BAB IV
PAPARAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Konstruksi Musha>rakah Mutana>qis}ah Dalam Pemilikan Aset
Dalam pembahasan sub bab ini mengemukakan hasil penelitian
pustaka yang telah dihimpun oleh peneliti terkait dengan konstruk transaksi
pembiayaan, aspek hukum musha>rakah mutana>qis}ah dalam tinjauan bisnis
Islam (perbankan syariah) dan ketentuan operasional musha>rakah mutana>qis}ah
dalam pemilikan suatu aset melalui perbankan syariah.
1. Konstruk Transaksi Pembiayaan Musha>rakah Mutana>qis}ah
Sebagaimana ditemukan dalam pembahasan pada bab sebelumnya
yaitu pada bab 2. Konstruk adalah suatu konsep pemikiran yang secara
khusus diciptakan bagi suatu penelitian dan / atau untuk tujuan
membangun teori. Konstruk dibangun dengan mengkombinasikan
konsep sederhana, khususnya bilamana pemikiran atau bayangan
yang ingin dikomunikasikan tidak secara langsung dapat diamati1.
Implementasi dalam operasional pembiayaan musha>rakah
mutana>qis}ah perbankan syariah adalah merupakan kerjasama antara bank
syariah dengan nasabah untuk pengadaan atau pembelian suatu barang
(benda), yaitu aset barang tersebut jadi milik bersama. Besaran kepemilikan
1 Ismail Nawawi, Metoda Penelitian Paradigma Positifistik Ekonomi Islam dan Konvensional,
(Jakarta : VIV Press, 2010 ), 175.
108
dapat ditentukan sesuai dengan sejumlah modal atau dana yang disertakan
dalam kontrak kerjasama tersebut. Selanjutnya nasabah akan membayar
(mengangsur) sejumlah modal / dana yang dimiliki oleh bank syariah.
Perpindahan kepemilikan dari porsi bank syariah kepada nasabah seiring
dengan bertambahnya jumlah modal nasabah dari pertambahan angsuran
yang dilakukan nasabah sampai batas akhir waktu angsuran hingga
angsurannya berakhir, berarti kepemilikan suatu barang atau benda tersebut
sepenuhnya menjadi milik nasabah. Penurunan porsi kepemilikan bank
syariah terhadap barang atau benda berkurang secara proporsional sesuai
dengan besarnya angsuran.2
Selain sejumlah angsuran yang harus dilakukan nasabah untuk
mengambil alih kepemilikan, nasabah harus membayar sejumlah sewa
kepada bank syariah hingga berakhirnya batas kepemilikan bank syariah.
Pembayaran sewa dilakukan bersamaan dengan pembayaran angsuran.
Pembayaran angsuran merupakan bentuk pengambilalihan porsi
kepemilikan bank syariah. Sedangkan pembayaran sewa adalah bentuk
keuntungan (fee) bagi bank syariah atas kepemilikannya terhadap aset
tersebut. Pembayaran sewa merupakan bentuk kompensasi kepemilikan dan
kompensasi jasa bank syariah.
Transaksi atau akad produk bank syariah yang diadopsi suatu
negara dipengaruhi oleh berbagai hal, di antaranya sistem ekonomi yang
2 Muhamad Ayub, Understanding Islamic Finance A-Z Keuangan Syariah (Jakarta: Gramedia
Pustaka, 2009), 516-520.
109
dianut, madhhab ekonomi yang dianut, kedudukan bank syariah dalam
undang-undang, dan strategi pengembangan yang diambil. Akad yang
digunakan oleh suatu negara bisa saja tidak diterapkan atau tidak diterima di
negara lain karena hal-hal di atas. Akad yang digunakan di Indonesia cukup
banyak dan beragam yang kadang-kadang tidak dapat diterima secara
shari >’ah oleh negara lain.
Sementara itu, Indonesia dan negara-negara Timur Tengah,
seperti Sudan, menggunakan transaksi (akad) dengan lebih berhati-hati
dalam ketentuan shari >’ah. Pengembangan produk dan akad perbankan
syariah seharusnya selalu memperhatikan dan mengaitkannya dengan
kebutuhan untuk pengembangan kegiatan produktif di sektor riil dengan
tetap mengacu pada ketentuan shari >’ah yang disepakati oleh sebagian besar
(jumhu>r) fuqaha>’.
Syarat utama pengembangan sistem keuangan / perbankan syariah
dan produk-produknya yang terarah sesuai visi dan misinya adalah dengan
mempersiapkan sumber daya insani (SDI) yang cukup dan berkualitas
dalam pemahaman esensi ekonomi dan keuangan Islam sebagai praktisi,
regulator, dan akademisi.
Skim musha>rakah mutana>qis}ah cocok untuk waktu yang panjang
melebihi 10 tahun pelunasan. Bagi bank, keuntungan didapat bukan dari
nilai cicilan tapi nilai sewa. Dengan waktu yang panjang nilai cicilan akan
rendah sedangkan sewa bisa disesuaikan untuk kurun waktu tertentu. Salah
110
satu perkembangan baru dalam dunia ekonomi di Indonesia adalah tumbuh
dan berkembangnya lembaga-lembaga ekonomi Islam. Satu di antaranya
adalah perbankan islam atau perbankan syariah. Berdasarkan huruf a
Penjelasan Pasal 49 huruf i Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama3
(UU No. 3 Tahun 2006), perkara bank syari‟ah termasuk
kewenangan Pengadilan Agama.
Secara akademik, istilah Islam dengan shari>’ah mempunyai
pengertian yang berbeda. Namun secara teknis untuk penyebutan bank Islam
dan bank syariah mempunyai pengertian yang sama”. Bank Islam adalah
lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit atau
pembiayaan dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran
uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip shari>’ah
Islam.4
Dari rumusan tersebut dapat dipahami bahwa usaha pokok bank
syariah adalah mengadakan transaksi-transaksi dan produk-produk bank
yang islami, yakni yang terhindar dari riba>, terhindar dari transaksi-transaksi
ba>t}il, juga terhindar dari prinsip-prinsip yang z}a>lim. Oleh karena itu, yang
dimaksud bukan sekadar mengarabkan istilah-istilah perbankan, tetapi lebih
dari itu harus sejalan dengan prinsip-prinsip shari>’ah dimaksud.
3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
4 Ismail Nawawi, Perbankan Syariah Issu-issu Manajemen Fiqh Muamalah Pengkayaan Teori
Menuju Praktek (Jakarta: Dwi Putra Pustaka Jaya, 2012), 93-94.
111
Di antara bentuk-bentuk transaksi usaha dalam Islam adalah
musha>rakah dan mud}a>rabah. Kedua bentuk transaksi ini lazim dipraktikkan
dalam bank syariah. Oleh sebab itu, perlu dilihat bagaimana produk-produk
tersebut berlaku dalam bank syariah, yakni untuk memudahkan analisis
apabila terjadi sengketa para pihak.
2. Proses dan Penetapan Aspek Hukum Pembiayaan Musha>rakah
Mutana>qis}ah
Musha>rakah mutana>qis}ah secara hukum dalam praktik perbankan
syariah diperbolehkan dengan ketetapan atau fatwa oleh Majelis Ulama‟
Indonesia dengan Nomor 73/DSN/MUI/XI/2008. Fatwa tersebut
menggunakan analisis, menetapkan dan memutuskan dengan berbagai
pertimbangan di bawah ini.
Sebelum memutuskan pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah
dalam fatwa ini Majelis Ulama‟ Indonesia mengemukakan berbagai
peristilahan yang berkaitan pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah sebagai
berikut: 5
a. Musha>rakah mutana>qis}ah adalah musha>rakah atau shirkah yang
kepemilikan aset (barang) atau modal salah satu pihak (shari>k)
berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya.
5 Ichwan Sam dkk, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI (Jakarta: Gaung Persada
Press, 2010), 209-219.
112
b. Shari>k adalah mitra, yakni pihak yang melakukan akad shirkah
(musha>rakah).
c. H}is}s}ah adalah porsi atau bagian shari>k dalam kekayaan musha>rakah yang
bersifat musha‟.
d. Musha‟ adalah porsi atau bagian shari>k dalam kekayaan musha>rakah
(milik bersama) secara nilai dan tidak dapat ditentukan batas-batasnya
secara fisik.
Dalam pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah, Majelis Ulama‟
Indonesia mengemukan determinan ketentuan secara umum pembiayaan
sebagai berikut:6
a. Akad musha>rakah mutana>qis}ah terdiri dari akad musha>rakah / shirkah
dan bay‟ (jual-beli).
b. Musha>rakah mutana>qis}ah berlaku hukum sebagaimana yang diatur dalam
Fatwa DSN Nomor. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan
musha>rakah, yang para mitranya memiliki hak dan kewajiban, di
antaranya:
1) Memberikan modal dan kerja berdasarkan kesepakatan pada saat akad.
2) Memperoleh keuntungan berdasarkan nis}bah yang disepakati pada
saat akad.
3) Menanggung kerugian sesuai proporsi modal.
6 Ibid, 216-217.
113
4) Dalam akad musha>rakah mutana>qis}ah, pihak pertama (shari>k) wajib
berjanji untuk menjual seluruh h}is}s}ahnya secara bertahap dan pihak
kedua (shari>k) wajib membelinya.
c. Jual-beli sebagaimana dimaksud dalam angka 3 dilaksanakan sesuai
kesepakatan.
d. Setelah selesai pelunasan penjualan, seluruh h}is}s}ah lembaga keuangan
syari‟ah (LKS) beralih kepada shari>k lainnya (nasabah).
Di samping determinan ketentuan secara umum, Majelis Ulama‟
Indonesia mengemukakan determinan ketentuan secara khusus, yaitu:
a. Aset musha>rakah mutana>qis}ah dapat diija>rahkan kepada shari>k atau
pihak lain.
b. Apabila aset musha>rakah menjadi objek ija>rah, maka shari>k (nasabah)
dapat menyewa aset tersebut dengan nilai ujrah yang disepakati.
c. Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai dengan
nis}bah yang telah disepakati dalam akad, sedangkan kerugian harus
berdasarkan proporsi kepemilikan. Nis}bah keuntungan dapat mengikuti
perubahan proporsi kepemilikan sesuai kesepakatan para shari>k.
d. Kadar / ukuran bagian / porsi kepemilikan aset musha>rakah shari>k (LKS)
yang berkurang akibat pembayaran oleh shari>k (nasabah), harus jelas dan
disepakati dalam akad;
114
e. Biaya perolehan aset musha>rakah menjadi beban bersama sedangkan
biaya peralihan kepemilikan menjadi beban pembeli;7
Disamping fatwa Majelis Ulama‟ Indonesia, Majelis Penasihat
Syariah Bank Negara Malaysia nomor 53 tertanggal 29 September 2005
telah memutuskan bahwa produk pembiayaan berasaskan kontrak
musha>rakah mutana>qis}ah adalah dibenarkan selagi tidak ada elemen
jaminan modal dan / atau keuntungan oleh rekan kongsi ke atas rekan
kongsi yang lain.
Dari kedua fatwa tersebut, membolehkan pembiayaan dengan
transaksi musha>rakah mutana>qis}ah dengan alasan berbagai pertimbangan,
baik dari sumber al-Qur’a>n, H}adi>th, ijma‘ dan lainnya diperbolehkan.
Peneliti meninjau kedua fatwa tersebut menggunakan pertimbangan yang
sama, dan pertimbangan tersebut sebagai berikut:
Dewan Syari‟ah Nasional setelah melakukan pertimbangan
berkaitan dengan;
1) Pembiayaan musha>rakah memiliki keunggulan dalam kebersamaan dan
keadilan, baik dalam berbagi keuntungan maupun risiko kerugian,
sehingga dapat menjadi alternatif dalam proses kepemilikan aset
(barang) atau modal.
7 Ibid, 217-219.
115
2) Kepemilikan aset (barang) atau modal sebagaimana dimaksud dalam
butir (a) dapat dilakukan dengan cara menggunakan akad musha>rakah
mutana>qis}ah.
3) bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip shari>ah.
Dewan Syariah Nasional MUI dan Majelis Penasihat Syariah
Bank Negara Malaysia memandang perlu menetapkan fatwa tentang
musha>rakah mutana>qis}ah untuk dijadikan pedoman dalam usaha atau bisnis
perbankan yang berbasis shari>ah dengan menggunakan sumber al-Qur’a>n
dan al-H}adi>th, kaidah fiqih dan pendapat berbagai ulama‟ di bawah ini.8
a. Sumber dari al-Qur’a>n
Pertimbangan tersebut dengan mendasarkan pada firman
Allah SWT dalam surat S }a>d (38), ayat : 24:
“Daud berkata: "Sesungguhnya Dia telah berbuat z}a>lim kepadamu
dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya.
dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebahagian mereka berbuat z}a>lim kepada sebagian yang lain, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat
sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya;
8 Fatwa MUI - DSN Nomor. 73/DSN/MUI/XI/2008, jo Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000.
116
Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan
bertaubat”.9
Dan firman Allah SWT yang lain, dalam surat al-Ma>idah (5) ayat: 1:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.10
Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu, (yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya”.11
b. H}adi>th Nabi
1) H}adi>th riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasu>l SAW bersabda:
“Dari Abu Hurairah RA, Rasu>l SAW bersabda: Sesungguhnya Allah
SWT berfirman: „Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang
berserikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang
lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka”.
(HR. Abu Daud).
9 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Indah Press, 2002), 363.
10 Maksud dari akad disini adalah Akad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah
dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. 11
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Indah Press, 2002), 160. 12
Ima>m Abu> Dawu>d, Sunan Abu> Dawu>d, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 176.
117
2) H}adi>th Nabi Riwayat Tirmidhi> dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
.
c. Kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk mu’a>malat boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya”.
d. Ibnu Quda>mah15
, al-Mughni> juz V, halaman 173:
“Apabila salah satu dari dua yang bermitra (shari>k) membeli porsi
(bagian, h}is}s}ah) dari shari>k lainnya, maka hukumnya boleh, karena
(sebenarnya) ia membeli milik pihak lain”.
e. Wahbah Zuh}aily dalam kitab al-Mu‘a>malah al-Ma>liyah al-
Mu‘a>sirah, halaman 436-437:16
13
Muhammad bin Isma>i>l al-Kah}lany, Subul al-Sala>m, Juz III, (Semarang: Thoha Putra, t.th), 59. 14
Ibnu Qudamah, Syamsuddi>n Abdul Rahma>n Muhammad Ibnu Ahmad, al-Mughni>, (Bairu>t: Da>r
al-Fikr, t.th),173. 15
Ibnu Qudamah, al-Mughni>,173.
16 Wahbah al-Zuh}aily, al-Mu’a>mala>t al-Ma>liyah al-Mu’a>s}irah, (Damaskus: Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir,
2002), 235.
118
‚Musha>rakah mutana>qis}ah ini dibenarkan dalam shari>ah, karena
sebagaimana ija>rah muntahiyah bi-al-tamli>k - bersandar pada janji dari
bank kepada mitra (nasabah)-nya bahwa bank akan menjual kepada mitra
porsi kepemilikannya dalam shirkah apabila mitra telah membayar
kepada bank harga porsi bank tersebut. Di saat berlangsung, musha>rakah mutana>qis}ah tersebut dipandang sebagai shirkat al-‘inan, karena kedua
belah pihak menyerahkan kontribusi ra’su al-ma>l, dan bank
mendelegasikan kepada nasabah-mitranya untuk mengelola kegiatan
usaha. Setelah selesai shirkah bank menjual seluruh atau sebagian
porsinya kepada mitra, dengan ketentuan akad penjualan ini dilakukan
secara terpisah yang tidak terkait dengan akad shirkah‛.
f. Nu>ruddin Abdul Kari>m al-Kawa>milah, dalam kitab al-Musha>rakah al-
Mutana>qis}ah Wa Tat}bi>qatuha> al-Mu‘a>sirah, menyebutkan bahwa: 17
“Studi ini sampai pada kesimpulan bahwa musha>rakah mutana>qis}ah
dipandang sebagai salah satu macam pembiayaan musha>rakah dengan
17
Nu>ruddin Abdul Kari>m al-Kawa>milah, al- Musha>rakah al-Mutana>qis}ah wa Tat}bi>qatuha al-Mu’a>shirah, (Yordan: Da>r al-Nafa>’is, 2008), hal. 133.
119
bentuknya yang umum; hal itu mengingat bahwa pembiayaan musha>rakah
dengan bentuknya yang umum terdiri atas beberapa ragam dan macam
yang berbeda-beda. Dilihat dari sudut “kesinambungan pembiayaan”
(istimra>riyyah al-tamwi>l), musha>rakah terbagi menjadi tiga macam:
pembiayaan untuk satu kali transaksi, pembiayaan musha>rakah permanen,
dan pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah‛.
3. Determinan Sistem Transaksi Musha>rakah Mutana>qis}ah Pada Bisnis Bank
Syariah
Berbagai determinan sistem transaksi musha>rakah mutana>qis}ah pada
bisnis bank syariah secara operasional dalam pembiayaan ditemukan oleh
peneliti dari berbagai literatur dan pendapat para pakar dan ahli. Dalam aspek
hukum operasional musha>rakah mutana>qis}ah ada berbagai ketentuan, baik
ketentuan sebelum melakukan akad atau ketentuan dalam pelaksanaan yang
keduanya disebut dengan syarat dan rukun.
Dalam akad musha>rakah mutana>qis}ah terdapat adanya akad shirkah
dan ija>rah. Ketentuan sebelum melakukan transaksi (akad) yang disebut
dengan syarat shirkah dan ija>rah, menurut Wahbah Zuh}aily>18
mengungkapkan
pendapat madhhab H}anafi> bahwa syarat yang ada dalam akad dapat
dikategorikan menjadi syarat sah (s}ahih), rusak (fa>sid) dan batal (ba>t}il) dengan
penjelasan sebagai:
a. Ketentuan pembentukan prasyarat yang benar (s}ahih) merupakan ketentuan
dalam bisnis yang sesuai dengan substansi atau tujuan akad, yang
mendukung dan memperkuat substansi akad bisnis dan dibenarkan oleh
shari>ah, sesuai dengan kebiasaan masyarakat („urf). Sebuah ilustrasi dalam
18
Wahbah Zuh}aily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, (Bairu>t: Da>r al-Fikr, t.th), 515.
120
bisnis sistem perbankan syariah atau jual beli pada umumnya, harga barang
yang diajukan oleh penjual, adanya hak pilih (khiya>r) dan syarat sesuai
dengan kebiasaan („urf ) dan adanya garansi.
b. Ketentuan bisnis yang cacat (syarat fa>sid) adalah ketentuan yang tidak
sesuai dengan salah satu kriteria yang ada dalam ketentuan pembentukan
prasyarat yang benar. Misalnya membeli mobil dengan uji coba dulu selama
satu tahun.
c. Ketentuan pembentukan prasyarat yang tidak sesuai dengan ketentuan
(syarat ba>t}il) merupakan ketentuan yang tidak mempunyai kriteria syarat
s}ahi>h dan tidak memberi nilai manfaat bagi salah satu pihak atau lainnya,
akan tetapi malah menimbulkan dampak negatif. Misalnya penjual mobil
mensyaratkan pembeli tidak boleh mengendarai mobil yang telah dibelinya.
Ketentuan atau syarat pembentukan akad di bedakan menjadi syarat
terjadinya akad, syarat sahnya akad, syarat pelaksanaan akad dan syarat
kepastian hukum. Masing-masing dijelaskan sebagai berikut:
1. Syarat terjadinya akad, merupakan segala sesuatu yang dipersyaratkan
untuk terjadinya akad secara shari>‘ah, jika tidak memenuhi syarat
tersebut maka akadnya menjadi batal. Syarat ini dibagi menjadi dua,
yaitu:
a. Umum adalah syarat yang harus ada pada setiap akad. Maksudnya
kedua orang yang melakukan akad antara nasabah atau konsumen
dengan pihak bank harus cakap bertindak (ahliyyah) yakni tidak sah
121
orang yang berakad tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang
dibawah pengampuan karena boros dan lainnya, yang dijadikan obyek
akad menerima sesuai dengan ketentuan hukum shari>‘ah, akad itu
diijinkan oleh shari>‘ah, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak
melakukan (nasabah dan pihak bank) atau walaupun dia bukan ‘a>qid
yang memiliki barang atau atas dasar perwakilan (waka>lah).
b. Syarat khusus adalah akad yang harus ada pada sebagian akad yang
dilakukan oleh nasabah dan pihak bank dan tidak dishari’>atkan pada
bagian lain. Syarat khusus ini bisa disebut syarat tambahan yang harus
ada disambung syarat-syarat umum, seperti adanya saksi dalam
pernikahan.
2. Syarat sahnya akad dalam bisnis adalah segala sesuatu yang disyaratkan
shari >’ah untuk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi
maka rusaklah akadnya. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu
Abidin19
mengemukakan adanya kekhususan syarat akad setiap
terjadinya akad. Ulama>’ H}anafiyah mensyaratkan terhindarnya seorang
dari enam kecacatan dalam jual-beli, yaitu: kabodohan, kepaksaan,
pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemadharatan dan syarat-syarat
jual beli yang rusak (fa>sid).
3. Syarat pelaksanaan akad bisnis perbankan syariah. Pelaksanaan akad
dalam bisnis ada dua syarat, yaitu pemilikan dan kekuasaan. Pemilikan
19
Ibnu Abidin, Rad al-Mukhta>r ‘Ala al-Dur al-Mukhta>r, Jilid IV, (Bairu>t: Da>r al-Fikr, t.th), 6.
122
adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang / nasabah, sehingga ia bebas
dengan apa yang ia miliki, sesuai dengan aturan shari >’ah. Sedangkan
kekuasaan adalah kemampuan seseorang/nasabah dalam bertas}arruf,
sesuai dengan ketetapan shari>’ah, baik dengan ketetapan asli banyak
dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai pengganti (mewakili seseorang).
Dalam hal ini disyaratkan antara lain,
a. Barang yang dijadikan obyek akad itu harus miliknya orang yang
berakad, jika a>qid tidak memilikinya maka tergantung dari izin
pemiliknya yang asli,
b. Barang yang dijadikan obyek akad tidak berkaitan dengan pemilikan
orang lain.
4. Syarat kepastian hukum. Dalam pembentukan akad adalah kepastian. Di
antara syarat luzu>m dalam jual beli adalah terhindarnya dari beberapa
khiya>r dalam jual beli, seperti khiya>r shart}, khiya>r ’ayb. Jika luzu>m
tampak, maka akad batal atau dikembalikan.
Pada dasarnya rukun akad secara umum adalah i>ja>b dan qabu>l.20
Sedangkan ketentuan dalam pelaksanaan akad (rukun), secara umum dan
secara khusus dalam praktik khiya>r, menurut madhhab H}anafi> rukun yang
terdapat dalam akad hanya satu, yaitu serah terima (i>ja>b qabu>l), yang lainnya
merupakan derivasi dari pengucapan (khiya>r), berarti s}i>ghat tidak akan ada jika
tidak terdapat dua pihak yang bertransaksi (’a>qid) dan obyek yang
20
Ka>mil Mu>sa, Ahka>m al-Mu’a>mala>t, (Beiru >t: Mu’assasat al-Risa>lah,1994), 60.
123
ditransaksikan (ma’qu>d alaih). Sedangkan menurut madhhab Ma>liki dan
Sha>fi’i bahwa rukun dalam akad ada tiga: ’a>qid, ma’qu>d alaih dan s}i>ghat.21
Menurut Shalah Ash-Sha>wi dan Abdullah Muslih bahwa rukun musha>rakah
mutana>qis}ah; 1). Pihak-pihak transaksitor, 2). Obyek transaksi, yang meliputi
modal, usaha, keuntungan, dan 3). Pernyataan akad perjanjian.22
Pendapat lain dikemukan oleh Ismail Nawawi, rukun musha>rakah
mutana>qis}ah, (1). Aktor transaksi, (2). Obyek transaksi (matrial dan manfaat),
(3). Administrasi, (4). Serah-terima. Sedangkan unsur ija>rah - sewa harus
jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai.
Dari pendapat-pendapat tersebut hampir sama ketiga ketentuan
tersebut, akan tetapi Ismail Nawawi menambahkan ketentuan kepastian hukum
dan administrasi. Dari ketentuan tersebut dapat diuraikan dengan berbagai
penjelasan dibawah ini.
Subyek atau aktor akad adalah penjual dan pembeli atau pihak-
pihak (pihak bank dan nasabah) yang bertransaksi (’a>qid). Pengertian ’aqid
ialah orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu
orang, terkadang terdiri dari beberapa orang, misalnya penjual dan pembeli
beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu orang, ahli waris sepakat
untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa
orang. Seseorang yang berakad terkadang orang yang memiliki hak (’a>qid as}li)
dan terkadang merupakan wakil dari yang memiliki hak.
21
Ibid, 60-61. 22
Shalah Ash-Shawi, Ma>la> Yasa’u al-Ta>jiru Jahlahu, (Riyad KSA, Da>r al-Muslim, 2001), 26.
