengan banyak penanda inflamasi
pada kondisi patofisiologis. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh kunnari
menemukan pasien dengan tanda klinis inflamasi berat memperlihatkan
konsentrasi resistin lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan individu
sehat atau subyek dengan diabetes tipe 2 (Kunnari dkk., 2006). Pasien dengan
inflamasi berat ditemukan korelasi positif yang signifikan antara resistin dengan
petanda inflamasi ( Pang dan Le, 2006). IL-6 dan ICAM-1 juga berhubungan
signifikan dengan resistin pada pasien dengan obstructive sleep apnea syndrome,
Reilly dkk. (2005), menunjukkan adanya hubungan positif antara kadar resistin
dengan kadar petanda inflamasi, termasuk soluble TNF-α reseptor2 (sTNFα-R2),
IL-6 dan lipoprotein associated phospolipase A2 (LpPLA2) pada pasien
aterosklerosis.
Penanda inflamasi secara independen berhubungan dengan kadar resistin
di sirkulasi pada pasien dengan penyakit ginjal kronik (Diez dkk., 2005). Shetty
dkk. (2004), melaporkan CRP, suatu petanda inflamasi berkorelasi positif dengan
kadar resistin pada pasien diabetes dan pasien yang berisiko menderita diabetes.
Al Daghri dkk. (2005), juga melaporkan serum resistin dengan CRP dan
kolesterol LDL pada pasien diabetes tipe 2 dan PJK.
2.2.5 Hubungan antara resistin dan PJK
Proses inflamasi saat ini telah dihubungkan dengan patogenesis
aterosklerosis, beberapa penelitian menunjukkan bahwa resistin merupakan faktor
risiko kardiovaskular dan kontributor potensial dalam disregulasi endotel dan
pembentukan lesi aterosklerosis. Resistin memacu stadium inisiasi atau
mempertahankan proses aterosklerosis dengan mengaktivasi sel-sel endotelial
pembuluh darah. Verma menunjukkan bahwa resistin meningkatkan aktivitas sel
endotel dengan memicu pelepasan dan menginduksi aktivitas promotor ET-1.
Resistin juga meningkatkan regulasi VCAM-1 dan MCP-1, proses kunci pada
pembentukan lesi awal aterosklerosis (Lau dkk., 2005, Verma dkk., 2003),
produksi MCP-1 diinduksi oleh signal ligan CD40 13. Resistin juga menurunkan
tumor necrosis factor receptor-associated factor (TRAF-3) yaitu inhibitor signal
ligand CD40 (Verma dkk., 2003).
Observasi yang dilakukan oleh Kawanami dkk. (2004), juga menunjukkan
resistin dapat menginduksi VCAM-1, ICAM-1 dan log pentraxin 3 (PTX3), suatu
petanda inflamasi di sel endotel pembuluh darah. PTX3 sebagai molekul adhesi
dapat mewakili lesi inisial aterosklerosis dan ekspresi PTX3 meningkat pada lesi
aterosklerosis, resistin mungkin menggunakan efek proinflamasi pada sel endotel
vaskular, menyebabkan onset aterosklerosis, selain sel-sel endotel, resistin juga
menginduksi proliferasi sel otot polos aorta manusia melalui jalur extracellular
signal-regulated kinase (EKK1/2) dan phosphatidylinositol-kinase (akt) yang
menunjukkan bahwa resistin meningkatkan migrasi sel otot polos ke vaskular dan
merupakan komponen sintesis plaque ateromatosa (Calabro dkk., 2004; Burnett
dkk., 2005; Jung dkk., 2006). Resistin secara signifikan meningkatkan ekspresi
mRNA vascular endhotelial growth factor receptor (VEGFR-1 dan VEGFR-2)
dan MMP-2 pada tingkat mRNA dan protein ( Kusminski dkk., 2005).
Penelitian yang dilakukan Burnett dkk. (2005), menemukan adanya
protein resistin pada lesi aterosklerotik baik pada tikus maupun manusia dan kadar
mRNA resistin meningkat secara progresif pada aorta mencit dengan
aterosklerosis. Jung dkk. (2006), menemukan bahwa resistin disekresi oleh
monosit/makrofag yang menginfiltrasi dinding arteri, menginduksi disfungsi
endotel dan migrasi sel otot polos in vitro. Hal ini menunjukkan bahwa resistin
mungkin merupakan faktor monosit/makrofag yang berhubungan dengan
aterosklerosis.
Reilly dkk. (2005), melaporkan pada pasien diabetes dan tidak diabetes,
kadar plasma resistin berhubungan dengan petanda metabolik dan inflamasi,
termasuk sTNF-R2, IL-6 dan LpPLA2. Resistin juga berhubungan dengan
peningkatan kalsifikasi arteri koroner (coronary artery calcification = CAC) suatu
pengukuran kuantatif aterosklerosis koroner. Data ini penting menunjukkan peran
resistin dalam perkembangan aterosklerosis walaupun mekanisme nya belum
jelas. Pada pasien dengan sindrom metabolik kadar resistin sebagai mata rantai
terjadinya inflamasi dan aterosklerosis dan dapat memprediksi CAC sedangkan
CRP tidak. Burnett dkk. (2005), mendukung bahwa resistin merupakan molekul
efektor yang tidak hanya berperan aterosklerosis saja tetapi juga dalam interaksi
antara sindrom metabolik dan penyakit kardiovaskular.
Gambar 2.7 Skema tentang mekanisme potensial dimana resistin dapat
memediasi disfungsi kardiovaskular ( Jamaluddin dkk., 2011)
Dari gambar 2.7, peran resistin dalam terjadinya aterosklerosis
diperlihatkan melewati beberapa jalur, yaitu menginduksi nuclear factor kappa
beta (NF-kB), phosphatylinositol 3 kinase (PI3K), mitogen activated protein
kinase (MAPK) dan reactive oksigen species (ROS). Komponen-komponen
tersebut akan menyebab disfungsi endotel yang merupakan proses awal terjadinya
aterosklerosis. Dari hasil-hasil penelitian tersebut diatas, mengarahkan bahwa
resistin dapat menjadi petanda aterosklerosis independen pada manusia
(Kusminski dkk., 2005).
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN
HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Sindroma koroner akut merupakan salah satu penyakit jantung yang
disebabkan oleh proses aterosklerosis dan selalu dikaitkan dengan vulnerable
atheromatous plaques / plak ateromatus tak stabil, yang cenderung terjadi fisura /
erosi pada endotel vaskular. Terdapat berbagai faktor risiko konvensional yang
telah terbukti seperti; dislipidemia, DM, hipertensi, merokok, obesitas (faktor
risiko konvensional yang dapat dikoreksi), usia lanjut (faktor risiko konvensional
yang tidak dapat dikoreksi). Pada dekade terakhir kemajuan di dalam pengelolaan
faktor risiko konvensional tersebut berkembang demikian majunya, namun angka
kematian penyakit kardiovaskular tetap tinggi.
Inflamasi berperan penting dalam perkembangan dan progresifitas
penyakit jantung koroner dan manifestasi lain dari aterosklerosis. Kenyataan yang
mendukung, dari hasil pemeriksaan histopatologis pada lesi aterosklerotik
didapatkan serbukan sel-sel inflamasi terutama makrofag dan limfosit T dengan
berbagai sekresinya (sitokin proinflamasi maupun antiinflamasi).
Untuk mendeteksi adanya inflamasi pemeriksaan yang sering digunakan
adalah laju endap protein (LED) dan C- reactive protein (CRP). Resistin
merupakan suatu adipokin baru yang kadarnya meningkat pada inflamasi dan
kelainan metabolik, dan diduga resistin sebagai faktor resiko independen untuk
penyakit kardiovaskular. Resistin merupakan salah satu sitokin yang pro inflamasi
dan resistin berperan dalam proses aterosklerosis dengan cara meningkatkan
aktivitas sel endotel dengan memicu pelepasan ET-1, menginduksi aktivitas
promotor ET-1, menginduksi VCAM-1, ICAM-1, PTX-3, serta mengaktifkan
MCP-1 yang semuanya merupakan proses kunci disfungsi endotel dan merupakan
proses awal dari aterosklerosis. Secara signifikan resistin meningkatkan ekspresi
mRNA vascular endhotelial growth factor receptor (VEGFR -1 dan 2 ; MMP 1
dan 2) serta meningkatkan migrasi sel otot polos vaskular yang merupakan
komponen sintesis plaque ateromatosa. Resistin berperan dalam mengaktifkan
NF-kB sehingga akan meningkatkan regulasi IL-6 dan TNF-α serta proliferasi
dari vascular smooth muscle cell (VSMC) yang berkontribusi menyebabkan
aterosklerosis. Resistin juga berperan memacu stadium inisiasi atau
mempertahankan proses aterosklerosis dengan mengaktivasi sel-sel endotelial
pembuluh darah. Aterosklerosis adalah penyebab dari SKA dan apabila proses
inflamasi terus berlangsung akan berdampak KKV.
