41
BAB III
AKTIVITAS SOSIAL POLITIK YAP TJWAN BING TAHUN
1946 – 1954
A. Aktivitas Politik Yap Tjwan Bing
1. Yap Tjwan Bing Aktif dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
Kabar tentang kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17
Agustus 1945 disambut oleh seluruh rakyat Indonesia dengan riang gembira. Di
berbagai tempat pekik merdeka berkumandang. Keberadaan Jepang yang sudah
terdesak tentunya makin memberi harapan masyarakat bahwa negeri Indonesia
akan bebas. Setelah pembacaan proklamasi, para pemimpin Indonesia pun segera
membentuk berbagai badan dan undang-undang guna melengkapi sebuah negara
yang baru saja lahir.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Yap Tjwan Bing menuju Jakarta untuk
mengikuti rapat PPKI. Dalam sidang yang dihadiri 27 orang tersebut pembicaraan
mengenai UUD 1945 berjalan dengan lancar. Undang-undang Dasar itu terdiri
atas pembukaan, batang tubuh yang terdiri atas 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan
dan 2 pasal aturan tambahan. Pada hari itu juga Soekarno dan Moh. Hatta
disahkan sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia secara aklamasi. Ketika
sidang berlangsung, beberapa tokoh muda ikut masuk. Di antaranya Chairul
Saleh, Sukarni, Adam Malik dan kawan-kawan dari Murba. Mereka ini
merupakan para pemuda revolusioner yang bersemangat.
42
Saat sidang, Yap berkenalan dengan KRT Radjiman Wiryodiningrat dari
Solo, Dr. Sam Ratulangi dari Minahasa, Mr Latuharhary dari Maluku, serta
beberapa tokoh penting lainnya. Yap Tjwan Bing bersama-sama dengan Sutardjo
Kartohadikusumo, Ki Hadjar Dewantara, Hadikusumo, Wiranatakusuma
Surjohamidjojo membahas tentang perekonomian dan keuangan negara. Rapat ini
diketuai oleh Moh. Hatta.1
Setelah beberapa sidang, dan menetapkan pokok-pokok mengenai Komite
Nasional, Partai Nasional Indonesia, dan Badan Keamanan Rakyat, maka PPKI
menganggap telah menyelesaikan tugasnya dan membubarkan diri. Dari ketentuan
oleh PPKI itu Komite Nasional Pusat merupakan pembantu presiden dan komite
nasional daerah membantu pemerintah daerah. Dengan bubarnya PPKI dan
terbentuknya Komite Nasional Pusat, maka bekas anggota-anggota PPKI,
terutama yang berasal dari daerah-daerah, pulang ke wilayah masing-masing
untuk melaksanakan tugas membentuk Komite Nasional Daerah, dengan
mendapat mandat sebagai wakil-wakil dari Komite Nasional Pusat.2
Komite Nasional Pusat sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan GBHN. Pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubungan
dengan gentingnya keadaan, maka pada tanggal 16 Oktober 1945 dibentuklah
1 Darto Harnoko, Drs. Yap Tjwan Bing: Pelopor Pembaruan, (Jakarta:
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, 1986), hlm. 32. 2 Pusponegoro dan Marwati Djuned, Sejarah Nasional Indonesia VI,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 163.
43
Badan Pekerja yang dipilih dan bertanggungjawab kepada Komite Nasional Pusat
(BP KNIP).
Sejak terbentuknya, BP KNIP hanya bersidang enam kali yaitu sidang
ketiga diadakan pada tanggal 25-27 November 1945 di Jakarta. Sidang keempat
dilaksanakan pada tanggal 28 Februari - 3 Maret 1946 di Solo. Sidang kelima
digelar di Malang pada 25 Februari - 6 Maret 1947 dan sidang keenam
dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 6 - 15 Desember 1949.
Dalam susunan KNIP belum terlihat perbandingan perwakilan partai-partai
politik maupun perwakilan golongan-golongan lainnya. Oleh karena itu Ir.
Soekarno mengubah susunan keanggotaan melalui Peraturan Presiden No 6/1946
pada tanggal 29 Desember 1946. Dengan perubahan ini perwakilan dari berbagai
pihak dan golongan cukup jelas yaitu perwakilan partai, golongan buruh dan tani,
perwakilan daerah, serta golongan warga negara keturunan asing.
Golongan warga negara keturunan asing di antaranya sebagai berikut: etnis
Tionghoa; Liem Koen Hian, Drs. Yap Tjwan Bing, Siauw Giok Tjhan, Ir. Tan
Boen Aan, Inje Beng Hoat, Dr. Ong Eng Die, Mr. Tan Ling Djie, etnis Arab; A.
Bajasud, Hamid Algadrie, Oemar bin Salim Hubeid, etnis Eropa; D. Hage,
Dahler.3
Yap Tjwan Bing ikut aktif dalam sidang tersebut terutama dalam sidang
yang kelima dan keenam. Pada sidang keenam yang berlangsung di Siti Hinggil
Keraton Yogyakarta 6-15 Desember 1949, Yap menyumbangkan ide-idenya
3 Junus H Yahya, Peranakan idealis: dari Lie Eng Hok sampai Teguh
Karya, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), hlm. 242.
44
tentang beberapa keputusan disamping menyetujui hasil-hasil Konferensi Meja
Bundar. Keputusan-keputusan tersebut antara lain menentukan tiga calon anggota
senat RIS, dan menentukan cara penunjukan 50 Anggota DPR RIS utusan-utusan
dari Republik Indonesia Yogyakarta.
2. Aktivitas Yap Tjwan Bing di Yogyakarta Pada Masa Revolusi Fisik
Pada tahun 1946, bersamaan dengan masa revolusi demi mempertahankan
kemerdekaan, guna menyokong berbagai aktivitas di sekitar Jawa Tengah, Yap
Tjwan Bing berpindah ke Yogyakarta. Di kota ini Yap tinggal di Jl. Pakuningratan
Yogyakarta, bertetangga dekat dengan Mr. Tabrani, Moh. Roem, Ir. Juanda dan
lain-lain.4
Secara khusus, Yap juga terjun di bidang pendidikan yaitu dengan
memulai menjadi Kepala Sekolah Menengah Atas (SMA) Pusipan. Dalam
tugasnya tersebut, Yap menerima bantuan dari rekan-rekannya antara lain Ir.
Tjiuk Tiauw Po, Ir. Tan Sing Oen, dan beberapa guru lainnya. Di tingkat
universitas, Yap juga ditunjuk oleh Prof. Dr. Sardjito, sebagai tim khusus yang
bertugas mempersiapkan berdirinya Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada
(UGM) di Klaten. Setelah Fakultas Farmasi berdiri, Yap menerima tawaran untuk
menjadi dosen di tempat tersebut.5
Di tengah aktivitas yang padat, Yap menjadi panitia persiapan pendirian
Chung Hua Chung Hhui (CHCH) di Yogyakarta. Sidang pembentukannya
4 Ibid, hlm. 248.
5 Yap Tjwan Bing, Meretas Jalan Kemerdekaan: Otobiografi Seorang
Pejuang Kemerdekaan, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 57.
45
dilaksanakan di kota Solo yang dihadiri oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Ir.
Soekarno dalam acara menyatakan bahwa CHCH Pusat diharapkan dapat bersatu
padu dengan masyarakat Indonesia untuk melawan pemerintah penjajahan yang
ingin kembali menguasai Indonesia. Dalam membentuk CHCH Pusat ini, Yap
dibantu oleh Ong Siang Tjoen dan The Hong Oe (CHCH Yogyakarta).
