METODE ETNOGRAFI DALAM PENELITIAN BAHASA DAN BUDAYA II
A. Pengantar
Kajian etnografi untuk bidang bahasa dan budaya sebagaimana yang telah dipaparkan
dalam makalah “Metode Etnografi Dalam Penelitian Bahasa dan Budaya I“ membawa pada
tema-tema: the whorfian hypothesis, kinship system, taxonomies, color terminologies,
prototype theory, taboo & euphemism. Sebagaimana layaknya kajian ilmiah, etnografi
memiliki metode tersendiri yang khas sehingga dapat dibedakan dengan kajian penelitian
lainnya. Kajian ilmiah etnografi belakangan memunculkan bidang kajian ethnography of
communication dan ethnography of education.
Ethnography of communication memfokuskan ruang geraknya pada spoken language
dan juga written language. Kajian spoken language seperti yang dikemukakan Hymes dalam
Wardhaugh (1994, 245-246) mencakup SPEAKING (Setting and Scene; Participants, Ends,
Act sequence, Key, Instrumentalities, Norms of interaction and interpretation, Genre).
Kemudian, Kramsch (1998) menambahkan cakupan kajian etnografi dengan conversational
speech dan conversational style. Pada yang terakhir ini tercakup di dalamnya identitas
kelompok group identity , alih kode language crossing, kedudukan sosial social positionings/
footing, perlindungan terhadap harga diri protecting face, dan status sosial social daexis.
Percakapan yang dikategorikan sebagai Conversational Speech dapat diidentifikasi
dari 7 karakteristik berikut ini.
Speech is transient rather than permanent. 2. Indicating status 3. Speech is additive or
rhapsodic 4. speech is aggregative,5. speech is redundant or copius 6. Speech is
loosely structured grammatical and is lexically sparse, writing, by contrast, is
grammatically compact and lexically dense. 6. Speech tends to be people-centered,
writing tends to be topic centered. 7. Speech, being close to the situation at hand, is
context dependent (Kramsch, 1998, 39-40)
Menurut Chaer dan Agustina (2004:47), speech terdiri dari dua bagian peristiwa tutur speech
event and tindak tutur speech act. Lebih jauh, menurut Austin dalam Chaer dan Agustina
(2004:53) bahwa tindak tutur terbagi ‘locutionary act adalah tindak tutur dalam bentuk
kalimat bermakna dan dapat dipahami, illocutionary act adalah tindak tutur yang
diidentifikasi dengan kalimat performatif yang eksplisit, dan perlocutionary act adalah tindak
tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan prilaku
nonlinguistik dari orang lain itu’.
1
Sebagai bagian dari budaya, bahasa tulis merupakan objek penelitian etnografi
(Sandra, 1997. 429). Wujud kajian terhadapnya dibingkai dalam text analysis (Sandra, 1997.
430) yang dimaksudkan ‘to determine cross-cultural differences in text development, to
characterize cross-cultural differences, to examine to what extent individuals transfer the
literacy traditions they have learned in their first language to a second language, to discover
the assumptions contained in texts regarding power relationships.’ Analisa teks diwujudkan
dalam constrastive rhetoric terhadap teks-teks yang dihasilkan oleh kelompok masyarakat.
B. Contoh-contoh Penelitian Etnografi Bahasa dan Budaya Berdasarkan Tinjauan
Konteks Versi Duranti
Tentang konteks yang menjadi cakupan penelitian etnografi, Duranti (1997:90)
mengemukakan
What people do in their daily lives (e.g. the activities they engage in, how they are
organized, by whom and for whom); what they make and use (artifacts); what controls
access to goods (land products) and technologies; what people know, think, feel; how
they communicate with another; how they make desicions (e.g. what is right or
wrong, what is permissible, what is strange, unusual, what is true); how they classify
objects, animals, people, natural and cultural phenomena; how the division of labor is
organized (across gender, ages, social classes, ranks, etc); how the life of the
family/household is organized, etc.
