19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Prinsip Negara Hukum
1. Pengertian negara hukum
Konsep negara hukum juga ada di Indonesia yaitu pada UUD tahun
1945 sebelum amandemen yang dinyatakan dalam pasal 4 ayat (1),
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut
Undang-undang Dasar.” Tidak hanya itu keinginan Founding Father untuk
menciptakan negara hukum juga tercermin dalam Pembukaan UUD Tahun
1945 yang menyatakan, “.....yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.....”.
Kedaulatan rakyat sendiri memiliki makna bahwasanya kekuasaan
penuh berada di tangan rakyat. Atau bisa dikatakan dari rakyat, oleh rakyat
untuk rakyat. Rakyat dianggap berdaulat baik dibidang politik maupun
bidang ekonomi dan sosial. Hal ini sejalan dengan konsep negara hukum
guna menciptakan pemerintahan yang bebas dari penindasan terhadap
rakyat. Bahkan menurut Jimly Asshiddiqie kedaulatan rakyat merupakan
satu diantara konsep-konsep yang pertama-tama dikembangkan dalam
persiapan menuju Indonesia merdeka. Permasalahan mengenai kedaulatan
rakyat itu sudah menjadi polemik dikalangan intelektual pejuang
kemerdekaan Indonesia pada Tahun 1930-an. Seperti pada Sidang Pertama
Rapat Besar Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18
20
Agustus 1945, Soepomo menyatakan.13
Majelis Permusyawaratan Rakyat
adalah suatu badan yang memegang kedaulatan rakyat, ialah suatu badan
yang paling tinggi dan tidak terbatas kekuasannya.”
Dapat diartikan bahwa kedaulatan rakyat merupakan tonggak
dalam negara hukum, bahkan sebuah lembaga yang memegang kedaulatan
rakyat dikatakan sebagai lembaga yang tidak terbatas kekuasaannya.
Kejelasan terhadap Indonesia sebagai negara hukum terjadi Pasca
Perubahan UUD Tahun 1945. Selain memberikan implikasi terhadap
posisi dan kedudukanMPR, yang menurut UUD Tahun 1945 tidak ada lagi
lembaga tertinggi. Juga kepastian terhadap Indonesia sebagai negara
hukum tertuang pada pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang merupakan
hasil perubahan ketiga yakni, Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Hal ini menjelasakan bahwa Indonesia bukan berdasar atas kekuasaan
belaka (machtstaat).
Ketentuan di atas berasal dari Penjelasan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ”diangkat” ke dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara hukum yang
dimaksud ialah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak
dipertanggungjawabkan (akuntabel). Paham negara hukum sebagaimana
tercantum dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) berkaitan erat dengan paham
negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum materiil sesuai
13
Jimly Assihddiqie, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta,
Penerbit Konstitusi Press, hlm. 16-17.
21
dengan bunyi alinea keempat Pembukaan dan ketentuan Pasal 34 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Dengan demikian, Indonesia sebagai negara hukum memiliki ciri-
ciri “rechtsstaat” yakni sebagai berikut:
a. Adanya Undang-Undang Dasar atau Konstitusi yang memuat
ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dengan rakyat.
b. Adanya pemisahan kekuasaan negara, yang meliputi kekuasaan
pembuatan undang-undang yang berada pada parlemen, kekuasaan
kehakiman yang bebas dan merdeka, dan pemerintah mendasarkan
tindakannya atas undang-undang (wetmatig bestuur).
c. Diakui dan dilindunginya hak-hak rakyat yang sering disebut
“vrijhedsrechten van burger”.
Hukum mengarahkan adanya suatu cita-cita negara hukum, yang
mulai memerlihatkan, atau mewujudkan diri secara lebih mencerahkan di
abad ke XVII, dan umumnya kebanyakan penulis berpandangan bahwa hal
itu mulai muncul di negara-negara Barat. Istilah negara hukum, yang di
dalamnya mengandung prinsip penting yang menjadi konsen penelitian
dan penulisan karya tulis ilmiah ini yaitu persamaan di hadapan hukum,
baru mengemuka pada abad ke 19. Pembicaraan mengenai Negara hukum
(rechtstaat) biasanya dimulai dengan pengertian dua konsep, yaitu apa
yang dimaksud dengan konsep “negara” dan konsep “hukum”.14
14
Khrisna Harahap. 2003. HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia. Bandung, Penerbit
Grafiti Budi. Hlm 22.
22
Negara Hukum merupakan esensi yang menitik beratkan pada
tunduknya pemegang kekuasaan negara pada aturan hukum.15
Konsep
negara hukum yang menganut paham rule of law, menurut Dicey
mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu:16
1. Hak Asasi Manusia dijamin lewat undang-undang;
2. Persamaan di muka hukum (equality before the law);
3. Supremasi aturan-aturan hukum dan tidak ada kesewenang-
wenangan tanpa aturan yang jelas.
Arti negara hukum itu sendiri pada hakikatnya berakar dari konsep
dan teori kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa
kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum, oleh sebab itu
seluruh alat perlengkapan negara apapun namanya termasuk warga negara
harus tunduk dan patuh serta menjung tinggi hukum tanpa terkecuali.17
Sedangkan Menurut Imanuel Kant dan Julius Stahl, negara hukum
mengandung 4 (empat) unsur, yaitu:18
1. Adanya pengakuan HAM;
2. Adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut;
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van
bestuur);
4. Adanya peradilan tata usaha negara.
15
Bahder Johan Nasution, 2013, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung,
Penerbit Mandar Maju, hlm. 1. 16
Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia, PT Refika Aditama, hal. 11. 17
B. Hestu Cipto Handoyo, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia “Menuju Konsolidasi
Sistem Demokrasi”, Universitas Atma Jaya, Jakarta, hal. 17 18
Ibid.
23
Dalam kaitannya penjelasan diatas, menunjukan dengan jelas ide sentral
konsep negara hukum / rechtsstaat adalah pengakuan dan perlindungan
terhadap hak asasi manusi yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan
persamaan.19
Sejalan dengan ungkapan Thomas Hobbes yang menyatakan
Hak Asasi Manusia merupakan jalan keluar untuk megatasi keadaan yang
disebut hommo hominilupus, bellum omnium contras omnes.20
Konsepsi
negara hukum dalam perkembangannya telah mengalami penyempuranaan,
yang secara umum dapat dilihat diantaranya :21
1. Sistem pemerintahan negara yamg didasarkan atas kedaulatan rakyat;
2. Bahwa pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya
harus berdasarkan atas hukum atau peraturanperundang-undangan;
3. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
5. Adanya pengawasan dari badan badan peradilan (rechterlijke controle)
yang bebas, mandiri dalam arti lembaga perdailan tersebut benar-
benar tidak memihakdan tidak berada dibawah pengaruh eksekutif;
6. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga
negara untuk turutserta mengawal perbuatan dari pelaksanaan
kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah;
7. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang
merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
19
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Op.cit., hlm. 6. 20
Jimly Assihiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta Penerbit
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK RI, , hlm. 87. 21
Nurul Qamar, 2013, Hak Asasi Manusia dalam Negraa Hukum Demokrasi, Jakarta,
Sinar Grafika, hlm 50-51
24
Pada umumnya yang dimaksudkan dengan hukum adalah keseluruhan
kumpulan peraturan- peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan
bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam
suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan
suatu sanksi.22
Begitu pula dengan negara, sulit untuk ditemukan definisi
yang pasti. Akan tetapi tidaklah menjadi suatu masalah bila orang tidak
mengetahui suatu definisi tersebut, yang diperlukan sebetulnya lebih
kepada pengetahuan mengetahui makna dan tujuan dari negara hukum
tersebut. Negara adalah subyek hukum atau a party to contract. Secara
umum, tujuan negara antara lain, dari cirinya, untuk menjamin adanya
perlakuan yang sama di hadapan hukum atau equality before the law. Oleh
sebab itu, orang mengatakan bahwa negara hukum adalah suatu sistem
kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku. Negara hukum
itu berkeadilan, tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua orang
dalam negara itu, baik yang diperintah maupun yang memerintah, harus
tunduk kepada hukum yang sama.
Dalam negara hukum, hukum yang memegang komando tertinggi
dalam penyelenggaraan negara. Yang sesungguhnya memimpin dalam
penyelenggaraan negara adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip
the rule of law and not of man. Hukum itu nampak seolah-olah sebagai
satu orang laki-laki perkasa (a Man), Raja, King, dan dengan demikian
agak sejalan dengan pengertian (nomocratie), yaitu kekuasaan yang
22
Sudikno Mertokusumo, 2002, Mengenal Hukum Suatu Pengantar.Yogyakarta, Penerbit
Liberty. Hlm 40.
25
dijalankan oleh hukum.23
Memperhatikan uraian di atas, nampaknya
hakikat dari negara hukum itu sendiri berakar juga pada konsep kedaulatan
hukum. Kedaulatan itu pada prinsipnya suatu kekuasaan tertinggi dalam
suatu negara.
Di Eropa, konsep negara hukum di kenal dengan istilah rechtstaat,
berasal dari bahasa Belanda dan Jerman. Konsep rechtstaat atau “negara
hukum” merupakan lawan dari konsep machstaat atau “negara kekuasaan”.
Sedangkan, dalam sistem Anglo Saxon (English common law) dikenal
istilah rule of law. Konsep negara hukum sudah didambakan sejak
sebelum Plato. Tetapi Plato bahkan menulis bukunya berjudul “Nomoi”.24
Seperti juga Emanuel Kant, Plato memaparkan prinsip-prinsip negara
hukum secara formal. Prinsip-prinsip itu kemudian oleh Julius Stahl
terlihat sebagai suatu gagasan negara hukum yang substantif. Menurut
Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah, “rechtsstaat‟
itu mencakup empat elemen penting, yaitu: 25
1. Perlindungan hak asasi manusia
2. Pembagian kekuasaan
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
23
Ibid. 24
Jimly Assidiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Hlm 57. 25
Hestu Cipto Handoyo. 2003. Hukum Tata Negara Kewarganegaraan Dan Hak Asasi
Manusia Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi Di Indonesia. Yogyakarta, Penerbit
Universitas Gadjahmada. Hlm 12.
26
2. Tinjauan Tentang Advokat
a. Definisi Advokat
Pengertian advokat secara bahasa, berasal dari bahasa latin yaitu
advocare, yang berarti to defend (mempertahankan), to call to ones
said (memanggil seseorang untuk mengatakan sesuatu), to vouch or to
warrant (menjamin). Dalam bahasa Inggris, pengertian advokat
diungkapakan dengan kata advocate, yang berarti: to defend by
argument (mempertahankan dengan argumentasi), to support
(mendukung), indicate or recommend publicly (menandai adanya atau
merekomendasikan di depan umum).
Dalam kamus hukum, pengertian advokat diartikan sebagai
pembela, seorang (ahli hukum) yang pekerjaannya mengajukan dan
membela perkara di dalam atau di luar sidang pengadilan. Sedangkan
menurut UU Advokat Indonesia pasal 1 ayat 1 menerangkan bahwa
advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di
dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan
berdasarkan undang-undang ini..26
Jasa hukum adalah jasa yang
diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum,
menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan
melakukan tindakan hokum lain untuk kepentingan hukum klien.
