Download - BAB II.docx
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori
subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan.
B. Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus),
somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang
berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari
daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan
kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga
lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri
yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang
timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi
sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana
nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai
teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori
gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007). Teori gate
control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat
diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat.
Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan
dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup
pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol
desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C
melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls
melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-
A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter
penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka
akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat
terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan
yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka
pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls
nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang
memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti
endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh.
Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat
pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo
merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)
Respon fisiologis terhadap nyeri
a. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
i. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
ii. Peningkatan heart rate
iii. Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
iv. Peningkatan nilai gula darah
v. Diaphoresis
vi. Peningkatan kekuatan otot
vii. Dilatasi pupil
viii. Penurunan motilitas GI
b. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
i. Muka pucat
ii. Otot mengeras
iii. Penurunan HR dan BP
iv. Nafas cepat dan irreguler
v. Nausea dan vomitus
vi. Kelelahan dan keletihan
Respon tingkah laku terhadap nyeri
a. Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
b. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
c. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
d. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan
gerakan jari & tangan
e. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,
Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd
aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi
sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau
menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu
letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri
hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi
mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
a. Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini
bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang
belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran
perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan
informasi pada klien.
b. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat
subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.
Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan
orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan
stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum
nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana
orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar
endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit
merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri
lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari
ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan
klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang
menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila
klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang
tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus
seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
c. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien
masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis,
sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila
klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath)
dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam
membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan
kemungkinan nyeri berulang.
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
a. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika
sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung
memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri
adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami
penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
b. Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara
signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya
(ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh
nyeri).
c. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan
bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan
kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
d. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan
dan bagaimana mengatasinya.
e. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Teknik
relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
f. Anxietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.
g. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat
ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di
masa lalu dalam mengatasi nyeri.
h. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.
i. Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.
C. Skala Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda. Pengukuran subjektif nyeri dapat dilakukan dengan
menggunakan berbagai alat pengukuran nyeri salah satu nya yaitu menggunakan
skala nyeri numerik. (Tamsuri, 2007).
Gambar 2
Skala Intensitas Nyeri Numerik 0-10
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan Secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang Secara obyektif klien mendesis,menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat Secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri,
tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas
panjang dan distraksi
Nyeri
ringan
Nyeri
berat
Nyeri
sedang
Nyeri
sangat
berat
Tidak
Ada
nyeri
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
10 : Nyeri sangat berat Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
C. Manajemen Nyeri Non Farmakologis
Terapi Musik
Tehnik Terapi Musik
1) Memilih sebuah tempat yang tenang dan bebas dari gangguan untuk
memulai melakukan terapi musik, khusunya untuk relaksasi, serta dapat
disempurnakan dengan menyalakan lilin wangi aromaterapi guna
membantu menenangkan tubuh.
2) Pada awalnya mendengarkan berbagi jenis musik untuk mengetahui respon
dari tubuh.
3) Lalu duduk di lantai, dengan posisi tegak dengan kaki bersilangan, ambil
nafas dalam-dalam, tarik dan keluarkan perlahan-lahan melalui hidung.
4) Mendengarkan dengan seksama instrumennya saat musik dimainkan,
seolah-olah pemainnya sedang ada di ruangan memainkan musik khusus.
Bisa dengan duduk lurus di depan speaker, atau bisa juga menggunakan
headphone.
5) Membayangkan gelombang suara itu datang dari speaker dan mengalir
keseluruh tubuh. Fokuskan dalam ke dalam jiwa ditempat mana yang ingin
disembuhkan dan suara tersebut mengalir ke sana. Mendengarkan, sembari
membayangkan alunan musik mengalir melewati seluruh tubuh dan
melengkapi kembali sel-sel, lapisan tipis tubuh dan organ dalam.