124
Menurut Ismail Nawawi23
pelaku transaksi dua orang atau lebih yang
secara langsung terlibat dalam transaksi atau akad. Kedua belah pihak
dipersyaratkan harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad sehingga
perjanjian atau akad tersebut dianggap sah. Kelayakan terwujud dengan
beberapa hal berikut:
a. Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila pihak-
pihak tersebut sudah berakal lagi ba>ligh dan tidak dalam keadaan tercekal.
Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah
melakukan perjanjian.
b. Bebas memilih. Tidak sah akad yang dilakukan orang di bawah paksaan,
kalau paksaan itu terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan butuh
pengalihan hutangnya, atau orang yang bangkrut, lalu dipaksa untuk
menjual barangnya untuk menutupi hutangnya.
c. Akad itu dapat dianggap berlaku (jadi total) bila tidak memiliki
pengandaian yang disebut khiya>r (hak pilih). Seperti khiya>r shart} (hak
pilih menetapkan persyaratan), dan sejenisnya.
Keberhasilan dalam bisnis banyak ditentukan oleh kompetensi dan
profesionalisme bisnis. Menurut Shalah al-Sha>wi dan Abdullah al-Muslih,
kompetensi (ahliyyah) dari segi bahasa adalah kelayakan (s}ah}iyyah). Dalam
istilah shar'i ialah: kelayakan seseorang (individu) untuk mewajibkan dan
melaksanakan kewajiban. Atau (dengan bahasa lain): kapabilitas individu
23
Ismail Nawawi, Isu-isu Ekonomi Islam Nalar Bisnis, (Jakarta; VIV Press, 2012), 154.
125
yang menjadi sandaran tegaknya hak-hak yang dishari>atkan yang wajib dia
dapatkan (hak) atau yang menjadi tanggung jawab wajib atasnya
(kewajiban).24
Kompetensi atau kelayakan terbagi menjadi dua, yaitu;
a. Kompetensi (kelayakan) yang wajib didapatkan seseorang, dan
b. Kompetensi dalam melaksanakan tanggung jawab.
Masing-masing dari kedua ini mungkin sempurna dan mungkin
kurang, maka berdasarkan kemungkinan ini, kompetensi menjadi empat
kategori, yaitu:25
1) Kompetensi (kelayakan) wajib yang penuh adalah kelayakan seseorang
untuk mendapatkan hak wajib untuk dirinya, dan tetapnya kewajiban-
kewajiban atasnya. Kelayakan ini telah ada dan tetap pada diri seseorang
sejak ia lahir sampai meninggal dunia, dan setiap manusia memikul
kewajiban-kewajiban sesuai dengan kompetensi umur dan daya akalnya.
Maka yang wajib dia lakukan adalah hak-hak Allah dan hak-hak hamba
Allah SWT, yang sesuai dengan tabiatnya, kesanggupannya,
pemahamannya, akalnya dan karakter dari hak-hak itu sendiri, sehingga
apabila dia telah mencapai umur ba>ligh dan berakal, telah sempurna
24
Abdullah Mushlih, Fikih Ekonomi Islam (Jakarta: Darul Haq, 2001), 37-38. 25
Ash-Shawi, Ma>la> Yasa’u, 29-30. Akan tetapi Kamil Musa dalam buku: Ahka>m al-Mu’a>mala>t hal 62-64 membagi kempetensi (kelayakan) menjadi dua: 1). Kompetensi (kelayakan) wajib
didapatkan seseorang terdiri dari dua: kompetensi (kelayakan) wajib yang kurang sempurna dan
kompetensi (kelayakan) wajib yang sempurna. 2). Kompetensi (kelayakan) melaksanakan
tanggung jawab terdiri dari dua: kompetensi (kelayakan) melaksanakan tanggung jawab yang
kurang sempurna dan kompetensi (kelayakan) melaksanakan tanggung jawab yang sempurna.
126
kompetensinya untuk menerima hak-hak dan melaksanakan kewajiban-
kewajiban.
2) Kompetensi (kelayakan) wajib yang tidak penuh adalah kelayakan
seseorang untuk mendapatkan hak wajib saja. Artinya, tanpa harus
mengemban suatu kewajiban apa pun, dan kelayakan ini tha>bit (tetap) bagi
janin (dalam perut ibunya), di mana dimulai sejak dia masih berupa
segumpal darah sampai dia lahir. Janin dalam tahapan ini memiliki
perjanjian yang membenarkan bahwa dia berhak mendapatkan hak-hak,
seperti: memerdekakan, mendapat warisan, mendapat wasiat, dan nasab,
akan tetapi dia sama sekali tidak menanggung kewajiban apa pun. „Illat
(sandaran) kelayakan yang wajib, yang penuh dan kurang (yang
didapatkannya), adalah perjanjian(nya) dengan Allah SWT ketika masih
menjadi janin.
3) Kompetensi (kelayakan) pelaksanaan penuh adalah kompetensi dalam
berinteraksi dan bertindak. Ini adalah kelayakan seseorang karena lahirnya
tindakan-tindakan pekerjaan sebagaimana bentuk yang dituntut darinya
secara shar‟i, yang bersandarkan kepada daya akal dan jasmaniah, dan itu
bisa terwujud dengan kesadaran yang baik; yaitu ba>ligh, berakal sehat, dan
tidak ada penghalang. Kompetensi inilah yang merupakan sandaran
dibebankannya hukum shari'ah pada seseorang .
4) Kompetensi (kelayakan) pelaksanaan tidak penuh adalah kelayakan
seseorang untuk melakukan sebagian perbuatan dan tindakan, dan
127
meninggalkan sebagian yang lain. Sandaran kompetensi ini adalah (berumur
cukup tetapi belum mencapai ba>ligh) dan itu berlangsung sampai umur
ba>ligh; dan mayoritas ulama berpendapat bahwa umur anak yang
mumayyiz adalah sekitar tujuh tahun. Ini berdasarkan sabda Nabi yang
berbunyi:
Dari „Amr bin Shu‟aib dari ayahnya dari kakeknya berkata, Rasu>l
SAW bersabda:”Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat bila
mencapai umur tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika tidak sholat)
bila mencapai umur sepuluh tahun, serta pisahkanlah kamar tidur
mereka” (HR Abu> Dawu>d).
Kalau seandainya mereka belum mumayyiz dalam umur tujuh
tahun ini, niscaya tidak akan ada faedah memerintahkannya. Anak-anak
(seumur itu) boleh melakukan ibadah-ibadah secara langsung dan itu sah
bagi mereka, akan tetapi tidak wajib atas mereka, sebagaimana sah juga
baginya untuk secara langsung bertindak, seperti bertransaksi jual beli,
tetapi dalam pengawasan walinya. Setiap anak yang sudah berakal sehat
26
Sulaima>n bin Ash’ath al- Sajista>ny, Sunan Abu> Da>wu>d, Juz II (Bairu>t: Da>r al-Fikr, t.th), 167.
128
memiliki kompetensi melakukan kewajiban, karena barometer dari
kompetensi ini adalah daya nalar. Kompetensi ini bisa kurang dan bisa
optimal, sesuai dengan kadar kemampuan akal seseorang.
Kompetensi optimal itu baru bisa dimiliki oleh orang yang sudah
a>qil ba>ligh dan sehat mental, yang juga tidak tercekal (terhalang) karena
satu sebab. Sementara kompetensi non optimal dalam melaksanakan
kewajiban bisa dimiliki anak yang sudah berakal sehat, meski daya nalarnya
belum sempurna. Termasuk anak kecil yang sudah berakal sehat, atau orang
bodoh yang masih berakal. Orang yang bodoh sekali yang tidak mampu
mengoperasikan harta mereka dengan baik, ditambah lagi dengan orang
yang linglung misalnya, semuanya adalah orang-orang yang berkompetensi
tidak optimal. Meskipun mereka memiliki dasar kemampuan nalar, mereka
tidak memiliki daya nalar yang normal dan tidak memiliki kemampuan
mengatur segala sesuatu.
Dalam kompetensi berbisnis, ada berbagai peristilahan yang harus
diketahui dan dipahami oleh pebisnis, sebagai berikut:
a. Kehormatan dasar (dhimmah), dimana dalam bahasa Arab artinya al-
„ahdu (perjanjian). Secara terminologis artinya satu karakter pada diri
seseorang yang menyebabkan dirinya berkemampuan untuk membebani
atau terbenani hukum yang dibangun berdasarkan perjanjian yang terjadi
antara Allah SWT dengan para hamba-Nya ketika masih berada dalam
perut ibunya. Kehormatan asasi ini juga yang menjadi barometer
129
tanggung jawab melaksanakan kewajiban sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya. Hak ini sudah ada pada diri manusia semenjak ia masih
berupa janin di perut ibunya hingga ia berjumpa dengan Allah SWT.
b. Pemikiran (akal) adalah sifat yang membuat seseorang layak (mampu)
memahami pembicaraan. Ada perbedaan antara akal dengan kehormatan
dasar, dimana kehormatan dasar manusia hanya menjadikan dirinya
berkemampuan membebani dan dibebani hukum. Sementara akal
membuat manusia mampu memahami ucapan. Kalau kehormatan dasar
manusia saja sudah menciptakan kelayakan bagi dirinya untuk
melaksanakan kewajiban, akal menjadi barometer kelayakan
dalam menyempurnakan pelaksanaan kewajiban. Kompetensi ini
memungkinkan dirinya untuk memahami ucapan. Itulah arti bahwa
akal menjadi syarat dari kelayakan melaksanakan kewajiban
sehingga terlaksananya kewajiban itu amat tergantung kemampuan
akal.
c. Pembebanan hukum (takli>f), di mana takli>f secara bahasa adalah
perintah melakukan hal yang berat. Secara terminologis dalam
ilmu fikih adalah pembebanan hal yang merupakan tugas. Bisa
juga dikatakan, ucapan yang mengandung perintah dan larangan.
Barometer dari munculnya takli>f adalah kondisi akal sehat dan
ba>ligh. Kalau seseorang sudah berakal sehat dan ba>ligh, ia sudah
berhak mendapatkan beban takli>f. Tidak disyaratkan ia harus
130
mencapai masa ba>ligh sempurna seperti halnya persyaratan
kelayakan penuh dalam melaksanakan kewajiban. Barangsiapa
yang sudah mimpi basah dan ia sudah memiliki dasar kemampuan
nalar yang bisa digunakan memahami ucapan, berarti ia sudah
mencapai batas mendapatkan pembebanan hukum meskipun ia
memiliki semacam kebodohan atau kurang cakap menggunakan
uang.
d. Kekuasaan shar‟i (al-wila>yah), dimana al-wila>yah adalah kekuasaan
secara shar‟i terhadap diri sendiri atau terhadap harta yang
membawa konsekuensi terlaksananya tindakan sesuai ketentuan
shari>ah pula. Syarat adanya kekuasaan ini tidak diragukan lagi
adalah kelayakan (kompetensi) menjalankan kewajiban. Perbedaan
antara kelayakan sendiri dengan kekuasaan shar‟i atas diri sendiri
adalah kompetensi tersebut lebih terorientasikan kepada kelayakan
secara khusus, yang dengan kelayakan itu segala perjanjian dan
aktivitas bisa dilaksanakan. Sementara al-wila>yah atau kekuasaan
shar‟i itu sendiri yang memungkinkan orang yang berakad
menjalankan perjanjiannya, serta menetapkan segala konsekuensi
dari perjanjian tersebut.27
Faktor munculnya kekuasaan shar‟i itu sendiri ada tiga
hal sebagai berikut:
27
Wahbah al-Zuh}aily, al-Fiqh al-Isla>mi Wa Adillatuhu, (Bairu>t: Da>r al-Fikr, t.th), 400.
131
a. Dasar landasan, yakni secara mendasar ia memang orang yang berhak
melakukan perjanjian tersebut, ia adalah pemilik perjanjian. Itu terjadi
karena adanya kompetensi optimal dalam menjalankan kewajiban
sehingga ia bisa mengikatkan diri pada perjanjian tersebut.
b. Kekuasaan shar‟i terhadap orang lain. Seperti kekuasaan seorang ayah
atau kakek terhadap anak atau cucunya yang masih kecil atau kurang
nalarnya. Atau kekuasaan orang yang diwasiati oleh bapak atau kakek
terhadap anak asuhannya, atau kekuasaan seorang hakim terhadap
mereka semua.
c. Surat kuasa dari pihak yang berhak. Kalau ketiga hal ini tidak ada,
maka hilanglah kekuasaan shar‟i tersebut, sehingga yang kita hadapi
adalah sebuah aktivitas fud}u>li (tak berarti). Aktivitas fud}u>li adalah
segala aktivitas yang sebenarnya shar‟i, akan tetapi tidak memiliki
landasan kekuasaan shar‟i yang mendukungnya. Seperti orang yang
menjual barang yang bukan miliknya, tanpa ada surat kuasa atau izin
resmi dari pemiliknya. Asal hukum dari aktivitas fud}u>li semacam itu
adalah tergantung pada izin resmi dari orang yang memiliki
kekuasaan.
Penghalang kompetensi (kelayakan), telah disinggung bahwa
kelayakan menunaikan kewajiban, maka hukumnya adalah pada predikat:
ba>ligh dan akal sehat yang dimiliki seseorang. Maka bila seseorang telah
baligh dan berakal sehat, maka kelayakan dirinya (untuk memikul
132
kewajiban dan mendapatkan hak) telah sempurna sehingga dia memikul
tanggung jawab atas semua tindakan dan apa yang dilakukannya. Akan
tetapi, kelayakan ini kadang terhalang oleh apa-apa yang dapat
mempengaruhinya sehingga menghalangi segala hukum-hukum yang
berkaitan dengannya. Apa saja penghalang-penghalang tersebut ?, dan
apa pengaruhnya terhadap hukum ?.
Penghalang di sini, dalam bahasa arabnya adalah atau yang
bentuk jamaknya adalah ‘a>ridun. Dari segi bahasa, apabila dari benda-
benda, maka maknanya adalah lawan dari yang bentuk asli, sedangkan
apabila dari kejadian, maka dia adalah lawan dari yang tetap. Dikatakan,
Fulan terhalang oleh suatu masalah, maknanya adalah muncul masalah
tersebut yang mencegahnya meneruskan apa yang dia lakukan. Sedangkan
secara terminologi adalah apa yang muncul pada seseorang yang dapat
menghilangkan predikat kelayakan yang ditambahkannya, atau
menguranginya, atau mengubah sebagian hukum yang berkaitan
dengannya.28
Dalam bisnis perbankan syariah penghalang-penghalang
kelayakan itu terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Penghalang-penghalang samawi (berasal dari Sang pencipta, yaitu Allah
SWT), penghalang yang tidak ada campur tangan manusia untuk
28
Ibid, 404.
133
mengadakannya, seperti kondisi gila, pingsan, linglung, tidur, sakit dan
mati.
b. Kendala-kendala yang diusahakan manusia, artinya, usia memiliki
campur tangan manusia dapat menghilangkan kompetensi melaksanakan
kewajiban dengan sempurna.
Karena kompetensi adalah akal, sementara tidur menghilangkan
akal dan mencegah kemampuan memilih. Akan tetapi pingsan dan tidur
tidak menghilangkan tanggung jawab merusak barang, karena
sebagaimana telah dijelaskan, itu tidak termasuk dalam persoalan
takli>f, namun berkaitan dengan hubungan sebab akibat yang
konsekuensinya harus ditanggung.
Adapun ketidakmampuan adalah yang menyebabkan
seseorang membelanjakan harta dan menghamburkannya tanpa
aturan. Segala aktivitas orang yang semacam itu disamakan
hukumnya dengan perbuatan anak kecil yang mumayyiz. Bila
memiliki kemungkinan bermanfaat dan berbahaya, dikembalikan
kepada pendapat walinya. Kalau ia mengizinkan, hukumnya sah dan
berlaku.
Sedangkan objek akad (ma’qu>d ‘alaih) dalam bisnis adalah
benda-benda atau komoditas sebagai objek akad, seperti benda-benda yang
dijual dalam akad jual beli, benda-benda yang ada dalam akad hibbah
(pemberian), gadai dan lain-lain. Dalam hal ini, ada beberapa persyaratan
134
sehingga akad tersebut dianggap sah, menurut Shalah Ash-Sha>wi dan
Abdullah Muslih sebagai berikut:29
a. Barang tersebut harus suci atau meskipun terkena najis, bisa dibersihkan.
Oleh sebab itu, akad usaha ini tidak bisa diberlakukan pada benda najis
secara dzati, seperti bangkai. Atau benda yang terkena najis namun tidak
mungkin dihilangkan najisnya, seperti cuka, susu, dan benda cair sejenis
yang terkena najis. Namun kalau mungkin dibersihkan, boleh-boleh saja.
b. Barang tersebut harus bisa digunakan dengan cara yang disyariatkan.
Karena fungsi legal dari satu komoditas menjadi dasar nilai dan harga
komoditas tersebut. Segala komoditi yang tidak berguna seperti barang-
barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan, atau bermanfaat tetapi
untuk hal-hal yang diharamkan, seperti minuman keras dan sejenisnya,
semuanya itu tidak dapat diperjualbelikan.
c. Komoditas harus bisa diserahterimakan, karena tidak sah menjual barang
yang tidak ada, atau ada tapi tidak bisa diserahterimakan. Karena yang
demikian itu, termasuk gharar, dan itu dilarang.
d. Barang yang dijual harus merupakan milik sempurna dari orang yang
melakukan penjualan. Barang yang tidak bisa dimiliki tidak sah
diperjualbelikan.
e. Harus diketahui wujudnya oleh orang yang melakukan akad jual beli bila
merupakan barang-barang yang dijual langsung. Dan harus diketahui
29
Ash-Shawi, Ma>la> Yasa’u, 27- 28.
135
ukuran, jenis, dan kriterianya apabila barang-barang itu berada dalam
kepemilikan, namun tidak berada di lokasi transaksi.
Bila barang-barang itu dijual langsung, harus diketahui wujudnya,
seperti mobil tertentu atau rumah tertentu dan sejenisnya. Namun, kalau
barang-barang itu hanya dalam kepemilikan seperti jual beli sekarang ini
dalam akad jual beli al-sala>m, di mana seorang pelanggan membeli barang
yang diberi gambaran dan dalam kepemilikan penjual, maka disyaratkan
harus diketahui ukuran jenis, dan kriterianya, berdasarkan sabda Nabi SAW
yang artinya: barangsiapa yang melakukan jual beli al-sala>m hendaknya ia
memesannya dalam satu takaran atau timbangan serta dalam batas waktu
yang jelas.30
Menurut pendapat Wahbah Zuh}aily,31
obyek transaksi harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Obyek transaksi harus ada ketika akad atau transaksi sedang dilakukan,
tidak diperbolehkan melakukan transaksi terhadap objek yang belum
jelas dan tidak ada waktu akad, karena hal ini akan menimbulkan
masalah saat serah terima.
b. Obyek transaksi merupakan barang yang diperbolehkan shari’>ah untuk
ditransaksikan dan dimiliki penuh oleh pemiliknya. Tidak boleh
bertransaksi atas bangkai, darah babi dan lainnya. Begitu pula barang
30
Mushlih, Fikih Ekonomi, 27-29. 31
Wahbah al-Zuh}aily, al-Fiqh al-Isla>mi Wa Adilatuhu, (Bairu>t: Da>r al-Fikr, t.th),315.
136
yang belum berada dalam genggaman pemiliknya, seperti ikan masih
dalam laut dan burung di angkasa.
c. Obyek akad transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad atau
dimungkinkan dikemudian hari. Walaupun barang itu ada dan dimiliki
a>qid, namun tidak bisa diserahterimakan, maka akad itu akan batal.
d. Adanya kejelasan tentang objek transaksi. Dalam arti barang tersebut
diketahui secara detail oleh kedua belah pihak, hal ini untuk menghindari
terjadinya perselisihan dikemudian hari. Objek transaksi tidak bersifat
tidak diketahui (majhu>l) dan mengandung unsur gharar.
e. Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis,
syarat ini diajukan oleh ulama‟ selain madhhab H}anafi>.
Menurut pendapat Wahbah Zuh}aily,32
substansi akad adalah
maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam akad yang dilakukan. Hal
tersebut menjadi penting karena berpengaruh terhadap implikasi tertentu.
Berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli,
tujuan pokoknya ialah memindahkan barang dari penjual kepada pembeli
dengan diberi ganti. Tujuan akad hibah ialah memindahkan barang dari
pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa ada pengganti (‘iwad }).
Tujuan pokok sewa (ija>rah) adalah memberikan manfaat dari seseorang
kepada yang lain dengan adanya daya pengganti. Dalam kondisi yang lain,
terdapat akad secara z}ahirnya itu sah. Menurut madhhab Safi‟iyah, itu
32
Ibid, 320-324.
137
haram dan menurut madhhab Hanafiyah akad tersebut makruh tahri>m, yaitu
tentang akad rekayasa transaksi dalam penjualan (bay al-‟inah), yakni
rekayasa transaksi jula-beli yang dilakukan untuk membenarkan
pengambilan riba. Misalnya seorang menjual sepeda motor kepada pembeli
dengan harga 12 Juta rupiah secara tempo 5 bulan mendatang, kemudian ia
langsung memberinya kembali 10 Juta rupiah secara kontan. Motif yang
ada adalah meminjamkan uang dengan adanya tambahan, namun direkayasa
dengan jual beli untuk mengabsahkannya. Motif-motif ini dapat dijelaskan
di bawah ini.
a. Menjual anggur kepada penjual minuman keras, penjual anggur memiliki
keyakinan kuat bahwa anggur itu akan dibuat minuman keras. Jika ia
tidak begitu yakin maka makruh adanya.
b. Menjual sarana suatu benda yang dapat melalaikan, menjual dan
menyewakan peralatan judi dan lainnya.33
Adapun yang berkaitan dengan administrasi pembiayaan
berkaitan dengan berbagai ketentuan yang bersifat dokumen dan yang
bersifat administratif perjanjian dalam pembiayaan musha>rakah
mutana>qis}ah, misalnya kopi identitas diri (KTP, SIM atau paspor), foto kopi
akte nikah (bagi yang sudah menikah). Foto kopi rekening koran / rekening
giro atau buku tabungan di bank mana pun antara 3 bulan terakhir. Kopi slip
33
Ibid, 325-332.
138
gaji atau surat keterangan penghasilan dari perusahaan tempat bekerja calon
debitur.
Kalau untuk kelembagaan misalnya debitur yang berbentuk
perusahaan meliputi bentuk badan usaha seperti CV, PT, firma, dan lain-
lain. Persyaratan yang diminta antara lain:
1) Kopi identitas diri dari para pengurus perusahaan (direktur & komisaris),
2) Kopi NPWP (Nomor Pokok wajib pajak),
3) Kopi SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan),
4) Kopi Akte Pendirian dan Anggaran Dasar Perusahaan beserta
perubahannya dari Notaris,
5) Kopi TDP (Tanda Daftar Perusahaan),
6) Dokumen di atas akan digunakan oleh bank untuk memeriksa keabsahan
/ legalisasi antara apa yang tercantum di akte pendirian dengan bidang
usahanya, segala surat perizinannya dan kewajiban pajaknya terhadap
negara,
7) Kopi rekening koran / giro atau buku tabungan di bank manapun selama
3 bulan terakhir,
8) Data keuangan lainnya, seperti neraca keuangan, laporan rugi laba,
catatan penjualan & pembelian harian dan data pembukuan lainnya.
Adapun hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian pembiayaan
dengan materi, (1). Jangka waktu kredit, (2). Porsi bagi hasil, (3). Cara
139
pembayaran, (4). Agunan / jaminan kredit, (5). Biaya administrasi, (6).
Asuransi jiwa dan tagihan.
Sewa menurut Wahbah Zuh}aily,34
ija>rah muntahiyah bi al-
tamli>k yang sepadan dengan pengembangan akad musha>rakah mutana>qis}ah
merupakan instrumen pembayaran yang diperbolehkan oleh shari’>ah dengan
alasan sebagai berikut:
a. Kontrak merupakan penggabungan dua akad, yakni sewa dengan jual beli
dalam satu akad, dalam hal ini dilarang oleh shari>’ah’, namun ia terdiri
dari dua akad yang pisah dan independen, pertama adalah akad sewa dan
diakhir masa sewa dibentuk akad baru independen, yakni akad jual beli
atau hibah / penyerahan aset.
b. Menurut ulama>’ H}ana>bilah, pihak yang melakukan transaksi memiliki
kebebasan penuh dalam menentukan kesepakatan dan syarat dalam
sebuah akad, dan hukum asal dalam hal ini adalah diperbolehkan
(mubah). Sepanjang kesepakatan atau syarat tersebut tidak bertentangan
dengan nash yang bisa merusak kaidah shari’>ah.
c. Adapun janji pihak yang menyewakan barang / aset untuk melakukan
transaksi pindahan pemilikan barang komoditas diakhir sewa bukanlah
suatu hal yang dapat merusak akad dalam pandangan shari>’ah karena
janji bukanlah bentuk akad dan tidak dapat merusak segala konsekuensi
yang ada dalam akad. Atau dapat menjerumuskan pada pihak yang
34
Ibid, 410.
