Download - Bahan Peledak kecil
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bahan Peledak
Bahan peledak dapat di defenisikan sebagai suatu bahan atau campuran
bahan yang dengan spontan dapat berubah secara kimia tanpa suplay oksigen dari
luar dan melepaskan energi dalam jumlah besar yang ditandai dengan
pengembangan gas panas, atau dengan kata lain adalah suatu bahan kimia berupa
senyawa tunggal atau campuran yang berbentuk padat atau cair yang apabila
dikenai oleh suatu aksi panas, benturan, gesekan atau ledakan awal akan berubah
menjadi bahan-bahan yang lebih stabil yang sebagian atau seluruhnya dalam
berbentuk gas dan disertai dengan tekanan dan panas yang sangat tinggi.
Secara legal bahan peledak banyak digunakan dalam dunia industri yang
digunakan dalam pertambangan seperti pada pengeboran minyak,
mmenghancurkan batu-batuan dipegunungan dan kebutuhan pertambangan
lainnya, demikian juga banyak digunakan untuk kepentingan militer misalnya
sebagai demolisi, roket, propellant dan kebutuhan militer yang lain, dimana
bahan peledak untuk kedua kegunaan tersebut diatas setelah diproduksi secara
berkala dianalisa untuk quality control. Akan tetapi secara illegal bahan peledak
juga digunakan oleh kelompok terorist dan pelaku-pelaku kriminal untuk
pembuatan bom rakitan yaitu dengan rancangan sedemikian rupa dengan bahan-
bahn lain secara tidak sah untuk tujuan dapat menimbulkan ledakan ( Lentz, R.
Robert 1976 ).
Pada prinsipnya suatu ledakan adalah merupakan reaksi kimia yang
terjadi secara spontan dimana pada umumnya kita mengenal reaksi kimia dapat
terjadi secara termodinamika dan termokinetika.
Namun demikian pada reaksi kimia bahan peledak terjadinya suatu reaksi
juga sangat dipengaruhi oleh adanya suatu energi gelombang yang dikenal
dengan shock wave dimana jenis reaksi ini dikenal dengan sono chemistry karena
terjadinya reaksi kimia adalah disebabkan oleh energi gelombang dan reaksi ini
umumnya dikelompokkan dalam reaksi detonasi yaitu merupakan reaksi kimia
sangat cepat dan biasanya berada dalam wilayah kecepatan subsonic yang diawali 7
Universitas Sumatera Utara
dengan panas, disertai dengan shock compression dan membebaskan energi yang
mempertahankan shock wave serta berakhir dengan ekspansi hasil reaksi, tetapi
apabila reaksi yang terjadi berada pada kecepatan dibawah subsonic dikenal
dengan deflagrasi (deflagration) yang umumnya terjadinya reaksi disebabkan
oleh adanya konduksi panas.
Bahan peledak secara umum dapat dikelompokkan menjadi bahan
peledak organik misalnya TNT, PETN, RDX, Nitrogliceryne dan lain-lain yang
dapat meledak berupa senyawa tunggal tanpa membutuhkan penambahan
reduktor karena pada reaksinya terjadi autoredoks, sedangkan bahan peledak
anorganik biasanya berfungsi sebagai bahan peledak berupa campuran senyawa
misalnya campuran kalium nitrat, belerang dan karbon black powder, campuran
kalium klorat dan aluminium powder ( flash powder) yang mana reaksinya adalah
berupa reaksi reduksi-oksidasi antara oksidator dan reduktor. Demikian juga
sebagai pemicu ledakan dari kedua jenis bahan peledak ini berbeda yaitu untuk
senyawa organik ledakan terjadi dengan adanya shock wave sedangkan untuk
senyawa anorganik ledakan yang terjadi pada umumnya dipicu oleh adanya
konduksi panas (Murray S G, ” Mechanism of Explosion ” in Encyclopedia of
Forensic Science .Ed By Siegel J,A.,at al. 2000).
2.1.1. Penggolongan bahan peledak.
Penggolongan bahan peledak bukan hanya ditentukan berdasarkan kedua
jenis tersebut diatas tetapi juga dapat dilakukan berdasarkan struktur kimia,
kegunaannya, penempatannya dalam rantai detonasi dan berdasarkan sifat-sifat
ledakannya yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Berdasarkan struktur kimianya
1) Bahan peledak nitro organik yang umumnya terdiri dari :
- Nitro Aromatis : asam pikrat, TNT, 2,4 DNT dan lain-lain.
- Nitrate ester : ethyleneglycol Dinitrate (EGDN), Glycerol
Trinitrate (NG), Penta Eryhrithol Tetra Nitrat (PETN) dan lain-lain.
- Nitramine : 1,3,5 trinito 1,3,5 triazacyclo hexane (RDX),1,3,5,7 tetra
nitro- 1,3,5,7 tetraza cyclooctane (HMX).
Universitas Sumatera Utara
2). Peroksida organik : TATP, HMTD dan lain-lain.
3). Garam organik : ammonium nitrat.
4). Campuran oksidator dan reduktor, black powder, propellant dan lain-
lain.
b. Berdasarkan kegunaannya
1). Bahan peledak militer : TNT, PETN, RDX.
2). Bahan peledak industri dinamit, amonium nitrat, emulsion explosives.
3). Bahan peledak improvisasi pembuatan illegal : kalium klorat dan gula ;
kalium klorat, sulfur dan aluminium powder dan lain-lain.
c. Berdasarkan penempatan dalam rangkaian detonasi
1). Primary Explosive : mercury fulminate, lead azide, dan lain-lain.
2). Booster : PETN
3). Main charge : TNT, RDX, black powder, flash powder .
d. Berdasarkan sifat ledakannya
1). High explosive : TNT, RDX.
2). Low explosive : black powder, smokless powder.
2.1.2 Tri Nitro Toluena
Bahan peledak 2,4,6 Tri Nitro Toluena banyak digunakan sebagai bahan
peledak militer dan industri karena mempunyai beberapa keuntungan antara lain
titik leleh rendah, dapat digunakan sebagai bahan peledak senyawa tunggal atau
tidak membutuhkan bahan reduktor, relatif stabil dan tidak sensitif terhadap
benturan, gesekan, maupun suhu tinggi sehingga relatif aman untuk digunakan
sebagai bahan peledak . Namun demikian bahan peledak ini sangat peka terhadap
gelombang energi atau dengan kata lain apabila terhadap bahan peledak TNT
dilewatkan shock wave ( gelombang kejut) maka segera terjadi ledakan, dengan
demikian untuk meledakkan TNT selalu menggunakan detonator dan karena
ledakan yang terjadi dipicu oleh gelombang energi maka yang terjadi adalah
proses detonasi maka ledakan yang terjadi adalah bersifat high explosive.
Universitas Sumatera Utara
Rumus molekul dari TNT adalah C7H5N3O6 dengan berat molekul 227,15
dan strukturnya dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut:
Gambar 2.1. Struktur Tri Nitro Toluena
Tri Nitro Toluena mempunyai beberapa isomer yaitu,
2,4,6 TNT, Titik leleh 80,650C
2,3,4 TNT, Titik leleh 80,650C
2,4,5 TNT, Titik leleh 80,650C
3,4,5 TNT, Titik leleh 80,650C
2,3,5 TNT, Titik leleh 80,650C
2,3,6 TNT, Titik leleh 80,650C
Diantara semua isomer yang ada 2,4,6 Tri Nitro Toluena merupakan isomer
yang paling tidak sensitif terhadap benturan, gesekan dan energi elektrostatik.
Jika ada benda asing yang kasar atau keras seperti adanya karat besi, maka dapat
menyebabkan TNT lebih sensitif terhadap benturan, demikian juga TNT dalam
bentuk cair lebih sensitif lagi terhadap benturan.
Secara umum TNT larut dalam beberapa pelarut organik, antara lain dalam
etanol, dietil eter, kloroform, toluena, benzena, dimetil sulfoksida, dan lain-lain.
