4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi lokal
Sapi lokal merupakan spesies asli Indonesia dan bukan merupakan sapi
impor. Sapi lokal ini termasuk ke dalam rumpun bangsa Zebu dengan ciri-ciri
punuk diatas pangkal leher, telinga lebar, kulit kendur, dan berembun pada
moncongnya (Gunawan, 2013). Menurut Priyanto et al., (2015), sapi lokal
merupakan salah satu andalan untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri,
meskipun tingkat produktivitas dan kualitas dagingnya relatif rendah. Sapi lokal,
diantaranya sapi Bali, Madura, PO, dan SO. Sapi lokal merupakan golongan yang
terbesar sebagai penyedia utama komuditas daging di Indonesia. Sebagai
penghasil daging, sapi lokal terdiri atas tiga jenisyang utama yaitu sapi Bali, sapi
Madura, Sapi Ongole (Nugraheni, 2013).
Sapi pernanakan ongole merupakan salah satu rumpun yang telah
ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian nomor
2907/Kpts/OT.140/6/2011, yang merupakan sapi lokal Indonesia dan telah
menyebar di sebagian besar wilayah Indonesia. Sapi peranakan ongole
mempunyai peran dalam penyediaan daging nasional. Sapi peranakan ongole
mempunyai karakteristik bentuk fisik dan komposisi ginetik serta kemampuan
beradaptasi pada berbagai lingkungan di Indonesia (Anonimus, 2015). Sapi
peranakan ongole memiliki ciri-ciri: warna bulu putih, abu-abu, bulu sekitar mata
5
berwarna hitam, badan besar, gelambir longgar bergantung, punuk besar, leher
pendek dan tanduk pendek (Anonimus, 2008a).
Sapi impor
Sapi impor adalah sapi yang berasal dari luar Negeri yang didatangkan ke
Indonesia. Jenis sapi yang sering di dantangkan ke Indonesia salah satunya sapi
brahman, sapi si mental dan sapi limousin. Sapi limousin adalah bangsa sapi
potong berotot yang berasal dari Limousin dan Marche di Prancis. Bangsa sapi ini
dikenal sebagai sapi limousin dari Prancis. Bentuk tubuh sapi bangsa ini besar,
padat, panjang dan kompak. Keunggulan dari bangsa sapi ini adalah pertumbuhan
badannya yang sangat cepat. Di Indonesia sapi limousin dapat disilangkan dengan
berbagai bangsa sapi lain, misalnya dengan sapi peranakan ongole, sapi brahman,
atau sapi hereford. Karakteristik sapi limousin yang cukup menonjol yaitu warna
bulu emas-merah dan lebih terang di bawah perut, paha dalam, sekitar mata dan
moncong, dan di sekitar anus dan ujung ekor. Kulit bebas dari pigmentasi, betis
dapat berwarna coklat kuning muda atau coklat melalui berbagai usia ke hitam
pekat pada usia sepenuhnya matang (Yulianto dan Cahyo, 2014).
Daging sapi impor merupakan daging sapi yang didatangkan dari luar
negeri untuk diperdagangkan di dalam negeri. Untuk dapat disebut daging sapi
impor, sapi tersebut dikembangbiakan dan dipotong bukan di negara
pengimpornya. Daging sapi impor yang selama ini diimpor, sebagian besar
merupakan daging sapi dari negara Australia, Amerika Serikat, dan Jepang
(Gunawan, 2013).
6
Daging
Daging adalah bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan
lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin,
atau daging beku (Anonimus, 2008b). Menurut Permentan (2011) daging adalah
bagian dari otot skeletal karkas yang lazim, aman, dan layak dikonsumsi oleh
manusia, terdiri atas potongan daging bertulang, daging tanpa tulang, dan daging
variasi, berupa daging segar, daging beku, atau daging olahan.
Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi
yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik
sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung
enzim-enzim yang dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi (protein,
lemak) yang akhirnya menyebabkan pembusukan daging (Lupoyo et al., 2013).