Segala hal yang dilakukan dalam keseharian (seperti aktifitas yang dikerjakan, cara
penataan kegiatan, oleh siapa dan untuk siapa); segala hal yang diciptakan dan
gunakan (peninggalan); hal –hal yang mengontrol masuknya barang-barang (produksi
yang berasal dari tanah), dan teknologi; segala hal yang diketahui , dirasakan oleh
semua orang; cara-cara berkomunikasi antara satu orang dengan yang lainnya; cara-
cara mereka dalam pengambilan keputusan (contoh hal yang dianggap benar dan
salah, hal yang diizinkan, hal yang dianggap aneh, tidak biasa, dan benar); cara-cara
mengelompokan obyek, hewan, morang, fenomena budaya dan alam; cara-cara
pengelompokan buruh (melampaui gender, umur, klasifikasi sosial, tingkatan, dsb);
cara-cara menata kehidupan keluarga atau rumah tangga, dsbnya.
2
Berdasarkan konteks penelitian yang dipaparkan Duranti, berikut ini akan diberikan
contoh-contoh penelitian etnografi.
1. Judul: Renik-Renik Budaya dan Peristilahan Cara Makan Masyarakat Jawa di
Pringsewu – Lampung.
Abstract:
Existence in Pringsewu has created a new linguistic situation. On one hand there have
been maintenance on the dialect the brought from their places in Java and on the
other hand they accommodate their follow dialects that were brought from the other
places in Java. However, there is one phenomenon in common in their use of
Javanese. The terms and expressions that they have used in their communication,
particulary which are related to meals, are closery related to their concept of time and
manner. In term of politeness, Grice’s Cooperative Principles is one of approach than
can be used to explain their lexical choice.
Abstrak:
Eksistensi di Pringsewu telah menciptakan suatu situasi linguistik yang baru. Di satu
sisi mereka masih mempertahankan dialek yang mereka bawa dari tempat mereka di
Jawa, dan di sisi lain mereka mengakomodasi dialek yang mereka bawa dari tempat-
tempat lain di Jawa.Meskipun demikian ada satu fenomena umum dari penggunaan
bahasa Jawa mereka. Istilah dan ungkapan yang mereka gunakan dalam
berkomunikasi, khususnya yang berhubungan dengan makanan, berkaitan erat dengan
konsep mereka tentang waktudan tata krama. Jika berb icara tentang sopan santun,
Grice’s Cooperative Principles adalah salah satu pendekatan yang mungkin
digunakan untuk menjelaskan pemilihan leksikal mereka.
Ringkasan:
A. Pendahuluan
1. Penggunaan/penerapan bahasa Jawa Pringsewu di sektor informal, layanan
sosial dan publik.
2. Makna penelitian yaitu pemahaman ekspresi kebahasaan budaya orang-orang
Jawa di Pringsewu terkait keberadaannya di rantau, terutama ranah sekitar
peristiwa makan.
3. Hipotesis penelitian : Ada hubungan antara waktu dan cara makan.
3
4. Landasan pemikiran dari penelitian ini adalah hipotesis Sapir, prinsip
kerjasama Grice.
5. Letak geografis Pringsewu = daerah pasar dan radius 3 kilometer dari pusat
pasar Pringsewu.
B. Budaya terkait makan
1. Budaya yang terkait dengan makan hadir pada peristiwa-peristiwa berikut:
a. Tamu yang datang dari jauh disuguhi makanan yang agak istimewa
sebagai penghormatan.
b. Di dalam perkumpulan sosial.
Urusan makan bagi orang Jawa Pringsewu adalah untuk memenuhi kebutuhan
dasar, rasa aman, cinta, harga diri, aktualisasi diri, peribadatan. Hal ini terlihat
pada kata-kata berikut ini:
Gebing = makanan yang disajikan oleh keluarga yang terkena musibah; berkat =
makanan yang disediakan dibawa pulang setelah selesai kenduren; ambeng =
makanan untuk jamaah tarawih pada malam pertama, malam ke tujuh belas dan
malam terakhir; tajilan = makanan untuk berbuka disajikan di mesjid/surau atau
saat tadarusan.
2. Penyediaan makanan untuk kebutuhan aktualisasi diri seharusnya diatur sesuai
konteks.