Karakteristik lain dari TNT adalah mempunyai energi aktivasi 34,18 kKal/mol,
suhu ihnisi atau suhu deflagrasi adalah 3000C, panas ledakan diantara 4396 –
4564 kJ/kg dengan kecepatan detonasi 6900 m/det, volume gas dari detonasi 730
liter/kg.
Pembuatan TNT dapat dilakukan melalui nitrasi terhadap toluena dengan
campuran asam nitrat dan asam sulfat yang terdiri dari beberapa tahapan.
Tahapan niterasi membutuhkan campuran asam dalam konsentrasi tinggi dan
bebas dari SO3.
Penggunaan TNT sebagai bahan peledak dapat berupa komponen tunggal
atau berupa campuran dengan komponen lain yang sudah banyak dikenal di
pasaran, antara lain jika dicampur dengan amonium nitrat dikenal dengan amatol,
Universitas Sumatera Utara
dengan aluminium powder disebut tritonal, dengan RDX disebut cyclonite dan
beberapa campuran yang lain. Oleh karena itu TNT adalah satu komponen yang
sangat penting dalam industri bahan peledak, tetapi karena sifatnya yang tidak
sensitif maka TNT dalam penggunaanya sebagai bahan peledak dikelompokkan
kedalam secondary explosive yang membutuhkan detonator untuk mengignisi
ledakan (Yinon and Zitrin 1993) .
2.1.3. Kalium Klorat
Secara kimia kalium klorat adalah suatu senyawa yang mengandung
Kalium, Klorida dan Oksigen dengan rumus molekul KClO3, mempunyai berat
molekul 122,6, titik leleh 3700C dan berat jenis 2,34 g/cm,3 titik didih 4000C dan
titik nyala 4000C. Dalam bentuk murni kalium klorat berupa kristal monoklinik
berwarna putih dan digolongkan dalam senyawa oksidator kuat. Kalium klorat
sedikit larut dalam air dingin dan segera larut dalam air panas, tetapi tidak larut
dalam alkohol ( Kohler and Meyer, 1993).
Kalium klorat sangat reaktif dan peka terhadap panas yang apabila diberi
panas akan terurai menjadi kalium klorida dan gas oksigen.
2 KClO3 2 KCl + 3 O2
Kalium klorat juga dapat bereaksi dengan beberapa logam tertentu dalam
fase padat (serbuk halus) sambil melepaskan energi, yaitu antara lain dengan
logam aluminium, magnesium dan logam-logam yang segolongan dengannya.
KClO3 + 2 Al KCl + Al2O3
Reaksi lainnya dari kalium klorat yang berkaitan dengan sifat ledakannya
adalah reaksi dengan Sulfur melalui tahapan reaksi dengan oksigen dari udara
yaitu melalui pembentukan SO2 dimana akan memberikan implikasi sifat ignisi
spontan pada reaksi campuran antara klorat dan sulfur yang reaksinya dapat
digambarkan sebagai berikut:
S + O2 SO2
2KClO3 + SO2 K 2SO4 + 2 ClO2
4S + 2ClO2 2SO2 + S2Cl
Universitas Sumatera Utara
Reaksi tersebut diatas adalah merupakan salah satu kemungkinan
mekanisme reaksi pada ignisi spontan yang terjadi antara kalium klorat dengan
sulfur yang mana dapat dilihat bahwa 1 mol sulfur dapat menghasilkan 2 mol gas
SO2 ( B.J.Kosanke at al, 2004).
Klorin dioksida (ClO2) mempunyai sifat reaktifitas sangat tinggi,
mempunyai titik didih 110C, bersifat paramagnetik. Klorin dioksida cair dapat
meledak pada suhu diatas - 400C, dan dalam bentuk gas pada tekanan partial > 55
mm Hg apabila bercampur dengan reduktor akan segera terdetonasi dan terjadi
ledakan yang kuat.
Klorin dioksida adalah molekul berelektron ganjil yang sangat reaktif dan
cenderung tetapi tidak memebentuk dimer seperti molekul-molekul berelektron
ganjil lainnya, hal ini disebabkan oleh karena dapat disetabilkan energi
resonansinnya (J.D.Lee, 1994).
Secara komersil dalam industri dan di kehidupan sehari – hari kalium
klorat banyak digunakan sebagai komponen utama pembuatan korek api,
desinfektan, penghasil oksigen dan juga untuk pembuatan petasan serta kembang
api. Suatu campuran kalium klorat dengan tepung (serbuk) logam (misalnya :
aluminium, magnesium) dikenal dengan flash powder. Campuran ini sangat peka
terhadap panas maka dengan memberi sedikit panas akan terjadi reaksi spontan
atau mengalami deflagrasi. Jika reaksi terjadi dalam wadah tertutup akan
menimbulkan ledakan yang berkekuatan rendah atau bersifat low explosive.
Beberapa campuran kalium klorat yang sudah dikenal antara lain adalah
dengan gula pasir disebut sugar bomb, dan beberapa formulasi yang dimodifikasi
yaitu menggunakan antimoni sulfida sebagai pengganti sulfur, magnesiun atau
suatu alloy aluminium – magnesium (magnalinium) sebagai pengganti
alluminium. Juga ditemukan bahan peledak flash powder yang diproduksi secara
illegal yang dikenal dengan M-805 dan M-1005 ( Saferstein Richard, 2002) .
Komposisi bahan peledak kalium klorat lainnya yang telah dikenal adalah
berupa kalium klorat 9 bagian dicampur dengan 1 bagian vaseline atau petroleum
jelly, kemudian diberi shock wave maka campuran ini akan terdetonasi dan
ledakannya lebih kuat dari peledak black powder dan sifat ledakannya high
explosive ( The Terrorist Handbook, Gunzenboom 2002 ).
Universitas Sumatera Utara
Walaupun sifat dari bahan peledak ini dapat dirancang sebagai low
explosive dan sebagai bahan peledak high explosive tetapi penggunaannya secara
komersial dalam industri maupun untuk kepentingan militer kurang populer dan
tidak banyak digunakan oleh karena sifatnya yang sangat sensitive terutama
terhadap panas sehingga penanganan dan penyimpanannya relatif sulit
dilakukan.
2.1.4. Aluminium
Aluminium dalam bentuk serbuk halus (tepung) biasanya ditambahkan
kedalam bahan peledak dan propellant untuk menambah atau menaikkan
efisiensinya. Pada reaksinya umumnya tidak terbentuk gas, tetapi dihasilkan
aluminium oksidasi dalam bentuk padat, tetapi panas pembentukan oksida
tersebut sangat tinggi, yaitu 396 kca/mol = 1658 kJ/mol; 3883 kcal/kg = 1620
kJ/kg. Penambahan aluminium diperkirakan akan menaikkan panas ledakan dan
memberikan uap panas dengan suhu sangat tinggi dan dapat diyakini bahwa
dalam gelombang detonasi pertama aluminium tidak beraksi sempurna, tetapi
reaksi kemudian sempurna pada zone uap (post-heating).
Jika jumlah aluminium dalam campuran bahan peledak relatif tinggi akan
dihasilkan pengaruh suatu gas impact, selanjutnya bagian dari campuran yang
tidak bereaksi dari uap dengan oksigen di udara kemungkinan menghasilkan
suatu penundaan ledakan kedua .
Aluminium sudah digunakan luas sebagai campuran bahan peledak antara
lain pada amatol, DBX, HBX-1, hexal, minex, minol, tarpex, trialenes, tritoral
dan hexotonal. Pengaruh yang tampak dihasilkan oleh serbuk aluminium sering
digunakan dalam slurries dan juga dalam composite propellants. Karakteristik
yang sangat penting dari serbuk aluminium adalah bentuk dan ukuran butiran
kecil dan keras ( Kohler and Meyer 1992).
Ada beberapa reaksi aluminium yang erat kaitannya dengan proses
pembakaran dan ledakan sehingga reaksi ini dikelompokkan dalam reaksi yang
mempunyai resiko berbahaya dan secara umum digambarkan sebagai berikut:
Aluminium + X Combustion/explosion
Universitas Sumatera Utara
X = Bahan oksidator
Reaksi ini dapat melibatkan air, pembakaran spontan, material
pyrotechnic sebagai sumber ignisi dalam korek api.