Daging segar adalah daging yang belum diolah dan atau tidak
ditambahkan dengan bahan apapun. Daging segar dingin adalah daging yang
mengalami proses pendinginan setelah penyembelihan sehingga temperatur
bagian dalam daging antara 0 ℃ dan 4 ℃. Daging beku adalah daging segar yang
sudah mengalami proses pembekuan di dalam blast freezer dengan temperatur
internal minimum -18 ℃ (Anonimus, 2008b). Daging variasi (variety meats, fancy
meats, co-products) adalah bagian selain karkas ternak ruminansia sehat yang
telah di sembelih secara halal, terdiri atas lidah, buntut, kaki ,dan bibir yang lazim,
aman, dan layak di konsumsi manusia (Permentan, 2011).
7
Daging sapi merupakan salah satu komoditi peternakan yang menjadi
andalan sumber protein hewani dan sangat menunjang untuk memenuhi
kebutuhan dasar bahan pangan di Indonesia. Dinamika sisi permintaan ini
menyebabkan kebutuhan pangan secara nasional meningkat dengan cepat, baik
dalam jumlah, kualitas, dan keragamannya (Gunawan, 2013). Komponen utama
penyusun daging adalah otot. Otot hewan akan berubah menjadi daging setelah
pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Daging juga tersusun dari
jaringan ikat epitelial, jaringan-jaringan saraf, pembuluh darah, dan lemak
(Nugraheni, 2013).
Komposisi Kimia Daging
Kadar air
Air merupakan kandungan terbesar yang terdapat dalam daging. Air
memiliki pengarug yang sangat kuat terhadap kualitas daging seperti juiciness,
keempukan, warna dan rasa. Produk daging proses biasanya mengandung cairan
sekitar 40-60%, kecuali produk daging kering (Soeparno, 2011). Menurut Hidayat
et al., (2009), Rata-rata kadar air daging 74,72%. Berdasarkan keberadaan air
dalam daging dibagi menjadi tiga yaitu bentuk terikat (bound water), air bebas
(free water) dan immobilizez water. Salah satu sifat keberadaan air dalam daging
adalah water holding capacity (WHC) yaitu kemampuan daging menahan air
selama aplikasi kekuatan eksternal (pemotongan, penggilingan atau tekanan).
Besar kecilnya WHC mempengaruhi warna, tekstur, kekenyalan, kesan jus dan
keempukan (Nugraheni, 2013). Menurut Soeparno (2011), daya ikat air oleh
8
protein daging atau water holding capacity atau water binding capacity (WHC
atau WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang
ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar.
Protein
Protein merupakan komponen kimia di dalam tubuh yang sangat penting.
Struktur dan fungsi atau peran protein dalam reaksi-reaksi metabolik adalah
sangat vital. Protein daging dapat dibagi menjadi tiga grup utama, yaitu protein
miofibrilar, protein sarkoplasmik, dan protein jaringan ikat dan orgenela atau
protein stromal (Soeparno, 2011). Kandungan protein pada daging mentah 19-
23%. Berdasarkan tingkat kelarutannya, protein otot terdiri dari protein myofibril
(larut dalam garam), sarkoplasmix dan stro (Nugraheni, 2013). Menurut Hidayat
et al,. (2009), rata-rata kadar protein daging 20,69%. Protein yang terdapat dalam
daging yaitu sekitar 16-22% yang terdiri dari protein miofibliar 11,5%, protein
sarkoplasmik 5,5% dan protein stromal 3,0% (Soeparno, 2011).
Lipida
Tubuh ternak mengandung beberapa kelas lipid, yang dominan adalah
lipid-lipid netral (asam-asam lemak dan gliserida). Beberapa lipid dalam tubuh
melayani sumber energi untuk sel, beberapa yang lain mempunyai kontribusi
terhadap struktur dan fungsi membran sel dan beberapa yang lainnya lagi seperti
hormon dan vitamin terlibar di dalam fungsi-fungsi metabolik (Soeparno, 2011).
Berdasarkan lokasi distribusinya, lipida dalam daging antara lain terdiri
9
atas lemak intermuskular, lemak intramuskular dan lemak dalam jaringan adipose.
