Download - Bab IV Gambaran Umum
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Kecamatan Cakranegara
Pulau Lombok adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah Timur Pulau
Bali tepatnya pada 8º12’-9º11’LS, dan antara 115º44’-116º40’BT. Secara ukuran,
pulau Lombok hanya sedikit lebih kecil dibandingkan dengan Pulau Bali yaitu
sekitar ± 47.000 km2. Kedua pulau dipisahkan oleh sebuah selat dalam, termasuk
yang terdalam, yang bernama Selat Lombok . Di sebelah Timur, Pulau Lombok
berbatasan dengan Pulau Sumbawa yang dipisahkan oleh selat Sape. Pulau
Lombok dan Sumbawa bersatu dalam tingkat administrasi TK.I yaitu Propinsi
Nusa Tenggara Barat. Sebelah utara Lombok berbatasan dengan Laut Jawa dan
sebelah selatannya adalah Lautan Hindia.
Mataram sebagai salah satu Kota di Propinsi Nusa Tenggara Barat,
letaknya diapit antara kabupaten Lombok Barat dan Selat Lombok. Letaknya
antara 08o 33’ dan 08o 38’ Lintang Selatan dan antara 116o 04’ - 116o 10’ Bujur
Timur. Luas wilayah kota Mataram adalah 61,30 km2, yang terbagi dalam 6
kecamatan. Kecamatan terluas adalah Selaparang yaitu sebesar 10,7653 Km2,
disusul Kecamatan Mataram dengan luas wilayah 10,7647 km2, sedangkan
wilayah terkecil adalah Kecamatan Ampenan dengan luas 9,4600 km2.
Berdasarkan data yang ada di BPS Propinsi NTB tahun 2010, jumlah
penduduk Mataram tercatat 402.843 jiwa. Jumlah penduduk perempuan lebih
besar dibandingkan jumlah penduduk perempuan, ditunjukkan oleh rasio jenis
kelamin (rasio jumlah penduduk laki-laki terhadap jumlah penduduk perempuan),
sebesar 98 persen. Penduduk Mataram belum menyebar secara merata di seluruh
wilayah Mataram. Umumnya, penduduk banyak menumpuk di kecamatan
Ampenan. Secara rata-rata, kepadatan penduduk Mataram tercatat sebesar 6.572
jiwa setiapkilometer persegi, dan wilayah terpadat yaitu kecamatan Ampenan
yang memiliki tingkat kepadatan 8.328 orang setiap kilometer persegi.
Kehidupan beragama yang harmonis sangat didambakan masyarakat. Hal
ini terlihat dari tempat-tempat peribadatan yang ada di sekitar warga, seperti
mesjid, gereja, dan lainnya. Banyaknya tempat peribadatan di Mataram pada
tahun 2010, mencapai 738 buah, yang terdiri dari sebanyak 597 masjid, langgar
dan musholla, sebanyak 123 pura dan sisanya berupa gereja, vihara dan kelenteng.
Cakranegara merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kota Mataram,
terletak antara Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat dan Kecamatan
Selaparang. Letaknya antara 1160 7” - 1160 8” Bujur Timur dan 80 34” - 8035”
Lintang Selatan. Kecamatan Cakranegara terdiri dari 10 (sepuluh) Kelurahan
dengan luas wilayah 9.67 km2 yaitu Kelurahan Cakranegara Barat, Kelurahan
Cilinaya, Kelurahan Sapta Marga, Kelurahan Mayura, Kelurahan Cakranegara
Timur, Kelurahan Cakranegara Selatan, Kelurahan Cakranegara Selatan Baru,
Kelurahan Karang Taliwang, Kelurahan Cakranegara Utara dan Kelurahan
Sayang-Sayang. Kelurahan terluas adalah Sayang-Sayang yang merupakan
ibukota Kecamatan Cakranegara, sedangkan yang memiliki luas wilayah paling
kecil adalah Kelurahan Cakranegara Barat. Semua wilayah Cakranegara
merupakan daerah bukan pantai dengar rata-rata curah hujannya 152.75 mm per
bulan (Cakranegara dalam Angka, 2010:2). Kecamatan Cakranegara merupakan
sentra bisnis di Kota Mataram atau bahkan di Nusa Tenggara Barat sehingga
jalan-jalan utamanya dipenuhi oleh pusat pertokoan dan merupakan daerah yang
sangat sibuk setiap harinya.
Selengkapnya data tentang banyaknya Lingkungan, Rukun Warga (RW)
dan Rukun Tetangga (RT) adalah sebagai berikut :
Tabel 4.1. Jumlah Lingkungan, RW Dan RT Menurut Kelurahan di Kecamatan Cakranegara Tahun 2009
Kelurahan Lingkungan
Rukun
Warga
(RW)
Rukun
Tetangga
(RT)
1. Cakranegara Barat 9 - 32
2. Cilinaya 10 - 35
3. Sapta Marga 7 - 31
4. Mayura 7 - 30
5. Cakranegara Timur 8 - 25
6. Cakranegara Selatan 10 - 35
7. Cakranegara Selatan Baru 5 - 24
8. Karang Taliwang 3 - 26
9. Cakranegara Utara 4 - 21
10. Sayang-Sayang 8 - 36
Jumlah 71 - 295
Sumber : Kecamatan Cakranegara Dalam Angka 2008/2009
Penduduk Kecamatan Cakranegara sebagian besar beragama Islam,
menyusul agama Hindu, Agama. Budha dan agama Kristen/Katolik. Selanjutnya
dipaparkan data tentang jumlah pemeluk agama di Kecamatan Cakranegara
sebagai berikut :
Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Menurut Agama dan Kelurahan di Kecamatan Cakranegara Tahun 2009
Kelurahan Islam Kristen/
Katolik
Hindu Buddh
a/
Lainny
a
Jumlah
1 2 3 4 5 6
1. Cakranegara Barat 3.608 340 2.503 405 6.406
2. Cilinaya 1.736 300 2.346 692 5.074
3. Sapta Marga 1.225 402 4.281 375 6.253
4. Mayura 2.032 192 2.756 354 5.334
5. Cakranegara Timur 844 255 2.327 330 3.756
6. Cakranegara Selatan
3.155 14 3.048 6 6.223
7. Cakranegara Selatan Baru
4.553 133 1.945 53 6.664
8. Karang Taliwang 3.975 15 1.444 19 5.453
9. Cakranegara Utara 1.494 32 3.693 51 5.270
10. Sayang-Sayang 7.092 - 58 - 7.150
Jumlah 29.694 1.683 23.951 - 57.613
Sumber : Kantor Kecamatan Cakranegara
Masing-masing pemeluk agama di Kecamatan Cakranegara memiliki
sarana ibadah yang permanent. Adapun jumlah sarana ibadah tersebut dapat
dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 4.3. Jumlah Sarana Ibadah Menurut Kelurahan di Kecamatan Cakranegara Tahun 2009
Kelurahan Masjid Langgar Gereja Pura Wihara
1. Cakranegara Barat 4 6 - 3 1
2. Cilinaya 1 1 1 10 -
3. Sapta Marga 1 1 - 11 -
4. Mayura 2 1 1 4 -
5. Cakranegara Timur 1 1 1 8 1
6. Cakranegara Selatan 3 6 - 9 1
7. Cakranegara Selatan Baru
2 3 - 3 -
8. Karang Taliwang 2 6 - 5 -
9. Cakranegara Utara 1 3 - 12 -
10. Sayang-Sayang 6 18 - - -
Jumlah 23 46 3 65 3
Sumber : Kantor Kecamatan Cakranegara
Pura Meru sebagai lokasi penelitian ini, terletak di wilayah Kelurahan
Cakranegara Timur tepatnya berada di jalan Pejanggik yang merupakan jalan
utama yang menghubungkan Kota Mataram dengan Kabupaten Lombok Tengah
dan Kabupaten Lombok Timur. Diseberang utara Pura Meru, terdapat lokasi
Taman Mayura yang menjadi satu komplek dengan Pura Klepug yang mata airnya
digunakan sebagai temapat untuk mensucikan Pratima yang akan digunakan
menjelang upacara Piodalan di Pura Meru, dan Puri Pamotan tempat tinggal
keturunan Raja Cakranegara.