3.2 Kerangka Konsep
Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat kerangka konsep penelitian
sebagai berikut :
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian
Kadar resistin yang tinggi merupakan faktor risiko kejadian
kardiovaskular pada penderita sindroma koroner akut.
Resistin
Kejadian KV
- Kematian vaskuler
- IMA
- Stroke
- Reccurent cardiac ischemia
Keterangan :
faktor risiko yang diteliti
faktor risiko yang mapan
Faktor risiko konvensional
- DM
- Dislipidemia
- Hipertensi
- Merokok
- Obesitas
- Umur
SKA
- APTS
- NSTEMI
- STEMI
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kohort untuk membuktikan / re-evaluasi
aktivitas anti inflamasi yaitu kadar resistin yang lebih tinggi atau sama dengan
median merupakan risiko Kejadian KV yang lebih tinggi pada penderita SKA.
Penderita SKA dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu : kelompok penderita
SKA dengan faktor risiko yang positif (kadar resistin yang lebih tinggi atau sama
dengan median) dan kelompok penderita SKA tanpa faktor risiko (kadar resistin
yang rendah).
Skema rancangan penelitian sebagai berikut :
Gambar 4.1 Rancangan penelitian
Penderita SKA
Faktor risiko (+) - Kadar Resistin tinggi ( ≥ median)
Kejadian
Kardiovaskular (+)
Kejadian
Kardiovaskular (-)
Kejadian
Kardiovaskular (-)
Faktor risiko (-) - Kadar Resistin rendah ( < median)
- Rasio kadar IL-6 /IL-10
plasma yg rendah
-
Kejadian Kardiovaskular (+)
6 bl
6 bl
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi Penelitian
4.2.1.1 Populasi Target
Semua penderita SKA.
4.2.1.2 Populasi Terjangkau
Semua penderita SKA yang di rawat di Unit Gawat Darurat dan Unit
Perawatan Intensif Jantung RSUP Sanglah Denpasar.
4.2.1.3 Sampel
Sampel yang dipilih dari populasi terjangkau, setelah memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi (intended sample) dan subyek yang benar-benar
diteliti (actual study subjects) adalah sampel yang benar-benar bersedia
ikut serta dalam penelitian.
4.2.2 Penentuan Sampel
Sampel ditentukan secara consecutive yaitu :
dengan memakai semua penderita SKA yang memenuhi kriteria sebagai
sampel hingga mencapai jumlah yang direncanakan.
4.2.2.1 Kriteria Inklusi
Semua penderita SKA berusia 25-80 tahun yang dirawat di Unit Gawat
Darurat dan Unit Perawatan Intensif Jantung RSUP Sanglah Denpasar.
Penderita bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani
informed consent.
4.2.2.2 Kriteria Eksklusi
Penderita dengan :
a. Penyakit katup jantung.
b.Gagal jantung kongestif.
c. Penyakit hati akut maupun kronik.
d.Penyakit ginjal kronik (klirens kreatinin dengan formula Cockroft
Gault < 60 ml/1,73 m2/menit).
e. Infeksi akut atau kronis.
f. Sepsis.
g.Keganasan.
h.Mendapat obat kortikosteroid atau obat anti inflamasi non steroid atau
obat imunosupresif lebih dari 1 minggu.
4.2.2.3 Jumlah Sampel
Perkiraan jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus berikut :
(Sastroasmoro, 2008)
Risiko relatif minimal diperkirakan = 1,5 (dianggap bermakna)
P2 (Proporsi Resistin pada populasi tanpa faktor risiko pada kepustakaan)
: 0,60
P1 = P2 x RR = 0,9; P = ½ (P1+P2) = 0,75
Q1 = 1 – P1 = 0,1; Q2 = 1 – P2 = 0,4; Q = ½(Q1+Q2) = 0,25
n1 = n2 = 32 ;
= 32 + 5 % = 33; jumlah sampel (n) = n1 + n2 = 68
4.3 Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah merupakan karakteristik sampel penelitian yang
diukur baik secara numerik atau kategorikal (Sastroasmoro dan Ismail, 2008).
Variabel tersebut ditentukan sesuai rancangan penelitian yang direncanakan.
Variabel tersebut sebagai berikut :
4.3.1 Variabel bebas adalah : kadar resistin.
4.3.2 Variabel tergantung adalah : kejadian kardiovaskular (KKV)
4.3.3 Variabel kendali adalah : umur, dislipidemia, hipertensi, merokok, DM,
obesitas.
4.3.4 Hubungan antara variabel :
Gambar 4.2 Hubungan antar variabel
4.4 Definisi operasional variabel penelitian
1. Sindrom Koroner Akut (SKA), manifestasi klinis dapat berupa ; APTS,
Infark Miokard (NSTEMI dan STEMI.). Diagnosis ditegakkan berdasarkan
Variabel bebas
Kadar Resistin Variabel Tergantung
Kejadian KV (komposit)
- Kematian vaskular
- IMA
- Stroke
- Reccurent cardiac ischemia
Variabel Kendali
Faktor risiko tradisional
- DM - Merokok
- Dislipidemia - Umur
- Hipertensi - Obesitas
kriteria American Heart Association (AHA), American College of Cardiology
(ACC), 2007 :
a. Angina Pektoris Tak Stabil (APTS); Specific chest pain dengan / tanpa
perubahan segmen ST (depresi segmen ST) pada EKG, dengan kadar
enzim jantung (Troponin T dan CK-MB mass) masih dalam batas normal
pada saat masuk rumah sakit.
b. Non ST Elevasi Miokard Infark (NSTEMI); specific chest pain > 20
menit, tanpa peningkatan segmen ST pada EKG, dengan peningkatan > 2
kali normal kadar enzim jantung (Troponin T dan CK-MB mass) pada saat
masuk rumah sakit.
c. ST elevasi Miokard Infark (STEMI); Specific chest pain > 20 menit,
dengan peningkatan segmen ST dan peningkatan > 2 kali normal kadar
enzim jantung (Troponin T dan CK-MB mass) pada saat masuk rumah
sakit.
Diagosis SKA didapatkan dari data rekaman medis penderita SKA yang
termasuk kedalam populasi terjangkau.
2. Efek utama yang dievaluasi adalah Kejadian KV (Kejadian
Kardiovaskular) seperti salah satu atau kombinasi dari kondisi berikut /
komposit (PLATO study, 2006) :
a. Kematian karena penyebab vaskular / vascular death adalah kematian
kardiovaskular, kematian serebrovaskular, dan setiap kematian yang tidak
jelas penyebab non-vaskularnya (The primary composite endpoint) selama
observasi.
b. Infark miokard akut (ACC/AHA, 2007)
- Nyeri dada spesifik lebih dari 20 menit
- Gambaran EKG :
• NSTEMI : depresi segmen ST, inversi gelombang T , tidak
ada gelombang Q.
• STEMI : elevasi segmen ST, inversi gelombang T, ada
gelombang Q.
- Petanda biokimia : kenaikan nilai enzim troponin T dan CKMB mass
menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark miokard).
c. Stroke
adalah terjadinya defisit neurologis yang disebabkan oleh iskemik susunan
saraf pusat dengan gejala sisa / residual symptoms minimal 24 jam
setelah serangan atau meninggal.
d. Recurrent cardiac ischemia
adalah specific chest pain yang timbul >10 menit pada saat istirahat.
Data KKV tesebut diatas didapatkan peneliti dengan observasi selama
enam bulan pada penderita SKA atau keluarganya melalui kunjungan
rumah atau lewat telepon dan melalui rekaman medis penderita SKA yang
termasuk dalam populasi terjangkau yang mengalami KKV.
3. Resistin: kadar resistin dalam plasma yang diperiksa setelah masuk rumah
sakit dan diukur dengan teknik ELISA yang dikerjakan di Laboratorium klinik
Bagian Patologi Klinik RSUP Sanglah, Denpasar. Karena nilai cut off point
resistin belum ada, maka digunakan nilai median. Kadar < nilai median
diasumsikan kadar resistin rendah, kadar ≥ median diasumsikan kadar resistin
tinggi.
4. Troponin T: kadar troponin T dalam plasma yang diperiksa pada waktu
pasien masuk rumah sakit dan diukur dengan teknik immunochromotography
dari sampel darah. Nilai normal troponin T < 0,1 ng/dl. Pada penelitian ini,
peneliti memperoleh data nilai troponin dari rekam medis pasien SKA yang
termasuk dalam populasi terjangkau.
