66
BAB IV
EVALUASI PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 PADA PT. LJF
IV.1. Evaluasi atas PPh Pasal 4 ayat 2
Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Pajak Panghasilan menyebutkan bahwa atas
penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi
saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan berupa pengalihan atas tanah
dan/ atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, diatur dengan peraturan
pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1996 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2002 jo KMK Nomor: 120/KMK.03/2002.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2002 jo KMK Nomor:
120/KMK.03/2002, atas penghasilan berupa sewa atas tanah dan atau bangunan berupa
tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan,
atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan
bangunan industri dikenakan PPh yang bersifat final dengan tarif 10%.
Di dalam rincian biaya operasional yang terdapat dalam laporan laba rugi PT.
LJF terdapat biaya sewa gedung kantor sebesar Rp 9.999.996 yang merupakan obyek
PPh Pasal 4 ayat 2 karena biaya tersebut merupakan biaya sewa sehubungan dengan
penggunaan tanah dan/ atau bangunan. Tetapi atas sewa gedung kantor tersebut telah
dipotong PPh Pasal 4 ayat 2 pada saat dilakukan kontrak dan pembayaran sewa pada
bulan Maret 2004, yaitu sewa gedung kantor sebesar Rp 20.000.000 untuk jangka waktu
2 tahun/ 24 bulan (Maret 2004-Februari 2006). Jumlah Rp 9.999.996 yang ada pada
laporan laba rugi adalah pengakuan pemakaian uang muka sewa gedung kantor yang
67
sudah diakui sebagai beban selama tahun 2005, sehingga atas jumlah tersebut tidak
dilakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2.
Pada saat pembayaran sewa gedung kantor (Bulan Maret 2004), jurnalnya:
Sewa dibayar dimuka (uang muka sewa) 20.000.000
Hutang PPh Pasal 4 ayat 2 2.000.000
Bank 18.000.000
Pada saat pembayaran PPh Pasal 4 ayat 2 (paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya),
jurnalnya:
Hutang PPh Pasal 4 ayat 2 2.000.000
Bank 2.000.000
Pada tahun 2005, hanya mencatat uang muka sewa yang sudah terpakai dan diakui
sebagai biaya/ beban, sehingga tidak dilakukan lagi pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2.
Jurnalnya hanya:
Biaya sewa gedung kantor 9.999.996
Uang muka sewa gedung kantor 9.999.996
Sedangkan di dalam rincian harga pokok produksi terdapat biaya sewa lokasi
syuting sebesar Rp 788.960.500 yang belum dipotong PPh Pasal 4 ayat 2. Hal ini
disebabkan karena pemilik tempat tidak mau dipotong PPh Pasal 4 ayat 2 dan sebagian
besar sewa lokasi untuk syuting besarnya tidak terlalu material. Misalnya, hanya sewa
lokasi untuk tempat parkir pada saat syuting yang biaya sewanya tidak terlalu besar.
Karena banyak kasus seperti itulah maka jumlah biaya sewa lokasi syuting banyak yang
tidak dipotong PPh Pasal 4 ayat 2. Penyebab lain yaitu karena yang melakukan
pembayaran untuk sewa lokasi syuting biasanya tim produksi lapangan yang tidak
68
mengerti tentang pajak. Setelah biaya produksi harian dikeluarkan, barulah laporannya
diberikan ke bagian keuangan.
Atas permasalahan ini, penulis memberikan saran agar pimpinan tim produksi
sebaiknya dibekali pengetahuan tentang pajak sehingga dalam melakukan penawaran
kontrak sewa tempat/ lokasi syuting sudah memasukkan kewajiban pemotongan PPh
Pasal 4 ayat 2, atau memilih lokasi syuting yang dimiliki oleh PT, bukan perorangan,
sehingga pemiliknya mau dipotong PPh Pasal 4 ayat 2.
Tabel IV.1
Biaya sewa sehubungan dengan penggunaan tanah dan atau bangunan
Sebelum Evaluasi Setelah Evaluasi No Keterangan Jumlah Obyek Pajak (Rp)
Tarif
PPh yang
dipotong(Rp)
Jumlah Obyek Pajak (Rp)
Tarif
PPh yang dipotong
(Rp)
1 Sewa
Gedung
Kantor
9.999.996 10% 999.999 9.999.996 10% 999.999
(telah
dipotong
masa
Maret
2004)
2 Sewa
Lokasi
Syuting
778.960.500 10% - 778.960.500 10% 77.896.050
69
IV.2. Analisis Laporan Keuangan Dalam Kaitannya Dengan Kepatuhan
Perhitungan PPh Pasal 23 Pada PT. LJF
Dalam laporan keuangan perusahaan, penulis menganalisis dan menemukan
beberapa hal yang berkaitan dengan kepatuhan perhitungan PPh Pasal 23, yaitu:
1. Hutang lain-lain yang dimiliki perusahaan
Setelah penulis melakukan analisis dan wawancara kepada bagian akuntansi,
ditemukan fakta bahwa hutang lain-lain yang dimiliki perusahaan ternyata
merupakan hutang kepada pemilik atau pemegang saham. Menurut SE-005/92
Dirjen Pajak, ada beberapa kriteria mengenai hutang pemegang saham dalam
kaitannya dengan PPh Pasal 23, yaitu hutang kepada pemegang saham tidak
dikenakan PPh Pasal 23 jika:
• Perusahaan yang diberikan pinjaman oleh pemegang saham, dalam kondisi
keuangan yang sulit.
• Perusahaan yang diberikan pinjaman oleh pemegang saham, modal telah
seluruhnya disetor.
• Pemegang saham yang berbentuk badan hukum harus tidak dalam keadaan
merugi.
• Semua data didukung oleh bukti yang kuat.
Dan, menurut Surat Dirjen Pajak No. S-165/PJ.312/1992, pinjaman
perusahaan tanpa bunga dari pemegang sahamnya dapat dianggap wajar dan tidak
perlu dilakukan koreksi apabila:
• Pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham pemberi pinjaman itu
sendiri dan bukan berasal dari pihak lain.
70
• Modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman kepada
perusahaan penerima pinjaman telah disetor seluruhnya.
• Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi.
• Perusahaan penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk
kelangsungan usahanya.
Apabila salah satu dari ke empat unsur diatas tidak terpenuhi, maka atas
pinjaman tersebut dilakukan koreksi menjadi terutang bunga dengan tingkat bunga
wajar. Namun menurut Pengadilan Pajak, persyaratan untuk bisa diterimanya
pinjaman tanpa bunga sesuai S-165/PJ.312/1992 tidak dapat diterima. Jika memang
benar kenyataannya pinjaman tersebut tanpa bunga, maka tidak harus dikoreksi.
Pada PT. LJF, pinjaman dari pemilik atau pemegang saham memang tidak
dikenakan bunga dan dana pinjaman yang diberikan memang berasal dari pemilik
dan bukan berasal dari pihak lain, namun pada kenyataannya perusahaan tidak dalam
kondisi keuangan yang sulit sehingga tidak memenuhi salah satu syarat bahwa
pinjaman tersebut tidak dikenakan bunga. Oleh karena itu, seharusnya perusahaan
dikenakan bunga pinjaman menurut tingkat bunga yang wajar.
Ilustrasi perhitungannya:
Hutang lain-lain PT. LJF = Rp 200.000.000
Asumsi tingkat suku bunga pinjaman = 12% per tahun
Besarnya beban bunga pinjaman = Rp 24.000.000
PPh Pasal 23 yang harus dipotong = 15% x Rp 24.000.000
= Rp 3.600.000
71
2. Hutang Bank
Setelah penulis melakukan analisis laporan keuangan perusahaan, penulis
menemukan kemungkinan terdapatnya penyertaan modal secara terselubung dengan
menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai hutang. Dalam hal ini hutang kepada
bank yang diperkirakan berasal dari pemilik. Dalam arti, pemilik mungkin memiliki
deposito yang cukup besar pada bank yang bersangkutan dan deposito tersebut
dijadikan sebagai jaminan hutang bagi perusahaan (metode back to back). Penulis
mengambil kesimpulan ini karena beberapa penilaian, yaitu:
• Perusahaan tidak memiliki tanah dan bangunan kantor permanen, tetapi
perusahaan menyewa gedung kantor dari pihak lain.
• Perusahaan tidak memiliki asset lain yang dapat dijadikan jaminan dalam
memperoleh pinjaman dari bank, tetapi perusahaan mampu mendapatkan
pinjaman dari bank dalam jumlah yang cukup besar.
Berdasarkan kedua hal tersebut, penulis mencoba melakukan analisis dan
memberikan penilaian terhadap perilaku perusahaan dalam melaksanakan
kepatuhannya terhadap peraturan perpajakan yang berlaku.