Perkataan Advokat dengan istilah demikian sebenarnya telah
mengandung nilai-nilai historis dengan tidak merubah kata aslinya,
26
Ilham Gunawan dan Martinus Sahrani, 2002, Kamus Hukum Cet.I, Jakarta, Penerbit Sinar
Grafika, hal 20
27
oleh karena itu, lebih tepat dan dapat dipertahankan dengan menulis
Advokat.
Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan: Advokat adalah
Pengacara atau ahli hukum yang berwenang bertindak sebagai
penasehat atau pembela perkara dalam pengadilan. Istilah advokat
sudah dikenal ratusan tahun yang lalu dan identik dengan advocato,
attorney, rechtsanwalt, barrister, procureurs, advocaat, abogado dan
lain sebagainya di Eropa yang kemudian diambil alih oleh negara-
negara jajahannya.27
mengenai Advokat, yaitu adalah antara lain:
1. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik
di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan
berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
2. Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa
memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan
kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Pengertian lainnya yang terdapat pada Kode Etik Advokat
Indonesia yaitu:
Advokat adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum, baik
didalam maupun diluar Pengadilan yang memenuhi persyaratan
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, baik sebagai Advokat,
Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara Praktek ataupun sebagai
27
WJS. Poerwadarminta terbitan PN Balai Pustaka 1976
28
Konsultan Hukum. Undang- Undang Advokat membedakan antara
Advokat Indonesia dan Advokat asing, dimana yang dimaksud dengan
Advokat Indonesia adalah orang yang berpraktek memberi jasa
hukum, baik didalam maupun diluar Pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai
Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara Praktek ataupun
sebagai Konsultan Hukum. Advokat asing adalah Advokat
berkewarganegaraan asing sebagai karyawan atau tenaga ahli dalam
bidang hukum asing atas izin Pemerintah dengan rekomendasi
Organisasi Advokat, dilarang beracara di sidang pengadilan,
berpraktik dan/atau membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya
di Indonesia. Pemberian jasa hukum yang dilakukan oleh Advokat
kepada masyarakat atau kliennya, sesungguhnya mempunyai landasan
hukum. Perihal bantuan hukum termasuk didalamnya prinsip equality
before the law dan acces to legal councel,28
dalam hukum positif
Indonesia telah diatur secara jelas dan tegas melalui Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
(UU Advokat) menyatakan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi
memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang
memenuhi persyaratan dan berdasarkan ketentuan UU Advokat.29
28
Peter Mahmud Marzuki, 2005 Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Prenada Media,
hal.26 29
Lihat UU Advokat Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003
29
Sebelum diberlakukannya UU Advokat, maka yang dimaksud
dengan advokat adalah seseorang yang memiliki profesi untuk
memberikan jasa hukum kepada orang di dalam pengadilan atau
seseotang yang mempunyai izin praktek beracara di pengadilan di
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Sedangkan yang
dimaksud dengan pengacara biasa adalah seseorang yang memiliki
profesi untuk memberikan jasa hukum di dalam pengadilan di lingkup
wilayah yang sesuai dengan izin praktek beracara yang dimilikinya.
Sehubungan dengan hal tersebut, apabila pengacara tersebut akan
beracara di luar lingkup wilayah izin prakteknya tersebut di atas, maka
ia harus meminta izin terlebih dahulu ke pengadilan dimana ia akan
beracara.
Selanjutnya setelah diberlakukannya UU Advokat, maka tidak lagi
dikenal istilah pengacara biasa (pengacara praktek), karena
berdasarkan Pasal 32 UU Advokat dinyatakan bahwa advokat,
penasihat hukum, pengacara parktek, dan konsultan hukum yang telah
diangkat pada saat UU Advokat mulai berlaku dinyatakan sebagai
Advokat sebagaimana diatur dalam UU Advokat.30
Sebelum diberlakukannya UU Advokat, maka kedudukan advokat
adalah seseorang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa
hukum kepada orang di dalam pengadilan atau seseroang yang
mempunyai izin praktek beracara di pengadilan di seluruh wilayah
30
Lihat UU Advokat Pasal 32 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003
30
Negara Republik Indonesia. Disamping itu, advokat diangkat oleh
Presiden Republik Indonesia melalui Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia, sehingga pengakuan advokat pun diperoleh dari
Presiden Republik Indonesia melalui intansi pemerintah tersebut di
atas.
Dengan diberlakukannya UU Advokat, maka kedudukan advokat
adalah semua orang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa
hukum baik di dalam maupun di luar Pengadilan sesuai dengan
ketentuan advokat. Dan pengangkatan advokat akan dilakukan oleh
Organisasi Advokat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat 2 UU
Advokat, sehingga dengan demikian, pengakuan advokat itu diperoleh
dari ketentuan suatu Undang-Undang dalam hal ini UU Advokat.31
b. Sejarah advokat
Dalam prefektif sejarah, disadari bahwa perjalanan profesi advokat
di Indonesia tidak bisa lepas dari keterkaitannya dengan perubahan
sosial. Para advokat Indonesia terseret dalam arus perubahan tersebut.
Pada masa pra kemerdekaan dan saat ini setelah Indonesia merdeka,
secara individu banyak advokat terlibat dalam perjuangan
kemerdekaan, terutama perjuangan politik dan diplomasi. Kala itu,
kaum intelektual dan pemimpin politik Indonesia memang terbatas
pada mereka yang berasal dari kalangan advokat, dokter, insinyur dan
pamong peraja. Mereka terdidik dalam alam romantisme liberal dan
31
Lihat UU Advokat Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003
31
etika berpikir Eropa Barat termasuk Belanda. Karena kedudukan yang
cukup terhormat itu, maka perannya cukup signifikan dalam
menentukan sikap politik para pemimpin Indonesia pada masanya,
seperti ikut merumuskan dasar-dasar konstitusi Indonesaia.32
Di era kemerdekaan, pada masa pemerintahan Sukarno dimana
politik menjadi panglima, para advokat diam tidak bisa ikut
melakukan revolusi. Dimasa itu pula kita mencatat sejarah peradilan
yang relatif bersih dan berwibawa.
Bahkan dimasa pemerintahan Suharto yang represif menggunakan
kekuatan militer, Persatuan Advokat Indonesai (peradin) dengan
berani dan terbuka membela secara probono para politikus komunis
dan simpatisannya yang diadili dengan tuduhan makar tehadap Negara
Republik Indonesia, dihadapan Mahkamah Militer Luar Biasa
(Mahmilub).
Dari sekilas sejarah (peran) para advokat tersebut, menunjukkan
bahwa sumbangan pemikiran para advokat berkualitas, yang menjadi
pemimpin politik dan sosial sejak 1923, adalah sangat besar. Pada
masa itu, advokat Indonesia pertama Mr. Besar Martokoesoemo,
membuka kantor advokat ditegal, selain pak Besar sendiri, ada
Sartono, Alisastroamidjojo, Wilopa, Muh Roem, Ko Tjang Sing, Muh
Yamin, Iskaq Tjokrohadisuryo, lukman Wiradinata, Suardi Tasrif, Ani
Abbas Manoppo, Yap Thiam Hien, dan lain-lain dan generasi yang
32
Daniel S.Lev, 2001 Kata Pengantar, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi PSHK,
Penerbit Ghalia, hal 78
32
aktif sebelum dan sesudah kemerdekaan sampai 1960-an dan beberapa
diantaranya sampai 1980-an. 33
Hanya saja, akibat ombang-ambing politik, sebagai profesi para
advokat Indonesia mengalami perubahan yang membingungkan.
Kalau mereka bisa aktif dalam politik pada zaman parlementer, dan
dihormati oleh hakim dan jaksa sebagai unsur biasa dalam sistem
peradilan. Pada zaman Demokrasi Terpinpin sebaliknya, Mereka
mulai dijauhkan dari lembaga formal, diisolasi sebagai unsur swasta,
dan sering diperlakukan seperti musuh oleh hakim dan jaksa.34
Pada permulaan 1960-an korupsi peradilan mulai menonjol yang
dimulai dari kantor kejaksaan, dari situ kepengadilan dan pada
akhirnya meluas pada advokat yang sulit membela kliennya kecuali
ikut main dalam sistem birokrasi peradilan yang korup. Kondisi
demikian, hingga pasca lahirnya undang-undang No. 18 Tahun 2003
Tentang Advokat masih belum berubah. Pada hal Pasal 5 undang-
undang No. 18 Tahun 2003, ayat (1) menyatakan bahwa Advokat
berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin
oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.35
Artinya kedudukan
advokat sama dengan penegak hukum lainnya yaitu polisi, jaksa dan
hakim atau yang disebut dengan catur wangsa.
Sebagai organisasi profesi, advokat melalui pasal 28 undang-
undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat diamanatkan untuk
33
Ibid. 34
Ibid. 35
Lihat Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
33
membentuk wadah tunggal organisasi advokat, yang kemudian lahir
PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia), namun dalam
perkembangannya di internal organisasi advokat itu sendiri (PERADI)
malahan terjadi perpecahan, sehingga muncul lagi organisasi advokat
lain yaitu KAI (Kongres Advokat Indonesia). Hal itu tentunya sangat
memprihatinkan dan patut menjadi bahan perenungan yang
mendalam, meskipun ada adagium yang sudah diketahui secara luas
“Tegakkan hukum walaupun langit runtuh” nampaknya harapan itu
sangat jauh dari kenyataan yang dihadapi.
Untuk itu, tulisan ini mencoba memberikan kajian dari aspek
historis yuridis perkembangan advokat di Indonesia dari masa pra
kemerdekaan sampai lahirnya undang-undang No. 18 Tahun 2003
Tentang Advokat, dari berbagai literatur serta analisa ringkas terhadap
aspek-aspek yang terkait dengan obyek kajian ini.
c. Kedudukan Advokat Pasca Kemerdekaan
Perkembangan pengaturan profesi advokat di Indonesia pada masa
pendudukan Jepang. Pemerintah kolonial Jepang tidak melakukan
perubahan yang berarti mengenai profesi ini. Hal ini terbukti pada UU
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Wetboek van strafrecht
voor Nederlands Indie tetapi digunakan istilah KUH Pidana. UU ini
memuat pengaturan tentang kedudukan advokat dan procureur dan
orang-orang yang memberikan bantuan hukum.
34
Pengaturan profesi advokat secara sporadis tersebar dalam berbagai
ketentuan perundang-undangan termasuk didalamnya ketentuan pada
masa kolonial Belanda. Bahkan pengaturan profesi advokat sejak
proklamasi 17 Agustus 1945 justru kurang mendapat perhatian. Hal
ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya istilah advokat atau istilah
lain yang sepadan dimasukkan dalam UUD 1945. Demikian pula pada
UUD RIS 1949 yang digantikan dengan UUDS 1950.