Dalam sidang tersebut, Tan Siang Liang terpilih sebagai ketua, sedangkan
Yap terpilih sebagai wakil ketua. Awalnya Yap terpilih sebagai ketua, namun
karena kesibukannya, jabatan ketua diberikan kepada orang lain. Sebelumnya,
pada masa penjajahan Jepang, Yap pernah menjabat sebagai ketua CHCH cabang
Priangan (Bandung). Meskipun demikian, Yap Tjwan Bing melaksanakan tugas
sebagai ketua aktif karena Tan Siang Liang berdomisili di Tegal. Yap juga
dipandang mampu menjalin hubungan erat dengan pemerintah Republik
Indonesia. Tujuan dari CHCH dalam anggaran dasarnya dibagi menjadi dua yaitu:
a. Bersatu membentuk perjuangan kemerdekaan Indonesia.
b. Membantu melancarkan usaha-usaha perekonomian.6
CHCH Pusat membuka kantor di Yogyakarta dan melayani pertanyaan-
pertanyaan yang dikemukakan oleh golongan masyarakat keturunan Cina serta
membantu usaha-usaha dari pemerintah Republik Indonesia. Peran CHCH Pusat
dalam membantu pemerintah Republik Indonesia di bidang politik dan ekonomi
cukup besar, terutama di bidang ekonomi. CHCH di antaranya berusaha
memajukan sektor perdagangan, membuat barang dan suku cadang yang
dibutuhkan oleh masyarakat, menyalurkan obat-obatan sampai ke daerah
6 Ibid, hlm. 68.
46
pedalaman dan bantuan lainnya di bidang ekonomi. Yap Tjwan Bing pernah
menerima undangan dari golongan masyarakat Cina di Malaysia. Di negara
tersebut, Yap membagi pengalamannya selama di CHCH Pusat, di mana
organisasi ini membantu pemerintah pusat Republik Indonesia dalam melawan
kolonialis. Saran-saran terkait CHCH pusat diharapkan juga dilaksanakan oleh
golongan masyarakat Cina di Malaysia.
CHCH Pusat di kemudian hari dilebur menjadi satu dengan Persatuan
Tionghoa di mana Yap Tjwan Bing menjadi wakil ketua didalamnya. Peleburan
ini sebagai implementasi dari dorongan kebanyakan masyarakat Cina agar CHCH
dan Persatuan Tionghoa menjadi satu wadah. Persatuan Tionghoa berada di
Jakarta ketika pusat pemerintahan Republik Indonesia berpindah lagi dari
Yogyakarta ke Jakarta. Khusus untuk CHCH Daerah dapat tetap berdiri di
wilayah masing-masing untuk menyokong Negara Kesatuan Republik Indonesia
di daerah.
Pada masa revolusi fisik dan agresi militer Belanda 1, beberapa
masyarakat Tionghoa di beberapa kota memang memihak kepada Belanda. Hal ini
tidak lain disebabkan oleh usaha Belanda untuk memanfaatkan keterasingan
masyarakat Cina dari Pribumi. Apalagi pasukan Sekutu melihat gejala mulai
banyak simpatisan golongan Tionghoa dalam republik.7
Demi mengimbangi dan memecah kekuatan di kantong republik yang ada,
NICA membentuk Poh An Tui (Pasukan keamanan lingkungan Cina) di Jawa dan
7 Abdul Bagir Zein, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia,
(Jakarta: Prestasi Insan Indonesia, 2000), hlm. 9.
47
Sumatra. Mereka ditugaskan melindungi wilayah Pecinan dari “para ekstremis”,
“anjing Soekarno” dan “perampok”. Poh An Tui dilatih dan bahkan di beberapa
tempat seperti Medan Sumatera Utara dipersenjatai. Keberadaannya sudah pasti
menimbulkan kontak fisik dengan kaum pejuang Indonesia. Di Nganjuk Jawa
Timur reaksi kaum pejuang terhadap Poh An Tui salah satunya menimbulkan
konflik yang berakhir pada pembakaran para pemuda Tionghoa yang dianggap
pasukan Poh An Tui. 8
Di pihak pendukung republik, muncul juga laskar-laskar pemuda
Tionghoa yang berjuang demi Republik Indonesia. Di Pemalang, muncul Laskar
Pemuda Tionghoa. Tokohnya adalah Tan Djiem Kwan, alumnus Sekolah
Tionghoa (THHK) Tegal, yang giat memberikan kursus antikolonialisme pada
pemuda Tionghoa dan mendorong pengibaran bendera Merah Putih. Sementara di
Surakarta terdapat Barisan Pemberontak Tionghoa yang dipimpin Yap Tek Thoh.
Azas tujuan Barisan Pemberontak Tionghoa yaitu untuk mempererat tali
persaudaraan antara saudara-saudara Indonesia dan Tionghoa, juga menjunjung
tinggi azas yang diwariskan oleh Dr. Sun Yat Sen, menjaga keamanan umum dan
menurut kepada peraturan dari pemerintah Republik Indonesia.9
Kondisi yang ada seakan memecah masyarakat Cina menjadi dua bagian:
pendukung republik dan mereka yang memihak Belanda. Inilah yang
menyebabkan di beberapa daerah masyarakat Cina diusir dan dimusuhi, baik
mereka pro dengan republik ataupun tidak. Di Salatiga, sebanyak kurang lebih
8 Ibid, hlm 10.
9 http://historia.id/modern/barisan-pemberontak-tionghoa.html (diakses
pada tanggal 12 Juni 2015, pukul 17.01 WIB).
48
2.200 orang Tionghoa di usir, dan menuju Solo. Selama perjalanan tersebut empat
orang meninggal dunia. Sedangkan 92 orang lainnya di tahan oleh pihak republik
di Boyolali karena dianggap sebagai mata-mata. Jumlah pengungsi pun
berbondong-bondong ke Yogya dan Solo. Di Yogyakarta jumlah masyarakat Cina
yang mengungsi mencapai 4.000 dan di Solo jumlah pengungsi sekitar 3.000
orang.10
Sedangkan di daerah seperti Yogyakarta, masyarakat Tionghoa berpihak
kepada kaum republik dan membuat keberadaan mereka di Yogyakarta aman.
Sultan Hamengkubuwono IX sendiri berdiri teguh di pihak republik, maka rakyat
Yogya (termasuk golongan Tionghoa) pun mengikuti. Atas jaminan Sultan juga
masyarakat Tionghoa akan aman dan tidak berpindah ke kantong kekuasaan
Belanda.11
Pada tahun 1947, Sultan menyatakan kota Yogya sebagai zona aman bagi
penduduk asing. Untuk memfasilitasi kebijakan ini ditunjuklah tiga orang tokoh
Tionghoa yaitu dr. Siem Kie Ay, Dr. Yap Hong Tjoen dan Drs. Yap Tjwan Bing.
Sekitar 3650 masyarakat Cina mengevakuasi diri dari beberapa tempat di Jawa
Tengah menuju Yogya, dan dirawat oleh masyarakat Tionghoa disana. Bagi
mereka yang sakit dirawat oleh Yap Tjwan Bing dan Dr. Siem.12
10
De Locomotief tanggal 5 September 1947, Koleksi Badan Perpustakaan
dan Arsip Daerah DIY. 11
A Budi Susanto, Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia,
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 78. 12
De Locomotief tanggal 5 September 1947, Koleksi Badan Perpustakaan
dan Arsip Daerah DIY.