Komponen penyusun lipida meliputi senyawa trigliserida, fosfogliserida,
koleseterol dan vitamin yang larut dalam lemak (Nugraheni, 2013). Rata-rata
kadar lemak daring adalah 3,45 % (Hidayat et al., 2009). Menurut Sueparno
(2011), kadar lipida yang terdapat dalam daging terdapat sekitar 1,5-13%.
Karbohidrat
Karbohidrat adalah polihidroksialdehid atau polihidroksiketon dan
derivatfnya. Karbohidrat terdapat disemua jaringan ternak, dan cairan jaringan
sebagai karbohidrat bebas atau sebagai komponen-komponen asam nukleat,
nukleotida, serta sejumlah protein dan lemak (Soeparno, 2011). Karbohidrat
dalam daging terdapat dalam jumlah sedikit yaitu 1% berat daging. Sebagian
besar dalam bentuk glikogen dan asam laktat (Nugraheni, 2013). Menurut
Soeparno (2011), karbohidrat dan substansi non protein terdapat dalam daging
sekitar 1,5% (0,5-1,5%).
Mineral
Telah diketahui bahwa daging merupakan sumber yang baik akan semua
mineral. Daging merupakan sumber mineral Fe (zat besi) yang baik untuk
memelihara kesehatan, untuk sintesis hemoglobin dan enzim-enzim tertentu.
Kandungan mineral antara lain K, Na, Co, P, Mg, Cu, Ca, Zn, Cl dan Ni. Kadar
Ca dalam daging sapi lebih rendah di bandingkan daging domba dan babi
(Nugraheni, 2013). Mineral daging terdapat di dalam jaringan lean, karena
10
komponen-komponen mineral terutama berasosiasi dengan protein dan air daging
(Soeparno, 2011).
Vitamin
Vitamin adalah mikronutrien yang bisa ditemukan di dalam bahan
makanan, termasuk daging. Daging merah adalah sumber bioavailabilitas vitamin
B kompleks yang baik sekali (Soeparno, 2011). Menurut Nugraheni (2013),
bahwa daging kaya akan vitamin B-kompleks, tiamin, B6 dan B12, sedangkan
kandungan vitamin A dan C relativ rendah. Daging sapi memiliki kandungan
vitamin B6 dan B12 yang tinggi. Konsentrasi vitamin-vitamin tersebut dalam
daging ternak yang lebih tua cendrung lebih tinggi di bandingkan dengan ternak
yang lebih muda (Soeparno, 2011).
Pigmen daging (Mioglobin)
Mioglobin adalah pigmen yang menentukan warna daging segar. Menurut
Soeparno (2011), konsentrasi mioglobin berbeda diantara otot merah dan otot
putih, diantara umur, spesies, bangsa, tingkat hubugannya dengan atmosfir dan
lokasi otot. Mioglobin merupakan pigmen utama penyusun 80% dari pigmen
daging dan berwarna merah keunguan. Kadar mioglobin daging akan
mempengaruhi derajat warna merah daging (Nugraheni, 2013).
Kualitas Fisik Daging
Sifat fisik daging memegang peranan penting dalam prosess pengolahan,
karena menentukan kualitas serta jenis olahan yang akan dibuat. Karakteristik
11
daging pada setiap jenis ternak kemungkinan bereda, namun hal ini sering
dianggap sama. Masyarakat pada umumnya menilai karakteristik daging kerbau
dan daging domba mengacu pada karakteristik daging sapi (Komariah et al.,
2009).
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas
daging antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin,
umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik, dan mineral), dan stres.
Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain
meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan
daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging hormon dan
antibiotik, lemak intramuscular atau marbling, metode penyimpanan dan
preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging (Soeparno,
2011).
Menurut Nugraheni (2013), kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa
faktor, baik pada waktu hewan masih hidup maupun setelah dipotong. Pada waktu
masih hidup, faktor penentu kualitas dagingnya adalah cara pemeliharaan,
meliputi pemberian pakan, tata laksana pemeliharaan, dan perawatan kesehatan.