Memang pada pasca-kemerdekaan satu-persatu undang-undang
organik di bidang peradilan dan kekuasaan kehakiman diberlakukan,
lengkap dengan fluktuasinya. Kadang menunjukkan pergerakan
positif, kadang justru berbalik arah sesuai tarik-ulur kepentingan
politik pemerintah di dalamnya. Mulai dari UU No. 1 tahun 1950
tentang Susunan dan Kekuasaan Jalannya Mahkamah Agung
Indonesia yang mengakui hak pemohon kasasi untuk mendapatkan
bantuan hukum, hingga UU No. 13 tahun 1965 tentang hal sama yang
membenarkan intervensi langsung Presiden sebagai pemimpin besar
revolusi ke dalam jalannya peradilan. Padahal satu tahun sebelumnya,
baru diberlakukan UU No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang mengintroduksi hak
untuk mendapatkan bantuan hukum bagi masyarakat walau dengan
batasan-batasan tertentu.36
36
Binziad Khadafi, Op.Cit.,hal.4
35
Namun yang jelas, materi pengaturan tentang bantuan hukum yang
berarti juga menyinggung fungsi advokat pada perundang-undangan
di atas, hanya dilekatkan secara simbolis, dan tidak pernah diturunkan
dalam ketentuan yang lebih operasional. Sehingga tidak keliru jika
dikatakan bahwa pada masa tersebut, tidak ada kebijakan yang pasti
tentang bantuan hukum, maupun tentang profesi advokat yang
bertugas menyediakannya.
Sementara akibat sengketa hukumnya seringkali harus diselesaikan
secara formal lewat mekanisme peradilan, sesungguhnya masyarakat
mulai merasakan kebutuhan akan fungsi advokat. Kebutuhan ini
diindikasikan dengan meluasnya peran pokrol bambu yang makin
terasa akrab dan terjangkau oleh masyarakat. Pada prakteknya pun,
profesi advokat di Indonesia terus berkembang. Di banyak kota besar
mulai bermunculan kantor-kantor hukum advokat profesional,
menggantikan advokat-advokat Belanda yang semakin berkurang
jumlahnya menjelang dan sesudah pembebasan Irian Barat. Berbagai
organisasi yang menaungi para advokat (Balie van Advocaten) pun
banyak berdiri, termasuk Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) yang
didirikan pada tahun 1963.37
Guna mengisi kekosongan hukum saat itu, akibat tidak kunjung
diperjelasnya fungsi advokat dalam perundang-undangan di bidang
peradilan sementara praktek pemberian bantuan hukum secara empirik
37
Binziad Khadafi, Ibid., hal.4
36
terus dijalankan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri
Kehakiman RI No. 1 tahun 1965 tentang Pokrol sebagai acuan awal.
Pengaturan ini kemudian diikuti oleh berbagai peraturan Mahkamah
Agung dan Pengadilan-pengadilan Tinggi di bawahnya tentang
pendaftaran advokat dan pengacara.38
Memasuki tahun 1970, sebenarnya ada sebuah titik terang bagi
kejelasan fungsi iadvokat. Lewat pemberlakuan UU No. 14 tahun
1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
pemerintah membuka lebih luas pintu bagi advokat untuk memasuki
sistem kekuasaan kehakiman. Selain menjamin hak setiap orang yang
berperkara untuk mendapatkan bantuan hukum, Pasal 38 UU tersebut
juga mengamanatkan diaturnya undang-undang tersendiri mengenai
bantuan hukum.
Amanat UU itulah yang menjadi dasar dimulainya perjuangan
advokat Indonesia untuk menggolkan undang-undang khusus yang
mengatur profesinya. Pada kongres (Peradin) yang kedua tahun 1969,
Peradin Jawa Tengah mulai memperkenalkan naskah RUU Profesi
Advokat.
Tetapi upaya para advokat di Peradin tersebut tidak “sepenuhnya”
berhasil. Dikatakan tidak sepenuhnya berhasil karena, walau RUU
Profesi Advokat yang muatannya mengusung isu kemandirian dan
kejelasan fungsi profesi tidak kunjung diakomodasikan oleh
38
Binziad Khadafi, Ibid
37
pemerintah dan DPR, namun lewat pemberlakuan KUHAP (UU No. 8
tahun 1981), sebagian materi bantuan hukum diatur secara cukup
komprehensif. Di dalamnya dimuat antara lain: hak advokat (penasehat
hukum) untuk menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan
pada semua tingkat pemeriksaan; hak untuk menghubungi dan berbicara
dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu
dalam rangka pembelaan perkara; serta hak untuk mengirimkan dan
menerima surat dari tersangka setiap kali dikehendaki.39
Sayangnya, tidak begitu lama advokat menikmati dampak positif
dari ketentuan KUHAP, khususnya di lingkungan peradilan pidana,
beberapa undang-undang yang diberlakukan kemudian ternyata
memberi pukulan telak bagi kemandirian advokat secara lembaga. UU
No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung misalnya, semakin
menguatkan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap advokat oleh
Mahkamah Agung dan pemerintah. Ditambah dengan UU No. 8 tahun
1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang menundukkan
organisasi-organisasi advokat yang ada saat itu ke dalam wilayah
pembinaan pemerintah, sehingga setiap saat dapat dibekukan jika
dinilai oleh penguasa telah “melakukan kegiatan yang mengganggu
keamanan dan ketertiban umum.” Akibatnya Peradin yang pernah
menandai masa kejayaan advokat di Indonesia terus dilemahkan,
sampai akhirnya tenggelam sama sekali.
39
Ibid.
38
Prosedur pengawasan terhadap advokat sendiri kemudian dirinci
dalam UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Bahkan materi
pengaturannya diperluas hingga ke tingkat penindakan dengan
melibatkan para Ketua Pengadilan Negeri yang melaksanakan
pengawasan secara operasional. Materi pengaturan inilah yang
kemudian menimbulkan tidak sedikit benturan antara advokat dengan
hakim di lapangan. Salah satunya benturan antara advokat Adnan
Buyung Nasution dengan majelis hakim dalam perkara HR Dharsono.
Kejadian tersebut memicu lahirnya SKB Ketua Mahkamah Agung RI
No. KMA/005/SKB/VII/1987, No. M.03-PR.08.95 tahun 1987 tentang
Tata Cara Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Penasehat
Hukum, yang secara signifikan mereduksi kemandirian advokat
dengan mensub-ordinatkan advokat berikut organisasinya terhadap
pengadilan dan pemerintah. Malah SKB tersebut secara sepihak
dijadikan salah satu pranata hukum bagi contempt of court di
Indonesia.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang lahir berikutnya,
relatif tidak membawa perubahan penting bagi kebutuhan advokat.
UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer,
dan UU No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan, kesemuanya secara
sporadis menyinggung fungsi advokat. Berbeda dengan UU No. 8
39
tahun 1995 tentang Pasar Modal yang berkontribusi penting dalam
menguatkan pelembagaan profesi advokat di bidang non-litigasi.
Sehingga ironi dalam pembangunan hukum di Indonesia, tidak
mengatur secara khusus profesi advokat sebagaimana profesi hukum
lainnya, padahal profesi ini sebagai salah satu unsur penegak hukum.
Akibatnya menimbulkan berbagai keprihatinan dan kesimpangsiuran
menyangkut profesi tersebut. Seirama dengan merosotnya wibawa
hukum (authority of law) dan supremasi hukum (supremacy of law),
maka profesi hukum ini juga terbawa arus kemerosotan.
Meskipun demikian secara implisit, terdapat beberapa ketentuan
yang mengisyaratkan pengakuan terhadap profesi ini, antara lain
sebagai berikut:
a. UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa
dan Madura, dalam Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta
atau wakil dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu
pembela atau penasehat hukum.
b. UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42
memberikan istilah pemberi bantuan hukum dengan kata PEMBELA.
c. UU Drt. Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara
Penyelenggaraan Kekuasaan dan Acara Pengadilan sipil, memuat
ketentuan tentang bantuan hukum bagi tersangka atapun terdakwa.
d. UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman
yang kemudian diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970,
40
menyatakan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak
memperoleh bantuan hukum.
e. UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, diganti
dengan UU Nomor 14 Tahun 1985, pada Pasal 54 bahwa
penasehat hukum adalah mereka yang melakukan kegiatan
memberikan nasehat hukum yang berhubungan suatu proses di
muka pengadilan.
f. UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57
dan 69 s/d 74 mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk
mendapatkan penasehat hukum dan tata cara penasehat hukum
berhubungan dengan tersangka dan terdakwa.
g. UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, mengakui
keberadaan penasehat hukum dalam memberi bantuan hukum
kepada tersangka atau terdakwa.
h. Surat Edaran dan Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung
dan Menteri Kehakiman, dan sebagainya.
Bahkan sebenarnya Pasal 38 UU Nomor 14 Tahun 197[23], telah
mengisyaratkan perlunya pengaturan profesi advokat dalam UU
tersendiri. Namun hal itupun tidak menjadi perhatian pemerintah
hingga akhirnya tuntutan pengaturan tersebut semakin besar di
kalangan organisasi advokat. Setelah 33 tahun, barulah perjuangan itu
berhasil melalui UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. 40
40
Khaerul H. Tanjung, Op. Cit.,hal.4
41
d. Lahirnya Undang-undang Advokat (Undang-undang No.18
Tahun 2003)
Lahirnya undang-undang advokat, merupakan hasil perjuangan yang
panjang sejak dulu, selama ini advokat selalu menjadi “anak bawang”
dalam sistem hukum dan sistem peradilan. Hampir seluruh peraturan
perundang-undangan yang dibuat tentang peradilan tidak mengakui
secara tegas fungsi advokat di dalamnya. Bahkan sebagian produk
perundang-undangan tersebut justru mendatangkan intervensi
eksternal atas advokat oleh pemerintah dan birokrasi peradilan.
Penghargaan terhadap fungsi advokat dalam undang-undang mengenai
peradilan biasanya baru datang bersamaan dengan diintrodusirnya
prinsip-prinsip peradilan yang baik, seperti ketika dibentuknya UU
Kekuasaan Kehakiman dan KUHAP (yang umumnya lebih kuat
disebabkan oleh desakan internasional). Namun karena diatur secara
simbolis, maka permasalahan tentang fungsi advokat tidak secara
nyata diselesaikan, sebagaimana tidak nyatanya penyelesaian masalah-
masalah yang menghambat terciptanya fair trial. Oleh sebab itulah
upaya mempertegas pengakuan negara terhadap fungsi advokat dalam
sistem peradilan harus sejalan dengan upaya mengakomodasikan
sebesar-besarnya kepentingan publik dalam pelaksanaan peradilan.
`Memang secara garis besar, perjuangan advokat Indonesia untuk
menggolkan undang-undang tentang profesi advokat dilatari oleh
faktor bahwa advokat dalam prakteknya sering mendapatkan
42
perlakuan tidak seimbang dari unsur peradilan formal (hakim, jaksa,
polisi, panitera) saat menjalankan profesinya. Namun ternyata dalam
perkembangannya, bukan itu faktor utama. Ketidakjelasan fungsi,
ketidakpastian kebijakan baik tentang rekrutmen, pengawasan, sampai
ke penindakan, belakangan malah menjadi tambang emas bagi
sebagian advokat. Sebab sekalipun SKB tahun 1987 (yang sering
dijadikan simbol intervensi pemerintah dan peradilan terhadap urusan
profesi) secara formal, pada realisasinya para hakim di pengadilan-
pengadilan tidak cukup waktu (sebagian barangkali "tidak cukup
moral") untuk menegakkan ketentuan SKB tersebut. Hasilnya,
advokat dapat leluasa menjalankan praktek profesinya dengan cara-
cara tidak etis, bahkan kadang melanggar kaedah hukum, tanpa
pengawasan yang berarti.41
Agaknya faktor yang paling menentukan perjuangan mendapatkan
undang-undang Advokat, adalah polarisasi di kalangan advokat yang
semakin kuat. Konflik internal di tubuh organisasi advokat menyeruak
silih berganti, bersamaan dengan terus bermainnya kepentingan
pemerintah untuk melemahkan organisasi advokat. Sehingga
komunitas profesi yang kuat yang mampu meletakkan fungsi profesi
dalam kerangka sistem peradilan tidak pernah terwujud di Indonesia.