C. Konsep-konsep terkait makan dan minum
1. Kosa kata terkait makan
Nyarap = makan pagi; madang = makan siang/malam; saur = makan sahur; buka
= makan/minum untuk membatalkan puasa atau berbuka puasa; mangan = makan
tanpa kekhasan waktu dan cara; tanduk = menambah isi piring dengan nasi beserta
kelengkapannya setelah nasi yang diambil semula habis atau berkurang; menthong
= makan sejenis makanan malam tetapi bukan waktu makan malam dan yang
makan sebenarnya sudah makan malam; nguntal = menelan makanan dengan
ukuran kecil atau obat tanpa dikunyah; mamah = mengunyah; ngelek = menelan
setelah cukup mengunyah; nguluh = menelan setelah mengunyah sedikit; mbadog
= istilah untuk makan dengan konotasi kasar dan merendahkan; njeglak = menelan
makanan dengan ukuran yang tidak bisa diuntal tetapi tanpa dikunyah; maem =
istilah manja sebutan sayang untuk makan; nggragas = sifat seseorang yang
4
makan sembarangan dalam arti makan sesuatu yang kurang semestinya dimakan;
nedak = akitfitas binatang piaraan yang makan tanaman dan dapat dipakai untuk
ungkapan metaforis kasar menyamakan seseorang dengan binatang yang makan
tanaman orang lain; nyicip = mencicipi; ngecap = mengecap; nyakat = menggigit;
mbrakat = menggunakan gigi seri dalam menggigit untuk menyobek makanan
agar dapat dikunyah untuk makan; nggeget = menggigit hati-hati dalam
mengunyah atau dalam menahan sesuatu di mulut; nglethak = memecahkan
makanan yang keras dengan geraham; nggayem = aktifitas binatang memamah
biak yang mengunyah kembali makan yang telah disimpan di salah satu rongga
mulut atau menyamakan seseorang yang makan dengan aktifitas binatang
memamah biak makan; nggaglak = njeglak = kalu = dapat ditelan atau sudah
tertelan; keloloden = gagal menelan karena makanan yang ditelan menyangkut di
tenggorokan sehingga sulit ditelan atau sulit dikeluarkan; mucu-mucu = makan
dengan memasukkan makanan yang terlalu banyak ke mulut sehingga mulut
terlalu penuh dan sulit mengunyah; keselak = gagal makan karena tersedak dan
makanan kembali keluar; ngemut = menahan makanan dalam mulut.
Dari kata-kata ini terungkap bahwa kebudayaan Jawa yang dibawa ke Pringsewu
masih memelihara presisi makna untuk efektifitas komunikasi atau terjadi
percampuran kode dialek dan setiap dialek diakui sebagai kekayaan bersama,
sehingga lama kelamaan suatu kosa kata dipakai secara khusus sehingga terjadi
gejala peyoratif atau mungkin juga penggeseran makna.
2. Kosa kata terkait minum
Ngombe = minum secara umum, tidak ada muatan afektif maupun pemakaian
khusus; nyruput = meminum minuman panas dengan menyedot udara lewat mulut
dengan bibir menyentuh gelas yang berisi minuman sehingga minuman panas ikut
tersedot masuk dalam jumlah kecil dan menjadi lebih dingin; nyripit = seperti
nyruput tetapi dengan tenaga dan hasil lenih kecil; nyucup = menghisap air yang
berada pada pembuluh kecil dan dalam jumlah kecil menggunakan mulut;
nenggak = minum langsung air yanmg mancur dari botol atau teko atau bejana
lainnya dengan mulut terbuka tertengadah; medhang = minum minuman
berbumbu seperti kopi atau teh atau gula pelan-pelan atau tidak langsung habis
5
sambil mengerjakan hal lain seperti ngobrol atau duduk-duduk; ngopi = seperti
medhang tapi yang diminum adalah kopi seduhan; ngeteh = sama seperti medhang
tapi yang diminum teh seduhan; nyusu = minum air susu; keselak/keselek = gagal
minum karena tersedak sehingga airnya kembali ke luar; nyerot = menghisap;
ngenyot = menghisap tapi tak langsung habis atau malah sebagian ada yang
kembali; nyosor = aktifitas unggas seperti bebek menggunakan paruh untuk
mencari makanan atau minum dalam air kotor sehingga menjadi metafora orang
yang minum dengan cara seperti bebek; ngokop = minum langsung dengan mulut
ke dalam bejana.
3. Kosa kata mengenai keadaan seseorang terkait makan dan minum
Ngelih / luweh = lapar; kencot = lebih dari sekedar lapar dan digunakan untuk diri
sendiri; kengelian/keluwien = amat lapar; kaliren = amat sangat lapar/kelaparan;
wareg = kenyang; kewaregen = amat kenyang; kemlakaren = kekenyangan sampai
perut terasa sakit; keblethengen = kekenyangan dan ingin buang air besar; nek =
perut sakit/tidak nyaman karena kenyang dengan makanan yang kurang cocok
dengan kondisi perut; mbedeklek = perut tidak nyaman karena padat oleh makana
dan gas dari makanan .