6) Mendesain sesi mendengarkan musik secara teratur setelah mengetahui
bagaimana tubuh merespon pada instrumen, warna nada, dan gaya musik
yang didengarkan.
Idealnya, terapi musik dilakukan selama kurang lebih 30 menit hingga satu
jam setiap hari, namun jika tidak memiliki cukup waktu minimal selama10 menit,
karena selama waktu 10 menit musik telah membantu pikiran untuk beristirahat.
D. MANAJEMEN NYERI PASCAOPERASI
The World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk
meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini
dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi yang
logis untuk mengatasi nyeri.
Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan
adalah Obat Anti-
Inflamasi non steroid,
Aspirin, atau Paracetamol
yang merupakan obat-
obatan yang bekerja di
perifer. Apabila dengan
obat-obatan ini, nyeri tidak
dapat teratasi, maka
diberikan obat-obatan golongan Opioid lemah seperti kodein dan
dextropropoxyphene disertai dengan obat –obat lain untuk meminimalisasi efek
samping yang timbul. Apabila regimen ini tidak juga dapat mencapai kontrol
nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan Opioid Kuat,
misalnya Morfin.
Belakangan, World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA)
Analgesic Ladder telah dikembangkan untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya,
nyeri dapat dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan
dengan analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan berkurang seiring
berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan
dapat dihentikan. Anak tangga kedua pada WFSA Analgesic Ladder adalah
pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak
lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan
menggunakan kombinasi dari obat-obat yang berkerja di perifer dan opioid lemah.
Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan
menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.
E. Anestesi Lokal
Penggunaan teknik anestesi regional pada pembedahan memiliki efek yang positif
terhadap respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya
perdarahan dan nyeri yang teratasi dengan baik. Singkatnya, teknik apapun yang
dapat digunakan dalam prosedur bedah menghasilkan hasil yang nyaris sempurna
untuk menghilangkan nyeri pascaoperasi apabila efeknya diperpanjang hingga
melebihi durasi pembedahan. Ada beberapa teknik anestesi lokal sederhana yang
dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi untuk memberikan pain relief yang
efektif. Sebagian besar dapat dilakukan dengan risiko minimal termasuk infiltrasi
anestesi lokal, blokade saraf perifer atau pleksus dan teknik blok perifer atau
sentral. Meskipun begitu, kita tidak boleh mengharapkan anelgesi lokal saja dapat
mengatasi nyeri pasca operasi, karena nyeri pascaoperasi memiliki banyak faktor
penyebab. Karena nyeri timbul dari multifaktor, maka manajemen nyeri
pascaoperasi haruslah terdiri dari kombinasi pendekatan untuk mencapai hasil
terbaik.
F. Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti
Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam.
Apabila nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang atau dengan
menggunakan infus. Blokade pleksus atau saraf perifer akan memberikan
analgesia selektif di bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau
saraf tersebut. Teknik-teknik ini dapat digunakan untuk memberikan
anestesi untuk pembedahan atau khusus untuk nyeri pasca-operasi. Teknik-
teknik ini dapat sangat berguna jika suatu blok simpatik diperlukan untuk
meningkatkan suplai darah pascaoperasi atau apabila blokade pusat seperti
blokade spinal atau epidural merupakan kontraindikasi.
G. Spinal anestesi memberikan analgesia yang sangat baik untuk operasi di
tubuh bagian bawah dan pain relief bisa berlangsung berjam-jam setelah
selesai operasi jika dikombinasikan dengan obat-obatan yang mengandung
vasokonstriktor. Penggunaan teknik epidural membutuhkan praktisi yang
berpengalaman dan pelatihan khusus bagi staf perawat dalam pengelolaan
pasca-operasi pasien. Kateter epidural dapat ditempatkan baik di leher,
toraks atau daerah lumbal tetapi blokade epidural lumbal adalah yang paling
umum digunakan. Meskipun infus kontinu anestesi lokal dapat
menghasilkan analgesia sangat efektif, teknik ini juga menghasilkan efek
samping yang tidak diinginkan seperti hipotensi, blok sensorik dan motorik,
mual dan retensi urin. Kombinasi obat bius lokal dengan opioid yang
diberikan secara sentral dapat mengurangi sebagian dari masalah ini.