Gambar 4.1. Peta Kelurahan Cakranegara Timur
Gambar 4.2. Pura Meru Dilihat dari Udara
4.2 Sejarah dan Eksistensi Komunitas Hindu Bali Lombok di Cakranegara
Dari buku Kupu-Kupu Kuning dan Bali Pada Abad XIX dapat dirangkum
sejarah Cakranegara sebagai berikut :
Pada masa pemerintahan Dalem Watu Renggong (abad XV), kerajaan
Gelgel di pulau Bali mengalami puncak kebesaran. Daerah kekuasaannya sampai
di luar pulau Bali meliputi : Lombok, Sumbawa, dan Blambangan. Setelah Dalem
Watu Renggong meninggal, ia digantikan oleh dua orang putranya yang belum
dewasa, yaitu yang sulung bernama I Dewa Pemayun, kemudian setelah di angkat
menjadi raja bergelar Dalem Bekung dan yang lebih kecil bernama I Dewa Anom
Saganing, bergelar Dalem Saganing. Karena umurnya masih muda, dalam
menyelenggarakan pemerintahannya, mereka di dampingi oleh lima orang yaitu : I
Dewa Gedong Arta, I Dewa Anggungan, I Dewa Nusa, I Dewa Bangli, dan I
Dewa Pasedangan. Mereka adalah putra dari I Dewa Tegal Besung, adik dari
Dalem Watu Renggong. Jabatan patih agung pada saat itu di pegang oleh I Gusti
Arya Batanjeruk, dan semua kebijakan pemerintahan ada di tangan patih agung
Batanjeruk. Situasi seperti ini lama kelamaan menimbulkan ketidak puasan
dikalangan pejabat kerajaan. Tampaknya gelagat Batanjeruk untuk mengambil
alih kekuasaan dari tangan kedua raja yang masih muda itu telah di ketahui oleh
penasehat raja Dang Hyang Astapaka. Penasehat raja ini telah menasehati
Batanjeruk agar tidak melakukan hal yang membahayakan, karena pengikut raja
cukup kuat. Namun, nasehat Dang Hyang Astapaka itu tidak di hiraukan oleh
Batanjeruk sehingga ia meninggalkan istana kerajaan Gelgel menuju kesebuah
desa bernama Budakeling yang terletak di daerah Karangasem Bali.
Pada tahun 1556, terjadilah kekacauan di kerajaan Gelgel. Patih Agung
Batanjeruk dan salah seorang pendamping raja yaitu I Dewa Anggungan
mengadakan perebutan kekuasaan. Pasukan kerajaan Gelgel dapat melumpuhkan
pasukan Batanjeruk. Akhirnya Batanjeruk melarikan diri ke Desa Bungaya, masih
dalam wilayah Karangasem dan ditempat itulah ia di bunuh oleh pasukan Gelgel
pada tahun 1556 istri dan anak angkatnya yang bernama I Gusti Oka dapat
menyelamatkan diri, mengungsi dikediaman Dang Hyang Astapaka di
Budakeling, sedangkan para keluarga lainnya ada yang menetap di Batuaya
Karangasem. Setelah berlangsung beberapa lama dari meninggalnya Batanjeruk, I
Dewa Karangamla tertarik kepada janda Batanjeruk yang pada saat itu tinggal di
kediaman Dang Hyang Astapaka. Ia ingin meminang sang janda, namun atas
nasehat Dang Hyang Astapaka kepada sang janda agar mengajukan suatu syarat
yaitu setelah perkawinannya berlangsung agar I Dewa Karangamla mau
mengangkat putranya menjadi penguasa di Karangasem. I Dewa Karangamla
setuju. Akhirnya putra yang bernama I Gusti Oka dapat berkuasa di Kerajaan
Karangasem dan mulai saat itulah kekuasaan di Kerajaan karangasem di pegang
oleh dinasti Batanjeruk.
I Gusti Oka atau di kenal juga dengan sebutan pangeran Oka mempunyai
tiga orang istri. Salah satu putranya dari istri yang tertua melanjutkan
pemerintahan di kerajaan Karangasem yang bernama I Gusti Anglurah Ketut
Karang, disebutkan sebagai raja Karangasem ke III. Kerajaan Karangasem ke III
inilah mulai tanpak pengaturan wilayah kerajaan, yaitu dengan didirikan puri
Amlaraja yang kemudian bernama Puri Klodan.
Ketika I Gusti Anglurah Ketut karang mengalami masa pemerintahannya,
ia menyerahkan kekuasaan kepada ketiga putranya yang laki-laki untuk
memerintah bersama-sama. Sistim pemerintahan secara kolektif seperti ini
merupakan hal yang lazim berlaku di kalangan kerajaan Karangasem Bali, di
bawah pemerintahan merekalah kerajaan Karangasem Bali semakin menanjak.
Beberapa faktor penting yang menyebabkan kalangan kerajaan Karangasem Bali
semakin meluas : Pertama, kerajaan Gelgel sebagai pusat pemerintahan di Bali
yang pada masa pemerintahan Dalem Dimade mengalami kemerosotan. Banyak
wilayah kekuasaannya di luar Bali mengembangkan diri, sedangkan situasi di
dalam negeri terpecah belah. Kedua, situasi politik di Bali antara tahun 1650-1686
memberikan kesempatan kepada kerajaan-kerajaan yang sebelumnya menjadi
taklukkan (vazal), membebaskan diri dari kekuasaan raja tertinggi (sesuhunan)
yang kerajaannya pindah dari Gelgel ke Klungkung. Kerajaan Karangasem di Bali
mengembangkan kekuasaannya ke arah timur yaitu Pulau Lombok pada tahun
1691, dan membantu kerajaan Buleleng menaklukkan Blambangan pada tahun
1697. Ketiga, kekuatan spiritual yang bersumber pada kualitas Supernatural
seorang pemimpin, merupakan tipe-tipe kekuasaan yang kharismatik, yaitu
kepercayaan yang mengembangkan ketentuan raja sebagai Dewa. Hal ini
merupakan suatu keunikan yang dimiliki oleh ketentuan raja-raja di kerajaan
Karangasem sehingga dapat membawa kerajaan Karangasem ke puncak
kebesarannya, dan menjadikan sebuah kerajaan yang terkuat, terutama di Bali dan
Lombok.