140
bertransaksi pada sesuatu yang dilarang oleh shari>’ah, seperti riba> atau
gharar. Menurut Ma>likiyah dan H}anafiyah janji tersebut bersifat
mengikat.
d. Ulama>’ Ma >likiyah menyatakan, akad sewa (ija>rah) bisa digabungkan
dengan akad jual beli dalam sebuah transaksi, karena tidak ada hal yang
menafikan substansi keduanya. Begitu juga dengan Sha>fi’iyah dan
H}ana>bilah yang mengakui keabsahan penggabungan dalam akad ini
dalam suatu transaksi, karena tidak ada pertentangan substansi akad
diantara keduanya.
e. Selain itu juga terdapat fatwa dari konferensi fikih internasional pertama
di Bayt al-Tamwi>l al-Kuwaiti, pada tanggal 7-11 Maret 1987 yang
mengakui keabsahan akad ija>rah muntahiyah bi al-tamli>k (yang
dikembangkan dengan akad) yang diakhiri dengan akad hibah atau
penyerahan aset. Atau juga ketetapan ulama>’ fikih dunia nomor 44
dalam sebuah konferensi di Kuwait (10-11 Desember 1988) yang
menghadirkan alternatif solusi, yakni akad ini diganti dengan jual beli
kredit, atau akad ija>rah, di mana di akhir penjanjian penyewa diberi
beberapa opsi, yaitu perpanjangan masa kontrak sewa, menyelesaikan
akad dengan mengembalikan objek sewa, atau membeli objek sewa
dengan harga yang berlaku dipasar.
Di dalam pengembangan akad musha>rakah mutana>qis}ah ada
serah-terima (i>ja>b qabu>l) dalam bisnis. I>ja>b adalah permulaan penjelasan
141
yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran
kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qabu>l adalah perkataan
yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya i>ja>b.
Pengertian i>ja>b qabu>l dalam pengamalan dewasa ini adalah bertukarnya
sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli
sesuatu terkadang tidak berhadapan, misalnya seseorang yang membeli tiket
pesawat terbang dengan pemilik pesawat tersebut tapi hanya membeli tiket
melalui travel.
Menurut pendapat Shalah Ash-Sha>wi dan Abdullah Muslih,35
yang dimaksud dengan pengucapan akad itu adalah ungkapan yang
dilontarkan oleh orang yang melakukan akad untuk menunjukkan
keinginannya yang mengesankan bahwa akad itu sudah berlangsung. Tentu
saja ungkapan itu harus mengandung serah-terima (i>ja>b qabu>l).
I>ja>b (ungkapan penyerahan barang) adalah yang diungkapkan
lebih dahulu, dan qabu>l (penerimaan) diungkapkan kemudian. Ini adalah
madhhab H}anafiyah. Di mana menurut mereka, ija>b adalah yang diucapkan
sebelum qabu>l, baik itu dari pihak pemilik barang atau pihak yang akan
menjadi pemilik berikutnya. Ija>b menunjukkan penyerahan kepemilikan,
sementara qabu>l menunjukkan penerimaan kepemilikan. Ini adalah
madhhab mayoritas ulama >’. Maka yang benar menurut mereka bahwa ija>b
itu harus diungkapkan oleh pemilik barang pertama, seperti penjual,
35
Ash-Shawi, Ma>la> Yasa’u, 28-29.
142
pemberi sewaan, wali calon isteri, dan lain sebagainya. Perkataan yang
benar menurut mereka bahwa, qabu>l itu berasal dari orang yang akan men-
jadi pemilik kedua dari barang tersebut, seperti pembeli, penyewa, calon
suami dan lain sebagainya. Jadi, pemilik pertama yang mengucapkan ija>b
sementara calon pemilik kedua yang mengucapkan qabu>l. Tidak ada
perbedaan bagi mereka, siapa pun yang mengucapkan pertama kali dan
siapa yang belakangan.36
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam s}i>ghat al-‘aqd,
menurut al-Kasani dan Suhendi37
adalah sebagai berikut:
a. S}i>ghat al-‘aqd harus jelas pengertiannya (jala>’ al-makna). Kata-kata
dalam i>ja>b qabu>l harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian,
misalnya seseorang berkata “aku serahkan barang ini”, kalimat tersebut
masih kurang jelas sehingga masih menimbulkan pertanyaan; apakah
benda tersebut diserahkan sebagai pemberian, penjualan, atau titipan.
Kalimat yang lengkapnya ialah “aku serahkan benda ini kepadamu
sebagai hadiah atau sebagai pemberian”.
b. Harus bersesuaian antara ija>b dan qabu>l. Tidak boleh antara yang beri>ja>b
dan yang menerima berbeda lafaz}, misalnya seseorang berkata,“aku
serahkan benda ini kepadamu sebagai titipan”, tetapi yang
mengungkapkan qabu>l berkata, “aku terima benda ini sebagai
pemberian”. Adanya kesimpangsiuran dalam i>ja>b dan qabu>l akan
36
Mushlih, Fikih Ekonomi, 29. 37
Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 47- 48.
143
menimbulkan persengketaan yang dilarang oleh agama Islam karena
bertentangan dengan is}lah di antara manusia.
c. Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang
bersangkutan (jazam> al-ira>dataini), tidak terpaksa dan tidak karena
diancam atau ditakut-takuti oleh orang lain karena dalam tija>rah harus
saling ridha.
d. Satu majelis akad (majlis al-‘aqd) bisa dikatakan merupakan suatu
kondisi yang memungkinkan kedua belah pihak untuk membuat
kesepakatan atau pertemuan untuk membicarakan dalam satu objek
transaksi. Dalam hal ini disyaratkan adanya kesepakatan antara kedua
belah pihak, tidak menunjukkan adanya penolakan atau pembatalan dari
keduanya.
Selanjutnya Suhendi mengungkapkan bahwa mengucapkan
dengan lidah (lisan) merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam
mengadakan akad, tetapi ada juga cara lain yang dapat menggambarkan
kehendak untuk berakad. Para ulama menerangkan beberapa cara yang
ditempuh dalam akad;38
1) Tulisan (kita>bah), misalnya dua aqid berjauhan tempatnya, maka i>ja>b
qabu>l boleh dengan cara kita>bah. Atas dasar inilah para fuqaha>’
membentuk kaidah, ”tulisan itu sama dengan ucapan”. Dengan ketentuan
kita>bah tersebut, kedua belah pihak dapat memahami dengan jelas.
38
Ibid, 48-51.
144
2) Dengan isyarat, bagi orang-orang tertentu akad atau i>ja>b dan qabu>l tidak
dapat dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan, misalnya seseorang yang
bisa tidak dapat mengadakan i>ja>b qabu>l dengan bahasa, orang yang tidak
pandai tulis baca tidak mampu mengadakan i>ja>b dan qabu>l dengan
tulisan, maka orang yang bisu dan tidak pandai tulis baca tidak mampu
mengadakan ija>b dan qabu>l dengan tulisan, maka orang yang bisu dan
tidak pandai tulis baca tidak dapat melakukan ija>b qabu>l dengan ucapan
dan dengan tulisan. Dengan demikian, qabu>l atau akad dilakukan dengan
isyarat. Maka dibuatlah kaidah berikut. “isyarat bagi orang bisu sama
dengan ucapan lidah.”
3) Saling memberi (ta’a>t}i), seperti seseorang yang melakukan pemberian
kepada seseorang dan orang tersebut memberikan imbalan kepada yang
memberi tanpa ditentukan besar imbalan. Berdasarkan contoh yang jelas
dapat diuraikan sebagai berikut “seorang pengail ikan sering memberikan
ikan hasil pancingannya kepada seorang petani, petani tersebut
memberikan beberapa liter beras kepada pengail yang memberikan ikan,
tanpa disebutkan besar imbalan yang dikehendaki oleh pemberi ikan”.
Proses di atas itu dinamakan ta’a>t}i, tetapi menurut sebagian ulama jual
beli seperti itu tidak dibenarkan.
4) Lisa>n al-h}a>l, menurut sebagian ulama>’, apabila seseorang meninggalkan
barang-barang di hadapan orang lain, kemudian dia pergi dan orang yang
ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja, hal itu dipandang telah ada
145
akad wadi>’ah (titipan) antara orang yang meletakkan barang dengan yang
menghadapi letakan barang titipan dengan jalan dala>lat al-ha>l.
Menurut pendapat Wahbah Zuh}aily, 39
i>ja>b dan qabu>l dinyatakan
batal karena hal-hal sebagai berikut:
1) Penjual menarik kembali ungkapannya sebelum terjadi qabu>l dari
pembeli.
2) Adanya penolakan i>ja>b dari pembeli. Dalam arti apa yang diungkapkan
oleh penjual tidak disetujui atau ditolak oleh pembeli.
3) Berakhirnya majelis akad, jika kedua belah pihak belum mendapatkan
kesepakatan, namun keduanya berpisah dalam majlis akad, maka i>ja>b
qabu>l dinyatakan batal.
4) Kedua belah pihak atau salah satu, hilangnya syarat kecakapan (ahliyyah)
dalam transaksi sebelum terjadinya kesepakatan.
5) Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qabu>l atau kesepakatan.
Sekarang timbul pentanyaan apakah akad sudah dianggap sah
dengan adanya serah terima barang? Para ulama>’ telah sepakat bahwa akad
itu sudah dianggap sah dengan adanya pengucapan lafaz} perjanjian tersebut.
Namun mereka berbeda pendapat apakah perjanjian itu sah dengan sekedar
adanya serah terima barang, yakni seorang penjual menyerahkan barang dan
pembeli menyerahkan uang bayarannya tanpa adanya ucapan dari salah
seorang diantara mereka berdua. Kenyataannya, pada zaman modern
39
Zuh}aily, al-Mu’a>mala>t, 114.
146
sekarang ini, perangkat komputer bisa dijadikan etalase barang-barang
jualan dengan urutan tertentu, lalu datang pembeli dan memilih barang
mana yang disukainya, kemudian ia menyerahkan uang bayarannya di
tempat yang sudah ditentukan. Si komputer akan menyerahkan kepadanya
barang yang diinginkan dengan cara yang canggih pula. Pendapat yang
benar menurut mayoritas ulama adalah bahwa jual beli semacam itu sah
berdasarkan hal-hal berikut:
a. Hakikat dari jual beli yang disyariatkan adalah menukar harta dengan
harta dengan dasar kerelaan hati dari kedua belah pihak, tidak ada
ketentuan shari>’ah tentang harusnya lafaz} tertentu. sehingga semuanya
dikembalikan kepada adat kebiasaan.
b. Tidak terbukti adanya syarat ija>b qabu>l secara lisan dalam nash-nash
shari >’ah. Kalau itu merupakan syarat, pasti sudah ada nash yang
mcnjelaskannya.
c. Umat manusia telah terbiasa melakukan jual beli di pasar-pasar mereka
dengan melakukan serah terima barang saja (tanpa pengucapan lafaz}
akad) di berbagai negeri dan tempat, tanpa pernah diingkari ajaran syariat
sehingga itu sudah menjadi ijma>' (konsensus umat).
Syarat-syarat s}ighat akad, menurut Shalah Ash-Sha>wi dan
Abdullah Mus}lih40
yaitu:
40
Mushlih, Fikih Ekonomi, 30-32.
147
a. Harus berada dalam satu majelis, karena i>ja>b itu hanya bisa menjadi
bagian dari akad bila ia bertemu langsung dengan qabu>l. Perlu dicatat,
bahwa kesamaan lokasi tersebut disesuaikan dengan kondisi zaman
sehingga akad itu bisa berlangsung melalui pesawat telepon. Dalam
kondisi demikian, lokasi tersebut adalah masa berlangsungnya
percakapan telepon. Selama percakapan itu masih berlangsung, dan line
telepon masih tersambung, berarti kedua belah pihak masih berada dalam
majlis akad. Majma' al-Fiqhi pernah mendiskusikan persoalan
melangsungkan akad usaha melalui media komunikasi modern.
Akhirnya, mereka menetapkan satu keputusan yang kami nukilkan
teksnya sebagai berikut:
Surat Keputusan No. (45/3/6) Melakukan Akad Usaha Melalui
Media Komunikasi Modern;
1) Kalau akad usaha antara kedua belah pihak berlangsung,
sementara keduanya tidak berada dalam lokasi akad, masing-
masing tidak melihat pihak lain dengan mata kepala sendiri,
juga tidak mendengar suaranya, sementara media komunikasi
yang menghubungkan antara keduanya adalah tulisan, surat,
kedutaan atau delegasi, via telegram, surat kilat, faksimili, layar
monitor komputer, dalam semua kondisi tersebut akad dianggap
sah, kalau i>ja>b bisa sampai kepada pihak yang dituju, demikian
juga qabu>l dari pihak yang lain.
148
2) Kalau akad antara kedua belah pihak sudah berlangsung pada
satu waktu sementara keduanya berada di dua lokasi yang
berjauhan, akad itu dilakukan dengan telepon dan faksimili,
maka akad antara dua pihak tersebut dianggap sah karena
kondisi demikian bisa diterapkan hukum asal yang telah
ditetapkan oleh para ulama fikih.
3) Kalau pihak yang menawarkan akad dengan media-media
tersebut memberikan ija>b dengan waktu tertentu, maka harus
dijaga konsekuensi pada masa tertentu tersebut, tidak boleh
diralat kembali.
4) Semua kaidah-kaidah tersebut di atas tidak berlaku bagi akad
nikah karena nikah mengharuskan adanya saksi .
5) Berkaitan dengan kemungkinan terjadinya pemalsuan dan
penggelapan atau kekeliruan, hal-hal tersebut harus
dikembalikan kepada kaidah-kaidah umum untuk menetapkan
perkara.
b. Hal yang menjadi penyebab terjadinya i>ja>b harus tetap ada hingga
terjadinya qabu>l dari pihak kedua yang ikut dalam akad. Kalau ija>b itu
ditarik oleh pihak pertama, lalu datang qabu>l, itu dianggap qabu>l tanpa
i>ja>b, dan itu tidak ada nilainya sama sekali.
c. Tidak adanya hal yang menunjukkan penolakan atau pemunduran diri
dari pihak kedua, karena adanya hal itu membatalkan i>ja>b. Kalau datang
149
lagi penerimaan sesudah itu, sudah tidak ada gunanya lagi, karena tidak
terkait lagi dengan i>ja>b sebelumnya secara tegas sehingga akad bisa
dilangsungkan.41
Dalam transaksi pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah
tujuannya merupakan ruh dari suatu sistem bisnis. Hal ini dikemukakan
oleh Ibnul Qayyim "sesungguhnya tujuan adalah ruh dari sebuah transaksi,
yang dapat menyebabkan sah tidaknya transaksi tersebut. Sorotan terhadap
tujuan dalam transaksi itu lebih tepat dari pada orientasi terhadap lafaz}
transaksi saja, karena ungkapan atau lafaz} itu diucapkan untuk mewakili hal
lain. Tujuan dari transaksi itulah yang menjadi sasaran dari lafaz} tersebut.
Dengan demikian, dapat dimaklumi bahwa transaksi adalah hakikat
tujuannya bukan sekadar z}ahir ucapan atau lafaz} yang diucapkan, atau
aktivitas yang dilakukan dalam bisnis "
Dari uraian di atas dapat dikemukakan sebuah proposisi sebagai
berikut: “transaksi musha>rakah mutana>qis}ah terkonstruksi jika terpenuhi
syarat sah dan rukunya, yaitu: syarat (adanya kesesuaian dengan substansi
akad, dibenarkan oleh shari>ah dan sesuai dengan kebiasaan masyarakat /urf)
dan rukunnya (adanya aktor transaksional, objek aset yang ditransaksikan,
substantif pembiayaan, ketentuan administratif, kepastian hukum,
pembayaran sewa secara angsuran dan serah terima aset dari pihak bank ke
nasabah sebagai mitranya”.
41
Ibid, 32.
150
Pelaksanaan akad masha>rakah mutana>qis}ah berakhir dengan
pembatalan atau meninggal dunia atau tanpa adanya izin ditangguhkan
(mauqu>f). Akad dengan pembatalan terkadang dihilangkan dari asalnya.
Seperti pada masa khiya>r, terkadang dikaitkan dengan masa yang akan
datang, seperti pembatalan dalam sewa-menyewa, pinjam-meminjam yang
telah disepakati selama lima bulan, tetapi sebelum lima bulan dibatalkan.
Pada akad ghairu la>zim yang kedua belah pihak (nasabah dan
pihak bank) dapat membatalkan akad, pembatalan ini sangat jelas seperti
penitipan barang, perwakilan dan lain-lain ghairu la>zim pada satu pihak dan
lazim pada pihak lain, seperti gadai. Orang yang menerima gadai dibolehkan
membatalkan akad, walaupun tanpa sepengetahuan orang yang
menggadaikan barang.42
Adapun pembatalan pada akad lazim terdapat
dalam beberapa hal: (1). Ketika akad rusak, (2). Adanya khiya>r, (3).
Pembatalan akad, (4). Tidak mungkin melaksanakan akad, dan (5). Masa
akad berakhir.43
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konstruk transaksi
pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah dilakukan melalui; (1). Analisis
transaksi pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah, (2). Melalui proses dan
penetapan hukum musha>rakah mutana>qis}ah, (3). Aspek hukum
operasionalisasi musha>rakah mutana>qis}ah. Dengan demikian dapat
42
Ismail Nawawi, Fiqh Mu‟amalah, Hukum Ekonomi, Bisnis dan Sosial, (Surabaya: PMN,
2010), 113.
43 Ibid, 113-115.
151
dirumuskan dengan proposisi sebagai berikut: “terbentuknya hukum
pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah, jika dilakukan analisis transaksi
pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah, menganalisis aspek-aspek hukum
operasionalisasi musha>rakah mutana>qis}ah dalam bisnis kemitraan
kepemilikan aset dari pihak bank dan nasabah dan penetapan hukum
musha>rakah mutana>qis}ah dalam sistem pembiayaan di perbankan syariah”.
B. Model Pembiayaan Konsumtif Pemilikan Aset Melalui Transaksi
Musha>rakah Mutana>qis}ah
Bank syariah sebagai korporasi mengemban misi organisasi bisnis
Islam untuk memberikan pelayanan pada masyarakat atau nasabah. Perbankan
syariah sebagai korporasi merupakan intensitas yang memungkinkan
masyarakat mencapai hasil dalam pengembangan bisnis, yang tidak mungkin
dilaksanakan oleh individu-individu yang bertindak secara sendiri. Oleh karena
itu, struktur dan proses individu-individu beriteraksi secara objektif,
berlandaskan sejumlah fakta yang merupakan ciri umum semua organisasi.
1. Bank Syariah sebagai Korporasi Bisnis
Perbankan syariah sebagai korporasi bisnis memberikan
informasi bahwa korporasi atau organisasi itu terdiri atas bagian-bagian
besar44
, yaitu:
44
Ismail Nawawi, Perilaku Organisasi (Jakarta: VIV Pres, 2011), 71.
152
a. Bank syariah sebagai sistem mekanikel koordinasi kerja bukan hanya
dalam pikiran manusia saja dan dinamika lingkungan korporasi.
b. Bank syariah merupakan aktivitas yang akan, sedang, atau telah
dilaksanakan oleh manusia yang bergabung dalam sebuah organisasi
yang bersifat sosial.
c. Bank syariah merupakan kelompok orang yang memegang posisi yang
mengkoordinasikan aktivitas bisnis perbankan.
Bank syariah dalam mengemban misi organisasi atau korporasi
mempunyai berbagai produk yang dapat mewujudkan pelayanan pada
masyarakat. Bank mempunyai kegiatan utama berkaitan dengan
pengumpulan dan penyaluran dana yang harus dilakukan dengan baik dan
benar. Manajemen sangat perperan penting dalam mengumpulkan dan
penyaluran dana dengan sistem bagi hasil. Dalam kaitan dengan hal tersebut
manajemen pengelolaan dana bank meliputi manajemen dana dan
manajemen pendistribusian dana yang menganalisis aktiva dan pasiva
neraca bank syari‟ah yang bersangkutan. Secara konseptual dana bank
(loanable fund) adalah sejumlah uang yang dimiliki atau dikuasai suatu
bank dalam kegiatan operasionalnya.45
Bank Syariah sebagai korporasi bisnis menerapkan manajemen
dana. Di mana manajemen dana bank atau bank fund management secara
konseptual adalah ilmu, seni, dan proses penarikan dan pengumpulan dana
45
Nawawi, Perbankan Syariah, 459-460.
153
yang optimal dan dengan cost of money yang wajar. Konsep wajar adalah
cost of money, cost of funds dan overhead cost dapat bersaing dengan bank-
bank lain. Permasalahan yang dihadapi oleh manajemen bank adalah;
1) Berapa dan bagaimana menetapkan jumlah dana yang dibutuhkan untuk
mendukung kegiatan operasi bank,
2) Bagaimana kebijakan penarikan dan pengumpulan dana yang
dibutuhkan,
3) Bagaimana menetapkan macam-macam sarana pengumpulan dana,
4) Bagaimana sistem pengawasan penarikan dan pengumpulan dana
dilakukan.46
Pendapat lain manajemen dana bank menurut Afif suatu proses
pengelolaan penghimpunan dana masyarakat ke dalam bank dan
pengelolaan dana tersebut bagi kepentingan bank dan masyarakat pada
umumnya, serta pemupukan secara optimal melalui penggerakan semua
sumber daya yang tersedia demi mencapai tingkat rentabilitas yang
memadai, sesuai dengan batas ketentuan peraturan yang berlaku.
Adapun dana bank terdiri dari dana sendiri dan dana asing,
masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut;
1) Dana sendiri atau dana intern yaitu dana yang bersumber dari dalam
bank, seperti setoran modal/penjualan saham, pemupukan cadangan, laba
yang ditahan dan lain-lain, dana ini bersifat tetap.
46
Ibid, 460.
154
2) Dana asing (ekstern) yaitu dana yang bersumber dari pihak ketiga, seperti
deposito, giro dan lain-lain.
Di samping pembagian tersebut dana bank dibedakan sebagai
berikut di bawah ini:
1) Loanable funds, yaitu dana-dana yang selain digunakan untuk kerjasama
bagi hasil, juga digunakan sebagai secondary service dan surat-surat
berharga.
2) Unloanable funds, yaitu dana yang semata-mata dapat digunakan sebagai
primary service.
3) Equite funds, yaitu dana yang dapat dialokasikan pada aktiva tetap,
inventaris dan penyertaan.
Dalam mengelola dana bank syari‟ah aktivitas manajemen
pendanaan meliputi kegiatan sebagai berikut:47
1) Mengatur penarikan dan pengumpulan dana yang optimal dengan cost
of money yang minimal.
2) Merencanakan sarana penabungan dan kerjasama bagi hasil.
3) Menetapkan kebijakan-kebijakan penarikan penabungan dan
penyaluran melalui bagi hasil yang efektif dan aman.
4) Memperhatikan keseimbangan antara dana bank, investasi primer dan
skunder sesuai ketentuan dan surat edaran Bank Indonesia.
5) Mengatur keseimbangan dana sendiri dan dana asing.
47
Ibid, 461-462.
155
6) Pengatur penyaluran sistem kerjasama yang optimal likuiditas dan
aman.
7) Melaksanakan sistem kontrol yang efektif dan represif yang efektif
terhadap pengumpulan dana penyalurannya.
8) Mengevaluasi seberapa jauh tujuan bank tercapai.
9) Memonitoring informasi perkembangan perbankan dan kebijakan-
kebijakan pemerintah.
Industri jasa finansial Islam membutuhkan suatu
pengembangan institusi. Pengembangan insitusi yang mendukung
pendanaan bergaya ekuitas dan investasi jauh lebih penting. Berkaitan
dengan karakteristik alamiah pendanaan yang terkait dengan aset bank
syari‟ah cenderung bertindak lebih dari sekadar penyandang dana, tapi
mempunyai berbagai fungsi yang lain. Bank syari‟ah merupakan salah satu
lembaga keuangan yang berfungsi mengumpulkan dana (funding) dan
menyalurkan dana kepada masyarakat (financing). Dengan kata lain dua
fungsi tersebut, merupakan kegiatan mengumpulkan dana disebut dengan
kegiatan funding, dan kegiatan menyalurkan dana kepada masyarakat
disebut dengan kegiatan financing. Bank Syari‟ah dalam menjalankan
kedua aktivitas tersebut, harus mencerminkan perilaku atau kegiatan yang
tidak menyimpang dari kaidah-kaidah perbankan secara islami dan
156
mengikuti kaidah hukum perbankan yang berlaku dan telah diatur oleh
bank sentral.48
Fungsi bank syari‟ah dalam mengumpulkan dana dan
menyalurkan dana dalam upaya melayani musyarakat, sebagai perantara
keuangan (financial intermediary) antara pihak pemilik dana kepada pihak
yang membutukan dana. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4.1 Siklus dana di bank syari‟ah
Ruang lingkup manajemen dana bank adalah sebagai berikut;
a. Segala aktivitas bank dalam menghimpun dana-dana masyarakat.
b. Aktivitas bank untuk mengatur kepercayaan masyarakat dengan
menyediakan uang tunai bagi kepentingannya masyarakat penyimpan.
c. Penempatan dana sebagai bentuk penyaluran, sebagai usaha pelayanan
kebutuhan masyarakat dan penempatan dana dalam bentuk-bentuk lain,
baik bersifat jangka pendek dan jangka panjang demi kepentingan
rentabilitas atau profitabilitas.
d. Pengelolaan modal bank agar dapat berfungsi secara lancar dan wajar
sesuai dengan peranannya sebagai penggerak aktivitas sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
48
Ibid, 462-463.