Pihak fikus berwenang untuk menentukan hutang tersebut sebagai modal
perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasi mengenai
perbandingan antara modal dengan hutang yang lazim terjadi antara pihak yang tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasarkan data/indikasi lainnya.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila wajib pajak memiliki penyertaan modal
langsung atau tidak langsung sebesar 25 % atau lebih pada wajib pajak lain (dalam
hal ini, pemilik perusahaan jelas memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan
72
yang dimilikinya karena penyertaan modalnya lebih dari 25%). Dengan demikian,
bunga yang dibayarkan sehubungan dengan hutang yang dianggap sebagai
penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi
pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai dividen
yang dikenakan pajak.
Berdasarkan ketentuan diatas, apabila hutang bank tersebut memang benar
merupakan penyertaan modal terselubung dari pemilik perusahaan, maka perlakuan
perpajakan terhadap kasus pinjam meminjam antara perusahaan dengan pemiliknya
dalam hal pencatatannya pada buku besar adalah sebagai berikut:
• Bagi PT. LJF sebagai pihak yang meminjam, maka jurnal biaya bunga pinjaman
itu dicatat sebagai:
Biaya bunga pinjaman xxxx
Hutang kepada pemilik (85%) xxxx
Hutang PPh Pasal 23 (15%) xxxx
• Bagi pemilik perusahaan sebagai pihak yang meminjamkan uang, maka jurnal
dari perolehan bunga pinjaman itu adalah
Piutang bunga PT. LJF (85%) xxxx
Kredit pajak PPh Pasal 23 (15%) xxxx
Penghasilan bunga xxxx
Namun jika terdapat dokumen-dokumen yang menyatakan bahwa perusahaan
memang sedang mengalami kondisi keuangan yang sulit dan permohonan pinjaman
kepada bank telah ditolak akibat tidak dapat diajukan jaminan yang disyaratkan,
sehingga satu-satunya jalan untuk keluar dari kesulitan modal kerja itu ialah
73
memperolehnya dari pinjaman pemilik atau perusahaan induk (jika ada), maka
pinjaman modal kerja tersebut bukan merupakan modal kerja terselubung, dan bunga
pinjaman yang dibayar oleh perusahaan merupakan biaya yang diperbolehkan
sebagai pengurang penghasilan (deductible expense – pasal 6 UU No. 17 tahun
2000) dan tidak terkena pemotongan PPh Pasal 23 baik pada saat terhutangnya atau
dibayarkannya.
• Bagi perusahaan sebagai pihak yang meminjam, maka jurnal biaya bunga
pinjaman dicatat:
Biaya bunga pinjaman xxxx
Hutang kepada pemilik xxxx
• Bagi pemilik sebagai pihak yang meminjamkan uang, mencatat junal:
Piutang bunga pinjaman xxxx
Penghasilan bunga xxxx
Untuk menghindar dari koreksi fiskal yang dilakukan oleh fiskus dalam hal
“bunga pinjaman dalam hubungan istimewa”, wajib pajak badan / perusahaan induk
/ pemilik perusahaan biasanya mendepositokan uangnya ke suatu bank, dan wajib
pajak badan / perusahaan anak memperoleh pinjaman dari bank yang bersangkutan
dengan jaminan deposito tersebut. Karena antara bank dan perusahaan anak tersebut
tidak ada hubungan istimewa, maka dianggap bahwa pemeriksa pajak tidak akan
melakukan koreksi fiskal positif terhadap bunga pinjaman yang terutang.
74
IV.3. Evaluasi Atas Proses Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan
PajakPenghasilan Pasal 23
Untuk mengevaluasi proses pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal
23 pada PT. LJF, tahapan-tahapan yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi setiap pos-pos biaya yang menjadi objek PPh Pasal 23
Tujuan dari identifikasi ini adalah untuk mengelompokkan kembali isi dari setiap
pos biaya. Hal ini disebabkan karena isi dari pos-pos biaya tidak semuanya
merupakan obyek PPh Pasal 23, oleh karena itu harus ditelusuri ke dalam buku
besarnya. Pada tahapan ini penulis membuat kertas kerja pendukung untuk membuat
rincian dari pos-pos biaya tersebut.
Tabel IV.2
Identifikasi dari Setiap Pos Biaya Operasional
Pos-pos Biaya
Operasional
Sebelum
Evaluasi
(Rp)
Setelah
Evaluasi
(Rp)
Selisih
(Rp)
Keterangan Obyek /
Non
Obyek
PPh
Biaya Gaji &
THR
1.259.525.000 1.233.525.000 26.000.000 Biaya
Driver Fee
Obyek PPh
Pasal 23
Biaya Transport 464.000 464.000 - - Non Obyek
PPh
Biaya Entertaiment
54.129.598 54.129.598 - - Non Obyek
PPh
Biaya Iuran,Sumbangan
37.237.200 37.237.200 - - Non Obyek
PPh
75
Biaya Perizinan 24.065.000 24.065.000 - - Non Obyek
PPh
Biaya Bahan Bakar Kendaraan
13.393.170 13.393.170 - - Non Obyek
PPh
Biaya Konsultan 94.864.860 94.864.860 - Biaya
Konsultan
Obyek PPh
Pasal 23
Biaya Pos & Meterai
18.827.975 18.827.975 - - Non Obyek
PPh
Biaya Listrik 22.729.792 22.729.792 - - Non Obyek
PPh
Biaya Air 7.253.750 7.253.750 - - Non Obyek
PPh
Biaya Peny. Bangunan
7.222.950 7.222.950 - - Non Obyek
PPh
Biaya Peny. Peralatan Kantor
191.159.957 191.159.957 - - Non Obyek
PPh
Biaya Peny. Kendaraan Kantor
95.083.333 95.083.333 - - Non Obyek
PPh
Biaya Alat Tulis Kantor
22.433.459 22.433.459 - Non Obyek
PPh
Biaya Perlengkapan Kantor
21.048.425 21.048.425 - Non Obyek
PPh
Biaya Sparepart Kendaraan
9.601.200 6.720.800 2.880.400 Biaya Obyek PPh
76
Service
Kendaraan
Pasal 23
Biaya Perlengkapan Listrik
955.000 955.000 - - Non Obyek
PPh
Biaya Perlengkapan Komputer
8.581.800 6.007.300 2.574.500 Biaya
Service
Komputer
Obyek PPh
Pasal 23
Biaya Lain-lain Kantor
980.000 980.000 - - Non Obyek
PPh
Biaya Administrasi Bank
120.215.844 120.215.844 - - Non Obyek
PPh
Biaya Rumah Tangga
11.313.575 11.313.575 - - Non Obyek
PPh
Biaya Sewa Gedung Kantor
9.999.996 9.999.996 - - Obyek PPh
Pasal 4 (2)
Biaya Telepon & Internet
74.229.603 59.383.703 14.845.900 Biaya
Internet
Obyek PPh
Pasal 23
Biaya Fotocopy 611.500 611.500 - - Non Obyek
PPh
Biaya Percetakan 7.844.000 7.844.000 - - Non Obyek
PPh
Biaya Parkir & Tol
4.497.800 4.497.800 - - Non Obyek
PPh
77
Biaya Pengobatan
5.347.850 5.347.850 - - Non Obyek
PPh
Biaya Asuransi Kendaraan
17.381.332 17.381.332 - - Non Obyek
PPh
Biaya Perjalanan Dinas
11.265.800 11.265.800 - - Non Obyek
PPh
Biaya Iklan 64.350.000 51.480.000 12.870.000 Biaya
Perancangan
Iklan
Obyek PPh
Pasal 23
Biaya Keperluan Editing
2.696.500 2.696.500 - - Non Obyek
PPh
Biaya Pinjaman Bank
404.462.501 404.462.501 - - Non Obyek
PPh
Total 2.623.772.770 2.564.601.970 59.170.800 - -
Tabel IV.3
Identifikasi Biaya dari Harga Pokok Produksi
Pos-pos
Biaya
Dari Harga
Pokok
Produksi
Sebelum
Evaluasi
(Rp)
Setelah
Evaluasi
(Rp)
Selisih
(Rp)
Keterangan Obyek /
Non
Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Gaji, Upah, Bonus, Honor Kru & Artis
5.328.309.450 5.328.309.450 - Obyek PPh
Pasal 21
Non
Obyek
78
PPh Pasal
23
Biaya Editing (Sewa Ruang Editing)
442.255.320 142.255.320 300.000.000 Belum
Dipotong
Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Sewa Lighting Set
621.457.448 211.457.448 410.000.000 Belum
Dipotong
Obyek
PPh Pasal
23
Royalty Pemakaian Lagu
20.723.950 20.723.950 - - Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Sewa Alat Shooting
652.925.533 152.925.533 500.000.000 Belum
Dipotong
Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Sewa Audio, TV monitor
190.425.532 40.425.532 150.000.000 Belum
Dipotong
Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Sewa Baby Pod, Floid Headtry
67.819.149 7.819.149 60.000.000 Belum
Dipotong
Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Sewa Genset, Diesel
761.375.967 141.375.967 620.000.000 Belum
Dipotong
Obyek
PPh Pasal
23
79
Biaya Sewa Dedolight
35.711.064 35.711.064 - - Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Sewa Kamera, filter kamera
622.458.831 622.458.831 - - Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Sewa Kendaraan
30.275.259 14.175.259 16.100.000 Belum
Dipotong
Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Sewa Kinoflo
7.872.342 7.872.342 - - Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Sewa Lampu HMI
190.793.834 190.793.834 - - Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Sewa Lensa & Lensa Super Wide
37.588.303 37.588.303 - Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Sewa Metbox, Wearless
13.117.022 13.117.022 - Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Hunting Lokasi
998.992.500 998.992.500 - - Non
Obyek
80
PPh Pasal
23
Biaya Bensin/ Solar
3.688.775.000 3.688.775.000 - - Non
Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Fotocopy Skenario
952.500 952.500 - - Non
Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Telepon, Wartel, Handphone
11.252.000 11.252.000 - - Non
Obyek
PPh Pasal
23
Biaya keperluan pembantu umum
122.475.803 122.475.803 - - Non
Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Obat-obatan / PPPK
1.960.500 1.960.500 - - Non
Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Sewa Lokasi
778.960.500 778.960.500 - - Obyek
81
Syuting PPh Pasal
4 (2)
Biaya Pembelian Kaset Betacam
252.800.500 252.800.500 - - Non
Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Snack, Kopi, Teh, Gula
58.960.500 58.960.500 - - Non
Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Sewa Sound System
356.450.000 356.450.000 - - Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Pembelian Pita Film
897.652.000 897.652.000 - - Non
Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Pembelian Accu Light / Baterai
56.420.000 56.420.000 - - Non
Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Tol & Parkir
48.150.000 48.150.000 - - Non
Obyek
82
PPh Pasal
23
Biaya Alat Tulis
940.000 940.000 - - Non
Obyek
PPh Pasal
23
Sewa Kostum Pemain
1.150.980.000 1.150.980.000 - - Obyek
PPh Pasal
23
Biaya Promosi
1.240.300.000 1.240.300.000 - - Non
Obyek
PPh Pasal
23
Jasa Catering 2.219.823.000 2.219.823.000 - - Obyek
PPh Pasal
23
Total 20.898.953.807 18.842.853.807 2.056.100.000 - -
2. Mengadakan evaluasi pos-pos biaya yang merupakan obyek PPh Pasal 23 yang
sudah dipotong dan belum dipotong
Penulis mengelompokkan lagi setiap biaya yang merupakan obyek PPh Pasal 23 baik
dari rincian biaya operasional maupun dari rincian harga pokok produksi dan
83
menentukan besar tarif PPhnya untuk setiap biaya sehubungan dengan penggunaan
jasa yang dipotong PPh Pasal 23.
Tabel IV.4
Biaya yang merupakan Obyek PPh Pasal 23 dari Harga Pokok Produksi
Pos-pos
Biaya
Dari
Harga
Pokok
Produksi
Jumlah
Obyek Pajak
Sebelum
Evaluasi
(Rp)
Tarif PPh yang
telah
dipotong
(Rp)
Jumlah
Obyek Pajak
Setelah
Evaluasi
(Rp)
Selisih
(Rp)
Keterangan
Biaya Editing (Sewa Ruang Editing)
142.255.320 6% 8.535.319 442.255.320 300.000.000 Belum
Dipotong
Biaya Sewa Lighting Set
211.457.448 6% 12.687.447 621.457.448 410.000.000 Belum
dipotong
Royalty Pemakaian Lagu
20.723.950 15% 3.108.593 20.723.950 - -
Biaya Sewa Alat Shooting
152.925.533 6% 9.175.532 652.925.533 500.000.000 Belum
dipotong
Biaya Sewa Audio, TV monitor
40.425.532 6% 2.452.532 190.425.532 150.000.000 Belum
Dipotong
Biaya Sewa Baby Pod, Floid Headtry
7.819.149 6% 469.149 67.819.149 60.000.000 Belum
Dipotong
Biaya Sewa Genset, Diesel
141.375.967 6% 8.482.558 761.375.967 620.000.000 Belum
Dipotong
84
Biaya Sewa Dedolight
35.711.064 6% 2.142.664 35.711.064 - -
Biaya Sewa Kamera, filter kamera
622.458.831 6% 37.347.530 622.458.831 - -
Biaya Sewa Kendaraan
14.175.259 3% 425.258 30.275.259 16.100.000 Belum
Dipotong
Biaya Sewa Kinoflo
7.872.342 6% 472.341 7.872.342 - -
Biaya Sewa Lampu HMI
190.793.834 6% 11.447.630 190.793.834 - -
Biaya Sewa Lensa & Lensa Super Wide
37.588.303 6% 2.255.298 37.588.303 - -
Biaya Sewa Metbox, Wearless
13.117.022 6% 787.021 13.117.022 - -
Biaya Sewa Sound System
356.450.000 6% - 356.450.000 356.450.000 Belum
Dipotong
Sewa Kostum Pemain
1.150.980.000 6% - 1.150.980.000 1.150.980.000 Belum
Dipotong
Jasa Catering
2.219.823.000 1.5% - 2.219.823.000 2.219.823.000 Belum
Dipotong
Total 5.365.952.554 99.788.872 5.783.353.000 -
85
Tabel IV.5
Biaya yang Merupakan Obyek PPh Pasal 23 dari Rincian Biaya Operasional
Pos-pos
Biaya
Dari Biaya
Operasional
Jumlah
Obyek Pajak
Sebelum
Evaluasi
(Rp)
Tarif PPh yang
telah
dipotong
(Rp)
Jumlah
Obyek Pajak
Setelah
Evaluasi
(Rp)
Selisih
(Rp)
Keterangan
Jasa Service Kendaraan
- 6% - 2.880.400 2.880.400 Belum
Dipotong
Jasa Service Komputer
- 6% - 2.574.500 2.574.500 Belum
dipotong
Jasa Pemakaian Internet
- 6% - 14.845.900 14.845.900 Belum
Dipotong
Jasa Driver Fee
- 6% - 26.000.000 26.000.000 Belum
dipotong
Jasa Perancangan / Desain Iklan
- 6% - 12.870.000 12.870.000 Belum
Dipotong
Jasa Konsultan
94.864.860 7.5% 7.114.865 94.864.860 - Sudah
Dipotong
Total 94.864.860 7.114.865 154.035.660 59.170.800
86
Tabel IV.6
Pengelompokkan Biaya yang Telah Dipotong PPh Pasal 23
Akun-akun Biaya Jumlah
Obyek Pajak
(Rp)
Perkiraan
Penghasilan
Netto
Tarif
(%)
PPh yang
dipotong
(Rp)
Dari Rincian Biaya Operasional
Biaya Konsultan 94.864.860 50% 15% 7.114.865
Dari Rincian Harga Pokok Produksi
Biaya Editing 142.255.320 40% 15% 8.535.319
Biaya Sewa Lighting Set 211.457.448 40% 15% 12.687.447
Royalty Pemakaian Lagu 20.723.950 15% 3.108.593
Biaya Sewa Alat Shooting 152.925.533 40% 15% 9.175.532
Biaya Sewa Audio, TV monitor 40.425.532 40% 15% 2.425.532
Biaya Sewa Baby Pod, Floid Headtry 7.819.149 40% 15% 469.149
Biaya Sewa Genset 141.375.967 40% 15% 8.482.558
Biaya Sewa Dedolight 35.711.064 40% 15% 2.142.664
Biaya Sewa Kamera, filter kamera 622.458.831 40% 15% 37.347.530
Biaya Sewa Kendaraan 14.175.259 20% 15% 425.258
Biaya Sewa Kinoflo 7.872.342 40% 15% 472.341
Biaya Sewa Lampu HMI 190.793.834 40% 15% 11.447.630
Biaya Sewa Lensa & Lensa Super Wide
37.588.303 40% 15% 2.255.298
Biaya Sewa Metbox, Wearless 13.117.022 40% 15% 787.021
Total 1.733.564.414 - - 106.876.735
87
Tabel IV.7
Pengelompokkan Biaya yang Belum Dipotong PPh Pasal 23
Akun-akun Biaya Jumlah
Obyek Pajak
(Rp)
Perkiraan
Penghasilan
Netto
Tarif
PPh 23
PPh yang
harus
dipotong
(Rp)
Dari Rincian Biaya Operasional
Biaya Driver Fee 26.000.000 40% 15% 1.560.000
Jasa Service Komputer 2.574.500 40% 15% 154.470
Jasa Pemakaian Internet 14.845.900 40% 15% 890.754
Jasa Service Kendaraan 2.880.400 40% 15% 172.824
Jasa Perancangan / Desain Iklan 12.870.000 40% 15% 772.200
Dari Rincian Harga Pokok Produksi
Biaya Editing 300.000.000 40% 15% 18.000.000
Biaya Sewa Lighting Set 410.000.000 40% 15% 24.600.000
Biaya Sewa Alat Shooting 500.000.000 40% 15% 30.000.000
Biaya Sewa Audio, TV monitor 150.000.000 40% 15% 9.000.000
Biaya Sewa Baby Pod, Floid Headtry
60.000.000 40% 15% 3.600.000
Biaya Sewa Genset 620.000.000 40% 15% 37.200.000
Biaya Sewa Kendaraan 16.100.000 20% 15% 483.000
Biaya Sewa Sound System 356.450.000 40% 15% 21.387.000
Biaya Sewa Kostum Pemain 1.150.980.000 40% 15% 69.058.800
Biaya Jasa Catering 2.219.823.000 10% 15% 33.297.345
Dari Hutang Lain-lain
88
Beban Bunga Pinjaman 24.000.000 15% 3.600.000
Total PPh Pasal 23 yang Belum
Dipotong dan Disetor
5.866.523.800 - - 253.776.393
3. Memeriksa bukti pemotongan dan SSP atas PPh Pasal 23
Pada tahapan ini penulis melakukan pemeriksaan bukti potong PPh Pasal 23. Penulis
memeriksa apakah bukti potong yang dibuat sudah benar dengan melihat cara
pengisian bukti potong. Penulis juga mencocokkan nama, alamat, dan NPWP wajib
pajak yang dipotong PPh Pasal 23, jenis jasa yang dipotong PPh Pasal 23, tarifnya,
serta tanggal pembuatan bukti potong. Penulis menjabarkannya dengan membuat
rekapan atas bukti pemotongan dan SSP atas PPh Pasal 23 dalam kertas kerja
pendukung (Tabel IV.8).