5. Dislipidemia ; kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan
maupun penurunan lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid antara lain :
kenaikan kadar kolesterol LDL, kolesterol total, trigliserida dan penurunan
kadar kolesterol HDL sesuai kriteria ATP III (NECP, 2002) :
a. Hiperkolesterol LDL, bila kadar kolesterol LDL > 100 mg/dl dan / atau
b. Hiperkolesterolemia, bila kadar kolesterol total > 200 mg/dl dan / atau
c. Hipokolesterolemia, bila kadar kolesterol HDL <40 mg/dl dan / atau
d. Hipertrigliseridemia, bila kadar trigliserida >150 mg/dl.
Pada penelitian ini, pasien didiagnosis hiperlipidemia bila memenuhi salah
satu dari kriteria di atas dan peneliti memperoleh data nilai profil lipid dari
rekam medis pasien SKA yang termasuk dalam populasi terjangkau.
6. Hipertensi (HT) adalah penderita dengan tekanan darah, berdasarkan
klasifikasi JNC VII (Seventh Joint National Committee Clasification) atau
penderita dengan riwayat HT dan sedang mengkonsumsi obat antihipertensi
yang diperiksa pada saat masuk rumah sakit (Chobanian dkk., 2003).
Tabel 4.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII
Kategori Tekanan sistolik
(mmHg)
Tekanan diastolik
(mmHg)
Normal < 120 < 80
Pre hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi
Stage 1 140-159 90-99
Stage 2 160 100
Pada penelitian ini, data nilai tekanan darah didapatkan dari data rekaman
medis pada penderita SKA yang termasuk dalam populasi terjangkau.
7. Diabetes Mellitus (DM) : didiagnosis berdasarkan kriteria ADA 2010 :
bila kadar gula darah puasa > 126 mg/dl (puasa: tidak ada asupan kalori
minimal 8 jam), atau gula darah sewaktu > 200 mg/dl atau gula darah 2 jam
sesudah beban glukosa 75 gram pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) > 200
mg/dl, sedang menjalani pengobatan DM (ADA, 2010). Pada penelitian ini,
peneliti memperoleh data nilai gula darah dari rekam medis pasien SKA yang
termasuk dalam populasi terjangkau.
8. Merokok : ditentukan berdasarkan anamnesis dari penderita SKA yang
termasuk dalam populasi terjangkau. Status perokok ditentukan bila merokok
paling sedikit satu batang perhari selama lebih dari 1 bulan terakhir atau
berhenti merokok kurang dari 3 bulan. Kriteria merokok sebagi berikut (Wita,
1992) :
a. Perokok ringan : merokok 1-9 batang per hari.
b. Perokok sedang : merokok 10-19 batang per hari.
c. Perokok berat : merokok 20 batang per hari atau lebih.
d. Bekas perokok : berhenti merokok lebih dari 3 bulan.
9. Obesitas : adalah indeks massa tubuh (IMT) > 25 kg/m2 (Chan dan Woo,
2010).
BB (Kg)
IMT =
TB2 (m)
Tabel 4.2 Klasifikasi dari overweight dan obeisitas pada dewasa berdasarkan
IMT Klasifikasi IMT Risiko dari komorbiditas
Underweight <18.5 Low
Normal 18.5−24.9 Average
Overweight 25.0−29.9 Increased
Obese class I 30.0−34.9 Moderate
Obese class II 35.0−39.9 Severe
Obese class III >40 Very severe
Data IMT didapatkan peneliti dari pengukuran berat badan dan tinggi badan
penderita SKA yang termasuk dalam populasi terjangkau.
14. Umur : umur ditentukan berdasarkan tanggal lahir berdasarkan KTP sampai
dengan saat masuk RS dengan satuan tahun (dibulatkan pada tahun terdekat),
data tersebut didapatkan dari rekam medis penderita SKA yang termasuk ke
dalam populasi terjangkau.
Keterangan :
IMT = Indeks Massa Tubuh
BB = berat badan
TB = tinggi badan
15. Penyakit katup jantung : adanya gejala dan tanda yang didapatkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (foto
thorax, EKG, Echocardiography). Data tersebut didapatkan dari rekaman
medis penderita SKA yang termasuk kedalam populasi terjangkau.
16. Gagal jantung kongestif : adanya gejala dan tanda yang didapatkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (foto
thorax, EKG, Echocardiography). Data tersebut didapatkan dari rekaman
medis penderita SKA yang termasuk kedalam populasi terjangkau.
17. Penyakit hati akut maupun kronik : adanya gejala dan tanda yang
didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang (mengukur SGPT, SGOT yaitu ada kelainan bila harga lebih besar
2 kali harga normal). Data tersebut didapatkan dari rekaman medis penderita
SKA yang termasuk kedalam populasi terjangkau.
18. Penyakit ginjal kronik : ditentukan dengan menggunakan tes klirens
kreatinin dengan rumus Crokroft-Gault (K/DOQI, 2002):
Clearance creatinine (ml/mnt) = (140-umur) x berat badan (Kg)
72 x serum kreatinin (mg / dl)
(x 0,85 untuk wanita)
Normal clearance creatinine ≥ 90 ml/menit. Data tersebut didapatkan dari
rekaman medis penderita SKA yang termasuk kedalam populasi terjangkau.
19. Infeksi akut atau kronik :
• Penderita dengan infeksi akut : adanya gejala dan tanda infeksi akut
yang dapat diketahui dari klinis dan pemeriksaan fisik, serta adanya sel
darah putih yang meningkat.
• Penderita dengan infeksi kronik; adanya gejala dan tanda infeksi yang
berlangsung pelan dalam jangka waktu yang lama yang ditentukan dari
pemeriksaan fisik dan penunjang dan lainnya sesuai dengan organ yang
terinfeksi.
Data tersebut didapatkan dari rekaman medis penderita SKA yang termasuk
kedalam populasi terjangkau.
20. Sepsis : penderita yang memenuhi kriteria SIRS (Systemic Imflammatory
Response Syndrome) dengan sumber infeksi yang jelas. Kriteria terpenuhi bila
didapatkan 2 atau lebih kriteria tersebut (Balk dan Casey, 2000) :
a. Demam (temperatur > 38o C) atau hipotermi (temperatur < 36
o C).
b. Takipnea (frekuensi nafas > 24 kali / menit).
c. Takikardia (denyut jantung > 90 x / menit).
d. Leukositosis (hitung sel darah putih > 12.000 / uL).
e. Leukopenia (hitung sel darah putih < 4.000 / uL).
Data tersebut didapatkan dari rekaman medis penderita SKA yang termasuk
kedalam populasi terjangkau.
21. Keganasan : penderita yang diketahui menderita keganasan yang dapat
diketahui dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang.
Data tersebut didapatkan dari rekaman medis penderita SKA yang termasuk
kedalam populasi terjangkau.
22. Kortikosteroid : pernah atau sedang menggunakan obat-obatan
kortikosteroid selama 2 minggu / lebih, yang diketahui dengan anamnesis.
Data tersebut didapatkan dari rekaman medis penderita SKA yang termasuk
kedalam populasi terjangkau.
4.5 Instrumen Penelitian dan Metode Pemeriksaan
4.5.1 Instrumen penelitian
Instrumen untuk alat-alat tulis yaitu meja tulis, formulir penelitian,
komputer, kertas dan alat tulis serta perlengkapan lainnya.
4.5.2 Metode pemeriksaan
a. Data penderita dikumpulkan dari catatan medik, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorik dan wawancara menggunakan kuesioner yang telah
disiapkan.
b. Penderita yang didiagnosis oleh dokter spesialis jantung dan pembuluh darah
menderita penyakit jantung koroner akut (UAP,NSTEMI dan STEMI)
dilakukan wawancara, pengisian kuisioner, pemeriksaan fisik dan
pengambilan darah.
c. Darah diambil dari vena mediana cubiti sebanyak 4 cc dan dimasukkan ke
dalam tabung dengan antikoagulan heparin, kemudian disentrifugasi dengan
kecepatan 3000 rpm selama 15 menit, plasma yang diperoleh dipisahkan
kemudian disimpan dalam suhu beku (-200C).
d. Sampel darah yang didapat diperiksa kadar resistin dengan tehnik ELISA
dengan satuan ukuran ng/ml.
4.6 Prosedur Penelitian
1. Setiap penderita SKA usia 25-80 tahun, yang masuk rumah sakit umum
pusat Sanglah Denpasar, baik yang dirawat di Unit Gawat Darurat dan
Unit Pelayanan Intensif Jantung (UPIJ) Bagian/SMF Kardiologi FK Unud-
RSUP Sanglah Denpasar diberikan penjelasan bahwa di tempat ini sedang
dilakukan penelitian tentang Kejadian KV pada penderita SKA.
2. Penjelasan diberikan secara rinci tentang latar belakang, tujuan penelitian,
keuntungan maupun kerugian bagi subyek penelitian yang bersedia
mengikuti penelitian. Demikian juga mengenai perlindungan pasien yang
bersedia ikut, prosedur dan lama penelitian serta tidak dikenakan biaya.