S}a>hib al-
Ma>l
Mud}a>rib / S}a>hib al-
Ma>l
Mud}a>rib Financing Funding
157
Dalam pengelolaan aktivitas bank, penggunaan dana bank
harus memperhatikan tiga sasaran yaitu, (1). Likuiditas, (2). Keamanan
dan (3). Pendapatan.
Faktor yang mempengaruhi manajemen dana bank terdiri dari
empat kelompok:
a. Kebijakan pemerintah dibidang moneter.
b. Lingkungan perbankan, lingkungan eksternal baik sangat
mempengaruhi nama bank baik lembaga keuangan atau lembaga lain.
c. Mobilisasi dana. Semakin banyak bank semakin ketat persaingan, maka
akan berlaku hukum permintaan dan penawaran, faktor yang
mampengaruhi adalah:
1) Ketentuan-ketentuan pemeliharaan likuidinal minimal,
2) Selera masyarakat untuk memilih bentuk simpanan yang diinginkan.
3) Setingkat pendapatan masyarakat,
4) Peraturan yang terkait dengan bentuk dana.
d. Pasar modal, merupakan alternatif lain bagi masyarakat untuk
kemanfaatan dana selain di bank. Dengan demikian, pasar modal
merupakan bentuk lain bagi perusahaan untuk memperoleh dana selain
meminjamnya dari bank. Pasar modal dapat dilihat sebagai saingan dari
perbankan dalam rangka pengerahan dana maupun penanaman dana.49
49
Ibid, 463-464.
158
Untuk mempermudah pemahaman arus sumber dana,
penggunaan dana dapat diilustrasikan dalam gambar 4.2
Gambar 4.2 Arus sumber dana dan Penggunaan dana
Perbankan Syariah selain melakukan manajemen dana juga
melakukan manajemen produksi perbankan. Istilah produksi bank
mengacu pada fungsi bank, sebab bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
penyaluran kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan tarap hidup rakyat banyak. Dari
ketentuan tersebut, maka berbagai batasan produk bank adalah seluruh
usaha bank dalam menerima simpanan dan penyaluran kembali pada
masyarakat (nasabah), jasa-jasa lain sebagaimana di atas dalam perundang-
undangan yang berlaku dalam bidang perbankan. Dengan kata lain produk
bank adalah seluruh fasilitas layanan dan jasa yang ditawarkan oleh bank
kepada masyarakat baik pada sisi aset misalnya kredit termasuk kredit
yang ada pada of balance shet (letter of credit / bank garansi) dan sisi
liabilities berupa simpanan masyarakat dan jasa-jasa lainnya.
Suorce of Funds
funds
Bank Use of Funds
Sumber
Sistim bagi hasil
Penarikan dana Pengembalian dana
159
Secara garis besar, produk bank syariah dikelompokkan
menjadi tiga kelompok yaitu: (1). Produk penghimpunan dana, (2).
Produk penyaluran dana, (3) Produk jasa. Hal ini dapat dilihat pada tabel
4.3 di bawah ini.
Tabel 4.3
Jenis usaha, model produk dan prinsip bank syari‟ah
No Jenis Usaha Produk / Jasa Prinsip Syari‟ah
1. Penghimpun
an dana
Giro
Tabungan
Deposito
Simpanan khusus
Wadi>’ah yad al-dama>nah
Wadi>’ah yad al-dama>nah
wa mud}a>rabah
Mud}a>rabah
Mud}a>rabah muqayyadah
2. Penyaluran
dana
Dana talangan
Penyertaan
Sewa beli
Pembiayaan modal
kerja
Pembiayaan proyek
Pembiayaan sektor
pertanian
Qard}
Musha>rakah
Ija>rah muntahiya bi al-
tamli>k (ija>rah wa iqtina>’)
Mud}a>rabah, musha>rakah
atau mura>bah}ah
Mud}a>rabah atau
musha>rakah
Bay’ al-sala>m
160
Pembiayaan untuk
akuisisi aset
Pembiayaan ekspor
Anjang piutang
Letter of credit (L/C)
Garansi bank
Inkasso, transfer
Pinjaman sosial
Surat berharga
Safe deposit box
Gadai
Ija>rah muntahiya bi al-
tamlik / musha>rakah
mutana>qis}ah
Mud}a>rabah, musha>rakah
atau mura>bah}ah
H}iwa>lah
Waka>lah
Kafa>lah
Waka>lah dan h}iwa>lah
Qard} al-h}asan
Mud}a>rabah, qard}, bay’ al-
dayn
Wadi>’ah yad al-ama>nah,
ujrah
Rahn
Dari tabel di atas, dapat diambil sebuah proposisi bahwa
musha>rakah mutana>qis}ah sebagai produk perbankan yaitu jenis penyaluran
atau pembiayaan pemilikan aset perbankan.
161
2. Analisis Pembiayaan Musha>rakah Mutana>qis}ah
Pembiayaan bank syariah khususnya pada produk pertama
ditujukan untuk menyalurkan investasi dan simpanan masyarakat di sektor
riil dengan tujuan produktif dalam bentuk investasi bersama (invesment
financing) yang dilakukan pada mitra usaha (kreditor) menggunakan pola
bagi hasil (mud}a>rabah dan musha>rakah) dalam bentuk investasi sendiri
(trade financing) kepada yang membutuhkan pembiayaan menggunakan
pola jual-beli (mura>bah}}ah, sala>m dan istis}na>’) dan pola sewa (ija>rah dan
ija>rah muntahiya bi al-tamli>k) dan pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah.
Pembiayaan cukup penting adalah pembiayaan untuk kegiatan
ekspor, pembiayaan pertanian dan pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Akad yang digunakan lebih spesifik sesuai dengan karakteristiknya.
Pembiayaan proyek menggunakan pola bagi hasil mud}a>rabah dan
musha>rakah, pembiayaan pertanian dengan pola jual beli pesanan salam dan
salam paralel, pembiayaan manufaktur dan konstruksi menggunakan pola
jual-beli dengan memproduksi atau pembangunan (ist}is}na>’ dan ist}is}na>’
paralel), sedangkan ekspor dengan pola bagi hasil (mud}a>rabah dan
musha>rakah, atau jual-beli (mura>bah}ah).
Secara umum, jenis-jenis pembiayaan dapat diilustrasikan pada
gambar 4.4 sebagai berikut:50
Gambar 4.4 Pembiayaan dalam bank syariah
50
Ismail Nawawi, Isu-isu Ekonomi Islam Nalar Bisnis, (Jakarta: VIV Press, 2012),165.
162
Dari gambar tersebut di atas, pembiayaan musha>rakah
mutana>qis}ah termasuk pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna
dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas
kebutuhan primer (pokok atau dasar) dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan
primer adalah kebutuhan pokok, baik berupa barang / aset, seperti makanan,
minuman, pakaian, dan tempat tinggal, maupun berupa jasa, seperti
pendidikan dasar dan pengobatan. Adapun kebutuhan sekunder adalah
kebutuhan tambahan, yang secara kuantitatif maupun kualitatif lebih tinggi
atau lebih mewah dari kebutuhan primer, baik berupa barang, seperti
makanan dan minuman, pakaian/ perhiasan, bangunan rumah, kendaraan,
dan sebagainya, maupun berupa jasa, seperti pendidikan, pelayanan
kesehatan, pariwisata, hiburan dan sebagainya.
Pada umumnya, bank konvensional membatasi pemberian kredit
untuk pemenuhan barang tertentu yang dapat disertai dengan bukti
kepemilikan yang sah, seperti rumah dan kendaraan bermotor, yang
kemudian menjadi barang jaminan utama (main collateral). Adapun untuk
PEMBIAYAAN
Konsumtif Produktif
Modal kerja Investasi
163
pemenuhan kebutuhan jasa, bank meminta jaminan berupa barang lain yang
dapat diikat sebagai collateral. Sumber pembayaran kembali atas
pembiayaan tersebut berasal dari sumber pendapatan lain dan bukan dari
eksploitasi barang yang dibiayai dari fasilitas ini.
Bank syariah dapat menyediakan pembiayaan komersial untuk
pemenuhan kebutuhan barang konsumsi menurut Hamoun51
dengan
menggunakan ketentuan sebagai berikut:
a. Bay’ bi thaman al-a>jil (salah satu bentuk mura>bah}ah) atau jual-beli
dengan angsuran.
b. Ija>rah muntahiya bi al-tamli>k atau sewa beli.
c. Musha>rakah mutanaqis{ah atau decreasing participation, yaitu secara
bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya.
Pembiayaan konsumsi tersebut di atas lazim digunakan untuk
pemenuhan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer pada umumnya tidak
dapat dipenuhi dengan pembiayaan komersial. Seseorang yang belum
mampu memenuhi kebutuhan pokoknya tergolong fakir atau miskin. Oleh
karena itu, ia wajib diberi zakat atau sedekah, atau maksimal diberikan
pinjaman kebajikan (al-qard{ al-h}asan), yaitu pinjaman dengan kewajiban
pengembalian pinjaman pokoknya saja, tanpa imbalan apapun.
51
Ismail Nawawi, Kewirausahaan Bisnis, (Surabaya:VIVpress,2011),39.
164
Di samping itu bank syariah juga memberikan pembiayaan
aneka barang, perumahan dan properti dengan berbagai cara, yaitu,
1) Bagi hasil (musha>rakah mutana>qis}ah), misalnya kebutuhan pembelian
mobil, sepeda motor, perumahan, dan aset yang lain,
2) Jual-beli (mura>bahah), misalnya perumahan, properti apa yang secara
umum dapat dipenuhi dengan pola jual-beli ini, dan
3) Sewa beli (ija>rah muntahiya bi al-tamli>k), perumahan, properti, dan
lainnya.
Pembiayaan yang ada dalam perbankan syariah menurut al-
Harran sebagaimana dikutip oleh Nurul Huda dan Mohamad Heykal dalam
bukunya yang berjudul: ”Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan
Praktis” dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:52
a. Return bearing financing, yaitu bentuk pembiayaan yang secara
komersial bersifat menguntungkan yaitu ketika pemilik modal mau
menanggung risiko kerugian dan nasabah juga mau memberikan
keuntungan.
b. Return fee financing, yaitu bentuk pembiayaan yang ditujukan tidak
hanya mencari keuntungan, akan tetapi lebih ditujukan kepada orang-
orang yang membutuhkan.
c. Charity financing, yaitu bentuk pembiayaan yang memang diberikan
kepada orang miskin dan membutuhkannya, sehingga dalam pembiayaan
52
Saad Abdul Sattar al-Harran, Islamic Finance Partnership Financing (Selangor: Pelanduk
Publications, 1993), 98.
165
model ini sama sekali tidak ada pokok pembiayaan dan juga keuntungan
yang diambil.53
Bentuk pembiayaan bank syariah terutama dan khususnya
pada bentuk pertama ditujukan untuk menyalurkan investasi dan
simpanan masyarakat ke sektor riil dengan tujuan produktif dalam bentuk
investasi bersama (invesment financing) yang dilakukan bersama mitra
usaha (kreditor) menggunakan pola bagi hasil (mud}a>rabah, musha>rakah)
dalam bentuk investasi sendiri (trade financing) kepada yang
membutuhkan pembiayaan menggunakan pola jual beli (mud}a>rabah,
salam istis}na>’) dan pola sewa (ija>rah dan ija>rah muntahiya bi al -
tamli>k).
Pembiayaan bank syariah menggunakan empat pola yang
berbeda, yaitu:
1) Pola bagi hasil untuk investasi financing dengan mengunakan akad
musha>rakah dan mud}a>rabah.
2) Pola jual-beli untuk trade financing dengan menggunakan pola akad
mura>bah}ah, sala>m, dan istis}na>’.
3) Pola sewa untuk trade financing dengan pola akad ija>rah dan ija>rah
muntahiya bi al-tamli>k
4) Pola pinjaman untuk dana talangan dengan akad qirad}.
53
Nurul Huda, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010), 40.
166
Dari sekian banyak produk pembiayaan bank syariah, tiga
produk pembiayaan utama yang mendominasi portofolio pembiayaan
bank syariah adalah pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi, dan
pembiayaan aneka barang dan properti. Akad-akad yang digunakan
dalam aplikasi pembiayaan tersebut sangat bervariasi dari pola bagi hasil
(mud}a>rabah, musha>rakah, musha>rakah mutana>qis}ah), pola jual-beli
(mura>bah}ah, sala>m dan istis}na >’) ataupun pola sewa (ija>rah dan ija>rah
muntahiya bi al-tamli>k). Bentuk pembiayaannya adalah pembiayaan
modal kerja, pembiayaan investasi dan pembiayaan aneka barang,
perumahan dan properti, seperti telah dijelaskan di atas. Khusus
pembiayaan aneka barang, perumahan dan properti, sama dengan
perdagangan berdasarkan pesanan.
3. Model Analisis Kapasitas Produk Pembiayaan Bank Syariah
Pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah (perkongsian yang
semakin berkurang) juga dikenal sebagai musha>rakah muntahiya bi al-
tamli>k (perkongsian yang diakhiri dengan pemilikan). Melalui konsep ini,
bank dan pelanggannya berkongsi modal untuk mendapatkan sesuatu aset.
Pemilikan aset tersebut adalah bagi kedua belah pihak. Aset tersebut akan
menjadi milik penuh pelanggan apabila dia telah membayar kembali ke
167
semua pembiayaan yang diketengahkan bank dalam tempo masa yang
ditetapkan secara berkala54
.
Sebagai contoh, Muh Muflih telah memohon pembiayaan atas
kontrak musha>rakah mutana>qis}ah untuk membeli sebuah rumah. Setelah
mengenal pasti rumah yang ingin dibelinya, Muh Muflih membayar 10 %
dari harga rumah tersebut sebagai deposit. Jadi sebanyak 90 % dibayar oleh
bank. Muh Muflih berkongsi atau bermitra milik dengan pihak bank atas
rumah tersebut sebanyak 1 : 9 (satu nisbah sembilan).
Muh Muflih telah bersepakat untuk membayar kembali kepada
pihak bank sebanyak 1 % setiap bulan secara berkala untuk mendapatkan
pemilikan penuh (kadar bergantung kepada kontrak yang disetujui di awal
perjanjian). Maka, dalam tempo itu pemilikan bank atas rumah tersebut akan
berkurang, manakala pemilikan Muh Muflih akan bertambah. Di akhir
kontrak, pemilikan rumah tersebut telah berpindah sepenuhnya ke atas Muh
Muflih, menjadikan nisbah pemilikan 100 : 0.
Musha>rakah mutana>qis}ah dapat dengan mudah digunakan untuk
tujuan pembiayaan aset tetap oleh bank syariah. Aset tersebut melibatkan
pembiayaan rumah, pembiayaan otomotif, pembiayaan pabrik dan mesin,
pembiayaan gedung atau bangunan pabrik, dan pembiayaan aset lain.
Dalam kasus pembiayaan rumah, kepemilikan bersama diciptakan untuk
54
Nawawi, Fiqh Mu‟amalah, 128.
168
tujuan pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah. Pihak penyedia pembiayaan
memberikan bagian yang tidak terbagi untuk disewakan pada rekanan yang
menggunakan rumah tersebut, nasabah memberikan uang sewa atas bagian
dari pihak penyedia pembiayaan dan secara periodik membeli unit dari
kepemilikan rekanannya. Modus operandi yang di setujui para ulama
bahwa, ketiga kontrak (akad) tersebut dimasuki secara terpisah, guna
memastikan setiap kontrak (akad) bersifat independen terhadap kedua
kontrak (akad) lain. Urutan kontrak-kontrak (akad) tersebut seharusnya
sebagai berikut :
1) Kontrak (akad) di antara rekanan untuk menciptakan kepemilikan
bersama. Nasabah membuat janji, sebelum atau sesudah perjanjian
penyewaan diselesaikan, untuk membeli bagian dari pihak penyedia
pembiayaan.
2) Rekanan yang menyediakan pembiayaan memberikan unit dari
bagiannya ke nasabah untuk disewakan.
3) Nasabah terus membeli unit kepemilikan dari pihak penyedia
pembiayaan sesuai janjinya. Dengan demikian, uang sewa lama-
kelamaan menurun.55
Pembiayaan oleh bank yang membasiskan musha>rakah
mutana>qis}ah dapat terjadi dalam beragam bentuk berbeda, tergantung aset
yang terlibat. Beberapa aset dapat disewakan, misalnya dalam kasus
55
Ayub, Understanding, 519-520.
169
pembiayaan rumah dan pembiayaan untuk pembelian pabrik serta mesin.
Aset yang memiliki sifat komersial tidak akan melibatkan penyewaan.
Jika tidak melibatkan penyewaan dan ada kemitraan sederhana yang di
dalamnya dua rekanan memulai satu bisnis, misalnya dengan berbasiskan 40
: 60, mereka dapat menyetujui bahwa bagian unit salah seorang rekanan
akan di jual secara periodik ke rekan lain yang akan terus membelinya
secara bertahap hingga pihak kedua sudah tidak menjalankan bisnis. Karena
kontrak (akad) ini dimaksud untuk penciptaan keuntungan oleh rekanan
yang ada dan tidak melibatkan penyewaan, seperti rumah atau kendaraan
bermotor, harga unit baginya tidak dapat di tetapkan dalam janji untuk
menjual. Seorang rekanan dapat menyetujui menjual unit–unit tersebut
dengan berbasiskan penilaian bisnis pada saat pembelian, setiap unit,
penilaian yang demikian dapat dilaksanakan asalkan sesuai dengan prinsip-
prinsip yang di ketahui oleh para ahlinya yang karakteristiknya disetujui
rekan–rekan ketika janjinya ditandatangani. Pada saat pembelian, penjualan
haruslah di laksanakan lewat penawaran dan penerimaan. Walaupun
rekanan wirausaha dalam musha>rakah mutanaqis{ah untuk perdagangan
memiliki motivasi yang melekat untuk memperoleh kepemilikan penuh
dengan membeli saham pihak penyedia pembiayaan, para ulama tidak
cenderung membuat janjinya bersikap memikat.
Setelah menciptakan kepemilikan bersama, bank-bank dapat
menanda-tangani janji sepihak untuk menjual unit bagian kepemilikannya
170
yang berbeda secara periodik dan ketika nasabah membeli unit dari bagian,
uang sewa dari unit-unit yang tersisa akan terus berkurang. Oleh sebab itu,
bank Islam akan membuat janji yang mengingat untuk menawarkan bagian
spesifik dari kepemilikan atas proyek untuk penjualan pada tanggal tertentu
pada saat penjualan aktual. Rekanan wirausaha dapat secara suka rela
membeli bagian dari pihak penyedia pembiayaan pada harga yang berlaku
pada saat penjualan pasar saham atau pada harga yang di tentukan dengan
kesepakatan bebas bersama dari semua pihak.
Berikut urutan dokumentasi dalam kesepakatan musha>rakah
mutana>qis}ah pada umumnya, seperti yang digunakan oleh Institusi Finansial
Islami (IFI) untuk bisnis pembiayaan perumahan dengan berbasiskan
kemitraan berdasarkan kepemilikan:
a. Penciptaan kepemilikan bersama melalui kesepakatan musha>rakah
nasabah dan institusional keuangan islami menjadi sesama pemilik dalam
properti bersama. Jika hak legal atas properti tersebut telah ada pada sisi
nasabah, dapat dibuat perjanjian yaitu IFI akan mendapatkan bagian pasti
dalam properti musha>rakah dan hal ini akan melibatkan kesepakatan
penjual dan penyewaan kembali.
b. Perjanjian penyewaan. Kedua belah pihak menyetujui bahwa IFI akan
menyewakan bagian yang penuh kepada rekanan nasabahnya untuk satu
uang sewa yang akan diatur di bawah peraturan perjanjian
ditandatanganinya perjanjian ini. Perjanjian ini mengandung perincian
171
mengenai uang sewa, formula perhitungan, dan jadwal untuk periode
penyewaan.
c. Melakukan pembelian unit dari bagian bank dalam properti bersama. Hal
ini merupakan janji sepihak yang hanya mengingat pembuat janji. Baik
nasabah maupun bank dapat membuat janji ini jika kesepakatannya
dibuat berdasarkan aturan, ia dapat mengandung daftar harga yaitu
nasabah harus membeli unitnya dari waktu ke waktu. Ia juga memberikan
perincian mengenai situasi jika kapan pun nasabah ingin melakukan
pembelian bagian lebih banyak dibandingkan apa yang telah di tetapkan
dalam jadwal yang telah disetujui bersama. Pada umumnya ia merupakan
hipotek56
yang adil untuk properti yang dibiayai. Bank akan
membutuhkan tambahan jaminan untuk melindungi kepentingannya,
khususnya dari sisi posisi finansial nasabah yang bersangkutan.57
Oleh sebab itu, nasabah membayar uang sewa pada pihak bank
dalam properti, kemudian melakukan pembelian properti pada bank secara
periodik hingga kepemilikan asetnya dialihkan kepadanya. Fasilitas ini
dapat disediakan untuk pembelian rumah, pembangunan rumah, renovasi
rumah, dan lain-lain yang berupa aset tetap.58
Upaya lainnya dari bank syariah untuk menjaga agar usaha yang
dijalankan tetap sesuai dengan ketentuan shari>’ah adalah melalui bisnis
56
Kredit yg diberikan atas dasar jaminan berupa benda tidak bergerak; 2). Surat pernyataan
berutang untuk jangka panjang yg berisi ketentuan bahwa kreditor dapat memindahkan sebagian
atau seluruh hak tagihannya kepada pihak ketiga; 57
Ayub, Understanding, 520-521. 58
Ibid, 521-522.
172
usaha yang dibiayai. Sebelum menyetujui usul pembiayaan oleh bank
syari‟ah, hal-hal yang berhubungan dengan usaha pembiayaan lebih dahulu
diseleksi. Ini dilakukan agar jangan sampai usaha yang dibiayai
bertentangan dengan prinsip-prinsip shari>’ah. Hal-hal yang diperhatikan
sebelum menyetujui usul pembiayaan tersebut antara lain:59
1). Apakah
obyek pembiayaan halal atau haram, 2). Apakah obyek pembiayaan
menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat, 3). Apakah berkaitan dengan
perbuatan mesum / asusila, 4). Apakah obyek berkaitan dengan perjudian,
5). Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata illegal atau
berorientasi pada pembangunan senjata pemusnah massal, dan 6). Apakah
proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Usaha patungan atau perkongsian adalah suatu usaha bisnis yang
dilakukan oleh dua atau lebih entitas (pribadi atau perusahaan) untuk
berbagi pengeluaran dan laba dari satu proyek bisnis tertentu. Ini adalah
bentuk kemitraan yang terbatas untuk satu tujuan tertentu. Di antara manfaat
utama usaha patungan adalah para mitra menghemat uang dan mengurangi
risiko mereka lewat berbagi modal dan sumber daya. Musha>rakah merujuk
pada kemitraan usaha patungan syariah adalah bank dan nasabah sepakat
untuk menggabungkan sumber daya keuangan demi menjalankan dan
mengelola suatu usaha bisnis sesuai dengan nis}bah, sementara kerugian
59
Ismail Nawawi, Transaksi Bisnis Kontemporer Perbankan Syari‟ah Konstruk Menuju Praktik,
(Jakarta, VIV Press, 2012), 64.
173
dibagi secara proporsional sesuai dengan jumlah modal yang disumbangkan
masing-masing mitra.
Pembiayaan atau kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang
memungkinkan seseorang atau badan usaha untuk meminjam uang untuk
membeli produk dan membayarnya kembali dalam jangka waktu yang
ditentukan. Dalam Undang-Undang Nomor. 10 tahun 1998 menyebutkan
bahwa kredit atau pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian nis}bah.
Perkataan “kredit” (taqs}i>d) telah lazim digunakan pada praktik
perbankan dalam pemberian berbagai fasilitas yang berkaitan dengan
pinjaman. Karena kredit sebagaimana dijelaskan dalam kamus besar bahasa
Indonesia adalah merupakan 1). Cara menjual barang dengan pembayaran
secara tidak tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur); 2). Pinjaman
uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur; 3).
Penambahan saldo rekening, sisa utang, modal dan pendataan bagi
penabung; 4). Pinjaman sampai batas jumlah tertentu yg diizinkan oleh bank
atau badan lain; 5). Sisi kanan neraca (di Indonesia).60
Dengan demikian,
pengertian “kredit” dalam penggunaannya yang semakin meluas, sejauh
60
Lebih jelasnya bisa ditelaah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
174
mana relevansi penggunaannya dalam praktik bisnis umumnya dan
perbankan khususnya. Kata “kredit” berasal dari bahasa Romawi “credere”
yang berarti percaya atau “credo” atau “creditum” yang berarti saya
percaya. Maksudnya si pemberi kredit percaya kepada si penerima kredit,
bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian,
sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima kepercayaan sehingga
mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai
dengan jangka waktunya.