Tabel IV.8
Rekap bukti potong PPh Pasal 23
Bulan Tanggal Bukti
Potong
Nomor Bukti Bukti Potong PPh Pasal 23
yang dipotong
(Rp)
Januari 31 Januari 2005 001/23/I/05 – 012/23/I/05 8.049.000
Februari 28 Februari 2005 013/23/II/05 - 024/23/II/05 5.535.600
Maret 31 Maret 2005 025/23/III/05 – 039/23/III/05
001/LJF/05
8.751.150
April 30 April 2005 040/23/IV/05 – 050/23/IV/05
002/LJF/05
5.746.618
89
Mei 31 Mei 2005 051/23/V/05 – 054/23/V/05
003/LJF/05 – 005/LJF/05
3.874.200
Juni 30 Juni 2005 055/23/VI/05 – 064/23/VI/05
006/LJF/05
5.527.000
Juli 31 Juli 2005 064//23/VII/05 –
079/23/VII/05 , 007/LJF/05
8.028.452
Agustus 31 Agustus 2005 080/23/VIII/05-
110/23/VIII/05, 008/LJF/05
11.212.535
September 30 September 2005 111/23/IX/05 – 134/23/IX/05
009/LJF/05
12.369.722
Oktober 31 Oktober 2005 135/23/X/05 – 170/23/X/05
010/LJF/05
20.832.462
November 30 November 2005 171/23/XI/05 – 186/23/XI/05
011/LJF/05
7.761.662
Desember 31 Desember 2005 187/23/XII/05 –
200/23/XII/05, 012/LJF/05 –
013/LJF/05
9.188.334
Total 106.876.735
4. Membuat kertas kerja pada setiap masalah yang ditemukan, khususnya pada pos-pos
biaya untuk membandingkan PPh Pasal 23 yang telah disetor oleh perusahaan
dengan PPh Pasal 23 yang terutang setelah dilakukan evaluasi oleh penulis.
90
5. Memeriksa tanggal pada surat setoran pajak (SSP) atas PPh Pasal 23 dibandingkan
dengan bukti potongnya.
Pengecekkan ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah pajak yang terutang pada
suatu masa pajak telah disetor ke kas Negara paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya.
6. Pemeriksaan Bukti Penerimaan Surat, Surat Setoran Pajak dan SPT Masa PPh Pasal
23.
Pengecekkan ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah PPh Pasal 23 yang terutang
pada suatu masa pajak telah disetorkan dan dilaporkan tepat waktu ke Kantor
Pelayanan Pajak.
Dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan, penulis menemukan
informasi tambahan dalam kaitannya dengan pemotongan, penyetoran dan pelaporan
Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah:
1. Pada rincian biaya operasional perusahaan, terdapat biaya perbaikan dan
pemeliharaan yang meliputi akun-akun biaya sebagai berikut:
Tabel IV.9
Jasa yang Digunakan Dehubungan dengan Biaya Perbaikan dan Pemeliharaan
No. Keterangan Jumlah
(Rp)
Perkiraan
Penghasilan
Netto
Tarif PPh
Pasal 23
1. Biaya Service Komputer 2.574.500 40% 15%
91
yang termasuk dalam jasa
perawatan / pemeliharaan /
perbaikan mesin dan
peralatan
2. Biaya Service Kendaraan
yang termasuk dalam jasa
perawatan / pemeliharaan /
perbaikan alat-alat
transportasi
2.880.400 40% 15%
2. Pada rincian biaya operasional perusahaan, terdapat biaya jasa professional.
Tabel IV.10
Jasa yang Digunakan Sehubungan dengan Biaya Jasa Professional
No. Keterangan Jumlah
(Rp)
Perkiraan
Penghasilan
Netto
Tarif PPh
Pasal 23
1. Biaya konsultan yang
termasuk dalam jasa
akuntan dan pembukuan.
94.864.860 50% 15%
3. Pada rincian biaya operasional perusahaan, terdapat biaya-biaya sehubungan dengan
penggunaan jasa-jasa lain yang termasuk dalam obyek PPh Pasal 23.
92
Tabel IV.11
Biaya-biaya Sehubungan dengan Jasa-jasa Lain yang Digunakan oleh Perusahaan
No. Keterangan Jumlah
(Rp)
Perkiraan
Penghasilan
Netto
Tarif PPh
Pasal 23
1. Biaya Driver Fee yang
termasuk dalam jasa
rekruitmen / penyedia
tenaga kerja
26.000.000 40% 15%
2. Biaya Internet yang
termasuk jasa pemanfaatan
di bidang teknologi
informasi.
14.845.900 40% 15%
3. Biaya perancangan / desain
iklan yang termasuk dalam
jasa perancang / desain
12.870.000 40% 15%
Dari hasil penelitian yang dilakukan, penulis menemukan beberapa permasalahan
dalam perusahaan dalam kaitannya dengan pemotongan, penyetoran dan pelaporan
Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah:
1. Adanya biaya-biaya yang seharusnya merupakan obyek PPh Pasal 23 dan dipotong
PPh Pasal 23 tetapi dalam kenyataannya tidak dipotong PPh Pasal 23.
93
Setelah penulis melakukan evaluasi terhadap biaya-biaya operasional dan
rincian harga pokok produksi yang terdapat dalam laporan laba rugi perusahaan,
penulis menemukan adanya biaya-biaya yang merupakan objek PPh Pasal 23 yang
tidak dipotong PPh Pasal 23. Hal tersebut terjadi karena bagian keuangan dan bagian
akuntansi dalam PT. LJF kurang teliti dalam mengidentifikasi apakah suatu biaya
merupakan objek PPh Pasal 23 atau bukan. Biaya-biaya yang berasal dari biaya
operasional tersebut adalah:
a) Biaya Driver Fee
Biaya driver fee adalah pembayaran kepada jasa penyedia tenaga kerja (PT. Duta
Mitra Solusindo) dalam hal penyediaan tenaga driver untuk PT.LJF. Atas jasa
tersebut dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 6%, tetapi perusahaan belum
melakukan pemotongan atas jasa tersebut.
b) Biaya Service Kendaraan
Biaya sevice kendaraan merupakan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk
perbaikan dan pemeliharaan kendaraan yang dimiliki perusahaan. Biaya ini
awalnya masuk dalam biaya sparepart kendaraan karena bagian keuangan tidak
meneliti terlebih dahulu ketika melakukan pembayaran atas biaya tersebut
sehingga tidak mengetahui bahwa di dalam biaya penggantian sparepart
kendaraan terdapat biaya pemasangan sparepart dan service kendaraan. Atas
jasa tersebut seharusnya dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif sebesar 6%, tetapi
perusahaan belum melakukan pemotongan atas pembayaran jasa tersebut.