49
Pada agresi ini, banyak masyarakat Cina yang terusir dari tempatnya.
Banyak pula pengungsi Cina yang yang meninggal karena belum menerima
makanan sampai beberapa hari. Demi menangani kondisi ini, di Yogya,
dibentuklah rumah sakit darurat untuk kepentingan yang sakit dan hamil.
Beberapa instansi pemerintahan republik sudah dipindah ke tempat lain
dan sebagian besar organisasi atau laskar militer dipindah ke Solo, sehingga Solo
dipenuhi berbagai laskar militer. Tentu saja atmosfer kota Solo mencekam. Di
beberapa daerah perdagangan, berubah menjadi tempat kontak senjata dan
dijadikan garis depan aksi bumi hangus. Barang-barang dari toko-toko Cina secara
acak diambil demi kepentingan militer.
Kondisi memang serba simpang siur karena di radio-radio milik republik
menyatakan bahwa gerakan Poh An Tui milik Cina dibentuk untuk membantu
NICA. Berita ini tentu saja mempengaruhi laskar-laskar perjuangan RI.
Keselamatan penduduk Cina di Solo cukup mengkhawatirkan. Banyak masyarakat
Cina tidak diijinkan untuk meninggalkan Solo apalagi berkunjung ke Yogya.
Menteri Republik Siauw Giok Tjhan masih berusaha untuk mendapatkan
informasi namun belum ada hasilnya.
Dari beberapa tempat, nasib masyarakat Cina juga belum diketahui
kondisinya. Di antaranya nasib dan posisi lebih dari 1000 orang Cina baik pria
dan wanita di Salatiga yang masih tidak diketahui. Di barat daya Cirebon
masyarakat Cina diserang oleh TNI. Rumah-rumah mereka dibakar dan di
antaranya dibunuh sedangkan 50 orang Cina masih hilang. Sulit sekali
membedakan mana yang pendukung republik dan mana yang bukan. Muncul pula
50
informasi yang mengatakan bahwa masyarakat Cina banyak yang menjadi mata-
mata Sekutu. Suasana seperti ini membuat posisi warga Tionghoa serba tidak
menguntungkan.13
3. Perjuangan Yap Tjwan Bing dalam Mengusahakan Masalah Pembauran
Peranakan Asing
Tahun 1946, pemerintah Republik Indonesia mengadakan konsolidasi di
dalam segala lapangan, maka perhatian pemerintah dengan segera ditujukan
kepada soal bangsa asing yang hidup di tanah air Indonesia. Meskipun banyak
rintangan-rintangan terutama dari luar, pemerintah berusaha terus untuk
menjalankan kewajibannya sebagai negara yang merdeka terhadap bangsa asing.
Di dalam kalangan bangsa asing, penduduk Tionghoa mempunyai tempat yang
luas dan penting.
Sehubungan dengan hal itu maka pemerintah mengadakan konferensi
antara pemerintah Republik Indonesia dengan pihak Tionghoa. Di dalam
konferensi tersebut soal-soal yang dibicarakan ialah perekonomian, pengungsian,
pengajaran dan keamanan. Adapun penyelenggara konferensi tersebut ialah Tji
Sam Kong, Yap Tjwan Bing, Ir. Tan Boen Aan, Mr. Tan Po Goan dari perwakilan
golongan Tionghoa. Dari pemerintah diwakili oleh Arudji Kartawinata (Menteri
Muda Pertahanan), Mr. Tirtawinata (Jaksa Agung Tentara), Kasman Singodimejo
(Ketua Kehakiman Tentara), RS Sukantro Tjokrodiatmogjo (Kepala Jawatan
Kepolisian Republik Indonesia) dan Haryoto (Kementrian Penerangan).
13
Ibid.
51
Konferensi tersebut berlangsung mulai tanggal 16-17 September 1946
bertempat di Pendopo Kepatihan Yogyakarta. Resepsi sebagai pendahuluan
konferensi dihadiri oleh wakil presiden, para menteri, Panglima Besar Sudirman,
Ketua Dewan Pertimbangan Agung Wiranatakusumah, para gubernur, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Sri Paku Alam VIII dan wakil-wakil organisasi.14
Pertemuan tersebut membahas berbagai persoalan terkait kedudukan
bangsa Tionghoa. Moh. Hatta yang hadir dalam konferensi menyatakan bahwa
tidak dipungkiri bahwa keberadaan golongan Tionghoa sebagai bangsa asing
memang pernah menimbulkan permasalahan tersendiri. Terlebih hal yang
demikian telah dimunculkan pada masa Belanda. Pemerintah Indonesia menerima
warisan tersebut dan harus menyelesaikannya. Golongan Tionghoa dalam
kedudukannya di bidang ekonomi haruslah berkoordinasi dengan ekonomi
Indonesia, sehingga dari lawan akan menjadi kawan, dan hilanglah persoalan
mengenai masalah Tionghoa.
Dalam konferensi, Yap Tjwan Bing menuangkan idenya agar bangsa
Tionghoa sebagai bangsa Asia harus membantu bangsa Indonesia. Bersatu padu
dalam gerakan menentang penjajah terutama di garis belakang yaitu menyiarkan
melalui radio baik dengan bahasa Indonesia maupun dengan bahasa Tionghoa.
Kerenggangan antar etnis lebih disebabkan karena kesalahpahaman antar kedua
pihak, sehingga bangsa Tionghoa harus mencari dan memberi penerangan agar
memahami isi api revolusi Indonesia. Pernyataan ini juga didukung oleh tokoh
14
Koesalah Soebagyo Toer dan Pramoedya Ananta Toer, Kronik Revolusi
Indonesia II, (Jakarta : Gramedia, 2008), hlm. 238.
52
nasionalis lainnya dari golongan Tionghoa seperti Ir. Tan Boen Aan, Mr. Tan Po
Goan, dan lain-lainnya.
Dari hasil konferensi tersebut, pada hari terakhir diputuskan beberapa hal
yaitu :
a.) Berdasarkan atas peraturan yang telah ada, pengungsian akan
diusahakan sebaik-baiknya dengan mengingat siasat perjuangan dengan
meminta bantuan dari organisasi-organisasi yang berkepentingan,
seperti Chung Hua Chung Hwi (CHCH).
b.) Ketaatan penduduk Tionghoa kepada pemerintah dan penjelasan
penjelasan dari pihak Tionghoa sangat diperhatikan oleh pemerintah.
c.) Pemerintah mengakui adanya CHCH sebagai organisasi yang
memperhatikan kepentingan penduduk Tionghoa.
d.) Pemerintah menganjurkan supaya golongan Tionghoa dengan
perantaraan organisasinya selalu berhubungan dengan pemerintah.
e.) Pada umumnya pemerintah tidak berkeberatan bangsa Tionghoa
memberi pendidikan dan pengajaran di perguruan-perguruan Tionghoa,
asal tidak mengganggu ketenteraman umum dan membahayakan tetap
berdirinya Republik Indonesia.
f.) Pemerintah sedapat mungkin membantu meringankan kesukaran-
kesukaran tentang perumahan dan alat-alat pelajaran untuk sekolah-
sekolah Tionghoa.
53
g.) Mengusahakan tindakan-tindakan yang tepat agar bangsa Tionghoa
merasa aman dan tenteram tinggal di daerah Republik Indonesia.15
Keinginan Yap Tjwan Bing untuk berbaur demi persatuan dan kesatuan
juga terlihat ketika dipilih sebagai bendahara dalam konferensi Indonesia -
Belanda yang berlangsung di Yogyakarta 1-2 Februari 1947. Tiap karesidenan
mengirimkan dua orang wakil Belanda “peranakan” satu orang wakil pamong
praja dan satu orang wakil jawatan penerangan daerah.