Oleh karena itu, untuk meyakinkan bank bahwa si nasabah benar-
benar dapat dipercaya, maka sebelum pembiayaan diberikan terlebih dahulu
bank mengadakan analisis pembiayaan. Analisis pembiayaan meliputi latar
belakang nasabah atau perusahaan, prospek usahanya, jaminan yang
diberikan serta faktor-faktor lainnya. Tujuan analisis ini adalah agar bank
yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman.
Sedangkan pengertian pembiayaan atau kredit menurut Undang-
Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998: pembiayaan adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dalam kata kredit
terkandung unsur-unsur yang direkatkan menjadi satu, sehingga jika kita
175
melakukan pembiayaan kredit maka termasuk membicarakan unsur-unsur
yang terkandung di dalamnya61
, yaitu:
a. Kepercayaan
Kepercayaan merupakan suatu keyakinan bagi pemberi kredit
bahwa kredit yang diberikan benar-benar diterima kembali di masa yang
akan datang sesuai jangka waktu kredit. Kepercayaan diberikan oleh
bank sebagai dasar utama yang melandasi mengapa suatu kredit berani
dikucurkan.
b. Kesepakatan
Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian yaitu
masing-masing pihak (si pemberi kredit dengan si penerima kredit)
menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing. Kesepakatan ini
kemudian dituangkan dalam suatu akad kredit dan ditandatangani kedua
belah pihak sebelum kredit dikucurkan.
c. Jangka waktu
Jangka waktu mencakup masa pengembalian kredit yang telah
disepakati. Jangka waktu tersebut bisa berbentuk jangka pendek (di
bawah 1 tahun), jangka menengah (1 sampai 3 tahun) atau jangka
panjang (di atas 3 tahun). Jangka waktu merupakan batas waktu
pengembalian angsuran kredit yang sudah disepakati kedua belah pihak.
61
Nawawi, Transaksi Bisnis, 130.
176
Untuk kondisi tertentu jangka waktu ini dapat diperpanjang sesuai
kebutuhan.
d. Risiko
Akibat adanya tenggang waktu, maka pengembalian kredit
akan memungkinkan suatu risiko tidak tertagihnya atau macet pemberian
suatu kredit. Semakin panjang suatu jangka waktu kredit, maka semakin
besar risikonya. Risiko ini menjadi tanggungan bank, baik risiko yang
disengaja oleh nasabah maupun risiko yang tidak disengaja, misalnya
karena bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur
kesengajaan lainnya, sehingga nasabah tidak mampu lagi melunasi kredit
yang diperolehnya.
e. Balas Jasa
Balas jasa bagi bank merupakan keuntungan atau pendapatan
atas pemberian kredit. Dalam bank konvensional balas jasa dikenal
dengan nama bunga. Selain balas jasa dalam bentuk bunga, bank juga
membebankan kepada nasabah biaya administrasi kredit yang juga
merupakan keuntungan bank. Bagi bank yang berprinsip syariah, balas
jasa ditentukan dengan prinsip bagi hasil.62
62
Ibid, 131.
177
4. Model Alur Proses Pembiayaan Musha>rakah Mutana>qis}ah
Persyaratan pengajuan pembiayaan di bank syariah tidaklah
serumit yang diperkirakan orang. Bahkan syaratnya sebetulnya cukup
mudah. Bagi Bank hal ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh tentang
data-data calon debiturnya sekaligus untuk mendapatkan informasi tentang
karakter calon debitur, dana yang dimiliki saat ini, pengaruh kondisi
ekonomi saat ini terhadap penghasilan debitur, jaminan yang diajukan, dan
masih banyak lagi.
Dalam memberikan pembiayaan kepada debiturnya tentu bank
akan melaksanakan prinsip kehatian-hatian. Hal ini memang disyaratkan
oleh undang-undang yang mengatur mengenai perbankan di Indonesia,
bahkan di seluruh dunia. Perlu diketahui bahwa setiap rupiah dana yang
disalurkan ke masyarakat oleh bank adalah milik masyarakat juga, tentunya
bank akan mengembalikannya kepada nasabah setiap saat berikut nisbah
(bagi hasilnya). Karena itu, bank selalu melakukan analisis pembiayaan
untuk menilai kelayakan calon debiturnya. Pada umumnya, bank membagi
debiturnya ke dalam dua golongan besar,yaitu debitur perorangan dan
debitur perusahaan (sekali lagi, debitur adalah pihak yang meminjam uang
dari bank). Berikut ini adalah persyaratan yang diminta bank sesuai
golongan debiturnya.
Debitur perorangan terdiri dari berbagai macam latar belakang
profesi, misalnya pegawai negeri, karyawan swasta, pedagang, dan lain
178
sebagainya. Tiap-tiap profesi mempunyai ciri khasnya sendiri yang oleh
bank dibedakan lagi menjadi tiga golongan, yaitu wirausahawan, karyawan,
dan profesional.
Persyaratan yang diminta untuk masing-masing debitur
perorangan tersebut pada umumnya adalah :
1) Copy identitas diri (KTP , SIM, atau paspor)
2) Copy akte nikah (bagi yang sudah menikah). Bank akan meminta salinan
akte nikah bagi debitur yang sudah menikah adalah untuk mengetahui
apakah harta yang dijaminkan merupakan harta bersama suami-istri
(harta gono-gini) atau bukan sehingga baik istri atau suami debitur dapat
dimintai persetujuannya dan turut bertanggung jawab terhadap harta yang
dijaminkan ke bank berikut sejumlah hutangnya. Jika calon debitur
memiliki perjanjian pisah harta, yaitu perjanjian nota riil antara suami-
isteri yang isinya adalah harta yang diperoleh selama perkawinan
merupakan harta masing-masing pribadi, maka bank juga akan meminta
foto kopi perjanjiannya.
3) Kopi kartu keluarga. Sama seperti nomor 2 di atas dan juga untuk
mengetahui apakah calon debitur juga menanggung biaya hidup oang lain
selain dirinya sendiri.
4) Copy rekening koran/rekening giro atau buku tabungan di bank manapun
antara 3 bulan terakhir. Data ini diperlukan Bank untuk melakukan
analisis keuangan calon debiturnya sehingga dapat diukur seberapa besar
179
penghasilan debitur yang dapat disisihkan untuk membayar angsuran
pinjaman tiap bulannya.
5) Copy slip gaji atau surat keterangan penghasilan dari perusahaan / tempat
bekerja calon debitur. Syarat ini hanya diberlakukan untuk calon debitur
yang bekerja di suatu perusahaan, pemerintah maupun swasta. Tujuannya
untuk memastikan bahwa calon debitur memang bekerja dan memiliki
penghasilan tetap setiap bulannya.
Debitur yang berbentuk perusahaan meliputi bentuk badan usaha
seperti CV, PT, firma dan lain-lain. Persyaratan yang diminta antara lain:
1) Copy identitas diri dari para pengurus perusahaan (direktur & komisaris).
2) Copy NPWP (Nomor Pokok wajib pajak)
3) Copy SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan )
4) Copy Akte Pendirian dan Anggaran Dasar Perusahaan beserta
perubahannya dari Notaris
5) Copy TDP (Tanda Daftar Perusahaan).
6) Kopi rekening koran/giro atau buku tabungan di bank manapun selama 3
bulan terakhir.
7) Data keuangan lainnya, seperti neraca keuangan, laporan rugi laba,
catatan penjualan & pembelian harian, dan data pembukuan lainnya.
Dokumen-dokumen tersebut digunakan bank untuk melakukan
berbagai analisis keuangan terhadap calon debiturnya. Kesanggupan debitur
dalam membayar kembali hutangnya akan dianalisis dari berbagai sisi,
180
seperti: kesanggupan dalam membayar kembali hutang jangka pendeknya,
kemampuan dan efektivitas manajemen dalam mengelola sumber-sumber
yang dimilikinya, kemampuan dalam mencetak laba dan sebagainya.
Ketika bank memberikan pembiayaan uang kepada nasabah, bank
tentu saja mengharapkan uangnya kembali. Karenanya, untuk memperkecil
risiko (uangnya tidak kembali, sebagai contoh), dalam memberikan kredit,
bank harus mempertimbangkan beberapa hal yang terkait dengan iktikad
baik membayar (willingness to pay) dan kemampuan membayar (ability to
pay) nasabah untuk melunasi kembali pinjaman beserta nis}bahnya. Hal-hal
tersebut terdiri dari character (kepribadian), capacity (kapasitas), capital
(modal), colateral (jaminan), dan condition of economy (keadaan
perekonomian) atau sering disebut sebagai 5C (panca C)63
.
a. Karakter.
Karakter, watak, sifat, kebiasaan debitur (pihak yang berutang) sangat
berpengaruh pada pemberian kredit. Kreditur (pihak pemberi utang)
dapat meneliti apakah calon debitur masuk ke dalam daftar orang tercela
(DOT) atau tidak. Untuk itu kreditur juga dapat meneliti biodatanya dan
informasi dari lingkungan usahanya. Informasi dari lingkungan usahanya
dapat diperoleh dari supplier dan customer dari debitur. Selain itu dapat
pula diperoleh dari informasi bank sentral, namun tidak dapat diperoleh
dengan mudah oleh masyarakat umum karena informasi tersebut hanya
63
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah (Jakarta: Zikrul Hakim, 2003),
144-147.
181
dapat di akses oleh pegawai bank bidang perkreditan dengan
menggunakan password dan komputer yang terhubung secara on line
dengan bank sentral.
b. Kapasitas.
Kapasitas adalah berhubungan dengan kemampuan seorang debitur untuk
mengembalikan pinjaman. Untuk mengukurnya, kreditur dapat meneliti
kemampuan debitur dalam bidang manajemen, keuangan, pemasaran,
dan lain-lain.
c. Modal.
Dengan melihat banyaknya modal yang dimiliki debitur atau melihat
berapa banyak modal yang ditanamkan debitur dalam usahanya, kreditur
dapat menilai modal debitur. Semakin banyak modal yang ditanamkan,
debitur akan dipandang semakin serius dalam menjalankan usahanya.
d. Jaminan.
Jaminan dibutuhkan untuk berjaga-jaga seandainya debitur tidak dapat
mengembalikan pinjamannya. Biasanya nilai jaminan lebih tinggi dari
jumlah pinjaman.
e. Kondisi ekonomi.
Keadaan perekonomian di sekitar tempat tinggal calon debitur juga harus
diperhatikan untuk memperhitungkan kondisi ekonomi yang akan terjadi
di masa datang. Kondisi ekonomi yang perlu diperhatikan antara lain
182
masalah daya beli masyarakat, luas pasar, persaingan, perkembangan
teknologi, bahan baku, pasar modal, dan lain sebagainya.64
Beberapa hal yang diperjanjikan dalam perjanjian di perbankan
syariah adalah: (1) jangka waktu pembiayaan (2) nis}bah bagi hasil (3) cara
pembayaran (4) agunan / jaminan pembiayaan (5) biaya administrasi (6)
asuransi jiwa dan tagihan.
Saat mengajukan pembiayaan ke bank, sudah menjadi kelaziman
bank akan meminta agunan atau jaminan sehingga apabila anda tidak
mampu mengembalikan pinjaman tersebut, maka bank akan menyita harta
yang anda jaminkan. Biasanya nilai jaminan harus lebih besar atau minimal
sama dengan nilai uang yang anda pinjam.
Jaminan yang diminta oleh bank untuk kredit pemilikan rumah
biasanya adalah rumah yang akan dibeli. Pada kredit pemilikan mobil, maka
mobil yang akan dibeli itulah yang biasa dijadikan jaminannya. Sedangkan
untuk kredit modal kerja atau usaha dan kredit multi guna, jaminan yang
diminta biasanya lebih bervariasi seperti tanah, rumah tinggal, ruko,
apartemen, kendaraan, pabrik, mesin-mesin dan lain-lain.
Selanjutnya jaminan tersebut akan dinilai oleh pihak bank
mengenai kelayakan, nilai dan marketabilitynya. Hasil penilaian ini adalah
nilai pasar wajar dimana biasanya bank akan memberikan pinjaman sekitar
70% - 80% dari nilai pasar wajar jaminan. Petugas penilai bisa karyawan
64
Ibid, 146-147.
183
bank itu sendiri atau petugas penilai independen yang diorder oleh bank.
Jika seseorang sudah mengetahui persyaratan yang diperlukan untuk
pengajuan kredit di bank, maka sekarang tinggal seseorang tersebut harus
mempertimbangkan masak-masak mengenai perlu tidaknya mengambil
kredit di bank.
5. Model Alur Tahapan Dalam Pembiayaan Musha>rakah Mutana>qis}ah
Model alur pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah dengan
tahapan dalam pembiayaan65
untuk pengadaan suatu barang, melalui alur
sebagai berikut:
a. Nasabah mengajukan permohonan kepada bank untuk menjadi mitra
dalam pembiayaan / pembelian suatu barang yang dibutuhkan nasabah
dengan menjelaskan data nasabah, diantaranya berkaitan dengan
pendapatan perbulan nasabah, sumber pengembalian dana untuk
pelunasan kewajiban nasabah, serta manfaat dan tingkat kebutuhan
nasabah atas barang tersebut. Pengajuan permohonan dilengkapi dengan
persyaratan administratif pengajuan pembiayaan yang berlaku pada
masing-masing bank dan yang telah ditentukan dalam pembiayaan
syariah.
65
Ismail Nawawi, Perbankan Syariah Issu-Issu Manajemen Fiqh Muamalah Pengkayaan Teori
Menuju Praktik, Buku Satu, (Jakarta: VIV Press, 2010), 27.
184
b. Petugas bank akan menganalisis kelayakan nasabah untuk mendapatkan
barang tersebut secara kualitatif maupun kuantitatif.
c. Apabila permohonan nasabah layak disetujui oleh komite pembiayaan,
maka bank menerbitkan surat persetujuan pembiayaan (offering letter)
yang didalamnya antara lain: 1). Spesifikasi barang yang disepakati, 2).
Harga barang, 3). Jumlah dana bank dan dana nasabah yang disertakan,
4). Jangka waktu pelunasan pembiayaan, 5). Cara pelunasan (model
angsuran), 6). Besarnya angsuran dan biaya sewa yang dibebankan
nasabah, 7). Apabila nasabah menyetujui persyaratan yang dicantumkan
dalam offering letter tersebut, maka pihak bank atau nasabah dapat
menghubungi distributor / agen untuk ketersediaan barang tersebut sesuai
dengan spesifikasinya.
d. Dilakukan akad musha>rakah mutana>qis}ah antara bank dan nasabah yang
memuat persyaratan penyertaan modal (kemitraan), persyaratan sewa
menyewa dan sekaligus pengikatan jaminan berupa barang yang
diperjualbelikan tersebut serta jaminan tambahan lainnya.
e. Penyerahan barang dilakukan oleh distributor / agen kepada bank dan
nasabah, setelah bank dan nasabah melunasi harga pembelian barang
kepada distributor / agen. Setelah barang diterima bank dan nasabah,
pihak bank akan melanjutkan menyerahkan barang tersebut kepada pihak
nasabah dengan menerbitkan surat tanda terima barang dengan
penjelasan spesifikasi barang yang telah disepakati66
.
66
Ibid, 67.
185
Gambar: 4.5
Alur Pembiayaan Musha>rakah Mutana>qis}ah
Pada gambar 4.5. menunjukkan struktur musha>rakah dasar yaitu
nasabah Muh Kamil dan bank menyetorkan modal setara masing-masing
Rp. 500.000.000 ke dalam satu proyek. Menurut ketentuan akad
(kesepakatan), laba akan dibagi 60-40 yaitu Muh Kamil mendapatkan 60
karena dialah pihak utama yang akan mengelola proyek.
Kerugian, di sisi lain, akan dibagi secara sama. Bank pada
umumnya menyerahkan tanggung jawab manajemen kepada mitra-nasabah
dan mempertahankan hak supervisi dan tindak lanjut. Atau, bank bisa
menjadi mitra aktif dalam berbagai kegiatan untuk menjamin tujuan-tujuan
NASABAH BANK
SYARIAH
DEVELOPER
1
3 3
2
6
5
4 4
186
Bank Nasabah
Proyek
investasi
(-)
Rugi
1 $50.000
2
3
$50.000
$10.000
4 -$5000
(+)
$6.000
Laba
$4.000
perusahaan terpenuhi. Ismail Nawawi67
memberikan ilustrasi proses aplikasi
pembiayaan pemilikan aset rumah seperti pada gambar 4.6
Gambar 4.6 Menunjukkan Struktur Musha>rakah Dasar Dimana Nasabah
Nasrullah Dan Bank Menyetorkan Modal Setara Masing-masing
Dari gambar 4.6 tersebut dapat dijelaskan alur pembiayaan
musha>rakah mutana>qis}ah di bawah ini.
1) Bank dan Nasrullah sepakat untuk masing-masing menyumbangkan Rp.
500.000. 000,00 kepada satu proyek usaha patungan.
2) Nasrullah adalah pihak utama untuk mengelola proyek.
3) Andaikan laba berjumlah 10.000, maka 6.000 atau 60% akan dibagikan
kepada Nasrullah dan $4.000 atau 40% kepada bank.
4) jika ada kerugian, katakanlah $5.000, kerugian dibagi secara 50-50 atau
masing $2.500. kerugian ini secara langsung menurunkan nilai dari aset
proyek.
67
Ibid, 77.
187
Bank Nasaba
h
Proyek
investas
i
(-)
Rugi
1
2
3 4 (+)
laba
100%
Kasus lain:68
transaksi pembiayaan yang didasarkan pada
musha>rakah yang menurun (mengecil) bersifat langsung. Pada awal
transaksi, bank memiliki sebagian besar aset. Saat nasabah membayar
angsuran, saham nasabah meningkat sementara saham bank menurun atau
mengecil. Kepemilikan bank berakhir saat semua pembayaran dilakukan
dan nasabah pun secara penuh memiliki aset.
Ilustrasi contoh musha>rakah menurun (mengecil) sederhana
diilustratasikan pada Gambar 4.7 menunjukkan struktur pembiayaan
musha>rakah menurun (mengecil) dasar antara sebuah bank dan seorang
nasabah bernama Hikmatus Syarifah, yang ingin membeli sebuah toko
untuk menjalankan bisnis percetakan. Kami akan menindak lanjutinya
dengan contoh yang lebih mendetail. Hal ini adil karena bank tidak ambil
bagian dalam manajemen bisnis dan tidak bisa dimintai pertanggung
jawaban atas risiko yang dibuat Hikmatus Syarifah sang pengusaha.
Ini memberikan likuiditas kepada para mitra, akan tetapi
penarikan diri tiba-tiba oleh seorang mitra bisa menyebabkan
ketidakstabilan dan kerusakan materi. Yang dianjurkan adalah likuidasi
konstruktif, di mana evaluasi dilakukan terhadap bisnis dan satu mitra bisa
menarik diri sesuai dengan jangka waktu tertentu.
68
Ibid, 77-78.
188
Gambar 4.7 Contoh dari struktur pembiayaan musha>rakah menurun69
1) Hikmatus Syarifah pergi ke bank untuk mencari kredit bagi bisnisnya.
Dia dan bank menyepakati satu rencana bisnis dan secara patungan
menyetorkan modal pada bisnis itu berdasarkan musha>rakah menurun.
2) Toko pun dibeli dan Hikmatus Syarifah mengelola operasionalnya
sementara bank mengawasi sistem pembukuan. Mereka berbagi tanggung
jawab spesifik sebagaimana dinyatakan dalam kontrak.
3) Laba dibagi berdasarkan nis{bah. Hikmatus Syarifah telah sepakat
mentransfer bagian labanya kepada bank dan dengan demikian secara
bertahap mengurangi kepemilikan bank atas toko.
4) Kerugian dibagi secara proporsional sesuai dengan sumbangan modal
masing-masing. Ini menurunkan nilai aset seraya menjaga saham masing-
masing di toko itu tidak berubah.
5) Ketika saham kepemilikian bank telah ditebus, kepemilikan properti
ditransfer kepada Hikmatus Syarifah.
Pembiayaan kredit rumah secara alamiah sangat cocok bagi
musha>rakah menurun (mengecil). Laba berasal dari pembayaran sewa yang
secara umum bisa diramalkan, yang bagian darinya disisihkan untuk
mengurangi saham kepemilikan bank.
Struktur musha>rakah menurun (mengecil) memiliki dua kontrak utama:
a. Satu untuk kesepakatan musha>rakah; dan
b. Satu perjanjian penjualan dan pembelian terpisah, yang tak terkait
dengan perjanjian musha>rakah, untuk penjualan aset.
Kasus lain contoh musha>rakah menurun (mengecil) lainnya
dilustrasikan oleh Ismail Nawawi70
Gambar 4.8 menunjukkan contoh lebih
69
M. Ma‟ruf Abdullah, Manajemen Bisnis Syari‟ah, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014), 188-
189. 70
Ibid,98.
189
Bank Nasabah
Rumah
(+)
laba (-)
Rugi
1
2
3
4
6
4
3
5
5
80%
20%
mendetail tentang struktur musha>rakah menurun (mengecil) yang
menggambarkan poin ini.
Gambar 4.8 Contoh dari stuktur pembiayaan
musha>rakah menurun (mengecil)
1) Fadil menentukan rumah yang ingin ia beli dan mendapatkan harga dan
detail-detail relevan lainya.
2) Fadil mendatangi bank sambil membawa detail-detail itu. Pembiayaan
pun dilakukan dengan menggunakan musha>rakah menurun (mengecil).
Fadil juga sepakat untuk membeli rumah dengan sewa guna usaha dan
melakukan pembayaran sewa dan modal rutin pada bank.
3) Fadil menyumbangkan 20% dan bank 80% untuk memiliki rumah. Bank
kemudian pada awalnya memiliki 80% rumah.
4) Fadil membayar cicilan atau angsuran bulanan terdiri dari jumlah uang
sewa plus jumlah uang tambahan untuk menebus porsi saham bank atas
rumah itu. (Catatan: kami menggambar ini sebagai laba yang datang dari
rumah supaya sesuai dengan gambar sebelumnya (Gambar 4.8). untuk
190
alasan yang sama, kami tetap mempertahankan percabangan kerugian di
dalam gambar meskipun kerugian tidaklah mungkin karena sudah ada
angsuran bulanan sesuai kontrak.)
5) Jumlah uang sewa berkala dibagi antara Fadil dan bank (sesuai salah satu
pemilik) sesuai dengan prosentase kepemilikan saham, yaitu 80-20 pada
awalnya. Saat kepemilikan Fadil meningkat seiring waktu, yaitu tatkala
semakin banyak porsi modal bank ditebus oleh Fadil, prosentase sewa
lebih besar menjadi milik Fadil.
6) Kepemilikan atas rumah dialihkan kepada Fadil saat pembayaran penuh
segala sewa dan penebusan modal telah dilakukan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model
pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah, terbangun melalui analisis
pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah, melalui peningkatan kapasitas
produk pembiayaan bank syariah dan menggunakan alur pembiayaan
musha>rakah mutana>qis}ah. Dengan demikiann, proposisinya dapat di
rumuskan sebagai berikut:“Terbangunnya model pembiayaan musha>rakah
mutana>qis}ah, jika dilaksanakan melalui proses model analisis pembiayaan
musha>rakah mutana>qis}ah, peningkatan kapasitas poroduk pembiayaan
bank syariah dan aplikasi alur tahapan pembiayaan musha>rakah
mutana>qis}ah untuk pelimpahan pemilikan aset dari pihak bank ke nasabah”.
C. Pendekatan Manajemen Risiko dalam Mengatasi Pembiayaan Perbankan
Syariah
191
Dalam bisnis perbankan syariah tidak dapat lepas dari berbagai
risiko yang dihadapi, antara lain risiko pembiayaan, risiko bisnis, risiko pasar,
risiko reputasi dan lainnya. Untuk mengatasi berbagai risiko diperlukan
manajemem risiko, dan di korporasi bisnis ada unit manajemen risiko yang
merupakan unit atau bagian organisasi yang berdiri sendiri. Unit ini berupaya
untuk melakukan analisis bisnis dalam mengatasi berbagai risiko yang
dihadapi oleh korporasi bisnis yang bersangkutan.
Risiko adalah bahaya yang dapat terjadi akibat dari sebuah proses
yang sedang berlangsung atau kejadian yang akan datang. Dalam bidang
asuransi, risiko dapat diartikan sebagai suatu keadaan ketidakpastian, dimana
jika terjadi suatu keadaan yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan
kerugian.71
Pendapat lain yang dikemukakan oleh Adiwarman A. Karim,
risiko merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan
(anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang
berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank.72
Istilah risiko memiliki beberapa arti dan definisi. Risiko dikaitkan
dengan kemungkinan kejadian, atau keadaan yang dapat mengancam
pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Menurut Vaughan
mengemukakan beberapa definisi risiko sebagai berikut:
71
Ismail Nawawi, Manajemen risiko Teori dan Pengantar praktik Bisnis Perbankan Islam dan konvensional (Jakarta, VIV Press, 2011) 171.
72 Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2004), 255.
192
1) Risiko adalah kasus kerugian (risk is the chance of loss). Chance of loss
berhubungan dengan suatu exposure (keterbukaan) terhadap kemungkinan
kerugian. Dalam ilmu statistik, chance dipergunakan untuk menunjukkan
tingkat probabilitas akan munculnya situasi tertentu. Dalam hal chance of
loss 100%, berarti kerugian adalah pasti sehingga risiko tidak ada.