c) Biaya Service Komputer
Biaya sevice komputer merupakan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk
perbaikan dan pemeliharaan komputer. Biaya ini awalnya masuk dalam biaya
94
pelengkapan komputer. Setelah diteliti ternyata di dalam biaya tersebut terdapat
biaya service komputer yang di invoice-nya tergabung dengan pembelian
perlengkapan komputer lainnya. Atas jasa tersebut seharusnya dikenakan PPh
Pasal 23 dengan tarif sebesar 6%, tetapi perusahaan belum melakukan
pemotongan atas pembayaran jasa tersebut.
d) Biaya Internet
Biaya tersebut merupakan biaya berlangganan internet yang seharusnya
dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif sebesar 6%. Namun karena bagian
keuangan dalam perusahaan tidak mngetahui bahwa biaya tersebut dikenakan
PPh Pasal 23, maka perusahaan belum melakukan pemotongan atas pembayaran
jasa tersebut.
e) Biaya Perancangan / Desain Iklan
Biaya perancangan / desain iklan merupakan biaya perancangan iklan film yang
dimuat di media cetak. Atas jasa tersebut seharusnya dikenakan PPh Pasal 23
dengan tarif sebesar 6%, tetapi perusahaan belum melakukan pemotongan atas
pembayaran jasa tersebut.
Penyebab dari permasalahan diatas adalah karena bagian keuanngan serta
bagian akuntansi dan pajak dalam perusahaan tidak mengetahui bahwa di dalam
biaya operasional peusahaan terdapat biaya driver fee, biaya service kendaraan,
biaya service computer, biaya internet, dan biaya perancangan / desain iklan. Mereka
tidak mengidentifikasikan dengan benar bahwa biaya-biaya tersebut termasuk dalam
obyek PPh Pasal 23. Mereka juga tidak mendapatkan informasi mengenai peraturan-
peraturan perpajakan yang baru dan kurang memahami isi dari peraturan-peraturan
tersebut sehingga tidak tahu biaya-biaya apa saja yang harus dipotong PPh Pasal 23.
95
Hal ini mengakibatkan biaya-biaya tersebut diatas tidak dikenakan
pemotongan PPh Pasal 23 sehingga jumlah PPh Pasal 23 yang telah disetorkan
selama tahun 2005 lebih kecil dari jumlah PPh Pasal 23 yang seharusnya terutang.
Atas kewajiban pajak yang tidak dipotong dan disetorkan ini, apabila dilakukan
pemeriksaan oleh fiskus maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar 2% per
bulan maksimal 24 bulan terhitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan
tanggal diterbitkannya Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar.
Atas pemasalahan yang ada, penulis merekomendasikan agar bagian
keuangan serta bagian akuntansi dan pajak pada PT. LJF lebih teliti dalam
mengidentifikasi dan mengelompokkan biaya-biaya yang termasuk dalam obyek PPh
Pasal 23. Selain itu, harus selalu meng-update pengetahuan mereka mengenai
peraturan-peraturan perpajakan yang terbaru serta memahami isi dari peraturan-
peraturan tersebut sehingga bagian keuangan serta bagian akunatansi dan pajak tidak
hanya tahu peraturan, tetapi juga dapat menerapkan peraturan pajak tersebut dengan
benar sehingga PT. LJF dapat memenuhi kewjiban pajaknya dengan baik. Dari pihak
perusahaan sendiri, PT. LJF harus memperbaiki SPTnya dan membuat SPT
pembetulan.
Menurut UU No. 16 tahun 2000, pasal 8 ayat 1, “wajib pajak dapat
membetulkan SPT yang telah dilapor dengan menyampaikan pernyataan tertulis
dalam jangka waktu 2 tahun sesudah berakhirnya masa pajak atau tahun pajak
dengan syarat belum dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat Jendral Pajak.” Dan,
dalam hal wajib pajak membetulkan sendiri SPT-nya yang mengakibatkan utang
pajak menjadi lebih besar, maka dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% per
bulan atas jumlah pajak yang kurang bayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT
96
sampai dengan tanggal pembayaran karena SPT pembetulan tersebut (UU No. 16
tahun 2000 pasal 8 ayat 2).
Di bawah ini merupakan perhitungan PPh Pasal 23 terhadap biaya-biaya
sehubungan dengan penggunaan jasa rekruitmen / penyedia tenaga kerja, jasa service
kendaraan, jasa service komputer, jasa pemakaian internet, dan jasa perancangan/
desain iklan.
Tabel IV.12
Perhitungan PPh Pasal 23 atas Jasa yang Belum Dilakukan Pemotongan dari Rincian
Biaya Operasional
Jenis Jasa Jumlah
(Rp)
Perkiraan
Penghasilan
Netto
Tarif PPh
Pasal 23
PPh Terutang
Sebelum Setelah Evaluasi Evaluasi
Jasa Service
Kendaraan
2.880.400 40% 15% - 172.824
Jasa Service
Komputer
2.574.500 40% 15% - 154.470
Jasa Pemakaian
Internet
14.845.900 40% 15% - 890.754
Jasa Driver Fee 26.000.000 40% 15% - 1.560.000
Jasa Perancangan
/ Desain Iklan
12.870.000 40% 15% - 772.200
Total 59.170.800 - 3.550.248
97
Biaya-biaya yang berasal dari rincian harga pokok produksi yang juga belum
dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 adalah:
a) Biaya Sewa Sound System
Adalah biaya sewa sound system untuk syuting di lapangan. Biaya ini seharusnya
dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 6%. Namun karena kelalaian dan
ketidakmengertian tim produksi lapangan untuk memotong PPh Pasal 23 atas biaya
sewa tersebut maka biaya tersebut belum dilakukan pemotongan. Penyebab lain
yaitu karena pembayarannya dilakukan secara langsung dan tidak ada kontrak
perjanjiannya sehingga bagian keuangan juga tidak dapat mengontrol pengeluaran
biaya tersebut dan melakukan pemotongan PPh Pasal 23.
b) Biaya Sewa Kostum Pemain
Adalah biaya sewa kostum pemain pada saat syuting di lapangan yang terdiri dari
sewa kostum artis dan figuran. Biaya ini seharusnya dipotong PPh Pasal 23 dengan
tarif 6%. Namun karena kelalaian dan ketidakmengertian tim produksi lapangan
untuk memotong PPh Pasal 23 atas biaya sewa tersebut maka biaya tersebut belum
dilakukan pemotongan. Penyebab lain yaitu karena pembayarannya dilakukan secara
langsung dan tidak ada kontrak perjanjiannya sehingga bagian keuangan juga tidak
dapat mengontrol pengeluaran biaya tersebut dan melakukan pemotongan PPh Pasal
23.
c) Biaya Jasa Catering
Adalah biaya makan kru dan artis pada saat syuting. Tim produksi menggunakan
jasa catering untuk penyediaan makanan untuk kru dan artis serta untuk keperluan
syuting. Misalnya, di dalam sinetron / film terdapat adegan makan atau minum.
Biaya ini seharusnya dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 1.5%. Namun karena
98
kelalaian dan ketidakmengertian tim produksi lapangan untuk memotong PPh Pasal
23 atas biaya sewa tersebut maka biaya tersebut belum dilakukan pemotongan.
Penyebab lain yaitu karena pembayarannya dilakukan secara langsung dan tidak ada
kontrak perjanjiannya sehingga bagian keuangan juga tidak dapat mengontrol
pengeluaran biaya tersebut dan melakukan pemotongan PPh Pasal 23.
Tabel IV.13
Perhitungan PPh Pasal 23 atas Jasa yang Belum Dilakukan Pemotong dari Rincian HPP
Jenis Jasa Jumlah
(Rp)
Perkiraan
Penghasilan
Tarif PPh
Pasal 23
PPh Terutang
Sebelum Setelah
Jasa Sewa Sound
System
356.450.000 40% 15% - 21.387.000
Jasa Sewa
Kostum Pemain
1.150.980.000 40% 15% - 69.058.800
Jasa Catering 2.219.823.000 10% 15% - 33.297.345
Total 3.727.253.000 123.743.145
2. Adanya hutang PPh Pasal 23 yang belum disetorkan ke kas Negara dalam jumlah
yang cukup material.
Kondisi yang ada di perusahaan sekarang yaitu terdapat PPh Pasal 23 yang
belum disetorkan ke kas Negara walaupun masa penyetoran pajak telah lewat.