Adapun maksud konferensi ini adalah memberi kesempatan kepada
Belanda peranakan untuk memajukan atau mencurahkan isi hatinya terhadap
usaha pembangunan dan perjuangan. Konferensi tersebut tidak diadakan dengan
satu perkumpulan, melainkan dengan golongan Belanda “peranakan” seluruhnya.
Panitia Konferensi Indonesia Belanda terdiri atas :
Ketua : De Rock
Wakil Ketua I : Fachruddin
Wakil Ketua II: Jusupadi
Sekretaris I : Harjoto
Sekretaris II : Dwidjosoegoendo
Bendahara I : Drs. Yap Tjwan Bing
Bendahara II : KRT Honggowongso
15
Darto Harnoko, Drs. Yap Tjwan Bing: Pelopor Pembaruan (Jakarta:
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, 1986), hlm. 42.
54
Konferensi tersebut selain dikunjungi oleh presiden dan wakil presiden
dihadiri juga oleh para menteri, Dr. Douwes Dekker, dan wakil-wakil berbagai
golongan dan partai, 50 utusan dari daerah-daerah seluruh Jawa kecuali wakil dari
Bogor dan Madura. Adapun konferensi akhirnya memutuskan:
a.) Pemerintah dalam asasnya menyetujui permintaan penetapan tenaga-
tenaga warga negara peranakan Belanda dalam berbagai lapangan
pekerjaan.
b.) Pemerintah juga menyetujui dibentuknya satu panitia yang akan
menyelidiki hak milik warga negara peranakan Belanda yang ada di
tangan yang tidak berhak, dengan laporan sejelas-jelasnya supaya
pemerintah dapat mengambil tindakan seadil-adilnya.
c.) Pihak warga peranakan Belanda supaya menunjukkan peristiwa-
peristiwa tentang keamanan.
d.) Pemerintah memperluas kesempatan peranakan Belanda untuk belajar
Bahasa Indonesia.
Dengan melihat aktivitas Yap Tjwan Bing tersebut, tampak ia
menganjurkan pembauran. Dari konferensi Indonesia - Tionghoa yang kemudian
dilanjutkan dengan Konferensi Indonesia dengan Belanda “peranakan” ini, ide-ide
pembauran semakin tertanam pada dirinya.16
16
Ibid, hlm. 43-44.
55
4. Yap Tjwan Bing Aktif dalam Partai Nasional Indonesia (PNI)
Di Yogyakarta, Yap Tjwan Bing mulai mengenal secara mendalam dan
dekat dengan tokoh-tokoh PNI. Yap sering turut hadir dalam rapat PNI lewat
perantara Mr. Sartono. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut Yap mulai berkenalan
dengan Ketua PNI, Sidik Djojosukarto, Mangun Sarkoro serta Mr. Wilopo.
Pengenalannya terhadap partai nasionalis ini dilakukan secara mendalam, hingga
para pengurus PNI menganggap Yap sejalan dengan cita-cita PNI, maka ia
ditawari untuk bergabung ke dalam kepengurusan.
Setelah tiga tahun di Yogyakarta, pada tahun 1950, Yap kembali ke
Bandung. Yap sebagai anggota DPR RIS, ia lebih banyak menghabiskan
waktunya di Jakarta. Di Jakarta Yap diangkat sebagai Dewan PNI yang terdiri atas
11 orang, dan berkedudukan sebagai kepala seksi ekonomi. Awalnya Yap
menolak jabatan ini karena takut akan menimbulkan konflik. Penolakan Yap ini
tidak diterima oleh para pengurus lain, akhirnya jabatan tersebut diterimanya.
Penunjukan tersebut bahkan didukung oleh PNI Pusat dan Daerah. Faktor lain
yang membuat Yap diterima dalam jajaran pengurus PNI karena kemahiran dalam
berbahasa dan mengenal budaya Jawa.
Mencegah agar politisi PNI tidak korupsi, Sartono menyarankan serta
mendorong Iskaq Cokrohadisurya dan Yap Tjwan Bing untuk berbisnis. Hal ini
dimaksudkan untuk membantu keuangan partai. Bersama beberapa anggota PNI,
mereka mendirikan Bank Umum Nasional (BUN). Meski demikian, kritik pun
mengalir. Dikatakan bahwa BUN mendapat keistimewaan karena ada kaitan
dengan PNI.
56
Ketika Yap menjabat sebagai kepala divisi ekonomi, Dewan PNI diketuai
oleh Sidik Djojosukarto. Sidik pula yang di kemudian hari mencalonkan Yap
sebagai menteri, namun hal tersebut ditolak. Istri Yap Tjwan Bing memberi saran
untuk menolak pemajuan jabatan tersebut karena aktivitas Yap yang sudah terlalu
padat. Yap saat itu melakoni bidang sebagai ahli farmasi, anggota DPR, urusan
sosial kemasyarakatan, urusan gereja dan urusan di perguruan tinggi. Yap sendiri
lebih menyukai bertugas di lembaga legislatif ketimbang lembaga eksekutif. Di
lembaga legislatif, Yap masih mempunyai waktu untuk bertugas sebagai anggota
dewan pimpinan partai. Terlebih lagi, masa pembentukan kabinet adalah masa
ekstra yang menyita waktu Yap karena harus ada persamaan pandangan dengan
beberapa partai lain dalam penyusunan kabinet. Tentu saja tawar-menawar di
antara partai besar tidak dapat dihindari, yang pada akhirnya berujung pada
kebuntuan (deadlock).
57
Gambar 2.
Yap Tjwan Bing dalam rapat PNI di Surabaya tahun 1952
Sumber: Surat Kabar Suara Metro edisi Oktober 2012
Menjabat sebagai kepala seksi ekonomi dewan pimpinan partai tidak
membuat Yap Tjwan Bing mendahulukan golongannya. Meskipun dirundung
konflik batin, justru Yap memberikan kesan mendalam di tubuh internal PNI.
Kesan tersebut muncul saat Dewan Partai PNI membicarakan perdebatan masalah
nivellering (persamaan) di sektor perdagangan antara golongan pribumi dan
nonpribumi. Yap memberikan usulan agar nivellering di sektor perdagangan dapat
diatur sebagai berikut:
a.) Perdagangan atau perekonomian pribumi dinaikkan lebih cepat dari
perdagangan nonpribumi (orang-orang keturunan Cina).
b.) Perekonomian nonpribumi diperlambat naiknya, sehingga pada
akhirnya dengan sistem nivellering itu baik pribumi maupun
58
nonpribumi akan mempunyai tingkat perdagangan yang akan saling
bertemu.
Usulan ini mendapat perhatian dan dipertimbangkan secara matang oleh
anggota dewan pimpinan PNI untuk diadopsi sebagai rancangan kebijakan di
legislatif atau eksekutif.
Lewat PNI juga Yap bersama dengan wakil golongan minoritas lainnya,
memperjuangkan hak-hak golongan minoritas dalam berpolitik. Usulan ini
diterima sebagai salah satu sikap PNI seperti yang pernah tertuang dalam draft
PNI terhadap kaum minoritas. Pada 16 Juni 1954 Sekretaris Jenderal Dewan
Direktur PNI menyatakan bahwa setelah diskusi mendalam, partai menyetujui
draft PNI terhadap kaum „minoritas‟. Langkah ini diusulkan oleh komisi yang
terdiri atas Drs. Yap Tjwan Bing, Mr. Tabrani, Schmidgall Tellings, Tony Wen,
Juslam Badres and S. Mangunsarkoro.