4. Kosa kata terkait peristiwa budaya yang mengandung unsur makan/ pemberian
makanan
Genduren/kenduren = hadir dalam undangan suatu keluarga dalam rangka berdoa
dan pulangnya membawa bungkusan berisi nasi yang dilengkapi kluban = urap
daun yang biasanya menyertai nasi; among-among = acara kumpul anak-anak
untuk memperingati kelahiran seorang anak yang hidangannya nasi dengan kluban
dengan lauk tempe dan peyek serta telor diiris seperdelapan; munjung = mengirim
nasi lengkap dalam rangka mengundang ke suatu resepsi; kupatan = membuat
ketupat dan sayurnya untuk acara lebaran; ngupati/ngebo = mengundang orang-
orang untuk berdoa dalam rangka peringatan kehamilan bulan ke tujuh dengan
pemberian hidangan makan malam.
5. Kosa kata makanan yang merupakan ikon suatu budaya
Berkat = makanan yang dibawa pulang dari kenduri; tajilan = makanan yang
diberikan untuk berbuka puasa atau suguhan kepada orang-orang yang mengaji di
bulan Ramadhan; sajen = sajian untuk makhluk halus yang dianggap menguasai
suatu lokasi atau alam; bubur abang = bubur nasi dengan campuran gula merah
6
untuk orang tua yang berpengaruh yang hadir pada hari kenduri; ambeng = nasi
beserta sayur dan lauk yang disajikan pada acara makan bersama setelah tarawih
malam-malam tertentu bulan Ramadhan di masjid tertentu atau surau; kupat =
ketupat yang hanya disajikan pada hari-hari besar keagamaan seperti lebaran;
tumpeng = nasi di atas nyiru yang dicetak berbentuk kerucut dan di tepiannya
dilengkapi kluban dan lauk pauk serta hanya disajikan pada peristiwa-peristiwa
budaya tertentu; lonthong = nasi lembek dalam bungkusan daun pisang ketat
hingga agak padat; sega = nasi; sega wadhang = nasi yang telah lewat tengah
malam; lepet = lepat; gebing = kelapa diiris kecil dan tipis lalu digoreng, biasanya
untuk melengkapi nasi suguhan terkait peristiwa kematian; jaburan = makanan
untuk berbuka puasa bersama; bontot = makanan sebagai bekal; brengkesan =
makanan yang dibawakan kepada tamu setelah menghadiri acara makan bersama
keluarga terkait suatu peristiwa budaya atau syukuran keluarga; pacitan =
makanan kecil yang disuguhkan kepada tamu; cemilan = makanan kecil sehari-
hari.
D. Waktu dan Cara Makan
Esuk atau isuk = pagi atau sejak lepas subuh sampai bayang-bayang pagi sepanjang
badan; awan = siang atau sejak bayang-bayang pagi sepanjang badan sampai bayang-
bayang sore sepanjang badan; beduk = tengah hari atau satu waktu singkat ditengah-
tengah waktu awan; sore atau ngasar = sejak bayang-bayang sore sepanjang badan
hingga datang waktu matahari terbenam; rep atau maghrib= saat matahari mulai
terbenam hingga cahaya matahari di langit; wengi atau bengi atau mbengi = saat
malam atau lepas maghrib ketika cahaya matahari hilang dari langit hingga datang
waktu subuh; tengah wengi atau tengah bengi = tengah malam.
Nyarap = makan pada waktu esuk; macit = makan pada waktu awan; madang =
makan pada waktu siamg atau malam; medang = minum kopi/teh di sore hari; madang
wengi = makan malam di ujung waktu maghrib; menthong = makan malam setelah
makan malam.
E. Bahasa dan Pikiran
Bahasa terkait pikiran dibuktikan dengan ketersediaan perangkat kebahasaan
dalam mengakomodasi praktek-praktek budaya:
7
- Kajian Humboldt (1836)
Struktur bahasa manusia bervariasi dan variasi tersebut mempengaruhi –
- Kajian Sapir
Bahasa merupakan cermin budaya dan tindakan berulang ; bahasa dan
pikiran memiliki hubungan saling mempengaruhi.
- Kajian Whorf
Pandangan Whorf sama dengan Sapir; manusia memahami alam dengan
bahasa ibunya.