Kualitas daging juga dipengaruhi oleh perdarahan pada waktu hewan dipotong
dan kotaminasi hewan setelah dipotong. Sedangkan menurut Soeparno (2011),
faktor yang menentukan nilai karkas meliputi berat karkas, jumlah daging yang
dihasilkan dan kualitas daging dari karkass bersangkutan. Nilai karkas
12
dikelompokan berdasarkan jenis kelamin dan tipe ternak yang menghasilkan
karkas, umur atau kedewasaan ternak, dan jumlah lemak intramuskuler atau
marbling didalam otot.
Kualitas fisik daging sapi impor dan daging sapi lokal dapat ditinjau dari
lima aspek yaitu warna daging, tekstur daging, perlemakan daging (marbling),
rasa daging, dan aroma daging. Dari kualitas fisik keduanya tersebut dapat
ditemukan perbedaan dan persamaan yang mengacu kepada perbandingan kualitas
fisik daging sapi (Gunawan, 2013).
Dalam menilai suatu karkas atau daging yang baik bisa melakukan
penilaian mutu fisik daging dimaksudkan untuk memprediksi palatabilitas daging
dengan melihat penampilan warna daging dan lemak, derajat marbling dan tekstur
daging (Anonimus, 2008b). Pengujian mutu fisik daging dilakukan secara
organoleptik dengan menggunakan indra penglihatan terhadap penampilan fisik
otot dan lemak. Nilai penampilan fisik daging dan lemak selanjutnya ditentukan
dengan menggunakan alat antu standar mutu. Penampilan fisik daging yang
dievaluasi meliputi warna daging dan lemak, intensitas marbling dan tekstur otot
(Anonimus, 2008). Tingkat mutu daging sapi menurut (Anonimus, 2008b)
mengenai karkas daging sapi memeiliki tiga mutu fisik sapi (tabel.1)
Warna daging
Warna daging yang baik untuk daging sapi adalah jika daging tersebut
berasal dari sapi dewasa, warna daging yang baik adalah merah terang. Sedangkan
13
untuk daging sapi muda, warna daging yang baik adalah kecokelatan merah muda.
Menurut Gunawan (2013), ada beberapa faktor yang mempengaruhi warna daging
mentah. Beberapa faktor tersebut adalah spesies, usia, jenis kelamin hewan, cara
memotong daging, waterholding (air yang dikandung), kapasitas daging,
pengeringan pada permukaan daging, pembusukan pada permukaan daging, dan
cahaya yang mengenai permukaan daging. Soeparno (2011), menyatakan banyak
faktor yang mempengaruhi warna daging, termasuk pakan, spesies, bangsa, umur,
jenis kelamin, stres, (tingkat aktifitas dan tipe otot), pH, dan oksigen. Faktor-
faktor ini dapat mempengaruhi penentu utama warna daging yaitu konsentrasi
pigmen daging mioglobin.
Tabel 1. Tingkat mutu daging sapi
No Jenis uji Persyaratan mutu
1
2
3
4
Warna daging
Warna lemak
Marbling
Tekstur
Merah terang skor 1-5
Putih skor 1-3
9-12
Halus
Merah gelap skor 6-6
Putih kkekuningan 4-6
Skor 5-8
Sedang
Merah gelap skor 7-9
Kuning skor 7-9
Skor 1-4
Kasar
Sumber : Anonimus (2008b)
Penilaian warna daging dilakukan dengan melihat warna permukaan otot
mata rusuk dengan bantuan cahaya center dan mencocokannya dengan standar
warna. Nilai skor warna ditentukan berdasarkan skor standar warna yang paling
sesuai dengan warna daging. Standar warna daging terdiri atas sembilan skor
mulai dari warna merah muda hingga merah tua sebagaimana terlihat pada
(Gambar 1) (Anonimus, 2008b).