Selama masa pemerintahan Raja Karangasem ke IV (sekitar tahun 1680-
1705) yang di perintah oleh tiga orang bersaudara itu, tidak banyak hal yang di
ketahui kecuali penaklukan atas pulau Lombok yang dipimpin oleh I Gusti
Anglurah Ketut Karangasem.
Seperti telah disebutkan di atas, pada masa pemerintahan raja
Karangasem ke IV, yang di perintah oleh tiga orang bersaudara yaitu I Gusti
Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti
Anglurah Ketut Karangasem telah berhasil meluaskan kekuasaan ke pulau
Lombok pada tahun 1691. De Graaf berpendapat bahwa jatuhnya kerajaan Gelgel
hampir bersamaan dengan bangkitnya kerajaan Karangasem Bali dan dikuasainya
pulau Lombok. situasi politik di pulau Lombok pada saat itu juga memberikan
peluang besar kepada kerajaan Karangasem di Bali untuk menanamkan
kekuasaannya di pulau ini.
Hubungan politik antara Bali dan Lombok di lanjutkan oleh kerajaan
Karangasem di Bali dengan dua kerajaan besar yang ada di pulau Lombok pada
abad XVII, yaitu kerajaan Selaparang di Lombok Timur sebagai kerajaan Pesisir,
dan kerajaan Pejanggih di Lombok Tengah sebagai kerajaan Pedalaman.
Hubungan ini dimulai ketika kedua kerajaan tersebut, menjalani kekacauan
sehingga situasi itu dimanfaatkan oleh kerajaan Karangasem di Bali untuk
mengadakan intervensi.
Ada beberapa versi tentang munculnya kerajaan-kerajaan Hindu Bali yang
ada di pulau Lombok, antara lain :
Versi Pertama, menurut Babad Lombok intervensi ini bermula dari adanya
konflik antara Patih Banjar Getas dengan raja Selaparang. Raja Selaparang
mengutus patih Banjar Getas pergi ke Bali untuk mencari kijang putih (mayang
putih) yang dipakai sebagai obat. Setelah patih Banjar Getas pergi ke Bali, raja
menyuruh panggil istri Banjar Getas, yang bernama Dyah Candra Kusuma ke
Istana untuk di peristri. Setelah patih Banjar Getas kembali, ia sadar bahwa
dirinya telah ditipu. Karena itulah ia berontak terhadap raja Selaparang dan minta
bantuan kepada kerajaan Karangasem di Bali. akhirnya kerajaan Selaparang dan
Pejanggik dapat di taklukkan oleh kerajaan Karangasem Bali. Versi Kedua,
menurut Babad Selaparang di sebutkan bahwa raja Selaparang minta bantuan raja
Banjarmasin sehingga akhirnya patih Banjar Getas melarikan diri ke kerajaan
Pejanggik. Karena kecerdasannya ia di anggkat menjadi adipati oleh raja
Pejanggik Pemban Mas Meraja Kusuma. Hal ini menyebabkan hubungan
Selaparang dan Pejanggik menjadi retak. Ketika patih Banjar Getas mengabdi di
kerajaan Pejanggik, terjadilah perselisihan antara patih Banjar Getas dengan istri
yang keduanya, bernama Dene Bini Lala Junti, sehingga pada akhirnya diusir.
Dengan hati yang sedih ia pergi ke hutan Memelak (sebelah utara kota Praya
sekarang), kemudian dari tempat itu ia berlayar ke pulau Bali. Setelah ia sampai di
Karangasem Bali, ia menceritakan kepada raja Karangasem tentang kekalahannya
melawan raja Selaparang, dan memohon bantuan raja Karangasem. sejak itulah
kerajaan Karangasem berangsur-angsur menaklukkan kerajaan di pulau Lombok.
Versi Ketiga, sumber lain menyebutkan bahwa ketika raja Pejanggik mengutus
Arya Banjar Getas pergi menghadap raja Klungkung dan Karangasem di Bali, raja
Pejanggik jatuh cinta kepada istri Arya Banjar Getas yang bernama Dene Bini
Lala Junti. Sekembalinya dari pulau Bali Arya Banjar Getas mendengar cerita
tentang istrinya itu, sehingga timbul keinginan untuk menantang raja Pejanggik,
sesudah ia kalah menghadapi kekuatan laskar Pejanggik, ia minta bantuan kepada
raja Karangasem di Bali. itulah sebabnya kerajaan Karangasem mengadakan
hubungan politik dengan kerajaan Pejanggik di Lombok. Hubungan ini di
perkirakan mulai tahun 1691.
Versi Keempat, dalam Pelelintih Sira Arya Getas di sebutkan bahwa pada
masa pemerintahan raja Sri Kresna Kepakisan, raja ini mengutus Arya Getas
menyerang raja Selaparang di pulau Lombok. Berkat keberanian dan
ketangkasannya, kerajaan Selaparang dapat di taklukkan, dan Arya Getas di suruh
menetap di Praya Lombok Tengah
Sumber itu juga menyebutkan bahwa Arya Getas berputra tiga orang laki-
laki, yaitu I Gusti Ngurah Praya, I Gusti Warung Getas, dan I Gusti Mangedeb
We Anyar. Setelah berselang empat keturunan, yaitu pada masa pemerintahan
Dalem Dimade di Bali (tahun 1621-1651), salah seorang keturunan Arya getas
hanyut di laut dan terdampar di Lombok Timur dekat Pringgabaya. Anak yang
hanyut itu kemudian dipelihara oleh Datu Pejanggik dan diberi nama Raden
Banjar, karena di perkirakan anak tersebut adalah anak seorang pelaut dari
Banjarmasin. Sesudah Raden Banjar menanjak dewasa, ia terkenal dengan nama
panggilan Banjar Getas dan berkat jasa-jasanya ia diberi gelar Raden Kertapati. Ia
kawin dengan Dende Mas Kuning, putri yang amat cantik, yang menyebabkan
raja Pejanggik ingin memperistrinya, tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab
timbulnya perselisihan antara Banjar Getas dengan raja Pejanggik sehingga minta
bantuan kerajaan Karangasem di Bali. Pada saat itu raja I Gusti Anglurah Ketut
Karangasem memimpin langsung keberangkatannya ke pulau Lombok. Banjar
Getas yang juga di kenal dengan julukan Dipating Laga segera menyambut
kedatangan pasukan Karangasem dan menceritakan mengenai dirinya, bahwa ia
adalah keturunan Arya Gajah Para dari Tianyar Karangasem Bali. Situasi menjadi
terbalik, pasukan kerajaan Karangasem memihak kepada Dipating Laga melawan
Pejanggik, dan berakhir dengan kekalahan di pihak Pejanggik. Mulai saat itu
kekuasaan Karangasem melebarkan sayapnya ke pulau Lombok.
