Download - Bab III Ppok
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
progressif nonreversibel atau reversibel parsial, bersifat progresif, biasanya
disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas
berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik. Gangguan ini
dapat dicegah dan dapat diobati. Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap
polusi dari pembakaran, dan partikel gas berbahaya.1
B. Epidemiologi
Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang berbeda
dari partikel yang terinhalasi selama hidupnya, oleh karena itu lebih bijaksana
jika kita mengambil kesimpulan bahwa penyakit ini disebabkan oleh iritasi
yang berlebihan dari partikel-partikel yang bersifat mengiritasi saluran
pernapasan. Setiap partikel, bergantung pada ukuran dan komposisinya dapat
memberikan kontribusi yang berbeda, dan dengan hasil akhirnya tergantung
kepada jumlah dari partikel yang terinhalasi individu tersebut. Insidensi pada
pria lebih banyak daripada wanita. Namun akhir-akhir ini insiden pada wanita
meningkat dengan semakin bertambahnya jumlah perokok wanita.2
C. Faktor Risiko
Faktor resiko PPOK bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikel-
partikel iritatif yang terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya.1,3
1. Asap rokok
Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala
respiratorik, abnormalitas fungsi paru dan mortalitas yang lebih tinggi
daripada orang yang tidak merokok. Resiko untuk menderita PPOK
bergantung pada “dosis merokok” nya, seperti umur orang tersebut mulai
merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang
tersebut merokok.
Enviromental Tobacco Smoke (ETS) atau perokok pasif juga dapat
mengalami gejala-gejala respiratorik dan PPOK dikarenakan oleh partikel-
partikel iritatif tersebut terinhalasi sehingga mengakibatkan paru-paru
“terbakar”.
2. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)
3. Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan
Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia menggunakan batubara, arang,
kayu bakar ataupun bahan bakar biomass lainnya sebagai penghasil energi
untuk memasak, pemanas, dan untuk kebutuhan rumah tangga lainnya. Ini
memungkinkan bahwa wanita di negara berkembang memiliki angka
kejadian yang tinggi terhadap kejadian PPOK.
4. Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu
jalanan.
5. Infeksi saluran nafas berulang
6. Jenis kelamin
Dahulu, PPOK lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita.
Karena dahulu, lebih banyak perokok laki-laki dibanding wanita. Tapi
dewasa ini prevalensi pada laki-laki dan wanita seimbang. Hal ini
dikarenakan oleh perubahan pola dari merokok itu sendiri. Namun hal
tersebut masih kontoversial, maskipun beberapa penelitian mengatakan
bahwa perokok wanita lebih rentan untuk terkena PPOK dibandingkan
perokok pria. Di negara berkembang wanita lebih banyak terkena paparan
polusi udara yang berasal dari asap saat mereka memasak.
7. Status sosioekonomi dan status nutrisi
8. Rendahnya intake dari antioksidan seperti vitamin A, C, E, kadang-kadang
berhubungan dengan peningkatan resiko terkena PPOK, meskipun banyak
penelitian terbaru menemukan bahwa vitamin C dan magnesium memiliki
prioritas utama.
9. Asma
10. Usia
Onset usia dari PPOK ini adalah pertengahan
11. Faktor Genetik
Faktor kompleks genetik dengan lingkungan menjadi salah satu penyebab
terjadinya PPOK, meskipun penelitian Framingham pada populasi umum
menyebutkan bahwa faktor genetik memberi kontribusi yang rendah dalam
penurunan fungsi paru.