2) Risiko adalah kemungkinan kerugian (Risk is the possibility of loss).
Istilah possibility berarti bahwa probabilitas sesuatu, peristiwa berada di
antara nol dan satu. Namun, definisi ini kurang cocok dipakai dalam
analisis secara kuantitatif.
3) Risiko adalah ketidakpastian (Risk is uncertainty). Uncertainty dapat
bersifat subjective dan objective. Subjective uncertainty merupakan
penilaian individu terhadap situasi risiko yang didasarkan pada
pengetahuan dan sikap individu yang bersangkutan. Objective uncertainty
akan dijelaskan pada dua definisi risiko berikut.
4) Risiko merupakan penyebaran hasil aktual dari hasil yang diharapkan (risk
is the dispersion of actual from expected results). Ahli statistik
mendefinisikan risiko sebagai derajat penyimpangan sesuatu nilai di
sekitar suatu posisi sentral atau di sekitar titik rata-rata.
5) Risiko adalah probabilitas sesuatu outcome berbeda dengan outcome yang
diharapkan (risk is the probability of any outcome different from the one
expected).
193
Menurut definisi di atas, risiko bukan probabilitas dari suatu
kejadian tunggal, tetapi probabilitas dari beberapa outcome yang berbeda dari
yang diharapkan. Dari berbagai definisi di atas, risiko dihubungkan dengan
kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tidak diinginkan, atau
tidak terduga. Dengan kata lain, kemungkinan itu sudah menunjukkan
adanya ketidakpastian.
1. Manajemen Risiko: Diskursus dan Realitas Bisnis Perbankan Syariah.
Manajemen risiko adalah suatu pendekatan terstruktur atau
metodologi dalam mengelola ketidakpastian atau risiko yang berkaitan
dengan ancaman; rangkaian aktivitas manusia, penilaian risiko,
pengembangan strategi untuk mengelolanya dan mitigasi risiko dengan
menggunakan pemberdayaan atau pengelolaan sumber daya.
Pendekatan dan analisis manajemen risiko terfokus pada
risiko-risiko yang timbul, disebabkan oleh penyebab fisik atau legal
(seperti bencana alam atau kebakaran, kematian, dan tuntutan hukum).
Manajemen risiko adalah suatu proses mengidentifikasi, mengukur risiko,
serta membentuk strategi untuk mengelolanya melalui sumber daya yang
tersedia. Strategi yang dapat digunakan antara lain mentransfer risiko pada
pihak lain, menghindari risiko, mengurangi efek buruk dari risiko dan
menerima sebagian maupun seluruh konsekuensi dari risiko tertentu.
194
Menurut William,73
manajemen risiko merupakan suatu
aplikasi dari manajemen umum yang mencoba untuk mengidentifikasi,
mengukur, dan menangani sebab dan akibat dari ketidakpastian pada
sebuah organisasi. Manajemen risiko (risk management) di atas dapat
dijabarkan lebih lanjut berdasarkan kata kunci sebagai berikut:
1) On going process.
Manajemen risiko dilaksanakan secara terus menerus dan dimonitor
secara berkala. Manajemen risiko bukanlah suatu kegiatan yang
dilakukan sesekali (one time event).
2) Effected by people.
Manajemen risiko ditentukan oleh pihak-pihak yang berada di
lingkungan organisasi. Untuk lingkungan instansi pemerintah,
manajemen risiko dirumuskan oleh pimpinan dan pegawai institusi /
departemen yang bersangkutan.
3) Applied in strategy setting
Applied in strategy setting organisasi oleh manajemen puncak
organisasi. Dengan penggunaan manajemen risiko, strategi yang
disiapkan disesuaikan dengan risiko yang dihadapi oleh masing-masing
bagian / unit dari organisasi.
4) Applied a cross the enterprised.
73
Machmud Amir, Bank Syari‟ah Teori, Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia (Jakarta:
Erlangga, 2010), 27.
195
Strategi yang telah dipilih berdasarkan manajemen risiko diaplikasikan
dalam kegiatan operasional, dan mencakup seluruh bagian / unit pada
organisasi. Mengingat risiko masing-masing bagian berbeda, maka
penerapan manajemen risiko berdasarkan penentuan risiko oleh masing-
masing bagian.
5) Designed to identify potential events.
Manajemen risiko dirancang untuk mengidentifikasi kejadian atau
keadaan yang secara potensial menyebabkan terganggunya pencapaian
tujuan organisasi.
6) Provide reasonable assurance.
Risiko yang dikelola dengan tepat dan wajar akan menyediakan jaminan
bahwa kegiatan dan pelayanan oleh organisasi dapat berlangsung secara
optimal.
7) Geared to achieve objectives.
Manajemen risiko diharapkan dapat menjadi pedoman bagi organisasi
dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Manajemen risiko secara operasional adalah sebuah cara yang
sistematis dalam memandang sebuah risiko dan menentukan dengan tepat
penanganan risiko tersebut. Ini merupakan sebuah sarana untuk
mengidentifikasi sumber dari risiko dan ketidakpastian, memperkirakan
196
dampak yang ditimbulkan dan mengembangkan respon yang harus
dilakukan untuk menanggapi risiko.74
Tindakan manajemen risiko diambil oleh para praktisi untuk
merespons bermacam-macam risiko. Responden manajemen risiko
melakukan dua macam tindakan manajemen risiko yaitu mencegah dan
memperbaiki. Tindakan mencegah digunakan untuk mengurangi,
menghindari, atau mentransfer risiko pada tahap awal proyek konstruksi.
Sedangkan tindakan memperbaiki adalah untuk mengurangi efek-efek
ketika risiko terjadi atau ketika risiko harus diambil. Sedangkan pendekatan
sistematis mengenai manajemen risiko dibagi menjadi 3 strategi utama,
yaitu75
: 1). Identifikasi risiko, 2). Analisis dan evaluasi risiko, 3). Respon
atau reaksi untuk menanggulangi risiko tersebut.
Sasarannya untuk menambah nilai maksimum
berkesinambungan (sustainable) organisasi. Tujuan utama untuk memahami
potensi upside dan downside dari semua faktor yang dapat memberikan
dampak bagi organisasi.
Risiko yang di hadapi perbankan syariah dalam berbagai bentuk
dan sumbernya merupakan komponen yang tak terpisahkan dari setiap
aktivitas. Hal ini dikarenakan masa depan merupakan sesuatu yang sangat
sulit diprediksi. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tahu dengan pasti
apa yang akan terjadi dimasa depan, bahkan mungkin satu detik kedepan.
74
Ibid, 47. 75
Ismail Nawawi, Manajemen Risiko (Sidoarjo: Dwi Putra Pustaka Jaya, 2012), 422-426.
197
Selalu ada elemen ketidakpastian yang menimbulkan risiko. Ada dua istilah
yang sering dicampuradukkan yaitu ketidakpastian dan risiko. Sebagian
orang menganggapnya sama. Sebagian lagi menganggapnya berbeda. Di sini
yang membedakan kedua istilah tersebut karena pengelolaannya berbeda.
Ketidakpastian mengacu pada pengertian risiko yang tidak diperkirakan
(unexpected risk).
Menurut kamus ekonomi, risiko adalah kemungkinan
mengalami kerugian atau kegagalan karena tindakan (peristiwa) tertentu.
Dengan kata lain risiko adalah peluang dimana hasil yang sesungguhnya
bisa berbeda dengan hasil yang diharapkan atau kemungkinan nilai yang
hilang atau diperoleh yang dapat diukur.76
Sedangkan menurut Herman
Darmawan, risiko senantiasa ada karena mengenanya kemungkinan akan
terjadi akibat buruk atau akibat yang merugi, seperti kemungkinan
kehilangan, cidera, kebakaran, dan lain sebagainya.
Dari berbagai pendapat di atas manajemen risiko yang tepat
dilihat dari sudut pandang bank adalah exposure terhadap ketidakpastian
pendapatan. Sedangkan Philip Best sebagimana dikutip oleh Ismail Nawawi,
menyatakan bahwa risiko adalah kerugian secara finansial, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Risiko bank adalah keterbukaan terhadap
kemungkinan rugi (exposure to the change of loss).77
Dalam konteks
76
Sumadji P, Kamus Ekonomi Lengkap (t.t: WI Press, 2006), 578. 77
Nawawi, Manajemen Risiko, 425-427.
198
perbankan risiko merupakan potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang
dapat menimbulkan kerugian bank.
2. Manajemen Risiko dan Tatakerja Bisnis Perbankan Syariah
Dalam pengelolaan risiko di korporasi bank syariah dewan direksi
bank memiliki kewajiban untuk menciptakan struktur organisasi guna
mengelola risiko bank, yang meliputi komite manajemen risiko dan unit
manajemen risiko. Keanggotaan dari komite manajemen risiko harus terdiri
atas mayoritas dewan direksi bersama dengan executive officers yang sesuai.
Komite manajemen risiko harus memberikan rekomendasi kepada direktur
utama terhadap isu-isu berikut78
:
1) Kebijakan, strategi dan penerapan manajemen risiko.
2) Setiap proses perubahan yang diakibatkan oleh rekomendasi audit
internal atau evaluasi lainnya dari proses manajemen risiko;
3) Menjelaskan kepada Bank Indonesia dan dewan direksi, setiap keputusan
yang dibuat oleh bank yang tidak sesuai dengan kebijakan manajemen
risiko yang telah dibuat.
Oleh karena itu, dalam ruang lingkup manajemen perbankan, agar
dewan direksi dari tiap bank mempunyai tugas untuk menetapkan bahwa
risiko perbankan dalam menjalankan bisnis diatur dalam suatu tata cara
yang efektif. Dalam pelaksanaan tugas tersebut membutuhkan:
78
Ibid, 427-428.
199
1). Pengawasan aktif dari dewan komisaris, dewan direksi dan oleh personil
manajemen risiko yang terkait dan dipilih oleh bank;
2). Penetapan kebijakan dan prosedur untuk menentukan batas bagi risiko
yang dilaksanakan oleh bank;
3). Penetapan prosedur untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan
mengendalikan risiko;
4). Penetapan dari struktur informasi manajemen yang serasi dalam
mendukung manajemen terhadap risiko; serta
5). Penetapan dari struktur pengawasan intern untuk mengatur risiko.79
Dalam korporasi perbankan syariah persyaratan yang harus
dipenuhi untuk struktur unit manajemen risiko adalah:
1) Harus cukup untuk mengontrol ukuran kompleksitas dari risiko yang
akan diambil bank;
2) Memiliki independensi operasional dan pelaporan dari unit bisnis,
3) Melapor ke anggota dewan direksi (chief risk officer).
Operasionalisasi tata kerja unit manajemen risiko harus
bertanggung jawab untuk hal-hal sebagai berikut:
1) Memonitor penerapan strategi manajemen risiko yang telah disetujui oleh
dewan direksi bank dan Bank Indonesia;
79
Sugiarto dkk, Manajemen Risiko Perbankan Dalam Konteks Kesepakatan Basel dan Peraturan
Bank Indonesia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), 65-66.
200
2) Memonitor semua tingkatan risiko yang akan diambil oleh bank dan
membandingkan dengan risk appetite bank keseluruhan (seperti yang
disetujui oleh dewan direksi dan Bank Indonesia).
3) Memonitor tingkat risiko yang diambil bank dibandingkan dengan limit
risiko yang telah diterapkan untuk setiap jenis risiko;
4) Melaksanakan stress test (pengujian);
5) Melakukan review secara berkala terhadap prosedur dan proses
manajemen risiko bank (misalnya proses pemberian kredit, dan lain-lain);
6) Menguji proposal produk dan layanan baru;
7) Melakukan pengujian secara berkala terhadap kemampuan prediktif
model risiko (misalnya, realisasi kredit macet dibandingkan prediksi
yang dihasilkan oleh model).
8) Membuat rekomendasi kepada komite manajemen risiko terhadap
seluruh aspek proses manajemen risiko.
9) Melaporkan secara berkala risk profile bank kepada pimpinan unit
manajemen risiko dan komite manajemen risiko.80
Dalam pelaksaaan kerja pengelolaan risiko perbankan syariah
unit operasional bank harus memberikan laporan exposure risiko yang
lengkap kepada unit manajemen risiko secara berkala. Pengenalan produk
dan layanan baru. Bank harus mendokumentasikan proses dan prosedur
pengenalan produk dan layanan baru, termasuk wewenang yang
80
Ibid, 67-68.
201
berhubungan dengan manajemen terkait. Dokumentasi tersebut harus
meliputi:
1) Sistem dan prosedur (berikut perubahannya) untuk penerapan produk dan
layanan baru;
2) Pemberian wewenang untuk mengenalkan produk dan layanan baru;
3) Laporan lengkap mengenai risiko yang berhubungan dengan produk dan
layanan baru;
4) Metode untuk mengukur dan memonitor risiko yang berhubungan
dengan produk dan layanan baru;
5) Penilaian risiko hukum yang berhubungan dengan pengenalan produk
dan layanan baru;
6) Pernyataan terbuka untuk nasabah terhadap risiko yang melekat dengan
produk dan layanan baru.81
Laporan bank syariah kepada Bank Indonesia berkaitan dengan
profil risiko. Laporan tersebut harus sama dengan laporan yang dihasilkan
oleh unit manajemen risiko untuk pimpinan unit (chief risk officer) dan
untuk komite manajemen risiko. Laporan profil risiko harus dibuat setiap
tiga bulan yaitu Maret, Juni, September, dan Desember, serta disampaikan
kepada Bank Indonesia dalam tujuh hari setiap akhir triwulan. Laporan
produk dan layanan baru, bank harus melaporkan kepada Bank Indonesia
produk dan layanan baru untuk nasabah. Laporan tersebut harus
81
Ibid, 69-70.
202
disampaikan kepada Bank Indonesia tujuh hari kerja setelah produk dan
layanan baru tersebut efektif dilaksanakan. Laporan kerugian finansial yang
signifikan setiap bank yang menderita kerugian yang signifikan, harus
segera melaporkan ke Bank Indonesia. Setiap laporan keuangan, bank harus
mempublikasikan informasi tentang kebijakan dan strategi manajemen
risiko, dan ketaatan mereka terhadap limit risiko. Seluruh publikasi harus
mendapat persetujuan dari Bank Indonesia.
Sanksi untuk ketidakpatuhan, Bank Indonesia memiliki
wewenang untuk memberikan sanksi kepada bank yang tidak mematuhi
peraturan perbankan. Sanksi tersebut dapat berupa pengenaan denda, sampai
yang terberat adalah pencabutan izin. Risiko-risiko tersebut juga dihadapi
oleh sektor perbankan syariah. Bank syariah sebagai lembaga intermediary
dan seiring dengan situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan yang
mengalami perkembangan pesat, perbankan pada umumnya dan perbankan
syariah pada khususnya akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis risiko
dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan melekat pada kegiatan
usahanya.82
Peran lain yang dimainkan oleh para akuntan dalam proses
manajemen risiko meliputi proses kuantifikasi penyeimbangan yang
berkaitan dengan alternatif strategi respon risiko. Risiko kurs valuta asing
adalah salah satu bentuk risiko yang paling umum dan akan dihadapi oleh
82
Nawawi, Manajemen Risiko, 430-431.
203
perusahaan multi nasional. Di dalam dunia kurs mengambang, manajemen
risiko mencakup:83
a). Antisipasi pergerakan kurs, b). Pengukuran risiko
kurs valuta asing yang dihadapi perusahaan, c). Perancangan strategi
perlindungan yang memadai dan d). Pembuatan pengendalian manajemen
risiko internal.
Untuk meminimalkan atau menghilangkan potensi risiko
tersebut, dibutuhkan strategi yang mencakup lindung nilai neraca,
operasional dan kontraktual. Lindung nilai neraca dapat mengurangi potensi
risiko yang dihadapi perusahaan dengan menyesuaikan tingkatan dan nilai
denominasi moneter aktiva dan kewajiban perusahaan yang terpapar.
Lindung nilai operasional berfokus pada variabel-variabel yang
mempengaruhi pendapatan dan beban dalam mata uang asing. Lindung nilai
struktural mencakup relokasi tempat manufaktur untuk mengurangi potensi
risiko yang dihadapi perusahaan atau mengubah Negara yang menjadi
sumber bahan mentah dan komponen manufaktur. Lindung nilai kontraktual
dikembangkan untuk memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada para
manajer dalam mengelola potensi risiko valas yang dihadapi.
3. Tahapan dan sistem kerja manajemen risiko Perbankan Syariah
Proses menerapkan pelaksanaan manajemen risiko terintegrasi
dalam korporasi (enterprise risk management). Di mana tahapan
83
Ibid, 432-433.
204
penerapannya dimulai dari proses identifikasi risiko, penilaian risiko,
mitigasi, monitoring, dan evaluasi. Proses ini meliputi identifikasi risiko
yang mungkin terjadi dalam suatu aktivitas usaha. Identifikasi risiko secara
akurat dan kompleks sangatlah vital dalam manajemen risiko. Salah satu
aspek penting dalam identifikasi risiko adalah mendaftar risiko yang
mungkin terjadi sebanyak mungkin. Teknik-teknik yang dapat digunakan
dalam identifikasi risiko antara lain: (a) Brainstorming, (b)Survey, (c)
Wawancara, (d) Informasi historis, (e) Kelompok kerja.84
Setelah melakukan identifikasi risiko, tahap berikutnya adalah
pengukuran risiko dengan cara melihat seberapa besar potensi terjadinya
kerusakan (severity) dan probabilitas terjadinya risiko tersebut. Penentuan
probabilitas terjadinya suatu event sangatlah subjektif dan lebih
berdasarkan nalar dan pengalaman. Beberapa risiko memang mudah untuk
diukur, namun sangatlah sulit untuk memastikan probabilitas suatu
kejadian yang sangat jarang terjadi. Sehingga, pada tahap ini sangatlah
penting untuk menentukan dugaan yang terbaik supaya nantinya kita dapat
memprioritaskan dengan baik dalam implementasi perencanaan
manajemen risiko.
Kesulitan dalam pengukuran risiko adalah menentukan
kemungkinan terjadi suatu risiko karena informasi statistik tidak selalu
84
Ibid, 387-382.
205
tersedia untuk beberapa risiko tertentu. Selain itu, mengevaluasi dampak
kerusakan (severity) sering kali cukup sulit untuk aset imaterial.
Mengidentifikasi, menganalisis, dan merencanakan suatu risiko
merupakan bagian penting dalam perencanaan suatu proyek. Namun,
manajemen risiko tidaklah berhenti sampai di sini saja. Praktik,
pengalaman, dan terjadinya kerugian akan membutuhkan suatu perubahan
dalam rencana dan keputusan mengenai penanganan suatu risiko.
Sangatlah penting untuk selalu memonitor proses dari awal mulai dari
identifikasi risiko dan pengukuran risiko untuk mengetahui keefektifan
respon yang telah dipilih dan untuk mengidentifikasi adanya risiko yang
baru maupun berubah, sehingga, ketika suatu risiko terjadi, maka respon
yang dipilih akan sesuai dan diimplementasikan secara efektif.
Risiko dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk:85
1). Risiko
spekulatif dan 2). Risiko murni. Adapun risiko spekulatif adalah suatu
keadaan yang dihadapi perusahaan yang dapat memberikan keuntungan
dan juga dapat memberikan kerugian. Risiko spekulatif kadang-kadang
dikenal dengan istilah risiko bisnis (business risk). Seseorang yang
menginvestasikan dananya di suatu tempat menghadapi dua
kemungkinan. Kemungkinan pertama investasinya menguntungkan atau
malah investasinya merugikan. Risiko yang dihadapi seperti ini adalah
risiko spekulatif. Sedangkan risiko murni (pure risk) adalah sesuatu yang
85
Ibid, 390-393.
206
hanya dapat berakibat merugikan atau tidak terjadi apa-apa dan tidak
mungkin menguntungkan. Salah satu contoh adalah kebakaran, apabila
perusahaan menderita kebakaran, maka perusahaan tersebut akan
menderita kerugian. Kemungkinan yang lain adalah tidak terjadi
kebakaran.
Dengan demikian, kebakaran hanya menimbulkan kerugian
bukan menimbulkan keuntungan kecuali ada kesengajaan untuk membakar
dengan maksud-maksud tertentu. Risiko murni adalah sesuatu yang hanya
dapat berakibat merugikan atau tidak terjadi apa-apa dan tidak mungkin
menguntungkan. Salah satu cara menghindarkan risiko murni adalah
dengan asuransi. Dengan demikian besarnya kerugian dapat diminimalkan,
sebab risiko murni kadang dikenal dengan istilah risiko yang dapat
diasuransikan (insurable risk). Perbedaan utama antara risiko spekulatif
dengan risiko murni adalah kemungkinan untung ada atau tidak, untuk
risiko spekulatif masih terdapat kemungkinan untung sedangkan untuk
risiko murni tidak dapat kemungkinan untung.86
Kejadian sesungguhnya terkadang menyimpang dari
perkiraan, artinya ada kemungkinan penyimpangan yang menguntungkan
maupun merugikan. Jika kedua kemungkinan itu ada, maka dikatakan
risiko itu bersifat spekulatif. Sebaliknya, lawan dari risiko spekulatif
adalah risiko murni, yaitu hanya ada kemungkinan kerugian dan tidak
86
Ibid, 394-395.
207
mempunyai kemungkinan keuntungan. Manajer risiko tugas utamanya
menangani risiko murni dan tidak menangani risiko spekulatif, kecuali jika
adanya risiko spekulatif memaksanya untuk menghadapi risiko murni
tersebut.
Menentukan sumber risiko adalah penting karena mempengaruhi
cara penanganannya. Sumber risiko dapat diklasifikasikan sebagai risiko
sosial, risiko fisik, dan risiko ekonomi. Biaya-biaya yang ditimbulkan
karena menanggung risiko atau ketidakpastian dapat dibagi sebagai
berikut:87
1) Biaya-biaya dari kerugian yang tidak diharapkan,
2) Biaya-biaya dari ketidakpastian itu sendiri.
Dalam mengidentifikasi risiko, menentukan tipologi dan
pengembangannya dikemukakan sebagai berikut: pengidentifikasian risiko
merupakan proses analisis untuk menemukan secara sistematis dan
berkesinambungan atas risiko (kerugian yang potensial) yang dihadapi
perusahaan. Oleh karena itu, diperlukan checklist untuk pendekatan yang
sistematis dalam menentukan kerugian potensial. Salah satu alternatif
sistem pengklasifikasian kerugian dalam suatu check list adalah; kerugian
hak milik (property losses), kewajiban mengganti kerugian orang lain
(liability losses) dan kerugian personalia (personnel losses). Check list
87
Ibid, 309.
208
yang dibangun sebelumnya untuk menemukan risiko dan menjelaskan
jenis-jenis kerugian yang dihadapi oleh suatu perusahaan.
Perusahaan yang sifat operasionalnya kompleks,
berdiversifikasi dan dinamis, maka diperlukan metode yang lebih
sistematis untuk mengeksplorasi semua segi. Metode yang dianjurkan
adalah sebagai berikut88
:
a) Questioner analisis risiko (risk analysis questionnaire)
b) Metode laporan keuangan (financial statement method)
c) Metode peta aliran (flow-chart)
d) Inspeksi langsung pada objek.
e) Interaksi yang terencana dengan bagian-bagian perusahaan.
f) Catatan statistik dari kerugian masa lalu.
g) Analisis lingkungan
Dengan mengamati langsung jalannya operasional, bekerjanya
mesin, peralatan, lingkungan kerja, kebiasaan pegawai dan seterusnya,
manajer risiko dapat mempelajari kemungkinan tentang hazard. Oleh
karena itu, keberhasilannya dalam mengidentifikasi risiko tergantung pada
kerja sama yang erat dengan bagian-bagian lain yang terkait dalam
perusahaan.
Manajer risiko dapat menggunakan tenaga pihak luar untuk
proses mengidentifikasikan risiko, yaitu agen asuransi, broker, atau
88
Ibid, 320.
209
konsultan manajemen risiko. Hal ini tentunya memiliki kelemahan, yaitu
mereka membatasi proses hanya pada risiko yang diasuransikan
saja. Dalam hal ini diperlukan strategi manajemen untuk menentukan
metode atau kombinasi metode yang cocok dengan situasi yang dihadapi.
Dalam mengelola unit bisnis dan perbankan selalu dihadapkan
dengan risiko. Ada beberapa risiko dalam bisnis dan perbankan
dikriteriakan ke dalam beberapa jenis yakni risiko kredit (credit risk),
risiko likuiditas (liquidity risk) dan risiko tingkat bunga (interest rate risk).
Di samping itu ada juga risiko tukar valuta asing (foreign exchange rate
risk), dan risiko operasional (operational risk).
Beberapa risiko dapat dibedakan dua kelompok besar yaitu:
1) Risiko yang sistematis (systematic risk), yaitu risiko yang diakibatkan
adanya kondisi atau situasi tertentu yang bersifat makro, seperti
kebijakan situasi politik atau kebijakan ekonomi pemerintah, perubahan
situasi pasar, perubahan situasi krisis atau resesi dan sebagainya yang
berdampak kondisi ekonomi secara umum, dan
2) Risiko yang tidak sistematik (unsystematic risk) yaitu risiko yang unik
yang melekat pada bisnis tertentu saja.89
Mengacu pada ketentuan Bank Indonesia PBI No
5/8/PBI/2003 dan perubahannya Nomor 11/25/PBI/2009 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, terdapat 8 (delapan)
89
Iban Sofyan, Manajemen Risiko (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), 5-6.