Beberapa contoh jenis reaksi aluminium adalah :
a. Reaksi Thermite.
Reaksi ini jika di peragakan termasuk reaksi yang mengandung resiko
berbahaya.
2 Al (padat) + Fe2O3 (padat) 2 Fe + Al2O3
panas reaksi = - 848 kJ.
b. Reaksi Pyrotechnic.
Reaksi ini umumnya melibatkan oksidator kuat.
6 NH4ClO4 + 10 Al 5Al2O3 + 6HCl + 3N2 + 9H2O
Campuran ini juga dapat dijadikan sebagai suatu sumber ignisi seperti pada
pembuatan korek api.
c. Aluminium khususnya dalam bentuk serbuk dapat bereaksi dengan air dan
jika ada asam atau basa kuat akan menghasilkan gas hidrogen.
2Al + 2NaOH + 6 H2O 2NaAl(OH)4 + 3H2
NaAlO2. 2H2O + 3H2
2Al + 6 H+ 2Al+3 + 3H2
Beberapa contoh dari reaksi model ini adalah terdapat pada korek api,
statik spark, sinar cosmis dan lain-lain.
Dalam reaksi ini tidak dapat digunakan counter ion oleh karena reaksi
oksidasi suatu logam umumnya menghasilka gas H2 .
Aluminium foil dapat dilarutkan dalam asam atau basa kuat dalam ruang
yang confined (padat/sempit) dan dapat menghasilkan panas tinggi yang sangat
cepat dalam pembakaran dari hidrogen, hal ini juga dapat menjelaskan bahwa
dengan adanya air dalam bahan peledak maka sifat ledakan tersebut menjadi
makin rendah.
Umumnya korek api yang digolongkan kedalam pyrotechnic adalah
mengandung bahan phospor dan sebagai ignisiasi adalah sulfur yang ditambah
dengan zat oksidator kuat untuk pembakarannya.
Universitas Sumatera Utara
Aluminium pada kenyataannya adalah suatu logam yang sangat reaktif dan
flamable, sehingga umumnya dilindungi dengan suatu pelapis yang tidak reaktif
(innert) dari aluminium oksida. Selanjutnya dengan melarutkan oksida tersebut
akan memperlihatkan suatu permukaan aluminium yang cerah yang mana dapat
bereaksi dengan air maupun dengan udara.
2.1.5. Belerang
Belerang atau sulfur bersama dengan charcoal telah lama digunakan
sebagai komponen bahan bakar dalam black powder.
Sulfur mempunyai berat atom 32,07, berat jenis 2,079/cm3, titik leleh
1130C sedangkan titik didih 445-0C.
Sulfur atau belerang banyak ditemui di alam dalam bentuk α-sulfur yang
mengandung cincin S8 dan biasanya belerang berbentuk padat warna kuning
muda, tidak berasa dan tidak berbau.
Sulfur mempunyai beberapa bentuk struktur yang dikenal dengan allotropic yaitu
bentuk rombis, monoklinik, polimer dan bentuk lainnya akan tetapi struktur yang
paling sering ditemukan adalah bentuk belah ketupat. Setiap bentuk allotropic
dari sulfur tersebut memeberikan sifat-sifat yang berkata baik dalam kelrutan,
bobot, kristal dan konstanta fisiknya, namun berbagai allotrop juga bisa eksis
bersama-sama dalam keseimbagan dalam proporsi tertentu tergantung pada suhu
dan tekanan.
Bentuk belah ketupat dari kristal monoklim sulfur terdiri dari delapan
atom belerang (sulfur) membentuk struktur cincin. Pada suhu kurang dari
95,400C dengan tekanan tertentu kristal belah ketupat tersebut stabil tetapi pada
suhu 118,90C kristal akan mencair sedangkan pada suhu 1600C atau lebih , maka
kedelapan anggota cincin molekul sulfur akan pecah dan rantai cincin menjadi
terbuka kemudian rantai molekul sulfur yang terbentuk akan bergabung
membentuk suatu struktur polimer bercabang melalui mekanisme radikal bebas.
Pada temperatur tinggi, kristalin yang dibentuk oleh polimer sebagai
rantai panjang sering berorientasi membentuk heliks melingkar kedalam
membentuk sudut ikatan kepada delapan anggota cincin.
Universitas Sumatera Utara
Disamping dalam bentuk padat sulfur juga dapat ditemukan dalam
bentuk gas yaitu untuk S2 (disulfur), S3 (trisulfur), dan S4 (tetrasulfur).
Demikian juga dalam bentuk padat selain S-8 juga dikural siklo S-5 (penta
sulfur), siklo S-6 (hexa sulfur) dan siklo S-7 (hepta sulfur) sedangkan untuk S-
8 dapat dibagi menjadi α sulfur, β sulfur, φ sulfur.
Siklo S-8 α sulfur juga dikenal dengan “orthoromic sulfur” dan secara
rumus lebih stabil terhadap panas hingga 950C dan pada suhu 95,3 0C
berubah menjadi β sulfur adalah kristal kuning dengan bentuk kristal
monoclinic dan lebih sedikit dari α sulfur dan hanya stabil setelah 95,30C
sebelumnya adalah dalam bentuk α sulfur, titik didih dari β sulfur adalah
berkisar pada 119,6 - 119,80C, sedangkan τ sulfur dikenal dengan “nacrus
sulfur” mother of pearl sulfur” GerNezl’s sulfur ditemukan dalam bentuk
padat bewarna kuning cerah ditemukan dari alam sebagai mineral rosickyfe.
Gambar 2.2. Bentuk struktur S8 Flat dan S8 3 Dimensi
2.2. Proses Ignisiasi Peledakan
Suatu bahan peledak secara umum didefenisikan sebagai simpanan energi
yang dapat dilepaskan untuk melakukan suatu pekerjaan. Energi tersebut dapat
dilepaskan melalui reaksi pembakaran seperti yang digunakan dalam senjata atau
propellant rocket atau dalam suatu detonasi dalam militer atau dalam blasting
explosive.
Universitas Sumatera Utara
Bahan peledak yang dirancang hanya untuk terbakar saja biasanya
digunakan sebagai propellant dan disebut dengan low explosive, sedangkan yang
dirancang untuk didetonasi disebut dengan high explosive. Pada prinsipnya
semua bahan peledak terutama pyrotechnic dapat mengalami pembakaran dan
detonasi, tergantung dari metode inisiasinya, beberapa bahan pyrotechnic dapat di
detonasi dengan cara yang sama, bahan peledak propellant dapat juga di desain
untuk pembakaran dan detonasi dengan inisiasi tertentu. Tetapi permasalahannya
adalah bagaimana cara menghandle bahan peledak dalam jumlah besar karena
sensitivitasnya yang tinggi ( Saferstein, 2002 ).
Perbedaan diantara kedua cara tersebut dapat dijelaskan bahwa pada
deflagrasi reaksi yang terjadi dimulai dari permukaan menuju kearah dalam dari
bahan peledak dengan ditopang oleh adanya konduksi panas hasil pembakaran di
dalam bahan tersebut. Sedangkan pada proses detonasi reaksi yang terjadi dari
dalam kearah luar/permukaan bahan peledak dengan ditopang oleh adanya
rambatan gelombang kejut (shock wave) dan kecepatan rambatnya paling lambat
sama dengan kecepatan suara dalam bahan peledak tersebut yakni 1800 m/detik.
Tetapi pada literatur lain ditetapkan kecepatan detonasi berada diantara 1500-
9000 m/detik. (Kohler and Meyer,1993).
Dengan demikian dapat dipahami dalam suatu ledakan bom rakitan adalah sangat
ditentukan bagaimana rancangan mekanisme peledakannya karena pada
prinsipnya semua bahan peledak dapat terbakar dan terdetonasi hanya berbeda
pada sensivitasnya saja, sehingga bahan peledak campuran KClO3, sulfur dan
alluminium powder kemungkinan juga dapat terdetonasi sehingga sifatnya
menjadi high explosive, dan kekuatan dari ledakan bom tersebut juga sangat
ditentukan oleh formula dan jumlah dari bahan peledak yang digunakan.