Subyek yang bersedia ikut dalam penelitian ini diminta untuk
menandatangani informed consent. Penderita diberikan penanganan medis
sesuai dengan tatalaksana medis baku SKA (ACC/AHA, 2007), kemudian
diambil darah untuk pemeriksaan rutin kadar ureum, kreatinin, lipid profil,
gula darah puasa, 2 jam PP, Gula darah acak,troponin T sesuai dengan
prosedur tetap penanganan SKA di bagian/SMF kardiologi dan kedokteran
vaskular RSUP Sanglah dan pengambilan darah untuk pemeriksaan
resistin.
3. Selanjutnya dihitung median dari variabel bebas (resisitin) sehingga
didapatkan 2 kelompok yaitu : kadar rendah apabila lebih kecil dari
median, kadar tinggi apabila lebih besar atau sama dengan nilai median.
Kelompok I : kadar resistin plasma yang tinggi atau sama dengan median
(≥ median) dan kelompok II : kadar resistin yang rendah (< median).
Pengamatan penderita selama dalam perawatan di UPIJ / di rumah sakit
dengan kunjungan langsung, berkoordinasi dengan dokter yang merawat /
tim medis lainnya. Pengamatan setelah KRS / di rumah sampai 6 bulan.
melalui telepon / kunjungan rumah jika diperlukan, berkoordinasi dengan
keluarga, dokter keluarga, dokter yang merawat sebelumnya terkait
kondisi penderita pada saat itu.
4. Dalam pengamatan hingga 6 bulan akan didapatkan penderita SKA yang
mengalami KKV dan penderita SKA yang tidak mengalami KKV,
kemudian dilakukan analisis.
5. Sebelum penelitian ini dijalankan terlebih dahulu harus mendapatkan
persetujuan dari Komisi Etika Unit Penelitian dan Pengembangan
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana – Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Denpasar dan mendapatkan Surat Keterangan Kelaikan Etika.
6. Alur penelitian sesuai skema berikut :
4.7 Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di UGD dan UPIJ Bag/SMF Kardiologi FK Unud-
RSUP Sanglah Denpasar. Pemeriksaan spesimen resistin dilakukan di
laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah Denpasar. Dengan menggunakan
protokol penelitian, penelitian diperkirakan memerlukan waktu sekitar 12 bulan
untuk mencapai jumlah sampel, pemeriksaan, analisis dan penulisan.
Pengamatan 6 bulan Pengamatan 6 bulan
Kejadian
Kardiovaskular (-)
Kejadian
Kardiovaskular
(+)
Kejadian
Kardiovaskular (-)
Kejadian
Kardiovaskular
(+)
Analisis Statistik
Kesimpulan
SKA dengan faktor risiko (+) : - Kadar Resistin tinggi (≥ median)
SKA dengan faktor risiko (-): - Kadar Resistin rendah (< median)
Dihitung median dari
variabel bebas
Populasi terjangkau
Kriteria inklusi dan eksklusi
Sampel (Consecutive)
Informed concent
4.8 Analisa Statistik
1. Statistik deskriptif, menggambarkan karakteritik umum, dan distribusi
frekuensi berbagai variabel antar kelompok.
2. Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, digunakan untuk menguji apakah
data penelitian berdistribusi normal / tidak.
3. Uji homogenitas varians dari Levene’s untuk menganalisis varians variabel
antar kelompok tersebut homogen / tidak.
4. Uji non parametrik untuk menentukan nilai median dan interquartil
5. Analisis bivariat : Tabel 2x2 (diuji dengan Chi Square untuk menilai
hubungan variabel bebas dengan KKV) dan kurva survival Kapplan-Meier
dgn log rank test digunakan untuk menggambarkan kelompok dengan
faktor prognostik (kadar resistin plasma) di atas dan di bawah nilai median
terhadap Kejadian KV dan waktu pemantauan.
6. Analisis Multivariat : Cox proportional model digunakan untuk menilai
Relative Risk (RR) kadar resistin yang tinggi terhadap tingginya KKV,
dengan mengendalikan faktor perancu seperti dislipidemia, hipertensi,
DM, obesitas, merokok dan umur. Taksiran RR yang disajikan dalam
bentuk interval keyakinan 95 % dengan metode stepwise.
7. Analisis statistik menggunakan nilai p<0,05 sebagai batas kemaknaan
dengan memakai perangkat lunak statistik SPSS.
4.9 Uji Hipotesis
Uji hipotesis statistik : prosedur statistik untuk menguji hipotesis sebagai
berikut : hipotesis nol statistik (Ho) yaitu hipotesis yang menunjukkan tidak ada
perbedaan risiko relatif tingginya kadar resistin dengan tingginya Kejadian KV
serta tidak ada hubungan antara kadar resistin plasma dalam populasi yang
diwakili sampel. Hipotesis alternatif disimpulkan bila Ho ditolak setelah
dilakukan uji hipotesis statistik.
Hipotesis; menggunakan Cox proportional model
Ho : RR = 1
H1 : RR > 1
4.10 Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini dilakukan di UGD dan UPIJ Bag./ SMF Kardiologi FK
Unud-RSUP Sanglah Denpasar, dengan merekrut penderita secara
consecutive (non-probability sampling) bukan secara random, dengan
demikian keterwakilan populasi oleh sampel tidak sebaik bila dilakukan
probability sampling.
2. Penderita masuk Rumah Sakit waktunya tidak sama.
BAB V
HASIL PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini adalah pasien-pasien SKA yaitu APTS,
NSTEMI dan STEMI yang memenuhi kriteria inklusi. Sebanyak enam puluh
delapan orang sampel yang diikutkan dan diamati sampai terjadi KKV atau
selama periode enam bulan (180 hari). Variabel yang dianalisis dalam penelitian
ini adalah rasio kadar resistin sebagai variabel bebas yang merupakan faktor risiko
KKV. Setelah diamati selama enam bulan didapatkan 14 ( 20,6%) pasien yang
mengalami KKV, semua datanya lengkap dan dapat dianalisis.
5.1 Karakteristik Data
Statistik deskriptif yang menggambarkan persentase kejadian
berdasarkan karakteristik subjek disajikan pada tabel berikut ini (tabel 5.1).
Tabel 5.1
Kejadian Kardiovaskular berdasarkan Karakteristik Subjek
Karakteristik KKV
%
Tanpa KKV
%
Laki-laki 21,8% 78,2%
Perempuan 15,4% 84,6%
Dislipidemia 16,7% 83,3%
Tidak dislipidemia 50% 50%
Obesitas 24,3% 75,7%
Tidak obesitas 16,1% 83,9%
Merokok 17,6% 82,4%
Tidak merokok 23,6% 76,4%
Hipertensi 28,9% 71,1%
Tidak hipertensi 10% 90%
DM 36,4% 63,6%
Tidak DM 17,5% 82,5%
Untuk DM, hipertensi dan obesitas persentase KKV lebih tinggi pada
kelompok dengan faktor risiko dibandingkan yang tanpa faktor risiko, sebaliknya
untuk dislipidemia dan merokok persentase KKV lebih tinggi pada kelompok
tanpa faktor risiko dibandingkan dengan risiko (tabel 5.1).
Tabel 5.2
Karakteristik Demografik, Faktor Risiko Konvensional, dan Penanda Inflamasi
Karakteristik Total
(Mean ± SD)
KKv
(Mean ± SD)
Tanpa KKv
(Mean ± SD)
Umur (tahun) 56,96 ± 10,82 58,79 ± 11,71 56,48 ± 10,64 Jenis kelamin
Laki
Perempuan
55 (80,9%)
13 (19,1%)
12 (85,7%)
2 (14,3%)
43 (79,6%)
11 (20,4) Kolesterol Total ( mg/dL) 196,61 ± 49,46 192,89 ± 59,56 197,58 ± 47,03
Kolesterol HDL (mg/dL) 39,50 ± 10,03 39,18 ± 9,25 39,58 ± 10,31
Kolesterol LDL (mg/dL) 130,41 ± 46,08 127,92 ± 61,59 131.05 ± 41,74
Trigliserida (mg/dL) 142,45 ± 83,79 155,64 ± 65,39 139,03 ± 88,142
Dislipidemia Ya
Tidak
60 (88,2%)
8 (11,8%)
10 (71.4%)
4 (28,6%)
50 (92,6%)
4 (7,4%) Obesitas
Obesitas
Tidak Obesitas
37 (54,4%)
31 (45,6%)
9 (64,3%)
5 (35,7%)
28 (51,9%)
26 (48,1%) Sistole (mmHg) 117,68 ± 25,66 113,57 ± 29,84 118,74 ± 24,67
Diastole (mmHg) 74,81 ± 14,72 74,28 ± 13,95 76,86 ± 17,80
BSN (mg/dL) 102,95 ± 26,97 115,88 ± 30,34 99,60 ± 25,26
BS 2jpp (mg/dL) 123,22 ± 40,07 140,26 ± 56,91 118,80 ± 37,73
Merokok
Merokok Tidak merokok
34 (50%) 34 (50%)
6 (42,9%) 8 (57,1%)
28 (51,9%) 26 (48,1%)
Resistin 2,59 ± 1,48 3,74 ± 1,91 2,29 ± 1,15
Hipertensi Ya Tidak
38 (55,9%) 30 (44,1%)
11 (78,6%) 3 (21,4%)
27 (50,0) 27 (50,0)
Diabetes Ya Tidak
11 (16,2%) 57 (83,8%)
4 (28,6%) 10 (71,4%)
7 (13,0%) 47 (87,0%)
Statistik deskriptif yang menggambarkan ukuran nilai tengah dan
karakteristik data demografik, faktor risiko konvensional dan penanda inflamasi
terdapat pada tabel 5.2. Rerata umur subjek adalah 56,96 (± 10,82) tahun, rerata
kadar resistin 2,59 (±1,48) ng/ml.