14
Gambar 1. Standar warna daging (Anonimus, 2008b)
Perlemakan (marbling)
Penilaian warna lemak dilakukan dengan melihat warna lemak subkutis
dengan bantuan cahaya senter dan mencocokannya dengan standar warna. Nilai
skor warna ditentukan berdasarkan skor standar warna yang paling sesuai dengan
warna lemak. Standar warna lemak terdiri atas sembilan skor mulai dari warna
putih hingga kuning sebagaimana terlihat pada (Gambar 2) (Anonimus, 2008b).
Gambar 2. Standar warna lemak (Anonimus, 2008b).
Marbling adalah butiran lemak putih yang tersebar dalam jaringan otot
daging (lemak intra muskuler). Penilaian marbling dilakukan dengan melihat
intensitas marbling pada permukaan otot mata rusuk dengan bantuan cahaya
senter dan mencocokan nya dengan standar marbling. Nilai skor marbling
15
ditentukann dengan skor standar marbling yang paling sesuai dengan intensitas
marbling otot mata rusuk. Standar marbling terdiri atas dua belas skor mulai dari
praktis tidak ada marbling hingga banyak sebagimana terlihat pada gambar 3
(Anonimus, 2008b).
Gambar 3. Standar marbling (Anonimus, 2008b).
Tekstur
Keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan penentu
yang palling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi
keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik
termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, umur, manajemen, jenis kelamin, stres,
dan faktor postmortem yang diantaranya meliputi metode chilling, refrigerasi,
pelayuan dan pembekuan, temperatur penyimpanan, dan metode pengolahan
(Soeparno, 2011).
Penilaian tekstur otot dilakukan dengan melihat kehalusan atau kekerasan
permukaaan otot mata rusuk dengan bantuan cahaya senter dan mencocokannya
dengan standar tekstur daging. Nilai skor tekstur daging ditentukan berdasarkan
16
skor standar tekstur yang paling sesuai dengan tektur daging. Standar tekstur
daging terdiri atas tiga skor yaitu halus, sedang dan kasar (Aninimus, 2008b).
Selain melakukan penilaian perbandingan mutu fisik daging atau karkas dengan
melihat tekstur, warna, lemak dan lain sebagainya, menilai kwalitas perbandingan
mutu karkas atau daging bisa menggunakan pemeriksaan laboratorium, misalnya
pemeriksaan pH daging, daya mengikat air, keempukan dan susut masak.
Menurut Gunawan (2013), menyatakan bahwa kualitas daging dipengaruhi oleh
beberapa faktor, baik pada waktu hewan sebelum dan sesudah dipotong. Kualitas
fisik daging sapi adalah warna daging, rasa dan aroma, perlemakan, dan tektur
daging. Pada waktu sebelum dipotong, faktor penentu kualitas dagingnya adalah
tipe ternak, jenis kelamin, umur, dan cara pemeliharaan yang meliputi pemberian
pakan dan perawatan kesehatan. Sedangkan kualitas daging sesudah dipotong
dipengaruhi oleh metode pemasakan, pH daging, hormon, dan metode
penyimpanan.
pH daging
Proses pemotongan sangat berpengaruh terhadap kualitas daging yang
dihasilkan. Setelah ternak dipotong akan terjadi perubahan secara fisik maupun
kimia sampai dihasilkan daging. Daging pada 6 jam postmortem memiliki rataan
nilai pH nyata lebih rendah 5,75 dibandingkan dengan pada 4 jam postmortem
yaitu 6,07 (Komariah et al., 2009). Pada beberapa hewan, penurunan pH terjadi
pada jam-jam pertama setelah hewan dipotong dan akan stabil pada pH 6,5
sampai 6,8 (Soeparno, 2011). Penurunan pH terjadi perlahan-lahan dari keadaan
17
normal 7,2-7,4 hingga pH 3,5-5,5. Kecepatan penurunan pH sangat dipengaruhi
oleh temperatur disekitarnya. Ketika kondisi lingkungan tinggi, maka pH akan
turun lebih cepat, demikian pula sebaliknya. Kecepatan penurunan pH akan
mempengaruhi kondisi fisik jaringan terlihat pada (tabel 2)
Tabel 2. Hubungan pH akhir dan kecepatan penurunan pH dengan kondisi fisik
jaringan otot
pH Kec. Penurunan pH Kondisi jaringan otot
6,0 - 6,4
6,0 – 5,7
5,7 – 5,3
5,3
Lambat
Lambat
Lambat
Cepat
Gelap, kasar, kering
Agak gelap
Normal
Pucat, lembek, berair
Sumber : Nugraheni (2013)
Penurunan pH otot postmortem banuak ditentukan oleh laju glikolisisi
postmortem serta cadangan glikogen otot dan pH daging ultimat, normalnya
adalah 5,4 sampai 5,8. Buckle et al., (1987) menyatakan bahwa pH sekitar 5,2
sampai 6,1 lebih disukai konsumen karena mempunyai struktur terbuka, warna
merah muda cerah, flavor lebih disukai dan stabillitas yang lebih baik terhadap
kerusakan karena mikroorganisme.