Pada prakteknya metode inisiasi pada proses burning atau detonasi
ditentukan oleh penggunaannya dalam rangkaian peledakan. Element pertama
rangkaian peledak adalah primary explosive yang sangat sintesive dan dalam
jumlah relative sedikit umumnya 0,1 - 0,5 g. Sedangkan main charge umumnya
kurang sensitif sehingga hasil primary explosive biasanya diperkuat dengan
menggunakan suatu booster yang berfungsi untuk menginisiasi main charge atau
bahan peledak utama.
Universitas Sumatera Utara
Primary explosive yang banyak digunakan dalam sistim detonasi adalah
lead azide terutama digunakan dalam transisi spontan dari burning ke detonasi
dalam semua kondisi. Satu contoh sederhana penggunaan pellet lead azida dalam
rangkaian ledakan adalah untuk burning, flash atau flame dari fuze atau dari suatu
inisiasi elektrik dan pada fraksi kecil dalam millimeter terpecah menjadi
gelombang kejut (shock wave) dan selanjutnya mendetonasi. Jika lead azida
ditempatkan dekat dengan pellet booster akan terjadi proses shock to detonation
dengan demikian shock dari lead azide akan mendetonasi booster dan
selanjutnya pellet booster akan melakukan hal yang sama terhadap main charge.
Booster yang banyak digunakan dalam proses peledakan antara lain seperti PETN
atau RDX dimana biasanya lebih sensitif dibandingkan main charge. Baik
booster maupun main charge keduanya digolongkan dalam secondary explosive
yang mempunyai sensivitas yang lebih rendah dari primary explosive (Murray S
G., ” Mechanism of Explosion ” in Encyclopedia of Forensic Science .Ed By
Siegel J,A.,at al. 2000).
Secara komersil proses inisiator dikenal demolition detonator yang
biasanya terbuat dari suatu tabung logam tipis dengan diameter 6 - 8 mm
umumnya terbuat dari alluminium atau tembaga yang berisi bahan utama PETN
dan lead azide dan sebagai pemicu digunakan konduksi panas atau elektrik.
Salah satu tipe bahan peledak yang sudah lazim dikenal adalah gun powder atau
sering disebut black powder yang dibuat dari campuran KClO3 atau NaNO3
(75%), charcoal (15%) dan sulfur (10%) untuk meningkatkan sensitifitasnya.
Secara detail reaksinya sangat komplek dan menurut refrensi terdapat 14 produk
yang berbeda. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa karbon dioksidasi
(dibakar) oleh oksigen dari KNO3 dan membebaskan energi 3000 kJ kg-1 dari
energi panas berikut gas CO2 dan CO secara bersamaan.
Demikian juga gas dapat terbentuk dari nitrogen dalam kaluim nitrat
menghasilkan N2 melepaskan gas berkisar 3000 l/kg-.1
Secara sederhana reaksinya dapat digambarkan sebagai berikut :
4 KNO3 + 7C + S 3 CO2 + 3CO+ 2N2 + K2CO3 + K2S
Universitas Sumatera Utara
Sejak abad ke-19 pengembangan ilmu kimia mengarah kepada sifat-sifat
bahan peledak yang dikenal sebagai bahan peledak yang mengandung atom hidro
karbon dan juga mengandung gugus nitro, yang didasarkan kepada 3 jenis gugus
nitro yaitu type senyawa nitro yang mengandung gugus C- NO2, Nitrat ester C-O-
NO2 dan Nitramine C-N-NO2.
Senyawa-senyawa ini dapat bereaksi sangat cepat dan mengakibatkan
ledakan yang cukup besar. Dalam kenyataannya reaksi yang terjadi sangat
dipengaruhi oleh kesetimbagan oksigen yang ada pada molekul bahan peledak
tersebut. Misalnya pada molekul Nitroglycerin akan terjadi kelebihan oksigen
dan hal ini dapat dilihat pada reaksi berikut.
C3H5N3O9 3CO2 + 2.5 H20 + 1,5 N2 + 0,25 O2
Reaksi ini dikenal dengan kesetimbangan oksigen positif dimana pada
sakhir reaqksi atau akhir ledakan masih ada oksigen yang tersisa dan dailepaskan
dalam bentuk gas O2. Akan tetapi berbeda dengan molekul TNT dengan rumus
molekul C7H5N3O6 dalam molekulnya kekurangan oksigen atau yang disebut
dengan kesetimbangan negative, sehingga pada akhir reaksi atau akhir ledakan
dihasilkan banyak atom karbon yang tersisa dan dilepaskan dalam bentuk karbon
bebas yang mengakibatkan adanya asap hitam pada ledakan tersebut dan hal ini
sering digunakan sebagai salah satu alat identifikasi atau pengamatan awal
terhadap suatu reaksi ledakan TNT.
Persamaan reaksi detonasi TNT yang diberikan oleh Kistiakowsky dan
Wilson adalah sebagai berikut :
C7H5N3O6 3,5CO + 3,5 C + 2,5 H2O + 1,5 N2
Dalam kedua jenis ledakan tersebut terjadi reaksi yang dikenal dengan
auto redoks, sehingga dalam reaksi ini tidak dibutuhkan adanya reduktor karena
dalam molekul itu sendiri akan terjadi reaksi oksidasi reduksi yang dipicu oleh
adanya energi dari shock wave yang biasanya dihasilkan dari ledakan detonator
(Murray S G, “Mechanism of Explosion ” in Encyclopedia of Forensic Science
.Ed By Siegel J,A.,at al 2000).
Universitas Sumatera Utara
2.3. Deflagrasi dan Detonasi.
2.3.1. Deflagrasi
Suatu bahan peledak dapat mengalami dekomposisi pada kecepatan
suara dalam material tersebut tanpa membutuhkan oksigen dari udara, dan reaksi
ini dikenal dengan deflagrasi. Reaksi ini dapat berjalan karena pelepasan panas
dari reaksi, dan produk yang dihasilkan berbanding terbalik dengan proses
dekomposisi bahan peledak tersebut.
Contoh reaksi deflagrasi adalah pembakaran suatu serbuk (powder) atau
suatu bahan rocket. Jenis reaksi suatu bahan peledak apakah termasuk deflagrasi
atau detonasi adalah sangat ditentukan oleh sejauh mana perlakuan terhadap
bahan peledak dimaksud.
Titik deflagrasi ( deflagration point ) dapat didefenisikan sebagai satu
tempratur dimana dengan sedikit sampel bahan peledak yang ditempatkan dalam
test tube dan dengan pemanasan dari luar terbakar menghasilkan nyala dan segera
terdekomposisi.
Misalnya : 0,5 gram sampel ( bahan peledak) dimasukkan kedalam test
tube dan diimersikan kedalam suatu larutan logam (lebih disukai Wood, s metall
) bath pada suhu 1000C (2120 F), dan kenaikan temprature diatur 200C per menit
sampai terjadi deflagrasi atau mengalami dekomposisi.
Metode ini mempunyai kesamaan dengan metode resmi laid down
dalam RID . Nitroselulosa dan nitroselulosa serbuk ditest dalam satu stirer
parrafin bath dan dipanaskan dengan kenaikan suhu 50 C per menit.
Proses deflagrasi disebut juga burning explosive yang dapat dijelaskan
berdasarkan pelepasan energi dan gas melalui suatu reaksi yang terjadi di
permukaan suatu bahan peledak.
Pembakaran yang terjadi di permukaan suatu bahan peledak dapat terjadi
karena tersedianya bahan bakar (fuel) didalam bahan itu sendiri dan dioksidasi
oleh oksigen yang yang ada dalam bahan peledak itu sendiri.
Jadi energi yang dikandung dalam sistim melibatkan suatu reaksi kimia
yang kompleks dan menghasilkan pembakaran dengan panas yang lebih tinggi
berupa lapisan-lapisan di permukaan.