Versi Kelima, menurut Babad Banjar Getas disebutkan bahwa Banjar
Getas adalah seorang pengembara yang berasal dari Majapahit Jawa Timur.
Menurut babad ini, ia adalah keturunan Prabu Kaisari. Ia melarikan diri ke
Lombok beserta 40 orang pengiring, karena ia merasa malu tidak dapat memenuhi
titah rajanya, yaitu Kencana Wungu, untuk membunuh Menak Jingga. Setelah
berbagai pengalaman yang di alaminya di kerajaan Selaparang, akhirnya ia
menghambakan diri di kerajaan Pejanggik, pada raja Dewa Mas Panji. Berkat
kepandaiannya ia sangat berpengaruh di kerajaan Pejanggik sehingga
menimbulkan ke kekhawatiran para pembesar kerajaan. Inilah yang menyebabkan
kerajaan Pejanggik minta bantuan kepada kerajaan Karangasem di Bali untuk
membunuh Banjar Getas. Ternyata kemudian raja Karangasem Bali memihak
kepada Banjar Getas melawan kerajaan Pejanggik. Setelah Pejanggik dapat
ditaklukkan, raja Karangasem dan Banjar Getas membagi wilayah kekuasaan di
pulau Lombok, karajaan Karangasem Bali menguasai Lombok di bagian Barat,
sedangkan Banjar Getas mendapat wilayah Lombok di bagian tengah dan timur.
Pada wilayah kekuasaan kerajaan Karangasem Bali di pulau Lombok bagian
barat, telah berdiri beberapa kerajaan-kerajaan kecil di bawah penguasa-penguasa
bangsawan Karangasem Bali. Kerajaan-kerajaan kecil tersebut antara lain :
kerajaan Pagesangan, kerajaan Kediri, kerajaan Sengkongo`, kerajaan Pagutan,
kerajaan Mataram, dan kerajaan Singasari. Setelah adanya penaklukan terhadap
pulau Lombok pada tahun 1691 sampai tahun 1740, di lokasi kerajaan yang
dahulunya disebut Singasari inilah diganti namanya menjadi kerajaan Karangasem
Sasak, dan kerajaan ini akan menjadi cikal bakal kerajaan Cakranegara.
Pada tahun 1740 itu diperkirakan seluruh Lombok sudah dapat di kuasai oleh
kerajaan karangasem Bali, pendapat ini diperkuat oleh suatu informasi yang
menyebutkan bahwa di beberapa daerah seperti Pejanggik, Purwa, dan Langko
diharuskan membayar upeti dengan uang, daerah Sokong dan Bayan di kenakan
upeti kapas, sedangkan daearah Praya, dan Batu Kliang di kenakan upeti darah
(upeti getih) yaitu tidak membayar upeti dalam bentuk material melainkan apabila
terjadi perang mereka harus membantu. Hal tersebut diperkirakan sudah
berlangsung sejak tahun 1740.
Dibawah pemerintahan Karangasem Bali, kekuatan politik bukan lagi
berada di Lombok Timur, melainkan di pusatkan di Lombok Barat. Pada tahun
1741 raja Karangasem Bali menempatkan seorang penguasa I Gusti Wayan Tegeh
yang berkedudukan di Tanjungkarang (sebelah selatan Ampenan sekarang atau
berada disebelah barat kerajaan Pagesangan). Pada masa pemerintahannya ia
berhasil memperkuat kedudukan Karangasem Sasak di pulau Lombok. di bawah
perlindungan kerajaan Karangasem Bali, ia melakukan kegiatan dalam bidang
perpajakan dan perdagangan. Setelah ia meninggal pada tahun 1775, ia digantikan
oleh kedua putranya, yaitu I Gusti Made Karang yang di sebut dengan nama I
Gusti Ngurah Made berdiam di Tanjungkarang, dan I Gusti Ketut Karang
bertempat tinggal di Pagesangan. Kematian I Wayan Tegeh ternyata menimbulkan
perpecahan, karena pengganti-penggantinya itu saling berebut kekuasaan. Konflik
ini masih berlangsung sampai permulaan abad XIX dan bersamaan dengan
munculnya dua kerajaan kecil lainnya yaitu kerajaan Sakra di Lombok Timur, dan
kerajaan Kopang ada di Lombok Tengah.
Sejak meninggalnya I Gusti Wayan Tegeh pada tahun 1775,
Tanjungkarang tidak lagi memegang peranan penting dan digantikan oleh
munculnya kerajaan Karangasem sasak yang sejak tahun 1720 telah berada di
bawah pemerintahan I Gusti Anglurah Made Karangasem, Dewata di Pesaren
Anyar Bali. Tidak banyak yang dapat di ketahui tentang kegiatannya, namun
dalam struktur pemerintahan kerajaan Karangasem Sasak di Lombok ia
menempati status yang paling tinggi yaitu sebagai wakil (koordinator) kerajaan
Karangasem di pulau Bali. pada saat itu raja Mataram berstatus sebagai Patih,
sedangkan raja-raja kecil lainnya seperti kerajaan Pagutan, Pagesangan,
Sengkongo`, dan kerajaan Kediri memiliki status sebagai manca. Semua penguasa
di masing-masing kerajaan itu masih mempunyai hubungan kekeluargaan. Untuk
menjaga persatuan dan kesatuan diantara mereka, maka pada tahun 1720 kerajaan
Karangasem Sasak di Lombok membangun sebuah pura yang megah sebagai
tempat persembahyangan, yaitu pura Meru di Cakranegara Lombok sekarang.
Raja I Gusti Anglurah Made Karangasem yang kemudian setelah
meninggal di sebut Dewata di Karangasem Sasak, mempunyai dua orang istri dan
sepuluh orang anak. Diantara anaknya itu ada yang bernama Ratu Ngurah Made
Karangasem, yang menggantikannya sebagai raja di kerajaan Karangasem Sasak.
Dia kawin dengan saudara sepupunya yaitu putri dari raja Karangasem Bali,
bernama I Gusti Ayu Agung. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Karangasem
Sasak kekuasaannya semakin besar, beberapa kerajaan kecil seperti kerajaan
Sengkongo`, dan kerajaan Kediri pada tahun 1804 ada dibawah kekuasaannya.
Kerajaan Karangasem Sasak Lombok yang dipimpin oleh Ratu Ngurah Made
Karangasem ternyata keadaannya makin kuat dan mapan. Oleh karena itu
berusaha melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Karangasem di pulau Bali.
Sementara itu melihat kekuasaan dari raja Karangasem Sasak, yang dapat
menguasai seluruh Lombok. I Gusti Lanang Paguyangan (raja Karangasem di Bali
pada waktu itu) berusaha menjatuhkan kerajaan Karangasem Sasak Lombok
dengan jalan membesar-besarkan berita bahwa perkawinan raja Karangasem
Sasak dengan I Gusti Ayu Agung tidak sah. Hal ini dipakai alasan dalam
membujuk raja Mataram Lombok I Gusti Ngurah Ketut Karangasem agar mau
menyerang kerajaan Karangasem Sasak.