210
risiko yang harus dikelola bank. Kedelapan jenis risiko tersebut adalah; 1).
Risiko kredit, 2). Risiko pasar, 3). Risiko operasional, 4). Risiko likuiditas,
5). Risiko kepatuhan, 6). Risiko hukum, 7). Risiko reputasi dan 8). Risiko
strategik.
Perbankan syariah juga berpotensi menghadapi risiko tersebut,
kecuali risiko tingkat bunga, karena perbankan syariah tidak akan
berurusan dengan bunga.
4. Implementasi dan Kendala Analisis Pembiayaan Musha>rakah
Mutana>qis}ah di Perbankan Syariah
Berbagai risiko dalam perbankan syariah tidak dapat dihindari,
tetapi dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh karena itu, perbankan dan
bank syariah khusus dapat membentuk satuan tim yang mampu mengelola
dan merupakan cakupan dari manajemen risiko itu sendiri yaitu :
a. Pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi.
b. Kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit.
c. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian. risiko serta sistem informasi manajemen risiko.
d. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Berkaitan dengan hal tersebut, autoritas pengawas perbankan
(supervisor) menetapkan:
211
1) Struktur modal.
Struktur modal adalah cara bank untuk mendanai bisnisnya, biasanya
melalui kombinasi pemberian saham, obligasi, dan penerimaan
pinjaman.
2) Persyaratan modal minimum.
Sebuah bank dikatakan memiliki modal yang cukup jika bank tersebut
memiliki sumber daya finansial yang memadai untuk mengantisipasi
potensi kerugiana.
3) Tingkat likuiditas minimum.
Bank dikatakan memiliki likuiditas yang cukup jika bank tersebut
memiliki sumber daya finansial yang memadai untuk mendanai
aktivanya (asetnya) dan memenuhi kewajibannya saat jatuh tempo.
4) Jenis dan struktur pemberian kredit bank, risiko sistematik dan
Perekonomian
5) Risiko sistemik adalah risiko kegagalan sebuah bank tidak hanya
berdampak langsung terhadap karyawan, nasabah dan pemegang
saham, tetapi bahkan dapat menghancurkan perekonomian. Hal ini lebih
dikenal dengan sebutan “run on a bank” atau “bank rush”, yaitu
penarikan dana besar-besaran dari bank. “run on a bank” terjadi ketika
bank tidak mampu memenuhi kewajibannya, atau dengan kata lain bank
tidak memiliki dana kas yang cukup untuk membayar kembali nasabah
yang ingin menarik dananya (ada masalah solvabilitas).
212
a. Penerapan Analisis Risiko
Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009
tentang perubahan atas PBI No.5/8/2003 tentang penerapan manajemen
risiko bagi bank umum. Dalam pelaksanaannya, proses identifikasi,
pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko memperhatikan hal-
hal sebagai berikut :
1) Identifikasi risiko dilaksanakan dengan melakukan analisis pada:
a) Karakteristik risiko yang melekat pada aktivitas fungsional.
b) Risiko dari produk dan kegiatan usaha.
2) Pengukuran risiko dilaksanakan dengan melakukan :
a) Evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data,
dan prosedur yang digunakan untuk mengukur risiko.
b) Penyempurnaan terhadap sistem pengukuran risiko apabila
terdapat perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi, dan faktor
risiko yang bersifat material.
3) Pemantauan risiko dilaksanakan dengan melakukan:
a) Evaluasi terhadap exposure risiko.
b) Penyempurnaan proses pelaporan apabila terdapat perubahan
kegiatan usaha, produk transaksi, faktor risiko, teknologi
informasi dan sistem informasi manajemen risiko yang bersifat
material.
213
4) Pelaksanaan pengendalian risiko, digunakan untuk mengelola risiko-
risiko tertentu yang dapat membahayakan kelangsungan usaha bank.
Beberapa hal yang dapat dilakukan bank untuk mengurangi
dampak tersebut adalah:
1) Mematuhi peraturan;
2) Membuat skenario atas economic shocks;
3) Memiliki tingkat modal yang cukup untuk menjaga dari dampak
economic shocks;
4) Memperkirakan tingkat kredit macet dan memastikan bahwa tersedia
modal yang mencukupi.
Menurut Peraturan Bank Indonesia No.11/25/2009 tentang
penerapan manajemen risiko bagi bank umum bahwa:
1) Bank umum konvensional wajib menerapkan manajemen risiko
untuk seluruh risiko sebagaimana yang dimaksud.
2) Bank umum syariah wajib menerapkan manajemen risiko paling
kurang untuk 4 (empat) jenis risiko sebagaimana dimaksud
penerapan manajemen risiko yang dimaksud menurut Peraturan
Bank Indonesia diidentifikasikan sebagai berikut:90
1) Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan atau
pihak lain dalam memenuhi kewajiban pada bank.
90
Ferry N Idroes, Manajemen Risiko Perbankan Pemahaman Pendekatan 3 Pilar Kesepakatan
Basel II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2008), 54-55.
214
2) Risiko pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening
administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara
keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga
option.
3) Risiko likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank untuk
memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan
arus kas dan atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat
diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan
bank.
4) Risiko operasional adalah risiko akibat ketidakcukupan dan atau
tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan
sistem, dan atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional bank.
5) Risiko kepatuhan adalah risiko akibat bank tidak mematuhi dan
atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan
ketentuan yang berlaku.
6) Risiko hukum adalah risiko akibat tuntutan hukum dan atau
kelemahan aspek yuridis.
7) Risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat
kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif
terhadap bank.
215
8) Risiko strategis adalah risiko akibat ketidaktepatan dalam
pengambilan dan atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta
kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
Menurut Tariqullah Khan dan Habib Ahmed dalam buku
Ismail Nawawi,91
proses penerapan manajemen risiko bank syariah;
dewan direksi harus menguraikan keseluruhan strategi manajemen
risiko kredit dengan menunjukan kemauan bank untuk menyalurkan
pembiayaan di berbagai sektor usaha, lokasi geografis, jangka waktu
dan tingkat profitabilitas tertentu. Sejalan dengan hal tersebut, juga
harus memahami tujuan dari kualitas kredit, pendapatan, pertumbuhan,
dan hubungan timbal balik antara risiko dengan tingkat return dari
aktivitas yang dijalankan.
Hal terpenting dalam strategi manajemen risiko kredit
tersebut harus dikomunikasikan pada seluruh bagian perusahaan.
Karena risiko kredit sebagaimana dikatakan oleh Masyhud Ali bahwa,
risiko kredit merupakan risiko kerugian bagi bank karena debitur tidak
melunasi kembali pokok pinjamannya (plus bunga).92
Oleh karena itu,
senior manajemen bank bertanggung jawab untuk melaksanakan
strategi manajemen risiko kredit yang telah ditetapkan oleh dewan
91
Nawawi, Manajemen Risiko, 222. 92
Masyhud Ali, Manajemen Risiko Strategi Perbankan Dan Dunia Usaha Menghadapi Tantangan
Globalisasi Bisnis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 199.
216
direksi, yaitu dengan mengembangkan prosedur-prosedur tertulis yang
merefleksikan keseluruhan strategi serta meyakinkan pelaksanaannya.
Prosedur yang dibuat harus memuat kebijakan-kebijakan
untuk mengidentifikasi, mengukur, memonitor, dan mengontrol risiko
kredit. Perhatian juga perlu diberikan kepada aspek diversifikasi
portofolio dengan menetapkan batas minimum pemberian kredit pada
satu nasabah, grup usaha dari nasabah terkait, industri, sektor ekonomi,
suatu kawasan dan produk-produk individu. Bank dapat menggunakan
pengujian (stress testing) dalam menetapkan limit dan monitoring
dengan mempertimbangkan siklus usaha, suku bunga yang berlaku dan
perubahan-perubahan yang terjadi di pasar.
Bagi bank yang menyalurkan kredit berskala internasional,
juga perlu menilai risiko negara (country risk). Bank harus memiliki
sistem untuk pengadministrasian berbagai jenis risiko kredit dalam
portofolio. Administrasi kredit yang tepat oleh bank setidaknya harus
mencakup operasional yang efektif dan efisien dalam rangka
dokumentasi proses monitoring, ketentuan-ketentuan dalam kontrak,
ketentuan legalitas, jaminan, dan lain-lain, membuat laporan kepada
manajemen secara akurat dan berkala, mematuhi kebijakan dan
prosedur manajemen, serta aturan dan regulasi yang berlaku.
Dewan direksi harus menetapkan keseluruhan tujuan,
strategi dan kebijakan yang mengatur risiko suku bunga bank. Di
217
samping menetapkan risiko suku bunga, dewan direksi juga harus
memastikan bahwa pihak manajemen telah mengambil langkah-langkah
yang tepat untuk, mengukur, memonitor dan mengontrol risiko-risiko
ini.
Dewan direksi harus diberikan informasi secara periodik
dan mereview status risiko suku bunga bank ini melalui laporan. Senior
manajemen harus memastikan bahwa bank telah mematuhi kebijakan
dan prosedur yang memungkinkan risiko suku bunga dapat dikelola.
Kebijakan dan prosedur ini meliputi pemeliharaan proses review
manajemen risiko suku bunga, limit risiko yang tepat, sistem
pengukuran risiko yang memadai, sistem pelaporan risiko suku bunga
yang komprehensif dan kontrol internal yang efektif.
Bank harus menetapkan siapa saja individu atau komite
yang harus bertanggung jawab terhadap manajemen risiko suku bunga
dan mendefenisikan garis wewenang dan tanggung jawab masing-
masing. Bank harus memiliki kebijakan dan prosedur yang terdefinisi
dengan jelas untuk membatasi dan mengontrol risiko suku bunga, yaitu
dengan menjelaskan tanggung jawab dan akuntalibilitas terhadap
keputusan manajemen risiko suku bunga dan mendefinisikan instrumen
yang telah diautorisasi, strategi hedging dan profit taking. Risiko suku
bunga pada produk-produk baru harus dijelaskan melalui analisis waktu
jatuh tempo, masa repricing dan pengambilan suatu instrumen. Dewan
218
direksi harus menetapkan hedging atau strategi manajemen risiko yang
baru sebelum semua ini diimplementasikan.
Bisnis perbankan berhubungan dengan dana seseorang yang
sewaktu-waktu dapat ditarik sehingga manajemen likuiditas merupakan
yang sangat penting bagi bank. Oleh karena itu, senior manajemen dan
dewan direksi harus meyakinkan bahwa prioritas dan tujuan bank untuk
keperluan manajemen likuiditas telah jelas. Senior manajemen harus
memastikan bahwa risiko likuiditas telah terkelola secara efektif dengan
menentukan serangkaian prosedur dan kebijakan. Bank harus memiliki
sistem informasi yang berfungsi untuk mengukur, memonitor,
mengontrol dan melaporkan risiko likuiditas.
Laporan berkala mengenal likuiditas harus disediakan bagi
dewan direksi dan senior manajemen. Laporan ini, diantaranya harus
mencakup posisi likuiditas dalam rentang waktu tertentu. Esensi dari
masalah manajemen likuiditas muncul dari adanya kenyataan bahwa
terdapat hubungan timbal balik antara likuiditas dan profitabilitas, dan
adanya mismatch antara permintaan dan penawaran aset-aset yang
likuid. Sementara bank tidak mampu mengontrol sumber-sumber dana
(dana pihak ketiga), ia dapat mengontrol penggunaan dari dana-dana
tersebut. Misalnya, posisi likuiditas bank memberikan prioritas pada
pengalokasian dana.
219
Dengan asumsi bahwa opportunity cost dari dana-
dana yang likuid adalah tetap, maka setelah memiliki likuiditas yang
cukup, bank harus melakukan investasi yang dapat mendatangkan
keuntungan. Sebagian besar bank yang ada sekarang ini telah membuat
cadangan pelindung (protective reserve) di atas cadangan yang telah
direncanakan. Sementara cadangan yang direncanakan merupakan
verifikasi dari ketentuan regulator dan hasil perkiraan, jumlah dari
cadangan pelindung tergantung pada sikap pihak manajemen terhadap
risiko likuiditas.
Dewan direksi dan senior manajemen harus
mengembangkan keseluruhan kebijakan dan strategi untuk mengelola
risiko operasional. Sementara risiko operasional bisa muncul akibat
kegagalan faktor manusia, proses dan teknologi, manajemen atas risiko
ini lebih kompleks lagi. Senior manajemen perlu menetapkan standar
manajemen risiko dan pedoman pelaksanaan yang jelas, yang dapat
mereduksi risiko operasional ini.
Dengan demikian, perhatian juga perlu ditekankan pada
risiko aspek manusia, proses dan teknologi yang bisa muncul dalam
lembaga. Dengan tetap memperhatikan sumber-sumber munculnya
risiko operasional, standar identifikasi dan manajemen yang dibutuhkan
juga perlu dikembangkan. Ketelitian juga perlu ditekankan untuk
mengatasi risiko operasional yang muncul dari departemen atau unit
220
organisasi akibat faktor manusia, proses dan teknologi. Pedoman dan
aturan juga harus dirinci dengan jelas.
Di samping itu, pihak manajemen juga perlu
mengembangkan “katalog risiko operasional” dimana peta dari proses
bisnis dari tiap departemen dalam lembaga terinci dengan jelas.
Misalnya, proses bisnis yang berhubungan dengan nasabah dan investor
perlu disusun. Katalog ini tidak saja dapat mengidentifikasi dan menilai
risiko operasional, tetapi juga dapat dipakai sebagai bukti transparansi
oleh pihak manajemen dan auditor. Risiko operasional memang cukup
kompleks sehingga sangat sulit untuk mengukurnya. Sebagian besar
teknik pengukuran risiko operasional yang ada masih sangat sederhana
dan bersifat eksperimental.
Namun demikian, bank dapat mengumpulkan informasi
tentang berbagai jenis dari laporan dan rencana yang dipublikasikan
dalam lembaga (seperti laporan audit, laporan pengawasan, laporan
manajemen, rencana bisnis, rencana operasional, tingkat error, dan lain-
lain). Review secara cermat dan hati-hati atas dokumen-dokumen ini
dapat menutup gap (pemisah) yang merepresentasikan potensi risiko.
Data dari laporan-laporan tersebut lebih lanjut dapat dikategorikan
menjadi faktor internal dan faktor eksternal dan dikonversi ke dalam
kemungkinan kerugian lembaga. Sebagian dari risiko operasional juga
dapat terlindungi. Alat untuk menilai, memonitor dan mengelola risiko
221
di antaranya meliputi review secara berkala, pengujian (stress testing),
dan alokasi modal ekonomi dalam jumlah yang tepat.
Para pengawas atau manajer risiko mengkoordinasikan
fungsi tersebut melalui apa yang disebut asets liabilities management
committee atau disingkat ALCO. Tugas utama manajemen aset /
liabilitas adalah memaksimalkan laba, meminimalkan risiko dan
menjamin tersedianya likuiditas yang cukup. Potensi risiko yang
dihadapi oleh bank konvensional juga dihadapi oleh bank syariah,
kecuali risiko tingkat bunga karena prinsip profit and loss sharing yang
menjadi landasan sistem operasionalnya.
Risiko pembiayaan perbankan syariah dilihat dari perolehan
hasil, dikelompokkan menjadi dua yaitu;93
(1) Pembiayaan yang
memberikan perolehan (hasil) tetap dan (2) Pembiayaan yang
memberikan perolehan (hasil) tidak tetap.
Pembiayaan yang memberikan hasil tetap didapatkan dari
pembiayaan yang berakad jual-beli (tija>rah) dan sewa menyewa
(ija>rah). Sementara pembiayaan yang memberikan hasil tidak tetap
didapatkan dari pembiayaan yang berakad bagi hasil (shirkah).
Berdasarkan dua hal tersebut, maka produk pembiayaan di bank syariah
akan memberikan risiko yang berbeda antara akad yang satu dengan
yang lainnya.
93
Nawawi, Manajemen Risiko, 198.
222
Investasi atau bisnis yang dijalankan melalui aktivitas
pembiayaan adalah, aktivitas yang selalu berkaitan dengan risiko.
Persoalannya adalah bagaimana investasi atau bisnis dalam pembiayaan
tersebut mengandung risiko yang minimal. Risiko pembiayaan tersebut
dapat diminimalkan dengan melakukan manajemen risiko secara baik.
Manajemen risiko ini dapat diawali dengan melakukan penyaringan
(screening) terhadap calon nasabah dan proyek yang akan dibiayai. Jika
pembiayaan telah direalisasikan, pengendalian risiko pembiayaan dapat
dilakukan dengan memberikan perlakuan (treatment) yang sesuai dengan
karakter nasabah maupun proyek.
b. Tantangan Manajemen Manajerial Yang Dihadapi
Implementasi kerangka manajemen risiko membentuk
kolaborasi yang erat dengan manajemen institusi finansial.
Implementasi manajemen risiko pada level institusional merupakan
tanggung jawab yang dapat melakukan identifikasi dengan jelas tujuan
dan strategi institusi dan dengan membangun sistem internal yang dapat
mengindentifikasi, mengukur, memonitor dan mengelola berbagai
potensi risiko. Walaupun prinsip manajemen risiko adalah sama antara
institusi finansial Islam dengan yang konvensional.
Beberapa tantangan khusus dalam manajemen risiko institusi
finansial Islam adalah:
223
1) Pembentukan institusi pendukung seperti sistem asuransi simpanan,
sistem manajemen likuiditas, pasar skunder dan infrastruktur legal
yang berpijak pada instrumen Islam dan untuk menyelesaikan
perselisihan yang efektif.
2) Pencapaian penyatuan dan harmonisasi standar shari>ah yang
melintasi pasar serta batasan geografi. Praktik saat ini yang
mempertahankan dewan syariah individual oleh institusi individual
merupakan hal yang tidak efisien yang harus digantikan dengan
dewan syariah tersentralisasi untuk kepentingan yuridiksi.
3) Pengembangan sistem manajemem risiko adalah amat mahal yang
tidak dapat dilakukan oleh perbankan syariah karena kecil ukuran
mereka, harus dilakukan upaya kolaborasi dengan institusi lain guna
mengembangkan sistem yang sesuai dengan kebutuhan perbankan
syariah dan sesuai dengan kebutuhan instrumen dengan pemodelan
khusus.
4) Manajemen risiko yang efektif akan dapat membantu perbankan
syariah untuk berintegrasi dengan pasar finansial global. Harus
dilakukan dengan usaha transparansi dalam pelaporan perbankan dan
upaya pengembangan standar akuntansi dan pelaksanaan lintas
pasar.
5) Manajemen risiko membutuhkan sumber daya manusia
berkecakapan tinggi yang pada saat ini masih jarang. Harus
224
dilakukan untuk pengembangan riset dan program latihan untuk
menyebarkan pengetahuan dan penyadaran akan nilai penting
manajemen risiko. Program pelatihan itu harus memberikan
sertifikasi pada para pesertanya setelah menyelesaikan program
tersebut secara sukses.
Sasaran kebijakan manajemen risiko adalah
mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan jalannya
kegiatan usaha bank maupun non bank dengan tingkat risiko yang
wajar secara terarah, terintegrasi dan berkesinambungan. Dengan
demikian, manajemen risiko berfungsi sebagai filter dan peringatan dini
terhadap kegiatan usaha.
Pada umumnya, usaha di perbankan mengkoordinasikan
fungsi tersebut melalui apa yang disebut asets liabilities management
committee atau disingkat ALCO. Tugas utama manajemen aset /
liabilitas adalah memaksimalkan laba, meminimalkan risiko, dan
menjamin tersedianya likuiditas yang cukup. Potensi risiko yang
dihadapi oleh bank konvensional juga dihadapi oleh bank Syariah,
kecuali risiko tingkat bunga, karena prinsip profit and loss sharing yang
menjadi landasan sistem operasionalnya.
Tetapi jika distribusi probabilitas tidak stabil dari waktu ke
waktu, distribusi probabilitas historis dari rate of return tidak akan
banyak membantu dalam melakukan peramalan distribusi probabilitas
225
yang akan datang, yang merupakan dasar dari keputusan investasi.
Distribusi probabilitas dari return sangat penting untuk memperoleh
atau mengukur risiko finansial. Total risk suatu aset sama dengan total
variability dari risk of return dengan menggunakan variasi standar dari
suatu periode rate of return.
Dengan adanya perubahan yang signifikan bisnis perbankan
dua dekade terakhir, karakteristik alamiah risiko yang dihadapi oleh
institusi finansial juga berubah. Dua dekade yang lalu, sebuah institusi
finansial pada dasarnya hanya dihadapkan pada risiko kredit dan pasar,
namun institusi finansial pada saat ini terbuka terhadap berbagai bentuk
risiko yang baru.
Beberapa faktor yang bertanggung jawab atas perubahan
skenario ini menurut Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor 94
faktor tersebut
adalah:
1) Peningkatan kapasitas pasar.
Institusi finansial pertama kali menyadari nilai penting manajemen
risiko setelah kehancuran sistem nilai tukar tetap yang
mengakibatkan ketidakpastian signifikan dalam perdagangan mata
uang dan pasar tingkat suku bunga.
2) Inovasi finansial, perkembangan pesat pasar derivatif telah
meningkatkan kompleksitas pengaturan institusi finansial produk
94
Zamir Iqbal, Pengantar Keuangan Islam Teori & Praktik (Jakarta: Kencana, 2008), 203-206.
226
inovatif telah muncul pada setiap sisi neraca dan proyek baru
membawa profil risiko / keuntungan sendiri yang pada akhirnya
mempengaruhi profil risiko institusi tersebut.
3) Pergeseran dalam bisnis perbankan. Ada pergerseran bisnis
perbankan tradisional, sebagai akibat pergeseran bisnis tradisional
peminjam ke aktivitas bisnis lain. Perluasan pasar uang dan pasar
modal telah mengubah karakteristik intermediasi dengan
menjauhkan dengan institusi formal ke akses langsung pasar.
4) Peningkatan kompetensi. Kompetensi dalam perbankan telah
meningkat dan menyulitkan bank kecil untuk dapat bertahan. Bank
kecil tidak dapat berkompetisi karena peningkatan melakukan bisnis
dan tingginya biaya yang diasosiasikan dengan pengaturan risiko.
5) Lingkungan regulator. Sebagai akibat dari serangkaian kritis
finansial dan krisis finansial dunia ketiga tahun 1980-an sampai
krisis Asia Timur pada tahun 1990-an ada kesadaran yang lebih
besar kebutuhan regulasi dan supervisi institusi finansial yang
terkoordinasi pada fokus utama pada pengukuran risiko dan
manajemen serta persyaratan modal.
Sehubungan dengan risiko dan faktor-faktor sebagaimana di
atas, menurut De Nicolo dari sudut pandang regulator umumnya yang
berkaitan dengan konsultasi yaitu; 95
95
Ibid, 203-205.
227
a) Kemungkinan peningkatan moral hazard dapat mengarah institusi
finansial besar menjadi bubar,
b) Penurunan kompetensi yang mungkin menurunkan insentif bagi
entitas yang dikonsultasikan untuk meningkatkan efisiensi,
c) Peningkatan risiko sistematis karena industri yang terkonsentrasi
tinggi.
Ketika pembuatan regulasi keputusannya mendukung
konsolidasi Institusi Finansial Islam (IFI) untuk mendapatkan manfaat
dari skala cakupan ekonomi dan diversifikasi, mereka seharusnya
mempertimbangkan berbagai isu yang dapat menerpa Institusi Finansial
Islami (IFI) yaitu:
1) Risiko sistematis, yaitu kemungkinan problem kredit atau likuiditas
dari salah satu atau lebih partisipan pasar finansial dapat
menciptakan masalah kredit atau likuiditas yang substansial bagi
partisipan lain dalam sistem finansial tersebut.
2) Rendahnya tingkat keterbukaan dan transparansi industri jasa
finansial Islam dapat menjadi supervisi kurang efektif.
3) Inovasi finansial dalam memperluas cakupan layanan bisa
menimbulkan tantangan tambahan bagi regulator. Seperti
transparansi proses memperkenalkan produk baru dan prosedur
sesuai dengan prinsip shari>ah.
228
4) Pembuatan kebijakan dalam pasar baru muncul harus
memperhatikan pembiayaan perusahaan kecil yang kerap diabaikan
ketika institusi finansial menjadi besar.
5) Sebagai upaya agar pasar dan konsumen mendapatkan manfaat dari
diversifikasi, regulator harus mempertimbangkan untuk mengurangi
hambatan dalam mobilitas pelanggan melintas daerah geografis dan
melintas berbagai penyedia layanan finansial.
6) Sebagai upaya menghindari konsentrasi risiko yang berlebihan
dalam Institusi Finansial Islami, pengawasan pada risiko identitas
yang dimerger tidak lebih dari risiko ketika kedua entitas tersebut
berdiri sendiri-sendiri dan harus berhati-hati dalam membuat
penilaian kredit dan operasional entitas yang dimerger.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan analisis risiko
pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah untuk pemilikan kemitraan aset
sebagai berikut: a). Melalui deskripsi on going process, b). Identifikasi
risiko melalui implementasi dan, c). Analisis manajemen risiko
pembiayaan.