5.2 Gambaran Klinis Penderita SKA dan KKV
Terdapat total enam puluh delapan penderita SKA (APTS, NSTEMI dan
STEMI) yang diikutkan dalam penelitian ini dan diamati selama periode enam
bulan (table 5.3).
Tabel 5.3
Gambaran Klinis SKA
Gambaran klinis SKA Total
APTS 12 (17,6%)
NSTEMI 11 (16,2%)
STEMI 45 (66,2%)
Dari total enam puluh delapan penderita SKA, didapatkan 14 (20,6%)
orang mengalami KKV dan 54 (79,4%) orang tanpa KKV (tabel 5.4).
Tabel 5.4
Gambaran Klinis SKA dengan KKV dan tanpa KKV
Gambaran klinis SKA KKV (%) Tidak KKV (%)
APTS 1 (1,5 %) 11 (16,2)
NSTEMI 0 (0%) 11 (16,2%)
STEMI 13 (19,1%) 32 (47,0%)
TOTAL 14 (20,6%) 54 (79,4%)
Dari 14 orang yang mengalami KKV, 1 pasien menderita APTS dan 13
pasien menderita STEMI. Terdapat tiga jenis KKV pada penelitian ini, yang
terbanyak adalah kematian vaskular (tabel 5.5)
Tabel 5.5
Gambaran Klinis SKA dan persentase KKV
Gambaran klinis SKA
KKV
Keterangan
APTS 1 Reccurent Cardiac Ischemia : 1 (7,1%)
NSTEMI 0 Tidak ada KKV : 0 (0%)
STEMI 13 1. IMA : 3 orang
(21,4%)
2. Kematian Vaskular : 10 orang
(71,4%)
5.3. Uji Normalitas dan Homogenitas Data
Normalitas data umur, kadar kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol
LDL, trigliserida, tekanan darah sistole, diastole, BSN, BS 2jpp dan resistin diuji
dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas menunjukan semua data
berdistribusi normal dengan nilai p > 0,05 pada kedua kelompok KKV dan tanpa
KKV.
Homogenitas varians data penelitian antara kelompok KKV dan tanpa KKV
diuji dengan uji Levene’s. Hasil analisis homogenitas varian kelompok KKV dan
tanpa KKV menunjukkan bahwa kedua kelompok memiliki varian yang sama
pada semua variabel penelitian (p > 0,05), kecuali variabel resistin.
5.4 Penentuan Titik Potong (Cut off Point) Resistin
Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa variabel berdistribusi normal,
sehingga dilanjutkan dengan uji parametrik untuk menentukan nilai median. Nilai
median ini yang akan digunakan sebagai titik potong (cut off point) yaitu batas
antara kadar rendah dengan kadar tinggi.
Nilai median sebagai titik potong artinya kadar resistin rendah adalah
kadar resistin < 2,33 ng/ml dan kadar resistin tinggi adalah kadar resistin ≥ 2,33
ng/ml.
5.5 Analisis Perbedaan Rerata Waktu Terjadinya KKV Antara Kadar
Resistin Tinggi Dan Rendah
Analisis perbedaan rerata waktu terjadinya KKV antara kelompok subjek
dengan kadar resistin tinggi dan rendah yang dianalisis dengan metode Kaplan-
Meier mendapatkan hasil rerata waktu terjadinya KKV pada kelompok subjek
dengan nilai kadar resistin tinggi lebih rendah kumulatif survivalnya
dibandingkan kelompok subjek dengan kadar resistin rendah. Rerata waktu
terjadinya KKV pada kelompok subjek dengan kadar resistin tinggi adalah 130,
41 hari, sedangkan pada kelompok subjek dengan kadar resistin rendah adalah
168, 85 hari. Perbedaan tersebut secara statistik sangat bermakna dengan nilai p =
0,01 (tabel 5.6).
Tabel 5.6
Hasil Analisis Kaplan-Meier Perbedaan Rerata Waktu Terjadinya KKV
Antara Kelompok Subjek Dengan Kadar Resistin Tinggi Dan Rendah
Kadar
resistin
Rerata Waktu
Terjadinya
KKv
SE Waktu
Terjadinya
KKv
Log Rank
Chi-square
Nilai p
Tinggi 130,412 12,98 5,982 0,01
Rendah 168,853 6,68
Keseluruhan 149,632 7,66
Gambar 5.1
Kurva Insiden Kumulatif KKV Menurut Waktu Antara Kelompok Subjek
Dengan Kadar Resistin Tinggi Dan Rendah
Kejadian KKV secara kumulatif menurut waktu pengamatan antara
kelompok subjek dengan kadar resistin tinggi dan rendah menunjukkan bahwa
kejadian kumulatif pada kelompok subjek dengan kadar resistin tinggi selalu lebih
rendah dari kelompok subjek dengan kadar resistin rendah, dan KKV pada
kelompok subjek dengan dengan kadar resistin tinggi terjadi lebih awal
dibandingkan dengan kelompok subjek dengan kadar resistin rendah (gambar 5.1).
5.6 Cox Proportional model
Tabel 5.7
Hasil Analisis Cox Proportional model Pengaruh resistin terhadap Insiden
KKV
Pengaruh kadar resistin terhadap rasio angka insiden KKV pada penderita
SKA, dianalisis dengan cox proportional model. Hasil analisis ini menunjukkan
bahwa variabel bebas (resistin) berpengaruh terhadap variabel tergantung
(kejadian KKV) dengan rasio angka insiden sebesar 1,72 (CI 95% ;1,28 s.d.2,32)
dengan nilai p = 0,01 (tabel 5.7).
Faktor kendali seperti Hipertensi, DM, dislipidemia, merokok dan umur
dikendalikan dan didapatkan kadar resistin yang berpengaruh terhadap insiden
KKV dengan rasio angka insiden 1,67 (CI 95% ; 1,20 s.d. 2,32) dengan nilai p =
0,01 (tabel 5.8).
Tabel 5.8
Hasil Analisis Cox Proportional Model Pengaruh Resistin,Dislipidemia,DM
Hipertensi, Obesitas, Merokok, Dan Umur Terhadap Insiden KKV
Variabel Nilai P
Hazard
Ratio
CI 95% HR
Batas
bawah
Batas
atas
Resistin 0,01 1,665 1,195 2,319
Obesitas 0,63 1,347 0,318 4,590
Dislipidemia 0,33 0,334 0,087 1,287
Merokok 0,93 0,954 0,318 2,865
Hipertensi 0,35 1,926 0,494 7,506
DM 0,52 1,535 0,395 4,590
Umur 0,60 1,016 0,959 1,076
Variabel
Nilai p
Hazard Ratio
CI 95% HR
Batas bawah Batas atas
Resistin 0,01 1,718 1,275 2,315
BAB VI
PEMBAHASAN
Penelitian ini melibatkan penderita SKA dengan gambaran klinis APTS,
NSTEMI dan STEMI, ketiga gambaran klinis itu mempunyai patomekanisme
yang sama, yaitu proses inflamasi yang berlanjut sehingga terjadi disfungsi dari
endotel kemudian terjadi proses aterosklerosis sehingga terjadi ketidakseimbangan
antara pasokan dan kebutuhan oksigen dari miokard/otot jantung yang disebut
iskemia, manifestasi klinis dari iskemia adalah nyeri dada (Braunwald, 1998).