Dengan terjadinya pembakaran dipermukaan maka ini merupakan sumber
panas dan sebagian besar panas tersebut akan terkonduksi ke bahan peledak dan
Universitas Sumatera Utara
segera menambah atau memperbesar pembakaran di permukaan sehingga
menghasilkan suhu yang lebih tinggi. Untuk lebih memudahkan memahami
uraian diatas dapat dilihat pada Gambar : 2.3 berikut ini.
Gas dan panas yang dihasilkan pada pembakaran di permukaan
Kecepatan pembakaran linear ( r ) mm s-1
Arah dari Flame Front
Konduksi panas dari pembakaran permukaan
Gambar 2.3. Proses pembakaran bahan peledak
Kecepatan pergerakan flame front dikenal dengan kecepatan pembakaran
linier (r), kecepatan pembakaran massa tidak dapat diprediksi, misalnya berapa
massa bahan peledak yang diubah menjadi panas dan gas. Pada peristiwa
pembakaran dipermukaan ini terdapat hubungan antara luas permukaan bahan
peledak, dan kecepatan pembakaran linier yang mempengaruhi mass burning
rate yaitu :
rA x α
dtdm
2.3.2. Detonasi
Pada suatu proses pembakaran biasanya terjadi diakibatkan oleh adanya
konduksi panas terhadap suatu bahan peledak , sedangkan pada proses detonasi
umumnya reaksi terjadi diakibatkan adanya aliran shock wave yang melewati
bahan peledak tersebut sehingga dapat diartiakan bahwa mekanisme suatu
pembakaran pada prinsipnya berbeda dengan mekanisme detonasi.
Universitas Sumatera Utara
Pergerakan shock wave dalam bahan peledak tersebut mempunyai
kecepatan setidak-tidaknya sama dengan kecepatan suara di dalam bahan peledak
itu sendiri dimana kecepatan suara dalam suatu bahan peledak disekitar 1800
m/det adalah ditentukan sebagai batas kecepatan minimum terjadinya suatu
proses detonasi, namun demikian pada literatur lain ada juga yang menetapkan
batas minimum suatu proses detonasi adalah 1500 m/det.
Pada suatu proses detonasi maupun energi yang dilepaskan dalam suatu
detonasi dapat dijelaskan dengan Gambar : 2.4 berikut ini.
Shockwave diudara dari gelombang detonasi pada ledakan
Bahan peledak yang tidak bereaksi
Zona reaksi
Front gelombang detonasi dalam ledakan
Front gas terekspansi dari gas panas yang dihasilkan
Gambar 2.4. Proses detonasi suatu bahan peledak
Mekanisme yang terpenting pada proses detonasi antara lain adalah adanya
suatu kondisi compress adiabatic diantara rongga mikroskopis serta effek batas
kristal untuk menghasilkan keadaan hot spot yang bertumbuh sebagai suatu
tekanan intensive dari shock wave yang melewati suatu bahan peledak dimana
energi yang dilepaskan dan gas yang dihasilkan dalam zona reaksi selanjutnya
segera didetonasi pada shock front.
Zona reaksi yang mempertahankan tekanan dalam shock front
menghasilkan suatu keadaan kecepatan steady-state yang dikenal dengan
kecepatan detonasi atau disebut velocity of detonation (VOD).
Berikut ini diberikan beberapa nilai parameter yang berkaitan dengan
kecepatan detonasi untuk bahan peledak senyawa tunggal seperti yang terlihat
pada Tabel : 2.1 berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Parameter Detonasi dari beberapa bahan peledak
Ketebalan zona reaksi antara lain tergantung pada bahan peledak tersebut
seperti tipe ledakannya yang berhubungan dengan secepat apa secara kimia dapat
terjadi dan juga pada ukuran muatannya yang secara umum hanya beberapa
milimeter.
Bentuk atau model shock wave front tergantung pada garis pemisah muatan,
dan secara teoritis ukuran muatan dan titik inisiasi tidak dapat ditentukan karena
shock front segera menyebar keluar secara radial (Murray S G, Mechanism of
Explosion ” in Encyclopedia of Forensic Science .Ed By Siegel J,A.,at al. 2000).
2.3.3. Kecepatan Detonasi dan Dautriche Method
Kecepatan detonasi adalah kecepatan penyebaran detonasi dalam suatu
peledakan. Jika density dari suatu bahan peledak berada pada nilai maksimum ,
dan apabila bahan peledak yang diisikan kedalam kolom yang mana jumlah dan
lebarnya sesuai diameter kritisnya, maka kecepatan detonasi adalah karakteristik
dari masing-masing bahan peledak tersebut dan tidak dipengaruhi oleh faktor –
faktor eksternal. Kecepatan detonasi akan berkurang dengan berkurangnya
density dari bahan peledak yang dimasukkan kedalam kolom. Kecepatan detonasi
bahan peledak nitrogliserin dan nitroglikol dalam keadaan confined dan
unconfined sangat berbeda nyata dan nilai ini dikenal dengan detonasi atas (
upper detonation ) dan detonasi bawah ( lower detonation ).
Universitas Sumatera Utara
Metode penentuan kecepatan detonasi dengan Dautriche Method dilakukan
dengan memasukkan sampel (bahan peledak) yang akan ditentukan kedalam
suatu kolom tertutup yang biasanya terbuat dari pipa besi. Kemudian dengan
ukuran panjang tertentu dari kolom detonasi dilobangi (membuat loop )
dengan diameter masing-masing sesuai ukuran blasting caps. Kedua loop
tersebut dipasang blasting caps dan dihubungkan dengan detonating cord
yang dilewatkan melalui lembaran atau plat timah (Pb) dimana salah satu
ujung plat merupakan pusat (center) atau pertengahan dari panjang detonating
cord.
Salah satu ujung pipa ( kolom detonasi ) dipasang detonator atau juga dapat
di tambah dengan suatu booster, maka apabila diledakkan pertama sekali terjadi
ledakan detonator dan booster kemudian meledakkan main charge dan mencapai
blasting caps pertama dan kedua sehingga kedua blasting caps akan terignisi dan
terjadi ledakan detonating cord yang menimbulkan notch pada plat Pb yang dapat
diukur yaitu sebanding dengan kecepatan gelombang detonasi dari bahan peledak
utama ( main charge ) yang terdapat pada kolom detonasi.
Adapun peralatan untuk menentukan kecepatan detonasi suatu bahan
peledak dengan Dautriche Method merupakan suatu metode yang sangat
sederhana dan mudah dikerjakan dengan hasil yang cukup akurat. Peralatan ini
dapat digambarkan seperti Gambar 2.5 berikut ini :
x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x
m
a
Detonator
Gambar 2.5. Alat Dautriche methode
Akibat meledaknya detonating cord yang menghubungkan kedua blasting
caps, maka gelombang detonasi akan bertemu pada suatu titik dan menimbulkan
notch yang dapat diukur dari pusat detonating cord yang panjangnya ditentukan
oleh kecepatan detonasi main charge dalam kolom detonasi.
Tabung confinment
Explosive
Booster
Blasting Caps
Plat Pb Det. cord
Panjang notch setelah ledakan
Pusat Det. cord
Universitas Sumatera Utara
Kecepatan detonasi bahan peledak tersebut dapat dihitung jika
dibandingkan dengan kecepatan detonasi detonating cord yang telah diketahui
dan dapat dihitung dengan rumus berikut ini :
dimana Dx = Kecepatan detonasi sampel
D = Kecepatan detonasi detonating cord
m = Jarak loop pada kolom detonasi
a = Jarak notch dengan pusat detonating cord
2.4. Kecepatan reaksi.
Untuk mempelajari suatu proses kimia yang terpenting dipahami adalah dua
hal berikut yaitu :
a. Termodinamika kimia yaitu menentukan apakah suatu reaksi dapat
berlangsung atau tidak.
b. Kinetika kimia yaitu memberikan informasi berkaitan dengan kecepatan
reaksi, faktor – faktor yang mempengaruhi suatu reaksi, kondisi lingkungan
atau tempat dimana reaksi berlangsung dan mekanisme atau tahapan yang
terjadi yang terlibat dalam reaksi tersebut
c. Kecepatan reaksi dapat di identifikasikan sebagai perubahan dari suatu
reaktan membentuk produk pada satuan waktu tertentu dan secara
sederhana dapat di jelaskan seperti reaksi berikut ini.