Berdasarkan hasil evaluasi yang penulis lakukan dengan membandingkan jumlah
PPh Pasal 23 yang seharusnya disetor dengan PPh Pasal 23 yang telah disetor oleh
perusahaan, maka di dapat kewajiban PPh Pasal 23 yang belum disetor sebesar Rp
99
253.776.393 Jumlah ini berasal dari biaya-biaya operasional perusahaan dan biaya
dari rincian harga pokok produksi yang seharusnya dipotong PPh Pasal 23 namun
belum dipotong PPh Pasal 23, sehingga atas kalalaian tersebut menyebabkan
perusahaan memiliki hutang PPh Pasal 23.
Disamping itu juga masih ada biaya-biaya yang termasuk dalam harga pokok
produksi film yang tidak dipotong PPh Pasal 23. Hal ini disebabkan karena bagian
produksi lapangan kurang mengerti tentang perpajakan dan tidak adanya kontrak
sewa menyewa yang menyatakan adanya pemotongan PPh Pasal 23. Contoh kasus
yang terjadi dalam PT. LJF, bagian produksi lapangan diberi uang oleh bagian
keuangan untuk melakukan produksi harian (syuting), dan pada saat pelaksanaan
syuting tersebut, bagian produksi lapangan menyewa kendaraan (truk) untuk
mengangkut peralatan ke lokasi syuting. Atas transaksi sewa menyewa tersebut,
pembayarannya langsung dilakukan pada saat itu juga dan tidak dilakukan
pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif sebesar 3%. Tim produksi lapangan hanya
memasukkan biaya sewa truk tersebut sebagai biaya transport dan mencatatnya
dalam form biaya harian. Demikian pula untuk biaya sewa sound system, sewa
kostum pemain, dan lain-lain yang belum dipotong PPh Pasal 23.
Berdasarkan UU No. 17 tahun 2000, atas setiap PPh Pasal 23 yang terutang
pada suatu masa pajak harus disetorkan ke kas Negara paling lambat tanggal 10
setelah masa terutangnya pajak tersebut.
Penyebabnya yaitu yang pertama, karena bagian keuangan serta bagian
akuntansi dan pajak dalam perusahaan tidak mengetahui bahwa ada biaya-biaya
yang merupakan obyek PPh Pasal 23 namun tidak dipotong PPh Pasal 23, yang
kedua, karena ada kemungkinan bahwa tidak semua supplier mau dipotong PPh
100
Pasal 23 dengan alasan pemotongan pajak tersebut akan mengurangi penghasilan
mereka sehingga dalam negosiasi biasanya mereka akan mengajukan harga netto,
dan yang ketiga, transaksi yang merupakan objek PPh Pasal 23 dapat dilakukan oleh
bagian manapun di perusahaan, khususnya bagian produksi yang berkaitan dengan
biaya-biaya yang termasuk dalam harga pokok produksi film sehingga seringkali
dalam negosiasi mengabaikan adanya pemotongan PPh Pasal 23 walaupun
merupakan objek PPh Pasal 23. Dengan banyaknya pembayaran yang tidak
dilakukan pemotongan pajak penghasilan, maka banyak PPh Pasal 23 yang tidak
disetor ke kas Negara. Hal ini juga disebabkan karena perusahaan tidak pernah
melakukan pengecekkan ke biayanya karena belum adanya suatu metode yang tepat.
Hutang pajak yang tidak disetorkan tersebut mengakibatkan denda
administrasi berupa bunga 2% sebulan yang harus dibayar oleh perusahaan pada saat
pemeriksaan pajak dengan menerbitkan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar).
Atas permasalahan yang ada maka penulis memberikan rekomendasi suatu
format rekonsiliasi untuk mengecek PPh Pasal 23 yang terutang setiap bulan,
sehingga PPh Pasal 23 yang disetorkan tidak hanya atas PPh yang telah dilakukan
pemotongan dan pemungutan tetapi atas PPh Pasal 23 yang terutang secara
keseluruhan.
3. Dalam surat perjanjian kerja sama tidak memasukkan kewajiban PPh Pasal 23.
Setelah penulis mengadakan pengecekkan terhadap dokumen perjanjian
kerjasama maka ditemui kondisi perusahaan yang ada sekarang tidak memasukkan
kewajiban PPh Pasal 23 pada kontrak kerja tersebut. Dalam surat perjanjian
101
kerjasama atau sewa menyewa tersebut hanya terdapat jangka waktu sewa, jenis
barang yang disewa, pihak-pihak yang menyewa dan jumlah sewa yang harus
dibayar.
Kriteria yang seharusnya adalah apabila suatu transaksi merupakan objek
PPh Pasal 23, maka dalam kontrak kerjasama harus disebutkan agar pada saat
pembayaran, pihak penerima penghasilan bersedia untuk dipotong PPh Pasal 23.
Penyebabnya yaitu banyak perusahaan pemberi jasa yang tidak mau
penghasilannya dipotong PPh Pasal 23. Contohnya, di PT. LJF sebagian besar pihak
pemberi jasa merupakan orang pribadi yang tidak mengerti pajak sehingga mereka
tidak mau dipotong PPh Pasal 23 (misal: sewa truk pengangkut alat-alat syuting,
sewa lampu,dll). Penyebab lain yaitu transaksi dalam perusahaan dapat dilakukan
oleh bagian manapun dalam organisasi sehingga mereka tidak mengetahui bahwa
transaksi tersebut merupakan obyek PPh Pasal 23. Khususnya bagian produksi film
yang berada di lapangan. Ketika mereka membutuhkan truk pengangkut untuk
mengangkut alat-alat shooting, mereka akan langsung menyewa tanpa adanya
perjanjian sewa menyewa yang memasukkan kewajiban pemotongan PPh Pasal 23
atas penghasilan yang diterimanya.
Hal tersebut mengakibatkan bagian keuangan dalam perusahaan
membayarkan tagihan tanpa pemotongan PPh Pasal 23 sehingga mengakibatkan
kewajiban PPh Pasal 23 tidak disetorkan ke kas Negara. Atas kewajiban pajak yang
tidak disetor ini, pada saat pemeriksaan pajak akan diterbitkan surat ketetapan pajak
kurang bayar (SKPKB) ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar
2% per bulan maksimal 24 bulan. Hal ini akan sangat merugikan perusahaan sebagai
akibat dari tidak melakukan kewajiban PPh Pasal 23 ini.
102
Sehubungan dengan permasalahan ini maka penulis akan memberikan
rekomendasi yaitu perusahaan harus membuat suatu prosedur kerja yaitu sebelum
menandatangani perjanjian kerjasama maka terlebih dahulu suatu departemen /
bagian harus mengkonfirmasi hal tersebut ke bagian akuntansi dan pajak untuk
mengidentifikasikan apakah transaksi yang akan dilakukan dengan surat perjanjian
kerjasama tersebut merupakan obyek PPh Pasal 23. Apabila perusahaan pemberi jasa
tidak mau penghasilannya dipotong PPh Pasal 23 maka perusahaan harus membuat
kesepakatan dengan pihak pemberi jasa untuk menggross-up nilai transaksinya.
Dengan metode gross-up ini, penghasilan pihak pemberi jasa / supplier tidak
berkurang dan perusahaan tidak harus menanggung PPh Pasal 23 tersebut. Hal ini
disebabkan karena PPh Pasal 23 tersebut dapat dibiayakan.
Metode groos-up adalah metode yang menaikkan jumlah / harga transaksi
sebesar jumlah pajak yang harus dipotong dari transaksi tersebut.
Rumusnya adalah : Jumlah nilai transaksi
(100% - tarif PPh Pasal 23)
Contoh : Nilai transaksi Rp 5.000.000,00, tarif PPh Pasal 23 7.5%, maka nilai setelah
di gross-up adalah Rp 5.000.000,00 = Rp 5.405.405,41
(100% - 7.5%)
Metode ini merupakan salah satu cara yang diterapkan oleh PT. LJF sebagai
cara alternatif apabila ada supplier yang tidak mau penghasilannya dipotong PPh
Pasal 23. PT. LJF telah menerapkan metode gross-up dalam transaksi-transaksinya
103
yang berhubungan dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 23 sehingga PT.
LJF dapat melakukan penghematan pajak.
Berikut ini adalah perbandingan dari perhitungan biaya-biaya operasional
dan biaya-biaya yang berhubungan dengan harga pokok produksi apabila PT. LJF
melakukan metode gross-up dan tidak melakukan metode gross-up.