6.1 Normalitas Data
Data karakteristik variabel pada populasi penelitian ini meliputi resistin
sebagai variabel bebas dan dislipidemia, HT, DM, merokok, obesitas dan umur
sebagai variabel kendali. Variabel tersebut telah diuji normalitasnya dengan
ujinormalitas Kolmogorov-Sminov pada tingkat kemaknaan α = 0,05, hasil uji
statistik didapatkan semua komponen variabel berdistribusi normal oleh karena
nilai p > 0,05.
6.2 Karakteristik Data
Variabel yang termasuk dalam faktor risiko konvensional dalam SKA
adalah dislipidemia, HT, DM, merokok, obesitas dan umur (tabel 5.2).
Dislipidemia didapatkan pada 60 ( 88,2%) dari 68 penderita SKA yang diikutkan
dalam penelitian ini. Pada analisis cox proportional model yang menguji pengaruh
variabel kendali pada variabel bebas terhadap timbulnya KKV didapatkan bahwa
dislipidemia memiliki pengaruh tidak bermakna, dengan nilai p = 0,33.
Hipertensi didapatkan pada 38 (55,9%) dari 68 penderita SKA yang
diikutkan dalam penelitian ini. Pada analisis cox proportional model yang
menguji pengaruh variabel kendali pada variabel bebas terhadap timbulnya KKV
didapatkan hipertensi memiliki pengaruh tidak bermakna, dengan nilai p = 0,35.
Diabetes Melitus didapatkan pada 11 (16,2%) dari 68 penderita SKA
yang diikutkan dalam penelitian ini. Pada analisis cox proportional model yang
menguji pengaruh variabel kendali pada variabel bebas terhadap timbulnya KKV
didapatkan diabetes melitus mempunyai pengaruh tidak bermakna, dengan nilai p
= 0,52.
Obesitas didapatkan pada 37 (54,4%) dari 68 penderita SKA yang
diikutkan dalam penelitian ini. Pada analisis cox proportional model yang
menguji pengaruh variabel kendali pada variabel bebas terhadap timbulnya KKV
didapatkan obesitas mempunyai pengaruh tidak bermakna, dengan nilai p = 0,63.
Merokok didapatkan pada 34 (50%) dari 68 penderita SKA yang diikutkan
dalam penelitian ini. Pada analisis cox proportional model yang menguji pengaruh
variabel kendali pada variabel bebas terhadap timbulnya KKV didapatkan
merokok mempunyai pengaruh tidak bermakna, dengan nilai p = 0,93.
Umur subjek pada penelitian ini didapatkan antara 30 – 80 tahun dengan
rerata 56,96 ± 10.82. Pada analisis cox proportional model yang menguji
pengaruh variabel kendali pada variabel bebas terhadap timbulnya KKV
didapatkan umur mempunyai pengaruh tidak bermakna, dengan nilai p = 0,60.
Pada penelitian Lie dkk. (2013), tentang hubungan kadar resistin dengan
KKV, faktor risiko konvensional obesitas, umur dan hiperlipidemia juga
didapatkan tidak bermakna. Luminita dkk. (2014), melaporkan penelitian yang
mereka lakukan tentang kadar plasma resistin sebagai prediktor KKV, didapatkan
usia, HT, glukosa puasa dan total kolesterol tidak bermakna secara statistik.
6.3 Peran Resistin Dalam Inflamasi dan Sebagai Faktor Risiko KKV
Faktor risiko konvensional seperti : dislipidemia, hipertensi, diabetes
melitus, merokok, obesitas dan umur pada aterosklerosis berperan sebagai
inisiator terjadinya disfungsi endotel. Disfungsi endotel merupakan proses awal
dari inflamasi yang mendasari proses aterosklerosis.
Reilly dkk. (2005), melaporkan resistin berhubungan dengan peningkatan
kalsifikasi arteri koroner (coronary artery calcification = CAC) suatu pengukuran
kuantatif aterosklerosis koroner. Penelitian ini menunjukkan peran resistin dalam
perkembangan aterosklerosis walaupun mekanismenya belum jelas. Pada pasien
dengan sindrom metabolik disimpulkan resistin adalah sebagai mata rantai
terjadinya inflamasi dan aterosklerosis juga dapat digunakan memprediksi CAC.
Sindroma koroner akut adalah suatu sindroma yang disebabkan oleh
adanya vasospasme koroner, ruptur plak ateromatus yang kemudian dapat
menyebabkan obstruksi parsial maupun total serta dapat diikuti terbentuknya
trombus sehingga terjadi infark miokard. Inflamasi dengan berbagai mediator
yang dihasilkan mempunyai peranan yang sangat besar diberbagai tingkatan
proses aterosklerosis. Sel inflamasi yang teraktivasi akan mensekresi sitokin
proinflamasi seperti IL-1, TNF-a, IL-6 dan resistin sehingga akan menyebabkan
berbagai efek biologis seperti berkurangnya sintesis dan meningkatnya degradasi
matriks metalloproteinase (MMP), aktivasi sel endotel, dan meningkatnya
vasoreaktifitas sel otot polos vaskular. Perubahan yang terjadi tersebut yang akan
menimbulkan vasospasme koroner, ruptur plak aterosklerotik dan trombosis
koroner, yang merupakan patogenesis dari SKA (ozben dan Erdogan, 2008
modifikasi).
Resistin merupakan salah satu sitokin proinflamasi yang berperan dalam
cascade inflamasi, perannya ikut serta dalam mengaktivasi sel-sel endotel
vaskular, mengekspresi molekul adhesi dan MCP serta turut menstimulasi
proliperasi sel-sel otot polos dan akumulasi kolesterol dan trigliserida pada
makropag. Progresivitas aterosklerosis, vasospasme koroner, ruptur plak dan
trombogenesis akut yang terjadi tergantung pada kecepatan inflamasi dan aktifitas
enzim degradasi (Verma dkk., 2003 ; Calabro dkk., 2004 ; Bokarewa dkk., 2005 ;
Reilly dkk., 2005). Resistin juga berperan dalam menginduksi proliferasi sel otot
polos aorta manusia melalui jalur extracellular signal-regulated kinase (EKK1/2)
dan phosphatidylinositol-kinase yang menunjukkan bahwa resistin meningkatkan
migrasi sel otot polos ke vaskular dan merupakan komponen sintesis plaque
ateromatosa (Calabro dkk., 2004; Burnett dkk., 2005; Jung dkk., 2006).
Kawanami dkk. (2004), melaporkan bahwa resistin dapat menginduksi
VCAM-1, ICAM-1 dan log pentraxin 3 (PTX3), suatu petanda inflamasi di sel
endotel pembuluh darah. PTX3 sebagai molekul adhesi juga dapat mewakili lesi
inisial aterosklerosis dan ekspresi PTX3 meningkat pada lesi aterosklerosis.
Pada penelitian Leon dkk. (2013), didapatkan resistin mungkin sebagai
faktor risiko untuk penyakit jantung iskemia pada populasi orang umum dan
didapatkan korelasi kadar resistin yang meningkat dengan risiko kejadian Infark
miokard pada wanita.
Ammal dkk. (2011), menyimpulkan terjadi peningkatan secara signifikan
kadar serum resisitin pada penyakit jantung koroner akut dan kemungkinan ada
hubungan dengan inflamasi, dan didapatkan resistin berkorelasi positif dengan
faktor inflamasi (IL-6 dan CRP). Luminita Vida-Simiti dkk. (2014), melaporkan
bahwa resistin merupakan prediktor baru untuk kejadian iskemia pada pasien
dengan klinis atreosklerosis.
Pada penelitian ini, diperlihatkan pengaruh resistin sebagai salah satu
faktor inflamasi terhadap progresivitas dari aterosklerosis pada penderita SKA
sehingga terjadi KKV, dalam tabel 5.6 setelah kadar resistin diperoleh nilai
mediannya ( 2,33 ng/ml ), resistin dibagi dalam kedua kelompok, kadar resistin
tinggi dengan nilai median ≥ 2,33 ng/ml dan kadar resistin rendah dengan kadar <
2,33 ng/ml. kedua kelompok tersebut di analisis dengan Kaplan- Meier, ternyata
didapatkan survival rate kedua kelompok didapatkan bermakna yaitu 130 hari vs
169 hari dengan p log rank 0,01. Pada kurva survival Kapplan-Meier pada gambar
5.1, juga menunjukkan bahwa cumulative survival lebih rendah pada kelompok
dengan kadar resistin tinggi (kadar ≥ 2,33) dibandingkan dengan kadar resistin
rendah ( kadar < 2,33)
Hal tersebut menggambarkan bahwa ketahanan hidup penderita dengan
kadar resistin tinggi lebih rendah (130 hari) dibandingkan dengan kadar resistin
rendah (169 hari). Ketahanan hidup penderita yang rendah ini disebabkan oleh
masih terus berlangsungnya proses inflamasi yang progresif pada penderita SKA
sehingga muncul KKV. Proses inflamasi yang progresif tersebut dapat diprediksi
dengan kadar resistin yang tinggi (kadar ≥ 2,33 ng/ml).