Pada tahun 1835 raja Karangasem Sasak Ratu Ngurah Made Karangasem
meninggal, kemudian digantikan oleh putranya Ratu Gusti Ngurah Panji yang
kemudian bergelar I Gusti Ngurah Made Karangasem, dibawah pemerintahannya
konflik antara kerajaan Karangasem Sasak dengan kerajaan Mataram semakin
tajam, oleh adanya campur tangan dua orang pedagang asing yaitu Mads Lange
dari Denmark dan George Morgan King dari Inggris. Mads Lange menjalankan
usahanya di pelabuhan Tanjungkarang sedangkan King di pelabuhan Ampenan..
kedua pedagang ini diijinkan oleh raja kerajaan Karangasem Sasak untuk
menjalankan usahanya. George Morgan King berambisi sekali untuk mendapatkan
monopoli perdagangan di Lombok, sehingga menimbulkan konflik dengan
syahbandar Cina di Ampenan. Akhirnya pada tahun 1836 dia diusir dari Ampenan
oleh raja Karangasem Sasak sehingga ia pindah ke Kuta Bali. Di Kuta ia tinggal
hanya beberapa bulan saja, kemudian dia datang lagi ke Ampenan dan minta
perlindungan raja Mataram I Gusti Ngurah Ketut Karangasem. Rupanya pedagang
asing itu memanfaatkan sekali situasi konflik antara dua kerajaan tersebut untuk
meraih keuntungan, terutama dalam perdagangan senjata, mesiu, dan alat-alat
perang lainnya.
Pada bulan Januari 1838 pecahlah perang antara kerajaan Karangasem
Sasak melawan kerajaan Mataram. Perang itu meletus di sebabkan oleh pertikaian
masalah air antara desa Kateng (wilayah Lombok Tengah bagian selatan) yang
ada di bawah kekuasaan kerajaan Karangasem sasak dengan desa Penujak (juga
wilayah Lombok Tengah bagian selatan) yang berada di bawah kekuasaan
kerajaan Mataram. Raja Mataram I Gusti Ngurah Ketut Karangasem menyatakan
perang karena kerajaan Karangasem Sasak mengambil desa Penujak dan daerah
sekitarnya ke dalam wilayahnya.
Pada mulanya Karangasem Sasak lebih kuat di banding dengan Mataram,
namun kemudian keadaannya menjadi berubah kerajaan Mataram berangsur-
angsur bertambah kuat berkat datangnya bantuan dari Karangasem di Bali.
Demikian juga King membantu Mataram dengan kapalnya mengangkut senjata
yang dibeli dari Singapura dan pasukan sekitar sepuluh ribu orang yang
didatangkan dari Karangasem
Akhirnya pada pertengahan tahun 1838 raja Mataram I Gusti Ngurah Ketut
Karangasem tewas. Pasukan Mataram terus mengepung istana kerajaan
Karangasem Sasak sehingga raja Karangasem Sasak I Gusti Ngurah Made
Karangasem melakukan perang habis-habisan, yaitu puputan bersama lebih
kurang tiga ratus orang termasuk keluarganya, kecuali dua orang anaknya laki-laki
berumur 10 tahun dapat di selamatkan. Setelah kerajaan Mataram menang
melawan kerajaan Karangasem Sasak, raja Mataram I Gusti Ngurah Ketut
Karangasem langsung menggantikan ayahnya yang gugur dan mengangkat Ida
Ratu menjadi raja di Karangasem Sasak dengan gelar I Gusti Ngurah Made
Karangasem.
Menjelang akhir tahun 1838 raja Mataram I Gusti Ngurah Ketut
Karangasem memindahkan ibukota kerajaannya ke wilayah kerajaan Karangasem
Sasak Lombok, kemudian beberapa tahun kemudian bekas ibukota Karangasem
Sasak selesai dibina, dan tahun 1866 diganti namanya menjadi kerajaan
Cakranegara. Cakra menurut bahasa sansekerta berarti lingkaran atau bundaran,
dan Negara adalah kota, hunian, atau negeri. Jadi Cakranegara berarti kota hunian
yang bundar melingkar.
Masa dari tahun 1866 sampai 1900 pemerintahan Cakranegara tumbuh
subur dan makmur walaupun pada waktu itu ada beberapa kekacauan seperti
terjadi perselisihan-perselisihan antara masyarakat Hindu dengan masyarakat asli
(suku Sasak), dilanjutkan dengan datangnya ekspedisi Belanda tahun 1894 mulai
ada campurtangan Belanda, hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap
perkembangan kota Cakranegara.
Masa dari tahun 1900 sampai 1945 (masa kebangkitan Nasional), pada
masa ini terjadi dualisme pemerintahan. Pemerintahan Hindu berpusat di
Cakranegara, sedangkan pemerintahan Belanda berpusat di pertengahan antara
Mataram dengan Ampenan. Belanda mulai mengarahkan usahanya bagi
pembangunan ekonomi, dengan cara dibangunnya beberapa sarana dan prasarana
pemerintahan seperti gedung kantor (kantor assisten residen, kontrolir, distrik),
pasar, perumahan, dan jalan raya.
Pada masa ini sudah mulai diperhatikan tentang pengembangan wilayah,
tidak saja pengembangan dari segi fisik namun dari segi lainnya seperti :
pendidikan , ekonomi, dan sosial budaya. dengan berkembangnya sistem
pendidikan modern pengaruh kekuatan Eropa mulai menyerap secara berangsur-
angsur terutama wilayah Ampenan, sedikit berpengauh di wilayah Mataram dan
Cakranegara. dengan dibangunnya sebuah HIS, beberapa buah volkschool dan
vervolgschool di tiap-tiap ibukota kedistrikan.
Jika sebelum kekuasaan Belanda datang di pulau Lombok ini hampir
seluruh orang Sasak maupun orang Hindu menumpu kehidupannya dari hasil
pertanian. Pada masa kedudukan Belanda hubungan dengan dunia luar cukup
baik, hal ini terbukti oleh adanya kedatangan bangsa-bangsa lainnya seperti Cina
dan Arab, berdatangan menginjak ke Pulau Lombok ini melalui pelabuhan
Ampenan. Dan akhirnya di kota Ampenan inilah mulai berkembang pusat
perdagangan sebagai benteng perekonomian bagi bangsa Belanda dan lambat laun
mengarah ke Mataram dan akhirnya ke Cakranegara.
Masa dari tahun 1945 sampai 1959. pada masa ini pergantian
kepemimpinan pemerintahan di pulau Lombok. Untuk Lombok timur oleh Mamiq
Padelah, Lombok tengah Lalu Srinata, dan Lombok barat I Gusti Ngurah berpusat
di Cakranegara. pada tahun 1950, masuk wilayah republik Indonesia dan
terbentuknya pemerintahan daerah tingkat I Nusa Tenggara Barat berpusat di
Mataram, tentang perpindahan ibukota pemerintahan ke wilayah Mataram tidak
dijelaskan secara rinci.