Dan akhirnya mereka mulai mencari bantuan pihak luar untuk ikut
menyelesaikan persoalannya, dalam hal ini pilihan jatuh pada negara.
41
Binzaid Khadafi, Op.Cit.,hal.4-6
43
Berawal dari Kongres Peradin tahun 1969, perjuangan advokat
untuk mengupayakan undang-undang profesinya terangkat kembali ke
permukaan pada Kongres Peradin tahun 1973. RUU Pokok Advokat
yang dibicarakan dalam Kongres tersebut merupakan hasil godokan
Peradin-Peradin di Jawa Tengah, dengan membandingkan undang-
undang sejenis yang ada di negara-negara lain seperti India, Jepang,
RRC, dan Muangthai, termasuk juga Belanda. Namun upaya ini
terhenti sejalan dengan melemahnya Peradin di tahun-tahun
berikutnya. Apalagi saat itu tidak sedikit pimpinan dan anggota
Peradin yang menolak usulan tersebut. Diwakili oleh Yap Thiam
Hien, mereka percaya bahwa keberadaan undang-undang advokat
malah potensial semakin membahayakan kemandirian advokat
sendiri.42
Setelah terbentuknya Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) pada tahun
1985, upaya mengusung RUU Advokat kembali dilakukan. Namun
kala itu political will pemerintah tidak cukup memadai untuk
membawa gagasan tersebut secara resmi dalam proses legislasi. RUU
Advokat bahkan sempat beberapa kali berubah, baik nama maupun
konsep pengaturannya. Hingga akhirnya pada tahun 2000, satu klausul
dalam Letter of Intent antara pemerintah RI dengan International
Monetary Fund (IMF) menyerukan perlunya diajukan RUU tentang
Profesi Advokat ke DPR-RI, agar seluruh advokat yang berpraktek di
42
Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6
44
Pengadilan disyaratkan untuk memiliki izin praktek, dan mentaati
ketentuan kode etik profesi yang seragam.
Dalam rangka melaksanakan klausul tersebut, pemerintah akhirnya
membentuk tim perumus RUU tentang Profesi Advokat yang
dipimpin oleh HAS Natabaya (mantan Kepala Badan Pembinaan
Hukum Nasional) sebagai ketua dan Adnan Buyung Nasution sebagai
wakil ketua, dengan merangkul perwakilan dari beberapa organisasi
advokat yang ada, seperti Ikadin, Asosiasi Advokat Indonesia (AAI),
Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), dan Asosiasi Konsultan
Hukum Indonesia (AKHI). Tim tersebut berhasil menyelesaikan
tugasnya pada bulan September 2000, dengan mengajukan RUU yang
dibuat kepada pimpinan DPR RI melalui surat No. R.19/PU/9/2000.43
Sebenarnya sampai saat ini pun belum pernah dicapai kesepakatan
bulat dan tuntas di antara para advokat mengenai perlu tidaknya
profesi mereka diatur dalam undang-undang tersendiri. Selalu terdapat
dua pandangan yang saling berseberangan. Pandangan pertama,
sebagai pandangan mayoritas di kalangan advokat, menyatakan bahwa
undang-undang profesi advokat mutlak diperlukan untuk
menyetarakan status antara profesi advokat dengan unsur-unsur
peradilan lainnya (seperti polisi, jaksa, dan hakim). Tanpa status yang
setara, advokat akan terus menjadi "anak bawang" dalam proses
peradilan, dan selalu dipandang sama swastanya dengan klien yang
43
Ibid.
45
diwakili. Akibatnya, advokat tidak dapat menjalankan perannya secara
optimal karena rentan terhadap tindak diskriminasi, intervensi, dan
represi baik dari polisi, jaksa, maupun hakim.44
e. Pengangkatan Advokat
Dengan adanya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 2 ayat
(1) mengatur tentang pengangkatan advokat. Pengangkatan advokat
dapat dilakukan kepada sarjana yang berlatar belakang pendidikan
tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi
advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat.
Selanjutnya mengenai persyaratan-persyaratan pengangkatan
advokat diatur dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa “untuk dapat
diangkat menjadi advokat harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut.
a. Warga negara Republik Indonesia;
b. Bertempat tinggal di Indonesia;
c. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
d. Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
e. Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1);
f. Lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
g. Magang, sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada
kantor advokat;
44
Ibid.
46
h. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai
integritas yang tinggi
f. Organisasi Advokat
Menurut amanah pasal 28 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
advokat-advokat harus menjadi anggota organisasi advokat sebagai
wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang mempunyai
maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat.
Sepanjang organsiasi advokat belum terbentuk maka sementara
tugas dan wewenang dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat
Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan
Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan
Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI),
Asosiasi Konsultan hukum Indonesia (AKHI),Himpunan Konsultan
Hukum Pasar Modal Indonesia (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara
Syari’ah Indonesia (APSI).
Pelaksanaan tugas dan wewenang sementara tersebut dibatasi
sampai waktu dua tahun setelah diundangkannya UU Advokat dan
pada tanggal 21 Desember 2004, delapan organisasi advokat
mendeklarasikan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sebagai
organisasi advokat di indonesia.
47
Tugas dan wewenang organisasi advokat adalah sebagai berikut.
a. Pengangkatan advokat.
b. Penindakan advokat melalui Dewan Kehormatan organisasi
advokat.
c. Pemberhentian Advokat.
d. Pengawasan advokat.
e. Menetapkan dan menjalankan kode etik profesi advokat.
f. Memiliki buku daftar anggota, menyampaikan salinan
daftar anggota dan melaporkan pertambahan dan/atau
perubahan jumlah anggotanya kepada Ketua Mahkamah
Agung dan Menteri.
g. Menetapkan kantor advokat tempat magang.
g. Prinsip Advokat
Advokat merupakan profesi yang mulia. Dikatakan mulia karena
advokat dapat menjadi mediator bagi pihak yang bersengketa tentang
suatu perkara, baik berkaitan dengan perkara pidana, perdata, maupun
tata usaha negara. Selain itu seorang advokat dapat juga menjadi
fasilitator dalam mencari kebenaran dan menegakkan keadilan untuk
membela hak asasi manusia dan memberikan pembelaan hukum yang
bersifat bebas dan mandiri. Frans Hendra Winarta mengemukakan
bahwa profesi advokat sesungguhnya sangat sarat dengan idealisme.
Sejak profesi ini dikenal secara universal sekitar 2000 tahun yang lalu,
advokat sudah dijuluki sebagai profesi mulia. Profesi advokat itu
48
mulia karena advokat mengabdikan dirinya kepada kepentingan
masyarakat dan bukan kepada dirinya sendiri, serta berkewajiban
untuk menegakkan hak asasi manusia. Di samping itu advokat bebas
dalam membela, tidak terikat pada perintah, order klien dan tidak pilih
bulu siapa lawan kliennya, apakah golongan kuat, pejabat, penguasa,
dan sebagainya.45
Keberadaan advokat sangat penting bagi masyarakat untuk
membela hak seseorang (individu) dalam menghadapi persoalan
hukum. apabila seorang individu menghadapi tuntutan pidana dari
negara yang mempunyai perangkat polisi, jaksa, hakim, dan lembaga
pemasyarakatan, jelas diperlukan advokat untuk membela individu
yang berstatus sebagai tersangka atau terdakwa yang sedang
menghadapi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan. Pembelaan advokat atas tersangka atau terdakwa
yang berhadapan dengan negara yang mempunyai perangkat lengkap
akan menciptakan keseimbangan dalam proses peradilan sehingga
keadilan bagi semua orang (justice for all) dapat dicapai.46
Pemberian jasa hukum oleh advokat telah berlangsung sejak lama.
Hal ini dimaksudkan untuk mencari kebenaran dan menegakkan
keadilan serta menjunjung tinggi supremasi hukum untuk menjamin
terselenggaranya negara hukum dalam Negara Kesatuan republik
45
Frans Hendra Winarta, 1995 Advokat Indonesia Citra, Idealisme dan Keprihatinan,
Jakarta, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, , hal. 14 dalam rahmat rosyadi dan Sri Hartini, Advokat
dalam Perspektif Islam & Hukum Positif, Jakarta: Penerbit Ghalia indonesia, 2003, hal. 17-18. 46
Frans Hendra Winata, 1999 Pro Bono Publico Hak Konstitusional, Jakarta , Penerbit
Ghalia hal. 1-2.
49
indonesia. Pada awalnya advokat merupakan moral force yaitu
kekuatan moral yang dilakukan oleh sekelompok orang. Mereka
melihat bahwa sering terjadi perlakukan kewenang- wenangan dari
pihak penguasa kepada sebagian masyarakat. Selalu terjadi tindak
kezaliman antara warga masyarakat yang lebih kuat terhadap warga
masyarakat lainnya yang lemah dari aspek ekonomi, politik, atau
hukum. Begitu juga sering berlangsungnya ketidakadilan terhadap
masyarakat pencari keadilan, terutama bagi masyarakat miskin yang
tidak mampu secara ekonomis dan tidak mempunyai akses terhadap
bantuan hukum. Marginalisasi terhadap orang miskin sudah
berlangsung berabad-abad tidak hanya di bidang ekonomi, politik,
pendidikan, kesempatan kerja dalam bidang hukum pun masyarakat
miskin selalu menjadi korban ketidakadilan. tampilnya para
advokat di tengah-tengah masyarakat untuk membela kebenaran dan
menegakkan keadilan bagaikan air yang datang di tengah gurun yang
gersang dan tandus sehingga mampu mendinginkan suasana.47
Sejalan dengan perkembangan kehidupan dan kesadaran
masyarakat di berbagai bidang, khususnya di bidang hukum, jasa
hukum melalui advokat berkembang menjadi kekuatan konstitusional.
Dengan munculnya berbagai organisasi advokat yang dikelola secara
profesional, peran advokat dianggap penting demi berjalannya
peradilan yang bebas, cepat, dan sederhana. Keberadaan advokat
47
Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Pt.
Gramedia Utama, 2000, hal. 294-295 dalam rahmat rosyadi dan Sri Hartini, Advokat dalam
Perspektif Islam& Hukum Positif, Jakarta: Penerbit Ghalia indonesia, 2003, hal. 18.