Daya ikat air (Water Holding Capacity)
Daya ikat air oleh protein daging atau water holding atau water binding
(WHC atau WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air
yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnyapemotongan
daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Air yang terikat di dalam otot
dapat di bagi menjadi tiga komponen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi,
18
oleh protein otot sebesar 4-5% sebagai lapisan monomolukular pertama, air terikat
agaak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilix,
sebesar kira-kira 4%, dan lapisan kedua ini terikat oleh protein apabila tekanan
uap air meningkat (Soeparno, 2011).
Pengukuran daya mengikat air (DMA) mengacu pada metode Hamm, daya
mengikat air (DMA) merupakan kemampuan protein otot untuk mempertahankan
air bebas yang berada dalam jaringan otot. Rataan persentase jumlah air bebas
yang keluar dari daging (% mgH2O) berkisar antara 26,97% - 29,09% mgH2O.
Daya mengikat air pada daging juga dipengaruhi oleh nilai pH ultimat dari daging
(Priyanto, 2015). Menurut Komariah et al., (2009), semakin tinggi nilai mgH2O
yang keluar dari daging, maka daya mengikat airnya semakin rendah. Daging
segar akan mempunyai daya mengikat air yang tinggi dibandingkan dengan
daging yang tidak segar. Protein daging berperan dalam pengikatan air daging.
Kadar protein daging yang tinggi menyebabkan meningkatnya kemampuan
menahan air daging sehingga menurunkan kandungan air bebas, dan begitu pula
sebaliknya. Semakin tinggi jumlah air yang keluar, maka daya mengikat airnya
semakin rendah.
Keutuhan protein daging yang baik menyebabkan meningkatnya
kemampuan menahan air daging, dan begitu pula sebaliknya.Semakin tinggi
jumlah air yang keluar, maka daya mengikat airnya semakin rendah (Dewitri et
al., 2015).
19
Susut masak daging (Cooking Loss)
Susut masak merupakan persentase berat daging yang hilang akibat
pemasakan dan merupakan fungsi dari waktu dan suhu pemasakan. Daging
dengan susut masak yang rendah mem-punyai kualitas yang relatif lebih baik
daripada daging dengan persentase susut masak yang tinggi, hal ini karena
kehilangan nutrisi selama proses pemasakan akan lebih sedikit (Komariah et al.,
2009). Susut masak merupakan indikator utama terhadap niai nutrisi daging dan
berhubungan dengan banyaknya jumlah air yang terikat di dalam sel diantara
serabut otot. Soeparno (2011), menyatakan bahwa susut masak dipengaruhi oleh
temperatur dan lama pemasakan.
Susut masak daging akan semakin tinggi dengan bertambahnya lama
penyimpanan, kondisi ini bisa disebabkan air embun dari pendinginan refrigerator
masuk ke dalam jaringan otot, sehingga menambah kadar air daging dan
prosentase susut masak tinggi (Prasetyo dan Kendrianto, 2010). Nilai susut masak
daging cukup bervariasi yaitu antara 1,5% sampai 54,5% dengan kisaran 15%
sampai 40% (Komariah et al., 2009). Menurut penelitian Priyanto et al., (2015),
menyatakan rataan persentase susut masak daging hasil penelitian berkisar antara
46,79% - 50,87%. Susut masak daging sangat berhubungan dengan daya mengikat
air daging, semakin rendah daya mengikat air daging, maka susut masaknya akan
semakin besar, demikian pula sebaliknya (Komariah et al., 2009).