Tabel IV.14
Perbandingan Biaya Sebelum dan Setelah di Gross-up
No Jenis Biaya Jumlah sebelum di
Gross up
Jumlah setelah di
Gross up
Dari Biaya Operasional
Perusahaan
1. Biaya Konsultan Rp 87.750.000,00 Rp 94.864.860,00
2. Biaya Service Kendaraan Rp 2.707.576,00 Rp 2.880.400,00
3. Biaya Service Komputer Rp 2.420.030,00 Rp 2.574.500,00
4. Biaya Internet Rp 13.955.146,00 Rp 14.845.900,00
5. Biaya Driver Fee Rp 24.440.000,00 Rp 26.000.000,00
6. Biaya Perancang Iklan Rp 12.097.800,00 Rp 12.870.000,00
Dari Rincian Harga Pokok
Produksi
1. Biaya Editing Rp 133.720.000,00 Rp 142.255.320,00
2. Sewa Lighting Set Rp 198.770.000,00 Rp 211.457.448,00
3. Royalty Pemakaian Lagu Rp 17.615.350,00 Rp 20.723.950,00
4. Sewa Alat Shooting Rp 143.750.000,00 Rp 152.925.533,00
104
5. Sewa Audio,tv monitor Rp 38.000.000,00 Rp 40.425.532,00
6. Sewa Baby Pod, Floid Headtry Rp 7.350.000,00 Rp 7.819.149,00
7. Sewa Genset Rp 132.893.400,00 Rp 141.375.967,00
8. Sewa Dedolight Rp 33.568.400,00 Rp 35.711.064,00
9. Sewa Kendaraan Rp 13.750.000,00 Rp 14.175.259,00
10. Sewa Kinoflo Rp 7.400.000,00 Rp 7.872.342,00
11. Sewa Lampu HMI Rp 179.346.200,00 Rp 190.793.834,00
12. Sewa Lensa dan lensa super wide Rp 35.333.000,00 Rp 37.588.303,00
13. Sewa Metbox, wearless Rp 12.330.000,00 Rp 13.117.022,00
14. Sewa Kamera, filter kamera Rp 585.111.300,00 Rp 622.458.831,00
Total Keseluruhan Rp1.648.739.802,00 Rp1.792.735.214,00
Setelah dilakukan perhitungan, maka terdapat selisih sebesar Rp 143.995.412
(Rp 1.792.735.214 – Rp 1.648.739.802). Selisih tersebut merupakan beban yang
dapat dibiayakan sehingga PT. LJF dapat melakukan penghematan pajak dalam
menghitung PPh Pasal 29-nya.
4. Adanya pemotongan PPh Pasal 23 dengan dasar dan tarif PPh Pasal 23 yang tidak
tepat.
Berdasarkan pengecekkan ke dokumen perusahaan yaitu bukti pemotongan
PPh Pasal 23 ditemukan adanya pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif dan dasar
pemotongan yang tidak tepat. Contohnya, untuk sewa yang berhubungan dengan
penggunaan harta dan sewa kendaraan. Pada PT. LJF ditemukan adanya biaya sewa
105
kendaraan yang pembayarannya disatukan dengan sewa alat shooting. Karena
suppliernya adalah satu pihak yang sama, maka supplier tersebut hanya menerbitkan
satu invoice untuk dua pembayaran jasa yang berbeda. Untuk sewa alat dan sewa
kendaraan, jumlahnya langsung digabung dan tidak dirinci sehingga bagian
akuntansi pada PT. LJF langsung menerbitkan bukti potong PPh Pasal 23 dengan
memasukkan jumlah pembayaran tersebut ke dalam kategori sewa yang sehubungan
dengan penggunaan harta dengan tarif 6%. Hal ini tentu merugikan bagi pihak
supplier karena PT. LJF memotong PPh Pasal 23 terlalu besar. Seharusnya untuk
sewa kendaraan, tarif PPh Pasal 23 adalah 3%. Namun ini bukan mutlak kesalahan
perusahaan (PT. LJF) karena supplier tidak merinci jumlah pembayaran untuk dua
jenis jasa yang dikenakan dua tarif yang berbeda.
Hal dan kriteria yang harus diperhatikan dalam melakukan pemotongan dan
pemungutan PPh Pasal 23 adalah harus sesuai dengan ketentuan UU No.17 tahun
2000 pasal 23. Sebelum melakukan pemotongan PPh Pasal 23 , terlebih dahulu harus
diidentifikasi obyek PPh Pasal 23 tersebut. Apakah objek pajak tersebut merupakan
ojek PPh Pasal 23, termasuk jenis jasa apa serta berapa tarifnya.
Terjadinya kesalahan dalam penetapan dasar dan tarif pemotongan PPh Pasal
23 disebabkan identifikasi obyek PPh Pasal 23 tidak berdasarkan peraturan
perpajakan yang terbaru dan keteledoran dari supplier maupun pihak perusahaan.
Akibat yang ditimbulkan dari permasalahan tersebut yaitu terjadinya kurang /
lebih pemotongan PPh Pasal 23. Kelebihan pemotongan PPh Pasal 23 menyebabkan
kerugian bagi wajib pajak, sedangkan kekurangan pemotongan akan menimbulkan
denda administrasi berupa sanksi bunga sebesar 2% per bulan.
106
Saran dan rekomendasi penulis untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu
setiap pemotongan PPh Pasal 23 harus berpedoman pada UU No.17 tahun 2000 dan
membaca penjelasan dari UU tersebut serta peraturan perpajakan yang terbaru
mengenai PPh Pasal 23.
5. Adanya penyetoran PPh Pasal 23 yang melampaui tanggal 10.
Kondisi perusahaan berdasarkan pengecekkan dokumen, yaitu surat setoran
pajak (SSP) PPh Pasal 23 dibandingkan dengan bukti pemotongannya, didapat
adanya keterlambatan penyetoran PPh Pasal 23.
Kriterianya yaitu menurut UU parpajakan, atas PPh Pasal 23 yang terutang
harus dilakukan penyetoran paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dari masa
terutangnya PPh tersebut.
Penyebab dari keterlambatan penyetoran adalah banyaknya hari libur yang
dekat dengan tanggal pembayaran pajak sehingga PPh Pasal 23 yang akan disetor
menjadi tertunda. Seringkali tanggal 10 jatuh pada hari minggu atau hari libur
Nasional. Hal ini membuat jangka waktu penyetoran pajak menjadi lebih sempit
karena perusahaan harus menyetorkan pajak yang telah dipotong sebelum tanggal
10. Bagian akuntansi biasanya disibukkan dengan pekerjaan rutin bulanan mereka
sehingga lupa untuk menghitung pajak yang harus disetor ke kas Negara dan tidak
disadari sudah mendekati tanggal 10. Ketika hal ini terjadi, penyetoran pajak yang
telah dipotong menjadi tertunda. Selain itu, pada saat hari terakhir pembayaran,
banyak orang yang mengantri di bank yang telah ditunjuk atau di KPP untuk
membayar atau menyetorkan pajak yang telah mereka potong. Pada saat antrian yang
107
padat tersebut seringkali terjadi gangguan sistem komputer pada bank sehingga
menjadi off-line.
Akibatnya, atas PPh Pasal 23 yang terlambat disetor tersebut dikenakan
denda sebesar 2% per bulan dihitung dari masa pajak seharusnya sampai dengan
tanggal surat setoran pajak (SSP).
Tabel IV.15
Rekap Tanggal Pembayaran PPh Pasal 23 yang Tercantum dalam SSP
No. Masa Pajak Tanggal Setor Keterangan Denda Bunga Pasal 19 (1)
atau Pasal 19 (2)
1. Januari 2005 8 Februari 2005 Tepat waktu -
2. Februari 2005 16 Maret 2005 Terlambat
setor
2% x Rp 5.535.600 =
Rp 110.712,00
3. Maret 2005 8 April 2005 Tepat waktu -
4. April 2005 11 Mei 2005 Terlambat
setor
2% x Rp 5.746.618,00 =
Rp 114.932,00
5. Mei 2005 9 Juni 2005 Tepat waktu -
6. Juni 2005 7 Juli 2005 Tepat waktu -
7. Juli 2005 9 Agustus 2005 Tepat waktu -
8. Agustus 2005 13 September 2005 Terlambat
setor
2% x Rp 11.212.535 = Rp
224.250
9. September 2005 12 Oktober 2005 Terlambat
setor
2% x Rp 12.369.722 =
Rp 247.394
10. Oktober 2005 18 November 2005 Terlambat 2% x Rp 20.832.462 =
108
setor Rp 416.649
11. November 2005 8 Desember 2005 Tepat waktu -
12. Desember 2005 9 Januari 2006 Tepat waktu -
Untuk permasalahan ini, penulis merekomendasikan agar bagian akuntansi
dan pajak memperhitungkan hari libur yang dekat dengan tanggal pembayaran PPh
Pasal 23 sehingga besarnya pajak yang telah dipotong dan harus disetorkan telah
diketahui lebih awal dan proses permintaan dana untuk pembayaran juga dapat
dilakukan lebih awal.