Masa dari tahun 1959 sampai 1965 (daerah tingkat II Lombok Barat
dengan bupati pertama Lalu Anggrat, BA). Pada masa ini pusat pemerintahan
tidak lagi di Cakranegara, melainkan di Mataram, oleh sebab itu kebijakan
pemerintah pada masa ini lebih banyak mengambil tindakan yang strategis dan
mendasar dibidang pemerintahan untuk kota Mataram khususnya, dan menghapus
struktur birokrasi pemerintahan wilayah kepunggawaan orang Bali,
(kepunggawaan Cakranegara) diganti dengan kedistrikan Cakranegara yang tidak
lagi khusus membawahi seluruh permukiman masyarakat Hindu-Bali. Kedudukan
kedistrikan Cakranegara disamakan dengan kedistrikan lainnya yang mempunyai
satu wilayah pemerintahan berdasarkan teritorial.
Masa dari tahun 1965 sampai 1972 (daerah tingkat II Lombok Barat
dengan bupati kedua Drs. Sa`id). Pada masa ini sistem pemerintahan kedistrikan
yang di bentuk oleh Lalu Angrat, BA dihapus karena mempunyai nuansa “negara
di dalam negara” dan diganti dengan pemerintahan Kecamatan.
Sejak dari tahun 1972 sampai sekarang, kota Cakranegara yang dahulunya
merupakan ibukota pemerintahan terbesar di pulau ini, kini berubah menjadi
sebuah kota kecamatan, di bawah kodya Mataram. Hal ini sedikit berpengaruh
terhadap penentuan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan
wilayahnya dan eksistensi komunitas Hindu Bali Lombok yang semula menjadi
kelompok yang dominan di wilayah tersebut. Komunitas ini tidak lagi menjadi
komunitas penguasa, melainkan berstatus sama dengan kelompok masyarakat lain
sebagai warga kota Mataram. Dengan perubahan tersebut, banyak kewenangan-
kewenangan penentuan kebijakan yang tidak lagi dapat dijalankan dan mereka
harus beradaptasi dengan keadaan sebagai salah satu bagian dari bentuk struktur
yang baru. Keadaan ini berimbas juga kepada masalah eksistensi tempat suci dan
situs-situs bersejarah yang semula adalah milik komunal komunitas Hindu Bali
Lombok di Cakranegara. Sebagai contoh adalah Taman Mayura yang semula
adalah taman milik kerajaan kemudian berubah fungsi menjadi taman publik yang
dikelola oleh Pemerintah Kota Mataram. Status ini terkadang mengabaikan
keberadaan Pura Klepug dan Pura Jagatnatha yang merupakan tempat suci bagi
komunitas Hindu Bali di Cakranegara. Terkadang mereka harus rela berbagi
tempat dengan anggota masyarakat lainnya yang mengadakan kegiatan lain pada
saat mereka sedang mengadakan kegiatan keagamaan. Peneliti menemukan pada
saat berlangsungnya akan diadakannyaUsaba Pura Meru tepatnya pada saat
melasti di Pura Klepug Mayura tanggal 11 Oktober 2011, kelompok masyarakat
lain mengadakan konser band Heavy Metal di lokasi yang bersebelahan.
4.3. Struktur Pura Meru
Simbolisme merupakan ciri-ciri universal yang hakiki dari semua
kebudayaan Agama. Peradaban tergantung pada kemampuan manusia untuk
menggunakan dan menciptakan simbol-simbol;….(Tatt, 1996:20). Demikian pula
dengan Pura Meru yang merupakan symbol yang diciptakan dalam tatanan
masyarakat Bali-Lombok sebagai indikasi kemajuan budayanya dan sekaligus
sebagai pengejawantahan dari makna-makna tertentu yang hendak disampaikan.
Bentuk esensial pura Bali modern dinilai oleh para ahli sebagai hasil karya
orisinal penduduk asli, dihitung dari masa kebudayaan neolitik manusia pelayar
Malayo-Polinesian, yang berimigrasi ke Bali dari daratan Asia Tenggara antara
tahun 2500 sampai 1000 Sebelum Masehi (Bandem dan deBoer, 2004:2).
Menurut ahli arkeologi Belanda, Stutterheim, pura-pura itu dikelilingi tembok
untuk memisahkan areal yang disucikan, dan terdapat sebidang pelataran yang
didasari dengan batu untuk menandai tempat tarian sakral di depan pelinggih,
tempat suci para dewa (Bandem dan deBoer, 2004:3). Pada dasarnya komunitas
Hindu Bali Lombok membangun pura dengan konsep yang sama dengan tanah
asalnya di Bali, hanya saja dapat ditemui beberapa perbedaan yang kemungkinan
besar terjadi karena adanya tuntutan untuk beradaptasi di lingkungan yang
berbeda dengan di Bali. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain dengan tidak
diadaptasinya konsep kahyangan tiga secara lengkap dan ditemuinya penataan
yang bersifat lebih inklusif atau terbuka bagi berbagai kalangan. Ciri inklusive
dalam masyarakat Hindu di Lombok diperkuat oleh suatu realitas bahwa
banyaknya tradisi ritus dan konstruksi Pura di Lombok yang mengawinkan
konsep Agama Hindu dengan paham agama lain.
Untuk menganalisis simbol yang ingin ditampilkan dengan keberadaan
Pura Meru Cakranegara, kita tidak bisa tidak harus menengok pada kosmologi
Hindu yang selalu dijadikan dasar oleh orang Hindu Bali dalam membangun
tempat suci. Kosmologi Hindu ini sangat berguna untuk dijadikan sebagai
panduan dalam menginterpretasi makna pembangunan tempat suci Hindu seperti
juga Pura.
Sedyawati (2007:60 ) meyatakan bahwa telah diketahui dari sumber-
sumber Jawa dan Bali bahwa candi atau pura dianggap tidak hanya penting
sebagai struktur visual dari alam semesta, tapi juga dianggap sebagai perwakilan
hidup dari kosmos (It is known from Javanese and Balinese data that temples
seem to be considered not only important as structural visual simbols of the
universe, but they are also regarded as a living presentation of cosmos).
Kosmos dalam Hindu terbagi secara vertical dan horizontal. Pembagian
secara vertical utamanya mengacu pada pembagian kosmos menjadi beberapa
loka dan patala. Umumnya, secara vertical kosmos dibagi menjadi Bhur Loka,
Bhuwah loka, dan Svah atau Svar loka. Beberapa sumber seperti Mahanirwana
Tantra (terjemahan Ketut Nila, 1997) menyebutkan ada tujuh bagian loka yaitu
dari atas ke bawah berturut-turut : Bhuh Loka (di bawah lengkung bumi) tempat
Neraka loka berada, Bhur Loka (lengkung bumi), Bhuwar Loka (dari atas
lengkung bumi sampai garis edar matahari, disebut juga antariksa yang
merupakan tempat tinggal para siddha dan dewayoni), Swah Loka (dari garis edar
matahari sampai garis edar bintang kutub) di sinilah letak Swarga loka, lalu
berturut-turut diatasnya adalah Satya Loka, Tapa Loka, dan Janar Loka yang
ketiganya disebut alam Mahar Loka. Ke arah bawah kosmos dibagi menjadi tujuh
bagian yaitu :Sutala, Witala, Tala-Tala, Mahatala, Rasatala, Atala, dan Patala
yang merupakan tempat hidup para naga. Di bagian terbawah sebagai penyangga
adalah Wisnu sebagai Sesa atau Ananta.
Secara horizontal, kosmos menurut Hindu dibagi menjadi delapan arah
angin yang dijaga oleh masing-masing dewa yang disebut astadikpala. Dengan
Siwa sebagai sumbu yang berada di tengah sehingga dewa-dewa itu berjumlah
sembilan, dikenal konsep Navasanga. Sedyawati (2007:58) menduga penempatan
dewa-dewa dalam konfigurasi ini dimaksudkan untuk menyimbolkan fungsi
kelompok dewa tersebut sebagai penjaga atau penyeimbang alam semesta (It may
then mean that the placement of the gods in such a configuration was meant to
symbolize the function of the group of gods as guardian and stabilizer of the
universe).
Struktur dan kultur ruang-hidup melalui internalisasi dan eksternalisasi
makna dan nilai-nilai arah penjuru angin, sebagaimana dipahami melalui
pengideran lebih lanjut melahirkan konsep natah (Triguna, dalam Anom, 2009:
v), atau halaman yang dalam pengertian ini bermakna lebih luas daripada
pengertian “halaman” dalam Bahasa Indonesia. Natah mencakup tidak hanya
ruang kosong yang tidak terisi bangunan namun juga termasuk pembagian-
pembagian ruang.
Konsep natah ini, lanjut Triguna, mewarisi pemahaman bahwa ruang
hidup itu bersifat sacral dan profane sehingga melahirkan rasa takut dan pesona
terhadap alam dan hal-hal fisikal lainnya yang kemudian berpengaruh terhadap
ideology dan world view orang Bali, yakni cara orang Bali menciptakan,
memandang dan memelihara dunia. Pada prinsipnya ideology dan pandangan-
dunia ini menjadi kerangka landasan bagi pembentukan pengetahuan, sikap, dan
perilaku orang Bali terhadap ruang-hidup.
Pura seperti halnya meru atau candi (dalam pengertian peninggalan
purbakala kini di Jawa) merupakan simbol dari kosmos atau alam surga
(kahyangan)….Surga merupakan tempat berkuasanya kekuatan-kekuatan tertinggi
yang mengatur alam dan kehidupan manusia. Surga atau kahyangan digambarkan
berada di puncak gunung Mahāmeru, oleh karena itu gambaran candi atau pura
merupakan replika dari gunung Mahāmeru tersebut (Titib, 2004:295).
Salah satu nosi India yang paling penting diadopsi oleh pemimpin-
pemimpin Asia Tenggara adalah konsep mandala yang diterjemahkan oleh
Wolters ke dalam lingkaran raja-raja (Wolters, dalam Nordholt, 2009:12).
Dalam usahanya mempersatukan berbagai dimensi system politik colonial
di Asia Tenggara ke dalam satu ‘totalitas’ konseptual, S.J Tambiah telah
menunjukkan bahwa pola dasar yang sama, yakni mandala, muncul berulang di
beberapa tataran; pola ini ditemukan dalam tataran kosmologi, geografi, politik,
pemerintahan, dan ekonomi (Nordholt, 2009:14).
Gambar 4. Pura Meru dan sanggar
Meru adalah salah satu jenis tempat pemujaan untuk Istadewata, bhatara-
bhatari yang melambangkan gunung Mahameru. Landasan filosofis dan meru
adalah berlatar belakang pada anggapan adanya gunung suci sebagai stana para
dewa dan roh suci leluhur. Untuk kepentingan pemujaan akhirnya gunung suci itu
dibuatkan berbentuk replika (tiruan) berbentuk bangunan yang dinamai candi,
prasada dan meru.
Pura Meru dibagi ke dalam tiga Mandala yaitu jaba sisi, jaba tengah, dan
jeroan Pura. Terminologi lain yang digunakan oleh masyarakat adalah dengan
penyebutan yang Nista Mandala, Madya Mandala, Utama Mandala. Nista
Mandala Pura Meru memiliki sedikit perbedaan dengan umumnya Pura yang
lain, pada bagian ini ada yang disebut dengan jaba pura yang tidak disekat oleh
tembok penyengker dengan nista mandala namun hanya diletakkan di dataran
yang lebih rendah.
Madya Mandala dipisahkan dengan nista mandala oleh tembok pembatas
dengan tiga pintu sebagai akses. Pintu yang paling besar terletak di tengah,
sedangkan pintu di sudut kiri dan kanan tembok berukuran lebih kecil. Pada
bagian ini hanya terdapat dua bale yang berfungsi sebagai tempat sangkep para
krama Pura Meru pada saat-saat tertentu. Dua bale ini mengapit pintu masuk
tengah yang berukuran paling besar dari madya ke utama mandala. Bangunan
bale ini dikenal dengan nama beruga sekutus (bale-bale dengan delapan pilar
penopang). Bangunan ini digunakan untuk mengadakan musyawarah.
"Yang dimusyawarahkan biasanya tentang pemeliharaan dan perbaikan pura." ( Wawancara dengan Putu Suasta, 11 Nopember 2011)
Memasuki area ketiga terdapat satu bangunan sederhana, dua buah beruga,
tiga pura utama, dan 29 buah sanggar. Bangunan yang sederhana itu berfungsi
untuk meletakkan gamelan saat sedang mengadakan perayaan keagamaan. Dua
buah beruga digunakan untuk pedande (pemuka agama) dan untuk meletakkan
sesajen. Pedande akan memimpin doa-doa saat perayaan keagamaan. Tiga puluh
tiga buah pura pemaksan masing-masing mewakili wilayah yang terdapat di
sekitar Cakranegara.
Kompleks Pura Meru terdiri dari Pura Brahma, Siwa dan Wisnu. Tiga pura
utama beratap susun 9 dan susun 11, untuk Pura Siwa. Setiap pura utama
mewakili gunung yang tertinggi dan disucikan dari tiga pulau. Pura Brahma
mewakili Gunung Agung di Bali, Pura Siwa mewakili Gunung Rinjani di
Lombok, dan Pura Wisnu mewakili Semeru di Jawa. Selain itu, saat perayaan
piodalan setiap pura akan dihias menggunakan kain ynag warnanya memiliki
makna. Pura Brahma menggunakan warna merah yang berarti api, simbol dari
umat hindu yang meninggal dunia lalu dikremasi menggunakan api dari Dewa
Brahma. Pura Siwa menggunakan kain warna putih yang berarti air yang
mensucikan, abu hasil kremasi akan dilarung ke laut. Pura Siwa juga memiliki
atap yang paling tinggi, ini mewakili wilayah Lombok bahkan dunia yang
sebagian besarnya merupakan laut. Pura Wisnu hitam yang berarti malam dan
kegelapan.