R P
(Reaktan ) (Produk)
Pada reaksi ini dalam satuan waktu tertentu konsentrasi reaktan akan
berkurang dan konsentrasi P akan bertambah. Oleh karena itu kecepatan reaksi
ini adalah kecepatan berkurangnya reaktan R adalah setara dengan kecepatan
bertambahnya produk P.
dt
Pddt
Rdk }{}{ +=
−=
Universitas Sumatera Utara
dimana : {R} dan {P} adalah konsentrasi dalam mol/liter dari reaktan dan
produk. Tanda negatif menunjukkan bahwa knsentrasi reaktan akan berkurang
dan tanda positif adalah bertambahnya konsentrasi produk P pada satuan waktu
tertentu.
Misalnya : pada reaksi berikut ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
A + B C + D
dtDd
dtCd
dtBd
dtAddkreaksicepa tan
dtke }{}{}{}{ +
==−
== + −=
Demikian juga sama halnya untuk reaksi yang umum dapat digambarkan
sebagai berikut :
aA + b B c C + d D
dtDd }{
ddtCdx
cdtBd
bdtAdx
areaksikecepa 1}{1}{1}{1tan +=+=−=−=
Lajos Sziroviczov (2009) telah meneliti kinetika reaksi Klorat dengan
sulfit (S03-) dan bisnetif (HSO3
-) dengan menggunakan konsentrasi Cl- dan H+
dalam larutan klorat – bisulfit dan klorat – sulfit / bisulfit dan dari hasil simulasi
diperoleh hasil sebagai berikut :
K1=(1±0,5) . 10-4π-βs-1 dan k2 = (0,23±0,01) . π -1s-1
Reaksi : ClO-3 + 3HSO3
- Cl- + 3 SO42- (1)
ClO-3 + 3HS2O3 Cl- + 3SO4
2- + 6H+ (2)
Konstanta kecepatan k1 diperoleh langsung dari hasil percobaan reaksi
klorat – sultif / bisulfit (1), sedangkan k2 diperoleh dengan menghitung {Cl -},
dan {H+} dari harga klorat – sulfit dan klorat sulfit / bisultif.
Universitas Sumatera Utara
2.4.1.Beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi
a. Konsentrasi reaktan.
Kecepatan reaksi kimia akan berkuran jika konsentrasi berkurang.
b. Temperatur.
Pada umumnya kecepatan reaksi akan meningkat dengan bertambahnya
suhu, bahkan untuk beberapa reaksi tertentu kecepatan reaksi akan meningkat 2
kali atau 3 kali cepat dengan kenaikan suhu sebesar 100C.
c. Katalis.
Kecepatan suatu reaksi kimia kemungkinan akan bertambah jika ditambah
dengan katalis. Misalnya : dekomposisi dan kalium klorat (KClO3) akan
bertambah cepat dengan adanya katalis MnO2.
d. Luas permukaan reaktan.
Semakin halus ukuran partikel akan memperbesar luas permukaan dan akan
meningkatkan kecepatan reaksi.
e. Radiasi.
Kecepatan reaksi kimia kadang kala meningkat dengan adanya radiasi sinar
visible atau UV, seperti reaksi H2dan O2 pada sinar matahari.
2.4.2. Pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi (Persamaan Arhenius)
Pada umumnya kecepatan reaksi akan bertambah jika terjadi kenaikan
suhu reaksi dimana jika suhu semakin tinggi berarti kecepatan reaksi juga
bertambah cepat. Perbandingan kecepatan konstanta spesifik pada untuk
kenaikan suhu 100C (mis: dari 250C menjadi 350C) dikenal sebagai koefisien
temperatur.
Koefisien temperatur = kt
kt 10+
Sebagai catatan untuk kenaikan suhu sebesar 100C, maka untuk beberapa reaksi
tertentu kecepatan reaksi dapat meningkat sebesar 2 kali atau bahkan 3 kali lipat.
Dengan didasarkan pada variasi konstanta kecepatan, k dengan temperatur
absolut, T dapat dinyatakan suatu hubungan impiris antara konstanta k dengan
suhu seperti rumus berikut ini :
Universitas Sumatera Utara
tBAK −=log
dimana A dan B adalah konstan
Vant Hoff (1884) mengusulkan bahwa dari kecepatan reaksi spesifik
suatu reaksi isochor adalah merupakan logaritma dari satu fungsi linier yang
berbanding terbalik dengan temperatur absolut.
Teori ini kemudian dikembangkan oleh Archenius (1889), yang mengemukakan
suatu pendapat atau hipotesis tentang hubungan antara kecepatan reaksi dengan
suhu reaksi.
Menurut hipotesis Archenius, tidak seluruh molekul – molekul dari sistem
mengambil tempat pada reaksi kimia, tetapi hanya suatu fraksi dalam molekul
yang merupakan bagian - bagian aktif molekul yang bereaksi.
Kesetimbangan akan tercapai jika jumlah molekul yang aktif dan molekul yang
tidak aktif atau passif sama, tetapi jika temperatur bertambah maka sejumlah
molekul yang pasif akan menyerap energi panas sehingga menjadi aktif dan
selanjutnya akan meningkatkan kecepatan reaksi.
Dari studi tersebut, Archenius memberikan suatu persamaan yang
memperlihatkan hubungan antara konstanta kecepatan dengan temperatur sebagai
berikut.
K = A.e -Ea/RT
dimana K = konstanta kecepatan
A = faktor frekuensi reaksi atau faktor pro exponensial
Ea : energi aktivasi, yang merupakan karakteristik reaksi.
R : konstanta gas
T : temperatur absolut.
Bentuk logaritma dari persamaan diatas adalah sebagai berikut :
Log eK = log eA -RTEa
Jika k1 dan k2 adalah merupakan harga konstanta pada kecepatan dan
temperatur T1 dan T2, maka persamaan diatas dapat ditulis sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Log eK1 = log eA -1RT
Ea
Log eK2 = log eA -2RT
Ea
Log eK2 - Log eK1 = - )(12 RT
EaRTEa
−−
= 21 RT
EARTEa
−
)(log21
12
1
2
TTTT
REa
kk
e−
=
)(303,2
10log21
12
1
2
TTTT
REa
kk −
=
Selanjutnya jika diketahui konstanta kecepatan k1 dan k2 diketahui pada
temperatur T1 dan T2, maka energi aktivasi, Ea dapat dihitung.
Sama halnya jika harga Ea pada K1 diketahui maka harga k2 pada temperatur T2
dapat dihitung sebagai berikut.
eAREaeK loglog +
−=
eA
RTEaeK loglog +
− =
303,2
T1
T1
REa
303,2−
Jika persamaan Archenius dalam bentuk y = mx + c, maka akan memperlihatkan
bentuk persamaan garis lurus. Ploting dari log k vs T1 menghasilkan satu garis
lurus dengan harga slope setara
.log303,2
log303,2
AR
EakdanR
Easlope +−
=−
=
log k
T1
Gambar 2.6. Penentuan aktivasi, Ea dari ploting log k vs
Universitas Sumatera Utara
Dari persamaan-persamaan tersebut diatas dapat dilihat bahwa suhu reaksi
sangat berpengaruh terhadap energi aktivasi maupun terhadap kecepatan reaksi
dimana semakin tinggi suhu maka kecepatan reaksi semakin tinggi, dengan
demikian pada proses ledakan tersebut akan dihasilkan kecepatan detonasi lebih
besar atau dengan kata lain sifat ledakan semakin besar atau semakin kuat.