- Kajian James W. Underhill
Menyetujui pandangan Lakoff-Johnson bahwa bahasa membentuk
sebagian pola pikir manusia; pembelajaran bahasa, interaksi sosial, dan
pembentukan kepribadian merupakan hal-hal yang tidak dapat dipisahkan.
- Kebudayaan merupakan sistem adaptasi manusia
- Kebudayaan merupakan sibol, bahasa, sistem
1. Pandangan Goodenough (1957) bahwa kebudayaan sebagai sistem
kognitif
2. Pandangan Geertz
3. Pandangan Levi-Straus
4. Pandangan Chomsky
F. Pembahasan
1. Pendekatan Chomsky dan Keesing untuk meneliti kebudayaan Jawa
Pringsewu dalam tiga tataran
2. Pemertahanan dan Akomodasi: Melting Pot
3. Maksim tuturan oleh Grice yaitu maksim kuantitas, kualitas, relasi, cara
2.Judul : Ekspresi Seni Orang Miskin : Adaptasi Simbolik Terhadap Kemiskinan
Abstrak: Pemenuhan terhadap kebutuhan estetik, yang merupakan bagian dari kebutuhan
integratif, seringkali dikaitkan dengan kelompok yang dianggap mempunyai
keunggulan tertentu. Sebaliknya, sangat jarang dikaitkan dengan kelompok yang
memiliki keterbatasan untuk dapat hidup layak, yang orientasi hidupnya lebih
terarah pada pemenuhan kebutuhan primer. Studi ini mencoba membahas
ekspresi seni orang miskin yang tergolong ke dalam kelompok yang memiliki
keterbatasan untuk hidup layak sebagai adaptasi simbolik mereka terhadap
8
kemiskinan yang membelenggu.Masalah yang dikaji dalam studi ini adalah:
pertama, bagaimana fungsi kesenian bagi orang yang menggunakannya sebagai
pedoman, sistem simbol, dan strategi adaptif dalam rangka memenuhi kebutuhan
estetik mereka dihadapkan pada lingkungan yang terbatas dan kemampuan
memanfaatkannyapun terbatas; kedua, bagaimana kelakuan dan pola-pola
kelakuan estetik orang miskin, yang tercermin dalam kegiatan berekspresi –
mencakup kegiatan memanipulasi dan berapresiasi; ketiga, bagaimana ciri-ciri
berekspresi seni yang tercermin dalam karya seni yang diwujudkan atau
dimanfaatkan oleh orang miskin?Untuk menjelaskan masalah yang dikaji
digunakan kernagka teoritik, yang didasarkan pada konsep kebudayaan dari
Geertz (1973), Parsons (1966), Spindler (1977), Spradley (1985), dengan acuan
khusus pada model Suparlan (1985), yang memandang kebudayaan sebagai
sistem. Kebudayaan dalam hal ini dipandang sebagai pedoman hidup yang
menyeluruh dan mendasar, sebagai sistem simbolik yang ditransmisikan secara
historik, dan sebagai strategi adaptif untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam
menghadapi lingkungannya.Kerangka metodologis disusun dalam dua strategi
dasar, yaitu: pertama, untuk menentukan latar dan dasar kajianyang
mencerminkan ciri-ciri kemiskinan dan kedua untuk menelusur perwujudan
kesenian, baik dalam bentuk kegiatan berekspresi maupun manifestasi fisik
kesenian dalam kehidupan sehari-hari orang miskin yang dijadikan sasaran
kajian.Hasil studi menunjukan bahwa kesenian mempunyai fungsi yang jelas bagi
orang miskin, sebagai pedoman hisup, sistem simbolik, dan strategiadaptif dalam
rangka memenuhi kebutuhan estetik mereka dalam kondisi kemiskinan yang
membelitnya. Kesenian orang miskin pada dasarnya merupakan bagian dari
kesenian yang lebih luas, yang diinterpretasikan melalui cara pandang orang
miskin yang dilandasi oleh premis fungsional, premis komersial, dan premis
sosial. Kecendrungan berkesenian yang dilandasi oleh cara pandangnya tersebut
memberi batasan pada model pengetahuan yang digunakannya untuk bertindak
memenuhi kebutuhan estetiknya dengan cara berdaptasi dengan kemiskinan yang
dihadapinya agar tetap hidup sebagai manusia yang berbudaya.Tegasnya, ekspresi
seni orang miskin, sesungguhnya, merupakan adaptasi simbolik mereka terhadap
kemiskinan yang membelenggun
9
4. Judul : Ajaran Moral Dalam Pappasang Makassar Sebagai Suatu Warisan Budaya
Abstract: This research is aimed at discovering moral value in Pappasang. Pappasang is a
classic Makassar literature that contains moral value. Moral values are the
main means of educating adult humans that think, behave well, and have high
conscience. That is so because thougth, behavior, and conscience are closery
related to morality. The method that was used in the research was qualitative
approach and supported by descriptive analysis method. Moral value are manly
norms that specify something as good or bad.Moral values definewhat have to
and should be done by humans toward other humans. Moral valuesare not only
something that should be understood or known by human mind but are related to
experience, particulary in order to make decision.