H. Analgesik Non-Opioid
I. Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh
dunia adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-
obatan utama untuk nyeri ringan sampai sedang.
J. Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh
dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera
dimetabolisme menjadi asam salisilat yang memiliki sifat analgesik dan,
mungkin, anti-inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asam salisilat memiliki
waktu paruh hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga dosis
tinggi akan mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja
aspirin dapat berkurang apabila diberika bersama-sama dengan antasida.
K. Aspirin memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan,
menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek
antiplateletnya yang irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan aspirin
untuk pain relief pascaoperasi harus dihindari apabila masih tersedia obat-
obatan alternatif lainnya. Aspirin juga memiliki keterkaitan epidemiologis
dengan Reye’s Syndrome dan harus dihindari untuk diberikan sebagai
analgesia pada anak-anak usia di bawah 12 tahun.
L. Dosis berkisar dari minimal 500mg, per oral, setiap 4 jam hingga
maksimum 4g, per oral per hari.
M. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik
dan antiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi sintesis
prostaglandin oleh enzim cyclo-oxygenase yang mengkatalisa konversi
asam arakidonat menjadi prostaglandin yang merupakan mediator utama
peradangan. Semua OAINS bekerja dengan cara yang sama dan karenanya
tidak ada gunanya memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS
pada umumnya, lebih berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan
kulit, mukosa buccal, dan permukaan sendi tulang.
N. Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan lamanya
tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama jangka
waktu yang panjang maka dipilih obat dengan waktu paruh yang panjang
dan efek klinis yang lama. Namun, obat-obatan kelompok ini memiliki
insiden tinggi untuk efek samping penggunaan jangka panjang dan harus
digunakan dengan hati-hati. Semua OAINS mempunyai aktivitas
antiplatelet sehingga mengakibatkan pemanjangan waktu perdarahan. Obat-
obatan ini juga menghambat sintesis prostaglandin dalam mukosa lambung
dan dengan demikian menghasilkan pendarahan lambung sebagai efek
samping.
O. Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah : setiap
riwayat ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang
berhubungan dengan kehilangan darah yang banyak, asma, gangguan ginjal
sedang hingga berat , dehidrasi dan setiap riwayat hipersensitif untuk
OAINS atau aspirin.
P.
Q. Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara
klinis efektif, murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah
dibandingkan dengan OAINS lainnya. Alternatif lainnya adalah diclofenak,
naproxen, piroxicam, ketorolac, indometasin dan asam mefenamat. Apabila
rute oral tidak tersedia obat dapat diberikan dengan rute lain seperti
supositoria, injeksi atau topikal. Aspirin dan sebagian besar OAINS tersedia
sebagai supositoria dan diserap dengan baik.
R. Opioid Lemah
S. Codeine adalah analgesik opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid
(seperti morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin, memiliki efek yang
dapat diprediksi bila diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit
ringan hingga sedang. Codeine dapat dikombinasikan dengan parasetamol
tetapi harus berhati-hati untuk tidak melampaui maksimum dosis yang
dianjurkan bila menggunakan kombinasi parasetamol tablet.
T. Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam dengan maksimum
300mg setiap hari.
U. Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan dengan metadon tetapi
memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal ini sering dipasarkan dalam
kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan yang sama seperti Codeine
harus diawasi.
V. Dosis berkisar dari 32.5mg (dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai
60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap hari.
W. Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer sangat
berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit yang
berlebihan tidak diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan:
X.
Y. Parasetamol 500mg/codeine 8mg tablet. 2 tablet setiap 4 jam sampai
maksimum 8 tablet perhari.