50
makin dibutuhkan masyarakat dalam membantu mencari keadilan dan
menegakkan hukum untuk memperoleh haknya kembali yang
dirampas48
Saat menjalankan tugas dan fungsinya, advokat dapat
berperan sebagai pendamping, pemberi nasihat hukum, atau menjadi
kuasa hukum untuk dan atas nama kliennya. Pemberian jasa hukum
oleh advokat dapat dilakukan secara prodeo ataupun atas dasar
mendapatkan honorarium/fee dari klien.49
h. Hak dan Kewajiban Advokat
Hak Advokat
advokat memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam UU
advokat yaitu pada Bab iv tentang Hak dan Kewajiban advokat, Bab v
tentang Honorarium, Bab vi tentang Bantuan Hukum Cuma-Cuma,
Bab vii tentang advokat asing, Bab viii tentang atribut, Bab iX tentang
Kode Etik dan Dewan Kehormatan advokat. Yang merupakan hak
seorang advokat yaitu:
i. Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam
membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam
sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi
dan peraturan perundang- undangan;50
48
Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Pt.
Gramedia Utama, 2000, hal. 294-295 dalam rahmat rosyadi dan Sri Hartini, Advokat dalam
Perspektif Islam& Hukum Positif, Jakarta: Penerbit Ghalia indonesia, 2003, hal. 19-20. 49
rahmat rosyadi dan Sri Hartini, Advokat dalam Perspektif Islam& Hukum Positif,
Jakarta: Penerbit Ghalia indonesia, 2003, hal. 17. 50
Lihat Pasal 14 UU advokat
51
ii. Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk
membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap
berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-
undangan;51
iii. Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana
dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk
kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan;52
iv. Dalam menjalankan profesinya, advokat berhak memperoleh
informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi
pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan
kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan
kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan;53
v. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien,
termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap
penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap
penyadapan atas komunikasi elektronik advokat.54
vi. advokatberhakmenerimahonorariumatasjasahukumyangtelahdiberikan
kepada kliennya. Besarnya honorarium atas jasa hukum ditetapkan
secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.55
51
Lihat Pasal 15 UU advokat 52
Lihat Pasal 16 UU advokat 53
Lihat Pasal 17 UU advokat 54
Lihat Pasal 19 ayat (2) UU advokat 55
Lihat Pasal 21 UU advokat
52
Kewajiban Advokat
Kewajiban advokat sebagaimana diatur dalam UU advokat sebagai
berikut:
a. Advokatdalammenjalankantugasprofesinyadilarangmembedakanp
erlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik,
keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.56
b. Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela
perkara klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.57
c. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau
diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali
ditentukan lain oleh Undang-undang.58
d. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan
dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.59
e. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta
pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi advokat
atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan
tugas profesinya.60
f. Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas
profesi advokat selama memangku jabatan tersebut.61
56
Lihat Pasal 18 ayat (1) UU advokat. 57
Lihat Pasal 18 ayat (2) UU advokat. 58
Lihat Pasal 19 ayat (1) UU advokat. 59
Lihat Pasal 20 ayat (1) UU advokat. 60
Lihat asal 20 ayat (2) UU advokat. 61
Lihat Pasal 20 ayat (3) UU advokat.
53
g. Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma
kepada pencari keadilan yang tidak mampu.62
h. Advokat asing wajib memberikan jasa hukum secara cuma-cuma
untuk suatu waktu tertentu kepada dunia pendidikan dan penelitian
hukum.63
i. Advokat yang menjalankan tugas dalam sidang pengadilan dalam
menangani perkara pidana wajib mengenakan atribut sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.64
j. Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi advokat
dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan organisasi advokat.65
Profesi advokat erat kaitannya dengan organisasi tempat berlindung
para advokat. Pada masa sebelum dan awal kemerdekaan jumlah
advokat indonesia masih sangat sedikit. organisasi advokat merupakan
satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang
dibentuk sesuai dengan ketentuan UU advokat dengan maksud dan
tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat.66
Pasal 32 ayat
(4) UU advokat mengamanatkan dalam waktu paling lambat 2 (dua)
tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, organisasi advokat telah
terbentuk. Untuk melaksanakan ketentuan UU advokat tersebut,
dibentuklah Perhimpunan advokat indonesia (Peradi) pada tanggal 7
april 2005 di Balai Sudirman, Jakarta. acara perkenalan Peradi
62
Lihat Pasal 22 ayat (1) UU advokat. 63
Lihat Pasal 23 ayat (3) UU advokat. 64
Lihat Pasal 25 UU advokat. 65
Lihat Pasal 26 ayat (2) UU advokat. 66
Lihat Pasal 28 ayat (1) UU advokat.
54
dihadiri oleh tidak kurang dari 600 advokat se-indonesia dan juga
Ketua Mahkamah agung, Jaksa agung, dan Menteri Hukum dan Hak
asasi Manusia. Peradi merupakan hasil bentukan Komite Kerja
advokat indonesia (KKai) yang beranggotakan delapan organisasi
advokat yang telah ada sebelum UU advokat, yaitu ikatan advokat
indonesia (ikadin), asosiasi advokat indonesia (aai), ikatan Penasehat
Hukum indonesia (iPHi), Himpunan advokat dan Pengacara indonesia
(HaPi), Serikat Pengacara indonesia (SPi), asosiasi Konsultan Hukum
indonesia (aKHi), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal
(HKHPM), asosiasi Pengacara Syariah indonesia (aPSi).67
i. Larangan Advokat
Larangan Bagi Advokat
Advokat dalam menjalankan profesinya dilarang untuk:
a. dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis
kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial
dan budaya;
b. dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan
kepentingan tugas dan martabat profesinya;
c. dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian
sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau
mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan
tugas profesinya.
67
PERADI, 2007 Kitab Advokat Indonesia, Bandung, Penerbit Peradi , hal. 100.
55
j. Penindakan Advokat
Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan :
1) Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
2) Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau
rekan seprofesinya;
3) Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan
pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap
hukum, peraturan perundangundangan, atau pengadilan;
4) Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban,
kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
5) Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan
dan atau perbuatan tercela;
6) Melanggar sumpah/janji advokat dan/atau kode etik profesi
advokat.
Jenis tindakan yang dikenakan terhadap Advokat dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai
12 (dua belas) bulan;
d. pemberhentian tetap dari profesinya.68
68
Juliandy Dasdo Tambun S.H., Prosedur Pemanggilan Advokat yang Diduga Melanggar
Hukum, http://www.hukumonline.com, diakses 2 april 2018
56
k. Pemberhentian Advokat
Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap
karena alasan:
1) Permohonan sendiri;
2) Dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4
(empat) tahun atau lebih;
3) Atau berdasarkan keputusan Organisasi Advokat.69
l. Pengawasan Advokat
Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
Pengawasan tersebut bertujuan agar Advokat dalam menjalankan
profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan
peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan pengawasan sehari-hari
dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh Organisasi
Advokat. Keanggotaan Komisi Pengawas terdiri atas unsur Advokat
senior, para ahli/akademisi, dan masyarakat.70
3. Tinjauan tentang Bantuan Hukum Prodeo
a) Pengertian Bantuan Hukum
Istilah bantuan hukum merupakan istilah yang baru bagi bangsa indonesia,
karena masyarakat baru mengenal dan mendengarnya di sekitar tahun tujuh
puluhan. Istilah bantuan hukum lebih tepat dan sesuai dengan fungsinya
69
Lukman Santoso AZ, 2017, Anti Binggung Bicara Di Pengadilan, Jakarta, Penerbit
laksana, hal 107 70
Ibid.
57
sebagai pendamping tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan dari pada
istilah pembela. Istilah pembela sering kali di salah trafsirkan, seakan-akan
berfungsi sebagai penolong tersangka atau terdakwa bebas atau lepas dari
pemidanaan walaupun telah jelas bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan itu. Pada hal fungsi pembela adalah membantu hakim dalam
usaha menemukan kebenaran materil, walaupun bertolak dari sudut pandang
subyektif, yaitu berpihak kepada kepentingan tersangka atau terdakwa.
Dalam prakteknya sehari-hari orang sering menafsirkan bantuan
hukum itu dengan menonjolkan sifat bantuannya bukan sebagai hak untuk
mendapatkannya, artinya pemberian bantuan hukum itu lebih banyak
tergantung kepada orang yang bersedia menerimanya bukan kepada nilai
atau objek perkara yang perlu untuk mendapatkannya.
Dalam garis besarnya pengertian umum mengenai bantuan hukum
adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh seorang pelaksana atau
pemberian bantuan hukum untuk menyelesaikan suatu persoalan hukum,
baik dalam bidang hukum pidana, hukum perdata maupun di bidang
hukum administrasi Negara, baik dalam pengadilan maupun diluar
pengadilan. Kegiatan pemberian bantuan hukum tersebut dilakukan atas
dasr pemberian kuasa oleh pencari keadilan (justicible) kepada
pelaksanaan pemberian bantuan hukum sesuai dengan gambaran diatas,
maka dapat diartikan bantuan hukum sebagai sesuatu bantuan yang
diberikan oleh seorang atau setidak-tidaknya mengerti tentang hukum
dalam proses penyelesaian perkara dipengadilan.
58
Menurut Darmawan Prist bahwa bantuan hukum adalah suatu
pemberian bantuan dalam bentuk hukum, guna memperlancar
penyelesaian perkara.71
Dalam KUHAP lebih sering digunakan dengan
istilah bantuan hukum, yaitu bahwa bantuan hukum dapat diberikan sejak
pemeriksaan pendahuluan. Penasehat hukum yang terdapat dalam pasal 1
butir 13 KUHAP adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan
oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.
Selain itu pengertian bantuan hukum adalah hak dari orang miskin
yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono polico) sebagai penjabaran
hak di depan hukum.
Bila dilihat pendapat M. Yahya Harahap bahwa pengertian bantuan
hokum mempunyai ciri dalam istilah yang berbeda, yaitu antara lain :
1. Legal aid, yang berarti memberi jasa di bidang hukum kepada
seseorang yang terlibat kedalam suatu kasus atau perkara, yaitu :
1. Pemberi jasa bantuan hukum dilakukan dengan Cuma- Cuma;
2. Bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang
tidak mampu dalam lapisan masyarakat miskin;
3. Dengan demikian motivasi utama dalam konsep legal aid adalah
menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan
hak asasi rakyat kecil yang tak punya dan buta hukum.72
71
Darman Primts, 2002, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek, Jakarta, Penerbit
Djambatan, hal.
102 72
Pratiwi Wulandari, Bantuan Hukum; Legal Aid or Legal Assistance,
https://www.kompasiana.com, diakses 1 april 2018
59
2. Legal assistance, yang mengandung pengertian lebih luas dari legal
aid. Karena disamping mengandung makna dan tujuan pemberi jasa
bantuan hukum, lebih dekat dengan pengertian dikenal dengan
advokat, yaitu pemberi bantuan :
a. Baik kepada yang mampu membayar prestasi,
b. Maupun pemberi bantuan kepada rakyat yang miskin secara
Cuma-Cuma.73
3. Legal service, yaitu pelayan hukum, dalam bahasa ibdonesia
diterjemahkan dalam pelayanan hukum. Pada umumnya kebanyakan
orang lebih cenderung memberikan pengertian yang lebih luas kepada
konsep dan makna legal service dibanding dengan dan tujuan legal aid
atau dikenal assistance, karena pada konsep dan ide legal service
terkadang makna dan tujuan :
a. Memberi bantuan pada anggota masyarakat yang operasionalnya
bertujuan menghapuskan kenyataan- kenyataan diskriminatif
dalam penegakan dan pemberi jasa hukum bantuan antara rakyat
miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang
menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan.
b. Dan dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota
masyarakat yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran
hukum itu sendiri oleh aparatpenegak hukum.dengan jalan
mengharmati setiap hak yang dibenarkan hukum bagi setiap
anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan miskin.