Setelah diamati selama 6 bulan, dari 34 penderita SKA dengan kadar
resistin tinggi (kadar ≥ 2,33 ng/ml) didapatkan 11 penderita SKA yang mengalami
KKV. Sedangkan dari 34 penderita SKA dengan kadar resistin rendah ( kadar <
2,33 ng/ml) didapatkan 3 orang yang mengalami KKV. Total penderita SKA
yang mengalami KKV adalah sebanyak 14 (20,6 %) penderita, yaitu 1 (1,5 %)
orang penderita APTS yang mengalami reccurent cardiac ischemia dan 13 ( 19,1
%) orang penderita STEMI yang mengalami KKV. Dari 13 orang penderita
STEMI tersebut, didapatkan 10 orang mengalami kematian vaskular atau sekitar
71,4 % dari total jumlah KKV dan 3 orang yang mengalami IMA atau sekitar 21,4
% dari total jumlah KKV.
Setelah dilakukan analisis bivariat dengan tabel 2x2 (uji Chi Square)
pada populasi total (APTS, NSTEMI, STEMI) dan didapatkan bahwa kadar
resistin tinggi ( kadar ≥ 2,33) pada total populasi terbukti bermakna secara
statistik dengan nilai p = 0,00, RR 1,72 ; IK 95 % 1,28 – 2,32. Pada analisis
multivariat (Cox Proportional Model) dengan mengendalikan faktor perancu,
kadar resistin yang tinggi ( kadar ≥ 2,33) juga didapatkan hubungan yang
bermakna secara statistik dengan nilai p = 0,01, RR 1,67 ; IK 95 % : 1,20 – 2,32.
Menurut penelitian Li Lei dkk. (2013), terdapat hubungan yang signifikan
dan menjadi prediktor independent antara kadar serum resistin dengan KKV pada
wanita menopause dengan sindroma koroner akut yang dilakukan prosedur
percutaneus coronary intervention (PCI), dimana KKV lebih banyak terjadi pada
kelompok dengan kadar resistin tinggi dibandingkan kelompok dengan kadar
resistin rendah.
Cornelia Weikert dkk. (2008) Melaporkan dari 817 sampel pada populasi
sehat yang diteliti kadar resistinnya, didapatkan kadar resisitin yang lebih tinggi
pada kelompok yang kemudian menderita infark miokard dibandingkan yang
tidak menderita infark miokard. Penelitian ini menyimpulkan peningkatan kadar
resistin akan meningkatkan risiko infark miokard pada populasi yang sehat.
Pada penelitian ini jumlah yang menderita KKV pada penderita SKA
dengan kelompok kadar resistin tinggi ( kadar ≥ 2,33 ng/ml) lebih banyak
dibandingkan dengan kelompok kadar resistin rendah ( kadar < 2,33 ng/ml). Dan
risiko mengalami KKV kelompok dengan kadar resistin tinggi 2 kali lipat lebih
besar dibandingkan kadar resistin rendah.
6.4 Keterbatasan Penelitian
Penanda inflamasi resistin sampai saat ini belum ada standar baku titik
potong. Pada penelitian ini oleh karena data berdistribusi normal maka nilai titik
potong digunakan berdasarkan median.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Penelitian
Studi Kohort prospektif telah dilakukan untuk membuktikan peranan
inflamasi pada progresifitas SKA. Dan dibuktikan kadar resistin yang tinggi
memberikan risiko KKV lebih tinggi pada penderita SKA. Berdasarkan hasil yang
didapatkan pada penelitian ini, simpulan penelitian adalah sebagai berikut :
‘Kadar resistin yang tinggi merupakan faktor risiko kejadian kardiovaskular pada
penderita sindroma koroner akut’.
7.2 Saran
Pada penelitian ini yang diamati adalah KKV pada penderita SKA. Dapat
dipertimbangkan penelitian di tempat yang berbeda, sehingga dapat menilai
karakteristik KKV apakah sama atau berbeda dan dengan banyaknya penelitian
resistin dapat menjadi acuan nilai cut off point untuk penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Daghri, N., dkk. 2005. Serum resistin is associated with c-reactive protein &
ldl cholesterol in type 2 diabetes and coronary artery disease in a Saudi
population. Cardiovasc Diabetol ; 4:10.
Ammal, E.A.,dkk. 2011. The impact of inflammation on Resistin, IL-6 and CRP
in Acute Myocardial Infarction Patients. Fac Med Baghdad ; 53 : 216-220.
Anonim. 2008. Deaths from coronary heart disease. (cited 08/01/2008) World
Health Organization. Available from URL:
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/en/cvd_atlas_14_deathHD.pd
f
Anwar, T.B. 2004. Dislipidemia sebagai faktor resiko penyakit jantung koroner.
E-USU Repository; Universitas Sumatera Utara,1-10.
Avanzas, P., dkk. 2004. Markers of inflammation and multiple complex stenoses
(pancoronary plaque vulnerability) in patients with non-ST segment
elevation acute coronary syndromes. Heart ; 90:847-52.
Baim, D.S., Grossman, W. 2005. Diagnostic cardiac catheterization and
angiography. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser
SL, Jameson JL.eds. Harrison's Principles Of Internal Medicine,
Vol.2,16th ed. New York: McGraw- Hill. P.1327-33.
Banerjee, R.R., Lazar, M.A., 2001. Dimerization of resistin and resistin-like
molecules is determined by a single cysteine. J. Biol. Chem; 276: 25970–
3.
Baraas, F. 2006. Respons imunologi. Dalam : Kardiologi Molekuler. Jakarta :
Bagian Kardiologi FKUI/RS Jantung Harapan kita ; 194-264.
Biovendor. Human resistin elisa. (cited 19/09/2007) Available from URL:
http://www.biovendor.com
Bokarewa, M., dkk. 2005. Resistin, an adipokine with potent proinflammatory
properties. J Immunol ; 174: 5789-95.
Boudi, F.B., dkk. 2008. Atherosclerosis. (cited 14/03/2008)Available from
URL: http://www.eMedicine.com/atherosclerosis.
Buffon, A., dkk. 2002. Widespread coronary inflammation in unstable angina. N
Eng J Med, 347:5:12.
Burnett, M.S., dkk. 2005. The potential role of resistin in atherogenesis.
Atherosclerosis; 182:241-8.
Calabro, P., dkk. 2004. Resistin promotes smooth muscle cell proliferation
through activation of extracellular signal-regulated kinase ½ and
phosphatidylinositol 3-kinase pathways. Circulation ; 110: 3335-40.
Chu, S., dkk. 2008. Plasma resistin associated with myocardium injury in patients
with acute coronary syndrome. Circ J, 72, 1249-53.
Diez, J.J.,dkk. 2005. Serum concentrations of leptin, adiponectin and resistin, and
their relationship with cardiovascular disease in patients with end-stage
renal disease. Clin Endocrinol ; 62: 242- 9.
Cornelia Weikert, dkk. 2008. Plasma resistin levels and risk of myocardial
infarction and ischemic stroke. J Clin Endocrinol Metab 93 : 2647-2653.
Fantuzzi Giamila. 2005. Adipose tissue, adipokines, and inflammation. American
Academy of Allergy, Asthma and Immunology. j allergy clin immunol ;
volume 115, number 5 : 911-919.
Guerre M.M. 2004. Adipose tissue and adipokines:for better or worse.Diabetes
Metab;30:13-9.
Hamm, C. W., dkk. 2011. ESC Guidelines for the management of acute coronary
syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation:
The Task Force for the management of acute coronary syndromes (ACS)
in patients presenting without persistent ST-segment elevation of the
European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J, 32, 2999-3054.
Hansson GK. 2005. Inflammation, atherosclerosis, and coronary artery disease.
N Engl J Med ; 352 : 1685 – 95.
Heilbronn, L. K., dkk. 2004. Relationship between serum resistin
concentrations and insulin resistance in nonobese, obese, and obese
diabetic subjects. J Clin Endocrinol Metab ; 89:1844–8.
Hesham, H.I., dkk. 2012. Serum resistin in acute myocardial infarction patients
with and without diabetes mellitus. The Egyptian Heart Journal ; 64 ; 27-
33.
Jamaluddin M.S., dkk. 2012. Resistin: functional roles and therapeutic
considerations for cardiovascular disease. British Journal of
Pharmacology ; 165 : 622–632.
Jung HS, dkk. 2006. Resistin is secreted from macrophages in atheromas and
promotes atherosclerosis. Cardiovascular Research ; 69: 76-85.
Kawanami D., dkk. 2004. Direct reciprocal effects of resistin and adiponectin on
vascular endothelial cells: a new insight into adipocytokine-endothelial
cell interactions. Biochemical and Biophysical Research
Communications ; 314: 415-9.