Z. Apabila analgesia tidak mencukupi - Parasetamol 1g secara oral dengan
Kodein 30 sampai 60mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum 4 dosis dapat
digunakan.
AA. Opioid Kuat
BB. Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral
membutuhkan Opioid kuat sebagai analgesianya. Perawatan yang tepat
dimulai dengan pemahaman yang benar tentang obat, rute pemberian dan
modus tindakan. Pemberian awal akan mencapai konsentrasi obat yang
efektif sehingga lebih mudah untuk mempertahankan tingkat terapeutik obat
di dalam darah.
CC. Pemberian melalui rute oral mungkin tidak tersedia segera setelah
pembedahan. Jika fungsi gastrointestinal normal setelah operasi kecil atau
besar,maka analgesia kuat tidak diperlukan. Namun, rute oral mungkin
tersedia pada pasien yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga
opioid kuat seperti morfin dapat digunakan karena morfin sangat efektif per
oral. Bila pasien tidak dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara
pemberian lain harus dilakukan. Secara umum, analgesia yang efektif dapat
diberikan melalui suntikan.
DD. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyerapan obat. Mungkin ada
variasi yang besar dalam darah dan tingkat penyerapan opioid setelah
injeksi intramuskular. Ini mungkin dipengaruhi oleh gangguan hepatik atau
penyakit ginjal, usia yang ekstrim dan adanya terapi obat yang lain. Kondisi
apapun yang mengurangi aliran darah perifer dapat mengganggu
penyerapan obat dan dengan demikian, mengurangi suhu tubuh,
hipovolemia dan hipotensi semua ini akan mengakibatkan menurunnya
penyerapan dari situs injeksi. Hipotermia dan hipotiroidisme keduanya
menyebabkan penurunan metabolisme yang menyebabkan peningkatan
kepekaan terhadap obat-obatan.
EE.
FF. Metode menggunakan obat opioid
GG. Rute oral adalah yang paling banyak digunakan karena merupakan rute yang
paling dapat diterima oleh pasien. Kekurangan dari rute oral untuk
mengobati nyeri akut adalah bahwa penyerapan opioid dapat berkurang
akibat keterlambatan pengosongan lambung pascaoperasi. Mual dan muntah
dapat mencegah penyerapan obat-obatan yang diberikan secara oral dan di
samping itu,bioavailabilitas berkurang setelah metabolisme di dinding usus
dan hati. Jadi rute oral mungkin tidak cocok dalam banyak kasus.
HH. Rute sublingual menawarkan beberapa keuntungan teoritis administrasi
obat. Penyerapan terjadi langsung ke sirkulasi sistemik karena tidak
melewati metabolisme lintas pertama. Obat yang telah paling sering
digunakan oleh rute ini adalah buprenorfin yang cepat diserap dan memiliki
durasi kerja yang panjang (6 jam).
II. Rute supositoria. Kebanyakan analgesik opioid bergantung pada
metabolisme jika diberikan melalui mulut. Rute dubur adalah alternatif yang
berguna, terutama jika terdapat nyeri berat yang disertai dengan mual dan
muntah. Opioid dapat diberikan dengan efektif melalui supositoria tetapi
tidak ideal untuk terapi segera nyeri akut karena bereaksi lambat dan
kadang-kadang penyerapannya tidak menentu, meskipun secara ideal cocok
untuk pemeliharaan analgesia. Rektal dosis untuk sebagian besar opioid
kuat adalah sekitar setengah yang dibutuhkan oleh rute oral. Ketersediaan
opioid untuk penggunaan rektal sangat bervariasi di seluruh dunia.
JJ. Administrasi intramuskular mewakili teknik yang optimal bagi negara
berkembang. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, dengan metode ini efek
analgesia akan berhubungan dengan banyak faktor. Sebuah cara sederhana
untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melaksanakan analgesik secara
reguler setiap 4 jam. Bahkan, telah dibuktikan bahwa injeksi intramuskular
opioid dapat sebagus yang dari Patient Controlled Analgesia (PCA). Untuk
mencapai tingkat ini diperlukan penilaian anlagesia reguler, pencatatan skor
nyeri dan pengembangan algoritme pemberian analgesia, tergantung dari
tingkat nyeri.