73
Ibid.
60
c. Disamping itu untuk menegakkan hukum dan penghormatan
kepada hak yang diberikan hukum kepada setiap orang, legal
service didalam operasionalnya, lebih cenderung untuk
menyelesaikan setiap persengketaan dengan jalan menempuh cara
perdamaian74
Bantuan hukum merupakan sesuatu asas yang penting dimana
seseorang yang terkena perkara mempunyai hak untuk memperoleh
bantuan hukum, guna memberikan perlindungan sewajarnya kepadanya.
Selain itu pentingnya bantuan.
Hukum adalah untuk menjamin perlakuan yang sesuai dengan
martabat seseorang sebagai manusia, maupun demi dilaksanakannya
hukum sebagaimana mestinya.
UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-Poko Kekuasaan
Kehakiman jo. UU Nomor 35 Tahun 1999 dan UU Nomor 4 Tahun 2004
(selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) mengatakan bahwa
setiap orang yang tersangkut perkara memperoleh bantuan hukum (Pasal
37). Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan
penangkapan dan /atau penahanan berhak menghubungi dan meminta
bantuan advokat (Pasal 38). Dalam memberikan bantuan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, advokat wajib membantu
menyelesaikan perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan.
74
Martiman Prodjo Hamidjojo, 1982, Penasehat Hukum dan Organisasi bantuan Hukum,
Penerbit Ghalia Indonesia, Cetak I, hal. 25
61
(Pasal 39). Dengan ketentuan pasal-pasal dapatlah diketahui bahwa
bantuan hukum adalah suatu pemberian bantuan dalam bentuk hukum,
kepada tersangka/terdakwa oleh seorang atau ahli hukum, guna
memperlancar penyelesaian perkara.75
Dalam KUHAP masalah bantuan hukum ini diatur dalam pasal 69
sampai dengan pasal 74. Namun undang-undang ini tidak memberikan
penafsiran resmi apa yang dimaksud dengan bantuan hukum, sehingga bila
ingin memberikan pengertian apa definisi tentang bantuan hukum maka
hanya dapat memberikan penafsiran umum sebagai pegangan untuk
sementara pembahasan ini dapat berjalan dengan baik.
Menurut Syah Sahab sebagaimana dikutip oleh Djoko Prakoso,
bahwa dengan hadirnya pembelaan dalam pemeriksaan pendahuluan,
maka pembela dapat
Melihat dan mendengarkan, jalannya pemeriksaan yang dilakukan
terhadap tersangka.76
Keputusan Menteri Kehakiman RI nomor M.
02.UM.0.08 tahun 1980 tentang penunjukan pelaksanaan bantuan hukum
yang kemudian diubah dengan keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor
M.01.UM.08.10 Tahun 1981, model pemberian bantuan hukum adalah
melalui badan peradilan umum dan diberikan kepada tersangka atau
tertuduh yang tidak atau kurang mampu dalam :
75
Lihat UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-Poko Kekuasaan Kehakiman jo. UU
Nomor 35 Tahun 1999 dan UU Nomor 4 Tahun 2004 76
Djoko Prakoso, 1996, Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, Jakarta, Penerbit Ghalia
Indonesia, hal. 8
62
Perkara pidana yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih;
1. Perkara pidana yang diancam pidana mati;
2. Perkara yang diancam hukuman penjara kurang dari 5 (lima)
tahun, namun menarik perhatian masyarakat luas.
b) Tujuan Dan Fungsi Bantuan Hukum
Bantuan hukum adalah lembaga hukum yang penting peranannya
didalam mencari kebenaran material (mateiale waarheids) karena itu di
ketahui bahwa sudah merupakan prinsip dalam hukum pidana Indonesia
bahwa dalam suatu proses perkara pidana, maka kebenaran yang
dikehendaki atau yang dicari adalah kebenaran material dan objektif. Ini
berarti bahwa penanganan masalah individu yang melakukan tindakan
pidana tidak hanya ditinjau dari sudut juridisnya tetapi juga perlu ditinjau
dan Memperhatikan segi-segi sosial lainnya dari terdakwayang sifatnya
adalah untuk membantu para penegak hukum dalam pengungkapan dan
pemahaman suatu tindak pidana untuk mencari kebenaran material,
sehingga vonis yang dijatuhkan hakim terhadap orang tersebut lebih
objektif sifatnya.
Tentang pendapat mengapa seseorang terdakwa perlu mendapat atau
didampingi penasehat hukum di pengadilan, R. Soesilo berpendapat bahwa
dalam perkara, terdakwa harus berhadapan dengan jaksa dan polisi
didepan hakim, hal ini tidak seimbang. Terdakwa merasa amat kecil
terhadap tuduhan-tuduhan yang disusun rapi oleh jaksa ditambah lagi
pikirannya yang gelisah dan kacau menghadapi perkara. Oleh karena itu,
63
untuk kepentingan terdakwa dan sebenarnya juga untuk kepentingan
keseimbangan dalam pemeriksaan perkara dirasakan untuk membela
kepentingan terdakwa.77
Selanjutnya Martiman Hamidjojo, berpendapat bahwa menerut
pengalaman menunjukkan bahwa yang kena musibah, orang tersebut
konsentrasinya terpecah belah atau bercabang-cabang, serta sering kali
menunjukkan sifat emosionaldari pada ketenangan. Akibat yang demikian,
maka jarang berfikir secara rasional lagi. Banyak kejadian bahkan orang-
orang pandai dan mempunyai keahlian dibidangnya dalam hal ini hukum,
jika ia kena musibah berpekara membutuhkan seorang atau lebih penasihat
hukum. Dan jika ada kehadiran seorang penasihat hukum bagi
penggugat/tergugat/terdakwa, maka sang hakim akan merasa puas
menjatuhkan putusannya, apabila pembelaan hukum telah diberikan
sepenuhnya kepada orang terdakwa dalam perkara tindak pidana atau
penggugat (tergugat dalam perkara pidana).78
Disamping itu, terutama dalam tingkat pemeriksaan pendahulaan
bahwa terdakwa adalah sebagai orang yang masih awam dalam bidang
hukum sudah barang tentu tidak mengetahui tentang seluk beluk dan lika-
liku hukum yang harus dilaluinya untuk mendapatkan keadilan dan untuk
mempertahankan hak dan kepentingannya bilamana ia terlibat suatu
perkara.
77
R Soesilo, 1981, Pelajaran Lengkap Hukum Pidana Sistim Tanya Jawab, Bogor ,
Penerbit Politeia 78
Martiman Prodjo Hamidjojo, 1982, Penasehat Hukum dan Organisasi bantuan Hukum,
Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia, Cetak I, hal. 25
64
Dalam menempuh jalan panjang yang berliku-liku dapat dibayangkan
betapa paniknya seorang terdakwa secara seorang diri dalam menghadapi
para pemeriksa yang menuduhnya telah melakukan sesuatu tindak pidana,
lebih-lebih kalau hal itu adalah tidak benar.
Untuk mengatasi hal tersebut, kepadanya perlu diberikan bantuan
hukum dalam semua tingkat pemeriksaan baik pemeriksaan pendahuluan
maupun pemeriksaan pada tingkat pengadilan oleh seorang ahli hukum.
Sebaliknya Abdurrahman menyatakan sebagai berikut :79
Hal ini terutama sebelum keluarnya UU Nomor 8 Tahun 1981
(KUHAP), dengan diberikannya bantuan hukum dalam pemeriksaan
pendahuluan dapat mempersulit jalannya pemeriksaan, sehingga timbul
suatu anggapan bahwa para pembela itu adalah tidak lebih dari pada
seorang trouble maker sehingga dapat memungkinkan seorang pejabat
lepas dari pemidanaan. Hal ini adalah disebabkan oleh karena seorang
pembela dengan segala keahliannya dapat memutarbalikkan fakta atau
kenyatan lebih-lebih pada Masyarakat,dan sekaligus merupakan informasi
lebih obyektif dan positif bagi usaha pelaksanaan dan perubahan hukum.80
Dari uraian diatas, maka dapat diketahui tujuan hukum dan fungsi
pelaksanaan program bantuan hukum, yaitu :
1. Membantu para penegak hukum untuk mengungkapkan dan pemahaman
suatu kasus demi terciptanya kebenaran (material waarheid) dan terutama
agar vonis hakim yang akan dijatuhkan lebih obyektif.
79
Ibid. 80
Lihat UU Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP),
65
2. Suatu ala atau prasarana untuk mengisi perlindungan terhadap hak
asasi manusia terutama bagi golongan miskin dan lemah.
3. Merupakan pelayanan hukum secara Cuma-Cuma (prodeo) bagi
rakyat yang tidak mampu atau miskin.
4. Merupakan sarana pendidikan untuk mengembangkan dan meningkatkan
kesadaran hukum rakyat terutama hak-haknya sebagai subyek hukum.
5. Bertujuan untuk melaksanakan perbaikan dan perubahan hukum atau
undang-undang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
c) Jenis – Jenis Bantuan Hukum
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan
yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan
pemberlakuannya dan berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya
ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya. Oleh karenanya, terkait
hukum itu sendiri, telah diatur mengenai banyak hal yang menyangkut hukum
itu sendiri, dan salah satunya mengenai bantuan-bantuan hukum yang menjadi
hak dari masyarakat. Berikut penjelasan singkat mengenai jenis-jenis bantuan
hukum yang terdapat di Indonesia, antara lain :
1. Bantuan Hukum Konvensional, merupakan tanggungjawab moral
maupun profesional para advokat, sifatnya individual, pasif,
terbatas pada pendekatan formal atau legal dan bentuk bantuan
hukum berupa pendampingan dan pembelaan di Pengadilan.81
81
Uli Parulian Sihombing, Perkembangan Bantuan Hukum dan Tanggungjawab Negara,
http://www.hukumonline.com/ , diakses Tanggal 1 april 2018
66
2. Bantuan Hukum Konstitusional, merupakan bantuan hukum untuk
masyarakat miskin yang dilakukan dalam kerangka usaha-usaha
dan tujuan yang lebih luas dari sekedar pelayanan hukum di
pengadilan. Berorientasi pada perwujudan negara hukum yang
berlandaskan prinsip- prinsip demokrasi dan HAM. Bantuan
hukum adalah kewajiban dalam kerangka untuk menyadarkan
mereka sebagai subyek hukum yang mempunyai hak yang sama
dengan golongan lain. Sifat aktif, tidak terbatas pada individu dan
tidak terbatas format legal.82
3. Bantuan Hukum Struktural, dalam hal ini bantuan hukum bukan
merupakan sekedar pelembagaan pelayanan hukum untuk si miskin tetapi
merupakan sebuah gerakan dan rangkaian tindakan guna pembebasan
masyarakat dari belenggu struktur politik, ekonomi, sosial dan budaya
yang syarat akan penindasan. Adanya pengetahuan dan pemahaman
masyarakat miskin tentang kepentingan-kepentingan bersama mereka;
Adanya pengertian bersama dikalangan masyarakat miskin tentang
perlunya kepentingan-kepentingan mereka yang perlu dilindungi oleh
hukum; Adanya pengetahuan dan pemahaman dikalangan masyarakat miskin
tentang hak-hak mereka yang telah diakui oleh hukum; Dan adanya kecakapan
dan kemandirian di kalangan masyarakat miskin untuk mewujudkan hak-hak
dan kepentingan-kepentingan mereka di dalam masyarakat.83
82
Ibid. 83
Ibid.