2.4.3. Pengaruh katalis terhadap kecepatan reaksi
Jika KClO3 padat dipanaskan pada 4000C akan menghasilkan KClO3 dan O2
dengan kecepatan reaksi yang sangat cepat.
2KClO3(s) 2KCl(s) + 3O2(g)
Proses dekomposisi kalium klorat menjadi KCl dan O2 dengan adanya katalis
MnO2 maka panas yang dibutuhkan akan berkurang 1500C. Pada akhir reaksi
seluruh KClO3 akan habis terurai tetapi konsentrasi MnO2 tetap. Katalis bekerja
sebagai pendorong mempromosikan reaksi antar partikel – partikel dalam
menghasilkan alternatif rangkaian reaksi lain dengan energi aktifasi lebih rendah.
Pada diagram potensial energi berikut ini dapat dilihat perbedaan potensial energi
reaksi dengan katalis dan reaksi tanpa katalis. Reaksi tanpa katalis digambarkan
dengan garis- garis yang tidak putus – putus sedangkan yang reaksi dengan
katalis degambarkan dengan garis putus- putus seperti pada Gambar 2.7 berikut
ini.
Gambar 2.7. Hubungan antar PE dengan energi aktivasi
Universitas Sumatera Utara
Dalam keadaan ini ΔH reaksi tanpa katalis dan dengan katalis adalah – 15
kJ. ΔH tidak tergantung pada rangkaian reaksi dan tidak berubah dengan adanya
katalis. Ea (energi aktivasi) untuk reaksi tanpa katalis adalah = +25 kJ,
sedangkan Ea (energi aktivasi) untuk reaksi dengan katalis = + 10 kJ.
Energi minimum yang dibutuhkan untuk terjadinya tubukan antara partikel –
partikel adalah 10 kJ dan kecepatan reaksi akan bertambah (Dara S.S, 2008).
2.5. Kesetimbangan Oksigen (Oxygen Balance)
Suatu hal yang paling penting dalam proses ledakan adalah reaksi
oksidasi-reduksi dimana pengoksidasi bereaksi dengan pereduksi yang terjadi
secara cepat dan menghasilkan produk baru seperti karbon dioksida, air dan
oksida karbon padat dan lain-lain. Kenyataan menunjukkan bahwa bila reduktor
teroksidasi sempurna ( misalnya: karbon dan hidrogen teroksidasi menjadi karbon
dioksida dan air ) dapat terjadi ledakan dan melepaskan energi maksimum dan
mennghasilkan gas beracun yang minimum. Oleh sebab itu dari sudut pandang
energi dan volume gas beracun yang dihasilkan maka pada peristiwa ledakan
terdapat fenomena kelebihan atau kekurangan pengoksidasi.
Oxygen Balance (OB) adalah suatu parameter thermal kimia terukur yang
dikandung oleh pengoksidasi dalam suatu bahan peledak atau suatu material yaitu
dalam keadaan berlebih atau kekurangan setelah bahan pereduksi (reduktor) habis
teroksidasi.
Berdasarkan kandungan dari zat pengoksidasi (oksigen) dari suatu bahan
peledak, maka kesetimbangan oksigen dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu :
a. Kesetimbangan Oksigen positip.
Kesetimbangan oksigen positip adalah apabila bahan pengoksidasi
berlebih setelah pereduksi teroksidasi sempurna.
b. Kesetimbangan Oksigen Nol.
Kesetimbagan oksigen nol adalah apabila pengoksidasi cukup untuk
menoksidasi pereduksi dengan sempurna.
Universitas Sumatera Utara
c. Kesetimbangan Oksigen Negatip.
Kesetimbangan oksigen negatip adalah apabila pengoksidasi tidak cukup
untuk mengoksidasi pereduksi secara sempurna.
Oleh karena itu dalam dunia industri, formulasi bahan peledak selalu dirancang
dengan nilai kesetimbangan oksigen sama dengan nol atau mendekati nol
sehingga dapat melepaskan energi maksimum.
Pada proses ledakan dengan kesetimbangan oksigen negatip biasanya
dihasilkan gas karbon monoksida, gas hidrogen dan oksida karbon padat,
sedangkan ledakan dengan kesetimbangan oksigen positip dihasilkan NO dan
NO2. Dari kedua pesistiwa tersebut terlihat pada ledakan dihasilkan sejumlah gas
beracun sehingga tidak baik digunakan untuk tujuan bahan peledak komersil.
Untuk bahan peledak organik dapat digunakan dalam senyawa tunggal
misalnya sistim karbon-hidrogen-Oksigen-nitrogen dengan rumus molekul
CaHbOcNd, kesetimbangan oksigen ditentukan oleh perbandingan masing-masing
unsur yang membentuk molekul bahan peledak bersangkutan, dan dapat dihitung
menggunakan rumus berikut ini :
162
2 ×⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ +−
bac
M
Oxygen balance = (g/g)
dimana : a,b,c,d = nomor atom C,H,O,N
16 = berat atom Oksigen
M = molar bahan peledak
Jika bahan pleledak dalam bentuk campuran beberapa senyawa seperti
bahan peledak emulsi (emulsion explosive) atau bahan peledak anorganik seperti
propellant, pyrotechnic, black powder dan lain-lain, nilai kesetimbangan oksigen
ditentukan oleh komposisi atau perbandingan masing-masing campuran bahan
peledak tersebut dan secara sederhana dapat dihitung dari perkalian persentase
dengan nilai kesetimbangan masing-masing senyawa dan secara sederhana dapat
dihitung sebagai berikut :
OB = h1 H1 + h2 H2 ......... + hn Hn
Universitas Sumatera Utara
Dengan rumus diatas kesetimbangan oksigen untuk bahan peledak yang
kompleks atau bahan peledak campuran dapat dihitung dengan cepat dan mudah.
Contoh : Bahan peledak emulsi American Atlas Powder Co, yang terdiri dari
campuran seperti yang terdapat pada Tabel 2.2 berikut:
Tabel 2.2. Formulasi dan oxygen balance bahan peledak emulsi
American Atlas Powder Co.
Bahan yang digunakan Persentase Oxygen balance
% g/g
Ammonium nitrat 60,0 + 0,20 Natrium nitrat 19,0 + 0,471 Air 15,0 0 Minyak 0,5 - 3,42 Wax 4,5 - 3,46 Emulsifier 1,0 - 2,39
Dari formulasi bahan dan nilai oxygen balance seperti yang terdapat pada
Tabel 2.8 dapat dihitung nilai oxygen balance untuk bahan peledak emulsi
tersebut diatas yaitu :
Oxygen balance = (+0,20) x 0,60 + ( + 0,471) x 0,19 + ( -3,42) x
0,005 + ( - 3,46) x 0,045 + ( - 2,39) x 0,01.
= + 0,2095 + ( - 0,1967 )
= 0,0128 ( g/g ).
2.6. Analisa Residu Bahan Peledak.
Dalam melakukan analisa terhadap residu ledakan perlu diperhatikan
beberapa hal yang penting yaitu antara lain pertama menganalisa residu pasca
ledakan dan yang kedua adalah mendeteksi dan mengidentifikasi trace bahan
peledak yang mungkin ada pada tangan, pakaian atau tempat lain yang
diperhitungkan ada keterkaitan atau berhubungan dengan sitersangka.
Pemeriksaan secara laboratorium forensic analisis residu bahan peledak
biasanya didasarkan kepada identifikasi terhadap residu bahan peledak murni
Universitas Sumatera Utara
(yang tidak meledak) dan jarang dilakukan identifikasi terhadap hasil yang
terbentuk pada proses ledakan tersebut.
Hasil peledakan umumnya berupa gas atau garam-garam anorganik yang
tergantung pada bahan peledak yang digunakan seperti misalnya unuk ion
tiosianat (CNS-) merupakan karateristik ion yang terjadi selama pembakaran dari
black powder.