Keputusan yang diambil sebagai berikut:
1. Paham kebangsaan PNI hanya didasarkan kepada ikatan persamaan
nasib dan persamaan kepentingan serta persamaan kemauan untuk
bekerja dan berjuang guna kemajuan dan kebahagiaan bangsa. Karena
itu PNI hanya mengenal satu macam warga negara Indonesia dengan
tidak membeda-bedakan baik asal keturunannya maupun agama dan
kebudayaannya.
2. PNI menghendaki tiap-tiap usaha golongan warga negara yang
lazimnya disebut „minoritas‟ untuk menyatukan diri dengan bangsa
Indonesia. Karena itu PNI menganjurkan kepada organisasi-organisasi
59
golongan-golongan yang lazinmnya disebut „minoritas‟ itu supaya
dalam pemilihan umum tidak mengajukan calon-calonnya sendiri,
melainkan hanya menyokong pencalonan partai-partai yang dalam
prinsip dan ideologi perjuangannya telah terbukti dalam mengadakan
diskriminasi di antara warga negara Indonesia.
3. Jika suatu organisasi golongan warga negara yang lazimnya disebut
„minoritas‟ itu dalam pemilihan umum maju kemuka dengan calon-
calon sendiri, sebenarnya berbuat satu hal yang berarti memisahkan
golongannya dari bagian Indonesia yang tebesar. Karena itu PNI tidak
menyetujui pencalonan wakil golongan yang lazimnya disebut
„minoritas‟ itu, karena PNI tidak mengenal adanya mayoritas dan
minoritas di antara sesama warga negara Indonesia. 17
Sikap Yap Tjwan Bing terkait persoalan golongan minoritas ini
merupakan reaksi dari pernyataan sikap Siauw Giauk Tjhan lewat Baperki (Badan
Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Menurut Siauw, Baperki maju
sebagai partai tersendiri dan mencalonkan nama-nama yang merupakan golongan
minoritas atau peranakan asing. Atas sikapnya tersebut beberapa anggota Baperki
mundur dari kepengurusan di antaranya E.F. Wens dan A.E Schmidgall.18
Selaku anggota parlemen dari PNI Yap tentunya memperjuangkan nasib
masyarakat Tionghoa. Misalnya di tahun 1951, di Surabaya beberapa kali terjadi
penculikan terhadap warga Tionghoa sehingga menimbulkan keresahan. Yap pun
17
Suluh Indonesia tanggal 17 Juni 1954, Koleksi Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia Jakarta. 18
Ibid.
60
mewacanakan masalah tersebut di parlemen. Yap Tjwan Bing percaya bahwa
beberapa kejadian tersebut akan menimbulkan keresahan di dalam masyarakat dan
berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi di kota. Ia mempertanyakan langkah
apa saja yang sudah diambil pemerintah untuk menghentikan keresahan tersebut.
Wacana ini kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah agar kedepannya tidak
menimbulkan keresahan di lingkungan sosial.19
Posisi Yap dalam tubuh PNI cukup diperhitungkan. Bahkan Yap Tjwan
Bing ditunjuk sebagai salah satu pengajar dalam kursus pengkaderan PNI. Pada
bulan Maret 1951, diadakan kursus pengkaderan di kantor PNI cabang Bandung
di gedung partai di Jalan Dalemkaum 80. Selain Yap, yang menjadi pengajar
adalah Tuan Ukar Bratakusuma, Sanusi Hardjadinata, Osa Maliki, dan Asmara
Hadi. Sekitar dari 40 anggota berpartisipasi dalam kursus yang akan berlangsung
dalam 3 bulan tersebut. Kursus akan dilakukan 4 kali dalam seminggu yaitu
Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu, dari jam 6 hingga 8 malam.20
5. Yap Tjwan Bing Aktif menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
Republik Indonesia Serikat (RIS) secara resmi dibentuk pada tanggal 27
Desember 1949. RIS terdiri atas Republik Indonesia (RI) dan 15 negara bagian
yang telah dibentuk oleh Belanda antara tahun 1946 dan 1949. Ke 15 negara
19
Het nieuwsblad voor Sumatra tanggal 25 Mei 1951, Koleksi Badan
Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY. 20
De Preangerbode tanggal 16 Maret 1951, Koleksi Badan Perpustakaan
dan Arsip Daerah DIY.
61
bagian ini bekerja sama dalam sebuah badan yang dinamakan BFO (Badan
Permusyawaratan Federasi).
Dewan Perwakilan Rakyat RIS diketuai oleh Mr. Asaat. Di dalam
parlemen RIS, ada beberapa nama tokoh Tionghoa yaitu Yap Tjwan Bing dan
Siauw Giauk Tjhan. Ada dua anggota Tionghoa lainnya yang mewakili BFO yaitu
Teng Tjin Leng dari negara bagian Indonesia Timur dan Tjoeng Lin Seng dari
negara bagian Borneo.21
Perdebatan-perdebatan di parlemen ini pada umumnya berpusat pada
pilihan antara bentuk negara kesatuan dan federasi. Hampir semua partai politik
yang ada pada waktu itu sebenarnya mendukung bentuk negara kesatuan. RIS
hanya bertahan 6 bulan (Februari 1950-Agustus 1950) selanjutnya bentuk negara
kembali menjadi republik, dan beberapa negara boneka bergabung kembali.
Pada tanggal 14 Agustus 1950 telah disetujui oleh DPR dan senat RIS
tentang Rancangan Undang-undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik
Indonesia yaitu Undang-undang No 7/1950. Selanjutnya pada tanggal 15 Agustus
1950 diadakan rapat gabungan DPR dan senat RIS. Dalam rapat itu dilakukan
suatu upacara pembacaan piagam pernyataan terbentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia oleh Presiden Soekarno yang sekaligus mempunyai dua
maksud. Pertama pembubaran resmi negara RIS yang berbentuk federasi. Kedua,
pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi seluruh daerah
21
De Vrije Pres tanggal 14 Januari 1950, Koleksi Badan Perpustakaan dan
Arsip Daerah DIY.
62
Indonesia dengan Undang-undang Dasar Sementara yang mulai berlaku pada
tanggal 17 Agustus 1950.
Berdasarkan UUDS 1950, DPR yang baru dibentuk ini mewakili seluruh
rakyat Indonesia dan terdiri atas sejumlah anggota yang besarnya ditetapkan
berdasarkan atas perhitungan setiap 300.000 jiwa penduduk warga negara
Indonesia mempunyai seorang wakil. Anggota DPR menurut UUDS dipilih dalam
suatu pemilihan umum oleh warga negara Indonesia yang memenuhi syarat-syarat
dan menurut aturan yang telah ditetapkan. Golongan kecil Tionghoa, Eropa, dan
Arab mempunyai wakil berturut-turut sekurang kurangnya 9, 6, dan 3 orang.
Pasal 77 UUDS mengatur mengenai susunan anggota dewan perwakilan
rakyat. Untuk pertama kali selama DPR belum tersusun dengan pemilihan
menurut Undang-undang, DPR terdiri atas ketua, wakil ketua, dan anggota DPR
RIS; ketua, wakil ketua dan anggota Senat; ketua, wakil ketua dan anggota Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat; serta ketua, wakil ketua dan anggota Dewan
Pertimbangan Agung.