Abstrak: Penelitian ini bertujuan menemukan nilai moral di Pappasang. Pappasang adalah
literatur bahasa Makassar klasik yang mengandung nilai-nilai moral. Nilai-nilai
moral adalah alat untuk mendidik orang dewasa untuk berpikir dan berperilaku
layak, dan punya nilai ketepatan yang tinggi. Oleh sebab itu pikiran, perilaku, dan
ketepatan sangat erat kaitannya dengan moral. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan didukung dengan metode analisis
deskriptif. Nilai-nilai moral merupakan nlai-nilai kemanusiaan yang memaknai
sesuatu dari sudut pandang baik atau buruk. Nilai-nilai moral bukasn hanya harus
dipahami atau dimengerti oleh pikiran manusia, tetapi juga terkaitdengan
pengalaman, khususnya dalam mengambil keputusan pemilihan leksikal mereka.
5. Judul : Citra Perempuan Dalam Novel Karya Nh. Dini
Abstract: The objective of the research is to get deep understanding about the image of
women in the novels of Nh. Dini. The research data were compiled from 6 novels
which were published from 1961-2007. The data were analyzed based on
genetic structuralism approach in the qualitative content analysis technique, The
findings of the research indicate that the novels of Nh. Dini generally has the
same structures; the plots of the novels are framed flashback; described
dramatically; the places setting were consist of Java, French, Japan. The story
theme is about conflict in family; the image of women, such as physic and
nonphysic. Generally, the novels of Nh. Dini contain positive value, that can be
used to shape personality or understanding between human, expecially
understanding of the nature of women. The right way to reach this aim is through
10
education. Morever, the themes about the image is continuosly inside the family,
at school, and in the wider society. It is suggeested to other researchers to further
explore about the issues of the image in the local color nevels and Indonesian
literatur in general.
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai citra
dan peran perempuan dalam novel-novel karya N.H. Dini. Data penelitian diambil
dari novel-novel yang dipublikasikan dari tahun 1961-2007. Data dianalisis
berdasarkan pendekatan struktural genetik dengan teknik analisis isi secara
kualitatif. Secara umum hasil penelitian novel-novel karya Nh. Dini memiliki
struktur yang sama; alur cerita didominasi oleh alur sorot balik berbingkai;
digambarkan secara dramatik; latar tempat di Jawa, Prancis, Japang. Tema cerita
tentang; citra perempuan, seperti fisik dan non fisik. Umumnya novel-novel
Nh.Dini memiliki nilai posoiif yang digunakan untuk membentuk kepribadian atau
kesepahaman di antara manusia, teristimewa kodratnya sebagai wanita. Cara
terbaik untuk tujuan penelitian ini melalui pendidikan, Terlebih lagi tema-tema
tentang citra secara terus menerus terdapat dalam keluarga, sekolah dan lingkup
masyarakat yang lebih luas. Disarankan kepada penelii-peneliti lain unmtuk
menggali lebih jauh tentang isu-isu citra ini dalam novel-novel lokal dan sastra
Indonesia secara umum.
6. Judul: Kajian Tutur Dalam Percakapan Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Astiti Rahayu
Karya Iskasiah
Abstract: The woman politeness of speech consist of hiden meaning which is not revealed
in their daily performance in every moment of doing communication and also
implicitly in the speech of the prime actrist in the novel as a literature work.
Complexity of speech of the prime actrist in the novel as a literature work is
very felt in the Astiti Rahayu novel, literature work of Iskasiah Sumarto. The
problem discussed in this literature writing is about the kind of speech act that
were in the conversation of the prime artist in the novel of Astiti Rahayu as the
literatute work of Iskasiah Sumarto, how is the composition of the speech act
consist of: representative, directive, expressive, comisive, and declarative, The
11
composition of speech act of conversation is not the same. The kind of directive
is most dominant in the conversation is being the data of this research.