67
d) Syarat Pemberian Bantuan Hukum
Untuk memperoleh Bantuan Hukum, Pemohon Bantuan Hukum harus
memenuhi syarat:
1. Mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi paling sedikit
identitas Pemohon Bantuan Hukum dan uraian singkat mengenai
pokok persoalan yang dimohonkan Bantuan Hukum;
2. Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan Perkara; dan
3. Melampirkan surat keterangan miskin dari Lurah, Kepala Desa, atau
pejabat yang setingkat di tempat tinggal Pemohon Bantuan Hukum.84
Pemberian Bantuan Hukum dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan
Hukum, yang harus memenuhi syarat:
1. Berbadan hukum
2. Terakreditasi
3. Memiliki kantor atau sekretariat yang tetap
4. Memiliki pengurus; dan
5. Memiliki program Bantuan Hukum.85
e) Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Pemohon Bantuan Hukum mengajukan permohonan Bantuan Hukum
secara tertulis kepada Pemberi Bantuan Hukum paling sedikit memuat:
1. Identitas Pemohon Bantuan Hukum dibuktikan dengan kartu tanda
penduduk dan/atau dokumen lain yang dikeluarkan oleh instansi yang
84
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 3 85
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 4
68
berwenang. Dalam hal Pemohon Bantuan Hukum tidak memiliki
identitas, Pemberi Bantuan Hukum membantu Pemohon Bantuan
Hukum dalam memperoleh surat keterangan alamat sementara
dan/atau dokumen lain dari instansi yang berwenang sesuai domisili
Pemberi Bantuan Hukum.86
2. Uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimintakan Bantuan
Hukum.
Permohonan Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud harus
melampirkan:
1. Surat keterangan miskin dari Lurah, Kepala Desa, atau pejabat
yang setingkat di tempat tinggal Pemohon Bantuan Hukum.
Dalam hal Pemohon Bantuan Hukum tidak memiliki surat
keterangan miskin, Pemohon Bantuan Hukum dapat melampirkan
Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat, Bantuan Langsung Tunai,
Kartu Beras Miskin, atau dokumen lain sebagai pengganti surat
keterangan miskin.87
2. Dokumen yang berkenaan dengan Perkara.
1. Dalam hal Pemohon Bantuan Hukum tidak memiliki
persyaratan sebagaimana dimaksud diatas Pemberi Bantuan
Hukum membantu Pemohon Bantuan Hukum dalam
memperoleh persyaratan tersebut. Instansi yang berwenang
sesuai domisili Pemberi Bantuan Hukum wajib
86
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 7 87
Ibid.
69
mengeluarkan surat keterangan alamat sementara dan/atau
dokumen lain untuk keperluan penerimaan Bantuan
Hukum.88
2. Lurah, Kepala Desa, atau pejabat yang setingkat sesuai
domisili Pemberi Bantuan Hukum wajib mengeluarkan
surat keterangan miskin dan/atau dokumen lain sebagai
pengganti surat keterangan miskin untuk keperluan
penerimaan Bantuan Hukum.89
3. Pemohon Bantuan Hukum yang tidak mampu menyusun
permohonan secara tertulis dapat mengajukan permohonan
secara lisan.90
4. Dalam hal permohonan Bantuan Hukum diajukan secara
lisan, Pemberi Bantuan Hukum menuangkan dalam bentuk
tertulis. Permohonan ditandatangani atau dicap jempol oleh
Pemohon Bantuan Hukum.91
5. Pemberi Bantuan Hukum wajib memeriksa kelengkapan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dalam
waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah menerima
berkas permohonan Bantuan Hukum.92
88
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 9 Angka 1 89
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 9 Anggka 2 90
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 10 Angka 1 91
Uli Parulian Sihombing, Opcit 92
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 11 Angka 1
70
6. Dalam hal permohonan Bantuan Hukum telah memenuhi
persyaratan, Pemberi Bantuan Hukum wajib
menyampaikan kesediaan atau penolakan secara tertulis
atas permohonan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari
kerja terhitung sejak permohonan dinyatakan lengkap.93
7. Dalam hal Pemberi Bantuan Hukum menyatakan
kesediaan, Pemberi Bantuan Hukum memberikan Bantuan
Hukum berdasarkan surat kuasa khusus dari Penerima
Bantuan Hukum.94
8. Dalam hal permohonan Bantuan Hukum ditolak, Pemberi
Bantuan Hukum wajib memberikan alasan penolakan
secara tertulis dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja
terhitung sejak permohonan dinyatakan lengkap.95
9. Pemberian Bantuan Hukum oleh Pemberi Bantuan Hukum
kepada Penerima Bantuan Hukum diberikan hingga
masalah hukumnya selesai dan/atau Perkaranya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, selama Penerima
Bantuan Hukum tersebut tidak mencabut surat kuasa
khusus.96
93
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 11 Angka 2 94
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 11 Angka 3 95
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 11 Amgka 4 96
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 12
71
10. Pemberian Bantuan Hukum secara Litigasi dilakukan oleh
Advokat yang berstatus sebagai pengurus Pemberi Bantuan
Hukum dan/atau Advokat yang direkrut oleh Pemberi
Bantuan Hukum.97
11. Dalam hal jumlah Advokat yang terhimpun dalam wadah
Pemberi Bantuan Hukum tidak memadai dengan banyaknya
jumlah Penerima Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan
Hukum dapat merekrut paralegal, dosen, dan mahasiswa
fakultas hukum.98
12. Dalam melakukan pemberian Bantuan Hukum, paralegal,
dosen, dan mahasiswa fakultas hukum harus melampirkan
bukti tertulis pendampingan dari Advokat.99
Mahasiswa fakultas hukum harus telah lulus mata kuliah hukum
acara dan pelatihan paralegal.100
f) Pemberian Bantuan Secara Litigasi
Litigasi adalah proses penanganan Perkara hukum yang dilakukan
melalui jalur pengadilan untuk menyelesaikannya.
Pemberian Bantuan Hukum secara Litigasi dilakukan dengan cara:
1. Pendampingan dan/atau menjalankan kuasa yang dimulai dari
tingkat penyidikan, dan penuntutan
97
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 13 Angka 1 98
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 13 Anggka 2 99
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 13 Angka Angka 3 dan 4 100
Tiar Ramon, Hukum Perdata Revisi Hak Kebendaan, https://tiarramon.wordpress.com,
diakses Tamggal 2 februari 2018
72
2. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam proses
pemeriksaan di persidangan; atau
3. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa terhadap Penerima
Bantuan Hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.101
g) Pemberian Bantuan Secara Nonlitigasi
Nonlitigasi adalah proses penanganan Perkara hukum yang dilakukan
di luar jalur pengadilan untuk menyelesaikannya.
Pemberian Bantuan Hukum secara Nonlitigasi dapat dilakukan oleh
Advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum dalam lingkup
Pemberi Bantuan Hukum yang telah lulus Verifikasi dan Akreditasi.102
Pemberian Bantuan Hukum secara Nonlitigasi meliputi kegiatan:
1. Penyuluhan hukum;
2. Konsultasi hukum;
3. Investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik;
4. Penelitian hukum;
5. Mediasi;
6. Negosiasi;
7. Pemberdayaan masyarakat;
8. Pendampingan di luar pengadilan; dan/atau
9. drafting dokumen hukum.103
101
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 15 102
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 16 angka 1 103
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 16 Angka 2
73
h) Tata Cara Penyaluran Dana Bantuan Hukum
Sumber pendanaan Penyelenggaraan Bantuan Hukum dibebankan pada
APBN. Selain sumber pendanaan APBN, pendanaan dapat berasal dari
1. Hibah atau sumbangan; dan/atau
2. Sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.104
Daerah juga dapat mengalokasikan Anggaran Penyelenggaraan
Bantuan Hukum dalam APBD. Daerah melaporkan penyelenggaraan
Bantuan Hukum yang sumber pendanaannya berasal dari APBD kepada
Menteri dan Menteri Dalam Negeri. Ketentuan mengenai pengalokasian
Anggaran Penyelenggaraan Bantuan Hukum in diatur dengan Peraturan
Daerah.105
Pemberian Bantuan Hukum per Perkara atau per kegiatan hanya dapat
dibiayai dari APBN atau APBD. Pendanaan pemberian Bantuan Hukum per
Perkara atau per kegiatan dari hibah atau bantuan lain yang tidak mengikat
dapat diberikan bersamaan dengan sumber dana dari APBN atau APBD.106
Tata cara penganggaran dan pelaksanaan Anggaran Penyelenggaraan
Bantuan Hukum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Menteri mengusulkan standar biaya pelaksanaan
Bantuan Hukum Litigasi dan Nonlitigasi kepada Menteri Keuangan.107
104
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 18 Angka 1 dan 2 105
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 19 106
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 20 107
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 20 Amgka 3
74
Standar biaya yang telah disetujui oleh Menteri Keuangan menjadi
acuan dalam perencanaan kebutuhan anggaran dan pelaksanaan Anggaran
Bantuan Hukum.108
Dalam mengajukan Anggaran Penyelenggaraan Bantuan Hukum,
Menteri memperhitungkan Perkara yang belum selesai atau belum
mempunyai kekuatan hukum tetap.109
i) Tata Cara Pengajuan Anggaran
Pemberi Bantuan Hukum mengajukan rencana Anggaran Bantuan
Hukum kepada Menteri pada tahun anggaran sebelum tahun anggaran
pelaksanaan Bantuan Hukum.
Pengajuan rencana Anggaran Bantuan Hukum paling sedikit memuat:
1. Identitas Pemberi Bantuan Hukum;
2. Sumber pendanaan pelaksanaan Bantuan Hukum, baik yang
bersumber dari APBN maupun nonAPBN; dan
3. Rencana pelaksanaan Bantuan Hukum Litigasi dan Nonlitigasi
sesuai dengan misi dan tujuan Pemberi Bantuan Hukum.110
Dalam hal Pemberi Bantuan Hukum mengajukan rencana Anggaran
Bantuan Hukum Nonlitigasi sebagaimana dimaksud pada angka 3,
Pemberi Bantuan Hukum harus mengajukan paling sedikit 4 (empat)
kegiatan dalam satu paket dari kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
108
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 21 Angka 2 109
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 22 110
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 23 Angka 1 dan 2
75
Pasal 16 ayat (2) PP 42/2013. Mengenai tata cara pengajuan rencana
Anggaran Bantuan Hukum diatur dengan Peraturan Menteri.111
Menteri melakukan pemeriksaan terhadap berkas pengajuan rencana
Anggaran Bantuan Hukum. Dalam hal pengajuan rencana Anggaran
Bantuan Hukum belum memenuhi persyaratan, Menteri mengembalikan
berkas kepada Pemberi Bantuan Hukum untuk dilengkapi atau diperbaiki.