Mengacu pada pasal di atas, maka jumlah anggota DPRS adalah 236 orang
dengan perincian 148 anggota dari DPRS RIS, 29 anggota dari senat RIS, 46
anggota dari BP KNP, dan 13 anggota dari Dewan Pertimbangan Agung Republik
Indonesia Yogyakarta. Yap Tjwan Bing termasuk asal perwakilan dari DPRS RIS
dengan nomor anggota 116.22
22
Almanak Nasional 1951, hlm. 113, Koleksi Perpustakaan Pribadi Roesli
Soetan Makmur Solo.
63
Dari jumlah 236 anggota tersebut setelah beberapa tahun berlangsung
hanya tinggal 213 orang, karena ada yang meninggal dunia atau mengundurkan
diri. Yap Tjwan Bing mengundurkan diri pada tanggal 17 Juli 1954 karena
masalah keluarga. Salah satu anaknya sangat membutuhkan bimbingannya
sebagai ayah karena mengalami depresi mental.
Sebelum mengundurkan diri dari keanggotaan DPRS, Yap sempat
mengikuti pembicaraan program Kabinet Wilopo dan ikut menyumbangkan
pikirannya terutama di bidang kemakmuran yaitu memajukan tingkat
penghidupan rakyat dengan mempertinggi produksi nasional.
Ketika di parlemen membahas tentang apotek nasional, Yap ikut andil
berbicara dan menuangkan ide. Pembahasan dilaksanakan dengan metode diskusi
terbuka. Pertemuan yang diketuai oleh Mr. Sartono selaku ketua parlemen secara
spesifik membahas penyusunan rancangan hukum tentang operasional apotek dan
apotek darurat. Hadir 120 anggota, sedangkan dari pihak pemerintah diwakili oleh
Menteri Kesehatan, Dr. Leimena.
Yap Tjwan Bing percaya bahwa manajemen apotek (kepengurusan) harus
dipegang oleh ahlinya (apoteker). Ia menekankan bahwa kebutuhan obat dalam
negeri harus didukung dengan keberadaan pabrik obat dalam negeri, agar tidak
bergantung kepada negara luar. Yap juga meminta kepada pemerintah untuk
membuat batas waktu untuk Asisten Apoteker yang mengurusi apotek. Di lain
pihak pemerintah juga harus mendahulukan mereka yang berekonomi lemah dam
64
pribumi.23
Sesudah Yap mengundurkan diri dari keanggotaan legislatif, ia
digantikan oleh kawan seperjuangannya pada masa agresi militer kedua di
Yogyakarta yaitu Tony Wen dari fraksi PNI.24
6. Yap Tjwan Bing sebagai anggota Komite Perpajakan Republik Indonesia
Pada 28 Mei 1951 menteri keuangan membentuk Komite Pajak. Komite
ini terdiri Mr. Kartadjumena sebagai ketua, IJ Kasimo wakil ketua, dan anggota
Farid Haji Alwi Isja, Hutomo Supardan, dan Drs. Yap Tjwan Bing, Sundjojo,
Mohamad Tauchid, Sardjan, Prof. SM Abidin, Handajaningrat, Ir. Lobo, Sonda
Daeng Mattajang, Sumartojo, Ngeradjai Meliala, Mr. Dr. Mulia dan sebagai
sekretaris IS Djajadiningrat.
Komite pajak bertugas memberikan masukan terkait kebijakan dalam hal
perpajakan. Pemerintah dinilai perlu segera melahirkan kebijakan pajak seperti
negara lain karena populasi masyarakat yang semakin banyak. Komite ini
menggunakan salah satu butir dari Pancasila (Keadilan sosial) sebagai panduan
dalam melaksanakan tugas. Komisi ini tidak hanya mengurusi tentang keuangan
saja, namun juga isu ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Perbedaan komisi milik
Indonesia dengan negara lain yaitu negara lain membutuhkan waktu bertahun-
tahun untuk memberikan laporan, sedangkan untuk komisi pajak Republik
23
Java Bode tanggal 21 Januari 1953, Koleksi Badan Perpustakaan dan
Arsip Daerah DIY. 24
De Vrije Pers tanggal 6 Agustus 1954, Koleksi Badan Perpustakaan dan
Arsip Daerah DIY. Terkait keluarnya Yap Tjwan Bing dari PNI juga dijelaskan
dalam Suluh Indonesia tanggal 17 Juni 1954, Koleksi Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia Jakarta.
65
Indonesia ini hanya diberi waktu selama 1,5 tahun dan tiap 3 bulan sekali harus
memberikan laporan kepada pemerintah.
Komite ini terdiri atas berbagai golongan dengan latar belakang berbeda
dan mereka mempunyai tanggungjawab masing-masing. Kebijakan mereka bebas
dari tekanan pemerintah. Meskipun anggotanya juga berasal dari berbagai partai,
namun pemerintah tidak melakukan tekanan terhadap analisa tim ekonomi ini.25
Dua tahun kemudian, menurut keputusan presiden, anggota komisi revisi
sistem pajak, yang dibentuk pada tahun 1951, dibubarkan fungsi dan
kepengurusannya. Mulai 1 Januari 1953, anggota baru komite yang terpilih adalah
Mr. Jusuf Wibisono (ketua), Hutomo Supardan (wakil ketua), Mr. Yap Tjwan
Bing, Subadio Sastrosatomo, Moh. Thohar, Surjono Sastrohadikusumo dan Mr.
dr. T.G. Mulia. Tugas komisi menyusun sistem pajak nasional dan atas
permintaan menteri keuangan untuk memberi masukan atas langkah-langkah di
dalam perpajakan. Yap dipilih kembali dalam kepengurusan karena
kepribadiannya dianggap baik dan memahami persoalan ekonomi.26
25
Het Nieuwsblad Sumatra tanggal 28 Mei 1951, Koleksi Badan
Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY. 26
Java Bode tanggal 6 Februari 1953, Koleksi Badan Perpustakaan dan Arsip
Daerah DIY.
66
B. Aktivitas Sosial Yap Tjwan Bing
1. Yap Tjwan Bing dan Beberapa Aktivitas Sosial di Bandung
Dikenal sebagai tokoh yang malang-melintang di Bandung Jawa Barat,
Yap Tjwan Bing menjadi salah satu orang yang sering masuk dalam jajaran
kalangan yang dipercayai masyarakat Bandung. Selain kiprahnya di bidang
politik, bidang sosial dan wisata juga merupakan ruang aktivitas Yap Tjwan Bing.
Di dunia pariwisata nama Yap Tjwan Bing masuk dalam jajaran 50 pengurus yang
tertarik memajukan “Bandung Permai”.
Keanggotaan serta kepengurusan dari Bandung Permai yang dibentuk di
Hotel Preangan dengan alamat kesekertariatan di Jalan Kencana 6 Bandung.
Berikut merupakan daftar kepengurusan yang dibentuk tersebut:
Ketua: WH Hoogland.
Wakil : R.A.A.A. Soerianataatmadja;
Sekretaris : R. Soele;
Bendahara : R.Adil Poerwadiredje;
Anggota khusus : R. Oetit Gandasasmita Koesoemah, R. Enoeh, RT
Wiranatakoesoema, R. Roesli, RT Dendadikoesoemoeah, R. Senosastro,
DP. Palar, Drs.Yap Tjwan Bing, Mr. Yap King Tik, Loe Nji Njan, MA.J.