Abstrak : Kesopanan tuturan wanita mengandung makna tersembunyi yang tidak hanya
tersimpan dalam penampilan keseharian mereka disetiap saat mereka
berkomunikasi, tetapi juga implisit di dalam percakapan para tokoh utama
wanita dalam novel sebagai hasil karya sastra. Kompleksitas tuturan para tokoh
utama wanita dalam karya sastra amat terasa dalam novel Astiti Rahayu karya
Iskasiah Sumarto. Masalah yang dibahas dalam karya ilmiah ini adalah: Jenis
tindak tutur apa sajakah yang terdapat pada percakapan tokoh utama utama
wanita dalam novel Astiti Rahayu karya Iskasiah Sumarto? Komposisi jenis-
jenis tindak tutur tersebut terdiri dari tindak tutur representatif, direktif,
ekspresif, komisif dan deklaratif. Dari data penelitian ini ditemukan bahwa jenis
yang dominan adalah tindak tutur direktif.
7. Judul: Cerita Amir Hamzah dan Umar Maya Dalam Khazanah Sastra Sunda
Abstrak: Cerita mengenai tokoh Amir Hamzah dikenal di dalam sastra Persia dan
Nusantara, Di Nusantara cerita ini menyebar dalam berbagai bahasa daerah,
diantaranya dalam sastra Bali terdapat Geguritan Amir Amsyah, dalam sastra
Melayu dan Makassar terdapat Hikayat Amir Hamzah, dan dalam sastra Jawa
berjudul Serat Menak terdiri dari 24 judul. Karena adanya persentuhan budaya,
maka cerita ini juga menyebar di kalangan masyarakat Sunda. Sealain itu, karena
di dalam tarikh Islam dikenal tokoh yang bernama Hamzah, paman Nabi
Muhammad, maka cerita ini juga mudah diingat oleh masyarakat yang beragama
Islam. Meskipun demikian, pada versi lain Hikayat Amir Hamzah ini tidak
dikatakan ada pertalian darah dengan Nabi Muhammad. Dengan latar belakang
tersebut diperkirakan cerita Amir Hamzah merupakan perwujudan dari beberapa
hipogram, diantaranya riwayat Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim, Hikayat Amir
Hamzah, dan Serat Menak.Berdasarkana hal tersebut, maka salah satu tujuan
penelitian ini adalah untuk menelusuri sejauh mana pengenalan masyarakat
Sunda akan cerita yang ditokohi Amir Hamzah tersebut. Penelusuran data
dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif. Teks Wawacan Amir Hamzah yang diteliti didapat dalam
12
bentuk naskah dan microfilm, Untuk membaca teks dalam bentuk microfilm
digunakan teknik olah digital agar teks dapat dibaca dan direproduksi dalam
bentuk CD. Berdasarkan data yang ditemukan, kesimpulan bahwa cerita yang
berkaitan dengan tokoh Amir Hamzah sangat digemari oleh masyarakat Sunda,
terbukti dengan adanya berbagai gendre sastra yang berisi cerita ini seperti puisi
dan prosa, yaitu wawacan, cerita pantun, cerita wayang, dan novel.
- Beberapa Contoh Judul Penelitian Etnografi lainnya:
7. “Wayang Wong: The State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta” (1984)
Disertasi dari Dr. R.M. Soedarsono. Disertasi ini merupakan sebuah penelitian
Ethnochoreography, yaitu studi ilmiah tentang tari-tarian etnis atas semua
signifikansinya dalam kebudayaan, fungsi-fungsi keagamaan atau simbolisme, atau
tempatnya dalam manyarakat.
8. “Ritual Malam Jumat Kliwon di Makam Kyai Ageng Balak Desa Mertan Kecamatan
Bendosari Sukoharjo”. Sebuah studi yang dilakukan oleh tim mahasiswa Pascasarjana
PPS Universitas Sebelas Maret Surakarta (2008). Studi yang mengkaji bagaimana
pelaksanaan serta nilai simbolik dan religious pada ritual malam jumat Kliwon di
Makam Kyai Ageng Balak Desa Mertan Kecamatan Bendosari Sukoharjo.