Kumar, V., dkk. 2007. Buku ajar patologi. 7 nd ed , Vol. 1. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC : 189-1.
Kunnari, A., dkk. 2006. High plasma resistin level is associated with enhanced
highly sensitive C-reactive protein and leukocytes. J Clin Endocrinol
Metab ; 91(7): 2755-60.
Kusminski, C.M., dkk. 2005. Role of resistin in obesity, insulin resistance and
type II diabetes.Clinical Science ;109:243-56.
Lau, D.C.W., dkk. 2005. Adipokines: molecular links between obesity and
atherosclerosis. Am J Physiol Heart Circ Physiol ; 288: 2031-41.
Lee, J.H., dkk. 2003. Circulating resistin levels are not associated with obesity or
insulin resistance in humans and are not regulated by fasting or leptin
administration: cross- sectional and interventional studies in normal,
insulin-resistant, and diabetic subjects. J Clin Endocrinol Metab ;
88:4848-56.
Lehrke, M., dkk. 2004. An inflammatory cascade leading to hyperresistinemia in
humans. Plos Med ; 1: e45.
Leon, dkk. 2013. The Association of resistin with coronary disease in the general
population. Journal of atherosclerosis and thrombosis vol. 20.
Libby P. 2002. Inflammation in atherosclerosis. Nature ; 420:868-74.
Li Lei, dkk., 2013. Association between serum resistin level and cardiovascular
events in postmenopausal women with acute coronary syndrome
undergoing percutaneous coronary intervention. Chinese Medical journal
2013 ; 3 ; 126(6).
Lilly, L.S. 2011. Phatophysiology of heart disease : Acute coronary syndrome.p.
162-75.
Lisyani, B.S.2006. C-Reactive Protein, petanda inflamasi untuk menilai risiko
penyakit kardiovaskuler. Dalam : Tjahjati MI, Banundari RH, Vincencia
L, Lestarini IA eds. Seminar Petanda Penyakit Kardiovaskuler Sebagai
Point of Care Test (POCT).Semarang:Balai Penerbit Universitas
Diponegoro;16-30.
Luminita Vida-Simiti, dkk., 2014. Plasma level of resistin predict cardiovascular
event. Revista Romana de Medicina de Laborator Vol. 22. Nr. 1, Martie.
Mattu, H.S., Randeva H.S. 2013. Role of adipokines in cardiovascular disease.
Division of Metabolic and Vascular Health, University of Warwick
Medical School, Gibbet Hill Road ; 216:1 : 17–36.
Mc Ternan, P.G., dkk. 2003. Resistin and type 2 diabetes: regulation of resistin
expression by insulin and rosiglitazone and the effects of recombinant
resistin on lipid and glucose metabolism in human differentiated
adipocytes. J Clin Endocrinol Metab ; 88: 6098–6106.
Menzaghi, C., dkk. 2006. Heritability of serum resistin and its genetic correlation
with insulin resistance- related features in nondiabetic caucasians. J Clin
Endocrinol Metab ; 91(7): 2792-5.
Moe Kyaw Thu, Wong Philip. 2010. Current Trends in Diagnostic Biomarkers of
Acute Coronary Syndrome. Ann Acad Med Singapore; 39: 210-5
NECP 2002. Third Report of the National Cholesterol Education Program
(NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III) Final Report).
Nishimura, R.A., dkk. 2005. Noninvasive cardiac imaging:Echocardiography,
nuclear cardiology, and MRI/CT imaging. In: Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL.eds. Harrison's
Principles Of Internal Medicine, Vol.2,16th ed. New York: McGraw-
Hill ; 1320-7.
Packard, R.R., Libby, P. 2008. Inflammation in atherosclerosis:From vascular
biology to biomarker discovery and risk prediction.Clinical Chemistry;
54(1) : 24-38.
Pang. S, Le, Y. 2006. Role of resistin in inflamation and inflamation-related
diseases.Cellular & Molecular Immunology ; 3 (1): 29-34.
Pilz, S., dkk. 2007. Implications of resistin plasma levels in subjects undergoing
coronary angiography. Clinical Endocrinology ; 66: 380-6.
Pischon, T., dkk. 2005. Association of plasma resistin levels with coronary heart
disease in women. Obes Res ; 13: 1764-71.
Plato Study, 2006. A Randomised, Double-Blind, Parallel Group, Phase 3,
Efficacy and Safety Study of AZD6140 Compared with Clopidogrel for
Prevention of Vascular Events in Patients with non-ST or ST Elevation
Acute Coronary Syndromes (ACS).
Prasad, A., dkk. 2003. Current management of non-ST-segment-elevation acute
coronary syndrome : reconciling the results of randomized controlled
trials. European Heart Journal ; 24:1544-53.
Proffitt, J.M. 2005. Genetics of Plasma Cytokine Variation in Healthy Baboons
and Humans[Dissertation]. Austin : The University of Texas.
Purwanto, A.P. 2007. Adiponektin sebagai marker penyakit jantung dan
pembuluh darah. Dalam : Kumpulan Naskah Lengkap Kongres Nasional
VI & Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi
Klinik. Makassar: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin/RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo;172-81.
Rajala, M.W., dkk. 2003. Adipose-derived resistin and gut - derived resistin-like
molecule-β selectively impair insulin action on glucose production. J
Clin Invest ; 111: 225–30.
Rea, R., Donnelly, R. 2004. Resistin : an adipocyte-derived hormone.Has it a role
in diabetes and obesity? Diabetes, Obesity and Metabolism ; 6:163-70.
Reilly, M.P., dkk. 2005. Resistin is an inflammatory marker of atherosclerosis in
humans. Circulation ; 111: 932-9.
Rong-Ze, Y., dkk. 2003. Comparative studies of resistin expression and
phylogenomics in human and mouse. Biochemical and Biophysical
Research Communications; 310:927-35.
Ronti, T., dkk. 2006. The endocrine function of adipose tissue:an update.Clinical
Endocrinology ; 64:355-65.
Setianto, B. 2001. Sindroma koroner akut : Patofisiologi. Dalam: Kaligis RWM,
Kalim H, Yusak M, Ratnaningsih E, Soesanto AM, Hersunarti M,
dkk.eds. Diagnosis dan Tatalaksana Hipertensi, Sindrom Koroner Akut
Dan Gagal Jantung. Jakarta; Balai Penerbit Rumah Sakit Jantung
Harapan Kita ; 59-66.
Shetty, G.K., dkk. 2004. Circulating adiponectin and resistin levels in relation to
metabolic factors, inflammatory markers,and vascular reactivity in
diabetic patients and subjects at risk for diabetes.Diabetes Care ; 27:
2450-7.
Springhouse.Coronary artery disease. 2008. ( cited 08/01/2008 ) Available from
URL:http://www.wrongdiagnosis.com/c/coronary_heart_disease/book-
diseases-7a.htm
Stejskal ,D., dkk. 2002. Preeliminary experience with resistin assessment in
common population. Biomed. Papers ;146(2) :47–9.
Steppan, C.M., Lazar, M.A. 2004. The current biology of resistin. Journal of
Internal Medicine ; 255:439-47.
Suhardjono. 2003. Role of infections, inflammations and immune factors in
atherosclerosis. Dalam: Taniwidjojo, S., Rifqi, S.eds. Atherosclerosis
from Theory to Clinical Practice. Naskah Lengkap Semarang Cardiology-
Update (Mini Cardiology-Update III). Semarang, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro ; 03:43-51.
Tanuwidjojo, S. 2005. Current concepts of the pathogenesis of the acute coronary
syndrome.Dalam : Sungkar, M.A., Rifqi, S. eds. Penanganan Sindroma
Koroner Akut Secara Paripurna. Semarang; Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) Cabang Semarang :1-9.
Verma, S., dkk. 2003. Resistin promotes endothelial cell activation: further
evidence of adipokine-endothelial interaction. Circulation ; 108: 736-40.
Vozarova de Courten, B., dkk. 2004. High serum resistin is associated with an
increase in adiposity but not a worsening of insulin resistance in Pima
Indians. Diabetes ; 53: 1279–84.
Weikert , C., dkk. 2007. Within- subject variation of plasma resistin levels over
a 1-year period. Clinical Chemistry & Laboratory Medicine ; 45(7):899-
902.
Wita W. 1992. Program Intervensi Terpadu Mengendalikan Faktor Risiko
Koroner dan Meningkatkan Kualitas Hidup Pasca IMA. (disertasi).
Surabaya: Universitas Airlangga.
Yip, H.K., dkk. 2005. Levels and values of inflammatory markers in patients with
angina pectoris. Int Heart J ; 46: 571-81.
Yura, S., dkk. 2003. Resistin is expressed in the human placenta. J Clin
Endocrinol Metab. ; 88 (3):1394-7.