2.6.1 Metode Analisa
Beberapa metode yang umum dilakukan untuk menganalisa residu bahan
peledak adalah : test kimia (didasarkan pada reaksi warna), metode Kromatografi
yaitu Kromatografi Lapisan Tipis (KLT, Kromatografi (CC) ; Gas Kromatografi
(GC) ; High Pressure Liquid Chromatography (HPLC) ; Capillary
Electrophoresies (CE) dan Kromatografi Ion (IC). Dan juga dapat dilakukan
dengan metode Spektroskopi seperti Infra Red (IR), Nuclear Magnetic Resonance
(NMR) , Mass Spectroscopy (MS) ; Scanning Electron Microscope-Energy
Dispersive x-ray Spectroscopy (SEM/EDX) dan X-ray Difraction (XRD),
demikian juga denagn metode kombinasi Kromatografi dengan Spektroskopi
seperti GC-MS, HPLC-MS, yang juga sangat banyak digunakan dalam
laboratorium fornsik, dimana secara umum analisa residu bahan peledak ini
didasarkan pada metodologi normal yaitu untuk sample unknown (Yinon and
Zitrin,1993 ).
2.6.2 Prosedur Analisa
Prosedur analisa residu bahan peledak meliputi spot test, metode
pemisahan biasanya dengan Chromatography dan metode identifikasi dengan
Spektroskopi. Untuk analisa residu pasca ledakan umumnya sangat kompleks
yaitu meliputi teknik recovery antara lain pengujian mikroskopis, sampling,
adsorbsi dan prosedure ekstraksi. Prosedure dan metode yang digunakan harus
disesuaikan dengan sifat fisis dan sifat kimia dari bahan peledak yang dianalisa
karena untuk masing-masing bahan peledak membutuhkan teknik recovery yang
berbeda.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya untuk bahan peledak yang sangat volatile, mudah tersublimasi,
tidak stabil terhadap panas tentu membutuhkan teknik recovery yang berbeda
pula, sehingga dibutuhkan professional skill dari staf yang bersangkutan dengan
didukung oleh instrument yang memadai.
Test kimia atau dikenal dengan spot test atau colour test di laboratorium
forensik banyak digunakan sebagai test pendahuluan untuk sekrining dilapangan.
Dalam test warna ini akan terjadi reaksi antara reagent dengan analyte dan
menghasilakan warna tertentu yang khas dan dari test warna ini juga dapat
dilakukan klasifikasi bahan peledak.
Di dan tri nitro aromatis dengan KOH dalam ethanol akan memberikan
warna yang berbeda, yaitu untuk 2,4 DNT dan 2,6 DNT memberikan warna
kekuning-kuningan tetapi TNT memberikan warna coklat-ungu. Reaksi Griess
memberikan warna spesifik yang stabil untuk identifikasi ion nitrit. Dalam reaksi
ini ion nitrit bereaksi dengan amine aromatis seperti sulfanilamida dalam suasana
asam membentuk ion diazonium. Ion ini kemudian mengalami couple dengan
senyawa aromatis active seperti N-1-napthylenediamine menghasilkan senyawa
azo yang memberikan warna ungu yang khas. Nitrat ester dan nitranime dapat
menghasilkan ion NO2- jika direduksi dengan Zn (powder) .
Type lain dari spot test adalah didasarkan pada oksidasi dari suatu reagent
oleh bahan peledak atau oksidator dari campuran bahan peledak misalnya :
diphenyl amine akan memberikan warna biru bila bereaksi dengan klorat. Spot
test mempunyai keuntungan yaitu cepat, murah, sederhana, tidak membutuhkan
instrumentasi dan dapat berguna sebagai performa yang baik bagi petugas
dilapangan (Saferstein,2002).
2.6.3. Identifikasi senyawa-senyawa Anorganik
Salah satu metode identifikasi senyawa-senyawa anorganik dari residu
bahan peledak adalah menggunakan Kromatografi karena mempunyai sensitivitas
dan selektivitas tinggi terhadap beberapa ion anorganik yang berhubungan
dengan pasca ledakan.
Universitas Sumatera Utara
Anion-anion seperti nitrat, klorat dan perklorat diperoleh dari beberapa
bahan peledak industri (seperti dinamit dan water gels) demikian juga dari
komposisi pyrotechnic dan beberapa bom rakitan.
Anion-anion lain yang sering ditemukan adalah sulfat, karbonat, klorida
dan tiosianat biasanya diperoleh dari hasil peledakan maupun pembakaran
(burning). Sedangkan residu yang mengandung kation dari residu ledakan banyak
ditemukan adalah ion Na+, K+ dan Ca2+, NH4+.
Ion Kromatografi biasanya digunakan untuk menganalisa ekstrak air dari
residu bahan peledak pada puing-puing suatu ledakan dan adakalanya juga
digunakan ekstrak methanol-air, sedangkan detector yang digunakan dapat
berupa electro chemical (EC), konduktivitas dan detector UV. Untuk
menganalisa residu bahan peledak slurry explosive dan bom pipa yang
mengandung black powder atau campuran klorat gula dapat terdetonasi jika
dalam pipa logam. Residu dari bahan peledak ini dapat dianalisa dengan
Kromatografi Ion atau dengan XRD dan kedua hasil ini kemudian dibandingkan.
Hasil analisa dengan Kromatografi Ion dapat memberikan beberapa informasi
dan beberapa ion dapat diidentifikasi dengan Kromatografi tetapi tidak dengan
XRD seperti perubahan dari ClO3- menjadi Cl- selama preparasi sample untuk
XRD. Metode XRD sangat baik digunakan untuk sample atau residu kering atau
powder yang mana dapat dihitung untuk perubahannya.
Interpretasi dari Kromatografi Ion terhadap sample pasca ledakan adalah
sulit karena faktanya konsentrasi relative dari ion dalam residunya berbeda dari
konsentrasi relative yang tidak meledak. Ion-ion yag dihasilkan selama peledakan
adalah sulit diprediksi karena ada kalanya terbentuk ion yang tidak ada digunakan
pada bahan peledak tersebut. Sebagai contoh nyata adalah adanya ion NO3- yang
dihasilkan dari ledakan bahan peledak campuran klorat dengan gula.
Kemungkinan nitrogen dan oksigen diudara bereaksi pada kondisi ekstrim
akibat ledakan membentuk ion nitrit (NO2-) yang kemudian teroksidasi menjadi
ion NO3-. Ion Chromatography telah digunakan untuk beberapa percobaan
peledakan bahan peledak komersial seperti black powder, pyrodex, black powder
rakitan, dan campuran klorat dengan gula.
Universitas Sumatera Utara
Masing-masing dari ke-4 campuran bahan peledak tersebut ditempatkan
pada pipa logam kemudian didetonasi dan diekstraksi dengan air terhadap
fragmentasi pipanya dan selanjutnya dianalisa dengan Kromatografi Ion.
Dari black powder diperoleh ion NO3- original dalam powder dan ion
NO2- dan SO4
- terbentuk dalam pembakaran juga dapat diidentifikasi. Dari
pyrodex dan klorat juga diperoleh ion klorat murni dan ion Cl- dihasilkan pada
reaksi peledakan tersebut. Sedangkan kation yang diperoleh dari ke-empat jenis
bahan peledak tersebut adalah ion K+ dan Na+.
Kromatografi Ion dengan indirect UV detection telah digunakan untuk
analisa anion yang terbentuk selama burning dari campuran pyrotechnic yang
komersial dan diperoleh hasil analisa NO2-, SO4
2-, S2-, CNS- dan CO32-, untuk
residu black powder dan ion NO2-, ClO3
-, NO3-, SO4
2-, S2-, CNS-, ClO42-, dan
CO32- untuk residu pyrodex .
Dengan menggunakan Capillary Electro Phoresisis (CE), Kromatografi
Ion telah dilakukan analisa terhadap beberapa campuran bahan peledak yang
diledakkan dengan bom pipa yaitu untuk campuran kalium klorat vaseline
diperoleh Cl- dan ClO3-, sedangkan untuk campuran black powder diperoleh hasil
ion-ion Cl-, NO2-, SO4
2-, HCO3-, CNS- dan CNO- ( Yinon and Zitrin,1993).
Universitas Sumatera Utara