9. “Berbagai Bentuk Ragam Hias pada Bagunan Hindu-Budha dan Awal Masuknya
Islam di Jawa “(1999). Pertanyaan penelitiannya adalah mengapa terjadi gejala
kesinambungan penggunaan ragam hias yang menghiasi bangunan candi dari masa
Hindu Budha sampai masa awal masuknya Islam di Jawa.
C. Penutup
Ruang lingkup penelitian etnografi sangatlah luas, baik dalam bidang bahasa maupun
budaya. Hal itu meliputi segala kegiatan manusia yang dilakukan sehari-hari dalam
lingkungannya seperti apa yang diciptakannya (artifak), dirasakannya, dipikirkannya,
diketahuinya, yang disampaikan kepada sesama lewat tuturan dan tulisan yang dihasilkannya
untuk membedakan baik buruk, tabu atau tidak, maupun membina kehidupan masyarakat dan
berbagai nilai dalam kehidupan masyarakat, berkeluarga.
Peneliti etnografi telah membuktikannya melalui hasil kajian mereka antara lain
bahasa yang digunakan berkaitan dengan budaya makan dan minum; melestarikan nilai moral
melalui nasehat leluhur, citra wanita yang dipaparkan secara gamblang berdasarkan kajian
13
sastra; kajian tindak tutur percakapan wanita. Begitu pula yang mengkaji karya seni, tari-
tarian, dan makna simbolis yang terkandung di dalamnya demikian pula kajian ritual dan
fungsi keagamaan sampai pada mengkaji nilai seni pada masyarakat kalangan bawah.
Hasil-hasil penelitian ini tentunya berimplikasi dalam berbagai hal seperti di bidang
pendidikan dan pengajaran yaitu dapat menjadi materi tambahan dalam pngajaran bahasa,
sastra, dan seni. Selain itu, dapat melestarikan bahasa dan budaya dalam masyarakat.
14
DAFTAR PUSTAKA
Asri, Wahyu Kurniati. 2008. Anjuran Moral Dalam Papassang Makassar Sebagai
Suatu Warisan Budaya dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra.
Tahun ke-7, No.14 , Juli 2008. Hal. 23-33.
Chaer, Abdul & Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambidge: Cambridge
University Press
Emzir. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Herlina. 2009. Kajian Tindak Tutur Dalam Percakapan Tokoh Utama Wanita, Dalam
Novel Astiti Rahayu Karya Iskasiah Sumarto, dalam Jurnal Pendidikan
Bahasa dan Sastra. Tahun ke-8, No.16, Juli 2009. Hal. 40-52.
Hymes, Dell. 1966. Culture and Society. New York: Arber and Row.
Ibrahim, Nini. 2009. Citra Perempuan Dalam Novel Karya NH. Dini dalam Jurnal
Pendidikan Bahasa dan Sastra. Tahun ke-8, No.16, Juli 2009. Hal. 1-13.
Ikhsanudin. 2008. Renik-renik Budaya dan Peristilahan Cara Makan Masyarakat Jawa
di Pringsewu-Lampung dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra.
Tahun ke-7, No.14 , Juli 2008. Hal. 34-49
Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.
Mackay, Sandra Lee & Hornberger, Nancy H. 1996. Sociolinguistics and Language
Teaching. New York: Cambridge University Press.
Munandar, Agus Aris. 1999. Berbagai Bentuk Ragam Hias pada Bangunan Hindu
Budha dan Awal Masuknya Islam di Jawa dalam Wacana: Jurnal Ilmu
Pengetahuan Budaya. Vol.1, No.1, April 1999. Hal. 49-69.
Ruhalia.2007. Cerita Amir Hamzah dan Umar Maya dalam Kumpulan Makalah
Pemikiran-pemikiran Inovativ Dalam Kajian Bahasa, Sastra, Seni, dan
Pembelajarannya. Tahun 2007. FPBS UPI Bandung. Hal. 35-49.
15
Soedarsono, R.M. 1997. Wayang Wong: The State Ritual Dance Drama in the Court
of Yokyakarta dalam Etnokoreologi Sebuah Disiplin Pengkajian Tari. FPBS
UPI. 2005. Hal. 5-7.
Tim Mahasiswa Pascasarjana. 2008. Kajian Ritual Malam Jumat Kliwon di Makam
Kyai Ageng Balak Desa Mertan Kecamatan Bendosari Sukuharjo. PPS
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Wardhaugh, Ronald. 1994. An Introduction to Sociolinguistics. Massachusetts:
Blackwell.
16