KK. Intravena. Selama bertahun-tahun telah menjadi tindakan yang umum untuk
memberikan bolus opioid baik dalam durante operasi dan pemulihan pasca-
operasi untuk menghasilkan analgesia langsung. Rute ini memiliki
kelemahan fluktuasi produksi konsentrasi plasma obat yang disuntikkan,
meskipun bila dilakukan dengan hati-hati injeksi intravena dapat meredakan
nyeri dengan lebih cepat dari metode lain. Namun secara umum teknik
infus, baik oleh suntikan intermiten atau dengan infus, tidak sesuai kecuali
dalam pengawasan ketat dan berada dalam unit terapi intensif karena secara
inheren berbahaya jika pasien dibiarkan tanpa pengawasan bahkan untuk
periode singkat.
LL.
MM. Patient Controlled Analgesia (PCA)
NN. Patient Controlled Analgesia (PCA) menjadi populer ketika diketahui
bahwa kebutuhan individu untuk opioid bervariasi. Oleh karena itu disusun
suatu sistem di mana pasien dapat mengelola analgesia intravena mereka
sendiri dan mentitrasi dosis titik akhir penghilang rasa sakit mereka sendiri
menggunakan mikroprosesor kecil yang dikontrol dengan sejenis pompa.
Berbagai perangkat komersial sekarang tersedia untuk tujuan ini.. Dengan
demikian mereka dapat menyesuaikan tingkat analgesia yang diperlukan,
menurut keparahan rasa sakit. Secara teori, tingkat plasma dari analgesik
akan relatif konstan dan efek samping yang disebabkan oleh fluktuasi
tingkat plasma akan dihilangkan.
OO. Untuk mencapai keberhasilan dan keamanan analgesia dengan PCA maka
pasien harus mengerti apa yang perlu dilakukan dan ini harus dijelaskan
secara rinci sebelum operasi. Hampir setiap obat opioid telah digunakan
untuk PCA. Secara teori, obat yang ideal harus memiliki onset yang cepat,
durasi kerja sedang, dan memiliki margin keselamatan yang luas antara
efektivitas dan efek samping. Pilihan biasanya tergantung pada
ketersediaan, preferensi pribadi dan pengalaman. Sekali pilihan telah dibuat
parameter-parameter lainnya perlu ditentukan termasuk ukuran bolus dosis,
jangka waktu minimum antara dosis (kunci-habis) dan dosis maksimum
yang diperbolehkan.
PP. Morfin adalah obat yang paling populer dan akan digunakan sebagai contoh.
Dosis ideal morfin telah ditemukan yaitu 1mg. Namun, tinjauan ulang
diperlukan dalam setiap kasus untuk memastikan bahwa analgesia telah
memadai. Tujuan jangka waktu minimum antar dosis adalah untuk
mencegah terjadinya overdosis. Jangka waktu minimum antar dosis harus
cukup lama untuk dosis sebelumnya memiliki efek. Dalam prakteknya,
jangka waktu ini berkisar antara 5 dan 10 menit cukup untuk sebagian besar
opioid. Dalam prakteknya, adalah lebih logis untuk menerima bahwa
persyaratan analgesik pasien akan sangat bervariasi dan beberapa pasien
mungkin memerlukan jumlah yang sangat besar untuk mencapai nyeri yang
memadai.
QQ. Pasien yang menggunakan PCA biasanya mentitrasi analgesia mereka ke
titik di mana mereka merasa nyaman dan bukannya rasa bebas nyeri.
Alasan untuk hal ini adalah tidak jelas tetapi mungkin berkaitan dengan
kekhawatiran akan overdosis, kebutuhan untuk kontak dengan anggota staf
rumah sakit dan harapan setelah operasi.