Kelling, Prof. L. vd Pijl, W. de Grooth, Dr. Soeria Soemantri, Djamal Ali,
67
R. Soeratno Wirjoatmodjo, MO Martakoesoemah, PA Tambajong, Th. A.
Koremans.27
Bandung Permai adalah organisasi yang fokus dalam pengembangan
budaya dan wisata Bandung. Asosiasi ini merupakan kelanjutan dari Bandoeng
Vooruit/Bandung Maju yang dibentuk pada masa Hindia Belanda 17 Februari
1925.
Sejak dahulu, Bandoeng Vooruit melakukan berbagai langkah kongkrit
dalam mempercantik Bandung di antaranya pengerjaan konstruksi jalan menuju
kawah Tangkuban Perahu dan Papandayan, pendirian beberapa sekolah,
penempatan tiang petunjuk jalan di jalanan Bandung, pembuatan kursi di area-
area publik, persiapan pembentukan kebun binatang, pembuatan kolam
pemberdayaan ikan dan akuarium, pembuatan jalan menuju sumber air hangat di
kawah Cikijang (yang kemudian berubah menjadi Resor Baja Mari), serta
beberapa langkah kongktit lainnya. Bandung Vooruit kini menjadi Bandung
Permai, di mana kepengurusannya berada di tangan orang Indonesia. Hal ini
dianggap penting agar orang Indonesia mempunyai ketertarikan dan kepedulian
yang cukup terhadap kotanya.
Keberhasilan tersebut juga karena bantuan beberapa pihak di antaranya
Teknis Hooge Skul, Departemen G 8, Kantor Pertanahan, Dana Pension, Museum
Geologi dan berbagai institusi lain yang dibentuk di Bandung. Selanjutnya banyak
27
De Preangerbode tanggal 24 Juli 1953, Koleksi Badan Perpustakaan
dan Arsip Daerah DIY.
68
orang yang masuk dari asosiasi ini menyusun berbagai program. Program tersebut
sebagai berikut:
a. Perbaikan dan peningkatan akses menuju Tangkuban Perahu dan
adanya pertimbangan untuk mengelola kawasan tersebut dengan lebih
matang.
b. Pemberian bantuan dan kerjasama organisasi demi kepentingan
Bandung seluruhnya, terutama bagaimana Bandung semakin dikenal
akan panoramanya.
c. Perbaikan jalan menuju kawah Papandayan.
d. Mengemas kawasan Lembang dan Pangalengan agar lebih menarik
minat wisatawan.28
Bandung bukan saja tempat tinggal bagi Yap Tjwan Bing, namun juga
tempat berkegiatan sosial, dan tempat membangun kehidupan ekonomi. Berkutat
di bidang farmasi sudah menjadi kebiasaan Yap sejak awal. Pada tahun 1953, Yap
menjadi apoteker di Apotek Naripan milik Ko Kwoeat Oen – Tamim. Yap adalah
apoteker yang cukup terkenal di Bandung.29
Saat Yap sibuk dengan aktivitasnya
di PNI dan RIS, apotek dan pabrik obat Pastiles Lokomotif di Bandung, diurus
oleh istrinya.
Di tahun 1950, Yap juga ditunjuk oleh Ir. Kosasih, rektor ITB, sebagai
dewan kurator ITB Bandung. Tugasnya antara lain memberikan arah kebijakan
dalam rangka mencapai maksud dan tujuan, serta pengembangan universitas. Yap
28
Ibid. 29
De Preangerbode tanggal 12 Desember 1953, Koleksi Badan
Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY.
69
menjadi satu-satunya warga keturunan Tionghoa yang duduk sebagai dewan
kurator, Yap selalu dimintai keterangan berkenaan dengan mahasiswa WNI
keturunan Tionghoa di ITB. Lewat jemaat gerejanya pula, Yap pernah
menggalang dana untuk membantu perbaikan asrama mahasiswa ITB. Dana
tersebut dikumpulkan melalui pemutaran film The Greatest Story Ever Told di
bioskop Elita Bandung. Hasil dari penjualan karcis diserahkan kepada sekretaris
ITB.30
Meskipun Yap berdarah Tionghoa, ia dipercaya sebagai perwakilan dari
SSKA (Serikat Sekerdja Kereta Api), yang kemudian bernaung di bawah Badan
Penghubung Serikat-Serikat Sekerdja (BPSS). SSKA sendiri kemudian berfusi
dengan Persatuan Beamte Spoor dan Tram (PBST) menjadi Persatuan Buruh
Kereta Api (PBKA).31
C. Kasus Pidana Pretex melawan NV. Cetivo (1951-1952)
Di luar semua aktivitas sosial politik yang dijalaninya, Yap Tjwan Bing
juga menekuni dunia perdagangan. Salah satunya adalah dengan bergabung dalam
perusahaan di Jawa Barat, NV Cetivo (Centrale Textiel In-en Verkoop
Organisatie). Perusahaan ini bergerak di bidang konveksi dan dikenal sebagai
Pusat Perdagangan Tenun Indonesia. Layaknya hubungan dalam dunia
perdagangan, NV Cetivo merupakan mitra dagang dari Pretex (Preanger Textiel
30
Yap Tjwan Bing, Meretas Jalan Kemerdekaan: Otobiografi Seorang
Pejuang Kemerdekaan, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 58-59. 31
Surat Kabar Priangan tanggal 29 September 1948, Koleksi Badan
Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY.
70
Bond) atau Gabungan Pabrik-Pabrik Tenun Priangan. Pretex merupakan
perusahaan besar yang mencakupi wilayah Jawa Barat dan Padang (Sumatera
Barat). Cetivo dibuat oleh Pretex sebagai badan yang secara khusus mengurus
pemasaran benang dan penjualan tekstil. Pretex memberikan dana sebesar
Rp590.000,00 serta beberapa alat angkut berupa tiga buah truk kepada Cetivo
sebagai mitra usaha. Pada perkembangannya, Cetivo yang awalnya hanyalah
bagian dari perusahaan Pretex, justru berubah menjadi NV (Naamlooze
Vennootschap) atau PT (Perseroan Terbatas) sehingga tanggungjawab
pemegangnya terbatas sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya.
Kemitraan dagang antara dua perusahaan tekstil ini di kemudian hari
berubah saling gugat di pengadilan akibat keteledoran managemen dari NV
Cetivo. Beberapa orang di luar dari pihak Pretex dapat menduduki posisi penting
dalam Cetivo, di antaranya Yap King Tik (ketua), Ir. Koe Tjhee Hie (Sekretaris),
dan Drs.Yap Tjwan Bing (direktur). Orang-orang Pretex yang berada dalam NV
Cetivo menganalisa ada arah bahwa setelah mengalami kemajuan, NV Cetivo
akan menguasai Pretex.32
Pihak Pretex menganggap bahwa pihak NV Cetivo
melakukan penggelapan perusahaan. Gugatan dari Pretex di antaranya :
1. Penggelapan tiga buah truk.
2. Penggelapan arsip (buku, notulen, dan sebagainya).
32
Keng Po tanggal 5 Januari 1952, Koleksi Badan Perpustakaan dan Arsip
Daerah DIY .
71
3. Penipuan dan penggelapan uang organisasi sebesar Rp590.000,0033
Kasus tersebut terkenal dengan Kasus Pretex - Cetivo. Awalnya Pretex
berusaha menggugat secara perdata pihak NV Cetivo, namun karena negatif,
maka Pretex melakukan gugatan secara kriminal. Gugatan tersebut pun tidak
digubris pihak NV Cetivo sehingga Sie Yong Djioe selaku salah satu petinggi
Pretex melakukan publikasi lewat media massa. Pernyataan di media inilah yang
kemudian justru membuat pihak NV Cetivo bereaksi dan melakukan gugatan
balik ke pihak atas tuduhan pencemaran nama baik. Pihak NV Cetivo yakni Yap
Tjwan Bing (ex Direksi) dan Yap King Tik (Konsultan).
Publikasi di media massa terkait ketidakmaksimalan pihak NV Cetivo
dimulai pada 19 November 1951. Pernyataan awal dari pihak Pretex juga
dianggap kurang tepat dan memunculkan salah paham di pihak NV Cetivo
sehingga pihak Pretex melakukan klarifikasi berita. Sie Yong Djioe mengatakan
bahwa pihak direksi yang dimaksud adalah direksi pada masa jabatan kedua di
antaranya Yap Tjwan Bing, Lim Toeng Hwie dan Mr. Yap King Tik sebagai
konsultan, hingga berlanjut pada direksi ketiga ini di bawah pimpinan Ling Toeng
Hie, Tan Sin Hwie dan Yap King Flip (Konsultan).34
Dari pihak NV Cetivo, gugatan yang dilakukan oleh Yap Tjwan Bing
berdasarkan atas pernyataan di media dari Sie Yong Djioe. Sie Yong Djie dari
Pretex menyatakan bahwa Cetivo akan dilikuidasi (dibubarkan), serta dengan jelas
33
Keng Po tanggal 31 Januari 1952, Pengumuman Terbuka Kasus Pretex
Cetivo yang dikeluarkan oleh Pretex, Koleksi Badan Perpustakaan dan Arsip
Daerah DIY . 34
De Preangerbode tanggal 28 Desember 1951, Koleksi Badan
Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY.
72
menyebut nama-nama direktur dan mantan direktur Cetivo yang sudah tidak
berkedudukan di jajaran direksi. Pretex juga akan menuntut NV Cetivo secara
perdata terkait soal penggelapan. NV Cetivo didirikan sebagai pusat penjualan
benang dan penjualan produksi tekstil, dan sempat berhubungan baik dengan
Pretex yaitu asosiasi produsen tekstil di Jawa Barat.35
Kasus yang berjalan selama kurang lebih 16 bulan tersebut menyita
banyak perhatian kalangan bisnis di Bandung. Bahkan di pengadilan terakhir pada
akhir April 1952, banyak saksi yang dihadirkan. Menanggapi perkara ini, Yong
Sie Djioe menyatakan bahwa dia adalah satu-satunya petinggi yang
bertanggungjawab di Pretex, tanpa melibatkan direksi lain. Yong Sie Djioe juga
mengakui belum mengklarifikasi berita secara total, dan dalam gugatan ini, secara
personal ia tidak ada masalah dengan Yap Tjwan Bing selaku mantan direksi NV
Cetivo. Kasus yang bergulir murni urusan gugatan terhadap managemen NV
Cetivo. Bahkan setelah persidangan selesai, keduanya saling berjabat tangan,
karena di luar masalah managemen ini mereka memiliki hubungan pertemanan
yang baik.36
Meskipun demikian Yap Tjwan Bing melakukan gugatan terhadap Pretex
karena dinilai telah mencemarkan namanya. Yap Tjwan Bing menjabat sebagai
direksi NV Cetivo pada tahun 1949, dan di tahun 1950 ia sudah berhenti. Yap
Tjwan Bing tentu saja heran dengan sikap Yong Sie Djioe. Berdasarkan sikap dari
35
De Preangerbode tanggal 10 Januari 1952, Koleksi Badan Perpustakaan
dan Arsip Daerah DIY. 36
De Preangerbode tanggal 30 April 1952, Koleksi Badan Perpustakaan
dan Arsip Daerah DIY.
73
hakim sidang, Mr. Astrawinata, Yap Tjwan Bing selaku direksi di tahun 1949,
masih bertanggungjawab terhadap perkara pidana NV Cetivo.37
Sebagai kelanjutan dari kasus yang lama berjalan tersebut, akhirnya
diputuskan oleh hakim dan disetujui oleh kedua pihak bahwa kasus diselesaikan
secara kekeluargaan. NV Cetivo membayarkan uang sejumlah Rp50.000,00 dan
tiga truk (yang saat sidang ditahan polisi). Di samping hal tersebut, beberapa
direksi dan komisaris dari NV Cetivo, selaku anggota Pretex, termasuk Yap
Tjwan Bing, diminta untuk keluar dari Cetivo. Untuk direksi yang lain masih
harus bertanggungjawab terhadap gugatan pidana dari Pretex. Meskipun disini
pihak Pretex mengalami kerugian, karena saham sebesar Rp590.000,00 tidak
dapat diambil bunganya, keputusan tersebut dianggap paling baik untuk disetujui.
38
Kasus pidana Pretex melawan Cetivo ini cukup menarik perhatian bagi
masyarakat luas di Bandung. Banyak yang meramalkan bahwa bila Cetivo
membayar gugatan Pretex, sudah tentu Cetivo akan mengalami kebangkrutan atau
gulung tikar. Jika Cetivo melakukan kompromi dengan Pretex, berarti Cetivo
mengakui tuduhan-tuduhan dari Pretex yang didasarkan atas penggelapan
sehingga nama Cetivo menjadi rusak dalam dunia perdagangan.39
37
Keng Po tanggal 31 Januari 1952, Pengumuman Terbuka Kasus Pretex
Cetivo yang dikeluarkan oleh Pretex, Koleksi Badan Perpustakaan dan Arsip
Daerah DIY . 38
De Preangerbode tanggal 15 Mei 1952, Koleksi Badan Perpustakaan
dan Arsip Daerah DIY. 39 Keng Po tanggal 5 Januari 1952, Koleksi Badan Perpustakaan dan Arsip
Daerah DIY .
74
D. Yap dan Aktivitasnya dalam Bidang Farmasi
Meski disibukkan dengan kegiatan politik dan sosial, Yap tak lantas
meninggalkan dunia farmasi yang menjadi fokus pendidikannya dulu. Yap
dibantu sang istri menjalankan bisnis apotek di Bandung. Di Bandung pula, Yap
mendirikan pabrik pastilles, Pabrik Pastilles Sehat dan Lokomotif. Pabrik ini
membuat permen kesehatan/obat pastilles untuk sakit kepala dan flu.
Salah satu koresponden surat kabar lokal di Bandung pernah mengalami
migren kronis. Dia kemudian minum obat tersebut dan beberapa pastiles untuk
seraknya dan langsung sembuh. Hal inilah yang menjadi salah satu iklan promosi
keampuhan obat buatan Yap Tjwan Bing di surat kabar.40
Sebagai apoteker, Yap juga sempat mengemukakan pendapatnya dalam
diskusi terbuka yang membahas penyusunan rancangan hukum tentang
operasional apotek dan apotek darurat. Yap berpendapat bahwa kepengurusan
apotek harus dipegang oleh ahlinya. Yap juga menekankan bahwa kebutuhan obat
dalam negeri harus didukung dengan keberadaan obat dalam negeri agar tidak
bergantung kepada negara luar. Yap juga meminta kepada pemerintah untuk
membuat batas waktu untuk Asisten Apoteker yang mengurusi apotek. Di lain
pihak pemerintah juga harus mendahulukan mereka yang berekonomi lemah dan
pribumi.41
40
De Preangerbode tanggal 27 Maret 1956, Koleksi Perpustakaan dan
Arsip Daerah DIY. 41
Java Bode tanggal 21 Januari 1953, Koleksi Badan Perpustakaan dan
Arsip Daerah DIY.