D. Patofisiologi
Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran napas,
parenkim paru sampai struktur vaskukler pulmonal. Diberbagai bagian paru
dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan neutrofil. Sel-
sel radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti
Leukotrien B4, IL8, TNF yang mampu merusak struktur paru dan atau
mempertahankan inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi ada 2 proses lain
yang juga penting yaitu imbalance proteinase dan anti proteinase di paru dan
stres oksidatif.1
Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai disaluran napas
besar (central airway), saluran napas kecil (periperal airway), parenkim paru
dan vaskuler pulmonal. Pada saluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-sel
radang pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang mensekresi mukus
membesar dan jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini menyebabkan
hipersekresi bronkus. Pada saluran napas kecil terjadi inflamasi kronis yang
menyebabkan berulangnya siklus injury dan repair dinding saluran napas.
Proses repair ini akan menghasilkan struktural remodeling dari dinding saluran
napas dengan peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan jaringan ikat
yang menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi kronis saluran
pernapasan. Pada parenkim paru terjadi destruksi yang khas terjadi pada
emfisema sentrilobuler. Kelainan ini lebih sering dibagian atas pada kasus
ringan namun bila lanjut bisa terjadi diseluruh lapangan paru dan juga terjadi
destruksi pulmonary capilary bed. 1
Perubahan vaskular pulmonal ditandai oleh penebalan dinding
pembuluh darah yang dimulai sejak awal perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan
struktur yang pertama kali terjadi adalah penebalan intima diikuti peningkatan
otot polos dan infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika
penyakit bertambah lanjut jumlah otot polos, proteoglikan dan kolagen
bertambah sehingga dinding pembuluh darah bertambah tebal.1
Pada bronkitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitan saluran
napas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan
sesak. Pada bronkitis kronik, saluran pernapasan yang berdiameter kecil
(<2mm) menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi
karena metaplasi sel goblet. Saluran napas besar juga menyempit karena
hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru, penyempitan
saluran napas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru.1
E. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan:1
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis:
1) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
2) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
4) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara
5) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
6) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
1) Inspeksi
a) Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
b) Barrel chest
c) Penggunaan otot bantu napas
d) Hipertropi otot bantu napas
e) Pelebaran sela iga
f) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
di leher dan edema tungkai
g) Penampilan pink puffer atau blue bloater
2) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
3) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
4) Auskultasi
a) suara napas vesikuler normal, atau melemah
b) terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
c) ekspirasi paksa
d) ekspirasi memanjang
e) bunyi jantung terdengar jauh
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin:1,4
1) Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
a) Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP (%).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
b) VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
c) Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari
20%
2) Uji bronkodilator
a) Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
b) Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 -
20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
c) Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
3) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit.
4) Radiologi
a) Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
b) Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan tubular
shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus
menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi
dengan gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan
pembuluh darah pulmonal, dan penambahan cortakan ke distal.
Normal Hyperinflation
Gambar 1. Peredaan paru normal dan hiperinflasi pada foto thoraks
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1) Faal paru
a) Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti
Paru Total (KPT), VR/KRF,VR/KPT meningkat
b) DLCO menurun pada emfisema
c) Raw meningkat pada bronkitis kronik
d) Sgaw meningkat
e) Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2) Uji latih kardiopulmoner
a) Sepeda statis (ergocycle)
b) Jentera (treadmill)
c) Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3) Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan.
4) Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari
selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 %
dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan
faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
5) Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
a) Gagal napas kronik stabil
b) Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6) Radiologi
a) CT - Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos.
b) Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
7) Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan.
8) Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
9) Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
10) Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema
pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di
Indonesia.
F. Klasifikasi
Klasifikasi PPOK
Klasifikasi
Penyakit
Gejala Spirometri
Ringan - Tidak ada gejala waktu istirahat atau
bila exercise
- Tidak ada gejala waktu istirahat
tetapi gejala ringan pada latihan
sedang (misal : berjalan cepat, naik
tangga)
VEP > 80%
prediksi
VEP/KVP < 75%
Sedang - Tidak ada gejala waktu istirahat
tetapi mulai terasa pada latihan /
kerja ringan (misal : berpakaian)
- Gejala ringan pada istirahat
VEP 30 - 80%
prediksi
VEP/KVP <
75%
Berat - Gejala sedang pada waktu istirahat
- Gejala berat pada saat istirahat
- Tanda-tanda korpulmonal
VEP1<30%
prediksi
VEP1/KVP <
75%
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :1
1. Edukasi
Inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Secara umum bahan edukasi
yang harus diberikan adalah :
a) Pengetahuan dasar tentang PPOK
b) Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
c) Cara pencegahan perburukan penyakit
d) Menghindari pencetus (merokok)
e) Penyesuaian aktifitas
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang
pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang
ireversibel.