6. Adanya pelaporan PPh Pasal 23 yang melampaui tanggal 20.
Kondisi yang ada sekarang di perusahaan berdasarkan pengecekkan antara
bukti penerimaan surat dari KPP dengan bukti pemotongan PPh Pasal 23 yaitu
terdapat pelaporan PPh Pasal 23 yang lewat dari tanggal 20.
Kriteria yang seharusnya yaitu sesuai dengan UU Perpajakan, yaitu pasal 7
KUP. Setiap PPh Pasal 23 yang terutang dan telah disetor ke kas Negara harus
dilaporkan ke KPP setempat paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak terutang.
Keterlambatan pelaporan ini disebabkan karena data-data dari pihak yang
dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 belum lengkap. Contoh: data alamat dan
NPWP, sehingga bagian akuntansi dan pajak di perusahaan pemotong (PT. LJF)
belum bisa membuat bukti potong PPh Pasal 23. Karena banyak supplier yang belum
memberikan data secara lengkap, maka pembuatan bukti potong menjadi sangat
banyak yang tertunda sehingga pada saat akan melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23,
109
bukti potongnya belum lengkap. Hal ini menyebabkan pelaporan pajak menjadi
terlambat.
Keterlambatan pelaporan ini mengakibatkan perusahaan membayar denda
administrasi sebesar Rp 50.000,00 atas keterlambatan setiap pelaporan PPh Pasal 23.
Denda ini akan ditagih melalui Surat Tagihan Pajak (STP).
Tabel IV.16
Rekap Tanggal Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23 yang Tercantum dalam
Bukti Penerimaan Surat
No. Masa Pajak Tanggal Lapor Keterangan Denda Bunga
Pasal 7 KUP
1. Januari 2005 15 Februari 2005 Tepat waktu -
2. Februari 2005 16 Maret 2005 Tepat waktu -
3. Maret 2005 8 April 2005 Tepat waktu -
4. April 2005 11 Mei 2005 Tepat waktu -
5. Mei 2005 14 Juni 2005 Tepat waktu -
6. Juni 2005 14 Juli 2005 Tepat waktu -
7. Juli 2005 12 Agustus 2005 Tepat waktu -
8. Agustus 2005 15 September 2005 Tepat waktu -
9. September 2005 19 Oktober 2005 Tepat waktu -
10. Oktober 2005 24 November 2005 Terlambat
Lapor
Rp 50.000
11. November 2005 15 Desember 2005 Tepat waktu
12. Desember 2005 16 Januari 2006 Tepat waktu -
110
Untuk permasalahan ini, penulis merekomendasikan agar semua data pihak-
pihak yang dipotong PPh Pasal 23 dilengkapi pada saat pemotongan tersebut
dilakukan.
7. Evaluasi keterlambatan pemotongan PPh Pasal 23 atas Biaya Konsultan
Keadaan yang ada di perusahaan saat ini adalah perusahaan telah melakukan
keterlambatan pemotongan PPh Pasal 23 atas biaya konsultan untuk bulan Januari
dan Februari 2005. Seharusnya perusahaan langsung melakukan pemotongan PPh
Pasal 23 pada saat pembayaran karena saat terutangnya PPh Pasal 23 adalah pada
saat pembayaran dilakukan. Tetapi perusahaan baru membuat bukti potong dan
melakukan pemotongan untuk biaya konsultan bulan Januari dan Februari pada
bulan Mei.
Hal ini disebabkan karena bagian akuntansi dan pajak lalai untuk membuat
bukti potong dan memotong PPh Pasal 23 pada saat pembayaran fee konsultan bulan
Januari dan Februari. Mereka baru memotongnya pada bulan Mei.
Atas keterlambatan ini menyebabkan kurang bayar pajak untuk masa Januari
dan Februari dan perusahaan dapat dikenakan sanksi bunga sebesar 2% per bulan.
Perhitungannya adalah sebagai berikut:
Tabel IV.17
Perhitungan Keterlambatan Pemotongan PPh Pasal 23 + Sanksi
Sebelum Evaluasi Setelah Evaluasi Masa Pajak Penghasilan
Bruto (Rp)
PPh yang Telah
Disetor (Rp)
Penghasilan Bruto (Rp)
PPh yang seharusnya
Disetor (Rp)
Selisih Kurang Bayar
Sanksi Bunga (Rp)
111
Januari 134.150.000 8.049.000 139.555.405 8.454.405 405.405 2% x 405.405 x 4
bulan = 32.432
Februari 92.260.000 5.535.600 97.665.405 5.941.005 405.405 2% x 405.405 x 3
bulan = 24.324
Total 810.810 56.756
8. Adanya PPh Pasal 23 yang dipotong salah tahun
Dalam melakukan usahanya, perusahaan mengunakan jasa sewa kamera dari
PT. Taman Kampung Artis. Jasa sewa kamera termasuk dalam sewa sehubungan
dengan penggunaan harta dengan tarif 6%. Kondisi yang terjadi, perusahaan telah
melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas pembayaran jasa tersebut. Tetapi setelah
penulis melakukan evaluasi dengan menelusuri surat kontrak dan invoice serta bukti
pembayarannya, ternyata pembayaran atas jasa sewa kamera tersebut dilakukan
bulan November 2004. Namun dalam Surat Setoran Pajak yang ada, perusahaan baru
memotong PPh tersebut pada bulan Januari 2005. Perusahaan melakukan kesalahan
atas pemotongan jasa sewa kamera tersebut sebesar Rp 2.490.000.
Menurut undang-undang perpajakan, biaya atas sewa harus dipotong pajak
pada saat pembayaran telah dilakukan.
Permasalahan ini disebabkan karena bagian akuntansi dan pajak kurang teliti
dan tidak memeriksa invoice pembayaran atas jasa sewa tersebut sehingga baru
memotong biaya sewa tersebut pada masa pajak Januari 2005.
112
Tabel IV.18
Jasa yang Dipotong PPh Pasal 23 Salah Tahun
Setelah Evaluasi Jasa-jasa Biaya (Rp)
Perkiraan Penghasilan
Netto
Tarif PPh terutang tahun 2004
(Rp) Jasa sewa sehubungan
dengan penggunaan harta
(sewa kamera)
41.500.000 40% 15% 2.490.000
Keterangan:
PPh Pasal 23 yang terutang pada bulan Januari 2005 Rp 8.049.000
PPh Pasal 23 yang dipotong salah tahun Rp 2.490.000 -
PPh yang seharusnya terutang bulan Januari 2005 Rp 5.559.000
Setelah penulis melakukan evaluasi dari setiap pos-pos biaya yang ada dalam
perusahaan dan telah melakukan tahap-tahap pemeriksaan terhadap dokumen-
dokumen dan bukti pendukung yang berkaitan dengan PPh Pasal 23 serta
membandingkan SPT Masa PPh Pasal 23 PT. LJF yang telah dilapor dan hasil
evaluasi penulis, masih ditemukan adanya kewajiban perpajakan yang belum
dipenuhi dalam kaitannya dengan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal
23 yang telah dilakukan dalam perusahaan, yaitu masih ada PPh Pasal 23 yang
kurang bayar sebesar Rp 253.776.393. Perhitungan secara rincinya dapat dilihat pada
Tabel IV.19 Rincian Perhitungan PPh Pasal 23 pada PT.LJF
113
Atas pajak yang kurang bayar tersebut, apabila dilakukan pemeriksaan oleh
fiskus dan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) pada tahun
2007, maka PT. LJF dapat dikenakan sanksi dengan perhitungan sebagai berikut:
Kurang Bayar PPh Pasal 23 (Pokok) = Rp 253.776.393
Sanksi Administrasi bunga 2% x Rp 253.776.393 x 24 bulan = Rp 121.812.648 +
Jumlah yang harus dibayar oleh PT. LJF = Rp 375.589.041
Sanksi administrasi dihitung dengan asumsi maksimal 24 bulan karena
dihitung dari masa pajak tahun 2005-2007. Dalam UU No. 16 tahun 2000 pasal 19
ayat 1, ”Atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga 2% untuk seluruh masa yang dihitung dari tanggal jatuh
tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya surat tagihan
pajak.”
Selain sanksi administrasi yang harus ditanggung, atas permasalahan yang
terjadi diatas, PT. LJF dapat dikenakan sanksi pasal 38 UU No. 16 tahun 2000 atau
sanksi pasal 39 UU No. 16 tahun 2000 yang berbunyi:
Pasal 38
Setiap orang yang karena kealpaannya:
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 tahun dan atau denda paling tinggi 2 kali jumlah pajak
yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.
114
Pasal 39
Setiap orang yang dengan sengaja:
- tidak menyampaikan Surat Pmberitahuan; (huruf b) atau
- menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap; (huruf c) atau
- tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, (huruf g)
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi 4 kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar.