49
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Pengertian dan Konsep Pemerintahan Daerah
Pemerintahan memiliki dua arti, yakni dalam arti luas dan dalam arti
sempit. Pemerintahan dalam arti luas yang disebut regering atau goverment, yakni
pelaksanaan tugas seluruh badan-badan, lembaga-lembaga dan petugas-petugas
yang diserahi wewenang mencapai tujuan negara. Arti pemerintahan meliputi
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisiil atau alat-alat kelengkapan negara
yang lain yang juga bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan pemerintah
dalam arti sempit (bestuurvoering), yakni mencakup organisasi fungsi-fungsi
yang menjalankan tugas pemerintahan. Titik berat pemerintahan dalam arti sempit
ini hanya berkaitan dengan kekuasaan yang menjalankan fungsi eksekutif saja.1
Philipus M. Hadjon memberikan pendapatnya mengenai Pemerintahan
sebagai berikut:
Pemerintahan dapat dipahami melalui dua pengertian: di satu pihak dalam arti “fungsi pemerintahan” (kegiatan memerintah), di lain pihak dalam arti “organisasi pemerintahan” (kumpulan dari kesatuan-kesatuan pemerintahan). Fungsi pemerintahan ini secara keseluruhan terdiri dari berbagai macam tindakan-tindakan pemerintahan: keputusan-keputusan, ketetapan-ketetapan yang bersifat umum, tindakan-tindakan hukum perdata dan tindakan-tindakan nyata. Hanya perundang-undangan dari penguasa politik dan peradilan oleh para hakim tidak termasuk di dalamnya.2
1 Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi,
Laksbang Pressindo, Yogjakarta, hal. 41 2 Philipus M. Hadjon, dkk., 2005, Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law) Gajahmada University Press, Yogjakarta, Cet. Kesembilan, hal. 6-8
50
Menurut Suhady, pemerintah (government) ditinjau dari pengertiannya
adalah the authoritative direction and administration of the affairs of men/women
in a nation state, city, ect. Dalam bahasa Indonesia sebagai pengarahan dan
administrasi yang berwenang atas kegiatan masyarakat dalam sebuah Negara, kota
dan sebagainya. Pemerintahan dapat juga diartikan sebagai the governing body of
a nation, state, city, etc yaitu lembaga atau badan yang menyelenggarakan
pemerintahan Negara, Negara bagian, atau kota dan sebagainya.3
Dengan demikian lahirnya pemerintahan memberikan pemahaman bahwa
kehadiran suatu pemerintahan merupakan manifestasi dari kehendak masyarakat
yang bertujuan untuk berbuat baik bagi kepentingan masyarakat. Defenisi ini
menggambarkan bahwa pemerintahan sebagai suatu ilmu mencakup 2 (dua) unsur
utama yaitu: pertama, masalah bagaimana sebaiknya pelayanan umum dikelola,
jadi termasuk seluruh permasalahan pelayanan umum, dilihat dan dimengerti dari
sudut kemanusiaan; kedua, masalah bagaimana sebaiknya memimpin pelayanan
umum, jadi tidak hanya mencakup masalah pendekatan yaitu bagaimana
sebaiknya mendekati masyarakat oleh para pengurus, dengan pendekatan terbaik,
masalah hubungan antara birokrasi dengan masyarakat, masalah keterbukaan juga
keterbukaan yang aktif dalam hubungan masyarakat, permasalahan psikologi
sosial dan sebagainya.
Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia, saat ini telah
mengakibatkan pula terjadinya pergeseran paradigma dari sentralistik ke arah
desentralisasi, yang ditandai dengan pemberian otonomi kepada daerah.
3 Riawan, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 197
51
Pengalaman dari banyak negara mengungkapkan bahwa pemberian otonomi
kepada daerah-daerah merupakan salah satu resep politik penting untuk mencapai
sebuah stabilitas sistem dan sekaligus membuka kemungkinan bagi proses
demokratisasi yang pada gilirannya nanti akan semakin mengukuhkan stabilitas
sistem secara keseluruhan. Pelaksanaan desentralisasi dengan pemberian otonomi
kepada daerah tidak demikian mudahnya memenuhi keinginan daerah bahwa
dengan otonomi daerah segalanya akan berjalan lancar dan mulus. Keberhasilan
otonomi daerah sangat bergantung pada pemerintah daerah dalam hal ini adalah
DPRD dan Kepala Daerah, serta Perangkat Daerah lainnya. Dengan demikian,
perlu adanya hubungan yang harmonis antara DPRD dan Kepala Daerah.
Pembentukan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Pasal 18 UUD
1945 menjadi dasar dari berbagai produk undang-undang dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai pemerintah daerah.
Tujuan pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan
pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
disamping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal.
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah dapat dirunut dari alinea
ketiga dan keempat Pembukaan UUD 1945. Alinea ketiga memuat pernyataan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan alinea keempat memuat pernyataan
bahwa setelah menyatakan kemerdekaan, yang pertama kali dibentuk adalah
Pemerintah Negara Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang bertanggung jawab
mengatur dan mengurus bangsa Indonesia. Lebih lanjut dinyatakan bahwa tugas
Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi seluruh bangsa dan tumpah
52
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa serta ikut memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Selanjutnya Pasal 1 UUD 1945
menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
republik.” Konsekuensi logis sebagai Negara kesatuan adalah dibentuknya
pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk pertama kalinya
dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk
Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat
(2) dan ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa “Pemerintahan Daerah berwenang
untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas
Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.”
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui
otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman
Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan
berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya
ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada
kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan
kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
53
akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah pada
negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan Nasional. Sejalan
dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah merupakan
bagian integral dari kebijakan nasional.
Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan,
potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan
nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung
pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.
Daerah otonom sebagai satuan yang pemerintahan yang mandiri yang
memiliki wewenag atributif, terlebih lagi sebagai subjek hukum (publick
rechtpersoon publick legal entity) berwenang membuat peraturan-peraturan untuk
menyelenggarakan rumah tangganya. Wewenang ini mengatur ini ada pemerintah
daerah (pejabat administrasi daerah) dan DPRD sebagai pemegang fungsi legislasi
di daerah.4
Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu
kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan
mengurus sendiri Urusan Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat
kepada Daerah dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh kepala daerah dan
DPRD dengan dibantu oleh Perangkat Daerah. Urusan Pemerintahan yang
diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan pemerintahan yang ada ditangan
Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan adalah tanggung jawab akhir
pemerintahan ada ditangan Presiden. Agar pelaksanaan Urusan Pemerintahan
4 Bagir Manan, 2000, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi
Hukum FHUI, Jakarta, hal. 70
54
yang diserahkan ke Daerah berjalan sesuai dengan kebijakan nasional maka
Presiden berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Lahirnya pemerintahan pada awalnya adalah untuk menjaga suatu sistem
ketertiban di dalam masyasrakat, sehingga masyarakat tersebut bisa menjalankan
kehidupan secara wajar. Seiring dengan perkembangan masyarakat modern yang
ditandai dengan meningkatnya kebutuhan, peran pemerintah kemudian berubah
menjadi melayani masyarakat. Pemerintah modern, dengan kata lain pada
hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan
untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan
kondisi yang memungkinkan setiap anggota mengembangkan kemampuan dan
kreatifitasnya demi mencapai kemajuan bersama.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan
suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih
memperhatikan aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah
dan anta rdaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan
tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan,
55
ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga
perlu diganti, oleh karena itu pemerintah kemudian menetapkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Pemda
menyatakan bahwa: “Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.” Kemudian dalam Pasal
1 angka 4 UU Pemda menyatakan bahwa: “DPRD adalah lembaga perwakilan
rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah.”
Berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di pusat yang terdiri atas
lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan kepala daerah. DPRD dan kepala daerah
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi
mandat rakyat untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada
Daerah. Dengan demikian maka DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai
mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi
pembentukan Perda, anggaran dan pengawasan, sedangkan kepala daerah
melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah. Dalam
mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
tersebut, DPRD dan kepala daerah dibantu oleh Perangkat Daerah. Sebagai
konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah
maka susunan, kedudukan, peran, hak, kewajiban, tugas, wewenang, dan fungsi
56
DPRD tidak diatur dalam beberapa undang-undang namun cukup diatur dalam
Undang-Undang ini secara keseluruhan guna memudahkan pengaturannya secara
terintegrasi.
2.2 Pengertian dan Konsep Kewenangan
Setiap perbuatan pemerintah diisyaratkan harus bertumpu pada
kewenangan yang sah. Tanpa adanya kewenangan yang sah seorang pejabat
ataupun Badan Tata Usaha Negara tidak dapat melakukan suatu perbuatan
pemerintah. Oleh karena itu kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap
pejabat ataupun bagi setiap badan.5 Secara konseptual istilah wewenang atau
kewenangan sering disejajarkan dengan stilah Belanda “bevoegdheid”.
Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari
Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan
Lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya.Wewenang adalah kemampuan
bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan
hubungan dan perbuatan hukum.6
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi pengertian kewenangan sebagai
hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.7 Kewenangan adalah
kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap
5 Lutfi Effendi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Bayumedia
Publishing, Malang, h. 77 6 SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya
Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 154. 7 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 170
57
sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan
wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan
terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan
sesuatu tindak hukum publik”.8
Dalam membicarakan bagaimana kedudukan wewenang pemerintahan
terhadap penyelenggaraan pemerintahan tidak bisa dilepaskan kaitannya denagn
penerapan asas legalitas dalam sebuah konsepsi negara hukum yang demokratis
atau negara demokrasi yang berdasar atas hukum. Asas legalitas merupakan salah
satu prinsip utama yang dijadikan sebagai pijakan dasar dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahan di setiap negara yang menganut konsep negara
hukum.9
Dalam konsepsi negara hukum, wewenang pemerintahan itu berasal dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dikemukakan oleh
Huisman yang dikutip oleh Ridwan HR, bahwa organ pemerintahan tidak dapat
menganggap ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya
diberikan oleh undang-undang. Pembuat undang-undang tidak hanya memberikan
wewenang pemerintahan kepada organ pemerintahan akan tetapi juga terhadap
para pegawai atau badan khusus untuk itu.10
Secara umum wewenang merupakan kekuasaan untuk melakukan semua
tindakan atau perbuatan hukum publik. Dengan kata lain Prajudi Atmosudirdjo
8 Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia
Indonesia, Jakarta hal. 29. 9 Aminuddin Ilmar, 2014, Hukum Tata Pemerintahan, Kencana, Jakarta,
hal. 93 10 Ridwan HR., op.cit, hal. 103
58
mengemukakan bahwa pada dasarnya wewenang pemerintahan itu dapat
dijabarkan ke dalam dua pengertian yakni sebagai hak untuk menjalankan suatu
urusan pemerintahan (dalam arti sempit) dan sebagai hak untuk dapat secara nyata
mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh instansi pemerintah lainnya
(dalam arti luas).11
Seiring dengan pilar utama dari konsepsi negara hukum, yakni asas
legalitas (legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur),
maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari
peraturan perundang-undangan, yang berarti sumber wewenang bagi pemerintah
ada di dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut Indroharto, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi,
dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut : Wewenang yang
diperoleh secara “atribusi”, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru
oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini
dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru”. Pada delegasi
terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan
TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif
kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului
oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu
pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau
Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.12.
11 Prajudi Atmosudirdjo, Op.cit, hal. 76 12 Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, Pustaka Harapan, Jakarta , hal. 90.
59
Penggunaan wewenang pemerintahan dalam penyelenggaraan peran dan
fungsi serta tugas pemerintahan pada hakikatnya perlu dilakukan pembatasan. Hal
ini penting untuk dilakukan agar dalam tindakan atau perbuatan pemerintahan
yang didasarkan pada adanya wewenang pemerintahan selalu dikhawatirkan
jangan sampai terjadi suatu tindakan atau perbuatan pemerintahan yang
didasarkan pada adanya wewenang pemerintahan selalu dikhawatirkan jangan
sampai terjadi suatu tindakan atau perbuatan pemerintahan yang
menyalahgunakan kewenangannya dan melanggar hukum. Kewenangan yang
telah diberikan oleh hukum kepada pemerintah untuk dapat melakukan suatu
tindakan atau perbuatan pemerintahan pada prinsipnya tidak diharapkan akan
terjadi suatu tindakan atau perbuatan pemerintahan yang dapat merugikan
kepentingan rakyat. Oleh karena itu, tindakan atau perbuatan pemerintahan
haruslah terbebas dari tindakan atau perbuatan pemerintahan yang dapat
menyimpang dari kewenangan yang diberikan kepadanya oleh hukum.
Kepentingan untuk membatasi wewenang pemerintahan yang dijadikan
sebagai dasar dalam melakukan tindakan atai perbuatan pemerintahan tidak lain
dimaksudkan untuk mencegah agar tindakan atau perbuatan pemerintahan tersebut
tidak disalahgunakan atau menyimpang dari wewenang pemerintahan yang telah
diberikan kepadanya, misalnya wewenang prelabel yakni wewenang untuk
membuat keputusan yang diambil tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari
pihak manapun dan maupun wewenang ex officio, yakni wewenang dalam rangka
pembuatan keputusan yang diambil karena jabatannya, sehingga tidak bisa
60
dilawan oleh siapapun karena mengikat secara sah bagi seluruh rakyat (yang
berani melawan akan dikenakan sanksi pidana).
Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa: “setiap wewenang dibatasi oleh
materi (substansi), ruang (wilayah; locus) dan waktu (tempus). Diluar batas-batas
itu suatu tindak pemerintahan merupakan tindakan tanpa wewenang
(onbevoegdheid) yang dapat berupa onbevoegdheid ratione materiae,
onbevoegdheid ratione loci en onbevoegdheid ratione temporis. Selanjutnya dapat
disimpulkan bahwa dengan adanya batas wewenang tersebut memberikan ruang
lingkup terhadap legalitas tindakan atau perbuatan pemerintahan yang meliputi
wewenang, prosedur, dan substansi.”13
Adanya wewenang dan prosedur merupakan landasan bagi legalitas
formal suatu tindakan atau perbuatan pemerintahan. Dengan dasar legalitas formal
tersebut maka lahirlah asas praesuptio iustae causa yang berarti bahwa setiap
tindakan atau perbuatan pemerintahan harus dianggap sah sampai ada pembatalan
untuk itu. Asas ini menjadi ratio legis dengan adanya norma aturan yang
menyatakan bahwa gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya
keputusan badan/atau pejabat pemerintahan serta tindakan atau perbuatan
badan/atau pejabat yang digugat. Tidak terpenuhinya tiga komponen legalitas
tindakan atau perbuatan pemerintahan tersebut mengakibatkan cacat yuridis yang
menyangkut wewenang, prosedur dan substansi.
13 Philipus M. Hadjon, 2011, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana
Korupsi, Gadjah Mada University Press, Yogjakarta, hal. 22
61
2.3 Pengertian dan Konsep Izin dan Perizinan
Izin (vergunning) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan
undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu
menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan.
Izin dapat juga diartikan sebagai dispensasi atau pelepasan/pembebasan dari suatu
larangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang
memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertetu yang sebenarnya
dilarang demi memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya
pengawasan. Hal pokok pada izin, bahwa sesuatu tindakan dilarang kecuali
diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang bersangkutan
dilakukan dengan cara-cara tertentu. Penolakan izin terjadi bila kriteria-kriteria
yang telah ditetapkan oleh penguasa tidak dipenuhi. Misalnya tentang hal ini
dilarang mendirikan suatu bangunan, kecuali ada izin tertulis dan pejabat
berwenang dengan ketentuan mematuhi persyaratan-persyaratan.
Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan
bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan yang
dilakukan oleh masyarakat. Perizinan maksudnya dapat berbentuk pendaftaran,
rekomendasi sertifikat, penentuan kuota dan izin untuk melaksanakan sesuatu
usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan
atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau
tindakan yang dilakukan. Membicarakan pengertian izin pada dasarnya
mencakup suatu pengertian yang sangat kompteks yaitu berupa hal yang
62
membolehkan seseorang atau badan hukum melakukan sesuatu hal yang rnenurut
peraturan perundang-undangan harus memiliki izin.
Perizinan sebagai salah satu instrumen hukum dari Pemerintah, pada
hakikatnya ditetapkan dengan mengkongkretisasi wewenang mengaturnya dengan
beberapa tujuan atau motif tertentu mengurus dan bersifat pengendalian yang
dimiliki Pemerintah terhadap keinginan masyarakat. Kata perizinan mengandung
arti yang sederhana yaitu pemberian izin terhadap sesuatu yang berkaitan dengan
aktivitas atau kegiatan, namun bila ditelusuri lebih jauh mengenai pengertian
perizinan maka dapat diketahui bahwa ada perbedaan dalam peristilahan antara
perizinan dan izin. Menurut N.M Splet dan J.B.J.M Ten Berge menyatakan bahwa
izin dalam arti luas (perizinan) adalah “suatu persetujuan dari penguasa
berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan
tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan.”14
Perizinan merupakan instrumen kebijakan pemerintah/Pemda untuk
melakukan pengendalian atas eksternalitas negatif yang mungkin ditimbulkan
oleh aktivitas sosial maupun ekonomi. Izin juga merupakan instrumen untuk
perlindungan hukum atas kepemilikan atau penyelenggaraan kegiatan. Sebagai
instrumen pengendalian perizinan memerlukan rasionalitas yang jelas dan
tertuang dalam bentuk kebijakan pemerintah sebagai sebuah acuan.15
14 N.M.Selt dan J.B.J.M Ten Berge, 1993, Pengantar Hukum Perizinan,
disunting oleh Philipus M.Hadjon, Yuridika, Surabaya, h. 1-2 15 Andrian Sutedi, 2011, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan
Publik, Sinar Grafika Jakarta, hal. v
63
Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan
bersifat pengendalian yang dimiliki oleh Pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh masyarakat. Perizinan dapat berbentuk pendaftaran,
rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuota dan izin untuk melakukan sesuatu usaha
yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan atau
seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau
tindakan. Dengan memberi izin penguasa memperkenankan orang yang
memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya
dilarang demi memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya
pengawasan.16 Hal pokok pada izin, bahwa sesuatu tindakan dilarang kecuali
diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang bersangkutan
dilakukan dengan cara-cara tertentu. Penolakan izin terjadi bila kriteria-kriteria
yang telah ditetapkan oleh penguasa tidak dipenuhi. Misalnya, tentang hal ini
adalah dilarang mendirikan suatu bangunan, kecuali ada izin tertulis dan pejabat
yang berwenang dengan ketentuan mematuhi persyaratan-persyaratan.
E.Utrecht memberikan pendapatnya sebagaimana dikutip oleh Bachsan
Mustafa menyatakan bahwa: "Bilamana pembuat peraturan tidak umumnya
melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga mernperkenankannya asal saja
diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka
perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat
suatu izin (verguning)".17 E. Utrecht mengemukakan bila pembuat peraturan
16 Ibid, h. 168 17 Bachsan Mustafa, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia,
Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 80
64
umumnya tidak melarang suatu perbuatan tetapi masih juga memperkenankannya
asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret,
keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat
suatu izin (vergunning).18
Kalau dibandingkan vergunning ini dengan dispensasi maka keduanya
mempunyai pengertian yang hampir sama. Perbedaan antara keduanya diberikan
oleh W.F.Prins sebagai berikut: “pada izin, memuat uraian yang limitatif tentang
alasan-alasan penolakannya, sedangkan bebas syarat atau dispensasi memuat
uraian yang limitatif tentang hal-hal yang untuknya dapat diberikan dispensasi itu,
tetapi perbedaan ini tidak selamanya jelas.” Sebagai contoh Bouwvergunning atau
izin bangunan itu diberikan berdasarkan Undang-Undang Gangguan (Hinder
Ordonnantie) tahun 1926 Staatblad 1926-226, yang mana pada Pasal 1 ayat (1)
ditetapkan secara terperinci objek-objek mana tidak boleh didirikan tanpa izin dari
pihak pemerintah yaitu objek-objek yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian
dan gangguan-gangguan bagi bangunan sekelilingnya.19
W.F Prins juga mengemukakan istilah izin adalah tepat kiranya untuk
maksud memberikan dispensasi (bebas syarat) dan sebuah larangan, dan
pemakaiannya pun adalah dalam pengertian itu juga. Akan tetapi, sebetulnya izin
itu diberikan biasanya karena ada peraturan yang berbunyi “dilarang untuk...,
tidak dengan izin.” Atau bentuk lain yang dimaksud sama seperti itu.
18 E.Utrecht, 1985, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Ichtiar Baru,
Jakarta, h. 187 19 Andrian Sutedi, Op.cit, h. 168
65
Dari sisi hukum administrasi negara, izin merupakan salah satu wujud
tindak pemerintahan. Tindak pemerintahan menurut Philipus M. Hadjon berarti
tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh administrasi negara dalam
melaksanakan tugas pemerintahan. 20 Izin sebagai suatu ketetapan pada
hakikatnya adalah tindakan hukum sepihak berdasarkan kewenangan publik yang
memperbolehkan atau memperkenankan menurut hukum bagi seseorang/badan
hukum untuk melakukan suatu kegiatan.21 Izin sebagai norma penutup diharapkan
mampu untuk mengendalikan setiap aktivitas manusia agar sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini merupakan tugas dan
kewenangan pemerintah untuk menjaga ketertiban dan keamanan dimana
merupakan tugas klasik yang sampai dengan saat ini masih tetap dipertahankan.
Dari segi hukum lingkungan izin merupakan salah satu bentuk upaya pengelolaan
dan perlindungan terhadap lingkungan hidup, dimana dalam pelaksanaanya
dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan aspekaspek hukum lingkungan
diantaranya adalah aspek penataan ruang.
Bagir Manan menyatakan bahwa izin dalam arti luas berarti suatu
persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
20 Philipus M. Hadjon, 1985, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang
Tindak Pemerintahan, Djumali, Surabaya, h. 1 21 I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum
Perizinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung, h. 88.
66
memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum
dilarang.22
RDH. Koesoemaatmadja memberikan pengertian izin dalam arti luas
(perizinan) merupakan bentuk bantuan pemerintah yang dapat di golongkan
menjadi :
1. Dispensasi sebagai tindakan dalam lapangan bestuur yang menghapuskan
daya laku dari peraturan perundang-undangan terhadap relaxio legis.
2. Izin nampaknya bagi dispensasi terhadap suatu larangan dan dalam
realitanya memang dipergunakan juga untuk pengertian semacam itu. Izin
tidak digunakan lagi sebagai penghapus daya laku peraturan umum untuk
kejadian khusus.23
Perizinan tidak lahir dengan sendirinya secara serta merta, namun
mestinya ditopang oleh “wewenang” yang telah diberikan kepada pejabat publik
(pemerintah sebagai pelaksana undang-undang/ chief excecutive). Pada akhirnya
pemberian Izin oleh pemerintah kepada orang/ individu dan badan hukum
dilaksanakan melalui surat keputusan atau ketetapan yang selanjutnya menjadi
ranah hukum administrasi negara.
Hukum perizinan merupakan hukum publik yang pelaksanaannya
dilakukan oleh pemerintah baik pemerintah di pusat maupun di daerah sebagai
aparatur penyelenggaraan negara mengingat hukum perizinan ini berkaitan
22 Bagir Manan, 1995, Ketentuan-Ketentuan Mengenai Pengaturan Penyelenggaraan Hak Kemerdekaan Berkumpul Ditinjau Dari Perspektif UUD 1945, Makalah tidak dipublikasikan, Jakarta, h. 8
23 R.D.H Koesoemaatmadja, 1975, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara, Alumni, Bandung, h. 37
67
dengan pemerintah maka mekanisme media dapat dikatakan bahwa hukum
perizinan termasuk disiplin ilmu Hukum Administrasi Negara atau hukum 'Tata
Pemerintahan, seperti yang di ketahui bahwa pemerintah adalah : sebagai
pembinaan dan pengendalian dari masyarakat dan salah satu fungsi pemerintah
di bidang pembinaan dan pengendalian izin adalah pemberian izin kepada
masyaralat dan organisasi tertentu yang merupakan mekanisme pengendalian
administratif yang harus dilakukan di dalam praktek pemerintahan.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa fungsi pemberian izin
disini adalah fungsi pemerintah itu sendiri yang dilaksanakan oleh departemen
sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) Keppres No. 44 Tahun 1974 yang
menyatakan bahwa setiap departemen menyelengaraan fungsi kegiatan
perumusan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis, pemberian
bimbingan dan pembinaan serta pemberian perizinan sesuai dengan kebijaksanaan
umum yang ditetapkan oleh Presiden dan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pihak yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan izin tersebut adalah
Pemerintah. Hanya saja dalam hal yang dernikian harus dapat dilihat izin yang
bagaimanakah yang dimohonkan oleh masyarakat, sehingga dengan demikian
akan dapat diketahui instansi pemerintah yang berwenang mengeluarkan izin
tersebut. Misalnya izin keramaian atau izin mengeluarkan pendapat di muka
umum, maka izin tersebut di dapatkan rnelalui kepolisian setempat dimana
keramaian akan dilakukan. Dalam kajian pihak-pihak yang berwenang
mengeluarkan izin maka dasarnya yang perlu dikaji adalah kedudukan aparatur
68
pemerintah yang melakukan tugasnya di bidang administrasi negara pemberian
izin kepada masyarakat.
Agar aparatur pemerintah sebagai bagian dari unsur administrasi negara
dapat melaksanakan fungsinya, maka kepadanya harus diberikan keleluasaan.
Keleluasaan ini langsung diberikan oleh undang-undang itu sendiri kepada
penguasa setempat. Hal seperti ini biasanya disebut dengan kekeluasaan delegasi
kepada pemerintah seperti Gubemur, Bupati/Walikota untuk bertindak atas dasar
hukum dan atau dasar kebijaksanaan. Di samping keleluasaan tadi kepada
aparatur pemerintah selaku pelaksana fungsi dalam administrasi negara juga
diberikan suatu pembatasan agar pelaksanaan perbuatan-perbuatannya itu tidak
menjadi apa yang disebut sebagai "onrechtmatig overheaddaad". Setidaknya
perbuatan itu tidak boleh melawan hukum balk formil maupun materiil. Tidak
boleh melampaui penyelewengan-kewenangan menurut undang-undang
(kompetentie). Adapun bentuk-bentuk dari perbuatan administrasi
negara/Pemerintah itu dalam bentuk memberikan izin secara garis besar dapat
dibagi atas :
1. Perbuatan membuat peraturan
2. Perbuatan melaksanakan peraturan.
Sementara itu menurut Van Poelje sebagaimana dikutip Victor Situmorang
perbuatan administrasi negara/Pemerintah itu adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan faktor (Feitlijke handeling).
2. Berdasarkan hukum (recht handeling).
a. Perbuatan hukum privat.
69
b. Perbuatan hukum publik, yang kemudian perbuatan ini dapat
dibagi atas:
1) Perbuatan hukum publik yang sepihak;
2) Perbuatan hukum publik yang berbagai pihak.
Pendapat lain tentang perbuatan hukum dari administrasi negara ini adalah
seperti yang dikemukakan oleh Prajudi Admosudirjo. Menurutnya perbuatan itu
dibagi ke dalam 4 (empat) macam perbuatan hukum administrasi negara, yakni:
1. Penetapan (beschiking), (administrative dicretion). Sebagai perbuatan
sepihak yang bersifat administrasi negara dilakukan oleh pejabat atau
instansi penguasa (negara) yang berwenang dan berwajib khusus untuk itu.
Perbuatan hukum tersebut harus sepihak (eenzijdig) dan harus bersifat
administrasi negara. Artinya realisasi dari suatu kehendak atau ketentuan
undang-undang secara nyata kasual, individual.
2. Rencana (Planning).
Salah satu bentuk dari perbuatan hukum Administrasi Negara yang
menciptakan hubungan-hubungan hulcuin (yang mengikat) antara
penguasa dan para warga masyarakat.
3. Norma jabatan (Concrete Normgeving).
Merupakan suatu perbuatan hukum (rechtshandeling) dari penguasa
administrasi negara untuk membuat agar supaya suatu ketentuan undang-
undang mempunyai isi yang konkret dan praktis serta dapat diterapkan
menurut keadaan waktu dan tempat.
70
4. Legislasi Semu (Pseudo Weigeving).
Adalah penciptaan dari aturan-aturan hukum oleh pejabat administrasi
negara yang berwenang sebenarnya dimaksudkan sebagai garis-garis
pedoman pelaksanaan policy (kebijaksanaan suatu ketentuan undang-
undang) akan tetapi dipublikasikan secara meluas.24
Memperhatikan batasan, ruang lingkup serta perbuatan-perbuatan dari
Administrasi Negara di atas jelaslah bahwa Hukum Administrasi Negara itu
adalah merupakan suatu perangkat ketentuan yang mernuat sekaligus memberikan
cara bagaimana agar organ-organ di dalam suatu organisasi yang lazim disebut
"negara" dapat melaksanakan fungsi dan kewenangannya demi terwujudnya suatu
tujuan yang dikehendaki bersama. Dalam praktek kehidupan sehari-hari acapkali
disebutkan bahwa peristiwa-peristiwa pada saat kewenangan aparatur pemerintah
itu direncanakan dan dilaksanakan sebagai suatu "Keputusan Pemerintah".
Selanjutnya menurut Hukum Administrasi Negara bahwa Pemerintah itu
mempunyai tugas-tugas istimewa, yakni tugas yang dapat dirumuskan secara
singkat sebagai suatu tugas "Penyelenggaraan Kepentingan Umum".
Kebijakan perizinan dirancang untuk mencegah terjadinya kegagalan
pasar. Pemerintah sebaiknya tidak mengatur melebihi yang diperlukan untuk
mencapai tujuan yang tidak dicapai selain menggunakan regulasi (minimum
effective regulation principle). Izin merupakan keputusan administratif yang lazim
disebut keputusan tata usaha negara. Keputusan tata usaha negara tersebut berisi
pengaturan mengenai kegiatan yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh
24 Prajudi Admodoedirjo, Op.cit, h. 102
71
masyarakat. Untuk memproses keputusan tata usaha negara, pemerintah
memerlukan dan memiliki organisasi yang disebut birokrasi. Birokrasi pemerintah
sebagai kumpulan tugas dan jabatan yang terorganisasi secara formal, berkaitan
dengan jenjang yang kompleks, dan tunduk pada pembuat peran formal.
Dikaitkan dengan konteks pemerintahan Indonesia, birokrasi sebagai
keseluruhan organisasi pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara dalam
berbagai unit organisasi pemerintah (departemen/lembaga non departemen baik di
pusat maupun di daerah) dan Pemda. Ada tiga kategori organisasi birokrasi.
Pertama, adalah birokrasi pemerintahan umum yang menjalankan fungsi
pengaturan. Kedua, adalah birokrasi yang yang memberikan pelayanan umum.
Kategori yang ketiga, adalah birokrasi pembangunan yaitu organisasi pemerintah
yang menjalankan salah satu bidang khusus untuk mencapai tujuan pembangunan,
seperti organisasi pemerintah yang bergerak di sektor pertanian, industri,
pendidikan dan lain-lain. Perizinan dikategorikan sebagai pemberian pelayanan,
sehingga dikerjakan oleh birokrasi yang memberikan pelayanan umum.25
Dalam menjalankan fungsinya birokrasi pelayanan umum menyusun
serangkaian mekanisme dan prosedur yang harus ditempuh oleh seseorang atau
badan usaha untuk mendapatkan izin tertentu yang didasari oleh berbagai
perangkat hukum. Mekanisme, prosedur dan perangkat hukum yang mendasari
tidaklah bersifat netral, melainkan disusun untuk melayani tujuan tertentu
misalnya efisiensi, keadilan, pemerataan. Izin merupakan keputusan tata usaha
negara dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam pemerintahan sebagai
25 Andrian Sutedi, Op.cit, hal. vi
72
konsekuensi dari jabatannya. Biaya perizinan melekat pada anggaran rutin
pemerintah dan tidak dibebankan sebagai biaya transaksi pada pemohon.
Melekatkan biaya transaksi pada izin merupakan salah satu distrosi dalam
pelaksanaan tata administrasi pemerintahan. Pasar yang kompetitif dapat bekerja
sangat baik dalam menyediakan barang dan jasa terbaik kepada publik denagn
harga terendah (competitive netrality principle). Dalam perizinan melekat fungsi
pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan
ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana dan sarana, atau fasilitas
tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Untuk menilai keberhasilan suatu izin bukan hanya berdasar pada jumlah
izin yang dikeluarkan yang berkorelasi dengan jumlah retribusi yang diterima,
melainkan harus berdasarkan pada sampai sejauh mana instrumen perizinan
berfungsi dalam mengakselerasi kegiatan ekonomi atau mengendalikan kegiatan
masyarakat/swasta, sehingga kegiatan tersebut tidak menimbulkan masalah
ekternalitas, masalah barang publik, asimetri informasi dan pelanggaran hak
milik.
2.4 Pengertian dan Konsep Rekomendasi
Dalam Black’s Law Dictionary, rekomendasi (recommendation) diartikan
sebagai “an action which is advisory in nature rather than one having binding
effect”.26 Rekomendasi adalah suatu perbuatan atau tindakan, lisan maupun
tertulis, yang memiliki sifat anjuran dan tidak bersifat mengikat. Rekomendasi
26 Henry Campbell Black, 1979, Black’s Law Dictionary, West Publishing
Co, St. Paul Minn, USA, hal. 1144.
73
juga dapat diartikan sebagai saran yang bersifat mendorong pihak lain untuk
melakukan sesuatu (suggestion), atau saran yang bersifat mengarahkan suatu
pihak untuk melakukan sesuatu (advise), karena sesuatu itu merupakan sesuatu
yang lebih tepat, lebih baik, dan lebih benar dibandingkan dengan berbagai
pilihan yang tersedia.27 Pengertian umum itu menunjukkan bahwa suatu
rekomendasi mencakup komponen-komponen sebagai berikut:
(1) Pihak yang memberikan saran (pemberi saran);
(2) Pihak yang diberi saran (penerima saran); dan
(3) Saran yang diberikan.
Dalam konsep hukum umum, rekomendasi diartikan sebagai jaminan yang
diberikan oleh pemberi rekomendasi kepada orang yang direkomendasi agar pihak
yang menerima rekomendasi melakukan suatu perbuatan hukum demi
kepentingan pihak yang direkomendasikan. Ketika pemberi rekomendasi
memberikan rekomendasinya berdasarkan itikad baik, maka yang bersangkutan
terbebas dari tanggungjawab terhadap segala akibat yang ditimbulkan oleh suatu
perbuatan yang diderita oleh pihak ketiga yang dilakukan berdasarkan
rekomendasi itu. Namun, bila si pemberi rekomendasi mengetahui bahwa
rekomendasi yang diberikannya sesungguhnya tidak benar, dan tondakan yang
dilakukan berdasarkan rekomendasi itu menimbulkan akibat terhadap pihak
ketiga, maka si pemberi rekomendasi terikat untuk bertanggungjawab secara
27 Cambridge International Dictionary of English, 1995, Cambridge
University Press, New York, hal. 1186.
74
hukum kepada pihak yang menderita akibat tindakan yang dilakukan berdasarkan
rekomendasi itu.28
Dalam hal pihak yang direkomendasikan mempunyai ikatan kewajiban
atau utang piutang dengan pihak yang memberikan rekomendasi, dan pihak yang
direkomendasikan sebelum transaksi telah menyatakan setuju untuk keluar dari
property yang ditempatinya setelah pelunasan utangnya dan kemudian ia
berkolusi dengan bank dengan cara memberikan rekomendasi kepada bank
merekomendasikan si peminjam untuk mendapt kredit dari bank untuk
kepentingan dirinya memperoleh properti yang ditempati oleh peminjam, maka
pemberi dan penerima rekomendasi dapat dihukum sebagai pelaku kejahatan
konspirasi.29
Konsep tersebut menunjukkan bahwa dalam konsep hukum umum,
rekomendasi merupakan instrumen hukum yang berisi saran yang diberikan oleh
suatu pihak (pemberi saran) kepada pihak lainnya (penerima saran) yang
digunakan oleh pihak penerima saran sebagai dasar untuk melakukan suatu
tindakan hukum. Suatu rekomendasi pada dasarnya tidak melahirkan ikatan
hukum antara si pemberi saran dengan si penerima saran, kecuali saran itu
diberikan tidak berdasarkan itikad baik sehingga menimbulkan akibat buruk atau
merugikan pihak ketiga. Dalam hal suatu saran diberikan tidak berdasarkan itikad
baik dan jika saran itu menimbulkan akibat merugikan terhadap pihak ketiga,
maka pemberi saran terikat kewajiban hukum untuk bertanggungjawab terhadap
28 John Bouvier, 1856, A Law Dictionary, Adapted to the Constitution and Laws
of the United States, http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/recommendation, diakses terakhir 11 Agustus 2015.
29 Ibid.
75
akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindakan yang dilaksanakan berdasarkan saran
yang diberikan.
Konsep tersebut menunjukkan bahwa ikatan hukum antara pemberi
rekomendasi dengan penerima rekomendasi ditentukan oleh terpenuhi atau tidak
terpenuhinya syarat-syarat umum rekomendasi, yaitu bahwa suatu rekomendasi
harus diberikan berdasarkan itikad baik. Suatu rekomendasi yang diberikan tidak
berdasarkan itikad baik mengandung potensi melahirkan hubungan hukum antara
pemberi dengan penerima rekomendasi dalam bentuk tanggungjawab pemberi
rekomendasi terhadap akibat-akibat tindakan yang dilakukan oleh penerima
rekomendasi berdasarkan rekomendasi yang diterimanya.30
Dalam analisis kebijakan, rekomendasi merupakan bagian dari proses
kebijakan. Terdapat lima prosedur umum dalam proses kebijakan, mencakup:
pemantauan, peramalan, evaluasi, rekomendasi, dan perumusan masalah. Salah
satu karakteristik penting dari prosedur analisis kebijakan adalah hubungan yang
bersifat hirarkis antara satu bagian prosedur dengan bagian prosedur lainnya, yaitu
tidak mungkin untuk menggunakan beberapa metode tanpa terlebih dahulu
menggunakan metode-metode lain.
Merekomendasikan kebijakan umumnya mengharuskan analis untuk
terlebih dahulu terlibat dalam semua prosedur mulai dari pementauan, peramalan,
dan evaluasi. Hal ini merupakan cara lain untuk mengatakan bahwa semua
rekomendasi kebijakan didasarkan pada premis faktual dan premis nilai.
Rekomendasi memungkinkan untuk menghasilkan informasi tentang
30 Ibid.
76
kemungkinan bahwa serangkaian tindakan yang akan datang akan mendatangkan
akibat-akibat yang bernilai.
Rekomendasi berhubungan dengan berbagai pilihan tindakan yang
tersedia. Karena itu, rekomendasi sangat berguna dalam membantu pengambil
keputusan untuk menetapkan keputusan yang paling tepat diantara berbagai
pilihan yang tersedia. Beberapa tipe pilihan rasional dapat diletakkan sebagai
kriteria keputusan yang digunakan untuk menyarankan pemecahan masalah
kebijakan. Dengan kriteria keputusan dimaksudkan secara eksplisit sebagai nilai-
nilai yang digunakan melandasi rekomendasi untuk tindakan. Kriteria keputusan
terdiri dari enam tipe utama, antara lain:
a) Efektifitas (effectiviness) berkenaan dengan apakah suatu alternatif
mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari
diadakannya tindakan. Efektifitas, yang secara dekat berhubungan dengan
rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai
moneternya.
b) Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan
untuk menghasilkan tingkat efektifitas tertentu. Efisiensi yang merupakan
sinonin dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara
efektifitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter.
c) Kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat
efektifitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang
menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecekupan menenkankan pada
kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.
77
d) Kriteria kesamaan (aquity) erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan
sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-
kelompok yang berbada dalan masyarakat. Kriteria kesamaan erat
hubungannya dengan konsepsi yang saling bersaing, yaitu keadilan atau
kewajaran dan terhadap konflik etis sekitar dasar yang memadai untuk
mendistribusikan risorsis dalam masyarakat.
e) Responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu
kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-
kelompok masyarakat tertentu. Kriteria responsivitas adalah penting
karena analis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya, efektifitan,
efisiensi, kecukupan, kesamaan masih gagal jika belum menanggapi
kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya
suatu kebijakan.
f) Kriteria kelayakan (appropriateness) biasanya bersifat terbuka, karena
perdefinisi kriteria ini dimaksudkan untuk menjangkau keluar kriteria yang
sudah ada. Oleh karenanya tidak ada dan tidak dapat dibuatkan definisi
baku tentang kriteria kelayakan.
Kriteria tersebut menunjukkan bahwa suatu rekomendasi harus berdasar, yaitu
berdasarkan salah satu atau beberapa kriteria keputusan yang tersedia. Kriteria
tersebut merupakan kriteria akademis yang bersifat rasional dan obyektif.
Penempatan kriteria tersebut sebagai dasar rekomendasi dapat meringankan beban
tanggungjawab pemberi rekomendasi dalam hal rekomendasi yang diberikan oleh
78
pemberi rekomendasi kepada penerima rekomendasi menimbulkan akibat yang
bertentangan dengan tujuan penetapan keputusan.
Berdasarkan konsep tersebut di atas, maka secara hukum suatu
rekomendasi melahirkan ikatan tanggungjawab hukum antara pemberi
rekomendasi dengan akibat perbuatan yang dilakukan oleh penerima rekomendasi
mencakup dua kondisi, yaitu:
(1) Dalam hal suatu rekomendasi ditempatkan sebagai prasyarat atau
persyaratan suatu keputusan; dan
(2) Dalam hal suatu rekomendasi diberikan berdasarkan itikad tidak baik.
Dalam hal pertama, suatu keputusan tidak dapat ditetapkan tanpa rekomendasi.
Suatu rekomendasi bersifat mengikat pemberi dan penerima rekomendasi, yaitu
bahwa pihak penerima rekomendasi tidak dapat menetapkan suatu keputusan
tanpa adanya rekomendasi, demikian sebaliknya pemberi rekomendasi terikat
terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan oleh tindakan yang dilakukan oleh
penerima rekomendasi, terutama dalam hal akibat-akibat itu merupakan akibat
langsung dari materi rekomendasi. Dalam hal yang kedua, suatu rekomendasi
bersifat tidak mengikat, yaitu tidak ditempatkan sebagai prasyarat keputusan.
Namun dalam hal suatu keputusan ditetapkan berdasarkan rekomendasi yang
dilandasi itikad tidak baik, maka pemberi rekomendasi secara hukum terikat untuk
bertanggungjawab terhadap akibat-akibat rekomendasi itu. Dalam hal terjadi
79
pengingkaran oleh salah sati pihak (penerima atau pemberi), maka pembuktian
pengadilan diperlukan untuk memastikan hubungan tanggungjawab hukum itu.31
Fungsi rekomendasi (recommending) merupakan fungsi sentral dalam
proses legislasi Amerika, baik dalam proses pembentukan produk legislasi
maupun pelaksanaannya. Posisi dan fungsi sentral itu bahkan ditandai dengan
pembentukan suatu lembaga khusus yang bertugas menyiapkan rekomendasi
dalam proses legislasi yang disebut dengan Advisory Committee, suatu lembaga
yang bertugas menjembatani antara kelompok kepentingan (interest group) yang
akan terkena dampak kebijakan dengan Presiden, Kongres, badan-badan
ekstekutif.32 Dalam proses legislasi, rekomendasi merupakan instrumen kebijakan
yang digunakan untuk mengendalikan isi produk legislasi, agar produk itu sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan dalam proses pelaksanaan produk
legislasi, rekomendasi berfungsi sebagai instrumen kebijakan untuk
mengendalikan isi kebijakan yang dijabarkan dari produk legislasi. Dengan
demikian, fungsi utama rekomendasi adalah instrumen hukum dan kebijakan
untuk mengendalikan isi hukum atau kebijakan yang akan ditetapkan oleh
lembaga Negara atau lembaga pemerintah.
31 Jay A. Sigler, etall., 1977, The Legal Sources of Public Policy,
Lexington Books, Lexington, hal. 12 32 Ibid.