Edukasi berdasarkan derajat penyakit:
a) Ringan
1) Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
2) Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus,
antara lain berhenti merokok
3) Segera berobat bila timbul gejala
b) Sedang
1) Menggunakan obat dengan tepat
2) Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
3) Program latihan fisik dan pernapasan
c) Berat
1) Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
2) Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
3) Penggunaan oksigen di rumah
2. Obat-obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan dengan klasifikasi berat derajat penyakit. Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi (dihisap melalui saluran nafas),
nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat
berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting). Macam-macam bronkodilator adalah :
golongan antikolinergik, golongan agonis beta-2, kombinasi
antikolinergik dan beta-2 dan golongan xantin.
b. Anti inflamasi
Digunakan apabila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral (diminum)
atau injeksi intravena (ke dalam pembuluh darah). Ini berfungsi untuk
menekan inflamasi yang terjadi. Dipilih golongan metilpradnisolon atau
prednison.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan untuk
lini pertama adalah amoksisilin dan makrolid. Dan untuk lini kedua
diberikan amoksisilin dikombinasikan dengan asam klavulanat,
sefalosporin, kuinolon dan makrolid baru.
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup.
Digunakan N-asetilsistein, dan dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
e. Mukolitik (pengencer dahak)
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut, karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang kental. Tetapi obat ini tidak dianjurkan untuk
pemakaian jangka panjang.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati-hati.
3. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
dalam sel dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ
lainnya.
4. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan
gagal napas akut, atau pada penderita PPOK derajat berat dengan gagal
napas kronik. Ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan
intubasi atau tanpa intubasi.
5. Nutrisi
Malnutrisi pada pasien PPOK sering terjadi, disebabkan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorik yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperaapni menyebabkan
terjadinya hipermetabolisme.
6. Rehabilitasi
Rehabilitasi PPOK bertujuan untuk meningkatkan toleransi latihan
dan memperbaiki kualitas hidup penderita dengan PPOK. Program ini dapat
dilaksanakan baik di luar maupun di dalam Rumah Sakit oleh suatu tim
Program rehabilitasi ini terdiri dari latihan fisik, psikososial dan latihan
pernapasan.
Prinsip Penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah
mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal
napas. Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi:
a. Diagnosis beratnya eksaserbasi
b. Terapi oksigen adekuat
a. Tujuan terapi oksigen adalah untuk memperbaiki hipoksemi dan
mencegah keadaan yang mengancam jiwa. Sebaiknya dipertahankan
PaO2> 60 mmHg atau Sat O2> 90%, evaluasi ketat hiperkapnoe. Bila
terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigen adekuat, harus
gunakan ventilasi mekanik, bila tidak berhasil gunakan intubasi.
c. Pemberian obat-obatan yang adekuat
1) Antibiotik
2) Bronkodilator
3) Kortikosteroid
d. Tidak terlalu diberikan tergantung derajat eksaserbasi. Pada eksaserbasi
derajat sedang diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada
derajat berat diberikan intravena. Pemerian lebih dari 2 minggu tidak
memberikan hasil yang lebih baik, tetapi banyak menimbulkan efek
samping.
e. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia
berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu napas.
f. Ventilasi mekanik
g. Kondisi lain yang berkaitan
1) Monitor balans cairan elektrolit
2) Pengeluaran sputum
3) Gagal jantung aritmia.
4) Evaluasi ketat progresivitas penyakit