20
Keempukan daging (Tenderness)
Keempukan merupakan salah satu faktor paling penting memikat
konsumen dalam pembelian produk daging. Keempukan daging bervariasi di
antara spesies, banngsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas, dan di
antara otot, serta pada otot yang sama (Soeparno, 2011). Menurut Nugraheni
(2013), Keempukan daging ditentukan oleh kandungan jaringan ikat. Semakin tua
usia hewan, susunan jaringan ikat semakin banyak, sehingga daging yang
dihasilkan semakin liat. Keempukan merupakan faktor penentu kualitas daging.
Tiga komponen utama daging yang berperan terhadap keempukan dan kealotan
yaitu jaringan ikat, serabut-serabut otot dan jaringan adipose. Banyak faktor yang
mempengaruhi keempukan pada daging, yang paling utama adalah degradasi
protein miofibrillar oleh enzim kalpain (Komariah et al., 2009).
Prasetyo dan Kendrianto (2010), menyatakan keempukan merupakan satu
dari kualitas organoleptik yang prinsipal pada daging. Keempukan merupakan
komponen utama, sebesar 64%, dalam penilaian tekstur daging masak, kemudian
menyusul kebasahan sebesar 19%. Keempukan daging dapat diketahui dengan
mengukur tenaga (force) yang digunakan ketika memotong daging. Semakin
tinggi tenaga yang digunakan, maka daging itu semakin keras. Metode ini dikenal
dengan nama warner bratzler shear force test, yaitu kekuatan (kg) yang
dibutuhkan untuk memotong satu sentimeter kubik sampel daging. Keempukan
daging dapat diketahui pula dengan metode tes panel (panel tes) dengan
21
menggunakan orang sebagai penelis untuk memakan daging dan mencatat
presepsinya atas keempukan daging tersebut (Nugraheni, 2013).
Landasan Teori
Perbedaan bangsa dan spesies mempengaruhi kualitas daging yang
dihasilkan, hal ini dipengaruhi oleh genetik dan tipe ternak yang menyusun tubuh
serta kualitas pakan yang diberikan. Sapi impor dagingnya lebih mudah dan sudah
empuk untuk diolah sekalipun tanpa proses pengolahan sebelumnya, berbeda
dengan daging sapi lokal yang membutuhkan proses pengolahan lebih lama untuk
mendapatkan hasil daging yang empuk. Terdapat lima aspek yang menentukan
kualitas fisik daging sapi lokal, pertama adalah warna daging berwarna merah
segar darah, kedua adalah tekstur daging berserat besar dan banyak yang
menyebabkan daging keras, ketiga adalah lemak (marbling) sedikit dan berwarna
kekuning-kuningan, keempat adalah rasa dagingnya hambar, dan sedikit pahit,
yang terakhir adalah aroma daging yang tidak berbau busuk atau tidak anyir.
Umur potong ternak mempunyai pengaruh terhadap kualitas daging yang
dihasilkan. Daging yang berasal dari ternak muda mempunyai kualitas daging
yang lebih empuk daripada daging ternak yang tua. Hal ini dikarenakan
peningkatan konsentrasi kolagen dan elastin seiring bertambahnya umur.
Sapi pada umur yang sama, bangsa sapi tipe besar memiliki tubuh yang
lebih berat, proporsi tulang lebih tinggi, dan lemak intramuskuler lebih banyak
sehingga lebih empuk daripada bangsa sapi tipe kecil. Komposisi kimia dalam
22
daging dapat mempengaruhi kualitas fisik daging yang meliputi pH daging, susut
masak, daya ikat air, serta keempukan daging.
Hipotesis
Kualitas daging sapi lokal lebih baik dari kualitas daging sapi impor
dilihat dari pH daging, daya ikat air, susut masak dan keempukan daging.