Seperti halnya madya mandala, utama mandala memiliki tiga akses
dengan pintu berukuran paling besar terletak di tengah dan di pojok kiri dan kanan
pintu yang lebih kecil. Utama Mandala memiliki satu akses lagi berupa pintu
berukuran kecil yang menuju ke area belakang Pura Meru. Di utama mandala
berdiri tiga buah Meru di kelilingi oleh 29 sanggar masing-masing 13 buah di
sebelah utara menghadap selatan dan 16 buah di belakang bangunan Meru di sisi
barat timur menghadap ke barat. Sanggar-sanggar inilah yang di-among oleh
umat Hindu Bali penduduk Cakranegara. Masing-masing sanggar merupakan
linggih bthara yang berbeda-beda yang di-sungsung oleh masing-masing wilayah.
Jro Mangku Drana menyatakan bahwa masing-masing wilayah menyungsung
bthara yang diperintahkan oleh Raja.
“Seperti saya dari Karang Sampalan. Penglingsir-penglingsir saya dahulu diperintahkan oleh Anak Agung untuk nyungsung bthara gunung agung. Ada yang diperintahkan untuk nyungsung bthara Basuki dan lain-lainnya. Pokoknya semua bthara yang ada di Bali, plus Bthara Gunung Rinjani.”(Wawancara dengan Jro Mangku Drana, 9 September 2011).
Dengan adanya perintah tersebut maka masing-masing pemaksan di
wilayah Cakranegara me-nyungsung satu atau bahkan dua bthara sesuai dengan
yang ditunjuk oleh Raja. Bthara-bthara inilah yang kemudian dikumpulkan setiap
acara pujawali Pura Meru pada hitungan purnama kapat setiap tahunnya.
Tiga buah Meru terdiri dari sebuah Meru ber-tumpang sebelas diapit oleh
dua buah Meru bertumpang Sembilan. Meru yang bertumpang sebelas adalah
milik raja Cakranegara, sedangkan dua buah Meru lainnya di-among oleh
keluarga patih dari Puri Kelodan dan warga brahmana. Keseluruhan bangunan
tersebut berjumlah 32 buah dilengkapi dengan sebuah sanggar agung sehingga
genap berjumlah 33. Angka 33 dalam kosmologi Hindu berkaitan dengan jumlah
dewa yang terdiri dari 11 Wasi, 11 Rudra, dan 11………………..(sumber)
4.4. Lokasi yang Berkaitan dengan Pura Meru
4.4.1. Pura Klepug Mayura
Gambar 4. Pancuran Kepala Naga di Pura Klepug Mayura
Taman Mayura yang dibangun oleh AA Gede Ngurah Karang Asem pada
1744. Taman memiliki kolam memesona yang mengelilingi sebuah istana megah
di tengah pulau. Taman ini awalnya disebut“Klepug” yang diambil dari suara
gemuruh “klepug-klepug” berasal dari mata air di kolam. Setelah renovasi tahun
1886, taman ini disebut Mayura, dari bahasa Sansekerta yaitu burung Merak.
Dikatakan bahwa, di sekitar kolam dulu terdapat banyak burung merak yang
berburu ular. Pengaruh Hindu dan Islam pada istana tersebut diilustrasikan dalam
bentuk patung-patung.
Pura Klepug terletak di dalam kompleks Taman Mayura Cakranegara di
tepi timur telaga besar. Pura ini memiliki sebuah gedong dengan atap ber-tumpang
tiga. Pura Klepug di lengkapi dengan 20 buah pancuran dengan motif naga yang
difungsikan sebagai tempat penyucian jempana sebelum acara pujawali di Pura
Meru. Jro Mangku Drana menengarai Pura Klepug sebagai pelinggih Dewa
Wisnu karena berhubungan dengan air (Wawancara dengan Jro Mangku Drana, 9
September 2011). Dalam simbol agama Hindu, naga diartikan
sebagai………………..
Pura Klepug juga dikunjungi terlebih dahulu untuk matur pioning tiga hari
sebelum dilaksanakannya pujawali di Pura Meru. Matur pioning dilaksanakan
oleh Pemangku dari salah satu Pengamong Sanggar yang dituakan disertai oleh
beberapa panitia pujawali. Matur pioning menurut informan Jro Mangku Drana
dimaksudkan untuk memberitahukan kepada Bthara yang melinggih di Pura
Klepug bahwa upacara Pujawali di Pura Meru akan segera dilaksanakan.
Sejak jaman dahulu, sumber mata air di Pura Klepug yang digunakan
untuk menyucikan jempana dialirkan langsung dari daerah Lingsar, tepatnya di
mata air Sarasuta yang oleh umat Hindu Bali di Lombok diyakini kesuciannya.
Selama beberapa tahun aliran air suci Lingsar ke Pura Klepug sempat terputus
karena salurannya dipotong oleh penduduk Dusun Onor Lingsar untuk memenuhi
kebutuhan airnya. Selama itu air untuk menyucikan jempana didapat dari sumur
bor yang dibangun di kompleks Mayura. Berkat adanya program revitalisasi
pengairan oleh Pemda NTB, saluran yang terputus dapat dikembalikan lagi seperti
semula sehingga sejak pujawali tahun 2011 jempana dapat disucikan kembali
dengan menggunakan air dari Lingsar. Keadaan ini tidak diketahui oleh
masyarakat Cakranegara secara luas, namun hanya diketahui oleh beberapa tokoh
saja yang tampaknya memandang masalah tersebut dapat menjadi pemicu konflik
antar agama sehingga dirahasiakan.
4.4.2. Pura Tangun Desa Pajang
Sesuai dengan namanya, masyarakat Cakranegara meyakini bahwa Pura
Tangun Desa adalah Pura yang terletak di wilayah terluar dari Cakranegara pada
masanya. Hal ini menjadi masuk akal karena bila dilihat dari posisinya Pura ini
terletak di sebelah Timur Kali Ning. Sungai atau gunung atau kontur geografis
lainnya seringkali digunakan sebagai batas teritorial dalam tata wilayah jaman
dahulu yang menekankan pada batas-batas geografis sebagai patokannya. Melihat
posisinya, kemungkinan besar Kali Ning adalah batas wilayah Kerajaan
Cakranegara dan Kerajaan Mataram.
4.4.3. Pura Segara Ampenan
Pura Segara terletak di tepi pantai Ampenan dekat dengan pelabuhan
Ampenan lama yang dahulunya merupakan pintu gerbang yang menghubungkan
Lombok dengan Bali. Dari Pura ini, pada waktu pandangan tidak terhalang oleh
mendung di cakrawala, dapat dilihat dengan jelas sosok Gunung Agung di
kejauhan sebagai Gunung yang disucikan oleh umat Hindu Bali.
Persembahyangan di Pura Segara dilakukan dalam rangka mendhak Ida
Bthara Kabeh yang diyakini rauh dari Bali ke Lombok. Hal ini merupakan
symbol bahwa umat Hindu Bali di Lombok tidak merupakan asal usulnya sebagai
orang Bali dan sebuah pengakuan bahwa agama atau pun budaya yang dimilikinya
berasal dari Bali. Persembahyangan ini dilakukan pada………………