Dalam hal pengajuan rencana Anggaran Bantuan Hukum telah memenuhi
persyaratan, Menteri memberikan pernyataan secara tertulis mengenai
kelengkapan persyaratan. Menteri memberitahukan hasil pemeriksaan
berkas pengajuan rencana Anggaran Bantuan Hukum dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak berkas diterima.112
Dalam hal pengajuan rencana Anggaran Bantuan Hukum dinyatakan
memenuhi persyaratan, Menteri menetapkan Anggaran Bantuan Hukum
yang dialokasikan untuk Pemberi Bantuan Hukum.113
Menteri menetapkan Anggaran Bantuan Hukum kepada Pemberi
Bantuan Hukum dengan mempertimbangkan kriteria sebagai berikut:
1. Total alokasi Anggaran Bantuan Hukum per provinsi;
2. Data historis penyelesaian pemberian Bantuan Hukum oleh
masing-masing Pemberi Bantuan Hukum;
111
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 23 Angka 3 dan 4 112
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 24 113
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 25 Angka 1
76
3. Jumlah Perkara yang diajukan oleh Pemberi Bantuan Hukum
sebagai rencana kerja yang diuraikan dalam bentuk estimasi
jumlah Perkara yang akan diberikan Bantuan Hukum dan jumlah
kegiatan Nonlitigasi yang akan dilaksanakan;
4. Ketersediaan dana pendamping yang dianggarkan oleh Pemberi
Bantuan Hukum;
5. Penilaian kinerja Pemberi Bantuan Hukum pada tahun anggaran
sebelumnya;
6. Pelaporan dan pertanggungjawaban penggunaan dana Bantuan
Hukum pada tahun anggaran sebelumnya; dan
7. Kriteria lain yang dipandang perlu oleh Menteri untuk mencapai
tujuan efisiensi dan efektifitas penyelenggaran Bantuan
Hukum.114
Menteri dan Pemberi Bantuan Hukum menindaklanjuti penetapan
Anggaran Bantuan Hukum dengan membuat perjanjian pelaksanaan
Bantuan Hukum.115
Nilai Anggaran Bantuan Hukum yang disepakati dalam perjanjian
mengikuti penetapan Menteri mengenai alokasi Anggaran Bantuan
Hukum. Anggaran Bantuan Hukum yang ditetapkan oleh Menteri
merupakan batasan tertinggi penyaluran dana Bantuan Hukum.116
114
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 25 Angka 2 115
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 25 Angka 3 116
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 25 Angka 4
77
Menteri berwenang menetapkan perubahan alokasi Anggaran Bantuan
Hukum kepada Pemberi Bantuan Hukum apabila berdasarkan
pertimbangan tertentu diperlukan penyesuaian atas pagu anggaran
pelaksanaan Bantuan Hukum.117
j) Pelaksanaan Anggaran Bantuan Hukum
Pemberi Bantuan Hukum melaksanakan Bantuan Hukum Litigasi dan
Nonlitigasi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian
pelaksanaan Bantuan Hukum dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.118
Penyaluran dana Bantuan Hukum Litigasi dilakukan setelah Pemberi
Bantuan Hukum menyelesaikan Perkara pada setiap tahapan proses
beracara dan Pemberi Bantuan Hukum menyampaikan laporan yang
disertai dengan bukti pendukung. Penyaluran dana Bantuan Hukum ini
dihitung berdasarkan prosentase tertentu dari tarif per Perkara sesuai
standar biaya pelaksanaan Bantuan Hukum Litigasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 PP 42/2013. Penyaluran dana Bantuan Hukum
ini pada setiap tahapan proses beracara tidak menghapuskan kewajiban
Pemberi Bantuan Hukum untuk memberikan Bantuan Hukum sampai
dengan Perkara yang ditangani selesai atau mempunyai kekuatan hukum
tetap.119
117
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 25 Angka 5 dan 6 118
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 26 119
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 27 Angka 4
78
Tahapan proses beracara merupakan tahapan penanganan Perkara
dalam:
1. Kasus pidana, meliputi penyidikan, dan persidangan di
pengadilan tingkat I, persidangan tingkat banding, persidangan
tingkat kasasi, dan peninjauan kembali;
2. Kasus perdata, meliputi upaya perdamaian atau putusan
pengadilan tingkat I, putusan pengadilan tingkat banding,
putusan pengadilan tingkat kasasi, dan peninjauan kembali; dan
3. Kasus tata usaha negara, meliputi pemeriksaan pendahuluan dan
putusan pengadilan tingkat I, putusan pengadilan tingkat banding,
putusan pengadilan tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.120
Penyaluran dana Bantuan Hukum Nonlitigasi dilakukan setelah
Pemberi Bantuan Hukum menyelesaikan paling sedikit 1 (satu) kegiatan
dalam paket kegiatan Nonlitigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (3) PP 42/2013 dan menyampaikan laporan yang disertai dengan bukti
pendukung. Penyaluran dana Bantuan Hukum ini dihitung berdasarkan
tarif per kegiatan sesuai standar biaya pelaksanaan Bantuan Hukum
Nonlitigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 PP No. 42/2013.121
Menteri berwenang melakukan pengujian kebenaran tagihan atas
penyelesaian pelaksanaan Bantuan Hukum sebagai dasar penyaluran dana
Bantuan Hukum Litigasi dan Nonlitigasi sebagaimana dimaksud dalam
120
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 27 121
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 28
79
Pasal 27 dan Pasal 28 PP 42/2013. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pelaksanaan penyaluran Anggaran Bantuan Hukum diatur dengan
Peraturan Menteri122
k) Pertanggungjawaban
Pemberi Bantuan Hukum wajib melaporkan realisasi pelaksanaan
Anggaran Bantuan Hukum kepada Menteri secara triwulanan, semesteran,
dan tahunan.123
Dalam hal Pemberi Bantuan Hukum menerima sumber pendanaan
selain dari APBN, Pemberi Bantuan Hukum melaporkan realisasi
penerimaan dan penggunaan dana tersebut kepada Menteri.124
Laporan realisasi penerimaan dan penggunaan dana selain dari APBN
dilaporkan secara terpisah dari laporan realisasi pelaksanaan Anggaran Bantuan
Hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 ayat (1) PP. 42/2013125
Untuk Perkara Litigasi, laporan realisasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30, harus melampirkan paling sedikit:
1. Salinan putusan Perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap; dan
2. Perkembangan Perkara yang sedang dalam proses penyelesaian.126
122
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 29 123
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 30 Angka 1 124
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 30 Angka 2 125
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 30 Angka 3 126
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 31 Angka 1
80
Untuk kegiatan Nonlitigasi, laporan realisasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 PP No. 42/2013, harus melampirkan laporan kegiatan yang
telah dilaksanakan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan
pelaksanaan Anggaran Bantuan Hukum diatur dengan Peraturan
Menteri.127
Pemberi Bantuan Hukum mengelola secara tersendiri dan terpisah
administrasi keuangan pelaksanaan Bantuan Hukum dari administrasi
keuangan organisasi Pemberi Bantuan Hukum atau administrasi keuangan
lainnya.128
Menteri menyusun dan menyampaikan laporan realisasi
penyelenggaraan Bantuan Hukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada
setiap akhir tahun anggaran.129
I. Pengawasan
Menteri melakukan pengawasan pemberian Bantuan Hukum dan
penyaluran dana Bantuan Hukum. Pengawasan oleh Menteri
dilaksanakan oleh unit kerja yang tugas dan fungsinya terkait dengan
pemberian Bantuan Hukum pada Kementerian.130
Unit kerja dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) PP 42/2013 mempunyai tugas :
127
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 31 Angka 2 dan 3 128
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 32 129
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 33 130
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 34
81
1. Melakukan pengawasan atas pemberian Bantuan Hukum dan
penyaluran dana Bantuan Hukum;
2. Menerima laporan pengawasan yang dilakukan oleh panitia
pengawas daerah;
3. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan
penyimpangan pemberian Bantuan Hukum dan penyaluran dana
Bantuan Hukum;
4. Melakukan klarifikasi atas adanya dugaan penyimpangan
pemberian Bantuan Hukum dan penyaluran dana Bantuan
Hukum yang dilaporkan oleh panitia pengawas daerah dan/atau
masyarakat;
5. Mengusulkan sanksi kepada Menteri atas terjadinya
penyimpangan pemberian Bantuan Hukum dan/atau penyaluran
dana Bantuan Hukum; dan
6. Membuat laporan pelaksanaan pengawasan kepada Menteri.131
Menteri dalam melakukan pengawasan di daerah membentuk
panitia pengawas daerah. Panitia pengawas daerah terdiri atas wakil
dari unsur:
1. Kantor Wilayah Kementerian; dan
2. Biro hukum pemerintah daerah provinsi.132
131
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 35 132
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 36
82
Panitia pengawas daerah mempunyai tugas:
1. Melakukan pengawasan pemberian Bantuan Hukum dan
penyaluran dana Bantuan Hukum;
2. Membuat laporan secara berkala kepada Menteri melalui unit
kerja yang tugas dan fungsinya terkait dengan pemberian
Bantuan Hukum pada Kementerian; dan
3. Mengusulkan sanksi kepada Menteri atas terjadinya
penyimpangan pemberian Bantuan Hukum dan/atau penyaluran
dana Bantuan Hukum melalui unit kerja yang tugas dan
fungsinya terkait dengan pemberian Bantuan Hukum pada
Kementerian.133
Panitia pengawas daerah dalam mengambil keputusan
mengutamakan prinsip musyawarah. Dalam hal musyawarah tidak
tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.134
Menteri atas usul pengawas dapat meneruskan temuan
penyimpangan pemberian Bantuan Hukum dan penyaluran dana
Bantuan Hukum kepada instansi yang berwenang untuk ditindaklanjuti
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.135
Dalam hal Penerima Bantuan Hukum tidak mendapatkan haknya
sesuai dengan ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
133
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 36 134
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 37 135
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 38
83
2011 tentang Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum dapat
melaporkan Pemberi Bantuan Hukum kepada Menteri, induk organisasi
Pemberi Bantuan Hukum, atau kepada instansi yang berwenang.136
Dalam hal Advokat Pemberi Bantuan Hukum Litigasi tidak
melaksanakan pemberian Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 sampai dengan Perkaranya selesai atau mempunyai
kekuatan hukum tetap, Pemberi Bantuan Hukum wajib mencarikan
Advokat pengganti.137
Dalam hal ditemukan pelanggaran pemberian Bantuan Hukum oleh
Pemberi Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum, Menteri
dapat:
1. Membatalkan perjanjian pelaksanaan Bantuan Hukum;
2. menghentikan pemberian Anggaran Bantuan Hukum; dan/atau
3. Tidak memberikan Anggaran Bantuan Hukum pada tahun
anggaran berikutnya.138
Dalam hal Menteri membatalkan perjanjian sebagaimana dimaksud
pada angka 1 d iatas, Menteri menunjuk Pemberi Bantuan Hukum lain
untuk mendampingi atau menjalankan kuasa Penerima139
136
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 39 137
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 40 138
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 41 Angka 1 139
Lihat PP No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum Pasal 41 Angka 2