Dengan demikian dapat dirumuskan proposisi dari risiko
manajemen pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah yaitu: “terwujudnya
analisis risiko pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah di bank syariah,
jika dibangun on going process, dengan melalui proses pentahapan
langkah, penentuan identifikasi risiko yang di hadapi dalam
229
pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah, menentukan jenis dan kategori
risiko, menetapkan mekanisme analisis dan menggunakan pendekatan
dan alat yang sesuai dengan jenis dan kategori risiko yang diselesaikan
dan selanjutnya melakukan evaluasi dalam pemilikan aset dari pihak
bank ke nasabah”.
D. Pembahasan Hasil Penelitian
Pembahasan hasil penelitian ini terkait konstruk bisnis, model
pembiayaan dan pendekatan analisis manajemen risiko musha>rakah
mutanaqis{ah bank syariah di Indonesia.
1. Konstruk Bisnis Korporasi Perbankan Syariah
Organisasi korporasi dalam bisnis mempunyai fungsi yang
esensial, berkaitan dengan aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi. Di
samping itu, juga berkaitan dengan bidang pemasaran, keuangan, dan
sumber daya manusia. Sumber daya yang dikelola melalui berbagai
kegiatan bisnis tersebut ditunjukkan untuk berbagai aktivitas. Aktivitas
tersebut berkaitan dengan aktivitas-aktivitas yaitu96
:
1) Menciptakan dan pengadaan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh
manusia,
96
Ismail Nawawi, Manajemen, 205-206.
230
2) Mendapatkan pendapatan yang diinginkan lebih besar daripada biaya
atau ongkos yang telah dikeluarkan pengelola bisnis,
3) Menciptakan nilai tambah bagi pengelola bisnis dan masyarakat,
4) Menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat,
5) Meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh pihak yang terlibat.
Organisasi korporasi bisnis profesional dilakukan secara
individual dan secara korporasi bisnis. Manusia secara individual maupun
secara korporasi sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain untuk
saling tukar menukar dalam proses bisnis barang dan jasa baik dengan
cara jual beli, sewa menyewa, bekerja di bidang industri, pertanian dan
lain-lain. Semuanya itu membuat manusia berinteraksi, bersatu dan
berkolaborasi dan tidak berpisah-pisah, secara individul maupun secara
kelembagaan antara korporasi yang satu dengan yang lain untuk memenuhi
kebutuhan manusia.
Akan tetapi, manusia hidup di dunia memiliki nafsu yang selalu
mengarah kepada kejelekan atau hal negatif dan kerakusan, bersifat tamak
yang menjadi tabiat asli dari nafsunya. Hal ini sebagaimana firman Allah
SWT dalam surat al-Taka>thur (102) ayat 1-2 yang berbunyi:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke
dalam kubur” 97
97
Departemen Agama RI, al- Qur’a<n dan Terjemahnya, 102.
231
Dari ayat tersebut yang dimaksud dengan bermegah-megahan
dalam soal banyak harta, anak, pengikut, kemuliaan dan seumpamanya
telah melalaikan kamu dari ketaatan. Maka dari itu Allah SWT meletakkan
undang-undang (shari>ah) dalam hal bisnis (mua>mala>t) agar seseorang
tidak mengambil hak orang lain yang bukan haknya dan menyimpang dari
ketentuan shari>ah. Keadaan manusia akan lurus dan hak-haknya tidak
hilang, serta terjadi saling mengambil manfaat antara mereka melalui jalan
yang terbaik dan mas}lah}ah. Kebanyakan problem sosial yang
mengakibatkan perselisihan atau konflik adalah disebabkan tidak
dijalankannya undang-undang (shari>at) Islam yang telah ditetapkan oleh
Allah SWTdalam hal bisnis.
Masalah bisnis ini dianjurkan oleh Allah SWT dalam firmannya
surat al-Baqarah (2) ayat 275 yang berbunyi:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba> 98 tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran
98
Riba> ada dua macam: nasi>ah dan fad}l. Riba> nasi>ah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh
orang yang meminjamkan. Riba> fad}l ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis,
tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti
penukaran emas dengan emas, padi dengan padi dan sebagainya. Riba> yang dimaksud dalam ayat
ini riba> nasi>ah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman ja>hiliyah.
232
(tekanan) penyakit gila.99
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba>, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba>. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba>), Maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu100
(sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba>),
Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya”101
Padahal undang-undang tersebut berfungsi sebagai pengemban
bagi kebaikan mua>mala>t. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat (al-Ja>thiyyat, 18) yang berbunyi:
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu shari’>ah (peraturan)
dari urusan (agama itu), Maka ikutilah shari’>ah itu dan janganlah kamu
ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.102
Dalam berbisnis di sektor riel maupun di sektor keuangan pada
lembaga keuangan bank dan non bank terdapat konstruk transaksi bisnis
yang di bangun melalui komponen transaksi bisnis yang terdiri dari syarat
dan rukunnya, yang terdiri dari :
1) Aktor transaksional (a>qid yang membuat perjanjian), yaitu penjual dan
pembeli, dengan syarat keduanya harus sudah ba>ligh dan berakal
sehingga mengerti benar tentang hakikat barang yang dijual. Keduanya
99
Maksudnya: orang yang mengambil riba> tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan setan 100
Riba> yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan. 101
Ibid,1019.
102 Ibid,1019.
233
harus mempunyai kompetensi yang mendapat izin dari pihak lain bila
mewakilinya,
2) Objek traksaksi (ma'qu>d ‘alaih), yaitu barang yang dijualbelikan.
Syaratnya harus barang yang jelas dan tidak semu. Barang itu harus ada
manfaatnya, karena Allah SWT mengharamkan jual beli khamer
(minuman memabukkan), babi dan lain-lain.
3) Substansi transaksi, yaitu berbagai yang berkaitan dengan tujuan
transaksi yang dilakukan oleh aktor transaksional.
4) S}ighat (pernyataan), yaitu i>ja>b dan qabu>l (serah-terima) antara penjual
dan pembeli dengan lafaz} yang jelas (s}ari>h) bukan secara sindiran
(kina>yah) yang harus membutuhkan tafsiran sehingga akan
menimbulkan pertengkaran.
5) Kepastian hukum, berkaitan dengan transaksi yang dilakukan oleh aktor
transaksional sudah tidak ada waktu khiya>r lagi.
6) Pemenuhan ketentuan administrasi merupakan model pelayanan dan
pencatatan dalam bertransaksi sebagai dukumen yang dapat
memperingankan kedua aktor transaksional juga menjaga adanya
perselisihan dalam bisnis.
Pebisnis dalam menjalankan kegiatan bisnis harus amanah
memenuhi perjanjian dan memenuhi ketentuan bisnis. Hal ini sesuai
dengan firman Allah SWT surat al- Ma>idah ayat 1 dan surat Ali Imra>n ayat
76 dan h}adi>th Nabi Muhammad SAW
234
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.103
Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu, (yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya”.104
‚(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji dan bertakwa,
Maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.105
H}adi>th Nabi Riwayat al-Tirmidhi> dari ‘Amr bin ‘Auf yaitu:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.
Dengan demikian dalam berbisnis harus menenuhi ketentuan
bisnis karena kaum muslimin dalam berbisnis terikat dengan berbagai
103
Maksud dari akad disini adalah Akad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah
SWT dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. 104
Departemen Agama RI, al-Qur’a>n dan Terjemahnya, 453. 105
Ibid,88. 106
Muhammad bin Isma>i>l al-Kah}lany>, Subul al-Sala>m, Juz III (Semarang: Thoha Putra, t.th), 59,
atau lihat Syamsuddi>n Abdul Rahma>n Muhammad bin Ahmad, 1995, al-Mughni>, (Bairu>t: Da>r
al-Fikr, t.th),173.
235
ketentuan (syarat dan rukun) bisnis mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
2. Model Pembiayaan Musha>rakah Mutana>qis}ah
Dalam pelaksanaan pembiayaan kemitraan menurun
(musha>rakah mutana>qis}ah) untuk memudahkan pelayanan pada nasabah,
bank syariah harus menetapkan sistem dan prosedur pelayanan
pembiayaan yang dibutuhkan oleh calon nasabah atau oleh nasabah.
Dengan sistem dan prosedur, informasi yang dapat
mempermudah pada nasabah dalam pengajuan dan mendapatkan
pelayanan dari pihak bank dan ditunjang dengan sistem pelayanan yang
dilaksanakan dengan baik dan dibutuhkan. Masalah informasi ini di
sampaikan dalam firman Allah SWT dalam surat al-Ma>idah ayat 67 yaitu:
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.
dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu
tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia.107
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang kafir”. 108
107
Maksudnya: tak seorangpun yang dapat membunuh Nabi Muhammad SAW. 108
Departemen Agama RI, Al- Qur‟an dan Terjemahnya, 765.
236
Dari ayat di atas dengan kata َ dan kata ُ ini
menunjukan pengertian informasi, oleh karena itu bank syariah dalam
memberikan pelayanan pada nasabah pun diperlukan informasi yang
akurat sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan nasabah. Di samping
informasi dalam pelayanan pada pembiayaan nasabah diperlukan interaksi
yang baik dalam pelayanan.
Dan dalam surat al-H}ujura>t ayat 10 Allah SWT berfirman:
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara, sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.109
Disamping itu, Allah SWT menginformasikan agar kita saling
menghormati sesuai dengan perannya masing-masing sebagaimana
dijelaskan dalam firman-Nya surat al-Nisa>’ 86 sebagai berikut:
”Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang
serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu”.110
109
Ibid, 385. 110
Ibid,715.
237
Allah SWT juga menginformasikan kepada kita agar
memberikan pelayanan yang sopan dan ramah sebagaimana dijelaskan
dalam surat A>li Imra>n ayat 159 yang berbunyi:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu.111
kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.112
Di samping itu, Allah SWT juga menginformasikan kepada kita
agar kita berbicara dengan baik sebagaimana dijelaskan dalam al-Fus}ilat
ayat 33 dan al-Anfa>l ayat 63 yang berbunyi:
“Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru
kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya
aku termasuk orang-orang yang berserah diri ?” (al-Fus}ilat: 33) 113
111
Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik,
ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya. 112
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahnya, 156. 113
Ibid, 534.
238
”Dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman).114
walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi,
niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah
telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha gagah lagi
Maha Bijaksana” (al-Anfa>l: 63).115
Oleh karena itu, dalam pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah
berfungsi sebagai berikut;
1) Menjadi motivator dan dinamisator peningkatan kegiatan perdagangan
dan perekonomian
2) Memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat
3) Memperlancar arus barang dan arus uang
4) Meningkatkan hubungan internasional, letter of credit dan lain-lain
5) Meningkatkan produktivitas dana yang ada
6) Meningkatkan daya guna (utility) barang
7) Meningkatkan kegairahan berusaha masyarakat
8) Memperbesar modal kerja perusahaan
9) Meningkatkan incame per capita (IPC) masyarakat,
10) Mengubah cara berpikir / bertindak masyarakat untuk lebih ekonomis.
114
Penduduk Madinah yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj selalu bermusuhan sebelum Nabi
Muhammad SAW hijrah ke Medinah dan mereka masuk Islam, permusuhan itu hilang. 115
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahnya, 652.
239
Sedangkan tujuan penyaluran dana atau pembiayaan bank
kepada masyarakat adalah untuk memperoleh, yaitu:
1) Pendapatan bank dari kerjasama bagi hasil
2) Memanfaatkan dan memproduktifkan dana-dana yang ada
3) Melaksanakan kegiatan operasional bank
4) Memenuhi permintaan dana dari masyarakat
5) Memperlancar lalulintas pembayaran
6) Menambah modal kerja perusahaan
7) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam berbisnis kaum muslimin secara praktis, harus berpegang
dan melaksanakan aturan main (normatif) kelembagaan dalam kegiatan
perbankan dan menentukan seberapa efisien hasil bank yang didapatkan
sekaligus akan menentukan seberapa besar distribusi bank yang akan
diperoleh oleh masing-masing partisipan. Sementara itu dalam jangka
waktu tertentu, pencapaian bank yang diperoleh partisipannya akan
menentukan pandangan terhadap aturan main yang digunakan saat ini.
Meminjam dari kerangka pemikiran tersebut, aturan main berinteraksi
dalam perbankan yang mendasari dari ekonomi moneter (bank)
kelembagaan syariah adalah bersumber dari al-Qur’a>n, al-hadi>th dan ijma>’
para ulama.
Istilah shari’>ah disebutkan dalam al-Qur'a>n surat al-Ja>thiyah ayat 18
yaitu:
240
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu shari>at (peraturan)
dari urusan (agama itu), Maka ikutilah shari>at itu dan janganlah kamu
ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.116
“Apa saja harta rampasan (fa‟i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah
untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu, apa yang diberikan
Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat
keras hukumannya” (al-H{ashr: 7).117
Dan cara melaksanakan dari shari’>ah adalah mencontoh pada
Rasu>l SAW sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasu>l itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” (al-Ah{za>b :
21).118
116
Ibid, 333. 117
Ibid, 438. 118
Ibid, 343.
241
3. Risiko Manajemen Pembiayaan Musha>rakah Mutana>qis}ah
Dalam kehidupan korporasi atau perusahaan industri perbankan
syariah, kita tidak dapat terlepas dari “risiko”. Risiko merupakan bagian
dari kehidupan kerja individual maupun kelompok di korporasi bisnis
maupun organisasi sosial. Berbagai macam risiko, seperti risiko
kebakaran, kecelakaan kerja, tertabrak kendaraan lain di jalan, risiko
terkena banjir di musim hujan dan sebagainya, dapat menyebabkan kita
menanggung kerugian jika risiko-risiko tersebut tidak kita antisipasi dari
awal.
Dalam al-Qur’a>n risiko diungkapkan dalam firman Allah dalam
surat al-Ti>n ayat 4-5, yang dikaitkan pada orang yang tidak berpegang
teguh dengan iman dan tidak beramal shaleh.
”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-
rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”.119
Ayat di atas menunjukan bahwa Allah menjadikan manusia yang
sebaik-baiknya kejadian, dan adanya risiko bagi orang yang tidak
berpegang teguh pada keimanan dan tidak beramal shaleh ia akan
119
Ibid, 1093.
242
dikembalikan pada derajat yang serendah-rendahnya di sisi Allah
sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’a>n surat al-Qa>ri’ah: 8-11 yang
berbunyi:
“Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka
tempat kembalinya adalah neraka hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka
hawiyah itu (yaitu) api yang sangat panas”.120
Ayat ini menunjukan bagi orang yang amalnya di dunia ini
ringan mempunyai risiko dikembalikan oleh Allah pada neraka hawiyah
yang apinya sangat panas. Di samping itu, masih ada firman yang lain
yang tidak kami sebutkan satu persatu.
Dalam manajemem risiko analisis risiko mempunyai tujuan
utama untuk meminimalkan potensi kerugian yang timbul dari perubahan
tak terduga dalam harga mata uang, kredit, komoditas, dan ekuitas dan
lainnya yang berhubungan dengan bank syariah. Risiko volatilitas
(perubahan) harga yang dihadapi ini disebut dengan risiko pasar. Risiko
pasar terdapat dalam berbagai bentuk, maka akuntan manajemen perlu
mempertimbangkan risiko lainnya:
(1) Risiko likuiditas, timbul karena tidak semua produk manajemen dapat
diperdagangkan secara bebas diskontinuitas pasar, mengacu pada
120
Ibid, 1032.
243
risiko bahwa pasar tidak selalu menimbulkan perubahan harga secara
bertahap.
(2) Risiko kredit, merupakan kemungkinan bahwa pihak lawan dalam
kontrak manajemen risiko tidak dapat memenuhi kewajibannya.
(3) Risiko regulasi, merupakan risiko yang timbul karena pihak autoritas
publik melarang penggunaan suatu produk keuangan untuk tujuan
tertentu.
(4) Risiko pajak, merupakan risiko bahwa transaksi lindung nilai tertentu
tidak dapat memperoleh perlakuan pajak yang diinginkan.
(5) Risiko akuntansi, adalah peluang bahwa suatu transaksi lindung nilai
tidak dapat dicatat selain bagian dari transaksi yang hendak dilindung
nilai.
Dalam perbankan syariah, akuntansi manajemen memainkan
peran yang penting dalam proses risiko manajemen. Mereka membantu
dalam mengidentifikasikan exposure pasar, mengkuantifikasi
keseimbangan yang terkait dengan strategi respons risiko alternatif,
mengukur potensi yang dihadapi perusahaan terhadap risiko tertentu,
mencatat produk lindung nilai tertentu dan mengevaluasi program lindung
nilai.
Kerangka dasar yang bermanfaat untuk mengidentifikasi
berbagai jenis risiko pasar berpotensi dapat disebut sebagai pemetaan
risiko. Kerangka ini diawali dengan pengamatan atas hubungan berbagai
244
risiko pasar terhadap pemicu nilai suatu perusahaan dan pesaingnya.
Pemicu nilai mengacu pada kondisi keuangan dan pos-pos kinerja operasi
keuangan utama yang mempengaruhi nilai suatu perusahaan.
Risiko pasar mencakup risiko kurs valuta asing dan suku bunga,
serta risiko harga komoditas dan ekuitas. Mata uang negara sumber
pembelian mengalami penurunan nilai relatif terhadap mata uang negara
domestik, maka perubahan ini dapat menyebabkan pesaing domestik
mampu menjual dengan harga yang lebih rendah, ini disebut sebagai risiko
kompetitif mata uang yang dihadapi. Akuntan manajemen harus
memasukkan suatu fungsi demikian probabilitas yang terkait dengan
serangkaian hasil keluaran masing-masing pemicu nilai.
Potensi terhadap risiko valas timbul apabila perubahan kurs
valas juga mengubah nilai aktiva bersih, laba, dan arus kas suatu
perusahaan. Pengukuran akuntansi tradisional terhadap potensi risiko valas
ini berpusat pada dua jenis potensi risiko: translasi dan transaksi. Potensi
risiko translasi mengukur pengaruh perubahan kurs valas terhadap nilai
ekuivalen mata uang domestik atas aktiva dan kewajiban dalam mata uang
asing yang dimiliki oleh perusahaan. Karena jumlah dalam mata uang
asing umumnya ditranslasikan ke dalam nilai ekuivalen mata uang
domestik untuk tujuan pengawasan manajemen atau pelaporan keuangan
eksternal, pengaruh translasi itu menimbulkan dampak langsung terhadap
laba yang diinginkan. Kelebihan antara aktiva terpapar risiko dengan
245
kewajiban terpapar (yaitu pos-pos dalam mata uang asing yang
ditranslasikan berdasarkan kurs kini) menyebabkan timbulnya posisi
aktiva terpapar bersih. Posisi ini sering disebut potensi risiko positif.
Devaluasi (penurunan nilai) mata uang asing relatif terhadap mata uang
pelaporan menimbulkan kerugian translasi. Revaluasi (penilaian kembali)
mata uang asing menghasilkan keuntungan translasi. Sebaliknya, jika
perusahaan memiliki posisi kewajiban terpapar bersih atau potensi risiko
negatif apabila kewajiban terpapar melebihi aktiva terpapar.
Dalam kasus ini, devaluasi mata uang asing menyebabkan
timbulnya keuntungan translasi. Revaluasi mata uang asing menyebabkan
kerugian translasi. Potensi risiko transaksi, berkaitan dengan keuntungan
dan kerugian nilai tukar valuta asing yang timbul dari penyelesaian
transaksi yang berdenominasi dalam mata uang asing. Keuntungan dan
kerugian transaksi memiliki dampak langsung terhadap arus kas. Laporan
potensi risiko transaksi berisi pos-pos yang umumnya tidak muncul dalam
laporan keuangan konvensional, tetapi menimbulkan keuntungan dan
kerugian transaksi seperti kontrak forward mata uang asing, komitmen
pembelian dan penjualan masa depan dan sewa guna usaha jangka
panjang.
246
Beberapa faktor yang bertanggung jawab atas perubahan
skenario ini menurut Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor 121
faktor tersebut
adalah:
1) Peningkatan kapasitas pasar.
Institusi finansial pertama kali menyadari nilai penting manajemen
risiko setelah kehancuran sistem nilai tukar tetap yang mengakibatkan
ketidakpastian signifikan dalam perdagangan mata uang dan pasar
tingkat suku bunga.
2) Inovasi finansial.
Perkembangan pasar derivatif telah meningkatkan kompleksitas
pengaturan institusi finansial produk inovatif telah muncul pada setiap
sisi neraca dan proyek baru membawa profil risiko / keuntungan
sendiri yang pada akhirnya mempengaruhi profil risiko institusi
tersebut.
3) Pergeseran dalam bisnis perbankan.
Ada pergerseran bisnis perbankan tradisional, sebagai akibat pergeseran
bisnis tradisional peminjam ke aktivitas bisnis lain. Perluasan pasar
uang dan pasar modal telah mengubah karakteristik intermediasi
dengan menjauhkan dengan institusi formal ke akses langsung pasar.
4) Peningkatan kompetensi.
121
Iqbal, Pengantar Keuangan, 205.
247
Kompetensi dalam perbankan telah meningkat dan menyulitkan bank
kecil untuk dapat bertahan. Bank kecil tidak dapat berkompetisi karena
peningkatan melakukan bisnis dan tingginya biaya yang diasosiasikan
dengan pengaturan risiko.
Tabel 4.9
Identifikasi Variabel Kostruk dan variabel Model Pembiayaan
Musha>rakah Mutana>qis}ah
No Variabel Indikator
1 Konstruk 1. Transaksitor (pihak melakukan transaksi dari bank
syariah dan nasabah).
2. Objek transaksi (aset bersifat konsumtif yang halal
zatnya, halal cara memperolehnya dan halal
penggunannya).
3. Substantif transaksi (sesuai dengan maqa>s}id al-
shari’ah).
4. Kepastian hukum (sudah tidak diberlakukan lagi
masalah hak khiya>r).
5. Administratif (terpenuhinya dokumentasi
pembiayaan dan perjanjian pembiayaan musha>rakah
mutana>qis}ah.
6. Serah terima dengan perkataan, saling menerima dan
denga cara isyarat (i>ja>b qabu>l bi al-qauli, bi al- t}a>’ah
dan bi al-isha>ri) disertai dengan bukti pemilikan.
2 Model 1. Kesepakatan transaksitor untuk melakukan kemitraan
pemilikan aset.
248
2. Adanya unsur jual-beli secara cicilan (bay’ bi thaman
al-a>jil / BBA).
3. Adanya unsur persewaan (al-ija>rah)
4. Adanya penurunan dan peningkatan pemilihan dari
pihak bank ke nasabah.
5. Terjadinya pemilikan secara penuh oleh nasabah.
Variabel konstruk dan variabel model merupakan hasil
analisis manajemen risiko dengan tahapan sebagai berikut, yaitu melalui
proses pentahapan langkah pertama; menentukan identifikasi risiko yang
di hadapi dalam pembiayaan musha>rakah mutana>qis}ah, langkah kedua;
menentukan jenis dan kategori risiko, langkah ketiga; menetapkan
mekanisme analisis, dan langkah keempat; menggunakan pendekatan dan
alat yang sesuai dengan jenis dan kategori risiko yang diselesaikan dan
selanjutnya melakukan evaluasi.
Hasil analisis dapat dikemukakan sebagai berikut:
penerapan akad musha>rakah mutana>qis}ah memiliki beberapa keunggulan
sebagai pembiayaan syariah diantaranya:
(1) Bank Syariah dan nasabah sama-sama memiliki atas suatu aset yang
menjadi objek perjanjian. Karena merupakan aset bersama maka
antara bank syariah dan nasabah akan saling menjaga atas aset
tersebut.
(2) Adanya bagi hasil yang diterima antara kedua belah pihak atas margin
sewa yang telah ditetapkan atas aset tersebut.
249
(3) Kedua belah pihak dapat menyepakati adanya perubahan harga sewa
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dengan mengikuti harga
pasar.
(4) Dapat meminimalisasi risiko financial cost jika terjadi inflasi dan
kenaikan suku bunga pasar pada perbankan konvensional.
(5) Tidak terpengaruh oleh terjadinya fluktuasi bunga pasar pada bank
konvensional dan / atau fluktuasi harga saat terjadinya inflasi.
Adapun kelemahan yang muncul dalam akad musha>rakah
mutana>qis}ah ketika diterapkan sebagai bentuk pembiayaan syariah adalah:
(1) Risiko terjadinya pelimpahan atas beban biaya transaksi dan
pembayaran pajak, baik pajak atas hak tanggungan atau pajak atas
bangunan, serta biaya-biaya lain yang mungkin dapat menjadi beban
atas aset tersebut.
(2) Berkurangnya pendapatan bank syariah atas margin sewa yang
dibebankan pada aset yang menjadi objek akad.
(3) Cicilan atas beban angsuran di tahun-tahun pertama akan terasa
memberatkan bagi nasabah, dan menjadi ringan tahun-tahun
berikutnya.